pengobatan tb
Post on 30-Nov-2015
29 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
I. Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH, mempunyai
rumus bangun seperti gam bar di bawah. Hanya satu derivatnya yang diketahui
menghambat pembelahan kuman tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu
toksik untuk man usia.
Efek Antibakteri: Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid
dengan KHM (kadar hambat minimum) sekitar 0,025-0,05 ug/mL. pembelahan kuman
masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya
hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang
"istirahat" mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan.
Di antara mikobakteria atipik biasanya hanya M. kansasii yang peka terhadap isoniazid,
tetapi sensitivitasnya harus selalu diuji secara in vitro karena kuman ini memerlukan
kadar hambat yang lebih tinggi. Pada uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat
dibandingkan streptomisin. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah.
Mekanisme Kerja: Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa
hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosistesis asam nukleat, dan
glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam
mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.
Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang
yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat
tahan asam dan menurunkankan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari
mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya, dan ambilan
ini merupakan proses aktif.
Resistensi: Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya
resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak
menyerap obat. Penggunaan INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang
resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa
minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi
berbeda pada kasus yang berlainan.
Farmakokenetik: Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dan masa paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang Eskimo dan
Jepang asetilator lambat terutama pada orang Skandavia, Yahudi, dan orang kaukasia
Afrika Utara. Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan heterozigot atau
homozigot. Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid dalam sirkulasi
berkisar antara 30-50% kadar pada pasien dengan asetilasi lambat. Masa paruhnya pada
keseluruhan populasi antara 1 sampai 4 jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat
hampir 70 menit, sedangkan nilai 2-5 jam adalah khas untuk asetilator lambat. Masa
paruh obat ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa
perbedaan kecepatan asetilasi ini tidak berpengaruh pada efektivitas a!au toksisitas
isoniazid bila obat ini diberikan setiap hari. Tetapi, bila pasien tergolong asetilator cepat
dan mendapat isoniazid seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik.
Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat
dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan
serebrospinal pada radang selaput otak kira-kira sama dengan kadar dalam cairan
plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih
tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian
obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup
sebagai bakteriostatik.
Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir
seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid
yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan
metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin
dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid.
Efek Samping: Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan
kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Reaksi hematologik dapat
juga terjadi seperti agranulusitosis, eosinofilia, trombpsitopenia, dan anemia. vaskulitis
yang berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi selama pengobatan, tetapi
menghilang bila pemberian obat dihentikan. Gejala arthritis juga dapat terjadi seperti
sakit pinggang; sakit sendi interfalang proksimal bilateral; atralgia pada lutut, siku dan
pergelangan tangan.
Neuritis perifer pa.ling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5 mg/kgBB/hari. Bila
pasien tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih
tinggi, pada sekitar 10% sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer. Profilaksis
dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis perifer dan juga berbagai
gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat pengobatan yang
berjangka sampai 2 tahun.
Perubahan neuropatologik yang berhubungan dengan efek sam ping antara lain
menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria dan pecahnya akson
terminal. Biasanya juga terjadi perubahan pada ganglia di daerah lumbal dan sakrum.
Pemberian piridoksin sangat bermanfaat untuk mencegah perubahan tersebut. Pada
pemberian isoniazid, ekskresi piridoksin meningkat dan konsentrasinya dalam plasma
menurun sehingga memberi gambaran seperti defisiensi piridoksin. Neuropati lebih
sering terjadi pada pasien asetilatorlambat, pasien dengan diabetes melitus, nutrisi buruk
atau anemia.
Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat
kejang. Neuritis optik dengan atropi dapat juga terjadi. Gambaran lain neurotoksisitas
ialah kedut otot, vertigo, ataksia, parestesia, stupor, dan ensefalopati toksik yang dapat
berakhir fatal. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini di
antaranya euphoria, kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri, dan
psikosis. Sedasi yang berlebihan atau inkoordinasi dapat muncul bila isoniazid
diberikan bersama fenitoin karena isoniazid menghambat parahidroksilasi antikonvulsan
tersebut. Efek samping ini terutama terjadi pada pasien asetilator lambat, sehingga perlu
dilakukan monitor kadar fenitoin dalam darah dan kemudian dilakukan penyesuaian
dosis bila diperlukan. Dosis INH tidak boleh diubah.
