percobaan tindak pidana penadahan dalam pasal 480 jo pasal 53 kuhp … · 2020. 11. 2. ·...
Post on 01-Feb-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
PERCOBAAN TINDAK PIDANA PENADAHAN DALAM PASAL 480 JO
PASAL 53 KUHP DITINJAU MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
AFNAN WILDANA
NIM. 150104045
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Pidana Islam
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2020 M/1442 H
-
ii
AFNAN WILDANA
NIM. 150104045
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Pidana Islam
-
iii
-
iv
Afnan Wildana
-
v
ABSTRAK
Nama : Afnan Wildana
NIM : 150104045
Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/Hukum Pidana Islam
Judul : Percobaan Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 Jo
pasal 53 KUHP ditinjau Menurut Perspektif Hukum
Pidana Islam
Tanggal Sidang : 31 Agustus 2020
Tebal Skripsi : 68
Pembimbing I : Prof. Dr. H. MukhsinNyak Umar, M.A
Pembimbing II : Dr. Badrul Munir, Lc, M.A
Kata Kunci : Tindak Pidana, Percobaan, Penadahan
Percobaan penadahan merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan membeli, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk
menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan,
mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda. Percobaan
penadahan merupakan tindakan menadah suatu barang hasil kejahatan seperti
pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan rampasan yang dimana
pelaku penadahan tidak dapat menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan
karena ada faktor dari luar keinginan pelaku atau faktor eksternal. Tindak pidana
percobaan penadahan merupakan suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas,
tetapi masyarakat menganggap bahwa melakukan tindak pidana percobaan
penadahan bukan merupakan suatu tindak pidana. Dengan adanya percobaan
penadahan barang curian ini maka tindak pidana terhadap harta benda dapat
meningkat dan berkembang. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah
bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap ancaman hukuman bagi
pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP? dan
bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana percobaan penadahan
dalam hukum pidana Islam? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, jenis
penelitian library research (studi pustaka) dengan pendekatan penelitian yuridis
normatif (hukum normatif). Hasil penelitian adalah tindak pidana percobaan
penadahan merupakan tindak pidana yang belum selesai dan tidak boleh
disamakan dengan tindak pidana yang sudah selesai, karena perbedaan antara
melakukan percobaan penadahan dengan tindak pidana penadahan itu sendiri
masih jauh. Ancaman hukuman bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal
480 Jo Pasal 53 KUHP ditinjau menurut hukum pidana Islam adalah dijatuhi
hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir merupakan suatu hukuman yang tidak atau
belum diketahui secara khusus dalil dan nashnya sehingga diserahkan kepada
penguasa untuk menetapkan hukuman. Dalam hukum pidana Islam kejahatan
yang dihukum dengan jarimah hudud dan qishah diyat yang tidak memenuhi
syarat maka hukumannya dialihkan pada hukuman ta’zir.
-
vi
KATA PENGANTAR
ِبْسِم الّلِه الرَّْحَمِن الرَِّحيْ
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
Tuhan semesta alam yang telah memberikan anugerah, kesempatan, rahmat dan
karunia serta hidayah–Nya, tak lupa pula shalawat dan salam penulis sanjungkan
kepangkuan junjungan alam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabat-sahabat baginda.
Alhamdulillah atas berkat Allah SWT penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini demi melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar
sarjana pada Progam Studi Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang berjudul “Percobaan Tindak Pidana
Penadahan Dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP Ditinjau Menurut
Perspektif Hukum Pidana Islam”
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mengalami berbagai kesulitan
dan hambatan, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud
kecuali berkat bantuan dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini izinkanlah
penulis ingin mengucapkan syukur dan terima kasih dari hati yang paling dalam
dan tulus kepada keluarga terutama kedua orang tua saya ayahanda Dr. H.
Basidin Mizal M.Pd dan ibunda Dra. Hj. Zumidar, yang telah membesarkan
adinda dengan sangat ikhlas dan selalu mendoakan serta memberi dukungan
disetiap saat beserta seluruh ahli keluarga yang lainnya yang disayangi. Di atas
dukungan dari segi moral dan material buat penulis untuk mencapai kejayaan.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih juga yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Prof. Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, M.A selaku pembimbing I
dan Bapak Dr. Badrul Munir, Lc., M.A selaku pembimbing II yang telah
meluangkan banyak waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan nasehat
dengan penuh keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini
-
vii
sampai selesai. Begitu juga kepada Bapak Dr. Kamarruzzaman, M. Sh selaku
sebagai Penasehat Akademik. Terima kasih pula kepada Bapak Muhammad
Siddiq, M.H., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan Bapak Dr.
Faisal, S. TH., MA beserta serta jajaran stafnya dan seluruh dosen yang telah
mengajar dan membekali ilmu sejak semester pertama hingga sampai selesai
perkuliahan. Tidak lupa pula dengan sahabat yang telah membantu sampai
dengan tahap ini Nadia, S.E, kawan-kawan seperjuangan di Fakultas Syariah
dan Hukum terutama untuk jurusan Hukum Pidana Islam leting 2015 yang
tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk kerjasama dan
kebersamaanya.
Penulis mengucapkan terima kasih kembali kepada semua pihak yang
sudah ikut memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis tidak akan pernah melupakan
orang-orang yang ada dibelakang.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, semua itu tiada
lain karena keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, untuk perbaikan
skripsi ini, harapan penulis agar kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita memohon jasa baik yang
disumbangkan oleh semua pihak akan dibalas oleh-Nya.
Aamin ya rabbal ‘Alamin..
Banda Aceh, 27 Agustus 2020
Penulis,
Afnan Wildana
-
viii
TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158
Tahun 1987 -Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan
No
Arab
Latin
Ket
No
Arab
Latin
Ket
1
ا
Tidak dilambang
kan
16
ط
ṭ
t dengan titik
di bawahnya
2
ب
b
17
ظ
ẓ z dengan titik di bawahnya
‘ ع t 18 ت 3
4
ث
ṡ s dengan titik
di atasnya
19
غ
g
f ف j 20 ج 5
6
ح
ḥ h dengan titik di bawahnya
21
ق
q
k ك kh 22 خ 7
l ل d 23 د 8
9
ذ
ż z dengan titik
di atasnya
24
م
m
n ن r 25 ر 10
w و z 26 ز 11
h ه s 27 س 12
’ ء sy 28 ش 13
14
ص
ṣ s dengan titik di bawahnya
29
ي
y
15
ض
ḍ
d dengan titik di bawahnya
2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
-
ix
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan Huruf
Nama
Gabungan Huruf
ي َ َ Fatḥah dan
Ya
ai
و َ َ Fatḥah dan
Wau
au
Contoh:
haula : ه لو kaifa : فيك 3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf
Nama
Huruf dan tanda
/ي َ ا
Fatḥah dan alif atau ya
ā
َ ي Kasrah dan ya ī
َ ي
Dammah dan
Waw
ū
Contoh:
qāla : ق ال ramā: ر مى
Tanda Nama Huruf Latin
َ َ Fatḥah a َ Kasrah i
َ Dammah u
-
x
qīla : يق ل
yaqūlu : ي قول
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:
a. Ta marbutah (ة) hidup
Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah (ة) mati
Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah (ة) diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl : ورةض اافطالل
al-Madīnah al-Munawwarah/al-MadīnatulMunawwarah : اةنيدمل اونملرة
ṭalḥah : طحلة
Catatan:
Modifikasi
1 Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa
transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya
ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn Sulaiman.
