pengenalan awal ekolinguistik - sastra.uisu.ac.id · materi yang dapat dijadikan sebagai pengantar...
Post on 27-Feb-2020
67 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGENALAN AWAL
EKOLINGUISTIK
oleh
Nuzwaty Universitas Islam Sumatera Utara
Medan
SASTRA UISU PRESS - MEDAN – 2019
ii
©Sastra UISU Press, Medan, 2019
Fakultas Sastra UISU Medan
Jalan Sisingamangaraja, Teladan, Medan, Indonesia
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya tanpa ijin
dari penerbit.
Judul Buku : Pengenalan Awal Ekolinguistik
Penulis : Nuzwaty
Universitas Islam Sumatera Utara
Medan, Indonesia
Penerbit : Sastra UISU Press, Medan
Desain Cover : Junianto
Percetakan : Sastra UISU Press, Medan
ISBN : 978-602-50834-2-6
Cetakan ke-1, Tahun 2019 oleh Sastra UISU Press, Medan
iii
KATA PENGANTAR
Penulisan buku ini saya lakukan dengan harapan dapat
memberikan kontribusi dalam pengadaan dan menambah khasanah
tulisan-tulisan yang bertautan dengan kajian linguistik, khususnya
kajian ekolinguistik. Keinginan untuk menulis buku ini juga
terinspirasi oleh beberapa hal, pertama karena kurangnya buku-
buku ekolinguistik yang disajikan dalam bahasa Indonesia, maka
saya berusaha menulis buku ini yang sudah mulai dikerjakan sejak
saya selesai kuliah S3 di Sekolah Pascasarjana FIB USU tiga tahun
yang lalu, tetapi buku ini baru selesai dikerjakan akhir tahun 2018.
Materi-materi yang saya sajikan merupakan pandangan dan
buah pikir dari beberapa pakar bahasa, ekologi dan ekolinguistik
baik dari luar maupun dari dalam Indonesia dan dibantu dengan
hasil pemikiran saya sendiri yang saya peroleh saat saya
mengerjakan penelitian bahasa yang berkaitan dengan konsentrasi
ekolinguistik. Kedua, penulisan buku ini dilakukan pula disebabkan
oleh kurangnya minat peneliti bahasa terhadap ekolinguistik,
padahal sesungguhnya lahan kajian untuk konsentrasi ini masih
sangat luas, dan peluang untuk melakukan penelitian dalam bidang
ini terbuka lebar,maka penyajian buku ini juga diharapkan sebagai
rangsangan bagi para peneliti bahasa untuk menoleh ke kajian
ekolinguistik. Mudah-mudahan harapan ini menjadi sebuah
kenyataan.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih ditujukan kepada
Prof Aron Meko Mbete tak pernah lelah membantu dan
iv
menyemangati serta memberikan kontribusi dalam penyajian buku
ini. Ucapan yang sama diberikan kepada semua sahabat saya Dr
Muhammad Ali Pawiro, Dr Roswani Siregar, Dr Farida Yafitzam
dan rekan-rekan lainnya khususnya sahabat-sahabat di S3 linguistik
Sekolah Pasca Sarjana USU angkatan 2010 yang tidak dapat saya
sebutkan namanya satu persatu.
Di kesempatan yang sama ini saya haturkan salam sayang
kepada keluarga tercinta.
Buku ini masih belum sempurna, segala bentuk sapaan dan
keritik yang konstruktif untuk menuju kepada sajian yang lebih
baik, saya terima dengan senang hati.
Semoga persembahan buku ekolinguistik ini bermanfaat
bagi pembacanya. Akhirul kalam, wassalam.
Medan, Desember 2018
Nuzwaty
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
PENDAHULUAN .........................................................................................
BAB I: Interelasi dan Interdepensi Bahasa dan Ekologi .................................
A. Bahasa ...................................................................................................
B. Ekologi ..................................................................................................
C. Interelasi Bahasa dengan Lingkungan Ekologis ...................................
D. Bahasa dan Lingkungan Alam Semesta Ragawi .....................................
E. Iterelasi Bahasa dengan Lingkungan Sosiobudaya .................................
F. Kesimpulan ...........................................................................................
BAB II: Ekolinguistik ........................................................................... an Internal
A. Pemahaman Tentang Linguistik .............................................................
B. Linguistik Pada Ranah Ekolinguistik .....................................................
C. Kerjasama Linguistik Kognitif dengan Ekolinguitik ...............................
D. Kesimpulan ...........................................................................................
BAB III: Pustaka Ekolinguistik.......................................................................
A. Paramater Ekolinguistik .........................................................................
1. Parameter Keberagaman (Diversity) ...................................................
2. Parameter Kesalingterhubungan (Interrelationship) ...........................
3. Parameter Lingkungan (Environment) ................................................
B. Teori Dialetikal Sosial Praksis ...............................................................
ii
iii
1
4
4
12
16
18
28
35
39
39
42
53
55
58
60
61
63
65
66
vi
C. Metafora .................................................................................................
1. Metafora Leksikal ..............................................................................
2. Metafora Konseptual ..........................................................................
3. Klasifikasi Metafora ...........................................................................
D. Evolusi Bahasa .......................................................................................
1. Evolusi Progresif................................................................................
2. Evolusi Seleksi Alam .........................................................................
Kesimpulan ...................................................................................................
Daftar Pustaka ...............................................................................................
77
81
84
97
99
100
104
107
109
1
PENDAHULUAN
Sebelum kita mengulas tentang hubungan bahasa dan
ekologi, ada baik kita melihat terlebih dahulu masing-masing
komponen ini sebagai bagian dari sesuatu yang sama-sama
dibutuhkan oleh manusia dalam merajut kehidupannya. Pembicaran
awal dilakukan dengan tujuan agar lebih memudahkan kita dalam
memahami tentang keberadaan kedua komponen ini sebagai fokus
bahan kajian dalam ranah ekolinguistik.
Ketika pertama sekali kita mencoba untuk dapat memahami
ekolingistik sebagai suatu ilmu yang merupakan kolaborasi kajian
ekologi dengan linguistik, pastilah kita merasakan pertentangan di
dalam batin kita. Apakah mungkin menyatukan kedua bidang ilmu
yang sesungguhnya terpisah jauh satu sama lain. Kita juga
menyadari fokus dan parameter kedua kajian memang sangat
berbeda jika kedua komponen ini dipandang secara terpisah.
Namun bila kita mau menyadari bahwa bahasa adalah milik
manusia yang menyatu dengan kehidupannya dan manusia itu
sendiri merupakan mahluk ekologis yang sejak awal kejadiannya
(Nabi Adam diciptakan dari tanah merupakan bagian dari ekologi).
Sejak awal keberadaannya, manusia sebagai mahluk
ekologis berusaha mempertahankan keberlangsungan hidupnya
dengan sangat mengharapkan lingkungan ekologis sebagai
penyedia komoditas alami pada saat itu. Untuk memenuhi semua
kebutuhan ini, dapat dipastikan bahwa manusia tersebut
mengadakan kontak komunikasi antara sesamanya, dengan
2
demikian amatlah tidak mungkin manusia tidak menggunakan
media komunikasi berupa bahasa untuk menyampaikan semua itu,
walaupun dalam pola yang sangat sederhana dan hanya dalam
kisaran tuturan atau ungkapan yang hanya merujuk kepada
lingkungan ekologis semata.
Bertolak dari uraian singkat dan ringkas diatas, dengan
demikian maka jarak pemisah antara kedua komponen ini terasa
dekat, sehingga penyatuan ekologi dan linguistik dalam satu wadah
kajian ekolinguistik dapat berterima.
Hal-hal yang dibicarakan dalam buku ini berkisar pada
materi yang dapat dijadikan sebagai pengantar untuk pengenalan
awal dalam memahami ilmu ekolingistik. Beberapa hasil penelitian
yang sudah dilakukan oleh beberapa pakar dan peneliti baik dari
luar maupun dari dalam Indonesia dibicarakan dan dijadikan
sebagai bahan ulasan.
Hasil penelitian yang sudah mereka lakukan pada
umumnya menggambarkan representasi interelasi, interaksi dan
interdepensi manusia dengan lingkungan ekologisnya, baik
lingkungan alami ragawi (macrocosmos) maupun lingkungan
sosiobudaya atau socio cultural (microcosmos). Sehingga cerminan
lingkungan suatu komunitas bahasa identik pula dengan komunitas
penutur atau komunitas etnik tersebut.
Buku ini terdiri atas tiga bab, dan pada setiap bab dimulai
dengan suatu pengantar yang bertujuan untuk mengantarkan
pembaca kepada konten dan setiap bab ditutup pula oleh
kesimpulan.
3
Bab pertama membicarakan tentang interelasi dan
interdepensi bahasa dan ekologi dalam kehidupan manusia, bab
kedua membicarakan tentang ekolinguistik yang bertujuan untuk
memberikan gambaran yang diharapkan agar pembaca memahami
tentang kajian ekolinguistik. Bab ketiga membicarakan tentang
teori-teori ekolinguistik yang dapat dijadikan sebagai pisau analisis
dan dapat pula diaplikasikan kepada kajian-kajian bahasa
berkolaborasi dengan kajian interdisipliner linguistik lainnya. yang
pada gilirannya dapat pula diaplikasikan kepada kajian-kajian
kebahasaan lainnya yang memiliki keterhubungan dengan kajian
ekolinguistik dan kognitif linguistik. Mahasiswa S2 dan S3 yang
tertarik meneliti kajian kebahasaan yang bernaung dibawah payung
kajian ekolinguistik dapat pula memanfaatkan buku ini sebagai
pengantar awal untuk pemahaman terhadap kajian tersebut.
4
BAB I
Interelasi dan Interdepensi Bahasa dan Ekologi
Bab ini membicarakan tentang posisi keterkaitan ekologi
dan bahasa. Ekologi dimaksud mencakup semua lingkungan yang
ada di dalam dan berkaitan dengan kehidupan manusia.
Lingkungan tersebut terdiri atas lingkungan alam ragawi yaitu
lingkungan alam semesta dan lingkungan alam non ragawi yaitu
lingkungan sosial dan lingkungan budaya manusia. Sedangkan
bahasa adalah sebagai alat komunikasi interaksi manusia dalam
menata kehidupannya. Kedua komponen ini saling berpengaruh
secara timbal balik dalam kehidupan manusia.
A.Bahasa
Manusia sebagai mahluk zoon politicon (disebut oleh
Aristoteles ‘makluk yang hidup bermasyarakat’), mengisyaratkan
bahwa kodrat manusia secara alami tidak dapat hidup sendiri tanpa
berhubungan dengan orang lain. Dalam menjalin hubungan ini,
pastilah manusia sangat membutuhkan suatu alat yang dapat
dijadikan sebagai sarana komunikasi diantara mereka dengan
tujuan untuk saling berinteraksi, saling bertegur sapa, saling
mengenal, saling memahami, saling bekerja sama, dan lain
sebagainya. Sarana komunikasi inilah yang disebut sebagai bahasa.
Finergan dan Nico (2000: 1) menyatakan bahwa menurut
pandangan pakar bahasa aliran tradisional, bahasa merupakan
satuan bunyi berupa simbol-simbol atau lambang bunyi yang
5
diproduksi oleh alat ucap manusia membentuk ujaran yang
mengandung makna atau arti yang dipergunakan oleh manusia
untuk saling memahami di dalam kehidupan masyarakatnya.
Melalui penggunaan bahasa, dengan demikian manusia dapat
menyampaikan segala sesuatu yang ada dalam pikirannya. Maka
tugas dan fungsi semua bahasa secara universal pada dasarnya
adalah sama yaitu menghubungkan bunyi atau suara dengan makna
atau arti untuk membentuk kata atau leksikal dengan tujuan untuk
mengekpresikan pikiran dan perasaan manusia dalam berinteraksi
antara sesamanya. Bila dicermati lebih mendalam sebenarnya
fungsi dan tugas bahasa tidak hanya sebatas pada ekspresi pikiran
dan perasaan belaka. Dalam kehidupan kita sehari-hari, bahasa
sangat berperan dalam semua hal dan kegiatan yang kita lakukan,
dan bahasa tidak hanya berperan sebagai media komunikasi yang
digunakan antara sesama manusia, namun lebih dari itu bahasa juga
digunakan oleh manusia kepada Sang Khalik. Sebagai contoh
ketika kita sholat dan berdoa kita tetap dalam kondisi
menggunakan bahasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa
penggunaan bahasa ini berlangsung sejak kita bangun tidur di pagi
hari sampai kita tidur kembali di malam harinya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan, bahwa bahasa merupakan media komunikasi
manusia yang amat tangguh untuk mengungkapkan atau
mengekspresikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupannya secara menyeluruh yaitu yang berkaitan dengan
mental, sikap, perilaku, dan lain sebagainya.
6
Bahasa sebagai media komunikasi dimaksud, merupakan
alat yang dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dalam semua lini
kehidupannya, sehingga bahasa dalam sebuah masyarakat tutur
benar-benar berfungsi dalam penyampaian segala kebutuhan yang
ada di dalam pikiran atau kognitifnya serta segala sesuatu yang
bersemayam di dalam hati penuturnya.
Kebutuhan akan bahasa tersebut, dapat pula dirasakan
misalnya, dalam hal mengunggkapkan kebutuhan akan makanan,
minuman, berikutnya kebutuhan akan pembicarakan tentang
politik, ekonomi, agama, etika, kasih sayang, cinta, kesehatan serta
menyampaikan dan menyerap ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya. Kesemuanya ini tentu saja akan dapat terwujud
melalui keberadaan bahasa yang dapat diungkapkan baik secara
verbal maupun secara non verbal.
Bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia
sekelilingnya. Kondisi ini berlangsung karena manusia itu sendiri
hadir dalam sebuah masyarakat, bermula dari masyarakat kecil
yaitu keluarga, kampung, hingga masyarakat yang lebih besar yaitu
negara bahkan dunia. Oleh sebab itu bahasa dapat dimaknani
sebagai suatu kebutuhan setiap individu dalam sebuah manyarakat,
sehingga bahasa tidak mungkin dilestarikan dan dikembangkan di
luar masyarakat atau komunitas. Secara keseluruhan suatu bangsa
dalam sebuah negara merupakan komunitas bahasa yang kreatif,
organis dan natural sehingga masing-masing anggota masyarakat
7
diwajibkan berpegang teguh kepada norma-norma bahasa tersebut
dalam menyampaikan pesan- pesan dan gagasan.
Secara kodrati alami, sejak bayi manusia sudah mulai
dibekali kemampuan dasar berbahasa, namun pada saat itu
manusia hanya dapat memproduksi simbol-simbol atau lambang-
lambang bunyi yang tidak dapat dimaknai dalam bentuk kata-kata.
Bahasa tersebut hanya sebatas pada bentuk tangisan, dan tangisan
inilah yang berfungsi sebagai alat komunikasi si bayi untuk
mengekpresikan keadaan dirinya. Suara tangisan tersebut
biasanya dapat dibedakan berdasarkan volemenya saja. Ketika bayi
buang air besar, buang air kecil, gerah dan merasa tidak nyaman,
bayi akan menangis. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa,
tangisan bayi tersebut merupakan bentuk ekspresi komunikasi si
bayi kepada orang disekitarnya. Sehingga ketika bayi menangis ibu
atau orang yang mendengar akan berupaya mencari penyebab
tangisan itu.
Ketika bayi mulai memasuki usia enam bulan, dia mulai
menyuarakan bunyi yang secara lingusistik dikenal dengan istilah
meraban (babbling) dan mulai memberikan respon kepada
pembicaraan orang disekitarnya. Bahkan tidak jarang, bayi akan
menyuarakan bentuk suara yang menyerupai teriakan seperti
memanggil ketika tidak ada orang disekitarnya.
Ketika bayi berusia sepuluh bulan dia mulai memeroduksi
rangkaian bunyi menyerupai bahasa orang dewasa, namun bunyi-
8
bunyi tersebut masih belum sempurna sebagaimana layaknya
bahasa orang dewasa. Dengan bahasanya ini dia sudah mulai
berbicara dengan ibu, ayah atau orang disekitarnya tentang benda-
benda yang diinginkan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Penyampaian keinginannya ini biasanya dilakukan dengan cara
menunjuk benda tersebut sambil bersuara. Ketika bayi memasuki
usia satu tahun (menurut kebiasaan dalam masyarakat dia sudah
tidak dikatagorikan sebagai bayi lagi), dia mulai menirukan suara
orang disekitar lingkungannya.
Sehingga seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat bahasa Indonesia akan memeroduksi bunyi- bunyi
fonem yang sama atau mendekati dengan bunyi-bunyi fonem
bahasa Indonesia. Demikian pula halnya dengan seorang anak
yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa Inggris akan
memeroduksi bunyi-bunyi fonem bahasa Inggris. Dapat dikatakan
bahwa pemerolehan bahasa pertama seseorang sangat bergantung
kepada lingkungan bahasa sebagai vernakular dimana dia
dibesarkan.
Seorang anak baru mulai dapat menggunakan bahasa
sebagaimana layaknya bahasa orang dewasa ketika usia mereka
mendekati usia dua tahun. Pada fase ini, biasanya anak yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga bahasa Jawa akan
membentuk kemampuan linguistiknya sesuai dengan bahasa jawa
tersebut baik dalam pola tuturan maupun dalam bentuk nada dan
9
intonasi atau aksen bahasanya. Penyesuaian tersebut berlangsung
secara alami. periksa Goodluck (1998:18-21)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara seseorang
menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan linguistiknya
dapat langsung tergambar dari pengalaman yang diperolehnya dari
lingkungan yang terekam dalam kognitifnya. Selanjudnya
pengalaman tersebut diaplikasikan dalam komunikasi yang spesifik
antar sesama dalam kehidupan sosialnya, periksa Heine (1997: 3).
Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah
tentang dunia sekitar baik bersifat kultural maupun yang bersifat
alamiah.
Oleh karena itu, fungsi awal imajineri seseorang adalah
menggambarkan lingkungan di sekitarnya dengan menggunakan
bahasa karena bahasa didasari imajinari yang ada di otak dan
pengalaman manusia. Pandangan ini sejalan dengan pendapat
Halliday (2001:21-22) yang mengatakan bahwa secara biologis,
pada umumnya manusia normal memiliki kemampuan sama dalam
kapasitas mempelajari bahasanya. Semua anak manusia akan
melalui proses tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa ibu
atau bahasa pertamanya. Kemampuan ini berbanding lurus dengan
kemampuan motorik manusia, untuk telungkup dan seterusnya
sampai dia dapat berjalan dan berlari. Berbeda dengan hewan,
hewan dapat langsung berdiri dan berjalan setelah beberapa hari dia
dilahirkan. Untuk sampai kepada kemampuan berjalan manusia
akan melalui beberapa tahapan proses pembelajaran, dimulai dari
10
tengkurap, merangkak, belajar berdiri dan belajar berjalan serta
berlari dan kesemuanya ini tidak bergantung kepada tingkat
intelegensia sesesorang. Itulah sebabnya Halliday (2001)
berpendapat bahwa secara ekologis sesungguhnya manusia adalah
makhluk ekologis yang unik, karena setiap orang mempunyai
pengalaman yang berbeda antara satu dengan lainnya walaupun
berada dalam pola lingkungan yang sama dan bahasa yang sama
pula. Pemahaman seseorang tentang peran bahasanya akan sangat
bermanfaat pada saat dia berinteraksi dengan anggota
masyarakatnya sendiri atau dengan anggota masyarakat lainnya.
Sebagai media komunikasi manusia menurut Jojosuroto
(2007:74-75), bahasa memiliki berbagai fungsi untuk penyampaian
sesuatu yang berlaku sama pada semua bahasa-bahasa manusia.
Fungsi-fungsi bahasa tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut;
1. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi ekspresif:
Menyampaikan, mengekspresikan perasaan,pikiran,
kehendak kepada orang lain (simbolik, kognitif afektif).
2. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi argumentatif:
Menyampaikan suatu pengetahuan sebagai buah
pengetahuan lengkap dengan jalan pikiran yang
melatarbelakanginya (komunikasi ilmiah).
3. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi informatif:
Menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain.
4. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi eksplorasi:
Penggunaan bahasa untuk menjelaskan suatu hal, perkara
dan keadaan.
11
5. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi persuasi:
Pengguanaan bahasa bersifat mempengaruhi atau
mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu secara baik-baik.
6. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi entertainmen:
Penggunaan bahasa untuk menghibur, menyenangkan
atau memuaskan perasaan batin.
sehingga dengan adanya bahasa manusia dapat hidup dalam
dunia pengalaman yang nyata dan dunia pengalaman yang
simbolik (yang diwujudkan dalam bentuk kata-kata) yang dapat
memberi arti pada kehidupannya.
Suatu ilustrasi yang sering terjadi sebagai berikut; seorang
mahasiswi A sedang mengantri untuk masuk ke bioskop, tiba-tiba
dia menoleh kebelakng dan melihat teman mahasiwanya B yang
sedang mengantri juga. Menurut logika biasanya A tidak perlu
bertanya apakah B mau menonton atau tidak sebab B sudah berada
di dalam antrian yang sama dengan antrian A untuk masuk ke
gedung dengan memegang tiket masuk bioskop. Tetapi yang terjadi
justru sesuatu yang tidak logis, yaitu A bertanya kepada B dengan
tuturan “ hai, nonton ya?”dan bentuk jawaban yang diucapkan juga
kadang-kadang bukan “ya”, tetapi sangat berbeda dari konteks
tersebut seperti pada jawaban “udah lama kepingin nonton film ini,
katanya enak” sehingga balasan atau jawaban yang diucapkan
terasa aneh dan tidak berhubungan, karena jawaban yang diberi
bukan “ya”. Pada suasana seperti ini bahasa bukan lagi hanya
12
sekedar ungkapan pikiran dan perasaan, melainkan sudah berfungsi
sebagai representasi maksud dan menjalankan fungsi sosial.
B. Ekologi
Secara etimologi, ekologi berasal dari kata bahasa Yunani,
oikos dan logos, Oikos bermakna habitat dan logos bermakna ilmu.
Maka pada awalnya ilmu ini dipandang oleh para filosof Yunani
sebagai ilmu yang hanya membicarakan habitat alam semesta.
Namun seiring dengan berjalanya waktu dan berkembangnya ilmu
pengetahuan, ilmu ini tidak hanya membicarakan tentang habit
alam semesta belaka dan disebut sebagai ekologi.
Ekologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang interaksi antara makluk hidup yang satu dengan mahluk
hidup lainnya, dan interaksi antara mahluk hidup dengan
lingkungannya. Hubungan interaksi dimaksud dapat terjadi secara
timbal balik. Jika dilihat dari definisi ini maka interaksi antara
manusia sebagai mahluk hidup di jagat raya ini dengan
lingkungannya juga dapat dijadikan sebagai lahan kajian ekologi,
termasuk pula kedalamnya pengkajian terhadap manusia dan
bahasanya.
Sebelum sampai kepada pembicaraan tentang hubungan
antara alam dan bahasa, akan disingung sedikit tentang interakasi
antara manusia dengan alam. Menurut William Chang (2001:16)
dalam susilo (2008:54) bahwa keberlangsungan hubungan antara
13
manusia dengan alam semesta paralel dengan latar belakang sejarah
hubungan antara manusia (dengan semua bentuk pola
kehidupannya) dengan alam tersebut, yang terjadi melalui tiga
tahapan atau fase penting. Fase pertama disebut sebagai masa
keseimbangan alam yang ditandai sebagai masa Paleolithikum
(590.000 SM). Pada masa itu, manusia masih hidup sangat
sederhana dan bersahaja. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
manusia berburu, memetik buah-buahan di hutan dan mencari ikan
di sungai disekitar tempat tinggalnya, dan pada masa itu alam
masih asri karena manusia masih menghormati eksistensi alam dan
semua yang ada didalamnya (flora, fauna, dan pohon yang
menjulang tinggi). Manusia memperlakukan alam dan mengambil
sumber-sumber alam hanya pada sebatas pada keperluan untuk
kehidupan sederhana. Selanjudnya dengan berbekal kesederhanaan
ini manusia mengembangkan pengetahuan-pengetahuan lokal dan
meperlakukan alam dengan cara menjaga harmonisasi hubungan
sehingga pada saat itulah terciptanya keseimbangan antara beragam
ekosistem.
Fase kedua merupakan fase dimana terjadi perubahan besar
fase ini disebut sebagai masa ketidakseimbangan alam karena pada
masa itu hewan-hewan dari kawasan dingin mulai berangsur pindah
menuju ke kewasan utara disebabkan oleh perubahan suhu bumi.
Pada saat itu pula manusia mulai sadar bahwa mereka tidak dapat
lagi menggantungkan hidupnya hanya kepada perburuan dan
mencari buah-buahan di hutan. Mereka mulai berusaha dengan
14
jalan berternak dan bercocok tanam di lingkungan tempat tinggal
mereka. Fase ini dikenal sebagai revolusi Neolitikum dan disusul
pula dengan revolusi industri. Dikatakan sebagai revolusi industri
karena pada saat itu terjadinya perubahan fisik lingkungan alamiah
akibat dari berdirinya pabrik-pabrik dan pengenalan terhadap
mesin, disinilah bermulanya perubahan kebudayaan dan pola hidup
manusia.
Fase ketiga disebut sebagai masa sekarang, pada fase ini
fenomena alam sudah tidak lagi dipandang sebagai dunia misterius
atau dunia subjek karena manusia sudah mulai menganggap bahwa
hukum-hukum yang mengatur alam adalah rasional yang dapat
dirumuskan dan dijelaskan melalui pendekatan yang teruji.
Manusia melakukan rekayasa alam dan rekayasa sosial (social
engineering) dengan menggunakan peralatan moderen. Lingkungan
fisik alam semesta dan lingkungan biologis (flora dan fauna)
diperdayakan manusia demi kenikmatan dan kepentingan hidupnya
semata. Etika kepada dalam sudah bersifat antroposentrisme yang
sangat bersifat instrumentalis.
Sehingga pola hubungan antara manusia dan alam semesta
hanya sebatas hubungan instrumen belaka. Keraf (2002:34) dan
Susilo (2008:62) menyatakan bahwa orientasi kepada alam dinilai
hanya sebatas alat kepentingan manusia, tidak diletakkan sebagai
tujuan sikap sosial manusia. Perilaku tersebut juga tidak
mencerminkan rasa hormat kepada bentuk kehidupan non-manusia,
flora, fauna, dan habitat sekitarnya. Eksploitasi hutan yang
15
mengakibatkan terjadinya gangguan ekosistem diabaikan begitu
saja yang mengakibatkan terjadi bencana alam atas ulah tangan
manusia itu sendiri sehingga erosi, tanah longsor, gempa bumi,
banjir, dan bencana alam lainnya tidak terelakkan. Sawah sebagai
lingkungan buatan yang sejatinya green speak dan laut yang
tadinya blue speak semuanya berubah menjadi brown speak.
Interaksi antara manusia dengan alam dan segala sesuatu
yang menyangkut sikap manusia dalam memperlakukan alam
sebagai bagian dari kehidupannya hanya disinggung sedikit saja di
dalam bab ini, yang hanya disinggung sebatas sebagaimana yang
telah diuraikan diatas. Uraian dimaksud hanya merupakan suatu
bentuk uraian yang bertujuan untuk mengantarkan kita kepada
pemahaman tentang penempatan bahasa sebagai media komunikasi
manusia dalam kaitanya dengan hubungan interaksi manusia
tersebut dengan lingkungan alam.
Terkait dengan beberapa peristilahan yang akan digunakan
berikutnya hanya diarahkan kepada hubungan antara bahasa
manusia dan dengan alam atau lingkungan semata disebabkan
fokus pembicaraan pada buku ini hanya pada hal- hal yang
berkaitan dengan hubungan antara ekologi dan bahasa manusia
semata. Oleh sebab itu, akan disuguhkan beberapa pandangan dan
pendapat pakar yang memusatkan peneliannya kepada hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan antara linguistik dan ekologi
(ekolinguitik) semata.
16
Beberapa pakar ekolinguistik seperti Haugen (1972), Fill
Muhlhausler (1995) Fill dan Muhlhausler (2001), Stibbe (2015),
berpendapat bahwa ekologi merupakan ilmu yang mengungkapkan
tentang hubungan dan interaksi manusia dengan lingkungan alam
yang memengaruhi semua kegiatan dalam kehidupannya.
Lingkungan alam dimaksud merupakan lingkungan alam yang
tidak hanya bertalian dengan lingkungan alam ragawi (kehidupan
flora, fauna dan kandungan mineral bumi) semata. Lebih dari itu,
para pakar tersebut menekankan bahwa ekologi dimaksud
merupakan suatu lingkungan yang mencakup keseluruhan
kandungan isi kealaman itu sendiri (kehidupan flora, fauna dan
kandungan mineral bumi) dan termasuk pula di dalam manusia
serta semua pola kehidupannnya. Dari pandangan ini maka,
lingkungan sosial dan lingkungan budaya manusia yang mengisi
semua lini kehidupan manusia tersebut, dianggap pula sebagai
bagian dari ekologis.
C. Interelasi Bahasa dengan Lingkungan Ekologis
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia
yang memilki alat komunikasi sempurna yang bernama bahasa.
Melalui keberadaan bahasa, manusia dapat saling berinteraksi
secara leluasa mengekspresikan segala sesuatu untuk memenuhi
semua kebutuhan hidupnya dan ceritra tentang hidupnya tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu. Melalui penggunaan bahasa
17
manusia dapat pula menceritrakan semua hal yang berkaian dengan
kehidupannya, baik kehidupan masa lalu, masa kini dan prediksi
kehidupan mendatang. Berbeda dengan bahasa hewan yang hanya
terbatas dan hanya dapat digunakan saat itu saja dan untuk
kebutuhan tertentu pada saat itu pula, sehingga hewan tidak dapat
berceritra tentang pengalaman hidupnya yaitu kehidupan masa
lalunya, tidak pula dapat memprediksi kehidupan masa depannya.
Melalui penggunaan bahasanya, hewan tidak pula dapat
menceritrakan kisah-kisah lucu, senang, sedih dan bahagia yang
dialaminya pada masa lalu.
Dalam menata ceritra tentang kehidupannya, manusia
berada dalam lingkungan yang mengisi dan berpengaruh terhadap
keberadaannya di muka bumi ini. Lingkungan tersebut merupakan
lingkungan alam semeta ragawi dan lingkungan sosiobudaya
manusia itu. Lingkungan- lingkungan inilah yang disebut oleh
Haugen (1972:) sebagai lingkungan ekologis. Untuk memenuhi
kesinambungan hidup dalam lingkungan ekologis tersebut manusia
mutlak memerlukan bahasa sebagai media yang dipergunakannya
tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Kebutuhan manusia akan bahasa dan lingkungan dapat
diibaratkan sebagai suatu kebutuhan yang hampir mendekati
dengan kebutuhan manusia itu sendiri terhadap kebutuhan akan
udara atau oxigen saat bernafas. Dikatakan demikian karena,
manusia hidup dalam sebuah lingkungan sosial masyarakat, baik
masyarakat kecil maupun masyarakat besar yang sangat
18
membutuhkan keberadaan bahasa untuk mengkomunikasikan
semua hal yang berkaitan dengan hajat hidupnya dan
kehidupannya.
D. Bahasa dan Lingkungan Alam Semesta Ragawi
Segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta ragawi
baik dalam bentuk pelestarian alam maupun dalam
pengekplotasiannya, sangat erat kaitannya dengan perilaku
manusia. Perilaku manusia terhadap alam baik yang besifat positif
(pelestarian alam) dan yang bersifat negatif (pengeksplotasian
alam) tetap saja memanfaatkan bahasa sebagai bentuk ekspresi dari
kedua perilaku tersebut dan dengan pola penggunaan bahasa yang
sangat bergantung pula kepada kebutuhan manusia terhadap alam
semesta.
Pada awal abad ke sembilan belas, manusia saat itu sangat
membutuhkan air sebagai bahan pokok kehidupan, karena air,
secara manual digunakan untuk mendinginkan mesin-mesin pabrik,
digunakan pula sebagai pembangkit tenaga listrik. Selain dari
kedua hal tersebut, air juga dimanfaatkan dalam industri berupa
proses produksi dari bahan baku menjadi bahan jadi yang siap
dikomsumsi. Kebutuhan akan air tersebut secara ekslusif
disejajarkan dengan uang yang memunculkan ungkapan metaforik
seperti ‘central water supply’, dan water is money, sangat popular
saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money juga
19
jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan
bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus
lingkungan.
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa interelasi dan
interdependensi antara bahasa dengan ekologi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Keberadaan
bahasa dimanfaatkan oleh manusia untuk saling berinteraksi antara
sesama dengan melibatkan keberadaan lingkungan ekologis, baik
dalam lingkungan alam semesta maupun dalam lingkungan
kehidupan sosiobudayanya (sociocultural), yang dipengaruhi pula
oleh pikiran, konsep, ideologi dan berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Dapat diperjelas bahwa segala sesuatu kegiatan yang
dilakukan manusia yang berkaitan dengan alam semesta ragawi,
dan ekosistem tetap saja dalam rangkaian bahasa, contoh yang
paling sederhana, melalui penggunaan ungkapan-ungkapan verbal,
manusia dapat menjaga keberlangsungan hidup alam semesta
dengan menampilkan berbagai ragam bentuk-bentuk slogan bahasa
lingkungan (Hutan-Lindung, Hutan -Perawan, Ramah-Lingkungan
(eco-friendly) Green- speech, Brown- Speech , Green- Peace, go-
green, save our planet) yang dapat memengaruhi hati dan pikiran
atau kognitif manusia yang berada dalam lingkungan alam tersebut
(ecoregion). Bahkan tidak jarang, beberapa produk untuk
kebutuhan alat rumah tangga dan kantor mempromosikan jenis
produk mereka dengan logo “Ramah Lingkungan” (eco-friendly)
20
dan beberapa perusahaan bahkan menempelkan label “Ramah
Lingkungan” pada kemasan produk- produk mereka. Ungkapan-
ungkapan verbal seperti ini sangat berpengaruh kepada kesadaran
masyarakat dalam hal pelestarian lingkungan alam. Dikatakan
demikian karena produk seperti ini banyak diminati oleh
konsumen, walaupun harga dari produk tersebut dapat dikatakan
lebih mahal bila dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis
dengannya. Dengan demikian, penggunaan “ Ramah –Lingkungan”
dapat meninggkatkan profit perusahaan tersebut. Dalam konteks
seperti ini perusahaan yang menyuarakan bahasa lingkungan
(“ Ramah –Lingkungan”) memperoleh keuntungan dan
berpengaruh positif kepada kemajuan perusahaannya.
Interelasi dan interdipensi bahasa dengan lingkungan alam
ragawi tidak hanya sebatas kepada hal-hal yang berkaitan dengan
penjagaan kelestarian lingkungan ekosisterm semata seperti yang
telah dibicarakan sebelumnya. Lebih dari itu dalam suatu bencana
alam sekalipun, bahasa tetap saja dimanfaatkan untuk
mengekspresikan keadaan atau efek dari peristiwa tersebut dengan
menggunakan beberapa istilah yang bersesuaian dengan peristiwa
tersebut. Masyarakat Jawa yang berdomisili di kawasan Gunung
Merapi yang terletak di Desa Kinahrejo, di wilayah perbatasan
Jawa Tengah dan Yokyakarta misalnya, sangat akrab dengan kosa
kata bahasa Jawa wedhus gembel yang secara harafiah berarti biri-
biri atau domba yang berbulu tebal. Keakraban dengan istilah
wedhus gembel terjadi bukan karena banyaknya jumlah binatang
21
sejenis ini yang dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah
tersebut, akan tetapi wedhus gembel merupakan makna figuratif
atau bentuk metafora yang mengekpresikan gumpalan-gumpalan
asap panas berwarna putih yang naik ke udara ketika Gunung
Merapi memuntahkan laharnya. Melalui pandangan inderawi
masyarakat tutur bahasa Jawa yang seterusnya terekam secara
verbal dalam kognitif masyarakat tutur tersebut, bahwa bentuk
gumpalan-gumpalan asap panas berwarna putih di udara
menyerupai binatang domba berbulu tebal, sehingga wedhus
gembel menjadi populer untuk mengekspresikan fenomena alam
tersebut. Melalui sarana media cetak dan media eletronik,
kepopuleran wedhus gembel meluas keseluruh nusantara bahkan
sampai ke manca negara.
Interelasi bahasa dengan lingkungan alam ragawi
sesungguhnya sudah berlangsung secara utuh sepanjang
perjalanan sejarah kehidupan manusia. Namun
Kesalingterhubungan ini baru mulai dibicarakan pada 427 SM oleh
filosof- filosof kuno seperti Plato (427-347 SM), Cratylus dan
lainnya. Dalam mencari kebenaran filsafati pada awalnya, bahasa
hanya dipandang sebagai sarana komunikasi dalam
mengungkapkan atau mentransfer ide-ide, inspirasi, dan faham
filsafati hasil perenungan mereka saja. Namun, eksistensi bahasa
yang pada awalnya hanya dipandang dan dipahami sebagai media
komunikasi belaka, lambat laun berubah mengarah kepada sebuah
kajian yang dapat disamakan dengan kajian filsafat dalam mencari
22
dan menemukan kebenaran keilmuan. Sejak saat itu keberadaan
bahasa tidak lagi hanya diposisikan sebagai sarana komunikasi
belaka, lebih dari itu mereka mulai memposisikan dan menjadikan
bahasa sebagai objek material kajian dan mengklaimnya pula
sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang disebut filsafat bahasa.
Pengajian dalam bidang ilmu filsafat bahasa yang mereka
lakukan pada saat itu diawali oleh pengamatan terhadap bunyi-
bunyi yang dihasilkan oleh alam yang tertangkap oleh indera
manusia. Kemudian bunyi-bunyi tersebut diolah di dalam pikiran
dan pandangan mereka sehingga menghasilkan sederetan nama-
nama benda yang dirujuknya, seperti kokoriko untuk menyebutkan
ayam berkokok, cit-cit mengatakan burung bernyanyi atau
berbicara , bang-bang menyatakan ketukan, atau tembakan
senapang dan lain sebagainya.
Secara konsisten mereka melakukan pengamatan-
pengamatan terhadap bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam
tersebut dan diikuti oleh karakter atau sifat kehidupan flora, fauna,
dan unsur mineral, serta bebatuan, kemudian kesemuanya ini
dihubungkan dengan unsur-unsur leksikal bahasa manusia.
Bersumber dari hasil kegiatan ini muncullah beberapa peristilahan
yang seterusnya bermuara kepada munculnya beberapa terminologi
seperti adanya terminologi onomatophe, metafora, adanya part of
speech, analogi versus anomaly, fisei dan nomos dan lainnya.
Berdasarkan hasil pengamatan-pengamatan tersebut pula akhirnya,
mereka membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari
23
alam, sehingga implementasi kajian bahasa dikaitkan dengan
ecoregion dan ekologi,serta ekosistem atau lingkungan alam
tempat keberadaan bahasa tersebut digunakan, periksa Lyon
(1995: 4-7), Djojosuroto (2007: 54-56).
Kesalingterhubungan antara kedua komponen ini baru
mulai dibicarakan secara ilmiah pada tahun 1912 oleh seorang
pakar di bidang antropologi dan linguistik berkebangsaan Amerika
bernama Edward Sapir. Melalui beberapa upaya pengamatannya,
pakar ini memperoleh kesimpulan bahwa lingkungan fisik dari
sebuah bahasa terdiri atas karakter geografis dan topografis tempat
bahasa tersebut digunakan. Topografis dari sebuah wilayah atau
negara dimaksud, berkaitan dengan iklim dan curah hujan, serta
sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan dan sumber
ekonomi manusia. Kesemuanya ini menjalin suatu kaitan yang erat
dengan pola penggunaan bahasa komunitas tutur wilayah atau
negara tersebut. Sehingga, menurut beliau bahwa kosa kata dalam
bahasa-bahasa tersebut akan berbeda antara satu bahasa dengan
bahasa lainnya, dan sangat bergantung pula pada sosiokultural dan
lingkungan alam ragawi (ecoregion) di tempat dimana bahasa itu
digunakan.
Kelengkapan vokabulari dari sebuah bahasa tidak pula
mutlak hanya bergantung atau dipengaruhi oleh lingkungan fisik
bahasa tersebut, lebih dari itu lingkungan sosiokultural penutur
juga sangat berperan dan dapat mewarnai keberadaan leksikal-
lesikal tersebut. Lebih lanjud beliau berpendapat bahwa pada
24
umumnya perbedaan ini hanya terjadi pada sebatas perbedaan
unsur-unsur leksikal antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.
Perbedaan-perbedaan yang bersangkut paut dengan kaidah atau
prinsip struktur bahasa-bahasa tersebut menurutnya pada
umumnya jarang terjadi.
Namun seiring dengan perubahan zaman, perubahan yang
bersangkut paut dengan kaidah struktur bahasa-bahasa dunia saat
ini sudah banyak terjadi, hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan, perluasan wilayah, dan pertumbuhan ekonomi
disusul pula oleh peningkatan jumlah mobilisasi masyarakat.
Akibat dari keadaan tersebut maka kontak bahasa antara bahasa
pendatang dan bahasa setempat atau bahasa lokal tidak terelakkan
dan pasti terjadi. Sehingga banyak bahasa kreol terbentuk, sebagai
contoh bahasa Singlish, Hinglish,bahasa AAVE , dan lainnya (
akan dibicarakan di bab 4).
Interelasi dan interaksi antara bahasa dengan lingkungan
alam ragawi pada wilayah bahasa-bahasa etnik di Nusantara ini
juga dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan bahasanya yang sudah
terwaris dari generasi ke generasi. Keberlanjutan pewarisan dari
generasi sebelumnya ke generasi berikutnya dapat dilihat pada
contoh penelitian Nuzwaty (2012) yang ditulis (2016:20)
menggambarkan tentang keterhubungan ini, dalam bahasa Aceh
seperti pada ungkapan Laen lhok laen buya dan laen kreung laen
eungkeut yang dapat mengandung atau mengekspresikan banyak
makna. Secara harfiah ungkapan ini menyatakan ‘ lain lubuk lain
25
buayanya’ dan ‘lain sungai lain ikannya’. Leksikon nama lhok
‘lubuk’ adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar.
Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon lhok
secara leksikal memiliki makna denotasi referensial eksternal yang
merujuk pada entitas ekologis tertentu yaitu ‘bagian sungai atau
danau yang dalam’.
Pengetahuan dan pengalaman penutur bahasa Aceh tentang
lingkungan sungai yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan
pengenalan, pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur
yang tentunya bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi
dengan kondisi sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal
(kreung) itu, seperti juga dengan biota eungkeut ‘ikan’ dan buya
‘buaya’ ataupun entitas-entitas lainnya di lingkungan sosial
komunitas tersebut. Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan
cakupan makna denotasi, makna konotasi yang disepakati, daya
cipta para penuturnya memeroduksi ungkapan atau peribahasa
Laen lhok laen buya dan laen kreung laen eungkeut, menjadi
ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat
tuturnya dan terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu
umumnya berlangsung secara lisan.
Ungkapan bahasa Indonesia kalau tidak ada api tidak
mungkin ada asap, menggambarkan fenomena alam di mana secara
alamiah asap sesungguhnya merupakan gejala alam yang pada
setiap kemunculannya pasti dimulai oleh adanya api sebagai
penyebab keberadaannya. Secara metaforis makna ungkapan itu
26
mengekspresikan suatu kejadian tidak akan terjadi tanpa penyebab.
Jika komunitas bahasa Indonesia menggunakan dua komponen
yaitu asap dan api sebagai perujukan atau referen, untuk
menggambarkan sebab-akibat, akantetapi masyarakat tutur bahasa
Aceh menggunakan komponen ekologis angen (angin) dan on
kayee (daun) sebagai referensi untuk ungkapan yang maknanya
sama secara metaforis yaitu, ‘sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada
penyebabnya’. Ungkapan tersebut adalah, Meung hana angen, pane
mumeet on kayee, yang secara literal atau secara harfiah bermakna,
‘jika tidak ada angin tidak mungkin daun bergoyang’. Pada kedua
ungkapan tersebut, terlihat adanya bentuk keselarasan makna
melalui penggunaan perujukan atau referen unsur ekologi yang
berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan ecoregion dan
perbedaan sosiokultural komunitas penuturnya, sebagai cerminan
perbedaan tingkat kedalaman interelasi, interaksi, dan interdipensi
dengan unsur-unsur yang ada di sekitar lingkungannya walaupun
berasal dari masyarakat tutur yang sama.
