pertanggungjawaban perdata dokter mengenai …
Post on 20-Oct-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DOKTER MENGENAI
TINDAKAN MEDIS TANPA INFORMED CONSENT
Rivian Yuris Ardani
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak
Jurnal ini membahas mengenai pertanggungjawaban perdata dokter mengenai tindakan medis tanpa informed consent. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana sebenarnya hak dan kewajiban dokter dan pasien dalam hal terjadi suatu tindakan medis tanpa informed consent. Penelitian untuk penulisan jurnal ini adalah penelitian kepustakaan dengan pengolahan data secara kualitatif serta bersifat deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa di antara pasien dan dokter terdapat hubungan hukum perdata berupa perikatan. Dalam hal salah satu pihak merasa dirugikan maka yang bersangkutan dapat menuntut dengan dasar gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penelitian ini juga menemukan bahwa dokter memiliki kewajiban untuk melaksanakan informed consent sebelum melakukan tindakan medis. Namun demikian, dokter dapat mengesampingkan kewajiban ini dalam keadaan tertentu, misalnya pada pasien gawat darurat.
Kata Kunci: Hukum Perikatan, Pertanggungjawaban Perdata, Informed Consent.
Abstract
This journal talks about physician’s civil liability on medical treatment without informed consent. The purpose of this thesis is to get an understanding about responsibilities and rights of physicians and patient when there is a medical treatment without informed consent. The research for this thesis writing is a literature research with qualitative data processing and descriptive design. This research found that between physicians and his patient is a civil legal relationship that is obligation. If a party thinks that they have been harmed, they can sue the other party with breach of contract or tort. The research also found that physicians have an obligation to do an informed consent before doing a medical action. But, physician can override that obligation in some circumstances, such as medical emergency.
Keyword: Law of Obligation; Civil Liabiltiy; Informed Consent.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
2
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar bagi manusia. Kesehatan
diperlukan agar manusia dapat melakukan segala aktivitasnya dengan baik. Meskipun
manusia telah berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga kesehatannya, ada kalanya
penyakit menghampiri. Pada saat sakit seperti inilah manusia dalam keadaan lemah. Segala
kegiatan tidak dapat dilakukan secara maksimal.
Untuk mengembalikan kondisi kesehatan, dari sakit menjadi sehat kembali pada
umumnya orang yang sakit tersebut meminta bantuan kepada dokter. Mereka berharap dokter
sebagai orang yang memiliki ilmu dan keahlian di bidang kesehatan dapat melakukan
tindakan-tindakan yang berujung pada kesembuhan mereka.
Dalam interaksi antara dokter dengan orang sakit (pasien) tersebut terjadi suatu
hubungan hukum di antara mereka. Hubungan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik. Pasien berhak untuk mendapat pelayanan medis terbaik dari dokter
tersebut. Sementara itu, dokter berhak memperoleh imbalan atas pelayanan medis yang
diberikannya.
Selain adanya hubungan hukum, pelaksanaan suatu transaksi terapeutik juga tidak dapat
dilepaskan dari hubungan-hubungan sosiologis antara dokter dengan pasien. Secara ideal
hubungan ini ditandai dengan adanya kegiatan yang saling mengisi, saling tergantung secara
fungsional antara para pihak. Hubungan ideal ini dapat terjadi apabila para pihak
kedudukannya sederajat.1
Pada kenyataannya di masyarakat, kedudukan antara dokter dengan pasien ini tidak
sederajat. Hubungan dokter-pasien terjadi dalam pola paternalistik. Hubungan tersebut
bersifat vertikal dimana dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi serta memiliki peran
yang dominan terhadap pasien. Lebih tingginya kedudukan dokter ini disebabkan, antara lain,
karena:
a. Kepercayaan pasien akan kemampuan dan kecakapan dokter;
b. Keawaman pasien terhadap profesi dokter;
1 Husein Kerbala, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, cet. 1, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), hlm. 17.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
3
c. Sikap solider antar sejawat dokter dan sifat isolatif terhadap profesi lain. 2
Seiring dengan perkembangan zaman, hubungan yang tidak seimbang antara dokter
dengan pasien ini sedikit demi sedikit mulai berubah ke hubungan yang lebih seimbang.
Tidak jarang ditemukan keadaan dimana pasien sampai melakukan upaya-upaya hukum
maupun pengaduan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
apabila merasa dirugikan oleh dokter. Kecenderungan dilakukannya pengaduan pasien
tersebut semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan data MKDKI dimana
didapati bahwa terjadi peningkatan pengaduan dari tahun 2006 sebanyak 9 kasus, tahun 2007
sebanyak 11 kasus, tahun 2008 sebanyak 20 kasus, tahun 2009 sebanyak 36 kasus, tahun
2010 sebanyak 49 kasus, dan tahun 2011 sampai bulan Mei saja sudah ada 10 kasus.3
Adanya perubahan dalam hubungan antara dokter dengan pasien terjadi karena banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada
keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan.
b. Masyarakat menganggap tugas dokter tidak hanya menyembuhkan (curing) tetapi juga
pada perawatan (caring).
c. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan
keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih berarti kesejahteraan fisik, mental, dan
sosial.
d. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien,
sehingga pasien semakin mengetahui dan memahami hak-haknya dalam hubungan
masyarakat.
e. Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai kesehatan semakin meningkat. 4
Selain berbagai sebab di atas, pergeseran ke arah hubungan dokter dengan pasien yang
lebih seimbang juga disebabkan dengan adanya paham konsumerisme dalam pelayanan
kesehatan. Dalam paham konsumerisme ini pasien ditempatkan sebagai pihak yang paling
mengerti apa yang terbaik untuk dirinya daripada orang lain, termasuk dokter. Pasien
2 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), cet. 1, (Jakarta: Ind Hill Co,
1989), hlm. 149. 3 Vera Varah Bararan, “Pasien yang Mengadukan Dokter ke MKDKI Jumlahnya Makin Banyak”,
http://health.detik.com/read/2011/06/28/164659/1670785/763/pasien-yang-mengadukan-dokter-ke-mkdki-jumlahnya-makin-banyak?881104755, diunduh pada 19 Oktober 2013.
