peran abuya kh. abdurrahman nawi dalam...
Post on 03-Apr-2019
293 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN NAWI DALAM
MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI
PONDOK PESANTREN AL-AWWABIN DEPOK
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
MUHAMMAD DHIYA HABIBI
1112011000065
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
i
ABSTRAK
Nama : Muhammad Dhiya Habibi
NIM : 1112011000065
Judul : Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan
Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Abuya KH. Abdurrahman
Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam dancara beliau menerapkan peran
tersebut di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan menggambarkan
suatu keadaan, kondisi, situasi, peristiwa maupun kegiatan yang dilakukan oleh
Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam kaitannya dengan pengembangan
pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok.
Peran Abuya yang diteliti disini adalah tentang pengembangan pendidikan
Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dari segi lembaga yang beliau
dirikan dan ide serta gagasan yang berhubungan dengan pengembangan
pendidikan itu sendiri. Teknik analisa data yang didapat dan ditelaah dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi pada tempat penelitian kemudian diolah,
dipelajari dan dideskripsikan menjadi sebuah hasil kesimpulan.
Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah Abuya membangun
lembaga pendidikan Islam dan beliau menjadi seorang inovator dalam
memberikan ide serta gagasan yang dapat diterapkan di pondok pesantren Al-
Awwabin Depok. Dalam membangun lembaga pendidikan Islam beliau
membangun pendidikan formal (sekolah) dan non formal (pondok). Adanya
lembaga pendidikan formal dan non formal ini dimaksudkan agar peserta didik
tidak hanya cerdas dalam sisi keagamaan, namun peserta didik pun cerdas dalam
ilmu umum dan teknologi yang sedang berkembang sekarang ini. Selanjutnya
dalam hal ide dan gagasan, beliau melakukan beberapa inovasi seperti:
membentuk organisasi santri, mendirikan saluran radio Islam, mengasah bakat
santri, menekankan pemahaman kitab kuning, mengadakan pelatihan muballigh
(muhadhoroh) serta, membuat rapor dan ijazah pesantren. Semua ini beliau
terapkan di pondok pesantren Al-Awwabin bertujuan agar para santri dapat
berkembang menjadi sosok multi talenta yang berakhlakul karimah, sehingga
ketika mereka terjun ke masyarakat nanti mereka tidak canggung dan mampu
membimbing masyarakat agar selalu berada di jalan syariat agama Islam.
ii
ABSTRACT
Name : Muhammad Dhiya Habibi
NIM : 1112011000065
Title : The Role of Abuya KH. Abdurrahman Nawi in Developing Islamic
Education in Al-Awwabin Islamic Boarding School.
This research aims to determine the role of Abuya KH. Abdurrahman Nawi
in developing Islamic education and how he applied the role of the pesantren Al-
Awwabin Depok. The method used in this research is qualitative descriptive,
describing a situation, condition, situation, event or activity conducted by Abuya
KH. Abdurrahman Nawi in relation to the development of Islamic education in
pesantren Al-Awwabin Depok.
Abuya role researched here is on the development of Islamic education in
boarding school Al-Awwabin Depok terms of institutions that he founded and
ideas as well as ideas related to the development of education itself. Mechanical
analysis of data obtained and analyzed from interviews, observation and
documentation at the point of the study and then processed, studied and described
into a results conclusion.
The results of research can be concluded is Abuya build Islamic institutions,
and he became an innovator in providing ideas and ideas that can be applied at
boarding school Al-Awwabin Depok. In building the Islamic educational
institutions he built formal education (schools) and non-formal (huts). Their
formal educational institutions and non-formal is intended that learners are not
just smart in the religious side, but the students were smart in general science and
technology that is now unfolding. Furthermore, in terms of ideas and concepts, he
made several innovations such as: forming an organization of students, founded
the Islamic radio channel, hone talents of students, emphasizing understanding of
yellow books, training muballigh (muhadhoroh) as well, report cards and
diplomas boarding. All of this, he applied at boarding school Al-Awwabin
intended that the students can develop into a multi-talented figure who
berakhlakul karimah, so that when they plunge into the community later they were
awkward and able to guide people to always be in the way of Islamic religious
laws.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah,
taufiq serta rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa teriring kepada suri tauladan kita
Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan terhadap
ilmu pengetahuan menuju ke zaman yang penuh dengan ilmu pegetahuan seperti
saat ini.
Pada kesempatan kali ini, penulis berhasil menyelesaikan tugas skripsi yang
diberi judul “PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN NAWI DALAM
MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK PESANTREN AL-
AWWABIN DEPOK”.
Tugas skripsi ini dikerjakan dan diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
Pendidikan Agama Islam (PAI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyusunan skripsi ini,penulis banyak mendapatkan bantuan,
motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., selaku ketua jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Armai Areif, M.Ag., Dosen Pembimbing, yang dengan penuh
keikhlasan membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Drs. Ghufron Ihsan, MA.,Dosen Akademik, yang selalu memberi nasihat dan
motivasi dalam membimbing prosesi akademik hingga penulis mampu
menyelesaikan seluruh tugas akademik
iv
5. Nenek penulis, Hj. Aliyah serta keluarga tercinta yang senantiasa memberi
semangat, doa, kasih sayang, serta berbagai dorongan yang tak terhingga,
sehingga terselesaikan penulisan skripsi ini.
6. Kakanda Syifa Hanifah S.Hum, Adinda Sundus Silvia, dan Bukrota Safaril
Ibadah, yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan hingga penulisan
skripsi ini selesai.
7. Abuya KH. Abdurrahman Nawi, Pimpinan Umum Pondok Pesantren Al-
Awwabin, dengan doa dan keikhlasan beliau yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk mengadakan penelitian di pesantren miliknya.
8. KH. Fathurrahman, MA., Musyrif Tholabah (lurah pondok), yang selalu
mendoakan serta memberikan masukan kepada penulis. Serta para asatidz dan
guru-guru pondok pesantren Al-Awwabin yang telah memberikan informasi
yang sangat berarti bagi penulis.
9. Para sabahat terbaik penulis: Ray, Agus, Fattah, Afrijal, Jeis, Maula, Saifu,
Eriico, Abdurrahman, dan Zulham yang telah menemani serta memberikan
motivasi kepada penulis dikala penulis menemui hambatan dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Segenap teman-teman PAI angkatan 2012 khususnya kelas B, yang telah
menemani dan memberikan kenangan-kenangan indah semasa perkuliahan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga
Allah SWT membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlipat ganda. Dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Jakarta, 23 November 2016
Penulis
Muhammad Dhiya Habibi
v
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI
ABSTRAK .............................................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN ........................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................. 8
C. Pembatasan Masalah ........................................................... 9
D. Perumusan Masalah ............................................................. 9
E. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
F. Manfaat Penelitian ............................................................... 9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Peran ..................................................................................... 11
1. Pengertian Peran ............................................................. 11
2. Peran Ulama (Kyai) ........................................................ 12
3. Peran Pesantren .............................................................. 13
B. Pesantren ............................................................................. 15
1. Pengertian dan Tujuan Pesantren..................................... 15
2. Unsur-unsur Pesantren ..................................................... 16
a. Kyai............................................................................ 16
vi
b. Santri .......................................................................... 17
c. Masjid ........................................................................ 18
d. Pondok/Asrama.......................................................... 19
e. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik (Kuning) ........... 20
f. Madrasah (Sekolah) ................................................... 21
3. Model-model Psantren ..................................................... 22
a. Pondok Pesantren Tradisional (Salaf) ....................... 22
b. Pondok Pesantren Modern (Khalaf) .......................... 23
c. Pondok Pesantren Komprehensif (Kombinasi) ......... 24
4. Metode Pembelajaran di Pesantren .................................. 26
a. Sorogan ...................................................................... 26
b. Bandongan ................................................................. 27
c. Weton ......................................................................... 28
C. Pendidikan Islam ................................................................. 29
1. Pengertian Pendidikan ..................................................... 29
2. Tujuan Pendidikan ........................................................... 31
3. Pengertian Pendidikan Islam ........................................... 33
4. Tujuan Pendidikan Islam ................................................. 35
5. Dasar Pendidikan Islam ................................................... 37
D. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................. 38
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu, dan Tempat Penelitian ............................................. 40
1. Waktu Penelitian .............................................................. 40
2. Tempat Penelitian ............................................................ 40
B. Metode Penelitian ................................................................. 40
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 41
1. Observasi ......................................................................... 41
2. Wawancara ...................................................................... 41
3. Dokumentasi .................................................................... 41
D. Teknik Pengelolaan Data ..................................................... 42
vii
E. Teknik Analisis Data ............................................................ 42
1. Reduksi Data .................................................................... 42
2. Triangulasi ....................................................................... 43
3. Penarikan Kesimpulan ..................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Abuya KH. Abdurrahman Nawi ........................................... 45
1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi ...................... 45
2. Kegiatan di Dunia Dakwah dan Pendidikan ................... 49
3. Paham Keagamaan dan Keahliannya ............................. 54
B. Pondok Pesantren Al-Awwabin ........................................... 56
1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Awwabin ...... 56
2. Struktur Organinasi ........................................................ 59
3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin ............... 60
a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin ........................ 60
b. MisiPondok Pesantren Al-Awwabin ........................ 60
C. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi ................................. 61
1. Kelembagaan .................................................................. 62
a. Lembaga Pendidikan Formal .................................... 62
b. Lembaga Pendidikan Non Formal ............................ 65
2. Ide dan Gagasan ............................................................. 73
a. Membentuk Organisasi Santri .................................. 71
b. Mendirikan Saluran Radio Islam .............................. 74
c. Mengasah Bakat Santri ............................................. 75
d. Menekankan Pemahaman Kitab Kuning .................. 77
e. Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh) ... 79
f. Membuat Rapor dan Ijazah Pesantren ...................... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 84
B. Saran ...................................................................................... 84
viii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 86
ix
DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN
A. Tabel
Tabel 4.1: Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I Tahun 2016/2017
Tabel 4.2: Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II Tahun 2016/2017
Tabel 4.3: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI Tahun 2016/2017
Tabel 4.4: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs Tahun 2016/2017
Tabel 4.5: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs Tahun 2016/2017
Tabel 4.6: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs Tahun 2016/2017
Tabel 4.7: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA Tahun 2016/2017
Tabel 4.8: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA Tahun 2016/2017
Tabel 4.9: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA Tahun 2016/2017
B. Lampiran-lampiran
Lampiran 1 : Wawancara
Lampiran 2 : Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Problematika pendidikan agama bagi siswa Madrasah Aliyah di Indonesia
sesungguhnya hampir secara umum sama. Tipologi kesamaan dari problematika
dimaksud terlebih adalah yang terjadi seputar kurang terinternalisasi nilai-nilai
agama dalam diri siswa. Siswa baru pada tahap diajari agama tapi belum sampai
pada tingkat bagaimana siswa diajari untuk beragama. Untuk mengeliminir
prolematika yang ada, maka di samping pendekatan yang selama ini telah dicoba
untuk dilakukan seperti, perbaikan dan penyusuaian kurikulum yang senafas
dengan itu, juga perlu adanya solusi alternatif yang lebih bersifat penyadaran dan
pemahaman kembali secara komprehensif akan makna dan aplikasi dari inti
pelajaran agama dan bagaimana cara beragama. Oleh karena itu, tauhid sebagai
inti dari agama, yang pada akhirnya akan berubah taqwa perlu dirumuskan pada
rel yang sebenar-benarnya untuk dipahamkan pada siswa. Apapun pelajaran yang
diajarkan pada pendidikan komprehensif akan sangat berpengaruh kuat terhadap
pembentukan karakter dan sikap siswa.1
Siswa hanya belajar tentang materi pengetahuan tertentu melalui proses
transfer of knowledge (penyampaian pengetahuan) dari orang yang dipandang
lebih tau, yaitu guru. Idiom guru itu “digugu dan ditiru” termanifestasi dalam
pengetahuannya yang dianggap final, bahwa apa yang disampaikan oleh guru itu
pastilah benar. Sementara itu, dimensi sikap (afektif) dan keterampilan
(psikomotorik) kurang diperhatikan. Penekanan pada aspek kognitif inilah yang
menyebabkan proses pendidikan berjalan monoton, intelektualisme, dan
verbalisme. Padahal, pendidikan itu sendiri berdimensi ketiga ranah tersebut.
1 Afif HM & Haidlor Ali Ahmad (eds), Bunga Rampai Pendidikan Agama dan Keagamaan,
(Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2005), h. 33
2
Bukan hanya transfer of knowledge, melainkan juga transfer of values
(internalisasi nilai) dan transfer of methodology (aplikasi metodologi).2
Pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah dirasakan tidak dapat
memberikan bekas yang cukup dalam memperbaiki moral generasi bangsa.
Kekurangan jam pelajaran agama dan di sekolah-sekolah umum terutama sekolah
negeri dianggap sebagai faktor utama dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama. Karena itu para pelajar tidak mempunyai bekal yang
cukup memadai untuk mengcaunter dan membentengi diri dari berbagai pengaruh
negatif globalisasi yang ada saat ini.3
Fungsi lembaga pendidikan hendaknya tidak hanya memberikan
kesempatan kepada subjek didik untuk mengembangkan pengetahuan. Fungsi
penting lainnya ialah menciptakan setting sosial yang memungkinkan
implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada
dalam masyarakat. Pendidikan yang mengabaikan masalah-masalah sosial tidak
akan efektif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya merupakan contoh
kehidupan masyarakat yang ideal.4
Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga
pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan
peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan,
pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah
pondok pesantren.5
Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai parameter modernisasi selalu di
pandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tanggap
2 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoriti-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta:
Amzah, 2013), h. xii
3 Jazuli Juwaini, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bening Citrakreasi Indonesia,
2011), h. 164
4 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 6
5 M. Dian Nafi‟, dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren,. (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2007), h. 11
3
terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek
tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren.6
Meskipun tidak ada pengakuan secara eksplisit dari para pakar pendidikan
di Indonesia, karakter budaya pendidikan pesantren telah diadopsi ke dalam
sistem pendidikan nasional. Gejala ini terlihat jelas pada kemunculan „sekolah-
sekolah unggul‟ atau boarding school sejak tiga dasawarsa terakhir. Sekarang ini
sudah banyak bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan „sistem
pesantren‟ meskipun di bungkus dengan nama lain seperti boarding school,
sekolah internal atau lainnya. Jika boarding school (sekolah berasrama umum)
mengadopsi pendidikan pesantren secara diam-diam, maka Departement Agama
mengembangkannya secara terbuka.7
Dengan sistem 24 jam atau sistem pendidikan sepanjang hari (full day
educational system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para orang tua
lantaran kesibukannya tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk
memberikan perhatian dan kontrol kepada putra-putrinya setelah pulang sekolah.
Dari sudut pertimbangan ini sistem pendidikan pesantren lebih di percaya orang
tua dari pada sitstem pendidikan formal terutama bagi orang tua karier yang
memiliki komitment tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya.
Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh-pengaruh negatif
arus globalisasi yang menghadirkan kebudayaan Barat di tengah-tengah
kebudayaan kita.8
Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan
sistem pendidikan sekolah umum di Indonesia sekarang ini, sebagai budaya
pendidikan nasional, pondok pesantren mempunyai kultur yang unik. Karena
keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam subkultur tersendiri dalam
6 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi ,
(Jakarta: Erlangga, 2008), h. 82
7 Ibid., h. 83
8 Ibid., h. 84
4
masyarakat Indonesia. 5000 buah pondok pesantren yang tersebar di 68.000 desa
merupakan bukti tersendiri untuk menyatakannya sebagai sebuah subkultur.9
Belakangan ini, seperti halnya pengalaman lembaga-lembaga lainnya,
pesantren sedang menghadapi berbagai tantangan secara multidimensional:
pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan
super cepat. Perkembangan IPTEK ini mempengaruhi pola pikir, pola pandang,
pola sikap, dan pola hidup masyarakat modern; kedua, perkembangan IPTEK ini
terutama teknologi informasi mengakibatkan terbentuknya arus globalisasi yang
menjamah seluruh penjuru dunia sehingga dunia ini terasa tanpa batas. Apa yang
dipegerakan oleh orang-orang yang berada dipojok Barat, dalam waktu sekejap
bisa diketahui oleh orang-orang yang berada di pojok paling Timur, dan begitu
pula sebaliknya; ketiga, tuntunan masyarakat kontemperer semakin meningkat
dan lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan duniawi yang serba materialitis;
dan keempat, perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem pendidikan
nasional.10
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, setidaknya pesantren
harus bisa bertahan hidup (survival). Ketahanan hidup pesantren di Indonesia ini
hingga sekarang telah terbuktikan. Abdurrahman Wahid membuat perbandingan
bahwa pada masa silam, pesantren di Indonesia dapat merespons tantangan-
tantangan zamannya dengan sukses. Sedangkan sistem pesantren yang
dikembangkan oleh kaum sufi baik di Malaysia maupun Thailand bagian Utara
sekarang ini senantiasa merana ditekan sistem sekolah model Barat. Ketahanan
hidup pesantren ini tidak lepas dari berbagai faktor, salah satunya adalah
keluwesan pesantren menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan cara
mengubah bentuk (transformasi), kendatipun perubahan yang dilakukan pesantren
tergolong lamban. Nurcholish Masjid pernah membuat pengandaian, jika
pesantren mampu merespons tantangan-tantangan zaman itu dengan cepat,
niscaya yang terjadi bukan Universitas Gajahmada tetapi Univertitas Krapyak,
9 Said Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 13
10
Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
h. 45
5
bukan Universitas Airlangga tetapi Univertitas Tebuireng, dan sebagainya. Akan
tetapi karena perubahan bentuknya lambat, maka pesantren belum mampu
mencapai idealisme itu. Hanya saja perubahan bentuk (transportasi) yang lambat
ini perlu dicermati secara seksama karena menyentuh berbagai dimensi
kepesantrenan.11
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah berdiri sejak ratusan
tahun yang lalu. Di lembaga inilah diajarkan dan dididikkan ilmu dan nilai-nilai
agama kepada santri. Pada tahap awal pendidikan di pesantren tertuju semata-
mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja lewat kitab-kitab klasik atau kitab
kuning. Pada tahap awal juga sistemnya berbentuk nonformal, tidak dalam bentuk
klasikal, serta lamanya santri di pesantren tidak ditentukan oleh tahun, tetapi oleh
kitab yang dibaca.12
Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini;
dimana ada ruangan khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada
sistem administrasi dengan jadwal pembacaan kitab, lengkap dengan peraturan-
peraturan yang harus ditaati oleh para santri.
Tumbuhnya pesantren di masa dahulu, terutama di masyarakat pedesaan,
dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan, masyarakat tertentu terhadap
kelebihan seorang ulama di bidang ilmu agama (Islam) dan kesalehannya,
sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang untuk belajar menuntut
ilmu pada ulama tersebut.13
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai
pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu,
serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren
telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga
11 Ibid., h. 46
12
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 63
13
Nasaruddin Umar. Rethingking Pesantren, (Jakarta: PT Elex Media Kompetindo, 2014), h.
9
6
pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia
pendidikan.
Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga
kemasyarakatan, pesantren pada saat ini juga diharapkan mampu berfungsi
sebagai pelopor pembaharuan (agent of change). Dalam arti, keberadaanya
diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan tindakan. Sebab
didirikannya lembaga pendidikan pesantren adalah didasarkan atas panggilan
kepada manusia untuk menjadi subyek yang selalu sadar dengan kemampuannya,
dan agar berpegang teguh pada nilai-nilai etika dan moralitas universal yang
bersumber dari mata air Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.14
Pondok pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam berbeda dengan
pendidikan lainnya baik dari aspek sistem pendidikan maupun unsur pendidikan
yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya terlihat dari proses
belajar mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun juga
terdapat pesantren yang bersifat memadukannya dengan sistem pendidikan
modern. Yang mencolok dari perbedaan itu adalah perangkat-perangkat
pendidikannya baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras
(hardware) nya. Keseluruhan perangkat pendidikan itu merupakan unsur-unsur
dominan dalam keberadaan pondok pesantren. Bahkan unsur-unsur dominan itu
merupakan ciri-ciri (karakteristik) khusus pondok pesantren.15
Disamping itu, pesantren ternyata menawarkan materi pendidikan yang
sangat varian. Ada pesantren yang menekankan ilmu alat, ilmu fiqh, tasawuf, ilmu
Al-Quran dan lain-lain. Penekanan pada materi tertentu didasarkan pada keahlian
kyainya, dan kebebasan kyai untuk menawarkan pola-pola pendidikan sesuai
dengan seleranya. Bahkan variasi pesantren itu tidak hanya menyangkut
penekanan materi pendidikannya, tetapi juga menyangkut kepemilikan lembaga,
pola kepemimpinan, sikap terhadap modernisasi, sikap terhadap ilmu-ilmu umum
14 Zainal Arifin Thoha. Runtuhnya Singgasana Kiai. (Yogyakarta: KUTUB, 2003), h. 36
15
M. Bahri Ghazali. Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: CV. Prasasti, 2002), h. 17
7
hingga keterlibatan dalam perpolotokan nasional. Sehubungan dengan bergamnya
variasi tersebut, pesantren tidak dapat digeneralisasi.16
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, ia akan
semakin dikagumi. Ia juga diharapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya,
kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang
datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga diharapkan
untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah kelas
sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh dengan
pengabdian kepada tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan
keagamaan, seperti memimpin sholat lima waktu, memberikan khutbah jum‟at
dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.17
Salah satu peranulama (kyai) sebagai pemuka agama Islam yang patut
dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa
pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah
dilahirkan oleh mereka, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren.
