pemanduan bakat olahraga senam (artistik dan ritmik)
Post on 16-Dec-2016
267 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMANDUAN BAKAT OLAHRAGA SENAM
(ARTISTIK DAN RITMIK)
Oleh:
Komisi Teknik PB Persani
Agus Mahendra
Sudjihadi Reksowiredjo
Hesti Diwayanti
Farida Abubakar A.
Diajukan pada Lokakarya Penyusunan Instrumen Pemanduan Bakat
Olahraga Usia Dini
yang diselenggarakan oleh Subdit POPM Direktorat OPM
Dirjen Olahraga Depdiknas
PENGURUS BESAR PERSATUAN SENAM INDONESIA
JAKARTA, APRIL 2002
A. PENDAHULUAN
1. Peranan Seleksi dalam Olahraga Senam
Seleksi atau pemilihan pesenam berbakat sudah menjadi isu sejak lama dalam olahraga
senam kompetitif. Tidak mengherankan, negara-negara maju seperti Rusia, Romania, Bulgaria,
dan Cina, sangat berkepentingan dengan proses penyeleksian, karena sangat berkaitan dengan
kepastian bahwa anak yang terpilih harus mampu menjalani latihan yang sangat spartan, dan
diyakini akan menunjukkan prestasi terbaik pada usia-usia emasnya. Oleh karena itu proses
seleksi inipun dikaitkan dengan sangat erat pada usia anak yang ideal untuk memulai latihan
senam, serta usia puncak ketika anak sedang berada dalam prestasi topnya.
Secara umum, proses seleksi dilandasi oleh falsafah tersendiri, yang berbunyi:adalah
tindakan kejam dan salah kaprah untuk mendorong anak menekuni senam kompetitif jika mereka
tidak memiliki bakat yang cocok. Hal tersebut jika ditelusuri lebih cermat, berkaitan erat dengan
aspek efisiensi dan efektivitas dari proses pembinaan. Maksudnya, dengan proses seleksi yang
baik akan dapat dipastikan bahwa anak yang terpilih adalah anak-anak yang berbakat, terutama
dilihat dari segi morfologis, fisiologis, kemampuan gerak, serta psikologisnya. Dengan bibit
pesenam yang demikian, segala usaha yang dikerahkan untuk melatihnya akan sebanding dengan
hasil prestasinya kelak. Lebih khusus, proses seleksi memiliki peranan yang sangat ideal dengan
pertimbangan usia awal dan usia prestasi, di samping dianggap mampu mengusung peranan
meminimalkan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari olahraga senam sendiri,
Menurut laporan Hartley ketika mengamati dan membandingkan dua sistem pembinaan
senam antara negara Uni Sovyet dan Jerman Timur (sebelum kedua negara tersebut berubah
status), umumnya penyeleksian dilakukan pada anak-anak berusia 5 hingga 6 tahun.
Pertimbangan usia awal ini didasari pada pola perkembangan anak, di mana pada usia 5 - 6 tahun
adalah usia yang sama ketika pola perkembangan dan pertumbuhan melambat (Malina &
Bouchard, 1991), sehingga dari segi ukuran, komposisi, serta proporsi tubuh dianggap dalam
keadaan stabil. Dari segi fisiologis, usia dini anak-anak ini diyakini merupakan usia ideal untuk
memulai latihan senam yang banyak menekankan pada unsur kelentukan dan kekuatan, karena
tubuh anak masih sangat fleksibel dan masih terbuka kemungkinan untuk terjadinya perubahan
struktur serabut otot dalam tubuhnya akibat latihan. Dengan pertimbangan itu, para pelatih
meyakini bahwa beban-beban latihan yang diberikan kepada anak tidak akan memberikan
pengaruh yang besar, sehingga anak tidak mudah mengalami cedera. Namun begitu, tidak semua
pihak setuju dengan batasan usia 5 -6 tahun ini, karena sebagian pelatih menganggapnya terlalu
muda dari segi perkembangan mental, dan lebih memilih usia 7 - 8 tahun sebagai usia ideal.
Sejalan dengan kepentingan di atas, Hadjiev & Andonov (1991) mengemukakan empat
standard dalam penyeleksian untuk memilih calon pesenam berbakat, yang sudah dibakukan dan
diterapkan di Bulgaria dan beberapa negara Eropah Timur sejak lama. Keempat standard tersebut
adalah:
1. Kecenderungan struktur anatomi,
2. Kecenderungan fungsional,
3. Kecenderungan koordinasi motorik, dan
4. Kecenderungan psiko-intelektual.
Keempat aspek yang menjadi pusat perhatian di ataslah yang selanjutnya akan dicoba
dipetakan dalam buku ini, dalam bentuk intrument dalam memilih pesenam yang berbakat.
B. KARAKTERISTIK DAN STRUKTUR GERAK DASAR SENAM
Senam merupakan cabang olahraga yang dicirikan oleh keterampilan gerak yang sangat
unik. Dilihat dari taksonomi gerak umum, senam bisa secara lengkap diwakili oleh gerak-gerak
dasar yang membangun pola gerak yang lengkap, dari mulai pola gerak lokomotor,
nonlokomotor, sekaligus manipulatif. Sedangkan bila ditinjau dari klasifikasi keterampilannya,
senam bisa dimasukkan menjadi ketrampilan diskrit sekaligus serial (jika sudah berupa
rangkaian).
Dari hakekat karakteristik dan struktur geraknya, senam dianggap kegiatan fisik yang
sangat cocok untuk mengembangkan kualitas motorik dan kualitas fisik anak secara sekaligus.
Ini dilihat dari kandungan pola gerak lokomotor, yang dianggap mampu meningkatkan aspek
kekuatan dinamis, kecepatan, serta sekaligus daya tahan umum dan khusus, di samping tentu saja
membangun kelincahan serta keseimbangan dinamis. Dihubungkan dengan pola gerak
nonlokomotor yang dikandungnya, senam mampu meningkatkan aspek kekuatan, kelentukan dan
keseimbangan statis. Dan dari banyaknya anak terlibat dalam kegiatan-kegiatan manipulatif
seperti melempar dan menangkap (bola, hoop, tali, gada), anak juga dibangun kemampuan
koordinasi serta potensi pengolahan rangsang pada pusat kesadaraannya
Bab ini akan membahas unsur-unsur pembangun gerak dasar senam yang memperkaya
khasanah keterampilan senam serta dasar pengembangannya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
meninjau karakteristik gerak dasar senam, konsep gerak dan tubuh secara umum, serta prasyarat
fisik serta motorik dalam keberhasilan menguasai keterampilan senam.
1. Karakteristik gerak dasar senam
Seperti telah diuraikan secara selintas dalam bagian pendahuluan di atas, keterampilan
senam selalu dibangun di atas keterampilan dasar lokomotor, nonlokomotor, dan manipulatif.
a. Keterampilan lokomotor
Lokomotor diartikan sebagai gerak berpindah tempat, seperti jalan, lari, lompat, berderap,
beringkat, leaping, skipping, dan sliding. Dalam senam, gerak-gerak di atas sangat penting
digunakan, karena hakikatnya hampir seluruh keterampilan atau gerakan senam merupakan
gerak lokomotor, seperti kip, handspring, baling-baling, atau flic-flac.
Gerak lokomotor dalam senam terutama sangat diperlukan untuk menambah momentum
horizontal, seperti berlari pada saat melakukan awalan. Gerak awalan ini diperlukan karena
sebagian daya yang diperoleh dari adanya momentum ini digunakan untuk menyempurnakan
gerak keterampilan senam itu sendiri. Untuk bisa memperoleh daya yang kuat, pesenam harus
mengkontraksikan otot-ototnya untuk mengerahkan daya internal, yang kemudian
digabungkan dengan daya eksernal yang bisa jadi dihasilkan dari alat yang dipakai, misalnya
papan tolak.
Melatih macam-macam keterampilan lokomotor, karenanya akan sangat berguna dalam
menanamkan dasar pembentukan keterampilan senam. Oleh karena itu diperlukan perhatian
khusus dari pelatih agar macam-macam gerak lokomotor bisa diajarkan, terutama yang
berkaitan dengan keterampilan senam.
b. Keterampilan nonlokomotor
Keterampilan nonlokomotor adalah gerak yang tidak berpindah tempat, mengandalkan
ruas-ruas persendian tubuh yang membentuk posisi-posisi berbeda yang tetap tinggal di satu
titik. Contoh-contoh gerakan nonlokomotor adalah melenting, meliuk, membengkok, dsb
Dalam senam, keterampilan nonlokomotor banyak dipakai dalam gerak-gerak kalestenik,
terutama yang berkaitan dengan pengembangan kelentukan. Demikian juga dengan sikap-
sikap bertumpu dan keseimbangan statis, yang tidak perlu berpindah tempat. Justru dalam
senam lah gerak-gerak nonlokomotor lebih banyak mendapat penekanan, karena berhubungan
dengan penguasaan ketrampilan.
Untuk mengambil manfaat yang optimal dari gerak-gerak nonlokomotor ini, proses
pelatihan senam perlu ditekankan pada upaya mengembangkan kekuatan, kelentukan dan
keseimbangan. Banyak variasi yang bisa dilakukan, baik dilakukan secara perorangan
maupun berpasangan.
c. Keterampilan manipulatif
Keterampilan manipulatif sering diartikan sebagai kemampuan untuk memanipulasi
objek tertentu dengan anggota tubuh: tangan, kaki, atau kepala. Keterampilan yang termasuk
ke dalamnya di antaranya adalah menangkap, melempar, memukul, menendang, mendribling,
dsb. Dalam senam artistik, keterampilan ini jarang ditemui, kecuali bahwa beberapa alat perlu
dipegang dengan tangan dan pesenam ―bermain-main‖ di atasnya. Tetapi dalam senam ritmik,
keterampilan manipulatif seolah menjadi ciri utamanya. Semua alat senam ritmik – bola, tali,
pita, gada, dan simpai –keterampilannya didasarkan pada kemampuan memanipulasi semua
alat itu; apakah dilemparkan kemudian ditangkap lagi, diputar, diayun, dipuntir,
digelindingkan, dan banyak lagi, baik oleh tangan, oleh badan, bahkan oleh kaki sekalipun.
C. PEMAHAMAN TERHADAP PRESTASI SENAM
1. Empat Aspek Penentu Prestasi Senam
Tinjauan terhadap penampilan senam di kejuaraan-kejuaraan tingkat dunia menunjukkan
satu homogenitas yang besar dari para pesenam, baik dalam dimensi fisik maupun dalam dimensi
psikologis. Dengan variasi yang sangat kecil sebagai kekecualian, umumnya para pesenam
memiliki tubuh yang pendek dibanding para atlet dari olahraga lain, tetapi menunjukkan kualitas
fisik dan motorik yang tinggi. Menurut Unestahl (1983: 13), secara psikomotorik, fungsi-fungsi
seperti koordinasi, fleksibilitas, kekuatan, keseimbangan dan timingnya merupakan ciri dominan
dari para pesenam.
Tidak diragukan, kesamaan atau homogenitas ini akan terlihat pula pada perlengkapan
mentalnya. Dari ekspresi wajah dan tindak-tanduknya, pesenam tingkat dunia jelas memiliki
kekuatan mental dan stabilitas emosional yang besar. Mereka tampak tidak terpengaruh oleh
penampilan dari pesenam lain yang sudah tampil sebelum dirinya. Dengan persaingan yang
semakin ketat dalam hal teknis, nampaknya sisi psikologis pesenam itulah yang diyakini menjadi
penentu dari kemenangan seorang pesenam.
Aspek-aspek apa sajakah, baik dalam wilayah fisik maupun wilayah psikologis, yang
menjadi penentu keberhasilan prestasi senam?
Seperti diakui oleh para ahli, untuk dapat menjadi pesenam unggul dalam senam modern
sekarang ini, diperlukan persyaratan multi dimensi yang menuntut kerja keras dari pesenam
dengan berbagai cara (Salmela dalam Unesthal; 1983). Hal ini dapat dimaklumi karena dengan
alat yang berbeda-beda (6 alat pada putra, 4 alat pada putri, dan 5 alat untuk ritmik), setiap alat
mempersyaratkan persyaratan fisik yang berbeda pula. Sebagai misal pada disiplin senam artistik
putra, dari enam alat yang dipertandingkan, dua alat di antaranya, yaitu Lantai dan Kuda
Lompat, lebih menuntut kualitas power kaki dan lengan, di samping kelentukan dan
keseimbangan dinamis. Sedangkan keempat alat sisanya, lebih banyak menggunakan kekuatan
lengan, walau dalam jenis fungsi yang berbeda, yaitu dua alat (Kuda Pelana dan Palang Sejajar)
lebih banyak memerlukan kemampuan bertumpu, dan dua alat lainnya (Gelang-Gelang dan
Palang Tunggal) lebih menuntut kemampuan menggantung.
