pengantar hukum indonesia - hukum pidana
Post on 18-Jan-2016
77 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
\
*Sampul bikin Sendiri, aku gak tau nama kampus dan jurusannya :D
*tanggal dan tempat dibagian kata pengantar dibikin sendiri.
1
Kata pengantar
Kami ucapkan rasa syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karna atas limpahan
rahmat-NYA kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah kami ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca. Dan kami sadari bahwa makalah ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
…………….. ,4 maret 2012
Penyusun
………………..
2
Daftar isi
Kata pengantar..........................................................................................................................
Daftar isi.....................................................................................................................................
Pendahuluan..............................................................................................................................
Ruang lingkup hukum pidana.................................................................................................
Pembahasan...............................................................................................................................
A. Berlakunya hukum pidana menurut waktu...........................................................................
B. Naskah rancangan kitab undang-undang pidana...................................................................
C. Berlakunya hukum pidana menurut tempat..........................................................................
D. Berlakunya hukum pidana menurut tempat berdasarkan naskah rancangan KUHP
baru.......................................................................................................................................
Sumber-sumber hukum pidana...............................................................................................
Penutup.......................................................................................................................................
E. Kesimpulan dan saran............................................................................................................
Daftar Pustaka.............................................................................................................................
3
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti
sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu
sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat
seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan
kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak
hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa
tindakan-tindakan pengamanan. Perlunya pemahaman terhadap pembelajaran hukum pidana itu
sendiri.
Makalah hukum pidana ini memberikan pemahaman bagi pembaca dan sebagai
pengetahuan awal tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Penerapan hukum pidana
atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan.
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat
kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu
dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti
penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu
berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat
dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan
atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum
pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
4
Ruang lingkup berlakunya hukum pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana
atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan
melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung
jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu :
Sikap tindak atau perikelakuan manusia;
Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat I KUHP) yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalalTi
perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”
Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran
Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
5
PEMBAHASAN
A. Berlakunya hukum pidana menurut waktu
Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu diatur dalam Pasal 1 KUHP,
yang berbunyi :
1. Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
2. jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka pada tersangka
dikenakan ketetuan yang menguntungkan baginya.
Pasal 1 ayat (1) KUHP
Menyimak Pasal 1 ayat (1) KUHP, didalamnya tercantum asas legalitas, yang dalam
bahasa latin disebut Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang artinya
tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya.
Rumusan dalam bahasa Latin tersbut tidak berasal dari Hukum Romawi. Hukum
Romawi tidak mengenal asas legalitas baik masa republik maupun sesudahnya. Rumusan itu
pertam kali diperkenalkan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch
des peinlichen Recht, pada tahun 1801 yang menyusun 3 buah rumusan dalam bahasa latin:
nulla poena sine lege
nulla poena sine crimine
nulla crimen sine poena legal
yang ketiga rumusan tersebut olehnya disimpulkan dalam suatu rumusan nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali, dan disingkat dengan nullum crimen sine lege. (A.
Zainal Farid Abidin, 1995 : 135) .
Asas legalitas, menurut Simons van Hamel, van Hatum, menjamin kepastian hukum
individu dari tindakan kesewenang-wenangan hakim, sedangkan Vos mengemu-kakan bahwa
asas legalitas ini bermanfaat karena di samping kekuatan pencegahan umum ancaman pidana,
juga menjamin kepastian hukum. Selanjutnya Pompe juga mempertahankan asas legalitas ini
namun ia menyetujui dapat digunakannya analogi terbatas pada peradilan pidana dengan
alasan bahwa asas itu sudah mempunyai arti, makna dan tujuan yang lain daripada zaman
liberal, yaitu asas itu merupakan magna charta untuk penduduk, malahan untuk penjahat.
6
Tetapi asas itu bukanlah asas yang mutlak, sebab dalam mendesak demi keadilan dan
kemanfaatan boleh disingkirkan. Keadilan dan kemanfaatan tidak boleh ditujukan kepada
sebagian besar rakyat, sebagai dikemukakan oleh penganut-penganut ulititarisme juga tidak
terhadap massa, yaitu suatu jumlah tertentu, yakni kaum proletar, seperti diperjuangkan oleh
kaum komunis tetapi untuk masyarakat seluruhnya. (A. Zainal Farid Abidin,1995:37).
B. Naskah rancangan kitab undang-undang hukum pidana
Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut waktu
berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 1
dan 2.
Naskah rancangan kitab undang-undang pidana dalam tulisan ini adalah naskah yang ada
pada Direktorat JenderalHukum dan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan
Perundang-undangan 1999 – 2000.
Pasal 1:
(1) Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan penafsiran undang-
undang secara analogi.
