prevalensi toxocariasis pada sapi bali di kabupaten …
Post on 03-Nov-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI
DI KABUPATEN MAROS
SKRIPSI
OLEH
SRI FEBRIANTI T
O 111 11 111
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Hasanuddin University Repository
ii
PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI
DI KABUPATEN MAROS
SRI FEBRIANTI T
O11111111
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Sri Febrianti T
NIM : O111 11 111
Menyatakan dengan sebenanya bahwa :
1. Karya skripsi saya adalah asli.
2. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan
dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
3. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan
seperlunya.
Makassar, 17 November 2015
SRI FEBRIANTI T
v
ABSTRAK
SRI FEBRIANTI T. O 11111111 Prevalensi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Dibimbing oleh Lucia
Muslimin dan Hadi Purnama Wirawan
Toxocariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Toxocara
vitulorum. Toxocara vitulorum memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan
dan menyebabkan kerusakan pada jaringan dan selanjutnya dapat mengakibatkan
gangguan pada proses digesti. Dalam penelitian ini data dianalisis dengan
menggunakan metode deskripsi bertujuan untuk mengetahui prevalensi
toxocariasis pada sapi Bali Kabupaten Maros. Sebanyak 84 sampel feses sapi Bali
dipilih secara systematic random sampling (SRS) pada peternak yang ada di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Penelitian dilakukan pada
tanggal 4 Agustus sampai 28 Agustus 2015. Pengambilan sampel feses segar
dilakukan secara langsung di kandang dan di lapangan yaitu menunggu sapi
defekasi. Pemeriksaan fases menggunakan metode uji apung yang dilakuka di
Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros. Prevalensi
dihitung dengan membagi sampel positif dengan jumlah sampel yang diperiksa
dikalikan 100%. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi toxocariasis pada sapi
Bali Kabupaten Maros sebesar 2,38 %.
Kata Kunci: Toxocariasis, Prevalensi, maros
vi
ABSTRACT
SRI FEBRIANTI T. O 11111111 Prevalence of Toxocariasis on Bali Cattle in
Pucak village, Tompobulu Sub-district, Maros Regency. Suvervised by Lucia
Muslimin and Hadi Purnama Wirawan
Toxocariasis is a disease caused by a Toxocara vitulorum. Toxocara
vitulorum multiplies in the digestive tract and cause further damage to the tissue
and can cause interference of the process digestion. n this study, the data were
analyzed using methods description aims to determine the prevalence of
toxocariasis in Maros regency of Bali cattle. A total of 84 samples of cow feces
Bali selected by systematic random sampling (SRS) on farmers in the village
Pucak, District Tompobulu, Maros. The study was conducted on August 4 to
August 28, 2015. The samples of fresh faeces carried out directly in the cage and
in the field that is waiting cattle defecation. Fases proofing test method dilakuka
floating in the Great Hall of Veterinary Parasitology Laboratory (BBVet) Maros.
The prevalence of positive samples is calculated by dividing the number of
samples tested multiplied by 100%. Results showed the prevalence of toxocariasis
in Maros regency of Bali cattle by 2.38%
Key words: Toxocariasis, prevalence, Maros
vii
KATA PENGANTAR
AssalamuAlaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat
rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi Toxocariasis
Pada Sapi Bali Di Kabupaten Maros”.Skripsi ini disusun untuk memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan/S.KH
dalam program pendidikan strata satu Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa
sangat bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua, Mama Liana, S.Pd dan Bapak Drs. Tahan, S.Pd, M.Pd
yang selalu melimpahkan kasih sayang tak terhingga, suntikan semangat
setiap saat, dukungan tak kenal lelah dan pengorbanan tanpa bisa terbalas
dengan apapun dan sampai kapanpun. Kepada kakakku Fatmawati, S.Pd
dan adikku Jumnengsih yang selalu menjadi penyemangat. Semoga karya
kecil ini dapat menghadirkan senyum terindah di wajah kalian.
2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin yang juga menjadi Penasehat
Akademik dan Pembimbing I penulis.
3. Drh. Hadi Purnama wirawan selaku dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan, arahan serta dukungan yang telah diberikan sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Drh. Sandra Diah Widyana M.Sc, Drh. Sri Utami dan Drh. Adriani Ris,
M.Si selaku dosen penguji dan pembahas atas motivasi, saran dan kritikan
kepada penulis.
5. Seluruh Dosen Pengajar dan staf pengelola pendidikan Program Studi
Kedokteran Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama
proses pendidikan.
viii
6. Seluruh Staf Laboratorium Parasitologi BBVET Maros.
7. Masyarakat Desa Pucak khususnya Dg. Ngeppe sekeluarga dan para
peternak yang telah membantu pengumpulan data penelitian serta informasi-
informasi penting yang dibutuhkan peneliti dan dengan rasa kekeluargaan
menerima dan membantu penulis selama penelitian berlangsung.
8. My best team Musdalifah, Musdalifah Hasyim, dan Suci Amalia. A suka
duka telah dilewati bersama selama pembuatan proposal, pelaksanaan
penelitian hingga penyusunan skripsi
9. Sodara saya Muh. Nuralamzah Litta, ST yang banyak membantu.
10. Sahabat, teman diskusi, berbagi cerita, pemberi nasehat dan semangat,
Wahyuni, Rezky dan Masita.
11. Teman SMA yang selalu mengingatkan dan penyemangat dalam
penyusunan skripsi ini, Argi, Wiwi, Fadhil, Norma dan Dhanti
12. My GOSSIPHOLIC (Amel, unta ulan, peseg ciko) berbagi cerita dan keluh
kesah mengenai skripsi, atas saran dan dukungan kalian.
13. Teman “CARUTU” (Romy dan Decan) yang selalu memberi semangat,
motifasi, dan bantuan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Thank
you very much.
14. Teman-teman CLAVATA mulai dari pojok kiri, kanan dan belakang
sampai yang merasa terpojokkan. Semangat melangkah rekan-rekan
CADOHE, tantangan dan masalah Veteriner sedang menanti KITA
15. Semua pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun agar dalam penyusunan karya berikutnya dapat lebih
baik. Akhir kata, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi setiap jiwa yang
bersedia menerimanya. Amiin ya rabbal alamain.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
I.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 2
I.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
I.5 Hipotesis .............................................................................................. 3
I.6 Keaslian Penelitian .............................................................................. 3
I.7 Kerangka Konsep ................................................................................ 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali ............................................................................................. 5
2.2 Toxocariasis
2.2.1 Etiologi ........................................................................................... 6
2.2.2 Siklus Hidup ................................................................................... 8
2.2.3 Distribusi Penyakit ......................................................................... 9
2.2.4 Patogenesis ..................................................................................... 9
2.2.5 Gejala Klinis................................................................................... 10
2.2.6 Diagnosa ......................................................................................... 10
2.2.7 Cara Penlularan .............................................................................. 11
2.2.8 Pengendalian dan Pencegaha ......................................................... 12
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 13
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling ........................................................ 13
3.2.2 Alat ................................................................................................. 14
3.2.3 Bahan ............................................................................................. 14
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian ............................................................................ 14
3.3.2 Pengambilan Feses ......................................................................... 14
3.3.3 Pengujian Labolatorium ................................................................. 14
3.3.4 Analisis Data .................................................................................. 15
4. HASIL DAN PEMBAHAN …………………………………………….. 16
5. KESIMPUAN DAN SARAN
x
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 24
5.2 Saran ................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25
LAMPIRAN .................................................................................................... 29
xi
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka konsep penelitian…………………………………………......... 4
2. Morfologi telur T. vitulorum….………….……………………………….. 7
3. Morfologi cacing jantan dan beina T. vitulorum..………………………… 7
4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum………………………………………… 8
5. Gambar gejala klinis……………………………………………………… 10
6. Telur Toxocara vitulorum pada hasil penelitian………………………….. 17
7. Sapi umur 30 tahun yang terinfeksi toxocariasis ………………………… 20
8. Sistem pemeliharaan di Kabupaten Maros……………………………...... 22
DAFTAR TABEL
1. Data Populasi Ternak Sapi Bali Di Kecamatan Tompobulu
Kabupaten Maros Tahun 2013…………………………………………. 6
2. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros…………………………….. 16
3. Distribusi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros……………………………. 18
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil pemeriksaan Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros ………………………………... 29
2. Dokumen Penelitian………………………………………………………... 33
3. Data Spesimen……………………………………………………………… 36
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu jenis sapi asli Indonesia
yang di domestikasi dari banteng (Bibos sondaicus). Sebagai plasma nutfa
Indonesia sapi Bali sangat adatif terhadap lingkungan dan sangat produktif dengan
persentase pedet yang dipanen dapat mencapai 80% (Susilorini, 2008).
