proposal aston
Post on 24-Jun-2015
786 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman sekarang ini, bisnis di Indonesia semakin berkembang ke arah yang
lebih mementingkan harapan dan keinginan para pembeli/pelanggan. Perusahaan
berlomba-lomba untuk menarik minat konsumen dengan menciptakan sesuatu yang serba
bagus dalam kualitas maupun harga yang wajar, sehingga diciptakanlah sesuatu hal yang
dapat menarik para pelanggan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan banyak
konsumen sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan.
Salah satu bisnis yang berusaha menarik minat konsumen dengan menciptakan
sesuatu yang lain dari yang lainnya adalah bisnis hotel. Pada mulanya hotel hanya
berfokus pada penginapan yang disediakan serta kualitas pelayanan yang diberikan
kepada konsumen. Memasuki era globalisasi ini hotel tidak lagi hanya mengandalkan
sekedar tempat menginap saja, dan kualitas layanan serta pelayanan saja, tetapi hotel
mulai memperhatikan tentang suasana, dekorasi dan desain interior (Kurnia, 2006).
Menurut Blackwell, Miniard & Engel (2001) bauran pemasaran dikelompokkan
menjadi 4 kelompok yang dikenal dengan sebutan 4P: product (produk), place (tempat),
price (harga), promotion (promosi). Product adalah barang atau jasa yang ditawarkan
perusahaan kepada konsumen. Place adalah kegiatan dimana perusahaan membuat
produk atau jasa bagi konsumen. Price adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan
oleh konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Promotion adalah suatu kegiatan yang
mengkonsumsikan produk atau jasa yang mempengaruhi konsumen untuk membelinya.
Menurut Lovelock (1998) dalam industri jasa selain 4P yang telah
disebutkan di atas masih ada tambahan lagi antara lain: people (sumber daya
2
manusia). process (proses), physical evidence (bukti fisik) dan customer service
(kualitas layanan). Salah satu karakteristik jasa adalah tidak berwujud. Oleh sebab
itu jasa tidak dapat dinilai sebelum digunakan. Hal tersebut merupakan masalah
bagi konsumen yaitu dalam pengambilan keputusan pembelian. Untuk itu
konsumen memerlukan physical evidence (bukti fisik). Physical evidence sebuah
restoran diantaranya dapat terupa desain interior, menu dan penampilan
karyawan.
Dewasa ini bidang pemasaran dari beberapa dunia usaha menjadi sarana
yang dapat dikatakan penting dalam suatu perusahaan atau dunia usaha, bahkan
dapat dikatakan secara berlebihan, bahwa pemasaran merupakan tulang punggung
keberhasilan suatu perusahaan atau dunia usaha, yang tidak lain adalah
pencapaian tingkat keuntungan atau tingkat profitabilitas usaha yang maksimum.
Dalam arti yang lebih luas kita tidak dapat memisahkan fungsi dari bidang
pemasaran ini menjadi fungsi yang tersendiri dari kegiatannya itu. Dilain hal
dalam pemasaran ini adanya kemungkinan suatu masalah yang dihadapi dan
penanggulangannya harus dipikirkan secermat mungkin. Dari berbagai kendala
atau hambatan-hambatan tersebut dalam pemasaran tidak lain hanyalah berupa
terdapatnya penyimpangan-penyimpangan dari sifat kompleksitas pemasaran itu
sendiri, baik itu ditinjau dari segi mikro maupun ditinjau dari segi makro
perusahaan, dan hal ini sangat mempengaruhi sasaran perusahaan pada umumnya
dan dalam bidang pemasaran itu sendiri khususnya akibat adanya perubahan-
perubahan kebutuhan lingkungan ekonomi yang sedang berjalan, sehingga suatu
perusahaan dituntut untuk menentukan langkah-langkah cermat dalam
3
kegiatannya untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik dalam pemasaran jasa
maupun pemasaran hasil produksi.
Tingkat persaingan antar perusahaan sangat tajam dan kompleks. Hal ini
dapat dirasakan oleh perusahaan besar maupun kecil. Terutama bagi perusahaan
kecil yang mengalami banyak hambatan dalam upaya memasarkan hasil
produksinya, kondisi yang demikian benar-benar menimbulkan permasalahan
yang cukup rumit.
Untuk menghadapi persaingan tersebut, perusahaan yang mengeluarkan
produk sejenis perlu mengambil keputusan strategik dan responsif untuk
mengevaluasi kekuatan, kelemahan, kesempatan dan hambatan yang terjadi di
pasar, sehingga dengan demikian perusahaan secara dini dapat mengetahui
langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam memasarkan produk dan dalam
menghadapi pesaing, sehingga perusahaan diharapkan dapat meningkatkan pangsa
pasar yang dikuasainya. Dalam memperluas pangsa pasar sangat tergantung
berhasil atau tidaknya mengelola aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh
perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut manajer pemasaran harus bisa
mengantisipasi situasi perubahan pasar yang terjadi didalam perusahaan maupun
diluar perusahaan untuk merencanakan kegiatan pemasaran yang tepat dan
berhasil.
Dalam menunjang usaha ini, Hotel Aston Marina Jakarta perlu memiliki
sarana atau alat pemasaran yang baik, yang dalam ilmu pemasaran di kenal
dengan bauran pemasaran (Marketing Mix). Bauran pemasaran bidang jasa terdiri
dari 7 unsur pokok yaitu: produk, harga, tempat, promosi, manusia, bukti fisik dan
4
proses, dari ketujuh unsur bauran pemasaran itu, kegiatan promosi merupakan
suatu sistem pemasaran modern yang mempunyai arti dalam ekspansi dan
pemantapan pasar. Selain itu dalam upaya meningkatkan kepuasan kepada
pelanggan, unsur yang terpenting dalam pemasaran suatu jasa hotel adalah
kualitas layanan yang mencakup unsur manusia.
