presus emboli
Post on 15-Jan-2016
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Para 3 Abortus 1 Usia 37 Tahun Post Partus Spontan Patologis Dengan Ekstraksi Vakum Atas Indikas IUFD (Intra Uterine Fetal Death) Dengan
Emboli Air Ketuban dan Gagal Napas.
Pembimbing:
dr. Hardjono Poerwadhi, Sp.OG
Disusun Oleh :
Shofa Shabrina Henandar (G4A014004)Sarah Shafira Aulia R. (G4A014005)Yanita Gea Nurillah (G4A014006)
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2015
PRESENTASI KASUS
Para 3 Abortus 1 Usia 37 Tahun Post Partus Spontan Patologis Dengan Ekstraksi Vakum Atas Indikas IUFD (Intra Uterine Fetal Death) Dengan
Emboli Air Ketuban dan Gagal Napas.
Disusun oleh :
Shofa Shabrina Henandar (G4A014004)Sarah Shafira Aulia R. (G4A014005)Yanita Gea Nurillah (G4A014006)
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal, 2015
Pembimbing,
dr. Hardjono Poerwadhi, Sp.OG
BAB I
PENDAHULUAN
Ovarium melekat pada ligamentum latum melalui mesovarium.Ligamentum
utero-ovarika memanjang dari bagian lateral dan posterior uterus, tepat di bawah
insersi tuba, ke uterus atau kutub bawah ovarium.Ovarium ditutupi oleh peritoneum
dan terdiri dari otot serta jaringan ikat yang merupakan sambungan dari
uterus.Ligamentum infundibulopelvikum atau ligamentum suspensorium ovarii
memanjang dari bagian atas kutub tuba ke dinding pelvis yang dilewati pembuluh
ovarika dan saraf. (Wiknjosastro et al, 2009).
Kista ovarium merupakan perbesaran sederhana ovarium normal, folikel de
graff atau korpus luteum atau kista ovarium dapat timbul akibat pertumbuhan dari
epithelium ovarium (Dorland et al,2002).
Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun yang besar, kistik
atau padat, jinak atau ganas yang berada di ovarium.Dalam kehamilan, tumor
ovarium yang dijumpai paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista
lutein.Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin
dalam rahim atau dapat menghalang – halangi masuknya kepala ke dalam panggul
(Wiknjosastro et al, 2009).
Kistoma ovari adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya
bertangkai, bilateral dan dapat menjadi besar.Dinding kista tipis berisi cairan serosa
dan berwarna kuning. Pengumpulan cairan tersebut terjadi pada indung telur atau
ovarium (Mansjoer et al, 2000)
Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik dan non
neoplastik .Kista ovarium merupaka salah satu tumor jinak ginekologi yang paling
sering di jumpai pada wanita dimasa reproduksinya. Sebagian besar kista terbentuk
karena perubahan kadar hormon yang terjadi selama siklus haid, produksi dan
pelepasan sel telur dari ovarium. Kista ovarium adalah benjolan yang membesar,
seperti balon berisi cairan yang tumbuh di ovarium (Siringo et al, 2012).
Menurut statistik kanker US, kejadian dan laporan kematian, 20.095
perempuan di amerika serikat mengetahui bahwa mereka menderita kanker ovarium,
60.600 wanita di inggris setiap tahun sekitar 1500 di australia dan 2.300 di kanada.
Tingkat kematian untuk penyakit ini tidak banyak berubah dari 50 tahun terakhir.
Angka kejadian penyakit kista ovarium di indonesia belum di ketahui dengan pasti
karena pencatatan dan pelaporan yang kurang baik (Siringo et al, 2012).
BAB II
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Usia : 37 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Mersi 04/06 Purwokerto Timur
Tanggal/Jam Masuk :13 Maret 2015/ Pukul 14.58 WIB
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Autoanamnesa
Tidak merasakan adanya gerakan janin.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke VK IGD RS. Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto
dengan membawa surat rujukan dari Klinik Vira Medika Purwokerto pada hari
Jumat, 13 Maret 2015 pukul 14.58 WIB. Pasien datang dengan Gravida 4 Para 2
Abortus 1 usia 37 tahun usia kehamilan 39 minggu 6 hari suspek IUFD (Intra
Uterine Fetal Death). Pasien belum merasakan kenceng-kenceng, tidak ada
lendir/darah, dan belum terdapat pengeluaran air. Hari pertama haid terakhir
pasien pada tanggal 7 Juni 2014 dan pasien mengaku memiliki haid yang teratur
1 bulan sekali serta mengalami perdarahan selama 7 hari dengan jumlah darah
yang relatif normal. Hari perkiraan lahir pasien pada tanggal 14 Maret 2015.
