perbandingan sistem hukum papua nugini dan indonesia
Post on 21-Oct-2015
390 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
A. Sistem Hukum Negara Papua Nugini
Bendera Negara Papua Nugini
Papua Nugini atau Papua Guinea Baru adalah sebuah negara yang terletak di bagian
timur Pulau Papua dan berbatasan darat dengan Provinsi Papua (Indonesia) di sebelah barat.
Benua Australia di sebelah selatan dan negara-negara Oseania berbatasan di sebelah selatan,
timur, dan utara. Ibu kotanya, dan salah satu kota terbesarnya, adalah Port Moresby. Papua
Nugini adalah salah satu negara yang paling bhinneka di Bumi, dengan lebih dari 850 bahasa
lokal asli dan sekurang-kurangnya sama banyaknya dengan komunitas-komunitas kecil yang
dimiliki, dengan populasi yang tidak lebih dari 6 juta jiwa.
Manusia yang menetap di Papua Nugini diduga dimulai sejak 50.000 tahun yang lalu.
Penduduk kuno ini mungkin berasal dari Asia Tenggara, sementara mereka yang berasal dari
Afrika telah hadir sejak 50.000 hingga 70.000 tahun yang lalu.
Paro utara negara ini dikuasai Jerman pada tahun 1884 sebagai Nugini Jerman. Selama
Perang Dunia I, wilayah itu diduduki Australia, yang telah mulai memerintah Nugini Britania,
yaitu bagian Selatan, dengan mengembalikan nama semulanya menjadi Papua pada tahun 1904.
Setelah Perang Dunia I, Australia diberi mandat untuk memerintah bekas Nugini Jerman oleh
Liga Bangsa-Bangsa. Sebaliknya, Papua dianggap sebagai Wilayah Eksternal Persemakmuran
Australia, meskipun secara hukum masih milik Britania, sebuah isu yang penting bagi sistem
1
hukum negara itu pasca-kemerdekaan 1975. Perbedaan dalam status hukum memberikan arti
bahwa Papua dan New Guinea memiliki pemerintah yang sepenuhnya terpisah, yang kedua-
duanya dikendalikan oleh Australia.
Kemerdekaan tanpa peperangan dari Australia, kekuatan metropolitan de facto, muncul
pada 16 September 1975, dan tetap bertalian dekat (Australia masih menjadi penyumbang
bantuan dwipihak terbesar bagi Papua Nugini).
Papua Nugini merupakan Negara bekas jajahan Inggris, oleh karena itu sistem hukum
yang dianut adalah The Rule of Law dengan konsep Anglo Saxon. Sistem ini dikenal pula dengan
istilah "Anglo Amerika", mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang disebut sebagai sistem
"Common Law" dan "Uri Written Law". Sistem "Anglo Amerika" melandasi hukum positif di
negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan negara-negara persemakmuran Inggris dan
Australia termasuk Papua Nugini.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon Rule of Law dipelopori oleh A.V Dicey (Inggris).
Menurut A.V Dicey, konsep rule of law ini menekankan pada tiga tolok ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law);
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law);
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual
rights).
Sistem hukum Anglo Saxon lebih mengutamakan pada Common Law, yaitu kebiasaan
dan hukum adat masyarakat, sedangkan undang-undang hanya mengatur pokok-pokoknya saja
dan kehidupan masyarakat. Dengan adanya common law, kedudukan kebiasaan dalam
masyarakat lebih berperan, dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang
semakin maju.
2
Sumber-sumber dalam sistem Anglo Saxon (putusan hakim, kebiasaan dan peraturan
administrasi) tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem
Eropa Kontinental. Selain itu peranan hakim dalam sistem Anglo Saxon berbeda dengan peranan
hakim pada sistem Eropa Kontinental. Pada sistem Anglo Saxon, hakim berfungsi tidak hanya
sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja,
melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim
mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain
untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Dalam sistem common law hakim di pengadilan menggunakan prinsip "pembuat hukum
sendiri" dengan melihat kepada kasus-kasus dan fakta-fakta sebelumnya (case law atau judge
made law). Pada hakekatnya hakim berfungsi sebagai legislative, sehingga hukum lebih banyak
bersumber pada putusan-putusan pengadilan yang melakukan kreasi hukum."
