perbedaan kedalaman poket dan resesi gingiva pasien
Post on 01-Oct-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KEDALAMAN POKET DAN RESESI GINGIVA PASIEN PERIODONTITIS KRONIS PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK
Ferinda Putri1, Robert Lessang1, Yuniarti Soeroso1
1. Department of Periodontics, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya No.4,Jakarta Pusat, 10430, Indonesia
Email: ferindautami96@gmail.com
Abstrak
Latar belakang: Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko periodontitis kronis. Penelitian mengenai perbedaan kedalaman poket dan resesi gingiva pasien periodontitis kronis perokok dan bukan perokok belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan kedalaman poket dan resesi gingiva pasien periodontitis kronis perokok dan bukan perokok. Metode: Penelitian potong lintang pada masing-masing 101 subjek periodontitis kronis perokok dan bukan perokok yang diambil dari rekam medik klinik integrasi RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2010-2015. Hasil: Berdasarkan uji Mann-Whitney terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) rerata kedalaman poket dan resesi gingiva antara perokok dan bukan perokok. Kesimpulan: Rerata kedalaman poket dan resesi gingiva perokok lebih besar daripada bukan perokok.
The Difference of Pocket Depth and Gingival Recession between Smokers and Nonsmokers Chronic Periodontitis Patient
Abstract
Background: Smoking is one of the risk factors of chronic periodontitis. Studies that shows the difference of pocket depth and gingival recession of chronic periodontitis patient between smokers and nonsmokers are still rare. Objective: Knowing the difference of pocket depth and gingival recession between smokers and nonsmokers chronic periodontitis patient. Methods: A cross-sectional study was conducted using medical records of 101 smokers and 101 nonsmokers who suffered chronic periodontitis in integration clinic RSKGM FKG UI during 2010-2015. Results: Mann-Whitney test showed that there were significant differences in the average of pocket depth and gingival recession (p<0,05) between smokers and nonsmokers. Conclusions: The average of pocket depth and gingival recession in smokers is higher than nonsmokers.
Keywords : periodontitis; smokers; gingival recession; pocket depth
Pendahuluan
Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut dengan prevalensi
tertinggi kedua di dunia setelah karies. Dua bentuk utama dari penyakit inflamasi yang
mempengaruhi jaringan periodontal adalah gingivitis dan periodontitis. World Health
Organization melaporkan 10-15% populasi dunia menderita periodontitis (Petersen, 2005).
Periodontitis merupakan infeksi bakteri yang mempengaruhi seluruh bagian dari
jaringan periodontal dan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara plak yang
berakumulasi dan usaha pejamu untuk melawan infeksi ini. Periodontitis telah dibagi kedalam
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
tiga kategori utama salah satunya adalah periodontitis kronis. Periodontitis kronis merupakan
jenis periodontitis yang paling sering terjadi (Nield-Gehrig, 2008). Penelitian menyatakan
bahwa 40% dari penduduk dewasa pada negara berkembang mengalami periodontitis kronis
(Kian, 2005).
Periodontitis kronis atau sebelumnya disebut adult periodontitis atau chronic adult
periodontitis merupakan penyakit peradangan pada jaringan periodontal yang dapat
menimbulkan respon terhadap gingiva dan berlanjut ke sementum, ligamen periodontal dan
tulang alveolar. Gambaran klinis dari periodontitis kronis adalah adanya inflamasi
periodontal, bleeding on probing, pembentukan poket, kegoyangan gigi, supurasi dan resesi
gingiva. Poket periodontal dan resesi gingiva merupakan salah satu gambaran klinis
periodontitis kronis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya periodontitis kronis
(Novak, 2012). Poket periodontal dapat didefiniskan sebagai penambahan patologis
kedalaman sulkus gingiva (Fermin, 2012). Sementara itu resesi gingiva didefinisikan sebagai
terpaparnya permukaan akar gigi karena adanya migrasi apikal gingiva (Fiorelini, 2012).
Periodontitis kronis memiliki beberapa faktor risiko antara lain faktor lokal, faktor
sistemik, faktor lingkungan dan kebiasaan, serta faktor genetik. Salah satu kebiasaan yang
dapat menambah keparahan periodontitis kronis adalah kebiasaan merokok (Novak, 2012).
Kebiasaan merokok merupakan masalah kesehatan dunia karena dapat menyebabkan berbagai
penyakit dan bahkan kematian. World Health Organization memperkirakan kebiasaan
merokok menjadi penyebab kematian sekitar enam juta orang di seluruh dunia setiap
tahunnya (WHO, 2015). Menurut World Health Organization pada tahun 2012 Indonesia
menduduki peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India
(Asiking, 2016). Secara nasional prevalensi perokok pada tahun 2013 sebesar 36,3% dengan
prevalensi tertinggi berada pada provinsi Nusa Tenggara Timur (55,6%) (Depkes, 2013).