Pendapatan dan pengetahuan masyarakat Indonesia yang semakin
meningkat berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan sumber makanan
khususnya protein hewani. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein yang
penting disamping daging ayam dan babi. Peningkatan mutu peternakan sapi bali
terus diupayakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah
mencapai swasembada daging sapi sebagai tulang punggung ketahanan pangan
hewani nasional (Hadi, 2011). Namun dalam aplikasinya dilapangan, peternak sapi bali tidaklah semudah
yang direncanakan oleh pemerintah. Ada beberapa kendala yang dialami oleh
peternak dalam beternak sapi bali, diantaranya permasalahan pakan dan nutrisi,
pencegahan dan pemberantasan penyakit serta penanggulangan limbah (Deptan,
2001). Penyakit yang sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit yang
disebabkan oleh parasit cacing. Dari segi perhitungan ekonomi, penyakit pada
sapi yang diakibatkan oleh parasit cacing mengakibatkan kerugian yang sangat
tinggi bagi peternak. Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi mengakibatkan
gangguan pencernaan sapi dan terjadi kompetisi dalam penyerapan nutrisi
makanan sehingga pertumbuhan sapi akan terhambat (BPTP NTB, 2011).
Terlebih jika cacing tersebut bersifat zoonosis, selain kerugian ekonomi
yang ditimbulkan juga kesehatan mereka terancam (Medicastore 2011). Penyakit
parasit yang menyerang sapi bali dan bersifat zoonosis salah satunya adalah yang
disebabkan oleh infeksi cacing T. vitulorum. Cacing ini menyerang sapi disegala
umur, dapat menular melalui kontak makanan maupun melalui plasenta induk
yang menulari fetus sapi dalam kandungan (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).
Toxocara vitulorum dapat menyebabkan anak sapi atau kerbau diare dan
ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian dan
pada anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan.
Toxocara vitulorum merupakan salah satu cacing nematoda terbesar yang
memiliki distribusi luas di seluruh dunia, namun keberadaannya paling sering
dijumpai pada negara tropis dan subtropis. Prevalensinya sangat tinggi di negara
tropis. Hal tersebut sering menyebabkan masalah pada sapi (Bos spp.) dan kerbau
(Babalus spp.) di Asia Tenggara dan Afrika (Koesdarto,1999).
Stadium dewasa cacing T. vitulorum banyak dijumpai pada anak sapi
(pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan
produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara
berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian. Pedet yang menderita
toksokariasis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu
dibanding pedet yang bebas cacingan (Soulsby, 1982).
Prevalensi toksokariasis pada sapi di Malang telah dilaporkan oleh
Trisunuwati et al., (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi
2
umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan
sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al.,
1999). Studi terakhir pada tahun 2008 menyebutkan prevalensi cacing T.
vitulorum pada pedet di Kabupaten Pasuruan cukup tinggi yaitu 21,33% (Susanto,
2008). Dan studi terakhir di salah satu Kabupaten di kota Makassar telah
dilaksanakan tepat pada tahun 2009 mengenai Identifikasi Cacing Saluran
Pencernaan (Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja Di
Kabupaten Gowa melaporkan bahwa, jenis Toxocara vitulorum menempati posisi
yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenis cacing saluran pencernaan lainnya,
yaitu sebesar 59,21 % (Purwanta dkk, 2009).
Mengingat patogenesitas dari cacing Toxocara vitulorum pada sapi bali
sangat merugikan dan kemungkinan bisa menyebabkan kematian pada sapi bali,
maka perlu diwaspadai keberadaan penyakit toxocariasis serta pemahaman
tentang epidemiologi guna mencegah terjadinya penularan, maka peneliti tertarik
melakukan penelitian di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
Berdasarkan Badan Pusat Statistika (2013), populasi sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, merupakan populasi sapi terbesar ketiga di Kabupaten
Maros. Dimana peternak di Desa Pucak masih menggunakan sistem pemeliharaan
semi intensif yaitu sapi tidak diberikan pakan di dalam kandang. Dalam hal ini
kandang hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat ternak ketika malam
tiba, kemudian sapi dilepas kembali pada pagi hari yaitu pukul 06.30 - 07.00 dan
dimasukkan ke dalam kandang pada pukul 17.00–17.30. Selain itu, di kabupaten
ini pernah dilaporkan kejadian Toxocariasis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah
berapa prevalensi Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros
.
1.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi cacing Toxocara vitulorum pada
sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 30%.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengidentifikasi telur Toxocara vitulorum pada feses sapi Bali di
Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
2. Untuk mendiagnosa toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros.
3
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Pengembangan Ilmu 1. Sebagai bahan informasi mengenai prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di
Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
2. Sebagai referensi ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah keilmuan
terutama dalam bidang ilmu parasitologi veteriner.
1.5.2 Manfaat Aplikasi 1. Dapat dijadikan acuan untuk merancang program pengendalian toxocariasis
dengan tepat, khususnya di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang prevalensi Toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros belum pernah dilaporkan. Penelitian
terhadap prevalensi toxocariasis di Indonesia telah banyak dilakukan, namun
tujuan dan lokasinya berbeda. Agustina (2013) pernah melaporkan prevalensi
Toxocara vitulorum pada Induk sapi dan anak sapi Bali di wilayah Bali Timur,
dan Susanto, A.(2008) prevalensi infeksi cacing Toxocara vitulorum pada anak
sapi perah dan anak sapi potong di Kabupaten Pasuruan.
.
4
1.7 Alur Penelitian
Gambar 1. Kerangka Konsep Penilitian
Identifikasi telur cacing
Positif Negatif
Analisa Data
Feses
Sapi Bali
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga
sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin
bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali. Sapi
Bali menyebar ke pulau - pulau di sekitar pulau Bali melalui komunikasi antar
raja-raja pada zaman dahulu. Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh provinsi di
Indonesia dan berkembang cukup pesat di daerah karena memiliki beberapa
keunggulan. Sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah.
Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi Bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan
sapi lain, yaitu mencapai 83% tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Tingkat
kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu keunikan sapi Bali
(Djagra, 2009).
Bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson,
1993) sebagai berikut : Phylum Chordata, sub-phylum Vertebrata, class Mamalia,
ordo Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, family Bovidae, genus Bos, species Bos
sondaicu.
Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu
warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, pada paha kaki
bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung
ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis
hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang
paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian
pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada betina bentuk tanduk yang ideal
disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan
dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit
mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto,
1994).
Handoko (1994), juga menyatakan bahwa saat ini penyebaran sapi Bali telah
meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi Bali terbesar
adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok. Pada tahun 1991
ditaksir jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 3,2 juta, dengan jumlah terbanyak di
Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali
(456 ekor).
Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif,
ekstensif, dan mixed farming system (sistem pertanian campuran). Pemeliharaan
secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan secara terus-
menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari
digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif
adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus -
menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and curry. Sistem ini
dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai
berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan
dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif.
Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi, masalah penyakit
6
dan limbah peternakan (Santoso, 2006)
Untuk mendapatkan bibit sapi Bali yang baik sebaiknya dipelihara secara
semi intensif disertai dengan pemberian pakan yang optimal sesuai dengan
kebutuhan fisiologik ternak, yaitu dengan jalan memberikan pakan tambahan
berupa konsentrat dan tidak hanya mengandalkan rumput lapang sebagai pakan.
