prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas
Post on 10-May-2015
10.538 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
SAINS DAN TEKNOLOGI KE-3 TAHUN 2012 Penguasaan Teknologi Rekayasa Proses Pengolahan Pangan
Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
JULI 2012
Editor :
1. Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. (Kimia, Obat dan Pangan)
2. Dr. Ir. Nazaruddin Sinaga, MS. (Energi)
3. Dr. Eko Marsyahyo, ST, M.Eng. (Material, Industri, Perancangan dan Manufaktur)
4. Dr. Ir. Hermawan, DEA (Elektronika dan Informatika)
5. Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi Dipl WRD., M. Eng. (Sipil dan Arsitektur)
Asisten Editor :
1. Rita Dwi Ratnani, ST., M. Eng. (Obat dan Pangan)
2. Ir. Suwardiono, MT. (Obat dan Pangan)
3. Indah Hartati, ST., MT. (Kimia)
4. Laeli Kurniasari, ST., MT. (Kimia)
5. Darmanto, ST., M.Eng. (Energi)
6. Ir. Tabah Priangkoso, MT. (Energi)
7. Helmy Purwanto, ST., MT. (Material)
8. Imam Syafa’at, ST., MT. (Perancangan dan Manufaktur)
9. S.M. Bondan Respati, ST., MT. (Industri)
10. Indah Riwayati, ST., MT. (Industri)
11. Agung Riyantomo, ST., M.Kom. (Informatika)
12. M. Subhan Mauluddin, ST., MT. (Elektronika)
Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-3 Tahun 2012
Penguasaan Teknologi Rekayasa Proses Pengolahan Pangan
Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa
Alamat : Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Jl. Menoreh Tengah X/22 Sampangan Semarang 50236
Telepon : 024-8505680 ext. 160,161
Fax : 024-8505681
E-mail : semnas.unwahas@gmail.com
Website : www.teknik.unwahas.ac.id
ISBN 978-602-99334-1-3
2012, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya, prosiding ini
dapat diterbitkan sehubungan dengan telah terselenggarakannya Seminar Nasional Sains dan
Teknologi (SNST) ke-3 Tahun 2012 pada tanggal 20 Juni 2012. Seminar ini merupakan seminar
ke-3, mengulang kesuksesan seminar pertama dan kedua. Seminar diselenggarakan oleh Fakultas
Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan tema “Penguasaan Teknologi Rekayasa
Proses Pengolahan Pangan Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa”. Keynote speaker
pada SNST ke-3 kali ini adalah Dr. Nurul Taufiqu Rochman M.Eng (Peneliti LIPI), Ir. Lukmanul
Hakim, M.Si, Direktur LPPOM MUI dan Ir. Dian Risdianto, MT.IPP (PT. Sido Muncul).
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat
pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama. Namun demikian, sejak krisis ekonomi hingga sekarang, terjadi penurunan
kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk. Salah satu kunci
bagi pencapaian kemandirian bangsa dalam ketahanan pangan adalah penguasaan teknologi
rekayasa proses pengolahan bahan makanan. Oleh karena itu, berbagai riset ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya yang berkaitan dengan bidang pangan harus terus didorong dan difasilitasi
guna mendukung pencapaian kemandirian di sektor pangan.
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian merupakan lembaga yang mengemban salah
satu misi untuk menghasilkan produk dalam bentuk penelitian dan penerapannya dalam pengabdian
kepada masyarakat sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh masyarakat.
Hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tersebut perlu dipublikasikan sehingga
diketahui oleh masyarakat secara luas.
Kegiatan ini merupakan ajang pemaparan hasil penelitian, kajian ilmiah dan diskusi ilmiah.
Telah terkumpul dan dipresentasikan delapan puluh satu (81) judul makalah yang terbagi dalam
kelompok keilmuan Kimia, Obat & Pangan, kelompok keilmuan Energi, kelompok keilmuan
Material, kelompok keilmuan Perancangan & Manufaktur, kelompok keilmuan Industri, kelompok
keilmuan Elektronika & Informatika dan kelompok keilmuan Sipil & Arsitektur. Peserta seminar
berasal dari berbagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia, lembaga pengembangan teknologi
dan industri. Prosiding seminar ini diharapkan dapat memberikan informasi perkembangan yang
paling mutakhir dalam bidang sains dan teknologi.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh peserta seminar, sponsor, dan
segenap pihak yang telah membantu dalam penyelenggaraan seminar ini. Panitia penyelenggara
telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun semua makalah dalam bentuk buku dan
salinan digital namun tentunya masih banyak kekurangan. Untuk itu berbagai masukan sangat
diharapkan. Harapan kami, semoga prosiding ini membawa manfaat bagi perkembangan teknologi
di Indonesia, khususnya bagi penguasaan teknologi rekayasa proses pengolahan pangan guna
mendukung pencapaian kemandirian bangsa.
Semarang, Juli 2012
Panitia Penyelenggara
. (Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
ii
PANITIA PENYELENGGARA
Pelindung : Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang
Pengarah : Pembantu Rektor I
Penanggungjawab : Dekan Fakultas Teknik
Ketua : Darmanto, ST., M.Eng.
Wakil Ketua : Ir. Tabah Priangkoso, MT.
Sekretaris : Laeli Kurniasari, ST., MT.
Bendahara : Indah Riwayati, ST., MT.
Sie Acara : Agung Riyantomo, ST., M.Kom.
Rita Dwi Ratnani, ST., M.Eng.
Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi, Dipl. WRD., M.Eng.
Ir. Suwardiyono, MT.
Sie Publikasi : M. Subhan Mauluddin, ST., MT.
S.M Bondan Respati, ST., MT.
Indah Hartati, ST., MT.
Sie Penerbitan : Imam Syafa’at, ST., MT.
Helmy Purwanto, ST., MT.
Sie Konsumsi : Farikha Maharani, ST.
Pembantu Umum : Suwarchan
Kusdi
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
PANITIA PENYELENGGARA ii
DAFTAR ISI iii
A. Kimia, Obat dan Pangan
1. Analisa Sisa Chlor pada Jaringan Distribusi Air Minum PDAM Kota
Semarang
Benny Syahputra
A.1 – A.5
2. Development of Efficient Calcium Oxalate Removal Techniques from Taro
Corms
Andri Cahyo Kumoro
A.6 – A.11
3. Proses Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit dengan Mikroalga Liar
Hantoro Satriadi, Widayat, Hadiyanto, Uray Irzandi, Riky Yonas
A.12 – A.17
4. Simulasi Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas
Berbantukan Radiasi Ultrasonik
Haris Nu’man Aulia, Widayat, Setia Budi Sasongko
A.18 – A.23
5. Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Upaya Keanekaragaman Bahan
Pangan
Sri Subekti
A.24 – A.28
6. Peran Mangrove Sebagai Ketersediaan Materi Pangan
Sri Subekti
A.29 – A.33
7. Pembuatan Slow Release Fertilizer dengan Menggunakan Polimer Amilum
dan Asam Akrilat serta Polivinil Alkohol sebagai Bahan Pelapis dengan
Menggunakan Metoda Fluidizedbed
Afri Yenni, Suherman, Aprilina Purbasari
A.34 – A.39
8. Pengujian Kandungan Total Fenol Kappahycus alvarezzi dengan Metode
Ekstraksi Ultrasonik dengan Variasi Suhu dan Waktu
Denni Kartika Sari, Dyah Hesti Wardhani,Aji Prasetyaningrum
A.40 – A.44
9. Pengaruh Suhu Udara dan Berat Sampel pada Pengeringan Tapioka
Menggunakan Pengering Unggun Terfluidakan
Suherman, Aprilina Purbasari, Margaretha Praba Aulia
A.45 – A.50
10. Pengaruh Penambahan Zeolit 3A terhadap Lama Waktu Pengeringan
Gabah Pada Fluidized Bed Dryer
Maria Augustine Graciafernandy, Ratnawati, Luqman Buchori
A.51 – A.54
11. Teknologi Imobilisasi Sel Mikroorganisme pada Produksi Enzim Lipase
Indah Riwayati, Indah Hartati, Laeli Kurniasari
A.55 – A.59
12. Ekstrak Daun Api-api (Avecennia Marina) untuk Pembuatan Bioformalin
Sebagai Antibakteri Ikan Segar
Syafiul Rofik, Rita Dwi R
A.60 – A.65
13. Potential Production of Food Colorant from Coffee Pulp
Indah Hartati, Indah Riwayati, Laeli Kurniasari
A.66 – A.71
. (Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
iv
B. Energi
1. Efisiensi Penggunaan Musicool pada Mesin Pengkondisian Udara Merk
Saden pada Mobil Kijang Super
Samsudi Raharjo
B.1 – B.5
2. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Angin Vertikal Multiblade Tipe Sudu
Curved Plate Profile Dilengkapi Rumah Rotor dan Ekor Sebagai Pengarah
Angin
Yusuf Dewantoro Herlambang
B.6 – B.11
3. Analisa Pengaruh Variasi Sudut Mixing Chamber terhadap Entrainment
Ratio dan Distribusi Tekanan pada Steam Ejector dengan Menggunakan
CFD
Bachtiar Setya Nugraha
B.12 – B.18
4. Kaji Eksperiman Turbin Angin Poros Horizontal Tipe Kerucut Terpancung
dengan Variasi Sudut Sudu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin
Bono
B.19 – B.24
5. Efek Hot EGR terhadap Performa dan Emisi Jelaga pada Motor Diesel
dengan Menggunakan Bahan Bakar Campuran Biosolar dan Jatropha
Biodiesel
Jhonni Rentas Duling
B.25 – B.30
6. Analisa Performa Mesin Diesel dengan Sistem Venturi Scrubber – EGR
Menggunakan Bahan Bakar Campuran Solar – Minyak Jarak
Stefan Mardikus
B.31 – B.36
7. Peningkatan Kualitas Pengering Ikan dengan Sistem Tray Drying
Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat
B.37 – B.42
8. Peningkatan Unjuk Kerja Ketel Tradisional Melalui Heat Exchanger
Rianto, W.
B.43 – B.47
9. Kajian Eksperimental Kelayakan dan Performa Alat Penukar Kalor Tipe
Shell and Tube Single Pass dengan Metode Bell Delaware
Sri Utami Handayani, Didik Ariwibowo, Fauzi Kusuma NH
B.48 – B.53
10. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Crossflow Berbasis Konstruksi Silinder
(Drum) Poros Vertikal untuk Potensi Arus sungai
Sahid
B.54 – B.59
11. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Air Hasil Modifikasi Pompa Sentrifugal
untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
Gatot Suwoto
B.60 – B.64
12. Aplikasi Kolektor Matahari Model Plat Datar untuk Proses Pengeringan
Seno Darmanto dan Senen
B.65 – B.68
13. Aplikasi Tungku Tak Permanen untuk Pengeringan Blok Bata Mentah
Windu Sediono, Seno Darmanto
B.69 – B.73
14. Analisis Karakteristik Electrical Modul Photovoltaik untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Surya Skala Laboratorium
M Denny Surindra
B.74 – B.78
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang v
15. Design Simulator Fresh Water Tank di PLTU dengan Water Level Control
Menggunakan Mikrokontroler
M Denny Surindra
B.79 – B.84
16. Studi Desain Konseptual Sistem Balance of Plant (BOP) Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Skala Kecil
Hariyotejo Pujowidodo
B.85 – B.90
C. Material
1. Pengaruh Temperatur Tuang dan Ketebalan Benda terhadap Kekerasan
Besi Cor Kelabu dengan Pengecoran Lost Foam
Sutiyoko, Suyitno
C.1 – C.5
2. Studi Analisis Pengaruh Variasi Beban dan Kecepatan terhadap Laju
Keausan Dies pada Proses Cold Upset Forging Aluminium dengan
Menggunakan Software Berbasis FEM
Norman Iskandar, Rusnaldy, Ismoyo Haryanto
C.6 – C.11
3. Pengaruh Bending Radius pada Lightening Holes Process terhadap
Keretakan AL 2024 T3 Sheet
Yurianto, Ardian Budi W , Eko Boedisoesetyo
C.12 – C.16
4. Pengaruh Kuat Arus Pada Pelapisan Nickel dan Nickel-Hard Chromium
Plating terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Permukaan Baja AISI 410
Noor Setyo, Viktor Malau
C.17 – C.22
5. Analisa Serbuk Tembaga Hasil Proses Electrorefining dengan Variasi
Tegangan dan Waktu Pengendapan Deposit terhadap Bentuk Serbuk dan
Komposisi kimia
Riles M. Wattimena
C.23 – C.28
6. Karakteristik AISI 304 sebagai Material Friction Welding
Moh Fawaid, Rifky Ismail, Jamari, Sri Nugroho
C.29 – C.33
7. Pengaruh Parameter Las dan Ketebalan Pelat pada Pengelasan Titik Baja
Karbon Rendah Terhadap Kekuatan Geser
Sisworo, Bayuseno, Sri Nugroho
C.34 – C.39
8. Kajian Komprehensif Struktur Mikro dan Kekerasan terhadap Paduan Al-7,
1Si-1,5Cu Hasil Pengecoran dengan Metode Evaporative
Wijoyo, Achmad Nurhidayat dan Osep Teja Sulammunajat
C.40 – C.45
9. Pengaruh Arah Serat Gelas dan Bahan Matriks terhadap Kekuatan
Komposit Airprofil Profile Fan Blades
Carli, S. A. Widyanto, Ismoyo Haryanto
C.46 – C.51
10. Pengaruh Tekanan Injeksi pada Pengecoran Cetak Tekanan Tinggi terhadap
Kekerasan Material ADC 12
Sri Harmanto
C.52 – C.57
11. Variasi Waktu Hard Chromium Plating terhadap Karakteristik Struktur
Mikro, Nilai Kekerasan dan Laju Korosi Baja AISI 1008
Sutrisno
C.58 – C.63
. (Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
vi
12. Perilaku Mulur (Creep) Polipropilen dengan perubahan Tegangan dan
Temperatur
Iman Mujiarto, A.P. Bayuseno, Jamari
C.64 – C.69
13. Pengaruh Tebal Pelapisan Krom terhadap Rapat Arus Elektroplating pada
Geometri Plat, Profil dan Pipa
Sutomo dan Bambang Setyoko
C.70 – C.75
14. Pengaruh Geometri Permukaan dan Arus Listrik terhadap Proses Pelapisan
Nikel dengan Elektroplating
Sutomo dan Rahmat
C.76 – C.81
15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap Sifat Mekanis Paduan Al Cu pada
Proses Pembekuan Searah (Unidirectional Solidification)
Sugeng Slamet, Suyitno
C.82 – C.87
D. Perancangan dan Manufaktur
1. Penerapan Metode Rating Faktor dan Mekanika untuk Perbaikan
Rancangan Gerobak Bakso Sepeda Motor sebagai Upaya Menjamin
Keselamatan Pengendara
Lobes Herdiman, Taufiq Rochman, dan Hendry Pallas Prasetyo
D.1 – D.6
2. Rancang Bangun Prototipe Alat Tanam Benih Jagung Ergonomis dengan
Tuas Pengungkit dan Mekanik Pembuat Lubang untuk Meningkatkan
Kapasitas Tanam
Rindra Yusianto
D.7 – D.11
3. Perancangan Mekanisme Pengontrol Controllable Pitch Propeller
Lorentius Yosef Sutadi, Susilo Adi Widyanto, Ismoyo Haryanto
D.12 – D.17
4. Studi Eksperimental Pengaruh Beban terhadap Koefisien Gesek pada
Sliding Contact Fase Running-in dengan Tribometer Pin-On-Disc
Didi Dwi Krisnandi, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Dian Prabowo
Sulardjaka, Jamari
D.18 – D.22
5. Studi Eksperimen Pengaruh Beban terhadap Perubahan Koefisien Gesek
pada Rolling Contact dengan Tribometer Pin- On- Disc Fase Running-in
Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Eko Armanto, Dian Prabowo,
Sri Nugroho, Jamari,
D.23 – D.28
6. Rancang Bangun dan Pengujian Pemanas pada Disc untuk Alat Uji
Tribometer Tipe Pin – On - Disc
Dian Prabowo, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Didi Dwi K., Jamari,
Syaiful
D.29 – D.34
7. Proses Permesinan Bubut pada Kaca
Rusnaldy, Susilo A.W., Norman I., Triana A., Dika F.P.S
D.35 – D.39
8. Perancangan Mesin Uji Tribologi Pin-On-Disc
Eko Armanto, Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Dian Prabowo,
Ismoyo, Jamari
D.40 – D.45
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang vii
E. Industri
1. Pemodelan Minimize Total Biaya Pengendalian Kualitas terhadap Proses
Manufakturing Produk Furniture
Sutrisno B, Abd. Haris, Romadhon
E.1 – E.5
2. Perancangan Standart Operating Procedures (SOP) Pengolahan Pasca
Panen Rimpang Tanaman Obat dan Identifikasi Good Manufacturing
Practices (GMP) di Klaster Biofarmaka Karanganyar
Fakhrina Fahma, Wahid A. Jauhari, Pungky Nor Kusumawardhani
E.6 – E.11
3. Upaya Peningkatan Kualitas pada Divisi Cetak Koran Menggunakan
Pendekatan USE-PDSA di PT. Masscom Graphy Semarang
Diana Puspita Sari, Heru Prastawa, Yuliana Rahmasari
E.12 – E.17
4. Perencanaan Kegiatan Maintenance Pada Sistem Pipe Making Line dengan
Pendekatan Reliability Centered Maintenance II (Studi Kasus PT Indonesia
Steel Tube Works Semarang)
Dyah Ika Rinawati, Bambang Purwanggono, Eko Lisysantaka
E.18 – E.23
5. Optimasi Kuantitas dan Jenis Produksi sebagai Upaya Peningkatan
Keuntungan Perusahaan
Ratnanto Fitriadi, Indah Pratiwi, Rudi Teguh Aryanto
E.24 – E.29
6. Analisis Efektifitas Reminding untuk Meningkatkan Kepuasan Pelanggan
(Studi Kasus PT. Telkom Semarang)
Suwarti, Dwiana Hendrawati
E.30 – E.34
7. Perancangan Kinerja Supply Chain Padi Pasca Panen
Mila Faila Sufa
E.35 – E.39
8. Pengaruh Faktor Wujud, Keandalan, Ketanggapan, Jaminan dan Empati
terhadap Kepuasan Praktikan di Laboratorium Distribusi Energi Politeknik
Negeri Semarang
Teguh Harijono Mulud, Indung Sudarso
E.40 – E.44
9. Usulan Perbaikan Proses Produksi Berdasarkan Pendekatan sistem HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) (Studi Kasus Pembuatan Kue
Kroket di Toko Roti dan Kue "RAPI" Semarang)
Novi Marlyana, Wiwik Fatmawati, Nur Amalina
E.45 – E.51
10. Pemetaan Persepsi Konsumen terhadap Keluaran Produk Hasil
Perancangan Pemutih Beras Mekanik Menggunakan Metode Biplot
Siti Nandiroh
E.52 – E.57
11. Pengendalian Persediaan Barang Jadi Multi Item dengan Metode Lagrange
Multiplier (Studi kasus pada Depo Es Krim Perusahaan X di Magelang)
Agus Setiawan, Enty Nur Hayati
E.58 – E.63
12. Penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) Produk Rimpang Temulawak
Menggunakan Metode Full Costing sebagai Dasar Penentuan Harga Jual
(Studi Kasus : Klaster Biofarmakan Kabupaten Karanganyar)
Fakhrina Fahma, Murman Budijanto, Ayu Purnama
E.64 – E.69
. (Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
viii
13. Perancangan Konsep Tempat Tidur Rumah Sakit Mempertimbangkan
Proses Pemindahan Pasien (Studi Kasus: Rumah Sakit ”ZZZ” di Surakarta)
Rahmaniyah Dwi Astuti, Ilham Priadythama, Nanung Eko Setyawan
E.70 – E.75
F. Elektronika dan Informatika
1. Analisis Hambatan Implementasi E-Government di Wilayah Kecamatan
Tingkir, Salatiga
Yusuf Sulistyo Nugroho, Fatah Yasin Al Irsyadi
F.1 – F.6
2. Building an Apple iPad Mini Theater System Through iXtreamer
Budi Berlinton Sitorus
F.7 – F.10
3. Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Nilai Resistansi Sensor Gas
Berbahan Polymer
Budi Gunawan, Arief Sudarmadji
F.11 – F.16
4. Pengaruh Kadar Air dan Kedalaman Elektroda Batang Tunggal terhadap
Tahanan Pembumian pada Tanah liat
Wahyono
F.17 – F.22
5. Aplikasi Motor DC 1000 W 48 V sebagai Penggerak Mobil Listrik Ramah
Lingkungan
Margana
F.23 – F.28
6. Kajian Sistem Kendali Space Vector Pulse Width Modulation sebagai
Pengendali Motor Induksi 3 Fasa
Emmanuel Agung Nugroho, Joga Dharma Setiawan
F.29 – F.34
7. Implementasi Sistem Kendali Space Vector PWM pada Inverter 3 Fasa
Menggunakan Mikrokontrol AT89S52
Emmanuel Agung Nugroho, Joga Dharma Setiawan
F.35 – F.40
8. Respon Sistem Ditinjau dari Parameter Kontroler PID pada Kontrol Posisi
Motor DC
Dwiana Hendrawati
F.41 – F.46
9. Analisis Keandalan Sistem Mekanik Controllable Pitch Propeller dengan
Pendekatan Kegagalan Keausan
Gutomo, Susilo Adi Widyanto, Ismoyo Haryanto
F.47 – F.51
10. Analisis Dampak Pemasangan Distributed Generation (DG) terhadap Profil
Tegangan dan Rugi-rugi Daya Sistem Distribusi Standar IEEE 18 Bus
Agus Supardi, Romdhon Prabowo
F.52 – F.57
11. Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium pada SPBU di
Wilayah Semarang
Muhamad Danuri, Alex Sujanto
F.58 – F.63
G. Sipil dan Arsitektur
1. Konservasi Lahan Kritis untuk Pertanian Produktif dalam Pencapaian
Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan di Kecamatan Gunungpati
Semarang
Margareta Maria Sudarwani, Yohanes Dicky Ekaputra
G.1 – G.6
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang ix
2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang Berpengaruh terhadap Luas
Genangan dan Kerusakan Infrastruktur Permukiman
Soedarsono
G.7 – G.12
3. Kualitas Estetika Geometris Fisik Ruang Kota Kawasan Lapangan
Pancasila Semarang
Esti Yulitriani Tisnaningtyas
G.13 – G.18
4. Fungsi Jalur Pedestrian Diantara Dua Bangunan Pusat Perbelanjaan di
Koridor Jalan A. Yani (Ditinjau dari Atribute Kenyamanan dan Visibilitas
Penggunanya pada Malam Hari)
Esti Yulitriani Tisnaningtyas
G.19 – G.25
H. Poster
1. Efektifitas Antibiotik Herbal dan Sintetik pada Pakan Ayam Broiler
Terhadap Performance, Kadar Lemak Abdominal dan Kadar Kolesterol
Darah
Winny Swastike
H.1 – H.6
IINDEKS PENULIS UTAMA MAKALAH
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL MAJALAH ILMIAH MOMENTUM
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.1
ANALISA SISA CHLOR PADA JARINGAN DISTRIBUSI
AIR MINUM PDAM KOTA SEMARANG
Benny Syahputra
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNISSULA E-mail : abu_fadiyah@yahoo.com
Abstrak
Konsentrasi sisa chlor pada jaringan distribusi air minum PDAM Kota Semarang daerah
layanan Perumahan BSB Jatisari belum memenuhi standar baku mutu. Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk menentukan konsentrasi sisa chlor di setiap node dan untuk mengetahui
pengaruh dari jarak reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor. Penelitian ini
menggunakan analisis kuantitatif menggunakan analisis korelasi dan regresi, sedangkan
analisis deskriptif dijelaskan melalui tabel dan grafik. Variabel bebas yang digunakan adalah
jarak distribusi (jarak reservoir ke konsumen), sedangkan variabel terikatnya adalah
konsentrasi sisa chlor. Hasil penelitian juga menunjukkan konsentrasi sisa chlor pada node
terdekat pompa injeksi adalah 1,19 mg/l, sedangkan pada node terjauh adalah 0,27 mg/l ,
adanya hubungan negatif antara jarak reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor,
dimana semakin bertambah jarak reservoir ke konsumen maka konsentrasi sisa chlor akan
semakin berkurang. Hubungan ini mempunyai korelasi yang tidak kuat, artinya ada faktor-
faktor lain yang juga ikut mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut yaitu debit aliran, kecepatan
aliran, dimeter pipa dan koefisien kekasaran dinding pipa. Dari perhitungan regresi
didapatkan persamaan y=-0,002+1,17, itu artinya setiap jarak reservoir ke konsumen
bertambah 1 meter maka konsentrasi sisa chlor akan berkurang 0,002 mg/l. Dengan demikian,
sisa chlor akan habis pada jarak 585 meter dari reservoir.
Kata kunci: chlor, PDAM, distribusi
PENDAHULUAN Sisa chlor mempunyai hubungan yang sangat erat dengan jarak distribusi air, hal ini senada
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibroni (2007), didapatkan hasil bahwa terjadi
penurunan sisa chlor pada konsumen atau pelanggan yang jaraknya jauh dari proses pengolahan.
Sehingga sisa Chlor pada konsumen yang dianjurkan minimal 0,2 mg/l tidak dapat tercapai. Dari
penelitian tersebut didapat hasil keadaan sisa chlor pada konsumen atau pelanggan jarak dari
sumber pengolahan yaitu pada jarak dekat 72 % baik, jarak sedang 53 % baik, jarak jauh 43 % baik
, yaitu lebih dari 0,2 mg/l. Konsumen yang mempunyai jarak terjauh tentunya akan mempunyai
kandungan sisa chlor yang sangat rendah, sehingga kualitas air terancam tercemar oleh hadirnya
bakteri pathogen yang dapat mengganggu kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian M. Festiyanti (2006) didapatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara sisa chlor bebas dengan jumlah bakteri Eschericia coli (p= 0,05). Penelitian yang
dilakukan oleh Festiyanti tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa pipa-pipa PDAM banyak yang
tercemar oleh bakteri terutama oleh bakteri Eschericia coli.
Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Afrilian (2004) didapatkan bahwa ada
hubungan antara jarak perpipaan dengan jumlah Eschericia coli (p= 0,002) pada distribusi air
perpipaan dari sumber mata air. Oleh karena itu, peneliti ini ingin membuat model sisa chlor dan
dwelling time agar aliran air PDAM terjaga kualitasnya serta aman dikonsumsi oleh masyarakat.
Pengawasan kualitas air minum harus tetap dijaga mengingat kondisi bakteri pathogen
kerap muncul pada daerah yang mempunyai sumber air kurang baik atau kondisi jaringan pipa
yang sudah tercemar oleh bakteri pathogen. Endarwanto (2009) menjelaskan dalam penelitiannya
yang dilakukan di Kodya Pekalongan. Hasilnya dinyatakan bahwa semua (100%) sample yang
diukur tidak ditemukan sisa chlor bebas pada air distribusi Rogoselo maupun reservoir
Simbangkulon dan kualitas bakteriologis menunjukkan 70% sample baik dan 30% sample tidak
baik. Tidak adanya sisa chlor bebas pada air distribusi Rogoselo dan reservoir Simbangkulon dan
kulaitas bakteriologis tidak baik disebabkan karena tidak cukup kaporit untuk mengoksidasi zat
organic maupun unsur lainnya dalam air apabila terjadi kontaminasi/pencemaran. Untuk
meningkatkan kualitas bakteriologis air minum pihak pengelola harus meningkatakan desinfeksi
A.1. Analisa sisa chlor pada jaringan distribusi ... (Benny Syahputra)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.2
sampai diperoleh sisa chlor bebas 0,2 – 0,5 mg/l di semua bagian dari system distribusi dan pada
lokasi yang ditemukan positif bakteri coliform segera dicari penyebabnya dan kemudian
memperbaikinya.
METODE
Analisis Konsentrasi Sisa Chlor
Pada tahap ini digunakan program Waternet 2.1 untuk menentukan konsentrasi sisa chlor di
jaringan distribusi air minum Perumahan BSB Jatisari Semarang.
Analisis Pengaruh Dari Jarak Reservoir Ke Konsumen
Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan analisis korelasi dan regresi,
sedangkan analisis deskriptif dijelaskan melalui tabel dan grafik. Variabel bebas yang digunakan
adalah jarak distribusi (jarak reservoir ke konsumen), sedangkan variabel terikatnya adalah
konsentrasi sisa chlor.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil simulasi sisa chlor dengan program waternet 2.1 diperoleh konsentrasi sisa chlor
seperti pada tabel 1
Tabel 1. Konsentrasi Sisa Chlor
Nomor Node
Konsentrasi
Sisa Chlor
(mg/L)
2,3,4,5,7,8,9,10,16,17,18,19,20,21,22,32,33,34,35,36,37,58,94,
148,149,153,239,241
1,01-1,20
11,23,24,25,38,39,48,49,59,60,67,68,69,70,106,110,111,112,
113,114,115,116,117,150,151,154,155,156,165,166,183
0,91-1,00
12,13,26,27,28,40,41,42,43,50,51,52,53,61,62,71,72,73,74,75,
76,107,152,157,158,159,160,167,168,169,172,173,184,208,20
9,211,212,213,
0,81-0,90
29,30,31,54,55,63,64,77,78,79,101,120,122,123,124,125,131,1
32,133,134,135,136,161,162,171,174,185,201,202,203,203,20
4,205210
0,71-0,80
6,15,44,45,46,47,56,57,80,100,109,118,126,127,128,145,163,1
64,179,186,187,188,195,196,197,198,214,215
0,61-0,70
65,66,81,82,83,84,85,86,87,88,89,96,97,98,99,137,138,139,
140,146,147175,181,182,189,193,194,199,200,217,218,219,22
7,228,230,231
0,51-0,60
90,91,92,93,95,108,119,129,141,142,143,190,191,206,207,
229,232
0,41-0,50
121,130,144,176,177,178,180,192,216,220,221,223,225,
226,233,234,236,237,238
0,31-0,40
179, 224,235 0,21-0,30
- 0,00-0,20
Sumber : Hasil Analisis, 2012
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.3
Gambar 1. Letak Nomor Pipa pada Jaringan Pipa Distribusi Air Minum
Reservoir,
pompa, tangki
Ket :
pipa 0,2 m
pipa 0,16 m
pipa 0,11 m
pipa 0,09 m
node
A.1. Analisa sisa chlor pada jaringan distribusi ... (Benny Syahputra)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.4
Gambar 2. Letak Nomor Node pada Jaringan Pipa Distribusi Air Minum
Berdasarkan gambar 2, dapat diketahui adanya kecenderungan semakin jauh jarak anatara
reservoir dengan konsumen, maka semakin kecil atau sedikit sisa chlor. Hal ini dapat diketahui dari
nilai korelasi antara jarak distribusi air (jarak dari reservoir ke konsumen) dengan konsentrasi sisa
chlor adalah sebesar -0,677 dengan nilai signifikan = 0,000 (dimana nilai signifikan tersebut <
0,05). Hal tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan negatif antara jarak distribusi air (jarak
dari reservoir ke kosumen) dengan konsentrasi sisa chlor, dimana semakin jauh jarak distribusi air
(jarak dari reservoir ke konsumen) maka semakin kecil konsentrasi sisa chlornya.
Nilai korelasi dari kedua variabel tersebut tidak kuat, yaitu 0,677 (korelasi dinyatakan kuat
jika bernilai 1 atau mendekati 1), artinya ada faktor-faktor lain yang juga ikut mempengaruhi
berkurangnya konsentrasi sisa chlor dengan bertambahnya jarak reservoir ke konsumen. Hal
tersebut senada dengan pernyataan Triatmadja (2007) bahwa berkurangnya konsentrasi chlorin
Reservoir,
pompa, tangki
Ket :
pipa 0,2 m
pipa 0,16 m
pipa 0,11 m
pipa 0,09 m
node
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.5
selama mengalir dalam pipa disebabkan oleh dua reaksi yaitu bulk reaction dan pipe wall reaction.
Bulk reaction merupakan pengurangan konsentrasi sisa chlor akibat reaksi dengan komponen-
komponen yang terlarut di dalam air. Hal ini dapat terjadi akibat masuknya komponen-komponen
organik maupun mikroorganisme ke dalam pipa. Bulk reaction merupakan koefisien laju
pengurangan konsentrasi sisa chlor diukur melalui pengujian laboratorium terhadap sampel air
pada jaringan distribusi air minum di Perumahan BSB Jatisari.
Untuk pipe wall reaction merupakan koefisien pengurangan konsentrasi sisa chlor akibat
reaksi dengan dinding pipa. Terjadinya reaksi dengan dinding pipa dapat disebabkan karena adanya
lapisan biologis/ biofilm atau karena terjadinya korosi pada pipa. Jenis pipa yang digunakan dalam
jaringan distribusi air minum di Perumahan BSB Jatisari adalah pipa GI (Galvanis Iron) dan
PVC(Polyvinyl Cloride). Pipa GI terbuat dari besi sehingga mudah terkorosi, sedangkan pipa PVC
terbuat dari bahan plastik. Sisa klor yang terlalu tinggi dalam jaringan pipa dapat menyebabkan
terjadinya korosi pada pipa. pH air yang terlalu asam juga dapat menyebabkan korosi. Untuk nilai
pipe wall reaction, ditentukan melalui prosedur kalibrasi oleh pihak penyedia layanan air minum.
Berdasarkan model regresi untuk jarak distribusi air (jarak dari reservoir ke konsumen)
dengan konsentrasi sisa chlor dinyatakan dengan persamaan Y = -0,002X+1,17. Hasil uji regresi
diperoleh R2=0,570. Y merupakan konsentrasi sisa chlor (mg/L), dan X adalah jarak dari reservoir
ke konsumen (meter). Model tersebut menunjukkan bahwa setiap bertambahnya jarak distribusi air
(jarak dari reservoir ke konsumen) sebesar satu meter, maka konsentrasi sisa chlor akan turun
sebesar 0,002 mg/L. Dengan demikian sisa chlor akan habis (konsentrasi sisa chlor = nol) pada
jarak 585 m dari reservoir.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil simulasi sisa chlor pada jaringan distribusi air minum Perumahan BSB
Jatisari Semarang dengan program waternet 2.1, serta hasil analisis mengenai pengaruh jarak dari
reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
konsentrasi sisa chlor pada titik terdekat (node 7) dengan pompa injeksi chlorin adalah 1,19 mg/L,
sedangkan pada titik terjauh (node 224) adalah 0,27 mg/L.
Konsentrasi sisa chlor akan semakin berkurang dengan semakin bertambahnya jarak dari
reservoir ke konsumen. Dari persamaan regresi Y = -0,002X + 1,17, diperoleh hasil bahwa sisa
chlor akan habis (konsentrasi sisa chlor = nol) pada jarak 585 meter dari reservoir.
SARAN
Sebaiknya pemantauan sisa chlor tidak hanya dilakukan pada titik terdekat pompa injeksi
chlorin, tetapi juga pada titik terjauh sehingga kualitas air yang terkait sisa chlor dapat diketahui
dengan baik, sehingga kualitas air PDAM dapat terjaga dan terhindar dari kontaminasi pathogen
yang mengganggu kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrilian, F. 2004. Hubungan Jarak Perpipaan Dengan Jumlah Eschericia coli Pada Distribusi Air
Perpipaan Dari Sumber Mata Air. e-journal Undip.
Endarwanto.2009. Hubungan Sisa Chlor Bebas Dengan Jumlah Bakteri Coliform Pada Air Minum
Perusahaan Daerah Air Minum Kodya Pekalongan. e-journal Undip..
Festiyanti, M. 2006. Hubungan Sisa Chlor Bebas Dengan Jumlah Bakteri Coliform Pada Air
Minum PDAM Kabupaten Semarang Tahun 2006. . e-journal Undip..
Ibroni, M. 2007. Tinjauan Pelaksanaan Chlorinasi Air Bersih dan Kaitannya Dengan Sisa Chlor Di
PDAM Tirtanadi Medan Tahun 1997. e-journal FKM USU.
A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.6
DEVELOPMENT OF EFFICIENT CALCIUM OXALATE
REMOVAL TECHNIQUES FROM TARO CORMS
Andri Cahyo Kumoro
Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Diponegoro University,
Jl. Prof. H. Soedarto, SH – Tembalang - Semarang, 50275 Email: andrewkomoro@undip.ac.id
Abstract
Taros (Colocusiu and Xanthosoma spp.) are tropical root crops commonly referred to as
cocoyams, which have been used as subsistence staple foods in many parts of the tropics and
sub-tropics in Africa and Australasia. Proximate analysis of the taro corms has shown that it
contains digestible starch, protein of good quality, vitamin C, thiamin, riboflavin and niacin.
However, one major limiting factor in the utilization of taros is the presence of oxalates which
impart acrid taste or cause irritation when foods prepared from them are eaten. Ingestion of
foods containing oxalates has also been reported to cause caustic effects, irritation to the
intestinal tract and absorptive poisoning as well as disrupting the bio-availability of calcium.
While several methods have been made to reduce oxalate content in taro corms, none has been
reported to meet the satisfactory level of the consumers. Considering that calcium oxalate
content in the skin is higher than in the tuber flesh and that physical (thermal and irradiation)
degradation of calcium oxalate is more pronounced than chemical and biological
degradations, a method to reduce the calcium oxalate content in the taro corms is proposed.
The proposed method involves peeling, washing, steeping, boiling and drying, which is
expected to remove about 93.14% of the original calcium oxalate content.
Keywords: taro; calcium oxalate; removal; development
INTRODUCTION
Taros (Colocasia) (Figure. 1) are root crops that are easily found in both the tropical and
subtropical regions of the world. Taros are native to Asia, which Colocasia esculenta is the species
that mostly grown in West Africa with Ghana and Nigeria being the main producers (Ihekoronye &
Ngoddy, 1985). They are also important crops in Hawaii, Japan, and other Pacific nations. The
world’s annual production of this crop is predicted to be 5.5 million tones, which provides about a
third of the food supply of more than 400 million people in the tropics (FAO, 1991). Taros can be
processed into several food and feed products and industrial inputs as good as potatoes in the
Western world. Taro corms processing is targeted for obtaining products that are stable in terms of
longevity, nutrition, and palatability. Peeling, boiling, roasting, deep frying, pasting and milling are
the important processing methods (Obiechina & Ajala, 1987). It has been observed that, in spite of
the fact that taros are neglected crops, their compositional value is high (Agbor-Egbe and Richard,
1990) leading to their use as subsistence staple foods in many parts of the tropics and sub-tropics in
Africa. They produce starch storage corms and cormels, and have several cultivars throughout the
Figure 1. Taro plant (a) and Taro Corms (b)
a b
(a) (b)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.7
world. Proximate analysis of the taro corms has shown that they contain digestible starch, protein
of good quality, vitamin C, thiamin, riboflavin and niacin Onwueme (1994).
Apart of all the above mentioned potentials, it has been reported that the consistent
palatability problems associated with taros have hindered the realization of its full potentials.
Bradbury & Holloway (1988) found that the causes of the antinutritional and off-taste problems
have been identified as calcium oxalate crystals and other acidic and proteinaceous principles. They
also reported that the content of calcium oxalate varied with the position in the corm. The content
was 451, 182 and 84 mg/100 in the skin, 1 cm below skin and the centre of the corm, respectively.
Ingestion of foods containing oxalates has been reported to cause caustic effects, irritation to the
intestinal tract and absorptive poisoning (Sakai, 1972) and disturb the bio-availability of calcium
(Guéguen and Pointillart, 2000). It occurs as the free acid, as soluble salts of potassium and
sodium, and as insoluble salts of calcium, magnesium and iron (Noonan and Savage, 1999). The
lethal dose of calcium oxalate to human is 2 g (Albihn and Savage, 2001). It could therefore be
recommended that the intake of calcium oxalate in one meal does not exceed two-third of this
lethal dose. However, the threshold level of calcium oxalate in food is 71 mg/100g (Sefa-Dedeh
and Agyir-Sackey, 2004). The objective of this paper was to propose an efficient technique to
reduce the calcium oxalate content in the taro corms.
LITERATURE SURVEYS ON THE CALCIUM OXALATE REMOVAL METHODS
Several attempts have been made to reduce oxalate content in taros. The peels of tubers
contain more oxalate than the peeled tubers (Akpan and Umoh, 2004), therefore peeling should be
the first step to do when removing calcium oxalate from tubers (Sangketkit et al., 2001). Removal
of the thick layer of skin and long period of cooking is required to remove acridity (Crabtree and
Baldry, 1982). Onayemi and Nwigwe (1987) observed that soaking of sliced taro corms in water
and in solutions of citric acid and EDTA reduced the oxalate levels ranging from 9 to 26%.
Steeping of taro slices in water at 30 oC for 24 hours was reported to reduce the oxalate-salt content
35% of its original content, respectively (Iwuoha and Kalu, 1995). In other investigation, soaking
of taro in 0.05% w/v NaOH solution with taro-NaOH solution ratio of 1:4 for 2 hours followed by
drying in the electric oven at 40oC for 16 hours, reduced calcium oxalate content by more than 40%
(Tattiyakul et al., 2006). While no detail information was given in their article, Carpenter and
Steinke (1983) reported that anaerobic fermentation, baking or extraction with ethanol also helps in
the reduction of acridity levels in taro. Fermentation in water affected a significant reduction in
oxalate level (58 to 65%) depending on the fermentation period (Oke and Bolarinwa, 2012).
Osisiogu et al. (1974) observed that boiling of taros for 15 min brought about considerable
reduction in the irritant effect. They concluded that the irritant principle of taros could be destroyed
by volatilization and not by heating. In another study, boiling for 30 min at 90oC removed about of
the irritant substance (Iwuoha and Kalu, 1995), indicating that irritation and itching caused by the
acridity factor may not be observed when taro is thoroughly cooked (Agwunobi et al. 2000).
Albihn and Savage (2001) observed that repeated boiling for 15 minutes with changes the water
every boiling reduced the calcium oxalate content in taro corm. Akpan and Umoh (2004) used of
heat treatment and different concentrations of tetracycline during cooking to reduce the level of
acridity in taro. Boiling for 40 minutes caused significant reduction of calcium oxalate of Japanese
taro (Catherwood et al., 2007). Similar results were reported previously by Savage et al. (2000),
Savage (2002) and Quinteros et al. (2003).
Although it has been reported that the traditional methods including drying of taros may
reduce oxalate (Purseglove, 1972), they do not completely remove it as itching is still reported by
many consumers (Onayemi & Nwigwe, 1987). The trend of oxalate levels obtained from oven
drying, observed for the 24 h dried samples, was not different from that obtained in the 12 h dried
samples (Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey, 2004), which was from 302 to 200g/100g (33.77%).
Drum-drying reduced oxalate levels by approximately 50% to average levels ranging from 99.9 to
192 g/100 g (Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey, 2004) from its original value between 302-309
g/100g. High temperature is known to cause the calcium oxalate-containing cells (raphides) to
collapse, leading to the breakdown of oxalate structure. The trend of oxalate levels observed for the
24 h solar dried samples was not different from that obtained in the 12 h dried samples (Sefa-
A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.8
Dedeh and Agyir-Sackey, 2004) from 302 to about 100g/100g (66.89%). It is clear that solar
drying performes better calcium oxalate reduction than oven drying. Roasting of taro corm at
165oC within 40-45 min reduces about 54.56% of its calcium oxalate content (Iwuoha and Kalu,
1995). However, more recent investigation reported that baking was found to increase the calcium
oxalate content in dry matter (Albihn and Savage, 2001). Similar results were reported by Savage
et al. (2000), Savage (2002), Quinteros et al. (2003) and Savage and Martensson (2010).
Despite all these efforts, there is little information about the detail and efficiency of the
various processes in relation to the measured parameter(s). In addition, the available reports about
the effects of processing on oxalates appear conflicting and inconclusive.
THE CALCIUM OXALATE DEGRADATION
As far as the literature surveys were done, the degradation of calcium oxalate might occur
through the following manners:
1. Thermal degradation
CaC2O4. n H2O(s) → CaC2O4 (s) + n H2O (g)
CaC2O4(s) + heat → CaCO3(s) + CO (g)
CaCO3(s) → CaO(s) + CO2 (g)
The presence of Na+ ions was found to increase the decomposition rate and reduce the
activation energy of the above reaction. The Na+ ions act as a catalyst for the decomposition
reaction (Schempf et al., 1965).
2. Irradiation degradation: Gamma ray irradiation increased the decomposition rate of calcium
oxalate (Basahel et al., 1987). This conclusion was based on their observation where morning
and afternoon sun drying caused different efficiency due to different sunlight intensity and rays
composition.
3. Biological degradation: Anaerobic fermentation helps in reduction of acridity levels in taro
(Carpenter and Steinke, 1983). In addition, uncontrolled fermentation of taro chips (2-2.5 cm
thickness) in water reduced their calcium oxalate content (Oke and Bolarinwa, 2012).
THE CALCIUM OXALATE REMOVAL METHOD DEVELOPMENT
Based on the degradation mechanisms of calcium oxalate and the previous investigations
by other researchers on the reduction of calcium oxalate in taro corms as affected by cooking
methods, an efficient technique to remove the calcium oxalate from taro corms in developed. With
the facts that discrepancy was reported by previous researchers on the effects of baking as an
example of dry thermal treatment on the reduction of calcium oxalate, two options are given to
whether or not using these techniques. The schematic diagram of the proposed calcium oxalate
removal method is depicted in Figure 2.
Holland et al. (1991) reported that the taro corm contains about 5 g skins for 100 g corm.
Therefore, removal of the skin from the corm will reduce 15% of the total calcium oxalate content
in the corm. If the average calcium oxalate content in the taro corm is about 590 mg/100 g corm
(Iwuoha and Kalu, 1995), then the expected concentration of calcium oxalate in the product dried
taro chips will be 38.8 mg/100 g corm. This value is about a half of the threshold levels of calcium
oxalate (71 mg/100g) in food products as suggested by Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey (2004).
l method is depicted in Figure 2.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.9
Figure 2. The Schematic Diagram of Calcium Oxalate Removal from Taro Corm
CONCLUSIONS
A method has been developed to reduce the calcium oxalate content of taro corm to a safe
level based on the calcium oxalate degradation mechanism and effects of cooking methods on the
calcium oxalate reduction. The proposed method involves peeling, washing, steeping, boiling and
drying, which is expected to remove about 93.14% of the original calcium oxalate content.
ACKNOWLEDGEMENT
The author greatly acknowledges the Directorate of Research and Community Service,
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture the Republic of
Indonesia for its financial support through National Strategic Research Grant 2012.
REFERENCES
Agbor-Egbe, T. and Richard, J. E., 1990, Evaluation of the chemical composition of fresh and
stored edible aroids. Journal of the Science of Food and Agriculture, 53, 487–495.
Agwunobi, I. N. Okafor, E. P. and Ohazurike, N., 2000, Tannia Cocyam tuber meal (Xanthosoma
sagittifolium) as a replacement for maize grain in the diets of rabbits, Global Journal of
Pure and Applied Sciences, 6 (3), 419-424
Akpan, E.J. and Umoh, I.B., 2004, Effect of heat and tetracycline treatments on the food quality
and acridity factors in Cocoyam [Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott], Pakistan Journal
of Nutrition, 3 (4), 240–243.
Albihn, P.B.E. and Savage, G.P., 2001, The effect of cooking on the location and concentration of
oxalate in three cultivars of New Zealand-grown oca (Oxalis tuberose Mol). Journal of the
Science of Food and Agriculture, 81, 1027-1033.
Basahel, N.S., Obaid, A. Y. and Diefallah, E. H. M, 1987, Kinetic Analysis of Thermal
Decomposition Reaction III. Irradiation Effects on the Thermal Decomposition of Calcium
Oxalate Monohydrate, Radiation Physics and Chemistry, 29, 6, 447-450.
A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.10
Bradbury, J. H. & Holloway, W. D., 1988, Chemistry ofTropical Root Crops: SigniJicance for
Nutrition and Agriculturein the Pact& Australian Center for InternationalAgricultural
Research, Canberra, Australia, pp. 51-68,110-19.
Carpenter, J. R. and Steinke, W. E., 1983, Animal feed. In Taro-a Review of Colocasia esculenta
and its Potentials, ed. J. Wang. University of Hawaii Press, Honolulu, HI, USA.
Catherwood, D.J., Savage, G.P., Mason, S.M., Scheffer, J.J.C. and Douglas, J.A., 2007, Oxalate
content of cormels of Japanese (Colocasia esculenta (L.) Schott) and the effect of cooking.
Journal of Food Composition and Analysis, 20, 147–151.
Crabtree, J. and Baldry, J., 1982, Technical note: the use of taro products in breed making. Journal
of Food Technology, 17, 771-777.
FAO, 1991, Quarterly Bulletin of Statistics of the Food and Agriculture Organization of the United
Nations (Vol. 4).
Guéguen, L. and Pointillart, A., 2000, The Bioavailability of Dietary Calcium. Journal of the
American College of Nutrition, 19(2), 119S-36S.
Holland, B., Unwin, I. D. and Buss, D. H., 1991, Vegetables, Herbs and Spices. The Fifth
Supplement to McCance & Widdowson's The Composition of Foods (4th Edition). 163
Seiten. Royal Society of Chemistry, Cambridge.
Ihekoronye, A. I. and Ngoddy, P. O., 1985, Cocoyams. In Integrated Food Science and Technology
for the Tropics. Macmillan, London, UK.
Iwuoha, I.C. and Kalu, A.F., 1995, Calcium oxalate and physico-chemical properties of cocoyam
(Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittfolium) tuber flours as affected by processing,
Food Chemistry, 54 (1), 61 - 66.
Noonan, S. C. and Savage, G. P., 1999, Oxalate content of foods and its effect on humans. Asia
Pacific Journal of Clinical Nutrition, 8, 64-74.
Obiechina, O. C.and Ajala, A. A., 1987, Socioeconomic and cultural importance of cocoyam as a
staple food. In Proceedingsof the 1st National Workshop on Cocoyam.NRCRI, Umudike,
Nigeria, pp. 180-4.
Oke, M. O. and Bolarinwa, I. F., 2012, Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and
Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour, ISRN Agronomy,
doi:10.5402/2012/978709
Onayemi, O. and Nwigwe N.C., 1987, Effect of processing on the oxalate content of cocoyam.
Food Technology, 20, 293-295.
Onwueme, I.C., 1994, Tropical root and tuber crops - Production, perspectives and future
prospects. FAO Plant Production & Protection Paper 126, FAO, Rome. 228 pp.
Osisiogu, I.U.W., Uzo, J.O. And Ugochukwu, E.N. 1974. The Irritant Effect of Cocoyams. Planta
Medica, 26, 166–169.
Purseglove, J. W., 1972, Araceae. In Tropical Crops: Monocotyledons.Longman, Essex, UK.
Quinteros, A., Farre, R. and Lagarda, M.J., 2003. Effect of cooking onoxalate content of pulses
using an enzymatic procedure. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 54,
373–377.
Ross, A. B., G. P. Savaga, R. J. Martin, and L. Vanhanen. 1999. Oxalates in oca (New Zealand
Yam) (Oxalis tuberose Mol.). Journal of Agricultural and Food Chemistry , 47:5019–5022.
Sakai, W. S. and Nwufo, M. I., 1972, Raphides with Barbs and Groves in Xanthosoma sagitifolium
Aracae, Science, 314-315.
Sangketkit, C., Savage, G. P., Martin, R. J. and Mason, S. M., 2001, Oxalate content of raw and
cooked oca (Oxalis tuberosa). Journal of Food Composition and Analysis, 14, 389–397.
Savage, G. P., 2002, Oxalates in human foods. Proceedings of the Nutrition Society of New
Zealand 27, 4-24.
Savage, G.P., Vanhanen, L., Mason, S.M. and Ross, A.B., 2000, Effect of cooking on the soluble
and insoluble oxalate content of some New Zealand foods. Journal of Food Composition
and Analysis, 13, 201-206.
Schempf, J. M., Freeberg, F. E. and Angelon, F. M., 1965, Effect of Sodium Ion Impurity on
Thermal Decomposition Reaction of Calcium Oxalate as Studied by Absorption Infrared
Spectrometric and Thermoanalysis Techniques, Analytical Chemistry, 37 (13), 1704-1706
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.11
Sefa-Dedeh, S. and Agyir-Sackey, E. K., 2004, Chemical composition and the effect of processing
on oxalate content of cocoyam Xanthosoma sagittifolium and Colocasia esculenta cormels,
Food Chemistry, 85, 479-487.
Tattiyakul, J., Asavasaksakul, S. and Pradipasena, P., 2006, Chemical and Physical Properties of
Flour Extracted from Taro Colocasia esculenta (L.) Schott Grown in Different Regions of
Thailand, Scienceasia, 32, 279-284.
A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.12
PROSES PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT
DENGAN MIKROALGA LIAR
Hantoro Satriadi, Widayat1)
, Hadiyanto1)
, Uray Irzandi, Riky Yonas
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang
Jl. Prof Soedarto SH Tembalang 1)
C-BIORE (Center of Biomass and Renewable Energy) E-mail: hantoro_satriadi@gmail.com
Abstrak
Industri kelapa sawit menghasilkan limbah cair yang dikenal palm oil mill effluent
(POME). POME memiliki kandungan BOD sebesar 230 mg/L dan COD sekitar 700
mg/L sehingga tidak dapat dibuang langsung ke lingkungan. Pengolahan yang umum
dilakukan adalah pengolahan fisika dan biologi. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari proses pengolahan POME dengan menggunakan mikroalga liar, dimana
dipelajari konsentrasi urea (N) dan ammonium bikarbonat (C). Respon yang diamati
adalah konsentrasi biomassa sebagai optical density setiap harinya sampai diperoleh
nilai konstan. Prosedur analisis dengan alat spektrofotometri. Limbah setelah operasi
dianalisis nilai COD dan BOD Prosedur percobaan yang dilakukan berupa
pencampuran POME dan mikroalga kedalam bioreaktor sesuai perbandingan yang
ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroalaga liar yang diperoleh di
Jurusan Teknik Kimia FT UNDIP mampu mengolah POME, dimana pengaruh
pemberian nutrient C dan N terhadap COD dan BOD, bahwa semakin tinggi
penambahan unsur C dan N semakin besar penurunan nilai COD dan BODnya.
Kondisi optimum untuk pengolahan limbah industri kelapa sawit dengan teknologi
mikroalga pada media perbandingan 1 volume mikroalga berbanding 3 volume
POME dengan nutrient 40 ppm urea dan 120 ppm NaHCO3.
Kata kunci: POME, Mikroalga liar, BOD, COD, optical density
1. PENDAHULUAN
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian Indonesia dan
merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Produksi kelapa sawit
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Seiring dengan peningkatan prokduktifitas kelapa sawit,
diikuti juga peningkatan limbah yang dihasilkan. Setiap pabrik kelapa sawit membuang
limbah cair yang dikenal palm oil mill effluent (POME), emisi gas dari boiler dan insinerator,
bahan limbah padat seperti tandan buah kosong, serat dan cangkang, dan produk termasuk abu
kalium yang karbonat dan kernel kelapa sawit. Hal ini menjadi limbah di lingkungan yang
signifikan jika tidak dibuang dengan cara yang tepat (Sulaiman dan Ling, 2004).
POME adalah suspensi koloid yang mengandung 95-96% air, 0,6-0,7% minyak dan 4-5%
lemak dan padatan total. POME dikeluarkan dari industry berupa cairan coklat dengan suhu debit
antara 80 °C dan 90 °C dan cukup asam dengan nilai pH kisaran 4,0-5,0. Biasanya POME berisi
nilai rata-rata 6000 mg / l minyak dan lemak. POME rata-rata mengandung BOD (Biologycal
Oxygen Demand) berkisar antara 8.200-35.000 mg liter-1
dan COD(Chemical Oxygen Demand)
berkisar antara 15.103- 65.100mg liter-1
yang akan menjadi bahan pencemar apabila dibuang
langsung ke perairan bebas (DITJEN PPHP Departemen Pertanian, 2006).
Poh dan Chong (2009) telah merangkum tentang pengolahan POME yaitu dengan
anaerobik, aerobik mempunyai keuntungan penggunaan energy rendah (tidak ada aerasi), produksi
fas metana banyak pada produk tetapi pengolahan dengan anaerobic ini mempunyai kekurangan
yaitu memerlukan waktu yang lama dan strat up yang lambat. Pengolahan aerobic mempunyai
keuntungan waktu untuk proses pengolahan relative lebih cepat dan efektif untuk menangani
limbah beracun akan tetapi kekuranganya adlah memerlukan energy yang besar untuk aerasi.
Pengolahan dengan menggunakan membrane mempunyai keuntungan produksinya stabil dan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.13
kualitas air yang dihasilkan bagus dan kekuranganya adalah masa penggunaan membrane yang
singkat. Pengolahan dengan evaporasi mempunyai keuntungan bisa mengolah limbah dengan
konsentrasi padatan yang tinggi dari proses dan kekuranganya kosumsi energy yang dipakai besar.
Cara-cara tersebut merupakan cara-cara yang lazim digunakan dalam industri pengolahan CPO.
Kelemahan dari cara-cara tersebut adalah hanya menurunkan kandungan BOD dan COD,
sedangkan komponen lain seperti N,P,K, dan berbagai mineral lain kadarnya masih tinggi sehingga
masih bisa dimanfaatkan diolah lebih lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan kadar BOD dan COD yang terdapat di dalam
POME. Treatment yang dilakukan antara lain dengan perbandingan volume POME dengan
mikroalga.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat erlemeyer 500 ml dan magnetic stirer. Bahan yang
digunakan antara lain POME, Mikroalga, urea, dan NaHCO3. POME diperoleh dari PT.
Perkebunan Nusantara VII Lampung, Sumatra. Mikroalga diperoleh dari Laboratorium Pengolahan
Limbah Jurusan Teknik Kimia UNDIP. Berdasarkan pengamatan visual, jenis mikroalga yang
terdapat di kolam Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia UNDIP adalah
Clamidomonas.
2.2 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara aklimitasi POME dan mikroalga dengan ditambahkan
nutrient urea dan NaHCO3 sesuai dengan variabe percobaan. Campuran POME ini dengan
mikroalga ini diaduk pada kecepatan skala 4. Analisis konsentrasi mikroalga diukur jumlah Optical
Density(OD) sampel. Proses analisa dilakukan sampai dengan nilai OD tetap(14 hari). Setelah 14
hari pisahkan mikroalga pada campuran dengan tawas berkonsentasi 30ppm dan ditambahkan
NaOH 2M hingga pH 11. Campuran diendapkan selama satu hari kemudian filtrate dianalisa
kandungan COD, BOD, sedangkan endapan dianalisa kandungan minyak.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Perbandingan Volume Alga Terhadap POME
Dengan menggunakan variasi perbandingan volume mikroalga terhadap POME didapatkan
data seperti gambar 2 dibawah ini.
Gambar 1 Grafik pengaruh variasi perbandingan volume alga terhadap POME
Dari gambar 1 pertumbuhan mikroalga pada pengaruh perbandingan volume alga terhadap
POME cenderung meningkat. Hal ini disebabkan semakin lama waktuu maka jumlah sel yaang ada
semakin banyak. Pada hari pertama sampai hari keenam merupakan fasa adaptasi dari mikroalga
untuk tumbuh di media pertumbuhan POME, sehingga pertumbuhan mikroalga tidak signifikan.
A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.14
Pada hari keenam sampai hari ke empat-belas merupakan fasa lag dimana mikroalga tumbuh sangat
cepat.
Dari hasil percobaan diatas dapat dilihat pengaruh dari komposisi perbandingan mikroalga
dan POME terhadap pertumbuhan mikroalga. Dari gambar 1 dapat dilihat fluktuasi pertumbuhan
sel mikroalga yang cukup bagus yaitu pada perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3. Pada ketiga
perbandingan ini perbedaan pertumbuhan mikroalga tidak berbeda jauh. Sedangkan untuk
perbandingan 1:4 dan 1:5 pertumbuhan mikroalga terlihat lambat dan tidak terlalu banyak. Dari
semua data diatas dapat disimpulkan bahawa perbandingan kosentrasi antara mikroalga dengan
POME sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga. Pengaruh ini disebabkan oleh jumlah
sel awal yang terdapat pada campuran. Semakin sel awal, maka kemampuan mikroalga untuk
membelah diri juga semakin banyak. Akan tetapi pada ratio 1:1 lama kelamaan jumlah selnya
hampir sama dengan 1:3 hal ini disebabkan karena pertambahan jumlah sel tidak dikuti oleh
pertambahan nutrisi untuk sel tersebut. Sehingga sel-sel mikroalga mati karena kekurangan nutrisi.
Setelah dilihat pada perbandingan 1:3 mempunyai pertumbuhan yang paling baik, maka digunakan
untuk variasi selanjutnya.
3.2 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Nutrisi UREA
Pada percobaan terhadap variasi nutrisi UREA teradap pertumbuhan sel mikroalga dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2 Grafik Pengaruh Variasi Penambahan Nutrient UREA
Nitrogen mengisi sekitar 12% protoplasma mikroalga dan 5% hingga 6% protoplasma
kapang atau mikroorganisme. Dalam air limbah, nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen amoniak,
proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. (Simanjuntak, 2009). Dari
penjelasan tersebut dilihat bahwa penambahan unsur nitrogen sangat berpengaruh untuk
pertumbuhan mikroalga.
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin banyak urea ditambahkan maka pertumbuhan
selnya semakin lambat. Hal ini dikarenakan jika rasio karbon terhadap nitrogen terlalu kecil
(jumlah nitrogen terlalu besar) maka akan terjadi kelebihan NH3 yang terbentuk yang akhirnya
dapat menyebabkan proses pengasaman. Proses pengasaman ini akan membuat pertumbuhan
mikroalga terganggu karena mengganggu kestabilan pH optimum. Hal ini terlihat pada jumalah
urea 40, 45 dan 50. Pada variasi-variasi ini, terlihat bahwa fase stasioner kurva pertumbuhan
mereka cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh pengasaman senyawa nitrogen yang
berlebihan sehingga menyebabkan lebih banyak mikroalga yang mati daripada yang direproduksi.
Pada variasi 20 dan 30 dengan rasio nutrisi yang optimum, pertumbuhan mikroalga tidak terganggu
oleh pengasaman nitrogen yang berlebih ataupun terjadi keterbatasan pembentukan sel akibat
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.15
adanya faktor pembatas dari rasio N yang terlalu besar. Dengan pertumbuhan mikroalga yang
optimal, maka proses degradasi kontaminan dapat berjalan dengan lancar.
Unsur nitrogen sangat penting bagi metabolisme mikroorganisme karena nitrogen
merupakan unsur kunci dalam asam amino dan asam nukleat, dan ini menjadikan nitrogen penting
bagi semua kehidupan. Protein disusun dari asam-asam amino, sementara asam nukleat menjadi
salah satu komponen pembentuk DNA dan RNA. Selain itu, rasio karbon terhadap nitrogen juga
tergantung dari kontaminan yang ingin didegradasi, mikroalga serta jenis nitrogen yang digunakan.
Berkaitan dengan jenis nitrogen yang digunakan, laju degradasi hidrokarbon akan meningkat jika
menggunakan amonium-nitrogen.
3.3 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3
Pada percobaan terhadap variasi nutrisi NaHCO3 teradap pertumbuhan sel mikroalga dapat
dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 Grafik Pengaruh Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3
Pemberian nutrient NaHCO3 berfungsi untuk menambah kandungan C pada media POME.
Karbon berpengaruh pada proses fotosintesis dari mikroalga dengan bantuan sinar matahri sesuai
dengan persamaan reaksi sbb:
CO2 + H2O + Energi [Cahaya] ( CH2O)N+ O2
Dari grafik pengaruh variasi penambahan nutrient NaHCO3 cenderung meningkat. Hal ini
disebabkan semakin lama waktu maka jumlah sel yaang ada semakin banyak. Gambar 5 diatas
menunjukan pemberian nutrien yang yang terbaik pada 100 ppm. Hal ini disebabkan penambahan
100 ppm NaHCO3 mengahasilkan perbandingan kandungan nutrisi C, N dan P di media POME
yang baik untuk terjadinya proses fotosintesis mikroalga.
3.4 Nilai COD dan BOD
Dari hasil percobaan pengolahan limbah POME didapatkan nilai BOD dan COD dari
sample awal dan akhir, berikut ini adalah nilai COD dan BOD disajikan pada tabel 1, 2, 3.
A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.16
Tabel 1 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Perbandingan Volume POME Dan Mikroalga
Setelah Diaklimitasi Selama 14 Hari
Perbandingan volume
(POME : mikroalga) BOD (mg/l) COD (mg/l)
1:0 110,6 496,67
1:1 79 330
1:2 89,53 368,33
1:3 84,27 388,33
1:4 61,66 173,33
1:5 65,58 181,67
Parameter buangan
limbah 75 150
Pada analisa limbah POME dengan dengan variasi perbandingan volume POME dan
mikroalga menghasilkan nilai COD dan BOD tidak terlalu berkurang secara significant.. Pada
perbandingan volume 1:4 menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD paling baik.
Dari gambar 3 dilihat bahwa pada variasi perbandingan volume 1:4 jumlah selnya tidak
terlalu banyak jika dibandingkan dengan variasi 1:1, 1:2 dan 1:3, hal ini dikarenakan dasar
penghitungan jumlah sel yang digunakan adalah counting chamber. Dimana pada teknik
penghitungan ini yang dihitung bukan hanya saja sel hidup akan tetapi sel yang telah mati juga
turut dihitung. Jadi pada variasi perbandingan volume 1:4 ini jumlah mikroalga yang masih aktif
lebih banyak dibandingkan dengan yang lain. Karena sekali lagi yang mempengaruhi nilai BOD
dan COD itu turun itu adalah aktivitas dari mikroalga yang masih hidup.
Tabel 2 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Penambahan Nutrient UREA Setelah Diaklimitasi
Selama 14 Hari Pada Perbandingan Volume Pome Dan Mikroalga 1:3
Kadar pemberian
nutrient UREA (ppm) BOD (mg/l) COD (mg/l)
0 110,6 496,67
20 66,58 181,67
30 84,27 388,33
40 55,41 158,33
45 67,08 191,67
50 67,50 190,00
Parameter buangan
limbah 75 150
Pada analisa limbah POME dengan dengan variasi variasi penambahan nutrient UREA
menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD seperti yang terlihat pada tabel 2. Pada variasi
penambahan nutrient UREA 40ppm menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD paling baik.
Hal ini dikarenakan zat-zat kimia yang terdapat pada sampel didegradasi dengan baik oleh
mikroalga.
Tabel 3 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3 Setelah Diaklimitasi
Selama 14 Hari Pada Perbandingan Volume Pome Dan Mikroalga 1:3
Kadar pemberian nutrient
NaHCO3 BOD (mg/l) COD (mg/l)
0 110,6 496,67
50 68,08 191,67
80 68,25 195,00
100 84,27 388,33
120 65,33 186,67
150 68,83 196,67
Parameter buangan limbah 75 150
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.17
Berdasarkan tabel 2, variasi penambahan nutrient NaHCO3 mampu menghasilkan
penurunan nilai COD dan BOD. Pada penambahan nutrient NaHCO3 120ppm menghasilkan
penurunan nilai COD dan BOD paling baik. Hal ini dikarenakan zat-zat kimia yang terdapat pada
sampel didegradasi dengan baik oleh mikroalga.
Dari semua analisa BOD dan COD, nilai COD yang dihasilkan belum cukup untuk bisa
dibuang ke lingkungan. Perda Provinsi Jawa Tengah No.10 Tahun 2004 batas nilai COD yang
layak dibuang kelingkungan adalah 150 mg/l. Sedangkan untuk nilai BOD yang didapat hampir
semua dari sampel nilai BOD bisa diterima oleh lingkungan karena ambang batas nilai BOD yang
bisa dibuang ke lingkungan adalah 75 mg/l.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Limbah POME pond IV dapat dijadikan media pertumbuhan mikrolga liar sehingga dapat
mengurangi kadar BOD dan COD dari limbah POME.
b) Pertumbuhan mikroalga yang terbaik diperoleh pada variasi perbandingan volume POME
dan mikroalga 1:3 dengan menambahkan nutrient 100ppmNaHCO3 dan 30ppm nutient
urea.
c) Penurunan BOD dan COD paling baik terjadi pada variasi perbandingan volume POME
dan mikroalga 1:4. Nilai BOD dan COD yang dicapai adalah 61,66 ppm dan 173,33 ppm
d) Pemberian nutrient C 120 ppm menghasilkan penurunan BOD dan COD paling baik yaitu
65,33 ppm dan 186,67ppm, sedangkan pengaruh pemberian nutrient N 40 ppm
menghasilkan penurunan BOD dan COD paling baik mencapai 55,41 ppm dan 158,33
ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Chen Feng, 1991.”High Cell Density Culture Of Microalgae In Heterotropoic Growth”,
Department Of Botany. University of hongkong
Chisti Yusuf (2007), “Biodiesel From Microalgae”, Biotechnology Advances, Vol.25, hal. 294-306.
DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN, 2007, “Gambaran sekilas tentang industry kelapa sawit”.
DITJEN PPHP,2006 , Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit . Departemen
Pertanian. Jakarta
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, 2006 .” Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa
Sawit”, Jakarta
Hidup Simanjuntak. (2009). “Study korelasi anatara hubungan BOD dengan C, N, dan K dari
limbah cair kelapa sawit”. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara. .
Poh P.E. dan Chong M.F., 2009, Development of anaerobic digestion methods for palm oil mill
effluent (POME) treatment. Jurnal Teknologi, Keluaran Khas. 100 (2009) 1–9 The
University of Nottingham Malaysia.
Retno widhiastuti dkk. 2006. “Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa
Sawit sebagai Pupuk terhadap Biodiversitas Tanah”. Universitas Sumatra Utara.
Song Donghui, Fu Jingjuang (2008), “Exploitation of oil-bearing Microalgae for Biodiesel”,
Chinese Journal of Biotechnologi, Vol. 24, No. 3, hal. 341-348.
Tobing P.L. dan Poelengan Z., 2000,” Pengendalian limbah cair pabrik kelapa sawit secara
biologis di Indonesia”. Warta PPKS , vol 8 (2): 99-106,
Zalina Othman dan Abdul Latif Ahmad. 2006. “Pretreatment of palm oil mill effluent (POME)
using Moringa oleifera seeds as natural coagulant”. Keluaran Khas. 145 (2007) 120–126
The Universiti Sains Malaysia.
A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.18
SIMULASI KINETIKA REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK GORENG
BEKAS BERBANTUKAN RADIASI ULTRASONIK
Haris Nu’man Aulia, Widayat*, dan Setia Budi Sasongko
Program Magister Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP
Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus Tembalang – Semarang 50239
*Center – Biomass and Renewable Energy E-mail: harisnumanaulia@gmail.com, yayat_99@yahoo.com
Abstrak
Biodiesel adalah bahan bakar terbaharui, biodegradable, tak beracun dibuat dari minyak atau
lemak melalui transesterifikasi dengan alkohol. Pembuatan biodiesel umumnya memerlukan
waktu yang lama, dimana dapat diatasi dengan proses berbantukan gelombang ultrasonik.
Adapun untuk keperluan perancangan reaktor data kinetika dibutuhkan. Data-data kinetika
yang ada masih terbatas pada proses konvensional. Penelitian ini bertujuan mempelajari
model kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas berbantukan radiasi ultrasonik.
Penelitian drylab (simulasi dengan menggunakan perangkat lunak berbasis matriks) dilakukan
dengan mengambil data sekunder dari penelitian Hingu, et al(2010). Pada penelitian tersebut
radiasi ultrasonik dilakukan dengan frekuensi rendah (20 kHz) dengan parameter variasi
temperatur, dan daya ultrasonik. Model kinetika reaksi yang digunakan adalah penurunan
dari reaksi reversible transesterifikasi orde 4. Hasil validasi menunjukkan bahwa model
kinetika reaksi yang digunakan dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dari proses
transesterifikasi berbantukan radiasi ultrasonik dimana nilai coefficient determination R2 >
0,9. Adapun model kinetikanya adalah sebagai berikut :
Dalam persamaan tersebut rA,P,R,T,CAo,X,XAe dan M secara berurutan adalah kecepatan
reaksi transesterifikasi, daya ultrasonik, konstanta gas ideal, suhu, konsentrasi awal bahan
baku, konversi tiap waktu, konversi saat setimbang dan perbandingan molar metanol.
Kata kunci: simulasi kinetika, transesterifikasi ultrasonik
1. Pendahuluan
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak solar dan terdiri dari
campuran fatty acid methyl esters (FAMEs) yang diperoleh dari sumber dapat diperbarukan seperti
minyak nabati dan lemak hewan (Ma and Hanna, 1999). Secara kimia biodiesel diproduksi melalui
transesterifikasi, yakni reaksi reversibel tiga tahap yang mengonversi trigliserida menjadi campuran
FAMEs dan gliserol dengan bantuan katalis (Han et al., 2009).
Proses produksi biodiesel telah dilakukan para peneliti, diantaranya proses
transesterifikasi dan esterifikasi berkatalis asam (Cao et al., 2008), transesterifikasi berkatalis basa
heterogen (Kawashima et al., 2008), transesterifikasi dengan proses enzymatic (Ranganathan et al.,
2008), transesterifikasi via-metanol superkritis non katalis (Hawash et al., 2009), transesterifikasi
berbantukan microwave (Azcan and Danisman, 2008), dan transesterifikasi berbantukan
gelombang ultrasonik (Stavarache et al., 2007). Penelitian tersebut dilakukan secara intensif untuk
memperbaiki konversi, waktu reaksi, konsumsi bahan, dan pengaruh lingkungan (Marchetti et al.,
2008).
Jika dibandingkan dengan beberapa metode yang telah dilakukan para peneliti,
transesterifikasi berbantukan ultrasonik memiliki beberapa keunggulan , antara lain menghasilkan
yield yang besar (98-99%) dengan jumlah penggunaan katalis yang rendah. Proses ini sangat
menghemat waktu dan energi, sebagai contoh : dalam sistem reaktor batch konvensional yang
dikerjakan 1 jam atau lebih bila dikerjakan dengan reaktor berbantukan ultrasonik hanya
memerlukan waktu 5 menit. Proses ini juga mengurangi waktu pemisahan yang statis sampai 25
menit, dibandingkan 8 jam pada metode konvensional (Refaat and Sheltawy, 2008).
Untuk perancangan reaktor kimia dibutuhkan data model kinetika kimia dari suatu reaksi
yang terjadi. Demikian juga dengan proses perancangan reaktor untuk produksi biodiesel. Beberapa
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.19
peneliti telah melakukan kajian terhadap kinetika proses produksi biodiesel dengan berbagai bahan
baku, katalis, proses, dan suhu. Sebagian besar peneliti mendapatkan model reaksi orde 1 dan 2
yang irreversible, sedangkan dari tinjauan termodinamika reaksi transesterifikasi seharusnya
reversible karena nilai konstanta kesetimbangan (K) dalam reaksi tersebut sangat kecil .
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan masih terdapat beberapa permasalahan,
diantaranya belum mendapatkan proses produksi biodiesel yang sangat menghemat waktu dan
energi dengan perolehan yield yang maksimal. Permasalahan waktu dan yield dapat diatasi dengan
proses berbantukan gelombang ultrasonik (Amish, 2011). Adapun untuk model kinetika reaksi
dengan reaksi reversible untuk proses berbantukan gelombang ultrasonik sampai saat ini belum ada
yang mendapatkannya. Tujuan penulisan ini adalah mempelajari model kinetika reaksi
transesterifikasi minyak goreng bekas berbantukan radiasi ultrasonik.
2. Metodologi
Alat yang digunakan meliputi software penyelesaian berbasis matriks. Prosedur penelitian
yang ditempuh meliputi studi literatur, pemilihan dan penentuan model kinetika, simulasi model,
validasi model sampai mendekati data percobaan.
Data diperoleh dari penelitian Hingu et al. (2010). Pada penelitian tersebut, pembuatan
biodiesel dari minyak goreng bekas berbantukan ultrasonik berfrekuensi rendah (20 kHz) dilakukan
dengan parameter variasi temperature, dan disipasi daya ultrasonik. Skema penelitian tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Rangkaian alat penelitian (Hingu et al., 2010)
2.1 Pemodelan kinetika
Penentuan model kinetika reaksi berdasarkan persamaan reaksi transesterifikasi yang dapat
disederhanakan sebagai berikut :
TG + 3 MeOH 3 FAME + GL
αA + βB εC + γD ……...…………………(1)
Analisa data kinetika dilakukan dengan menggunakan data hasil penelitian reaktor batch.
Anggapan-anggapan yang diambil pada analisa kinetik sebagai berikut :
1. Persamaan kinetika reaksi berdasarkan reaksi elementer dan reversibel
2. Persamaan laju reaksi berdasarkan trigliserida sebagai limiting reaktan.
Persamaan umum laju reaksi pada pers. (1) dengan anggapan reaksi reversibel :
(- rA) = = k1 k2 ……..………….…………………………….………(2)
menerapkan anggapan reaksi elementer , maka pers.(2) menjadi :
(- rA) = = k1 k2 ……..………………………….…………….………(3)
Berdasarkan persamaan stoikiometrinya :
CA = CAo(1 - XA) , dimana CAo= 1,064 mol/l
CB = CBo - CAo .3XA = CAo (M - 3XA) ; dimana M= CBo/ CAo = 6
CC = CCo + CAo.3XA ; dimana CCo = 0, maka CC = CAo. 3XA
CD = CDo + CAo.XA ; dimana CDo = 0 , maka CD = CA0.XA
Sehingga pers. (3) menjadi :
A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.20
M- - …………………………….(4)
M- - ………………………..……….………...(5)
Satuan untuk adalah ml3.mmol
-3.min
-1. Saat tercapai kesetimbangan , berlaku
persamaan berikut :
k1 k2 ……………………….……..……………………………(6)
= = …............................................... ...(7)
= …………………………………………………….……….(8)
= = ……………………………………………………….………………...….(9)
Substitusi pers. (9) ke pers. (5) , diperoleh persamaan berikut :
M- - ………………………………….…..(10)
[ …….........……….……...(11)
Persamaan (11) dapat diselesaikan dengan menggunakan program berbasis matrix kombinasi
metode fmincon dan ode untuk mendapatkan model yang mendekati data percobaan. Setelah
mendapatkan harga k1 maka nilai k2 dan Ke dapat ditentukan.
2.2. Analisa Statistika
Kualitas model dievaluasi menggunakan uji statistika sebagaimana digunakan Vega-
Galvez et al (2009): coefficient of determination (R2), sum of squares error (SSE), dan root mean
square error (RMSE) sebagaimana ditunjukan dalam persamaan (9) – (11). Kriteria optimum
ditentukan oleh nilai terendah SSE dan RMSE yang mendekati nol, dan nilai tertinggi R2 (R
2 ~ 1).
) ……………….………….(12)
………………………………………………….…(13)
………………………………………………....(14)
Adapun algoritma penyelesaiannya sebagai berikut :
Main Program
Subroutine-1
Function err=daya_suhu(k) Input tebakan k , LB, UB
Minimasi dengan program ode dan fmincon
start
[t,X1]=ode(@daya,tspan,x0) [t,X2]=ode(@suhu,tspan,x0)
RMSE, SSE, R2
Subroutine-3 Subroutine-2
end
Function dX1=daya(t,X1) Function dX2=daya(t,X2)
Input CA0, P, M, XAE
Input CA0, P, M, XAE
E1=k(1).P^0,9+k(2) k1=k(3).exp(-E1/RT)
model persamaan 12
E1=k(1).P^0,9+k(2) k1=k(3).exp(-E1/RT)
model persamaan 12 end
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.21
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1Prediksi Model Kinetika Transesterifikasi Suhu 35, 45, dan 55 C
t,Waktu (s)
X,K
onvers
i(%
)
data exp 35 C
data exp 45 C
data exp 55 C
Model 35 C
model 45 C
model 55 C
Gambar 2. Algoritma penyelesaian model kinetika reaksi transesterifikasi
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hipotesa Pengaruh Ultrasonik dalam Model Kinetika
Dalam studi ini, persamaan kinetika transesterifikasi (persamaan 12) digunakan untuk
melakukan simulasi kurva distribusi produk. Data eksperimen yang digunakan meliputi parameter
temperatur reaksi dan disipasi daya ultrasonik. Penentuan pengaruh ultrasonik pada model kinetika
dilakukan dengan meminimasi beberapa koefisien pada persamaan Energi aktivasi (Ea) sebagai
fungsi ultrasonik, dan faktor tumbukan (A).
Tabel 1 menunjukan berbagai persamaan Ea sebagai fungsi ultrasonik yang meliputi
persamaan eksponensial, linier, logaritma, polinomial orde 2, dan lainnya. Persamaan Ea yang
berkualitas bagus adalah yang menghasilkan nilai rata-rata R2 paling besar ( ~ 1) dan rata-rata
nilai SSE yang lebih kecil ( ~ 0). Jadi persamaan a. P0,9
+b digunakan sebagai hipotesa model
persamaan Ea sebagai fungsi ultrasonik karena memiliki error terkecil dari pada model yang
lainnya. Adapun koefisien a dan b yang didapatkan yakni 0,0054 dan 3 sedangkan faktor
tumbukannya (A) yakni 0,0011. Hasil minimasi nilai faktor tumbukan (A) pada beberapa
persamaan hipotesa Ea yakni 0,0011 sehingga mengindikasikan bahwa A bukanlah sebagai fungsi
dari daya ultrasonik.
Tabel 1. Beberapa hipotesa model persamaan Ea sebagai fungsi daya ultrasonik
Ea = f (P) Ea = f (P) A ≠ f (P)
a.P.exp (b)
a.P0,9
.exp (b)
a.P1,5
.exp (b)
a.P2+b.P+c
a.P1,5
+b.P+c
a. log (P)+ b
0,9782
0,9008
0,9008
0,9008
0,9009
0,9009
0,0097
0,0476
0,0476
0,0476
0,0476
0,0476
a.P 0,9
+ b
a.P1,0
+ b
a.P1,1
+ b
a.P1,2
+ b
a.P1,3
+ b
a.P1,4
+ b
0,0011
0,0011
0,0011
0,0011
0,0011
0,0011
0,9787
0,9785
0,9783
0,9784
0,9784
0,9786
0,0096
0,0097
0,0097
0,0097
0,0097
0,0096
3.2 Perbandingan dengan Data Eksperimen
Grafik 1 menunjukan perbandingan antara nilai simulasi konversi metil ester dengan data
eksperimen pada parameter suhu dan disipasi daya ultrasonik. Simulasi konversi metil ester dengan
data eksperimen pada menit ke 5 dan 10 mengalami ketidakcocokan. Hal ini terjadi karena
fluktuasi temperatur selama reaksi berlangsung. Akan tetapi simulasi distribusi konversi metil ester
secara umum memberikan nilai yang cocok dengan titik data eksperimen.
Grafik 1. Prediksi model kinetika transesterifikasi parameter suhu dan daya ultrasonik
Pengaruh Temperatur
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1Prediksi Model Kinetika Transesterifikasi Power 200, 200, 250 Watt
t,Waktu (s)
X,K
onvers
i(%
)
data exp 150 Watt
data exp 200 Watt
data exp 250 Watt
Model 150 Watt
model 200 Watt
model 250 Watt
A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.22
Pada data percobaan mengindikasikan bahwa pada suhu yang lebih rendah menghasilkan
konversi yang lebih rendah. Ketika suhu dinaikan konversi juga menjadi meningkat sampai batas
tertentu. Peningkatan suhu percobaan dilakukan pada suhu 35 sampai 45oC yang menghasilkan
konversi dari 64% sampai 89%. Walaupun suhu reaksi ditingkatkan menjadi 55oC akan tetapi
menghasilkan konversi yang menurun (77%). Peningkatan suhu reaksi menjadikan kelarutan
metanol tinggi dalam fase lain. Dengan demikian pada awalnya peningkatan kecepatan reaksi
terjadi tetapi dampak kavitasi menjadi berkurang pada suhu reaksi maksimum tertentu.
Tabel 2 menunjukan bahwa pada suhu reaksi 35 hingga 45 oC kecepatan reaksi balik
semakin rendah dari 0,0072 hingga 0,0003 ml3/mmol.menit dan pada suhu yang lebih tinggi lagi
kecepatan reaksi balik meningkat kembali sehingga konversi menjadi menurun.
Tabel 2. Nilai konstanta kecepatan reaksi transesterifikasi
Suhu (ml3/ mmol
3. menit) Ultrasonik (ml
3/ mmol
3 .menit)
(oC) k1 k2 (Watt) k1 k2
35
45
55
0,0011
0,0011
0,0011
0,0072
0,0003
0,0016
150
200
250
0,0011
0,0011
0,0010
0,0046
0,0003
0,0018
Pengaruh Disipasi Daya Ultrasonik
Dari data percobaan didapatkan bahwa pada daya 150 Watt menghasilkan konversi sekitar
66% , sedangkan pada daya 200 Watt konversi meningkat menjadi 89% . Hal ini mengindikasikan
kehebatan ultrasonik dalam pencampuran dan emulsifikasi dua larutan yang immiscible pada
disipasi daya yang maksimum. Peningkatan daya lebih lanjut dari 200 menjadi 250 Watt
menghasilkan konversi yang lebih rendah . Hal ini mengindikasikan terjadinya transfer energi ke
sistem berkurang dan aktivitas kavitasi menjadi lebih rendah.
Tabel 2 menunjukan bahwa pada daya disipasi 150 menjadi 200 Watt kecepatan reaksi
balik semakin rendah dari 0,0046 hingga 0,0003 ml3/mmol.menit dan pada daya yang lebih tinggi
lagi kecepatan reaksi balik menjadi meningkat kembali sehingga konversi menjadi menurun.
3.3 Analisa Statistika Model
Tabel 3 menunjukan nilai rata-rata SSE, RMSE, dan R2 yang ditentukan pada parameter
suhu reaksi dan disipasi daya ultrasonik. Secara umum model distribusi produk yang dihasilkan dan
dihubungkan dengan data eksperimen menghasilkan nilai SSE, RMSE mendekati 0 dan R2
mendekati 1. Berdasarkan tabel tersebut model yang bagus untuk parameter temperatur yakni
temperature reaksi 55oC (SSE=0,0058; RMSE=0,3183; R
2=0,9883), diikuti temperatur 45
oC
(SSE=0,0096; RMSE=0,4131; R2=0,9849) dan temperatur 35
oC (SSE=0,0237;
RMSE=0,4904;R2=0,9309). Untuk parameter disipasi daya ultrasonik yang bagus yakni daya 150
Watt (SSE= 0,0015; RMSE=0,2538; R2=0,9960), diikuti daya 250 Watt (SSE=0,0039;
RMSE=0,3045; R2=0,9917) dan daya 200 Watt (SSE=0,0139; RMSE=0,4480;R
2=0,9780).
