perekonomian dan perbankan · ekonomi indonesia tumbuh 5,01% y/y pada kuartal ii ... menurut pelaku...
Post on 02-May-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Perekonomian dan Perbankan
Agustus 2017
Equity Tower Lt 20, 21 & 39
Sudirman Central Business District (SCBD)
Jl. Jend Sudirman Kav 52-53
Jakarta 12190
1
The Fed diperkirakan masih akan menunda kenaikan policy rate. Berdasarkan pergerakan
futures terkini, Fed rate akan bergerak naik paling cepat pada Maret 2018.
Kebijakan moneter AS yang kembali melunak disebabkan oleh rendahnya capaian inflasi
yang diperkirakan dapat bertahan hingga beberapa waktu ke depan.
Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% y/y pada kuartal II 2017, tidak berubah dibandingkan
dengan pertumbuhan di kuartal sebelumnya.
Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 739 juta pada kuartal II 2017. Defisit
neraca berjalan mencapai US$ 4,96 miliar atau 1,96% PDB.
Bank Indonesia menurunkan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,5%
Di tengah prospek pengetatan moneter oleh sejumlah bank sentral, pasar keuangan global
masih dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017.
Penurunan bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan akan memberikan sentimen positif
pada pasar keuangan Indonesia.
Kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang solid. Kredit
perbankan tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni 2017 pertumbuhannya menurun 97 bps
dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya menjadi 7,75% year on year.
Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps
dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar
19,93% (yoy) dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir.
Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan
(oversupply) akibat perbaikan produksi dan gejolak permintaan yang disebabkan kebijakan
proteksi terhadap CPO di beberapa negara
Efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India terhadap produk CPO diperkirakan hanya
akan berdampak jangka pendek mengingat India hanya dapat memenuhi kebutuhan CPO
melalui impor.
Risiko industri perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi normal. Berdasarkan
update data perbankan bulan Juni 2017 dan data pasar bulan Juli 2017, angka BSI pada
bulan Juli 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 3 bps bila dibandingkan dengan
angka BSI pada bulan Juni 2017, yaitu dari 99,55 menjadi 99,58
Ringkasan Laporan
3
Inflasi dan Prospek Suku Bunga AS Seto Wardono
Menurut pelaku pasar, the Fed diperkirakan masih akan menunda kenaikan policy rate.
Berdasarkan pergerakan futures terkini, Fed rate akan dinaikkan paling cepat pada Maret 2018.
Kebijakan moneter AS yang kembali melunak disebabkan oleh rendahnya capaian inflasi yang
diperkirakan dapat bertahan hingga beberapa saat ke depan.
Pelaku pasar keuangan melihat kemungkinan akan terus tertundanya kenaikan Fed funds
target rate (Fed rate) dari posisi saat ini di kisaran 1%–1,25%. Berdasarkan Fed funds futures per 25
Agustus 2017, Federal Reserve (the Fed) baru akan menaikkan suku bunga lagi paling cepat pada
Maret 2018. Pada saat itu, probabilita Fed rate berada di level yang lebih tinggi dari 1%–1,25%
mencapai 52,5%. Jika mengacu pada futures di pertengahan Juli 2017, pelaku pasar melihat kenaikan
Fed rate di bulan Januari 2018. Sebelumnya, futures per akhir Juni menunjukkan kenaikan Fed rate
pada Desember 2017. Ekspektasi terkini pelaku pasar itu jelas berbeda dengan perkiraan para
pembuat kebijakan moneter yang menjadi anggota Federal Open Market Committee (FOMC). Pada
Juni lalu, anggota FOMC memprediksi bahwa Fed rate akan dinaikkan pada Desember mendatang.
Sumber : Bloomberg Gambar 1. Probabilita Fed Rate (Berdasarkan Fed Funds futures per 25 Agustus 2017)
Persepsi pelaku pasar mengenai prospek suku bunga Amerika Serikat (AS) yang kini menjadi
lebih dovish terutama didasari oleh pergerakan inflasi yang masih belum favorable dan menjauh dari
targetnya. Inflasi inti PCE (inflasi indeks harga belanja konsumsi personal di luar pangan dan energi,
yakni indikator inflasi AS yang paling diperhatikan the Fed dalam menentukan kebijakan
moneternya) terus bergerak turun sejak awal tahun 2017 dan pada bulan Juni lalu mencapai 1,5%
y/y. Hal serupa terjadi pada inflasi headline PCE yang mencapai 1,4% y/y pada bulan Juni. Pada bulan
Juli pun, inflasi indeks harga konsumen (IHK) inti (di luar pangan dan energi) bergerak turun dan
mencapai 1,7% y/y, yang terendah sejak Februari 2015, sedangkan inflasi IHK headline juga
dibukukan di level 1,7%. Pelemahan tekanan inflasi AS tersebut terutama didorong oleh penurunan
harga barang tahan lama (durable goods) serta penurunan tarif komunikasi.
24,0%
30,5%
31,3%
38,2%
38,2%
46,5%
47,5%
57,9%
57,9%
82,5%
88,0%
76,0%
69,6%
68,7%
61,8%
61,8%
53,6%
52,5%
42,0%
42,0%
17,4%
12,0%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Dec-18
Nov-18
Sep-18
Aug-18
Jun-18
May-18
Mar-18
Jan-18
Dec-17
Nov-17
Sep-17
Probabilita Fed Rate*
Jad
wal
Per
tem
uan
FO
MC
1%–1,25% > 1,25%
20,1%
29,6%
29,2%
39,4%
30,3%
43,3%
43,8%
44,6%
46,4%
45,1%
57,9%
53,3%
41,4%
48,4%
61,1%
50,1%
29,8%
21,4%
20,7%
13,7%
36,3%
39,7%
44,4%
37,2%
14,2%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
25-Aug-17
31-Jul-17
30-Jun-17
31-May-17
28-Apr-17
31-Mar-17
28-Feb-17
31-Jan-17
30-Dec-16
30-Nov-16
Probabilita Fed Rate pada Desember 2017
Peri
od
e Fe
d F
un
ds
Futu
res
0,5%–0,75% 0,75%–1% 1%–1,25% 1,25%–1,5% > 1,5%
4
Sumber: CEIC, LPS Gambar 2. Inflasi AS
Uniknya, pelemahan inflasi di AS terjadi ketika aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja di
negara itu menguat. Ekonomi AS tumbuh 2,1% y/y pada kuartal II 2017, yang tertinggi selama tujuh
kuartal. Tingkat pengangguran mencapai 4,3% pada Juli 2017, yang terendah sejak Maret 2001.
Upah pekerja juga naik dalam tingkatan yang relatif besar. Rata-rata upah per minggu pekerja di
sektor swasta naik 2,8% pada Juni 2017, yang tertinggi selama hampir enam tahun.
Respons inflasi AS yang lambat di tengah penguatan aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja
menjadi perhatian para pembuat kebijakan di the Fed. Risalah rapat FOMC pada 25–26 Juli 2017
menunjukkan perdebatan di antara para pembuat kebijakan mengenai penyebab melemahnya
inflasi AS belakangan ini. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab melemahnya inflasi
tersebut antara lain melemahnya respons tingkat harga terhadap pemanfaatan sumber daya,
penurunan tingkat pengangguran alami (natural rate of unemployment), adanya selang waktu antara
pengetatan pasar tenaga kerja dengan pertumbuhan upah nominal dan inflasi, serta tekanan
terhadap pricing power yang berasal dari perkembangan pasar global dan inovasi pada model bisnis
akibat kemajuan teknologi.
Risalah rapat tersebut juga mengungkapkan pandangan banyak anggota FOMC bahwa inflasi
AS masih akan tertekan di semester II 2017. Meski demikian, inflasi diyakini akan meningkat dalam
beberapa tahun ke depan dan stabil di sekitar 2% dalam jangka menengah. Di sisi lain, beberapa
partisipan rapat itu melihat kemungkinan bahwa inflasi dapat berada di bawah 2% dalam jangka
waktu yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Beberapa partisipan juga mengindikasikan bahwa
risiko inflasi AS dapat mengarah ke bawah.
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
Jul-
07
Jul-
08
Jul-
09
Jul-
10
Jul-
11
Jul-
12
Jul-
13
Jul-
14
Jul-
15
Jul-
16
Jul-
17
% y/y
Inflasi IHK dan PCE AS
Inflasi IHK Headline Inflasi IHK Inti
Inflasi PCE Headline Inflasi PCE Inti
-9
-6
-3
0
3
6
9
12
Jul-
07
Jul-
08
Jul-
09
Jul-
10
Jul-
11
Jul-
12
Jul-
13
Jul-
14
Jul-
15
Jul-
16
Jul-
17
% y/y
Inflasi IHK AS
Barang Tahan Lama
Barang Tidak Tahan Lama
Jasa-Jasa
5
Perkembangan PDB, Neraca Pembayaran, dan Kebijakan Moneter Seto Wardono
Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% y/y pada kuartal II 2017, tidak berubah dibandingkan dengan
pertumbuhan di kuartal sebelumnya.
Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 739 juta pada kuartal II 2017. Defisit neraca
berjalan mencapai US$ 4,96 miliar atau 1,96% PDB.
Bank Indonesia menurunkan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,5%.
Perbaikan konsumsi swasta dan investasi yang terjadi di tengah pelemahan ekspor membuat
pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berubah pada kuartal II 2017 dari posisi di kuartal
sebelumnya. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,01% y/y (+4% q/q) pada kuartal II, sama
dengan pertumbuhan di kuartal I (-0,34% q/q). Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada semester I 2017 juga mencapai 5,01% y/y, lebih tinggi dari pertumbuhan pada semester II 2016
sebesar 4,98%.
Sumber: CEIC, LPS Gambar 3. Pertumbuhan PDB dan Komponen Pengeluaran (Mencakup konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga)
Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada kuartal II 2017 terutama akibat pemulihan
konsumsi swasta dan investasi. Konsumsi swasta (mencakup konsumsi rumah tangga dan konsumsi
lembaga non-profit yang melayani rumah tangga) tumbuh 5,02% y/y pada kuartal II lalu, naik dari 5%
pada kuartal sebelumnya. Perbaikan konsumsi ini terjadi di segmen produk makanan dan minuman
non-restoran, sandang, serta hotel dan restoran. Sementara, pertumbuhan investasi pada aset tetap
(pembentukan modal tetap bruto atau PMTB) meningkat dari 4,78% pada kuartal I menjadi 5,35%
y/y pada kuartal II, yang tertinggi selama enam kuartal terakhir. Perbaikan investasi ini terutama
didukung oleh menguatnya kegiatan konstruksi.
