pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku peredaran vaksin...
Post on 22-Jan-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN
VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Hukum Pidana Islam
Oleh
ASRINA WULANDARI
NIM: SHP.130124
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2018
2
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu pernyataan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
Jambi, 26 Juni 2018
ASRINA WULANDARI
NIM: SHP.130124
ii
3
PERSEMBAHAN
Dengan hati yang tulus, dan penuh dengan kesabaran ku persembahkan hasil
karyaku sebagai bukti dan baktiku kepada orangku yang tercinta
Ayahanda dan ibunda
Doa mu mengiringi setiap langkah ku untuk mencapai kesuksesan
Untuk kakakku
Yang selalu memberi motivasi dan dorongan
Semoga semua kebaikan ini menjadi amal baik dan mendapat pahala dari allah
SWT
Amin yaa rabbal alamin
vi
4
5
6
MOTTO
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Q.S. 99:
7-8).
(٧-٨ ׃الزلزلة)
v
7
ABSTRAK
Judul Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Peredaran
Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dan Hukum Islam
Vaksin palsu sebagai bentuk sediaan farmasi yang tidak boleh beredar
karena tidak sesuai dengan standar mutu sediaan farmasi yang ditetapkan oleh
pemerintah. Hal ini dikarenakan ada unsur penipuan terhadap pasien atau
masyarakat. Kajian ini berusaha menjawab pertanggungjawaban pidana pelaku
peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan hukum Islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan yuridis dan empiris. Yuridis yaitu mengkaji konsep
normatifnya atau peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara, dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian ini menemukan
bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah Rumah sakit
maupun bidan/klinik ditentukan yang terindikasi menerima vaksin palsu Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu secara politik, dapat diminta
pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan
dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi
teledor dan luput dari pengawasan. Korban vaksin palsu yang mengalami
kerugian baik materiil dan immateriil dapat mengajukan gugatan secara perdata.
Ada beberapa bentuk gugatan yang dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa,
citizen lawsuit, dan class action. Di antara beberapa bentuk gugatan perdata
tersebut gugatan class action merupakan bentuk gugatan yang paling efektif dan
efisien mengingat besarnya jumlah korban vaksin palsu. Pertanggungjawaban
pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Islam ada indikasi perilaku
berbohong atau tidak jujur mengatasnamakan vaksin namun produk palsu yang
dilakukan secara teroganisir dan meluar. Hal ini tentu berdampak kerugian sosial
dan ini termasuk perilaku salah di mata agama.
Keyword: Pertanggungjawaban Pidana, Vaksin Palsu, Hukum Islam
vi
8
ABSTRACT
Thesis Title: Criminal Responsibility Against Actors of Counterfeit Vaccine
Distribution Obtained from Law No. 36 of 2009 concerning
Health and Islamic Law
Counterfeit vaccines as pharmaceutical dosage forms that should not be
permitted because they are not in accordance with the pharmaceutical supply
supply standards set by the government. This is because no one opposes patients
or the community. This study tries to answer the accountability of fake vaccine
distribution perpetrators seen from Law No. 36 of 2009 concerning Health and
Islamic law. Suggestions used in this study are juridical and empirical. Juridical,
namely reviewing normative concepts or regulations. Data collection is done by
interview, arrangement and observation. The results of this study found facts
about the perpetrators of fake vaccine distribution viewed from Law No. 36 of
2009 concerning Health is the Hospital or midwife / clinic that receives indicated
to receive fake vaccines in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi.
Political traffic, can be accounted for by health institutions in Indonesia. The
Minister of Health can hold accountability for discussing "very important" to be
careless and escape supervision. Victims of Counterfeit Vaccines Releasing Both
Materialil and Immateriil can request full claims. There are several lawsuit that
can be filed, ordinary civil suit, citizen lawsuit, and class action. Among some
forms of civil suit this class action lawsuit is the most effective and efficient form
of claim in determining the number of victims of fake vaccines. Criminal liability
for the distribution of fake vaccines seen from Islam is evidence of improper
vaccine protection made by counterfeit products which are carried out in an
organized and outgoing manner. This of course has a negative social impact and
this includes wrong problems in the eyes of religion.
Keywords: Criminal Responsibility, Counterfeit Vaccines, Islamic Law
vii
9
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik serta teriring salam pada junjungan besar
Nabi Muhammad SAW. Adapun judul skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Pelaku Peredaran Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Hukum Islam” Maksud
dan tujuan penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis
ucapkan kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak Dr. H. Hermanto Harun, MA, selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Rahmi Hidayati, M.Ag, selaku Wakil Dekan II bidang
Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, dan Bapak Dr. Yuliatin,
M.H.I, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswa dan Kerjasama Fakultas
Syari’ah UIN Sultan Thaha Saifudin Jambi.
viii
10
4. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, S.H, M.H, selaku Ketua Jurusan Hukum
Pidana Islam Fakultas Syariah UIN STS Jambi, sekaligus sebagai
Pembimbing Skripsi I.
5. Bapak Abdul Razak, S.H.I, M.IS, selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana
Islam Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. H. Ishaq, S.H., M.Hum sebagai pembimbing II skripsi ini yang
banyak memberikan arahan dan penunjuk selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak/Ibu dosen, karyawan dan karyawati Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.
8. Bapak/Ibu pimpinan, karyawan dan karyawati perpustakaan UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi dan Perpustakaan Wilayah Jambi.
9. Bapak M. Ruhyat, sebagai Kapolsek Kumpeh Ulu beserta staf dan para
tahanan/narapidana yang membantu memberikan informasi penelitian untuk
mendukung penyelesaian skripsi ini.
10. Kepada kedua orang tua saya dan adik saya tercinta.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
yang membaca. Semoga Allah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya atas bantuan
dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
Jambi, 21 Juli 2018
Penulis
Asrina Wulandari
NIM.SHP 130124
ix
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 8
C. Batasan Masalah.................................................................... 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ........................................ 9
F. Tinjauan Pustaka ................................................................... 15
G. Metode Penelitian.................................................................. 17
H. Sistematika Penulisan............................................................ 20
I. Jadwal Penelitian ................................................................... 21
BAB II VAKSIN PALSU DAN PEREDARANNYA
A. Kandungan Vaksin Palsu ...................................................... 23
B. Pengungkapan Vaksin Palsu ................................................. 24
C. Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Peredaran Vaksin
Palsu ...................................................................................... 26
D. Hak Konsumen Vaksin Palsu ................................................ 28
BAB III UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN
A. Pendahuluan .......................................................................... 31
B. Pasal-Pasal Tentang Kesehatan ............................................. 34
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PEREDARAN VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-
UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
DAN HUKUM ISLAM
A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Peredaran Vaksin
Palsu Dilihat Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan ................................................................. 41
B. Pertanggungjawaban Pidana Peredasaran Vaksin Palsu
Ditinjau dari Hukum Islam.................................................... 49
x
12
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 53
B. Saran ...................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
13
DAFTAR SINGKATAN
UU : Undang-Undang
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus peredaran dan penggunaan vaksin palsu berhasil diungkap kepolisian
setelah menerima berbagai keluhan dari masyarakat yang mengaku balita mereka
tetap sakit meski telah divaksin. Peredaran awalnya diketahui di daerah Jakarta
Timur dan Bekasi. Akan tetapi kemudian berkembang ke sejumlah daerah di
Indonesia. Berdasarkan pengakuan dari produsen vaksin palsu, mereka telah
beroperasi kurang lebih 13 tahun.1
Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin
palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di
badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-
lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir
terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya. Istilah “vaksin palsu” sebagai
terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Di dalam pasal 196
UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.
Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus
dimintakan pertanggungjawaban. Sebelum membicarakan mekanisme meminta
pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, maka diuarikan terlebih dahulu
dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme
1Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, (Majalah Info Hukum
Singkat, Vol. VIII, No. 14/II/P3DI/Juli/2016), hlm. 1.
1
2
pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban
dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum
pidana.
Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-
masing pelaku (dader), maka harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian
terjadinya tindak pidana. Dari ranah inilah, maka bisa menjangkau tanggung
jawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)”
dari masing-masing rangkaian. Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan
dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup
canggih dan terpola merata.
Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum
haruslah dibuktikan apakah “vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan
kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar,
khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah. Hasil analisis dari
segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.
Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun
bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah
standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin
palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai
“pelaku”. Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan”
menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat
polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban
kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta
3
pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan
luput dari pengawasan.
Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung
karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal. Vaksin PCV 13
(Prevenar), misalnya, harus diberikan kepada bayi sebanyak 4 kali dengan harga
vaksin berkisar antara Rp850.000-Rp1.300.000 per satu kali pemberian.
Sedangkan kerugian immateriil terjadi akibat waktu yang terbuang untuk
imunisasi dan mengurus imunisasi ulang. Belum lagi kecemasan yang harus
ditanggung oleh orang tua terhadap dampak vaksin palsu terhadap kesehatan anak
mereka. Anak pun menderita kerugian immateriil akibat tubuh tidak terlindungi
oleh vaksin dan hilangnya kesempatan mendapatkan vaksin yang hanya dapat
diberikan pada usia-usia tertentu. Terhadap kerugian materiil dan immateriil yang
harus dianggung oleh orang tua dan anak korban vaksin palsu, gugatan perdata
dapat diajukan kepada pihak yang memikul tanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.
Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif
terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum
pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.2
Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak
2Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 1.
4
pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan
tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana
melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh
karena perbuatan tersebut.3
Kesalahan dalam pengertian seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan
pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung
makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan
orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat
dicela atas perbuatannya.
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si
pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,
masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena
adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana
tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana
dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara
doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan psikis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga
orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
3Penjelasan Pasal 31 UU KUHP 1999-2000
5
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan
diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat
dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai
kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau
dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang
melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial khususnya kejahatan dengan
kekerasan merupakan masalah abadi dalam kehidupan ummat manusia, karena ia
berkembang seiring dengan perkembangan tingkat peradaban ummat manusia.
Oleh karena itu kejahatan khususnya kejahatan terhadap tubuh atau kekerasan
senantiasa dihadapi oleh masyarakat dengan tidak mungkin dapat dihapuskan
sampai tuntas jadi usaha yang harus dilakukan oleh manusia dalam menghadapi
kejahatan bersifat penanggulangan yang berarti bahwa usaha itu bertujuan untuk
mengurangi intensitas dan frekuensi terjadinya kejahatan.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemidanaan pembuatan vaksin palsu, seharusnya merujuk pada pendekatan norma
hukum yang bersifat menghukum penjahat sehingga dapat memberikan efek jera
bagi pelaku dan menjadi peringatan keras bagi para calon pelaku tindak pidana
khusunya para pelaku tindak pidana penganiayaan berencana. Hal ini memberikan
6
wacana kepada para penegak hukum, agar dapat menindak tegas para pelaku
kejahatan.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai undang-
undang terbaru dalam bidang kesehatan menjelaskan mengenai pertanggung-
jawaban pidana bagi pengedar vaksin palsu yang disebutkan dalam pasal 196
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).4
Selanjutnya pada pasal 197 juga menjelaskan bahwa: Setiap orang yang
dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).5
Dua Pasal di atas menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana pengedelan
vaksin palsu dikenakan denda dan kurangan penjara sesuai ketentuan yang sudah
dijelaskan.
Berkaitan dengan vaksin palsu, maka Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 98 ayat 92 dan pasal 108 melarang, menghimpun dan
menjual obat. Hal ini sesuai pasal 98 (a) dan pasal 108 UU No. 36 dapat dilihat di
bawah ini:
4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 197
5Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 198
7
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat. Praktik kefarmasiaan yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.6
Vaksin palsu sebagai bentuk sediaan farmasi yang tidak boleh beredar
karena tidak sesuai dengan standar mutu sediaan farmasi yang ditetapkan oleh
pemerintah. Hal ini dikarenakan ada unsur penipuan terhadap pasien atau
masyarakat. Dalam Islam, penipuan adalah sesuai yang tidak dibolehkan dalam
Islam. Allah SWT juga menjelaskan tentang orang-orang yang berlaku curang
dalam hidup mereka disebutkan dalam surah al-muthaffin ayat 7 sebagai berikut:
از لفى سجيي. )الوطففيي: ( ٧كلا اى كتب الفج
Artinya: “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang
durhaka tersimpan dalam sijjin”.7
Pelaku vaksin palsu bertanggung jawab atas pelanggaran hukum yang
diperbuatnya. Berdasarkan permasalahan ini, maka penulis ingin meneliti kajian
tersebut dalam bentuk skripsi berjudul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN PALSU DILIHAT DARI
UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN
HUKUM ISLAM.
6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 98 ayat 92
7Q.S. Al-Mutaffifin: 7
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat
dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana peredasaran vaksin palsu ditinjau dari
hukum Islam?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah ini penulis hanya membahas tentang
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku di Indonesia
dan hukum Islam.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak
dicapai oleh peneliti. Sedangkan tujuan itu sendiri merupakan sejumlah keadaan
yang ingin dicapai. Adapun yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu
dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana peredasaran vaksin palsu
ditinjau dari hukum Islam.
9
2. Kegunaan Penelitian
Setelah penelitian ini dilakukan, maka kegunaan dari pada penelitian ini
terdiri atas kegunaan secara teori dan praktis:
a. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam rangkan
pengembangan ilmu pengetahuan tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.
b. Sebagai praktis. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi
dan mahasiswa tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): "Tanggung jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).”8
Pidana adalah “Kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan
sebagainya).”9
Selanjutnya pertangungjawaban pelaku pidana adalah kewajiban
menanggung segala hal yang terkait kejahatan yang sudah dilakukan seseorang.