Papua Nugini juga mengenal pembagian "Hukum Publik dan Hukum Privat". Pengertian
yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem
hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak berbeda dengan
pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sistem hukum Eropa
Kontinental lebih menekankan hukum privat sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum
dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu. Tetapi pada sistem hukum Anglo
Saxon, hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of
property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract), dan hukum
tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan tertulis,
putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.
3
Papua Nugini dan Kepulauan Solomon adalah dua entitas negara yang tidak biasa di
antara Negara-Negara Persemakmuran, yakni bahwa Gubernur Jenderal secara efektif dipilih
oleh badan legislatif bukan oleh cabang eksekutif, seperti di beberapa negara demokrasi
parlementer. Kekuasaan eksekutif sebenarnya terletak pada Perdana Menteri, yang mengepalai
kabinet. Perdana Menteri saat ini adalah Sir Michael Somare. Parlemen nasional yang tunggal
memiliki 109 kursi, 20 di antaranya ditempati oleh para gubernur dari 19 provinsi dan Distrik
Ibukota Nasional. Calon anggota parlemen dipilih pada saat perdana menteri menyerukan
pemilihan umum nasional, selambat-lambatnya lima tahun setelah pemilu nasional sebelumnya.
Pada awal-awal kemerdekaan, ketidakstabilan sistem partai menyebabkan sering terjadinya mosi
tidak percaya di parlemen yang berakibat pada jatuhnya pemerintah masa itu dan pemilu
nasional perlu diadakan lagi, sesuai dengan konvensi demokrasi parlementer. Dalam beberapa
tahun terakhir, berturut-turut pemerintah telah mengeluarkan undang-undang demi mencegah
suara seperti itu lebih cepat dari 18 bulan setelah pemilihan umum nasional. Ini mengakibatkan
stabilitas yang lebih besar, meskipun mungkin dengan mengurangi akuntabilitas dari cabang
eksekutif pemerintahan.
Parlemen berkamar tunggal menjalankan legislasi menurut cara yang sama seperti di
dalam ranah hukum lainnya, yaitu dengan memiliki “kabinet,” “pemerintah yang bertanggung
jawab,” atau “demokrasi parlementer”: sistem ini diajukan oleh pemerintah eksekutif kepada
legislatur, diperdebatkan, dan bila lolos, akan menjadi undang-undang ketika rancangan itu
menerima persetujuan kerajaan melalui Gubernur Jenderal. Sebagian peraturan legislasi
sebenarnya diterapkan oleh birokrasi di bawah legislasi sebelumnya yang sudah diloloskan dan
diberlakukan oleh Parlemen.
4
Semua produk hukum (statuta) yang diberlakukan oleh parlemen haruslah sesuai dengan
konstitusi. Lembaga peradilan memiliki jurisdiksi untuk mengatur kekonstitusionalan statuta,
baik itu yang dipersengketakan di hadapan mereka dan pada sebuah rujukan di mana tidak ada
persengketaan, melainkan hanya menjadi pertanyaan abstrak hukum. Hal yang tak lazim di
antara negara-negara berkembang, cabang judikatif pemerintah di Papua Nugini cukup mandiri,
dan pemerintah-pemerintah eksekutif yang silih berganti selalu saja menghormati otoritas ini.
Hukum Umum Papua Nugini mengandung hukum umum Australia yang diterima pada
16 September 1975 (hari kemerdekaan), dan kemudian menjadi dasar keputusan-keputusan
lembaga peradilan Papua Nugini sendiri. Lembaga-lembaga peradilan diarahkan oleh Konstitusi
dan, kemudian undang-undang di bawahnya, untuk menyerap risalah “adat” komunitas
tradisional, dengan suatu pandangan untuk menentukan adat-adat mana saja yang dianggap lazim
bagi seluruh kawasan di negara ini dan dapat saja dinyatakan sebagai bagian dari undang-undang
bawahan ini. Praktiknya, hal ini terbukti sukar diterapkan dan seringkali diabaikan. Statuta-
statuta secara luas diterima dari jurisdiksi seberang lautan, terutama Australia dan Inggris.
Advokasi di lembaga-lembaga peradilan mengikuti pola yang merugikan dari negara-negara lain
yang menerapkan hukum umum.
