pengaruh konsentrasi giberelin dan lama ...repository.utu.ac.id/525/1/bab i_v.pdfpengaruh...
Post on 05-Aug-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
PENGARUH KONSENTRASI GIBERELIN DAN LAMA
PERENDAMAN TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR
BENIH JAGUNG (Zea mays L.)KADALUARSA
SKRIPSI
OLEH
ABDUL MUKTI
08C10407077
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH, ACEH BARAT
2013
-
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman jagung (Zea mays L.) berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia
dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika, abad ke-16
orang Portugal memperluas ke Asia termasuk Indonesia. Tanaman jagung banyak
sekali gunanya, sebab hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk
berbagai macam keperluan. Di Indonesia jagung merupakan makanan pokok
komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Banyak daerah di
Indonesia yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan. Jagung sangat memadai
dipakai sebagai bahan pangan pengganti beras atau dapat juga dicampur dengan
beras (Barnito, 2009).
Sejak dihasilkannya beberapa jagung, baik jagung ber sari bebas ataupun
hibrida yang berdaya hasil tinggi, produktivitas jagung secara nasional juga
meningkat dari 1,46 ton ha-1 tahun 1980, 2.13 ton ha-1 pada tahun 1990 dan
menjadi 2.67 ton ha-1 pada tahun 1999, pada tahun 2006, produktivitas nasional
telah mencapai 3,47 ton ha-1, bahkan pada tahun 2009 telah mencapai 45,49 ton
ha-1 (Anonymous, 2009).
Tanaman jagung diperbanyak dengan cara generatif. Pengembangan dan
peningkatan produksi tanaman jagung menuntut tersedianya benih yang cukup
dan bermutu tinggi yang berasal dari hasil penanganan yang tepat dan efektif.
Penggunaan benih jagung bermutu merupakan kunci utama untuk memperoleh
tanaman yang seragam dengan produksi yang optimal. Benih merupakan salah
satu faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan usahatani. Menurut
-
2
Rukmana (2007), relatif lambannya peningkatan areal pertanaman jagung di
Indonesia, antara lain juga disebabkan oleh sistem pembenihannya berjalan
lambat dibandingkan sistem pembenihan pada komoditas padi.
Kadaluarsa adalah mengacu pada waktu atau masa, di mana masa batas
penanaman dan periode simpan untuk benih telah berakhir, adapun pihak
produsen benih tidak bertanggungjawab atas mutu terhadap produksi dan hasil.
Perlakuan tertentu sebelum tanam melalui invigorasi (peningkatan vigor benih)
dapat mengurangi kemunduran benih. Pada umumnya semakin lama benih
disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Mundurnya viabilitas benih
merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif akibat perubahan yang
diberikan kepada benih (Sadjad, 1994).
Dalam konteks agronomi, benih dituntut untuk bermutu tinggi sebab benih
harus menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimum dengan sarana
teknologi yang maju. Sering petani mengalami kerugian yang tidak sedikit baik
biaya maupun waktunya akibat penggunaan benih yang jelek mutunya. Walaupun
pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan
cara bercocok tanam, tetapi tidak boleh diabaikan pentingnya pemilihan kualitas
benih yang akan dipergunakan. Menurut Khan et al. (1992) menyatakan bahwa
dasar pemikiran dari perlakuan sebelum masa tanam adalah untuk mobilitas dan
memperbesar sumber daya yang dimilikinya dengan perlakuan tertentu sebagai
perbaikan secara maksimal bagi pertanaman dan hasilnya.
Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
benih dalam penyimpanan dan perkecambahan. Pada awal fase perkecambahan di
mana biji membutuhkan air untuk berkecambah. Setelah biji menyerap air maka
-
3
kulit biji akan melunak dan terjadinya hidrasi protoplasma, kemudian enzim-
enzim mulai aktif, terutama enzim berfungsi mengubah lemak menjadi energi,
melalui proses respirasi. Invigorasi benih yaitu dengan cara merendam benih
sehingga karakter fisiologi dan biokimiawi yang tedapat di dalam benih dapat
dimafaatkan secara optimal (Khan et al., 1992). Pada benih umumnya aktivitas
enzim dipacu oleh hormon, salah satu homon yang secara alami terdapat di dalam
embrio benih adalah giberelin.
Giberelin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman yang
mempunyai peranan dalam mempercepat perkecambahan benih. Giberelin sebagai
senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan suatu benih
karena ia bersifat mengontrol perkecambahan tersebut, terutama pada jagung dan
serealia lainnya. Kalau giberelin tidak ada atau kurang aktif maka α-amilase tidak
akan terbentuk yang dapat menyebabkan terhalangnya proses perombakan pati,
sehingga dapat mengakibatkan tidak (terhalang) terjadinya perkecambahan.
Keadaan seperti ini adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya gejala
dormansi pada beberapa jenis benih, oleh karena β-amilase sendiri tidak cukup
untuk melaksanakan pencernaan dan mendorong perkecambahan benih (Kamil,
1979).
Banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa pemberian GA3 eksogen
dapat meningkatkan daya berkecambah benih, di antaranya Begum et al. (1988)
mengemukakan bahwa perendaman biji dalam GA3 (50-200 ppm) tidak
meningkatkan perkecambahan akan tetapi meningkatkan vigoritas tanaman
pepaya. Pemberian GA3 200 ppm meningkatkan perkecambahan benih timun
(Singh dan Singh, 1973). Dan lebih lanjut Singh dan Afria (1990) mendapatkan
-
4
bahwa 200 mg l-1 GA3 dan perendaman selama setengah hari dapat meningkatkan
pertumbuhan benih kapas.
Dari permasalahan yang telah diuraikan maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi giberelin dan lama perendaman yang
tepat agar diperoleh viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa yang optimal.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi giberelin
dan lama peredaman terhadap viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa, serta
nyata tidaknya interaksi kedua faktor tersebut.
1.3 Hipotesis
1. Konsentrasi giberelin berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih jagung
kadaluarsa.
2. Lama perendaman berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih jagung
kadaluarsa.
3. Terdapat interaksi antara konsentrasi giberelin dan lama perendaman terhadap
viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa.
-
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman Jagung
2.1.1 Sistematika
Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim (annual). Menurut
Rukmana (2007) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman
jagung diklasifikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Monocotyledone
Ordo : Graminae
Familia : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.