Kebiasaan merokok dapat dihubungkan dengan sejumlah penyakit, baik lokal maupun
sistemik. Penyakit sistemik yang dapat terjadi karena kebiasaan merokok antara lain penyakit
kardiovaskular, penyakit paru, serta penyakit yang berhubungan dengan fertilitas
(Mallampalli, 2006). Penelitian menyatakan bahwa perokok memiliki risiko tinggi penyakit
periodontal dan lesi mukosa mulut serta penyakit rongga mulut lainnya (Warnakulasuriya,
2010).
Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kedalaman poket periodontal dan resesi gingiva pada pasien. Haber & Kent
pada penelitiannya menyatakan bahwa secara umum perokok memiliki poket periodontal
pada daerah anterior lebih dalam dibanding dengan yang tidak pernah merokok. Penelitian
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
lain yang dilakukan oleh Van der Weijden GA dkk. menunjukkan bahwa perokok memiliki
poket yang lebih dalam pada permukaan bukal dan lingual dibandingkan dengan yang tidak
pernah merokok (Weijden, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Kamma dkk., Calsina dkk.,
dan Gunsolley dkk. mengatakan bahwa terjadi peningkatan resesi gingiva pada perokok
dibandingkan dengan bukan perokok (Sreedevi, 2012).
Berdasarkan penelusuran literatur yang telah dilakukan ditemukan bahwa beberapa
penelitian telah menyatakan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kedalaman
poket periodontal dan resesi gingiva. Namun, belum banyak penelitian yang secara spesifik
meneliti perbedaan kedalaman poket periodontal dan resesi gingiva pada pasien periodontitis
kronis yang merokok dan tidak merokok terutama di Indonesia. Maka dari itu peneliti akan
melakukan penelitian mengenai perbedaan kedalaman poket periodontal dan resesi gingiva
pada pasien periodontitis kronis perokok dan bukan perokok melalui studi retrospektif di
Klinik Integrasi RSKGM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode 2010-2015.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan kedalaman poket
periodontal dan resesi gingiva pada pasien periodontitis kronis perokok dan bukan perokok.
Tinjauan Teoritis Periodontitis kronis atau sebelumnya dikenal dengan nama adult periodontitis atau
chronic adult periodontitis merupakan jenis periodontitis yang paling sering terjadi.
Periodontitis kronis paling sering terjadi pada orang dewasa, namun dapat terjadi pada anak
dan remaja sebagai respons dari adanya akumulasi plak dan kalkulus. Periodontitis kronis
telah didefinisikan sebagai penyakit infeksi yang menghasilkan inflamasi didalam jaringan
pendukung gigi, hilangnya perlekatan progresif dan kehilangan tulang. Gambaran klinis
pasien dengan periodontitis kronis yang tidak terawat dapat berupa akumulasi plak
supragingiva dan subgingiva biasanya diasosiasikan dengan pembentukan kalkulus, inflamasi
gingiva, pembentukan poket, kehilangan perlekatan periodontal, kehilangan tulang alveolar,
resesi gingiva dan terkadang terdapat supurasi.
Periodontitis kronis dianggap sebagai penyakit dengan lokasi spesifik. Gambaran
klinis dari periodontitis kronis dipercaya disebabkan karena efek spesifik dari akumulasi plak
subgingiva di lokasi tertentu. Adanya efek lokal ini menyebabkan pembentukan poket,
kehilangan perlekatan dan tulang dapat terjadi pada satu permukaan gigi, sedangkan
permukaan lainnya berada pada keadaan normal. Secara umum periodontitis kronis memiliki
progres penyakit yang lambat. Namun, perkembangannya dapat dimodifikasi oleh faktor
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
sistemik, lingkungan dan tingah laku seperti merokok, diabetes, dan stress yang dapat
menyebabkan perubahan respon pejamu hingga menyebabkan progress penyakit yang
menjadi agresif. Salah satu bentuk faktor tingkah laku yang memperparah periodontitis
kronis adalah merokok. Ketika dikombinasikan dengan plak yang menyebabkan periodontitis
kronis, dapat terjadi peningkatan kerusakan periodontal yang dapat diobservasi pada pasien
merokok yang memiliki periodontitis kronis. Hasilnya pasien yang merokok dengan
periodontitis kronis memiliki kehilangan perlekatan dan kerusakan tulang yang lebih banyak,
adanya keterlibatan furkasi dan poket yang lebih dalam serta penurunan bleeding on probing.
Efek klinis, mikrobiologi dan imunologi merokok dapat mempengaruhi respon terhadap
terapi dan frekuensi penyakit rekuren.
Periodontitis kronis berdasarkan luas lokasi pada rongga mulut yang terinfeksi dapat
dibagi menjadi Localized Periodontitis dan Generalized Periodontitis. Periodontitis
diklasifikasikan sebagai localized jika kurang dari 30 % lokasi rongga mulut yang terdeteksi
mengalami kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang, Periodontitis diklasifikasikan
sebagai generalized jika terdapat 30% atau lebih daerah yang mengalami kehilangan
perlekatan dan kehilangan tulang. Periodontitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
keparahannya menjadi Slight (Mild) Periodontitis, Moderate Periodontitis,dan Severe
Periodontitis. Kerusakan periodontal dianggap mild apabila perlekatan klinis tidak hilang
lebih dari 1 sampai 2 mm. Kerusakan periodontal dianggap moderate ketika kehilangan
perlekatan terjadi sebesar 3 sampai 4 mm. Kerusakan periodontal diangap severe jika terjadi
kehilangan perlekatan 5 mm atau lebih (Novak, 2012).