Berbeda dengan konsumsi swasta dan investasi yang mengalami percepatan pertumbuhan,
konsumsi pemerintah malah menyusut pada kuartal II 2017 dari posisi tahun sebelumnya. Konsumsi
pemerintah terkoreksi -1,93% y/y pada kuartal itu setelah mengalami pertumbuhan sebesar 2,68%
di kuartal I. Koreksi pada konsumsi pemerintah ini merupakan cerminan dari penurunan belanja
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
2Q
13
3Q
13
4Q
13
1Q
14
2Q
14
3Q
14
4Q
14
1Q
15
2Q
15
3Q
15
4Q
15
1Q
16
2Q
16
3Q
16
4Q
16
1Q
17
2Q
17
%%
PDB Indonesia
q/q (Kanan) y/y
-6
-3
0
3
6
9
KonsumsiSwasta*
KonsumsiPemerintah
PMTB Ekspor Impor PDB
% y/y
PDB Menurut Jenis Pengeluaran
4Q16 1Q17 2Q17
6
pegawai dan belanja barang pemerintah pusat. Belanja pegawai tercatat turun 0,6% y/y, sedangkan
belanja barang terpangkas 6,57%. Ekspor barang dan jasa mengalami perlambatan pertumbuhan
pada kuartal II 2017 dan menjadi salah satu kendala bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh
lebih tinggi. Ekspor tumbuh 3,36% y/y pada kuartal lalu, melambat dari 8,21% pada kuartal I. Pada
periode yang sama, pertumbuhan impor juga melambat dari 5,12% menjadi 0,55%. Akibatnya,
kontribusi ekspor neto terhadap pertumbuhan y/y PDB mengalami penurunan dari 0,75 poin
persentase (ppts) menjadi 0,6 ppts.
Pelemahan ekspor dan impor pada kuartal II 2017 terjadi akibat penurunan harga komoditas
serta waktu yang lebih sedikit untuk melakukan aktivitas bongkar-muat barang. Data Dana Moneter
Internasional (IMF) mengungkapkan penurunan rata-rata indeks harga komoditas sebesar 5,55%
pada kuartal II 2017 dari posisi kuartal sebelumnya. Penurunan harga terjadi pada berbagai
komoditas ekspor utama Indonesia, seperti minyak mentah, batu bara, kakao, kopi, gas alam, nikel,
minyak sawit, dan karet. Sementara, adanya libur panjang Idul Fitri memangkas jumlah hari kerja
pada kuartal II lalu menjadi 52 hari, lebih sedikit dari 62 hari pada kuartal I 2017 dan 63 hari pada
kuartal II 2016. Selain itu, juga terdapat larangan melintas bagi angkutan barang atau truk pada
periode tujuh hari sebelum hingga tujuh hari sesudah Idul Fitri yang ikut membatasi kegiatan ekspor
dan impor barang.
Sumber: BPS, CEIC, LPS Gambar 4. Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan PDB dan PDB Menurut Lapangan Usaha
Di sisi produksi, sembilan dari 17 sektor ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan pada
kuartal II 2017. Termasuk ke dalam sembilan sektor ini adalah sektor-sektor kunci seperti pertanian,
manufaktur, dan perdagangan. Di sektor pertanian, pelemahan aktivitas sub sektor di luar
hortikultura dan peternakan menyebabkan pertumbuhan nilai tambah di sektor ini turun dari 7,12%
y/y pada kuartal I ke 3,33% pada kuartal II. Di saat yang sama, pertumbuhan nilai tambah sektor
manufaktur melambat dari 4,24% menjadi 3,54%. Dua sub sektor dengan porsi output terbesar di
sektor ini, yaitu sub sektor batu bara dan penyulingan minyak serta sub sektor makanan dan
minuman, mengalami pelemahan pada kuartal II lalu. Sementara, pertumbuhan sektor perdagangan
melambat dari 4,96% pada kuartal I menjadi 3,78% y/y pada kuartal II. Di sisi lain, beberapa sektor
masih dapat mengalami perbaikan kinerja. Pertumbuhan y/y nilai tambah di sektor pertambangan,
-8
-4
0
4
8
2Q
13
3Q
13
4Q
13
1Q
14
2Q
14
3Q
14
4Q
14
1Q
15
2Q
15
3Q
15
4Q
15
1Q
16
2Q
16
3Q
16
4Q
16
1Q
17
2Q
17
ppts
Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB
Konsumsi Swasta* Konsumsi Pemerintah
PMTB Perubahan Inventori
Ekspor Neto Diskrepansi Statistik
-2 0 2 4 6 8 10
PDB
Sektor Lainnya
Jasa Keuangan
Informasi
Transportasi
Perdagangan
Konstruksi
Manufaktur
Pertambangan
Pertanian
% y/y
PDB Menurut Lapangan Usaha
4Q16
1Q17
2Q17
7
konstruksi, transportasi, dan informasi, misalnya, mengalami peningkatan pada kuartal II sehingga
dapat menghindarkan PDB dari perlambatan.
Data hingga Juli 2017 mengindikasikan pemulihan permintaan domestik pada kuartal III.
Setelah anjlok 26,87% dan 27,45% y/y di bulan Juni, penjualan sepeda motor dan mobil melonjak
sebesar 76,36% dan 37,18% di bulan Juli lalu. Pada periode yang sama, indeks keyakinan konsumen
juga naik dari 122,4 menjadi 123,4 yang terutama didukung oleh perbaikan persepsi konsumen
mengenai kondisi perekonomian pada enam bulan yang akan datang. Sementara, peningkatan
penjualan semen dan impor barang modal mengindikasikan pemulihan investasi. Pada Juli lalu,
penjualan semen dan impor barang modal masing-masing tumbuh 56% dan 61,46% y/y,
dibandingkan kontraksi sebesar 27,04% dan 27,24% di bulan sebelumnya. Permintaan domestik
pada kuartal III dan kuartal IV 2017 juga akan didukung oleh pelonggaran kebijakan moneter yang
dilakukan Bank Indonesia (BI).
Sementara perkembangan di sisi eksternal hingga Juli 2017 mengindikasikan adanya tekanan
bagi aktivitas ekonomi di kuartal III. Pada Juli lalu, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar US$
271,2 juta. Ini adalah defisit bulanan pertama sejak awal 2016. Nilai ekspor tumbuh 41,12% y/y,
lebih rendah dari pertumbuhan impor yang sebesar 54,02%. Pada bulan Juni, ekspor dan impor
turun masing-masing sebesar 11,74% dan 17,39%.
Sumber: CEIC, LPS Gambar 5. Indikator Bulanan Konsumsi dan Investasi serta Perkembangan Ekspor-Impor
Neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus sebanyak US$ 739 juta pada kuartal II 2017,
jauh di bawah surplus kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 4,51 miliar. Penurunan surplus ini
terjadi seiring dengan melonjaknya defisit di neraca berjalan dan turunnya surplus di neraca
finansial. Defisit neraca berjalan membengkak dari US$ 2,36 miliar (0,98% PDB) pada kuartal I
menjadi US$ 4,96 miliar (1,96% PDB) pada kuartal II. Pada saat yang sama, surplus neraca finansial
turun dari US$ 7,97 miliar menjadi US$ 5,86 miliar. Sejalan dengan turunnya surplus neraca
pembayaran, basic balance (neraca berjalan dan investasi langsung) juga berubah dari surplus US$
392 juta menjadi defisit US$ 388 juta.
Kenaikan defisit di neraca jasa dan penurunan surplus di neraca perdagangan barang menjadi
faktor utama yang menyebabkan defisit neraca berjalan melebar pada kuartal II lalu. Sejalan dengan
-30
-15
0
15
30
45
60
-60
-30
0
30
60
90
120
Jul-
10
Jan
-11
Jul-
11
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
Jan
-14
Jul-
14
Jan
-15
Jul-
15
Jan
-16
Jul-
16
Jan
-17
Jul-
17
3M Sum, % y/yPenjualan Sepeda Motor
Penjualan Mobil
Konsumsi Semen (Kanan)
Impor Barang Modal (Kanan)
-3,0
-1,5
0,0
1,5
3,0
4,5
-50
-25
0
25
50
75
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
Jan
-14
Jul-
14
Jan
-15
Jul-
15
Jan
-16
Jul-
16
Jan
-17
Jul-
17
Milliar US$3M Sum, % y/y
Neraca Perdagangan - Kanan
Ekspor
Impor
8
melemahnya ekspor dan impor, surplus di neraca perdagangan barang menurun dari US$ 5,65 miliar
pada kuartal I menjadi US$ 4,79 miliar pada kuartal II. Sementara, defisit di neraca jasa membesar
dari US$ 1,26 miliar menjadi US$ 2,31 miliar. Menurut Bank Indonesia (BI), pelebaran defisit ini
terutama disebabkan oleh turunnya surplus di neraca jasa perjalanan yang mengikuti pola
musimannya.
Sumber: BI, CEIC Gambar 6. Neraca Pembayaran dan Dekomposisi Neraca Berjalan
Di neraca finansial, surplus menurun akibat penempatan simpanan warga Indonesia dari
dalam ke luar negeri, pemberian utang ke entitas luar negeri, serta pembayaran utang luar negeri
(ULN) pemerintah. Data BI menunjukkan aliran keluar dana simpanan milik residen ke luar negeri
sebanyak US$ 2,81 miliar pada kuartal II 2017, dibandingkan outflow senilai US$ 393 juta di kuartal
sebelumnya. Sementara, pemberian pinjaman dari kreditor dalam negeri ke debitor luar negeri
mencapai US$ 1,24 miliar pada kuartal II lalu. Di kuartal yang sama, pemerintah melakukan
pelunasan ULN sebanyak US$ 1,72 miliar, lebih besar dari pembayaran ULN di kuartal sebelumnya
yang mencapai US$ 706 juta. Dengan perkembangan ini, saldo di neraca investasi lainnya mengalami
defisit sebesar US$ 6,16 miliar, jauh di atas defisit US$ 1,29 miliar pada kuartal I 2017.
Di sisi lain, investasi langsung dan investasi portofolio masih membukukan kinerja yang positif.
Saldo investasi langsung meningkat dari US$ 2,76 miliar pada kuartal I menjadi US$ 4,58 miliar pada
kuartal II. Perbaikan kinerja investasi langsung ini didukung oleh naiknya penanaman modal asing
(PMA) dari US$ 3,03 miliar menjadi US$ 5,79 miliar. Menurut BI, perbaikan investasi langsung ini
didukung oleh beberapa transaksi akuisisi perusahaan domestik oleh investor asing dan penerbitan
obligasi global oleh beberapa perusahaan melalui special purpose vehicle (SPV) di luar negeri.
Sementara, saldo investasi portofolio juga meningkat, yaitu dari US$ 6,57 miliar pada kuartal I
menjadi US$ 7,42 miliar pada kuartal II. Kondisi ini didukung oleh maraknya pembelian surat utang
korporasi oleh investor asing.
