polio miel it is
Post on 12-Jan-2016
231 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
POLIOMIELITIS
DEFINISI
Poliomielitis merupakan penyakit virus dengan penularan cepat dan mengenai
sel anterior masa kelabu medulla spinalis dan inti motorik batang otak dan akibat
kerusakkan tersebut terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.
Terdapat banyak terminologi untuk poliomyelitis, antara lain : Poliomielitis
Anterior Akuta, Infantile Paralysis, Penyakit Heine dan Medin.
Poliomielitis terutama menyerang pada anak di bawah 5 tahun. Pencegahan
penyakit ini sangat penting, oleh karena belum ada obat yang efektif terhadap
penyakit ini. Namun, akhir-akhir ini dengan begitu agresifnya program vaksinasi di
seluruh dunia, tampak bahwa insiden penyakit ini sudah menurun dengan sangat
drastis, bahkan 10 tahun terkhir ini sangat jarang dijumpai terutama di Indonesia.
EPIDEMIOLOGI POLIOMIELITIS
Selama 3 dekade pertama di abad ke 20-,80-90% penderita polio adalah anak
balita,kebanyakan dibawah umur 2 tahun. Tahun 1955,di Massachusett Amerika
Serikat pernah terjadi wabah polio sebanyak 2.771 kasus dan tahun 1959 menurun
menjadi 139 kasus.Hasil penelitian WHO tahun 1972-1982,di Afrika dan Asia
Tenggara terdapat 4.214 dan 17.785 kasus. Dinegara musim dingin,sering terjadi
epidemic dibulan Mei-Oktober,tetapi kasus sporadic tetap terjadi setiap saat .Di
Indonesia ,sebelum perang dunia II, penyakit polio merupakan penyakit yang
sporadic-endemis,epidemi pernah terjadi di berbagai daerah seperti Bliton sampai ke
banda, Balikpapan,bandung Surabaya,Semarang dan Medan Epidemi terakhir terjadi
pada tahun 1976/1977 di Bali Selatan. Kebanyakan infeksi virus polio tanpa gejala
atau timbul panas yang tidak spesifik.Perbandingan asimtomatik dan ringan
sampaiterjadi paralisis adalah 100:1 dan 1000:1.
1.8 CARA PENULARAN
Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi poliovirus. Penularan dapat terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Transmisi langsung melalui droplet dari
orofaring serta fecal-oral. Feses penderita yang menyebar melalui jari yang
terkontaminasi pada peralatan makan, makanan dan minuman. Sedangkan penularan
dengan tidak langsung melalui sumber air, air mandi di mana virus berada dalam air
buangan masuk ke sumber-sumber air tersebut dikarenakan sanitasi yang rendah.
Infeksi poliovirus biasanya meningkat pada musim panas pada daerah yang beriklim
sedang. Namun tidak ada pola khusus pada daerah beriklim tropis.
ETIOLOGI POLIOMIELITIS
Penyebab polio adalah poliovirus. Virus polio merupakan RNA virus dan
termasuk famili Picornavirus dari genus Enterovirus. Virus polio adalah virus kecil
dengan diameter 20-32 nm, berbentuk spheris dengan struktur utamanya RNA yang
terdiri dari 7.433 nukleotida, tahan pada pH 3-10, sehingga dapat tahan terhadap
asam lambung dan empedu. Virus tidak akan rusak dalam beberapa hari pada
temperatur 20 – 80 C, tahan terhadap gliserol, eter, fenol 1% dan bermacam-macam
detergen, tetapi mati pada suhu 500 – 550 C selama 30 menit, bahan oksidator,
formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Selain itu, penyakit ini mudah berjangkit di
lingkungan dengan sanitasi yang buruk, melalui peralatan makan, bahkan melalui
ludah.
Klasifikasi Poliomielitis
Poliomielitis asimtomatis
(Setelah masa inkubasi 7-10 hari), tidak terdapat gejala karena daya tahan
tubuh maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.
Poliomielitis abortif
Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala
berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
• Poliomielitis non paralitik
Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini berlangsung 2-10 hari kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke2 dengan nyeri otot.
• Poliomielitis paralitik
Gejala sama pada poliomielitis non paralitik disertai kelemahan satu atau
lebih kumpulan otot skelet atau cranial.
KLASIFIKASI POLIOMIELITIS PARALITIK
Bentuk spinal
Gejala kelemahan / paralysis atau paresis otot leher,abdomen, tubuh,
diafragma, thorak dan terbanyak ekstremitas.
Bentuk bulbar
Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak denganatau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.kadang
ensepalitik dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan
kadang kejang.
GEJALA KLINIS POLIOMIELITIS
Berdasarkan stadiumnya
Pada stadium akut (sejak adanya gejara krinis hingga 2 minggu)
Ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dari 10 hari, kadang
disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari
permulaan sakit. Kelumpuhan ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel-sel motor
neuron di Medula spinalis tulang belakang) yang disebabkan karena invasi virus.
Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan deformitas
(gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat.
Sebagian terbesar kelumpuhan akan mengenai tungkai (78,6 persen), sedangkan 41,4
persen akan mengenai lengan. Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap dan memakan
waktu 2 hari s/d 2 bulan).
Pada stadium sub-akut (2 minggu s/d 2 bulan)
Ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak
terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan
anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi.
Stadium Konvalescent (2 bulan s/d 2 tahun)
Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang lemah. sekitar 50-70 persen dari fungsi
otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun
diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. stadium kronik atau lebih 2
tahun dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai
tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat perrnanen.
FAKTOR RISIKO TERJADINYA POLIO
• Belum mendapatkan imunisasi polio
• Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
• Kehamilan
• Usia sangat lanjut atau sangat muda
• Luka di mulut/hidung/tenggorokan (misalnya baru menjalani pengangkatan
amandel atau pencabutan gigi)
• Stres atau kelelahan fisik yang luar biasa (karena stres emosi dan fisik dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh).
