proposal thesis hukum
Post on 09-Feb-2016
52 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA
(Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan
Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)
A. Latar Belakang Masalah
Suatu peraturan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah,
keputusan presiden, keputusan menteri, hingga peraturan daerah (Perda),
dikeluarkan dan ditetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan, perhitungan,
dan kajian luas yang sangat signifikan. Jika suatu peraturan perundangan telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini bisa berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan
sebagainya, sudah pada tempatnya jika secara struktural, pemerintahan di
bawahnya, misalnya pemerintahan provinsi (pemprop), pemerintahan
kabupaten (pemkab), hingga dinas-dinas yang ada di daerah, untuk mematuhi
segala peraturan dari pemerintah pusat tersebut. Hal ini tidak terlepas dari
adanya ciri atau karakter dari hukum sebagai hukum normatif.
Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum, bersifat
mengatur dan mengikat setiap bagian yang ada dalam peraturan perundangan
tersebut. Kata perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), diartikan sebagai yang bertalian dengan undang-undang atau seluk
beluk undang-undang. Sedang kata undang-undang diartikan ketentuan-
ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah
(menteri, badan eksekutif, dan sebagainya) disahkan oleh parlemen (dewan
perwakilan rakyat, badan legislatif, dan sebagainya) ditandatangani oleh
kepala negara (Presiden, Kepala Pemerintah, Raja) dan mempunyai kekuatan
yang mengikat.1
Dalam dunia hukum, kata/istilah peraturan perundang-undangan
mempunyai pengertian sendiri, apabila kata/istilah merupakan terjemahan dari 1 W.J.S. Poerwodarminto. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai
Pustaka. hal. 215
1
kata wetgeving atau wettelijke regelingen, maka menurut A. Hamid, SA yang
mengutip dari Kamus Hukum Fockema Andreae kata wetgeving diartikan:
1. Perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau
tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan;
2. Keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah.
Sedangkan kata wettelijke regeling diartikan sebagai peraturan-peraturan yang
bersifat perundang-undangan.2
Berdasarkan kutipan di atas, peraturan perundang-undangan adalah
keseluruhan aturan tertulis yang dibuat olehpejabat/lembaga negara Pusat dan
Daerah yang berwenang untuk itu, yang isinya mengikat secara umum.
Pengertian aturan tertulis adalah sebagai lawan dari aturan tidak tertulis yang
lebih terkenal dengan istilah hukum adat atau hukum kebiasaan. Sedangkan
pejabat/lembaga yang berwenang untuk membuat aturan tertulis adalah
pejabat/lembaga yang diberikan kewenangan atribusi atau delegasi oleh UUD
atau UU atau peraturan perundang-undangan lainnya, untuk membentuk
aturan tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Kewenangan
atribusi (atributiewetgevende bevoegdheid) biasanya diberikan oleh suatu
Undang-Undang Dasar (UUD) atau suatu undang-undang (UU) kepada
pejabat/lembaga negara tertentu untuk membentuk peraturan perundang-
undangan. Kewenangan ini bersifat original (asli). Artinya sebelum ditentukan
oleh suatu UUD atau UU kewenangan ini belum ada. Misalnya kewenangan
DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang (UU) ditentukan oleh
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Contoh lain adalah Peraturan Daerah
(Perda). Berdasarkan UU No. 22/1999 Pemerintah Daerah bersama dengan
DPRD diberikan kewenangan atribusi untuk membuat Perda. Sedangkan
kewenangan membuat aturan delegasi (delegatie wetgevende bevoegdheid)
adalah kewenangan yang bersifat derivatif. Artinya kewenangan untuk
membentuk peraturan tersebut berasal dari kewenangan atributif dari
pejabat/lembaga atasannya atau peraturan perundang-undangan yang lebih
2 A. Hamid, SA. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, dalam Himpunan Bahan Penataran, Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman. 1982. hal. 59-60.
tinggi tingkatannya. Misalnya, suatu UU memerintahkan pembuatan Peraturan
Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan UU tersebut kepada
Pemerintah (Presiden). Artinya, Presiden/pemerintah mendapatkan
kewenangan delegatif dari UU tersebut untuk membuat suatu peraturan
pemerintah. Demikian pula kewenangan seorang menteri membuat suatu
Keputusan Menteri (regeling) dapat berasal dari suatu UU, suatu PP, atau
suatu Keppres. Sedangkan pejabat daerah yang diberikan kewenangan
delegatif ini misalnya gubernur dapat membuat suatu Keputusan Gubernur
yang bersifat regeling berdasarkan perintah suatu Perda Propinsi atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lainnya.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk pengaturan
kehidupan bernegara tersebut dapat didefinisikan sebagai hukum atau produk
hukum. Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan
(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk
pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang
memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.
Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya
memperhatikan satu sistem saja.3
Berkaitan dengan adanya peraturan perundang-undangan sebagai
produk hukum yang bersifat mengikat setiap entitas atau pihak yang diatur di
dalamnya, perlu dilakukan kajian tentang beberapa peraturan perundang-
undangan yang pada pelaksanaannya masih menimbulkan polemik dan
permasalahan, hingga membuat entitas atau pihak-pihak yang diatur di
dalamnya belum melaksanakan peraturan tersebut secara signifikan. Salah satu
peraturan perundang-undangan yang penerapan dan pelaksanaannya belum
konsisten dan belum memenuhi aspek sinkronisasi adalah peraturan
perundang-undangan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa
dan perangkat desa.
Adapun beberapa peraturan perundangan yang dapat mewakili tentang
penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di sini adalah Pasal 212 3 Hans Kelsen. General Theory of Law and State. Translated by Anders Welberg. New
York: Russel & Russell. 1961. hal. 30-31.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal
27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Surat Edaran
(SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tgl 16 April 2009 Perihal Kedudukan
Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa di Seluruh Indonesia yang
ditujukan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Beberapa peraturan
perundangan tersebut selanjutnya, oleh beberapa daerah yang telah memenuhi
butir-butir perundangan yang ada, ditindaklanjuti dengan pengeluaran
peraturan pemerintah daerah (Perda) dan peraturan bupati (Perbup). Seperti
halnya Kabupaten Madiun, untuk mengakomodasi dan menindaklanjuti
beberapa peraturan yang ditetapkan pejabat di atasnya, untuk pengaturan
masalah penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, pada tanggal 5
Februari 2010 telah ditetapkan Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010
tentang Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Bagi Kepala Desa dan
Perangkat Desa serta Perangkat Kelurahan Selain Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2010.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa peraturan perundangan
sebagai produk hukum wajib dan perlu diterapkan dan dilaksanakan oleh
perangkat yang disebutkan di dalam peraturan tersebut. Dalam hal ini,
peraturan tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor
900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh
atasan langsung dari para kepala desa dan perangkat desa yang ada di seluruh
Indonesia, dalam hal ini Bupati atau Pemerintahan Kabupaten. Fenomenanya,
di seluruh Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, hanya ada beberapa daerah
yang telah melaksanakan ketentuan pemberian penghasilan tetap bagi kepala
desa dan perangkat desa. Salah satunya adalah Kabupaten Madiun. Sedangkan
beberapa daerah yang ada, misalnya Kabupaten Magetan dan Kabupaten
Ngawi, belum dapat memenuhi peraturan tentang pemberian penghasilan tetap
bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut.
Sebagai penjelasan, bahwa pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat,
telah menetapkan beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberian gaji
tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Ketetapan-ketetapan tersebut dapat
dilihat pada Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah:
(1) Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa.
(3) Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
(4) Belanja desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
(5) Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa.
(6) Pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.4
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
pasal 27 disampaikan bahwa:5
(1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa.
(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDes.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.
4 Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 27.
Sebenarnya, dalam hal pemberian penghasilan tetap, antara ketetapan
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor
900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, masih terdapat ketidaksinkronan,
khususnya dalam hal pihak yang memberikan bantuan keuangan tunjangan
penghasilan kepala desa/perangkat desa. Jika merujuk pada PP 72/2005,
khususnya pasal 27 di atas, yang diperkuat dengan pasal 68 huruf (d),
disebutkan bahwa menyebutkan bahwa “Bantuan dari pemerintah diutamakan
untuk tunjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa. Bantuan dari
Propinsi dan Kabupaten/kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi
pembangunan desa.”6 Jadi pemahaman dari PP itu semestinya yang
memberikan bantuan keuangan tunjangan penghasilan kepala desa/perangkat
desa adalah pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah dan penganggaran
penghasilan tetap/tunjangan kepala desa/perangkat desa ditetapkan dalam
APBDes sesuai kemampuan keuangan desa. Hal ini bertentangan dengan isi
Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, yang
jika dipahami, menyatakan bahwa yang berkewajiban memberikan
penghasilan tetap kepala desa/perangkat desa adalah pemerintah daerah.
Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah pengaturan desa, maka peneliti menganggap terdapat suatu
permasalahan dalam hal ketetapan tentang pemberian penghasilan tetap bagi
kepala desa/perangkat desa. Hal ini dapat diungkapkan dalam dua hal, yaitu
adanya ketidakkonsistenan (no consistency) terhadap kepatuhan pada
peraturan yang dibuat, dimana dari seluruh pemerintah daerah di Indonesia
yang notabene secara struktural merupakan bawahan dari pemerintah pusat
dan kementerian dalam negeri, belum semuanya dapat melaksanakan aturan-
aturan dan ketetapan-ketetapan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran
(SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009 tersebut yang
berkaitan dengan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa/perangkat
6 Ibid, pasal 68 (d).
desa. Selain itu, dari sudut pandang sinkronisasi, terdapat ketidaksinkronan
aturan, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dengan Surat
Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, terutama
berkaitan dengan pihak yang berkewajiban membayarkan
tunjangan/penghasilan tetap bagi kepala/perangkat desa.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis
permasalahan yang ada melalui penelitian dengan judul: “KONSISTENSI
DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG
PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA
(Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian
Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten
Madiun, Jawa Timur).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
“Mengapa dalam penerapan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tentang
penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di Indonesia, yaitu Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005,
dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009
masih terdapat sebagian pemerintah daerah yang belum melaksanakan
ketentuan tersebut? Apakah di antara beberapa peraturan yang
mengakomodasi masalah penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor
900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, telah memenuhi unsur-unsur konsistensi
dan sinkronisasi peraturan hukum?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui penyebab bahwa dalam penerapan dan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan tentang penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran
(SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, masih
terdapat sebagian pemerintah daerah yang belum melaksanakan
ketentuan tersebut.
b. Untuk mengetahui konsistensi dan sinkronisasi peraturan tentang
penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, yaitu Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ
tanggal 16 April 2009.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar Magister dalam bidang Ilmu Hukum Konsentrasi
Kebijakan Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, serta mengembangkan pengetahuan
dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum. Selain itu,
juga untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait
dalam penelitian ini.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan
penyusunan thesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Kebijakan
Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, yaitu
hukum kebijakan publik dalam rangka pembinaan hukum nasional di
Indonesia, terutama mengenai konsistensi dan sinkronisasi peraturan
pemerintah sebagai produk hukum dan aspek kepatuhan dalam
melaksanakannya.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun
langsung ke masyarakat dan mengaplikasikannya dalam setiap
kegiatan yang berkaitan dengan hukum;
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun daerah, maupun pihak-pihak yang
terkait dengan permasalahan yang ada. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan literatur yang berguna
bagi pengetahuan masyarakat.
E. Landasan Teori
1. Konsistensi dan Sinkronisasi Hukum
a. Definisi Konsistensi Hukum
Secara harfiah, konsistensi berasal dari bahasa Inggris, consist
yang artinya ketaatan, ketepatan.7 Sedangkan dalam kaitannya dengan
peraturan yang ditetapkan pemerintah, sesuai pasa 32 UU No 32
Tahun 2004, dinyatakan bahwa:
(1) Dalam menyelenggarakan asas dekonsentrasi, Pemerintah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah untuk mengurus urusan pemerintahan tertentu.
(2) Sebagian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilimpahkan kepada Gubernur meliputi:
7 W.J.S. Poerwodarminto. Opcit. halaman 127.
a. melestarikan dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan menciptakan, memelihara kesatuan dan kerukunan asional, serta menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memelihara konsistensi dan keserasian antara kebijakan Pemerintah dengan kebijakan Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota di wilayahnya untuk memelihara dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;8
Berdasarkan pengertian tersebut, konsistensi hukum dapat
diuraikan sebagai ketaat-asasan bagi pihak-pihak yang diatur dalam
suatu peraturan terhadap berbagai kebijakan dan keputusan yang
disampaikan dalam peraturan sebagai produk hukum.
b. Definisi Sinkronisasi Hukum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronisasi berarti
penyelarasan, penyesuaian, berasal dan kata sinkron yaitu, serentak,
sejalan, sejajar, sesuai dan selaras.9
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup salah
satunya adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horizontal.10
Dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal maupun
horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum
positif tertulis yang ada serasi. Hal itu dapat ditinjau secara vertikal,
yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang
kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut
hirarki perundang-undangan tersebut.
8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
9 Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989. hlm. 845
10 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm 14.
Mengenai penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai titik tolak
Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 (Memorandum Sumber Tertib Hukum
DPR-GR tanggal 9 Juni 1966).11
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dapat dilakukan
atas dasar paling sedikit dua titik tolak, yakni taraf sinkronisasi secara
vertikal dan secara horisontal. Apabila titik tolak vertikal yang
diambil, maka yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan atau
perundang-undangan menurut hierarkinya Apabila penelitian
dilakukan terhadap taraf sinkronisasi secara horizontal, maka yang
diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundang-
undangan yang mengatur bidang yang mempunyai hubungan
fungsional, adalah konsisten taraf sinkronisasi secara horisontal dan
pelbagai macam tertentu.12
Mengenai penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara
horisontal, dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat
inventarisasi yang sejajar.
Dengan menempatkan perundang-undangan yang sederajat
pada posisi yang sejajar, akan lebih mudah untuk mengadakan
identifikasi terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang atau
tinggi.
Taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundang-
undangan suatu bidang kehidupan tertentu, sesuai dengan peningkatan
perundang-undangan.
Apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi horizontal,
maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang
mengatur bidang yang sama.13
11 ibid. hlm 17.
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UIPress) Jakarta, 1986, hlm. 256.
13 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Op cit. hlm 19
Taraf sinkronisasi secara vertikal dalam penelitian ini adalah
sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Surat Edaran (SE) Mendagri
Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, dan Peraturan Bupati
sebagai suatu ketentuan perundang-undangan dan peraturan
pemerintah pusat yang berkaitan dengan penetapan pemberian
penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa.
2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum
a. Tinjauan Umum Teori Stufenbau Hans Kelsen
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen
mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau),
dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif,
yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem
norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi
lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma Dasar yang merupakan gantungan bagi
norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu Norma Dasar
itu dikatakan Pre-supposed.14
Perlu dicatat bahwa norma dalam negara, di manapun adanya,
selalu akan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu "regressus".
Menurut Hans Kelsen, norma hukum (Legal Norm) tersebut dapat
dibedakan antara general norm dan individual norm. Termasuk dalam
general norm adalah Custom dan Legislation. Hukum yang diciptakan
14 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk. Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hlm. 25
dari Custom disebut "customary law”, sedangkan hukum yang
diciptakan oleh badan legislatif (law created by legislative) disebut
statute. Kemudian norma-norma individual meliputi "putusan badan
yudisial" disebut "judicial acts”, "putusan badan administrasi”, disebut
“administrative acts", dan "transaksi hukum" atau "legal transaction”
yaitu berupa contract dan treaty.15
Hans Nawiasky, salah seorang murid dan Hans Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara
itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan
norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas:
Kelompok 1 : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana
dan aturan otonom)
Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada
dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai
istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda
dalam setiap kelompoknya.
Menurut Hans Nawiasky isi Staatsfundamentalnorm ialah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undang-undang dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma
pengubahannya Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia
ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
15 Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung, 1998, hlm. 27.
Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus
bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik yang
disepakati oleh suatu bangsa.
Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara
(Staatsgrundgeset) merupakan kelompok norma hukum dibawah
Norma Fundamental negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok
negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar
sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma
sekunder.
Di negara kita maka Aturan Dasar Pokok negara ini tertuang
dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta dalam Hukum Dasar tidak
tertulis yang sering disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan
Dasar/Pokok negara ini merupakan landasan bagi pembentukan
undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah.
Kelompok norma-norma hukum yang berada dibawah Aturan
Dasar/Pokok negara adalah Formell Gesetz atau diterjemahkan dengan
undang-undang (‘formal’). Berbeda dengan kelompok-kelompok
norma di atasnya maka norma-norma dalam suatu undang-undang
sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci serta
sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-Norma
hukum dalam undang-undang ini tidak saja hanya norma yang bersifat
tunggal, tetapi norma-norma hukum itu sudah dapat ditekan oleh
norma sekunder disamping norma primernya, sehingga undang-undang
sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu
sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu, undang-undang ini
merupakan norma-norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu
lembaga legislatif.
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan
pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonom Satzung).
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturan-
peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, di
mana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi,
sedangkan peraturan otonom bersumber dan kewenangan atribusi.16
b. Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia
Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi
kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusinya, maka terbentuklah sistem norma hukum negara
Republik Indonesia. Apabila kita bandingkan dengan teori jenjang
norma (stufentheorie) dan Hans Kelson dan teori jenjang norma
hukum (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtshormen) dan Hans
Nawiasky terdahulu, kita dapat melihat adanya cerminan dan kedua
sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Republik Indonesia.
Di dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia,
Pancasila merupakan Norma Fundamental negara yang merupakan
norma hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut
juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar negara atau
Aturan Pokok negara (staatsgrundgesetz), undang-undang (Formell
Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom
(Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dan Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan
Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya.17
Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan mengenai
16 Maria Farida. op.cit. hlm 27-3517 Ibid. hlm 39
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
(a) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti undang-
undang;
(c) Peraturan Pemerintah;
(d) Peraturan Presiden;
(e) Peraturan Daerah.
3. Undang-Undang Organik
Berdasarkan dari materinya, dapat digolongkan adanya undang-
undang organik dan undang-undang pokok. Di mana suatu undang-undang
dapat saja berupa undang-undang organik dan sekaligus berupa undang-
undang pokok.