Defisit neraca berjalan diperkirakan masih akan mengikuti pola musimannya pada kuartal
III 2017 dengan mengalami sedikit penurunan. Akan tetapi, munculnya defisit perdagangan
sebesar US$ 271,2 juta pada bulan Juli (defisit bulanan yang pertama sejak awal 2016)
mengindikasikan bahwa kinerja neraca barang pada kuartal III mungkin tidak akan sebaik pada
-16
-12
-8
-4
0
4
8
12
16
2Q
12
4Q
12
2Q
13
4Q
13
2Q
14
4Q
14
2Q
15
4Q
15
2Q
16
4Q
16
2Q
17
Miliar US$
Neraca Pembayaran
Basic Balance Neraca Pembayaran
Neraca Berjalan Neraca Finansial-12
-6
0
6
12
2Q
12
4Q
12
2Q
13
4Q
13
2Q
14
4Q
14
2Q
15
4Q
15
2Q
16
4Q
16
2Q
17
Dekomposisi Neraca Berjalan
Barang Jasa
Pendapatan Primer Pendapatan Sekunder
Neraca Berjalan
Miliar US$
9
kuartal-kuartal sebelumnya. Di sisi lain, data hingga 24 Agustus 2017 mengkonfirmasi derasnya
arus masuk dana asing ke pasar surat berharga negara (SBN). Kepemilikan asing atas SBN rupiah
yang tidak dapat diperdagangkan meningkat Rp 12,73 triliun pada periode 3 Juli–24 Agustus
2017. Pada bulan Juli, pemerintah juga menerbitkan obligasi global senilai US$ 2 miliar dan € 1
miliar. Pada penerbitan kali ini, investor asing membeli sekitar 86% dari obligasi berdenominasi
dolar dan 90% dari obligasi berdenominasi euro. Perkembangan sebaliknya justru terjadi di pasar
saham, di mana pemodal asing membukukan penjualan bersih (net sell) sebanyak Rp 15,13 triliun
selama 3 Juli–24 Agustus. Sementara, data cadangan devisa terkini mengindikasikan adanya
surplus neraca pembayaran yang cukup besar pada bulan Juli lalu. Cadangan devisa pada akhir
Juli mencapai US$ 127,76 miliar atau naik US$ 4,66 miliar dari posisi akhir Juni.
Bank Indonesia pada Rapat Dewan Gubernur tanggal 21–22 Agustus 2017 memutuskan
untuk memangkas BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,5%. Pada saat
yang sama, bunga deposit facility dan bunga lending facility juga diturunkan sebesar 25 bps
menjadi 3,75% dan 5,25%. Menurut BI, kebijakan ini konsisten dengan adanya ruang pelonggaran
kebijakan moneter di tengah realisasi dan perkiraan inflasi tahun 2017 dan 2018 yang rendah di
dalam kisaran targetnya serta defisit neraca berjalan yang terkendali dalam batas yang aman.
Penurunan suku bunga ini ditujukan untuk memperkuat intermediasi perbankan dan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Sumber: BI, BPS Gambar 7. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Inflasi
BI menyoroti penurunan risiko eksternal terkait dengan rencana kenaikan suku bunga AS
dan normalisasi neraca the Fed. Selain itu, BI juga melihat perbaikan prospek perekonomian
China dan Eropa. Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2017 tercatat lebih
rendah dari perkiraan semula. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik ke
depan, ditopang oleh peningkatan investasi dan konsumsi seiring dengan belanja pemerintah
yang lebih ekspansif dan kebijakan moneter yang lebih longgar. Dengan demikian, ekonomi
diprediksi akan tumbuh dalam kisaran 5%–5,4% pada tahun 2017 dan 5,1%–5,5% pada tahun
2018.
0
3
6
9
12
15
Au
g-0
7
Au
g-0
8
Au
g-0
9
Au
g-1
0
Au
g-1
1
Au
g-1
2
Au
g-1
3
Au
g-1
4
Au
g-1
5
Au
g-1
6
Au
g-1
7
%Bunga Deposit Facility
Bunga Lending Facility
BI Rate
BI 7-Day Reverse Repo Rate
-4
0
4
8
12
16
20
2
4
6
8
10
Jul-
10
Jan
-11
Jul-
11
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
Jan
-14
Jul-
14
Jan
-15
Jul-
15
Jan
-16
Jul-
16
Jan
-17
Jul-
17
% y/y% y/y
Inflasi Indeks Harga Konsumen
Inflasi Inti Inflasi Headline
Inflasi Volatile Food (Kanan) Inflasi Administered Price (Kanan)
10
BI melihat tekanan inflasi yang terkendali dan lebih rendah dari perkiraan semula, sehingga
mendukung pencapaian target inflasi sebesar 4%±1% pada tahun 2017 dan 3,5%±1% pada tahun
2018. Menurut BI, prospek inflasi yang rendah itu didukung oleh sisi penawaran yang masih
cukup dibandingkan dengan sisi permintaan, nilai tukar rupiah yang stabil, tren penurunan inflasi
global, serta rendahnya risiko kenaikan administered price. Terkait perbankan, BI masih
mempertahankan proyeksi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tahun ini di posisi 9%–11%.
Akan tetapi, proyeksi pertumbuhan kredit diturunkan dari 10%–12% menjadi 8%–10%. Pada
tahun 2018, DPK dan kredit diproyeksikan tumbuh 9%–11% dan 10%–12%.
Inflasi inti yang rendah (3,05% y/y pada Juli 2017, yang terendah sejak indikator ini muncul
pada Januari 2003) menjelaskan minimnya tekanan inflasi yang bersifat fundamental. Selain itu,
inflasi volatile food yang terbilang sangat rendah (1,13% y/y, yang terendah selama hampir tiga
tahun) juga memberi ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter. Sementara, kebutuhan untuk
menstimulasi pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi juga menjustifikasi langkah BI
untuk menurunkan suku bunga. Ke depan, suku bunga masih dapat diturunkan lagi jika laju kredit
dan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak sesuai dengan yang diharapkan otoritas. Walau
demikian, ruang untuk menurunkan suku bunga dibatasi oleh target inflasi yang lebih rendah
pada tahun 2018 serta potensi tekanan inflasi pada tahun depan yang sebenarnya tidak kecil.
Pemerintah pada tahun depan akan menerapkan kebijakan subsidi tertutup untuk Elpiji tabung 3
kg. Kebijakan ini akan memaksa masyarakat mampu untuk membayar harga yang lebih tinggi
untuk mendapatkan produk tersebut.
12
Pasar Keuangan Indonesia: Bayang-Bayang Ketidakpastian Dienda Siti Rufaedah
Di tengah prospek pengetatan moneter oleh sejumlah bank sentral, pasar keuangan global masih
dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017.
Penurunan bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan akan memberikan sentimen positif pada
pasar keuangan Indonesia.
Pasca prospek pengetatan moneter yang disebut akan dilakukan sejumlah bank sentral, pasar
keuangan global masih dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017. Berbagai pernyataan
kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, turut meningkatkan ketidakpastian
global. Baru-baru ini, Trump menyatakan akan memulai membangun tembok di perbatasan AS dan
Meksiko. Trump juga mengatakan akan menghentikan NAFTA, kesepakatan perdagangan bebas
dengan Meksiko dan Kanada.
Ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea yang melibatkan AS dan Korea Utara yang belum
terlihat mereda diperkirakan masih akan menjadi faktor risiko di pasar keuangan global. Selain itu,
rencana Trump yang akan memberlakukan bea impor dan melakukan pembatasan perdagangan
terhadap barang dari China turut menambah ketegangan perdagangan antara AS dan China.
Disahkannya legislasi pengetatan sanksi terhadap Rusia juga dinilai akan meningkatkan gejolak
politik antara AS dan Rusia.
Jika kita lihat indikator sentimen pasar keuangan global, indeks VIX dan EMBI secara serentak
menunjukkan peningkatan. Peningkatan kedua indeks ini mengindikasikan adanya pemburukan
persepsi risiko berinvestasi di pasar keuangan global. Pada tanggal 18 Agustus 2017, indeks VIX dan
EMBI terpantau meningkat masing-masing sebesar 4 poin mtd dan 2,95 mtd poin ke level 14,26 dan
327,19, pasca penurunan yang terjadi selama bulan Juli 2017 masing-masing sebesar 0,92 poin m/m
dan 4 poin m/m ke level 10,26 dan 324,24.
Namun demikian, tekanan kembali mereda menyusul keputusan The Fed yang sesuai
ekspektasi mempertahankan bunga acuan (Fed rate) di level 1%-1,25% pada rapat FOMC tanggal 25-
26 Juli 2017. Menurut notulensi rapat, pasar tenaga kerja AS terus menunjukkan perbaikan di tengah
penurunan angka inflasi di bawah target bank sentral. Tingkat pengangguran AS pada bulan Juli 2017
mencatatkan rekor terendah sejak bulan Mei 2001 ke level 4,3%. Angka ini juga menurun
dibandingkan tingkat pengangguran bulan Juni 2017 yang sebesar 4,4%.
Data positif di pasar tenaga kerja AS juga ditunjukkan oleh angka Non Farm Payroll (NFP) yang
meskipun mengalami penurunan dalam 1 (satu) bulan terakhir namun terpantau naik signifikan
dibandingkan akhir tahun 2016, yakni dari 155 ribu (Desember 2016) menjadi 209 ribu (Juli 2017).
Sementara itu, indeks harga konsumen AS pada bulan Juli 2017 meningkat sebesar 1,7% y/y, lebih
rendah dibandingkan bulan Desember 2016 yang mencapai 2,1% y/y. Angka ini juga lebih rendah
dari ekspektasi yang sebesar 1,8%.
Indeks Dolar AS terpantau sedikit menguat terhadap sejumlah mata uang utama. Per tanggal
18 Agustus 2017, indeks Dolar AS terapresiasi sebesar 0,62% mtd ke level 93,43. Jika kita lihat,
pergerakan mata uang sejumlah negara maju dan negara berkembang bergerak mixed terhadap
Dolar AS. Nilai tukar Yen, Rubel, dan Yuan masing-masing menguat sebesar 0,98%, 1,29%, dan
13
0,84%. Sementara itu, nilai tukar Sterling, Euro, dan Peso masing-masing melemah sebesar 2,61%,
0,68%, dan 2,09%.
Sumber: Bloomberg Gambar 8. Perkembangan Indikator Sentimen Pasar Global dan Kinerja Sektor Tenaga Kerja Amerika
Serikat (AS)
Berbagai sentimen negatif yang terjadi di AS mendorong penguatan Yen sebagai salah satu
aset safe haven. Yen menguat sebesar 0,98% ke level 109,18 per Dolar AS pada perdagangan tanggal
18 Agustus 2017. Dari dalam negeri, membaiknya data perdagangan Jepang turut mendukung
penguatan Yen. Pada bulan Juli 2017, neraca perdagangan Jepang mencatatkan surplus sebesar 0,42
triliun Yen, relatif lebih baik dibandingkan awal tahun 2017 yang mencatatkan defisit mencapai 1,09
triliun Yen. Surplus neraca perdagangan Jepang ini juga berada di atas konsensus yang mencapai
0,39 triliun Yen.
Mata uang Rubel menguat sebesar 1,29% mtd ke level 59 per Dolar AS, terangkat oleh
kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak Brent dan WTI naik masing-masing ke level USD51,78
dan USD47,52 per barel. Naiknya harga minyak mentah ini didorong oleh penurunan pasokan
minyak secara bertahap, terutama di AS. Persediaan minyak mentah AS turun hampir 13% ke level
466,5 juta barel. Di sisi lain, OPEC dan negara-negara lain di luar OPEC termasuk Rusia akan menahan
sekitar 1,8 juta bpd produksi antara Januari 2017 dan Maret 2018 guna menurunkan pasokan
sehingga diharapkan harga minyak pun akan naik.