Sementara variabilitas seperti disebutkan di atas tetap ada dalam menampilkan keenam
alat senam artistik putra, terdapat sejumlah penentu yang menetap (invariant determinants) yang
mendasari penampilan senam. Penentu tersebut harus dikombinasikan dalam cara tertentu,
sehingga kekurangan dalam satu komponen akan tertutupi oleh kelebihan dari komponen lain.
Jadi, dalam batas tertentu, meningkatnya tingkat keterampilan dapat mengkompensasi
kelemahan dalam kekuatan dan kelentukan atau sebaliknya. Demikian juga dalam hal rangkaian,
pesenam dapat memilih kelebihan-kelebihannya, dan menghindari menampilkan kelemahan-
kelemahannya. Dapat diasumsikan bahwa mengkombinasikan penentu tersebut akan membentuk
substrata invariant untuk suksesnya penampilan senam. Di samping itu, suatu proses seleksi
alamiah akan terjadi, sehingga pesenam yang tidak memiliki karakteristik tersebut hanya
memiliki kemungkinan sukses yang lebih kecil.
Salmela (1983) mengutip Bouchard, menyatakan bahwa variansi dari prestasi penampilan
senam dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu penentu yang bersumber dari lingkungan
(sifatnya berubah-ubah: variable) dan penentu yang bersumber dari diri pesenam sendiri
(sifatnya relatif menetap: invariant). Model konseptual ini mencoba memperhitungkan variansi
penampilan yang dipengaruhi oleh lingkungan dan bawaan serta interaksi dari keduanya. Diakui
oleh Salmela, bahwa penentu lingkungan memainkan peranan yang sangat penting dalam
prestasi senam, namun yang lebih penting lagi adalah faktor bawaan pesenam. Oleh Salmela,
masih mengutip Bouchard, variansi yang bersifat bawaan ini dikelompokkan menjadi yang
bersifat morfologis (antropometrik), organis dan fisiologis (kualitas fisik), perseptual dan
neuromuscular (kualitas motorik), dan tak kalah pentingnya aspek sosio-psikologis (mental-
psikologis).
Hakikat penentu dari dimensi fisiologis dan organis, yang banyak menyumbang pada
penampilan pesenam, disesuaikan event-nya atau alatnya. Dalam empat even dari enam even
yang ada, dibutuhkan terutama kekuatan otot untuk sekitar 30 detik, ketika pesenam mengontrol
berat tubuh dengan lengannya, baik dalam posisi bertumpu maupun menggantung. Sedangkan
pada dua alat lain, yang terutama diperlukan adalah explosive power untuk waktu yang singkat.
Tuntutan untuk itu sedemikian besarnya sehingga pesenam level dunia mampu menjadi atlet
yang paling ramping tanpa lemak dan paling kuat serta paling lentuk di antara para atlet,
sementara kapasitas total dan tingkat VO2-Max-nya berada pada level yang cukup rendah
dengan kebutuhan energi yang diperlukan pada setiap alat cukup sebanding.
Keuntungan karakterikstik morfologis dari pesenam memudahkannya berfungsi secara
efisien dalam kualitas otot dan organis yang diperlukan untuk menampilkan gerakan dinamis dan
bertenaga dalam waktu singkat. Pesenam karenanya cenderung bertubuh lebih kecil dan ringan
dari atlet olahraga lain. Tubuh demikian, secara mekanika gerak dianggap menguntungkan untuk
menghasilkan gerakan-gerakan cepat, walaupun tentu saja mengandung kelemahan terutama
dalam menghasilkan daya yang besar. Kelebihan dan kelemahan ini masing-masing berfungsi
baik dalam alat yang berbeda-beda. Artinya, tipe tubuh tertentu akan menguntungkan dalam alat
tertentu, tetapi tidak menguntungkan pada alat lainnya. Dengan demikian, tipe tubuh terbaik
untuk pesenam yang menekuni keseluruhan enam alat merupakan kompromi dari penentu
morfologis ideal dari beberapa pesenam yang mengambil spesialisasi pada alat tertentu.
Adapun dari segi kualitas psikologis yang mewujud dalam penampilan senam nampaknya
amat bervariasi dalam sifatnya, dikaitkan dengan hakikat tuntutan yang kompleks dari even yang
berbeda-beda. Pada alat kuda pelana, pesenam perlu tampil dengan tenang dan konsentrasi tinggi
untuk sekitar 30 detik atau lebih, sementara pada alat kuda lompat hanya diperlukan konsentrasi
dan pemrograman gerak dalam waktu yang sangat singkat. Tuntutan tugas yang demikian,
diduga oleh para ahli, sebagai penyebab mengapa kebanyakan pesenam memiliki ciri
kepribadian yang stabil dan mandiri.
Sejumlah dukungan belakangan mulai muncul untuk menyatakan bahwa penentu
penampilan senam tingkat tinggi diperkuat oleh kualitas yang stabil dari sifat anthropometrik dan
kepribadian, yang bersesuaian dengan tuntutan tugas biomekanik dan psikomotor dari setiap alat
(Marsden, Salmela, Andrea B. Schmid dan Erik Peper dalam Unestahl; 1983). Kenyataan bahwa
tuntutan tugas di antara keenam alat sangat berbeda dapat menghasilkan keuntungan biomekanik
dan psikomotor yang nyata untuk digunakan oleh pesenam yang memiliki kelebihan fisik dan
psikologis, sehingga menjadi dukungan terbaik untuk menjadi pesenam all around. Studi yang
mengkhususkan diri pada penentu keberhasilan pada satu alat tunggal akan memberikan
kemudahan untuk memisahkan penentu-penentu yang penting dalam menguasai
keterampilannya.
2. Sumbangan Aspek Morfologis Terhadap Prestasi Senam
Aspek morfologis atau kecenderungan struktur anatomi, berkaitan dengan struktur tubuh
yang berhubungan dengan ukuran, proporsi dan komposisi tubuh, atau lajim pula disebut dimensi
anthropometrik (Abernethy et al., 1997). Dimensi ini merupakan dimensi yang paling banyak
disorot atau diperhatikan oleh para pelatih olahraga kompetitif, karena sangat terkait erat dengan
terdukungnya keterampilan teknik seorang atlet dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Setiap cabang olahraga, dilihat dari karakteristik gerak dan tuntutan lingkungannya, dapat
dihubungkan dengan persyaratan kondisi ideal tubuh para atletnya (Ackland & Bloomfield,
1996). Permainan bola voli dan bola basket, misalnya, menuntut atletnya memiliki postur tubuh
yang tinggi, kemudian gulat dan sumo, mensyaratkan atlet bertubuh tambun, sedangkan pelari
jarak jauh, mengidealkan atlet yang bertubuh kurus, dan banyak lagi. Lalu bagaimana dengan
cabang senam?
Diakui oleh para pengamat, bahwa atlet olahraga senam dianggap memiliki struktur fisik
atau postur tubuh yang khusus, yang umumnya berbeda dari atlet cabang olahraga lain. Diyakini
banyak pihak bahwa olahraga senam banyak menuntut atletnya untuk memiliki tubuh yang
ringan, karena berkaitan dengan tuntutan gerak keterampilannya yang perlu dilakukan dengan
cepat serta perlunya mempertahankan posisi tubuh dalam sikap-sikap yang tidak umum.
Keharusan bahwa tubuh harus ringan ini dimanipestasikan dengan berbagai cara, misalnya
dengan tubuh pendek atau tubuh ramping. Itu kesan secara umum.
Jika ditinjau lebih mendalam, sebenarnya tidak harus berarti bahwa tubuh pesenam harus
pendek. Dalam alat tertentu, tubuh pendek dianggap menguntungkan karena memungkinkan
terdukungnya pergerakan yang berlangsung cepat. Seperti disinggung dalam prinsip
biomekanika, tubuh pendek hanya mendukung terhadap satu sisi dari kemungkinan gerak, tetapi
sekaligus juga mengandung kelemahan, di antaranya kurang menguntungkan dalam
menghasilkan momentum dan penghasilan daya serta minimalnya efek tubuh itu terhadap
kemulusan dan keindahan gerak. Kelemahan tersebut hanya dapat ditutupi oleh kualitas fisik dan
geraknya, misalnya, tubuh pendek itu harus mampu bergerak lebih cepat dan lebih powerful
(Ackland & Bloomfield, 1992).
Dikaitkan dengan tuntutan dan kebutuhan gerak khusus yang ada pada setiap alat, tubuh
pendek sebenarnya hanya sesuai dengan maksimal tiga alat saja, sedangkan tiga alat yang lain
akan lebih cocok dilaksanakan dengan perangkat fisik yang lebih dari ukuran pendek. Pada alat
yang disinggung belakangan, tubuh yang lebih panjang akan menyumbang terhadap besarnya
daya yang dihasilkan ketika melakukan gerak-gerak berputar yang banyak memanfaatkan
besaran massa serta jarak massa tersebut relatif ke sumbu putaran. Sedangkan kelemahan tubuh
atau bagian tubuh yang relatif panjang, masih dalam alat yang sama, membuat pesenam harus
mengerahkan tenaga yang lebih besar dalam sikap-sikap tubuh pada posisi bertahan dan
keseimbangan. Dengan demikian, pesenam yang tinggi mempunyai keharusan untuk memiliki
tingkat kekuatan yang lebih besar dari pada pesenam yang pendek (Carr, 1997).
Di samping mempermasalahkan ukuran tubuh dalam kaitannya dengan tinggi tubuh,
disyaratkan pula bahwa pesenam memiliki tubuh yang ideal dihubungkan dengan proporsi antara
panjang rentangan lengannya dengan tinggi tubuhnya. Di luar itu, proporsi ini pun berlaku pula
untuk panjang tungkai dengan panjang togok, lebar atau lingkar dada relatif kepada lebar atau
lingkar panggul. Dalam catatan resmi dari para praktisi senam, dikatakan bahwa panjang rentang
kedua lengan relatif harus lebih panjang dari tinggi tubuh, kemudian panjang tungkai relatif
harus lebih panjang dari panjang togok (tinggi duduk), dan lingkar dada relatif harus lebih luas
dari lingkar panggul (McCharles, dalam Holt, 1994). Alasan dari kesemua itu berhubungan erat
dengan aspek keseimbangan, kekuatan, serta kemudahan dalam menyelesiakan gerak-gerak
khusus yang memerlukan kelentukan.
Hal terakhir yang harus disinggung berkaitan dengan aspek anthropometrik ini adalah
ratio antara berat badan dengan tinggi badan. Ratio ini biasanya disebut Body Mass Index, untuk
mengukur bentuk atau proporsi tubuh ideal serta penyebaran massa tubuh ke berbagai bagian
tubuh (Abernethy et al., 1997). Secara sederhana, BMI ini dimaksudkan untuk mengetahui berat
tubuh ideal dikaitkan dengan tinggi tubuhnya. Untuk mengetahui indeks dari keduanya, caranya
cukup mudah, yaitu dengan membagi berat massa (kg) oleh tinggi tubuh (cm). Resminya rumus
BMI adalah berat badan dibagi tinggi badan kemudian dikuadratkan (BMI= mass/height2), tetapi
untuk kebutuhan praktis dalam memilih pesenam, rumus itu cukup berbunyi: berat badan/tinggi
badan. Semakin kecil nilai dari indeks berat tubuh dan tinggi tubuh seorang anak— ketika anak
memulai latihannya—maka semakin ideal ukuran tubuhnya, karena berarti tubuh anak dinilai
relatif ringan.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa hubungan antara proporsi tubuh dan ukuran-
ukurannya (dimensi anthropometris) terhadap prestasi atau penampilan senam dilandaskan pada
aspek mekanika gerak yang sangat signifikan membentuk keterampilan senam pada umumnya
(Abernethy et al., 1997). Dengan kata lain, penelusuran terhadap aspek morfologis pada pesenam
terkait erat dengan kajian biomekanika yang melandasi terbentuknya keterampilan senam yang
demikian kompleks tersebut.
