perjuangan hamid algadri pada masa pergerakan...
Post on 09-Mar-2019
240 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERJUANGAN HAMID ALGADRI PADA MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN (1934-1950)
Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Humaniora (M.Hum)
Oleh:
Lathifah Maryam NIM: 21140221000001
MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1490 H/2018 M
i
ABSTRAK
Lathifah Maryam. Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)
Peranakan Arab merupakan masyarakat yang memiliki darah Arab dan Pribumi Indonesia. Pada masa kolonial Belanda peranakan Arab masuk dalam golongan Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan India-Indonesia. Menurut Van Den Berg, orang orang Arab di Nusantara tidak memiliki kepedulian terhadap perpolitikan di Nusantara selama kepentingan material dan spiritual mereka tidak menjadi taruhan, orang-orang Arab di Nusantara bersikap netral dan membantu kolonial Belanda. Pada masa pergerakan, ditandai dengan munculnya gagasan mengenai Nasionalisme dan organisasi-organisasi pergerakan untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia, memberikan kesadaran kebangsaan kepada masyarakat Arab dan peranakan untuk sama-sama berjuang melawan kolonial. Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang turut berjuang melawan kolonial Belanda untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia. Penelitian dengan judul “Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)” bertujuan untuk, pertama, menganalisis landasan pergerakan kebangsaan Hamid Algadri di Indonesia yang mendorongnya untuk bergerak melawan kolonial. Kedua, adalah menjelaskan tentang Perjuangan Hamid Algadri pada masa pergerakan dan pasca kemerdekaan di Indonesia. Hasil penelitian ini adalah, bahwa Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang memberikan inspirasi dan berhasil menumbuhkan kesadaran kebangsaan dikalangan peranakan Arab untuk menolak penjajahan dan menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia baik masa pergerakan maupun pasca kemerdekaan.
Kata kunci: Hamid Algadri, perjuangan, pergerakan, pasca kemerdekaan.
ii
ABSTRACT
Lathifah Maryam. Hamid Algadri’s Struggles on both Movement and Post Independence Period (1934-1950) Arabian Half Breed are society with Arab and Indonesian blood. In the Dutch collonial period the Arabian half breed is classified to a foreign eastern group along with the Chinese-Indonesian and India-Indonesian. According to Van den Berg, the Arabs in the archipelago did not have any concern for politicsin in this archipelago as long a their material and spiritual was not a bet. The Arabs in this archipelago were neutral and support dutch colonialsm. On movement period, it is marked by the emergence ideas of nasionalism and movement organizations which intended to realize the independence of the republic of Indonesia, it gave national awareness to the Arabian and other half breed to fight against colonialism. Hamid Algadri is an Arabian half breed who fight against the Dutch colonialism and to realize the independence attendence of the republic of Indonesia. This research entitled Hamid Algadri’s Struggle on both Movement and post Independence Period (1934-1950), aim are first, it tried to analyze the foundation of national movement of Hamid Algadri in Indonesia which encourages him to move against colonialism. Second, it tried to explains Hamid Algadri’s struggles during both in independence and in post independence period in Indonesia. The result of the study is that Hamid Algadri is an Arabia and half breed who has consistant in thought and action to refuge colonialism and uphold Indonesia’s nationalism both in movement and post independence period. Hamid’s thought and consistency is influenced by ethnically, family and education. Key word: Hamid Algadri, Struggle, Movement, Post Independence period.
iii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Segala puji bagi Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin dan
berkenaan-Nya, tesis yang berjudul “Perjuangan Hamid Algadri pada Masa
Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)” dapat penulis selesaikan .
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw,
para keluarga dan sahabatnya, Âmîn.
Segala bentuk perjuangan yang penulis hadapi selama ini merupakan
bagian dari sebuah proses panjang dalam menyelesaikan studi. Begitu banyak
pengorbanan yang telah tercurahkan baik waktu dan tenaga yang semuanya
membentuk mental sejauh mana bertahan untuk menyelesaikan studi program
magister ini. Namun, Alhamdulillah berkat pertolongan Allah Swt. dan optimisme
penulis yang diikuti kerja keras , akhirnya selesai semua proses untuk
menyelesaikan tesis ini .
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian tesis ini. Semoga segala amal yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah Swt, dan menjadi ibadah mulia. Penulis mengakui
bahwa penulisan tesis ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, maka sebagai tanda penghargaan yang tulus, penulis menghanturkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
2. Ketua program Magister Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam, Dr. Halid, M.Ag dan Sekretaris Program Magister Adab dan
Humaniora Dr.M.Adib Misbachul Islam, M.Hum
3. Bapak Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag sebagai pembimbing, yang banyak
memberikan saran-saran dan arahan, bimbingan dan motivasi dalam proses
menyelesaikan penelitian ini.
4. Penguji tesis, Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag dan Dr. Saidun Derani, MA. yang
telah memberikan arahan terkait perbaikan dalam tesis ini.
iv
5. Para dosen pengajar pada Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta atas keikhlasannya memberikan ilmu dan tauladan
bermanfaat selama proses studi.
6. Segenap pegawai perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora.
7. Enin tercinta yang senantiasa memberikan motivasi dan doa yang tak kenal lelah,
agar penulis dapat terus berjuang dan menyelesaikan studi ini.
8. Hubby dan Naura, Ameera, Shofwa yang selalu memberikan semangat, perhatian,
pengertian, dan doa untuk penulis.
9. Terima kasih kepada teman-teman Magister Adab dan Humaniora angkatan 2014.
Demikianlah kiranya, semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya, agar dapat menambah wawasan dan informasi
mengenai perjuangan peranakan Arab di Indonesia.
Ciputat, Agustus 2018
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………………..i
ABSTRACT ………………………………………………………………………...ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………..iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..v
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..…1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………..1
B. Permasalahan : Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,
perumusan Masalah ………………………………………….9
C. Tujuan Penelitian …………………………………………...11
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….....11
E. Penelitian Terdahulu ………………………….....................12
F. Kerangka Teori…….. .……………………………………...16
G. Metodologi Penelitian ………………………….. …………19
H. Sistematika Penulisan……………………………………….23
BAB II INDONESIA MASA PERGERAKAN DAN PASCA
KEMERDEKAAN
A. Pengertian Pergerakan Nasional ……………………. …….25
B. Sejarah Pergerakan Nasional ……………………… ……...35
C. Indonesia Pasca Kemerdekaan……...………………………46
D. Perjuangan Masyarakat Keturunan Arab di Indonenesia….55
vi
BAB III BIOGRAFI HAMID ALGADRI
A. Riwayat Kehidupan………… ……………………………...66
B. Pendidikan …………..…………… ………………………..67
C. Karir ………………………………………………………...72
D. Karya-karya………………. ………………………………..83
BAB IV PERJUANGAN HAMID ALGADRI MASA PERGERAKAN
DAN PASCA KEMERDEKAAN
A. Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri…………85
B. Perjuangan Hamid Algadri : Masa Pergerakan……………..90
C. Perjuangan Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan…………...98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………110
B. Saran dan Rekomendasi……………………………………112
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….113
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, kolonial Belanda harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
sebagian besar penduduk yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah
beragama Islam yang memiliki sifat nasionalisme dan patriotisme tinggi. Terdapat
teori yang menyatakan bahwa Islam dibawa dari semenanjung Arabia, disetujui
dalam seminar yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978 tentang kedatangan
Islam ke Indonesia, dinyatakan bahwa Islam di Indonesia didatangkan langsung dari
Arab tidak dari India dan bahwa agama Islam telah berangsur-angsur datang ke
Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke 7 dan 8 M, dan
diantara para mubaligh Islam periode pertama itu terdapat orang-orang dari Malabar,
Gujarat, dan Persia tetapi asalnya orang arab juga.1 Teori Abdul Malik Karim
Amrullah (Hamka, w.1981) meyakini bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad 7
/ 8 Masehi.2
Berdasarkan teori diatas, keberadaan masyarakat Arab di Indonesia sudah
berlangsung beratus-ratus tahun, diperkirakan sejak penyebaran agama Islam di
wilayah nusantara. Kedatangan orang-orang Arab ke nusantara didorong oleh motif
perdagangan dan agama, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia mayoritas
berasal dari Hadramaut hanya satu atau dua diantara mereka yang berasal dari
Maskat di tepian teluk Persia, Hijaz, Mesir, atau dari pantai Timur Afrika.3 Pada
mulanya jumlah pendatang Arab tidaklah banyak, namun jumlah tersebut meningkat
ketika terjadi migrasi besar besaran dari negeri Hadramaut ke sejumlah wilayah di
Afrika dan Asia Timur, seperti India, indocina, Malaya dan Hindia Belanda.
Diperkirakan migrasi besar besaran orang Arab Hadrami ke Hindia Belanda terjadi
pada awal abad ke 18 dan arus migrasi ini bertambah kuat setelah dibukanya terusan
1 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (almaarif : 1981), h.38 2 Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara, (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2009), hlm.
57-58. 3 Suratmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1989), h.2
2
Suez oleh Prancis pada tahun 1869.4 Mereka menyebar hampir diseluruh kepulauan
di Nusantara. Mereka berdatangan karena Baghdad hancur oleh serbuan bangsa
Mongol. 5
Maka timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang
Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1903) dan lain-lainnya tidak terlepas dari
kaitan ajaran ajaran agama Islam. Namun upaya perjuangan tersebut selalu menemui
jalan terjal. Baru pada awal abad ke 20, sistem perjuangan di Indonesia memasuki
babak baru dengan munculnya organisasi-organisasi modern yang memperjuangkan
kedaulatan Bangsa. Perlawanan yang dilakukan tidak lagi bersifat lokal dengan
mengangkat senjata, tapi bersifat nasional melalui organisasi-organisasi modern.
Mereka masuk dalam lini-lini yang strategis, seperti bidang budaya, sosial, ekonomi,
dan politik. Dengan adanya formulasi pergerakan yang baru ini, upaya untuk
mencapai kemerdekaan semakin dekat. Sehingga Indonesia berhasil mengusir
penjajah dan mewujudkan persatuan dan kesatuan.
Inspirasi kebangkitan nasional ini dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang
mendahuluinya. Masyarakat yang menderita di bawah kekuasaan kolonial ratusan
tahun, perlahan memiliki kesadaran untuk memiliki tanah air dan hidup tidak di
bawah cengkeraman penjajah. Oleh karenanya timbul rasa nasionalisme untuk
memperjuangkan tanah airnya.
Bersamaan dengan itu, muncul pergerakan dan perlawanan umat Islam di
Nusantara karena pengaruh gerakan pembaharuan abad ke-19 yaitu Pan Islamisme
yang dicanangkan oleh Jamaluddin al-Afghani (w.1897). Sedangkan kebangkitan
dalam bidang pendidikan dipengaruhi oleh gagasan tokoh reformis Muhammad
Abduh (w.1905) untuk merombak sistem pendidikan semakin maju, khususnya
pembekalan ilmu agama.
Gagasan tentang nasionalisme universal dikemukakan pertama kali oleh Haji
Samanhudi pada Kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada 1911 dan
4 DR. M. Dien Majid, Berhaji Masa Kolonial, (Jakarta: Sejahtera, 2008), h. 4 5 Pada mulanya datang ke Nusantara di abad ke-13, orang-orang Arab telah banyak
berkontribusi terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, Bangsa Arab berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Penyebaran ajaran Islam sering disebut dengan Islamisasi. M.C. Ricklefs, Islamisation and its opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c.1930 to the Present, (Singapore: NUS Press, 2012), hlm. 4.
3
dipertegas lagi pada kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916. Haji Samanhudi
menyatakan dalam kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya tahun 1911 bahwa
manusia pada prinsipnya dilahirkan dalam fitrahnya sebagai manusia yang bebas.
Apabila dalam hidupnya manusia berada di bawah penindasan manusia lain, maka
itu bertentangan dengan nilai dasar universal tersebut. Oleh karena itu, kebebasan
yang menjadi ciri kehidupan harus diperjuangkan. Ajakan untuk memperjuangkan
kebebasan itu oleh Haji Samanhudi dipertegas kembali pada Kongres Sarekat Islam
di Bandung pada 1916 dengan menyatakan bahwa kebebasan bagi umat Islam yang
identik dengan penduduk pulau jawa hanya dapat diperoleh dengan mengusir
penjajah dari tanah jawa.6
Warga pribumi yang memiliki rasa nasionalis membentuk organisasi Serikat
Islam (1909), Boedi Oetomo (1908),7 Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia
(1924), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Benih nasionalisme juga tumbuh dari
golongan Indo-Eropa, Indische Bond (1899), golongan Indo-China, Partai Tionghoa
Indonesia (1932), dan golongan Indo-Arab (1934). Mereka bermunculan karena
mengalami pengalaman yang sama dengan pribumi di bawah kekuasaan kolonial
Belanda.
Masyarakat Arab dari golongan sayid merespon pembaharuan pendidikan
yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (w.1905) tersebut.8 Mereka mendirikan
6 Taufik Abdullah.,eds, Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan,
(Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), h.228 7Terkait menjadikan Budi Utomo (BU) sebagai organisasi yang pertama kali memiliki
kesadaran kebangsaan tidak sepenuhnya diterima oleh pengkaji sejarah. Ahmad Syafii Maarif misalnya kurang sependapat terkait hal itu. Ia menilai bahwa Budi Utomo adalah organisasi yang terbatas pada Pulau Jawa, belum mencakup seluruh Indonesia. Organisasi modern pertama kali dalam sejarah Indonesia ialah Sarekat Dagang Islam (SDI). Anggotanya terdiri dari kelas menengah, seperti saudagar, pengusaha, dan lain sebagainya, yang hamper merata di wilayah Nusantara. SDI yang selanjutnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI) lahir (dan ini juga masih diperdebatkan) pada 16 Oktober 1905, sementara BU lahir pada 20 Mei 1908. (Lihat: Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 16.
8 Kaum sayid asal Hadramaut mulai menyebar dari negeri asal mereka untuk memulai hidup baru di berbagai kawasan di samudera Hindia. Selain daripada Singapura, India menjadi salah satu tempat migrasi yang cukup populer di masa-masa awal. Di tempat inilah, para Sayid berhasil menjalin tali persaudaraan dengan para aristocrat Muslim sehingga dengan cepat mereka dapat menduduki posisi yang cukup berpengaruh.
Ada beberapa faktor yang memfasilitasi kaum sayid Hadramaut untuk bermukim di banyak kawasan di Samudra Hindia dan memudahkan mereka mendaki tangga sosial. Pertama, kemampuan berpergian dimudahkan oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan
4
lembaga pendidikan dengan nama Jamiat Kheir. Perkumpulan Jamiat Kheir
didirikan di Batavia pada tahun 1901 membawa misi akademis. Jamiat Kheir
dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern untuk para
pemuda Arab. Yayasan Jamiat Khair di Batavia menjadi model pendidikan baru bagi
keturunan Arab.9 Meskipun mayoritas anak-anaknya adalah keturunan Arab, anak-
anak Indonesia non Arab juga terdaftar di sana. Model ini kemudian diikuti dengan
munculnya sekolah Al-Irsyad al-Islamiyah10. Al-Irsyad merupakan pecahan dari
organisasi Jamiat Khair, yang pada tahun 1913 telah terjadi perpecahan dikalangan
Jamiat Khair mengenai hak istimewa golongan sayyid. Mereka yang tidak setuju
dengan kehormatan berlebihan bagi sayyid dikecam dan dicap sebagai reformis yang
kemudian mendirikan organisasi Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah, yang
dikenal dengan Al-Irsyad.11
Kesadaran bangsa Indonesia keturunan Arab muncul pada 4 Oktober 1934
ditandai dengan berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI). Timbulnya ide mendirikan
PAI ini didasari pada prinsip pengakuan tentang tanah air bagi peranakan Arab.
Organisasi Islam nasionalis ini dicetuskan oleh AR. Baswedan (w,1986),
beranggotakan pemuda-pemuda peranakan Arab di Nusantara yang memiliki rasa
nasionalisme terhadap tanah air Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa para pemuda adalah faktor yang penting bagi
munculnya organisasi-organisasi nasionalis. Mereka adalah kaum intelegensia dalam
struktur sosial masyarakat yang memiliki semangat membara. Organisasi dijadikan
sebagai muara untuk menyalurkan gagasan, konsep dan ideologi nasionalisme.
jaringan ulama yang menjadikan mereka bagian dari komunitas intelektual internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam madzhab Shafii yang mendominasi pesisir Samudera Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan sastra arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka. Keempat, karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka berimigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Lautan Nusantara, contohnya adalah ranah “pluralism cair” (fluid pluralism). L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. xxxii.
9 Jamiat Khair merupakan organisasi yang beranggotakan mayoritas orang-orang Arab, yang didirikan di Batavia pada tanggal 17 Juli 1905., dalam : Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 68
10 Al-Irsyad didirikan pada tahun 1913 dan mendapat pengesahan dari Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915, Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942., h.73
11 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.60
5
Mereka turut andil menggerakan semangat masyarakat awam untuk melawan
kolonial. Baik pemuda pribumi maupun non pribumi memiliki kesamaan motivasi
untuk menyatukan kekuatan melawan musuh. Salah satunya adalah tokoh pemuda
peranakan Arab, Hamid Algadri (w.1998).
Hamid Algadri terlibat aktif dalam berbagai usaha perjuangan nasional.
Dimulai dari PAI, ia bersama dengan para pemuda keturunan Arab di Nusantara
berupaya menyatukan pandangan non-pribumi, khususnya Arab untuk ikut serta
memperjuangkan hak-haknya dari Kolonial Belanda.
Bentuk partisipasinya adalah menumbuhkan nasionalisme dalam lingkungan
golongan Arab. Ia menyuarakan gagasannya di dalam PAI dengan menulis berbagai
pendapatnya atas persoalan yang dihadapi komunitasnya dalam permasalahan sosial
dan politik.
Terlahir di Pasuruan, pada tanggal 10 Juli 1912 dari seorang kapten wilayah,
Hamid diarahkan keluarganya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dalam usianya
yang masih belia, ia dapat berpikir dewasa. Saat ia menjadi mahasiswa Rechts
Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), tetapi merasa memiliki visi yang sama dengan
PAI, sehingga terdorong untuk menyuarakan pendapatnya terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang merugikan koloni Arab dan pribumi.
Oleh karenanya ia dipilih menjadi anggota pengurus besar Partai Arab Indonesia
(PAI) di Jakarta.
Hamid Algadri tegas dan konsisten dalam pemikiran dan tindakannya dalam
menolak penjajahan serta kukuh menjunjung nasionalisme Indonesia. Pergerakan
kebangsaan Hamid Algadri semakin terlihat ketika ia melibatkan diri dalam
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia secara langsung dari tangan penjajah.
PAI berperan penting mengantarkan Hamid menjadi seorang tokoh
peranakan Arab melalui jalan pergerakan kebangsaan bersama tokoh-tokoh
kemerdekaan lainnya. Sejak awal berdirinya, PAI memang telah memiliki orientasi
yang bertipikal pejuang dan anti penindasan. Ia didirikan untuk melestarikan, dan
mengeksplorasi nasionalisme Indonesia dari keturunan Arab. Dalam salah satu misi
PAI ditegaskan bahwa Indonesia adalah tanah air keturunan Arab Indonesia. Oleh
6
karenanya keturunan Arab Indonesia harus memenuhi kewajiban sebagai bangsa
Indonesia.
Dalam kurun waktu 1934-1937, PAI terus memompa semangat nasionalisme
dalam kerja dakwah, sosial serta politik. Dalam konteks politik, misi utama adalah
menghapus pemisahan keturunan Arab Indonesia dari warga Indonesia yang diatur
dalam Undang-undang Belanda.
Dalam konferensi yang digelar di Semarang pada 4-5 Oktober 1934 itu para
pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: "Tanah Air kami satu,
Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri
(isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.
Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk
kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah.12
Sikap kritis Hamid terlihat dari tulisan-tulisannya di media yang seringkali
memprovokasi kebijakan Belanda. Hamid membaca bahwa sikap dan perlakuan
Belanda sangat antipati dan selalu waspada terhadap orang-orang keturunan Arab
tercermin di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang
diskriminatif. Hingga pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda membentuk
kebijakan Regering Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan
kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda yaitu kelas paling atas
adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ), kelas kedua adalah Timur Asing (
Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah pribumi ( masyarakat asli Indonesia ).
Dengan adanya kebijakan atau pembagian strata ini akan memengaruhi tata
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik terutama bagi Pemerintah Hindia Belanda
dan orang Timur Asing (orang Arab).13
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda lainnya tertuang dalam Exhorbitante
Rechten yakni hak bagi Gubernur Jenderal untuk menentukan tempat tinggal bagi
golongan-golongan penduduk Hindia Belanda atau pribadi sendiri. Dari kebijakan itu
lahirlah kampung Arab, kampung Pecinan, kampung Melayu, pemukiman Eropa,
12 Hamid Algadri, C.Snouck Hurgronje:Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan
Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 85. 13 Hosniyah, Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab Di Malang
1900-1935, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 3, Oktober (2016), hlm. 967.
7
dan kampung Pribumi.14 Kampung Arab tersebut dibuat tidak untuk menguatkan
etnis Arab di Nusantara, melainkan politik memisahkan etnis mereka dengan
masyarakat pribumi. Karena Pemerintah melihat bahwa orang Arab diduga akan
mudah merusak kekuasaannya dengan cara memengaruhi orang-orang pribumi untuk
bekerja sama melawan Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda tersebut tidak
lepas dari seorang tokoh yang bernama Snouck Hurgronje. Selama berada di Hindia
Belanda, ia menjabat sebagai penasihat-penasihat masalah pribumi dan Arab bagi
pemerintah Hindia Belanda. Ia memiliki peran besar dalam membentuk politik
terhadap Arab pada tahun 1889.
Hamid mencermati arah kebijakan Belanda untuk memisahkan koloni Arab
dengan masyarakat pribumi semakin keras. Dimulai dari “Politik Segregasi” ketika
menempatkan semua golongan Arab ke dalam strata Vreemde Oosterlingen
(golongan Timur Asing), hingga politik adu domba antar etnis Arab antara kalangan
habib maupun non habib. Oleh karenanya, Hamid di dalam PAI bekerja keras untuk
menyatukan peranakan Arab di Nusantara agar hak-hak mereka terlindungi.
Belanda khawatir kalau masyarakat Arab dan pribumi bersatu, maka
terbentuklah kekuatan yang besar. Masyarakat Arab sangat cepat beradaptasi,
meskipun sebenarnya mereka adalah komunitas yang memegang tradisi primordialis
yang kuat.15 Mereka melakukan interaksi secara terbuka sehingga mencapai pada
kemajuan perekonomian di Jakarta pada paruh kedua abad ke-19. Berawal dari
proses tersebut, maka timbulah berbagai dinamika pada masyarakat Arab di Jakarta
seperti kerjasama perdagangan, kedekatan emosional keagamaan, pendidikan,
solidaritas serta pergerakan sosial dan politik. Dinamika sosial yang terjadi di atas
sangat terlihat pada komunitas Hadrami di Jakarta.
Masyarakat Arab di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Hadramaut. Karena
orang-orang Arab yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramaut.
Hanya “satu dua” dari para pendatang Arab yang datang dari Makah, di tepian teluk
14 Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Zaman
Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 34. 15 Siti Hidayati Amal, “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab - Jawa di Luar Tembok
Keraton Yogyakarta ”, Antropologi Indonesia, vol. 29. No. 2, (2005), hlm. 160.
8
Persia, Mesir, atau dari pantai timur Afrika. Sejumah kecil orang Arab yang datang
dari berbagai negeri tersebut jarang ada yang menetap di Nusantara. Jika menetap,
mereka segera berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. 16
Keberadaan orang-orang Arab di Nusantara, terutama di Jawa telah berhasil
dalam dunia perdagangan serta telah berasimilasi dengan penduduk pribumi
terutama kalangan bangsawan Jawa, itulah yang menjadi ancaman bagi Bangsa
Belanda. Demi menyelamatkan kepentingan ekonomi, mereka membuat kebijakan
khusus untuk etnis Arab di Nusantara. Mereka juga khawatir jika pembauran orang
Arab dengan kelompok bangsawan Jawa menjadi kekuatan politik yang kuat. Alasan
lainnya Pemerintahan Belanda menekan hak kehidupan etnis Arab karena masalah
ideologis, yaitu agama Islam. Belanda menganggap Arab identik dengan agama
Islam.
Nama Hamid sebagai peranakan Arab mencuat setelah berhasil melakukan
propaganda-propaganda melalui koran dan siaran-siaran radio. Ia mendukung penuh
pribumi untuk melawan kolonial. Apa yang ia suarakan adalah desakan kepada
bangsa Indonesia dalam percepatan kemerdekaan.
Atas perannya itu, Hamid selalu dilibatkan dalam komponen birokrasi
nasional. Di saat bekerja di Sekretariat Perdana Menteri, Hamid mendapat
kesempatan menemani rombongan Perdana Menteri Sjahrir (w.1966) di dalam KLB
(Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta pada akhir tahun 1945.
Adapun pada tahun 1947 ketika Belanda telah kembali berusaha menguasai
kembali Indonesia, Hamid dipercaya pada posisi Sekretaris Menteri Penerangan,
membantu menjalankan Radio Republik Indonesia dengan menyuarakan propaganda
melawan Belanda. Belanda menganggapnya sebagai seorang teroris besar sehingga
dijebloskan dalam penjara.
Peran Hamid dibutuhkan pemerintah sehingga didaulat menjadi delegasi
Indonesia dalam Perundingan Linggajati dan Renville. Ia juga ditunjuk presiden
16 Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman,
keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya. Sejak saat itu berkembanglah keturunan Ali hingga menjadi kabilah atau suku bangsa yang terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula peranakan Arab berada di berbagai negara, salah satunya yaitu Indonesia. Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. 8.
9
Sukarno menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di
Den Haag pada tahun 1949.17
Dari latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai peran
tokoh etnis Arab yang memiliki nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Hamid
tidak hanya memperjuangkan persatuan peranakan Arab, tetapi juga membantu
kedaulatan Indonesia secara penuh, baik dalam kancah nasional maupun di forum
internasional. Peneliti merasa belum banyak menemukan karya tulis ilmiah
mengenai peranan etnis Arab bagi bangsa Indonesia.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Pemerintahan Belanda menerapkan kebijakan politik diskriminasi dan
pemisahan etnis Arab dengan masyarakat pribumi. Tujuannya adalah agar
asimilasi dua etnis tersebut tidak membuat kerjasama dalam melawan
Belanda. Kondisi ini mendorong para pemuda pribumi dan Indo-Arab
untuk melakukan berbagai pergerakan untuk melawan kolonial Belanda.
Pergerakan ini dimulai dari dalam organisasi-organisasi nasionalis.
b. Hamid Algadri membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat
bersama organisasi yang ia ikuti yaitu PAI (Partai Arab Indonesia). PAI
memiliki tujuan membentuk gerakan dalam rangka mempersatukan
golongan Arab di Nusantara yang berselisih karena politik adu domba
Belanda.
c. Ideologi dan pemikiran Hamid Algadri banyak yang dituangkan dalam
tulisan-tulisan yang dipublikasikan dalam majalah Al-Insjaf dan Aliran
Baroe. Selain menjadi penulis tetap, ia merangkap menjadi redaktur,
sehingga mudah untuk memproduksi narasi-narasi guna membangkitkan
semangat kebangsaan.
d. Hamid memutuskan terjun dalam dunia politik. Ia masuk di dalam jajaran
birokrasi pemerintahan Indonesia. Peranannya sangat nyata, karena
17 http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri-soal-arab-indonesia-ii/ diakses pada 15 maret 2018 pukul 21.00 WIB
10
mendapat mandat menjadi penasihat di berbagai forum perjanjian
nasional maupun dalam forum Internasional.
2. Pembatasan Masalah
Berdasar pada identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi
pada pembahasan perjuangan yang dilakukan salah satu tokoh Indo-Arab yang
bernama Hamid Algadri. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan bangsa
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi komunitas Indo-Arab di
Indonesia. Atas dasar pengalaman ekonomi, sosial politik yang sama, mereka
memutuskan untuk berjuang bersama masyarakat pribumi, Secara garis besar,
yang dimaksud dengan pergerakan kebangsaan adalah keterlibatan Hamid di
dalam upaya-upaya untuk mengkritisi Kebijakan Belanda dan upaya
memerdekakan bangsa Indonesia. Hamid memiliki pengaruh besar di dalam
dua hal. Pertama, peran Hamid di dalam PAI (Partai Arab Indonesia). Ia ikut
menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat etnis Arab di Nusantara yang
sebelumnya terpecah dan terisolasi oleh kebijakan Belanda. Kedua, peranan
Hamid di dalam berbagai birokrasi pemerintahan untuk kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Adapun penentuan rentang waktu dalam tesis ini adalah dari tahun 1934
sampai 1950. Kisaran waktu ini didasarkan pada sejarah awal keterlibatan
Hamid dalam pergerakan kebangsaan. Ia memulai kiprahnya di dalam
organisasi yang menampung peranakan Indo-Arab yaitu PAI hingga karir
politiknya mencapai pada puncak prestasinya yaitu ketika ia diangkat sebagai
penasihat pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Dalam kurun waktu tersebut, Hamid memberikan kontribusi yang sangat
signifikan bagi keteraturan praktik sosial dan persatuan masyarakat Indo-Arab
dan pribumi serta asimilasi keduanya. Karirnya semakin melejit karena
memegang peranan penting bagi proses perundingan menuju kemerdekaan
bangsa Indonesia. Kontribusinya cemerlang dalam berbagai bidang; pidato,
penulisan, diskusi hingga perundingan.
3. Perumusan Masalah
11
Dari pembatasan masalah yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Apa Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri di
Indonesia?
b. Bagaimana perjuangan Hamid Algadri pada masa pergerakan dan
pasca kemerdekaan ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan tentang tokoh sejarah khususnya pada tokoh Hamid Algadri adalah
dalam rangka untuk melihat kontribusi serta peran yang ia torehkan untuk mencapai
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hamid yang merupakan representasi golongan Indo-
Arab tercatat memiliki andil dalam sosial politik pergerakan nasional. Secara
individual Hamid adalah orator, penulis dan penasehat. Sedangkan secara kolektif ia
bergabung bersama organisasi-organisasi nasional dan memberikan pengaruhnya.
Atas dasar itu, pertama, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis landasan
pergerakan kebangsaan Hamid di Indonesia. Berbagai latar belakang yang Hamid
alami dalam keluarga dan kehidupannya, sehingga mendorongnya untuk bergerak
melawan kolonial
Kedua, adalah menjelaskan tentang perjuangan Hamid Algadri dalam
pergerakan kebangsaan dan pasca kemerdekaan. Hamid berhasil menumbuhkan
ideologi nasionalisme golongan Indo-Arab di Indonesia pada 1934, saat ia
memutuskan bergabung bersama AR Baswedan dalam PAI. Penelitian ini juga ingin
membuktikan, sepanjang karir politiknya, Hamid memberikan pengaruh positif bagi
keberlangsungan kemerdekaan Indonesia. Ia menorehkan berbagai peristiwa sejarah
yang menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaannya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut
1. Secara teoritis, penelitian yang berkaitan dengan kesejarahan tokoh etnis
Arab di Nusantara ini dapat memperkaya khazanah historiografi tentang
12
pemikiran, pergerakan serta perjuangannya dalam kehidupan sosial
Indonesia pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan abad ke -20.