Pasien rutin melakukan ANC secara teratur di bidan. Riwayat obstetri gravida 4
para 2 abortus 1, anak pertama Abortus/2 bulan/kuret/RSMS, anak kedua
Perempuan/10 tahun/spontan/bidan/3,3 kg, anak ketiga Perempuan/3
tahun/spontan/bidan/3,5 kg, anak keempat hamil ini. Riwayat KB pernah
menggunakan KB suntik dan pasien menikah sebanyak satu kali selama 12
tahun.
Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat hipertensi sebelum hamil : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat kejang : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal
h. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suaminya
yang bekerja sebagai wiraswasta. Kebutuhan hidup sehari-hari diakui tercukupi
oleh penghasilan suami. Pasien berobat ke Rumah Sakit Margono Soekarjo
dengan menggunakan BPJS-NON PBI.
3. PEMERIKSAAN FISIK 13/3/2015
Pemeriksaan Fisik Umum
Status Pasien:
- Keadaan umum : Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu badan : 36 ºC
- Tinggi badan : 155 cm
- Berat badan : 41 kg
- Gizi : Cukup
- Mata : Konjungtiva palpebra mata kanan dan kiri tidak
anemis, tidak ada sklera ikterik pada mata kanan
dan kiri.
- Telinga : Tidak ada ottorhea.
- Hidung : Tidak keluar sekret
- Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis
- Leher :Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris
(tidak ada gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada
retraksi spatium intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung gravid
Auskultasi : Bising usus (+) normal DJJ (-)
Perkusi : Pekak janin
Palpasi : TFU 30 cm
L1: bokong
L2: punggung kiri
L3: kepala
L4: divergen
Pemeriksaan ekstrimitas
Tidak tampak sianosis, akral hangat, tidak terdapat edema
Pemeriksaan Genitalia Eksterna
a. Perdarahan pervaginam
Tidak ada
b. Keputihan
Tidak ada
4. Diagnosis di VK IGD
Gravida 4 Para 2 Abortus 1 usia 37 tahun hamil 39+6 minggu belum inpartu
suspek IUFD.
5. Sikap dan Penatalaksanaan
VK IGD / Pre Operatif
1. Pemeriksaan Darah Lengkap, Protrombin Time (PT), dan APTT.
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium 13/3/2015
PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI NORMAL
Darah LengkapHemoglobin 13,0 12 - 16 g/dlLeukosit 11570 4800 - 10.800/µlHematokrit 35 37 - 47 %Eritrosit 4,1 4,2 – 5,4/ µlTrombosit 238.000 150.000 – 450.000MCV 86,1 79,0 – 99,0 fLMCH 31,6 27,0 – 31,0 pgMCHC 36,7 33,0 – 37,0 %Hitung JenisBasofil 0,5 0 – 1 %Eosinofil 2,4 2 – 4 %Batang 5,2 2 – 5 %Segmen 66,7 40 – 70 %Limfosit 17,7 25 – 40 %Monosit 7,5 2 – 8 %Uji KoagulasiPT 9,3 11,5 – 15,5 detikAPTT 29,7 25 – 35 detik
2. USG
Hasil: Intra Uterine Fetal Death (IUFD).
Diagnosis pre operatif:
Gravida 4 Para 2 Abortus 1 usia 37 tahun hamil 39+6 minggu belum inpartu dengan
IUFD.