2.1.2 Morfologi
1. Akar
Akar tanaman jagung adalah akar serabut yang berfungsi sebagai alat
untuk mengisap air serta garam-garam yang terdapat dalam tanah. Pada tanaman
jagung terdapat akar udara yang berfungsi sebagai akar pendukung untuk
memperkokoh batang terhadap kerebahan (Barnito, 2009).
2. Batang
Batang jagung berbentuk bulat silindris tidak berlubang dan beruas-ruas.
Tinggi batang bervariasi tergantung jenis atau varietas yang ditanam serta
kesuburan tanah. Tinggi tanaman jagung berkisar antara 1 sampai 3 meter dari
atas permukaan tanah (Barmin, 2005).
-
6
3. Daun
Struktur daun tanaman jagung terdiri atas tangkai daun, lidah daun dan
telinga daun. Tangkai daun merupakan pelepah yang berfungsi untuk
membungkus batang tanaman jagung. Lidah daun terletak pada pangkal batang
dan telinga daun berbentuk seperti pita yang tipis yang memanjang (Barmin,
2005).
4. Bunga
Tanaman jagung berumah satu (monoecus), yaitu bunga jantan terbentuk
pada ujung batang dan bunga betina terletak di bagian tengah batang pada salah
satu ketiak daun. Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan matang
lebih dahulu 1-2 hari dari pada bunga betina. Letak bunga jantan dan bunga betina
terpisah, sehingga penyerbukan tanaman jagung bersifat menyerbuk silang
(Rukmana, 2007).
Pada waktu keluar rambut, tepung sari mulai berjatuhan dalam
pemanjangan ruas, tangkai tongkol tumbuh sempurna, sedangkan tongkol dan
rambut tumbuh cepat dan memanjang serta sel telur membesar dan siap untuk di
buahi. Setelah persarian terjadi dalam waktu 12 sampai dengan 28 jam serbuk sari
tumbuh mencapai sel telur dalam bakal biji (Barnito, 2009).
5. Tongkol
Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas.
Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada
bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang
terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10-16 baris biji yang
jumlahnya selalu genap (Rukmana , 2007).
6. Biji
Biji jagung disebut kariopsis, dinding ovari atau pericarp menyatu dengan
kulit biji atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian
-
7 utama, yaitu (a) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah
embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air; (b) endosperm, sebagai
cadangan makanan, mencapai 75% dari bobot biji yang mengandung 90% pati
dan 10% protein, mineral, minyak, dan lainnya; dan (c) embrio (lembaga), sebagai
miniatur tanaman yang terdiri atas plumula, akar radikal, scutelum, dan koleoptil
(Rukmana, 2007).
2.2 Faktor Perkecambahan Benih
Menurut Kamil (1979) secara umum ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi perkecambahan suatu benih, yaitu faktor lingkungan dan genetik.
Berikut ini akan diberikan penjelasan singkat dari faktor-faktor tersebut.
1. Faktor Lingkungan
a. Air
Ketersediaan air untuk proses perkecambahan bisa dalam bentuk cair atau
uap yang di sekitar benih. Semakin banyak ketersediaan air, makin cepat proses
imbibisi. Biasanya sampai jaringan mengandung air 40-60 % benih dapat
berkecambah dan meningkat pada kecambah yg sedang tumbuh 70 – 90 %.
b. Suhu
Semakin meningkat suhu (sampai batas tertentu) maka kecepatan
penyerapan air semakin tinggi. Setiap kenaikan suhu 10oC, maka penyerapan air
meningkat 2 kali dari kecepatan semula.
a. Oksigen
Perkecambahan biji adalah suatu proses yang berkaitan dengan sel hidup
yang membutuhkan energi. Energi yang dibutuhkan oleh suatu proses di dalam sel
hidup biasanya diperoleh dari proses oksidasi, baik adanya molekul O2 atau tidak.
-
8
Umumnya biji akan berkecambah dalam udara yang mengandung 20 % O2 dan
0,03 % CO2.
b. Cahaya
Peranan cahaya sebagai faktor pengontrol perkecambahan biji. Benih yang
dikecambahkan pada keadaan yang kurang cahaya atau pun gelap dapat
menghasilkan kecambah yang mengalami etiolasi. Pengaruh cahaya hanya terjadi
pada benih yang lembab. Pada benih dengan kadar air rendah, pengaruh cahaya
relatif tidak ada terhadap perkecambahan. Hal ini disebabkan karena fitokrom,
yaitu pigmen penyerap cahaya, tidak aktif pada benih berkadar air rendah.
2. Faktor Genetik
a. Tingkat Kemasakan
Benih yang di panen sebelum kemasakan fisiologisnya tercapai tidak
mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang
demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih
belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio
belum sempurna.
b. Ukuran
Di dalam penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan
mineral. Di mana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi
embrio pada saat perkecambahan.
c. Dormansi
Benih dikatakan dormansi apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi
tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum
dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi pada
-
9
benih dapat berlangsung beberapa hari, semusim sampai beberapa tahun,
tergantung pada setiap jenis tanaman dan tipe dormansi.
2.3 Giberelin
Gibberellin acid atau asam giberelat adalah suatu senyawa organik yang
sangat penting dalam proses perkecambahan suatu benih karena ia bersifat
mengontrol perkecambahan tersebut, terutama pada jagung dan serealia lainnya.
Kalau giberelin tidak ada atau kurang aktif maka α-amilase tidak akan terbentuk
yang dapat menyebabkan terhalangnya proses perombakan pati, sehingga dapat
mengakibatkan tidak (terhalang) terjadinya perkecambahan. Kucera et al. (2005)
melaporkan bahwa ada dua fungsi giberelin selama perkecambahan
benih, pertama giberelin diperlukan untuk meningkatkan potensi tumbuh dari
embrio dan sebagai promotor perkecambahan, dan kedua diperlukan untuk
mengatasi hambatan mekanik oleh lapisan penutup benih karena terdapatnya
jaringan di sekeliling radikula.
Giberelin juga terlibat dalam pengaktifan sintesa protease dan enzim-
enzim hidrolitik. Senyawa-senyawa gula dan asam-asam amino, zat- zat dapat
larut yang dihasilkan oleh aktivitas amilase dan protease, ditranspor ke embrio
dan disini zat-zat ini mendukung perkembangan embrio dan munculnya kecambah
(Heddy, 1989). Dalam benih hormon tumbuh ini dihasilkan oleh embrio kemudian
ditranslokasikan ke lapisan aleuron sehingga menghasilkan enzim α-amilase.