2 Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia,
seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.
3 Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa
Indonesia tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.
-
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 SK Penetapan Pembimbing Skripsi ......................................... 68
-
xii
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL .................................................................................. i
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ ii
PENGESAHAN SIDANG ............................................................................ iii
PENYERTAAN KEASLIAN KARYA TULIS .......................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi
DAFTAR ISI ................................................................................................. xii
BAB SATU PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................. 7 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7 D. Penjelasan Istilah .............................................................. 8 E. Kajian Pustaka .................................................................. 9 F. MetodePenelitian .............................................................. 12
1. Jenis Penelitian ............................................................ 13 2. Pendekatan Penelitian ................................................. 13 3. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 13 4. Sumber Data ................................................................ 14 5. Analisis Data ............................................................... 15 6. Pedoman Penulisan ..................................................... 15
G. Sistematika Pembahasan ................................................... 15
BAB DUA PRESPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKU
PERCOBAAN ........................................................................ 17
A. Pengertian Tindak Pidana ................................................. 17 B. Jenis-jenis Tindak Pidana ................................................. 20 C. Gambaran Umum Penadahan Dalam Hukum Islam ................ 29 D. Pengertian Percobaan Tindak Pidana ....................................... 31 E. Syarat Percobaan Tindak Pidana ............................................. 35 F. Fase-Fase Percobaan Jarimah .................................................. 40 G. Sebab Tidak Selesainya Perbuatan Percobaan ......................... 42
-
xiii
BAB TIGA ANCAMAN HUKUMAN TERHADAP PELAKU
PERCOBAAN PENADAHAN .......................................... 46
A. Gamabaran Umum Pasal 480 KUHP Tentang Penadahan ........................................................................ 46
B. Ancaman Hukuman Delik Percobaan Penadahan ........... 51 C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukuman Percobaan
Penadahan ........................................................................ 56
BAB EMPAT PENUTUP ........................................................................... 62
A. Kesimpulan ..................................................................... 62 B. Saran ............................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 64
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... 67
LAMPIRAN .................................................................................................. 68
-
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berkembang yang mana dalam
kehidupan sosialnya tidak terlepas dari berbagai masalah. Salah satu masalah
yang timbul ditengah masyarakat tersebut antara lain adalah masalah kriminal.
Kejahatan yang tidak habis-habisnya dilakukan oleh siapapun yang
menginginkannya, hal ini didorong oleh berbagai macam faktor, terutama faktor
dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, hal ini erat kaitannya dengan
kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat
dihindari dan memang selalu ada. Sehingga wajar bila menimbulkan keresahan
karena kriminalitas dianggap sebagai gangguan terhadap kesejahteraan
penduduk daerah serta lingkungannya. Masalah kriminalitas sebagai suatu
kenyataan sosial tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial
ekonomi, politik dan budaya sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan
saling mempengaruhi satu sama lain.1
Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti
fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar dan
bahkan berbuat kejahatan. Di Indonesia hukum yang mengatur tentang hukuman
bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) yaitu, peraturan hukum yang mencakup keharusan dan larangan serta
bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi hukuman terhadapnya.2
Dalam agama Islam setiap kemaslahatan yang berhubungan dengan kehidupan
manusia dan hak milik individu manusia di antaranaya berupa harta benda,
1Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,( Jakarta: Melton Putra 1983), hlm. 2.
2 Marwan M. dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm.
269.
-
2
sehingga Islam tidak menghalalkan seseorang merampas dan mengambil hak
milik orang lain dengan alasan apapun. Sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu
dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa (urusan)
hartamu itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian
mengetahui (Q.S. Al-Baqarah:188)3
Salah satu prinsip syariat terpenting menjaga harta benda, sehingga
Islam selalu menjaga harta benda setiap individu. Kasus-kasus pidana yang
sering terjadi didalam masyarakat adalah tindak pidana terhadap harta kekayaan,
bentuk kasus ini antara lain pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan,
merusak, dan penadahan. Istilah tindak pidana penadahan dalam dunia kriminal
yaitu membeli barang yang ternyata merupakan hasil kejahatan seperti
pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan termasuk pula barang yang
terjadi karena telah dilakukan suatu kejahatan, seperti mata uang palsu.
Tindak pidana penadahan menurut Code Penal Prancis, yaitu:
“sesuai dengan kebanyakan perundang-undangan pidana dari berbagai
Negara di eropa yang berlaku pada abad ke-18, perbuatan menadah benda-benda
yang diperoleh karena kejahatan tidak dipandang sebagai suatu kejahatan yang
berdiri sendiri atau zelfstanding misdrijft, melainkan suatu perbuatan membantu
kejahatan atau sebagai suatu medeplichtigheid dalam suatu kejahatan, yaitu
dengan perbuatan mana pelaku dapat memperoleh benda-benda yang diperoleh
dari kejahatan”.
3QS. Al-Baqarrah (2): 188.
-
3
Bahwa kejahatan terhadap benda akan tampak meningkat di Negara-
negara yang sedang berkembang. Kenaikan ini sejalan dengan perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi di setiap negara tidak terkecuali negara maju
sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang mengancam dan
menggangu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Hal ini menunjukkan
kejahatan tidak hanya tumbuh subur di negara miskin dan berkembang, tetapi
juga di negara-negara sudah maju. Masalah pidana yang paling sering terjadi di
masyarakat adalah tindak pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana
materiil), seperti pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan,
dan penadahan.4
Tentu dengan adanya penadah memberikan ruang keuntungan dan
memudahkan pencuri melaksanakan kejahatannya, dikarenakan adanya orang
yang akan menampung dan membeli hasil dari perbuatannya. Sehingga pelaku
pencurian lebih merasa mudah untuk menjual barang yang dicurinya
dikarenakan ada seorang penadah yang berkedok sebagai pedagang atau
konsumen yang siap membeli barang curiannya.
Orang yang dijadikan tersangka dalam kasus penadahan seringkali
berdalih bahwa yang bersangutan tidak mengetahui barang yang diperolehnya
itu adalah hasil dari kejahatan. Oleh karena itu, maka penyidik harus jeli
sehingga tidak mudah terpengaruh dengan pengakuan tersangka tersebut.5
Tetapi apabila penadah atau pembeli berdalih bahwa mereka tidak
mengetahui itu, merupakan barang curian, seharusnya pembeli sudah menaruh
curiga dikarenakan barang yang dibeli lebih murah dibandingkan dengan harga
normal atau harga pasaran dan apabila tetap membeli barang yang disangka
4 M. Kholil, “Tinjauan Empiris Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Menyakhut Hak-
hak Konsumen dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen,” Jurnal Hukum Bonum Commune, Vol. 1, No 1 [2018]. Diakses melalui
https.//jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/bonumcommune/article/download/1756/1488, tanggal 2
Maret 2020. 5Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 362
-
4
merupakan hasil dari curian maka pembeli dapat disangkakan telah melakukan
tindak pidana penadahan.
