paper diskusi bumn
Post on 30-Dec-2014
93 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN BUMN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEUANGAN NEGARA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENYELESAIANG SENGKETA PERDATA DI
PENGADILAN
Oleh : Gatot Supramono
Hakim Tinggi PT. Banjajmasin
A. PENDAHULUAN
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN tampaknya bukan hal
yang asing lagi di masyarakat terlebih bagi para hakim
khususnya yang banyak mengadili perkara karena terkadang
menangani sengketa yang salah satu pihaknya adalah BUMN.
Selain itu para hakim juga sebagai nasabah tetap BUMN karena
setiap bulan gaji dan tunjangannya dibayarkan KPN (Kantor
Perbendahaan Negara) melalui BRI yang statusnya BUMN.
Berbicara mengenai BUMN sampai sekarang masih banyak
dari kalangan penegak hukum penyidik, jaksa, pengacara
termasuk hakim yang kurang begitu mengenal secara mendalam
BUMN, dan masih memandang BUMN bukan sebagai perusahaan
melainkan sebagai lembaga pemerintah/negara, dengan alasan
BUMN itu milik negara karena di dalam akronim BUMN terdapat
kata-kata Milik Negara. Terlebih lagi ada yang berpendapat
BUMN keberadaan di bawah Kementerian Negara BUMN.
Pandangan yang demikian tentu saja tidak tepat alias
keliru, karena BUMN didirikan oleh negara sebagai perusahaan
dengan tujuan untuk mencari keuntungan untuk pemasukan
negara sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Latarbelakangnya dikarenakan negara tidak dapat mencari
keuntungan dari kegiatan menyelenggarakan pemerintahan.
Oleh karena itu sebagai perusahaan BUMN keberadaannya
sama dengan perusahaan-perusahaan lainnya dengan status
1
badan hukum yang bukan BUMN, dimana di dalamnya ada pendiri,
pemodal/pemegang saham, direksi dan komisaris yang merupakan
organ perusahaan. Hanya bedanya, di dalam BUMN terdapat
sebagian atau seluruh modalnya berasal dari negara.
B. BUMN SEBAGAI BADAN HUKUM
Dalam ilmu hukum pendukung hak dan kewajiban disebut
subyek hukum. Subyek hukum ada dua macam yaitu orang dan
badan hukum. Badan hukum adalah sekumpulan orang yang
terikat oleh suatu organisasi yang dapat bertindak seperti
manusia pada umumnya. Badan hukum memiliki harta kekayaan
sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun
pengurusnya. Dalam melaksanakan kegiatannya badan hukum
dapat bertindak berhubungan dengan pihak lain seperti
mengadakan perjanjian atau membayar pajak dilakukan oleh
pengurusnya.
Menurut teori von Gierke keberadaan badan hukum berada
di lapangan hukum harta kekayaan. Sejalan dengan teori
tersebut Brinz mengatakan, adanya suatu badan hukum
dikarenakan ditentukan negara. Di Indonesia suatu organisasi
disebut sebagai badan hukum diatur oleh suatu undang-undang
dan untuk memperoleh status badan hukum dilakukan pengesahan
dari pemerintah.
Sejalan dengan teori tersebut BUMN sebagai badan
hukum juga ditetapkan oleh undang-undang. Ada dua macam BUMN
yaitu Persero dan Perum. Terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas (Pasal 11 UU BUMN). UU Perseroan Terbatas yang
berlaku sekarang adalah UU No. 40 Tahun 2007. Persero
memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian
disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.
2
Sedangkan untuk Perum berlaku ketentuan Pasal 35 UU
BUMN yang menyebutkan, Perum didirikan dengan Peraturan
Pemerintah, dan memperoleh status badan hukum sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Dengan demikian akta pendirian Perum tidak perlu dilakukan
pengesahan seperti Persero.
C. MODAL BUMN BERASAL DARI NEGARA
Setiap perusahaan didirikan untuk mencari keuntungan
sehingga dipastikan memerlukan modal untuk menjalankan
kegiatan usahanya. Modal BUMN berasal dari negara dari
kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 ayat (1) UU BUMN).
Arti dipisahkan tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 4
ayat (1), pemisahan kekayaan kekayaan dari APBN untuk
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, Namur pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan
preusan yang sehat.
Dari ketentuan Pasal tersebut, tampak jelas dengan
dipisahkannya dari APBN maka modal/kekayaan negara menjadi
“putus” hubungannya dengan APBN, sehingga ketika harta
kekayaan itu dimasukkan/disetor lepada BUMN membawa akibat,
yaitu peralihan hak milik menjadi kekayaan BUMN. Harta
kekayaan tersebut bukan lagi milik negara. Hal ini señalan
dengan teori badan hukum di atas, bahwa badan hukum memiliki
harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri
maupun pengurusnya. Oleh karena pengelolaannya sudah tidak
mengikuti APBN, di dalam BUMN tidak mengenal adanya DIPA.