5
B. Sistem Hukum Negara Indonesia
Bendera Negara Republik Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara yang unik, di negara ini berdiri kokoh sistem hukum
Eropa Kontinental yang diwariskan oleh Kolonial Belanda. Sebelum penjajahan belanda di
Indonesia, bangsa Indonesia telah terlebih dahulu menggunakan sistem hukum chthonic yang
hidup di gugusan kepulauan Nusantara.1 Terma hukum Chthonic dimaksudkan untuk menyebut
hukum asli dari masyarakat Indonesia, Edward Goldsmith menggambarkan terma chthonic
sebagai kehidupan yang harmoni antara manusia dan bumi. Selain sistem hukum asli, hukum
Islam juga mewarnai perkembangan hukum di gugusan Nusantara, hukum ini yang berkembang
serentak dengan agama Islam, disebarkan melalui jalur perdagangan dan hidup di bawah
legitimasi beberapa kerajaan Islam di Indonesia.2 Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam juga
mengatur dan berisi pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.3
Menapaki perjalanan panjang sebuah negara, pada tahun 1998 Indonesia memasuki orde
Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Periode awal reformasi Indonesia
melakukan amandemen Konstitusinya yang dilakukan sampai empat kali perubahan. Perubahan
1 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2008, hlm. 3.2 Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. IV,
2004, hlm. 5.3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi V,
1993, hlm. 4.6
ini tidak hanya melahirkan beberapa Lembaga Negara baru, namun yang paling fundamental
adalah berubahnya negara hukum Indonesia yang dahulunya berorientasi pada sistem hukum
civil law beralih pada sistem hukum campuran, peralihan ini dapat dilihat dalam UUD 1945
setelah perubahan yang menghilangkan kata rechstaat pada pasal 1 ayat (3). Penghilangan kata
rechstaat ini berakibat pada Indonesia tidak lagi secara utuh memakai sistem hukum eropa
kontinental, namun lebih beragam dan membuka peluang bagi sistem hukum lain masuk ke
dalamnya.
Civil law merujuk pada sistem hukum yang diturunkan dari hukum Romawi kuno dan
pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi, secara terminologi civil law
merupakan hukum privat yang dapat di aplikasikan terhadap warga negara dan di antara warga
negara, di dalam batasan negara dalam konteks domestik. Sistem hukum ini juga disebut jus
quiritum,4 dan memiliki kecenderungan kodifikasi yang sama.
Code atau Undang-undang dalam sistem civil law merupakan sekumpulan klausa yang
berisikan prinsip-prinsip hukum secara umum yang otoritatif, konprehensif dan sistematis, yang
dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum yang diperlukan.
Ciri utama dari sistem ini, selain kodifikasi hukum, adalah peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman utama dalam menegakkan hukum, hakim hanya sebatas alat penegakan
hukum dan hukum harus dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang.5 Sistem hukum
civil law dipengaruhi oleh Mazhab Filasafat Hukum Positivisme, menurut pandangan mazhab ini
4 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum : Civil Law, Common Law dan Socialist Law, alih bahasa Nurulita Yusron, (Bandung dan Jakarta : Nusa Media dan Diadit Media, 2010), hlm. 61-62.
5 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, (Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010), hlm. 185.
7
bahwa hukum diciptakan dan dibelakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.6
Pemakaian positivisme hukum ini mengundang banyak permasalahan di kemudian hari,
ketika masyarakat yang dinamis selalu berubah dan orang yang berwenang untuk membuat
hukum tidak mempunyai kepekaan melihat perubahan yang tejadi dalam masyarakat. Hukum itu
ada untuk masyarakat, begitupun tujuan dari hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dan
kenyamanan bagi masyarakat. Menjadi sebuah permasalahn yang besar ketika hukum yang
seyogyanya melayani mayarakat tapi malah masyarakat yang dipaksa mengikuti kehendak
hukum, dengan beralasan menegakan kepastian hukum, masyarakat dipaksa mengikuti apa yang
diperintahkan undang-undang, para hakim, jaksa dan polisi menerapkan hukum secara harfiah
saja dari muatan undang-undang tapi tidak mencoba untuk menginterpretasi peraturan itu dengan
begitu rupa agar keadilan yang menjadi tujuan utama penegakan hukum.
Penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan
kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan menimbulkan
anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang
maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi keadilan yang diinginkan oleh seseorang
sebenarnya adalah keadilan yang substantif, bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di
dalam undang-undang saja. Hukum bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin
menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia.7
Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan prosedur, sering
disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar menawar hukum otonom.
6 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008, hlm, 58.
7 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008, hlm, 58.