(3) Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau
hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Terhadap pembuat yang memenuhi ketentuan ayat (3) berlaku ketentuan pidana dalam
Pasal 93.
7
Penjelasan :
Pasal 1
Ayat (1) :
Pasal ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-
undang. Yang dimaksud dengan ”perbuatan” disini adalah baik perbuatan yang dilakukan
(aktif) maupun perbuatan yang tidak dilakukan (pasif). Dipergunakannya asas tersebut, oleh
karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan
perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana karus sudah ada sebelum
tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan tindak pidana tidak berlaku surut
demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili
seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana
Ayat (2) :
Larangan pengggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana,
tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog
satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3) :
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya
disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai
berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian
dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya
8
tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 2:
(5) Jika terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi,
maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.
(6) Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
perbuatan yang tert\jadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
(7) Jika setelah putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang
terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan
yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas
pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
Penjelasan:
Pasal 2
Ayat (1) :
Asas ketentuan pidana tidak berlaku surut (nonretro aktif) adalah mutlak. Namun apabila
terdapat perubahan peraturan perundang-undangan pidana setelah seseorang melakukan suatu
tindak pidana, maka digunakan keten-tuan yang lebih menguntungkan bagi terdakwa.
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan” adalah bahwa
narapidana yang bersangkutan dibebaskan dari menjalani pidana yang telah dijatuhkan
kepadanya. Dengan demikian, apabila narapidana sedang menjalani pidana, maka pelaksanaan
9
sisa pidana ditiadakan, dan apabila pidana belum dijalani, maka pelaksanaannya gugur.
Mengenai putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau
pejabat yang berwenang menetapkan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
Ketentuan mengenai pembebasan ter-sebut berlaku juga bagi tersangka atau terdakwa
yang berada dalam tahanan. Pembebasan tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Ayat (3) :
Mengingat putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, ma-ka instansi
atau pejabat yang berwenang menetapkan penyesuaian pidana adalah pejabat eksekutif.
Pemberian keringanan pidana tidak me-nimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti
kerugian.
C. BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
Ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat dalam KUHP
diatur pada Pasal 2 – 9 KUHP. Berdasarkan ketentuan tersebut ada 4 asas, yaitu asas
teritorial, asas personal (nasional aktif), asas per-lindungan (nasional pasif) dan asas
universal.
Asas Teritorial
Menurut asas teritorial atau teritorialiteits beginsel, atau disebut juga lands beginsel,
berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata didasarkan pada tempat dimana
suatu tindak pidana itu dilakukan, dan tempat tersebut haruslah berada pada wilayah negara
yang bersangkutan.
Negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di wilayahnya, ia (negara)
memiliki kedaulatan atas seluruh wilayahnya, sehingga setiap orang baik secara tetap
maupun untuk sementara berada di wilayah negara yang bersangkutan harus mentaati dan
menundukkan diri pada segalka perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.
10
Pasal 2 KUHP, berbunyi :
”Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang di
dalam wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana.”
Pengertian tiap orang dalam Pasal 2 KUHP di atas, yaitu siapa saja apakah ia warga
negara Indonesia atau warga negara asing dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama,
kedudukan atau pangkat. Namun demikian terhadap orang asing yang menurut Hukum
Internasional diberi hak eksteritorialited, tidak boleh diganggu gugat artinya terhadap mereka
KUHP tidak berlaku, dan mereka itu tunduk kepada undang-undang pidana negeri mereka.
Mereka itu antara lain:
Para kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan setuju pemerintah
Indaonesia.
Para korps diplomatik negara-negara asing, misalnya: Ambasador, Duta Istimewa.
Para Konsul, seperti Konsul Jendral, Konsul, Wakil Konsul dan Agen Konsul apabila
memang ada perjanjian antara pemarintah Indonesia dengan negara asing tersebut yang
saling mengakui ada-nya hak tidak boleh diganggu-gugat (imunniteit diplomatik) untuk
para konsul negara masing- masing.
Pasukan-pasukan negara asing dan para awak kapal perang asing yang ada di bawah
pimpinan langsung dari komandonya, yang datang di indonesia atau melintai wilayah
indonesia dengan setahu pemarintah Indonesia.
Para wakil dari Badan-Badan Internasional, seperti utusan PBB, Palang Merah
Internasional, dll.
Walaupun mereka yang tersebut di atas memiliki hak territorialiteit, bukan berarti
mereka seenaknya untuk bertindak sesuka hatinya (melanggar ketentuan undang-undang).