Tindak pidana penadahan sendiri telah diatur oleh KUHP dalam Buku II
Bab XXX yang secara keseluruhan ada dalam tiga pasal yaitu pasal 480, 481,
dan 482 KUHP. Tindak pidana penadahan diatur dalam pasal 480 KUHP
berbunyi sebagai beriukut:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama empat (4) tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus (900,-) rupiah:
1. Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima
hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau
menyembunyikan suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus
diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
2. Barangsiapa menarik keuntungan sesuatu benda, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.6
Unsur penting pasal ini adalah tersangka atau terdakwa harus
mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari
kejahatan. Disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari
kejahatan apa ( pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu, atau
lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka ( mengira,
menduga, mencurigai ) bahwa barang itu bukan “barang terang”/ilegal. Untuk
memenuhi unsur ini memang agak sulit, akan tetapi dalam praktek biasanya
dapat dilihat dari keadaan atau cara diperolehnya barang itu, misalnya dibeli
dengan harga di bawah harga normal pasaran atau dibawah kewajaran, dibeli
pada waktu malam atau secara sembunyi-sembunyi yang menurut ukuran di
6 Soerodibroto Sunarto, KUHP dan KUHAP,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hlm. 2.
-
5
tempat itu memang mencurigakan. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal
dari pencurian, penggelapan, penipian, pemalsuan uang, dan lain-lain.7
Selain itu, apabila seseorang ingin membeli barang hasil dari curian
tersebut tetapi ketika akan melakukan transaksi tertangkap oleh penyedik
keadaan ini disebut sebagai tindak pidana percobaan penadahan yang sudah
diatur dalam kitab Undang-undang hukum pidana. Dimana terhentinya tindak
pidana kejahatan dikarenakan bukan karena kehendak sediri.
Kata percobaan atau (poging) berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan,
yang pada hakikatnya tidak atau belum dapat tercapai. Dalam hukum pidana
percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau
aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya apabila dalam hukum pidana
dibicarakan hal percobaan, berarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur
belum tercapai tidak ada.8
Pogging sendiri di tentukan dalam Bab IV Pasal 53 KUHP yaitu9 :
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan di
kurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Dalam pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan
tentang pengertian percobaan. Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu
7
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 314. 8
Wijono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,( Bandung:
PT.Eresco,1989), hal. 97 9 Moeljatno, KUHP,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm, 24.
-
6
perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau jinhah), tetapi perbuatan
tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehendak pelaku.10
Jarimah atau tindak pidana percobaan dalam hukum Islam tidak banyak
di bicarakan oleh para ulama karena perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah
ta’zir yang banyak berubah ruang dan waktu.Walupun demikian, masalah
melakukan jarimah ini disinggung oleh mereka secara umum, seperti ketika
mereka membicarakan tentang fase-fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang
melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran
atau adanya niat, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.11
Islam hanya membagi kejahatan kepada:
1. Hudud, pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, khamar, memerangi
Allah dan Rasul.
2. Qisas/diat
3. Ta’zir yaitu bermacam-macam pidana berkaitan dengan ketentraman
umum yang dikelompokkan sebagai perbuatan maksiat.
Percobaan pelanggaran termasuk juga perbuatan yang tergolong maksiat.
Dalam Islam pada prinsipnya bahwa niat/perencanaan tanpa pelaksanaan
perbuatan jahat tidak diancam dengan dosa apalagi dengan hukuman.
Sedangkan niat/perencanaan kebaikan adalah pahala. Mengenai persiapan untuk
melakukan jarimah tetap diukur apakah perbutan itu termasuk maksiat atau
tidak. Jika perbuatan itu termasuk maksiat maka hukumannya adalah ta’zir.
Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas,
melainkan dengan hukuman ta’zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan
kepada penguasa negara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: fiqih jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika 2004),hlm. 60. 11
Djazuli A, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam: fiqih jinayah,(Jakarta : Raja
Grafindo Persada,1996), hlm. 21.
-
7
jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang
oleh penguasa negara tersebut, diserahkan kepada mereka agar bisa disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana penadahan
merupakan suatu kejahatan yang membantu pencuri untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang dapat menguntungkan pelaku pencurian. Melakukan
suatu percobaan penadahan ternyata juga merupakan suatu tindak pidana yang
sudah diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dibahas juga oleh
para ulama walaupun tidak banyak. Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas
penulis tertarik untuk meneliti masalah percobaan penadahan ini dengan judul
“Percobaan Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP
Ditinjau Menurut Perspektif Hukum Pidana Islam”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap ancaman hukuman
bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP?
2. Bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku Tindak Pidana Percobaan
Penadahan dalam hukum pidana Islam?
C. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penulisan karya ilmiah tentu tidak terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis itu sendiri maupun bagi
para pembaca. Adapun yang menjadi penelitian dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap ancaman hukuman
bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo pasal 53 KUHP.
2. Untuk mengetahui bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku tindak
pidana percobaan penadahan dalam hukum pidana Islam.
-
8
D. Penjelasan Istilah
Untuk lebih mudah memahami pembahasan ini, maka penulis terlebih
dahulu menjelaskan beberapa istilah yang tedapat dalam judul skripsi ini
sehingga pembaca terhindar dari kesalapahaman dan dapat memahaminya.
Berikut istilah-istilah yang perlu dijelaskan:
1. Hukum Islam
Hukum islam berasal dari dua kata, yaitu hukum dan Islam. Dalam
KBBI hukum diartikan dengan peraturan atau patokan atau Undang-undang.
Menurut istilah, hukum adalah peraturan atau norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam masyarakat tertentu. Sedangkan Islam menurut bahasa
adalah keselamatan atau kesejahteraan.Sedangkan menurut istilah.Hukum Islam
adalah agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad untuk
mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya kepada semua manusia. Dengan kata
lain hukum Islam adalah seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari
Allah dan Nabi Muhammad untuk mengatur tingkah laku manusia dalam
masyarakat.12
2. Tindak pidana (jinayah)
Secara etimologis, jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang ia perbuat. Secara
terminologis,jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan yang diharamkan oleh
hukum islam, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun lainnya.13
3. Percobaan
Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju
kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak membuat
sesuatu yang sudah dimulai tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan
12
www.suduthukum.com/2015/06/pengertian-hukum-islam-syariat-fiqh.html?m=1
diakses pada 10 juli 2019 pukul 11.44 WIB 13
Abdul Qadir Audah, Ensiopedia Hukum Pidana Islam III, (Bogor: PT. Kharisma
Ilmu), hlm, 175.
-
9
membunuh orang, telah menyerang tetapi orang yang diserang itu tidak sampai
mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil dan
sebagainya.14
4. Tindak pidana penadahan
Tindak pidana penadahan adalah kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan membeli sesuatu barang yang ternyata merupakan hasil
kejahatan seperti pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan rampasan.
Yang dinamakan “ sengkokol” atau biasa pula disebut “tadah” itu sebenarnya
hanya perbuatan yang disebut pada pasal 480 ayat (1) KUHP karena sebagai
sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima
gadai, menerima sebagai hadiah, atau kehendak karena mendapat untung,
menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau
menyembunyikan suatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya
di peroleh karena kejahatan.15
E. Kajian Pustaka
Dalam melakukan pembahasan yang berkaitan dengan masalah
ini,banyak ditemukan literatur yang berkaitan dengan pokok masalah ini yang
dapat membantu dalam melakukan pembahasan diantaranya:
Pertama, skripsi atas nama M.Sholihul Ibad NIM:2103188 IAIN
Walisongo Semarang dengan judul Studi Komperatif tentang Tindak Pidana
Percobaan dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia.