Bagi komunitas tutur bahasa Aceh misalnya, interelasi dan
interaksi yang terus menerus dengan eungkeut ‘ikan’, dengan abo
‘siput’, dengan boh limeng dan asam sunti ‘belimbing wuluh’dan
asam sunti’, dan tentunya dengan anekaragam hayati dan nonhayati
yang ada di lingkungan hidup mereka, memberikan ruang bagi
mereka untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberi peluang
untuk menciptakan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya
makna sosial budaya, sekaligus juga memperkaya bahasa dan
27
budaya Aceh pula. Dalam bahasa dan budaya lokal Nusantara,
dalam hal ini bahasa dan budaya Aceh, sesungguhnya tersimpan
kekayaan dan modal sosial budaya bangsa. Termasuk di dalamnya
adalah kekayaan kearifan lokal yang tersimpan di balik teks verbal
berupa ungkapan-ungkapan metaforik, peribahasa, dan sebagainya
ada di pelbagai wilayah Nusantara.
Hidup berdampingan antara manusia dengan lingkungan
alam di sebahagian wilayah nusantara saat ini sudah mulai
berkurang keharmonisanya, hal ini terlihat pada kurangnya minat
masyarakat untuk mencegah kerusakan lingkungan alam dalam
kaitannya dengan bentuk pelestarian yang dilakukan secara utuh,
sebagai contoh slogan-slogan bahasa yang menyerukan lingkungan
indah, nyaman, dan bersahaja, diabaikan begitu saja dan dianggap
sebagai sesuatu hal biasa saja dan sama sekali tidak menyentuh dan
tidak pula menjadi perhatian banyak orang contoh yang paling
umum yaitu masih banyaknya sampah di buang sembarangan yang
mengakibatkan banyaknya selokan dan parit tumpat.
Selain dari sikap kepedulian terhadap lingkungan ini sudah
parah, dan diperparah pula oleh masuknya imigran-imigran asing
yang secara otomatis berbarengan dengan perilaku dan budayanya
yang lambat laun akan memengaruhi perilaku dan pola pikir
masyarakat lokal. Akibat dari semua itu, kedudukan bahasa dan
kebudayaan daerah sudah mulai pula tercemar. Pencemaran ini
juga berimbas kepada lingkungan fisik dan lingkungan sosial pada
ranah penggunaan bahasa.
28
Pemandangan yang memerihatinkan ini seolah-olah sudah
menjadi hal yang biasa di setiap tapak bumi nusantara.
Keberlangsungan hidup lingkungan alam dan seluruh isinya
termasuk pula hilangnya kosa kata yang menjadi rujukan pada alam
semesta seyogianya menjadi tanggung jawab semua masyarakat
Indonesia yang harus benar-benar dicermatinya dan sudah
selayaknya pula menjadi perhatian nasional.
Sudah menjadi suatu pemandangan yang lazim, kebanyakan
penutur jati dari suatu bahasa tidak lagi peka terdahap perubahan
ini, dan akan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar.
Kondisi yang memperihantin ini terutama banyak terjadi pada
kalangan anak-anak dan remaja. Mereka lebih mengenal istilah
atau kosa kata bahasa asing yang berkaitan dengan ungkapan
kealaman bila dibandingkan dengan pengenalam mereka ungkapan
kealaman bahasa Indonesia.
E. Iterelasi Bahasa dengan Lingkungan Sosiobudaya
Lingkungan sosiobudaya merupakan satu kekuatan yang terdiri atas
kekuatan masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran
setiap individu untuk saling mengenal, saling memahami batasan-
batasan privasi anggota masyarakat, demi terciptanya suasana aman
di lingkungannya. Termasuk pula ke dalamnya rasa saling
menghormati antara sesama kelompok masyarakat seperti
masyarakat kelompok generasi muda, dapat memahami cara
29
bersikap terhadap kelompok masyarakat yang usianya lebih tua,
dan atau generasi tua, demikian pula sebaliknya.
Tata cara hidup tersebut diatur oleh anggota masyarakatnya
yang bersesuaian dengan kebutuhan kehidupan masyarakat
tersebut. Termasuk pula pemahaman tentang keberagaman bahasa
dalam masyarakat heterogen sebagai suatu bentuk keberagaman
dalam satu wadah yang utuh.
Lingkungan sosiobudaya dapat merupakan kekuatan
kolektif masyarakat sebagai mahluk yang berakal dan berbudi
dalam menata kehidupannya untuk mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan perilakunya seperti agama, kepercayaan, etika,
pemahaman tentang politik serta pemahaman tentang berbagai
aspek kehidupan lainnya, serta pemahaman tentang bahasanya yang
berada pada pusat kognitifnya.
Bahasa mempunyai efek terhadap bagaimana seseorang
berpikir tentang segala sesuatu yang ada di dunia ini dan sangat
bergantung kepada lingkugan budayanya. Bahasa yang
mengklasifikasikan gender dalam perujukan kepada objek atau
benda, apakah benda tersebut feminine, masculine atau neuter
tidak semua berlaku sama persis untuk semua masyarakat tutur
yang sama-sama memiliki tipe bahasa yang bercirikan
penglasifikasian gender pada benda sebagai contoh bahasa Jerman
dan bahasa Spanyol sama-sama mengklasifikasikan perujukan pada
objek atau benda berdasarkan gender.
30
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lera Boroditsky
(2003) dalam Kovecses (2006:83-84) menemukan bahwa secara
garis besar tidak terdapat perbedaan dalam hal pengklasifikasian
nomina( inanimate objecks) antara penutur Jerman dan penutur
Spanyol. Namun tidak semua penetapan benda-benda mati tersebut
dalam klasifikasi yang betul-betul sama, contoh untuk benda key
‘kunci’dalam bahasa Jerman masuk ke dalam kelas maskulin tetapi
dalam bahasa Spanyol masuk ke dalam kelas feminine. Mengapa
ini terjadi karena dalam lingkungan budaya Jerman kunci terbuat
dari metal, keras, berat, bergerigi seperti gergaji, kesemua sifat-
sifat atau kriteria yang disesuaikan pada kunci berpadanan dengan
kriteria atau sifat-sifat yang ada pada diri laki-laki sehingga kunci
terinventarisir ke dalam kelas masculine. Sedangkan dalam
lingkungan budaya Spanyol, mereka menganggap kunci
merupakan suatu yang kecil, mungil, berwarna keemasan, berkilat,
indah dan menawan, kesemuanya ciri-ciri tersebut merupakan sifat-
sifat atau kriteria yang dimiliki seorang wanita secara umum.
Sehingga kunci terinventarisir dalam kelas feminine dalam bahasa
Spanyol.
Sebaliknya pada contoh lain yaitu bridge ‘Jembatan’,
bahasa Jerman memasukkannya ke dalam kelas feminine
sedangkan bahasa Spanyol memasukkannya dalam kelas
masculine. Dalam kognitif masyarakat tutur bahasa Jerman,
jembatan dipahami sebagai nomina yang cantik, indah, menawan,
elegan, tenang, rapuh dan ramping. Sedangkan, dalam kognitif
31
masyarakat tutur bahasa Spanyol jembatan dipahami sebagai
nomina yang besar, kuat, berbahaya, panjang, dan kekar. Dalam
lingkungan budaya masyarakat bahasa yang secara gramatikal
membeda-bedakan klasifikasi nomina (noun) kedalam gender,
harus memperhatikan kaidah- kaidah pengklasifikasian itu. Pada
Nomina (noun) yang diklasifikasikan ke dalam masculine, penutur
akan menggunakan adjektiva yang menguraikan atau menjelaskan
pemarkah-pemarkah yang bersesuain dengan stereotipe laki-laki.
Demikian pula halnya dengan nomina yang berada pada klasifikasi
feminine akan menjelaskan pemarkah-pemarkah yang bersesuaian
dengan stereotipe wanita. Dari dua contoh yang telah diuraikan
diatas dapat dilihat bahwa dalam sistem pemarkah gender sebuah
bahasa akan sangat bergantung pada pemahaman masyarakat
penutur bahasa terhadap objek atau benda-benda mati tersebut.
Dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai efek bagaimana
penutur dalam suatu lingkungan budaya memandang benda-benda
di dunia dan lingkungan kehidupannya.
Lingkungan budaya suatu masyarakat terkait erat pula
dengan kelengkapan vokabulari suatu bahasa masyarakat tersebut
yang dapat amati pada pengetahuan, minat, pekerjaan serta
pandangan hidup penutur atau masyarakat bahasa dan wilayah
(ecoregion) penggunaan bahasa tersebut. Bila diperbandingkan
antara jumlah vokabulari yang dimiliki oleh penutur yang
bermukim di pegunungan dengan jumlah vokabulari penutur yang
bermukim di kawasan pantai atau pesisir. Maka pada umumnya,
32
penutur bahasa yang menetap dipegunungan akan memiliki
khasanah vokabulari lebih banyak berkaitan dengan lembah, ciri
tanah, jenis unggas, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan
kehidupan satwa liar. Sebagai contoh suku Noocka Indian yang
secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan
hutan memiliki vokabulari kelautan sangat minim. Demikian pula
halnya dengan penutur bahasa yang bermukin di pesisir pantai,
akan memiliki lebih banyak khasanah vokabulari yang berkaitan
dengan lingkungan kelautan. Suku Paiute , Arizona misalnya ,
lebih banyak menciptakan nama-nama ikan, ganggag, bunga
karang , pasir dan semua kandungan laut.
Contoh lain dapat pula dilihat pada kehidupan sebagian
masyakarat Indonesia yang menjadikan beras sebagai makanan
pokok dan bahan baku panganan sebagai kudapan memiliki
kekayaan khasanah vokabulari yang berkaitan dengan padi dan
beras. Satu diantaranya masyarakat tutur bahasa Aceh, memiliki
khasanah vokabulari kuliner yang lebih banyak berkaitan dengan
pade ‘padi’dan bu ‘nasi’, sebagai contoh, eumping pade ‘padi
sangrai yang ditumbuk’, bu kulah, bu phet, bu leukat, bu leumak,
bu kanji, bu kuneng, dan bu leugok. Masyarakat Indonesia yang
berdomisili di Indonesia Bagian Timur seperti NTT misalnya
menjadikan jagung sebagai makanan pokok jagung yang dalam
bahasa Tetun (bahasa etnik di Nusatenggara Tenggara Timur)
disebut batar.
Masyrakat Indonesia di Pulau Bali, mayoritas beragama
Hindu, memiliki beragam upacara ritual. Pada pelaksanaan
33
upacara- upacara tersebut, masyarakat menyiapkan sesajen yang
berasal dari beberapa tanaman yang tumbuh disekitar lingkungan
alam pulau tersebut. Beberapa diantara adalah sekar’bunga’, tiying’
bambu’, dan nyuh ‘ kelapa’. Sehingga Masyarakat Hindu Bali
banyak mengenal berbagai ragam leksikon bunga, yaitu bunga
pucuk ‘bunga kembang sepatu’, bunga tunjung ‘bunga teratai’,
bunga cempaka ‘bunga cempaka’, bunga merak ‘bunga kembang
merak’, dan bunga pudak ‘bunga pandan duri’. Semua bunga-
bunga tersebut merupakan sarana pemujaan yang mewakili
ungkapan rasa syukur dan rasa terima kasih dengan tulus ikhlas dari
pemujanya kepada Hyang Widhi dan juga kepada leluhur yang
secara genitik melahirkan mereka. Sekar sebagai simbol Siwa
(tuhan), dalam acara pemujaan, sekar diletakkan ditelapak tangan
dan setelah selesai sekar diletakkan diatas kepala atau diselipkan
diantara pipi dan daun telinga.
Masyarakat Hindu Bali juga mengenal beragam tanaman
bambu seperti tiying ampel’ bambu hitam’, tiying santong ‘bambu
kuning’, tiying tali ‘bambu tali’, dan tiying tutul ‘bambu tutul’, dan
mereka mengenal pula berbagai jenis kelapa, yaitu nyuh bulan
‘kelapa kuning, nyuh cenik ‘kelapa genjah’, nyuh gadang ‘kelapa
hijau’, nyuh gading ‘kelapa gading’, dan nyuh udang ‘ kelapa
merah’. Untuk kegunaan acara ritual tersebut masyarakat Bali
berupaya membudidayakan dan melestarikan lingkungan alam
mereka.
Sapir (1912) juga beranggapan bahwa bahasa yang
diucapkan oleh seseorang sangat bergantung pula kepada pikiran
34
dan perilaku orang tersebut, yang terefleksi kepada bentuk
vokabulari yang dituturkannya. Sehingga tidak mengherankan,
sebagian orang walaupun tidak semuanya menggunakan bentuk-
bentuk vokabulari yang bervariasi dan berbeda antara satu
kelompok penutur dengan kelompok penutur lainnya. Anggapan ini
dikenal dengan hipotesis Sapir–Whorf karena Whorf yang pertama
sekali membicarakannya dalam tulisan beliau tahun 1956.
Keberagaman Variasi bahasa tersebut dapat dilihat dalam
lingkungan sosiobudaya masyarakat tutur bahasa Jawa. Sebagai
media komunikasi bahasa Jawa memiliki strata bahasa atau
tingkatan yang disebut Undhak-Usuk. Tinggkatan teratas adalah
Kromo Inggil, merupakan bahasa yang digunakan oleh kelompok
penutur kaum bangsawan dan kaum terpelajar dan menduduki
strata tertinggi atau juga dikenal sebagai bahasa jawa halus. Pada
tingkatan ke dua adalah Madio, yaitu strata menengah merupakan
bahasa yang digunakan oleh kelompok penutur dari kalangan
menengah keatas. Terakhir adalah Ngoko yaitu strata bawah atau
dikenal pula sebagai bahasa Jawa kasar, bahasa yang digunakan
oleh kelompok penutur dari kalangan rakyat jelata atau rakyat
bawah dan abdi dalam.
Penutur dalam tinggkatan-tingkatan ini sangat
memperhatikan dan sangat peka terhadap kesesuaian leksikon atau
bentuk kata yang digunakan dalam hubungannya dengan komunitas
tutur, yaitu antara penutur dan mitra tutur. Dalam proses
komunikasi verbal antara penutur dari strata yang lebih tinggi
kepada mitra tutur dari strata yang lebih rendah dibenarkan
35
menggunakan leksikon-leksikon yang ada dalam khasanah bahasa
tingkatan yang lebih rendah, namun sebaliknya penutur dari
tingkatan yang lebih rendah harus berusaha menggunakan
leksikon-lesikon yang ada dalam khasanah bahasa yang lebih
tinggi, sebagai contoh, untuk menyebutkan;
Kata anda digunakan sampean dari strata tinggi ke
strata bawah, sebalik dari strata bawah ke strata
tinggi tidak dibenarkan menggunakan sampean dan
harus digunakan leksikon panjenengan
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan keterhubungan
antara bahasa dengan lingkungan sosiobudaya yang pernah
dilakukan, satu diantaranya adalah penelitian yang dikerjakan oleh
Lucy (1996) terhadap bahasa Yucatec Maya, seperti yang diungkap
oleh Kovecses (2006:323) menghasilkan satu temuan bahwa
keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec bersifat opsional
dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup
saja. Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang
hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada
yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang masyarakat
Yucatec terhadap lingkungan hidup di pedesaan dalam kehidupan
keseharian, yang lebih memperhatikan kehidupan yang sedang
berlangsung.
G. Kesimpulan
Ditinjau dari konteks definisi, bahasa adalah bunyi-bunyi
yang berfungsi sebagai lambang yang bertujuan untuk
36
melambangkan sesuatu makna yang disepakati secara konvensi
oleh anggota masyarakat bahasa tersebut. Ditinjau dari fungsinya,
bahasa merupakan media yang sangat tangguh yang dimiliki oleh
manusia yang dapat dipergunakannya untuk menyampaikan segala
sesuatu atau pesan baik yang tersimpan di dalam pikirannya, di
dalam sanubarinya maupun sesuatu yang berada di luar pikiran dan
sanubarinya, misalnya tentang lingkungan yang ada disekitarnya.
Disebabkan oleh keberadaan bahasa tersebut manusia dapat saling
berinteraksi, saling bekerjasama dan dapat menjalin hubungan
antara sesama kelompok masyarakatnya.
Keterhubungan antara bahasa dengan ekologi dapat dilihat
dari sudut pandang yang saling membantu dan bekerja sama.
Bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia
sekelilingnya yang terekam secara verbal dalam kognitif manusia
tersebut. Dunia sekeliling dimaksud merupakan lingkungan
ekologis yang berada dalam sebuah lingkaran hubungan yang
saling terjalin satu sama lain dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, yaitu hubungan antara bahasa tersebut (sebagai media
yang digunakan untuk berkomunikasi) dengan lingkungan alam
semesta ragawi, dengan lingkungan sosial dan dengan lingkungan
budaya atau kultur yang berada dalam kehidupan suatu masyarakat
bahasa. Kesalingterhubungan ini berpotensi menciptakan suasana
yang dapat diekspresikan melalui bahasa dalam lingkungan
ekologis tersebut.
37
Kemampuan seseorang menciptakan tuturannya dan
membangun kemampuan linguistiknya terjadi melalui suatu proses
yang diperolehnya dari pengalaman di dalam lingkungan ekologis
yang terekam secara verbal dalam kognitifnya. Rekaman
pengalaman-pengalaman tersebut kemudian diaplikasikan dalam
komunikasi yang spesifik antar sesamanya. Rekaman pengalaman
yang paling dekat dan paling lekat adalah tentang dunia sekitar baik
bersifat kultural maupun yang bersifat alamiah. Sehingga, fungsi
awal imajineri seseorang adalah menggambarkan lingkungan di
sekitarnya. Melalui pola penggunaan bahasa yang terstruktur
karena bahasa dibangun oleh imajinri yang ada di otak dan
pengalaman manusia.
Setiap manusia mempunyai pengalaman yang berbeda
antara seseorang dengan seseorang lainnya. Pengalaman yang
bersifat personal ini senantiasa berhubungan dengan lingkungan
ekologis orang tersebut dan lingkungan ini pula yang membentuk
kultur seseorang. Pengalaman ini berkaitan pula secara langsung
kepada pola penggunaan bahasa yang terekam dalam kognitif orang
tersebut. Pada umumnya manusia, secara kodrati memiliki
kemampuan yang sama dalam kapasitas mempelajari bahasanya.
Kemampuan ini juga berbanding lurus dengan kemampuan
manusia tersebut ketika ia mulai belajar berjalan serta belajar
berdiri. Semua kemampuan ini tidak bergantung kepada tingkat
intelegensia seseorang namun, lebih banyak bergantung kepada
lingkungan ekologis, di ranah dia dibesarkan.
38
Berbicara tentang lingkungan alam sebuah bahasa Haugen
(1972:326) menggambarkannya sebagai suatu bentuk kesatuan
lingual secara verbal yang terekam di dalam kognitif manusia yang
menghubungkannya dengan lingkungan alamnya. Lingkungan alam
sebuah bahasa menurutnya adalah masyarakat pengguna bahasa itu
sendiri. Sebab menurutnya, bahasa sesungguhnya hanya ada di
dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi
menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan
lingkungan alam sekitarnya. Lingkungan alam sekitar dimaksud
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan
lingkungan budaya serta lingkungan alam ragawi. Makna
lingkungan disini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk
kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.
Dari pernyataan ini kita akan memperoleh suatu gambaran tentang
hubungan bahasa dan ekologi yang pada dasarnya terjadi dalam
dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal
(psychological environment) yaitu pengaruh lingkungan alam
ragawi terhadap satuan-satuan lingual yang terekam secara verbal
dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut. Bagian
ke dua adalah sosiologikal yaitu hubungan lingkungan sosial dan
lingkungan budaya masyarakat dengan masyarakat pengguna
bahasa tersebut.
39
BAB II
EKOLINGUISTIK
Bab ini membicarakan tentang keberadaan ekolinguistik
sebagai bagian dari kajian linguistik yang khusus mengkaji
keterhubungan antara bahasa manusia dan lingkungan ekologis
yaitu lingkungan alam semesta ragawi, baik lingkungan yang biotik
maupun lingkungan yang abiotik, lingkungan sosial dan lingkungan
budaya atau kultur suatu masyarakat bahasa. Pemaparan-
pemaparan tentang keterkaitan kedua bidang kajian ini diharapkan
memberi peluang kepada para linguis untuk mengamati kajian ini
lebih mendalam, sehingga kolaborasi bidang kajian ini dengan
bidang kajian linguistik lainnya dapat terjalin dengan baik dan
dapat pula terukur secara ilmiah dalam kancah linguistik.
A. Pemahaman Tentang Linguistik
Secara umum linguistik diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari bahasa. Maksud dari frasa ‘ilmu yang mempelajari
bahasa’ adalah bahwa bahasa dimanfaatkan sebagai objek atau
fokus kajian melalui pengamatan terhadap data-data kebahasaan.
Seperti kajian terhadap bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap atau
artikulasi manusia membentuk sebuah tuturan yang mengandung
makna. Bunyi-bunyi tuturan tersebut dapat dikaji melalui ilmu
bahasa yang disebut fonologi. Fonologi merupakan kajian bahasa
yang berfokus kepada stuktur bunyi-bunyi yang secara sistematis
40
membentuk rantai ujaran dalam sebuah bahasa, kajian ini juga
menjelaskan bagaimana bentuk atau posisi alat artikulasi saat
bunyi-bunyi tersebut dituturkan dan bagaimana pula bunyi-bunyi
tersebut tersimpan di dalam kognitif manusia sehingga secara
otomatis manusia dapat membedakan setiap bunyi-bunyi yang
diucapkan oleh penutur dan mitra tutur. Kajian ini juga menelaah
dan menetapkan ciri pembeda yang dapat membedakan arti antara
bunyi-bunyi tersebut dalam inventarisasi fonem-fonem bahasa
manusia. Kajian ini biasanya di tempatkan sebagai kajian awal dan
pada posisi tataran pertama dalam struktur kajian linguistik.
Pada urutan tataran ke dua, linguistik menelaah dan
mengkaji tentang leksikon sebagai bentuk atau unit terkecil yang
merepresentasikan arti, telaah ini ditempatkan kedalam sebuah
kajian yang disebut morfologi. Morfologi sebagai suatu bagian dari
kajian bahasa juga mengamati bentuk-bentuk leksikon sebagai unit
fundamental. Pengamatan dialamatkan pula kepada susunan unit –
unit tersebut dalam membentuk rangkaian ujaran atau kalimat
pembangun bahasa tersebut.