Kualitas pelayanan dalam industri jasa dan pariwisata memiliki peran yang
sangat strategis untuk mengembangkan bisnis di bidang ini. Semakin baik kualitas
pelayanan yang diberikan oleh industri jasa maka akan semakin tinggi tingkat
kepuasan yang dirasakan pelanggan. Dengan demikian dapat meningkatkan
kepercayaan atau loyalitas pelanggan dalam menggunakan produk jasa yang
ditawarkan. Layanan maupun pelayanan yang diberikan oleh industri pariwisata
terkait erat dengan sumber daya manusia yang terlibat di dalam industri tersebut.
Faktor manusia merupakan salah satu unsur terpenting dalam
meningkatkan kepuasan pelanggan. Dalam upaya mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi dan mampu meningkatkan daya serap teknologi
secara menyeluruh diperlukan persiapan yang matang dengan sebanyak mungkin
menjaring manusia yang mampu mengelola kehidupan secara produktif, efisiensi
dan berkesadaran kebangsaan yang tinggi serta berwatak sosial yang serasi,
selaras dan seimbang dalam bereksistensi terhadap lingkungannya.
Dalam mewujudkan keberhasilan dalam peningkatan kemampuan
karyawan disamping dari beberapa indikator-indikator seperti yang tersebut
diatas, kemampuan karyawan dapat berhasil dengan cara adanya kemauan dari
diri karyawan itu sendiri. Artinya bagaimana cara karyawan tersebut
5
menunjukkan kemampuannya dalam bekerja. Dalam mengembangkan tingkat
kemampuan dan pengetahuan karyawan sangat diperlukan, karena dalam hal ini
karyawan dituntut harus dapat memiliki atau dapat menciptakan suatu metode
yang dapat digunakan untuk mengarahkan dan membentuk atau menciptakan
suatu tatanan metode kerja yang tepat sehingga akan menghasilkan suatu hasil
kinerja yang berkualitas.
Peningkatan, kompetensi karyawan, dan kualitas layanan kepada
pelanggan merupakan upaya meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan
membentuk kualitas layanan terpadu, yaitu sistem kualitas layanan kepada
pelanggan yang dilakukan secara terpadu antara instansi terkait, memudahkan
pelanggan atau tamu hotel dalam mendapatkan kualitas layanan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dalam penelitian ini tertarik memilih
judul: ”Pengaruh Physical Evidence dan People Quality Terhadap Kepuasan
Pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta”.
B. Identifikasi Masalah
Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen/pengunjung untuk
menggunakan jasa hotel, termasuk diantaranya faktor phisical evidence
(sarana/fasilitas fisik) dan quality people (kualitas SDM), Bagaimana pihak
manajemen Hotel Aston Marina Jakarta merespon hal-hal tersebut dalam situasi
persaingan usaha jasa yang semakin ketat.
6
C. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya faktor yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan
pada Hotel Aryaduta, maka perlu dilakukan pembatasan agar penelitian lebih
terfokus.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka masalah yang akan menjadi
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh physical evidence terhadap kepuasan
pelanggan/pengunjung.
2. Bagaimana pengaruh People Quality terhadap kepuasan
pelanggan/pengunjung.
3. Bagaimana pengaruh physical evidence dan people quality secara
bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan/pengunjung.
D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka
penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh physical evidence terhadap kepuasan pelanggan
pada Hotel Aston Marina Jakarta?
2. Apakah terdapat pengaruh people quality terhadap kepuasan pelanggan
pada Hotel Aston Marina Jakarta?
3. Apakah terdapat pengaruh physical evidence dan y people quality secara
bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina
Jakarta?
7
E. Tujuan Penelian
Merujuk pada perumusan masalah tersebut, adapun tujuan penelitian yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh physical evidence terhadap kepuasan
pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta.
2. Untuk mengetahui pengaruh quality people terhadap kepuasan pelanggan
pada Hotel Aston Marina Jakarta.
3. Untuk mengetahui pengaruh physical evidence dan people quality secara
bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina
Jakarta.
F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan
kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
ilmu manajemen pemasaran dengan cara membandingkan teori yang
diperoleh dalam perkuliahan dengan praktek yang ada khususnya
mengenai pengaruh physical evidence dan people quality terhadap
kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta .
2. Secara praktis diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi
Hotel Aston Marina Jakarta dalam mengatasi faktor-faktor penghambat
8
physical evidence dan people quality dalam meningkatkan kepuasan
pelanggan
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dalam membahas masalah
tesis ini, diperlukan suatu pembahasan secara sistematika yang terbagi dalam 5
bab sehingga akan memudahkan bagi pembaca untuk memahami serta mengambil
suatu kesimpulan dari apa yang penulis bahas. Kemudian penulis membagi dan
mengelompokkan menjadi 5 bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini menjelaskan tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab yang kedua ini dibahas tentang pengertian fisik, pengertian
kualitas layanan, system kualitas layanan, physical evidence, services
experience, kerangka pemikiran, dan hipotesis.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini menguraikan tentang waktu dan tempat penelitian,
desain penelitian, operasionalisasi variabel, metode pengumpulan data,
populasi, teknik pengambilan sampel, dan teknik analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN INTERPRETASI
9
Pada bab ini dibahas tentang deskripsi data, pengujian persyaratan
analisis, interprestasi data penelitian, dan uji hipotesis.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini akan diuraikan kesimpulan dan saran yang
mungkin berguna bagi organisasi dan pihak-pihak lain yang
memerlukannya.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaahan Teori dan Literatur
1. Pengertian Jasa
Menurut Philip Kotler (1994: 464) definisi jasa adalah :
“A service is any act or performance that one party can offer to another
that is essencially intangible and does not result in the ownership of
anything. Its production may or may not be tied to physical product”.
Selanjutnya American Marketing Association (1981: 441) mendefinisikan
jasa sebagai berikut :
“Services are those seperately identifiable, essential intangible activities
which provide want satisfaction and that is not necessarily tied to the sales
of a product or another sevice. To produce a service may or may not
required, there is no transfer of title (permanent ownership) to these
tangible goods”.