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat
terjadinya nekrosis multilohular. Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukkan
adanya kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati.
Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun diketahui bahwa
asetilhidrazin suatu metabolit isoniazid, dapat menyebabkan kerusakan hati. Peranan
alkohol juga dipertanyakan. Umur merupakan faktor yang sangat penting untuk
memperhitungkan risiko efek toksik isonizaid pada hati. Kerusakan hati jarang terjadi
pada pasien yang berumur di bawah 35 tahun. Makin tinggi umur seseorang makin
sering ditemui kelainan ini, kelainan yang paling banyak ditemui ialah meningkatnya
aktivitas enzim transaminase. Pasien yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan
dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu diperiksa aktivitas enzim
serum glutamicoxalacetic transaminase (SGOT). Peningkatan aktivitas enzim
transaminase di hati sampai 4 kali normal dapat terjadi pada 10% samapi 20% pasien,
tetapi umumnya asimptomatik. Oalam keadaan tersebut tidak diperlukan penghentian
obat. Pada penderita berisiko tinggi (peminum alkohol, riwayat penyakit hati dsb)
dianjurkan monitor aktivitas aspartat-aminotransferase serum setiap satu bulan, dan bila
aktivitasnya melebihi lima kali normal, maka pemberian INH diusulkan untuk
dihentikan. Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi antara 4-8 minggu setelah
pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid pada pasien dengan riwayat penyakit hati
harus dilakukan dengan hati-hati. Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa
kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin. Bila
pasien sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin, pemberian INH
dapat menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar, akan
menyebabkan gambaran darah normal kembali.
Dosis isoniazid yang berlebih misalnya karena usaha bunuh diri menyebabkan
koma, kejang-kejang, asidosis metabolik, dan hiperglikemia. Piridoksin digunakan
sebagai antidotnya dengan dosis sesuai dengan besarnya dosis INH yang ditelan. Status
dalam Pengobatan: Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk
mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasan yang cermat pada pasien. Untuk tujuan terapi, obat ini harus
digunakan bersama obat lain; untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.
Sediaan dan Posologi:. Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100,300 dan 400
mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vitamin B6.
Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasa 5
mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10
mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar
ini lebih efektif. Anak di bawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. Isoniazid juga
dapat diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15 mglkgBB/hari.
Piridoksin diberikan dengan dosis 10 mg/hari.
II. Bronkiektasis
Definisi dan epidemiologi
Suatu penyakit yang ditandai oleh dilatasi dinding bronkus, sering disertai infeksi paru.
Insidensinya tidak diketahui. Prevalensinya 111000 dan semakin menurun (kejadian
batuk rejan di masa anak-anak dan tuberkulosis [TB] berkurang). Secara umum
penyakit ini telah menjadi lebih ringan sejak ditemukannya terapi antibiotik.
Etiologi
Tergantung pada distribusinya
Bronkiektasis lokal terjadi setelah pneumonia berat, atau terjadi distal dari
endobronkial (benda asing atau tumor) atau obstruksi ekstrabronkial (tuberkulosis
KGB hilus- sindrom Brock).
Bronkiektasis generalisata fibrosis kistik (lihat hal. 186), diskinesia silier (sindrom
Kartagener), sindrom Young (kelainan mukus) dan defek imun (defisiensi
imunoglobulin atau komplemen, penyakit granulomatosa kronis) menyebabkan infeksi
persisten dan kerusakan dinding bronkus, begitu pula kompleks imun (aspergilosis
bronkopulmonal alergika, artritis reumatoid, penyakit inflamasi usus). Adanya fibrosis
paru sebagai penyakit yang mendasari bisa menyebabkan tarikan dinding bronkus
sehingga terjadi bronkiektasis traksi. Penyakit langka yang berhubungan dengan
keadaan ini adalah sindrom kuku kuning, defisiensi alfa 1-antitripsin dan sindrom
Marfan.
Patofisiologi
Retensi sekret bronkus mengakibatkan infeksi paru, yang tidak sembuh sehingga terjadi
kolonisasi paru. Selain itu, bakteri tertentu menurunkan bersihan sputum lebih lanjut.