8
Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan substantif kepada pihak lain, sebagai
gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat
untk mendapatkan akses ke dan cara berpartisipasi dalam proses hukum.8 Dengan kekuasaan ini,
pengadilan dapat mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus
melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum.
Pemahaman tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini
banyak mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia.
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil hanyalah
cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia. Hukum tidak saja
diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada keberhasilan untuk mencapai
tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada efisiensi.9
Sebagai contoh, Jepang sangat terkenal dengan masyarakatnya yang anti litigasi dalam
menyelesaikan permasalahan. Bentuk yang paling menonjol dalam penyelesaian pertikaian di
Jepang adalah dengan sarana di luar pengadilan, perbaikan hubungan dan konsiliasi. Proses
perbaikan hubungan di mana kedua pihak yang bertikai duduk berunding dan mencapai satu titik
di mana mereka dapat setuju dan menciptakan hubungan yang harmonis kembali.10
Dalam mempelajari Negara hukum maka perlu dibedakan antara Negara dan Bangsa.
Bangsa adalah kumpulan manusia yang terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di
muka bumi. Dengan demikian bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai
kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa serta berproses dalam
8 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, cet. 2008, hlm. 74.
9 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2006, hlm. 194.
10 A. A. G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Harapan, 1988, hlm. 105.
9
suatu wilayah. Sedangkan Negara adalah suatu persekutuan yang melaksanakan suatu
pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk ketertiban
sosial. Dalam suatu Negara diperlukan suatu aturan untuk membatasi kekuasaan para pemimpin
agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Aturan tersebut disebut hukum. Di
Indonesia menganut konsep Eropa Kontinental (Rechtstaat) dan Konsep Anglo Saxon (Rule of
Law). Ide Rechtstaat mulai populer abad ke tujuh belas sebagai akibat situai sosial politik Eropa
yang didominir oleh absolutisme. Paham Rechtstaat dikembangkan oleh Immanuel Kant ( 1724-
1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham Rule Of Law mulai dikenal setelah Albert
Venn Dicey pada tahun 1885. Dan menerbitkan buku Introduction to Study Of the Law Of the
Constitusion. Paham the Rule Of Law bertumpu pada sistem Hukum Anglo Saxon atau Common
Law System. Dalam sebuah Negara konsep mendasar menentukkan pondasi dasar Negara itu
sendiri. Indonesia sebagai suatu negara hukum (Rechtstaat atau Rule Of Law). Hal ini tercermin
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke empat Pasal 1 ayat(3) yang mengatakan
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum“. Selain itu Indonesia juga disebut negara Demokrasi
yang tercermin dalam Undang-Undang Dsara 1945 Amandemen ke empat Pasal 1 ayat(2),
bahwa ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Konsekuesi bahwa Indonesia adalah negara hukum bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara
adalah hukum.
Prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksnya kehidupan masyarakat di era
global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Negara hukum ádalah negara
yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Karena itu
10
pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam melaksananakan tindakan harus dilandasi oleh
hukum dan bertanggung jawab secara hukum.
Perkembangan negara hukum Indonesia di era moderen ini dipengaruhi oleh konsep
Eropa Continental yang disebut “Rechtstaat dan Anglo Saxon yang disebut Rule Of Law“ juga
berlakunya sistem hukum Islam dan hukum adat.
1. Eropa Kontinental ( Rechtstaat )
Sistem hukum rechtstaat adalah sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sitematis yang ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60 % negara Indonesia menganut sistem ini. Konsep
rechtstaat bertumpu pada asas legalitas dalam kerangka adanya aturan perundang-undangan yang
tertulis dan menitik beratkan kepastian. Pendekatanh yang ditekankan hádala keadilan
berdasarkan hukum dalam artian yang seluas-luasnya. Perkembangan rechtstaat di Eropa
Continental menurut F.J. Stahl mencakup empat hal :
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Sistem hukum Eropa kontinental berlaku dan ada di Indonesia dibuktikan dengan tatacara
berperkara (persidangan ) di Indonesia sama dengan sistem eropa kotinental, Contohnya dalam
beracara pidana misalkan dengan adanya : Hakim, Jaksa , Pengacara, Terdakwa dll yang sama
dengan negara penganut sistem hukum eropa kontinental seperti Belanda.Sistem Hukum Eropa
11
Kontinental ada di Indonesia dikarenakan faktor sejarah, yaitu karena Indonesia dijajah oleh
Belanda.