4 Soekanto, op. cit., hlm. 150.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
4
memiliki hak untuk mengetahui (mendapat informasi) segala hal yang berkaitan dengan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Pasien juga memiliki hak untuk
menyetujui ataupun menolak dilakukannya tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya.5 Di Amerika Serikat penegasan atas hak ini terjadi di tahun ketika Hakim Benjamin
Cardozo, dalam putusannya pada kasus Schloendorff melawan Society of New York Hospital,
menyatakan bahwa :
every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation without his patient’s consent commit an assault to which he is liable in damages.6
(setiap manusia yang dewasa dan berakal sehat berhak untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri, dan seorang ahli bedah yang melakukan operasi tanpa persetujuan pasiennya telah melakukan pelanggaran hukum dimana ia bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul.)
Hak atas informasi dan persetujuan ini secara bersama-sama kemudian disebut sebagai
informed consent. Dengan adanya hak atas informed consent tersebut maka menjadi
kewajiban dokter untuk memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya dan meminta
persetujuan dilakukannya tindakan medis. Pasien perlu mendapat informasi yang selengkap-
lengkapnya kerena pada umumnya pasien adalah orang yang awam mengenai masalah
kedokteran. Sementara itu, menurut Munir Fuady setidaknya terdapat tiga teori yang menjadi
acuan kewajiban untuk memperoleh persetujuan pasien. Teori-teori tersebut adalah:
a. Teori manfaat kepada pergaulan hidup, dimana keharusan informed consent selain
bermanfaat bagi pasien juga bermanfaat bagi pergaulan hidup secara keseluruhan.
Dengan adanya informed consent dokter mendapat ketenangan dan keamanan dalam
bekerja karena tidak perlu takut lagi untuk dituntut oleh pasien. Bagi pasien hal ini
juga memberi kesiapan dalam menghadapi pengobatan.
b. Teori manfaat kepada pasien yang menyatakan bahwa keberadaan informed consent
membuat pasien dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan tindakan dokter yang
bermanfaat bagi dirinya. Hal ini karena ia telah mengerti hal yang bermanfaat bagi
dirinya mengenai pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter.
c. Teori penentuan nasib sendiri yang menyatakan bahwa hanya pasienlah yang berhak
menentukan nasib sendiri (self-determination). Dengan demikian, segala tindakan
5 Kerbala, op. cit., hlm. 19. 6 J. Guwandi , Hukum Medis (Medical Law), cet. 3, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007), hlm. 224.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
5
medis harus mendapat persetujuan dari pasien tersebut. Melakukan suatu perbuatan
terhadap tubuh seseorang tanpa persetujuannya tidak hanya melanggar etika, tapi juga
dapat dikenai sanksi perdata atau pidana.7
Dalam pelaksanaan tindakan medis di Indonesia keberadaan informed consent ini
menjadi suatu kewajiban secara hukum sejak adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.Kes/Per/IX 19898. Hal ini kemudian juga diatur dalam pasal 45 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang isinya :
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
Meskipun telah dinyatakan sebagai kewajiban, dalam praktek sehari-hari sangat
mungkin ada kejadian dimana seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa informed
consent dari pasien. Hal ini terutama terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien
yang masih terjebak dalam pola paternalistik. Apabila dari tindakan medis seperti ini timbul
kerugian maupun ketidakpuasan, maka sangat beralasan apabila pasien meminta
pertanggungjawaban dokter.
Di sisi lain, ternyata ada juga saat dimana dokter dituntut agar dapat melakukan
tindakan medis sesegera mungkin meskipun tidak ada informed consent dari pasien. Hal ini
pada umumnya terjadi pada keadaan gawat darurat yang menyangkut keselamatan pasien itu
sendiri. Apabila kejadian seperti ini yang terjadi maka kurang pantas rasanya apabila dokter
dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban.
Menanggapi hal-hal tersebut, perlu untuk dikaji mengenai pertanggungjawaban yang
harus dilakukan oleh dokter dalam hal terjadi tindakan medis yang dilakukan tanpa informed
consent dari pasien. Mengingat luasnya lingkup pertanggungjawaban yang dapat dituntut, di
sini akan dibatasi yakni hanya mengenai aspek hukum keperdataan saja.
7 Sofyan Hasdam, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, (Jakarta: Selayar Semesta, 2009), hlm. 120-121.
8 Telah digantikan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
6
PERIKATAN DOKTER-PASIEN DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN MEDIS
Suatu pelaksanaan hubungan medis yang sah didahului dengan terciptanya hubungan
hukum berupa perikatan antara dokter dengan pasien. Pengaturan mengenai perikatan diatur
dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Namun demikian,
KUHPer tidak memberikan pengertian perikatan. KUHPer hanya menyebutkan bahwa suatu
perikatan dapat bersumber dari perjanjian maupun dari undang-undang. Perikatan yang
bersumber dari undang-undang dapat timbul dari undang-undang saja maupun dari perbuatan
manusia. peruatan tersebut dapat berupa perbuatan melawan hukum maupun perbuatan halal.
Perbuatan halal yang diatur dalam KUHPer antara lain berupa pengurusan kepentingan orang
lain (zaakwaarneming), perikatan wajar (natuurlijke verbintenis), dan pembayaran tidak
terhutang (onverschulsdidge betaling).
Dengan tidak adanya pengertian dalam KUHPer, para ahli mencoba memberikan
pengertian perikatan. Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai
harta kekayaan benda) antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain.9 Mariam Darus Badrulzaman menyatakan
bahwa perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang
terletak di lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dari pihak
lainnya yang wajib memenuhi prestasi.10
Ditinjau dari prestasi/kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter, perikatan antara
dokter dan pasien dapat dibedakan menjadi inspanningsverbintenis dan resultaatsverbintenis.