Indikasi yang dibahas dalam skripsinya adalah lebih menitik beratkan terhadap
percobaan melakukan jarimahmustahil yang dalam hukum pidana positif dikenal
dengan nama “oendeug delijke poging”( percobaan tak terkenan = as-syuru fi al
Jarimah al-mustahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi
(mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannya tidak sesuai.
14
Seosilo R, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik khusus,
(Bandung: PT. Karya,1984), hal.76 15
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana..., hlm.314.
-
10
Dikalangan sarjana-sarjana hukum positif pelaku “oendeug delijke poging”
(percobaan tak terkenan = as-syuru fi al Jarimah al-mustahilah) tidak dapat
dipindana, sedangkan pendirian hukum pidana Islam tentang percobaan
melakukan jarimah lebih mencakup dari hukum positif. Sebab menurut hukum
Islam setiap perbuatan yang tidak selesai yang sudah termasuk maksiat harus
dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.Akan tetapi,
menurut hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman.16
Kedua, skripsi ditulis oleh M. Shodik Aviano, mahasiswa Hukum
Universitas Brawijaya dengan judul Upaya Polri dalam Menaggulangi Tindak
Pidana Penadahan Kendaraan Bermotor Hasil Pencurian (Studi Kasus di
Polres Malang). Skripsi ini membahas mengenai upaya polri dalam
menaggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian,
kemudian permasalahan-permasalahan yang timbul dan modus-modus apa saja
yang dilakukan oleh pelaku kejahatan yang menimbulkan adanya praktek-
praktek penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian serta upaya-upaya yang
dilakukan oleh polri dalam meminimalisir tingkat penadah kendaraan bermotor
hasil pencurian, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh polri dalam rangka
menanggulangan tindak pidana penadahan kendaraan bermotor.
Ketiga, skripsi atas nama Harisoeddin Nim: 140104028 UIN Ar-Raniry
Fakultas Syariah dan Hukum dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Penadahan
Berdasarkan Pasal 480 dalam Prespektif Fikih Jinayah (Analisis Putusan
Pengadilan Banda Aceh No. 149/Pid.B/2015/PN. Bna).Skripsi ini membahas
tentang bagaimana tindak pidana penadahan menurut hukum positif dan fikih
16
Skripsi M.Sholihul Ibad, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, Studi
Komperatif Tentang Tindak Pidana Percobaan dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif
di Indonesia, Tahun 2010.
-
11
jinayah dan prespektif fikih jinayah terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda
Aceh Nomor 149/Pid.B/2015/PN.Bna dan nomor 135/Pid.B/2015/PN.Bna.17
Keempat, skripsi atas nama Junaedi Aziz, mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul Analisis Yuridis Terhadap
Percobaan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ( Studi Kasus Putusan
No. 256/Pid.B/2013/PN.Mks ). Skripsi ini membahas tentang tujuan untuk
mengetahui penerapan hukum pidana terhadap percobaan tindak pidana
pencurian dengan kekerasan serta pertimbangan hukum hakim dalam memutus
perkara percobaan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.18
Kelima, skripsi atas nama Eka Sulistya Nugraha, mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Tinjauan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Terhadap Perkara Penadahan Mobil ( Studi
Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). Skripsi ini membahas tentang tujuan
hukum pidana dalam praktek tindak pidana penadahan, dan untuk mengetahui
faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim di Pengadilan
Negeri Surakarta dalam mengadili terdakwa tindak pidana penadahan.19
Keenam, skripsi thesis atas nama Imron Burhanudin, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Sunan Kalijaga dengan judul Tindak Pidana
Percobaan Pencurian ( Studi Komparasi Antara Hukum Pidana Islam dan
KUHP). Skripsi thesis ini bertujuan untuk mengetahui kriteria-kriteria seseorang
itu dikatakan telah melakukan tindak pidana percobaan pencurian dalam hukum
pidana Islam dan hukum pidana Indonesia (KUHP) serta untuk mengetahui
17
Skripsi Harisoeddin, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Saksi Pidana
Terhadap Penadahan Berdasarkan Pasal 480 dalam Prespektif Fikih Jinayah (Analisis Putusan
Pengadilan Banda Aceh No.149/Pid.B/ 2015/PN.BNA). 18Skripsi Junaedi Aziz, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, Analisis
Yuridis Terhadap Percobaan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ( Studi Kasus
Putusan No. 256/Pid.B/2013/PN.Mks ), Tahun 2014. 19
Skripsi Eka Sulistya Nugraha, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tinjauan
Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terhadap Perkara Penadahan Mobil ( Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Surakarta), Tahun 2009.
-
12
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana percobaan pencurian
dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia (KUHP).20
Dari uraian di atas pembahasan yang akan penulis kaji berbeda dengan
pembahasan penelitian-penelitian terdahulu. Seperti skripsi M. Sholihul Ibad
yang lebih menitik beratkan terhadap tindak pidana dalam hukum Islam dan
hukum Pidana Positif di Indonesia. Lalu skripsi atas nama M. Shodik Aviano
yang membahas tentang Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Terhadap Perkara Penadahan Mobil (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Surakarta), membahas mengenai upaya polri dalam menaggulangi tindak pidana
penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian. Lalu ada skripsi Harisoeddin,
Junaedi Aziz, dan Eka Sulistya Nugraha dimana mereka sama-sama membahas
putusan hakim terhadap suatu perkara yang mereka angkat untuk dijadikan
penelitian.Dan yang terakhir skripsi thesis dari Imron Burhanudin membahas
tentang kriteria-kriteria seseorang itu dikatakan telah melakukan tindak pidana
percobaan pencurian dalam hukum pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia
(KUHP), dan untuk mengetahui pertanggung jawaban pidananya.
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas maka dapat diketahui
bahwa sudah ada yang membahas masalah tindak pidana penadahan dan tindak
pidana percobaan akan tetapi belum ada yang membahas secara khusus
mengenai pokok permasalahan yang penulis ingin kaji yaitu tentang Percobaan
Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 jo Pasal 53 KUHP di Tinjau
Menurut Perspektif Hukum Islam.
F. Metode Penelitian
Pada dasarnya dalam melakukan setiap penulisan karya ilmiah selalu
memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode
20
Skripsi thesis Imron Burhanudin, Fakultas Hukum, Universitas Sunan Kalijaga,
Tindak Pidana Percobaan Pencurian ( Studi Komparasi Antara Hukum Pidana Islam dan
KUHP ), Tahun 2003
-
13
penelitian dan cara-cara tertentu yang disesuaikan dengan permasalahan yang
hendak dibahas guna menyelesaikan oenulisan karya ilmiah tersebut.
1. Jenis penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan
(LibraryResearch) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-
sumber tertulis, seperti buku-buku, kitab-kitab, artikel dan yang lainnya.21
Yang
berkaitan dengan pembahasan ini, sehingga ditemukan data-data yang akurat
dan jelas.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Yuridis normatif ditunjukan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis
yang dilakukan melalui studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan
(library research), yaitu suatu bentuk penelitian yang datanya diperoleh dari
pustaka, dimana penelitian ini lazimnya menggunakan data skunder.22
3. Teknik pengumpulan data
Metode pengumpulan data yaang penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah:
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber
tertulis, seperti buku-buku, kitab-kitab, artikel dan yang lainnya.23
Yang
berakaitan dengan pembahasan ini, sehingga ditemukan data-data yang akurat
dan jelas. Adapun buku yang menjadi rujukan bagi penulis adalah buku
karangan A.Djazuli yang berjudul fiqh jinayah,(upaya-upaya menaggulangi kejahatan
dalam Islam. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana tindak pidana percobaan dalam
21
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm. 50-51. 22
Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitia Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 13. 23
Bambambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 50-51.