Terbentuk 'lingkaran berulang' dan respons peradangan kronis pada saluran pernapasan
menyebabkan kerusakan jaringan dan dilatasi dinding bronkus.
Gambaran klinis
Gambaran klinis pada bronkiektasis sangat beragam. Sebagian tanpa gejala atau tanda
sarna sekali. Gejala klasiknya berupa batuk kronis dengan produksi sputum
mukopurulen dalam jumlah banyak. Sering disertai bau napas tak sedap (fetor).
Hemoptisis terjadi pada 50% pasien pada tahap tertentu; 30-40% pasien mempunyai
sinusitis kronis. Bisa terjadi anemia akibat penyakit kronis, atau polisitemia, akibat
gagal napas pada penyakit tahap lanjut. Clubbing ditemukan pada kasus yang berat.
Sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal timbul pada tahap lanjut penyakit yang sudah
menyeluruh. Ronki terdengar di area yang terkena, khususnya selama eksaserbasi dan
pada sejumlah pasien tertentu terjadi obstruksi saluran pemapasan dan mengi. Gejala
dan tanda lainnya berhubungan dengan penyakit yang mendasari (misalnya sinusitis,
infertilitas, dan dekstrokardia pada sindrom Kartagener; karsinoma bronkus, dan lain-
lain).
Komplikasi
Gagal napas
Abses otak akibat penyebaran infeksi secara hematogen
Amiloid, dengan gagal ginja pada penyakit yang berat dan berlangsung lama.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Foto toraks biasanya memperlihatkan bayangan cincin tebal atau ‘tram lines', yang
merupakan garnbaran penebalan dinding bronkus walaupun 10% tampak normal.
CT scan dada dengan resolusi tinggi (high resolution computed tomography
[HRCTD]) dapat membantu menegakan diagnosis pasti. Hasil temuan khas berupa
tanda 'signet ring’ yaitu bronkus berdinding tebal yang tampak lebih besar dari
pembuluh darah sekitarnya.
Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab:
Perkiraan imunoglobulin, presipitin aspergilus dan IgE serta tes yang relevan untuk
fibrosis kistik, CT danlatau bronkoskopi bisa menunjukkan obstruksi bronkus lokal.
Tes sakarin: jika ada dugaan kelainan silier, hitung waktu yang dibutuhkan sakarin
yang diletakkan di hidung untuk mencapai kuncup pengecap. Bila memanjang,
diagnosis pasti bisa ditegakkan dengau melakukan pemeriksaan silia dengan mikroskop
elektron.
Tes fungsi paru: bisa menunjukkan obstruksi saluran pernapasan, yang biasanya
reversibel.
Analisis gas darah: pada kasus yaug berat bila ada dugaan gagal napas.
Mikroskopik dan kultur sputum: bakteri patogen tersering seperti Haemophilus spp.,
pneumokokus, dan Pseudomonas spp. Infeksi bisajuga disebabkan oleh organisme
atipik, di antaranya mikobakteria dan jamur, sehingga harus dicari secara spesifik.
Penatalaksanaan
Fisioterapi: pasien harus melakukan drainase postural sendiri sebanyak dua kali sehari
untuk mengeluarkan sekret. Fisioterapi dengan pengawasan bermanfaat selama
eksaserbasi.
Bronkodilator: beta-agonis, antikolinergik, dau inhalasi steroid digunakan jika pada
pemeriksaan formal tampak reversibilitas.
Terapi spesifik
Terapi sulih (replacement) imunoglobulin bisa mengurangi infeksi pada
hipogamaglobulinemia
Alfa 1-antitripsin inhalasi tidak terbukti bermanfaat dalam mengurangi infeksi.
Antibiotik: dalam dosis tinggi digunakau untuk eksaserbasi infektif, dipaudu oleh
hasil pemeriksaan sensitivitas ·dari kultur sputum. Pemberian antibiotik terus
menerus/rotasi bermaufaat untuk sebagian pasien yang sering mengalami
eksaserbasi. Infeksi pseudomonas membutuhkan penggunaan dua antibiotik secara
simultan dari dua kelompok generik dengan jangka pemberian yang cukup panjang
(> 14 hari).
Oksigen: mengurangi gejala pada pasien yang mengalarni hipoksia. Pasien dengau
hipoksia kronis dan kor pulrnonal harus diberi terapi oksigen jangka panjang.