Poket periodontal merupakan gambaran klinis paling utama yang menandakan adanya
penyakit periodontal. Poket periodontal dapat didefinisikan sebagai penambahan patologis
kedalaman sulkus gingiva. Penambahan kedalaman sulkus gingiva dapat disebabkan karena
pergerakan koronal margin gingiva, pergeseran apikal perlekatan gingiva atau kombinasi dari
kedua proses tersebut serta destruksi tulang alveolar. Poket periodontal dapat menyebabkan
terjadinya kegoyangan gigi dan eksfoliasi. Poket periodontal terdiri dari dua jenis yaitu poket
suprabony (supracrestal atau supraalveolar) yang memiliki gambaran klinis dasar, poket
berada lebih koronal dari tulang alveolar dibawahnya dan memiliki pola kehilangan tulang
horizontal. Jenis poket yang kedua adalah poket intrabony (infrabony, subcrestal,
intraalveolar) yaitu ketika dasar poket berada lebih apikal dari tulang alveolar dan memiliki
pola kehilangan tulang yang vertikal (Fermin, 2012).
Pengukuran kedalaman poket periodontal dilakukan dengan cara mengukur jarak dari
margin marginal gingiva ke dasar poket periodontal. Kedalaman poket diukur ke milimeter
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
penuh terdekat. Pengukuran dilakukan ke angka bulat yang lebih tinggi. Contohnya terlihat di
probe periodontal 3,5 mm maka kedalaman poket yang dihitung adalah 4 mm. Kedalaman
poket yang dihitung berada pada enam lokasi spesifik pada setiap gigi yaitu distofasial, fasial,
mesiofasial, distolingual, lingual, dan mesiolingual (Nield-Gehrig, 2008). Pengukuran poket
dilakukan dengan memasukan probe periodontal dengan gaya yang terbatas (0.2-0.3 N) ke
arah apikal paralel dengan aksis gigi diantara gingiva dan permukaan gigi hingga tekanan dan
perlawanan jaringan seimbang. Kedalaman poket periodontal dilihat dari hubungan margin
gingiva ke penanda pada periodontal probe (Eickholz, 2004).
Resesi gingiva merupakan salah satu gambaran klinis periodontitis kronis yang
memiliki arti terpaparnya permukaan akar karena adanya pergeseran apikal posisi margin
gingiva. Resesi gingiva merujuk kepada lokasi gingiva bukan pada kondisinya. Gingiva yang
mengalami resesi bisa berada dalam keadaan terinflamasi atau dalam keadaan normal kecuali
lokasinya. Resesi gingiva dapat terjadi terlokalisir pada satu gigi atau beberapa gigi, atau
dapat tegeneralisasi di seluruh rongga mulut. Resesi gingiva dapat menyebabkan terbukanya
sementum dibawahnya dan menyebabkan hipersensitifitas, retensi plak, karies akar dan
penurunan estetis. Hiperemia pulpa dapat terjadi karena terpaparnya permukaan akar. Pasien
biasanya datang ke dokter gigi dengan keluhan hipersensitifitas dan estetik. Pergeseran apikal
gingiva biasanya merupakan hasil akumulasi dari efek keterlibatan patologis minor dan
trauma minor berulang pada gingiva. Resesi gingiva memiliki berbagai etiologi termasuk
diantaranya kesalahan metode menyikat gigi (abrasi gingiva), malposisi gigi, gesekan
abnormal jaringan lunak (ablasi gingiva), inflamasi gingiva, perlekatan frenulum yang
abnormal dan iatrogenik. Merokok dan adanya kalkulus supragingival merupakan faktor
paling signifikan yang diasosiasikan dengan resesi gingiva terlokalisasi dan tergeneralisasi.
Hubungan merokok dengan resesi gingiva dapat berasal dari penurunan aliran darah ke
gingiva dan perubahan respon imun, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan (Fiorellini,
2012).