Penelitian tentang tokoh kemerdekaan nasional Hamid Algadri yang
jarang dikaji ini dapat menambah referensi penulisan sejarah yang baru,
khususnya tentang kajian sejarah tokoh-tokoh non-pribumi yang memiliki
kontribusi yang besar bagi kemajuan bangsa Indonesia melalui organisasi
kemasyarakatan serta mimbar-mimbar perundingan untuk mengkritisi
kebijakan Belanda yang merugikan berbagai pihak.
2. Secara praktis, penelitian ini memberikan informasi penting bagi para
peneliti dan dosen perguruan tinggi dalam melihat metodologi dan
referensi penulisan sejarah. Terutama penulisan sejarah dengan konteks
pemikiran seorang tokoh sejarah di masa lalu agar dapat menghasilkan
penelitian sejarah yang serupa terhadap tokoh lainnya. Penulisan tentang
tokoh sejarah menjadi sangat penting karena dapat memberikan gambaran
berkaiatan dengan kehidupan secara antropologis dan sosiologis serta
suasana politik yang melingkupinya. Penelitian reflektif historis ini juga
dapat memberikan dorongan kepada para peneliti untuk lebih
mengeksplorasi tokoh-tokoh Nusantara yang lahir dari asimilasi budaya
yang berbeda (Indo-Arab).
E. Penelitian Terdahulu
Sejauh penelusuran peneliti, belum ada tulisan yang spesifik membahas
tentang perjuangan Hamid Algadri. Namun terdapat banyak referensi yang berkaitan
dengan variabel pokok tesis ini, meliputi biografi Hamid Algadri, kiprah dan sejarah
kehidupannya, pergerakan golongan Arab-Indo serta upayanya melawan agresi
Belanda. Pertama, Muhammad Ridlo Rachman menulis Pemikiran Hamid Algadri
tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran
Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941).18 Penulis artikel ini bertujuan
18 Muhammad Ridlo Rachman, “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah
Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia (2013).
13
mendeskripsikan pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema Indo-Arab
dan tanah air. Objeknya terdapat di dalam dua majalah yang terdapat karya Hamid
Algadri yaitu majalah Insjaf dan Aliran Baroe pada rentang periode 1937-1941. Di
dalam risetnya juga digambarkan mengenai latar belakang kehidupan, lingkungan
intelektual, dan gambaran sosial politik yang memengaruhi pemikiran Hamid
Algadri.
Kontribusi pemikiran pentingnya dituangkan ke dalam majalah ketika ia aktif
terlibat di dalam gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Terlebih ketika ia
mendapat posisi sebagai redaktur majalah, membuatknya gencar melancarkan
provokasi untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan Belanda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Hamid Algadri terbagi ke
dalam dua tema besar yaitu pertama, Indo-Arab. Ia merasa kondisi masyarakat
peranakan Arab (Indo-Arab) di Indonesia diadu domba antara pihak sayid dan non
sayid. Sehingga Ia meminta etnis Arab untuk bersatu bersama masyarakat umum
Indonesia. Kedua, tanah air. Hamid memberikan gagasan bahwa tanah air etnis Arab
di Nusantara adalah Indonesia, bersama pribumi, karena tanah kelahiran mereka ada
di Indonesia, meskipun nenek moyangnya dari Arab.
Tulisan Rachman memberikan kontribusi bagi penulisan tesis ini dalam hal
memberikan informasi tentang penelitian studi tokoh. Tokoh yang diangkat adalah
Hamid Algadri. Namun pembahasan Rachman berbeda dengan tesis ini. ia menitik
beratkan pada kontribusi Hamid dalam perjuangan etnis Arab. Objek yang dikaji
adalah teks. Sedangkan peneliti lebih luas dalam mengeksplorasi sepak terjang
sejarah Hamid dalam pergerakan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kedua, Van Den Berg dalam bukunya Orang Arab di Nusantara.19 Buku
ini menjelaskan tentang realita bahwa koloni-koloni Arab adalah golongan yang
paling menentang terhadap dominasi kolonial Belanda di Tanah Air. Orang Arab
Hadramaut meskipun tidak merepresentasikan spiritual bagi Islamisme tetapi mereka
memiliki peran dalam mengokohkan Agama Islam di masyarakat pribumi. Berg di
19 L.W.C Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Depok:
Komunitas Bambu, 2010).
14
dalam bukunya menjelaskan tentang pengaruh orang Arab terhadap penduduk
pribumi.
Komunitas Hadramaut membentuk jalinan kultural hibrida di Nusantara.
Mereka bertindak sebagai penasihat bagi penguasa, ulama, serta pedagang. Dengan
proses asimilasi dengan pribumi membentuk kekuatan baru untuk melawan penjajah
atas dasar kesamaan agama yaitu Islam. Proses asimilasi ini memberikan dampak
positif bagi perkembangan budaya dan politik untuk menentang keras segala bentuk
penjajahan. Masyarakat pribumi dengan cepat menerima kehadiran mereka karena
sama-sama berada pada posisi yang ditekan oleh kekuasaan Belanda. Mereka
digolongkan sebagai orang asing yang dikekang hidupnya, tidak diberi kebebasan
akses sosial politik dan dituduh sebagai ancaman yang berbahaya bagi kolonial
Belanda. Kondisi serupa dialami oleh masyarakat pribumi yang ditempatkan pada
golongan terbawah sehingga mereka dijadikan budak di negeri sendiri.
Buku ini secara lengkap menceritakan tentang asal usul orang Arab yang
menetap di Nusantara hingga mereka berasimilasi dan membetuk kekuatan bersama
pribumi unuk melawan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan mereka. antara
orang Arab dan pribumi saling mendukung dalam pergerakan kebangsaan melawan
penjajah.
Bagi penelitian tesis ini, buku Berg berkontribusi memberikan data sejarah
tentang asal mula orang Arab datang ke Nusantara dengan berbagai misinya
kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat. Kekuatan yang terbangun antara
keduanya membentuk pergerakan untuk melawan kekuasaan Belanda. Buku ini
menegaskan bahwa orang Arab ikut bergabung dengan warga pribumi dalam
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Ketiga, Disertasi karya Husein Haikal dengan judul Indonesia-Arab
dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942).20 Karya yang ditulis pada
tahun 1986 di Univesitas Indonesia menyajikan beberapa bagian yang dianggap
penting dari peran Indo-Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Husein menjelaskan
bahwa pendatang Arab di Indonesia serta keturunan mereka tidak bisa dipisahkan
20 Husein Haikal, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942),
Disertasi, Universitas Indonesia, 1986.
15
dari Islam. Sebagian mereka datang dari hadramaut, tempat dengan praktik-praktik
jahiliyahnya masih berjalan. Ini nampak dalam hal pembagian penduduk, serta
kegemaran mereka untuk bertengkar yang diterapkan pula di kalangan keturunan
mereka di Indonesia.
Husein membagi pendatang Arab menjadi tiga yaitu Arab, Arab-Indonesia,
dan Indonesia-Arab. Dikatakan sebagai Arab bila para pendatang Arab ini setelah
tinggal di Indonesia tapi masih merasa sebagai orang asing, sedangkan Arab
Indonesia adalah para pendatang Arab yang kemudian tinggal dan berhasil
menyesuaikaan dengan keadaan sekeliling. Umumnya mereka menikah dengan
perempuan Indonesia, mereka ikut berjuang bersama orang Indonesia karena ada
ikatan darah dan ikatan agama Islam, sedangkan Indo-Arab umumnya adalah
muwalad yaitu arab peranakan yang darah Indonesia mereka semakin lama semakin
dominan. Mereka tanpa segan berjuang untuk Indonesia bukan hanya karena adanya
ikatan darah, ikatan agama, tapi juga ikatan kebangsaan. Mereka berkiblat seutuhnya
ke Indoneisa dan mengakui Indonesia sebagai satu-satunya tanah air mereka.
Peran Arab-Indonesia juga terlihat dalam mengokohkan Islam di Indonesia
disamping menyiarkan bahasa Arab. Banyak organisasi muncul dari mereka seperti
al irsyad dan jamiat khair meskipun mereka masih terlibat konflik kecil. Namun
dengan lahirnya PAI telah menyatukan peranakan Arab di Indonesia sehingga
terwujud cita-cita yang disebut Baswedan sebagai “Sumpah Pemuda Indonesia
keturunan Arab”. Dari organisasi inilah kerja keras para aktivisnya telah menyatakan
Indonesia sebagai satu-satunya tanah air mereka serta mereka harus berbakti pada
tumpah darah Indonesia. Mereka bersama-sama mengilhami cita-cita kemerdekaan
Indonesia dan sikap memusuhi pemerintah kolonial Belanda.
Kontribusi Husein bagi tesis ini adalah ia menguatkan argumen bahwa
peranakan Arab di Nusantara ikut berpartisipasi dalam mengawal kemerdekaan
bangsa Indonesia. Melalui wadah persatuan orang Arab yaitu PAI, mereka secara
bersama menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap tanah yang mereka tinggali.
Sebagai konsekuensinya, mereka ikut berjuang untuk merebut kemerdekaan
Indonesia.
16
Dari ketiga penelitian di atas, fokus kajiannya adalah potret sejarah tentang
pergerakan nasional yang telah ditunjukkan oleh golongan peranakan Arab di
Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan bersama. Terjadinya
pembauran atau asimilasi etnis Arab dan pribumi yang menghasilkan berbagai
kemajuan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan politik. Ketiga penelitian tersebut
berbeda dari topik yang hendak peneliti angkat dalam tesis ini. Tesis ini
mnitikberatkan pembahasan pada tokoh Hamid Algadri yang ikut berjuang dalam
politik kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
F. Kerangka Teori
Judul yang diangkat pada penelitian ini adalah “Perjuangan Hamid Algadri
Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan di Indonesia”. Tema utamanya adalah
Hamid Algadri sebagai tokoh peranakan Arab di Nusantara yang berkontribusi besar
dalam realitas sosial golongan Arab untuk mewujudkan rasa tanggung jawab dan
nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah jawaban dan tantangan
(Challenge and response) oleh Arnold Joseph Toynbee (w.1975). Tantangan dan
jawaban adalah sebuah ruang kausalitas pertempuran antara ide, gagasan, wacana
atau gerakan yang muncul dalam suatu kebudayaan yang saling terkait satu sama
lainnnya yang bersifat aksi reaksi. Teori ini memunculkan konsep bahwa munculnya
setiap ide, gagasan, wacana atau gerakan memiliki relasi yang saling berkaitan
dengan beberapa faktor penyebab. Karena itu setiap bentuk gerakan, ide, wacana
atau gagasan akan berakhir pada munculnya sebuah kebudayaan baru yang akan
membentuk logical concequences yang akan menempati berbagai pos pos dalam
pola tantangan dan respon terhadap situasi sosial politik yang berada di sekitarnya.21
Pergerakan Hamid Algadri muncul sebagai tanggapan atas tantangan dari
kondisi kolonial belanda yang mengeksploitasi masyarakat Indonesia dan peranakan
arab. Jadi pergerakan yang dilakukan oleh Hamid Algadri sebagai seorang
21 Dwi Susanto, Pengantar Ilmu Sejarah (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 83
17
peranakan arab muncul sebagai tanggapan atas tantangan kesadaran sosial peranakan
arab di Indonesia. Kesadaran sosial yang muncul pada Hamid Algadri disebabkan
karena diskriminasi yang Hamid dapatkan dari kolonial Belanda juga diperoleh dari
pendidikan dan keluarga.
Dalam penelitian ini gerakan yang terbentuk adalah pergerakan nasional yang
memiliki arti yaitu usaha, kegiatan dan tindakan terencana yang ditujukan pada suatu
perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan
lembaga-lembaga masyarakat yang ada.22
Adapun secara terminologi, gerakan merupakan media dari masyarakat untuk
menyampaikan rasa ketidak puasan sosial pada penguasa.23 Pergerakan adalah suatu
kekuatan yang terlibat dalam perjuangan rakyat dalam perspektif demonstrasi sosial
masyarakat politik dengna tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota
kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan dan usaha-
usaha oraganisasi.24
Jadi, gerakan dan pergerakan mengandung arti untuk menggerakkan orang-
orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama-
sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang
dibutuhkan adalah kepemimpinan. Pergerakan merupakan kebangkitan (untuk
perjuangan atau perbaikan) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
untuk memperbaiki suatu kondisi atau keadaan.
Sedangkan kata nasional merupakan kata sifat dari pergerakan. Kata nasional
disini dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pegerakan di
semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama, perjuangan
melawan kekuasaan kolonial. Dalam pergerakan nasional menunjukkan pergerakan
dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi untuk menentang penjajahan
demi mencapai kemerdekaan.25 Dengan organisasi ini menunjukkan bahwa aksi
22 KBBI online. Diunduh pada 30 April 2018, pukul 20.00 WIB. 23 Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, (Surabaya: Insan
Cendekia, 2003), hlm. 17. 24 Muchtar E. Harahap, Mahasiswa dalam Politik, (Jakarta: NSEAS, 1993), hlm 36. 25 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional:
Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 270.
18
tersebut disusun secara teratur dalam arti ada pemimpinnya, anggota, dasar dan
tujuan yang ingin dicapai.26
Sejarah pergerakan nasional Indonesia merupakan sejarah yang mencakup
aliran-aliran dalam historis yang menuju ke arah pembentukan nasionalisme
Indonesia. Pemahaman sejarah pergerakan nasional berarti pengetahuan atau
penguasaan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung dalam rangka lepas dari
belenggu penjajah, untuk menjadi negara adil dan makmur.27
Sejarah pergerakan nasional Indonesia dapat diartikan pula sebagai fenomena
historis hasil dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius
yang saling ada interaksi. Karenanya, ia dapat dianggap gerajan ekonomi, sosial,
politik, dan kultural yang memperluas motivasi dan orientasi aktivitas organisasi
pergerakan.28 Tujuannya adalah untuk mencapai Indonesia merdeka, yang dijiwai
oleh semangat persatuan dan kesatuan, sehingga melahirkan momentum sejarah yang
amat penting.
Kuntowijoyo mengartikan bahwa sejarah pergerakan nasional adalah
timbulnya gagasan nasionalisme; golongan-golongan sosial; gerakan-gerakan agama;
sosial, kebudayaan, pendidikan dan politik; dekolonisasi.29 Oleh karena itu, jika
membaca sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia, hal itu meliputi periode
sekiar empat puluh tahun, sampai terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun 1945,
yang ditandai oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia.30
26 Ayis Budi Santosa dan Encep Supriatna, Sejarah Pergerakan Nasioanl: Dari Budi Utomo
1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), hlm. 2
27 Trisnowaty Tuahunse, Hubungan Antara Pemahaman Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dengan Sikap terhadap Bela Negara, https://media.neliti.com/media/publications/125345-ID-none.pdf. diakses pada 20 Maret 2018, pukul 20.30 WIB.
28 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 3.
29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: PT Bentang Budaya, 2001), hlm. 55. 30 Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna, Buku Ajar Sejarah Pergerakan Nasional (Dari
Budi Utomo 1908 Hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945), (Bandung: Universitas Indonesia, 2008), hlm. 2.
19
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Demikian karena penelusuran terhadap pemikiran Hamid Algadri secara
historis dan sosiologis merupakan bagian dari produk sosial. Creswell menjabarkan
bahwa penelitian kualitatif adalah cara mengeksplorasi serta memahami makna-yang
oleh sejumlah individu atau sekelompok orang-dianggap berasal dari permasalahan
sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Sifat dari penelitian ini adalah
eksploratoris, yaitu mendeskripsikan masalah penelitian dengan cara mengeksplorasi
suatu konsep atau fenomena sehingga mudah dipahami.31
Jika jenis penelitian ini digunakan, maka peneliti harus dapat mengeksplorasi
aktivitas pergerakan kebangsaan Hamid Algadri perspektif sejarah dan sosiologi.
Gambaran hasil penelitian ini akan menjadi jelas manakal peneliti menghadirkan
perspektif-perspektif dari data kepustakaan (library research) untuk mendukung
identifikasi data tokoh yang dikaji.
2. Sumber Data
Berangkat dari jenis penelitian yang kualitatif, maka sumber data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data literal. Adapun sumber data
dalam penelitian ini ada dua macam: sumber data primer dan sumber data
sekunder.32
Sumber data primer adalah sumber data utama yang terdapat informasi-
informasi pokok mengenai permasalahan yang sedang dikaji. Dalam konteks tesis
ini, peneliti menggunakan buku literal karya Hamid Algadri sebagai referensi utama.
Buku tersebut dapat memberikan pemikiran serta paradigma Hamid terhadap realitas
sosial pada saat itu.
Adapun sumber data sekunder adalah data penunjang yang dijadikan penguat
dari data primer, diperoleh dari buku, jurnal, artikel, hasil penelitian serta majalah
31 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi
Ketiga, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 4. 32 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 83.
20
yang memiliki korelasi dengan penelitian yang dikaji, yaitu kontribusi dan peran
Hamid Algadri dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Di dalam tehnik pengumpulan data kualitatif, dokumen pokok yang
dibutuhkan adalah data-data perpustakaan, bisa berupa koleksi pribadi Hamid
Algadri kumpulan buku karya Hamid, kitab biografinya, berkas surat-surat dan
artikel-artikel yang ia tulis pada media surat kabar. Hal ini karena Hamid pernah
menjadi redaktur majalah USI (Usi-blad, majalah mahasiswa Indonesia) dan majalan
Insjaf. Tulisan-tulisannya dapat dijadikan bahan analisis untuk mengetahui gambaran
perjuangan organisasi, kegiatan kemasyarakatan serta sikap Hamid terhadap
penguasa saat itu.
Adapun langkah pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu
pertama, deskripsi dokumen kepustakaan dan kedua, analisis yang terdiri dari
interpretasi dan historiografi.
Pertama, deskripsi dokumen. Langkah ini bertujuan untuk menguraikan atau
menjelaskan data apa adanya. Sesuai dengan corak kualitatif yaitu lebih menekankan
kepada kedalaman informasi sehingga sampai pada makna yang sebenarnya. Peneliti
dituntut dapat mendeskripsikan masalah penelitian yang benar-benar mudah
dipahami dengan cara eksplorasi suatu konsep atau fenomena tertentu. Dalam
konteks ini, peneliti melakukan eksplorasi terhadap peran Hamid Algadri dalam
pergerakan nasionalnya. Ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan kesejarahan
Hamid yang terdapat dalam sumber data primer dan sumber data sekunder yang
tersedia.
Kedua, analisis. Tehnik ini dimaksudkan untuk menginterpretasi sebuah data
yang telah terkumpul. Kemudian menggunakan analisis historiografi karena tesis ini
adalah kajian kesejarahan.
Interpretasi data dilakukan dengan menyusun hipotesis yang kemudian
diformulasikan baik dengan cara deskriptif maupun proposional. Dalam konteks ini
data-data sejarah Hamid dalam realita sosial peranakan Arab di Indonesia dan
21
kiprahnya di parlemen dijadikan media untuk mengungkap seberapa besar perannya
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang
menggunakan metode sejarah. Langkah yang dilakukan adalah interpretasi terhadap
sejarah menurut pendapat seseorang (peneliti) dan seleksi dilakukan dalam memilih
fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah.
Interpretasi dan seleksi harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah
yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih dahulu oleh peneliti
sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini, peneliti mengintisarikan pergerakan
Hamid Algadri dengan merujuk kepada tulisan-tulisan Hamid Algadri serta
keterlibatan bersama tokoh sejarah nasional.
4. Tehnik Analisis Data
Dalam penelitian, proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha
memaknai data yang ada berupa teks atau gambar tertentu. Peneliti dituntut
mempersiapkan data, melakukan analisis dengan tinjauan berbeda, memperdalam
pemahaman terhadap data tersebut, menyajikan data dan kemudian membuat
interpretasi makna yang lebih luas.33
Secara umum, analisis penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis,
yaitu metode penelitian dengan tehnik mengumpulkan data sesuai dengan yang
sebenarnya. Kemudian data tersebut diolah, disusun, dan dianalisis sehingga
menggambarkan masalah-masalah dalam penelitian secara objektif.34
Dalam konteks ini, sebagaimana telah disinggung dalam teori analisis
kualitatif, peneliti melakukan beberapa langkah analisis data sebagai berikut:
a. Kodifikasi data. Peneliti mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis.
Langkah ini melibatkan identifikasi karya-karya Hamid Algadri sebagai bahan
analisis utama. Topik yang dicari berkaitan dengan perjuangan kebangsaan Hamid
Algadri.
33 John W. Creswell, Research Design……, hlm. 274. 34 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2016),
hlm. 8
22
Langkah ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai
kontribusi Hamid dalam tingkat nasional. Kodifikasi meliputi rekam jejak Hamid
Algadri sebagai aktivis (anggota) dari PAI (Partai Arab Indonesia), serta informasi-
informasi tambahan yang menguatkan peran Hamid dalam mengkritik keras
kebijakan Pemerintahan Belanda tentang upaya mereka membeda-bedakan antara ras
pribumi dan ras Arab kemudian melakukan isolasi secara teritorial. Ia melakukannya
agar hubungan Arab (Islam) dan masyarakat pribumi yang sudah terlanjur baik tidak
retak karena diskriminasi kelas sosial yang dibuat Belanda.
b. Interpretasi data. Peneliti menganalisis topik-topik yang sudah dipilih,
mendalaminya secara detail untuk menemukan sejarah secara runtut selama masa
hidup Hamid Agadri. Sehingga dapat diketahui bagaimana keabsahan dan validitas
sejarah perjuangan Hamid Algadri dalam kancah nasional.
5. Pendekatan
Dengan melihat topik utama yang membahas tentang peran nyata Hamid
Algadri dalam pergerakan kebangsaan, tentu peneliti harus berhasil mengeksplorasi
fakta-fakta sejarah kehidupan Hamid. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
pendekatan historis di dalam tesis ini.
Secara umum pendekatan historis dapat diartikan sebagai penelaahan serta
sumber-sumber lain yang berisi informasi masa lampau dan dilaksanakan secara
sistematis. secara sempit, ia dapat diartikan sebagai peninjauan atas suatu
permasalahan dilihat dari tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta
menganalisisnya dengan metode analisis sejarah. Tujuannya adalah untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengevaluasi,
memverifikasi bukti-bukti untuk mengungkapkan fakta dan memperoleh kesimpulan
yang kuat.
Pendekatan historis digunakan dalam tiga macam pendekatan yaitu kajian
teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya.35
Dalam konteks penelitian tesis ini, pendekatan penelitian yang digunakan dapat
35 Roland N. Stromberg, European Intellectual History Since 1789, (New York: Mereditc-
Century, 1968), 3.
23
memudahkan untuk mengekspos dan mengeksplorasi dengan rinci tentang rekam
jejak sejarah hidup Hamid Algadri. Pertama kajian teks. Teks merupakan pangkalan
data yang dapat memberikan informasi sejarah. Teks yang dimaksud adalah buku-
buku karya Hamid, majalah yang memuat tulisan Hamid dan buku dari penulis
lainnya yang berisi tentang historiografi Hamid. Dari analisis terhadap teks karya
Hamid tersebut dapat ditemukan pemikiran tokoh tersebut. Kedua, kajian konteks
sejarah adalah penelusuran secara mendalam tentang sejarah hidup tokoh. Informasi
dapat diperoleh dari berbagai sumber data. Salah satunya saksi hidup yang
mengetahui secara rinci tentang pergerakan kebangsaan Hamid. Ketiga, kajian
hubungan antara teks dan masyarakatnya merupakan implementasi dari pendekatan
sosiologis. Masyarakat pada di masa hidup Hamid juga dapat menjadi gambaran
empiris tentang realitas sejarah. Gambaran tersebut sekaligus menjadi alat uji fakta
sejarah yang valid dan otentik atas apa yang telah ditulis dalam berbagai teks.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang langkah-langkah
penelitian serta tersusun dengan baik sehingga memudahkan pemahaman, maka
penulisan tesis ini disusun secara sistematis dalam lima bab, sebagai berikut
Bab pertama adalah pendahuluan atau gambaran umum yang menjelaskan
latar belakang masalah, permasalahan yang terdiri dari identifikasi, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, kerangka konseptual,
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian tesis ini, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang variable pokok penelitian ini yaitu teori
pergerakan nasional yang meliputi identitas nasional, dan sejarah Indonesia masa
pergerakan dan pasca kemerdekaann . Ini ditulis untuk memberi kerangka batasan-
batasan pergerakan yang dilakukan Hamid Algadri. Bab ini juga menceritakan
perjuangan masyarakat keturunan Arab di Indonesia.
Bab ketiga menjelaskan tentang biografi Hamid Algadri meliputi riwayat
kehidupan, pendidikan, karya-karyanya, dan karir Hamid Algadri. Dalam bab ini
24
dapat diketahui lingkungan serta ideologi yang membentuk pemikiran Hamid
Algadri dalam pergerakan kebangsaan.
Bab keempat membahas tentang landasan pergerakan kebangssan Hamid
Algadri dan perjuangan Hamid Algadri untuk mewujudkan kemerdekaan di
Indonesia serta mempertahankan kemerdekaan. Maka perjuangan Hamid Algadri
terbagi menjadi dua yaitu perlawanan terhadap kolonial Belanda dan perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bab kelima memuat tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan
oleh peneliti. Hasil ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah. Bab ini juga
berisi tentang saran dan rekomendasi kepada peneliti selanjutnya sebagai bahan
pengembangan penelitian tentang kontribusi peranakan Arab di Indonesia.
25
BAB II
INDONESIA MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN
A. Pengertian Pergerakan Nasional
Secara etimologi, pergerakan berasal dari kata gerakan yang berarti peralihan
tempat atau kedudukan. Sedangkan pergerakan memiliki arti yang sama yaitu usaha,
kegiatan dan tindakan terencana yang ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai
gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat
yang ada.36
Adapun secara terminologi, gerakan merupakan media dari masyarakat untuk
menyampaikan rasa ketidakpuasan sosial pada penguasa.37 Muchtar berpendapat
bahwa pergerakan adalah suatu kekuatan yang terlibat dalam perjuangan rakyat
dalam perspektif demonstrasi sosial masyarakat politik dengan tindakan untuk
mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran
sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha oraganisasi.38
Jadi, gerakan dan pergerakan mengandung arti untuk menggerakkan orang-
orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama-
sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang
dibutuhkan adalah kepemimpinan. Pergerakan merupakan kebangkitan (untuk
perjuangan atau perbaikan) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
untuk memperbaiki suatu kondisi atau keadaan.
Sedangkan kata nasional merupakan kata sifat dari pergerakan. Kata nasional
disini dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pegerakan di
semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama, perjuangan
melawan kekuasaan kolonial. Dalam pergerakan nasional menunjukkan pergerakan
dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi untuk menentang penjajahan
36 KBBI online. Diunduh pada 30 April 2018, pukul 20.00 WIB. 37 Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, (Surabaya: Insan
Cendekia, 2003), hlm. 17. 38 Muchtar E. Harahap, Mahasiswa dalam Politik, (Jakarta: NSEAS, 1993), hlm 36.
26
demi mencapai kemerdekaan.39 Dengan organisasi, menunjukkan bahwa aksi
tersebut disusun secara teratur dalam arti ada pemimpinnya, anggota, dasar dan
tujuan yang ingin dicapai.40
Susanto Tiroprojo menjelaskan bahwa istilah “pergerakan” berbeda dengan
istilah “perjuangan”. Pergerakan memiliki pengertian yang khas, sementara
perjuangan mempunyai arti luas. Untuk mengilustrasikan istilah perjuangan ini,
dapat di contohkan dengan perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
Hasanudin, dan sebagainya, yang selanjutnya disebut sebagai peristiwa-peristiwa
dalam perjuangan nasional Indonesia.41 Perlawanan-perlawanan mereka masih
bersifat lokal dan tidak terorganisir secara modern42, dan secara langsung belum
mensyaratkan akan persatuan Indonesia.
1. Nasional
Nasional yang dimaksudkan ialah membahas tentang cita-cita nasional
dengan beragam aspek yang meliputinya, yang pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai kemerdekaan bangsa. Untuk memahaminya secara lebih mendalam tentang
konsep nasional ini, maka tidak berlebihan jika diuraikan tentang identitas nasional
dengan segala turunannya.
a. Identitas Nasional
Sebelum menguraikan mengenai identitas nasional, kiranya perlu menelisik
terlebih dahulu mulai dari dua akar kata yang membentuknya, yakni “identitas” dan
“nasional’. Hal ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman dari akar katanya,
sehingga tanpa ragu dalam mengambil intisari yang ada dalam pengertian tersebut.
Secara etimologi, kata identitas berasal dari kata identity, bahasa Inggris, yang
memiliki pengertian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada
seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi
39 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional:
Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 270. 40 Budi Santosa dan Encep Supriatna, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo 1908
hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), hlm. 2 41 Susanto Tirtoprojo, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Pembangunan,
1984), hlm. 7. 42 Tidak terorganisir secara modern yang dimaksud di sini ialah bahwa ia tidak memiliki ciri-
ciri sebagai organisasi modern, seperti memiliki struktur kepengurusan yang tetap, tujuan dan program kerja.
27
antropologi, identitas sering diartikan sebagai sifat khas yang menerangkan dan
sesuai dengan kesadaran pribadi sendiri, golongan, kelompok, komunitas dan
negaranya sendiri.43
Identitas juga dapat dipahami sebagai istilah yang merangkum nama manusia
yang mempertalikan mereka dalam kaitan dengan interaksi dengan pihak lain dan
mengorientasikan dirinya dengan berbagai dunia sosial. Sementara dalam kaitannya
dengan dunia sosial, paling tidak terdapat tiga bentuk identitas, yakni identitas sosial,
identitas pribadi, dan identitas kelompok. Ketiga bentuk identitas itu dalam realitas
sosial yang saling berkaitan antara satu identitas dan identitas yang lain.44
Sementara kata nasional dalam identitas nasional dapat diartikan sebagai
identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non-fisik
seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Sehingga identitas nasional bisa diartikan
sebagai keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-invidivu secara nasional
yang membentuk bangsa tersebut.45
Konsep mengenai identitas nasional mengacu kepada identitas-identitas yang
sifatnya nasional. Ia bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan, karena identitas
nasional dibuat, dibentuk, dan disepakati oleh warga suatu bangsa sebagai
indentitasnya setelah mereka bernegara. Sementara disebut sekunder, karena
identitas nasional lahir belakangan dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan
yang memang telah dimiliki warga bangsa itu sendiri. Dengan kata lain sebelum
mereka memiliki identitas nasional, warga bangsa telah memiliki identitas primer
yaitu identitas kesukubangsaan.46
Proses pembentukan identitas nasional memutuhkan waktu yang tidak
pendek di antara warga bangsa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan identitas
merupakan hasil konsensus masyarakat tersebut. Tidak menutup kemungkinan ada
warga bangsa yang tidak setuju dengan identitas yang diajukan oleh kelompok
43 Maryanto, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Andi, 2015), hlm. 2. 44 M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina dan Singkawang di
Era Reformasi 1998-2008, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 39. 45 Sidarto Danusubroto dkk, Prosiding Focus Group Discussion Pakar I, (Yogyakarta: Pusat
Studi Pancasila UGM, 2014), hlm. 39. 46 Abd. Rahman dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi,
(Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017), hlm. 82.