Pembedahan: reseksi penyakit lokal efektif pada bronkiektasis satu lobus dan bisa
mengendalikan perdarahan pada hemoptisis masif, namun tidak bermanfaat pada
penyakit yang sudah menyebar. Transplautasi paru harus dipertimbaugkan pada
pasien berusia muda dengan fungsi paru yang sudah rusak berat (FEV1 diperkirakan
<30%).
Prognosis
Sebagian pasien hanya memiliki sedikit gejala dan dapat menjalani hidup normal
dengan angka harapan hidup yang normal. Pasien dengan fibrosis kistik atau diskinesia
silier yang menyebabkan penyakit generalisata cenderung berkembang menjadi gagal
napas.
III. Klasifikasi Tuberkulosis
Tujuan klasifikasi kasus TB
Klasifikasi untuk kasus TB diperlukan untuk:
Registrasi pasien dan kasus yang sesuai
Memilih rejimen pengobatan yang sesuai standar
Menstandarisasi pengumpulan data untuk pengontrolan TB
Evaluasi proporsi kasus berdasarkan lokasi, bakteriologi dan riwayat pengobatan
Analisis kohort dari hasil pengobatan
Monitoring akurat untuk evaluasi program TB
Klasifikasi Menurut WHO
Tuberculosis suspect. Any person who presents with symptoms or signs suggestive of
TB. The most common symptom of pulmonary TB is a productive cough for more than
2 weeks,1 which may be accompanied by other respiratory symptoms (shortness of
breath, chest pains, haemoptysis) and/or constitutional symptoms (loss of appetite,
weight loss, fever, night sweats, and fatigue).2
Case of tuberculosis. A definite case of TB (defined below) or one in which a health
worker (clinician or other medical practitioner) has diagnosed TB and has decided to
treat the patient with a full course of TB treatment.
Note. Any person given treatment for TB should be recorded as a case. Incomplete
“trial” TB treatment should not be given as a method for diagnosis.
Definite case of tuberculosis. A patient with Mycobacterium tuberculosis complex
identified from a clinical specimen, either by culture or by a newer method such as
molecular line probe assay. In countries that lack the laboratory capacity to routinely
identify M. tuberculosis, a pulmonary case with one or more initial sputum smear
examinations positive for acid-fast bacilli (AFB) is also considered to be a “definite”
case, provided that there is a functional external quality assurance (EQA) system with
blind rechecking.3
Cases of TB are also classified according to the:
— anatomical site of disease;
— bacteriological results (including drug resistance);
— history of previous treatment;
— HIV status of the patient.
IV. Pleuritis
Pleuritis / radang pleura (Pleurisy/Pleurisis/ Pleuritic chest pain) adalah suatu
peradangan pada pleura (selaput yang menyelubungi permukaan paru-paru). Radang
pleura dapat berlagsung secara subakut, akut atau kronois, dengan ditandai perubahan
proses pernafasan yang intensitasnya tergantung pada beratnya proses radang. Pada
yang berlangsung subakut proses radang biasanya dibarengi dengan empiema serta
mengakibatkan layuhnya sebagian paru-paru, hingga pernafasan akan mengalami
kesulitan (dispnoea). Biasanya pernafasan bersifat cepat dan dangkal. Pada yang
berlangsung akut penderita mengalami kesakitan waktu bernafas hingga pernafasan jadi
dangkal, cepat serta bersifat abdominal. Yang berlangsung kronis, pada waktu istirahat
tidak tampak adanya perubahan pada proses pernafasannya. Bila disertai dengan
penimbunan cairan di rongga pleura maka disebut efusi pleura tetapi bila tidak terjadi
penimbunan cairan di rongga pleura, maka disebut pleurisi kering. Setelah terjadi
peradangan, pleura bisa kembali normal atau terjadi perlengketan.
ETIOLOGI
Pada sapi pleuritis dapat bersifat primer maupun sekunder. Pleuritis pada sapi yang
bersifat primer terjadi karena tertembusnya dinding retikulum oleh benda asing, hingga
akan terjadi retikulitis, peritonitis, phrenitis, dan pleuritis. Radang yang bersifat
sekunder, terjadi pada sapi yang menderita radang paru-paru yang melanjut,
pleuropneumonia (yang disebabkan oleh Mycoplasma mycoides var. mycoides),
tuberkulosis, maupun radang paru-paru karena organisme pasteurela.
