perjanjian kartel dalam tata niaga tiket … · pelaku usaha di kota mataram yang kegiatan usahanya...
Post on 14-Jun-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERJANJIAN KARTEL DALAM TATA NIAGA TIKET BERDASARKAN
PUTUSAN KPPU NO. 10/KPPU-L/2009
Oleh :
RODIKA NURBAITI
D1A 011 307
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2015
PERJANJIAN KARTEL DALAM TATA NIAGA TIKET BERDASARKAN
PUTUSAN KPPU NO. 10/KPPU-L/2009
RODIKA NURBAITI
D1A 011 307
Menyetujui,
Mataram, Februari
Pembimbing Utama,
Dr. H. Sudiarto, SH. M.Hum NIP. 195801011987031004
PERJANJIAN KARTEL DALAM TATA NIAGA TIKET BERDASARKAN PUTUSAN KPPU NO. 10/KPPU-L/2009
RODIKA NURBAITI D1A 011 307
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perjanjian Kartel Dalam Tata Niaga Tiket
Berdasarkan Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009, dengan tujuan penelitian untuk dapat mengetahui katagori kartel berdasarkan hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 adalah termasuk dalam katagori kartel atau tidak, berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 11 tentang Kartel. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, katagori kartel adalah sebagaimana yang terdapat dalam pasal 11, sedangkan menurut Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 dan menurut Yurisprudensi, katagori kartel tidak hanya yang terdapat dalam Pasal 11, melainkan dibagi dalam kartel yang utama dan kartel lainnya. Kartel yang utama terdiri dari kartel mengenai penetapan harga, kartel pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen. Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 tidak dapat dikatagorikan sebagai kartel karena adanya kekaburan norma dan tidak terpenuhinya unsur-unsur kartel, berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 11 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kata kunci : Kartel, Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009.
CARTEL AGREEMENT IN TICKET MARKETING BASED ON DECISION OF KPPU No. 10/KPPU-L/2009
ABSTRACT The title of this research is Cartel agreement in Ticket Marketing based on
Decision of KPPU No. 10/KPPU-L/2009, purpose of this research is to known cartel category based on positive law in Indonesia and to know Decision of KPPU No. 10/KPPU-L/2009 is in the cartel category or not, based on Law Number 5 Year 1999 On The Restriction Monopoly Practice And Unfair Industry Competition and Commission Regulation Number 4 Year 2010 On Guidance Article 11 on Cartel. based on Law Number 5 Year 1999 On The Restriction Monopoly Practice And Unfair Industry Competition, the category of cartel is on article 11, while based on Commission Regulation Number 4 Year 2010 On Guidance Article 11 On Cartel and Jurisprudence, cartel category not only in the Article Number 11, but it is divided into main cartel and another cartel. Main cartel consist of price fixing cartel, separation region cartel, tender conspiration, and customer partition, Decision of KPPU No. 10/KPPU-L/2009 cannot be categorize as a cartel, because there is obscure norm and the element is not complete, based on Article 5 and Article 11 Law Number 5 Year 1999 On The Restriction Monopoly Practice And Unfair Industry Competition.
Keywords : Cartel, Decision of KPPU No. 10/KPPU-L/2009
i
I. PENDAHULUAN
Kota Mataram adalah salah satu kota di Indonesia yang mulai
berkembang beberapa tahun terakhir, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
pembangunan di berbagai sektor, seperti pembangunan infrastruktur-infrastruktur
penting penunjang akses masyarakat (Bandara Internasional, jalan raya, jembatan
dan lain-lain), pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, pembangunan dalam
bidang pariwisata seperti pembenahan tempat-tempat pariwisata dan
pembangunan hotel-hotel di pusat kota. Kondisi seperti ini berdampak pada
perkembangan ekonomi di Kota Mataram, dan tentu saja tidak luput dari
persaingan usaha.
Salah satu persaingan usaha yang terjadi yaitu persaingan di antara
pelaku usaha yang bergerak dalam bidang perjalanan wisata dan penjualan tiket
pesawat . Terdapat beberapa pelaku usaha yang bergerak dalam bidang perjalanan
wisata dan penjualan tiket pesawat di Kota Mataram, yaitu diantaranya PT. Alam
Multi Nasional, PT. A&T Holidays, PT. Bidy Tour, PT. Citra Mulia Antar Nusa,
PT. Gady Angkasa Nusa, PT. Jasa Wisata dan lain-lain.