-
14
hukum Islam. Selanjutnya buku rujukan saya adalah buku yang ditulis oleh Lamintang
dengan judul delik-delik khusus: kejahatan-kejahatan terhadap harta kekayaan dalam
buku ini menjelaskan tentang kejahatan terhadap harta kekayaan termasuk juga tindak
pidana penadahan. Dua buku tersebut merupakan rujukan saya dalam menulis skripsi
ini dan masih banyak masih banyak buku-buku lain yang ada kaitannya dengan skripsi
ini yang membantu saya dalam penelitian.
4. Sumber data
Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi
pertimbangan dalam menentukan metode penulisan, mengumpulkan data dalam
penelitian. Terdapat tiga sumber data yang akan dijadikan sumber rujukan atau
landasan utama dalam penelitian ini.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan utama, yaitu data yang langsung
memberikan informasi kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan bahan hukum primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 480 tentang Penadahan, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 53 Percobaan.
b. Bahan hukum skunder
Sumber skunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang telah ada
dan memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer. Contoh: buku,
artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier ini bersifat menunjang maupun petunjuk penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan skunder. Seperti, ensiklopedia, kamus,
dan referensi dari internet sebagai pelengkap penulisan skripsi ini.24
24
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2010), hlm.
103-104.
-
15
5. Analisis data
Analisis data merupakan suatu proses dari tindak pidana lanjut
pengolahan data dari seorang peneliti. Pada tahap analisis data peneliti harus
membaca data yang telah terkumpul dan melalui pengolaan data akhirnya
peneliti menemntukan analisis yang bagaimana untuk diterapkan.25
Setelah mengumpulkan data-data yang diperlukan, selanjutnya dilakukan
analisis secara sistematis terhadap pandangan-pandangan, pernyataan-
pernyataan yang tertuang dalam data-data tersebut yang berkaitan dengan obyek
penelitian skripsi ini. Selanjutnya akan dilakukan analisis untuk memperoleh
gambaran mengenai ketentuan-ketentuan tentang masalah percobaan tindak
pidana penadahan.
5. Pedoman penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis juga berpedoman pada
buku Panduan Penulisan Skripsi tahun 2019 yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
H. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan lebih teratur dan terarah serta memudahkan para
pembaca, maka disini akan diuraikan secara singkat mengenai sistematika
pembahasan skripsi ini yang terdiri dari empat bab.
Bab pertama sebagai gambaran umum tentang judul yang akan dikaji
dan dibahas dalam bab-bab selanjutnya yang didalamnya terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teoritis, bab ini diantaranya akan mengurai
tentang Pengertian Tindak Pidana, jenis-jenis tindak pidana, gambaran umum
penadahan dalam hukum Islam, pengertian percobaan tindak pidana, syarat
25
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dan Praktek..., hlm. 77.
-
16
percobaan tindak pidana, fase-fase percobaan jarimah, dan sebab tidak selesainya
perbuatan percobaan.
Bab ketiga adalah ancaman hukuman bagi pelaku percobaan penadahan
dalam Pasal 480 KUHP, bab ini diantaranya akan menguraikan tentang
gambaran umum Pasal 480 KUHP tentang penadahan, ancaman hukuman delik
percobaan penadahan, dan tinjauan hukum Islam terhadap hukuman percobaan
penadahan.
Bab keempat merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian
pembahasan skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran
-
17
BAB DUA
PRESPEKTIF HUKUM TERHADAP PELAKU PERCOBAAN
PENADAHAN DALAM ISLAM
A. Pengertin Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dikenal dengan istilah strafbaar dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
perbuatan pidana atau tindak pidana.26
Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan
perbuataan pidana. Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana menunjuk
kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat
tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.
Dapat diartikan demikian karena kata perbuatan tidak mungkin berupa
kelakukan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu
adalah hanya manusia.27
Selain itu, kata perbuatan lebih menunjuk pada arti sikap yang
diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).28
Tindak pidana juga merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara yuridis atau secara kriminologis.
Barda Nawawi Arief menyatakan “tindak pidana secara umum dapat diartikan
26 Abuadin Syah “Tindak Pidana Kekekrasan Seksual dalam Rumah Tangga dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan Hakim No Perkara:51/Pid.Sus/2016/PNBkj)”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry), hlm.10-11. 27
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: RajawaliPress 2012), hlm.48. 28
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.48.
-
18
sebagai perbuatan melawan hukum baik secara formal maupun secara
materiil”.29
Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur
tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “tindak pidana adalah
perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”.30
Pada kesempatan yang lain, dia juga
mengatakan dengan subtansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar
larangan tersebut. Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai
pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum
pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.31
Dalam hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah
jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata
jana. Hukum pidana atau fiqh jinayah. Jinayah merupakan suatu tindakan yang
dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta,
keturunan, dan akal (intelegensi). Sebagian fuqaha’ menggunakan kata jinayah
untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Dengan
demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.32
Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Mawardi. Segala
larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal
29
Adami Chazawi, Pelajaran Tindak Pidana (Stlsel Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas berlakunya Hukum Pidana), (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011),
hlm.79. 30
Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia, (
Pekanbaru: Suska Pres, 2015), hlm.50. 31
Mahruz Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.98. 32 Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam (Sleman: Logung Pustaka,
2004), hlm 2
-
19
yang mewajibkan) dengan diancam hukuman had atau ta’zir.33
Dalam hal ini
perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbutan yang jelas-jelas dilarang
oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah jika seseorang tersebut
meninggalakan perbuatan yang menurut peraturan harus dikerjakan dan tidak
ada mudarat kepada orang lain.
Abdul Qadir Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan bahwa
larangan dalam fiqh jinayah dalam definisi diatas menjelaskan makna. “yang
dimaksud mudarat (larangan) adalah melakukan sesuatu perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan.”
Dapat diambil pengertian bahwa kata jarimah identik dengan pengertian
yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran.
Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam
Hukum positif, contoh-contoh jarimah pencurian, Jarimah pembunuhan dan
sebagainya diistilahkan dengan tindak pidana pencurian, tindak pidana
pembunuhan, dan sebagainya.
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut
ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari
larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang
tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu
dapat dilarang dengan ancaman pidana jika dilanggar.
Suatu perbuatan dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan
unsurnya. Unsur jarimah dapat dikatagorikan menjadi 2 (dua): pertama unsur
umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam setiap jarimah. Kedua
unsur khusus, yaitu unsur-unsur yang terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.
Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:
33 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,
hlm.1-3
-
20
1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nash)
Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melanggar hukum dan pelaku
tindak pidana kecuali adanya nash dan undang-undang yang mengatur. Dalam
hukum positif masalah itu dikenal engan asas legalitas, yaitu suatu perbuatan
tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi
sebelum adanya peraturan yang mengundang-undangkannya.