Tabel 3. Analisa statistika model kinetika parameter temperatur dan daya ultrasonik
Suhu Reaksi (oC) SSE RMSE R
2 Daya (Watt) SSE RMSE R
2
35
45
55
0,0237
0,0096
0,0058
0,4904
0,4131
0,3183
0,9309
0,9849
0,9883
150
200
250
0,0015
0,0139
0,0039
0,2538
0,4480
0,3045
0,9960
0,9780
0,9917
4. Kesimpulan
Pemodelan kinetika transesterifikasi berbantukan ultrasonik dari minyak goreng bekas dan
metanol dilakukan dengan asumsi reaksi reversibel orde 4. Simulasi dilakukan dengan
membandingkan data penelitian Hingu, et al (2010). Adapun model kinetikanya adalah sebagai
berikut :
Dalam persamaan tersebut rA,t, P,R,T,CAo,X,XAe dan M secara berurutan adalah kecepatan
reaksi transesterifikasi, waktu, daya ultrasonik, konstanta gas ideal, suhu, konsentrasi awal bahan
baku, konversi tiap waktu, konversi saat setimbang dan perbandingan molar metanol.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.23
Hasil evaluasi menyatakan bahwa model tersebut dapat menggambarkan kondisi yang
sebenarnya dari proses transesterifikasi ultrasonik dengan nilai coefficient determination (R2) > 0,9
dan RMSE < 1 dan hasil simulasi model juga menyatakan bahwa keduanya sesuai dengan teori
transesterifikasi berbantukan ultrasonik.
Daftar Notasi
CA : konsentrasi trigliserida, mol/ lt
CA0, CAf : konsentrasi trigliserida mula-mula, mol/ lt
CAe : konsentrasi trigliserida dalam kesetimbangan, mol/ lt
CB : konsentrasi metanol, mol/ lt
CB0 : konsentrasi metanol mula-mula, mol/ lt
CBe : konsentrasi metanol dalam kesetimbangan, mol/ lt
CC : konsentrasi metyl ester, mol/ lt
CC0 : konsentrasi metyl ester mula-mula, mol/ lt
CCe : konsentrasi metyl ester dalam kesetimbangan, mol/ lt
CD : konsentrasi gliserol, mol/ lt
CD0 : konsentrasi gliserol mula-mula, mol/ lt
CDe : konsentrasi gliserol dalam kesetimbangan, mol/ lt
k1 : konstanta kecepatan reaksi ke arah produk, ml3/ mmol
3 .mnt
k2 : konstanta kecepatan reaksi ke arah reaktan, ml3/ mmol
3 .mnt
k0 : faktor frekuensi, menit -1
Ke : konstanta kesetimbangan
XA : konversi trigliserida, %
XAe : konversi trigliserida dalam kesetimbangan, %
- rA : kecepatan reaksi trigliserida, mol/ ml mnt
T : temperature, oK
t : waktu, menit
Ea : energy aktivasi, kal/ mol
R : konstanta gas ideal , kal/ mol oK
M : Perbandingan mol metanol : mol trigliserida
Daftar Pustaka
Azcan,N., A. Danisman,.2008. Microwave assisted transesterification of rapeseed oil, Fuel 87
1781–1788.
Cao,F. Y. Chen, F. Zhai, J. Li, J.Wang, X.Wang, S.Wang,W. Zhu.2008. Biodiesel production from
high acid value waste frying oil catalyzed by superacid heteropolyacid, Biotechnol. Bioeng.
101 93–100.
Han, M., Yi, W., Wu, Q., Liu, Y., Hong, Y., Wang, D., 2009. Preparation of biodiesel from waste
oils catalyzed by a Brønsted acidic ionic liquid. Bioresour. Technol. 100, 2308–2310.
Hawash,S., N. Kamal, F. Zaher, O. Kenawi, G.E. Diwani,.2009. Biodiesel fuel fromJatropha oil via
non-catalytic supercritical methanol transesterification, Fuel 88 579–582.
Hingu,S.M., Gogate, P.R., Rathod, V.K., 2010. Shynthesis of biodiesel from waste cooking oil
using sonochemical reactors. Ultrasonic Sonochemistry 17 : 827 – 832
Kawashima, A.K. Matsubara, K. Honda.2008. Development of heterogeneous base catalysts for
biodiesel production, Bioresour. Technol. 99 3439–3443.
Ma, F., Hanna,M.A., 1999. Biodiesel production: a review. Bioresour. Technol. 70, 1–15.
Marchetti,J.M., V.U. Miguel, A.F. Errazu,.2008. Techno-economic study of different alternatives
for biodiesel production, Fuel Process. Technol. 89 740–748.
Ranganathan,S.V., S.L. Narasimhan, K. Muthukumar.2008. An overview of enzymatic production
of biodiesel, Bioresour. Technol. 99 3975–3981.
Refaat,A.A., El Sheltawy, S.T.,2008. Comparing three options for biodiesel production from waste
vegetable oil. WIT transactions on Ecology and the Environment, Waste Management and
the Environment IV, Vol.109, WIT Press, 133 – 140
Stavarache,C., Vinatoru,M.,Maeda,Y.,Bandow, H., 2007.Ultrasonically driven continuous process
for vegetable oil transesterification. Ultrasonics Sonochem.14,413 – 417
A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.24
Vyas, Amish P., Verma, J.W., Subrahmanyam, N.,2011. Effects of molar ratio, alkali catalyst
concentration and temperature on transesterification of jatropha oil with methanol under
ultrasonic irradiation. Advances in Chemical Engineering and Science,1, 45 – 50
A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.24
PENGELOLAAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU
KEANEKARAGAMAN BAHAN PANGAN
Sri Subekti
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pandanaran
Jl. Banjarsari Barat No. 1 Semarang E-mail: bek1_04@yahoo.com
Abstrak
Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara pasang surut, tetapi juga dapat
hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selaput tipis
pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur. Berbagai jenis mangrove terutama pada
buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku olahan pangan yang sat ini mulai berkembang
dengan pesat. Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora)
dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan
panganan lezat lainnya. Untuk mendukung keberlanjutan kawasan mangrove diperlukan suatu
upaua pengelolaan mangrove yang berkelanjutan sehingga nantinya dapat digunakan oleh
generasi sekarang dan generasi yang akan datang, Perlu juga diupayakan pengembangan dan
penataan tata hijau di kawasan pesisir dengan pembangunan Green Belt (Sabuk Hijau).
Kata kunci: mangrove, buah, olahan pangan, pengelolaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis
karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang
memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa
lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik
bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya
karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya
pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan
ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah
satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Menurut (Dahuri, 2002) luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total
mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem
mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove
di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24
juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata,
yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan
tambak, penebangan liar dan sebagainya
Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara pasang surut, tetapi juga dapat
hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selaput tipis pasir atau
ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (UU Kehutanan No. 41 tahun 1999) .
Mangrove dapat didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan
laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut
terendah hingga pasang tertinggi (Giesen et al, 2006). Struktur vegetasi hutan mangrove meliputi
pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras,
Aegiatilis,Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2004).
Komunitas mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis.Hampir 75%
tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS, terbanyak di kawasan Asia Tenggara (McGill,
1958 dalam Supriharyono, 2007).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.25
Komunitas mangrove Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dari
sekitar 89 jenis spesies mangrove yang tumbuh di dunia, sekitar 51 % spesies tersebut hidup di
Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove
(KLH, 1993). Kitamura dkk. (2003) mengatakan terdapat 32 jenis spesies mangrove sejati dan 20
asosiasi mangrove tumbuh subur di Indonesia Jenis-jenis mangrove tersebut antara lain: Avecenia
alba, Rhizopora apiculata, Bruguiera parviflora, Brugruiera gymnorhiza, Nypa fruticans,
Xylocarpus granatum, Excoecaria agallocha, Pandanus furentus, Bruguiera cylindrica, Soneratia
alba, Xylocarpus moluccensis, Camptostemon schultzii, Myristica hollrungii, Heritiera littoralis,
Manilkara fasciculata, Inocarpus fagiferus, Pandanus tectorius, Aegiceras corniculatum,
Lumnitzera littorea dan Pemphis acidul.
Setiap ekosistem alamiah, memiliki 4 fungsi pokok bagi manusia yaitu pendukung
kehidupan, pemberi kenyamanan, penyedia sumber daya alam dan penerima limbah. Mangrove
merupakan sumber daya hayati pesisir yang penting bagi manusia (Kepmen Kelautan dan
Perikanan No. 10 tahun 2002). Peran ekosistem mangrove antara lain sebagai pelindung dan
penahan pantai, mengurangi dampak pemanasan global (global warming), penghasil bahan
organik, bahan industri dan obat-obatan serta sebagai kawasan pariwisata dan konservasi
Saat ini, Indonesia masih merupakan negara terbesar dalam kepemilikan luas hutan
mangrove dengan menguasai 19% dari total hutan mangrove dunia. Namun demikian, jumlah hutan
mangrove Indonesia terus berkurang. Pada tahun 1980 luas hutan mangrove Indonesia diperkirakan
4,2 juta hektare, tahun 1990 berkurang menjadi sekitar 3,5 juta hektare, tahun 2000 kembali
berkurang menjadi sekitar 3,1 juta hektare, dan pada tahun 2005 diperkirakan jumlah mangrove
Indonesia hanya tinggal sekitar 2,9 juta hektare (FAO, 2007). Data tersebut mencerminkan bahwa
sampai saat ini pemerintah Indonesia masih belum maksimal di dalam melakukan upaya
meminimalisir terjadinya deforestasi mangrove. (Handa S. Abidin dalam Medan Bisnis,
Membangun Indonesia yang Lebih Baik 19-1-2012)
Pengembangan kawasan permukiman di kawasan pesisir tidak diperkenankan, karena
aktivitas masyarakat pesisir yang dapat merusak ekosistem, seperti: kerusakan mangrove akibat
pembuangan sampah, air limbah (grey water) dan black water langsung ke laut. Pemanfaatan hutan
mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar,
penebangan/pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon
mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan
secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak
bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi
hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang
berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya
Berbagai jenis mangrove terutama pada buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku
olahan pangan yang sat ini mulai berkembang dengan pesat. Mangrove jenis Pedada (Sonneratia),
Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde,
klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan panganan lezat lainnya.Sebagai upaya pemenuhan tersebut
maka upaya pengelolaan mangrove dan lingkungan perlu segera dilakukan sehingga ke depan
olahan bahan pangan tersebut semakin berkembang dan berfungsi sebagai sumber bahan pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam hasil dan pembahasan Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Keanekaragaman
Bahan Pangan dengan menggunakan Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Kedua faktor yaitu internal dan
eksternal harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Pengkajian analisis SWOT Pengelolaan
Mangrove Sebagai Salah Satu Upaya Keanekaragaman Bahan Pangan dapat ditampilkan pada tabel
berikut ini.
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan luasan mangrove yang paling terbesar di
dunia sehingga pusat keanekaragaman hayatipun terdapat di Indonesia, akan tetapi sungguh
disayangkan bahwa pembabatan terbesarpun terdapat di Indonesia. Melihat kondisi ini sangatlah
disayangkan karena dengan luasan yang sangat besar inilah sebenranya Indonesia sangatlah kaya
A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.26
akan keaneragaman hayati. Adapun kerusakan mengrove pada saat ini dalam tahap yang sangat
memprihatinkan yaitu 75 % mangrove di Indonesia sudah rusak. Banyaknya hutan mangrove yang
ditebang dengan dalih kayunya dijadikan bangunan rumah, untuk kayu bakar, kayunya sebagai
tonggak jaring ikan dan lain sebagainya. Dengan kondisi seperti ini maka keanekaragaman atau
jenis mangrove menjadi berkurang cukup banyak.
Olahan makanan dengan bahan dasar buah mangrove saat ini sudah mulai dilirik oleh
beberapa kalangan kelompok ibu ibu PKK. Adapun jenis mangrove yang dapat digunakan sebagai
olahan dasar makanan adalah Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau
(Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol,
bolu dan panganan lezat lainnya.
Salah satu spesies mangrove yang sering dimanfaatkan untuk bahan makanan adalah buah
mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza). Buah ini biasa disebut dengan buah Lindur (dalam
bahasa Jawa). Ciri-cirinya adalah daunnya berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan
pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hitam, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung
meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 – 30 cm.
Jenis tanaman api-api yang telah diketahui dimanfaatkansebagai sumber bahan makanan
adalah Avicennia marina, Avicenniaofficinalis. Jenis tanaman ini tersebar di sebagian besar pantai
diIndonesia. Termasuk jenis pionir (pada zonasi terdepan), cepat danmudah tumbuh, serta
permudaan alaminya sangat cepat, bahkandiperkirakan tanaman berumur 2 tahun telah mulai
menghasilkanbuah. Penggunaan buah tanaman yang telah masak perlu adaperlakuan, yaitu :
pengupasan kulit atau pembuangan kulit,dicampur dengan abu dapur dan dibilas air bersih, lalu
direndam 2 x 24 jam (untuk menghilangkan racun), ditiriskan dan dapat dipergunakan sebagai
bahan baku makanan.
Jenis Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba Tanaman ini banyak dijumpai di pantai utara
Pulau Jawa, Cilacap sampai Jawa Timur, juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,NTB dan NTT,
Irian Jaya. Termasuk jenis pionir (zona bagian depan). Daun tanaman ini sering dimanfaatkan
masyarakat sebagai pakan ternak.Sifat buah tidak beracun dan langsung dapat dimakan. Buahyang
telah masak berasa asam, namun binatang liar menyukai buahtanaman ini. Buah yang telah tua
merupakan bahan baku makanandan tidak memerlukan perlakukan atau landung dapat dimasak
menjadi aneka makanan atau minuman.Regenerasi alami tanaman ini cukup sulit atau tidak
semudahregenerasi alami tanaman bakau (Rhizophoraspp) Namun denganpermudaan buatan
(pembibitan) telah dapat diterapkan, sehinggatidak menyulitkan dalam pengadaan bibit.
Gambar 1 Jenis Mangrove Avicennia marina dan Sonneratia Alba
Gambar 2. Jenis Olahan Makanan dam Minuman dari Buah Mangrove
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.27
Untuk mendukung semua kondisi di atas diperlukan pengelolaan mangrove yang
berkelanjutan sehingga nantinya dapat digunakan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan
datang, mengingat kondisi kawasan mangrove sekarang sangatlah memprihatinkan.
Tabel 1
Analisis swot pengelolaan mangrove sebagai salah satu keanekaragaman bahan pangan
Strength Weakness
1. Mangrove merupakan tanaman yang tersebar di
Indonesia
2. Olahan makanan yang memiliki gizi tinggi
3. Jenis olahan makanan yang dihasilkan sangat bervariasi
4. Peningkatan perekonomian masyarakat
1. Penanaman dan pemeliharaan mangrove dirasakan
masih rendah
2. Kegiatan pembuatan olahan makanan dari bahan
dasar buah mangrove masih belum memasyarakat
3. Masih kurangnya sosialisasi manfaat buah
mangrove yang dapat dijadikan bahan olahan
makanan
4. Belum terakomodasinya hasil olahan makanan
dengan bahan dasar olahan buah mangrove
Opportunity Threats
1. Buah mangrove sebagai bahan olahan makanan
2. Mangrove banyak dijumpai di kawasan pesisir
3. Jenis mangrove di Indonesia keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia
1. Mangrove mulai berkurang karena pembabatan
2. Mangrove tergantikan untuk tambak
3. Kurangnya upaya pemeliharaan mangrove
Berdasarkan analisis SWOT untuk mengetahui Analisis Swot Pengelolaan Mangrove
Sebagai Salah Satu Keanekaragaman Bahan Pangan sebagai berikut:
1. Pengelolaan kawasan hutan mangrove di pesisir Inonesia dapat mendukung keanekaragaman
hayati di dalamnya
2. Penanaman dan pemeliharaan mangrove perlu lebih ditingkatkan yang didukung oleh
berbaga pihak seperti masyarakat, dunia pendidikan, instansi pemerntah baik pusat maupun
setempat
3. Buah mangrove dapat digunakan sebagai bahan olahan makanan
4. Pengoptimalan potensi buah mangrove yang didukung dengan pemanfaatan sebagai olahan
bahan makanan
5. Pemanfaatan buah mangrove sebagai olahan makanan mendukung tingkat perekonomian
mansyarakat
6. Pengelolaan lingkungan sekitar sebagai salah satu upaya pemeliharaan mangrove dengan
jalan membuang sampah pada tempatnya, pengolahan limbah cair dari rumah tangga
KESIMPULAN
Dari uraian di atas untuk Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Keanekaragaman Bahan
Pangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari kegiatan pewadahan/ penyimpanan pada
sumber sampah, kegiatan pengumpulan, pengangkutan serta pembuangan sampai dengan
pembuangan akhir harus bersifat terpadu.
2. Sistem perpipaan sanitasi lingkungan dengan cara membuat saluran pembuangan limbah
bersama/ komunal. Sistem ini menggunakan perpipaan yang tahan karat, karena letaknya di
kawasan pesisir yang sering mengalami pasang surut air laut.
3. Pengembangan dan penataan tata hijau tidak hanya ada di kawasan perkotaan saja, namun
juga terdapat di kawasan pesisir. dengan pembangunan Green Belt (Sabuk Hijau). Green
Belt disini direncanakan diwujudkan dalam bentuk penanaman mangrove di sekitar pantai
yang dahulu pernah ada dan sekarang telah mengalami kerusakan
4. Perlunya kesadaran warga dalam upaya penanaman dan pemeliharaan mangrove
5. Menjalin kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya pengelolan mangrove
A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.28
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2004. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor.
Giesen, W., S. Wulffraat., M. Zieren. dan L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast
Asia. Dharmasarn Co., Ltd. Bangkok
Handa S. Abidin, Membangun Indonesia yang Lebih Baik, Medan Bisnis, 19-1-2012
Hefni Effendi, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan,
Penerbit Kanisius 2003
Kitamura, dkk , 1997 , Handbook of Mangrove in Indonesia – Bali & Lombok , ISME & JICA
Ivan Widay, Direktur Eksekutif Bangka Conservation Foundation Mangrove Sumber Kehidupan
Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia Wetlands International – Indonesia Programme, 1999
Rokhmin Dahuri Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di
Jakarta, 6-7 Agustus 2002,
Sahala Hutabarat, Pengantar Oceanografi Penerbit Universitas Indonesa 1985
Sudharto P. Hadi, Materi Seminar Nasional Festival Hari Bumi, BEM FT UNDIP Semarang 2008
Supriharyono, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.29
PERAN MANGROVE SEBAGAI KETERSEDIAAN MATERI PANGAN
Sri Subekti
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNPAND
Jl.. Banjarsari Barat No 1, Semarang E-mail: bek1_04@yahoo.com
Abstrak
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara sungai,
dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka
mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi
yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya
di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan
nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga
dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove
maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan
yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. Kawasan hutan mangrove merupakan
tempat asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah
pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya serta sebagai
penghasil sejumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama
biota laut. Dengan kondisi yang sedemikian tersebut maka perlu pengelolaan lingkungan yang
berwawasan lingkungan sehingga nantinya dapat dinikmati oleh generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang. Pengelolaan mangrove secara terpadu adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar
sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta
antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci: Mangrove, keanekaragaman,hayati, bahan pangan
PENDAHULUAN
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara sungai,
dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove
merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai
mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau.
Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies
penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang
keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah
ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di
daerah pantai.
Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di
daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan
hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan
payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove
dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan
subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika.Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari
bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah
tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak,kertas, arang). (Anonim, 2000)
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di
wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan,
dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga
mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu,daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan,
dan lain-lain.
A.6. Peran mangrove sebagai ketersediaan materi pangan (Sri Subekti)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.30
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi bermacam-macam, yaitu :
fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau produksi (Naamin, 1991). Fungsi fisik dari
hutan mangrove atau ekosistem mangrove , yaitu: menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai perangkap zat-
zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi dari hutan atau ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah
pasca larva dan yuwana jenis-jenis tertentu dari ikan, udang dan bangsa krustecea lainnya serta
menjadi tempat bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota.
Menurut (Romimotarto, 2001) hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting
di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis
Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali
banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan
(spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding
ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk
bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut
adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem
laut maupun daratan.
Vegetasi pesisir berupa mangrove dalam aspek biologis merupakan tempat berpijahnya
udang, ikan, dan kepiting. Adapun untuk aspek kimiawinya mampu menyerap polutan. Untuk itu,
jika hutannya gundul maka polutan dari udara maupun daerah hulu tidak bisa lagi dinetralisir
karena ketiadaan fungsi hutan yang menghasilkan oksigen dan CO2 serta menyerap polutan-
polutan lain. Dalam upaya mewujudkan kelestarian hutan mangrove harus disusun grand design
rencana pelestarian atau tata ruang pesisir yang memperjelas zonasi pesisir dan kelautan, yaitu zona
inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan. (Muh. Khamdan )
Sebagaimana di Jawa Barat, sekitar 96,95 persen kawasan hutan mangrove di pantai utara
Jawa Tengah juga mengalami pengrusakan, baik dalam status rusak sedang maupun berat. Hal itu
disebabkan adanya alih fungsi lahan untuk tambak, permukiman, industri, pengembangan
pariwisata yang tidak berbasis konservasi, serta adanya penebangan liar, sebagaimana
dikemukakan Sri Puryono Karto Soedarmo, dalam desertasi berjudul ’’Pelestarian Kawasan Hutan
Mangrove Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng’’ pada 2009 yang lalu.
Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan
oleh berbagai hal, antara lain :
1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian
dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.
Pengembangan kawasan permukiman di kawasan pesisir tidak diperkenankan, karena
aktivitas masyarakat pesisir yang dapat merusak ekosistem, seperti: kerusakan mangrove akibat
pembuangan sampah, air limbah (grey water) dan black water langsung ke laut. Pemanfaatan hutan
mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar,
penebangan/pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon
mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan
secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak
bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi
hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang
berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hanson (1988) dalam Dahuri at all (2001) mengatakan bahwa perencanaan sumberdaya
alam secara terpadu diartikan sebagai suatu upaya .secara bertahap dan terprogram untuk mencapai
tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan semua
dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan
pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat
menhasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat.
Menurut Sorensen dan Mc Creary (1990) dalam Dahuri, keterpaduan diartikan sebagai koordinasi
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.31
antara tahapan pembangunan diwilayah pesisir dan lautan yang meliputi pengumpulan dan analisis
data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi.
Pengelolaan mangrove secara terpadu adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar sektor, antara pemerintah dan
pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini,
keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu sektoral, bidang ilmu serta keterkaitan ekologis.
Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang
menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan pelayanan
lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi
tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi dan pembersih
air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh
ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain mangrove menyediakan berbagai jenis produk yang
berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik
skala lokal, regional maupun nasional. Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut
kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya
berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai
sumberdaya renewable jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat
berlangsung tanpa gangguan.
Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua
hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan
moluska (Davies & Claridge, 1993), karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan
makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk kedalam rantai makanan. Kedua, mangrove
merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang
hidup pada perairan sekitarnya (Mann, 1982). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam
kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem
pesisir (Odum, dkk, 1974). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8
ton/ha/tahun (Nontji, 1987).
Hutan mangrove menangkap dan mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut
dari daratan lewat aliran sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan
angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil,
burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman
hayati (bio-diversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan
menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat
mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan
membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat
berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator.
Jaringan sistem akar mangrove memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan
tersebut. Sistem perakaran mangrove juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae.
Memberikan gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai bermangrove ini, dikatakan
bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah mangrove di pantai utara Queensland (Australia)
mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas lumpur tertinggi di dunia.
Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarn
mangrove. Walaupun banyak hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula
untuk pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang menggunakan dahan
mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya tetapi mencari makan di bagian daratan yang
lebih ke dalam, jauh dari daerah habitat mangrove. Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas
daratan seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di
habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. (Nybakken, 1993)
A.6. Peran mangrove sebagai ketersediaan materi pangan (Sri Subekti)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.32
Gambar 1. Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat ekosistem mangrove.
Hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau
akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis
kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya. Kelompok lainnya lagi
adalah yang selalu hidup dalam kolom air laut seperti macam-macam ikan dan udang.
Gambar 2. Jenis Fauna di Mangrove
Adapun jenis fauna yang terdapat di mangrove sangatlah beragam macamnya, seperti
terlihat pada gambar di atas. Sehngga untuk menjaga kelestariannya diperlukan suatu upaya
pengelolaan mangrove yang tepat sehingga ke depan fauna yang terdapat di kawasan mangrove
dapat menjadi andalan warga sekitar.
KESIMPULAN
1. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non
economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues).
2. Menghasilkan madu, kepiting, udang, tiram, kerang- kerangan dan ikan serta makanan bagi
binatang. Mangrove juga merupakan tempat terbaik bagi budidaya ikan air payau dalam
karamba.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.33
3. Memberikan tempat tumbuh untuk udang dan ikan yang bermigrasi ke area mangrove ketika
muda, dan kembali ke laut ketika mendekati usia matang seksual. Selain itu udang karang
dan ikan yang bereproduksi di hulu sungai (freshwater upstream) dan bermigrasi pada masa
mudanya karena makanan berlimpah di daerah mangrove.
4. Perlunya pengelolaan mangrove secara terpadu melalui proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar sektor, antara pemerintah dan
pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove yang
melibatkan masyarakat pesisir sehingga masyarakat memahami arti pentingnya pemeliharaan
mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
Davies, J & G. Claridge. 1993. wetland benefits. The potential for wetlands to support and maintain
development. Asian wetland beaureau, International waterfowl & wetlands research beaureu,
wetlands for america’s, 45 hal.
Muh.Khamdan Peneliti Paradigma Institute & Peserta Program Kajian Agama dan Perdamaian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Friday, 17 June 2011 11:41
Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia Wetlands International – Indonesia Programme, 1999
Rokhmin Dahuri Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di
Jakarta, 6-7 Agustus 2002,
Sri Puryono Karto Soedarmo, dalam desertasi berjudul ’’Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove
Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng’’ pada 2009
Soesanto, S.S dan M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan Lingkungan Hidup.
Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.
Managing Mangroves for Resilience to Climate Change Copyright: © 2006 The International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources / The Nature Conservancy
Mann, K.H. 1982. Ecology of coastal waters. A Systems Approach. Studies in ecology, vol 8,
blackwell scientific publications, 322 hal.
Martosubroto. P and Naamina 1997 Relationship between tidal forest mangrove and Commersial
shrimp productionin Indonesia
Nontji, A. 1987. Laut nusantara (marine nusantara). Djambatan. Jakarta, Indonesia
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis Diterjemahkan dari Marine
Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T.
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.34
PEMBUATAN SLOW RELEASE FERTILIZER DENGAN MENGGUNAKAN
POLIMER AMILUM DAN ASAM AKRILAT SERTA POLIVINIL ALKOHOL
SEBAGAI PELAPIS DENGAN MENGGUNAKAN METODA FLUIDIZEDBED
Afri Yenni, Suherman, Aprilina Purbasari
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,
Jl. Prof. Soedharto, SH.,Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275, Telp. 024-7460058 Email: afriyeani@gmail.com
Abstrak
Pembuatan Slow release fertilizer bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
terhadap laju pelepasan unsur-unsur nutrisi pupuk pada tanaman. Dalam studi ini dilakukan
pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan asam akrilik dan polivinil alkohol
(PVA) yang masing-masing dicampur dengan amilum dan Polietilen glikol (PEG) sebagai
bahan tambahan pelapis dengan menggunakan metoda fluidized bed spraying coating (FBSC).
Variable yang dipelajari konsentrasi polimer akrilik/amilum (18 %/0-2 %) dan PVA/amilum
(3 %/0-2 %) sedangkan berat PEG yang ditambahkan pada masing-masing campuran adalah
1 gram dan suhu udara bed (pengeringan) (35-55 oC) terhadap kualitas produk urea yang
terlapisi yakni efisiensi pelapisan, dissolution rate, persen dustiness, dan Scanning Electron
Microscopy (SEM). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa efisiensi pelapisan urea
dengan akrilik/amilum (18/2 %) pada suhu 40oC adalah 14,4 % sedangkan PVA/amilum (3/2
%) adalah 5,2 %. Efisiensi pelapisan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pelapis
dan berkurang jika terjadi peningkatan suhu bed. Hal yang sama terjadi pada dissolution rate,
dimana jika konsentrasi pelapis meningkat maka dissolution rate akan meningkat kebalikan
terhadap suhu bed, suhu bed meningkat maka dissolution rate menurun. Dustiness produk
meningkat dengan meningkatnya suhu bed serta konsentrasi pelapis. Pada analisa SEM
pelapis urea dengan menggunakan akrilik morfologi lebih bagus dibandingkan dengan PVA.
Kata Kunci: Slow Release Fertilizer, akrilik, PVA, amilum, urea, Fluidized Bed Spray
PENDAHULUAN
Pupuk merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, sekitar 20-
70 % dari pupuk yang digunakan akan hilang ke lingkungan. Kehilangan ini disebabkan karena
leaching ke tanah, dekomposisi dan volatilisasi ammonium ditanah (Shaviv dan Mikkelsen, 1993).
Oleh karena itu pada akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan teknologi slow release dengan
cara pelapisan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Slow release fertilizer (SRF)
merupakan pupuk lepas lambat yang mampu mengendalikan kecepatan pelepasan unsur-unsur
nitrogen pupuk yang mudah hilang akibat larut dalam air, mudah menguap maupun terjadinya
proses denitrifikasi (Trenkel, 1997). Penggunaan slow release fertilizer menjadi popular untuk
menghemat konsumsi pupuk dan meminimalkan pencemaran lingkungan.
Teknologi SRF ini telah banyak dikembangkan oleh peneliti sebelumnya dengan berbeda
metoda (rotating drum, fluidized bed, spouted bed, microwave) dan berbeda material pelapis yang
digunakan seperti resin, polimer dan sulfur. Teknologi fluidized bed untuk proses pelapisan
partikulat memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan teknologi lainnya. Fluidized bed
memiliki laju perpindahan panas dan massa yang tinggi, sehingga distribusi suhu lebih seragam dan
proses relatif singkat. Pembuatan komposit wheat straw-g-poly(acrylic acid)(WS/PAA)
superabsorban dan release urea, pelepasan urea dengan WS/PAA sangat cepat dalam air dengan
koefisien difusi 6,2 x 10-5
cm2/s, tetapi pelepasan nutrisi urea bisa berlangsung lama 50 hari
(Liang,dkk., 2009). Pelapisan urea dengan menggunakan suspensi polimer dalam spouted bed dua
dimensi, menghasilkan pelapisan urea dengan menggunakan polimer suspensi eudragit
meningkatkan empat kali holding kapasiti dari urea terlapisi terhadap urea konvensional. (Donida,
Marta W dan Rocha, Sandra C.S., 2002).
Pada tahun terakhir ini telah banyak dikembangkan pelapisan polimer dengan penambahan
amilum sebagai material pelapis. Amilum merupakan salah satu polimer polisakarida yang
melimpah yang dapat dicampur dengan polimer sintetik polivinil alkohol (PVA) yang juga telah
dipelajari sebagai polimer potensial biodegradable. (Chiellini, E, dkk., 1999; Tudorachi, N, dkk.,
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.35
2000; Hanna, X, dkk., 2009; Li, Cheng, dkk., 2008). Pada penelitian ini akan dilakukan studi
tentang pembuatan pelapisan urea dengan menggunakan polimer campuran akrilik/amilum/PEG
serta PVA/amilum/PEG. PEG yang ditambahkan konstan 1 gram bertujuan untuk membentuk dan
mengontrol ukuran dan struktur pori partikel yang terlapisi sehingga tidak terbentuk agregat pada
urea yang terlapisi. Penelitian pembuatan urea dengan menggunakan polimer campuran
amilum/akrilik/PEG dan amilum/PVA/PEG diharapkan dapat melihat bagaimana proses perubahan
partikel urea dan pembentukkan pelapis urea dengan menggunakan metoda Fluidized Bed Spray
Coating.
METODOLOGI
Bahan
Granular urea (PT. Petrokimia Gresik, Indonesia) diameter 2 mm, Acrylic Acid, Polivinil
Alkohol, Amilum (Cas no. 9005-25-8) dan Polyethylene Glikol (PEG)-6000
Persiapan larutan pelapis
Larutan pelapis masing-masing 30 ml amilum/akrilik dan amilum/PVA dibuat sebagai
berikut. Sejumlah amilum(0-2%), asam akrilik (18 %) dan 1 gram PEG di campurkan dengan
aquadest secara perlahan-lahan pada suhu kamar sambil di aduk dengan magnetic stirrer. Sejumlah
amilum(0-2%), PVA (3%) dan 1 gram PEG dicampuran dengan aquadestcdi aduk secara perlahan
pada suhu 50oC sampai homogen.
Alat
Urea granular ditimbang 100 gram ditempatkan pada bagian dalam fluidized bed. Suhu bed
divariasikan 35-55 oC. Udara dialirkan dengan kecepatan superficial 2 m/det. Setelah udara
terfluidisasi disemprotkan cairan pelapis dengan laju alir 4 ml/menit. Proses pelapisan ini
berlangsung selama 35 menit. Setelah itu produk urea yang terlapisi dikeluarkan, selanjutnya
dilakukan analisa laju dissolusi, efisiensi pelapisan dan dustiness. Gambar 1. Menunjukkan skema
alat percobaan.
Gambar 1. Skema rangkaian Peralatan
Dustiness
10 gram urea terlapisi dimasukkan kedalam bunker funnel, udara tekan dimasukkan dari
bagian bawah funnel dengan tekanan 10 psi. Setelah 5 menit sample dikeluarkan dari bunker funnel
dan di timbang. Berat yang hilang di hitung sebagai debu (Vashishtha, 2010).
Dissolution rate (Laju Disolusi)
5 gram sample dimasukkan kedalam beaker yang mengandung 50 ml aquadest, di aduk
dengan magnetic stirrer pada kecepatan konstan. Waktu yang diperlukan sample untuk larut
sempurna di catat (Vashishtha, 2010).
Keterangan:
1. Coating solution 2. Pompa 3. Top spray 4. Heater 5. Blower
1
2
3
4 5
A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.36
Efisiensi Pelapisan (persen pelapisan)
10 g sample urea yang dilapisi dicampurkan kedalam 100 ml air. Setelah di aduk pelapis
yang ada akan terlepas dari urea. Pelapis yang dihasilkan disaring setelah disaring diuapkan dan di
timbang (Mulder,dkk., 2011)
(1)
mi = berat pelapis (gram); Mo = berat urea (gram)
Sifat (karakteristik sample)
SEM di analisa pada JSM-6360 SEM instrument dengan akselerasi 15 kV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dissolution rate
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0 0.5 1 1.5 2 2.5Amilum (%)
Dis
olu
si R
ate
(gr
/me
nit
)
Akrilik
PVA
Gambar 2. Pengaruh amilum terhadap PVA dan Akrilik
Pada gambar 2 dibawah masing-masing menjelaskan pengaruh berat polimer PVA, akrilik
dan amilum terhadap dissolution rate urea yang telah terlapisi. Dissolution rate menurun jika
terjadi penambahan berat dari polimer. Pada gambar 2, dimana terjadi penurunan dissolution rate
dengan variasi berat amilum (0-2%), 0 % amilum dengan akrilik 18% menunjukkan laju
dissolution rate urea 0,1562 g/menit sedangkan untuk 2% amilum dengan 18% akrilik, laju
dissolution urea 0,1 g/menit. Pada pelapisan dengan menggunakan 3% PVA, untuk 0% amilum
dissolution rate nya 0,16666 g/menit dan 2% amilum 0,1135 g/menit.
Berdasarkan grafik diatas, pengaruh PVA, akrilik dan amilum dapat membentuk lapisan
pelindung pada urea sehingga memberikan penghalang fisik yang dapat mempercepat dissolution
urea yang sangat tidak diinginkan. Hal ini juga telah dijelaskan dalam penelitian peningkatan urea
dengan menggunakan pelapis phospogypsum dimana phosphogypsum dapat memberikan
penghalang fsik urea yang menyebabkan dissolution rate urea akan semakin lama
(Vashishtha,2010). Semakin banyak lapisan polimer yang berada di permukaan urea semakian
lama waktu yang dibutuhkan nutrient urea untuk lepas ke lingkungan dan dissolution rate (release
rate) akan semakin kecil.
Mekanisme release urea bisa dijelaskan seperti berikut: (1) amilum/akrilik maupun
amilum/PVA pelan-pelan mengembang oleh air dalam tanah dan kemudian membentuk hidrogel
dan urea larut. (2) urea secara pelan terlepas melalui perubahan dinamik dari air bebas antara tanah
dengan amilum/akrilik maupun amilum/PVA (David dan Mark, 1994).
Gambar 3. Menunjukkan pengaruh temperatur bed terhadap dissolution rate. Semakin
tinggi temperature bed maka dissolution rate akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan oleh tingkat
pengeringan dari proses pelapisan semakin cepat yang menyebabkan ikatan lapisan permukaan
urea dengan polimer pelapis akan semakin berkurang (tidak terbentuk). Hasil ini juga telah
diperkuat oleh penelitian urea dengan menggunakan pelapis polimer untuk mengurangi dissolution
rate urea (Salman, 1989) dan peningkatan sifat urea dengan pelapisan menggunakan phospogysum
(Vashishtha, 2010) dimana pada penelitian mereka, semakin besar suhu, ikatan pelapisan urea
dengan polimer akan semakin berkurang yang dapat menyebabkan semakin cepatnya dissolution
rate urea terjadi.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.37
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
35 40 45 50 55 60temperatur bed (
oC)
Dis
olu
si R
ate
(gr
/me
nit
)PVA
Akrilik
Gambar 3. Pengaruh temperature bed pada dissolution rate
Dustiness
Dustiness merupakan hal yang sangat tidak diinginkan pada proses pelapisan urea,
dustiness menyebabkan sejumlah material yang hilang selama proses pelapisan, penyimpanan
maupun pada saat digunakan. Debu terjadi dikarenakan material pelapis tidak bisa berikatan kuat
dengan permukaan urea.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
35 40 45 50 55Suhu (C)
Dus
tine
s (%
)
PVA
Akrilik
Gambar 4. Pengaruh suhu bed terhadap persen dustiness
Pada gambar 4. Menunjukkan pengaruh suhu bed terhadap persen dustiness. Berdasarkan
gambar dibawah, terlihat bahwa semakin tinggi suhu bed maka persen dustiness akan semakin
tinggi. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi suhu pengeringan maka permukaan lapisan
yang terbentuk akan semakin kering.
Penelitian ini dapat diperkuat dari penelitian sebelumnya yang telah membandingkan
fertilizer coated wet dan dry, dimana dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa sejumlah debu
terbentuk lebih besar pada partikel urea terlapisi kering dengan urea yang terlapisi basah.
Pembentukkan debu akan banyak ketika partikel pelapis kering karena material pelapis tidak bisa
berikatan kuat dengan permukaan urea. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya
yang telah melapisi urea dengan menggunakan polimer phospogypsum dimana pembentukkan debu
akan banyak terjadi suhu yang digunakan terlalu kering (Vashishtha, 2010).
Efisiensi Pelapisan
Semakin besar massa dari polimer dalam larutan pelapis maka akan semakin baik efisiensi
pelapisannya. Konsentrasi larutan sangat berpengaruh pada pengoperasian alat dan mekanisme
pertumbuhan pelapis pada permukaan urea. Semakin besar massa pelapis akan berpengaruh pada
operasi dan mekanisme pertumbuhan (penempelan) polimer pada urea. Semakin besar massa
pelapis maka pada saat operasi tingkat kejenuhan selama pengeringan dapat mencapai maksimal.
Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan pembentukkan kritstalisasi pada pemukaan urea. Semakin
besar massa pelapis maka semakin banyak pelapis yang berikatan pada permukaan urea. Hal ini
diperkuat oleh pelapisan urea dengan menggunakan polimer (Salman, 1989).
A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.38
0
2
4
6
8
10
12
14
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Amilum (%)
efi
sie
nsi
pe
lap
isan
(η
)PVA
Akrilik
Gambar 5. Pengaruh amilum terhadap efisiensi pelapisan
Pada gambar 5 terlihat bahwa efisiensi pelapisan akrilik lebih baik dibandingkan dengan
penambahan PVA pada 2% amilum.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
35 40 45 50 55
Suhu (C)
Efis
ien
si P
ela
pis
an (
η)
PVA
Akrilik
Gambar 6. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pelapisan
Pada gambar 6. Menunjukkan pengurangan efisiensi pelapisan terhadap kenaikan
temperature bed. Pada massa akrilik/amilum (18/2 %) dengan suhu 35 oC efisiensi pelapisan pada
14,4 % dan terjadi penurunan efisiensi pelapisan pada suhu 55 oC 4,4 % sedangkan pada pelapis
PVA/amilum (3/2 %) penurunan terjadi dari 5,2 % sampai 2,2 % terhadap kenaikan suhu.
Berdasarkan analisa penelitian yang berhubungan terhadap pengaruh suhu dan mekanisme
pertumbuhan menghasilkan dua jenis perubahan dalam ukuran menurut kisaran suhu. Pada suhu
lebih rendah dari 100oC maka ukuran partikel akan menurun dengan menurunnya suhu (Salman,
1989). Pengurangan yang terjadi selama proses pengeringan akan mempengaruhi ikatan cairan dan
dapat mempengaruhi efisiensi pelapisan.
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Pada gambar 7, dapat dilihat struktur morfologi urea murni yang belum terlapisi dalam
pembesaran 50x. Sedangkan pada gambar 8 dan 9 memperlihatkan struktur morfologi urea terlapisi
oleh akrilik dan PVA dengan pembesaran 50x. permukaan urea yang dilapisi polimer terlihat lebih
halus meskipun masih terdapat rongga yang menyebabkan laju disolusi semakin cepat sehingga
dapat melarutkan kandungan nitrogen didalamnya. Pelapisan urea dengan menggunakan akrilik
terlihat lebih seragam dibandingkan dengan PVA.
Gambar 7. Analisa SEM pada urea tanpa pelapisan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.39
Gambar 8. Analisa SEM pada 3% PVA
Gambar 9. Analisa SEM pada 18% akrilik
KESIMPULAN
Slow release fertilizer telah dihasilkan dari metoda fluidized bed dengan menggunakan
polimer campuran amilum/akrilik/PEG dan amilum/PVA/PEG. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa efisiensi pelapisan urea dengan akrilik/amilum (18/2 %) pada suhu 40oC adalah
14,4 % sedangkan PVA/amilum (3/2 %) adalah 5,2 %. Efisiensi pelapisan meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi pelapis dan berkurang jika terjadi peningkatan suhu bed. Hal yang sama
terjadi pada dissolution rate, dimana jika konsentrasi pelapis meningkat maka dissolution rate akan
meningkat kebalikan terhadap suhu bed, suhu bed meningkat maka dissolution rate menurun.
Dustiness produk meningkat dengan meningkatnya suhu bed serta konsentrasi pelapis. Uji release
N-NH3 menggunakan Spektrofotometri DR 2800 menunjukkan bahwa pelapis dengan
menggunakan akrilik/amilum/PEG lebih lambat release nya dibandingkan dengan menggunakan
PVA/amilum/PEG. Pada analisa SEM dan TGA pelapis urea dengan menggunakan akrilik
morfologi terlihat lebih bagus dibandingkan dengan PVA.
DAFTAR PUSTAKA
Chen,Li, Zhigang Xie, Xiuli Zhuang, Xuesi Chen, Xiabin Jing, 2008, Controlled release of urea
encapsulated by starch-g-poly(L-lactide), Carbohydrate Polymers, 72, 343-348.
Chiellini, E, A. Corti dan R. Solaro, 1999, Biodegradation of poly (vinyl alcohol) based blown
films under different environmental conditions, Polym. Degrad. Stability, 64 (2), 305-312.
Choi, M.M.S., A. Meisen, 1997, Sulfur coating of urea in shallow spouted beds, Chemical
Engineering Science, 52 (7) 1073–1086.
Donida, Marta W. and Rocha, Sandra C. S., 2002, Coating of urea with an aqueous polymeric
suspension in a two-dimensional spouted bed, Drying Technology, 20: 3, 685 — 704.
Hana X, S. Chena, X. Hub, 2009, Controlled-release fertilizer encapsulated by starch/polyvinyl
alcohol coating, Desalination, 240, 21-26.
Mörl, L, S. Heinrich, and M. Peglow, 2007, Fluidized bed spray granulation, in Salman, A.D., M.J.
Hounslow, J-P-K. Seville, Handbook of Powder Technology , Vol. 11, Granulation, Elsevier,
UK.
Salman, O.A, 1988, Polymer Coating on Urea Prills to Reduce Dissolution Rate, Journal
Agricultural Food Chemistry, 36, 616–621.
Salman, O.A, 1989, Polyethylene-Coated Urea. 1. Improved Storage and Handling Properties,
Industrial Engineering Chemical Research, 28, 630–632.
Shaviv, A.; Mikkelsen, R.L., 1993, Controlled-release fertilizers to increase efficiency of nutrient
use and minimize environmental degradation—a review, Fertilizer Research, 35, 1–12.
Tudorachi, N, C.N. Cascaval and M. Rusu, 2000, Testing of polyvinyl alcohol and starch mixtures
as biodegradable polymeric materials, Polym.Testing, 19 (7), 785-799.
Vashishtha, M., P. Dongara , D. Singh., 2010, Improvement in properties of urea by
phosphogypsum coating, Int. J. of ChemTech Research, Vol.2, No.1, 36-44.
A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.40
PENGUJIAN KANDUNGAN TOTAL FENOL Kappahycus alvarezzi
DENGAN METODE EKSTRAKSI ULTRASONIK DENGAN VARIASI
SUHU DAN WAKTU
Denni Kartika Sari*)
, Dyah Hesti Wardhani, Aji Prasetyaningrum
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP
Jl. Prof. H. Soedharto,SH, Tembalang – Semarang *)
E-mail: denni_123456@yahoo.com
Abstrak
Kappahycus alvarezzi atau Eucheuma cottonii merupakan salah satu penghasil
antioksidan. Salah satu senyawa yang berpotensi sebagai antioksian adalah
senayawa fenolik. Konsentrasi senyawa fenolik dipengaruhi oleh kondisi
ekstraksinya.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama ekstraksi dan
temperatur terhadap kandungan total fenolik Kappahycus alvarezzi dengan metode
ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi ulltrasonik
menggunakan pelarut metanol dengan variasi waktu (1, 2, 4, 6, 8, 10 menit) dan suhu
(55oC, 60
oC). Semakin lama waktu ekstraksi menunjukan semakin naiknya
kandungan fenolik. Akan tetapi, pada suhu 60 0
C setelah menit ke 4 mengalami
penurunan kandungan total fenolik. Pada suhu 550C total fenolik yang dihasilkan
lebih tinggi dibandingkan suhu 60 0C . Kandungan fenolik tertinggi didapatkan
556.42845 mg/L yang diperoleh pada ekstraksi selama 10 menit dengan suhu 55 oC.
Kata kunci: Kappahycus alvarezzi, ultrasonik, total fenolik
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi kelautan yang besar dengan 70 persen wilayah laut
memiliki 17.508 pulau garis pantai 81,000 kilometer ( Aslan, M. 1998 ).potensi yang
besar untuk mengembangkan budidaya berbasis kelautan. Produksi cottonii kering
Indonesia sebesar 87.000 ton atau 54% produksi cottonii kering dunia. Tahun 2010,
Indonesia total produksi mencapai 3.082.113 ton atau menguasai sekitar 50% produk
rumput laut dunia untuk jenis Euchema, Gracilaria, dan Kappaphycus
(http://www.seaweed81jpr.blogspot.com). Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis
rumput laut merah (Rhodophyceae). Cottonii merupakan bahan baku kappa-karaginan,
tepung rumput laut yang multi fungsi untuk berbagai industri seperti industri pangan,
pakan ternak, kosmetik, dan farmasi. Produk yang sering menggunakan karaginan
diantaranya produk olahan seperti sosis, es krim, pasta gigi, whiskas, pedigree, lotion,
cream, body scrub serta nutraceuticals.( http://www.jasuda.net)
Diketahui kandungan fenolik sangat sensitif, tidak stabil dan sangat rentan
terhadap degradasi. Faktor degradasi paling utama adalah temperatur, kandungan oksigen
dan cahaya (vatai,2009). Senyawa fenolikik rentan terhadap oksidasi karena salah satu
sifat dari senyawa fenolikik adalah sebagai antioksidan (Kalt et al., 2000). Studi telah
dilakukan oleh beberapa peneliti yang menunjukan hubungan antara kandungan total
fenolik dengan kemampuan antioksidan (De man, 1999). Paparan oksigen, cahaya, dan
suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi (Ka hko¨nen et
al,1999, Rice-Evans, Miller, Bolwell,Bramley, & Pridham,1995).
Ekstraksi antioksidan dan pengujian total fenolik dari rumput laut dengan metode
maserasi selama tiga hari (wallaluck.,et.al,2011), selama 12 jam (lydia et al, 2008), dan
satu hari (Ganesahan et al, 2007). Pengukuran kadar antioksidan dan total fenolik dengan
metode soxhlet dilakukan selama 6 jam (lim et.al, 2002 ). Menurut Meloan 1999, ekstraksi
dengan menggunakan soxhlet ekstraksi menggunakan teknik maserasi merupakan teknik
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.41
ekstraksi yang mudah dan sederhana dengan hasil produk yang baik. Kelemahan yang
dimiliki adalah waktu ekstraksi yang lama dan hasil pengekstrak kurang sempurna, bahan
terekstrak haruslah stabil pada temperatur didih pelarut sangat tidak cocok digunakan
untuk bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi, ekstraksi berlangsung relatif lama karena
adanya pendinginan oleh udara.
Ultrasonik adalah gelombang akustik dengan frekuensi lebih besar dari 16-20 kHz
(Suslick, 1988).( Mcclemen,1995) menyatakan bahwa salah satu sifat dari ultrasonik
adalah non-destructive dan non-invasive, sehingga dengan mudah diadaptasikan ke
berbagai aplikasi gelombang ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair, dan
gas. Cameron ,2006 mengungkapan bahwa pengembangan proses ekstraksi untuk
mendapat hasil yang lebih baik dan waktu yang lebih singkat terus dilakukan. Salah
satunya adalah dengan metode ultrasonik. Hasil waktu uji rendemen pati jangung dengan
menggunakan ekstraksi ultrasonik selama 2 menit adalah sekitar 55,2-67,8 % hampir sama
dengan rendemen yang didapat dari pemanasan dengan air selama 1 jam yaitu 53,4%.
Penggunaan ultrasonik pada proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik dapat
lebih cepat, getaran ultrasonik dapat memecahkan dinding sel sehingga kandungan
didalamnya dapat keluar dengan cepat.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh waktu dan temperatur ekstraksi ultrasonik terhadapa kandungan total fenolik .
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Kappaphycus
alvarezii yang didapat dari pantai Karimun Jawa dipanen pada bulan Juni 2012.
Metode yang dipakai adalah preparasi sampel, rumput laut segar dicuci dengan
aqudest untuk menghilangkan kotoran, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven
pada suhu 55 0C selama 48 jam, dihaluskan dengan menggunakan blender. Sebanyak 1
gram rumput laut kering dimasukan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan pelarut metanol
dengan perbandingan 1:10 dan ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya diekstraksi
dengan menggunakan ultrasonik dengan variasi waktu 1, 2, 4, 6, 8, 10 menit dan suhu 55 0C dan 60
0C. disaring dengan menggunakan kertas saring dan filtrat disimpan pada suhu 0
0C untuk pengujian lebih lanjut.
Total Senyawa Fenolik
Pengukuran kadar total fenolik dengan metode folin ciocalteau dengan metode folin
cioceltau (Sigma) 15.8 ml aquadest, 0,2 ml sampel dan 1 ml reagen folin ciocalteu
dicampur kemudian didiamkan selama 8 menit, ditambahkan 3 ml Na2CO3(Merck) (20%
w/v) kemudian di inkubasi selama 2 jam pada suhu ruang, absorbansi diukur pada 765 nm
kandungan total fenolik dihitung dengan standar asam galat (Merck).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data didapat bahwa dengan naiknya temperatur mengalami penurunan
kandungan senyawa fenolik namun semakin lama waktu ekstraksi menunjukan semakin
naiknya jumlah kandungan senyawa fenolik akan tetapi pada suhu 60 0C menunjukan
penurunan kandungan senyawa fenolik setelah menit ke 4. Diketahui bahwa kandungan
fenolik sangat sensitif dan tidak stabil yang mengakibatkan degradasi kandungan fenolik,
salah satunya adalah temperatur (Vatai, 2009), Liyana, 2005 menyatakan bahwa ada
hubungan antara suhu dan fenolik secara kuadratik, naiknya suhu menyebabkan
peningkatan kadar fenolik sampai pada suhu tertentu kemudian menurun seiring dengan
peningkatan suhu yang lebih tinggi hal ini disebabkan dekomposisi senyawa fenolik dari
grafik data perbandingan antara waktu ekstraksi dan waktu dengan jumlah kandungan
total fenolik yang di peroleh dapat dilihat pada Grafik 1.
A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.42
Pada ekstraksi pada suhu 60 0C mengalami kenaikan pada menit pertama namun
menurun pada menit selanjutkan dikarenakan paparan sonifikasi yang lama dan pada suhu
tinggi yang dapat merusak fenolik itu sendiri, ekstraksi pada bermacam tumbuhan telah
dilakukan untuk mengukur kandungan total fenolik pada berbagai range suhu antara 35 0C
sampai 120 0C, beberapa kandungan fenolik sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
Namun, hasil akan berbeda pada tiap jenis tumbuhan (Mario, 2010).
Prinsip ekstraksi ultrasonik adalah dengan meningkatkan transfer massa yang
disebabkan oleh naiknya penetrasi pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat efek kapiler.
Gelembung kavitasi akan terbentuk pada dinding sel tanaman akibat adanya gelombang
ultrasonik. Efek dari pecahnya gelembung kavitasi ini dapat mengakibatkan peningkatan
pori-pori dinding sel. Gelembung kavitasi akan terpecah disebabkan oleh tipisnya bagian
kelenjar sel tumbuhan yang dapat mudah rusak oleh sonikasi (Melecchi dkk. 2006). Hal
ini yang menyebabkan proses ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik
menjadi lebih cepat dari metode konvensional dengan cara maserasi maupun ekstraksi
soxhlet. Medium yang dilewati akan mengalami getaran yang disebabkan oleh gelombang
elektronik. Getaran yang diberikan gelombang ultrasonik akan memberikan pengadukan
yang intensif terhadap proses ekstraksi. Proses Pengadukan akan meningkatkan osmosis
antara bahan dengan pelarut sehingga akan mempercepat proses ekstraksi . kandungan
fenolik pada suhu 60 0C senyawa fenolik mengalami degrdasi yang signifikan disebabkan
oleh pengaruh suhu tinggi dan lama waktu pemaparan gelombang ultrasonik yang
mengakibatkan berkurangnya kandungan fenolik.
0
100
200
300
400
500
600
0 2 4 6 8 10 12
suhu 55
suhu 60
Grafik 1 Kurva Fenolik dengan Variasi suhu dan waktu
0
100
200
300
400
500
600
0 2 4 6 8 10 12
suhu 55
suhu 60
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.43
KESIMPULAN
Naiknya suhu menunjukan penurunan senyawa fenolik .Semakin lama waktu
ekstraksi maka total kandungan total fenolik yang dihasilkan semangkin meningkat namun
pada suhu 60 0C setelah menit ke 4 mulai terjadi penurunan yang signifikan. Lama waktu
ekstraksi pada menit yang sama pada suhu yang berbeda menunjukan bahwa nilai
kandungan total fenolik pada suhu 55 0 C lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan. M. L, 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta
Cameron, D.K and Wang, Ya-Jane. 2006. Application of Protease and High-Intensity
Ultrasound in Corn Starch Isolation from Degermed Corn Flour. Journal Food
Sience University Of Arkansas : September/October 2006, Volume 83, Number
5.Page 505-509
DeMan, M.J, 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Aspen Publicher,
Inc.Gaithersburg, Maryland.
P. Ganesan, Chandini S. Kumar, N. Bhaskar, 2007,Antioxidant properties of methanol
extract and its solvent fractions obtained from selected Indian red seaweeds
fractions obtained from selected Indian red seaweeds , Food Chemistry
Kalt, W., J.E. Mcdonald and H Donner. 2000.Anthocyanins, phenolics and antioxidant
capacity ofprocessed lowbush blueberry products. J. Food Sci.
Ka¨hko¨nen, M. P., Hopia, A. I., Vuorela, H. J., Rauha, J. P., Pihlaja, K.,Kujala, T. S., et al.
1999. Antioxidant activity of plant extracts containing phenolic compounds.
Journal of Agriculture Food Chemistry,
Liyana-Pathirana, C. and F. Shahidi. 2005. Optimization of extractionof phenolic
compounds from wheat using response surfacemethodology. Food Chemistry
93:47–56
McClements D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food Analysis and
rocessing. Trends Food Sci. Techn. 6, 293-29
Meloan CE. 1999. Chemical Separation. Principle, Techniques and Expremints.Canada.
John Wiley and Sons publication.Canada
Rice-Evans, C., Miller, N. J., Bolwell, G. P., Bramley, P. M., & Pridham,J. B. ,1995. The
relative antioxidants activities of plant-derived polyphenolic flavonoids. Free
Radical Research
Suslick, K. S. 1988. Ultrasounds: Its Chemical, Physical and Biological Effects. VHC
Publishers, New York.
S.N.lim P.C.K Cheung,V.E Cooi and P.O . Ang,2002 Evaluation of Antioxidative Activity
of Extracts from a Brown Seaweed, Sargassum siliquastrum J. Agric. Food Chem.
Mário Roberto Maróstica Junior*, Alice Vieira Leite and Nathalia Romanelli Vicente
Dragano ,2010,Supercritical Fluid Extraction and Stabilization of Phenolic
Compounds From Natural Sources – Review (Supercritical Extraction and
Stabilizationof PhenolicCompounds), The Open Chemical Engineering
Journal,Brazil
Vatai, T.; Skerget, M.; Knez, Z. 2009 Extraction of phenolic compounds from elder berry
and differentgrape marc varieties using organic solvents and/or supercritical carbon
dioxide. J. Food Eng.
Walaluck boonchumi,Yuwadee Peerapornpisal, Duangta kanjanapothi, Jeereporn pekkoh,
Chayakorn pumas,Utan Jamjai, Doungporn Amornlerdpison, Thidarat Noirraksar
A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.44
and Panmuk Vacharapiyasophon, 2011 Antioxidant Activity of some Seaweed
from the Gulf of Thailand. J Food Eng
cocon, 2012,13 WIB http://www.seaweed81jpr.blogspot.com/
http://www.jasuda.net/ accessed 2012, 13 WIB
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.45
PENGARUH SUHU UDARA DAN BERAT SAMPEL PADA PENGERINGAN TAPIOKA
MENGGUNAKAN PENGERING UNGGUN TERFLUIDAKAN
Suherman, Aprilina Purbasari, Margaretha Praba Aulia
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, UNDIP
Jl. Prof. Soedharto, SH., Tembalang, Semarang. Email: hermancrb@yahoo.com
Abstrak
Industri tapioka di Kabupaten Pati merupakan kategori industri kecil/rumah tangga, yang
cukup memeliki potensi ekonomi yang sangat besar. Kendala utama yang dihadapi adalah
teknologi proses pengeringan produk. Selama ini proses pengeringan dilakukan dengan
menghamparkan tepung di lantai bak penjemuran. Proses pengeringan memerlukan waktu
minimal 6 jam, dan apabila mendung atau akan turun hujan, maka produk akan dikumpulkan
kembali walaupun masih basah. Hal inilah yang menyebabkan kualitas produk jauh dari
standar SNI dan seringkali proses produksi dihentikan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
tepung tapioka dengan kadar air 40% telah dikeringkan menggunakan pengering unggun
terfluidakan menjadi tapioka kering dengan kadar air dibawah 14%. Paramater operasi yang
diteliti adalah suhu pengeringan (30, 40, dan 60 °C) dan berat tapioka basah (100, 200, dan
250 g). Hasil eksperimen menunjukkkan bahwa tepung tapioka bisa dikeringkan hanya dalam
waktu 30 menit dengan suhu 50°C. Kurva pengeringan memperlihatkan adanya periode laju
pengeringan konstan di awal pengeringan sampai kadar uap air di padatan 0,3. Semakin
tinggi suhu pengeringan, maka laju pengeringan semakin besar dan kandungan air sisa di
padatan semakin rendah. Sedangkan, semakin banyak material padatan yang diumpankan,
maka laju pengeringan semakin rendah, akan tetapi kandungan air sisa di padatan relatif
sama.
Kata kunci: pengeringan, tapioka, unggun terfluidakan
PENDAHULUAN
Di Indonesia, kebutuhan tepung tapioka terus meningkat tiap tahunnya karena adanya
peningkatan penggunaan tepung tapioka sebagai bahan baku industi makanan. Kendala utama yang
dihadapi oleh industri pembuat tepung tapioka adalah teknologi proses pengeringan tepung tapioka
agar sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini terjadi sebab sebagian besar industri UKM pembuat
tepung tapioka di Indonesia masih menggunakan cara konvensional yang hanya mengandalkan
sinar matahari sebagai pengering.
Pada musim penghujan, proses produksi terhambat karena menumpuknya produk basah
pada bak pengendapan akibat produk tidak bisa dikeringkan karena membutuhkan sinar matahari.
Kegiatan produksi yang tidak teratur ini karena tergantung cuaca dan kualitas produk yang masih
dibawah standar, mengakibatkan harga jual tepung tapioka rendah dan mempersulit pemasaran.
Selain itu, proses pengeringan produk dengan cara dijemur menggunakan sinar matahari
membutuhkan waktu yang lama dan hasilnya sering dibawah standar. Sehingga, seringkali tepung
tapioka dijual dalam bentuk yang masih basah (kadar air 40% ) untuk menghindari kerugian lebih
besar. Namun, bila produk tapioka dijual dalam kondisi basah, maka keuntungan ukm akan lebih
kecil, karena harga produk dalam keadaan basah Rp 2.150/kg (kadar air 40%), jauh lebih murah
dibandingkan dalam keadaan kering Rp 3.300/kg (kadar air 14%).
Tepung tapioka termasuk material yang sulit dikeringkan, yakni dalam kondisi basah
lengket dan menggumpal (aglomeration). Selain masuk kategori Geldart Grup C, yakni material
yang bersifat kohesif, juga uap air yang terkandung dalam material termasuk jenis moisture terikat
bukan moisture permukaan (Perdomo, dkk, 2009). Selain itu, struktur kristal pati tapioka yang
sebagian besar adalah amilopektin memiliki dua keadaan yakni keadaan glassy dan rubbery. Dua
keadaan ini dibatasi dengan tanda suhu transisi gelas (glass transition temperature). Kedudukan
suhu transisi gelas tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung pati, tetapi juga oleh
kecepatan pemanasan pati. Perbedaan kondisi ini mengakibatkan perbedaan volume bebas (free
volume) di dalam molekul polimer pati. Akibatnya juga mempengaruhi laju pengeringan dan
distribusi pori di dalam molekul pati. Sehingga, selama proses pengeringan, beberapa fraksi pati
A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.46
teraglomerasi (menggumpal) menjadi partikel besar. Agromlerasi fraksi pati ini memiliki sifat
fungsional yang tidak diinginkan seperti viskositas rendah, suhu gelatinisasi tinggi dan laju
hidrolisis asam / enzim rendah (Liu, dkk, 2009; Tang, dkk, 2000; Tang, dkk, 2001). Selain itu,
partikel besar dapat menyebabkan masalah dalam proses penanganan seperti selama proses
transportasi atau pengeringan (Boonyai, dkk, 2004, Ozkan, dkk, 2002; Turchiuli, dkk, 2005).
Maka, fraksi pati ini akan diproses ulang, sehingga membutuhkan biaya produksi lebih tinggi.
Oleh karena itu, dalam penelitian telah dikembangkan teknologi pengeringan tepung
tapioka menggunakan unggun terfluidakan. Pemilihan jenis teknologi ini didasarkan karena
pengeringan unggun terfluidakan memiliki banyak kelebihan, yakni perpindahan massa dan panas
yang cepat (Strumillo dkk, 1983; Adamiec dkk, 2007; Kudra dan Mujumdar, 2007; Reyes dkk,
2008). Dalam makalah ini akan dibahas pengaruh suhu dan massa bahan di unggun terhadap
karakteristik kurva pengeringan.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan tepung tapioka basah dari UKM di Pati. Tepung tapioka dengan
kadar air 40% basis basah (bb), dihancurkan bongkahannya menggunakan pengaduk. Material ini
dengan berat antara 100-250 gr dimasukkan ke dalam kolom fluidisasi.
Gbr 1. Rangkaian alat percobaan
Gambar 1 menunjukkan rangkaian peralatan yang digunakan. Kecepatan udara masuk
diatur 2 kali diatas kecepatan minimum fluidisasi. Suhu udara masuk (Tgi) divariasi 30, 40, dan 60
°C. Umpan dimasukkan ke unggun saat pertama kali proses pengeringan akan dimulai. Produk
dipisahkan dari aliran udara di siklon dan kantong penyaring. Temperatur kontroler TIC (di bawah
distributor) mempertahankan suhu udara masuk pada level yang dikehendaki. Temperatur kontroler
TIC ke dua yang ditempatkan pada 0,7 m di atas plat pembagi, diatur pada suhu 200C untuk
mencegah terjadinya pemanasan berlebih bila terjadi kesalahan sistem pemasukan umpan. Selama
percobaan, suhu udara yang masuk dan suhu udara keluar diukur menggunakan termometer digital.
Selain itu, untuk membuat kurva pengeringan, maka diukur humiditi udara masuk dan udara keluar
menggunakan humiditi meter (Krisbow, KW06-561).
Dari pengukuran humiditi udara, maka kandungan uap air di padatan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
t
0tinout
dry,s
g
0 dttYtYM
MXtX
, (1)
dimana Ms,dry adalah massa padatan kering, dan gM laju alir massa udara. Sedangkan laju
pengeringan masih dihitung dalam bentuk dX/dt.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.47
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu
Gbr. 2 memperlihatkan tipikal kurva pengeringan tepung tapioka di pengering unggun
terfluidakan pada berbagai suhu yang berbeda. Pada awal pengeringan menunjukkan penurunan
kadar air di padatan sangat cepat, berbeda dengan di akhir pengeringan penurunan kadar air di
padatan relatif lebih lambat. Kadar air sisa di padatan di akhir pengeringan berbeda-beda yakni
semakin tinggi suhu pengeringan, maka kadar air sisa di padatan semakin rendah. Hal ini
disebabkan, dengan semakin tinggi suhu, maka relatif humiditi udara pengering semakin rendah.
Dengan semakin rendah relatif humiditi udara pengering maka kadar air di padatan semakin
rendah, karena kadar air di padatan akan berada pada kondisi berkesitambangan dengan relatif
humiditi udara. Kurva kesetimbangan antara kadar air di padatan dengan relatif humiditi udara
direpresentasikan dalam bentuk kurva sorption isotherm.
Adapun pengaruh suhu terhadap kurva ini adalah bahwa dengan semakin tinggi suhu maka
penurunan kadar air di padatan akan semakin lebih curam. Hal ini disebabkan karena dengan
semakin tinggi suhu maka air yang ada di padatan akan semakin mudah terlepas, akibat semakin
besarnya energi yang diberikan oleh udara pengering untuk melepaskan molekul air yang terikat di
padatan seiring kenaikan suhu.
Gbr. 2 Pengaruh suhu pada kurva kandungan uap air di padatan versus waktu
Gbr. 3 menunjukkan pengaruh suhu terhadap kurva hubungan antara kadar air di padatan
versus laju pengeringan. Pada kondisi kandungan uap air di padatan masih tinggi, sedikit terlihat
adanya perioda laju pengeringan yang hampir konstan. Perioda laju pengeringan konstan ini sangat
terlihat jelas untuk kurva pengeringan pada suhu 40°C. Namun, setelah kandungan uap air di
bawah 0,3 maka mulai terjadi penurunan laju pengeringan. Adanya perioda laju pengeringan
konstan ini membuktikan bahwa uap air ini merupakan uap air permukaan (surface moisture
content) yakni bukan uap air terikat. Sehingga laju pengeringan konstan. Namun, disaat kandungan
uap air di bawah 0,3 maka kandungan uap air merupakan uap air terikat, sehingga terjadi
penurunan laju pengeringan.
Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan jelas, yakni semakin tinggi suhu maka semakin
tinggi laju pengeringan. Kejelasan pengaruh ini terjadi baik di perioda pertama laju pengeringan
konstan maupun periode kedua laju pengeringan menurun. Hal ini dikarenakan, dengan semakin
tinggi suhu, maka akan meningkatkan difusivitas uap air baik untuk terlepas di permukaan padatan
maupun untuk berdifusi di dalam padatan partikel tapioka itu sendiri. Sedangkan, perbedaaan
kandungan uap air sisa di padatan, disebabkan karena kesetimbangan antara kandungan uap air di
padatan dengan relatif humiditi udara pengering, sebagaimana telah dibahas pada paragraf
sebelumnya.
A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.48
Gbr. 3 Pengaruh suhu pada kurva laju pengeringan
Pengaruh Massa Bahan
Gbr 4 menunjukkan pengaruh berat umpan tepung tapioka terhadap kurva pengeringan.
Semakin banyak berat umpan maka penurunan kandungan uap air di padatan akan semakin landai.
Hal ini disebabkan dengan semakin banyak bahan yang akan dikeringkan, maka kebutuhan energi
panas untuk mengeringkan akan semakin besar. Sementara itu, udara pengering yang diberikan
hampir sama, maka penurunan suhu di unggun akan semakin tinggi. Sehingga untuk massa bahan
yang semakin tinggi, maka penurunan suhu udara pengering akan lebih besar. Akibatnya, laju
pengeringan semakin rendah dan penurunan kandungan uap air di padatan akan semakin landai.
Namun demikian, di akhir pengeringan, penurunan kandungan uap air di padatan hampir sama, hal
ini dikarenakan dengan semakin rendahnya kandungan uap air sisa di padatan maka driving force
perpindahan massa uap air akan semakin rendah. Sehingga kadar air sisa di padatan di akhir
pengeringan hampir sama. Selain itu, kadar air sisa di padatan di akhir pengeringan hampir sama,
juga disebabkan karena relatif humiditi udara pengering yang sama. Relatif humiditi udara
pengering yang sama ini disebabkan oleh penggunaan suhu udara pengering yang sama yakni
50°C. Kesetimbangan antara kadar air sisa di padatan dengan relatif humiditi udara pengering telah
dibahas di atas.
Gbr. 4 Pengaruh berat bahan terhadap kurva pengeringan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.49
Gbr. 5 menunjukkan pengaruh berat bahan terhadap kurva hubungan antara kadar air di
padatan versus laju pengeringan. Pada kondisi kandungan uap air di padatan masih tinggi, sedikit
terlihat adanya perioda laju pengeringan yang hampir konstan. Perioda laju pengeringan konstan ini
akan terlihat lebih jelas dengan bertambahnya berat bahan. Hal ini menunjukan bahwa dengan
semakin banyak bahan yang akan dikeringkan maka perioda laju pengeringan konstan akan
semakin lama. Sehingga, penentuan kandungan uap air 0,3 sebagai critical moisture content (CM)
tidaklah benar. Hal ini disebabkan, karena kurva ini menunjukkan kurva pengeringan tapioka
integral bukan kurva pengeringan partikel tunggal tapioka. Untuk mendapatkan kurva pengeringan
partikel tunggal tapioka diperlukan proses diferensiasi atau scaling-down. Proses diferensiasi ini
memerlukan pemodelan neraca massa dan panas, dan akan dibahas pada kajian selanjutnya.
Gbr. 5 Pengaruh berat bahan terhadap kurva laju pengeringan
KESIMPULAN
Tepung tapioka bisa dikeringkan hanya dalam waktu 30 menit dengan suhu 50°C
menggunakan pengering unggun terfluidakan. Kurva pengeringan memperlihatkan adanya periode
laju pengeringan konstan di awal pengeringan sampai kadar uap air di padatan 0,3. Semakin tinggi
suhu pengeringan, maka laju pengeringan semakin besar dan kandungan air sisa di padatan
semakin rendah. Sedangkan, semakin banyak material padatan yang diumpankan, maka laju
pengeringan semakin rendah, akan tetapi kandungan air sisa di padatan relatif sama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini telah didanai oleh Balitbang Provinsi Jawa Tengah dalam skim Riset
Unggulan Daerah (RUD) TA 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, B., Howes, T., Bhandari, B. R., & Troung, V. (2003). Surface stickiness of drops of
carbohydrate and organic acid solutions during convective drying: Experiments and
modeling. Drying Technology, 21(5), 839–873.
Aichayawanicha S., M. Nopharatanaa, A. Nopharatanab,W. Songkasiric, (2011), Agglomeration
mechanisms of cassava starch during pneumatic conveying drying Carbohydrate Polymers
84, 292–298
Al-Muhtaseb, A. H., McMinn, W., & Magee, T. (2004a). Water sorption isotherm of starch
powders Part 1: Mathematical description of experimental data. Journal of Food
Engineering, 61(3), 297–307
Bell, L., & Touma, D. (1996). Glass transition temperatures determined using a temperature-
cycling differential scanning calorimeter. Journal of Food Science, 61(4), 807–810.
A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.50
Bertuzzi, M. A., Armada, M., & Gottifredi, J. C. (2003). Thermodynamics analysis of water vapour
sorption of edible starch based films. Food Science Technology Institute, 9(2), 115–117.
Boonyai, P., Bhandari, B., & Howes, T. (2004). Stickiness measurement techniques for food
powders: A review. Powder Technology, 145, 34–46.929.
Hoover, R. (2001). Composition, molecular structure, and physicochemical properties of tuber and
root starches: A review. Carbohydrate Polymers, 45, 253–267.
Liu, D., Wu, Q., Chen, H., & Chang, P. R. (2009). Transitional properties of starch colloid with
particle size reduction from micro- to nanometer. Journal of Colloid and Interface Science,
339(1), 117–124.
Passos, M.L.;Mujumdar, A.S. Effect of cohesive forces on fluidized and spouted beds of wet
particles. Powder Technology 2000, 110, 222–238.
Perdomo, J. A. Cova, A.J. Sandoval, L. García, E. Laredo, A.J. Müller, (2009), Glass transition
temperatures and water sorption isotherms of cassava starch, Carbohydrate Polymers 76,
305–313
Schneider, T.; Bridgwater, J. The stability of wet spouted beds. Drying Technology 1993, 11 (2),
277–301.
Tonukari, N. (2004). Cassava and the future of starch. Electronic Journal of Biotechnology, 7(1),
5–8.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.51
PENGARUH PENAMBAHAN ZEOLIT 3A TERHADAP LAMA WAKTU
PENGERINGAN GABAH PADA FLUIDIZED BED DRYER
Maria Augustine Graciafernandy, Ratnawati, Luqman Buchori Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Sudharto, Kampus UNDIP Tembalang, Semarang 50239 E-mail: gracefernandy@gmail.com
Abstrak
Kandungan air yang tinggi (lebih dari 14%) dalam gabah dapat menyebabkan penurunan
kualitas beras. Gabah panen umumnya mempunyai kandungan air sekitar 21-26 %. Gabah ini
harus segera dikeringkan setelah pemanenan. Sistem pengeringan tradisional yang sering
diterapkan oleh para petani di Indonesia mempunyai kendala antara lain ketergantungan
terhadap cuaca, waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta
mudahnya kontaminasi benda asing. Kajian mengenai sistem pengeringan pada suhu rendah
dan waktu yang singkat perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas gabah.
Diperkenalkan sistem pengeringan gabah dengan sistem adsorbsi oleh zeolit 3A pada fluidized
bed dryer. Secara garis besar gabah panen akan dikeringkan dalam suatu unggun terfluidisasi
pada suhu 40 0C, flowrate 3 m/s dengan komposisi perbandingan zeolit:gabah berturut-turut
adalah sebagai berikut 0:100; 20:80; 40:60 dan 60:40 (% w). Pengamatan dilakukan terhadap
penurunan kadar air serta waktu pengeringan. Pengeringan akan dihentikan ketika kadar air
dalam gabah mencapai sekitar 14%. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa waktu
pengeringan tersingkat pada kompisi zeolit:gabah = 60:40 yakni selama 17,40 menit.
Pengeringan ini menghemat hingga 22,77 menit dibandingkan pengeringan tanpa zeolit.
Kata kunci: pengeringan gabah, zeolit 3A, fluidized bed dryer.
PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang
kebutuhannya meningkat setiap tahunnya. Beras yang berkualitas baik tentunya dihasilkan dari
gabah yang berkualitas baik pula. Pemerintah telah mengatur kualitas gabah dan beras melalaui
SNI No. 01-0224-1987 dan SNI 6128:2008. Salah satu poin penting dalam ketentuan tersebut
adalah kandungan air maksimum yang diijinkan dalam butir gabah dan beras yakni 14%. Gabah
dengan kandungan air tinggi akan menghasilkan beras dengan kualitas buruk seperti menjadi rusak,
busuk, berjamur dan berubah warna. Sebaliknya, pada kadar air yang lebih rendah, butiran padi
akan mudah pecah atau patah sehingga akan menghasilkan banyak beras patah atau menir. Untuk
meningkatkan kualitasnya maka gabah harus segera dikeringkan setelah proses pemanenan.
Sistem pengeringan yang sudah diterapkan oleh para petani Indonesia umumnya adalah
sistem penjemuran dibawah sinar matahari. Sistem penjemuran ini sangat sederhana dan ekonomis
namun memiliki kelemahan antara lain ketergantungan terhadap cuaca, pemakaian lahan yang luas,
waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta mudahnya kontaminasi
benda asing. Umumnya dibutuhkan waktu tiga hari untuk proses pengeringan namun dengan masih
tingginya curah hujan maka waktu yang dibutuhkan menjadi satu minggu. Wongpornchai dkk.,
(2003) menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan gabah dengan kadar air 14,12% diperlukan
waktu penjemuran 54 jam. Peneliti lain menyebutkan diperlukan waktu 3-4 hari (Tabassum dan
Jindal,1992).
Diperkenalkan sistem pengeringan adsorbsi dengan penggunaan Zeolit 3A sebagai
adsorben pada fluidized bed dryer. Penggunaan fluidized bed dryer untuk mengeringkan bahan
pangan grain sudah digunakan secara komersial di berbagai negara (Soponronnarit, 2003) terutama
untuk bahan pangan yang membutuhkan waktu pengeringan singkat dan sensitif terhadap suhu
tinggi. Dibandingkan dengan jenis pengering lainnya, fluidized bed dryer mempunyai beberapa
keunggulan seperti: konsumsi energi yang rendah, drying rate yang lebih cepat dan kandungan air
pada produk seragam (Soponronnarit, 2003). Dryring rate yang lebih cepat ini tentunya akan
berdampak pada makin singkatnya watu pengeringan.
A.10. Pengaruh penambahan zeolit 3A terhadap lama waktu … (Maria A. Graciafernandy, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.52
Zeolit 3A merupakan adsorbent sintetis tidak beracun yang mempunyai kemampuan
menyerap air sebesar 0,206 gr uap air/ gr adsorben (Kurniasari, 2010) dan mempunyai ruang
kosong pada pori 47% lebih banyak dibandingakan zeolit alam sehingga mempunyai kemampuan
menyerap air yang lebih baik (Agusniar dan Setiyani, 2011). Zeolit mampu mempercepat
penurunan kadar air dalam bahan sampai 20,84% pada suhu operasi 400C (Bestari dan Adityas,
2010). Kelebihan pemakaian zeolit antara lain dapat diaplikasikan pada sistem pengering dengan
suhu rendah dan medium, mampu mengurangi kandungan air dalam udara serta dapat
meningkatkan efisiensi pengeringan hingga 10-18% dibandingkan pengeringan konvensional
(Djaeni dkk., 2007) sehingga mampu mempersingkat waktu pengeringan.
Diharapkan dengan sistem pengeringan fluidized bed dryer- zeolit 3A ini, proses
pengeringan gabah dapat berlangsung pada suhu rendah dan waktu singkat. Sistem pengeringan ini
diharapkan pula dapat menjadi salah satu alternatif sistem pengeringan yang sudah ada di
Indonesia. Sistem ini dapat dilakukan dalam ruang sehingga musim panen yang jatuh pada musim
hujan tidak lagi menjadi masalah bagi para petani.
BAHAN DAN METODOLOGI
Gabah panen yang digunakan dalam penelitian ini adalah varian IR64 yang diperoleh dari
daerah persawahan di daerah Sayung, Demak, Jawa Tengah. Gabah panen ini meilikki kandungan
air awal 19 %. Zeolit 3A merupakan zeolit sintetis yang diperoleh dari Laboratorium Proses
Universitas Diponegoro Semarang. Alat utama yang digunakan adalah fluidized bed dryer dengan
rangkaian seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rangkaian alat pengering tipe fluidized bed dryer
Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah tahap
persiapan alat dan bahan baku. Dalam tahapan ini dipastikan bahwa semua alat dapat berfungsi
dengan baik. Flowrate diatur pada kecepatan 3 m/s dan suhu udara pemanas pada temperatur 40 0C. Gabah panen dibersihkan secar manual dengan menggunakan tampah untuk memisahkan gabah
isi dengan gabah hampa, jerami, kerikil dan benda asing lainnya. Zeolit 3A diaktivasi dengan cara
pemanasan dalam oven (Sutarti dan Rachmawati, 1994) pada suhu 200-2300C selama 2-3 jam
(anonim, 2012). Tujuan proses aktivasi ini adalah unutk meningkatkan daya serap zeolit terhadap
air. Dalam tahap ini juga dilakukan pengukuran kadar air awal gabah dengan meode oven. Tahap
kedua adalah tahap pengeringan. Ini merupakan tahapan utama dalam penelitian ini. Gabah yang
sudah bersihkan dan Zeolit 3A yang sudah diaktivasi dimasukkan ke dalam unggun sesuai dengan
variabel yang ditentukan. Variabel perbandingan komposisi zeolit: gabah berturut-turut adalah
sebagai berikut 0:100; 20:80; 40:60 dan 60:40 (% w). Selanjutnya dimasukan pula gabah dan zeolit
masing-masing dengan berat 5 gram yang sudah diikat secara terpisah dalam kain kassa. Gabah dan
Unggun
fluidisasi
Blower
Pengatur
suhu
Tombol
on off
Thermometer
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.53
zeolit dalam kassa ini digantung ditengah-tengah unggun. Setiap interval waktu 5 menit gabah dan
zeolit dalam kassa ini ditimbang penurunan dan kenaikan beratnya. Proses pengeringan dilanjutkan
dan dihentikan hingga diperoleh kadar air dalam gabah sekitar 14%. Persentase kadar air dihitung
menggunakan Persamaan 1.
100%sampelberat
beratkehilangan%kadarair (1)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian yang diperoleh berupa hubungan antara waktu pengeringan dan kadar
air dalam gabah seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan waktu pengeringan dan kadar air dalam gabah pada suhu 400C
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengeringan menggunakan zeolit memang lebih singkat
dibandingkan dengan pengeringan tanpa zeolit (100% wgabah). Hal ini dikarenakan zeolit
memilikki afinitas yang tinggi terhadap air, sehingga dapat mempercepat proses pengeringan gabah
(Agusniar dan Setiyani, 2011).
Penurunan kadar air pada berbagai variasi komposisi zeolit:gabah (80%, 60% dan 40% W
gabah) telah diamati. Penurunan kadar air paling cepat terjadi pada variabel 40% W gabah. Pada
variable ini, jumlah zeolit yang diikutkan dalam operasi pengeringan banyak (60% berat total)
sehingga akan lebih banyak pula uap air di udara yang diserap oleh zeolit. Zeolit 3A ini merupakan
jenis zeolit dengan yang kaya akan Al dan kadar Si rendah, dimana volume pori-porinya dapat
mencapai 0,5 cm3/cm
3 volume zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Zeolit yang sudah diaktivasi
ini akan mempunyai kemampuan menyerap air yang baik. Dengan adanya aktivasi maka air yang
terperangkap dalam pori-pori zeolit akan teruapkan sehingga luas permukaan pori zeolit bertambah.
Makin banyaknya jumlah zeolit yang mempunyai luas permukaan besar ini, maka akan semakin
banyak pula air yang dapat diserap oleh zeolit. Hal ini berakibat pada semakin cepatnya proses
pengeringan itu terjadi.
Waktu pengeringan yang terbaik untuk tiap variabel seperti yang tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 14%
Zeolit: Gabah t (menit)
0:100 40,17
20:80 20,55
40:60 19,07
60:40 17,40
A.10. Pengaruh penambahan zeolit 3A terhadap lama waktu … (Maria A. Graciafernandy, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.54
Dari Tabel 1 terlihat bahwa waktu pengeringan terlama adalah pada variabel 100% W
gabah, dimana pada variabel ini tidak ada penambahan zeolit sama sekali. Untuk mendapatkan
kadar air 14% dibutuhkan waktu lebih dari 40 menit. Pada penambahan zeolit 20% ternyata waktu
pengeringan hampir 50% lebih singkat. Hal ini membuktikan bahwa memang zeolit mempunyai
kemampuan untuk mempersingkat waktu pengeringan. Ini dikarenakan kemampuannya untuk
menyerap air yang terkandung dalam gabah basah sehingga dengan adanya penambahan panas,
maka waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bestari dan Adityas (2010) yang mengatakan bahwa pada suhu 400C, zeolit mampu
mempercepat penurunan kadar air dalam bahan sampai 20,84%.
Variable 60% W gabah memberikan waktu terpendek untuk mendapatkan kadar air 14%.
Perbedaan waktu pengeringan antara variable ini dibandingkan dengan variable 20% W gabah dan
40% W gabah tidak terlalu signifikan. Namun variabel ini cukup baik untuk menghemat waktu
pengeringan sampai dengan 22, 78 menit dibandingkan dengan pengeringan tanpa penambahan
zeolit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini disimpulkan bahwadengan adanya penambahan zeolit 3A pada
komposisi zeolit:gabah sebesar 60:40 (dalam persen berat) ternyata mampu menyingkat waktu
pengeringan gabah sebanyak 22,78 menit dibandingkan pengeringan tanpa zeolit. Penambahan
zeolit 3A sebagai adsorbent dalam sistem pengeringan fluidized bed dryer mampu menyingkat
waktu pengeringan. Semakin banyak jumlah zeolit yang diikutkan dalam proses pengeringan
semakin singkat waktu pengeringan walaupun memang perbedaannya tidak signifikan.
Aplikasi pengeringan adsorbsi menggunakan zeolit 3A ini sebaiknya diujicobakan dalam
skala lapangan sebagai salah satu alternatif rekomendasi dalam sistem pengeringan gabah.