Pada inspanningsverbintenis kewajiban tersebut berupa pelaksanaan tindakan medis dengan
sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin demi kesembuhan pasien. Pada
resultaatsverbintenis kewajiban tersebut berupa adanya hasil tertentu dari pelaksanaan
tindakan medis. Pada umumnya perikatan antara dokter dengan pasien berupa
inspanningsverbintenis. Namun demikian, pada tindakan medis yang tergolong mudah dapat
terjadi resultaatsverbintenis.11
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, suatu perikatan dapat bersumber dari perjanjian
maupun undang-undang. Hal ini juga berlaku dalam suatu tindakan medis. Perikatan terkait
9 Subekti (1), Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 31, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 122. 10 Mariam Darus Badrulzaman, et. al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001),
hlm. 1. 11 Hasdam, op. cit., hlm. 34-35.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
7
dengan tindakan medis dapat berasal dari perjanjian meupun dari undang-undang. Apabila
perikatan tersebut merupakan perjanjian maka berdasarkan pasal 1320 KUHPer ada empat
syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a. Kesepakatan
b. Kecakapan
c. Hal tertentu
d. Sebab yang halal
Selain bersumber dari perjanjian, perikatan mengenai tindakan medis dapat bersumber
dari undang-undang. Perikatan ini terjadi dalam kerangka pengurusan hak/kepentingan orang
lain (zaakwaarneming). Dalam hal ini yang melakukan pengurusan kepentingan adalah
dokter, sementara yang kepentingannya diurus adalah pasien. Kepentingan yang diurus pada
umumnya berupa penyelamatan nyawa maupun anggota tubuh pasien dalam suatu keadaan
gawat darurat. Pengurusan ini dilakukan secara sukarela karena pasien berada dalam keadaan
tidak dapat dimintai persetujuan/kesepakatan. Apabila dokter tidak segera melakukan
pengurusan kepentingan berupa pelaksanaan tindakan medis maka dikhawatirkan pasien akan
meninggal atau menderita cacat fisik.
INFORMED CONSENT
1. Hubungan Informasi dan Persetujuan
Informed consent terdiri dari dua komponen, yakni hak pasien atas informasi dan hak
pasien atas persetujuan. Secara teori, kedua hak tersebut dapat dibedakan dan dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Namun demikian, dalam pelaksanaan tindakan medis kedua hak
tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya.
Hak atas informasi harus diberikan sebelum pasien memberikan persetujuan karena
pada umumnya yang bersangkutan adalah orang yang awam tentang masalah kedokteran.
Pasien berhak untuk mendapatkan informasi yang mencukupi mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadapnya sehingga ia akan mampu memutuskan dengan baik,
apakah akan memberikan persetujuan atau penolakan atas pelaksanaan suatu tindakan
medis terhadap dirinya.
Apabila suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien yang didasarkan pada
informasi yang diberikan oleh dokter secara tidak memadai dan adequat, atau bahkan
tanpa informasi sama sekali maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
8
sekali. Hal ini karena pasien memberikan persetujuan dalam keadaan khilaf dan tidak
memahami apa yang disetujuinya tersebut.12
Sementara itu, selengkap apapun informasi yang diberikan oleh dokter, apabila ia
tidak mendapat izin atau persetujuan maka ia tidak boleh melakukan suatu tindakan medis
terhadap pasien yang bersangkutan. Pasien memiliki hak untuk menentukan apa yang
terbaik bagi dirinya, termasuk untuk menyetujui atau menolak dilakukannya suatu tindakan
medis terhadap yang bersangkutan. Hak ini harus dihormati oleh siapapun, termasuk oleh
dokter dan tenaga kesehatan lain yang memberikan layanan kesehatan terhadap pasien.
Baik informasi maupun persetujuan pada dasarnya merupakan hak dari pasien yang
kompeten. Pasien yang kompeten di sini adalah pasien yang pasien dewasa atau bukan
anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuat keputusan secara bebas. Apabila ternyata pasien tidak kompeten maka hak
tersebut dapat dilaksanakan kepada keluarga terdekatnya, yakni suami atau istri, ayah atau
ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
2. Informed Consent pada Pasien Gawat Darurat
Informed consent pada dasarnya harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan tindakan
medis. Dengan demikian pasien telah harus mendapat informasi yang memadai dan
memberi persetujuan terkait tidakan medis tersebut. Hal ini salah satunya bertujuan untuk
memberi perlindungan pasien atas tindakan medis di luar kehendaknya. Namun demikian
dalam keadaan tertentu ada kalanya kewajiban untuk melaksanakan informed consent ini
harus dikesampingkan. Hal ini pada umumnya dijumpai dalam keadaan gawat darurat,
dimana pelaksanaan informed consent justru dapat merugikan, bahkan membahayakan
pasien itu sendiri.
Terdapat beberapa karakteristik untuk dapat menyatakan suatu keadaan gawat
darurat sehingga tidak memerlukan pelaksanaan informed consent. Pertama, ada keadaan
yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan. Kedua, kejadian tersebut terjadi
secara tiba-tiba dan tidak diperkirakan sebelumnya. Ketiga, kejadian tersebut
membutuhkan tindakan medis segera dan tidak dapat ditunda, bahkan untuk pelaksanaan
12 Kerbala, op. cit., hlm. 58.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
9
informed consent. Hal ini berhubungan dengan adanya ancaman kematian atau kecacatan
yang tidak dapat diduga tersebut. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa tindakan
medis yang dapat dilakukan di sini hanya yang bertujuan untuk penyelamatan nyawa
maupun anggota tubuh pasien saja.
Dalam keadaan gawat darurat yang memutuskan pelaksanaan tindakan medis adalah
dokter, berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran yang dimilikinya. Keputusan ini lantas
harus dicatatkan pada rekam medis pasien yang bersangkutan.
Dalam literatur dikemukakan alasan yang dapat membenarkan pelaksanaan tindakan
medis tanpa informed consent dalam keadaan gawat darurat. Alasan pertama diutarakan
oleh Prof. Leenen, yakni berupa adanya fiksi hukum. Fiksi hukum ini menyatakan bahwa
seseorang dalam keadaan tidak sadar (gawat darurat) akan menyetujui apa yang disetujui
oleh orang yang berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi yang sama. Alasan
kedua diutarakan oleh Prof. van der Mijn yang mengaitkannya dengan zaakwaarneming.