Proses selanjutnya yaitu enzim tersebut masuk ke dalam endosperm, maka
terjadilah perubahan-perubahan yaitu berubahnya pati menjadi gula dan
menghasilkan energi yang berguna untuk aktivitas sel dan pertumbuhan (Abidin,
1984).
-
10
Kegiatan enzim-enzim di dalam biji distimulir oleh adanya asam giberelin
yaitu suatu hormon tumbuh yang dihasilkan oleh embrio setelah menyerap air.
Proses pertumbuhan dan perkembangan embrio semula terjadi pada ujung-ujung
tumbuh dari akar. Kemudian diikuti oleh ujung-ujung tumbuh tunas. Proses
pembagian dan membesarnya sel-sel ini tergantung dari terbentuknya energi dan
molekul-molekul komponen tumbuh yang berasal dari jaringan persediaan
makanan. Di mana molekul-molekul protein dan lemak penting untuk
pembentukan protoplasma, sedang molekul-molekul kompleks polisakarida dan
asam poliuronat untuk pembentukan dinding sel (Soetopo, 2004).
Tingginya tingkat giberelin yang ada dalam biji, biasanya meningkat
selama proses penuaan, oleh karena itu biji yang kering mengandung level yang
sangat rendah. Giberelin berasal dari embrio yang merangsang produksi daripada
α-amilase pada aleuron (Soetopo, 2004).
Hasil penelitian pada tanaman cabai menunjukkan bahwa perlakuan
invigorasi pada tingkat vigor benih yang berbeda mampu meningkatkan indeks
vigor, daya berkecambah dan kecepatan perkecambahan. Invigorasi benih dengan
menggunakan larutan 100 μM GA3 dan matriconditioning dengan serbuk gergaji
dan 100 μM GA3 dapat meningkatkan vigor benih padi sawah yang diuji pada
kondisi cekaman oksigen (Nonogaki, 2010). Menurut Afzal et al. (2000) dalam
Soetopo (2004) menunjukkan bahwa, hormon GA3 dapat menstimulasi
pertumbuhan plumula gandum dengan baik dengan lama perendaman 6 jam. Jamil
dan Rha (2007) dalam Suetopo (2004) melaporkan bahwa, perlakuan GA3 150-
200 mg l air-1 dapat meningkatkan perkecambahan pada benih bit gula, di bawah
cekaman salinitas. Perlakuan priming meningkatkan jumlah penyerapan air dalam
benih sehingga meningkatkan jumlah kecambah normal.
-
11
2.4 Peranan Air Bagi Benih
Pada semua benih tanaman, air berperan untuk memulai proses
perkecambahan. Air diperlukan untuk rehidrasi benih dalam tahap penting pada
permulaan proses perkecambahan (Bewley dan Black, 1978).
Air masuk ke dalam benih melalui proses imbibisi. Proses imbibisi ini
dipengaruhi oleh komposisi kimiawi benih, permebilitas kulit benih dan jumlah
air yang tersedia baik dalam bentuk cair maupun uap di sekitar benih. Proses
masuknya air ke dalam benih melalui kulit, berhubungan dengan sifat-sifat kimia
dari kulit benih. Sifat kimia tersebut berupa terjadinya proses hidrasi dari kolonid
koloid hidrofik yang mengakibatkan bertambah besarnya volume benih dan
timbulnya tekanan imbibisi. Tekanan imbibisi menyebabkan keretakan pada
bagian kulit benih dan selanjutnya mengatur maksudnya air ke dalam benih
selama proses perkecambahan (Sadjad, 1980).
Air memegang peranan yang terpenting dalam proses perkecambahan biji.
Tanpa adanya air, tumbuhan tidak akan bisa melakukan berbagai macam proses
kehidupan apapun. Menurut Kamil (1982), peranan air dalam perkecambahan
benih adalah : (a) melunakkan kulit benih dan menyebabkan perkembangan
embrio dan endosperm, (b) memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke
dalam benih, (c) mengencerkan protoplasma sehingga dapat mengaktifkan
fungsinya, dan (d) sebagai alat transpor larutan makanan dari endosperm kepada
titik tumbuh pada proses perkembangan embrio.
Imbibisi pada benih yang dilakukan secara tiba-tiba apalagi terhadap benih
dengan kadar air sangat rendah dan benih yang mengalami penyimpanan yang
lama dapat menyebabkan kerusakan pada struktur membran sehingga perlu suatu
kondisi di mana imbibisi dilaksanakan secara terkontrol. Salah satu upaya yang
-
12 dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan invigorasi benih
yaitu dengan cara mengkondisikan benih sedemikian rupa sehingga karakter
fisiologi dan biokimiawi yang terdapat di dalam benih dapat dimanfaatkan secara
optimal (Khan et al., 1992).
Hasil penelitian Afzal et al. (2005) terhadap benih gandum secara hidro-
priming selama 6 jam dapat menstimulasi pemunculan plumula dibandingkan
dengan lama perendaman 12 jam. Menurut Prawiranata et al. (1981) pada benih
air melebihi kapasitas kebutuhannya maka akan terjadi penurunan viabilitasnya
bahkan terjadi kematian pada benih itu sendiri. Sebelumnya Kamil (1979)
menyatakan kadar air yang tinggi pada benih memungkinkan cendawan dan
bakteri berkembang dengan cepat sehingga menyebabkan benih itu mati.
2.5 Periode Simpan Benih
Umur simpan benih sangat dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi
lingkungan dan perlakuan manusia. Berapa lama benih dapat disimpan sangat
bergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Benih jagung
merupakan tipe benih mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu
yang lama dengan perlakuan yang tepat. Menurut Schmidt (2000) benih ortodoks
mempunyai daya simpan yang lama dan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai
dapat membentuk cadangan makan benih yang besar.
Sifat kemunduran ini tidak dapat dicegah dan tidak dapat balik atau
diperbaiki secara sempurna. Laju kemunduran mutu benih dapat diperkecil
dengan melakukan penanganan dan pengolahan, penyimpanan, serta
pendistribusian benih secara baik. Pertumbuhan kecambah yang abnormal di
pertanaman biasanya terjadi akibat benih yang ditanam sudah mengalami
penurunan mutu. Penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman jagung
-
13
yang lambat dan hasil yang rendah disebabkan oleh penggunaan benih yang sudah
mengalami penurunan mutu, meskipun daya berkecambahnya relatif tinggi.