Lembaga-lembaga tersebut memiliki konstribusi yang besar dalam meningkatkan
tingkat melek huruf bangsa Indonesia, baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang ilmu pengetahuan umum. Para tokoh umat Islam tersebut juga telah
berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-
karya yang telah ditulis atau jalur dakwah mereka.18
Namun dalam dasawarsa belakangan ini banyak ulama sudah tidak
produktif dalam penulisan lektur keagamaan, ulama yang terjun ke politik praktis
menjadi anggota DPR, sehingga cenderung peran mereka dalam mengembangkan
pendidikan Islam menjadi berkurang.
16 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, op. cit., h. 2
17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1984), h. 60
18
Rosehan Anwar & Andi Bahruddin Malik (eds), Peran dan Fungsi Ulama Pendidikan,
(Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, 2003), h. 129
8
Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah merupakan sosok kyai yang ramah
dan gigih di dalam mengajar serta mendidik para santrinya di pondok pesantren
Al-Awwabin, dengan segenap ide serta gagasannya, beliau berusaha memajukan
pondok pesantren tersebut dalam bidang keilmuan, agar dapat bermanfaat bagi
masyarakat, agama maupun bangsa.
Tentang pesantren yang didirikan, Abuya KH. Abdurrahman Nawi
bermaksud untuk membina kader-kader muslim yang menguasai ilmu agama
dengan baik, dalam rangka membantu pemerintah dalam bidang pendidikan.
Abuya mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu alat bagi santri-santrinya, yaitu
dengan pengajaran ilmu nahwu, shorof dan bahasa Arab. Maka diluar kurikulum
sekolah yang mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri yang mukim
pada sore dan malam hari diharuskan mengikuti halaqah mengaji kitab-kitab di
bidang nahwu, shorof, bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan akhlaq.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap Abuya. Oleh karena itu penulis menulis sebuah karya ilmiah yang
berbentuk skripsi dengan judul : “PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN
NAWI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI
PONDOK PESANTREN AL-AWWABIN DEPOK”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diindentifikasi
permasalahannya sebagai berikut :
1. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi di pondok pesantren Al-Awwabin
Depok banyak yang belum terungkap.
2. Ide maupun gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan
pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang masih terpendam.
3. Masyarakat luas banyak yang belum mengenal sosok Abuya KH.
Abdurrahman Nawi.
4. Kontribusi Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam pengembangan pendidikan
Islam tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas.
9
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis perlu memberikan batasan
masalah hanya pada bagaimana peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi yakni di
bidang kelembagaan pendidikan dan seputar ide maupun gagasan beliau dalam
mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apa saja peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam memajukan pondok
pesantren Al-Awwabin Depok?
2. Bagaimana peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan
pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok?
E. Tujuan Penelitian
Setiap karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu juga
dengan penulisan ini. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas,
maka tujuan yang diharapkan tercapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam
mengembangkan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok.
2. Untuk mengetahui cara penerapan peran yang dilakukan Abuya KH.
Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pondok pesantren Al-Awwabin
Depok.
F. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai dunia pesantren
dan pendidikan Islam, umumnya bagi masyarakat khususnya bagi penulis.
10
2. Untuk memberikan informasi lengkap mengenai peran serta gagasan Abuya
KH. Abdurrahman Nawi di pondok pesantren Al-Awwabin khususnya bagi
kalangan sendiri (intern) dan umumnya kalangan luar (ekstern).
3. Dapat dijadikan bahan bacaan baik bagi santri pondok pesantren Al-Awwabin
Depok maupun masyarakat.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Peran
1. Pengertian Peran
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, peran adalah “Perangkat tingkah yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.19
Peran
tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda,
akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang
satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran diibaratkan seperti dua sisi
mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sengat terasa sekali. Seseorang
dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai
status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang
dengan orang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan
statusnya.
Sedangkan menurut Wahjosumijo, peran adalah “Sejumlah tanggung jawab
atau tugas yang dibebankan dan harus dilaksanakan oleh seseoang”.20
Selanjutnya, Soerjono soekanti mengatakan, “Penanan (role) merupakan aspek
dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu
peranan”.21
Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa
harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang
prilaku-prilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukanoleh seseorang yang
mempunyai peran tertentu.22
19 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 854
20
Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepada Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
155
21
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.
243
22
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h.
235
12
Dikutip oleh Soleman B. Toneko dari pendapat Koentjaraningrat tentang
peran ia mengatakan, “Adapun segala cara berlaku dari individu-individu untuk
memenuhi kewajiban dan untuk mendapatkan hak-hak tadi, merupakan aspek
dinamis dari status atau kedudukan. Cara-cara berlaku itu disebut peranan, yang
dalam bahasa asingnya disebut role.23
Dari penjelasan yang dipaparkan di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang
dimaksud dengan peran adalah seperangkat prilaku, sikap, kewajiban dan hak-hak
khusus yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu.
2. Peran Ulama (Kyai)
Ulama (Kyai) adalah orang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang
luas yang berfungsi sebagai pengayom, panutan, dan pembimbing di tengah umat
atau masyarakat.Sejarah bangsa Indonesia telah mengukir berbagai peran yang
mengadumkan yang dimainkan ulama (kyai). Kerukunan umat beragama pada
dekade 1970-1980-an telah berhasil dan terbina dengan baik berkat dukungan
ulama, sehingga kerukunan itu dapat mengokohkan peraturan dan kesatuan
bangsa yang menjadi modal melalui komunikasi interpersonal yang dilakukan
melalui ceramah-ceramah agama dan khutbah Jum‟at di masjid-masjid.24
Peran sosial adalah refleksi autentik dari semangat amar ma‟ruf nahi munkar.
Karena itu, setiap manusia diminta untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan
(„amal shalih) demi memperoleh dua kebahagiaan hidup: „dunia maupun akhirat.‟
Di dalam banyak tempat, Al-qur‟an selalu mengingatkan umatnya agar berlomba-
lomba kalian dalam berbuat baik jika ingin tampil menjadi umat terbaik dalam
menciptakan sejarah. Kelanjutan logisnya, berbuat baik merupakan tindakan
bermakna bagi manusia untuk menentukan derajat dirinya dihadapan Allah
SWT.25
Salah satu peran ulama (kyai) sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan
23 Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan,
(Jakarta: Rajawali, 1990), h. 88
24
Rosehan Anwar op. cit., h. 1
25
Khaeroni, Peran Sosial Santri dan Abangan, (Jakarta: Penamadani, 2007), h. v
13
(enllightenment) kepada masyarakat di sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan
keagamaan telah mereka dirikan, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok
pesantren. Semua lembaga itu ikut mengantarkan bangsa Indonesiamenjadi
bangsa yang terpelajar. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau jalur
dakwah yang mereka tempuh dengan gigih. Disamping berbagai fungsi dan peran
di atas, para ulama (kyai) sebagai tokoh Islam telah mewariskan sejumlah
khazanah keagamaan menomental, misalnya, berupa kitab-kitab keagamaan yang
bernilai tinggi. Karya tulis tersebut merupakan media penting untuk
mengkomunikasikan pemikiran mereka sekaligus mencerminkan kualitas
keilmuan dibidang yang mereka geluti.
Salain itu lewat ormas-ormas keagamaan, mereka juga telah berperan dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sepanjang sejarah tanah air
dengan mendirikan organisasi-organisasi keagamaan kemasyarakatan seperti
Peraturan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan
Islam dan sebagainya. Dibawah kepemimpinanmeraka yang punya perhatian besar
terhadap masalah sosial telah membantu pemerintah dalam mengangkat tingkat
pendidikan dan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui lembaga-lembaga
pendidikan, panti asuhan dan kegiatan sosial lainnya.26
Selanjutnya, berkaitandengan fungsi ulama sebagai pewaris nabi pada fungsi
tabligh maka ulama harus mengacu beberapa tugas yaitu memberi keteangan jiwa
dan motivasi yang ikhlas. Materi penyampaian dapat membangkitkan intensitas
imaniah, kemudian direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Sebagai fungsi tibyan,
dalam penyampaiannya ulama memerlukan nalar untuk memaparkan ajaran
agama secara jelas dan mudah dipahami. Kemudian sebagai uswatun hasanah,
ulama harus menjadi suri tauladan dan pemimpin yang baik bagi masyarakat.
3. Peran Pesantren
Pesantren mengemban beberapa peran utamanya sebagai lembaga
pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan
26 Rosehan Anwar, op. cit., h. 113
14
peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan,
pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah
pondok pesantren. Biasanya peran-peran itu tidak langsung terbentuk, melainkan
melewati tahap demi tahap. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan pesantren
bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan
masyarakat.27
Dari pondok pesantren lahir para juru dakwah, para mualim, dan ustadz, para
kyai pondok pesantren, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan yang memiliki profesi
sebagai pedagang, pengusaha ataupun bidang-bidang lainnya yang banyak. Hal ini
tidak lain karena di dalam kegiatan pondok pesantren, terdapat nilai-nilai yang
sangat baik bagi berhasilnya suatu kegiatan pendidikan. Sehingga, bisa dinyatakan
sesungguhnya pendidikan pondok pesantren terletak pada sisi dan nilai tersebut,
yaitu proses pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan kekuatan jiwa,
mental ataupun rohaniah. Selama beberapa dekade, pondok pesantren telah
memberikan pendidikan rohaniah yang sangat berharga bagi para santri untuk
menjadi kader-kader umat yang bergerak dalam berbagai bidang kehidupan di
atas. Di dalam pendidikan itulah terbentuk jiwa yang kuat yang sangat
menentukan filsafat hidup para santri.28
Di samping itu pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara
multidimensional baik berkaitan langsung dengan akitvitas-aktivtas pendidikan
pesantren maupun di luar wewenangnya. Dimulai dari upaya mencerdaskan
bangsa, hasil berbagai observasi menunjukkan bahwa pesantren tercatat memiliki
peranan penting dalam sejarah pendidikan di tanah air dan telah banyak
memberikan sumbangan dalam mencerdaskan rakyat.
Pesantren telah terlibat dalam menegakkan negara dan mengisi pembangunan
sebagai pusat perhatian pemerintah. Hanya saja dalam kaitan dengan peran
tradisionalnya, sering diidentifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat
Indonesia: 1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional,
27 M. Dian Nafi‟, dkk.,loc. cit., h. 11
28
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 121
15
2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan 3)
sebagai pusat reproduksi ulama.29
B. Pesantren
1. Pengertian dan Tujuan Pesantren
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran anyang
berarti tempat tinggal santri.30
Istilah “santri” berasal dari bahasa sangsekerta
“shastri”, artinya orang yang belajar kalimat suci dan indah. Para wali songo
kemudian mengadopsi istilah tersebut sebagai “santri”. Salah pengucapan dalam
hal ini biasa, misalnya, kata “syahadatayn” di jawa menjadi “sekaten” dan
seterusnya. Jadi, “shastri” atau “santri” adalah orang yang belajar kalimat suci dan
indah, yang menrut pandangan Wali Songo berarti kitab suci Al-qur‟an dan
Hadits. Kalimat-kalimat suci tersebut kemudian diajarkan, dipahami dan
dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.31
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-
hari.32
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian
muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa
keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai
orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Adapun tujuan khusus pesantren ialah:
a. Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim
yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan,
keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang
berpancasila;
29 Mujamil Qomar, op. cit., h. 26
30
Haidar, op. cit., h. 18
31
Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Renebook, 2014), h. ix
32
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 40
16
b. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-
kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta
dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis;
c. Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab
kepada pembangunan bangsa dan negara;
d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan
regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya);
e. Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam
berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual;
f. Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat
bangsa.33
2. Unsur-unsur Pesantren
Sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren apabila
di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu:
a. Kyai
Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya
suatu pesantren di tentukan oleh wibawa dan karisma sang kyai.34
Kyai
adalah komponen paling penting yang amat menentukan keberhasilan
pendidikan di pesantren. Kyai merupakan key person, kunci
perkembangan lembaga yang bernama pondok pesantren. Ini terkait erat
dengan keberadaan sang kyai yang umumnya adalah pendiri atau
merupakan keturunan pendiri pesantren. Dengan demikian pertumbuhan
dan perkembangan suatu pondok pesantren amat bergantung pada figur
kyai makanya, tidak heran apabila fitur seorang kyai dijadikan salah satu
pertimbangan dalam memilih pondok pesantren. Apalagi kalau dikaitkan
dengan kedalaman ilmu, keberkahan, serta kemasyhuran sang kyai.
33 Ibid., h. 7
34
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 22
17
Maklum, kyai merupakan sosok yang dijadikan rujukan oleh para
santri, tidak hanya dari kelebihan ilmu agamanya, tetapi juga dari
tindakannya. Selain sebagai orang tua, para santri sering memandang
sang kyai sebagai orang yang patut diteladani dan diikuti segala tindak
tanduknya. Jelasnya, kyai tidak hanya dirujuk sebagai pengajar, tetapi
juga sebagai pendidik yang dapat memberikan ketauladanan hidup dan
kehidupan.35
Kyai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat
seluruh kebijakan dan perubahan.36
Kemasyhuran, perkembangan dan
kelangsungan hidup suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian
dan ke dalam ilmu, kharismatik, wibawa dan keterampilan kyai yang
bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.37
Para kyai/nyai selalu memberikan wejangan kepada para santri
sebagai calon pemimpin dan agen perubahan di masa depan, sehingga
dalam jiwa mereka tertanam kesadaran untuk mempersiapkan diri
menjalankan hal tersebut sekembalinya mereka di tengah-tengah
masyarakat di kampung. Kepemimpinan yang dimaksudkan oleh
pesantren bukanlah dalam makna jabatan formal dan politik, melainkan
kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, di mana
mereka harus memandu dan mencerahkan masyarakat menuju ke arah
yang lebih baik.38
b. Santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami
agama di pesantren. Para santri tinggal di pondok yang menyerupai
asrama. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci,
memasak dan lain sebagainya di tempat tersebut. Walaupun ada juga
35 Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, (Ciputat: Media Nusantara, 2006), h. 6
36
Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit Pesantren;Gagasan, Kiprah, dan Refleksi,
(Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia, 2006), h. 35
37
Hasbullah, op. cit., h. 49
38
Tim Penulis Rumah Kitab, op. cit., h. xii
18
santri yang bekerja, dan santri yang tidak menginap di pondok.39
Santri
ini dapat digolongkan kepada dua kelompok:
1) Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat
yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya,
maka dia mondok (tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim
mereka memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2) Santri kalong, yaitu siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar
yang memungkinkan mereka pulang ke tempat kediaman masing-
masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang
pergi antara rumahnya dengan pesantren.
Yang membedakan antara pesantren besar dengan pesantren kecil
biasanya terletak pada komposisi atau perbandingan antara kedua
kelompok santri tersebut. Biasanya pesantren-pesantren besar
mempunyai santri mukim yang lebih besar dibandingkan santri kalong,
sedang pesantren yang tergolong kecil, mempunyai lebih banyak santri
kalong.40
c. Masjid
Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud, karena di
tempat ini setidak-tidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam
melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga
mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman
Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan urusan-urusan
sosial kemasyarakatan serta pendidikan.41
Di masa perkembangan awal Islam, masjid berfungsi juga sebagai
institusi pendidikan. sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasul
bersama sahabatnya ketika hijrah ke Madinah, yang dibangun pertama
kali adalah masjid. Di tempat inilah para sahabat nabi tersebut
39 Nur Efendi, Menejemen Perubahan di Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Teras, 2014), h. 127
40
Hasbullah, loc. cit., h. 49
41
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 20
19
mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari Islam lebih jauh bersama
Rasulullah.42
Tradisi yang dipraktekan Rasulullah ini terus dilestarikan oleh
kalangan pondok pesantren. Para kyai selalu mengajar santri-santrinya di
masjid atau mushalla. Mereka menganggap masjid atau mushalla sebagai
tempat yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai keislaman kepada
para santri, terutama ketaatan dan kedisiplinan. Penanaman sifat disiplin
kepada para santri dilakukan melalui kegiatan shalat jama‟ah setiap
waktu di masjid atau mushalla, bangun pagi, serta yang lainnya. Oleh
karena itu masjid dan mushalla merupakan bangunan yang pertama kali
dibangun sebelum didirikan bangunan dan fasilitas lainnya.43
d. Pondok/Asrama
Kata pondok berarti kamar, gubuk, rumah kecil yang dalam bahasa
Indonesia menekankan kesederhanaan bangunan. Tetapi ada juga yang
mengatakan bahwa pondok itu berasal dari bahasa Arab funduq yang
berarti ruang tidur, wisma, atau motel sederhana.44
Pada beberapa pesantren yang telah maju, asrama pesantren
dibangun layaknya sebuah kompleks yang dikelilingi pagar pembatas. Ini
dilakukan supaya proses keluar masuknya para santri bisa diawasi.
Dalam komplek itu, biasanya terdapat batas pemisah yang jelas antara
perumahan kyai dan keluarganya dengan asrama santri, baik putra
maupun putri.
Pertanyaan, kenapa harus ada asrama? Setidaknya ada empat alasan
utama pesantren membangun pondok (asrama) untuk para santrinya,
yaitu: pertama, ketertarikan santri untuk belajar kepada seorang kyai
dikarenakan kemasyhuran atau kedalaman serta keluasan ilmunya yang
mengharuskannya untuk meninggalkan kampung halamannya untuk
menetap pada tempat yang selalu dekat dengan kyai; kedua, pondok
pesantren umumnya tumbuh dan berkembang di daerah yang jauh dari
42 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRDS Press, 2005), h. 109
43
Mahmud, op. cit., h. 10
44
Nur Efendi, op. cit., h. 123
20
keramaian pemukiman penduduk sehingga tidak terdapat perumahan
yang cukup memadai untuk menampung para santri dengan jumlah
banyak; ketiga, terdapat sikap timbal balik terhadap kyai dan santri yang
berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah
dan anak. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan
untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang
lama; keempat, untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan secara
intensif dan istiqomah. Dan, hal ini dimungkinkan jika tempat tinggal
antara kyai dan santri berada dalam satu lingkungan yang sama.45
e. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik (Kuning)
Kitab kuning yang merupakan khazanah Islam produk ulama al-salaf
al-shalih, dijadikan panduan oleh para kyai, nyai dan santri untuk
memahami substansi ajaran yang ada dalam Al-qur‟an dan Hadits.46
Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya
membaca serta mensyarahkannya (menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut.
Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut
untuk mahir di dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, sharaf, balaghah,
ma‟ani, bayan, dan lain sebagainnya.
Kitab kitab klasik biasanya ditulis atau dicetak di kertas berwarna
kuning dengan memakai huruf arab dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa
dan sebagainya. Huruf-hurufnya tidak diberi vokal, atau biasa disebut
dengan kitab gundul.47
Kriteria kemampuan membaca dan mensyarahkan kitab bukan hanya
merupakan kriteria diterima atau tidaknya seseorang sebagai ulama atau
kyai pada zaman dahulu saja, melainkan juga sampai saat sekarang.
Salah satu persyaratan seseorang telah memenuhi kriteria sebagai kyai
atau ulama adalah kemampuannya membaca serta menjelaskan isi kitab-
kitab tersebut.
45 Mahmud, op. cit., h. 11
46
Tim Penulis Rumah Kitab, loc. cit., h. ix
47
Nur Efendi, op. cit., h.129
21
Karena sedemikian tinggi posisi kitab-kitab Islam klasik tersebut,
maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian “kitab-kitab
kuning”. Kendatipun saat sekarang telah banyak pesantren yang
memasukan pelajaran umum, namun pengajian kitab-kitab klasik tetap
diadakan.48
Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian
dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam.
Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari
jenis kitab-kitab yang diajarkan.49
Dalam praktiknya, pesantren umumnya memisah tempat pengajian
kitab bagi santri putra dan putri. Mereka diajar ditempat yang berbeda
dan tidak jarang oleh guru yang berbeda pula. Meski terkadang guru laki-
laki mengajar santri putri, namun keadaan ini tidak berlaku untuk
sebaliknya. Namun, ada juga pesantren yang menyelenggarakan kegiatan
pendidikan secara bersama (co education) antara santri putra dan putri, di
dalam tempat yang sama. Hanya saja, antara santri putra dan putri
dipasang hijab (pembatas) berupa kain atau dinding kayu.50
Apabila jenis pesantrennya dikatagorikan khalafiah atau kombinasi,
ciri pesantren bertambah satu, yaitu ada ruang kelas untuk pembelajaran
formal.
f. Madrasah (Sekolah)
Madrasah merupakan ”isim makan” kata “darasa” dalam bahasa
arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau populer dengan
sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia pada
awal abad ke-20.51
Pada beberapa pondok pesantren yang telah melakukan
pembaharuan, di samping masjid dan mushalla yang menjadi tempat
belajar, juga disediakan madrasah atau sekolah sebagai tempat untuk
48 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 23
49
Hasbullah, op. cit., h. 50
50
Mahmud, op. cit., h. 12
51
Hasbullah, op. cit., h. 66
22
mendalami ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang dilakukan
secara klasikal. Madrasah atau sekolah ini biasanya juga terletak di dalam
lingkungan pesantren.
Madrasah yang dikhususkan untuk mendalami ilmu-ilmu agama
biasa disebut pendidikan diniyah. Sedangkan madrasah atau sekolah yang
di dalamnya diajarkan pula ilmu-ilmu umum, maka penyelenggaraannya
mengikuti pola yang telah ditentukan oleh Departemen Agama atau
Departemen Pendidikan Nasional. Madasah atau sekolah ini dilengkapi
dengan sarana dan prasarana sebagaimana lazimnya pendidikan sistem
sekolah, seperti ruang kelas proses belajar mengajar, perpustakaan,
laboratorium, lapangan olahraga, dan lainnya. Jadi, pondok pesanten
yang juga yang menyelenggarakan sistem pendidikan sekolah, akan
mempunyai dua macam kegiatan pembelajaran, yaitu pembelajaran ala
pesantren dan pembelajaran ala sekolah.52
3. Model-model Pesantren
Secara umum, pesantren dapat diklasifikasikan menjadi tiga model,
yakni: pesantren tradisional (salaf), pesantren modern (khalaf), dan pesantren
komprehensif (kombinasi).
a. Pondok Pesantren Tradisional (Salaf)
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya
dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15
dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan
menerapkan sistem “halaqoh” yang dilaksanakan di masjid atau surau.
Hakekat dari sistem pengajaran halaqoh adalah penghafalan yang titik
akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang
menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang ke arah
paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan
oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai
52 Mahmud, op. cit., h. 14
23
pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri
mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).53
Pesantren salafi, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-
nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti
dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam
corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga
bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan
tradisi-tradisi keislaman.
Materi pelajaran yang dikemukakan di pesantren ini adalah mata
pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Metode
penyampaian adalah wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal.
Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka baca. Mata
pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan ijazah sebagai alat
untuk mencari kerja. Yang paling dipentingkan adalah pendalaman ilmu-
ilmu agama semata-mata melalui kitab-kitab klasikal.54
b. Pondok Pesantren Modern (Khalaf)
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena
orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara
klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem
belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar
baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai
adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasioanl.
Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu.
Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar
mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan
sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa
Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.55
Pesantren modern (khalaf) adalah pesantren yang selain
bermateriutamakan pendalaman agama Islam (tafaqquh fi al-din), tetapi
53 M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 14
54
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 24
55
M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 15
24
juga memasukan unsur-unsur modern, seperti penggunaan sistem klasikal
atau sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum dalam muatan
kurikulumnya.56
Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang
sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur
kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya
menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat
diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya
secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksnakan dengan porsi sama
antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa
Arab dan Inggris) sangat ditekankan.
Pada pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan mata pelajaran
umum, dan ditambah pula dengan memberikan aneka macam pendidikan
lainnya, seperti keterampilan, kepramukaan, olahraga, kesenian dan
pendidikan berorganisasi, dan sebagian telah melaksanakan program
pengembangan masyarakat.57
c. Pondok Pesantren Komprehensif (Kombinasi)
Pondok pesantren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem
pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang
modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab
kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara
reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan
keterampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari
tipologi kesatu dan kedua. Lebih jauh dari pada itu pendidikan masyarakat
pun menjadi garapannya. Dalam arti yang sedemikian rupa dapat
dikatakan bahwa pondok pesantren telah berkiprah dalam pembangunan
sosial kemasyarakatan.58
Pesantren komprehensif (kombinasi) merupakan gabungan antara
pesantren salaf dengan pesantren khalaf. Artinya, antara pola pendidikan
56 Mahmud, op. cit., h. 16
57
Haidar Putra Daulay, loc. cit., h. 24
58
M. Bahri Ghazali. loc. cit., h. 15
25
modern sistem madrasah/sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum
dikombinasikan dengan pola pendidikan pesantren klasik. Jadi, pesantren
modern dan kombinasi merupakan pesantren yang diperbaharui atau yang
dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem
sekolah dengan tetap memelihara pola pengajaran asli pesantren dalam
pembelajaran kitab-kitab salafi (kitab kuning).59
Corak pendidikan pada
pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi
tidak sepenuhnya. Prinsip selektifitas untuk menjaga nilai tradisional
masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan
tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang
kitab-kitab klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditaati secara
modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada
semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni
pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya kesekolah atau
perguruan tinggi formal. proses belajar mengajar dilaksanakan secara
klasikal dan nonklasikal, juga didikkan keterampilan dan pendidikan
berorganisasi. Pada tingkat tertentu diberikan sedikit pengetahuan umum.
Santri dibagi jenjang pendidikan mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah,
aliyah. Metode: wetonan, sorogan, hafalan, dan musyawarah.60
Berdasarkan pengelompokan diatas, menurut Mahmud, tipologi
pesantren secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pesantren tipe salafiyah, memiliki ciri-ciri:
a. Para santri belajar dan menetap di pesantren.
b. Kurikulum tidak tertulis secara eksplisit, tetapi berupa hidden
kurikulum (kurikulum tersembunyi yang ada pada benak kyai).
c. Pola pembelajaran mengunakan metode pembelajaran asli milik
pesantren (sorogan, bandongan, dan lainnya).
d. Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah.
2. Pesantren tipe khalafiyah, memiliki ciri-ciri:
59 Mahmud, loc. cit., h. 16
60
Haidar Putra Daulay, loc. cit., h. 24
26
a. Para santri tinggal dalam pondok/asrama.
b. Pemaduan antara pola pembelajaran asli pesantren dengan sistem
madrasah/sistem sekolah.
c. Terdapat kurikulum yang jelas.
d. Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah/madrasah.
3. Pesantren tipe kombinasi, memiliki ciri-ciri:
a. Pesantren hanya semata-mata tempat tinggal (asrama) bagi para
santri.
b. Para santri belajar di madarasah atau sekolah yang letaknya di luar
dan bukan milik pesantren.
c. Waktu belajar dipesantren biasanya malam atau siang hari pada
saat santri tidak belajar disekolah atau madrasah (ketika mereka
berada di pondok/asrama).
d. Umumnya pembelajaran tidak terprogram dalam kurikulum yang
jelas dan baku.61
4. Metode Pembelajaran di Pesantren
Secara garis besar metode pembelajaran yang dilaksanakan di pesantren,
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing
metode mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu:
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau
yang disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di
mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi
saling mengenal di antara keduanya. Seorang kyai atau guru menghadapi
santri satu per satu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak
itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing-
masing. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan
hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal
kemampuan pribadi santri secara satu persatu. Kitab yang disorogkan
kepada kyai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama.
61 Mahmud, op. cit., h. 17-18
27
Karenanya kyai yang menangani pengajian secara sorogan ini harus
mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai
pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab.62
Sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan
santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kyai untuk
dibaca dihadapan kyai itu. Dan kalau ada salahnya kesalahan itu langsung
dihadapi oleh kyai itu. Di pesanten besar “sorogan” dilakukan oleh dua
atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kyai atau santri-
santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim.63
Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari
keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri.
Kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan
seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kyai di dalam
memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu
berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta
mendalami isi kitab.
b. Bandongan
Sistem bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana dalam
pengajian, kitab yang dibaca oleh kyai hanya satu, sedangkan para
santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan
menyimak bacaan kyai. Para santri memperoleh kesempatan untuk
bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kyai.
Sementara catatan-catatan yang dibuat santridi atas kitabnya membantu
untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut
setelah pelajaran selesai.64
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqoh itu lebih banyak
pada keikut sertaan santri dalam pengajian. Sementara kyai berusaha
62 Hasbullah, op. cit., h.51
63
M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 29
64
Mujamil Qomar, op. cit., h. 145
28
menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu
merupakan kewajiban bagi mukallaf. Kyai tidak memperdulikan apa yang
dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kyai dalam
hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqoh dari segi ibadah
kepada Allah, dari segi pendidikan terhadap santri, dari kemauan dan
ketaatan para santri, sedangkan segi pengajaran bukan merupakan hal yang
utama.65
c. Weton
Sistem pengajaran dengan jalan wetonan dilaksanakan dengan jalan
kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan
membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kyai.
Dalam sistem pengajaran yang semacam itu tidak dikenal absensinya.
Santri boleh datang boleh tidak, juga tidak ada ujian.66
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau
berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi
dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap selesai sholat
jum‟at dan sebagainya.
Apa yang dibaca kyai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab
biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-
kadang guru hanya memetik di sana sini saja, peserta pengajian weton
tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kyai kepada peserta
pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada
juga yang hanya diartikan secara bebas.67
Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang
sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Bersamaan dengan penggunaan
metode ini berkembang pula tradisi hafalan. Bahkan di pesantren, keilmuan hanya
dianggap sah dan kokoh bila melalui transmisi dan ‟hafalan‟, baru kemudian
menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi, parameter kealiman seeorang dinilai
65 Hasbullah, loc. cit., h.51
66
M. Bahri Ghazali. loc. cit., h. 29
67
Hasbullah, op. cit., h. 52
29
berdasarkan kemampuannya menghafal teks-teks. Dengan begitu, tidak
mengherankan jika lulusan pesantren menunjukan profil penyampai ilmu agama
kepada masyarakat.68
C. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup
dan kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia
memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan
komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya.
Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.69
Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang
berarti “pendidikan”, orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam
pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos, Istilah ini
berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).70
Beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut:
a. M. Alisuf Sabri: Pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa
untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkambangan
anak/peserta didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan.71
b. M. Ngalim Purwanto: Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa
dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.72
c. Nurani Soyomukti: Pendidikan adalah segala suatu dalam kehidupan
yang memengaruhi pembentukan berfikir dan bertindak individu.
Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan
68 Mujamil Qomar, op. cit., h. 144
69
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 28
70
Armai Arief, op. cit., h. 17
71
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 7
72
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 11
30
perubahan-perubahan cara berfikir masyarakat juga turut menjadi
pembentuk seorang individu.73
d. Hasbullah: Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai
usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-
nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangan,
istilah pendidikan atau peadagogie berarti bimbingan atau pertolongan
yang diberikan secara sengaja oleh orang dewasa agar dia menjadi
dewasa.74
e. Syaiful Sagala: Pendidikan itu dapat dipahami sebagai proses melatih
peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan melalui sejumlah
pengalaman belajar sesuai bidangnya dan pikiran, sehingga peserta
didik memilliki karakter unggul menjunjung tinggi nilai etis dalam
berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari pengabdiannya
dan dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya.
Fungsi utama pendidikan memberikan layanan akademik melalui
proses ketatalaksanaan pendidikan yang dipandu oleh kaidah atau
aturan yang berlaku.75
Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, ada
yang berpendapat bahwa dalam pengertian pendidikan itu harus terkandung
hal-hal yang pokok sebagai berikut:
a. Bahwa pendidikan itu tidak lain merupakan usaha dari manusia.
b. Bahwa usaha itu dilakukan dangan sengaja atau secara sadar.
c. Bahwa usahanya itu dilakukan oleh orang-orang yang merasa
bertanggungjawab kepada masa depan anak.
d. Bahwa usahanya berupa bantuan atau bimbingan rohani dan dilakukan
secara teratur dan sistematis.
73 Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2010), h. 29
74
Hasbullah, op. cit., h. 1
75
Syaful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013), h. 43
31
e. Bahwa yang menjadi objek pandidikan itu adalah anak/peserta didik
yang masih dalam pertumbuhan/perkembangan atau masih
memerlukan pendidikan.
f. Bahwa batas/sasaran akhir pendidikan adalah tingkat dewasa atau
kedewasaan.76
Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaanya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan
nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar
nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab atas tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaanya.77
Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu
komponen kehidupan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus
berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya
kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi,
kita mendapatkan bahwa pendidikan telah berproses semenjak Allah
menciptakan manusia pertama, Adam yang berada di surga, di mana Dia
mengajarkan nama-nama yang para malaikat sendiri pun sama sekali belum
mengenalinya.78
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu
adalah tuntunan/pimpinan/bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh
seseorang kepada orang lain. Tuntunan/pimpinan/bimbingan itu harus dapat
merealisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak didik yang bersifat
menumbuhkan serta mengembangkan baik jasmani maupun rohani.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan adalah merupakan sasaran atau maksud yang ingin dicapai.79
Dalam pendidikan kita tak dapat mencapai sesuatu sebelum kita
menjadikannya tujuan. Itu sebabnya tujuan itu sangat penting dalam
76 M. Alisuf Sabri, loc. cit., h. 7
77
Djunaidatul Munawwaroh & Tanenji, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2003), h. 5
78
Sri Minarti, loc. cit., h. 17
79
Mudyo Ekosusilo, Dasar-dasar Pendidikan, (Semarang, Effahar, 1990), h. 39
32
pendidikan, apakah itu pendidikan oleh orang tua, lembaga pendidikan atau
oleh negara dalam rangka pendidikan nasional.80
Pendidikan sebagai suatu bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya
juga menempatkan tujuan sebagai suatu yang hendak dicapai, baik tujuan
yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang
dibentuk secara khusus untuk memudahkan pencapaian tujuan yang lebih
tinggi. Begitu juga dikarenakan pendidikan merupakan bimbingan terhadap
perkembangan manusia menuju kearah cita-cita tertentu, maka yang
merupakan masalah pokok bagi pendidikan ialah memilih arah atau tujuan
yang ingin dicapai.81
Pendidikan bertujuan mewujudkan manusia yang beriman, bertakwa,
cerdas, sehat jasmani dan rohani, memiliki keterampilan memadai, berakhlak
mulia, memiliki kesabaran yang tinggi dan selalu introspeksi diri, tanggap
terhadap persoalan, mampu memecahkan masalah dengan baik dan rasional,
dan memiliki masa depan yang cerah, baik di dunia maupun di akhirat.82
Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersama-sama dengan tujuan
hidup manusia.83
Menurut UU No 4 tahun 1950 pada bab II pasal 3 ditulis bahwa, “Tujuan
pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air.84
Sedangkan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1989, secara jelas disebutkan
tujuan pendidikan nasional, yaitu :
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
80 Nasution, Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 16
81
Hasbullah, op. cit., h. 10
82
Tatang, Ilmu Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 67
83
Nurani Soyomukti, op. cit., h. 30
84
Mudyo Ekosusilo, op. cit., h. 40
33
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan”85
Menurut Hasan Langgulung, “Tujuan pendidikan sama seperti tujuan
hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh
manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai
individu maupun sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara
kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus86
.
Menurut Tatang, “Tujuan pendidikan adalah membangun karakter anak
didik yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan dan telaten,
sabar, serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi”.87
Di dalam buku Pendidikan Karakter secara umum orang memahami
bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan manusia agar berdaya,
berpengetahuan, cerdas, serta memiliki wawasan dan keterampilan agar siap
menghadapi kehidupan dengan potensi-potensinya yang telah diasah dalam
proses pendidikan.88
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berpegang teguh
pada pancasila dan agar membentuk peserta didik yang memiliki karekter
yang baik.
3. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam konteks Islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada tiga kata
yang digunakan. Ketiga kata tersebut, yaitu (1) “at-tarbiyah”, (2)”al-ta‟lim”,
dan (3)”al-ta‟dib”. Ketiga kata tersebut memiliki makna yang saling
berkaitan saling cocok untuk pemaknaan pendidikan dalam Islam. Ketiga kata
itu mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan
85 Hasbullah, op. cit., h. 11
86
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1988), h. 305
87
Tatang, op. cit., h. 64
88
Fatchul Mu‟in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta: Ar-ruzz
Media, 2011), h. 289
34
masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling
berkaitan satu sama lain.89
Pendidikan Islam menurut istilah dirumuskan oleh pakar pendidikan
Islam, sesuai dengan perspektif masing-masing. Diantara rumusan tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Haidar Putra Daulay: Pendidikan Islam adalah proses pembentukan
manusia kearah yang dicita-citakan Islam.90
b. Sri Minarti: Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara khas
memiliki ciri Islami, berbeda dengan konsep pendidikan yang lain
yang kajiannya lebih menfokuskan pada pemberdayaan umat
berdasarkan Al-qur‟an dan hadis.91
c. Arifin: Pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba
Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan
manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi.92
d. Sutrisno dan Muhyidin Albarobis: Pendidikan Islam adalah usaha
sadar untuk membimbing manusia menjadi pribadi beriman yang kuat
secara fisik, mental dan spiritual, serta cerdas, berakhlak mulia, dan
memiliki keterampilan yang diperlukan bagi kebermanfaatan dirinya,
masyarakatnya, dan lingkungannya.93
Dikutip oleh Sri Minarti dari Sajjad Husain dan Syed Ali Asraf
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai pendidikan yang melatih perasaan
murid-muridnya dengan cara-cara tertentu sehingga dalam sikap hidup,
tindakan, keputusan, dan pendekatan terhadap segala jenis pengetahuan
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam.94
89 Ramayulis, op. cit., h. 33
90
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 3
91
Sri Minarti, loc. cit., h. 25
92
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 11
93
Sutrisno & Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, (Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2012), h. 22
94
Sri Minarti, loc. cit., h. 26
35
Karekteristik pendidikan Islam dalam kenyataannya memperlihatkan
bentuk implementasinya yang khas di Indonesia. Memiliki sejarah
pertumbuhan dan perkembangannya yang panjang, dalam perkembangan
terakhir, pendidikan Islam di Indonesia menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional.95
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah pendidikan yang diberikan oleh seorang guru, ustad, maupun
orang yang mumpuni dibidang agama Islam kepada seseorang maupun murid
(siswa) yang berasaskan Al-qur‟an dan sunnah nabi Muhammad.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi
manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuhsuburkan
hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam
semesta.96
Pendidikan Islam sebagai sebuah protes memiliki dua tujuan, yaitu tujuan
akhir (tujuan umum) yang disebut sebagai tujuan primerdan tujuan antara
(tujuan khusus) yang disebut tujuan sekunder. Tujuan akhir pendidikan Islam
adalah penyerahan dan penghambaan diri secara total kepada Allah. Tujuan
ini bersifat tetap dan berlaku umum, tanpa memerhatikan tempat, waktu, dan
keadaan. Tujuan antara pendidikan Islam merupakan penjabaran tujuan akhir
yang diperoleh melalui usaha ijtihad para pemikir pendidikan Islam, yang
karenanya terikat oleh kondisi locus dan tempus. Tujuan antara harus
mengandung perubahan-perubahan yang diharapkan subjek didik setelah
melakukan proses pendidikan, baik yang bersifat individual, sosial, maupun
profesional. tujuan antara ini perlu jelas keberadaannya sehingga pendidikan
Islam dapat diukur keberhasilannya tahap demi tahap. Tujuan antara inilah
95 Said Aqiel Siradj, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 191
96
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 65
36
yang biasanya dijabarkan dalam bentuk kurikulum atau program
pendidikan.97
Menurut Armai Arief, “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mempersiapkan anak didik atau individu dan menumbuhkan segenap potensi
yang ada, baik jasmani maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus
menerus agar dapat hidup dan berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat
menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya”98
.