Zaakwaarneming pada keadaan gawat darurat ini adalah suatu sikap tindak yang pada
dasarnya berupa pengambilalihan tanggung jawab oleh dokter untuk menolong pasien.13
Selain alasan yang disebutkan tersebut di atas, undang-undang dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki) juga menentukan bahwa pelaksanaan tindakan medis
dalam keadaan gawat darurat adalah kewajiban bagi dokter. Pasal 51 butir d Undang-
Undang Praktik Kedokteran dan Pasal 17 Kodeki mewajibkan dokter memberikan
pertolongan darurat, kecuali apabila ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
ANALISIS FORMULIR INFORMED CONSENT RUMAH SAKIT “X” DI MADIUN
1. Formulir Sebagai Bentuk Pelaksanaan Informed Consent
Pasal 3 ayat (3) Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 mengatur bahwa
persetujuan tindakan kedokteran tertulis dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang
dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. Dengan demikian keberadaan formulir
persetujuan yang isinya dibakukan (telah ditetapkan sebelumnya) telah sesuai dengan
ketentuan tersebut. Namun demikian, mengingat adanya perbedaan di antara tindakan
13 Ibid., hlm. 82.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
10
medis yang satu dan yang lain maka keberadaan kolom-kolom kosong dalam formulir
tersebut juga diperlukan. Kolom tersebut nantinya dapat diisi dengan keterangan-
keterangan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan.
Perundang-undangan di Indonesia mengartikan informed consent sebagai persetujuan
tindakan kedokteran. Menurut pasal 1 butir 1 Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
yang dimaksud dengan persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dengan
mengacu pada penggunaan istilah tersebut, maka penggunaan judul “Persetujuan Tindakan
Kedokteran” pada formulir informed consent ini telah tepat. Dari segi isi pernyataan yang
akan dituliskan maka penggunaan judul “Persetujuan Tindakan Kedokteran” juga telah
tepat. Hal ini karena pada dasarnya pernyataan yang akan dituliskan tersebut berupa
pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarga terdekatnya terhadap tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap diri pasien.
Meskipun secara keseluruhan formulir ini memiliki judul “Persetujuan Tindakan
Kedokteran”, isinya terbagi dalam dua bagian yakni pemberian informasi dan persetujuan
tindakan kedokteran itu sendiri. Perundang-undangan yang mengatur informed consent
sebenarnya tidak mewajibkan untuk menuliskan informasi tersebut di dalam pernyataan
persetujuan yang tertulis. Namun demikian, keberadaan informasi yang juga dituliskan di
sini merupakan praktek yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa rumah sakit menyadari
bahwa pemberian informasi merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan dari informed
consent. Selain itu, apabila formulir ini digunakan sebagai alat bukti maka tidak perlu lagi
dibuktikan adanya pemberian informasi (termasuk isi informasinya) sebelum adanya
persetujuan karena kedua hal tersebut telah dinyatakan dalam satu dokumen yang sama.
Pasal 7 ayat (3) Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 menentukan bahwa
penjelasan yang harus diberikan tersebut sekurang-kurangnya mengenai:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
f. Perkiraan pembiayaan.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
11
Formulir informed consent pada rumah sakit “X” di Madiun menyebutkan semua
informasi tersebut, kecuali informasi mengenai perkiraan pembiayaan. Apabila dalam
formulir ini ingin disebutkan juga informasi yang diberikan kepada pasien maka
seharusnya hal tersebut dilakukan dengan konsisten, yakni dengan menyebutkan juga
perkiraan pembiayaan.
Formulir ini juga memberi isyarat bahwa pemberian informasi dapat dilakukan oleh
orang selain dokter. Hal ini terlihat dengan adanya kolom pemberi informasi dan kolom
dokter pelaksana tindakan. Dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 maupun dalam
teori memang dijelaskan bahwa pemberian informasi dapat didelegasikan kepada dokter
lain atau kepada tenaga kesehatan lain. Pemberian delegasi hanya dapat dilaksanakan
apabila dokter yang merawat pasien (yang akan melakukan tindakan medis) berhalangan
hadir. Selain itu, harus diperhatikan pula kompetensi dari dokter yang menerima delegasi,
maupun kewenangan dari tenaga medis yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam hal
dokter pelaksana tindakan medis dan pemberi informasi adalah orang yang berbeda maka
sebaiknya dalam formulir ini ditambahkan pernyataan bahwa dokter tersebut berhalangan
(dan alasannya). Selain itu perlu juga ditambahkan pernyataan bahwa pemberi informasi
adalah dokter yang berkompeten atau tenaga kesehatan yang berwenang atas informasi
yang disampaikannya.
Dalam ketentuan mengenai pemberian informasi diatur bahwa pemberian informasi
dilakukan sebelum pasien memberikan pernyataan persetujuan. Oleh karena itu, untuk
menjamin hal ini ada baiknya untuk mencantumkan waktu pemberian informasi di
samping pencantuman waktu pernyataan persetujuan. Dengan demikian dapat dipastikan
bahwa informasi telah diberikan sebelum pasien atau keluarganya memberikan
persetujuan.
Pasal 13 ayat (1) Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 mengatur bahwa yang
berhak memberi persetujuan adalah pasien yang berkompeten atau keluarga terdekatnya.
Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuat keputusan secara bebas.
Ukuran dewasa pada umumnya dilihat dari usia dan status pernikahan seseorang.
Seseorang dapat dianggap dewasa apabila telah menikah, meskipun belum mencapai usia
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
12
yang ditentukan oleh perundang-undangan. Dalam formulir tersebut telah terdapat kolom
yang dapat diisi dengan usia dari pemberi persetujuan. Namun demikian, dalam formulir
tersebut tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa pemberi persetujuan telah
menikah atau tidak. Keterangan mengenai status pernikahan ini seharusnya dicantumkan
karena hal ini dapat menunjukkan kompetensi seseorang untuk memberi persetujuan.
Dalam hal pasien tidak kompeten karena sebab yang lain selain masalah kedewasaan,
maka seharusnya juga ada kolom yang menyatakan hal tersebut. Dengan demikian menjadi
jelas alasan mengapa pasien tidak dapat menerima informasi dan memberi persetujuan.
