pola konsumsi dan tingkat ketahanan pangan rumah …digilib.unila.ac.id/58522/3/skripsi tanpa bab...
Post on 19-Aug-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA MISKIN DI KECAMATAN GADINGREJO
KABUPATEN PRINGSEWU
(Kasus pada Rumah Tangga Anggota dan Nonanggota
Program Desa Mandiri Pangan)
(Skripsi)
Oleh
YOLANDA AGUSTINA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA MISKIN DI KECAMATAN GADINGREJO
KABUPATEN PRINGSEWU
(Kasus pada Rumah Tangga Anggota dan Nonanggota
Program Desa Mandiri Pangan)
Oleh
Yolanda Agustina
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konsumsi pangan, tingkat
ketahanan pangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan
pangan rumah tangga miskin. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja yaitu di
Pekon Klaten Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu dengan pertimbangan
bahwa Pekon Klaten merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Gadingrejo yang
menjadi sasaran Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di bawah binaan
Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu. Jumlah responden pada
penelitian ini terdiri dari 61 rumah tangga miskin. Pengumpulan data dilakukan
pada April - Mei 2018 dan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif,
klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan tingkat kecukupan energi,
dan analisis regresi ordinal logit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pangan
yang dikonsumsi rumah tangga anggota dan nonanggota Program Demapan terdiri
dari 14 jenis per hari. Jumlah konsumsi energi rumah tangga anggota Program
Demapan sebesar 7.120,56 kkal/rumah tangga/hari dan rumah tangga nonanggota
Program Demapan sebesar 6.639,71 kkal/rumah tangga/hari. Frekuensi konsumsi
terbesar adalah beras, tempe, dan telur. Sebanyak 46,67 persen rumah tangga
anggota Program Demapan dan 35,48 persen rumah tangga nonanggota Program
Demapan tergolong ke dalam rumah tangga tahan pangan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga,
jumlah anggota rumah tangga, dan harga beras. Tidak ada perbedaan tingkat
ketahanan pangan antara rumah tangga anggota dan nonanggota Program
Demapan.
Kata kunci: ketahanan pangan, pola konsumsi, program demapan
ABSTRACT
FOOD CONSUMPTION PATTERN AND FOOD SECURITY LEVEL OF
POOR HOUSEHOLD AT GADINGREJO SUBDISTRICT
PRINGSEWU DISTRICT
(Cases in member and nonmember households of
Desa Mandiri Pangan Program)
By
Yolanda Agustina
This research aims are to analyze the food consumption pattern, the level of food
security and factors that affected food security level of poor households. Location
of this research was determined purposively in Klaten Village Gadingrejo
Subdistrict Pringsewu District with the consideration that Klaten Village is the
only one village at Gadingrejo Subdistrict which was being the target of Demapan
Program under guidance of Pringsewu Regency Food Security Department. The
amount respondents of this research were 61 poor households. The data was
collected in April – Mei 2018 and were analyzed using statistic descriptive
analysis, cross classification between the share of food expenditure and
availability in addition to food sufficiency level and ordinal logistic regression
analysis. The results of this research showed that there were 14 types of food
consumed by poor households per day, the amount of energy consumption by
member households of Demapan Program was 7,120.56 kcal/household/day and
nonmembers was 6,639.71 kcal/household/day. Rice, tempeh and egg were
consumed in the largest frequency. As many as 46.67 percent member
households of Demapan Program and 35.48 percent nonmember households of
Demapan Program were classified as food secured. Factors affecting the level of
food security were household income, the number of household members and rice
price. There was no difference in the level of food security between member and
nonmember households of Demapan Program.
Key words: consumption pattern, demapan program, food security
POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA MISKIN DI KECAMATAN GADINGREJO
KABUPATEN PRINGSEWU
(Kasus pada Rumah Tangga Anggota dan Nonanggota
Program Desa Mandiri Pangan)
Oleh
YOLANDA AGUSTINA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 08
Agustus 1996 dari pasangan Bapak Auri Achmad dan Ibu
Muhibbah. Penulis merupakan anak terakhir dari empat
bersaudara. Studi tingkat Taman Kanak-Kanak (TK)
diselesaikan di TK Aisyiyah Bustanul Athfal 2 pada tahun
2002, tingkat Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Penengahan Bandar Lampung
pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 23 Bandar
Lampung pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 9
Bandar Lampung pada tahun 2014. Penulis diterima di Jurusan Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa di Universitas Lampung, penulis pernah menjadi
anggota Bidang Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Agribisnis (Himaseperta)
tahun 2014 – 2016. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen mata kuliah
Ekonomi Makro pada Semester Ganjil tahun ajaran 2016/2017, asisten dosen
mata kuliah Perencanaan dan Evaluasi Proyek dan mata kuliah Ekonomi Produksi
pada Semester Ganjil tahun ajaran 2017/2018, dan asisten dosen mata kuliah
Usahatani pada Semester Genap tahun ajaran 2017/2018.
Penulis mengikuti kegiatan homestay (Praktik Pengenalan Pertanian) di Desa
Wonoharjo, Kabupaten Tanggamus pada tahun 2015. Penulis telah melaksanakan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Suko Binangun, Kecamatan Way Seputih,
Kabupaten Lampung Tengah selama 40 hari pada bulan Januari hingga Februari
2017. Pada Juli 2017, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT
Perkebunan Nusantara VII Unit Rejosari Bandar Lampung selama 30 hari kerja
efektif.
SANWACANA
Bismillahirahmannirrahim,
Alhamdulillahi Rabbil ’Alamin, segala puji bagi Allah SWT atas berkat, rahmat,
hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pola Konsumsi dan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Miskin di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu (Kasus pada
Rumah Tangga Anggota dan Nonanggota Program Desa Mandiri
Pangan/Demapan)” dengan baik.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, arahan, bimbingan, nasihat dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap ketulusan hati
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Agribisnis, atas
arahan, bantuan, dan nasihat yang telah diberikan.
3. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.P., sebagai Dosen Pembimbing
Pertama yang telah membimbing, memberikan ilmu, nasihat, arahan,
motivasi, dukungan dan saran selama proses penyelesaian skripsi.
4. Ir. Rabiatul Adawiyah, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Kedua yang telah
memberikan bimbingan, ilmu yang bermanfaat, motivasi, arahan, dukungan
dan saran kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.
5. Dr. Ir. Wuryaningsih Dwi Sayekti, M.S., sebagai Dosen Pembahas atas
masukan, arahan, nasihat, dan motivasi yang telah diberikan untuk
penyempurnaan skripsi ini.
6. Prof. Dr. Ir. Ali Ibrahim Hasyim, M.Si., selaku Dosen Pembimbing
Akademik atas segala bantuan, saran, dan motivasi yang telah diberikan.
7. Keluargaku tercinta, Ayahanda Auri Achmad dan Ibunda Muhibbah, serta
Kakak-kakakku: Jarnani Auri, S.Si., Dony Prima, S.Kom., dan Novita Sari,
S.Pd., yang telah memberikan yang terbaik, tanpa kenal lelah untuk selalu
memberikan cinta dan kasih sayang, pengorbanan, dukungan yang tiada henti,
serta do’a yang tidak terputus untuk penulis.
8. Seluruh Dosen dan Karyawan di Jurusan Agribisnis (Mba Ayi, Kak Tunjung,
Mba Iin, Mba Vanessa, Mas Boim, dan Mas Bukhari) atas bantuan yang telah
diberikan selama penulis menjadi mahasiswi di Universitas Lampung.
9. Sahabat-sahabat Sapi Qurban seperjuangan: Vidya Putri Kemala, Rahmat
Rizky Maulana, Yudi Pranata, Shelma Anantapuri, Yohana Julina Sinaga,
Syendita Dwi Cahyahati, dan Vita Dwi Putri, atas bantuan, dukungan,
kebersamaan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
10. Sawit untuk Kesejahteraan Squad dan tim entry, Mba Dian, Mba Ririn, Kak
Tero, Ria, Mba Maul, Bang Boim, Kak Fauzi, Risca, Alfu, dan teman-teman
lainnya atas kebersamaan, dukungan, arahan, serta motivasi dan saran yang
telah diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman bimbingan seperjuangan, Bu Rabiatul Squad dan Bu Tiwi
Squad, terimakasih atas kebersamaan selama proses bimbingan skripsi, see
you on top.
12. Teman-teman seperjuangan Agribisnis 2014 Kelas D: Synthia, Kiky Marliani,
Tegar, Wernat, Sabel, Rosi T, Kidal, Yani, Rosita, Selvi, Septi, Wayan, Upil,
Oci, Siska, Kia, Vero, Suci, Prana, Yazid, dan teman-teman lain yang tidak
bisa disebutkan satu per satu atas kebersamaan yang telah diberikan.
13. Teman-teman seperjuangan Agribisnis 2014: Hafia, Dayu, Vanda, Yances,
Nadia Ayu, Dete, Amma, Asih, Devira, Ine, Kayesh, Iis, Abu, Bella, Fenti,
Dwifeb, Elisa, Fabiola, Marina, Inggit, Jestan, Marita, Uuk, Tuti, Rana, Rinty,
dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terimakasih
atas waktu, bantuan, dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis.
14. Kakak-kakak Agribisnis 2011, 2012, 2013 serta adik-adik Agribisnis 2015
dan 2016 atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.
15. Almamater tercinta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian atas segala yang telah diberikan
kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, akan tetapi semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi banyak pihak di masa yang akan datang.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis,
Yolanda Agustina
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS ....................................................................................... 11
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 11
1. Pangan ........................................................................................ 11
2. Desa Mandiri Pangan ................................................................. 13
3. Pola Konsumsi Pangan ............................................................... 19
4. Pola Pangan Harapan (PPH) ....................................................... 23
5. Konsep Ketahanan Pangan ........................................................ 25
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan
Pangan ....................................................................................... 29
B. Kajian Penelitian Terdahulu ............................................................ 32
C. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 37
D. Hipotesis .......................................................................................... 41
III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 42
A. Metode Penelitian............................................................................ 42
B. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ........................................ 42
C. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian ................... 46
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data .................................... 48
E. Metode Analisis Data ..................................................................... 48
1. Analisis Pola Konsumsi Pangan ................................................. 49
2. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan .......................................... 51
3. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan
Pangan ........................................................................................ 53
ii
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................. 57
A. Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu ........................................ 57
1. Keadaan Geografis ..................................................................... 57
2. Keadaan Demografi .................................................................... 58
3. Keadaan Topografi dan Iklim ..................................................... 59
4. Keadaan Umum Konsumsi Pangan ............................................ 59
B. Gambaran Umum Kecamatan Gadingrejo ...................................... 60
1. Keadaan Geografis ..................................................................... 60
2. Keadaan Demografi .................................................................... 62
3. Keadaan Topografi dan Iklim ..................................................... 63
4. Keadaan Sarana dan Prasarana ................................................... 64
C. Gambaran Umum Pekon Klaten .................................................... 65
1. Sejarah Pekon ............................................................................. 65
2. Keadaan Geografis ..................................................................... 65
3. Keadaan Demografi .................................................................... 66
4. Keadaan Sarana dan Prasarana ................................................... 67
5. Keadaan Potensi Pertanian ......................................................... 68
D. Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di Kabupaten
Pringsewu ........................................................................................ 69
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 71
A. Karakteristik Umum Responden ..................................................... 71
1. Usia Responden .......................................................................... 71
2. Tingkat Pendidikan Responden .................................................. 72
3. Jumlah Anggota Rumah Tangga ................................................ 73
4. Pekerjaan Responden .................................................................. 75
5. Pendapatan Rumah Tangga ........................................................ 76
B. Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di
Pekon Klaten ................................................................................... 80
C. Pola konsumsi Pangan Rumah Tangga ........................................... 84
1. Jenis Pangan yang Dikonsumsi Rumah Tangga ......................... 84
2. Jumlah Konsumsi Pangan Rumah Tangga ................................. 89
3. Frekuensi Konsumsi Pangan Rumah Tangga ............................. 99
4. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Rumah Tangga ..................... 103
D. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga .................................... 107
1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga .............................. 107
2. Tingkat Kecukupan Energi Rumah Tangga ............................... 112
3. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ............................... 114
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan Pangan
Rumah Tangga ................................................................................ 117
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 125
A. Kesimpulan ..................................................................................... 125
B. Saran ................................................................................................ 126
iii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 127
LAMPIRAN ............................................................................................... 133
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi secara
Nasional tahun 2012-2016 ................................................................... 2
2. Luas panen dan produksi padi sawah menurut kecamatan di Kabupaten
Pringsewu tahun 2016 .......................................................................... 4
3. Jumlah keluarga dan klasifikasi keluarga menurut kecamatan di
Kabupaten Pringsewu tahun 2016 ....................................................... 5
4. Perhitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Pringsewu
tahun 2017 ............................................................................................ 7
5. Komposisi PPH sebagai instrumen acuan ........................................... 25
6. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga ............................................ 28
7. Kajian penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan .............................................................................................. 33
8. Lokasi kegiatan Desa Mandiri Pangan Kabupaten Pringsewu
tahun 2017 ............................................................................................ 46
9. Jumlah rumah tangga miskin dan sampel rumah tangga di Desa Klaten
menurut keikutsertaan Program Demapan tahun 2017 ........................ 47
10. Nilai bobot masing-masing golongan pangan ...................................... 51
11. Pengukuran derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga .............. 52
12. Persebaran penduduk per kecamatan di Kabupaten Pringsewu
tahun 2017 ............................................................................................ 58
13. Persebaran jumlah penduduk dan luas wilayah berdasarkan desa
di Kecamatan Gadingrejo tahun 2017 .................................................. `62
v
14. Sarana dan prasarana penunjang di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu tahun 2017 .......................................................................... `64
15. Sarana dan prasarana penunjang di Pekon Klaten Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu tahun 2017 .................................... 67
16. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia di Kecamatan
Gadingrejo ............................................................................................ 72
17. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan
Gadingrejo ............................................................................................ 73
18. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga di
Kecamatan Gadingrejo ......................................................................... 74
19. Distribusi anggota rumah tangga berdasarkan usia dan jenis kelamin di
Kecamatan Gadingrejo ......................................................................... 74
20. Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan
Gadingrejo ............................................................................................ 75
21. Rata-rata total pendapatan rumah tangga responden di Kecamatan
Gadingrejo dalam satu tahun ............................................................... 77
22. Rata-rata total pendapatan rumah tangga berdasarkan sumber pendapatan
di Kecamatan Gadingrejo dalam satu bulan ........................................ 79
23. Jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga menurut sembilan
golongan pangan berdasarkan recall 2x24 jam di Kecamatan
Gadingrejo ............................................................................................ 85
24. Jumlah konsumsi masing-masing jenis pangan per rumah tangga
per hari, per kapita per minggu dan per kapita per tahun berdasarkan
recall 2x24 jam di Kecamatan Gadingrejo .......................................... 90
25. Rata-rata jumlah konsumsi energi (kkal) per rumah tangga per hari
berdasarkan golongan pangan di Kecamatan Gadingrejo .................... 95
26. Rata-rata jumlah konsumsi protein (gram) per rumah tangga per hari
berdasarkan golongan pangan di Kecamatan Gadingrejo .................... 97
27. Sebaran rumah tangga berdasarkan frekuensi konsumsi berbagai
jenis pangan di Kecamatan Gadingrejo ............................................... 101
28. Skor pola pangan harapan (PPH) rumah tangga berdasarkan sembilan
golongan pangan di Kecamatan Gadingrejo ........................................ 104
vi
29. Sebaran rumah tangga berdasarkan skor PPH di Kecamatan
Gadingrejo ............................................................................................ 106
30. Rata-rata total pengeluaran rumah tangga anggota dan nonanggota
Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo dalam satu bulan ......... 108
31. Sebaran rumah tangga berdasarkan pangsa pengeluaran pangan di
Kecamatan Gadingrejo ......................................................................... 111
32. Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat kecukupan energi di
Kecamatan Gadingrejo ......................................................................... 114
33. Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan di
Kecamatan Gadingrejo ......................................................................... 115
34. Hasil regresi ordinal logit faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kecamatan Gadingrejo .... 117
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Penentuan bobot skor Pola Pangan Harapan (PPH) .............................. 24
2. Kerangka pemikiran pola konsumsi dan tingkat ketahanan pangan
rumah tangga miskin ............................................................................. 40
3. Peta batas wilayah Kecamatan Gadingrejo di Kabupaten Pringsewu ... 61
4. Peta batas wilayah Pekon Klaten .......................................................... 66
5. Kambing bantuan Program Demapan di Pekon Klaten ........................ 82
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan kunci
keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas adalah SDM yang sehat, cerdas, memiliki fisik yang tangguh, dan
mental yang kuat serta produktif. Pembentukan SDM yang berkualitas ditentukan
oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan
pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak,
protein, vitamin, mineral, dan air) yang diperlukan tubuh menjadi landasan utama
manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan.