3. Aspek Organis Dan Fisiologis Terhadap Prestasi Senam
Aspek organis dan fisiologis seorang atlet berhubungan dengan kualitas komponen
kebugaran tubuh, seperti dalam hal daya tahan, kekuatan, power, kelentukan, serta kecepatan,
(oleh Bompa, 1983, dikelompokkan sebagai biomotor abilities), karena komponen-komponen
tersebut terkait erat dengan kualitas organis dan fisiologis atlet. Secara umum, kelima aspek di
atas menyumbang secara dominan terhadap keberhasilan penampilan pesenam dalam seluruh
alat. Oleh karena itu mudah dipahami, bahwa dalam proses latihan senam dan dalam proses
pemilihan bibit pesenam, kelima aspek dari kemampuan fisik (physical competencies) tersebut
selalu mendapatkan perhatian yang serius.
Para ahli sepaham bahwa hubungan dari kelima unsur di atas terhadap keterampilan
senam bersifat timbal balik. Artinya, keberhasilan suatu keterampilan senam selalu harus
ditunjang oleh kehadiran dari kelima aspek di atas, dan sebaliknya, proses latihan yang selalu
mengulang-ngulang keterampilan yang sama hingga hitungan tertentu, secara otomatis akan
meningkatkan kualitas dari komponen fisik yang dibutuhkan. Namun demikian, bukan berarti
bahwa keberhasilan penampilan senam cukup dilakukan hanya dengan berlatih teknik semata-
mata, melainkan perlu sekali menekankan pada pengembangan komponen-komponen fisik di
atas terlebih dahulu.
Senam secara umum berisi keterampilan yang mengandung pola gerak yang kaya, yang
dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada komponen-komponen fisik yang disebutkan di
atas. Meskipun pola gerak tadi sebenarnya sangat tidak terbatas, tetapi para ahli sepaham bahwa
dalam senam terdapat sedikitnya 7 pola gerak yang sifatnya sangat dominan, sehingga lajim
disebut sebagai Pola Gerak Dominan (Dominant Movement Patterns) (Russell, 1986; Schembry,
1983). Ketujuh pola gerak tersebut adalah:
1. Pendaratan (landing)
2. Posisi statis (static position)
3. Lokomotor (locomotor)
4. Ayunan (Swing)
5. Putaran (Rotation)
6. Tolakan (Spring)
7. Ketinggian dan Layangan (Height and flight)
Jika dilihat dari ketujuh pola gerak dominan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
komponen yang paling penting dalam senam adalah terutama kekuatan, kecepatan dan power.
Ketiga komponen ini, terkandung secara melekat dalam hampir semua pola gerak dominan yang
menjadi ciri khas penampilan senam. Kekuatan, misalnya diperlukan ketika pesenam melakukan
pendaratan, mencapai posisi statis, melakukan gerak berpindah tempat secara cepat, dalam
ayunan, dan dalam tolakan. Sedangkan kecepatan dan power, sumbangannya juga sangat besar
untuk keberhasilan lokomotor, ayunan, putaran, dan tolakan untuk menghasilkan layangan di
ketinggian.
Kekuatan dan kecepatan merupakan fungsi dari serabut otot cepat, yang lajim disebut
serabut otot merah atau dinamai juga sebagai fast-twitch fiber. Menurut kajian para ahli, serabut
otot ini, di samping ditentukan oleh faktor genetik atau bawaan, juga mampu berkembang sesuai
porsi dan masa latihan. Seperti disinggung secara selintas pada bagian sebelumnya, struktur dan
jumlah serabut dalam otot dapat diubah sebagai respons terhadap program latihan yang intensif
dan dimulai pada usia yang tepat, yaitu sejak dini (Forbes dalam Holt, 1994). Semakin dini dan
intensif suatu latihan, maka semakin besar kemungkinannya, latihan itu menentukan terhadap
perubahan yang terjadi dalam serabut otot. Jika latihan yang dilakukan lebih banyak merangsang
fungsi dari serabut otot merah, maka serabut ini akan berkembang dan memberikan
sumbangannya terhadap penghasilan kecepatan dan kekuatan yang bersifat eksplosif (Abernethy
et al., 1997).
Dibandingkan dengan ketiga unsur di atas, kelentukan dan daya tahan memiliki peran
yang cukup berbeda. Kelentukan, seperti dapat dilihat dari penjenisan gerakan yang disesuaikan
dengan alat-alat senam, hanya berkaitan dengan sebagian kecil keterampilan dari sederet
keterampilan yang tercakup dalam senam. Sebagian besar keterampilan senam lainnya, hanya
memerlukan sedikit sumbangan dari kelentukan, sehingga tidak dipandang dominan (Mahendra,
dkk: 2001). Dalam kata lain, walaupun tingkat kelentukan dari seorang pesenam hanya berada
pada tingkat rata-rata, ia masih tetap akan mampu menampilkan banyak keterampilan senam
secara berhasil. Dengan demikian, pesenam yang kurang menonjol dalam kelentukannya, masih
dapat unggul dalam senam, selama ia mampu memilih gerakan yang tidak didasari kelentukan
secara ketat.
Mungkin perlu dikemukakan pula dalam bagian ini, bahwa secara alamiah, terdapat
perbedaan mencolok antara gerakan-gerakan senam untuk putra dan untuk putri. Untuk putri,
terdapat lebih banyak keterampilan yang dilandasi oleh kelentukan, walaupun jenis
keterampilannya hampir sama dengan keterampilan untuk putra. Hal ini didasarkan pada
kebutuhan yang dipandang sebagai kebenaran bahwa gerakan untuk putri harus dilakukan
dengan lebih gemulai dan lebih estetis (Bowers et al., 1981). Asumsinya, lebih lentuk suatu
gerakan, maka lebih artistik gerakan itu jadinya. Dengan demikian, kebutuhan unsur kelentukan
pada senam artistik putri memiliki derajat yang lebih besar dari pada untuk artistik putra. Oleh
karena itu pula, pesenam putri dituntut untuk memiliki unsur kelentukan yang lebih baik.
Namun demikian, senam artistik putri modern dewasa ini sepertinya tengah
mengayunkan bandul kecenderungan geraknya ke arah kekuatan dan kecepatan dari pada ke arah
kegemulaian wanita. Hal ini tidak terlalu mengherankan, karena fungsi keanggunan dan
keartistikan senam dewasa ini sudah tergantikan oleh kehadiran senam ritmik, yang sangat erat
kaitannya dengan keindahan itu sendiri.
Akan halnya daya tahan, dalam senam perlu dibedakan antara daya tahan umum dengan
daya tahan otot lokal. Secara umum, daya tahan yang diperlukan dalam senam adalah daya tahan
otot lokal, terutama yang bersifat anaerob. Hal ini dapat dimengerti karena dalam penampilan
resmi pada kejuaraan, durasi waktu yang diperlukan jika dirata-ratakan hanyalah 30 detik,
dengan kekecualian pada nomor lantai yang memerlukan waktu paling lama yaitu maksimal 70
detik. Dengan pemikiran demikian, dapat dimaklumi bahwa pesenam tidak diharuskan memiliki
daya tahan aerobik untuk waktu lama, tetapi lebih banyak membutuhkan daya tahan anaerob
(anaerobic power) untuk menyelesaikan tugas penampilannya.
Kaitan antara daya tahan anaerob dengan kekuatan dan power tentu sangat dekat. Untuk
dapat mengerahkan kekuatan dalam durasi waktu tertentu, pesenam perlu memiliki daya tahan
anaerob yang baik. Demikian pula ketika pesenam harus mengulang pengerahan kekuatannya
untuk yang berikutnya, keberhasilannya antara lain ditentukan pula oleh daya tahan anaerob. Hal
ini terkait langsung dengan kemampuan otot-otot pesenam dalam mengolah dan menyediakan
energi siap pakai dalam bentuk ATP, dan digunakan secara berturut-turut untuk tugas
penampilan gerak yang berbeda-beda. Semakin baik kualitas daya tahan anaerobnya, semakin
siap pesenam dalam melakukan serangkaian gerakan yang bermacam-macam, yang biasanya
memiliki intensitas progresif, yaitu semakin lama semakin tinggi intensitasnya, dan diakhiri
dengan sebuah klimaks.
Kesemua faktor atau komponen fisik yang disebutkan di atas pada dasarnya merupakan
perpaduan antara faktor yang bersifat bawaan (genetik) dan merupakan hasil dari latihan yang
mengikuti prinsip-prinsipnya secara tepat. Perpaduan itulah yang mewujud dalam prestasi,
sehingga tidak diragukan lagi, kepekaan dan kepiawaian pelatih dalam memilih pesenam
berbakat dan kepakarannya dalam memberikan porsi dan kualitas latihan yang tepat merupakan
syarat utama dalam mencetak atlet yang unggul.
4. Aspek Perseptual Dan Neuromuscular Terhadap Prestasi Senam
Aspek perseptual dan neuromuscular yang dimaksud oleh Bouchard sebenarnya
menunjuk pada kualitas motorik, yang sering dianggap merupakan jalinan sumbangan dari
persepsi dan kualitas fungsi syaraf di dalam tubuh seorang atlet. Kualitas itulah yang
menentukan kemampuan koordinatif (coordinative abilities) serta kemampuan orientasi tubuh
dalam hubungannya dengan ruang, waktu, serta posisi-posisi tubuh sendiri (Mechling dalam
Auweele et al., 1999). Ke dalam kemampuan ini terlibat pula unsur-unsur kualitas kinestetis
(proprioceptive), yaitu kemampuan untuk mengenali dirinya berdasarkan informasi yang
diberikan berbagai alat dalam tubuhnya sendiri, seperti vestibular apparatus, joint receptors,
golgi tendon organs, serta muscle spindles dan cutanious receptors (Schmidt, 1983; Schmidt,
1991). Kesemua apparatus tadi, menentukan kualitas keseimbangan dinamis, pemberian feed
back diri sendiri, serta kemampuan mendeteksi posisi tubuh ketika melakukan gerakan-gerakan
yang kompleks.
Senam adalah cabang olahraga yang sangat memerlukan kemampuan atau kualitas
motorik seperti disebutkan di atas. Bayangkan jika pesenam tidak memiliki kemampuan
mendeteksi posisi tubuhnya, misalnya, akibatnya tentu fatal karena bisa jadi ia akan mendarat
dari suatu salto dengan kepalanya, bukan dengan kakinya. Demikian pula dalam penampilannya
di nomor alat, di mana ia harus menangkap kembali alat yang dipegangnya setelah melakukan
putaran di udara. Jika dirinya tidak mampu mengontrol kesadarannya, ia dapat saja gagal
melakukannya, yang berakibat pada gagalnya gerakan yang dilakukannya, di samping bisa juga
menyebabkan cedera.
Secara umum kualitas-kualitas di atas menentukan apa yang lajim disebut ability pada
seorang atlet. Ability menentukan baik buruknya keterampilan motorik, karena merupakan
karakteristik yang dianggap stabil (permanen) yang ditentukan oleh faktor keturunan yang secara
relatif berkembang otomatis dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dan tidak mudah
diubah melalui latihan atau pengalaman (Schmidt, 1991). Ability inilah yang membedakan satu
anak dengan anak lainnya, sehingga tercermin menjadi sebuah perbedaan individual (Singer,
1980).
Ketika ability menyatu dengan pengalaman anak dalam hal gerak, jadilah ia sebagai
motor ability atau kemampuan motorik, yang merupakan gabungan dari kemampuan bawaan
serta bentukan dari pola asuhan yang berlangsung lama. Kemampuan motorik inilah yang
dijadikan kelengkapan anak ketika dirinya mempelajari keterampilan gerak. Semakin baik motor
ability-nya, semakin baik pula kualitas keterampilan gerak yang mampu dikuasainya.
Motor ability, sejauh telah diidentifikasi oleh Fleishment (Schmidt, 1988), bergerak dari
kemampuan gerak yang sangat subtil hingga ke kemampuan gerak yang sangat kompleks.
Seperti halnya betapa tidak terbatasnya jenis keterampilan yang dapat dikuasai oleh manusia,
demikian pulalah ketidakterbatasan dari motor ability yang mendasarinya. Keterampilan bermain
piano, misalnya, tidak terlepas dari dasar motor ability dalam hal fingers dexterity, visual
acquity, dll. Sedangkan dalam bidang olahraga, keterampilan gerak yang bermacam-macam itu
didasari oleh seperangkat motor ability yang sesuai dengan keperluannya, seperti fleksibilitas,
kekuatan, power, koordinasi, keseimbangan, agilitas, serta daya tahan.