PATOFISIOLOGI
Virus masuk melalui saluran cerna. Setelah masuk, virus akan bereplikasi
(memperbanyak diri). Biasanya penularannya melewati feses, misalnya feses yang
mengandung virus polio mencemari sumber air minum warga kemudian air yang
dikonsumsi oleh manusia tersebut membawa virus polio dan sampai ketubuh
manusia. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tipe sel dan tempat spesifik
yang digunakan virus ini untuk bereplikasi pertama kalinya. Hanya saja, virus ini
dapat diisolasi dari jaringan limfe di saluran cerna, sehingga diduga tempat replikasi
pertama virus tersebut adalah di jaringan limfe saluran cerna terutama plaque peyeri
dan tonsil. Meskipun begitu, tidak jelas apakah virus polio memang bereplikasi di
tempat tersebut atau “hanya terserap” oleh jaringan limfe setelah bereplikasi di sel
epitel saluran cerna. Fase ini berlangsung 3-10 hari, dapat sampai 3 minggu. Virus
polio pada fase ini dapat ditemukan di ludah dan feses, dan berperan dalam proses
penularan
Setelah memperbanyak diri di jaringan limfe saluran cerna, virus polio akan
menyebar melalui darah (viremia) untuk menuju sistem retikuloendotelial lainnya,
termasuk diantaranya nodus limfe, sumsum tulang, hati, dan limpa, dan mungkin ke
tempat lainnya seperti jaringan lemak coklat dan otot
Replikasi poliovirus pada sistem motorik di kornu anterior dan batang otak
menghasilkan destruksi sel dan menyebabkan timbulnya gejala tipikal dari
poliomyelitis.
Mekanisme virus polio menginfeksi sistem saraf pusat masih belum diketahui
secara pasti. Ada 3 hipotesis, yang pertama, virus polio menginfeksi sistem syaraf
pusat melalui transport axon (sel saraf panjang yang menghantarkan signal syaraf)
dengan arah yang berlawanan (signal saraf bergerak dari sistem syaraf pusat ke otot,
virus bergerak dari otot ke sistem saraf pusat). Hipotesis kedua adalah virus
menembus sawar darah otak, independen dari keberadaan reseptor seluler untuk virus
polio (CD155). Dan hipotesis ketiga, virus polio diimpor ke sistem syaraf pusat
melalui sel makrofag. Sampai saat ini, mayoritas bukti ilmiah mendukung hipotesis
yang pertama
Patologi
Gamabaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada sistem
retikuloendotelial (sistem yang berhubungan dengan sel fagotik untuk
mempertahankan imunitas), terutama jaringan limfe. Kerusakan terjadi pada sel
motor neuron karena virus ini sangat neurotropik (merusak ssp), tetapi tidak
menyerang neuroglia (penopang struktural & nutrisional bagi neuron), myelin, atau
pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi.
Kerusakan pada medulla spinalis terutama anterior horn cell (sel kornu anterior).
Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen
Pada Poliomielitis, lesi neuron terjadi pada :
Medulla spinalis ( terutama sel kornu-anterior dan kornu intermedius dan
dorsalis serta ganglia radiks dorsalis );
Batang otak (nukleus vestibuler, nukeus saraf cranial, dan formasi retikularis,
yang berisi pusat-pusat vital);
Serebellum ( hanya nukleus pada atap dan vermis );
Substansia abu-abu tetapi juga substansia nigra dan kadang-kadang nukleus
merah);
Talamus dan hipotalamus
Korteks serebri (korteks motoris)
Gambaran patofisiologi ialah kerusakan motor neuron, pada awalnya memperhatikan
partikel halus yang menyebar dan butiran kasar yang disebut dengan badan-badan
Nissl (sel neuron mengalami kromatolisis dan pembengkakan sitoplasma). Pada
keadaan ini neuron masih dapat membaik. Pada stadium lanjut, badan-badan Nissl
tidak ada dan sitoplasma jadi homogen dan agak basofilik, inti sel mengerut, kadang-
kadang didapati infiltrasi eosinofilik di dalam inti sel.
Pada kerusakan lebih lanjut, bila terjadi kematian neuron, maka sejumlah
fagosit mengelilingi sel, inti sel hilang dan sitoplasma mengerus sehingga batas sel
tidak jelas dan akson terputus. Pada autopsi terlihat adanya serbukan limfosit,
tapi keadaan akut, fase pertama terlihat infiltrasi sel PMN. Setelah fase akut
berakhir , sel neuron yang mati diganti oleh jaringan ikat, sehingga medula
spinalis yang terkena menjadi kecil. Terjadinya paralisis asimetris dan atrofi otot
sesuai dengan persarafan medula spinalis yangterkena. Gambaran mikroskopis ini
tidak patognomonis untuk poliomeitis, karena gambaran lesi ini sama dengan
gambaran mikroskopis yang disebabkan oleh virus neurotropik yang
DIAGNOSA POLIOMEILITIS
• Diagnosis polio ditegakkan dengan manifestasi klinis yang tepat dan dapat
didukung oleh isolasi virus dari tenggorokan, tinja, dan CSF
• Titer antibodi serum dengan virus polio juga dapat diukur, dengan jumlah
peningkatan empat kali lipat dianggap diagnostik infeksi akut dapat
ditegakkan
ANAMNESIS
Anamnesis pada penderita penyakit Poliomielitis dapat diperoleh dari penderita
sendiri (autoanamnesis) pada anak yang sudah bisa bicara dan keluarga atau orang
lain (alloanamnesis) pada penderita yang belum bisa berbicara. Pada anamnesis
penderita poliomielitis akan didapatkan keluhan antara lain :
Demam
Suhu tubuh meningkat atau demam tinggi kurang lebih 2 minggu.
Sakit Kepala
Mengalami sakit kepala yang hebat, sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
Muntah
Muntah disertai rasa mual, setiap diberikan makan akan di muntahkan.
Peradangan Tenggorokan
Mengalami sakit tenggorokan, tidak bisa makan dan minum dengan baik,
makanan yang diberikan tidak dihabiskan.
Sulit buang air besar
Mengalami kesulitan dalam buang air besar, fesesnya cair.
Nyeri
Nyeri di perut dan di bagian belakang serta nyeri di bagian tangan atau kaki.
Kelumpuhan
Anak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
tengkurap, telentang, berguling, duduk, berdiri, atau berjalan.