Menurut Arifin, “Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, dunia dan
akhirat”.99
Menurut Sri Minarti, “Tujuan pendidikan Islam antara lain sebagai
berikut”:
a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah di muka bumi yang
memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
b. Mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya
dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga
pelaksaannya terasa ringan.
c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
d. Membina dan mengarahkan potensi akal jasmaniah untuk mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.100
Sedangkan menurut Tatang, “Tujuan pendidikan Islam adalah
mewujutkan :
a. Insan akademi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
97 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan,
(Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2014), h. 89
98
Armai Arief, op. cit., h. 21
99
Arifin, op. cit., h. 40
100
Sri Minarti, loc. cit., h. 40
37
b. Insan kamil, yang berakhlakul karimah.
c. Manusia yang berkpribadian.
d. Manusia yang cerdas dalam mengkaji ilmu pengetahuan.
e. Anak didik yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
f. Anak didik yang sehat jasmani dan rohani.
g. Karakter anak didik yang menyebarkan ilmunya kepada sesama
manusia.101
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
perilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah, yaitu
manusia dapat “merealisasikan idealitas Islam”, yang menghambakan
sepenuhnya kepada Allah.
5. Dasar Pendidikan Islam
Dasar adalah landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar dapat
berdiri kokoh. Dasar suatu bangunan, yaitu fundamen yang menjadi landasan
bangunan tersebut agar tegak dan kokoh berdiri. Demikian pula dasar pendidikan
Islam, yaitu fundamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan Islam
dapat tegak berdiri dan tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa
ideologi yang muncul, baik di era sekarang maupun yang akan datang.102
Dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-qur‟an dan Hadits. Kemudian
dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas
syar‟i, ijma‟ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil
pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya. Manusia, masyarakat
dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlaq, dengan merujuk kepada kedua
sumber asal (Al-qur‟an dan Hadits) sebagai sumber utama.103
101 Tatang, op. cit., h. 65
102
Sri Minarti, op. cit., h. 41
103
Jalaluddin& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), h. 37
38
Dikutip oleh Sutrisno & Muhyiddin Albarobis dari Muhammad Shafiq ia
mengatakan pendidikan Islam harus diarahkan menurut konsep tauhid. Hal ini
mengingat pentinnya tauhid sebagai fondasi yang harus dibangun di atas ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai yang ditransfer kepada anak didik melalui proses
pendidikan.104
Bagi orang mukmin, standar nilai yang harus diacu tentu saja sengat jelas,
yaitu wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah pastilah baik dan yang dilarang-
Nya tentulah buruk. Apa yang menurut Allah benar pastilah benar dan apa yang
menurut-Nya salah tentulah salah. Di sinilah konsep tauhid memainkan perannya
yang sangat sentral sebagai penyatu pandangan kaum mukminin. Oleh karena itu,
pendidikan Islam mutlak harus dibangun diatas tauhid sebagai fondasinya.105
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rahmawati seorang mahasiswa jurusan
Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Tentang “Sejarah Berdirinya dan
Berkembangnya Pondok Pesantren Al-Awwabin Kota Depok Tahun 1962-2008”,
Dia menyimpulkan bahwa pondok pesantren Al-Awwabin terletak pada satu
kota tetapi berada di dua kecamatan yang berbeda yakni berada di Jl. Raya
Sawangan No.21 Pancoran Mas Depok dan Jl. H. Sulaiman No. 12 Sawangan
Depok, serta perkembangan yang dilakukan pondok pesantren Al-Awwabin
diantaranya: bidang pendidikan, bidang dakwah, dan bidang sosial keagamaan.
Persamaannya adalah tempat penelitian yang telah diteliti, namun penelitian
ini lebih fokus membahas tentang seluk beluk sejarah Al-Awwabin dan kota
Depok serta perkembangan pondok pesantren Al-Awwabin secara umum,
sedangkan yang penulis teliti adalah tentang bagaimana peran Abuya sebagai
pendiri dan pimpinan umum dalam mengembangkan pendidikan Islam di
pesantren Al-Awwabin serta upaya apa saja yang beliau lakukan untuk
memajukan pondok pesantren Al-Awwabin.
104 Sutrisno & Muhyidin Albarobis, op. cit., h. 23
105
Ibid., h. 24
39
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Darmuji seorang mahasiswa
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Tentang “Peran
KH. Abdurrahman Nawi dalam Pengembangan Dakwah di Kota Depok”.
Persamaannya adalah tempat penelitian yang telah diteliti, namun penelitian
ini lebih memfokuskan tentang pengembangan dakwah yang dilakukan oleh
Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam ruang lingkup kota Depok serta beberapa
peran Abuya dalam strategi dakwah khususnya di kota Depok. Namun yang
penulis teliti tidak hanya segi dakwah yang telah dilakukan oleh Abuya KH.
Abdurrahman Nawi, melainkan apa saja peran Abuya dalam memperkembangan
pendidikan Islam serta ide dan gagasan apa saja yang telah beliau lakukan dalam
memajukan pondok pesantren Al-Awwabin.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu, dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian yang dilakukan penulis adalah mulai tanggal 17 Juni
2016.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Metode Penelitian
Dalam sebuah penelitian metode merupakan hal yang sangat penting, karena
dengan metode yang baik dan benar akan memungkinkan tercapainya tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis
yaitu metode yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi,
berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat
yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan
sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, gambaran tentang kondisi, situasi,
ataupun fenomena tertentu106
.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang hasil penelitiannya
disimpulkan secara deskripsi, agar dapat memudahkan penulis dalam memperoleh
data dan menyimpulkan hasil data yang diperoleh di lapangan nanti. Penelitian
kualitatif sendiri adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll.107
Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan
mengenai peran serta gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam
mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin.
106 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta 2015), h. 63
107
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010), h. 6
41
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah berbagai cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data, menghimpun, mengambil, atau menjaring data penelitian.108
Pada umumnya seseorang yang ingin memperoleh data, menggunakan teknik
pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu :
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap
gejala yang tampak pada objek penelitian.109
Observasi yaitu penulis melakukan pengamatan dan pencatatan yang
sistematis terhadap objek yang dipandang dapat dijadikan sumber data.
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi lapangan. Hasil
pengamatan tersebut akan menjadi salah satu data untuk bahan rujukan yang
selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian.
2. Wawancara
Wawancara adalah cara menjaring informasi atau data melalui interaksi
verbal/lisan.110
Wawancara ini dilakukan dalam bentuk dialog langsung
dengan informan baik itu tenaga pendidik, anak dari Abuya KH.
Abdurrahman Nawi, tata usaha, maupun alumni yang telah menyelesaikan
pendidikannya di Al-Awwabin.
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang sesuatu yang
sudah berlalu. Dokumen tentang orang atau sekelompok orang, peristiwa,
atau kejadian dalam situasi sosial yang sesuai dan terkait dengan fokus
penelitian adalah sumber informasi yang sangat berguna dalam penelitian
kualitatif. Dokumen itu dapat berbentuk teks tertulis, artefac, gambar maupun
foto. Dokumen tertulis dapat pula berupa sejarah kehidupan (life histories),
biografi, karya tulis, dan cerita. Di samping itu ada juga material budaya, atau
108 Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Peneltian, (Yogyakarta: ANDI, 2014), h. 41
109
Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., h. 66
110
Suwartono, op. cit., h. 48
42
hasil karya seni yang merupakan sumber informasi dalam penelitian
kualitatif.111
Teknik dokumentasi menjadi salah satu teknik penunjang validnya suatu
data penelitian, karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka
penulis menggunakan ini sebagai pembantu dalam mengambil hasil
kesimpulan dalam penelitian.
D. Teknik Pengelolaan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah
membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklarifikasi data-data yang
relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis,
simpulkan dalam satu pembahasan utuh.
E. Teknik Analisis Data
Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini memakai tiga
jalur kegiatan, yakni:
1. Reduksi Data
Reduksi data menunjukan kepada proses pemilihan, pemokusan,
penyederhanaan, pemisahan, pentransformasian data “mentah” yang terlihat
dalam catatan tertulis lapangan (writer-up field noters). Oleh karena itu
reduksi data berlangsung selama kegiatan penelitian dilaksanakan. Ini berarti
pula reproduksi data telah dilakukan sebelum pengumpulan data di lapangan,
yaitu pada waktu penyusunan proposal, pada saat menentukan kerangka
konsepsual, tempat, perumusan pertanyaan penelitian, dan pemilihan
pendekatan dalam pengumpulan data. Juga dilakukan pada waktu
pengumpulan data, seperti membuat kesimpulan, pengkodean, membuat
tema, membuat cluster, membuat pemisahan dan menulis memo. Reduksi
data dilanjutkan sesudah kerja lapangan, sampai laporan akhir penelitian
lengkap dan selesai disusun.112
111 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Prenadamedia, 2014), h. 391
112
Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., h. 407
43
Reduksi data sangatlah penting dilakukan agar memudahkan peneliti
dalam melakukan kegiatan penyimpulan dari hasil data penelitian dan demi
menghindari kesalahan dalam rangka penarikan kesimpulan.
2. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling
penting banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam penelitian kualitatif.113
Hal itu dapat dicapai dengan
jalan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi;
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu;
d. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berbeda, orang pemerintahan;
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Data yang ditringulasikan adalah data yang bersifat sekunder seperti
wawancara. Konsep triangulasi ini merupakan cara tepat untuk memperoleh
data hasil penelitian, dengan mengeksplorasi data dari sumber key informan
baik dari pelakuobjek peneliti, maupun lingkungan sekitar yang ada
hubungan langsung dengan si objek peneliti, hal ini diharapkan sang peneliti
memiliki hasil data yang baik dan jelas dari berbagai sumner agar dalam
proses penarikan kesimpulan nanti, peneliti dapat menyimpulkan hasil
penelitiaannya dengan baik dan cermat.
113 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 330
44
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah data yang terkumpul direduksi dan selanjutnya disajikan, maka
langkah yang terakhir dalam menganalisis data adalah menarik kesimpulan
atau verifikasi.114
Kegiatan utama ketiga dalam analisis data yaitu penarikan
kesimpulan/verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti telah mencatat dan
memberi makna sesuatu yang dilihat atau diwawancarainya. Memo dan
memo telah ditulis, namun kesimpulan akhir masih jauh. Penelitian harus
jujur dan menghindari bias subjektivitas dirinya.115
114 Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., 71
115
Muri Yusuf, op. cit., h. 409
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Abuya KH. Abdurrahman Nawi
1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi
Pada hari Rabu 08 Desember 1920 di Tebet Melayu Besar, lahir seorang
bayi laki-laki dari pasangan H. Nawi bin Su‟iddan dengan „Aini binti Rudin.
Anak kesembilan dari pasangan tersebut diberi nama Abdurrahman. Dia adalah
salah satu dari tiga putra H. Nawi diantara 10 bersaudara.
Tebet saat itu merupakan perkampungan masyarakat Betawi.
Sebagaimana lazimnya masyarakat Betawi yang secara turun temurun fanatik
memeluk Islam dan kuat menjalankan syariatnya, Abdurrahman tumbuh dalam
lingkungan kampung Tebet yang juga sarat dengan nilai-nilai dan budaya
keagamaan. Ada mushalla yang menjadi tempat berkumpul anak-anak untuk
menjalankan shalat lima kali dalam sehari semalam. Di sana juga sering
diadakan pengajian dan perayaan hari-hari besar Islam seperti maulid, isra‟
mi‟raj dan lain-lain. Dalam masyarakat pun acara-acara perkawinan, nujuh
bulan kehamilan, kelahiran anak, kematian dan ngirim arwah selalu di isi
dengan bacaan-bacaan barzanji, shalawat, tahlil, dan membaca Al-qur‟an. Di
samping itu, ada pula ceramah agama dari seorang guru atau ulama yang
dihormati karena penguasaannya yang mumpuni terhadap ajaran-ajaran Islam.
H. Nawi maupun istrinya „Aini bukan seorang tokoh agama bagi
masyarakatnya,juga bukan keturunan dari ulama. Mereka hanyalah seorang
yang taat beragama dan senang kepada ulama. Sehari-hari mereka dikenal
sebagai pedagang nasi ulam di warung pedok. Pada waktu-waktu tertentu H.
Nawi selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian yang diadakan oleh
para ulama dan habib di kampung Melayu atau di kampung Kwitang. Di Tebet
tak ada ulama besar atau habib yang mengadakan pengajian rutin dengan
dihadiri oleh ratusan kaum muslimin dari berbagai kampung Jakarta dan
46
sekitarnya. Juga tidak ada madrasah atau sekolah Islam tingkat dasar sekalipun,
yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak dan remaja. Tempat belajar yang
lazim bagi anak-anak dan remaja kampung saat itu adalah ta‟lim atau pengajian
intensif tentang ilmu agama dan bahasa Arab dengan memakai kitab-kitab
tertentu yang diselenggarakan di rumah guru (mu‟allim). Besar kecilnya ta‟lim
diukur dari materi dan kitab yang diajarkan, yang biasanya sesuai dengan
ke‟aliman (penguasaan) guru terhadap ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
H. Nawi yang pedagang itu mendidik putranya Abdurrahman untuk rajin
shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. Mula-mula
Abdurrahman belajar mengaji dengan guru yang ada di Tebet, yaitu Mu‟allim
Ghazali dan Mu‟allim Syarbini. Di sini ia belajar membaca Al-qur‟an serta
dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan Abdurrahman untuk
mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak yang lain.
Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji serta
memperingatkannya untuk tidak main-main. Dengan dorongan orang tua dan
didikan para gurunya, lama-kelamaan Abdurrahman merasakan nikmatnya
belajar dan hausnya mencari ilmu. Dalam hatinya tumbuh himmah dan ghirah
yang kuat untuk belajar agar mampu menguasai ilmu-ilmu keislaman yang
begitu luas. Gurunya yang lain, KH. Muh. Zain bin Sa‟id, pernah suatu saat
memberinya wejangan, bahwa manusia itu akan dipandang karena 3 hal:
jagoan, kekayaan dan ilmu. Ketika ia ditanya: “kamu mau jadi apa?”, maka
jawabnya spontan “mau menjadi orang yang berilmu”. Lantas sarannya, untuk
itu tak ada jalan lain kecuali kamu harus rajin belajar.
Jadilah Abdurrahman sebagai remaja yang pekerjaannya setiap saat
hanya mengaji dan belajar. Di Tebet saat itu belum ada sekolah. Di Bali
Matraman, beberapa kilometer dari Tebet, ada madrasah Asy-Syafi‟iyyah tapi
hanya tingkat Ibtidaiyyah. Ada madrasah tingkat Tsanawiyyah Jam‟iyyatul
Khaer di Tanah Abang, namun cukup jauh untuk pulang pergi bagi
Abdurrahman menurut ukuran saat itu.
Hal demikian tetap tidak menjadi penghalang bagi Abdurrahman untuk
mewujudkan cita-citanya, menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa Arab maupun
47
pengetahuan umum. Dari pergaulannya sesama teman yang suka mengaji dan
petunjuk guru serta orang tua, dia tidak kehabisan guru di sekitar Tebet yang di
rumahnya membuka pengajian mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa
Arab.
Di Bukit Duri ia belajar mengaji kepada KH. Muhammad Yunus, KH.
Basri Hamdani, KH. Muhammad Ramli dan Habib Abdurrahman As-Segaf.
Dia juga mengaji kepada KH. Muh. Zain, Kebon Kelapa, Tebet, KH. M.
Arsyad bin Musthofa, Gg Pedati, Jatinegara, KH. Mahmud, Pancoran, KH.
Musannif, Menteng Atas, KH. Ahmad Djunaedi, Pedurenan, KH. Abdullah
Husein, Kebon Baru Tebet, KH. Abdullah Syafi‟I, Bali Matraman serta Habib
Husein Al-Haddad, Kampung Melayu. Agak jauh lagi dia juga mengaji kepada
KH. Hasbiyallah, Klender, KH. Mu‟allim, Cipete, KH. Khalid, Pulo Gadung,
Habib Ali Jamlullail dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang,
Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Kebon Nanas, Habib Muhammad bin
Ahmad Al-Haddad, Kramat Jati, Habib Ali bin Husein al-Attas, Kemayoran,
dan Ustadz Abdullah Arifin, di Pekojan.
Meski Abdurrahman Tidak pernah belajar di sekolah maupun di
pesantren, namun dia mengaku cara belajarnya tidak kalah dengan cara belajar
santri di pesantren. Dalam sehari dia biasa mengikuti pengajian di tiga tempat,
yang masing-masing 2 atau 3 mata pelajaran. Sistem belajar yang ia ikuti,
biasanya memakai kitab. guru membaca „ibarah dalam kitab dan
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, kemudian menerangkan
maksud dari „ibarah tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan
mendalam. Tidak jarang seorang guru menyuruh murid untuk membaca,
menanyakan i‟rab, terjemah dan maksudnya kepada murid. Pelajaran tentang
nahwu atau sharaf juga memakai sisem tamrin (latihan) untuk mengetahui
sejauh mana murid memahami setiap materi pelajaran. Kitab-kitab yang
disusun dalam bentuk nadzam (sya‟ir) juga disuruh dihafal oleh setiap murid.
Semangat Abdurrahman memahami dan menguasai pelajaran memang
sangat tinggi. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan guru, dia mencatat
dengan baik apa yang perlu. Setelah pengajian usai, dia pun tidak segan-segan
48
bertanya dan bermusyawarah dengan teman-temannya untuk mengulang dan
mendalami pelajaran yang sudah lewat. Dan dia selalu berusaha memuthala‟ah
(mengulangi) pelajarannya sendiri di rumah bila dia belum menguasai benar
suatu pelajaran. Dia tidak pernah mau ketinggalan dari teman-temannya dalam
menguasai pelajaran. Jika suatu saat dia merasa ketinggalan, maka dia pun
berjanji “awas, tunggu besok, saya pasti kalahkan dia”. Dan, malamnya dia pun
tak mau tidur sebelum benar-benar menguasai pelajaran besok.
Guru-guru di mana Abdurrahman belajar memang mempunyai latar
belakang yang beragam. Ada yang berasal dari pesantren salafiyah, ada pula
yang dari madrasah dan Arab. Maka Abdurrahman selain kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren, dia juga belajar kitab-kitab baru („ashriyyah) yang
diajarkan di madrasah. Dalam ilmu nahwu dan sharaf misalnya selain dia
belajar kitab-kitab Al-jurumiyah, „Imrithy, Kawakib, Ibn „Aqil, Syudzur adz-
Dzahab, Mughnil Labib, dia juga belajar Nahwul Wadhih dan Qawa‟id al-
Lughah al-„Arabiyyah, kitab baru yang dipakai di madrasah. Bahkan ia juga
belajar Balaghah, Badi‟, Ma‟ani, Manthiq serta Nushush Adabiyyah, syi‟ir dan
sastra Arab kepada para Habaib, seperti Habib Abdurrahman As-Segaf, Habib
Husein bin Ali, Habib Abdullah bin Salim Al-Attas dll.
Selain Ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab sebagai ilmu alat benar-benar
dia pelajari dan kuasai dengan baik, Abdurrahman yang mengaku terus belajar
mengaji sampai umur 30-an telah menekuni juga pengajian dalam ilmu-ilmu
Fiqh, Ushul Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits bahkan juga ilmu-ilmu umum. Satu
kitab tidak cukup sekali ia pelajari, tetapi bisa berkali-kali kepada beberapa
orang guru.
Kitab Taqrib, Fathul Mu‟in, Fathul Wahhab, Bughyatul Mustarsyidin,
I‟anatut Thalibin, Asybah wan Nazhair, Tijanud Durar, Jawahir Kalamiyah,
Sanusi, Maraqil „Ubudiyah, Nashaih ad-Diniyah, Ihya „Ulumiddin, Tafsir
Jalalain, Tafsir Munir, Qami‟ut Tughyan, Jawahir Bukhari, Shahih Bukhari
sudah beberapa kali dia pelajari.
Meski pada umur 18 tahun dia sudah menikah, namun kegiatan belajar
tidak terhenti,serta dia juga berdagang untuk mencari nafkah. Orang tuanya
49
yang kemudian hari berdagang emas dan ekonominya berkecukupan juga tetap
membantu kebutuhan belajarnya. Ibunya membantu membelikan kitab-kitab
yang diperlukan, sementara bapaknya membantu kebutuhan-kebutuhan yang
lainnya. Dia percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan doa
hamba-Nya, dan akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan
agama-Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Atas setiap orang
akan diberi pertolongan menuju keahlian/bakat yang diciptakan” (kullun
muyassarun lima khuliqa lahu).