Miller dalam penelitiannya pada tahun 1985 membuat klasifikasi dan sampai sekarang
menjadi klasifikasi yang paling sering digunakan untuk mendeskripsikan resesi gingiva. Pada
klasifikasi yang diajukan oleh Miller terdapat empat kategori, yaitu: Kelas I: ketika resesi
gingiva belum meluas ke batas mucogingival junction dan belum terjadi kehilangan tulang
atau jaringan lunak di daerah interdental, Kelas II: ketika resesi gingiva telah meluas ke batas
mucogingival junction atau melebihi batas mucogingival junction, namun belum terjadi
kehilangan tulang dan jaringan lunak pada daerah interdental, Kelas III: ketika resesi gingiva
telah meluas ke batas mucogingival junction atau melebihi batas mucogingival junction, dan
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
telah terjadi kehilangan tulang dan jaringan lunak pada daerah interdental apikal dari CEJ
namun koronal dari resesi gingiva, Kelas IV: ketika resesi gingiva telah meluas ke batas
mucogingival junction atau melebihi batas mucogingival junction, dan telah terjadi
kehilangan tulang dan jaringan lunak pada daerah interdental apikal dari margin resesi
gingiva. Marini dkk. dalam penelitiannya membagi resesi gingiva menjadi tiga kategori
berdasarkan dimensi apiko-korona permukaan akar yang terpapar karena resesi gingiva, yaitu
resesi gingiva ringan jika kurang dari 3 mm permukaan akar yang terpapar, resesi gingiva
sedang jika 3-4 mm permukaan akar terpapar dan resesi gingiva berat jika lebih dari 4 mm
permukaan akar terpapar (Chrysanthakopoulos, 2010).
Menurut peraturan pemerintah No 19 tahun 2003 pasal 1 dikatakan rokok merupakan
hasil olahan tembakau yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica
dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. Rokok biasanya berbentuk silinder dari kertas berukuran panjang antara 70-
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm dan berisi daun
tembakau yang telah dicacah. Definisi dari merokok adalah tindakan menghisap dan
mengepulkan asap rokok yang berasal dari rokok dan cerutu (Aula, 2010). Perokok menurut
World Health Organization merupakan seseorang yang pada saat dilakukannya survei
menghisap jenis produk tembakau apapun baik setiap harinya maupun sekali-sekali,
sedangkan sesorang dikatakan bukan perokok (non-smokers) jika pada saat dilakukan survei
tidak merokok sama sekali (WHO, 1998).
Rokok diperkirakan mengandung lebih dari 4000 kandungan yang aktif secara
farmakologi, beracun, mutagenik dan karsinogenik. Rokok mengandung 43 zat karsinogenik.
Rokok terdiri dari fase gas yang memiliki komposisi karbon monoksida, nitrogen, oksigen,
dan karbon dioksida serta fase partikel yang terdiri dari nikotin, tar dan hidrokarbon polisiklin
aromatik. Komposisi rokok bervariasi tergantung dari tipe tembakau dan cara rokok dihisap
(Singh, 2013). Nikotin merupakan agen farmakologi pada rokok yang menyebabkan
ketagihan. Efek adiktif dari nikotin dikaitkan dengan kemampuannya untuk melepaskan
dopamine. The Royal College of Physicians menyatakan bahwa nikotin menyebabkan
ketagihan seperti heroine dan cocaine. Nikotin akan diabsorbsi oleh tubuh dengan cepat dan
mencapai otak dalam 10-19 detik. Nikotin dapat menyebabkan peningkatan pada tekanan
darah, peningkatan denyut jantung dan laju pernapasan, dan dapat menyebabkan
vasokonstriksi periferal. Tar merupakan zat yang berwarna cokelat yang lengket yang dapat
menyebabkan stain berwarna cokelat atau kuning pada jari dan gigi. Hubungan antara tar tiap
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
batang rokok dengan risiko kesehatan masih belum jelas. Tar diduga menjadi penyebab
kanker paru pada perokok (Novak, 2012).
Peningkatan prevalensi dan keparahan kerusakan jaringan periodontal diasosiasikan
dengan interaksi bakteri dengan pejamu yang berubah. Interaksi yang tidak seimbang antara
pejamu dengan bakteri dapat disebabkan oleh perubahan komposisi plak subgingiva, dengan
peningkatan jumlah dan virulensi organisme patogenik, perubahan respon pejamu terhadap
bakteri atau kombinasi keduanya. Penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki
penurunan ekspresi inflamasi karena akumulasi plak dibandingkan pasien yang bukan
perokok. Oleh karena itu perokok memiliki gambaran inflamasi gingiva yang lebih ringan
serta aliran GCF, bleeding on probing, dan pembuluh darah gingiva yang lebih sedikit
dibanding bukan perokok. Walaupun inflamasi gingiva pada perokok terlihat lebih berkurang
dibanding bukan perokok, terdapat peningkatan prevalensi dan keparahan kerusakan
periodontal pada perokok. Penelitian membuktikan bahwa kedalaman poket, kehilangan
perlekatan, dan kehilangan tulang alveolar terlihat lebih jelas pada pasien perokok dibanding
bukan perokok. Perokok berisiko empat kali lebih besar terkena periodontitis dibandingkan
dengan bukan perokok. Jumlah rokok yang dihisap setiap harinya memiliki hubungan dengan
kemungkinan pasien mengalami periodontitis (Novak, 2012).
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi retrospektif dan analitik dari data sekunder
dengan pendekatan potong lintang.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSKGM FKG UI pada bulan Juni hingga September 2016
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang diambil dari rekam medik periodontal adalah pasien penderita
periodontitis kronis yang merokok ataupun tidak merokok pada tahun kunjungan 2010-
2015.
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
4. Alir Kerja Penelitian
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
5. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi pengolahan data statistik SPSS.