Riwayat Imunisasi Polio
Belum mendapat imunisasi polio, tidak lengkap mendapatkan imunisasi polio.
PEMERIKASAAN FISIK
Tanda-tanda vital di nilai pada infeksi virus polio. Gejala dapat bervariasi dari infeksi
yang tidak jelas sampai paralisis.
Pemeriksaan neurologis
Kelemahan otot
Sensorik biasanya normal
Reflek tendon dalam biasanya mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan
menjadi lengkap dalam waktu 12-15 minggu serta bersifat permanen.
Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai dengan retensi urin.
Tanda-tanda rangsang meningeal
Gangguan saraf kranial (poliomielitis bulbar). Dapat mengenai saraf kranial
IX dan X atau III. Bila mengenai retikularis di batang otak maka terdapat
ganguan bernafas, menelan, dan sestem kardiovaskuler.
Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Poliomielitis
Penegakan diagnosis penyakit Poliomielitis pada anak dapat dilakukan pemeriksaan
fisik sebagai berikut :
Pada Bayi
Perhatikan posisi tidur, bayi yang normal menunjukkan posisi tungkai
menekuk pada lutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan menunjukkan
tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.
Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung pensil
pada telapak kaki bayi, bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.
Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan, bayi yang normal akan menunjukkan
gerakan kaki menekuk pada bayi yang lumpuh tungkai tergantung lemas.
Pada anak yang sudah bisa berjalan
Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.
Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit, anak yang mengalami
kelumpuhan tidak bisa melakukannya.
Mintalah anak meloncat pada satu kaki, anak yang lumpuh tidak bisa
melakukannya.
Mintalah anak untuk berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun
kembali, anak yang mengalami kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan
berpegangan merambat pada tungkainya.
Tungkai yang mengalami kelumpuhan terlihat lebih kecil.
PEMRIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)
Pemeriksaan darah biasanya dalam batas normal. Laju endap darah
meningkatkan sedikit lekopenia/lekositosis ringan terjadi pada stadium
dini.Cairan serebrospinalis
Biasanya tekanan serebrospinalis nermal, cairan liquor jernih; pleositosis
antara 15-500 sel/mm3, dengan sel limposit yang predominan tetapi pada
stadium awal sel PMN lebih dominan. Kadar protein normal pada minggu ke-
1, meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3. Kadar glukosa dan klorida dalam
batas normal.
Isolasi virus polio
Dapat diperoleh dari hapusan tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah
paralisis Dan dari tinja pada minggu 2-6 minggu bahkan sampai 12 minggu
setelah gejala klinis
Pemeriksaan imunoglobulin mempunyai nilai diagnostik, bila terjadi kenaikan
titer antibodi 4x dari imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M (IgM)
yang positip.
DIAGNOSA BANDING
Poliomielitis nonparalitik harus dibedakan dengan:
Aseptik meningitis
Khususnya dibedakan dengan infeksi oleh virus coxackie dan virus echo serta
virus lain. Karena virus-virus tersebut memberikan gejala klinis yang sama,
perlu ditemukan virus atau titer antibodi dalam serum yang tinggi untuk
membantu menegakkan diagnosis
Meningitis purulenta dan tuberculosis
Perlu dilakukan pemeriksaan cairan serebropinalis; pembiakan kuman.
Penyakit lain seperti
Demam rematik, rheumatoid arthritis, serum sickness, pneumonia dini,
disentri, tifoid, pielitis, tonsillitis akut dapat memberi gejala nyeri cairan
serebrospinalis ternyata dalam batas normal.
Poliomielitis paralitik dibedakan dengan:
Pseudoparalitik
Disebabkan oleh trauma, osteomielitis, dan artritis, biasanya didapatkan nyeri
tekan lokal dan refleksi tendon tidak beracun.
Sindrom Guillain Berre
Gejala khas paralisis simetris, asenden, adanya gangguan sensibilitas. Pada
cairan serebrospinalis, kadar protein meningkat tampa kenaikan sel. Pada
pemeriksaan EMG terdapat penurunan kecepatan hantar syarap motorik.
Transverse myelitis
Penyebabnya transverse myelitis tidak diketahui. Di bawah lesi terdapat
paraplegia dengan arefleksia pada awal gejala, kemudian hiperefleksia,
kehilangan rasa. Di atas lesi didapati hiperestesia ata normal, terdapat paralisis
kandung kemih dan rektum, atrofi saraf optikus atau neuritis. Cairan
serebrospinalis terliahat meningkat dan globulin meningkat, pleositosis
dengan monosit predominan.
PENATALAKSANAAN POLIOMIELITIS
Tidak ada pengobatan yang spesifik. Diberikan obat simtomatis dan suportif. Istirahat
total jangan dilakukan terlalu lama, apabila keadaan berat sudah reda. Istirahat sangat
penting di fase akut, karena terdapat hubungan antara banyaknya keaktifan tubuh
dengan berat nya penyakit.
Poliomielitis Abortif
Cukup diberikan analgetika dan sedatifa, untuk mengurangi mialgia atau nyeri
kepala,
Diet yang adekuat dan Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,
sebaiknya aktivitas yang berlebihan dicegah selama 2 bulan, dan 2 bulan
kemudian diperiksa sistem neuroskeletal secara teliti untuk mengetahui
adanya kelainan.
Poliomielitis nonparalitik
Sama seperti tipe abortif, Pemberian analgetik sangat efektif
Selain diberi analgetika dan sedatifsangat efektif. Bila diberikan bersamaan
dengan kompres hangat selama 15 – 30 menit, setiap 2 – 4 jam, dan kadang –
kadang mandi air panas juga membantu
Poliomielitis Paralitik
Membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Istirahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut dilampaui
Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
Perubahan posisi penderita dilakukan dengan penyangga persendian tanpa
menyentuh otot dan hindari gerakan menekuk punggung.
Fisioterapi, dilakukan sedini mungkin sesudah fase akut, mulai dengan latihan
pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya deformitas.
Interferon diberikan sedinini mungkin, untuk mencegah terjadinya paralitik
progresif.
Poliomielitis bentuk bulbar
Selama fase akut dan berat, dilakukan drainase postural dengan posisi kaki
lebih tinggi (20°- 25°),Muka pada satu posisi untuk mencegah terjadinya
aspirasi, pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan hati – hati, kalau perlu
trakeostomi.