(Santoso, 2006)
Adapun jumlah populasi sapi Bali di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros diliat dari tiap Desa sebagai berikut :
Tabel 1. Data Populasi Ternak Sapi Bali Di Kecamatan Tompobulu Kabupaten
Maros Tahun 2013
Desa Sapi
Benteng Gajah 680
Pucak 1436
Tompobulu 2095
Toddolimae 1762
Bonto Manai 1321
Bonto Matinggi 1158
Bonto Manurung 1516
Bonto Somba 1167
Jumlah 11.135
2.2 Toxocariasis
2.2.1 Etiologi
Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau
Neoascarasis vitulorum termasuk kelas nematode yang memiliki kemampuan
melintas hati, paru-paru, dan plasenta. Hampir di seluruh bagian dunia terdapat
Toxocariasis yang disebabkan oleh cacing Toxocara vitulorum (Avioglu,2011)
Hewan-hewan yang dipelihara dalam alam terbuka menjadi sakit karena
telur yang dibebaskan dapat bertahan berbulan-bulan. Infeksi hewan-hewan yang
dipelihara demikian selalu lebih tinggi dari pada yang dipelihara dalam kandang
7
yang bersih. Toxocara vitulorum terdapat pada usus halus sapi dan ruminansia
besar lainya (Subronto, 2006).
Klasifikasi dan Morfologi
Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah
: Phylum Nemathelminthes, class Nematoda, subclass Secernentea, ordo
Ascaridida, family Ascarididae, genus Toxocara, species Toxocara vitulorum.
Gambar 2. Telur Toxocara vitolurum
Telur cacing Toxocara vitulorum memiliki warna kecoklatan. Bentuknya
agak bulat dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu dinding yang tebal dan
berdimensi 69 - 75μm serta lebar 75 – 103μm. Dinding tersebut sebagai
pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai
termakan oleh inang. Telur tersebut dapat ditemukan setelah melakukan
pemeriksaan tinja (Yudha, 2014). Dengan pengamatan melalui scanning electron
microscope (SEM) dapat dilihat T. Vitulorum memiliki permukaan dinding
berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1996).
Gambar 3. Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum
Cacing Toxocara vitulorum memiliki permukaan tubuh yang lunak dan
tembus pandang. Cacing jantan berukuran 15-26 cm dengan lebar (pada bagian
badan) sekitar 3-5 mm, dengan ekor kecil, mirip paku besar, serta spikulum yang
8
panjangnya 950-1250 mikron. Sedangkan cacing betina 22-30 cm dengan lebar 5-
6 mm. (Aydin,2006)
Cacing dewasa tersebut mempunyai 3 bibir tanpa papilla yang berfungsi
dengan baik yang terdapat pada dorsal dan subventral. Masing-masing bibir
dilengkapi dengan beberapa papilla besar dan kecil (Levine, 1994).
2.2.2 Siklus Hidup
Siklus hidup Toxocara Vitulorum dimulai dari cacing dewasa hidup di
bagian depan usus halus dan sanggup membebaskan telur dalam jumlah banyak.
Seekor cacing betina mampu bertelur sebanyak 200.000 telur/hari. Telur
dibebaskan bersama tinja, dimana telur sangat tahan terhadap udara dingin, panas
dan kekeringan (Subronto, 2001).
Lalu telur dalam tinja tertelan oleh sapi dan menetas di usus halus menjadi
larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan plasenta
lalu masuk ke cairan kolostrum dan kelenjar mammae. Dengan ikut makanan, air
minum atau saliva akan sampai di usus halus lagi untuk bertumbuh menjadi
dewasa. Telur cacing Toxocara vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif
selama 7-12 hari pada suhu optimal 29-300 C. Perkembangan tersebut, tidak
terjadi pada suhu bawah 120C. Kendati demikian, apa bila berada pada suhu
optimal, telur akan menjadi infektif. Beberpa peneliti membuktikan bahwa telur
cacing Toxocara vitulorum dapat bertahan hidup di lingkungan selama beberapa
bulan hingga mencapai dua tahun (Holland,2000)
Pedet memperoleh larva T. vitulorum dari induknya melalui kolostrum,
hingga pada umur 10 hari telah mengandung cacing dewasa, sedangkan telur
cacing dapat ditemukan pada umur 2-3 minggu. Waktu pedet umur 5 bulan cacing
dewasa mungkin dikeluarkan secara spontan (Subronto, 2001).
Gambar 4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum
9
2.2.3 Distribusi Penyakit
Beberapa literatur luar negeri menyebutkan bahwa prevalensi toxocariasis
akibat infeksi T. vitulorum pada pedet di Nigeria adalah 61,4-91,1% (Sackey et
al., 2003), dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur
cacing T. vitulorum dalam fesesnya (Holland et al., 2000). Infeksi paten
toxocariasis pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda dan
sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih, 2005).
Prevalensi toxocariasis pada sapi dan kerbau di Malang telah dilaporkan
oleh Trisunuwati, et al. (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak
sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan
sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto dkk,
1999). Penemuan telur T. vitulorum yang lebih dari 100.000 epg bisa merupakan
suatu faktor penyebab kematian anak-anak kerbau maupun anak sapi (Carmichael,
1996).
Akan tetapi berdasarkan laporan dari Robert (1990a) penemuan T.
vitulorum 20.000 epg dapat digolongkan infeksi berat dan diduga sudah
merupakan indikator dari patogenesitas cacing tersebut. Beruah et al. (1980)
menemukan kasus toksokariasis dengan jumlah telur T. vitulorum 2.700- 16.000
epg telah menyebabkan diare dan dehidrasi ringan. Sedangkan jumlah telur 31
.000-66 .000 epg sudah kelihatan toksemia. (Estuningsih, 2005). Dan studi
terakhir pada tahun 2009 mengenai Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan
(Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja Di Kabupaten Gowa
melaporkan bahwa, jenis Toxocara vitulorum menempati posisi yang tertinggi jika
dibandingkan dengan jenis cacing saluran pencernaan lainnya, yaitu sebesar 59,21
% (Purwanta dkk, 2009)
2.2.4 Patogenesis
Migrasi larva di dalam hati atau usaha penyerapan oleh jaringan hati
terhadap larva yang mati, meninggalkan jejas berwarna putih di bawah kapsula
hati. Bila infestasi larva cukup berat, jejas fibrotik terlihat dominan. Kerusakan
jaringan yang berat biasanya dialami oleh paru-paru hingga alveoli dapat
mengalami luka dengan oedema atau mengalami pemadatan (konsolidasi). Larva
migrans dapat merangsang pembentukan antibodi yang dapat dideteksi di dalam
kolostrum dan serum. Adanya antibodi untuk mencegah agar jumlah cacing
dewasa tidak berlebihan atau dalam keadaan tertentu dapat menghasilkan self-
cure. Infestasi larva dalam jumlah besar dapat menyebabkan penurunan motilitas
usus (Subronto, 2001).
Cacing yang belum dewasa yang bertempat di duodenum dan abomasums
menyebabkan radang usus hebat hingga diikuti diare berat. Cacing dewasa yang
tinggal dilambung muka, rumen dan reticulum, tidak menyebabkan perubahan
patologi berat. Pada saat nekropsi cacing muda dapat terlihat berwarna pink yang
menempel pada mukosa duodenum dan dapat juga terdapat di jejunum dan
abomasum (Urquhart dkk, 2002).
Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitif-
nya dengan mengakibatkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari
sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase
migrasi dengan meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui.
10
Keparahannya tergantung pada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun pada
larva (Agna, 2009).
2.2.5 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis toxocariasis pada hewan sangat bervariasi dan
tergantung dari umur hewan itu sendiri. Infeksi Toxocara vitulorum pada sapi
lebih banyak ditemukan pada anak sapi dari pada yang dewasa. Pneumonia akan
terlihat pada anak sapi yang terinfeksi toxocara karena adanya migrasi larva ke
paru-paru. Selain itu, diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafsu
makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi dalam jangka
lama. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya penururnan berat badan (terjadi
kekurusan) secara drastis dalam waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian.
