pbl 28 kelompok
Post on 26-Jun-2015
374 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit
yang artificial atau man mad disease. World Health Organization (WHO) membedakan empat
kategori penyakit akibat kerja: penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, seperti
Pneumokoniosis, penyakit yang salah satunya penyebabnya ialah pekerjaan, seperti carcinoma
Bronkhogenik, penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara faktor-faktor
penyebab lainnya seperti Bronchitis kronis, penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu
kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti Asma.
Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang
digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor
penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara lain: golongan fisik (suara (bising),
radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang
baik), golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut),
golongan biologis (bakteri, virus atau jamur), golongan fisiologis (biasanya disebabkan oleh
penataan tempat kerja dan cara kerja), golongan psikososial (lingkungan kerja yang
mengakibatkan stres).
Berbagai penyakit paru saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
infeksi, tuberkulosis maupun non tuberkulosis, asma dan penyakit paru obstruktif menahun,
kanker paru dan juga penyakit paru akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang
punya dampak luas di masyarakat. Khusus Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih
menyebabkan morbiditas, demikian pula dengan silikosis, asma bronkial dan penyakit paru
obstruktif. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1980 menunjukkan bahwa hampir sepertiga
(28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Pada survei berikutnya di tahun
1986 angka ini ternyata meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga nasional terbaru ini menyatakan bahwa satu di antara tiga kematian di Indonesia
disebabkan oleh penyakit paru. 1
1
BAB II
ISI
ANAMNESIS
Anamnesis adalah wawancara seksama yang dilakukan pasien yang berguna untuk
menunjang diagnosis penyakit seorang pasien. Seringkali, diagnosis yang baik sudah dapat
menentukan penyakit seseorang. Anamnesis merupakan gabungan dari keahlian mewawancarai
dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala dan tanda suatu penyakit sehingga dapat
melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai untuk penyakit tersebut.
Dalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru kerja, maka anamnesis
tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alat yang amat berguna dalam
menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu
tertentu. Pertanyaan pada anamnesis harus sistematis, lengkap (dctil), kronologis.2
Anamnesis meliputi pertanyaan tentang :
Riwayat penyakit paru dan kesehatan umum
- Adanya keluhan : sesak napas, batuk-batuk, batuk berdahak, napas bcrbunyi
(mengi), kesulitan napas.
- Adanya riwayat mcrokok, jenis rokok, jumlah rokok yang dikonsumsi rerata tiap
hari.
- Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi. Bagi pekerja
apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya.
- Kapan kcluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan dengan
pekerjaan.
Riwayat penyakit dahulu
- Apakah sebelumnya menderita : asma, atopi, penyakit kardiorespirasi.
- Paparan bahan-bahan yang pernah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi, zat-
zat kimiawi, asbes dan sebagainya.
Riwayat pekerjaan
- Daftar pekerjaan yang pernah dialami scjak awal (kronologis).
2
- Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas).
- Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
- Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarung tangan, baju pelindung
kerja dan sebagainya).
- Kecukupan ventilasi ruang kerja.
- Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan
berefek pada kesehatannya.
- Tugas tambahan lain yang dialami.
- Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja
- Penyakit-penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada hubungannya
dengan paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.
PEMERIKSAAN
I. Fisik
Sebagian besar kasus tidak menunjukkan adanya tanda gangguan fisik. Hal tersebut
tidak berarti bahwa langkah pemeriksaan fisik dapat dihilangkan atau hanya sepintas.
Observasi menyeluruh terhadap pasien akan mengungkapkan pasien yang napasnya
memburu pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi paru. Mungkin ditemukan
jari tabuh pada kasus asbestosis, berilosis atau kanker paru. Pada auskultasu paru dapa
ditemukan krepitasi halus pada basal paru pasien dengan asbestosis atau silikosis. Mungkin
terdapat mengi atau ronkhi pada pasien dengan asma yang berhubungan dengan pekerjaan.