Sentimen mengenai proses negosiasi Brexit yang telah memakan waktu 2 (dua) tahun masih
membebani kinerja Sterling. Pada tanggal 18 Agustus 2017, Sterling ditutup melemah mencapai
2,61% ke level 1,29 per Dolar AS. Sentimen Brexit menambah ketidakpastian terhadap prospek
ekonomi Inggris. Dalam laporan bulan Juli 2017, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi
Inggris menyusul penurunan kinerja ekonomi Inggris pasca Brexit. Ekonomi Inggris diperkirakan
hanya akan tumbuh sebesar 1,7% di tahun 2017, lebih rendah dibandingkan proyeksi bulan April
2017 yang mencapai 2%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Inggris diproyeksikan tidak
mengalami perubahan di level 1,5% di tahun 2018.
Mata uang Euro mengalami penurunan sebesar 0,68% mtd ke level 1,18 per Dolar AS pasca
menguat sebesar 11,83% ytd di sepanjang tahun 2017. Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan belum
akan merubah kebijakan stimulus dalam waktu dekat. Di sisi lain, pelemahan Euro juga ditopang
240
300
360
420
480
540
600
0
7
14
21
28
35
42
Au
g-1
4
Oct
-14
Dec
-14
Feb
-15
Ap
r-1
5
Jun
-15
Au
g-1
5
Oct
-15
Dec
-15
Feb
-16
Ap
r-1
6
Jun
-16
Au
g-1
6
Oct
-16
Dec
-16
Feb
-17
Ap
r-1
7
Jun
-17
Au
g-1
7VIX (L) EMBI (R)
Perkembangan Indeks VIX dan EMBI
-1,000
-800
-600
-400
-200
0
200
400
0
2
4
6
8
10
12
Jun
-02
Dec
-02
Jun
-03
Dec
-03
Jun
-04
Dec
-04
Jun
-05
Dec
-05
Jun
-06
Dec
-06
Jun
-07
Dec
-07
Jun
-08
Dec
-08
Jun
-09
Dec
-09
Jun
-10
Dec
-10
Jun
-11
Dec
-11
Jun
-12
Dec
-12
Jun
-13
Dec
-13
Jun
-14
Dec
-14
Jun
-15
Dec
-15
Jun
-16
Dec
-16
Jun
-17
Perkembangan Kinerja Sektor Tenaga Kerja Amerika Serikat
Tingkat Pengangguran (RHS) Non Farm Payroll (LHS)
14
oleh tingkat inflasi yang bergerak stagnan dalam 2 (dua) bulan terakhir berada di level 1,3% pada
bulan Juli 2017. Angka ini sesuai estimasi dan menurun jika dibandingkan awal tahun 2017 yang
mencapai 1,8%.
Sumber: Bloomberg Tabel 1. Perkembangan Mata Uang Global terhadap Dolar AS
Meningkatnya ketidakpastian global direspon secara beragam oleh pelaku pasar saham di
negara maju dan negara berkembang. Bursa saham di negara maju yang kami pantau secara
serentak menunjukkan penurunan di rentang 0,65% mtd hingga 2,28% mtd. Hal ini juga terlihat dari
pergerakan indeks MSCI negara-negara maju yang mengalami penurunan sebesar 1,04% ke level
1.916,68 pada tanggal 18 Agustus 2017. Sementara itu, kinerja indeks saham utama di negara
berkembang bergerak mixed di rentang -3,05% mtd hingga +4,24% mtd. Setelah menguat sebesar
5,48% sepanjang bulan Juli 2017, indeks MSCI negara-negara berkembang terpantau turun sebesar
0,63% ke level 1.059,54 pada tanggal 18 Agustus 2017.
Indeks Dow Jones dan S&P 500 ditutup melemah masing-masing sebesar 0,99% mtd dan
1,81% mtd ke level 21.674,51 dan 2.425,55 pada perdagangan tanggal 18 Agustus 2017, tertekan
oleh aksi jual investor. Peningkatan risiko geopolitik dan berbagai pernyataan kontroversi Trump
direspon negatif oleh Wall Street yang telah bergerak menguat di sepanjang tahun 2017 dan
mengakhiri rally selama 9 hari berturut-turut. Di sisi lain, pasar juga melakukan aksi wait and see
terhadap potensi penaikan bunga acuan Fed (Fed rate) yang diperkirakan akan naik sebanyak 1
(satu) kali di akhir tahun 2017.
Penguatan Yen mendorong penurunan bursa saham Jepang yang sebagian besar merupakan
saham-saham eksportir. Pelemahan indeks Nikkei 225 terus berlanjut setelah pada bulan Juli 2017
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(%) (%) (%) (%, Jul-17) (%) 31/07/2017 18/08/2017
Negara Maju
EUR/USD (3.18) 11.83 (0.68) 3.64 (0.51) 1.18 1.18 1.15 9.35
USD/JPY 2.71 6.65 0.98 1.90 0.01 110.26 109.18 114.00 2.53
GBP/USD (16.26) 4.29 (2.61) 1.46 (1.11) 1.32 1.29 1.29 4.54
Negara Berkembang
USD/IDR 2.28 0.82 (0.28) 0.02 (0.02) 13,325 13,362 13,400 0.54
USD/BRL 18.01 3.16 (0.66) 5.46 1.46 3.13 3.15 3.30 (1.54)
USD/RUB 16.75 3.70 1.29 (1.41) 1.44 59.77 59.00 60.00 2.07
USD/INR (2.68) 5.56 0.06 0.61 (0.02) 64.19 64.15 65.00 4.31
USD/CNY (6.95) 3.96 0.84 0.80 (0.10) 6.73 6.67 6.88 0.94
USD/ZAR 11.17 4.24 0.21 (0.85) 2.30 13.19 13.16 13.70 0.29
USD/MYR (4.51) 4.37 (0.20) 0.28 0.12 4.28 4.29 4.28 4.60
USD/THB 0.79 7.20 0.17 2.01 0.05 33.28 33.22 33.90 5.30
USD/TRY (20.78) 0.14 0.02 0.04 0.51 3.52 3.52 3.65 (3.59)
USD/PHP (5.43) (3.53) (2.09) 0.07 (0.99) 50.43 51.49 51.00 (2.55)
USD/SGD (2.00) 5.81 (0.55) 1.52 (0.14) 1.36 1.36 1.39 3.93
Depre/Apre
2017F (%)2017F*)Mata Uang
15
indeks menurun sebesar 0,54% m/m ke level 19.925,18. Per tanggal 18 Agustus 2017, indeks kembali
melemah mencapai 2,28% mtd dan ditutup pada level 19.470,41. Penguatan Yen sebagai dampak
dari melemahnya nilai tukar Dolar AS berpotensi menekan kinerja indeks yang sepanjang tahun 2017
telah meningkat mencapai 1,86% ytd.
Di negara berkembang, indeks Ibovespa mencetak rekor tertinggi dalam 6 (enam) bulan dan
ditutup pada level 68.714,66 (naik 4,24% mtd). Membaiknya perekonomian Brasil turut menopang
pergerakan indeks dimana sepanjang tahun 2017 telah menguat mencapai 14,09% ytd. Setelah
mengalami resesi dalam 2 (dua) tahun, ekonomi Brasil berhasil ekspansi sebesar 1% pada triwulan I
2017. Tingkat inflasi juga terus mengalami penurunan ke level 2,71% pada bulan Juli 2017, lebih
rendah dibandingkan inflasi di bulan sebelumnya yang mencapai 3%. Di sisi lain, neraca perdagangan
Brasil telah meningkat sebesar USD 3,6 miliar sepanjang tahun 2017, yakni dari USD 2,7 miliar
(Januari 2017) menjadi USD 6,3 miliar (Juli 2017).
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Di tengah sentimen negatif pada perekonomian AS, pasar obligasi global terpantau mengalami
penurunan. Imbal hasil obligasi negara maju menunjukkan penurunan di kisaran 5 bps hingga 14 bps.
Sementara itu, imbal hasil obligasi negara berkembang secara mayoritas juga menunjukkan
penurunan di kisaran 1 bps hingga 10 bps. Imbal hasil obligasi China, India, dan Brasil bertenor 10
tahun terpantau meningkat masing-masing sebesar 1 bps, 4 bps, dan 12 bps.
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(%) (%) (%) (%, Jul-17) (%) 31/07/2017 18/08/2017
Negara Maju
Dow Jones (USA) 13.42 9.67 (0.99) 2.54 (0.84) 21,891.12 21,674.51
S&P 500 (USA) 9.54 8.34 (1.81) 1.93 (0.65) 2,470.30 2,425.55
Stoxx Europe 600 (Eropa) (1.20) 3.54 (0.97) (0.40) 0.55 377.85 374.20
Nikkei 225 (Jepang) 0.42 1.86 (2.28) (0.54) (0.34) 19,925.18 19,470.41
FTSE 100 (Inggris) 14.43 2.54 (0.65) 0.81 0.19 7,372.00 7,323.98
Negara Berkembang
IHSG (Indonesia) 15.32 11.27 0.91 0.19 2.21 5,840.94 5,893.84
Ibovespa (Brazil) 38.93 14.09 4.24 4.80 2.01 65,920.36 68,714.66
MICEX (Rusia) 26.76 (13.53) 0.58 2.13 (0.73) 1,919.53 1,930.71
Sensex (India) 1.95 18.40 (3.05) 5.15 1.00 32,514.94 31,524.68
Shanghai (China) (12.31) 5.32 (0.13) 2.52 1.88 3,273.03 3,268.72
Shenzhen (China) (14.72) (3.40) 1.23 (0.98) 3.24 1,879.10 1,902.25
Hang Seng (China) 0.39 22.94 (1.01) 6.05 0.61 27,323.99 27,047.57
JALSH (Afrika Selatan) (0.08) 9.18 0.18 6.97 0.27 55,207.41 55,304.23
KLCI (Malaysia) (3.00) 8.19 0.92 (0.21) 0.52 1,760.03 1,776.22
SET (Thailand) 19.79 1.53 (0.61) 0.09 0.33 1,576.08 1,566.53
Borsa Istanbul (Turki) 8.94 37.20 (0.31) 7.06 0.22 107,531.40 107,202.40
PCOMP (Filipina) (1.60) 17.19 (0.02) 2.23 1.11 8,018.05 8,016.73
FSSTI (Singapura) (0.07) 12.89 (2.33) 3.19 (0.85) 3,329.52 3,251.99
Indeks Saham
16
Berbagai permasalahan geopolitik dan fokus Trump pada beberapa rencana kebijakan baru
seperti usulan anggaran untuk pembangunan tembok dengan Meksiko mendorong imbal hasil US
Treasury dan obligasi global mengalami penurunan. Hal ini juga diperkirakan dapat mengurangi
tekanan terhadap ekspektasi pengetatan lanjutan oleh The Fed. Namun demikian, penurunan imbal
hasil ini berpotensi kembali meningkat menyusul ekspektasi inflasi global akibat harga minyak
mentah yang meningkat secara gradual.
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Di dalam negeri, kinerja nilai tukar Rupiah dapat dikatakan stabil. Pada tanggal 18 Agustus
2017, Rupiah sedikit melemah sebesar 0,28% ke level 13.362 per Dolar AS. Kinerja Rupiah berpotensi
mendapat sentimen positif menyusul penurunan bunga acuan Bank Indonesia 7-day reverse repo
pada tanggal 22 Agustus 2017. Bank Indonesia untuk pertama kalinya menurunkan bunga acuan
sejak bulan Oktober 2016 sebesar 25 bps dari 4,75% menjadi 4,50%. Sementara itu, bunga Deposit
Facility dan Lending Facility juga turun sebesar 25 bps masing-masing ke level 3,75% dan 5,25%.