28
tertentu dan sejenisnya. Inilah penyebabnya sebuah negara yang baru merdeka
mengalami pertikaian internal yang bisa jadi secara larut-larut, karena saling
mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi identitas nasional. Indonesia relatif
berhasil membentuk identitas nasionalnya, kecuali pada saat proses pembentukan
ideologi Pancasila.
Jika dilihat dari proses lahirnya identitas nasional, maka identitas nasional itu
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, identitas cultural unity atau
identitas kesukubangsaan. Cultural unity yang dimaksudkan di sini ialah merujuk
pada bangsa dalam pengertian kebudayaan atau bangsa dalam arti sosiologis
antropologi. Cultural unity disatukan oleh kesamaan ras, agama, suku, dan
antargolongan (SARA). Unsur-unsur tersebut menjadi identitas kelompok yang
membedakan dengan kelompok lainnya. Kedua, identitas political unity atau
identitas kebangsaan. Political unity merujuk pada bangsa dalam pengertian politik,
yakni bangsa-negara. Kesamaan primordial dapat saja menciptakan bangsa tersebut
untuk negara, namun hampir bisa dipastikan bahwa negara yang hanya terdiri dari
satu suku bangsa tidak terjadi. Dengan demikian negara baru perlu menciptakan
identitas baru pula untuk bangsanya, yang selanjutnya disebut identitas nasional.47
b. Bentuk Identitas Nasional Indonesia
Dalam konteks identitas nasional Indonesia, ada beberapa bentuk identitas
nasional Indonesia, di antaranya adalah:
1) Bahasa nasional atau Bahasa Persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia berawal dari bahasa melayu yang digunakan sebagai awal
pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa nasional pada tanggal 28
Oktober 1928.
2) Bendera Negara, yaitu Sang Merah Putih
Warna merah menandakan berani dan putih yang berarti suci. Dalam catatan
sejarah, bendera merah putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus
1945, namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.
3) Lagu Kebangsaan Indonesia, yaitu Indonesia Raya
47 Abd. Rahman dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi,
(Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017), hlm. 83.
29
Lagu Indonesia sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada
tanggal 28 Oktober 1928.
4) Lambang Negara, yaitu Garuda Pancasila
Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan sebagai lambang negara.
5) Semboyan Negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika
artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ini menunjukkan bahwa Indonesia
ialah bangsa yang heterogen, namun tetap berkeinginan untuk menjadi bangsa
yang satu, yakni Indonesia.
6) Dasar Falsafah Negara, yaitu Pancasila.
Berisi lima sila yang dijadikan sebagai dasar falsafah dan ideologi dari negara
Indonesia. Pancasila juga berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi
nasional.
7) Hukum Dasar Negara, yaitu UUD 1945
Merupakan hukum dasar tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan dan
dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan negara.
8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bentuk negara kita adalah kesatuan, bentuk pemerintahannya republik, dan
sistem politik yang digunakan ialah demokrasi.
9) Konsepsi Wawasan Nusantara
Sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang
serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional
dan sebagai negara kesatuan Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa,
sehingga Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kompleks.
c. Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional
Identitas nasional Indonesia terbentuk oleh bermacam unsur fisik, dan non-
fisik. Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan
sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur-
30
unsur yang menjadi inti identitas Indonesia, yakni: sejarah, kebudayaan, suku
bangsa, agama, dan bahasa.48
1. Sejarah
Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara bangsa (nation
state), Nusantara pernah mengalami masa kejayaan. Dua kerajaan besar yakni
Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai pusat-pusat kekuasaan di Nusantara, yang
pengaruhnya menembus batas-batas teritorial. Kebesaran dua kerajaan tersebut turut
serta menjadi rujukan semangat perjuangan manusia Nusantara ketika penjajahan
asing mulai menapakkan imperialismenya. Semangat juang tersebut sekaligus
menjadi ciri khas bagi cikal bakal bangsa Indonesia. Selanjutnya ia menjadi unsur
pembentuk identitas nasional sebagai bangsa yang pantang menyerah dan pejuang
kebebasan. Hal ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
secara tegas menyatakan dukungan bangsa Indonesia bagi kemerdekaan setiap
bangsa di dunia.
2. Kebudayaan
Kebudayaan menjadi unsur pembentukan identitas nasional meliputi tiga
unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Pertama, aspek akal budi. Ini
tampak dari keramahan dan kesantunan orang Indonesia yang telah dikenal dunia.
Kedua, aspek peradaban. Peradaban tercermin dalam dasar negara (Pancasila) yang
menunjukkan kekuatan atas nilai-nilai bersama yang majemuk. Ketiga, aspek
pengetahuan. Ini dapat dilihat dari kekayaan pencapaian bangsa Indonesia sebagai
bangsa maritim. Kapal Pinisi dan sejumlah candi yang menawan merupakan unsur
identitas pengetahuan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Keragaman
budaya lokal merupakan kekuatan dari eksistensi kebudayaan nasional. Hal ini
sekaligus sebagai bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang
kreatif dan inovatif, yang mampu mengadopsi pengetahuan, nilai, dan budaya asing,
lalu mengembangkannya menjadi produk peradaban yang bernilai tambah dan
menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa.
48 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan
Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 61.
31
3. Suku Bangsa
Kemajemukan merupakan pembentuk identitas lain bangsa Indonesia. Tradisi
bangsa untuk hidup bersama dalam kemajemukan merupakan unsur utama
pembentukan identitas yang perlu terus dipupuk, dikembangkan, dan dilestarikan.
Kemajemukan bangsa yang tercermin dalam ribuan suku, bahasa, dan budaya, serta
kesatuan atas kemajemukan merupakan gambaran bahwa Indonesia adalah kesatuan
atas keberagaman yang secara simbolik diungkapkan dalam semboyan Bhineka
Tunggal Ika, yang dicengkeram burung Garuda.
4. Agama
Identitas lain dari kemajemukan alamiah bangsa Indonesia ialah keragaman
agama dan keyakinan. Urgensi eksistensi keragaman unsur agama dan keyakinan ini
menjadikan para pendiri bangsa menempatkannya pada posisi penting dalam
konstitusi negara, sebagai upaya negara untuk wajib melindungi rahmat Tuhan Yang
Maha Esa. Perumusan dasar negara Pancasila telah sepakat menembatkan dasar
spiritualitas dalam urutan pertama dari kelima sila Pancasila. Hal ini menegaskan
bahwa bangsa Indonesia berkewajiban untuk beragama secara kebudayaan, yakni
suatu sikap dan perilaku beragama yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip toleransi.
5. Bahasa
Unsur lain pembentuk identitas nasional ialah bahasa Indonesia. Keberadaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu telah dijamin oleh UUD 1945. Ribuan
etnis dan keberagaman budaya dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia.
Kesadaran akan unsur pemersatu bahasa Indonesia ini dapat ditelusuri pada peristiwa
lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Momentum tersebut telah memberikan
nilai tersendiri bagi pembentukkan identitas nasional Indonesia, sebagai unsur
pemacu sekaligus pembentuk pemersatu dan nasionalisme Indonesia yang masih
relevan hingga saat ini.
d. Parameter Identitas Nasional
Ialah suatu ukuran atau patokan yang dapat digunakan untuk menyatakan
sesuatu yang menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur tersebut ialah
unsur suatu indentitas seperti kebudayaan yang menyangkut adat, norma, dan
teknologi, sesuatu yang secara alami atau ciri yang sudah terbentuk seperti geografis.
32
Identitas nasional memiliki indikator-indikator sebagai berikut:49
1. Indentitas nasional menggambarkan pola perilaku yang terwujud melalui
aktivitas masyarakat sehari-harinya. Identitas ini menyangkut adat istiadat,
tata kelakukan, dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan
gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari
adat istiadat dan tata kelakuan.
2. Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbolis
menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang tersebut
biasanya dinyatakan dalam undang-undang, seperti Garuda Pancasila,
bendera, bahasa dan lagu kebangsaan.
3. Alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, seperti
bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat
perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah
(Borobudur, Prambanan, masjid dan gereja), peralatan manusia (pakaian adat,
teknologi bercocok tanam), dan teknologi (pesawat terbang, kapal laut, dan
lain-lain)
4. Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa. Indentitas yang bersumber dari
tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi
dalam bidang tertentu.
e. Pengertian Bangsa
Sampai saat ini para ahli belum memiliki definisi tunggal mengenai
pengertian “bangsa”. Artinya, setiap ahli memiliki perbedaan dalam mendifinisikan
“bangsa”. Hal ini tergantung dari sudut pandang yang diambil. Kendati demikian,
dengan sudut pandangnya masing-masing, para ahli tetap berusaha menguraikan
definisi “bangsa”.
Salah satu ahli terkemuka yang mencoba mendifinisikan “bangsa” ialah
Anderson, bahwa bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan (imagined).
Disebut bayangan kaarena anggota-anggota suatu bangsa, termasuk bangsa terkecil,
akan mengenal, menemui, atau mendengar tentang sebagian besar teman-teman
sebaya mereka. Meskipun demikian, dalam pikiran mereka ada perasaan sebagai
49 Maryanto, Pendidikan Kewarganegaraan….., hlm. 9.
33
suatu komunitas. Sebagai suatu bayangan imajener, bangsa bersifat terbatas karena
bangsa yang terbesar sekalipun memiliki batas yang jelas, walaupun elastis, yang
memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain.50
Sementara Ernest Renan (w.1892), mengatakan bahwa bangsa adalah satu
jiwa, une natioan est un ame. Artinya bangsa adalah jiwa. Di tempat lain, Renan
berkata: une nation est un grand solidarite, satu bangsa adalah satu solidariteit yang
besar. Menurutnya, bangsa atau kebangsaan tidak tergantung pada persamaan
bahasa. Bangsa juga tidak memerlukan persatuan agama, bahkan tidak memerlukan
persatuan turunan. Bangsa adalah satu jiwa.51
Maka syarat bangsa ialah: “Kehendak akan bersatu”. Orang-orangnya merasa
diri bersatu dan mau bersatu. Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre
ensemble”, yakni kehendak akan bersatu. Menurut definisinya, maka yang menjadi
bangsa ialah satu gerombolan manusia yang mau bersatu, dan meresa dirinya
bersatu.52 Dan yang dapat menjadikan individu-individu bisa bersatu menjadi
sebuah bangsa yang satu adalah karena adanya rasa persamaan nasib, tidaklah cukup
untuk mendirikan bangsa. Harus ada persatuan antara manusia dengan tanah tempat
manusia tersebut hidup dan berpijak.
Hal senada juga disampaikan oleh Bung Hatta (w.1980). Menurutnya,
kebangsaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan terikat dengan suatu
tanah air (home country), suatu wilayah. Dalam perasaan tersebut, kandungan
utamanya ialah kesamaan nasib dan pengalaman sejarah, bukan etnis, agama atau
sekat-sekat primordial lain. Kebangsaan identik dengan cinta tanah air, atau yang
dalam bahasa kontemporer sekarang, untuk kasus Indonesia, berarti keindonesiaan.53
Karenanya, kemerdekaan harus berdasarkan pada asas kebangsaan.
Selanjutnya Bung Hatta mengartikan kebangsaan dengan mengungkapkan:
“Membangun semangat kebangsaan pada bangsa yang tidak merdeka, artinya membangun kemanusiaannya. selanjutnya
50 Sukadi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Andi, 2017), hlm. 39. 51 Soekano, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006), hlm. 153. 52 Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno Vs Bung Hatta,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 187. 53 Zulkifli Suleman, Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm.194.
34
membangkitkan kegembiraan dan keberanian menantang maut, sudi menderita sakit yang sesakit-sakitnya, seperti yang dapat dialami sewaktu perang besar 1914-1918. Bagaimana juga bodoh dan penakut orang, pada suatu saat yang penting ia sudi berkorban hendak membela Tanah Airnya”. 54
Kebangsaan, imbuhnya, juga berguna untuk menjadi anggota terhormat
dalam hubungan antar bangsa; bangsa yang diperbudak atau dijajah, berdasarkan
norma dalam hubungan antarnegara, tidak dianggap sebagai anggota aktif dalam
hubungan internasional. Kebangsaan lebih utama daripada semangat internasional
(internasionalisme), khususnya ketika terjadi konflik antar negara.
Suatu negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan ras berupaya untuk
membentuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural yang baru pula. Hal ini
dilaksanakan guna dapat bertahan lama dan mampu mencapai tujuan. Proses
terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi satu
nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses penbentukan negara-bangsa. Namun
pengertian satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah bangsa-
negara. Dalam konteks bangsa-negara, bangsa mencakup jumlah kelompok
masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada dalam suku
bangsa. Adanya kesamaan identitas kultural dalam suku bangsa lebih sempit
cakupannya daripada identitas kulutal dalam bangsa-negara. 55
Para pendiri negara kita sejak dari semula menggagasi terbentuknya sebuah
negara bangsa (nation state). Dalam pandangan politik Eropa, gagasan negara-
bangsa adalah hal baru. Namun cikal-bakal gagasannya telah ada dan pernah terjadi
secara nyata dalam zaman-zaman sebelum zaman modern sekarang ini. Sebagai
bangsa besar, kita harus memahami pengertian “negara-bangsa” itu secara benar.
Negara-bangsa merupakan suatu gagasan tentang negara yang didirikan
untuk seluruh Indonesia. Dalam bahasa Arab, pengertian “bangsa” sering
diungkapkan dengan istilah ummat, seperti “United Nations”, “Persatuan Bangsa”,
yang terjemah Arabnya ialah “al-umam al-Muttahidah”, “Umat-umat Bersatu”.
Sehingga “negara-bangsa” adalah negara untuk seluruh ummat, yang didirikan
54 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hlm. 91. 55 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 42.
35
berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan
transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.56
Tujuan dibentuknya negara bangsa ini ialah guna mewujudkan maslahat
umum (maslahat al-‘ammah) atau (maslahat al-mursalah), yakni kebaikan untuk
seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Dari sini dapat dikatakan bahwa negara-
bangsa bukanlah negara yang pembentukannya didasarkan atas kepeloporan
seseorang tokoh kuat yang dominan seperti negara kerajaan, sebab semua kebijakan
pemerintah harus dibuat dengan sepenuhnya tunduk kepada maslahat umum.57
Sementara itu semangat nasionalisme atau paham kebangsaan sebagaimana
dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, meminjam definisi Stanley Benn, bahwa
berkaitan dengan nasionalisme, paling tidak ada lima hal yang melekat bersamanya,
yakni: (1) semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme); (2) dalam
aplikasinya kepada politik, “nasionalisme” menunjuk kepada kepada kecondongan
untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri; (3) sikap yang melihat amat
pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa, dan, karena itu; (4) doktrin yang
memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk dipertahankan; (5) nasionalisme
adalah suatu teori politik, atau suatu teori antropologi, yang memberi titik tekan
bahwa manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada
kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggotanya itu.58
Sejarah pergerakan nasional Indonesia merupakan sejarah yang mencakup
aliran-aliran dalam historis yang menuju ke arah pembentukan nasionalisme
Indonesia. Pemahaman sejarah pergerakan nasional berarti pengetahuan atau
penguasaan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung dalam rangka lepas dari
belenggu penjajah, untuk menjadi negara adil dan makmur.
B. Sejarah Pergerakan Nasional
Sejarah pergerakan nasional Indonesia dapat diartikan pula sebagai fenomena
historis hasil dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius
56 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 42. 57 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, hlm. 43 58 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan,
2013), hlm. 53.
36
yang saling berinteraksi. Karenanya, dapat dianggap sebagai gerakan ekonomi,
sosial, politik, dan kultural yang memperluas motivasi dan orientasi aktivitas
organisasi pergerakan.59 Tujuannya adalah untuk mencapai Indonesia merdeka, yang
dijiwai oleh semangat persatuan dan kesatuan, sehingga melahirkan momentum
sejarah yang amat penting.
Tidak jauh berbeda, Kuntowijoyo (w.2005) mengartikan bahwa sejarah
pergerakan nasional adalah timbulnya gagasan nasionalisme; golongan-golongan
sosial; gerakan-gerakan agama; sosial, kebudayaan, pendidikan dan politik;
dekolonisasi.60 Sementara Henk Shculte Nordholt mengartikan bahwa sejarah
pergerakan nasional adalah alat revolusi dalam rangka revolusi Indonesia.61 Oleh
karena itu, jika membaca sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia, hal itu
meliputi periode sekitar empat puluh tahun, yang dimulai sejak lahirnya organisasi-
organisasi modern yang menyuarakan nasionalisme dan kebangsaan sampai
terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun 1945, yang ditandai oleh proklamasi
kemerdekaan Indonesia.62
Gagasan tentang nasionalisme universal dikemukakan pertama kali oleh Haji
Samanhudi pada Kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada 1911 dan
dipertegas lagi pada kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916. Haji Samanhudi
(w.1956) menyatakan dalam kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya tahun 1911
bahwa manusia pada prinsipnya dilahirkan dalam fitrahnya sebagai manusia yang
bebas. Apabila dalam hidupnya manusia berada di bawah penindasan manusia lain,
maka itu bertentangan dengan nilai dasar universal tersebut. Oleh karena itu,
kebebasan yang menjadi ciri kehidupan harus diperjuangkan. Ajakan untuk
memperjuangkan kebebasan itu oleh Haji Samanhudi dipertegas kembali pada
Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916 dengan menyatakan bahwa kebebasan
59 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 3. 60 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, ), hlm. 55. 61 Henk Shculte Nordholt (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 117 62 Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna, Buku Ajar Sejarah Pergerakan Nasional (Dari
Budi Utomo 1908 Hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945), (Bandung: Universitas Indonesia, 2008), h 2.
37
bagi umat Islam yang identik dengan penduduk pulau jawa hanya dapat diperoleh
dengan mengusir penjajah dari tanah jawa.63
Penjajahan Belanda atas Indonesia berlangsung pada awal abad ke-20, yang
diwarnai dengan munculnya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah
kolonial Belanda 1901. Kebijakan itu terkenal dengan sebutan “Politik Etis”, yang
terdiri atas irigrasi, edukasi dan emigrasi. Kebijakan itu oleh sebagian sejarawan
dianggap sebagai angin segar bagi bangsa Indonesia. Khususnya edukasi yang
diusahakan oleh pemerintah kolonial, pada gilirannya telah menghasikan elite baru
yang semakin menyadari tentang kedudukannya yang dibedakan dalam sistem
masyarakat kolonial. Dari sinilah lahirnya gagasan yang direalisasikan dalam bentuk
pergerakan modern.64
Pergerakan nasional ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi
pergerakan. Pertama masa berdiri organisasi seperti Sarekat Islam, Budi Utomo,dan
Indische Partij. Kedua, Masa radikal/nonkooperasi. Masa ini diawali dengan
berdirinya organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan
Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketiga, Masa
moderat/kooperasi. Pada masa ini berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan
Gapi. Selain itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan
organisasi perempuan.
Satu per satu pergerakan nasional tumbuh di Indonesia, seperti Sarekat Islam
(1912), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (1912). dan lain sebagainya.
Bersamaan dengan itu, organisasi lokal dan regional, seperti Rukun Minahasa
(1912), Perkumpulan Pasundan (1914), Sarekat Ambon (1920), Sarekat Celebes
(1930) bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Kaum pelajar juga tidak
mau kalah ketinggalan. Kaum muda terdidik juga turut ikut serta mendirikan
organisasi yang dikhususkan bagi mereka, sehingga lahirlah organisasi-organisasi
63 Taufik Abdullah.,eds, Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan,
(Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), h.228 64 Iin Nur Insaniwati, Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968,
(Magelang: Indonesia Tera, 2002) hlm. 13.
38
pemuda seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Java (1918), Jong Islamieten
Bond (1925), Jong Celebes dan lain sebagainya.65
Semua organisasi yang berdiri sebelum tahun 1920 tersebut menunjukan
gejala yang sama, yakni pencarian komunitas dan identitas baru yang masih terikat
pada kebudayaan dan agama masing-masing. Pada periode ini, ide tentang
kemerdekaan belum dirumuskan secara jelas karena pada umumnya organisasi
tersebut belum membicarakan tentang bangsa, sehingga nasionalisme yang
dikembangkan lebih bercorak kultural daripada politik.66
Dalam kaitannya dengan pembaharuan Islam sebagai perwujudan dari adanya
gerakan pembaruan di Indonesia, maka muncullah tokoh-tokoh yang terkemuka. Di
Sumatra muncullah tokoh seperti Syaikh Ahmad Khatib (w.1916) dari Minangkabau.
Murid-muridnya antara lain Syaikh Djamil Djambek (w.1947), Haji Abdul Karim
Amrullah (w.1945), dan Haji Abdullah Ahmad (w.1933). Sementara di Jawa, antara
lain Kiai Haji Ahmad Dahlan (w.1923) dengan organisasi Muhammadiyah (1912),
Haji Samanhudi dengan Sarekat Dagang Islamnya (1911), dan Haji Abdul Karim,
pendiri Perserikatan Ulama (1913).
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pada dasarnya pergerakan nasional
ialah meliputi berbagai macam aksi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi secara
modern ke arah perbaikan hidup bangsa Indoensia. Dalam hal ini, arah yang ingin
dicapai ialah cita-cita nasional, yakni cita-cita mencapai kemerdekaan bangsa.67
Keinginan masyarakat Indonesia untuk melakukan pergerakan nasional
dilatarbelakangi oleh keadaan bangsa yang memprihatinkan karena dampak dari
penjajahan. Sebagai fenomena historis, Pergerakan Nasional merupakan hasil
konvergensi dari berbagai faktor seperti politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan
dengan semua interelasinya.68 Sebagaimana dipahami bahwa penjajah yang hadir di
Indonesia telah menerapkan sistem eksploitasi kolonial, dengan ciri adanya dominasi
politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kultural.
65 Iin Nur Insaniwati, Mohammad Roem: Karier.. hlm. 14. 66 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 6. 67 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta:
PT Gunung Agung, 1985), hlm. 8. 68 Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan nasionalisme di Indonesia abad 19-20,
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1967), hlm. 78.
39
Pada perkembangannya sistem yang diterapkan Belanda mengalami
perubahan. Sistem yang dianggap Belanda sudah tidak efisien diganti dengan sistem
baru, yakni liberalisme, pada tahun 1870. Pada masa ini, sistem politik dan ekonomi
yang diterapkkan di Indonesia adalah atas dasar liberal. Indonesia terbuka bagi
modal Belanda dan Negara-negara Eropa lainnya. Mereka dengan mudah dapat
membuka perkebunan-perkebunan, seperti: perkebunan teh, kopi, kina, gula dan
lainnya, yang cukup luas dan tersebar merata di daerah jawa dan Sumatera Timur.69
Hasil politik Liberal, atau yang juga sering disebut Politik Pintu Terbuka tersebut
ternyata lebih menguntungkan daripada Politik Tanam Paksa yang sebelumnya
diterapkan. Meskipun Nampak tidak begitu memeras, namun sistem yang
diterapkannya tersebut juga sama-sama bertujuan eksploitasi.
Pada kisaran abad XX, munculah Politik Etis. Politik ini bisa dianggap
sebagai antitesa atas sistem politik liberal kolonial yang selama ini dijalankan, sebab
politik etis didasarkan pada nilai-nilai kesusilaan. Politik etis ini lahir karena ada
anggapan bahwa bangsa Indonesia telah menyelamatkan Belanda dari kesulitan
ekonomi, sehingga Belanda perlu melakukan balas budi. Salah satu pemimpin
Liberal yang memiliki pengaruh besar dan menitikberatkan perlunya Politik Etis ini
ialah Van Deventer (w.1915). Konsep politik etis tersebut bermula dari tulisannya
dalam majallah De Gits terbitan bulan Agustus tahun 1899 yang berjudul “Een
Ereschuld”. Van Deventer menyebutkan, penderitaan dan kemunduran ekonomi
yang terjadi di antara penduduk pribumi disebabkan oleh eksploitasi kapitalisme
Belanda yang gagal dalam mengangkat kesejahteraan penduduk.70
Van Deventer juga termasuk orang yang mengecam dicampuradukkannya
keuangan negeri induk dengan negeri jajahan.71 Selain itu usulan Van Deventer yang
terkemuka ialah bahwa pemerintah Belanda harus memperlihatkan budi baiknya
dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang pengairan, pendidikan, dan
pemindahan penduduk. Ketiga usulan itulah yang selanjutnya familiar disebut
dengan Trilogi Van Deventer.
69 Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Dep. Dik Bud, 1975),
hlm. 90. 70 Juniarti, Raja Banawa Dari Belanda, (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004), hlm. 94. 71 Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia., hlm. 36.
40
Dalam praktiknya politik balas budi tersebut ibarat pepatah “jauh panggang
dari api”. Pelaksanaanya tidak lebih hanya sebatas pengelabuhan semata, karena
dijadikan simbol secara damai untuk memperoleh dominasi yang lebih kuat. Pada
dasarnya ia juga merupakan eksploitasi. Misalnya, bahwa kaum imperialis menaruh
perhatian pada pendidikan dan pengajaran, tetapi hal itu justru ditujukan agar
penduduk bersedia mengabdi untuk kolonialisme Belanda.72
Di samping adanya rasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan oleh
kaum kolonial, ada faktor-faktor lain yang menginspirasi kaum pribumi mendesak
untuk melakukan pergerakan nasional. Faktor-faktor tersebut di antaranya ialah yang
datang dari dalam negeri dan luar negeri.
a. Faktor dari dalam negeri
Faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri,73 di antaranya ialah: Pertama,
kenangan kejayaan masa lampau. Dalam hal ini, sebelum kedatangan bangsa Barat,
di wilayah Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti: Mataram,
Sriwijaya, dan Majapahit, yang masing-masing memiliki masa kegemilangan.
Kejayaan masa lampau tersebut menjadikan insiprasi untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
Kedua, lahirnya golongan terpelajar. Pada awal abad 20, sejalan dengan
diterapkannya Politik Etis, pendidikan menjadi salah satu aspek yang begitu
diperhatikan oleh Belanda. Namun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang dapat
mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah modern. Meskipun hanya sedikit, melalui
penguasaan bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah modern tersebut, mereka dapat
mempelajari ide-ide modern yang berkembang saat itu, seperti liberalisme,
nasionalisme, demokrasi, pan-Islamisme, dan sejenisnya. Bahkan gagasan tentang
pergerakan nasional pertama kali muncul dari kaum ini, baik yang ada di Tanah Air
maupun di Negeri Belanda.74
Ketiga, penderitaan dan kesengsaraan akibat imperialisme. Imperialisme
telah melahirkan penderitaan dan sangat menyengsarakan rakyat. Eksploitasi
72 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, hlm. 9. 73 Iramdhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari Tahun
1900-1942, dalam Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 50. 74 Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah
Refleksi Sejarah, (Bandung: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 93.
41
kekayaan yang diterapkan kaum penjajah di antaranya ialah dengan cara menarik
pajak yang tinggi kepada pribumi. Pada masa ini, rakyat tertindas oleh dua belah
pihak, yakni kaum feudal dengan hak-hak istimewanya dan dari Belanda dengan hak
monopolinya untuk mengekspoitasi bumi Indonesia.75 Atas eksploitasi ini munculah
ungkapan bahwa “Indonesia adalah gabus tempat negeri Belanda terapung”. Pada
gilirannya politik drainage76 tersebut mencapai puncaknya saat mulai diterapkannya
tanam paksa (cultuurstelsel) dan berlanjut pada sistem ekonomi liberal.
b. Faktor dari luar negeri
Faktor yang datang dari luar negeri, di antaranya: Pertama, Kemenangan
Jepang terhadap Rusia pada tahun 1905. Kemenangan Jepang tersebut telah
mematahkan anggapan yang selama ini mengemuka, bahwa Barat (Eropa) tidak bisa
dikalahkan oleh Timur (Jepang). Kemenangan Jepang atas Rusia tersebut secara
tidak langsung membawa kepercayaan yang kuat akan kekuatan bangsa Asia.77
Kedua, Kebangkitan nasionalisme Negara-negara Asia-Afrika. Hal tersebut
telah memberikan dorongan kuat bagi bangsa Indonesia untuk melawan penindasan
pemerintah kolonial. Di antara bangsa-bangsa yang berjuang melawan dominasi
Barat, yang menginsipasi bangsa Indonesia tersebut di antaranya adalah:
1. Gerakan Turki Muda. Dengan tokoh utamanya Mustofa Kemal Pasha,
gerakan ini berjuang untuk mencapai perbaikan nasib, yang telah
melahirkan revolusi pada tahun 1908. Pada gilirannya, gerakan ini telah
berhasil menjadikan negerinya menjadi bangsa modern.
2. Pemberontakan Boxer di China. Pemberontakan yang terjadi pada tahun
1899 ini berupaya untuk melawan kesewenang-wenangan bangsa Barat.
3. Kebangkitan nasionalisme India, dan kehadirannya tokoh karismatik,
Mahatma Gandhi.
4. Kemerdekaan Cina pada 1912 sebagai buah daru Revolusi Tiongkok dan
pembentukan Partai Kuomintang oleh Sun Yat Sen.
75 Soegeng Reksodihardjo, Dr. Cipto Mangunkusumo, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992), hlm. 27.
76 Politik drainage yang dimaksudkan di sini ialah Pengerukan (pengambilan paksa) kekayaan Indonesia oleh Belanda pada saat Penjajahan, seperti dengan melakukan tanam paksa dan sejenisnya.
77 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia., hlm. 10.
42
5. Pemberontakan rakyat Filipina terhadap penjajahan Spanyol.
Ketiga, Masuknya paham-paham baru. Dalam hal ini, terjadinya revolusi
Amerika dan Reolusi Prancis telah melahirkan paham-paham baru seperti
liberalisme, demokrasi, nasionalisme, dan sejenisnya. Sementara pada sisi yang lain
ada gerakan Islam yakni pan-Islamisme. Adanya hubungan antara Eropa, Islam dan
Asia telah menyebabkan paham-paham tersebut menyebar ke wilayah Asia, tak
terkecuali ke Indonesia.
a. Paham Barat
1. Liberalisme
Secara sederhana liberalisme dapat dipahami sebagai paham yang
mengutamakan kebebasan dan kemerdekaan individu. Istilah yang berasal
dari bahasa Latin, libertas, tersebut memiliki artinya kebebasan,
sementara dalam bahasa Inggris, liberty, yang artinya kebebasan. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan kebebasan ialah kebebasan individu untuk
memiliki tempat tinggal, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul.