PENCEGAHAN
Jangan masuk ke daerah wabah
Di daerah wabah sebaiknya dihindari faktor – faktor predisposisi seperti
tonsilektomi, suntik, dan lain – lain.
Mengurangi aktifitas jasmani yang berlebihan
Imunisasi aktif
Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai rekomendasi WHO adalah sejak lahir
sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian, diulang usia 1,5 tahun,
dan 15 tahun. Upaya ketiga adalah survailance accute flaccid paralysis atau
penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun.
Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau
bukan.Tindakan lain adalah melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi
massal di daerah yang ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah
lima tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
IMUNISASI AKTIF :
Terdapat 2 macam Vaksin yang digunakan dalam mencegah penyakit
poliomielitis
Inactivated Virus Vaccine ( Salk )
Diberikan secara suntikan
Merupakan vaksin Polio pertama yang dipasarkan sekitar tahun 1950 an. Pada
mulanya dibuat bentuk nonen hanced IPV dengan imunogenisitas kurang pada
mukosa usus dan harus diberikan dengan cara parenteral, namun akhir – akhir
ini dibuat bentuk Enhanced IPV dan terbukti bahwa bentuk ini tingkat
imunogenisitasnya sama dengan vaksin polio oral ( OPV ). Vaksinasi dasar
dimulai pada usia 2 – 3 bulan, diberikan 3 kali dengan interval 4 – 6
minggu .diberikan pada umur prasekolah.Suntikan ulangan diberikan pada
umur prasekolah.
Live Attenuated Virus Vaccine ( Sabin )
Diberikan secara oral
OPV telah digunakan sejak 1960 an, jenis vaksin ini banyak digunakan
sehingga banyak membantu menurunkan prevalensi penyakit polio diseluruh
dunia. OPV ini telah digunakan di Indonesia dalam program imunisasi
VAKSINASI
Vaksin Poliovirus
Inactivated poliovirus vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan
digunakan sejak saat itu hingga awal 1960-an. Pada tahun 1961, monovalent oral
poliovirus vaccine (MOVP) tipe 1 dan 2 telah dilisensi dan pada tahun 1962 MOPV
tipe 3 dilisensi. Pada tahun 1963 trivalent OPV dilisensi dan secara luas
menggantikan penggunaan IPV. Trivalent OPV merupakan pilihan utama vaksin
pada US dan banyak negara lainnya. IPV yang telah ditingkatkan potensinya dilisensi
pada November 1987 dan pertama kali tersedia pada tahun 1988. Tahun 2000,
penggunaan OVP dihentikan di US.(1)
Inactivated poliovirus vaccine (IPV)
Vaksin ini mengandung tiga serotipe dari vaksin poliovirus. Vaksin ini
mengandung 2-phenoxyethanol sebagai pengawet dan sejumlah neomycin,
streptomycin, dan polymyxin B. Cara pemberiannya adalah dengan suntikan pada
subkutan atau intramuskular.
IPV sangat efektif memproduksi imunitas terhadap poliovirus dan perlindungan
dari poliomielitis paralitik. 90% atau lebih dari penerima vaksin mengembangkan
antibodi proteksi terhadap 3 tipe poliovirus setelah dua kali dosis, dan sekitar 99%
kebal setelah tiga kali dosis. Proteksi terhadap penyakit paralisis berhubungan dengan
adanya antibodi. Durasi kekebalan dengan IPV tidak diketahui jelas, meskipun
mungkin dapat memberikan kekebalan selama beberapa tahun setelah pemberian
komplet.(1)
Kelebihan dari IPV:
Memberikan serokonversi yang sangat tinggi
Pemberiannya dapat dikombinasi dengan antigen/vaksin lain (DPT-HB-
IPV)
Virus mati, sehingga tidak menularkan kepada anak yang kontak
Tidak menyebabkan VAPP
Tidak akan terjadi mutasi virus vaksin menjadi ganas (VDVP)
Menimbulkan kekebalan lokal pada orofaring
Kekurangan dari IPV:
Harga mahal
Pemberiannya lebih sulit karena harus disuntikkan
Sedikit memberikan kekebalan pada intestinum
Oral poliovirus vaccine (OPV)
Vaksin ini mengandung tiga serotipe poliovirus hidup yang dilemahkan. Vaksin
ini mengandung sejumlah neomycin dan streptomycin, dan tidak mengandung
pengawet. Satu dosis tunggal berisikan 0,5 mL. Poliovirus yang dilemahkan ini akan
bereplikasi di dalam mukosa intestinal dan kelenjar getah bening. Virus vaksin
tersebut akan dieksresi dalam tinja selama 6 minggu setelah dosis.
OPV sangat efektif dalam memproduksi kekebalan terhadap poliovirus. OVP
dosis tunggal memproduksi kekebalan terhadap 3 tipe virus pada kira-kira 50%
resipien. Tiga dosis memproduksi kekebalan terhadap 3 tipe poliovirus pada lebih
dari 95% resipien. Kekebalan dari OPV mungkin dapat bertahan seumur hidup. OPV
menghasilkan kekebalan yang sangat baik pada usus, sehingga membantu mencegah
infeksi dari virus liar.(1)
Kelebihan dari OPV:
1. Harga terjangkau
2. Mudah cara pemberiannya
3. Menimbulkan mocosal immunity pada intestinum dan oropharyng (25% anak
mengekskresi virus "challenge").
4. Memberikan kekebalan humoral seumur hidup.
Kekurangan dari OPV :
1. Dapat menyebabkan kelumpuhan pada penerima vaksin (VAPP)
2. Virus hidup diekskresi lewat feces dan dapat menularkan pada anak yang
kontak dengan penerima vaksin (kontak VAPP).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling berat dari penyakit polio adalah kelumpuhan yang menetap.