Diharapkan sistem pengeringan ini memberikan manfaat kepada para petani sehingga kendala
cuaca yang mungkin dihadapi saat musim panen tiba dapat teratasi, karena sistem pengeringan ini
dapat dilakukan dalam ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar, A. dan D. Setiyani, 2011, Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-Adsorpstion
Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun Terfluidisasi, Universitas Diponegoro: Skripsi.
Anonim, 2012, Zeolit 3A, 9 Maret 2012, http://www.alibaba.com/product-
gs/436332126/zeolite_3A.html.
Bestari, A. dan P. Adityas, 2010, Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-Adsorption Drying
Menggunakan Zeolit Pada Unggun Terfluidisasi. Universitas Diponegoro: Skripsi.
Djaeni, M., P. Bartels, J. Sanders, G. van Straten dan A.J.B. van Boxtel, 2007, Heat Efficiency Of
Multi-Stage Zeolite Systems For Low Temperature Drying. In Proceedings of The 5th
Asia-Pacific Drying Conference, Hong Kong, August 13-15, 2007, pp. 589-594.
Kurniasari, 2010, Aktivasi Zeolit Alam Sebagai Adsorben Uap Air Pada Alat Pengering Bersuhu
Rendah. Universitas Diponegoro: Tesis.
Soponronnarit, S., 2003, Fluidised bed grain drying, Proceedings of the 3rd
Asia-Pacific Drying
Conference, 1-3 September 2003, Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, pp.
55-71.
Sutarti, M. dan M.Rachmawati, 1994, Zeolit:Tinjauan Literatur, Pusat Dokumentasi dan Informasi
Ilmiah, Jakarta.
Tabasum, M., dan V.K.Jindal, 1992, Effect Of Drying On Moisture Removal Rate And Head Yield
Of Basmati-370, Pakistan J. Agric. Res. Technol,. Vol. 13, No 4, pp. 312-319.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.55
TEKNOLOGI IMOBILISASI SEL MIKROORGANISME
PADA PRODUKSI ENZIM LIPASE
Indah Riwayati*), Indah Hartati, Laeli Kurniasari
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNWAHAS
Jl.Menoreh Tengah X/22 Sampangan, Semarang *)
E-mail: riway79@yahoo.com
Abstrak
Enzim lipase merupakan biokatalis yang berperan dalam berbagai transformasi kimia
diantarnya hidrolisis, esterifikasi, transesterifikasi dan metanolisis. Aplikasi dalam industri
sebagian besar sebagai katalis reaksi hidrolisa. Mikroba penghasil lipase meliputi kelas fungi,
yeast dan bakteri. Penggunaan metode imobilisasi sel mikroba dapat meningkatkan
produktivitas, memudahkan pemurnian produk serta kemudahan dalam mengontrol kestabilan
sel. Sel yang diimobilisasi dapat diaplikasikan sebagai biokatalisator dalam unit reaktor
konversi. Walaupun mempunyai banyak kelebihan, dalam aplikasi teknologi masih perlu
investigasi lebih lanjut, terutama untuk data-data proses scale up pada bioreaktor.
Kata kunci: Imobilisasi sel, Mikroorganisme, lipase
PENDAHULUAN
Enzim merupakan salah satu komoditas yang penting di dalam industri. Mayoritas enzim
industrial dihasilkan oleh mikroorganisme melalui fermentasi. Penggunaan enzim sebagian besar
sebagai biokatalis dalam transformasi kimia. Saat ini, ada sekitar 400 jenis enzim yang telah
diketahui dan sekitar 200 yang digunakan secara komersial (Sharma, dkk., 2001). Menurut data
dari Euromonitor International, Company Report, January 2009, volume produksi enzim dunia
terus naik sejak tahun 2002. Kenaikan ini disebabkan oleh peran enzim untuk mengefisienkan
proses, meningkatkan yield serta menurunkan biaya produksi. Selain itu penggunaan enzim dalam
pangan fungsional turut meningkatkan volume enzim yang diproduksi. Eropa memproduksi sekitar
60% dari total enzim yang sebagian besar adalah enzim hidrolitik seperti protease dan karbohidrase
(amilase dan selulase) termasuk lipase. Produksi lipase hanya sekitar 21 % dari total volume enzim
yang diproduksi dunia pada tahun 2008. Penggunaan enzim lipase terbesar dalam pembuatan
deterjen.
Lipase merupakan enzim yang mempunyai peran dalam reaksi hidrolisa dan
transesterifikasi. Enzim ini berfungsi sebagai katalis pada hidrolisa trigliserida serta sintesa ester
dari gliserol dan asam-asam lemak rantai panjang. Disamping itu enzim lipase juga berperan
sebagai biokatalis dalam reaksi alkoholisis, acidolisis, esterifikasi dan aminolisis (Gunasekaran dan
Das, 2005).
Enzim dapat dihasilkan dari beberapa mikroba seperti bakteri, jamur, yeast dan juga
pankreas makhluk hidup seperti manusia serta babi. Jamur dikenal secara luas sebagai penghasil
lipase terbaik. Aspergillus niger merupakan salah satu fungi yang banyak diteliti untuk
menghasilkan lipase (Faloni, dkk., 2006). Metode produksi lipase yang banyak dilakukan dengan
solid state dan submerged fermentation.
Fermentasi jamur dengan menggunakan metode diatas mempunyai beberapa kekurangan
diantaranya kenaikan viskositas pada fase pertumbuhan mikroba menyebabkan kurangnya pasokan
oksigen untuk sel jamur. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel dapat terhenti sehingga fermentasi
hanya dapat dilakukan dengan proses batch. Penggunaan sel mikroba yang diimobilisasi dalam
fermentasi dapat meningkatkan produktivitas karena dapat dilakukan secara kontinyu tidak
terpengaruh dengan kenaikan viskositas, disamping itu juga mempermudah pemisahan produk,
kemudahan dalam mengontrol proses serta kestabilan sel lebih baik dibandingkan sel bebas (Al-
shehri dan Mostafa, 2006).
Enzim lipase dan manfaatnya
Lipase disebut juga triasilgliserol hidrolase (E.C.3.1.1.3), merupakan enzim yang dapat
menjadi biokatalis pada reaksi hidrolisis triacilgliserol menjadi gliserol dan asam lemak. Enzim
A.11. Teknologi imobilisasi sel mikroorganisme … (Indah Riwayati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.56
lipase membutuhkan substrat khusus. Kekhususan ini menjadi faktor pertimbangan utama dalam
analisa dan aplikasinya. Berdasarkan jenis substrat, lipase digolongkan menjadi beberapa jenis
yaitu kekhususan pada asam lemak, posisi, alkohol, asilgliserol, stereo dan kiral.
Lipase dengan kekhususan asam lemak akan terpengaruh aktivitasnya oleh panjang rantai
karbon dan jumlah ikatan rangkap dalam substrat. Lipase posisi mempunyai kekhususan aktivitas
pada posisi 1 dan 3 asilgliserol. Lipase alkohol merupakan jenis yang dapat bekerja pada
lingkungan dengan kandungan solven organik seperti alkohol atau senyawa fungsional yang lain.
Lipase asilgliserol mempunyai aktivitas berbeda jika substrat berbeda (triasilgliserol, diasilgliserol
atau monoasilgliserol). Lipase stereo merupakan enzim dengan kemampuan membedakan posisi
Sn-1 dan Sn-3 pada triasilgliserol. Jenis yang teakhir ini sangat penting untuk membuat isomer
kiral murni yang dipergunakan sebagai intermediet obat (Long, 2009).
Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang banyak dipergunakan dalam industri.
Penggunaan enzim dalam industri serta fungsinya dapat dilihat seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Contoh Aplikasi Enzim Lipase pada Berbagai Industri (Gunasekaran and Das, 2005)
Industri Fungsi Produk Jenis Reaksi
Bakery
Brewing
Kosmetik
Dairy
Detergen
Lemak dan
Minyak
Bahan Bakar
Pengolahan daging
dan ikan
Polimer
Meningkatkan aroma
,rasa (kualitas) dan
umur simpan produk.
Meningkatkan aroma,
mempercepat reaksi
dengan
menghilangkan lemak.
Menghilangkan
lemak.
Hidrolisa lemak susu,
pematangan keju,
modifikasi lemak
mentega
Menghilangkan noda
minyak dan lemak
pada kain
Hidrolisa lemak dan
minyak,
transesterifikasi
minyak alam
Mengubah minyak
sayur menjadi ester
Memperbaiki rasa dan
menghilangkan
kelebihan lemak
Katalis sintesa polimer
Kue kering
Minuman ringan
beralkohokol
Kosmetik umum
(pelembab,emulsifier).
Flavoring agent untuk
produk harian seperti susu,
keju dan mentega.
Detergen untuk mencuci
dan kebersihan rumah.
Asam lemak, digliserida,
monogliserida. Reagen
untuk analisa lemak
Biodiesel
Produk ikan dan daging
Biopolimer
Hidrolisis
Hidrolisis
Sintesis
Hidrolisa
Hidrolisa
Hidrolisis dan
transesterifikasi
Transesterifikasi
Hidrolisis
Sintesis
Mikroorganisme Penghasil enzim lipase
Beberapa mikroorganisme penghasil enzim lipase berasal dari kelas fungi (Rizhopus sp.,
Aspergillus sp., Geothricum sp., Mucor sp., Thricordema reseei, Fusarium sp. dan Rizhomucor
sp.), yeast (Candida sp., Rhodotorula sp., Pichia sp., Saccharomyces crataegenesis, Torulospora
globosa dan Trichosporon asteroid) dan bakteri (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Burkholderia sp.
Dan Staphylococcus sp.) (Treichel dkk., 2010). Berikut ini review beberapa penelitian yang telah
dilakukan dengan berbagai jenis mikroorganisme.
Fermentasi lipase pada media padat (solid state fermentation SSF) dari Rhizopus
homothallicus dengan penambahan urea,minyak zaitun dan oligo-elemen menghasilkan enzim
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.57
dengan aktivitas maksimal sebesar 826 U/g DM setelah inkubasi selama 12 jam (Rodriquez, dkk.,
2006). Investigasi Trichoderma reseei dengan submerged fermentation menghasilkan enzim lipase
maksimun sebesar 4,23 U/ml dalam media yang mengandung minyak zaitun 5 %, diinkubasikan
dengan orbital shaker pada 150 rpm suhu 300 C . Sedangkan aktivitas enzim lipase optimum pada
kondisi pH 5 dan suhu 500 C (Rajesh, dkk., 2010). Trichoderma viridae menghasilkan lipase
ektraselular dengan aktivitas maksimum sebesar 7,3 U/ml dan sebesar 320 U/g miselium dari
enzim intraselularnya setelah fermentasi selama 48 jam dalam shake flask pada suhu 300 C
(Kashmiri dkk., 2006). Aspergillus niger menghasilkan enzim lipase dengan aktivitas sebesar 42,22
U/ml dengan jumlah mikroorganisme 50% dari jumlah substrat (Maryanty, dkk., 2010). Produksi
lipase dari Aspergillus niger dengan solid state fermentation menghasilkan enzim dengan aktivitas
lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan submerged fermentation (Faloni, dkk., 2006). Sumber
nutrien juga berpengaruh terhadap aktivitas enzim lipase yang dihasilkan dari Aspergillus niger.
Sumber karbon seperti fruktosa dan sukrosa akan menginduksi aktivitas enzim, sedangkan pati,
laktosa dan CMC menghambat aktivitas enzim. Sumber nitrogen seperti kasein dan pepton akan
meningkatkan produksi enzim. Sumber belerang seperti kalsium sulfat dan besi (II) sulfat serta
antibiotik (ampicillin, tetrasiklin dan norfloxasin) akan menurunkan produksi enzim. Sedangkan
sumber vitamin (riboflavin, asam folat dan vitamin C) akan menstimulasi produksi enzim lipase
pada Aspergillus niger (Kakde dan Chavan, 2011).
Produksi enzim lipase dari yeast Yarrowia lipolytica W29 dipengaruhi oleh tekanan.
Percobaan dilakukan pada reaktor batch bertekanan 4 bar dan 8 bar. Pertumbuhan sel yeast tidak
terganggu dengan adanya tekanan. Peningkatan kecepatan transfer oksigen dari gas ke medium
kultur sebagai akibat tekanan mempertinggi aktivitas enzim lipase menjadi 533,5 U/L pada 8 bar
dari 96,9 U/L pada tekanan atmosferik (Lopes, dkk., 2008). Penambahan minyak zaitun pada
media fermentasi mempengaruhi aktivitas enzim lipase dari Candida Lipolytica. Medium
fermentasi dengan rasio kandungan glukosa: minyak zaitun= 4:1 menghasilkan aktivitas enzim
lipase tertinggi yang dihasilkan yaitu sebesar 1,087 U/ml (Permatasari, 1994).
Enzim lipase dari Bacillus subtilis dari substrat bungkil kelapa dengan menggunakan
metode SSF menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada kandungan air awal sebesar 70% dan pH
8 (Chaturvedi, dkk., 2010; Singh, dkk., 2010). Fermentasi Staphylococcus epidermis menghasilkan
enzim lipase dengan aktivitas optimum 8,1 U setelah 72 jam pada 200 C dan pH 7 (Joseph, dkk.,
2006). Penicillium chrysogenum menghasilkan enzim lipase setelah 72 jam pada suhu 280 C
menggunakan substart (Almond+kedelai+bunga matahari) dan metode SSF. Enzim yang dihasilkan
mempunyai aktivitas maksimum sebesar 64,77 U/ml (Iftikhar, dkk., 2011).
Imobilisasi Sel Mikroba Penghasil Lipase
Metode imobilisasi sel dikembangkan dari imobilisasi enzim. Proses fermentasi
konvensional untuk menghasilkan enzim merupakan proses eksploitasi sel mikroorganisme dalam
medium selama proses. Dalam proses ini ada beberapa batasan yang dihadapi diantaranya densitas
sel rendah, terbatasnya nutrien dan proses batch yang membutuhkan waktu lama untuk
penyesuaian. Fermentasi dengan sel mikroba yang diimobilisasi dapat mengatasi batasan-batasan
tersebut. Keuntungan yang diperoleh dengan teknologi ini adalah produktivitas yang lebih tinggi
karena densitas sel tinggi, kemudahan dalam isolasi sel dan pemurnian produk, fermentasi dapat
dilakukan secara kontinyu dan dapat menstimulasi pembentukan metabolit sekunder serta
meningkatkan eksresi metabolit intraseluler (Ramakrishna dan Prakasham, 1999). Ada beberapa
metode imobilisasi yang dipergunakan dalam teknologi ini yaitu adsorbsi, ikatan kovalen, cross-
linking, entrapment dan encapsulasi. Metode imobilisasi sel dengan entrapment paling banyak
diteliti. Metode ini dilakukan dengan cara menjebak sel mikroorganisme di dalam matrik polimer.
Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh berbagai jenis metode
imobilisasi terhadap aktivitas enzim lipase yang dihasilkan. Berikut ini beberapa penelitian yang
telah dilakukan untuk mengevaluasi berbagai jenis metode tersebut.
Aktivitas enzim lipase maksimum sebesar 4320 U/L diperoleh dari Aspergillus niger (ANT 90)
yang diimobilisasi dengan menggunakan bead alginat 3% dan waktu curing 60 menit (Ellaiah,
dkk., 2001). Imobilisasi sel Ralstonia pickettii terbaik dengan menggunakan matrik poliakrilamida
15% menghasilkan aktivitas retensi 66% (25 U/ml per menit) (Hemachander, dkk., 2001).
A.11. Teknologi imobilisasi sel mikroorganisme … (Indah Riwayati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.58
Lipase yang diproduksi oleh Rhizopus arrhizus dari miselium yang diimobilisasi
mempunyai aktivitas maksimum sebesar 315 u/mL pada 26.5 °C, 130 rpm dalam flask dengan
kandungan media (%): tepung kedelai 4.0 (w/v), minyak kelapa 1.0 (v/v), MgSO4 0.1 (w/v),
K2HPO4 0.5 (w/v), (NH4)2SO4 0.2 (w/v), setelah 96 jam (Yang, dkk., 2004). Cadida rugosa yang
diimobilisasi dengan kalsium alginat menghasilkan aktivitas enzim lipase maksimum 1794 U/ml
dengan packed bed bioreactor serta penambahan gum arab dan asam kaprilat (Benjamin and
Pandey, 1998).
Untuk meningkatkan produksi enzim lipase, bukan hanya mikroorganisme galur murni
yang diimobilisasi tetapi juga yang telah rekayasa secara genetik.
Penggunaan sel yang diimobilisasi sebagai biokatalis dalam berbagai transformasi kimia telah
banyak diinvestigasi. Dalam hal ini sel mikroorganisme penghasil enzim yang diimobilisasi
digunakan sebagai biokatalis pada unit konversi reaksi seperti hidrolisis, esterifikasi,
transesterifikasi, metanolisis serta reaksi lain yang dapat dikatalis oleh enzim lipase. Aplikasi
nyata cara ini dalam produksi biodiesel dan asam organik secara enzimatik (Chen dan Wang, 1997)
KESIMPULAN
Imobilisasi sel untuk menghasilkan enzim lipase maupun untuk biokatalis pada tranformasi
kimia merupakan teknologi yang mempunyai banyak kelebihan. Untuk aplikasi dalam industri
masih diperlukan banyak penelitian terutama proses scale-up karena kebanyakan data yang ada
masih dalam skala sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-shehri, A., M. and Mostafa, Y., S., 2006, Citric Acid production from Date Syrup using
Immobillized Cell of Aspergillus niger, Biotechnology, ISSN 1682-296X, Vol. 5 (4), pp.
461-465
Benjamin, S., and Pandey, A., 1998, Enhancement of lipase production during repeated batch
culture using immobilized Candida rugosa, Process Biochemistry, Vol. 32, Issue 5, 437-
440
Chaturvedi, M., Singh, M., Rishi, C., M. and Rahul, K., 2010, Isolation of Lipase Producing
Bacteria from Oil Contaminated Soil for the Production of Lipase by Solid State
Fermentation Using Coconut Oil Cake, International Journal of Biotechnology and
Biochemistry, ISSN 0973-2691, Vol. 6 No. 4, 585-594
Chen, J.,P. And Wang, J., B., 1997, Wax ester synthesis by lipase-catalyzed esterification with
fungal cells immobilized on cellulose biomass support particles, Enzym and Microbial
technology, Vol. 20, issue 8, 615-622
Ellaiah, P., Prabhakar, T., Ramakrishna, B., Thaer Taleb, A. And Adinarayana, K., 2001,
Production of Lipase by Immonilized Cells of Aspergillus niger, Process Biochemistry,
Vol. 39, Issue 5, 525-528
Faloni, G., Armas, J., C., Mendoza, J., C., D., and Hernandez, J., L., M., 2006, Production of
Extracelluler Lipase from aspergillus niger by Solid-state Fermentation, Food Technology,
Biotechnology, ISSN 1330-9862, vol. 44 (2), pp. 235-240
Gunasekaran, V. and Das, D., 2005, Lipase Fermentation: Progress and prospects, Indian Journal of
Biotechnology, Vol. 4 Oktober, pp. 437-445
Hemachander, C., Bose, N. and Puvanakrishnan, R., 2001, Whole cell imobilization of Ralstonia
pickettii for lipase production, Process Biochemistry, Vol. 36, Issue 7, 629-633
Iftikhar, T., Niaz, M., Un Nisa, Z., Thariq, A., Khalid, M., N., and Jabeen, R., 2011, Optimization
of Cultural Conditions for the Biosynthesis of Lipases by Penicillium chrysogenum (MBL
22) Through Solid Fermentation, Pak. J. Botany, 43 (4), 2201-2206
Joseph, B., Ramteke, P., W. And Kumar, P., A., 2006, Studies on the Enhanced Production of
Extracellular Lipase by Staphylococcus epidermidis, J. Gen. Appl. Microbiol., 52, 315-320
Kakde, R., B. And Chavan, A., M., 2011, Effect of Carbon, Nitrogen, Sulphur, Phosphorus,
Antibiotic and Vitamin Sources on Hydrolytic Enzym Production by Storage Fungi, Recent
Research in Science and Technology, ISSN 2076-5061, 20-28
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.59
Kashmiri, M., A., Adnan, A. And Butt, B., W., 2006, Production, Purification and Partial
Characterization of Lipase from Trichoderma viridae, African Journal of Biotechnology
Vol. 5 (10), pp. 878-882
Long, K., 2009, Unlocking the Miracle of Lipases, a Research Inaugural Lecture (Syarahan
Perdana Penyelidikan), MARDI Serdang
Lopes, M., Gomes, N., Goncalves, C., Coelho, M., A., Z., Mota, M. and Belo, I., 2008, Yarrowia
Lipolytica Lipase Production Enhanced by Increased Air Pressure, Letters in Applied
Microbiology, ISSN 0266-8254, 46, 255-260
Maryanty, Y., Pristianti, H., dan Ruliawati, P., 2010, Produksi Crude Lipase dari Aspergillus niger
pada Substart Onggok Menggunakan metode Fermentasi Fasa Padat, Seminar Rekayasa
Kimia dan Proses, ISSN 1411-4216, B-12-1
Permatasari, T., 1994, Kajian Pengaruh Jenis Media dan penambahan Minyak Zaitun sebagai
Induser pada produksi Enzim Lipase oleh Candida lipolytica, Skripsi Fakultas Teknik
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Rajesh, E., M., Arthe, R., Rajendran, R., Balakumar, C., Pradeepa, N. and Anitha, S., 2010,
Investigation of Lipase Production by Trichoderma reseei and Optimization of Production
Parameters, EJEAFChe, ISSN 1579-4377, 9 (7), 1177-1189
Ramakrishna, S., V., and Prakasham, R., S., 1999, Microbial Fermentations with Immobilized Cell,
Current Science, Vol. 77, No. 1, 87-100
Rodriguez, J., A., Mateos, J., C., Nungaray, J., Gonzalez, V., Bhagnagar, T., Roussos, S., Cordova,
J., and Baratti, J., 2006, Improving Lipase Production by Nutrient Source Modification
Using Rhizopus homothallicus Cultured in Solid state Fermentation, Process Biochemistry,
41, 2264-2269
Sharma, R., Chisti, Y., and Banerjee, C., 2001, Production, Purification, Characterization and
Applications of Lipases, Biotechnology Advances, 19, pp. 627-662
Singh, M., Saurav, K., Srivasta, N. And Kannabiran, K., 2010, Lipase Production by Bacillus
subtilis OCR-4 in Solid State Fermentation Using Ground Nut Oil Cakes as Substrate,
Journal of Biological Science, 2 (4), ISSN: 2041-0778, 241-245
Treichel, H., Oleivera, D., Mazzuti, M., A., Luccio, M., D., Oleivera, J., V., 2010, A Review on
Microbial Lipases Production, Food Bioproses Technology, Vol. 3, 182-196
Yang, X., Wang, B., Cui, F. And Tan, T., 2004, Production of lipase by repeated batch
fermentation with immobilized Rhizopus arrhizus, Process Biochemistry, Vol. 40, issue 6,
2095-2103
A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.60
EKSTRAK DAUN API-API (Avecennia Marina) UNTUK PEMBUATAN
BIOFORMALIN SEBAGAI ANTIBAKTERI IKAN SEGAR
Syafi’ul Rofik*)
dan Rita Dwi Ratnani
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNWAHAS
Jl.Menoreh Tengah X/22 Sampangan, Semarang *)
e-mail : opix_cqli@yahoo.com
Abstrak
Dalam lingkungan nelayan biasanya mengawetkan ikandengan cara memberi es, tapi daya
tahan es terbatas sehingga nelayan menambahi sesuatu zat campuran yang disebut dengan
formalin.Bioformalin adalah zat pengawet pengganti formalin yang berasal dari alam,
sehingga aman untuk dipakai dan harganya relative lebih dari formalin. Pembuatan
Bioformalin dari Simplisia daun api-api menggunakan metode infundasi dengan variable
bertingkat, caranya simplisia daun api-api ditambah pelarut aquades dengan perbandingan
1:5, 1:7,5 dan 1:10.rebus menggunakan panci infusa sampai suhu 90 C biarkan selama 15
menit. Saring dengan Corong Butcer dengan bantuan pompa vacum, hasilnya berbentuk
cairan. Aplikasikan satu variabel satu ikan dengan cara dicelupkan, masing-masing variable
diberi control. Pengamatan dilakukan kontinyu salama 2 jam sekali sampai ikan tersebut
membusuk. Hasil pengamatan berupa jumlah secor, secor standarnya adalah 18. Ikan
bandeng yang dibuat control dapat bertahan selama 12 jam. Ikan bandeng yang diberi beri
larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:10, 1:7,5, 1:5 masing-masing dapat bertahan
hingga 18 jam,18 jam dan 20 jam. Jadi bandeng yang diberi bioformalin lebih awet dari
ikan yang dibuat kontrol. Dari tiga ikan bandeng yang dicelup dengan Bioformalin yang
bagus adalah dengan perbandingan 1:5 karena dapat mengawetkan lebih lama yaitu 20 jam,
jumlah secor 22 dengan ciri-ciri keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka,
daging agak kenyal, sisik kuat, aroma amis, sebab dengan pelarut yang sedikit kandungan
zat pengawet Api-api (Avecennia Marina) menjadi sangat pekat.
Kata Kunci:Pengawet, Daun api-api, Pengeringan, Infundasi
LATAR BELAKANG
Perkembangan pasar yang sangat pesat membuat manusia menginginkan sesuatu dengan
cepat dan praktis tidak memperdulikan apakah itu berbahaya atau tidak bagi dirinya maupun orang
lain, yang terpenting dapat untung yang banyak. Dalam dunia makanan ataupun minuman pasti
kita kenal dengan kata-kata “pengawet”. Pengawet adalah suatu zat yang dapat mencegah
kerusakan makanan dari segi rasa, warna dan bau karena zat pengawet dapat menghambat
tumbuhnya bakteri perusak (Zuraidah, Y., 2007).
Dalam lingkungan nelayan biasanya mengawetkan ikan segar biar tidak cepat busuk
dengan cara member es, tapi daya tahan es terbatas sehingga nelayan menambahi sesuatu zat
campuran yang disebut dengan formalin. Agar ikan bisa tetap segar selama mungkin hingga
sampai ke komsumen, maka kadang ditambahkan dengan formalin, padahal formalin adalah bukan
pengawet makanan tetapi pengawet mayat (Nurmasari, 2008).
Bioformalin adalah zat pengawet pengganti formalin yang berasal dari alam, sehingga
aman untuk dipakai dalam pengawetan ikan segar. Dan harganya relative lebih murah dibanding
formalin yang berfungsi sebagai pengawet mayat.
Pengolahan ikan agar lebih awet perlu dilakukan agar ikan dapat tetap dikonsumsi dalam
keadaan yang baik.Pada dasarnya pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah bakteri pembusuk
masuk ke dalam ikan.Nelayan biasanya memberi es sebagai pendingin agar memperpanjang masa
simpan ikan sebelum sampai pada konsumen.Demikian pula dengan maraknya penggunaan bahan
tambahan pangan sebagai pengawet yang tidak diijinkan untuk digunakan dalam makanan seperti
formalin dan boraks yang membahayakan bagi kesehatan.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui cara mengekstrak Bioformalin dari daun api-api (Avicennia marina).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.61
2. Mengetahui konsentrasi penambahan larutan Bioformalin yang optimum sebagai senyawa
antimikroba ikan segar.
3. Mengetahui waktu simpan yang optimum agar mendapatkan ikan segar dengan kuatitas yang
baik.
TIJAUAN PUSTAKA
Daun Api-api (Avicennia marina)
Pohon api-api biasa adalah salah satu jenis bakau, yang komunitas hidupnya dipinggir
pesisir pantai, daratan, dan pinggir sungai. Nama latinnya ialah Avicennia marina. Pohon api-api
adalah salah satu tumbuhan yang hidup dipinggir laut yang dapat berfungsi menangkis ombak dari
lautan,karena komunitasya yang banyak dan cepat tumbuh penduduk sekitar memanfaatkannya
sebagai kayu bakar.
Klasifikasi dari Avicennia marina( daun Api-api ) adalah kingdom: plantae, divisi:
magnoliophyta, kelas: magnoliopsida, ordo: lamiales, family: acanthaceae, genus: avicennia,
species: avicennia marina.
Gambar 1. Daun api-api
Pada tumbuhan ini mempunyai daun tunggal, bertangkai, berhadapan, bertepi rata,
berujung runcing atau membulat; helai daun seperti kulit, hijau mengkilap di atas, abu-abu atau
keputihan di sisi bawahnya, sering dengan kristal garam yang terasa asin (Ini adalah kelebihan
garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut); pertulangan daun umumnya tak begitu jelas terlihat.
Kuncup daun terletak pada lekuk pasangan tangkai daun teratas. Bentuk daun elliptical-lanceolata
atau ovate-elliptica pj= 7 cm, l=4 cm.
Formalin
Formalin atau disebut juga dengan formaldehida merupakan aldehida berbentuk gas dengan
rumus kimia H2CO.Biasanya, formalin dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan yang mengandung
karbon.Asap yang berasal dari pembakaran hutan, knalpot kendaraan bermotor, serta tembakau
mengandung senyawa tersebut. Di Bumi, senyawa yang disintetis kali pertama oleh kimiawan
Rusia, Alexander Butlerov, pada 1859 itu, dihasilkan dari reaksi cahaya Matahari dan oksigen
terhadap metana serta hidrokarbon lain yang ada di atmosfer Bumi. Meskipun di udara bebas
formaldehida berwujud gas, senyawa itu bisa larut dalam air. Larutan itulah yang biasanya ada di
pasaran dan disebut sebagai formalin oleh masyarakat Senyawa itu biasanya dijual di pasaran
dengan kadar larutan 37 persen (Handayani, 2006; Fadholi, 2007; Djauhari, 2008)
Bioformalin
Bioformalin adalah senyawa pengganti formalin yang diambil dari alam.kali ini peneliti
mengambil bioformalin dari daun api-api (Avicennia marina) daun api-api mengandung setidaknya
empat senyawa yang memiliki sifat mengawetkan.Keempat senyawa itu adalah saponin, tannin,
alkaloid, dan formalin.Senyawa-senyawa tersebut merupakan rangkaian senyawa yang bisa
mencegah perkembangan bakteri pembusuk disebut juga dengan antibakteri (Rozirwan, 2009;
Wibowo, 2006).
A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.62
Ikan Segar
Ikan dikatakan baik adalah yang masih dalam kondisi segar. Kesegaran ini akan bisa
tercapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Aktifitas mikrobia dapat
menjadikan berbagai perubahan biokimia dan fisika yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan
secara menyeluruh yang disebut pembusukan ikan.
Untuk menentukan tingkat kesegaran ikan maka pada Tabel 1 dibawah ini ditunjukkan
perbedaan tanda-tanda antara ikan segar dan ikan dengan kondisi rusak secara fisik, yang mungkin
dapat digunakan konsumen sebagai petunjuk dalam memilih ikan.
Tabel 1. Tanda-Tanda Ikan Segar dan Tidak Segar
Keadaan Kondisi segar Kondisi tidak segar
Terlihat
Cerah, terang, tak berlendir dan
mengkilat
Nampak kasar, suram dan berlendir
bila diraba
Mata Cerah dengan kondisi masih
menonjol keluar
Cekung dan terlihat masuk kedalam
rongga mata
Mulut Terkatup Terbuka
Sisik
Masih nampak cerah dan kuat
melekat bila dipegang
Nampak kusam dan mudah lepas bila
dipegang
Daging
Kenyal dan masih dalam kondisi
lentur
Lunak (tidak kenyal)
Aroma
Segar dan normal seperti keadaan
didaerah asalnya
Busuk menyengat dan asam
METODE PENELITIAN
Populasi daun api-api yang digunakan untuk penelitian ini adalah daun api-api yang
berasal dari Tempat pinggir pantai Purworejo (Muara Demak) Kab,Demak Populasi ikan segar
yang digunakan adalah ikan bandeng hidup hasil petani tambak dan nelayan setempat. Sampel
dalam penelitian ini adalah bioformalin hasil eksrak daun api-api yang diekstrak di laboratorium
teknik Kimia UNWAHAS. Sampel ikan segar diambil secara acak dan diketahui beratnya.
Penelitian ini menggunakan sampel ikan bandeng, dengan pemberikan variabel bertingkat.
Antara api – api dengan pelarut paling pekat sampai dengan 1: 10. Ikan diamati dengan keadaan
diatas piring terbuka, bakteri dari udara bebas diaggap sama. Yang berfungsi menguji keaktifan zat
pengawet pada daun api-api tersebut, untuk mencari konsentrasi yang terbaik dan berapa lama
waktu simpan ikan.
Cara Pembuatan simplisia Api-api dimuliai dengan pengambilan atau pemanenan daun api-
api, dilaksanakan pada pagi hari atau sore hari, karena pada pagi hari daun belum menggunakan zat
tersebut, sedangkan pada sore hari, zat baru dihasilkan.Setelah melakukan pemanenan ambil daun
yang sedang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.Ambil 5kg.kemudian dikeringkan dengan
draying. Setelah kering ambil untuk di blender hingga hancur menjadi serbuk kasar pastikan jangan
sampai seperti serbuk bubuk. Karena nanti ditakutkan serbuk akan banyak yang lolos dari
penyaringan. Metode Infusa seperti yang dilakukan pada praktikum Fitokimia (Nuria, 2011).
Cara Pembuatan Bioformalin dimulai dengan pembuatan simplisia daun api-api dengan
pelarut air dengan perbandingan 1:5, 1:7,5 dan 1:10. ambil daun api-api yang sudah di serbukkan,
lalu serbuk direbus menggunakan panci infusa sampai suhu mencapai 90 C dibiarkan 15 menit.
Kemudian disaring dengan corong buchner diberi alas kertas saring lalu disedot dengan pompa
vacum sampai tidak menetes lagi. Buang ampasnya, dan diambil hasil saringannya berupa cairan
kemudian baru di aplikasikan pada ikan bandeng yang masih segar., kemudian diujikan pada ikan
bandeng dengan konsentrasi bioformalinyang sudah ditentukan, lalu catat berapa lama ikan
bandeng dapat awet dan berapa konsentrasi yang paling lama dalam pengawetan. Urutan proses
pembuatan dan aplikasi bioformalin dapat dilihat pada Gambar 2.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.63
Gambar 2. Digram alir pembuatan Biofrmalin
Pengamatan ikan dilaksanakan secara kontinyu, pada saat dua jam sekali, selama
Pengamatan catat hasilnya, sesuai dengan ciri-ciri ikan bandeng yang tampak, kemudian gantikan
ciri-ciri tersebut dengan scor, lalu jumlahkan. Cara tersebut dapat dibuat pada tabel 2 dibawah ini.
Table 2. Korversi Ciri-Ciri Ikan Menjadi Score Ikan Bandeng
Poin +++++ ++++ +++ ++ +
Kulit Mengkilap Putih Mulai
kusam Kusam Kecokelatan
Mata Cembung Agak cembung Datar Agak datar Cekung
Mulut Terkatup Mulai terbuka Sedikit
terbuka
Setengah
Terbuka Terbuka
Daging Kenyal Agak kenyal Kaku Sedikit
lembek Lembek
Sisik Sangat
Kuat Kuat
Kurang
kuat Lemah
Sangat
Lemah
Aroma Amis ikan
segar
Amis, aroma
ikan segarnya
mulai hilang
amis Mulai busuk Busuk
Cara pemberian scor adalah sebagai berikut: Pengamatan Ikan dilihat dari-cirinya yaitu
kulit, mata, mulut, daging, sisik, aroma, setelah dapat cirri-cirinya kita gantikan dengan poin yang
sudah ada. Kemudian jumlahkan dari masing – masing poin, jika Jumlah Poin ikan segar kurang
dari 18 maka ikan tersebut dikatakan ikan segar dan tidak layak untuk dikonsumsi, sedangkan Ikan
dapat dikatakan masih segar apabila mempunyai poin ≥ 18. Kemudian catat mana ikan yang paling
lama awet dan berapa lama ikan dapat awet dengan penambahan Bioformalin (Wibowo, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Langkah awal yang peneliti lakukan dalam percobaan ini adalah pengambilan atau
pemanenan daun api-api (Avecennia Marina) sebanyak 5kg, pemanenan dilakukan pada waktu pagi
dan sore karena pada waktu tersebut daun mempunyai zat yang diperlukan sangat banyak sebab
zatnya belum digunakan dan baru dihasilkan oleh daun. Daun dijemur dengan permukaannya
ditutup menggunakan kain hitam agar zat yang terkandung didalam daun tidak rusak akibat
terkena sinar matahari secara langsung. Daun yang sudah kering kemudian diblender sehingga
menjadi serbuk. Serbuk dari daun api-api (Avecennia Marina) disebut dengan simplisia, hasil dari
daun api-api (Avecennia Marina) segar 5 kg yang dibuat menjadi simplisia menjadi 1.7,5 kg.
A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.64
Pembuatan Bioformalin dari Simplisia daun api-api menggunakan metode infundasi
demgan variable bertingkat, caranya simplisia daun api-api ditambah pelarut aquadesdengan
perbandingan 1:5, 1:7,5 dan 1:10. Ambilsimplisia yang sudah decampur dengan pelarut, kemudian
direbus menggunakan panci infusa sampai suhu mencapai 90 C dibiarkanselama 15 menit.
Hasilnya disaring dengan corong buchner diberi alas kertas saring lalu disedot dengan pompa
vacum sampai tidak menetes lagi. Ambil cairannya dan siap diaplikasikan.
Percobaan pertama kita buat Bioformalin dengan perbandingan 1:10. Cara tersebut
digunakan sebagai pembandingan dua cara pemberian Bioformalin yaitu dengan cara ikan dicelup
dan direndam selama 15 menit, masing diberi control satu. Hasilnya menunjukkan ikan yang
dicelup lebih bagus daripada ikan yang diremdam bioformalin.bentuknya lebih kuning kecoklatan,
pemberian bioformalin lebih tahan lama daripada ikan yang dicelup atau direndam menggunakan
aquades.Dilihat dari hasil diatas kita langsung melakukan percobaan selanjutnya dengan memekai
varibel bertingkat seperti yang sudah dijelaskan diatas. Aplikasikan Bioformalin dengan ikan
bandeng dengan cara dicelupkan seuruh tubuh hingga rata, satu bandeng satu jenis larutan
bioformalin dan satu ikan ikan yang dicelupkan kedalam air sebagai control negatif. Taruh diatas
piring dan ditata berdampingan biar mudah untuk diamati. Pengamatan dilakukan kontinyu salama
dua jam sekali dan catat hasilnya yang berupa pengamatan penampakan fisik kedalam table
pengamatan
Dari hasil pengamatan ikan bandeng yang dibuat control hanya dapat bertahan selama 12
jam. Dan jumlah poin keseluruhan adalah 19 dengan rincian dapat dilihat di atas dengan keadaan
kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal, sisik kurang kuat, dengan bau
mulai busuk. Ikan bandeng yang diberi beri larutan api-api dengan larutan Bioformalin dengan
perbandingan 1:10 dapat awet hingga 18 jam dengan jumlah poin 20 dengan keadaan kulit putih,
mata datar, dengan mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal, kurang kuat, dengan bau amis. Ikan
bandeng yang diberi larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:7,5 dapat awet selama 18 jam
dengan jumlah poin 22 dengan ciri-ciri kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak
kenyal, sisik kurang kuat, aroma amis ikan segar mulai hilang. Sedang kan ikan bandeng yang di
beri larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:5 lebih awet dengan daya tahan 20 jam. Dengan
jumlah poin 22 dengan keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal,
sisik kuat, aroma amis.
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat penurunan kuwalitas ikan berdasarkan secor terhadap
waktu.pada control terlihat penurunannya sangat derastis menjorok kebawah. Pada ikan bandeng
yang diberi larutan Bioformain ketiganya sama-sama menurun tapi bertahap sedikit demi sedikit.
Pada variable perbandingan 1:10 dengan varibel perbandingan 1:7,5 keduanya memiliki waktu
busuk yang sama tapi memiliki kwalitas secor yang berbeda 20 dengan 22.
Gambar 3. Grafik Waktu Perendaman dalam Bioformalin
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.65
Pada Gambar 3 dapat dilihat kualitas ikan yang diawetkan dengan menggunakan
bioformalin yang dibuat dari daun api-api. Ikan bandeng yang diberi Bioformalin lebih awet dari
ikan bandeng yang hanya dioles dengan air.Dari tiga ikan bandeng yang dioles dengan Bioformalin
adalah ikan yang diolesi bioformalin dengan kandungan konsentrasi 1:5 karena dapat mengawetkan
lebih lama yaitu 18, sebabzatpengawet dalam api-api saat ditarik pada proses infundasi sangat
tinggi dengan keadaan pelarut yang sedikit zatnya menjadi sangat pekat. Oleh karena itu lebih awet
dari pada yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Ikan bandeng yang diberi Bioformalin lebih awet dari ikan bandeng yang hanya dioles
dengan air. Dari tiga ikan bandeng yang dioles dengan Bioformalin adalah ikan yang diolesi
bioformalin dengan kandungan konsentrasi 1:5 karena dapat mengawetkan lebih lama yaitu 18 jam,
dengan julah poin 22 dengan keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak
kenyal, sisik kuat, aroma amis.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menguji dari segi mikrobiologinya dengan cara
menguji bakteri, menguji kelayakan untuk dimakan manusia, dan analisa protein proksimat
DAFTAR PUSTAKA
Djauhari, M. A., 2008, “ Formalin Sebuah Fenomena Gunung Es “ Jurnal Sosioteknologi Edisi 13
Tahun, Bandung.
Fadholi, A.,2007, “ Analisis Formalin Pada Tahu ” F.Tarbiah, Tadris Kimia Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, Semarang.
Handayani. 2006, “Bahaya Kandungan Formalin Pada Makanan ”, PT. Astra Internasional Tbk-
Head Office, Jakarta.
Nurmasari.2008, “Pengaruh Formalin Terhadap Mukosa Yeyunum Tikus Putih” F.Kedokteran
Universitas Muhammadiah Malang, Malang.
Nuria, M.C., 2001, “Petunjuk Praktikum Fitokimia”, Fakultas Farmasi Unwahas Semarang.
Rozirwan,dkk. 2009, “Ekstrak Mangrove Sebagai Bahan Anti Mikroba Bakteri Vibrio ”, Indralaya.
Wibowo, C,dkk. 2006, “Pemanfaatan Pohon Mangrove Api-Api (Aicennia Spp.) Sebagai Bahan
Pangan dan Obat” Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Bandung.
Zuraidah, Y., “ Factor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Formalin Pada Pedagang
Tahu Dipasar Flamboyan Kota Pontianak”,Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Depkes,Medan.
A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.66
POTENTIAL PRODUCTION OF FOOD COLORANT FROM COFFEE PULP
Indah Hartati*)
, Indah Riwayati, Laeli Kurniasari
Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Wahid Hasyim University
No. 22 Menoreh Tengah Road X, Semarang-Indonesia *)
E-mail: hartatiprasetyo@gmail.com
Abstract Coffee pulp is the waste produced during the pulping operation of the coffee berries. Coffee
pulp is reported as a good candidate of material for food colorant production. The food
pigment found in coffee pulp is anthocyanin. The anthocyanin content in coffee pulp is reported
up to 25 mg of monomeric anthocyanins/100 g of fresh pulp on a dry weight basis. As the fourth
largest coffee producer in the world, Indonesia has the potency to produce food colorant from
coffee pulp. There are several methods that can be applied in the separation of anthocyanins
from coffee pulp. The methods are include solvent extraction, microwave assisted extraction,
ultrasound assisted extraction, supercritical fluid extraction and enzymatics extraction. Further
researchs are needed in order to find the suitable method for anthocyanins production from
coffee pulp.
Keywords: coffee pulp, food colorant, anthocyanin
INTRODUCTION
Color appearance of food products is one of the major concerns of the food industry. The
use of colorants as additives for food and drinks is a significant factor to food manufacturer and
consumer in determining the acceptability of processed food.
Nowadays, it is reported that some food producers are using textile colorants to color their
food product. According to BPOM (2008), in 2006 approximately 12,9% of the food sample tested
used textile coloring for food (Martianto, 2010). The usage of textile colorants on food product will
effect on human health since it contain materials that can not be destroy and accumulate on human
body.
Color is added to food for one or more of the following reasons: (i) offsetting color loss
due to light, air, extremes of temperature, moisture, and storage conditions, (ii) masking natural
variations in color, (iii) enhancing naturally occurring colors, (iv) providing identity to foods;
protecting flavors and vitamins from damage by light, (v) decorative or artistic purposes, (vi)
crease appetite appeal, (vii) to make less desirable food more desirable, (viii) to mask defects, and
(ix) may keep certain foods tasting fresher for long time (Sabitha, 2012).
The food industry tends to classify colors into two classes: (i) chemically synthesised color
and (ii) color derived from natural sources. Chemically synthesised color is comprised of artificial
colors e.g. tartrazine and synthesised colors identical to those pigments in nature e.g synthetic beta-
carotene or riboflavin. While color derived from natural sources is comprised of color selectively
extracted by solvents e.g. anthocyanins and color selectively extracted by solvents then chemically
modified e.g. copper chlorophyll (FSA, 2011).
Because of health issues, nowadays, the use of unnatural additives is becoming less popular
among the consumers. It is especially due to psychological reasons as the consumer easily
associates natural colorants to health benefits and synthetic colorants to toxic issues (Ketmaro,
2010). Therefore, replacing synthetic colorants and textile colorants by natural colorants has
become a major issue over the last years.
Natural Colorant
Natural colorants for food are made from renewable sources. Most often, the colorants are
extracted from plant material, but other sources such as insects, algae, cyanobacteria and fungi are
used as well.
The natural food color industry market is growing at 10% -15% annually. The rationale for
growth is increasing awareness among the developed countries about the harmful effects and
consequences of using synthetic color. The reason for accelerating demand of the natural food
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.67
colors in international market is the growing awareness of environmental hazards of synthetic
colors and harmful impact of chemicals used for manufacturing them. The demand for natural
colors is increasing because of the following reasons: (i) health-promoting properties of biocolorant
food; ii) natural colors has been the consumer priority; (iii) low-fat content„ is the objective for
many new or improved food formulations, replacing fats with thickeners or other food additives;
(iv) increased consumer preferences for organic food; (v) variety and internationalisation of food
color and flavours (Rymbai, 2011).
The global food colors market was worth an estimated $1.45 billion in 2009. World usage
of food colors is currently about 40,000-50,000 tons. From 2005-2009, the global market for
natural colors increased almost 35% in value, with much future growth expected to come from
natural colors and coloring foodstuffs. Foods account for some 67% of the food coloring global
market, followed by soft drinks (28%) and alcoholic beverages (5%). Europe accounts for 36% of
the global coloring market, followed by the U.S. (28%), Japan (10%) and China (8%), with the
remaining 18% from developed economies, such as Canada and Australia, and emerging food
markets, such as India and Brazil (Leatherhead Food Research, 2010).
Commonly, natural colorants can be grouped into a few of classes. The most important
classes are comprised of tetrapyrroles, tetraterpenoids and flavanoids (Aberounmand, 2011;
Rymbai, 2011). Tetrapyrroles are the most abundant pigment molecules on the planet.
Tetrapyrroles are compounds containing four pyrrole rings. With the exception of corrin, the four
pyrrole rings are interconnected through one-carbon bridges, in either a linear or a cyclic fashion.
The most important member of cyclic tetrapyrroles is chlorophyll, which is found in higher plants.
Tetraterpenoids are terpenoids of 8 isoprene units. Caretonoid is one of the most important
tetraterpenoids. While anthocyanin, chalcone, and flavones are belong to flavonoid.
Natural colorant gives a certain shades. Shades of several natural food colorant are given in
Table 1.
Table 1. Shades of natural food colorant
Color Wavelenght Biocolorant Shades
Red ~630-700 nm Red bit juice
Paprica
Orange ~590-630 nm Mango
Annato (bixin)
Yellow ~560-590 nm Turmeric
Green ~490-560 nm Chlorophyll
Blue-violet ~400-490 nm Anthocyanin
Source:Chattopadhay, 2008
Food Colorant from Fresh Cofee Pulp
One of biomass that can be used as source of food colorant production is cofee pulp. The
food pigment found in coffee pulp is anthocyanin. The acid extraction of coffee pulp is reported
yielded 25 mg of monomeric anthocyanins/100 g of fresh pulp on a dry weight basis (Murthy,
2012).
Figure 1. Structure of some major anthocyanin
A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.68
Anthocyanins are basically glycosides of anthocyanidins. The six major anthocyanidins are
illustrated in Figure 1. The sugar moieties are usually attached to the anthocyanidins via the 3 or 5-
hydroxyl positions and to a lesser extent the 7-hydroxyl position. The anthocyanin sugars may be
simple sugars such as glucose, galactose, rhamnose, and arabinose, or complex sugars such as
rutinose and sambubiose.
Anthocyanins are being responsible for their red to purple colors. The most common
anthocyanidins are cyanidin (red purple), delphinidin (blue-purple), malvidin (deep purple),
peonidin (red), petunidin (purple) and pelargonidin (orange-red) (Rymbai, 2011).
The role of anthocyanins as food colorant is becoming increasingly important. Not only do
they contribute to the most important attributes of food but also they tend to yield potential
positive health effects, as they have been observed to possess potent antioxidant properties.
Anthocyanins are also approved as food colorants. The use of anthocyanins may show benefits
over that of synthetic colours (Duangmal, 2004).
Figure 2. Morfology of Coffee Berries
After the coffee beries (Figure 2) are harvested, they are processed in order to separate the
outer part of the coffee berry e.g coffee berry skin (exocarp), pulp (mesocarp), mucilage and the
endocarpal parchment part (Endeen, 2002).
Figure 3. Coffee Processing Method
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.69
There are two ways in processing of the coffee berries: dry and wet processing method
(Figure 3). On the dry processing method, the separation of the outer part of the berries is done
after the berries are dried. While on the wet processing method, the separation of the outer part is
done before the drying step (Ridwansyah, 2003). In the wet processing method, coffee cheries are
depulped to remove the skin (exocarp) and the pulp (outer mesocarp). The The skins separated by
pulping are led away from the vats into the collection pits. These coffee pulps (Figure 4) represent
the most abundant waste produced during the pulping operation of the coffee. It represent 55,4% of
the fruit on dry wet basis (Murthy, 2012).
Figure 4. Coffee husk
Indonesia is currently the fourth largest coffee producers after Brazil, Vietnam and
Colombia (Figure 5) (Mawardi, 2007). The coffee production of Indonesia is up to 683 thousand
tons on 2008. (Deptan, 2009). Hence the potency of the coffee pulp is up to 378,3 thousand tons.
Unfortunately, though the volume of the coffee pulp is enormous, the utilization of coffee
pulp is not optimal yet. Commonly, the coffee husk is just collected around the coffee processing
location and become a pollutant. Recently, it is used as compost raw material, animal feed, raw
material for biogas production and activated carbon (Rathinavelu & Grazioni, 2005; Yesuf, 2010).
Therefor, it is urge to find a way to utilize coffee pulp. As describe above it is possible to utiltize
coffee pulp as raw material for anthocyanins production and use them as food colorant.
Figure 5. Composition of world coffee production (Mawardi, 2007)
Anthocyanin Extraction Methods
Extraction is a very important stage in the isolation, identification, and use of anthocyanins
Isolation of anthocyanin pigments from plants is typically done using solvent extraction processes.
Anthocyanins are polar molecules and consequently more soluble in polar solvents. Methanol is the
most commonly used solvent, but it is also considered more toxic and hazardous to handle than
other alcohols. Ethanol for example is more environmentally friendly and can also recover
anthocyanins with good quality characteristics (Bridgers, 2010). Beside the solvent type, solvent
concentration, liquid-to-solid ratio, temperature, and time are another important parameters
that are needed to be optimized (Zou, 2011). Solvent extraction of anthocyanin was applied in the
extraction of anthocyanin from purple sweet potato (Bridgers, 2010) and grape (Vanini, 2009).
A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
A.70
In order to seek more efficient methods for anthocyanin separation, solvent consumption
should be decreased, extraction time should be shortened, and extraction yield should be increased.
Various novel extraction techniques have been developed for the extraction of anthocyanin from
plants, such as microwave assisted extraction, ultrasound-assisted extraction, supercritical fluid
extraction, and enzymatic extraction.
Microwave assisted extraction of anthocyanin was investigated in anthocyanin separation
from mulbery (Zou, 2011), red rasbery (Zhangzou, 2007), purple corn (Yang, 2010), and from
grape skin (Liazida, 2011). Ultrasound assisted extraction was already investigated in anthocyanin
extraction from mulberry (Zou, 2011), grape peel and seed (Ghafoor, 2011) and red rasberry (Chen,
2007). The enhancement in extraction obtained by using ultrasound is mainly attributed to the
effect of acoustic cavitations produced in the solvent by the passage of an ultrasound wave.
Ultrasound also exerts a mechanical effect, allowing greater penetration of solvent into the tissue,
increasing the contact surface area between the solid and liquid phase. As a result, the solute
quickly diffuses from the solid phase to the solvent. Supercritical fluid extraction with CO2 has
been used for the extraction of phytochemical compound from natural products. Supercritical fluid
extraction of anthocyanin from elderberry pomace is already conducted by Seagra et.al (2008).
While supercritical fluid extraction of anthocyanin from grape peel and seed is already conducted
by Ghafoor et.al (2011). CO2 is an inert, non-toxic, environmentally friendly solvent and allows
extraction at lower temperatures and relatively low pressures. The extracts obtained by SFE are of
better quality than those obtained by organic solvent extraction methods. Supercritical fluid
extraction can be particularly attractive for the extraction of antioxidants and anthocyanins because
it may also avoid their thermal degradation, and due to the absence of light and oxygen, it can
prevent oxidation reactions (Seagra, 2008). Ping et.al (2008) extracted anthocyanin from
blackcurrant by using cellulase and pectinase. The research result showed that pectinase gave better
effect to extraction rate.
One of the separation methods described above can be applied in the separation of
anthocyanin from coffee pulp. Further researchs are needed in order to find the suitable methods.
CONCLUSION
Coffee pulp with its anthocyanin content can be utilize as the raw material for anthocyanin
production. Indonesia is currently the fourth largest coffee producer in the world. Hence Indonesia
has the potency to produce anthocyanin from coffee pulp and use it as food colorant. Several
methods that can be applied in the separation of anthocyanin from coffee pulp are include solvent
extraction, microwave assisted extraction, ultrasound assisted extraction, supercritical fluid
extraction and enzymatics extraction. Further researchs are needed in order to find the suitable
method for anthocyanin production from coffee pulp.
REFFERENCES
Aberoumand, A., 2011, “ A Review Article on Edible Pigments Properties and Sources as Natural
Biocolorants in Foodstuff and Food Industry”, World Journal of Dairy and Food Sciences
6(1):71-78
Bridgers, E.N., Chinn, M.S., Truong, V.D., 2010, “ Extraction of Anthocyanins from Industrial
Purple Fleshed Sweetpotatoes and Enzymatics Hydrolysis of Residues for Fermentable
Sugars”, Industrial Crops and Products 32:613-620
Chattopadhay, P., Chatterjee, S., Sen, S.K., 2008, “ Biotechnological Potential of natural Food
Grade Biocolorants”, African Journal of Biotechnology Vol 7 (17): 2972-2985
Chen, F., Sun, Y., Ghao, W., 2007,” Optimization Of Ultrasound-Assisted Extraction Of
Anthocyanins In Red Raspberries And Identification Of Anthocyanins In Extract Using
High-Performance Liquid Chromatography–Mass Spectrometry”, Ultrasonic Sonochemistry
Vol 14 (6):767-778
Departemen Pertanian, 2009, “ Outlook Komoditas Pertanian (Perkebunan)”
Duangmal, K., Saicheua, B., Sueeprasan, S., 2004,” Roselle Antocyanin as a Natural Food
Colorant and Improvement of its Colour Stability”, Proceeding of International Color
Association
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.71
Endeen, J.C., Calvert, K.C., 2002,” Review of Coffee Waste Water Characteristic and Approach to
Treatment”
FSA, 2011.” Guidelines on Approach to the Replacement of Tartrazine Allura Red, Ponceau 4 R,
Quinolone Yellow and Carmoisine in Food and Beverages
Ghafoor, K., Fahad, J., Choi, Y.H., 2011,” Effect of Grape peel and Seed Extract on Phenolics and
Anthocyanins in Grape Juice”, Pakistan Journal of Botany, 43(3):1581-1586
Leather Food Research, 2010, “ The Global Market for Food Color”
Liazida, A., Guerrero, R.F., Cantos, E., Palma, M., 2011,”Microwave Assisted Extraction of
Anthocyanins from Grape Skin” Food Chemistry Vol 124 No 3:1238-1243
Ketmaro, P., Muansiri, W., Werawatganone, P., 2010,” UV Spectroscopic Characterization and
Stabilities of natural Colorants from Roselle Calyx Lac Resin and Gardenia Fruit”, Journal
of Health Research, 24 (1) :7-13
Martianto, D., 2010, “ Food and Nutrition Security Situation in Indonesia and its Implication for
the Development of Food Agriculture and Nutrition Education and Research at Bogor
Agricultural University”, Journal of Developments in Suitable Agriculture 5:64-81
Mawardi, S., 2007,” Promoting Specialty Coffees from Indonesia to be Promoted by Geographical
Indication”, Seminar on Geographical Indication
Murthy, P.S., Manjunatha, M.R., Sulochannama, G., Naidu, M.M., 2012,” Extraction,
Characterization and Bioactivity of Coffee Anthocyanins”, European Journal of Biological
Science 4 (1) :13-19
Ping, W., Yu, M., 2008,” Study on Enzymatic Extraction of Anthocyanins from Blackcurrant
Marc”, Chemistry and Industry of Forest Product
Rathinavelu, R., Grazioni, G., 2005, “ Potential Alternative Use of Coffee Wastes and By Product”,
Coffee Organization:1-4
Ridwansyah, 2003, “ Pengolahan Kopi”, Publikasi pada Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Rymbai, H., Sharma, R.R., Srivastav, M., 2011,” Biocolorant and Its Implication in Health and
Food Industry-A Review”, International Journal of Pharmtech Research”, Vol 3 No 4:2228-
2244
Sabitha, M., 2012,” Food Color Additives”
Seagra, I.J., Braga, M.E.M., Batista, M.T.P., Sousa, H., 2008,” Fractiobe High Pressure Extractiob
of Anthocyanins from Elderberry Pomace”, Food Bioprocess Technology DOI
10.1007/s119470081234-2
Vanini, L.S., Hirata, T.A., 2009,” Extraction and Stability of Anthocyanin from the Benitaka
Grape Cultivar “, Brazilian Journal of Food Technology Vol 12 (3):213-219
Yang, Z., Zhai, W., 2010,” Optimization Of Microwave-Assisted Extraction Of Anthocyanins
From Purple Corn (Zea Mays L.) Cob And Identification With HPLC–MS”, Innovative Food
Science and Emerging Technologies Vol 11 (3): 470-476
Yanggzhao, S., Xiaojun, L., Zhengfu, H., Fang, C., 2007, “ Optimization Of Microwave-Assisted
Extraction Of Anthocyanins In Red Raspberries And Identification Of Anthocyanin Of
Extracts Using High-Performance Liquid Chromatography - Mass Spectrometry”, E uropean
Food Research and Technology 225 (3-4): 511-523
Yesuf, Y.K., 2010,” Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Coffee Pulp and Coffee
Husk Ensiled with Grass Hay and EM”, A Thesis at Jimma University
Zou, T.B., Wang, M., Gan, R.Y., Ling, W.H., 2011,” Optimization of Ultrasound Assisted
Extraction of Anthocyanins from Mulberry Using RSM”, International Journal of Molecular
Science, 12:3006-3017
Zou, T., Wang, D., Guo, H., Zhu, Y., Luo,X., Liu, F., Ling, W., 2011, “ Optimization of
Microwave-Assisted Extraction of Anthocyanins from Mulberry and Identification of
Anthocyanins in Extract Using HPLC-ESI-MS” Journal of Food Science Volume 77, Issue
1, pages C46–C50
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.1
EFISIENSI PENGGUNAAN MUSICOOL PADA MESIN PENGKONDISIAN UDARA
MERK SADEN PADA MOBIL KIJANG SUPER
H. Samsudi Raharjo
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Semarang e-mail: samsudi_raharjo@gmail.com
Abstrak
Penggunaan Air Conditioner dalam kenyamanan berkendara maupun dalam ruangan tertentu
adalah mutlak dibutuhkan dengan melihat kondisi cuaca yang panas saat ini. Musicool adalah
refrigeran dengan bahan dasar hidrokarbon alam sehinggga termasuk dalam kelompok
refrigeran ramah lingkungan, yang dirancang sebagai alternatif pengganti refrigeran sintetik
kelompok Halokarbon CFC : R-12, HCFC : R-22, dan HFC : R-134a yang masih memiliki
potensi merusak alam. Refrigerant syntetic terutama yang mengandung senyawa
Clurofluorocarbon (CFC) R-11 & R-12 mempunyai efek negatif terhadap lingkungan seperti
merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Potensial/ ODP) dan sifat menimbulkan pemanasan
global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan efisiensi pada sistem pengkondisian
udara pada mobil kijang super serta kondisi udara titik masuk dan keluar evaporator dan
membandingkan antara refrigeran R-12 dengan MC-12. Pada perhitungan COP, terlihat
bahwa performance yang dihasilkan MUSIcool dengan kerja yang lebih kecil 2,8
menghasilkan pendinginan yang lebih besar dibandingkan dengan kerja yang dibutuhkan
freon 3,1. Dari pengambilan data terlihat bahwa temperatur yang dihasilkan menggunakan
MUSIcool MC-12 lebih rendah (7,1 oC) dibandingkan menggunakan freon R-12 (7,6
oC),
dengan tekanan pengisian MUSIcool lebih kecil (28 Psi).
Kata kunci: refrigeran MUSIcool, efisien, koefisien prestasi, ramah lingkungan
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dimana hal tersebut memerlukan suatu
alat untuk mengkondisikan udara didalam ruangan seperti Air Conditioner (AC). Akan tetapi terjadi
pula fenomena lain dari penggunaan AC yaitu dampaknya pada pemakaian refrigerant dalam
sistem air conditioning itu sendiri. Dimana refrigerant yang digunakan sebagian besar refrigerant
syntetic seperti: R-11, R-12, R-22, R-134a, R-502 dibandingkan bahan pendingin hydrocarbon.
Saat ini refrigeran yang efektif dan efisien sebagai pengganti R-12 adalah; MUSIcool (MC-
12) karena beberapa sifat positif yang dimiliki. Namun dalam penggunaannya MUSIcool harus
sesuai standar prosedur operasi, yaitu dengan persyaratan tertentu yang harus dilakukan agar lebih
aman dan nyaman.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan efisiensi pada sistem pengkondisian udara
pada mobil kijang super serta kondisi udara titik masuk dan keluar evaporator dan membandingkan
antara R-12 dengan MC-12, sehingga dalam penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan
pengendarara.
Penggunaan refrigerant syntetic tersebut pada umumnya mempunyai sifat-sifat yang sangat
baik dari segi teknik seperti kestabilan yang sangat tinggi, tidak mudah terbakar, tidak beracun dan
mudah diperoleh. Namun disamping sifat-sifat yang baik itu refrigerant syntetic terutama yang
mengandung senyawa Clurofluorocarbon (CFC) R-11 & R-12 mempunyai efek negatif terhadap
lingkungan seperti merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Potensial/ ODP) dan sifat
menimbulkan pemanasan global. Pengungkapan secara ilmiah dari hasil penelitian Rowland dan
Mollina (1974) menunjukan bahwa CFC memiliki kontribusi dalam penipisan lapisan ozon, dan
semakin mengkhawatirkan.
MUSIcool adalah refrigerant dengan bahan dasar hydrocarbon alam sehingga termasuk
dalam kelompok refrigeran ramah lingkungan, yang dirancang sebagai alternatif pengganti
refrigerant syntetic kelompok Halocarbon CFC : R-12, HCFC : R-22, dan HFC : R-134a yang
masih memiliki potensi merusak alam.
MUSIcool yang diproduksi telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigerant yang
meliputi sifat Fisika dan Thermodinamika serta uji kinerja pada siklus refrigerasi. Untuk
B.1. Efisiensi penggunaan musicool pada mesin pengkondisian udara … (Samsudi Raharjo)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.2
mengetahui perbandingan efektifitas penggunaan MUSIcool ini dengan melakukan percobaan,
pengukuran dan penelitian sebelum dan sesudah penggantian freon ke MUSIcool pada mesin
pengkondisian udara pada mobil kijang super.
II. LANDASAN TEORI
2.1. MUSIcool
MUSIcool diproduksi dan dipasarkan telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigeran
yang meliputi sifat fisika, thermodinamika serta uji kinerja pada siklus refigerasi. Pengkondisian
udara pada ruangan mengatur mengenai kelembaban, pemanasan dan pendinginan ruangan, atau
prinsip mesin refrigeran adalah proses pengambilan panas dari sumber yang didinginkan dan
dibuang ke temperatur yang lebih tinggi, (Arismunandar, 2000).
2.2. Prinsip Refrigerasi dan pengkondisian Udara
Refrigerasi dan pengkondisian udara merupakan terapan dari teori perpindahan kalor dan
thermodinamika. Sistem refrigerasi adalah suatu sistem yang menjadikan kondisi temperatur suatu
ruang berada dibawah temperatur semula (menjadikan temperatur dibawah temperatur siklus). Pada
prinsipnya kondisi temperatur rendah yang dihasilkan oleh suatu sistem refrigerasi diakibatkan oleh
penyerapan panas pada reservoir dingin (low temperature source) yang merupakan salah satu
bagian sistem refrigerasi tersebut. Panas yang diserap bersama-sama energi (kerja) yang diberikan
kerja luar dibuang pada bagian sistem refrigerasi yang disebut reservoir panas (high temperature
sink). Dalam suatu sistem refrigerasi jumlah panas yang diserap pada reservoir dingin merupakan
kuantitas yang terpenting, yang dapat menunjukkan berapa kapasitas pendingin yang dapat
diberikan oleh sistem refrigerasi.
2.3. Sistem Kompresi
Siklus Refrigerasi Carnot
Siklus carnot secara thermodinamika bersifat reversible. Mesin carnot menerima energi
kalor pada suhu tinggi merubah sebagian menjadi kerja dan kemudian mengeluarkan sisanya
sebagai kalor pada suhu yang lebih rendah. Siklus refrigerasi carnot merupakan kebalikan dari
siklus carnot dimana siklus refrigerasi menyalurkan energi dari suhu rendah menuju suhu yang
lebih tinggi, sehingga siklus refrigerasi membutuhkan kerja luar untuk mendapatkan kerja.
Diagram peralatan, diagram entalphi suhu dari siklus refrigerasi diperlihatkan pada gambar 2.1 dan
2.2 berikut ini :
Gambar 2.1 Peralatan Refrigerasi Carnot.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.3
Gambar 2.2 Siklus Refrigerasi Carnot.
2.4. Peralatan Mesin Pendingin
2.4.1. Kompresor
Kompresor merupakan jantung sistem kompresi uap, dimana kompresor berfungsi
mengubah fluida kerja berupa gas dari yang bertekanan rendah menjadi gas bertekanan tinggi yang
kemudian diteruskan menuju kondensor. Beberapa jenis kompresor untuk refrigeran adalah jenis
bolak-balik, rotari, dan sentrifugal.
2.4.2. Kondensor
Kondensor merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengubah atau mendinginkan gas
yang bertekanan tinggi berubah menjadi cairan bertekanan tinggi, dimana cairan tersebut dialirkan
ke orifice tube. Orifice tube berfungsi menurunkan cairan yang bertekanan tinggi menjadi tekanan
yang lebih rendah dan menjadi cairan dingin bertekanan rendah, dalam suatu sistem lain yang
disebut katup ekspansi.
2.4.3. Peralatan Ekspansi
Peralatan ekpansi dalam sistem refrigeran adalah menurunkan tekanan cairan refrigeran
dan mengatur aliran refrigeran ke evaporator.
2.4.4. Evaporator
Evaporator merupakan alat penukar kalor yang menyerap panas dalam ruangan melalui
kumparan pendingin dan kipas. Evaporator meniupkan udara dingin kedalam ruangan. Refrigeran
dalam ruangan mulai berubah kembali menjadi bertekanan rendah tetapi masih mengandung cairan
sedikit, campuran refrigeran kemudian masuk ke accumulator (pengering). Hal ini dapat berlaku
seperti orifice kedua cairan yang berubah menjadi uap bertekanan rendah yang murni, sebelum
melaui kompresor untuk memperoleh tekanan dan beredar dalam sistem lagi.
2.5. COP (Coefficient of Performance)
Skala suhu sekarang yang digunakan menurut satuan internasional (SI) adalah skala
Celcius, berdasarkan nominal pada titik lebur es pada 0 oC dan titik didih air pada tekanan atmosfir
pada 100 oC. Hukum kekekalan energi menerangkan bahwa ketika kerja dan energi panas
dipertukarkan maka tidak ada energi laba atau energi rugi, namun jumlah energi panas yang
didapat dikonversikan menjadi kerja terbatas.
Panas dari suhu rendah ke suhu tinggi tanpa masukan kerja eksternal adalah tidak mungkin.
Hubungan antara Q1, Q2 dan W hanya bergantung pada suhu reservoir panas dan dingin. Fisikawan
Perancis Sadi Carnot (1796-1832) adalah orang pertama yang memprediksi bahwa hubungan antara
kerja dan panas yang bergantung pada temperatur, dan proses pendinginan yang ideal dikenal
sebagai siklus carnot. Untuk menemukan hubungan ini, suhu harus didefinisikan secara lebih
mendasar.
Kelvin (1824-1907) bersama fisikawan terkemuka lainnya menyimpulkan bahwa skala
suhu mutlak dapat didefinisikan dalam hal efisiensi mesin reversibel. Rasio ideal output bekerja
B.1. Efisiensi penggunaan musicool pada mesin pengkondisian udara … (Samsudi Raharjo)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.4
untuk masukan panas (W/Q1) dari mesin reversibel E sama dengan suhu perbedaan (T1-T0) dibagi
dengan suhu reservoir panas (T1). Pada gambar 2.10 untuk mencari kerja W dapat dirumuskan
sebagai berikut :
W = o
o
T
TTQ )(2
Sebelum melakukan penilaian suatu suatu sistem refrigerasi terlebih dahulu harus
ditetapkan ukuran keefektifan. Indeks prestasi ini tidak sama dengan efisiensi, karena ukuran
tersebut biasanya hanya menggambarkan perbandingan keluaran dan masukan. Pada gambar 2.11
terlihat bahwa perbandingan keluaran dan masukan ini akan tidak berguna jika digunakan dalam
sistem refrigerasi, karena proses keluaran akan terbuang. Konsep indeks prestasi pada refrigerasi
sama dengan efisiensi, yang menyatakan perbandingan, Istilah prestasi dalam sistem refrigerasi
disebut dengan koefisien prestasi atau COP (Coefficient of Performance) yang didefinisikan
sebagai :
Refrigerasi bermanfaat
COP =
Kerja bersih
COP = W
Q2 = )( 1 o
o
TT
T
III. METODOLOGI PENELITIAN
Spesifikasi :
Air Conditioner mobil kijang super Merk Saden,Voltage 12 Volt, Frequency 50 Hz, Net
Weight Inner 2 Kg, Capacity 0,5 kW.
Dari gas refrigeran ditekan melalui kompresor kemudian masuk melalui kondensor, setelah
melalui kondensor freon dirubah dari cair ke gas melalui pipa kapiler yang sebelumnya masuk ke
filter yang dilanjutkan ke evaporator yang berfungsi menghisap kalor dan membuangnya ke
kondensor. Setelah dari evaporator udara dingin yang ada di evaporator dikeluarkan melalui
blower.
Yang dipakai dalam penelitian ini adalah AC mobil merk Saden dengan kapasitas 12 Volt,
150 Watt dengan dimensi ruangan 2x3 m2, dengan freon R-12.
Langkah-langkah Penelitian
Dilakukan secara eksperimen dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut :
Menyiapkan AC dan peralatan (tang ampere, pressure & temperature gauge, charging
manifold dan pompa vakum)
Mencatat suhu di in door dan tekanan kondensor
AC dimatikan dan dikuras freon nya, sesuai dengan SOP
Melakukan pemvakuman sesuai SOP
Setelah freon habis, mengisi MUSIcool sampai tekanan memenuhi syarat
Selanjutnya AC dihidupkan dan di tes dengan pencatatan indikator
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.5
IV. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan pengambilan data, analisa dan perhitungan yang diperoleh, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada perhitungan COP, terlihat bahwa performance yang dihasilkan MUSIcool dengan kerja
yang lebih kecil 2,8 menghasilkan pendinginan yang lebih besar dibandingkan dengan kerja
yang dibutuhkan freon 3,1.
2. Dari pengambilan data terlihat bahwa temperatur yang dihasilkan menggunakan MUSIcool
MC-12 lebih rendah (7,1 oC) dibandingkan menggunakan freon R-12 (7,6
oC), dengan tekanan
yang dibutuhkan MUSIcool lebih kecil (28 Psi).
REFERENSI
Stoecker, Wilbert F. Dan Jones, Jerold W. (1996), Refrigerasi dan pengkondisian udara, Edisi
Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Moran, Michael J. Dan Shapiro, Howard N. (2004), Termodinamika Teknik Jilid 2 Edisi 4, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Pudjanarsa, Astu. Dan Nursuhut, Djati. (2006), Mesin Konversi energi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Hundy, GF. (2010), Refrigerant and Air Conditioning, E-Book, Edisi 4
Raharjo, Samsudi. (2010), Analisa Performa Mesin Pendingin dengan Menggunakan MUSIcool
Hydrocarbon Refrigerant dari Kilang Migas, Simposium Nasional RAPI IX 2010,
ISSN:1412-19612.
Raharjo, Samsudi. (2011), Efektifitas Penggunaan MUSIcool Pada Mesin Pengkondisian Udara
Merk Panasonic dan Toshiba, Prosiding Seminar Nasional Sains 2, Unwahas.
www.google.com, Internet.
B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )
ISBN 978-602-99334-1-3
B.6
KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN ANGIN VERTIKAL MULTIBLADE TIPE
SUDU CURVED PLATE PROFILE DILENGKAPI RUMAH ROTOR DAN EKOR
SEBAGAI PENGARAH ANGIN
Yusuf Dewantoro Herlambang
Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang (POLINES)
Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail : masyusufdh@yahoo.com, yusufdh_ke@polines.ac.id
Abstrak
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik tertentu dari model
turbin vertikal multiblade dengan sudu curved plate profile terhadap unjukkerja turbin
pada pembangkit listrik tenaga angin. Penelitian diawali dengan merancang dan
membuat sebuah model Turbin Angin Sumbu Vertikal (TASV) dengan tipe sudu curved
plate profile berjumlah 6 buah sudu yang terbuat dari material galvalum yang dilengkapi
dengan rumah rotor dan ekor sebagai pengarah angin, lengkap dengan instalasi
pengujiannya. Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Pengujian dengan
variabel uji yaitu kecepatan angin pada 12,6 m/s, 9,95 m/s, 8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12 m/s,
5,95 m/s. Parameter penelitian yang diukur adalah kecepatan angin sebagai variable uji
untuk menghitung daya input turbin serta daya keluaran yang dihasilkan oleh generator
untuk menghitung daya output. Kinerja generator yang paling baik adalah yang
menghasilkan daya keluaran paling tinggi. Hasil akhir pada tahap ini adalah efisiensi
sistem yang paling optimum. Data hasil pengujian diolah untuk mendapatkan putaran
turbin, putaran generator, tegangan generator, daya generator, dan daya kinetik. Hasil
pengolahan kemudian disajikan dalam bentuk grafik karakteristik turbin meliputi
karakteristik daya dan efisiensi. Spesifikasi turbin adalah diameter poros 25 mm,
diameter rotor 600 mm, tinggi rotor 650 mm. Hasil uji menunjukkan putaran tertinggi
turbin 290 rpm pada kecepatan angin 12,6 m/s, kecepatan putar turbin terendah pada
142 rpm pada kecepatan angin 5,95 m/s. Didapatkan efisiensi tertinggi sebesar 22,3 %
pada kecepatan angin 6,12 m/s, putaran poros generator 244 rpm.
Kata kunci : curved plate, karakteristik, rumah rotor, turbin vertikal
PENDAHULUAN
Dengan semakin berkurangnya persediaan bahan bakar fosil khususnya di Pulau Jawa dan
terbatasnya kekayaan alam yang lain maka tenaga angin saat ini menjadi pilihan sebagai sumber
energi alternatif dan dalam rangka membantu penyediaan energi dunia.Angin merupakan salah
satu sumber energi potensial yang kuantitasnya cukup banyak untuk daerah-daerah di Indonesia,
tetapi belum banyak dimanfaatkan. Di Indonesia pemanfaatan energi angin masih lebih kecil
dibandingkan dengan sumber daya alam yang lain seperti minyak, gas, air dan sebagainya
(Hofman, 1987).
Sedangkan di Indonesia, 2/3 wilayahnya dalah perairan, di mana pada wilayah perairan
terdapat potensi angin yang bertiup lebih stabil. Energi angin merupakan salah satu energi alternatif
yang disediakan oleh alam yang dapat dimanfaatkan sebagai PLTB (Pembangklit Listrik Tenaga
Bayu), yaitu menggerakkan suatu alat untuk mengubah energi kinetik angin yang nantinya dapat
dimanfaatkan sebagai penggerak generator, pompa air dan sebagainya. Rotor (sudu) pada turbin
angin digunakan sebagai alat pengkonversi energi angin tersebut (Ariati, 2008).
Untuk itu dalam penelitian ini akan dikaji eksperimental pembuatan turbin angin skala
mikro. Turbin angin yang berputar yang kemudian menggerakkan poros dengan tranmisi belt
(sabuk) yang mennggerakkan poros generator. Generator akan merubah energi mekanik menjadi
energi listrik. Prisip kerja dari turbin angin VAWT dengan memanfaatkan angin yang berasal dari
blower kemudian angin ditankap oleh sudu-sudu turbin sehingga timbul energi mekanik yang
berasal dari poros turbin selanjutnya dikonversikan menjadi energi listrik yang berasal dari
generator. Energi kinetik dari massa udara m yang bergerak pada kecepatan v ()De Renzo, 1979).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.7
Pkin = 2
1 m . v
2
Mengacu pada luas potongan melintang tertentu A, yang dilewati lintasan udara pada
kecepatan v, volume V˙ mengalir melewati unit waktu tertentu, dinamakan aliran volume (volume
flow) dan laju aliran massa disebut m adalah (Lysen, 1983).:
m = ρ . A1 . v1
Gambar 1. Kondisi aliran karena pengeluaran energi mekanik dari arus bebas
aliran udara, mengacu pada teori dasar momentum
Energi mekanik yang mana dikeluarkan dari disk-shaped konverter dari aliran udara
berkaitan dengan perbedaan daya dari arus udara sebelum dan sesudah konverter :
Pkin = 2
1 ρ . A1 . v1
3 -
2
1 ρ . A2 . v2
3=
2
1 ρ ( A1 . v1
3 - A2 . v2
3 )
v1 : kecepatan arus-bebas undelayed, kecepatan angin
v2 : kecepatan aliran dibelakang konverter.
Persamaan kontinuitas yang diperlukan adalah:
ρ . A1 . v1 = ρ . A2 . v2
P = 2
1 ρ . A1 . v1
3 (v1
2- v2
2)
Dengan :
ρ : Massa jenis udara [ ]
A : Luas sapuan angin [m2]
v : Kecepatan angin [ ]
indeks 1 merupakan arah masuk
indeks 2 merupakan arah masuk
Daya akan dapat mencapai maksimum bila kecepatan v2 adalah nol. Akan tetapi, hasil ini
tidak bisa dibuat secara fisik sebagaimana dapat diduga, secara fisik hasil berarti terdiri rasio
kuantitatip (numerik) tertentu v2/v1 dimana daya yang dapat dikeluarkan mencapai maksimum
dengan v2/v1 = 16/27 atau cp = 0,593.
B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )
ISBN 978-602-99334-1-3
B.8
Memakai hukum konservasi momentum, gaya yang dikeluarkan udara pada konverter
dapat dinyatakan sebagai:
F = m (v1- v2)
Daya mekanik keluar/output dari konverter dapat dinyatakan sebagai :
Pm = 0,25 ρ . A . (v12- v2
2) (v1+ v2)
Daya dari arus udara bebas/free-air stream (energi kinetik) adalah:
Pkin = 2
1 ρ . A1 . v1
3
Dari persamaan dapat diartikan sebagai berikut:
1. Daya angin adalah berbanding lurus terhadap massa jenis udara.
2. Daya angin adalah berbanding lurus dengan luas area sapuan dari rotor, hal ini berarti yang
dihasilkan sebanding dengan kuadrat diameter rotor, sedangkan untuk rotor pada jenis turbin
angin poros vertikal sebanding dengan luas proyeksi rotor turbin angin.
3. Daya angin berbanding lurus dengan pangkat tiga dari kecepatan angin, hal ini berarti bahwa
pemilihan tempat baik akan sangat menentukan besarnya daya yang dihasilkan. Rasio antara
daya mekanik yang dikeluarkan oleh konverter dand arus udara yang tidak terganggu (arus
bebas) itu dinamakan “koefisien daya/ power coefficient” Cp:
Koefisien daya dapat dinyatakan secara langsung sebagai fungsi rasio kecepatan,
Cp = k
m
p
p =
2
1[ 1 –(
1
2
v
v)
2][ 1 +
1
2
v
v]
Koefisien daya, yaitu rasio daya mekanik yang dapat dikeluarkan dengan daya yang
dikandung arus udara, oleh karena itu, sekarang hanya tergantung pada rasio kecepatan udara
sebelum dan sesudah konverter.
METODE PENELITIAN
Tahap awal penelitian adalah perancangan alat untuk memperoleh desain dan alternative
yang terbaik. Perancangan ini meliputi rotor angin, (terdiri dari sudu-sudu turbin), poros, sistem
transmisi, generator, dan beban. Sudu rotor yang akan dibuat berjumlah sudu 8 buah Sudu turbin
dibuat dari pelat galvalum dengan tebal 2 mm. Tinggi rotor 650 mm dan diameternta 600 mm.
Rotor turbin dilengkapi dengan sebuah poros pejal yang dibuat dari besi St 37 berdiameter 50 mm
dengan pengerjaan bubut. Poros turbin ini melekat pada cakra pemegang sudu dan diperkokoh
dengan menggunakan 2 buah bearing, yang berfungsi untuk menahan gaya aksial pada saat sudu
berputar. Sudu turbin ini terpasang pada suatu cakra sebagai pemegang sudu akan digunakan mur
dan baut ukuran M12. Puli berfungsi untuk meneruskan energi mekanik putaran poros turbin
menuju ke generator. Puli ini terbuat dari bahan aluminium berdiameter 3 inchi dan disesuaikan
dengan sambungan puli pada generator listrik. Jenis puli yang digunakan adalah tipe v-belt dengan
maksud agar tidak terjadi slip puli. Sabuk atau belt yang digunakan menyesuaikan bentuk alur dari
puli, sabuk terbuat dari bahan karet campuran. Generator listrik, berfungsi untuk merubah energi
mekanik putaran poros turbin menjadi energi listrik. Generator listrik yang akan digunakan adalah
generator AC sinkron putaran 290 rpm pada tegangan 50 volt (pada beban nol). Panel papan kayu,
berfungsi untuk merekam data dan hasil uji alat. Instalasi panel dibuat dari kayu lapis setebal 0,5
cm dengan lebar 50 x 30 cm. Papan panel dilengkapi dengan instalasi kabel dan pada papan kayu
diberi lubang untuk rangkaian alat ukur Amperemeter, Voltmeter dan Beban yang berupa lampu
bohlam. Lampu bohlam ditempatkan pada fitting yang berjumlah 15 buah @ 2,5 Watt, fitting juga
dipasang pada papan kayu. Alat ukur, digunakan untuk mengukur parameter-parameter yang
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.9
diperlukan dalam pengujian yang meliputi anemometer untuk mengukur kecepatan angin, Torsi
meter untuk mengukur torsi keluaran turbin, Tachometer untuk mengukur putaran poros turbin.
Amperemeter untuk mengukur arus listrik keluaran generator, dan Voltmeter untuk mengukur
tegangan listirk.
Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Dalam uji ini akan dilakukan pengujian
turbin TASV dengan variabel uji kecepatan angin yaitu 12,6 m/s, 9,95 m/s, 8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12
m/s, 5,95 m/s. Uji dilakukan di laboratorium mesi-mesin fluida Program Studi Teknik` Konversi
Energi Jurusan Teknik Mesin Polines menggunakan alat Blower yang menghasilkan kecepatan
angin yang dapat diatur untuk menggerakkan rotor turbin HAWT. Parameter penelitian yang
diukur adalah kecepatan angin (sebagai variabel uji) untuk menghitung daya input turbin serta daya
yang dihasilkan oleh generator listrik untuk menghitung daya output generator. Kinerja generator
yang paling baik adalah yang menghasilkan daya keluaran paling tinggi. Hasil akhir pada tahap ini
adalah efisiensi system yang paling optimum.
Gambar 2. Rancangan instalasi pengujian turbin angin TASV : (1) ekor pengarah
angin; (2) rumah rotor; (3) sudu curved plate; (4) rangka alat; (5) transmisi
gear/puli; (6) generator; (7) papan/panel beban
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji kinerja turbin angin vertikal multiblade curved plate profile dilakukan untuk
mendapatkan karakteristik sistem turbin tersebut. Masing-masing karakteristik adalah efisiensi
turbin, daya generator, dan tegangan listrik. Hasil uji eksperimental untuk mendapatkan
karakteristik tertentu dari model turbin vertikal multiblade dengan sudu curved plate profile
terhadap unjukkerja turbin pada pembangkit listrik tenaga angin seperti terlihat pada gambar 3, 4,
dan 5.
Gambar 3 menunjukkan grafik hubungan antara efisiensi turbin terhadap putaran turbin.
Ada enam buah kurva berdasarkan input kecepatan angin yang berbeda, yaitu 12,6 m/s, 9,95 m/s,
8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12 m/s, dan 5,95 m/s. Keenam kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu
efisiensi turbin meningkat seiring bertambahnya putaran turbin (rpm) hingga mencapai titik
optimum, kemudian turun walaupun putaran turbin (rpm) bertambah, yang artinya kenaikan
putaran turbin (rpm) sebanding dengan kenaikan efisiensi turbin. Dapat dikatakan juga, bahwa
untuk input energy dan putaran yang sama, efisiensi dan daya yang dihasilkan turbin berubah.
Berdasarkan gambar 3 tersebut terlihat bahwa masing-masing kecepatan angin memiliki
efisiensi turbin optimum yang berbeda. Pada kecepatan angin 6,12 m/s turbin memiliki efisiensi
turbin tertingi yaitu 22,3% diperoleh pada putaran turbin 148 rpm. Sedangkan efisiensi terendah
yaitu 1,4% pada putaran 279 rpm, pada kecepatan angin 12,6 m/s.