Menurut Funk et al. (1962) dalam Sadjad (1994), penanaman benih jagung yang
sudah disimpan lama menyebabkan pertumbuhan kecambah di pertanaman
menjadi lebih lambat, letak tongkol lebih rendah, dan tanaman secara individu
kurang produktif.
2.6 Viabilitas dan Vigor Benih
Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan bobot (massa), volume,
jumlah sel, jumlah protoplasma dan tingkat kerumitan. Biasanya, fase awal
perkembangan awal kecambah meliputi produksi sejumlah sel baru melalui
mitosis (pembelahan inti), dilanjutkan dengan sitokinesis (pembelahan sel).
Pertumbuhan pada tumbuhan berlangsung terbatas pada beberapa bagian tertentu,
yang terdiri dari sejumlah sel yang baru saja dihasilkan melalui proses
pembelahan sel di meristem (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Nonogaki et al.
(2010) perkecambahan adalah proses yang kompleks di mana benih harus segera
pulih secara fisik dari akibat proses pengeringan.
Vigor dan viabilitas benih adalah dua karakter yang saling berhubungan
dan umumnya penurunan vigor mendahului penurunan viabilitas (Basu, 1994).
Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam
fenomena pertumbuhan, gejala metabolisme, kinerja hormon atau garis viabilitas.
Vigor adalah kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal pada kondisi
suboptimum di lapang produksi, atau sesudah disimpan dalam kondisi simpan
yang suboptimum dan ditanam dalam kondisi lapang yang optimum (Sadjad,
1994).
-
14
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih menurut Copeland
(1976) adalah faktor genetik, lingkungan dan nutrisi tanaman induk selama
perkembangan benih, stadia kemasakan waktu panen, ukuran dan bobot benih,
kerusakan mekanik, dan patogen. Menurut Sadjad (1972) kemunduran benih
adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang akan menyebabkan perubahan
menyeluruh dalam benih baik fisik, fisiologi, maupun kimia, sehingga akan
menyebabkan menurunnya viabilitas benih. Saenong (1982) menguraikan bahwa
faktor- faktor penyebab kemunduran benih adalah terjadinya penggumpalan
protoplasma, kelaparan setempat, degenerasi mitokondria, kehabisan substrat atau
berkurangnya bahan baku untuk respirasi, degenerasi nukleus, degenerasi enzim,
penggumpalan protein dan embrio secara perlahan- lahan, dan penimbunan
metabolisme beracun.
Batas istilah perkecambahan dalam pengujian benih menurut Sadjad et al.
(1974) adalah kemampuan muncul dan berkembangnya struktur terpenting dari
embrio benih serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi
tanaman yang normal pada kondisi alam yang menguntungkan. Daya
berkecambah benih ditujukan untuk menduga kemampuan tumbuh benih dengan
kemampuan tumbuh benih dalam lingkungan dengan kondisi yang baik,
sedangkan kecepatan tumbuh ditujukan untuk menduga kemampuan benih
tumbuh normal dalam kondisi lingkungan yang kurang baik (Sadjad, 1972).
Karakter yang sangat penting dari benih vigor adalah yang
dimanifestasikan oleh kecepatan laju perkecambahan, keseragaman dari
pertumbuhan dan daya tumbuh dan kemampuan untuk tumbuh normal pada
rentang kondisi lingkungan yang luas (Basu, 1994). Sadjad (1972) menyatakan
-
15
benih vigor apabila memiliki indikasi: (1) tahan simpan, (2) berkecambah cepat
dan merata, (3) bebas dari penyakit, (4) tahan terhadap gangguan berbagai
mikroorganisme, (5) tumbuh kuat dalam keadaan lahan basah/kering, (6) bibit
efisien dalam memanfaatkan cadangan makanan, (7) laju tumbuh atau
pertambahan berat kering bibit yang berfotosintesis tinggi, (8) menghasilkan
tanaman berproduksi tinggi, (9) tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan di
lapang dan di laboratorium, (10) tahan terhadap saingan.
2.7 Metabolisme Perkecambahan Benih
Setelah benih berimbibisi terjadi reaktivasi enzim, proses metabolisme
(respirasi), sintesis RNA dan protein yang berpengaruh pada peningkatan
integritas struktur sel. Secara fisiologis, terjadi beberapa proses berurutan selama
perkecambahan benih yaitu penyerapan air, pencernaan, pengangkutan zat
makanan, asimilasi, pernafasan, dan pertumbuhan (Kamil, 1979).
Penyerapan air merupakan proses yang pertama kali terjadi pada
perkecambahan benih, diikuti dengan pelunakan kulit benih, dan pengembangan
benih. Penyerapan air ini dilakukan oleh kulit benih melalui peristiwa imbibisi
dan osmosis dan prosesnya tidak memerlukan energi. Penyerapan air oleh embrio
dan endosperma menyebabkan pembengkakan (penggembungan) dari kedua
struktur ini, mendesak kulit benih yang sudah lunak sampai pecah dan
memberikan ruang untuk keluarnya akar (Kamil, 1979).
Penurunan kadar air (saat benih dikeringkan) dan rehidrasi benih cukup
memberikan tekanan pada komponen sel-sel. Pada benih yang viabilitasnya
rendah, ketika benih berimbibisi ada kebocoran zat terlarut yang menunjukkan
kerusakan membran sel. Organ seperti mitokondria rusak dan berkurang
-
16
jumlahnya bahkan DNA juga tidak luput dari kerusakan, sehingga diperlukan
pemberian enzim dan senyawa tertentu untuk mengantisipasi, membatasi dan
memperbaiki kerusakan sel (Nonogaki et al., 2010).
Umumnya cadangan makanan disimpan di dalam benih dalam bentuk pati,
hemiselulosa, lemak dan protein yang tidak larut di dalam air (water insoluble)
atau berupa senyawa koloid. Cadangan makanan ini umumnya (tersebar) terdapat
di dalam endosperma (pada monokotil), merupakan senyawa yang kompleks
bermolekul besar dan tidak bisa diangkut (immobile) ke daerah yang memerlukan
yaitu poros embrio (embryonic axis). Sebagian kecil cadangan makanan ini juga
terdapat di poros embrio, tetapi segera habis pada awal perkecambahan benih.
Lebih tegas lagi, cadangan makanan dalam jaringan penyimpanan (storage tissue)
tidak bisa diangkut dari sel ke sel yang lain dan dipakai untuk pembentukan
protoplasma dan dinding sel sebelum zat-zat tersebut dirubah menjadi zat atau
senyawa yang lebih sederhana, bermolekul lebih kecil, larut dalam air dan dapat
melakukan difusi (Kamil, 1979).
Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa, setelah benih
berkecambah, sistem akar dan tajuk muda mulai menggunakan hara mineral,
lemak, pati dan protein yang terdapat di sel penyimpanan pada benih. Kecambah
muda bergantung pada cadangan makanan ini sebelum mampu menyerap garam
mineral dari tanah dan sebelum dapat memanjangkan sistem tajuknya menuju
cahaya. Kecambah menghadapi kesulitan dengan lemak, polisakarida, dan protein,
sebab molekul tersebut tidak dapat dipindahkan. Proses terjadinya pemecahan
(breaking down) zat atau senyawa bermolekul besar, kompleks, menjadi senyawa
bermolekul lebih kecil, kurang kompleks, larut dalam air dan dapat diangkut
-
17
melalui membran dan dinding sel, dibutuhkan agen pencerna (digestive agents)
yaitu enzim. Setelah penyerapan air, terjadi aktivasi termasuk aktivasi enzim,
kemudian masuk ke dalam endosperma dan mencerna makanan cadangan (Kamil,
1979). Salah satu enzim yang diperlukan dalam proses pencernaan ini adalah α-
amilase yang menghidrolisis pati (Salisbury dan Ross, 1995).
Pada serealia, cadangan makanan umumnya berbentuk pati, terdapat pada
endosperma, terdiri atas dua bentuk yaitu amilosa dan amilopektin. Pencernaan
pati (amilosa dan amilopektin) dilakukan oleh dua macam enzim amilase yaitu β-
amilase dan α-amilase. Enzim β-amilase sudah ada dari semula (pre-exist) di
dalam skutelum dan selaput aleuron pada biji kering angin, sedangkan enzim α-
amilase terbentuk pada waktu mulai perkecambahan dan masuk ke dalam
endosperma untuk mencerna amilosa menjadi glukosa yang larut dalam air dan
bisa diangkut (Kamil, 1979). Embrio (nutfah) benih serealia dan rumputan lainnya
dikelilingi cadangan makanan yang terdapat di sel-sel (jaringan) yang secara
metabolik tidak aktif, yakni endosperma ; endosperma sendiri diselimuti selaput
tipis yang hidup, yang biasanya mempunyai ketebalan dua hingga empat sel, dan
disebut aleuron.
Setelah perkecambahan terjadi, terutama akibat peningkatan kelembaban,
sel aleuron mengeluarkan sejumlah enzim hidrolisis yang mencerna pati, protein,
fitin, RNA, dan bahan di dinding sel tertentu yang terdapat dalam sel-sel
endosperma. Enzim yang dikeluarkan selaput aleuron adalah α-amilase, setelah
selaput aleuron memperoleh hormon giberelin yang disediakan oleh embrio.
Hormon giberelin mendorong sekresi enzim hidrolitik ke endosperma, tempat
-
18
enzim tersebut mencerna cadangan makanan dan dinding sel, unsur mineral dan
cadangan makanan menjadi lebih mudah tersedia (Salisbury dan Ross, 1995).
-
19
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas
Pertanian Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat yang dimulai pada
tanggal 07 Juni sampai dengan14 Juni 2013.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Benih Jagung
Benih jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung
yang sudah kadaluarsa pada tanggal 02 Mei 2012 dengan tingkat daya tumbuh 95
%. Varietas Hibrida N-35 Cap Dua Kuda yang diproduksi oleh PT. Pertani
(Persero).
2. Kertas Buram dan Plastik
Subtrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas buram,
sedangkan plastik yang digunakan adalah plastik minyak yang berfungsi untuk
melapisi kertas buram supaya tetap terjaga kelembabannya.
3. Giberelin
Giberelin digunakan dalam penelitian ini dengan nama produk Pro gibb
20® SL yang berbentuk cair.
4. Air
Air digunakan untuk melarutkan giberelin dan membasahi subtrat dan
diletakkan di dalam geminator supaya terjadi kelembaban.
-
20
5. Alkohol
Alkohol (70 %) digunakan untuk mensterilkan geminator agar tidak
terkontaminasi dengan fungi.
3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah geminator, gelas
ukur, pipet ukur, alat tulis, jam, kertas label dan kamera.
3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial dengan 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor yang diteliti meliputi konsentrasi
giberelin dan lama perendaman.
Faktor konsentrasi giberelin (K) terdiri dari 3 taraf :
K1 = 100 ppm
K2 = 200 ppm
K3 = 300 ppm
Faktor lama perendaman (P) terdiri dari 3 taraf :
P1 = 3 jam
P2 = 6 jam
P3 = 9 jam
Dengan demikian terdapat 3 x 3 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan
terdapat 27 satuan percobaan. Susunan kombinasi perlakuan antara konsentrasi
giberelin dan lama perendaman dapat dilihat pada Tabel 1.
-
21
Tabel 1. Susunan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Giberelin dan Lama
Perendaman.
Model matematis dari rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Yij= μ + K i+ Pj+ (KP)ij+ ɛij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan untuk faktor konsentrasi giberelin level ke- i dan
faktor lama perendaman level ke-j µ = Nilai tengah umum Ki = Pengaruh konsentrasi giberelin ke- i (i=1,2 dan 3)
Pj = Pengaruh lama perendaman ke-j (j=1,2 dan 3) (KP)ij = Interaksi antara konsentrasi giberelin level ke- i, level lama
perendaman ke-j ɛij = Galat percobaan untuk faktor konsentrasi giberelin level ke- i, faktor
lama perendaman ke-j
Apabila hasil uji F menunjukkan pengaruh yang nyata atau sangat nyata
maka dilanjutkan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 % dengan
persamaan sebagai berikut :
BNT 0,05 = t : dbg 0,05 × 2 KTg
r
Keterangan :
BNT0,05 = Beda nyata terkecil Pada Taraf 5 %
t : dbg 0,05 = Nilai baku t pada taraf 5 %
KTg = Kuadrat tengah galat
r = Jumlah ulangan
No Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Giberelin
(ppm) Lama Perendaman (jam)
1 K1 P1 100 3
2 K1 P2 100 6
3 K1 P3 100 9
4 K2 P1 200 3
5 K2 P2 200 6
6 K2 P3 200 9
7 K3 P1 300 3
8 K3 P2 300 6
9 K3 P3 300 9
-
22
3.4 Pelaksanaan Penelitian
1. Pelarutan dan Perendaman
Untuk mengamplikasi konsentrasi giberelin pada benih terlebih dahulu
dilakukan pelarutan. Pelarutan diawali dengan mengukur jumlah konsentrasi yang
digunakan dengan pet ukur. Selanjutnya konsentrasi giberelin yang telah diukur
dilarutkan dengan air yaitu 100 ppm (0,1 cc l air-1), 200 ppm (0,2 cc l air-1) dan
300 ppm (0,3 cc l air-1).