2. Anglo Saxon ( Rule Of Law)
Rule Of Law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara yang menganut
“Common Law System“ seperti Inggris dan Amerika Serikat. Ke dua Negara tersebut
mengejawantahkan sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban dan derajat dalam suatu
Negara dihadapan hukum. Sistem Rule Of Law adalah suatu system yang didasarkan atas
Yurisprudensi yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang menjadi dasar putusan hakim
selanjutnya. Konsep Rule Of Law dipelopori oleh Albert Venn Dicey memiliki tiga cirri penting
digabungkan dengan konsep Negara hukum F.J. Stahl :
1. Supremacy Of Law artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu
Negara adalah hukum.
2. Equality Before The Law artinya persamaan dalam kedudukan bagi semua warga Negara
baik selakupribadi maupun dalam kualifikasi sebagai pejabat Negara.
3. Dive Process Of Law artinya bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Konsep Rechtstaat lahir karena menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner
sedangkan Rule Of Law berkembang secara evolusioner yang bertumpu atas sistem hukum
Common Law.
Sistem hukum Anglo saxon berlaku di Indonesia dapat dibuktikan dengan:
1) ketentuan bahwa hakim diharuskan menggali nilai nilai yang hidup dimasyarakat;
2) kemudian dengan adanya yurisprudensi di Indonesia, bedanya yurisprudensi
dengan negara penganut anglo saxon secara murni adalah : di dalam negara 12
penganut anglo saxon murni (seperti Inggris), hakim terikat pada (precedent)
yaitu putusan putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama bersifat
mengikat kepada hakim hakim selanjutnya dalam melakukan putusan, sedangkan
di Indonesia tidak terikat, jika dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
masyarakat atau keadilan masyarakat, maka hakim boleh mengesampingkannya.
Indonesia pada saat ini menganut model negara hukum Campuran (mix law), yaitu antara
Anglo Saxon dan Eropa Continental. Alasannya, Indonesia sebagai negara hukum secara tegas
disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut
konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan
negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”.
Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik
yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang
historis masing-masing negara.
· Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-
unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
13
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai
berkut :
a. Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
b. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Kebebasan beragama dalam arti positif;
d. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
e. Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena
terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan
antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan
hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar
hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini
saling melengkapi.
Bukti bahwa sistem hukum Indonesia merupakan model negara hukum campuran adalah
dikarenakan beberapa hal seperti :
Dilihat dari substansi hukum, asas dan kaidah, hingga saat ini terdapat berbagai sistem
hukum yang berlaku, sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem
hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan.
Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam
14
lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang
diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-
bentuk hukum tertulis, para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran
hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya
dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut
kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan
hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah
Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam
kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan
baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum
khususnya peraturan perundang-undangan, sering dipandang sebagai urusan departemen
bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata
urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata
urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.
Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law.
Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law).
Ketentuan-ketentuan Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
sebagai contoh telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law
tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan Undang-Undang Kepailitan, Undang-
Undang Antimonopoli, juga sejumlah Undang-Undang HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).
15
Contohnya di Indonesia terdapat aturan pidana yang tertuang dalam KUHP, KUHP ini
merupakan peraturan perundang undang yang telah dikodifikasi, sedangkan aturan yang
dikodifikasi merupakan ciri dari model negara hukum Eropa Continental tapi disisi lain juga
munculnya Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang pencurian yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia. Munculnya perundang-undangan yang tidak dikodifikasi ini merupakan
ciri dari model negara hukum Aglo Saxon. Inilah yang menjadi bukti bahwa Indonesia menganut
model negara hukum Campuran antara model negara hukum Eropa Continental dan Aglo Saxon.
3. Sistem Hukum Islam
Di Indonesia juga berlaku sistem hukum Islam. Sistem hukum ini semula dianut oleh
masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebaran agama Islam. Kemudian
berkembang ke negara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara individual atau
kelompok. Sedangkan untuk beberapa negara di Afrika dan Asia perkembangannya sesuai
dengan pembentukan negara itu yang berasaskan ajaran Islam. Bagi negara Indonesia walaupun
mayoritas warga negaranya beragama Islam, pengaruh agama itu tidak besar dalam bernegara
karena pembentukan negara bukanlah menganut ajaran Islam.