VK
Tabel 3. Catatan Perkembangan Pasien di VK
Tanggal Tindakan SOAP
13 Maret 201517.30
18.0018.3019.00
Pasien datang dari VK IGDTD 110/70 mmHg N 88 x/mPemberian Gastrul ¼ tab per vaginam yang pertamaHis (-) N 88 x/mHis (-) N 84 x/m
19.3020.0020.3021.0021.3022.0022.3023.0023.30
14 Maret 201500.00
00.3001.0001.3002.0002.3003.0003.3004.0004.3005.0005.3006.00
06.30
07.00
07.30
08.0008.3009.00
09.30
His 1x/10’/10’’ N 84 x/mHis 1x/10’/10’’ N 88 x/mHis 1x/10’/10’’ N 84 x/mHis 1x/10’/10’’ N 84 x/mHis 1x/10’/10’’ N 84 x/mHis 1x/10’/10’’ N 80 x/mHis 1x/10’/10’’ N 80 x/mHis 1x/10’/10’’ N 82 x/mHis 1x/10’/10’’ N 80 x/m
His 1x/10’/10’’ N 80 x/mVT Ø 1 cm, KK (+), kepala Hodge I, portio teballunakHis 1x/10’/10’’ N 80 x/mHis 1x/10’/10’’ N 82 x/mPasien tidur
His 1x/10’/10’’ N 82 x/mHis 1x/10’/10’’ N 80 x/mHis 1x/10’/10’’ N 84 x/mHis 1x/10’/10’’ N 82 x/mVT Ø 1 jari longgar, KK (+), kepala Hodge I, portio lunakInstruksi: Piton dripHis 1x/10’/10’’ N 80 x/m TD 120/80 mmHg
His 1x/10’/10’’ N 82 x/m
His 1x/10’/10’’ N 84 x/m
His 1x/10’/10’’ N 82 x/mHis 1x/10’/10’’ N 82 x/mHis 1x/10’/20’’ N 80 x/mKetuban pecah spontan, warna keruhVT Ø 1-2 cm, KK (-), kepala Hodge I, portio lunakPasien tiba-tiba merasa sesak, cyanosis (+), nadi kecilVT Ø 8 cm, kepala Hodge II
Gastrul ¼ tab per vaginam yang kedua
IVFD RL 8 tpmDrip Oksitosin 5 IU
IVFD RL 12 tpmDrip Oksitosin 5 IUIVFD RL 16 tpmDrip Oksitosin 5 IUIVFD RL 20 tpmDrip Oksitosin 5 IU
Bebaskan jalan napasOksigenasiStop drip oksitosin
09.50
09.30
RR menurun, cyanosis, nadi tidak terabaLapor dr. Hardjono, Sp. OGInstruksi: RJP, rawat ICUKonsul dr. Iwan, Sp.AnInstruksi: rawat ICUPasien diantar ke ICURR 30 x/m irreguler, nadi kecilPasien tiba di ICUInstruksi dr. Hotland: Cek lab, usaha darah
RJP
ICU
Tabel 4. Catatan Perkembangan Pasien di ICU
Tanggal SOA P
14 Maret 201511.00
11.15
Pasien masuk ICU, dilakukan intubasi dan pemasangan ventilatorKU buruk, kesadaran somnolenTD 110/70 mmHg N 112 x/mRR 2x/m S 36,8
Ass: G4P2A1 usia 37 tahun hamil 40 minggu janin mati intra uterin presentasi kepala, punggung kiri, inpartu kala II, dengan IUFD, usia tua, dan emboli air ketuban.
S: perdarahan (+)O: KU buruk, kesadaran somnolenPx inspekulo/VT:Vesica urinaria: tidak ada kelainanVagina: laserasi vaginaPortio: dalam batas normal
VT Ø 10 cmKepala turun Hodge IIIUUK DepanDilakukan ekstraksi forcepsLahir bayi perempuan, BBL 2900 gr , APGAR score -, lilitan eratdi leher, dilanjutkan manual plasenta, lahir plasenta, kotiledon lengkap infark (-) hematom (-)
12.00
12.3012.35
TFU 3 jari dibawah pusat, konsistensi lembekPerdarahan masih berlangsungUsaha darah PEC 4 kolfPasien apneuPasien dinyatakan meninggal dunia
RJP, baggingMerawat jenazah
6. Diagnosis Akhir
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat di Poli Kebidanan adalah P3A0 usia 25 tahun
dengan kista ovarium pro explorasi laparotomi. Beberapa hal yang perlu dibahas
berkaitan dengan diagnosis ini antara lain :
a. Riwayat obstetri P0A0 : nulli gravida, tidak pernah memiliki riwayat melahirkan
dan abortus sebelumnya (Cunningham et al, 2006).
b. Usia 25 tahun merupakan usia reproduksi yang ideal. Usia ini merupakan usia
yang sehat untuk kehamilan dan persalinan karena usia reproduksi sehat yang
aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. (Winkjosastro, 2009).
c. Kista Ovarium
Kista ovarium merupakan perbesaran sederhana ovarium normal, folikel de graff
atau korpus luteum atau kista ovarium dapat timbul akibat pertumbuhan dari
epithelium ovarium (Dorland et al,2002).
Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun yang besar, kistik atau
padat, jinak atau ganas yang berada di ovarium.Dalam kehamilan, tumor ovarium
yang dijumpai paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista
lutein.Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin
dalam rahim atau dapat menghalang – halangi masuknya kepala ke dalam panggul
(Wiknjosastro et al, 2009).
Kistoma ovari adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya
bertangkai, bilateral dan dapat menjadi besar.Dinding kista tipis berisi cairan
serosa dan berwarna kuning. Pengumpulan cairan tersebut terjadi pada indung
telur atau ovarium (Mansjoer et al, 2000)
d. Explorasi Laparotomi
Laparotomi adalah salah satu jenis tindakan pembedahan berupa insisi dinding
abdomen. Laparotomi eksplorasi adalah tindakan laparotomi dengan tujuan
memperoleh informasi yang tidak tersedia melalui metode diagnosis klinis.
Setelah patologi yang mendasari ditentukan, laparotomi eksplorasi dapat
diteruskan sebagai prosedur terapi atau mungkin untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Beberapa teknik laparotomi yaitu midline incision, paramedium
incision, transverse upper abdomen incision dan transverse lower abdomen
incision (Bruicardi et al, 2010).
Rencana program di ruangan adalah explorasi laparotomi dan akan menunggu
hasil biopsi PA untuk terapi selanjutnya. Pada saat tindakan operatif, dilakukan
tindakan Salfingo Ooforektomi dextra dan Adhesiolisis luas. Pada saat dilakukan
tindakan tersebut, didapatkan massa di ovarium kanan. Dilakukan tindakan pungsi
sebanyak 10cc untuk dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi, kemudian
dilakukan pengkatan ovarium kanan. Sedangkan ovarium kiri dalam batas normal.
Tindakan SOD + Adhesiolisis ini sudah tepat, dikarenakan massa kista yang
sudah membesar lebih dari 8 cm, dan adanya perlengketan dengan organ
sekitarnya. Tidak dilakukan tindakan BSO dikarenakan ovarium yang satu lagi
masih normal serta dipertimbangkan dari riwayat obstetri pasien.
Salpingo-ooforektomi adalah pemotongan tuba fallopi (salpingectomy)
dan ovarium (ooforektomi). Sebuah unilateral salpingo-ooforektomi tepat untuk
pasien yang ovariumnya tidak dapat dipertahankan, termasuk kasus kehamilan
ektopik terganggu yang mengalami ruptur yang mengalami hemodinamik tidak
stabil, torsi adneksa di mana ovarium dan tuba yang mengalami nekrotik, sebuah
abses tuba ovarium yang tidak mengalami perbaikan antibiotik (Ward et al,
2015).
Indikasi Salpingo-ooforektomi
- Elektif : Operasi pembedahan pengangkatan ovarium dan tuba
secara bersamaan yang secara umum untuk histerektomi untuk
penyakit jinak, untuk mengurangi risiko bertambahnya kelainan
ovarium.
- Keganasan : kanker ovarium, kanker uterus, atau metastasis ke
ovarium dari keganasan primer jauh seperti karsinoma
gastrointestinal, payudara dan paru
- Kehamilan ektopik terganggu
- Abses tubovarian
- Endometriosis
Kontra indikasi Salpingo-ooforektomi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk salpingo-ooforektomi. Risiko prosedur
harus dipertimbang terlebihdahulu terhadap manfaat potensial untuk setiap
pasien (Ward et al, 2015).