Banyaknya pelaku usaha yang bergerak dalam bidang yang sama dalam
satu pasar yang sama dapat mengakibatkan kondisi pasar oligopolis dan dapat
diindikasikan terjadi kartel di dalamnya. Kartel dapat terjadi dengan cara
membuat perjanjian di antara para pelaku usaha tersebut yang bertujuan untuk
mempengaruhi harga dan dilakukan dengan cara mengatur produksi dan/atau
pemasaran suatu barang dan/atau jasa, khususnya dalam hal ini perjanjian untuk
mengatur pemasaran tiket maupun jasa perjalanan wisata sehingga mempengaruhi
ii
harga yang harus dibayar oleh konsumen dan persaingan di antara mereka menjadi
tidak ada.
Kartel adalah salah satu praktek persaingan usaha tidak sehat yang sering
terjadi. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, kartel diatur dalam Pasal 11
yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga, dengan mengatur
produksi, dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”
Namun, tidak semua perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha
dengan pelaku pesaingnya dapat dikatagorikan sebagai kartel, seperti halnya pada
Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 tentang kartel yang dilakukan oleh beberapa
pelaku usaha di Kota Mataram yang kegiatan usahanya bergerak dalam bidang
jasa perjalanan wisata dan penjualan tiket pesawat. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terhadap perjanjian kartel
dalam tata niaga tiket berdasarkan Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009.
Rumusan masalah yang ingin diteliti adalah 1) Apa katagori kartel
menurut hukum positif di Indonesia dan 2) Apakah kegiatan usaha bidang jasa
perjalanan wisata dan penjualan tiket pesawat antar pelaku usaha di Kota Mataram
dapat dikatagorikan kartel berdasarkan putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009.
Tujian dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui arti yang sebenarnya
dari kartel dan untuk mengetahui Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 adalah
termasuk dalam katagori kartel atau tidak, berdasarkan Undang-Undang No. 5
iii
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 11 tentang
Kartel. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan
metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep.
iv
II. PEMBAHASAN
A. Kartel Menurut Hukum Positif di Indonesia
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, kartel adalah perjanjian
antar pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Dalam undang-undang ini larangan kartel terdapat
dalam Pasal 11, yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.” Dalam penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak terdapat
penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 11, karena menurut pembuatanya pasal ini
telah cukup jelas.
Menurut Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun
2010 Tentang Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel, pengertian kartel adalah “Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Sedangkan menurut Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.
4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel, konsep dan definisi
terjadinya kartel adalah apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industry
v
tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk
melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian
wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan lainya, sehingga
mereka dapat menaikkan harga dan memperoleh keuntungan di atas harga yang
kompetitif.
Menurut Yurisprudensi, kartel tidak hanya seperti yang terdapat dalam
Pasal 11, melainkan penetapan harga yang terdapat dalam Pasal 5 juga dapat
dikatagorikan sebagai kartel. Berdasarkan Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007
Tentang Kartel SMS, dinyatakan dalam putusan tersebut Terlapor I PT
Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular, Terlapor
IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie Telecom,
Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart Telecom
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5
Tahun 1999, yaitu dengan melakukan perjanjian tertulis mengenai tarif atau harga
SMS off-net (kartel tarif SMS). Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim
juga menyatakan bahwa “Mengenai pelanggaran oleh para Terlapor, Tim
Pemeriksa dalam LHPL (Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan)pada pokoknya
menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor
VII, dan Terlapor VIII telah membuat perjanjian yang mengakibatkan terjadinya
kartel harga SMS off-net pada periode 2004 sampai April 2008. Atas dasar
tersebut Tim Pemeriksa menyimpulkan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor
IV, Terlapor VI, Terlapor VII, dan Terlapor VIII telah melanggar Pasal 5 Undang-
undang No. 5 Tahun 1999. Tim Pemeriksa menemukan adanya beberapa
vi
perjanjian tertulis mengenai harga SMS off-net yang ditetapkan oleh operator
sebagai satu kesatuan PKS Interkoneksi sebagaimana terlihat dalam Matrix
Klausula Penetapan Harga SMS dalam PKS Interkoneksi: Sehingga secara formal,
hal ini sudah termasuk dalam kategori kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel,
Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, Smart, dan NTS; Tim Pemeriksa menilai
perjanjian harga SMS yang dilakukan oleh operator efektif berlaku hanya bagi
harga SMS off-net. Sedangkan Tim Pemeriksa menilai bahwa sejak tahun 2004
perjanjian yang menetapkan harga minimal SMS on-net tidak efektif berlaku,
meskipun secara formal perjanjian penetapan harga SMS baru diamandemen pada
tahun 2007 setelah terbitnya Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007
tanggal 4 Juni 2007. Dan putusan Majelis Hakim adalah :
1. menyatakan bahwa Terlapor I PT. Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor
II PT. Telekomunikasi Selular, Terlapor IV PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT. Bakrie Telecom, Terlapor VII PT.
Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII PT. Smart Telecom terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun
1999.
2. Menyatakan bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT
Hutchison CP Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon
Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun
1999.
Sehingga, penulis mengambil kesimpulan bahwa, pengertian kartel
dalam yurisprudensi ini sama dengan pengertian dari istilah kartel menurut
vii
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel, yaitu istilah kartel sebenarnya merupakan
istilah umum yang dipakai untuk setiap kesepakatan atau kolusi atau konspirasi
yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Pemakaian istilah kartel juga dibagi dalam
kartel yang utama dan kartel lainnya. Kartel yang utama terdiri dari kartel
mengenai penetapan harga, kartel pembagian wilayah, persekongkolan tender dan
pembagian konsumen.
B. Analisis Kartel pada Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 Terhadap
Kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan Penjualan Tiket Pesawat di
Kota Mataram
Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 adalah mengenai kesepakatan
besaran komisi dari agen kepada sub-agen yang dilakukan oleh beberapa agen
tiket pesawat terbang di Kota Mataram yang tergabung dalam Asosiasi Agen
Ticketing (ASATIN), yang diduga melakukan kartel dengan melanggar Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan putusan sebagai berikut :1
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Komisi) yang memeriksa dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5
viii
Tahun 1999), yang dilakukan oleh: Asosiasi Agen Ticketing atau disingkat
ASATIN, PT. Alam Multi Nasional, PT. A&T Holidays, PT. Bidy Tour, PT. Citra
Mulia Antar Nusa, PT. Gady Angkasa Nusa, PT. Jasa Wisata, PT. Lombok Karya
Wisata, PT. Luana Jaya, PT. Biro Perjalanan Wisata Satriavi, PT. Sindo Surya
Cemerlang Asri dan CV Global Enterpreneur.
Dan pernyataan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdapat bukti kuat
terjadinya kartel dapat dilihat pada bagian kesimpulan, yaitu terhadap fakta-fakta
yang diperoleh selama Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa menyimpulkan
terdapat bukti kuat terjadinya pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 dengan adanya kartel komisi tiket pesawat di Nusa Tenggara Barat
yang dilakukan antara lain dengan cara adanya kesepakatan di antara
anggota ASATIN dalam hal besaran komisi dari agen kepada sub agen.
Hal yang secara jelas dapat dilihat dari putusan tersebut adalah adanya
kekaburan norma, yaitu berdasarkan uraian sebelumnya mengenai kartel, larangan
kartel terdapat dalam Pasal 11, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) diatur mengenai
penetapan harga.
Menurut penulis, tidak semua unsur dalam Pasal 5 ayat (1) dapat
terpenuhi dalam kasus di atas. Unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur pelaku
usaha pesaing dan unsur pasar bersangkutan telah terpenenuhi, karena para
terlapor yaitu Terlapor II-XI adalah pelaku usaha yang bergerak pada bidang
yang sama yaitu bidang penjualan tiket pesawat yang menjalankan usahanya di
Nusa Tenggara Barat melakukan kesepakatan besaran komisi. Dengan demikian,
para terlapor adalah pelaku usaha yang bersaing satu sama lain, karena
ix
menjalankan bidang usaha yang sama yaitu agen tiket pesawat terbang dan
perjalanan wisata di wilayah Nusa Tenggara Barat. Sedangkan unsur yang lainnya
seperti yaitu unsur harga pasar, unsur barang/ jasa, dan unsur konsumen tidak
terpenuhi.
Dengan demikian, karena adanya beberapa unsur yang tidak terpenuhi
maka penulis berpendapat bahwa perbuatan para terlapor tersebut tidak dapat
dikatagorikan sebagai kartel komisi yang melanggar Pasal 5 Undang-Undang No.
5 Tahun 1999.
Larangan Kartel dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terdapat
dalam Pasal 11, dan dalam Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009 disebutkan
bahwa perbuatan pelaku usaha tersebut adalah kartel komisi walaupun pasal yang
dikenakan adalah Pasal 5 ayat (1) tentang penetapan harga. Sehingga menurut
penulis, sangat diperlukan menganalisis putusan tersebut dari sisi kartel yang
tercantum dalam Pasal 11.
Pasal 11 berbunyi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”
Menurut penulis, unsur-unsur yang terpenuhi antara lain unsur pelaku
usaha pesaingnya dan unsur perjanjian, yaitu berdasarkan putusan majelis hakim
pada bagian fakta-fakta dalam pemeriksaan mengenai para terlapor. Agen tiket
x
ASATIN merupakan pesaing satu sama lain, karena PT. Alam Multi Nasional, PT.