Manifestasi extrapulmo penyakit berilium kronis, kanker paru atau mesotelioma ganas harus
dicari jika dianggap peru. Hal ini juga penting dalam menentukan diagnosis banding atau
mencari kemuginan terjadinya komplikasi, misalnya gagal jantung ataustenosis katup mitral
yang mungkin tidak berhubungan dengan kerja.2
II. Pemeriksaan Penunjang1-3
Pemeriksaan Rontgen paru
Kalsifikasi KGB hilus, yaitu perkapuran “berbentuk cangkang telur” dapat ditemukan
pada beberapa kasus silikosis.
3
Pekerja terpajan asbes dapat menunjukkan adanya penebalan pleura atau kalsifikasi
atau efusi misalnya penumpulan sudut kostofrenikus.
Dapat juga gambaran “shaggy heart” (jantung yang berbulu kasar)
Komplikasi Tuberculosis, fibrosis masif yang progresif, dan pneumotoraks dapat
berhubungan dengan beberapakasus silikosis. Pemeriksaan rontgen paruselalu
bermanfaat pada pekerja dengan gejala pernapasan kronis, misalnya batuk, sesak
napas untuk menyaring kasus tuberkulosis, infeksi lain, atau keganasan. Diagnosis
silikosis atau asbestosis tidak boleh didasarkan pada satu foto saja; biasanya harus
berdasarkan paling sedikit dua foto dengan jarak beberapa bulan diantaranya.
Pemeriksaan rontgen paru yangmenunjukkan adanya bayangan nodular luas di kedua
lapang paru terutama daerah tengah dan atas; disingkirkannya kemungkinan
penyebab lain bayangan pada pemeriksaan rontgen paru; dan riwayat pajanan
terhadap debu yang mengandung silikon. Pemeriksaan rontgen paru juga dapat
menunjukkan adanya kalsifikasi kelenjar limfe hilus yang tampak seperti “kalsifikasi
kulit telur”. Biopsi menunjukkan nodul silikon dengan gambaran serat kolagen dalam
susunan kosentris yang beberapa di antaranya mungkin terbungkus hialin. Kristal
Birefringent dapat terlihat dalam nodul tersebut.
Gambar i : Nodul silikosis
Computed Tomography (CT) Scanning.
Penggunaan tes diagnostic ini sekarang meningkat utamanya untuk deteksi asbestosis.
Hal ini karena hasil deteksi adanya asbestosis dengan foto toraks konvensional kurang
sensitif, kesalahan sekitar 10-15%. Lebih tepat lagi hasilnya apabila menggunakan High-
4
resolution computed tomographic (HRCT) Scanning, dapat lebih baik dalam mengevaluasi
kelainan pada pleura maupun parenkim paru.
Tes Fungsi Paru
Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi) merupakan tes
diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan penyakit paru kerja,
terlebih pada proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa
penyakit paru akibat kerja, tetapi pemeriksaan ini amat penting untuk evaluasi sesak napas,
membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif atau obstruktif dan mengetahui tingkat
gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan
obstruksi saluran napas (adanya hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi
memakai paparan bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya). Tes
provokasi untuk menentukan diagnosis asma kerja menggunakan paparan bahan yang dicurigai
sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma kerja. Uji latih jantung paru
dapat dilakukan untuk menilai gangguan fungsi dan progresivitas penyakit pada pasien dengan
penyakit paru akibat kerja tertentu. Selain itu juga dapat digunakan untuk menentukan penyebab
sesak napas, untuk membedakan apakah penyebabnya dari paru, jantung maupun penyebab
lainnya.
Pemeriksaan sputum4
- Pewarnaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin.
- Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukuan pada pasien yang didapatkan
adanya kelainan foto toraks berupa infiltrate di apeks atau kavitas atau pada pasien
imunokompromis.
- Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita kanker
paru.
- Pemeriksaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis carinii pada pasien
imunokompromis.
5
Tes Tuberkulin 4
- Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 – 72 jam; dengan hasil positif bila
terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin bisa
diulang setelah 1-2 minggu.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis suatu Penyakit Akibat Kerja (PAK) dapat melalui 7 langkah berikut: 1,5
1. Tentukan diagnosis klinisnya.
2. Tentukan pajanan yang dialami tenaga kerja selama ini.
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan
penyakit tersebut.