Pada pengkajian dalam tubuh atau konten bahasa dikenal
pula terminologi sintaksis yang berada pada urutan ke tiga. Dalam
kajian sintaksis pembicaraan tentang bahasa terfokus kepada
susunan kalimat dan tuturan yang dapat dideteksi pada susunan
bentuk atau struktur kalimat atau tuturan yang gramatikal dan atau
struktur kalimat yang tidak gramatikal. Kemudian Pada tataran ke
empat kajian adalah kajian semantik. Semantik merupakan kajian
41
yang memfokuskan diri kepada makna atau arti yang
diekspresikan oleh kalimat atau ujaran.
Ilmu fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik
merupakan cabang linguistik yang khusus membicarakan materi-
materi dalam tubuh atau konten bahasa dan semua cabang ilmu ini
dijadikan sebagai kajian dasar dari linguistik. Kajian- kajian
tersebut merupakan bagian dari kajian linguistik murni, dikatakan
demikian sebab teori dan metode yang digunakan hanya
diaplikasikan mutlak kepada kisaran yang berkaitan dengan bahasa
itu saja yang bersifat universal.
Melalui berbagai ragam penerapan dan pendekatan metode
linguistik murni, kita dapat meneliti berbagai bahasa-bahasa dunia,
walaupun kita bukanlah bagian dari komunitas pengguna bahasa
tersebut. sebagai contoh, pada tahun 1819, seorang sarjana Jeman
Karl Grimm meneliti bunyi-bunyi bahasa Latin dan Yunani kuno,
menemukan persamaan dan pesesuaian-persesuaian bunyi-bunyi
yang teratur antara bahasa-bahasa tersebut. Dari hasil kerjanya ini
tercipta satu hukum bunyi yang disuaikan dengan namanya yaitu
Hukum Grimm. Di Indonesia dikenal adanya hukum bunyi hasil
karya sarjana Belanda yaitu hukum Van Der Took yang
membicarakan tentang bunyi-bunyi Bahasa Indonesia. Selain
terminologi linguistik murni, dalam telaah linguistik dikenal pula
terminologi linguistik terapan yang terfokus kepada metode-metode
yang berkaitan dengan pengajaran bahasa, pemerolehan bahasa ibu
(L1), pemerolehan bahasa kedua (L2). L2 dapat berupa
pemerolehan bahasa asing atau bahasa lain yang tidak sama dengan
42
bahasa LI seseorang. Linguistik terapan juga membicarakan
pengajaran bahasa pada masyarakat bilingual serta pengajaran
bahasa yang bertalian dengan komputer yang dikenal dengan
terminologi komputasional linguistik. Linguistik terapan juga
menelaah pengajaran bahasa pada masyarakat Afasia.
Sebagai ilmu yang mempelajari bahasa manusia
sesungguhnya linguistik berada pada dua ranah fundamental
kehidupan manusia yaitu mental atau konitif manusia dan
kehidupan sosial manusia. Melalui dua ranah ini, pengamatan
linguistik dapat dilihat pertama bagaimana bahasa diorganisir
dalam mental kognitif manusia dan kedua bagaimana strukur
sosial masyarakat membentuk bahasa dalam penyampaian semua
kebutuhan mereka, yang terefleksi pada tatanan sosial dalam pola
penggunaan bahasa mereka. Dengan mengenal latar belakang ini
dapat dikatakan bahwa linguistik merupakan ilmu yang bersifat
saintifik dalam menganalisis bahasa yang berkaitan dengan stuktur
bahasa dan penggunaannya, serta hubungan antara unsur-unsur
dalam bahasa yang terorganisir dalam kognitif manusia.
B. Linguistik Pada Ranah Ekolinguistik
Kajian ekolinguistik merupakan paradigma baru dalam
pustaka linguistik pada tahun 1970, yang berawal dari sebuah
pemikiran seorang pakar bernama Einar Haugen. Pakar ini
berusaha memfokuskan kajiannya pada hubungan ekologi dengan
43
bahasa sebagai suatu kajian interdisipliner. Dalam kajian
interdisipliner ini, hubungan antara keduanya dapat saling mengisi
untuk memperluas kajian yang berkaitan dengan kajian
kebahasaan. Secara konsisten selama waktu dua tahun Einar
Haugen terus menerus melakukan penelitian yang berfokus kepada
kajian bahasa yang dikolaborasikan dengan ekologi, dan pada
tahun 1972 dalam sebuah seminar bahasa, kajian interdisiplin ini
dinyatakan dan disahkan sebagai bagian dari kajian interdispliner
dalam ranah linguistik yang berinterelasi dengan isu-isu ekologi.
Kajian ini seterusnya disebut sebagai studi ekologi bahasa yang
ditulis oleh Einar Haugen (1972) berjudul The Ecology of
Language.
Seterusnya Haugen (1972) memberikan definisi tentang
ekologi bahasa yaitu suatu kajian interaksi antara bahasa dengan
lingkungannya. Lingkungan dimaksud pada hakekatnya
merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang yang terekam
secara verbal dalam susunan pola leksikon dan pola gramatikal,
yang ada dalam khasanah bahasanya, terutama sekali yang
berkaitan dengan dunia dan lingkungan alam tempat dimana bahasa
tersebut digunakan. Sedangkan lingkungan bahasa adalah
kelompok masyarakat pengguna bahasa tersebut. Oleh sebab itu
bahasa hanya ada di dalam pikiran, kognitif penggunanya dan
berfungsi sebagai media komunikasi dalam hubungan interaksi
antara sesama pengguna dan antara pengguna dengan dunia alami,
yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam.
44
Kajian ekologi bahasa ini dapat pula dipahami sebagai
sebuah kajian yang tidak hanya terfokus kepada interaksi antara
bahasa-bahasa dengan lingkungan alam semesta ragawi (flora,
fauna dan mineral dan tanah), lebih luas lagi ekolinguistik berusaha
mengkaji dan meneliti pula lingkungan tempat keberadaan bahasa
dan lingkungan tempat atau dimana bahasa tersebut digunakan
sebagai sarana komunikasi masyarakat tutur bahasa tersebut.
Sehingga terminologi ekologi dalam kajian ini mencakup semua
lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu
lingkungan alam semesta, lingkungan sosial dan lingkungan
budaya masyarakat tersebut, periksa Haugen (1972:323).
Dalam penelitian-penelitiannya, Haugen berupaya
menggunakan analogi yang berasal dari parameter ekologi yang
dikaitkan dengan lingkungan yang berfungsi untuk menelaah
metafora berupa metafora ekosistem. Pemanfaatan parameter
tersebut bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi
bermacam-macam bentuk bahasa dalam hal ini metafora, yang
bertalian dengan lingkungannya baik berupa lingkungan sosial,
maupun lingkungan budaya (abiotik) dan lingkungan alam itu
sendiri (biotik). Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat
perbandingan hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau
fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral
yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga
menjelaskan hubungan kelompok komunitas penutur-penutur
bahasa dan lingkungannya baik lingkungan alam maupun
45
lingkungan buatan, lihat Muhlhausler (1995) dalam Fill dan
Muhlhausler (2001:1). Lebih lanjud Fill dan Muhlhausler (2001:2)
menjelaskan pula bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu
studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif
manusia. Penelitian tersebut dilakukan pada komunitas
multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki.
Pada saat itu penelitian terhadap ekologi bahasa sudah
mulai merambah luas dan bekerja sama dengan antropologi,
sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Kerjasama antara antropologi,
sosiologi psikologi dengan ekolinguistik dapat terjalin dengan baik
dan menghasilkan temuan-temuan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jalinan kerjasama antara
disiplin kajian- kajian tersebut dapat bersinergi karena fokus kajian
ekolinguistik sesungguhnya lebih kepada penelaahan terhadap
manusia pada semua aspek kehidupannya dan lingkungan
sosialnya, serta lingkungan alam semesta dan dengan semua isi
kandungannya yang direpresentasikan dan dihubungkan dengan
pola penggunaan bahasa tersebut, periksa Haugen (1972: 325).
Definisi lingkungan dimaksud, mencakup pikiran seseorang
yang merujuk kepada dunia tempat bahasa itu digunakan. Lebih
lanjud Haugen menjelaskan pula bahwa lingkungan alam atau
ekologi sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa
tersebut, dan dalam hal ini termasuk pula kedalamnya lingkungan
sosial dan lingkungan budaya masyarakat tutur bahasa tersebut.
Berikutnya Haugen (1972: 326) menggambarkan bahwa bahasa
46
sesungguhnya hanya berada di dalam otak atau kognitif
penggunanya yang ditransfer dalam bentuk kode-kode lingual.
Kode-kode lingual inilah yang berfungsi menghubungkan
penggunanya ke pada sesama dan kepada lingkungan alam.
Lingkungan alam dimaksud merupakan wujud lingkungan sosial,
lingkungan buatan, dan lingkungan alam semesta.
Seiring dengan berjalannya waktu kajian ekologi bahasa
mulai dikenal dan diminati oleh pakar-pakar linguistik prakmatik,
analisis wacana, antropo-linguistik dan berbagai cabang linguistik
lainnya. Dengan memanfaatkan parameter ekologi (interelasi,
lingkungan dan keberagaman), kajian yang berkaitan dengan
lingkungan mulai memasuki ranah konsentrasi kajian linguistik.
Kajian yang berkaitan dengan studi bahasa dan ekologi ini digiring
bersama dan berkumpul dalam satu wadah cabang linguistik. Pada
awal tahun 1990, disiplin ilmu ini dideklarasikan sebagai
ecolinguistics (ekolinguistik) dalam sebuah conferensi bahasa (
AILA) di Thessaloniki, Yunani.
Setelah deklarasi tersebut, penelitian dibidang ekolinguistik
berada pada kejayaannya, jurnal-jurnal yang mempublikasikan
penelitian ini berkembang pesat. Penelitian bahasa yang pada
umumnya banyak membicarakan permasalahan-permasalahan
bahasa yang berkaitan dengan fonologi serta kaidah-kaidah
gramatikal bahasa dan unsur-unsur leksikon sudah mulai
dikolaborasikan dengan kajian-kajian yang mengarah kepada
ekolinguistik.
47
Hasil penelitian Ashok Kelkar tentang bahasa Inggris yang
dipergunakan oleh suku Marathi (1957) di India yang dibicarakan
oleh Haugen (1972:335) bahwa bahasa Inggris yang digunakan
oleh etnik Marathi sebagai media komunikasi tidak sama dengan
bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur asli Bahasa Inggris.
Masyarakat bahasa di Marathi menggunakan bahasa Inggris dengan
tidak hanya mengadopsi sistem bunyi bahasa Marathi ke dalam
bahasa Inggris, lebih dari itu mereka juga mengaplikasikan sistem
gramatikal bahasa mereka sendiri ke dalam bahasa Inggris. Sistem
gramatikal dan sistem bunyi yang mereka gunakan sebenarnya
tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah bahasa Inggris
yang sesungguhnya. Sehingga apabila penutur asli bahasa Inggris
ingin berkomunikasi dengan penutur bahasa Inggris Marathi akan
mengalami kesulitan untuk mengerti dan memaknani isi
pembicaraan mereka.
Hal ini terjadi karena sistem bunyi dan sistem gramatikal
bahasa Inggris Marathi secara otomatis menyesuaikan diri dengan
sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi. Kondisi seperti
mengisaratkan bahwasanya bahasa dan lingkungan (ecoregion)
tempat bahasa itu digunakan terkait erat. Untuk kasus seperti ini
Kelkar (1957) menganggapnya sebagai salah satu dialek bahasa
Inggris yang digunakan di wilayah yang sangat jauh dari wilayah
asal bahasa tersebut (point of origin).
Penelitian yang dilakukan oleh Kelkar berfokus kepada
pergeseran bahasa Inggris ke bahasa Inggris Marati yang terjadi
48
pada seluruh tatanan gramatikal sehingga timbul suatu pergeseran
disebabkan oleh penyesuaian stuktur bahasa lokal ke bahasa impor
atau bahasa pendatang. Pengkajian lain yang juga bisa diamati
melalui ekolinguistik adalah pengkajian terhadap ketergerusan
unsur-unsur leksikon, penyusutan unsur-unsur leksikon di wilayah
pedesaan yang terjadi disebabkan oleh perluasan lahan pada sektor
pertanian, pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kehidupan moderen yang memasuki wilayah tersebut. Beberapa
contoh dapat ditemukan pada leksikon -leksikon bahasa Aceh,
seperti pada verba piih ‘menggiling cabai’ dengan menggunakan
batu pengilingan cabai sudah jarang ditemukan dan tidak
digunakan lagi dan bahkan sudah asing ditelinga masyarakat
bahasanya, sebab sudah digantikan dengan verba blender (bahasa
Inggris). Selain itu nomina Jeungki yaitu alat penumbuk padi yang
lazim digunakan pada zaman dahulu sudah tergantikan oleh kilang
padi.
Pakar ekolinguistik Fill dan Muhlhausler (2001:57)
berpendapat bahwa ekolinguistik melibatkan teori-teori,
metodologi, dan studi empiris bahasa, serta berkontribusi dalam
perspektif semua level linguistik yang berkaitan atau berhubungan
dengan ekologi. Dengan demikian jangkauan ekolinguistik menjadi
luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa disiplin ilmu
bahasa. Seperti:
a. Menemukan teori bahasa yang tepat.
b. Studi tentang sistem bahasa dan teks
49
c. Studi keuniversalan bahasa yang relevan dengan isu-isu
lingkungan.
d. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekatan kontrastif.
e. Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi
(ecoliteracy), seperti pengajaran tentang pemahaman
ekologi kepada anak-anak dan orang dewasa.
Cabang linguistik ini banyak menggunakan metafora
ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-
macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora
tersebut Haugen membuat perbandingan hubungan antara ekologi
dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta
seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi
tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok
masyarakat pengguna bahasa- bahasa dan lingkungannya baik
lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Muhlhausler (1995)
dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1) menjelaskan bahwa Haugen
berupaya menciptakan suatu perpaduan studi ekologi dan bahasa
dalam hubungannya dengan kognitif manusia pada komunitas
multilingual.
Peneliti-peneliti dari Universitas Bielefelde di Jerman sudah
mulai mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik sejak
tahun 1982. Ide mentranfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan
metode-metode, ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang
pesat. Pieter Finke (1983, 1993,1996) mentranformasikan konsep-
konsep ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural,
50
seperti yang dilaporkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45).
Pakar ini mengkritik satuan leksikon yang digunakan industri
agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Kata atau
leksikal seperti ‘production ‘produksi’ replace’menempati,
growing ‘tumbuh’, dan giving ‘pemberian’ yang sesungguh dapat
mengandung makna positif yaitu mengarah kepada kemajuan
industri agrikultur . Akantetapi di dalam dunia industri secara luas,
terjadi pergeseran makna leksikal-lesikal tersebut ke arah makna
negatif. Interpretasi terhadap leksikon tersebut berubah menjadi
makna metaforis yaitu pembunuhan (killing)dan pelenyapan
(taking away).
Bentuk keritik lain pernah disampaikan oleh (Grundler
1977, Halliebach 1978, Gigon 1983) pada saat debat tentang energi
nuklir. Ketiga-tiga pakar ini beranggapan bahwa dalam
pemanfaatan bahasa yang digunakan dalam mengekspresikan
keberadaan lingkungan hidup yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
keberlangsungan hidup ekologi dan alam semesta, mengalami
kemiskinan istilah sehingga beberapa istilah yang seharus ditujukan
untuk menjelaskan hal-hal positif bergeser dan beralih kepada
perujukan yang mengandung nilai-negatif, seperti pada
penggunaan efumisme hutan perawan
Di Indonesia, ekolinguistik mulai diperkenalkan tahun 2002
oleh Aron Meko Mbete seorang pakar bahasa dari Universitas
Udayana, Bali yang meneliti tentang Ungkapan-Ungkapan dalam
Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan. Dari
51
hasil penelitin ini diperoleh satu bentuk kebertahanan bahasa Lio
yang berkaitan dengan lingkungan alam. Kebertahanan ini
berlangsung disebabkan oleh adanya minat masyarakat untuk
melestarikan ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi sebagai
pemeliharaan keharmonisan hubungan manusia dengan alam
semesta. Hubungan dengan Yang Maha Kuasa khususnya,
senantiasa dijunjung tinggi dan dengan diikuti oleh ungkapan–
ungkapan verbal kepada leluhur yang disadari secara genitis telah
melahirkan mereka.
Kebertahanan ini terus terpelihara disebabkan pula oleh
adanya kandungan nilai, norma, dan fungsi penting ungkapan-
ungkapan budaya verbal masyarakat etnik Lio secara kognitif dan
secara konseptual cukup potensial dalam kaitannya dengan
pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-
ungkapan verbal yang berfungsi melestarikan lahan dengan
menggunakan teknik tradisional bermanfaat mendukung pelestarian
lingkungan alam. Ungkapan- ungkapan verbal yang
mengamanatkan dan mereprentasikan pemeliharan hutan lindung,
sumber air, dan pelestarian pantai, termasuk laut dan sumber
alamnya yang diamanatkan oleh leluhur mereka masih tetap
dipertahankan dan tetap digunakan.
Ekolingiuistik, sebagai satu bentuk kajian yang berlaku
pada semua bahasa manusia yaitu mahluk ekologis pemilik bahasa,
maka metode dan teknik penerapan penelitiannya mempunyai
keterhubungan dan dapat disepadankan dan disandingkan
52
(kolaborasi) dengan ruang kajian subdisiplin linguistik lainnya,
yaitu Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik
Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik
Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula
Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.
Untuk melihat tepat atau tidaknya bentuk kolaborasi antara
ekolinguistik dengan sub-subdisiplin lainnya sebaiknya terlebih
dahulu disusun beberapa pertanyaan ekologis sehingga batasan-
batasan kerjasama antara Ekolinguistik dengan subdisiplin ilmu
tersebut dapat dilihat dan diamati. Jika suatu pertanyaan berkaitan
dengan klasifikasi bahasa maka jawaban untuk pertanyaan seperti
ini akan dijawab oleh para linguis atau peneliti bahasa yang
memfokuskan kajian kepada Historis Komparatif. Jika
pertanyaannya berkisar tentang pengguna bahasa yang berkaitan
tentang dengan wilayah, agama, minat, pekerjaan. maka jawaban
akan diperoleh dari disiplin ilmu Linguistik Demografis. Jika
pertanyan ekologis tersebut mengarah kepada ranah atau domain
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan pola pemertahan bahasa
maka kajian tersebut merupakan lahan kajian Sosiolingistik. Jika
pertanyaan tersebut menyangkut masalah yang berkaitan dengan
bilingual seperti tentang identifikasi kadar kebilingualannya dan
juga tingkat percampuran penggunaan bahasa yang saling tumpang
tindih merupakan lahan kajian Dialinguistik. Jika pertanyaanya
berkaitan dengan variasi-variasi bahasa yang berkaitan dengan
regional dan hubungan sosial dan percampuran beberapa bahasa
53
etnik, kajian tersebut merupakan wilayah pengamatan Dialektologi.
Jika pertanyaan tersebut berkaitan dengan tulisan naskah-naskah
kuno maka kajian ini merupakan lahan kajian Filologi. Jika
pertanyaan tersebut berkisar tentang sikap pengguna bahasa
memandang bahasanya dalam hal ini tentang kedaerahannya, dan
keakraban penggunanya, maka hal ini akan dibicarakan pada
bidang Etnolinguitik. Yang terakhir adalah pertanyaan ekologis
yang berkaitan dengan tipe-tipe bahasa berdasarkan
pengolongannya dan perbandingannya dengan bahasa-bahasa
dunia, maka jawaban akan diperoleh dari Tipologi Linguistik.
C.Kerjasama Linguistik Kognitif dengan Ekolinguitik
Linguistik kognitif merupakan kajian linguistik yang
dianggap masih baru kemunculannya. Walaupun tahun
kelahirannya masih belum diketahui secara jelas tetapi Barcelona
dan Javier (2007:17) menyatakan bahwa kajian ini muncul
diseputaran tahun 1987. Pada tahun tersebut tiga buku yang
berkenaan dengan lahan kajian linguistik kognitif ditulis oleh pakar
linguistik seperti Lakoff (1987) yang menulis, Woman, Fire, and
Dangerous Things, Langacker (1987) menulis, Foundation of
Cognitive Grammar, dan Johnson (1987) menulis The Body in The
Mind. Kemudian dua tahun berikutnya, pada tahun 1989 mereka
membentuk sebuah asosiasi yang bernama International Cognitive
Linguistic Association (ICLA) dan pada tahun 1999 asosiasi ini
mengadakan konferensi pertamanya dengan tajuk bahasan
54
mengarah kepada hubungan bahasa dengan kognisi manusia dalam
menjalani kehidupannya.
Lebih lanjut Barcelona dan Javier (2007:18-22)
menjelaskan bahwa linguistik kognitif mengganggap, kemampuan
seseorang belajar dan menggunakan bahasa ibunya merupakan
kemampuan yang unik yang berada pada mental seseorang yang
khusus dibawa sejak lahir. Kemampuan ini berbeda dengan
kemampuan kognitif manusia secara umum (kemampuan
ketajaman mata, sensori motorik, kemampuan kinesthetic seseorang
atau kemampuan lainnya). Kemampuan manusia berbahasa dalam
memahami makna ucapan dan kalimat banyak dipengaruhi oleh
kultur, konteks, dan fungsi ucapan. Seseorang membentuk,
membangun dan mengerti ucapan pada umumnya berdasarkan
pengalaman yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia.
Itulah sebabnya linguistik kognitif beranggapan bahwa
bahasa merupakan sebuah produk kemampuan kognitif yang
mendasar berkaitan dengan pengalaman yaitu pengalaman berdasar
pada pengalaman diri pribadi (bodily experience) dan juga
pengalaman sosio- kultural (social/cultural experience). Demikian
pula hal dengan pakar ekolinguistik mengeluarkan suatu postulat
yang persis sama dengan pandangan kognitif linguistik yaitu bahwa
bahasa merupakan perpaduan kemampuan kognitif dengan
pengalaman pribadi yang diperoleh dari pengalaman sosio-kultural
(lingkungan sosial dan lingkungan budaya).