Memang mereka itu tidak dapat dituntut pidana di Indonesia, akan tetapi terhadap mereka
senantiasa dapat diajukan pengaduan kepada pemerintahnya, wakil diplomatik itu sendiri.
Pengaduan tersebut disertai tuntutan untuk memanggil kembali wakil diplomatik yang
11
bersang-kutan dan untuk menuntut pidana di negaranya sendiri. Artinya terhadap mereka
yang melanggar ketentuan undang-undang pidana Indonesia dapat dilakukan tindakan, hanya
saja harus melalui jalur dipomatik. dalam hubungan dengan asas teoterialitas, mengenai
wilayah Indonesia (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 162 – 163) dapat diketahui dari ketentuan:
“Pasal 2 UUDS 1950 yang pernah berlaku dahulu hanya menyabut, bahwa Republik
Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia. Menurut Supomo (UUDS RI 1957 : 22), bahwa
dalam penjelasan atas rencana UUDS ini disebut, bahwa yang dimaksud daerah Indonesia
itu, ialah daerah Hindia Belanda dulu. Konstituante RI merumuskannya dalam keputusan
No.47/K/1957: Wilayah negara indonesia sesuai yang dimaksud pada waktu proklamasi
kemerdekaan Inonesia tanggal17 Agustus 1945 meliputi seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda menurut keadaan pada saat pechnya perang pasifik tanggal 7 Desember 1941”.
Asas teritorialitas, diperluaskan Pasal 3 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang diluar Indonesia, melakukan
perbuatan pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”
Pengertian kendaraan air dan pesawat udara Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 95 dan 95a KUHP.
Pasal 95 KUHP:
“Yang dikatakan kapal negara Indonesia, yaitu kapal atau perahu yang menurut undang-
undang umum tentang pemberian surat laut dan pas kapal di negara Indonesia harus
mempunyai pas laut atau pas kapal atau surat ijin buat semantara waktu pengganti surat atau
pas kapal itu.
Pasal 95a KUHP :
(1) Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang
didaftarkan di Indonesia.
(2) Termasuk pula pesawat Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa
awak pesawat yang dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia pesawat.
12
Menurut Jonker (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 164) perluasan asas tersebut tidak boleh
diartikan melipti seluruh kapal laut atau perahu. Hanya kapal perang dan kapal dagang di laut
bebas merupakan teritoir Indonesia.
D. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Berdasarkan naskah Rancangan KUHP
Baru.
Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut tempat
berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 3
sampai Pasal 12. Naskah Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dalam tulisan ini
adalah naskah pada Direktorat Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999 – 2000.
Pasal 3
Ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini mengandung asas wilayah. Asas ini berarti bahwa berlakunya
keten-tuan pidana ditentukan oleh tempat suatu tindak pidana dilakukan. Yjadi yang
diutamakan dalam asas wilayah ini ialah wilayah tempat tindak pidana dilakukan, tanpa
melihat kepada kewarganegaraan pelaku tindak pidana itu. Jadi siapa saja yang mela-kukan
tindak pidana dalam wilayah Indonesia dapat diterapkan ketentuan Pidana Indonesia.
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana dalam kapal atau pesawat
udara Indonesia.
Penjelasan:Ketentuan dalam Pasal ini memperluas berlakunya asas wilayah dalam Pasal 3
dengan menganggap kapal atau pesawat udara Indonesia sebagai wilayah Indonesia.
13
Pesawat Indonesia yang dimaksudkan dalam ketentuan ini tidak hanya pesawat udara
yang didaftarkan di Indonesia, tetapi juga pesawat udara asing yang disewa oleh orang,
lembaga, atau pemerintah Indonesia untuk waktu lama tanpa awak pesawat (dryleased) dan
dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Apabila terjadi tindak pidana dalam pesawat tersebut, maka sebagian besar dari saksi
awak pesawat adalah warga negara Indonesia, oleh karena itu hal ini memudahkan
pelaksanaan peradilan bila terhadap tindak pidana tersebut dikenakan hukum pidana
Indonesia.
Yang dimaksud dengan”pesawat ruang angkasa” adalah laboratorium ruang angkasa dan
sejenisnya.
Pasal 5
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam:
a. Pasal 193 sampai dengan Pasal 203 dan Pasal 205 ayat (1) butir a, dan Pasal 220;
b. Pasal 224 sampai dengan Pasal 227, dan Pasal 228 sampai dengan Pasal 237;
c. Pasal 384, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 391, Pasal 392,Pasal 393, Pasal 395 butir b, dan
Pasal 398;
d. Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 376 sampai dengan Pasal 379, Pasal 490, Pasal
542, Pasal 561, Pasal 592, Pasal 594, Pasal 632, Pasal 634, Pasal 635, Pasal 636, Pasal
638, Pasal 644, Pasal 645, dan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Penjelasan :
Pasal ini mengandung asas nasional pasif (huruf a, b, c) dan asas universalitas (huruf d).