Pleuritis dapat disebabkan oleh apa saja dari kondisi-kondisi berikut:
Infeksi-Infeksi: bakteri-bakteri (termasuk yang menyebabkan tuberculosis), jamur-
jamnur, parasit-parasit, atau virus-virus
Kimia-Kimia Yang Terhisap Atau Senyawa-Senyawa Beracun: paparan pada
beberapa agen-agen perbersih seperti ammonia
Penyakit-Penyakit Vaskular Kolagen: lupus, rheumatoid arthritis
Kanker-Kanker: contohnya, penyebaran dari kanker paru atau kanker payudara ke
pleura
Tumor-Tumor Dari Pleura: mesothelioma atau sarcoma
Kemacetan: gagal jantung
Pulmonary embolism: bekuan darah didalam pembuluh-pembuluh darah ke paruparu.
Bekuan-bekuan ini adakalanya dengan parah mengurangi darah dan oksigen ke
bagian-bagian dari paru dan dapat berakibat pada kematian pada bagian itu dari
jaringan paru (diistilahkan lung infarction). Ini juga dapat menyebabkan pleurisy.
Rintangan dari Kanal-Kanal Limfa: sebagai akibat dari tumor-tumor paru yang
berlokasi secara central
Trauma: patah-patahan rusuk atau iritasi dari tabung-tabung dada yang digunakan
untuk mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleural pada dada
Obat-Obat Tertentu: obat-obat yang dapat menyebabkan sindrom-sindrom seperti
lupus (seperti Hydralazine, Procan, Dilantin, dan lain-lainnya)
Proses-proses Perut: seperti pankreatitis, sirosis hati
Lung infarction: kematian jaringan paru yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
dari suplai darah yang buruk
PATOGENESIS
Adanya radang pleura yang bersifat awal, sebelum terbentuknya cairan eksudasi
radang, kedua lapisan pleura, yaitu pleura parietalis dan visceralis, saling bergesekan
oleh karena keduanya mengalami penebalan. Gesekan antara keduanya akan
menimbulkan suara friksi dalam pemeriksaan auskultasi. Pada proses yang berlangsung
akut, rasa sakit terjadi sebagai akibat meningkatnya kepekaan syaraf sensoris pada
pleura yang
mengalami radang. Hal tersebut menyebabkan kurang leluasanya pengembangan
dinding dada, hingga pernafasan lebih banyak dilakukan oleh otot-otot perut
(pernafasan abdominal). Untuk mengurangi rasa sakit, pernafasan dilakukan dengan
cepat dan intensitas yang dangkal. Oleh adanya cairan yang kemudian terbentuk,
sebagai produk radang, volume rongga pleura berkurang dan tekanan negatif di
dalamnya akan berkurang. Hal terakhir mengakibatkan kemampuan berkembang dari
alveoli paru-paru juga menurun, dan hal tersebut mengakibatkan penderita cepat
menjadi lelah meskipun hanya melakukan kerja fisik yang ringan.
Bagian paru-paru yang tercelup di dalam cairan radang, yang sifatnya purulen,
mukopurulen, atau serosanguineus, akan cepat mengalami disfungsi dan mengalami
atelektasis. Lobus paru-paru yang paling sering menderita atelektasis adalah lobus
ventralis. Dalam keadaan demikian, bagian paru-paru tersebut tidak lagi berfungsi, dan
untuk menutupi kebutuhan oksigen akan diikuti dengan kerja lebih, sebagai kompensasi,
dari jaringa paru-paru yang lain. Jantung yang tercelup di dalam cairan radang juga akan
mengalami degenerasi, hingga gejala kelemahan jantung juga akan dapat diamati.
Kompresi cairan atas jantung, terutama pada atriumnya, menyebabkan bendungan pada
vena-vena yang besar, antara lain vena jugularis. Bendungan tersebut akan dilihat dari
luar dengan mudah.