Post-polio syndrome adalah komplikasis yang berkembang pada beberapa
pasien, biasanya pada 30 tahun atau lebih setelah pertama terinfeksi. Otot
yang sebelumnya sudah lemah jadi bertambah lemah dan kelemahan otot bisa
mengenai otot yang lain yang sebelumnya tidak terkena
Aspiration pneumonia
Cor pulmonale (a form of heart failure found on the right side of the
circulation system)
Lack of movement
Lung problems
Myocarditis
Paralytic ileus (loss of intestinal function)
Permanent muscle paralysis, disability, deformity
Pulmonary edema
Shock
Urinary tract infections
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita poliomielitis antara lain :
Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin
diakibatkan erosi usus superfisial.
Dilatasi lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut atau
konvalesen (dalam keadaan pemulihan kesehatan/ stadium menuju
kesembuhan setelah serangan penyakit/ masa penyembuhan
Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa minggu,
biasanya pada stdium akut, akibat lesi pusat vasoregulator dalam medula
Ulkus dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring yang lama di
tempat tidur, sehingga terjadi pembususkan pada daerah yang tidak ada
pergerakan (atrofi otot) sehingga terjadi kematian sel dan jaringan)
Hiperkalsuria, yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur dari
tulang/ gigi) akibat penderita tidak dapat bergerak
Kontraktur sendi,yang sering terkena kontraktur antara lain sendi paha, lutut,
dan pergelangan kaki
Pemendekan anggota gerak bawah, biasanya akan tampak salah satu tungkai
lebih pendek dibandingkan tungkai yang lainnya, disebabkan karena tungkai
yang pendek mengalami atrofi otot
Skoliosis, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, disebabkan
kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga kebiasaan duduk atau berdiri
yang salah
Kelainan telapak kaki, dapat berupa kaki membengkok ke luar atau ke dalam
PROGNOSIS
Prognosis tergantung kepada jenis polio (subklinis, non-paralitik atau paralitik)
dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak menyerang otak dan korda spinalis,
kemungkinan akan terjadi pemulihan total. Jika menyerang otak atau korda spinalis,
merupakan suatu keadaan gawat darurat yang mungkin akan menyebabkan
kelumpuhan atau kematian (biasanya akbiat gangguan pernafasan).
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian mana yang terkena. Bentuk spinal
dengan paralisis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe
bulber prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat
pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Otot-otot yang lumpuh dan tidak
pulih kembali menunjukkan paralisis tipe flasiddengan atonia (tidak ada kontraksi
otot), arefleksi (tidak adanya refleks), dan degenerasi (kemunduran fungsi sel).
1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI(11,12,13)
Medula spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf yang
berjalan dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci) dan garis
tengah 2 cm. Medula spinalis dibungkus oleh tiga lapisan mening: duramater,
arachnoid, dan piamater. Lapisan pamater melekat pada seluruh kontur permukaan
medula spinalis, berakhir kira-kira setinggi bagian bawah L1. Bagian akhir medula
spinalis berbentuk seperti kerucut dan dinamakan konus medularis. Suatu filamen
piamater yang ramping dinamakan filum terminale memanjang dari konus
medularis. Arachnoid terletak di atas kontur ini dan melekat pada lapisan dura di
atasnya. Lapisan duramater merupakan serabut fibrosa protektif yang sangat kuat.
Ketiga radiks ini menjangkau ke arah luar hingga ke radiks. Duramater terus berlanjut
hingga vertebra sakralis kedua, dan di sini bersatu dengan filum terminale
membentuk ligamentum koksigealis.
Dari medula spinalis keluar pasangan-pasangan nervus spinalis melalui ruang-
ruang yang terbentuk antara lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang
berdekatan. Nervus spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis
tempat keluarnya. Terdapat 8 pasang nervus servikalis (C1-C8), 12 pasang nervus
torakalis (T1-T12), 5 pasang nervus lumbalis (L1-L5), 5 pasang nervus sakralis (S1-
S5), dan 1 pasang nervus koksigeus (Co1). Total 31 segmen. Medula spinalis
berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras konduksi impuls dari
atau ke otak.
Medula spinalis memanjang hanya setinggi vertebra lumbalis pertama atau
kedua (sekitar pinggang) sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang, untuk
keluar dari kolumna vertebrallis di celah padanannya. Berkas tebal akar-akar saraf
yang memanjang di dalam kanalis vertebralis bawah ini disebut sebagai kauda
equina (ekor kuda).
Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian
substansia grisea dan substansia alba. Berbeda dari substansia grisea yang
membentuk selubung luar pembungkus substansia alba di otak, substansia grisea pada
medula spinalis membentuk suatu regio berbentuk kupu-kupu di sebelah dalam
dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Substansia grisea terutama terdiri dari
badan sel neuron dan dendrit-dendritnya, antarneuron pendek, dan sel glia. Substansia
alba tersusun membentuk banyak jaras (traktus), yaitu berkas serat-serat saraf (akson
antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas tersebut
berkelompok menjadi kolom (kolumna) yang berjalan di sepanjang medula. Masing-
masing jaras ini berawal atau berakhir di daerah tertentu di otak, dan masing-masing
menyalurkan jenis informasi tertentu. Sebagian adalah traktus asendens (medula
spinalis ke otak) yang menyalurkan sinyal dari masukan aferen ke otak. Yang lain
adalah traktus desendens (otak ke medula spinalis) yang menyampaikan pesan dari
otak ke neuron.
Substansia grisea dibagi menjadi 3:
1. Kornu posterior (dorsal horn), lokasi utama untuk proses sensorik
2. Kornu intermediolateral (substansia grisea intermediat dan kornu lateralis),
tempat badan-badan sel preganglionik simpatis (torakolumbal) dan
parasimpatis (sakral), serta lokasi utama proses interneuronal
3. Kornu anterior (ventral horn), tempat lower motor neuron (LMN) dan
tempat terjadinya konvergensi refleks dan kontrol descendens LMN.
Substansia alba dibagi dalam 3 daerah yang disebut funikulus:
1. Funikulus posterior
2. Funikulus lateral
3. Funikulus anterior (ventral)
Tiap funikulus dibagi lagi dalam kelompok-kelompok serabut yang disebut
fasikulus atau traktus. Pada funiculus posterior terdapat dua fasikulus, yaitu fasikulus
gracilis dan fasikulus cuneatus.
