penting aja
Post on 26-Sep-2015
220 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATANSaturday, January 30th, 2010
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah
satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam
masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi,
diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali
membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya
akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan
dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat
berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi
paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba
didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya
pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama
pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada
pasien bahwa telah terjadi malpraktek.Dari definisi malpraktek
adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus
dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga
kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata
akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan
merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis
tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi
teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan
bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa
verbintenis).Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah
melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.Dalam hal tenaga kesehatan
didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan
apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur
tidak pidanya yakni :a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif
act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens
rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita
luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kurang hati-hati ataupun kurang praduga.Dalam kasus atau gugatan
adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :1. Cara langsungOleh Taylor membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga
perawatan haruslah bertindak berdasarkan(1) Adanya indikasi
medis
(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
(3) Bekerja sesuai standar profesi
(4) Sudah ada informed consent.Dereliction of Duty (penyimpangan
dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.Direct Causation (penyebab langsung)
Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan
kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)
yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan
sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan
tenaga perawatan.Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien).2. Cara tidak langsungCara tidak langsung
merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila
tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga
perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence.
gugatan pasien .Upaya pencegahan malpraktek :
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis
karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan
tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukumApabila upaya kesehatan yang
dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi
tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
tenaga kesehatan.Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan
criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana
disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan
menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan
adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat
digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata,
pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab
atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan
adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa
loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan tenaga perawatan.Taken from :My friend
inspiration(berbagai sumber)Dikutip dari :
http://muhammadjabir.wordpress.comhttp://gegdiah.student.umm.ac.id/category/artikel-kesehatan/
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai
professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure
of one rendering proffesional services to exercise that degree of
skill and learning commonly applied under all the circumstances in
the community by the average prudent reputable member of the
proffesion with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon
them.
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman
bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang
tidak beralasan ( Sampurna, Budi, ).
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan
dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata
seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi,
keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP,
berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,
misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan
yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance),
yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan
bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada
kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum
khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering
terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan
tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada
suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada
umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang
yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati
dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai
apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
a. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan
sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan
tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
tersebut.
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh
pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran
yang diberikan oleh pemberi layanan.
d. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang
nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan
proximate cause
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian
malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu:
medical malpractice involves the physicians failure to conform to
the standard of care for treatment of the patients condition, or
lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah
akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat
diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan
tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada
pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian
medik. An injury occurring in the course of medical treatment which
could not be foreseen and was not the result of the lack of skill
or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability.
Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang
dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam
situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events
dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan
dapat pula disebabkan oleh error. Adverse events akibat errors
dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse
events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua
unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai
negligent adverse events Suatu adverse events (hasil yang tidak
diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan, yaitu :
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko
yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko
yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak
dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang
dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus
diinformasikan terlebih dahulu.
c. Hasil dari suatu kelalaian medik.
d. Hasil dari suatu kesengajaan.
Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung
risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun
tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar
diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat
diterima (acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan
teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah
risiko-risiko sebagai berikut (Biben, Achmad, 2004 ).
a. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil,
dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan,
misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan,
dan lain-lain.
b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada
keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko
tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang
harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat
darurat.
Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan
outcome yang tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil
(tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum ada pembuktian
adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical
accident, yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam
kepustakaan Amerika lebih sering digunakan kata-kata medical error
sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident atau
medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang
cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu
apa penyebab kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang
bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah, sampai
kesalahan benar-benar terbukti.
Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM untuk
mengurangi adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan
dengan manajemen risiko klinis.
Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang
berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko melalui suatu
penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan
meminimalkan kemungkinan risiko.
Manajemen risiko klinis diperlukan untuk :
(a) Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari
pasien dan keluarga.
(b) Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi,
pemborosan waktu dan uang.
(c) Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban
kelalaian medik.
(d) Mencegah publikasi buruk.
(e) Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat
tindakannya.
(f) Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi
dengan membuat RS sadar keamanan.
(g) Menganalisa derajat risiko.
(h) Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma
kebenaran.
Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan
melalui rekam medis pasien rawat inap dan pasien instalasi gawat
darurat . Contoh masalah medis yang dibahas:
(a) Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
(b) Terlambat menegakkan diagnosis.
(c) Salah menilai risiko .
(d) Kehilangan / kekurangan informasi pada saat
pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
(e) Gagal mencatat peralatan yang rusak.
(f) Lupa membawa checklist data-data preoperative.