5. Tentukan apakah ada faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang mungkin dapat merupakan penyebab penyakit.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.
Working Diagnosis
Pneumoconiosis e.c silika
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernafasan,
tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernafasannya
mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk
berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak nafas hanya terjadi pada saat
melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat.
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah
penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan
menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh
6
organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis, penderita
silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis. 5,6
Gambar ii : Gejala dan resiko silikosis
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis
akut:
demam,
batuk,
penurunan berat badan, dan
gangguan pernafasan yang berat.
Terdapat 3 jenis silikosis:
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam
jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut
akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (5-10 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut
dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
7
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam
waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga
timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika penyakit ini dapat terjadi, pada:
Pekerja tambang logam dan batubara
Penggali terowongan untuk membuat jalan
Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan
Pembuat keramik dan batubara
Penuangan besi dan baja
Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya pabrik amplas dan gelas.
Pembuat gigi enamel
Pabrik semen
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
I. Asbestosis
Asbestosis adalah fibrosis interstitialis kronis yang menyebar pada parenkim
paru akibat menghirup serat asbes. Contoh penyakit paru lainnya yang berhubungan
dengan asbes adalah plak dan kalsifikasi pleura, kanker paru, dan tumor ganas
mesotelioma. Penyakit inimungkon berhubungan dengan asbes, mungkin juga tidak.
8
Pekerjaan beresiko
Derajat pajanan terhadap asbes yang tinggi dapat timbul pada pembuatan
produk berbahan semen asbes, pertambangan, dan pemrosesan serat asbes,
pembongkaran gedung dan renovasi bangunan dengan membuang bahan yang
terbuat dari asbes, pekerjaan isolasi sepertipelapisan katel uap, penggantian isolasi
tungku pembakaran, dsb. Pekerja lain yang terpaja termasuk pekerja perbaikan
dan pemeliharaan d galangan kapal, kilang minyak, stasiun tenaga listrik, dan
pekerja bangunan.
Tatalaksana
Asbestosis seperti halnya silikosis, dapat erkembang walaupun sudah
disingkirkan dari pajanan. Pengobatan bersifat simtomatis. Tindakan pencegahan
dimulai dari tindakan substitusi asbes menggunakan bahan lain, penutupan lokasi
pengolahan, pemasangan ventilasilokal, dan proteksi respirasi. Pasien
yangterpajan disarankan untuk berhenti merokok untuk memperkecil efek
gabungan terhadap paru dan risiko kanker paru. 6,7
II. CWP (Coal Worker’s Pneumoconiosis) Pneumokoiosis Batubara
o Inhalasi debu batubara menumpuk di paru reaksi jaringan
o Pneumokoniosis batubara simpel (simpel CWP)
Inhalasi hanya debu batubara saja, klinis hampir tidak ada gejala.
o Pneumokoniosis batubara komplikasi (complicated CWP= Fibrosis masive
progresive)
1. Terdapat silika dalam debu batubara
2. Konsentrasi debu >>>
3. Infeksi mikobakteris tipikal atau atipik
4. Faktor imunologi penderita buruk
9
o Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan rontgen paru yang
menunjukkan bayangan noduler opak luar atau PMF tanpa adanya diagnosis
diferensial dan oajanan terhadap debu batubara yang lama. Untuk
membedakannya dengan silikosis pada intinya didasarkan pada riwayat
pekerjaan, walaupun biopsi dapat membedakan kedua diagnosis ini tetapi
jarang harus dicari melalui pengurangan pajanan.7
III. Stanosis
Pekerja-pekerja yang banyak menghirup debu timah putih menderita
pneumoconiosis yang tidak begitu berbahaya, yaitu stanosis. Penyakit ini
terdapat pada pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan bijih timah
atau indrusti-industri yang menggunakan timah putih.