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia untuk
mempertahankan hidup sehingga pemenuhan kebutuhan pangan menjadi bagian
dari hak asasi manusia. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2012 Pasal 1 tentang Pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
2
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.
Tercapainya ketahanan pangan tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup,
terdistribusi merata dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap
warga untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Ketahanan pangan bagi suatu
negara merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi negara dengan jumlah
penduduk yang sangat banyak dan terus meningkat seperti Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia tahun 2016 telah mencapai angka lebih dari 255 juta jiwa.
Berdasarkan data pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia, rata-rata konsumsi
beras/beras ketan pada tahun 2016 sebesar 1.668 kg/kap/minggu atau setara
dengan 238,285 gram/kap/hari (Badan Pusat Statistik, 2017).
Mengingat jumlah penduduk yang terus bertambah dan angka rata-rata konsumsi
beras yang tinggi, tentu perlu diimbangi dengan ketersediaan pangan pokok dari
hasil pertanian yang cukup guna memantapkan ketahanan pangan di Indonesia.
Angka perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi secara
nasional tahun 2012 hingga 2016 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi secara
nasional tahun 2012-2016
Tahun
Luas Panen (000 ha) Produksi (000 ton) Produktivitas (ku/ha)
Padi Padi Padi
Padi Padi Padi
Padi Padi Padi
Sawah Ladang Sawah Ladang Sawah Ladang
2012 12.281 1.164 13.446 65.188 3.868 69.056 53,00 33,00 51,00
2013 12.672 1.163 13.835 67.392 3.888 71.280 53,18 33,42 51,52
2014 12.666 1.131 13.797 67.102 3.744 70.846 52,98 33,11 51,35
2015 13.029 1.087 14.117 71.766 3.631 75.398 55,08 33,39 53,41
2016 13.986 1.087 15.157 75.486 3.872 79.358 53,97 33,07 52,36
Sumber: Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2017.
3
Berdasarkan Tabel 1, terlihat adanya kenaikan luas panen dan produksi padi di
Indonesia dari tahun 2015 ke tahun 2016 yaitu berturut-turut sebesar 1.040 ha dan
3.960.000 ton. Peningkatan luas panen yang cukup besar tersebut ternyata tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi padi sehingga produktivitas padi
mengalami penurunan sebesar 1,05 ku/ha. Upaya peningkatan produksi padi
sebagai pangan pokok utama di Indonesia tentu tidak terlepas dari produksi
usahatani tanaman pangan di Indonesia.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan
kontribusi cukup besar terhadap produksi padi di Indonesia. Sumbangan produksi
padi di Provinsi Lampung berasal dari produksi di tingkat kabupaten, di antaranya
adalah Kabupaten Pringsewu. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu
kabupaten dengan sektor pertanian yang didominasi oleh tanaman pangan dan
palawija yaitu padi sawah dan jagung. Sektor pertanian khususnya tanaman
pangan merupakan penunjang perekonomian terbesar penduduk di Kabupaten
Pringsewu. Oleh karena itu, produktivitas tanaman pangan khususnya padi perlu
terus ditingkatkan.
Produksi padi sawah di Kabupaten Pringsewu mengalami peningkatan dari
140.053 ton pada tahun 2015 menjadi 162.032 ton pada tahun 2016. Rata-rata
produktivitas tanaman padi sawah di Kabupaten Pringsewu pada tahun 2016
sebesar 5,46 ton/ha dengan luas panen sebesar 29.675 ha dan hasil produksi
mencapai 162.032 ton. Angka luas panen dan produksi padi sawah menurut
kecamatan di Kabupaten Pringsewu tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Tabel 2. Luas panen dan produksi padi sawah menurut kecamatan di Kabupaten
Pringsewu tahun 2016
No Kecamatan Luas Panen (ha) Produksi (ton)
1 Pardasuka 4.869 26.346
2 Ambarawa 3.919 21.206
3 Pagelaran 4.364 25.075
4 Pagelaran Utara 897 4.854
5 Pringsewu 3.130 16.936
6 Gadingrejo 7.922 42.866
7 Sukoharjo 2.136 11.558
8 Banyumas 1.218 8.591
9 Adiluwih 1.220 6.601
Pringsewu 29.675 162.032
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pringsewu, 2017.
Kecamatan penyumbang produksi padi sawah terbesar di Kabupaten Pringsewu
adalah Kecamatan Gadingrejo dengan luas panen sebesar 7.922 ha dan hasil
produksi sebesar 42.866 ton. Luas lahan sawah di Kabupaten Pringsewu
mencapai 21,64 persen dari seluruh wilayah. Sentral sawah di Kabupaten
Pringsewu terletak di Kecamatan Gadingrejo yaitu sebesar 3.527 ha atau sekitar
25 persen dari total lahan sawah yang ada. Lebih dari dua per tiga dari seluruh
lahan sawah di Kabupaten Pringsewu merupakan sawah irigasi (66,79%), dimana
sawah irigasi terluas juga terletak di Kecamatan Gadingrejo (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Pringsewu, 2017a).
Menurut Ariningsih dan Rachman (2008), meskipun persediaan pangan cukup
secara nasional maupun regional, namun hal tersebut tidak menjamin adanya
ketahanan pangan rumah tangga atau individu. Hal tersebut dikarenakan tidak
semua rumah tangga pada suatu daerah mampu mengakses pangan yang tersedia.
Fenomena ini juga terjadi di Kecamatan Gadingrejo, meskipun daerah tersebut
merupakan sentra penghasil padi sawah tertinggi di Kabupaten Pringsewu,
5
namun dihadapkan dengan permasalahan tingkat kemiskinan yang tinggi. Jumlah
keluarga dan klasifikasinya menurut kecamatan di Kabupaten Pringsewu tahun
2016 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah keluarga dan klasifikasi keluarga menurut kecamatan di
Kabupaten Pringsewu tahun 2016
No Kecamatan Pra Sejahtera Keluarga Sejahtera Jumlah
(KK) I II III III+
1 Pardasuka 2.917 4.316 1.809 0 0 9.042
2 Ambarawa 1.751 5.088 2.563 0 0 9.402
3 Pagelaran 1.839 6.736 3.823 0 0 12.398
4 Pagelaran Utara 1.200 1.718 747 0 0 3.665
5 Pringsewu 2.213 10.145 7.178 0 0 19.536
6 Gadingrejo 3.114 9.259 6.466 0 0 18.839
7 Sukoharjo 1.406 7.166 4.504 0 0 13.076
8 Banyumas 810 3.128 1.720 0 0 5.658
9 Adiluwih 1.105 3.933 2.572 0 0 7.610
Pringsewu 16.355 51.489 31.382 0 0 99.226
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu, 2017b.
Kecamatan Gadingrejo merupakan kecamatan yang memiliki jumlah keluarga pra
sejahtera terbanyak dibandingkan kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten
Pringsewu. Jumlah keluarga pra sejahtera di Kecamatan Gadingrejo tahun 2016
adalah sebanyak 3.114 KK (19,04%). Kondisi tersebut bertolak belakang dengan
kenyataan bahwa Kecamatan Gadingrejo merupakan sentra penghasil komoditas
padi sawah tertinggi di Kabupaten Pringsewu.
Kesejahteraan masyarakat sangat terpaut dengan kondisi ketahanan pangan.
Semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin baik pula tingkat
ketahanan pangan keluarga (Dewan Ketahanan Pangan, 2010). Kemiskinan
identik dengan kondisi dimana rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan
minimum. Kesulitan memenuhi kebutuhan hidup disebabkan oleh pendapatan
6
yang diperoleh masih rendah. Pendapatan merupakan indikator utama yang
menentukan pola konsumsi pangan dan keragaman pangan yang dikonsumsi
rumah tangga. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola pengeluaran rumah
tangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, rumah tangga berpendapatan rendah
atau rumah tangga miskin akan mengutamakan alokasi pendapatannya untuk
membeli makanan. Pendapatan tersebut akan digunakan untuk pengeluaran
pangan demi kelangsungan hidup, sehingga akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan rumah tangga. Kualitas konsumsi pangan yang baik
mengindikasikan angka kecukupan gizi yang terpenuhi.
Menurut Adriani dan Wirtjatmadi (2012), tercukupinya kebutuhan pangan dapat
diindikasi dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Zat-zat gizi lain akan
terpenuhi jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi sesuai Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Berdasarkan aspek kuantitas, konsumsi pangan diukur
dengan pendekatan AKG meliputi Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka
Kecukupan Protein (AKP). Standar kecukupan konsumsi energi dan protein yang
ditetapkan pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) X tahun 2012
untuk AKE adalah 2.150 kkal/kap/hari dan AKP adalah 57 gram/kap/hari.
Berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu tahun 2017
yang tidak dipublikasikan, konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Pringsewu
dinilai belum ideal. Rata-rata tingkat konsumsi energi masyarakat Kabupaten
Pringsewu adalah sebesar 1.826 kkal/kap/hari dan konsumsi protein adalah
sebesar 46,92 gram/kap/hari. Angka tersebut masih berada di bawah standar
Angka Kecukupan Gizi (AKG) ideal menurut WKNPG X tahun 2012.
7
Berdasarkan aspek kualitas, konsumsi pangan rumah tangga dapat dievaluasi
dengan menggunakan pendekatan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin
besar skor PPH maka kualitas konsumsi pangan dinilai semakin baik dan
beragam. Perhitungan skor PPH Kabupaten Pringsewu tahun 2017 dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Pringsewu
tahun 2017
Kelompok
Pangan
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Kalori
(Energi) %
%
AKE*) Bobot
Skor
Aktual
Skor
AKE
Skor
Maks
Skor
PPH
Padi-padian 719,2 39,4 36,0 0,5 19,7 18,0 25,0 18,0
Umbi-umbian 96,8 5,3 4,8 0,5 2,7 2,4 2,5 2,4
Pangan Hewani 205,0 11,2 10,3 2,0 22,5 20,5 24,0 20,5
Minyak dan
Lemak 464,7 25,5 23,2 0,5 12,7 11,6 5,0 5,0
Buah/Biji
Berminyak 29,0 1,6 1,5 0,5 0,8 0,7 1,0 0,7
Kacang-
kacangan 149,3 8,2 7,5 2,0 16,4 14,9 10,0 10,0
Gula 42,5 2,3 2,1 0,5 1,2 1,1 2,5 1,1
Sayur dan Buah 113,7 6,2 5,7 5,0 31,1 28,4 30,0 28,4
Lain-lain 5,8 0,3 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Total 1.826,1 100,0 91,3
107,0 97,7 100,0 86,1
Keterangan:
*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2.150 kkal/kap/hari
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu, 2017a.
Berdasarkan data pada Tabel 4, diperoleh hasil bahwa rata-rata skor PPH
Kabupaten Pringsewu tahun 2017 adalah sebesar 86,1 dan angka tersebut masih
berada di bawah skor PPH ideal yaitu 100. Hal ini mengindikasikan bahwa
kualitas konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Pringsewu dinilai belum
beragam. Terlihat adanya gap pada sembilan kelompok pangan yang harus
ditambah dan dikurangi guna mencapai skor PPH maksimal. Gap konsumsi
8
energi per kelompok pangan merupakan perbedaan antara skor AKE dan skor
maksimal dimana dari sembilan kelompok jenis pangan yang kurang dari standar
perlu ditingkatkan agar sesuai dengan standar. Asupan zat gizi dari kelompok
jenis pangan tersebut akan terpenuhi bila pangan yang dikonsumsi beragam,
karena secara alami komposisi setiap jenis pangan memiliki kelebihan dan
kekurangan akan zat gizi tertentu sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan
yang beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi.
Masalah kemiskinan dan masalah gizi merupakan masalah yang bersifat
kompleks. Kemiskinan dapat membawa konsekuensi pada ketidakmampuan
rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan sehingga akan menyebabkan
timbulnya masalah gizi. Tingginya angka presentase rumah tangga yang belum
sejahtera, Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan skor PPH yang masih berada di
bawah ideal akan memungkinkan terjadinya masalah rawan pangan yang dapat
mengancam ketahanan pangan pada rumah tangga.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program pembangunan sebagai
usaha untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan sekaligus mengatasi kerawanan
pangan di pedesaan yaitu melalui Program Desa Mandiri Pangan (Demapan).
Program Demapan diperuntukkan bagi keluarga miskin yang telah ditetapkan
melalui survai Data Dasar Rumah Tangga (DDRT). Program ini dilakukan
melalui pemberdayaan kepada kelompok afinitas dengan kegiatan pelatihan,
pendampingan, dan pemberian dana bergulir (Rangga, 2014).
9
Program Demapan di bawah binaan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten
Pringsewu dilaksanakan di tujuh desa yang berada di empat kecamatan antara lain
Kecamatan Pagelaran, Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Pardasuka dan
Kecamatan Gadingrejo. Kecamatan Gadingrejo dipilih karena merupakan daerah
penghasil pangan pokok tertinggi yaitu padi sawah, namun dihadapi dengan
permasalahan kemiskinan yaitu memiliki jumlah keluarga pra sejahtera terbanyak
di Kabupaten Pringsewu. Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo
dilaksanakan sejak tahun 2015. Bantuan yang diberikan berupa bibit ternak
kambing sebanyak 10 ekor yang dikelola oleh kelompok dan sudah dua kali
diberikan sesuai dengan usulan proposal yang diajukan. Berdasarkan uraian
tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pola
Konsumsi dan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu (Kasus pada Rumah Tangga Anggota dan
Nonanggota Program Desa Mandiri Pangan)”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat disusun dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimana pola konsumsi pangan rumah tangga miskin anggota dan
nonanggota Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu?
(2) Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin anggota dan
nonanggota Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu?
10
(3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah
tangga miskin anggota dan nonanggota Program Demapan di Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
(1) Mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga miskin anggota dan
nonanggota Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu.
(2) Mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin anggota dan
nonanggota Program Demapan di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu.
(3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan
rumah tangga miskin anggota dan nonanggota Program Demapan di
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
(1) Sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pringsewu dalam
pembentukan program atau pengambilan keputusan kebijakan di bidang
ketahanan pangan.
(2) Sebagai referensi bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian
sejenis.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Pangan
Pangan adalah istilah umum untuk semua bahan yang dapat dijadikan makanan.
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-
unsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna
bila dimasukkan ke dalam tubuh. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok
yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi
dan zat-zat gizi (Almatsier, 2003).
Menurut Suprianto dan Hidayati (2006), pangan adalah segala sesuatu yang dapat
diolah maupun tidak diolah yang berasal dari sumber hayati untuk konsumsi
manusia dalam bentuk makanan ataupun minuman. Termasuk di dalamnya
adalah Bahan Tambahan Pangan (BTP), bahan baku pangan, dan bahan lain yang
ada dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3:
a. Pangan segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan
segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung, yakni dijadikan
12
bahan baku pengolahan pangan.
b. Pangan olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan
dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng, dan sebagainya. Pangan olahan bisa
dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji. Pangan
olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan siap
disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan,
sedangkan pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang
sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan
pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum.
c. Pangan olahan tertentu
Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu
rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak.
Menurut Indriani (2015), pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal
dari nabati atau hewani baik diolah maupun tidak diolah yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, pangan
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu pangan sebagai sumber tenaga, pangan
sebagai sumber pembangun, dan pangan sebagai sumber pengatur. Pangan
sumber tenaga seperti padi-padian dan umbi-umbian, pangan sumber pembangun
seperti daging, ayam dan kacang-kacangan, dan pangan sumber pengatur seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran.
13
2. Desa Mandiri Pangan
Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem
ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan
sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Pengembangan Desa Mandiri Pangan
dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu tahap penumbuhan, tahap pengembangan,
dan tahap kemandirian.