Untuk BUMN pendirinya ádalah negara. Sebagai
penyerta/pemasok modal BUMN, negara statusnya sebagai
pemodal atau pemegang saham. Negara tidak dapat lagi campur
3
tangan atau mengutak-utik modal yang telah dimasukkan BUMN
karena sudah menjadi milik BUMN. Selaku pemegang saham
mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
direksi dan komisaris BUMN.
Dengan kedudukannya sebagai pemegang saham, negara
berhak memperoleh pembagian keuntungan atau deviden dari
BUMN setiap tahunnya. Sebaliknya apabila BUMN menderita
kerugian, negara bertanggung jawab hanya terbatas sebesar
modal yang dimasukkan ke dalam BUMN. Bagi persero, pemegang
saham tidak bertanggung jawab atas kerugian PT yang melebihi
saham yang dimiliki (Pasal 3 ayat (1) UUPT). Untuk Perum
Pasal 39 huruf a UU BUMN menyatakan, bahwa pemodal (Menteri)
tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum yang melebihi
penyertaan modal yang dimasukkannya.
D. KEUANGAN NEGARA
Keuangan negara diatur dalam UU No. 17 tahun 2003
tentang Keungan Negara. Yang dimaksud keuangan negara ádalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapatdinilai dengan uang
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Ruang lingkup pengertian keuangan negara berdasarkan
Pasal 2 meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman,
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak
ketiga,
c. penerimaan negara,
d. pengeluaran negara,
e. penerimaan daerah,
4
f. pengeluaran daerah,
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah,
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum.
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.
Memperhatikan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan
Negara di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1)
UU BUMN tampak terjadi perbenturan kepentingan, di satu
pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan BUMN sendiri sedangkan
di lain pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara,
sehingga berkibat menimbulkan ketidakpastian hukum yang
membingungkan penegak hukum termasuk hakim.
E. PERMASALAHAN
Dari perbenturan kepentingan ke dua undang-undang di
atas yang menjadi permasalahannya:
1. Bagaimana BUMN menyelesaikan piutangnya?
2. Apakah BUMN dapat dipailitkan?
3. Apakah harta BUMN dapat disita?
4. Apakah jaksa pengacara negara dapat mewakili BUMN dalam
perkara perdata?
5. Bagaimana pengaruhnya dengan perkara korupsi di BUMN?
Dengan lima permasalahan di atas akan dicari jawabannya
dari pembahasan sebagaimana di bawah ini,
F. PENGARUH KEUANGAN NEGARA TERHADAP BUMN
5
1. Perbedaan prinsip UU
Di atas telah diketahui bahwa ruang lingkup keuangan
negara yang pada prinsipnya meliputi penerimaan dan
pengeluaran negara maupun daerah. Dengan prinsip tersebut
ruang lingkup keuangan negara diperluas terutama yang
menyangkut kekayaan negara yang dikelola pihak lain termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagaimana
Pasal 2 huruf g UU Keuangan negara.
Di lain pihak BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun
2003, memang benar modal BUMN berasal dari kekayaan yang
dipisahkan bersumber dari APBN, kapitalisasi cadangan, atau
sumber lainnya. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
disebutkan, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan
kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat. Dengan prinsip ini, BUMN pengelolaan tidak
mengikuti keuangan negara dan akibat pemisahan tersebut
harta kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara melainkan
sebagai kekayaan BUMN sendiri.
Dari adanya perbedaan prinsip tersebut yang menjadi
permasalahan adalah sampai sejauhmana pemberlakuan keuangan
negara terhadap BUMN?
Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 BUMN adalah perusahaan
yang berbadan hukum yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Untuk Persero (Perusahaan Perseroan) berlaku UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga badan hukum
Persero diperoleh setelah akta pendiriannya disahkan oleh
6
Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan untuk Perum (Perusahaan
Umum) dengan Peraturan Pemerintah tentang pendirian Perum
disahkan dan diundangan dalam Tambahan Berita Negara RI
memperoleh status badan hukumnya.
Dalam teori badan hukum merupakan kumpulan sejumlah orang
yang dipandang sebagai subyek hukum. Suatu organisasi
disebut badan hukum apabila ditentukan oleh negara yang
dalam hal ini disebutkan dalam sebuah undang-undang badan
hukum keberadaannya di lapangan hukum harta kekayaan. Oleh
karena itu badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang
terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan
badan hukum digunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Sehubungan dengan teori tersebut, BUMN sebagaimana di
atas adalah badan hukum. BUMN mempunyai kekayaan sendiri
yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN
pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara.
Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan,
sehingga tidak berlaku sitem APBN melainkan memberlakukan
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan
ke dalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha
dalam mencari keuntungan.
Sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara
dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus
uang publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara
masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk
dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan
negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi
menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan
hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang
publik menjadi uang privat (Djalil, 2007).
7
Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri
BUMN. Di samping itu negara juga sebagai penyerta modal
(pemegang saham). Selaku penyerta modal memiliki hak untuk
mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan
RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal
yang dimasukkan. Apabila BUMN menderita kerugian yang
melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggung jawab
untuk menanggung kerugian tersebut.