Analisis diawali dengan analisis univariat untuk melihat distribusi subjek penelitian
kemudian dilakukan uji normalitas. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk
menganalisis perbedaan kedalaman poket dan resesi gingiva pada perokok dan bukan
perokok. Apabila distribusi data normal, digunakan uji independent t-test dengan nilai
signifikansi sebesar 5%. Namun, apabila distribusi data tidak normal, dapat digunakan uji
Mann-Whitney dengan nilai signifikansi sebesar 5%. Hasil dikatakan berbeda bermakna
jika p ≤ 0,05 dan dikatakan tidak berbeda bermakna jika p ≥ 0,05.
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
Hasil Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus-September 2016. Data penelitian
diambil dari rekam medik pasien Klinik Integrasi RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2010-
2015. Jumlah rekam medik yang memiliki data yang lengkap terkumpul sebanyak 538 rekam
medik, dari 538 rekam medik yang diperoleh, terdapat 138 perokok dan 400 bukan perokok.
Kelompok pada penelitian ini dibagi menjadi subjek perokok dan bukan perokok. Teknik
purposive sampling dilakukan pada 138 subjek perokok, sehingga didapatkan 101 subjek
perokok dengan periodontitis kronis yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Pengambilan sampel untuk kelompok subjek bukan perokok dilakukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling sehingga didapatkan 231 subjek bukan perokok
sesuai dengan kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilanjutkan dengan menggunakan teknik
blind sampling untuk mendapatkan 101 subjek bukan perokok dari 231 subjek yang sesuai
dengan kriteria inklusi.
Tabel 1. Distribusi Variabel Demografi dan Status Klinis Subjek Penelitian
Variabel Frekuensi Persentase Kumulatif
Kebiasaan Merokok Perokok 101 50,0 50,0 Bukan Perokok 101 50,0 100,0 Jenis Kelamin Laki-Laki 141 69,8 69,8 Perempuan 61 30,2 100,0 Usia 17-25 tahun 34 16,8 16,8 26-35 tahun 29 14,4 31,2 36-45 tahun 55 27,2 58,4 46-55 tahun 51 25,2 83,6 56-65 tahun 28 13,9 97,5 >65 tahun 5 2,5 100,0 Status Kebersihan Mulut Baik 6 3,0 3,0 Sedang 63 31,2 34,2 Buruk 133 65,8 100,0
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa mayoritas subjek penelitian ini adalah laki-
laki (69,8 %). Selain itu, diketahui bahwa mayoritas subjek memiliki status kebersihan mulut
yang buruk (65,8%).
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Kelompok Usia
Kebiasaan Merokok (N) Usia Perokok (N = 101) Bukan Perokok (N = 101) 17 – 25 Tahun 13 (6,44 %) 21 (10,40 %) 26 – 35 Tahun 15 (7,43 %) 14 (6,93 %) 36 – 45 Tahun 32 (15,84 %) 23 (11,39 %) 46 – 55 Tahun 22 (10,89 %) 29 (14,35 %) 56 – 65 Tahun 16 (7,92 %) 12 (5,94 % ) >65 Tahun 3 (1,48 %) 2 (0,99 %)
Berdasarkan tabel 2, subjek pada penelitian ini terbagi menjadi enam kelompok usia.
Kelompok usia 17-25 tahun memiliki jumlah subjek 13 orang pada kelompok perokok dan 21
orang pada kelompok bukan perokok. Kelompok usia 26-35 tahun memiliki jumlah subjek 15
orang pada kelompok perokok dan 14 orang pada kelompok bukan perokok. Kelompok usia
36-45 tahun memiliki jumlah subjek 32 orang pada kelompok perokok dan 23 orang pada
kelompok bukan perokok. Kelompok usia 46-55 tahun memiliki jumlah subjek 22 orang pada
kelompok perokok dan 29 orang pada kelompok bukan perokok. Kelompok usia 56-65 tahun
memiliki jumlah subjek 16 orang pada kelompok perokok dan 12 orang pada kelompok bukan
perokok. Kelompok usia >65 tahun memiliki jumlah subjek 3 orang pada kelompok perokok
dan 2 orang pada kelompok bukan perokok. Tabel 3. Nilai Rerata, Minimum, Maksimum Poket Periodontal Subjek Periodontitis Kronis Perokok dan
Bukan Perokok
Rerata Poket ± SD (mm) Min- Max (mm) 95% CI Perokok 3,96 ± 0,119 2-7 3,72-4,20 Bukan Perokok 2,93 ± 0,049 2-4 2,83-3,03
Tabel 4. Distribusi Poket Periodontal Subjek Periodontitis Kronis Perokok dan Bukan Perokok
Kebiasaan Merokok (N) Perokok (N = 101) Bukan Perokok (N = 101) Kedalaman Poket 1-3 mm
45 (44,55 %)
92 (91,09 %)
4-6 mm 52 (51,49 %) 9 (8,91 %) ≥ 7 mm 4 (3,96 %) 0 (0 %)
Tabel 3 dan 4 menunjukkan terdapat perbedaan rerata dan distribusi poket periodontal
antara kelompok subjek perokok dan bukan perokok. Distribusi pada kelompok poket 1-3 mm
pada kelompok perokok sebesar 45 subjek, sedangkan pada kelompok bukan perokok sebesar
92 subjek. Kelompok poket 4-6 mm memiliki jumlah subjek sebesar 52 subjek pada
kelompok perokok dan 9 subjek pada kelompok bukan perokok. Kelompok poket ≥7 mm
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
memiliki jumlah subjek sebesar 4 orang pada kelompok perokok dan tidak ada subjek pada
kelompok bukan perokok.