55
Pada umumnya semua pakar linguistik kognitif dan pakar
ekolinguistik sama-sama berargumentasi bahwa pengalaman diri
manusia memainkan peranan yang paling utama dalam semantik
dan struktur garamatikal sebuah bahasa yang berada dalam kognitif
manusia. Teori linguistik dan metodologis linguistik kognitif dan
ekolinguistik sama-sama konsisten sebagai studi empiris yang
dikenal dengan terminologi, kognitif, otak dan bahasa. Studi ini
juga beranggapan bahwa makna sebuah ujaran tidak muncul secara
terpisah dengan orang yang menuturkannya. Bukti empiris dapat
dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang yang
banyak berkecimpung dalam masalah-masalah politik lebih banyak
mengukapkan kata-kata atau leksikon-leksikon yang berhubungan
dengan hal-hal yang bertalian dengan politik. Bidang kajian
pustaka kognitif banyak mengarah kepada kajian metafora,
metonimi, mental space, conceptual blending theory, iconic, dan
image- scema.
D.Kesimpulan
Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner, yang
berfungsi sebagai payung untuk kajian-kajian dan penelitian yang
terfokus kepada keterhubungan antara bahasa dan ekologi secara
menyeluruh. Pada awal keberadaannya kajian ini disebut sebagai
Ekologi Bahasa (The ecology of Language). Kajian interdisipliner
ini diprakarsai oleh Einar Haugen pada tahun 1970, kemudian dari
56
hasil penelitiannya Haugen menuliskannya di dalam buku yang
bertajuk The Ecology of Language Hasil penelitian ini berusaha
memadukan konsep ekologi dan linguistik. Fokus kajian saat itu
hanya diarahkan kepada metafora ekologis yang disambungkaitkan
dengan isu-isu lingkungan. Keberadaan disiplin ilmu ini dianggap
perlu disebabkan oleh kondisi ekologis sudah mulai
memerihatinkan. Melalui kajian ini Haugen banyak menilik
metafora khususnya metafora ekologis. Pada penelitian-
penelitiannya Haugen berupaya mengadopsi konsep dasar
ekologis berupa parameter ekologi bersatu padu dengan konsep
linguistik kognitif.
Di Indonesia sendiri, ekolinguistik baru diperkenalkan di
era tahun dua ribuan oleh Aron Meko Mbete, tepatnya pada tahun
2002. Rentang waktu antara awal pemunculannya (1970) sebagai
ecology of Language dan pembakuaannya sebagai ecolingistik
(1990) di Eropa dengan pengenalan bidang ilmu ini di Indonesia
(2002) terbilang relatif lama. Pada hal ekolinguistik dapat
memberikan sumbangan pada kajian bahasa Indonesia dan
termasuk pula kedalamnya kajian keberagaman bahasa-bahasa
etnik yang dapat memerkaya khasanah kebahasaan Indonesia.
Keadaan ini juga terkait erat dengan penjagaan terhadap
kelestarian lingkungan alam, budaya serta lingkungan sosial
manusia yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat
ini.
57
Hal ini terjadi disebabkan oleh kurangnya minat peneliti-
peneliti bahasa di Indonesia terhadap kajian ini. Keadaan ini dapat
diperhatikan dari minimnya jumlah tulisan yang berkaitan dengan
ekolinguistik pada saat itu. Namun sejak awal tahun 2010,
penelitian yang terfokus pada ekolinguistik di Indonesia sudah
mulai dilakukan oleh mahasiswa program pasca sarjana FIB
Udayana dan FIB USU. Pada saat ini pula penelitian tidak lagi
hanya terfokus kepada metafora belaka, lebih dari itu penelitian di
bidang ini sudah pula mengarah kepada bentuk ketergerusan,
pelesapan kode-kode lingual dalam satu ranah bahasa.
Ekolinguistik sebagai kajian interdispliner bahasa dapat
berfungsi sebagai payung bagi kajian-kajian linguistik. Teori-teori
kajian ini dapat dikolaborasikan dan disandingkan dengan ruang
kajian subdisiplin linguistik lainnya, yaitu Dialektologi, Linguistik
Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi,
Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan
Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik
Kultural.
58
BAB III
PUSTAKA EKOLINGUISTIK
Bab ini membicarakan ekolinguistik dan lahan garapan
yang dapat amati oleh masyarakat linguistik. Dalam bab ini juga
dibicarakan teori-teori yang dapat diaplikasikan ke dalam kajian
kolinguistik.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
ekologi merupakan ilmu yang menggeluti hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya, termasuk pula
penjelasan tentang hubungan antara manusia dan alam sekitarnya.
Hubungan ini terkait pula dengan pola bahasa manusia itu sendiri
dan pola penggunaanya dalam masyarakat tuturnya.
Untuk menggambarkan keterkaitan antara bahasa dan
lingkungan diperlukan adanya kajian interdisipliner yang
menyandingkan kajian ekologi dan linguistik, seperti yang
diungkap oleh Mbete (2011:1). Menurut Stibbe (2015:1)
bahwa ekolinguistik merupakan kajian unik karena pada satu sisi
kajian ini membicarakan bahasa dan di sisi lainnya membicarakan
ekologi pada waktu yang bersamaan, sedangkan kedua-dua bidang
ini menempati ranah kehidupan manusia yang terpisah jauh.
Sepintas lalu anggapan ini dapat dibenarkan, namun bila dicermati
lebih jauh kita akan mendapatkan gambaran tentang sebuah ilmu
yang dapat digunakan untuk menjaga pelestarian lingkungan alam,
sosial dan budaya melalui kajian linguistik. Sehinggga akan
59
diperoleh satu kolaborasi dua bidang ilmu menjadi satu kesatuan
yang utuh untuk keutuhan pelestarian tersebut. Dalam
membicarakan ekolinguistik dan mengkaji suatu masalah yang
terkait dengan ilmu ini, kita akan bertemu dengan beberapa istilah
dan terminologi yang berkaitan dengannya. Istilah-istilah dan
terminologi tersebut akan diupayakan untuk dibicarakan secara
mendetail pada sub bab berikut dan diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang keberadaan ekolinguistik dalam pustaka
linguistik.
Sains praksis sesungguhnya merupakan semata-mata sosial
praksis secara historis dan susunan sosio kultural. Berbeda kultur
akan berbeda pola susunan (tatanan) sains. Dan setiap saintik
praksis akan mengorganisir orang dan problemnya dengan cara-
cara nya sendiri yang bersesuain dengan kultur masyarakatnya
secara utuh. Hubungan antara saintifik praksis dan kultur adalah
dilektikal. Dalam hubungan dialektikal ini adalah hubungan
dialektikan dimana partisipan dalam hubungan ini saling berkaitan
dan saling beraksi dimana satu part mendominasi yang lain. Dan
hubungan ini merupakan hubungan secara historikal dan dinamikal
yang sangat, dan semua akan kolap jika salah satu bagian keluar
dari unity(perusahaan). Hubungan saintifik ini bukan fenomena
homogen tetapi hubungan heterogen. Dia berisikan bagian dan
hubungn masa lalu dan sebagian mungkin saja akan menjadi atau
mendominasi pola kultur masa mendatang atau masa depan.
60
A. Parameter Ekolinguistik
Kajian interdisipliner yang diprakarsai oleh Einar Haugen
ini berusaha memadukan konsep ekologi dan linguistik. Pada awal
keberadaan kajian ini, fokus pengamatan diarahkan kepada
pengkajian terhadap metafora ekologis. Dalam kajian metafora
ekologis tersebut, Haugen berupaya mengadopsi konsep dasar
ekologis berupa parameter ekologi bersatu padu dengan konsep
linguistik kognitif. Dari perpaduan ini menghasilkan suatu konsep
dalam ekolinguistik yaitu parameter ekolinguistik. Parameter
ekologi dimaksud adalah kesalingterhubungan (interrelationship),
lingkungan (environment), keberagaman (diversity), yang
digunakan sebagaimana berlaku dalam analisis wacana lingkungan,
antropolinguistik pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya.
Ketiga-tiga parameter ini akhirnya diaplikasikan kedalam kajian
penelitian ekolinguistik. Ketiga tiga parameter ini saling terkait
erat dan saling melengkapi, membentuk suatu kesatuan yang
mendasar dan solid yang senantiasa diaplikasikan secara bersamaan
dalam penelitian ekolinguistik, periksa Fill dan Muhlhausler
(2001:1)
Penelitian ekolinguistik dewasa ini sudah mulai dikenal dan
diminati di Indonesia, dibuktikan dengan beberapa jumlah
penelitian yang dilakukan oleh Mahasiwa program S2 dan S3
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara. Saat ini pula penelitian yang
dilakukan tidak hanya berfokus kepada kajian metafora semata,
61
namun lebih dari itu penelitian pada bidang ini juga dapat
diarahkan kepada penelitian terhadap penyusutan atau penggerusan
dan pergeseran unsur-unsur leksikal bahasa yang terjadi akibat dari
pengaruh budaya luar dan arus moderenisasi. Penelitian-penelitian
dilakukan dengan penerapan konsep parameter ekolinguistik
sebagai contoh, penelitian yang pernah dilakukan oleh Mbete
(2009) pada bahasa Bali. Dengan mengaplikasikan parameter
ekolinguitik diperoleh gambaran tentang ketergerusan beberapa
unsur-unsur leksikal bahasa Bali yang digambarkan, seperti
hilangnya istilah kekalen: ‘air yang mengalir ke sawah/irigasi’,
telajakan: ‘jalan setapak’ yang sudah asing didengar, dan menjadi
tidak umum lagi penggunaannya dalam masyarakat tutur bahasa
Bali. Sehingga Mbete menyatakan (2009) bahwa bahasa akan
mengalami perubahan ketika ekologi yang menunjangnya berubah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
kajian ekolinguistik banyak bertumpu kepada konsep parameter
ekolinguistik. Ketika kajian ekolinguistik membicarakan
parameter ekolinguistik pastilah ketiga-tiga terminologi parameter
tersebut dibicarakan saling berkaitan. Berikut ini akan dibicarakan
dan diuraikan keberadaan ketiga-tiga parameter tersebut.
1.Parameter Keberagaman (Diversity)
Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa
keberagaman (diversity) perbendaharan kosa kata sebuah bahasa
62
terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau
lingkungan budaya tempat (ecoregion) dimana bahasa itu berada
dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan
alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota,
curah hujan sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan
hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut
seperti agama, etika, politik, seni dan lain sebagainya. Kelengkapan
kosa kata suatu bahasa sangat bergantung pula kepada cara
pandang, sikap, dan perilaku serta pekerjaan dari masyarakat tutur
bahasa tersebut.
Keberagam jenis species fauna, flora di satu lingkungan
alam (ecoregion) paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa
di dalam lingkungan sosial masyarakat bahasa tersebut.
Keberagaman biota ini akan memperkaya khasanah vokabulari
bahasa tersebut. Keberagaman etnis yang berada dalam satu
wilayah dan ranah pakai atau lingkungan alam (ecoregion) juga
akan memengaruhi dalam penciptaan keberagam kode-kode
leksikal yang berada dalam lingkungan alam tersebut.
Pada skala makro keberagaman bahasa terdapat diberbagai
belahan bumi ini, sehingga di dalam suatu negara selain dari bahasa
resmi yang dijadikan sebagai bahasa negara, masih jumpai banyak
bahasa etnik yang berfungsi sebagai bahasa pertama atau bahasa
ibu bagi anggota masyarakat bahasa etnik-etnik tersebut. Bahasa-
bahasa ini dapat hidup berdampingan dengan bahasa resmi
kenegaraan, sebab masing-masing bahasa tersebut miliki ranah
63
penggunaan bahasa yang pada umumnya berbeda dan tidak saling
tumpang tindih.
Ketika di sekolah, di kantor pemerintah dan di berbagai
instansi, para pelaku didik, pegawai baik pemerintah maupun
swasta harus menggunakan bahasa resmi negara dalam berbagai
kegiatan pembelajaran dan administrasi. Ketika di luar sekolah, di
luar kegiatan pemerintahan dan dalam acara-acara yang tidak
resmi, masyarakat bahasa biasa menggunakan bahasa etniknya agar
komunikasi dapat berjalan dengan santai dan dengan leluasa.
Sehingga keberagaman tersebut mewarnai kehidupan masing-
masing anggota suatu masyarakat bahasa.
2. Parameter Kesalingterhubungan (Interrelationship)
Sebuah komunitas bahasa sangat memiliki keterhubungan
yang erat sekali dengan keberadaan lingkungan ekologis
penuturnya sehingga eksistensi sebuah bahasa sangat bergatung
pula kepada jumlah penuturnya. Seterusnya penamaan dan
pengklasikasian nama tumbuhan dan hewan serta jenis batu-batuan
bergantung pula kepada konvensi penuturnya. Istilah konvensi di
sini tidak dapat diartikan sebagaimana lazimnya istilah konvensi
yang digunakan dalam linguistik yaitu istilah yang mengacu kepada
hubungan arbitrer antara bentuk atau lambang linguistik dengan
makna yang dikandungnya. Istilah konvensi ini dialamatkan kepada
64
tingkat kesepakatan masyarakat tutur dalam hal penggunaan bahasa
dalam komunitas bahasa tesebut.
Parameter interelasi atau kesalingterhubungan antara
linguistik dengan ekologi merupakan hubungan timbal balik antara
bahasa dalam suatu komunitas tutur dengan lingkungan ekologis
penuturnya. Hubungan ini merupakan keserasian relasi antara
masyarakat tutur dengan lingkungan ekologis yang terpantul dari
kemasan verbal pada unsur-unsur leksikal, gramatikal dan metafora
yang bernuansa isu lingkungan, dikodekan ke dalam bahasa dalam
jangkauan yang luas. Metafora mata keranjang, hidung belang
(Bahasa Indonesia) mempunyai muatan makna metaforis sama
dengan beberapa bahasa etnik nusantara; miang arti secara harfiah ‘
bulu-bulu yang menempel di batang bambu’ yang bila tersentuh
terasa gatal (bahasa Melayu Kualuh), bandot ‘ kambing jantan yang
besar dan kadang-kadang tanduknya melengkung panjang (Aceh),
gatai ‘gatal’, gatal ‘gatal’ getek ‘ rakit’ (Melayu), gata ‘
gatal’bingkaruang ‘kadal’ (bahasa Padang) Perbedaan bentuk
metafora yang mengekpresikan karakter manusia mata keranjang
tidak sama pada semua bahasa dalam khasanah verbal bahasa-
bahasa etnik di seluruh nusantara sebagaimana yang telah
diunggkapkan diatas. Kesemuanya ini merupakan representasi
interelasi dan interaksi antara masyarakat tutur dengan lingkungan
ekologis yang mungkin saja berbeda antara satu etnik dengan etnik
lainnya bergantung kepada ecoregion keberadaan bahasa- bahasa
tersebut.
65
3.Parameter Lingkungan (Environment)
Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan
berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di lingkungan
tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa lokalnya,
memahami sifat-sifat dan karakter yang dikodekan secara verbal,
semata-mata demi tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia
(antroposentrisme). Hal ini juga disebabkan oleh keberadaan
manusia sebagai makhluk ekologis yang memang tidak dapat
dipungkiri sangat dipengaruhi oleh keberagaman kebutuhan yang
ada demi keberlangsungan hidupnya secara biologis (biosentrisme),
baik kebutuhan terhadap hewan, tumbuhan, bebatuan, maupun
udara dan keluasan pandangan secara ragawi (kosmosentrisme).
Berbagai keberagaman karakter manusia memengaruhi
lingkungannya, sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya.
Sikap masyarakat terhadap lingkungan alam banyak didasari oleh
pola sosiokultural masyarakat tersebut. Sebagai contoh pandangan
suatu masyarakat terhadap daging binatang seperti lembu, babi,
ayam, itik kambing sebagai makanan manusia berkaitan dengan
kebutuhan manusia tersebut.
Keberadaan binatang-binatang tersebut yang menyangkut
dengan perkembangbiakannya sangat diperhatikan oleh masyarakat
yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya sifat alamiah
dari binatang itupun menjadi bagian dari perhatian masyarakat
dengan kata lain pengetahuan lokal dan pengetahuan manusia
tentang lingkungan alam telah berpengaruh kepada pandangan
66
hidup, kultur, bahasa dan kosmologi masyarakat yang bergantung
kepadanya. Menurut Muhlhausler (2003:37) bahwa klasifikasi
hewan dan tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari
lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya pada tempat tinggal
masyarakat tersebut.
Lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun
atau memberi nama-nama tersebut dalam kurun waktu yang sangat
panjang, yang diturunkan secara berkesinambungan dari generasi
sebelumnya ke generasi berikutnya yang pada umumnya
berlangsung secara lisan. Dari hasil penelitiannya Muhlhausler
(2003:59) mengemukakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
pelabelan nama dapat memakan waktu lebih kurang tiga ratus
tahun lamanya untuk menghubungkan sebuah bahasa dengan
lingkungan biologis penuturnya.
B.Teori Dialektikal Sosial Praksis
Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad ke 21
merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari
pandangan Ferdinand de Saussure yang pada dasarnya meletakan
fokus kajian kepada langage, la lange dan parol, dimana Tidak
demikian halnya dengan kajian ekolinguistik, seperti yang
dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe (2000:9) bahwa ekolinguistik
merupakan payung yang dapat memayungi dan menyelesaikan
keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan lingkungan
bahasa melalui pendekatan-pendekatan teoritis secara luas.
67
Menurut pandangan kajian ini norma-norma bahasa
merupakan bagian dari praksis sosial (social praxis). Berpatokan
kepada teori yang bertalian dengan praksis sosial, pakar
ekolinguistik menganggap bahwa bahasa merupakan produk sosial
dari semua kegiatan manusia, namun pada waktu bersamaan bahasa
itu sendiri dapat mengubah atau memodifikasi kegiatan-kegiatan
manusia dan praksis sosial manusia tersebut. Berikut ini diagram
yang menggambarkan konsep praksis sosial (social praxis) tersebut
yang diperoleh dari Bang & Doors (1998)
Keterangan gambar:
S1 : komunikator (penutur atau penyedia pesan)
S2 : komunikan (mitra tutur atau penerima pesan)
S3 : objek pesan
O : penghubung kepada objek pesan
Interelasi dan interdependensi yang tergambar antara
keterhubungan bahasa dan praksis sosial, menurut Lindo dan Jeppe
Bio-logics
Environment
socio-logics
S1
S3
S2
O
Situation Topos Ideo-logics
M
68
(2000:9), merupakan sebuah hubungan dialektikal antara bahasa
dan praksis sosial, sebagaimana yang tergambar pada gambar
konsep praksis sosial diatas. Lebih lanjut Lindo dan Jeppe (2000:9)
menjelaskan bahwa dalam hubungan dialektikal, praksis sosial ini
mendominasi bahasa. Pendominasian praksis sosial terhadap
bahasa disebabkan oleh satu pemahaman bahwa praksis sosial
tanpa bahasa mungkin saja terjadi, akan tetapi sebaliknya, secara
historis maupun secara logis, bahasa tanpa praksis sosial mustahil
terjadi. Para pakar ekolinguistik berpendapat bahwa penelitian
ilmiah terhadap bahasa juga merupakan penelitian ilmiah tentang
praksis sosial, dimana semua teori –teori linguistik secara
menyeluruh mempunyai hubungan dialektikal dengan teori-teori
praksis sosial. Hal ini terjadi karena studi bahasa merupakan kajian
yang terfokus kepada bahasa setiap insan manusia dan bukan hanya
berlaku kepada bahasa dari suatu golongan tertentu. Sehingga teori-
teori linguistik juga merupakan teori-teori praksis sosial. Ini berarti
secara disadari maupun tidak ,semua teori bahasa berkaitan erat
dengan praksis sosial.
Akibat keterhubungan antara teori bahasa dan teori praksis
sosial, kajian ekolinguistik merancang sebuah teori linguistik yang
dihubungkan dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal
sebagai The Three dimensionality of social praxis (Tiga Dimensi
Praksis Sosial). Teori tiga dimensi praksis sosial merupakan teori
ekolinguistik yang banyak dipergunakan oleh Odense School yaitu
sekolah yang didirikan oleh Bang and Door pada tahun 1998. Teori
69
ini diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isu-isu
lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa
lingkungan yang direpresentasikan dalam bentuk kerangka teori.
Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10), dalam teori tiga
dimensi tersebut, dimensi ideologis (the ideological dimension)
diposisikan pada urutan pertama yaitu, hubungan individual
dengan mental kolektif, kognitif dan sistem psikhis seseorang yang
terlefleksi pada pola penggunaan bahasanya, khasanah kebahasaan
dengan kandungan maknanya dan perilakunya. Berikutnya adalah
dimensi sosiologis (sociological dimension) yaitu dimensi atau
ukuran tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara
sesama untuk membangun, menjalin dan memelihara keharmonisan
hubungan individual secara kolektif, seperti rasa saling menyayangi
satu sama lain di antaranya rasa saling menyayangi dalam anggota
keluarga, atau antara sesama teman. Saling menghormati dalam
kelompok masyarakat, kemudian saling mengenal antara sesama
tetangga atau suku termasuk pula kedalamnya saling menghargai
dan saling menghormati kehidupan masing-masing individu
anggota masyarakat. Ketiga adalah dimensi biologis (biological
dimension) yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup
berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke
dalamnya spesies flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro
organisme.
Berdasarkan teori dialektikal ini, dapat dikatakan tidak ada
satu kejadianpun atau perwujutan yang monodimensi atau
70
monologikal. Jika demikian, maka kegiatan atau aktivitas bernafas
sekalipun, sebenarnya bukan sekedar kegiatan biologis manusia,
melainkan juga berkaitan dengan aktivitas mental dan sosial
manusia. Teori kajian ekolinguistik tiga dimensi praksis sosial ini
mengandung arti bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi
entitas dari praksis sosial. Oleh sebab itu kajian linguistik perlu
mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan kedua
pakar ini, ekolinguistik merupakan sebuah kajian keterhubungan
bio-, sosio-, dan ideo-logis dimensi bahasa, sehingga hubungan
mental, kognitif, lingkungan sosial dan lingkungan alam harus
saling bahu membahu.
Teori ini penah diaplikasikan oleh beberapa pakar
ekolinguistik seperti Mishra (2009); penelitiannya terfokus kepada
ungkapan-ungkapan verbal yang berkenaan dengan kegiatan ritual
agama dan mitos pada suku-suku di India di desa Kalahandi,
sebuah desa terpencil di wilayah di Oriss State Of India dengan
judul, Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature
through Cultural Actions.
