pengobatan tb
Post on 08-Apr-2016
121 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
1
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
2
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2
didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi
tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3
kali seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk :
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di IndonesiaKategori 1 • 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
OAT sisipan • HRZE
Kategori anak • 2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6 bulan
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru TB Paru BTA Positif.
• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif
• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan
3
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam
seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati,
yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3. OAT Sisipan (HRZE)1
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan
dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg: 1 tablet
Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500mg, 3 tablet
Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas
dalam 1 dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
ObatDosis
(mg/KgBB/hr)
Dosis yg dianjurkanDosisMaks (mg)
Dosis mg/KgBBHarian (mg/KgBB/hr)
Intermitten (mg/KgBB/kali)
<40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 35 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini
pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada
sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO sangat menganjurkan
pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan
OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
4
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap
dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan
meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa
memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannyadan
lebih murah pembiayaannya.3
Tabel 3. Jenis OAT FDC2
Fase Intensif Fase Intensif2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/mingguRHZE
150/75/400/275
RHZ150/75/400
RHZ150/150/500
RH150/75
RH150/150
30-3738-5455-70>71
2345
2345
2345
2345
2345
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru /
fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti
(termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis
terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi,
serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit sekali
mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu
denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya
5
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi
misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga, BTA
tidak jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan
/keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk (BB/U <
60%)
Demam tanpa
sebab jelas
> 2 minggu
(jelas)
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
coli, aksila,
inginal,
> 1cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
Ada
pembengkakan
Foto toraks Normal / tidak
jelas
Kesan TB
Catatan:
Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter
6
Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat pasien datang
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis sebagai
TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari
6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :
Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan
serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.
Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan
CT-Scan.
Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Pada
tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap
lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan
diberikan paduan 2 obat H dan R. Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada
tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Isoniazid (H) 5-15* 300
7
Rifampisisn ** (R) 10-20 600
Pyrazinamide (z) 15-40 2000
Streptomisin (S) 15-40 1000
Catatan:
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik
melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu
tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan pirazinamid 150 mg.
Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R75 4 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah (chewable), atau
dilarutkan dalam air (dispersable).
2.2 Efek Samping OAT : 5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
8
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi
piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang
dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan
dosis dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadi lupus
ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling
sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati
(hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat
dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang
disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas
terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak
segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis
hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di
bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-35 tahun, 1,2% pada pasien
berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko
hepatitis lebih besar pada pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta
pada masa pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi
kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.
9
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih
besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar
sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien
dengan keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS
dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid
meningkatkan ekskresi piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui
pemberian piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat,
yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang.
Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia
defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan
metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin1, 3, 6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air
mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin
dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering
menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu,
rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil,
mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.
Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9,
2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon,
antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa
penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian
rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul
sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan
trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
10
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang
diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala
ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun
gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),
General
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua
penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat
mencetuskan artritis pirai akut.
Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan
dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk
mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.
Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi
dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan
obat ini. Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas
termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat,
fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol 4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering
terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada
11
dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau
kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara
teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif
dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman
penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Ocular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan
(termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau
retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6
Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat
reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara
18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6% dengan
25mg/kg per hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per hari dari
ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis
aman yang dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih
rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak
berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval
antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan.
Manifestasi gangguan setelah 12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi.
Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien
yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan
penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan
12
ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman
penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis
lebih dari 15 mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan
tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer
maupun sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya
terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor
predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis
sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan
penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian
ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah
ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan
kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi dari
terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66% pasien yang
menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada
arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2 bulan terapi. Gejala biasanya
menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.
Hepatic
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan asimptomatik dari
LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT,
biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan
ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat
dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi
ethambutol
Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi
hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif),
lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis. Reaksi hipersensitifitas
ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia.
Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang
dilaporkan terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.
Hematology
13
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan
neutropenia.
Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau
tanpa eosinofilia
Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa
berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan
terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek
samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta kesemutan
pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi
gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic
interstitial nephritis.
5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari,
pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal.
Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid,
asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya,
vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila
memungkinkan. Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan
pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang
14
ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas
menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance
kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas seringkali berupa
peningkatan kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan
amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin
paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat
nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip
kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis
tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan
segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat
hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang
lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang
(misalnya tuberkulosis) maupun pada petugas media yang bertugas menangani obat ini.
Desensitisasi kadang-kadang berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling
serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa vertigo dan
hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung
dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular
dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah.
Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada
kasus ini relatif dikontraindikasikan.
15
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2
Efek Samping Kemungkinan Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin Obat diminum malam
sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan ObatGatal dan kemerahan
pada kulitSemua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketatTuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang
dan boleh diberikanhepatoprotektor
Muntah dan confusion(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan
purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada
sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan
semua OAT. Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek
samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
16
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek
samping tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian
diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-rechallenge. Bila dalam proses rechallenge
yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reaksi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan
lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko
terjadinya kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling
ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka
pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,
jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai
risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin
dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan
rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah
terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab
hepatitis selain dari akibat regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
17
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB,
semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB sangat berat dan
diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB, regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal
dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin
obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk
menunggu setidaknya 2 minggu setelah menghilangnya jaundice dan tenderness pada
abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak
menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau
dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu.
Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir
yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan
rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam
menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari,
isoniazid dapat mulai diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan
terhadap pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari
pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.
Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan
2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan
ethambutol
Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide dan
ethambutol dapat dipertimbangkan.
Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total terapi
dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen nonhepatotoksik
yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat dilanjutkan
selama total 18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal,
terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB menggunakan
18
tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk
pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu
daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada
daerah dengan sumber daya terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan
pendekatan sebagai berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase
intensif atau lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan
isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis menghilang,
ulangi kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan streptomycin untuk
menyelesaikan 2 bulan dari permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama
6 bulan pada fase lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang,
ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi
lanjutan.
19
top related