Traktus asendens:
Fasikulus grasilis dan kuneatus
Traktus ini menyampaikan informasi mengenai sentuhan, tekanan,
vibrasi, posisi tubuh, dan gerakan sendi dari kulit, persendian dan
tendon otot.
Impuls dan sentuhan dari reseptor peraba masuk ke medula spinalis
melalui radiks dorsal (neuron I). Akson memasuki korda, berasenden
untuk bersinapsis dengan nuklei grasilis dan kuneatus di medula bagian
bawah (neuron II). Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan
bersinapsis dalam talamus lateral (neuron III). Terminasinya berada
pada area somestetik korteks serebral.
Spinosereberalis ventralis
Traktus spinosereberalis ventralis membawa informasi mengenai
gerakan dan posisi keseluruhan anggota gerak. Impuls dari reseptor
kinestetik (kesadaran akan posisi tubuh) pada otot dan tendon memasuki
medula spinalis melalui radiks dorsal (neuron I) dan bersinapsis di
dalam tanduk posterior (neuron II). Akson berasenden di sisi yang sama
atau berlawanan dan berterminasi pada korteks serebelar.
Spinoserebelaris dorsalis
Membawa informasi mengenai propriosepsi bawah sadar (kesadaran
akan posisi tubuh, keseimbangan, adn arah gerakan). Impuls dari traktus
spinosereberal dorsal memiliki awal dan akhir yang sama dengan
traktus spinosereberalis ventralis; walaupun demikian akson pada
neuron II dalam tanduk posterior berasenden di posisi yang sama
menuju serebelar.
Spinothalamicus ventralis
Membawa informasi mengenai sentuhan, suhu, dan nyeri. Impuls dari
reseptor taktil pada kulit masuk ke medula spinalis melalui radiks dorsal
(neuron I) dan bersinapsis dalam tanduk posterior di sisi yang sama
(neuron II). Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan berasenden
untuk bersinapsis dalam talamus (neuron III). Akson berujung dalam
area somestetik korteks serebral.
Spinothalamicus lateralis
Traktus desendens:
Kortikospinalis lateralis
Menghantar impuls untuk ketepatan koordinasi dan ketepatan gerakan
volunter. Neuron I berasal dari area motorik korteks serebral. Akson
saraf berdesenden ke medula, tempat sebagian besar serabut (85%)
berdekusasi dan terus memanjang sampai ke tanduk posterior untuk
bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan neuron motorik
bagian bawah (neuron II) dalam tanduk anterior. Akson berterminasi
pada lempeng ujung motorik otot rangka.
Kortikospinalis ventralis
Memiliki fungsi yang sama dengan traktus kortikospinal lateral, yaitu
menghantar impuls untuk ketepatan koordinasi dan ketepatan gerakan
volunter. Neuron I berasal dari sel piramidal pada area motorik korteks
serebral dan berdesenden sampai ke medula spinalis. Di sini, akson
menyilang ke sisi yang berlawanan sebelum bersinapsis, secara
langsung maupun melalui interneuron dengan neuron II dalam tanduk
anterior.
Ekstrapiramidal (traktus retikulospinal, vestibulospinal lateral,
vestibulospinal medial, rubrospinal)
Fungsi utama sistem ekstrapiramidal adalah mengatur secara kasar otot-
otot voluntar (sistem piramidalis dan sistem kortikospinal mengatur
secara halus). Sistem ekstrapiramidal akan mempermudah atau
menghambatnya sesuai kebutuhan guna menghasilkan gerakan-gerakan
otot yang bertujuan, terkoordinasi, dan teerkontrol. Bila pengaruh
ekstrapiramidal terganggu, akan timbul gerakan-gerakan otot abnormal
dan tidak terkontrol.
Seluruh sistem itu bekerja sebagai satu unit dan merupakan sarana
integrasi pada tiga tingkatan: kortikal, striatal, dan tegmental. Efek
utamanya adalah inhibisi.
Masing-masing belahan substansia grisea terbagi menjadi tanduk (kornu)
dorsal, tanduk ventral, dan tanduk lateral. Tanduk dorsal mengandung badan sel
antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Tanduk ventral mengandung badan
sel neuron motorik eferen yang menyarafi otot rangka. Serat-serat saraf otonom yang
menyarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan sel
yang terletak di tanduk lateral.
Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medula spinalis melalui akar
dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa sinyal datang dari
reseptor perifer masuk ke medula spinalis melalui akar dorsal. Badan sel untuk
neuron aferen di masing-masing level berkumpul menjadi satu membentuk ganglion
akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron eferen berasal dari substansia grisea dan
mengirim akson keluar melalui akar ventral. Akar dorsal dan ventral di masing-
masing level menyatu untuk membentuk nervus spinalis yang keluar dari kolumna
vertebralis. Sebuah nervus spinalis mengandung baik serat aferen dan eferen yang
berjalan antara regio tertentu tubuh dan medula spinalis. Akar dorsal pada tiap saraf
spinal yang mengurus persarafan sensorik pada segmen tubuh disebut dermatom.
SISTEM SARAF PERIFER
Sistem ini terdiri dari jaringan saraf yang berada di bagian luar otak dan medula
spinalis. Sistem ini juga mencakup saraf kranial yang berasal dari otak; saraf spinal
yang berasal dari medula spinalis; dan ganglia serta reseptor sensorik yang
berhubungan
a. Saraf kranial. Terdiri dari 12 pasang saraf kranial (Olfaktori, Optik,
Okulomotorik, Troklear, Trigeminal, Abdusen, Fasial, Vestibulokoklear,
Glosofaringeal, Vagus, Aksesori Spinal, Hipoglosal
b. Saraf spinal. Pada bagian distal radiks ganglion dorsal, dua radiks
bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf tersebut adalah saraf
gabungan (sensorik dan motorik), membawa informasi ke korda melalui
neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron eferen.
Terdiri dari 5 pleksus:
- Pleksus servikal terbentuk dari ramus ventral keempat saraf servikal
pertama—C1, C2, C3, C4—dan sebagian C5. Menginervasi otot leher
dan kulit kepala, leher, serta dada.
- Pleksus brakialis terbentuk dari ramus ventral saraf servikal C5, C6,
C7, C8, dan T1, dengan melibatkan C4 dan T2. Mensuplai lengan atas
dan beberapa otot pada leher dan bahu.