2. Formulir sebagai Pernyataan Kesepakatan
Keberadaan formulir tersebut dapat dipandang sebagai bentuk kesepakatan yang
dinyatakan secara tertulis. Kesepakatan ini merupakan salah satu syarat sah perjanjian,
dimana dalam hal ini adalah perjanjian untuk melakukan suatu tindakan medis. Dengan
adanya kesepakatan maka kedua belah pihak menyetujui tindakan medis yang akan
dilakukan.
Untuk mencapai suatu kesepakatan pada umumnya terjadi penawaran dari salah satu
pihak dan terjadi suatu penerimaan di pihak yang lain. Terkait dengan pelaksanaan
informed consent ini maka pemberian informasi oleh dokter dapat dipersamakan dengan
suatu penawaran. Dalam pemeberian informasi dokter menawarkan tindakan medis yang
dapat dilakukan berikut dengan risiko, alternatif, prognosis, dsb. Penawaran ini kemudian
akan ditanggapi oleh pasien dengan memberikan persetujuan/penerimaan atau penolakan.
Apabila diterima/disetujui maka dapat dikatakan di antara dokter dan pasien terjadi
kesepakatan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang
bersangkutan. Baik penawaran yang terjadi dalam pemberian informasi maupun
penerimaan dalam bentuk persetujuan pasien sama-sama dituliskan dalam formulir
tersebut.
Suatu pernyataan kesepakatan yang tertulis pada umumnya diwujudkan dalam
pembubuhan tanda tangan para pihak yang bersepakat. Dengan demikian, dalam formulir
tersebut seharusnya terdapat tempat bagi tanda tangan kedua belah pihak, yakni dokter dan
pasien (pemberi persetujuan). Namun demikian dalam kenyataannya yang tersedia hanya
tempat untuk tanda tangan pasien (pemberi persetujuan). Dengan tidak adanya tanda
tangan dokter maka menjadi tidak jelas apakah yang bersangkutan benar-benar sepakat
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
13
atau tidak. Hal ini akan mempengaruhi keterikatan dokter tersebut atas perjanjian yang
dinyatakan dalam formulir tersebut.
Tanda tangan dokter ini juga menjadi penting mengingat dokter tersebut yang
membutuhkan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukannya. Selain itu, dokter
tersebut juga merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pemberian informasi. Oleh
karena itu seharusnya dokter juga turut menandatangani formulir ini sebagai wujud
keterikatannya atas informasi yang disampaikan maupun tindakan medis yang akan
dilaksanakan.
Agar suatu kesepakatan dapat dikatakan sah maka tidak boleh ada unsur kekhilafan,
penipuan, dan paksaan. Terkait dengan hal tersebut, pemberian informasi oleh dokter juga
berfungsi untuk mencegah adanya kekhilafan dalam pengambilan keputusan oleh pasien.
Pasien yang pada umumnya adalah orang yang awam mengenai masalah medis diberi
informasi terkait tindakan medis yang akan dilakukan serta diberi kesempatan untuk
berdiskusi dan bertanya. Dengan demikian pasien benar-benar memahami tindakan medis
yang akan dilakukan kepadanya, termasuk risiko yang mungkin terjadi. Dalam formulir
informed consent tersebut pernyataan bahwa tidak ada kekhilafan tersebut diwujudkan
dalam pernyataan bahwa yang bersangkutan telah memahami informasi yang diberikan.
ANALISIS KASUS (PUTUSAN NO. 46K/PDT/2006)
1. Kasus Posisi
Kasus ini berawal dengan dirawatnya Abraham pada Rumah Sakit Siloam
Gleneagles Karawaci (RS Siloam) pada tanggal 22 September 1998. Abraham menjadi
pasien di rumah sakit tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan tindakan medis berupa
pencabutan pen di atas mata kaki kiri. Untuk melaksanakan tindakan medis tersebut, ia
telah memberikan persetujuan baik secara lisan maupun tulisan. Persetujuan secara tertulis
ia berikan melalui penandatanganan surat persetujuan (informed consent) yang diberikan
oleh perawat di rumah sakit tersebut.
Dengan adanya persetujuan dari Abraham maka dilakukan operasi pencabutan pen di
atas mata kaki kirinya. Namun demikian, ternyata dokter juga melakukan tindakan medis
lain terhadap diri Abraham, yakni berupa operasi circumsisi (sunat). Hal ini dilakukan pada
saat Abraham masih berada dalam keadaan tidak sadar karena mendapat pembiusan total.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
14
Operasi circumsisi ini dianggap Abraham menyalahi persetujuan yang telah ia
berikan. Ia hanya memberikan persetujuan untuk pengangkatan pen saja. Ia tidak pernah
memiliki niat untuk disunat dan tidak pernah memberikan persetujuan baik lisan maupun
tertulis untuk dilakukan operasi circumsisi terhadapnya.
Selain permasalahan berupa tindakan medis yang tidak disertai dengan informed
consent, ada permasalahan lain yang terjadi antara Abraham dengan RS Siloam.
Permasalahan ini terjadi karena RS Siloam tidak mau memberikan salinan rekam medis
Abraham padahal hal tersebut merupakan hak yang ia miliki. Hal ini juga menjadi penting
terkait dengan fungsi rekam medis tersebut dalam hal pembuktian di depan hukum.
Terhadap hal-hal tersebut Abraham merasa dirugikan baik secara materiil maupun
immateriil oleh RS Siloam dan dokter-dokter yang menanganinya. Untuk itu, ia
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Tangerang yang
berlanjut hingga ke tingkat Kasasi.
2. Analisis terhadap Pelaksanaan Informed Consent
Perundang-undangan di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa sebelum
melaksanakan tindakan medis seorang dokter harus mendapat persetujuan dari pasien.
Persetujuan ini didapat setelah dokter memberikan informasi secara jelas kepada pasien.
Pelaksanaan persetujuan dan pemberian informasi oleh dokter ini yang kemudian disebut
dengan informed consent.
Secara hukum kewajiban untuk melaksnakan informed consent ini telah diakui sejak
tahun 1989 dengan adanya Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989. Kewajiban ini tetap
diakui sampai sekarang bahkan kedudukannya diperkuat dengan pengaturannya dalam
berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang
Kesehatan, dan Undang-Undang Rumah Sakit. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi
dokter untuk mengabaikan pelaksanaan informed consent tanpa alasan yang sah.
