penilaian preoperatif dan persiapan operatif pasien hipertensi
Post on 28-Nov-2015
62 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENILAIAN PREOPERATIF DAN PERSIAPAN OPERATIF PASIEN HIPERTENSI
Penilaian preoperatif
Ketika menilai pasien untuk anestesi, bertanya tentang penyakit terkait seperti penyakit
jantung iskemik, gagal ginjal dan penyakit serebrovaskular. Ini dapat menilai tingkat
kerusakan organ akhir hipertensi, dan karena itu risiko untuk anestesi. Penyelidikan awal
yang harus dipertimbangkan termasuk elektrokardiografi (EKG) dan pengukuran elektrolit.
Perubahan EKG yang mungkin termasuk hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang berkas dan
bukti infark miokard lama seperti gelombang Q. Pada pasien terengah-engah rontgen dada
harus dilakukan, dan jika penyakit jantung yang signifikan diduga tes toleransi latihan.
Sekitar sembilan puluh persen pasien memiliki idiopatik (tidak ada penyebab yang
mendasari) hipertensi, tetapi setiap penyebab diobati seperti tumor endokrin, penyakit ginjal
dan gangguan terkait kehamilan seperti pre-eklampsia harus dikeluarkan. Pasien dengan
hipertensi tidak terkontrol membutuhkan operasi mendesak dapat mengambil manfaat dari
teknik anestesi regional untuk menghindari risiko anestesi umum, misalnya sebuah blok
pergelangan kaki untuk kaki amputasi.
Investigasi
Penderita hipertensi seringkali tanpa gejala, dan penilaian pra operasi dengan pengukuran
tekanan darah rutin, sering manifestasi pertama dari setiap potensi masalah. Tekanan darah
diukur sesuai dengan suara Korotkoff yang merupakan aliran turbulen dalam arteri. Tekanan
darah sistolik diukur pada suara pertama, dan diastolik antara suara keempat dan kelima,
yang merupakan titik sebelum adanya aliran turbulen.
Temuan hipertensi insidental mungkin mengindikasikan penyakit hipertensi lama berdiri.
Untuk menentukan ini, serangkaian pengukuran tekanan darah, yang diambil dengan ukuran
manset yang benar. Ini dihitung dengan mengukur lingkar lengan atas subjek. Sebuah manset
standar yang cocok antara nilai ini dan 20% lebih besar dari lingkar lengan digunakan.
Pengukuran harus terbuat dari periode waktu untuk menentukan kenaikan konsisten dalam
tekanan. Pedoman saat ini menyarankan dua pengukuran berikutnya selama 2 minggu
menggunakan kondisi terbaik yang tersedia. Namun hal ini tidak tepat dalam pengaturan
bedah akut pada pasien yang membutuhkan operasi mendesak. Sejumlah pembacaan tekanan
darah pra operasi dapat diambil lebih dari 2 - 3 jam dengan pasien beristirahat. Sering
tekanan darah mengurangi dari waktu ke waktu ini, yang menunjukkan kecemasan yang
mendasari sebagai penyebab kemungkinan.
Pasien dengan terisolasi "white coat" hipertensi belum terbukti berada pada risiko yang lebih
tinggi dari anestesi dibandingkan kontrol dan karena itu operasi tidak harus ditunda tidak
perlu. Lansia pasien dengan tekanan darah sistolik di bawah 180/190 mmHg juga harus
dipertimbangkan untuk operasi, terutama jika ada sedikit bukti kerusakan organ akhir, karena
nilai-nilai yang dianggap dalam batas normal untuk pasien usia lanjut karena perubahan
fisiologis normal.
Pertimbangan anestesi pada pasien hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya yang
paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaananestesia dan
operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off
point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atauoperasi kecuali operasi
emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan
TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring denganpertambahan umur, dimana perubahan ini
lebih dianggap sebagai perubahanfisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli
menganggap bahwahipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil
studimenunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan
risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.Dalam banyak uji klinik,
terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akanmenurunkan angka kejadian stroke sampai
35%-40%, infark jantung sampai 20-25%dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai
lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak
diperlukan lagi khususnyapada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.
Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik,karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar
terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri.
Penundaanoperasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target
organsehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The AmericanHeart
Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkanacuan bahwa TDS
_ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrolsebelum dilakukan operasi,
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaanoperasi yang sifatnya urgensi, TD dapat
dikontrol dalam beberapa menit sampaibeberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi
yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai
respon TD yangberlebihan pada periode perioperatif.
Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.
Contoh yang sering terjadi adalahhipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat
pemeliharaan anestesia.Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya
dengan baikakan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak
dikontroldengan baik
Obat-obatan antihipertensi
Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat
angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
(Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.
A. Diuretik
Mekanisme kerja : Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menghancurkan garam yang
tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya ada dua tahap yaitu : (1) Pengurangan dari volume
darah total dan curah jantung; yang menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer; (2) Ketika curah jantung kembali ke ambang normal, resistensi pembuluh darah
perifer juga berkurang. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide,
Furosemide,Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide, Chlorthaldion.
B. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-Blocker)
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat dikaitkan
dengan hambatan reseptor β1 , antara lain : (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel
jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan Angiotensin II; (3) efek sentral yang
mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroresptor, perubahan
neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari
golongan ini adalah Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Pindolol,
Acebutolol, Penbutolol, Labetalol.
C. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk
pengobatan hipertensi dan gagal jantung.Mekanisme kerja : secara langsung menghambat
pembentukan Angiotensin II dan pada saat yang bersamaan meningkatkan jumlah bradikinin.
Hasilnya berupa vasokonstriksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan retensi air, dan
meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini
adalah Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril, Lisinopril.
D. Penghambat Reseptor Angiotensin
Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1). Pengaruhnya lebih
spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama sekali tidak ada produksi ataupun
metabolisme bradikinin. Contoh antihipertensi darigolongan ini adalah Losartan, Valsartan,
Candesartan, Irbesartan, Telmisartan,Eprosartan, Zolosartan.
E. Antagonis Kalsium
Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan
relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering
diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat
dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan takikardia
karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan
ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine.
Efek Samping Antihipertensi dari golongan diuretik, ACE-inhibitor dan beberapa β-Blocker
dapat menyebabkan reaksi likenoid. ACE-inhibitor juga diasosiasikan dengan kehilangan
sensasi pada lidah dan rasa terbakar pada mulut. ACE–inhibitor danpenghambat reseptor
angiotensin II pernah diimpliksikan bahwa keduanya menyebabkan angioedema pada rongga
mulut pada sekelompok 1% dari pasien yang mengonsumsinya. Meskipun oedema pada
lidah, uvula, dan palatum lunak yang paling sering terjadi, tetapi oedema larynx adalah yang
paling serius karena berpotensi menghambat jalan nafas. Efek samping obat–obatan
antihipertensi pada rongga mulut adalahxerostomia, reaksi likenoid, pertumbuhan gingiva
yang berlebih, pendarahan yang parah, penyembuhan luka yang tertunda. Sedangkan efek
samping yang sistemik yang paling sering dilaporkan adalah konstipasi, batuk, pusing,
mengantuk, letih, frekuensi berkemih yang meningkat, berkuranya konsentrasi, disfungsi
seksual dan rasa tidak enak pada perut.
Perlengkapan monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dantujuan
penggunaanya:
• EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasienhipertensi punya
risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
• TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:hanya digunakan
untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCIberulang.
• Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringanperifer.
• Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kitamempertahankan kadar
CO2.
• Suhu atau temperature.
Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.Untuk hipertensi
yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakanan siolitik seperti golongan
benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikitair non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor denganalasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
Pemberian obat premedikasi bertujuan:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien ( menghilangkan kekhawatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi)
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, brakikardi, mual dan muntanh pascaanestesi.
5. Mengurangi stress fisiologis (takikardia, napas cepat, dll)
6. Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut:
1) Analgetik narkotik
Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular. Diberikan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, dan agar anestesi
berjalan dengan tenag dan dalam.
Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena. Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otot polos.
2) Barbiturat
Pentobarbital dan Sekobarbital
Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1
mg/kgBB secara oral atau intramuskular.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak
diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah
didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap pernafasan dan
sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
3) Obat antikolinergik
Atropin
Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit.
Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
4) Obat penenang
Diazepam
Diazepam (valium®) merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah
bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.
Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan
dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB)
intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena.