Keberadaan BUMN bukan termasuk lembaga negara atau
lembaga pemerintah, karena BUMN tidak berada pada struktur
organisasi negara maupun pemerintah, dan seperti telah
disebutkan di atas bahwa BUMN adalah perusahaan yang
statusnya sebagai badan hukum perdata. Dengan statusnya
tersebut harta kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan
Negara.
2. Fatwa MA
Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006 Mahkamah Agung
pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan
RI. Fatwa dituangkan dalam surat Mahkamah Agung Nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 Perihal
Permohanan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut :
Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006
tanggal 26 Juli 2006 perihal tesebut di atas, dan setelah
Mahkamah Agung mempelajarinya dengan ini dapat disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha
Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
8
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa
”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan”.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa
“yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan
negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi
didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara,
namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-
prinsip perusahaan yang sehat”;
2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang
merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas
dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara
yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan
dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN
melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang
sehat;
3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan :
“Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang
dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau
akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara
adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau
Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan,
9
perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya
dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang
“badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian
atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara,
PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan
perbekalan dan persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan
dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang
yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan
Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8
untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya
telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya
tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia
Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang
BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut
tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis)
dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960;
5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah”, yang dengan adanya Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan
dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”
juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan
perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14
10
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah.
Dari fatwa Mahkamah Agung di atas dapat disimpulkan bahwa
ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat
secara hukum kepada BUMN, dengan demikian harta kekayaan
BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan bukan
merupakan kekayaan negara.
3. Pedapat Kemeneg BUMN
Selain fatwa tersebut, ada pendapat dari Kementerian
Negara BUMN yang tertuang dalam suratnya No. S-
298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang
ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN
tentang hubungan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN yang
isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka
kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya sebatas
modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi
sesuai dengan kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi
dikelola berdasarkan kaidahkaidah hukum kekayaan Negara.
Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat ruang
lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang
tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka
dalam pengelolaan keuangan Negara berlaku dua kaidah atau
rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara yang
mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan
(APBN/APBD), dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur
pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD).
Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut, namun
rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas
11
yang terkait dengan permodalan dan eksistensi BUMN.
Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa pendirian,
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal,
privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, dan bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri
Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan
tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan
eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum
Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 11 UU
BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan
terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995
(sekarang UU No. 40 Tahun2007 tentang Perseroan Terbatas).
4. PP No. 33 Tahun 2006 sebagai regulasi
Dengan adanya fatwa Mahkamah Agung dan pendapat
Kementerian Negara BUMN yang isinya sejalan tersebut dapat
diketahui bahwa oleh karena Pasal 2 huruf g tidak mengikat
BUMN maka pengaruh UU Keuangan Negara terhadap BUMN tidak
sampai memasuki “rumah tangga” BUMN. Harta kekayaan BUMN
bukan sebagai harta kekayaan negara melainkan sebagai milik
BUMN sendiri. Hal ini sesuai dengan teori badan hukum yang
memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta
kekayaan pengurus maupun para pendirinya. Negara selaku
pendiri BUMN berkedudukan sebagai pemegang saham/pemilik
modal BUMN yang berhak atas pembagian deviden atau
keuntungan BUMN.
Setelah mengetahui bahwa BUMN mempunyai harta kekayaan
sendiri, maka jika BUMN bersengketa di pengadilan sebagai
tergugat konsekuensinya harta kekayaannya dapat disita oleh
pengadilan baik sita jaminan atau sita eksekusi. Seandainya
12
di dalam BUMN masih terdapat barang-barang milik negara
tidak dapat disita berdasarkan UU Perbendaraan negara.
Kemudian apabila BUMN mempunyai piutang yang belum
dibayar oleh debiturnya meskipun telah jatuh tempo, tidak
lagi menyerahkan penyelesaian piutangnya ke Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN). Sebelum belakunya UU No. 19 Tahun
2003 BUMN menyelesaikan piutangnya melalui PUPN dasarnya
adalah Pasal 8 UU PUPN karena piutang negara mencakup
piutang perusahaan negara yang sekarang disebut BUMN.
Berdasarkan UU BUMN pemerintah telah mengeluarkan PP No. 33
Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No. 14 Tahun 2005
tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah berlaku
sejak tanggal diundangkan yaitu 6 Oktober 2006, mengatur
sebagai berikut:
Pasal I:
Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus.
Pasal II:
1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku :
a. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk
selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan
Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan
pelaksanaannya.
b. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah
diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q.
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul
penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah
13
diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal
Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Dengan adanya UU BUMN dan PP tersebut maka berpengaruh
terhadap penyelesaian utang piutang BUMN yang tidak lagi
melalui lembaga PUPN berakibat wewenang PUPN hanya
menyelesaian piutang-piutang negara yang bukan berasal dari
BUMN. Oleh karena itu sudah waktunya UU PUPN perlu diubah
atau diganti dengan mengikuti perkembangan zaman.