Perendaman dilakukan dengan mengunakan giberelin yang telah
dilarutkan dengan air dan selanjutnya direndam dengan lama perendaman sesuai
dengan perlakuan masing-masing yaitu 3 jam, 6 jam dan 9 jam.
2. Persiapan Media Subtrat
Media perkecambahan yang digunakan adalah kertas buram yang
berukuran 21 cm x 35 cm dan plastik. Kertas yang dipergunakan dibasahi atau
direndam dengan air, adapun jumlah kertas buram plastik yang digunakan per
media yaitu 5 lembar lapisan kertas buram dan 1 lembar lapisan plastik. Metode
ini adalah metode UKDdp (Uji Kertas Digulung didirikan dengan plastik).
3. Penanaman Benih
Penanaman benih di media subtrat kertas dengan cara meletakkan sesuai
dengan ukuran kertas (lampiran 12). Jumlah benih yang ditanam adalah 25 benih
per media, selanjutnya substrat yang sudah ditanami benih di beri lebel perlakuan
dan digulung serta didirikan dalam keranjang.
Geminator yang digunakan terlebih dahulu disemprot dengan alkohol agar
tidak terkontaminasi dengan jamur. Keranjang yang sudah isi dengan gulungan
subtrat dimasukkan kedalam geminator.
-
23
3.5 Pengamatan
1. Potensi Tumbuh (PT)
Potensi tumbuh adalah benih yang menunjukkan gejala tumbuh pada
pengamatan hari ke 7 dan dinyatakan dalam persen. Gejala tumbuh ditandai
dengan munculnya akar atau plumula yang menembus kulit benih dengan rumus
persamaan sebagai berikut :
PT = Ʃ Benih yang menunjukkan gejala tumbuh
Ʃ Benih yang di tanam x 100 %
2. Daya Berkecambah (DB)
Nilai berkecambah diperoleh dengan menghitung jumlah benih yang
berkecambah normal pada hari ke 5 (pengamatan I) dan hari ke 7 (pengamatan II)
setelah tanam yang dinyatakan dalam persen dengan rumus persamaan berikut :
DB = ƩKN I + ƩKN II
Ʃ Benih yang ditanam x 100 %
Keterangan :
ƩKN I = Jumlah kecambah normal pada pengamatan pertama
ƩKN II = Jumlah kecambah normal pada pengamatan kedua
3. Kecepatan Tumbuh (KcT)
Nilai kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan jumlah pertumbuhan
kecambah normal setiap hari sampai hari terakhir (hari ke 7) yang dinyatakan
dalam persen per hari. Perumusan menggunakan persamaan berikut
KcT = N1W1
+ N2W2
+⋯ NnWn
Keterangan :
N1 - Nn = Pengamatan ( n=1, 2, 3 dan seterusnya)
W1- Wn = Waktu pengamatan ( n=1, 2, 3 dan seterusnya)
-
24
4. Keserempakan Tumbuh (KsT)
Perhitungan keserampakan tumbuh dilakukan terhadap kecambah normal
kuat pada hari ke 6 yaitu antara pengamatan I (hari ke 5) dan pengamatan II (hari
ke 7) setelah tanam dan dinyatakan dalam persen. Keserampakan tumbuh
menggunakan rumus persamaan sebagai berikut :
KsT = Ʃ Kecambah normal ku at
Ʃ Benih yang ditanam x 100 %
5. Vigor Kecambah (VK)
Uji vigor kecambah digunakan untuk mengetahui kemampuan benih
tumbuh normal dengan baik, kuat dan memiliki struktur kecambah yang normal
(penampilan kecambah, vigor, les vigor, dan non vigor) dinyatakan dalam persen.
Vigor kecambah dihitung dengan mengunakan rumus persamaan sebagai berikut.
VK = Ʃ Kecambah yang vigor kuat
Ʃ Benih yang ditanam x 100 %
-
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Konsentrasi Giberelin
Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan
bahwa tingkat konsentrasi giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap potensi
tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor
kecambah benih jagung kadaluarsa.
Rata-rata potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada
berbagai konsentrasi giberelin dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Rata-rata Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh,
Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Konsentrasi Giberelin.
Keterangan : PT = Potensi Tumbuh KsT = KeserempakanTumbuh DB = Daya Berkecambah VK = Vigor Kecambah KcT = Kecepatan Tumbuh
Tabel 2 menunjukkan bahwa potensi tumbuh, daya berkecambah,
kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai
pada konsentrasi giberelin 300 ppm (K3) yang secara statistik menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi giberelin 100 ppm (K1)
dan 200 ppm (K2).
Parameter Konsentrasi Giberelin (ppm)
100 (K1) 200 (K2) 300 (K3)
PT (%) 38.22 42.67 48.89
Arsin x 37.84 40.70 44.32
DB (%) 26.67 35.11 36.00
Arsin x 30.30 36.22 36.65
KcT (%/etmal) 7.99 9.90 10.46
Arsin x 15.99 18.22 18.71
KsT (%) 28.44 35.11 38.22
Arsin x 31.69 36.18 38.05
VK (%) 23.11 28.89 32.00
Arsin x 28.16 32.21 34.25
-
26
Perendaman benih jagung yang sudah kadaluarsa dengan konsentrasi
giberelin berpengaruh tidak nyata. Diduga pemberian berbagai konsentrasi
giberelin tidak mampu mengurangi kemunduran viabilitas dan vigor benih yang
sudah kadaluarsa dikarenakan bahwa benih yang sudah mengalami kemunduran.
Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa kemunduran benih adalah proses
bertahap yang diikuti oleh menumpuknya metabolit beracun yang makin lama
semakin menekan daya berkecambah dan pertumbuhan kecambah. Kemunduran
benih ditunjukkan oleh habisnya cadangan makanan, meningkatnya kandungan
asam lemak, berkurangnya aktivitas enzim, dan terjadi kerusakan membran.
Harjadi (1979) menambahkan bahwa kemunduran suatu benih dapat diterangkan
sebagai turunnya kualitas atau viabilitas benih yang mengakibatkan rendahnya
vigor dan jeleknya pertumbuhan. Dimana kejadian tersebut merupakan suatu
proses yang tak dapat balik dari kualitas suatu benih.