8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 1006. 9Ibid., hlm. 776.
10
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual yang disajikan dalam penulisan proposal skripsi ini
adalah konsep-konsep yang terdapat dalam judul, yaitu:
a. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah “diteruskannya celaan yang secara
objektif ada pada tindak pidana, secara subjektif terhadap pembuatnya.”10
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung-jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.
Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif
pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya
kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan
bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga
tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan
hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
b. Pelaku Peredaran Vaksin Palsu
Pelaku adalah orang/aktor yang dikenakan sangkaan hukum. Peredaran
adalah keadaan dimana adanya penyebaran suatu barang/orang dalam lingkungan
sosial. Vaksin adalah proses pemberian antigen berupa mikroorganisme hidup
10
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Aksara Baru,
1983), hlm. 89.
11
yang telah dilemahkan atau sudah mati atau bagiannya yang sudah diproses
sedemikian rupa untuk menimbulkan imunitas tubuh si penerima vaksin.11
Vaksin
palsu adalah sediaan berlabel vaksin yang tidak berisi antigen sehingga tidak
merangsang pembentukan kekebalan aktif, maka dari itu menjadikannya tidak
bermanfaat. “Pelaku ada aktor atau orang yang terlibat. Vaksin adalah bibit
penyakit yang sudah dilemahkan yang digunakan untuk vaksinasi.”12
Palsu adalah sesuatu yang tidak sesuai atau tidak asli. Dapat dijelaskan
bahwa pelaku peredaran vaksin palsu adalah orang yang menjadi aktor dalam
pembuatan dan mengedarkan atau mendistribusikan vaksin yang tidak asli.
Jadi pelaku peredaran vaksin palsu adalah aktor atau orang yang terlibat
dalam menyebarkan vaksin atau bibit penyakit yang sudah dilemahkan yang
digunakan untuk vaksinasi ke tengah masyarakat tanpa izin.
“Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung
karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal.”13
Korban vaksin palsu yang mengalami kerugian baik materiil dan immateriil
dapat mengajukan gugatan secara perdata. Ada beberapa bentuk gugatan yang
dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Di
antara beberapa bentuk gugatan perdata tersebut gugatan class action merupakan
bentuk gugatan yang paling efektif dan efisien mengingat besarnya jumlah korban
vaksin palsu.14
11
Kristo, Pengertian Vaksin Palsu (Jakarta: Klinik Vaksinasi, 2016), hlm. 1. 12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. op. cit., hlm. 1604. 13
Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 1. 14
Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 4.
12
Terkait dengan perlindungan konsumen dari produk palsu, secara tegas
Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa
selaku konsumen kita berhak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; mendapatkan informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
dan mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
c. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Sesuai penjelasan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
dijelaskan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan.
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat
penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.15
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur
15
Lihat Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
13
berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat
dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan.
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang
sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam
undang-undang sebelumnya. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan
teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik
oleh undang-undang tersebut.16
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa
dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menitik-beratkan pada pengobatan
(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah
bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan
dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.
Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan
kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif atau pemborosan. Selain itu,
sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap
kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam
menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih
tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
16
Ibid.
14
Sudah saatnya melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru
yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif.
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah
undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan
sakit. Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa
bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang
setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh
aspek kesehatan.17
Berdasarkan hal tersebut, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang
dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era
globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam
suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
d. Hukum Islam
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu
pada yang lain.18
Sedangkan menurut istilah para ulama ushul, sebagaimana
diungkapkan Abu Zahrah adalah “Titah (khithab) syari yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.”19
Dengan
17
Ibid. 18
Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah P. Putra, 1972, Cet. 11), hlm. 10. 19
Muhammad Abu Zahrah, Ushu al-Fiqh (Dar al- Firk al-Arabi, 1958), hlm. 26.
15
demikian, hukum Islam adalah aturan-aturan agama yang telah ditentukan untuk
dijalankan oleh setiap Muslim.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (peneliti-
penelitian lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus atau tema
yang diteliti. Di bawah ini adalah penelitian-penelitian yang memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini, yaitu:
Pertama penelitian yang dilakukan oleh Melisa Sthephani Hutabarat20
dengan skripsi berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Anak Pelaku Tindak
Pidana Penadahan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak. Skripsi ini
membahas tentang karakter tindak pidana penadahan yang dilakukan oleh anak
ialah modusnya hampir sama dengan pelaku orang dewasa, namun penyebabnya
selain karena masalah sosial ekonomi tetapi juga lebih karena pengaruh
lingkungan keluarga dan pergaulan. Sedangkan pada rumusan masalah yang
kedua akan membahas Studi kasus putusan mengenai anak pelaku tindak pidana
penadahan untuk mengetahui apakah hal yang dipertimbangkan Hakim dan juga
proses penyelesaian perkara itu telah sesuai dengan Undang-Undang RI No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh U. Hadi21
dengan skripsi berjudul
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kematian Petinju Akibat Kealpaan
Penyelenggara (studi komparatif antara hukum pidana KUHP dan Hukum
20
Melisa Sthephani Hutabarat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 2013. 21
U. Hadi Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Surabaya Tahun 2013
16
Pidana Islam). Skripsi ini membahas tentang pertanggungjawaban hukum pidana
terhadap kematian petinju akibat kealpaan peyelenggara, secara hukum pidana
KUHP dan hukum pidana Islam, kemudian dianálisis adanya persamaan dan
perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana KUHP dan hukum
pidana Islam terhadap masalah tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana
terhadap kematian petinju akibat kealpaan penyelenggara dalam KUHP adalah
termasuk kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain yang dilakukan olah
manager, inspektur pertandingan, dokter ring, dan wasit yang memimpin dan
berperan dalam pertandingan, yang mana meraka akan terkena dalam pasal 359
KUHP dan Bab XII tentang pemalsuan surat khususnya pada pasal 263 ayat (1)
KUHP. Dalam hukum pidana Islam hal ini berkaitan dengan pembunuhan
kesalahan yang disebut (qatl al-khatha’) yang mengandung 3 unsur yaitu;
pertama; perbuatan yang menyebabkan kematian, kedua; terjadinya perbuatan itu
karena kesalahan, Ketiga; Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan
kesalahan denan kematian korban. Persamaan dan perbedaan antar kedua hukum
yaitu terdapat kesamaan konfrehensif yaitu kealpaan dan Al- Khatta’ yaitu
perbuatan itu disengaja akan tetapi akibat dari perbuatan tersebut tidak
dikehendaki, sedangkan perbedaan menurut KUHP bahwasanya perbuatan
tersebut harus dilakukan secara langsung aktif baru memenuhi kriteria culpa
sedangkan pertanggungjawaban menurut hukum pidan Islam perbuatan tersebut
bisa secara langsung aktif atau secara tidak langsung pasif untuk memenuhi
kriteria qatl al-khatha’.