(Estuningsih,2005)
Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan
pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati
akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran
percernaan usus halus.
Gambar. 5 Peradangan pada usus halus pada pedet
Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala
yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya
akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini ( OIE, 2005)
Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada sapi ditentukan dari
jumlah telur cacing per gram (epg) fases. Dimana digolongkan dalam 3 tingkatan
yaitu, infeksi ringan dengan 5.000 epg, infeksi sedang 5.000- 10.000 epg, dan
infeksi berat lebih dari 10.000 epg. Jika kejadian toxocariasis di lapangan tidak
terkontrol dengan baik maka prevalensi penyakit ini bisa mencapai 100% dengan
mortalitasnya mencapai 80%. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa infeksi
toxocariasis pada anak kerbau lebih berat daripada anak sapi, akan tetapi
keberadaan penyakitnya tidak jelas dan tingkat kematiannya paling banyak terjadi
pada anak sapi (Estuningsih,2005).
2.2.6 Diagnosa
Infeksi cacing Toxocara vitulorum pada sapi dapat didiagnosa secara
tentative mulai dari tanda-tanda klinis yang terlihat dan umur dari hewan tersebut.
Konfirmasi diagnosis harus dikuatkan dengan sejarah penyakit, adanya
pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara vitulorum dalam feses. Telur
Toxocara vitulorum berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya
11
berbintik-bintik dan dinding luarnya sangat tebal. Pemeriksaan feses dengan uji
apung adalah merupakan metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing
nematode (Hendrix, 1995). Dengan uji apung tersebut, telur cacing akan
mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat dihitung di dalam kotak hitung.
Menurut laporan dari Overgauw (1997), uji apung untuk pemeriksaan telur
Toxocara vitulorum spesifitasnya adalah 51% sedangkan sensitivitasnya 100%.
Pemeriksaan dengan uji apung tersebut hanya bisa digunakan untuk mendeteksi
adanya infeksi paten, sedangkan untuk mendiagnosa adanya infeksi prepaten bisa
dilakukan dengan uji serologi. Uji serologi dengan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibody T. vitulorum pada kerbau
atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari larva yang
infektif telah dikembangkan oleh Starkebuzetti et al. (2001) dan De Souza et al.
(2004). Uji serologi juga telah diterapkan untuk melakukan penelitian
seroepidemiologi toxocariasis pada manusia (Sadjjadi et al ., 2000).
2.2.7 Cara Penularan
Berdasarkan hasil penelitian Roberts (1990b), penularan T. vitulorum
melalui kelenjar susu (transmamary infection) pada anak sapi atau anak kerbau
merupakan cara penularan yang sangat penting, dan merupakan cara penularan T.
vitulorum yang utama. Kira-kira 8 hari sebelum melahirkan, larva yang berada di
dalam hati dan paru-paru yang tadinya tidak aktif akan mulai bergerak dan
bermigrasi ke kelenjar susu. Warren (1971) melaporkan bahwa larva T. vitulorum
akan ditemukan di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi melahirkan dan
90% akan ditemukan pada hari pertama setelah kelahiran. Pada kerbau, larva T.
vitulorum ditemukan dalam kolostrum 1-5 hari setelah kelahiran dan 99% larva
tersebut berada dalam kolostrum selama 8 hari (Roberts, 1990b) dan pada hari ke-
11 sudah tidak ditemukan dalam susu (Pandey et al ., 1990).
Adanya larva T. vitulorum yang di dalam susu sapi juga diindikasi dapat
menyebabkan visceral larval migrans apabila susu tersebut dikonsumsi oleh anak-
anak tanpa proses pasteurisasi sebelumnya (Banerjee et al. 1983; Kusnoto, 2005).
Kejadian toksokariasis pada manusia di Indonesia pernah dilaporkan oleh Chomel
et al. (1993).
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada tahun 1989 di Bali, mereka
melaporkan bahwa hasil pemeriksaan serum darah dari 190 orang anak yang
berumur 1- 23 tahun, sebanyak 120 orang anak (63,2%) dinyatakan positif
memiliki antibody Toxocara dan 20% diantaranya memberikan reaksi positif kuat.
Akan tetapi belum ada laporan adanya cacing T. vitulorum dewasa pada usus
manusia, jadi sepertinya bahwa larva T. vitulorum dalam air susu sapi yang
diminum manusia tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Apabila telur
infektif yang mengandung larva stadium kedua (L2) tertelan manusia, maka telur
akan menetas dan mengeluarkan larva kedalam usus halus, kemudian terjadi
penetrasi larva pada mukosa dan kemudian terbawa sirkulasi darah menuju ke hati
melalui sistem portal. Sebagian larva tinggal di dalam hati dan menyebabkan
pembentukan granuloma, yang lain terbawa ke paru-paru dan masuk dalam sistem
sirkulasi dan terbawa ke berbagai organ tubuh. Larva menembus pembuluh darah
dan bermigrasi menuju jaringan sekitarnya (Kilpatrick, 1992).
Larva yang tidak kembali ke usus halus tidak mengalami perkembangan
lebih lanjut sehingga tetap tinggal di jaringan yang disebut larva dorman. Telur
12
infektif yang mengandung L2 dan cacing dewasa T. vitulorum dapat dikenali oleh
sistem imun tubuh hospes sehingga dapat memicu terbentuknya antibodi (Kusnoto
2003).
2.2.8 Pengendalian dan Pencegahan
Toxocara vitulorum dapat menyebabkan kematian yang tinggi pada hewan
muda dibandingkan pada hewan dewasa dan bersifat zoonosis. Oleh karena itu,
pencegahan dan pengendalian terhadap T. vitulorum perlu dilakukan untuk
menekan pertumbuhan dan infeksi cacing tersebut. Pengendalian yang disarankan
untuk menekan tingkat kejadian penyakit akibat T. vitulorum diantaranya
menejemen pengembalaan dan kesehatan hewan yang baik. Kebersihan kandang
juga merupakan hal yang sangat penting, terutama feses dari anak sapi atau anak
kerbau yang mengandung telur Toxocara vitulorum harus segera ditangani atau
dibersihkan sebelum telur menjadi infektif agar induknya tidak tertular. Untuk
menghindari terjadinya penularan sebaiknya anak-anak sapi maupun anak-anak
kerbau secara rutin harus dilakukan pemeriksaan terhadap adanya telur cacing
toxocarariasis dan apabila positif maka hewan hewan tersebut harus segera diberi
pengobatan untuk mencegah dari keterlambatan penaganan (Junquera, 2004).
Pengendalian dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik. Secara
periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing
dewasa. Disamping itu tindakan melindungi pedet dari serangan cacing, sehingga
tidak memungkinkan untuk memproduki telur yang berpotensi mengkontaminasi
padang pengembalaan (Terry, 2013).
Levamisol bisa membunuh larva dari cacing T. vitulorum pada anak sapi 7
hari setelah infeksi (Ossain et al ., 1980). Pengobatan pada anak sapi dapat
dilakukan pada umur 2 – 3 minggu, kemudian diulangi 2 – 3 kali dengan selang
waktu satu tahun. Pengobatan massal dilakukan 3 minggu setelah datangnya
musim hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6 minggu sampai
permulaan musim kemarau. Pengobatan pada sapi bunting tidak dianjurkan karena
umur kebuntingan biasanya tidak diketahui dengan pasti dan tidak akan efektif
pada hewan yang sudah bunting tua, selain itu diperlukan dosis yang lebih besar.