- Pleksus lumbal terbentuk dari ramus saraf L1, L2, L3, dan L4 dengan
bantuan T12. Saraf dari pleksus ini menginervasi kulit dan otot dinding
abdomen, paha, dan genitalia eksterna
- Pleksus sakral terbentuk dari ramus ventral saraf sakral S1, S2, dan S3,
serta kontribusi dari L4, L5, dan S4. Menginervasi anggota gerak
bawah, bokong, dan regia perineal.
- Pleksus koksiks terbentuk dari ramus ventral S5 dan saraf spinal
koksiks, dengan kontribusi dari ramus S4. Pleksus ini merupakan awal
koksiks yang mensuplai regia koksiks
c. Sistem saraf otonom
SIRKULASI MEDULA SPINALIS
Suplai pembuluh arteri utama pada medula spinalis berasal dari arteri spinalis
anterior (ASA) dan sepasang arteri spinalis posterior (ASP), di mana keduanya
merupakan cabang dari arteri vertebralis. Aliran darah yang terbentuk dari sistem
arterial ini sebenarnya tidak cukup untuk mempertahankan medula spinalis setelah
segmen servikal. Arteri-arteri radikuler, yang berasal dari aorta, memberikan
anastomosis utama dengan ASA dan ASP sehingga menambah aliran darah untuk
medula spinalis.
ASA dan ASP berjalan dalam ruang subarachnoid dan memberikan cabang-
cabang segmental pada medula spinalis. ASA memberi cabang melalui fissura
mediana anterior untuk menyuplai 2/3 anterior medula spinalis.
Cabang-cabang ASP menyuplai 1/3 dorsal medula spinalis. Kedua cabang
ASP mendapat anastomosis dari cabang-cabang arteri radikuler posterior. Cabang-
cabang ini membentuk sebuah pleksus pembuluh-pembuluh darah yang diskontinyu
pada permukaan posterior medula spinalis, medial terhadap radiks dorsalis.
Suatu pleksus vena eksternal dan internal yang berjalan sepanjang kolumna
vertebralis membentuk serangkaian ‘cincin’ vena dengan anastomosis yang ekstensif
seputar tiap segmen vertebra. Darah dari medula spinalis, vertebra, dan ligamen-
ligamen mengalir ke dalam pleksus-pleksus ini. Perubahan pada tekanan intratorakal
dan tekanan CSS (cairan serebrospinal) dapat dihantarkan melalui pleksus-pleksus
vena tersebut sehingga memengaruhi volume vena.
Pada akhirnya darah dari pleksus-pleksus vena tersebut akan mengalir ke dalam
vena-vena intervertebralis, vertebralis, intercostalis posterior, subcostalis, dan
lumbalis serta sakralis lateral.
1.2 HISTOLOGI
Secara struktural jaringan saraf dibedakan:
1. Sel saraf/neuron sebagai penyalur/penghantar impuls
2. Sel glia/neuroglia sebagai sel penyokong saraf
3. Jaringan penyambung antarsel: antarsel, pembungkus jar. Saraf
Jaringan saraf tersusun dari sel-sel yang merupakan satuan fungsional (satuan
terkecil) yang disebut neuron. Neuron pada manusia jumlahnya sekitar 10 miliar.
Neuron tidak membelah, setelah lahir tidak dibentuk neuron baru. Kelompok neuron
yang terdapat dalam SSP disebut nukleus, di luar SSP disebut ganglion.
Klasifikasi neuron dibagi berdasarkan tiga: banyaknya percabangan
neuroplasma, panjangnya percabangan neuroplasma, dan berdasarkan fungsinya.
Berdasarkan banyaknya percabangan neuroplasma:
d. Neuron unipolar: pada retina tingkat embrio, cacing
e. Neuron bipolar: pada retina mata, sel ganglion spiral, sel ganglion
vestibular, epitel olfaktoris
f. Neuron multipolar: sel saraf motoris, sel purkinje serebelum, sel piramid
(sel Betz di area motorik), ganglion Auerbach di usus
g. Neuron pseudo-unipolar (sel T/Y): sel ganglion spinalis dan kraniospinalis
Neuron terdiri atas: (i) badan sel/soma/perikarion, (ii) cabang neuroplasmanya
yaitu dendrit dan axon/neurit. Badan sel berbentuk lonjong/bulat dan bersudut. Inti
biasanya bulat/lonjong, relatif besar, gambaran kromatin halus/jarang sehingga
tampak pucat. Anak inti (nukleolus) kadang-kadang satu atau dua, dan jelas.
Cabang yang pendek disebut dendrit, sedang satu cabang yang panjang
(biasanya) disebut neurit. Sitoplasmanya disebut neuroplasma, di dalamnya terdapat
benang-benang halus yang disebut neurofibril. Selain neurofibril, dalam neuroplasma
terdapat butir-butir yang berwarna biru lembayung, kasar pada sel-sel saraf yang
besar atau halus pada sel-sel saraf yang kecil dan disebut substansia Nissl. Pada
pangkal neurit tidka mengandung substansia Nissl disebut Axon Hillock. Substansia
Nissl merupakan kelompokan retikulum endoplasma kasar (granular endoplasmic
reticulum). Dalam neuroplasma terdapat banyak sekali ribosom bebas. Bila neuron
mengalami trauma kemudian putus, maka substansia Nissl akan hilang dan/atau
berkurang yang disebut kromatolisis. Bagian distal yang putus tersebut mengalami
degenerasi dan hilang, disebut degenerasi Waller. Susunan saraf pusat, susunan
saraf tepi, dan susunan saraf otonom disokong oleh neuroglia, jadi neuroglia
menopang seluruh saraf.
Berdasarkan panjangnya percabangan neuroplasma, neuron digolongkan
menjadi:
Neuron Golgi tipe 1
Neuron Golgi tipe 2
Berdasarkan fungsinya, neuron dibagi menjadi: neuron motorik (eferen),
interneuron, dan neuron sensorik (aferen)
Neuroglia merupakan jaringan penyokong pada jaringan saraf. Pada susunan
saraf tepi adalah sel schwann dan sel satelit. Pada susunan saraf pusat yaitu:
1. Astroglia (Astrosit)
Bentuk astrosit seperti bintang, punya banyak cabang-cabang protoplasma.