G. PENYELESAIAN PIUTANG BUMN
Dengan keluarnya PP 33 Tahun2006 sebagai peraturan
pelaksana UU BUMN yang dilatarbelakangi Fatwa MA dan
pendapat Kemeneg BUMN sebagaimana suratnya di atas
berpengaruh terhadap penyelesaian utang piutang BUMN, karena
sebelumnya BUMN menyerahkan penyelesaian ke PUPN.
Penyelesaian utang piutang sejak saat itu tidak lagi ke
PUPN, karena harta BUMN bukan lagi sebagai kekayaan negara,
tetapi kekayaan BUMN sendiri sehingga sesuai PP No. 33 Tahun
2006 piutang BUMN diselesaikan menurut UU Perseroan
Terbatas dan UU BUMN.
Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat kami BUMN
menyelesaikan utang piutangnya dengan mengikuti tata cara
ketentuan hukum jaminan yang berlaku, tanpa menutup
kemungkin BUMN menggunakan lembaga perdamaian dengan cara
mediasi atau lembaga arbitrase.
14
Apabilan BUMN menyelesaikan piutangnya mengikuti hukum
jaminan, maka berlaku ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
sebagai berikut:
a. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (tanah dan
bangunan),
a. UU No. 42 Tahun 1999 tetang Fidusia (barang bergerak),
b. Buku Kedua Bab Kedua Puluh, dari Pasal 1150 sampai dengan
Pasal 1161 KUH.Perdata tentang gadai (barang bergerak),
dan
c. Pasal 60 s/d Pasal 66 UU No. 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran, Pasal 314 KUHD, KUH.Perdata Pasal 1168, 1169,
1171 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 1175 dan Pasal 1176
ayat (2), Pasal 1177, Pasal 1178, Pasal 1180, Pasal 1186,
Pasal 1187, Pasal 1189, Pasal 1190, Pasal 1193 s/d Pasal
1197, Pasal 1199 s/d Pasal 1205, Pasal 1207 s/d Pasal
1919, Pasal 1224 s/d Pasal 1227 tentang hipotek kapal.
Dari ketentuan-ketentuan hukum jaminan tersebut BUMN
mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan hendak
menyelesaikan utang piutangnya, melalui lembaga pengadilan
atau menyelesaikan sendiri (mengeksekusi sendiri jaminan
utang).
Jika BUMN memilih menyelesaikan melalui pengadilan,
sesuai hukum acara perdata maka prosedurnya dapat dilakukan
dengan:
a. Mengajukan gugatan perdata kepada debitur/nasabahnya
dengan alasan wanprestasi atas utangnya, atau
b. Mengajukan permohonan eksekusi terhadap grosse akta hak
tanggungan/fidusia/hipotek kapal.
BUMN dapat mengajukan gugatan perdata terhadap
nasabah/debiturnya karena wanprtestasi atas utangnya.
Gugatan ini di sidangkan dengan acara jawab-menjawab,
pembuktian, dan putusan. Setelah putusan memperoleh kekuatan
15
hukum tetap, sebagai pihak yang dimenangkan BUMN mengajukan
permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri, karena
pengadilan bersikap pasif. Pengadilan tidak mungkin
mengeksekusi putusannya sendiri apabila tidak diminta.
Semua grosse akta yang berkepala Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat dimintakan
permohonan eksekusi kepada pengadilan karena dengan title
eksekutorial tersebut grosse akta memiliki kekuatan yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.
Pengajuan permohonan eksekusi grosse akta tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan seperti perkara gugatan perdata.
Dengan permohonan eksekusi ketua pengadilan dapat langsung
mengeluarkan penetapan eksekusi grosse akta.
Untuk gadai, meskipun dalam gadai tidak dikenal adanya
grosse akta, karena gadai dapat dilakukan secara lisan,
namun Pasal 1156 KUH.Perdata memungkinkan untuk melakukan
eksekusi melalui pengadilan. Pasal tersebut menyebutkan,
bahwa bagaimanapun apabila debitur atau pemberi gadai cidera
janji, kreditor dapat menuntut di muka Hakim supaya
barangnya gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh
Hakim untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya, ataupun
Hakim, atas tuntutan kreditur, dapat mengabulkan bahwa
barang gadainya akan tetap pada kreditor untuk suatu jumlah
yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar utangnya
beserta bunga dan biaya.
Dalam praktik pernah terjadi kasus, perusahan dari
Singapore BECKKETT PT E. LTD., menggugat DEUTSCHE BANK
AKTIENGESELLSCHAFT, dkk., dengan dasar penggugat adalah
pemilik saham PT. Swabara Mining Energy sebanyak 7.420
lembar saham atau sebesar 74,2%. Penggugat sebagai pemberi
gadai dan Tergugat I (Deutsche Bank Aktiengesellschaft)
16
sebagai penerima gadai telah ditandatangani akta gadai
saham, yaitu Share Pledge Agreement Nomor 5, tanggal 05
November 1997. tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih
dahulu yang diberikan secara patut dari Tergugat I dan tanpa
dilandasi oleh dasar hukum yang sah, pada tanggal 15
Februari 2002, Tergugat I menjual saham-saham Penggugat
kepada PT. MULHENDI SENTOSA ABADI Tergugat III secara
tertutup atau di bawah tangan.