Sasaran Program Desa Mandiri Pangan adalah individu, keluarga atau masyarakat
miskin yang dibentuk dalam suatu kelompok afinitas yang mempunyai minat,
keterampilan, dan usaha yang sama dalam meningkatkan pendapatan keluarga
untuk mencapai keluarga dengan ketahanan pangan yang mandiri. Kegiatan
berupa sosialisasi, pendampingan dan pemberian bantuan bibit, benih tanaman,
hewan ternak, bibit atau benih ikan sesuai dengan usulan proposal masing-masing
kelompok tersebut yang bertujuan untuk:
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat miskin di daerah yang rentan
terhadap rawan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat
berdasarkan landasan kemandirian.
b. Meningkatkan pengelolaan kelembagaan masyarakat untuk ketahanan pangan
masyarakat.
c. Meningkatkan dukungan lintas sektor dalam pengembangan prasarana, sarana
perdesaan dan perekonomiaan masyarakat (Dinas Ketahanan Pangan
Kabupaten Pringsewu, 2017b).
14
Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, sejak tahun
2006 telah meluncurkan Kegiatan Desa Mandiri Pangan yang diharapkan dapat
mendorong kemampuan masyarakat desa untuk mewujudkan ketahanan pangan
dan gizi keluarganya sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif. Upaya
tersebut dilakukan secara bertahap melalui proses pemberdayaan masyarakat
untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan
pemecahan masalah, serta mampu mengambil keputusan untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Kegiatan Desa Mandiri Pangan dilaksanakan dalam waktu empat tahun melalui
empat tahap yaitu persiapan, penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian.
1) Tahap persiapan pada tahun pertama
Tahap persiapan dilaksanakan dengan kegiatan mempersiapkan aparat
pelaksana dan masyarakat melalui: seleksi lokasi sasaran, pendampingan,
sosialisasi program, penetapan tim pangan desa (TPD), penyusunan data
dasar, penetapan kelompok afinitas, pelatihan, pemberdayaan kelompok
afinitas, penyusunan rencana pembangunan wilayah desa (RPWD), dan
penyaluran dana bantuan sosial.
2) Tahap penumbuhan pada tahun kedua
Tahap penumbuhan dilaksanakan dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat,
pengembangan sistem ketahanan pangan, dan dukungan pengembangan
sarana dan prasarana.
3) Tahap pengembangan pada tahun ketiga
Tahap pengembangan dilaksanakan untuk penguatan dan pengembangan
dinamika serta usaha produktif kelompok afinitas, serta pengembangan fungsi
15
kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usahatani, dan
lainnya. Pada tahap ini sudah terdapat kemajuan sumber pendapatan,
peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan
pangan rumah tangga, peningkatan pola pikir masyarakat, peningkatan
keterampilan, dan pengetahuan masyarakat.
4) Tahap kemandirian pada tahun keempat
Tahap kemandirian dilaksanakan pada tahun keempat kegiatan Demapan.
Kemandirian ditunjukkan: (a) adanya perubahan pola pikir, aktivitas, dan
perbaikan usaha kelompok afinitas, kelompok wanita, serta kelompok
lumbung pangan; (b) adanya perubahan pola konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang, dan aman; (c) berfungsinya cadangan pangan masyarakat;
(d) berfungsinya lembaga-lembaga layanan kesehatan, permodalan, akses
produksi, dan pemasaran pertanian; (e) bekerjanya sistem ketahanan pangan
yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan, kemudahan akses
distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta konsumsi pangan
yang cukup, beragam, bergizi, berimbang, dan aman sampai tingkat rumah
tangga.
Pendanaan untuk kegiatan Demapan berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota,
masyarakat, swasta, dan bantuan hibah dari luar negeri. Dana APBN untuk
Kementerian Pertanian disalurkan ke Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian. Dana APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dialokasikan oleh
masing-masing daerah untuk mendukung kegiatan Demapan. Dana dari
16
masyarakat dalam bentuk tabungan kelompok atau swadaya masyarakat dalam
kegiatan, sedangkan dana dari swasta dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan/Corporate Social Responsibility (PKBL/CSR). Dukungan dana
pembangunan wilayah pedesaan untuk kegiatan Demapan dari instansi terkait
diatur oleh masing-masing instansi/lembaga menurut ketentuan yang berlaku.
Dana APBN untuk Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian dialokasikan
di pusat, provinsi dalam dana dekonsentrasi (Dekon), dan kabupaten/kota dalam
dana Tugas Pembantuan (TP). Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani
ketahanan pangan bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan dana APBN, yang
mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 66 Permentan/OT.140/12/2010
tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bantuan Sosial untuk Pertanian Tahun
Anggaran 2011. Pencairan dan pengelolaan dana bansos diatur dengan
mekanisme sebagai berikut:
1) Pelimpahan wewenang Menteri Pertanian kepada Gubernur berupa dana
dekonsentrasi dan kepada Bupati/Walikota berupa tugas pembantuan.
2) Atas usulan Gubernur/Bupati/Walikota, Menteri Pertanian menetapkan
Badan/Kantor/Dinas/Unit kerja yang menangani ketahanan pangan
provinsi/kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan
ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
3) Pendamping memfasilitasi penumbuhan subkelompok afinitas.
4) Pendamping bersama subkelompok yang tergabung dalam kelompok afinitas
menumbuhkan LKD yang pengurusnya terdiri dari perwakilan kelompok.
17
5) Pendamping memfasilitasi subkelompok afinitas yang tergabung dalam
kelompok afinitas untuk menyusun RUK.
6) RUK subkelompok yang dihimpun kelompok afinitas diajukan ke Tim Teknis
Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pendamping, TPD, dan
Kepala Desa.
7) Setelah mendapat persetujuan Tim Teknis Kabupaten/Kota, kelompok
afinitas membuat rekening bank.
8) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/PPK Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang
menangani Ketahanan Pangan Provinsi atau Kabupaten/Kota:
a) Membuat surat perjanjian kerjasama dengan kelompok penerima manfaat
b) Membuat Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS), dan diajukan
ke Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan
Pangan Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk mendapat persetujuan,
dengan melampirkan:
(a) Keputusan Bupati/Walikota atau Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit
kerja atau pejabat yang ditunjuk tentang penetapan kelompok sasaran.
(b) Rekapitulasi RUK/RUB.
(c) Kuitansi harus ditandatangani oleh ketua kelompok/gabungan
kelompok, diketahui/disetujui oleh KPA Kabupaten/Kota dan
Bendaharawan yang bersangkutan.
(d) Surat perjanjian kerjasama antara pejabat pembuat komitmen dengan
kelompok/gabungan kelompok sasaran tentang pemanfaatan dana
bansos kelompok/gabungan kelompok.
18
c) Mengajukan SPP-LS yang disetujui KPA Provinsi atau Kabupaten/Kota
kepada Pejabat Penguji Perintah Pembayaran (P4).
9) P4 Provinsi atau Kabupaten/Kota:
a) Menguji SPP-LS dan menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung
(SPM-LS) Provinsi atau Kabupaten/Kota.
b) Memberikan rekomendasi kepada Bendahara Pengeluaran Satker Dekon di
Provinsi atau Satker TP di Kabupaten.
10) Bendahara pengeluaran Satker Dekon di Provinsi atau Satker TP di
Kabupaten mengajukan SPM-LS kepada Kantor Penerimaan Pengeluaran
Negara (KPPN) Provinsi atau Kabupaten/Kota.
11) KPPN Provinsi atau Kabupaten/Kota menerbitkan Surat Pencairan Dana
(SP2D) dan mentransfer dana bansos ke rekening kelompok afinitas pada
bulan Agustus.
12) Dana bansos yang telah ditransfer ke bank, dapat dicairkan oleh kelompok
afinitas setelah mendapat rekomendasi dari pendamping dan TPD.
13) Kelompok afinitas mendistribusikan dana bansos kepada masing-masing
subkelompok sesuai dengan RUK yang diajukan dan sudah diverifikasi oleh
pendamping dan TPD. Pemanfaatan dana bansos oleh subkelompok dapat
dilakukan mulai bulan November, sesuai dengan kesiapan kelompok.
14) Kelompok afinitas bersama LKD menyampaikan laporan penyaluran dana
bansos kepada Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani
ketahanan pangan Kabupaten/Kota selaku KPA.
19
Dana bansos yang diterima kelompok digunakan oleh subkelompok untuk
pengembangan usaha produktif di bidang on-farm, off-farm, dan non-farm, setelah
ditumbuhkan dan diberdayakan oleh pendampingb dan TPD. Usaha on-farm
dapat berupa budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan, usaha off-farm dapat
berupa pengolahan hasil-hasil pertanian, dan non-farm berupa usaha lainnya di
luar pertanian.
Pemantauan dalam kerangka SPI dilakukan secara berkelanjutan sejak
perencanaan hingga tahap akhir kegiatan, pada aspek yang mendukung kelancaran
pelaksanaan program/kegiatan, ketertiban laporan keuangan, dan pengamanan
aset. Hasil pemantauan digunakan sebagai bahan evaluasi terpisah (pengujian
sendiri atau review), dan tindak lanjut hasil audit (perbaikan kegiatan berdasarkan
rekomendasi auditor). Melalui evaluasi dapat diketahui secara langsung
perkembangan pelaksanaan kegiatan dan mendeteksi secara dini berbagai
permasalahan yang muncul di lapangan, sehingga upaya penyelesaian dapat
segera dilaksanakan melalui perbaikan dan penyempurnaan kegiatan yang akan
datang (Kementerian Pertanian, 2011).
3. Pola Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan (tunggal dan beragam) yang
dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek
gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi
yang diperlukan tubuh. Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah cara
seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai
20
reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis, budaya, dan sosial (Suyastiri,
2008).
Menurut Santoso (2004), pola konsumsi pangan adalah sumber informasi yang
memberikan suatu gambaran mengenai jenis makanan, frekuensi makanan, dan
jumlah pangan yang dikonsumsi pada setiap harinya oleh satu orang atau
merupakan ciri khas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok tertentu.
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa jenis pangan rumah tangga dilihat dari
sembilan golongan pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur
dan buah, kacang-kacangan, minyak dan lemak, gula, buah dan biji berminyak
serta pangan lain yang dikonsumsi rumah tangga. Jumlah konsumsi berbagai
jenis pangan rumah tangga diukur dengan satuan berat bahan makanan (gram) per
rumah tangga per hari, kilogram per kapita per minggu, dan kilogram per kapita
per tahun.
Frekuensi konsumsi merupakan jumlah kali mengonsumsi makanan. Frekuensi
konsumsi dapat diperoleh dengan menggunakan metode Food Frequency
Questionnaire (FFQ) dengan membuat daftar nama makanan dan minuman
berdasarkan kelompok pangan kemudian dibuat kategori respon berapa kali
frekuensi yang ada terhadap daftar nama makanan yang sudah dibuat tersebut
(Widajanti, 2009).
Pola pangan disebut juga sebagai pola makan atau kebiasaan makan. Jenis-jenis
pangan yang dikonsumsi oleh penduduk pada suatu daerah biasanya tidak jauh
dari jenis-jenis pangan yang dapat diproduksi atau ditanam di daerah tersebut.
Pangan yang dikonsumsi secara teratur oleh suatu kelompok penduduk dalam
21
jumlah yang cukup banyak untuk menyediakan bagian terbesar dari konsumsi
energi total yang dihasilkan oleh makanan disebut sebagai pangan pokok. Pangan
pokok yang digunakan dalam suatu negara biasanya menempati kedudukan tinggi
(Suhardjo, 1986).
Menurut Indriani (2015), seseorang mau mengonsumsi suatu pangan karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya
(ekstrinsik) maupun dari dalam dirinya sendiri (intrinsik). Termasuk faktor
ekstrinsik adalah lingkungan sosial dan budaya. Pola sosial budaya yang
berkembang dari adat istiadat setempat dapat mempengaruhi cara makan
seseorang. Pola sosial merupakan suatu tatanan (pola) mengenai keadaan
kehidupan masyarakat. Adapun kata budaya mengandung arti pikiran, yang
merupakan hasil akal budi manusia. Kebutuhan makan seseorang yang secara
terus menerus sama juga akan dapat membentuk menjadi suatu budaya makan
pada suatu keluarga maupun daerah. Pada kenyataannya, banyak jenis makanan
tabu yang tidak masuk akal, namun budaya telah mengatur bahwa yang melanggar
tabu akan mendapatkan hukuman.
Faktor intrinsik meliputi faktor-faktor pribadi, yaitu berarti memilih pangan untuk
dimakan. Apabila memungkinkan secara pribadi seseorang pasti akan memilih
pangan yang telah dikenal dan disukai. Preferensi (kesukaan) seseorang terhadap
suatu pangan tertentu tidak hanya tergantung pada pengaruh sosial dan budaya
namun juga pada sifat fisik pangan, seperti warna, bentuk, dan flavor pangan.
Oleh karena itu, reaksi indera rasa terhadap makanan sangat berbeda dari orang ke
22
orang. Pengetahuan gizi dan status kesehatan juga merupakan faktor-faktor
pribadi yang berpengaruh terhadap pemilihan makanan seseorang.
Ketersediaan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara
makan seseorang, di samping faktor lainnya yaitu sosial budaya dan faktor-faktor
pribadi. Pada dasarnya ketersediaan pangan tergantung pada: (1) mutu dan luas
lahan untuk menanam tanaman pangan, (2) tenaga kerja, (3) modal, dan (4) tenaga
ahli yang terampil. Selain itu, ketersediaan pangan suatu keluarga juga
dipengaruhi oleh penguasaan lahan, pola penanaman, cara berusahatani, cara
penyimpanan, faktor lingkungan tempat tinggal, dan peranan sosial.
Menurut Adriani dan Wirtjatmadi (2012), tercukupinya kebutuhan pangan dapat
diindikasi dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Zat-zat gizi lain akan
terpenuhi jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi sesuai Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Standar kecukupan konsumsi kalori dan protein per
kapita sehari pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) X tahun
2012 menetapkan standar kebutuhan energi (AKE) dan protein (AKP) adalah
sebesar 2.150 kkal dan 57 gram. Angka Kecukupan Gizi (AKG) seseorang akan
berbeda sesuai jenis kelamin dan umur. Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) diperoleh
dengan cara membandingkan konsumsi energi maupun konsumsi protein dengan
AKG yang dianjurkan.
Konsumsi protein dan energi rumah tangga dapat diperoleh dari perhitungan nilai
gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi, mulai dari Ukuran Rumah Tangga
(URT) maupun bagian makanan yang dapat dimakan (bdd). Analisis kandungan
gizi tersebut dapat menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
23
yang terdiri dari susunan kandungan energi, protein, lemak, karbohidrat, dan lain-
lain. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dikeluarkan oleh Direktorat
Gizi Depkes RI sebagai patokan. Klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi 4
(empat), yaitu:
1) Baik : TKG ≥ 100% AKG
2) Sedang : TKG 80-99% AKG
3) Kurang : TKG 70-80% AKG
4) Defisit : TKG < 70% AKG.
4. Pola Pangan Harapan (PPH)
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012, Pola Pangan Harapan (PPH)
didefinisikan sebagai susunan jumlah pangan menurut sembilan kelompok pangan
yang didasarkan pada kontribusi energi yang memenuhi kebutuhan gizi secara
kuantitas, kualitas maupun keragaman dengan mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa. Menurut Indriani (2015), Pola Pangan
Harapan (PPH) merupakan salah satu indikator dari pembangunan nasional di
bidang gizi dan pangan pada saat ini. PPH digunakan sebagai acuan dalam
penganekaragaman pangan. Penganekaragaman pangan dilihat dari sisi produksi,
pengolahan ataupun konsumsi mengingat pentingnya kecukupan energi dan zat
gizi bagi setiap individu.
Pengukuran skor PPH mencerminkan tingkat keberagaman konsumsi pangan
masyarakat. Pada PPH yang disusun telah ditetapkan nilai bobot masing-masing
golongan pangan. Nilai bobot tersebut dipergunakan untuk menentukan skor
masing-masing golongan pangan dengan mengalikannya dengan persen kontribusi
24
dari golongan pangan yang bersangkutan. Bobot skor PPH yang dijadikan
indikator dihitung berdasarkan pada triguna makanan dan gizi seimbang.
Penentuan bobot skor PPH dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Penentuan bobot skor Pola Pangan Harapan (PPH), (Badan
Ketahanan Pangan, 2012).