17
Sedangkan penelitian sendiri membahas tentang Pertanggungjawaban
pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam. Berdasarkan penelitian-penelitian di
atas, maka terdapat kesamaan yakni sama-sama tentang pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku tindak pidana, sedangkan perbedaannya adalah peneliti
membahas tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan hukum normatif yakni mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku
setiap orang.22
Penelitian menggunakan pendekatan hukum normatif ini untuk ini
menjelaskan tentang pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu
dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum
Islam.
2. Jenis Bahan Hukum dan Sumber Hukum
a. Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang dipergunakan di dalam penelitian ini terdiri atas:
1) bahan hukum primer, 2) bahan hukum sekunder dan 3) bahan hukum tersier.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini, yaitu:
22
Ishaq, Metode Penelitian Hukum:Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi (Bandung:
Alfabeta, 2017), hlm. 66.
18
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hokum yang bersifat otoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undang,
catatan resmi dan risalah23
Bahan hukum primer dari penelitian ini adalah data
dari referensi utama yang berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku
peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan hukum Islam yang meliputi Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan bukan dokumen-dokumen yang secara resmi.24
Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hokum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.25
Bahan hukum sekunder bersumber
dari referensi pendukung untuk menjabarkan penelitian tentang pertanggung-
jawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam, seperti buku-buku dan jurnal
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Sumber Bahan Hukum
1) Sumber Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer bersumber dari Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab-Kitab Ilmu Fiqh.
23
Ibid., hlm. 68. 24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), Cetakan ke-6, hlm.
141. 25
Ishaq, op.cit., hlm. 68.
19
2) Sumber Bahan Hukum Sekunder
Sedangkan sumber hukum sekunder berbentuk yang diperoleh dari bahan
kepustakaan atau literatur yang ada hubungannya dengan objek penelitian.26
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam suatu karya ilmiah terdiri dari observasi,
wawancara dan dokumentasi.27
Dan penelitian ini hanya menggunakan
dokumentasi karena merupakan penelitian kepustakaan.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu
mengkaji hukum yang konsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.”28 Peneliti melakukan
interpretasi terhadap data, sehingga diperoleh makna (meaning) atau kualitas isi
data. Sedangkan cara menganalogikannya berdasarkan analogi:
a. Induktif, yaitu dengan cara membaca dan menelaah secara khusus dengan
mengambil kesimpulan secara umum.29
Metode induktif digunakan untuk
menyusun kerangka teori.
b. Deduktif, yaitu dengan cara membaca dan menelaah permasalahan secara
umum dengan mengambil kesimpulan secara khusus.30
c. Komparatif, yaitu dengan membandingkan permasalahan dan pendapat-
pendapat yang ada kemudian mengambil suatu kesimpulan.31
26
Ibid., hlm. 67. 27
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Jambi: Fakultas Syariah IAIN STS Jambi,
2010), hlm. 25. 28
Ishaq, op. cit., hlm. 66. 29
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 57. 30
Ibid., hlm. 58.
20
Analisis ini digunakan untuk menyajikan kajian pada bab IV tentang
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.
H. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab, antara babnya ada yang
terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-
permasalahan tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab
yang berikutnya. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah
dan jelas mengenai pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika
dengan membagi pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama: merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan
kegunaaan penelitian, tinjauan pustaka.
Bab kedua: berisikan tentang metode penelitian, yakni mengenai
pendekatan penelitian, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, metode analisis data, sistematika penulisan
dan jadwal penelitian.
Bab ketiga: menguraikan tentang perkembangan vaksin palsu di Indonesia
dan dampaknya bagi kesehatan.
Bab keempat: Berisi pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-
31
Ibid., hlm. 99.
21
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum
Islam.
Bab kelima: Bab ini akan diuraikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu, lalui
penulis memberikan saran sebagai refleksi bagi semua pihak
mengenai penelitian ini.
J. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Penelitian dilakukan dengan
pembuatan proposal, kemudian dilanjutnya dengan perbaikan hasil seminar
proposal skripsi. Setelah pengesahan judul dan izin riset, maka penulis
mengadakan pengumpulan data, verifikasi dan analisis data dalam waktu yang
berurutan. Hasilnya penulis melakukan konsultasi dengan pembimbing sebelum
diajukan kepada sidang munaqasah. Adapun jadwal kegiatan dapat dilihat pada
tabel berikut:
22
Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Bulan
Feb
2018
Maret
2018
April
2018
Mei
2018
Juni
2018
Juli
2018
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1. Pembuatan
Proposal
x x x
2. Seminar dan
Perbaikan
Hasil Seminar
x
3. Pengumpulan
Data,
Verifikasi dan
Analisa Data
x x x x x x
4. Membuat
Laporan
Penelitan/Draf
Skripsi
x x x x x
5. Konsultasi
pembimbing
x x x X x x x x x x x
6. Perbaikan x
7. Penggandaan
Laporan
x
Catatan: Jadwal Berubah Sesuai Waktu
23
BAB II
VAKSIN PALSU DAN PEREDARANNYA
A. Kandungan Vaksin Palsu
Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek mengungkapkan hasil penelitian terkait
kandungan vaksin palsu yang beredar di masyarakat dalam Rapat Kerja dengan
Komisi IX di gedung DPR RI pada 14/07/2016 yang mana menjelaskan bahwa
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menemukan empat vaksin
palsu dari total 39 sampel vaksin yang diambil dari 37 Fasilitas Kesehatan di
sembilan provinsi di Indonesia. Antara lain tripacel hasil produksi PT Sanofi
Pasteur seharusnya mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, dan Vaksin
Aseluler. Berdasarkan hasil uji ternyata mengandung Na dan Cl, serta vaksin
Hepatitis B. Vaksin ini ditemukan di RSIA Mutiara Bunda, Jalan H. Mencong,
Ciledug. Temuan lain adalah serum Anti Tetanus produksi PT Bio Farma
seharusnya mengandung serum anti tetanus. Berdasarkan hasil uji ternyata
mengandung Na dan Cl. Vaksin ini ditemukan di RS Bhineka Bahkti Husada,
Jalan Cabe Raya, No. 17, Pondok Cabe, Kecamatan Pamulang, Tangerang
Selatan. Temuan lain adalah Tripacel produksi PT Sanofi Pasteur seharusnya
mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus dan Vaksin Aseluler. Berdasarkan
hasil uji ternyata mengandung Antigen Pertusis. Vaksin ini ditemukan di Klinik
Tridaya Medica, Jalan Tridaya Indah I Blok A1, Tambun, Bekasi.