Dalam kasus ini sebenarnya dokter telah memberi informasi dan meminta
persetujuan kepada Abraham. Abraham kemudian memberikan persetujuan tertulis dalam
bentuk penandatanganan surat persetujuan. Namun demikian, informasi yang diterima
maupun persetujuan yang diberikan oleh Abraham ini hanya terbatas pada pelaksanaan
tindakan medis pencabutan pen di atas mata kaki kiri saja. Oleh karena itu seharusnya
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
15
dokter hanya menjalankan tindakan medis terkait dengan pencabutan pen di atas mata kaki
kiri saja.
Dalam kenyataannya ternyata dokter tidak hanya melakukan operasi pencabutan pen,
akan tetapi juga melakukan operasi circumsisi terhadap Abraham. Pasal 12 Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 menjelaskan bahwa sebenarnya dokter boleh melakukan
perluasan operasi di luar persetujuan pasien. Namun demikian perluasan operasi tersebut
hanya dapat dilakukan apabila ada ancaman terhadap nyawa pasien yang tidak dapat
diduga sebelumnya. Perluasan operasi juga hanya dapat dilakukan dalam rangka
penyelamatan jiwa pasien yang bersangkutan. Apabila sebelum operasi dilakukan telah
dapat diperkirakan bahwa akan ada keadaan yang mengancam nyawa pasien maka dokter
wajib meminta persetujuan untuk melaksanakan perluasan operasi.
Dari dalil yang diajukan oleh tergugat maupun para tergugat dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya kedua persyaratan perluasan operasi tanpa persetujuan pasien tersebut
tidak terpenuhi. Dalam operasi ini tidak disebutkan bahwa ada suatu indikasi medis, baik
sebelum maupun pada saat operasi berlangsung, dimana pasien memerlukan operasi
circumsisi. Dengan demikian pula operasi circumsisi ini tidak diperlukan sama sekali,
sehingga tentu tidak diperlukan untuk menyelamatkan jiwa Abraham. Sebaliknya, operasi
circumsisi ini justru menimbulkan kerugian secara fisik bagi Abraham karena ia sebagian
jaringan kulitnya. Dengan tidak dipenuhinya kedua syarat tersebut maka seharusnya dokter
tidak boleh melakukan operasi circumsisi tersebut tanpa persetujuan Abraham.
Dalam jawabannya penggugat menyatakan bahwa tindakannya ini sebenarnya telah
mendapat persetujuan lisan dari Abraham. Dengan adanya dalil ini maka harus dibedakan
tindakan medis apa yang persetujuannya dapat dilakukan secara lisan dan tindakan medis
apa yang persetujuannya harus dilakukan secara tertulis. Terkait dengan hal tersebut, pasal
45 ayat (5) Undang-Undang Kedokteran menjelaskan bahwa dalam hal tindakan medis
yang akan dilakukan adalah tindakan bersiko tinggi maka persetujuan pasien harus
dilakukan secara tertulis. Tindakan beresiko tinggi tersebut meliputi tindakan operasi dan
tindakan invasif lainnya. Menurut pasal 1 butir 4 Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008,
tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
Selain merupakan tindakan operasi, berdasarkan pengertian tersebut di atas maka
circumsisi yang dilakukan oleh dokter juga merupakan tindakan invasif. Hal ini karena
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
16
circumsisi (sunat) menyebabkan perubahan pada fisik pasien. Dengan demikian dalil para
tergugat yang bahwa pasien telah memberikan persetujuan tertulis tetap tidak dapat
membenarkan operasi circumsisi tersebut. Hal ini karena terhadap tindakan tersebut
persetujuan pasien harus dilakukan dalam bentuk tertulis dan tidak dapat secara lisan saja.
Terlepas dari pengertian tersebut, dalam masyarakat terdapat anggapan bahwa circumsisi
(sunat) merupakan suatu operasi yang sifatnya ringan. Selain itu, perubahan yang terjadi
terhadap fisik pasien juga relatif kecil. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk
mengurangi kewajiban adanya persetujuan tertulis menjadi sebatas lisan saja.
Dalam memori kasasinya, Abraham mengutip pertimbangan hakim Judex Facti
sebagai berikut:
Menimbang bahwa sepanjang acara pembuktian, penggugat tidak membuktikan tentang tindakan pembiusan total ataupun kegagalan pembiusan lokal yang dilakukan Tergugat III terhadap diri Penggugat, menurut Majelis penilaian terhadap perkara ini yang menjadi titik tolak permasalahannya adalah tentang pembuktian tindakan pembiusan tersebut baru kemudian akan ada penilaian kebenaran ada tidaknya izin yang diberikan Penggugat kepada Tergugat III.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti sangkalan dari Tergugat-Tergugat pada faktanya Penggugat tidak berhasil membuktikan gugatannya, dalam hal mana yang dilakukan Tergugat III bukanlah pembiusan total akan tetapi pembiusan lokal.
Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim menyimpulkan bahwa inti
permasalahan dalam kasus ini adalah masalah pembiusan. Penilaian ada atau tidaknya
informed consent juga akan ditentukan dengan keberadaan pembiusan total. Dengan tidak
adanya pembiusan total maka kebenaran dalil yang manyatakan bahwa tidak ada informed
consent tidak dapat dinilai.
Penilaian hakim sebagaimana tersebut di atas tidaklah tepat. Pokok permasalahan
dari perkara ini adalah keberadaan persetujuan (informed consent) itu sendiri. Keberadaan
pembiusan total maupun pembiusan lokal tidak akan mempengaruhi keberadaan informed
consent. Baik pasien dibius secara total maupun lokal, persetujuan tindakan medis tetap
harus diperoleh dan hal ini harus dibuktikan. Apabila pasien dibius secara lokal dan masih
sadar selama proses operasi maka tidak serta-merta dapat dianggap yang bersangkutan
memberikan persetujuan. Sebaliknya, dengan adanya pembiusan total dan pasien tidak
sadar bukan berarti tidak ada persetujuan dari pasien. Hal ini karena sebelum pembiusan
tersebut dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu sehingga ada kesempatan untuk
melaksanakan proses informed consent sebelumnya.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
17
Pembuktian keberadaan persetujuan ini dapat dilakukan terpisah dan tidak harus
bergantung pada pembuktian ada atau tidaknya pembiusan total. Pembuktian ini dapat
dilakukan antara lain dengan menunjukkan formulir informed consent yang telah
ditandatangani pasien dan isi rekam medis pasien. Apabila ternyata terbukti ada
persetujuan maka harus dibuktikan pula apakah persetujuan tersebut didahuli dengan
pemberian informasi oleh dokter kepada pasien.