Skor PPH aktual konsumsi pangan dibandingkan dengan komposisi PPH sebagai
instrumen acuan untuk melihat capaian PPH yang diperoleh. Hal tersebut
dijadikan sebagai bahan evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan konsumsi pangan masyarakat. Dengan menjumlahkan skor
masing-masing golongan pangan akan diperoleh skor PPH nasional yaitu 100.
Skor tersebut merupakan skor ideal yang ingin dicapai pada pembangunan pangan
di Indonesia tahun 2020 (Indriani, 2015). Komposisi PPH sebagai instrumen
acuan, dapat dilihat pada Tabel 5.
Sumber Tenaga
(KH, Lemak) 1. Serealia…………………… 50%
2. Umbi-umbian…………….. 6%
3. Minyak & Lemak………... 10%
4. Biji dan buah berminyak… 3%
5. Gula……………………... 5%
33,3 : 74 = 0,5
Tiga Guna
Makanan
Sumber Zat
Pembangun (Protein)
Sumber Zat Pengatur
(Vitamin & Mineral)
Lain-lain
1. Pangan hewani…………… 12%
2. Kacang-kacangan………… 5%
33,3 : 17 = 2
1. Sayur dan buah…………… 6%
33,3 : 6 = 5
1. Minuman & bumbu……… 3%
25
Tabel 5. Komposisi PPH sebagai instrumen acuan
No Golongan pangan Berat
(gram)
Energi
(kkal)
Kontribusi
Energi
(%AKE*)
Bobot
Skor
PPH
Maks **)
1 Padi-padian 275,00 1.075,00 50,00 0,50 25,00
2 Umbi-umbian 100,00 129,00 6,00 0,50 2,50
3 Pangan hewani 150,00 258,00 12,00 2,00 24,00
4 Minyak dan lemak 20,00 215,00 10,00 0,50 5,00
5 Buah/biji berminyak 10,00 64,50 3,00 0,50 1,00
6 Kacang-kacangan 35,00 107,50 5,00 2,00 10,00
7 Gula 30,00 107,50 5,00 0,50 2,50
8 Sayur dan buah 250,00 129,00 6,00 5,00 30,00
9 Lain-lain 64,00 3,00 0,00 0,00
Total 2.150,00 100,00 100,00
Keterangan :
*) : Angka Kecukupan Energi 2.150 kkal/kap/hari
**) : Skor Pola Pangan Harapan (PPH) maksimal masing-masing golongan
pangan
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2015.
5. Konsep Ketahanan Pangan
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dimaksud
dengan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Ketahanan pangan, secara luas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan
pangan dalam hal ini mencakup segi kuantitas dan kualitas, baik dari produksi
sendiri maupun membeli di pasar. Terwujudnya sistem ketahanan pangan
tersebut akan tercermin antara lain dari ketersediaan pangan yang cukup dan
26
terjangkau oleh daya beli masyarakat serta terwujudnya diversifikasi pangan, baik
dari sisi produksi maupun konsumsi. Pencapaian ketersediaan pangan harus
memperhatikan aspek produksi, pengaturan dan pengelolaan stok atau cadangan
pangan, serta penyediaan dan pengadaan pangan yang cukup. Ketahanan pangan
harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat
(Suyastiri, 2008).
Ketahanan pangan yang baik, secara nasional menjadi suatu jaminan bagi seluruh
penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup untuk menghasilkan
generasi yang sehat dan cerdas. Negara atau wilayah mempunyai ketahanan
pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil
dan berkelanjutan bagi seluruh penduduknya, dan masing-masing rumah tangga
mampu memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, ketahanan
pangan juga merupakan prasyarat bagi bangsa Indonesia untuk dapat membangun
sektor lainnya, karena bila kebutuhan masyarakat yang paling azasi ini belum
terpenuhi akan sangat mudah terjadi kerawanan sosial (Indriani, 2015).
Menurut Pakpahan dan Pasandaran (1990) dalam Rangga (2014), ketahanan
pangan dapat diukur dengan menggunakan ukuran subjektif dan objektif.
Ketahanan pangan yang diukur secara subjektif didasarkan atas pandangan, opini,
sikap atau pendapat orang terhadap situasi pangannya, yang dapat dilihat dari tiga
indikator yaitu ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan.
Ketahanan pangan yang diukur secara objektif didasarkan atas jumlah makanan
secara umum, jumlah energi yang dikonsumsi, jumlah ketersediaan pangan per
kapita, pangsa pengeluaran pangan rumah tangga terhadap pengeluaran total
27
rumah tangga, dan kemampuan rumah tangga atau negara dalam menghadapi
goncangan.
Berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi X (WKNPG) tahun 2012
besarnya angka kecukupan rata-rata energi dan protein adalah sebesar 2.150 kkal
dan 57 gram sehingga besarnya ketersediaan energi dan protein harus melebihi
jumlah tersebut. Pangsa pengeluaran pangan mengukur ketahanan pangan dari
aspek ekonomi, sedangkan dalam satuan energi mengukur ketahanan pangan dari
aspek gizi (Ariningsih dan Rachman, 2008).
Pangsa pengeluaran pangan adalah besarnya jumlah pengeluaran rumah tangga
untuk belanja pangan dari jumlah total pengeluaran rumah tangga (pangan dan
non-pangan). Perhitungan pangsa pengeluaran pangan didapatkan dari hasil
perbandingan antara besarnya pengeluaran yang dikeluarkan untuk belanja pangan
dengan total pengeluaran yang dikeluarkan. Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
PPP = PP
TP 100%
Keterangan:
PPP = pangsa pengeluaran pangan (%)
PP = pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan)
TP = total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan)
Semakin besar pendapatan seseorang, maka semakin sedikit proporsi pengeluaran
yang dikeluarkannya untuk konsumsi pangan (Ilham dan Sinaga, 2007).
28
Ketahanan pangan dapat diukur dengan melakukan klasifikasi silang indikator
antara pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi gizi rumah tangga. Pengukuran
tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan klasifikasi silang
indikator antara pangsa pengeluaran pangan dengan kecukupan energi dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Konsumsi Energi
(per unit ekuivalen dewasa)
Pangsa Pengeluaran Pangan (proporsi pengeluaran
pangan terhadap total pengeluaran)
Rendah (<60%) Tinggi (≥60%)
Cukup (>80% kecukupan
energi) Tahan pangan Rentan pangan
Kurang (≤80% kecukupan
energi) Kurang pangan Rawan pangan
Sumber: Maxwell et al. (2000) dalam Indriani (2015).
Berdasarkan Tabel 6, tingkat ketahanan pangan dikelompokkan menjadi 4
kelompok, yaitu tahan pangan, kurang pangan, rentan pangan, dan rawan pangan.
a. Rumah tangga tahan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan rendah
(<60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi (>80%
dari syarat kecukupan energi).
b. Rumah tangga kurang pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan rendah
(<60% pengeluaran rumah tangga) dan kurang mengkonsumsi energi (≤80%
dari syarat kecukupan energi).
c. Rumah tangga rentan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi
(≥60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi (>80%
dari syarat kecukupan energi).
29
d. Rumah tangga rawan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi
(≥60% pengeluaran rumah tangga) dan tingkat konsumsi energinya kurang
(≤80% dari syarat kecukupan energi).
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan Pangan
Menurut Rachman dan Suhartini (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga selain ketersediaan dan distribusi
pangan di tingkat wilayah, juga dipengaruhi oleh:
a. Surplus padi
b. Daya beli yang dapat dilihat dari tingkat pendapatan per kapita
c. Aksesibilitas terhadap pangan, yang tercermin pada harga pangan di tingkat
rumah tangga.
Pendapatan seseorang merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan
kuantitas pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi
konsumsi pangan rumah tangga. Pendapatan yang tinggi dapat memperbaiki dan
meningkatkan pola pangan rumah tangga dan kecukupan gizi rumah tangga.
Sebaliknya, pendapatan yang rendah dapat menyebabkan rendahnya konsumsi
pangan dan gizi serta memburuknya status gizi anggota rumah tangga
(Hardinsyah dan Suhardjo, 1987).
Menurut Fatimah (2004), semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga,
maka semakin kecil persentase pengeluaran untuk pangan. Hal ini dikarenakan
pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kesadaran seorang ibu rumah tangga
untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dalam usaha mensejahterakan
30
keluarganya, termasuk informasi tentang pangan dan pengetahuan gizi.
Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan pendidikan rendah maka rata-rata
pengetahuan gizi ibu rumah tangga ini pun rendah.
Sejalan dengan Fatimah (2004), penelitian Safitri, Prasmatiwi dan Nugraha (2014)
menjelaskan bahwa pendidikan orang tua (ibu) berpengaruh positif terhadap
ketahanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan formal
yang dimiliki ibu, maka semakin tinggi pula peluang untuk menjadikan suatu
rumah tangga menjadi rumah tangga tahan pangan. Tingginya pendidikan formal
ibu rumah tangga menunjukkan bahwa sikap dan pemikiran yang dimiliki dalam
memberikan konsumsi pangan untuk anggota rumah tangganya sangat tinggi.
Menurut Suhardjo (1986), besar anggota rumah tangga berpengaruh terhadap
kondisi pangan dan gizi pada masing-masing rumah tangga. Rumah tangga yang
berpendapatan rendah dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar akan lebih
sulit dalam mencukupi kebutuhan pangan dan gizi. Sebaliknya, rumah tangga
dengan jumlah anggota yang lebih sedikit akan lebih mudah dalam memilih,
membuat, dan menyediakan bahan makanan sehingga kebutuhan pangan dan gizi
dapat mudah terpenuhi. Selaras dengan Suhardjo (1986), Hernanda, Indriani, dan
Listiana (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa variabel jumlah anggota
keluarga memiliki pengaruh nyata pada tingkat ketahanan pangan rumah tangga
petani.
Hasil penelitian Prasmatiwi, Listiana, dan Rosanti (2011) menyatakan bahwa
peningkatan harga pangan seperti gula dan minyak goreng menyebabkan pangsa
pengeluaran pangan menjadi lebih tinggi. Faktor penyebab tingginya harga
31
pangan diakibatkan oleh akses pangan yaitu keterjangkauan terhadap pangan itu
sendiri oleh rumah tangga seperti kemudahan memperoleh pangan dan daya beli
rumah tangga terhadap pangan tersebut dan ketersediaan pangannya. Kondisi ini
menyebabkan tingkat ketahanan pangan petani menjadi rendah. Hal ini
menunjukan perilaku yang serupa dengan kenaikan harga gula dan minyak
goreng. Kenaikan harga ini akan menyebabkan tingkat pengeluaran petani
menjadi lebih tinggi, sehingga akan mempengaruhi daya beli petani. Tingginya
pangsa pengeluaran pangan yang disebabkan oleh kenaikan harga ini
mengindikasikan tingkat ketahanan pangan yang rendah nantinya.
Sejalan dengan Prasmatiwi et al. (2011), Desfaryani (2012) juga menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga
adalah jumlah anggota rumah tangga, harga beras, harga gula, harga minyak, dan
harga tempe. Faktor-faktor tersebut memiliki nilai koefisien negatif yang berarti
semakin rendah nilai jumlah anggota rumah tangga, harga beras, harga gula, harga
minyak, dan harga tempe maka akan meningkatkan ketahanan pangan rumah
tangga.
Program Desa Mapan berdampak positif terhadap perbaikan kondisi sosial
ekonomi rumah tangga miskin di pedesaan. Perbaikan sosial ekonomi rumah
tangga miskin diindikasikan oleh peningkatan frekuensi makan, konsumsi pangan
hewan, perbaikan akses ekonomi sandang, dan akses pelayanan kesehatan. Hal
ini dimungkinkan karena adanya perbaikan ekonomi keluarga yang ditunjukkan
oleh peningkatan pendapatan dan tabungan keluarga miskin (Darwis, Supriyati,
dan Rusastra 2014).
32
B. Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian ini mengacu pada hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan
penelitian ini. Kajian penelitian terdahulu diperlukan sebagai bahan referensi bagi
peneliti untuk menjadi pembanding antara penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya, serta untuk mempermudah dalam pengumpulan data dan penentuan
metode dalam menganalisis data penelitian. Ringkasan beberapa hasil penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
33
Tabel 7. Kajian penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang dilakukan
No Judul Penelitian, Peneliti, dan
Tahun
Metode Analisis Data Hasil Penelitian
1 Pola Konsumsi Pangan Pada Rumah
Tangga Petani di Desa Ruguk
Kecamatan Ketapang Kabupaten
Lampung Selatan (Arlin, Arifin, dan
Suryani, 2017)
Analisis kualitatif (deskriptif),
analisis kuantitatif (statistik),
dan analisis regresi linier
berganda
1. Pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani di Desa Ruguk
Kabupaten Lampung Selatan dengan ukuran skor PPH
menunjukkan bahwa skor PPH sebesar 79,94% yang artinya
nilai tersebut sudah cukup baik, dari indikator ideal skor PPH
sebesar 100%.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap PPH rumah
tangga petani adalah pengeluaran dan jumlah tanggungan
rumah tangga.
2 Analisis Preferensi, Pola Konsumsi,
dan Permintaan Tiwul Oleh
Konsumen Rumah Makan di Provinsi
Lampung (Syafani, Lestari, dan
Sayekti, 2015)
Analisis deskriptif kuantitatif,
analisis deskriptif dengan
tabulasi data, dan analisis
verifikatif dengan regresi fungsi
permintaan
1. Pola konsumsi konsumen terhadap tiwul di Provinsi Lampung,
memiliki frekuensi konsumsi 1–2 kali per bulan, tiwul biasa
dikonsumsi secara murni dengan jumlah rata-rata konsumsi
dalam sebulan 932,52 gram,dan alasan mengonsumsinya
karena kesukaan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tiwul oleh
konsumen rumah makan di Provinsi Lampung adalah harga
lauk hati ampela ayam, harga lauk tempe kering, dan suku.
3 Studi Perbandingan Pola Alokasi
Lahan, Pengeluaran Beras dan Pola
Konsumsi Pangan antara Petani Ubi
Kayu di Desa Pelaksana dan
Nonpelaksana Program MP3L di
Kabupaten Lampung Selatan
(Indiako, Ismono, dan Soelaiman,
2014)
Analisis deskriptif kuantitatif 1. Nilai rata-rata pengeluaran beras rumah tangga di Desa
Pancasila sebesar Rp 858.303,03 per kapita per tahun,
sedangkan rata-rata pengeluaran beras rumah tangga di Desa
Negara Ratu sebesar Rp 1.044.121,77 per kapita per tahun.
2. Skor PPH petani ubi kayu di Desa Pancasila (87,8) lebih tinggi
dibandingkan dengan skor PPH petani ubi kayu di Desa Negara
Ratu (80,5). Pengurangan konsumsi beras di Desa Pancasila
telah terjadi namun bukan disebabkan oleh pensubtitusian beras
terhadap Beras Siger, melainkan terhadap tiwul hasil olahan
sendiri.
34
Tabel 7. (lanjutan)
4 Analisis Pola Konsumsi Pangan
Rumah Tangga (Studi Kasus di
Kecamatan Tarakan Barat Kota
Tarakan Provinsi Kalimantan Timur)
(Hamid, Setiawan, dan Suhartini,
2013)
Analisis deskriptif kuantitatif
dan analisis regresi linier
berganda
1. Pola konsumsi pangan di pedesaan dan perkotaan berdasarkan
aspek kuantitas masih belum tercapai karena AKE aktual masih
kurang dari AKE normatif, dengan nilai AKE dan TKE rata-rata
di pedesaan sebesar 1,569.49 kkal/kap/hari (78.73%) dan di
perkotaan 1,964.73kkal/kap/hari (98.24%). Sedangkan nilai
AKP aktual rata-rata di pedesaan sebesar 47.70 gr/kap/hari
(91.59%) berada di bawah AKP normatif yaitu 52 gr/kap/hari
sedangkan AKP aktual di perkotaan sebesar 62.44 (120.08%)
yang berarti sudah melebihi dari AKP normatif.
2. Pola konsumsi pangan berdasarkan aspek kualitas masih belum
tercapai sesuai dengan hasil rata-rata skor PPH aktual di desa
yaitu 60.27 dan di kota 81.26, meskipun skor PPH di kota lebih
tinggi dari desa namun masih berada jauh di bawah skor PPH
ideal yaitu 100. Skor PPH selain dipengaruhi oleh faktor
pendapatan, juga dipengaruhi oleh perbedaan daerah tempat
tinggal.
3. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap skor
PPH adalah variabel pendapatan per kapita, pendidikan ibu
rumah tangga dan dummy tempat tinggal.
5 Pendapatan dan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Petani Padi di Desa
Rawan Pangan (Hernanda, Indriani,
dan Kalsum, 2017)
Analisis deskriptif kuantitatif,
analisis deskriptif kualitatif, dan
analisis statistik
1. Hasil dari klasifikasi silang antara kecukupan energi dengan
pangsa pengeluaran pangan diperoleh empat kategori ketahanan
pangan RT petani padi Desa Sukamarga yaitu, 20 RT (30,30%)
tahan pangan, 25 RT (37,87%) kurang pangan, 11 RT (16,67%)
rentan pangan, dan 10 RT (15,15%) rawan pangan.
2. Terdapat faktor-faktor yang berhubungan dengan ketahanan
pangan rumah tangga petani padi sawah di Desa Sukamarga
yaitu pendapatan padi, luas lahan padi, produksi padi, jumlah
anggota keluarga, lama pendidikan suami, dan pengeluaran
pangan. Produksi padi dan lama pendidikan suami memiliki
35
Tabel 7. (lanjutan)
hubungan positif dengan ketahanan pangan sedangkan jumlah
anggota keluarga dan pengeluaran pangan memiliki hubungan
negatif dengan ketahanan pangan.
6 Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Petani Jagung di Kecamatan
Simpang Kabupaten Ogan Komering
Ulu (OKU) Selatan (Hernanda,
Indriani, dan Listiana, 2013)
Analisis deskriptif kualitatif,
analisis deskriptif kuantitatif,
dan analisis regresi linier
berganda
1. Ditinjau dari pangsa pengeluaran pangan terdapat 50 RT (90%)
tahan pangan dan ketahanan pangan berdasarkan kecukupan
pangan terdapat 15 RT (25%) dengan kategori cukup sampai
kelebihan pangan sumber energi dan 29 RT (48,33%) cukup
sampai kelebihan pangan sumber protein. Hasil dari klasifikasi
silang antara jumlah kecukupan energi dan pangsa pengeluaran
makanan diperoleh 11 RT tahan pangan, 39 RT kurang pangan,
3 RT rentan pangan, dan 7 RT rawan pangan.
2. Hanya variabel jumlah anggota keluarga dan pengeluaran
pangan yang memiliki pengaruh nyata pada tingkat ketahanan
pangan RT petani.
7 Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Nelayan di Kecamatan Teluk Betung
Selatan Kota Bandar Lampung
(Yuliana, Zakaria, dan Adawiyah,
2013)
Analisis deskriptif dan analisis
statistik
1. Ketahanan pangan rumah tangga nelayan di Kelurahan
Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar
Lampung berada dalam kriteria tahan pangan sebesar 56,86%
dan rawan pangan sebesar 43,14%. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan
rumah tangga nelayan di Kelurahan Kangkung, Kecamatan
Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung adalah besar
anggota rumah tangga, pengeluaran rumah tangga, dan
pengetahuan gizi ibu rumah tangga. Faktor yang berpengaruh
negatif adalah besar anggota rumah tangga, dan berpengaruh
positif adalah pengeluaran rumah tangga, dan pengetahuan gizi
ibu rumah tangga.
36
Tabel 7. (lanjutan)
8 Analisis Jalur Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ketahanan Pangan
Rumah Tangga di Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten (Tanziha dan
Herdiana, 2009)
Analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif, analisis korelasi
pearson, dan rank spearman
1. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, sebanyak
84.2 persen rumah tangga tahan pangan, sedangkan pada
ketahanan pangan kuantitatif sebanyak 62.4 persen tergolong
rumah tangga tahan pangan, 25.7 persen rumah tangga rawan
pangan berat, 6.9 persen rumah tangga rawan pangan ringan,
dan 5 persen rumah tangga rawan pangan sedang.
2. Pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumah
tangga adalah pengeluaran rumah tangga (R-square = 0.065,
p<0.05).
9 Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Berdasarkan Proporsi
Pengeluaran Pangan dan Konsumsi
Energi (Studi Kasus Pada Rumah
Tangga Petani Peserta Program Desa
Mandiri Pangan di Kecamatan
Indrapuri Kabupaten Aceh Besar)
(Fadhiela, Arida, dan Sofyan, 2015)
Deskriptif analitis 1. Proporsi pengeluaran pangan rumah dari pengeluaran total
rumah tangga petani peserta program DEMAPAN yaitu sebesar
Rp 847.150,00 atau sebesar 60%. Sedangkan TKE rumah
tangga sebesar 62,19% termasuk pada kategori defisit (<70%
AKG).
2. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan proporsi
pengeluaran pangan dan konsumsi energi petani peserta
program DEMAPAN adalah kurang pangan atau sebesar 55%
dan 45% termasuk ke dalam kondisi rawan pangan. Rumah
tangga dengan status tahan pangan dan rentan pangan tidak
didapati di daerah penelitian.
10 Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga (Studi Kasus Pada
Pelaksanaan Program Desa Mandiri
Pangan di Desa Oro Bulu Kecamatan
Rembang Kabupaten Pasuruan)
(Ediwiyati, Koestiono, dan Setiawan,
2015)
Analisis deskriptif kuantitatif
dan kualitatif, dan analisis
regresi linier berganda
1. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga program Desa Mandiri
Pangan berdasarkan Angka Kecukupan Energi(AKE) dan
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) termasuk kategori “tahan
pangan”.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap Skor Pola
Pangan Harapan Program desa Mandiri Pangan adalah
Pendapatan Total Keluarga, Usia Ibu Rumah Tangga, dan Luas
Lahan Pekarangan sedangkan Pendidikan Ibu Rumah Tangga,
Jumlah Tanggungan Keluarga , tidak berpengaruh secara nyata.
37
C. Kerangka Pemikiran
Kecamatan Gadingrejo merupakan kecamatan penghasil pangan pokok yaitu padi
sawah terbesar di Kabupaten Pringsewu dengan jumlah produksi pada tahun 2016
sebesar 42.866 ton dan luas panen sebesar 7.922 ha (Tabel 2). Namun, bertolak
belakang dengan kondisi tersebut, Kecamatan Gadingrejo dihadapkan dengan
permasalahan tingkat kemiskinan yang tinggi dimana memiliki jumlah keluarga
pra sejahtera terbanyak dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Pringsewu
(Tabel 3). Upaya yang dilakukan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melaksanakan Program Desa Mandiri
Pangan kepada rumah tangga miskin di beberapa kecamatan, salah satunya adalah
Kecamatan Gadingrejo.
Ketahanan pangan rumah tangga merupakan kondisi dimana setiap rumah tangga
mempunyai akses terhadap pangan yang cukup baik dari segi kuantitas maupun
kualitas, terdistribusi merata dengan harga yang terjangkau, serta aman untuk
dikonsumsi. Ketahanan pangan rumah tangga terdiri dari 3 subsistem yaitu
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi, dimana ketiga subsistem ini saling
berkaitan satu sama lain. Ketersediaan pangan rumah tangga dipenuhi dengan
cara memproduksi atau membeli pangan. Ketersediaan pangan rumah tangga
dicerminkan pada pangsa pengeluaran pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran
pangan rumah tangga adalah besarnya pangsa pengeluaran pangan suatu rumah
tangga akan mempengaruhi seberapa besar pangan yang tersedia dalam sebuah
rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan ditunjukkan dengan besarnya
pengeluaran untuk belanja pangan dari jumlah total pengeluaran rumah tangga.
38
Pangan yang tersedia akan didistribusikan untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota
rumah tangga. Distribusi pangan rumah tangga dicerminkan pada aksesibilitas
atau kemampuan rumah tangga untuk dapat memperoleh pangan dalam jumlah
dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Semakin tinggi akses suatu rumah
tangga terhadap pangan maka semakin tinggi tingkat ketahanan pangan rumah
tangga. Pemenuhan gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi akan
menentukan tingkat konsumsi rumah tangga.
Pola konsumsi pangan rumah tangga merupakan susunan jenis, jumlah, dan
frekuensi pangan yang dikonsumsi rumah tangga. Data jenis dan jumlah
konsumsi pangan rumah tangga diperoleh dengan wawancara menggunakan
metode recall sedangkan data frekuensi konsumsi pangan rumah tangga diketahui
dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ). Pangan dibagi menjadi
sembilan kelompok yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan
lemak, buah dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-
lain. Berdasarkan sembilan kelompok pangan tersebut, dihitung jumlah konsumsi
energi dan Angka Kecukupan Energi (AKE) sehingga diperoleh Tingkat
Kecukupan Energi (TKE) rumah tangga responden. Dari data yang diperoleh
selanjutnya dianalisis pola konsumsi pangan rumah tangga dengan pendekatan
skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk mengetahui kualitas atau keberagaman
pangan yang dikonsumsi.
Jika ketersediaan pangan rumah tangga tidak tercukupi dan distribusi pangan tidak
berjalan dengan baik, maka dapat menyebabkan konsumsi pangan yang tidak
sesuai anjuran sehingga mengancam ketahanan pangan rumah tangga. Tingkat
39
ketahanan pangan rumah tangga berada dalam keadaan tahan pangan, kurang
pangan, rentan pangan, atau rawan pangan dapat ditentukan dengan klasifikasi
silang indikator antara pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan energi.
Karakteristik sosial ekonomi suatu rumah tangga akan berpengaruh terhadap
tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Dalam penelitian ini digunakan
beberapa variabel yang dianggap sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin antara lain pendapatan rumah
tangga, pendidikan ibu rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, harga beras,
harga gula, dan keikutsertaan Program Desa Mandiri Pangan. Keikutsertaan
Program Demapan merupakan variabel yang digunakan untuk melihat perbedaan
tingkat ketahanan pangan rumah tangga antara anggota dan nonanggota program.
Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.
40
Keterangan:
: tidak diteliti
Ketahanan pangan rumah tangga miskin
Ketersediaan
pangan
Distribusi
pangan
Konsumsi
pangan
Pangsa pengeluaran pangan Akses pangan Kecukupan energi
Tingkat ketahanan pangan
rumah tangga miskin:
- Rawan pangan
- Rentan pangan
- Kurang pangan
- Tahan pangan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi:
1. Pendapatan RT (X1)
2. Pendidikan ibu RT (X2)
3. Jumlah anggota rumah
tangga (X3)
4. Harga beras (X4)
5. Harga gula (X5)
6. Keikutsertaan Program
Demapan (D)
Kelompok pangan:
1. Padi-padian
2. Umbi-umbian
3. Pangan hewani
4. Minyak dan lemak
5. Biji berminyak
6. Kacang-kacangan
7. Gula
8. Sayur dan buah
9. Lain-lain
Pola konsumsi pangan
rumah tangga:
- Jenis pangan
- Jumlah yang dikonsumsi
- Frekuensi konsumsi
- Kualitas konsumsi (Skor PPH)
Gambar 2. Kerangka pemikiran pola konsumsi dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin (kasus pada rumah tangga anggota
dan nonanggota Program Desa Mandiri Pangan di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu)
Recall dan FFQ
41
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah diduga tingkat ketahanan
pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu
dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, pendidikan ibu rumah tangga, jumlah
anggota rumah tangga, harga beras, harga gula, dan keikutsertaan rumah tangga
dalam Program Demapan.
42
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai. Metode
survai digunakan apabila kita bermaksud mengumpulkan data yang relatif terbatas
dari sejumlah kasus yang relatif besar jumlahnya. Metode survai lebih
menekankan pada penentuan informasi tentang variabel daripada informasi
tentang individu (Sevilla, 1993). Penelitian survai merupakan studi yang bersifat
kuantitatif yang digunakan untuk meneliti gejala suatu kelompok atau perilaku
individu. Pada umumnya survai menggunakan kuesioner sebagai alat pengambil
data (Sarwono, 2006).
B. Konsep Dasar dan Definisi Operasional
Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian yang
digunakan untuk menunjang dan mendapatkan data akurat yang akan dianalisis
dengan mengoperasionalkan konsep-konsep penelitian menjadi variabel penelitian
serta cara pengukuran dari variabel tersebut sesuai dengan tujuan penelitian.
Konsumsi pangan adalah sejumlah makanan yang diasup oleh seluruh anggota
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Konsumsi pangan
dikonversikan ke dalam zat gizi energi dan protein.
43
Rumah tangga anggota Program Demapan adalah semua orang yang berada di
dalam satu unit rumah tangga anggota Program Demapan.
Rumah tangga nonanggota Program Demapan adalah semua orang yang
berada di dalam satu unit rumah tangga nonanggota Program Demapan.
Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang dikonsumsi rumah
tangga dilihat dari sembilan golongan pangan (padi-padian, umbi-umbian, pangan
hewani, sayur dan buah, kacang-kacangan, minyak dan lemak, gula, buah dan biji
berminyak serta lain-lain) yang tercermin dalam jenis, jumlah, frekuensi, dan
skor PPH.
Jenis pangan yang dikonsumsi adalah jenis pangan dari setiap golongan pangan
yang dikonsumsi rumah tangga.
Jumlah konsumsi pangan adalah jumlah konsumsi berbagai jenis pangan rumah
tangga dinyatakan dalam satuan gram per rumah tangga per hari, kilogram per
kapita per minggu, dan kilogram per kapita per tahun.
Frekuensi konsumsi pangan adalah jumlah kali mengonsumsi makanan yang
dinyatakan dengan kategori menurut Suhardjo (1989), yaitu sangat sering
(>1x/hari atau tiap kali makan), sering (1x/hari, 4-6x/minggu), cukup sering
(3x/minggu), cukup (<3x/minggu, 1-2x/minggu), jarang (<1x/minggu, 1x/bulan),
dan tidak pernah.
PPH adalah susunan jumlah pangan menurut sembilan kelompok pangan yang
didasarkan pada kontribusi energi terhadap konsumsi energi total. Skor PPH
44
rumah tangga dinyatakan dalam nilai atau skor yang diperoleh dari hasil perkalian
antara tingkat kontribusi energi dengan bobot masing-masing golongan pangan.
Angka kecukupan energi dan protein adalah sejumlah energi dan protein yang
dibutuhkan setiap individu untuk dapat hidup sehat. Standar kecukupan konsumsi
energi dan protein yang dianjurkan pada WKNPG X tahun 2012 untuk AKE
adalah 2.150 kkal/kap/hari dan AKP adalah 57 gram/kap/hari.
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) adalah pengukuran pencapaian kecukupan
energi yang berasal dari konsumsi pangan. Tingkat kecukupan energi dinyatakan
dengan persentase energi yang dikonsumsi per hari terhadap angka kecukupan
energi yang dianjurkan per hari menurut golongan umur dan berat badan
(%AKE).
Tingkat Kecukupan Protein (TKP) adalah pengukuran pencapaian kecukupan
protein yang berasal dari konsumsi pangan. Tingkat kecukupan protein
dinyatakan dengan persentase protein yang dikonsumsi per hari terhadap angka
kecukupan protein yang dianjurkan per hari menurut golongan umur dan berat
badan (%AKP).
Ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Pada
penelitian ini, pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan
menggunakan indikator klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan
dengan kecukupan energi.
45
Pengeluaran pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang yang
dinilai dengan uang untuk konsumsi makanan seluruh anggota rumah tangga,
yang diukur dalam satuan rupiah per bulan (Rp/bulan).
Pengeluaran nonpangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang
yang dinilai dengan uang untuk konsumsi bukan makanan seluruh anggota
rumah tangga, yang diukur dalam satuan rupiah per bulan (Rp/bulan).
Pengeluaran total rumah tangga adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh
seluruh anggota rumah tangga meliputi pengeluaran pangan dan nonpangan, yang
diukur dengan satuan rupiah per bulan (Rp/bulan).
Pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan
terhadap pengeluaran total rumah tangga yang diukur dalam satuan rupiah per
bulan (Rp/bulan).
Pendapatan rumah tangga (X1) adalah jumlah uang yang diperoleh rumah
tangga per bulan. Pendapatan rumah tangga diukur dengan akumulasi dari
pendapatan seluruh anggota rumah tangga per bulan dengan satuan rupiah
(Rp/bulan).