Di Negara Eropa, liberalisme didukung oleh kaum borjuis dan
terpelajar di kota. Yang menjadi pokok bahasan utama dalam liberalisme
adalah individu. Paham yang lahir dari reaksi atas penindasan yang
dilakukan oleh kaum bangsawan dan kaum agama di zaman absolute
monarchie ini beranggapan bahwa masyarakat harus mementingkan
individu, sebab dalam komponen masyarakat terdiri atas individu-
individu. Dengan kata lain bahwa masyarakat merupakan akibat dari
adanya individu. Dengan begitu maka kemerdekaan individu harus
dijamin.78
2. Sosialisme
Paham ini menghendaki agar suatu masyarakat disusun secara
kolektif, supaya mereka menjadi suatu masyarakat yang sejahtera. Tujuan
sosialisme adalah untuk mewujudkan masyarakat sosialis. Caranya
78 Iramdhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari Tahun
1900-1942, dalam Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 49.
43
dengan jalan mengendalikan sarana produksi secara kolektif, dan
memperluas tanggung jawab negara bagi kesejahteraan rakyat.
Bapak Sosialisme yakni Karl Marx mengemukakan bahwa sejarah
masyarakat merupakan perjuangan-perjuangan kelas. Sementara
semboyan mereka ialah "bersatulah kaum proletar sedunia." Paham ini
memiliki titik tekan pada masyarakat bukan individu. Dengan demikian,
sosialisme merupakan lawan dari liberalisme.
3. Demokrasi
Dalam arti sempit, demokrasi dapat dipahami sebagai pemerintahan di
tangan rakyat. Sementara dalam arti luas, demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang mengakui hak segenap anggota masyarakat untuk
dapat berpartisipasi dalam memengaruhi keputusan politik, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Salah satu tokoh pegiat demokrasi, yakni John Locke (1632 – 1704)
mengamini perjuangan rakyat Inggris untuk menentang kekuasaan mutlak
raja. Menurutnya, pemerintah hanyalah sebagai alat yang dibentuk untuk
menjamin kepentingan rakyat terhadap hak-hak politis, mencakup hak
individu, hak politik, hak atas kebebasan, dan hak milik.
b. Paham Islam (Pan-Islamisme)
Paham yang berasal dari gagasan Jamaluddin al Afgani (1839 – 1897)
ini bertujuan untuk menyatukan umat Islam sedunia. Ide besar tersebut
tidak bisa lepas dari kondisi abad ke-19 pada saat itu. Sebagaimana
dipahami bahwa pada abad ini terjadi kemunduran di negara Islam.
Sementara pada saat bersamaan terjadi kemajuan luar biasa di negara
Barat, yang disertai dengan pengembangan kekuasaan (penjajahan).
Menurut Jamaluddin, negara Islam dapat melawan penjajahan
tersebut apabila mereka bersatu. Dengan melihat contoh campur tangan
Inggris di Afganistan, di Mesir, di Irak, dan di Iran, ia yakin bahwa Islam
memang harus bersatu. Pada gilirannya ide ini memperoleh dukungan
hampir dari semua pemimpin Islam, tokoh intelektual. Sekaligus telah
44
menginspirasi negeri Islam untuk mengadakan gerakan nasional dalam
melawan penjajahan. 79
Penderitaan-penderitaan yang telah lama dirasakan, ditambah lagi faktor-
faktor yang mengemuka baik dari dalam maupun luar negeri tersebut, telah
mendorong dan sekaligus sebagai katalisator untuk mempercepat lahirnya
Pergerakan Nasional. Pergerakan Nasional pada saat itu bukanlah menjadi pilihan,
melainkan suatu keharusan. Semangat pergerakan nasional yang melahirkan
semangat nasionalisme Indonesia tersebut paling tidak memiliki tiga dimensi dalam
rangka menumbangkan dominasi politik kolonial. Ketiga dimensi tersebut
dimaksudkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadilan sosial dan
menghentikan penetrasi kultural untuk menghidupkan kembali kepribadian bangsa
ini.
Pergerakan nasional ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi
pergerakan. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masa Pergerakan Nasional
dapat dibagi dalam tiga tahap berikut, yakni: masa pembentukan, masa
radikal/nonkooperasi, dan masa moderat/kooperasi. Organisasi-organisasi yang lahir
pada masa-masa tersebut memiliki corak dan ciri masing-masing. Meskipun
demikian, tujuannya tetap sama, yakni mencapai kemerdekaan Indonesia dan
melenyapkan kolonialisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia.80 Bentuk
pergerakan nasionalnya juga berbeda motif. Ada yang bermotif politik, agama, dan
keduanya.
Ketika Belanda resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka seketika
itu Indonesia merdeka dari kolonial Belanda. Namun, kesejahteraan yang diharapkan
rakyat Indonesia masih jauh dari kenyataan. Pasalnya, menyerahnya Belanda berarti
diserahkannya pula Indonesia kepada bangsa kolonial yang baru, yakni Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang, Jepang berusaha mengakomodir dua kekuatan,
Islam dan Nasionalis, Jepang beranggapan bahwa organisasi-organisasi Islamlah
yang sebenarnya memiliki massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama,
79 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 27. 80 Abdul Haq, Gerakan Islam di Korea dan Indonesia pada Awal Abad Kedua Puluh,
(Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 69.
45
penduduk Indonesia dapat dimobilisasi. Organisasi-organisasi besar Islam seperti
Muhammadiyah, NU, Persyarikatan Ulama, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
yang kemudian dilanjutkan dengan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi)
diperkenankan meneruskan kegiatannya.
Hanya para pemimpin Islam di kalangan kelompok-kelompok elite Indonesia,
diberikan izin untuk menerbitkan majalahnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa posisi
tertinggi pertama dalam pemerintahan militer yang secara resmi dipercayakan
kepada orang Indonesia adalah jabatan Kepala Kantor Urusan Agama. Yang jauh
lebih penting dari organisasi-organisasi Islam masa pendudukan Jepang, Masyumi
diizinkan untuk mempertahankan identitasnya sampai akhir masa pendudukan. Para
pemimpin federasi Islam pada akhirnya menjadi pegawai pemerintah, dan
dipercayakan beberapa tanggungjawab dalam administrasi pusat dan daerah dalam
masalah-masalah Islam. Orang-orang Islam masa pendudukan Jepang bukan saja
memainkan peran utama dalam korps perwira angkatan bersenjata Indonesia yang
didirikan pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi Masyumi sendiri
diperkenankan untuk mengorganisir pasukan militer atas namanya sendiri.81
Bagi golongan Nasionalis dibentuk lembaga-lembaga baru, seperti Gerakan
Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia) yang
hanya berumur beberapa bulan sejak Mei 1942, dan Poesat Tenaga Rakyat yang
didirikan pada Maret 1943.
Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan
maklumat Gunseikan no.23/29 April 1945, tentang pembentukkan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Keanggotaan BPUPKI
didominasi oleh golongan nasionalis, yang disebut dengan golongan kebangsaan.82
Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 15 Agustus, Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada sekutu,
menandatangani instrument menyerah pada tanggal 2 September yang secara resmi
mengakhiri perang pasifik dan perang Dunia II.
81 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Bandung: Pustaka Jaya. 1980), hlm.242
82 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo, 1993), hlm.264
46
C. Indonesia Pasca Kemerdekaan
Ketika Jepang semakin terdesak dalam perang Pasifik, perdana menteri
Kiniaki Kaiso di depan resepsi Ulimereo Diet (parlemen) yang ke-85 tanggal 7
September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu yang
dekat. Sebagai realisasinya pada tanggal 9 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). BPUPKI terdiri atas 38 orang
anggota, yang terdiri dari 8 orang Jepang dan 15 orang dari golongan Islam, dan
selebihnya dari golongan nasionalis sekuler dan priyayi Jawa.83
Tugas BPUPKI adalah merumuskan bentuk negara, batasan negara, dasar
filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi.
Dalam sidang-sidangnya BPUPKI mengalami berbagai perdebatan ideologis yang
sengit antara golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasar-dasar
negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Sebenarnya yang
diperjuangkan oleh para tokoh Islam bukanlah realisasi negara Islam, tetapi lebih
tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam.
Sedangkan golongan nasionalis yang dipelopori Sukarno dan Muhammad Hatta
menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan
Islam.84
Untuk meredam perpecahan, akhirnya disepakati untuk membentuk “Panitia
Sembilan” yang terdiri dari lima orang dari golongan sekuler, yaitu Sukarno,
Muhammad Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin dan A.A Maramis.
Sedangkan golongan Islam diwakili oleh H. Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim,
Abikusno, dan Abdul Kahar Mudzakir.
Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945
suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran
yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam
piagam ini terdapat anak kalimat pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban
83 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ,(Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hlm.154 84 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1998),
hlm.239
47
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. 85 M. Hatta dalam sidang
PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa
hanya suatu konstitusi “sekuler” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh
mayoritas rakyat Indonesia. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu
pada tanggal 18 agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.86
Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila
dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi. Bahkan kantor urusan
agama seperti yang diperoleh Islam selama pendudukan Jepang, oleh panitia pun
ditolak.87
Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite
Nasional Islam Pusat (KNIP), pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26, dan
27 November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sutan Syahir, pimpinan utama Partai
Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain membahas usul agar dalam Indonesia
merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak
lagi diperlakukan sebagai bagian tangung jawab Kementerian Pendidikan. Sedikit
banyak keputusan tentang kementerian Agama ini merupakan semacam konsesi
kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi; kompromi antara teori sekuler dan
teori muslim.88
Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun hal itu tidak meredakan
konflik ideologi pada masa sesudahnya. Di beberapa wilayah pinggiran, beberapa
kelompok Muslim menolak sikap kompromi ini dan bersikeras untuk bertempur
demi merealisasikan sebuah negara Islam. Di antara gerakan pemberontakan Islam
yang terbesar adalah Dâr al-Islam, yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam
85 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia ., hlm.29 86 Alasan penerimaan perubahan Piagam Jakarta dari golongan Islam ada tiga: pertama,
golongan Islam yang menerima penghapusan tujuh kata tersebut atas lobbi M. Hatta dalam pembicaraan mereka pada pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945.lagipula kata ketuhanan ditambahkan dengan “Yang Maha Esa” menurut interpretasi golongan Islam tentang kalimat itu adalah nama lain dari tauhid dalam Islam, sebab Islam lah yang mengenal keesaan Tuhan (tauhid). Kedua, suhu politik sehari setelah proklamasi, terutama di Jakarta, sangat tinggi, maka tidak harus mengalami perdebatan-perdebatan yang mengancam persatuan bangsa. Ketiga, golonggan Islam berharap setelah enam bulan setelah proklamasi akan diadakan pemilihan umum dimana mereka akan ikut serta dan yakin akan memenangkannya mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru , hlm.157
87 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 265 88 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ., hlm.266
48
bernama Kartosuwiryo. Ia berperang melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada
tahun 1948 ia tidak mau menerima perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda,
keluar dari partai Masyumi, bertahan untuk melanjutkan pertempuran militer dengan
caranya sendiri, dan menyatakan dirinya sebagai imam untuk sebuah pemerintahan
Islam sementara, Negara Islam Indonesia. Negara Islam ini ditegaskan sebagai
negara yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis, dan sebuah republik konstitusi dengan
sebuah parlemen hasil pemilihan. Sang imam, yang dipilih oleh parlemen,
merupakan kepala negara. Negara baru tersebut menegaskan bahwasanya negara
memberikan perlindungan yang sama di muka hukum, hak standar kehidupan yang
tinggi, dan kebebasan beribadah, berbicara, dan perwakilan untuk seluruh warga.
Pertempuran militer melawan Belanda dan belakangan melawan Republik Indonesia
terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.89
Setelah wakil Presiden mengeluarkan maklumat no.x tentang
diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan muncul kembali.
Pada tanggal 7 November 1945 Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir
sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang
mengkristalisasikan falsafah hidup Marxis , dan 29 Januari 1946, Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partai-
partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama
ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Tiga kekuatan ideologi di atas
memunculkan tiga alternative dasar Negara: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi.
Tetapi dalam perjalanan sidang Konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai
dasar negaranterkristal menjadi Islam dan Pancasila. 90
Selain munculnya perbedaan ideologi dalam masyarakat Indonesia, setelah
proklamasi bangsa Indonesia juga masih harus berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari pihak-pihak yang ingin menguasai kembali tanah air
Indonesia.
Indonesia pada era 1945-1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi
oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan
89 Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam :III, (Jakarta: Grafindo,200), hlm.339 90 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 267
49
diakhiri dengan Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27
Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian
berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan
peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta,
dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Pihak Sekutu di
Perang Dunia II. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies
Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr.
Hubertus J van Mook.
Peristiwa konflik pertama yang terjadi pasca kemerdekaan adalah peristiwa
10 November 1945 atau pertempuran Surabaya. Pertempuran yang terjadi antara
Belanda dan Indonesia dilatarbelakangi oleh perbedaan persepsi mengenai
kepemilikan senjata. Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia yang baru saja
mendapatkan senjata rampasan dari tentara Jepang diperintahkan untuk menyerahkan
kembali senjata tersebut kepada sekutu. Hal ini dilakukan Belanda untuk
melemahkan pertahanan Indonesia demi keinginan Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia.
Bandung Lautan Api, merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di
kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan
rakyat setempat dengan maksud agar sekutu tidak dapat menggunakan Bandung
sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul dan
membumbung tinggi di udara, dan semua listrik padam. Tentara Inggris mulai
menyerang sehingga terjadilah pertempuran, pertempuran terbesar terjadi di
Dayeuhkolot yang terletak di sebelah selatan Bandung, terdapat gudang amunisi
besar milik tentara sekutu. Dalam pertempuran ini, Muhammad Toha dan Ramdan
anggota dari BRI (Barisan Rakyat Indonesia) menghancurkan gudang tersebut.
Pembumihangusan Bandung dianggap sebagai strategi yang tepat dalam perang
kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat Indonesia tidak
50
sebanding dengan kekuatan sekutu dan NICA. Setelah peristiwa tersebut, TRI
bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya.91
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah
halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jenderal datang ke Jawa dan
membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu.
Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di
bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Loard Killean.
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -
terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November
1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan
wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949, Republik Indonesia dan Belanda akan
bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik
Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Untuk ini Kalimantan dan Timur
Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang
terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen
lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan
kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan
masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai
anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan
diselesaikan lewat arbitrase.92
Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang
kemudian diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan gigih
memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani
91 Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia: Dari Era Klasik Hingga Terkini, (Yogyakarta:
Diva Press, 2014), hlm.324 92 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, (Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 248
51
pada tanggal 25 Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur
(NIT), dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 Desember
1946.93
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggajati ditandatangani
di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur
perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda berdaulat
di seluruh Indonesia. Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya
perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda
berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa,
memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer
negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti
ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa
Barat.94
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya
Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang
Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota
yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk
menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Belanda terus
"mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli
1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan
'aksi polisionil' mereka yang pertama.95
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak
dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan
dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan
pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian,
Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,
93 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, hlm. 250 94 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 10 95 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 16
52
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di
sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak
mematuhi perjanjian Linggajati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada
bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam
menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak
mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka
hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang
Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk
suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris
yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring
Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir
adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan
Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus
1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari
wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu
.96
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang
Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa
diterima oleh kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang
mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan,
tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggajati, karena plebisit akan
diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin
bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan
96 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, hlm. 281
53
Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia
Serikat.
Pada tanggal 19 Januari 1948 ditandatangani persetujuan Renville Wilayah
Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih
terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggajati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa
Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap
daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan
wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer.97
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan
sesudah perundingan Linggajati. Seperti melalui persetujuan Linggajati, melalui
perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan
Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus
berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan
Linggajati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan
persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang
dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville
menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh anggota yang
tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan
jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri
meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948.
Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidensil' darurat (1948-
1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai
Presiden.98
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam
kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama terdiri dari orang-orang PNI,
Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap
kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut
membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-
97 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 24 98 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, hlm. 292
54
pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia
(PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada
pemerintah Hatta.
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota
negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di
Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Syafruddin Prawiranegara
adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II Dengan bedirinya PDRI, roda
pemerintahan tetap berjalan walaupun hanya pemerintahan darurat.99
Dengan adanya PDRI dan Sjafruddin Prawiranegara dipilih sebagai pejabat
Presiden sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan
berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin
oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di
tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam
tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat. Jadi, dengan
diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi
Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI)
karena hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang
diterimanya dari Presiden Pertama RI Soekarno.100
Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku ketua PDRI
menyampaikan pidato radio yang ditransmisikan ke seluruh stasiun radio. Isi pidato
itu ialah, “Belanda berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden dan mengira
dengan ditawannya para pemimpin tertinggi, menyebabkan aparatur Negara putus
asa. Negara Republik Indonesia tidak hanya Soekarno – Hatta sekalipun keduanya
merupakan pemimpin. Hilangnya Soekarno - Hatta sementara atau selamanya, rakyat
99 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin
Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah, (Jakarta: Republika, 2011), hlm. 28 100 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr
Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 29
55
Indonesia tetap menghadirkan pemerintahan baru”. Kepada seluruh angkatan perang
Republik Indonesia Sjafruddin Prawiranegara juga menyerukan pertempuran di tiap
tempat dengan berbagai cara untuk membasmi Belanda.
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan
kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan
menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda
bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik
Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Roijen.101
Selanjutnya perundingan kembali terjadi antara Indonesia dan Belanda dalam
Konferensi Meja Bundar, merupakan pertemuan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus
hingga 2 November 1949, yang menghasilkan kesepakatan: Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan Irian Barat akan diselesaikan setahun
setelah pengakuan kedaulatan.102
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949,
berselang empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan ini dilakukan ketika penyerahan kedaulatan ditandatangani di Istana
Dam, Amsterdam.
D. Perjuangan Masyarakat Keturunan Arab di Indonesia
1. Asal-Usul Imigran Arab
Keberadaan orang-orang Arab di Indonesia tidak ada secara serta merta atau
tiba-tiba ada. Ia memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Apalagi jika
melihat bahwa ternyata para pahlawan Indonesia tidak sedikit dari mereka adalah
keturunan Arab. Untuk semua itu, kiranya perlu mengkajinya dalam lingkup sejarah
yang cukup memadai.
101 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr
Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 30 102 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr
Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 551
56
Pada umumnya orang Arab yang berdiam di Indonesia berasal dari
Hadramaut, daerah pesisi di Tanah Arab paling selatan, yaitu di Yaman (sekarang).
Kedatangan mereka umumnya untuk berdagang, menjual barang-barang jadi dan
membeli rempah-rempah dari negeri kepulauan Indonesia. Menurutnya, kontak
dagang itu telah terjadi jauh sebelum Indonesia kedatangan bangsa Eropa. Tetapi
perjalanan dagang tersebut tidak semuanya langsung mencapai Indonesia. Ada yang
datang melalui Gujarat (pesisir barat India).103
Hadramaut tertelak di sudut barat daya Jazirah Arab, membentar sekitar
empat puluh tujuh tahun sampai lima puluh satu derajat bujur timur. Dalam
sejarahnya, Hadramaut telah dipisahkan dari wilayah Arab oleh Rub al-Khali, atau
Empty Quarter, yakni sebuah kawasan kosong yang merupakan suatu dataran gurun
yang luas sampai ke wilayah utara.104 Sebagai konsekuensinya, kaum Hadrami yang
bermukim atau tinggal di dataran tinggi sudut Samudra Hindia memandang wilayah
selatan dan timur sebagai tujuan kontak ekonomi dan budaya, yang perdagangan
maritimnya sudah aktif sejak sekitar lima abad SM.
Setelah mengalami zaman kemunduran pada abad 300 M, mereka bangkit
kembali sejak masuknya Islam ke Arab Selatan. Sekitar sejak 10 abad M, para
pedangan Hadrami kembali menjelajahi Afrika Timur dan India. Hingga mereka
berhijrah ke Asia Tenggara guna mencoba berdagang dan mencari penghidupan yang
lebih memadai, yang tidak dapat ditemukan dan disediakan oleh tanah airnya.
Van Den Berg dalam buku Orang Arab di Indonesia menjelaskan bahwa pada
abad pertenaghan telah terjalin hubungan dagang yang cukup erat antara Arab
Selatan, khususnya Maskat, Teluk Persia dan Nusantara. Dapat dikatakan bahwa
para navigator dan pedagang Arablah yang telah memperkenalkan Islam di
Nusantara. Pertama, di negeri Aceh, kemudian Palembang dan pada abad XVIII di
Pulau Jawa.105 Sementara itu para ahli lainnya menenggarai bahwa rute perdagangan
tetap antara Arab Selatan dan Kepulauan Asia Tenggara dimulai sejak abad ketujuh.
Adapun gelombang pertama migrasi ke Nusantara berlangsung sekitar akhir abad
103 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 30.
104 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: Buku Kompas, 2014), hlm. 9.
105 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 95.
57
kedelapan belas. Di sejumlah kota di Indoensia, mereka membentuk koloni seperti di
Jakarta, Cirebon, Aceh, Tegal, Semarang, Surabaya, Pekalongan, Palembang, Aceh,
Gresik, Pontianak, dan lain-lain. Oleh sebab mayoritas penduduk wilayah Nusantara
beragama seperti mereka yakni Islam, maka orang-orang Hadrami dengan mudah
melakukan perbauran. Mereka yang berhijrah ke Indonesia semuanya laki-laki,
karena yang perempuan dilarang berhijrah. Karenanya, mereka selanjutnya
melakukan perkawinan dengan masyarakat pribumi.106
2. Lapisan Sosial Keturunan Arab di Nusantara
Orang-orang Arab terbagi dalam berbagai suku bangsa (qabilah) dan
perkauman, serta beberapa lapisan sosial di daerah asalnya. Identitas itu paling
mudah dikenali dari nama kaum atau hamula (kelompok kekerabatan). Itu sekaligus
menjadi sebab bahwa nama kaum sangat penting bagi mereka. Kelompok
kekerabatan itu dapat ditelusuri sampai kepada tokoh cikal-bakal. Dengan begitu
orang Arab bisa ditelusuri identitas dirinya sejak dari ‘keturunan siapa?’, ‘qabilah
apa?’, ‘sub-qabilah apa?’ dan akhirnya ‘keluarga siapa?’. Sementara itu, nama
keluarga orang Arab didasarkan atas garis keturunan laki-laki.
Dengan kata lain, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia ternyata
memiliki sistem pelapisan sosial yang cukup unik. Beberapa pelapisan sosial tersebut
di antaranya107: pertama, golongan Ba Alwe atau Al alwe. Golongan ini terdiri dari
sayid (tuan) yang biasanya disematkan kepada mereka yang berasal dari keturunan
Husin108, dan syarif (orang terhormat) yang digunakan oleh orang-orang keturunan
Hasan. Jika orang-orang dari golongan ini memiliki anak perempuan, maka
kepadanya diberi gelar Syarifah. Golongan pertama ini biasanya berperan dalam
bidang keagamaan, perdagangan, dan politik. Keturunan Syekh Abu Bakar, al-Idrus,
al-Atas, al-Ahbsyi, al-Haddad dan lain sebagainya adalah golongan dari lapisan
pertama yang ada di Indonesia.
106 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut.,
hlm. 10. 107 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hlm. 30 108 Hasan dan Husen merupakan cucu Nabi Muhammad dari anak perempuannya Fatimah.
58
Kedua, golongan al-Qabail artinya yang memanggul senjata. Golongan ini
biasanya golongan yang menjadi pemimpin qabilah, penguasa dan sulta-sultan. Oleh
karena kekuasaannya, maka golongan kedua ini lebih menonjol daripada golongan
pertama. Golongan kedua ini antara lain: al-Kethiri, al-Fas, al-Faris, al-Makarim, al-
Jabri, Bin Thalib, Bin Mari, Bin Badar, Bin Khamis, dan sebebagainya. Ketiga,
golongan Masyaik atau Masyaikh. Mereka ialah orang-orang yang memiliki keahlian
dalam ilmu pengetahuan, khususnya keagamaan. Di Negara Indonesia, mereka
antara lain keeturunan dari keluarga al-Bafathol, al-Bawazir, al-Amudi, al-Ishak Bin
Afif, dan seterusnya. Keempat, golongan al-Qerwan. Mereka ialah orang-orang yang
terdiri dari kelompok keluarga yang memiliki keterampilan khusus, seperti tukang
kulitm tukang besi, tukang emas, tukang kayu, dan sebagainya. Kelima, golongan al-
Khertan atau para petani.109
3. Interaksi Sosial Keagamaan
Interaksi antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Arab, khususnya yang
berasal dari Haframaut (Yaman), telah terjalin sekal masuknya agama Islam ke
Indonesia. Yang membawa dan menyebarkan Islam ke wilayah Indonesia adalah
para pedagang yang berasal dari Hadramaut. M. Riza Sihbudi dalam buku Indonesia
Timur Tengah: Masalah dan Prospek menjelaskan bahwa bahwa sejak saat itulah
jumlah orang-orang Arab yang ada di wilayah Belanda, khususnya yang berasal dari
Hadramaut semakin banyak. Kebanyakan dari mereka adalah kaum Adam, yang
kemudian sebagian besar dari mereka menikahi110 penduduk pribumi.111 Di kota-kota
109 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.., hlm. 30 110 Dalam kaitannya dengan penggolongan lapisan dengan pernikahannya dengan penduduk
pribumi, mereka cenderung menyesuaikan diri, yakni dengan menganggap bahwa asal-usulnya masih ‘murni’ atas golongan yang terlahir dari perkawinan laki-laki Arab dengan wanita pribumi. Golongan pertama disebut walaiti, sementara golongan kedua disebut muwalla. Golongan kedua tersebut dianggap lebih rendah oleh golongan pertama, karena memiliki darah keturunan pribumi. Namun golongan kedua inilah yang justru mau berbaur dengan penduduk setempat, sehingga membuat mereka lebih mudah diterima daripada suku bangsa keturunan asing lain. (Lihat: Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia..,hlm.30). Selain itu interaksi tersebut melahirkan ekses berupa pudarnya tradisi Arab dalam berbahasa dan berbusana. Orang Arab campuran cenderung menggunakan budaya Pribumi. Mereka lebih sopan dan mudah bergaul, dibanding dengan orang Arab yang lahir dari Hadramaut. (LihatL Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara., hlm. 194.
111 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 19.
59
besar Jawa, golongan Pribumi yang kaya karena memiliki usaha/industri berusaha
mencari hubungan erat dengan orang Arab. Apabila ia menyelenggarakan pesta,
orang Arab selalu diundang. Hal tersebut dipercaya dapat menaikkan harga dirinya,
lebih lagi jika orang Arab tersebut dapat diambil sebagai menantu atau iparnya. Jika
orang Arab dapat memiliki istri dari kaum elite, hal itu berbeda dengan orang Cina
dan Eropa. Orang Cina yang ingin mempersunting orang Pribumi, hanya dapat
memperolehnya dari kelas bawah. Begitu juga dengan orang Eropa yang jarang
sekali mengakui secara sah isteri dari golongan Pribumi. Orang Eropa ini biasanya
mencari gundik dari kelas bawah.112 Orang Arab berhasil dalam hal ini. Tidak
sampai di situ, bahkan yang berasal dari golongan sayid dan/atau syarif, mereka bisa
mendapatkan puteri raja.
Pada tahun 1859 jumlah orang Arab diperkirakan 4992 orang, dan bahkan
hingga tahun 1885 jumlah mereka mencapai 10.888 orang. Dalam pada itu, Hamid
Algadri dalam buku Islam dan Keturunan Arab: dalam Pemberontakan Melawan
Belanda mengatakan bahwa Menurut sensus Belanda pada tahun 1930, orang Arab
seluruhnya (keturunan Arab dan Arab asli) berjumlah 71.345 jiwa. Hal itu tentu
meningkat pesat dibandingkan tahun 1905 yang baru berkisar 30.000 jiwa, dan
45.000 jiwa di tahun 1920. Sementara pada saat yang bersamaan (tahun 1930),
jumlah penduduk Indonesia seluruhnya sebanyak 60,593 juta orang.113
Pada waktu itu juga tentu sudah terjadi interaksi antara masyarakat pribumi
dan orang-orang Arab. Pada saat itu interaksi penduduk Indonesia dan orang-orang
Arab sudah begitu massif. Selain dalam konteks pernikahan dalam kehidupan sosial,
interaksi lain dalam hal ekonomi juga menjadi hal yang tidak bisa ditinggalkan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Van Den Berg, terletak pada jenis sarana kehidupan
mereka.114 Pengaruh orang Arab terhadap perekonomian golongan Eropa dan Cina
relatif kecil, karena jumlah mereka yang tidak begitu banyak dan modal yang
terbatas. Begitu juga bagi penduduk Pribumi. Golongan Cina dan Eropa tidak begitu
signifikan. Salah satu yang menjadi sarana kehidupan pribumi pada saat itu ialah
112 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara., hlm. 184. 113 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab: dalam Pemberontakan Melawan Belanda,
(Jakarta: Mizan, 1996), hlm. 185. 114 Van Den Berg, hlm. 182
60
berhutang. Meskipun mengandung riba, namun penduduk Pribumi hanya dapat
meminjam hutang kepada golongan Arab. Hal ini bukan berarti penduduk Pribumi
tidak boleh meminjam kepada selain golongan Arab, namun golongan Arablah yang
pandai menarik simpati masyarakat. Saat menjual barang-barang dagangan,
golongan Arab cenderung menerapkan sistem cicilan, sementara yang lain cenderung
tunai. Melekatnya unsur riba yang diterapkan orang Arab bagaimanapun juga, oleh
Berg, dipandang bersifat positif. Ia menguntungkan kaum pribumi. Mereka berperan
sebagai penghubung dengan orang Eropa atau Cina dengan masyarakat yang
setengah, atau bahkan benar-benar biadab.115
Interaksi yang lainnya ialah bidang keagamaan. Dalam konteks ibadah haji
dan/atau menuntut ilmu agama misalnya, jumlah orang-orang Indonesia yang pergi
ke Mekah, Saudi Arabia, semakin meningkat. Deliar Noer mengungkapkan bahwa
tahun 1886 orang-orang Hindia Belanda yang pergi ke Mekah mencapai 5000 orang,
tahun 1890: 7000 orang, dan tahun 1899-1909 rata-rata mencapai 7300 orang.116
Orang-orang yang datang ke Indonesia tidak saja yang berasal dari
Hadramaut. Negara-negara Arab lain seperti Maroko, Saudi Arabia, Mesir, Sudan,
dan Palestina juga menapakkan ‘kakinya’ ke Indonesia.117 Motif utama orang-orang
Arab datang ke Indonesia ialah untuk berdagang. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, perhatian mereka juga dicurahkan pada bidang agama dan pendidikan.
Berkaitan dengan hal ini, masyarakat Arab berhasil membentuk lembaga pendidikan
di beberapa daerah. Di Jakarta misalnya, orang-orang Arab mendirikan sekolah
bernama Jamiatul Khair. Lembaga yang didirikan pada 1901 oleh keluarga Shahab,
Ali dan Idrus serta Syekh Said Basandi ini resmi diakui oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1905. Itu pun dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar
Batavia118. Kendati demikian, organisasi yang tempat berdirinya berada di Jl.