3. Analisis terhadap Hak Pasien atas Rekam Medis
Terkait dengan masalah rekam medis, alam memori kasasinya Abraham mengutip
pertimbangan hakim Judex Facti sebagai berikut:
Menimbang, bahwa tidak bersedianya Tergugat I memberikan salinan rekaman medis/Medical Record kepada Penggugat menurut hemat Majelis diberi atau tidak diberinya salinan rekaman medis tidak pula menyebabkan Tergugat I ada atau tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehubungan dengan keberatan Penggugat terhadap tindakan circumsisi tersebut
Tindakan circumsisi adalah tindakan medis sedangkan tidak diberinya salinan rekaman medis adalah tindakan administrasi karenanya keberatan ataupun permasalahan tersebut bukan suatu perbuatan yang berkwalifikasi sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti keperdataan.
Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim menilai pemberian
rekam medis tidak berkaitan dengan keberadaan tindakan circumsisi terhadap Abraham.
Hal ini tidak sepenuhnya salah karena pemberian salinan rekam medis saja tidak dapat
membuktikan keberadaan informed consent. Namun demikian dengan diberikannya salinan
rekam medis maka Abraham, sebagai penggugat, dapat melihat apakah ada catatan
mengenai informed consent atas tindakan circumsisi di dalamnya. Apabila didapati bahwa
dalam rekam medis tersebut tidak dicatat adanya informed consent atas tindakan circumsisi
maka rekam medis tersebut dapat diajukan sebagai bukti di pengadilan. Hal ini
menunjukkan bahwa informed consent tidak dilaksanakan. Dengan tidak diberikannya
rekam medis maka kesempatan Abraham untuk membuktikan bahwa tidak ada persetujuan
atas tindakan circumsisi tersebut menjadi berkurang.
Dari pertimbangan tersebut juga terlihat bahwa hakim hanya memandang tindakan
pemberian salinan rekam medis sebagai tindakan administrasi semata. Hal ini
menunjukkan bahwa hakim tidak memahami bahwa di balik pemberian salinan rekam
medis tersebut terdapat hak dan kepentingan pasien. Dalam berbagai perundang-undangan
dijelaskan bahwa isi dari rekam medis adalah milik pasien. Isi/salinan rekam medis ini
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
18
kemudian dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan
pasien serta untuk menjadi alat bukti di pengadilan.
Dengan adanya tindakan rumah sakit yang menolak memberi salinan rekam medis
maka yang bersangkutan telah melanggar hak subyektif dari pasien. Pelanggaran hak
subyektif ini tergolong sesuatu yang melawan hukum secara perdata. Oleh karena itu
tindakan rumah sakit yang menolak memberikan salinan rekam medis tersebut tidak hanya
sebatas tindakan administratif, akan tetapi juga termasuk tindakan keperdataan berupa
perbuatan yang melawan hukum.
4. Analisis Dasar Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Pada dasarnya terdapat dua dasar gugatan yang dapat dipakai untuk menuntut
pertanggungjawaban perdata seseorang, yakni wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum. Dalam kasus ini Abraham menggunakan dasar gugatan berupa adanya perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh dokter maupun rumah sakit.
Keputusan Abraham untuk menggugat berdasarkan perbuatan melawan hukum sudah
tepat karena fakta yang ada tidak memungkinkan untuk digugat dengan wanprestasi. Untuk
dapat digugat berdasarkan wanprestasi, setidaknya harus dipenuhi satu dari empat alasan
sebagai berikut:
a. Tidak memenuhi prestasi.
b. Memenuhi prestasi tetapi terlambat.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
d. Melakukan prestasi yang dilarang.
Alasan tersebut tidak ada yang terpenuhi karena prestasi yang disepakati melalui
pelaksanaan informed consent yakni berupa pencabutan pen di atas mata kaki kiri telah
dilaksanakan dengan baik. Kesepakatan tersebut juga tidak menyatakan bahwa dokter
dilarang melakukan tindakan medis lain selain pencabutan pen atau melarang tindakan
cricumsisi. Dengan demikian tidak dapat dilakukan gugatan wanprestasi.
Dengan tidak terpenuhinya alasan untuk menggugat melalui wanprestasi maka dasar
gugatan yang dapat dipakai adalah perbuatan melawan hukum. Untuk dapat dinyatakan
melawan hukum, seseorang harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1365 KUHPer.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
19
Apabila unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para
pihak maka menjadi sebagai berikut:
a. Perbuatan
Perbuatan yang terjadi dalam kasus ini adalah tindakan dokter yang
melakukan tindakan medis berupa circumsisi tanpa pemberitahuan dan
persetujuan (informed consent) dari Abraham. Selain itu ada pula perbuatan
berupa sikap diam (penolakan) rumah sakit untuk memberikan rekam medis.
b. Melawan Hukum
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh rumah sakit dan dokter-dokter
tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan melakukan tindakan
medis tanpa melaksanakan informed consent dan dengan melakukan penolakan
untuk memberi salinan rekam medis maka mereka telah melanggar kewajiban
hukum diri sendiri dan hak subyektif orang lain. Hal ini karena pelaksanaan
informed consent (mendapat informasi dan memberi persetujuan) serta
memperoleh salinan rekam medis adalah hak-hak pasien yang dijamin oleh
hukum. Hak-hak tersebut sekaligus juga merupakan kewajiban bagi dokter
dan/atau rumah sakit untuk memenuhinya.
c. Kesalahan
Sebagai seorang dokter seharusnya para dokter yang melakukan tindakan
circumsisi ini memahami kewajibannya untuk melaksanakan informed consent.