Yang sering dilupakan selama ini adalah fakta bahwa baik untuk mencapai keterampilan
yang sifatnya halus maupun keterampilan yang lajim ditemui dalam cabang-cabang olahraga,
abilitas yang diperlukan sebenarnya merupakan kombinasi dari serangkaian motor ability yang
sangat kompleks. Dalam senam misalnya, kita tidak dapat mengabaikan ability yang sangat
banyak tersebut, dan hanya mengakui ability yang bersifat wadag seperti disinggung di atas.
Menurut hemat penulis, tetap diperlukan abilities seperti di bawah ini untuk dapat sukses dalam
olahraga senam, yaitu:
Control precision: kemampuan yang mendukung tercapainya penghasilan respons gerak
secara cepat dan cermat, yang dilakukan oleh sekumpulan otot atau segmen tubuh yang relatif
besar.
Multi-limb coordination: kemampuan yang mendukung tugas yang membutuhkan
koordinasi anggota tubuh dalam keadaan bergerak secara simultan, seperti dua tangan, dua kaki,
atau tangan dan kaki.
Response orientation: kemampuan yang mendukung tugas gerak yang membutuhkan
kecepatan orientasi dalam penentuan alternatif pola gerak yang akan dibuat dan berkaitan dengan
kemampuan memilih respons yang benar dalam kondisi yang sangat mendesak.
Reaction time: kemampuan yang menyokong tugas yang memerlukan kecepatan
memberikan respons cepat atas stimulus yang muncul tanpa terduga, sehingga harus bereaksi
secepat mungkin. Dalam lingkup teori pengolahan informasi, waktu reaksi ini sebenarnya
merupakan proses pengambilan keputusan yang berlangsung melalui tahapan tertentu, dari mulai
mengenali rangsang yang datang, memilih respons yang tepat, hingga memprogram respons
dalam bentuk gerak sebagai outputnya.
Speed of Arm Movement : kemampuan yang mendukung tugas di mana anggota tubuh
harus digerakkan dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan tinggi.
Postural discrimination : kemampuan yang mendukung tugas di mana subyek harus
merespons secara cepat terhadap perubahan gerak penting dalam tubuh dalam keadaan tidak ada
unsur penglihatan yang terlibat untuk melakukan penyesuaian badan secara cermat.
Respons integration : kemampuan yang menyokong tugas di mana subyek harus
memanfaatkan dan menerapkan petunjuk penting yang bersifat sensoris dari beberapa sumber ke
dalam satu respons tunggal yang terpadu.
Arm-Hand steadiness : Kemampuan yang mendukung tugas di mana seseorang harus
mampu menahan lengannya secara stabil dan seimbang.
Visual acquity: kemampuan yang mendukung tugas yang dilaksanakan dengan
memanfaatkan ketajaman pandangan mata dalam mengamati objek atau perubahan yang terjadi
di lingkungan untuk segera direspons dengan tindakan yang tepat.
Kesemua kemampuan di atas, menurut Mechling, merupakan kemampuan yang
ditentukan besarannya oleh faktor perseptual, yang dianggap paling berperan dalam membentuk
kemampuan yang bersifat koordinatif. Ini sejalan dengan temuan Blume, seperti dikutip
Mechling, yang secara intens menganalisis kebutuhan individu dalam berbagai cabang olahraga,
bahwa sedikitnya terdapat tujuh kemampuan koordinatif dari begitu banyaknya kemampuan
yang ada. Kemampuan koordinatif tersebut meliputi: (1) orientation, (2) body-limb co-
ordination, (3) discrimination (proprioception), (4) balance, (5) rhythmic ability, (6) reaction, dan
(7) perceptual-motor adaptation.
Senam, terutama senam artistik, pada dasarnya merupakan perilaku gerak yang kualitas
penampilannya sangat ditentukan oleh kemampuan koordinatif di atas. Pada perilaku gerak yang
kompleks seperti senam, kemampuan koordinatif merupakan faktor yang menyumbang paling
banyak dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti kekuatan atau daya tahan (Mechling,
dalam Auweele, 1999). Karenanya tidak bisa diragukan lagi, pesenam harus memiliki
kemampuan-kemampuan yang mendukung terhadap kapabilitasnya dalam mengkoordinasikan
gerak secara keseluruhan. Keniscayaan tersebut mengarahkan pada keharusan lain, bahwa
pesenam harus memiliki kemampuan mengontrol gerak secara akurat, yang merupakan fungsi
tingkat tinggi dari cortex dalam otaknya.
Teori neurofisiologis secara meyakinkan menunjukkan bahwa pengontrolan gerak diatur
oleh wilayah cortex yang berbeda (Schmidt, 1991). Wilayah cerebellum terutama mengontrol
program gerak yang cepat dan bersifat balistik, sedangkan basal ganglia memprogram gerakan
atau jenis keterampilan berkelanjutan (continuous). Gerak atau aksi yang cepat yang dapat
berlangsung kurang dari 200 milidetik dikontrol oleh program motorik (motor program) yang
terjadi sebelum gerak itu dimulai. Karenanya segala perhitungan kesalahannya harus dilakukan
juga sebelumnya, karena sekali gerak dimulai, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya
(open loop control system). Di pihak lain, gerakan lambat atau yang berulang-ulang, dikontrol
oleh closed-loop control system, di mana setiap gerak berikutnya selalu dapat diperbaiki sesuai
dengan umpan balik yang diperoleh dari lingkungan (Schimdt, 1991; Mechling, dalam Auweele,
1999).
Senam adalah cabang olahraga yang dibangun oleh serangkaian gerak diskrit (cepat dan
singkat). Walaupun keseluruhan rangkaiannya diselesaikan dalam waktu antara 30 detik hingga
70 detik, namun secara diskrit gerakan-gerakan tunggalnya hanya berlangsung sekitar 200
hingga 300 ms, yang mengharuskan semua pemrograman gerak diselesaikan sebelum dirinya
bergerak. Demikian juga ketika ia merangkaikan dua hingga empat gerakan sekaligus, gerakan
itu harus direncanakan dan diprogram dalam motor program, yang bekerja dengan prinsip all or
none.
5. Aspek Psikologis dalam Olahraga Senam
Pandangan bahwa prestasi olahraga bukan hanya persoalan kekuatan otot, kondisi fisik,
dan keterampilan teknik saja adalah pandangan yang sudah diakui sejak lama. Persoalannya,
kebanyakan pelatih dan atlet kita hanya baru-baru ini saja sadar bahwa ciri dan kemampuan
psikologis memainkan peranan yang penting, terutama dalam senam yang kompetitif. Meskipun
atlet merasa bahwa kebugaran fisiknya sedang dalam puncaknya dan merasa sangat siap untuk
kejuaraan, bisa saja ia tampil buruk. Bahkan pada saat tertentu, sering pula ia sudah dikalahkan
justru sebelum kejuaraan dimulai.
Persoalan klasik yang sering ditemui dalam olahraga Indonesia saat ini adalah, banyak
para pelatih atau atlet yang kalah atau gagal dalam pertandingan, bersembunyi di balik masalah
non teknis, seolah-olah masalah itu di luar jangkauan kemampuan mereka untuk mengatasinya.
Padahal, meminjam istilah Marsden dalam Unestahl (1983), persoalan non-teknis tersebut
merupakan suatu masalah yang inherent akibat ketidakmampuan atlet dan pelatih dalam
menghubungkan proses latihannya dengan proses pertandingan. Menurut Marsden, bagaimana
konsep kejuaraan dipandang oleh atlet pada umumnya adalah persoalan krusial.
Hal umum yang sering terjadi dalam kasus di atas adalah adanya kesenjangan antara apa
yang dialami oleh atlet pada saat berlatih dan pada saat bertanding. Dari apa yang dapat
ditelusuri, atlet kurang menyadari betapa pentingnya merasakan suasana latihan seperti suasana
bertanding, yang menurut Schmidt (1982; 1991) dan Magil (1985) harus didisain oleh pelatihnya
berupa latihan yang memiliki nilai transfer. Lebih dari itu, pelatih pun seharusnya memandang
penting peranan dari mental practice (Magil. 1985; Rotella, Zaichkowsky, dan Unestahl dalam
Unestahl, 1983) yang dikaitkan dengan pembiasaan pada suasana pertandingan, untuk menjadi
bagian terpadu dari latihannya.
Sekaitan dengan prestasi olahraga, para ahli membedakan faktor mental atlet ini dari
yang sifatnya psikologis dan yang bersifat emosional atau perasaan. Untuk bahasan lebih lanjut
dan dikaitkan dengan permasalahan yang dipersoalkan dalam penelitian ini, faktor yang
berpengaruh terhadap prestasi dalam wilayah mental menjadi dua yaitu faktor psikologis dan
faktor mood.
a. Faktor Psikologis
Dalam kaitannya dengan prestasi senam, para ahli lebih banyak menunjuk pada
perlengkapan psikologis ini dalam 5 (lima) komponen berikut, yaitu konsistensi, keyakinan diri,
konsentrasi, kecemasan, dan sikap positif.
1) Konsistensi
Menurut Mahoney, Avener & Avener dalam Unestahl (1983), konsep konsistensi dapat
didefinisikan sebagai jarak dan variasi relatif dari performa pesenam. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi jarak atau variasi ini. Pesenam pemula, misalnya, dapat diduga dengan mudah
akan menunjukkan variasi yang sangat besar dalam penampilannya. Demikian juga yang akan
terjadi pada gerakan yang baru dikuasai oleh pesenam. Variasi demikian adalah aspek yang
inheren pada perkembangan keterampilan yang kompleks. Dengan latihan dan pembelajaran,
variasi dalam performa tersebut mulai berkurang ke arah pola gerak yang lebih mantap, kecuali
dihiasi oleh kemungkinan timbulnya plateau yang sesekali masih dapat timbul. Konsistensi atau
inkonsistensi demikian berkaitan dengan perkembangan fisik atau motorik.
Konsistensi dan inkonsistensi dapat pula terjadi dalam wilayah psikologis pesenam
disebabkan oleh gagalnya pesenam membangun keterampilan mental yang menyumbang pada
keunggulan perorangan. Tingkat perkembangan keterampilan demikian sedikitnya dapat
digambarkan dalam perbandingan antara penampilan dalam latihan dan dalam pertandingan.
Mahoney et al. dalam Unestahl (1983) membedakan tipe pesenam menjadi tiga macam, yaitu (1)
pesenam yang penampilan dalam latihannya selalu lebih buruk dari pada penampilannya dalam
situasi pertandingan, (2) pesenam yang penampilan dalam latihan dan pertandingannya relatif
setara dan stabil, dan (3) pesenam yang biasanya tampil lebih baik dalam latihan dari pada dalam
situasi pertandingan.
Persoalannya adalah: mengapa beberapa pesenam nampak berprestasi lebih baik dalam
kondisi pertandingan dari pada dalam kondisi latihan? Mengapa pesenam lain nampak
berprestasi lebih buruk dalam kondisi yang sama?
Terdapat sejumlah faktor yang menyumbang pada pola konsistensi dan inkonsistensi
individual dalam berprestasi (Mahoney et al.). Ada pesenam yang merasa terbantu untuk
―bangkit‖ oleh tantangan yang ditimbulkan oleh situasi kompetitif di arena pertandingan,
sementara pesenam lain justru merasa terganggu. Ada pula sejumlah pesenam yang merasa
―terpanaskan‖ dalam kondisi kejuaraan dibanding oleh keadaan yang kurang menekan dalam
latihan. Fenomena demikian tidaklah terlalu aneh, bahkan untuk kompetisi tingkat tinggi, di
mana beberapa pesenam elit menunjukkan pola penampilan yang lebih baik pada kejuaraan-
kejuaraan yang sangat menantang seperti kejuaraan dunia atau olimpiade (Taylor, 1996).