Belakangan diketahui Tergugat I menjual saham-saham
Penggugat dengan harga US$ 800,000,- sesuai Deed of Sell and
Purchase of Share Agreement No. 21 tanggal 15 Februari 2002
dan Akta Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi Gadai Saham
Secara Jual Beli No. 22 tanggal 15 Februari 2002, keduanya
dibuat di hadapan Ilmiawan Dekrit Supatmo, S.H., Notaris di
Jakarta.
Dasar penjualan saham-saham Penggugat adanya 3 (tiga)
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masing-masing
tertanggal 11 Desember 2001 yang memang sengaja diminta
secara sepihak (voluntair) oleh Tergugat I ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan sebagai berikut:
a. Penetapan No. 338/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 11
Desember 2001.
b. Penetapan No. 339/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 11
Desember 2001.
c. Penetapan No. 340/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 11
Desember 2001.
Setelah berhasil menjual Saham-saham Penggugat secara
tertutup atau di bawah tangan, Tergugat I kembali meminta
penetapan secara sepihak (voluntair) ke Pengadilan Negeri
17
Jakarta Selatan untuk mengesahkan tindakannya, ternyata
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
mengeluarkan Penetapan No. 34/Pdt.P/2002/PN.Jak.Sel.,
tanggal 19 Februari 2002 .
Namun empat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Penetapan
No. PTJ.KPT.01.2005 tertanggal 25 Februari 2005, Putusan
Mahkamah Agung tgl. 23 September 2010 No, 1130 K.Pdt/2010
dalam pertimbangan hukumnya membenarkan putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta tanggal 10 Desember 2009 No. 475?PDT/2009
yang menguatkan putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan
tanggal 8 April 2009 No. 649/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel., yang
menolak gugatan penggugat seluruhnya.
H. KEPAILITAN BUMN
Kedudukan BUMN sebagai badan hukum perdata dapat
sebagai kreditur dan dapat pula sebagai debitur. Jika BUMN
mempunyai utang dan sudah jatuh tempo tetapi tidak membayar
utangnya, apakah BUMN dapat dipailitkan ? Dasar hukum
kepailitan adalah UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kepailitan adalah salah satu cara yang digunakan
kreditur untuk menyelesaikan utang piutang. Dalam Pasal 1
angka 1 UUK, disebutkan kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas .
Sebagaimana diketahui dalam pembahasan di atas, BUMN
kedudukannya adalah sebagai perusahaan dan sebagai badan
hukum memiliki harta kekayaan sendiri. Oleh karena itu pada
18
prinsipnya jika utang BUMN tidak dibayar terbuka kemungkinan
BUMN dapat dipailitkan oleh pengadilan.
Suatu perusahaan dinyatakan pailit apabila dilakukan
dengan putusan pengadilan niaga sebagai yang berwenang.
Kepailitan baru terjadi apabila memenuhi syarat-syarat Pasal
2 ayat (1) UUK yaitu: Debitur yang mempunyai dua atau lebih
Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih krediturnya. BUMN dapat
dipailitkan, jika BUMN memiliki minimal dua utang dan salah
satu utangnya tidak dibayar meskipun telah jatuh tempo.
Untuk dapat mempailitkan BUMN tidak dapat diajukan oleh
krediturnya, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat Pasal 2
ayat (5) UUK, yaitu:
a. usaha BUMN bergerak di bidang kepentingan publik,
b. permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan.
Sampai saat ini belum pernah terjadi di dalam praktik ada
BUMN yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Meskipun
demikian terdapat suatu permasalahan, bagaimana menteri
keuangan sdebagai satu-satu pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit dapat membuktikan bahwa BUMN mempunyai
lebih dari satu utang di depan persidangan? Tampaknya hal ini
merupakan suatu hambatan bagi menteri keuangan, yang imbasnya
sangat tipis kemungkinan BUMN yang usahanya bergerak dibidang
pelayangan publik dapat dipailitkan.
Bandingkan dengan kepailitan bank, bank hanya dapat
dipailitkan oleh BI. Pasal 2 ayat (3) menyebutkan, dalam hal
debitur adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia. BI dapat mengajukan
pailit, karena berdasarkan UU Perbankan BI selaku pengawas
19
bank, sehingga dari hasil pengawasannya dapat mengetahui ada
bank yang tidak sehat. Selain itu dari hasil pengawasannya
pula BI mengetahui sebuah bank mempunyai berapa utang dan
berapa besar utangnya. Oleh karena itu BI dimungkinkan untuk
dapat membuktikan utang-utang bank di pengadilan dan mana
utang yang tidak dapat ditagih meskipun telah jatuh tempu.