(g) Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
(h) Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
(i) Mempergunakan protokol yang salah.
(j) Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
(k) Pemberian pengobatan yang salah
Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur
secara tegas mengenai malpraktik medis. Memang pada UU tentang
Praktik Kedokteran konsep DPR yang diusulkan, ada bab dan
pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi
Tenaga Medis yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin
Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan
Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin
Profesi Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan
Kembali, dimana peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan
kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap
sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam praktik kedokteran. Namun dalam pembahasan antara DPR dan
Pemerintah pasal peradilan ini disepakati ditiadakan karena
pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan dokter
gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman
dimungkinkan pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi
kelalaian yang menimbulkan luka atau mati pada pasien, maka akan
tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri
dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi.
Dalam UU tentang Praktik Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan
profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter
dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Sedangkan
MKDKI tidak dapat menetapkan semacam uang tali kasih seperti hal
nya Medische Tucht Raad di Belanda sehingga pasien tidak perlu
menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat
sebagai kritikan bahwa UU tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur
malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah malpraktik
didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati
dari pengertian malpraktik dan pencegahannya. Pengaturan kelalaian
yang menyebabkan luka atau kematian memang tetap dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan
ganti rugi, tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian,
penetapan kewajiban dan standar-standar telah diatur dalam UU ini
sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan
dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik,
pelaksanaan praktik, standar pendidikan, hak dan kewajiban dokter
dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi (informed consent), rekam medis,
rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya.
Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter
dituntut secara pidana dan atau perdata dapat membuat stress
kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada
ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat
dengan penerapan defensive medicine dan kemungkinan pemeriksaan
penunjang yang berlebihan. Sebagai perbandingan di New Zealand
untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya
kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident
Compensation Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur
pengadilan. Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan
jika benar-benar melakukan tindak pidana misal mencuri uang pasien
atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien. Jika terjadi dugaan
kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical
Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees
atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang
melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat
diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners
Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap
registrasinya Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di
Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui
MKDKI terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke
Pengadilan sekaligus ke MKDKI.
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak
kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat culpa
(kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut :
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP,
Pasal 360 KUHP, Pasal 361 K
PENANGANAN KASUS MALPRAKTIK MEDIS25/Nov/2008
News TitleBlacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai
professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure
of one rendering proffesional services to exercise that degree of
skill and learning commonly applied under all the circumstances in
the community by the average prudent reputable member of the
proffesion with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon
them.
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman
bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang
tidak beralasan ( Sampurna, Budi, ).
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan
dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata
seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi,
keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP,
berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,
misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan
yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance),
yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan
bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada
kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum
khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering
terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan
tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada
suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada
umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang
yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati
dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai
apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
a. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan
sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan
tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
tersebut.
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh
pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran
yang diberikan oleh pemberi layanan.
d. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang
nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan
proximate cause
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian
malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu:
medical malpractice involves the physicians failure to conform to
the standard of care for treatment of the patients condition, or
lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah
akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat
diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan
tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada
pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian
medik. An injury occurring in the course of medical treatment which
could not be foreseen and was not the result of the lack of skill
or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability.
Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang
dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam
situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events
dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan
dapat pula disebabkan oleh error. Adverse events akibat errors
dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse
events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua
unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai
negligent adverse events Suatu adverse events (hasil yang tidak
diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan, yaitu :
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko
yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko
yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak
dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang
dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus
diinformasikan terlebih dahulu.
c. Hasil dari suatu kelalaian medik.
d. Hasil dari suatu kesengajaan.
Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung
risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun
tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar
diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat
diterima (acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan
teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah
risiko-risiko sebagai berikut (Biben, Achmad, 2004 ).
a. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil,
dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan,
misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan,
dan lain-lain.
b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada
keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko
tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang
harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat
darurat.
Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan
outcome yang tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil
(tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum ada pembuktian
adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical
accident, yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam
kepustakaan Amerika lebih sering digunakan kata-kata medical error
sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident atau
medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang
cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu
apa penyebab kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang
bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah, sampai
kesalahan benar-benar terbukti.
Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM untuk
mengurangi adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan
dengan manajemen risiko klinis.
Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang
berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko melalui suatu
penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan
meminimalkan kemungkinan risiko.
Manajemen risiko klinis diperlukan untuk :
(a) Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari
pasien dan keluarga.
(b) Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi,
pemborosan waktu dan uang.
(c) Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban
kelalaian medik.
(d) Mencegah publikasi buruk.
(e) Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat
tindakannya.