Namun demikian ternyata yang terjadi sebaliknya, kewajiban tersebut diabaikan
sehingga terjadi tindakan circumsisi tanpa persetujuan pasien.
Pihak rumah sakit seharusnya juga memahami bahwa ia berkewajiban
untuk mengawasi kinerja dari dokter-dokter yang melaksanakan praktik
kedokteran di tempatnya. Ia seharusnya juga memahami bahwa pasien berhak
atas salinan rekam medis. Keadaan di mana terjadi tindakan medis tanpa
persetujuan dan penolakan pemeberian salinan rekam medis di rumah sakit
tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lalai menjalankan
kewajibannya.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
20
d. Kerugian
Terkait dengan masalah informed consent maka kerugian utama yang
dialami oleh Abraham adalah berupa hilangnya sebagian jaringan kulit
(perubahan fisik) di luar kehendaknya. Selain itu, hak asasinya untuk
menentukan apa yang terbaik untuk dirinya juga telah dilanggar tanpa suatu
alasan yang sah.
Terkait dengan masalah rekam medis maka kerugian yang timbul adalah
berkurangnya alat bukti yang dapat diajukan Abraham, sebagai penggugat, untuk
membuktikan bahwa ia tidak pernah menyetujui operasi circumsisi yang
dilakukan oleh dokter. Namun demikian, permasalahan rekam medis ini
seharusnya tidak hanya dijelaskan dalam posita gugatan saja. Seharusnya
penyerahan rekam medis ini juga dikemukakan Abraham sebagai salah satu
tuntutannya.
e. Hubungan sebab-akibat antara perbuatan dengan kerugian.
Hubungan sebab-akibat ini ditunjukkan dengan membuktikan bahwa benar
operasi circumsisi yang dilakukan oleh para tergugat adalah yang menyebabkan
Abraham kehilangan sebagian jaringan kulitnya. Selain itu, dengan tidak adanya
proses informed consent maka tidak ada kesepatan bagi Abraham untuk
mengetahui dan menolak pelaksanaan operasi circumsisi tersebut.
Terkait dengan rekam medis, dengan adanya penolakan dari rumah sakit
maka Abraham tidak dapat mendapat salinan rekam medis tersebut dan tidak
bisa menggunakannya sebagai alat bukti. Hal ini karena rekam medis tersebut
berada dalam penguasaan rumah sakit dan tidak mungkin untuk mendapatnya
dari sumber lain selain dari rumah sakit yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
21
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
a. Dalam pelaksanaan tindakan medis terdapat hubungan hukum berupa perikatan di
antara dokter dengan pasien. Perikatan ini dapat bersumber dari perjanjian dari
perjanjian maupun dari undang-undang.
b. Sebelum melaksanakan tindakan medis seorang dokter wajib melaksanakan informed
consent terlebih dahulu terhadap pasiennya.. Namun demikian, dalam keadaan
tertentu dokter juga dituntut untuk dapat segera melaksanakan tindakan medis dan
mengesampingkan informed consent. Keadaan ini terutama ditemui dalam keadaan
gawat darurat dimana ada ancaman kematian atau kecacatan terhadap pasien
sehingga perlu segera dilakukan tindakan medis.
Dari pembahasan yang telah dilakukan dalam naskah ini juga dapat disampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
a. Pembentuk peraturan harus mengatur secara lebih tegas batasan usia dimana seseorang
dapat menerima informasi dan memberi persetujuan (kompeten) dan tidak
menggantungkannya pada peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini
mengingat adanya perbedaan ukuran dewasa dalam berbagai perundang-undangan.
b. Pasien harus turut berperan aktif dalam proses perawatan dan pelaksanaan informed
consent. Hal ini bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tindakan medis pasien
itu sendiri.
c. Dokter harus memberikan informasi dengan sejelas-jelasnya, sebagaiamana diatur
dalam 290/Menkes/Per/III/2008, kepada pasien dan memastikan bahwa informasi
tersebut dipahami dengan baik. Hal ini harus dilakukan tidak hanya dalam
pelaksanaan informed consent, akan tetapi juga harus dilakukan dalam hal
pelaksanaan tindakan medis tanpa informed consent yang diperbolehkan oleh
undang-undang. Dokter harus dapat menjelaskan alasan mengapa informed consent
tidak perlu dilakukan dalam tindakan medis tersebut. Dengan demikian tidak terjadi
persepsi dimana pasien merasa bahwa haknya telah dilalaikan dan berujung pada
gugatan perdata.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
22
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991.
Badrulzaman, Mariam Darus, et. al. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001.
Forum Diskusi Informed Consent. Informed Consent: Informasi dan Persetujuan
Tindakan Medis. Jakarta: FHUI dan RSPP, 1991.
Guwandi, J. Hukum Medis (Medical Law), cet. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
Hasdam, Sofyan. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: Selayar Semesta, 2009.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Sinar Harapan,
1993.
Komalawati, Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, cet. 2.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung:
Binacipta, 1991.
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Jakarta: Ind-
Hill-Co, 1989.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 38. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2007.
Subekti. Hukum Perjanjian, cet. 23. Jakarta: Intermasa, 2010.
______. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 31. Jakarta: Intermasa, 2003.
B. Artikel
Bararan, Vera Varah. “Pasien yang Mengadukan Dokter ke MKDKI Jumlahnya Makin
Banyak”, http://health.detik.com/read/ 2011/06/28/164659/1670785/
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
23
763/pasien-yang-mengadukan-dokter-ke-mkdki-jumlahnya-makin-
banyak?8811 04755, diunduh pada 19 Oktober 2013.
C. Peraturan
Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia (Tahun 2012).
Indonesia . Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran. UU No. 29 Tahun 2004. LN
No. 116 Tahun 2004. TLN No. 443.
________. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No. 36 Tahun 2009. LN No. 144
Tahun 2009. TLN No. 506
________. Undang-Undang tentang Rumah Sakit. UU No. 44 Tahun 2009. LN No. 153
Tahun 2009. TLN No. 507.
Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008.
_______________. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Rekam
Medis. Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008.
Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
top related