Mengutip Siaran Pers Bank Indonesia, kebijakan penurunan suku bunga ini konsisten dengan
adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter dengan rendahnya realisasi dan prakiraan inflasi
tahun 2017 dan 2018 dalam kisaran sasaran yang ditetapkan, serta terkendalinya defisit transaksi
berjalan dalam batas yang aman. Di sisi lain, risiko eksternal terkait dengan rencana kenaikan Fed
Fund Rate (FFR) dan normalisasi neraca bank sentral AS mereda sehingga perbedaan suku bunga
dalam dan luar negeri Indonesia tetap menarik. Penurunan suku bunga kebijakan diharapkan dapat
memperkuat intermediasi perbankan sehingga memperkokoh stabilitas sistem keuangan serta
mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Rilis data ekonomi domestik terus menunjukkan perkembangan yang positif. Data
pertumbuhan ekonomi yang meskipun stagnan dalam 2 (dua) triwulan berturut-turut namun masih
mampu mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi di tengah ketidakpastian global. Pada triwulan II
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(bps) (bps) (bps) (bps, Jul-17) (bps) 31/07/2017 18/08/2017
Negara Maju
Amerika Serikat 17 (25) (10) (1) 1 2.29 2.19 2.58 29
Eropa (42) 21 (13) 8 3 0.54 0.41 0.67 13
Jepang (22) (1) (5) (0) (3) 0.08 0.03 0.06 (2)
Inggris (72) (15) (14) (3) 3 1.23 1.09 1.31 8
Negara Berkembang
Indonesia (102) (108) (6) 12 (1) 6.95 6.89 7.23 28
Brazil (511) (129) 12 (55) (1) 9.99 10.11 10.66 67
India (125) (0) 4 (4) 1 6.47 6.51 6.48 1
China 20 58 1 6 0 3.63 3.64 3.51 (12)
Afrika Selatan (87) (40) (10) (15) (12) 8.63 8.53 8.57 (6)
Malaysia 4 (25) (1) 6 (1) 3.99 3.98 4.22 23
Thailand 15 (29) (7) (4) (2) 2.43 2.36 2.67 24
2017*)Sovereign Bond Yield 10Yr(LCY)
Δ2017F (bps)
17
2017, ekonomi Indonesia tumbuh di level 5,01% y/y. Di sisi lain, realisasi inflasi pada bulan Juli 2017
mengalami penurunan dari 0,69% m/m (Juni 2017) menjadi 0,22% m/m. Secara tahunan, inflasi juga
mengalami penurunan dari 4,37% (Juni 2017) menjadi 3,88% (Juli 2017).
Sumber: CEIC dan Bloomberg Gambar 9. Perkembangan Net Buy dan Valuasi Saham
Arus dana asing masih terlihat keluar dari pasar saham Indonesia, yang tercermin dari net sell
yang terjadi dalam 3 (tiga) bulan berturut-turut. Sepanjang bulan Juli 2017, net sell terpantau
mengalami peningkatan dari Rp 4,32 triliun di bulan Juni 2017 menjadi Rp 10,64 triliun. Net sell terus
terjadi pada periode observasi 1 Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017 mencapai Rp 3,08 triliun.
Salah satu pemicu keluarnya investor asing dari pasar saham Indonesia disinyalir didorong oleh
tingginya P/E ratio (PER) yang pada bulan Juli 2017 berada pada level 11,14 kali. Investor asing terus
melakukan aksi profit taking menyusul valuasi yang tidak murah di saham Indonesia.
Namun demikian, jika kita lihat kinerja IHSG masih berada pada teritori positif dengan ditutup
menguat sebesar 0,91% mtd ke level 5.893,84 pada perdagangan tanggal 18 Agustus 2017. IHSG
terpantau kembali mencatatkan rekor dalam 2 (dua) bulan terakhir. Jika dilihat secara sektoral,
penguatan IHSG ditopang oleh sektor infrastruktur dan properti yang pada periode pengamatan
kami tanggal 1 Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017 tumbuh positif sebesar 2,66%.
Sumber: DJPPR dan Bloomberg Gambar 10. Perkembangan Kepemilikan Asing di SBN, Net Buy SBN, dan Bid to Cover Ratio
4,000
4,250
4,500
4,750
5,000
5,250
5,500
5,750
6,000
-15
-10
-5
0
5
10
15
Jul-
14
No
v-1
4
Ma
r-1
5
Jul-
15
No
v-1
5
Ma
r-1
6
Jul-
16
No
v-1
6
Ma
r-1
7
Jul-
17
Perkembangan Net Buy Saham dan IHSG
Net Buy Saham (LHS) IHSG (eop, RHS)
Jul '17IHSG (eop) : 5,840.94Net Buy Saham : - Rp 10.64 Tn
-2.5-2.0-1.5-1.0-0.50.00.51.01.52.02.53.0
Jul-
07
Jul-
08
Jul-
09
Jul-
10
Jul-
11
Jul-
12
Jul-
13
Jul-
14
Jul-
15
Jul-
16
Jul-
17
Perkembangan PER Indonesia
Z +2.5% -2.5% +5.0% -5.0%
16.5
14.7
15.6
14.4
14.6
11.6
5.5
16.2
12.9
13.1
15.5
14.1
17.4
15.4
16.6
15.0
15.8
13.2
5.9
20.4
13.2
15.7
17.3
15.3
US
EU
JP
UK
ID
BR
RU
IN
CH
SA
MY
TH
Proyeksi P/E Ratio Antar Negara (2017 dan 2018)
2017F 2018F
0%
10%
20%
30%
40%
50%
0
200
400
600
800
1,000
Jul-
14
Oct
-14
Jan
-15
Ap
r-1
5
Jul-
15
Oct
-15
Jan
-16
Ap
r-1
6
Jul-
16
Oct
-16
Jan
-17
Ap
r-1
7
Jul-
17
Perkembangan Kepemilikan Asing di Surat Berharga Negara
Amount Foreign Ownership % Foreign Ownership
11,000
11,500
12,000
12,500
13,000
13,500
14,000
14,500
15,000-25
-15
-5
5
15
25
35
45
Jul-
14
Oct-
14
Jan
-15
Ap
r-1
5
Jul-
15
Oct-
15
Jan
-16
Ap
r-1
6
Jul-
16
Oct-
16
Jan
-17
Ap
r-1
7
Jul-
17
Perkembangan Net Buy SBN dan Nilai Tukar
Net Buy SBN (LHS) Nilai Tukar (eop, RHS)
Jul '17USDIDR (eop) : 13,325Net Buy SBN : + Rp 4.99 Tn
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
0.0
75.0
150.0
225.0
300.0
375.0
450.0
525.0
600.0
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
20
16
7M
16
7M
17
Perkembangan Bid-to-Cover Ratio
Incoming Bid Bid Accepted Bid to Cover Ratio
18
Berbeda dengan kinerja di pasar saham, investor asing masih mencatatkan net buy di pasar
obligasi Indonesia. Meskipun kepemilikan asing cenderung menurun di bulan Juli 2017 namun
investor asing terpantau melakukan net buy dalam 8 bulan berturut-turut. Pada bulan Juli 2017,
kepemilikan obligasi oleh investor asing mencapai Rp 4,99 triliun, lebih rendah dibandingkan
kepemilikan asing pada bulan Juni 2017 yang mencapai Rp 14,40 triliun. Namun pasar obligasi
berpotensi meningkat seiring penurunan bunga acuan Bank Indonesia.
Jika kita lihat kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) pada periode tanggal 1
Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017, dana asing tercatat masuk ke pasar obligasi mencapai Rp 4,93
triliun, dari Rp 775,54 triliun (31 Juli 2017) menjadi Rp 780,47 triliun (18 Agustus 2017). Kepemilikan
asing tersebut memiliki porsi sebesar 39,14% terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan, turun
dibandingkan akhir Juli 2017 yang mencapai 39,35% terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan.
Sejalan dengan net buy tersebut, yield obligasi pemerintah menunjukkan penurunan mencapai 6 bps
mtd ke level 6,89%.
Lelang SBN dan SBSN yang diselenggarakan pemerintah selama periode bulan Januari 2017
hingga Juli 2017 masih mencatatkan oversubscribed terlihat dari tingginya total penawaran yang
masuk (incoming bid). Pada lelang bulan Januari 2017 hingga Juli 2017, tercatat peningkatan
incoming bid mencapai Rp 214,86 triliun dari Rp 536,96 triliun (Januari 2016-Juli 2016) menjadi
sebesar Rp 751,82 triliun. Sementara itu, bid accepted pada lelang bulan Januari 2016-Juli 2017
mengalami peningkatan sebesar Rp 54,90 triliun dari Rp 270,29 triliun: bid to cover ratio 1,99 kali
menjadi Rp 325,19 triliun: bid to cover ratio 2,31 kali.
20
Perbankan: Masih Membutuhkan Sentimen Positif Seno Agung Kuncoro
Kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang solid. Kredit perbankan
tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni 2017 pertumbuhannya menurun 97 bps dibanding
pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya menjadi 7,75% year on year.
Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps dibandingkan
bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar 19,93% (yoy)
dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir.
Penurunan suku bunga acuan BI 7-days repo rate di bulan Agustus menjadi 4,5% ternyata
memberikan sentimen positif bagi industri keuangan yang masih dibayangi oleh ketidakpastian
kondisi ekonomi global. Dengan penurunan suku bunga acuan, maka perbankan kembali memiliki
ruang untuk melakukan penurunan suku bunga simpanan yang bisa berdampak positif bagi ekspansi
kredit dan kinerja keuangan bank.
Dari data perbankan sampai dengan periode Juni 2017, kinerja sektor perbankan masih belum
memperlihatkan perbaikan yang konsisten. Kredit perbankan tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni
2017 pertumbuhannya menurun 97 bps dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya
menjadi 7,75% year on year. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami hal yang sama
mengikuti penurunan pertumbuhan kredit sebesar 88 bps dibanding pertumbuhan bulan
sebelumnya menjadi sebesar 10,30% (yoy), setelah di bulan sebelumnya mengalami lonjakan
pertumbuhan cukup tinggi. Meskipun terus mendapat tekanan dari pasar keuangan domestik dan
global, industri perbankan masih dalam pertumbuhan yang positif dan sehat dengan risiko
permodalan yang masih mencukupi untuk bertahan dari tekanan risiko yang ada.
Sumber: OJK, diolah
Gambar 11. Pertumbuhan Kredit, Dana Pihak Ketiga, dan LDR
21
Pertumbuhan kredit yang masih fluktuatif ini disebabkan oleh masih lemahnya permintaan,
sementara dari sisi supply bank masih berhati-hati untuk ekspansi. Bank Indonesia pun mulai realitis
dengan memangkas proyeksi kredit pada tahun 2017 menjadi 8% - 10% dari proyeksi awal sebesar
10% - 12%. Hal ini selain dipengaruhi faktor perekonomian domestik dan global, juga diperkirakan
karena dampak rencana akan dihentikannya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) pada akhir Agustus.