13
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus sampai 28 Agustus
2015. Pengambilan sampel dilaksanakan di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros. Pemeriksaan feses dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi
Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi Bali yang terdapat di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebanyak 1.436 ekor (BPS,
2013). Desa Pucak dipilih karena memiliki jumlah populasi sapi Bali ke tiga
tertinggi dan juga akses ke desa tersebut lebih mudah dijangkau dibanding di desa
yang jumlah populasi ternak sapinya tertinggi kedua dan pertama yaitu Desa
Toddolimae dan Tompobulu yang ada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 84 ekor sapi Bali yag
tersebar di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Besaran
sample ditentukan dengan asumsi tingkat kejadian sebesar 30% dan tingkat
kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung dengan rumus penentuan jumlah
sampel menurut Budiharta (2002) mengformulasikan rumus penentuan jumlah
sampel berdasarkan prevalensi sebagai berikut :
Keterangan : n = Besaran sampel feses sapi yang diambil
P = Asumsi dugaan tingkat kejadian toxocariasis (30%)
Q = (1 - Prevalensi)
L = Galat/Tingkat kesalahan 10%
Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut :
( )( )
( )( )
14
Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada peternak sapi Bali
dengan menggunakan metode systematic random sampling dengan penentuan
besaran sampel pada peternak sapi Bali yang terdapat di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros terpilih secara klaster.
3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan feses yaitu berupa kantong
plastik, label, cool box, dan kamera. Alat-alat untuk pemeriksaan laboratoris
adalah timbangan yang sudah dikalibrasi, object glass, cover glass, mikroskop
(perbesaran 10 x 10), sentrifus, tabung plastik sentrifus, saringan teh, gelas
plastik, gelas ukur, sendok plastik, pipet tetes, alu dan gelas ukur.
3.2.3 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi, garam
jenuh (NaCl) dan formalin 10%.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yang
memberikan gambaran atau uraian mengenai prevalensi toxocariasis pada sapi
Bali. Keberadaan telur Toxocara vitulorum dalam feses dideteksi dengan
menggunakan metode uji apung, sedangkan untuk mengetahui angka prevalensi
toxocariasis menggunakan rumus prevalensi.
3.3.2 Pengambilan Feses
Fases yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar, sebanyak
kurang lebih 4 gram setiap ekor sapi. Pengambilan feses segar dilakukan secara
langsung di kandang dan di lapangan yaitu menunggu sampai sapi defekasi lalu
lalu dimasukkan kedalam kantong plastik kemudian diberi formalin 10 %
secukupnya untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan dan
penyimpanan. Setiap spesimen diberi label yang memuat keterangan nama sapi,
tanggal, waktu pengambilan dan catatan lain yang dianggap perlu. Setelah itu,
specimen dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat pengambilan sampel,
kemudian pemeriksaan di labolatorium.
3.3.3 Pengujian Laboratorium
Pemeriksaan feses dengan metode uji apung digunakan untuk
mengidentifikasi telur nematoda (Toxocara vitulorum.) di dalam feses karena telur
nematoda yang relatif ringan dibandingkan dengan telur trematoda. Feses
ditimbang sebanyak 2 gram lalu, dicampur NaCl sebanyak 30 ml kemudian
diaduk sampai merata dengan menggunakan alu. Setelah campuran homogen, lalu
disaring menggunakan saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke
dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung sentrifus diseimbangkan kemudian
disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tambahkan lagi sedikit
larutan gula atau garam jenuh sampai permukaan cairan itu naik tepat diatas
permukaan tabung. Letakkan cover glass diatas tabung, biarkan selama 5 menit,
ambil cover glass letakkan diatas object glass dan periksa dibawah mikroskop
dengan pembesaran 10 x 10.
15
3.3.4 Analisa Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis secara
deskriptif. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini
(Budiharta, 2002) :
Keterangan:
F : Jumlah frekuensi dari setiap sampel yang diperiksa dengan hasil positif.
N: Jumlah dari seluruh sampel yang diperiksa.
Prevalensi =
16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kejadian toxocariasis di Kabupaten Maros telah
dilakukan penelitian mulai tanggal 4 Agustusi 2015 sampai 28 Agustus 2015.
Sebanyak 84 sampel feses dikumpulkan secara systematic random sampling
(SRS) dengan mengambil sampel pada tingkat peternak. Dari cara tersebut,
diperoleh 17 peternak terpilih yang mewakili seluruh peternak yang ada di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Penentuan jumlah sampel pada
masing-masing peternak terpilih dilakukan secara klaster atau mengambil semua
feses Sapi Bali yang dimiliki oleh peternak. Hasil jumlah sampel yang terpilih
pada tingkat peternak disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros
No. Nama Peternak Jumlah Ternak (Ekor) Jumlah Sampel
1. Dg. Buang 14 14
2. Pak Arman 1 1
3. Dg. Kanang 2 2
4. Lengko 5 5
5. Pak Baso Raga 4 4
6. Dg. Eppe 5 5
7. Nenek Hasnah 9 9
8. Yauri Haryanto 8 8
9. Bahtiar 6 6
10. Muhammad Saleh 5 5
11. Sabri 3 3
12. Nahlan 3 3
13. Megawati 5 5
14. Sumiati 4 4
15. Nirwana 3 3
16. Kamaruddin 4 4
17. Teki 3 3
Jumlah 84 84
17
Pemeriksaan feses dilakukan dengan menggunakan metode uji apung di
Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros. Hasil
pemeriksaan tersebut dapat diidentifikasi telur Toxocara vitulorum yang nampak
di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil pemeriksaan feses dengan metode uji apung (telur Toxocara
vitulorum) dengan pembesaran 10x10
Telur Toxocara vitulorum dengan morfologi warna kecoklatan, bentuknya
agak bulat dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu dinding yang tebal. Telur
Toxocara vitulorum memiliki dinding telur yang tebal hingga parasit tersebut
dapat bertahan lebih lama meskipun mengalami goncangan suhu dan kelembaban.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dari seluruh jumlah sampel
maka dapat diketahui distribusi kejadian toxocariasis pada sapi Bali di Kabupaten
Maros pada table 3 berikut:
18
Tabel 3. Distribusi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros
No.
Nama Peternak
Jumlah Sampel
Toxocara vitulorum
Positif Negatif
1. Dg. Buang 14 1 -
2. Pak Arman 1 - -
3. Dg. Kanang 2 - -
4. Lengko 5 - -
5. Pak Baso Raga 4 - -
6. Dg. Eppe 5 - -
7. Nenek Hasnah 9 1 -
8. Yauri Haryanto 8 - -
9. Bahtiar 6 - -
10. Muhammad Saleh 5 - -
11. Sabri 3 - -
12. Nahlan 3 - -
13. Megawati 5 - -
14. Sumiati 4 - -
15. Nirwana 3 - -
16. Kamaruddin 4 - -
17. Teki 3 - -
Jumlah 84 2 -
Table 3 di atas dapat dilihat 84 sampel fases yang diambil dari 17 peternak
terpilih, terdapat 2 ekor sapi Bali yang positif toxocariasis pada peternak yang
yang berbeda. Pada sampel feses sapinya positif toxocariasis yaitu sapi Bali milik
Dg. Buang dan nene Hasnah, dimana umur sapi yang positif berumur 3 bulan dan
30 tahun. 82 Peternak lainnya tidak ditemukan adanya telur Toxocara vitulorum.
Berdasarkan data di atas, sebanyak 2 ekor dari 84 ekor Sapi Bali yang positif
toxocariasis sehingga prevalensi toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,
19
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan menggunakan rumus
prevalensi (Budiharta, 2002) adalah sebagai berikut :
Keterangan: F : Jumlah sampel positif Toxocariasis (2)
N : Total jumlah sampel yang diperiksa (84)
Prevalensi =
= 2,38 %
Berdasarkan perhitungan di atas maka diperoleh hasil bahwa prevalensi
Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten yaitu 2,38%. Nilai prevalensi toxocariasis di Kabupaten Maros ini
lebih rendah bila dibandingkan dengan prevalesni di Kabupaten Gowa yaitu
sebesar 59,21, di Malang telah dilaporkan oleh Trisunuwati, et al. (1991) sebesar
76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2 bulan
prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur
kurang dari 6 bulan mencapai 43,4%.