Jasa pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan
cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki serta pelanggan lebih
dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.
Dalam strategi pemasaran, definisi jasa harus diamati dengan baik, karena
pengertiannya sangat berbeda dengan produk berupa barang.
Kondisi dan cepat lambatnya pertumbuhan jasa akan sanagt tergantung
pada penilaian pelanggan terhadap kinerja (penampilan) yang ditawarkan
oleh pihak produsen.
11
Oleh karena keragamannya, jasa secara tradisional sulit didefinisikan dan
yang lebih menyulitkan lagi adalah kenyataan bahwa cara menciptakan
dan mengirimkan jasa kepada pelanggan sering sulit dipahami, karena
banyak masukan dan keluaran yang tidak nyata.
Kebanyakan orang tidak terlalu sulit mendefinisikan manufaktur atau
pertanian, tetapi mereka sangat sulit mendefinisikan jasa.
Berikut ini secara esensi, dapat dilakukan dua pendekatan :
Jasa adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada
pihak lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik,
kinerjanya pada dasarnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan
kepemilikan atas faktor-faktor produksi.
Jasa adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat
bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan
mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama
penerima jasa tersebut.
2. Karakteristik Jasa
Menurut Philip Kotler, Karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Intangible (tidak berwujud)
Suatau jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan
dan dinikmati sebelum dibeli oleh konsumen.
b. Inseperability (tidak dapat dipisahkan)
12
Pada umumnya jasa yang diproduksi (dihasilkan) dan dirasakan
pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seorang untuk
diserahkan kepada pihak lainnya, maka dia akan tetap merupakan
bagian dari jasa tersebut.
c. Variability (bervariasi)
Jasa senantiasa mengalami perubahan, tergantung dari siapa
penyedia jasa, penerima jasa dan kondisi dimana jasa tersebut
diberikan.
d. Perisability (tidak tahan lama)
Daya tahan suatu jasa tergantung dari suatu situasi yang diciptakan
oleh berbagai faktor.
3. Physical Evidence
Bitner (1992) merujuk physical evidence sebagai “built
environment” atau secara khusus sebagai “man-made, physical
surrounding as opposed to the natural or social environment”. Untuk itu,
ada dua aspek penting dari physical evidence, yaitu: spatial layout and
functionality serta elemen-elemen yang berhubungan dengan aesthetic
appeal. Aspek yang pertama merujuk pada bagaimana cara mendesain
dan mengatur seats, aisles, hallways, walkways, food service lines, rest-
rooms, entrance, dan exits dalam setting wisata leisure. Tempat wisata
leisure – seperti opera, theater, konser – sangat memerlukan tata letak dan
fungsionalitas yang baik, sebab hal tersebut akan mempengaruhi rasa
13
nyaman para pengunjung. Aspek kedua – aesthetic appeal – merujuk pada
faktor seperti: lingkungan eksternal yang ada di sekitar tempat wisata,
desain arsitektural, fasilitas yang terpelihara dan bersih, tanda-tanda, dan
elemen-elemen fisik lainnya yang bisa dilihat oleh dilihat dan dievaluasi
kualitasnya oleh pengunjung. Faktor estetis penting karena variabel ini
mempengaruhi suasana (ambience) tempat di mana pengunjung berada.
Berdasarkan persepsi pada dua variabel tersebut, maka pengunjung akan
memikirkan dan merasakan (secara emosional dan fisikal), yang pada
akhirnya akan menuntun pengunjung untuk menerima atau menolak
kualitas layanan di tempat wisata tersebut.
Pendekatan seperti itu digunakan oleh para pemasar dan akademisi
berdasarkan pendekatan environmental psychology. Bidang ini
mempelajari bagaimana orang merespon pada lingkungan. Berdasarkan
model Mehrabian-Russell (Gambar 1), dapat dinyatakan bahwa feeling
merupakan kunci penggerak respon pengunjung pada lingkungan kualitas
layanan. Perasaan merupakan titik pusat model, daripada persepsi atau
pikiran, yang akan menggerakkan perilaku. Contoh: kita berada pada
sebuah lingkungan yang penuh sesak. Kerumunan yang padat dapat
diartikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak bisa
dikendalikan, atau kita tidak mampu memperoleh apa yang kita inginkan
secara cepat. Akan tetapi, kita belum tentu menolak situasi tersebut
sesederhana asumsi-asumsi tersebut. Jika kita memiliki banyak waktu
dan merasa senang menjadi bagian dari suatu kerumunan (misal:
14
menonton konser Earth, Wind & Fire), maka ekspos terhadap suatu
kerumunan mungkin akan mengarahkan kita pada perasaan “pleasure dan
excitement” yang akan membuat kita ingin tetap tinggal dan
mengeksplorasi lingkungan yang berjejal tersebut.
Dalam industri ritel, lingkungan toko ditata sedemikian rupa
dengan tujuan agar pembelanja terdorong untuk lebih banyak
menghabiskan waktu untuk berbelanja di toko tersebut. Jumlah waktu
yang dihabiskan oleh pembelanja (bukan di dalam antrian) mungkin
merupakan satu-satunya variabel yang bisa memprediksi berapa banyak
pembelanja akan menghabiskan uangnya. Semakin banyak waktu yang
dihabiskan, semakin tinggi jumlah uang yang dibelanjakan (Berman &
Evans, 2004). Analog dengan situasi tersebut, kondisi tersebut juga
berlaku dalam setting wisata leisure. Contoh: semakin banyak waktu
yang dihabiskan wisatawan untuk melihat cindera mata dan tanaman yang
ada di Bloemenmarkt-Singel, maka semakin tinggi probabilitas wisatawan
untuk membeli produk yang dijual di pasar bunga yang terletak di antara
Muntplein dan Koningplein (Amsterdam) tersebut.