Dengan sistem belajar tidak formal selama kurang lebih 25 tahun itu,
memang dia tidak memperoleh ijazah atau syahadah. Tetapi hasil dari
belajarnya tidak di ingkari telah mencapai tingkat pengajaran yang tinggi
dalam sistem sekolah formal. Karenanya, dia pun akhirnya diakui telah
menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dan syari‟ah yang mumpuni.
Suatu saat, dihadapan ulama besar Kyai Abdurrahman Tua, Kampung
Melayu, Abdurrahman Nawi mengikuti semacam ujian terbuka diikuti oleh
sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Kyai
memanggil satu per satu peserta, kemudian dibukakan kitab tertentu dan
disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi kitab yang lain dan
disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai, Kyai
Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan
lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini
Abdurrahman Nawi merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang
ia pelajari.116
2. Kegiatan di Dunia Dakwah dan Pendidikan
Sebagaimana tradisi masyarakat Betawi, KH. Abdurrahman Nawi yang
oleh para murid dan keluarganya dipanggil dengan “Abuya” ini, pada tahun
1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VI H. Pengajian yang
diberi nama As-Salafi itu mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan
kemampuan dan minat para pesertanya. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu di
116 Kawiyan (ed), Berdakwah Tanpa Kenal Lelah, (Biografi KH. Abdurrahman Nawi), h. 1-3
50
bacakan kitab Taqrib, Tijan Durar, Nashaih Diniyah. Sedangkan untuk
pemuda dan para ustadz di bacakan kitab Qawa‟idul Lughah, Ibnu „Aqil,
Fathul Mu‟in, Bughyah Mustarsyidin, Asybah wan-Nazhair, Qami‟ut Tughyan.
Pesertanya datang dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya, seperti
Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Menteng Dalam, Bukit Duri, Kp. Melayu,
Pancoran, Pangadegan, Tangerang, Bekasi dan terutama pemuda Tebet sendiri.
Melihat perkembangan pengajian yang semakin ramai, pada tahun 1976
di atas tanah milik pribadi dan orang tuanya seluas 360 m2
dibangun gedung
majelis ta‟lim/madrasah 2 lantai dan mushalla. Pada tahun 1979 setelah
bangunan selesai, maka diresmikanlah penggunaannya oleh Dr. KH. Idham
Khalid, dan nama As-Salafi diganti dengan nama „Al-Awwabin‟. Selain untuk
kegiatan pengajian, juga diselenggarakan pendidikan formal Madrasah
Tsanawiyah.
Minat masyarakat untuk belajar kepada Abuya KH. Abdurrahman Nawi
semakin tinggi. Mereka ingin anak-anak mereka bisa nyantri (mukim dan
belajar) di Al-Awwabin. Maka, sekitar tahun 1981/1982 bersama beberapa
tokoh masyarakat, Abuya KH. Abdurrahman Nawi berusaha mencari lokasi
yang mungkin untuk didirikan pesantren, di mana ada madrasah dan asrama.
Akhirnya didapat sebuah lokasi di kampung Sengon, Kel. Pancoran Mas,
Depok I. Mula-mula dibebaskan tanah seluas 4.200 m2. Pada akhir tahun 1982
berhasil didirikan 1 unit gedung sekolah 5 lokal dan 1 unit asrama, dan
diresmikanlah berdirinya pondok pesantren Al-Awwabin di atas lokasi sekitar
8.000 m2. Hingga kini pesantren tersebut telah berhasil membangun 4 unit
gedung sekolah, 1 unit masjid/mushalla, 1 unit aula, 2 unit asrama santri serta 4
rumah pengasuh dan guru. Di sana ada Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah dan
Aliyyah, dengan jumlah murid sekitar 400 anak, 180 di antaranya mukim
(tinggal) di asrama.
Pesantren Al-Awwabin pada tahun 1992 membuka lagi cabang di
Bedahan, Sawangan, Depok di atas tanah seluas 2,5 ha. Di sana juga dibuka
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyyah dengan santri sekitar 160 anak.
51
Tentang pesantren yang didirikan, Abuya KH. Abdurrahman Nawi
bermaksud untuk membina kader-kader muslim yang menguasai ilmu agama
dengan baik, dalam rangka membantu pemerintah dalam bidang pendidikan.
Abuya mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu alat bagi santri-santrinya, yaitu
dengan pengajaran ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab. Maka diluar
kurikulum sekolah yang mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri
yang mukim pada sore dan malam hari diharuskan mengikuti halaqah mengaji
kitab-kitab di bidang nahwu, sharaf, bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist
dan akhlaq. nahwu, sharaf dan bahasa Arab masing-masing diajarkan 4 kali
dalam seminggu. Siswa Tsanawiyah harus hafal 181 kaidah dalam Nahwul
Wadhih, sementara siswa Aliyah mulai belajar Ibnu „Aqil. Abuya sendiri
mengajar pada halaqah 1 kali dalam seminggu, selain dibantu para guru yang
dipercaya.
Dalam mengajar, Abuya memang cukup cermat dan sabar. Dalam setiap
pengajian (majlis ta‟lim) ia hanya mengajar dengan kitab, agar pengajian
terarah Abuya membacakan „ibarah suatu kitab dengan menjelaskan i‟rab
seperlunya, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas,
tidak memakai sistem ‟bermula‟ untuk mubtada, „itu‟ untuk khabar dsb.
Berdasarkan pengalamannya belajar kepada beberapa guru dan merujuk
berbagai macam kitab, Abuya berusaha menyampaikan ilmu secara sederhana
agar mudah ditangkap oleh para muridnya. Abuya juga mampu memberikan
penjelasan-penjelasan yang cukup luas sehingga menjadi mantap dan menarik.
Prinsip Abuya dalam mengajar, biar sedikit asal betul-betul paham dari pada
banyak tapi tak ada yang dipaham. Abuya juga berprinsip bahwa setiap murid
yang belajar sesuatu tentang agama harus mampu mengamalkan ilmunya
dalam sikap dan perilakunya sehari hari.
Dari sini banyak orang yang senang belajar kepada Abuya KH.
Abdurrahman Nawi. Orang yang pernah mengikuti pelajarannya pun tertarik
untuk selalu mengikutinya. Karna itu, di luar pesantren Al-Awwabin, Abuya
mempunyai pengajian rutin di beberapa masjid dan majlis ta‟lim, selain juga
52
mengajar tetap kitab Fathul Mu‟in pada Radio Asy-Syafi‟iyyah sejak tahun
1982. Pengajian tetap yang sampai sekarang masih berjalan antara lain:
a. MT. Al-Awwabin, Tebet Barat, untuk kaum ibu (senin malam), untuk
para guru (sabtu pagi) dan untuk kaum bapak (minggu pagi).
b. MT. Al-Ikhwan, Jl. Tawes, Tebet Barat.
c. MT. Al-Istiqomah, Pondok Kopi, Jakarta Timur.
d. MT. Nurul Iman, Lampiri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
e. MT. Al-Barokah, Pinang Ranti, Jakarta Timur.
f. MT. Darus Shalihin, Kebon Tebu.
g. MT. Baitur Rahmah, Cawang Kapling, Jakrta Timur.
h. MT. Guru Salma, Jatinegara, Jakarta Timur.
i. MT. An-Nur, Bekasi .
j. MT. Tanjung Barat, Jakarta Selatan.
k. MT. Darus Sa‟adah, Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan.
l. MT. Subulus Salam, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pengajian atau ta‟lim tersebut biasanya dilaksanakan sekali seminggu,
ada yang dilakuakan sehabis sholat Shubuh (Tanjung Barat), ada yang di waktu
pagi (07.00-09.00 WIB), ada yang di waktu siang (10.00-12.00 WIB), ada yang
sore hari sehabis sholat „Ashar, dan kebanyakan dilakukan sehabis sholat
Magrib (18.30-19.30 WIB). Setiap pengajian diikuti oleh peserta-peserta yang
tetap, dari kalangan kaum bapak, ustadz dan pemuda, serta sebagian juga ada
kaum ibu. Sebagian besar peserta adalah penduduk asli Betawi, tetapi tidak
sedikit juga orang Sunda, Jawa maupun Sumatra dan Sulawesi.
Selain pengajian yang dilakukan secara tetap, Abuya juga sering di
undang untuk pengajian-pengajian umum diberbagai wilayah seJABOTABEK.
Abuya sejak tahun 1984 juga menjadi salah seorang khatib di masjid
Baiturrahim Istana Negara. Abuya juga pernah dan sebagian masih aktif dalam
kegiatan organisasi dakwah. Sebelum sibuk dalam kegiatan pesantren, Abuya
pernah menjabat sebagai ketua NU Cabang Jakarta Selatan, dan mengikuti
Muktamar NU di Surabaya (1971) serta Muktamar NU di Semarang (1979).
Sejak tahun 1989 menjadi guru tetap pada pengajian bulanan PBNU Jl. Kramat
53
Raya Jakarta. Abuya juga pernah menjabat sebagai kordinator dakwah majlis
ta‟lim pusat umat Islam At-Thohiriyah (1971-1978), dan ketua umum ikatan
majlis ta‟lim kaum bapak (IMTI), Depok (1984-1988).
Yang menjadi kelebihan Abuya KH. Abdurahman Nawi dibandingkan
kyai lain, bahwa dia tidak hanya mengajar dan berdakwah secara langsung,
tetapi juga menulis kitab. Hingga sekarang tercatat ada 12 buah kitab yang
telah ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab, yaitu :
a. Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, tentang sharaf
b. Ilmu Nahwu Melayu, tentang ilmu nahwu
c. Sullamul al‟Ibad, tentang akidah (tauhid)
d. Tujuh Kaifiyat, tuntunan shalat-shalat sunnah
e. Tiga Kaifiyat, tuntunan shalat khusuf dll
f. Mutiara Ramadhan,tuntunan puasa dan ibadah Ramadhan
g. Pedoman Ziarah Kubur
h. Pedoman Penyembelihan Qurban dan Aqiqah
i. Pelajaran Ilmu Tajwid, tentang tajwid
j. Risalah Tahajjud, tuntunan shalat tahajjud
k. Miskatul Anwar Fi Haflati An Nabi Al-Mukhtar, tentang maulid
l. Terjemah Tanqihul Qoul.
Motivasi menulis kitab-kiab tersebut adalah untuk membantu umat Islam
secara luas bagaimana ilmu dan cara menjalankan ibadah-ibadah dengan benar.
Abuya merasa bahwa tidak semua orang bisa membaca dan mempelajari kitab-
kitab fiqh berbahasa Arab, karenanya dia menulis kitab bahasa Melayu yang
disusun dengan cara yang mudah, lengkap dan praktis agar setiap orang mudah
paham dan bisa mengamalkannya. Kitab-kitab yang ditulis memang
kebanyakan tentang tuntutan ibadah praktis selain juga tentang nahwu dan
sharaf. Dan kitab-kitab karangan Abuya KH. Abdurrahman Nawi hingga kini
banyak diminati umat Islam, karena juga dibaca dan diajarkan oleh para
ustadz-ustadzah di wilayah JABOTABEK.117
117 Ibid., h. 4-6
54
3. Paham Keagamaan dan Keahliannya
Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah seorang ulama yang secara jelas
mengikuti paham agama yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu
dalam bidang fiqh mengikuti madzhab Syafi‟i, dalam akidah mengikuti Abul
Hasan Al-Asy‟ari dan dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali. Baginya,
paham yang sering disebut sebagai Ahlussunnah wal Jama‟ah itulah yang telah
diajarkan oleh para ulama pendahulu dan diajarkan melalui kitab-kitab yang
mu‟tabar, tidak diragukan. Abuya menegaskan bahwa kita tidak perlu mencari-
cari model sendiri, tinggal ikut dan mengamalkan. Apalagi bagi orang awam,
masyarakat luas, mereka tak mungkin mencari sendiri paham-paham yang
harus diyakini. Mereka yang tidak tahu bahasa Arab dan tak mampu membaca
kitab-kitab itu perlu mengikuti dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama yang
sudah jadi. Semua yang telah dijalankan dalam masyarakat adalah hasil didikan
para ulama yang harus dijaga dan dilestarikan, tak perlu dirubah-rubah lagi.
Kalau ada hal-hal baru, tugas para ulama adalah untuk mencari dan
merumuskan hukumnya dengan merujuk kepada kitab-kitab yang sudah ada.
Dalam mengajar fiqh, Abuya memakai kitab pegangan Taqrib (Fathul
Qarib) dan Fathul Mu‟in karangan Al-Malibary, dua kitab fiqh yang populer di
kalangan pesantren dan bermadzhab Syafi‟i. Abuya menjelaskan apa yang ada
dalam kitab tersebut secara detail, dan terkadang menambah keterangan dengan
mengacu pada kitab-kitab lain yang sealiran, seperti I‟anatut Thalibin. Dalam
mengajar tauhid, Abuya lebih banyak memakai pegangan kitab Tijan Durar
atau Jawahirul Kalamiyah, kitab tentang tauhid yang mengacu pada aliran
Asy‟ariyah yang banyak diikuti oleh umat Islam Indonesia. Abuya
menekankan pola pemahaman keimanan dengan dasar dalil naqly (Al-qur‟an
dan Hadist) maupun aqly yang lazim dipahami kalangan Ahlussunnah wal
Jama‟ah. Begitu juga dalam tasawuf, Abuya memakai pegangan kitab Maraqil
Ubudiyah atau Nasahaih ad-Diniyah yang mengacu pada ajaran tasawuf Imam
Al-Ghazali.
Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, Abuya Kyai Abdurrahman Nawi
tidak saja mengikuti paham dan aliran dasar yang umum dianut kalangan
55
Ahlussunnah wal Jama‟ah, tetapi mengamalkan berbagai amaliyah keagamaan
yang telah menjadi tradisi dalam mayoritas masyarakat Indonesia, seperti
mengirim doa dan tahlil, membaca Barzanji dan Burdah serta wirid doa-doa
tertentu.
Dalam kitab Mutiara Ramadhan, Abuya bukan saja menjelaskan shalat
tarawih 20 roka‟at, tetapi juga menunjukkan lebih teknis bacaan setiap roka‟at
dalam istilah “Kayfiyah Khatmil Qur‟an” menurut ijazah Habib Husain al-
Haddad. dengan menjelaskan datangnya lailatul qadar bisa dihitung berdasar
hari awal Ramadhan. Abuya juga menunjukkan bacaan-bacaan selingan pada
shalat Tarawih dan Witir dalam bulan Ramadhan. Selain itu Abuya juga
menambahkan beberapa qashidah (syair bahasa Arab) antara lain gubahan
Habib Abdullah bin Husein Thahir serta Habib Ahmad bin Muhammad al-
Muhdhar, yang baik untuk perpisahan langsung oleh guru.
Beberapa kitab Abuya yang lain juga memuat tentang tuntunan amaliyah
keagamaan semacam ini, yaitu Pedoman Ziarah Kubur, Tiga Kayfiyat dan
Tujuh Kayfiyat. Abuya menjelaskan dasar hukum, hikmah/faidah serta tatacara
(syarat dan rukun) dari amaliyah ziarah kubur, beberapa shalat sunnah seperti
shalat Awwabin, Tasbih, Birrul Walidain dll. Amaliyah-amaliyah tersebut oleh
sebagian ulama (kalangan pembaharu) di pertanyakan hukumnya, sementara
dikalangan ulama yang ahli tasawuf merupakan amal keutamaan yang sunnah.
Bagaimana pandangan Abuya terhadap paham dan aliran keagamaan
yang tidak dianutnya? Abuya memandang paham dan aliran keagamaan di luar
Ahlussunnah wal Jama‟ah yang dia ikuti merupakan bagian dari agama Islam
juga. Asal paham dari aliran serta madzhab tersebut tetap bersumber dari Al-
qur‟an dan Sunnah Rasul. Yang penting menurut Abuya, janganlah antara
golongan-golongan itu saling menyalahkan, saling menghina dan melecehkan.
Karena kita semua bersaudara.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi dikenal keahliannya dalam ilmu nahwu
dan sharaf. Dalam mengajarkan ilmu nahwu untuk kalangan khusus para guru
(ustadz) atau santri senior biasanya dia memakai kitab pegangan Ibnu‟Aqil,
syarah Alfiyah Ibnu Malik, kitab yang tinggi dan mendalam dalam ilmu nahwu.
56
Tetapi dalam menjelaskan suatu masalah, Abuya tidak hanya mengacu pada
salah satu kitab, tetapi menjelaskannya dengan uraian yang luas dan lengkap,
baik berdasar kitab-kitab salaf maupun yang baru seperti Syudzurudz Dzahab,
Mughnil Labib, Nahwul Wadhih dan Qawa‟idul Lughah. Untuk para murid
yang pemula dia akan menyajikan pelajaran dengan sistematikanya sendiri
yang dipandang lebih praktis, yang diambil dari penguasaannya terhadap kitab-
kitab tersebut. Bahkan untuk mereka, pada tahun 1960 Buya telah menulis
kitab khusus berjudul Ilmu Nahwu Melayu. Dan selain penguasaan terhadap
ilmu nahwu dan sharaf yang bersifat teoritis, Abuya juga banyak
mendalaminya dalam penguasaan bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan.
Bahkan Abuya juga banyak menguasai syi‟ir (nushush adabiyah) yang sering
menghiasi pembicaraan dan pengajarannya. Keahliannya dalam bidang ini
dibuktikan pula dengan ditunjuknya Abuya sebagai pengajar ilmu nahwu dan
sharaf dalam Ma‟had „Aly Darul Arqom Perguruan Asy-Syafi‟iyyah,
Jatiwaringin, tahun 1983-1985.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi juga dikenal sebagai ahli di bidang fiqh,
sebagaimana terlihat dari semua pengajiannya mengkaji fiqh, di samping
tauhid dan tasawuf. Sebagaimana disebut di atas, dia sejak 1982 mengajar
Fathul Mu‟in dalam ta‟lim angkasa radio Asy-Syafi‟iyyah, Jakarta.118
B. Pondok Pesantren Al-Awwabin
1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Awwabin
Pada tahun 1962, Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengadakan pengajian
kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat diruang paviliun
rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah dengan harapan para jama‟ah
dapat mengikuti jejak salafus shaleh (orang-orang terdahulu yang shaleh) dan
pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang sekarang Tebet Barat VI H,
Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti oleh banyak kalangan, mulai dari
orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang datang dari berbagai tempat,
diantarnya: Kebayaoran Lama, Kebayoran Baru, Kebon Baru, Pengadegan,
118 Ibid., h. 6-8
57
Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah, Bekasi, dan para pemuda
setempat.
Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka kian terus berkembang
hingga pada tahun 1976 Abuya telah mampu membuka cabang-cabangnya
diberbagai tempat, baik itu di mushola-mushola atupun di masjid-masjid yang
mendapat dukungan dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun,
yang namanya perjuangan tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis
ta‟lim yang beliau bina tersebut mengalami pasang surut,dan memang sudah
menjadi sunnatullah.
Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan
pendidikan formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan
dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada
tahun 1976 Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim
dan kenalan dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat
di atas tanah milik pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H,
Jakarta Selatan dengan luas tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling
mushola yang meupakan wakaf dari almarhum orang tua beliau.
Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah
bangunan itu oleh KH. Idham Chalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan
peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada
tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980.
Kemudian dari tahun ke tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga
sampai tahun 1982/1983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat
mukin di pesantren Al-Awwabin Tebet, Sedangkan kapasitas tempat yang ada
tidak menampung dan dilahan sekitarnya telah padat ditempati rumah-rumah
penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi disekitar pesantren Al-
Awwabin Tebet. Maka dengan demikian terpaksa Abuya KH. Abdurrahman
Nawi mengambil kebijaksanaan untuk mencari lokasi yang tepat bagi
pendidikan. Maka dengan izin Allah, Abuya sebagai pimpinan umum pondok
pesantren Al-Awwabin mendapatkan lokasi yang tepat dan beliau
membebaskan sebidang tanah yang terletak di kampung. Sengon, Kelurahan
58
Pancoran Mas, Depok yang dijadikan cabang pondok pesantren Al-Awwabin I
dengan luas tanah sekitar 4200m2 dengan harga Rp.20.000/m
2.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di daerah
Depok mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga pendidikan Islam
apalagi pondok pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan Islam khususnya
pondok pesantren sangat di butuhkan sekali oleh kaum muslimin untuk
memberantas kebodohan dan mempersiapkan generasi Islam yang memahami
serta menggali hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning.
Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama yang
disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan
para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah
selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat itu pula diresmikan oleh
KH. Idham Chalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan
kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun
1983/1984 mulai menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah
(MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim). Pondok
pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok
untuk wilayah Pancoran Mas.
Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang.
Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga
sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV MI. Asal usul
santri pondok pesantren berasal dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan,
Padang, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok
pesantren itu sendiri.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi bercita-cita ingin mengembangkan
pesantren dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dengan
tujuan memelihara syiar Islam. Perkembangan selanjutnya, Abuya
mengembangkan dakwah beliau dengan mendirikan pondok pesantren yang
masih satu kota/wilayah Depok, yaitu di Jalan H. Sulaiman No. 12 desa Perigi,
Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Awal sejarahnya bermula
ketika beliau ingin mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin cabang II di
59
daerah Sasak Panjang, Bojong Gede, Bogor (5 km dari Bedahan). Karena di
Sasak Panjang sudah ada pondok pesantren yang didirikan oleh H. Jaini,
akhirnya Abuya KH. Abdurrahman Nawi mencari tempat yang lain dengan
maksud melebarkan dakwah Islam. Setelah beliau mencari-cari lokasi,
akhirnya beliau mendapatkan lahan untuk membangun pondoknya di desa
Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Beliau
membebaskan tanah tersebut pada tahun 1989 seluas 1600 m2 dan kemudian
berkembang sampai sekarang manjadi seluas 2,5 ha.
Pada tahun 1989 pesantren Al-Awwabin mulai membangun sekolah dan
asrama. Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada tahun 1993 untuk tingkat
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) juga mukim (bagi
para santri yang mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin II cabang Bedahan,
diperuntukan bagi santriwati saja, dan pembangunan pesantren ini akan terus
dikembangkan. Harapan Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah semoga
pondok pesantren Al-Awwabin akan terus melebarkan sayapnya dengan
membuka pondok pesantren di berbagai tempat dan wilayah untuk memelihara
syiar Islam. Sejak saat itulah kegiatan kepesantrenan berjalan secara rutin.
Adapun kegiatan rutin di pesantren tersebut bertujuan untuk membentuk
pribadi santri yang memiliki kecakapan mental, spiritual dan intelektual.
Di samping itu juga kegiatan rutin tersebut membekali para santri dengan
beberapa keterampilan baik dalam bidang teknologi, keorganisaasian dan
ketangkasan dalam menyampaikan gagasan dimuka umum yang semuanya itu
dibutuhkan kelak ketika terjun kedalam masyarakat. Dimana dengan harapan
bagi santri dikemudian hari menjadi kader-kader dakwah di tengah-tengah
masyarakat yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan peran Abuya
dalam syiar Islam.
2. Struktur Organisasi
Struktur organisasi atau struktur kepengurusan di pondok pesantren Al-
Awwabin adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan umum : Abuya KH. Abdurrahman Nawi
b. Wakil pimpinan umum : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar
60
c. Sekretaris : Ustz. Hj. Zakiyah
d. Bendahara : Ustz. Hj. Busyroh
e. Pimpinan bidang pendidikan : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar
f. Pimpinan bidang pesantren I : Ust. Drs. H.Fatchurrahman, MA
g. Pimpinan bidang pesantren II : Ustz. Diana Rahman
Stuktur organisasi dan pengurusan pondok pesantren Al-Awwabin dari
dulu hingga sekarang tidak ada batas waktu penjabatan jadi tetap sama
pemegang jabatannya.
3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin
a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin
Visi dari pondok pesantren Al-Awwabin adalah menjadi pondok
pesantren progresif dan berkualitas dambaan umat pilihan masyarakat. Hal
ini dikarenakan pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok
pesantren progresif dalam arti pondok pesantren yang berkelanjutan untuk
memberikan pola pendidikan agama maupun umum yang berlandaskan
IMTAQ (iman dan takwa).
b. Misi Pondok pesantren Al-Awwabin
Misi dari pondok pesantren Al-awwabin itu sendiri antara lain:
1) Pola pendidikan yang Islami.
2) Ikut memperoses dalam meningkatkan jumlah ragam spesialis
keilmuan, institut-institut sosial dan fungsional antar lain: penguasan
bahasa Arab, penguasan metode dakwah, penguasaan ilmu-ilmu
agama, penguasaan ilmu-ilmu sosial.
3) Menyiapkan generasi Islam yang bewawasanIPTEKberlandaskan
IMTAQ dan membentuk generasi Islam yang aktif, kreatif, dan
inovatif.
4) Menumbuh kembangkan semangat berprestasi baik dalam bidang
akademis maupun non-akademis.119
119 Profil Pondok Pesantren Al-Awwabin(Depok: Pondok Pesantren Al-Awwabin).
61
C. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi
Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan tarap hidup
dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan
masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu
selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun hampir tidak pernah absen
di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materil.
Dengan adanya pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial
keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber
rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah
barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan
tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut,
karena watak pimpinan keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqih
oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau
salah-benar menuntut hukum Islam.120
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat
pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara
kultural dari misi utama pesantren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam
bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini
sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat
belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi
yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Perbedaan watak antara pendidikan non formal (pesantren) dan formal
(sekolah) terlihat secara jelas. Diantara yang menonjol adalah Pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah, sebagai lembaga sosial
sebagai gerakan kebudayaan.
Pesantren di samping merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, ia
sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren mengacu pada
pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses belajar para santri
berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran, dan keagungan Allah SWT dan
120 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 350
62
akhlaq karimah yang terkait secara dialektis, kohesif dan terus menerus dengan
seluruh mekanisme belajar para santri.
Peran Abuya di pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang dapat dilihat
dalam dua bentuk, yang pertama adalah dalam bentuk kelembagaan dan yang
kedua adalah dalam bentuk ide serta gagasan beliau yang berkaitan dengan
pengembangan pendidikan Islam. Semua ini adalah bukti baku peran Abuya
dalam mengembangkan pendidikan Islam dan sebagai wadah untuk menyalurkan,
merealisasikan ide dan gagasan beliau yang akan dibahas dibawah ini serta
sebagai bukti kecerdasan beliau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
keseimbangan pendidikan, karena dua lembaga tersebut mempunyai perbedaan
yang amat jelas dan keduanya dibutuhkan oleh masyarakat.
1. Kelembagaan
Dalam kelembagaan ini Abuya menjadi seorang pendiri sekaligus
pimpinan umum di pondok pesantren Al-Awwabin Depok, dan dalam
mengembangkan pendidikan Islam ini Abuya telah mendirikan dua buah
lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun
lembaga pendidikan non formal (pondok).
a. Lembaga Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal yang diadakan di pondok pesantren Al-
Awwabin I oleh Abuya mulai dari tingkat MI (Madsarah Ibtidaiyyah),
MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Berbeda
halnya dengan Al-Awwabin I, Al-Awwabin II selaku cabang hanya
menyediakan jenjang pendidikan dari tingkat MTs hingga MA.
Al-Awwabin I sebagai pusat bertempat di Jl. Raya Sawangan No. 21
Kecamatan Pancoran Mas, kota Depok, sedangkan Al-Awwabin II yang
merupakan cabang dari Al-Awwabin I bertempat di Jl. H. Sulaiman No.
12 Kecamatan Sawangan, kota Depok.
Berikut daftar siswa yang menuntut ilmu di pondok pesantren Al-
Awwabin:
63
Tabel 4.1
Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I Tahun 2016/2017
No. Kelas Jumlah Siswa
1. I 9
2. II 23
3. III 23
4. IV 12
5. V 25
6. VI 19
Jumlah Seluruh Siswa 109
No. Kelas Rombel Laki-laki Perempuan Jumlah
1. VII 2 23 35 58
2. VIII 2 27 22 49
3. IX 2 38 22 60
4. X 2 25 20 45
5. XI 2 24 28 52
6. XII 1 38
Jumlah Seluruh Siswa 302
Sumber: Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas terjadi perbedaan jumlah siswa antara kelas satu dengan kelas yang lainnya hal
ini terjadi karena mereka berada di dalam tingkatan kelas yang berbeda, dan mereka masuk ke
pondok pesantren Al-Awwabin untuk menuntut ilmu pada tahun ajaran yang berbeda pula. Untuk
kelas 1-6 diperuntukkan untuk tingkat MI, untuk kelas 7-9 diperuntukkan tingkat MTs, dan kelas
10-12 diperuntukkan untuk tingkat MA.
64
Tabel 4.2
Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II Tahun 2016/2017
No. Kelas Rombel Perempuan Jumlah
1. VII 1 27 27
2. VIII 1 25 25
3. IX 1 42 42
4. X 1 25 25
5. XI 1 25 25
6. XII 1 23 23
Jumlah Seluruh Siswa 167
Sumber: Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas terjadi perbedaan jumlah siswa antara kelas satu dengan kelas yang lainnya hal
ini terjadi karena mereka berada di dalam tingkatan kelas yang berbeda, dan mereka masuk ke
pondok pesantren Al-Awwabin untuk menuntut ilmu pada tahun ajaran yang berbeda pula.
Pemisahan kelas antara laki-laki dengan perempuan ini bertujuan
untuk pembelajaran kepada para murid agar mereka tidak berbicara atau
bercengkrama dengan lawan jenis yang bukan mahromnya, hal ini
dilakukan agar terbiasa sedari kecil untuk tidak memiliki kedekatan yang
lebih kepada lawan jenis yang bukan mahromnya (pacaran), dan agar
mereka lebih fokus dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh para
guru. Sedangkan di sekolah Al-Awwabin II hanya diprioritaskan untuk
perempuan saja.
Pada tahun 1999 MTs Al-Awwabin mendapat predikat
DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah
menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin
meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk
tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012
mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh
65
sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah,diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13.
Di sekolah ini selain disediakan untuk para murid yang bermukim
(santri), tetapi disediakan pula untuk mereka para murid yang pulang
pergi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar murid yang pulang pergi
pun dapat mempelajari pelajaran agama Islam secara baik, dengan
diiringi materi pelajaran agama yang lengkap. Salah satu program
keislaman yang dimasukkan dalam mata pelajaran adalah ilmu nahwu.
Ilmu nahwu menjadi salah satu muatan lokal untuk setiap tingkatan kelas
baik MTs, maupun MA.
Sarana dan prasarana di sekolah ini sudah terbilang lengkap, seperti
adanya lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan, tempat ibadah,
tempat olah raga, dan ruang OSIS. Ekstrakulikuler yang ditawarkan
sekolah pun cukup menarik minat para murid, seperti: drum band,
marawis, pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca
tulis qur‟an), bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi. Hal ini
diadakan demi mengasah kreatifitas serta keaktifan murid dan juga
sebagai sarana untuk mencari bakat yang dimiliki para murid.121
b. Lembaga Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal yang dibentuk Abuya yakni dengan
mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin yang beliau pimpin sendiri,
adapun kegiatan belajar mengajar yang beliau lakukan di pesantren ini
diselenggarakan setiap hari, kecuali pada waktu tertentu ketika kegiatan
belajar mengajar itu berada di luar kegiatan pesantren. Waktu-waktu
yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan belajar ini yakni
seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15, dilanjutkan
sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir pada malam
hari pukul 19.00 sampai 20.15.
121 Abdul Syukur, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Wawancara Pribadi, 11
Oktober 2016.
66
Untuk pendidikan pesantren Abuya mengklasifikasi kitab untuk para
santri sesuai dengan tingkat kemampuan dan kelas mereka. Adapun
pembagian tingkatan kelas ini Abuya mengadopsi sistem yang berada di
pendidikan formal yakni:
1) Tingkatan Ula (MI)
Untuk tingkat ini belum begitu banyak diberikan materi kitab
yang sulit, mengingat usia pada tingkatan ini masih terbilang usia
anak-anak yang masih ingin bermain. Dalam mensiasati hal
demikian Abuya lebih menekankan mereka untuk menghafal
tidak dengan memberikan pelajaran-pelajaran yang sulit untuk
mereka serap.Karena menurut Abuya usia seperti ini adalah usia
emas untuk menghafal pelajaran dengan harapan apa yang telah
mereka hafal pada tingkatan Ula ini terus mereka ingat hingga
mereka dewasa. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari
pada tingkatan Ula ini sebagai berikut:
Tabel 4.3
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Qur‟an Tahfidz Mahfuzhat Tahfidz Al-Qur‟an
Selasa Tahfidz Qur‟an Khot Fiqih
Rabu Tahfidz Qur‟an Tahfidz Mahfuzhat Ubudiyyah
Kamis Mahfuzhat Tahfidz Sharaf Yasin & Tahlil
Jumat Tauhid Tahfidz Mahfuzhat Al-Qur‟an
Sabtu Tahfidz Qur‟an Al-Qur‟an Muhadhoroh
Minggu Bhs. Arab Tahfidz Sharaf Tajwid
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
67
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
2) Tingkatan Wustho (MTs)
Pada tingkatan ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
Fashlul Awwal (1 MTs), Fashlul Tsani (2 MTs), dan Fashlul
Tsalis (3 MTs). Mata pelajaran yang diajarkan pun berbeda sesuai
dengan tingkatan kelas mereka.
Pada Fashlul Awwal, sistem kitab yang diberikan masih
menggunakan kitab yang berharokat/bersyakal yang dibacakan
dan diartikan oleh para guru yang mengajar. Santri hanya
menyimak dan mencatat apa yang telah disampaikan guru serta
menghafal beberapa kitab yang menjadi dasar dalam
pengembangan kitab selanjutnya. Adapun daftar rincian pelajaran
yang dipelajari pada Fashlul Awwal ini sebagai berikut:
Tabel 4.4
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Tauhid & Akhlaq Tahfidz Qur‟an
Selasa Tahfidz nahwul Wadhi Mattan Safinah Tahfidz Mahfudzat
Rabu Nahwu Melayu Khulasoh Tahfidz Mahfudzat
Kamis Tahfidz Qur‟an Akhlaq Yasin & Ratib
Jumat Khot Bhs.arab Sharaf
Sabtu Bhs.arab Ubudiyah Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
68
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
Kemudian pada Faslul Tsani, mulai dikenalkan pelajaran
kitab-kitab nahwu dan sharaf sebagai dasar tata cara membaca
kitab yang berbahasa Arab. Mengingat bahwa sumber ilmu Islam
berpacu kepada Al-qur‟an dan hadits yang tidak mungkin
dipahami kecuali dengan bekal kedua cabang ilmu tersebut.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Tsani ini sebagai berikut:
Tabel 4.5
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs Tahun 2016/2017
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Khulasoh Tahfidz Qur‟an
Selasa Tasrif Mahfudzat Sharaf
Rabu Tauhid & Akhlaq Nahwul Wadhi Qiroatul Qur‟an
Kamis Jurumiyah Mattan Safinah Yasin & Ratib
Jumat I‟rob Akhlak & Tauhid Bhs.arab
Sabtu Tahfidz mahufdzat Mattan Jurumiyyah Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
69
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
Selanjutnya pada tingkatan wusto yang terakhir yaitu Faslul
Tsalis, sudah mulai menggunakan sebagian kitab klasik tanpa
harokat. Kemudian pada saat proses pembelajarannya pun santri
sudah sedikit-sedikit menerapkan teori ilmu nahwu dan sharaf
yang mereka sudah pelajari dan mereka hafal di kelas
sebelumnya. Dengan cara memberi syakal sendiri pada kitab
mereka kemudian belajar menjelaskan hukum pada baris kalimat
menurut kaidah ilmu nahwu dan sharaf.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Tsalis ini sebagai berikut:
Tabel 4.6
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tauhid &Akhlaq I‟rob & I‟lal Tahfidz Qur‟an
Selasa Nadzom Imriti Nahwul Wadhi Nahwul Wadhi
Rabu Muhktasor Jiddan Khulasoh Tahfidz Qur‟an
Kamis Tasrif Khat Yasin & Ratib
Jumat I‟lal & I‟rob Lughotu Takotub Tahfidz Nahwul Wadhi
Sabtu Kaylani & Tahfidz Imriti Safinah & Imriti Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian
mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
70
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
3) Tingkatan Ulya (MA)
Pada tingkatan ini pun dibagi kedalam tiga kelas sama halnya
dengan tingkat Wusto, perbedaannya yaitu kelas pada tingkat ini
adalah kelas lanjutan dari tingkatan sebelumnya, yakni Fashlul
Robi‟ (1 MA), Fashlul Khomis (2 MA), dan Fashlul Sadis (3
MA). Jadi apabila ada santri yang baru masuk kelas 1 MA di
sekolah tidak bisa mengikuti pelajaran yang ada di kelas 1 MA
dalam pengajian. Akan tetapi diadakan tes terlebih dahulu demi
kesamarataan kompetensi yang dimiliki santri, jika memang santri
baru ini belum mempunyai bekal sama sekali, mereka pun wajib
mengikuti kelas dasar yaitu Fashlul Awwal.
Pada Fashlul Robi‟, proses pembelajarannya sudah banyak
menggunakan kitab tanpa harokat. Para santri pun diharapkan
sudah mampu mengetahui kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharaf
dalam membaca dan menterjemahkan kitab mereka.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Robi‟ ini sebagai berikut:
Tabel 4.7
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin I‟lal & I‟rob Kawakib Qiroah Arrasidah
Selasa Kaylani Nahwul Wadhi & Tijan Tahfidz Lubabul Hadits
Rabu Annasoih Mattan takrib Akhlaq
Kamis Muhktasar Jiddan Muhktasar Jiddan Yasin & Ratib
Jumat Tanqihul Qoul Khulasoh Khat
Sabtu Kaylani Tahfidz Jurumiyah Muhadoroh
71
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
Selanjutnya pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis, kitab
yang digunakan sudah pengembangan dari kitab-kitab
sebelumnya serta mengkaji cabang ilmu yang tidak ada pada
kelas sebelumnya dengan maksud mengenalkan bukan
menguasai. Dengan bermodalkan pengetahuan ilmu alat yang
cukup mumpuni, maka tak begitu sulit bagi para santri Fashlul
Khomis dan Fashlul Sadis untuk menelaah ilmu yang berada di
dalam kitab yang mereka pelajari. Serta pada tahapan ini, santri
dapat belajar langsung dengan Abuya KH. Abdurrahman Nawi
sebagai guru besar pondok pesantren Al-Awwabin. Dengan cara
santri membaca kitab mereka secara mandiri yang dibimbing oleh
Abuya.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Khomis dan Fashlul Sadis ini sebagai berikut:
Tabel 4.8
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Bulughul Maram Tijan Tahfidz Nahwul Wadhi
Selasa Qiroah Arrasidah Fathul Qorib Mudzakaroh
72
Rabu Diniyah Mabadi Awwaliyah Nurul Yaqin
Kamis Fathul muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Ratib
Jumat Tahfidz Al-fiyah Tafsir Khat
Sabtu Balagoh Tasrif Muhadoroh
Minggu At-tibbyan Qowaid Nahwiyah Tajwid
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
Tabel 4.9
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA Tahun 2016/2017
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Bulugul Marom Mantiq Tahfidz Jurumiyyah
Selasa Minhatul Mugits Muhktasor Jiddan Tahfidz Al-fiyyah
Rabu Ta‟limu taallim Bulugul Marom Husunul Hamidiyah
Kamis Fathul Muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Tahlil
Jumat Mabadi Awwaliyah Tafsir Khat
Sabtu Tasrif At-tibyan Muhadoroh
Minggu IlmuArud Qowaid Nahwiyah Al-Qur‟an
Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.
Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal,
yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di
kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata
pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan
Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh
73
ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad
membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat
akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.
Daftar pelajaran diatas menunjukkan bahwasanya Abuya KH.
Abdurrahman Nawi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan
pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok, dengan meletakan
pelajaran sesuai dengan porsi tingkat perkembangan dan kemampuan
para santri, hal ini dapat membantu dan memudahkan para santri dalam
mengetahui ilmu keislaman secara bertahap.122
2. Ide dan Gasasan
Dalam mengembangkan pendidikan Islam, tentunya diperlukan sebuah
visi dan misi yang melahirkan beberapa ide dan gagasan agar pendidikan
Islam semakin maju dan tujuan pendidikan Islam terealisasikan dengan baik.
Dengan adanya pola pengembangan tersebut, santri tidak hanya paham akan
ilmu agama, melainkan santri juga memiliki keterampilan yang apik.
Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan yang bernuansa Islami
karena para santri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan peran
mereka dalam dunia dakwah, melainkan santri juga mampu bertahan hidup di
dalam arus tuntutan zaman. Ide dan gagasan beliau tersebut adalah bukti
bahwa beliau menyadari bahwa pesantren adalah miniatur dari kehidupan
kecil bagi kehidupan bermasyarakat secara luas. Ide dan gagasan Abuya KH.
Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam ini antara lain:
a. Membentuk Organisasi Santri
Yaitu dengan membentuk organisasi santri seperti IKSAD dan
OPPTA. IKSAD (Ikatan Santri Al-Awwabin Depok) dan OPPTA
(Organisasi Perempuan Pesantren Terpadu Al-Awwabin) ini dibentuk
pada tahun 1993 dengan tujuan untuk melatih para santri dalam
bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan yang lainnya dan melatih
mereka dalam menyelesaikan masalah. Adapun Visi dan Misinya adalah
122 Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara Pribadi, 01
Oktober 2016.
74
sebagai organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan potensi, bakat,
dan minat santri Al-Awwabin, sehingga pada gilirannya mampu
melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan dan kemajuan pondok
pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Berikut
merupakan struktural organisasi IKSAD dan OPPTA:
IKSAD Masa Abdi 2016-2017
Ketua : Muhammad Adam Kholid
Wakil Ketua : Ahmad Hudzaifi Adnan
Sekretaris : Nur Akbaruddin Aziz
Bendahara : Muhammad Maula Rahman
Seksi Pendidikan : Erri Luthfi T.W
Seksi Dakwah : M. Wildan Hadziq
Seksi Kesenian : M. Dimas Sholahuddin
Seksi Kesehatan : Wisnu Hariyadi
Seksi Keamanan : Syukri Ramadhani
Seksi Humas& Keperpustakaan : Miftah Sururi
Seksi Ubudiyah : Subhan Muyassir
Seksi Kebersihan : Ujang Afan Maulana
Seksi Olahraga : Ghazy Muhammad Syamil
OPPTA Masa Abdi 2016-2017
Ketua : Rizka Amelia
Wakil Ketua : Annisa Trimelinda
Sekretaris : Siti Sarah Chairunnida
Bendahara : Nur Khofifah
Seksi Pendidikan : Sahlatul Ula
Seksi Dakwah : Qhotrun Nada
Seksi Keamanan : Tsubaitul Fitria
Seksi Olahraga : Karimah Vie H
Seksi Humas : Catur Amelia K
Seksi Ubudiyah : Khoirunnisa
75
Seksi Kebersihan : Nurul Apriyani
Sedangkan untuk para alumni Abuya pun membentuk organisasi
yang diberi nama IKAAD. IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok)
ini didirikan pada tahun 2003 dengan tujuan sebagai wadah untuk
menjalin interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren Al-
Awwabin, hal ini dilakukan untuk memperkuat hubungan antara murid
dan guru. Adapun struktural organisasi IKAAD sebagai berikut:
IKAAD Masa Abdi 2014-2017
Ketua : Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I
Wakil Ketua : Ust. Abdurrahman, S.pd
Sekretaris : Ahmad Munir, S.Sy
: Yuda Narito
Bendahara : Faizah Salsabila
: Qurrotul Uyun
Divisi Kaderisasi : M. Haidir Al-karomi
Divisi Litbang dan Intelektual : Zaim Najibuddin Rahman
Divisi Humas : Agus Khairuddin, S.Ag
Divisi Ekonomi : Lukman Hakim
Divisi Pengembangan Minat,
Bakat & Hobi Alumni : Charry Dwi Manfaat
Program-program IKAAD yang telah diadakan pun cukup menarik
perhatian alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum,
diantaranya seperti: mengadakan pengajian alumni mingguan yang
dipimpin oleh musyrif (lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA.,
mengadakan penngajian bulanan alumni yang dipimpin langsung oleh
Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta guru-guru yang lain, mengadakan
acara tahunan yang dilakukan secara rutin yaitu santunan yatim dan
muharroman untuk para santri, mengadakan pelatihan perhitungan awal
bulan hijriah serta pengijazahan hadits musalsal yang di pimpin oleh
Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA. Hal ini bertujuan untuk mewadahi para
76
alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum untuk meneruskan
pendidikan agama dan mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah
yang sangat dijunjung oleh beliau.123
b. Mendirikan Saluran Radio Islam
Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang
sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau
berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan
membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa
diakses oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini
merupakan bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta
memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat.
Saluran radio ini diberi nama RIDA FM (Radio Islamic Dakwah Al-
Awwabin) dengan gelombang 98,5 FM sebagai sarana penyiaran dakwah
Islam. Rida ini dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil
dari bahasa Arab yang berarti, “selendang”. Selendang ini memiliki
beberapa fungsi diantara mampu menutupi serta melindungi tubuh kita
ketika kondisi panas maupun hujan, dan mampu memperindah diri kita
dalam berbusana. Begitu pun yang diharapkan oleh Abuya, semoga
RIDA FM menjadi benteng akidah yang mampu membekali dan
menangkal paham-paham yang melenceng untuk umat Islam.
Di dalam membangun RIDA ini, niat Abuya murni untuk
menyebarkan agama Islam lebih jauh lagi sehingga mereka yang berada
diplosok pun mampu mengkaji tentang agama Islam lewat saluran radio.
Hal ini dibuktikan dengan tiadanya iklan komersil yang diselipkan di
radio ini, yang ada hanya pengajian santri yang di pimpin langsung oleh
Abuya dan guru-guru lainnya, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah
agama yang mampu mengejukkan hati.
Adanya saluran radio ini pun dapat dimanfaatkan untuk melatih
kemampuan para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
123 Zulcham Mushlihun, Pembina IKSAD, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2016.
77
baik kepada orang lain agar mereka terbiasa menggunakan tata bahasa
yang sopan dan teratur serta memberikan pengalaman kepada para santri
tentang dunia penyiaran.
Respon masyarakat pun sangat baik mengingat sudah sangat sedikit
media yang mensyiarkan agama Islam dengan seutuhnya pada saat ini.
Program-program yang diadakan RIDA ini mampu mencuri hati para
penikmatnya, seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan,
silaturahmi rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke
para wali nusantara, serta pengajian subuh gabungan.124
c. Mengasah Bakat Santri
Dalam mengasah bakat para santri ini, Abuya memfasilitasinya
dengan mengadakan kesenian marawis, hadroh, qosidah rebana, tari
saman, seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Manfaat dari pengasahan
bakat ini adalah agar santri memiliki ragam kesibukan, tentu kesibukan
yang dimaksud disini adalah agar santri memiliki ragam kegiatan yang
bermanfaat, mengingat banyaknya kenakalan yang dilakukan remaja
serta bosannya mereka dalam belajar menjadi salah satu penyebabnya
adalah kurang terkontrolnya waktu luang mereka sehingga mereka
memanfaatkan waktu luang tersebut untuk kegiatan yang kurang
bermanfaat.
Berbeda dengan program kegiatan-kegiatan yang lain, program
kegiatan tahsin Al-qur‟an terbilang program baru. Program ini pertama
kali diadakan pada tahun 2011 dan masih terlaksana hingga sekarang.
Hal ini diadakan untuk membekali santri dengan bacaan Al-qur‟an yang
bagus sehingga seminimal-minimalnya mereka mampu mengajarkan Al-
qur‟an bahkan mampu mendirikan semacam TPA. Selain itu agar
membiasakan para santri untuk membaca Al-qur‟an dengan tajwid dan
makharijul huruf yang benar. Sebagaimana sesuai dengan firman Allah
SWT:
124 Abdul Rasid, Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM, Wawancara Pribadi, 06 Oktober
2016.
78
(٤)امل زم ل:لي ت ر ت آن ر ق ال ل ت ر و
Artinya: “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. (Q.S.
Al-Muzammil:4)
Pengasahan bakat ini perlu digali agar santri mampu
mengembangkan potensi yang mereka miliki. Usaha lain yang dilakukan
Abuya dalam pengasahan bakat ini adalah mengikut sertakan para santri
dalam berbagai macam lomba. Salah satunya adalah lomba festival
marawis, terbukti para santri pun mampu menjuarai lomba ini
diantaranya:
1) Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun
Nada pada tahun 2008.
2) Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam
Annuriyah pada tahun 2006.
3) Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB
Universitas Indonesia.
4) Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada
tahun 1425 H.
5) Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA
FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006.
6) Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren Al-
Hidayah pada tahun 2005.
7) Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang
sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007.
8) Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo
CUP pekan nasional, pada tahun 2006.
9) Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok,
pada tahun 2006.
10) Juara 1 festival marawis se-JABODETABEK di Blok M, pada
tahun 2009.
79
Manfaat dari mengikut sertakan para santri adalah untuk memotivasi
dan memberikan semangat berkompetisi yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Hal ini menunjukkan bahwa peran Abuya dalam mengasah serta
mengembangkan bakat keterampilan santri amatlah baik, karena Islam
tidak hanya mengajarkan tentang agama saja, tetapi juga tentang seni dan
keterampilan.125
d. Menekankan Pemahaman Kitab Kuning
Dalam menekankan pemahaman kitab kuning Abuya memfasilitasi
para santri dengan mengintruksikan kepada para guru serta pengabdi
untuk memberikan jam tambahan. Jam tambahan yang dimaksud adalah
memberikan pengajian diluar jadwal pengajian yang sudah terjadwalkan
untuk kelas masing-masing.
Kitab yang digunakan dalam pengajian tambahan ini pun sesuai
dengan kemauan dan kebutuhan para santri. Jadi santri secara kolektif
membagi kelompok masing-masing untuk memilih kitab yang mereka
inginkan. Hal ini didasari karena melihat bahwa ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang tidak dapat berkembang kecuali dengan
mengulang-ngulang (muroja‟ah) dan mendiskusikannya kembali
(muthola‟ah).
Berkenaan dengan hal tersebut Abuya sering kali memberikan
motivasi kepada santri dengan mengutip perkataan ulama yaitu:
أ ل ف ،السب ق ح ر ف ر ار الت ك
Artinya: “Belajar satu kali, mengulang-ngulang seribu kali”.
Bukan hanya dengan memberikan pengajian tambahan, penekanan
akan pemahaman kitab pun dilakukan dengan cara mewajibkan para
santri menghafal beberapa kitab tertentu yang telah dipilih oleh Abuya,
diantara:
125 Ahmad Hafidz Kamil, Guru Pesantren Al-Awwabin Depok, Wawancara Pribadi, 16
Oktober 2016.
80
1) Fashlul Awwal:
a) Menghafal 60 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih
b) Menghafal 100 hadits dalam kitab Mahfuzhat
c) Menghafal surah-surah yang berada pada juz 30 Al-qur‟an
2) Fashlul Tsani:
a) Menghafal 90 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih
b) Menghafal 150 hadits dalam kitab Mahfuzhat
c) Menghafal 7 bab dalam kitab matan jurumiyah
d) Menghafal surah-surah yang berada pada juz 29 Al-qur‟an
3) Fashlul Tsalis:
a) Menghafal 150 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih
b) Menghafal 200 hadits dalam kitab Mahfuzhat
c) Menghafal 14 bab dalam kitab matan jurumiyah
d) Menghafal surah Yasin, Al-waqi‟ah, Ar-rahman dan Al-jumu‟ah
e) Menghafal100 bait nahwu dalam kitab Nazhom Imriti
4) Fahlul Robi‟
a) Menghafal 181 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih
b) Menghafal20 bab hadits dalam kitab Tanqihul Qoul
c) Menghafal 21 bab dalam kitab matan jurumiyah
d) Menghafal seluruh bait nahwu dalam kitab Nazhom Imriti
5) Fahlul Khomis
a) Menghafal 200 bait nahwu dalam kitab Nazhom Alfiyyah
b) Menghafal 40 bab hadits dalam kitab Tanqihul Qoul
c) Menghafal seluruh bait nahwu dalam kitab Nazhom Aqidatul
Awwam
6) Fahlul Sadis
a) Menghafal 400 bait nahwu dalam kitab Nazhom Alfiyyah
b) Menghafal 40 hadits dalam kitab Arbain Nawawi
Semua ini dilakukan karena Abuya melihat sudah minimnya orang-
orang yang mau mengkaji secara mendalam maupun menghafal keilmuan
Islam yang dapat menjadi bekal hidup mereka dan banyaknya para ulama
81
yang telah meninggal dunia, sehingga penyebaran agama Islam tidak
seperti dahulu kala.126
e. Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh)
Pada pelatihan ini, santri diajarkan teknik bagaimana cara mengatur
pola bahasa, gestur tubuh serta cara berpaikan ketika ingin berpidato
maupun ketika ingin memberikan mauizhoh hasanah (nasihat), di sebuah
podium maupun di tempat majlis ilmu.
Pelatihan muballigh ini pun memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang
telah di dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan
dengan baik kepada masyarakat.Jika dalam berpidato memiliki tujuan
untuk memberitahukan sesuatu kepada para pendengar, maka pembicara
mengharapkan para pendengar paham dan mengerti apa yang telah
disampaikan oleh pembicara. Pidato dengan tujuan seperti ini harus lebih
mengutaman isi pidato yang disampaikan. Jadi, naskah pidato harus
benar-benar dipersiapkan secara matang agar setelah selesai pidato para
pendengar memahami dan mengerti makna hal yang telah dijelaskan.
Adapun pelaksanaanya diadakan secara rutin setiap minggu
sebanyak satu kali yakni pada malam minggu dengan menggunakan tiga
bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia.
Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan
mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis
dan dibimbing oleh para pengabdi pondok. Hal ini bertujuan untuk
memberikan pembelajaran kepada santri yang sudah terbilang senior
dalam mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan
selama menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan
tema yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh.
Melalui kegiatan muhadhoroh ini para santri dilatih untuk berbicara
menyampaikan ceramah di depan teman-temann1ya yang lain secara
bergantian lanyaknya seorang dai yang sedang berdakwah.Sebelumnya
mereka telah dibekali teknik-teknik berdakwah dan menyampaikan
126 Ahmad Hafidz Kamil, Ibid.,
82
pesan-pesan dakwah tersebut dengan maksud agar mereka memiliki
keberaniaan untuk berbicara didepan umum (public speaking). 127
f. Membuat Rapor dan Ijazah Pesantren
Peran terakhir Abuya yang dapat dipaparkan oleh penulis adalah
membuat rapor dan ijazah pesantren. Bermula dari keinginan Abuya
untuk memiliki alat dalam mengukur kemampuan dan untuk
meningkatkan kualitas para santri, maka diadakanlah ujian pesantren
yang dikenal dengan sebutan Imtihan.
Sistem Imtihan ini diadopsi dari sistem yang berada di sekolah
formal pada umumnya yaitu dengan mengadakan ujian dalam setahun
dua kali (semester ganjil dan genap). Begitupun dengan Imtihan diadakan
dua kali dalam setahun yang diberi nama Imtihan Nishfu Sanah dan
Imtihan Nihai.
Imtihan ini pertama kali diadakan pada tahun 1999 sekaligus
pertama kalinya Abuya mengadakan rapor pesantren. Karena menurut
Abuya kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu
diapresiasi.Berbeda halnya dengan rapor sekolah, rapor pesantren ini
sama sekali murni berisikan tentang mata pelajaran agama yang mereka
pelajari dalam satu semester tidak ada pelajaran umum didalamnya. Dari
rapor ini para wali murid dapat mengetahui sejauh mana prestasi yang
telah diraih oleh anak mereka.
Pada tahun setelahnya barulah diadakan ijazah pesantren. Ijazah
pesantren ini diadakan sebagai bukti kelulusan yang diterima para santri
secara sah di pondok pesantren Al-Awwabin, dan pada tahun ini pula
pertama kalinya diadakan prosesi wisuda. Wisuda sendiri diadakan
sebagai suatu proses pelantikan kelulusan santri yang telah menempuh
masa belajar selama di pondok pesantren Al-Awwabin.128
127 Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara Pribadi, 01
Oktober 2016.
128
Ibid.,
83
Semua peranan ini adalah bukti perjuangan Abuya dalam mengembangkan
pendidikan Islam serta untuk memajukan pondok pesantren Al-Awwabin itu
sendiri. dengan berbekal pelatihan muballigh, berorganisasi, kesenian Islam,
pemahan kitab yang cukup mumpuni para santri diharapkan mampu menjadi
contoh yang baik ketika mereka berada di lingkungan masyarakat mereka nanti,
serta dibarengi bekal pendidikan teknologi yang cukup memadai para santri pun
diharapkan mampu menjadi sosok figur yang tidak ketinggalan oleh era
globalisasi.
Hal ini yang sedang dijalankan serta digalakkan oleh Abuya KH.
Abdurrahman Nawi sehingga pondok pesantren Al-Awwabin dapat berkembang
dari kondisi yang tidak memiliki apa-apa, menjadi pesantren yang terbilang besar
karena mempunyai dua buah cabang dan sebuah saluran radio sendiri. Tidak
hanya sampai disini Abuya pun terus berusaha memberikan pengajaran yang
intensif kepada para santri demi mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah
yang telah beliau dapatkan dari guru-gurunya.
Abuya pun menginginkan dengan adanya pondok pesantren Al-Awwabin
Abuya memiliki harapan yang amad besar yaitu semoga Al-Awwabin menjadi
salah satu pesantren yang mampu mempruduksi ulama maupun orang-orang yang
taat kepada syariat Allah dan rasul-Nya, dan menjadi salah satu amal baik disisi
Allah.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah di bahas pada bab sebelumnya, maka dalam
bab ini penulis akan menarik kesimpulan secara umum tentang “Peran Abuya KH.
Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Pondok
Pesantren Al-Awwabin Depok” yang telah penulis teliti. Adapun kesimpulannya,
sebagai berikut:
1. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah membangun lembaga
pendidikan Islamdan menjadi seorang inovator dalam memberikan ide serta
gagasan yang dapat diterapkan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.
2. Dalam membangun lembaga pendidikan Islam beliau membangun pendidikan
formal (sekolah) dan non formal (pondok). Adanya lembaga pendidikan
formal dan non formal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak hanya cerdas
dalam sisi keagamaan, namun peserta didik pun cerdas dalam ilmu umum dan
teknologi yang sedang berkembang sekarang ini. Sedangkan dalam hal ide
dan gagasan, beliau melakukan beberapa inovasi seperti: membentuk
organisasi santri, mendirikan saluran radio Islam, mengasah bakat santri,
menekankan pemahaman kitab kuning, mengadakan pelatihan muballigh
(muhadhoroh) serta, membuat rapor dan ijazah pesantren. Semua ini beliau
terapkan di pondok pesantren Al-Awwabin bertujuan agar para santri dapat
berkembang menjadi sosok multi talenta yang berakhlakul karimah, sehingga
ketika mereka terjun ke masyarakat nanti mereka tidak canggung dan mampu
membimbing masyarakat agar selalu berada di jalan syariat agama Islam.
B. Saran
Setelah penulis menguraikan hal-hal tentang Peran Abuya KH. Abdurrahman
Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren Al-
85
Awwabin Depok. Maka, saran yang dapat penulis kemukakan agar sekiranya bisa
bermanfaat, antara lain sebagai berikut:
1. Pondok pesantren Al-Awwabin diharapkan agar selalu konsisten dalam
meningkatkan kualitas para santri serta meningkatkan sarana dan pra sarana
yang lebih baik, mengingat Abuya merupakan ulama sepuh yang sudah tidak
banyak berkiprah dalam mengembangkan pondok pesantren seperti dahulu
kala.
2. Kepada para santri untuk selalu mendengarkan nasihat para guru yang telah
mengajarkan kalian,khususnya Abuya, karena seberapa banyak pun ilmu
yang didapatkan, apabila tidak mau mengikuti nasihat dan petuah guru, ilmu
diraih itu tidak akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi ilmu yang
barokah.
86
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosehan & Andi Bahruddin Malik (eds), Peran dan Fungsi Ulama
Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur
Pendidikan Agama, 2003.
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRDS Press, 2005.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1984.
Efendi, Nur, Menejemen Perubahan di Pondok Pesantren, Yogyakarta: Teras,
2014.
Ekosusilo, Mudyo, Dasar-dasar Pendidikan, Semarang, Effahar, 1990.
Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara
Pribadi, 01 Oktober 2016.
Ghazali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: CV. Prasasti,
2002.
Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996.
HM, Afif & Haidlor Ali Ahmad (eds), Bunga Rampai Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2005.
Jalaluddin& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Juwaini, Jazuli, Revitalisasi Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bening Citrakreasi
Indonesia, 2011.
87
Kamil,Ahmad Hafidz, Guru Pesantren Al-Awwabin Depok, Wawancara Pribadi,
16 Oktober 2016.
Kawiyan (ed), Berdakwah Tanpa Kenal Lelah, Biografi KH. Abdurrahman Nawi.
Khaeroni, Peran Sosial Santri dan Abangan, Jakarta: Penamadani, 2007.
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-husna,
1988.
Mahfudh, Sahal,Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, Ciputat: Media Nusantara,
2006.
M. Basyuni, Muhammad, Revitalisasi Spirit Pesantren;Gagasan, Kiprah, dan
Refleksi, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2006.