Pada pasien ini didapatkan keluhan nyeri saat haid, nyeri pada pelvis, dan
nyeri saat senggama. Pasien ini juga berada pada usia subur, dimana usia subur
merupakan salah satu faktor resiko endometriosis. Pada pemeriksaan usg
didapatkan hasil tampak massa kistik multiokuler densitas heterogen dengan
ukuran 8,49 x 7,11. Pada saat dilakukan tindakan operatif didapatkan ovarium
kanan mengalami pembesaran bersifat kistik dan mengalami perlengketan
dengan organ sekitar. Setelah diidentifikasi kista tersebut berisi cairan berwarna
kecoklatan, sehingga diagnosis akhir pada pasien ini yaitu P0A0 Usia 25 tahun
post salphingo ooferektomi dextra a/i kista coklat.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Endometriosis
1. Definisi
Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium
yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan
ginekologi. Salah satu dari kista coklat yang paling memberikan dampak
klinis adalah kista endometriosis atau sering disebut endometrioma.
Prevalensi endometriosis pada ovarium masih belum pasti diketahui. Namun
kasus endometriosis sendiri dikatakan sering terjadi pada sekitar 5–15%
wanita usia reproduktif pada populasi umum (Djuwantoro, 2008 dan
Valentine et al, 2010).
Endometriosis adalah ditemukannya jaringan menyerupai
endometrium di luar uterus yang dapat memicu reaksi peradangan kronis.
Kondisi seperti ini terutama ditemukan pada para wanita yang berada di usia
reproduktif dari berbagai etnik dan golongan sosial. Gejala-gejalanya dapat
mempengaruhi fisik, mental, dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, sangat
penting untuk memperhatikan keluhan dan memberikan waktu kepada mereka
yang dicurigai menderita endometriosis untuk mengungkapkan keluh-kesah
mereka. Akan tetapi, kadang-kadang wanita penderita endometriosis mungkin
tidak menunjukkan gejala sama sekali. Oleh sebab itu, penemuan adanya
endometriosis pada beberapa kasus didapat secara kebetulan (Djuwantoro,
2008 dan Valentine et al, 2010).
2. Epidemiologi
Pada umumnya endometriosis paling sering ditemukan pada usia
reproduksi. Prevalensi endometriosis asimptomatik yaitu sekitar 4% pada
wanita yang menjalani bedah untuk sterilisasi elektif. Sebagian besar
perkiraan prevalensi endometriosis berkisar antara 5%-20% diantara wanita
dengan nyeri pelvis dan antara 20%-40% di antara wanita infertil; prevalensi
umum berkisar antara 3%-10% pada wanita usia reproduktif (Bulun, 2009).
3. Patogenesis
Hingga kini penyebab pasti endometriosis belum diketahui secara pasti
menurut Burney et al 2012 dan Sourial et al 2014.
a. Menstrausi Retrograde
Refluxnya Fragmen endometrium yang terimplantasi ke dalam
mesotelium, cavum peritonium melalui tuba oleh karena kontraksi uterus
yang tidak normal. Sehingga terjadinya stress oksidatif dimana mutasi
terjadi oleh tumor supresor gen pada organ yang terimplantasi oleh
fragmen endometrium tersebut
b. Penyebaran limfatik dan hematogen
Metastasis jaringan endometrium ektopik yang jinak adalah hasil melalui
penyebaran limfatik dan hematogen. Aliran mikrovaskular dari limfe ke
uterus sehingga masuk ke dalam ovarium. Sihingga dapat memberikan
kesimpulan bahwa sistem limfatik dapat menyebabkan ovarium
endometriosis
c. Metaplasia
Teori dari metaplasia coelomic. Diketahui bahwa peritoneum pelvis,
epitel germinal dari ovarium, dan saluran mullerian berasal dari epitel
coelemic., terjadi transformasi dari dari sel-sel peritoneum menjadi sel
epitel saluran mullerian. infeksi atau rangsangan induktif lainnya dapat
menyebabkan terjadinya metaplasia yang menyebabkan terjadinya
endometriosis ektopik pada pelvis. Tipe dari transformasi ini dapat
menyebabkan endometriosis pada permukaan ovarium.
d. Genetik
Genetik merupakan salah satu faktor terjadinya endometriosis, karena
endometriosis memiliki mode poligenic yang dapat di wariskan, yang
mungkin dapat melibatkan beberaba lokus dan kromosom yng memiliki
kesamaan fenotip.