4. People Quality (Kualitas SDM)
People Quality (Kualitas SDM) pada dasarnya merupakan
pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang
merupakan prioritas dan tantanganyang harus dihadap[i dalam menyambut
era globalisasi. Salah satu usaha organisasi yang diterapkan dalam
15
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah penerapan peran
Total Quality Management (TQM) atau di Indonesia dikenal istilah
Pengendalian Mutu Terpadu (PMT). TQM merupakan suatu pendekatan
dalam menjalankan usaha untuk memaksimalkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungannya.
Agar organisasi memiliki daya saing yang tinggi dalam skala
global, maka organisasi tersebut harus mampu melakukan pekerjaan secara
lebih baik, efektif dan efisien dalam menghasilkan barang dan jasa yang
berkualitas tinggi dengan harga yang bersaing. Untuk menghasilkan
barang dan jasa yang bersaing, pada masa mendatang bukan lagi
mengandalkan keunggulan komparatif saja tetapi harus meningkatkan
keunggulan kompetitif. Pengelolaan sumber daya alam akan memiliki
keunggulan kiompetitif jika sumber daya manusia memiliki potensi yang
tinggi untuk mengelolanya.
TQM diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke
dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas,
teamwork, produktivitas serta kepuasan pelanggan (Pawitra, 1993: 135).
Definisi lainnya menyatakan TQM merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing
organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 4).
16
Dasar pemikiran perlunya TQM, yakni bahwa cara terbaik agar bersaing
dan unggul dalam persaingan global adalah dengan menghasilkan kualitas
yang terbaik. Untuk menghasilkan kualitas terbaik diperlukan upaya
perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan komponen-komponen
tersebut secara berkesinambungan adalah dengan menerapkan peran TQM.
Penerapan TQM dalam suatu perusahaan dapat memberikan beberapa
manfaat utama yang pada gilirannya meningkatkan laba serta daya saing
perusahaan bersangkutan.
Produk, kualitas SDM, kepuasan pelanggan dan profitabilitas
perusahaan saling berhubungan erat. Semakin tinggi kualitas produk dan
kualitas SDM dalam memberikan pelayanan, semakin tinggi pula tingkat
kepuasan pelanggan yang didukung oleh kewajaran harga. Pelanggan
dalam melakukan pilihan akan selalu membandingkan yang mereka
harapkan (expectation customer) dengan apa yang benar-benar mereka
terima selama pasca pembelian dalam proses pembelian jasa (perceptions
customer). Apabila kualitas jasa yang sebenarnya berada dibawah yang
diharapkan pelanggan maka muncullah kesenjangan (customer gap).
Kesenjangan kualitas adalah perbedaan antara kinerja penyedia jasa dan
harapan-harapan pelanggan. Christopher H Lovelock dan Lauren K
Wright (hal 97-98, 2005) mengemukakan 7 kesenjangan kualitas yaitu:
1. Kesenjangan pengetahuan yaitu perbedaan antara apa yang diyakini
penyedia jasa akan diharapkan pelanggan dan kebutuhan dan harapan
pelanggan yang sesungguhnya.
17
2. Kesenjangan standar yaitu perbedaan antara persepsi manajemen
terhadap harapan pelanggan dan standar kualitas yang ditetapkan untuk
penyerahan jasa.
3. Kesenjangan penyerahan yaitu perbedaan antara standar penyerahan
yang ditentukan dan kinerja penyedia jasa yang sesungguhnya
4. Kesenjangan komunikasi internal yaitu perbedaan apa yang dianggap
oleh iklan dan tenaga penjual perusahaan tersebut sebagai fitur produk,
kinerja dan tingkat kualitas jasa dan apa yang benar-benar dapat
diserahkan oleh perusahaan.
5. Kesenjangan persepsi yaitu perbedaan antara apa yang benar-benar
diserahkan dan apa yang dianggap pelanggan telah mereka terima
(karena mereka tidak dapat menilai kualitas jasa secara akurat).
6. Kesenjang interpretasi yaitu perbedaan antara apa yang sesungguhnya
dijanjikan penyedia jasa dalam upaya-upaya komunikasinya dan apa
yang pelanggan pikir telah dijanjikan dalam komunikasi tersebut.
7. Kesenjangan jasa yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan
pelaggan akan mereka terima dan persepsi mereka terhadap jasa yang
benar-benar diserahkan.
A Parasuraman dan A Zeithaml (tahun: hal) mengidentifikasikan
dalam 5 kesenjangan yaitu:
1. Kesenjangan tingkat kepentingan konsumen dan persepsi manajemen
18
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap tingkat kepentingan
konsumen dan spesifikasi kualitas jasa
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa
4. Kesenjangan antara penyampaian jasa komunikasi eksternal
5. Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan
Kesenjangan jasa bukanlah satu-satunya cara pelanggan menilai
kualitas jasa. Mereka mengenal 5 dimensi yang dikenal sebagai
SERVQUAL, Lovelock dan Wright dalam alih bahasa Agus
Widyantoro(hal (2005: 98-99) mengemukakan ke lima dimensi tersebut
sebagai berikut:
1. Kehandalan (reliability): apakah perusahaan dapat diandalkan dalam
menyediakan jasa seperti yang dijanjikan dari waktu ke waktu
2. Keberwujudan (tangible): seperti apa yang terlihat fasilitas fisik,
perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi penyedia jasa tersebut.
3. Daya tanggap (responsiveness): apakah karyawan perusahaan tersebut
senang membantu dan mampu memberikan jasa yang cepat.
4. Jaminan (assurance): apakah karyawan jasa memiliki pengetahuan
yang cukup, sopan, kompeten dan dapat dipercaya.
5. Empati (emphaty): apakah perusahaan jasa tersebut memberikan
perhatian yang besar dan khusus.