Ada dua macam yaitu astrosit protoplasmatis dan astrosit fibrosa baik di
otak maupun di medula spinalis.
2. Oligodendroglia
Mempunyai sedikit cabang protoplasma, inti bulat, lebih kecil dari pada inti
astrosit, sebagai satelit perineural, berfungsi untuk mielinisasi di susunan
saraf pusat. Lokasinya di substansia grisea dan substansia alba SSP. Karena
banyaknya oligodendroglia, maka dalam SSP, ada pembuluh darah yang
rapat sehingga tidak dapat ditembus oleh partikel-partikel sehingga disebut
blood brain barrier.
3. Mikroglia (sel Hortega)
Merupakan sel yang paling kecil dari seluruh neuroglia, inti gepeng sampai
lonjong. Protoplasma pada kedua ujungnya bercabang tebal. Fungsi sel ini
selain menyokong juga sebagai makrofag, memfagosit benda-benda asing
yang terdapat dalam jaringan saraf. Mikroglia berasal dari mesodermal,
terdaapat di substansia alba dan grisea, letaknya perivaskular.
4. Sel Ependim
Terdapat pada kanalis sentralis medula spinalis, berbentuk torak/silindris.
Meninges pada medula spinalis terdiri dari tiga lapisan:
Duramater
Merupakan selaput paling keras dan kaku, tersusun atas jaringan
penyambung padat fibrosa.
Arachnoidemater
Tersusun atas jaringan penyambung padat kolagen yang lebih tipis,
membentuk cabang-cabang ke dalam yang disebut trabekula. Trabekula
ini melekat pada selaput lunak yaitu piamater. Di antara trabekula ada
celah-celah yang disebut ruangan subarachnoid dan ruangan-ruangan ini
terisi oleh CSF/LCS.
Piamater
Tersusun dari serat kolagen yang lebih halus dan tidak berhubungan
langsung dengan neuron-neuron cortex cerebri, sebaliknya dia
berhubungan langsung dengan prosesus (kaki-kaki astrosit) dan
membentuk suatu membran yaitu lapisan pia-glia. Jadi jaringan saraf
pusat ini seolah-olah terapung pada LCS yang berguna untuk mencegah
benturan (absorber). Lapisan pia-glia ini adalah lapisan yang mencegah
masuknya benda-benda
PEMERIKSAAN FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS
A.Pemeriksaan Reflek Fisiologis
Pemeriksaan reflek fisiologis dilakukan pada kasus orang yang mudah lelah,
sulit berjalan, kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan atrofi otot
anggota gerak , nyeri punggung atau pinggang dan gangguan fungsi otonom.
Dasar pemeriksaan reflek :
a. Pemeriksaan menggunakan alat reflek hammer
b. Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai, sehingga gerakan otot
akan dapat mucul secara optimal.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, keras pukulan harus
dalam batas nilai ambang tidak perlu terlalu keras.
d. Karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus
dalam keadaan sedikit kontraksi.
Jenis-jenis pemeriksaan reflek fisiologis :
Pemeriksaan Reflek pada Lengan
Pemeriksaan Reflek Biseps
a. Pasien duduk dengan santai, lengan dalam keadaan lemas, siku dalam posisi
sedikit fleksi dan pronasi.
b. Letakkan ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, lalu pukul ibu jari tadi
dengan menggunakan reflek hammer.
c. Reaksinya adalah fleksi lengan bawah
Pemeriksaan Reflek Triseps
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep
b. Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep
tidak terabategang) pukullah tendon yang lewat di fossa olekranon.
c. Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.
Pemeriksaan Reflek pada Tungkai
Pemeriksaan Reflek Patella
a. Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
b. Daerah kanan-kiri tendon patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan
daerah yang tepat.
c. Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang
lain memukul tendon patella tadi dengan reflek hammer secara tepat.
d. Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,
dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak
untuk kemudian berayun sejenak, apabila pasien tidak mampu duduk, maka
pemeriksaan reflek patella dapat dilakukan dalam posisi berbaring.
Pemeriksaan Reflek Achiles
a. Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring atau dapat pula
penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di
luar kursi pemeriksaan.
b. Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achilles dengan cara
menahan ujung kaki ke arah dorso fleksi.
c. Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
d. Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak
B. Pemeriksaan Reflek Patologis
Pemeriksaan reflek patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai
pada individu normal. Reflek patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan,lebih
mudah muncul, lebih reliable dan lebih mempunyai korelasi secara klinis
dibandingkan pada ektremitas atas.
Dasar pemeriksaan reflek :
a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan reflek ekstremitas atas, bisa
juga dengan menggunakan reflek hammer.
b. Pasien harus dalam posisi enak dan santai.
c. Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung.
Jenis-jenis pemeriksaan reflek patologis :
1. Reflek Hoffman Trommer
Cara pemeriksaan, tangan penderita dipegang pada pergelangannya dan pasien
melakukan fleksi ringan pada jari-jarinya, kemudian jari tengah pasien
diregangkan dan dijepit diantara jari telunjuk dan jari tengah pemeriksa.
Kemudian lakukan:
a. Hoffman “ Goresan” , pada ujung jari tengah pasien lakukan reaksi fleksi dan
adduksi ibu jari disertai dengan fleksi telunjuk dan jari-jari lainnya.
b. Tromner “ Colekan”, pada ujung jari pasien maka akan muncul reaksi yang
sama dengan Hoffman.
2. Reflek Babinski Sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu reflek.
Reaksi yang terjadi pada penderita dorsofleksi ibu jari kaki disertai
plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya.
Reflek Babinski, di antaranya :
a. Cara Chaddock
Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah
lateral dengan palu reflek ujung tumpul.
b. Cara Gordon
Pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat.
c. Cara Schaefer
Pemeriksa menekan tendon Achilles dengan kuat.
d. Cara Oppenheim
Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada
permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal.
Interpretasi pada pemeriksaan patologis normal (-)
asing ke dalam jaringan SSP
top related