Yang dimaksud dengan undang-undang organik ialah undang-
undang yang mengatur selanjutnya apa-apa yang telah ditentukan lebih
dulu dalam undang-undang dasar. Dengan kata lain, undang-undang
organik ialah undang-undang pelaksana undang-undang dasar. Kalau
dalam UUD 1945 ini, sesuatu hal tidak secara rinci diatur, maka untuk
pelaksana ketentuan itu dibuat undang-undang organik. Hak inisiatif untuk
menyusun Rancangan UU (RUU) diberikan kepada MPR maupun
Pemerintah (Presiden).18
Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibuat karena
perintah langsung undang-undang dasar. Sedangkan undang-undang
pokok adalah undang-undang yang, mengatur pokok-pokoknya saja dan
materinya Pengaturan lebih lanjut daripada aturan-aturannya akan diatur
dengan undang-undang lain atau peraturan-peraturan lainnya.
Perlu dijelaskan disini, bahwa pembedaan undang-undang menjadi
undang-undang organik atau bukan, juga menjadi undang-undang pokok
atau bukan, itu adalah pembedaan karena melihat materinya saja. Jadi
18 M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Ctk. Pertama, Bandar maju, Bandung, 2002, Hlm. 38.
bukan pembedaan formal. Oleh karena itu undang-undang organik atau
undang-undang pokok, formal bentuknya adalah undang-undang.19
Contoh Undang-Undang Organik adalah Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan
perintah langsung dari UUD 1945. Dalam Pasal 28A-I UUD 1945
mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian berdasar amanat dari
UUD 1945 inilah lahir Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak
Asasi Manusia.
4. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan
Konstitusi diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan
untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara. Seperti
yang dikatakan oleh K.C. Wheare bahwa Constitution interpreted as a set
order applied to build or arranges a state government.20
Dalam definisi yang lain, konstitusi diartikan sebagai sebuah
dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah
negara. Konstitusi dalam arti ini akan menunjukkan sebuah gambaran
tentang keseluruhan sistem pemerintahan dalam suatu negara. Dengan
demikian, konstitusi berkududukan sebagai hukum yang fundamental
sifatnya, dan hukum yang tinggi kedudukannya. Sebagai konsekuensi dari
pengertian konstitusi yang demikian ini adalah : (1) adanya pengaturan
tentang pembentukan lembaga negara; (2) adanya pemberian kewenangan
kepada lembaga-lembaga negara tersebut; (3) sebagai konsekuensinya
adalah adanya pembatasan kewenangan terhadap lembaga-lembaga
negara.
Menurut S.A. de Smith, constitution is interpreted as a document
containing fundamental order peripheral about goverment of a state.
Constitution in this meaning will show a picture about overall of
19 Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum tata Negara di Indonesia, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987, Hlm. 132-133.
20 K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hlm. 1. www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143.
government system in a state. Thereby, constitution berkududukan as
basal law in character, and high law domiciled it. As consequence from
understanding of such constitution is : ( 1) existence of arrangement about
forming of state institute; ( 2) existence of authorization to the state
institutes; ( 3) as its (the consequence is existence of demarcation of
authority to state institutes.21
Dimana seperangkat aturan ini juga mempunyai asas sebagai
jantungnya hukum.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya yang
berjudul Perundang-undangan dan Yurisprudensi, memperkenalkan enam
asas perundang-undangan yaitu:
a. Undang-undang tidak berlaku surut
Arti daripada asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya
boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-
undang tersebut, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan
berlaku.
b. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum, jika pembuatnya sama (Lex Specialis derogat lex
generalis).
Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus
wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu,
walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih
umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogate lex priori).
21 S.A. de Smith. Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education). 1973. hlm. 17-18.
www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah bahwa undang-
undang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur suatu hal
tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang
berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan
undang-undang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara
diam-diam).
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
Asas ini dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar
Sementara Pasal 95 ayat (2). Makna dan asas ini, adalah:
(1) Adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang dan
undang-undang dasar,
(2) Hakim atau siapa pun juga tidak mempunyai hak uji material
terhadap undang-undang tersebut. Artinya isi undang-undang itu
tidak boleh diuji apakah bertentangan dengan undang-undang dasar
atau/dan keadilan apa tidak; hak tersebut hanya dimiliki oleh
pembuat undang-undang tersebut. Hak uji formil, yaitu hak untuk
menyelidiki apakah undang-undang tersebut pada saat dibentuknya
adalah sesuai dengan acara yang sah, tetap dimiliki oleh hakim.
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun
individu melalui pembaruan atau pelestarian (asas”Welvaartstaat” ).
Dalam kaitan ini Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima
asas perundang-undangan, yaitu:
1) Asas Tingkatan Hierarki
2) Undang-undang tak dapat diganggu gugat
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-
undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
4) Undang-undang tidak berlaku surut
5) Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang
lama (Lex posteriori derogat lex priori)
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat
persamaan dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah
sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono Soekanto
menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat.22
Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundang-
undangan sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asas-
asas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:
1) Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat
mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya
dapat.
2) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah
oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang
lebih tinggi tingkatannya.
3) Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak
mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau
dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
4) Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-
undangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.23
5. Tinjauan tentang Pemerintahan Desa, Kepala Desa, dan Perangkat
Desa
a. Pengertian Desa
22 Rosjidi Ranggawidjaja. Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandar Maju, Bandung . 1998.hlm. 47 – 48.
23 Ibid
Desa adalah pemukiman yang letaknya di luar kota. Biasanya
penduduknya beraktivitas sebagai petani. Dalam pengertian luas, desa
adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam
hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain.24 Desa
merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, merupakan
pemerintahan terendah di bawah camat.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten25
(Wijaya, 2002:65). Rumusan defenisi Desa secara lengkap adalah
sebagai berikut:26
Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakatDengan adanya pengaturan desa dalam bab XI tersebut
diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-
sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat
dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206,
yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat.
24 Nanang Kosasih, 2005, Pola Keruangan Desa dan Kota, www.Pustekkom.com.25 Wijaya, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/Marga: Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa (Suatu Telaah Administrasi Negara). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
26 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, hal. 47.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa
atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat
Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.27
Revitalisasi peran dan fungsi Pemerintah Desa dalam
pembangunan nasional merupakan langkah tepat dan strategis yang
perlu dilaksanakan. Revitalisasi peran dan fungsi dimaksud ada empat
hal strategis yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yaitu penataan kewenangan desa, penataan keuangan desa,
manajemen pemerintahan desa dan pembangunan pedesaan dan
partisipasi masyarakat.28
Dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), maka perlu ditopang oleh sistem dan tatanan
pemerintah daerah yang kuat dan mandiri dimana pada tingkatan baik
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, peran dan
fungsi pemerintah desa mempunyai kedudukan yang sangat penting
sebagai pilar-pilar penopang kemandirian daerah. Pemerintahan desa
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa
dan badan Permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal asul dan adat
27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 ayat 5-7.28 www.finrollnews.com. 9 Juni 2009.
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan NKRI.
Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-
istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam
Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan desa mencakup:
1) Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul
desa;
2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3) Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
4) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-
undangan diserahkan kepada desa.
b. Pengertian Keuangan Desa
Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap
setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan
keuangan desa. Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang
diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan setiap tahun
dalam APBDesa. Penghasilan tetap paling sedikit sama dengan Upah
Minimum Regional Kabupaten/Kota.29
UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan
Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemerintahan yang
otonom. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh
Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa
dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan
pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta, good
governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi: 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, opcit, pasal 27 ayat 1-3.
Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat.
Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh
oleh masyarakat.
APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa.
Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan
keuangan.
Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga
perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan
yang dilakukan oleh pemerintah desa.
6. Tinjauan tentang Penghasilan Tetap
Ada berbagai rumusan mengenai pengertian gaji, diantaranya
seperti yang diuraikan di bawah ini :
a. Menurut Hadi Poerwono, memberikan definisi gaji sebagai berikut:
Gaji ialah jumlah keseluruhan yang ditetapkan sebagai pengganti jasa
yang telah dikeluarkan oleh tenaga kerja meliputi masa atau syarat-
syarat tertentu.30
b. Sedangkan menurut Dewan Penelitian Perburuhan Nasional,
memberikan definisi gaji sebagai berikut : gaji ialah suatu penerimaan
sebagai suatu imbalan dari pemberian kerja kepada penerima kerja
untuk suatu pekerjaan atau jasa-jasa yang telah dan akan dilakukan
berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidupnya yang layak bagi
kemanusiaan dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang
yang ditetapkan menurut suatu persetujuan Undang-Undang dan
peraturan, kemudian dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pemberi kerja dan penerima kerja.
F. Penelitian yang Relevan
30 Hadi Poerwono. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Cetakan Keempat. Jakarta. Gramedia.1983. halaman 186.
Penelitian tentang KONSISTENSI DAN SINKRONISASI
KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA
DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-
Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa
dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur), yang membahas
tentang konsistensi dan sinkronisasi peraturan serta perundang-undangan yang
mengatur masalah pemberian penghasilan tetap kepala desa dan perangkat
desa belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pengamatan
penulis, bahwa baik di Perpustakaan Fakultas Hukum, Perpustakaan Pusat,
maupun Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
sumber-sumber informasi lain yang dapat diakses penulis, belum terdapat
penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis.