19
Dalam rangka menghasilkan suatu pelayanan yang berkualitas,
perusahaan diharapkan dapat pula mengukur kualitas sumber daya
manusianya dalam melaksanakan pelayanan kepada pelanggannya.
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (Rambat Lupiyoadi dan A Hamdani, hal
182, 2006) dalam studi penelitiannya dengan menggunakan SERVQUAL
menyimpulkan bahwa keandalan merupakan dimensi yang paling kritis,
kemudian jaminan, keberwujudan (terutama perusahaan perbankan),
ketanggapan, yang terakhir emphaty.
5. Service Experience
Saat ini, para pemasar di industri kualitas layanan berusaha
memberikan “experience” pada pelanggan. Sebab, jantung dari produk
layanan adalah pengalaman yang didapat oleh konsumen yang terjadi
secara real time (Bateson, 1995; Berman & Evans, 2004; Haeckel et. al.,
2003). Pengalaman tersebut biasanya merupakan proses interaktif yang
menghasilkan manfaat yang diinginkan oleh konsumen. Oleh karena itu,
mendesain proses layanan merupakan kunci untuk setiap desain produk
yang ditawarkan oleh perusahaan jasa. Tawaran experience yang
ber-‘resonansi’ kepada konsumen akan berbuah pada kesetiaan pelanggan
(Haeckel et. al., 2003).
Proses interaktif yang kasat mata merupakan dasar yang digunakan
oleh konsumen dalam memilih produk. Selanjutnya, proses yang bersifat
kasat mata tersebut sebenarnya didukung oleh komponen-komponen yang
20
tidak kasata mata, yaitu komponen yang menyediakan penatausahaan dan
pemeliharaan fasilitas fisik. Ketika kualitas layanan diberikan kepada
beberapa kelompok konsumen secara simultan, maka manfaat yang
didapat merupakan turunan dari interaksi diantara konsumen tersebut.
Oleh Langeard dan Eiglier (dalam Bateson, 1995) situasi tersebut
dimodelkan dalam bentuk yang diberi label sebagai servuction. Jadi,
servuction merupakan model untuk menggambarkan interaksi konsumen
dengan bagian kasat mata dari suatu sistem dan interaksi dengan
konsumen lain untuk menghasilkan suatu service experience. Selanjutnya,
keseluruhan sistem servuction akan menghasilkan experience, dan
sebaliknya, experience akan menghasilkan manfaat bagi konsumen.
Menurut Haeckel et al. (2003), ada tiga prinsip dasar yang harus
dilakukan untuk menghasilkan distinctive customer value melalui
experience, yaitu: fuse experiential breadth and depth, use mechanics and
humanics to improve function, connect emotionally.
Fuse experiential breadth and depth. Luasnya experiential
mengacu pada urutan experience yang dialami konsumen ketika
berinteraksi dengan perusahaan. Experiences ini mungkin dimulai sejak
konsumen melewati pintu perusahaan. Misal: tamu hotel memulai
experiences-nya sejak berjalan menuju lobby. Apakah staf reservasi
kompeten dan ramah? Apakah hotel tersebut mudah ditemukan dan
dijangkau? Apakah paket promosi yang ditawarkan hotel didesain dengan
baik dan informatif? Apabila pihak hotel mampu memberikan clue/tanda-
21
tanda yang menyebabkan tamu memperoleh experiences yang
menyenangkan, maka tanda-tanda tersebut akan menghasilkan persepsi
positif di mata tamu hotel.
Sedangkan experiential depth merujuk pada jumlah dan variasi dari
sensory clues pada setiap tahapan experiences. Semakin banyak lapisan
dari multi-sensory clues yang memperkuat impresi yang ditargetkan, maka
semakin sukses perusahaan tersebut dalam menjangkar dan menopang
impresi yang ada dalam persepsi konsumen.
Kesamaan atau fusi dari tanda-tanda yang ada dalam dan diantara
tahapan experience merupakan hal yang kritis. Ketidaksamaan tanda-
tanda akan menghasilkan sebuah ketidaksamaan pesan sehingga
memungkinkan konsumen me-recall sebagian experience yang paling
berbeda terhadap kebutuhan mereka. Hal ini bisa menjelaskan mengapa
suatu ruang yang luas, lobby hotel dengan mebel yang bagus tidak mampu
mendandani/memberikan experience yang positif dari ruangan hotel yang
berjejal serta menggunakan mebel yang jelek. Tamu tidak tinggal di
lobby. Artinya, kalau tanda-tanda yang ada di lobby sejajar dengan tanda-
tanda yang ada di ruang tamu, maka experience yang ada di satu ruangan
akan memperkuat experience di ruangan yang lain. Yang terjadi adalah
sebaliknya, tamu me-recall ruang tamu hotel yang “bermutu rendah”
sebagai sentral experience-nya, melupakan experience di lobby yang
“bermutu tinggi”.
22
Use mechanics and humanics to improve function. Tanda-tanda
yang bersifat mekanis dan humanis, dalam beberapa kasus, dapat
meningkatkan fungsionalitas suatu produk (barang/layanan). Konsumen
memproses tipe-tipe perbedaan ini secara holistik. Stimuli yang
membungkus produk dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap
kualitas fungsional.
Cara-cara mekanis dan humanis harus diberikan secara simultan
dan dicampur dengan tanda-tanda fungsional yang ditawarkan dalam clues
experience yang didukung secara timbal balik. Sebuah restoran yang
memiliki pemandangan langsung ke taman yang asri tentu saja lebih
menarik daripada yang dibatasi oleh tembok yang masif. Oleh karena itu,
lingkungan luar sebuah restoran dapat didesain agar dapat tetap menjaga
privasi pengunjung tetapi memiliki akses yang luas untuk melihat
lingkungan/pemandangan indah sekitarnya.
Connect emotionally. Perusahaan yang memiliki sistem
manajemen experience yang efektif memahami dan menanggapi
kebutuhan emosional dari konsumen mereka. Perusahaan tersebut harus
meramu sebuah seri tanda-tanda yang didesain untuk memprovokasi reaksi
emosional yang positif, seperti: joy, awe, interest, affection, dan trust.