Menghadapi gejala atau pola demikian, banyak ahli yang sudah mempertanyakannya
sejak lama dan secara serius mendalami apakah konsistensi dalam penampilan itu merupakan
fungsi psikologis sebagai ciri kepribadian yang bersifat relatif stabil atau berupa keterampilan
psikologis yang relatif dapat dibentuk (Ogilvie & Tutko, 1966; Martens, 1975b; Kane, 1978;
Mahoney & Epstein, 1981). Pencarian tentang kepribadian olahragawan yang ideal tersebut,
tentunya akan terus berlanjut dalam waktu yang lama dan berharap bahwa informasi yang
diperoleh dapat diaplikasikan pada dimensi praksis kepelatihan dan pelatihan.
Sejauh ini, dari apa yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju dalam pembinaan
senamnya, kita bisa menarik satu pelajaran penting darinya, yaitu pelajaran untuk tidak terlalu
kaku menyimpulkan satu kutub jawaban atas kutub jawaban yang lain. Negara-negara seperti
Rusia, Jerman Timur (sebelum lebur dan bersatu menjadi Jerman), Romania, dan bahkan Cina,
yang selama ini sukses mencetak prestasi senam dunia telah menunjukkan kepada kita bahwa
jawaban yang paling benar adalah gabungan keduanya. Di satu pihak mereka percaya bahwa
kemampuan psikologis merupakan suatu bakat bawaan anak sehingga mereka memiliki
instrumen tersendiri untuk memilih calon atlet pilihannya. Sedangkan di pihak lain mereka juga
percaya, bahwa bakat pilihan itu dapat dikembangkan dan dibentuk dalam proses pembinaan,
sehingga mewujud semakin besar (Jarov, Hartley, Atkinson, Posner dalam Holt, 1994).
2) Keyakinan Diri
Pesenam yang cenderung tampil buruk atau lebih buruk dalam situasi pertandingan
biasanya bukanlah individu yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hal ini dapat dipahami
dalam kaitannya dengan pengertian bahwa kepercayaan diri merupakan bagian dari gambaran
pengalaman bertanding seseorang di masa-masa sebelumnya (Rodgers, 1997). Karenanya dapat
dipahami pula bahwa pesenam yang baru mengalami situasi pertandingan baru (apakah betul-
betul baru dalam cabang yang bersangkutan atau hanya tingkat kejuaraannya yang baru) akan
merasa tidak yakin diri dengan penampilannya serta biasanya akan menghabiskan banyak waktu
dan konsentrasinya untuk memikirkan hal tersebut (Mahoney dkk).
Memang, seperti diakui Mahoney et al., adalah naif untuk menganggap bahwa proses
psikologis yang cukup kompleks seperti keyakinan diri dapat digambarkan begitu sederhana
seperti di atas. Sebagian, hal ini disebabkan belum jelasnya secara meyakinkan bahwa
kepercayaan diri dapat diperkuat oleh suatu strategi yang langsung dan bersifat sederhana. Yang
dapat diharapkan mendekati kebenaran adalah bahwa ekspekstasi seorang atlet terhadap
penampilannya sering teraktualkan dalam penampilannya. Dengan demikian, mencoba berpikir
positif atau sebaliknya, seringkali dapat memberikan ketenangan pada atlet , sehingga terekspresi
sebagai kepercayaan diri. Ketika suatu pengalaman yang positif dapat terwujudkan dengan
berpikir positif seperti itu, hal itu akan menyumbang terhadap rasa percaya diri atlet (William &
Leffingwell, 1997).
Pertanyaannya adalah, tidak mungkinkah mekanisme di atas bersifat sebaliknya?
Misalnya, apakah tidak mungkin bahwa seorang atlet yang memiliki kepercayaan diri yang
tinggi malahan berprestasi buruk, sehingga sering digambarkan dengan istilah overconfidence?
Apa yang harus dilakukan seorang atlet yang berprestasi baik tetapi tetap merasa berkeyakinan
rendah?
Pertanyaan di atas diakui para ahli sebagai pertanyaan yang sulit dijawab. Kenyataan di
lapangan memang sering berbicara secara berbeda. Misalnya, kadang-kadang atlet yang merasa
agak segan-segan atau ragu-ragu justru bisa berprestasi baik. Bahkan kondisi demikian sering
diekspresikan oleh atlet yang tidak percaya dengan hasil atau penampilannya yang dianggap di
luar dugaannya. Dalam situasi seperti itu, tidaklah mudah menunjukkan masalah kepercayaan
diri itu tanpa manampilkan isu seputar identitas pribadi dan konsep diri si atlet.
Selain dari bentuk penyuluhan mendalam, rasanya tak mungkin bahwa keterbatasan diri
(self-limiting) atlet yang kronis dapat melebihi sel-fulfilling prophecy-nya dan tampil dengan
sebaik-baiknya. Menyedihkan memang, karena diyakini benar bahwa sangat banyak atlet yang
berbakat tidak pernah mendekati potensi prestasinya karena identitas diri yang terbatas dan
konsep dirinya.
Kasus yang lebih umum, barangkali, adalah atlet yang menunjukkan potensinya yang
jelas dalam keadaan yang inkonsisten dan kadang-kadang penuh harap untuk dapat beranjak ke
kualitas penampilan yang lebih tinggi. Dalam kasus demikian, menurut Mahoney et al., akan
terdapat kesempatan untuk adanya perbaikan, karena terdapat kemungkinan bahwa dirinya
meremehkan (underestimate) kemampuannya sendiri. Atau, bisa jadi, hal itu karena kurangnya
pengalaman, karena seperti disinggung oleh beberapa ahli, atlet yang tidak berpengalaman sering
merasa kurang yakin diri dari pada atlet yang berpengalaman.
Salah satu cara mendekati permasalahan inkonsistensi dalam penampilan adalah
memfokuskan diri pada kesempatan belajar yang dihasilkan oleh variasi dalam dua arah.
Misalnya, seorang pesenam yang mengalami kesulitan dalam event tertentu dapat didorong
untuk memelihara suatu ―mental journal‖ di mana dirinya mencatat beberapa sikap dan perasaan
yang mendahului dan mengikuti suatu kejuaraan. Dikatakan dua arah, karena, baik dari
kesalahan maupun dari keberhasilannya, ia tetap mendapat kesempatan untuk memperbaiki
penampilannya lebih baik lagi dari sebelumnya. Dikaitkan dengan bahasan Schmidt berkenaan
dengan perlunya atlet membentuk dan meyakini adanya aturan atau ketentuan yang berlaku yang
harus dijadikannya pedoman, tak pelak hal itu merupakan penerapan dari teori learning schema
(1991).
Strategi lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi kesenjangan antara penampilan
latihan dan penampilan pada pertandingan adalah dengan mengurangi kesenjangan kedua situasi
itu sendiri. Situasi latihan sering dapat diubah sedemikian rupa sehingga dapat menyerupai
situasi pertandingan. Hal itu dapat dilakukan secara mental, dengan penggunaan mental imagery.
Untuk beberapa pesenam, apa yang diperlukan adalah cukup dengan berkonsentrasi dan
memfokuskan perhatiannya pada penampilan. Bagi pesenam lain, situasi tersebut perlu
diciptakan secara sengaja, termasuk situasi fisik gedung, kehadiran para wasit, serta kalau
mungkin dilengkapi pula dengan ramainya penonton. Jika mungkin, situasi tersebut dapat
diciptakan sesering mungkin.
3) Konsentrasi
Satu dari ciri atlet yang unggul adalah kemampuannya yang nyata untuk tidak hanya
dapat memperbaiki prestasinya dari kesalahannya saja, tetapi juga dari pengalaman berhasil yang
mengarahkannya pada perbaikan lebih tinggi lagi. Atlet yang briliant bukan berarti tidak pernah
mengalami kesalahan atau kekalahan. Mereka biasanya mampu mengembangkan keterampilan
yang diperlukan untuk mengasimilasi kesalahan secara psikologis dalam cara yang tidak
merusak keyakinan atau komitmennya.
Ciri kedua dari atlet elit adalah kemampuannya untuk memusatkan konsentrasi pada
tugasnya. Hal ini berhubungan dengan konsep yang sudah disinggung sebelumnya dalam hal
bahwa atlet yang ‗asyik‘ dan/atau terganggu oleh keterbatasan dan kesalahannya kurang mampu
memadukan pengalamannya dengan informasi yang diperoleh ke dalam perkembangan
keterampilan pribadinya.
Konsentrasi adalah suatu proses pemusatan perhatian yang intens terhadap suatu wilayah
perhatian yang lebih sempit (Unestahl dalam Unestahl, 1983). Dalam kegiatan olahraga,
konsentrasi ini berkaitan dengan proses pengolahan informasi yang berlangsung dalam tiga
tahapan (identifikasi stimulus, memilih respons, dan memprogram respons) untuk menghasikan
respons yang tepat. Yang menarik dari proses konsentrasi ini adalah fenomena yang mengiringi
tingkat performa seorang atlet disesuaikan tingkat stress yang dirasakannya, yang seolah
mengikuti prinsip U terbalik (Schmidt, 1991; Abernethy et al., 1997). Pada tingkat stress yang
rendah, tingkat perhatian belum bisa benar-benar terfokus, karena tidak terjadi apa-apa pada
pusat persepsinya. Ketika stress mulai meningkat, diperkirakan terjadi suatu gejala narrowing
perception yang menyebabkan wilayah persepsi atlet mampu membebaskan tanda-tanda yang
dianggapnya tidak relevan dan dia mampu berkonsentrasi pada tanda-tana yang paling relevan.
Di sinilah penampilan atlet meningkat karena dibaerngi dengan konsentrasi yang tinggi. Namun
begitu, jika tingkat stress itu terus meningkat naik ke kadar yang dikatakan berlebihan, maka
penyempitan persepsi itu juuga terus meningkat, sehingga bahkan tidak mampu mendeteksi
tanda-tanda yang diperlukan sama sekali. Dalam keadaan inilah atlet disebut memasuki keadaan
panik atau lajim disebut keadaan hypervigilance.
Oleh karena itu wajar jika dikatakan jika atlet yang memiliki konsentrasi yang baik
adalah mereka yang mampu memanfaatkan kondisi pertandingan untuk men-‘choke‘ persepsinya
sampai kadar tertentu, dan mengetahui dengan pasti kapan ia harus menenangkan dirinya
kembali agar tidak terganggu oleh keadaan panik akibat stress.
4) Kecemasan
Tingkat kecemasan seorang atlet selalu berhubungan dengan keadaan yang menekan
(sterssful) yang ditimbulkan dari dua sumber, yaitu yang bersifat internal seperti motivasi yang
tinggi, harapan, atau target pribadi; di samping bersifat eksternal baik karena sikap pelatih, orang
tua, atau teman satu regu, maupun yang timbul karena kondisi pertandingan yang relatif berbeda
dari kondisi latihan.
Para pelatih dan atlet yang berpengalaman mengetahui bahwa penampilan akan terbantu
oleh hadirnya kecemasan selama ia mampu memanfaatkannya dengan cara yang produktif.
Kondisi demikian oleh para ahli disebut arousal, yaitu kondisi umum kesiapan bertanding ketika
dikendalikan oleh pengaktifan psikologis (Abernethy et al., 1997). Bagi atlet pemula, intensitas
kecemasan sebelum pertandingan sering menimbulkan stress yang berlebihan dan sering
dianggap sebagai kurangnya keyakinan diri.
Dari studi para ahli dapat disimpulkan bahwa atlet elit sekalipun sering mengalami
kecemasan pra-pertandingan dalam tingkat inggi. Perbedaan yang mungkin terjadi adalah cara
dan bagaimana para atlet itu memandang dan memanfaatkan kondisi itu untuk menambah
kualitas penampilannya. Bahkan sebagian ahli menyarankan agar atlet dan pelatih untuk sering
mencoba penampilannya di bawah kondisi kecemasan tinggi dalam masa-masa latihannya.
Kemampuan memanfaatkan kondisi kecemasan ini menjadi lebih penting dalam olahraga
senam mengingat sifat kejuaraannya yang berkesinambungan dari satu alat ke alat berikutnya.
Pelatih dan pesenam seharusnya menyadari bahwa kecemasan bisa juga ditimbulkan oleh
kesadaran atlet bahwa penampilannya di satu alat kurang maksimal. Kecemasan ini, jika tidak
ditangani dengan baik, akan mempengaruhi keberhasilan pada alat berikutnya. Misalnya, jika
pesenam terlalu memikirkan kegagalannya pada alat lantai, hal itu dapat mengganggu
penampilan pesenam pada alat kuda pelana dan alat gelang-gelang dan bahkan 3 sisa alat
lainnya. Jika kasus demikian terjadi pada masa-masa latihan masih ada kesempatan
memperbaikinya pada masa latihan berikutnya. Tetapi jika hal itu terjadi pada masa
pertandingan, diperlukan penanganan khusus yang agak berbeda dari pelatih dan terutama dari
pesenamnya sendiri. Hal itu tidak mudah, karena kemampuan pesenam dalam hal terkait itu juga
merupakan kemampuan yang sedang berkembang.