Penelitian ini berusaha memecahkan beberapa
permasalahan Permasalahan pertama yaitu penggunaan ungkapan
verbal yang berkaitan dengan ritual agama dan mitos dalam
kehidupan sosial masyarakat asli India. Ke dua bagaimana pola
ungkapan verbal yang digunakan oleh masyarakat bahasanya dalam
menjalin keterhubungan antara agama dan mitos dengan
lingkungan alam di sekitar mereka. Dalam memecahkan ke dua-
71
dua masalah tersebut Mishra mengamatinya melalui kajian
ekolinguistik yang menitik-beratkan pada teori tiga dimensi praksis
sosial dan teori sosiolinguistik yaitu teori yang berkaitan dengan
kebertahanan bahasa, dan yang berkaitan pula dengan lingkungan
alam dan lingkungan sosial penutur asli terhadap perkembangan
teknologi.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa ritual agama dan
mitos berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan
tindakan penduduk asli India (dimensi ideologis) dengan
menghubungkan yang bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan
masa lalu dan masa sekarang yang menyatu dengan alam sekitar
lingkungan mereka. Ekspresi disampaikan dalam ungkapan verbal,
melalui doa dan harapan. Ungkapan verbal dalam bentuk doa-doa
tersebut ditujukan kepada Earth Mother Goddess yaitu dewa
wanita dipercayai sebagai dewa bumi yang menciptakan alam
semesta. Dia adalah ibu dari semua jenis flora, semua jenis fauna
dan manusia. Dalam kepercayaan tersebut semua jenis flora, semua
jenis fauna dan manusia dipercayai sebagai putra dan putrinya
(dimensi sosiologis). Earth Mother Goddess memelihara
ciptaannya dengan menyediakan fasilitas bumi, udara, air, dan
hutan yang diperuntukkan untuk kesejahteraan putra putrinya
(dimensi biologis). Setiap kata ungkapan mengandung makna yang
dihubungkan dengan ketiga dimensi tersebut yang terekam secara
verbal dalam kognitif masyarakat tutur tersebut. Contoh dari
72
bentuk doa mereka kepada Earth Mother Goddess, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut;
O Mother,
As inside the earth pit,
Covered by a big stone, the offering is secured
The Earth is a great pit
The Sky the cover and
We the nature and creatures are inside
O Mother, save us likewise
Namun saat ini, sikap dan perilaku masyarakat terhadap
alam sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan beriringan
dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Pengadaan
transfortasi moderen dan ekploitasi lahan memaksa masyarakat
lokal menerima budaya baru dan hampir melupakan alam yang
tadinya merupakan bagian yang sarat dengan mitos dari sosio-
kultural mereka. Selanjutnya dengan masuknya bahasa asing ke
desa tersebut disebabkan oleh kebutuhan komoditas berupa bahan
sandang pangan di sektor ekonomi, berimbas pula kepada
masuknya budaya asing yang mengakibatkan bahasa dan budaya
lokal semakin terdesak. Akibat dari semua ini pemusnahan tradisi
lisan yang sarat dengan kearifan lokal sudah mulai dirasakan. Dan
semua ini pula menimbulkan perubahan prilaku penduduk asli
dalam memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka miliki.
Mereka sudah mulai menebang pohon-pohon besar yang selamani
mereka percayai sebagai bersemayamnya Earth Mother Goddess.
Penebangan hutan mereka lakukan disebabkan oleh besarnya nilai
imbalan finansial yang diberikan oleh pihak perusahaan terkait.
73
Penelitian tentang metafora bahasa Aceh Di Desa Trumon,
Aceh Selatan yang pernah dilakukan oleh Nuzwaty selama enam
bulan (2011), juga menggunakan teori tiga dimensi sosial praksis
sebagai pisau analisis. Salah satu metafora yang dibicarakan adalah
metafora ASAM SUNTI. Asam sunti berasal belimbing wuluh atau
belimbing sayur yang sudah dikeringkan, dalam bahasa lokal
disebut Boh limeng eungkot. Secara linguistik, konstruksi
gramatikal frasa Boh limeng eungkot merupakan bentuk kompleks
atau kata majemuk yang menjadi nama dari tetumbuhan ini. Relasi
tanaman dan boh limeng eungkot ini sangat dekat dengan
masyarakat tutur bahasa Aceh, khususnya di Desa Trumon dan
Aceh umumnya. Kedekatan relasi itu tampak pada pemahaman
perkembangan biologis tanaman tersebut dalam tatanan dimensi
biologis yang diidentifikasi dengan warna hijau dan warna hijau
kekuning-kuningan atau dalam bahasa Aceh disebut boh limeng
mutik dan boh limeng tuha. Pemahaman karakter biologis buah dari
tetumbuhan pada tataran dimensi biologis yang kemudian
diidentifikasi sebagai rasa asam, dan selanjutnya oleh para penutur
bahasa Aceh menjadikannya sebagai salah satu bumbu masakan.
Melalui indra perasa masyarakat Aceh rasa asam yang terkandung
dalam boh limeng eungkot memberikan kenikmatan cita rasa
makanan yang terekam dalam tatanan dimensi sosiologis dan
dimensi ideologis di kehidupan sosial masyarakat tersebut.
Buah-buah boh limeng eungkot ‘belimbing wuluh’ yang
dijemur untuk diawetkan dalam bahasa Aceh diberi nama asam
74
sunti yang secara linguistik termasuk ke dalam kelas kata nomina.
Asam sunti sangat dibutuhkan oleh komunitas tersebut dalam
tatanan dimensi sosiologis, sebab asam ini merupakan bahan
bumbu dasar masakan Aceh, dan juga merupakan bahan bumbu
dasar masakan di Trumon. Tidak akan ada masakan di tempat ini
tanpa dibubuhi asam sunti.
Dikarenakan keberadaan asam sunti sebagai bumbu dasar
masakan sangat dibutuhkan menempatkannya sebagai ranah
sumber yang dipetakan kepada manusia sebagai ranah target.
Pemetaan ini terpusat dalam mental dan kognitif masyarakat tutur
pada tataran dimensi ideologis. Pemetaan ini akhirnya bermuara
kepada terbentuknya metafora ASAM SUNTI yang mengandung
makna tentang sifat seseorang yang sangat baik, suka membantu
sesama, berbakti pada orang tua dan keluarga. Manusia seperti ini
sama halnya dengan asam sunti yang benar-benar sangat
dibutuhkan oleh anggota komunitas tersebut. Perikalu manusia
yang demikian memiliki persamaan yang berkenaan dengan sama-
sama sangat dibutuhkan anggota komunitas tersebut. maka
perilaku tersebut dianalogikan sebagai asam sunti. Maka metafora
untuk manusia yang demikian disebut ASAM SUNTI.
Parameter keterhubungan (interrelationship) pada pemetaan
silang ranah sumber boh limeng eungkot dalam hal ini ASAM
SUNTI kepada ranah target yaitu manusia terjadi karena kedua-
duanya sama-sama sangat dibutuhkan di dalam kehidupan sosial
75
komunitas tersebut (dimensi sosiologis). Sebagai contoh tuturan
seperti:
Jih ASAM SUNTI kamo
Secara harfiah bermakna,
jih ‘dia’
asam sunti ‘asam sunti’
kamo ‘ kami’
Makna metaforis yang terkandung dalam ucapan ini menjadi;
‘Dia anak yang berbakti pada kami’
Jika ujaran ini diucapkan oleh orang tua atau keluarganya
(jih), maka makna ‘berbakti pada kami’ mengisyaratkan bahwa si
anak tersebut menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Apabila
tuturan tersebut diucapkan oleh orang yang bukan orang tua dan
keluarga dari orang yang dialamatkan tersebut (jih), maka tuturan
tersebut dapat bermakna ‘dia baik hati’, dia sangat suka membantu
dan sangat dibutuhkan oleh anggota masyarakat tempat tinggalnya.
Metafora ini bentuk metafora sudah digunakan sejak dahulu kala
yang diwariskan secara turun temurun ini sehingga metafora ini
masih dipergunakan oleh masyarakat tutur bahasa Aceh di Desa
Trumon.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang dokter,
tentang kesehatan, penyakit dan bahasa memberikan satu contoh
ilustrasi keadaan seseorang yang berkeinginan untuk absen dari
kantornya ketika dia dalam keadaan sehat walafiat, kemudian
76
mengirim pesan atau menelefon bawahannya (‘halo pak..maaf saya
gak masuk kantor, saya kurang sehat) dan mengatakan dia sakit.
Dia menyembunyikan kebohongan dan membenarkan perilaku
bohong tersebut karena dia mempunyai keinginan yang kuat untuk
santai dan tidur-tidur di rumah tanpa terganggu oleh pekerjaanya.
Menurutnya penelitian medis moderen mengatakan bahwa
terdapat suatu jalinan yang sangat erat antara bahasa yang kita
gunakan dengan susunan saraf dan organ tubuh kita. Dalam
beberapa hal adakalanya kita berbicara pada diri kita dan sekaligus
pada pikiran atau kognitif kita, baik dengan suara lembut, atau
dalam volume suara kecil maupun dalam suara keras yang kita
tujukan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Pada saat seperti
itu kita sudah mulai menganggap bahwa bahasa adalah suatu
kekuatan hidup dimana makna tuturan kita memiliki hubungan
yang sangat kuat dengan kekuatan sosio-logikal dan kekuatan bio-
logikal. Ketika tuturan tersebut berkekuatan sosio-logikal, tuturan
tersebut dan sosio-logikal akan saling mempengaruhi kehidupan
sosial kita dan ketika tuturan tersebut berkekuatan bio-logikal
,maka tuturan tersebut dan bio-logikal akan saling mempengaruhi
pula kehidupan bilogis kita. oleh sebab itu ketika seseorang
berpidato di atas pentas tuturannya akan berkekuatan ideo-logikal.
Tuturan-tuturannya akan mewarnai dan berproses di dalam
pikirannya walaupun tidak tampil nyata tetapi, emosi, perasaan ,
tanggapan dan sensasi yang ada dalam diri dapat diamati dari
tuturan tersebut.
77
Maka kekuatan sosio-logikal yang terdapat pada ‘halo
pak..maaf saya gak masuk kantor, saya kurang sehat pada ilustrasi
diatas bahwa tuturan tersebut membuatnya merasa dibenarkan atau
legal untuk tidak masuk kantor dan tinggal di rumah dan dia
memberikan legitimasi bahwa berbohong dibenarkan agar dia
dapat istirahat di rumah.
Bernie S. Siegal menulis
Our daughter Carolyn handed me a cartoon one day
that showed a gentlement walking up and saying:” I
feel great what a beautiful day, I’ll call in sick”. Of
course, we often think we have to get sick literally in
order to get the rest or pleasure we need in our lives.
Bobbie and I therefore taught our children when they
were youngger that if they need a day off from school,
they shoud just say that and the health day, not a sick
day. That made them look at life differently. I think all
of us need to rethink our attitude toward health and
sickness.
(Bernie S. Siegel. Peace,Love& Healing. Harper Perennial,
1993:48)
C. Metafora
Ketika ekolinguistik pertama sekali diklaim sebagai kajian
interdisipliner, dalam hal mengupas hubungan bahasa dan
lingkungan, baik lingungan fisik atau lingkungan non-fisik,
metafora merupakan fokus kajian yang sangat diperhatikan. Kajian
metafora difokuskan kepada pola tranformasi atau pemetaan silang
kode-kode lingual yang dihubungkan dengan lingkungan alam.
78
Kode-kode lingual tersebut biasanya merupakan bentuk-bentuk
leksikal yang terdapat dalam khasanah bahasa tersebut. Secara
umum sebuah metafora dianggap sebagai sebuah unsur linguistik
yang dibangun dari unsur-unsur leksikal sebuah bahasa dan adanya
suatu referensi yang dirujuknya.
Monroe Beardsley, menurut Recoeur (2005:81) mengklaim
bahwa metafora adalah “sebuah puisi miniatur” dan
menggolongkan nya sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah
gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam
penggunaan leksikal.
Teori metafora yang dikenal sebagai kajian linguistik,
menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102) sesungguhnya
berasal dari pandangan para pakar retorika kuno yang sudah
mengalami revisi. Kata metafora itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani metaforaa yang terdiri atas dua leksis yaitu meta yang
berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan phora
yang berarti referensi atau acuan.
Lebih lanjut, Recoeur (2005:82) menjelaskan bahwa dalam
kajian retorika kuno metafora diklasifikasikan sebagai sebuah
kiasan, yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan
adanya variasi makna dalam penggunaan kata dalam proses
denominasi. Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa
Aristoteles (seorang pakar retorika kuno yang menciptakan
terminologi metafora dalam karyanya Poetic) menyebutkan bahwa
79
sebuah metafora adalah hasil dari sebuah proses pemindahan secara
analogi dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu kepada
sesuatu lainnya. Proses pemindahan ini berlangsung dari genus ke
spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies. Oleh
sebab itulah maka sudah berabad-abad lamanya metafora selalu
dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan pada diskursus.
Menurut Sugiharto (2006:103) Aristoteles juga menandai
metafora ke dalam tiga ciri penting. Pertama, metafora adalah
sesuatu yang dikenakan pada nomina. Ciri kedua, metafora
didefinisikan dalam konteks gerakan (epiphora) yaitu pemindahan
atau pergerakan dari sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku
bagi semua bentuk transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora
merupakan tranposisi sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu
nama yang sesungguhnya milik nama sesuatu benda yang lain.
Implikasi dari ketiga ciri tersebut bahwa istilah metafora
mengandung tiga gagasan yang berbeda berpadu dalam sebuah
kesatuan yang tak terpisahkan yaitu substitusi sebuah leksikon
biasa yang semestinya ada dan peminjaman dari suatu ranah asal ke
ranah lain atau ranah target sebagai tujuan.
Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap
metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan
hanya dibicarakan pada kajian-kajian yang menyangkut bidang
kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika. Hal ini terjadi
karena bentuk metafora dianggap tidak dapat menggambarkan atau
menyatakan keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap arti
80
yang dikandung oleh sebuah metafora selalu mengaburkan dan
menimbulkan ketaksaan makna. Oleh sebab itu para filosof saat itu
berkeyakinan bahwa penggunaan metafora dalam membicarakan
filsafat sangat tidak dibenarkan dan dianggap tidak akan dapat
mengekspresikan kebenaran filosofis. Namun ketika mereka
menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa mereka selesaikan
melalui penggunaan bahasa secara umum, mereka mulai beralih
kepada pemanfaatan metafora dan akhirnya penggunaan metafora
dalam membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap
oleh Goatly (1997:1-3).
Hingga saat ini metafora terus berkembang untuk
memenuhi perannya sebagai perangkat bahasa manusia dalam
semua aspek kehidupan manusia. Diyakini pula bahwa metafora
merupakan karakter fundamental hubungan linguistik manusia
dengan dunia alam sekitarnya. Dan ini bukanlah semata-mata
sekedar bentuk semantik tertentu saja. Goatly (1997:1) berpendapat
metafora sangat bergantung pada bahasa dan pikiran. Metafora dan
proses mental saling bertalian yang berasal dari bahasa dan
kognitif. Bahasa yang digunakan oleh orang yang sedang kasmaran
untuk merayu, membujuk dan menyapa selalu dalam bentuk-bentuk
metafora seperti, sayangku, oh belahan jiwaku, wahai permata hati,
dear, honey, hi my sweet heart, you an apple of my eyes.
Bentuk metafora sebagai perangkat bahasa manusia yang
bergayut dengan lingkungan berkembang pesat sampai merambah
kepada media elektronik di dunia periklanan. Sebagai contoh
81
adanya penayangan iklan produk makanan, minuman di televisi di
antaranya iklan biskuit biskuat yang menampilkan harimau, macan
sebagai ranah asal yang dipinjamkan ke ranah lain yaitu manusia
yg memakan biskuit tersebut. Ketika selesai memakan biskuit
tersebut manusia tersebut menjadi kuat seperti macan.
1. Metafora Leksikal
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa metafora
tercipta karena adanya persamaan kandungan maknawi antara satu
leksikon dengan leksikon lainnya, dan dikatakan pula bahwa
metafora milik bahasa yang menata penamaan sesuatu dalam
penggunaan leksikal. Penggunaan leksikal dimaksud meliputi
hubungan antara makna literal dan makna figuratif yang
terkandung dalam leksikal tersebut, memberikan karakter tuturan
sebagai sebuah keutuhan yang berada pada kognitif manusia.
Secara sederhana metafora leksikal dapat dipahami
sebagai suatu transfer atau pemindahan makna leksikal dari sebuah
ekspresi kepada ekspresi lain disebabkan oleh adanya bentuk
persamaan ciri maupun sifat dari keduanya yang bersandar pada
pengalaman kognitif masyarakat tutur suatu bahasa periksa Cruse
(2000: 202).
Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah
leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau
82
makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna dari
sebuah situasi tersebut tidak semata- mata hanya milik bahasa.
Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora
melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural, lingkungan
alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian angggota tubuh
makhluk sebagaimana yang diungkapkan oleh Kovecses
(2006:126).
Lebih lanjut Kovecses memberi contoh metafora time
(waktu) yang dalam lingkungan sosio-kultural dan kognitif
masyarakat tutur bahasa Inggris menggandung makna sangat
bernilai, sehingga banyak tuturan yang menggunakan time. Time is
money. Tme and tide wait for no man, Time goes on, dan lain
sebagainya. Dalam konstuksi struktur bahasa Inggris bentuk tenses
atau penekanan kepada waktu sangat menentukan sehingga
adakalanya penggunaan bentuk tenses yang salah akan berakibat
kepada kesalahan interpretasi.
Dalam kaitannya dengan kajian ekolinguistik, metafora
leksikal dapat dipandang sebagai unsur bahasa pada penekannan
yang menjadikan ranah sumber berasal dari lingkungan alam, dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu metafora
berdasarkan tingkat konvensional, metafora berdasarkan fungsi
kognitif, metafora berdasarkan lingkungan alam, dan metafora
berdasarkan kepada pengalaman inderawi dan pengalaman tubuh
(bodily experience) lihat Kovecses (2006:127-129). Saragih
(2004:49), (2006:191) menjelaskan metafora leksikal menunjukkan
83
bahwa makna satu kata dirujuk sebahagian untuk menyatakan atau
memahami makna kata lain. Sehingga metafora dapat dianggap
sebagai suatu realisasi pengalaman secara tidak lazim atau
merupakan ekspresi bertanda (marked) atau disebut juga makna
figuratif yang melintasi ekspresi lazim (unmarked). Makna lazim
tersebut disebut pula sebagai makna harfiah atau makna literal dan
makna tak lazim disebut sebagai makna figuratif. Untuk
menjelaskan metafora ini dapat dilihat dari kedua tuturan berikut:
(1a) Kucing mencakar kaki Adi
(1b) Pemerintah membangun gedung-gedung mencakar
langit
(2a) Yanto melihat seekor ular melilit di pohon kayu
(2b) Yanto itu ular, hati-hati berteman dengannya.
Tuturan (1a) mengandung makna literal yaitu seekor
kucing mencakar dengan menggunakan kuku, sehingga terjadi
kontak langsung antara
Tuturan (2a) makna ular mengandung makna literal yaitu
seekor binatang melata, berbisa, bersisik dapat membelit atau
melilit. Pada tuturan (2b) makna ular mengandung makna
metafora, Yanto adalah manusia bukan hewan melata. Sifat yanto
yang diperbandingkan dengan sifat ular karena sebagian dari sifat
ular dianggap ada pada Yanto. Perkataan dan perilaku Yanto
misalnya, selalu menyakitkan dan meracuni orang seperti bisa ular.
84
Sifat Yanto yang gemar menipu dan berbohong pada orang
diperbandingkan dengan sifat Ular yang suka membelit mangsanya.
Metafora leksikal dapat wujud dalam beragam realisasi
yang umumnya mengekspresikan satu fenomena dilihat dari dua
perspektif dan dapat diurai ke dalam beberapa kriteria. Pertama,
nomina dapat disandingkan dengan nomina pula, seperti internet
merupakan jendela dunia bagi kita. Nomina jendela disandingkan
dengan dunia. Nomina dapat pula disandingkan dengan verba
seperti Gunung Sinabung memuntahkan laharnya tahun lalu. Verba
memuntahkan disandingkan dengan nomina lahar. Banjir menelan
banyak korban dan menyapu rata bangun disekitarnya. Verba
menelan disandingkan dengan nomina korban, dan verba menyapu
disandingkan dengan nomina bangunan. Nomina dapat pula
disandingkan adjektiva seperti jadilah orang yang kaya hati.
Adjektifa kaya disandingkan dengan nomina hati. Jembatan layang
akan di bangun di wilayah ini. Nomina jembatan disandingkan
dengan adjektiva layang. Verba dapat pula disandingkan dengan
adjektiva Seorang murid tertangkap basah sedang menyontek saat
ujian, verba tertangkap disandingkan dengan adjektiva basah
2.Metafora Konseptual
Metafora dalam pustaka ekolinguistik dan linguistik
kognitif merupakan bagian dari bahasa yang memainkan peranan
amat penting dalam kajian pikiran dan kultur masyarakat pemilik
85
atau penutur bahasa tersebut. Itulah sebabnya metafora tidak hanya
dianggap sebagai fenomena linguistik saja, namun lebih dari itu
metafora juga merupakan fenomena sosiokultural dan lingkungan
alam. Bentuk metafora konseptual ditampilkan dalam hurup kapital
dan akan ditemukan pada penjelasan-penjelasan kajian ini.
Sehingga dalam menampilkan metafora-metafora tersebut akan
berbeda dengan bentuk yang non-metafora.
Adakalanya keberadaan metafora banyak melibatkan atau
disebabkan oleh pengalaman inderawi penutur bahasa. Sebagai
contoh masyarakat Inggris pada umumnya memandang kehidupan
melalui dua konsep yaitu konsep perjalanan dan konsep kehidupan,
sehingga contoh linguistik yang lazim mereka paparkan tentang
kehidupan berdasarkan hubungan yang paling erat antara dua
konsep tersebut, yaitu kehidupan (life) dan perjalanan (journey)
LIFE is A JOURNEY. Hubungan ke dua konsep ini terjadi secara
sistematis sehingga setiap pembicaraan yang menyangkut tentang
kehidupan akan selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan konsep
perjalanan, lihat Kovecses (2006:117). Relasi ke dua konsep ini
merupakan hubungan yang sistematis yang dapat digambarkan
dalam skema kognitif penuturnya dan dapat pula dijabarkan
sebagai berikut:
Metafora PERJALANAN dan KEHIDUPAN:
PERJALANAN KEHIDUPAN
Pelancong manusia yang memimpin ke-
hidupannya
86
perjalanan/bergerak bergerak/berusaha untuk
tujuan hidupnya (mengarah
ke satu tujuan yatni keinginan
yang akan dicapai)
tujuan (arah, tempat) cita-cita hidupnya
rintangan dalam perjalanan kesulitan kesulitan yang dihadapi
sampai ke tempat tujuan keberhasilan yang dicapai.