G. Kerangka Berpikir
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
PP No. 72 Tahun 2005
Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ
Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010
Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa
Konsistensi Hukum Sinkronisasi HukumSebeb-sebab Melaksanakan/Tidak
Melaksanakan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa merupakan dua
aturan yang ditetapkan pemerintah pusat yang mengakomodasi perihal
pemberian bantuan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa di
seluruh Indonesia. Pada beberapa pasal dalam aturan-aturan tersebut, yaitu
Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pasal 27 serta 68
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah dijelaskan mengenai
keuangan desa dan pengelolaannya, termasuk dalam hal pemberian
penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Sebelum ketentuan-
ketentuan dalam dua aturan tersebut dapat dilaksanakan dengan maksimal,
pada tanggal 16 April 2009 Menteri Dalam Negeri RI mengeluarkan Surat
Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ yang intinya mengatur tentang
pengelolaan keuangan pemerintah daerah, termasuk tentang penentuan pihak
yang berkewajiban memberikan penghasilan tetap bagi kepala desa dan
perangkat desa tersebut.
Di antara beberapa peraturan yang berkaitan dengan pemberian
penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut, yaitu antara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ, terdapat
perbedaan tentang pihak-pihak yang berkewajiban memberikan penghasilan
tetap bagi kepala desa dan perangkat desa.
Permasalahan ini mengakibatkan tertundanya proses pemberian
penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, yang memicu reaksi
keras para perangkat desa di tanah air, khususnya di daerah Jawa. Hal ini
dapat diidentifikasikan dari munculnya demonstrasi yang dilakukan para
perangkat desa berkaitan dengan pemberian penghasilan tetap bagi kepala
desa dan perangkat desa tersebut. Hal ini mengarah pada adanya suatu bentuk
ketidaksinkronan dari peraturan-peraturan tentang pemberian penghasilan
tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, yaitu Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran
(SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ.
Selain dari permasalahan tersebut, ternyata pada kenyataan yang ada,
terdapat beberapa daerah yang telah memenuhi ketentuan tentang pemberian
penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut, meskipun
sebagian pemerintah kabupaten sebagi atasan langsung dari para kepala desa
dan perangkat desa tersebut masih mempermasalahkan tentang penghasilan
tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Salah satu pemerintah kabupaten
yang telah memenuhi ketentuan tentang pemberian penghasilan tetap bagi
kepala desa dan perangkat desa tersebut adalah Pemerintah Kabupaten
Madiun, yaitu melalui Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010. Dalam
hal ini, penulis menganggap bahwa di antara pemerintah daerah yang ada,
terdapat suatu bentuk ketidakkonsistenan dalam melaksanakan ketentuan yang
ada.
H. Metode Penelitian
Adapun dalam penelitian ini, metode yang digunakan penulis adalah
sebagai berikut.
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian non-
doktrinal. Jika dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif kualitatif.
Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, ata di dalam
kerangka menyusun teori-teori baru.31 Penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala,
atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Jadi dari pengertian
tersebut penulis berusaha untuk melukiskan keadaan dari suatu objek yang
dijadikan permasalahan.
Dari lima konsep hukum yang dikemukakan Soetandyo
Wignjosoebroto, yaitu:
a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal;
b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan;
c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto
tersistematisasi sebagai judge made law;
d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variabel sosial yang empirik; dan
e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku pelaku
sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka32
maka penelitian ini menggunakan konsep hukum kedua, yaitu hukum
adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pemerintah Kabupaten Madiun,
khususnya pada bagian hukum dan Kantor Kecamatan Kebonsari,
Kabupaten Madiun, yang ditempat ini banyak ditemui perangkat desa
31 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2006. hal. 10.
32 Setiono. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum. Pasca Sarjana UNS. Surakarta. 2005. hal. 20-21.
sebagai bagian dari nara sumber penelitian. Penelitian ini juga merupakan
penelitian studi pustaka, sehingga pelaksanaannya juga dilakukan di
perpustakaan Fakultas Hukum dan perpustakaan pusat Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, serta beberapa tempat yang memungkinkan sebagai
sumber data penelitian.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Dalam penelitian hukum, data yang digunakan dapat dibedakan
antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan bahan-
bahan kepustakaan. Data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data
sekunder.33
1) Data Primer
Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung
melalui penelitian lapangan atau dari lokasi penelitian. Data primer
yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi
dan wawancara dengan pegawai Kantor Kabupaten Madiun, yaitu
bagian hukum pemerintahan serta dengan beberapa perangkat desa
di Kabupaten Madiun. Selain itu, wawancara juga dilakukan
dengan beberapa nara sumber yang relevan dengan penelitian.