5) Sikap Positif dan Keinginan
Banyak atlet kelihatannya percaya bahwa sikap mental positif dan kepercayaan diri yang
teguh merupakan fenomena yang terjadi secara alamiah pada atlet yang berbakat dan
tergambarkan secara mencolok dalam perkembangan dan keberhasilan para atlet secara
konsisten. Penelusuran para ahli terhadap masalah ini mengedepankan fakta bahwa kesemua itu
merupakan akibat dari program penegasan diri (self-affirmation) yang dilakukan secara sadar dan
terus menerus dari pada sebagai bakat bawaan. Menurut Mahoney et al., konsep sikap mental
yang positif dapat digambarkan dalam perilaku individual yang berbeda-beda. Hal yang
dianggap esensial adalah bahwa sikap positif ini melibatkan suatu proses dari memberi semangat
pada diri sendiri (self-encouragement) yang hampir tidak terkait sama sekali dengan isi atau
kualitas penampilannya. Jadi, bukan berarti bahwa atlet yang sering bersifat ‗positif‘ dalam
mendekati latihan atau pertandingannya karena ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tetapi
bisa jadi karena sebaliknya. Yang dianggap positif dalam hal ini adalah keinginannya atau
keteguhan maksudnya untuk tetap memperbaiki diri dan penampilannya dan selalu melakukan
yang terbaik sesuai kemampuannya.
Suatu indikasi dari sikap positif ini adalah memang benar bahwa dedikasi dan komitmen
yang kuat terhadap penampilan dan perkembangan pribadi yang optimal adalah fundamental
pada atlet-atlet yang serius (Gordon, 1992) . Apa yang kurang dipahami adalah besaran
perkembangan dari sikap ini sepenuhnya tergantung pada proses penerapannya dan latihan dari
hari ke hari. Pola sikap dan reaksi diri, menurut Mahoney et al., dikuatkan oleh latihan mental
dan titik pusat perhatiannya. Jadi, sebagaimana pesenam yang serius harus sepenuhnya terlibat
dalam dimensi fisikal dari proses kondisioning dan pengembangan keterampilan, ia juga harus
memadukan dimensi psikologisnya ke dalam program latihannya secara komplet (Abernethy
dkk, 1997; Singer, 1980).
Berbuat sebaliknya sama artinya dengan membiarkan potensi-potensi psikologis ini tidak
terperhatikan, tidak terlatih dan tidak terkembangkan, dan dalam banyak kasus malah berakibat
menjadi penghalang atau rintangan pada penampilan yang optimal. Dalam kaitan inilah, para ahli
mendorong dan meyakinkan para pelatih dan atlet untuk memperhatikan sikap dan perasaan
mereka, komitmennya pada olahraga yang digeluti, dan pola pengajaran dirinya selama proses
latihan dan kejuaraan.
b. Faktor Mood
Mood atau lebih sering diartikan sebagai kondisi emosi atau pikiran, merupakan keadaan
yang dipercayai memiliki sumbangan besar terhadap keberhasilan seorang atlet untuk
menunjukkan prestasinya. Adalah ungkapan yang umum jika seorang atlet menunjuk penyebab
buruknya penampilan dia pada kegagalannya untuk ―merasa mood‖. Hal ini telah menyebabkan
tercurahnya perhatian para psikolog olahraga untuk mencoba mengungkap hubungan mood
dengan penampilan, dan mencoba berbagai cara untuk memprofilkan mood agar dapat
mengantisipasi kondisi ideal mood atletnya untuk menyumbang prestasi terbaik. Salah satunya
adalah Profile of Mood States (POMS) yang dirintis oleh William Morgan, berupa kuestioner
yang merangkum keadaan emosi (mood) dalam hal kelelahan (fatigue), amarah (anger),
kesiagaan (vigour), ketegangan (tension), bingung (confusion), dan depresi (Bond, 1992; Terry,
1997, O‘Connor, 1997).
Terry menyimpulkan bahwa mood merupakan keadaan yang relatif berubah-ubah sesuai
lingkungan yang dihadapi oleh atlet, sehingga lebih berguna jika profiling mood ini dilaksanakan
lebih kerap untuk memastikan bahwa tidak ada risiko gangguan emosi (performance-
threatening mood) dari atlet sebelum bertanding. Begitu mengetahui bahwa mood atlet sedang
diliputi ketegangan atau amarah, pelatih masih memiliki kesempatan untuk berupaya
‗mendinginkan‘ perasaan atletnya. Bahkan upaya ini telah dimanfaatkan oleh tim olimpiade
musim dingin Inggris untuk memonitor emosi para atletnya sejak empat hari sebelum
pertandingan.
Idealnya, profil mood atlet sebelum bertanding menggambarkan apa yang disebut Mogan
sebagai profil ―gunung es‖, yang merupakan gabungan garis yang menghubungkan titik-titik dari
keenam faktor mood di atas, yang menonjolkan faktor kesiagaan (vigour) di atas skor rata-rata
dan beradanya faktor lain di bawah skor rata-rata (lihat gambar). Lebih menjulang puncak
gunung es-nya pada faktor kesiagaan, maka semakin potensial mood atlet itu untuk tampil
meyakinkan. Jika puncak gunung itu beraa pada faktor lain, sementara faktor kesiagaan berada
pada titik yang rendah, kondisi itulah yang menurut Terry yang harus segera diubah dengan
beberapa teknik relaksasi dan mental rehearsal, atau bahkan dengan cara mendinginkan diri
secara khusus (Butler, 1997).
Gambar 1. Contoh Profil Mood berbentuk ‗Gunung Es‘ (dikutip dari Terry, 1997).
D. SELEKSI PESENAM
1. PEMILIHAN SECARA VISUAL
Perhatikan kecenderungan tubuh anak secara teliti dalam hal-hal penyimpangan berikut:
a. Bahu yang tidak simetris, pada keadaan normal maupun ketika direntangkan.
b. Tulang belikat (Scapula) yang menonjol
c. Tulang selangka (clavicula) yang tajam dan menonjol keluar.
d. Tulang iga (thorax) yang tidak simetris.
e. Dada burung
f. Tulang dada (sternum) yang menonjol
g. Lengan yang terlalu pendek atau terlalu panjang.
h. Tungkai yang terlalu pendek dan togok yang terlalu panjang.
i. Tidak dapat merentang lengan dan tungkai.
j. Lengan dan tungkai yang hiper-ekstensi
k. Bentuk perut yang menonjol ke samping.
l. Lordose, kipose dan skoliose.
m. Panggul yang lebar (lingkarnya lebih besar dari lingkar dada)
n. Panggul yang tidak simetris.
o. Bentuk kaki yang O atau X.
p. Kurangnya kelentukan pada pergelangan kaki (ankle)
q. Kaki datar.
r. Leher terlalu pendek atau terlalu panjang.
2. PARAMETER ANTROPOMETRIK
PESENAM ARTISTIK PUTRA, USIA 6 TAHUN
TINGGI BERDIRI (CM) 110 - 114
TINGGI DUDUK (CM) 58 - 60
PANJANG LENGAN (CM) 47 - 48.6
PANJANG TUNGKAI (CM) 61 - 63.5
DIAMETER PANGGUL (CM) 18 - 19.5
BERAT BADAN (KG) 16 - 19.5
INDEKS TINGGI DAN BERAT BADAN .145 - 175
PESENAM ARTISTIK PUTRI, USIA 6 TAHUN
TINGGI BERDIRI (CM) 106 - 114
TINGGI DUDUK (CM) 58.5 - 60
PANJANG LENGAN (CM) 47.3 - 48.7
PANJANG TUNGKAI (CM) 61.1 - 63.8
DIAMETER PANGGUL (CM) 17.9 - 18.5
BERAT BADAN (KG) 16 - 19
INDEKS TINGGI DAN BERAT BADAN .150 - .180
PESENAM ARTISTIK PUTRA, USIA 7 TAHUN
TINGGI BERDIRI (CM) 116 - 122
TINGGI DUDUK (CM) 62 - 65
PANJANG LENGAN (CM) 50 - 53
PANJANG TUNGKAI (CM) 63 - 66.5
DIAMETER PANGGUL (CM) 18,8 - 19.6
BERAT BADAN (KG) 20 - 23
INDEKS TINGGI DAN BERAT BADAN .168 - .186
PESENAM ARTISTIK PUTRI, USIA 7 TAHUN
TINGGI BERDIRI (CM) 117 - 119
TINGGI DUDUK (CM) 60 - 63
PANJANG LENGAN (CM) 48.5 - 51.2
PANJANG TUNGKAI (CM) 62 - 65
DIAMETER PANGGUL (CM) 19,1 - 21
BERAT BADAN (KG) 18.5 - 21.5
INDEKS TINGGI DAN BERAT BADAN .158 - .180
PESENAM RITMIK, USIA 6 TAHUN
TINGGI BERDIRI (CM) 114 - 119
TINGGI DUDUK (CM) 59 - 60
PANJANG LENGAN (CM) 48.1 - 49.1
PANJANG TUNGKAI (CM) 62.1 - 64.1
DIAMETER PANGGUL (CM) 17,8 - 18,2
BERAT BADAN (KG) 15.1 - 16.7
INDEKS TINGGI DAN BERAT BADAN .135 - .145
3. KUALITAS FISIK DAN MOTORIK
ARTISTIK PUTRA : 6 TAHUN
KUALITAS JENIS SCORE
FISIK TEST 6 4 2
KEKUATAN 1. PUSH UPS 15 10 3
2. PULL UPS 8 5 2
3. MENGGANTUNG, ANGKAT KAKI 8 4 0
POWER LOMPAT TANPA AWALAN 160 150 140
KELENTUKAN 1. MEMBUNGKUK KE DEPAN 8 5 0
2. SPLIT SAMPING 0 4 6
3. SIKAP JEMBATAN (BRIDGE) 10 20 30
4. KELENTUKAN BAHU DENGAN
TALI
35 45 50
KECEPATAN 1, LARI 20 METER START BERDIRI 4.5‖ 5‖ 5.5‖
KESEIMBANGAN 1. JINGJIT MATA TERTUTUP, TANGAN
DI ATAS KEPALA
6‖ 4‖ 1-2‖
2. JINGJIT SATU KAKI, LENGAN
DIRENTANGKAN, MATA
TERTUTUP
6‖ 4‖ 1-2‖
KOORDINASI 1. TEST GERAKAN BARU (LIHAT
CONTOH), JUMLAH KESALAHAN
1-2 3-4 5-6
ARTISTIK PUTRI : 6 TAHUN
KUALITAS JENIS SCORE
FISIK TEST 6 4 2
KEKUATAN 1. PUSH UPS 10 7 2
2. PULL UPS 6 3 1
3. MENGGANTUNG, ANGKAT KAKI 6 3 0
POWER LOMPAT TANPA AWALAN 140 130 120
KELENTUKAN 1. MEMBUNGKUK KE DEPAN 10 7 2
2. SPLIT SAMPING 0 4 6
3. SIKAP JEMBATAN (BRIDGE) 0 15-20 25
4. KELENTUKAN BAHU DENGAN
TALI
30 35 45
KECEPATAN 1, LARI 20 METER, START BERDIRI 4.5‖ 5‖ 5.5‖
KESEIMBANGAN 1. JINGJIT MATA TERTUTUP,
TANGAN DI ATAS KEPALA
6‖ 4‖ 1-2‖
2. JINGJIT SATU KAKI, LENGAN
DIRENTANGKAN, MATA
TERTUTUP
6‖ 4‖ 1-2‖
KOORDINASI 1. TEST GERAKAN BARU (LIHAT
CONTOH), JUMLAH KESALAHAN
1-2 3-4 5-6
PESENAM RITMIK: 6 - 7 TAHUN
KUALITAS JENIS SCORE
FISIK TEST 6 4 2
KECEPATAN 1, LARI 20 METER, START
MELAYANG
3.5 3.9-
4.1
4.6
KEKUATAN
DINAMIS 1. ANGKAT TUNGKAI HINGGA 90
SELAMA 30 DETIK (POSISI
MENGGANTUNG)
15 10 7
POWER LOMPAT VERTIKAL (CM) 38 30 20
KELENTUKAN 1. MEMBUNGKUK KE DEPAN 23 15-18 11
2. SPLIT SAMPING 0 2 5
3. SIKAP JEMBATAN (BRIDGE) 0 15-20 25
4. KELENTUKAN DINAMIS DARI
PANGGUL 135 126 90
KOORDINASI
UMUM
1. LOMPAT BERPUTAR (TURN) PADA
POROS LONGITUDINAL 360 300 270
4. KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN/MENTAL
YANG PERLU DIIDENTIFIKASI DARI CALON PESENAM
NEGATIF POSITIF
1. MUDAH MENANGIS DALAM
MENGHADAPI TUGAS
1. TEGUH DAN INGIN MENCOBA
TERUS
2. SERING BERUBAH KONDISI
MOOD-NYA
2. MOOD-NYA STABIL
3. SETELAH MENGHADAPI TUGAS
YANG MERANGSANG, SULIT
MENENANGKAN DIRI
3. SETELAH MENGHADAPI TUGAS
YANG MERANGSANG, CEPAT
MENENANGKAN DIRI
4. DIHADAPKAN PADA KONDISI
YANG BERUBAH-UBAH, RIBUT,
DAN RIUH: TERGANGGU
PERHATIANNYA
4. DIHADAPKAN PADA KONDISI
YANG BERUBAH-UBAH, RIBUT,
DAN RIUH: TIDAK TERGANGGU
PERHATIANNYA
5. TIDAK MENYUKAI KONDISI
LATIHAN YANG KOMPETITIF
5. MENYUKAI KONDISI LATIHAN
YANG KOMPETITIF
6. HASIL SUATU TUGAS TIDAK
STABIL
6. HASIL SUATU TUGAS SANGAT
STABIL
7. PENAMPILAN DI LATIHAN LEBIH
BAIK DARIPADA DI KEJUARAAN
7. PENAMPILAN DI KEJUARAAN
LEBIH BAIK/SAMA DARIPADA DI
LATIHAN
DAFTAR PUSTAKA
Abernethy, B., Kippers, V., Mackinnon, L.T., Neal, R.J., Hanrahan, S. (1996) The Biophysical
Foundation of Human Movement, Champaign. IL., Human Kinetics.