Temuan lain adalah pediacel produksi PT Sanofi Pasteur seharusnya
mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, Vaksin Aseluler, Pertusis dan
Vaksin Polio (IPV). Berdasarkan hasil uji ternyata mengandung vaksin Hepatitis
23
24
B. Vaksin ini ditemukan di Apotek/Klinik Rahiem Farma, Jalan Dermaga Raya
129 Klender, Jakarta Timur. Kelima vaksin palsu tersebut yaitu: Tripacel berisi
Hepatitis B, Pediacel berisi Hepatitis B, ATS tidak mengandung ATS, Polivalent
anti snake genom serum tidak mengandung anti bisa ular dan Tuberkulin berisi
Hepatitis B, dan dua produk yang kadarnya tidak sesuai yaitu Euvax B dan
Engerix B.32
B. Pengungkapan Vaksin Palsu
Berawal dari kabar ditemukannya seorang bayi yang meninggal dunia pasca
divaksinasi, pada Rabu 18/05/2016 di Puskesma Pasar Rebo, Jakarta Timur. Bayi
berusia lima bulan berinisial R tersebut meninggal dunia pasca mengalami demam
tinggi per-tanggal 13 hingga 15 Mei 2016 dan kemudian kondisinya semakin
memburuk pada Selasa 17/05/2016 sampai Rabu 18/05/2016. Setelah dirunut,
kondisi kesehatan R menjadi tidak keruan pasca mengikuti suntik imunisasi DPT
3 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo33
Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri
melakukan pendalaman selama 3 bulan dan kemudian berhasil membongkar
adanya jaringan pemalsu vaksin pada 21/06/2016. Vaksin yang dipalsukan adalah
vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis B, tetanus,
dan BCG (Bacille Calmette-Guerin). Pabrik vaksin palsu ditemukan, yaitu di
Perumahan Puri Bintaro Hijau, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Menurut pengakuan para tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003
32
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016
melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu” 33
Ibid.
25
dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan
produk vaksin palsu ini di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.34
Kasus peredaran dan penggunaan vaksin palsu berhasil diungkap kepolisian
setelah menerima berbagai keluhan dari masyarakat yang mengaku balita mereka
tetap sakit meski telah divaksin. Peredaran awalnya diketahui di daerah Jakarta
Timur dan Bekasi. Akan tetapi kemudian berkembang ke sejumlah daerah di
Indonesia. Berdasarkan pengakuan dari produsen vaksin palsu, mereka telah
beroperasi kurang lebih 13 tahun.35
Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung
karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal. Vaksin PCV 13
(Prevenar), misalnya, harus diberikan kepada bayi sebanyak 4 kali dengan harga
vaksin berkisar antara Rp850.000-Rp1.300.000 per satu kali pemberian.
Sedangkan kerugian immateriil terjadi akibat waktu yang terbuang untuk
imunisasi dan mengurus imunisasi ulang. Belum lagi kecemasan yang harus
ditanggung oleh orang tua terhadap dampak vaksin palsu terhadap kesehatan anak
mereka. Anak pun menderita kerugian immateriil akibat tubuh tidak terlindungi
oleh vaksin dan hilangnya kesempatan mendapatkan vaksin yang hanya dapat
diberikan pada usia-usia tertentu. Terhadap kerugian materiil dan immateriil yang
harus dianggung oleh orang tua dan anak korban vaksin palsu, gugatan perdata
dapat diajukan kepada pihak yang memikul tanggung jawab.36
34
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016
melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu” 35
Luthvi Febryka Nola, op. cit., hlm. 1. 36
Ibid., hlm. 1.
26
Kasus vaksin palsu ditanggapi serius oleh DPR. Komisi IX DPR telah
memanggil instansi terkait bahkan berhasil mendorong Kementerian Kesehatan
untuk membuka informasi mengenai fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat.
Komisi IX juga membentuk Panitia Kerja Pengawasan Peredaran Obat dan
Vaksin yang fokus kegiatannya, antara lain mendorong pemerintah untuk
mengkaji ulang aturan-aturan berkaitan pengawasan obat dan makanan serta
memanggil pihak-pihak terkait. Selain itu, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal
28 Juli 2016 telah memutuskan untuk membentuk Tim Pengawas Vaksin Palsu
(Timwas) yang anggotanya bersifat lintas komisi dan bertugas melakukan
pengawasan dan mengawal proses penegakan hukum terhadap perkara vaksin
palsu yang terjadi selama ini.
Pemerintah saat ini telah berupaya untuk menginventarisasi masyarakat
yang menjadi korban vaksin palsu dan melakukan vaksinasi ulang. Kepolisian
juga telah melakukan penyelidikan dan hingga saat ini telah menetapkan 25 orang
sebagai tersangka. Pada dasarnya terdapat beberapa jalur hukum yang dapat
ditempuh oleh korban vaksin palsu, yaitu pidana dan perdata. Saat ini proses
pidana sedang berjalan. Dalam tulisan ini hanya akan dikaji mengenai gugatan
perdata sebagai alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh oleh korban vaksin
palsu.37
C. Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Peredaran Vaksin Palsu
Pada kasus vaksin palsu setidaknya terdapat 5 pihak yang harus
bertanggung jawab, yaitu pembuat vaksin, distributor obat, tenaga kesehatan
37
Ibid., hlm. 2.
27
terkait, pemerintah, dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Pembuat vaksin dan
distributor obat telah melanggar beberapa hak konsumen terutama hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlibat vaksin
palsu menyangkut kewajibannya untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional,
dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.38
Sedangkan pemerintah dikenai tanggungjawab karena dianggap telah gagal
melaksanakan kewajiban untuk melindungi masyarakat khususnya terhadap anak
korban vaksin palsu sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, Pasal
34 ayat (3) UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 44
ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun aturan yang dilanggar oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta
adalah terkait persyaratan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan aturan tentang sediaan farmasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.39
38
Ibid., hlm. 2. 39
Ibid., hlm. 2.
28
D. Hak Konsumen Vaksin Palsu
Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien
dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen
adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.40
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga
merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi
pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004. Perlindungan hak
pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, yaitu:
1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di Rumah Sakit;
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
40
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016
melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu”
29
4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di
luar Rumah Sakit;
9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
10. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan;
11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.41
Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang
tersedia bagi pasien adalah:
1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga
peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45
UUPK)
41
Ibid.
30
2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap
undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana
atas pelanggaran hak-hak pasien.
3. Pelaku pemalsuan vaksin dapat dijatuhkan dengan Pasal 197 UU No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan; Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7
ayat (1), (2) jo dan Pasal 64 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta Pasal 225 angka
(1), (2), (3) dan Pasal 386 ayat (1), (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
4. Pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.43/2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi, penyelenggaraan imunisasi wajib, baik
pengadaan vaksin, sampai distribusi, menjadi tanggung jawab
pemerintah.
5. Sementara Fasilitas kesehatan pengguna vaksin palsu akan dijatuhkan
hukuman berdasarkan Permenkes No. 56 tahun 2014 Pasal 78 ayat (6)
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit serta Permenkes No. 9
Tahun 2014 Pasal 41 ayat (1) dan (2) tentang Klinik
6. Pasal 13 ayat 1, menyebut Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan
logistik untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.