Pekojan I, Tambora, Jakarta Barat ini selanjutnya tersebar ke berbagai daerah,
sekalipun dengan nama yang berbeda.119 Lembaga pendidikan tersebut di antaranya
115 Van Den Berg, Orang Arab di Indonesia, hlm. 183 116 Deliar Doer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hlm. 30. 117 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan.., hlm. 20. 118 Batavia adalah nama kota sebelum diubah menjadi Jakarta. 119 Hadiyansyah (ed), Masjid-Masjid Bersejarah Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm.
107.
61
adalah Al-Jam’iyah al-Arabiyah al-Islamiyah yang didirikan pada tahun 1911 di
Solo dan Al-Irsyad yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Soorkati pada 1913.
Organisasi-organisasi tersebut mempunyai peranan penting dalam rangka
mempererat hubungan antara orang-orang Arab dan penduduk pribumi. Apalagi pada
saat itu lembaga pendidikan tersebut mendatangkan guru-guru dari Negara Arab
secara langsung. Selain mempererat hubungan kultural, interaksi tersebut juga
mengakibatkan terjadinya perkembangan Islam di masing-masing wilayah. Hal itu
disebabkan misalnya, kedatangan kaum cendikiawan dan ulama Arab juga dibarengi
dengan masuknya penerbitan dari Arab ke Indonesia. Beberapa penerbitan tersebut
antara lain: Al-Want (Kairo), Al-janna (Beirut), Rawdat al-Iskandariyah (Iskandaria),
Al-Jawaib (Istanbul), Al-Ahram (Iskandaria), Tsamarat al-Funun (Beirut), Al-Insan
(Istanbul), Lisan al-Hal (Beirut), Al- dan Al-‘Urwat al-Wutsqa (Paris).120
4. Reaksi Keturunan Arab Terhadap Gerakan Nasional
a. Adat-Istiadat
Perkembangan sosial masyarakat Indonesia selaras dengan kesadaran akan
identitas nasional cukup memengaruhi identitas diri keturunan Arab. Hal ini sebagai
konsekuensi logis, misalnya atas berlakunya pelapisan sosial yang ada pada orang-
orang Arab. Pergerakan dan kebangkitan nasionalisme telah memengaruhi sikap
sosial mereka. Hal tersebutlah yang mendorong gerakan modernism Arab Indonesia.
Salah satu hasilnya adalah penyempitan golongan Keturunan Arab menjadi dua,
yaitu: golongan Ba alwe atau Al alwe dan golongan Al Irsyad yang menyebut dirinya
Irsyadin.
Kedua golongan tersebut masih tetap mencermintakan pengelompok
berdasarkan garis keturunan. Bahwa golongan pertama merasa sebagai keturunan
Nabi, sementara yang kedua menganggap diri sebagai keturunan Arab yang lebih
terbuka dan moderat. Hubungan antara keduanya dalam aktivitas sehari-hari tidak
bisa harmonis. Hal ini dikarenakan adanya sikap yang secara cukup ketat
mengagungkan kemurnian keturunan. Dapat disinyalir bahwa perkawinan antar
kedua golongan tersebut tidak muda terjadi.
120 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan.., hlm. 21
62
Bagi keturunan Arab, hubungan kekerabatan sangatlah penting. Bentuk
keluarga yang terjadi cenderung keluarga luas terbatas. Pada bentuk ini keluarga
batih (ahlel) yunior lebih suka tinggal bersama dalam lingkungan rumah tangga
senior (ahlel bet). Keturunan Arab di Pekalongan misalnya, pengertian ahlel
diartikan keluarga batih (terdiri dari ayah ibu dan anak-anak yang belum kawin).
Bisa pula diartikan keluarga luas atau famili atau kesatuan saudara dekat. Yang
termasuk dalam saudara dekat adalah mereka yang berasal dari garis keturunan satu
kakek-moyang. Tentu saja masih saling mengenal. Hal tersebut tanpa mengecualikan
pada garis keturunan nenek moyang. Banyak kasus keturunan dari pihak wanita
sampai dua generasi ke bawah juga dapat digolongkan keluarga ini.
Menurut adat orang Arab di Indonesia, perkawinan yang ideal adalah antara
seolang laki-laki dengan gaadis anak saudara perempuan ayah. Dengan begitu
perkawinan tersebut cenderung bersifat endogamy klen (kawin dalam lingkungan
keluarga sendiri). Namun sementara ini sebagaian orang Arab sekarang lebih suka
mengembangan kekerabatan melalui perkawinan keluar klen, yang berarti
mempererat hubungan sesame keturunan Arab.121
Di Indonesia, orang Arab dikenal sebagai pedangang. Kendati demikian,
mereka tidak ekspansif seperti orang Cina. Mereka lebih dikenal sebagai pedangan
atau pengusaha tekstil, rempah-rempah, perkayuan dan permata. Namun saat ini
corak generasi Arab Indonesia lebih beragam. Mereka dapat merambat ke dalam
pekerjaan politik, teknokrat, dan birokrasi. Hal ini terjadi lantaran mereka memiliki
kemampuan berbaur yang tinggi.
b. Membentuk Partai Politik
Dalam segi kebudayaan, orang-orang Arab sudah memiliki corak pekerjaan
yang beragama. Mereka tidak lagi berkutat pada aspek perdagangan, sebagaimana
motivasi awal mereka berhijrah ke Nusantara. Saah satu ranah yang mulai ditapakki
orang-orang Arab ialah pada pekerjaan politik. Pada tahun 1930-an, orang-orang
Indonesia keturunan Arab, yang biasanya disebut sebagai golongan Indo-Arab mulai
terlibat dalam kegiatan politik. Kiprah keturunan Arab dalam bidang politik sudah
berlangsung sejak lama. Namun baru nampak saat mereka mereka mendirikan
121 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia..,hlm. 32
63
Persatuan Arab Indonesia (PAI)122 tahun 1934. PAI didirikan oleh Abdurrachman
Baswedan, salah satu poltisi Indo-Arab yang menonjol.123
Jika menelisik sejarahnya lebih dalam, proses pendirian PAI itu tidak
gampang. Semua itu tidak terlepas dari kerja keras A.R Baswedan. Pada waktu itu ia
menggalang koloni-koloni masyarakat Arab yang ada di Indonesia untuk menghadiri
Konferensi Masyarakat Arab di Semarang. Wakil-wakil dari Al Irsyad dan Arrabitah
dari berbagai kota berkenan menghadiri konferensi tersebut. Pada gilirannya
pertikaian dan perdebatan antara kedua kelompok itu tidak dapat dihindarkan.
Namun pada akhirnya, konferensi tersebut menyepakati untuk membentuk sebuah
organisasi masyarakat Arab di Indonesia yang diberi nama Persatuan Arab Indonesia
(PAI), dan dikhususkan untuk Arab peranakan saja.124 Momen konferensi125
tersebutlah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Awal mulanya, PAI berbentuk persatuan. Karena suhu politik menentang
penjajah meningkat, pada tahun 1940-an PAI mengubah namanya menjadi Partai
Arab Indonesia. Perubahan tersebut sekaligus membawa pesan tersirat bahwa telah
lahir kesadaran baru masyarakat Indonesia untuk secara proaktif terlibat dalam
persoalan kebangsaan yang dihadapi oleh bangsa. Orang-orang Arab tidak lagi
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang asing. Sebalinya mereka merasa bahwa
mereka telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Kompromi pun dilakukan untuk
melepaskan gelar “syarif” dan “sayid”. Sementara itu penggunaan kata “Arab” tetap
dipakai bukan berarti mereka hendak mempertahankan identitasnya. Akan tetapi hal
tersebut dilakukan tidak lain hanya untuk menggalang solidaritas semata.
Sebetulnya persoalan kebangsaan pada saat itu menjadi salah satu hal yang
cukup mendapat perhatian serius oleh orang-orang Arab. Di satu sisi terdapat
122 Ketika PAI berdiri PNI telah membubarkan diri akibat desakan dari pemerintah Belanda. Pemimpinnya, Soekarno dimasukkan ke dalam penjara. Selanjutnya Hatta dan Syahrir membentu PNI-Baru. Tidak berlangsung lama, partai itu juga harus bubar dan mereka diasingkan di Digul.
123 M. Riza Sihbudi, dkk, Konflik dan diplomasi di Timur Tengah, (Bandung: PT Eresco, 1993), hlm. 154.
124 Dundin Zainudin, Dinamika kewarganegaraan kelompok sosial di perkotaan: studi kasus di Bandung dan Semarang, (Jakarta: LIPI, 2010), hlm. 138.
125 Dalam Wikipedia Ensiklopedia Bebas disebutkan dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib, dll.
64
gagasan agar masyarakat Arab melebur ke dalam bangsa Indonesia. Hal tersebut
terus bergema di kalangan Arab terutama yang sudah sadar bahwa mereka adalah
bagian dari bangsa Indonesia. Sementara pada sisi yang lain, sebagian besar
masyarakat Arab juga tidak mau mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka. Oleh
sebab itu, pada saat itu pula A.R. Baswedan terus mendorong kesadaran tersebut agar
tumbuh dan membesar. Ia sadar betul bahwa jika persoalan tersebut belum tuntas dan
dibiarkan terus berlangsung, maka potensi ancaman yang tidak diinginkan bisa
meledak sewaktu-waktu. A.R Baswedan menyadari bahwa sentimen antar ras adalah
sesuatu yang laten di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, jika masyarakat
Arab tetap mengaku dirinya sebagai orang asing, maka kemungkinan besar mereka
juga akan menjadi korban dari sentimen antar ras yang ada di Indonesia.126
PAI secara total memperjuangkan Indonesia. Mereka tidak lagi sebagai
organisasi yang hanya mendorong orang-orang Arab untuk menjadi bagian dari
bangsa Indonesia. Lebih dari itu, mereka adalah sebuah organisasi yang turut andil
proaktif menggagas lahirnya bangsa Indonesia di kemudian hari. Oleh karena itu PAI
gigih mendukung mosi Volksraad yang dipromotori oleh M.H. Thamrin, Soetardjo,
dan Wiwoho. Mereka menuntut pemerintah Belanda untuk menggunakan istilah
‘Indonesier” (orang Indonesia) sebagai pengganti kata inlander (pribumi). Semua itu
harus diterapkan dalam dokumen-dokumen resmi dan menetapkan kewarganegaraan
Hindia. Selanjutnya melakukan penyelidikan agar mengubah Volksraad menjadi
semacam parlemen yang sesungguhnya.127 Ternyata kekuasaan pemerintah kolonial
amat kuat dan besar. Karenanya mosi tersebut tidak pernah berhasil diwujudkan.
Meskipun demikian, paling tidak adanya mosi tersebut telah menjadi simbol mulai
bersatunya bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Ialah hak-hak
yang selama masa penjajahan diabaikan oleh pemerintah Belanda. Tak terkecuali hak
untuk memerintah dirinya-sendiri secara otonom.
Hamid Algadri dalam buku Suka Duka Masa Revolusi menjelaskan bahwa
dalam perjalanan sejarah, PAI tidak segan mengkritik dengan tajam segala
ketidakberesan golongan pendiri. PAI juga giat melakukan pembinaan asas
126 Purnawan Basundoro, “A.R Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” dalam Jurnal Lakon Vol. 1 No. 1 Mei 2012, hlm. 29.
127 Purnawan Basundoro, “A.R Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” 45.
65
kebangsaan Indonesia. Selain itu, PAI selalu berpihak pada gerakan nasional, tanpa
menghiraukan tentangan dari pihak Belanda.128 Selaras dengan hal itu, pemerintah
kolonial mulai menyoroti gerak-gerik PAI. Pemerintah kolonial gelisah dan khawatir
terhadap gerakan baru kalangan Arab tersebut. Hal ini dikarenakan mereka secara
nyata menarik kaum Arab peranakan kepada pihak anti penjajahan. Pada saat itu
Pemerintah Belanda telah dan terus melakukan penangkapan terhadap para
pemimpin utama partai politik berhaluan nasioal yang dianggap radikal, dan
membubarkan partainya. Tak luput juga mangasingkan mereka.129 Tidak jarang PB
PAI dan rumah-rumah pemukanya didatangi oleh intelijen menanyakan soal kegiatan
yang dilakukan.
Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, tak lama kemudian pada tanggal 8
Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah di Kalijati. Penyerangan tersebut
dipimpin oleh Gubernur Jendral Tjarda Van Strakenborg Stachouwer. Pada zaman
Jepang itulah semua partai politik dibubarkan oleh Jepang. Dengan demikian, Partai
Arab Indonesia juga bubar.130 Pada akhir 1945, ia bergabung dengan Mohammad
Natsir dan Mohammad Roem dalam partai Masyumi.131
128 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: UI press , 1991), hlm. 50. 129 Sutarmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, 67. 130 Sutarmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, hlm. 97. 131 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan .., hlm. 22.
66
BAB III
BIOGRAFI HAMID ALGADRI
A. Riwayat Kehidupan
Hamid Algadri merupakan keturunan arab (peranakan Arab) di Nusantara
yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Ia termasuk salah seorang
pejuang anti kolonialisme (Belanda) sekaligus menjadi perintis kemerdekaan
Indonesia melalui berbagai forum-forum nasional dan internasional yang penting.
Ia terlahir di Pasuruan pada 10 Juli 1912 dari seorang ayah yang bernama
Muhammad Hamid Algadri. Saat itu Pasuruan adalah daerah pesisir yang terletak di
utara pulau Jawa. Tempatnya sangat strategis dan menjadi kota Bandar karena
terdapat pelabuhan serta berbagai aktivitas perdagangan dan transportasi angkutan
perdagangan. Di sepanjang pantainya didirikan banyak pabrik gula oleh Belanda.
Ayahnya adalah tokoh muslim di Pasuruan. Ia diangkat sebagai Kapitein der
Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan.132 Secara silsilah keturunan,
Hamid Algadri berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis
keturunan ibu dari Malabar, India. Namun Hamid Algadri lahir di tanah Jawa.
Meskipun gelar yang didapat ayah dan kakeknya adalah pangkat prestis yang
diberikan Belanda, namun perlu ditegaskan bahwa jabatan tersebut tidak
memengaruhi prinsip dasar ayahnya sebagai etnis Arab di Nusantara dan berpihak
pada kebijakan Belanda. Namun ia menganggap jabatan ini menguntungkannya
untuk memberikan perlindungan terhadap golongan etnis Arab di Nusantara agar
tidak mendapat perlakuan semena-mena dari Belanda seperti dalam engenaan pajak
132 Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia menjadi
beberapa golongan: orang Eropa (Europeanen), orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan orang pribumi (Inlanders). Orang Cina dan Arab masuk golongan Vreemde Oosterlingen. Sikap dan perlakuan Belanda yang sangat antipati dan selalu waspada terhadap orang-orang keturunan Arab tercermin di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif. Hingga pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda membentuk kebijakan Regering Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda yaitu kelas paling atas adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ), kelas kedua adalah Timur Asing ( Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah pribumi ( masyarakat asli Indonesia ). Hosniyah, Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab Di Malang 1900-1935, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 3, Oktober (2016), hlm. 967.
67
tinggi dan mengurus surat-menyurat kependudukan serta mendapatkan perlindungan
hidup.133
Hamid menikah dengan Zena binti Husein Alatas yang merupakan anak dari
pimpinan PAI (Persatuan Arab Indonesia) pada tahun 1942. Pada saat itu Hamid
berusia 32 tahun. Sedangkan Zena baru berusia 18 tahun.
Pernikahan dilangsungkan di kediamannya yaitu Pasuruan. Banyak tokoh
PAI yang datang untuk memberikan selamat pada keduanya. Dari pernikahan
Hamid-Zena lahir empat anak, yaitu Ny Atika Nono Anwar Makarim, Maher Hamid
Algadri (pengusaha dari Kodel Grup), Ny Adila Suwarno Soepeno dan Sadik Hamid
Algadri (pengusaha).
Hamid tutup usia pada hari Minggu tanggal 25 Januari 1998 setelah lima hari
dirawat di di Rumah Sakit Medistra, Jakarta karena kerapuhan tulang dan radang
paru-paru. Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
B. Pendidikan
Meskipun terlahir dari etnis Arab (Hadrami), Hamid mengenyam pendidikan
modern Barat. Keluarganya berpandangan bahwa sekolah kolonial tidak sampai pada
tahapan merusak agama. Namun justru memberikan wawasan luas mengenai
pendidikan. Langkah keluarganya dalam pendidikan memang berbeda dari mayoritas
etnis Arab yang anti terhadap segala sesuatu dari Barat, termasuk lembaga
pendidikannya.
Hamid memulai pendidikan formalnya dari sekolah dasar Europesche Lag
School (ELS) setelah menyelesaikan sekolah taman kanak-kanak (Frobel School)
selama dua tahun. Untuk dapat masuk ke ELS, bukanlah perkara yang mudah karena
pada umumnya hanya anak Belanda yang dapat mengambil pendidikan di ELS.
Namun karena Hamid merupakan anak dari Kapitein Arab di Pasuruan, sehingga
dengan susah payah, ayahnya meminta kebijakan Belanda agar anaknya bisa ikut
belajar disana. Adapun pendidikan di lembaga asing Frobel dilatarbelakangi oleh
keinginan keluarganya agar Hamid lancar berbicara bahasa Belanda karena bahasa
133 Hamid Algadri, Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan, (Jakarta: Lentera, 1992), hlm. 2.
68
pengantar di ELS menggunakan bahasa Belanda. Kemudian Hamid melanjutkan
sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat.
Adapun pada tahun 1936, Hamid tercatatat sebagai mahasiswa Rechts Hoge
School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Sehingga ia merupakan keturunan
Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas. Namun, peristiwa penutupan
RHS oleh pemerintah pendudukan Jepang membuatnya belum sempat
menyelesaikan studinya. Sehingga pendidikan ilmu hukum baru diselesaikannya di
Universitas Indonesia tahun 1952 melalui inisatif Prof. Djokosoetono yang membuka
kesempatan bagi para mahasiswa yang belum sempat menyelesaikan studinya pada
masa pendudukan Jepang. Gelar sarjana hukum didapat HA cukup mudah, hanya
menempuh ujian tingkat akhir serta mendapat keringanan-keringanan karena alasan
telah matang selama masa perjuangan.134
Pada masa itu, orang Arab dan keturunan Arab menentang anaknya
bersekolah di sekolah Belanda, baik yang khusus seperti ELS untuk anak-anak
Belanda, maupun yang umum yang disediakan untuk anak pribumi seperti HIS
(Hollandsch Inlandsche School). Dasar mereka adalah pendidikan Barat adalah
bagian dari sekolah Kristen yang akan merusak agama anak-anak mereka. mereka
lebih memilih untuk mengirim anak mereka ke sekolah agama seperti madrasah,
yang mengutamakan pendidikan agama.135
Keluarga Hamid tidak kawatir sebagaimana pandangan umum para kiai dan
santri-santri desa. Menurut mereka sekolah Belanda tersebut maju dan dapat
menyesuaikan dengan situasi yang menuntut modernitas. Namun keluarga Hamid
tetap memikirkan pendidikan yang terbaik baginya. Agar berimbang antara
pendidikan umum dan agama, sekaligus sebagai antisipasi terhadap kekawatiran
masyarakat pada umumnya, Hamid disekolahkan di madrasah pada siang harinya.
Jika jadwal sekolah Belanda dan madrasah bertabrakan, orang tuanya mengundang
134 Muhammad Ridho Rachman dalam artikel yang berjudul Pemikiran Hamid Algadri
Tentang Indo-Arab Dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941). https://www.researchgate.net/publication/318960129. Diakses pada 26 Mei 2018, pukul 22.26 WIB.
135 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda, (Bandung: Mizan, 1996), cet.1 edisi 3, hlm. 29. Hal serupa dialami oleh para kiai dan santri di desa-desa yang secara tegas menolak pendidikan Barat dan segala yang berbau Barat. Mereka lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah.
69
guru ngaji ke rumahnya atau lebih dikenal dengan istilah “madrasah rumahan”. Pada
sesi ini, guru mengaji memberikan pengarahan dan penjelasan tentang bahaya-
bahaya yang akan terjadi dengan sistem pendidikan Belanda.
Setelah menjalani aktivitas pendidikan Belanda, apa yang dikawatirkan
terjadi. Beberapa kesulitan dihadapi Hamid, karena ia mengenakan terbus (kopiah
khas Turki berwarna merah). Terbus identik dengan gerakan Pan-Islamisme136 yang
menjadi ketakutan pihak kolonial Belanda. Gerakan ini memberikan pengaruh yang
signifikan bagi Indonesia dalam pergerakan dan perjuangan melawan segala jenis
kolonialisme. Jamaluddin Al-Afghani sebagai penggagasnya diikuti Muhammad
Abduh secara massif menyebarkan spirit gerakan yang berpusat di Turki ini ke bumi
Nusantara. Salah pengaruh yang ketara adalah lahirnya Jamiatul Kheir di Pekojan,
Batavia, pada 1901 sebagai organiasi sosial yang membawa semangat tolong
menolong. Solidaritas muslim Nusantara terbangun dari komunitas ini.
Ayah dan kakek Hamid merupakan penganut gerakan ini sehingga ia
mengharuskan Hamid mengenakan kopiah merah saat bersekolah. Hamid mendapat
perlakuan yang tidak adil. Sebab kopiahnya, ia diejek oleh murid-murid Belanda,
bahkan nyaris terlibat perkelahian. Begitulah terus dialami Hamid pada hari-hari
berikutnya karena ia tidak menerima ejekan tersebut. Untuk melerai pertikaian yang
berkelanjutan, guru Belanda menyarankan orang tua Hamid untuk melepas kopiah
pada anaknya agar tidak kembali mengganggu aktivitas belajar di sekolah.
Meski mayoritas murid di sekolah tersebut adalah anak-anak Belanda, namun
terdapat beberapa anak Indonesia yang merupakan putra-putra para pegawai tinggi
Indonesia di kota Pasuruan. Mereka tidak luput dari ejekan anak Belanda, bahkan
mendapatkan perlakuan yang lebih parah daripada Hamid.
136 Pan Islamisme adalahpaham politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936).
Kemudian berkembang menjadi gerakan mempersatukan umat Islam. Gerakan ini secara samar-samar pernah diutarakan oleh Al-Thah-Thawi dengan memakai istilah persaudaraan seagama, dan kemudian ditegaskan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. B.Setiawan dkk, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 12, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm.82. Gerakan ini kemudian memengaruhi bangkitnya pergerakan nasional Indonesia, karena dalam periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri utama kebudayaan Indonesia. Salah satu sisi dari gerakan reformasi itu ialah mengidentifikasikan Islam dengan bangsa dan dengan rasa yang semakin tidak sabar terhadap kedudukan sebagai bangsa yang terjajah. Noer menegaskan bahwa pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, Islam identik dengan kebangsaan. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, dan Studi Islam, (Jakarta: LP3S, 1990), hlm. 8-20.
70
Setelah selesai mengenyam pendidikan dasar, Hamid melanjutkan ke MULO
(Meer Utgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan sekolah menengah pertama
yang terutama disediakan untuk murid pribumi pada tahun 1928 – 1933. Awalnya
Hamid ingin belajar di HBS (Hogere Burgerschool), sekolah yang juga disediakan
untuk murid Belanda, akan tetapi guru kepala tidak mengizinkannya kendati nilai
pelajaran Hamid memenuhi syarat untuk bersekolah disana.
Keputusan mengambil pendidikan MULO sangatlah tepat. Hamid dapat
berkumpul dengan murid-murid yang sebagian besarnya adalah pribumi. Kondisi ini
tidak membuat Hamid terjepit seperti pada ELS, bahkan memiliki kesamaan
pandangan dengan murid lainnya yang anti Belanda. Di sekolah MULO Hamid
terlibat aktif pada ikatan pemuda Islam JIB (Jong Islamieten Bond). Untuk
menyuarakan gagasannya, terbitlah majalah JIB (Het Licht) dalam bahasa Belanda
untuk memberikan penerangan dan pembela agama terhadap segala bentuk serangan
terhadap Islam.
JIB berdiri atas anjuran para pemimpin Islam-nasionalis, antara lain The
Grand Old Man, Haji Agus Salim, penyebar paham Islam modern, dan oleh karena
itu dengan sendirinya sikap JIB juga berwarna Islam-nasionalis dan anti-Belanda.137
Selagi mahasiswa di Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum),
Hamid bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan oleh AR
Baswedan138 tahun 1934. Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi
orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu tanah air, satu
bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.
137 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab……….., hlm.33. 138 A.R Baswedan adalah pendiri Persatuan Arab Indonesia (PAI). Seorang yang lahir di
Surabaya, 9 September 1908 ini adalah seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan. Diakses pada 26 Mei 2018 pukul 10.46 WIB.
71
Kontribusi Hamid yang signifikan bagi PAI membuatnya diangkat menjadi
ketua PAI Cabang Jakarta pada 1936, kemudian menjadi anggota pengurus besar
PAI sampai tahun 1942.
Semangat nasionalisme dalam jiwanya berkobar dari berbagai pengalaman
hidupnya. Ayahnya telah menanamkan jiwa nasionalisme padanya sejak kecil.
Kemudian karir pendidikannya juga memberikan pengalaman berharga untuk
semakin yakin untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintahan
Belanda.
Sebut saja keterlibatannya dalam gerakan pemuda JIB pada 1930 yang ia
ikuti semasa studi di MULO. Aktif di organisasi ini merupakan titik awal baginya
untuk memperjuangkan hak-hak rakyat etnis Arab maupun pribumi di tengah
pusaran kekuasaan Belanda. JIB memberikan sarana padanya untuk menyalurkan
aspirasi dan gagasan dalam bentuk masa.
Tercatat bahwa Hamid pernah mengikuti berbagai organisasi pada masa
kuliahnya, yaitu Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926.
Organisasi yang diprakarsai oleh Raden Tumenggung Djaksodipoera bersama 5
kawannya (Soegondo, Soewirjo, Goelarso, Darwis, dan Abdoellah Sigit) ini
menirukan Indonesisch Vereniging (Perhimpunan Indonesia) yang didirikan oleh
Mohammad Hatta di Negeri Belanda tahun 1908. PI menjadi sarana untuk
menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam 2 edisi pertama, Hatta menyumbangkan
tulisan kritik mengenai praktik sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang
merugikan petani.139
Hamid juga terlibat dalam suatu panitia yang disebut Komisi Besar sebagai
wadah perkumpulan organisasi pemuda. Panitia ini menjadi pangkal dari lahirnya
putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia (dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928).
Pada durasi tahun 1936-1942, Hamid juga menjabat pada posisi yang penting
dalam GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Saat itu PAI menjadi salah satu
anggotanya. Sehingga Hamid didaulat menjadi wakil PAI dalam GAPI bersama
139 https://id.wikipedia.org/wiki/Perhimpunan_Pelajar_Pelajar_Indonesia. Diakses pada 26
Mei 2018, pukul 11.30 WIB.
72
ketua PB PAI H.M.A Hoesin Alatas yang merupakan mertuanya. Pada kurun waktu
yang sama Hamid juga terlibat dalam berbagai gerakan nasional seperti Petisi
Sietardjo dan Indonesia Berparlemen dengan memprogandakannya dalam rapat-rapat
umum.
Organisasi pelajar terakhir yang Hamid ikuti adalah USI (Unitas Studiosorum
Indonesiensis). Arah organisasi ini bukan pada politik, melankan pada kegiatan
akademik dan kesenian. Ketika USI berfusi menjadi PPI (Perhimpunan Pelajar
Indonesia), Hamid terpilih menjadi wakil ketua setelah sebelumnya ia diamanahi
menjadi redaktur majalah USI (Usi-blad, majalah mahasiswa Indonesia). Adapun
gagasan politiknya, ia salurkan pada majalah Insjaf yang pada saat itu Hamid
menjadi redakturnya.
Karirnya dalam organisasi kepemudaan sangat menonjol pada saat ia
menangani USI. Pada saat yang bersamaan ia menjadi wakil ketua BAPERPI (Badan
Perwakilan Pelajar-pelajar Indonesia). Tidak lama ia berkecimpung di organisasi
tersebut, Hamid bergabung menjadi anggota kader gerakan anti Jepang yang
dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin pada 1942-1945. Setelah Amir ditangkap,
diteruskan dalam gerakan yang dipimpin oleh Sjahrir. Inilah awal karir kebangsaan
Hamid Algadri.
C. Karir
Hamid aktif pada sejumlah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa-
masa awal pemerintahan Indonesia.
1. Peran Hamid Algadri dalam PAI (1934-1942)
Nama Hamid Algadri mencuat ke permukaan saat ia menjadi anggota
Pengurus Besar PAI. Cita-cita Hamid menggabungkan diri dalam gerakan ini adalah
mencoba mengubah citra buruk keturunan Arab di Nusantara yang mulai menjalar di
kalangan intelektual dengan siapa ia bergaul sehari-hari di dalam kalangan
masyarakat pribumi. Pasalnya citra buruk etnis Arab selalu diberitakan dalam harian
dan majalah Belanda yang banyak dibaca oleh kaum intelektual Indonesia. Meskipun
kenyataannya banyak diantara etnis Arab yang mempraktikkan riba dalam
73
perdagangan, menjadi renternir di pasar-pasar, ditambah dengan golongan keturunan
Arab yang keras menentang pendidikan Barat.
Dalam suasananya yang demikian, Hamid hendak meluruskan bahwa
perilaku sebagian etnis Arab tidak menggambarkan sebenarnya golongan Arab, tidak
hanya di Indonesia, di negara sendiri pun, praktik yang demikian juga dilarang
karena bertentangan dengan ajaran Islam. Hamid menilai bahwa Belanda berusaha
meruncingkan masalah dengan mengeneralisasi praktik buruk etnis Arab, sehingga
antara pribumi dengan keturunan Arab tidak akur.
Di sisi lain, mereka secara aktif mendorong rentenir dan orang jahat lainnya
untuk datang ke Indonesia. Belanda ingin terus menciptakan citra buruk bangsa
Arab. Sehingga pribumi benci terhadap keturunan Arab.
PAI menegaskan bahwa Indonesia merupakan tanah air mereka. Dengan kata
lain, keturunan Arab adalah putra dan bangsa Indonesia dan harus mengabdi pada
tanah air Indonesia, sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya.
Jika terdapat oknum-oknum tertentu yang merusak citra golongan mereka,
PAI tegas mengkritik perilaku tersebut dan menkonfirmasi kepada pers secara
terbuka tentang perilaku yang menyimpang dari kebiasaan asli etnis Arab.
PAI mendukung penuh dan memihak kepada gerakan nasional, bahkan PAI
membantu upaya pergerakan nasional. Oleh karena memiliki cita-cita yang sama
untuk melawan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dalam
kongres PAI yang kedua di Surabaya pada 25 Maret 1937, PAI mendukung penuh
Petisi Sutardjo.