Dalam syariat Islam lebih dikenal dengan istilah
a. Ar-rikn asy-syar’i
b. Ar-ruknil arbi
c. Ar-ruknil madhi
2. Unsur materiil (sifat melawan hukum)
Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik
dengan sikap berbuat maupun dengan tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum
pidan Islam atau fiqh jinayah disebut dengan al-rukn al-madi.
Disamping unsur-unsur umum, ada unsur khusus yang berlaku di dalam
suatu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah yang lain. Misalnya,
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur
khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam
pemberontakan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur yang umum dan yang
khusus dalam jarimah terdapat perbedaan, unsur umum jarimah macamnya
hanya satu dan sama pada tiap jarimah, sedangkan unsur yang khusu berbeda-
beda pada setiap jenis jarimahnya.
B. Jenis-jenis Tindak Pidana
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu
atau mengklarifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan
34
Tindak Pidana dan Sanksi Hukumannya dalam Islam ,
http://eprints.walisongo.ac.id/3809/3/082211007_Bab2.pdf diakses pada 2 Maret 2020
http://eprints.walisongo.ac.id/3809/3/082211007_Bab2.pdf
-
21
kehendak yang mengklarifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar
apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana.
KUHP sendiri telah mengklarifikasikan tindak pidana atau delik kedalam
dua kelompok besar yaitu dalam Buku Ke II dan Ke III masing-masing menjadi
kelompok kejahatan dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan
menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh KUHP Terhadap tindak pidana.
Misalnya bab satu buku Ke II adalah Kejahatan Keamanan Negara, dengan
demikian ini merupakan kelompok tindak pidana yang sasarannya adalah
keamanan negara.35
1. Kejahatan dan pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-
undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut: pelanggaran
criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan dua jenis delik itu
KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau
memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan kelopok kedua
pelanggaran. Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif (kriterium) untuk
membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat:
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kualitatif dengan ukuran ini lalu didapati dua
jenis delik, ialah:36
1) Rechtdelicten yaitu perbedaan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam
suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal
pemunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut
“kejahatan” (mala perse).
35 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.57-58 36
Lysa Angrayni dan Febri Handayani, Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.
56
-
22
2) Weshtdelicten yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari
sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya
sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya
dengan pidana. Misal memarkir monil disebelah kanan jalan
(mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut
“pelanggaran”.
Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan
yang baru disadari sebagai delik karena terancam dalam undang-undang pidana,
jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa
keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan
bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu
tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah
“pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran iu terdapat
suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas
juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik
itu harus ditiadakan.37
2. Tindak pidana formil dan tindak pidana materiil
Dalam hubungannya dengan akibat terlarang, ada beberapa cara
merumuskan tindak pidana materiil, yaitu sebagai berikut:38
a. merumuskan tindak pidana materiil di mana akibat terlarang itu
disebutkan secara tegas di samping unsur tingkah laku/perbuatan.
37
Lysa Angrayni dan Febri Handayani, Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.
57 38
Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, Hukum Pidana..., hlm.27-28.
-
23
b. merumuskan tindak pidana materiil di mana unsur akibat terlarang
itu tidak dicantumkan secara terpisah dengan perbuatan, melainkan
telah terdapat pada unsur tingkah lakuknya. Artinya dengan
merumuskan unsur tingkah laku yaitu, sudah dengan sendirinya di
dalamnya telah mengandung unsur akibat terlarang.
c. pada penganiayaan (Pasal 351) juga berupa tindak pidana materiil,
tidak menggunakan perumusan sebagaimana kedua cara di atas.
Perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang telah dianggap
selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-
undang, tanpa mempersoalkan akibatnya seperti yang tercantum pada Pasal 362
KUHP tentang pencurian dan Pasal 160 tentang penghasutan sedangkan
perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap
telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila yang dilarang itu telah terjadi.
Jadi, jenis perbuatan ini mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainya
perbuatan seperti pada Pasal 338 KUHP tentang pembunuha dan pasal 378
KUHP tentang penipuan.39
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per
ommisionen commissa
Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau
tidak berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan; to omit =
meniadakan).
a. Delik commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya
berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan
sebagainya.
39
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana..., hlm.102.
-
24
b. Delik omissionis dapat kita jumpai pada pasal 522 (tidak datang
menghadap ke pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak
melaporkan adanya bermufakat jahat).40
c. Delik commisionis per ommisionen commissa delik yang berupa
pelanggaran larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat
dilakukan dengancara tidak berbuat misal: seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338,340
KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan
kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194
KUHP).41
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan
kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi
mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada diketahuinya, dan sebagainya.
Contohnya adalah Pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.
Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan dengan kata
“karena kealpaannya”, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa
terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.
5. Delik aduan dan delik biasa
Delik aduan (klachdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya
hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan
atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinaan, pemerasan. Jumlah delik aduan
ini tidak banyak terapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan,
tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinaan
misalnya, yang berkepentingan adalah suami dan istri yang bersangkutan.
40
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.60. 41
Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia ...,
hlm.58.
-
25
Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang
penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini
karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya
pencurian dalam keluarga(Pasal 367 ayat (2) dan (3).
6. Jenis delik yang lain
Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurut dari mana kita
meninjau delik tersebut, anatara lain:42
a. Delik berturut-turut (voortgezet delict) yaitu tindak pidana yang
dilakukan berturut-turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah,
tetapi dilakukan setiap kali seratus ribu rupiah.
b. Delik yang berlangsung turus misalnya tindak pidana merampas
kemerdekaan orang lain, cirinya adalah perbuatan terlarang itu
berlangsung memakan waktu.
c. Delik berkualifikasi (gequalificeerd), yaitu tindak pidana dengan
pemberatan, misalnya pecurian pada malam hari, penganiayaan berat
(Pasal 351 ayat 3 dan 4). Hedaknya tidak dikacaukan dengan
kualifikasi dari delik yang artinya adalah nama delik itu.
d. Delik dengan privilege (geprivligeerd delict), yaitu delik dengan
peringanan, misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang melahirkan
karena takut diketahui (Pasal 341), ancaman pidanya lebih ringan
daripada pembunuhan biasa.
e. Delik politik, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan negara
sebagai keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan
sebagainya (Bab I-IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana
subversi.
42
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana...., hlm.62.
-
26
f. Delik propria, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai kualitaas tertentu, seperti hakim, ibu, pegawai negeri,
ayah, majikan, dan sebagainya yang disebutkan di dalam KUHP.
Dalam Islam jarimah itu sangat banyak macam dan ragamnya, akan
tetapi secara garis besar dapat meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau dari
berat ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidak oleh Al-quran atau Hadist.
Jarimah dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain:
1. Jarimah hudud
Pengertian jarimah hudud adalah yang bentuknya telah ditentukan oleh
syara’ sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlah), juga
ditentukan hukumannya secara jelas baik melalui Al-quran dan as-sunnah. Lebih
dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Allah, pada
prinsipnya adalah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk
memelihara kepentingan, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Dalam
hubungannya dengan hukum had maka pengertian hak Allah di sini adalah
bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (orang yang
menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh
negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam anatara lain sebagai berikut:
a. Jarimah zina
b. Jarimah qadzaf (menuduh zina)
c. Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras)
d. Jarimah pencurian (sariqah)
e. Jarimah hirabah (perampokan)
f. Jarimah riddah (keluar dari Islam)
g. Jarimah al-bagyu (pemberontakan).43
43
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka setia,
2000), hlm. 26.