B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )
ISBN 978-602-99334-1-3
B.10
Gambar 3. Grafik hubungan efisiensi sistem (ηsistem) VS putaran turbin(n)
Gambar 4. Grafik hubungan Tegangan Generator Vs Putaran Generator
Gambar diatas menunjukkan grafik hubungan antara putaran generator (rpm) dengan
tegangan yang dihasilkan. Terdapat enam kurva yang membedakan setiap input kecepatan yaitu
seperti yang terlihat pada kurva diatas. Keenam kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu
tegangan listrik (volt) yang dihasilkan meningkat seiring dengan bertambahnya putaran generator
(rpm) hingga mencapai titik maksimum, yang berarti bahwa kenaikan tegangan listrik (volt) yang
dihasilkan turbin sebanding dengan kenaikan putaran generator (rpm). Turbin dengan input
kecepatan 12,6 m/s diperoleh tegangan keluaran generator tertinggi sebesar 50 Volt pada putaran
generator 567 rpm. Sedangkan tegangan keluaran generator terendah 11 Volt didapat pada putaran
generator 170 rpm pada kecepatan angin 5,95 m/s.
Gambar 5 menunjukkan grafik hubungan antara putaran generator (rpm) dengan daya
generator (Watt). Berdasarkan input kecepatan angin yang berbeda, ada enam kurva. Keenam
kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu daya generator (Watt) meningkat seiring dengan
bertambahnya putaran generator (rpm) hingga mencapai titik optimum. Kemudian akan turun
walaupun putaran generator (rpm) bertambah. Hal ini berarti kenaikan putaran generator (rpm)
sebanding dengan kenaikan daya generator (Watt). Berdasarkan kurva pada gambar 5 tersebut
terlihat bahwa masing-masing perbedaan input kecepatan angin memiliki daya generator optimum
yang berbeda. Hasil input kecepatan angin 9,95 m/s didapatkan daya generator optimum 10,5 Watt
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.11
didapat pada putaran generator 369 rpm. Sedangkan daya generator terendah 0,88 Watt didapat
pada putaran generator 278 rpm, pada kecepatan angin 5,95 m/s.
Gambar 5. Grafik hubungan Daya Generator Vs Putaran Generator
KESIMPULAN Setelah melakukan pengujian pada turbin angin VAWT, maka dapat disimpulkan
spesifikasi turbin VAWT adalah sebagai berikut : Diameter Poros 25 mm, Diameter Rotor 600 mm,
Tinggi Rotor 650 mm, Kec putar tercepat turbin 290 rpm pada kec angin 12,6 m/s, Kec putar
terendah turbin 142 rpm pada kec angin 5,95 m/s. Spesifikasi Generator : Tegangan tertinggi 50
volt .pada 290 rpm (beban nol), Tegangan terendah 28 volt .pada 160 rpm (beban nol), Daya output
10,5 watt, Regulasi tegangan 60% pada 290 rpm. Berdasarkan hasil pengujian turbin angin VAWT,
didapatkan efisiensi turbin tertinggi sebesar 22,3 % pada kecepatan angin 6,12 m/s, putaran poros
generator 148 rpm. Pada tegangan keluaran 20 V, arus keluaran 0,29 A, energi kinetik 26 watt
,daya generator 5,8 watt. Efisiensi terendah adalah 1,4 % didapatkan pada kecepatan 12,6 m/s, dan
putaran generator 463 rpm. Pada tegangan 42 V. Arus keluaran 0,08 A, energi kinetik 227,02 watt,
daya generator 3,36 watt.
DAFTAR PUSTAKA
Ariati, R. 2008. Pengembangan Desa Mandiri Energi (DME) Berbasis Energi Non Fosil.
http://www.energi terbarukan.net., diakses 20 Agustus 2009
AWEA. 2004. The American Wind Energy Association. http://www.awea.org. diakses tanggal 5
Oktober 2009
BWEA. 2002. The British Wind Energy Association. http://www.bwea.com. diakses tanggal 6
Oktober 2009
De Renzo. 1979. Fundamentals of Wind Turbines. Mc Graw-Hill Inc Publisher. New York. USA
Dietzel, F. dan Dakso Sriyono. 1988. Turbin, Pompa Dan Kompresor, Erlangga, Jakarta.
El Wakil, M. 1987. Mesin Konversi Energi untuk Pembangkit Daya. Jakarta. Erlangga
Hartanto W. 2007. Pembuatan dan Pengujian Turbin Angin Darrieus dengan Variasi Sudut
Sudu untuk PLTAn. Polines. Semarang
Choiron M. 2007. Unjukkerja Turbin Angin Nibe 3-Sudu Menggunakan Inverter untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Polines. Semarang
Hofman H dan Harun. 1987. Energi Angin. Penerbit Binacipta, Jakarta
Lysen, EH. 1983. Introduction to Wind Energy. 2nd Edition, Amersfoort, Netherlands,
Consultancy Services Wind Energy Developing Countries Sularso dan Kiyokatsu Suga, 2002, DasarPerencanaan & Pemilihan Elemen Mesin, Pradnya
Paramita, Jakarta
B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.12
ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER
TERHADAP ENTRAINMENT RATIO DAN DISTRIBUSI TEKANAN
PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD
Bachtiar Setya Nugraha, ST
Program Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang
Program Studi Teknik Mesin Universitas Muria Kudus
Gondangmanis PO.Box 53-Bae, Kudus, telp 0291 4438229-443844, fax 0291 437198 E-mail: setyanugraha_72@yahoo.co.id
Abstrak
Pada situasi krisis energi seperti sekarang ini ejector refrigeration dapat sebagai solusi yang
tepat, karena ejector merupakan alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida dengan jalan
memanfaatkan aliran fluida lain. Fluida yang digunakan untuk mendorong aliran fluida lain
disebut primary fluid, sedangkan fluida yang terdorong disebut fluida isap/secondary fluid.
Steam ejector banyak digunakan pada industri misalnya pada proses pendinginan fluida,
proses pevakuman dan sebagainya. Keuntungan dari steam ejector di banding sistem-sistem
yang lain adalah steam ejector memerlukan sedikit sumber energi, umur komponen tahan
lama, karena tidak ada komponen yang bergerak, ramah lingkungan, karena menggunakan
fluida air. Adapun kelemahan steam ejector adalah COP yang dihasilkan rendah. Entrainment
ratio akan mempengaruhi nilai COP pada sistem, bila menginginkan nilai COP tinggi maka
harus meningkatkan entrainment ratio dan untuk meningkatkan nilai entrainment ratio,
dengan memvariasi geometri ejector. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
variasi sudut mixing chamber terhadap entrainment ratio dan distribusi tekanan pada steam
ejector dengan menggunakan CFD ( Computational Fluid Dynamics ) Geometri yang
divariasikan adalah pada sudut Mixing Chamber yaitu: 3,5o,5
o,7
o dan 13
o. Dari penelitian ini
dihasilkan pada eksperimen nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi pada sudut mixing
chamber 7° menghasilkan entrainment ratio (ω)= 0,71 pada tekanan boiler 5 . Pada simulasi
nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber 7° menghasilkan
entrainment ratio (ω)= 3,32 pada tekanan boiler 5 . Semakin tinggi tekanan boiler, semakin
tinggi kecepatan yang terjadi di sepanjang ejector maka semakin besar daerah vakum yang
dihasilkan. Hal ini yang menyebabkan laju aliran massa secondary flow yang terhisap semakin
banyak sehingga semakin besar nilai entrainment ratio yang dihasilkan. Pada Eksperimen
Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai maximum pada
titik 9 pada throat sebesar 104693 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7° pada tekanan boiler
5 . Pada simulasi distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat
nilai maximum pada throat sebesar 101410,4 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7° pada
tekanan boiler 5 .
Kata kunci : COP, entrainment ratio, mixing chamber, steam ejector
1. PENDAHULUAN
Ejector adalah alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida dengan jalan
memanfaatkan aliran fluida lain. Fluida yang digunakan untuk mendorong aliran fluida lain disebut
primary fluid, sedangkan fluida yang terdorong disebut fluida isap/secondary fluid (R.F. Maria,
2001).
Gambar 1.1. Ejector (Mayer, A.J, 2006).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.13
Gambar 1.1 menunjukkan skema dari ejector. Ejector terdiri dari empat bagian, yaitu
primary nozzle, mixing chamber, throat, dan diffuser. Di dalam boiler, air dipanaskan sehingga
menjadi uap superheater yang bertekanan tinggi. Kemudian uap superheater (primary fluid)
mengalir melalui primary nozzle dan keluar dari nozzle mencapai kecepatan supersonic, karena
tekanan statis pada suction chamber sangat rendah maka uap yang berada dalam evaporator yang
disebut secondary fluid terhisap menuju suction chamber. Kemudian uap akan bercampur pada
mixing chamber dengan tekanan yang konstan, dan mengalir melalui constant area section yang
selanjutnya kecepatan menurun menjadi subsonic, seiring laju aliran ke diffuser, tekanan akan
meningkat.
Steam ejector banyak digunakan pada industri misalnya pada proses pendinginan fluida,
proses pevakuman dan sebagainya. Keuntungan dari steam ejector di banding sistem-sistem yang
lain adalah steam ejector memerlukan sedikit sumber energi, umur komponen tahan lama karena
tidak ada komponen yang bergerak, ramah lingkungan karena menggunakan fluida air. Adapun
kelemahan steam ejector adalah COP yang dihasilkan rendah (Chunnanond K., 2003). Entrainment
ratio mempengaruhi nilai COP pada sistem, bila menginginkan nilai COP tinggi maka entrainment
ratio ditingkatkan dengan memvariasi geometri pada ejector.
Kecenderungan dalam industri saat ini adalah dibutuhkannya suatu model desain yang
dapat ditampilkan secara visual. Hal ini disebabkan oleh kondisi persaingan global yang menuntut
strategi usaha untuk memasarkan produk yang lebih cepat dan juga adanya suatu tingkat kebutuhan
dalam mencari solusi yang lebih inovasi. Melalui visualisasi model desain komputerisasi dapat
meningkatkan efisiensi proses perancangan,
Computational Fluid Dynamics adalah salah satu metode komputasi yang tepat, karena
menggunakan metode numerik dan algoritma untuk menyelesaikan, menganalisa masalah-masalah
aliran fluida (Meyer,A.J., 2006). Dalam perancangan atau rekayasa pada aliran fluida, sebuah
software diperlukan untuk mensimulasikan secara cepat dan tepat, meskipun alirannya sangat rumit
untuk dianalisa, seperti halnya aliran turbulen.
Pada penelitian ini CFD digunakan sebagai sarana untuk menganalisa pengaruh variasi
sudut mixing chamber inlet terhadap entrainment ratio dan distribusi tekanan pada steam ejector,
Alasan pemilihan variasi sudut mixing chamber dapat dijelaskan sebagai berikut: Gelombang aliran
motive (jet core) akan menarik secondary flow masuk ke mixing chamber, dimana secondary flow
akan mengalami percepatan sehingga kecepatannya bertambah namun tekanan secondary flow akan
berkurang, sehingga akan terjadi perbedaan laju aliran massa dari secondary dan primary. Dan
karena steam ejector mempunyai beberapa bagian seperti, primery nozzle, mixing chamber, thoat
dan diffuser dengan variasi sudut mixing chamber yang berpengaruh terhadap perbedaan laju aliran
massa dari secondary dan primary, juga akan mempengaruhi distribusi tekanan pada bagian-bagian
dari steam ejector.
Dengan variasi sudut mixing chamber akan mempengaruhi besar kecilnya laju aliran massa
dari secondary dan primary, sehingga akan berpengaruh juga terhadap besar kecilnya entraiment
ratio sekaligus berpengaruh pada distribusi tekanan pada masing-masing bagian pada steam
ejector.
2. DASAR TEORI
Dalam sistem refrigerasi daur kompresi uap setiap komponen-komponen sistem bekerja
secara serempak dan simultan. Komponen-komponen utama sistem refrigerasi daur kompresi uap
terdiri dari:
1. Kompresor
2. Kondensor
3. Katup ekspansi
4. Evaporator
Gambar 2.1. Skema siklus dan diagram siklus kompresi uap (Çengel, 2005)
B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.14
2.1. Performa Ejector Refrigeration System
Gambar 2.2. P-h diagram ejector refrigeration system (K. Pianthong, 2007).
Gambar 2.2 merupakan P-h diagram ejector refrigeration system. Ejector berfungsi
sebagai pengganti kompresor yaitu menaikkan tekanan serta mensirkulasikan refrigerant dari
evaporator menuju kondenser. Dengan demikian berarti bahwa ejector membawa atau mengambil
uap refrigeran dari evaporator. Kemampuan ejector untuk mengambil uap refrigeran (secondary
flow) dapat dinyatakan dengan entrainment ratio yaitu perbandingan antara laju aliran massa
dari evaporator (secondary flow ms) dengan laju aliran massa dari boiler yang melalui nozzle
(primary flow mp) (K. Pianthong, 2007),
p
s
m
m
(2.1)
3. METODOLOGI
Gambar 3.1 Diagram Alir Prosedur Simulasi
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Batas
1 Tipe meshing Quad
2 Tipe element Sub map
3 Jumlah mesh 12.351
4 Qualitas meshing 0,604 (0-0,85)
5
Motive
Suction
Discharge
Pressure inlet : 300.000, 400.000, 500.000 Pa
Pressure inlet : sesuai tabel
Pressure outlet : 101325 Pa
4.2. Material
Name
Material Type
Density (kg/m3)
Cp (J/kg-k)
Thermal Conductivity (W/m-k)
Viscosity(kg/m-s)
Water vapor
Fluid
Ideal Gas
2014
0,0261
1.34e-05
Tabel 4. 1. Hasil Entrainment Ratio Simulasi dan Eksperimen. Variasi
sudut Tekanan motive (bar )
Mixing
chamber
5 bar
simulasi 5 bar Eksp.
4 bar
simulasi 4 bar Eksp.
3 bar
simulasi 3 bar Eksp.
3,50 2,356783186 0,50543807 2,37983122 0,496243229 2,108872452 0,443908022
50 2,48836111 0,53670695 2,486030377 0,536781408 2,306128533 0,519076098
70 3,324303168 0,70574018 3,146691115 0,643019395 2,652623175 0,559063724
130 3,214501491 0,66344411 3,118724253 0,623973441 2,511208714 0,453908022
Gambar 4.1. Diagram perbandingan hasil entrainment ratio simulasi dengan eksperimen.
Data hasil perolehan perbandingan entrainment ratio simulasi dan eksperimen dapat di
lihat pada Tabel 4.1, dan bentuk diagram dapat dilihat pada Gambar 7.1 yaitu dapat dijelaskan
bahwa nilai entraiment ratio pada simulasi dan eksperimen yang terbesar adalah sama yaitu pada
tekanan motive 5 bar dengan sudut mixing chamber 70. Sedangkan nilai entraiment ratio pada
simulasi yang terkecil yaitu pada tekanan motive 3 bar dengan sudut 3,50, dan nilai entrainment
ratio pada eksperimen yang terkecil yaitu pada tekanan motive 3 bar dengan sudut 3,50.
B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.16
4.3. Perbandingan Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 5 bar pada sudut mixing
chamber 70 , dengan Tekanan Motive 3 bar pada sudut 3,5
0.
Gambar 4.2. Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 5 bar pada sudut 70.
Gambar 4.2 menunjukkan vektor kecepatan dengan Tekanan Motive 5 bar pada sudut 70
dapat dijelaskan bahwa laju aliran massa pada secondary flow relatif tinggi. yaitu dengan
penjelasan bahwa kecepatan maksimal 9.52e+01 sampai 1.67e+02 m/s, sehingga aliran massa
secondary flow yang terhisap relatif besar, maka nilai entrainment ratio yang dihasilkan juga
mengalami peningkatan.
Gambar 4.3. Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 3 bar pada sudut 3,50.
Gambar di atas menunjukkan vektor kecepatan dengan Tekanan Motive 3 bar pada sudut
3,50, dapat dijelaskan bahwa kecepatan yang dihasilkan relatif rendah yaitu dengan penjelasan
bahwa kecepatan maksimal 5.40e+01 sampai 1.7e+02 m/s,. Dengan demikian maka nilai
entrainment ratio yang dihasilkan juga mengalami penurunan.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.17
Gambar 2.4. Distribusi Tekanan Pada Ejector Sudut 7 Dengan Tekanan 5 bar
Pada distribusi tekanan 5 bar , sudut mixing chamber 70
hasil eksperimen menunjukkan
distribusi tekanan pada 10 mm / Titik 1, 85 mm / Titik 2 dan 160 mm / Titik 3 tekanan hampir
berimbang yaitu 101505 Pa, 101521 Pa, 101783 Pa. Hal ini karena pengaruh tekanan pada bagian
tersebut sangat kecil.
Menuju 180 mm / Titik 4 sebesar 102731 Pa tekanan sudah mengalami kenaikan, hingga
didapat tekanan maksimal pada 305 mm / Titik 9 yang berada pada throat. Pada titik ini
memiliki nilai tekanan maksimum sebesar 104693,1 Pa seperti terlihat pada Tabel 7.4. Ini terjadi
karena pada titik tersebut merupakan titik vakum terendah sehingga tekanan hisapnya semakin
besar.
Selanjutnya grafik menunjukkan terjadinya penurunan hingga nilai yang didapat sama
dengan tekanan atmosfer yaitu di mulai posisi 377 mm / Titik 12 hingga posisi 537 mm / Titik 14
pada tekanan 102257 Pa sampai tekanan 101341 Pa yang berada pada sisi diffuser.
Gambar 2.5. Distribusi Tekanan Pada Ejector Sudut 3.5 Dengan Tekanan 3 bar
Pada distribusi tekanan 3 bar , sudut mixing chamber 3,50
hasil eksperimen menunjukkan
distribusi tekanan pada posisi 10 mm / Titik 1, 85 mm / Titik 2 dan 160 mm / Titik 3 tekanan
hampir berimbang yaitu 101341 Pa, 101325 Pa. Hal ini karena pengaruh tekanan pada bagian
tersebut kecil.
Menuju posisi 180 mm / Titik 4 tekanan sudah mengalami kenaikan, hingga didapat tekanan
maksimal pada posisi 305 mm / Titik 9 yang berada pada throat. Pada titik ini memiliki nilai
tekanan maksimum sebesar 102273 Pa dengan hasil lebih rendah dari distribusi tekanan pada
tekanan motive 5 bar, sudut mixing chamber 70 yaitu sebesar 104693 Pa.
B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.18
Dan selanjutnya grafik menunjukkan terjadinya penurunan hingga nilai yang terjadi hampir
sama dengan tekanan atmosfer yang terjadi mulai 357 mm / Titik 11 hingga 537 mm / Titik 14
yaitu dari tekanan 101913 Pa sampai pada tekanan 101374 Pa yang berada pada sisi diffuser.
5. KESIMPULAN
1. Pada Sudut mixing chamber mempengaruhi nilai entrainment ratio dari sistem refrigerasi yang
terjadi karena pengaruh luasan constant area nozzle.
2. Pada Sudut mixing chamber mempengaruhi nilai entrainment ratio dari sistem refrigerasi yang
terjadi karena berpengaruh terhadap laju aliran massa secondary yang terhisap.
3. Pada Eksperimen Nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber
7° menghasilkan entrainment ratio (ω)= 0,71 pada tekanan boiler 5 bar.
4. Pada Simulasi Nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber 7°
menghasilkan entrainment ratio (ω)= 3,32 pada tekanan boiler 5 bar .
5. Pada Eksperimen Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai
maximum pada titik 9 pada throat sebesar 104693 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7°
pada tekanan boiler 5 bar.
6. Pada Simulasi Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai
maximum pada titik 10 pada throat sebesar 101410,4 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7°
pada tekanan boiler 5 bar.
DAFTAR PUSTAKA
B.J. Huang, J.M. Chang, C.P. Wang and V.A. Petrenko, (1999) “A 1-D analysis of ejector
performance, Int. J. Refrigeration, 22, 354-364.
Çengel Yunus A, Michael A. Boles, (2005), “Thermodynamics An Engineering Approach”, 5th
1ed, McGraw-Hill.
Dalimunthe, Indra S, (2004),” Pengantar Teknik Refrigerasi”, Program Studi Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
E. Rusly, Lu Aye, W.W.S. Charters, A. Ooi, 2005,”CFD analysis ejector in a combined ejector
cooling system”, International Journal of Refrigeration 28.
Fox Robert W, Alan T. McDonald, (1999), “Introduction to Fluid Mechanics”, 4ed, John Wiley
and Sons.
FLUENT, Inc, (1998), “Manual FLUENT Documentation”, FLUENT, Inc.
Jacobus Meyer Adriaan, (2006), “Steam Jet Ejector Cooling Powered By Low Grade Waste or
Solar Heat”,
Stellenbosch University.
James R. Lines, Graham Corp,(2004), “Understanding Ejector System Necessary to Troubleshoot
Vacuum Distillation”.
Kanjanapon Chunnanond, Satha Aphornratana, (2003), “An experimental investigation of a steam
ejector refrigerator: the analysis of the pressure profile along the ejector”, Thammasat
University, Thailand.
K. Pianthong, Wirapan Seehanam, M. Behnia, T. Sriveerakul, S. Aphornratana, , (2007),
“Investigation And Improvement of Ejector Refrigeration System Using CFD technique”,
Ubon Ratchatany University, Thailand.
Schutte & Koerting, (2000),”Steam Jet Ejectors”.
Somsak Watanawanavet, (2005), “Optimization of High-Effeciency Jet Ejector By Computational
Fluid Dynamics Software”.
Shenyi Wu, BEng, MSc, (1999), “Investigation of Ejector Re-Compression Absorption
Refrigeration Cycle”, University of Nottingham.
Tuakia, Firman, (2008), “Dasar-dasar CFD Menggunakan FLUENT”, Informatika, Bandung.
Victor L.Steeter, (1990), “Mekanika Fluida”, Erlangga, Jakarta.
Wirapan Seehanam, Kulachate Pianthong, Masud Behnia, K. Chunnanond, S. Aphornratana,
(2007),”Simulation on performance of CPM and CRMC Steam Ejectors Using CFD
Technique”, Ubon Ratchatany University, Thailand.
Wilbert F Stoecker, Jerold W Jones, (1996),” Refrigerasi dan Pengkondisian Udara”, Erlangga.
White, Frank M, (1988), “Mekanika Fluida Edisi Keempat”, Erlangga, Jakarta.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.19
KAJI EKSPERIMEN TURBIN ANGIN POROS HORIZONTAL
TIPE KERUCUT TERPANCUNG DENGAN VARIASI SUDUT SUDU
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ANGIN
Bono
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. H. Sudarto, S.H., Tembalang, Kotak Pos 6199 SMS, Semarang 50329
Telp. 7473417, 7466420 (Hunting), Fax.7472396. E-mail : bno_ba61@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan meneliti Turbin Angin poros horisontal tipe Kerucut Terpancung
dengan variasi sudut sudu untuk pembangkit listrik tenaga angin. Turbin yang diuji memiliki
diameter runner terbesar D1=60 cm,dan diameter runner terkecil D2=20 cm, tinggi kerucut
terpancung H=35 cm, jumlah sudu Z=10 buah, dan variasi sudut sudu. Penelitian ini diawali
dengan membuat Turbin Angin poros horisontal tipe Kerucut Terpancung dengan variasi sudut
sudu yang terdiri dari runner, dan poros turbin. Runner turbin terdiri dari piringan bentuk
kerucut terpancung dan sudu yang dapat diatur sudutnya. Instalasi pengujian terdiri dari
komponen utama blower, turbin angin, Generator listrik atau dinamometer turbin, yang
dilengkapi alat ukur pengujian meliputi anemometer, tachometer, termometer, Volt meter,
Ampere meter dan neraca pegas. Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik turbin,
dimana sudut sudu divariasikan mulai dari sudut 150. Sampai dengan 60
0. Parameter yang
diukur dalam pengujian adalah kecepatan aliran angin, putaran dan torsi poros turbin.
Parameter yang ditentukan dan merupakan variabel dalam penelitian ini adalah sudut sudu,
yaitu 150, 30
0, 45
0, 60
0. Beban turbin divariasikan dan setiap variasi dilakukan pencatatan
terhadap parameter-parameter diatas. Hasil penelitian terhadap masing-masing sudut sudu
turbin pada berbagai kecepatan angin menunjukkan bahwa pada sudut sudu sebesar 300
menghasilkan daya mekanik terbesar dibandingkan dengan sudut sudu 150, 45
0,dan 60
0.
Sedangkan efisiensi total maksimum sebesar 20,75% dicapai pada sudut sudu 300 dan
kecepatan angin 5 m/s.serta pada putaran 136,7 rpm.
Kata kunci : Turbin kerucut terpancung, jumlah sudu
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyediaan energi di masa depan merupakan permasalahan yang senantiasa menjadi
perhatian semua bangsa karena bagaimanapun juga kesejahteraan manusia dalam kehidupan
modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkan. Bagi Indonesia yang
merupakan salah satu negara sedang berkembang, penyediaan energi merupakan faktor yang sangat
penting dalam mendorong pembangunan. Seiring dengan meningkatnya pembangunan terutama
pembangunan di sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan
akan energi terus meningkat.
Energi listrik yang disediakan oleh P.T.Perusahaan Listrik Negara (PT.PLN) sampai saat
ini masih belum dirasakan secara merata oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang jauh
dari jangkauan jaringan listrik. Oleh karenanya diperlukan sumber energi alternatif yang dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah
angin atau bayu. Sumber energi angin dapat dimanfaatkan dengan cara mengubah energi angin ke
dalam bentuk energi listrik melalui teknologi sistem pembangkit listrik tenaga angin yang terdiri
dari komponen utama yaitu turbin angin alternator, inverter, dan instalasinya.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah seperti yang telah diuraikan, masalah yang hendak diatasi adalah
kendala masyarakat dalam pengadaan turbin angin. Isu-isu krisis energi dewasa ini menuntut
masyarakat untuk menggali potensi energi alternatif di Indonesia, seperti tenaga angin. Kendala
yang dihadapi masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi angin adalah teknologi pembuatan
turbin yang kurang dipahami oleh masyarakat. Sementara pengetahuan masyarakat tentang
teknologi turbin angin masih sangat rendah. Solusi yang ditawarkan adalah dibuatkannya model
B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.20
turbin yang cara pembuatannya sederhana dan dari bahan yang mudah ditemukan di pasaran yaitu
plat galvanis. Angin yang mempunyai kecepatan tertentu melewati sudu dan menggerakkan turbin
yang telah di kopel dengan Generator. Dengan variasi besar sudut sudu akan mempengaruhi kinerja
turbin, maka dari itu perlu dikaji pengaruh besar sudut sudu turbin terhadap kinerja turbin untuk
mendapatkan sudut sudu optimum dimana turbin menghasilkan efisiensi paling baik.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan turbin angin bentuk kerucut terpancung tipe
poros horisontal dengan sudut sudu dapat diatur, dan menguji kinerja turbin angin tersebut pada
berbagai harga sudut sudu, sehingga didapat harga sudut sudu yang optimum.
1.4 Tinjauan Pustaka
Angin merupakan energi murah dan ramah lingkungan dan dapat diperbaharui (Renewable
Energy). Angin dihasilkan secara hukum alam karena adanya perbedaan tekanan udara pada suatu
daerah tertentu. Perbedaan tekanan timbul akibat matahari memanaskan pada daerah tertentu
sehingga atmosfer disekitarnya menjadi hangat, atau dengan kata lain suhu udara di daerah tersebut
naik. Dengan naiknya suhu maka akan menaikan tekanan udara pada daerah tersebut. Sementara di
lain tempat ada daerah yang masih dingin, hal tersebut merupakan daerah dengan tekanan udara
relatif rendah. Adanya perbedaan tekanan udara tersebut, maka udara akan bergerak dari daerah
dengan udara bertekanan tinggi menuju ke daerah dengan udara bertekanan rendah. Perpindahan
udara tersebut yang sehari - hari kita kenal dengan nama angin.
a. Daya Total Energi Angin (Daya input) Daya input total aliran angin yang masuk pada daerah hembusan angin, dengan laju aliran
massa udara ( ), yang mengalir pada suatu penampang (A) dengan kecepatan (v), diperoleh
dengan rumus (Leysen, 1983). Besarnya daya input kinetis dapat dihitung dengan persamaan :
di mana ρ adalah massa jenis udara (kg/m
3), A adalah luas sapuan rotor turbin (m
2), v adalah
kecepatan angin (m/s), Pin adalah daya input (watt)
Sedangkan daya maksimum yang mampu dibangkitkan oleh turbin dapat diperoleh dengan
cara mendiferensialkan daya input terhadap kecepatan dan menjadikan turunannya sama dengan
nol, sehinggan didapat :
b. Daya Aktual (daya output) Besarnya daya keluaran turbin dipengaruhi sudut kecepatan masuk dan sudut kecepatan
aliran meninggalkan sudu. Efisiensi yang didapat diatas dengan mengasumsikan kondisi ideal
sepanjang sudu masuk. Daya keluaran suatu turbin angin tergantung kepada daya input yang
dihasilkan oleh angin, efisiensi aerodinamik rotor, efisiensi transmisi, dan efisiensi generator,
dimana hubungannya ditunjukkan pada persamaan sbb :
dimana efisiensi total dari turbin angin (ηt) yang meliputi efisiensi aerodinamik rotor, transmisi,
dan generator. Harga ini berkisar antara 30 % - 40 %.
Daya poros turbin angin tipe horizontal dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
di mana T adalah torsi (Nm), n adalah kecepatan putaran rotor (rpm), Pt adalah daya yang di
hasilkan (watt)
c. Efisiensi Maksimum (mak)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.21
Efisiensi maksimum atau efisiensi teoritis, dari sebuah turbin angin adalah perbandingan
antara daya maksimum yang dihasilkan terhadap daya input angin yang masuk turbin, jadi
Dengan kata lain, secara teoritis energi angin yang diubah turbin menjadi kerja adalah
sebesar 59,26 % dari total daya yang diberikan angin. Faktor 0,5926 atau 16/27
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan membuat turbin angin tipe kerucut terpancung yang terdiri
dari runner turbin, poros, ekor, dan kerangka. Runner turbin terdiri dari piringan berbentuk kerucut
terpancung dan sudu berbentuk bilah yang dirangkum menjadi satu. Runer yang dibuat mempunyai
sudu yang dapat diatur besar sudutnya. Runner dan sudu dapat dibongkar-pasang pada instalasi
pengujian.
Instalasi pengujian terdiri dari komponen utama blower, turbin angin, Generator listrik atau
dinamometer turbin, yang dilengkapi alat ukur pengujian meliputi anemometer, tachometer,
termometer, Volt meter, Ampere meter dan neraca pegas.
Gambar 1. Turbin angin kerucut terpancung yang direncanakan (1). Piringan turbin, (2).
Kopling, (3). Bearing, (4). Generator, (5). Ekor, (6). Kerangka
Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik turbin, dimana sudut sudu divariasikan
mulai dari sudut 150. Sampai dengan 60
0, sedangkan kecepatan angin bervariasi mulai dari 5 m/s
sampai dengan 9 m/s. Parameter yang diukur dalam pengujian adalah debit aliran, angin, putaran
dan torsi poros turbin, tegangan dan arus generator. Parameter yang ditentukan dan merupakan
variabel dalam penelitian ini adalah sudut sudu, yaitu 150, 30
0, 45
0, 60
0, Beban turbin divariasikan
dan setiap variasi dilakukan pencatatan terhadap parameter-parameter diatas.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Piringan putar (runner) turbin angin yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai
dimensi sebagai berikut : diameter piringan putar terkecil 20 cm, diameter piringan putar terbesar
60 cm, jumlah sudu Z = 10 buah.
Grafik hubungan antara daya mekanik, efisiensi total terhadap putaran turbin pada berbagai
sudut sudu (150, 30
0, 45
0, 60
0), dan pada berbagai kecepatan angin dapat dilihat seperti pada
gambar 2 dan gambar 8, berikut.
B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.22
3.1. Grafik Hubungan antara Putaran Poros dan Efisiensi pada Berbagai Sudut Sudu untuk
Masing-Masing Kecepatan Angin
Dari hasil pengujian dapat digambarkan grafik hubungan antara putaran turbin dengan
efisiensi pada total pada berbagai kecepatan angin dan posisi sudut sudu seperti pada gambar 2
sampai dengan gambar 4.
Seperti pada daya mekanik, hal yang sama juga terjadi pada efisiensi total, yaitu efisiensi
total semakin bertambah besar seiring dengan bertambahnya kecepatan turbin, sampai pada putaran
tertentu efisiensi total akan mencapai maksimum, selanjutnya efisiensi total akan semakin
berkurang meskipun putaran turbin terus bertambah besar. Hal ini sesuai dengan persamaan
efisiensi total, dimana efisiensi total berbanding lurus dengan daya mekanik, sehingga jika daya
mekanik merupakan fungsi dari kuadrat kecepatan, maka efisiensi total juga merupakan fungsi
kuadrat kecepatan, sehingga kurva efisiensi total terhadap putaran juga merupakan garis lengkung
(persamaan kuadrat).
Efisiensi yang dihasilkan turbin pada kecepatan angin 9 m/s, sebesar 10,59 %, pada putaran
turbin 198,6 rpm, dan posisi sudut sudu sebesar 300 (gambar 2), sedangkan pada kecepatan angin 7
m/s, efisiensi yang dihasilkan sebesar 14,78 %, terjadi pada posisi sudut sudu 150 dan putaran
turbin 153,9 rpm (gambar 3), dan pada kecepatan angin 5 m/s, efisiensi yang dihasilkan sebesar
20,57 %, terjadi pada posisi sudut sudu 300 dan putaran turbin 136,7 rpm (gambar 4).
Terlihat dari ketiga grafik tersebut, bahwa efisieni total terbesar yang mampu dihasilkan
adalah sebesar 20,57 % pada kecepatan angin 5 m/s.
Gambar 2. Grafik Hubungan Putaran Poros
dan Efisiensi pada kecepatan Angin 9 m/s
Gambar 3. Grafik Hubungan Putaran Poros
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.23
dan Efisiensi pada kecepatan Angin 7 m/s
Gambar 4. Grafik Hubungan Putaran Poros dan Efisiensi pada kecepatan Angin 5 m/s
3.2. Grafik Hubungan Antara Putaran Terhadap Efisiensi pada Berbagai Variasi Kecepatan
Angin untuk Masing-Masing Bukaan Sudut Sudu.
Dari hasil pengujian, hubungan putaran turbin dengan efisiensi total yang dihasilkan jika
digambarkan sesuai dengan posisi sudut sudu dan pada berbagai harga kecepatan angin dapat
dilihat pada gambar 5 sampai dengan gambar 8.
Pada gambar 5, harga efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 600 dan berbagai variasi
kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s, adalah sebesar 15,35 %., terjadi pada kecepatan angin 5 m/s dan
putaran poros 98,7 rpm, sedangkan pada gambar 6, harga efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu
450 dan berbagai variasi kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s, adalah sebesar 19,64 %, terjadi pada
kecepatan angin 5 m/s dan putaran poros 122,5 rpm.
Pada gambar 7, efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 300 dan berbagai variasi
kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s.adalah sebesar 20,75 %. terjadi pada kecepatan angin 5 m/s saat
putaran poros 136,7 rpm, sedangkan pada gambar 8, efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 150
dan berbagai variasi kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s adalah sebesar 16,22 %., terjadi pada
kecepatan angin 5 m/s saat putaran poros 161,8 rpm.
Gambar 5. Grafik hubungan antara putaran
poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 600
Gambar 6. Grafik hubungan antara putaran
poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 450
B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.24
Gambar 7. Grafik hubungan antara putaran
poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 300
Gambar 8. Grafik hubungan antara putaran
poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 150
4. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian dan analisis Turbin Angin Kurucut Terpancung, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Daya mekanik yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan angin, dan posisi sudut sudu,
semakin besar kecepatan angin semakin besar pula daya mekanik yang dihaslkan. Daya
mekanik tertinggi yang mampu dibangkitkan adalah sebesar 22,58 watt, pada kecepatan angin
sebesar 9 m/s dan posisi sudut sudu sebesar 300.
2. Efisiensi total tertinggi yang mampu dihasilkan turbin pada berbagai posisi sudut sudu terjadi
pada kecepatan angin 5 m/s. yaitu sebesar 20,75 % pada posisi sudut sudu 300.
3. Nilai efisiensi tertinggi untuk setiap bukaan sudut sudu, pada kecepatan angin 5 m/s adalah
sebagai berikut : Sudut sudu 600, efisiensi sebesar 15,35%, Sudut sudu 45
0, efisiensi sebesar
19,64%, Sudut sudu 300, efisiensi sebesar 21,27%, Sudut sudu 15
0, efisiensi sebesar 16,22%
DAFTAR PUSTAKA
Ammara I., Masson C., Leclerc C., A Viscous Three-Dimensional Differential/Actuator-Disk
Method for the Aerodynamic Analysis of Wind Farms,
AWEA. 2004. The American Wind Energy Association. http://www.awea.org diakses tanggal 4
April 2012
Conway J.T., Exact Actuator Disk Solutions for non-uniform heavy loading and slipstream
contraction, J. Fluid Mechanics, Vol. 365, pp. 235-267, (1998).
Lysen, EH. 1983. Introduction to Wind Energy. 2nd Edition, Amersfoort, Netherlands, Consultancy
Services Wind Energy Developing Countries
Master Flow Energy, Wind Funnel Turbine. http://www.vortexwindfunnel.com, diakses tanggal 6
April 2012
Masson C., Leclerc C., Predictions of Unsteady HAWT Aerodynamics, Proceedings of
WINDPOWER' 98, pp. 385-394, Bakers¯eld, 1998.
Masson C., Leclerc C., Wind Turbine Performance Predictions using a Di®erential Actuator-
Lifting Disk Modeling
Wall Such as a Stent. Weber et al, US 6,743,463 B2, Jun. 1, 2004.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.25
ANALISIS EFEK HOT EGR TERHADAP PERFORMA DAN EMISI JELAGA
PADA MOTOR DIESEL DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR
CAMPURAN BIOSOLAR DAN JATROPHA BIODIESEL
Jhonni Rentas Duling
Magister Teknik Mesin UNDIP
Jl.Prof. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang E-mail: r3ntas@gmail.com
Abstrak
Dalam rangka mencari solusi, krisis energy yang mulai terasa melanda dunia, maka disini
akan dicoba untuk mengembangkan sumber energy yang bukan merupakan bahan pangan
manusia maupun bahan pakan ternak. Untuk itu penelitian eksperimen ini, bertujuan untuk
mengetahui efek Exhaust Gas Recirculation (EGR) type panas, terhadap performa dan emisi
jelaga, pada motor diesel Isuzu Panther type C223 yang umum digunakan di Indonesia,
dengan menggunakan bahan bakar campuran biosolar dan jatropha biodiesel. Dalam
experiment output EGR dapat di tentukan pada temperatur 70°C sampai 100°C. Selain itu,
juga diberikan variasi dalam beban, rpm, % EGR dan komposisi campuran bahan bakar.
Jatropha biodiesel yang digunakan adalah produksi lokal, sehingga hasil experiment
diharapkan dapat diaplikasikan langsung oleh masyarakat. Hasil yang diperoleh, performa
campuran biosolar dengan jatropha tidak jauh berbeda dengan performa biosolar murni,
seperti yang terlihat pada daya, untuk EGR 10.3 % dengan beban 100% dengan variasi
putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan bakar
B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%, mempunyai daya 28,47 kW. Emisi rata-rata
terendah diperoleh pada campuran, Biosolar 80% jatropha 20%.
Kata kunci: Hot EGR, performa, jelaga, motor diesel, jatropha.
1. PENDAHULUAN
Cadangan migas Indonesia, dari seluruh sumber yang telah di eksplotasi sekarang,
berjumlah sekitar 4.2 miliar barrel atau hanya cukup untuk sekitar 10 tahun kedepan, walaupun
masih mempunyai cadangan 55 milliar barrel tapi belum bisa diambil dengan teknologi yang ada
sekarang.( Harjono, 2010) Demikian juga keadaan dinegara-negara lain diseluruh dunia, tidak
begitu jauh berbeda dengan keadaan Indonesia, jadi krisis energi itu sudah ada didepan mata, dan
ini merupakan problem yang harus cepat dicari solusinya.
Sebagai langkah antisipasi menghadapi krisis, maka bidang-bidang stategis yang utama
harus diperhatikan seperti transfortasi dan industry. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia yang bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia diketahui jumlah kendaraan dengan
jenis bus dan truck yang menggunakan motor diesel pada tahun 2010 saja, sudah berjumlah
6.937.898 unit,(BPS,2010) belum lagi ditambah jumlah motor diesel yang digunakan pada bidang
industry dan bidang lainnya, ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi motor diesel, sehingga
harus diberikan perhatian secara khusus.
Agar motor diesel ini dapat terhindar dari krisis, maka harus dilakukan konservasi dan
diversifikasi pada bahan bakarnya, dengan cara mencari bahan bakar alternative yaitu biodiesel,
biodiesel ini bisa dibuat dari berbagai macam bahan, baik dari bahan pangan maupun bahan non
pangan. Tapi agar dapat dikembangkan dengan baik maka harus berasal dari bahan non pangan
agar tidak bentrok dengan kebutuhan pangan yang akan menimbulkan masalah dikemudian hari.
Bahan dasar pembuatan biodiesel dari bahan non pangan ini seperti biji bunga matahari,
alga, pungamia, biji karet, jatropha (jarak pagar) dan banyak lagi yang lainnya.
Dari bahan biodiesel, yang bukan termasuk bahan pangan diatas, jatrophalah yang paling
menarik, dari penelitian sebelumnya diketahui, jatropha mempunyai kelebihan, seperti bisa tumbuh
dengan baik pada tanah yang kurang subur, dan kelebihannya bila dibandingkan dengan bahan
bakar motor diesel konvensional (solar), adalah tidak mengandung belerang atau zat aromatic,
mengandung oksigen sampai kadar 10%, hal ini tentunya sangat menguntungkan untuk bahan
bakar karena akan membuat, zat hidro karbon pada bahan bakar dapat lebih banyak terbakar dan
B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.26
menghasilkan energy panas. Dalam hal pembakaran, konsumsi bahan bakar, output daya dan torsi
pada motor, relatif tidak terpengaruh oleh jatropha biodiesel ini. ( M. Gomaa, 2011)
Kekurangannya jika dibandingkan bahan bakar diesel hanya mempunyai nilai emisi NOx
(nitrogen oxides) yang lebih tinggi. ( M. Gomaa, 2011)
Dari penelitian sebelumnya, diketahui masalah ini dapat diatasi, dengan beberapa metode
yang telah ada, diantaranya memperlambat timing penyemprotan bahan bakar, sayangnya, cara ini
malah mengakibatkan borosnya bahan bakar, sebesar 10 - 15%. Kemudian bisa juga dengan
mensirkulasi exhaust gas kembali ke dalam ruang bakar atau dikenal dengan metode EGR.
(Agrawal, 2003)
Dengan metode EGR ini, penurunan emisi NOx, bisa dilakukan dengan dua cara, baik
dengan cara dingin, yaitu dengan melakukan pendinginan pada exhaust gas yang disalurkan
kembali keruang bakar maupun cara panas yaitu dengan menyalurkan exhaust gas keruang bakar
dengan tanpa melakukan pendingin atau diberi tambahan pemanas, agar output EGR dapat
ditentukan pada suhu tertentu, kedua cara ini sama-sama bisa menurunkan temperature ruang
bakar, hingga dibawah suhu 20000K, sehingga emisi NOx tidak bisa terbentuk.
Sayangnya lagi, bila temperature ruang bakar,berada pada 20000K atau turun dibawah suhu
itu, hal ini akan memicu terbentuknya emisi jelaga (soot).
EGR memang akan mengakibatkan berbagai efek pada motor diesel, khususnya efek hot
EGR, terhadap performa dan emisi motor diesel belum betul-betul diketahui, sehingga dilaporkan
hasilnya masih bisa positif atau negatif (Alain Maiboom, 2007).
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah, mencoba lebih dalam menggali tentang
efek dari hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga pada motor diesel dengan menggunakan
bahan bakar campuran biodiesel jatropha dan biosolar, agar dapat diketahui, pada campuran dan
perlakuan seperti apa, campuran ini, dapat digunakan dengan baik, sebagai bahan bakar pada motor
diesel.
1.1. Efek terhadap performa
Perhitungan performa dilakukan dengan parameter dibawah ini :
1. Daya Pengereman
2. Tekanan Efektif Rata-Rata
3. Konsumsi Bahan Bakar Spesifik
4. Perbandingan Udara Bahan Bakar (Air/Fuel Ratio)
5. Effisiensi Volumetris
6. Effisiensi Konsumsi Bahan Bakar
1.2. Efek terhadap emisi
Parameter emisi adalah opacity yang dihitung dari data density asap hasil pengukuran
.……..(1)
(SAE, 2006)
Dimana :
= Opacity dalam %
k = Density asap (m-1
)
L = Panjang efektive path optic (m)
2. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan, dalam penelitian ini adalah metode experiment, dengan detail sebagai
berikut :
1) Material Penelitian
Nilai kalori bahan bakar yang digunakan:
Tabel 1. Nilai kalori bahan bakar No. Nama campuran bahan bakar Kalori/g
1. Biosolar 100 % 10801.2
2. Campuran biosolar 90% jatropha10% 10588.0
3. Campuran biosolar 80% jatropha 20% 10368.2
4. Campuran biosolar 70% jatropha 30% 10133.1
(Lab.Thermofluid Teknik Mesin UNDIP)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.27
Komposisi campuran bahan bakar :
D100 (Biosolar 100%)
B10D90 (Campuran biosolar 90% jatropha10% )
B20D80 (Campuran biosolar 80% jatropha 20%)
B30D70 (Campuran biosolar 70% jatropha 30%)
2) Peralatan Penelitian
1. Motor diesel 4 silinder Isuzu panther, dipasang EGR panas dan dingin dilengkapi pemanas
dan pendingin (heat exchanger shell and tube counter flow), spesifikasi motor diesel : - Type Motor : Diesel, swirt, OHV, C 233
- Jumlah silinder : 4 buah segaris (inline)
- Diameter langkah : 85 x 98 mm
- Volume silinder : 2238 cc
- Daya maksimum : 52,4 / 3000 ( HP/rpm).
- Torsi maksimum : 142,4/2250 (N.m/rpm).
- Tekanan kompresi : 21 : 1
2. Alat ukur temperatur thermocopel dipasang pada exhause, pada intake manifol, pada ouput
EGR dan pada intake manifol setelah output EGR.
3. Alat pengukur tekanan manometer dengan plat orifis pada intake dan pada input EGR.
4. Alat pengukur daya dynamometer merek dynomite Land&Sea
5. Alat pengukur emisi Stargas 898 dan Smokemeter OTC 495
6. Tachometer
7. Stopwatch
3) Variabel Penelitian
1. Variabel bebas yaitu :
o Campuran bahan bakar D100; D90B10; D80B20; D70B30.
o Katup input EGR : Bukaan 0.25 ;0.50; 0.75; 1(penuh).
o Beban : bukaan katup : 0.25 ;0.50; 0.75; 1(penuh).
o Temperatur heater : non heater; 700,80
0,90
0,100
0 Celsius.
o Putaran motor diesel : 1300 rpm; 1700rpm; 2100rpm; 2500 rpm.
2. Variabel terikat yaitu :
o Tekanan manometer intekmanifol
o Tekanan manometer input EGR
o Volume minyak 20 ml
o Waktu per 20 ml bahan bakar
o Temperatur exhause.
o Temperatur input EGR
o Temperatur output EGR
o Temperatur intek manifol
o Temperatur ruangan
o Temperatur motor diesel
o Opacity
4) Diagram Alir Pengujian dan Setup Experimen
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Gambar 2. Setup Experiment
B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.28
3. Hasil dan Pembahasan
1. Data hasil pengujian daya dari tiga campuran biodiesel dengan biosolar
Gambar 3. Gambar 4.
Grafik hubungan Daya dan variasi EGR Grafik hubungan BMEP dan variasi EGR
Pada gambar 3 menunjukkan grafik hubungan P dengan variasi EGR untuk beban 100%
dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dengan variasi campuran
bahan bakar B10D90,B20D80,B30%D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan
campuran bahan bakar tidak terlalu berpengaruh dengan daya yang dihasilkan, hasil daya untuk
kenaikan EGR dari 0%-12,5% hampir sama. Untuk campuran 30% terlihat performanya mulai
menurun pada putaran tinggi dikarenakan daya bakarnya menurun sehingga berpengaruh pada daya
motor. Daya menurun pada EGR 12,5% dengan menggunakan campuran bahan bakar 30%,
dikarenakan ignation delay semakin panjang maka tekanan P akan mengalami penurunan dan hal
ini juga berpengaruh pada penurunan daya.
2. Data hasil pengujian BMEP dari tiga campuran biodiesel dengan biosolar.
Pada gambar 4. menunjukkan grafik hubungan BMEP dengan variasi EGR untuk beban
100% dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C dengan variasi
campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa
kenaikan campuran bahan bakar tidak terlalu berpengaruh dengan daya yang dihasilkan, hasil daya
untuk kenaikan EGR dari 0%-12,5% hampir sama. Untuk campuran yang 30% terlihat
performanya mulai menurun pada putaran tinggi dikarenakan daya bakarnya menurun sehingga
berpengaruh pada daya mesin. Daya menurun pada EGR 12,5% dengan menggunakan campuran
bahan bakar 30%, dikarenakan ignation delay semakin panjang maka BMEP tekanan akan
mengalami penurunan dan hal ini juga berpengaruh pada penurunan daya.
3. Data Hasil Pengujian ϕ(FARaktual/FARstokiometri)
Gambar 5. Gambar 6.
Grafik hubungan dan variasi EGR. Grafik hubungan Konsumsi dan variasi EGR.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.29
Pada gambar 5. menunjukkan grafik hubungan ϕ dengan variasi EGR untuk beban 100%
dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C dengan variasi campuran
bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan
EGR berpengaruh terhadap hasil perhitungan nilai ϕ. Nilai konsumsi bahan bakar berbanding lurus
dengan % EGR dan temperatur EGR, serta berbanding terbalik dengan nilai rpm dan torsi.
Sedangkan nilai ṁa berbanding terbalik dengan %EGR
4. Data Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar.
Pada gambar 6 menunjukkan grafik hubungan konsumsi bahan bakar dengan variasi EGR
untuk beban 100% dan variasi putaran motor 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dengan
variasi campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat
bahwa kenaikan % EGR berpengaruh pada nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar.
Konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh peningkatan temperatur EGR, N (rpm) dan T (Nm).
Semakin tinggi EGR dan temperatur EGR maka nilai konsumsi bahan bakar semakin kecil. Dari
grafik di atas terlihat bahwa konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan oleh campuran bahan bakar
30% lebih sedikit dibandingkan dengan campuran bahan bakar 20%,10% dan biosolar murni.
Peningkatan konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh besarnya campuran karena semakin besar
campuran maka viskositasnya juga semakin meningkat. Hal ini akan menyebabkan penguapan di
ruang bakar akan rendah. Sehingga dapat di simpulkan semakin banyak campuran bahan bakar
jatropa dengan biosolar maka konsumsi bahan bakar semakin irit.
5. Data Hasil Pengujian Efisiensi Bahan Bakar (ηƒ)
Gambar 7. Gambar 8.
Grafik hubungan ηƒ dan variasi EGR Grafik hubungan ηv dan variasi EGR
Pada gambar 7. Menunjukkan grafik hubungan ηƒ dengan variasi EGR untuk beban 100%
dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C serta variasi campuran bahan
bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan % EGR
berpengaruh pada hasil perhitungan ηƒ. Untuk bahan bakar biosolar nilai (QHV = 45,214 Mj/kg)
paling kecil dibandingkan dengan nilai QHV pada campuran 10%,20%dan 30% , dan nilai QHV
yang paling tinggi adalah pada campuran 30% yaitu 42,147 Mj/kg. Semakin kecil nilai QHV maka
nilai ηƒ akan semakin besar.
6. Data Hasil Pengujian Efisiensi Volumetrik (ηv).
Pada gambar 8. menunjukkan grafik hubungan ηv dengan variasi EGR untuk beban 100%
dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan
bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan %EGR
berpengaruh pada hasil perhitungan ηv. Untuk penggunaan jatropha yang semakin tinggi akan
berbanding lurus dengan laju aliran massa udara sehingga ηv semakin meningkat. Hal ini
dikarenakan semakin banyak campuran bahan bakar maka semakin banyak dibutuhkan udara untuk
pembakaran.
7. Data Hasil Pengujian Opacity.
Pada gambar 9. menunjukkan grafik hubungan ηv dengan variasi EGR untuk beban 100%
dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan
B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.30
bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan % EGR
dan tingginya kadar campuran berpengaruh pada opacity gas exhaust, terutama pada tingkat EGR
tinggi, nilai opacity rata-rata rendah dari biosolar adalah campuran B20 D80.
Gambar 9. Grafik hubungan opacity dengan variasi EGR
4. KESIMPULAN
1. Dari segi performa campuran biosolar dan jatropha biodiesel masih layak digunakan untuk
bahan bakar diesel, seperti yang terlihat pada grafik 3, daya untuk EGR 10.3 % dengan
beban 100% dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan
variasi campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30%D70 dan Biosolar 100%,
mempunyai daya 28,47 kW.
2. Dari segi emisi campuran 20% jatropha dan 80% biodiesel, mempunyai emisi rata-rata
dibawah biosolar.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, Avinash Kumar, Singh, Srivastava, 2003 “Effect of EGR on exhaust gas temperature
exhaust opacity in compression ignation engines”, Environmental engineering and
management, India Institut of Teknology.
Badan pusat statistic, 2010, “Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun
1987-2010”.
Harjono, Yulvianus ,2010 “Cadangan minyak Indonesia tinggal 10 tahun”, Koran Kompas, 1(2), 5-
5.
M. Gomaa, AJ Alimin,KA. Kamarudin, 2010, “Trade-off between NOx Soot and EGR rate for an
IDI diesel engine fuelled with JB5”,World Academy of Science Engineering and
Technology.
M. Gomaa, AJ Alimin,KA. Kamarudin, 2011, “The effect of EGR rates on NOx and smoke
emissions of an IDI diesel engine fuelled with Jatropha biodiesel blends”, International
Journal of Energy and Environment (IJEE),, Volume 2, Issue 3.
Society of Automotive Engineers SAE J1667 Recommended Practice, 2006, “Snap Acceleration
Smoke Test Procedure for HeavyDuty Powered Vehincles”, Society of Automotive
Engineers Inc.
Alain Maiboom_, Xavier Tauzia, Jean-Franc-ois He´ tet, 2007, “Experimental study of various
effects of exhaust gas recirculation (EGR) on combustion and emissions of an automotive
direct injection diesel engine” UMR 6598 CNRS, Ecole Centrale de Nantes, BP 92101,
44321 Nantes Cedex 3, France.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.31
ANALISA PERFORMA MESIN DIESEL DENGAN SISTEM
VENTURI SCRUBBER – EGR MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR CAMPURAN
SOLAR – MINYAK JARAK
Stefan Mardikus
Magister Teknik Mesin UNDIP
Jl.Prof. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang E-mail: stefanmardikus@ymail.com
Abstrak
Mesin diesel telah dikenal sebagai jenis motor bakar yang mempunyai efisiensi tinggi. Salah
satu keunggulan mesin diesel adalah sistem pembakarannya menggunakan compression-
ignition sehingga memungkinkan tercapainya tekanan awal yang tinggi sebelum terjadi proses
pembakaran. Hal ini menjadikan mesin diesel mempunyai fleksibilitas jenis bahan bakar yang
bisa digunakan. Salah satunya adalah minyak nabati (biofuel). Jatropha telah dikenal sebagai
bahan bakar alternatif terbarukan yang menarik yang dihasilkan dari minyak nabati. Oleh
karena itu penggunaan Jatropha adalah pilihan yang tepat sebagai alternatif bahan bakar
untuk mesin diesel dalam menghadapi krisis minyak bumi di dunia. EGR (Exhaust Gas
Recirculaing) pada mesin disel digunakan untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar dan
menurunkan konsumsi bahan bakar. Cold EGR adalah suatu metode yang digunakan untuk
mensirkulasikan gas buang kembali ke intake manifold. Pada penelitian ini, gas buang yang
disirkulasikan didinginkan terlebih dahulu dengan menggunakan venturi scrubber. Dalam hal
ini, gas buang sebelum masuk kembali ke ruang bakar temperaturnya diturunkan menjadi
60oC, 50
oC, 40
oC, dan 37
oC. Pengujian ini dilakukan dengan beberapa variasi, yaitu variasi
beban, rpm, % EGR, temperatur EGR, dan variasi campuran jatropha - solar. Dari hasil
penelitian ini diperoleh bahwa peningkatan dan penurunan nilai Daya, BMEP, dan ϕ tidak
terlihat signifikan dengan adanya Cold EGR. Yang mempengaruhi nilai tersebut adalah
peningkatan beban dan rpm. Penggunaan Cold EGR dengan variasi campuran bahan bakar
menyebabkan nilai ṁƒ semakin turun, ηf meningkat dan ηv turun dibandingkan tanpa
menggunakan cold EGR.
Kata kunci: mesin diesel, Venturi Scrubber - EGR, campuran solar – minyak jarak
PENDAHULUAN
Penggunaan mesin diesel berkembang pula dalam bidang otomotif, antara lain untuk
angkutan berat, traktor, dsb. Salah satu keunggulan mesin diesel adalah sistem pembakarannya
menggunakan compression-ignition yang tidak memerlukan busi. Sistem ini memungkinkan
tercapainya tekanan awal yang tinggi sebelum terjadi proses pembakaran. Hal ini akan
meningkatkan thermal-efficiency dibandingkan sistem yang lain. Keunggulan yang lain adalah
fleksibilitas jenis bahan bakar yang bisa digunakan. Karena pembakaran yang terjadi tidak
memerlukan pengontrolan bunga api, maka berbagai jenis bahan bakar bisa dipakai. Misalnya,
minyak tanah, alkohol, biofuel (minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, dsb), emulsi
(campuran air dan solar), dsb.
Disamping keunggulan yang dimiliki, mesin diesel juga memiliki masalah yang
berhubungan dengan pencemaran udara yaitu asap serta gas buang khususnya Nitrogen Oxide
(NOx). Selama beberapa tahun terakhir, perundang-undangan emisi ketat telah dikenakan pada
NOx dan asap yang dikeluarkan dari mesin diesel. Mesin diesel biasanya ditandai dengan konsumsi
bahan bakar rendah dan sangat rendah emisi CO. Namun, emisi NOx dari mesin diesel masih tetap
tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan,
jumlah NOx yang dilepaskan ke udara harus dikurangi.[Asif Faiz,1996]
EGR (Exhaust Gas Recirculation) merupakan salah satu metode yang dapat mengurangi
emisi gas buang sekaligus meningkatkan efisiensi bahan bakar. Prinsip kerja dari EGR adalah
dengan mensirkulasikan aliran gas buang kembali ke dalam engine . Temperatur gas buang yang
akan masuk kembali ke engine dapat disesuaikan dengan menempatkan heater (Hot EGR) atau
B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.32
cooler (Cold EGR) atau kombinasi keduanya EGR pada sisi intake manifold. Penggunaan EGR
dapat diterapkan pada mesin diesel maupun mesin bensin.
Meskipun penggunaan EGR dapat mereduksi emisi NOx yang dihasilkan dari pembakaran
pada mesin diesel, namun dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, emisi soot (jelaga) masih
tetap tinggi. Penggunaan DPF (diesel particulate filter) atau SCR (selective catalytic reduction)
dapat menjadi teknologi yang tepat untuk dipadukan dengan EGR. Namun baik DPF maupun SCR,
keduanya bukan merupakan teknologi yang murah untuk masyarakat Indonesia umumnya.
Sehingga diperlukan suatu alat yang selain murah dan mekanismenya sederhana, juga dapat
mengurangi emisi soot dari pembakaran mesin diesel.
Pada penelitian ini digunakan venturi scrubber sebagai cooler dan particulate trap pada
EGR. Gas buang yang disirkulasikan kembali ke ruang bakar terlebih dahulu dilewatkan pada
venturi untuk dikontakkan dengan scrub air sehingga temperatur gas turun dan sebagian jelaga
terperangkap. Penelitian ini meneliti pengaruh Venturi Scrubber - EGR terhadap performa mesin
diesel dengan bahan bakar campuran minyak jarak (jatropha) dan solar. Biodiesel telah dikenal
sebagai bahan bakar alternatif terbarukan yang menarik meskipun biodiesel dihasilkan dari minyak
nabati sangat mahal dibandingkan konvensional diesel. Oleh karena itu, penggunaan biodiesel dari
minyak nabati non-pilihan jauh lebih baik. Saat ini Jatropha biodiesel (JBD) menerima perhatian
sebagai alternatif bahan bakar untuk mesin diesel.[M. Gomaa,2010]
METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini akan dilakukan variasi campuran bahan bakar solar 90% dan jatropha
10%, solar 80% dan jatropha 20%, dan solar 70% dan jatropha 30%. Setiap variasi campuran
bahan bakar akan dilakukan pengujian dengan variasi putaran mesin dari 1300, 1700, 2100 dan
2500 rpm dengan variasi beban 25%, 50%, 75%, dan 100%. Pengujian ini juga akan diberikan
EGR dengan variasi bukaan dari 25%, 50%, 75%, dan 100% terhadap variasi penurunan temperatur
venture scrubber dari 60 0C ke 50
0 C, 40
0C, 37
0C. Pada pengujian ini dimaksudkan untuk
mengetahui pengaruh prestasi mesin diesel seperti daya, torsi, AFR, konsumsi bahan bakar pada
kondisi pembebanan, dengan kenaikan suhu udara yang masuk pada intake manifold dan kenaikan
prosentase jatropha pada campuran bahan bakar. Penelitian ini menggunakan mesin diesel 4
silinder, 4 langkah IDI dengan skema alat dan spesifikasi mesin sebagai berikut ;
Gambar 1. Deskripsi alat uji
Keterangan:
1. Mesin diesel
2. Venturi scrubber
3. Termokopel T3
4. Heater
5. Termokopel T1
6. EGR orifice
7. Termokopel T2
8. Manometer EGR
9. Katup EGR
10. Dinamometer
11. Buret
12. Termokopel T4
13. Manometer intake
14. Termokopel T5
15. Intake orifice
16. Penampung
17. Katup
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.33
Tabel 1. Spesifikasi mesin
HASIL DAN PEMBAHASAN
(a) (b)
Gambar 2. a. menunjukan hubungan antara daya (P) dan % EGR dan b. menunjukan hubungan
antara konsumsi bahan bakar dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar Solar, B10S90,
B20S80, dan B30S70 pada 2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.
Pada gambar 2.a, terlihat bahwa kenaikan campuran bahan bakar sedikit berpengaruh
terhadap daya yang dihasilkan. Semakin tinggi campuran biodiesel dalam solar, daya yang
dihasilkan semakin turun. Hal ini dikarenakan densitas bahan bakar semakin naik, sedangkan QHV
semakin menurun sehingga ignition delay semakin panjang yang mengakibatkan daya menurun.
Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai daya untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70
terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%. Dari hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemakaian biodiesel (jatropha) sebanyak 30% sebagai campuran bahan bakar
diesel masih layak untuk digunakan. Pada gambar 2.b, terlihat bahwa kenaikan % EGR
berpengaruh pada nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar. Konsumsi bahan bakar
dipengaruhi oleh peningkatan temperatur EGR, N (rpm) dan T (Nm). Semakin tinggi EGR dan
temperatur EGR maka nilai konsumsi bahan bakar semakin kecil. Dari grafik di atas terlihat bahwa
konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan oleh B30S70 lebih kecil dari B20S80, B10S90, dan solar
murni. Peningkatan konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh besarnya campuran karena semakin
besar campuran maka viskositas dan densitasnya juga semakin meningkat. Peningkatan viskositas
akan menyebabkan penguapan di ruang bakar semakin rendah. Sedangkan peningkatan densitas
Spesifikasi Uraian
Tipe Mesin C223, Pendinginan air, 4 langkah
sejajar, tipe katup atas
Jumlah silinder - garis tengah x
langkah (mm) 4 - 88 x 92
Isi silinder (cc) 2.238
Perbandingan kompresi 21:1
Timing injeksi bahan bakar 10°
Tekanan awal injeksi (kg/cm2) 105
Tekanan kompresi (kg/cm2) 31 pada 200 rpm
Panjang x lebar x tinggi (mm) 741 x 546 x 716
0 12 14 16 18 20 22
06
8
10
12
P (
kW
)
% EGR
Solar
B10S90
B20S80
B30S70
0 12 14 16 18 20 22
0.0
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6K
onsum
si bahan b
akar
(ml/s)
% EGR
Solar
B10S90
B20S80
B30S70
B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.34
akan menyebabkan tekanan fuel injector menurun sehingga laju aliran bahan bakar yang masuk ke
ruang bakar juga menurun. Penurunan tekanan tersebutlah yang menyebabkan ignition delay
semakin panjang sehingga mempengaruhi daya yang dihasilkan. Dari gambar 2.b, dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi campuran biodiesel dalam solar, maka konsumsi bahan bakar
menjadi semakin rendah. Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai konsumsi bahan bakar untuk
bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 5,79%,
14,85%, dan 19,21%.
(a) (b)
Gambar 3. a. menunjukan hubungan antara ϕ dan % EGR dan b. menunjukan hubungan antara ηƒ
(%) dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar Solar, B10S90, B20S80, dan B30S70 pada
2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.
Pada gambar 3.a. terlihat bahwa kenaikan % EGR berpengaruh dengan hasil perhitungan
nilai ϕ. Semakin besar % EGR, nilai ϕ semakin kecil. Hal ini disebabkan karena nilai konsumsi
bahan bakar dan nilai ṁa berbanding terbalik dengan % EGR. Semakin besar % EGR, konsumsi
bahan bakar dan udara luar yang masuk semakin kecil, digantikan dengan gas buang yang masuk.
Pada bahan bakar solar, penurunan konsumsi bahan bakar lebih besar daripada prosentase
penurunan udara pembakaran sehingga nilai ϕ cenderung mengalami penurunan. Sedangkan pada
bahan bakar campuran minyak jarak - solar, penurunan konsumsi bahan bakar cenderung
sebanding dengan penurunan udara pembakaran sehingga variasi % EGR tidak memberikan efek
yang signifikan terhadap penurunan nilai ϕ. Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai ϕ untuk
bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap bahan bakar solar berturut-turut adalah
sebesar 23,46%, 34,42%, dan 40,69%. Pada gambar 3.b, terlihat bahwa kenaikan % EGR
berpengaruh pada hasil perhitungan ηƒ. Berdasarkan persamaan 2.10, ηƒ berbanding terbalik dengan
nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar dan harga kalori bahan bakar (QHV), dan berbanding
lurus dengan daya. Untuk bahan bakar solar nilai QHV (45,214 Mj/kg) paling besar dibandingkan
dengan nilai QHV pada B10S90, B20S80, dan B30S70. Nilai QHV yang paling rendah adalah pada
B30S70 yaitu 42,147 Mj/kg. Semakin kecil nilai QHV maka nilai ηƒ akan semakin besar. Sedangkan
pengaruh daya tidak terlalu signifikan karena penurunan daya sebagai efek dari kenaikan
prosentase campuran biodiesel relatif kecil. Nilai ηƒ dari gambar di atas terlihat terlalu kecil untuk
kapasitas mesin diesel dalam pengujian. Hal tersebut terjadi karena pembebanan yang diberikan
pada mesin cukup kecil sehingga brake power yang dihasilkan masih jauh dari harga maksimalnya.
Meskipun demikian, dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi campuran
biodiesel dalam solar, maka ηƒ menjadi semakin tinggi pula. Pada variasi 20,9% EGR, kenaikan
nilai ηƒ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah
sebesar 4,97%, 17,67%, dan 26,05%.
0 12 14 16 18 20 22
0.0
0.2
0.4
0.6
% EGR
Solar
B10S90
B20S80
B30S70
0 12 14 16 18 20 22
0,0
10
15
20
25
f (%
)
% EGR
Solar
B10S90
B20S80
B30S70
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.35
Gambar 4. Menunjukan hubungan antara ηv (%) dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar
Solar, B10S90, B20S80, dan B30S70 pada 2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.
Dari gambar 4, terlihat bahwa kenaikan % EGR berpengaruh pada hasil perhitungan ηv.
Semakin tinggi % EGR, maka nilai ηv semakin kecil karena sebagian udara luar yang masuk ke
intake manifold digantikan oleh gas buang dari EGR. Peningkatan campuran biodiesel juga
mempengaruhi nilai ηv yang dihasilkan. Semakin tinggi prosentase campuran biodiesel, maka ṁa
semakin meningkat sehingga ηv juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin banyak
campuran bahan bakar, maka semakin banyak dibutuhkan udara untuk pembakaran. Pada variasi
20,9% EGR, kenaikan nilai ηv untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar
berturut-turut adalah sebesar 2,07%, 2,57%, dan 2,76%.
KESIMPULAN
Dari penelitian pengaruh Venturi Scrubber - EGR (Exhaust Gas Recirculation) dan variasi
campuran bahan bakar jatropha - solar terhadap performa mesin diesel, dapat diambil kesimpulan:
1. Nilai daya dipengaruhi oleh beban dan rpm, semakin meningkat nilai beban dan rpm, maka
daya yang dihasilkan juga semakin besar, begitu juga sebaliknya. Penggunaan Venturi
Scrubber - EGR tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan daya,
sedangkan semakin banyak campuran jatropha dalam solar, maka daya yang dihasilkan
semakin turun. Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan
putaran 2500 rpm, penurunan nilai daya untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70
terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%.
2. Nilai BMEP dipengaruhi oleh torsi dan rpm, dimana torsi dipengaruhi oleh beban. Beban
didapatkan dari bukaan katub beban dan putaran mesin. Penggunaan Venturi Scrubber - EGR
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan BMEP, sedangkan semakin
banyak campuran jatropha dalam solar, maka BMEP yang dihasilkan semakin turun. Pada
variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,
penurunan nilai BMEP untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar
berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%.
3. Konsumsi Bahan Bakar meningkat dengan meningkatnya beban dan putaran mesin, dan
menurun dengan semakin meningkatnya % EGR dan campuran minyak jarak dalam solar.
Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,
penurunan nilai konsumsi bahan bakar untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70
terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 5,79%, 14,85%, dan 19,21%.
4. Nilai ϕ meningkat dengan meningkatnya beban dan putaran mesin, dan menurun dengan
semakin meningkatnya % EGR dan campuran minyak jarak dalam solar. Pada variasi
pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm, penurunan
nilai ϕ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap bahan bakar solar berturut-
turut adalah sebesar 23,46%, 34,42%, dan 40,69%.
0 12 14 16 18 20 22
0
72
76
80
v (
%)
% EGR
Solar
B10S90
B20S80
B30S70
B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.36
5. Nilai ηƒ meningkat dengan meningkatnya beban, putaran mesin, % EGR, dan campuran
minyak jarak dalam solar. Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR
60oC, dan putaran 2500 rpm, kenaikan nilai ηƒ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan
B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 4,97%, 17,67%, dan 26,05%.
6. Efisiensi volumetrik meningkat dengan meningkatnya beban dan dan campuran minyak jarak
dalam solar, dan menurun dengan semakin meningkatnya putaran mesin dan % EGR. Pada
variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,
kenaikan nilai ηv untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-
turut adalah sebesar 2,07%, 2,57%, dan 2,76%.
DAFTAR NOTASI/ISTILAH
Simbol Keterangan
BMEP Tekanan efektif rata-rata pengereman
Massa jenis udara
Massa jenis bahan bakar
QHV Harga panas dari bahan bakar
Efisiensi bahan bakar
Efisiensi volumetric
Rasio ekuivalen
DAFTAR PUSTAKA
Asif Faiz, Walsh Michael P, Weaver Christopher S. 1996.”Air Pollution From Motor
Vehicles, Standards and Technologies for Controlling Emissions”, The World
Bank Washington, D.C, USA.
M. Gomaa, A.J. Alimin,K.A. Kamarudin. 2010.”Trade-off between NOX, Soot and EGR
rates foran IDI diesel engine fuelled with JB5”. Engineering and Technolog, World
Academy Of Science.
Priambodo, Ir. Bambang. 1995. “Operasi dan Pemeliharaan Mesin Diesel”, Jakarta:
Erlangga.
Heywood, John B.L. 1988. “Internal Combustion Engine Fundamentals”, McGraw-Hill,
Inc, United States of America,
Tobias Husberg, Savo Gjirja, Ingemar Denbratt. 2004. “Visualitation of EGR Influence on
Diesel Combustion With Long Ignition Delay In a Heavy-Duty Enggine”, Chalmers
University of Technology, SAE International,
Avinash Kumar Agrawal, Shrawan Kumar Singh, Shailendra Sinha, Mritunjay Kumar
Shukla. 2003. “Effect of Egr on the Exhaust Gas Temperature And Exhaust”,
Indian Institute of Technology, Kanpur, India.
Holman, J.P. 1986. ”Heat Transfer”, McGraw-Hill Book Co, Singapore.
Cengel, Yunus A.2006. “Thermodynamics An Engineering Approach”, 5th 1ed, McGraw-
Hill.
Perry, Robert H. and Green, Don W.1984. “Perry's Chemical Engineers' Handbook (Sixth
Edition ed.)”, McGraw Hill, ISBN 0-07-049479-7,.
Fox, Robert W dan Alan T. Mc Donald. 1994. Introduction to Fluid Mechanics, fourth
edition, SI Version, John Wiley & Sons, Inc, Canada.
Rajan. K, K.R. Senthil Kumar. 2009. The Effect of Exhaust Gas Recirculation (EGR) on
the Performance and Emission Characteristics of Diesel Engine with Sunflower Oil
Methyl Ester, International Journal of Chemical Engineering Research, Volume 1,
Number 1 , pp. 31–39.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.37
PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN
DENGAN SISTEM TRAY DRYING
Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat
Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP
Jl. Prof H. Sudharto, SH, Tembalang, Semarang E-mail : bsetyoko@ymail.com, HP : 08156525854
Abstrak
Pada musim panen ikan, nelayan mendapatkan ikan teri dengan jumlah yang sangat besar.
Karena sangat banyak, ikan tidak dapat terjual habis. Hal ini mengakibatkan ikan membusuk
jika tidak disimpan di tempat pengawetan atau cool storage. Salah satu cara yang digunakan
nelayan untuk mengawetkan ikan adalah dengan mengeringkan ikan teri secara alami dengan
dijemur di bawah sinar matahari. Proses pengeringan demikian mempunyai banyak
kelemahan antara lain membutuhkan waktu lama, memerlukan tempat luas, kualitas ikan
menurun karena debu, lalat dan gangguan binatang. Untuk meningkatkan kualitas produk ikan
kering maka diperlukan alat pengering tepat guna yang dapat meminimalisir kendala di atas.
Pengeringan adalah pengeluaran air bahan hingga mencapai kandungan air tertentu agar
kecepatan kerus bahan dapat diperlambat. Proses ini dipengaruhi oleh suhu, kelembaban
udara, kecepatan aliran udara, kandungan air yang diinginkan, energi dan kapasitas
pengeringan. Alat pengering yang digunakan menerapkan sistem tray drying (pengering tipe
rak) konveksi paksa, dimana sirkulasi udara panas dan uap air ikan dibantu blower. Produk
diletakkan pada rak yang tersusun agar dapat dikeringkan dengan sempurna. Sumber panas
pengeringan dihasilkan dari tungku berbahan bakar batu bara. Sirkulasi udara panas melalui
4 lintas dan pembuangan uap air dilakukan secara paksa dengan exhaust fan yang diatur pada
kecepatan 0, 0,8, 1,4 dan 2,8 m/s. Waktu pengeringan tercepat yang dapat dicapai adalah 2
jam 45 menit dengan kecepatan fan 2,8 m/s, kadar air akhir 19,57 %, batu bara 1,95 kg,
kapasitas 5 kg, efisiensi kalor 59,7 % dan temperatur rata-rata ruang pengering 85o C.
Pengeringan tanpa fan dengan kapasitas 5 kg membutuhkan waktu 6 jam, kadar air 21,42 %,
effisiensi thermal 39,8 % dan batu bara 3,05 kg. Pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s,
kapasitas 25 kg membutuhkan waktu 12 jam, kadar air 18,46 %, effisiensi thermal 63,16 %
dan batu bara 6,3 kg. Produk ikan teri kering yang dihasilkan bersih, berwarna coklat muda
cerah, renyah, gurih dan tidak berbau asap. Bahkan produk ikan teri kering ini bisa
dikonsumsi secara langsung karena sudah matang dan higienis.
Kata kunci : tray drying, pengering ikan teri.
PENDAHULUAN
Pada musim panen ikan, nelayan banyak mendapatkan ikan teri hasil tangkapannya dengan
jumlah yang sangat besar. Mereka menjual hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Karena hasil sangat banyak terkadang ikan tidak dapat terjual habis. Hal tersebut mengakibatkan
ikan membusuk jika tidak ada tempat pengawetan (cool storage). Salah satu cara yang dilakukan
nelayan adalah dengan mengeringkan ikan tersebut secara alami (dijemur dibawah sinar matahari).
Proses pengeringan alami tersebut mempunyai banyak kekurangan antara lain waktu pengeringan
lama, memerlukan area yang cukup luas, kualitas ikan menurun karena terkena debu, rawan
terhadap gangguan binatang seperti lalat, ayam, kucing dan anjing serta membutuhkan tenaga kerja
yang cukup banyak. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka perlu dibuat suatu alat
pengering tepat guna yang mudah dioperasikan nelayan. Alat ini dapat dijadikan alternatif
pengeringan ikan yang dapat meningkatkan kualitas dan harga jual ikan sehingga meningkatkan
pendapatan para nelayan.
METODOLOGI
Pengeringan adalah proses pengeluaran kandungan air bahan hingga mencapai kandungan
air tertentu agar kecepatan kerus bahan dapat diperlambat. Proses ini dipengaruhi oleh suhu,
kelembaban udara lingkungan, kecepatan aliran udara pengering, kandungan air yang diinginkan,
energi pengering, dan kapasitas pengering. Pengeringan yang terlampau cepat dapat merusak
bahan, oleh karena permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga kurang bisa diimbangi dengan
B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.38
kecepatan ger air bahan menuju permukaan. Karenanya menyebabkan pengerasan pada permukaan
bahan selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap karena terhambat. Disamping itu,
operasional pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan. Pengaturan suhu
dan lamanya waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan kontak antara alat pengering
dengan alat pemanas (baik itu berupa udara panas yang dialirkan maupun alat pemanas lainnya).
Namun demi pertimbangan-pertimbangan standar gizi maka pemanasan dianjurkan tidak lebih dari
85oC (Suharto, 1991).
Pengeringan dilakukan dengan menempatkan ikan teri basah di atas 5 rak dimana rangka
terbuat dari kayu dan diberi kawat ram. Aliran panas berasal dari panas tungku yang didorong
masuk ke cerobong asap kiri dan kanan yang melewati ducting untuk memanaskan udara di ruang
pengering. Sedangkan uap air yang dihasilkan terangkat naik ke cerobong yang disedot oleh
exhaust fan. Setiap 15 menit sekali, susunan rak diubah dari bawah ke atas agar pemanasan ikan
teri dapat terdistribusi secara merata. Data-data yang diambil selama pengujian adalah berat ikan
teri awal dan akhir, kelembaban lingkungan dan ruang pengering, temperatur ruang asap dan
pengering serta kecepatan fan exhaust. Dari data-data di atas kemudian dihitung beberapa
parameter sebagai berikut :
1. Perpindahan massa (Joeswadi,1986):
a. Masa ikan kering dengan kadar tertentu dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
mtk = 100
)100( 1m x mtb (1)
Dimana :
mtk = massa kering (Kg)
m1 = kadar air awal ikan (%)
mtb = massa basah (Kg)
b. Massa air yang diuapkan dari bahan (Mw).
Mw = TKxMmm
mm
)100)(100(
)(100
21
21
(2)
Dimana :
m1 = kadar air awal ikan (%)
m2 = kadar air akhir ikan (%)
MTK = massa akhir ikan (kg)
2. Kebutuhan energi pengeringan (Suharto,1991):
a. Panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan dalam proses pengeringan adalah :
Qb = t
M w x LH (3)
Dimana :
Qb = panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan (J/s)
Mw = massa air yang diuapkan dari bahan (Kg)
t = waktu pengeringan (detik)
LH = panas laten penguapan (kJ/kg),
panas laten untuk ikan adalah 2558,37 kJ/kg (Ilyas, 1973).
Besarnya panas spesifik udara kering (Cpu) dapat dilihat pada tabel sifat-sifat udara pada
tekanan atmosfer.
b. Entalphi udara lingkungan (h) didapat dengan rumus sebagai berikut (Ilyas,1973):
h = (Cpu x T) udara kering + (ωx hfg ) uap air (4)
Dimana :
Cpu = panas spesifik udara kering (J/kgo K)
T = temperatur udara kering (oK)
ω = kelembaban absolut
hfg = enthalpi uap (kj/kg)
Enthalpi uap (hfg) dapat dilihat pada tabel sifat cairan dan uap jenuh.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.39
3. Sistem perpindahan kalor (Cengel,2004) :
a. Konduksi
Qkonduksi = - kA dX
dT (5)
Dimana :
Qkonduksi = laju perpindahan panas secara konduksi (W)
K = konduktivitas termal bahan (W/m. K)
A = luas penampang perpindahan panas (m2)
dT = perubahan suhu (K)
dX = jarak dalam arah aliran panas (m)
b. Konveksi
Qkonveksi = hA ∆T (6)
Dimana :
Qkonveksi = laju perpindahan panas secara konveksi (W)
A = luasan perpindahan panas (m2)
ΔT = beda antara suhu permukaan dan suhu fluida lingkungan (C)
h = koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.
0C)
c. Radiasi
Qradiasi = σ. A. ( T14 – T2
4 ) (7)
Dimana :
Qradiasi = laju perpindahan panas secara radiasi (W)
σ = konstanta Stefan Boltzman yang nilainya 5,669x10-8
(W/m2 K
4)
A = luasan perpindahan panas (m2)
T1 = temperatur permukaan benda (K)
T2 = temperatur sekitar permukaan benda (K)
4. Kandungan air bahan pangan (Joeswadi,1986):
m1 = %100xm
mm
tb
tktb (8)
Dimana :
m1 = kandungan air awal pada ikan
mtb = massa awal (kg)
mtk = massa kering (kg)
SIRKULASI UAP AIR DAN ASAP PADAALAT PENGERING IKAN TERI
T0
T
T
1
T
2
3
T5
T
4
V1 V2RH3
RH2
RH1
(a) (b)
Gambar 1. (a) Disain pengering tipe rak (tray drying),
B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.40
(b) Sistem aliran panas 4 lintas, pembuangan uap air dan posisi pengukuran. HASIL DAN PEMBAHASAN
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390
Waktu (menit)
Kan
du
ng
an
Kad
ar
Air
Ikan
Teri
(%
)
Kandungan air To 1R
Kandungan air To 2R
Kandungan air To 3R
Kandungan air To 4R
Gambar 2. Hubungan antara kandungan kadar air akhir ikan teri dengan waktu pengeringan.
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa untuk percobaan pertama tanpa fan, kandungan air
mengalami penurunan dari awal 79,78 % menjadi akhir 21,42 % pada menit ke 375. Untuk
percobaan kedua dengan kecepatan fan 0,8 m/s kandungan air menurun dari awal 82,61 menjadi
akhir 19,05% pada menit ke 285. Pada percobaan ketiga dengan kecepatan fan 1,4 m/s kandungan
air pada ikan teri mengalami penurunan dari awal 79,73% menjadi akhir 20,17 % pada menit ke
253. Untuk percobaan keempat dengan kecepatan fan 2,8 m/s kandungan air ikan teri mengalami
penurunan dari awal 80,5% menjadi akhir 19,57 % pada menit ke 180.
30
40
50
60
70
0 0,4 0,8 1,2 1,6 2 2,4 2,8 3,2
Kecepatan Fan (m/s)
Eff
isie
nsi
(%)
(a) (b)
Gambar 3.(a). Hubungan antara effisiensi thermal dengan kecepatan fan
(b) Hubungan antara kecepatan fan dengan kebutuhan bahan bakar.
Dari Gambar 3 didapat bahwa effisiensi thermal berturut-turut dari kecepatan fan 0, 0,8,
1,4 dan 2,8 m/s adalah 39,8%, 58,6%, 60,4% dan 59,7% , mengalami peningkatan dari pengeringan
tanpa fan sampai pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s. Semakin besar kecepatan fan yang
digunakan maka bahan bakar yang dibutuhkan semakin sedikit. Ini disebabkan karena fan
menghisap paksa udara basah dari ikan teri, dimana uap air dalam ruangan cepat keluar dan
mempercepat proses pengeringan. Kebutuhan bahan bakar berturut-tururt dari kecepatan fan 0, 0,8,
1,4 dan 2,8 m/s adalah 3000, 2250, 2100 dan 1950 gram. Pada kecepatan fan 0 m/s ikan teri
mengalami pengeringan secara lambat, sehingga membutuhkan bahan bakar yang cukup banyak.
Pada kecepatan 0,8 m/s fan menghisap paksa udara basah dari ikan teri, sehingga kebutuhan bahan
bakar mengalami penurunan secara drastis. Pada kecepatan 1,4 m/s fan menghisap paksa udara
basah lebih cepat sehingga ikan teri lebih cepat mengalami pengeringan. Pada kecepatan fan 2,8
m/s ikan teri mengalami pengeringan yang paling cepat.
1000
2000
3000
4000
0 0,4 0,8 1,2 1,6 2 2,4 2,8 3,2
Kecepatan Fan (m/s)
Keb
utu
han
Bah
an
Bakar
(gr)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.41
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420
Waktu (t)
Tem
pera
tur
ruan
g p
en
geri
ng
(C
elc
ius)
Percobaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Percobaan 4
Dari Gambar 4 didapat waktu pengeringan berturut-turut dengan kecepatan fan 0, 0,8, 1,4
dan 2,8 m/s adalah 6, 4,5, 4, dan 2,75 jam. Semakin tinggi kecepatan fan yang digunakan maka
semakin cepat juga proses pengeringan yang terjadi.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Kecepatan Fan (m/s)
Wak
tu P
eng
erin
gan
(m
enit
)
Gambar 4. Hubungan antara kecepatan fan dengan waktu pengeringan
Jika ditinjau dari efisiensi thermal dan kebutuhan bahan bakar, pada Gambar 3 dapat dilihat
bahwa efisiensi thermal tertinggi terjadi pada kecepatan fan 1,4 m/s dan bahan bakar yang
dibutuhkan adalah 2100 gram. Pertambahan kecepatan fan menjadi 2,8 m/s ternyata tidak
menaikkan efisiensi thermal ataupun menurunkan kebutuhan bahan bakar secara signifikan .