Tabel 5. Nilai Rerata, Minimum, Maksimum Resesi Gingiva Subjek Periodontitis Kronis Perokok dan Bukan Perokok
Rerata Resesi
Gingiva ± SD (mm) Min- Max(mm) 95% CI
Perokok 2,19 ± 0,132 0 – 6 1,93 – 2,45 Bukan Perokok 1,52 ± 0,098 0 – 4 1,33 – 1,72
Tabel 6. Distribusi Resesi Gingiva Subjek Periodontitis Kronis Perokok dan Bukan Perokok
Kebiasaan Merokok (N) Perokok (N = 101) Bukan Perokok (N = 101) Resesi Gingiva 0 - 2 mm
73 (36,14 %)
86 (42,57 %)
3 – 4 mm 18 (8,91 %) 15 (7,43 %) > 4 mm 10 (4,95 %) 0 (0 %)
Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6 terdapat perbedaan rerata dan distribusi resesi gingiva
antara kelompok subjek perokok dan bukan perokok. Distribusi subjek dengan resesi gingiva
0 – 2 mm sebanyak 73 subjek pada kelompok perokok dan 86 subjek pada kelompok bukan
perokok. Subjek dengan resesi gingiva 3 - 4 mm sebanyak 18 subjek pada kelompok perokok
dan 15 subjek pada kelompok bukan perokok. Subjek dengan resesi gingiva lebih dari 4 mm
sebanyak 10 subjek pada kelompok perokok dan tidak ada subjek pada kelompok bukan
perokok.
Tabel 7. Rerata Poket Periodontal Pasien Periodontitis Kronis Perokok dan Bukan Perokok Berdasarkan Kelompok Usia
Rerata Kedalaman Poket ± SD (mm)
Usia Perokok Bukan Perokok
17 – 25 Tahun 3,54 ± 0,243 2,90 ± 0,095 26 – 35 Tahun 4,00 ± 0,258 3,00 ± 0,105 36 – 45 Tahun 3,59 ± 0,210 2,91 ± 0,087 46 – 55 Tahun 4,45 ± 0,292 3,00 ± 0,111 56 – 65 Tahun 4,25 ± 0,310 2,75 ± 0,179 >65 Tahun 4,33 ± 0,333 3,00 ± 0
Tabel 8. Rerata Resesi Gingiva Pasien Periodontitis Kronis Perokok dan Bukan Perokok Berdasarkan Kelompok Usia
Rerata Resesi Gingiva ± SD (mm) Usia Perokok Bukan Perokok
17 – 25 Tahun 1,92 ± 0,400 1,76 ± 0,217
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
26 – 35 Tahun 2,13 ± 0,336 1,29 ± 0,286 36 – 45 Tahun 2,16 ± 0,186 1,61 ± 0,224 46 – 55 Tahun 2,64 ± 0,298 1,55 ± 0,161 56 – 65 Tahun 2,00 ± 0,408 1,17 ± 0,297 >65 Tahun 1,67 ± 0,882 1,50 ± 0,500
Tabel 7 menunjukkan bahwa rerata poket periodontal terbesar pada subjek perokok
dan bukan perokok berada pada kelompok usia 45-55 tahun. Tabel 8 menunjukan bahwa
rerata resesi gingiva terbesar pada subjek perokok berada pada kelompok usia 46-55 tahun,
sedangkan pada subjek bukan perokok berada pada kelompok usia 17-25 tahun.
Analisis bivariat pada penelitian ini terdiri analisis perbedaan rerata kedalaman poket
periodontal dan resesi gingiva pada subjek perokok dan bukan perokok yang terlibat
periodontitis kronis. Sebelum dilakukan analisis bivariat, dilakukan uji normalitas data. Uji
normalitas data yang digunakan adalah uji Kolmogorof-Smirnof karena besar sampel
penelitian lebih dari 50. Jika hasil uji normalitas data menunjukan hasil distribusi data yang
normal atau nilai p>0,05, maka uji yang akan digunakan selanjutnya adalah uji parametrik.
Sebaliknya, jika hasil distribusi data tidak normal, maka dilakukan uji-nonparametrik.
Tabel 9. Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov
Variabel Nilai p Kedalaman Poket Perokok 0,000 Bukan Perokok 0,000 Resesi Gingiva Perokok 0,000 Bukan Perokok 0,000
Keterangan : Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov, p> 0,05 = distribusi normal
Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorof-Smirnof pada tabel 9 terlihat bahwa
variabel tidak terdistribusi normal. Oleh karena itu, untuk maka uji hipotesis yang digunakan
adalah uji non parametrik Mann-Whitney.