Peningkatan konsentrasi meningkatkan potensi tumbuh, daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah
tidak stabil. Hal ini diduga karena pada benih jagung kadaluarsa terjadi
kemunduran viabilitas dan vigor sehingga menyebabkan perubahan menyeluruh
dalam benih baik fisik, fisiologis, maupun kimia. Menurut Nonogaki et al. (2010)
menyatakan pemberian giberelin pada benih yang sudah mengalami kemunduran
(deteorasi) dapat mengantisipasi, membatasi dan memperbaiki kerusakan sel.
Wattimena (1987) menyatakan bahwa untuk benih-benih yang mempunyai
kandungan giberelin endogennya sedikit maka diperlukan penambahan giberelin
dari luar yang sesuai, sehingga benih bisa berkecambah. Sebelumnya Heddy
(1986) menyatakan pemberian dalam konsentrasi rendah, sejumlah kecil giberelin
dapat membuat efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan
organ suatu tumbuhan.
-
27
4.2 Pengaruh Lama Perendaman
Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan
bahwa lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap potensi tumbuh, daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah
benih jagung kadaluarsa. Rata-rata potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan
tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada
berbagai lama perendaman disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Rata-rata Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh, Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa
pada berbagai Lama Perendaman.
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf dan pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf peluang 5 % (Uji BNT)
Tabel 3 menunjukkan bahwa potensi tumbuh tertinggi dijumpai pada lama
perendaman 3 jam (P1) yang berbeda tidak nyata dengan 6 jam (P2) serta berbeda
sangat nyata dengan 9 jam (P3), sedangkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai pada 6 jam (P2)
yang berbeda tidak nyata dengan 3 jam (P1) namun berbeda sangat nyata dengan 9
jam (P3).
Parameter Lama Perendaman (jam)
BNT 0.05 3 (P1) 6 (P2) 9 (P3)
PT (%) 50.67 49.78 29.33
1.94 Arsin x 45.39 b 44.86 b 32.63 a
DB (%) 36.89 37.78 23.11
2.11 Arsin x 37.09 b 37.76 b 28.32 a
KcT (%/etmal) 10.63 10.91 6.82
1.78 Arsin x 18.79 b 19.17 b 14.97 a
KsT (%) 37.78 40.00 24.00
1.92 Arsin x 37.75 b 39.11 b 29.06 a
VK (%) 32.00 32.44 19.56
1.82 Arsin x 34.13 b 34.54 b 25.95 a
-
28
Hubungan antara potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada bebagai
lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Lama
Perendaman.
Hubungan antara kecepatan tumbuh benih jagung kadaluarsa pada
berbagai lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Kecepatan Tumbuh Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Lama
Perendaman.
Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa potensi tumbuh tertinggi terlihat
pada lama perendaman 3 jam (P1) dan daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
50,67 49,78
29,33
36,89 37,78
23,11
37,78 40,00
24,00
32,00 32,44
19,56
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
3 6 9
PT
, D
B,
KsT
, V
K (
%)
Lama Perendaman (jam)
PT DB KsT VK
10,6310,91
6,82
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
11,0
12,0
3 6 9
KcT
(%
/et
mal)
Lama Perendaman (jam)
-
29
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi terlihat pada lama
perendaman 6 jam (P2) namun lama perendaman 9 jam (P3) terlihat potensi
tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor
kecambah terjadi penurunan.
Tingginya potensi tumbuh pada benih jagung kadaluarsa dengan lama
perendaman 3 jam (P1) yang berbeda tidak nyata dengan 6 jam (P2). Diduga
Perendaman selama 3 jam dan 6 jam kebutuhan air yang optimal pada benih
jagung kadaluarsa, sehingga reaksi metabolisme enzim pada benih akan semakin
cepat dan memberikan pengaruh terhadap aktifitas enzim dan pembelahan sel.
Menurut Sadjad (1980) kemampuan muncul dan berkembangnya struktur
terpenting dari embrio benih serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang
menjadi tanaman yang normal pada kondisi alam yang menguntungkan.
Daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor
kecambah benih kadaluarsa tertinggi dijumpai pada lama perendaman 6 jam (P2)
yang berbeda tidak nyata 3 jam (P1). Hal ini diduga perendaman pada benih yang
dilakukan dengan waktu yang terlalu lama apalagi terhadap benih dengan kadar
air sangat rendah yang sudah mengalami penyimpanan yang lama dapat
menyebabkan kerusakan pada struktur membran sehingga perlu suatu kondisi
dimana imbibisi dilaksanakan secara terkontrol. Menurut Khan et al. (1992) salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk benih dengan kadar air sangat rendah dan
benih yang mengalami penyimpanan yang lama adalah dengan invigorasi benih
yaitu dengan cara mengkondisikan benih sedemikian rupa sehingga karakter
fisiologis dan biokimiawi yang terdapat di dalam benih dapat dimanfaatkan secara
optimal.
-
30
Lama perendaman 9 jam (P3) menunjukkan potensi tumbuh, daya
berkecambah, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung
kadaluarsa mengalami penurunan. Diduga dengan meningkatnya kadar air benih
yang direndam, tentunya aktivitas enzim akan meningkat sampai pada batas waktu
tertentu serta dengan lama benih direndam maka jumlah air yang masuk kedalam.
Menurut Schmidt (2000) penambahan waktu perendaman akan menurunkan lagi
aktivitas enzim karena semakin lama benih direndam dalam kondisi anaerob
(kurang oksigen) akan menstimulir proses fermentasi di dalam benih.
Fermentasi C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + energi
Proses biokimia fermentasi menghasilkan panas. Menurut Roberts (1972)
bahwa salah satu faktor penyebab kemunduran benih adalah terakmlasinya bahan-
bahan yang toksit (beracun) yang disebabkan oleh fermentasi. Oleh karena itu
dalan percobaan ini semakin lama perendaman benih, daya berkecambah benih
semakin menurun. Selain terjadi fermentasi pada benih air yang berlebihan akan
mudah terjadi pembusukan, yang pada akhirnya media berkembang biak
cendawan. Kamil (1979) menyatakan kadar air yang tinggi pada benih
memungkinkan cendawan dan bakteri berkembang dengan cepat sehingga
menyebabkan benih mati.