Menjadi tugas perusahaan untuk mengintegrasikan value emosional dalam
total experience sebab konsumen tidak membuat keputusan pembelian
dalam ruang hampa (Drucker, 1991).
23
Mengelola experiences konsumen membutuhkan awareness dari
semua indera yang ada. Penglihatan, gerakan, suara, rasa, bau, dan
sentuhan merupakan jalan langsung menuju emosi konsumen.
Berhubungan langsung dengan konsumen secara sensory merupakan hal
krusial dalam mengelola elemen-elemen emosional yang positif dari suatu
experience.
Service experience memainkan peran penting dalam wisata leisure
karena pengkonsumsian layanan jenis ini juga dikendalikan oleh motif-
motif hedonis (emosional). Konsumsi hedonis dapat didefinisikan sebagai
semua asperk perilaku konsumen yang diasosiasikan dengan multisensory,
fantasi, dan elemen-elemen emosi dari pengalaman pengkonsumsian suatu
produk (Hirschman & Holbrook, 1982 dalam Mattila, 2001). Artinya,
wisatawan tidak sekedar hanya menginginkan kualitas dari layanan
diberikan provider (misal: apakah makanan yang dipesan disajikan dalam
waktu yang cepat) tetapi wisatawan juga ingin mengekspresikan diri.
Wisatawan ingin mengekspresikan mengapa mereka pergi ke taman,
theater, atau menonton liga primer. Semua itu dilakukan karena wisatawan
ingin mendapatkan kegembiraan, stimulasi (Wakefield & Blodgett, 1994),
bahkan sensasi (misal: naik roller coaster).
Oleh karena itu, paper ini ingin membahas peran fasilitas fisik –
diberi label “physical evidence” oleh Bitner (1992) – dalam wisata
leisure. Sebab, physical evidence memainkan peran penting dalam
24
meningkatkan atau menekan kebutuhan emosi yang ingin didapatkan oleh
wisatawan (Wakefield & Blodgett, 1994).
6. Pengertian Kepuasan Pelanggan
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya (Oliver,
1980). Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara
kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja sesuai dengan
harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh
pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan
informasi pemasar dan saingannya. Pelanggan yang puas akan setia lebih
lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik
tentang perusahaan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan pada dasarnya kepuasan
pelanggan merupakan kesesuaian antara harapan dengan kinerja yang diterima
pelanggan menurut pendapat Engel, et al dalam Tjiptono (2004 :146)
mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna
beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil
(outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan. Kotler, dkk (2001 :
50) menandaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan
dengan harapan.
25
Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, perusahaan harus
menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan
yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pelanggannya.
7. Manfaat Kepuasan Pelanggan
Pada prinsipnya, kualitas jasa berpotensi menciptakan kepuasan pelanggan
yang pada gilirannya akan memberikan sejumlah manfaat seperti
(Tjiptono dan Gregorius 2004 : 140) :
1. Terjalin relasi saling menguntungkan jangka panjang antar perusahaan
dan para pelanggan,
2. Terbukanya peluang pertumbuhan bisnis melalui pembelian ulang,
cross-selling dan up-selling (penjualan silang dan penjualan keatas).
3. Loyalitas pelanggan dapat terbentuk.
4. Terjadinya komunikasi mulut ke mulut (gethok tular) positif yang
berpotensi menarik pelanggan baru.
5. Presepsi pelanggan dan public terhadap reputasi perusahaan semakin
positif.
6. Laba yang duperoleh bisa meningkat.
Harapan pelanggan mempunyai peranan yang besar dalam
menentukan kualitas produk jasa dan kepuasan pelanggan. Dalam konteks
kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan/keyakinan
pelanggan tentang apa yang akan diterimanya (Zeithmal, et al. 1993).
Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa factor
diantaranya pengalaman berbelanja dimasa lampau, opini teman dan
kerabat serta informasi dan janji perusahaan dan para pesaing (Kotler
26
1995).
8. Atribut-atribut Pembentuk Kepuasan Pelanggan
Bahwa menurut Hawkins dan Lonney dalam Maylina (2003: 102), atribut-
atribut pembentuk kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang
dikenal dengan “The Big Eight” yang terdiri dari :
a. Value to Price Relationship
Yaitu merupakan hubungan antara harga dan nilai produk yang
ditentukan oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh pelanggan
terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh badan usaha.
b. Product Qulity
Yaitu merupakan mutu dari semua komponen-komponen yang
membentuk produk sehingga produk tersebut mempunyai nilai tambah
atau dapat memberikan manfaat kepada pelanggannya.
c. Product Features
Artinya merupakan komponen-komponen fisik dari suatu produk yang
menghasilkan menfaat.
d. Reliability
Artinya merupakan gabungan dari kemampuan suatu produk dari
badan usaha yang dapat diandalkan, sehingga suatu produk yang
dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan
atau sesuai harapan pelanggan.
27
e. Warranty
Yaitu penawaran untuk pengembalian harga pembelian atau
mengadakan perbaikan terhadap produk yang rusak dalam suatu
kondisi dimana suatu produk mengalami kerusakan.
f. Respone to and remedy of problems
Artinya merupakan sikap dari karyawan didalam memberikan
tanggapan terhadap keluhan atau membantu pelanggan didalam
mengatasi masalah yang terjadi.
g. Sales Experience
Artinya merupakan hubungan antar pribadi antara karyawan dengan
pelanggan khususnya dalam hal komunikasi yang berhubungan dengan
pembelian.
h. Convenience of Acquisition
Artinya merupakan kemudahan yang diberikan oleh badan usaha pada
pelanggan terhadap produk yang dihasilkannya.
9. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Sedangkan menurut Kotler dalam Tjiptono (2004:148)
mengemukakan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan,
yaitu:
a. Sistem Keluhan dan Saran.