Mungkin cairan radang dapat mengalami penyerapan, hingga pleura yang meradang
menjadi ”kering”. Dalam keadaan demikian biasanya terjadi adesi pada pleura hingga
menyebabkan pertautan paru-paru dengan dinding dada, yang selanjutnya hal tersebut
menyebabkan penurunan kemampuan paru-paru untuk berkembang sesuai dengan
kemampuan normalnya. Gejala-gejala perubahan pernafasan akan segera tampak bila
penderita dikerjakan agak berat.
Radang pleura yang disebabkan oleh kuman hampair selalu diikuti dengan gejala
toksemia, yang disebabkan oleh terbebasnya toksin kuman maupun karena hasil
pemecahan reruntuhan jaringan.
GEJALA KLINIS
Gejala radang pada awalnya dimulai dengan ketidaktenangan, kemudian diikuti
dengan pernafasn yang cepat dan dangkal. Dalam keadaan akut, karena rasa sakit waktu
bernafas dengan menggunakan otot-otot dada, pernafasan lebih bersifat abdominal.
Untuk mengurangi rasa sakit di daerah dada, bahu penderita nampak direnggangkan
keluar (posisi abduksi). Dalam keadaan seperti itu penderita jadi malas bergerak, hingga
lebih banyak tinggal di kandang atau menyendiri dari kelompoknya. Kebanyakan
penderita mengalami demam, sekitar 40oC.
Dalam pemeriksaan auskultasi terdengar suara friksi karena bergeseknya kedua
pleura. Adanya cairan radang dalam auskultasi akan terdengar suara perpindahan cairan
sesuai dengan irama pernafasan. Dalam pemeriksaan perkusi terdengar suara pekak,
terutama pada bagian bawah daerah perkusi paru-paru. Bila cairan yang terbentuk cukup
banyak, dalam perkusi dapat dikenali adanya daerah pekak horizontal, yang
kadangkadang tingginya mencapai hampir setengah daerah perkusi. Oleh banyaknya
cairan yang terbentukgejala dispnoea juga menjadi lebih jelas. Kekurangan oksigen
yang disebabkan oleh toksemia dan akibat radang paru-paru yang mengikutinya,
penderita dapat mengalami kematian setiap saat. Pada radanag pleura penderita nampak
lesu karena adanya penyerapan toksin (toksemia).
Proses kesembuhan dapat pula terjadi, meskipun biasanya diikuti dengan adesi
pleura. Penderita demikian tampak normal, tetapi bila dikerjakan sedikit saja segera
menjadi lelah karena turunya kapasitas vital pernafasannya. Radang pleura kronik, yang
mungkin ditemukan pada sapi yang menderita tuberkulosis, mungkin saja tidak
mengakibatkan gejala pernafasan yang berarti. Kebanyakan penderita radang kronik
hanya memperlihatkan kenaikan frekuensi pernafasannya.
DIAGNOSIS
Penentuan diagnosis radang didasarkan pada ditemukannya suara friksi dalam
pemeriksaan auskultasi, serta adanya cairan radang di daslam rongga pleura. Di dalam
praktek radang pleura hampir selalu ditemukan bersamaan dengan radang paru-paru
hingga terjadi pleuropnemia. Memisahkan kedua gangguan tersebut dipandang tidak ada
gunanya.
Dari emfisema pulmonum, radang pleura dapat dibedakan karena pada yang
terakhir tidak ditemukan suara timpanis dalam pemeriksaan perkusi. Dari hidrotorak,
khilothoraks, dan hemothoraks, radang pleura memiliki perbedaan karena padanya biasa
disertai kenaikan suhu seluruh tubuh maupun adanya rasa sakit waktu bernapas,
terutama pada proses yang berlangsung akut. Untuk membedakan penyakit-penyakit
tersebut, perlu dilakukan thoracosentesis. Cairan yang dapat dihisap, dapat digunakan
untuk menentukan perubahan patologis di dalam rongga dada penderita.
PROGNOSIS
Prognosis radang pleura tidak selalu menggembirakan. Hal tersebut disebabkan
oleh kesukaran dalam penanganan kasus, yang seharusnya penderita ditempatkan pada
tempat yang hangat, bersih, dan tidak berdebu, serta kesulitan dalam menghentikan
proses radang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.who.int/rpc/guidelines/9789241547505/en/index.html
top related