Ackland, T.R. & Bloomfield, J. (1992) Functional Anatomy, dalam Bloomfield J., Fricker, P.A.,
Fitch. K.D. (eds) Textbook of Science And Medicine In Sport. Carlton Victoria,
Blackwell Scientific Publication.
Atkinson, John (1994): The Fall of The Soviet System, dalam Holt, Jim (ed), International
Gymnastics Systems: An Anthology, Australian Gymnastics Federation.
Bompa, Tudor O. (1983): Theory and Methodology of Training: The Key to Athletic
Performance. Dubuque, Iowa. Kendall/Hunt Publishing Company.
Bond, J.W. (1992): The Individual Athlete, dalam Bloomfield, J., Fricker, P.A., Fitch. K.D. (eds)
Textbook of Science And Medicine In Sport. Carlton Victoria, Blackwell Scientific
Publication.
Bowers, Carolyn Osborn; Fie, Jacquelyn Klein; Schmid, Andrea Bodo. (1981): Judging and
Coaching Women’s Gymnastics (2nd Ed.), California, Mayfield Publishing Co.
Butler, Richard (1997): Performance Profiling: Assessing the Way Forward, dalam Butler,
Richard (ed): Sports Psychology in Performance. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Carr, Gerry. (1997): Mechanics of Sport, A Practitioner’s Guide, Champaign, IL., Human
Kinetics.
Desharnais, R. (1976): The Psychological Aspects of Archery, dalam Canadian Archery
Association Publication. Ottawa.
Forbes, Warwick (1994): Gymnastics In The Soviet Union, dalam Holt, Jim (ed), International
Gymnastics Systems: An Anthology, Australian Gymnastics Federation.
Gordon, A.M.D. (1992): Self Regulation and Goal Setting, dalam Bloomfield J., Fricker, P.A.,
Fitch. K.D. (eds) Textbook of Science And Medicine In Sport. Carlton Victoria,
Blackwell Scientific Publication.
Hadjiev, N. and Andonov, K. (1991): Selection Of The Talents In Gymnastics, dalam Kumpulan
Materi Seminar Scientific & Methodological for Gymnastics Coaches, Jakarta,
Persani.
Haines, Cathy (Ed) (1978): Coaching Certification Manual, Level 2 Women, Canada, Canadian
Gymnastics Federation.
Hartley, Geraldine (1994): A Comparison of The Soviet and East German Gymnastics Systems,
dalam Holt, Jim (ed), International Gymnastics Systems: An Anthology, Australian
Gymnastics Federation.
Kane, J.E. (1978): Personality Research: The Current Controversy and Implications for Sport
Studies, dalam Straub, W.F. (ed) Sport Psychology: An Analysis of Athlete Behavior.
Ithaca, NY., Movement Publications.
Magil, Richard A. (1985): Motor Learning, Concepts & Applications (2nd Ed.). Dubuque, Iowa,
WM. C. Brown Publishers.
Mahendra, A. dkk.: (2001): Profil Pesenam Indonesia, Laporan Penelitian (±tidak
dipublikasikan). Proyek Penelitian Kerjasama KONI Pusat dengan FPOK UPI.
Mahoney, M., Avener, J., and Avener, Marshall (1983): Psychological Factors in Competitive
Gymnastics, dalam Unestahl, Lars-Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics,
Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Mahoney, M.J. and Epstein, M.L. (1977): The Assessment of Cognition in Athletes. In T.V.
Merluzzi, C.R. Glass & M. Genest (eds): Cognitive Assessment. New York,
Guildford Press.
Malina, Robert M. and Bouchard, Claude (1991): Growth, Maturation, And Physical Activity,
Champaign, IL., Human Kinetics.
Marsden, Greg (1983): A Coach‘s Perspective of The Psychological Aspects Of Gymnastics,
dalam Unestahl, Lars-Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden,
VEJE Publ. Inc.
Martens, R. (1975): Social Psychology and Physical Activity. New York, Harper & Row.
McCharles, Rick (1994): Gymnastics In Australia, dalam Holt, Jim (ed), International
Gymnastics Systems: An Anthology, Australian Gymnastics Federation.
Mechling, Heinz H. (1999): Co-Ordinative Abilities, dalam Auweele, Y.V. et al. (eds),
Psychology for Physical Educators. Champaign, IL. Human Kinetics.
O‘Connor, Patrick J. (1997): Overtraining and Staleness, dalam Morgan, Willian P. (ed):
Physical Activity dan Mental Health. Washington, DC. Taylor & Francis.
Ogilvie, B.C. and Tutko, T.A. (1966): Problem Athletes and How To Handle Them. London,
Pelham.
Posner, Steve (1994): Gymnastics In China, dalam Holt, Jim (ed), International Gymnastics
Systems: An Anthology, Australian Gymnastics Federation.
Rodgers, Sheelagh. (1997): Developing Confidence, dalam Butler, Richard (ed): Sports
Psychology in Performance. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Rotella, Robert (1983): Motivational Concerns of High Level Gymnasts, dalam Unestahl, Lars-
Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Russell, Keith. (1986): Coaching Certification Manual, Introductory Gymnastics. Canada,
Canadian Gymnastics Federation.
Salmela, John (1983): Unedrstanding Gymnastics Performance, dalam Unestahl, Lars-Eric (ed),
The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Schembri, Gene. (1983). Introductory Gymnastics. A Guide for Coaches and Teachers.
Australian Gymnastics Federation Inc.
Schmid, Andrea B. and Peper, Eric (1983): Do Your Things When It Counts, dalam Unestahl,
Lars-Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Schmidt, Richard A. (1991): Motor Learning & Performance, from Principples to Practice.
Champaign, IL., Human Kinetics.
Schmidt, Richard A. (1988): Motor Control and Learning: A Behavioral Emphasis (2nd ed.).
Champaign, IL: Human Kinetics.
Singer, Robert N. (1980): Motor Learning and Human Performance: An Application to Motor
Skills and Movement Behaviors (3rd Ed.), New York, Macmillan Publishing Co.
Taylor, Jim (1996): Intensity Regulation and Athletic Performance, dalam Raalte, Judy L. Van
and Brewer, Britton W. (eds), Exploring Sport and Exercise Psychology. Washington
DC., American Psychological Association.
Terry, Peter (1997) The Application of Mood Profiling With Elite Sports Performers, dalam
Butler, Richard J. (ed), Sports Psychology in Performance, Oxford, Butterworth-
Heinemann.
Unestahl, Lars-Eric (1983): Mental Gymnastics, dalam Unestahl, Lars-Eric (ed), The Mental
Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Unestahl, Lars-Eric (1983): Mental Training for A Gymnstic Career, dalam Unestahl, Lars-Eric
(ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE Publ. Inc.
Unestahl, Lars-Eric (1983): Everything Is Possible, An Interview with Caral Johnson, dalam
Unestahl, Lars-Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo, Sweden, VEJE
Publ. Inc.
William, Jean M. & Leffingwell, Thad R. (1996): Cognitive Strategis in Sport and Exercise
Psychology, dalam Raalte, Judy L. Van and Brewer, Britton W. (eds), Exploring
Sport and Exercise Psychology. Washington DC., American Psychological
Association.
Zaichkowsky, Leonard (1983): The Use of Biofeedback for Self-Regulation of Performance
State, dalam Unestahl, Lars-Eric (ed), The Mental Aspects of Gymnastics, Orebo,
Sweden, VEJE Publ. Inc.
F. LAMPIRAN
PETUNJUK PELAKSANAAN TES DAN PENGUKURAN
A. Pelaksanaan Pengukuran Anthropometrik
1. Pengukuran Tinggi Badan
Alat yang diperlukan:
Alat Pengukur Tinggi Badan /Pita Meteran
Alat Pencatat
Pelaksanaan:
Subjek diminta berdiri tegak dengan bersandar ke tembok pada punggungnya, kemudian
tempelkan sebilah balok kecil (buku, kotak kayu, dll.) yang keras dan tegak lurus di atas
kepala subjek sampai menyentuh kepala. Titik atau garis di mana balok itu menyentuh kepala,
kemudian di ukur hingga ke lantai. Tentukan ukuran tinggi badan ini dalam centimeter.
2. Mengukur Tinggi Duduk
Alat yang diperlukan:
Meteran
Kursi tanpa jok dan sandaran
Pelaksanaan:
Subjek diminta duduk di kursi yang diletakkan di dekat tembok, dengan menyandar tegak ke
tembok di belakangnya. Tempelkan balok kecil di atas kepala subjek hingga menyentuh
kepala. Titik atau garis di mana balok itu menyentuh kepala diukur hingga ke permukaan
datar kursi terdekat. Tentukan ukuran tinggi duduk dalam centimeter.
3. Mengukur Panjang Lengan
Alat yang diperlukan:
Meteran
Pelaksanaan:
Subjek diminta berdiri tegak. Ukurlah panjang lengan dari ujung bahunya hingga ke ujung
jarinya. Untuk pengukuran ini boleh dilakukan pada salah satu lengannya, atau kedua-duanya.
Tentukan ukuran panjang lengan dalam centimeter.
4. Panjang Tungkai
Alat yang diperlukan:
Meteran
Pelaksanaan:
Subjek diminta berdiri tegak menyandar tembok di belakangnya. Mintalah subjek mengangkat
salah satu kakinya, untuk mengetahui titik sudut dari kaki yang terangkat tersebut, dan tandai
titik itu dengan tetap menyentuhkan tangan pengukur pada titik itu. Kemudian minta subjek
mnurunkan kakinya kembali dan berdiri tegak kembali, tanpa melepaskan titik dimaksud.
Ukurlah panjang tungkai dari titik sudut tungkai ke lantai dalam centimeter.
5. Berat Badan
Alat yang diperlukan:
Timbangan badan.
Pelaksanaan:
Mintalah subjek berdiri di atas timbangan, dengan hanya mengenakan pakaian yang tidak
menambah berat, termasuk topi dan sepatu yang harus dilepas. Pengukur kemudian melihat
dan mencatat berat badan subjek dari ukuran yang tertera pada timbangan tersebut. Catat
ukuran berat badan dalam kilogram.