ANESTESI PASIEN HIPERTENSI INTRAOPERATIF
Tekanan arteri rata-rata cenderung turun sebagai periode anestesi berkembang karena
berbagai faktor, termasuk efek langsung dari anestesi, penghambatan dari sistem saraf
simpatik, dan hilangnya kontrol refleks baroreseptor tekanan arteri. Perubahan ini dapat
menyebabkan episode hipotensi intraoperatif. Pasien yang sebelumnya telah hipertensi lebih
cenderung mengalami intraoperatif darah labilitas tekanan (baik hipotensi atau hipertensi)
[6], yang dapat menyebabkan iskemia miokard [7].
Tekanan darah dan detak jantung perlahan-lahan meningkat karena pasien pulih dari efek
anestesi selama periode pasca operasi segera. Individu hipertensi khususnya mungkin
mengalami peningkatan yang signifikan dalam parameter ini [8].
Induksi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncanganhemodinamik pada
pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namunsaat intubasi sering
menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehinggapreloading cairan
penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebeluminduksi. Disamping itu hipotensi
juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karenaefek dari obat anestesi dan efek dari obat
antihipertensi yang sedang dikonsumsioleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin
receptor blocker.3,8,10Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi danintubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkaniskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-
intubasiendotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah
15detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapateknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untukmenghindari
terjadinya hipertensi.
• Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
• Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25mikrogram/kgbb, sufentanil
0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1mikrogram/ kgbb).
• Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
• Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,propanolol 1-3
mg, atau labetatol 5-20 mg).
• Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untukmasing-masing
klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkatkeamanannya adalah sama
untuk induksi pada penderita hipertensiUntuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-
atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran
bisa digunakan sebagaiobat induksi secara inhalasi.
Anastetik inhalasi
1) Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan tidak
merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesikombinasi dengan
N2O. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan alirandarah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah
otak.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
depresimiokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya
lemah,anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada indikasi
kontra.
2) Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelah adakecuriagan
gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang. Pada EEGmenunjukkan
tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada
pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk
dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi denganadrenalin lebih aman 3 kali
dibanding halotan.Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-
volatilyang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi
dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan.Efek depresi napas lebih kuat
dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, depresi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibandinghalotan.
3) Sofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atausubanestetik
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikanaliran darah otak
dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekananintrakranial ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk
bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi
teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.Isofluran
dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dankurang responsif
jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan.
Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
4) Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan anestetik volatil lainnya,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnyamendekati suhu
ruangan (23.5ºC). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan
takikardia dan hipertensi. Efek depresi napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran
merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.
5) Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepatdibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalannapas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.Efek
terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf
pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda
lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuhmanusia.
Anastetik intravena
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital); benzodiazepine
(midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine, fentanyl, sufentanil, alfentanil,
remifentanil); propofol; ketamin, suatu senyawa arylcylohexylamine yang dapat
menyebabkan keadaan anestesi disosiatif dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate,
dexmedetomidine).
1) Barbiturat
Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
Hambat pernapasan di medula oblongata
Hambat kontraksi otot. jantung, tdk timbulkan sensitisasi jantung thd ketekolamin
Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = ½ dosis induksi
2) Ketamin
sifat analgesik, anestetik, kataleptik dg kerja singkat
analgesik kuat utk sistem somatik, lemah utk sistem viseral
relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggi
tingkatkan TD, nadi, curah jantung
Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi mdasolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis 0.1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salivasi diberikan sulfas atropin 0.001 mg/kg.
Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10
mg.
Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1% (1ml=10mg), 5%
(1ml=50 mg) dan 10 % (1ml=100 mg)
3) Fentanil dan droperidol
Analgesik & anestesi neuroleptik
Kombinasi tetap
Aman diberikan pd px yg alami hiperpireksia ok anestesi umum lain
Fentanil :masa kerja pendek, mula keja cepat
Droperidol : masa kerja lama & mula kerja lambat
4) Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total
4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.