Sistem hukum Islam bersumber kepada:
a. Quran, yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi
Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril;
b. Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadis) mengenai
Nabi Muhammad;
c. Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara kerja
(berorganisasi);
16
d. Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan diantara dua kejadian.
Cara ini dapat dijelmakan melalui metode ilmu hukum berdasarkan deduksi dengan
menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum lama dengan maksud
memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat
manusia. Karena itu dasar-dasar hukumnya mengatur mengenai segi-segi pembangunan, politik,
sosial ekonomi dan budaya, disamping hukum-hukum pokok tentang kepercayaan dan kebaktian
ibadat kepada Allah.
Sistem hukum Islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Islam dengan keimanan
lahir batin secara individual. Bagi negara-negara yang menganut asas hukum Islam dalam
bernegara melaksanakan peraturan-peraturan hukumnya secara taat sesuai yang dianggap adil
berdarkan peraturan perundangan negara yang dibuat dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peratunan :an perundang-
undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam,
antara lain:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini Undang-Undang No.
3 Tahun 2006).
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998).
4. Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
17
5. Undang-Undang No. 38 Tahun 2000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah
(ZTS).
6. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe
Aceh Darussalam.
7. Undang-Undang Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam.
8. Undang-Undang No. 4 1 Tahun 2004 tentang \Vakaf.
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan
lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang
Hukum Perkawinan.
b. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c. Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil.
d. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
e. Instruksi Presiden No.4 Tahun 2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di
NAD.
Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam,
peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa
penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde
Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an Undang-Undang Pokok Agraria No.7 Tahun 1980 dapat
disahkan sehagai undang-undang. Padahal Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dalam pasal 10-
12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
18
Keberadaan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi
Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan
yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan
umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru,
adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
4. Sistem Hukum Adat
Ada beberapa bagian bahwa hukum adat dianggap sebagai induk dari sistem hukum di
Indonesia yang dipadukan dengan sistem induk yang ada dari Eropa Kontinental. Pada
prinsipnya, Indonesia mengalami perubahan-perubahan hukum karena Indonesia pernah dijajah
oleh negara-negara Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) dan Jepang. Berkaitan dengan luasnya
wilayah Indonesia, maka beragam pula sistem hukum adat yang ada di Indonesia.
Ada beberapa golongan yang berkaitan dengan hukum adat :
a. Hukum adat mengenai sistem ketatanegaraan
Sebuah sistem hukum yang mengatur tata cara yang berkaitan dengan persoalan struktur
ketatanegaraan.
b. Hukum adat mengenai warga
Yaitu mengenai hukum pertanahan, hukum keluarga (pertalian anak), hutang-piutang
(agunan), dsb.
c. Hukum adat mengenai tindak pidana atau delik.
Berkaitan dengan persoalan pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi di wilayah
hukum adat.
19
Hukum adat yang ada di Indonesia sangat beragam, tersusun atas berbagai komunitas-
komunitas di dalamnya dan keberagaman tersebut dipengaruhi oleh beberapa sebab, diantaranya:
1. Karena pengaruh agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dsb.), misalnya:
- Di Jawa banyak dipengaruhi tatanan-tatanan dari zaman kerajaan Majapahit
(Hindu), serta beberapa pengaruh Islam yang datang melalui para pemuka
agama.
- Di Bali juga banya dipengaruhi oleh agama Hindu sehingga peraturan-
peraturan adatnya dipengaruhi oleh ketentuan dari agama Hindu.
- Di Aceh dipengaruhi oleh agama Islam.
- Di Ambon dan sekitarnya dipengaruhi oleh agama Kristen.
2. Karena pengaruh kerajaan-kerajaan besar dahulunya, contohnya:
- Kerajaan Sriwijaya yang mempengaruhi sistem hukum adat di daerah
Sumatera
- Kerajaan Majapahit yang mempengaruhi sistem hukum adat di Jawa.
3. Karena pengaruh bangsa-bangsa imigran yang pernah datang ke Indonesia,
contohnya bangsa Arab yang berpengaruh dalam pembentukan hukum adat di
daerah pesisir di utara Indonesia. China juga mempengaruhi hukum adat di
beberapa daerah tertentu. Dari imigran-imigran negara Eropa yang menjajah
Indonesia (Portugis, Spanyol, Belanda).