Gambar 5. Hubungan antara temperatur ruang pengering (T5) dengan waktu
Pada Gambar 5 dan Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa untuk percobaan dengan kecepatan
fan 0 m/s, temperatur ruang pengering stabil tetapi waktu yang dibutuhkan lama. Untuk percobaan
dengan berkecepatan fan 0,8 m/s, 1,4 m/s dan 2,8 m/s suhu cenderung mengalami naik turun secara
fluktuatif. Semakin tinggi kecepatan fan yang digunakan maka semakin sedikit waktu pengeringan.
Fluktuasi suhu tersebut disebabkan karena kesulitan mengendalikan bahan bakar berupa briket
batubara. Apabila terjadi penambahan atau pengurangan briket batubara, suhu yang terjadi tidak
sesuai dengan suhu yang diinginkan yaitu kira-kira 80oC. Fluktuasi ini terjadi juga karena adanya
kerugian kalor pada saat pengambilan data. Pengambilan data dilakukan dengan membuka dan
menutup pintu ruang pengering atau pintu ruang bakar pada saat menambah batubara sehingga
suhu tidak stabil karena ada kalor yang terbuang atau hilang.
Pengeringan Ikan Teri Dengan Kapasitas 25 Kg
Pengeringan dengan kapasitas 25 kg ikan teri dilakukan untuk mengetahui kemampuan alat
pengering ini, sehingga kapasitas beban pengeringan dapat dimaksimalkan. Pengujian dilakukan
B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.42
30
40
50
60
70
80
90
100
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420
Waktu (menit)
Tem
pera
tur
Ru
an
g P
en
geri
ng
(celc
ius)
Percobaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Percobaan 4
dengan mengatur kecepatan fan maksimal 2,8 m/s dengan massa awal ikan teri basah sebanyak 25
kg dan mempunyai kadar air awal 85,2 %. Proses pengeringan ini membutuhkan waktu selama 12
jam dan menghabiskan bahan bakar sebanyak 6,3 kg briket batubara. Temperatur rata – rata dalam
ruang pengering diperoleh 55,07 oC dengan posisi alat ukur ditengah dan 91,9
oC pada alat ukur
dengan posisi dibawah. Sedangkan temperatur ruang bakar diperoleh 75,9 o
C. Setelah mengalami
proses pengeringan maka diperoleh massa akhir ikan teri sebanyak 3,7 kg dengan kadar air akhir
ikan teri 18,46 %. Alat pengering ini memiliki effisiensi thermal sebesar 63,16%.
Gambar 6. Hubungan antara temperatur ruang pengering (T4) dengan waktu.
Jika menggunakan kecepatan fan yang sama yaitu 2,8 m/s, maka efisiensi thermal, waktu
pengeringan, kebutuhan bahan bakar dan massa akhir ikan teri pada kapasitas 25 kg ikan teri lebih
baik dibandingkan dengan kapasitas 5 kg.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian, perhitungan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengeringan tanpa fan dengan kapasitas 5 kg membutuhkan waktu 6 jam, kadar air 21,42
%, effisiensi thermal 39,8 % dan batu bara 3,05 kg.
2. Waktu pengeringan tercepat yang dapat dicapai adalah 2 jam 45 menit dengan kecepatan
fan 2,8 m/s, kadar air akhir 19,57 %, batu bara 1,95 kg, kapasitas 5 kg, efisiensi kalor 59,7
% dan temperatur rata-rata ruang pengering 85o C.
3. Pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s, kapasitas 25 kg membutuhkan waktu 12 jam,
kadar air 18,46 %, effisiensi thermal 63,16 % dan batu bara 6,3 kg.
4. Jika ditinjau dari efisiensi thermal dan kebutuhan batu bara, maka kondisi terbaik dicapai
pada kecepatan fan 1,4 m/s dengan efisiensi thermal 60,4 % dan batu bara 2100 gram.
5. Produk ikan teri kering yang dihasilkan bersih, berwarna coklat muda cerah, renyah, gurih
dan tidak berbau asap. Bahkan produk ikan teri kering ini bisa dikonsumsi secara langsung
karena sudah matang dan higienis.
DAFTAR PUSTAKA
Cengel,Y.A.,Boles, M.A.,2004, Thermodinamics An Engineering Approach, 4th Ed., International
Edition, The Mc Graw-Hill Co., Singapore.
Ilyas,S.,1973, Pengantar Pengolahan Ikan Edisi 3, Lembaga Teknologi Hasil Perikanan. Direktorat
Jendral Perikanan. Jakarta.
Joeswadi,1986, Alat pengering Ikan, BPPI Medan, Medan.
Suharto,1991, Teknologi Pengawetan pangan. Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.43
PENINGKATAN UNJUK KERJA KETEL TRADISIONAL
MELALUI HEAT EXCHANGER
Rianto, W. Program Studi Teknik Mesin Universitas Muria Kudus
Gondangmanis PO.Box 53-Bae, Kudus, telp 0291 4438229-443844, fax 0291 437198 e-mail : Riantowibowo_umk@yahoo.com
Abstrak
Pada penelitian ini telah dilakukan upaya optimasi sistem energi pada pengolahan kedelai di
industri tahu dengan penggunaan heat exchanger dengan memanfaatkan uap panas sebagai
pemanas awal bagi ketel uap. Heat exchanger adalah alat penukar kalor, dengan mengalirkan
dua fluida didalamnya sehingga terjadi perpindahan kalor dari fluida bersuhu tinggi ke fluida
bersuhu rendah. Fluida pemanas yang masuk pada heat exchanger berasal dari pipa uap
panas sedangkan fluida yang dipanaskan adalah air yang akan menuju pada ketel uap. Proses
desain dan pembuatan heat exchanger tipe counter flow didasarkan atas data-data yang
didapat pada sistem ketel uap di usaha pembuatan tahu di kelurahan Mejobo, kabupaten
Kudus yang terdiri : suhu air masuk keterl (T1), suhu air pada ketel (T2), debit air menuju ketel
uap (Qin), suhu uap hasil ketel (t1) dan tekanan uap air yang dihasilkan ketel uap (P1).
Penurunan suhu uap air pada ketel memiliki hubungan yang kuat dengan panjang heat
exchanger yang digunakan, dengan nilai korelasi hubungan 0,988006. Kenaikan suhu air
untuk mengisi ketel uap memiliki nilai korelasi 0,998395 terhadap panjang heat exchanger.
Kata kunci : ketel uap, counter flow heat exchanger.
PENDAHULUAN
Penukar kalor / heat exchanger merupakan alat yang berfungsi untuk melakukan transfer
energy antara dua fluida, dan saat ini penggunaan heat exchanger telah meluas meliputi : power
plant, reaktor nuklir, sistem AC (Air Conditioning), industri otomotif, sistem heat recovery, proses
kimia, industri makanan dan lain-lain.
Beberapa kajian tentang performance pada helical heat exchanger telah dilakukan. Naphon
(2006) mengamati heat transfer dan pressure drop pada heat exchanger dengan menggunakan
counter flow heat exchanger dengan diameter shell 127 mm – 197 mm, dan diameter tube 9,5 mm.
Selain itu, bahwa aliran fluida dalam counter flow HE memberikan efek yang positif terhadap nilai
heat transfer pada heat exchanger juga telah dieliti oleh Rajavel dan Saravanan (2007).
Inti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti tercantum diatas adalah
mempelajari efek aliran fluida dengan arah berlawanan terhadap performa heat exchanger yang
dihasilkan, khususnya heat transfer yang dihasilkan dan pressure drop yang terjadi. Masalahnya
adalah belum adanya korelasi antara panjang tube terhadap nilai suhu awal fluida panas dalam ketel
uap dalam pemakaian sistem energi di industri, sehingga perlu dilakukan kajian terhadap pengaruh
perubahan geometri alat terhadap performanya.
METODE PENELITIAN
1. Geometri Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan seperti pada gambar 1.1 berupa helical heat exchanger.
Beberapa parameter non dimensional yang digunakan pada pembahasan data hasil penelitian ini,
meliputi Reynold number (Re), Dean number (De), Nuselt number (Nu), Prandtl number (Pr) dan
pitch (γ) dengan persamaan :
Re = , Pr = , Nu = , De = Re , γ =
B.8. Peningkatan unjuk kerja ketel tradisional ... (Rianto, W.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.44
Gambar 1 Geometri seksi uji alat penelitian
2. Set up Alat Penelitian
Diagram skematik dari peralatan penelitian yang digunakan terlihat pada gambar 1.2. Pada
penelitian ini type aliran yang digunakan adalah counter flow horisontal pada aliran satu fasa.
Dimensi seksi uji yang digunakan seperti tercantum pada tabel 1.1.Air yang akan disirkulasikan
dalam heat exchanger berasal dari bak penampungan air dan pemanasannya dengan memanfaatkan
uap panas hasil dari ketel uap yang tidak digunakan untuk memanaskan kedelai. Sebagai pengukur
laju aliran air, digunakan flow meter dan suhu air pada sisi tube diukur dengan menggunakan
termokopel dengan akurasi 0,10C. Tekanan pada sisi inlet dan outlet tube diukur dengan
menggunakan manometer air dengan menambah pewarna agar mudah dalam pembacaan. Pada
bagain body luar shell diisolasi sehingga diharapkan tidak ada heat transfer yang terjadi antara
lingkungan dengan heat exchanger.
Tabel 1 Karakteristik dimensi seksi uji alat penelitian
Keterangan :
1.Ketel Uap 4.Katup
2.Heat Exchanger 5.Lorong kayu bakar
3.Alat ukur suhu dan tekanan 6. Pompa air
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa parameter yang digunakan pada penelitian terlihat pada tabel 2. Laju aliran massa
air dibuat konstan dengan panjang tube yang digunakan pada heat exchanger divariasikan pada 3
variasi panjang. Perpindahan kalor dalam counter flow heat exchanger ini dirumuskan dengan:
q = U A ∆Tm
dimana q merupakan nilai kalor yang dipindahkan, U adalah koefisien perpindahan kalor
menyeluruh, dan A adalah luas perpindahan kalor, serta ∆Tm adalah beda suhu rata-rata dalam heat
exchanger. LMTD (log mean temperature difference) merupakan fungsi dari ∆T1 dan ∆T2 yang
dirumuskan dengan :
∆Tm =
Sedangkan nilai koefisien heat transfer total sebagai fungsi luas permukaan heat transfer
dan koefisien kondukitvitas dan konvektif dirumuskan dengan persamaan :
=
dimana hi adalah koefisien heat transfer konvektif sisi inner, ho adalah koefisien heat transfer
konvektif sisi outer,k adalah koefisien heat transfer konduktif, A adalah luas permukaan, d adalah
diameter pipa tube, L menunjukkan nilai panjang pipa tube.
Tabel 2 Parameter-parameter dalam penelitian
Parameters Range
Debit air panas
Debit air dingin
Temperatur masuk sisi tube
Temperatur keluar sisi tube
Temperatur masuk sisi shell
Temperatur keluar sisi shell
Perubahan tekanan pada sisi tube
1800 – 2000 ml/menit
2200 ml/menit
27 0C – 30
0C
80 0C – 82.5
0C
95 0C – 98.5
0C
60 0C – 62.5
0C
440 - 450 mmH2O
B.8. Peningkatan unjuk kerja ketel tradisional ... (Rianto, W.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.46
Data hasil penelitian seperti terlihat pada grafik 1. yang menunjukkan temperatur pada
bagian shell heat exchanger untuk beberapa panjang lintasan tube, terlihat adanya penurunan suhu
yang berbeda antara ukuran pitch 0,75 ;1,5 dan 3 m. Demikian pula pada hubungan antara panjang
lintasan tube yang digunakan terhadap kenaikan suhu pada sisi output tube heat exchanger
menunjukkan semakin besar kenaikan suhu sebanding dengan panjang tube-nya terlihat pada grafik
2.
Grafik 1 Penurunan temperatur air pada sisi tube
Grafik 2 Hubungan antara Kenaikan Suhu Air dan Panjang HE
Berdasar hasil perhitungan optimasi energi terhadap nilai ekonomis bahan bakar yang
digunakan berdasar data penelitian didapatkan nilai bahwa makin meningkatnya panjang tube yang
digunakan pada HE akan didapatkan penurunan konsumsi bahan bakar yang digunakan (grafik 4) .
Grafik 3. Hubungan Panjang HE dan Konsumsi Bahan Bakar
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.47
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasar hasil penelitian didapatkan hasil bahwa penurunan suhu uap air memiliki
hubungan yang kuat dengan panjang tube heat exchanger yang digunakan untuk mentransfer kalor
dengan nilai korelasi hubungan 0,988.
Kenaikan suhu air yang keluas pada sisi tube heat exchanger juga memiliki korelasi yang
kuat dengan panjang tube yang digunakan pada counter flow heat exchanger ini dengan nilai
korelasi 0,998.
DAFTAR PUSTAKA
Holloway and Smith. 1990. Single and Two Phase Flow In Helical Coils. Chalk River Laboratory,
Ontario, Canada and East Kilbride, United Kingdom. pp. 245 -278.
Holman, J.P. 2002. Heat Transfer. Mc Graw Hill,Singapore.pp.189-203.
Incropera, Frank P.1996. Fundamentals of Heat and Mass Transfer. John Wiley & Sons, Inc. New
York. pp.205-237.
Kakac, Hongtan.1997. Heat Exchangers Selection, Rating, and Thermal Design. CRC Press,
United States of America. pp. 28-97.
Naphon, P.2006. Thermal Performance and Pressure Drop of Helical-Coil Heat Exchangers .
Journal of Heat and Mass Transfer. pp.142-149
Neeras.2004. Experimental Shell-Side Heat Transfer and Pressure Drop in Gas Flow for Spiral-
Wound Heat Exchanger. International Journal of Heat and Mass Transfer. pp. 353-361.
Rajavel and Sarvanan.2008. An Experimental Study of Spiral Plate Heat Exchanger for
Electrolytes. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy. pp. 255-
260.
Salimpour,M.2008. Heat Transfer Characteristics of a Temperature-dependent-property fluid in
Shell and Coiled Tube Heat Exchanger. International Communcations in Heat and Mass
Transfer.Vol. 35. pp. 1190-1195.
B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.48
KAJIAN EKSPERIMENTAL KELAYAKAN DAN PERFORMA
ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SINGLE PASS
DENGAN METODE BELL DELAWARE
Sri Utami Handayani
*1), Didik Ariwibowo
**1), Fauzi Kusuma NH
2)
1) PSD III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 2)
PT. Bukit Makmur Mandiri Utama, Kalimantan *)
Email : handayani@undip.ac.id, **)
Email : ariwibowo_d@yahoo.com
Abstrak
Peranan Alat Penukar Kalor dalam industri sangat besar, misalnya dipergunakan pada
industri makanan, pembangkit tenaga listrik, perminyakan, transportasi, pendingin dan
pemanas, dll. Pada umumnya Alat Penukar Kalor berperan dalam peningkatan efisiensi
sistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa Alat Penukar Kalor tipe Shell and
Tube Aliran Tunggal dengan Metode Bell Delaware. Penelitian dilakukan di Lab Konversi
Energi PSD III Teknik Mesin Undip secara ekperimental dengan laju aliran pada shell
sebesar 5 lpm dan laju aliran pada tube sebesar 10 lpm. Dari hasil perhitungan data diperoleh
hasil bahwa nilai effectiveness peralatan adalah berkisar antara 0,4 – 0,5. Sedangkan nilai
koefisien perpindahan kalor total alat penukar kalor 132,618 W/m2K.
Kata kunci: penukar kalor, shell and tube single pass, bell delaware
PENDAHULUAN
Alat Penukar Kalor berfungsi untuk mengubah temperatur dan fasa suatu jenis fluida
dengan memanfaatkan proses perpindahan panas dari fluida bersuhu tinggi menuju fluida bersuhu
rendah atau sebaliknya. Peranan Alat Penukar Kalor sangat besar, misalnya dipergunakan pada
industri proses, makanan, pembangkit tenaga listrik, perminyakan, transportasi, pendingin dan
pemanas, dll. Pada umumnya Alat Penukar Kalor berperan dalam peningkatan efisiensi sistem.
Contohnya melalui heater yaitu alat penukar kalor yang berfungsi memanaskan feed water sebelum
masuk ke boiler menggunakan panas dari exhaust steam (uap sisa turbin) atau gas yang telah
diekspansikan di turbin gas
Dengan mempertimbangkan pentingnya Alat Penukar Kalor (APK) dalam industri, maka
keberadaannya sebagai alat peraga pendidikan menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kelayakan dan performa Alat Penukar Kalor yang dibuat di Lab Konversi
Energi PSD III Teknik Mesin FT Undip sebagai salah satu alat peraga pendidikan yang
dipergunakan pada Praktikum Konversi Energi.
Parameter untuk menentukan performa alat penukar kalor adalah efektivitas thermal,
pressure drop dan kecenderungan terjadinya pengotoran (fouling). Pemilihan Alat penukar kalor
umumnya didasarkan pada kriteria tertentu seperti : memiliki efektivitas thermal yang tinggi,
pressure drop rendah, kehandalan dan umur pakai yang lama serta kualitas produk serta keamanan (
Kuppan, 2000)
Ada berbagai macam jenis alat penukar kalor seperti and tube, flat tube, continuous plate
fins, fin tube, dll. Dari berbagai jenis tersebut yang paling banyak dipakai adalah jenis and tube
(Kern, 1950) Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Antara lain karena jenis and tube
memberikan rasio antara luas perpindahan kalor dan volume atu berat fluida yang cukup besar.
Jenis ini juga mudah dibuat dalam berbagai ukuran, handal, mudah dibersihkan,serta dapat
dimodifikasi untuk permasalahan khusus (TEMA, 1978)
METODOLOGI
Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Alat Penukar Kalor tipe shell dan
tube dengan satu lintasan aliran, tipe aliran adalah menyilang berlawanan arah dengan skema
sebagai berikut :
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.49
Keterangan :
1. Bak air
2. Pompa
3. Flowmeter
4. Water Heater
5. Pipa bypass
6. Pipa air panas
7. Pipa air dingin
Gambar 1. Skema aliran fluida
Pada alat penukar kalor yang dipergunakan terdapat dua siklus air, yaitu air panas dan air
dingin, keduanya merupakan siklus terbuka. Dari bak air, air dingin dipompa sebagian masuk ke
tube dengan melewati flow meter terlebih dahulu. Setelah keluar dari tube air dibuang. Sebagian air
dialirkan ke heater dan keluar pada temperatur yang lebih tinggi dan kemudian dialirkan ke bagian
shell . Setelah keluar dari pada temperatur yang lebih rendah kemudian air dibuang.
Adapun peralatan yang dipergunakan adalah sebagai berikut (lihat Gambar 1 dan Tabel 1):
Keterangan :
1. Body
2. Header
3. Manometer
4. Thermometer
5. Bak air
6. Pompa Air
7. Water heater
8. Katup ventilasi
9. Body
10. Header
11. Manometer
12. Thermometer
13. Bak air
14. Pompa Air
15. Water heater
16. Katup ventilasi
17. Flowmeter
Gambar 2. Gambar Peralatan
Prosedur Pengambilan Data
Dalam penelitian ini prosedur yang dilakukan untuk pengambilan data adalah sebagai
berikut :
Pompa dinyalakan, dan kemudian heater dinyalakan dengan cara menyambungkan heater dengan
tabung gas, heater akan menyala secara otomatis. Alat penukar kalor diisi secara penuh, baik pada
sisi shell maupun tube. Kemudian dilakukan pengaturan laju aliran air yang menuju ke shell
maupun tube dengan menggunakan katup. Sedangkan temperatur air panas diatur dengan mengatur
tombol pada heater. Setelah semua variabel yang diinginkan telah sesuai, hasil pengukuran pada
manometer, flowmeter dan termometer dicatat. Untuk mendapatkan data pada suhu dan laju alir
yang lain, dapat disesuaikan dengan mengatur tombol pada heater dan katup baik yang menuju ke
sisi shell maupun ke sisi tube. Pada penelitian ini data diambil dalam rentang waktu 20 menit,
dengan interval waktu tiap data 2 menit.
B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.50
Tabel 1. Spesifikasi alat
No Deskripsi Notasi Nilai Satuan
1 Diameter inside Ds 254 Mm
2 Diameter outside tube Dt,o 19,05 Mm
3 Diameter inside tube Dt,i 17,05 Mm
4 Koefisien konduksi pipa kt 40,5 W/mK
5 Jarak pitch tube Ltp 25,4 Mm
6 Sudut konfigurasi tube Өtp 90 o
7 Panjang tube Lti 1500 Mm
8 Jumlah tube Nt 52 Buah
9 Jumlah baffle 6 Buah
10 Tinggi baffle cut Lbch 51 mm
11 Baffle cut Bc 20,0787 %
12 Jarak antar baffle Lbc 214,376 mm
13 Densitas air r 1000 kg/m3
14 Laju alir volume sisi shell Vs 5 ltr/min
15 Laju alir massa sisi shell 0,08333 kg/s
16 Temperatur masuk shell Ts,i 47 oC
17 Temperatur keluar shell Ts,o 37,6 oC
18 Laju alir volume sisi tube Vt 2,4,6,8, 10 ltr/min
19 Laju alir massa sisi tube
0,133 kg/s
20 Temperatur masuk tube Tt,i 31,5 oC
21 Temperatur keluar tube Tt,o 37,7 oC
22 Jumlah pass shell Nt,o 1
23 Jumlah pass tube Ntp 1
24 Clearance dan bundel Lbb 25,4 mm
25 Viskositas dinamik air ms 0,00065 N/sm2
26 Panas spesifik air shell Cps 4,179 kJ/kg.K
27 Konduktivitas air shell ka,s 0,631 W/mK
28 Bilangan Prandtl shell Prs 4,34
29 Panas spesifik air tube Cpt 4,179 kJ/kg.K
30 Konduktivitas air tube ka,t 0,631 W/mK
31 Bilangan Prandtl tube Prt 5,20
32 Viskositas dinamik air tube mt 0,00077 Ns/m2
Analisa Hasil Penelitian
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan persamaan-persamaan
untuk memperoleh koefisien perpindahan kalor serta nilai kalor yang dipindahkan.Ada beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk perhitungan tersebut, diantaranya adalah dengan metode
Kern (Kern, 2000), namun pada persamaan ini tidak memperhitungkan pengaruh kebocoran dan
aliran bypass pada sisi shell. Pada penelitian ini alat penukar kalor yang digunakan memiliki baffle
yang dipotong 20%, sehingga aliran yang terbentuk adalah seperti pada gambar 3. Dengan model
aliran ini, metode yang lebih sesuai adalah metode Bell Delaware, (Serna and Jimenez, 2005).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.51
Gambar 3. Aliran fluida ketika melintasi baffle
Metode Bell Delaware
Persamaan dasar untuk menghitung koefisien perpindahan kalor rata-rata adalah :
ho = hideal( JcJ1JbJsJr) (1)
dengan hsi adalah koefisien perpindahan kalor untuk aliran silang dengan tube bundle ideal, Jc, J1, Jb,
Jr, dan Js adalah faktor koreksi untuk sekat yang dipotong, kebocoran pada sekat, aliran bypass pada
sekat, aliran laminar dan ketidaksamaan jarak sekat pada sisi inlet dan outlet.
Koefisien perpindahan kalor untuk aliran silang dengan tube bundle ideal adalah sebagai
berikut :
(2)
(3)
dimana, Nu adalah bilangan Nusselt, k konduktifitas termal fluida dalam pada temperatur
rata-rata , Dt diameter luar tube, a dan m konsatanta korelasi yang ditentukan berdasar
harga bilangan Reynolds dan susunan tube, Re bilangan Reynold dan Pr bilangan Prandtl. Sebelum menghitung faktor-faktor koreksi di atas, sebaiknya harus diketahui besarnya
kebocoran serta luas aliran yang ada pada sisi . Kalkulasi ini meliputi : perhitungan besarnya
segmen sekat yang dipotong (jendela sekat), luas aliran jendela sekat, diameter ekivalen hidrolis,
jumlah efektif baris tube, jumlah sekat, besarnya by-pass , luas bocoran -baffle, luas bocoran tube-
baffle, luas area bundel yang melintang. Persamaan-persamaan yang digunakan telah dituliskan
oleh Thome, 2004.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan metode kalkulasi seperti diatas, performa alat penukar kalor dapat
digambarkan pada grafik-grafik berikut ini.
Gambar 4. Temperatur pada sisi inlet shell , sisi outlet shell, sisi inlet tube dan sisi outlet tube
B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.52
Dari gambar 4 diatas terlihat bahwa temperatur air panas pada sisi inlet shell masih kurang
stabil. Hal ini dikarenakan heater yang digunakan memiliki sistem on off otomatis setiap 20 menit,
sehingga pada awal dan akhir penyalaan heater temperaturnya menjadi tidak stabil. Data pada awal
dan akhir penyalaan heater sebenarnya telah dihilangkan namun pengaruhnya masih terlihat pada
data yang lain. Ketidakstabilan temperatur inlet menyebabkan ketidakstabilan temperatur pada sisi
keluar dan temperature inlet dan outlet tube.
Gambar 5. Perbandingan antara nilai kalor yang ditransfer oleh fluida sisi shell dengan
nilai perubahan energi kalor fluida sisi tube.
Gambar 6. Perbedaan perubahan energi kalor pada fluida sisi shell dan fluida sisi tube
Gambar 7. Perbandingan antara nilai NTU terhadap effectiveness heat exchanger.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.53
Nilai kalor yang dipindahkan dengan variabel laju alir sisi shell 5 lpm dan sisi tube
10 lpm dalam rentang 20 menit proses berjalan berkisar antara 3258 – 4906 W. Dari kurva
pada gambar 5 terlihat bahwa nilai kalor yang dipindahkan memiliki selisih yang cukup
besar terhadap nilai kalor pada sisi tube. Hal ini menunjukkan adalnya kerugian kalor yang
timbul pada sisi shell akibat pertukaran kalor dengan lingkungan. Untuk menghindari
pertukaran kalor dengan lingkungan maka harus dilakukan isolasi pada sekeliling atau
perubahan konfigurasi aliran, dimana fluida panas ditempatkan di sisi tube.
Nilai kalor perubahan energi yang terjadi memiliki kisaran 1955 - 2960 W. Nilai
perubahan energi cenderung menurun, nilai pada menit ke 8 lebih tinggi dari pada menit ke
18. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama waktu heat exchanger beroperasi, nilai kalor
yang ditransfer semakin besar.
Nilai effectiveness heat exchanger, yaitu dalam rentang 0.4 – 0.5. Sedangkan
menurut grafik 4.9, dengan berpatokan hubungan antara NTU dan Cmixed/Cunmixed
diperoleh nilai effectiveness heat exchanger sekitar 0.2. Hal ini menunjukan bahwa heat
exchangeri yang didesain memiliki kualitas yang baik karena nilai effectiveness yang dihasilkan
lebih tinggi dari nilai effectiveness teoritis.
KESIMPULAN
1. Nilai koefisien perpindahan kalor total adalah sebesar 132.618 W/m2 K.
2. Bila dilihat dari nilai effectiveness, alat penukar kalor ini memiliki kualitas yang baik dan
layak untuk dipergunakan sebagai alat peraga pendidikan.
3. Nilai kalor yang dipindahkan memiliki selisih yang cukup besar terhadap nilai kalor pada
sisi tube, hal ini menunjukkan adanya kerugian kalor
4. Untuk meningkatkan unjuk kerja alat penukar kalor sebaiknya dilakukan beberapa
modifikasi seperti perubahan konfigurasi aliran, pemasangan isolator pada sekeliling dan
penambahan sensor untuk mengatur kestabilan temperature heater.
DAFTAR PUSTAKA
Hewitt,G.F,et all, 1994, Process Heat Transfer. CRC Press.USA
Incropera, Fundamental of Heat and Mass Transfer
Kern,D.Q, 1950, Process Heat Transfer, Mc Graw Hill Kohaguka, New York
Kuppan, 2000, T, Heat Exchanger Design Handbook, Marcel Dekker, Inc. NewYork,
Sitompul,T.M, 1993, Alat Penukar Kalor, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Serna, M and Jimenez, A, 2005, A compact formulation of the Bell-Delaware method for heat
exchanger design and optimization, Institution of Chemical Engineers, Trans IChemE Part
A May 2005, 83(A5): 539–550
Thome, JR, 2004, Engineering Data Book III, Wolverine Tube, Inc, Lausanne, Swistzerland
Tubular Exhange Manufacturers Association, 1978, Standard of the Tubular Exchange
Manufacturers Association, 6th ed., , New York,
Wolverine Tube, Inc., 2001, Wolverine Tube Heat Transfer Data Book, Wolverine Tube, Inc,
B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.54
KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN CROSSFLOW
BERBASIS KONSTRUKSI SILINDER (DRUM) POROS VERTIKAL
UNTUK POTENSI ARUS SUNGAI
Sahid
Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail: shda@plasa.com
Abstrak
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji kinerja turbin crossflow berbasis konstruksi
silinder (drum) poros vertikal untuk potensi arus sungai. Tahap awal penelitian adalah
menyiapkan konstruksi silinder berdiameter 1 m yang dibuat dari lembaran stainless steel
ukuran 2 mm. Selubung silinder dibelah menjadi empat bagian. Bagian-bagian selubung
tersebut diputar dengan pusat sumbu adalah bagian tengah busur selubung sehingga silinder-
silinder tersebut membentuk turbin crossflow. Pada bagian luar dipasang rumah turbin yang
dilengkapi pengarah aliran menuju sudu-sudu turbin. Turbin crosflow dihubungkan dengan
pompa sentrifugal (sebagai beban) melalui sistem transmisi poros dan roda gigi. Tahap
selanjutnya adalah uji karakteristik turbin. Dalam uji ini akan dilakukan optimasi sudut sudu
jalan turbin. Uji dilakukan di aliran sungai. Parameter yang diukur adalah debit dan head
aliran sungai untuk menghitung daya input turbin serta head dan debit aliran yang dihasilkan
oleh pompa irigasi untuk menghitung daya output pompa. Berdasarkan pada hasil pengujian,
turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa air yang dibuat berdasarkan
konstruksi silinder yang dibelah menjadi empat mempunyai sudut sudu jalan optimum 60o
dengan debit aliran masukan sebesar 0,23 m3/det, debit aliran keluaran pompa sebesar
0,000253 m3/det, daya hidrolis yang dihasilkan pompa sebesar 3,05 watt, dan mempunyai
efisiensi sistem sebesar 4,98 %.
Kata kunci: Turbin Crossflow, Konstruksi Silinder, Arus Sungai, karakteristik turbin.
PENDAHULUAN
Krisis energi yang dikenal secara internasional sebagai “Peak Oil” yang disebabkan oleh
kelangkaan bahan bakar minyak, telah mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan di
bidang energi antara lain melalui Keppres Nomor 43 tahun 1991 tentang konservasi energi,
Keppres Nomor 10 tahun 2005 tentang penghematan energi. Keppres ini mengisyaratkan perlunya
segera mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Pertanian adalah salah satu bidang yang memerlukan pengembangan teknologi pengolahan
memanfaatkan sumber energi alternative, antara lain adalah pompa irigasi tanpa bahan bakar.
Selama ini petani menggunakan pompa sentrifugal untuk keperluan irigasi. berukuran kecil dan
medium. Penggerak yang digunakan adalah motor bakar torak yang menggunakan bahan bakar
minyak (BBM). Sekitar 56,8% petani menggunakan pompa berukuran kecil (diameter 50 mm) dan
32.4% petani menggunakan pompa berukuran sedang (diameter 100 mm). Para petani
menggunakan sumber air dari aquifer dangkal dan sumber air dari sungai-sungai yang ada untuk
mensuplai irigasi saat musim kering. Pompa-pompa tersebut mengairi sekitar 120.000 hektar di
Jawa (Prabowo dkk, 2003). Penggunaan BBM pada pompa irigasi menambah biaya operasional
untuk pengolahan lahan. Menurut Supriyadi petani dari desa Cangkrep Purworejo, 1 hektar sawah
memerlukan biaya rata-rata sebesar Rp 150.000/minggu (harga solar Rp 4.300/liter) selama musim
kemarau. Demikian juga disampaikan oleh Subagio ketua kelompok tani Sebaung Makmur
Ambarawa Semarang, mereka harus mengeluarkan biaya bahan bakar sebesar 6 juta rupiah untuk
mengairi 4,5 hektar sawah (komunikasi langsung, 2008).
Berdasarkan masalah yang dihadapi para petani, maka perlu dilakukan usaha untuk
mengatasi kesulitan para petani. Salah satunya adalah pemanfaatan energi aliran sungai untuk
menggerakkan pompa irigasi bagi daerah persawahan yang memanfaatkan air sungai untuk irigasi.
Turbin crossflow merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengerakkan pompa memanfaatkan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.55
tenaga aliran sungai. Pengembangan desain turbin crossflow ke arah yang lebih sederhana sangat
diperlukan, karena turbin crossflow yang saat ini biasa digunakan memiliki desain yang rumit.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji secara eksperimental kinerja turbin crossflow
berbasis konstruksi silinder dengan poros vertikal memanfaatkan potensi aliran sungai. Turbin
crossflow digunakan untuk menggerakkan pompa sentrifugal (sebagai beban).
Turbin crossflow biasa digunakan sebagai penggerak mula pada pembangkit listrik tenaga
mikrohidro (PLTMh). Pemanfaatan turbin crossflow sebagai penggerak mula untuk beban lain
seperti pompa belum pernah dilakukan. Sehingga penelitian ini merupakan terobosan baru dalam
pemanfaatan turbin crossflow sebagai penggerak mula. Turbin crossflow yang biasa digunakan
mempunyai desain yang rumit dan harus memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Penelitian ini
merupakan salah satu tahapan dalam mendesain turbin crossflow yang beorientasi pada
kemudahan, baik desain maupun pembuatannya memanfaatkan konstruksi silinder sebagai bahan
utama pembuatan.
Michell dan Banki, tahun 1920, mengembangkan turbin tekanan sama yang cocok untuk
tinggi jatuh air lebih rendah, yang dikenal dengan turbin aliran silang atau Crossflow (Bellis, 2002).
Salah satu keistimewaan turbin aliran silang adalah masih bisa digunakan pada tinggi jatuh 1 m
dengan kapasitasnya antara 0,02 m3/dt sampai dengan 7m
3/dt (Dietzel,1995). Di Indonesia turbin
crossflow biasa digunakan sebagai penggerak mula pada Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
(PLTMh).
Turbin crossflow skala mikro dibuat oleh Sahid dan Gatot (2004), digunakan untuk
membangkitkan tenaga 1 kW. Turbin ini masih memiliki efisiensi rendah 30 %. Mengacu pada
penelitian tersebut beberapa optimasi kemudian dilakukan untuk meningkatkan efisiensi turbin
crossflow. Antara lain Sahid dan Gatot (2006) mengkaji optimasi jumlah sudu pada turbin
crossflow. Hasil penelitian menunjukkan efisiensi maksimum diperoleh pada jumlah sudu 16
sebesar 50, 1% sehingga ada peningkatan 20,1 % dibandingkan turbin sebelumnya.
Kajian eksperimental terhadap sudut sudu keluaran turbin crossflow juga dilakukan oleh
Gatot dkk. (2006). Turbin crossflow dengan sudut keluaran 300 menghasilkan efisiensi terbaik
sebesar 72 %. Turbin ini kemudian digunakan sebagai penggerak mula pada PLTMh (skala lab.).
Gatot dkk. (2007) meneliti tentang pengaruh sudut sudu pengarah aliran jet terhadap kinerja turbin
crossflow. Hasil penelitian menunjukkan turbin crossflow dengan sudut sudu pengarah 160
memberikan hasil yang optimum.
Hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pompa air antara lain adalah model pompa lobe
yang digerakkan oleh turbin angin savonius. Penelitian ini dilakukan oleh Gatot dkk. Tahun 2005.
Model pompa yang dibuat menghasilkan kapasitas yang kecil (debit 15 l/mnt dan head 70 cm),
sehingga untuk diterapkan di lapangan memerlukan dimensi savonius yang sangat besar. Model
pompa jenis ini hanya cocok untuk daerah yang mempunyai potensi angin dengan kecepatan
minimal 5 m/s sedangkan untuk daerah yang mempunyai potensi aliran sungai penggerak turbin air
lebih cocok digunakan.
Model pompa lain tipe sudu luncur dengan penggerak turbin angin nibe dibuat oleh Yusuf
DH (2008). Kapasitas yang dihasilkan juga kecil sehingga tidak cocok jika diterapkan untuk pompa
irigasi. Edi Wibowo mengembangkan model pompa air tipe lain yaitu pompa sentrifugal dengan
penggerak turbin aksial (2007). Turbin aksial merupakan turbin reaksi yang memanfaatkan energi
aliran menjadi energi mekanik yang digunakan untuk menggerakkan pompa. Oleh karena pompa
sentrifugal beroperasi pada putaran tinggi (1500 – 3000 rpm), maka model pompa irigasi ini hanya
cocok digunakan untuk daerah yang mempunyai potensi aliran sungai yang besar. Selain itu turbin
aksial sebagai penggerak pompa termasuk jenis turbin reaksi yang memerlukan instalasi pipa
masukan dan keluaran turbin yang rumit serta mahal. Pengembangan turbin air sebagai penggerak
pompa dengan teknologi yang lebih sederhana sangat diperlukan sehingga mudah diterapkan dan
cocok bagi para petani yang rata-rata berpendidikan SMA kebawah.
METODE PENELITIAN
Tahap awal penelitian adalah menyiapkan konstruksi silinder berdiameter 1 m yang dibuat
dari lembaran stainless steel ukuran 1 mm. Selubung silinder dibelah menjadi 4 bagian. Bagian-
bagian selubung tersebut diputar dengan pusat sumbu adalah bagian tengah busur selubung
sehingga silinder tersebut membentuk turbin crossflow. Pada bagian luar dipasang rumah turbin
B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.56
yang dilengkapi pengarah aliran menuju sudu-sudu turbin. Turbin crosflow dihubungkan dengan
pompa sentrifugal melalui sistem transmisi poros dan roda gigi. Pada tahap ini akan dihasilkan
model pompa irigasi tanpa bahan bakar dengan penggerak turbin crossflow dengan jumlah sudu 4
buah. Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Dalam uji ini akan dilakukan optimasi
sudut putar selubung silinder atau sudut sudu jalan. Sudut sudu jalan yang merupakan variable
penelitian ini divariasikan masing-masing 100 hingga 90
0 dengan kelipatan 10
0. Uji dilakukan di
aliran sungai. Parameter yang diukur adalah debit dan head aliran sungai untuk menghitung daya
input turbin serta head dan debit aliran yang dihasilkan oleh pompa irigasi untuk menghitung daya
output pompa. Kinerja turbin yang paling baik adalah yang menghasilkan head dan debit keluaran
paling tinggi. Rancangan turbin crossflow poros vertikal sebagai penggerak pompa sentrifugal
dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Konstruksi Sudu Jalan Turbin basis silinder
Gambar 2. Turbin crossflow basis silinder penggerak pompa air
T
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.57
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prinsip kerja dari turbin aliran silang poros vertikal yaitu air yang mengalir di sungai
diarahkan melalui parit menuju tempat dipasangnya turbin. Kemudian air dialirkan melalui sudu
pengarah yang berfungsi untuk mengarahkan aliran air agar tepat menumbuk sudu jalan turbin
sehingga turbin bisa berputar secara optimal. Kemudian air menumbuk sudu jalan turbin dan turbin
tersebut akan menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik berupa putaran turbin digunakan
untuk menggerakkan pompa sentrifugal dengan melalui transmisi roda gigi, sehingga impeller
pompa sentrifugal tersebut berputar dan menghasilkan daya hidrolik pompa. Pengujian turbin
aliran silang poros vertikal ini bertujuan untuk mengetahui sudut sudu jalan optimum dari turbin
aliran silang poros vertikal sehingga menghasilkan daya hidrolis optimal pompa.
Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan 5, masing-masing merupakan
grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan turbin terhadap debit yang dihasilkan pompa
(Gambar 3), grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan terhadap daya hidrolis yang
dihasilkan pompa (Gambar 4), dan grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan terhadap
efisiensi sistem (Gambar 5).
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Debit
yang dihasilkan Pompa
Berdasarkan pada Gambar 3 terlihat bahwa sudut sudu jalan mempengaruhi jumlah debit
yang dihasilkan oleh pompa. Pada sudut sudu jalan 10o menghasilkan debit keluaran pompa
0,00003 m3/dt . Debit keluaran pompa yang dihasilkan meningkat dengan meningkatnya sudut sudu
jalan hingga mencapai debit keluaran pompa tertinggi sebesar 0,000253 m3/dt pada sudut sudu
jalan 60o. Kemudian debit keluaran pompa menurun pada sudut sudu jalan di atas 60
o. dari hasil ini
dapat ditunjukkan bahwa sudut sudu jalan 600 merupakan sudut sudu jalan optimum dimana debit
yang dihasilkan pompa adalah yang paling besar dengan debit masukan yang relatif konstan yaitu
sebesar 0,023 m3/det.
Demikian juga jika dilihat dari daya hidrolik keluaran pompa (Gambar 4), terlihat di atas
bahwa pada bukaan sudut sudu jalan turbin mulai dari 10o daya hidrolis yang dihasilkan pompa
yaitu sebesar 0,46 watt cenderung bertambah sampai pada sudut sudu jalan 60o. Tetapi pada sudu
jalan turbin 60o ke atas sampai pada sudu jalan turbin 90
o daya hidrolis yang dihasilkan pompa
terus menurun. Dari pengamatan grafik ini dapat diketahui bahwa bukaan sudut sudu jalan turbin
yang menghasilkan daya hidrolis pompa yang paling banyak adalah pada bukaan sudut sudu 60o
yaitu sebesar 3,05 Watt dengan debit aliran masukan relatif konstan yaitu sebesar 0,23 m3/det. Hal
ini tidak jauh berbeda dengan pengamatan pada gambar 3, karena debit yang dihasilkan pompa
akan berbanding lurus dengan daya hidrolis yang dihasilkan pompa.
B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.58
Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Daya Hidrolis
yang dihasilkan Pompa
Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Efisiensi Sistem
Tren yang sama juga ditunjukkan oleh Gambar 5, dimana sudut jalan 600 memberikan hasil
yang paling baik. Titik-titik debit, daya hidrolik, dan efisiensi disekitar sudut sudu 600 terlihat
berdekatan. Pada awalnya pengujian dilakukan pada sudut sudu kelipatan 10 dan menghasilkan
sudut sudu terbaik pada 600. Oleh karena ring sudut yang besar, maka untuk meyakinkan hasil ini
dicoba juga sudut sudu di sekitar 600 yaitu 53
0, 58
0, dan 65
0. Hasilnya seperti terlihat, yaitu titik
optimum terjadi pada sudut sudu jalan 600 dengan efisiensi 4,98 %.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.59
KESIMPULAN
Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa air untuk pengairan ini dibuat
berdasarkan konstruksi silinder dengan diameter 528 mm yang dibelah menjadi empat dan
masing – masing bagian selubung silinder yang berfungsi sebagai sudu jalan turbin tersebut
diputar pada sudut 60o. turbin aliran silang poros vertikal ini memiliki diameter dalam 133 mm,
diameter luar 808,9 mm, lebar sudu jalan turbin 400,4 mm, tinggi sudu jalan turbin 1000 mm,
tebal sudu jalan turbin 1,2 mm, jari – jari kelengkungan sudu jalan 264 mm, massa sudu jalan
turbin 32 kg dengan diameter poros 65 mm.
2. Berdasarkan pada hasil pengujian, turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa
air untuk pengairan yang dibuat berdasarkan konstruksi silinder yang dibelah menjadi empat
mempunyai sudut sudu jalan optimum 60o dengan debit aliran masukan sebesar 0,23 m
3/det,
debit aliran keluaran pompa sebesar 0,000253 m3/det, daya hidrolis yang dihasilkan pompa
sebesar 3,05 watt, dan mempunyai efisiensi sistem sebesar 4,98 %.
DAFTAR PUSTAKA
Bellis. 2002. Lester Allan Pelton-Water Turbines and the Beginnings of Hydroelectricity.
Inventors Journal. http://Inventors.abuot.com/gi/ dynamic/offsite.htm
Dietzel F. 1993. Turbin Pompa dan Kompresor. Erlangga. Jakarta
Edi Wibowo, Fitroh Amalia, Nadhir Yusmalina, Riza Muhamad N Z. 2007. Pompa sentrifugal
dengan penggerak turbin air tipe Aksial untuk keperluan irigasi. Polines. Semarang
Gatot S., Bono. 2005. Rancang bangun turbin savonius untuk menggerakkan pompa lobe. Jurnal
Eksergi. Vol 1 nomor 2. hal 60-66. ISSN 0216-8685
Gatot S., Bono, Yusuf DH. 2007. Optimasi Turbin Crossflow Terhadap Variasi Sudut Sudu
pengarah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidr. Jurnal Eksergi. Vol 3 nomor 1
hal 22-28. ISSN 0216-8685.
Gatot S., Sahid, Yusuf DH. 2007. Optimasi Turbin Crossflow Terhadap Variasi Sudut Sudu
outlet untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Jurnal Eksergi Vol 3 nomor 1 hal
9-16. ISSN 0216-8685
Prabowo A, A Hendriadi, Novi S, Hari G, dan Affifudin. 2003. Metode Perbaikan Disain Pompa
Sentrifugal Diterapkan Untuk Pompa Buatan Lokal. Temu Ilmiah Pengembangan
Mekanisasi Pertanian. Bogor, 16 Desember 2003
Sahid, Suwoto G. 2004. Rancang Bangun Turbin Mikro Aliran Silang untu Sistem Pembagkit
Listrik Tenaga Mikrohidro. Proseding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat. Politeknik negeri Semarang, Semarang
Sahid, Gatot S. 2006. Peningkatan kinerja melalui optimasi jumlah sudu pada turbin crossflow
untuk PLTMh. Rekayasa mesin vol III nomor 3. hal 133-144. ISSN 1411-6863
Yusuf DH. 2008. Unjukkerja Turbin Angin Nibe 3-sudu Menggunakan Pompa Sudu Luncur
untuk Pengambilan Air, Jurnal Eksergi. Vol 4 nomor 2. hal 52-60. ISSN 0216-8685
B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.60
KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN AIR HASIL MODIFIKASI
POMPA SENTRIFUGAL UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO
Gatot Suwoto
Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail : gatsuw@gmail.com
Abstrak
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji kinerja turbin air hasil modifikasi pompa
sentrifugal untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Tahap awal penelitian adalah
menyiapkan pompa sentrifugal yang akan dimodifikasi, mengukur impeler dan lebar saluran
rumah pompa yang akan dimodifikasi sebagai patokan ukuran runner turbin yang akan dibuat.
Merubah sudut sudu impeler, ketirusan shock drat As impeller diperpendek agar tidak ada
celah air dan memperbesar lebar impeler agar seluruh air akan menumbuk runner turbin.
Agar perubahan ukuran lebar runner tidak menimbulkan perubahan debit maka jumlah sudu
runner turbin diperbanyak.yang awalnya sudunya berjumlah 6 diperbanyak menjadi 16 sudu.
Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik turbin.. Uji dilakukan pada instalasi pengujian
turbin air (rig uji turbin). Parameter yang diukur adalah debit dan head untuk menghitung
daya input turbin serta putaran turbin dan torsi yang bekerja pada poros turbin untuk
menghitung daya output turbin. Berdasarkan pada hasil pengujian, turbin air hasil modifikasi
pompa sentrifugal untuk pembagkit listrik tenaga mikrohidro, daya output turbin maksimum
yang dihasilkan adalah 144,876 watt dengan putaran turbin 1315 rpm yang dioperasikan pada
debit 0,0034 m3/det ,head 23 m dan mnghasilkan efisiensi turbin 21,98 %
Kata kunci: Turbin Air, Hasil Modifikasi Pompa Sentrifugal, Karakteristik Turbin.
PENDAHULUAN
Energi listrik yang disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), masih belum
dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang jauh dari
jangkauan jaringan listrik. Desa diseluruh nusantara yang sudah terjangkau jaringan listrik sampai
tahun 2006 baru mencapai 47 % (Sutisno, 2007). Sisanya adalah daerah pelosok yang belum
terjangkau jaringan listrik. Beberapa desa yang belum terjangkau jaringan listrik memiliki potensi
mikrohidro yang belum dimanfaatkan, potensi mikrohidro di Indonesia yang telah dimanfaatakan
kurang lebih 64 MW sedangkan potensinya diperkirakan sebesar 460 MW (Zulkarnain dkk, 2004).
Sumber energi mikrohidro dapat dimanfaatkan dengan cara mengubah energi tersebut kedalam
bentuk energi mekanik. Energi mekanik kemudian digunakan untuk menggerakkan beban seperti
generator listrik, pompa dan lain lain. Alat yang dapat digunakan untuk mengubah energi potensial
air menjadi energi mekanik dikenal denan turbin air. Kendala yang dihadapi masyarakat untuk
memanfaatkan potensi mikrohidro adalah tidak tersedianya turbin air sekala mikro dipasaran.
Sementara pengetahuan masyarakat tentang teknologi turbin air sangat rendah.. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan pemikiran alternatif yaitu mencari alat yang mudah didapatkan dan terjual
bebas dipasaran untuk dimodifikasi menjadi turbin air. Pompa sentrifugal secara geometris
memiliki kemiripan dengan turbin air namun prinsip kerjanya berkebalikan.. Penelitian ini
dimaksutkan untuk mengkaji kinerja turbin air hasil modifikasi dari pompa sentrifugal untuk
pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi alternatif
kelangkaan turbin air dipasaran sekaligus mendorong pemanfaatan energi mikrohidro yang lebih
baik.
LANDASAN TEORI
Turbin francis adalah sebuah turbin aliran kedalam yang mempunyai aliran radial pada sisi
masukan maupun pada sisi keluaranya. Jenis turbin ini paling banyak digunakan karena
menghasilkan daya tinggi, cocok dioperasikan pada tinggi jatuh air menengah. Semua hubungan
untuk menentukan berbagai sudut dan karakteristik lain yang digunakan dalam turbin aliran
kedalam, juga dapat diterapkan untuk turbin francis.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.61
Daya Hidrolik
Daya hidrolik adalah daya yang dimiliki oleh air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah, dirumuskan pada persamaan 1 :
PhT .= ρgQH............................................................................................... (1)
dimana Ph adalah daya hidrolik (Watt), massa jenin air (kg/m3), Q adalah debit air (m
3/s) dan H
adalah tinggi jatuh air (m)
Daya Mekanik
Daya mekanik adalah daya yang dihasilkan pada poros turbin dapat dicari dengan
persamaan 2
Pm= 60
..2 nT................................................................................................. (2)
dimana: Pm = Daya mekanik (Watt), T = Torsi (Nm), π = 3.14 dan n = kecepatan putar (rpm)
Efisiensi Turbin (ƞt )
Efesiensi turbin merupakan perbandingan daya mekanik yang di hasilkan oleh turbin
dengan daya hidrolik yang di gunakan untuk menggerakkan turbin, dapat dihitung dengan
persamaan 3.
ƞt =h
m
P
Px100%............................................................................................... .(3)
METODOLOGI PENELITIAN
Proses perancangan dalam pembuatan sistem pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan
menggunakan pompa sentrifugal yang difungsikan sebagai turbin air dilakukan dengan modifikasi
jumlah sudu dan sudut sudu. Jumlah sudu dimodifikasi menjadi 16 sudu dan sudut sudu pada
posisi dalam dimodifikasi 35˚ dan sudut sudu di sisi luar menjadi 30˚.
Gambar 1 Rancangan Runner Turbin
Langkah yang dilakukan :
Mengukur impeler dan lebar saluran rumah pompa yang akan dimodifikasi sebagai patokan
ukuran runner turbinyangn akan dibuat. Mengubah sudut sudu runner pada bagian masukan 30º dan
pada bagian keluaran 35º, ketirusan shocck drat poros diperpendek dan lebar impeler diperbesar,
jumlah sudu diperbanyak menjadi 16. Spesifikasi pompa yang yang akan dimodifikasi sebagai
berikut : head maksimum pompa 22 m, debit maksimum 90 liter/menit, putaran pompa 1500 rpm
B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.62
dan daya listrik yang dibutuhkan 175 wat. Impeler yang dimodifikasi menjadi runner turbin air
adalah jenis tertutup dan rumah pompa yang digunakan sebagai rumah turbin adalah tipe siput.
Gambar 2 impeler pompa
.
Gambar 3 Rumah Siput
Instalasi Pengujian Turbin Air
Gambar di bawah ini merupakan instalasi pengujian turbin air hasil modifikasi pompa
sentrifugal. Komponen utama alat ini adalah pompa sirkulasi yang digunakan untuk menggantikan
waduk (bendungan) sebagai potensi tenaga air, dengan spesifikasi pompa sebagai berikut : head
tekan =37 m, debit = 200 l/menit, daya = 4 HP, turbin air, dinamometer sebagai alat pengukur torsi,
tachometer untuk mengukur kecepatan putar turbin dan bendung V sebagai alat pengukur debit.
Gambar 4 Instalasi Pengujian turbin air
Langkah Pengujian
1. Mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam pengujian
2. Memeriksa semua alat ukur yang digunakan
3. Membuat rangkaian pengujian
4. Memilih range alat ukur pada ampermeter maupun voltmeter.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.63
5. Menghidupkan pompa.
6. Mengatur bukaan katup disesuaikan dengan head yang diinginkan
7. Mukai pengambilan data dari pembebanan nol sampai pembebanan maksimum , catat head
masuk turbin dan keluar turbin, massa beban mekanik, beban lampu, arus dan tegangan
listrik keluaran generator.
8. Matikan pompa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Runner turbin hasil modifikasi impeller pompa yang telah dibuat mempunyai spesifikasi
sebagai berikut : diameter luar runner 127,5 mm , diameter dalam runner 24 mm, lebar sudu 12,5
mm, jari jari kelengkungan sudu 30 mm dan jumlah sudu16 buah, sudut sudu pada posisi dalam
35˚ dan sudut sudu di sisi luar 30º.
Gambar 5 Runner Turbin Air Dengan Runner Berjumlah 16 Sudu
Hasil pengujian karakteristik turbin dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hubungan antara
daya mekanik dengan putaran pada pengujian karakteristik turbin dengan variasi beban mekanik
maksimum yang dihasilkan sebesar 144,876 Watt pada pada putaran 1315 rpm yang dioperasikan
pada head (tinggi jatuh air) 23 m.
Grafik daya mekanik vs putaran
120
125
130
135
140
145
150
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
putaran (rpm)
da
ya
me
ka
nik
(W
)
Gambar 6 Grafik hubungan Daya Mekanik Vs Putaran
B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.64
Dari Gambar 7 Grafik Hubungan efisiensi turbin vs putaran terlihat bahwa efisiensi turbin
terbesar yang dihasilkan 21,93% pada putaran 1315 rpm, dan tinggi jatuh air 23 m.
Grafik efisiensi turbin vs putaran
18,5
19
19,5
20
20,5
21
21,5
22
22,5
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
putaran (rpm)
efi
sie
ns
i tu
rbin
(%
)
Gambar 7 Grafik hubungan Efisiensi Turbin Vs Putaran
KESIMPULAN
1. Modifikasi impeller pompa menjadi runner turbin yang telah dibuat mempunyai spesifik
dengan diameter luar runner 127,5 mm , diameter dalam runner 24 mm, panjang, lebar sudu
12,5 mm, jari jari kelengkungan sudu 30 mm dan 16 buah sudu, sudut sudu runner turbin pada
posisi dalam 35˚ dan sudut sudu di sisi luar 30º.
2. Daya mekanik turbin yang dihasilkan pada head 23 m adalah 144,876 Watt dengan efisiensi
turbin 21,98 % pada putaran 1315 rpm,.
DAFTAR PUSTAKA
Bono,Gatot Suwoto,Mulyono,2006.”Rekayasa bentuk sudu turbin pelton Sistem pembangkit listrik
Tenaga mikrohidro”,Jurnal rekayasa MesinVol.3 No.1,hal:131-136
Maher P.,and N.Smith,2001,”Pico Hydro for village power”,Practical Manual for schemes Up To 5
KW in Hill Areas,Edition 2
Sularso, Tahara Haruo,2000,”Pompa dan kompresor”,Pradnya paramitha,Jakarta
Sriyono Dakso, Dietzel Fritz,1993.”Turbin pompa dan Kompressor”Erlangga,Jakarta
Sutisna, N. (20/07), ”Departemen energi kembangkan sistem mikrohidro”., Tempo News Room.
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/ ./brk,20040417-08,id.html
Zulkarnain, Sukarno, H., Berlian, A. (2004), “Sistem piko hidro untuk daerah terpencil”., Majalah
P3TEK, http:/www.p3tek.com/conten publikasi /publikasi 04,htt htm.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.65
APLIKASI KOLEKTOR MATAHARI MODEL PLAT DATAR
UNTUK PROSES PENGERINGAN
Seno Darmanto dan Senen
Dosen Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang e-mail: seno_darmanto@gmail.com
Abstrak
Penelitian plat datar sebagai pengumpul kalor matahari dilakukan untuk menganalisa
tingkat efektifitas penyerapan kalor dan aplikasinya untuk proses pengeringan.
Tingkat efektifitas didasarkan pada bahan dan ukuran plat datar, pengaturan posisi,
bahan yang dikeringakan, temperatur dan efisiensi. Perancangan alat pengeringan
dengan kolektor matahari dilakukan di laboratorium dan pengujian unjuk kerja
dilakukan dengan mengeringan salah satu produk makanan pada waktu siang hari
dengan waktu efektif 5 jam. Dan berdasarkan hasil uji unjuk kerja prototipe plat
pengumpul kalor dengan ukuran 2 mx 1,2 m x 3 mm menunjukkan bahwa temperatur
di ruang kolektor dapat mencapai ±50oC.
Key word: plat datar, pengumpul, kalor, temperatur, efisiensi, pengeringan
PENDAHULUAN
Analisa pasar menunjukkan bahwa energi yang bersumber dari minyak bumi mengalami
kecenderungan peningkatan baik konsumsi dan harga sehubungan dengan permintaan masyarakat
dunia (terutama industri) yang meningkat. Peningkatan konsumsi energi cair (terutama minyak
bumi) bagi industri ternyata tidak sebanding dengan penyediaan bahan bakar yang diturunkan dari
minyak bumi tersebut meliputi bensin, minyak tanah, solar, minyak diesel dan residu. Penyediaan
bahan bakar cair yang tidak sebanding dengan permintaan menyebabkan kenaikan harga minyak
secara drastis. Diversifikasi energi (bahan bakar) menjadi solusi untuk mengatasi
masalah/kekurangan energi setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Konsumsi energi untuk
skala dunia di tahun 2000 menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi tercatat 35% minyak
bumi, 25% batubara, 21% gas alam, 7% nuklir dan energi terbarukan 14% (Handaka, 2003).
Selanjutnya kontribusi energi terbarukan dari air, angin, surya dan panas bumi 1% -1,5% (IEA,
2002 di dalam Handaka, 2003). Kajian dan analisa diversifikasi energi terbarukan dapat bersumber
dari angin, air, panas bumi, matahari, minyak nabati dan hewani serta hidrogen. Kebijakan
diversifikasi energi di Indonesia sebenarnya sudah diatur melalui Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) semasa era orde baru. Pelaksanaan kebijakan diversifikasi energi tersebut di level teknis
belum mengalami peningkatan yang signifikan hingga sekarang ini.
Potensi energi matahari cukup besar di Indonesia. Faktor potensi energi matahari
dipengaruhi oleh letak/posisi daerah, musim (hujan /kemarau) dan waktu (jam). Letak Indonesia di
jalur garis katulistiwa memberikan potensi pancaran matahari secara penuh di seluruh daratan
Indonesia. Selanjutnya berkenaan dengan musim, Indonesia hanya mempunyai 2 musim yakni
hujan dan kemarau di mana dengan rentang waktu musim kemarau lebih lama dari pada musim
hujan akan memberikan potensi energi matahari lebih besar. Pengaturan media transfer kalor/energi
surya akan mencapai maksimal pada kondisi pancaran sinar matahari tegak lurus dengan media
transfer/penyerap kalor/energi. Kondisi maksimal ini dicapai pada jam/saat matahari tepat di atas
media transfer kalor/energi.
Pengembangan potensi matahari menjadi sumber energi (pemanas, penerangan dan
pembangkit listrik) bagi industri dan rumah tangga mulai berkembang di Indonesia.
Transfer energi matahari untuk proses pemanasan dapat dilakukan secara langsung dan
tidak langsung. Proses pemanasan dengan energi matahari secara langsung dilakukan
dengan cara penjemuran. Metode pemanasan yang dilakukan di udara terbuka ini relatif
kurang baik terutama untuk produk makanan dan obat. Kajian dan analisa media transfer
B.12. Aplikasi kolektor matahari model plat datar ... (Seno Darmanto dan Senen)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.66
energi matahari secara tidak langsung untuk proses pemanasan dilakukan dengan
pengumpul (collector) bed yang terbuat dari bahan pebble (Santos, 2005). Ada beberapa
kendala pengembangan energi matahari menjadi energi bermanfaat meliputi teknologi,
bahan, biaya dan kebijakan. Aplikasi energi matahari untuk pemanas mulai banyak
diterapkan untuk keperluan industri dan rumah tangga. Problem utama aplikasi energi
matahari sebagai pemanas meliputi tingkat kepercayaan, kontrol temperatur udara dan laju
aliran udara. Tingkat kepercayaan energi matahari dalam aplikasinya di lapangan
dipengaruhi oleh cuaca daerah yang tidak konstan.
Pemanasan dianjurkan tidak lebih dari 85oC untuk pertimbangan-pertimbangan
standar gizi (Kuntjoko et al.,1989 dalam Suharto, 1991). Batas kadar air pada produk
makanan secara umum kira-kira 30% atau setidak–tidaknya 40%. Sedangkan untuk jahe,
kadar air rimpang diharapkan mencapai 8%–10% (Rostiana et al., 2005). Pengaturan kadar
air pada prinsipnya dilakukan untuk menghentikan perkembangan jasad–jasad bakteri
pembusuk dan jamur (Moelyanto, 1992). Pada proses pengeringan bahan makanan dapat
mengalami reaksi pencoklatan non-enzymatic yang dapat menurunkan kadar gizi. Reaksi
pencoklatan non-enzymatic membentuk pigmen coklat (melanoidin) dan umumnya terjadi
pada bahan makanan yang mengalami pemanasan. Reaksi ini tergantung pada air yang
merupakan akibat dari dua peranan air, yaitu sebagai pelarut dan sebagai suatu produk dari
reaksi (Sutardi, et al., 1990).
METODE PENELITIAN
Bahan: jahe yang sudah dicuci dan disesuaikan dengan ukuran tertentu. Peralatan terdiri
dari ruang/peralatan pengering jahe, penangkap kalor matahari, 2 fan penghisap udara, 5 alat ukur
temperatur, 1 alat ukur kelembaban dan 1 alat timbangan massa. Langkah percobaan pertama-tama
dilakukan dengan menyiapkan peralatan pengering, merangkai alat pengering jahe, penangkap
kalor matahari dan menyiapkan dan pemasangan alat ukur meliputi alat ukur temperatur dan
kelembaban.
Gambar 1 Rancangan pengumpul kalor matahari untuk pengeringan pangan
Data-data yang perlu diambil sebelum alat dioperasikan, antara lain: massa awal jahe,
temperatur awal ruang pengering, temperatur awal lingkungan, dan kelembaban awal ruang
pengering. Selanjutnya pengambilan data pada saat mesin dalam keadaan tanpa beban meliputi
temperatur ruang pengering, temperatur udara keluar, temperatur udara masuk, dan temperatur
udara lingkungan. Kemudian pengambilan data selama mesin dioperasikan untuk pengeringan jahe.
Data-data yang perlu diambil, antara lain temperatur udara luar (T0), temperatur udara sebelum
melewati fan (T1), temperatur udara diatas plat (T2), temperatur udara setelah melewati rak
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.67
pengering (T3), temperatur udara keluar (T4), temperatur plat hitam (T5). Pengukuran dilakukan
setiap 15 menit sekali. Dan pengambilan data kelembaban meliputi kelembaban udara sebelum
masuk ruang pengering (RH1) dan kelembaban udara keluar ruang pengering (RH2). Pengukuran
dilakukan setiap 15 menit sekali. Dan pengolahan data difokuskan pada analisa hubungan antara
temperatur operasional pengering dan waktu pengeringan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada proses pengeringan, kadar air dalam jahe akan menurun dan penurunan tertinggi
dicapai pada kecepatan fan 984 rpm dengan penurunan mencapai 7,6%.
Tabel 1. Penurunan kadar air jahe setelah pengeringan.
Kec. Fan (rpm) 0 984 1120 1250
Ka (%) 3,2 7,6 4 4,4
Distribusi temperatur selama 1 (satu) hari atau 5 jam efektif di beberapa titik di peralatan
pengering dengan kecepatan 984 rpm ditunjukkan di gambar 2. Temperatur di atas plat hitam (T5)
cenderung paling tinggi. Selanjutnya temperatur di ruang penangkap kalor (di atas plat kolektor
(T2)) cenderung di bawah T5 namun di atas T3. Kemudan temperatur ruang pengeringan bahan (T3)
cenderung di atas temperatur lingkungan (T4) namun di bawah T2.
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
0:00
:00
0:30
:00
1:00
:00
1:30
:00
2:00
:00
2:30
:00
3:00
:00
3:30
:00
4:00
:00
4:30
:00
5:00
:00
Pukul
Tem
per
atu
r (C
)
T 5 T 2 T 3 T 4
Gambar 2. Hubungan distribusi temperatur dengan waktu pengeringan
pada lokasi yang berbeda untuk kecepatan fan 984 rpm.
Distribusi temperatur ruang pengering (T3) selama 1 (satu) hari atau 5 jam untuk beberapa
kecepatan blower ditunjukkan di gambar 3. Pada kecepatan 984 rpm, temperatur ruang pengering
cenderung paling tinggi. Selanjutnya pada kecepatan 0 rpm, temperatur di ruang pengering
cenderung paling rendah.
20
25
30
35
40
45
50
55
0:00:
00
0:30:
00
1:00:
00
1:30:
00
2:00:
00
2:30:
00
3:00:
00
3:30:
00
4:00:
00
4:30:
00
5:00:
00
Pukul
Tem
per
atu
r(C
)
0 rpm 984 rpm 1120 rpm
Gambar 3. Hubungan distribusi temperatur di ruang pengering dengan waktu pengeringan
pada kecepatan fan yang berbeda
B.12. Aplikasi kolektor matahari model plat datar ... (Seno Darmanto dan Senen)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.68
Efektifitas aliran kalor untuk pengeringan akan mencapai optimum pada kecepatan blower
984 rpm. Transfer kalor melalui media selain dipengaruhi oleh nilai koefisien perpindahan kalor
(heat conductifity) juga di pengaruhi oleh perpindahan secara konveksi dan radiasi (Incropera at al,
1990). Perpindahan kalor secara konveksi dipengaruhi oleh kecepatan aliran dan waktu tinggal
(resident time). Untuk transfer kalor melalui benda padat akan lebih dominan dipengaruhi oleh nilai
koefisien perpindahan kalor dan luasan bahan. Dan perpindahan kalor dengan media udara lebih
dominan dilakukan secara konveksi. Pada kecepatan blower 1120 rpm, waktu tinggal untuk transfer
kalor dari udara ke jahe diprediksi relatif rendah sehingga transfer kalor kurang maksimal. Dan
fenomena tersebut ditandai dengan temperatur ruang pengering relatif rendah.
KESIMPULAN
Kajian dan analisa secara eksperimen terhadap pengumpul (collector) matahari sebagai
sumber kalor/energi untuk proses pengeringan jahe menunjukkan kadar air jahe utuh (tanpa
perlakuan) yang menurun selama 5 jam. Selanjutnya temperatur maksimum di ruang pengeringan
dapat mencapai ±50oC. Kemudian kecepatan blower mempengaruhi transfer kalor di ruang
pengeringan. Dan kecepatan blower optimum untuk pengeringan di ruang pengering dicapai pada
kecepatan 984 rpm.
TERIMA KASIH
Kami dari hati yang paling dalam mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah terlibat dalam penelitian ini terutama mahasiswa, teknisi dan Program Studi Diploma III
Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip. Dan terima kasih kepada Fakultas Teknik Undip yang telah
mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Handaka, 2003,’’ Prospek Penggunaandan Penelitian Teknologi Energi untuk pertanian di
Indonesia’’, Seminar nasional dan Ekpose Meknisasi Pertanian, Badan Litbang Nasional,
Agustus 2003.
Incropera, F.P. and David P. Dewit, 1990, “Fundamental of Heat and Mass Transfer” , John Wiley
& Sons, New York.
Moeljanto, 1992, “Pengawetan & Pengolahan Hasil Perikanan”, Penebar Swadaya. Jakarta
Rostiana, O., Nurliani B. & Mono Raharjo, 2005,’’Budidaya Tanaman Jahe’’, Balai Penelitian dan
Pengembangan Obat dan Aromatika, Sekuler No. 11. http://www.balittro.go.id.
Santos, B. M., Queiroz, M.R. dan Borges T.P.F, 2005,’’A Solar Collector Design Procedure For
Croop Drying’’, Brzilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 22N0. 02,pp277-284.
ISSN 0104-6632, on line www.abeq.org.bc/bjche.
Suharto, 1991, “ Teknologi Pengawetan Pangan”, Cetakan Pertama. Rineka Cipta, Jakarta
Sutardi & Tranggono, 1990, “ Biokimia & Teknologi Pasca Panen”, Pusat Antar Universitas,
Yogyakarta.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.69
APLIKASI TUNGKU TAK PERMANEN
UNTUK PENGERINGAN BLOK BATA MENTAH
Windu Sediono dan Seno Darmanto
Dosen Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl.Prof. Soedharto, SH, Tembalang-Semarang e-mail: windu_sediono@gmail.com
Abstrak
Penelitian tungku model tak permanen dilakukan untuk menganalisa peningkatan fungsi
sebagai media pembakaran dan pengeringan. Perancangan model tungku tak permanen
dilakukan di laboratorium dan pengujian model tungku dilakukan di industri bata merah
kecamatan Jogonalan kabupaten Klaten Jawa Tengah. Tahapan penelitian terdiri dari
persiapan blok bata, pengeringan awal bata, pembuatan bata yang akan dibakar, pembuatan
tungku, pembakaran dan pembongkaran tungku. Dan berdasarkan hasil uji pembakaran bata
merah menunjukkan bahwa dinding tungku tak permanen akan maksimal dengan pola 2/2 di
mana pola tersebut menghasilkan lebih dari 9000 blok bata kering untuk ukuran tungku 8 m x
6 m dan ketinggian 20x (kali) tinggi blok bata.
Key word: bata merah, tak permanen, pola, tungku, pembakaran, pengeringan
PENDAHULUAN
Aplikasi tungku bakar untuk industri bata telah berkembang cukup pesat di Indonesia. Ada
beberapa sentral industri bata di pulau Jawa meliputi Jawa Barat (Bekasi, Purwakarta, pinggiran
Bandung), Jawa Tengah (Pati, Penggaron dan Gunung pati kabupaten Semarang, Boyolali, Klaten),
Jawa Timur (Ngawi, Sukolilo Madiun, Sidorjo Mojokerto, Pasuruhan, Kediri) dan DI Yogyakarta
(Bantul dan Gunung Kidul). Pembakaran bata tanah liat atau bata merah dapat dilakukan dengan
mengunakan tungku permanen (furnace) dan tungku tak permanen. Tungku permanen merupakan
tungku yang didesain dan dibuat secara permanen di tempat atau lokasi tertentu. Konstruksi tungku
merupakan dinding vertikal (kadang tertutup) yang dilapisi bahan tahan api di sisi dalam dan
dilengkapi dengan pintu masuk. Tungku ini banyak digunakan oleh industri besar. Selanjutnya
tungku tak permanen merupakan tungku yang didesain dan dibuat sementara (secara tak permanen)
di tempat atau lokasi tertentu. Dan model tungku tak permanen terdiri dari rendemen dan dinding.
Pembakaran bata tradisional umumnya menggunakan tungku model rendemen. Perkembangan
industri bata tradisional skala bisnis (diperdagangkan) cenderung menggunakan tungku model
dinding untuk pembakaran bata merah. Tungku tak permanen model dinding terdiri dari dinding
tungku penuh (rigid) dan berpori. Dan dalam perkembangannya, dinding tungku model tak
permanen berkembang cukup baik dari segi bentuk, dimensi, susunan dan perekatannya. Aplikasi
tungku tak permanen dapat diterapkan untuk pembakaran bata, genteng, produk gerabah dan
pembakaran produk skala kecil
Mekanisme pengeringan dan pembakaran sebenarnya merupakan dua proses terpisah pada
pembuatan bata merah. Pengeringan dan pembakaran pada prinsipnya merupakan usaha
memberikan kalor kepada bata merah untuk mendapatkan kualitas bata merah yang dikehendaki.
Besar atau nilai kebutuhan kalor akan berbeda antara pembakaran dan pengeringan bata merah.
Pembakaran bata merah di tungku membutuhkan kalor lebih tinggi dari pada proses pengeringan
bata mentah basah ke bata mentah kering. Dalam praktek sehari-hari di industri bata merah,
kebutuhan kalor untuk pembakaran bata merah disediakan/diperoleh dari pembakaran bahan bakar
kayu, ranting, daun dan bahan bakar limbah pertanian. Sedangkan proses pengeringan bata merah
mentah dilakukan dengan penjemuran bata di bawah sinar matahari. Proses pengeringan bata
secara alami akan membutuhkan waktu relatif lama dan waktu pengeringan akan bertambah saat
memasuki musim penghujan.
Proses pengeringan bata mentah di industri bata skala kecil dan rumah tangga rata-rata
dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Waktu pengeringan blok bata mentah basah
pada kondisi cerah di musim kemarau membutuhkan waktu 5 – 6 hari. Perlakuan pengeringan bata
dengan cara membalik permukaan bata secara berulang akan mempercepat proses pengeringan
B.13. Aplikasi tungku tak permanen ... (Windu Sediono dan Seno Darmanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.70
bata. Mekanisme pengeringan bata secara alami akan menemui banyak kendala saat memasuki
musim penghujan. Kunjungan dan pengamatan langsung ke industri bata di Klaten Jawa Tengah
menunjukkan bahwa waktu pengeringan blok bata mentah basah dapat mencapai 15 – 18 hari pada
musim penghujan. Dengan kapasitas pencetakan industri kecil mencapai 750 – 1000 blok bata tiap
orang per hari (Surono, 2010), maka potensi penumpukkan bata basah selama 15 hari akan
mencapai 11.250 – 15.000 blok bata. Dan dengan industri bata rata-rata mempunyai 3 orang tenaga
pembuat bata, maka potensi penumpukan bata basah tiap industri selama 15 hari dapat mencapai
33.750 – 45.000 blok bata. Dan untuk 1 (satu) bulan, potensi penumpukan bata dapat mencapai
60.000 – 90.000 blok bata mentah. Industri bata merah skala kecil atau rumah tangga di kecamatan
Jogonalan kabupaten Klaten mencapai 300-an yang tersebar di kelurahan Granting, Kraguman,
Gumul, Karang Dukuh, Titang, Pokoh, Sumopura dan Tambak (Surono et al., 2010).
METODOLOGI
Adanya desain berpori di dinding tungku tak permanen memberikan kesempatan
modifikasi ulang untuk mengkombinasikan fungsi tungku untuk pembakaran lingga bata dan
pengeringan blok bata basah. Pengeringan blok bata bata secara alami dilakukan di bawah sinar
matahari dengan temperatur 40oC – 75
oC. Sedangkan potensi kalor di dinding tungku tak permanen
berpori dapat mencapai temperatur 350oC. Ada potensi kalor cukup besar yang belum
termanfaatkan di dinding tungku. Sehingga selain merancang susunan dinding tungku tak
permanen, perlu ada perlakuan awal bata yang dikeringkan supaya bata penyusun dinding tungku
tidak retak, getas dan patah. Dan sehubungan industri bata merah rata-rata di tengah sawah, maka
potensi modifikasi tungku tak permanen akan semakin luas yakni selain untuk pembakaran bata
dan pengeringan bata dapat juga berpotensi untuk pengeringan produk pertanian pasca panen.
Modifikasi tungku tak permanen untuk proses pembakaran dan pengeringan bata merah dapat
dilakukan dengan mengatur prosentase ruang pori-pori di dinding tungku tak permanen.
Pembakaran bata merah dengan tungku tak permanen dilakukan dengan model pelapisan dan
dinding. Pembakaran bata dengan tungku model pelapisan menggunakan lingga bata model
rendemen. Sedangkan pembakaran dengan tungku model dinding menggunakan lingga bata model
baris dan kolom (Darmanto et al., 2004). Rancang bangun dinding tungku tak permanen model
dinding dibuat dalam 2 tipe yakni berpori dan rigid. Pembakaran bata merah dengan tungku tak
permanen berpori yang terbuat dari susunan bata mentah/matang menghasilkan kualitas
pembakaran bata merah relatif lebih baik. Kualitas bata merah yang baik ini ditandai dengan warna
merah yang merata (homogen) pada bata. Hasil pembakaran bata merah yang terletak di lapisan
lingga terluar dan lapisan dasar terlihat matang yang ditunjukkan dengan warna merah bata.
Beberapa industri mengisi pori-pori dinding tungku dengan abu bekas pembakaran bata merah.
Abu bahan bakar memberikan kalor tambahan selama pembakaran. Pengukuran temperatur di
dinding tungku berpengisi abu dapat mencapai ±350oC saat pembakaran (Murni at al, 2007;
Darmanto et al, 2004). Abu juga berfungsi sebagai isolator sehubungan nilai koefisien konduksi
relatif rendah. Selanjutnya optimasi tungku tak permanen untuk proses pembakaran dan
pengeringan bata merah dilakukan dengan mengatur prosentase ruang pori-pori di dinding tungku
tak permanen. Pengaturan prosentase ruang di dinding tungku dimungkinkan mengingat ketebalan
dinding tungku tak permanen diisi/disusun dengan 5 – 6 blok bata. Ketebalan dinding tungku
merupakan panjang blok bata mentah yang besarnya sama (equivalent) dengan 5 atau 6 x (kali)
ketebalan blok bata mentah. Prinsip dasar rancang bangun dinding tungku untuk proses
pembakaran dan pengeringan bata merah dilakukan dengan modifikasi pola dan teknik
penyusunan/pembuatan dinding tungku tak permanen yakni menyusun 10 (sepuluh) blok bata
membentuk huruf H (jika dipandang dari atas). Dari pola H yang tersusun dari 10 (sepuluh) blok
bata disambung dengan H blok bata lain mengelilingi lingga bata (bata yang akan dibakar).
Optimasi tungku tak permanen diarahkan pada analisa yang meliputi fungsi, ekonomi, kapasitas
dan kualitas. Khusus untuk analisa kualitas, optimasi dinding tungku tak permanen didasarkan pada
analisa teknik meliputi kekuatan, efisiensi termal, waktu dan tingkat kesederhanaan teknologi.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.71
Gambar 1. Teknik pembuatan tungku tak permanen model berpori
Metode yang diterapkan dalam penelitian tungku di industri bata merah meliputi persiapan
di laboratorium dan pelaksanaan di industri bata. Penelitian di laboratorium dilakukan dengan
memfokuskan pada perancangan dan pengujian skala laboratorium. Dan tahapan penelitian di
laboratorium dilakukan sebagai berikut menyiapkan dan menyempurnakan model dinding tungku
berpori tak permanen untuk pembakaran dan pengeringan bata, membuat prototipe tungku berpori
tak permanen dan menentukan langkah kerja. Langkah kerja memberikan tahapan-tahapan
pengerjaan pembuatan tungku tak permanen model 1/1, 2/2, 2/3, dan 3/2.
Untuk menghitung banyaknya bata penyusun dinding tungku yang dikeringkan maka perlu
mempergunakan rumus sebagai pembantu perhitungan total banyaknya bata yang kering. Pertama-
tama berdasarkan pengukuran di industri dimensi bata mentah menunjukkan panjang x lebar x tebal
= 25 cm x 12,5 cm dan 2,5/3 cm. Selanjutnya dengan mengacu model tungku dengan pola 1/1, 2/1,
2/2, 2/3 dan 3/2 dapat dihitung jumlah bata penyusun dinding tungku. Hal ini disesuaikan dengan
kodisi dan cara pengkajian penelitian ini, dimana variabel pola diletakkan pada satu tungku dalam
pembakaran bata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produk yang akan dihasilkan dalam penelitian ini adalah desain dan model tungku tak
permanen dengan dwifungsi yakni pembakaran dan pengeringan. Dinding tungku terbuat /tersusun
dari susunan bata mentah dengan pola tertentu. Sehubungan tungku terbuat dari blok bata mentah
maka analisa efektifitas tungku lebih lanjut dapat dilakukan pada variasi bahan baku bata, variasi
ukuran bata, ukuran tungku dan analisa ekonomi.
Desain tungku tak permanen secara umum ditunjukkan di gambar 1. Desain awal tungku
tak permanen dengan susunan bata membentuk huruf H dengan pola 1/1. Pola 1/1 berarti dinding
bata di bentuk dengan 1 bata mentah dengan posisi berdiri baik di sisi dalam dan luar tungku.
Selanjutnya dengan mengolah data dari hasil survey di industri bata merah di Granting kecamatan
Jogonalan kabupaten Klaten memberikan tungku tak permanen dengan susunan bata membentuk
huruf H dengan pola 2/2, 2/3 dan 3/2. Pola 2/2 berarti dinding tungku dibentuk dengan 2 (dua) bata
mentah dengan posisi berdiri baik di sisi dalam dan luar tungku. Selanjutnya pola 2/3 berarti
dinding tungku dibentuk dengan 2 (dua) bata mentah dengan posisi berdiri di sisi dalam dan 3
Pandangan Atas
Pandangan Samping
Arah ke atas &
menyamping
Bata
B.13. Aplikasi tungku tak permanen ... (Windu Sediono dan Seno Darmanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.72
(tiga) bata mentah dengan posisi berdiri di sisi luar tungku. Dan analisa tungku tak permanen
difokuskan pada pola 2/2.
Gambar 2. Susunan dan dimensi bata di dinding tungku untuk pola 2/2.
Untuk menghitung banyaknya bata penyusun dinding tungku yang dikeringkan maka perlu
mempergunakan rumus sebagai pembantu perhitungan total banyaknya bata yang kering. Pertama-
tama berdasarkan pengukuran di industri dimensi bata mentah menunjukkan panjang x lebar x tebal
= 25 cm x 12,5 cm dan 2,5/3 cm. Selanjutnya dengan mengacu model tungku dengan pola 1/1, 2/1,
2/2, 2/3 dan 3/2 dapat dihitung jumlah bata penyusun dinding tungku. Hal ini disesuaikan dengan
kodisi dan cara pengkajian penelitian ini, dimana variabel pola diletakkan pada satu tungku dalam
pembakaran bata. Untuk menghitung atau memprediksi jumlah bata kering pada tungku tak
permanen maka perlu ada pola atau perumusan tertentu.
Selanjutnya dengan mendasarkan hasil observasi di industri bahwa dinding tungku
berukuran panjang x lebar = 8 m x 6 m dan tinggi disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata maka
dapat diperkirakan jumlah bata mentah penyusun dinding tungku. Ltungku menunjukkan panjang
lintasan tungku dan dalam hal ini itu ditunjukkan
8 m + 6 m + 8 m + 6 m = 28 m atau 2800 cm.
Selanjutnya Lpola menunjukkan panjang lintasan setiap pola dan dalam hal ini itu
menunjukkan bahwa panjang bata ditambah tebal bata
25 cm + 2,5 atau 3 m = 27,5 cm – 28 cm
Kemudian n menunjukkan banyaknya bata dalam satu pola di mana untuk pola 1/1 n
mempunyai nilai 3, n mempunyai nilai 4 untuk pola 2/1, n mempunyai nilai 5 untuk pola 2/2. Dan
secara teoritis, untuk tungku tak permanen dengan ukuran panjang x lebar = 8 m x 6 m dan tinggi
disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata menghasilkan bata kering 9.652 blok bata.
KESIMPULAN
Dinding tungku tak permanen disusun atau dibuat dari blok bata mentah dengan formasi H.
Dinding tungku tak permanen dengan formasi H untuk fungsi pembakaran dan pengeringan akan
maksimal dengan pola 2/2. Pembakaran bata dengan tungku tak permanen ukuran 8 x 6 m2 dan
tinggi disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata untuk fungsi tambahan pengeringan akan
menghasilkan bata kering 9.652 blok bata. Dan kondisi lingkungan relatif juga berpengaruh pada
proses pembakaran dengan tungku tak permanen.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.73
DAFTAR PUSTAKA
Darmanto dan Murni., 2004, “Analisa Abu sebagai Bahan Pengisi Dinding Tungku Bata Merah
untuk Mereduksi Kehilangan Kalor”, Laporan Penelitian Dosen Muda Dikti 2004, Undip,
Semarang.
Incropera F. dan David P. Dewit, 1990, “Fundamental of Heat and Mass Transfer” , John Wiley &
Sons, New York.
Murni, Darmanto, S., dan Rahmat, W., 2007’’ Rancang Bangun Tungku untuk Pembakaran Bata
Merah’’, Laporan penelitian Beasiswa Unggulan Depdiknas 2007.
NN, 2008,’’ Industri Bata Merah di Klaten’’, Survey dan wawancara langsung di industri kecil
bata merah di Jogonalan kabupaten Klaten
Surono, 2009,’’ Survey Dan Wawancara Langsung Di Industri Kecil Bata Merah Di Jogonalan
Kabupaten Klaten’’, Pengusaha Bata Merah dan Ketua Paguyuban bata Merah Nganten.
B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.74
ANALISIS KARAKTERISTIK ELECTRICAL MODUL PHOTOVOLTAIC
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA SKALA LABORATORIUM
M Denny Surindra Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Polines
Jl.Prof. H. Sudartho, SH, Semarang
E-mail: dennysurindra@yahoo.com.sg
Abstrak
Pemakaian sumber energi surya di Indonesia mempunyai prospek yang sangat baik karena
secara geografis indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan merupakan negara tropis yang
mempunyai potensi tenaga surya yang cukup baik dengan penyinaran matahari sepanjang
tahun. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui karakteristik modul photovoltaic
dan besarnya daya yang dibangkitkan oleh modul photovoltaic. Metodologi pengujian
dilakukan dengan cara memasang modul photovoltaic yang dihubungkan dengan panel
kontrol. Panel control dilengkapi dengan BCR (Batteray Charger Regulator), aki dan alat
ukur yang diperlukan. Berdasarkan hasil pengujian modul photovoltaic yang memiliki arus
dan tegangan tertinggi adalah modul photovoltaic 3 (PV 3) dengan merk uerosolare yaitu
sebesar 2.06 A dan 17 V pada jam 12.00 dengan intensitas radiasi 726.71 W/m2. Sedangkan
modul photovoltaic 1 dan modul photovoltaic 2 (PV 1 dan PV 2) dengan merk indosolar arus
dan tegangan yang dihasilkan sebesar 1.68 A dan 17 V dengan intensitas radiasi matahari
726.71 W/m2.
Kata kunci: photovoltaic, pembangkit, listrik, tenaga, surya
PENDAHULUAN Program pemerintah mengenai pembangunan dan pemanfaatan energi diarahkan pada
pengelolaan energi secara hemat dan efisien dengan memperhitungkan peningkatan kebutuhan
dalam negeri untuk jangka panjang. Salah satu upaya memanfaatkan sumber energi yang memiliki
kemungkinan untuk dikembangkan di Indonesia adalah sumber energi matahari atau energi surya.