5) Diazepam
Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan, efek relaksasi
otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara intravena bekerja sebagai
antikejang. Respon obat bertahan selama 12-24 jam menjadi nyata dalam 30-90 mnt
stlah pemberian secara oral dan 15 mnt slah injeksi intravena.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian parenteral
dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma
Cause tidur dan penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat
Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB
6) Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit
Obat pelumpuh otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkananestesia umum inhalasi, melakukan
blokade saraf regional, danmemberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko
depresi napasdan depresi jantung,Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan
pelumpuhotot sangat terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan
penawar opioid, maka penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perludalam, hanya
sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan ototlurik dapat
relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot.Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa
serabut otot lurik dansambungan ujung saraf dengan ototlurik disebut sambungan saraf otot.
Maka pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockadeneuro-muskular
Tabel dosis obat dan efek obat pelumpuh otot
Pemeliharaaan anestesi dan monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaananestesia adalah
meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
samapentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebraldan ginjal. Sehingga
pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunanaliran darah serebral dan iskemia
serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal.
Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan
yang sebaiknya diperhatikan,yaitu:8
• Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimalyang dianjurkan
untuk penderita hipertensi.
• Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejalahipoperfusi otak.
• Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadianstroke.
• Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang
terjadi pada serebral.Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
denganmemperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balanceanesthesia)
dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravenabisa digunakan untuk
pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapatdipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesiaregional sering menyebabkan hipotensi akibat blok
simpatis dan ini sering dikaitkanpada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi
tidak beresponterhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain
harusdipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroidstorm.
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasitidak memerlukan
monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsungdiperlukan terutama jenis
operasi yang menyebabkan perubahan preload danafterload yang mendadak. EKG diperlukan
untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk
penderita yang mengalamimasalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk
operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk
memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau
adanya kerusakan end organ yang lain.
Hipertensi intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga padaperiode anestesia
maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidakberespon dengan didalamkannya
anestesia dapat diatasi dengan antihipertensisecara parenteral. Namun faktor penyebab
bersifat reversibel atau bisadiatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau
hiperkapnea harusdisingkirkan terlebih dahulu.
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,penyebab hipertensi,
fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakitbronkospastik pulmoner dan
juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atauefek yang diinginkan dari pemberian obat
tersebut .Berikut iniada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan
•Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasiendengan fungsi
ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan padabronkospastik.
•Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
•Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual seringdihubungkan dengan
iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyaionset yang lambat.
•Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif padahipertensi sedang
sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapiatau pencegahan
iskemia miokard.
•Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsiginjal.
•Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onsetyang lambat
sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia
Krisis hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan
dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkanada tidaknya ancaman
kerusakan target organ atau kerusakan target organ yangprogresif. Pasien dengan hipertensi
sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yanglebih tinggi dibandingkan individu yang
sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi
dibandingkan emergensi. Hal-halyang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah
antara lain karenapenggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom,
obat-obatpenyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia
sepertipheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbuladalah
sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini. Krisishipertensi terbagi atas
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti
adanya kerusakan target organ yang sedangterjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra
serebral, kegagalan ventrikel kiriakut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme
aorta, IMA, eclampsia,anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang
memerlukan intervensifarmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati
jarang terjadipada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg
sedangkanpada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-
tandaensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanitahamil
dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi danmemerlukan terapi
segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemiakoroner akut, sehingga MAP
diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,selanjutnya pelan-pelan diturunkan
sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tandapenurunan TD ditoleransi dengan baik adalah
selama fase ini tidak ada tanda-tandahipoperfusi target organ. Hipertensi urgensi adalah
situasi dimana TDmeningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan
target organ.Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas.
PenurunanTD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat
ditanganidengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.
PENATALAKSANAAN POST OPERATIF
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasienyang menderita
hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhanoksigen miokard sehingga
berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa
juga menyebabkan stroke dan perdarahanulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi
vaskuler dan dapat berkonstribusimenyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambatpenyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi
adabanyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidakteratasi
dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,overload cairan atau
distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untukmemberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harusdikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu
faktor yang paling berkonstribusimenyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk
pasien yang berisiko, nyerisebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin
epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
makaintervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwameskipun
pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudahmempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetapdiberikan.1Hipertensi pasca
operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensisecara parenteral misalnya dengan
betablocker yang terutama digunakan untukmengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi.
Apabila penyebabnya karenaoverload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila
hipertensinya disertaidengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan
iskemiamiokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikannitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi
beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisamakan
dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.
top related