Setiap perusahan yang berorientasi pada pelanggan (Customer
oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para
pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan
mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang
28
letakkan ditempat strategis, menyediakan kartu komentar,
menyediakan saluran telepon khusus, dan lain-lain.
b. Survai kepuasan pelanggan
Melalui survai perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan
balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan
tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap
para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan dengan metode
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :
c. Directly reported satisfaction
Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti
“ungkapkan seberapa puas saudara terhadap pelayanan Po. Timbul
Jaya pada skala berikut :sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas,
sangat puas”.
d. Derived dissatisfaction
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni
besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya
kinerja yang mereka rasakan.
e. Problem analysis
Pelanggan diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama,
masalah–masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran
dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.
f. Importance performance analysis
Dalam tehnik ini responden diminta untuk meranking berbagai
elemen dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen
tersebut.
g. Ghost shopping
29
Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa
orang untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan produk
perusahaan dan pesaing. Lalu Ghost shopper menyampaikan temuan-
temuan mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan
pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-
produk tersebut. 8. Lost customer analysis
Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi para
pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih
pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperolehnya informasi
penyebab terjadinya hal tersebut.
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian teoretik maka dapat
disusun sebuah kerangka berpikir sebagai berikut:
a. Pengaruh physical evidence terhadap kepuasan pelanggan
Physical evidence adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan fasilitas
fisik yang dimiliki oleh suatu produk, yang dalam hal ini adalah sarana hotel,
seperti halnya fasilitas gedung, kamar, dapur, kamar mandi, ruang tunggu,
tempat parker, perabot gedung/kamar, sarana administrasi, alat-alat penunjang
kegiatan administrasi, dan lain-lain. Semakin lengkap atau semakin bagus
kulitas fasilitas fisik yang dimiliki oleh sebuah hotel maka akan semakin
tinggi tingkat kepuasan yang dimiliki oleh pelanggan. Dengan demikian dapat
diduga bahwa physical evidence memiliki pengaruh terhadap kepuasan
pelanggan.
b. Pengaruh people quality (kualitas SDM) terhadap kepuasan pelanggan
30
Kualitas sumber daya manusia pada dasarnya adalah sebuah proses yang
melibatkan interaksi antara pihak yang melayani, dalam hal ini manajemen
hotel, dan pihak yang menerima kualitas pelayanan, dalam hal ini
konsumen/pelanggan. Kemampuan setiap orang dipengaruhi oleh beberapa
factor yang dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu keterampilan kerja dan
motivasi atau etos kerja. Semakin tinggi tingkat kualitas layanan yang
diberikan manajemen hotel terhadap konsumen maka akan semakin tinggi
pula kepuasan yang diperoleh pelanggan. Dengan demikian dapat diduga
terdapat pengaruh kualitas layanan dengan terhadap kepuasan pelanggan.
c. Pengaruh physical evidence dan people quality secara bersama-sama terhadap
kepuasan pelanggan
Telah diuraikan di atas bahwa physical evidence dan service quality memiliki
pengaruh secara sendiri-sendiri terhadap kepuasan pelanggan. Berdasarkan
uraian tersebut maka dapat diduga pula terdapat pengaruh kedua variabel
secara bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan.
Hubungan antara physical evidence dan people quality terhadap kepuasan
pelanggan dalam bentuk bagannya dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2.
Bagan Pengaruh Physical Evidence dan People Quality
Terhadap Kepuasan Pelanggan
31
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir sebagaimana diuraikan pada halaman-
halaman sebelumnya, maka hipotesis penelitian disusun sebagai berikut:
H1: Physical Evidence memberikan pengaruh terhadap kepuasan
pelanggan.
H2: Service Quality memberikan pengaruh terhadap kepuasa pelanggan
H3: Physical evidence dan service quality secara bersama-sama
memberikan pengaruh terhadap kepuasan pelanggan
Physical Evidence
People Quality
Kepuasan Pelanggan
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil obyek penelitian di
Hotel Aryaduta Tangerang. Penelitian mulai dilaksanakan pada Agustus 2009
sampai Oktober 2009.
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua Karyawan dan Pengunjung Hotel
Aryaduta Tangerang yang berjumlah 100 orang. Sementara sampel penelitian ini
adalah sebanyak 60 karyawan dan pengunjung dari total populasi penelitian.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana (simple
random sampling), di mana setiap anggota populasi diberi kesempatan yang sama
untuk menjadi sampel penelitian. Penentuan sampel dilakukan dengan cara
undian.
Dilakukan teknik acak atau random, karena dalam pengambilan sampelnya
dilakukan dengan mencampur subyek-subyek yang ada dalam populasi tersebut
sehingga semua subyek dianggap mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
kesempatan untuk dipilih menjadi sampel.
33
C. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis membuat penelitian dengan menggunakan
dua variabel bebas yaitu physical evidence (X1) dan people quality (X2) dan satu
variabel terikat yaitu kepuasan pelanggan (Y).
2. Definisi Operasional variabel
Mengacu pada kajian teori yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
maka secara operasional variabel-variabel yang akan diteliti didifinisikan sebagai
berikut:
a. Physical Evidence adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan fasilitas fisik yang dimiliki oleh suatu produk, yang dalam hal ini
adalah sarana hotel, seperti halnya fasilitas gedung, kamar, dapur, kamar
mandi, ruang tunggu, tempat parker, perabot gedung/kamar, sarana
administrasi, alat-alat penunjang kegiatan administrasi, dan lain-lain.
b. People Quality pada dasarnya adalah sebuah proses yang
melibatkan interaksi antara pihak yang melayani, dalam hal ini sumber daya
manusia hotel, dan pihak yang menerima kualitas pelayanan, dalam hal ini
konsumen/pelanggan. Kemampuan setiap orang dipengaruhi oleh beberapa
factor yang dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu keterampilan kerja
dan motivasi atau etos kerja
c. Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan kinerja (hasil) suatu
produk dan harapan-harapannya.