Rendahnya nilai prevalensi toxocariasis di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros ini disebkan oleh beberapa faktor, yaitu : Karena
rata-rata umur sapi yang dijadikan sample berumur dewasa Dimana beberapa
literatur menyebutkan bahwa infeksi paten Toxocariasis pada umumnya terjadi
pada hewan-hewan yang masih muda (pedet) dan sangat jarang ditemukan pada
hewan-hewan dewasa. Ini dapat disebabkan karena T.vitulorum pada induk sapi
Bali memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan disekitarnya, akibat yang
ditimbulkan adalah pakan yang tersedia akan terkontaminasi telur T. vitulorum
yang dapat termakan oleh pedetnya. Cara penularan lain yang memungkinkan
adalah infeksi secara vertikal melalui cara transplasenta. Larva T.vitulorum yang
dorman di jaringan uterus induk sapi, ketika sapi tersebut bunting maka larva akan
dapat masuk ketubuh janin dan berkembang dalam saluran pencernaan pedet
untuk menjadi cacing dewasa. Penurunan prevalensi pada umur sapi yang lebih
dewasa disebabkan oleh setidaknya oleh tiga penyebab yang mungkin, yaitu
terhentinya infeksi baru secara transmammary pada pedet beberapa hari setelah
lahir, kematian cacing dewasa dan meningkatnya kekebalan hewan (inang).
Kematian cacin dewasa terjadi akibat asa hidup cacing ini tergolong pendek,
sekitar 35 ± 12 hari (Anderson, 2000). Biasanya cacing dewasa menua, mati dan
keluar dengan sendiriya dari inang (ekspulsi). Ekspulsi cacing dewasa mungkin
ada hubungannya dengan perkembangan imunitas inang. Terdapatnya telur cacing
toxocariasis pada salah satu sample sapi berumur 30 tahun milik nene Hasnah
(Gambar.7, 8, & 9) diduga kemungkinan sapi tersebut mengalami sistem
kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terjangkit.
Prevalensi =
20
Gambar. 7 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum
Gambar. 8 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah kiri)
Gambar. 9 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah
kanan)
21
Selanjutnya sampel yang digunakan itu adalah fases sapi Bali (Sapi
Potong) bukan sapi Perah. Dimana Infeksi transmammary merupakan rute infeksi
utama yang menghasilkan cacing dewasa di usus sapi. Pedet lebih banyak
menerima infeksi larva toxocara ketika menyusu. Bila inang tempat larva adalah
sapi betina maka, menjelang periode partus, larva tersebut akan bermigrasi ke
kelenjar susu. Larva keluar bersama sekresi ambing, termasuk kolostrum dan susu
hingga 12 hari post partum kemudian menginfeksi pedet yang menyusu. Setelah
infeksi bersama susu, cacing dewasa berkembang diusus halus pedet dan molting
pada hari ke-12 (pada saat pedet berusia 12 hari).
Berdasarkan hasil penelitian Winarso (2015) mengemukakan perbedaan
nyata kejadian toxocariasis berdasarkan jenis kelamin. Dimana prevalensi pada
kelompok jantan sebesar 12,7 % dan pada kelompok betina sebesar 3,00 %.
Avcioglu & Balkaya (2011) juga mengemukakan bahwa kejadian infeksi T.
vitulorum pada sapi jantan cenderung lebih tinggi daripada betina sebagaimana
penelitian-penelitian lainnya. Sedangkan peternak yang ada di Desa Pucak,
Kecaamatan Tompobulu, Kabupaten maros kebanyakan ternak sapi Bali betina,
sehingga diduga alasan mengapa prevalensi di daerah tersebut rendah.
Perbedaan tingkat prevalensi disetiap daerah berbeda-beda, hal tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan geografis dan daya tahan metaserkaria di
lingkungan serta teknik diagnosa (Mage et al., 2002). Sistem pemeliharaan juga
berpengaruh pada tingkat kejadian cacingan. Ternak sapi yang dipelihara dengan
sistem tradisional (ekstensif atau digembalakan) lebih beresiko terserang penyakit
cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih
modern (intensif atau dikandangkan). Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif,
sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan
penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan
penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. Sedangkan
pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan
pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat
mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing
(Muhibullah, 2001).
Pola pemeliharaan di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros didominasi oleh pola pemeliharaan semi intensif (100%). Sistem
pemeliharaan yang dilakukan peternak di daerah tersebut semuanya menggunakan
semi intensif yaitu digembalakan pada pagi hari dan diistirahatkan dalam kandang
pada malam hari. Hal tersebut mempengaruhi rendahnya tingkat kejadian
cacingan di Desa Pucak karena ternak sapi tidak dilepas selama 24 jam dan
dikandangkan dengan kondisi kandang yang baik dan memadai.
Sapi Bali yang dipelihara dengan pola pemeliharaan semi intensif
mencegah kondisi cekaman terhadap sapi, sapi yang di gembalakan juga diduga
dapat menekan kejadian stres sehingga pola tersebut lebih banyak dilakukan oleh
peternak. Selain itu, sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap
lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang
rendah, dan lain-lain (Guntoro, 2002).
Kontaminasi lapang (padang gembala) merupakan salah satu factor
penting terjadinya infeksi. Sumber utama kontaminasi telur Toxocara
dilingkungan adalah dari fases pedet yang terinfeksi. Sapi yang terinfeksi cacing
Toxocara dewasa akanmengeluarkan telur cacing melalui fases dan
22
mengkontaminasi padang gembala. Selanjutnya telur cacing tersebut akan menjadi
sumber infeksi dan reinfeksi sapi yang digembalakan selanjutnya. Namun Jarak
lokasi kandang dan gembala sapi stiap peternak didaerah tersebut berjauhan atau
memiliki masing – masing lokasi gembala setiap peternak sehingga diduga salah
satu penyebab rendahnya jumlah prevalensi telur Toxocara vituloru.
Gambar 10. Sistem pemeliharaan di Desa Pucak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros Sumber: Dokumentasi Pribadi 2015
Gambar 11. Kandang sapi Bali di Desa Pucak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Maros Sumber: Dokumentasi Pribadi 2015
Pemberian anthelmintik pada ternak mutlak diperlukan dalam
pengendalian cacing parasit. Antelmintika atau obat cacing (Yunani, anti = lawan,
helmintes = cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh
manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal
23
menghalau cacing dari saluran cerna. Di negara berkembang seperti Indonesia,
penyakit cacing merupakan penyakit yang umum di masyarakat. Infeksinya pun
dapat terjadi secara simultan oleh beberapa cacing sekaligus. Infeksi cacing
umumnya terjadi melalui mulut, melalui luka di kulit, dari telur (kista) atau larva
cacing yang ada dimana-mana. Kebanyakan antelmintika efektif terhadap satu
macam cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat
tertentu (Gunawan, 2009).
Pemberian obat cacing secara rutin, belum dilakukan bagi kebanyakan
masyarakat di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. bahkan
45,24% dari jumlah responden mengaku tidak pernah memberikan obat cacing
pada sapi Bali. Jika gejala dari penyakit cacing mulai tampak seperti kurus, pucat,
bulu berdiri, lemah maka pengobatan baru dilakukan. Jika ternak yang terinfeksi
tidak menunjukkan gejala klinis, maka tidak dilakukan pengobatan sehingga
ternak tersebut menjadi sumber penularan bagi ternak-ternak yang lainnya.
Namun berdasarkan data yang diperoleh bahwa seminggu sebelum pengambilan
fases dilakukan, sebagian peternak sapi di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros telah diberikan anthelmintik kepada ternaknya, sehinggaa
diduga hal tersebut juga merupakan salah satu penyebab rendahnya prevalensi
toxocaraisis pada daerah tersebut.