e. Hormonal
Hormon steroid memiliki peran penting untuk terjadinya endometriosis,
karena itu terlihat pada wanita di usia subur dan tidak di jumpai pada
wanita yang sudah memasuki masa menopause yang tidak memakai obat
obatan hormonal. Estrogen dapat menyebabkan proliferasi endometrium,
lesi ektopik mungkin dapat meningkatkan respon terhadap estrogen,
sehingga dapat menyebabkan endometriosis. Racun lingkungan, seperti
dioxin, yang berimplikasi dalam etiologi endometriosis, yang mungkin
meniru estrogen melalui interaksi dengan reseptor estrogen.
4. Klasifikasi endometriosis
klasifikasi untuk endometriosis menurut american society for
reproductive medicine tahun 1996 menggunakan skoring revised-AFS (r-
AFS). Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni:
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014)
- Stadium I (minimal) : 1-5
- Stadium II (ringan) : 6-15
- Stadium III (sedang) : 16-40
- Stadium IV (berat) : >40
Gambar 1. Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM, revisi 1996
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014)
Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4
derajat keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel
endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014).
Gambar 2. Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2014)
B. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa endometriosis, dibuat atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Endometriosis merupakan penyebab utama dari nyri pelvis pada
gangguan ginekologi, prevalensi nyeri pelvis mencapai 70 % - 90 % pada
kasus endometriosis. Wanita dengan endometriosis meningkatkan faktor
resiko terjadinya nyri pelvis, disminorea, dispareunia, dischezia dan
infertilitas (The Practice Commitee Of The American Asosiety For
Reproductive Medicine, 2014 ; Mounsey Al et al, 2006 dan Sourial et al
2014).
a. Nyeri pelvis
Terdapat tiga penyebab utama dari nyeri pelvis pada kasus endometriosis
yaitu :
- Produksi dari pertumbuhan substansi sitokin dimana dapat
mengaktifkan makrofag yang dapat mengiritasi dinding pelvis.
- Efek langsung maupun tidak langsung dari penempelan jaringan
peluruhan endometrium pada diding pelvis.
- Iritasi dari dinding pelvis oleh karena penempelan jaringan
endometrium yang luruh pada dinding pelvis
b. Disminorea, Dispareunia, dan Dischezia
Wanita dengan endometriosis dilaporkan lebih sering mengeluhkan nyeri
yang berdenyut, menjalar sampai ke. Di karenakan terjanya penempelan
jaringan endometrium pada ligamen uterosekal, itu kadang bisa
menginfasi rektum sehingga menyebabkan terjadinya dischezia.
Penempelan tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada daerah tersebut
dan dapat menekan saraf pada dinding pelvis sehingga dapar
menyebabkan disminorea dan dispareunia.
c. Infertilitas
Endometriosis memiliki hubungan dengan terjadinya infertilitas salah
satunya dissebabkan oleh adhesi yang mendistorsi anatomi panggul dan
menyebabkan gangguan pelepasan ovum dan penangkapan ovum oleh
fimbrae. Distorsi bukan penyebab utama, Mounsery et al pada tahun 2006
mengatakan pasien dengan endometriosis memiliki cadangan ovarium yang
sedikit dengan oosit dan kualitas embrio yang rendah (The Practice Commitee
Of The American Asosiety For Reproductive Medicine, 2014 ; Mounsey Al et
al, 2006 dan Sourial et al 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan
inspeksi pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan
pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat
menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina
diperlukan untuk mempalpasi ligamentum uterosekal dan septum rektovagina
untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid
dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga
menilai nyeri (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
endometriosis adalah ultrasonografi, laparoskopi dan pemeriksaan
laboratorium (Mounsey Al et al, 2006).
Ultrasonografi
Diagnosis endometriosis dengan pencitraan ultrasonografi adalah
ditemukannya karakteristik endometrioma yaitu adanya internal echoe yang
difus dengan derajat rendah dan fokus hiperechoic pada dinding kista. Positif
palsu dapat terjadi pada kasus korpus luteum dan kista lutein, teratoma atau
dermoid kstadenoma, fibroid ovarium, tubo-ovarian abscess dan karsinoma
ovarium (Mounsey Al et al, 2006).