Pada stannosis biasanya tidak terdapat fibrosis yang massif, tidak ada
tanda-tanda cacat paru, dan jarang terjadi komplikasi. Pada keadaan sakit tingkat
permulaan, gambaran Ro paru menunjukkan penambahan corakkan danpelebaran
hilus. Kemudian menampak noduli di daerah antar iga ketiga, mula-mula di paru
kanan, lalu di paru kiri. Lebih lanjut, penambahan corakan hilang, sedangkan
noduli semakin jelas dan opak.7
Manifestasi Klinik
Tabel i : Berbagai macam gambaran manifestasi klinik pneumokoniosis.
SILIKOSIS ASBESTOSIS COAL WORKERS’
PNEUMOCONIOSIS
BERYLLIOSIS
1. Silikosis
simpel :
asimptomatik,
kelainan pada
basal paru.
Gejala awal berupa
sesak napas saat
aktivitas dan
batuk non
produktif.
1. Simple CWP :
Asimptomatis,
progresifitas pelan,
faal paru masih
normal, diagnosis
1. Akut :
Toksis (doserelated
berylliosis injury
syndrome);
umumnya
10
2. Silikosis
kompleks :
Kelanjutan dari
silikosis simpel
yang terjadi bila
penyakit
mengalami
progresivitas atau
menderita infeksi
tuberkulosis atau
jamur paru; dapat
berlanjut menjadi
silikosis fibrosis
masif progresif.
Penyakit berlanjut
berkembang
lanjut dan terdapat
ronki basah di
basal kedua paru
dan pada keadaan
lanjut terdapat jari
tabuh.
dari opasitas
radiologis.
2. Complicated
CWP :
Sudah terdapat
sesak napas saat
aktivitas dan dapat
berlanjut menjadi
insufisensi paru,
kor pulmonal
kronik, hipertensi
pulmonal atau
payah jantung
kanan.
3. Sindrom Caplan :
Terdapat pada
pekerja tambang
batu bara disertai
rematoid artritis
dengan nodul paru
besar, bulat di
daerah tepi paru.
menyerang
saluran napas atas,
dan bila
paparannya hebat
dapat timbul
bronkitis dan
pnemonitis
kemikal
(bronkopneumonit
is kemikal).
2. Kronis :
Timbul setelah 6 –
18 bulan sesudah
paparan partikel
berilium. Gejala
awal biasanya
asimptomatik,
kemudian sesak
napas saat
beraktivitas, batuk
– batuk dan
timbul gejala
penyakit paru
interstitial sampai
penyakit
berkembang
progresif sehingga
menyebabkan
kelemahan, cepat
lelah, sesak napas
saat istirahat,
11
anoreksia dan
berat badan turun.
ETIOLOGI
Penyakit karena debu (Dust Lung Disease) tergantung pada jenis debu, lama pajanan, sifat debu
dan kepekaan tubuh terhadap debu.5,7
1. Jenis debu
i. Debu non-fibrogenik
Debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru (debu, besi, timah, kapur).
Pada dosis tetap merangsang dan menimbulkan reaksi jaringan, memproduksi
lender banyak, menyebabkan perubahan jaringan retikulin, disebut
pneumoconiosis non-kolagen.
ii. Debu fibrogenik
Adalah debu yang menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis), juga disebut
pneumoconiosis kolagen seperti batubara, silica bebas dan asbes.
Tabel ii : Jenis Dan Etiologi Penyakit
Jenis Etiologi
Coal Worker Pneumokoniosis Batu bara
Silikosis Silica
Asbestosis Asbes
Siderosis Besi
Berryliosis Berilium
2. Sifat debu
Penyakit atau gangguan saluran nafas akibat inhalasi debu, dipengaruhi oleh:
i. Factor debu: sifat kimiawi, bentuk, ukuran partikel, daya larut, konsentrasi dan
lama pajanan.
ii. Factor individu: mekanisme pertahan paru
Debu Industri
12
o Deposite particulate matter: debu yang sementara di udara, kemudian
mengendap karena gaya tarik bumi.
o Suspended particulate matter: debu yang tetap di udara dan tidak mudah
mengendap.