Pendidikan ibu rumah tangga (X2) adalah lama waktu yang ditempuh ibu
rumah tangga untuk mengikuti pendidikan formal. Pendidikan ibu rumah tangga
diukur dengan jumlah tahun sukses dengan satuan tahun.
Jumlah anggota rumah tangga (X3) adalah jumlah orang dalam rumah tangga
dengan pengelolaan keuangan secara bersama dengan satuan orang.
46
Harga beras (X4) adalah jumlah uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk
membeli beras dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
Harga gula (X5) adalah jumlah uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk
membeli gula dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
Keikutsertaan Program Demapan (D) adalah keikutsertaan rumah tangga
responden dalam keanggotaan Program Demapan. Nilai 1 untuk anggota, dan
nilai 0 untuk nonanggota.
C. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive), yaitu di Pekon Klaten
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu. Pemilihan lokasi tersebut
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bahwa Kecamatan Gadingrejo
merupakan daerah penghasil pangan pokok yaitu padi sawah tertinggi (Tabel 2)
dan memiliki jumlah keluarga pra sejahtera terbanyak di Kabupaten Pringsewu
(Tabel 3), serta merupakan salah satu kecamatan sasaran Program Demapan
binaan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu (Tabel 8).
Tabel 8. Lokasi Program Desa Mandiri Pangan Kabupaten Pringsewu tahun 2017
No Kecamatan Desa
1 Pardasuka Kedaung, Sukanegeri, Pardasuka
Selatan, Pardasuka Timur
2 Pagelaran Pamenang
3 Gadingrejo Klaten
4 Sukoharjo Sukoharjo II
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu, 2017c.
47
Wilayah yang menjadi fokus penelitian ini terletak di satu desa yaitu Pekon
Klaten. Pekon Klaten dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
bahwa Pekon Klaten merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Gadingrejo yang
menjadi sasaran dan memiliki kelompok afinitas penerima bantuan Program
Demapan binaan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu (Dinas
Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu, 2017c).
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang bertempat tinggal
di wilayah Pekon Klaten, Kecamatan Gadingrejo. Unit analisis penelitian ini
adalah rumah tangga. Responden pada penelitian ini adalah ibu rumah tangga,
kepala rumah tangga dan atau anggota rumah tangga lainnya yang dianggap
paling mengetahui keadaan rumah tangga serta berperan dalam mengatur
konsumsi dalam rumah tangga.
Berdasarkan laporan kependudukan wilayah Pekon Klaten tahun 2017 yang tidak
dipublikasikan, terbagi menjadi 2 dusun dengan 4 Rukun Tetangga (RT) dan
memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) yang merupakan rumah tangga miskin
sebanyak 61 KK yang terbagi menjadi rumah tangga miskin anggota dan
nonanggota Program Demapan (Tabel 9).
Tabel 9. Jumlah rumah tangga miskin dan sampel rumah tangga di Pekon Klaten
menurut keikutsertaan Program Demapan tahun 2017
No. Uraian Jumlah Populasi
(KK)
Jumlah Sampel
(KK)
1 Rumah Tangga Miskin Anggota Program
Demapan 30 30
2 Rumah Tangga Miskin Nonanggota
Program Demapan 31 31
Total 61 61
Sumber: Monografi Pekon Klaten tahun 2017 (data diolah).
48
Teknik penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini merujuk pada teori
Arikunto (2006), dimana jika populasi penelitian berjumlah kurang dari 100 maka
sampel yang diambil adalah seluruhnya, namun jika populasi penelitian berjumlah
lebih dari 100 maka sampel dapat diambil antara 10-15 persen atau 20-25 persen
atau lebih. Populasi pada penelitian ini adalah 61 KK yang terbagi menjadi 30
KK rumah tangga miskin anggota Program Demapan dan 31 KK rumah tangga
miskin nonanggota Program Demapan yang diambil seluruhnya. Waktu
pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2018.
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara kepada responden melalui
pengamatan secara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan berupa
kuesioner untuk mengetahui pola konsumsi pangan, tingkat ketahanan pangan,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga.
Data sekunder diperoleh dari literatur seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas
Ketahanan Pangan, lembaga atau instansi terkait, laporan-laporan, dan pustaka
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
E. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis
statistik deskriptif dan analisis statistik verifikatif dengan model ordinal logit.
Berikut merupakan metode analisis data yang digunakan pada setiap tujuan
penelitian.
49
1. Analisis Pola Konsumsi Pangan
Tujuan pertama mengenai pola konsumsi pangan rumah tangga miskin anggota
dan nonanggota Program Demapan dijawab dengan analisis statistik deskriptif.
Pola konsumsi pangan rumah tangga meliputi jenis, jumlah, dan frekuensi
konsumsi. Data jenis dan jumlah konsumsi pangan rumah tangga diperoleh
dengan menggunakan metode recall konsumsi pangan 24 jam yang lalu, selama
dua hari tidak berturut-turut sedangkan data frekuensi konsumsi pangan rumah
tangga diketahui dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ). Hasil
recall dikonversikan ke dalam zat gizi energi kemudian dirata-ratakan dalam satu
hari. Perhitungan kandungan zat gizi bahan makanan dengan rumus (Hardinsyah
dan Martianto, 1989) dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
KGij = (Bj
100 Gij
BDDj
100)
Keterangan:
KGij = kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan (j) (energi) yang dikonsumsi
sesuai satuannya
Bj = berat jenis pangan yang dikonsumsi (gram)
Gij = kandungan zat gizi (i) yang dikonsumsi dari pangan (j) dalam 100 gram
jenis pangan
BDDj = bagian yang dapat dimakan (dalam %/gram dari 100% pangan j)
AKG = BB
BB standar x AKG standar
Keterangan:
AKG = angka kecukupan gizi (energi dan protein)
BB = berat badan aktual (kg)
BB standar = berat badan standar (kg)
AKG standar = angka kecukupan zat gizi standar dalam tabel kecukupan gizi
yang dianjurkan menurut hasil WKNPG X tahun 2012
50
Perhitungan selanjutnya adalah menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)
rumah tangga dengan membandingkan jumlah asupan zat gizi dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, dihitung dalam persen. Tingkat
Kecukupan Gizi (TKG) yang dihitung meliputi Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) dengan rumus sebagai berikut:
TKE (%AKE) = Konsumsi energi
AKE yang dianjurkan x 100%
Keterangan:
TKE = tingkat kecukupan energi
Konsumsi energi = jumlah asupan energi (kkal)
AKE yang dianjurkan = angka kecukupan energi yang dianjurkan (kkal)
TKP (%AKP) = Konsumsi protein
AKP yang dianjurkan x 100%
Keterangan:
TKP = tingkat kecukupan protein
Konsumsi protein = jumlah asupan protein (gram)
AKP yang dianjurkan = angka kecukupan protein yang dianjurkan (gram)
Perhitungan selanjutnya adalah menentukan skor PPH aktual rumah tangga untuk
mengetahui kualitas konsumsi dan tingkat keberagaman konsumsi pangan rumah
tangga responden. Skor PPH aktual rumah tangga dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Skor PPH masing-masing golongan pangan = (A
B 100%) x C
Skor PPH = Skor PPH sembilan golongan pangan
Keterangan:
A = angka konsumsi energi (kkal)
B = angka kecukupan gizi energi (AKG-E) (kkal)
51
C = nilai bobot masing-masing golongan pangan (Tabel 10)
Tabel 10. Nilai Bobot Masing-masing Golongan Pangan
No Golongan pangan Bobot Skor maksimal
1 Padi-padian 0,50 25,00
2 Umbi-umbian 0,50 2,50
3 Pangan hewani 2,00 24,00
4 Minyak dan Lemak 0,50 5,00
5 Buah/biji berminyak 0,50 5,00
6 Kacang-kacangan 2,00 10,00
7 Gula 0,50 2,50
8 Sayur dan Buah 5,00 30,00
9 Lain-lain 0,00 0,00
Total 100,00
Sumber: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2015.
2. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan
Tujuan kedua mengenai tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin anggota
dan nonanggota Program Demapan dijawab dengan analisis statistik deskriptif
yaitu menggunakan pengukuran derajat ketahanan pangan rumah tangga menurut
Maxwell et al. (2000) dalam Indriani (2015) dengan menggunakan klasifikasi
silang indikator antara pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi rumah
tangga.
Pangsa pengeluaran pangan yang dimaksud adalah besarnya jumlah pengeluaran
rumah tangga untuk belanja pangan dari jumlah total pengeluaran rumah tangga
selama satu bulan. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan dapat diketahui
dengan rumus sebagai berikut:
PPP = PP
TP x 100 %
52
Keterangan:
PPP = pangsa pengeluaran pangan (%)
PP = pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan)
TP = total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan)
Perhitungan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dapat diketahui dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
TKE = Konsumsi energi
AKE yang dianjurkan x 100%
Keterangan:
TKE = tingkat kecukupan energi
Konsumsi energi = jumlah asupan energi (kkal)
AKE yang dianjurkan = angka kecukupan energi yang dianjurkan (kkal)
Setelah didapatkan hasil klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan
konsumsi energi di atas, maka diketahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga.
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan indikator tersebut dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengukuran derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Konsumsi Energi
(per unit ekuivalen dewasa)
Pangsa Pengeluaran Pangan (proporsi pengeluaran
pangan terhadap total pengeluaran)
Rendah (<60%) Tinggi (≥60%)
Cukup (>80% kecukupan
energi) Tahan pangan Rentan pangan
Kurang (≤80% kecukupan
energi) Kurang pangan Rawan pangan
Sumber: Maxwell et al. (2000) dalam Indriani (2015).
Berdasarkan Tabel 11, tingkat ketahanan pangan rumah tangga dikelompokkan
menjadi 4, yaitu tahan pangan, kurang pangan, rentan pangan, dan rawan pangan.
53
a. Rumah tangga tahan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan rendah
(<60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi (>80%
dari syarat kecukupan energi).
b. Rumah tangga kurang pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan rendah
(<60% pengeluaran rumah tangga) dan kurang mengkonsumsi energi (≤80%
dari syarat kecukupan energi).
c. Rumah tangga rentan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi
(≥60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi (>80%
dari syarat kecukupan energi).
d. Rumah tangga rawan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi
(≥60% pengeluaran rumah tangga) dan tingkat konsumsi energinya kurang
(≤80% dari syarat kecukupan energi).
3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan Pangan
Rumah Tangga
Tujuan ketiga mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan
pangan rumah tangga miskin anggota dan nonanggota Program Demapan dijawab
dengan analisis statistik verifikatif dengan menggunakan model ordinal logit.
Model regresi logit baik yang diukur pada skala nominal maupun ordinal,
digunakan jika ditemui kasus dengan variabel responnya dalam suatu persamaan
bersifat kualitatif atau kategori (Yuwono, 2005). Kategori paling dasar dari
model logit menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1 sehingga sering
disebut binary logit. Tetapi apabila kategori lebih dari 2 maka digunakan regresi
ordinal logit atau multinomial logit.
54
Persamaan model logit diperoleh dari penurunan persamaan probabilitas yang
akan diestimasi. Persamaan probabilitas tersebut adalah:
E ( | i) =
Pi =
Pi (1 + eα + βi i
) = eα + βi i
Pi + Pi eα + βi i
= eα + βi i
Pi = (1 – Pi) eα + βi i
= e
α + βiXi
Persamaan regresi ordinal logit dinyatakan sebagai berikut:
Li = ln [Pi
1 - Pi] = Zi = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6D + e
Keterangan:
Pi = probabilitas rumah tangga untuk mencapai tahan pangan, dimana
probabilitas P1 = P(Y=4) untuk rumah tangga tahan pangan
probabilitas P2 = P(Y=3) untuk rumah tangga kurang pangan
probabilitas P3 = P(Y=2) untuk rumah tangga rentan pangan
probabilitas P4 = P(Y=1) untuk rumah tangga rawan pangan
Li = tingkat ketahanan pangan rumah tangga
α = intersep
βi = koefisien regresi parameter (i = 1,2,3,4,5,6)
X1 = pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
X2 = pendidikan ibu rumah tangga (tahun)
X3 = jumlah anggota rumah tangga (orang)
X4 = harga beras (Rp/kg)
X5 = harga gula (Rp/kg)
D = dummy keikutsertaan Program Demapan
nilai 1 = anggota
nilai 0 = nonanggota
e = error term
55
Pengujian hipotesis menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE)
untuk menghitung nilai Likelihood Ratio Index (LRI) yang setara dengan
koefisien determinasi (R2) pada regresi OLS, uji Likelihood Ratio (LR) yang
setara dengan uji F (over-all test) dan uji Wald yang setara dengan uji t
(individual test) pada regresi OLS. Namun dalam regresi logistik tidak
mengasumsikan hubungan linier antara variabel bebas dan terikat, tidak
membutuhkan normalitas dalam distribusi variabel dan juga tidak mengasumsikan
homoskedatisitas varians.
a. Uji Likelihood Ratio Index (LRI) digunakan untuk mengetahui ketepatan
model yang dinyatakan dengan berapa persen variabel dependen dijelaskan
oleh variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi.
Nilai LRI sama dengan pseudo R2 atau Mc Fadden’s R
2.
LRI = pseudo R2 atau Mc Fadden’s R
2 = 1 – ln L/ln Lo
Keterangan:
LRI = Likelihood Ratio Index
ln L = nilai maksimum dari log-Likelihood function tanpa restriksi
(melibatkan semua parameter termasuk variabel bebas)
ln Lo = nilai maksimum dari log-Likelihood function dengan retriksi
(tanpa melibatkan variabel bebas atau nilai koefisien dari semua
parameter βi = 0)
b. Uji Likelihood Ratio (LR) digunakan untuk mengetahui pengaruh semua
varibel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
LR = -2 [ln Lo – ln L]
Keterangan:
LR = Likelihood Ratio
ln L = nilai maksimum dari log-Likelihood function tanpa restriksi
56
(melibatkan semua parameter termasuk variabel bebas)
ln Lo = nilai maksimum dari log-Likelihood function dengan retriksi
(tanpa melibatkan variabel bebas atau nilai koefisien dari semua
parameter βi= 0
Untuk menguji pengaruh semua variabel independen secara bersama-sama
terhadap variabel dependen dengan hipotesis sebagai berikut.
Ho = β1 = β2 = β3 = … = βi = 0
Ha : salah satu βi ≠ 0
LR dibandingkan dengan Chi square tabel (2). Jika LR hitung > Chi square
tabel (2) berarti Ho ditolak atau variabel independen yang diuji secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap vaariabel independen.
c. Uji Wald Test digunakan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen melalui perubahan odd.
Ho = βj = 0 atau Ho : Ori = 1
Ha : βj ≠ 0
W hitung (Wald) = [β/SE]2 = Z
W hitung (Wald) dibandingkan dengan Chi Square tabel (2). Jika W
hitung>Chi Square tabel (χ2) berarti Ho ditolak atau variabel independen yang
diuji secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Odd
merupakan nisbah peluang munculnya kejadian A dan peluang tidak
munculnya kejadian A.
57
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu
1. Keadaan Geografis
Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus dan dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 dan
diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri Dalam Negeri. Secara
geografis, Kabupaten Pringsewu terletak di antara 104,42˚ - 105,8˚ Bujur Timur
dan 5,8˚ - 6,8˚ Lintang Selatan dengan luas wilayah 625 km2 yang hampir
seluruhnya berupa wilayah daratan. Potensi sumber daya alam yang dimiliki
Kabupaten Pringsewu sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian.
Batas-batas wilayah administratif Kabupaten Pringsewu adalah:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sendang Agung dan Kecamatan
Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bulok dan Kecamatan Cukuh
Balak Kabupaten Tanggamus
c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Negeri Katon, Kecamatan
Gedongtataan, Kecamatan Waylima, dan Kecamatan Kedondong Kabupaten
Pesawaran
58
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pugung dan Kecamatan Air
Naningan Kabupaten Tanggamus.
2. Keadaan Demografi
Kabupaten Pringsewu terdiri dari sembilan wilayah kecamatan dengan jumlah
penduduk sebanyak 386.891 jiwa yang terdiri dari laki-laki 198.304 jiwa dan
perempuan 188.587 jiwa. Sex ratio penduduk atau perbandingan jumlah
penduduk laki-laki dengan perempuan sebesar 105,15 yang berarti bahwa pada
setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat sekitar 105 penduduk laki-laki.