Tabel 10. Hasil Uji Kemaknaan Perbedaan Rerata Kedalaman Poket dan Resesi Gingiva antara Perokok dan Bukan Perokok
Nilai Rerata ± SD (mm) Nilai p Perokok Bukan Perokok Poket Periodontal 3,96 ± 0,119 2,93 ± 0,049 0,000 Resesi Gingiva 2,19 ± 0,132 1,52 ± 0,098 0,001
Berdasarkan hasil uji nonparametrik Mann-Whitney pada tabel 10 menunjukan bahwa
rerata kedalaman poket antara subjek perokok dan bukan perokok adalah 0,000 (p<0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna rerata kedalaman poket antara perokok
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
dan bukan perokok. Tabel 5.9 juga menunjukan bahwa rerata resesi gingiva antara subjek
perokok dan bukan perokok adalah 0,001 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna rerata resesi gingiva antara perokok dan bukan perokok. Dengan
demikian hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan kedalaman poket periodontal dan
resesi gingiva pada pasien periodontitis kronis perokok dan bukan perokok diterima.
Pembahasan Berdasarkan hasil pengumpulan dan pemilihan rekam medik, didapatkan sebanyak
538 rekam medik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan seluruh data rekam
medik tersebut diambil 202 subjek yang dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu 101 subjek
perokok dan 101 subjek bukan perokok dengan periodontitis kronis yang memenuhi kriteria
inklusi. Pemilihan data tidak mempertimbangkan usia dan jenis kelamin subjek. Data yang
telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Product and
Service Solution) dan dianalisis menggunakan uji hipotesis nonparametrik Mann Whitney
karena distribusi data yang tidak normal.
Hasil uji statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna (p<0,05) rerata poket periodontal pada perokok dan bukan perokok. Rerata poket
periodontal pada perokok adalah 3,96 ± 0,119, sedangkan rerata poket periodontal pada bukan
perokok adalah 2,93 ± 0,049. Hal ini menunjukkan bahwa perokok memiliki rerata poket
periodontal yang lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Feldman dkk., dan Ismail dkk., yang mengatakan
bahwa perokok memiliki rerata poket periodontal yang secara signifikan lebih besar
dibandingkan dengan bukan perokok (Razali, 2005).
Hasil uji statistik pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna (p<0,05) rerata resesi gingiva pada perokok dan bukan perokok. Rerata resesi
gingiva pada perokok adalah 2,19 ± 0,132, sedangkan rerata resesi gingiva pada bukan
perokok adalah 1,52 ± 0,098. Hal ini menunjukkan bahwa perokok memiliki rerata resesi
gingiva yang lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamma dkk., Calsina dkk., Gunsolley dkk., dan
Chrysanthakopoulos yang menyatakan adanya resesi gingiva yang lebih besar pada perokok.
Walaupun begitu hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh
Muller dkk., yang tidak mendukung hipotesis bahwa perokok memiliki resesi gingiva yang
lebih besar dibanding bukan perokok (Sreedevi, 2012).
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
Faktor lain dapat mempengaruhi terjadinya resesi gingiva seperti kebiasaan
membersihkan gigi yang terlalu keras, tekanan frenulum, trauma oklusal, serta faktor
iatrogenik. Kebiasaan merokok dan adanya kalkulus supragingiva menjadi faktor yang paling
signifikan yang diasosiasikan dengan resesi gingiva. Walaupun jumlah plak yang sama
ditemukan pada perokok dan bukan perokok, namun perokok memiliki kalkulus supragingiva
yang lebih banyak dibandingkan dengan bukan perokok (Chrysanthakopoulos, 2010).
Penelitian ini tidak terlepas dari sejumlah kekurangan, yaitu data diambil dari rekam
medik yang menyebabkan adanya keterbatasan informasi yang diperoleh jika dibandingkan
dengan dilakukan pengambilan data langsung. Data yang tidak lengkap salah satunya adalah
data mengenai berapa banyak jumlah rokok yang dikonsumsi pasien setiap harinya dan sudah
berapa lama pasien tersebut merokok. Hal ini menjadi masalah mengingat semakin banyak
jumlah rokok yang dikonsumsi setiap harinya dan semakin lama kebiasaan merokok pasien
konsisten dengan peningkatan kedalaman poket periodontal dan resesi gingiva
(Chrysanthakopoulos, 2010). Penulisan pada rekam medik juga terkadang ambigu dan tidak
terbaca yang dapat menyebabkan terjadinya interpretasi yang berbeda dari seharusnya.
Kekurangan lain pada penelitian ini adalah tidak adanya kontrol terhadap faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi kedalaman poket dan resesi gingiva pada pasien periodontitis
kronis. Hal ini dikarenakan kedalaman poket periodontal dan resesi gingiva seseorang tidak
hanya dipengaruhi oleh kebiasaan merokok saja, tetapi juga oleh faktor lain seperti usia, jenis
kelamin, kebiasaan menyikat gigi dan trauma oklusi.