Gambar 3. Gambaran ultrasonografi
Laparoskopi
Laparoskopi merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis
endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen
yang terdapat lesi ektopik endometrium. Pada laparoskopi akan terlihat
makrofag hemosiderin laden atau epitel endometrium ektopik dan struma
(Mounsey Al et al, 2006).
Gambar 4. Laparoskopi
C. Tatalaksana nyeri endometriosis.
1. Medikamentosa
Terapi medis empiris biasanya dimulai untuk mengontrol rasa sakit
tanpa pembedahan. Terapi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit
termasuk meminimalkan peradangan, mengganggu atau menekan produksi
hormon ovarium siklik, menghambat dan sintesis dari estradiol, dan
mengurangi atau menghilangkan menstruasi (Guideline of the European
Society of Human Reproduction and Embryology. 2013 ; Guidice, 2010 dan
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014)
NSAID
Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) merupakan first line terapi
untuk meredakan dismenore.
Pil kontrasepsi kombinasi
Pil kontrasepsi kombinasi seperti cyclic juga dapat meredakan disminore.
Pada keadaan dismenore parah, yang sudah mendapatkan obat kombinasi
cyclic, bisa beralih ke second line pil kontrasepsi kombinasi seperti
continous. Pil kontrasepsi kombinasi bekerja dengan cara menekan LH dan
FSH serta mencegah terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi munculnya
keadaan pseudo-pregnancy
Progestin
Medroxyprogesterone acetate sama efektifnya dengan pil kontrasepsi
kombinasi, tetapi progesteron memilik efek antimitotik terhadap sel
endometrium sehingga memiliki potensi dalam pengobatan endometriosis.
Progestin turunan 19-nortestosteron seperti dienogest memiliki kemampuan
utnuk menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2
pada kultur sel endometriosis.
GnRH
GnRH agonis efektif dalam mengurangi sensitifitas hipofisis maka terjadilah
down regulation dimana akan menyebabkan hipogonadotropin dan dapat
menghampat sintesis, sehingga dapat mengenggu siklus menstruasi sehingga
menyebabkan hipoestrogen, atropi endometrium dan amenore. GnRH dapat
bekerja langsung pada jaringan endometriosis. Hal ini dibuktikan dengan
adanya reseptor GnRH pada endometrium ektopik. Kadar mRNA reseptor
estrogen (ERa) menurun pada endometriosis.
Danazol
Danazol adalah androgen sintetik, Danazol dapat menginduksi amenorea
melalui supresi terhadap Hipotalamus Pituitari Ovarium (HPO), inhibisi
steroidogenesis ovarium dan mencegah proliferasi endometrium dengan
mengikat reseptor androgen dan progesteron pada endometrium dan implan
endometriosis. Sintetik androgen ini juga dapat menurunkan produksi High
Density Lipoprotein (HDL), produksi Steroid Hormone Binding Globulin
(SHBG) di hepar, serta dapat menggatikan posisi testosteron di SHBG,
sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi testosteron bebas, atrofi
endometrium dan implan endometriosis dikarenakan kadar estrogen yang
rendah dan androgen yang tinggi.
2. Pembedahan
Pembedahan pada kasus endometriosis bisa menjadi pilihan
selanjutnya ketika terapi obat obatan gagal. pembedahan di tujukan untuk
ablasi atau eksisi sekitar 1,5-2 cm bagian ligamentum sakrouterina di insersi
serviks. Dengan cara memposisikan uterus anteversi menggunakan
manipulator uterus, mengidentifikasi ligamentum uterosakral yang kemudian
salah satu atau keduanya dipotong dekat dengan insersinya di serviks.
Sebagian kecil ligamen diambil untuk pemeriksaan histologi patologi
anatiomi dan konfirmasi adanya serabut saraf didalamnya. Di harapkan
terputusnya serabut saraf pada ligamentum uterosekal sehingga nyeri akan
berkurang atau hilang (Guideline of the European Society of Human
Reproduction and Embryology. 2013 ; Guidice, 2010 dan Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2014)
BAB V
KESIMPULAN
1. Para 0A bortus0 Usia 25 tahun post salphingo ooferektomi dextra a/i kista coklat
2. Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium yang
paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi. Salah
satu dari kista coklat yang paling memberikan dampak klinis adalah kista
endometriosis atau sering disebut endometrioma. Prevalensi endometriosis pada
ovarium masih belum pasti diketahui. Namun kasus endometriosis sendiri
dikatakan sering terjadi pada sekitar 5–15% wanita usia reproduktif pada
populasi umum.