I. SITA TERHADAP HARTA KEKAYAAN BUMN
Sebagai badan hukum BUMN memiliki kekayaan sendiri yag
terpisah dari kekayaan pengurus/pendirinya. Kekayaan BUMN
bukan milik negara. Oleh karena kekayaan BUMN bukan milik
negara maka pengadilan dapat dilakukan penyitaan baik sita
jaminan atau sita eksekusi untuk kepentingan suatu perkara
perdata.
Dalam suatu BUMN ada kemungkinan terdapat barang-barang
milik negara yang masih dikuasai baik barang bergerak maupun
barang tidak bergerak. Barang-barang ini statusnya bukan
milik BUMN. Sebagai barang milik Negara tidak dapat
dilakukan penyitaan, dasar hukumnya adalah Pasal 50 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengatur sebagai
berikut:
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang
berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada
negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada
instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik
negara/daerah;
20
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh
negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan.
Penyitaan terhadap kekayaan BUMN karena sebagai barang
bukan milik Negara prosedurnya tidak perlu minta izin dari
Mahkamah Agung sebagaimana putusan MA No. 1109 K/PDT/2004
tanggal 14 Oktober 2005.
Sejak berlakunya BUMN dalam praktik sudah ada penyitaan
yang dilakukan oleh pengadilan antara lain yaitu:
a. Penyitaan yang dilakukan PN. Tenggarong terhadap
kekayaan Pertaminasebagaimana Penetapan Penetapan No.
11/Pdt.G/1998/PN.Tgr. tanggal 23 Mei 2007 sebagai
berikut :
1. Mengabulkan Permohonan Eksekusi dari Pemohon tersebut;
2. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri
Tenggarong untuk meminta bantuan (delegasi) kepada Ketua
Pengadilan Negeri Balikpapan untuk melaksanakan Sita
Eksekusi atas sejumlah uang milik Termohon Eksekusi I
sebesar Rp.20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah),
serta ditambah biaya perkara dan pelaksanaan putusan
yang jumlahnyaditentukan kemudian pada :
1. Bank Rakyat Indonesia Cabang Balikpapan, Nomor
Rekening 012101000201309, atas nama
PTMN-BRI-PMS6/BPP/PR1 (Termohon Eksekusi I);
2. Bank Mandiri Balikpapan, Nomor Rekening :
1490072000013, atas nama PTMN-MDR-PMS6/BPP/PR1
(Termohon Eksekusi I);
3. Bank Negara Indonesia Balikpapan, Nomor Rekening :
0076393559, atas nama PERTAMINA UP. V (Termohon
Eksekusi I);
21
3. Memerintahkan pula kepada Panitera Pengadilan Negeri
Tenggarong untuk meminta bantuan (Delegasi) kepada Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melaksanakan Sita
Eksekusi atas sejumlah uang milik Termohon Eksekusi II
sebesar Rp.20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah),
serta ditambah biaya perkara dan pelaksanaan putusan
yang jumlahnya ditentukan kemudian pada : ABN Amro Bank
Jakarta Pusat, Nomor Rekening A/C : 1114565USD, atas
nama TOTAL E&P INDONESIE (Termohon Eksekusi II);
Pihak Pertamina (termohon eksekusi I) dan TOTAL E&P
INDONESIE (termohon eksekusi II) tidak terima barangnya
disita eksekusi mengajukan kasasi terhadap penetapan
eksekusi tersebut. MA dengan putusannya No. 1958
K/Pdt/2007 tanggal tanggal 9 Juni 2009keberatan terhadap
Eksekusi putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap upaya hukumnya bukan kasasi tetapi perlawanan dan
menyatakan permohonan kasasi Pertamina dkk., dinyatakan
tidak dapa diterima.
b. Penyitaan yang dilakukan terhadap tanah dan bangunan
PLN oleh PN. Pinrang. Sita Eksekusi dilakukan terhadap
tanah dan bangunan yang terletak di atas Persil No.21
Kohir No.677 (bentuk L) serta persil 23 D.I NOP.003-0152,0
luas ± 2.166 m2 berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Pinrang tanggal 14 April 1999
No.10/Pen.EB/99/PN.Pinrang Jo. Berita Acara Penyitaan
tanggal 19 April 1999 Berita Acara Penyitaan tanggal 20
April 1999.
Terhadap penyitaan tersebut PLN keberatan dan mengajukan
perlawan dengan alasan barang yang disita adalah milik
Negara dan tidak ada izin dari MA, sehingga penyitaan
22
bertentangan dengan Pasal 55 dan 56 ICW dan harus
dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Putusan No. 23/Pdt.G/2002/PN.Pinrang. tanggal 27 Januari
2003 yang menolak perlawanan PLN dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Makasar dengan putusan No.225/Pdt/2003/PT.Mks.
tanggal 8 Oktober 2003.