Asas nasional pasif atau perlindungan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum
negara. Pembuat tindak pidana yang dikenakan ketentua Pasal ini adalah setiap orang, baik
14
warga negara Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah
negara Republik Indonesia.
Penerapan asas nasional pasip dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia hanya
terbatas kepada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum
nasional yang sangat penting untuk dilindungi. Hal ini terlihat dalam penunjukan Pasal-Pasal
yang dilanggar yang terhadap pembuatnya dapat diterapkan hukum pidana Indonesia.
Alasan dipakainya asas nasional pasif karena pada umumnya tindak pidana yang
merugikan suatu negara, oleh negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) tidak
selalu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dilarang dan diancam pidana. Oleh
karena itu dapat terjadi seseorang yang mela-kukan suatu perbuatan yang sungguh-sungguh
melanggar kepentingan hukum nasional Indonesia akan terhindar dari penuntutan, apabila
perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia. Ber-dasarkan pertimbangan ini, maka
melindungi ke-pentingan nasional Indonesia dirumuskan Pasal 5 ini.
Asas universalitas adalah asas yang melindungi kepentingan hukum negara Indonesia
maupun kepentingan hukum negara lain. Pelanggaran atas kepentingan hukum universal
disebut tindak pidana internasional. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam Konvensi
internasional di mana sesuatu negara menjadi peserta.
Indonesia telah menjadi peserta dari beberapa kon-vensi internasional, antara lain:
konvensi inter-nasional tentang uang palsu, konvensi internasional tentang laut bebas yang
didalamnya diatur tindak pidana pembajakan laut, Konvensi internasional ten-tang kejahatan
Penerbangan dan Kejahatan Terha-dap sarana/prasarana penerbangan, dan konvensi
internasional tentang Lalu Lintas dan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Apabila
di kemu-dian hari Indonesia ikut serta dalam konvensi inter-nasional yang mengatur tentang
tindak pidana in-ternasional lainnya, maka penunjukan kepada Pasal-Pasal tindak pidana
internasional akan bertambah.
15
Pasal 6
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing berdasar suatu
perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.
Penjelasan :
Sesuai dengan perkembangan dunia modern, beberapa negara telah mengadakan
perjanjian yang memungkinkan warga negara yang ikut serta dalam perjanjian tersebut dapat
diadili oleh masing-masing negara anggota karena melakukan tindak pidana tertentu. Dengan
demikian, ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian
antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut
penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana
tertentu yang diperjanjikan.
Pasal 7
(1) ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi negara
Indonesia yang diluar wilayah Republik Indonesia melakukan :
a. Salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 193 sampai dengan Pasal 223, Pasal
224 sampai dengan Pasal 227, Pasal 251, Pasal 252; Pasal 369, Pasal 380, Pasal 381; dan
Pasal 497.
b. Suatu perbuatan yang menurut hukum pidana Indonesia, yang sekurang-kurangnya di-
ancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III dan dapat pula dipidana menurut hukum dari negara tempat pidana tersebut
dilakukan. (2) Penuntutan terhadap perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 butir b dapat
juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak
pidana tersebut dilakukan.
16
Penjelasan :
Ayat (1):
Ketentuan dalam pasal ini mengandung asas nasionalitas aktif. Berdasarkan asas ini
terhadap warganegara Indonesia diberlakukan hukum pidana Indonesia, walau-pun
melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian,
hukum pidana Indone-sia mengikuti warga negara Indonesia di manapun berada.
Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana (lokus delikti) berada di luar
wilayah Indonesia, maka tindak pidana yang dikuasai oleh asas nasional aktif bersifat umum,
dengan pengertian walaupun dinegara tempat tindak pidana dilakukan tidak diancam dengan
pidana, tetapi karena merugikan kepentingan nasional, maka pembuat dapat dipidana
berdasarkan ketentuan ini.
Ketentuan dalam ayat (1) huruf a ditentukan secara tegas jenis-jeis tindak pidana
yang dimaksudkan, mengingat tindak pidana tersebut tidak selalu diancam dengan pidana
oleh negara lain.
Di samping itu, asas nasionalaktif berlaku pula terhadap tindak pidana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut di
Indonesia merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak kategori III dan di negara tempat tindak pidana
dilakukan (lokus delikti) juga merupakan tindak pidana.
Asas yang dikandung dalam ayat (1) huruf b inidisebut asas tindak pidana rangkap
(double criminality).