Secara garis besar pembentukan metafora konseptual selalu
melibatkan dua ranah. Ranah pertama disebut sebagai ranah
sumber (source domain) dan ranah berikutnya disebut sebagai
ranah target (target domain). Pada umumnya ranah sumber lebih
bersifat fisik dan ranah target lebih bersifat abstrak. Seperti pada
contoh LIFE is A JOURNEY. Pejalanan (journey) dijadikan ranah
sumber yang bersifat fisik atau nyata dan kehidupan (life) dijadikan
sebagai ranah target yang bersifat abstrak. Terbentuknya metafora
ini melalui proses pemetaan silang.
Pemetaan silang terjadi karena ke dua-dua ranah tersebut
memiliki ciri-ciri persamaan dalam beberapa hal. Ciri-ciri
persamaan tersebut terekam dalam kognitif penutur bahasa,
sehingga ranah sumber dan ranah target sebuah metafora sangat
bergantung pada cara pandang penuturnya. Pemetaan silang juga
dapat terjadi dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh atau
pengalaman inderawi manusia. Pengalaman non linguistik ini
sudah terbentuk sejak usia dini seperti seorang anak merasa hangat
87
ketika dipeluk oleh ibunya atau keluarganya dan saat itu si anak
merasa senang, bahagia dan nyaman, serta menumbuhkan
perasaan kasih sayang yang terhimpun dalam otak manusia,
sebagai contoh HANGAT KASIH SAYANG ibu.
Hubungan antara ranah sumber dan ranah target tertata rapi
di dalam kognitif penuturnya. Ditemukan bahwa pada hampir
semua bahasa, dari sebuah ranah sumber dapat dipetakan kepada
beberapa ranah target dan beberapa ranah sumber dapat pula
dipetakan kepada satu ranah target saja. Contoh satu ranah sumber
dipetakan kepada dua ranah target, dapat dilihat pada metafora
yang kerap digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Inggris yaitu,
LIFE is A JOURNEY LOVE is A JOURNEY
Ranah sumber journey dipetakan kepada life dan love.
Beberapa ranah sumber dapat pula dipetakan kepada satu ranah
target saja sebagai contoh;
LOVE is A JOURNEY LOVE is AGAME LOVE is FIRE
Ranah sumber journey, game, dan fire dipetakan kepada
satu ranah target yaitu love.
Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa metafora
dalam pustaka ekolinguistik adalah metafora konseptual. Disebut
demikian karena metafora merupakan konseptual alamiah dalam
hubungan antara unsur bahasa dan kognitif manusia. Lakoff dan
Johnson (1980:267-268), Kovecses (2006:128) berpendapat, ada
dua macam hubungan yang terlibat dalam suatu metafora, yaitu
88
hubungan ontologi, yang melibatkan entitas dalam dua ranah dan
hubungan epistimik, melibatkan hubungan pengetahuan tentang
entitas tersebut. Keterhubungan ini dilustrasikan seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh Nuzwaty (2012) tentang
ketehubungan antara metafora dan lingkungan alam Desa Trumon
sebagai berikut; yaitu metafora ASAM SUNTI yang dalam bahasa
Indonesia disebut juga asam sunti yaitu asam yang digunakan
sebagai bahan dasar bumbu masakan Aceh. Bumbu ini wajib
dimasukkan pada semua masakan Aceh. Dalam kedudukannya
sebagai metafora, satuan leksikal mejadi ranah sumber yang
dipetasilangkan kepada ranah target yaitu manusia atau seseorang
yang dalam kehidupan bermasyarakat sangat dibutuhkan oleh
anggota masyarakatnya. Hal ini terjadi disebabkan oleh karakter
ataupun perilaku orang tersebut bijaksana, suka menolong, suka
memberi nasihat dan memberikan solusi dalam memecahkan
persoalan dalam komunitas nya. Sehingga tuturan seperti;
Jih asam sunti kamo
Jih ‘dia’
Asam sunti ‘asam sunti’
Kamo ‘kami’
Secara harfiah bermakna ‘dia asam sunti kami’ secara
metaforis tuturan tersebut bemakna’ dia orang yang bijaksana yang
sangat kami butuhkan’.
Berikutnya adalah metafora CAMPLIE CINA yang dalam
bahasa Indonesia disebut cabai rawit. Karakter biologis yang
89
dimiliki oleh camplie cina berupa rasa sangat pedas, atau dalam
bahasa Aceh disebut keueng. Rasa pedas tersebut dapat dirasakan
melalui pengalaman inderawi manusia, yang juga dirasakan oleh
komunitas Trumon.
Melalui pemahaman karakter biologis yatni rasa sangat
pedas yang sudah dikenal sudah sejak dahulu kala, sehingga
generasi terdahulu menjadikan CAMPLIE CINA sebagai metafora
yang mengandung dua makna metaforis berbeda. Kedua-dua
makna metaforis ini hanya dapat dibedakan berdasarkan konteks
tuturannya. Metafora CAMPLIE CINA pertama, mengandung
makna yang kerap dialamatkan kepada seseorang yang gemar
mengucapkan perkataan-perkataan menyinggung perasaan orang
lain. Perkatannya tersebut diucapkan tanpa memikirkan akibat dari
perkataan itu. Contoh seperti tuturan berikut ini:
Babah Kah CAMPLIE CINA
babah ‘mulut’
kah ‘kamu (orang ke dua tunggal)’
camplie cina ‘cabai rawit’
Secara harfiah tuturan ini bermakna, ‘mulut kamu cabai rawit’.
Ke-dua bentuk metafora yang telah dibicarakan diatas adalah
metafora yang berasal dari kelompok flora. Hubungan ontologis
dan hubungan epistemik kedua-duanya dapat digambarkan sebagai
berikut;
Hubungan Ontologis pada Metafora ASAM SUNTI
90
Hubungan Epistemik pada Metafora ASAM SUNTI
Hubungan Ontologis pada Metafora CAMPLIE CINA
Hubungan Epistemik pada Metafora CAMPLIE CINA
Contoh lain pada hubungan ontologis dan hubungan
epistemik dari kelompok fauna pada lingkungan alam Aceh, yaitu
Cabai rawit
Rasa pedas
Fungsi lidah
Rasa pedas
fungsi lidah
(mulut)
Manusia
Perkataan pedas
Fungsi mulut
Rasa pedas
fungsi lidah
(mulut)
Ketika mulut menggigit
cabai rawit, terasa pedas
yang mempunyai efek ke
telinga, dan telinga terasa
panas.
Ketika seseorang
mengucapkan kata-kata
kasar, menyindir dan
lainnya, hati terasa sakit, dan
telinga terasa panas.
Asam sunti
Sangat dibutuhkan
Fungsi kognitif
Manusia
Sangat dibutuhkan
Fungsi kognitif
Ketika seseorang akan
memasak dia
memerlukan asam sunti
sebagai bahan dasarnya
Ketika seseorang
menghadapi masalah dia
memerlukan seseorang
bijaksana dalam penyelesaian
masalahnya
91
pada kehidupan siput dalam bahasa Aceh disebut siput. Secara
alamiah spesies ini dapat bertahan hidup dalam dua lingkungan
alam; lingkungan darat dan lingkungan air. Dari kehidupan spesies
ini terbentuk sebuah metafora yaitu ABO UDEP DUA PAT. Secara
harfiah ungkapan ini mengandung makna ‘siput hidup pada dua
tempat’, yaitu: abo ‘siput’, udep ‘hidup’, dua ‘dua’dan pat’
tempat’menjelaskan kehidupan siput yang dapat bertahan hidup di
dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di
daratan dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk
sebuah metafora dan menjadikannya sebagai ranah sumber dan
dipetasilangkan kepada sifat atau perilaku seseorang yang dapat
menyesuaikan diri di semua lingkungan sosial budaya dan semua
kalangan masyarakat. Hubungan ontologis dan hubungan epistemik
pada metafora ini digambarkan sebagai berikut;
Hubungan Ontologis pada Metafora ABO UDEP DUA PAT
Hubungan Epistemik pada Metafora ABO UDEP DUA PAT
Siput
Beradaptasi
Lingkungan alam
Manusia
Beradaptasi
Lingkungan sosial
Siput dapat hidup di dalam
dua lingkungan alam yang
berbeda. Tubuhnya dapat
beradaptasi dengan
lingkungan darat dan air.
Seseorang yang dapat bergaul
dalam lingkungan sosial
yang berbeda. Orang tersebut
dapat beradaptasi dengan
semua golongan masyarakat.
92
Metafora berikutnya yang dari kelompok fauna adalah
metafora yang menjadikan kepiting yang dalam bahasa Aceh
disebut bieng sebagai ranah sumber . metafora tersebut adalah
BIENG BAK BABAH BUBEE. Struktur frasa nomina bieng bak
babah bubee merupakan pengabungan dari nomina being, preposisi
bak dan nomina babah dan bubee, secara harfiah bermakna
‘kepiting di mulut bubu’, dengan rincian sebagai berikut:
being ‘kepiting’
bak ‘di atau pada’
babah ‘mulut’
bubee ‘bubu’
Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang dibuat
dari anyaman bamboo, bentuknya seperti kerucut memanjang.
Kedua-dua sisi bubu berlubang yang disebut sebagai babah bubee
yaitu mulut bubu. Babah bubee, kedua-duanya memiliki ukuran
berbeda. Babah bubee yang dipahami sebagai babah bubee muka
‘mulut bubu depan’, ukurannya lebih besar daripada babah bubee
ikue ‘mulut bubu belakang’. Bentuk bubee dibuat sedemikian rupa
agar jika ikan-ikan masuk ke dalam nya, ikan- ikan tersebut tidak
dapat keluar lagi. Bubee dipasang di rawa-rawa yang banyak
ikannya.
Nelayan atau penangkap ikan dari masyarakat Trumon,
yang menggunakan bubee sebagai media penangkap ikan, sering
93
sekali menemukan babah bubee ditutup oleh seekor bieng
‘kepiting’ yang menyebabkan ikan- ikan tidak dapat masuk
kedalamnya. Kepiting tersebut hanya menempel menutupi babah
bubee, dan tidak masuk ke dalam bubee. Kenyataan ini akhirnya
membuat pemilik bubee tidak memperoleh hasil tangkapan ikan
sebagai mana yang diharapkannya. Dari keadaan ini muncul
metafora BIENG BAK BABAH BUBEE.
Makna metaforis dari metafora BIENG BAK BABAH
BUBEE ditujukan kepada seseorang yang gemar menghalang-
halangi perbuatan, pekerjaan atau rencana pekerjaan orang lain.
Orang seperti ini selalu merasa bahwa pekerjaan tersebut hanya dia
seorang yang dapat melakukannya dan merasa jika tanpa campur
tangannya maka pekerjaan tersebut tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik, walaupun pada kenyataannya dia sendiri tidak dapat
mengerjakan pekerjaan tersebut. Contoh tuturan sebagai berikut:
Nyo payah ta pengah bak awak nyan, jih BIENG BAK
BABAH BUBEE.
Makna tuturan ini adalah:
“Kali ini kita harus peringatkan dia. Dia suka sekali
menghalang-halangi pekerjaan orang. Padahal dia sendiri tidak
dapat melakukannya.”
Hubungan Ontologis pada Metafora BIENG BAK BABAH
BUBEE
94
Hubungan Epistemik pada Metafora BIENG BAK BABAH
BUBEE
Metafora Ekosistem
Metafora ekosistem merupakan sebuah peristilahan yang
banyak dibicarakan dalam pustaka ekolinguistik. Menurut Fill dan
Muhlhausler (2001:43) bahwa ekolinguistik bermula dari sebuah
metafora yang pertama sekali dibicarakan oleh Haugen (1970),
yaitu tentang interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkunganya.
Haugen (1972:325) berusaha membandingkan hubungan ekologi
antara spesies binatang dan tumbuhan tertentu dengan lingkungan
alamnya. Dalam hal ini ekologis secara metaforis ditranformasikan
ke dalam bahasa di dalam sebuah lingkungan.
Metafora ekosistem merupakan konsep atau bentuk yang
sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu lingkungan alam,
Ketika pintu bubu ditutup
oleh kepiting, ikan-ikan
tidak dapat masuk
kedalamnya. Kenyataan ini
merugikan nelayan
Ketika seseorang
menghalangi pekerjaan
orang. Pekerjaan itu
tidak bisa diselesaikan.
Kenyataan ini akan
merugikan orang lain.
Kepiting
Penghalang
Merugikan orang
Manusia
Penghalang
Merugikan orang
95
pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan bahasa tersebut
dalam penyampainnya di sebuah masyarakat tutur. Ketiga
komponen ini berada di dalam kognitif pemakai bahasa dalam
sebuah masyarakat tutur. Yang dimaksud dengan kognitif seperti
yang diungkapkan oleh Kovecses (2006:5) adalah gambaran yang
ada dalam pikiran manusia yang diekspresikan atau dinyatakan
dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu penggunaan
metafora ekosistem tidak hanya bergantung kepada satu aspek saja.
Metafora ekosistem menurut Fill dan Muhlhausler
(2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural, unsur
kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah
penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa
tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar
seperti yang terjadi pada awal abad ke sembilan belas, kebutuhan
air sebagai bahan pokok kehidupan secara ekslusif disejajarkan
dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money
supply ‘central water supply’. Selanjutnya metafora water is
money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris
water is money juga jelas menggambarkan betapa sumber air
(mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya
juga merusak dan menggerus lingkungan.
Seorang pakar ekolinguistik yang bernama Wilhelm
Trampe (1990) telah menggunakan metafora ekosistem dalam
menjabarkan bahasa dan penggunaannya dalam interaksi bahasa
tersebut dengan lingkungan alam, yaitu alam semesta. Penggunaan
96
leksikon industri agrikultur pada kata produksi yang secara harfiah
bermakna menghasilkan dan berkembang mengandung ideologi
ekonomi sehingga memunculkan makna metaforis menghancurkan
dan menghilangkan. Inilah efek penggunaan metafora yang
sebenarnya terjadi. Metafora lain yang berkembang dalam
masyarakat industri memposisikan bahasa sebagai alat atau
instrumen komunikasi seperti dalam definisi bahasa “language is a
tool or an instrument of communication”. Sesungguhnya alat atau
pun instrumen merupakan benda-benda yang digunakan dan
bermanfaat untuk kepentingan hidup dan kehidupan manusia
seperti palu, gergaji, komputer dan alat-alat lainnya. Pemaknaan
bahasa itu sendiri sudah dimetaforakan ke dalam metafora
ekosistem, lihat Fill dan Muhlhausler (2001:45).
Metafora ekosistem memiliki cakupan yang luas yang
sangat berkaitan dengan beberapa aspek ekologis di luar bahasa
seperti yang dinyatakan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:3) yaitu:
a. Keberagaman (diversity) makhluk dari lingkungan alam
atau kandungan ekologinya, seperti flora, fauna,
kandungan mineral yang ada di lingkungan alam
tersebut.
b. Faktor-faktor yang mempertahankan keberagaman
tersebut.
c. Keteraturan lingkungan alam yang ada.
d. Hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan
alam tersebut dengan ekologinya.
97
3. Klasifikasi Metafora
Berdasarkan pembentukan dan penggunaannya, menurut
Kovecses (2006:120-130) bahwa metafora dapat diklasifikasikan
ke dalam empat jenis metafora. Pertama metafora berdasarkan
konvensi atau non konvensi. Dalam hal ini tidak ada hubungan
istilah konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik yang
mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan arbitrari
antara bentuk (form) linguistik dan makna. Konvensi dimaksud
mengacu kepada suatu persetujuan dan kesepakatan yang mendasar
dari anggota masyarakat tutur untuk menggunakan bahasanya pada
komunikasi antar sesama.
Jenis ke dua adalah metafora secara alami, yaitu
berdasarkan pengetahuan dari pengalaman yang terjadi berulang-
ulang secara regular yang terekam dalam kognitif manusia.
Manusia melihat sesuatu yang dirasakan mempunyai hubungan
sifat yang sama atau hampir sama dengan sesuatu lainnya, yang
terjadi secara alami kemudian kemiripan ini dijadikan sebagai dasar
pembentukan metafora bahasa mereka.
Munculnya metafora juga dapat termotivasi oleh
pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula terbentuk yang berasal
dari pengalaman didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam
dalam pikiran atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam
pikiran manusia ini yang menghubungkan antara ranah sumber dan
ranah target.
98
Metafora ke tiga ini merupakan klasifikasi metafora yang
berkaitan dengan fungsi kognitif. Dikatakan demikian karena
pemetaan silang dari ranah sumber ke struktur ranah target melalui
bentuk pemetaan silang yang ada di dalam pikiran manusia yang
mencirikan metafora tersebut, seperti. HANGATNYA KASIH
SAYANG IBU, Seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa sayang.
Bayi yang dipeluk merasa hangat karena ketika di peluk fungsi
afektif yang menghubungkannya dengan otak bekerja dan pada
waktu yang bersamaan wilayah otak yang menghubungkan indera
perasa juga bekerja sehingga pelukan itu terasa hangat.
Jenis ke empat adalah klasifikasi metafora yang
dikategorikan sebagai bentuk umum. Klasifikasi ini terdapat pada
hasil pemetaan silang dari ranah sumber yang non manusia kepada
ranah target manusia atau sebaliknya, sebagai contoh John is a
LION. ‘John seekor singa’ Metafora seperti ini dianggap termasuk
ke dalam klasifikasi metafora umum. Ekspresi metafora seperti ini
juga ditemukan pada penggunaan bahasa komunitas tertentu ketika
berinteraksi dengan mitra tutur sangat akrab. Contoh seperti eh
udah lama kita gak jumpa kemana aja kau hantu, dan eh setan
kecil sana tidur udah malam nih atau eh tuyul pergi tidur sana.
Metafora ini juga amat sering diucapkan ketika dalam suasana
marah seperti bodat kau, (bodat, bahasa Batak bermakna anjing)
dasar hantu lou, eh setan kemana mata kau, binatang kau ya gak
punya otak, jin siblah abin kah (jin berpayu dara sebelah ) bahasa
Aceh dikatakan kepada seseorang yang sangat jahat perangainya.
99
D Evolusi Bahasa
Bahasa layaknya species yang hidup di lingkungan alam
yang dapat hidup dan berkembang, dapat berubah dan dapat pula
lenyap atau mati. Jika bahasa itu digunakan oleh banyak dan
bertambah banyak penuturnya maka bahasa itu akan tumbuh dan
terus berkembang. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan terus
berkurang, dikhawatirkan bahasa itu akan bergeser, berubah,
lenyap atau berevolusi. Interelasi penyebab perubahan dan efek
dari perubahan itu dalam bahasa dapat berasal dari pengaruh
persinggungan bahasa menuju kearah perubahan sikap bahasa, dan
perilaku dari suatu masyarakat tutur terhadap masyarakat tutur
lainnya. Bahasa dunia, bahasa internasional, bahasa Inggris,
sebagai contoh sudah merajai ranah penggunaan bahasa di dunia
sehingga hampir disetiap tapak bumi ini ditemukan masyarakat
bilingual bahasa Inggris dan bahasa etnik atau bahasa nasional
masyarakat tersebut.
Pada umumnya penggunaan bahasa sebagai kode pada
masyarakat bilingual tersebut, akan terjadi persinggungan pengaruh
bahasa yang satu kepada bahasa lainnya dan biasanya pengaruh ini
kebanyakan terjadi pada bentuk-bentuk leksikal dan sedikit
kemungkinan terjadinya perubahan pada tatanan struktur
gramatikal bahasa-bahasa yang bersinggungan tersebut.
Penggunaan bentuk-bentuk leksikal ini, dapat berupa adopsi untuk
menyatakan beberapa situasi yang dapat diekpresisikan dalam satu
bentuk kosa-kata, sebagai contoh, kata Flexsible, loading, slim, dan
100
lainnya lebih cenderung digunakan oleh masyarakat bahasa
Indonesia. Kata Flexsible, misalnya dapat mewakili beberapa
situasi, seperti ‘mudah dilenturkan’, ‘mudah disesuaikan’, ‘mudah
diubah-ubah dan seterusnya. Adopsi yang demikian dapat terjadi
secara total dan pada umumnya, disebabkan oleh kurangnya kosa-
kata dalam khasanah bahasa yang satu dibandingkan dengan
khasanah bahasa lainnya.
Mufwene (2004:146) berpedapat bahwa ini semua dapat
terjadi disebabkan oleh evolusi bahasa. Pakar ekolinguistik ini
membedakan dua jenis evolusi tersebut, yaitu evolusi progresif dan
evolusi seleksi alam
1. Evolusi Progresif
Evolusi progresif merupakan proses perubahan bahasa
menuju ke arah perubahan yang berkembang pesat. Bahasa-
bahasa yang sangat kuat biasanya akan berubah kearah yang lebih
baik. Kata baik disini diperuntukkan kepada kebemanfaatan
bentuk-bentuk leksikal yang dapat mewakili setiap pemaknaan
dalam kode-kode lingual.
Pada hakekatnya Semua bahasa di dunia mengalami
perubahan dari masa ke masa berbanding lurus dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ekolingistik
perubahan demikian juga dapat dianggap sebagai suatu peristiwa
evolusi bahasa.
101
Contoh perubahan unsur-unsur bahasa baik dalam struktur
leksikal maupun dalam stuktur gramatikal yang paling banyak
ditemukan adalah perubahan pada atau dalam tubuh bahasa Inggris.
Perubahan dalam bahasa ini wajar saja terjadi sebab melebihi
setengah masyarakat tutur dunia merupakan masyarakat bilingual,
bahasa Inggris dan bahasa etniknya. Kemudian, sebagaimana
diketahui bersama bahwa bahasa tersebut sudah sejak lama
ditetapkan sebagai lingua franca di PBB. Bahasa ini juga berada
pada rangking teratas bahasa-bahasa dunia yang diikuti oleh bahasa
Perancis, bahasa China, bahasa Japan, dan bahasa Arab, sehingga
bahasa Inggris menjadi bahasa dominan dan mengisi ranah-ranah
penggunaan bahasa di seantero dunia.
sepanjang perjalannya sebagai bahasa pemersatu di dunia
internasional, perubahan tetap saja berlangsung di wilayah
penggunaan bahasanya yang pada umumnya memperkaya bahasa
tersebut. Sehingga evolusi bahasa pada bahasa Inggris dapat
dikatagorikan sebagai suatu bentuk evolusi yang bersifat progresif.