Untuk memperbaiki citra buruk yang sudah terlanjur disebarkan oleh surat
kabar Belanda, PAI terjun langsung memberantas kaum renternir di kalangan Arab
agar terwujud suasana kehidupan yang aman dan sejahtera. Citra Arab yang identik
dengan renternir harus diubah dengan usaha pemberantasannya. Oleh karenanya,
Hamid mendukung sepenuhnya woekeordonansi yang dimaksudkan untuk
memberantas renternir tersebut serta mendesak partai agar tegas menghukum dan
memberantas woeker di kalangan Arab.
Salah satu pemimpin dari masyarakat Arab pada waktu itu, Husin Bafagih,
menulis sebuah drama yang disebut “Fatima” tentang kebencian Arab terhadap riba.
74
Drama itu dilakukan di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Semarang, Surabaya
dan lain sebagainya sehingga menjadi sangat populer dengan masyarakat umum.
Awalnya propaganda Belanda terhadap orang-orang Arab hampir berhasil
untuk merenggangkan hubungan orang Arab dan masyarakat pribumi. Namun
menjadi kandas seketika ketika PAI bergerak untuk meluruskan persepsi yang keliru
itu.
Pada saat majalah Aliran Baroe diterbitkan oleh seorang pemuka PAI, Hosein
Bafagih di Surabaya, menyebarkan paham baru Islam-antara lain tentang tanah air,
tentang persamaan kedudukan wanita dan pria dalam Islam, dan sebagainya. Banyak
di antara penulis dalam majalah tersebut adalah pengikut paham Rasyid Ridha,
murid Muhammad Abduh, dan penerbit majalah Al Manar di Mesir, penganjur
reformasi dalam Islam. Jasa besar majalah ini adalah ketegasan dan tidak segan
mengkritik tentang kebobrokan masyarakat Arab di Indonesia.140
Hamid berpandangan bahwa Partai Arab Indonesia yang didirikan di
Semarang pada tanggal 4 Oktober 1934 lebih pada nilai “Persatuan” ketimbang
sebuah Partai. Hamid beserta para generasi muda pada waktu itu bersepakat
menentang sistem stratifikasi yang telah membagi komunitas Arab. Untuk
menyatukan komunitas Arab secara internal, Hamid memanggil dari kelompok
Alawi dan non-Alawi untuk bersatu dalam bendera identitas yang sama. Untuk
menyeragamkan identitas etnis Arab, segala gelar dilepaskan dan menggantinya
dengan panggilan “saudara”. Cara inilah yang digunakan untuk menyamakan rasa
persaudaraan, menguatkan komunitas dan tidak diskriminatif terhadap stratifikasi
sosial.
Secara umum, PAI terbentuk untuk menyatukan diri dengan masyarakat
pribumi agar tidak ada kesenjangan dan perbedaan, karena sama-sama berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah. Rasa nasionalisme anggota
PAI tertuang dalam sumpah pemuda Indonesia Keturuan Arab pada tahun 1934.
Sumpah pemuda Indonesia Keturunan Arab yang disahkan Mohammad Hatta
ini berisikan dua poin:
140 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 174.
75
1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia 2. Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi) Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia adalah tepat sekali. Dengan sumpah ini, yang ditepati pula sejak itu dalam perjuangan nasional Indonesia menentang penjajahan sambil ikut dalam organisasi Gapi dan kemudian lagi ikut dalam peperangan Kemerdekaan Indonesia dengan laskarnya dengan memberikan kurban yang tidak sedikit, ternyata bahwa Pemuda Indonesia Keturunan Arab, benar-benar berjuang untuk kemerdekaan Bangsa dan Tanah airnya yang baru. Sebab itu tidak benar apabila warga keturan Arab disejajarkan dengan WNI keturunan CIna. Dalam praktik hidup kita alami juga banyak sekali WNI turunan CIna yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya RRC, WN Indonesia keturunan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya. Sebab itulah, salah benar apabila kedua macam WNI itu disejajarkan dalam istilah non pribumi. 141 Jakarta, 24 November 1975
Pada awalnya PAI yang merupakan bentuk persatuan, menekankan pada
upaya mempersatukan dua golongan yang bermusuhan dalam masyarakat Arab
daripada terjun dalam bidang politik murni. Tetapi sikap ini tidak dapat
dipertahankan lama. Pada tahun 1937, PAI terjun dalam dunia politik dan baru pada
tahun 1940, PAI mengubah namanya dari “Persatuan” menjadi “Partai” dalam
kongres lustrumnya pada tanggal 18-25 April 1940 di Jakarta.
PAI beserta partai-partai lainnya dibubarkan pada saat Jepang masuk dan
berkuasa di Indonesia. Kemudian militer Jepang gencar melakukan invasi yang
dimulai pada 8 Maret 1942. Pada saat kondisi politik sedang hangat karena
kependudukan Jepang, Hamid beserta para pimpinan PAI ikut serta dalam gerakan
anti-Jepang, yang mula-mula dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifoeddin. Ketika ia
ditangkap, diambil alih oleh Sjahrir. Pada bulan agustus, Jepang menyerah pada
sekutu dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia.
141 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab……, hlm. 177.
76
Hamid mengakhiri karirnya di PAI pada saat organisasi ini bubar. Pada 3
November 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pemerintah tentang
partai politik. Meskipun pemerintah menganjurkan agar partai politik yang sudah
dibubarkan dapat kembali berdiri, namun pimpinan PAI tetap memutuskan untuk
tetap membubarkan PAI dan mempersilahkan mantan anggotanya untuk bergabung
bersama partai-partai yang berdiri lagi sesuai dengan ideologi masing-masing.
Banyak diantara mereka bergabung menjadi anggota PNI, Masyumi, PSI sampai ke
PKI dengan tujuan agar mereka diakui sebagai orang Indonesia secara penuh.
Demikian mereka lakukan karena PAI sudah dibubarkan sehingga tidak ada lagi
wadah yang bisa menampung aspirasi untuk mempertahankan etnis Arab di
Indonesia.
2. Karir Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan
Hamid adalah tokoh etnis Arab di Indonesia yang tercatat aktif pada sejumlah
perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa-masa awal pemerintahan Indonesia. Ia
adalah seorang pejuang yang merintis kemerdekaan Indonesia keturunan arab dalam
berbagai perundingan seperti perundingan Linggajati, perundingan Renville, KMB.
Keterlibatannya sebagai salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya
negara Republik Indonesia menjadi jasa yang sangat berharga bagi negara ini.
Berikut beberapa catatan karir Hamid dalam pergerakan nasional.
a. Sekretariat Perdana Menteri (1947)
Pada tahun 1947, Hamid bekerja di sekretariat Perdana Menteri. Perdana
Menteri Indonesia merupakan pimpinan kabinet dalam pemerintahan Republik
Indonesia yang pernah diterapkan dari tahun 1945 hingga tahun 1959. Menurut
UUD 1945, Indonesia memang dibangun dengan sistem presidensial, sehingga
perdana menteri tidak memiliki ketentuan konstitutional. Namun posisi
tersebut kemudian dijamin oleh Pasal 52 UUD Sementara 1950. Ia dipilih oleh
Presiden untuk menangani bisnis rutin pemerintah dan yang bertanggung
jawab atas Kabinet, yang bertanggung jawab kepada Presiden dan Wakil
77
Presiden. Selain itu Perdana Menteri bertanggung jawab kepada Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara (DPRS).
Inilah awal mula Hamid merasakan duduk di bangku pemerintahan
secara langsung, terlibat dalam membantu tugas-tugas perdana menteri.
Posisinya sebagai pekerja tinggi pada sekretariat PM tersebut memberikannya
dorongan untuk terus berkhidmat pada bangsa ini.
Hamid Algadri sudah lama akrab dengan Sjahrir.142 Di saat Sjahrir
memimpin gerakan bawah tanah dalam rangka melakukan perlawanan
terhadap Jepang, Hamid bergabung dengan kelompoknya hingga Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Oleh karena pada saat Sjahrir diangkat
sebagai Perdana Menteri Indonesia, Hamid ditugaskan bekerja di sana. Dalam
tugasnya tersebut, ia sempat menemani rombongan Sjahrir di dalam KLB
(Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945.
b. Pegawai Tinggi Kementerian Luar Negeri (1946)
Hamid tercatat juga menjadi pegawai tinggi Kementerian luar negeri
setelah selesai tugas membantu perdana menteri Sjahrir. Dalam menjalani
tugasnya di kementerian tersebut, Hamid memiliki banyak mendapatkan
manfaat diplomasi secara internasional. Melalui sidang-sidang dan pertemuan
diplomatis ini, Hamid banyak belajar tentang membangun eksistensi Indonesia
di mata dunia. Secara optimal ia menggunakan forum ini untuk kepentingan
bangsa Indonesia.
Perundingan pertama yang mencapai hasil sebuah perjanjian dari
serangkaian perudingan yang dilakukan oleh Republik Indonesia dengan
Pemerintahan Belanda dikenal dengan Perundingan Linggajati. Peristiwa
bersejarah ini diselenggarakan di Desa Linggajati pada tanggal 11-13
142 Sutan Syahrir adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Sjahrir adalah orang yang sangat rasional Sjahrir lebih menekankan perjuangan politik pada pendidikan politik. Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Penerbit UI, 1991), hlm. 91.
78
November. Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) di Jakarta.
Adapun isi pokok yang dicapai dari Perundingan Linggajati antara lain:143
1) Pengakuan Belanda secara De facto atas eksistensi Negara Republik
Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura,
2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia, dan
3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Nilai perjuangan diplomasi yang terkandung dalam perundingan Linggajati
sangat besar. Peristiwa ini menampilkan bagaimana para pemimpin bangsa saat itu
berusaha agar Republik Indonesia yang baru merdeka 1 tahun diakui sebagai negara
yang eksis oleh negara-negara lain karena telah menyatakan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Para pemimpin bangsa saat itu berjuang agar kedaulatan
Indonesia dipertahankan dari agenda-agenda kolonialisasi. Cita-cita mereka akhirnya
terwujud karena Inggris pada tanggal 31 Maret 1947 mengakui kekuasaan de facto
dari Republik Indonesia yang disusul Amerika Serikat tanggal 23 April 1947, lalu
Mesir pada tanggal 10 Juni 1947 juga mengakui RI secara de facto sekaligus de jure,
dan selanjutnya oleh negara-negara timur tengah seperti Lebanon, Syiria, Irak,
Afghanistan, Saudi Arabia, Yaman dan Burma.144
c. Anggota KNIP dan Badan Pekerja KNIP (1945-1946)
Ketika Sjahrir diangkat menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat), Hamid diangkat sebagai anggota badan ini kemudian duduk dalam
Badan Pekerja KNIP. Hamid yang masih berada di Pasuruan dipanggil dan
diberi tugas di Jakarta.
143https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum-
Konferensi-Linggajati.aspx diakses pada 1 Mei 2018, pukul 20.00 WIB. 144 https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum-
Konferensi-Linggajati.aspx diakses pada 1 Mei 2018, pukul 20.00 WIB
79
KNIP merupakan komite yang dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan
Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak
tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950. KNIP merupakan
Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka
masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). KNIP ini diakui
sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Hatta menetapkan bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR
diserahi kekuasaan legislatif, ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan oleh sebuah badan
pekerja yang bertanggungjawab pada kondisi negeri yang genting. Badan
Pekerja KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir
dan wakilnya Amir Syarifuddin serta beranggotakan 28 orang, salah satunya
adalah Hamid Algadri. Tugas mereka adalah mengurusi ketatanegaraan
Indonesia seperti membuat GBHN dan peran legislatif lainnya
.
d. Karir di Kementerian Penerangan (1947)
Pada tahun 1947 Hamid mendapat amanat sebagai sekretaris Menteri
Penerangan. Dalam kapasitasnya tersebut, tugas Hamid adalah membantu
menjalankan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk mengimbangi dalam
propaganda Belanda yang sangat gencar. Menduduki jabatan tersebut tidaklah
mudah, karena ia harus bisa mencari informasi-informasi penting serta
strategis, bahkan rahasia dari kolonial dan menyebarkan kepada rakyat melalui
media radio.
Apa yang gencar disuarakan Hamid membuat Belanda gusar dan
menganggapnya sebagai seorang teroris besar. Bahkan Hamid menyatakan rasa
tegangnya ketika Belanda mendatangi rumah Hamid untuk menangkapnya di
tengah malam. Tiga puluh tentara mengepung rumah Hamid.
Pengawasan Belanda terhadap Hamid semakin intensif pada hari-hari
setelah itu. Militer Belanda masih berkeinginan memperbesar kekuatannya di
80
Indonesia, namun keadaan mereka lemah dan menderita pasca Perang Dunia II.
Pada periode ini, Hamid terlibat banyak dalam upaya negoisasi politik dengan
Belanda. Sehingga ia sering mengalami penangkapan oleh militer Belanda.
e. Konferensi Meja Bundar (KMB) (1949)
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di
Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara
perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal
Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di
kepulauan Indonesia.145 Indonesia diketuai oleh Moh. Hatta. Ia membawa
beberapa anggota. Adapun BFO (Delegasi “Sub-Wilayah” yang masih
diduduki oleh Belanda. Sub-Wilayah termasuk daerah Timur Kepulauan
Indonesia) diketuai oleh Sultan Pontianak Hamidi II dan Belanda diketuai oleh
Van Maarseveen
Konferensi ini digelar Untuk mengakhiri perselisihan antara negara
Indonesia dan Belanda dengan jalan melaksanakan perjanjian-perjanjian yang
telah diadakan antara Republik Indonesia dengan Belanda, terutama mengenai
pembentukan Negara Serikat.
Hamid ikut dalam peristiwa yang sangat penting bagi kedaulatan bangsa
Indonesia ini. Ia didaulat sebagai penasihat dalam KMB tersebut. Karena
Hamid banyak berpartisipasi dalam proses menuju kemerdekaan pada
perjanjian renvile dan linggajati, sehingga Presiden Sukarno menunjuknya
sebagai penasihat delegasi Indonesia dalam KMB itu mendampingi wakil
Presiden Hatta. Setelah melalui banyak negosiasi, pada bulan Desember 1949
akhirnya forum tersebut bersepakat untuk Pengalihan Kedaulatan ke negara
Indonesia yang baru.
145 https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar. diakses pada 1 juni 2018 pukul
21.00 WIB.
81
f. Karir sebagai Anggota DPRS (1950-1955)
Hamid pernah diangkat menjadi anggota DPR-RIS. Pada 25 Desember
1950 di Malang, diadakan konferensi orang keturunan Arab yang dihadiri
wakil-wakil dari 21 kota di seluruh Idnonesia untuk membicarakan praeadives
Hamid dan konsep Abdullah Bayasut. Pada 26 Desember 1950, konferensi
tersebut mengambil keputusan diantaranya:
Pertama, membentuk badan yang diberi nama Badan Konferensi Bangsa
Indonesia Keturunan Arab.
Kedua, menerima struktur badan konferensi tersebut dengan rencana
kerjanya ke luar dan dalam.
Ketiga, memilih susunan sekretariat pusat sebagai berikut: (a) badan
pekerja terdiri dari Hamid Algadri, Said Bahreisj dan Hoesin Bafagih; (b)
pembantu di provinsi di seluruh Indonesia.146
Pergerakan nasional Hamid saat menjadi anggota parlemen sangat
strategis. Ia duduk dalam Komisi Luar Negeri sering mengadakan kunjungan
resmi ke berbagai negara di Asia dan Eropa.
Pada Tahun 1950-an yang lebih dikenal dengan periode demokrasi
parlementer, Hamid terlibat dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) sebagai
anggota Biro Pusat. Kemudian ia terpilih sebagai anggota dalam pemilu 1955.
Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi PSI dalam Konstituante yang
bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru. Perannya yang signifikan
adalah Hamid menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui
pembentukan negara Islam di negara Indonesia. Kodisi politik yang sempat
menagang akhirnya hasil akhir dalam sidang Konstituante menyatakan
Indonesia disetujui kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif jalan tengah.
Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke
UUD 1945.
Karir Hamid terus melejit dalam parlemen. Salah satu kegiatan Hamid dalam
parlemen adalah menjadi sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia
146 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan….., hlm. 188.
82
dan Aljazair. Panitia ini didirikan pada tahun 1956 ini juga diikuti tokoh-tokoh
parpol seperti Mohammad Natsir, Kasimo, Mr Sunario dan lain sebagainya.
Rumah Hamid yang terletak di Jalan Tosari 50 menjadi ramai karena
dijadikan tempat berkumpulnya pejuang-pejuang dari Afrika Utara (Maghribi). Pada
tahun 1952, Habib Bourguiba dan Tayeb Salim dari NeoDestour Partai Tunisia
datang ke Indonesia untuk meminta bantuan dalam melawan Prancis dan menjadi
republik baru. Demikian juga pada tahun 1956, dua pemuda Aljazair, Lakhdhar
Brahimi dan Muhammad Benyahya, datang meminta bantuan yang sama.
Parlemen memberi Hamid tanggung jawab resmi untuk membantu kedua
kelompok tersebut. Kemudian Hamid diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Aljazair
dan Tunisia Aid Committee. Dua negara tersebut mengharapkan dukungan moral
dari partai politik dan dukungan material untuk perjuangan mereka. Hamid juga
mengirimkan pejuang gerilya yang berpengalaman, seperti Jenderal Suwarto, ke
Aljazair.
Apa yang dilakukan Hamid terhadap kedua negara tersebut karena faktor
idealisme dan primordialisme. Pertama Hamid ingin membantu negara-negara ini
dalam perjuangan mereka melawan kolonialisme sebagaimana Hamid pernah
melakukannya pada saat berjuang melawan kolonialisme Belanda yang
berkepanjangan di tanah air untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai
negara yang berdaulat dan mendapat pengakuan dari negara-negara lainnya. Yang
kedua, Hamid menganggap Tunisia dan Aljazair adalah saudara sendiri karena
memiliki ras yang sama, yaitu bangsa Arab. Kedekatan tersebut mendorongnya
untuk membantu secara optimal.
Usaha Hamid dalam mendukung perjuangan mereka, pada 1957 Hamid
diberikan bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair. Beberapakali
Hamid beserta istrinya diundang sebagai tamu kenegaraan ke Tunisia dan Aljazair.
Diantara penghargaannya adalah penghargaan Nishan Iftighar oleh Kerajaan Tunisia
dan kemudian pada tahun 1992 dianugerahi Wism Jumhuria dari Republik Tunisia.
Pada tahun yang sama ia juga dianugerahi Masaf al-Istihaqaq al-Watani. Ketiga
pernghargaan tersebut adalah bentuk penghargaan tertinggi. Atas jasanya di luar
83
negerriAdapun di dalam negeri, ia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui
sebagai Perintis Kemerdekaan.
Pada akhir karirnya, yaitu setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, Hamid
aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.
D. Karya-karya
Hamid Algadri merupakan seorang keturunan Arab yang turut serta dalam
pergerakan nasional di Indonesia. Kiprahnya di dalam PAI menjadi permulaan
sehingga karirnya melejit. Hal itu karena Hamid terampil dalam mengolah kata. PAI
turut memberikan ruang pada Hamid untuk mengembangkan pemikiran kritisnya.
Kegemarannya menulis kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk karya.
Ketertarikannya dalam dunia pena dilatar belakangi oleh riwayat
pendidikannya yang tinggi serta pemikirannya yang kritis terhadap kebijakan-
kebijakan Belanda yang seringkali mengancam eksistensi koloni-koloni Arab di
Nusantara. Berikut karya-karya Hamid Algadri yang merepresentasikan pemikiran
kebangsaannya.
Buku yang berjudul “C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam
dan Keturunan Arab” pada tahun 1984. Buku dengan judul Suka Duka Masa
Revolusi pada tahun 1991. Hamid juga menulis buku dengan judul Mengarungi
Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan pada tahun 1999 dicetak oleh
penerbit Lentera Jakarta. Prime Minister Sjahrir as Statesmen and Diplomat: How
the allies became friends of Indonesia and opponents of the Dutch (1945-1949) yang
diterbitkan oleh LP3S pada tahun 1995 berbahasa Inggris.
Artikel Hamid Algadri dalam Insjaf dan Aliran Baroe
a. Dalam Insjaf
Oktober 1937 Soal Tanah Air dari Joeroesan
Staatrecht
November 1937 Soal Tanah Air dan Masjarakat
Indonesia
84
Januari 1938 Soembangan oentoek Petitie Sutardjo
Februari 1938 Keboetoehan Bangsa Arab kepada
Westerch Onderwijs
April 1938 Zaman Baroe: Zaman PAI
Agustus 1938 Pemandangan Oemoem terhadap
Bangsa Arab
Oktober 1938 Volsraad dan Golongan Arab
Desember 1938 Hak Kerakjatan (Onderdaanschap)
Januari 1939 Sekeliling Soal Indo
Maret-Arpil 1939 Soal Indo di Indonesia
Februari-Maret 1940 Soal Indo, Indonesia dan Hadramaut,
Stellingen Badan Statistik
April 1941 Halaman Pernyataan, Tafsiran AD
PAI
Mei 1941 Tafsiran AD
b. Dalam Aliran Baroe
April 1939 Aliran Baroe dan Modernisme, Indo
Arab dan Arab Indonesia
Desember 1940 Soal Indo di Indonesia147
147 Muhammad Ridlo Rachman, “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah
Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia (2013)
85
BAB IV
PERJUANGAN HAMID ALGADRI MASA PERGERAKAN DAN
PASCA KEMERDEKAAN
A. Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri
Pergerakan kebangsaan yang ditampilkan Hamid tidak terlepas dari latar
belakang keluarga, pendidikan serta kesukuannya. Pertama, faktor kesukuan.
Tercatat sebagai etnis Arab yang lahir di tanah Jawa (Pasuruan), Hamid menganggap
dirinya dan keluarganya adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Sehingga ia
merasa risih jika ada pihak tertentu yang berusaha untuk mendiskriminasi
kesukuannya. Rasa nasionalismenya muncul saat ia terlibat secara aktif mengkritik
kebijakan dan sistem pemerintahan Kolonial Belanda.
Suatu pendapat yang tersebar luas di kalangan Eropa, khususnya penjajah di
Nusantara adalah bahwa koloni-koloni Arab menentang dominasi mereka. Meskipun
pandangan itu keliru untuk menggambarkan tentang orang-orang Hadramaut di
Nusantara, namun gagasan ini begitu kuat berakar karena semua orang menyaksikan
bahwa keinginan orang Arab Hadramaut adalah menguasai masyarakat.148
Melihat kenyataan itu, Hamid berupaya untuk menghilangkan pendapat yang
keliru itu. Jauh sebelum Nusantara dijajah oleh Belanda, orang-orang Arab telah
datang dengan damai, menyebarkan ajaran agama. Mereka membawa spiritualisme
untuk memberikan tatanan kehidupan lebih baik. Sebaliknya, dalam pandangan
orang Hadramaut, negeri Belanda hanya dikenal sebagai kekuasaan penjajah di
Nusantara. Konfigurasi politik di Nusantara saat itu menunjukkan bahwa Arab yang
diidentikan dengan Islam adalah musuh yang berbahaya bagi Belanda yang identik
dengan misi penguasaan dan kristenisasi. Sehingga eksistensi Arab mendapat
perhatian yang penuh dari pemerintah Belanda. Dari sinilah kebijakan-kebijakan
politik ekspansi Belanda muncul.
Hamid telah membaca gerak gerik dan rencana Belanda di Nusantara.
Sebenarnya Belanda kawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam
148 L.W.C. Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010), hlm. 155.
86
fanatik sehingga mengganggu ekspansi mereka. Sistem politik yang khusus
diberlakukan untuk umat Islam dan etnis Arab semakin diperkuat setelah kedatangan
Snouck Hurgronje pada tahun 1889.149 Pemerintah Hindia Belanda mempunyai
kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam.
Meskipun Snouck menegaskan bahwa hakekat orang Islam di Indonesia itu
tidak penuh damai dalam menjalankan ibadahnya, namun ia pun tidak buta terhadap
kemampuan politik fanatisme Islam. Ia menganggap musuh kolonialisme adalah
Islam sebagai doktrin politik.150
Masih menurut Snouck, Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap
kekuasaan Belanda. Kenyataannya memang demikian, bahwa agama Islam di
Indonesia telah menjadi pengikat kuat persaudaraan. Islam merupakan titik identitas
yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintahan Asing (kolonial).
Kekawatiran Snouck terhadap kekuatan politik Islam di Nusantara didasari
oleh dua aspek: internal dan eksternal. Secara internal, kelompok-kelompok
keagamaan seperti tarekat tampak memiliki kekuatan yang dapat menjaring dan
merangkul masyarakat Islam. Tarekat membentuk kekuatan melalui amalan-amalan
spiritual. Sehingga masyarakat tertarik kepadanya. Gerakan ini tidak bisa dianggap
remeh, karena bisa saja perkumpulan tersebut menggerakkan perlawanan terhadap
kaum Kafir. Adapun secara eksternal, kekhawatiran Snouck muncul ketika banyak
dari masyarakat Islam pribumi yang pergi ke timur tengah dengan berbagai alasan.
Sebagaian dari mereka lama merantau untuk menuntut ilmu. Ilmu yang diperoleh
menjadi bahan dakwah di tengah masyarakat untuk menguatkan ideologi keislaman,
sehingga sikap dan semangat melawan kolonial menjadi tinggi. Di lain hal,
masyarakat muslim pribumi melakukan perjalanan ke sana untuk memenuhi
panggilan Allah, berhaji. Tingkat religiusitas para jamaah meningkat setelah pulang
149 Christian Snouck Hurgronje diangkat sebagai kepala kantor penasehat urusan Arab dan
Islam (Adviseur Voor Arabische-en Islamitische Zaken) pada tahun 1889. Snouck adalah salah seorang negarawan-kolonial besar negeri Belanda. Pengetahuan Snouck tentang sifat Islam-Indonesia sangat besar artinya dalam menjalankan politik Islam Belanda menuju sukses. Harry J. Benda menyatakan bahwa hasil terbesar yang diperoleh Belanda adalah karena peranan yang dimainkan Snouck dalam reorientasi politik bersamaan dengan perbaikan taktik militer yang pada akhirnya mengakibatkan perang Aceh. Harry J Benda, “Christian Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia”, Collected Journal Articles, Continuity and Change in South East Asia, New Haven: Yale University SEA Studies, Monograph Series No. 18, 1970, hlm. 83.
150 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (The Hague, 1958), hlm. 22.
87
dari haji, sehingga jika ada yang mengusik keimanan mereka, mereka
mempertaruhkan.
Sensitifitas agama menjadi salah satu pemicu Belanda menerapkan aturan-
aturan yang ketat. Agama Islam yang dianut masyarakat pribumi maupun etnis Arab
menjadi musuh bagi kolonial. Pada akhirnya hal itu berdampak pada kebijakan
politik, kebijakan kemasyarakatan dan tata negara Hindia Belanda untuk etnis Arab
dan warga pribumi yang beragama Islam.
Belanda menerapkan passen-stelsel, yaitu orang Timur Asing (sebutan etnis
Arab di Nusantara) hanya boleh pergi ke tempat lain dari tempat tinggalnya jika
mendapat pas izin untuk bepergian.151 Snouck tidak menginginkan adanya
pembauran antara keturunan Arab dan warga pribumi (Regerings Reglement) karena
dianggap dapat menguntungkan mereka dan merugikan pihak kolonial yang gencar
ingin mempercepat penguasaan terhadap tanah Nusantara. Padahal pembauran ini
sudah terjadi sejak lama.
Hamid merasa perlu memberikan kritik atas status keturunan Arab di
Indonesia. Karena di negara-negara bekas koloni Barat, keturunan Arab mempunyai
status yang sama dengan orang-orang yang merupakan mayoritas Islam. Seperti di
Malaysia, India, Pakistan dan Bangladesh, keturunan Arab memiliki status hukum
yang sama dengan warga asli sebelum dan sesudah berdaulat, namun tidak demikian
keadaannya di Indonesia. Oleh karenanya pada tahun 1940-an, Hamid ikut
bergabung dengan pergerakan-pergerakan nasional yang terdiri dari kaum peranakan
Arab. Ia menyoal status etnis Arab yang telah lahir di Nusantara adalah bagian dari
warga pribumi yang mengakui kedaulatan negara, bertanah air dan berbangsa
Indonesia.
Pemisahan keturunan Arab di Nusantara dengan pribumi sebagaimana diatur
dalam undang-undang Belanda justru dapat melemahkan kekuatan “Islam” untuk
melawan Belanda. Hamid yang melek sejarah paham bahwa para pendahulunya di
perang Paderi, perang Diponegoro dan lainnya memperjuangnkan bangsa dengan
segenap jiwa raga dari penguasaan penjajah. Oleh karena itu, Hamid memupuk rasa
151 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam pemberontakan melawan Belanda,
(Bandung: Mizan, 1996), edisi 3, hlm. 98.
88
nasionalisme tersebut untuk meneruskan kiprah mereka menentang penjajahan
Belanda di bumi Nusantara.
Kedua, faktor pendidikan.ketidak sukaan Hamid terhadap kolonial Belanda
juga dilatarbelakangi dari riwayat pendidikannya. Memang pada waktu itu orang
Arab atau keturunan Arab di Nusantara melarang anak-anaknya untuk bersekolah di
sekolah Belanda dengan alasan bahwa pendidikan Barat dianggap sebagai sekolah
Kristen yang akan merusak agama yang sudah diajarkan dari lingkup keluarganya.
Meskipun pada akhirnya Hamid masuk ke sekolah ELS (Europeesche Lagere
School), namun ia mendapat perlakukan yang tidak baik dari teman-teman Belanda.
Hamid sering diejek dan tidak jarang harus melayani berkelahi dengan teman-
temannya. Keadaan menjadi lebih gawat ketika salah seorang guru Protestan fanatik
menunjukkan sikap anti-Islamnya kepada Hamid dengan mengejek agama dan
Nabinya.
Kejadian yang pernah dirasakan Hamid sejak berada di sekolah tersebut
memberi banyak arti dalam kehidupannya. Hamid dewasa menjadi aktivis. Ia terlibat
dalam Ikatan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond) atau disingkat dengan JIB.
Perasaan anti-Belanda seperti pengalamannya saat bersekolah membentuk jiwa kritis
yang dituangkan dalam tulisan. Majalah JIB adalah salah satu yang diterbitkan dalam
bahasa Belanda yang merupakan penerangan dan pembela agama terhadap segala
bentuk serangan Belanda terhadap Islam, karena majalah ini menjangkau orang non-
Islam. Hamid berkembang sedemikian rupa dan mendedikasikan hidupnya untuk
memperjuangkan kedaulatan Indonesia
Ketiga, faktor keluarga. Meskipun kakek dan ayah Hamid memangku jabatan
honorer dari pemerintahan Belanda saat itu yaitu sebagai Kapitein Arab di Pasuruan,
tapi bukan berarti mereka mengajarkan Hamid untuk cinta dan membela kebijakan-
kebijakan Belanda. Jabatan tersebut tidak memiliki ikatan khusus untuk membela
Belanda. Faktanya kakek dan ayah Hamid masih pada pendiriannya sebagai
keturunan Arab yang cinta terhadap tanah air Indonesia. Jika dipandang, posisi
sebagai kapten daerah sangat prestis. Kapten sama dengan kepala daerah yang
memiliki wewenang politis pada suatu daerah tertentu. Namun jabatan itu tidak
membuat kakek dan ayah Hamid lupa terhadap etnisnya. Mereka mengajarkan nilai-
89
nilai agama sejak kecil dan memberikan pendidikan yang optimal agar Hamid dapat
berpikir terbuka terhadap lingkungan sekitar.