Ukuran debu (debu yang mudah dihirup adalah 0,1-10 mikron)
o Debu 5-10 mikron tertahan di saluran napas atas
o Debu 3-5 mikron tertahan di saluran napa tengah
o Debu 1-3 mikron adalah paling berbahaya, karena tertahan dan tertimbun di
saluran napas kecil
o Debu < 1 mikron tidak mudah mengendap
o Debu 0,1-0,5 mikron melakukan gerakan Brown, berdifusi keluar dan dapat
memasuki alveoli, bila membentur dinding alveoli akan tertimbun di sana.
Foto iii : Mekanisme deposisi partikel di saluran napas
Tabel iii: Deposisi partikel pada region tarktus respirasi
Regio Mekanisme deposisi Saiz partikel
yang
terdeposisi
Impaksi Sedimentasi Difusi
Nasofaringeal +++ + + 5-30 µm
Trakeal + + + 1-5 µm
13
Bronchial +++ ++ + 1-5 µm
Alveolar + +++ ++++ <1 µm
Foto iv : Fraksi deposisi terhadap diameter partikel
PATOFISIOLOGI
Dengan menri napas, udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru.
Apa yang terjadi dengan debu itu, sangat tergantung dari pada besarnya ukuran debu.
Debu-debu berukuran diantara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian
atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan.
Partkel-pertikel yang besarnya diantara 1 dan 3 mikron berukuran 0,1-1 mikron tidak
begitugampang hinggap dipermukaan alveoli, oleh karena debu-debu ukuran demikian
tidak mengendap. Debu-debu yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1
mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput
lendir, oleh karena gerakan Brown, yang menyebabkan debu demikian bergerak ke luar
masuk alveoli.5,8
14
Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hingga dan tertimbunnya
debu dalam paru-paru. Salah satu mekanisme itu adalah inertia atau kelembanan dari
partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui
jalan pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa ukup besar
tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya
menumbuk selaput lendir dan akhirnya hinggap disana. Mekanisme lain adalah
sedimentasi, yang terutama benar untuk bronchi sangatkecil dan bronchioli, sebab di
tempat itu kecepatan udara pernfasan sangat kurang kira-kira 1 cm/detik sehingga daya
tarik bumi dapatbekerja terhadap partikel-partikel debu yang mengendapkannya.
Mekanisme ini ialah gerakan Brown, terutama untuk partikel-partikel yang berukuran
sekitar atau kurang dari 0,1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini oleh gerakan brown
tadi ada kemungkinan membentur permukaan alveoli dan tertimbun disana.
Nasib partikel-partikel debu ini tergantung dari tempatnya berada dalam paru-
paru dan sifat-sifat debu itu sendiri. Debu-debu yang mengendap dipermukaan bronchi
dan bronchioli akan dikembalikan keatas dan akhirnya keluar oleh cilia-cilia yang
bergetar, dengan kecepatan 3 cm/jam dijalan pernafasan sebelah atas dan 1 cm/jam di
dalam bronchus tertius dan bronchioli. Selain itu, juga batuk merupakan satu mekanisme
untuk mengeluarkan debu-debu tersebut. Debu-debu dialveoli mengalami beberapa
kemungkinan.
Salah satu kemungkinan menyusui permukaan alveoli dan setelah berada dekat
batas bronchioli tertangkap oleh cilia, yang lalu dikembalikan kejalan pernafasan tengah
dan atas, lalu keluar. Kalau bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air,
maka bahan-bahan itu akan larut dan langsung masuk pembuluh-pembuluh darah kapiler
alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya kecil, maka
partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu kesalauran limfe atau keruang
peribronchial. Satu kemungkinan lain ialah ditelan oleh phagocyt, yang biasanya histiocyt
atau inti atau sel-sel mesenchym yang tidak berdifferrensiasi. Sel-sel phagocyt ini
mungkin msuk ke dalam saluran limfa, atau melalui dinding alveoli ke ruang
peribronchial, atau ke luar dari tempat itu ke bronchioli, lalu oleh rambut-rambut getar
dikembalikan ke atas.
15
Foto v : Patofisiologi silikosis.
16
PENATALAKSANAAN
Promotif
Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai kesehatan
para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.
Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan
perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak
badan untuk kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan,
perilaku K3 yang baik dan lain-lain.9,10
Preventif
Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan
mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya
mahal harganya. Cara ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat, biasanya
biayanya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi para pekerja.