3. Penyebab terjadinya endometriosis adalah menstruasi retrograd, metaplasia,
stress oksidatif, hormon, limfatik vaskularisasi, defisiensi imun, apoptosis
genetik dan stem sell.
4. klasifikasi untuk endometriosis menurut american society for reproductive
medicine tahun 1996 menggunakan skoring revised-AFS (r-AFS). Dalam sistem
ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni
- Stadium I (minimal) : 1-5
- Stadium II (ringan) : 6-15
- Stadium III (sedang) : 16-40
- Stadium IV (berat) : >40
5. Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat
keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel
endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium
6. Untuk menegakkan diagnosa endometriosis, dibuat atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan penunjang.
7. Gejala klinis endometriosis adalah nyri pelvis, disminorea, dispareunia,
dischezia dan infertilitas
8. Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada
vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual
dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan
mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk mempalpasi
ligamentum uterosekal dan septum rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya
nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang
mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri
9. Terapi medikamentosa pada endometriosis adalah NSAID, Pil kontrasepsi
kombinasi, progestin, GnRH dan danzol. Pembedahan pada kasus endometriosis
bisa menjadi pilihan selanjutnya ketika terapi obat obatan gagal.
DAFTAR PUSTAKA
Bruicardi, Charles. 2010. Schwartz’s principles of surgery. Edisi 9. USA: The
McGraw-Hill Companies.
Bulun SE. 2009. Mechanisms of Disease Endometriosis. The new england journal of
medicine. 360;3 : 268-279.
Burney RO, Giudice LC. 2012. Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis.
Fertility and Sterility: American Society for Reproductive Medicine. 15 : 1 –
9.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD,
2006.Kehamilan Multi Janin. Dalam: Hatono A, Suyono YJ. Pendit BU.
Obstetri Williams.Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Djuwantoro T, 2008. Diagnosis endometriosis dalam praktik. Bagian Ilmu Kebidanan
dan Penyakit Kandungan FK UNPAD, RS dr. Hasan Sadikin, Bandung : 1 -
12
Dorland N. Dalam: Hartanto H, Koesoemawati H, Salim IN. 2002. Kamus
Kedokteran Dorland, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC;2002.
Giudice LC. 2010. Endometriosis. The New England Journal of Medicine : 362:2389-
2398.
Guideline of the European Society of Human Reproduction and Embryology. 2013.
Management of women with endometriosis. European Society of Human
Reproduction and Embryology. Hal 1- 96
Mounsey Al, Wilgus A, Slawson Dc, 2006. Diagnosis And Management Of
Endometriosis. American Academy Of Family Physicians ;74:594-600, 601-2.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Tumor
Ovarium Neoplastik Jinak. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta
: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 388-9.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2014 . Konsensus Nyeri
Endometriosis; Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan : Hal 1 – 36.
Siringo D, Hiswani, Jemadi. 2012. Karekteristik Penderita Kista Ovarium Yang Di
Rawat Inap Di Rumah Sakit ST Elisabeth Medan Tahun 2008 -2012. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hal 1 – 9.
Sourial S, Tempest N, Hapangama DK. 2014. Theories on the Pathogenesis of
Endometriosis. Hindawi Publishing Corporation International: Journal of
Reproductive Medicine. 179515 : 1 – 9.
The Practice Commitee Of The American Asosiety For Reproductive Medicine,
2014. Treatment Of Pelvic Pain Assosiated With Endometriosis : A
Commitee Opinion. The American Asosiety For Reproductive Medicine. Vol
101 : 4.
Valentine G, Sumapraja K. 2010. Peranan Sel Punca Endometrium dalam
Patogenesis Endometriosis. Cermin Dunia Kedokteran. 177: 269-273
Ward SM, Isaacs C, 2015. Salpingo-Oophorectomy Di unduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1894587-overview Diakses pada 11
Februari 2015.
Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 346-65.
top related