-
27
2. Jarimah qisas dan diyat
Jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qisas atau diyat, keduanya adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’.
Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hal Allah
sedangkan qisas dan diyat merupakan hak manusia (individu). Maksud dari hak
manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan
oleh korban atau keluarganya. Ciri khas dari jarimah qisas dan diyat adalah:
a. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah
ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal atau maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak perorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku.
Jarimah qisas dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan
dan penganiayaan.Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
a. Pembunuhan sengaja.
b. Pembunuhan menyerupai sengaja.
c. Pembunuhan karena kesalahan.
d. Penganiayaan sengaja.
e. Penganiayaan tidak segaja.44
Pada dasarnya jarimah qisas termasuk jarimah hudud, sebab hak bentuk
maupun hukumannya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-nya. Akan tetapi
ada pula perbedaannya, yaitu:
a. Pada jarimah qisas, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan
pengetahuannya, sedangkan jarimah hudud tidak boleh.
b. Pada jarimah qisas, hak menuntt qishash bisa diwariskan, sedangkan
pada jarimah hudud tidak.
44
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)..., hlm. 29.
-
28
c. Pada jarimah qisas, korban atau wali korban dapat memaafkan
sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada
hukum penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada
pemaaf.
d. Pada jarimah qisas, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan
pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada
jarimah qadzaf.
e. Pada jarimah qisas, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat
diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f. Pada jarimah qisas dibolehkan ada pembelaan (al-syafa’at),
sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.
g. Pada jarimah qisas harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah
hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.45
3. Jarimah ta’zir
Jarimah ta’zir menurut arti kata adalah at-ta’dib artinya memberi
pengajaran dalam fiqh jinayah, ta’zir adalah suatu bentuk jarimah yang bentuk
atau macam jarimahnya serta hukuman dan sanksinya ditentukan oleh
penguasa.46
Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelanggaran,
disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si
terhukum untuk tidak kembali ke jarimah atau dengan kata lain membuatnya
jera. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan
oleh Al-quran dan Hadist yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak
Allah SWT dan hak hamba yang berfungsi sebagai pelajaran bagi terhukum dan
pencegahannya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Hukum ta’zir boleh
dan harus diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. Para ulama membagi
jarimah ta’zir yakni yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan hak hamba.
45
M.Sholihul Ibad, Studi Komperatif Tentang Tindak Pidana Percobaan dalam Hukum
Pidana Islam dan Hukum Positif di Indonesia, diakses melalui
http://eprints.walisongo.ac.id/2999/ , tanggal 2 maret 2020. 46
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).., hlm. 29.
http://eprints.walisongo.ac.id/2999/
-
29
Sehingga dapat dibedakan bahwa untuk ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba
disamping harus ada gugatan, tidak dapat diberlakukan teori tadakhul yakni
sanksi dijumlahkan sesuai dengan banyak kejahatan, uli amri tidak dapat
memaafkan, sedangkan ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah SWT, tidak
harus ada gugatan dan ada kemungkinan uli amri memberi pemaafan bila hal itu
membawa kemaslahatan sehingga semua orang wajib mencegahnya.47
Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian:
a. Jarimah hudud atau qisas atau diyat yang subhat atau tidak
memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya,
percobaan pembunuhan, percobaan pencurian, pencurian dikalangan
keluarga dan pencurian listrik.
b. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Al-quran dan Hadist, namun
tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, sanksi palsu, tidak
melaksanakan amanah, dan menghina agama.
c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan
umum. Dalam hal ini, nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan
penentuan kemaslahatan umum.48
C. Gambaran Umum Penadahan dalam Hukum Islam
Tindak Pidana penadahan merupakan kejahatan terhadap harta dalam
prespektif hukum Islam adalah tindakan kejahatan yang mengancam eksistensi
harta benda. Tindakan itu merupakan tindakan kejahatan yang bisa
menggoncang stabilitas keamanan terhadap harta jiwa masyarakat. Oleh karena
itu Al-Quran melarang keras tindakan kejahatan tersebut. Larangan melakukan
tindakan kejahatan terhadap harta adalah salah satu upaya untuk melindungi
harta dikalangan umat. Seperti yang terdapat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah
yaitu:
47
A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)..,
hlm. 167. 48
A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,
hlm. 11.
-
30
Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu
dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa (urusan)
hartamu itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian
mengetahui (Q.S. Al-Baqarah:188)49
Ayat diatas melarang orang mukmin untuk tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran, sedangka penadah membantu pencuri atau penipu
dengan membeli barang hasil curiannya, yang sudah diketahui atau patut diduga
oleh pembeli bukan mrupakan milik si pencuri. Tindak pidana penadahan
merupakan suatu tindakan atau perrbuatan yang dilarang dalam hal membeli
suatu barangyang diketahuinya tau patut disangkanya bahwa barang itu
diperoleh karena kejahatan. Dalam jual beli merupakan keharaman dari suatu
benda jika benda tersebut tidak jelas asal usulnya, dan tidak memiliki izin dari
pemilik barang untuk diperjual belikan.
Diharamkan bagi muslim membeli barang yang diketahuinya adalah
hasil dari suatu perbuatan yang tidak halal. Membeli barang tersebut sama
artinya bekerjasama untuk berbuat dosa. Dalam riwayat Baihaqi Rasulullah saw
bersabda:
ن اْشت ر ْي س ْر ق ة ف ق د ْر ق ةً و ه و م ه ا ي ْعل م ا نَّه ا س ْشت ر ك ف ي ا ْسم
عا ه ار و Artinya: “Barangsiapa yang membeli barang hasil curian dan ia
mengetahuinya, maka ia juga sama mendapat dosa dan kejelekan.50
49
QS. Al-Baqarrah (2): 188. 50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4. (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006),
hlm. 142.
-
31
D. Pengertian Percobaan
Percobaan dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata coba artinya
melakukan sedikit pekerjaan untuk mengetahui atau merasakan hasilnya.
Adapun definisi secara etimologi dari percobaan ialah usaha mencoba sesuatu
atau permulaan pelaksanaan sesuatu.51
Dalam melakukan tindak pidana terkadang tersangka dapat
menyelesaikannya, seperti seorang yang berhasil membunuh korbannya atau
pencuri yang berhasil mengambil barang dari tempat yang dicuri. Dan kadang
kala tersangka tidak dapat menyelesaikan aksinya dan hal ini dipandang sebagai
tindak pidana yang belum sempurna/belum selesai (al-jarimah gair at-tammah)
misalnya, seperti seorang pembunuh yang akan membunuh korbannya tapi
ketahuan oleh orang lain, atau pencuri yang tidak berhasil mengambil barang
curiannya dikarenakan tertangkap sebelum melaksanakan aksinya. dalam hukum
konvensional ini disebut dengan percobaan tindak pidana (syuru’ bi al-jarimah).
Percobaan sendiri diatur dalam Bab IV Pasal 53 KUHP yaitu52
:
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Di dalam Bab IX Buku 1 KUHP, tidak dijumpai rumusan arti atau
definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah percobaan (pogimg
delicten). KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan ada
51
Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Agung Media Mulia),
hm. 140. 52
Moeljatno, KUHP..., hlm. 24.