Pemanfaatan energi surya mempunyai berbagai keuntungan antara lain adalah :
Energi ini tersedia dengan jumlah yang besar di Indonesia.
Sangat mendukung kebijakan energi nasional tentang penghematan, diversifikasi dan
pemerataan energi.
Memungkinkan dibangun di daerah terpencil karena tidak memerlukan transmisi energi
maupun transportasi sumber energi.
Energi surya merupakan sumberdaya alternatif yang prospektif karena energi surya merupakan
sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak menimbulkan polusi. Potensi energi surya di
Indonesia yang berada dijalur khatulistiwa memungkinkan penggunaan secara langsung dalam
bangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Gambar 1. Wilayah Indonesia Dilalui Garis Equator
Prosiding SNST ke- Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.75
Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan memperoleh sinar matahari rata-rata 8
jam/hari memiliki potensi energi surya yang cukup besar. Besar daya yang dapat dibangkitkan
energi surya sekitar 100 watt per m2
, pada efisiensi sel surya sekitar 10%. Energi surya ini diubah
menjadi energi listrik dengan bantuan photovoltaic, sehingga merupakan salah satu alternatif
pembangkit tenaga listrik.
Jimmy (2000) mengungkapkan perpektif perancangan arsitektur bangunan yang
memanfaatkan energy surya ke dalam bangunan secara integratife akan menjadi tatanan arsitektur
baru. Di masa depan arsitektur bangunan tersebut akan menjadi trend dan tuntutan masyarakat luas.
Selain itu dalam kesimpulannya Jimmy (2000) memperkenalkan nama dari gaya bangunan dengan
nama arsitektur surya. Amien (2008) dalam analisisnya mengungkapkan bahwa bangunan
perumahan yang memasang photovoltaic akan dapat membangkitkan energi listrik sekitar 87 MWh
per tahun. Oleh karena itu, penempatan sel surya pada bangunan komersial sebagai bangunan
hemat energi perlu disosialisasikan dengan dukungan pemerintah melalui kebijakan yang tepat dan
kegiatan yang nyata.
Dalam paper ini bertujuan mengungkapkan karakteristik modul photovoltaic yang
dirangkai dalam system pembangkit listrik tenaga surya. Photovoltaic yang digunakan adalah
photovoltaic yang ada dijual bebas ke masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui karakteristik
photovoltaic dan besarnya daya yang dapat dibangkitkan jika dimanfaatkan sebagai pembangkit
listrik untuk kebutuhan manusia.
METODOLOGI
Pengujian dilakukan dengan memvariasi beban serta menvariasi pola pemasangan sel
photovoltaic dengan skema seperti dalam Gambar 2.
Gambar 2. Skema Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Instalasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya terdiri dari photovoltaic (modul
surya), baterai, BCR (Batteray Charger Regulator), dan beban. Photovoltaic merupakan alat yang
mengkonversi energi cahaya matahari menjadi energi listrik yang terbuat dari bahan-bahan
semikonduktor. Baterai berfungsi sebagai alat penyimpan energi listrik yang dihasilkan dari modul
photovoltaic. BCR (Batteray Charger Regulator) merupakan alat yang dapat mengatur pengisian
energi baterai dari modul surya dan alat yang dapat mengatur pemakaian energi baterai oleh beban.
Beban merupakan bagian akhir dari sistem pembangkit listrik tenaga surya yang berfungsi untuk
mengkonversikan energi listrik yang dihasilkan menjadi bentuk akhir seperti energi cahaya, panas,
mekanik dan sebagainya. Dalam menentukan besarnya beban akan berpengaruh langsung dengan
besar kecilnya modul photovoltaic dan peralatan lainnya. Energi yang dihasilkan oleh sistem PLTS
ini disimpan dalam baterai dan kemudian digunakan untuk memasok beban. Dalam penggunaan
energi listrik dari PLTS perlu memperhitungkan keseimbangan energi yaitu energi yang dihasilkan
perhari kurang lebih harus sama dengan yang digunakan. Untuk sel photovoltaic I dan II
+ - ++ --
Solar Panel
Baterai
Beban
+
+
+
-
-
-
BCR
1 2 3 4 5 6
B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.76
menggunakan merk Indosolar dengan tipe monocrystale dan sel photovoltaic III menggunakan
merk Eurosolare dengan tipe monocrystale.
Gambar 3. Rangkaian Percobaan
Gambar 3. Photovoltaic
Hasil dan Pembahasan
Dalam pengujian sel photovoltaic yang dilakukan di Laboratorium Konversi Energi,
didapatkan data arus dan tegangan keluaran. Berikut ini grafik antara arus dan tegangan dari sel
photovoltaic yang diperoleh dari percobaan.
Gambar 4. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic I (PV I)
Gambar 5. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic 2 (PV 2)
Prosiding SNST ke- Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.77
Gambar 6. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic 3 (PV 3)
Intensitas radiasi matahari sepanjang hari dari pagi, siang sampai sore mengalami
perubahan yang signifikan seperti yang terlihat dalam gambar grafik. Hal ini diakibatkan oleh besar
kecilnya sudut datang sinar matahari pada permukaan bumi. Pada siang hari sekitar jam 12.00
siang, mempunyai sudut datang 900, sedangkan pada pagi dan sore hari mempunyai sudut datang
lebih besar dari 900. Sedangkan jumlah intensitas radiasi matahari yang diterima berbanding lurus
dengan besarnya sudut datang. Sinar matahari dengan sudut datang yang miring kurang
memberikan energi pada permukaan bumi, dimana disebabkan karena energinya tersebar pada
permukaan yang luas dan juga karena sinar tersebut harus menempuh lapisan atmosphir yang lebih
jauh ketimbang jika sinar matahari dengan sudut datang yang tegak lurus.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pada saat pengambilan data jam 9.00 pagi
didapatkan radiasi matahari yang diterima sel photovoltaic sebesar rata-rata 471,1 W/m2. Untuk
pengambilan data pada jam 16.00 sore hari didapatkan radiasi matahari yang diterima sel
photovoltaic sebesar rata-rata 472,83 W/m2. Pada saat pengambilan data pada jam 12.00 siang
didapatkan radiasi matahari rata-rata 726.71 W/m2
dan merupakan radiasi terbesar yang diterima
oleh sel photovoltaic.
Arus dan Tegangan Sel Photovoltaik Pada Jam 12.00
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
2,2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
tegangan (V)
aru
s (A
) PV I
PV 2
PV 3
Gambar 7. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Jam 12.00 yang Dihasilkan Oleh Sel
Photovotaik 1, Sel Photovoltaik 2,dan Sel Photovoltaik 3.
Gambar grafik pada saat pengambilan data jam 12.00 siang, besarnya arus dan tegangan
keluaran tertinggi dihasilkan oleh sel photovoltaic 3 yaitu sebesar 2.06 A dan 17 V. Untuk sel
photovoltaic 1 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.68 A dan 17
V. Pada sel photovoltaic 2 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan sebesar 1.76 A dan
B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.78
17 V. Sel photovoltaic 3 memiliki nilai yang lebih besar dari pada sel photovoltaic 1 dan sel
photovoltaic 2 disebabkan karena berdasarkan spesifikasinya, arus dan tegangan maksimum yang
dihasilkan photovoltaic 3 adalah sebesar 2.9 A dan 18.2 V. Sedangkan pada sel photovoltaic 1 dan
sel photovoltaic 2 mempunyai spesifikasi yaitu arus dan tegangan maksimum yang dihasilkan
adalah sebesar 2.3 A dan 17 V.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Saat pengambilan data, radiasi matahari yang diterima sel photovoltaic pada jam 9.00 adalah
rata-rata 471,1 W/m2, jam 12.00 adalah rata-rata 726.71 W/m
2 dan jam 16.00 rata-rata 472,83
W/m2.
2. Besarnya arus dan tegangan keluaran tertinggi dihasilkan oleh sel photovoltaic 3 yaitu sebesar
2.06 A dan 17 V.
3. Sel photovoltaic 1 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.68 A
dan 17 V.
4. Sel photovoltaic 2 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.76 A
dan 17 V.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, R., 2008, ”Optimasi Pemanfaatan Sel Surya Pada Bangunan Komersial Secara Terintegrasi
Sebagai Bangunan Hemat Energi”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II,
III-417-426.
Jimmy, P., 2000, ”Perspektif Arsitektur Surya Di Indonesia”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 28,
No.1, 1-7.
Danny, S., 2000, ”Strategi Aplikasi Sel Surya (Photovoltaic Cells) Pada Perumahan Dan Bangunan
Komersial”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 28, No.2, 129-141.
Yushardi, 2002, “Pengaruh Faktor Meteorologi Terhadap Pola Efisiensi Tiap Jam Harian
Pada Modul Sel Surya”, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Institut Pertanian
Bogor.
Nur Choliq, 1999, “Penggunaan Energi Listrik Pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya Sel
Photovoltaik Di Desa Sekeper Sumowono Kabupaten Semarang”,. Semarang:
Politeknik Negeri Semarang.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.79
DESIGN SIMULATOR FRESH WATER TANK DI PLTU
DENGAN WATER LEVEL CONTROL MENGGUNAKAN MIKROKONTROLER
M Denny Surindra
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Polines
Jl.Prof. H. Sudartho, SH, Semarang
E-mail: dennysurindra@yahoo.com.sg
Abstrak
Simulasi system fresh water tank di PLTU yang berfungsi sebagai tangki penampung air yang
akan dipompakan untuk memenuhi kebutuhan di mixed-bed demine plant. Simulator didesign
dengan sistem kontrol menggunakan mikrokontroler ATMega8535 dan program Delphi
sebagai media tampilannya supaya level air dapat dimonitor melalui komputer. Fungsi
daripada mikrokontroler ini adalah sebagai pengatur buka-tutup katup pada level minimum
dan maksimum. Selain itu sistem kontrol ini juga dapat menampilkan gambar dan data pada
komputer. Sistem control diuji dengan menggunakan gangguan berupa variasi bukaan katub
pembocor 300 dan 60
0. Hasil pengujian simulator sistem fresh water tank bekerja dengan baik
saat level air minimum, 1, 2, 3, dan 4 serta dapat dimonitor dengan menggunakan komputer
sesuai dengan levelnya yang telah diprogram.
Kata kunci: Water, Level, Control, Mikrokontroler
PENDAHULUAN Pada pembangkitan listrik, di area fresh water tank, air harus sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh mixed-bed demine plant, jadi level air harus terjaga konstan. Apabila level air pada
fresh water tank terlalu tinggi akan menyebabkan pengolahan fresh water pada mixed-bed tidak
sesuai dengan standar karena takaran rinse untuk pengolahan air yang sudah disesuaikan dengan
debit rata-rata akan berlebihan sehingga kadar mineral yang dihasilkan dalam air tidak sesusai
dengan standar. Sedangkan bila level air pada fresh water tank terlalu rendah, maka air yang
dihasilkan dari proses pemurnian air pada mixed-bed tidak akan maksimal atau masih terdapat
mineral pada kandungan air yang akan diumpankan ke boiler. Untuk mengamankannya pada fresh
water tank dipasang sensor untuk level minimum dan level maksimum. Pada saat air menyentuh
level minimum katup secara otomatis akan membuka dan pada saat level maksimum maka katup
akan menutup. Pengontrolan pada fresh water tank kebanyakan masih menggunakan sistem
manual. Fresh water tank tersebut, dalam jurnal ini disimulasikan dengan mendesain dan
mengimplementasikan water level control yang dapat dimonitor dengan berbasiskan
mikrokontroler.
Gambar 1. Fresh water tank
B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.80
METODOLOGI
Mikrokontroler mendapatkan masukan signal level ketinggian air dari sensor tembaga.
Setelah melakukan pemrosesan variable input, hasil output memberikan signal untuk memutuskan
apakah pompa air on atau off sesuai dengan status ketinggian air di tanki. Pada saat signal
menginformasikan tangki kosong, maka pompa on dan mengisi tangki dengan air. Sensor akan
membaca tiap level dan memberikan indikasi ke LED sesuai dengan ketinggian level air. Design
flow chart sistem kerja diperlihatkan dalam Gambar 2.
Gambar 2: Flow chart sistem
Arsitektur Sistem
Mikrokontroler ini merupakan suatu keping IC dimana terdapat mikroprosesor dan memori
program (ROM) serta memori serbaguna (RAM), bahkan ada beberapa jenis mikrokontroler yang
memiliki fasilitas ADC, PLL, EEPROM dalam satu kemasan.
Gambar 3: Design Circuit Diagram
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.81
Pengujian pada rangkaian mikrokontroler ATMega8535 ini dapat dilakukan dengan
menghubungkan rangkaian ini dengan power supply sebagai sumber tegangan. Kaki 40
dihubungkan dengan sumber tegangan 5 volt, sedangkan kaki 20 dihubungkan dengan ground.
Kemudian tegangan pada kaki 40 diukur dengan menggunakan voltmeter. Dari hasil pengujian
didapatkan tegangan pada kaki 40 sebesar 4,9 volt. Langkah selanjutnya adalah memberikan
program sederhana pada mikrokontroler ATMega8535.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Simulator fresh water tank terdapat salah satunya reservoir bawah dan atas, reservoir
bawah digunakan untuk menampung air sebagai sumber air dan untuk membuang air dari reservoir
atas setelah air digunakan. Reservoir bawah terlebih dahulu diisi dengan air sampai batas yang
telah ditentukan. Saat pompa bekerja mengisi resersoir atas pembocor harus dalam kondisi tertutup,
saat air mulai mengisi di dalam reservoir atas terdapat elektroda untuk membaca level air yang
telah ditentukan batas-batasnya sehingga saat air menyentuh salah satu elektroda maka lampu tanda
akan segera menyala sesuai dengan level air saat itu dan jika level air menyentuh elektroda pada
level maksimum maka dengan hitungan mili second pompa akan mati. Ketika pembocor dibuka
maka lampu tanda satu-persatu akan mati pada saat air menyentuh elektroda dengan kondisi air
turun untuk dibuang ke reservoir bawah, dan pada saat air menyentuh elektroda level 1 maka
dengan sendirinya pompa akan bekerja untuk mengisi reservoir atas kembali.
Gambar 4: Simulator fresh water tank
Dari panel keluaran mikrokontroler salah satunya terdapat keluaran untuk disambungkan
ke komputer yang sebelumnya harus dibuat sebuah program tampilan untuk dapat berhubungan
dengan mikrokontroler, sehingga tampilan pada komputer sesuai dengan kerja water level control
yang dikontrol dengan menggunakan mikrokontroler ini.
Hasil pengujian simulator sistem fresh water tank didapatkan data rata-rata waktu yang
dibutuhkan untuk mengisi reservoir atas sebagai berikut:
Tabel 1: Data pengisian reservoir dengan katup tertutup penuh (0o)
No. Level Air Waktu (detik)
Probe Lampu Tampilan
1. Level 1 21,00 21,63 21,38
2. Level 2 24,61 25,07 24,91
3. Level 3 24,58 25,00 24,75
4. Level 4 23,46 23,86 23,6
Sistem diberikan gangguan berupa katub pembocor yang dibuka dengan berbagai variasi
B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.82
Tabel 2: Data pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 1/3 (30o)
No. Level Air Waktu (detik)
Probe Lampu Tampilan
1. Level 1 31,12 31,70 31,21
2. Level 2 46,60 47,10 46,71
3. Level 3 55,24 55,49 55,32
4. Level 4 62,96 63,18 63,02
Tabel 3: Data pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 2/3 (60o)
No. Level Air Waktu (detik)
Probe Lampu Tampilan
1. Level 1 39,5 40,69 40,63
2. Level 2 73,83 74,70 74,37
3. Level 3 116,54 117,15 116,96
4. Level 4 213,39 214,17 213,91
Analisis pengujian pengisian reservoir:
a. Pada saat pengisian reservoir atas dengan bukaan katup pembocor tertutup penuh
membentuk kurva seperti gunung. Dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 21,00 detik,
level 2 sebesar 24,61 detik, level 3 yaitu 24,58 detik, dan level 4 yaitu 23,46 detik.
Gambar 6: Pengisian reservoir dengan katup tertutup penuh
b. Pada saat pengisian reservoir atas dengan gangguan berupa bukaan katup pembocor terbuka 1/3
atau 30o membentuk kurva naik. Dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 31,12
detik, level 2 sebesar 46,60 detik, level 3 yaitu 55,24 detik, dan level 4 yaitu 62,96 detik.
Gambar 7: Pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 1/3 (30o)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.83
c. Pada saat pengisian reservoir atas dengan gangguan bukaan katup pembocor terbuka 2/3 atau
60o membentuk kurva naik, dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 39,5 detik, level
2 sebesar 73,83detik, level 3 yaitu 116,55 detik, dan level 4 yaitu 213,39 detik.
Gambar 8: Pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 2/3 (60o)
Analisis pengujian tampilan komputer:
Pembacaan level air dan volume dengan menggunakan program Delphi sebagai tampilan
pada komputer supaya dapat memudahkan pengontrolan secara langsung tanpa melihat alat yang
sedang bekerja. Pada saat level minimum dengan ketinggian air yang mengisi hanya 2 cm dari
dasar reservoir maka akan terbaca volume sebesar 0,0032 m3, selanjutnya pompa akan memompa
air hingga permukaan air menyentuh probe level 1 dengan volume yang terbaca pada tampilan
sebesar 0,0112 m3. Pompa akan terus bekerja untuk mengisi reservoir atas dari level 1 hingga
permukaan air menyentuh probe level 2 dan volumenya akan terbaca 0,0224 m3. Kemudian saat
permukaan air menyentuh probe level 3 volume air akan terbaca pada tampilan sebesar 0,0352 m3
dan pada level 4 volumenya yang terbaca pada tampilan sebesar 0,0464 m3. Pada level 4 inilah
pompa akan berhenti bekerja dengan sendirinya dikarenakan volume sudah mencapai batas
maksimum
Gambar 9: Tampilan di komputer
B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.84
KESIMPULAN
Setelah melakukan pengujian simulator sistem fresh water tank dan pengambilan data maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Simulator sistem fresh water tank dapat bekerja dengan baik saat pengukuran level air
minimum, 1, 2, 3, dan 4 dan dapat dimonitor dengan menggunakan komputer sesuai dengan
levelnya yang telah diprogram.
2. Untuk katub tertutup penuh waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 21,00 detik, level 2
sebesar 24,61 detik, level 3 yaitu 24,58 detik, dan level 4 yaitu 23,46 detik.
3. Untuk gangguan dengan katup terbuka 1/3 atau 30o, waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah
31,12 detik, level 2 sebesar 46,60 detik, level 3 yaitu 55,24 detik, dan level 4 yaitu 62,96 detik
4. Untuk gangguan dengan katup terbuka 2/3 atau 60o, waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah
39,5 detik, level 2 sebesar 73,83 detik, level 3 yaitu 116,55 detik, dan level 4 yaitu 213,39 detik.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, “Pengendalian Tinggi Muka Cairan Berbasis fuzzy (Fuzzy Based Liquid Height Controlling)
“, Fakultas Teknik, Universitas Semarang.
Antoni, “Aplikasi Scada System pada Miniatur Water Level Control, Jurusan Teknik Elektro,
Fakultas Teknologi, Universitas Kristen Petra Surabaya.
Candra, 2010. Tugas Akhir Pembuatan Level Kontrol Menggunakan Variasi Putaran Motor, Prodi
Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang.
Danang, 2010. Tugas Akhir Pembuatan Alat Pengontrol Tekanan Dengan Pemrograman Plc,
Program Studi Konversi Energy, Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang.
Eko Ari Bowo, Mohamad, 2009. Tugas Mata Kuliah Mikrokontroler, Program Studi D3 Ilmu
Komputer, Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Hidayat, Wahyu, 2010. Tugas Akhir Sistem Pengontrol Level Ketinggian Air Dengan
Menggunakan Tampilan Visual Basic Pada PC Berbasis Mikrokontroler AT89S52, Prodi
Teknik Elektronika, Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Sriwijaya.
Khaled, 2010. Microcontroller Based Automated Water Level Sensing and Controlling: Design
and Implementation Issue, Proceedings of the World on Engineering and computer Science
2010 vol 1 WCECS, San Francisco.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.85
STUDI DESAIN KONSEPTUAL SISTEM BALANCE OF PLANT (BOP)
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) SKALA KECIL
Hariyotejo Pujowidodo
Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP)
Puspiptek Serpong Tangerang Selatan Banten 15314 e-mail : h_pujowidodo@yahoo.co.id
Abstraksi
Studi ini merupakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan program Pengembangan
Pembangkit Listrik Skala Kecil kapasitas 2x7 MegaWatt (MW), sebagai tahap awal studi
pendahuluan untuk mengumpulkan data dan informasi perancangan system Balance of Plant
(BOP). Studi berisi tentang kajian filosofi desain dan penetapan model acuan yang akan
digunakan dalam perancangan (desain) yang dilaksanakan berdasarkan eksplorasi data dan
dan tinjauan pada beberapa standar referensi Heat Exchanger Institute (HEI), TEMA (Tubular
Exchanger Manufacturer) dan ASME (American Society Mechanical Engineer) section VIII
untuk komponen condenser, feedwater heater dan deaerator.yang terdapat dalam system
BOP. Hasil studi yang diperoleh adalah berupa hasil analisa berupa sebuah desain konseptual
sistem BOP untuk PLTU 2x7 MW yang meliputi data dan informasi parameter persyaratan,
kerangka utama filosofi desain dan penetapan model/acuan yang akan digunakan.
Kata-kata kunci : BOP, PLTU, filosofi desain, model/acuan
Keywords : BOP, Steam Power Plant, Design Philosophy, Reference
1. LATAR BELAKANG
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Steam Power Plant) adalah satu system penghasil tenaga
listrik yang menggunakan energi uap sebagai sumbernya dan siklus uap Rankine (Rankine Cycle)
yang mengubah proses konversi energi system. Untuk kebutuhan pembangkit listrik 7 Megawatt,
terdapat sistem BOP (Balance of Plant) sebagai sistem optimasi termal memanfaatkan energi
uap/ekstraksi untuk memanaskan dan memurnikan air umpan boiler.
Untuk melaksanakan kegiatan perancangan, perlu dilakukan studi perancangan konseptual
untuk mengumpulkan kriteria persyaratan proses dan peralatan sistem BOP, melalui kegiatan
survei lapangan dan penelusuran standard desain komponen BOP seperti kondenser, heater dan
deaerator yang akan diuraikan dalam penjelasan berikut ini.
2. FILOSOFI DESAIN DAN TINJAUAN STANDARD
2.1. Filosofi Desain
Adalah sebuah kegiatan tentang studi beberapa hal terkait dengan asumsi-asumsi, landasan
utama dan segala implikasi yang berkaitan dengan sebuah perancangan (design). Sistem BOP
merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk meningkatkan utilisasi energi termal/mengurangi
irreversibilitas siklus tenaga uap, melalui pemanfaatan energi panas uap yang keluar/ekstrasi dari
komponen turbin setelah energi termal dikonversikan menjadi energi mekanik putaran poros.
Penentuan filosofi perancangan sistem BOP dilakukan kepada aspek perancangan termal (Thermal
Design) melalui kegiatan pengkajian siklus Rankine tertutup regenerative, fungsi dan deskripsi
komponen BOP (Kondenser, Pemanas Air Umpan dan Deaerator).
2.1.1. Siklus Rankine Tertutup Regenerative
Agar efisiensi siklus meningkat, maka air umpan boiler yang telah dipompakan perlu untuk
diproses hingga mendekati tingkat keadaan jenuh pada kondisi pemanasan uap. Hal ini dilakukan
dengan cara pemanasan air umpan (Feedwater Heating) yang menggunakan sebagian ekstraksi uap
keluar turbin. Proses pemanasan air umpan menggunakan 2 macam pemanasan yaitu pemanasan
terbuka (Open Feedwater Heater) dan pemanasan tertutup (Close Feedwater Heater). Dalam
pemanasan air umpan secara terbuka, air kondensat bercampur secara langsung dengan uap
ekstraksi turbin pada tekanan yang sama saat kondisi saturasi, sedangkan pemanasan tertutup
kontak terjadi pada tekanan berbeda melalui suatu bidang pemisah.
B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.86
(a) (b)
Gambar 1. Pemanas Air Umpan Sistem Terbuka (atas) dan Tertutup (bawah)
(a) Skema aliran (b) Non ideal Superheated dengan 2 pemanas air umpan
2.1.2. Kondenser
Merupakan bagian komponen system yang berfungsi untuk mengkondensasikan uap
keluar turbin, mengumpulkan kondensat dan mengurangi tekanan turbin keluar, melalui air
pendingin atau udara atmosfir secara langsung. Kondenser yang menggunakan air pendingin adalah
normal, kecuali dalam beberapa lokasi di mana air sangat mahal, maka pendingin udara dapat
digunakan.
2.1.2.1. Susunan Kondenser
Banyak condenser yang terpasang di dalam plant langsung di bawah turbin sehingga uap
mengalir ke bawah melalui leher condenser ke dalam condenser. Susunan fisik lainnya dapat
melokasikan condenser di sisi samping atau ujung dari turbin.
(a)
(b)
Gambar 2. Tipikal Kondenser (a) dan alternative susunan air sirkulasi (b)
2.1.2.2. Kondenser Pendingin Udara (Air-Cooled Condensers)
Kondenser ini dapat mengurangi masalah air penambah (make-up water) , polusi air
sirkulasi, plume pada menara ataupun pembekuan menara pendingin. Sementara kekurangan yang
dapat ditimbulkan yaitu tekanan operasi yang lebih tinggi, tempat yang lebih besar, kebisingan
yang tinggi dan biaya operasi yang lebih besar. Terdapat 2 macam condenser pendingin udara yaitu
condenser jet dengan menara pendingin kering, sebagian kondensat digunakan untuk
mengkondensasikan uap buang turbin dan condenser pendingin udara langsung. Pendingin udara
langsung memiliki kemudahan tidak membutuhkan saluran (ducting) buang uap yang besar dan
pompa air sirkulasi dan memberikan kondisi operasi vakum yang lebih baik dan hanya memiliki
satu pendekatan (approach) udara ke uap.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.87
Gambar 3. Jenis Kondenser Pendingin udara
2.1.3. Pemanas Air Umpan (Feedwater Heater)
Di dalam siklus regenerative, uap diekstrasikan dari turbin beberapa tingkat untuk
memanaskan air umpan, sehingga mengurangi kehilangan energy panas di condenser dan
meningkatkan efisiensi system.
2.1.3.1. Konstruksi Pemanas
Dalam analisis siklus terhadap perlunya pemanas air umpan, beberapa pertimbangan harus
dikaji tentang tipe pemanas yang akan digunakan, parameter desain, dan metode pembuangan uap
terkondensasi dari pemanas. Ada 2 jenis pemanas air umpan yaitu tipe terbuka (kontak langsung)
dan tertutup (kontak dengan separasi). Untuk tipe terbuka (Open FWH), uap ekstraksi bercampur
dengan air umpan untuk dipanaskan. Uap terkondensasi di dalam chamber dan keluar bersama air
umpan panas dari pemanas. Tipe ini juga didesain untuk men-deaerasi (sebagai De-aerator)
kondensat yang datang, membebaskan gas-gas terlarut dan non-kondensasi yang memiliki
kandungan utama oksigen, nitrogen, ammonia dan karbondioksida dari kondensat, yang berasal
dari adanya kebocoran dan reaksi kimia. Kelemahan tipe ini adalah ukurannya besar dan berat,
serta memerlukan pompa untuk mengalirkan air umpan keluar pemanas menuju proses berikutnya
di dalam siklus plant.
2.1.3.1. A. Konstruksi Pemanas terbuka
Terdiri atas 3 bagian yaitu bagian pemanas (heater), condenser vent, dan penyimpan
(storage). Proses deaerasi mengikuti gabungan ketetapan hukum Dalton dan Henry tentang
kuantitas sebuah gas terlarut di dalam sebuah cairan akan berkurang ketika temperature cairan
bertambah, dan jika cairan dipanaskan hingga titik didih seluruh gas terlarut akan terlepas.
Gambar 4. Tipikal Deaerator Tipe Tray (Open FWH)
Kemampuan deaerasi unit diukur dari banyaknya oksigen terlarut di dalam kondensat yang keluar
dari FWH. Kapasitas unit ditentukan oleh kuantitas air umpan yang dikeluarkan oleh bagian
penyimpan. Banyak unit yang beroperasi pada tekanan positif terhadap tekanan atmosferik dan
berada di atas tekanan ekstraksi uap.
Dearator juga berfungsi untuk memproses fluida buang dari pemanas tekanan tinggi, uap
ektraksi untuk pemanas udara pembangkit uap, trap tekanan tinggi, sehingga terdapat katup
pengaman untuk menjaga agar tekanan tidak melampaui batas tekanan cangkang. Untuk
B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.88
melindungi kehilangan suplai uap, terpasang pula perangkat vacuum breaker yang berfungsi
mencegah terjadinya tekanan subatmosferik.
2.1.3.1. B. Konstruksi Pemanas Tertutup
Merupakan bentuk penukar kalor cangkang dan tube, dengan kondensat atau air umpan
yang mengalir di dalam tube dan uap ekstraksi di sisi cangkang. Konstruksi terdiri atas pelat
pemisah pembagi aliran masuk dan keluar (partition plate), reverse channel, floating head cover
dan floating head tube shell, yang berguna memudahkan pada saat membersihkan deposit (scale) di
dalam tabung. Di samping itu juga terdapat desain floating head yang menggunakan konstruksi
tabung-U.
Uap ekstraksi yang masuk berada pada kondisi panas lanjut (superheated), dan ketika
kontak dengan permukaan luar tabung akan terkondensasi pada temperature saturasi. Sebuah desain
ekonomis, unit dirancang untuk beda temperature antara temperature keluar feedwater dan
temperature saturasi tersebut sebesar 5 oF (2,8
oF).
(a)
(b)
Gambar 5. Pemanas air umpan tabung lurus dengan
floating reverse channel (a) dan U pengkondensasi (b)
Pemanas air umpan sebaiknya dikonstruksikan menurut standar Boiler and Pressure Vessel Code,
Code for Unfired Pressure Vessels, Section VIII dan HEI (Heat Exchanger Institute) Standards for
Closed Feedwater Heaters
(a)
(b)
Gambar 6. Pemanas Air Umpan Vertikal Posisi Kanal: (a) di bawah, (b) di atas
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Filosofi Desain
(i) Siklus Rankine tertutup regenerative
Dalam siklus rankine tertutup, maka kondensasi uap terjadi di dalam komponen condenser.
Komponen tersebut berguna untuk mengubah kembali fluida uap keluar turbin menjadi air untuk
umpan (fluida kerja) boiler. Untuk meningkatkan efisiensi system, air umpan sebaiknya diproses
terlebih dahulu melalui pemompaan dan pemanasan hingga mendekati kondisi saturasi penguapan
di pembangkit uap. Komponen yang berfungsi memanaskan air umpan disebut dengan feedwater
heater beserta pompa air umpan yang menggunakan uap ekstraksi turbin sebagai fluida pemanas.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.89
Sebelum air umpan tersebut diproses di pembangkit uap, perlu diproses terhadap standar air baku
boiler terhadap kemurnian (kandungan impurities) agar tidak menyebabkan terjadinya korosi
maupun deposit di boiler, melalui komponen deaerator. Deaerator berfungsi untuk melepaskan
fluida gas non kondensasi (NonCondensible Gas) agar tidak mengandung gas korosif yang dapat
merusak tabung pembangkit uap, menggunakan fluida uap ekstraksi dari turbin untuk memanaskan
kondensat/air umpan.
Dalam menganalisa siklus tenaga uap, diperlukan analisa system termodinamika untuk
mengkaji proses perpindahan energy panas (entalpi) dan massa fluida dengan mengacu pada
sebuah ketetapan/hukum kesetimbangan panas dan massa (mass and heat balance). Terutama
dalam perencanaan desain BOP, sangat diperlukan hasil studi awal terkait dengan analisa heat and
mass balance dari system di dalam siklus berdasarkan analisa studi desain proses. Untuk analisa
perhitungan termal system BOP, maka kesetimbangan massa dan energy dari turbin merupakan
acuan awal di dalam analisa perancangan system komponen BOP guna menentukan perancangan
model penukar kalor dari komponen condenser, FWH dan Deaerator sesuai dengan
kebutuhan/kondisi batas desain yang direncanakan termasuk kebutuhan operasi maupun kondisi
batas lapangan/tempat.
(ii) Kondenser
Secara umum condenser yang banyak digunakan untuk PLTU adalah tipe penukar kalor
cangkang berbentuk pelat kotak dan tabung model permukaan uap (steam surface shell & tube heat
exchanger). Langkah awal dalam mempersiapkan perancangan komponen condenser adalah
menentukan besarnya panas uap yang akan dilepaskan melalui media pendingin yang tersedia.
Media pendingin yang umum digunakan adalah menggunakan fluida air yang sumbernya bisa
berasal dari air pemukaan atau fluida udara yang berasal dari lingkungan atmosfir. Penentuan tipe
media pendingin biasanya dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan air pendingin. Namun fluida air
memiliki properties fisik terhadap kemampuan memindahkan panas lebih baik dibandingkan
dengan fluida udara.
Susunan condenser untuk turbin ukuran besar dengan fluida buang uap yang besar dapat
dikonfigurasikan secara serial atau parallel beberapa condenser dengan jumlah laluan fluida
pendingin dapat 1 atau 2 laluan (pass). Namun dikarenakan proses kondensasi harus terjadi secara
mudah, umumnya tekanan di dalam condenser berada pada kondisi vakum, sehingga jarak dan
kerapatan system sambungan pada saluran fluida buang uap harus dapat menjaga kondisi tersebut.
(iii) Pemanas Air Umpan
Air umpan untuk boiler berasal dari air kondensat proses yang dihasilkan dari condenser,
perlu dinaikkan temperaturnya hingga mendekati kondisi saturasi penguapan. Metodenya adalah
dengan memanfaatkan fluida pemanas dari uap turbin melalui cara ekstraksi uap. Biasanya fungsi
pemanas air umpan ini juga untuk melepaskan campuran gas tidak terkondensasi terpisah dari
larutan air agar tidak bersifat korosif.
Ada 2 jenis model pemanas air umpan yaitu tipe terbuka (Open FWH) dan tipe tertutup
(Close FWH). Perbedaannya adalah kontak antara fluida uap dengan media pendingin (kondensat)
terjadi secara langsung atau tidak langsung melalui perantara dinding pemisah.
Berdasarkan proses pemanasan fluida kondensat oleh fluida uap ekstraksi, terdapat pembagian
daerah zone proses di dalam komponen FWH yaitu 2 zone berupa desuperheating dan kondensasi,
2 zone kondensasi dan subcooling serta 3 zone berupa gabungan desuperhetaing, kondensasi dan
subcooling.
Tata letak FWH terbagi 2 macam secara vertical dan horizontal. Masing-masing terdiri atas
aliran uap yang mengalir melalui cangkang dan aliran kondensat yang melalui pipa tabung. Untuk
tipe vertical kanal utama aliran kondensat masuk dan keluar bias berada di sisi atas atau sisi bawah.
Namun untuk tipe vertical terjadi sebagian permukaan pipa tabung yang berada di bawah level
ketinggian air kondensasi. Konstruksi untuk FWH yang beroperasi pada tekanan tinggi seluruh
bagian konstruksi disambung melalui proses pengelasan untuk mencegah terjadinya resiko
kebocoran/kegagalan.
3.2. Alternatif Metode/Model Acuan
Standar/Code yang menjadi acuan di dalam perancangan system BOP terdiri atas 3 macam
yaitu :
a. HEI (Heat Exchanger Institute) untuk Steam Surface Condenser dan Closed Feedwater Heaters
B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)
ISBN 978-602-99334-1-3
B.90
b. TEMA (Tubular Exchanger Manufacture Association).
c. Boiler and Pressure Vessel Code, Code for Unfired Pressure Vessels, Section VIII
4. KESIMPULAN
Sebagai penutup, berikut disampaikan beberapa hal catatan utama yaitu :
1) Sistem BOP yang perlu disiapkan dalam perancangan system PLTU terdiri dari 3 komponen
yaitu condenser, feedwater heater dan deaerator.
2) Kondenser menggunakan fluida pendingin air yang bersumber dari air permukaan melalui
proses pemurnian kandungan air (water treatment plant), yang memiliki sifat memindahkan
panas lebih baik dibandingkan jenis fluida pendingin yang lain.
3) Kondenser merupakan penukar kalor model cangkang dan tube dengan jenis kontak permukaan
uap (steam surface condenser) dengan material konstruksi yang terbuat dari baja karbon
(Carbon Steel).
4) Pemanas air umpan (Feedwater Heater) yang umum digunakan bagi PLTU skala kecil
merupakan tipe kontak langsung (open FWH) dengan aliran berlawanan (counterflow) steam
yang bertukar panas melalui fluida air yang mengalir melalui system tray (Tray Deaerator).
Banyaknya jumlah pemanas bergantung kepada ukuran atau kapasitas turbin yang dipakai.
5) Standar acuan yang digunakan dalam perancangan BOP terdiri dari 3 macam yang berasal dari
HEI (Heat Exchanger Institute), TEMA (Tubular Exchanger Manufacturer) dan ASME
(American Society Mechanical Engineer) section VIII
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepala Program Pengembangan PLTU Skala Kecil Pusat Teknologi Industri Manufaktur (PTIM)
BPP Teknologi Jakarta.
DAFTAR ACUAN
Black & Veatch, Power Plant Engineering, Springer, USA, 1996
Kiameh P., Power Generation Handbook, McGraw-Hill, 2008
Raja A.K., Power Plant Engineering, New Age International, New Delhi, 2006.
WP-2400, Technical Report Pendampingan Desain BOP, PP PLTU PTIM, BPPT, 2011.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.1
PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KETEBALAN BENDA TERHADAP
KEKERASAN BESI COR KELABU DENGAN PENGECORAN LOST FOAM
Sutiyoko*1)
, Suyitno2)
1) Jurusan Teknik Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Ceper
Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten
2) Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jl.Grafika No.2 Yogyakarta *)
E-mail: yoko_styk@yahoo.com
Abstrak
Temperatur tuang cairan logam memegang peranan penting dalam produksi benda dengan
metode pengecoran. Perbedaan ketebalan benda cor akan menghasilkan karakteristik produk
yang berbeda walaupun dituang pada suhu dan cetakan yang sama. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda cor terhadap kekerasan
besi cor kelabu yang diproduksi dengan metode pengecoran lost foam. Temperatur tuang
berkisar antara 1300 – 1400 oC sedangkan ketebalan benda bervariasi dari 2 – 6,5 mm. Pola
menggunakan styrofoam dengan massa jenis 9 kg/m3. Kekerasan benda cor berkurang dengan
kenaikan temperatur tuang cairan logam. Ketebalan benda cor semakin besar juga
menurunkan nilai kekerasan benda cor. Kekerasan besi cor kelabu sangat dipengaruhi oleh
grafit yang terbentuk. Grafit memiliki sifat lunak sehingga semakin banyak grafit yang
terbentuk maka besi cor kelabu tersebut semakin lunak.
Kata kunci: temperatur tuang, kekerasan, pengecoran lost foam
1. PENDAHULUAN
Metode pengecoran lost foam merupakan metode yang tergolong baru dalam industri
pengecoran logam. Metode pengecoran lost foam dipatenkan oleh Shroyer pada tahun 1958
(Kumar dkk, 2008). Metode pengecoran ini menggunakan bahan styrofoam sebagai bahan untuk
membuat pola dan ditanam dalam pasir silika menjadi cetakan. Cetakan dipadatkan dengan
digetarkan dengan amplitudo dan frekuensi tertentu. Styrofoam akan mencair dan menguap ketika
cairan dituangkan ke dalam cetakan sehingga tempat itu akan diisi oleh cairan logam (Askeland,
2001).
Pengecoran lost foam dapat digunakan untuk memproduksi benda yang kompleks/
bentuknya rumit, tidak ada pembagian cetakan, tidak memakai inti, mengurangi tenaga kerja dalam
pengecorannya (Monroe, 1992) sehingga cepat untuk membuat benda-benda prototip. Cetakan dari
pola berbahan styrofoam mudah dibuat dan murah (Barone, 2005). Pengecoran lost foam dapat
memproduksi benda-benda ringan (Kim dan Lee, 2005) dan penambah pada dasarnya tidak
diperlukan untuk mengontrol penyusutan saat pembekuan (Askeland, 2001). Pasir yang digunakan
dapat dengan mudah digunakan lagi karena tidak menggunakan pengikat (Behm dkk, 2003).
Penggunaan cetakan foam meningkatkan keakuratan dimensi dan memberikan peningkatan kualitas
coran dibandingkan dengan cetakan konvensional (Monroe, 1992). Sudut-sudut kemiringan draf
dapat dieliminasi (Barone, 2005). Proses pembersihan dan pemesinan dapat dikurangi secara
dramatis (Kumar dkk, 2007). Pencemaran lingkungan karena emisi bahan-bahan pengikat dan
pembuangan pasir dapat dikurangi karena tidak menggunakan bahan pengikat dan pasir dapat
langsung digunakan kembali (Kumar dkk, 2007).
Pengecoran lost foam juga memiliki beberapa kekurangan. Porositas dalam pengecoran
aluminium dengan pola styrofoam lebih tinggi dibandingkan dengan cetakan CO2. Hal ini
menunjukkan bahwa sulit untuk mendapatkan kekuatan mekanik yang lebih baik pada pengecoran
aluminium tanpa perlakuan tertentu (Kim dan Lee, 2005). Pasir yang tidak diikat akan memicu
terjadinya cacat pada benda cor karena pasir yang jatuh ke logam cair (Kumar dkk, 2007). Usaha
untuk mengikat cetakan lost foam adalah dengan membuat cetakan tersebut vakum dimana cetakan
dilapisi dengan lapisan polietilen. Proses ini menghasilkan emisi ke gas hasil pembakaran
styrofoam yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan pekerja (Behm dkk, 2003).
C.1. Pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda terhadap … (Sutiyoko dan Suyitno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.2
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil pengecoran dengan metode pengecoran lost foam.
Ukuran benda cor, ukuran pasir silika, massa jenis styrofoam, lama penggetaran cetakan, ukuran
benda dan komposisi material yang dituang. Temperatur tuang memiliki faktor dominan dalam
menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor (Kumar dkk, 2008). Superheat (suhu diatas
temperatur cair) yang lebih tinggi akan menurunkan tegangan permukaan cairan logam (Kumar
dkk, 2007). Gas yang terbentuk meningkat 230% pada temperatur 750 – 1300 oC (Yao dkk, 1997).
Ketebalan pola bertambah besar akan meningkatkan panjang mampu alir logam (Shin dan Lee,
2004). Laju aliran logam paduan dengan temperatur tinggi akan menurun dengan meningkatnya
temperatur dikarenakan volume gas yang terbentuk meningkat secara (Khodai dan Parvin, 2008).
Laju aliran logam meningkat sebanding dengan peningkatan temperatur hingga 1150 o
C
(Shivkumar dkk, 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur tuang dan
ketebalan benda cor terhadap kekerasan besi cor kelabu pada pengecoran lost foam.
2. METODOLOGI
Pola yang digunakan adalah styrofoam dengan massa jenis 9 kg/m3. Material cor yang
digunakan diantaranya besi cor kelabu, ferro silikon, arang tempurung kelapa, pasir silika ukuran
AFS grain fineness number 50, dan lem styrofoam. Pengecoran dilakukan dengan menuangkan
logam besi cor kelabu ke dalam cetakan pada suhu 1300, 1325, 1350, 1375 dan 1400 oC.
Pengukuran komposisi benda dilakukan dengan menggunakan sampel yang didinginkan dengan
cepat pada cetakan logam. Ketebalan pola divariasi dengan ukuran 2; 3,5; 5; 6,5 mm. Lebar pola
dibuat 10 mm dan panjang divariasi sesuai dengan perkiraan panjang yang mungkin dicapai oleh
benda cor. Pola setiap ketebalan dirangkai menjadi satu cetakan seperti tampak pada Gambar 1.
Pola dimasukkan dalam kotak dan ditimbun pasir kemudian digetarkan pada amplitudo 0,5 mm
dengan frekuensi 23 Hz selama 60 detik.
Gambar 1. Pola benda cor (satuan ukuran mm)
Benda hasil cor dipotong sepanjang 30 mm dari pangkal saluran turun. Pengukuran
kekerasan dilakukan pada bagian tengah dari permukaan benda sebanyak 5 titik. Pengukuran
dilakukan pada setiap suhu penuangan dan ketebalan benda kemudian dilakukan analisa
pengaruhnya terhadap kekerasan benda cor.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi besi cor kelabu hasil pengecoran ditunjukkan pada Tabel 1. Besi cor kelabu
yang paling banyak diproduksi memiliki komposisi Karbon 3,0-3,5 % dan Silikon 1,8-2,4 % (ASM
Handbook Commitee, 1998). Berdasarkan ketentuan ini maka komposisi besi cor kelabu dalam
penelitian ini termasuk komposisi yang paling banyak diproduksi.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.3
Tabel 1. Komposisi besi cor kelabu
Unsur Fe C Si Mn P S Cr Mo Ni Al
Prosentase 93,1 3,35 2,29 0,449 0,189 0,048 0,085 0 0,061 0,005
B Co Cu Mg Nb Pb Sn Ti V W
0 0,006 0,105 0,011 0,006 0,0088 0,026 0,016 0,018 0,029
Pengaruh temperatur penuangan terhadap kekerasan benda cor ditunjukkan pada Gambar 2.
Kekerasan benda cor mengalami penurunan dengan kenaikan temperatur tuang cairan. Kekerasan
terendah dicapai pada temperatur tuang 1400 oC pada ketebalan 6,5 mm sebesar 350 BHN dan pada
ketebalan yang sama nilai kekerasan tertinggi pada temperatur tuang 1300 oC sebesar 493 BHN.
Kenaikan kekerasan ini disebabkan karena penuangan pada suhu yang lebih tinggi memiliki
superheat lebih tinggi. Superheat yang lebih tinggi akan menyebabkan waktu pembekuan lebih
lama. Pembekuan dengan waktu lebih lama akan memberikan kesempatan silikon untuk
melepaskan karbon dari sementit (Fe3C). Karbon yang terlepas dari sementit akan mengumpul dan
membentuk grafit. Fenomena ini menyebabkan grafit terbentuk lebih banyak dan berkembang
setelah melewati temperatur eutektik. Grafit memiliki sifat lebih lunak dibandingkan dengan
sementit. Semakin banyak grafit terbentuk, kekerasan benda cor mengalami penurunan dengan
kenaikan temperatur tuang (Gupta, 2002).
Gambar 2. Pengaruh temperatur tuang terhadap kekerasan pada setiap ketebalan benda cor
Ketebalan benda cor semakin kecil juga menyebabkan kekerasannya mengalami kenaikan.
Kekerasan pada temperatur tuang 1400 oC pada ketebalan 6,5; 5 dan 3,5 mm berturut-turut adalah
350, 444 dan 483 BHN. Benda cor dengan panjang sama namun ketebalan berbeda akan
menyebabkan waktu pembekuan yang tidak sama. Waktu pembekuan ditinjau dari ukuran benda
ditentukan oleh modulus benda. Modulus adalah perbandingan volume benda dengan luas
penampang benda yang aktif melepaskan panas. Modulus benda semakin besar akan menyebabkan
waktu pembekuan yang lebih lama. Benda dengan ukuran semakin tebal akan memberikan
modulus yang semakin besar. Hal ini menyebabkan silikon memiliki kesempatan lebih banyak
untuk melepaskan karbon yang terdapat dalam sementit. Karbon yang terlepas membentuk struktur
yang dinamakan grafit. Semakin tebal benda cor, grafit terbentuk semakin banyak dan
menyebabkan kekerasan benda semakin lunak.
Grafit yang terbentuk pada setiap temperatur penuangan ditunjukkan pada Gambar 3. Pada
temperatur penuangan 1300 C grafit yang terbentuk paling sedikit dibandingkan dengan temperatur
C.1. Pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda terhadap … (Sutiyoko dan Suyitno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.4
penuangan yang lain. Hal ini sebagai bukti bahwa semakin sedikit grafit yang terbentuk maka
kekerasan besi cor kelabu semakin meningkat.
(a) (b)
(c) (d)
grafit
(e)
4. KESIMPULAN
Temperatur tuang dan ketebalan benda cor memiliki pengaruh terhadap kekerasan besi cor kelabu.
Kenaikan temperatur tuang akan menurunkan kekerasan benda cor. Kekerasan benda cor juga akan
menurun jika ketebalan benda semakin besar. Penurunan kekerasan ini disebabkan terbentuknya
grafit yang lebih banyak karena waktu pendinginan lebih lama. Dalam pengecoran besi cor kelabu
dengan produk yang memiliki ketebalan tertentu, kekerasan benda cor dapat diatur dengan
menentukan suhu penuangan dengan tetap memperhatikan kemungkinan cairan dapat mengisi
seluruh cetakan.
Gambar 3. Foto struktur mikro sebelum dietsa, temperatur tuang (a)1300
oC (b)1325
oC (c)1350
oC (d)1375
oC (e)1400
oC
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.5
5. DAFTAR PUSTAKA
Askeland, D.R., 2001, Encylopedia of Materials: Science and Technology, Elsevier Science Ltd.
ASM Handbook Commitee, 1998, ASM Metals Handbook . Casting, Vol.15, 9th edition, ASM
International.
Barone, M. R., Caulk, D. A., 2005, A foam ablation model for lost foam casting of aluminum,
International Journal of Heat and Mass Transfer, Vol. 48, pp. 4132–4149.
Behm, S.U., Gunter, K.L. and Sutherland, J.W., 2003, An Investigation into The Effect of Process
Parameter Setting on Air Emission Characteristics in The Lost Foam Casting Process,
American Foundry Society.
Gupta, R.B., 2002, Material Science, 11th Edition.”, Satya Prakashan, India.
Khodai, M. and Parvin, N., 2008, Pressure Measurement and Some Observation in Lost Foam
Casting, Journal of Material Processing and Technology, Vol.206, pp.1-8.
Kim, K. and Lee, K., 2005, Effect of Process Parameters on porosity in Aluminium Lost Foam
Process, Journal Material Science, Vol.21, No.5.
Kim, K., and Lee, K., 2005, Effect of Pro cess Parameters on Porosity in Aluminum Lost Foam
Process, Journal Material Science Technology, Vol. 21 No.5, pp. 681-685.
Kumar, S., Kumar, P. and Shan, H.S., 2008, Optimation of Tensile Properties of Evaporative
Casting Process through Taguchi’s Method, Journal of Materials Processing Technology,
Vol.204, pp.59-69.
Kumar, S., Kumar, P. and Shan, K.S., 2007, Effect of Evaporative Pattern Casting Process
Parameters on The Surface Roughness of Al-7%Si Alloy Casting, Journal of Materials
Processing Technology, Vol. 182, pp. 615-623.
Monroe, R.M., 1992, Expandable Patterns Casting, American Foundryman’s Society Inc., pp.96-
97.
Shin, S.R. and Lee, Z.H., 2004, Hidrogen Gas Pic-Up of Alloy Melt During Lost Foam Casting,
Journal of Material Science, Vol.39, pp.1536-1569.
Shivkumar, S., Yao, X. and Makhlouf, M., 1995, Polymer Melt Interactions During Formation in
The Lost Foam Process, Scripta Metallurgica et Materialia, Vol.33, pp.39-46.
Yao, X., Shivkumar, S., 1997, Molding filling characteristics in lost foam casting process,
Materials science and Technology, Vol. 31, pp. 841-846.
C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.6
STUDI ANALISIS PENGARUH VARIASI BEBAN DAN KECEPATAN
TERHADAP LAJU KEAUSAN DIES PADA PROSES COLD UPSET FORGING
ALUMINIUM DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE BERBASIS FEM
Norman Iskandar*)
, Rusnaldy, Ismoyo Haryanto
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl.Prof Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50275 *)
E-mail: norman.mesin@gmail.com
Abstrak
Dalam proses micro forming perambatan dan pertumbuhan panas di pandang sebagai sebuah
fenomena yang signifikan karena panas ini akan mempengaruhi proses pelumasan, tool life,
microstruktur serta tentunya adalah sifat akhir dari produk yang dihasilkan. Energi mekanis
dalam proses forging sebagian akan dirubah menjadi panas dimana panas ini timbul akibat
adanya deformasi plastis serta gesekan dengan diesnya. Dalam proses forging yang
menggunakan sistem drop hammer, kombinasi dari variasi beban dan kecepatan tumbukan
adalah variabel yang harus dikontrol untuk menciptakan energi yang optimum dan
meminimalkan efek samping kerusakan pada die. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
pengaruh variasi beban dan kecepatan jatuh terhadap kualitas dimensi produk yang
dihasilkan dan efek wear yang muncul pada dies. Metode yang digunakan adalah dengan
menggunakan Software Deform untuk melakukan simulasi prosesnya. Kondisi yang dimasukan
adalah set up temperatur 20oC, variasi beban 75N, 85N, 95N, 105N, 115N, 125N dengan
ketinggian jatuh beban adalah 25, 50, dan 75 mm. Material yang digunakan adalah
Aluminium murni dalam kategori jenis komersil berdimensi diameter 1,5mm dan panjang 5
mm.
Kata kunci: upset forging, aluminium, FEM, dies, wear
PENDAHULUAN
Dalam proses tempa (forging) ada dua tema utama yang harus di perhatikan untuk
mencapai sebuah proses yang efisien yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang
baik, yaitu tentang bagaimana merancang sebuah proses produksi produk serta merancang tool
yang akan digunakan dalam proses tersebut.
Die/cetakan adalah salah satu komponen terpenting dalam proses tempa. Cetakan berperan
dalam menentukan bagaimana kualitas produk tempa akan memiliki kualitas yang baik apalagi jika
di produksi dalam skala besar dia akan mampu menjawab tantangan kuantitatif jumlah produk yang
dihasilkan dan kualitas setiap keluarannya.Dengan kata lain cetakan yang bisa berumur panjang
menjadi sebuah tantangan yang harus diwujudkan dalam proses forging.
Gambar 1 Jenis kerusakan / cacat pada cetakan untuk proses forging (A. Kannapan)
Bukan hal yang mudah dan murah merancang cetakan untuk proses forging. Cetakan harus
bisa merespon dengan baik terhadap empat faktor utama dalam proses forging yaitu temperature,
tekanan, kecepatan pemukulan dan pelumasan. Empat variable utama ini memberikan kontribusi
yang besar terhadap tingkat kerusakan (failure), keausan (wear) atau cacat (defect) lainya pada
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.7
proses forging. [Murjito, 2007]. Namun kendala tersebut saat ini bisa diminimalkan dengan adanya
bantuan Software.
Pemakaian software bantu untuk membantu menganalisa dan mendesain proses dan
cetakan sehingga resiko kerusakan seperti gambar 2 akan bisa tereduksi sudah menjadi hal jamak
saat ini. Vasquezh mendiskripsikan tujuan utama penggunaan software bantu yang merupakan
pengembangan solusi secara numerik dalam proses forging adalah untuk:
1. Mengembangkan desain dies yang memadai dan meningkatkan parameter proses yaitu :
a. Simulasi proses untuk memastikan dies akan penuh terisi
b. Mencegah cacat flow-induced
c. Memprediksikan batasan proses sehingga tak akan terlewati sehingga bisa mencegah cacat
internal maupun permukaan.
d. Memprediksikan temperatur sehingga karakteristik part yang dibuat, kondisi gesekan, dan
keausan die dapat terkontrol.
2. Meningkatkan kualitas part dan kompleksitas profilnya namun tetap dapat mengurangi biaya
manufaktur, yaitu dengan:
a. Memprediksi dan meningkatkan aliran butir dan microstruktur
b. Mengurangi proses ujicoba cetakan dan waktu yang terbuang.
c. Mengurangi reject dan meningkatkan keluluhan material
3. Memperkirakan beban dan energi forging seperti tercermin pada tegangan pada tools dan
temperatur sehingga :
a. Kegagalan tool secara prematur dapat dihindari.
b. Dapat memilih mesin forging yang tepat untuk aplikasi produk yang dinginkan.
Usia pakai sebuah cetakan dibatasi oleh indikasi pemakaian saat menghasilkan cacat
produk. Cacat produk terjadi yang disebabkan karena cetakan telah mengalami keretaka, pecah,
juga mungkin keausan yang telah terjadi. Hal ini menjadi semakin penting ketika diterapkan dalam
proses micro forging. Tingkat tolerasi kerusakan tentu akan semakin ketat, sehingga pembuatan
cetakan perlu direncanakan sebaik mungkin.
Untuk itulah penulis melakukan study analisis tentang cetakan untuk proses upset forging
untuk pembuatan miniatur produk. Sehingga cetakan pada akhirnya nanti dapat dibuat dengan
presisi serta memiliki umur pakai yang baik. Proses ini tentu saja juga dalam rangka meminimalkan
biaya pembuatan cetakan dengan meminimalkan resiko kegagalan.
II. METODOLOGI
Proses upset forging disimulasikan dengan menggunakan software DEFORM-2D ver 8.1.
penggunaan versi 2D dikarenakan produk yang dibuat berbentuk simetris sehingga akan
meringankan dan menyingkat waktu untuk melakukan proses simulasi. Dari proses simulasi akan
didapatkan data tentang mengetahui laju pembebanan, kecepatan, efektif stress, temperatur dalam
setiap langkahnya. Disamping itu visualisasi dari 2D bisa langsung di ubah menjadi 3D dengan
sangat mudah
Titik kritis pada cetakan untuk proses upset forging sesuai dengan peta potensi kerusakan
cetakan yang digambarkan A.Kannapan bisa digambarkan seperti pada Gambar 2. Pada titik 1
merupakan daerah yang paling rawan aus, sehingga penelitian akan difokuskan untuk pengambilan
data pada titik tersebut.
Gambar 2. Peta titik kritis pada cetakan upset forging
Wear
Permanen deformation
Thermal fatigue
1
2
C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.8
Data input yang diberikan untuk simulasi diantaranya adalah :
Material benda kerja : Al-1100
Young’s modulus [Gpa] : 69
Poisson’s ratio : 0,334
Thermal expansion [1/ oC] : 23,6. 10
-6
Thermal conductivity[W/m.K] : 180
Heat Capacity[N/mm2 oC] : 2,433
Emissivity : 0,05
Diameter [mm] : 1,5
Tinggi [mm] : 5,06
Temperatur [oC] : 20
Material cetakan : JIS: SKD11, AISI: D2; DIN: 1.2379
Young’s modulus [Gpa] : 210
Poisson’s ratio : 0,30
Thermal expansion [1/ oC] : 10,4. 10
-6
Thermal conductivity[W/m.K] : 20
Heat Capacity [N/mm2 oC] : 3,542
Emissivity : 0,7
Diameter [mm] : 2,86 (top dies)
: 1,5 (bottom dies)
Tinggi/kedalaman lubang [mm] : 0,6 (top dies)
: 2,92 (bottom dies)
Temperatur [oC] : 20
Parameter proses
Temperatur lingkungan [oC] : 20
Beban [N] : 75, 85, 95, 105, 115, 125
Blow Efficiency : 0,2
Sistem Mesin forging : Free Drop-Hammer
Ketinggian jatuh beban [mm] : 25, 50, 75
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
(a) (b)
Gambar 3. Titik pada Profil produk yang juga berimplikasi pada titik keausan cetakan, View 3D
(a) View 2D (b)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.9
Pengaruh variasi beban dan kecepatan terhadap Temperatur cetakan.
(a) (b)
(c)
Gambar 4. Grafik Pengaruh variasi beban terhadap temperatur pada titik 1 (a) Pemodelan
pengaruh variasi beban pada temperatur untuk beban 115N ketinggian 15 mm (b). Grafik Pengaruh
variasi kecepatan terhadap temperatur pada titik 1.
Dari hasil simulasi dengan pemberian varian beban dan kecepatan yang berpengaruh
terhadap kenaikan temperatur benda kerja yang selanjutnya akan terdistribusi ke cetakan, maka dari
hasil pengamatan pada titik kritis 1, didapatkan bahwa variasi kecepatan lebih berpengaruh
daripada variasi beban terhadap laju kenaikan temperatur pada titik kritis tersebut. Grafik beban
75N, 85N, 95N pada ketinggian jatuh 25mm memiliki kecenderungan berbeda dari yang lain
karena energi pembentukannya tidak cukup untuk melakukan proses deformasi sampai selesai.
Sehingga dengan menganalisa data yang tersisa terlihat kecepatan memiliki pengaruh lebih dalam
meningkatkan temperatur cetakan. Hal ini akibat semakin cepat laju aliran material maka semakin
besar gesekan yang terjadi antara cetakan dan material sehingga menimbulkan panas.Namun sejauh
mana panas akan berpengaruh juga tergantung dari lamanya proses, karena dengan kecepatan yang
tinggi, proses akan berlangsung cepat, gesekan yang besar terjadi dan menimbulkan panas namun
tidak cukup waktu untuk terdistribusi lebih ke cetakan.
Adanya peningkatan temperatur berakibat pada menurunnya kekuatan cetakan,karena
terjadi penurunan nilai kekerasan, apalagi hal ini terjadi pada bagian yang berdimensi kecil
(cetakan untuk micro part).Maka resiko keausan semakin besar.
Titik 1
Titik 2
C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.10
Pengaruh Variasi Kecepatan dan beban terhadap Effective stress pada cetakan.
(a) (b)
(c)
Gambar 5. Grafik Pengaruh variasi beban terhadap effective stress pada titik 1 (a) Pemodelan
pengaruh variasi beban pada effective stress untuk beban 115N ketinggian 15 mm (b). Grafik
Pengaruh variasi kecepatan terhadap temperatur pada titik 1
Pengaruh kecepatan dan beban yang diberikan terhadap besarnya effective stress yang terjadi dari
hasil simulasi menggambarkan bahwa kembali kecepatan yang memegang peranan dominan dalam
menghasilkan nilai besarannya. Besaran nilai stress yang terjadi bisa berakibat timbulnya
kegagalan pada cetakan. Dengan adanya arah pergerakan material secara sliding/memotong siku
dari daerah titik 1, maka dengan adanya konsentrasi tegangan disana dan adanya peningkatan
temperatur serta adanya proses secara berulang maka hal ini menjadi faktor domino penyebab
kegagalan dititik ini.
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian bisa disimpulkan :
1. Variabel kecepatan lebih significant untuk diatur agar produk yang dihasilkan sesuai
kriteria namun tetap menjaga masa umur pakai cetakan lebih lama.
2. Variabel kecepatan lebih berpengaruh dalam hal peningkatan temperatur dan effective
stress pada cetakan dibanding variabel beban.
3. Dari produk yang dihasilkan lebih baik jika pada area kritis titik satu diberikan profil radius
yang tentu saja harus diteliti kembali besarannya untuk produk upsetting ini agar produk
yang dihasilkan lebih baik dan cetakan juga tidak mengalami keausan yang cepat.
Titik 1
Titik 2
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.11
4. Perlunya penentuan titik optimum besaran beban dan kecepatan yang diberikan dalam
desain proses upset forging ini, agar resiko cacat/gagal produk dan cetakan bisa
diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah A B, Ling K S, Samad Z. (2008). The Effect of Corner Radii and Part Orientation on
Stress Distribution of Cold Forging Die. American Journal of Applied Sciences 5 (4): 296-
300, 2008, ISSN 1546-9239.
American Society of Materials (ASM) Handbook. (1990). Volume 2: Properties and Selection:
Nonferrous Alloys and Special Purpose Materials. USA: ASM International.
Ab-Kadir A E, Othman, A R. (2009). Effect of Corner Radius and Friction Parameters on the
optimization of the Cold Forging Die Design. CCSE: Modern Applied Science Vol 3 No 2
Huda, Zainul. (2009). Effects of Degrees of Cold Working and Recrystallization on the
Microstructure and Hardness of Commercial-Purity Aluminum. European Journal of
Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.26 No.4 : 549-550.
Jolgaf M, Sulaiman S B, Ariffin M K A, Faieza A A. Billet Shape Optimization for Minimum
Forging Load. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.24 No.3
pp.420-427.
Kada O, Toda M, Yanagi H. Advanced Forming Analysis for Bar and Wire Rod with Finite
Element Method. Nippon Steel Technichal Report No. 96. UDC 621 . 73 : 669 . 14 – 422.
Kalpakjian & Schmid. (2001). Manufacturing Engineering and Technology. Prentice Hall.
Kang S G, et all. (2006). A study on the micro-formability of Al 5083 superplastic alloy
using micro-forging method. Materials Science and Engineering A 449–451 338–342.
Singh U K, Dwivedi M. (2009). Manufacturing Process Second Edition. New Delhi: New Age
International (P) Limited.
Taylan Altan, et all. (2005). Cold and Hot Forging: Fundamental and Applications. USA: ASM
International.
C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.12
PENGARUH BENDING RADIUS PADA LIGHTENING HOLES PROCESS
TERHADAP KERETAKAN AL 2024 T3 SHEET
*1
Yurianto, 1Ardian Budi W,
2Eko Boedisoesetyo
1Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
2Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH. Semarang
Telpon/ Faks : 024 746 0059/ 024 746 0059 pesawat 102 *Surat elektronik: yurianto@undip.ac.id
Abstrak
Penggunaan bahan yang ringan dan kuat sangat diperlukan dalam pembuatan pesawat
terbang, proses ligtening holes adalah salah satu cara efektif untuk mendapatkan konstruksi
ringan tetapi mempunyai kekuatan dan kekakuan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan bending radius yang tepat pada Al 2024 T3 sheet tanpa adanya retak. Adapun
metode penelitian ini adalah mempersiapkan benda uji untuk bending radius pada proses
lightening holes CAN 16070, dan melakukan penekanan menggunakan mesin eccentric press
dengan variasi radius die bending yaitu BT 20, BT 30 dan BT 40. Kemudian melakukan uji
tarik, uji keras mikro dan metalografi untuk melihat fenomena retak. Bending radius yang
dapat diterima Al 2024 T3 sheet dalam proses lightening holes tanpa terjadi retak adalah
dengan menggunakan die BT 20, yaitu dengan radius 3 mm dan diameter lobang 20 mm.
Angka kekerasan rata-rata Al 2024 T3 sheet sebelum proses lightening holes adalah 149,64
HV. Sementara kekerasan setelah proses lightening holes meningkat sebesar 217,712 HV
(dengan BT 20), 186,2 HV (dengan BT 30) dan 212,356 HV (dengan BT 40). Bending radius
pada Al 2024 T3 sheet tanpa adanya retak die BT 20.
Kata kunci: Al 2024 T3 sheet, lightening holes, bending radius, getas, retak
1. PENDAHULUAN
Lightening holes process (LHP) adalah salah satu cara efektif untuk memenuhi kebutuhan
penguatan bahan pesawat terbang. Pada proses lightening holes terdapat proses pelobangan pada
suatu titik dan pada titik pelubangan tersebut dilakukan bending radius atau deep drawing. Fungsi
dari LHP adalah agar bahan untuk pesawat terbang semakin ringan tetapi memiliki kekakuan tinggi
sehingga mampu menahan beban besar. Saat LHP bahan sering mengalami keretakan, hal ini
berkaiatan dengan ketebalan, kondisi dan bending radius bahan. Adapun masalah pada LHP adalah
timbulnya keretakan, sehingga bahan mengalami reject.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bending radius yang bisa diterima oleh Al 2024
T3 sheet tanpa retak pada LHP.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Proses LHP adalah sebuah proses penguatan bahan yang memiliki dasar proses deep
drawing. Dengan proses tersebut maka kekakuan bahan yang diinginkan akan tercapai. Deep
drawing atau disebut drawing adalah proses pengubahan bentuk logam dari bahan lembaran yang
berbentuk lingkaran dengan diameter tertentu yang ditekan pada sebuah cetakan yang juga
berbentuk lingkaran dengan kedalaman tertentu. Pada proses deep drawing terdapat dua jenis
proses, yaitu: Shrink Forming dan Stretch Forming. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
Shrink Forming, pada proses ini terjadi kompresi melingkar selama proses dengan pe-
ngurangan diameter dan logam menipis. Karena bahan cukup tebal, maka dinding produk akan
terjadi kerutan. Stretch Forming, pada proses ini terjadi pengecilan benda kerja sebagai akibat
tarikan melingkar yang digunakan untuk memperbesar diameter. Untuk mencegah kerutan dan
tebal yang tidak merata, aliran logam harus diatur. Hal ini bisa diatasi dengan memberikan cincin
penahan, Gambar 1 [1]. Dalam proses LHP, bahan mengalami strain hardening untuk slip, dan
dikenal sebagai pengerasan regangan. Pengerasan regangan disebabkan oleh interaksi dislokasi
dengan yang lain dan penghalang yang menghalangi gerakan kisi-kisi kristal [2].
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.13
Bahan yang digunakan dalam proses LHP adalah Al 2024 T3 sheet, yaitu jenis Aluminum
Alloy seri 2xxx yang memiliki kandungan aluminum dengan paduan Cu sebagai presipitatnya.
Sedang T3 adalah kondisi tempered dari bahan tersebut yang menunjukkan bahwa bahan telah
mengalami solution heat treatment, cold work dan naturally aging [3].
Gambar 1 Perbedaan shrink forming dan stretch forming [1]
Komposisi kimia Al 2024 T3 sheet adalah Al (93%) Cu (3,8 sd. 4,9%) Mg (1,2 sd. 1,9%).
Paduan aluminum jenis AL 2024 disebut juga superduralumin [4]. Process sheet lightening holes
CAN 16070 adalah nama dokumen LHP yang dibuat bersama antara Cassa Spanyol dan PT
Nurtanio Bandung (sekarang PT Dirgantara Indonesia).
3. METODOLOGI
Bahan penelitian adalah Al 2024 T3 sheet dengan tebal 1,2 mm, 1,4 mm dan 2,0 mm,
dengan ukuran benda uji adalah 100 mm×150 mm, tiap benda uji dikenai tiga macam yaitu:
bending radius BT 20 (2 mm), BT 30 (3 mm) dan BT 40 (4 mm). LHP menggunakan mesin
eccentric press dengan dies sesuai dengan bending radius yang sudah ditentukan. Metode yang
digunakan adalah trial solution dengan BT 20, BT 30 dan BT 40, dengan LHP. Penelitian ini
dilaksanakan dengan dasar dokumen process sheet lightening holes CAN 16070 yang berlaku di PT.
Dirgantara Indonesia.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji metalografi
Hasil uji metalografi ditunjukkan oleh Gambar 2a dan 2b (keduanya ditekuk dengan BT
20), nampak struktur butiran kasar. Gambar 2c dan 2d (keduanya ditekuk dengan BT 30), nampak
struktur butiran halus. Gambar 2e dan 2f (keduanya ditekuk dengan BT 40), nampak struktur
butiran lebih halus dibanding dengan BT 20 dan BT 30. Dari ketiga bending radius (BT 20, BT 30
dan BT 40), pergeseran butiran lebih besar terjadi pada bending radius dengan BT 20. Jika bending
radius dikenakan pada bahan yang lebih tebal, maka kecenderungan terjadi keretakan lebih besar
dibanding terkena bending radius BT 30 dan BT 40. Sementara itu diameter lobang semakin kecil
cenderung retak dibanding diameter lobang yang lebih besar.
4.2 Uji Kekerasan Mikro
Hasil uji kekerasan mikro ditunjukkan oleh Gambar 3 dan Tabel 1. Gambar 3a mempunyai
standard hardness seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1 Angka kekerasan mikro Al 2024 T3 sheet.
Sebelum LHP Jarak (μm) 47,88 48,44 49,75 51,24 51,93
Kekerasan HV 161,70 158,00 149,80 141,20 137,50
Setelah LHP dengan
BT 20
Jarak (μm) 39,48 39,51 40,36 43,86 43,86
Kekerasan HV 237,90 237,53 227,63 192,75 192,75
Setelah LHP dengan
BT 30
Jarak (μm) 41,26 43,89 43,93 45,74 49,50
Kekerasan HV 217,81 192,49 192,14 177,23 151,33
Setelah LHP dengan
BT 40
Jarak (μm) 35,96 41,22 43,86 43,89 46,49
Kekerasan HV 286,75 218,23 192,75 192,49 171,56
C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.14
a BT 20 permukaan atas b BT 20 permukaan bawah
c BT 30 permukaan atas d BT 30 permukaan bawah
e BT 40 permukaan atas f BT 40 permukaan bawah
Gambar 2 Metalografi Al 2024 T3 sheet dengan ketebalan 8 mm
a Sebelum LHP b Sesudah LHP dengan BT 20
c Sesudah LHP dengan BT 30 d Sesudah LHP dengan BT 40
Gambar 3 Hasil uji keras Al 2024 T3 sheet dengan ketebalan 8 mm
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.15
Gambar 3b mempunyai kekerasan antara 192,5 HV sd. 237,53 HV. Gambar 3c mempunyai
kekerasan antara 151,33 HV sd. 271,81 HV. Gambar 3d mempunyai kekerasan antara 171,56 HV
sd. 286,75 HV. Dari uji kekerasan diatas Nampak bahwa kekerasan pada permukaan cekung lebih
tinggi dibanding kekerasan pada permukaan cembung. Dari ketiganya (setelah LHP) yaitu dengan
BT 20, BT 30 dan BT 40, permukaan cembung mengalami tegangan tarik, sementara permukaan
cekung mengalami tegangan tekan. Permukaan cembung lebih rentan terhadap keretakan dibanding
pada permukaan cekung. Semakin tebal Al 2024 T3 sheet, maka akan cenderung retak jika
mendapat bending. Karena pergeseran struktur yang sangat besar.
4.3 Uji LHP
4.3.1 Uji LHP
LHP dilakukan dengan menggunakan mesin eccentric press, gaya tekan yang digunakan 60
kN dan diameter punch 12 mm, 25 mm dan 34 mm. Hasil uji LHP ditunjukkan oleh Gambar 4.
Dari hasil pengerjaan benda uji didapatkan keretakan pada beberapa bending dan ketebalan yang
berbeda, dan retak yang terjadi pada Al 2024 T3 tebal 2 mm dan ditunjukkan oleh Gambar 5.
Keretakan yang timbul karena adanya pergeseran antar struktur mikro akibat bending radius yang
semakin kecil. Sementara bergeseran struktur mikro dengan bending radius semakin besar, ikatan
butiran masih mampu menahan geseran. Akibat bending radius semakin besar, maka
kecenderungan retak semakin kecil. Bending radius yang bisa diterima Al 2024 T3 pada LHP tanpa
terjadi retak adalah menggunakan die BT 20, yaitu dengan radius 3 mm dan diameter lobang 20
mm atau die BT 20.
Permukaan atas Permukaan bawah
Gambar 4 Benda uji hasil proses LHP
a BT 30 b BT 40
Gambar 5 Keretakan Al 2024 T3 tebal 2 mm
4.3.2 Uji Tarik
Hasil uji tarik bahan Al 2024 T3 setelah dilakukan LHP ditunjukkan oleh Tabel 2. Pada
dasarnya, Al 2024 T3 tergolong bahan getas. Dari hasil uji tarik, nampak bahwa setelah mengalami
LHP bahan menjadi lebih getas. Hal ini disebabkan karena adanya pemadatan struktur mikro akibat
LHP dengan die yang digunakan. Namun pada benda uji dengan tebal 2 mm mempunyai tegangan
maksimum lebih tinggi dibanding yang lain, tegangan luluh juga lebih tinggi dan mengalami
sedikit lebih liat dibanding pada benda uji dengan tebal 0,8 mm dan 1,4 mm.
C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.16
Tabel 2. Hasil uji tarik Al 2024 T3 sheet setelah LHP.
Tebal Beban maksimum Tegangan Maksimum Tegangan Luluh Regangan Patah
0,8 mm 488,963 (kgf) 52,193 (kgf/mm2) 36,827 (kgf/mm
2) 19,432 %
1,4 mm 865,114 (kgf) 51,299 (kgf/mm2) 36,842 (kgf/mm
2) 18,318 %
2.0 mm 1316,964 (kgf) 52,705 (kgf/mm2) 40.732 (kgf/mm
2) 18,820 %
4.3.3 Uji Kekerasan
Hasil uji kekerasan bahan Al 2024 T3 dilakukan dengan dua macam, yaitu sebelum dan
sesudah LHP, dan hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 3. Setelah LHP, Al 2024 T3 menjadi lebih
keras disbanding sebelum LHP. Hal ini karena disebabkan oleh pemadatan struktur mikro, namun
setelah LHP kekerasan tertinggi dicapai pada bahan tebal 2 mm dengan BT 20 tanpa ada keretakan.
Tabel 3 Hasil uji kekerasan Al 2024 T3 sheet
Set
elah
LH
P
Tebal 2,0 mm
Jarak (μm) 47,88 48,44 49,75 51,24 51,93
Kekerasan HV 161,70 158,00 149,80 141,20 137,50
Kekerasan ta-rata HV 149,64 HV
Set
elah
LH
P Tebal 2,0 mm
BT 20
Jarak (μm)
Kekerasan HV 192,75 237,90 192,75 237,53 227,63
Kekerasan rata-rata HV 217,712
Tebal 2,0 mm
BT 30
Jarak (μm)
Kekerasan HV 177,23 192,14 192,49 151,33 217,81
Kekerasan rata-rata HV 186,2
Tebal 2,0 mm
BT 40
Jarak (μm) 35,96 41,22 43,86 43,89 46,49
Kekerasan HV 286,75 218,23 192,75 192,49 171,56
Kekerasan rata-rata HV 212,356
5. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan ahwa Aluminum 2024 dengan bending radius paling
kecil BT 20 memiliki nilai kekerasan paling tinggi diantara bending radius yang lain dengan nilai
kekerasan rata–rata 217,7 HV. Bending radius BT 20 adalah perlakuan bending paling baik karena
tidak mengalami retak bahan dengan berbagai tebal dan memiliki nilai kekerasan paling tinggi.
Pada uji metalografi dari semua bending radius hanya BT 20 yang memiliki struktur yang
mengalami tarik (dibagian permukaan bending) dan struktur yang tertekan dibagian bawah
permukaan bending. Sedangkan pada radius BT 30 dan BT 40, struktur mengalami tarik sehingga
kemungkinan terjadinya retak lebih besar.
Dari uji LHP, terjadi retak pada bahan Al 2024 T3 dengan tebal 2 mm dan mengalami
bending pada radius BT 30 dan BT 40. Retak terjadi karena bahan lebih getas dan mengikuti arah
keliling diameter bending.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada PT. Dirgantara Indonesia, Bandung Jawa Barat Indonesia atas tempat
dan segala fasilitas yang disediakan selama pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Eugene, D, Ostergaard,1967, Advanced Die Making, Prentice Hall, New Jersey.
[2] Dieter, E. George, 1987, Metallurgy Mechanics, 3rd
edition, McGraw Hill, Inc.
[3] Heinrich Grote, Karl, Antonson, K. Erik, 2009, 2009, Springer Handbook of Mechanical
Engineering, Volume 10, Springer.
[4] _____, Dokumen PT. Dirgantara Indonesia, Bandung Jawa Barat Indonesia.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.17
PENGARUH KUAT ARUS PADA PELAPISAN NICKEL
DAN NICKEL-HARD CHROMIUM PLATING TERHADAP SIFAT FISIS
DAN MEKANIS PERMUKAAN BAJA AISI 410
Noor Setyo*)
, Viktor Malau**)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada *)
e-mail: noorsetyo@yahoo.com **)
e-mail: malau@ugm.ac.id, malauviktor@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi kuat arus pada proses nickel dan
nickel-hard chrome plating terhadap sifat fisis dan mekanis permukaan baja martensitik 410.
Nickel-hard chrome plating diperoleh pada spesimen yang terlebih dahulu dilapisi dengan
nickel plating, kemudian dilanjutkan dengan hard chrome plating. Sifat fisis dan mekanis yang
dipelajari meliputi struktur mikro, tebal lapisan, kekerasan, laju korosi dan keausan sesudah
diberi lapisan. Variasi kuat arus yang digunakan adalah 1,25; 1,5 dan 1,75 Amper pada
tegangan dan lama pelapisan (30 menit) konstan. Nickel plating dilakukan dalam larutan
elektrolit berupa watt’s bath dengan campuran 150 gr/l NiSO4, 30 gr/l NH4Cl, 30 gr/l H3BO3
pada temperatur 25 – 35 oC, pH sekitar 4 -6, agitasi udara dan anoda berupa batang nikel.
Proses chromium plating menggunakan anoda batang Pb (lead) dan Sn (antimony) dan
larutan elektrolit 300 gr/l CrO3, 3gr/l H2SO4 pada temperatur kerja 40–55 oC, pH sekitar 0,4 –
0,5 dan agitasi udara. Tebal lapisan dapat diketahui dengan mikroskop optik, kekerasan
permukaan dengan uji mikro Vickers pada beban 25 gr, laju korosi dicari dengan alat sel tiga
elektroda potensiostat dalam larutan 0,9 % NaCl, dan keausan diketahui dengan mesin Ogoshi
High Speed Universal Wear Testing Machine. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal
lapisan dan kekerasan meningkat bila kuat arus meningkat. Tebal lapisan nikel yang didapat
lebih besar dari lapisan khromium untuk setiap lama pelapisan dan kuat arus sama.
Kekerasan tertinggi pada kuat arus 1,75 A dengan lama pelapisan 30 menit untuk lapisan
nikel, lapisan khromium, dan lapisan nickel-hard chrome secara berurutan adalah 335, 464
dan 534 VHN dengan tebal lapisan secara berurutan sebesar 52,01; 39,34 dan 69,63 mm. Laju
korosi terendah pada kuat arus 1,75 A yang dihasilkan oleh lapisan nikel, lapisan khromium,
dan lapisan nickel-hard chrome secara berurutan adalah sebesar 0,0172; 0,0078 dan 0,0231
mm/tahun. Sementara laju keausan terendah dari lapisan nikel, lapisan khromium, dan lapisan
nickel-hard chrome secara berurutan adalah sebesar 2,150E-08; 1,053E-08 dan 7,453E-09
mm3/kgm.
Kata kunci: nickel-hard chrome plating,tebal lapisan, kekerasan, korosi, keausan
PENDAHULUAN
Peningkatan sifat fisis dan mekanis permukaan material, bisa dilakukan dengan cara
mechanical treatment, termo kimia, konversi atau cara coating. Teknik lapis listrik nickel, hard
chrome dan nickel-hard-chrome merupakan salah satu teknik surface treatment bahan, baik untuk
bahan konduktor maupun non konduktor. Selain sifat dekoratif, keuntungan teknik surface
treatment juga bisa meningkatkan kekerasan, ketahanan aus, dan ketahanan korosi (Huang dkk,
2000).
Kekerasan dan ketahanan aus yang rendah merupakan kekurangan logam AISI 410, akan
tetapi bahan unggul terhadap ketahanan korosi dibandingkan baja karbon, sehingga permasalahan
ini menjadi kendala utama dalam aplikasinya untuk peralatan kedokteran, kesehatan dan komponen
mesin (Merlo, 2003). Untuk mengatasi kekurangan semua itu maka perlu dilakukan diantaranya
proses pelapisan nickel, hard chrome atau nickel-hard chrome plating.Atas pertimbangan di atas,
maka perlu dipelajari karakteristik lapisan tersebut pada AISI 410, untuk mengetahui perubahan
sifat fisis dan mekanis sesudah dilakukan proses plating yang mencakup struktur mikro, kekerasan
permukaan, tebal lapisan, laju korosi dan laju keausan.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang lapisan hard-chrome pada baja St 60 telah dilakukan oleh (Suarsana,
2006), dengan memvariasi tegangan listrik (4, 6, dan 8 Volt) dan waktu (30, 45, 60 menit). Hasil
pengamatan menyimpulkan bahwa semakin tinggi tegangan listrik yang di gunakan dan semakin
C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.18
lama waktu pelapisan tebal lapisan yang terjadi akan semakin meningkat. Tebal lapisan tertinggi
89,37 µm diperoleh pada tegangan 8 Volt, dengan waktu pelapisan 60 menit, sedang tebal lapisan
terendah 20,18 µm, diperoleh pada tegangan 4 Volt dengan waktu pelapisan 30 menit.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Barbato dkk (2008) menunjukkan bahwa akibat
peningkatan suhu larutan pada proses hard-chromium baja 1045, menggunakan rapat arus konstan
sebesar 1 A/in2 dan temperatur larutan 30-60
0C, akan terjadi peningkatan nilai kekerasan
permukaan dari 550 BHN–700 BHN dan akan terjadi penurunan ukuran butir dari endapan
chromium.
Huang dkk (2000) mengamati pengaruh variasi kecepatan putar elektroda (200, 500, 1000 ,
2000 rpm) dan rapat arus (30, 40,50 dan 60 A/dm2) pada pelapisan hard-chromium baja (Cr-Mo)
terhadap besar efisiensi transportasi ion chromium pada katoda. Hasil pengamatan menyimpulkan,
bahwa efisiensi transportasi ion chromium pada katoda baru terjadi pada putaran diatas 200 rpm,
rapat arus pada 400 A/dm2. Transportasi ion Cr akan semakin meningkat dengan bertambahnya
rapat arus dan kecepatan putar elektroda, sebaliknya difusi hidrogen pada permukaan katoda akan
semakin berkurang.
DASAR TEORI
Elektroplating adalah suatu proses pelapisan permukaan material, dimana spesimen
berfungsi sebagai katoda yang berlangsung didalam larutan elektrolit dengan jalan dialiri arus
listrik melalui anoda. Sistem tersusun dari anoda, larutan elektrolit dan katoda (Gambar 1). Jika
arus listrik searah dari sumber arus dialirkan antara kedua elektroda dalam larutan elektrolit, maka
muatan ion positip akan ditarik oleh elektroda katoda, sedang ion negatip berpindah kearah
elektroda positip. Ion-ion akan dinetralisir oleh kedua elektroda dan larutan elektrolit dan hasilnya
akan diendapkan pada katoda.