Kesimpulan
Rerata kedalaman poket periodontal dan rerata resesi gingiva pada subjek perokok
lebih besar jika dibandingkan dengan subjek bukan perokok yang mana berdasarkan analisis
statistik, hal tersebut berbeda bermakna secara signifikan.
Saran
1. Untuk institusi Kedokteran Gigi, sebaiknya dilakukan proses kalibrasi dalam pengisian
rekam medik agar didapatkan keseragaman dalam pengisian rekam medik. 2. Untuk pengisian data rekam medik selanjutnya, sebaiknya mencantumkan riwayat
merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi pasien setiap harinya.
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
3. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya mengontrol faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kondisi jaringan periodontal.
Daftar Referensi 1. Almeida, P. (2008). Saliva Compositions and Functions: A Comprehensive Review. The
Journal Of Contemporary Dental Practice, 9(3), 1-11.
2. PE Petersen, Ogawa H. (2005). Strengthening The Prevention of Periodontal Disease: the
WHO Approach. J Periodontol, 76(12), 2187–92.
3. Nield-Gehrig J, William D. (2008). Foundations of Periodontics for the Dental Hygienist.
2nd ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
4. Kian CY, Asari A. (2005). Clinical Practice Guidelines, Management of Chronic
Periodontitis. Minist Health Malays, 1.
5. Novak M, Novak KF. (2012). Chronic Periodontitis. In Newman M, Carranza F, Takei H,
(eds.), Carranza’s Clinical Periodontology. 11th ed. Philadelphia: W.B Saunders Co.
6. Fermin A, Carranza, Camargo P. (2012). The Periodontal Pocket. In Newman M,
Carranza F, Takei H, (eds.), Carranza’s Clinical Periodontology. 11th ed. Philadelphia:
W.B Saunders Co.
7. Fiorelini J, Kao DW, Kim DM et al. (2012). Anatomy of the Periodontium. In Newman
M, Carranza F, Takei H, (eds.), Carranza’s Clinical Periodontology. 11th ed.
Philadelphia: W.B Saunders Co.
8. World Health Organization. (2015). WHO Global Report on Trends in Prevalence of
Tobacco Smoking 2015. Geneva: World Health Organization.
9. Asiking W, Rottue J, Malara R. (2016). Hubungan Merokok dengan Kesehatan Gigi dan
Mulut pada Pria Dewasa di Desa Poyowa Kecil Kecamatan Kotamobagu Selatan Kota
Kotamobagu. Ejournal Keperawatal E-Kp, 4(1), 1-5.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013). Kementerian Kesehatan RI.
RISKESDAS 2013. Kementerian Kesehatan RI, 12-13.
11. Mallampalli A, Guntupalli KK. (2006). Smoking and Systemic Disease. Clin Occup
Environ Med, 5(1), 173-92.
12. Warnakulasuriya S, Dietrich T, Bornstein M. (2010). Oral health risks of tobacco use
and effects of cessation. Int Dent J, 60, 7–30.
13. Weijden V der, Slegate D, Tunnerman M. (2001). Periodontitis in Smokers and Non-
smokers : Intra-Oral Distribution of Pockets. J Clin Periodontol, 28, 955–60.
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
14. Sreedevi M, Ramesh A, Dwarakanath Ch. (2012). Periodontal Status in Smokers and
Nonsmokers: A Clinical, Microbiological, and Histopathological Study. Int J Dent, (10),
7-8.
15. Eickholz P. (2004). Clinical Periodontal Diagnosis: Probing Pocket Depth, Vertical
Attachment Level and Bleeding on Probing. Perio, 1(1), 75–80.
16. Fiorellini J, Kim DM, Uzel N. (2012). Clinical Features of Gingivitis. In Newman M,
Carranza F, Takei H, (eds.), Carranza’s Clinical Periodontology. 11th ed. Philadelphia:
W.B Saunders Co.
17. Chrysanthakopoulos N. (2010). Occurrence, Extension and Severity of the Gingival
Recession in a Greek Adult Population Sample. J Periodontol Implant Dent, 2(1), 37–42.
18. Aula LE. (2010). Stop Merokok! Jogjakarta: Garailmu.
19. World Health Organization. (1998). Guidelines for Controlling and Monitoring the
Tobacco Epidemic. Geneva: World Health Organization, 1-190.
20. Singh G, Amit B, Yaswin S. (2013). Smoking and Periodontal Diease. J Pharm Sci
Innov, 2(2), 7–13.
21. Razali M, Palmer RM. (2005). A Retrospective Study of Periodontal Disease Severity in
Smokers and Non-Smokers. Br Dent J, 196(8), 495-8.
22. Chrysanthakopoulos N. (2010). Gingival Recession and Smoking in Young Adults: A
Cross-sectional Survey. J Periodontol Implant Dent, 2(2), 77–82.
Perbedaan kedalaman ..., Ferinda Putri Utami, FKG UI, 2016
top related