Meski selama ini perbankan telah menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih baik, dengan
tidak dilanjutkannya kebijakan tersebut dan kembali pada tiga pilar, maka bank harus menambah
penilaian kehati-hatian dalam penyaluran kredit karena kondisi perekonomian yang masih
melambat. Sehingga dengan berbagai situasi saat ini dan melihat pencapaian pertumbuhan kredit
semester 1 tahun 2017, diperkirakan target tingkat pertumbuhan kredit sebesar 8% - 10% menjadi
realistis.
Walau demikian masih ada sedikit harapan meningkatnya pertumbuhan kredit di tengah
melambatnya tingkat pertumbuhan year on year di bulan Juni 2017, dimana bila dilihat
pertumbuhan bulanan (month on month) terjadi peningkatan sebesar 60 bps dari 0,89% (mom) di
Mei 2017 menjadi 1,49% (mom) di Juni 2017. Kredit modal kerja yang mencapai 47% dari total
kredit, dalam 3 bulan terakhir pertumbuhannya melambat relatif dibanding jenis kredit lainnya
menjadi sebesar 7,21% (yoy) di Juni 2017. Hal yang sama terjadi pada kredit investasi dengan bagian
26% dari total kredit hanya tumbuh sebesar 6,44% (yoy), sementara kredit konsumsi dengan porsi
28% dari total penyaluran kredit meski lambat tetapi memperlihatkan pertumbuhan yang terus
meningkat hingga tumbuh sebesar 9,86% (yoy). Sehingga secara keseluruhan kredit investasi dan
kredit konsumsi masih menjadi penopang pertumbuhan kredit perbankan.
Sumber: CEIC, OJK, diolah
Gambar 12. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis dan Sektor
Modal Kerja; 7,21
Investasi; 6,44
Konsumtif; 9,86
0
5
10
15
20
25
30
35
40Pertumbuhan Jenis Kredit
y/y (%)
Modal Kerja Investasi Konsumtif
22
Belanja pemerintah pada triwulan 2 tahun 2017 tercatat mengalami kontraksi sebesar 1,93%
karena realisasi belanja pegawai maupun belanja barang yang turun dibandingkan periode sama
tahun lalu. Ke depan, kontribusi pemerintah melalui belanja modal diharapkan meningkat sebab bisa
memberikan dampak positif kepada kinerja investasi dalam jangka panjang dan pada akhirnya bisa
mendorong penyaluran kredit modal kerja dan investasi.
Adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mendorong pertumbuhan kredit yang lebih
baik dapat berasal dari industri pengolahan non migas yang berkontribusi sekitar 18% dari PDB
nasional di tahun 2017. Dimana dengan langkah strategis melalui kebijakan pengembangan industri
berbasis sumber daya alam melalui hilirisasi bisa mendorong investasi dan penciptaan lapangan
kerja baru dan penguatan struktur industri yang selama ini masih banyak berorientasi impor.
Kontribusi terbesar sektor industri pengolahan non migas berasal dari cabang industri makanan dan
minuman sebesar 34,42%, diikuti industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik dan
peralatan listrik sebesar 10,38%, serta industri alat angkutan sebesar 9,95%.
Kami melihat keputusan OJK untuk tidak memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit sudah
tepat. Dengan kondisi pemulihan ekonomi yang berjalan saat ini, perbankan lebih baik memperbaiki
kondisi internal, baik dari sisi sumber daya manusia, proses bisnis, dan peluang bisnis daripada
mengejar pertumbuhan kredit yang memang dari sisi permintaan (demand) juga masih lemah. Kami
yakin untuk bank yang berada di BUKU 4 dapat tetap menggunakan tiga pilar dalam melakukan
restrukturisasi kredit dibandingkan bank yang berada di kelompok BUKU lainnya.
Untuk jenis kredit berdasarkan sektor industri, pertumbuhan kredit sektor perdagangan masih
menurun hingga Juni 2017 sebesar 31 bps dari pertumbuhan periode bulan sebelumnya menjadi
6,12% (yoy). Sementara kredit sektor rumah tangga dengan porsi 29% dari total kredit, pada periode
Juni 2017 tumbuh sebesar 8,77% (yoy) naik 10 bps dari bulan sebelumnya. Berkaca pada fluktuasi
pertumbuhan kredit sepanjang tahun 2017, maka target kredit di tahun 2017 tidak lebih dari 10%
menjadi rasional. Industri perbankan yang semakin memperketat syarat penyaluran kredit (credit
rationing) karena kecemasan terhadap potensi kenaikan jumlah kredit bermasalah dari lambatnya
pergerakan roda perekonomian akan mempengaruhi kinerja perbankan secara keseluruhan. Rasio
kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps dibandingkan bulan
sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar 19,93% (yoy) dalam tren
pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir.
Tren penurunan pertumbuhan nominal NPL, mayoritas disebabkan oleh penurunan signifikan
dari pertumbuhan kolektibilitas Diragukan selama setahun terakhir. Begitu pula yang terjadi pada
kredit kolektibilitas “Macet” sebesar 3,80% (yoy) dan tercatat sebesar Rp83,9 triliun dalam tren
menurun dari akhir tahun 2016. Kami melihat bahwa rasio kredit bermasalah masih akan berkisar di
angka 2,8% - 3,0% hingga akhir tahun 2017 mengingat penyaluran kredit baru yang lebih terbatas di
tahun 2017 dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu, likuiditas sistem keuangan menjadi salah satu bagian penting dalam mengukur
daya tahan ekonomi dan sistem keuangan yang pada bulan Juni 2017 masih cukup longgar ditandai
dengan rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 89,31% bila
dibandingkan posisi LDR di akhir tahun 2016 sebesar 90,70%. Menurunnya rasio LDR ini lebih
didorong oleh pertumbuhan DPK yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan penyaluran kredit.
23
Sumber: CEIC dan OJK
Gambar 13. Rasio dan Pertumbuhan NPL
Data terakhir menunjukkan, tren pertumbuhan uang beredar (M2) kembali mengalami
perlambatan. Posisi M2 pada Juni 2017 tercatat sebesar Rp5.278,9 triliun atau tumbuh sebesar
11,4% (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,1% (yoy). Meningkatnya
pertumbuhan M2 tersebut dipengaruhi oleh komponen M1 (rupiah dan valas) karena peningkatan
kebutuhan masyarakat selama bulan puasa dan menjelang hari raya. Walaupun ekspansi keuangan
pemerintah meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas belanja pemerintah, tetapi hal tersebut
belum dapat mendorong pertumbuhan kredit lebih tinggi yang turut mempengaruhi perlambatan
M2.
Dana pihak ketiga pada periode Juni 2017 tumbuh 10,30% (yoy) turun 88 bps dibandingkan
pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,18% (yoy) tertinggi dalam 20 bulan terakhir.
Pertumbuhan giro mencatatkan angka relatif tertinggi sebesar 11,31% (yoy) dibandingkan simpanan
lainnya. Sementara dari segi komposisi terhadap dana pihak ketiga, deposito masih memiliki porsi
terbesar dengan kecenderungan menurun dibanding dengan alternatif pendanaan lainnya yakni
sebesar 45% pada posisi Juni 2017.
Pertumbuhan simpanan Tabungan pada Juni 2017 kembali menurun sebesar 143 bps menjadi
9,55% (yoy) setelah di bulan sebelumnya meningkat sebesar 71 bps. Menurunnya pertumbuhan
tabungan didorong oleh siklus bulan puasa dan hari raya Lebaran yang membuat kebutuhan
likuiditas di masyarakat menjadi tinggi. Sementara pertumbuhan deposito naik 27 bps menjadi
sebesar 10,30% (yoy) di bulan Juni 2017 dibanding bulan sebelumnya sebesar 10,03%. Masih
lambatnya pertumbuhan deposito tersebut kami perkirakan mulai adanya pergeseran horizon
investasi dari produk perbankan kepada produk keuangan seperti saham, reksadana, surat utang
negara ritel, dan lain sebagainya sehingga dana masyarakat di perbankan pertumbuhannya
melambat. Dengan kebijakan bank yang memangkas suku bunga simpanan deposito dari akhir tahun
2015 lalu dan gencarnya pemerintah menerbitkan surat utang ritel, membuat suku bunga riil
simpanan masyarakat menjadi tidak menguntungkan dan pada akhirnya masyarakat mengalihkan
24
porsi investasinya. Di sisi lain perlambatan pertumbuhan uang beredar juga dipengaruhi oleh
lambatnya pertumbuhan kredit perbankan.
Sumber: BI
Gambar 14. Perkembangan Likuiditas Sistem Keuangan
Terjaganya kondisi stabilitas makro dan tingkat inflasi yang rendah menjadi pertimbangan BI
dalam menurunkan suku bunga acuannya (BI 7DRR) 25 bps menjadi 4,5%. Disamping itu BI juga
sedang mengkaji untuk merubah kebijakan makroprudensial loan to value (LTV) untuk kepemilikan
rumah dan kendaraan bermotor berdasarkan zona wilayah guna menopang target pertumbuhan
kredit perbankan. Penurunan suku bunga deposito saat ini berdampak pada biaya dana (cost of fund)
bank tentunya akan lebih rendah. Meski bank akan lebih efisien dalam menyesuaikan suku bunga
kreditnya ke arah yang lebih kompetitif, namun adanya faktor risiko yang meningkat sepertinya akan
set off dengan penurunan cost of fund.
Sumber: CEIC dan OJK Gambar 15. Pertumbuhan Komponen Dana Pihak Ketiga
25
Setelah kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor's, ditambah dengan tren
penurunan suku bunga, pelaku pasar terutama korporasi menjadikan tahun 2017 sebagai
momentum yang tepat untuk menerbitkan obligasi. Dimana secara keseluruhan, tingginya minat
investor terhadap obligasi saat ini didorong oleh adanya tren penurunan suku bunga serta perbaikan
peringkat sovereign rating Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) yang dapat
mendorong kupon dibayarkan menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Sehingga investor
mencari alternatif investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dari instrumen simpanan
deposito. Dalam hal ini, obligasi korporasi semakin digemari oleh investor yang tengah mencari
alternatif instrumen investasi. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), hingga Juni
2017 realisasi penerbitan obligasi korporasi mencapai sekitar Rp57,03 triliun.
Keinginan Pemerintah untuk menurunkan bunga kredit menjadi single digit tahun ini
sepertinya tidak bisa secepat yang diharapkan. Permasalahan suku bunga kredit di Indonesia
memang sesuatu yang sangat kompleks karena terkait dengan tingkat inflasi, tingkat efisiensi
intermediasi perbankan dalam hal ini adalah Net Interest Margin (NIM), serta kondisi defisit neraca
berjalan. Diperlukan road map yang jelas untuk mengidentifikasi setiap hambatan dalam upaya
penurunan suku bunga kredit.
Tren suku bunga bank benchmark untuk deposito rupiah yang dipantau LPS (suku bunga
pasar/SBP) secara rata-rata sampai dengan periode akhir Agustus 2017 masih dalam tren menurun
yang terbatas. Sementara suku bunga pasar deposito valuta asing yang dipantau memperlihatkan
tren kenaikan terbatas dalam 3 bulan terakhir. Kami melihat adanya proyek pembangunan
infrastruktur menjadi pemicu tingginya kebutuhan modal kerja atau investasi dalam bentuk impor
sehingga kebutuhan valas menjadi tinggi. Meski demikian simpanan valas pertumbuhannya juga
mengalami kenaikan, terutama pada tahun lalu saat berakhirnya program tax amnesty, sehingga
nilai tukar valas relatif terjaga.