(f) Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi
dengan membuat RS sadar keamanan.
(g) Menganalisa derajat risiko.
(h) Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma
kebenaran.
Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan
melalui rekam medis pasien rawat inap dan pasien instalasi gawat
darurat . Contoh masalah medis yang dibahas:
(a) Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
(b) Terlambat menegakkan diagnosis.
(c) Salah menilai risiko .
(d) Kehilangan / kekurangan informasi pada saat
pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
(e) Gagal mencatat peralatan yang rusak.
(f) Lupa membawa checklist data-data preoperative.
(g) Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
(h) Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
(i) Mempergunakan protokol yang salah.
(j) Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
(k) Pemberian pengobatan yang salah
Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur
secara tegas mengenai malpraktik medis. Memang pada UU tentang
Praktik Kedokteran konsep DPR yang diusulkan, ada bab dan
pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi
Tenaga Medis yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin
Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan
Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin
Profesi Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan
Kembali, dimana peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan
kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap
sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam praktik kedokteran. Namun dalam pembahasan antara DPR dan
Pemerintah pasal peradilan ini disepakati ditiadakan karena
pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan dokter
gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman
dimungkinkan pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi
kelalaian yang menimbulkan luka atau mati pada pasien, maka akan
tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri
dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi.
Dalam UU tentang Praktik Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan
profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter
dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Sedangkan
MKDKI tidak dapat menetapkan semacam uang tali kasih seperti hal
nya Medische Tucht Raad di Belanda sehingga pasien tidak perlu
menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat
sebagai kritikan bahwa UU tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur
malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah malpraktik
didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati
dari pengertian malpraktik dan pencegahannya. Pengaturan kelalaian
yang menyebabkan luka atau kematian memang tetap dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan
ganti rugi, tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian,
penetapan kewajiban dan standar-standar telah diatur dalam UU ini
sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan
dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik,
pelaksanaan praktik, standar pendidikan, hak dan kewajiban dokter
dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi (informed consent), rekam medis,
rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya.
Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter
dituntut secara pidana dan atau perdata dapat membuat stress
kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada
ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat
dengan penerapan defensive medicine dan kemungkinan pemeriksaan
penunjang yang berlebihan. Sebagai perbandingan di New Zealand
untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya
kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident
Compensation Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur
pengadilan. Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan
jika benar-benar melakukan tindak pidana misal mencuri uang pasien
atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien. Jika terjadi dugaan
kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical
Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees
atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang
melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat
diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners
Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap
registrasinya Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di
Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui
MKDKI terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke
Pengadilan sekaligus ke MKDKI.
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak
kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat culpa
(kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut :
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP,
Pasal 360 KUHP, Pasal 361 KUHP );
b. Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa
persetujuan dari pasien ( informed consent );
c. Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal
347 KUHP, Pasal 348 KUHP , Pasal 349 KUHP );
d. Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, , Pasal 345 KUHP);
e. Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP);
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar
profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan
malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang
dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred,
1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360,
pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter
atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik
secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal
359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut
:
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat
kematian orang lain itu.
Berbagai kasus malpraktik medis yang diajukan gugatan secara
perdata didasarkan pada ketentuan perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad, tort) yang diatur dalam pasal 1365, pasal 1366,
pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur
dalam pasal 55 UU Kesehatan sebagai berikut :
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu
harus mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil
saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan
sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, the thing speaks for
itself ) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban
pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.
Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian
melalui jalan lain yang dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi
yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang
kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak deal
membayar ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa
ke pengadilan, sehingga dokter/dokter gigi yang belum tentu
melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar dan digugat
ke Pengadilan memilih deal dalam mediasi tersebut.
Daftar Pustaka:
Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,
1991
Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1994
Biben, Achmad, Sikap Dokter dan Profesi Menghadapi Gugatan
Malpraktik Medis, Makalah, Bandung, 2005
Sampurna, Budi, Aspek Medikolegal Pelayanan Medik Masa Kini Dan
Kaitannya Dengan Manajemen Risiko Klinik, Makalah, Jakarta,
2005
Kampono,Nugroho, Peran Komite Medik Di Rumah Sakit Dalam Penanganan
Kasus Kelalaian Medik, Makalah, Seminar Medikolegal, Batam,
2006
Anggriani, Riati, Aspek Hukum Dan Disiplin Profesi Terhadap
Tuntutan Pasien Atas Dugaan Malpraktik Menurut Undang Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, tesis, UGM, 2007
Disajikan oleh : Riati Anggriani,SH,MARS,MHum
http://www.hukor.depkes.go.id/?art=20&set=0
top related