Keberagaman Sistem Hukum Adat yang ada di Indonesia menjadi bahan penelitian dari
berbagai kalangan ilmuan. Van Hollenhoven menyatakan bahwa ada 23 komunitas hukum adat
di Indonesia, diantaranya :
20
1. Sistem Hukum Adat Aceh, memiliki sistem hukum adat yang kuat yang
dipengaruhi oleh sistem kerajaan, imigran dan agama. Kekuatan sistem hukum
adat di Aceh dibuktikan bahwa Aceh memiliki tatanan kenegaraan yang sudah
tertata dengan baik jauh sebelum Indonesia merdeka.
2. Sistem Hukum Adat Gayo dan Batak, merupakan sistem hukum adat dengan
banyak komunitas di dalamnya yang dipengaruhi oleh agama, kerajaan serta
imigran-imigran Eropa.
3. Sistem Hukum Kelompok Komunitas Adat di Kepulauan Nias, memiliki
sistem hukum adat yang banyak dipengaruhi dari imigran, baik imigran dari
Eropa maupun Cina.
4. Sistem Hukum Adat Minangkabau, sistem hukum adat Minangkabau memiliki
ketentuan adat yang kuat pengaruhnya yang dipengaruhi dari sistem kerajaan dari
Minangkabau dan juga dipengaruhi oleh imigran Arab yang masuk ke
Minangkabau.
5. Sistem Hukum Adat Kepulauan Mentawai, memiliki ketentuan adat yang kuat
meski beberapa dari ketentuan adat tersebut ada juga yang melanggar sistem
hukum di Indonesia secara umum.
6. Sistem Hukum Adat Sumatera Selatan, memiliki sistem hukum adat yang
banyak dipengaruhi oleh adat kerajaan-kerajaan Melayu, dalam kaitannya dalam
hukum keluarga, sistem hukuman, termasuk juga sistem yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok dalam hal jual-beli.
7. Sistem Hukum Adat Enggano, memiliki sistem hukum adat yang banyak
dipengaruhi oleh sistem hukum dari imigran Eropa.
21
8. Sistem Hukum Adat Komunitas Melayu (di wilayah Sumatera Selatan bagian
utara, dekat dengan Malaka), sistem hukum adatnya sangat dipengaruhi oleh
budaya Melayu.
9. Sistem Hukum Adat Bangka-Belitung, memiliki sistem adat sendiri yang kuat
pengaruhnya bagi penduduk di daerah sana.
10. Sistem Hukum Adat Kalimantan, merupakan sistem hukum adat yang banyak
dipengaruhi oleh adat-istiadat suku Dayak Kaharingan yang masih mempercayai
kepercayaan Animisme.
11. Sistem Hukum Adat Suku Sangihe, Talaud, memiliki sistem hukum adat yang
banyak dipengaruhi oleh imigran China.
12. Sistem Hukum Adat Gorontalo.
13. Sistem Hukum Adat Toraja, merupakan sistem hukum adat dengan didasarkan
atas pengaruh adat komunitas Tana Toraja.
14. Sistem Hukum Adat Sulawesi Selatan, tetutama Bugis, yang memiliki sistem
hukum adat yang banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan.
15. Sistem Hukum Adat Maluku Utara.
16. Sistem Hukum Adat Ambon, merupakan sistem hukum adat yang dipengaruhi
oleh agama-agama Eropa (Kristen-Katolik).
17. Sistem Hukum Adat Maluku Tenggara (Tual, Maluku Utara).
18. Sistem Hukum Adat Papua.
19. Sistem Hukum Adat Nusa Tenggara Timur (Kupang), memiliki sistem hukum
adat yang banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya Portugal.
22
20. Sistem Hukum Adat Nusa Tenggara Barat (Bali, Lombok), sistem hukum
adatnya dipengaruhi oleh ajaran keagamaan Hindu.
21. Sistem Hukum Adat Jawa Pesisir & Madura (Jember, Banyuwangi,
Situbondo, Madura), memiliki sistem hukum adat yang dipengaruhi oleh
kebudayaan dan adat-istiadat Madura.
22. Sistem Hukum Adat Jawa Mataram (Blitar, Tulungagung, Kediri,
perbatasan Jatim-Jateng), merupakan sistem hukum adat yang dipengaruhi oleh
sistem kerajaan yang dahulu pernah ada dan mempengaruhi kehidupan
masyarakatnya.
23. Sistem Hukum Adat Sunda, merupakan sistem hukum adat yang pengaruhnya
didasarkan atas pengaruh kerajaan dan kebudayaan Sunda pada umumnya.