Secara rinci persebaran penduduk di Kabupaten Pringsewu per kecamatan dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Persebaran penduduk per kecamatan di Kabupaten Pringsewu tahun
2017
No Kecamatan Jumlah (jiwa) Luas (km2)
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Pardasuka 34.107 94,64 360,39
2 Ambarawa 34.036 30,99 1.098,29
3 Pagelaran 46.330 72,47 639,30
4 Pagelaran Utara 15.370 100,28 153,27
5 Pringsewu 81.405 53,29 1.527,58
6 Gadingrejo 72.860 85,71 850,08
7 Sukoharjo 47.771 72,59 654,85
8 Banyumas 20.302 39,85 509,46
9 Adiluwih 34.710 74,82 463,91
Pringsewu 386.891 625,00 619,03
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu, 2018a.
Kecamatan Pringsewu merupakan kecamatan terpadat dengan kepadatan sebesar
1.527,58 jiwa/km2 dan Kecamatan Pagelaran Utara merupakan kecamatan yang
paling jarang penduduknya dengan kepadatan sebesar 153,27 jiwa/km2.
Kepadatan penduduk rata-rata Kabupaten Pringsewu adalah 619,03 jiwa/km2.
59
3. Keadaan Topografi dan Iklim
Topografi wilayah Kabupaten Pringsewu bervariasi antara dataran rendah dan
dataran tinggi yang sebagian besar merupakan bentangan datar yaitu sekitar 40
persen dari seluruh wilayah dengan ketinggian dari permukaan laut antara 800
meter sampai 1.115 meter. Bentang alamnya terdiri dari daratan 58 persen yang
dimanfaatkan untuk perumahan, pekarangan dan 42 persen dimanfaatkan untuk
perkantoran, perkebunan, pertanian serta fasilitas lainnya.
Kabupaten Pringsewu merupakan daerah beriklim tropis, dengan rata-rata curah
hujan berkisar antara 161,8 mm/bulan dan rata-rata jumlah hari hujan 13,1
hari/bulan. Rata-rata temperatur suhu berselang antara 22,9˚C sampai dengan
32,4˚C. Selang rata-rata kelembaban relatifnya adalah antara 56,8 persen sampai
dengan 93,1 persen dan rata-rata tekanan udara minimal dan maksimal di
Kabupaten Pringsewu adalah 1008,1 Nbs dan 936,3 Nbs. Dengan karakteristik
iklim tersebut, wilayah ini berpotensial untuk dikembangkan sebagai daerah
pertanian (BPS Kabupaten Pringsewu, 2015).
4. Keadaan Umum Konsumsi Pangan
Situasi pola konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Pringsewu secara umum
belum memenuhi kecukupan. Berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan
Kabupaten Pringsewu (2017), rata-rata konsumsi energi adalah sebesar 1826
kkal/kap/hari atau sebesar 91,3 persen dari Angka Kecukupan Energi (AKE).
Secara kuantitas tingkat konsumsi pangan tersebut masih belum memenuhi
standar konsumsi energi ideal yaitu sebesar 2.150 kkal/kap/hari.
60
Pada kelompok pangan padi-padian, konsumsi penduduk Kabupaten Pringsewu
mencapai 719,2 kkal/kap/hari, umbi-umbian 96,8 kkal/kap/hari, pangan hewani
205,0 kkal/kap/hari, minyak dan lemak 464,7 kkal/kap/hari, buah dan biji
berminyak 29,0 kkal/kap/hari, kacang-kacangan 149,3 kkal/kap/hari, gula 42,5
kkal/kap/hari, sayur dan buah 113,7 kkal/kap/hari, dan pangan lain-lain sebesar
5,8 kkal/kap/hari.
Secara umum jumlah skor Pola Pangan Harapan (PPH) penduduk Kabupaten
Pringsewu tahun 2017 mencapai rata-rata 86,1 dari komposisi sembilan kelompok
pangan. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tersebut menunjukkan bahwa secara
kualitas mutu konsumsi pangan penduduk Kabupaten Pringsewu rata-rata dari
sembilan kecamatan sudah cukup beragam meski belum ideal, masih terdapat gap
pada sembilan kelompok pangan yang harus ditambah dan dikurangi guna
mencapai skor PPH maksimal yaitu 100.
B. Gambaran Umum Kecamatan Gadingrejo
1. Keadaan Geografis
Kecamatan Gadingrejo berdiri pada tahun 1905 yang merupakan salah satu dari
sembilan kecamatan yang berada di Kabupaten Pringsewu. Wilayah Kecamatan
Gadingrejo merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Pingsewu. Kecamatan
Gadingrejo memiliki luas wilayah seluas 6.660 hektar dan berjarak sekitar 10 km
ke arah timur Kantor Pemerintah Daerah Pringsewu dan 35 km ke arah barat
Ibukota Provinsi, Kota Bandar Lampung. Secara geografis, Kecamatan
Gadingrejo terletak di antara 104˚ - 105˚ Bujur Timur dan 05˚ Lintang Selatan.
61
Batas wilayah Kecamatan Gadingrejo di peta Kabupaten Pringsewu dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta batas wilayah Kecamatan Gadingrejo di Kabupaten Pringsewu
Sumber: Bappeda Kabupaten Pringsewu, 2013.
Kecamatan Gadingrejo memiliki batas-batas wilayah administratif sebagai
berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Negeri Katon Kabupaten
Pesawaran dan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Way Lima Kabupaten
Pesawaran
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pringsewu Kabupaten
Pringsewu
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten
Pesawaran.
62
2. Keadaan Demografi
Kecamatan Gadingrejo terdiri dari 23 desa dengan jumlah penduduk sebanyak
73.967 jiwa yang terbagi menjadi 37.981 jiwa laki-laki dan 35.986 jiwa
perempuan. Persebaran jumlah penduduk dan luas wilayah berdasarkan desa di
Kecamatan Gadingrejo dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Persebaran jumlah penduduk dan luas wilayah berdasarkan desa di
Kecamatan Gadingrejo tahun 2017
No Desa Jumlah penduduk
(jiwa)
Luas wilayah
(ha)
1 Parerejo 4.308,00 638,00
2 Blitarejo 3.003,00 625,00
3 Panjerejo 2.216,00 279,00
4 Bulukarto 3.507,00 464,00
5 Wates 2.333,00 556,00
6 Bulurejo 2.951,00 416,00
7 Tambahrejo 4.182,00 493,00
8 Wonodadi 8.544,00 626,00
9 Gadingrejo 5.515,00 504,00
10 Tegalsari 1.605,00 585,00
11 Tulung Agung 4.509,00 737,00
12 Yogyakarta 2.639,00 431,00
13 Kediri 2.409,00 334,00
14 Mataram 4.424,00 662,00
15 Wonosari 2.647,00 155,00
16 Klaten 1.354,00 101,00
17 Wates Timur 2.210,00 173,00
18 Wates Selatan 1.703,00 81,00
19 Gadingrejo Timur 1.585,00 126,00
20 Gadingrejo Utara 3.488,00 240,00
21 Tambahrejo Barat 2.235,00 103,00
22 Yogyakarta Selatan 1.287,00 107,00
23 Wonodadi Utara 2.248,00 135,00
Jumlah 73.967,00 8.571,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu, 2018b.
Kecamatan Gadingrejo merupakan wilayah dengan beragam suku, bangsa, agama,
dan profesi. Penduduk Kecamatan Gadingrejo mayoritas berasal dari Pulau Jawa,
terutama Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
63
Desa Wonodadi merupakan desa dengan jumlah penduduk paling padat
sedangkan Desa Yogyakarta Selatan merupakan desa dengan jumlah penduduk
paling sedikit. Mayoritas penduduk di Kecamatan Gadingrejo beragama Islam
sebanyak 73.371 orang, beragama Kristen sebanyak 74 orang, beragama Katolik
sebanyak 136 orang, beragama Hindu sebanyak 375 orang, dan beragama Budha
sebanyak 11 orang yang tersebar di 23 desa. Mata pencaharian penduduk
bermacam-macam mulai dari petani, peternak, pedagang, buruh, wiraswasta,
pegawai negeri, dan pegawai swasta. Penduduk di Kecamatan Gadingrejo
sebagian besar bekerja di sektor pertanian sehingga sebagian besar ekonomi
penduduk Kecamatan Gadingrejo bergantung pada sektor pertanian khususnya
tanaman pangan (Monografi Kecamatan Gadingrejo, 2016).
3. Keadaan Topografi dan Iklim
Topografi wilayah Kecamatan Gadingrejo merupakan dataran rendah dengan
ketinggian sekitar 230 mdpl. Wilayah yang terjal terdapat di bagian selatan yaitu
Desa Wates sedangkan wilayah yang mempunyai kondisi lahan yang cukup datar
umumnya tersebar di bagian tengah wilayah Kecamatan Gadingrejo. Jenis tanah
di Kecamatan Gadingrejo adalah podsolit dan latosol, warna kehitam-hitaman
dengan sifat tanah antara liat dan gambut. Permukaan tanah 80 persen terdiri dari
dataran rendah untuk areal persawahan dan 20 persen lainnya merupakan areal
perbukitan. Curah hujan di wilayah Kecamatan Gadingrejo rata-rata 1.500 sampai
dengan 3.000 mm/tahun sedangkan keadaan air tanah cukup dangkal dengan
kedalaman berkisar 5 sampai 10 meter.
64
4. Keadaan Sarana dan Prasarana
Pembangunan sarana dan prasarana umum sangat penting guna menunjang
pembangunan di suatu daerah. Sarana dan prasarana penunjang utama kegiatan
masyarakat di Kecamatan Gadingrejo cukup memadai yang ditandai dengan
adanya sarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan tempat ibadah.
Uraian dan jumlah sarana dan prasarana penunjang di Kecamatan Gadingrejo
dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Sarana dan prasarana penunjang di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu tahun 2017
No Sarana Uraian Jumlah (unit)
1 Pemerintahan Kantor kecamatan 1
2 Pendidikan SD dan MI 60
SMP dan MTs 13
SMA, MA, dan SMK 12
Perguruan tinggi 4
3 Kesehatan Rumah bersalin 2
Puskesmas induk 1
Puskesmas pembantu 3
4 Ekonomi Pasar tradisional 2
Swalayan 4
Perbankan 2
SPBU 1
5 Tempat ibadah Masjid 75
Mushola 109
Gereja 2
Pura 3
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu, 2018.
Kecamatan Gadingrejo sudah memiliki sarana dan prasarana penunjang yang
cukup lengkap yang mampu mendukung kegiatan masyarakat setempat. Sarana
pemerintahan sangat mendukung kelancaran pelayanan umum khususnya
pelayanan terhadap masyarakat Kecamatan Gadingrejo. Peningkatan sarana
pendidikan terus dilakukan guna menunjang peningkatan pendidikan masyarakat.
65
Sarana kesehatan adalah sangat penting keberadaannya dalam menjamin
kesehatan masyarakat karena kesehatan merupakan modal utama seseorang untuk
melakukan aktivitas sehari-hari. Sarana transportasi di Kecamatan Gadingrejo
cukup memadai mulai dari kendaraan roda dua maupun roda empat sehingga
memudahkan akses masyarakat setempat.
C. Gambaran Umum Pekon Klaten
1. Sejarah Pekon
Pendukuhan Klaten merupakan bagian dari Desa Yogyakarta yang pada akhirnya
dibuka pada tahun 1918 dan merupakan program kolonialisasi dari pemerintah
Belanda. Rombongan datang dari Jawa Tengah (Klaten) kemudian mendirikan
pemukiman dan lahan persawahan di pendukuhan Klaten. Nama pendukuhan
Klaten diambil karena pada waktu pembukaan hutan didatangkan rombongan dari
Klaten Jawa Tengah. Setelah mengalami perkembangan dan pertumbuhan
penduduk di pendukuhan Klaten, maka pada tanggal 15 Desember 2011
mengalami pemekaran dan resmi menjadi Pekon Klaten Kecamatan Gadingrejo
Kabupaten Pringsewu.
2. Keadaan Geografis
Pekon Klaten merupakan salah satu desa dari 23 desa yang berada di Kecamatan
Gadingrejo. Pekon Klaten terdiri dari dua dusun dengan empat Rukun Tetangga
(RT). Pekon Klaten memiliki luas wilayah seluas 101 hektar yang berjarak
sekitar 7 km ke arah pusat kecamatan terdekat, 2 km ke arah ibukota kabupaten,
dan 36 km ke arah ibukota provinsi.
66
Wilayah Pekon Klaten merupakan daerah dataran dengan curah hujan rata-rata
118,36 mm/bulan, suhu rata-rata harian 32˚C, dan tinggi tempat dari permukaan
air laut 80-82 mdl. Batas-batas wilayah Pekon Klaten pada peta dapat dilihat pada
gambar 4.
Gambar 4. Peta batas wilayah Pekon Klaten
Sumber: KKN Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Bandar Lampung, 2018.
Pekon Klaten memiliki batas-batas wilayah administratif sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukoharjo
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bulurejo
c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Bulukarto
d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Yogyakarta.
3. Keadaan Demografi
Menurut hasil rekapitulasi data kependudukan tahun 2017, Pekon Klaten memiliki
penduduk sejumlah 1.479 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga 426 KK, terdiri
dari penduduk laki-laki sebanyak 718 jiwa dan perempuan sebanyak 761 jiwa.
67
Penduduk di Pekon Klaten mayoritas menganut agama Islam, sedangkan etnis
yang ada di Pekon Klaten sebagian besar bersuku Jawa sebanyak 1.472 jiwa,
sisanya yaitu bersuku Lampung, Sunda, dan Padang. Pekon Klaten merupakan
desa pertanian dan perkebunan sehingga sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani sebanyak 736 jiwa, pedagang 97 jiwa, PNS 30 jiwa,
guru 26 jiwa, buruh 97 jiwa, dan swasta 67 jiwa.
4. Keadaan Sarana dan Prasarana
Pembangunan sarana dan prasarana umum sangat penting untuk menunjang
pembangunan suatu daerah yang memiliki potensi tinggi menjadi daerah produktif
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Sarana dan
prasarana merupakan fasilitas penunjang yang ditujukan untuk memperlancar
kegiatan desa. Sarana dan prasarana yang ada di Pekon Klaten diperoleh dari
swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah. Sarana dan prasarana yang dimiliki
Pekon Klaten dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Sarana dan prasarana penunjang di Pekon Klaten Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu tahun 2017
No Sarana Uraian Jumlah (unit)
1 Pemerintahan Balai desa 1
2 Pendidikan TK/PAUD 1
SD/MI 1
SMP/MTs 1
3 Kesehatan Puskesmas pembantu 1
4 Ekonomi Pasar tradisional 1
5 Tempat ibadah Masjid 2
Mushola 3
Gereja 1
Sumber: Monografi Pekon Klaten, 2017 (tidak dipublikasikan).
68
Sarana pendidikan di Pekon Klaten dapat dikatakan belum memadai karena hanya
terdapat satu unit Taman Kanak-kanak (TK), satu unit Sekolah Dasar (SD), dan
satu unit Sekolah Menengah Pertama (SMP) di mana belum terdapat Sekolah
Menengah Atas (SMA) ataupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sarana
ekonomi yang ada di Pekon Klaten juga kurang memadai karena hanya terdapat
satu unit pasar yang menyediakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Penduduk
Pekon Klaten sebagian besar mempunyai kendaraan roda dua untuk menunjang
aktivitasnya serta sebagian besar penduduk telah menggunakan telepon genggam
sebagai alat komunikasi.
5. Keadaan Potensi Pertanian
Sebagian besar penduduk yang tinggal di Pekon Klaten bekerja pada sektor
pertanian. Sektor pertanian khususnya tanaman pangan merupakan penunjang
perekonomian terbesar penduduk Pekon Klaten. Hal tersebut dapat dilihat dari
mata pencaharian masyarakat Pekon Klaten yang mayoritas bekerja sebagai
petani. Penggunaan lahan pertanian di Pekon Klaten sebagian besar dimanfaatkan
pada lahan padi sawah sebesar 65 ha dan padi ladang sebesar 9 ha.