Di tingkat kasasi MA dengan putusan No.1190 K/Pdt/2004
tanggal 14 Oktober 2005 menolak permohonan kasasi PLN
dengan pertimbangan, PLN yang semula merupakan BUMN
diubah menjadi Perseroan Terbatas (milik Pemerintah,
tetapi tidak seluruh harta kekayaannya adalah milik
Negara, oleh karena itu tidak diperlukan izin dari MA, dan
PLN adalah partai dalam perkara (bukan derden verzet) dan
Sita Eksekusi tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi
putusan No.02/Pdt.G/1998/PN.Pinrang Jo
No.54/Pdt/1999/PT.MKS., yang telah berkekuatan hukum
tetap.
J. JAKSA PENGACARA NEGARA
BUMN adalah badan hukum perdata yang bentuknya berupa
perusahaan yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan memperhatikan kedudukan hukum
tersebut, apakah dalam sengketa perdata BUMN dapat diwakili
oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) di persidangan
pengadilan ?
Dasar hukum JPN terdapat di dalam UU No. 16 Tahun 2004
tenang Kejaksaan RI. Di dalam UU tersebut kejaksaan
mempunyai kewenangan bertindak di bidang hukum pidana, hukum
perdata dan hukum TUN. Dalam perkara pidana jaksa hadir di
persidangan sebagai penuntut umum dengan dilengkapi surat
tugas dari kepala kejaksaan.
23
Di bidang perdata dan TUN Pasal 30 ayat UU No. 16
Tahun 2004 kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak
baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah. Kejaksaan datang menghadap di
persidangan dalam sengketa perdata kedudukan sebagai JPN
dapat mewakili penggugat atau tergugat dengan menyerahkan
surat kuasa khusus.
Sejalan dengan kedudukannya tersebut, maka pihak yang
berperkara yang diwakili JPN adalah Negara, dalam hal ini
dapat dari lembaga eksekutif, legislatif atau yudikatif yang
sedang bersengketa. Apabila kedudukan JPN dihubungan dengan
BUMN yang sedang menghadapi sengketa perdata, tampaknya JPN
tidak dapat mewakili BUMN karena BUMN statusnya bukan
lembaga Negara atau lembaga pemerintah.
Kedudukan BUMN dalam kenyataannya tidak berada di dalam
struktur organisasi pemerintah maupun Negara. Ada sementara
orang yang mengatakan bahwa BUMN berada di bawah Kemeneg
BUMN, namun pendapat ini tidak dapat dibenarkan, karena
lembaga-lembaga atau kantor-kantor yang berada di bawah
kementerian adalah UPT (unit pelaksana teknis). BUMN bukan
sebagai UPT dari Kementeg BUMN. Oleh karena itu BUMN
keberadaannya di luar Kemeneg BUMN karena BUMN bukan bagian
dari organisasi Negara/pemerintah.
Dalam putusan perkara antara PT. ANGKASA PURA (PERSRO)
sebagai pelawan melawan PT. PRIMA GRIYA LESTARI sebagai
terlawan dan Kepala BPN sebagai turut terlawan yang diputus
PN. Tangerang dengan putusan No.111/Pdt.Plw/2005/PN.Tng.
tanggal 26 September 2005 eksepsi terlawan diterima dan
gugatan perlawanan terlawan tidak dapat diterima, dengan
pertimbangan, pelawan merupakan BUMN statusnya adalah
perusahaan sehinga bukan sebagai Negara, karena
keberadaannya tidak berada di dalam struktur salah satu
24
organisasi lembaga Negara atau lembaga pemerintah. Dengan
demikian Jaksa Pengacara Negara tidak memiliki dasar untuk
mewakili pelawan di persidangan.
Putusan tersebut di tingkat banding dikuatkan oleh PT.
Banten dengan putusannya No. 27/Pdt/2006/PT.Btn. tanggal 31
Agustus 2006. Selanjutnya di tingkat kasasi MA dengan
putusannya No.233 K/Pdt/2007 tanggal 22 Januari 2008 menolak
permohonan kasasi yang diajukan oleh pelawan, dengan
pertimbangan judex factie (pengadilan tinggi dan pengadilan
negeri) tidak salah menerapkan hukum.
Dari putusan tersebut telah menunjukkan bahwa JPN tidak
dapat mewakili BUMN dalam perkara perdata di persidangan
pengadilan.
K. PENGARUHNYA TERHADAP PERKARA KORUPSI DI BUMN
Sebagaimana telah dibahas di atas bagaimana pengaruh
keuangan negara terhadap BUMN, dimana pengaruhnya terbatas
pada kepemilikan saham/modal yang dimasukkan ke dalam BUMN,
sedangkan harta kekayaan BUMN merupakan milik BUMN sendiri
dan bukan lagi milik negara. Pengaruh keuangan negara tidak
sampai masuk ke urusan interen BUMN.
BUMN sebagai perusahaan yang bertujuan mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya, di dalam menghadapi
persaingan bisnis dari dalam dan luar negeri terkadang
menderita kerugian. Kerugian dapat disebabkan karena direksi
BUMN salah mengambil langkah dalam berusaha atau terjadi
miss management. Apakah kerugian BUMN ini dapat disebut
kerugian negara dan pergurusnya dapat dengan tidak pidana
korupsi?
Tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU
tersebut antara lain disebuatkan bahwa perbuatan
25
korupsidapat merugikan keuangan negara. Kerugian negara
merupakan salah satu untuk yang harus dipertimbangan oleh
hakim.
Mengenai keuangan dalam Penjelasan Umum UU TPPK
dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan keuangan adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena :
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di
tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.
Dari penjelasan UU TPPK di atas menunjukkan bahwa
keuangan Negara meliputi harta kekayaan yang yang berada
dalam pengurusan dan dikuasai oleh BUMN. Singkatnya harta
kekayaan BUMN adalah milik Negara, sehingga kerugian BUMN
merupakan kerugian Negara. Personil atau pejabat BUMN yang
berbuat merugikan BUMN dapat dipidana dengan UU TPPK.
26
Memperhatikan tentang kerugian Negara tersebut, maka
terdapat perbenturan kepentingan antara UU TPPK dengan UU
BUMN, karena terjadi perbedaan prinsip pada kedua UU itu.
Prinsip UU TPPK menghendaki kerugian Negara termasuk
kerugian BUMN, sedangkan prinsip UU BUMN kerugian BUMN
merupakan kerugian BUMN sendiri dan bukan kerugian Negara.
Dengan adanya perbedaan prinsip yang demikian,
berdampak kepada ketidakpastian hukum dan membingungkan
masyarakat pencari keadilan, juga para penegak hukum
termasuk para hakim. Oleh karena itu perlu dicarikan jalan
keluarnya dengan mendudukan pada proporsi yang sebernarnya
dan dapat menciptakan rasa keadilan
Dalam praktik yang terjadi selama ini terhadap BUMN yang
bermasalah selalu pelakunya dihukum dengan pidana korupsi.
Sebagai contoh yang paling mencolok adalah BUMN yang
usahanya di bidang perbankan. Asal ada kredit macet itu
tandanya ada peristiwa korupsi. Kasus Bank BNI dengan
terdakwa A. Waworuntu dan kasus Bank Mandiri dengan terdakwa
ECW. Neloe, keduanya dipidana oleh MA dengan pidana korupsi
karena terbukti salah dalam mengucurkan kredit kepada
nasabahnya.
Dari permasalahan di atas selaku penulis/penyaji
berpendapat, berhubung BUMN adalah perusahaan dan
pengelolaannya tidak mengikuti sistem APBN tetapi dengan
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, dan kerugian BUMN
bukan merupakan kerugian Negara, tindak pidana korupsi tidak
dapat dikenakan kepada personil BUMN yang merugikan BUMN.
Jika tindak pidana korupsi tidak dapat dikenakan, bukan
berarti pejabat BUMN akan lolos dari jerat hukum sama
sekali, akan tetapi pelakunya tetap dapat dipidana dengan
menggunakan delik lain. Pada BUMN perbankan pelakunya dapat
dijerat dengan tindak pidana dibidang perbankan berdasarkan
27
UU Perbankan, karena kesalahan di dalam pemberian kredit
selalu berhubungan dengan teknis perbankan. Selain itu
pelakunya dapat dikenakan dengan delik KUHP, karena
penyimpangan yang sering terjadi di BUMN berhubungan dengan
pemalsuan surat (Pasal 263) atau penggelapan (Pasal 372 dan
374).
L. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari seluruh uraian pembahasan di atas dapat
disimpulkan, bahwa ciri khas BUMN sebagian atau seluruh
modalnya berasal dari Negara, pengelolaannya tidak mengikuti
sistem APBN sebagai konsekuensi dari pemisahan kekayaan
Negara. Modal yang dimaksukkan ke dalam BUMN menjadi milik
BUMN dan Negara sebagai pemegang saha/pemodal tidak dapat
menarik modal tersebut.
Dengan keluarnya PP No. 33 Tahun 2006 yang merupakan
peraturan pelaksanaan UU BUMN sebagai dasar penyelesaian
utang-piutang BUMN tidak lagi melalui PUPN. BUMN dapat
menyelesaikan melalui pengadilan, menjual secara lelang
barang jaminan, atau dengan parate excecutie.
Pembentuk UU sewaktu membuat UU BUMN kurang begitu
cermat di dalam membuat peraturannya, karena prinsip yang
ada di UU BUMN ternyata tidak sinkron dengan UU yang lain
yaitu UU Keuangan Negara, UU PUPN, dan UU TPPK dengan
prinsip keuangan Negara termasuk harta kekayaan BUMN.
Adanya perbenturan prinsip hukum ini berpengaruh kepada
ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan BUMN tidak dapat
berkembang dengan baik karena tidak dapat sepenuhnya
mengelola dengan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Direksi BUMN mempunyai beban psikologis jika salah urus akan
diadili di Pengadilan TIPIKOR.
28
Sebagai jalan keluarnya dapat disarankan, perlu adanya
perubahan atau penggantian UU Keuangan Negara, UU TPPK dan
UU PUPN dengan secepatnya, agar dapat tercipta kepatian
hukum sehingga kebingungan masyarakat dan penegak hukum
segera berakhir.
29
top related