Sumber: LPS
Gambar 16. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Valas
26
Meski global political risk dan kenaikan Fed Fund Rate masih membayangi kondisi
perekonomian domestik, keputusan BI untuk menurunkan bunga acuannya diharapkan bisa
menopang laju pertumbuhan kredit yang masih lambat. Sentimen positif dari para pelaku ekonomi
terhadap hal tersebut akan lebih terasa bila pemerintah juga ikut memacu penyerapan belanja
negara yang selama triwulan 2 tercatat melambat untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Bagaimanapun, konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi terbesar terhadap laju pertumbuhan.
Kami melihat likuiditas perbankan saat ini masih cukup memadai mengingat masih turunnya
suku bunga simpanan disamping turunnya suku bunga acuan, kebijakan giro wajib minimum
averaging (GWMA) pada bulan Juli lalu turut berperan dalam menjaga likuiditas bank. Dengan
turunnya suku bunga acuan dan memadainya likuiditas perbankan, maka ruang bank untuk
menurunkan cost of fund dan suku bunga kredit akan semakin besar. Yang mungkin masih perlu
dibenahi adalah komponen risiko kredit dalam perhitungan suku bunga kredit sehingga suku bunga
kredit bisa lebih cepat turunnya.
28
Industri Perkebunan : Beban Produksi dan Regulasi Impor Ahmad Subhan Irani
Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan
(oversupply) akibat perbaikan produksi dan gejolak permintaan yang disebabkan kebijakan
proteksi terhadap CPO di beberapa negara
Efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India terhadap produk CPO diperkirakan hanya
akan berdampak jangka pendek mengingat India hanya dapat memenuhi kebutuhan CPO
melalui impor.
Pemulihan produksi kelapa sawit dan CPO yang terjadi di Malaysia dan Indonesia mendorong
sentimen negatif pada prospek harga CPO di sepanjang 2H-17. Pada penutupan perdagangan Senin
(21/8) harga CPO di bursa Malaysia, kontrak teraktif November 2017 masih mengalami kenaikan
terbatas sebesar 30 poin atau 1,12% menuju 2.711 ringgit (USD632,20) per ton. Sementara
sepanjang tahun berjalan harga CPO cenderung terkoreksi sebesar 16% dengan rata-rata mencapai
level 2.600 ringgit (USD 610) per ton. Pada semester I/2017, rata-rata harga masih berkisar di level
2.940 ringgit (USD670) per ton, tetapi cenderung tertekan pada semester II/2017 menjadi 2.430
ringgit (USD570) per ton. Penambahan pasokan diperkirakan akan berlangsung sampai tahun depan,
sehingga rata-rata harga CPO pada 2018 diperkirakan akan terkoreksi ke level 2.500 ringgit (USD590)
per ton.
CPO Spot Price CPO 3-Month Futures Price
Sumber: Bloomberg Gambar 17. Harga CPO dipasar Spot dan Future
Selain faktor pemulihan produksi tekanan terhadap harga diperkirakan masih akan berlanjut
sebagai respon atas perkiraan menyusutnya permintaan dari India yang sepanjang 1H-17 telah
tumbuh cukup kuat. Selain itu harga CPO juga terseret oleh pelemahan pada harga minyak kedelai
AS, aksi spekulasi di pasar China dan tren penguatan nilai tukar ringgit yang menyebabkan harga CPO
29
mengalami koreksi relatif terhadap USD. Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan
dibayangi risiko kelebihan pasokan (oversupply) yang dapat membuat harga komoditas lebih dalam
terkoreksi di 2H-17.
Di sisi lain pemulihan kinerja ekspor komoditas CPO sepanjang 2H-17 diperkirakan akan
semakin berat menyusul langkah beberapa negara importir utama yang cenderung membatasi
masuknya produk CPO dan turunannya dari Indonesia. Kebijakan terbaru yang diperkirakan akan
membatasi potensi ekspor CPO adalah kenaikan bea masuk ekspor yang diterapkan India sebesar 15-
25%. Angka ini meningkat 100% dari bea masuk sebelumnya yang diterapkan oleh India untuk
ekspor CPO dari Indonesia sebesar 7,5-15%. Kalangan pengusaha menilai bila aturan tersebut
diterapkan penuh maka akan berdampak besar pada pelaku industri. Dampak yang ditimbulkan
adalah harga CPO dari Indonesia akan lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya. Sebagai
salah satu negara tujuan ekspor produk CPO dari Indonesia, kebijakan pemerintah India tersebut
tentu dapat mempengaruhi permintaan dan pasokan yang akhirnya akan berdampak pada harga jual
CPO di Indonesia.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) berpendapat, penetapan
kebijakan ini mungkin akan mempengaruhi pasar ekspor CPO Indonesia. Meski demikian dampaknya
baru akan terasa jika konsumen India memilih mengurangi impor sementara mereka pun
sebenarnya membutuhkan CPO Indonesia. Oleh karena itu hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah spread harga CPO dengan minyak kedelai yang harus tetap dijaga, sebab jika spread harga
terlalu rendah maka mereka akan memilih minyak kedelai. Menurutnya untuk saat ini harga CPO
idealnya harus lebih rendah sekitar USD 70 dolar per ton dari harga minyak kedelai.
Sumber: Bloomberg Gambar 18. Spread Harga CPO dan Minyak Kedelai
30
Lebih lanjut efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India diperkirakan hanya akan
berdampak dalam jangka pendek namun tidak dalam jangka panjang, hal ini mengingat India hanya
dapat memenuhi kebutuhan CPO melalui impor disamping kebutuhan CPO India masih tinggi dan
terus meningkat. Langkah yang ditempuh pemerintah India terkait bea impor CPO kerap dilakukan
sejak tahun 2013, hal ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan harga dan pasokan bagi industri
domestik CPO serta industri minyak nabati lainnya. Berdasarkan data Oil World pada musim 2016-
2017 (September 2016—Oktober 2017) India akan mengkonsumsi sekitar 9,35 juta ton CPO atau
sekitar 15,17% dari total penyerapan global sejumlah 61,62 juta ton. Menurut CARE Ratings, satu-
satunya minyak nabati yang saat ini tidak dapat diproduksi di India secara langsung adalah CPO.
Sehingga pemenuhan kebutuhan CPO hanya bisa dilakukan melalui impor. Pada musim 2015-2016,
impor minyak nabati India mencapai 14,5 juta ton. Dari jumlah tersebut, pengapalan masuk CPO
berkontribusi sekitar 57,72%.
Sumber: BCG (From USDA, 2010) Gambar 19. Jalur Utama Perdagangan CPO Dunia
Selain India hambatan ekspor CPO Indonesia juga terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS),
bahkan secara terbuka parlemen Eropa telah mengesahkan Resolusi Sawit yang tertuang dalam
Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Resolusi tersebut berisi tentang catatan negatif
atas sawit, di antaranya menyebutkan bahwa sawit adalah persoalan besar yang dikaitkan dengan
isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penghilangan hak masyarakat adat,
serta sebagai pemicu deforestasi dan kerusakan habitat. Resolusi tersebut juga merekomendasikan
perlunya investasi dari komoditas sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil.
31
Upaya untuk membatasi produk sawit dan CPO oleh Eropa dilakukan pula melalui skema
sertifikasi tunggal bagi CPO yang masuk ke Uni Eropa. Kemudian, secara bertahap Uni Eropa bakal
menghapuskan penggunaan minyak nabati pemicu deforestasi mulai tahun 2020. Sejauh ini resolusi
yang dihasilkan parlemen Eropa ini memang belum bersifat final karena masih harus diratifikasi oleh
negara-negara anggota dan Komisi Eropa. Sementara disisi lain AS berencana mengenakan pungutan
besar terhadap produk biodiesel dan CPO sebab menilai Indonesia melakukan dumping terhadap
produk biodiesel. Khusus untuk kasus biodiesel di AS berdasarkan catatan APROBI, pada 2016
Indonesia mengekspor sekitar 400 ribu KL biodiesel ke AS dan merupakan pasar ekspor terbesar
biodiesel di luar Eropa.
Terlepas dari berbagai hambatan ekspor tersebut, berdasarkan data Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tumbuh positif dari segi
volume sepanjang 1H-17. Volume ekpsor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya
termasuk oleochemical dan biodiesel) tercatat mencapai 16,6 juta ton atau naik 25% dibandingkan
dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 12,5 juta ton. Sementara itu produksi
CPO Indonesia pada semester pertama 2017 telah mencapai 18,15 juta ton. Angka ini menunjukkan
pertumbuhan 18,6% dibandingkan dengan produksi tahun lalu pada periode yang sama 15,30 juta
ton. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa stok fisik minyak CPO perusahaan cukup banyak
sehingga perlu diadakan penyesuaian data stok. Pada semester satu 2017, stok CPO Indonesia
mencapai 2,325 juta ton yang sudah termasuk angka penyesuaian sebesar 1,5 juta ton.
Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia ke negara tujuan utama juga tumbuh positif kecuali
Pakistan. Ekspor ke Pakistan mengalami penurunan sebesar 5% dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu atau dari 1,1 juta ton turun menjadi 1,05 juta ton pada periode yang sama tahun ini.
Penurunan juga diikuti oleh negara-negara Timur Tengah yang mencatatkan penurunan sebesar
12%. Sebaliknya, volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India pada 1H-17 masih mencatatkan
pertumbuhan yang cukup siginifikan yaitu naik sebesar 43% dibandingkan periode yang sama tahun
lalu atau dari 2,6 juta ton menjadi 3,8 juta ton. Kinerja ekspor ke Eropa selama 1H-17 mencapai 2,7
juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu hanya mampu mencapai 1,9 juta ton.
Kenaikan kinerja ekspor semester pertama 2017 diikuti oleh negara-negara Afrika sebesar 36,5%,
Bangladesh 29%, Amerika Serikat 27% dan China 18%.
Ditengah maraknya kebijakan pembatasan impor CPO saat ini dari beberapa negara, kalangan
pelaku industri CPO khususnya biodiesel justru melihat peluang China sebagai pasar baru yang
potensial berkembang sejalan dengan program biodiesel campuran 5% atau B5 yang mulai
diterapkan. Penggunaan biodiesel di China dapat menjadi pasar potensial untuk meningkatkan
ekspor produk sawit Indonesia terutama biodiesel. Pemakaian B5 di China akan menciptakan
kebutuhan CPO sebesar 9 juta ton yang artinya dapat menggantikan peran pasar Eropa dan AS. Itu
sebabnya, pelaku industri di Indonesia mendorong penerapan program B5 di China segera berlaku
bahka secara terbuka ingin menawarkan skema kerja sama melalui pendirian pabrik biodiesel di
Indonesia.
33
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Risiko industri perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi normal. Berdasarkan update
data perbankan bulan Juni 2017 dan data pasar bulan Juli 2017, angka BSI pada bulan Juli 2017
mengalami sedikit peningkatan sebesar 3 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan
Juni 2017, yaitu dari 99,55 menjadi 99,58.