Minarti, Sri, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoriti-Filosofis & Aplikatif-Normatif,
Jakarta: Amzah, 2013.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010.
Mu‟in, Fatchul, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2011.
Munawwaroh & Tanenji, Djunaidatul, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2003.
Mushlihun, Zulcham, Pembina IKSAD, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2016.
Nafi‟, M. Dian, dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren,. Yogyakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2007.
Nasution, Teknologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
88
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Qomar, Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2008.
......., Menggagas Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Rasid, Abdul, Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM, Wawancara Pribadi, 06
Oktober 2016.
Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005.
Sagala, Syaful, Etika dan Moralitas Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013.
Said Aqiel Siradj, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta: CV. Rajawali,
1984.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Soyomukti, Nurani, Teori-teori Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2010.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam
Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2014.
Sutrisno & Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial,
Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012.
Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Peneltian, Yogyakarta: ANDI, 2014.
Syukur, Abdul, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Wawancara Pribadi,
11 Oktober 2016.
89
Taneko, Soleman B., Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1990.
Tatang, Ilmu Pendidikan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012.
Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai. Yogyakarta: KUTUB, 2003.
Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren,
Jakarta: Renebook, 2014.
Umar, Nasaruddin, Rethingking Pesantren, Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2014.
Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepada Sekolah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Yusuf, Muri, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, Jakarta: Prenadamedia, 2014.
Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Lampiran I
Pedoman Wawancara
Nama : Drs. KH. Fathurrahman, MA
Jabatan : Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren)
Tempat Wawancara : Masjid Al-Awwabin
Tanggal Wawancara : 01 Oktober 2016
1. Pada waktu kapan saja kegiatan belajar di pesantren dilaksanakan?
Waktu-waktu yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan
belajar ini yakni seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15,
dilanjutkan sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir
pada malam hari pukul 19.00 sampai 20.15.
2. Mata pelajaran apa saja yang telah dipelajari para santri?
Untuk tingkat Ula (MI)
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Al-Qur‟an
Selasa Tahfidz Qur‟an Khot Fiqih
Rabu Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Ubudiyyah
Kamis Mahfuzhat Shorof Yasin & Tahlil
Jumat Tauhid Mahfuzhat Al-Qur‟an
Sabtu Tahfidz Qur‟an Al-Qur‟an Muhadhoroh
Minggu Bhs. Arab Shorof Tajwid
Untuk tingkat Wustho (Mts)
- 1 MTs
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Tauhid & Akhlaq Tahfidz Qur‟an
Selasa Tahfidz nahwul Wadhi Mattan Safinah Tahfidz Mahfudzat
Rabu Nahwu Melayu Khulasoh Tahfidz Mahfudzat
Kamis Tahfidz Qur‟an Akhlaq Yasin & Ratib
Jumat Khot Bhs.arab Shorof
Sabtu Bhs.arab Ubudiyah Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
- 2 Mts
- 3 MTs
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tauhid &Akhlaq I‟rob & I‟lal Tahfidz Qur‟an
Selasa Nadzom Imriti Nahwul Wadhi Nahwul Wadhi
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Khulasoh Tahfidz Qur‟an
Selasa Tasrif Mahfudzat Shorof
Rabu Tauhid & Akhlaq Nahwul Wadhi Qiroatul Qur‟an
Kamis Jurumiyah Mattan Safinah Yasin & Ratib
Jumat I‟rob Akhlak & Tauhid Bhs.arab
Sabtu Tahfidz mahufdzat Mattan Jurumiyyah Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
Rabu Muhktasor Jiddan Khulasoh Tahfidz Qur‟an
Kamis Tasrif Khat Yasin & Ratib
Jumat I‟lal & I‟rob Lughotu Takotub Tahfidz Nahwul Wadhi
Sabtu Kaylani & Tahfidz Imriti Safinah & Imriti Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
Untuk tingkat Ulya (MA)
- 1 MA
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin I‟lal & I‟rob Kawakib Qiroah Arrasidah
Selasa Kaylani Nahwul Wadhi & Tijan Tahfidz Lubabul Hadits
Rabu Annasoih Mattan takrib Akhlaq
Kamis Muhktasar Jiddan Muhktasar Jiddan Yasin & Ratib
Jumat Tanqihul Qoul Khulasoh Khat
Sabtu Kaylani Tahfidz Jurumiyah Muhadoroh
Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid
- 2 MA
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Bulughul Maram Tijan Tahfidz Nahwul Wadhi
Selasa Qiroah Arrasidah Fathul Qorib Mudzakaroh
Rabu Diniyah Mabadi Awwaliyah Nurul Yaqin
Kamis Fathul muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Ratib
Jumat Al-fiyah Tafsir Khat
Sabtu Balagoh Tasrif Muhadoroh
Minggu At-tibbyan Qowaid Nahwiyah Tajwid
- 3 MA
Hari Waktu
Pagi Sore Malam
Senin Bulugul Marom Mantiq Tahfidz Jurumiyyah
Selasa Minhatul Mugits Muhktasor Jiddan Tahfidz Al-fiyyah
Rabu Ta‟limu taallim Bulugul Marom Husunul Hamidiyah
Kamis Fathul Muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Tahlil
Jumat Mabadi Awwaliyah Tafsir Khat
Sabtu Tasrif At-tibyan Muhadoroh
Minggu ilmuArud Qowaid Nahwiyah Al-Qur‟an
3. Pada waktu kapan saja pelatihan muhadhoroh ini dilaksanakan?
Pelatihan muballigh (muhadhoroh) ini dilaksanakan secara rutin
setiap minggu sebanyak satu kali yaitu pada malam minggu dengan
menggunakan tiga bahasa yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia.
4. Apa tujuan diadakannya pelatihan muballigh (muhadhoroh)?
Pelatihan muballigh ini memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang telah di
dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan dengan baik
kepada masyarakat.
5. Bagaimana metode pembelajaran pelatihan muballigh ini?
Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan
mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis dan
dibimbing oleh para pengabdi pondok. Hal ini bertujuan untuk
memberikan pembelajaran kepada santri yang sudah terbilang senior
dalam mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan
selama menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan
tema yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh.
6. Pada tahun berapa pertama kali diadakan rapor serta ijazah pesantren?
Untuk rapor ini diadakan pertama kali pada tahun 1999 sekaligus
pertama kalinya diadakan ujian pesantren (Imtihan), kemudian setahun
setelahnya barulah diadakan ijazah pesantren dan pada tahun ini juga
diadakan prosesi wisuda untuk melepas para santri yang dinyatakan lulus
dalam menuntut ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin.
7. Apa tujuan diadakan rapor serta ijazah pesantren ini?
Tujuan diadakannya rapor adalah sebagai media bagi para wali
murid dapat mengetahui sejauh mana prestasi yang telah diraih oleh anak
mereka. sedangkan diadakannya ijazah adalah sebagai bukti kelulusan
yang sah kepada para santri secara tertulis karena menurut Abuya
kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu
diapresiasi.
Pedoman Wawancara
Nama : Ust. Abdul Rasyid
Jabatan : Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM
Tempat Wawancara : Ruang Aula Pondok Pesantren AL-Awwabin II
Tanggal Wawancara : 06 Oktober 2016
1. Latar belakang didirikannya RIDA FM?
Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang
sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau
berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan
membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa diakses
oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini merupakan
bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta
memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat.
2. Pada tanggal berapa RIDA FM didirikan?
Rida dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil dari
bahasa Arab yang berarti, “selendang”.
3. Apakah ada manfaatnya untuk para santri?
Ada, dengan cara mengikutsertakan santri dalam menyiarkan salah
satu program acara rida tentang pengajian santri ini memberi manfaat
diantaranya: melatih para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi
dengan baik kepada orang lain dan memberikan pengalaman sendiri
kepada para santri dalam dunia penyiaran.
1. Bagaimana respon masyarakat dengan hadirnya RIDA FM di tengah-
tengah mereka?
Respon masyarakat tentang kehadiran RIDA sangat baik mengingat
sudah sangat sedikit media yang mensyiarkan agama Islam dengan
seutuhnya pada saat ini.
2. Program apa saja yang telah diadakan oleh RIDA FM?
Program yang telah diadakan RIDA selain program-program acara
dalam penyiaran program lain yang berkaitan dengan para penggemar
RIDA seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan, silaturahmi
rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke para wali
nusantara, serta pengajian subuh gabungan.
3. Apa saja konten yang disiarkan oleh RIDA FM?
Yang menjadi konten atau isi yang disiarkan RIDA seluruhnya
kegiatan yang berbau Islami tidak ada campur tangan iklan komersil
sedikitun maupun hal-hal yang berbau duniawi, diantara acara yang
disiarkan RIDA antara lain: pengajian santri yang dipimpin langsung oleh
Abuya KH. Abdurrahman Nawi, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah
agama yang mampu mengejukkan hati.
Depok, 06 Oktober 2016
Interviewer Interviewee
Pedoman Wawancara
Nama : Ust. Abdul Syukur, S.Ag
Jabatan : Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan
Tempat Wawancara : Ruang Kantor Guru
Tanggal Wawancara : 11 Oktober 2016
1. Pada tahun berapa Sekolah Al-Awwabin diresmikan?
Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama
yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama,
habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk
tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat
itu pula diresmikan oleh KH. Idham Chalid dan pejabat pemerintah
setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin
cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai menerima murid baru untuk
tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan mukim
(untuk para santri mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin merupakan
pondok pesantren pertama dikota Depok untuk wilayah Pancoran Mas.
Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang.
Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI)
hingga sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV
MI.
Sedangkan untuk Al-Awwabin II Pada tahun 1989 mulai
membangun sekolah dan asrama. Untuk pembukaan tahun ajaran pertama
pada tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA) juga mukim (bagi para santri yang mukim).
2. Kurikulum apa yang digunakan di sekolah ini?
Kurikulum yang digunakan oleh sekolah mengikuti kurikulum yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Diantaranya adalah kurikulum KBK,
KTSP dan K13.
3. Ada berapakah Jumlah Siswa yang menuntut Ilmu di sini?
Untuk Al-Awwabin I ada 411 siswa dengan rincian:
a. Siswa MI ada 109
b. Siswa MTs ada 167
c. Siswa MA ada 135
Sedangkan Al-Awwabin II ada 167 siswa dengan rincian:
a. Siswa MTs ada 94
b. Siswa MA ada 73
4. Apa saja kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah Al-Awwabin?
Ekstrakulikuler yang diadakan sekolah untuk mengisi kegiatan para
siswa diluar kegiatan belajar mengajar antara lain: drum band, marawis,
pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca tulis qur‟an),
bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi.
5. Ada berapakah jumlah lokal kelas serta apa saja sarana pra sarana di
sekolah ini?
Untuk lokal sekolah Al-Awwabin I memiliki 18 lokal kelas, yaitu 6
lokal untuk MI, 6 lokal untuk MTs dan 6 lokal lagi untuk MA, adapun Al-
Awwabin dua hanya memiliki 6 lokal kelas, 3 untuk MTs dan 3 lagi untuk
MA.
Selain lokal kelas dan kantor sarana pra sarana di Al-Awwabin yang
lain diantaranya adalah: lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan,
tempat ibadah, tempat olah raga, dan ruang OSIS.
6. Pada tahun berapa Al-Awwabin mendapatkan predikat Akreditasi?
Pada tahun 1999 MTs Al-Awwabin mendapat predikat
DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah
menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin
meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk
tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012
mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh sekolah
mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Diantaranya
adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13.
Depok 11 Oktober 2016
Interviewer
Pedoman Wawancara
Nama : Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag
Jabatan : Guru Pesantren Al-Awwabin Depok
Tempat Wawancara : Serambi Masjid Al-Awwabin
Tanggal Wawancara : 16 Oktober 2016
1. Kegiatan apa saja yang Abuya lakukan untuk mengasah bakat para santri?
Diantaranya adalah: mengadakan kesenian marawis, hadroh, qosidah
rebana, tari saman, seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Kegiatan ini
bagaikan kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan oleh sekolah,
perbedaannya kegiatan ini dikhususkan kepada para santri yang bermukim
di Al-Awwabin untuk mengisi kegiatan kosong mereka ketika kegiatan
pengajian sedang tidak berlangsung.
2. Apa manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut?
Manfaat dari pengasahan bakat ini adalah agar santri memiliki ragam
kesibukan, tentu kesibukan yang dimaksud disini adalah agar santri
memiliki ragam kegiatan yang bermanfaat, mengingat banyaknya
kenakalan yang dilakukan remaja serta bosannya mereka dalam belajar
menjadi salah satu penyebabnya adalah kurang terkontrolnya waktu luang
mereka sehingga mereka memanfaatkan waktu luang tersebut untuk
kegiatan yang kurang bermanfaat.
3. Prestasi apakah yang pernah diraih para santri?
Dari banyaknya kegiatan tambahan ini para santri paling sering
menjuarai lomba marawis, karena memang Abuya sendiri sangat suka dan
senang dengan kesenian Islam dan akhirnya belaiu pun agak sedikit
menggalakkan akan marawis ini. Hasilnya para santri pernah menjuarai
beberapa lomba diantaranya:
1. Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun
Nada pada tahun 2008.
2. Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam
Annuriyah pada tahun 2006.
3. Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB
Universitas Indonesia.
4. Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada
tahun 1425 H.
5. Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA
FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006.
6. Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren Al-
Hidayah pada tahun 2005.
7. Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang
sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007.
8. Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo
CUP pekan nasional, pada tahun 2006.
9. Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok,
pada tahun 2006.
10. Juara 1 festival marawis se-JABODETABEK di Blok M, pada
tahun 2009.
Dan masih banyak lagi kejuaraan marawis yang pernah diraih para
santri, tetapi yang paling membanggakan adalah ketika para santri pernah
menjuarai festival marawis di Blok M pada tahun 2009 karena team
marawis Al-Awwabin mampu menjadi juara 1 dari kurang lebih 110
peserta yang ikut dalam kompetisi itu.
4. Apa yang dilakukan Abuya dalam menekankan pemahaman kitab para
santri?
Dalam menekankan pemahaman kitab kuning Abuya memfasilitasi
para santri dengan mengintruksikan kepada para guru serta pengabdi untuk
memberikan jam tambahan. Jam tambahan yang dimaksud adalah
memberikan pengajian diluar jadwal pengajian yang sudah terjadwalkan
untuk kelas masing-masing.
5. Apa yang melatar belakangi Abuya dalam menekankan pemahaman kitab
untuk para santri?
Abuya melihat sudah minimnya orang-orang yang mau mengkaji
secara mendalam maupun menghafal keilmuan Islam yang dapat menjadi
bekal hidup mereka dan banyaknya para ulama yang telah meninggal
dunia, sehingga penyebaran agama Islam tidak seperti dahulu kala.
Depok, 16 Oktober 2016
Pedoman Wawancara
Nama : Ust. Zulcham Mushlihun S.S.I
Jabatan : Pembina IKSAD
Tempat Wawancara : Ruang Kantor IKSAD
Tanggal Wawancara : 21 Oktober 2016
1. Pada tahun berapa IKSAD dan OPPTA dibentuk?
Pada tahun 1993 IKSAD dan OPPTA dibentuk, dengan tujuan untuk
melatih para santri dalam bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan
yang lainnya dan melatih mereka dalam menyelesaikan masalah.
2. Apa Visi dan Misi organisasi Tersebut?
Visi dan Misinya adalah sebagai organisasi yang berorientasi pada
pemberdayaan potensi, bakat, dan minat santri Al-Awwabin, sehingga
pada gilirannya mampu melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan
dan kemajuan pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya.
3. Pada tahun berapa IKAAD dibentuk?
Berbeda dengan IKSAD dan OPPTA untuk IKAAD sendiri dibentuk
sepuluh tahun setelah kedua organisasi santri tersebut terbentuk. Pada
tahun 2003 IKSAD resmi dibentuk oleh Abuya untuk menjadi organisasi
para alumni yang pernah menuntut ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin
baik mereka yang hanya menuntut ilmu hingga jenjang MA maupun
mereka yang hanya sampai tingkat MTs, menurut Abuya mereka tetaplah
bagian dari keluarga alumni Al-Awwabin.
4. Apa tujuan IKAAD dibentuk?
Tujuan IKAAD ini dibentuk adalah sebagai wadah untuk menjalin
interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren Al-Awwabin
kepada guru-guru yang telah mengajarkan mereka ketika menutut ilmu di
pondok pesantren Al-Awwabin.
5. Program kegiatan apa saja yang telah dilakukan IKAAD?
Diantara kegiatan yang telah diselenggarakan oleh IKAAD seperti:
mengadakan pengajian alumni mingguan yang dipimpin oleh musyrif
(lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA., mengadakan penngajian bulanan
alumni yang dipimpin langsung oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta
guru-guru yang lain, mengadakan acara tahunan yang dilakukan secara
rutin yaitu santunan yatim dan muharroman untuk para santri, mengadakan
pelatihan perhitungan awal bulan hijriah serta pengijazahan hadits
musalsal yang di pimpin oleh Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA.
6. Bagaimana Stuktur Organisasi IKSAD, OPPTA dan IKAAD?
Untuk IKSAD dan OPPTA masa jabatan mereka dalam satu periode
adalah 1 tahun dan selalu berganti tiap tahunnya dengan kepengurusan
yang baru. Adapun kepengurusan IKSAD dan OPPTA pada masa abdi
2016-2017 adalah:
IKSAD Masa Abdi 2016-2017
Ketua : Muhammad Adam Kholid
Wakil Ketua : Ahmad Hudzaifi Adnan
Sekretaris : Nur Akbaruddin Aziz
Bendahara : Muhammad Maula Rahman
Seksi Pendidikan : Erri Luthfi T.W
Seksi Dakwah : M. Wildan Hadziq
Seksi Kesenian : M. Dimas Sholahuddin
Seksi Kesehatan : Wisnu Hariyadi
Seksi Keamanan : Syukri Ramadhani
Seksi Humas& Keperpustakaan : Miftah Sururi
Seksi Ubudiyah : Subhan Muyassir
Seksi Kebersihan : Ujang Afan Maulana
Seksi Olahraga : Ghazy Muhammad Syamil
OPPTA Masa Abdi 2016-2017
Ketua : Rizka Amelia
Wakil Ketua : Annisa Trimelinda
Sekretaris : Siti Sarah Chairunnida
Bendahara : Nur Khofifah
Seksi Pendidikan : Sahlatul Ula
Seksi Dakwah : Qhotrun Nada
Seksi Keamanan : Tsubaitul Fitria
Seksi Olahraga : Karimah Vie H
Seksi Humas : Catur Amelia K
Seksi Ubudiyah : Khoirunnisa
Seksi Kebersihan : Nurul Apriyani
Sedangkan untuk IKAAD sendiri masa abdi jabatan dalam 1 periode
adalah 2-3 tahun, adapun struktur kepungurusan IKAAD untuk masa abdi
2014-2017 adalah:
Ketua : Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I
Wakil Ketua : Ust. Abdurrahman, S.pd
Sekretaris : Ahmad Munir, S.Sy
: Yuda Narito
Bendahara : Faizah Salsabila
: Qurrotul Uyun
Divisi Kaderisasi : M. Haidir Al-karomi
Divisi Litbang dan Intelektual : Zaim Najibuddin Rahman
Divisi Humas : Agus Khairuddin, S.Ag
Divisi Ekonomi : Lukman Hakim
Divisi PMB & Hobi Alumni : Charry Dwi Manfaat
Lampiran 2
Foto Abuya KH. Abdurrahman Nawi dan Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati
Banten, semoga Allah selalu memberikan kesehatan agar mereka terus
mensyiarkan agama Islam.
Foto KH. Fathurrahman, MA, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren)
pesantren Al-Awwabin. Semoga Allah selalu memberikan kesabaran kepada
beliau dalam membina para santri.
Foto Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag, seorang guru Al-Awwabin yang telah
mengabdikan diri kepada Abuya selama 20 tahun.
Foto team hajir marawis pondok pesantren Al-Awwabin serta piala yang pernah
diraihnya
Foto Ijazah yang dikeluarkan pesantren, rapot pesantren dan kegiatan ujian
pesantren (Imtihan).
Foto Plang, Sekolah, serta Asrama Putra dan Putri Pondok Pesantren Al-Awwabin
Depok.
Foto tower pemancar saluran radio Al-Awwabin, dan foto kegiatan pelatihan
dakwah (muhadhoroh) para santri. Kegiatan ini sangat penting agar para santri
tidak canggung ketika berbicara di depan umum.
Foto kegiatan pengajian santri dan masjid yang sering kali digunakan para santri
dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Semoga Allah menjadikan mereka
penerus para ulama dan memperjuangkan agama Islam pada masa mereka nanti.
top related