7. Pasal 17 menjelaskan, Pemerintah bertanggung jawab tehadap
pendistribusian logistik berupa vaksin, Auto Disable Syringe, safety box,
dan dokumen pencatatan status imunisasi untuk penyelenggaraan
imunisasi wajib.42
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut
pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah
menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut
untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan
tugasnya merugikan pihak lain. Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal
1365 dan 1367 KUHPerdata karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki
kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti
halnya manusia.
42
Ibid.
31
BAB III UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
A. Pendahuluan
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita
bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia.
Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya
pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap
kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa,
serta pembangunan nasional.
31
32
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur
berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat
dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN
1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan
kesehatan.
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang
sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan
teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum
terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitik-beratkan pada
pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat
adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan
membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya
pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan
pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.
33
Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum
menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di
dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini
masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, sudah
saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi
berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa
dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan
upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah
undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan
sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi
menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa
bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang
setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh
aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut,
34
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan
dengan semangat otonomi daerah.
Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat
dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era
globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam
suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
B. Pasal-Pasal Tentang Kesehatan
Adapun pasal-pasal tentang kesehatan dapat dilihat di bawah ini:
Pengertian-pengertian
Pasal 1:
a. Ayat (1): Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
b. Ayat (4): Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
c. Ayat (6): Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
d. Ayat (8): Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia.
e. Ayat (17) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Ayat (18) Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan
perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.
g. Ayat (19) Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.
35
Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan:
a. Ayat (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
b. Ayat (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
c. Ayat (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan. Lalu Pasal 58:
a. Ayat (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
b. Ayat (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan
nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c. Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal tentang tanggung jawab pemerintah adalah:
Pasal 14
a. Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
b. Ayat (2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikhususkan pada pelayanan publik.
Pasal 15: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 16: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di
bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
36
Pasal 17: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap
informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 19: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk
upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20:
a. Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui system jaminan sosial nasional bagi
upaya kesehatan perorangan.
b. Ayat (2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
a. Ayat (1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.
b. Ayat (2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat,
Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan
pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
Pasal 37:
a. Ayat (1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan
dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi.
b. Ayat (2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial
dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38:
a. Ayat (1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan
perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang
tersedia.
b. Ayat (2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat
obat.
c. Ayat (3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya
alam dan sosial budaya.
37
Pasal 39 Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri. Pasal 40:
a. Ayat (1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara
esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
b. Ayat (2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai
dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.
c. Ayat (3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
d. Ayat (4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
e. Ayat (5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap
ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
mengatur paten.
f. Ayat (6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk
dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh
Pemerintah.
g. Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41:
a. Ayat (1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan
perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
b. Ayat (2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan
dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional.
Pasal 182:
a. Ayat (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan
setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya
di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
b. Ayat (2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan
izin terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.
c. Ayat (3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada
lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
d. Ayat (4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan
masyarakat.
38
Pasal 183: Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan
tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Pasal
184: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga
pengawas mempunyai fungsi:
a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. Memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan.
Pasal 185: Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan
apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda
pengenal dan surat perintah pemeriksaan. Pengamanan dan Penggunaan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98:
a. Ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
b. Ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan
mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
c. Ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
d. Ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,
dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
39
Pasal 105:
a. Ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
b. Ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 106:
a. Ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.
b. Ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
c. Ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah
memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita
dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 107: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pasal 108:
a. Ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Kemudian pasal-pasal yang menyangkut tentang sanksi dapat dilihat di
bawah ini yaitu pasal 196: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
40
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198: Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
41
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN
VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM
A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Peredaran Vaksin Palsu Dilihat
Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin
palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di
badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-
lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir
terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya. Istilah “vaksin palsu” sebagai
terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Di dalam pasal 196
UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.
Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus
dimintakan pertanggungjawaban. Sebelum membicarakan mekanisme meminta
pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, maka diuarikan terlebih dahulu
dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme
pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban
dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum
pidana.
Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-
masing pelaku (dader), maka harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian
terjadinya tindak pidana. Dari ranah inilah, maka bisa menjangkau tanggung
41
42
jawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)”
dari masing-masing rangkaian. Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan
dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup
canggih dan terpola merata.
Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum
haruslah dibuktikan apakah “vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan
kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar,
khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah. Hasil analisis dari
segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.
Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun
bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah
standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin
palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai
“pelaku”. Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan”
menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat
polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban
kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta
pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan
luput dari pengawasan.
Sedangkan Dinas Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban terhadap 14
rumah sakit dan 8 bidan/klinik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Selain itu, maka harus juga dilihat rangkaian panjang, mengapa 14 RS dan 8
bidan/klinik telah menerima “vaksin palsu”. Di dalam pasal 196 UU Kesehatan
43
disebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Melihat pasal 196 UU Kesehatan, maka terhadap Pimpinan RS ataupun
pimpinan bidan/klinik yang telah menerima vaksin palsu “harus dimintakan
pertanggungjawaban” mengapa menerima “vaksin palsu”. Pimpinan RS ataupun
pimpinan bidan/klinik adalah orang dianggap sebagai dader (pelaku utama) dalam
“mengedarkan” vaksin palsu.
Bahkan pimpinan RS swasta dan pimpinan bidan/klinik harus dimintakan
pertanggungjawaban korporasi sebagaimana diatur didalam 201 UU Kesehatan.
Selain ancaman pidana diperberat juga pertanggungjawaban korporasi juga
dimintakan sanksi denda. Bahkan RS Swasta dan pimpinan bidan/klinik dapat
dilakukan Pencabutan izin usaha; dan/atauPencabutan status badan hokum
Dengan melihat rangkaian, maka seluruh pimpinan 14 RS dan 8 pimpinan
bidan/klinik dapat dikualifikasikan sebagai “dader” atau pelaku utama dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban. Tinggal di tingkat penyidikan, maka ditentukan
apakah rangkaian yang dilakukan merupakan “kesalahan (dolus) ataupun semata-
mata karena kelalaian (culva)sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kesehatan
didalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR tanggal 14 Juli 2016.
44
Selain Pimpinan RS dan pimpinan Bidan/klinik, maka terhadap “orang yang
menyediakan” baik yang memproduksi, mengedarkan yang tidak memiliki izin
edar” juga diminta pertanggungjawaban. Pasal 197 UU Kesehatan telah
menyebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Sedangkan pasal 198
UU Kesehatan menyebutkan “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Dari ranah, ini penyidik akan mudah dan dapat menetapkan para “pengedar,
produsen” sebagai pelaku utama (dader). Penegakkan hukum terhadap pelaku
dalam kasus “vaksin palsu” harus tegas. Selain “memberikan hukuman terhadap
orang yang bertanggungjawab” juga memberikan “kepastian kepada masyarakat”
yang menjadi korban dari “salah urus” di bidang kesehatan.