-
32
percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 ayat
(1) yang berbunyi.53
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri”
Percobaan sendiri dalam bahasa Belanda disebut “poging”, menurut
doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum selesai atau
belum sempurna. Sudah barang tertentu walaupun KUHP telah merumuskan
berbagai kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing,
hukum pidana tidak mengambil resiko agar kejahatan terjadi sepenuhnya, atau
akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan,
agar dapat dicegah terjadinya korban.54
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau
melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Tentang apa yang dimaksud dengan
usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai
satu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Misalnya, hendak
menebang pohon, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau
kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah
perbuatan menebang pohon. Wujud mengayun kampak tiga atau empat kali
adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.55
Sedangkan, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu
dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa
melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu
53
Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.
149. 54
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm. 151.
55 Adami Chazawi, pecobaan dan penyertaan jilid 3, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2008), hlm. 1.
-
33
kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan
mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaa obat tertentu
pada kera dan sebagainya. Pengertian ini lebih jelas misalnya pada kata kebun
percobaan, kolam percobaan atau kelinci percobaan. Sedangkan dalam undang-
undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan percobaan (poging). Dalam pasal 53 ayat (1) KUHP tidak merumuskan
pengertian percobaan melainkan merumuskan tentang syarat-syarat untuk dapat
dipidananya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan (poging tot
misdrijf).56
Percobaan melakukan tidak pidana dalam hukum Islam adalah seseorang
yang berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan
pelaksanaan tetapi perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak sendiri
maupun bukan karena kehendak diri sendiri. Sedangkan dalam hukum pidana
umum , percobaan hanya dibatasi pada tidak selesainya perbuatan bukan karena
kehendakny sendiri.57
Para ulama termasuk para Iman mazhab tidak secara khusus membahas
dan detail membahas delik percobaan. Hal ini bukan berarti masalah tersebut
tidak penting, melainkan karena percobaan masuk kedalam kerangka jarimah
ta’zir yang banyak berubah sesuai ruang dan waktu. Akan tetapi jika dilihat dari
defnisinya, istilah pecobaan juga terdapat pada mereka, karena dikalangan
mereka juga dibicarakan tentang pemisah antara jarimah yang sudah selesai dan
jarimah tidak selesai.58
Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan
disebabkan oleh dua faktor. Pertama: percobaan melakukan jarimah tidak
dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Di
56
Adami Chazawi, pecobaan dan penyertaan jilid 3..., hlm. 2. 57
Asadulloh Al-faraq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia,2009), hlm. 88. 58
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,
hlm. 21.
-
34
mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa Negara (ulul-al amri)
atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang
dilakukan dengan langsung atau syara’ atau yang dilakukan oleh penguasa
negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka agar bisa disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam
menjatuhkan hukuman di mana bisa bergerak antara batas tertinggi dan batas
terendah.59
Kebanyakan jarimah bisa mengalami perubahan antara dihukum dan
tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-
unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan
penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu di kalangan fukahah tidak ada
pehatia khusus terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini
termasuk jarimah ta’zir.
Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang
hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk pecobaan tidak perlu
diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat
(kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan
lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap
maksiat yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Karena hukuman had dan khifarat
hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai
maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilakukan
hanya dijatuhi hukuman ta’zir, dan percobaan itu sendiri dianggap maksiat,
yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja di antara
bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu
bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata
59
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.
118.
-
35
menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan
membentuk jarimah yang lain lagi.60
Walupun demikian, masalah percobaan melakuka jarimah disinggung
oleh mereka secara umum, seperti ketika mereka membicarakan tentang fase-
fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-
tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan, dan fase
pelaksaan. Sebagai contoh, seorang yang akan melakukan pencurian mula-mula
berpikir apakah jadi mencuri atau tidak. Bila telah kuat niatnya untuk mencuri
maka ia mempersiapkan alat-alatnya, seperti membeli kunci atau mencongkel
pintu selanjutnya ia berangkat untuk mencuri.61
Teori hukum Islam tentang percobaan lebih luas jangkauannya dari pada
hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam Islam tidak hanya perbuatan
yang selesai yang dijatuhi hukuman. Akan tetapi terhadap perbuatan belum
selesai jika termasuk maksiat juga dihukum. Sedangkan menurut kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dalam Pasal 54 menyatakan bahwa
pelaku percobaan yang dapat dijatuhi pidana hanya melakukan perbuatan yang
dikatagorikan kejahatan, sedangkan perbuatan pidana yang dikatagorikan
pelanggaran tidak dipidana.62
E. Syarat Percobaan Tindak Pidana
Dalam Pasal 53 KUHP terkandung suatu pengertian bahwa agar
penjatuhan pidana kepada seseorang yang baru mencoba melakukan suatu
kejahatan memiliki dasar legimitasi yang kuat, maka harus terpenuhi semua
syarat yang tercantum di dalam pasal tersebut, syarat-syarat itu adalah:
60
Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam ..., hlm. 43. 61
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,
hlm. 21. 62
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana..., hlm. 115.
-
36
1. Adanya niat (voornemen).
Adanya niat dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kejahatan.
Dalam penjelasan KUHP tidak dijelaskan pengertian dari niat, yang ada
hanyalah niat melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dipandang sebagai kejahatan.63
Menurut Moeljatno niat jangan disamakan
dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi
kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dengan
pemahaman demikian, jika niat tersebut belum diwujudkan menjadi kejahatan,
maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada
perbuatan. Niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan. Isinya
niat tidak bisa diambil dari isinya kesengajaan apabila kejahatan itu timbul,
sehingga diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu itu sudah ada
sejak niat belum diwujudkan dalam suatu perbuatan.64
Niat yang ada dalam batin seseorang adalah suatu hal yang bersifat
abstrak dan hanya dapat diketahui oleh yang bersangkutan, sehingga tentunya
sulit untuk dibuktikan oleh pihak lain. Selain itu, sejahat apapun suatu niat yang
ada pada seseorang, pada dasarnya tidak mengakibatkan sesuatu yang
merugikan pihak lain. Oleh karena itu dalam prespektif yuridis, suatu niat tidak
akan dipandang berimplikasi apapun apalagi dapat dipidanya pemilik niat.65
2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Dalam memecahkan persoalan permulaan pelaksanaan ini para ahli
hukum pidana menghubungkan landasanya dengan teori patut dipidananya
percobaan melakukan kejahatan. Kalau sudah ditentukan atas dasar teori apa
percobaan itu dapat di pidana, maka langkah selanjutnya adalah mudah untuk
63
Aruan Sakidjo dan Bambang Pernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 121. 64
Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, (Jakarta:
Bina Aksara, 1983), hlm. 18. 65
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2002), hlm. 217.
-
37
menentukan kapan ada permulaan pelaksanaan. Umumnya terdapat dua
golongan mengenai dapat dipidananya percobaan, yaitu pandangan yang
subjektif dan pandangan yang objektif. Pandangan subjektif menganggap
bahwa yang melakukan percobaan itu harus dipidana, karena sifat bahayanya
orang tersebut. Sedangkan pandangan yang objektif menganggap bahwa dasar
untuk memidana percobaan itu karena berbahaya perbuatan yang dilakukan.66
Moeljatno mengatakan bahwa untuk adanya permulaan pelaksanaan
kejahatan harus memenuhi tiga syarat sekaligus, yaitu:67
a. Secara objektif ap
top related