6. Lebar Panggul
Alat yang diperlukan:
Meteran
Pelaksanaan:
Subjek berdiri tegak menghadap ke petugas pengukur. Ukurlah lebar panggul anak dengan
mengukur bagian ujung kiri dan ujung kanan panggul pada bonggol tulangnya yang menonjol.
Tentukan ukuran lebar panggul ini dalam centimeter.
7. Indek Berat Badan: Tinggi Badan
Alat yang diperlukan:
Kalkulator
Pelaksanaan:
Setelah ukuran tinggi badan dan berat badan diketahui, maka untuk menentukan indek berat
badan-tinggi badan adalah dengan membagi ukuran berat (dalam kilogram) oleh ukuran tinggi
badan (dalam centimeter). Hasilnya adalah ukuran indek dari yang dimaksud, yang diambil
dalam tiga desimal di belakang koma. Lakukan pembulatan sesuai ketentuan jika terdapat
lebih dari tiga desimal di belakang koma.
PENGUKURAN KUALITAS FISIK DAN MOTORIK
1. Push-Ups
Alat yang diperlukan:
Tidak ada
Pelaksanaan:
Subjek diminta mengambil posisi telungkup di lantai, dengan kedua tangan diletakkan di
samping dada, dengan siku mengarah ke atas, dada menyentuh lantai. Dari posisi tersebut,
subjek diminta melakukan push ups hingga kedua lengannya lurus dan kembali ke posisi
semula hingga dada menyentuh lantai kembali. Hitungan dimulai ketika posisi tumpu dengan
kedua lengan lurus dicapai. Hitungan hanya dilakukan untuk push-ups yang memenuhi
ketentuan. Lakukan sebanyak-banyaknya tanpa dibatasi waktu. Menghentikan gerakan pada
posisi lengan lurus diperbolehkan dengan waktu istirahat yang tidak melebih 2 detik,
sebanyak-banyaknya tiga kali.
2. Pull-Ups
Alat yang diperlukan:
Palang dalam ketinggian yang mencukupi, dengan diameter palang tidak lebih dari 4
centimeter (untuk putra) dan 5 centimeter (untuk putri).
Pelaksanaan:
Subjek menggantung pada palang dengan pegangan telapak tangan menghadap ke tubuh (atau
anak diperbolehkan memilih). Dari posisi tersebut lakukan pull-ups hingga dagu melewati
ketinggian palang dan segera turun kembali hingga posisi gantungan dengan kedua lengan
lurus. Skornya adalah jumlah ulangan pull-ups yang dilakukan dengan benar secara
maksimum.
3. Angkat kaki ke tangan (Leg Lift to the bar)
Alat yang diperlukan:
Palang dalam ketinggian yang mencukupi, dengan diameter palang tidak lebih dari 4
centimeter (untuk putra) dan 5 centimeter (untuk putri).
Pelaksanaan:
Subjek menggantung pada palang dengan pegangan bebas. Angkat kedua kaki hingga
menyentuh palang tanpa terlebih dahulu mengayun atau melecutkan kaki ke belakang, dan
kembali ke posisi menggantung. Lakukan sebanyak-banyaknya ulangan, dengan ketentuan
memenuhi syarat di atas.
4. Angkat Kaki 90 selama 30 detik (Ritmik)
Alat yang diperlukan:
Palang dalam ketinggian yang mencukupi, dengan diameter palang tidak lebih dari 4
centimeter.
Pelaksanaan:
Subjek menggantung pada palang dengan pegangan bebas. Dari posisi ini, angkat kedua kaki
hingga membentuk sudut 90 dalam keadaan lurus, dan kembali ke posisi menggantung.
Lakukan sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, dalam batas waktu 30 detik.
5. Standing Broad Jump
Alat yang diperlukan:
Pita Meteran
Tanda yang bisa dilekatkan ke lantai
Kapur atau magnesium berwarna putih
Pelaksanaan:
Subjek berdiri dengan menempatkan ujung jari kakinya yang sudah dilumuri magnesium
persis di belakang pita pembatas Dengan diawali mengayunkan kedua lengannya ke
belakang dan membengkokkan kedua lututnya tanpa berpindah tempat, subjek segera
melakukan lompatan ke depan sejauh-jauhnya dan mendarat tanpa jatuh ke lantai. Segera ukur
jarak lompatan, dari mulai ujung pita terjauh hingga ke bekas pendaratan terdekat. Tentukan
ukuran dalam centimeter. Subjek diberi kesempatan melakukan lompatan sebanyak tiga kali,
dengan hasil terbaik yang diambil.
6. Vertical Jump (Ritmik)
Alat yang diperlukan:
Meteran yang keras
Kapur atau magnesium
Pelaksanaan:
Subjek berdiri menyamping ke tembok, dengan terlebih dahulu memberi tanda ketinggian
jangkauannya pada saat berdiri di tembok. Kemudian dengan mengambil ancang-ancang,
anak diminta melompat ke atas dan menjangkaukan kembali lengannya ke tembok sehingga
tertinggal tandanya secara jelas. Ukurlah ketinggian lompatan anak dari mulai ketinggian
jangkauan berdirinya hingga ke ketinggian jangkauan lompatannya. Tentukan ukuran dalam
centimeter. Subjek diberi kesempatan melakukan lompatan sebanyak tiga kali, dengan hasil
terbaik yang diambil.
7. Membungkukkan Tubuh (Body Bent)
Alat yang diperlukan:
Pita meteran
Bangku untuk berdiri
Pelaksanaan:
Subjek diminta berdiri di atas bangku atau kursi yang sudah dipasangi meteran ke bawahnya.
Bungkukkan badan, tanpa membengkokkan lutut, dan jangkaukan jari-jari tangan ke bawah
sejauh mungkin, dengan kedua tangan saling bertumpang tindih dalam posisi sejajar. Tandai
hasil jangkauan tersebut, dan tentukan panjang jangkauan dalam centimeter. Semakin jauh
semakin baik.
8. Kayang (Bridge)
Alat yang diperlukan:
Pita meteran
Matras
Pelaksanaan:
Subjek diminta melakukan kayang atau sikap jembatan, dengan sikap lengan lurus dan kedua
lutut rapat dan lurus dengan tumit menyentuh lantai. Jarak yang diukur adalah dari tumit ke
ujung jari tangan terdekat. Tentukan ukuran dalam centimeter.
9. Split atau Kaki Kangkang depan
Alat yang diperlukan:
Pita meteran
Matras
Keterangan:
Split yang diminta adalah sikap buka kaki kangkang dalam dua sikap yang berbeda, yaitu (1)
sikap split dengan kaki kiri atau kaki kanan di depan, (keduanya disebut split depan, pilih
yang terbaik) dan (2) sikap split dengan membuka kedua kaki ke kedua sisi tubuh (disebut
split samping).
Pelaksanaan:
Dengan membuka kaki ke depan atau ke samping, subjek mencoba mencapai sikap kangkang
selebar mungkin hingga dapat menyentuhkan kedua pangkal pahanya ke lantai, tanpa
menekuk lutut atau bagian kaki sedikitpun. Semakin dekat jarak kedua pangkal paha ke lantai
semakin baik, dengan skor terbaik adalah 0 (0) dalam centimeter. Untuk kaki split depan,
jarak yang diukur adalah bagian pangkal paha dari kaki depan ke lantai. Sedangkan pada split
samping, jarak yang ditentukan adalah jarak titik tengah kedua pangkal paha ke lantai.
Cara menetukan skor:
Tentukan skor untuk masing-masing split dalam satuan centimeter, dan hasil dihitung masing-
masing.
10. Shoulder Flexibility (Kelentukan Bahu)
Alat yang diperlukan:
Pita meteran
Tongkat atau tali yang cukup besar
Pelaksanaan:
Sikap awal, subjek berdiri dengan memegang tongkat atau tali yang disediakan dengan kedua
tangan dengan lengan lurus di depan dada, dalam jarak tertentu. Ukurlah jarak pegangan
kedua tangan tersebut tersebut terlebih dahulu, walaupun belum dicatat. Dengan pegangan
tersebut, subjek diminta mengangkat kedua lengannya ke atas belakang, dan dalam sikap
lengan tetap lurus, subjek harus berhasil menempatkan kedua lengannya di belakang badan
(inlocate). Kemudian kembali ke posisi semula (dislocate ke posisi netral lagi) dengan cara
yang sama dalam arah sebaliknya. Jarak di mana pesenam berhasil melakukan inlocate dan
dislocate dengan memegang tongkat tadi diukur dalam satuan centimeter dan menjadi skor
fleksibitas bahunya. Untuk pengukuran ini, pesenam diperbolehkan mencoba beberapa jarak
yang diperkirakan sesuai bagi dirinya, atau dilakukan secara berulang-ulang untuk
menentukan jarak yang tepat, hingga dirinya tidak mampu lagi melakukannya. Semakin kecil
jarak kedua pegangan tangan, semakin baik skornya.
11. Sprint 20 meter
Alat yang diperlukan:
Stopwatch
Ruang yang mencukupi untuk melakukan sprint sepanjang 20 meter (dengan perhitungan
terdapat jarak untuk deselerasi).
Tanda untuk menandai batas start dan finish.
Bendera untuk starter
Pelaksanaan:
Untuk melaksanakan tes ini sedikitnya diperlukan dua orang petugas, satu untuk menjadi
starter dan satu lagi untuk timer.
Subjek lari secepat-cepatnya dalam jarak 20 meter dengan start berdiri. Waktu tempuh diukur
dari ketika bendera starter mulai bergerak, sampai ketika togok subjek menyentuh bidang
tegak (maya) garis finish. Ukuran waktu dalam satuan detik.
12. Keseimbangan 1 (Jingjit dua kaki, pejamkan mata)
Alat yang diperlukan:
Stopwatch
Pelaksanaan:
Anak diminta berdiri dengan kedua kakinya dalam posisi tegak. Kemudian minta anak
memejamkan kedua matanya, dan pada saat bersamaan diminta menjingjitkan kakinya, dan
segera mengangkat kedua lengannya lurus ke atas. Ukurlah lamanya ia berhasil
mempertahankan posisinya dalam keadaan mata terpejam, dengan stopwatch.
Ketidakseimbangan yang besar atau berubahnya posisi jingjit secara nyata merupakan akhir
dari posisi yang diminta. Ukur dalam detik.
13. Keseimbangan 2 (Jingjit satu kaki, lengan terentang ke samping, pejamkan mata)
Ketentuannya sama dengan test nomor 12, kecuali kaki yang berjingjit hanya satu kaki, kaki
lainnya di angkat di saamping kaki yang lain, serta posisi lengan yang direntangkan ke
samping.
14. Koordinasi Umum (Ritmik)
Alat yang diperlukan:
Sebuah lingkaran berdiameter 1 meter yang sudah ditandai sudut-sudutnya, dengan
dibagi menjadi empat area, yaitu area 90 , area 180 , area 270 , dan area 360 .
Pelaksanaan:
Anak diminta berdiri di tengah lingkaran dalam posisi netral. Kemudian ia bersiap-siap
untuk melakukan lompatan berputar, dan segera melakukannya. Yang harus diperhatikan
oleh tester adalah, seberapa banyak putaran ia berhasil melakukannya sampai ia mendarat
kembali ke posisi berdiri. Tentukan apakah putaran yang dilakukan sebesar 90 , 180 , 270 ,
360 , atau lebih dari 360 . Tentukan secara pasti dilihat dari bagaimana posisi kaki anak
tersebut ketika mendarat.
15. Koordinasi
Alat yang diperlukan:
Tidak ada yang khusus, kecuali tugas gerak yang akan disertakan dalam lampiran ini.
Keterangan:
Untuk pengetesan kemampuan koordinasi, tim peneliti menggunakan tes koordinasi yang
digunakan secara resmi di Bulgaria (Hadjiev dan Andonov, 1991). Tes ini terdiri dari tugas
untuk mengikuti gerakan instruktur secara benar, setelah diberi kesempatan untuk melihat
gerakan tersebut terlebih dahulu sebanyak dua kali. Tesnya terdiri dari 4 gerakan, yang
masing-masing terdiri dari serangkaian gerak. Lakukan setiap rangkaian sebanyak 3 kali, dan
dihitung jumlah kesalahannya.
Adapun gerakannya adalah sbb:
top related