Ayat (2) Cukup jelas
17
Pasal 8
Warga negara Indonesia yang di luar wilayah negara Republik Indonesia melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) butir b tidak dapat dijatuhi
pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut
dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
Penjelasan:
Ketentuan dalam pasal ini memuat pembatasan Pasal 7 ayat (1) huruf a, bahwa terhadap
pembuat yang kemudian diadili di Indonesia, tidak dapat dijatuhi pidana mati apabila
terhadap tindak pidana tersebut oleh negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti)
tidak diancam dengan pidana mati.
Pasal 9
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi pegawai
negari Republik Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakukan salah satu
tindak pidana jabatan yang tercantum dalam Bab XXIX Buku Kedua atau dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan:
Berdasarkan ketentuan Pasal ini berlakunya hukum pidana Indonesia juga diperluas
terhadap pegawai negeri Indonesia, termasuk staf lokal (local staff) warga negara asing pada
Kantor Perwakilan Republik Indonesia, yang melakukan tindak pidana jabatan.
Inti ketentuan dalam pasal ini sama dengan asas nasional pasif atau asas perlindungan
hukum, yaitu untuk melindungi kewibawaan pemerintah serta alat kelengkapannya supaya
tidak dilanggar, termasuk oleh orang asing yang telah diberi kepercayaan memegang jabatan
atau melakukan tugas pemerintahan.
Pasal 10
(1) Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
nakhoda, awak kapal, atau penumpang kapal Indonesia yang di luar wilayah Indonesia
18
melakukan salah satu tindak pidana pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Bab XXX
Buku Kedua.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun nakhoda, awak
kapal, atau penumpangkapal tersebut tidakberada di atas kapal Indonesia.
Penjelasan:
Perluasan berlakunya hukum pidana Indonesia diterapkan terhadap nakhoda, awak kapal
atau penumpang kapalIndonesia yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia,
baik ketika mereka berada di dalam maupun di luar kapal Indonesia melakukan tindak
pidana. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku
tanpa pembatasan asas kejahatan rangkap (double criminality).
Pasal 11
(1) Ketentuan pidanadalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten
pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang berada diluar
wilayah negara Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Bab XXXI Buku Kedua.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun kapten pilot,
awak pesawat udara, penumpang pesawat udara tersebut tidak berada dalam pesawat
udara Indonesia.
Penjelasan:
Sejalan dengan ketentuan Pasal 10, yang dapat dipidana menurut ketentuan Pasal ini
tidak hanya ketika pembuat berada di dalam pesawat udara Indonesia yang sedang
melakukan penerbangan di wilayah udara negara asing, tetapi juga ketika ia berada di luar
pesawat udara Indonesia yang sedang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Ketentuan ini juga merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku tanpa pembatasan
asas kejahatan rangkap (double criminality).
Pasal 12
19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 penerapannya dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan
menurut hukum internasional.
Penjelasan:
Dalam masyarakat suatu negara terdapat hukum yang mengatur tingkah laku para
anggota masyarakat dalam rangka menegakkan ketentraman dan ketertiban dalam negara
itu.Halyang sama berlaku pula dalam masyarakat dunia (internasional). Negara Indonesia
merupakan anggota masyarakat Internasional, oleh karena itu sudah selayaknya hukum
Indonesia juga ikut serta menegakkan hukum internasional. Ini berarti bahwa ketentuan
hukum nasional Indonesia yang bertentangan dengan hukum internasional yang diakui oleh
Indonesia, maka hukum nasional Indonesia tidak diberlakukan. Dengan ikut sertanya
Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional, maka berarti berlakuknya ketentuan
pidana Indonesia sebagaimana disebt dalam ketentuan pasal ini dibatasi oleh hukum
internasional.
20
Sumber-sumber Hukum Pidana
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan
dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana antara lain :
1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat
setelah kemerdekaan antara lain :
1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana imigrasi
2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-
Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
21
PENUTUP
A. Kesimpulan dan saran
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,
yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat
kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut
waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti
penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara
itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini
dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas
perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas
berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang
dibuat setelah kemerdekaan. Dalam makalah ini telah kita lihat pembahasannya dan bisa
dipahami ruang lingkup hukum pidana tersebut.
22
Daftar Pustaka
Muchsin, H. Prof.DR.A.H., 2005.Ikhtisar Ilmu Hukum.Jakarta: Badan Penerbit IBLAM
Moeljatno, Prof, S.H.,2002. Asas Asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta
Tutik, Titik Triwulan, S.H, M.H.,2006. Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Prestasi pustaka
Wikipedia. 17 Desember 2013. Hukum Pidana, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana, (diakses 02 Januari 2014)
23
top related