24
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di
Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 2,38%. Faktor yang
mempengaruhi rendahnya tingkat kejadian toxocariasis di daerah tersebut karena
pengambilan sampel dilakukan pada sapi Bali yang berumur dewasa, jenis
kelamin, sistem pemeliharaan, dan pemberian antielmintik
5.2 Saran
Dengan ditemukannya kejadian infestasi Cacing Neoascaris vitulorum pada
tenak sapi di kecamatan lubuk Kilangan, menunjukkan bahwa infestasi parasit
cacing memang masih banyak terjadi pada peternakan rakyat, Sehingga
disarankan sebagai berikut:
1. Pemberian ransum yang berkualitas tinggi dan cukup dalam kuantitasnya
2. Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan regular (pemberian obat cacing 1 kali
6 bulan atau 2 kali setahun).
3. Sanitasi kandang yang baik
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kejadian toxocariasis pada sapi
Bali lokasi yang berbeda untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang
mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian
toxocariasis di daerah tersebut.
25
DAFTAR PUSTAKA
Agna. 2009. Toxocariasis pada kucing, (on line), (http://dr-
agna.livejournal.com/3275. Diakses pada tanggal 27 maret 2015).
Agustina, Dharmatudha, Wirata, IW. 2013. Prevalensi Toxocara Vitulorum Pada
Induk dan Anak Sapi Bali Di Wilayah Bali Timur. Fakultas Kedokteran
Hewan : Universitas Udayana
Avioglu H, Balkaya I. 2011. Efficacy of Eprinimectin against Toxocara vitulorum
in Clave, Trop Anim Health, 43(2) : 283-286
Aydin A, Goz Y, Yuksek N, Ayaz E.2006. Prevalence of Toxocara vitulorum in
Hakkari Eastern Region of Turkey.. Bull Vet Inst Pulway 50 : 51-54
Anderson, RC. 2000. Nematoda Parasites of Vetebrates, Their Development and
Transmission. 2nd
ed. Wallingford Oxon (GB); CABI Publish
Baruah, P .K ., R.P . Singh and M.K. Ball 1980. Treatment tirals and correctionof
electrolyte imbalance caused by Neoascaris vitulorum in bufallo calvet .
Indian Vet J . 4 : 76-78 .
Banerjee, D.P ., A.K. Barman Roy and P .K. Sanyal . 1983 . Public health
significance of Neoascaris vitulorum larvae in buffalo milk samples . J .
Parasitol . 69 : 1124 .
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Statistika Peternakan Sulawesi Selatan Tahun
2013. Sulawesi Selatan (ID): BPS.
BPTP NTB. 2011. 15 Jenis Cacing ditemukan pada Sapi Bali di Kabupaten Bima.
http://epetani.deptan.go.id/budidaya/ (23-11-2011)
Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan
Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah
Mada; Yogyakarta.
Chomel, B.B ., R. Kasten, C. Adams, D . Lambillotte, J . Theis, R . Goldsmith,
J . Koss, C . Chioino, D .P . Widjana and P . Sutisna . 1993 . Serosurvey
of some major zoonotic infections in children and teenagers in Bali,
Indonesia . Southeast Asian J . Trop . Med . Public Health 24(2) : 321-326
Carmichael, I.H. and E. Mmartindah. 1996. Mortalities Of Buffalo (Bubbalus
Bubalis) Calves As A Possible Source Of loss to Indonesia Draught
Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.
De Souza, E.M., W.A . Starke-Buzetti, F .P . Ferreira, M .F . Neves and R.Z.
Machado . 2004. Humoral immune response of water buffalo monitored
with three different antigens of Toxocara vitulorum. Vet. Parasitol . 122 :
67-78.
Deptan. 2001. Beberapa Penyakit Pada Ternak Ruminansia “Pencegahan dan
Pengobatannya”. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. NTB
Djagra, I.B. 2009. Diktat Ilmu Tilik Sapi Potong. Fakultas Peternakan Universitas
Udayana, Denpasar
Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada
Manusia. Warta Zoa, Vol. 15 No: 3 P. 136-142
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.
Gunawan. (2009). Kemoterapika Antiparasit. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
3(1): 37-40.
26
Hadi, PU. 2011. Kebijakan dan Strategi Pemasaran Ternak dan Daging Sapi Bali
untuk Menjaga Kesejahteraan Peternak. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. SemilokaNasional PKSB Universitas Udayana,
Denpasar.
Handoko, 1994. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Hendrix, C .M. 1995 . Helminthic infections of the feline small and large
intestines :diagnosis and treatment. Vet . Med. May . 456-472 .
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Holland, W.G., T.T. Luong, L.A. Nguyen, T.T . Do and J. Vercruysee. 2000. The
epidemiology of nematode and fluke infections in cattle in the Red River
Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93 : 141-147.
Junquera P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle: Biology,
Prevention and Control. Neoascaris Vitulorum. [internet]
http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=
2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 2 Maret 2015].
Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. Puspitawati.
1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya .
Proc . Seminar on Infectious Diseases in The Tropics. TDC Airlangga
University, Surabaya . P. 46-49
Koesdarto, dkk. 1996. Perbedaan Struktur dan Morfologi Diantar Telur Cacing
Toxocara. Fakultas Kedokteran Hewan Unair.
Kilpatrick, M.E. 1992. Toxocariasis. In; Tropical Medicine. 7th ed. London: W.
B. Saunders Company; pp. 761-4.
Kusnoto. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Protein Immunologi Larva Stadium II
Toxocara cati Isolat Lokal. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga. Hal.3: 11-13:14.
Kania U. 2012. Nematoda Usus
[Internet]http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 27 Februari 2015].
Levine, N. D., 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Levine Norman D. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Medicastore. 2011. Toxocariasis. Infeksi dan Penyakit Menular.
http://medicastore.com/penyakit/220/ Toksokariasis.html (26-12-2011)
Mage C, Bourgne C, Toullieu JM, Rondelaud D, Dreyfuss G. 2002. Fasciola
hepatica and Paramphistomum daubneyi: changes in prevalences of
natural infections in cattle and in Lymnaea truncatula from central
Franceover the past 12 years. Vet Res. 33: 439–447.
Muhibullah. 2001. Efektivitas Albendazole terhadap Cacing Nematoda pada
Ayam Buras. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ossain, M.I ., M.L . Dewan and M.A . Baki . 1980 . Preliminary studies on the
efficacy of tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary
migration of Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo cows .
Bangladest J . Agic . Sci . 7 : 25-28
27
Overgaauw, P.A.M. 1997. Prevalence of intestinal nematodes of dogs and cats in
the Netherlands . Vet . Quart . 19 : 14-17 .
OIE. 2005. Toxocariasis. Institute for International Cooperation in Animal
Biologics Collaborating Center Lowa State Unversity Collage of
Veterinary Medicine.
Pandey, V.S ., F.W.G. Hill, D .G. Hensman and L .C . Baragwanath. 1990 .
Toxocara vitulorum in beef calves kept on effluent-irrigated pastures in
Zimbabwe . Vet . Parasitol . 35 : 349-355 .
Purwanta, Nuraeni, Josephina DH, Sri S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran
Pencernaan (Gastrointestinal) pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan tinja
di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. Vol .5 No. 1.
Roberts, J .A . 1990a . The life cycle of Toxocara vitulorum in Asian buffalo
(Bubalus bubalis) . Int . J . Parasitol . 20 : 833-840 .
Roberts, J .A. 1990b. The egg production of Toxocara vitulorum in Asian buffalo
(Bubalus bubalis). Vet. Parasitol . 37 : 113-120 .
Santoso, Undang. 2006. Seri Agribisnis Tata Laksana Pemeliharaan Ternak
Sapi. PT. Penerbit Penebar Swadaya : Bogor
Sadjjadi, S.M., M. Khosravi, D . Mehrabani and A. Orya, 2000. Seroprevalence of
Toxocara infection in school children in Shiraz, Southern Iran . J . Trop.
Pediatr . 46(6) : 327-30 (Abstract) .
Sackey, A.K., B.J.B.D. George and M. Sale. 2003. Observation on the age at
initial infection of Zebu calves by Toxocara vitulorum in Northern Nigeria.
Trop. Vet . 21 : 124-128
Susilorini, T. E., Sawitri. M. E., Muharlien., 2008. Budidya 22 Ternak Potensial.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta
Susanto, A. 2008. Prevalensi Infeksi Cacing Toxocara Vitulorum Pada Anak Sapi
Perah dan Anak Sapi Potong di Kabupaten Pasuruan. Undergraduate
Theses of Airlangga University. Surabaya.