Tindak kejahatan di bidang kesehatan, dalam bentuk pemalsuan vaksin yang
telah dilakukan selama 13 tahun, atau terjadi sejak 2003 merupakan tragedi dan
ironi dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang
telah dengan sadar secara swadaya melakukan imunisasi sebagai upaya kesehatan
bagi anak-anak, namun ternyata dihadapkan pada tindak kejahatan pemalsuan
vaksin.
45
Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
telah menjamin Hak setiap orang dan mengatur tanggung jawab pemerintah
terkait kesehatan. Pasal 5 ayat (2) UU 36 tahun 2009 menyatakan bahwa Setiap
orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Lebih lanjut, Pasal 8 Undang-Undang Kesehatan
menyatakan bahwa Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang
akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Undang-undang Kesehatan juga mengatur tanggung jawab pemerintah
dalam penyelenggaraan kesehatan, secara khusus Pasal 19 UU No 36 Tahun 2009
mengatur bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk
upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Vaksin, yang
diberikan kepada anak-anak melalui imunisasi adalah salah satu bentuk upaya
kesehatan.
Hal ini merupakan bentuk kelalaian Pemerintah dalam melaksanakan
tanggunggjawabnya untuk memenuhi hak kesehatan setiap warga Negara,
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Korban vaksin palsu dapat mengajukan gugatan perdata melalui 3 bentuk
yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Gugatan perdata
biasa atas kasus vaksin palsu diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad), baik itu yang secara langsung maupun tidak secara
langsung dikenakan kepada pelaku. Gugatan hukum yang dikenakan langsung
pada pelaku diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap
46
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut”. Gugatan ini pada dasarnya dapat diajukan kepada
pembuat vaksin, distributor obat, tenaga kesehatan, dan fasilitas pelayanan
kesehatan swasta yang terlibat dengan vaksin palsu.
Sedangkan gugatan melawan hukum yang dikenakan secara tidak langsung
kepada pelaku, diajukan berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata yang menyatakan
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-
barang yang berada di bawah pengawasannya”. Pada kasus vaksin palsu, gugatan
tanggung jawab pengganti dapat diajukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan
swasta yang berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata seharusnya bertanggung jawab
terhadap perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk
tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan swasta tersebut.
Gugatan perdata berikutnya adalah citizen lawsuit. Citizen lawsuit
merupakan gugatan yang diajukan warga negara terhadap penyelenggara negara
atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian negara dalam
gugatan citizen lawsuit merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum,
sehingga gugatan ini diajukan pada lingkup peradilan umum sebagai perkara
perdata. Petitum gugatan citizen lawsuit, dapat berupa tuntutan kepada negara
untuk mengeluarkan suatu pengaturan yang bersifat umum (regeling) agar
47
kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Tidak ada gugatan ganti rugi
dalam gugatan ini.
Pada kasus vaksin palsu, terdapat indikasi kuat pemerintah lalai melakukan
pengawasan terhadap peredaran vaksin di Indonesia, sehingga menyebabkan
terjadinya pelanggaran hak atas kesehatan warga Negara seperti diatur dalam
Pasal 28H UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam
Pasal 54 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa
“Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab,
aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif”. Citizen lawsuit ini dapat
diajukan agar negara mengeluarkan aturan khusus tentang pengawasan terhadap
obat termasuk vaksin.
Aturan pengawasan obat seharusnya memuat aturan pengawasan secara
komprehensif mulai dari tahap produksi, distribusi, penggunaan dan pengelolaan
sampah, serta limbah medis. Tidak seperti saat ini, aturan tentang pengawasan
obat dan makanan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengawasan ini bersifat lintas sektoral karena melibatkan beberapa kementerian
dan badan seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Lingkungan
Hidup, dan Kepolisian, sehingga perlu ditetapkan instansi mana yang berperan
sebagai koordinator pengawasan. Oleh sebab itu, aturan yang paling tepat untuk
mengatur tentang pengawasan adalah undang-undang.
48
Gugatan perdata terakhir adalah class action yang dasar hukumnya adalah
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok
(Class Action). Gugatan class action, menurut Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8
Tahun 1999, merupakan gugatan yang dapat dilakukan oleh sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atas pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan menurut PERMA No. 1 Tahun 2002,
“Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil
kelompok dan anggota kelompok dimaksud”.
Persyaratan umum dari class action adalah gugatan mencakup banyak orang
sebagai penggugat; terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar
hukum, dan jenis tuntutan; serta perwakilan kelompok harus jujur dan
bersungguh-sungguh melindungi kepentingan kelompok yang diwakili. Wakil
kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action dapat diajukan kepada pelaku
usaha vaksin palsu yaitu produsen vaksin, distributor, fasilitas pelayanan
kesehatan swasta, dan pemerintah. Menurut Pasal 46 ayat (2) UU No. 8 Tahun
1999, gugatan class action diajukan kepada peradilan umum. Dalam PERMA No
49
1 Tahun 2002, surat gugatan class action harus memenuhi persyaratan-
persyaratan formal yang diatur dalam hukum acara perdata ditambah dengan:
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa
menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan
dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota
kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi, yang
dikemukakan secara jelas dan terinci;
e. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian
kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan
kerugian yang berbeda; dan
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas
dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok
termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action merupakan gugatan yang
paling sesuai untuk ditempuh sebab korbannya bersifat massal sehingga lebih
efektif. Keuntungan lain dari gugatan class action adalah biaya proses berperkara
yang harus ditanggung penggugat menjadi lebih murah dan pihak tergugat juga
ikut diuntungkan karena cukup mengeluarkan satu kali biaya untuk para pihak
yang dirugikan. Dari sisi akses keadilan bagi penggugat juga lebih terjamin karena
diajukan secara bersama-sama. Selain itu dapat dicegah munculnya inkonsistensi
putusan dalam perkara yang sama.
B. Pertanggungjawaban Pidana Peredasaran Vaksin Palsu Ditinjau dari
Hukum Islam
Timbul kecenderungan orang yang kurang mampu akan memandang
perkembangan sosial lebih mengarahkan satu fenomena tidak berkembang.
Keadaan ini menimbulkan sikap yang mempermaklum keadaan. Sikap ini
50
menciptakan pembenaran-pembenaran pribadi dalam setiap perbuatannya, karena
ia melihat kebenaran yang ada di masyarakat tidak lagi berpihak padanya, seperti
kasus vaksin palsu yang melanggar hukum.
Kemudian para ulama berkata, menjual vaksin palsu berarti bertentangan
dengan ayat bahwa Allah memuliakan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
هنا بن آدم وحولناهن ف البس والبحس ي ولقد كس وزشقناهن ه
ي خلقنا تفضيلاا و لناهن على كثيس ه الطيبات وفض
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”43
Islam telah menjadikan filsafat ekonominya berpihak pada upaya untuk
menjalankan aktivitas perekonomian dengan berpegang kepada perintah dan
larangan Allah yang didasarkan pada kesadaran adanya hubungan manusia dengan
Allah SWT. Dengan kata lain, Al-Qur`an menjadikan ide yang dipergunakan
untuk membangun pengatur urusan kaum muslimin dalam suatu masyarakat.