2) Data Sekunder
Adalah jenis data yang mendukung dan menunjang kelengkapan
data primer melalui bahan kepustakaan, buku-buku dan artikel
ilmiah, internet, serta sumber-sumber yang lain.
b. Sumber Data
Sumber data adalah tempat di mana penelitian ini diperoleh.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu
33 Ibid. hal. 12.
tempat di mana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini, meliputi:
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat. 34 Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ perihal
Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa di Seluruh
Indonesia, serta Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010
tentang Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Bagi Kepala Desa
dan Perangkat Desa serta Perangkat Kelurahan Selain Pegawai
Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran
2010.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.35 Bahan hukum
sekunder dalam penelitian ini meliputi: literatur, buku dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3) Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 36Bahan hukum tertier dalam penelitian ini meliputi: Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
34 Ibid
35 Ibid36 Ibid
Teknik yang dipakai dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik Penelitian Kepustakaan yaitu teknik yang berupa studi kepustakaan
terhadap buku-buku dan literatur serta peraturan perundangan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data.37 Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis,
yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan
terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis
yang sifatnya kualitatif.
Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam
penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis.38
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan
berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh
data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk
kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau
mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan
akhirnya diambil kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran
obyektif.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah menggunakan logika deduksi. Logika deduksi yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
37 Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ctk kedua, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2002, Hlm. 143
38
? Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Ctk ketiga, niversitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. 1986. Hlm. 251
permasalahan konkret yang dihadapi.39 Bahan-bahan hukum yang
diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan,
dan artikel dimaksud, penulis uraikan sedemikian rupa sehingga disajikan
dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
I. Jadwal Penelitian
Kegiatan Bulan/Tahun7/2010 8/2010 9/2010 10/2010
Proposal TesisPengumpulan DataMenyusun DataMengolah DataPenyusunan Hasil PenelitianPengumpulan DataMengolah dan Menyusun DataUjian TesisRevisi dan Penggandaan
39 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Banyumedia Publishing, 2007, hal.393.
DAFTAR PUSTAKA
Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989.
A. Hamid, SA. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, dalam Himpunan Bahan Penataran, Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman. 1982
Hadi Poerwono. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Cetakan Keempat. Jakarta. Gramedia.1983.
Hans Kelsen. General Theory of Law and State. Translated by Anders Welberg. New York: Russel & Russell.
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum tata Negara di Indonesia, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987, Hlm. 132-133.
Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang. Banyumedia Publishing. 2007.
K.C. Wheare. 1966. Modern Constitutions, (London : Oxford University Press). www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143.
Lexi J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002.
Maria Farida Indarti S. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya. Ctk. Kedua. Kanisius. Yogyakarta. 1998.
M. Solly Lubis. Hukum Tata Negara. Ctk. Pertama. Bandar maju. Bandung. 2002.
Nanang Kosasih. 2005. Pola Keruangan Desa dan Kota. www.Pustekkom.com.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Rosjidi Ranggawidjaja. Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandar Maju, Bandung . 1998.
Setiono. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum. Pasca Sarjana UNS. Surakarta. 2005.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Ctk ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 1986.
S.A. de Smith. Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education). 1973. www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Wijaya, HAW. Pemerintahan Desa/Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa (Suatu Telaah Administrasi Negara). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
W.J.S. Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT. Balai Pustaka. Jakarta. 2005.
www.finrollnews.com. 1 Juni 2010.
KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA
(Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan
Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)
PROPOSAL TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama: Hukum dan Kebijakan Publik
Diajukan Oleh:
MUHAMAD ZAHROWINIM: S310409017
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA2010
KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA
(Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan
Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)
PROPOSAL
Disusun oleh:
MUHAMAD ZAHROWINIM: S310409017
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I …………………………. ……………… ………….
Pembimbing II …………………………. ……………….
………….
MengetahuiKetua Program Ilmu Hukum
Prof. Dr. Setiono, S.H., M.S.NIP. 19440505 196902 1 001
DAFTAR ISI
Halaman
A. LATAR BELAKANG MASALAH........................................................... 1
B. PERUMUSAN MASALAH....................................................................... 7
C. TUJUAN PENELITIAN............................................................................ 8
D. MANFAAT PENELITIAN........................................................................ 9
E. LANDASAN TEORI.................................................................................. 9
1. Konsistensi dan Sinkronisasi Hukum................................................... 9
2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum............................................ 12
3. Undang-Undang Organik...................................................................... 16
4. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan.............. 17
5. Tinjauan tentang Pemerintahan Desa, Kepala Desa, dan Perangkat
Desa...................................................................................................... 21
7. Tinjauan tentang Penghasilan Tetap..................................................... 24
F. PENELITIAN YANG RELEVAN............................................................. 25
G. KERANGKA BERPIKIR........................................................................... 26
H. METODE PENELITIAN........................................................................... 28
1. Jenis Penelitian..................................................................................... 28
2. Lokasi Penelitian.................................................................................. 29
3. Jenis dan Sumber Data.......................................................................... 29
4. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 31
5. Teknik Analisis Data............................................................................ 31
I. JADWAL PENELITIAN ........................................................32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33
top related