Pekon Klaten merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk peternakan di
antaranya adalah ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Potensi ternak yang ada
di Pekon Klaten yaitu kambing, sapi, kerbau, ayam, itik, dan burung. Ternak
unggas merupakan jenis ternak yang paling banyak diusahakan. Data tahun 2017
mencatat jenis ternak yang terdapat di Pekon Klaten sebanyak 67 ekor kambing,
19 ekor sapi, 82 ekor kerbau, 1.280 ekor ayam, 143 ekor itik, dan 59 ekor burung
(Monografi Pekon Klaten, 2017).
69
D. Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di Kabupaten Pringsewu
Masalah kemiskinan berhubungan erat dengan kerawanan pangan, meskipun tidak
identik. Tingkat kerawanan pangan berdasarkan konsumsi energi sangat
ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain penyediaan pangan, harga pangan,
pendapatan keluarga, dan kemampuan keluarga dalam mengakses pangan, serta
pengetahuan masyarakat tentang pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi
seimbang, dan aman. Program atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan rawan pangan di Kabupaten Pringsewu melalui
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pringsewu
salah satunya adalah kegiatan pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan).
Bantuan ini diberikan kepada masyarakat Kabupaten Pringsewu. Ruang lingkup
Program Demapan di Kabupaten Pringsewu merupakan Desa Mandiri Pangan
Reguler bukan Kawasan Mandiri Pangan. Bentuk kegiatan ekonomi produktif
yang dilakukan melalui dana bantuan dikelola dan dimanfaatkan melalui usaha
on-farm yaitu peternakan kambing.
Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem
ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan
sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Tujuan pengembangan Desa Mandiri
Pangan (Demapan) adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat pedesaan
dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya yang dimiliki untuk mencapai
kemandirian pangan rumah tangga dan masyarakat. Sasaran pengembangan Desa
Mandiri Pangan adalah rumah tangga miskin di desa rawan pangan berpedoman
70
dengan Prioritas 1 (daerah paling rentan pangan) dan Prioritas 2 (daerah rentan
pangan) hasil analisis dan penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
(Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA) Kabupaten Pringsewu (Dinas
Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu, 2018).
Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan) di Kabupaten Pringsewu
dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu tahap penumbuhan, tahap pengembangan,
dan tahap kemandirian. Kegiatan berupa sosialisasi, pendampingan dan
pemberian bantuan bibit, benih tanaman, hewan ternak, bibit atau benih ikan
sesuai dengan usulan proposal yang diajukan oleh masing-masing kelompok.
Penerima bantuan dibentuk dalam suatu kelompok afinitas yang mempunyai
minat, keterampilan, dan usaha yang sama dalam meningkatkan pendapatan
keluarga untuk mencapai keluarga dengan ketahanan pangan yang mandiri.
Program Demapan di Pekon Klaten Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu
dilaksanakan sejak tahun 2015 (tahap penumbuhan) yaitu dengan pembentukan
kelompok dan pengajuan usulan proposal permohonan bantuan. Jenis bantuan
yang diberikan oleh Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu berupa
hewan ternak kambing. Pemberian bantuan diberikan dua kali yaitu pada tahun
2016 dan 2017 (tahap pengembangan) dengan jumlah masing-masing pemberian
10 ekor hewan ternak kambing yang dikelola oleh kelompok dengan cara
perguliran berdasarkan musyawarah. Pada tahun 2018 (tahap kemandirian),
beberapa kambing yang dipelihara oleh anggota sudah melahirkan, namun belum
berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan rumah tangga anggota
kelompok.
125
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
(1) Jumlah jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga anggota dan nonanggota
Program Demapan terdiri dari 14 jenis per hari. Jumlah konsumsi energi
rumah tangga anggota Program Demapan sebesar 7.120,56 kkal/rumah
tangga/hari dan rumah tangga nonanggota Program Demapan sebesar
6.639,71 kkal/rumah tangga/hari. Sebagian besar rumah tangga memilih
frekuensi konsumsi sangat sering untuk jenis pangan beras, frekuensi cukup
sering untuk tempe, dan frekuensi cukup untuk telur. Skor PPH rumah
tangga anggota Program Demapan sebesar 69,78 dan rumah tangga
nonanggota Program Demapan sebesar 65,62.
(2) Pada rumah tangga anggota Program Demapan terdapat sebesar 46,67 persen
rumah tangga tahan pangan, 10,00 persen rumah tangga kurang pangan, 36,67
persen rumah tangga rentan pangan, dan 6,66 persen rumah tangga rawan
pangan. Pada rumah tangga nonanggota Program Demapan terdapat sebesar
35,48 persen rumah tangga tahan pangan, 19,36 persen rumah tangga kurang
pangan, 32,26 persen rumah tangga rentan pangan, dan 12,90 persen rumah
tangga rawan pangan.
126
(3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah
tangga anggota dan nonanggota Program Demapan adalah pendapatan rumah
tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan harga beras. Faktor yang
berpengaruh positif adalah pendapatan rumah tangga dan faktor yang
berpengaruh negatif adalah jumlah anggota rumah tangga dan harga beras.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
(1) Bagi pemerintah, khususnya Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu
perlu dilakukan pertimbangan mengenai penetapan sasaran anggota Program
Demapan agar program terealisasi dengan baik dan tepat sasaran sesuai
dengan petunjuk teknis pelaksanaan, juga mengingat Program Demapan di
lokasi penelitian yang belum bersinergi pada ketiga subsistem ketahanan
pangan (ketersediaan, distribusi, dan konsumsi).
(2) Bagi peneliti lain, sebaiknya melakukan penelitian lanjutan mengenai pola
konsumsi dan tingkat ketahanan pangan pada rumah tangga yang menjadi
sasaran program lain di bidang ketahanan pangan. Peneliti lain juga dapat
menambahkan variababel bebas yang belum dimasukkan seperti pengetahuan
gizi ibu, pendidikan kepala rumah tangga, suku, dan selera.
127
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., dan B. Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta.
Almatsier. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Anggraini, M., W. A. Zakaria, dan F. E. Prasmatiwi. 2014. Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Petani Kopi di Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Ilmu-
Ilmu Agribisnis. Vol. 2 No. 2, April 2014. Hlm. 124-132. Diakses pada 13
November 2017 pukul 20.08 WIB.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta. Jakarta.
Ariningsih, E., dan H. P. S. Rachman. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian. Vol. 6 No.3, September 2008. Hlm. 239-225. http://ejurnal.
litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/download/4314/3649. Diakses
pada 2 November 2017 pukul 16.10 WIB.
Arlin, N. A., B. Arifin, dan A. Suryani. 2017. Pola Konsumsi Pangan Pada
Rumah Tangga Petani di Desa Ruguk Kecamatan Ketapang Kabupaten
Lampung Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 5 No. 2, Mei 2017.
Hlm. 206-210. Diakses pada 4 November 2017 pukul 20.14 WIB.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. 2015. Panduan Perhitungan
Pola Pangan Harapan (PPH). http://bkp.pertanian.go.id. Diakses pada 18
Januari 2018 pukul 05.30 WIB.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI. 2012. Roadmap
Diversifikasi Pangan 2011-2015 Edisi 2. Kementerian Pertanian. Jakarta.
. 2017. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa
Macam Bahan Makanan Penting, 2007-2016. https://www.bps.go.id/
linkTabelStatis/view/id/950. Diakses pada 1 November 2017 pukul 19.28
WIB.
128
. 2018. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu
Beberapa Macam Bahan Makanan Penting, 2007-2017.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/950/rata-rata-konsumsi-per-
kapita-seminggu-beberapa-macam-bahan-makanan-penting-2007-
2017.html. Diakses pada 12 Februari 2019 pukul 12.28 WIB.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pringsewu. 2013. Peta
Batas Wilayah Kecamatan Gadingrejo di Kabupaten Pringsewu.
http://bpbd.pringsewukab.go.id/profil-kabupaten-pringsewu/. Diakses pada
20 Desember 2018 pukul 21.36 WIB.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. 2015. Kabupaten Pringsewu dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
. 2017a. Kabupaten Pringsewu dalam
Angka. https://pringsewukab.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Kabupaten-
Pringsewu-Dalam-Angka-2017.pdf. Diakses pada 1 November 2017 pukul
21.52 WIB.
. 2017b. Kabupaten Pringsewu dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
. 2018a. Kabupaten Pringsewu dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
. 2018b. Kecamatan Gadingrejo
dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
Darwis, V., Supriyati, dan I. W. Rusastra. 2014. Dampak Program Desa Mandiri
Pangan Terhadap Ketahanan Pangan dan Kemisikinan. Jurnal Informatika
Pertanian. Vol. 23 No. 1, Juni 2014. Hlm. 47-58. Diakses pada 5
November 2017 pukul 13.11 WIB.
Desfaryani, R. 2012. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi di
Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Bandar Lampung.
Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010 -
2014. Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta.
Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu. 2017a. Laporan Skor Pola
Pangan Harapan (PPH) Tahun 2017 Kabupaten Pringsewu. Dinas
Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
______________________________________. 2017b. Kegiatan Pengembangan
Desa Mandiri Pangan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu
2017. http://dkp.pringsewukab.go.id. Diakses pada 16 November 2017
pukul 06.30 WIB.
129
______________________________________. 2017c. Lokasi Kegiatan Desa
Mandiri Pangan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pringsewu tahun
2017. http://dkp.pringsewukab.go.id. Diakses pada 16 November 2017
pukul 06.50 WIB.
______________________________________. 2018. Rencana Strategis
Organisasi Perangkat Daerah Tahun 2017 – 2022. Dinas Ketahanan
Pangan Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
Dinas Pertanian Kabupaten Pringsewu. 2017. Produksi Tanaman Padi
Kabupaten Pringsewu 2016 (Ton). Pringsewu.
Ediwiyati, R., D. Koestiono, dan B. Setiawan. 2015. Analisis Ketahanan Pangan
Rumah Tangga (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Program Desa Mandiri
Pangan di Desa Oro Bulu Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan).
Jurnal AGRISE. Vol. XV No. 2, Mei 2015. Hlm. 85-93. Diakses pada 5
November 2017 pukul 15.12 WIB.
Fadhiela, K., A. Arida, dan Sofyan. 2015. Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan dan Konsumsi Energi
(Studi Kasus Pada Rumah Tangga Petani Peserta Program Desa Mandiri
Pangan di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Agrisep.
Vol. 16 No. 1, 2015. Hlm. 20-34. Diakses pada 5 November 2017 pukul
14.22 WIB.
Farid, M., Wicaksena, B., Nuryati, Y., Prabowo, DW. Yulianti, A., dan Haryana,
A. 2014. Analisis Kebijakan Harga Pada Komoditas Pertanian. Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. Kementerian Perdagangan.
http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Analisis_Kebijakan_
Harga_Pada_Komoditas_Pertanian.pdf. Diakses pada 25 Februari 2019.
Fatimah. 2004. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran dan
Tingkat Konsumsi Pangan Keluarga (Studi Kasus di Kelurahan Tanah
Sareal, Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses pada 4
November 2017 pukul 07.14 WIB.
Hamid, Y., B. Setiawan, dan Suhartini. 2013. Analisis Pola Konsumsi Pangan
Rumah Tangga (Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan
Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal AGRISE. Vol. VIII No. 3, Agustus
2013. Hlm. 175-190. Diakses pada 13 November 2017 pukul 22.04 WIB.
Handayani, M. 2018. Pengambilan Keputusan dalam Pemilihan Pangan Lokal
Olahan dan Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Kabupaten
Pringsewu. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
130
Hardinsyah dan D. Martianto. 1989. Cara Menghitung Angka Kecukupan Energi
dan Protein Serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Wirasari.
Jakarta.
Hardinsyah dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Jurusan GMSK. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Hernanda, E. N., Y. Indriani, dan U. Kalsum. 2017. Pendapatan dan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Petani Padi di Desa Rawan Pangan. Jurnal Ilmu-
Ilmu Agribisnis. Vol. 5 No. 3, Agustus 2017. Hlm. 283-291. Diakses pada
4 November 2017 pukul 06.47 WIB.
Hernanda, T., Y. Indriani, dan I. Listiana. 2013. Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Petani Jagung Di Kecamatan Simpang Kabupaten Ogan Komering
Ulu (Oku) Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 1 No. 4, Oktober
2013. Hlm. 311-318. Diakses pada 4 November 2017 pukul 06.26 WIB.
Ilham, N., dan B. M. Sinaga. 2007. Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan
Sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan. Jurnal SOCA (Socio-
Economic of Agriculture and Agribusiness). Vol. 7 No. 3 November 2007.
Hlm. 1-22. https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/view/4217.
Diakses pada 16 November 2017 pukul 19.22 WIB.
Indiako, R. H. Ismono, dan A. Soelaiman. 2014. Studi Perbandingan Pola
Alokasi Lahan, Pengeluaran Beras dan Pola Konsumsi Pangan antara Petani
Ubi Kayu di Desa Pelaksana dan Nonpelaksana Program MP3L di
Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 2 No. 4,
Oktober 2014. Hlm. 331-336. Diakses 4 November 2017 pukul 07.09 WIB.
Indriani. 2015. Buku Ajar: Gizi dan Pangan. CV Anugrah Utama Raharja
(AURA). Bandar Lampung.
Kecamatan Gadingrejo. 2016. Data Monografi. Kabupaten Pringsewu.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. https://www.gizi.
depkes.go.id. Diakses pada 1 April 2019 pukul 14.00 WIB.
Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Kegiatan Desa Mandiri Pangan
Menuju Gerakan Kemandirian Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2017. Produksi, Luas Panen, dan
Produktivitas Padi di Indonesia. http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/
ATAP-TP2016/00-PadiNasional.pdf. Diakses pada 1 November 2017 pukul
19.45 WIB.
KKN Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Bandar Lampung. 2018. Peta batas
wilayah Pekon Klaten. http://pringsewukab.go.id. Diakses pada 4 Januari
2019 pukul 14.29 WIB.
131
Pekon Klaten. 2017. Data Monografi. Kabupaten Pringsewu.
Prasmatiwi, F. E., I. Listiana, dan N. Rosanti. 2011. Pengaruh Intensifikasi
Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi di
Kabupaten Lampung Tengah. Prosiding SNSMAIP III-2012. Bandar
Lampung.
Rachman, H. P. S., dan E. Ariningsih. 2008. Perubahan Konsumsi Dan
Pengeluaran Rumah Tangga di Pedesaan: Analisis Data SUSENAS 1999-
2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachman, H. P. S., dan Suhartini, S. H. 1996. Ketahanan Pangan Masyarakat
Berpendapatan Rendah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Agro Ekonomi. Vol. XV No.2, 1996. Hlm. 36-53. Diakses pada 5
November 2017 pukul 14.33 WIB.
Rangga, K. K. 2014. Keefektifan Kelompok Afinitas Usaha Mikro Dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Mandiri Pangan
Provinsi Lampung. Disertasi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Safitri, C., F. E. Prasmatiwi, dan A. Nugraha. 2014. Kajian Tingkat Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Dalam Rangka Mengurangi Rawan Pangan Di Kota
Bandar Lampung. Jurnal SOSIO EKONOMIKA. Vol. 18 No. 2 Desember
2014. Hlm. 115-123.
Santoso. 2004. Kesehatan dan Gizi II. Rineka Cipta. Jakarta.
Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Sevilla, C. G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. UI Press. Jakarta.
Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. UI Press. Jakarta.
_______. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Suprianto, C dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius.
Yogyakarta.
Suyastiri, N. M. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi
Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di
Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi
Pembangunan. Vol. 13 No.1, April 2008. Hlm. 51-60. Diakses pada 1
November 2017 pukul 16.41 WIB.
132
Syafani, T. S., D. A. H. Lestari, dan W. D. Sayekti. 2015. Analisis Preferensi,
Pola Konsumsi, dan Permintaan Tiwul Oleh Konsumen Rumah Makan di
Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 3 No. 1, Januari
2015. Hlm. 85-92. Diakses pada 3 Februari 2018 pukul 19.28 WIB.
Tanziha, I., dan E. Herdiana. 2009. Analisis Jalur Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol. 4 No. 2, Juli 2009. Hlm.
106-115. Diakses pada 5 November 2017 pukul 10.52 WIB.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
2012. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227.
www.bpkp.go.id. Diakses pada 1 November 2017 pukul 18.52 WIB.
Widajanti, L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
Yuliana, P., W. A. Zakaria, dan R. Adawiyah. 2013. Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Nelayan Di Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar
Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 1 No. 2, April 2013. Hlm.
181-186. Diakses pada 13 November 2017 pukul 23.24 WIB.
Yuwono, P. 2005. Pengantar Ekonometri. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
top related