Angka Banking Stability Index (BSI) untuk periode Juli 2017 mengalami sedikit peningkatan
sebesar 3 bps, yaitu dari 99,55 pada Juni 2017 menjadi 99,58. Peningkatan BSI pada bulan Juli
didorong oleh peningkatan pada Sub Indeks Market Pressure (MP) dan Sub Indeks Interbank Pressure
(IP), sementara Sub Indeks Credit Pressure (CP) mengalami penurunan. Sub Indeks MP meningkat
dari 100,06 pada bulan Juni 2017 menjadi 100,19 pada bulan Juli 2017 dan Sub Indeks IP meningkat
dari 99,49 pada bulan Mei 2017 menjadi 100,09 pada bulan Juni 2017. Sebaliknya, Sub Indeks CP
mengalami penurunan dari 98,91 pada Mei 2017 menjadi 98,85 pada Juni lalu. Angka BSI pada Juli
2017 yang berada pada level 99,58 menunjukkan risiko industri perbankan Indonesia berada pada
kondisi “Normal”.
Sumber: LPS
Gambar 20. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP)
Rasio gross NPL pada Juni 2017 mengalami penurunan sebesar 11 bps dari 3,07% di bulan
Mei 2017 menjadi 2,96%. Sampai dengan Juni 2017, peningkatan NPL paling tinggi masih terjadi di
sektor pertambangan yang mencapai 7,84%. Selain sektor pertambangan, sektor perdagangan juga
menunjukkan peningkatan NPL yang cukup tinggi, yakni 4,35%. Sektor-sektor lain yang mencatat NPL
di atas 3% adalah sektor transportasi 4,25%, konstruksi 3,92%, dan manufaktur 3,23%. Sedangkan
sektor kredit yang menunjukkan NPL yang relatif rendah adalah sektor kelistrikan 1,56%, keuangan
dan real estate 1,85%, pertanian 1,97% dan sektor lainnya sebesar 1,73%. Angka NPL pada bulan Juni
2017 ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016 yang
mencapai 3,05%.
Di sisi likuiditas, LDR industri mengalami peningkatan sebesar 74 bps dari 88,57% di bulan
Mei 2017 menjadi 89,31% di bulan Juni 2017. Pada bulan Juni 2017, terjadi kenaikkan kredit MoM
sebesar 1,4% dan DPK MoM sebesar 0,61%. Secara YoY, baik pertumbuhan kredit maupun
34
pertumbuhan DPK mengalami penurunan jika dibandingkan dengan bulan Mei 2017. Pada bulan Juni
2017 kredit YoY mengalami pertumbuhan sebesar 7,37%, sementara di bulan Mei 2017 sebesar
8,42% dan DPK YoY mengalami pertumbuhan sebesar 9,63% turun jika dibandingkan dengan
pertumbuhan pada bulan Mei 2017 yang sebesar 10,57%.
Pada Juni 2017, ROE perbankan berada pada level 14,89%, naik dari posisi bulan Mei yang
berada pada angka 14,86%. Peningkatan yang terjadi pada ROE di Juni 2017 sejalan dengan turunnya
NPL pada periode yang sama serta peningkatan profit perbankan sebesar 1,33%. Meskipun tidak
mengalami peningkatan yang signifikan, nilai ROE pada bulan Juni 2017 masih lebih baik jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016 yang hanya menyentuh level 13,70%.
Suku bunga kredit pada bulan Juni 2017 lalu mengalami sedikit penurunan di sisi kredit
modal kerja dan kredit konsumsi, sementara suku bunga kredit untuk kredit investasi mengalami
sedikit peningkatan. Pada bulan Juni 2017, suku bunga kredit untuk kredit modal kerja mengalami
penurunan sebesar 3 bps ke angka 11,2% dan untuk kredit konsumsi turun sebesar 16 bps ke angka
13,21%. Sementara suku bunga kredit untuk kredit investasi mengalami peningkatan sebesar 4 bps
ke angka 11%.
Data Juni 2017 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi di sisi penempatan dana antar
bank riil, yaitu dari Rp 122,5 triliun pada Mei 2017 lalu menjadi Rp 146,7 triliun. Sementara, JIBOR
O/N mengalami penurunan sebesar 5 bps, yaitu dari 4,41% pada bulan Juni 2017 menjadi 4,36%
pada bulan Juli 2017.
Sumber: LPS
Gambar 21. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP)
Pada akhir bulan Juli 2017, Sub Indeks MP mengalami peningkatan. Peningkatan ini dipicu
oleh melemahnya kurs tengah rupiah terhadap dolar AS, dari 13.319 di bulan Juni 2017 menjadi
13.323 di bulan Juli 2017 serta meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun.
Sementara Sub Indeks MP lainnya, yaitu indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada trend
meningkat sejak September 2015.
Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mengalami peningkatan dari 6,83%
pada akhir Juni 2017 menjadi 6,95% pada akhir Juli lalu. Tekanan yang terjadi pada pasar obligasi
dipicu oleh prospek pengetatan moneter dari berbagai Bank Sentral global, sebagai contoh The
Fed yang telah menaikan suku bunganya pada Rapat FOMC bulan Juni 2017. Dari dalam negeri,
35
target defisit anggaran yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,9% terhadap PDB diperkirakan
turut menekan kinerja pasar obligasi Indonesia.
Sementara itu, IHSG pada penutupan di akhir Juli 2017 mencapai 5.840,94 atau meningkat
11,23 poin dari posisi akhir Juni 2017 dan menyentuh angka tertingginya sepanjang sejarah. Pada
penutupan bulan Juli lalu, sektor saham hingga perdagangan sore variatif. Tercatat sebesar 173
saham menguat, 172 saham melemah, dan 109 saham stagnan. Kenaikan tertinggi dipimpin oleh
sektor properti yang naik 1,75% diikuti sektor perdagangan dengan tambahan 1,06%. Sementara,
sektor yang melemah terdalam adalah aneka industri yang turun 1,05%.
36
KOORDINATOR
Fauzi Ichsan, Didik Madiyono
Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro
Ahmad Subhan, Seto Wardono, Dienda Siti Rufaedah
ANALIS
Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga
Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan
penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap
berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan
Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai
perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas
perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada :
Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko
Equity Tower lantai 39
Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9
Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telp : +62 21 515 1000 ext 340
Email : rpsk@lps.go.id
Website : www.lps.go.id
PENGARAH
38
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih
Sumber: LPS
Variabel 2013 2014 2015 2016 2017P 2018P
Variabel Kunci
PDB Nominal (Triliun Rp) 9.546 10.570 11.532 12.407 13.800 15.366
PDB Nominal (Miliar US$) 916 890 861 933 1.036 1.144
PDB Riil (% y/y) 5,6 5,0 4,9 5,0 5,1 5,3
Inflasi (akhir periode, % y/y) 8,1 8,4 3,4 3,0 4,4 4,0
Inflasi (rata-rata, % y/y) 6,4 6,4 6,4 3,5 4,1 4,1
USD/IDR (akhir periode) 12.189 12.440 13.795 13.436 13.300 13.450
USD/IDR (rata-rata) 10.452 11.879 13.392 13.307 13.350 13.450
BI Rate (akhir periode) 7,50 7,75 7,50 - - -
BI 7-Day Reverse Repo Rate (akhir periode) - - 6,25 4,75 4,75 5,00
Surplus/Defisit Fiskal (% PDB) (2,2) (2,2) (2,5) (2,5) (2,5) (2,5)
Sustainabilitas Eksternal
Ekspor Barang (% y/y) (2,8) (3,7) (14,9) (3,1) 6,7 7,2
Ekspor Barang (Miliar US$) 182,1 175,3 149,1 144,4 154,2 165,2
Impor (% y/y) (1,3) (4,5) (19,7) (4,5) 4,9 7,5
Impor (Miliar US$) 176,3 168,3 135,1 129,0 135,3 145,4
Neraca Berjalan (Miliar US$) (29,1) (27,5) (17,5) (16,9) (19,3) (24,2)
Neraca Berjalan (% PDB) (3,1) (3,1) (2,0) (1,8) (1,9) (2,1)
Cadangan Devisa (Miliar US$) 99,4 114,3 105,9 116,4 128,8 138,2
Utang Luar Negeri (% PDB) 29,1 32,9 36,1 34,0 33,5 32,3
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
Konsumsi Swasta 5,5 5,3 4,8 5,0 5,1 5,2
Konsumsi Pemerintah 6,7 1,2 5,3 (0,1) 6,2 7,0
Pembentukan Modal Tetap Bruto 5,0 4,4 5,0 4,5 5,2 6,0
Ekspor Barang dan Jasa 4,2 1,1 (2,1) (1,7) 5,6 6,1
Impor Barang dan Jasa 1,9 2,1 (6,4) (2,3) 3,5 5,1
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Sektor Primer 3,5 2,6 0,8 2,4 3,2 3,4
Sektor Sekunder 4,4 4,6 4,3 4,3 4,5 5,0
Sektor Tersier 6,3 6,2 5,5 5,5 5,8 6,3
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
1 Tahun 5,7 6,9 7,3 6,7 6,1 6,1
3 Tahun 5,9 7,6 7,9 7,4 6,8 7,0
5 Tahun 6,0 7,9 8,1 7,4 6,8 7,2
10 Tahun 6,5 8,2 8,2 7,6 7,1 7,5
20 Tahun 7,3 8,7 8,5 8,0 7,7 8,1
Perbankan (% y/y)
Pinjaman 21,6 11,6 10,4 7,9 9,2 10,0
Dana Pihak Ketiga 13,6 12,3 7,3 9,6 7,2 7,6
Loan to Deposit Ratio (%) 89,9 89,3 92,0 90,5 92,1 94,1
39
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 September - 30 September 2017
Negara Tanggal Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat 1-September-17 Tingkat Pengangguran Agustus 2017
14-September-17 Inflasi Agustus 2017
21-September-17 Rapat FOMC
Zona Euro 7-September-17 Suku Bunga Acuan
15-September-17 Neraca Perdagangan Juli 2017
18-September-17 Inflasi Agustus 2017
Jepang 20-September-17 Neraca Perdagangan Agustus 2017
21-September-17 Suku Bunga Acuan
29-September-17 Inflasi Agustus 2017
Brazil 1-September-17 PDB 2Q17
1-September-17 Neraca Perdagangan Agustus 2017
29-September-17 Tingkat Pengangguran Agustus 2017
Rusia 5-September-17 Inflasi Agustus 2017
11-September-17 Neraca Perdagangan Juli 2017
11-September-17 PDB 2Q17
15-September-17 Suku Bunga Acuan
India 8-September-17 Neraca Perdagangan Agustus 2017
12-September-17 Inflasi Agustus 2017
China 8-September-17 Neraca Perdagangan Agustus 2017
9-September-17 Inflasi Agustus 2017
Afrika Selatan 5-September-17 PDB 2Q17
20-September-17 Inflasi Agustus 2017
Indonesia 4-September-17 Inflasi Agustus 2017
15-September-17 Neraca Perdagangan Agustus 2017
22-September-17 Suku Bunga Acuan
Sumber: LPS
top related