Silicosis dapat dicegah dengan memastikan kadar silika selalu di bawah
ambang batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu) perlu dilakukan berkala untuk
memantau kadar silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan kadar diatas ambang
batas, tindakan perbaikan mesti dilakukan.
Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan
tanah dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt
conveyor) juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang
bawah tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat penting untuk mengurangi
kadar debu.
Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan
respirator (masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu
mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.9
17
Pengendalian debu
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu
pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang
terkena dampak.
o Pencegahan Terhadap Sumbernya
Pengontrolan debu diruang kerja terhadap sumbernya antara lain:
a) Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan ‘Local
Exhauster’ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
b) Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan
debu.
c)
o Pencegahan Terhadap Transmisi
Upaya paling praktis dalam pencegahan debu adalah menggunakan air. Air dapat
digunakan untuk menyemprot coal face dan loose rock, dan pada permukaan
setelah blasting, dumping, atau berbagai rock handling process. Akan tetapi,
banyak pekerjaan underground kekurangan supply air yang cukup.
a). Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet Drilling).
Wet drilling sudah menjadi prosedur standard dalam hard rock mining dan hal itu memiliki
kontribusi yang besar dalam pencegahan pneumoconiosis, akan tetapi beberapa pekerja
masih ragu-ragu untuk menjalankannya ketika bekerja dengan dasar kontrak karena hal
tersebut melambatkan proses produksi.
b). Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.
Ventilasi yang baik juga penting untuk mengeliminasi debu. Setiap tempat kerja
seharusnya memiliki supply udara bersih untuk mengencerkan atau mengangkut airborne
dust. Akan tetapi, underground ventilation, terutama di negara berkembang, sering buruk
akibat buruknya fasilitas.
18
o Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja
i. Perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap bahaya
kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Antara lain dengan menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) berupa masker. Penggunaan APD merupakan alternative lain
untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun APD harus sesuai dan
adekuat.
Alat-alat pelindung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Memiliki daya pencegah kuat terhadap bahaya yang ada.
b. Konstruksi dan kemampuan harus memenuhi standar yang berlaku.
c. Ringan, efisien, dan nyaman dipakai.
d. Tidak mengganggu gerakan yang diperlukan.
e. Tahan lama, pemeliharaan mudah, dan bagian-bagian mudah diganti atau
diperoleh.
Pre-worker check-up
Semua penambang harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala
dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung disease dan
perkembangan pneumoconiosis.
Penerangan sebelum bekerja
Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan
undang-undang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan
kerja, sehingga d apat bekerja lebih berhati-hati.
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang
berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan
kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting,
terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan
bahan kimia serta partikel lain.
19
Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan dan mencegah penyakit jabatan
dalam tingkatan sedini-dininya.
Prioritas diberikan kepada pekerja yang :
bekerja di lingkungan berbahaya
dipindahkan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain,
menderita penyakit menahun,
perlu diperiksa atas permintaan dokter keluarganya, atau
keinginannya sendiri,
bekerja lagi setelah penyakitnya sembuh,
akan berhenti bekerja.
Kuratif
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin
memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan.
Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika
terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
Membatasi pemaparan terhadap silika
berhenti merokok
menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC),
sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika
diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC.
Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.11
20
Pengobatan TBC pada orang dewasa
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan
Kanamisin.
Table: Dosis obat antituberkulosis (OAT)
Obat Dosis harian
(mg/kgbb/hari)
Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari)
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari
(tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
21
o Penderita baru TBC paru BTA positif.
o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
o Penderita kambuh.
o Penderita gagal terapi.
o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada:
o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
Rehabilitatif
Pengobatan definitif terhadap silikosis tidak ada. Bila terdapat infeksi
sekunder berikan terapi yang sesuai. Infeksi pyogenik berikan antibiotik yang sesuai
secara empirik, infeksi jamur paru berikan obat anti jamur, dan terhadap tuberculosis
paru berikan obat anti tuberkulosis dosis dan lamanya disesuaikan dengan
kategorinya.
o Disability limitation (membatasi kemungkinan cacat)
Memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati
tenaga kerja secara sempurna, pendidikan kesehatan. Pindah ke bagian yang tidak
terpapar. Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik.
o Rehabilitasi (pemulihan kesehatan)
22
Rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.
Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di
jabatan-jabatan yang sesuai.9-10
KOMPLIKASI
Bila timbul komplikasi timbul :
Infeksi Pyogenik
Jamur
Tuberkulosis
Pada keadaan lanjut dapat timbul penyakit kolagen
Skleroderna
Rhematoid artristis
PROGNOSIS
Prognosisnya jelek, lebih-lebih kalau ada infeksi tuberkulosis (diagnosis sukar dan tentunya
berakibat pengobatan tidak tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari
paparan debu silika dan para pekerja sulit bekerja memakai masker basah.9
BAB III
23
PENUTUP
Debu industry di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit paru. Berbagai
factor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya adalah jenis, konsentrasi, sifat
kimia debu, lama paparan dan factor individu pekerja.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit paru akibat debu industry perlu dilakukan
anamnesis yang teliti mengenai riwayat pekerjaan, identifikasi debu di tempat kerja, dan
pemeriksaan penunjang seperti uji faal paru dan pemeriksaan radiologis. Diagnosis kadang-
kadang sukar ditegakkan oleh karena sering butuh waktu yang lama antara terjadinya paparan
dan timbulnya penyakit. Di samping itu, penyakit paru akibat debu industry mempunyai gejala
yang sama dengan penyakit paru yang tidak disebabkan oleh debu.
Pengobatan penyakit paru akibat debu industry bersifat simptomatis dan suportif. Usaha
pencegahan merupakan langkah penatalaksanaan yang penting. Tindakan pencegahan meliputi
pengurangan kadar debu, memakai pelindung diri, deteksi dini kelaianan dan pemeriksaan
sebelum penerimaan pegawai.
Pemeriksaan faal paru dan radiologis secara berkala perlu pada jenis kerja tertentu.
Pekerja yang telah terkena penyakit akibat debu hendaklah dihindari dari paparan lebih lanjut.1,5,9
KESIMPULAN
Laki-laki pekerja tambang sudah bekerja 10 tahun dengan keluhan batuk, keringat malam,
demam dan berat badan turun menderita Pneumokoniosis e.c silikotuberulosis.
SARAN
Agar terhindar dari penyakit silikosis ini, hendaknya selalu menjaga kebersihan badan dan
lingkungan disekitar, baik rumah maupun tempat kerja. Untuk orang yang alergi terhadap debu
sebaiknya selalu membawa obat antiseptik dan menggunakan masker bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jeyaratnam J, Koh D.Buku ajar praktikum kedokteran kerja.EGC.2010;h 70-87
24
2. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid2 . Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam
fakultas kedokteran universitas indonesia. Mei 2007;h 1025-6
4. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-
1005, 1045-9
5. Suma’mur,PK. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Sagung Seto. 2009;h 245-59
6. Levy B.S, Wegman D.H. Respiratory disorder. In: Occupational Health. 2000. Lippincott
williams & wilkins publivations. 478-498
7. Macam-macam Penyakit Debu. Diunduh dari:
http://korhejdalle.wordpress.com/2010/04/14/macam-macam-penyakit-akibat-
debupartikulat/; 3 November 2010.
8. Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. Pneumokoniosis. Dalam: Buku ajar patologi robbins
edisi ke-7 volume 1. 2007. Penerbit buku kedokteran (EGC). 301-307
9. John R. Iktisar kesehatan dan keselamatan kerja. Edisi 3.Jakarta : Penerbit Erlangga. 20
juli 2006;h 253-6
10. CN. Chan. SY. Chan. Silicosis a preventable occupational disease. Journal Hong Kong
Med Assoc Vol.46.No 1 , March 2006. Diunduh dari
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&hs=cTC&rls=org.mozilla
%3Aen-US
%3Aofficial&q=silicosis+a+preventable+occupational+disease+CN+chan+and+SY+Cha
n&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai, pada 4 November 2010.
11. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-
1005, 1045-9
25
top related