Gambar 1. Sistem Proses elektroplating
Secara umum reaksi perpindahan ion dari logam pelapis ke benda kerja, berlangsung secara
redoks yang dapat digambarkan sebagai berikut :
(pelepasan ion)
Jika besar arus I (amper), waktu pelapisan t (detik), berat atom logam pelapis (B) , valensi
logam pelapis (Z), bilangan Faraday 96.500 coulomb, besar volume yang terendapkan V(mm3),
luas permukaan A (mm2) dan masa jenis ρ (gram/mm
3) dan efisiensi anoda (η), maka menurut
Michael Faraday tebal lapisan T (mm) dapat dirumuskan sebagai berikut:
ZFA
BtIT
... (1)
a. Proses pelapisan nickel Nickel plating diklasifikasikan menurut jenis larutan yang digunakan, sebagai anoda
digunakan logam nickel, sedang sebagai katoda benda kerja dan jenis larutan elektrolit watt’s bath
yang memiliki komposisi NiSO4: 220 -380 gr/l, NiCl2: 30- 60 gr/l dan H3BO3: 30-45 gr/l, pH: 5,8 –
6,2. Brightener I: 2 ml/l, Brightener M :1-2 m/l, pH: 5-5,5 dan rapat arus 0,2 A/dm2. Reaksi redoks
yang terjadi selama proses berlangsung pada nickel plating yaitu:
Reaksi reduksi nickel plating pada katoda Reaksi oksidasi nickel plating pada anoda:
Selanjutnya setelah proses plating selesai dilakukan proses sealling selama satu jam
pada temperatur 90–1100C, terus dilanjutkan proses pembilasan, pengeringan dan proses buffing
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.19
b. Proses pelapisan chromium Proses pelapisan chrome bisa dilakukan secara langsung pada stainless steel atau sebagai
proses lanjut nickel plating. Mekanisme proses sama dengan proses nickel plating. Sebagai anoda
dipakai paduan lead (Pb), elektrolit dipakai chromic acid (C2O3, H2SO4), chromic flouride (C2O3):
150 -200 gr/l, H2SO4: 1,2 – 0,8 gr/l dan KF: 0,6 – 0,8. Reaksi redoks yang terjadi sebagai berikut:
Reaksi reduksi chromium plating pada katoda :
Pengendapan chromium :
Pelepasan gas hidrogen :
Pembentukan Cr (III) : Reaksi oksidasi chromium plating pada anoda :
Pelepasan hidrogen :
Oksidasi ion chromat :
Produksi timbal oksida : Berdasarkan reaksi di atas, terlihat hidrogen selalu dibebaskan pada katoda, sedang
sebagian terperangkap diantara lapisan chromium. Jika arus melewati elektrolit, endapan khrom
akan menempel di katoda dengan cara membebaskan hidrogen dan mereduksi Cr6+
menjadi Cr3+
.
Sedang pada anoda terjadi pembebasan oksigen bersamaan dengan oksidasi Cr3+
menjadi Cr6+
yaitu
pembentukan kembali CrO3, sehingga larutan elektrolit tetap konstan.
METODOLOGI PENELITIAN
a. Bahan penelitian Material yang digunakan dalam penelitian adalah martensitic stainless steels 410 (AISI
410) yang memiliki komposisi seperti terlihat dalam (Tabel 1)
Tabel 1. Komposisi kimia martensitic stainless steel 410
Komposisi Kandungan
C Si S P Mn Ni Cr Mo
0,1200 0,3385 0,0025 0,0199 0,4275 0,2119 12,8251 0,0285
Komposisi Kandungan
Cu W Ti Sn Al Ca Zn Fe
0,0550 0,0118 0,0030 0,0074 0,0034 0,0058 0,0173 85,9000
b. Alat penelitian Alat dan jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian mulai dari tahap persiapan, tahap
pengujian hingga tahap akhir diantaranya yaitu :
proses pelapisan digunakan mesin lapis listrik merk K.ITEN AG Rudolf Stetten
produk Switzerland power input 3x380/220 Volt, Arus 35 Amper, mesin buffing,
burring, barreling, pH meter dan termometer skala 0 – 110OC
proses pengujian dipakai mikroskop optik, Vickers mikro hardness tester, sel tiga
elektroda dengan Potensio Tipe PGS-201 T, Ogoshi Hight Speed Universal Wear
Testing Machine.
preparasi digunakan mesin polesh merek metaserv dan alat pendukung lainnya
seperti ampelas, sarung tangan, masker, hair dryer, spidol. c. Pengujian
(i) Pengujian kekerasan
Pengujian dilakukan menggunakan mesin Micro Hardness Tester dengan gaya tekan (P) 25
gram dan lama penekanan (t) 10 detik, indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o. Jika
diagonal bekas injakan d (mm), nilai kekerasan spesimen dapat ditentukan berdasarkan persamaan:
(2)
(ii) Pengujian keausan
Pengujian keausan dilakukan dengan mesin Ogoshi High Speed Universal Wear Testing
Machine. Jika besar beban gesek P (kg), tebal disk pengaus B (mm), jarak abrasi b (mm), jari-jari
C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.20
pengaus r (mm), jarak sliding l (mm), maka besar laju keausan spesifik Ws (mm3/kgmm) dapat
ditentukan berdasarkan persamaan:
atau (3)
Sedang besar volume spesimen yang terabrasi Wo (mm3) ditentukan berdasarkan
persamaan:
(4)
(iii) Pengujian korosi
Pengujian korosi dilakukan dengan cara mengamati intensitas arus korosi Icorr (μA/cm2)
benda uji dalam media 0,9 % larutan Natrium chlorid (NaCl). Sebagai mesin uji dipakai mesin tipe
Sel Tiga Elektroda Potensiostat Tipe PGS–201T, teknik pengujian resistance dengan rentang
tegangan -20 mV s/d 20 mV , scan rate : 0,1 mV/s , dan scale Ecor = -248, MV/PT: 0,25.
Gambar 2. Skema alat uji korosi Gambar 3. Kurva potensial vs log intensitas arus
Untuk bahan paduan besar laju korosi ditentukan berdasarkan persamaan (Jones, 1991):
(5)
dimana besar berat equivalen (Equivalent Weight EW) ditentukan berdasarkan persamaan:
EW = NEQ-1
Neq -1
=
i
ii
ii
i
a
n
na
/
(6)
dimana : EW : berat jenis equivalen (gr/cm3) i : fraksi berat
NEQ : nilai equivalen total ia : nomor massa atom
in : elektron valensi r : laju korosi (mm/tahun)
(iv) Pengujian struktur mikro
Setelah spesimen uji dimounting menggunakan resin, permukaan benda kerja dihaluskan
dengan kertas amplas ukuran 120 terbesar hingga 2000 terkecil, dipolis dengan larutan alumina dan
dietsa dengan campuran larutan 65 % HCl dan 35% HNO3. Selanjutnya spesimen diamati dengan
mikroskop optik pembesaran 200 X terus dilanjutkan pemotretan.
(v) Pengujian tebal lapisan
Setelah dilakukan proses persiapan spesimen, pengukuran ketebalan lapisan dilakukan
dengan cara mengamati lapisan spesimen uji pada posisi potongan melintang, menggunakan
mikroskop optik pembesaran 200 X, kemudian dilanjutkan pemotretan dan pengukuran tebal
lapisan yang terbentuk pada substrat untuk masing-masing spesimen.
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Proses nickel, hard chromium dan nickel-hard chromium plating pada baja AISI 410
mampu meningkatkan sifat kekerasan permukaan spesimen. (Gambar 4) memperlihatkan, pada
kondisi operasi yang sama kekerasan tertinggi terjadi pada kuat arus 1,75 Amper, untuk nickel-
hard chromium 534 VHN0,025, hard-chromium 464 VHN0,025 dan nickel 335 VHN0,025.Kenaikan
kekerasan terjadi karena adanya proses pengendapan ion-ion elektrolit yang lebih cepat, sehingga
akan lebih banyak atom hidrogen yang masuk secara interstiti kedalam struktur endapan chromium,
hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi kisi dan tegangan dalam lapisan menjadi naik karena
gerakan dislokasi terhambat.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.21
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tebal lapisan nikel, hard chromium dan nickel hard
chromium diperoleh hasil seperti pada (Gambar 7). Terlihat semakin besar kuat arus, tebal lapisan
yang terbentuk semakin meningkat. Secara berurutan pada kuat arus 1,75 Amper dalam waktu 30
menit untuk nickel-hard chromium, nickel dan hard chromium plating, diperoleh tebal lapisan
69,63 µm, 52 µm dan 39 µm, sedang pada kuat arus 1,25 Amper tebal lapisan 60,73 µm,32,69 µm
dan 12 µm. Kenaikan tebal lapisan terjadi disebabkan jumlah ion Ni2+
dan Cr3+
akan semakin
banyak yang terlepas dari larutan dan mengendap pada katoda (spesimen) akibat kuat arus yang
meningkat. Penambahan berat dan ketebalan lapisan permukaan tersebut teridentifikasi
sebagaimana diperlihatkan pada (Gambar 5)
Gambar 4. Hubungan kuat arus terhadap Gambar 5. Hubungan kuat arus terhadap
tebal lapisan Ni, Cr, Ni-Cr kekerasan Vickers Ni, Cr, Ni-Cr
Pengujian struktur mikro dilakukan menggunakan mikroskop optik dengan pembesaran
200X. Hasil pengamatan terhadap struktur mikro, sebelum dan sesudah proses plating terlihat tidak
ada perubahan, baik matrik maupun struktur dasar dari material AISI 410 (Gambar 6 dan
7).Struktur mikro masih tetap didominasi oleh martensitic dengan matrik ferrit. Hal tersebut terjadi
dimungkinkan karena proses plating berlangsung jauh dibawah suhu kristalisasi martensitic
stainless steels 410, sehingga proses perubahan matrik maupun struktur mikro tidak terjadi.
Gambar 6. Struktur mikro sebelum proses Gambar 7. Struktur mikro setelah proses
pelapisan Ni, Cr dan Ni-Cr pelapisan Ni, Cr dan Ni-Cr
Nilai laju korosi AISI 410 setelah dilakukan nickel, hard chromium dan nickel-hard
chromium plating ditunjukkan seperti pada (Gambar 8). Hasil pengujian menunjukkan, bahwa
AISI 410 yang terlapisi nickel, dalam media 0,9 % larutan Natrium Chlorid (NaCl) akan jauh lebih
baik dalam memberi proteksi terhadap korosi, jika dibandingkan lapisan chromium. Kemampuan
lapisan nickel menahan laju korosi, dikarenakan besar potensial standar nickel jauh lebih besar
dibandingkan ferro maupun chromium (E0
Cr<E0
Fe < E0
Ni ), sehingga ferro dan chromium akan
cenderung lebih reaktif teroksidasi dibandingkan nickel. Besar laju korosi tertinggi untuk nickel-
hard chromium, hard chromium dan nickel secara berurutan yaitu 0,0231 mm/yr, 0,00777 mm/yr
dan 0,00177 mm/yr terjadi pada kuat arus 1, 75 Amper sedang terendah 0,00265 mm/yr, 0,0147
mm/yr dan 00185 mm/yr terjadi pada kuat arus 1,25 Amper.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa kenaikkan kuat arus, besar keausan spesifik akan
semakin rendah. Secara berurutan terlihat, besar keausan spesifik pada kuat arus 1,25 Amper dari
nickel, hard chromium dan nickel hard chromium yaitu 2,15E-08 mm3/kgmm, 1,053E-08
C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.22
mm3/kgmm dan7,453E-09 mm
3/kgmm, dan pada kuat arus 1,75 Amper sebesar 5,326 E-9
mm3/kgmm, 2,716E-09 mm
3/kgmm
dan 2,448E-09 mm
3/kgmm.
Gambar 8. Hubungan kuat arus terhadap Gambar 9. Hubungan kuat arus terhadap
laju keausan Ni, Cr, Ni-Cr laju korosi Ni, Cr, Ni-Cr
Hal ini dikarenakan dengan semakin tinggi kuat arus, akan semakin banyak pemindahan
ion-ion Ni2+
dan Cr3+
dari larutan yang mengendap pada katoda (spesimen), semakin cepat ion-ion
Ni 2+
, Cr 3+
menempel pada permukaan spesimen akan menjadikan lapisan lebih padat, kerapatan
permukaan spesimen meningkat dan banyak deposit lapisan yang terbentuk pada permukaan
spesimen.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini memberi kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketebalan lapisan plating akan semakin meningkat seiring dengan naiknya kuat arus. Nilai
ketebalan lapisan dari masing-masing lapisan nickel,chromium dan nickel chromium secara
berurutan didapatkan pada kuat arus 1,75 Amper yakni 69,63 µm, 52 µm dan 39 µm, sedang
pada kuat arus 1,25 Amper 60,73 µm,32,69 µm dan 12 µm.
2. Kekerasan spesimen akan semakin meningkat dengan naiknya kuat arus. Pada kuat arus 1,25
Amper, kekerasan tertinggi terjadi pada lapisan nickel-hard chromium 301VHN0,025, hard-
chromium 234 VHN0,025 dan nickel 214 VHN0,025 , sedang pada kuat arus 1,75 Amper,
kekerasan tertinggi pada nickel-hard chromium 534 VHN0,025, diikuti hard-chromium 464
VHN0,025 dan nickel 335 VHN0,025.
3. Laju keausan akan semakin menurun dengan naiknya kuat arus untuk semua kondisi lapisan,
sedang laju korosi akan semakin meningkat pada lapisan hard chromium dan nickel- hard
chromium, hal ini terjadi karena potensial standar nickel lebih besar dibandingkan chromium
danferro.
DAFTAR PUSTAKA
Barbato, S.R., Ponce, J.F., Jara, M.V., Cuevas, J.S, Egana, R.A., 2008, “ Study Of The Effect Of
Temperature On The Hardness, Grain Size, And Yield In Electrodeposition Of Chromium
On 1045 Steel “, Journal Of The Chilean Chemical Society, Vol 53, N.1. pp
Huang, C.A, Tu, G.C., Liao,M.C., Kao, Y.L., 2000, “Hard Chromium Plating On Cold Swaged Cr-
Mo Steel Using Rotating Cylinder Electrode” Journal Of Materials Science Letters 19,
1357 – 1359.
Hutchings, I.M., 1992,”Tribology Friction and Wear of Engineering Materials”, London, Arnold.
Jones, D.A., 1991, “Principlels and prevention of Corrosion”, Mc Millan Publishing Company,
New York.
Merlo, A.M., 2003, “The Contribution Of Surface Engineering To The Product Performance In
The Automotive Industry”, Journal surface and Coatings Technology, Elsevier, 174-175, pp
21-26.
Sukrawan,Y., 2001, “Variasi Rapat Arus Dalam Proses Pelapisan Khromium Keras Pada Cincin
Torak”, Torsi, Volume 1, No 2, 24 – 36.
Suarsana, K .I., 2008,”Pengaruh Waktu Pelapisan Nikel Pada Tembaga Dalam Pelapisan Khrom
Dekoratif Terhadap Tingkat Kecerahan Dan Ketebalan Lapisan”, Jurnal Ilmiah Teknik
Mesin Cakram, Volume 2, No.1.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.23
ANALISA SERBUK TEMBAGA HASIL PROSES ELECTROREFINING
DENGAN VARIASI TEGANGAN DAN WAKTU PENGENDAPAN DEPOSIT
TERHADAP BENTUK SERBUK DAN KOMPOSISI KIMIA
Riles M.Wattimena
Jurusan Teknik mesin, Politeknik Negeri Semarang
Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50061
E-mail: riles.wattimena@yahoo.co.id
Abstrak
Teknologi manufaktur masa depan mengunakan printer 3 dimensi (3 D) dengan Proses Sinter
Deposisi Multi Material (MMD-Is) merupakan proses alternatif yang berpotensi sangat baik
,fungsi tinta diganti beragam serbuk logam seperti tembaga. Proses pembuatan serbuk logam
dapat dilakukan proses deposisi elektrolisis.Ukuran distribusi ukuran serbuk optimum yang
digunakan ukuran 52 – 74 µm (mesh 200) sampai dengan 46 - 63 πm (230 mesh). Makalah
ini akan membahas pembuatan tentang serbuk tembaga, dengan pertimbangan di atas, metode
yang paling tepat yaitu proses elektrolisis dengan metode elektrorefining, karena metode ini
dapat menghasilkan bentuk serbuk butiran halus dengan spesifikasi serbuk berdiameter 40 µm
atau ukuran mesh berkisar 325 mesh ~ 400 mesh, serta mempunyai kemurnian yang tinggi,
99,97 % ~ 99,99 % tembaga. Tahapan pengujian serbuk dengan variasi, tegangan elektrolit
1,1, 1,25, 1,5 1,75 dan 2 (volt), interval waktu pengendapan 20, 23, 25, 29 dan 32
(menit),variasi tetap temperatur 50 oC, jarak anoda katoda 30 (mm), konsentrasi larutan
elektrrolit Cu 25 (gr/liter) dan larutan elektrrolit H2SO4 120 gr/liter), dianalisa distribusi
ukuran serbuk dengan (sieve analysis) Hasilnya menununjukan bahwa distribusi ukuran
serbuk 200 mesh (64 - 75 πm) 15 %, 230 mesh ( 46 - 63 πm) 20 % dan 325 mesh ( < 45 πm) 47
%.
Kata kunci: proses elektrolisis, metode elektrorefining , serbuk tembaga.
1. PENDAHULUAN
Serbuk tembaga merupakan salah satu bahan logam yang digunakan untuk membuat
komponen otomotif, elektronika dan juga sebagai bahan untuk produk cat yang bersifat konduktip.
Dalam industri otomotif dan elektronika, pembuatan komponen dari serbuk tembaga dilakukan
dengan teknologi metalurgi serbuk, dimana proses metalurgi serbuk terdiri dari tahapan – tahapan
mixing, compacting dan sintering (Subagja dkk, 1996).
Pembuatan serbuk ini menggunakan proses deposisi elektrolisis dengan metode
elektrorefinig, karena metode ini menghasilkan partikel serbuk hingga 40 µm serta dapat mencapai
kemurnian 99,97 % - 99,99 % tembaga murni (Popov dkk, 2002). Proses pembuatan serbuk
tembaga menggunakan elektroda lempengan tembaga sebagai anoda dan plat (stainless steel) 316L
sebagai katoda, keduanya ditempatkan dalam tangki yang berisi elektrolit. Katoda berfungsi untuk
proses pengambilan serbuk dilakukan dengan mengangkat katoda kemudian serbuk tembaga
diserut untuk dikeringkan.
Metode electrorefining (pemurnian elektrik) digunakan untuk memurnikannya lebih lanjut.
Misalnya logam tembaga mentah, dicetak menjadi lempeng, yang digunakan sebagai anoda dalam
sel elektrolisis yang mengandung larutan CuSO4 dan H2SO4.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Deposisi Elektrolisis Cara ini banyak digunakan secara luas dalam pembuatan serbuk tembaga, berilium, besi,
serta nikel. Kesesuaian antara material kimia dengan kondisi fisik selama elektrodeposisi
memungkinkan untuk melonggarkan endapan yang menempel pada katoda, sehingga mudah untuk
diserut menjadi serbuk. Metoda ini pula dapat menghasilkan serbuk logam dengan kemurnian
tinggi sehingga sangat baik untuk pengolahan metalurgi serbuk. Tetapi untuk pembuatan serbuk
besi contohnya, akan jauh lebih mahal operasinya bila dibanding dengan proses atomisasi, akan
tetapi untuk pembuatan serbuk tembaga cukup kompetitif.
C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.24
Gambar 2.1. Skematik Proses Elektrolisis Pembuatan Serbuk Logam
(diadopsi dari Popov dkk, 2002).
Pada Gambar 2.1. menunjukkan skema dari proses elektrolisis untuk pembuatan serbuk.
Berbeda dengan serbuk tembaga, elektrolisis besi tidak disimpan berupa serbuk, tetapi sebagai
lembaran endapan pada stainless steel yang berupa katoda.
2.2. Metode Electrorefining
Logam seperti tembaga, perak, nikel, dan timah yang telah diproduksi dengan metode
pirometalurgi terlalu kurang murni untuk bisa digunakan dalam berbagai keperluan, maka metode
electrorefining ( pemurnian elektrik ) digunakan untuk memurnikannya lebih lanjut. Misalnya
logam tembaga mentah, dicetak menjadi lempeng, yang digunakan sebagai anoda dalam sel
elektrolisis yang mengandung larutan Cu SO4 dalam H2SO4 beraiar. Lembaran tipis tembaga murni
digunakan sebagai katoda, dan tembaga yang larut pada anoda diendapkan dalam bentuk yang lebih
murni pada katoda, sampai mempunyai kemurnian 99,97 % tembaga. Skema Teknologi
Electrorefining Tembaga diperlihatkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Skema Teknologi Electrorefining Tembaga
(diadopsi dari Popov dkk, 2002).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.25
Reaksi utama yang terjadi pada elektroda, yang menentukan potensi antara anoda dan katoda
selama proses electrorefining tembaga adalah sebagai berikut :
Pada Anoda : Cu → Cu2e
+ 2e-
Pada Katoda : Cu2e
+ 2e-
→ Cu ( serbuk )
Gambar 2.3. Alat pembuatan serbuk dengan proses elektrolisis metode electrorefining.
Gambar 2.3. Alat Uji (Riles dkk, 2011)
2.3. Karakteristik Serbuk Bentuk partikel mempengaruhi pengemasan serbuk logam, aliran serbuk logam dalam bentuk
bulk serta kompresibilitasnya. Bentuk ini dipengaruhi oleh teknik pembuatan serbuk logam.
Gambar 2.4 menunjukan beragam bentuk partikel serbuk logam, sesuai dengan ISO standard 3252,
pada dasarnya terdiri dari bentuk irregular, irregular rod – like, angular , acicular ( needle – like ),
dan dendritic, flake, rounded, porous.
Gambar 2.4. Bentuk - bentuk partikel serbuk (diadopsi Popov dkk, 2002)
2.3.1.Ukuran Partikel Ukuran partikel mempengaruhi salah satu karakteristik penting dalam metalurgi serbuk. Ada
dua cara penentuan ukuran partikel, yaitu dengan possible size measure dan equivalent sphere
diameter. Possible size measure dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Possible Size Measure (diadopsi dari German, 1994)
C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.26
2.3.2.Distribusi Ukuran Partikel
Metode yang umum dan dapat digunakan dengan cepat untuk menentukan ukuran partikel
serbuk secara kolektif adalah menggunakan peralatan uji ayakan ( sieve analysis mesh).
3. METODOLOGI PENELITIAN
Variabel tetap konsentrasi elektrolit Cu 25 ( g / L ), konsentrasi elektrolit H2SO4 120 (g /L) ,
Temperatur elektrolit 50 (°C) dan jarak katoda anoda 30 (mm), data di variasi :
a. Tegangan elektrolit (Volt) : 1, 1.25, 1.5, 1.75, 2
b. Interval waktu pengendapan (min) : 20, 23, 26, 29, 32 Bahan penelitian hasil Serbuk tembaga kering dari penelitian Serbuk tembaga yang diteliti
hasil dari penelitian sebelumnya dengan prototipe peralatan, Gambar 2.3.
3.1. Pengamatan Bentuk Partikel Mikrografi adalah gambar hasil pengamatan mikroskop optik yaitu instrumen optik yang
terdiri dari suatu lensa atau lebih yang menghasilkan gambar dengan pembesaran puluhan atau
ratusan kali.
Pengamatan bentuk dan diameter ekivalen dilakukan setelah proses pengayaan distribusi
ukuran serbuk dipilih ukuran serbuk 200 mesh (64 - 75 πm), 230 mesh ( 46 - 63 πm), partikel
serbuk di ambil secara acak untuk pengamatan diameter ekivalen dengan mikroskop optik setiap
sampel uji 8 partikel yang di foto, di hitung diameter ekivalen setelah itu di ambil diameter rata-
ratanya diperlihatkan Gambar 2.5, dengan rumus DA = (4A / π) ½
dimana luas proyeksi, A = H x W
(H: tinggi/panjang proyeksi, W: lebar proyeksi).
Mikroskop optik
Untuk menganalisa Struktur Mikro menggunakan alat Metallurgical Microscop With Inverted
(Olympus PME 3), dengan perbesaran 50 x sampai 500 x skala foto satu strip 10 µm. Pada
Laboratorium Bahan Program Diploma Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Urutan
proses pengujian pengamatan partikel nomor 1 sampai 4 seperti Gambar 3.1 dibawah ini
1. Letakan serbuk diatas double tape 2. Serbuk siap uji pada kaca
3. Foto serbuk perbesaran 50 x 4. Beri nama file serbuk yang
skala ukur foto 1 strip 10 µm difoto
Gambar 3.1.Urutan proses pengujian pengamatan partikel
3.2. Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian komposisi kimia mengunakan Atomic Absorption Spectrometer 3110 PERKIN
ELMER, pada Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas
Diponegoro. Setiap unsur mempunyai struktur elektronik yang khas, maka panjang gelombang
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.27
yang diemisikan pun merupakan sifat khas dari suatu unsur.Yang diukur adalah intensitas sinar
yang diserap maka disebut sebagai spektrofotometri serapan atom.
Gambar 3.2 Alat uji spektrofotometri serapan atom.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan Bentuk Partikel Serbuk
Dari hasil pengujian pengamatan bentuk patikel menggunakan menggunakan alat
Metallurgical Microscop With Inverted (Olympus PME 3), dengan perbesaran 50 x dihitung
diameter ekivalen (µm). Sebagai pembanding bentuk partikel serbuk tembaga hasil proses
electrorefining umumnya dendritic (ASM Hand book, 1998 & German ,1994) seperti diperlihatkan
Gambar 4.1 dan serbuk tembaga hasil proses electrorefining di BPPT Serpong diperlihatkan
Gambar 4.2 berbentuk irregular dengan distribusi ukuran serbuk rata-rata 94 µm. Hasil serbuk
tembaga dengan prototipe peralatan terlampir seperti diperlihatkan Gambar 4.3 lebih banyak
berbentuk irregular dan sebagian dendritic. Ukuran partikel yang dihasilkan besar (kasar) dengan
peningkatan suhu elektrolit diatas 60 °C (ASM Handbook, 1998).
(a) (b)
Gambar 4.1 Serbuk tembaga electrorefining (a) ASM Handbook, 1998 &
(b) German ,1994
Gambar 4.2 Serbuk tembaga electrorefining BPPT Serpong
(a)
(b)
Gambar 4.3 Bentuk partikel tembaga. a) E 1.75 volt, t 26 menit, 24.7 % 200 mesh
b) E 2 volt, t 26 menit, 27.6 % 230 mesh.
10 µm
10 µm
10 µm
85 X
C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.28
4.2. Hasil Uji Komposisi Kimia
Hasil pengujian komposisi kimia dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer
(spektrofotometri serapan atom) di laboratorium kimia analisis Mipa Kimia Undip, bahan uji
distribusi ukuran serbuk 200 Mesh, 230 Mesh sebagai pembanding menggunakan serbuk hasil
produksi dari BPPT Serpong dan serbuk tembaga dari plat tembaga batangan anoda, diperlihatkan
pada Tabel 4.6.Satuan komposisi kimia dipakai ppm (part per million mg/l) untuk menjadi % di
bagi dengan 10.000 (http://www.rapidtables.com/convert/number/PPM_to_Percent.htm).
Dari hasil uji didapat kwalitas kemurnian Cu 200 Mesh 76.83%, 230 Mesh 87.05%, sebagai
pembanding serbuk BPPT Serpong 83.75% dan Cu batangan anoda 96.38%, unsur yang
mempengaruhi kemurnian Cu adalah Fe karena prosentase yang besar hal ini disebabkan pada saat
pengambilan serbuk yang terdeposisi dengan cara diserut permukaan plat stainless steel 304
sebagai katoda ikut tergerus sehingga tercampur dengan serbuk basah hasil proses electrorefining.
Karena kemampuan alat uji Atomic Absorption Spectrometer 3110 PERKIN ELMER
(spektrofotometri serapan atom), hanya komposisi unsur seperti diperlihatkan Tabel 4.1 yang dapat
terukur alat uji selain unsur-unsur tersebut tidak bisa terukur, sehingga jumlah persentasi unsur
kimia kurang dari 100%.
Tabel 4.1 Komposisi kimia serbuk tembaga.
Mesh %
Berat
Komposisi Kimia
Pb
(ppm)
Cd
(ppm)
Zn
(ppm)
Mn
(ppm)
Co
(ppm) Ni (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) %
200 (64 -
75 µm)
24,8 0 0 0.8000 1.0200 0 4.9100 23.0700 768292.6829 76.83
230 (46- 63
µm)
27,6 0 0 3.0800 0.5000 0 4.5100 19.9400 870454.5455 87.05
Serbuk
BPPT
- 0 0.0700 2.3600 0 0 4.3200 12.5600 837500.0000 83.75
Tembaga
Anoda - 0 0.0700 2.3600 0 0 4.0600 117.0000 963750.0000 96.38
5. KESIMPULAN
Sebagai pembanding bentuk partikel serbuk tembaga hasil proses electrorefining umumnya
dendritic (ASM Handbook, 1998 & German ,1994) seperti diperlihatkan Gambar 4.1 dan serbuk
tembaga hasil proses electrorefining di BPPT Serpong diperlihatkan Gambar 4.2 berbentuk
irregular. Hasil serbuk tembaga dengan prototipe peralatan terlampir seperti diperlihatkan Gambar
4.3 lebih banyak berbentuk irregular dan sebagian dendritic.
Dari data komposisi kimia serbuk import kemurnian serbuk Cu 99,7%, serbuk hasil uji
diperlihatkan Tabel 4.1 dari hasil uji didapat kwalitas kemurnian Cu 200 Mesh 76.83%, 230 Mesh
87.05%, kemurnian serbuk Cu dipengaruhi proses produksi pada saat penyerutan dari katoda
unsur Fe ikut tergerus.
6. DAFTAR PUSTAKA
ASM Handbook, ( 1998 ), “ Powder Metal Technologies and Applications “, Volume 7, ASM
International, Ohio, USA.
German, M.R. ( 1994 ),”Powder Metallurgy Science”, Metal Powder Industries Federation, New
Jersey.
Popov, K.I., Djokic, S.S., and Grgur, B.N. ( 2002 ),”Fundamental Aspect of Electrometallurgy”,
Kluwer Academic Publishers, New York.
Riles M.W. (2011), ‘Analisa Serbuk Tembaga Hasil Proses Electrorefining” Tesis Magister
Teknik Mesin Universitas Diponegoro.
Subagja, R., Binudi, R., Arief, A., Sudaryat, Undang, A.H. ( 1996 ), “Percobaan Pembuatan
Serbuk Tembaga Dalam Skala Pilot Plant”, Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu
Pengetahuan Teknik, Bandung.
Widyanto, S.A, (2008),”Proses Sinter-Deposisi Multi Material (MMD-Is) Pengembangan proses
rapid prototyping untuk pembuatan produk multi material,” Semarang.
Wayne Amstrong, (1999),”The Isa Prosess and Its Contribution to Electrolytic Copper”,
Presented at the Rautomead Coference,Scotland.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.29
KARAKTERISTIK AISI 304 SEBAGAI MATERIAL FRICTION WELDING
Moh Fawaid1, Rifky Ismail
2, Jamari
3, Sri Nugroho
4
1 Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro
Email: fawaid80@gmail.com 2 Teknik Mesin Universitas Diponegoro
Email: Rifky_mec@yahoo.com 3 Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro
Email: J.jamari@gmail.com 4 Teknik Mesin Universitas Universitas Diponegoro
Email:sri_nugroho@yahoo.com
Abstrak
Stainless steel tipe austenitic dipilih sebagai material untuk sebuah produk karena sifat tahan
korosi, non magnetic dan weldability yang baik. Beberapa peneliti menggunakan AISI 304
sebagai material riset yang disambung dengan material lain seperti alumunium dan copper
dengan metode friction welding. Pengelasan gesek menggunakan parameter seperti friction
time, friction pressure, upset time, upset pressure dan putaran spindle. Untuk memudahkan
analisa struktur mikro, Sathiya membagi spesimen menjadi 3 region, sedangkan Ozdemir
membagi zona menjadi fully plastic deformed zone (FPDZ), partial deformed zone (PDZ) dan
deformed zone (DZ). Nilai kekerasan daerah sekitar sambungan AISI 304 menurut Paventhan
adalah 490HV, Mumin Sahin nilai Hardness 225-250HV. Nilai kekerasan AISI 304-AISI 202
yang disambung dengan friction time 30 dan 40 detik mempunya nilai kekerasan pada AISI
304 kekerasan HAZ sebesar 686 HV dan 567 HV. Nilai kekerasan yang berbeda
didipengaruhi oleh friction time serta prosentase Cr didalam komposisi kimia material
Kata kunci: friction welding, austenitic, hardness
PENDAHULUAN
Stainless steel merupakan baja paduan yang mengandung sekitar 12% Cr yang
menunjukkan ketahanan korosi karena pembentukan lapisan film kromium oksida (Cr2O3).
Stainless steel tahan terhadap korosi dan oksidasi karena adanya unsur yang ditambahkan pada
paduan besi carbon seperti nikel, mangan, molybdenum, nitrogen dan elemen lain yang sangat
mempengaruhi properties material. Menurut kandungan prosentase Cr-Ni stainless steel dibagi
menjadi austenitic, martensitic, ferritic dan duplex. (W Martin, 2006).
AISI 304 merupakan jenis austenitic stainless steel yang mempunyai sifat non magnetic,
dapat dikeraskan dengan cold working tetapi tidak bisa dikeraskan dengan heat treatment. Pada
kondisi aneal stainless steel mempunyai sifat formability. Tipe 304 stainless steel paling banyak
digunakan dengan 18% Cr dan 8% Ni (Iron and Steel Society, 1999). Penggunaan AISI 304 di
industri antara lain: kimia, petrochemical, pengolahan makanan & minuman, farmasi, kriyogenik,
dan heat exchangers
Tabel 1. Komposisi kimia AISI 304 (Iron and Steel Society, 1999).
Element C Mn Si Cr Ni P S
Weight% 0.08 2.00 1.00 18.0-20.0 8.0-10.5 0.045 0.03
Komposisi kimia suatu material berpengaruh terhadap sifat mekaniknya misalnya karbon
(C) merupakan pembentuk struktur austenite yang kuat, oleh karena itu karbon secara substansi
dapat meningkatkan kekuatan mekanik. Karbon mengurangi ketahanan terhadap korosi
intergranular. Pada ferritic stainless steels karbon berpengaruh kuat mengurangi toughness dan
ketahanan korosi. Karbon pada martensitic dan martensitic-austenitic meningkatkan kekerasan
dan kekuatan. namun secara umum jika kekerasan dan kekuatan meningkat maka toughnessnya
akan turun.
Mangan (Mn) digunakan untuk peningkatan sifat ductility. Pada suhu rendah mangan
merupakan austenite stabiliser tetapi pada suhu tinggi berubah menjadi penstabil ferrite. Mangan
C.6. Karakteristik aISI 304 sebagai material friction welding … (Moh Fawaid, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.30
menaikkan kelarutan nitrogen dan digunakan untuk memperoleh kandungan nitrogen yang tinggi
di dalam austenitic steels. Silicon (Si) berfungsi menaikkan resistance to oxidation, pada suhu
tinggi dan rendah.
Krom (Cr) unsur yang sangat penting bagi stainless steels. Sifat corrosion resistance
dipengaruhi oleh besarnya atau prosentase (Cr) krom content. Krom tahan terhadap oksidadi suhu
tinggi. Penambahan unsur Nickel (Ni) adalah untuk menaikkkan ductility and toughness. Nickel
mampu mereduksi laju korosi sehingga bermanfaat pada lingkungan yang asam. Pada
precipitation hardening nickel digunakan pembentukan intermetallic compounds yang berguna
untuk meningkatkan kekuatan. Sulphur (S) Penambahan belerang (Sulphur) untuk meningkatkan
sifat machinability. Pada kadar tertentu sulphur bisa berfungsi juga corrosion resistance, ductility
serta mampu las
Tabel 2. Komposisi kimia AISI 304 yang digunakan peneliti
Element C Mn Si Cr Ni P S Peneliti
Weight% <0.07 <2.0 <1.0 17-19 8.5-10.5 <0.045 <0.03 Sahin
Weight% 0.0468 1.313 0.3446 17.87 8.289 0.0182 - Sathiya
Weight% 0.06 1.38 0.32 18.4 8.17 - - Arivazhagan
Weight% 0.04 1.15 0.006 17.9 9.5 - - Maldonado
Weight% 0.09 1.42 0.29 14.08 8.413 - - Paventhan
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan AISI 304 mengandung 8-11% nickel and 14–19%
chromium. Keberadaan unsur pospor (P) dan sulphur (S) relatif kecil. Kadar karbon didalam AISI
304 berada pada 0.04-0.09% Carbon (C).
Pengelasan merupakan penyambungan dua material dengan atau tanpa bahan tambah
(filler) (Wiryosumarto, Harsono 2000). Metode pengelasan yang tidak menggunakan bahan tambah
salah satunya adalah pengelasan gesek (friction welding). Pengelasan gesek memanfaatkan
tekanan yang dihasilkan oleh silinder hidrolik. Benda kerja yang satu dipasang pada chuck yang
berputar sedangkan yang lain diam dan diberikan tekanan awal, pada saat dua buah benda
berdekatan dan terjadi gesekan maka akan muncul panas disekitar permukaan kontak.
Eksperimen ini menyambungkan AISI 202 – AISI 304 dengan friction welding sebagai
material yang akan digunakan untuk shaft pompa sentrifugal untuk nelayan.
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan untuk pengelasan gesek yaitu dengan eksperimen yang
menggunakan parameter pengelasan seperti friction time, friction pressure, upset time dan upset
pressure. Variasi kecepatan putar spindle juga digunakan untuk memperoleh nilai tensile strength.
Untuk memudahkan penelitian seperti Ozdemir membagi zona pengelasan menjadi tiga
bagian fully plastic deformed zone (Zpl) disekitar garis pengelasan, partial deformed zone (Zpd)
dan unaffected parent material. (N. Ozdemir, 2005). Sathiya membagi daerah pengelasan menjadi
zona rekristalisasi (region1), zona yang berdekatan dengan sisi pengelasan (region 2). Pada zona 2
sebagian batas butir terdeformasi serta undeformed base material microstructure (region 3) (
Sathiya dkk,2004).
Hasil pengelasan gesek yang optimal memperhatikan parameter pengelasan gesek seperti
yang dilakukan oleh peneliti yang menggunakan material AISI 304 sebagai bahan pengujian
pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Parameter pengelasan gesek
No Parameter Las Mumin Sathiya Arivazhagan Paventhan
1 Friction Pressure
(MPa)
20, 45,60 1.5-2.5 37.5 kN/m2 90
2 Friction Time (s) 3, 9,11 3-10 2
3 Upset Pressure (MPa) 3.5-4.5 50 kN/m2 90
4 Upset Time (s) 3-7 2
5 Rotating Spindle
(rpm)
1500 1500
6 Burn Off Length (mm) 5,7,9,12
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.31
Parameter yang digunakan oleh Fawaid dkk adalah sebagai berikut :
Tabel 4 parameter pengelasan gesek ( Fawaid dkk , 2011)
Parameter pengelasan Besar/Satuan
Friction pressure (kg) 1,5 kg
Forging pressure (kg) 5 kg
Friction time (s) 30 dan 40 detik
Forging time (s) 20 detik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi pengelasan gesek AISI 304 dengan hasil optimum seperti dilakukan Sahin (Sahin,
2006) friction pressure (60 MPa), friction time (9s), upset pressure (110MPa), upset time (20s) dan
rotational speed (1440rpm) dihasilkan tensile strength 795.8 MPa.
Hubungan antara tensile strength dengan friction pressure dengan friction time
disampaikan (Sahin , 2004). friction pressure (60 MPa), upset pressure (110 MPa) dan upset time
(20s) nilai tensile strength 825 MPa, sedangkan untuk friction time (9s), upset pressure ( 110 MPa)
dan upset time (20s) tensile strength 825 MPa.
Sathiya melakukan eksperimen dengan variasi waktu gesek yang dihubungkan dengan
nilai tensile strength , variasi waktu yang digunakan yaitu 3, 5 , 6, 7, 8, 9,dan 10 detik. Nilai
tensile strength optimum yang didapatkan dari besarnya waktu gesek yaitu 3 detik dengan nilai
tensile strength 596, 7 MPa.
Pengujian AISI 304 dan AISI 202 yang dilakukan (Fawaid dkk. 2012) menunjukkan angka
kekerasan sebesar 423 HV untuk friction time 30 detik dan 294 HV friction time 40 detik. Tingkat
kekerasan pada HAZ sebesar 403 HV dan 368 HV untuk AISI 202. Sedangkan pada AISI 304
kekerasan HAZ sebesar 686 HV dan 567 HV.
Pengujian kekerasan AISI 304 nilai kekerasan AISI 304 menurut Sahin adalah seperti
gambar berikut :
Gambar 1 pengujian kekerasan AISI 304- Copper dan AISI 304 – Alumunium (Sahin, 2010)
Nilai kekerasan AISI 304 pada daerah disekitar sambungan berkisar antara 225-250 HV,
menurut sathiya nilai kekerasan AISI 304 pada daerah bond line sekitar 260 HV dan pada daerah
HAZ (Heat Affected Zone) adalah 200- 250 HV.
C.6. Karakteristik aISI 304 sebagai material friction welding … (Moh Fawaid, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.32
Gambar 2 pengujian kekerasan AISI 304 (Sathiya dkk, 2004)
Penggunaan parameter pengelasan friction pressure paling kecil adalah Sathiya yaitu
antara 15-25 Bar atau 1,5-2.5 MPa . Uji kekerasan yang dilakukan menghasilkan nilai kekerasan
pada region I sebesar 260 HV untuk friction time 8 detik. Maldonado dalam exeperimen uji
kekerasan juga menyatakan nilai uji kekerasan daerah sekitar HAZ 200 - 240 HV.
Gambar 2 pengujian kekerasan AISI 304 (Maldonado, 2007)
Gambar 3 pengujian kekerasan AISI 304 (Paventhan, 2011)
Pengujian kekerasan AISI 304 yang nilainya berbeda dibandingkan dengan nilai kekerasan
pengujian peneliti lain adalah pengujian kekerasan Paventhan yaitu 500 HV dan minimal 220 HV
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.33
dengan parameter pengelasan rotational speed 1500 rpm, friction pressure 90 MPa, forging
pressure 90 MPa, friction time 2 detik, forging time 2 detik.
KESIMPULAN
Pengelasan gesek dapat digunakan untuk material yang sejenis maupun yang berbeda
seperti stainless steel dengan baja karbon atau alumunium. Penentuan parameter pengelasan
mengikuti parameter dasar pengelasan gesek yaitu friction pressure, friction time, upset pressure
dan upset time. Pembagian zona pengelasan menjadi 3 bagian fully plastic deformed zone
(FPDZ), partial deformed zone (PDZ) dan deformed zone (DZ) bertujuan untuk memudahkan
analisa hasil eksperimen. Biasanya para peneliti menggunakan daerah- daerah tersebut untuk
melihat perubahan struktur mikro hasil pengelasan.
Nilai uji kekerasan dipengaruhi oleh parameter pengelasan gesek. Peneliti yang
mengunakan parameter pengelasan (friction pressure ) paling kecil adalah Sathiya. Nilai uji
kekerasan pada posisi bond line paling besar sebesar 500 HV adalah hasil penelitian paventhan
dengan friction pressure sebesar 90 MPa. Komposisi kimia material AISI 304 Paventhan
menyebutkan prosentase unsure Cr adalah 14% lebih rendah dibandingkan yang lain berkisar 17-
18% . Pembagian zona pengelasan berguna untuk memudahkan untuk mengetahui perubahan-
perubahan struktur mikro hasil lasan.
DAFTAR PUSTAKA
C. Maldonado, (2002), Softened zone formation and joint strength properties in dissimilar friction
welds, Journal Of Materials Science 37 (2002) 2087 – 2095
Fawaid M, Jamari, Rifky (2012), Pengujian kekerasan sambungan AISI 202- AISI 304 friction
welding, Prosiding Seminar Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Iron and Steel Society, (1999), Steel Products Manual Stainless Steel
J.W Martin , (2006), Materials for engineering , 3rd
,Woodhead Publishing Limited, Cambridge
England
Mumin Sahin, (2010), Friction Welding Of Different Materials, International Scientific
Conference
Mumin Sahin, (2006), Evaluation of the joint-interface properties of austenitic-stainless steels
(AISI 304) joined by friction welding, Materials and Design 28 (2007) 2244–2250
Mumin, (2009), Characterization of properties in plastically deformed austenitic-stainless steels
joined by friction welding , Materials and Design 30 (2009) 135–144
N. Ozdemir, (2005), Investigation of the mechanical properties of friction-welded joints between
AISI 304L and AISI 4340 steel as a function rotational speed, Materials Letters 59 (2005)
2504 – 2509
N.Arivazhagan , Surendra Singh Satya Prakash , G.M. Reddy ,(2011), Investigation on AISI 304
austenitic stainless steel to AISI 4140 low alloy steel dissimilar joints by gas tungsten arc,
electron beam and friction welding, Materials and Design 32 (2011) 3036–3050
P. Sathiya, S. Aravindan and A. Noorul Haq, (2004), Friction Welding Of Austenitic Stainless Stee
and Optimization Of Weld Quality, International Symposium of Research Students on
Materials Science and Engineering
Paventhan, (2011), Fatigue behaviour of friction welded medium carbon steel and austenitic
stainless steel dissimilar joints, Materials and Design 32 (2011) 1888–1894
Wiryosumarto, Harsono (2000), Teknologi Pengelasan Logam, Pradnya Paramita, Jakarta
C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.34
PENGARUH PARAMETER LAS DAN KETEBALAN PELAT PADA PENGELASAN
TITIK BAJA KARBON RENDAH TERHADAP KEKUATAN GESER
Sisworo*1)
, Bayuseno2)
, Sri Nugroho2)
1)Jurusan Teknik Mesin POLINES
Jl. Prof. Sudarto, SH – Tembalang, SEMARANG 50275 2)
Jurusan Teknik Mesin UNDIP
Jl. Prof. Sudarto, SH – Tembalang, SEMARANG 50275 *)
E-mail : sisworo07@yahoo.co.id
Abstrak
Produk industri karoseri mobil, box dan bak angkut motor roda tiga kebanyakan menggunakan
pelat baja karbon rendah. Perakitan komponen ini menggunakan las titik dengan parameter –
parameter yang mempengaruhi kualitas pengelasan dianataranya : arus, waktu, gaya
penekanan dan tebal pelat. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi variabel lasan
terbaik terhadap kekuatan geser. Dalam melakukan eksperimen menggunakan desain Taguchi
dengan 4 faktor sebagai variable bebas yaitu : waktu las (WT), arus las (WC), gaya penekanan
(WF), tebal pelat (ST) dan 3 level untuk setiap factor sebagai variable terikat yaitu : level 1
terdiri dari 9 cycles; 7,8 kA; 1,8 kN; 0,9 mm, level 2 terdiri dari 10 cycles; 8,8 kA; 2,2 kN; 1
mm, level 3 terdiri dari 11 cycles; 9,8 kA; 2,6 kN; 1,1 mm, sehingga dipilih matriks orthogonal
L9(34). Hasil pengujian tarik geser memperlihatkan bahwa untuk pengelasan pelat 0,9 mm
dengan arus 9,8 kA, waktu 11 cycles, gaya penekanan 2,2 kN dicapai kekuatan geser terbesar
348 N/mm2 dan untuk pelat 1 mm dengan arus 9,8 kA, waktu 10 cycles, gaya penekanan 1,8 kN
dicapai kekuatan geser terbesar 349 N/mm2 serta untuk 1,1 mm dengan arus 9,8 kA, waktu 9
cycles, gaya penekanan 2,6 kN dicapai kekuatan geser terbesar 351 N/mm2. Kondisi patahan
geser terbesar ketiganya terjadi pada daerah pengaruh panas HAZ menjalar ke pelat induk,
hal ini akibat pengaruh peningkatan arus las sedangkan pemakaian arus dibawah 9,8 kA yaitu
8,8 kA kondisi patahan geser pada HAZ dan 7,8 kA kondisi patahan geser pada manik las
(nugget). Ranking pengaruh faktor yang signifikan adalah parameter : 1) arus las, 2) tebal
pelat, 3) gaya penekanan, 4) waktu las dengan prediksi kuat geser pada kondisi optimal 351
N/mm2.
Kata kunci : las titik, Taguchi, kekuatan geser
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi pengelasan logam khususnya las titik sangat diperlukan pada
industri manufaktur. Penggunaan pelat logam sebagai bahan dasar pembuatan berbagai produk
industri seperti karoseri body mobil, box listrik, box perkantoran dan lain sebagainya. Pada industri
karoseri misalnya, kekuatan dan kerapian sambungan sangat diperlukan untuk memenuhi kualitas
produk. Kelebihan las titik adalah bentuk sambungan rapi, rapat dan proses cepat. Sedangkan
kekurangannya adalah tidak mampu untuk pelat ukuran tebal. Seperti pengelasan titik pada
perakitan komponen mobil ( kerangka, atap dan kabin ), pembuatan box dan pertakitan bak angkut
pada kendaraan motor roda tiga yang sekarang ini banyak diproduksi industri otomotif di dalam
negeri. Jenis kendaraan ini sangat fleksibel karena sebagai alat angkut barang yang bisa beroperasi
pada ruas jalan yang sempit. Bahan pelat yang digunakan adalah jenis baja JIS G 3141 SPCC – SD
merupakan jenis baja karbon rendah dengan kadar karbon 0,051%. Pertimbangan teknis
penggunaan bahan ini adalah bersifat mudah dilas dan mudah dibentuk.
Las titik merupakan salah satu cara pengelasan resistansi listrik, pada pengelasan ini ada
tiga faktor yang perlu diperhatikan yaitu : arus pengelasan dalam amper, tahanan listrik antara
elektroda dalam ohm dan waktu dalam detik. Faktor – faktor tersebut akan berperan pada
pembentukan panas yang dihasilkan. Besar kecilnya arus listrik akan mempengaruhi ukuran
diameter nugget ( manik las ) dan panas yang ditimbulkan. Waktu dan jenis bahan yang bersifat
penghantar listrik ( konduktor ) mempengaruhi intensitas panas yang masuk. Sedangkan ketebalan
pelat mempengaruhi kecepatan rambatan panas yang terjadi baik pada saat pengelasan maupun
sesudah pengelasan ( pendinginan ). Hal ini akan berpengaruh pada pembentukan fassa akhir yang
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.35
terbentuk sehingga menentukan kekuatan sambungan las. Pemilihan parameter las titik yang tepat
akan berpengaruh pada perubahan sifat mekanis ( Wiryosumarto, H., Okumura, 1991 ).
1.1 Prinsip dasar
Pada dasarnya pengelasan titik merupakan proses penyambungan lembaran logam tipis.
Dalam pengelasan ini, dua pelat dijepit pada tempat sambungan dengan sepasang elektroda terbuat
dari chrome copper, dimana bahan tersebut mempunyai sifat konduktifitas listrik tinggi dan
tahanan kontak rendah. Arus listrik dialirkan dalam waktu relatif singkat dengan voltase rendah dan
kerapatan arus tinggi. Karena aliran listrik antara kedua elektroda harus melalui dua pelat yang
dijepit, maka pada tempat jepitan timbul panas yang tinggi menyebabkab logam tempat tersebut
mencair dan akhirnya tersambung. Pada proses ini sambungan mengalami tekanan selama proses
pemanasan yang diatur dengan cermat dan berlangsung dengan cepat. Hampir semua jenis logam
dapat di las dengan pengelasan titik, kecuali : timah putih, seng dan timbel agak sulit di las.
Besar arus pengelasan dibatasi oleh kemampuan transformer. Untuk memperoleh
sambungan las yang baik, ketiga variabel; arus, tahanan dan waktu perlu diperhatikan dan
ditentukan dengan cermat. Besaran ini tergantung pada tebal, jenis bahan dan jenis elektroda.
Waktu pengaliran arus sangat menentukan dan perlu ada tenggang waktu antara saat
sambungan las mulai dibentuk. Arus mulai mengalir, ini diatur oleh pengatur waktu dan dibiarkan
beberapa lama sampai las terbentuk. Arus dihentikan namun tekanan tetap ada sampai sambungan
las menjadi dingin, dengan demikian tidak terjadi busur antara elektroda dan sambungan. Tekanan
pada sambungan dapat berasal dari tenaga manusia, tekanan mekanik, udara, pemegasan ataupun
hidrolik. Penekanan harus dikendalikan dan diserasikan dengan arus pengelasan ( Amstead,at. al.,
1979).
2. METODOLOGI
2.1 Bahan penelitian
Pelat baja JIS G 3141 SPCC-SD dengan spesifikasi : kekuatan tarik 347 N/mm2, kekuatan
luluh 234,9 N/mm2, tebal pelat : 0,9 mm, 1,0 mm, 1,1 mm, komposisi kimia : 0,051 %C, 0,021
%Si, 0,216 %Mn, 0,010 %P, 0,011 %S, 0,050 %Al (PT. Essar Indonesia).
2.2 Peralatan dan standar pengelasan titik
Spot welding machines, model ARO 404 dengan spesifikasi ;
- Input power : 35 kVA
- Duty cycle : (16,4 ÷ 23,2) %
- Short circuit : 16.000 A
- Output Standart :14.400 A
- Open circuit : (1,2 ÷ 3,65) V
- Electrode force : 400 da N atau 4000 N
- Water consumption : 340 l/h
- Frequensi : (50 ÷ 63) Hz
Tabel 2.1 Standar pengelasan titik pelat baja lunak (Toyota Astra Motor)
2.3 Prosedur pengelasan
Pengelasan dilakukan pada 9 kondisi lasan atau eksperimen berdasarkan desain percobaan
(metode) Taguchi. Pada metode ini menggunakan 4 buah faktor sebagai variabel bebas yaitu :
waktu pengelasan (WT), arus pengelasan (WC), gaya penekanan (WF), tebal pelat (ST), dan 3 level
Panel
Thickness
(mm)
Optimum conditions Tip Diameter Effetiveness
Welding
Time
(Cycles)
Pressure
(N)
Welding
Current
(A)
d
(mm)
Min
D
(mm)
Shear
strengh
(N)
0.6
0.8
1.0
1.2
1.6
7
8
10
12
16
1.471
1.863
2.206
2.648
3.530
6.600
7.800
8.800
9.800
11.500
4.0
4.5
5.0
5.5
6.3
10
10
13
13
13
2.942
4.315
5,982
7.449
10.395
C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.36
untuk setiap faktor sebagai variabel terikat yaitu level 1 terdiri dari : 9 cycles; 7800 A; 1800 N; 0,9
mm, level 2 terdiri dari : 10 cycle; 8800 N; 2200 N; 1,0 mm, level 3 terdiri dari : 11 cycles; 9800
N; 2600 N; 1,1 mm. Sehingga matriks orthogonal yang dipilih adalah L9(34).
Tabel 2.2 Matriks ortogonal L9(34)
Eksperimen Waktu las
(cycles)
Arus las
(Amper)
Gaya tekan
(N)
Tebal pelat
(mm)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
9
9
10
10
10
11
11
11
7800
8800
9800
7800
8800
9800
7800
8800
9800
1800
2200
2600
2200
2600
1800
2600
1800
2200
0,9
1,0
1,1
1,1
0,9
1,0
1,0
1,1
0,9
2.4 Spesimen dan pengujian tarik geser
Spesimen uji tarik geser dibuat dari 2 buah pelat yang sama ukurannya kemudian diberi
satu buah lasan titik dengan cara sambungan tumpang (lap joint). Pembuatan specimen, pengelasan
dan pengujian dilakukan di bengkel produksi dan laboratorium teknik bahan jurusan Teknik Mesin
POLINES dengan standar ANSI/AWS/SAE/D8.9-97.
Gambar 2.1 Spesimen uji tarik geser (Marashi at.al.,2007; Goodarzi at.al., 2008)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengujian tarik geser menunjukkan bahwa patahan geser terjadi pada manik las, HAZ
dan HAZ – menjalar pada pelat dasar. Hal ini terjadi karena pengaruh variasi : arus las, tebal pelat,
gaya penekanan dan waktu las.
Gambar 3.1 Pengujian Tarik Geser Gambar 3.2 Hasil Pengujian Tarik Geser
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.37
Tabel 3.1 Hasil pengujian tarik geser pengelasan titik baja JIS G 3141 SPCC-SD,3 replikasi:
Eksp
Diameter nugget
(mm) Diameter HAZ (mm) Gaya geser (N) Tegangan
geser
(N/mm2)
Kondisi
patahan
geser 1 2 3 Rt 1 2 3 Rt 1 2 3 Rt
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4,4
4,8
5
5
4,5
4,9
4,7
5
4,5
4,5
4,9
5
5
4,4
5,1
4,8
5
4,5
4,5
4,9
5
5
4,5
5
4,7
5
4,5
4,5
4,9
5
5
4,5
5
4,7
5
4,5
7,5
9
10
7,5
7,5
8,8
7,5
9
9,2
7,5
9
10
7,5
7,5
8,9
7,6
9
9,4
7,5
9
10
7,5
7,5
9
7,4
8,9
9,3
7,5
9
10
7,5
7,5
9
7,5
9
9,3
4300
5500
6850
5400
4600
6850
4600
6000
5600
4250
5600
6900
5500
4500
6900
4800
5800
5500
4300
5700
6900
5400
4750
6800
4700
6050
5500
4283
5600
6883
5433
4617
6850
4700
5950
5533
269
297
351
277
290
349
271
303
348
Manik las
HAZ
HAZ-pelat
Manik las
HAZ
HAZ-pelat
Manik las
HAZ
HAZ-pelat
Tabel 3.2 Matrik orthogonal L9(34) dengan hasil eksperimen :
Eksperimen Tebal Pelat (mm) A B C D Tegangan
Geser (N/mm2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0,9
1,0
1,1
1,1
0,9
1,0
1,0
1,1
0,9
1
1
1
2
2
2
3
3
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
2
3
1
3
1
2
1
2
3
3
1
2
2
3
1
269
297
351
277
290
349
271
303
348
3.1 Rata – rata total hasil eksperimen adalah :
3.2 Rata – rata respon untuk masing – masing faktor adalah :
3.2.1 Pengaruh faktor A (waktu las) :
Faktor A level 1 yaitu pada eksperimen 1,2,3.
Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 1.
Faktor A level 2 yaitu pada eksperimen 4,5,6.
Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 2.
Faktor A level 3 yaitu pada eksperimen 7,8,9.
Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 3.
3.2.2 Pengaruh faktor B (arus las) :
Faktor B level 1 yaitu pada eksperimen 1,4,7.
Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 1.
Faktor B level 2 yaitu pada eksperimen 2,5,8.
Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 2.
Faktor B level 3 yaitu pada eksperimen 3,6,9.
Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 3.
C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.38
3.2.3 Pengaruh faktor C (gaya tekan) :
Faktor C level 1 yaitu pada eksperimen 1,6,8.
Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 1.
Faktor C level 2 yaitu pada eksperimen 2,4,9.
Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 2.
Faktor C level 3 yaitu pada eksperimen 3,5,7.
Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 3.
3.2.4 Pengaruh faktor D (tebal pelat) :
Faktor D level 1 yaitu pada eksperimen 1,5,9.
Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 1.
Faktor D level 2 yaitu pada eksperimen 2,6,7.
Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 2.
Faktor D level 3 yaitu pada eksperimen 3,4,8.
Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 3.
Tabel 3.3 Respon dari pengaruh factor
Parameter
Level Selisih (maks-min) Ranking
1 2 3
Waktu Las (A)
Arus Las (B)
Gaya Tekan (C)
Tebal Pelat (D)
305,67
272,33
307,00
302,33
305,33
296,67
307,33
305,67
307,33
349,33
304,00
299,67
2,00
77,00
3,33
6,00
4
1
3
2
Gambar 3.3 Grafik respon dari pengaruh faktor
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.39
Kondisi optimum adalah A3, B3, C2, D2. Dalam kasus ini dipilih level yang paling tinggi
karena karakteristik kualitas kuat geser mempunyai target semakin besar semakin baik (larget – the
better)
3.3 Prediksi kuat geser pada kondisi optimum.
Yaitu 4 faktor yang paling signifikan : A3, B3, C2 dan D2.
Prediksi kuat geser :
4. KESIMPULAN
Telah dilakukan penelitian eksperimen dengan analisa desain taguchi bahwa variable
parameter lasan terbaik terhadap kuat geser adalah sebagai berikut : untuk pelat 0,9 mm ; arus las
9,8 kA, waktu las 11 cycles, gaya penekanan 2,2 kN dicapai kekuatan geser terbesar 348 N/mm2,
untuk pelat 1 mm ; arus las 9,8 kA, waktu las 10 cycles, gaya penekanan 1,8 kN dicapai kekuatan
geser terbesar 349 N/mm2, untuk pelat 1,1 mm ; arus las 9,8 kA, waktu las 9 cycles, gaya
penekanan 2,6 kN, dicapai kekuatan geser terbesar 351 N/mm2. Kondisi patahan geser ketiganya
terjadi pada daerah HAZ menjalar ke pelat dasar, ini akibat pengaruh peningkatan arus pengelasan,
sedangkan pemakaian arus kurang dari 9,8 kA yaitu 8,8 kA kondisi patahan geser pada daerah
HAZ dan 7,8 kA kondisi patahan geser pada manik las. Ranking pengaruh faktor yang signiftikan
adalah : arus las, ketebalan pelat, gaya penekanan disusul waktu las, dengan prediksi kuat geser
pada kondisi optimal adalah 351 N/mm2.
DAFTAR PUSTAKA
Amstead, B.H., Ostwald, P.F., Begeman, M.L., 1979, Manufacturing Processes, 7th Edition, John
Wiley & Sons, New York, USA.
Aslanlar, S., Ogur, A., Ozsarac, U., Ilhan, E., 2007, Welding Time Effect on Mechanical Properties
of Automotive Sheets in Electrical Resistance Spot Welding, Journal of Materials & Design,
Volume 29, 1427 – 1431.
Goodarzi, M., Marashi, S.P.H., Pouranvari, M., 2009, Dependence of Overload Performance on
Weld Attributes for Resistance Spot Welded Galvanized Low Carbon Steel, Joutnal of
Materials Processing Technology, 209, 4379 – 4384.
Marashi, P., Amirabdollahian, S., Pouranvari, M., Abedi, A., Goodarzi, M., 2008, Microstructure
and Failure Behavior of Dissimilar ResistanceSpot Welds Between Low Carbon
Galvanized and Austenitic Stainless Steels, Journal of Materials Science and Engineering,
A 480, 175 – 180.
Masoumi, M., Marashi, S.P.H., Pouranvari, M., Sabbaghzadeh, J., Torkamany, M.J., 2009,
Assesment of The Effect of Laser Spot Welding Parameters on The Joint Quality Using
Tagucghi Method, Journal of Metal, 1 – 8.
Pouranvari, M., Marashi, P., 2009, Failure Behavior of Resistance Spot Welded Low Carbon Steel
in Tensile – Shear and Coach – Peel Tests : A Comparative Study, Journal Association of
Metallurgical Engineers of Serbia, Vol 15(3), 149 – 157.
Suyanto, 2009, Desain Eksperimen dengan Metode Taguchi, Edisi 1, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Wiryosumarto, H., Okumura, T., 1991, Teknologi Pengelesan Logam, Cetakan 5, Pradnya
Paramita, Jakarta
Zhou, M., Hu, S.J., Zhang, H., 1999, Critical Specimen Sizes for Tensile – Shear Testing of Steel
Sheers, The Welding Journal Research Suplement, 305 – 313.
C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.40
KAJIAN KOMPREHENSIF STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN
TERHADAP PADUAN Al-7,1Si-1,5Cu HASIL PENGECORAN
DENGAN METODE EVAPORATIVE
Wijoyo*1)
, Achmad Nurhidayat1)
dan Osep Teja Sulammunajat2)
1)
Teknik Mesin, Universitas Surakarta, Jl. Raya Palur Km. 5 Surakarta 57772 2)
Politeknik Manufaktur Ceper, Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten 57465 *)
E-mail : joyowi@yahoo.co.id
Abstrak
Proses pengecoran masih banyak menjadi pilihan utama pada proses produksi di industri.
Pilihan pada pengecoran ini disebabkan karena proses pengerjaan lain sangat tidak mungkin
dilakukan, misalnya pada pembuatan komponen-komponen otomotif, rumah pompa, poros,
baling-baling dan lain-lain. Metode pengecoran dengan menggunakan polystyrene foam
sebagai pola cetakan yang ditimbun dalam pasir cetak merupakan metode pengecoran
evaporative. Metode ini akan menghasilkan coran yang sesuai dengan pola cetakan yang
dibentuk. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji struktur mikro dan kekerasan paduan Al-
7,1Si-1,5Cu hasil coran yang dilakukan dengan metode evaporative. Bahan utama penelitian
ini adalah paduan Al-7,1Si-1,5Cu, polystyrene foam sebagai pola cetakan dan pasir cetak.
Pengecoran paduan Al-7,1Si-1,5Cu dilakukan dengan cara proses peleburan pada dapur
krusibel dan dituang pada variasi temperatur tuang 670, 700 dan 730oC. Pengujian hasil
coran meliputi pengujian foto struktur mikro dan uji kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa struktur mikro hasil pengecoran berubah dari eutektik silikon yang berupa serpihan-
serpihan panjang dan tebal pada temperatur tuang rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek
dan tipis diantara dendrite pada temperatur tuang tinggi. Nilai kekerasan semakin menurun
seiring dengan meningkatnya temperatur tuang pada temperatur tuang 670, 700 dan 730oC,
yaitu berturut-turut adalah 124,2 HB, 102 HB dan 96 HB.
Kata kunci : paduan Al-7,1Si-1,5Cu, struktur mikro, kekerasan, evaporative, polystyrene foam
PENDAHULUAN
Proses pengecoran masih banyak menjadi pilihan utama pada proses produksi di industri.
Pilihan pada pengecoran ini disebabkan karena proses pengerjaan lain sangat tidak mungkin
dilakukan, misalnya pada pembuatan komponen-komponen otomotif, rumah pompa, poros, baling-
baling dan lain-lain. Penggunaan aluminium dalam industri sangat beragam. Standar mutu dari
aluminium paduan ditentukan oleh komposisi kimia paduannya seperti: Cu, Si, Mg, Zn, Mn, Ni.
Paduan aluminium dengan silikon (Al-Si) sering digunakan pada komponen-komponen mesin
kendaraan seperti piston dan blok mesin. Paduan Al-Si adalah material yang digunakan hampir 85-
90% dari total aluminium paduan produk pengecoran. Kandungan silikon dalam paduan aluminium
jenis ini menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti sifat mampu cor yang baik, mudah
dilakukan proses permesinan, dan ketahanan terhadap korosi yang baik.
Ada dua kelompok pengecoran yang sering digunakan yaitu pengecoran cetakan permanen
dan pengecoran cetakan non permanen. Pengecoran cetakan permanen adalah proses pengecoran
dimana cetakan dapat digunakan berulang kali. Pengecoran jenis ini terdiri dari pengecoran cetakan
logam, pengecoran cetakan logam bertekanan, dan pengecoran sentrifugal. Pengecoran cetakan non
permanen adalah proses pengecoran dimana cetakan hanya dapat dipakai sekali saja karena untuk
mengeluarkan benda kerja cetakan harus dihancurkan. Jenis pengecoran ini terdiri dari pengecoran
cetakan pasir, pengecoran invesmen, dan pengecoran evaporative.
Metode pengecoran dengan menggunakan polystyrene foam sebagai pola cetakan yang
ditimbun dalam pasir cetak merupakan metode pengecoran evaporative. Metode ini akan
menghasilkan coran yang sesuai dengan pola cetakan yang dibentuk. Logam cair akan mengisi pola
cetakan setelah pola cetakan menguap akibat panas. Benda dengan ukuran besar dan rumit dapat
diproduksi dengan cara ini, misalnya blok mesin seperti dperlihatkan pada Gambar 1.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.41
Gambar 1. Pola cetakan polystyrene foam dan hasil coran blok mesin
(www.lostfoam.com)
Komposisi paduan aluminium sangat berpengaruh terhadap sifat mampu alir logam cair.
Paduan aluminium murni dan paduan eutektik mempunyai mampu alir yang baik, hal ini
disebabkan kerana jarak pembekuan yang pendek. Sebaliknya paduan yang mempunyai jarak
pembekuan yang panjang mempengaruhi sifat mampu alir menjadi jelek (Campbell, 2003).
Temperatur pengecoran mempengaruhi pembentukan intermetallics hasil coran.
Peningkatan temperatur tuang akan meningkatkan jumlah α-AIFeSi dan menurunkan jumlah β-
AlFeSi (Albonetti, 2000).
Droke (2006), melakukan penelitian dengan variasi temperatur tuang 1450, 1475 dan
1500oF, saluran turun horizontal dan vertical dengan dimensi 5 x 1 x 0,625 in, serta saluran masuk
adalah 1,5 x 1 x 0625 in. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat mampu alir logam pada
temperatur tuang 1450oF sangat jelek karena banyaknya void atau ruang kosong pada hasil coran,
sedangkan pada temperatur tuang 1500oF sifat mampu alir logam semakin baik dengan sedikit void
atau ruang kosong.
Bichler (2002), hasil penelitian pada variasi temperatur tuang 670, 710 dan 740oC,
ketebalan coating 35 Bc (low density) dan 45 Bc (high density), serta menggunakan pola cetakan
dengan variasi ketebalan 1 dan 1,5 cm, panjang 10 cm dan lebar 3,2 cm menunjukkan bahwa
peningkatan temperatur tuang semakin meningkatkan panjang mampu alir dengan menggunakan
cetakan pasir panas dan cetakan pasir dingin pada pola cetakaan dengan coating 45 Bc.
Ivan (2009), dengan variasi temperatur tuang 680, 710 dan 740oC dengan ketebalan pola
cetakan 3, 5, 7 dan 11 mm, serta bahan paduan aluminium 356,1 menunjukkan hasil bahwa dengan
meningkatnya temperatur tuang dari 680oC sampai 740
oC maka sifat mampu alir logam cair
meningkat sebesar 42,26%.
Pengaruh bahan cetakan pada tingkat pendinginan dipengaruhi oleh kombinasi endotermik
foam dan sifat cetakan. Dengan mempertimbangkan keseimbangan energi dan suhu awal maka
dapat digunakan untuk memprediksi total waktu pembekuan. Bentuk dendrit dipengaruhi oleh
waktu pembekuan dari logam cair (Ajdar, 2001).
Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur mikro dan kekerasan paduan Al-7,1Si-1,5Cu
hasil coran yang dilakukan dengan metode evaporative.
METODOLOGI
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian adalah paduan aluminium, polestyrene foam sebagai bahan pola cetakan
dan pasir cetak yang terdiri dari pasir kuarsa, bentonit 7,5%-9,1%, air 3,7%-4,5% dan bahan
tambahan debu karbon.
Tabel 1. Komposisi kimia paduan aluminium
Unsur Si Fe Cu Mn Mg Cr Ni Zn
% 7,11 2,10 1,49 0,189 0,191 0,0174 0,211 3,40
Unsur Sn Ti Pb Be Ca Sr V Zr
% 0,0538 0,0313 0,194 <0,0001 0,0675 <0,0005 0, 0164 0,0288
C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.42
Peralatan yang digunakan meliputi dapur krusibel dengan bahan bakar arang, pemotong
styrofoam elektrik, wadah pasir, thermokopel tipe K, kowi, tang panjang, mikroskop optik, alat uji
komposisi, jangka sorong dan peralatan keselamatan kerja.
Proses Pengecoran
Pola cetakan dibuat dengan menggunakan polystyrene foam, ketebalan pola cetakan adalah
5 dan 10 mm. Wadah pasir cetak berbentuk kotak yang digunakan untuk menempatkan pola
cetakan dan ditutupi dengan pasir cetak. Peleburan aluminium dilakukan dalam dapur krusibel
dengan temperatur tuang adalah 670, 700 dan 730oC.
Pengujian Hasil Coran
Pengujian hasil coran meliputi pengamatan foto struktur mikro yang berfungsi untuk
mengetahui ada atau tidaknya perubahan struktur mikro akibat adanya temperatur tuang yang
berbeda. Hal ini penting untuk diketahui, karena struktur mikro sangat erat kaitannya dengan sifat
mekanis dari hasil coran. Pengujian mekanis yang dilakukan adalah pengujian kekerasan dengan
mesin uji kekerasan brinel.
Gambar 2. Pola cetakan polystyrene foam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Struktur Mikro
Struktur mikro hasil coran paduan aluminium pada pola cetakan polystyrene foam dengan
temperatur tuang 670, 700 dan 730oC terlihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa
struktur mikro paduan aluminium secara umum terlihat mengalami perubahan dengan naiknya
temperatur penuangan. Aluminium dendrite yang mendominasi permukaan coran pada temperatur
penuangan yang rendah menjadi lebih bulat atau hampir bulat pada temperatur penuangan yang
tinggi. Meningkatnya temperatur penuangan eutektik silikon yang berupa serpihan-serpihan
panjang dan tebal pada temperatur penuangan rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek dan tipis
diantara dendrite pada temperatur penuangan tinggi.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.43
Gambar 3. Struktur mikro paduan aluminium pada temperatur tuang.
(a) 670oC, (b) 700
oC dan (c) 730
oC (100X)
Temperatur tuang yang tinggi akan menyediakan waktu pembekuan yang lebih panjang
dan struktur mikro yang tumbuh lebih kasar. Venkataramani dkk., (1999) kecepatan pembekuan
berkurang dengan meningkatnya temperatur penuangan pada cetakan pasir dan metode pengecoran
evaporative.
Pertumbuhan eutektik silikon pada temperatur tuang rendah terdapat diantara DAS
(Dendrite Arm Spacing) yang sempit sedangkan pada temperatur tuang yang tinggi Si terurai
menjadi lebih luas diantara DAS. Albonetti (2000), meningkatnya kecepatan pembekuan jarak
antara dendrite semakin berkurang, eutektik silikon pada temperatur tuang rendah memiliki waktu
pembekuan yang singkat dan pada ruang yang sempit sehingga struktur yang dihasilkan berbentuk
serpihan panjang dan tebal. Sebaliknya, eutektik silikon pada temperatur pembekuan tinggi
mempunyai waktu pembekuan yang lebih panjang sehingga silikon terurai membentuk struktur
mikro yang lebih pendek dan tipis.
Pengujian Kekerasan
Nilai kekerasan paduan aluminium hasil coran pada pola cetakan polystyrene foam dengan
temperatur tuang 670, 700 dan 740oC dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4, menunjukkan bahwa
nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium mengalami penurunan dengan naiknya temperatur
tuang. Hal ini ada hubungannya dengan pengaruh temperatur tuang terhadap struktur mikro. Nilai
kekerasan tertinggi terjadi pada temperatur tuang 670oC yang mencapai 124,2 HB, sedangkan nilai
kekerasan terendah terjadi pada temperatur tuang 730oC yang mencapai 96 HB.
a
100 µm
b
100 µm
c
100 µm
C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.44
Gambar 4. Nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium
pada berbagai temperatur tuang
Temperatur tuang yang rendah mengakibatkan laju pendinginan yang cepat, sehingga
struktur mikro yang terbentuk berupa aluminium dendrite mendominasi permukaan coran, serta
eutektik silikon diantara dendrite dengan bentuk panjang dan tebal. Temperatur tuang yang tinggi
mengakibatkan laju pendinginan yang lambat, sehingga struktur mikro aluminium dendrite menjadi
bulat panjang atau mendekati bulat, serta eutektik silikon menjadi serpihan-serpihan pendek dan
halus diantara dendrite. Struktur mikro eutektik silikon memiliki karakteristik mekanis yang keras
sehingga mempengaruhi kekerasan bahan. Struktur eutektik silikon berupa serpihan-serpihan
panjang meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik (ASM handbook vol.15, 1992).
Temperatur tuang sangat berpengaruh terhadap pembentukan struktur mikro, sedangkan struktur
mikro berpengaruh terhadap nilai kekerasan bahan. Peningkatan temperatur tuang akan mengurangi
nilai kekerasan, hal ini disebabkan laju pendinginan yang lambat sehingga terbentuk struktur mikro
eutektik silikon yang semakin banyak dan semakin tipis yang cenderung bersifat lunak.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan:
1. Meningkatnya temperatur tuang logam cair mengakibatkan struktur mikro berubah dari
eutektik silikon yang berupa serpihan-serpihan panjang dan tebal pada temperatur tuang
rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek dan tipis diantara dendrite pada temperatur tuang
tinggi.
2. Nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium mengalami penurunan dengan naiknya
temperatur tuang. Nilai kekerasan tertinggi terjadi pada temperatur tuang 670oC yang
mencapai 124,2 HB, sedangkan nilai kekerasan terendah terjadi pada temperatur tuang 730oC
yang mencapai 96 HB.
DAFTAR PUSTAKA
Ajdar, R., 2001. Effect Of Mold Materials On Solidification, Microstructure And Fluldlty Of A356
Alloy In Lost Foam Casting. Department of Materials Science and Engineering, University
of Toronto.
Albonetti, R., 2000. Porosity and Intermetallic Formation in Lost Foam Castings of 356 alloy.
The University of Western Ontario London, Ontario.
ASM International, 2004. ASM Metal Handbook Vol.15
Bichler, L., Ravindran, C., and Machin A., 2003. Chalengges In Lost Foam Casting of AZ91 alloy.
Material Science Forum Vols.426-432. Pp. 533-538
Campbell, J., 2003. Casting 2nd Edition. Butterworth-Heinemann. pp. 74
Droke, J.E., 2006. Magnesium Castability of AM60B in Lost Foam Casting Using Vakum
Assistance. Tennessee Technological University.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.45
Ivan J. A. K., 2009. Tesis. Pengaruh Temperatur Tuang, Kerapatan Polystyrene Foam dan Ukuran
Mesh Pasir Terhadap Mampu Alir, Sifat Mekanis, Struktur Mikro dan Munculnya Cacat
Aluminium Paduan 356,1 yang Dicor Dengan Metode Evaporative. Universitas Gadjah
Mada.
Khomamizadeh dan Ghasemi, A., 2004. Evaluation of Quality Index of A-356 Aluminum Alloy by
Microstructural Analysis. Sharif University of Technology.
Kim, K., and Lee, K., 2005. Effect of Proses Parameters on Porosity in Aluminum Lost Foam
Proses. Journal Material Science Vol. 21 No. 5
MacKenzie D. S., and Totten, G.E., 2006. Analytical Caracterization of Aluminium, Steel, And
SuperAlloy. Taylor & Francis Group. pp. 9
Mekanikal, http://indonesia-mekanikal.blogspot.com., Teknik pengecoran logam. 8/4/2009.
Mirbagheri, S. H. M., Silk, J. R., and Davami, P., 2004. Modelling of Foam Degradation in Lost
Foam Casting Process. Journal of Material science vol. 39. pp.4593-44603.
Venkataramani, R., Simpson R., and Ravinrran, C., 1995. Effec of Melt Superheat on Maximum
Nuclei Density in A356 Alloy. Elsevier Science. Material Characterization vol. 38 pp 81-92.
www.lostfoam.com, 5/7/2011
www.lostfoam.com/assets/content/learning_center/pdf/ironcasting.pdf, 5/7/2011
C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.46
PENGARUH ARAH SERAT GELAS DAN BAHAN MATRIKS
TERHADAP KEKUATAN KOMPOSIT AIRFOIL PROFILE FAN BLADES
Carli*1)
, S. A. Widyanto2)
, Ismoyo Haryanto2)
1)
Jurusan Teknik mesin, Politeknik Negeri Semarang
Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50061 2)
Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang
Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50275 *)
E-mail: carliebandung@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang analisis pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks
terhadap kekuatan mekanik pada komposit airfoil profile fan blade. Spesimen penelitian
menggunakan serat gelas / epoxy dan serat gelas / polyester. Serat gelas yang digunakan jenis
woven Roving, dengan jumlah lapisan serat sebanyak 6 lembar, arah serat 0/90˚ dan ± 45˚
dan fraksi volume serat masing-masing 20%. Serat gelas dipilih karena memiliki kekuatan,
kekakuan, ringan, tahan terhadap korosi, serta tahan temperatur tinggi sehingga cocok untuk
pembuatan elemen mesin seperti dalam pembuatan automobile, pesawat terbang maupun
maritim. Pemilihan metode dalam pembuatan sampel airfoil profile fan blade adalah dengan
metode Hand Lay-Up, metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan tidak
memerlukan banyak biaya. Alat untuk menguji spesimen adalah mesin uji bending, dengan
standar uji ASTM D 6272, dengan metode Four-Point Bending, sedangkan untuk uji tarik
menggunakan mesin uji tarik (selvopulser) dengan standar uji ASTM D 3039. Hasil pengujian
tarik dan bending menunjukkan bahwa airfoil profile fan blade dengan bahan serat gelas /
epoxy tegangan tarik maksimum dan tegangan bending lebih tinggi bila dibandingkan dengan
komposit serat gelas / polyester. Sedangkan untuk arah serat menunjukkan bahwa komposit
serat gelas dengan orientasi serat 0/90˚memiliki kekuatan tarik maksimum dan Modulus
Elastisitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan orientasi serat ±45˚. sebaliknya dilihat dari
kelenturannya komposit orientasi serat ±45˚ nilai defleksinya lebih tinggi (lebih lentur).
Kata kunci: Komposit, metode Hand Lay-Up, serat gelas / epoxy, serat gelas / polyester
PENDAHULUAN
Propeller banyak digunakan dalam industri penerbangan, maritim, dan mesin energi,
seperti pembuatan pesawat terbang, kapal laut, hovercraft, dan berbagai jenis turbin. Propeller
bersama komponen lain seperti hub, poros, bantalan, pengatur sudut pitch propeller, dan sumber
tenaga, membentuk satu sistem kecil yakni sistem penggerak propeller, yang merupakan bagian
dari sistem yang lebih besar. Propeller yang sering digunakan adalah jenis sentrifugal fan. Disebut
sentrifugal fan karena fan jenis ini mengalirkan udara dari daerah masukan ( inlet ) menuju daerah
keluaran ( outlet ) dengan arah radial karena gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh putaran
impeller, selanjutnya udara yang secara radial telempar keluar dari impeller dengan kecepatan dan
tekanan yang tinggi. Salah satu komponen utama yang sering mengalami kerusakan ( patah ) pada
Propeller adalah fan blades (baling-baling), sehingga perlu dikembang kan alternatif bahan
pembuat fan blades yang lebih baik. Pada penerapannya, untuk memperoleh efisiensi yang tinggi,
fan blades harus memiliki karakteristik tertentu, seperti ringan, kaku, kuat, dan tidak mudah
terpengaruh oleh lingkungan (seperti korosi). Karena itu material untuk pembuatan fan blades ini
harus dipilih secara tepat.
Perkembangan teknologi material telah melahirkan suatu material jenis baru yang dibangun
secara bertumpuk dari beberapa lapisan. Material inilah yang disebut material komposit. Material
komposit terdiri dari lebih dari satu tipe material dan dirancang untuk mendapatkan kombinasi
karakteristik terbaik dari setiap komponen penyusunnya. Pada dasarnya, komposit dapat
didefinisikan sebagai campuran makroskopik dari serat dan matriks. Serat merupakan material
yang umumnya jauh lebih kuat dari matriks dan berfungsi memberikan kekuatan tarik, sedangkan
matriks berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan.
Dibanding dengan material konvensional keunggulan komposit antara lain yaitu memiliki kekuatan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.47
yang dapat diatur (tailorability), tahanan lelah (fatigue resistance) yang baik, tahan korosi, dan
memiliki kekuatan jenis (rasio kekuatan terhadap berat jenis) yang tinggi. Manfaat utama dari
penggunaan komposit adalah mendapatkan kombinasi sifat kekuatan serta kekakuan tinggi dan
berat jenis yang ringan. Dengan memilih kombinasi material serat dan matriks yang tepat, dapat
dibuat suatu material komposit dengan sifat yang tepat sama dengan kebutuhan sifat untuk suatu
struktur tertentu dan tujuan tertentu pula.
Multi-Wing America’s telah populer dengan fan axialnya dengan berbagai tipe, salah
satunya adalah tipe air foil yang digunakan untuk hovercraft berbahan thermoplastik ( glass
reinforced polypropylene ) seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Jenis Fan Blade model airfoil dari Multi-Wing.
Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen fan blades (baling-baling) untuk hovercraft
dengan mengambil model fan blades dari Multi-Wing jenis air foil menggunakan bahan komposit
dengan pengikat (matriks) thermosetting jenis resin epoxy dan polyester, bahan tersebut dipakai
karena mempunyai ketahanan bahan kimia yang sangat baik dan mempunyai kekuatan yang sangat
tinggi, sedangkan bahan pengisinya (filler) menggunakan serat gelas dikarenakan bahan tersebut
menpunyai kekuatan yang tinggi dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap bahan kimia dan
panas.
Sifat-sifat fisik dan mekanik
Pada umumnya pemilihan bahan matriks dan serat memainkan peranan penting dalam
menentukan sifat-sifat mekanik komposit. Gabungan matriks dan serat dapat menghasilkan
komposit yang mempunyai kekuatan dan kekakuan yang lebih tinggi dari bahan konvensional. Dua
sifat mekanik penting dari tiap sistem resin adalah kekuatan tarik dan kekakuan. (Gambar 1.2)
menunjukkan hasil tes yang dilakukan pada polyester komersial, vinylester dan epoxy pada
pengerasan 20 ° C dan 80 ° C. Setelah periode pengerasan selama tujuh hari pada suhu kamar dapat
dilihat bahwa epoxy akan memiliki sifat yang lebih tinggi dari polyester dan vinylester untuk
kekuatan dan kekakuan.
Gambar 2. Perbandingan kekuatan tarik dan modulus dari resin (www.gurit.com ,diakses 2011).
Unsur – Unsur Penyusun Komposit
Unsur – unsur utama penyusun komposit adalah matrik dan serat. Bahan – bahan
pendukung pembuatan komposit meliputi katalis, akselerator, gelcoat, dan pewarna. Bahan
Tensile strength: 85 MPa
Izod impact strength notched (at 73oF): 10.0 kJ/m²
Izod impact strength notched (at 32oF): 8.5 kJ/m²
Izod impact strength notched (at -40oF): 7.0 kJ/m²
Flexural modulus: 6.0 GPa
C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.48
tambahan tersebut memiliki fungsi yang sangat penting untuk menentukan kualitas suatu produk
komposit. Karena material komposit terdiri dari penggabungan unsur – unsur utama yang berbeda,
maka munculah daerah perbatasan antara serat dan matrik (Santoso, 2002).
a. Serat Gelas
Serat gelas mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pada penggunaannya, serat gelas
disesuaikan dengan sifat/karakteristik yang dimilikinya. Serat gelas terbuat dari silica, alumina,
lime, magnesia dan lain-lain. Karena biaya produksi rendah dan proses produksi sangat sederhana,
memberikan serat gelas unggul dalam ratio (perbandingan) harga dan performance. Serat gelas
banyak digunakan di industri-industri otomotif seperti pada panel panel body kendaraan, bahkan
sepeda motor sekarang seluruh body terbuat dari komposit yang berpenguat serat gelas.
b. Bahan Matriks
Menurut Gibson (1994), bahwa matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan
polimer, logam, maupun keramik. Matriks adalah fasa dalam komposit yang mempunyai bagian
atau fraksi volume terbesar (dominan).