23
C. Perbandingan Sistem Hukum Negara Papua Nugini dan Negara Indonesia
1. Sistem Hukum Negara Papua Nugini
Papua Nugini menganut sistem Anglo Saxon. Sistem hukum Anglo Saxon lebih
mengutamakan pada Common Law, yaitu kebiasaan dan hukum adat masyarakat, sedangkan
undang-undang hanya mengatur pokok-pokoknya saja dan kehidupan masyarakat. Dengan
adanya common law, kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan, dan selalu
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju.
Sumber-sumber dalam sistem Anglo Saxon (putusan hakim, kebiasaan dan peraturan
administrasi) tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem
Eropa Kontinental. Selain itu peranan hakim dalam sistem Anglo Saxon berbeda dengan peranan
hakim pada sistem Eropa Kontinental. Pada sistem Anglo Saxon, hakim berfungsi tidak hanya
sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja,
melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim
mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain
untuk memutuskan perkara yang sejenis.
2. Sistem Hukum Negara Indonesia
Negara Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, sistem Anglo Saxon,
sistem hukum Islam dan sistem hukum adat. Hal ini dapat dibuktikan dengan:
a. Sistem hukum Eropa kontinental berlaku dan ada di Indonesia dibuktikan dengan
tatacara berperkara (persidangan ) di Indonesia sama dengan sistem eropa kotinental,
Contohnya dalam beracara pidana misalkan dengan adanya : Hakim, Jaksa,
Pengacara, Terdakwa dll yang sama dengan negara penganut sistem hukum eropa 24
kontinental seperti Belanda.Sistem Hukum Eropa Kontinental ada di Indonesia
dikarenakan faktor sejarah, yaitu karena Indonesia dijajah oleh Belanda. Selain itu, di
Indonesia terdapat aturan pidana yang tertuang dalam KUHP, KUHP ini merupakan
peraturan perundang undang yang telah dikodifikasi, sedangkan aturan yang
dikodifikasi merupakan ciri dari model negara hukum Eropa Continental.
b. Sistem hukum Anglo saxon berlaku di Indonesia dapat dibuktikan dengan:
1) ketentuan bahwa hakim diharuskan menggali nilai nilai yang hidup dimasyarakat;
2) kemudian dengan adanya yurisprudensi di Indonesia, bedanya yurisprudensi
dengan negara penganut anglo saxon secara murni adalah : di dalam negara
penganut anglo saxon murni (seperti Inggris), hakim terikat pada (precedent)
yaitu putusan putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama bersifat
mengikat kepada hakim hakim selanjutnya dalam melakukan putusan, sedangkan
di Indonesia tidak terikat, jika dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
masyarakat atau keadilan masyarakat, maka hakim boleh mengesampingkannya.
Selain itu, dengan munculnya perundang-undangan yang tidak dikodifikasi
merupakan ciri dari model negara hukum Aglo Saxon. Inilah yang menjadi bukti
bahwa Indonesia menganut model negara hukum Campuran antara model negara
hukum Eropa Continental dan Aglo Saxon.
c. Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peratunan :an perundang-
undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum
Islam, antara lain:
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan.
25
2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006).
3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini Undang-
Undang No. 10/1998).
4) Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
5) Undang-Undang No. 38 Tahun 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan
Shadaqah (ZTS).
6) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus
Nangroe Aceh Darussalam.
7) Undang-Undang Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam.
8) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Vakaf.
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-
peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
1) Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang
Hukum Perkawinan.
2) Peraturan Pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
3) Peraturan Pemerintah No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil.
4) Instruksi Presiden No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
5) Instruksi Presiden No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di
NAD.
26
Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam,
peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-Undang No.7 Tahun1989
tentang Peradilan Agama.
d. Di Indonesia terdapat beberapa golongan yang berkaitan dengan hukum adat :
1) Hukum adat mengenai sistem ketatanegaraan
Sebuah sistem hukum yang mengatur tata cara yang berkaitan dengan persoalan
struktur ketatanegaraan.
2) Hukum adat mengenai warga
Yaitu mengenai hukum pertanahan, hukum keluarga (pertalian anak), hutang-
piutang (agunan), dsb.
3) Hukum adat mengenai tindak pidana atau delik.
Berkaitan dengan persoalan pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi di
wilayah hukum adat.
27
top related