A&T Holidays, PT. Bidy Tour, PT. Citra Mulia Antar Nusa, PT. Gady Angkasa
Nusa, PT. Jasa Wisata, PT. Lombok Karya Wisata, PT. Luana Jaya, PT. Satriavi
Cabang Mataram, PT. Sindo Surya Cemerlang Asri dan CV. Global Enterpreneur
merupakan anggota ASATIN, mereka bergerak pada bidang yamg sama yaitu
pelaku usaha di bidang penjualan tiket pesawat yang menjalankan usahanya di
Nusa Tenggara Barat. Sedangkan terpenuhinya unsur perjanjian dapat dilihat dari
putusan majelis hakim pada bagian fakta-fakta dalam persidangan yang
menjelaskan tentang ASATIN dan tentang kesepakatan besaran komisi.
Sedangkan informasi dan permasalahan ya.g dibahas dalam ASATIN diantaranya
adalah :
Penentuan besaran komisi yang diberikan oleh agen kepada sub agen atau
pihak lain yang disetarakan dengan sub agen.
Keberadaan sub agen yang suka menunda pembayaran atau berhutang.
Staf-staf agen tiket pesawat yang memiliki kinerja buruk dan suka berpindah-
pindah tempat kerja.
Memfasilitasi peningkatan sumber daya manusia melalui bentuk pelatihan.
Sedangkan unsur-unsur yang tidak terpenuhi yaitu : Unsut bermaksud
mempengaruhi harga, unsur mengatur produksi dan/pemasaran, unsur barang,
unsur Jasa, unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, unsur dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di atas, penulis berpendapat
bahwa kesepakatan besaran komisi yang dilakukan oleh para pelaku usaha
xi
tersebut tidak dapat dikatagorikan sebagai kartel, baik kartel yang terdapat dalam
Pasal 11 maupun kartel komisi yang disamakan dengan penetapan harga pada
pasal 5 ayat (1), karena tidak terpenuhinya beberapa unsur dari kedua pasal
tersebut.
xii
III. PENUTUP
A. Simpulan
Katagori kartel menurut hukum positif di Indonesia yaitu menurut
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 11, selain itu juga
terdapat pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun
2010 Tentang Kartel, dan Yurisprudensi, yaitu berdasarkan Putusan KPPU
No. 26/KPPU-L/2007 Tentang Kartel SMS. Putusan KPPU No. 10/KPPU-
L/2009 bukan termasuk katagori kartel, karena perjanjian yang dibuat oleh
para pelaku usaha yang tergabung dalam ASATIN (Asosiasi Agen Ticketing)
merupakan karena perjanjian yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 1338
KUH Perdata.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
khususnya Pasal 11 Tentang Kartel, agar tidak terjadi penafsiran atau
interpretasi yang ambigu terhadap pasal tersebut. Sehingga dalam
peraturan komisi yang mengatur kartel juga terdapat kejelasan dan tidak
mengaitkannya dengan pasal lain. Sebaiknya Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dalam menafsirkan suatu kasus atau pelanggaran yang
tidak terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak terlalu jauh
atau harus benar-benar melihat pada pedoman yang ada, sehingga Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa lebih jeli dalam melihat suatu
kasus, contohnya mengenai larangan penetapan besaran komisi yang tidak
xiii
terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang disamakan
dengan penetapan harga.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Makalah, Artikel, dan Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cet. 4, Ed. 1, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Devi Meyliana Savitri Kumalasari, Hukum Persaingan Usaha, Cet. 1, Setara Press, Malang, 2013.
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Ed. 1, Cet. 5, Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Cet.1, Kencana, Jakarta, 2008.
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Cet.1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Komariah, Hukum Perdata, Cet.4, UMM Press, Malang, 2010.
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Cet.2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 2, Ed. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Cet.1, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
……., Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet.1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
xv
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Salim HS, Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Cet.5, Sinar Grafika, 2011.
B. Peraturan-Peraturan.
Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN No. 33 Tahun 1999 TLN No.3817.
Indonesia, Peraturan Komisi Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel.
Indonesia, Peraturan Komisi Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 Tentang Penetapan Harga.
Indonesia, Putusan KPPU No. 10/KPPU-L/2009.
C. Internet
Aah Nur Herman Marunta, Makalah Tata Niaga, diakses melalui http://aahiwa.blogspot.com/2003/08/makalah-tata-niaga.html
A.M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi dan Mengungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan, diakses melalui http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-mendeteksi-dan-mengungkap-kartel-dalam-hukum-persaingan/
Yakub Adi Krisanto, Prinsip Rule Of Reason Dan Per Se Rule Dalam Hukum Persaingan Indonesia, diakses melalui http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-rule-of-reason-dan-per-se-illegal/
top related