Mereka juga terikat dengan hukum-hukum syari’at sebagai satu perundang-
undangan, sehingga mereka diberi kebolehan dengan apa yang telah
diperbolehkan oleh Islam kepadanya. Mereka juga terikat dengan ketentuan yang
mengikat mereka yaitu Al-Qur`an. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyir ayat 7
sebagai berikut:
43Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Israa’: 70
(٨: لحشر١)
51
Artinya: “Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (Q.S.
Al-Hasyir: 7). 44
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbagai sesuatu yang
bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang
luhur. Dalam Islam manusia memegang mandat sebagai khalifah. manusialah
satu-satunya makhluk yang diberikan mandat oleh Allah SWT untuk mengelola
dan mendayagunakan sumber daya dan kekayaan alam.45
Untuk itu, agar dapat
memenuhi segala kebutuhan dan tuntunan hidup maka manusia diwajibkan untuk
berusaha dengan berbagai lapangan pekerjaan dan cara-cara yang harus yang
harus ditempuh di antara lapangan pekerjaan yang dilakukan oleh setiap orang
antara lain jual beli, perdagangan, pemasaran, tukar menukar, bisnis dan lain-lain.
Allah membentangkan alam ini adalah untuk keperluan penghidupan
seluruh makhluk, termasuk umat manusia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh
Allah dalam surat Al-Mulk ayat 15 dalam firman-Nya berbunyi:
ى الري جعل لكن الأزض ذلىلاا فاهشىا ف هناكبها وكلىا هي زشقه ه
(٥١وإليه النشىز. )الولك:
Artinya: Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka
berjalanlah di segala penjuru, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya.
Dan hanya kepada-Nyalah kalian akan kembali.46
44
Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Hasyir: 7 45
Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam dalam Menghadapi Zaman, Jakarta: Lantabora
Press, 2005, hlm. 143. 46
Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Mulk: 15
52
Ajaran Islam juga sangat menganjurkan umatnya untuk berusaha dan
bekerja keras, karena berusaha dan bekerja keras adalah suatu keharusan bagi
setiap individu guna memperoleh sesuatu yang diinginkan, terutama dalam
memenuhi hajat hidup keluarga, rumah tangga maupun untuk kepentingan
pribadi. Oleh karena itu syari’at Islam sebagai suatu syari’at yang dibawa rasul
terakhir yang mempunyai keunikan tersendiri, yang bukan hanya komprehensif
tetepi juga universal.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pertama adalah Rumah
sakit maupun bidan/klinik ditentukan yang terindikasi menerima vaksin palsu
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu secara politik, dapat diminta
pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan
dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi
teledor dan luput dari pengawasan.
Korban vaksin palsu yang mengalami kerugian baik materiil dan immateriil
dapat mengajukan gugatan secara perdata. Ada beberapa bentuk gugatan yang
dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Di
antara beberapa bentuk gugatan perdata tersebut gugatan class action merupakan
bentuk gugatan yang paling efektif dan efisien mengingat besarnya jumlah korban
vaksin palsu.
Pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari
Islam ada indikasi perilaku berbohong atau tidak jujur mengatasnamakan vaksin
namun produk palsu yang dilakukan secara teroganisir dan meluar. Hal ini tentu
berdampak kerugian sosial dan ini termasuk perilaku salah di mata agama.
53
54
B. Saran-Saran
Sehubungan gugatan perdata yang dapat diajukan oleh korban vaksin palsu,
Panja dan Timwas yang telah dibentuk oleh DPR dapat berperan mendorong
masyarakat dan organisasi yang bergerak di bidang hukum dan perlindungan
konsumen untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang bermaksud
melakukan gugatan perdata. Selain itu, Panja dan Timwas juga dapat mendorong
para pihak terkait untuk menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh korban.
Panja dan Timwas juga dapat memberikan rekomendasi agar RUU tentang
Pengawasan Obat dan Makanan segera dibahas. Adanya UU Pengawasan Obat
dan Makanan diharapkan dapat meningkatkan upaya pengawasan terhadap obat
dan makanan di masa yang akan datang. Panja dan Timwas juga dapat melakukan
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan memberikan sanksi
kepada pemerintah dan pihak-pihak lain yang harus bertanggung jawab.
Untuk menjamin pemenuhan hak-hak korban dari tindak kejahatan
kesehatan Pemalsuan Vaksin tersebut, maka diusahakan pemerintah memfasilitasi
korban untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), dan menanggung seluruh biaya pendampingan hukum
yang diberikan bagi korban vaksin palsu oleh LBH. Kemudian kejaksaan dan
Kehakiman, melakukan penggabungan perkara pidana dan perdata, mewajibkan
pelaku kejahatan membayar restitusi kepada korban, serta memastikan
pembayaran restitusi, melalui penyitaan dan pelelangan harta milik pelaku
kejahatan.
55
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI,
1994
Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah P. Putra, 1972, Cet. 11.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Ishaq, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2017.
Kristo, Pengertian Vaksin Palsu, Jakarta: Klinik Vaksinasi, 2016.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman dan, Analisis Data Kualitatif, Terj.
Tjetjep Rohedi Rohidi, Jakarta: UI Press, 2007.
Muhammad Abu Zahrah, Ushu al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.
Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam dalam Menghadapi Zaman, Jakarta:
Lantabora Press, 2005.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, Cetakan ke-
6.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Aksara Baru, 1983.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Jambi: Fakultas Syariah IAIN STS
Jambi, 2010.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
56
C. Jurnal, Skripsi
Fikri, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencana (Studi kasus
Putusan No.63/Pid.B/2012/PN.Dgl), Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion
Edisi 2, Volume 1, Tahun 2013.
Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, Majalah Info
Hukum Singkat, Vol. VIII, No. 14/II/P3DI/Juli/2016.
57
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)
Nama : Asrina Wulandari
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Jambi, 21 Agustus 1993
Alamat : Lrg. Kota Nopan, RT. 20, RW. 07, Kel. Simpang IV
Sipin, Telanaipura, Kota Jambi
Pekerjaan : Mahasiswa UIN STS Jambi
Alamat E-mail : asrinawulandari1@gmail.com
No kontak : 0812 1958 0020
Riwayat Pendidikan Formal
1. SD N 95 Kota Jambi : 2008
2. SMP N 8 Kota Jambi : 2010
3. SMA Ferdy Ferry Putra : 2012
4. UIN STS Jambi : 2018
Pendidikan Non Formal : -
Pengalaman Organisasi : PMR Dan PRAMUKA
Motto Hidup : Trust Yourself, You Know More Than You Think You do
top related