Perlakuan perendaman dalam larutan giberelin dapat membantu
mempercepat proses imbibisi. Kamil (1979) menyatakan bahwa proses awal
perkecambahan adalah proses imbibisi yaitu masuknya air ke dalam benih,
sehingga kadar air mencapai persentase tertentu. Air diperlukan dengan jumlah
optimal dalam suatu proses perkecambahan. Penyerapan air ini dilakukan oleh
anaerob
etanol glukosa karbondioksida
-
31
kulit benih melalui proses difusi dan osmosis. Besarnya air yang dapat diserap
oleh benih dalam perlakuan perendaman dengan giberelin, kemungkinan
tergantung dari banyaknya jumlah giberelin yang diserap benih selama perlakuan.
Semakin lama perendaman benih dalam konsentrasi giberelin maka semakin
banyak giberelin yang terserap ke dalam benih, sehingga kemungkinan benih akan
mengimbibisi air secara cepat dan berlebihan.
4.2 Pengaruh Interaksi
Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan
bahwa terdapat interaksi yang tidak nyata antara konsentrasi giberelin dan lama
perendaman terhadap viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa berdasarkan
potensi tumbuh, daya kecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan
vigor kecambah. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi giberelin tidak
tergantung pada lama perendaman ataupun sebaliknya.
-
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Konsentrasi giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap potensi tumbuh, daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah
benih jagung kadaluarsa.
2. Lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap potensi tumbuh, daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah
benih jagung kadaluarsa. Potensi tumbuh tertinggi dijumpai pada lama
perendaman 3 jam, tetapi daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai pada lama
perendaman 6 jam.
3. Terdapat interaksi yang tidak nyata antara konsentrasi dan lama perendaman
terhadap potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,
keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa.
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi
giberelin yang lebih tepat dan efektif untuk mengetahui viabilitas dan vigor benih
jagung yang telah mengalami kadaluarsa.
-
33
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1984. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Penerbit Angkasa, Bandung.
Anonymous. 2009. Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik Nasional, Jakarta.
Barmin. 2005. Budidaya tanaman pangan (Padi dan Jagung). Ricardo, Jakarta. 45
hal.
Barnito, N. 2009. Buddidaya Tanaman jagung (Zea mays). (http://E:Jagung. htm).
Diakses 11 juli 2009
Basu, R. N. 1994. An Appraisalof Research on wet and dry physiological seed
treatmen and their applicapability with special reference to tropical and subtropical countries. Seed Sci. Technol. 22:107-126.
Begum, H., M. L. Lavania dan G.G.V. Babu. 1988. Seed studies in Papaya. II.
Effect of pre-soaking treatment with GA and thiourea on germination ang vigor of aged seed. Seed Res. 16 (1) : 51-56.
Bewley, D dan M. Black, 1978, Physiology and biochemistry of Seed, Springer
verlag, Berlin Heidlberg.
Copeland, L. O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota. 369 pp.
Harjadi,S. 1979. Dasar-dasar Agronomi. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 195 hal.
Heddy S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali, Jakarta.
Justice, O. L. dan L. N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih.
Edisi 1 (3). Roesly, R. (Pentj.). Raja Grafindo Persada, Jakarta. 446 hal.
Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Angkasa, Bandung.
. 1982. Teknologi Benih I. Angkasa, Bandung. 227 hal
Khan, A. A., J. D. Maguire, G.S. Abawi and S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of
vegetable seeds to improve stand establishmeny in early field plantings. Journal American Society Horticulture Science 117(1): 41-47.
Khan, A. A. 1977. The Physiology and Biochemistry of Seed Development, Dormancy, and Germination. Elsevier Biomedical Press. Amsterdam.
447p.
Kucera, B., M. A. Cohn, and G.H. Metzger. 2005. Plant hormone interactions
during seed dormancy release and germination. Seed Science Research. 15:281- 307.
http://E:Jagung
-
34
Nonogaki H, Baseel GW, Bewley JD. 2010. Germination- Still a mystery, J. Plant
Sci. 1(1): 1-8.
Prawiranata, W., S. Harran dan P. D. Tjondronegoro. 1981. Fisiologi Tumbuhan I,
II Departemen Botani, Faperta, IPB, Bogor. 2 Vol.
Roberts, E. H. 1972. Cytological, genetical andmetabolic change associated with
loss of viability. p.253-306.
Rukmana, R. 2007. Jagung (Budidaya, Pasca Panen dan Penganeka Ragaman
Pangan). CV. Aneka Ilmu, Semarang.
Sadjad , S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Grasindo, Jakarta.145 hal.
. 1972. Kertas Merang Untuk Uji Kualitas Benih di Indonesia. Disertasi.
Fakutas Pasca Sarjana, IPB, Bogor. 181 hal.
. 1980. Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di
Indonesia. Proyek Pusat Perbenihan Kehutanan Direktorat Rebolisasi dan
Rehabilitasi, Direktoral Jendral kehutanan, Kerjasama Afiliasi Institut Pertanian Bogor. 302 hal.
Sadjad, S., M. Poernomohadi, Z. Jusup, dan Z. A. Pian. 1974. Penuntun
Praktikum Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan, jilid 3, Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan, Edisi keempat, Terjemahan Diah R.
Lukman dan Sumaryono, ITB, Bandung. 343hal.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Hutan Tropis dan Sub tropis.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan, Jakarta
Saenong, S. 1986. Pengaruh vigor benih terhadap vigor tanaman di lapang dan daya simpan benih jagung. Magister Sain Tesis. FPS, IPB. 127 hal.
Sing, K dan B. S. Afria. 1990. Seed Germination, seed ling growth, emergence and establisment response of cotton cultivar as regulated by growth
substances. Seed Res. 18 (1) : 25-30.
Singh, A. dan H. N. Singh. 1973. Note on the effect of pre-soakingseeds in
solution on germination and early seedling growth in phumphin (Cucubita moschata L.) india of Agr. Sci. 43 : 973-976.
Soetopo, L. 2004. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Wattimena, G. W. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab Kultur Jaringan
Tanaman, PAU Bioteknologi IPB Bogor. Ditjen Dikti, Departeman
Pendidikandan Kebudayaan. 246 p.
Weiss, D. and N. Ori. 2007. Mechanisms of cross talk beetween gibberellin and
other hormones. Plant Physiology: 144: 1240 - 1246.
-Unlicensed-COVER I-Unlicensed-BAB I-Unlicensed-BAB II-Unlicensed-BAB III-Unlicensed-BAB IV-Unlicensed-BAB V-Unlicensed-DAFTAR PUSTAKA
top related