Subronto dan Ida Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Subronto. 2006. Infeksi Parasit pada Hewan Ternak Sapi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated
Animals. 7th Ed. Bailliere Tindall, London
Starke-Buzetti, W.A ., R.Z. Machado and M .C . Zocollerseno, 2001 . An enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) for detection of antibodies against
Toxocara vitulorum in water buffaloes . Vet . Parasitol . 97 : 55-64 .
Trisunuwati, P., T. Cornelissen and Nasich. 1991 . A parasitological study on the
impact of Nematodes on the production of livestock in the limestone area
of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ.
Wageningen. The Netherlands.
Terry JA. 2013. The Use Of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal
Parasitic Nematode Control In Feces Of Exotic Artiodactylids At Disney’s
Animal Kingdom. [Tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University
Urquhart, G.M.,Armour, J., Duncan, j.L. 2002. Veteriner Parasitology 2nd
Ed.
Blackwell Science Publishing : Skotlandia Yasin, S dan Indarsih, B. 1988.
Seluk Beluk Peternakan Sebuah Bunga Rampai. Anugrah Karya. Jakarta
28
Yudha, Haddi Wisnu, dkk. 2014. Identifikasi dan Program Pengendalian
toxocara vitulorum pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Warren, E.G. 1971 . Observations on the migration and development of Toxocara
vitulorum in natural and experimental hosts . Int . J. Parasitol . 1 : 85-99.
Winarso, Aji, dkk. 2015. Factor Prevalensi Infeksi Toxocara vitulorum pada Sapi
Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia (JIPI).
Williamson, G and W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM Press. Yogyakarta.
29
LAMPIRAN
1. Hasil pemeriksaan Telur Toxocara vitulorum. pada sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros
No Kode Waktu Penelitian Nama
peternak
Hasil
Pengambilan sampel Pemeriksaan feses 1. 1 04/08/2015 20/08/2015 Dg. Buang -
2 04/08/2015 20/08/2015 -
3 04/08/2015 20/08/2015 -
4 04/08/2015 20/08/2015 -
5 04/08/2015 20/08/2015 -
6 04/08/2015 20/08/2015 -
7 04/08/2015 20/08/2015 -
8 04/08/2015 20/08/2015 -
9 04/08/2015 20/08/2015 +
10 04/08/2015 20/08/2015 -
11 04/08/2015 20/08/2015 -
12 04/08/2015 20/08/2015 -
13 04/08/2015 20/08/2015 -
14 04/08/2015 20/08/2015 -
2. 15 04/08/2015 20/08/2015 Pak Arman -
3. 16 04/08/2015 20/08/2015 Dg. Kanang -
4. 17 05/08/2015 20/08/2015 Dg. Lengko -
18 05/08/2015 20/08/2015 -
19 05/08/2015 20/08/2015 -
20 05/08/2015 20/08/2015 -
5. 21 05/08/2015 24/08/2015 Baso Raga -
30
22 05/08/2015 24/08/2015 -
23 05/08/2015 24/08/2015 -
24 05/08/2015 24/08/2015 -
25 05/08/2015 24/08/2015 Dg. Kanang -
6. 26 06/08/2015 24/08/2015 Dg. Ngeppe -
27 06/08/2015 24/08/2015 -
28 06/08/2015 24/08/2015 -
29 06/08/2015 24/08/2015 -
30 06/08/2015 24/08/2015 -
7. 31 06/08/2015 24/08/2015 Nene Hasna -
32 06/08/2015 24/08/2015 -
33 06/08/2015 24/08/2015 Dg. Lengko -
8. 34 06/08/2015 24/08/2015 Yauri Haryanto -
35 06/08/2015 24/08/2015 -
36 06/08/2015 26/08/2015 -
37 06/08/2015 26/08/2015 -
9. 38 07/08/2015 26/08/2015 Bahtiar -
39 07/08/2015 26/08/2015 -
40 07/08/2015 26/08/2015 -
41 07/08/2015 26/08/2015 -
42 07/08/2015 26/08/2015 -
43 07/08/2015 26/08/2015 -
44 08/08/2015 26/08/2015 Yauri Haryanto -
45 08/08/2015 26/08/2015 -
46 08/08/2015 26/08/2015 -
31
47 08/08/2015 26/08/2015 -
10. 48 08/08/2015 26/08/2015 Muhammad
Saleh
-
49 08/08/2015 26/08/2015 -
50 08/08/2015 26/08/2015 -
51 08/08/2015 27/08/2015 -
52 08/08/2015 27/08/2015 -
11. 53 08/08/2015 27/08/2015 Sabri -
54 08/08/2015 27/08/2015 -
55 08/08/2015 27/08/2015 -
12. 56 08/08/2015 27/08/2015 Nahlan -
57 08/08/2015 27/08/2015 -
58 08/08/2015 27/08/2015 -
13. 59 08/08/2015 27/08/2015 Megawati -
14. 60 09/08/2015 27/08/2015 Sumiati -
61 09/08/2015 27/08/2015 -
62 09/08/2015 27/08/2015 -
63 09/08/2015 27/08/2015 -
15. 64 09/08/2015 27/08/2015 Nirwana -
65 09/08/2015 27/08/2015 -
66 09/08/2015 27/08/2015 -
67 10/08/2015 28/08/2015 Megawati -
68 10/08/2015 28/08/2015 -
69 10/08/2015 28/08/2015 -
70 10/08/2015 28/08/2015 -
71 10/08/2015 28/08/2015 Nene Hasna -
32
72 10/08/2015 28/08/2015 -
73 10/08/2015 28/08/2015 -
74 10/08/2015 28/08/2015 +
75 10/08/2015 28/08/2015 -
76 10/08/2015 28/08/2015 -
77 10/08/2015 28/08/2015 -
16. 78 10/08/2015 28/08/2015 Kamaruddin -
79 10/08/2015 28/08/2015 -
80 10/08/2015 28/08/2015 -
81 10/08/2015 28/08/2015 -
17. 82 10/08/2015 28/08/2015 Pak Teki -
83 10/08/2015 28/08/2015 -
84 10/08/2015 28/08/2015 -
10/08/2015 28/08/2015 -
33
2. Dokumentasi penelitian
Foto 1. Sapi Bali di Desa Puca, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros
Foto 2. Pengambilan feses secara langsung dikandang setelah sapi Bali
defekasi
Foto 3. Pengambilan feses secara langsung di ladang pesawahan setelah sapi
Bali defekasi
34
Foto 4. Pengujian laboratorium dengan metode uji Apung
Foto 5. Hasil pemeriksaan dibawah mikroskop
35
Gambar. 6 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah kiri)
Gambar. 7 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah
kanan)
36
3. Data spesimen
Propinsi : Sulawesi Selatan
Kabupaten : Maros
Kecamatan : Tompobulu
Desa : Pucak
Pemeriksaan : Toxocara vitulorum (Uji Apung)
37
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Sri Febrianti T, dilahirkan
pada tanggal 1 Maret 1993 di Kabupaten Enrekang,
Sulawesi Selatan dari pasangan suami istri Drs. Tahan, S.Pd,
M.Pd dan Liana, S.P di dan merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara.
Penulis mengenyam pendidikan di SD Negeri 98
Tongko dan lulus tahun 2005. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan ke MTs Pesantren Darul Falah Enrekang dan lulus tahun
2008, dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Enrekang dan lulus pada
tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program
Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi internal
kampus diantaranya anggota bidang interna di Bidang Pengkaderan
(HIMAKAHA) Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
tahun 2012-2013. Selain itu penulis juga aktif pada organisasi eksternal kampus,
yakni organisasi daerah Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrempulu (HPMM)
Komisariat Universitas Hasanuddin sebagai kepala bidang Aparatur Organisai
(PAO). Serta penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitian didalam kampus
dan diluar kampus.
top related