Menurut Fought (2006: 46-47) bahwa satu diantara
beberapa contoh perubahan yang terjadi pada bahasa Inggris dapat
dilihat pada contoh pola bahasa Inggris Amerika Afrika yang lazim
disebut dengan singkatan AAVE, merupakan sebuah akronim
berasal dari African American Vernacular English. AAVE
merupakan bahasa Inggris yang digunakan oleh kebanyakan
masyarakat tutur etnik kulit hitam (Afrika – Amerika) di Amerika.
AAVE merupakan bahasa yang memiliki sistem gramatikal dan
102
fitur-fitur linguistik yang berbeda dengan sistem gramatikal dan
fitur linguistik variasi bahasa Inggris dialek Amerika lainnya.
Bahasa Inggris yang digunakan di wilayah Asia, seperti
bahasa Inggris yang digunakan di Singapura yang disebut sebagai
Singlish (Singaporean- English). Bunyi-bunyi (fonem ) bahasa
Inggris yang digunakan di negara Singapura banyak dipengaruhi
dan sistem fonem bahasa China dan sebagian bunyi (fonem)
bahasa Melayu. Sehingga bunyi fonem bahasa Inggris di negara ini
disesuaikan dengan bunyi fonem bahasa tersebut, Sebagai contoh:
Bahasa Inggris Singlish
I share with you I se wit yu
Like this laik dis
Negara India merupakan negara yang pernah dijajah oleh
Negara Inggris, dan walaupun sudah merdeka setengah abad
lamanya, bahasa Inggris masih diposisikan sebagai salah satu
bahasa resmi negara tersebut. Kedudukan bahasa Inggris berada
dalam urutan kedua setelah bahasa Hindi, disebabkan oleh
keberadaan kedua-dua bahasa ini sebagai bahasa resmi yang benar-
benar sudah berdampingan sejak India merdeka ( kedua –dua tidak
dideklarasikan oleh konstitusi), maka dalam ranah-ranah tertentu,
percampuran bahasa (campur kode) antara kedua bahasa tersebut
sudah pasti tidak dapat dielakkan dan sudah pula terjadi. Fakta
empiris menunjukkan bahwa kode-kode lingual bahasa Inggris
yang dipergunakan disini tidak persis sama secara keseluruhan
dengan kode-kode lingual sebagai mana bahasa Inggris dari domain
103
asalnya (point of origin), sehingga penutur asli Bahasa Inggris akan
menemukan beberapa kesulitan ketika berkomunikasi dengan
mereka. Perubahan bahasa seperti ini berada pada evolusi
progressif, karena perubahan tidak hanya terbatas kepada
perubahan dan percampuran bentuk leksikon namun terjadi pula
perubahan pada tatanan struktur kalimat atau tuturan. Salah satu
contoh bentuk percampuran tersebut pada iklan tayangan shampo
come on girls ,waqs hai shine, karne ka’ ‘ayo remaja-remaja wanita
saatnya rambut bersinar’. Contoh lain adalah:
Bahasa Hinglish Bahasa Inggris
(1)You here yesterday? Were you here yesterday?
(2)no class tomorrow eh(na) no class tomorrow, right
(3) you are Indonesia, Isn’t it ? you are Indonesia, aren’t
you?
Pada struktur gramatikal , pelesapan bentuk to be lazim
dilakukan pada kalimat tanya seperti pada contoh (1), bentuk to be
were dilesapkan. Kemudian penutur bahasa juga selalu
menambahkan bentuk na atau eh di akhir kalimat. Bentuk na dan
eh berasal dari bahasa Hindi yang bermakna right atau okey yang
biasa ditempatkan di akhir kalimat, sehingga sering dijumpai dalam
tuturan seperti (2). Stuktur kalimat (3) yaitu stuktur kalimat yang
digunakan untuk mengekspresikan penekanan isi pesan yang
disampaikan. Tuturan ini tidak mengikuti kaidah bahasa Inggris,
isn’t it tidak seharusnya ditempatkan dalam tuturan ini. Bentuk
104
aren’t you digantikan oleh bentuk isnt’t. Penyimpangan juga terjadi
di dalam leksikal, masyarakat bahasa memiliki kesukaran dalam
melafaskan bunyi [v], maka [v] diganti dengan bunyi [w],
sehingga leksikon development bertukar menjadi dewlapmen,
university menjadi uniwarsity. Bahasa Inggris yang digunakan
mereka disebut Hinglish.
2. Evolusi Seleksi Alam
Evolusi bahasa, jenis ke dua ini merupakan pola evolusi
yang terjadi pada tubuh bahasa yang beranalogikan kepada evolusi
teori Darwin. Evolusi bahasa disesuaikan dengan evolusi yang
terjadi melalui proses seleksi alam. Evolusi tipe ini dapat terjadi
secara utuh dalam tubuh bahasa dan dapat terjadi hanya pada kosa
kata sebuah bahasa dan evolusi ini dapat disebut sebagai evolusi
parsial.
Subtipe dari teori Darwin dimana spesis suatu populasi
berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya. Walaupun bahasa
bukanlah termasuk ke dalam spesis biologi namun rentang umur
bahasa dan linguistik berhubungan satu sama lain sebagaimana
hubungan dalam rumpun biologi.
Diperkirakan terjadinya evolusi bahasa melalui seleksi
alam dapat disebabkan oleh eksploitasi lingkungan alam dan
bencana alam, serta perkembangan teknologi moderen. Bahasa juga
akan mengalami perubahan ketika ekologi yang menunjangnya
berubah. Perubahan bahasa yang diakibatkan oleh perubahan
105
ekologi yang menunjangnya dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mbete (2009) pada bahasa Bali. Contoh yang
digambarkan pada hasil penelitian ini yaitu seperti hilangnya istilah
kekalen: air yang mengalir ke sawah/irigasi, telajakan: jalan
setapak dalam bahasa Bali. Kedua-dua istilah ini sudah asing
didengar, dan menjadi tidak umum lagi penggunaannya dalam
masyarakat tutur bahasa Bali terutama pada masyarakat tutur
generasi muda. Evolusi ini dapat pula dilihat pada ideolek dari
individu penutur yang berbeda antara satu penutur dengan penutur
lainnya. Evolusi bahasa melalui seleksi alam juga dapat dilihat dari
persinggungan dua bahasa yang mengakibatkan pergeseran ataupun
peleburan pada kedua bahasa tersebut yang akhirnya melahirkan
bentuk dan pola yang membawa atau melenyapkan sifat-sifat
genitis dari kedua bahasa tersebut seperti pada bahasa-bahasa kreol
di Louisiana. Bahasa kreol di Louisiana merupakan suatu evolusi
bahasa terjadi akibat dari persinggungan beberapa bahasa yang
ditimbulkan oleh beberapa latar belakang budaya dan bahasa
berbeda. Secara historis masyarakat Louisiana merupakan imigran
yang berasal dari berbagai belahan dunia. Kebanyakan dari mereka
merupakan budak dan masyarakat sederhana yang bermigrasi
dengan tujuan untuk meninggkatkan ekonomi keluarga. Akibat dari
mobilisasi ini beberapa bahasa berkumpul disana, seperti Inggris,
Perancis, Spanyol dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Dari
persinggungan bahasa ini muncul sebuah kreol yang dikenal
sebagai bahasa Acadian- French yang dianggap sebagai bahasa
106
kreol dan merupakan bahagian dari dialek bahasa Perancis, (priksa
Frought 2006:90)
Keberadaan spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak
dapat dipandang sebagai dua bagian terpisah, tetapi sebagai satu
bagian yang utuh, demikian pula halnya dengan bahasa ibu dan
etnik tidak dapat dicirikan secara individual. Hubungan paralel ini
tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama dalam semua
hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan keduanya adalah
bahwa bahasa bukan lah organisme hidup. Bahasa ditranformasikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh penutur bahasa.
Berbeda dengan spesies biologi yang diturunkan melalui
perkawinan dan pembuahan. Eksistensi sebuah bahasa sangat
bergatung kepada jumlah penuturnya dan minat penutur untuk tetap
menggunakan bahasa tersebut secara bersama-sama sebagai
tampilan identitas diri dan merasa bangga akan keberadaan bahasa
tersebut.
Evolusi Penggeseran penggunaan peralatan tradisional
disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang serba praktis,
menjadikan beberapa kata dan istilah menjadi asing karena sudah
tidak digunakannya lagi peralatan tersebut di Desa Trumon,
sebagai contoh geunuku, yaitu alat yang digunakan untuk
mengukur kelapa sudah berganti dengan mesin pengukur kelapa.
Ketergusuran geunuku akibat dari sudah tidak dipergunakan lagi,
tidak berpengaruh pada penggunaan
107
Kesimpulan
Konsep metafora seperti yang digambarkan oleh Kovecses
(2006:171),berisikan skema sumber yang dalam hal ini
menyangkut ranah yang bersifat fisik dikodekan secara verbal
kepada ranah yang bersifat abstrak seperti, pada metafora green
house, green speak, dan lainnya. Konsep metafora akan
dibicarakan lebih mendetail dalam buku ini pada halaman lainnya.
Metafora ekologi menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104),
banyak bergantung kepada sosiokultural dan unsur kognitif
masyarakat tutur bahasa tersebut. Termasuk pula kedalamnya,
waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa yang dapat pula
memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan
atau kesalingterhubungan antara unsur-unsur ini dengan bahasa
jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad kesembilan
belas, kebutuhan akan air sebagai bahan pokok kehidupan, secara
eksklusif disejajarkan dengan uang yang memunculkan metafora
seperti central money supply, ‘central water supply’, dan metafora
water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora
Inggris water is money atau metafora bahasa Indonesia, ‘air itu
uang’ juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral)
dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga
merusak dan menggerus lingkungan alam semesta.
Sebagai catatan tambahan, mengingat penelitian yang
berada di bawah payung ekolinguistik masih baru dan masih
langka, dan minimnya teori-teori khusus ekolinguistik secara utuh,
yang berdampak kepada minimnya jumlah penelitiannya yang
108
dilakukan, maka diharapkan para linguis dan peneliti bahasa
melirik pada kajian ini. Jika kita berupaya ke arah ini pastilah
kajian ekolinguistik akan berjaya, sebab lahan kajian ekolinguistik
terbentang luas dan dengan penyediaan ratusan bahkan ribuan data
yang dapat dijadikan materi kajian. Disebabkan kajian ini masih
memanfaatkan data berkaitan dengan bahasa dan lingkungan
ekologis suatu masyarakat bahasa secara empiris dan holistik yang
harus dijabarkan dan didiskripsikan secara jelas maka sangat
diperlukan metode penelitian yang dapat menggali secara
mendalam terhadap hal yang berkaitan dengan lingkungan ekologis
tersebut, maka metode yang dapat dilakukan melalui kualitatif
(qualitative research). Disamping itu juga belum tersedianya
kuesioner yang standar untuk jenis penelitian ini, sehingga metode
melalui pendekatan kualitatif sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan poin-poin penting yang dapat digali secara maksimal
sehingga hal-hal terkecil dapat tertangkap dan tidak terlewatkan.
Asta Kosala Kosali in its main section is usually filled with rules
that determine the ideal dimensions of the building, measured by
the size of the human body by using the measuring unit Tapak
(feet), Depa (arm), Lengkat (fingers). This is so that the house will
become ideal with the owner of the house. Lontar is the most
widely used by the people of Bali in the manufacture of traditional
Balinese buildings. One of the physical forms of Balinese
architecture using the Asta Kosala-Kosali reference is a residential
building. In the architecture of the house, the undagi have the same
reference as other Balinese traditional buildings although there are
109
differences in buildings based on the function of the building
(Dwijendra, 2008). PAGE 291
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah dan Abdullah Faridan. 1984. Ungkapan Tradisisonal
sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa
Aceh. Jalarta: DEPDIKBUD.
Bernie S. Siegel. 1993. Peace,Love& Healing. Harper Perennial,
dalam Lindo, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard. 2000.
Dialectical Ecolinguistics: Three Essays For The Symposium
30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000.
Odense: University of Udense. Research Group for Ecology,
Language and Ideology Nordisk Institut.
Cruse, D Alan. 2000. Meaning in Language:An Introduction
to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford University
Press.
Damayanti, Sani. 2017. The Udagi Lexicon In The Manifacture
Of Residential Houses Based On Asta Kosala Kosali Concept
in Denpasar. [Dikutip 3 Januari 2019] tersedia dari
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret.
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
110
Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (Eds). 2001. The Ecolinguistics
Reader: Language, Ecology, and Environment. London and
New York: Continuum.
Finergan Edward dan Niko Besnier. 2000. Language, its structure
and use. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publishers
Fought, Carmen. 2006. Language and Ethnicity. New York:
Cambridge University Press.
Goodluck, Helen. 1996. Language Acquisition, A linguistic
Introduction. Masschusetts: Blackwell Publishers Ltd.
Hasjim M. K. 1977. Peribahasa Aceh. Banda Aceh: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Haugen, Einer. 1972.The Ecology of Language. Standford, CA:
Standford University Press.
Heine, Bernd. 1997. Cognitive Foundation of Grammar. New
York, Oxford University Press.
Kovecses, Zoltan. 2006. Languange, Mind, And Culture: A Prac
tical Introduction.
New York: Oxford University Press.
Kridaklasana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lakoff , George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.
Chicago: Chicago University Press.
111
Lindo, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard. 2000. Dialectical
Ecolinguistics: Three Essays For The Symposium 30 Years of
Language and Ecology in Graz December 2000. Odense:
University of Udense. Research Group for Ecology, Language
and Ideology Nordisk Institut.
Lyons, John. 1995. Introduction to Theoretical Linguistics.
Cambridge: Cambridge University Press.
M.S, Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan srategi,
metode, dan tekniknya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Mbete, Aron Meko.2002. Ungkapan- Ungkapan dalam Bahasa Lio
dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan. Jurnal
Linguistika: Wahana Pengembangan Cakrawala
Linguistik.Tahun 2002 Volium 9. Denpasar: Program Studi
Magister dan Doktor Linguistik Udayana.
Mbete, Aron Meko. 2009. Ragam Bahasa Bali yang sekarang
tidak umum [dikutip 15 Juni 2011]. Tersedia dari
http://linguistics1.blogspot.com/2009/01/ekolinguistik.htm
Mbete, Aron Meko. 2011. Eko Linguistik: Perspektif
Kelinguistikan yang Prospektif. Kendari: Bahan Pembelajaran
Awal Ekolinguistik Program Pascasarjana Universitas
Haluoleo.
Mbete, Aron Meko. 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal
Penelitian EKOLINGUISTIK. Denpasar: Vidia.
112
Mufwene, Salikoko. S. 2004. The Ecology of Language Evolution.
Chicago: Cambridge University Press.
Muhlhausler, Peter. 2003. Language of Environment-Environment
Of Language. A Course in Ecolinguistics, London:
Battlebridge.
Ni Wayan Nina Astuti. 2015. Khasanah Leksikon Tanaman
Upacara Upakara (Ritual)Pada Guyup Tutur Bahasa Bali Di
Sukawati, Gianyar. Dalam Kajian Linguistik Jurnal Ilmiah
Ilmu Bahasa, Agustus 2015 Tahun 12, Nomor 2. Medan:
Program Studi Linguitik Fakultas Ilmu Budaya USU.
Nuzwaty, dkk. 2014. Metaphorical Expression of Bahasa Aceh in
Trumon of South Aceh: Ecolinguitics Study. Dalam IOSR
jounal of Humanities and Social Science Volume 19 Issue:11 (
version- III). Tersedia dari: www.iosrjournals.org
Nuzwaty. 2016. Keterhubungan Antara Kehidupan Manusia
Dengan Dunia Fisik-Biologis Alam Semesta Diekpresikan
Dalam Ungkapan Metaforik Pada Komunitas Tutur Aceh Di
Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik. Dalam
Tutur Jurnal Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal Vol 3,
No.1, Februari 2017. Tersedia dari: http://tutur.apbl.org/ind
Samuri, Dr, Prof. 2000. Analisa Bahasa, Jakarta: Penerbit
Airlangga.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik,Medan: Penerbit Poda
113
Susilo, Rachmad K. D. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Suciati, Dr, S. Sos, M. Si. 2015. Psikologi Komunikasi Sebuah
Tinjauan Teoriti dan Perspektif Islam. Yokyakarta: Buku
Letera.
Stibbe, Arran.2015. Ecolinguistics: Language, ecology and the
stories we live by,New York: Routledge.
Syamsuddin, T dan Razali Umar. 1985. Upacara Tradisional Yang
Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah
Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan.
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 3, No. 2 Oktober 2017,
Page 290-296 Available Online at
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret P-ISSN: 2406-
9019 E-ISSN: 2443-0668
Internet https://kbbi.web.id > ekologi
https://id.m.wikipedia.org>wiki> Bahasa India
114
Glosari:
Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap kajian
ekolinguistik dalam buku ini, maka berikut ini ditampilkan
beberapa istilah ataupun terminologi yang kerap digunakan di
dalamnya.
A
AAVE: African American Vernacular English yaitu bahasa
bahasa vernakular atau bahasa keseharian yang digunakan oleh
masyarakat kulit hitam di Amerika. Bahasa ini juga dianggap
sebagai dialek dari bahasa Inggris di Amerika.
Abo: siput, binatang kecil melata di pinggir pantai, termasuk
ke dalam spesies amphibi.
Allocritos:
Analogi:
Angen : angin
Asam Sunti: belimbing wuluh yang sudah dijemur dan
dikeringkan
Anomali:
B
Bahasa lingkungan: bentuk kosa kata atau leksikal yang
digunakan untuk pelestarian lingkungan alam , pencemaran
alam, pengrusakan hutan.
Bang-bang : suara pintu diketuk, buara tembakan
Bu kulah: nasi dibungkus berbentuk piramida yang dijadikan
sajian untuk upacara jamuan pada acara perkawinan, tujuh
bulanan
115
Blue speak:
Brown speak:
Bu phet: lepat dari tepung beras
Bu leukat: ketan
Bu leumak: beras yang dimasak dengan santan (nasi lemak),
dimakan bersama lauk pauk, dan biasa disajikan untuk sarapan
pagi
Bu kanji: bubur nasi yang dimasak bersama rempah-rempah
dan daging ayam, daging sapi, udang dan cumi-cumi. Pangan
ini biasanya dihidangkan saat berbuka puasa. Panganan ini
hkusus untuk bulan Ramadhan
Bu kuneng: lepat yang diisi dengan pisang di dalamnya.
bu leugok
Buya: buaya
C
Camplie cina; cabai rawit atau cabai kecil yang rasanya sangat
pedas
D
Dimensi ideologis (ideological dimension): hal yang berkaitan
dengan pikiran manusia dan pemahaman manusia tentang
segala sesuatu yang terekam dalam kognitif, mental, ideologi,
dan sistem psikis
Dimensi sosiologis (sociological dimension): hal yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, termasuk ke
dalamnya adalah rasa saling mengenal, saling menyayangi,
saling membenci.
116
Dimensi biologis (biological dimensional): sesuatu hal yang
berkaitan dengan kehidupan biota alam dan segala sesuatu
yang terdapat dalam alam, termasuk ke dalamnya lingkungan
alam dan hidup berdampingan dengan spesies lain yaitu flora,
fauna.
Domain:
Dua: dua
E
Efeumisme:
Ecoregion: wilayah atau daerah yang
Ekolinguistik: kajian yang menyandingkan kajian linguistik
dengan ekologis. Kajian ini juga sebuah kajian interaksi antara
bahasa-bahasa dan lingkungannya.
Epiphora:
F
Fisei:
G
Green speak:
H
Han : tidak, bukan
Hana : tidak ada
Hindlish:
Hubungan ontologis : interelasi yang melibatkan entitas dalam
dua ranah dalam kesamaan sifat.
117
Hubungan epistimik : melibatkan hubungan pengetahuan
tentang kedua entitas yang menggambarkan adanya kesamaan
ciri atau sifat keduanya.
J
Jeungki:
K
Kayee : kayu, pohon
Kreol:
Kokorico : ayam berkokok
Kromo Inggil:
L
Laen: lain atau selain dari
Laot: laut
Lam: di dalam
Lhok: lubuk
Lingkungan bahasa: lingkungan budaya, lingkungan sosial
masyarakat tutur.
Lingkungan fisik: merupakan lingkungan alam, geografi yang
menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan,
lingkungan sosial dan lingkungan budaya berkaitan dengan
hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat
tersebut seperti agama, etika, politik.
Logos: ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta dan non
eksakta
M
Madio:
118
Meraban:
Mumeet : bergerak, bergeser
Meung : kalau, jika
N
Na : ada
Ngoko:
Neolithikum:
Nomos:
Nyuh:
O
Oikos: lingkungan
On : daun
P
Paleolithikum:
Pane : bagaimana
Panjenengan:
Part of speech:
Pat: tempat, kediaman
Parameter ekolinguistik: dimensi keterkaitan antara bahasa
dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat
atau masyarakat tutur, entitas yang biotik dan yang abiotik
Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan
(interrelationship): gambaran tentang hubungan timbal balik
antara makhluk di suatu lingkungan alam dengan ekologinya
(ecoregion) yang dapat terpantul pada kode-kode leksikal.
119
Parameter keberagaman (diversity): keberagaman yang ada di
dalam perbendaharan kosa kata sebuah bahasa terpancar dari
lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan
budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan.
Parameter lingkungan (environment): parameter yang
menjelaskan adanya hubungan antara ekologi dengan spesies
hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh
kandungan mineral yang berada di suatu lingkungan ekologi
Pemetaan atau pemetaan silang ranah (cross domain mapping),
yaitu transformasi dari ranah sumber kepada ranah
target dalam pembentukan metafora.
Pengalaman tubuh (bodily experience): pengalaman empirik
yang dialami oleh tubuh manusia dan juga yang dialami
melalui inderawi manusia.
Piih:
R
Ranah sumber (source domain) : pola acuan atau rujukan
dalam pembentukan metafora
Ranah target (target domain) : sasaran yang menjadikannya
sebagai metafora.
S
Sampean: anda
Sekar:
Social engineering:
Singlish:
top related