34
3. Teknik Pengambilan Data
Untuk memperoleh data yang obyektif, valid dan dapat dipercaya, peneliti
akan menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
responden yaitu para Karyawan dan Pengunjung Hotel Aston Marina Jakarta,
yang terpilih sebagai sampel pengambilan data. Bentuk alat pengumpul data yang
dimaksud adalah questionnaire yang dikembangkan oleh peneliti.
4. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan 3 (tiga) macam instrumen penelitian yang
difungsikan untuk mengukur variabel penelitian. Ketiga instrumen tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Instrumen Physical Evidence
b. Instrumen People Quality
c. Instrumen Kepuasan Pelanggan
Seluruh instrumen tersebut dikembangkan oleh peneliti dengan mengikuti
prosedur pembuatan instrumen penelitian, yakni, masukan para ahli (expert
appraisal), dan uji coba instrumen, baik dilakukan pada kelompok kecil maupun
kelompok besar.
Ketiga instrumen ini dikembangkan dengan skala Likert (Likert Scale)
yang terdiri atas 5 (lima) rentang:
a. SS = (Sangat Setuju)
b. S = (Setuju)
c. KS = (Kurang Setuju)
d. TS = (Tidak Setuju) dan
35
e. STS = (Sangat Tidak Setuju).
Masing-masing rentang mempunyai nilai SS = 5; S = 4; KS = 3; TS = 2;
dan STS = 1. Seluruh butir pertanyaan/pernyataan untuk mengukur instrumen
Physical evidence, kualitas layanan dan kepuasan pelanggan adalah 10, 14, dan 10
item pertanyaan masing-masingnya. Dengan demikian setiap instrumennya
mempunyai rentang nilai 10 – 70.
5. Disain Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan disain ex post facto dimana data
yang dianalisis dikumpulkan setelah data yang dimaksud terjadi sebelumnya.
Peneliti, dalam hal ini, tidak melakukan intervensi atau manipulasi tertentu atas
terbentuknya data penelitian.
Sesuai dengan hakikat tujuan penelitian yang diantisipasi dalam penelitian
ini, yaitu, hubungan antara variabel terikat (dependent variable) dengan sejumlah
variabel bebas (independent variable), maka disain penelitian secara sederhana
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1.
Disain Penelitian Expost Facto yang Melibatkan Hubungan antara Sebuah Variabel
Terikat (Y) dengan Beberapa Variabel Bebas (X)
X1 Y
X2 Y
R
36
6. Teknik Analisis Data
Untuk mengukur dan menguji hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat, dimana variabel bebasnya terdiri dari lebih dari satu variabel,
maka pengujian data dilakukan dengan menggunakan analisis Komputer Statistik
SPSS for Windows Ver. 16 guna memproses data dari responden yang
memberikan penilaian dari kuesioner yang dinyatakan dalam angka-angka dalam
Skala Likert.
Program Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS for
Windows Ver. 16 terdiri dari beberapa pokok bahasan antara lain mengenai uji t-
test, Analysis of Variance (ANOVA), Multiple Regression, analisis diskriminan,
Logistic Regression dan uji reliabilitas dan validitas.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bateson, John E.G. 1995. Managing Services Marketing: text and reading. Fort Worth: Dryden Press.
Berman, Barry & Evans, Joel R. 2004. Retailing Management and Strategic Approach (9 th ed) . New Jersey: Prentice Hall.
Berry, Leonard L. And A. Parasuraman, (1995), Marketing Services, Macmillan Inc. USA
Bitner, Mary Jo, 1992. Physical evidence: The Impact of Physical Surrounding on Customers and Employees. Journal of Marketing, Vol. 56, April, pp. 57-71.
Bright, Alan D. 2000. The Role of Social Marketing in Leisure and Recreation Management. Journal of Leisure Research, Vol. 32, No. 1, pp. 12-17.
Cooper, Donald R and C. William Emory, (1995), Business Reseach Method, Richard D. Irwin, Inc.
Drucker, Peter F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-dasar. Jakarta: Erlangga.
Haeckel, Stephan H.; Carbone, Lewis P; & Berry, Leonard L. 2003. How to Lead the Customer Experience. Marketing Management, Januari-February, 18, pp. 19-23.
Kasali, Rhenald. 2004. Jangan Abaikan Pariwisata. (online, http://jkt.detik.com/ kolom/rhenal/bbisnis/200409/20040923-140434.shtml, diakses 19 Januari 2006).
Kotler, Philip.2000. Marketing Management. 10th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Mattila, Anna S. 2001. Do Emotional Appeals Work for Hotel? An Exploratory Study. Journal of Hospitality & Tourism Research, Vol. 25, No. 1, February, pp. 31-45.
Morgan, Michael. 1996. Marketing for Leisure and Tourism. London: Prentice Hall.
38
Richardson, Paul; Jain, Arun K., & Dick, Alan. 1996. The Influence of Store Aesthetics on Evaluation of Private Label Brands. Journal of Product & Brand Management, Vol. 5, No. 1, pp. 19-28.
Vellas, Francois & Becherel, Lionel (eds.). 1999. The International Marketing of Travel and Tourism: a strategic approach . New York: Palgrave MacMillan.
Wakefield, Kirk L. & Blodgett, Jeffrey G. 1994. The Importance of Physical evidence in Leisure Service Setting. Journal of Services Marketing, Vol. 8, No. 3, pp. 66-76.
Wakefield, Kirk L. & Blodgett, Jeffrey G. 1996. The Effect of The Physical evidence on Customers’ Behavioral Intentions in Leisure Service Setting. Journal of Services Marketing, Vol. 10, No. 6, pp. 45-61.
Zeithmal, & Bitner (2003), Services Marketing: Intergrating Customer Focus Across the Firm, McGraw Hill, chapters 1, 3 and 6.
39
top related