Salah satu doktrin pergerakan yang melekat pada keluarga Hamid adalah
Pan-Islamisme. Hal ini dapat terlihat pada Hamid ketika bersekolah di ELS, ia
mengenakan terbus (kopiah merah khas Turki). Pemerintahan Belanda selalu was-
was jika ada gerakan yang mengancam kekuasaannya. Jika tarekat adalah bahaya
dari dalam, maka gerakan Pan Islam merupakan bahaya yang berasal dari luar.
Kecurigaan Belanda banyak mengarah kepada segolongan yang berbau Arab dan
Islam, seperti masyarakat pribumi yang menuntut ilmu di timur tengah dan para
jamaah haji.
Pan Islam merupakan penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu
kekuasaan politik dan agama. Turki berusaha menggunakan gerakan ini untuk
menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan Usmani. Menariknya, situasi saat
itu hampir seluruhnya negara-negara di Asia-Afrika dijajah Barat. Gerakan yang
menghidupkan ukhuwah islamiyah ini dianggap berbahaya oleh negara-negara
penjajah karena bisa membangkitkan semangat perlawanan bangsa-bangsa Islam.
Termasuk di Indonesia, gerakan yang cenderung mengarah pada Pan Islam akan
mendapat sorotan khusus pemerintah Belanda.
Meskipun jarak kepulauan Indonesia dengan Turki dan negara-negara Arab
cukup jauh namun Indonesia tidak lepas dari perhatian dunia Islam. Arab dan Turki
terus melihat kekuasaan Belanda yang semakin menindas. Apalagi hubungan timur
tengah dengan Indonesia sangat baik dengan semakin meningkatkan jumlah jamaah
haji tiap tahunnya.
Nilai-nilai perjuangan Islam yang ditanamkan keluarga pada Hamid sangat
membekas, sehingga ia memiliki semangat yang tidak pernah pudar untuk terus
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan yang ia lakukan bukan dengan
mengangkat senjata, melainkan melalui media masa karena keahliannya adalah
menulis sebagaimana telah lama ia geluti sejak di bangku sekolah. Adapun peran lain
Hamid lebih signifikan bagi bangsa Indonesia yaitu pasca kemerdekaan. Ia masuk ke
dalam birokrasi pemerintah Indonesia sebagai bagian penting dalam konferensi-
konferensi dan penerangan publik.
90
B. Perjuangan Hamid Algadri : Masa Pergerakan
Sebagaimana diteorikan dalam bab sebelumnya bahwa pergerakan nasional
menunjukkan pergerakan dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi
untuk menentang penjajahan demi mencapai kemerdekaan. Maka secara garis
besar, peneliti membagi perjuangan Hamid Algadri menjadi dua yaitu pertama,
perjuangan masa Pergerakan. Kedua perjuangan Hamid Algadri pasca kemerdekaan
Indonesia.
1. Kritik terhadap Kolonial Belanda
Di dalam melawan kolonial Belanda, Hamid tidak melakukannya dengan
senjata dan fisik. Hamid melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara
propaganda melalui Media Massa.
Hamid memiliki peran dalam melawan kolonialisasi Belanda di tanah air
Indonesia melalui propaganda-proganda yang ia sebarkan di media masa. Dalam
konteks ini, Hamid memberikan banyak peran berupa pemikiran kritis terhadap
kebijakaan-kebijakan Belanda. Apa yang ia lakukan memantik semangat perjuangan
rakyat lainnya dalam mempertahankan hak-hak hidup di tanah air sendiri dan
melawan segala bentuk penindasan.
Sikap kritis Hamid sudah terlihat sejak berada di bangku sekolah. Ia juga
mahir dalam menulis. Keterampilan ini menjadi media untuk menyalurkan
aspirasinya. Hamid sering menyampaikan sikapnya terhadap kolonialisasi Belanda
melalui media masa. Tulisannya merupakan kritik terhadap kebijakan-kebijakan
yang dirasa sangat merugikan dan tidak adil terhadap keturunan Arab dan
masyarakat pribumi. Media koran atau majalah merupakan alat yang strategis untuk
menyampaikan data faktual dan propaganda pada saat itu. Selain mudah dijangkau
oleh segala kalangan, media masa cukup efektif untuk memberikan informasi
penting kepada masyarakat.
Dalam masa pendidikan di Rechts Hogeschool, Hamid sering menulis artikel
dalam majalah Insjaf. Majalah ini pernah menyebut Hamid sebagai pionier (perintis)
dalam masyarakat keturunan Arab atau Arab Indonesia yang meningkatkan
91
pengetahuan dalam sekolah tinggi dan “menjadi pohon pengharapan di kemudian
hari”. Sejak saat itu memang banyak pemuda Arab Indonesia yang mengikuti jejak
Hamid dengan memasuki Sekolah Dasar (Lagere School).
Majalah ini dinamai Insjaf dengan tujuan agar selalu ingat bahwa yang
sebenarnya masyarakat Arab butuhkan adalah keInsjafan sehingga memperoleh
kemajuan. Terbitnya majalah ini memberikan kesadaran serta tanggungjawab kepada
peranakan Arab di Nusantara bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang harus
berjuang bersama pribumi untuk menuntuk hak negara kepada pemerintahan
Belanda.
Salah satu artikel Hamid dalam Insjaf yang berjudul “Soal Tanah Air, dari
jurusan Staatsrecht” (Hukum Tata Negara) terbitan Oktober 1937, menjelaskan
tentang paham ras dan paham natie (kebangsaan). Hamid tegaskan di situ bahwa
paham ras harus dihilangkan dalam Staatrecht, sebagaimana terjadi di negara-negara
Eropa, dan harus diganti dengan paham natie yang berarti adanya satu golongan
dengan satu negara, satu kepentingan dan satu nasib tanpa mempersoalnkan apakah
golongan ini terdiri dari satu keturunan atau lebih. Hamid mengambil contoh,
misalnya orang neger di Amerika, yang menurut paham ras memang orang neger,
tetapi menurut paham natie ia adalah bangsa Amerika yang sejati. Adapun PAI
mencampuri politik, yang bergantung pada staatrecht, bukan suatu perhimpunan
para antropolog yang mengenali paham ras.152
Demikian juga dalam artikel Hamid yang berjudul “Kabar Baik, Soal Tanah
Air dan Masyarakat Indonesia” dalam Insjaf terbitan November 1937 Hamid
menegaskan bahwa PAI berikhtiar dan bertujuan menunjang kebangunan kerakyatan
Indonesia yang satu, sebagaimana juga dikehendaki oleh Petisi Sutardji153 dengan
rancangan Indisch Burgerschap (kewarganegaan Hindia), yang telah diterima oleh
Volksraad. Memang Volsraad masih belum sempurna sehingga badan ini belum
dianggap sebagai Badan perwakilan dari masyarakat Indonesia dalam arti yang
sesungguhnya tetapi dalam soal Indisch Burgerschap bolehlah diercaya suara
152 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: UI Press, 1991), hlm. 51. 153 Mengenai petisi Sutardjo, Hamid menjelaskannya dalam artikel yang ia tulis berjudul
“Sumbangan untuk orientasi Petisi Sutardjo” yang menghendaki pemerintahan bentuk baru di negeri ini, bukan merupakan koloni tapi sama kedudukannya dengan Nederland.
92
Volksraad adalah suara masyarakat Indonesia. Dan diterimanya prinsip Indisch
Burgerschap oleh Volksraad itu bisa diartikan sebagai diterimanya dan diakuinya
tujuan PAI terhadap soal tanah air oleh masyarakat Indonesia.154
Hamid memiliki karakter khusus pada setiap tulisannya di Insjaf. Tulisannya
bersifat kritik terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Sistem kehidupan
peranakan Arab di Nusantara pun tak luput dari kekritisannya. Tulisannya yang
berbobot itu seringkali memprovokasi pihak lawan (Belanda) sehingga tak jarang,
Hamid menjadi buronan mereka. Namun apa yang ia tulis bukanlah atas
subjektifitasnya, melainkan disertai penjelasan ilmiah dan alasan ketidaksetujuan
terhadap sistem dan kebijaksaan yang diberlakukan Pemerintah Belanda.
Salah satu contoh kritiknya terhadap pemerintah adalah dengan
mempertanyakan inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan Undang-undang yang
telah dibuat dan diberlakukan. Misalnya adalah implementasi UU dasar perubahan
Inlandsch Staatregeling pada tahun 1922. Hamid secara tegas menyatakan bahwa
peraturan tersebut hanya formalistik, demi meredam tuntutan dari golongan Etisch di
Perlemen Belanda sehingga perubahan UU yang demokratis kepada penduduk
Hindia Belanda dilakukan. Hamid tidak segan untuk mengatakan pemerintah hanya
pandai membual tanpa ada praktik.
Yang menjadi bahan kritik lainnya adalah tentang aturan kewarganegaraan.
Ia mempersoalkan hak kewarganeraan yang masih dualistik yaitu pada bidang
staatrecht dan privaatrecht khususnya untuk gologan asing yang lahir di Indonesia.
Aturan yang diberlakukan adalah sistem rasial. Hal ini memang sangat
menguntungkan pemerintah Belanda untuk memisahkan antara golongan Arab
dengan masyarakat pribumi sehingga meminimalisir tingkat pemberontakan terhadap
pemerintah yang sedang berkuasa.
2. Peran Hamid dalam PAI
Orientasi kebernegaraan (statehood) komunitas keturunan Arab awal abad ke
20 masih ditujukkan pada Negara Hadramaut yang secara langsung tercermin dalam
kurikulum dan bahasa pengantar yang digunakan dalam lembaga pendidikan mereka.
154 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 51
93
Pengajarnya pun didatangkan dari Negara Arab yang mengadopsi sistem pendidikan
modern, seperti Irak, Hijaz, Mesir, dan Lebanon. Orientasi kebernegaraan ini
menjadi kendala ketika paham kebangsan mulai melanda berbagai wilayah,
khususnya tanah jajahan, termasuk Hindia Belanda. Identitas dan orientasi politik
kearaban yang diwacanakan dalam komunitas arab di Hindia Belanda menjadi
kendala ketika dihadapkan pada realitas sosial keturunan Arab. Mayoritas keturunan
arab di Hindia Belanda beradat istiadat lokal, berbahasa setempat, dan menjadi
bagian dari komunitas etnis lokal melalui perkawinan. Maka, sulit bagi mereka untuk
menjadikan Hadramaut sebagai tanah air yang dicita-citakan.155
Deklarasi yang dikumandangkan oleh berbagai organisasi pemuda dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang melintasi batas etnik dan agama
berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab di Hindia Belanda.
deklarasi kebangsaan ini menimbulkan kesulitan bagi komunitas keturunan Arab
karena status hukum mereka sebagai orang asing dengan orientasi kebernegaraan
kepada negeri yang jauh, yaitu Hadramaut, akan tetapi secara kultural mereka terikat
dengan budaya lokal di mana mereka mengembangkan hidupnya. Kondisi inilah
yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan pandangan tentang semangat
kebangsaan yang dimiliki oleh masyarakat keturunan arab di Indonesia, selain
perdebatan secara internal di kalangan keturunan arab mengenai golongan-golongan
yang terdapat pada masyarakat arab.
Pada tahun 1930 berdiri satu perkumpulan yang menamakan dirinya Indo
Arabisch Verbond (IAV) pada tahun 1939 berganti menjadi IAB (Indo Arabische
Beweging), pengambil inisiatif dan pendiri perkumpulan ini adalah M.B.A Alamudi,
seorang keturunan arab kelahiran Amboina. Sebelum mendirikan IAV, Alamudi
sudah berkeliling di kota pulau Jawa dan mendapat sambutan yang cukup besar. Saat
itu masyarakat arab mulai menyadari bahwa perpecahan yang seringkali terjadi
diantara mereka sangat merugikan golongan Arab di Indonesia dan dengan
berdirinya IAV diharapkan dapat mempersatukan kembali golongan tersebut. IAV
banyak mengandalkan dukungan dari orang kaya dari golongan arab dan masih
belum dapat melepaskan diri dari sistem sosial di Hadramaut. IAV kurang
155 Nabil a. Karim Hayaze, A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis, h.36
94
mengaitkan diri dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia sendiri yang
sebagian besar keturunan Arabnya sudah membaur dan sudah terlepas dari sistem
sosial di Hadramaut.156
Organisasi IAV yang belum bisa melepaskan diri dari sistem sosial pada
akhirnya juga menyebabkan beberapa keturunan arab yang tidak puas dengan sepak
terjang IAV. Salah satunya adalah A.R. Baswedan yang menjadi pelopor tercetusnya
sumpah yang menyatakan Indonesia sebagai tanah air mereka pada tanggal 4
Oktober 1934 di Semarang, dilanjutkan dengan mendirikan Persatuan Arab
Indonesia (PAI) pada tanggal 5 Oktober 1934. PAI merupakan gerakan Islam-
Nasionalis yang memulai gerakannya dari sumpah pemuda arab, sumpah mengaku
Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab.
PAI didirikan di Semarang tanggal 4 Oktober 1934 dengan dasar bahwa
Indonesia adalah tanah air mereka. Dengan singkat: Keturunan Arab adalah putra
dan berbangsa Indonesia dan harus mengabdi pada tanah airnya, sama dengan suku
bangsa Indonesia lainnya. Gerakan ini yang biasanya dinamakan Gerakan Sumpah
Pemuda Keturunan Arab.157 PAI mengakui Indonesia sebagai tanah air keturunan
arab harus memenuhi kewajiban mereka sebanyak mungkin terhadap tanah air
mereka dan terhadap masyarakat Indonesia. Untuk melakukan kewajiban itu, mereka
harus memperbaiki kedudukan mereka di bidang social, ekonomi, dan politik.
Kebudayaan keturunan arab adalah kebudayaan Indonesia sepanjang kebudayaan itu
tidak bertentangan dengan Islam.
Lain halnya dengan IAB yang didirikan oleh M.B.A. Alamudi, pada rapat
pertamanya dikatakan bahwa nasionalisme adalah berbahaya dan bahwasanya
gerakan nasionalisme tidaklah sehat.158 Pandangan ini justru sangatlah bertolak
belakang dengan pandangan PAI yang sangat menjunjung tinggi nasionalisme
Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa IAB bertujuan memperkuat ras bahwa
keturunan arab adalah orang arab dan harus tetap tinggal di Arab, sedangkan PAI
adalah perkumpulan Indo-Arab yang menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia.
156 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab., h.167 157 Nabil a. Karim Hayaze, A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis, h. 37 158 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan
Arab, 155
95
Peran Hamid ketika ia memutuskan untuk menggabungkan diri dalam PAI
adalah menyatukan golongan arab untuk menjadi bagian dari Arab-Indo bukan Indo-
Arab dan mencoba mengubah citra buruk keturunan Arab di Nusantara yang mulai
menjalar di kalangan intelektual. Pasalnya citra buruk etnis Arab selalu diberitakan
dalam harian dan majalah Belanda yang banyak dibaca oleh kaum intelektual
Indonesia. Hamid tidak menginginkan asimilasi yang telah terjadi puluhan tahun lalu
dan hubungan baik Arab dengan Indonesia rusak karena citra buruk ini.
Gerakan keturunan Arab ini cepat diterima dalam gerakan nasional. Setelah
berhasil menyatukan dua pandangan kelompok keturunan Arab yang berbeda, Hamid
mendorong anggota PAI agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Konsekuensinya, mereka harus mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Langkah
Hamid yang berada pada posisi ketua PAI cabang Jakarta kemudian menjadi
pengurus besar PAI sampai tahun 1942 sangat signifikan. Ia dapat ikut menentukan
prinsip dan ideologi PAI. Apalagi saat Hamid ditunjuk sebagai wakil PAI dalam
GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia)159 bersama ketua PB PAI H.M.A Hosein
Alatas.
Atas keahliannya berorasi dan berunding, Hamid Algadri sering ditunjuk
sebagai pembicara dalam rapat-rapat penting yang diselenggarakan oleh PAI. Salah
satu contohnya ketika ia ditunjuk menjadi jubir dalam rangka aksi masa Petisi
Soetardjo dan tuntutan Indonesia Berparlemen. Hamid menyampaikan sikap dan
pandangan PAI sehingga bermunculan simpati dari partai-partai nasional.
Pada tahun 1939 PAI semakin berkembang. Banyak peranakan Arab yang
menyatakan diri bergabung dengan PAI. Oleh karena sudah menyebar dibentuklah
cabang-cabang dan juga ranting. Hamid Algadri berperan menguatkan pandangan
bahwa PAI ini adalah organisasi yang tidak hanya mengakui Indonesia sebagai tanah
air mereka saja, tetapi bahwa keturunan Arab adalah nasionalis yang siap
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan para penjajah.
Hamid Algadri ikut berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan penyamaan
hukum dengan pribumi. Ikut di dalam Petisi Sutarjo merupakan sebuah langkah awal
159 GAPI adalah suatu organisasi yang menjadi payung dari partai-partai dan organisasi-
organisasi politik di Indonesia. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta.
96
memperjuangkan status Indo-Arab melalui jalur politik. Dalam kongres PAI yang
kelima di Jakarta tahun 1940, sebagaimana cita-cita Hamid Algadri PAI dapat
mencetuskan program perjuangan partainya, sebagai berikut:
Politik
1. Mencapai adanya satu massa peranakan Arab Indonesia sebagaimana dicita-citakan oleh PAI
2. Menuntut perubahan politik yang mewujudkan natie Indonesia yang satu. Oleh karenanya menuntut: (a) hapusnya ras criterium yang menjadi dasar dalam membagi masyarakat menjadi beberapa golongan: (b) adanya hak pengadilan yang sama bagi seluruh rakyat
3. Menuntut adanya suatu Parlemen Indonesia yang dipilih oleh dan untuk rakyat serta tempat pemerintah menanggung jawab: (a) menuntut adanya pemerintahan berasaskan kerakyatan (demokrasi): (b) menuntut hak memilih bagi umum dengan cara yang langsung
4. Menuntut Indonesia pada jabatan negeri 5. Menuntut: (a) luasnya hak berkumpul dan bersidang: (b) hak berbicara dan
kemerdekaan menyatakan pikiran 6. Menuntut penghapusan rupa-rupa beban adat seperti rodi Agama 1. Menuntut hapusnya artikel 178 I.S dan Goeroe Ordonnantie 2. Menuntut kembalinya hak mengurus warisan pada umat Islam pada Raad
Agama 3. Menuntut hak pemakaian masjid dan kas masjid kembali pada umat Islam 4. Menuntut hapusnya subsidi pada segala agama160
Hasil kongres PAI yang kelima sebagaimana disebutkan diatas, tidak terlepas
dari munculnya beberapa kebijakan kolonial Belanda terkait dengan perkembangan
agama Islam di Indonesia. Pada tahun 1905 pemerintah Belanda dalam Staatsblad
1905 mengeluarkan Ordonansi Guru, yang menyebutkan bahwa siapa saja yang akan
memberikan pelajaran agama untuk meminta izin tertulis terhadap pemerintah
kolonial. Disamping itu guru harus membuat daftar dari murid-muridnya dan
mengirimkannya secara berkala kepada kepala daerah setempat. Izin tersebut dapat
ditarik kembali apabila guru tersebut berulang-ulang melanggar peraturan.161
160 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.52 161 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 127
97
Sementara itu kawasan agama yang benar benar netral dan bebas dari campur
tangan Belanda semakin menyempit. Maka campur tangan Belanda dapat terlihat
pada beberapa hal, yaitu:
1. Peradilan Agama, yang sudah diatur sejak tahun 1882
2. Pengangkatan Penghulu sebagai penasehat pada Pengadilan Umum
3. Pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian bagi umat Islam, sejak
tahun 1905
4. Ordonansi Perkawinan untuk luar Jawa, 1932
5. Pengawasan terhadap pendidikan Islam
6. Ordonansi Guru 1905
7. Pengawasan terhadap kas Masjid, sejak 1893
8. Pengawasan terhadap Ibadah Haji162
Dalam majalah Insjaf Hamid Algadri juga membuat tafsiran mengenai
anggaran dasar PAI mengenai Asas Islam. Menurut Hamid Algadri, Indonesia
merupakan tempat peranakan Arab lahir dan menjadi tanah air bagi peranakan Arab.
Merupakan kewajiban bagi peranakan Arab untuk turut serta dalam memprioritaskan
kepentingan masyarakat Indonesia, karena itulah dalam PAI Hamid Algadri
menekankan dan tidak mempermasalahkan golongan Arab yang berasal dari mana,
bahwa keturunan Arab adalah orang Indonesia dan memiliki hak serta kewajiban
yang sama dengan warga asli Indonesia (pribumi).
PAI tidak menginginkan keturunan Arab menggunakan sistem Hadramaut,
tetapi meleburkan diri dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Hal ini sangat logis
karena mereka telah beranak pinak di negeri ini. Maka aturan-aturan yang harus
mereka gunakan adalah sesuai dengan kebijakan negara Indonesia.
Pada kongres kelima PAI yang diadakan di Jakarta tahun1940 nama PAI
yang semula Persatuan Arab Indonesia berganti menjadi Partai Arab Indonesia.
Pergantian ini dimaksudkan untuk menyatakan lebih tegas bahwa PAI merupakan
partai politik. Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia) didirikan pada 21 Mei
162 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 30
98
1939, PAI masuk menjadi anggota dan secara aktif turut serta dalam gerakan
Indonesia berparlemen.163
Hamid Algadri menuliskan di dalam bukunya bahwa Ki Hajar Dewantara
berpendapat bahwa PAI-lah yang dalam segala sepak terjangnya selalu berdekatan
dengan cita-cita kebangsaaan dan kenegaraan partainya sendiri di masa lampau yaitu
Indische Partij yang di bubarkan oleh gubernur Jendral pada tahun 1921, mengenang
pembubaran diri sendiri PAI pada tahun 1946, yaitu dengan masuknya anggota PAI
ke partai politik yang ada untuk membaur di dalamnya, dengan begitu maka salahkah
jika mereka disatukan pada golongan yang kini di sebut golongan minoritiet karena
mereka tidak mengasingkan diri dari golongan umum merekayang sudah bersatu
dalam masyarakat kebangsaan kita. Sambutan itu yang di bacakan oleh Ki Hajar
Dewantara dan sebagi penutup dari sambutan itu beliau berkata, karena itu kami
doakan semoga idam-idaman saudara-saudara sebangsa keturunan Arab tadi menjadi
contoh bagi golongan lain yang berketurunan asing lainnya.164
C. Perjuangan Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan Indonesia
Sesaat setelah memproklamirkan kemerdekaan bukan berarti Indonesia
terlepas dari belenggu penjajahan. Perjuangan belum berakhir. Indonesia masih harus
berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Sebab sesaat Sekutu datang ke
Indonesia dan diboncengi NICA, tentara Belanda yang ingin kembali menguasai
Indonesia. Mereka mulai melakukan penyerangan dan upaya-upaya lain agar
Indonesia kembali dalam “kepangkuannya”.
Pada tahun 1947 Hamid Algadri menjabat sebagai Sekretaris Kementerian
Penerangan, ketika NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Pemerintah
Sipil Belanda datang kembali ke Indonesia, para serdadu Belanda sering meledakkan
peluru dan menangkap siapa saja yang dianggap sebagai teroris dan ekstrimis.
Setelah dilaksanakan Perjanjian Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947, yang
menyatakan bahwa Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik di Sumatera,
Jawa, dan Madura, tetapi Belanda mendesak untuk membentuk Gendarmerie, yaitu
163 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm.53 164 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan., hlm. 130.
99
polisi yang “bersama-sama” dengan pasukan Indonesia berkewajiban menjaga
keamanan dan ketertiban di daerah Republik, dalam arti tentara Belanda boleh
masuk kembali dalam wilayah Indonesia. Hamid Algadri, seringkali berpidato ketika
melakukan siaran di RRI (Radio Republik Indonesia), dalam pidatonya Hamid selalu
memberikan pesan-pesan positif terhadap masyarakat Indonesia untuk terus berjuang
mempertahankan kemerdekaan dan tidak gentar dalam melawan Belanda, hal ini
dimaksudkan agar bangsa Indonesia tidak terpengaruh oleh propaganda NICA.165
Pada malam hari tanggal 20 Juli 1947, beberapa serdadu Belanda mendatangi
kediaman Hamid Algadri di Jl. Serang 13, Hamid Algadri diangkat dengan
menggunakan jeep ke tangsi Jagamonyet yang berada di seberang gedung Harmoni.
Hamid Algadri ditahan di penjara Bukitduri bersama dengan Mr. Ali Budiarjo, Dr.
Darma Setiawan, Walikota Suwiryo, Wakil Walikota Yusuf Yahya, dan Kepala RRI
Yusuf Ronodipuro. Penangkapan Hamid Algadri oleh serdadu Belanda karena
Hamid Algadri dianggap sebagai ekstremis yang selalu berpidato dalam siarannya di
RRI. Akan tetapi pada keesokan harinya Hamid Algadri dan beberapa tawanan
lainnya termasuk M.Natsir dipindahkan ke gedung Sekolah Kristen, Jl.Diponegoro
82, kemudian dibebaskan pada malam harinya.
Setelah penangkapan yang terjadi pada beberapa tokoh di RRI termasuk
Hamid Algadri, kantor RRI yang berada di Merdeka Barat dan kantor telepon di
Gambir dirampas dan dikuasai oleh Belanda, akibatnya Hamid Algadri dan beberapa
tokoh RRI tidak lagi dapat mengudara dalam menyampaikan protes terhadap
Belanda. Seorang utusan dari Dr. Ozinga seorang kepala d RVD (Regering
Voorlichting Dients) Dinas Penerangan Belanda mendatangi Hamid Algadri untuk
membujuk dan mengajak Hamid Algadri agar bekerja di RVD karena RRI sudah
dikuasai oleh Belanda, akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Hamid Algadri
dengan menyatakan bahwa “saya adalah seorang republikein yang tidak akan pernah
bekerja di RVD tempat tuan bekerja”166.
Setelah perjanjian Renville pada tahun 1948 dan Hamid Algadri menjadi
salah satu staf delegasi Indonesia, NICA mengeluarkan pengumuman terkait dengan
165 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.2 166 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.17
100
perintah pengusiran terhadap tiga puluh keluarga Republik dari Jakarta dan pindah
ke Yogya sebagai tahanan rumah, termasuk Hamid Algadri. Alasan Hamid Algadri
termasuk dalam daftar tiga puluh keluarga yang diusir dari Jakarta, karena: Pertama
Hamid Algadri merupakan penasihat Panitia Politik Arab Indonesia yang membela
Republik. Pendirian Panitia Politik Arab ini bertujuan untuk menentang usaha
Belanda yang hendak menarik orang-orang Arab agar berpihak kepada Belanda.
Hasilnya Belanda tidak dapat menarik keturunan Arab untuk berpihak kepada
mereka. Kedua Hamid Algadri dituduh telah menerima candu mentah sebanyak
1734,6 kg dari Mukarto, mantan Menteri Luar Negeri untuk dikirim ke Bukitinggi
dan Filipina, tuduhan ini merupakan kekeliruan yang sengaja dibuat oleh Belanda
agar dapat mengusir Hamid Algadri dari Jakarta dan menjadi tahanan rumah di
Yogya.167 Pada Agresi Militer 2, Hamid Algadri ditahan kembali oleh Belanda di
penjara Wirogunan.168
Perjuangan Hamid Algadri setelah masa pergerakan terus berlanjut hingga
turut serta mempertahankan kemerdekaan demi tercapainya kedaulatan bangsa
Indonesia, karena itu berbagai perlawanan perjuangan fisik dan diplomasi atau
perjanjian digalakkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Beberapa perjanjian
atau diplomasi yang diikuti Hamid Algadri, di antaranya: Perundingan Linggajati,
Perundingan Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebab pada realitanya,
selain sebagai sekretaris kementerian penerangan, Hamid Algadri juga diangkat
sebagai penasehat dalam delegasi RI pada perundingan-perundingan tersebut.169
1. Peran Hamid dalam PSI
Semangat kebangsaan Hamid Algadri juga bisa dilihat setelah PAI
dibubarkan. Sebagaimana dipahami bahwa sesaat PAI dibubarkan, tokoh-tokoh PAI
kemudian bergabung kepada partai-partai lainnya. AR Baswedan bergabung dengan
Masyumi. Oleh karena ia bergabung dengan partai Islam, ia selanjutnya "dicap"
sebagai orang yang tidak tidak nasionalis. Sementara itu Hamid Algadri bergabung
167 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm. 29 168 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm. 35 169 Hamid Algadri dan Hamid Basyaib, Mengarungi Indonesia: Memoar Perintis
Kemerdekaan Mr. Hamid Algadri, ( Bandung: Lentera, 1999), hlm. 64.
101
dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimpinan Sutan Sjahrir. Karena Hamid
Algadri bergabung dengan partai sosialis, maka ia "dituduh" oleh sebagian
peranakan Arab bahwa ia adalah anti-Islam. "Mereka berpendapat, secara tradisional
saya seharusnya bergerak di kalangan politik Islam dan menjadi anggota salah satu
partai Islam," kata Hamid Algadri (meninggal 1998) dalam memoarnya, Mengarungi
Indonesia (1999).
Hamid Algadri mengaku bahwa saat itu kebanyakan dari keturunan Arab
bergabung dan menjadi anggota partai Masyumi, Nahdlatul Ulama, atau partai-partai
Islam lainnya. Sementara itu tidak banyak yang bergabung di PSI. Sebagai keturunan
Arab Hamid Algadri memiliki latar belakang Islam yang kuat, dengan keyakinan dan
pemahaman Islam yang kuat, di internal PSI sendiri, Hamid Algadri sering
melakukan ceramah dan pidato-pidato hingga ke daerah-daerah. berceramah dan
berpidato, teman-temannya di PSI sering bergurau bahwa ia lebih pantas menjadi
anggota partai politik Islam daripada anggota PSI.
Hamid Algadri sendiri mengakui bahwa AD/ART PSI tidak sama sekali
menyebutkan hal-hal yang terkait Islam. Apalagi soal ideologi. Tetapi menurutnya,
AD/ART PSI tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia juga meyakini bahwa ajaran
PSI itu benar selaras dengan ajaran agama Islam yang ia yakini. Dalam pada itu,
dalam rapat-rapat umum di daerah-daerah, Hamid Algadri juga selalu mengaitkan
ajaran-ajaran PSI dengan ajaran-ajaran Islam, seperti mengenai keadilan, kebenaran,
pemerataan, dan sejenisnya.
Melihat bergabungnya Hamid Algadri dengan PSI, maka tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa sikap kesukuan atau rasialnya sudah tidak begitu ditonjolkan
lagi. Meskipun mayoritas rakyat Indonesia sudah beragama Islam, namun dalam hal
kepartaian pun dianggapnya sama. Semua pihak dipandang memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Semuanya bisa berdiri sama tinggi dan berduduk sama rata.
Jika semangat kebangsaan yang benar itu tidak dimilikinya, secara logis otomatis
dalam kalkulasi politik bisa saja ia akan dikucilkan oleh anggota-anggota partai itu.
Ia pun bisa jadi tidak dibutuhkan. Namun realita berbicara lain. Ia justru dianggap
baik dan dipercaya oleh anggota PSI. Kepercayaan itu bisa dilihat dari posisinya
102
yang ditempatkan pada posisi sentral partai, yakni sebagai Ketua Fraksi Demokrat
Sosial di Parlemen pada 1958. Hamid mengatakan:
“Saya terlibat dengan PSI sebagai anggota Biro Pusat. Saya berpartisipasi dalam parlemen, ditunjuk pertama tahun 1950, dan terpilih sebagai anggota dalam pemilu 1955. Partai kami percaya pada demokrasi multi-partai, sangat mendukung gagasan hak asasi manusia yang kemudian dideklarasikan di PBB, dan mendorong ekonomi terencana dengan gabungan publik dan sektor swasta. Pada tahun 1958, sebagai Ketua Fraksi Demokrat Sosial, saya menyampaikan pidato mengenai advokasi hak asasi manusia yang berjudul “Perjuangan Manusia Terhadap Alam dan Pengikutnya Selama Berabad-abad.170
2. Perundingan Linggajati
Sebagaimana dipahami bahwa Perundingan Linggajati merupakan
perundingan antara Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Linggajati, Jawa
Barat. Perundingan yang ditandatangani pada November 1946 dan sah oleh kedua
negara pada 25 Maret di Istana Merdeka ini menghasilkan persetujuan tentang status
kemerdekaan Indonesia. Perundingan ini dilatarbelakangi oleh masuknya AFNEI171
(Allied Forces Netherland East Indies) yang diboncengi tentara Belanda yakni NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) ke Indonesia, sesaat setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu dan menetapkan “status quo” atas Indonesia. Kehadiran
AFNEI ke Indonesia ini pada gilirannya telah melahirkan konflik yang
berkepanjangan di Indonesia, seperti peristiwa 10 November 1945, yang selanjutnya
perisitiwa itu diperingati sebagai hari Pahlawan.172
170 Cynthia Myntti, Wawancara Eksklusif: Hamid Algadri Soal Arab Indonesia (II), dalam
http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Algadri-soal-arab-indonesia-ii/#go-features., diakses pada 19 Juli 2018
171 AFNEI ialah tentara sekutu yang diberi tugas khusus datang ke Indonesia untuk; 1) menerima penyerahan dari pihak Jepang, 2) membebaskan tawanan perang dan interniran serikat, 3) melucuti dan mengumpulkan orang Jepang, kemudian dipulangkan ke negerinya, 4) menegakkan dan mempertahankan keadaan damai kemudian menyerahkan kekuasaan pada pemerintah sipil, dan lainnya. (Lihat: Erwiza Erman dan Ratna Saptari, Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 115.
172 Dalam rententan konflik berkepanjangan itu diketahui bahwa pada 30 Oktober 1945 pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur yakni Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh oleh tentara Indonesia. Sehingga hal tersebut membuat pemerintah Inggris murka, dengan lahirnya keputusan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh (pengganti Mallaby) dalam bentuk ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
103
Pada saat yang sama, pemerintah Inggris didaulat Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) untuk bertanggung jawab atas penyelesaian konflik politik dan militer
di Asia. Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris saat itu, mengundang Indonesia
dan Belanda untuk melakan perundingan di Hooge Veluwe. Perundingan tersebut
gagal karena Indonesia meminta Belanda pengakuan kedaulatan Indonesia atas Jawa,
Sumatera, dan Madura, sementara Belanda hanya bersedia mengakui Jawa dan
Madura saja. Selanjutnya bertempat di Konsulat Inggris di Jakarta, pada 7 Oktober
1946, dengan ditengahi Lord Killearn (Inggris), telah terjadi persetujuan untuk saling
melakukan genjatan senjata pada 14 Oktober, sebelum mengarah pada perundingan
Linggajati.
Kemudian pada 11 November 1946 dilaksanakan perundingan di Linggajati.
Perundingan yang menghasilkan 17 pasal, di antaranya berisi: Pertama, Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan
Madura. Kedua, Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1
Januari 1949. Ketiga, Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Keempat, Dalam bentuk RIS Indonesia harus
tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan
mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Hasil perundingan ini tentu cukup berarti bagi Indonesia. Bagaimanapun juga
isi perjanjian tersebut memberikan peluang baru bagi Indonesia. Paling tidak
Indonesia mendapatkan kedaulatan di negerinya sendiri. Kendati demikian, tak dapat
dipungkiri pula bahwa Belanda juga mendapatkan keuntungan dari hasil
perundingan. Hamid Algadri mengakui bahwa pencapaian persetujuan tersebut amat
rumit. Namun bagaimanapun juga Indonesia memerlukan pengakuan dari dunia
internasional, sehingga suaranya akan didengar oleh PBB, dan kedudukan Indonesia
akan sederajat dengan Negara-negara lain, tak terkecuali Belanda.
Berbarengan dengan dilaksanakannya perundingan tersebut, sementara ketua
delegasi RI Sjahrir masih di Linggajati, pada suatu kesempatan Hamid Algadri juga
berusaha melakukan counter propaganda Belanda melalui RRI. Ini dilakukan Hamid
Algadri supaya rakyat tidak terpengaruh atas propaganda Belanda melalui RVD
(Regerings Voorlichting Dienst). Tidak jarang Hamid Algadri melakukannya dengan
104
cukup keras. Saking kerasnya, sampai-sampai pernah ditegur Sjahrir (yang masih di
Linggajati), bahwa Hamid Algadri diminta hati-hati karena Belanda bisa melakukan
tindakan sewaktu-waktu.173 Misalnya saat terjadi bentrokan beberapa orang Belanda
oleh masyarakat Pribumi, Belanda menggambarkan bahwa pemuda Indonesia
pengacau. Hal itu kemudian ditanggapi Hamid Algadri dengan menyesalkan
perbuatan tersebut, dan Belanda tidak berhak memprotesnya dengan mengungkapkan
sekaligus mengingatkan peristiwa pembantaian peduduk Bandaneira yang dilakukan
oleh Belanda. Sehinnga atas ungkapannya tersebut membuat Belanda naik pitam.
Pada gilirannya kesepakatan itu tidak lantas membuat keadaan kedua belah
pihak (Indonesia-Belanda) membaik. Belanda, karena memiliki penafsiran yang
berbeda174 atas isi perjanjian tersebut, melalui Gubernur Jendral H.J van Mook, pada
20 Juli 1947 menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian tersebut. Sehari setelah
itu Belanda melakukan agresi militernya, yang dikenal dengan Agresi Militer
Belanda I.
Perlu diakui bahwa persetujuan Linggajati telah melahirkan pro dan kontra,
baik di kalangan bangsa Indonesia maupun di pihak Belanda. Piahk yang kontra
balasan bahwa pemerintah bersama rakyat Indonesia masih cukup kuat dan mampu
menghadapi Belanda. Pihak kontra ini menginginkan kemerdekaan seutuhnya,
sehingga merasa tidak puas dengan apa yang dicapai dalam persetujuan Linggajati.
Sementara itu pihak pro beranggapan bahwa menerima persetujuan Lianggarjati
ialah suatu syarat perjuangan untuk memperoleh dasar perjuangan baru dalam
menyelesaikan revolusi nasional. Terlebih jika ini bila dikaitkan dengan situasi
politik di luar dan dalam negeri.
173 Hamid Algadri, hlm. 2. 174 Penafsiran Belanda yang berbeda atas perjanjian tersebut, di antaranya: Pertama, secara
hukum Internasional, Belanda beranggapan bahwa ia masih berdaulat di Hindia Belanda termasuk Republik Indonesia. Kedua, dalam antisipasi pembentukan Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda, selama masa peralihan harus sudah dibentuk sebuah lembaga federal. Selain itu juga harus dibentuk pasukan keamanan. (Lihat: Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 77. Hamid Algadri menjelaskan bahwa Belanda membuat karangan penafsiran perjanjian tersebut dengan mendesak dibentuknya gendarmerie, semacam polisi, yang bersama-sama pasukan Indonesia, bersama-sama berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban di daerah Republik. Bahkan desakan itu disertai dengan ancaman dan ultimatum. (Lihat: Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), hlm. 2.
105
Betapapun kerasnya pro-kontra itu tidak bisa dipandang secara hitam-putih.
Keduanya harus dimaknai sebagai upaya-upaya yang semuanya ditujukan kepada
kebaikan bangsa, dalam tingkatan kadarnya masing-masing. Bagi Hamid Algadri,
perundingan Linggajati ini amat penting akan eksistensi Indonesia. Hamid Algadri
bahkan sudah memahami akan adanya penafsiran berbeda atas kesepakatan
Linggajati yang dilakkan oleh Belanda. Dalam hal ini ia mengungkapkan bahwa
Hamid Algadri bahwa Belanda akan menggunakan tafsirannya sendiri dalam
pelaksanaan perjanjian Linggajati. Namun, bagi Hamid Algadri, seandainya Belanda
akan melanggarnya dan menyerbu ke pedalaman, RI sebagai negara baru sudah
memperoleh pengakuan internasional akan mudah menarik campur tangan dari PBB.
Dan perhitungan ini akhirnya terbukti saat Syahrir berdebat di forum PBB.175
Untuk menengahi konflik ini, Dewan Keamanan PBB membentuk suatu
komite yang selanjutnya lebih populer disebut Komisi Tiga Negara (KTN)176.
Bahkan saat menghadiri konferensi Indonesia-Belanda di bawah pengamatan KTN,
Hamid Algadri, B. M Diah dan beberapa kawannya di Kaliurang sempat dimasukkan
di penjara Wirogunan.177 Pada saat mereka dipenjara, tersiar kabar kematian Supeno,
anggota teras Angkatan Baru Indonesia, yang mati ditembak Belanda dalam
pertempuran di Jawa Tengah. Sesaat setelah mereka dipindahkan ke Jakarta, mereka
kemudian dibebaskan.
3. Perjanjian Renville
Setelah Perjanjian Linggajati gagal, Indonesia (dalam hal ini Hamid Algadri,
Sjahrir, dan lainnya) tanpa mengenal lelah dan putus asa, dan bahkan selalu
menyalakan harapan dalam dada bahwa cita-cita mendirikan negara merdeka akan
menemukan jalan terang. Mereka setiap hari membahas situasi politik dan mencari
celah-celah kesempatan guna memperkuat kedudukan Indonesia menghadapi
175 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 10. 176 Disebut Komisi TIga Negara (KTN) karena komisi ini beranggotakan tiga negara, yakni
Australia (yang ditunjuk Indonesia), Belgia (ditunjuk Belanda), dan Amerika Serikat (sebagai kubu netral), dengan perwakilannya masing-masing yakni Richard C. Kirby, Paul van Zeeland dan Dr. Frank Graham.
177 Dasman Djamaluddin, Catatan B.M Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indoinesia, 2018), hlm. 328
106
tekanan Belanda.178 Kemudian mereka berusaha mengupayakan perundingan
selanjutnya, yakni melalui Perjanjian Renville179. Perjanjian Renville merupakan
perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948. Nama Renville digunakan sebagai identitas bahwa perjanjian tersebut
dilaksanakan di atas geladak kapal perang Amerika Serikat bernama USS Renville,
yang pada saat itu sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan yang dimulai pada 8 Desember 1947, dengan ditengahi oleh Komisi
Tiga Negara (KTN), diadakan dengan tujuan khusus yakni untuk menyelesaikan
perselisihan atas Perjanjian Linggajati. Perjanjian ini berisi mengenai batas antara
wilayah Indonesia dengan Belanda, yang selanjutnya lebih populer disebut dengan
istilah “Van Mook Line” (Garis Van Mook).180 Pada 29 Agustus 1947, Belanda
mencetuskan garis Van Mook yang membagi dan membatasi Republik Indonesia
menjadi tinggal sepertiga, yaitu Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra.
Dalam pada itu, garis tersebut secara sengaja dibuat agar Indonesia tidak
mendapatkan wilayah utama penghasil makanan.181
Menurut Hamid Algadri, Perundingan Renville lebih alot dibandingkan
Perundingan Linggajati. Persoalan yang menjadi perdebatan panjangnya ialah ikhwal
status Indonesia, sebelum dan sesudahnya Negara Indonenesia terbentuk. Bahwa
nanti RI hanya akan menjadi satu Negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat,
dan ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sekalipun Negara
Indonesia Serikat dalam persekutuannya dengan Balanda dijanjikan kesamaan
derajatnya, tetapi karena Uni Indonesia-Belanda akan dikepalai oleh Raja Belanda,
dan itu yang sulit diterima.182 Banyak pihak yang menganggap Renville adalah
bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita revolusi Agustus ’45, yang menuntut
178 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 21. 179 Perjanjian Renville ini berisi lima poin di antaranya: 1) wilayah Indonesia diakui
berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook); 2) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Serikat terbentuk; 3) Kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda; 4) RI merupakan bagian dari RIS, dan; 5) Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI.
180 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 130
181 https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville diakses pada 2 Juli 2018, pukul 18.00 WIB
182 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 24.
107
kemerdekaan nasional tanpa bisa ditawar-tawar. Juga bentuk pengkhianatan
perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah. Sebab dalam rumusan itu
berkonsekuensi bahwa Indonesia mempunyai kedudukan yang sama seperti negara-
negara Republik boneka bentukan Belanda, seperti Negara Sumatra Timur, Negara
Indonesia Timur, Negara Madura, dan semacamnya. Jelas bahwa kedaulatan
Indonesian telah merosot. Apalagi di atas Indonesia Serikat ada takhta Ratu Belanda
yang mempunyai wewenang di atas semua Negara anggota Serikat.183
Perjanjian ini bernasib sama dengan Perjanjian Linggajati. Belanda
mencabik-cabik kesepakatan tersebut dengan mendirikan beberapa wilayah, di
antaranya Negara Pasundan (27 Februari 1948) dan Negara Madura (15 Maret 1948),
untuk menandingi RI. Belanda juga menuntut agar diakui sebagai pemegang
kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda selama masa peralihan sampai terbentuk
Negara Indonesia Serikat. Tidak sebatas itu, karena RI hanya dianggap Negara
bagian, maka Belanda juga mendesak agar TNI dibubarkan.
Dalam Perjanjian Renville terdapat klause mengenai rencana diadakannya
plebisit daerah-daerah di bawah pendudukan Belanda, yakni suatu pertanyaan
kepada masyarakat bahwa mereka ingin bergabung dengan Republik Indonesia atau
dengan Negara lain dalam ikatan Negara Indonesia Serikat sebagaimana rekayasa
Belanda. Dalam hal ini, Hamid Algadri dan staf delegasi lainnya mendapatkan tugas
untuk melakukan kampanye di daerah Jawa Barat. Motto yang demonstrasikan ialah
from the bullet to the ballot, dari perjuangan yang mempergunakan peluru beralih ke
kartu penmungutan suara. Hamid Algadri dan yang lainnya mendirikan Gerakan
Peblisit Republik Indonesia (GPRI), untuk menggalang kekuatan pro Republik.
Dengan rencananya yang begitu demikian rupa, hasilnya ialah terjadinya proses
percepatan penggabungan negara-negara federal kepada Republik.184
Hamid Algadri dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, termsuk
dalam daftar orang-orang yang harus diusir dari Jakarta. Pengusiran tersebut
disinyalir karena Hamid Algadri telah menjadi penasehat Panitia Politik Arab
183 Hersri Setiawan, Memoar Perempuan Revolusioner, (Yogyakarta: Galangpress, 2006),
hlm. 128. 184 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991),
hlm. 27.
108
Indonesia, bentukkannya sendiri, yang sengaja dibentuk untuk menentang usaha
Belanda yang hendak menarik orang-orang Arab agar pro terhadap Belanda.
4. Peran Hamid dalam KMB (Konferensi Meja Bundar)
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan sebagai suatu usaha
diplomasi Indonesia dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan.
Pertemuan ini sebagai kelanjutan Perjanjian Roem-Royen. KMB dilaksanakan di
Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Pihak-pihak yang
turut serta dalam pertemuan tersebut di antaranya ialah perwakilan Republik
Indonesia, Belanda, BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)185, dan UNCI
(United Nations Commission for Indonesia)186 Konferensi ini berakhir dengan
kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat.
Peran Hamid Algadri di dalam KMB sangat signifikan, yaitu menjadi
penasehat delegasi RI. Dalam pertemuan tersebut, Belanda menginginkan adanya
keterlibatan keturunan Arab yang pro terhadap Belanda. Sultan Hamid187 (bukan
Hamid Algadri) selaku Ketua BFO, sudah memiliki calon delegasi yang siap
membantu Belanda. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Hamid Algadri.
Bersama-sama mantan aktivis Partai Arab Indonesia (PAI), Hamid Algadri
menyatakan bahwa tidak perlu ada delegasi dari minoritas Arab. Ia berpandangan
bahwa keturunan Arab adalah termasuk bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak
perlu ada delegasi dari keturunan Arab. Pada gilirannya delegasi BFO tetap bertolak
ke Belanda. Ada dua orang keturunan Arab yang ditunjuk untuk menjadi penasehat
BFO, yakni Abdulkadir Alsegaf dan Yahya Alaydrus. Ternyata keduanya ialah
mantan pengurus dan simpatisan PAI. Saat di Belanda, keduanya menyerahkan
185 BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) merupakan negara-negara yang diciptakan
Belanda di kepulauan Indonesia. 186 UNCI adalah Komisi Keamanan PBB 187 Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan
Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Di dalam KMB, ia menjadi perwakiland dari BFO. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hamid_II. pada 22 Juli 2018 pukul 20.00 WIB.
109
semua urusan politik dalam KMB kepada Hamid Algadri. Penerimaan Hamid
Algadri atas pengangkatannya sebagai penasehat delegasi RI disetujui lantaran
anjuran Sjahrir. Selain sebagai penasehat, saat berkirim surat kepada Sjahrir
mengenai proses pelaksanaan KMB, Hamid Algadri meminta Sjahrir secara
langsung agar mendukung pelaksanaan KMB tersebut. Hamid Algadri yakin KMB
paling tidak akan menghasilkan penyerahan kedaulatan kepada RI.188
Setelah penyerahan kedaulatan dan lahirnya Republik Indonesia Serikat
sebagai akibat persetujuan KMB, RI hasil proklamasi tidak seluas lagi daerahnya.
Sebab berdasarkan hasil KMB, penyerahan kedaulatan RI atas wilayahnya semuanta
diserahkan kecuali Papua Bagian Barat. Setahun setelah itu, karena belum merasa
sempurna hasilnya dengan tidak masuknya Irian Barat dalam RI, maka pada 1951
Hamid Algadri dan yang lainnya membentuk delegasi yang menuntut agar Irian
Barat dimasukkan wilayah RI. Ini selaras dengan hasil KMB bahwa masalah Irian
Barat akan diselesaikan setahun setelah KMB ditandatangi. Kendati demikian,
namun Belanda menunjukkan gelagat yang tidak baik. Sehingga usaha Hamid
Agadri dan delegasi lainnya berbuah kesia-siaan. Bahkan pada 1953, secara terang-
terangan Belanda berencana untuk membentuk “Negara Papua” yang lepas dari
Indonesia. Usaha pengembalian Irian Barat melalui perundingan mengalami “jalan
buntu”. Karenanya, pada 3 Mei 1956 ditandatangani undang-undang pembatalan
KMB.
188 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991),
hlm. 64.
110
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hamid Algadri, sekalipun terlahir sebagai bagian dari peranakan Arab di
Nusantara, namun ia memiliki peran yang tak kalah penting bagi perjuangan bangsa
Indonesia. Tidak hanya masyarakat pribumi yang menginginkan hidup tenang tanpa
penjajahan, Hamid memiliki rasa yang sama karena ia mengaku bertanah air di
Indonesia. Ia memiliki rasa nasionalisme yang ditumbuhkan keluarganya. Oleh
karenanya Hamid berpartisipasi aktif dalam pergerakan kebangsaan. Hal ini karena
ia menginginkan kedaulatan dan eksistensi Indonesia di mata dunia, serta dapat
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda.
Hamid terlahir dari dalam lingkungan keluarga yang memperhatikan dunia
pendidikan modern pada zaman itu. Padahal pada umumnya anak keturunan Arab
dilarang orangtuanya bergaul dengan Belanda. Mereka anti terhadap sistem
pendidikan Barat karena kekawatiran akan merusak agama anak-anak mereka. hal ini
tidak berlaku bagi keluarga Hamid. Meskipun Hamid bersekolah di pendidikan
modern, orang tuanya juga membekalinya dengan ilmu agama di madrasah pada
siang harinya.
Pendidikan yang ia dapatkan menjadi pintu gerbang lahirnya kesadaran
nasionalisme. Nasionalisme terhadap bangsa Indonesia telah tertanam dalam
benaknya. Landasan pergerakan Hamid Algadri dilatarbelakangi oleh kesukuan,
pendidikan dan keluarga. Pergerakan kebangsaan Hamid memang tidak semenonjol
para pahlawan revolusi seperti Sjahrir, Soekarno maupun Hatta, tapi kiprah Hamid
penting bagi proses merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.
Perjuangan Hamid dalam PAI yaitu berhasil ikut serta menyatukan dua
pandangan kelompok keturunan Arab yang berbeda, Hamid mendorong anggota PAI
agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Konsekuensinya, mereka harus
mengakui Indonesia sebagai tanah airnya.
111
Hamid melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara propaganda
melalui Media Massa. Hamid memiliki peran dalam melawan kolonialisasi Belanda
di tanah air Indonesia melalui propaganda-proganda yang ia sebarkan di media masa.
Dalam konteks ini, Hamid memberikan banyak peran berupa pemikiran kritis
terhadap kebijakaan-kebijakan Belanda. Apa yang ia lakukan memantik semangat
perjuangan rakyat lainnya dalam mempertahankan hak-hak hidup di tanah air sendiri
dan melawan segala bentuk penindasan.
Perjungannya adalah berusaha melakukan counter propaganda Belanda
melalui RRI. Ini dilakukan Hamid Algadri supaya rakyat tidak terpengaruh atas
propaganda Belanda melalui RVD (Regerings Voorlichting Dienst). Hamid Algadri
mendirikan Gerakan Peblisit Republik Indonesia (GPRI), untuk menggalang
kekuatan pro Republik. Dengan rencananya yang begitu demikian rupa, hasilnya
ialah terjadinya proses percepatan penggabungan negara-negara federal kepada
Republik.
Hamid Algadri merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan yang lahir
dari peranakan Arab, yang pada masanya peranakan Arab tidak dipandang sebagai
bagian dari Indonesia yang turut serta dalam pergerakan dan perjuangan bangsa.
Namun Hamid Algadri dengan gigih menyerukan kepada peranakan Arab di
Indonesia untuk turut serta mewujudkan kemerdekaan. Dengan berbagai macam
tulisan Hamid Algadri bertemakan kebangsaan dan Nasionalisme pada akhirnya
dapat menyatukan dan membuka pandangan keturunan Arab, bahwa mereka
merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki kewajiban untuk
menciptakan kemerdekaan. Ia ikut menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat
etnis Arab di Nusantara yang sebelumnya terpecah dan terisolasi oleh kebijakan
Belanda. Kedua, peranan Hamid di dalam berbagai birokrasi pemerintahan untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perjuangan Hamid
Algadri tidak berhenti. Hamid Algadri terus menyuarakan kepada bangsa Indonesia
untuk tidak terpengaruh pada propaganda Belanda dan terus bersatu
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme Hamid Algadri
menjadikannya sebagai Perintis Kemerdekaan pada tahun 1978.
112
B. Saran Dan Rekomendasi
Pembahasan mengenai tokoh peranakan Arab di Indonesia memang sangat
sedikit diekspos dan dijadikan sebagai penelitian ilmiah. Padahal peran dan
kontribusi mereka tidak sedikit. Mereka turut mengantarkan Indonesia pada gerbang
kemerdekaan. Mengangkat Hamid Algadri sebagai tokoh Indo-Arab memberikan
banyak informasi bahwa rasa nasionalisme dapat juga ditunjukkan oleh orang non
pribumi. Komitmen Hamid Algadri dalam berbagai pentas perundingan penting
menjadikannya tokoh perintis kemerdekaan. Tesis ini mengangkat materi yang
sangat substansial. Adapun saran bagi peneliti setelahnya adalah mengangkat kajian
tokoh peranakan Arab lainnya yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia dan
upaya mengusir penjajah dari tanah air.
113
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
Algadri, Hamid C.Snouck Hurgronje:Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Algadri, Hamid, Suka Duka Masa Revolusi, Jakarta: UI Press, 1991 Algadri, Hamid, Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan,
Jakarta:Lentera , 1992 Algadri, Hamid, Indo Arab dan Arab Indonesia, Aliran Baroe, April, 1939 Algadri, Hamid, Aliran Baroe dan Moderinisme, Aliran Baroe, Agustus, 1940 Algadri, Hamid, Soal Indo di Indonesia, Aliran Baroe, Aliran Baroe, April, 1939 Sumber Sekunder Buku Abdullah, Taufik. Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan,
Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. Anwar, Rosihan. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, (Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2010. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian, Jakarta: Bulan Bintang, 2002. Aziz Thaba, Abdul. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ,Jakarta: Gema
Insani Press, 1996. Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Surabaya:
Insan Cendekia, 2003. Basundoro, Purnawan. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Zaman
Kolonial sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, 2009. Benda, Harry Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, Bandung: Pustaka Jaya. 1980 . Berg, L.W.C van den. Orang Arab di Nusantara, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Budi Utomo , Cahyo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari
Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
114
Buyung Nasution,Adnan Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr
Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah, Jakarta: Republika, 2011.
Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
Edisi Ketiga, terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Danusubroto, Sidarto . Prosiding Focus Group Discussion Pakar I, Yogyakarta:
Pusat Studi Pancasila UGM, 2014. Djamaluddin, Dasman. Catatan B.M Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar
Lahirnya Proklamasi 17-8-’45, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indoinesia, 2018.
Erman , Erwiza dan Ratna Saptari, Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan
Bangsa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013. Hadiyansyah (ed), Masjid-Masjid Bersejarah Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2011. Hasjmy, Ahmad. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, almaarif,
1981. Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia,
1998 Haikal, Husein Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-
1942), Disertasi, Universitas Indonesia, 1986. Harahap, Muchtar Mahasiswa dalam Politik, Jakarta: NSEAS, 1993. Hatta, Mohammad . Kumpulan Karangan Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1952. Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015. Insaniwati, Iin Nur. Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-
1968, Magelang: Indonesia Tera, 2002. Jasin, Moehammad. Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah
Kelahiran Polisi Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010. Juniarti, Raja Banawa Dari Belanda, .Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004. Kartodirdjo , Sartono dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Dep. Dik Bud,
1975.
115
Kartodirdjo,Sartono. Kolonialisme dan nasionalisme di Indonesia abad 19-20,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1967. Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan
Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Yogyakarta: Ombak, 2014.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT Bentang Budaya, 2001. La Ode, M.D. Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina dan
Singkawang di Era Reformasi 1998-2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam :III, Jakarta: Grafindo,2000. Madjid, Nurcholish. Indonesia Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Madjid, Nurcholish .Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit
Mizan, 2013. Majid, M. Dien. Berhaji Masa Kolonial, Jakarta: Sejahtera, 2008. Maryanto, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Andi, 2015 Mohamad Daeng Materu, Sidky. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia,
Jakarta: PT Gunung Agung, 1985. Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara, Surabaya: Penerbit Jauhar, 2009. Noor, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1991. Nordholt, Henk Shculte (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008. Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos, 1998. Rahman, Abd. dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan
Tinggi, Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017. Reksodihardjo, Soegeng Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, 1992. Ricklefs, M.C. Islamisation and its opponents in Java: A Political, Social, Cultural
and Religious History, c.1930 to the Present, Singapore: NUS Press, 2012.
116
Santosa , Ayis Budi dan Supriatna, Encep. Sejarah Pergerakan Nasioanl: Dari Budi
Utomo 1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.
Setiawan, Hersri. Memoar Perempuan Revolusioner, Yogyakarta: Galangpress,
2006. Sihbudi,M. Riza. Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Jakarta: Gema
Insani Press, 1997. Sihbudi, M. Riza. Konflik dan diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT Eresco,
1993. Soekano, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah,Sekolah : Pendidikan Islam Dalam
Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986. Stromberg, Roland N. European Intellectual History Since 1789, New York:
Mereditc-Century, 1968. Sudirman, Adi. Sejarah Lengkap Indonesia: Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press, 2014. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2016. Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai
Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. Sukadi, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Andi, 2017. Suleman, Zulkifli .Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Suminto, Aqib . Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996. Suratmin. Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1989. Suratmin dan Kwartanada, Didi . Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa
Merajut Keindonesiaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014. Surbakti,Ramlan Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992.
117
Susanto, Dwi. Pengantar Ilmu Sejarah , Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014. Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi
Terpimpin, 1959-1965, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Syafi’I Maarif,Ahmad Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: PT Mizan Publika, 2009. Tirtoprojo, Susanto. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta: PT
Pembangunan, 1984. Tunggul Alam, Wawan. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno Vs Bung Hatta,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Turnan Kahin, George Mc. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, 1995. Ubaedillah,A. Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan
Pencegahan Korupsi, Jakarta: Kencana, 2016. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo, 1993 . Zainudin, Dundin. Dinamika kewarganegaraan kelompok sosial di perkotaan: studi
kasus di Bandung dan Semarang, Jakarta: LIPI, 2010. Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2005. JURNAL
Amal, Siti Hidayati. (2005). “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab - Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta”. Antropologi Indonesia, vol. 29. No. 2.
Danusubroto, Sidarto dkk Prosiding Focus Group Discussion Pakar I. Yogyakarta:
Pusat Studi Pancasila UGM tahun 2014. Dijk, Kees Van. (2015). “Dakwah The Dissemination and Indigenous Culture of the
Islam” 154, no. 2. Hosniyah. (2016). Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab
Di Malang 1900-1935. Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 4. No. 3, Oktober.
Iramadhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari
Tahun 1900-1942. Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017.
118
Rachman, Muhammad Ridlo. (2013). “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia.
Riddel, Peter G. (2001). “Arab Migrants and Islamizatin in The Malay World during
The Colonial Period”. Indonesian and The Malay World. vol. 29. No. 84.
WEBSITE
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127911-D%2000959%20Makna%20nasionalisme-
%20Literatur.pdf.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127911-D%2000959%20Makna%20nasionalisme-
%20Literatur.pdf
http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri-
soal-arab-indonesia-ii/
http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri-
soal-arab-indonesia-ii/#go-features.
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan
https://id.wikipedia.org/wiki/Perhimpunan_Pelajar_Pelajar_Indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville
https://media.neliti.com/media/publications/125345-ID-none.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/125345-ID-none.pdf.
https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum-
Konferensi-Linggajati.aspx
https://www.researchgate.net/publication/318960129.
top related