Syarat utama yang harus dimiliki oleh bahan matriks adalah bahan matriks tersebut harus
dapat meneruskan beban, sehingga serat harus bisa melekat pada matriks dan kompatibel antara
serat dan matriks. Umumnya matriks yang dipilih adalah matriks yang memiliki ketahanan panas
yang tinggi. Sebagai bahan penyusun utama dari komposit,matriks harus mengikat penguat (serat)
secara optimal agar beban yang diterima dapat diteruskan oleh serat secara maksimal sehingga
diperoleh kekuatan yang tinggi.
Kekuatan Tarik Komposit
Salah satu pengujian tegangan dan regangan (stress strain test) adalah pengujian tarik
(tension test). Dari pengujian ini dapat kita ketahui beberapa sifat mekanik material yang sangat
dibutuhkan dalam desain rekayasa. Hasil dan pengujian ini adalah grafik beban versus
perpanjangan (elongation). Beban dan elongation dapat dirumuskansebagai berikut :
Engineering Stress (σ )
σ = ...................... ( 1 )
dimana:
F = Beban yang diberikan dalam arah tegak lurus terhadap penampang spesimen ( N )
Ao = Luas penampang mula-mula spesimen sebelum diberikan pembebanan ( m2 )
σ = Engineering Stress ( Mpa )
Engineering Strain (ε )
…………… (2)
dimana :
ε = Engineering Strain
l0 = Panjang mula-mula spesimen sebelum diberikan pembebanan
Δl = Pertambahan panjang
Metoda pengujian dilakukan dengan pengujian tarik terhadap sampel komposit dengan
menggunakan standar pengujian ASTM D 3039.
Kekuatan Bending (Flexural Strength) Untuk mengetahui kekuatan bending suatu material dapat dilakukan dengan pengujian
bending terhadap material komposit tersebut. Kekuatan bending atau kekuatan lengkung adalah
tegangan bending terbesar yang dapat diterima akibat pembebanan luar tanpa mengalami deformasi
yang besar atau kegagalan. Besar kekuatan bending tergantung pada jenis material dan
pembebanan. Akibat pengujian bending, bagian atas spesimen mengalami tekanan, sedangkan
bagian bawah akan mengalami tegangan tarik. Dalam material komposit kekuatan tekannya lebih
tinggi dari pada kekuatan tariknya. Karena tidak mampu menahan tegangan tarik yang diterima,
spesimen tersebut akan patah, hal tersebut mengakibatkan kegagalan pada pengujian komposit.
Kekuatan bending pada sisi bagian atas sama nilai dengan kekuatan bending pada sisi bagian
bawah. Pengujian dilakukan dengan metoda four point bending dengan standard ASTM D 6272.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.49
Pada perhitungan kekuatan bending ini, digunakan persamaan :
σ = …………….( 3 )
dimana :
σ = Tegangan bending (MPa)
F = Beban /Load (N)
L = Panjang Span / Support span(mm)
b = Lebar/ Width (mm)
d = Tebal / Depth (mm)
Sedangkan untuk mencari modulus elastisitas bending mengunakan rumus
E = ……………..(4 )
dimana :
E = Modulus Elastisitas Bending (MPa)
F = Beban /Load (N)
L = Panjang Span / Support span(mm)
b = Lebar/ Width (mm)
d = Tebal / Depth (mm)
δ = Defleksi (mm
METODOLOGI PENELITIAN
a. Bahan penelitian
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fiberglass jenis E- Glass ( Woven
roving ), untuk matriks nya menggunakan Epoxy dan Polyester.
Gambar 3. Susunan Serat gelas Woven Roving dengan orientasi serat 0/90˚ dan ±45˚
b. Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan pengujian tarik dan bending terlebih dahulu dibuat spesimen fan
blades (baling-baling) dan spesimen uji tarik dan bending yang dibuat dalam bentuk pelat komposit
yang diproduksi dengan metode hand lay-up, dibuat dalam enam lapisan serat gelas jenis Woven
Roving (WR). Geometri dan dimensi spesimen uji tarik dan bending disesuaikan dengan standard
ASTM D 3039 dan standar ASTM D 6272 ( four point bending ).
(a) (b)
Gambar 4. Spesimen uji bending dan uji tarik (a), spesimen fan blades (baling-baling) (b)
C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.50
Pengukuran tegangan tarik spesimen didasarkan pada teori Hukum Hooke (Hooke Law).
Teori menyatakan bahwa suatu bahan berkelakuan secara elastis dan memperlihatkan suatu
hubungan liniear antara tegangan regangan yang disebut elastis secara linier.Variabel yang akan
diamati dalam penelitian ini yaitu beban atau gaya tarik sehingga mendapatkan nilai tegangan tarik
maksimumnya, pertambahan panjang yang menunjukkan regangan yang terjadi. Pada pengujian
bending dilakukan dengan metoda four point bending standard ASTM D 6272, variabel yang akan
diamati dalam penelitian ini yaitu beban yang diberikan dan defleksi yang terjadi pada setiap
pembebanan sampai batas maksimum (spesimen rusak ).
Metode pengolahan data pengujian dilakukan dengan analisis statistik pada Ms. Excel dan
perhitungan analitis matematis yang menerapkan teori Hukum Hooke. Data yang diperoleh berupa
grafik beban (gaya) dikembangkan secara perhitungan sehingga mendapatkan nilai tegangan tarik,
regangan dan modulus Elastisitas .
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasi uji tarik dan bending untuk komposit dengan matriks polyester dan Epoxy ditunjukkan
pada grafik dibawah ini :
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Diagram pengaruh orientasi serat dan bahan matriks terhadap kekuatan mekanik :
Tegangan tarik maksimum (a), Modulus Elastisitas (b), Momen Bending (c) dan Defleksi (d).
Dari Hasil diatas tegangan tarik maksimum, tegangan bending maksimum dan Modulus
Elastisitasnya komposit dengan orientasi serat 0/90˚ lebih tinggi bila dibandingkan dengan
komposit dengan orientasi serat ± 45˚, sebaliknya untuk kelenturan, komposit dengan orientasi
serat ± 45˚ lebih lentur dibandingkan dengan komposit orientasi serat 0/90˚.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.51
Tegangan bending maksimum komposit dengan matriks epoxy lebih tinggi bila
dibandingkan dengan komposit dengan matrks polyester, sebaliknya untuk kelenturan komposit
dengan matrks polyester lebih lentur dibandingkan dengan komposit matriks epoxy. Dari Modulus
Elastisitasnya komposit dengan matriks epoxy lebih tinggi bila dibandingkan komposit dengan
matriks polyester.
KESIMPULAN
Dari hasil hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari hasil uji kekuatan tarik diperoleh kekuatan tarik dan mudulus elastisitas terbesar terdapat
pada komposit dengan orientasi serat 0/90˚ .
2. Dari hasil uji kekuatan bending diperoleh kekuatan bending dan momen bending terbesar
terdapat pada komposit dengan orientasi serat 0/90˚
3. Defleksi terbesar terjadi pada serat dengan orientasi serat ± 45˚
4. Karakteristik Flexural Strength matriks epoxy lebih baik dari matrks polyester.
5. Karakteristik Tensile Strength matriks epoxy lebih baik dari matrks polyester
6. Bila dibandingkan dengan produk dari Multi Wing , hasil percobaan ini menunjukkan bahwa
bahan martiks epoxy dan polyester mempunyai tensile strength dan flexural modulus lebih
tinggi terutama pada orientasi serat 0/90˚.
DAFTAR PUSTAKA
Annual Book of ASTM Standards, D 3379- 75, “Standard Test Method for Tensile Strength and
Young’s Modulus Single-Filament Materials”, ASTM Standards and Literature References
for Composite Materials, 2nd ed., 34-37, American Society for Testing and Material,
Philadelphia, PA (1990).
Berthelot J.M.,1999, ”Composite Material : Mechanical Behavior and Structural Analysis”,
Spinger, New York
Gibson, F.R., 1994, “Principles of Composite material Mechanis”, International Edition”,
McGraw-Hill Inc, New York.
Kroschwitz, J. I., Grestle, F. P., 1987, Encyclopedia of Polymer Science and Engineering, 2nd ed.,
John Wiley and Sons Inc., New York.
Munasir, 2011. “Studi Pengaruh Orientasi Serat Fiber Glass Searah Dan Dua Arah Single Layer
Terhadap Kekuatan Tarik Bahan Komposit Polypropylen” Vol I No. 1 Surabaya.
www.gurit.com ,diakses 2011.
C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.52
PENGARUH TEKANAN INJEKSI PADA PENGECORAN CETAK TEKANAN TINGGI
TERHADAP KEKERASAN MATERIAL ADC 12
Sri Harmanto
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50061 E-Mail: Sri-harmanto@yahoo.co.id
Abstrak
Jumlah sepeda motor yang semakin banyak menyebabkan kebutuhan sepatu rem juga semakin
meningkat. Sepatu rem sepeda motor ini dibuat dengan proses pengecoran cetak tekanan
tinggi atau High Pressure Die Casting (HPDC). Hal ini mendorong para pengusaha Industri
Kecil Menengah (IKM) khususnya di Juwana, Pati , Jawa Tengah untuk memproduksi
komponen tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti pengaruh tekanan injeksi
terhadap kekerasan pada proses pengecoran cetak tekanan tinggi dengan material Aluminium
Die Casting 12 (ADC 12). Metode penelitian yang dilakukan adalah pemilihan material ADC
12, pembuatan mesin HPDC, proses pengecoran HPDC, pembuatan spesimen, pengujian
kekerasan, pengambilan data, dan analisa data. Variabel penelitian yang digunakan adalah
tekanan injeksi sebesar: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah
semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasannya juga semakin tinggi. Kekerasan tertinggi yang
dicapai material ADC 12 adalah 85,2 BHN pada tekanan injeksi 7 MPa.
Kata kunci : tekanan injeksi, kekerasan, HPDC, ADC 12
PENDAHULUAN
Tuntutan untuk menghasilkan sepatu rem sepeda motor sesuai produk original dengan
kekerasan sekitar 107,3 BHN (Harmanto, S., 2012) dan harga yang lebih murah merupakan
tantangan besar bagi Industri Kecil Menengah (IKM) di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Hal ini
dimungkinkan dapat dilakukan dengan proses pengecoran cetak tekanan tinggi atau High Pressure
Die Casting (HPDC). Namun hal ini belum dapat dilakukan karena IKM tersebut masih
menggunakan proses pengecoran konvensional secara gravitasi. Proses pengecoran gravitasi
dengan cetakan pasir ini menghasilkan kekerasan sangat rendah, yaitu sekitar 35 BHN (Raji A. dan
Khan R.H., 2006), sehingga belum sesuai dengan kekerasan sepatu rem sepeda motor produk
original. Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan pada
pengecoran HPDC dengan material Aluminium Die Casting 12 (ADC 12) untuk bahan sepatu rem
sepeda motor produk original.
Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah selain menghasilkan mesin HPDC
dengan unjuk kerja yang baik, juga meneliti pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan, serta
dengan material ADC 12 hasil proses HPDC dapat menghasilkan kekerasan sekitar 80 BHN
(Brinnel Hardness Number) sesuai standar BS (British standard) 1490 : 1998.
1.1 Pengaruh Tekanan Terhadap Kekerasan Pada Proses HPDC
Pengecoran HPDC adalah proses pengecoran dengan cara menginjeksikan logam cair ke
dalam cetakan dan memberikan tekanan selama pembekuan dalam ruang tertutup ( Masnur, D.,
2008).
Gambar 1.1 Proses pengecoran HPDC (Vinarcik, E.J.)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.53
Perbandingan pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan dari beberapa peneliti dapat
dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini :
Tabel 1.1 Pengaruh tekanan terhadap kekerasan (pada temperatur tuang 750 ºC)
No Peneliti Jenis Proses Tekanan Kekerasan
1 Masnur, D (2008) HPDC 2 MPa
3 MPa
4 MPa
72,0 BHN
76,5 BHN
80,0 BHN
2 Purwanto (2007) Squeeze 20 MPa
50 MPa
75 MPa
100 MPa
55 BHN
65 BHN
57 BHN
70 BHN
3 Raji A. dan Khan R.H.
(2006)
Squeeze 25 MPa
50 MPa
75 MPa
100 MPa
125 MPa
150 MPa
42,0 BHN
44,0 BHN
44,5 BHN
45,0 BHN
46,5 BHN
49,0 BHN
Kekerasan suatu material adalah ketahanan terhadap deformasi plastik atau deformasi
permanen apabila dikenakan gaya luar. Metode yang sering digunakan pada pengujian kekerasan
adalah Rockwell, Vickers, dan Brinnel (Callister, 2001). Skala kekerasan metode Rockwell dapat
dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini.
Tabel 1.2 Skala kekerasan metode Rockwell (ASM Handbook, Vol. 8, 2000)
Tabel 1.3 Komposisi kimia material ADC 12 (PT. PINJAYA LOGAM, Mojokerto, Jatim)
Komposisi kimia
Cu Si Mg Zn Fe Mn Ni Sn Pb Ti Cr Ca Al
1,78 10,56 0,25 0,85 0,85 0,17 0,06 0,02 0,07 0,04 0,03 0,001 85,32
Standar : JIS = ADC 12; ASTM = 384 ; BS = LM 2
Sedangkan sifat fisik dan mekanik material ADC 12 seperti Tabel 1.4 di bawah ini.
C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.54
Tabel 1.4 Sifat fisik dan mekanik material ADC 12 (BS 1490: 1998).
Sifat fisik dan mekanik Nilai Satuan
Densitas 2,74 gr/
Titik lebur 565- 575 ºC
Kekuatan tarik maksimum 180 MPa
Kekerasan 80 BHN
2. METODOLOGI
Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Melakukan survey ke IKM pengecoran di Juwana, Pati, Jawa Tengah
b. Melakukan survey mesin injeksi HPDC di POLMAN, Bandung, Jawa Barat
c. Merancang dan membuat mesin HPDC
d. Proses pengecoran HPDC dengan material ADC 12
e. Pengujian kekerasan
f. Analisa data dan Kesimpulan
Material yang digunakan pada penelitian ini adalah ADC 12
Variabel penelitian berupa tekanan injeksi sebesar: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Mesin HPDC hasil rancang bangun
b. Dapur pemanas
c. Uji kekekerasan
Mesin HPDC hasil rancang bangun seperti Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Mesin HPDC hasil rancang bangun
Keterangan :
1. Cetakan 6. Piston Chamber
2. Tuas penekan cetakan 7. Digital control temperature
3. Katup pengatur tekanan 8. Saklar pemanas
4. Tuas penekan hidrolik 9. Tombol ON
5. Manometer pengukur tekanan 10. Tombol OFF
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.55
Gambar 2.2 Dapur pemanas Gambar 2.3 Alat uji kekerasan
Gambar 2.4 Hasil coran HPDC Gambar 2.5 Pengujian kekerasan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian kekerasan pada spesimen disusun pada Tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Pengaruh tekanan terhadap kekerasan
No.
Tekanan,
MPa
Kekerasan, HRB (BHN)
1 2 3 Rata-rata,
BHN
1
3
47,0 (80,0)
45,0 (79,0)
48,5 (81,5)
79,8
2
4
47,0 (80,0)
51,5 (84,5)
48,0 (81,0)
81,8
3
5
49,0 (82,0)
50,0 (83,0)
50,0 (83,0)
82,6
4
6
51,0 (84,0)
50,0 (83,0)
52,0 (85,0)
84,0
5
7
52,0 (85,0)
51,5 (84,5)
53,0 (86,0)
85,2
Dari Tabel 3.1 di atas hubungan antara tekanan terhadap kekerasan kemudian diplot berupa
grafik seperti pada Gambar 3.1 di bawah ini.
C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.56
Gambar 3.1 Grafik hubungan antara tekanan terhadap kekerasan
Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasannya juga
semakin tinggi. Kekerasan tertinggi sebesar 85,2 BHN diperoleh pada tekanan 7 MPa.
Pengujian kekerasan dilakukan pada bagian permukaan (kulit) material ADC 12 untuk
mengetahui pengaruh tekanan injeksi: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa terhadap kekerasan.
Kenaikan tekanan akan menaikkan temperatur liquidus, kecepatan pendinginan,
menghambat pertumbuhan butir, dan ukuran butir menjadi lebih kecil (Ghomashchi, M.R., 1998).
Ukuran butir yang lebih kecil menyebabkan kekerasannya lebih tinggi (Askeland, 1985).
Kenaikan kekerasan karena pengaruh tekanan injeksi ini relatif kecil. Hal ini disebabkan
karena variabel tekanan injeksi yang dilakukan juga relatif kecil.
Kekerasan sepatu rem sepeda motor produk original adalah 107,3 BHN masih di atas
kekerasan material ADC 12 hasil proses HPDC. Untuk meningkatkan kekerasan material ADC 12
hasil proses HPDC dapat dilakukan dengan proses heat treatment (T6).
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
- Mesin HPDC hasil rancang bangun dapat berfungsi dengan baik.
- Tekanan injeksi berpengaruh terhadap tingginya kekerasan pada proses HPDC.
- Semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasan yang dicapai juga semakin tinggi.
- Kekerasan tertinggi 85,2 BHN pada tekanan 7 MPa sudah melampaui BS Standar, sebesar 80
BHN, namun masih di bawah kekerasan sepatu rem produk original sebesar 107,3 BHN.
- Untuk menaikkan kekerasan sesuai sepatu rem sepeda motor produk original sebesar 107,3 BHN,
perlu dilanjutkan dengan proses perlakuan panas.
DAFTAR PUSTAKA
Askeland, D.R., 1985, “The Science and Engineering of Publ., Material”, PWS, Boston, MA,
USA.
ASM Handbook, 2000, Mechanical Testing and Evaluation, Volume 8, ASM International.
Brown, J.R., 1999, Foseco Non-ferrous Foundryman’s Handbook, Butterworth-Heinemana.
Callister, W.D., Jr., 2001, Fundamental of Materials Science and Engineering, Departement of
Metallurgical Engineering, John Wiley & Sons, inc, New York.
Ghomashchi, A. Vikhrov, 2000, “Squeeze Casting : On Overview”, Journal Of Materials
Processing Tecnology 101 (2000) 1 -9.
Harmanto S., 2012, “Pengaruh Tekanan dan Tebal Coran pada Proses HPDC terhadap Kekerasan
dan Porositas Material ADC 12 untuk Sepatu Rem Sepeda Motor”, Tesis S-2 Teknik Mesin
Universitas Diponegoro.
Masnur Dedy, 2008, “Pengaruh Parameter Proses Terhadap Fluiditas dan Kualitas Coran ADC 12
dengan High Pressure Die Casting”, Thesis S-2 Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.57
Purwanto Helmy, 2007, “Pengaruh Temperatur Tuang, Temperatur cetakan, Tekanan dan
Ketebalan Coran pada Pengecoran Squeeze Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Paduan Al-
6,4% Si-1,93% Fe”, Thesis S-2 Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada.
Raji A. dan Khan R.H.,2006, “Effect of Pouring Temperature and Squeeze Pressure on Al-8% Si
Alloy Squeeze Cast Parts”, AU.J.T., PP 229-237.
Radji A., 2010, “A Comparative Analysis of Grain Size and Mechanical Properties of Al-Si Alloy
Component Produced by Different
Vinarcik, E.J., 2003, “High Integrity Die Casting Process”, John Wiley & Sons, Inc, New York.
C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.58
VARIASI WAKTU HARD CHROMIUM PLATING
TERHADAP KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO, NILAI KEKERASAN
DAN LAJU KOROSI BAJA KARBON RENDAH
Sutrisno
Program Studi Teknik Mesin, Politeknik Surakarta E-mail : Trisnowmech_79@yahoo.co.id
Abstrak
Baja AISI 1008 merupakan salah satu jenis baja karbon rendah, dimana kandungan karbon (C)
maksimal hanya 0,1% C. Secara umum baja karbon rendah memiliki beberapa kelebihan yaitu
mempunyai sifat ulet, tangguh, memiliki kemampuan las dan mesin yang baik serta harganya
relatif murah. Namun demikian, baja karbon rendah juga memiliki beberapa kelemahan
diantaranya nilai kekerasan yang rendah dan juga laju korosi yang tinggi. Salah satu upaya
untuk meningkatkan ketahanan terhadap korosi pada baja adalah hard chromium plating.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi waktu hard chromium
plating terhadap struktur mikro, nilai kekerasan, nilai laju korosi pada baja karbon rendah
(AISI 1008). Proses hard chromium plating menggunakan variasi waktu proses 20 menit,40
menit dan juga 60 menit dengan kuat arus proses sebesar 10A. Analisa struktur mikro
menggunakan mikroskop optik dan Scanning Electron Microscope (SEM). Pengujian
kekerasan menggunakan metode Vickers dan pengujian korosi menggunakan alat uji laju
korosi tipe sel tiga elektroda dengan potensiostat tipe PGS - 201T dengan media korosi 0,5%
larutan NaCl. Hasil pengujian menunjukkan bahwa lapisan yang terbentuk pada proses hard
chromium plating sangat dipengaruhi waktu proses pelapisan. Nilai kekerasan akan meningkat
dengan meningkatnya waktu proses. Nilai kekerasan yang paling tinggi terjadi pada proses
hard chromium plating dengan kuat arus waktu 60 menit yaitu 562 VHN. Nilai laju korosi
mengalami penurunan dengan meningkatnya waktu proses, dimana laju korosi terendah pada
waktu 60 menit yaitu 0,989 mm/year.
Kata kunci : hard chromium plating, waktu, kekerasan, laju korosi
PENDAHULUAN.
Baja merupakan salah satu logam yang paling banyak digunakan dalam berbagai bidang
diantaranya pada kontruksi bangunan, komponen permesinan, komponen perkapalan, komponen
otomotif, mesin perkakas, bahan rel kereta api, perpipaan dan juga alat berat. Secara umum baja
memiliki sifat tangguh, mampu dilakukan proses permesinan, mempunyai sifat mampu las yang
baik. Namun demikian baja juga memiliki kelemahan yaitu tidak tahan terhadap korosi. Nilai
kekerasan baja lebih rendah dibanding besi cor karena kadar karbon yang terkandung dalam baja
lebih rendah antara 0 - 2% C.
Korosi adalah salah satu penyebab terjadinya penurunan mutu suatu logam. Korosi
merupakan penurunaan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam dengan unsur-
unsur lain yang terdapat di alam (Jones, 1992). Salah satu metode pencegahan korosi pada logam
dengan cara pelapisan permukaan logam. Hard chromium plating merupakan salah satu cara untuk
memperpanjang umur pakai dari komponen seperti valve, ring piston dan journal bearing (Merlo,
2003).
Proses hard chromium plating adalah proses electroplating yang dilakukan pada larutan
asam chromic acid dengan menggunakan anoda inert (+) dan material yang dilapisi sebagai kutub
katoda (-). Mekanisme proses hard chromium plating dapat dijelaskan sebagai berikut:
Proses pelapisan berlangsung reaksi yang terjadi pada katoda adalah sebagai berikut :
1. Pengendapan khrom
Cr2O7- + 14H
+ + 12e
- 2Cr + 7H2O
2. Pelepasan gas hidrogen
2H+ + e
- H2
3. Pembentukan Cr (III)
Cr2O7- + 14H
+ + 6e
- 2Cr
+ + 7H2O
Pada anoda terjadi reaksi sebagai berikut:
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.59
1. Pelepasan gas hidrogen
2H2O O2 + 4H+ + 4e
-
2. Oksidasi ion chromat.
2Cr3+
+ 6H2O 2CrO3 + 12H+ + 6e
-
3. Produksi timbal oksida
Pb + 2H2O PbO2 + 4H+ + 4e
-
Lapisan krom yang terbentuk menghasilkan sifat kekerasan yang tinggi, sehingga hard
chromium plating digunakan untuk pencegahan terhadap korosi. Aplikasi dari hard chromium
plating banyak digunakan dalam industri otomotif (transmission, differential component, sistem
kemudi), aerospace dan pipa-pipa oli/gas (Leahey, 2009).
Penelitian tentang proses tentang electroplating Raharjo (2010) melakukan penelitian
tentang pengaruh tegangan listrik dan waktu proses electroplating terhadap ketebalan dan juga
kekerasan ada baja ST 40 yang dilapisi krom. Ketebalan lapisan dan juga nilai kekerasan
meningkat seiring dengan naiknya tegangan listrik dan juga lamanya waktu proses electroplating
selama 15 menit. Ketebalan maksimum yang dicapai yaitu 37,79 µm pada tegangan 12 volt selama
15 menit, sedangkan kekerasan optimum yang dicapai adalah 351,29 VHN pada tegangan 12 volt
selama 15 menit.
Pengaruh tegangan pada proses electroplating pada baja dengan pelapis krom dan seng
terhadap nilai kekerasan dan laju korosi telah diteliti oleh Alian (2010). Penelitian ini
menggunakan unsur krom dan seng sebagai bahan pelapis. Uji korosi dilakukan pada media
menyerupai kondisi air laut selama 168 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapis krom
lebih baik dari pelapis seng dalam melindungi baja terhadap laju korosi dalam lingkungan air laut.
Penambahan kekerasan terbesar didapat pada tegangan listrik 12 volt pada pelapis krom sebesar
6,950 VHN dan pelapis seng sebesar 9,851 VHN. Laju korosi terkecil pada tegangan listrik 12 volt
dengan laju korosi untuk pelapis krom sebesar 0,0173 mm/tahun dan untuk pelapis seng sebesar
0,0573 mm/tahun.
Pada penelitian akan dipelajari pengaruh waktu proses hard chromium plating terhadap
struktur mikro, nilai kekerasan dan laju korosi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh waktu hard chromium plating terhadap struktur mikro, nilai kekerasan dan juga laju
korosi pada baja karbon rendah (AISI 1008).
METODOLOGI.
a Material.
Material yang dipakai adalah baja karbon rendah (AISI 1008) dengan kandungan karbon
(C) maksimal 0,1%, mangan (Mn) antara 0,3-0,5%, fosfor (P) maksimal 0,04 dan belerang (S)
maksimal 0,05%. Spesimen dipotong dengan ukuran diameter 13 mm dengan tebal 3 mm.
Gambar 1 foto spesimen material
b Hard chromium plating.
Proses pelapisan hard chromium plating secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2 .
Spesimen (baja AISI 1008) sebagai sumbu katoda sedangkan sumbu anodanya adalah anoda tak
terlarut (Pb). Komposisi larutan pada proses hard chromium plating adalah : Larutan chromic acid
(CrO3) = 260 g/l, Asam sulfat (H2SO4) = 3 g/l, dengan suhu larutan sekitar 45o – 55
o C. Arus yang
digunakan dalam proses hard chromium plating adalah 10A dengan waktu proses 20 menit, 40
menit serta 60 menit.
C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.60
Gambar 2 skema hard chromium plating
c Mikrostruktur.
Karakterisasi struktur mikro dari material akan dilihat dengan melakukan foto mikro pada
daerah yang mengalami proses hard chromium plating dan daerah yang diuji korosi. Untuk
mengetahui bentuk struktur mikro spesimen, yaitu dengan mengambil penampang permukaan
spesimen untuk dipoles dan dietsa dengan larutan Nital (2%HNO3 dan 98% propanol) selama 30
detik. Pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik dan SEM dengan pembesaran
yang bervariasi.
d Analisa kekerasan
Pada penelitian ini pengujian kekerasan menggunakan metode Vickers. Uji kekerasan
Vickers menggunakan penumbuk piramida intan yang dasarnya berbentuk belah ketupat. Besarnya
sudut antara permukaan-permukaan piramid yang saling berhubungan adalah 136o. Metode
pengujian Vickers dapat dilihat pada Gambar 3. Pengujian kekerasan menggunakan beban 250 gr
dan ditahan selama 10 detik.
Gambar 3 metode pengujian Vickers (ASM Metal Handbook)
Angka kekerasan Vickers dapat dinyatakan dengan rumus:
1)
Dengan :
p = beban indentasi (kg)
d = diagonal rata-rata bekas injakan (mm)
e Analisa korosi.
Korosi merupakan proses perusakan logam dan degradasi sifat logam akibat berinteraksi
dengan lingkungannya. Korosi terjadi berdasarkan proses elektro-kimia (electrochemical process).
22
854,1mm
kg
d
pVHN
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.61
Laju korosi (Jones, 1992) dapat dihitung dalam mils (0,001 in) per year (mpy) dengan rumus
seperti dibawah:
2)
Dengan :
r = laju korosi (mpy)
a = berat atom
n = valensi atom
i = rapat arus korosi (μA/cm2)
D = berat jenis sampel (gr/cm3)
Perhitungan laju korosi untuk paduan, terlebih dahulu dihitung berat equivalennya
(equivalen weight= EW) dengan persamaan (Jones 1992):
3)
4)
Dengan :
EW = berat equivalen
NEQ = nilai equivalen total
= fraksi berat
= nomor massa atom
= elekron valensi
Maka persamaan (2) menjadi:
5)
HASIL DAN PEMBAHASAN.
a Komposisi Material.
Uji komposisi material digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dan menentukan
jenis material yang digunakan di dalam penelitian. Hasil pengujian komposisi kimia material dapat
dilihat pada Tabel 1
Tabel 1 Hasil uji komposisi kimia material C Mn Si P S Cr W Ni Cu
Standar ASM <0,1 0,3-0,5 - <0,4 <0,5 - - - -
Spesimen 0,0673 0,47 0,226 0,0388 0,0167 0,0518 0,296 0,0776 0,0765
Hasil uji komposisi kimia menunjukkan bahwa spesimen yang digunakan termasuk kedalam
kategori baja karbon rendah jenis AISI 1008.
b Mikrostruktur.
Gambar 3 memperlihatkan struktur mikro dari raw material, dimana struktur mikro berupa
ferit dan perlit. Hal tersebut menunjukkan bahwa material yang digunakan adalah jenis baja karbon
rendah
C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.62
Gambar 4 struktur mikro raw material baja karbon rendah (AISI 1008) dengan perbesaran 200x
c Nilai Kekerasan.
Gambar 5 dibawah menunjukkan grafik nilai kekerasan proses hard chromium plating pada
kuat arus 10A dengan interval waktu 20, 40 dan 60 menit. Nilai kekerasan material dasar sebesar
193 VHN, setelah material mengalami proses pelapisan nilai kekerasan meningkat dengan
bertambahnya waktu pelapisan. Hal ini disebabkan dengan semakin lama waktu proses pelapisan
akan semakin banyak deposit yang terbentuk pada permukaan material sehingga akan
meningkatkan nilai kekerasannya. Nilai kekerasan paling tinggi pada waktu 60 menit yaitu 562
VHN.
Gambar 5 grafik nilai kekerasan
d Laju Korosi.
Gambar 6 dibawah memeperliatkan grafik laju korosi hasil proses hard chromium plating
pada kuat arus 10A dengan interval waktu 20, 40 dan 60 menit. Laju korosi material dasar adalah
1,487 mm/year Laju korosi akan mengalami penurunan dengan adanya peningkatan waktu proses
hard chromium plating. laju korosi terendah pada waktu 60 menit sebesar 0,989 mm/year.
Gambar 6 laju korosi
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.63
Penurunan laju korosi setelah proses hard chromium plating karena adanya lapisan pasif Cr2O3
yang terbentuk pada permukaan lapisan, sehingga dapat mengurangi laju korosi. Hal tersebut sesuai
dengan hasil foto SEM (Gambar 7).
Gambar 7 hasil SEM penampang ketebalan lapisan Cr2O3 pada waktu 60 menit
KESIMPULAN.
1. Hard Chromium plating akan meningkatkan nilai kekerasan dan menurunkan laju korosi pada
baja karbon rendah (AISI 1008).
2. Nilai kekerasan akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu proses hard chromium
plating. nilai kekerasan tertinggi pada waktu 60 menit yaitu 562 VHN.
3. Laju korosi mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu proses hard chromium plating.
laju korosi terendah pada waktu 60 menit yaitu 0,989 mm/year.
DAFTAR PUSTAKA. Alian, H., 2010, “ Pengaruh Tegangan Pada Proses Electroplating Baja Dengan Pelapis Seng
Dan Krom Terhadap Kekerasan Dan Laju Korosi “, Prosedding Seminar Nasional
Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) Ke-9 Palembang.
ASM Handbook, 2005, “Properties and Selection: Irons, Steels, and High Performance Alloys”,
Metal Handbook, Vol 1.
Jones, D.A., 1991, “Principle and Prevention of Corrosion”, Mc. Millan Publishing Company,
New York.
Leahey, M.W., 2009, “Replacement Of Hard Chrome Electroplating By Tungsten Carbide Based
High Velocity Oxygen Fueled Thermal Spray”, A Project Submitted to the Graduate,
Rensselaer Polytechnic Institute, Hartford CT.
Merlo, A.M., 2003, “The Contribution Of Surface Engineering To The Product Performance In
The Automotive Industry”, Journal surface and Coatings Technology, Elsevier, 174-175, pp
21-26.
Raharjo, S., 2010, “Pengaruh Variasi Tegangan Listrik Dan Waktu Proses Electroplating
Terhadap Ketebalan Serta Kekerasan Lapisan Pada Baja Karbon Rendah Dengan Krom”,
Master Thesis, Universitas Diponegoro Semarang
Cr2O3
C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.64
PERILAKU MULUR (CREEP) POLIPROPILEN
DENGAN PERUBAHAN TEGANGAN DAN TEMPERATUR
Iman Mujiarto*1)
, Bayuseno AP2)
. Jamari2)
1)
Jurusan Teknika STIMART AMNI
Jl. Soekarno Hatta 180 Semarang 2)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP *)
E-mail: imnmu@yahoo.com
Abstrak
Pada beberapa sektor industri, ada beberapa metode pengujian yang dipakai untuk
mengetahui ketangguhan suatu material. Pengujian mekanik yang lazim dilakukan adalah uji
tarik, kekerasan, impak, creep, dan uji fatik. Penelitian pengujian mulur ini menggunakan
bahan dari jenis polimer termoplastik, yaitu polipropilen. Pengujian dilakukan untuk
mengetahui perilaku creep dari bahan yang akan diuji. Bahan uji mengalami tegangan tetap
pada temperatur tertentu, sementara regangan berubah terhadap waktu. Urutan proses
pengujian mulur: (1) Memasang beban yang direncanakan pada penggantung beban, (2)
Memasang spesimen pada dudukan dan pemanas dihidupkan. Setelah diperoleh temperatur
yang konstan, baru diberi beban selama kurun waktu 10.000 detik, (3) Pemberian beban yaitu
1 lb (0,46 kg), 1,5 lb (0,68 kg), 2 lb (0,91 kg). Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa
(1) Bahan Polipropilen mengalami gejala mulur bilamana mendapat aksi tegangan pada suhu
tertentu. Dengan variabel beban tegangan dan suhu operasi, pada beban tegangan tetap bila
suhu meningkat maka gejala mulur bahan akan lebih besar dan pada suhu tetap bila beban
tegangan bertambah maka gejala mulur bahan akan lebih besar. (2) Hasil penelitian adanya
kemiripan arah kurva creep dengan studi yang telah dilaksanakan oleh Crawford (2002),
Martin J. D., et al. (2002), Ben D. B., et al. (2007) dan Siljana L., et al. (2007
Kata Kunci : Mulur, Tegangan, Temperatur, Termoplastik, Polipropilen.
PENDAHULUAN
Dalam bidang rekayasa (engineering) adalah sangat penting bilamana perkiraan hasil
pengujian jangka panjang dapat dilakukan melalui pengujian jangka pendek. Sementara itu untuk
bidang polimer, hal yang paling penting adalah pengujian viskoelastisnya (Brostow, et al. 1999).
Alasan pengujian ini untuk mengevaluasi kinerja pengujian jangka panjang dan kehandalan bahan
polimer yang pada saat ini masih banyak belum dilakukan (Brostow, 2000).
Kegagalan material dapat terjadi antara lain akibat kelelahan (fatigue), deformasi plastis,
patah statik, korosi, mulur (creep) atau karena efek relaksasi. Pengujian mekanik yang lazim
dilakukan adalah uji tarik, kekerasan, impak, creep, dan uji fatik. Hasil pengujian tidak digunakan
untuk meneliti keadaan cacat tetapi ditujukan untuk mengetahui kualitas produk sesuai spesifikasi
standar. Pada penelitian ini dilakukan pengujian mulur menggunakan bahan dari jenis polimer
termoplastik, yaitu polipropilen. Pengujian dilakukan untuk mengetahui perilaku creep dari bahan
yang akan diuji. Bahan uji mengalami tegangan tetap pada temperatur tertentu, sementara regangan
berubah terhadap waktu.
Informasi tentang perilaku creep pada bahan ini sangat penting untuk menentukan umur
suatu rancangan produk atau konstruksi bila mendapat tegangan (beban) tetap, meskipun pada
temperatur kamar. Dengan analisa ini diharapkan dapat diambil suatu kesimpulan pengaruh
tegangan maupun temperatur terhadap regangan pada suatu rancangan produk atau konstruksi.
Creep (Mulur)
Sifat mekanik polimer sangat bergantung pada waktu dan temperatur, selanjutnya respon
terhadap tegangan dapat bersifat viskos dan elastis. Respon viskoelastis menjadi lebih jelas dalam
kondisi suhu tinggi dengan pemberian beban secara terus-menerus dan tingkat tegangan yang tinggi
(Severino, et al. 2007). Pada perilaku viskoelastis, regangan total terdiri dari komponen elastis
linier (sesuai Hooke) dan komponen viskos linier (sesuai Newton). Rasio tegangan-regangan
bergantung pada waktu (Smallman, 2006).
Pada temperatur yang relatif tinggi, creep terjadi pada semua level tegangan, tetapi pada
temperatur tertentu laju creep bertambah dengan meningkatnya tegangan.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.65
Gambar 1. Kurva creep yang lazim dijumpai (Smallman, 2006)
Pada Gambar 1 pada kurva a menampilkan karakteristik kurva creep yang ideal. Proses
creep dapat dibagi menjadi tiga tahapan (Harikishan Mandalapu, et al. 2007) yaitu creep primer
atau creep transient, creep sekunder atau creep keadaan stasioner dan creep tersier atau creep
dipercepat. Karakteristik kurva seringkali bervariasi, dan tahap creep tersier dapat dipercepat atau
diperlambat apabila temperatur dan tegangan uji tinggi atau rendah (lihat Gambar 1 kurva b dan c).
Penelitian Soekrisno dan Jamasri tentang perilaku creep bahan akrilik berlubang tunggal
dan ganda (Soekrisno, 1995), menjelaskan pengaruh kenaikan jumlah lubang tidak sebesar
pengaruh kenaikan temperatur. Kombinasi lubang dengan beda diameter yang agak besar ternyata
ketahanan terhadap creep lemah sekali. Pada penelitian selanjutnya tentang sifat creep bahan
polimer polyester sebagai matrik komposit, menjelaskan bahwa resin polyester termasuk bahan
yang tidak tahan temperatur tinggi (Soekrisno, 1994).
Model Matematik Bahan Viscoelastik
Pada beberapa tahun terakhir banyak percobaan dilakukan untuk mensimulasikan perilaku
bahan viskoelastik (Kierfeld, et al. 2000). Model matematik yang sesuai untuk bahan plastik adalah
yang berdasar pada pegas dan redaman (dashpot) dalam satu rangkaian. Tidak setiap model bisa
digunakan untuk mendekati hasil pengujian dan sifat sebenarnya. Adapun model matematik yang
sering digunakan adalah Model Maxwell, Kelvin, dan Burger (Crawford, 2002).
Model Maxwell terdiri dari pegas dan redaman (dashpot) dalam satu rangkaian. Pegas
merupakan komponen elastis linier yang merespon dengan persamaan:
έ = ση
1σ
ξ
1 ……………………………………. (1)
Regangan pada waktu (t) dan tegangan konstan (σo), ditunjukkan dengan persamaan:
ε(t) = tη
σ
ξ
σ oo … …………………………………… (2)
dimana:
ε(t)= regangan creep
ξ = konstanta pegas (MN/m2)
σo = tegangan (MN/mm2)
t = waktu (s)
Model Kelvin terdiri dari pegas dan redaman yang dirangkai secara parallel. Untuk model
Kelvin persamaan tegangan - regangan pada pegas dan redaman, sama dengan model Maxwell.
Sedangkan untuk kesetimbangan gaya dapat dilihat pada penerapan beban yang didukung dari
gabungan pegas dan redaman, sehingga persamaannya menjadi:
σ = ξ . ε + η . έ ……………………………………… (3)
Bila tegangan konstan (σo), maka persamaan (3) menjadi
C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.66
σo = ξ . ε + ηέ
Solusi dari persamaan diferensial untuk regangan totalnya dapat dituliskan persamaan sebagai
berikut:
ε(t) =
tη
ξexp1
ξ
σo …………………………………… (4)
Model Burger (Walter, 2004) merupakan gabungan dari Model Maxwell dan Model
Kelvin. Regangan totalnya jumlah regangan pegas, regangan redaman dan regangan Kelvin dengan
persamaan:
ε(t) = tη
σo
ξ
σo +
t
η
ξexp1
ξ
σo …………………………. (5)
METODOLOGI
Bentuk dan ukuran spesimen pengujian mulur menggunakan standar ASTM D 638-03
dengan jenis spesimen tipe II dan ASTM D 2990-01 (Anonim, 2006), (Siljana, et al. 2007), seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 2 dan Tabel 1.
Gambar 2 Bentuk spesimen uji mulur
Tabel 1 Dimensi spesimen (Tipe II)
Mesin uji yang digunakan adalah creep testing machine tipe JE Machine 1060, temperatur
0-500oF (-17-1371
oC). Kapasitas beban mencapai 20.000 pound dan rasio lever arm 10 : 1. Mesin
ini diproduksi oleh SATEC Systems Inc. USA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian di atas diperoleh grafik eksperimen temperatur tetap dengan
perubahan tegangan seperti terlihat pada Gambar 3, sedangkan grafik eksperimen tegangan tetap
(2,47 MN/m2; 3,71 MN/m
2; 4,94 MN/m
2) dengan perubahan temperatur seperti terlihat pada
Gambar 4.
Bagian Dimensi (mm) Toleransi (mm)
Lebar (Wc)
Panjang (L)
Lebar keseluruhan (Wo)
Panjang keseluruhan (Lo)
Panjang ukur (G)
Jarak antar grip (D)
Radius fillet (R)
6
57
19
183
50
135
76
± 0,5
± 0,5
± 6,4
no max
± 0,25
± 5
± 1
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.67
Gambar 3 Grafik perbandingan hasil perhitungan dan eksperimen creep PP
pada temperatur tetap 30ºC
Dari Gambar 3 menunjukkan grafik hasil perhitungan dengan pendekatan matematis untuk
persamaan Maxwell, Kelvin dan Burger, dibandingkan dengan grafik hasil pengujian. Dari grafik
diatas pada keadaan temperatur tetap dengan perubahan tegangan berdasarkan hasil pendekatan
perhitungan matematis, dapat diketahui bahwa hasil pengujian regangan bahan polipropilen pada
suhu 30ºC, 50ºC dan 70ºC ternyata cenderung mendekati perhitungan persamaan Burger.
Gambar 4 Grafik perbandingan hasil perhitungan dan eksperimen creep PP
pada tegangan tetap 4,94 MN/m²
Dari Gambar 4 yang menunjukkan gambar analisa grafik hasil perhitungan dengan
pendekatan matematis untuk persamaan Maxwell, Kelvin dan Burger, dimana grafik mulur pada
keadaan tegangan tetap dengan perubahan temperatur dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil
pendekatan perhitungan matematis, dapat diketahui bahwa hasil pengujian regangan bahan
Polipropilen pada suhu 30ºC, 50ºC dan 70ºC ternyata juga cenderung mendekati Perhitungan
Persamaan Burger. Sedangkan arah creep hasil pengujian sesuai dengan pendapat Barbero, et al. (2004), yang
menjelaskan pada temperatur < 0,4 Tm perubahan regangan creep konstan (tidak terjadi). Hal ini
ditunjukkan seperti eksperimen pada grafik Gambar 5. Bila melihat kurva hasil pengujian, bila
dibandingkan antara hasil ekperimen dengan grafik creep Crawford (2002), dimana pada tegangan
2 – 4 MN/m2 dalam waktu pengujian selama 10.000 detik arah kurvanya mendekati rata (belum
C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.68
ada kenaikan regangan yang besar), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Adanya selisih pada
grafik karena pada saat melakukan pengujian ada beberapa kendala seperti adanya getaran saat
pengujian sedang berlangsung, pengaruh spesifikasi mesin yang digunakan tidak sama dan
spesifikasi material yang digunakan untuk pengujian yang berbeda.
Gambar 5 Grafik perbandingan creep PP eksperimen dengan Crawford (2002)
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan membandingkannya dengan perhitungan yang telah dilakukan
maka dapar diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pada suhu tetap bila beban tegangan bertambah maka gejala mulur bahan akan lebih besar.
Saat T = 30oC regangan mulur pada = 2,47 MN/m
2 adalah sebesar 9,9124, pada = 4,94
MN/m2 adalah sebesar 25,6421.
Pada beban tegangan tetap bila suhu meningkat maka gejala mulur bahan akan lebih besar.
Dengan = 2,47 MN/m2 regangan mulur pada T = 30
oC adalah sebesar 9,9124, pada T =
70oC adalah sebesar 20,1346.
Bahan mengalami kuat mulur secara teoritis cenderung mengikuti persamaan Burger
dibandingkan dengan persamaan Maxwell dan Kelvin.
Hasil dari ketiga kesimpulan diatas adalah serupa dengan studi yang telah dilaksanakan oleh
Crawford (2002), Martin J. D., et al. (2002), Ben D. B., et al. (2007) dan Siljana L., et al. (2007)
tentang pengujian creep dimana adanya pengaruh perubahan tegangan dan temperatur terhadap
regangan mulur (creep) dengan hasil yang didapat adanya kemiripan arah kurva creep dan
pendekatan matematis yang mendekati persamaan Burger.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM (2006), Annual Book of ASTM, Vol. 08.01, USA
Barbero, E.J., Julius, M., and Yao, Z. (2003), “Time and frequency viscoelastic behavior of
commercial polymers”, Mechanical and Aerospace Engineering, West Virginia
University,Morgantown.
(citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.78.2224&rep...)
Beake, B.D., Bell, G.A., Brostow, W., and Chonkaew, W. (2007), “Nanoindentation creep and
glass transition temperatures in polymers”, Polymer International, 56, 773–778.
Brostow, W. (2000), “Time–stress correspondence in viscoelastic materials: an equation for the
stress and temperature shift factor”, Journal Mat. Res. Innovat., 3, 347-351.
Brostow, W., d’Souza, N.A., Kubat, J., and Maksimov, R.D. (1999), “Creep and stress relaxation in
a longitudinal polymer liquid crystal: prediction of the temperature shift factor”, Journal of
Chemical Physics, 110, No. 19, 9706-9712.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.69
Callister, W.D. (2007), Materials Science and Engineering, Sevent Edition, Department of
Metalogical Engineering The University of Utah.
Crawford, R.J. (2002), Plastics Engineering, Ed.3rd
, Butterworth-Heinemann, Oxford. UK.
Dropik, M.J., Johnson D.H., and Roth, D.E, (2002), “Developing an ANSYS Creep Model for
Polypropylene from Experimental Data”. Penn State-Erie, Erie, PA, USA,
(www.ansys.com/events/proceedings/2002 /.../161 .pdf) Duxbury, J. and Ward, I.I. (1997), “The creep behaviour of ultra-high modulus polypropylene”,
Journal of Materials Science, 22, 1215-1223.
Jones, H. (2001), Failure Analysis Case Studies II, Pergamon, UK.
Kierfeld, J., Nordborg, H., and Vinokur, V.M. (2000), “Theory of plastic vortex creep”, Physical
Review Letters, 85, Number 23, 4948-4951.
Krauss, H. (1980), Creep Analysis, A Wiley-Interscience Publication, New York.
Lakes, R.S. and Vanderby, R. (1999), “Interrelation of creep and relaxation: a modeling approach
for ligaments”, J Biomech. Engineering, 121, 612-615.
Lietz, S., Yang, J., Bosch, E., Sandler, J.K., Zhang, Z., and Altstadt, V. (2007), Macromol. Mater.
Eng. 292, 23–32.
Mandalapu, H. and Karanamsetty, S., (2007), Parameter Analysis of Creep Models of PP/CaCo3
Nanocomposites, Master Thesis, Department of Mechanical Engineering, Blekinge
Institute of Technology, Karlskrona, Swedia.
Ou, B.S. (1992), Laser Welding of High Density Polytethylene and Polypropylene Plates, Master
Thesis, Ohio State University, Ohio, USA.
Samsudin, S.A, Hassan, A., Mokhtar, M., and Jamaluddin, M.S. (2006), “Chemical resistance
evaluation of polystyrene/polypropylene blends: effect of blend compositions and SEBS
content”, Malaysian Polymer Journal (MPJ), 1, No. 1, 11-24.
Shenoi, R.A., Allen, H.G., and Clark, S.D. (1997), “Cyclic creep-fatigue interaction in sandwich
beams”, The Journal of Strain Analysis for Engineering Design, 32, No. 1, 1-18.
Smallman, R.E. dan Bishop, R.J. (2006), Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material, Ed. 6,
Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.
Soekrisno, R. (1995), “Sifat rangkak bahan polimer sebagai matrik komposit”, Media Teknik, 2,
Th. XVII, 89-93.
Soekrisno, R. dan Jamasri. (1994), “Rangkak pada acrylic berlubang”, Media Teknik, 2, Th. XVI,
176-180.
Starkova, O., Yang, J., and Zhang, Z. (2007), “Application of time–stress superposition to
nonlinear creep of polyamide 66 filled with nanoparticles of various sizes”, The Journal of
Composites Science and Technology, 67, No. 2, 2691–2698.
Strojny, A. and Gerberich, W.W. (1998), “Experimental analysis of viscoelastic behaviour in
nanoindentation”, Mat. Res. Soc, Symp. Proc, 522, 159-164.
Surdia, T. dan Shinroku. (2000), Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Indonesia.
Trantina, G. and Nimmer, R. (1994), Structural Analysis of Thermoplastic Components, Mc. Graw
Hill , Singapore.
Vinogradov, A.M. (2002), “Creep-Fatigue Interaction In Polymers”, Department of Mechanical
and Industrial Engineering, Montana State University, Bozeman. USA.
(www.ce.washington.edu/em03/proceedings/papers/ 519.pdf)
C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.70
PENGARUH TEBAL PELAPISAN KROM TERHADAP RAPAT ARUS
ELEKTROPLATING PADA GEOMETRI PLAT, PROFIL DAN PIPA
Sutomo, Bambang Setyoko
Program Diploma III Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Email: sutomo_67@yahoo.com
Abstrak
Sutomo, didalam penelitian pengaruh tebal pelapisan crom terhadap rapat arus eleitroplating
pada geometri alat profil dan pipa,peneliti ingin mengetahui geometri yang mana akan lebih
mengindikasikan lebih efektif didalam proses electroplating ini.Pelapisan crom akan dapat
mengurangi atau menahan proses korosi terhadap baja,didalam penelitian ini dilakukan
selama 100 menit untuk membuat sample. Hasil dari penelitian ini menghasilkan bahwa
geometri yang bentuk permukaan yang plat akan lebih efektif,selanjutnya yang profil L serta
bentuk pipa yang kurang efektif atau perlu waktu yang lebih lama untuk pelapisan dengan
luasan permukaan dan tebal pelapisan yang sama.Kejadian keadaan ini disebabkan karena
panjang lintasan electron menjadi berbeda pula.Setelah 100 menit pelapisan akan menambah
berat 0.8121 gram, 0.01 gram, 0.08 gram geometri plat, profil L dan pipa,sedangkan untuk
kerebalannya adalah 0.25 mm, 0.2mm, 0.016 mm.
Kata kunci: electroplating, pelapisan, crom, geometri
PENDAHULUAN
Dalam lakuan logam, selain dipakai untuk plating khrom, juga untuk khromisasi, coating
ubahan khromat, pasivasi, pembersihan permukaan dan etsa, pencegahan korosi, sampai stripping
deposit. Sifat mekanis khrom sangat peka terhadap pengotor, riwayat lakuan mekanisnya, ukuran
buritan, kondisi permukaan dan lain-lain. Karbon, belerang dan oksigen, biarpun sedikit, sangat
mempengaruhi keliatannya. Khrom relatif inert dalam berbagai kondisi lingkungan. Khrom
bereaksi dengan halogen, hidrogen khlorida, dydrogen fluorida. Asam semisal asam nitrat pekat,
fosfat, khlorat dan perkhlorat membentuk lapisan tipis khrom yang menghasilkan kepasifan,
sehingga tahan korosi. Dalam larutan netral kepasifan itu terjaga, tetapi dalam larutan asam, harus
diberi oksidator, tetapi jangan ada asam halogen. Logam-logam mulia emas-perak-platina
dikelompokkan dalam logam rekayasa ini, bersama-sama timah dan timbel. Penggolongan ini
sekali lagi, beralasan praktis. Emas dan perak diambil dari segi keindahan (dan harganya) di
samping sifat fisik dan kimianya. Lagi pula, di dunia industri (elektronika dan sekitarnya) kedua
logam ini makin penting pula. Di antara keenam logam kolompok platina (ruthenium, rhodium,
palladium, osmium, iridium, platina), hanya rhodium yang bermanfaat dekoratif. Laiinya
kebanyakan digunakan untuk tujuan rekayasa/teknik. Timah dan timbel hanya digunakan sebagai
pelapis industri. Kecuali timah dan timbel, logam-logam tersebut biasanya disebut mulia, sesuai
tempat golongan di daftar susunan Berkala Unsur Kimia. Timah dan timbel satu golongan
tersendiri, sifatnya mirip, timbal sendiri jarang dipakai plating, tetapi alloy timah-timbal makin
penting di industri (elektronik) pula. Pelapisan emas ditujukan untuk kedua bidang terapan, yakni
dekoratif dan industri (elektronika, komunikasi, dirgantara). Sering emas dipergunakan dalam
komponen elektronik karena tahan korosi, mudah disolder, tahan oksidasi, liat, bersifat listrik baik.
Untuk pemanfaatan dirgantara, emas daya pancar/pantul infra merahnya baik. Dalam industri
kimia, emas tahan korosi, maka secara electroforming dipakai dalam pembuatan reaktor, demikian
pula pada penukar panas kondensor dan sebagainya. Kebanyakan logam, kecuali di industri yang
menggarap penghantar listrik, biasanya dipergunakan dalam bentuk alloy. Dengan proses alloy,
berbagai sifat logam seperti yang dikehendaki dapat dicapai. Sebaliknya, kebanyakan eletrodeposit
justru logam murni (selain kodeposit dari aditif). Hal itu berhubungan dengan sulitnya kontrol
proses elektrodeposisi berbagai alloy. Akan tetapi justru dengan mampu mengatur komposisi
deposit, orang dapat membuat lapisan/coating bermacam-macam, ada yang keras atau lunak, ada
stress atau tidak, dan sebagainya. Alloy sungguh memikat, alloy di sini tidak sekadar yang biner
(dua komponen), tetapi dapat tiga, empat atau lebih. Alloy tembaga-timah-seng sudah banyak
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.71
dipraktikan dalam elektroplating. Walau masalah biaya dan kontrol harus diperhitungkan masak-
masak sebelum berbuat. Yang jelas, dengan plating alloy, produknya dapat memiliki berbagai
keunggulan sepert; sifat fisik baik, lebih tahan korosi, warna dan daya pikat dekoratifnya unggul,
sifat magnetic piawai, mampu diberi lakuan panas, dapat menyaingi sifat logamlogam yang lebih
mahal, dan banyak lagi. Warna kekuning-kuningan dapat menyaingi emas, ketahanannya terhadap
korosi lebih bagus daripada tembaganya sendiri, dan lebih keras. Anodisasi merupakan proses
elektrolit dengan logam dijadikan anoda dalam elektrolit, sehingga bila dialiri listrik, permukaan
logamnya diubah menjadi oksidanya, serta mempunyai sifat dekoratif, protektif dan manfaat
lainnya. Sesuai dengan sifat dan kerja elektrolit terhadap oksida anodic, kondisi operasi, juga
hubungan tegangan/arus, anoda logam terus termakan dan diubah menjadi oksida yang terus
menjalar ke bagian dalam. Oksida yang terbentuk terakhir berdekatan dengan antar-muka logam
pelapis. Proses penganodaan khrom adalah proses elektrolisa sebagai elektrolit adalah asam sulfat
(H2SO4). Benda dari logam khrom itu dipasang pada kutub positif dan mengalami reaksi oksidasi
pada permukaannya. Dengan demikian terbentuklah suatu lapisan oksida khrom pada permukaan
benda itu, sehingga akan merupakan lapisan pelindung yang sekaligus dapat berfungsi dekoratif.
Proses penganodaan khrom pada prinsipnya berbeda dengan proses pelapisan logam. Pada proses
penganodaan terbentuk suatu lapisan logam terendapkan logam, sehingga merupakan lapisan
logam yang menyelubungi permukaan benda itu
KAJIAN PUSTAKA
Khromium atau khrom (Chrome) merupakan logam yang digunakan secara luas saat ini
baik untuk keperluan perabot rumah tangga, kendaraan bermotor maupun rol logam pada industri.
Pemakaian khrom tidak dalam bentuk murni tetapi dilapiskan pada suatu benda padat dari logam
lain. Dalam industri elektroplating, dikenal dua macam jenis pelapisan yaitu khrom dekoratif dan
khrom keras (hard chrome). Khromiun dekoratif merupakan suatu lapisan tipis khromium dengan
ketebalan antara 0.25 hingga 0.75 μm yang dilapiskan di atas lapisan dasar baik berupa tembaga-
nikel maupun nikel saja. Lapisan ini memberikan kenampakan yang indah dan bersifat
nontarnishing pada barang-barang yang dilapis. Lapisan khrom dekoratif tahan terhadap abrasi dan
memberiksan kenampakan yang cemerlang sehingga banyak digunakan untuk pelapisan perabot
rumah tangga, kendaaraan bermotor dan mobil, pesawat terbang, alat-alat bedah dan gigi. Khrom
keras memiliki ketebalan yang dapat mencapai 0.3 mm dengan kekerasan lebih dari 600HV,
dipakai pada alat-alat industri yang bergerak dan memerlukan ketahanan goresan dan abrasi tinggi.
Untuk proses plating khrom pada bahan besi/baja adalah pelapisan dasar dengan tembaga sianida,
dilanjutkan dengan pelapisan tembaga asam, pelapisan nikel dan tahap akhir berupa pelapisan
khrom yang dikenal sebagai plating 4 lapis. Sedangkan apabila menggunakan sistem 2 lapis, cukup
menggunakan pelapis dasar nikel saja. Pelapisan khrom keras dilakukan terhadap bahan dasar baja
yang dilapis.
Sifat-Sifat Khrom:
- Mempunyai massa atom 51,996 sma
- Mempunyai nomor atom 24
- Mempunyai jari-jari atom 1.30 Å
- Mempunyai konfigurasi elektron 2 8 13 1
- Dalam senyawa mempunyai bilangan oksidasi +6, +3, dan +2
- Mempunyai volume atom 7.33 cm3/mol
- Mempunyai struktur kristal bcc
- Mempunyai titik didih 2945 K
- Mempunyai titik lebur 2130 K
- Mempunyai massa jenis 7.19 gram/cm3
- Mempunyai kapasitas panas 0.449 J/g K
- Mempunyai potensial ionisasi 6.776 volt
- Mempunyai elektronegativitas 1.66
- Mempunyai konduktivitas listrik 7.9 x 106 ohm-1cm-1
- Mempunyai konduktivitas kalor 93.7 W/m K
- Mempunyai harga entalphi pembentukan 20 kJ/mol
- Mempunyai harga entalphi penguapan 339.5 kJ/mol
C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.72
Sifat mekanis khrom sangat peka terhadap pengotor, riwayat lakuan mekanisnya, ukuran
butiran, kondisi permukaannya dan lain-lain. Karbon, belerang dan oksigen, biarpun sedikit sangat
mempengaruhi keliatannya. Khrom relatif inert dalam berbagai kondisi lingkungan. Khrom
bereaksi dengan halogen, hydrogen khlorida, hydrogen fluorida. Asam semisal asam nitrat pekat,
fosfat, khlorat, dan perkhlorat membentuk lapisan tipis khrom yang mengasilkan kepasifan,
sehingga tahan korosi. Dalam larutan netral kepasifan itu terjaga tetapi dalam larutan asam harus
diberi oksidator, tetapi jangan asam halogen. Ion khromo atau khrom (II) merupakan reduktor kuat.
Ion heksakuo berwarna biru membentuk banyak kompleks. Khrom paling stabil ialah khrom (III),
kimianya terutama koordinasi lingkungannya dapat anorganik maupun organik. Konsentrasi tinggi
dan pH rendah mendukung terbentuknya polianion semisal dikhromat, bahkan selain Cr2O-2 juga
dapat Cr3O10 2- dan Cr4O13 2- bilangan oksidasinya 4. Dalam larutan basa (di atas pH 6), CrO3
membentuk ion khromat kuning. Antara pH 2 sampai 6, HCrO4 - dan dikhromat bersetimbang dan
di bawah pH 1, spesi utama yang ada ialah H2CrO4. Larutan asam dikhromat merupakan oksidator
kuat:
Cr2O72- + 2 H+ + 6e- → 2Cr3+ + 7H2O Eo = 1.33 V
Dulu, lapisan tipis khrom pada tembaganikel- khrom komposit disangka hanya melindungi
nikel agar tidak membercak (tarnish). Dikira kemampuan mencegah korosi hanya fungsi jenis dan
tebal nikelnya saja. Baru sejak dasawarsa 1950-an khromnya diperhatikan. Dikembangkan pula
teknik pelapisan khrom mikrodiskuntinyu. Melihat khrom (III) yang memiliki banyak kompleks,
orang berminat membuat plat dari keadaan tersebut. Dan memang, khrom pun dibuat dari
elektrolisis bak khrom sulfat. Akan tetapi khrom tak dapat diplatkan dari larutan berair CrO3 saja,
harus ada sedikit radikal asam yang berperan sebagai katalis agar terjadi deposisi katodik
logamnya, misalnya CrO4 2- atau lazimnya fluosilikat (SiF6 2-). Pada sistem bak asam khromat
walau efisiensi arus platingnya rendah (untuk yang cerah 10-25%), laju deposisi tetap besar karena
rapat arus yang digunakan besar pula. Tegangan listrik sesuai rapat arus tersebut juga besar, antara
4 sampai 12 volt, tergantung kondisinya. Daya lontar bak plating khrom jelek. Liputan plating baik
bila nisbah optimum CrO3 terhadap katalis terjaga dan anodanya didesain dengan baik (dwi kutup
dan semacamnya). Asam khromat dalam larutan asam pekat bak plating berada kebanyakan
sebagai ion dikhromat. Pada katoda setidaknya tiga reaksi berlangsung: diposisi khrom,
pengeluaran hydrogen, pembentukan Cr (III), Cr2O7 2- + 14 H+ + 12e- → 2 Cr + 7 H2O H+ + 2 e-
→ H2 Cr2O7 2- + 14 H+ + 6e- → 2 Cr3+ + 7 H2O. Pengeluaran hidrogen menyedot 80 sampai
90% daya yang diberikan pada sistem. Hanya 10% saja dipergunakan untuk deposisi khrom
sesungguhnya. Anoda khrom larut tak efisien pada kondisi elektrolisis, apalagi logam khrom jauh
lebih mahal daripada bentuk CrO3, maka dipergunakan anoda larut, yakni timbel atau yang
berkandungan 10% unsur alloy, biasanya timah, antimony atau keduanya. Pada anoda terjadi tiga
reaksi serentak: pengeluaran oksigen, oksidasi ion khromat, produksi timbel dioksida pada anoda.
Reaksinya: 2 H2O → O2 + 4 H+ + 4 e+ 2 Cr+ + 6 H2O → 2 CrO3 + 12 H+ + 6 e- Pb + 2 H2O →
PbO2 + 4 H+ + 4 e-. Kebanyakan daya diserap untuk pengeluaran oksigen. Akan tetapi dua reaksi
lain amat penting: oksidasi-ulang Cr (III) pada anoda membantu menyeimbangkan produksinya
pada katoda dan menjaga tingkat Cr3+. Bagi operasi memadai bak plating khromnya, anoda timbel
harus tertutup lapisan timbel dioksida. Apabila film tersebut hilang atau tidak terbentuk, akan
terjadi timbel khromat dan anodanya tidak menjalankan fungsi pengaturan konsentrasi Cr3+ di
baknya. Anoda tak dipakai, pelapis oksidanya hilang membentuk film kuning timbel khromat. Bila
arus dialirkan lagi, segera terbentuk film oksida lagi. Bila tidak, jadi tidak ada lapisan oksida
kelabuhitam tersebut, berarti ada sesuatu yang keliru:kontak-kontak ke batang atau anoda kurang
baik, atau ada korsluiting anoda. Film timbel khromat dihilangkan dengan mengambil anodanya,
membersihkan batang-batang dan gantungannya, serta menggosok anoda dengan sikat kawat.
METODOLOGI
Khrom merupakan finishing bagi sistem plating protektif-dekoratif nikel/tembaga-nikel.
Warnanya putih-kebiruan dan cemerlang, tahan tarnish (noda), tahan korosi, tahan aus dan goresan
dan lebih melindungi substrat. Khrom jarang diplatkan langsung ke substrat untuk tujuan dekoratif,
kecuali pada plating baja stainless.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.73
Tabel 1. Komposisi dan kondisi operasi plating khrom
Larutan plating khrom standar
Komponen dan kondisi operasi
Asam khromat 250 – 280 gr/l
Asam sulfat 2.5 – 2.8 gr/l
Khrom valensi 3 1 gr/l
Khrom/sulfat 100 gr/l
Temperatur 43o – 55o C
Rapat arus 14.3 – 43.0 A/dm2
Efisiensi katoda 23
Larutan Albright & Wilson
Komponen dan kondisi operasi
Asam khromat 150 gr/l
Asam sulfat 0.87 gr/l
Katalis 15 ml/l
Temperatur 38o – 46o C
Rapat Arus 11 – 17 A/dm2
Tebal plat khrom yang dideposisi di atas tergantung pula pada kondisi pemakaiannya serta
mutu standar produknya. Alat-alat rumah tangga (indoor) biasanya 0.1 mikron. Untuk kendaraan
atau mobil sekitar 1.5 mikron lebih. Jenis khrom juga merupakan faktor: khrom mikropori juga
tidak boleh terlalu tebal (tidak memicu pori). Terdapat dua jenis utama bak plating asam khromat
yakni jenis konvensional dengan ion katalis sulfat (dapat encer atau pekat tergantung faktor macam
garapan, waktu dan ekonomi), serta bak katalis tercampur (katalis juga berkandungan
fluoride/fluorosilikat). Daya lontar dan daya liput bak plating asam khromat jelek, terjelek bila
dibandingkan berbagai larutan plating yang lazim digunakan. Daya hantar baik tapi merosot bila
ada pengotor seperti tembaga dan besi. Karena logam khrom tidak berfungsi dengan baik sebagai
anoda, hal ini disebabkan kelarutan yang tinggi. Maka biasanya digunakan timbal sebagai anoda.
Anoda yang terbuat dari logam Pb tidak larut dalam larutan untuk lapisan khrom keras. Oleh
karena itu hampir selalu digunakan sebagai anoda dalam proses pelapisan khrom dekoratif. Timbal
dalam bentuk chemical Pb dapat juga digunakan. Jika dibandingkan dengan Pb paduan, jenis ini
akan mudah dirusak larutan sehingga menghasilkan larutan PbCrO3 yang berlebihan. Banyak
sekali pada ahli lapis listrik yang menggunakan anoda dari bahan lain, misalnya besi murni, nikel,
baja dan baja tahan karat. Namun demikian ternyatan anoda Pb paduanlah yang terbaik. Kontrol
terhadap larutan elektrolit dilakukan secara rutin untuk menjaga komposisi larutan. Pengukuran
kadar larutan secara cepat dilakukan dengan hydrometer. Analisis kimia volumetrik maupun
gravimetrik diterapkan untuk mengetahui berapa kadar tiap-tiap komponen yang terdapat dalam
larutan lebih akurat dilakukan secara berkala.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Grafik 1. Hubungan waktu dan berat Grafik 2. Hubungan rapat arus dan berat
pelapisan khrom pelapisan khrom
C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.74
Dari data-data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin lama pelaksanaan
pengaliran arus listrik pada elektroplating, maka akan meningkatkan massa atau berat yang
menempel dan menambah ketebalan pelapisannya yang akan lebih tahan terhadap korosi karena
lebih tebal.
Grafik 3. Hubungan rapat arus dan waktu Grafik 4. Hubungan waktu dan berat
pelapisan khrom pelapisan khrom
Rapat arus semakin besar maka waktu pelapisan akan lebih cepat, sedang untuk menambah
ketebalannya diperlukan waktu lagi supaya pelapisan dapat terus menerus dilakukan sehingga
tambah tebal. Dari bentuk geometrinya terlihat bentuk flat akan lebih cepat prosesnya untuk waktu
100 detik pada geometri flat dapat terlapiskan khrom seberat 0.012 gram, tebal 0.25 μm, sedangkan
untuk bentuk profil L pelapisannya sampai 0.01 gram dan tebal 0.2 μm. Selanjutnya untuk pipa
didapat data 0.0085 gran atau tebal 0.07 μm. Jadi geometri yang flat (pelat) yang lebih
menguntungkan. Hal ini dapat terjadi karena jarak tempuh elektron lebih dekat dibandingkan profil
L maupun pipa.
Grafik 5. Hubungan waktu dan tebal pelapisan khrom
Jadi letak benda kerja dan letak posisi elektrodanya sangat berpengaruh juga untuk
terjadinya pelapisan (lining) yang lebih cepat dan lebih merata ketebalannya. Pada bentuk pipa
terlihat visualnya bahwa pipa yang dalam kurang dapat mengikuti kecepatan pelapisannya
dibandingkan pipa yang di luar sehingga pada penelitian ini bentuk flat didapatkan kecepatan
proses pelapisan yang lebih baik dibandingkan untuk bentuk yang lain yaitu profil L dan pipa.
Untuk berat pelapisan pada bentuk plat dibandingkan dengan profil L dan pipa perbedaannya 10%
dan 30% sedangkan untuk ketebalannya ditemukan perbedaan untuk profil dan pipa 10% dan 40%.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.75
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Semakin lama waktu pelapisan dan semakin besar rapat arus listriknya maka
semakin bertambah pula berat pelapisannya dan semakin tebal pula pelapisannya.
2. Untuk peningkatan berat dan tebal pelapisan karena waktu, kelihatan bahwa bentuk
plat lebih cepat dibandingkan bentuk profil L dan pipa.
3. Perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam yaitu dengan banyak melakukan
percobaan untuk mengetahui secara pasti besar laju ketebalan per menitnya dari
pelapisan logam yang terjadi.
4. Pada saat pengujiam sebaiknya lebih berhati-hati karena menggunakan bahan kimia
yang cukup berbahaya, sehingga dapat dihindari halhal yang tidak diinginkan.
5. Perlu diperhatikan pula bahwa pada saat mencampur cairan dalam jumlah banyak
harus sedikit demi sedikit dan harus diperhatikan juga panas yang timbul karena
bisa menyebabkan polusi udara.
6. Dalam melakukan percobaan diperhatikan juga ketahanan wadah terhadap panas,
dan selalu dijaga agar tidak leleh.
7. Berdasarkan evaluasi hasil percobaan ditemukan bahwa hasil pelapisan masih
memiliki kelemahan pada kecemerlangannya, karena untuk ketiga hal lainnya
sudah pernah kami uji dan hasilnya sudah baik. Beberapa saran yang dapat kami
berikan demi kemajuan yang akan datang antara lain:
- Kondisi larutan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap hasil
pelapisan, oleh karena itu konsentrasi, termperatur dan kemurnian larutan harus
selalu dijaga.
- Selama proses pelapisan, konsentrasi larutan elektrolit cenderung tidak berubah
selama tidak ada faktor dari luar yang mengganggu.
8. Hal kedua yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan benda kerja, sebelum
dilakukan pelapisan, benda kerja harus dipoles dengan baik. Hasil poles yang rata
akan menghasilkan pelapisan yang lebih halus.
DAFTAR PUSTAKA
Arsianto, Ashar, Mengenal Teknologi Pelapisan Logam, Balai Besar Logam dan Mesin:
Bandung.
Arsianto, Ashar, Teknik Pelapisan Logam dengan Cara Listrik (Elektroplating), Balai Besar
Logam dan Mesin: Bandung.
Purwanto & Syamsul Huda, 2005, Teknologi Industri Elektroplating, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro: Semarang.
Rahayu, SS, dkk, 1966, Petunjuk Praktikum Elektroplating, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sunardi, 2006, 116 Unsur Kimia, Yrama Widya: Bandung.
Wahyudi, Soleh, 2006, Buku Saku Elektroplating, Technic: Cimahi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Chrom
http://id.wikipedia.org/wiki/Nikel
http://id.wikipedia.org/wi
C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.76
PENGARUH GEOMETRI PERMUKAAN DAN ARUS LISTRIK
TERHADAP PROSES PELAPISAN NIKEL DENGAN ELEKTROPLATING
Sutomo dan Rahmat
Program Diploma III Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Email: sutomo_67@yahoo.com
Abstrak
Sutomo, didalam penelitian pengaruh geometri permukaan dan arus listrik terhadap proses
pelapisan nikel dengan elektroplatung,bertujuan untuk mengetahui geometri manakah yang
akan mempunyai aliran pelapisan yang lebih cepat.Bertambahnya lama proses pelapisan akan
meningkatkan keperluan tenaga listrik dan dana.Berdasarkan geometri pelat,profil L dan
pippa dengan luasan yang sama maka dibuat sampel. Didalam penelitian ini diperoleh
kesimpulan bahwa geometri pelat lebih efectif dibandingkan yang bentuk profil L maupun
pipa.Hal ini disebabkan oleh panjang lintasan atom yang berbeda untuk waktu pelapisan 24
detik akan menghasikan ketebalan pelapisan nikel adalah 47,3 μm, 30 μm 10 μm untuk
plat,profil L serta pipa.
Kata kunci: electroplating, geometri, arus pelapisan, waktu pelapisan.
PENDAHULUAN
Pada proses lapis listrik yang umum dipakai perbandingan anoda dengan katoda sebesar 2 :
1 karena kontaminasi anoda adalah penyebab/sumber utama pengotor, maka usahakan
menggunakan anoda semurni mungkin.
Pada industri pelapisan secara listrik, air merupakan salah satu unsur pokok yang selalu
harus tersedia. Biasanya penggunaan air pada proses lapis listrik dikelompokkan dalam empat
macam, yaitu:
- Air untuk pembuatan larutan elektrolit
- Air untuk menambah larutan elektrolit yang menguap
- Air untuk pembilasan, dan
- Air untuk proses pendingin
Dari fungsi air tersebut dapat ditentukan kualitas air yang dibutuhkan untuk suatu proses.
Air ledeng/kota dipakai untuk proses pembilasan, pencucian, proses etsa (etching) dan pendingin,
sedangkan air bebas mineral (aquadest DM) dipakai khusus untuk pembuatan larutan, analisa
larutan dan pembuatan larutan penambah. Air suling (aquadest) dengan ukuran spesifikasi
konduktifitasnya tidak melebihi dari 50 microhos,
bisa diganti air aqua DM.
Pada proses pelapisan, air yang digunakan harus berkualitas baik. Air ledeng/kota yang
masih mengandung kation dan anion, jika bercampur dengan ion-ion dalam larutan akan
menyebabkan turunnya efisiensi endapan/lapisan.
Unsur-unsur yang tidak diinginkan dalam larutan adalah unsur kalsium dan magnesium,
karena mudah bereaksi dengan cadnium cyanida, cupper cianyda, silver cyanida dan
senyawasenyawanya lainnya, sehingga akan mempercepat kejenuhan larutan.
Unsur dalam air adalah kandungan dari garam-garam seperti bicarbonat, sulfat, chlorid,
dan nitrat. Unsur-unsur garam logam alkali (sodium/potassium) tidak begitu mempengaruhi
konsentrasi larutan, sewatku operasi pelapisan berlangsung, kecuali pada larutan lapis nikel, karena
akan menaikkan arus listrik (throwing power), tetapi akan menghasilkan lapisan yang getas
(brittle).
Adanya logam-logam berat seperti besi dan mangan sebagai pengotor menimbulkan cacat-
cacat antara lain kekasaran (roughness), porous, gores (streakiness), nota-noda hitam (straining),
warna yang suram (iridensceat) atau mengkristal, modular dan keropos. Untuk itu maka diperlukan
air murni (reagent water) untuk membuat larutan dan menggantikan larutan yang menguap. Faktor
yang berpengaruh pada plating Kualitas hasil elektroplating maupun efisiensi arus sangat
dipengaruhi oleh variabel proses sebagai berikut:
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.77
- Konsentrasi elektrolit
- Sirkulasi elektrolit
- Rapat arus
- Tegangan
- Jarak anoda – katoda
- Rasio dan bentuk anoda – katoda
- Distribusi arus
- Temperatur
- Daya tembus (throwing power)
- Epitaxy dan leveling
- Aditif
- Kontaminasi
Konsentrasi Elektrolit
Larutan elektrolit terdiri dari komponen utama berupa senyawa logam dalam bentuk garam
terlarut dan asam atau basa. Senyawa logam merupakan sumber logam yang menempel pada benda
kerja. Larutan asam atau basa dalam elektrolit berfungsi untuk meningkatkan konduktivitas atau
daya hantar listrik. Konsentrasi elektrolit selama proses plating berlangsung akan mengalami
perubahan terutama karena adanya penguapan dan berpindahnya ion logam dari larutan yang
melapisi anoda. Pada umumnya kelebihan kadar logam akan menyebabkan menurunnya kekilapan
dan kerataan lapisan, dan juga mengakibatkan terjadinya pemborosan bahan. Apabila kadar logam
rendah terjadi penurunan konduktivitas sehingga prosesplating menjadi lambat. Oleh karena itu
konsentrasi elektrolit perlu dijaga konstan dengan melakukan analisis larutan secara teratur.
Sirkulasi Elektrolit
Distribusi ion-ion di dalam elektrolit seringkali tidak merata disebabkan adanya kelebihan
ion negatif di sekitar katoda karena terjadinya perpindahan ion logam positif yang terlapis,
sedangkan di sekitar anoda seringkali terjadi kelebihan ion positif yang berasal dari oksidasi logam.
Sirkulasi elektrolit bertujuan agar distribusi ion-ion baik positif maupun negatif di dalam elektrolit
menjadi merata sehingga dapat dihindari terjadinya polarisasi. Polarisasi terjadi bila dua daerah
dalam elektrolit sangat positif dan yang lainnya sangat negatif sehingga diperlukan tegangan yang
lebih tinggi agar arus dapat mengalir
melalui elektrolit dari anoda ke katoda. Sirkulasi elektrolit dapat dilakuakn dengan bantuan pompa
maupun dengan hembusan udara dari blower melalui pipa-pipa yang dipasang di dasar dan tepi
tangki.
TINJAUAN PUSTAKA
Rapat Arus
Berdasarkan hukum Faraday, banyaknya pelapisan sebanding dengan kuat arus. Akan
tetapi dalam praktik, besaran yang diperlukan untuk plating adalah rapat arus yaitu arus per satuan
luas, biasanya dinyatakan dalam Ampere/dm2 (A/dm2) atau Ampere/ft2 (A/ft2). Rapat arus antara
anoda dan katoda besarnya berbeda dan rapat arus katoda merupakan besaran yang perlu
diperhatikan agar kualitas pelapisan pada katoda berkualitas baik dan tidak sampai terbakar.
Semakin besar rapat arus maka laju plating makin cepat dan waktu yang diperlukan untuk me
peroleh lapisan dengan ketebalan tertentu akan makin singkat. Pada praktik bila benda yang
dilakukan plating berjumlah banyak atau luasan benda besar, maka diperlukan arus yang besar dan
kemudian diturunkan bila jumlah benda sedikit atau luasan benda kecil. Rapat arus yang terlalu
tinggi menyebabkan terjadinya panas sehingga benda kerja yang diplating dapat terbakar dengan
ditandai warna yang menghitam.
Tegangan
Tegangan yang diperlukan untuk proses elektroplating tergantung dari jenis, komposisi dan
konsisi elektrolit. Rapat arus dapat dinaikkan dengan menaikkan tegangan, akan tetapi hal ini dapat
menyebabkan terjadinya polarisasi dan tercapainya tegangan batas. Pada keadaan tegangan batas,
tidak terjadi aliran arus melalui elektrolit, dan bila tegangan dinaikkan akan terjadi elektrolisis air
yang menghasilkan gas hidrogen dan oksigen. Tegangan batas dapat dinaikkan dengan cara
sirkulasi elektrolit, mempertinggi temperatur laruran dan memperbaiki konsentrasi elektrolit.
C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.78
Jarak Anoda – Katoda
Jarak anoda – katoda menentukan hantaran arus listrik dan sangat berpengaruh terhadap
keragaman tebal lapisan. Besarnya hantaran berbanding terbalik dengan jarak. Apabila jarak anoda
– katoda kecil, maka hambatan menjadi kecil dan konduktivitas besar sehingga untuk mendapatkan
rapat arus yang besar diperlukan tegangan yang lebih rendah.
V = I . R
V = tegangan (Volt)
I = arus (Ampere)
R = hambatan (Ohm)
Rasio Anoda – Katoda
Perbandingan permukaan anoda – katoda sangat penting untuk menjaga agar ion-ion di
dalam elektroplating selalu seimbang. Standar rasio anoda – katoda tergantung dari jenis plating.
Untuk menjaga agar konsentrasi elektrolit selalu seimbang, misalnya saja konsentrasi tembaga
sulfat terhadap asam sulfat maka pada plating tembaga harus dijaga agar perbandingan anoda
tembaga terhadap benda kerja selalu terjadi kekurangan ion tembaga di dalam larutan dan pelapisan
yang terbentuk menjadi lambat dan tidak normal.
Distribusi Arus
Lintasan arus dari anoda ke katoda tidak semuanya lurus tapi cenderung melengkung
terutama yang berasal dari ujung anoda ke ujung katoda. Keadaan ini menyebabkan rapat arus ke
ujung-ujung katoda menjadi lebih besar sehingga lapisan yang terbentuk pada bagian ujung
cenderung lebih tebal. Itulah sebabnya apabila melakukan plating batangan besi dengan tembaga
ataupun silinder dengan tembaga dan khrom sering dihasilkan ujung-ujung silinder cenderung lebih
tebal dibandingkan pada bagian tengah. Pada plating benda-benda yang rumit seringkali dihasilkan
pelapisan yang tak merata terutama pada daerah arus rendah (low current) yaitu daerah-daerah
yang berlekuk. Untuk mengatasi keadaan tersebut biasanya dipasang anoda sekunder sehingga
dapat diperoleh rapat arus yang seragam dan daerah yang sulit atau berarus rendah dapat diperkuat
dengan adanya anoda bantuan tersebut. Sedangkan pada daerah dengan arus yang tinggi dapat
dipasang pemecah arus yang biasanya berupa plastik berbentuk sikat gigi.
Temperatur
Temperatur berpengaruh terhadap konduktivitas. Temperatur semakin tinggi menyebabkan
konduktivitas larutan makin besar sehingga mempercepat hantaran arus listrik. Pada temperatur
tinggi dapat diperoleh rapat arus yang besar dan juga mempertinggi tegangan bebas polarisasi.
Namun demikian setiap jenis plating mempunyai tentang temperatur operasi optimum yang
berkaitan dengan sifat lapisan logam pada benda kerja maupun sifat dari aditif. Temperatur yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan lapisan terbakar dan terjadi kerusakan aditif.
Daya Tembus (Throwing Power)
Daya tembus didefinisikan sebagai kemampuan proses elektronik untuk menutup katoda
dengan lapisan seseragam mungkin, ditentukan oleh pengaturan geometri tangki dan berbagai
parameter proses termasuk juga jenis elektrolit. Letak geometri katoda – anoda menentukan
distribusi arus primer seperti yang telah dibahas pada distribusi arus di atas. Daya tembus terutama
sangat perlu diperhatikan apabila melakukan plating benda yang rumit. Rapat arus yang besar
cenderung membuat lapisan pada ujung-ujung benda kerja menjadi lebih tebal karena mendapat
rapat arus yang lebih besar. Keadaan ini dapat diatas dengan pemasangan pemecah arus dari bahan-
bahan isolator seperti plastik berbentuk gerigi yang dipasang antara anoda dengan ujung benda
kerja. Idealnya pemasangan anoda – katoda tepat berhadap-hadapan pada jarak yang sama, namun
dalam praktik hal ini jarang dapat dilakukan dan menyebabkan daya tembus tidak sama. Pengaruh
lanjut dari daya tembus adalah distribusi arus sekunder sebagai hasil antara distribusi arus primer
dan polarisasi.
Epitaxy dan Leveling
Pengertian epitaxy adalah lapisan mengikuti bentuk dan struktur dari benda kerja sebagai
katoda, sehingga benda kerja yang kasar menghasilkan lapisan kasar. Contoh dapat diamati bila
benda yang akan dilapisi dengan khrom permukaannya kasar dan berserat maka hasil akhir
pelapisan khrom juga kasar dan berserat. Leveling dimaksudkan bahwa lapisan meratakan bagian-
bagian benda kerja yang cekung, sehingga plating mempunyai kecenderungan menutupi
permukaan-permukaan benda yang cekung menjadi rata. Epitaxy dapat dicegah dengan persiapan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.79
permukaan benda keras yang halus. Pembentukan leveling yang baik dapat dilakukan dengan
penambahan aditif, seperti pemberian aditif pada plating tembaga akan menghasilkan lapisan lebih
keras dan permukaan lebih rata.
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini ditetapkan suatu variabel penelitian, sebab penentuan variabel
merupakan parameter utama yang mempengaruhi hasil penelitian yang akan dicapai. Pada
penelitian ini ditetapkan variabel penelitian sebagai berikut:
1. Variabel bebas Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah besarnya rapat arus dan
lamanya waktu selama proses pelapisan.
2. Variabel kendali Sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu untuk bisa
mendapatkan penambahan berat dan ketebalan yang didapat setelah melakukan proses nikel,
maka variabel kendali dalam penelitian ini adalah berat dan tebal lapisan yang didapt setelah
terjadi proses pelapisan.
Bak diperlukan untuk menampung larutan elektrolit, larutan pencuci dan air pembilas.
Bahan bak tergantung dari jenis dan kondisi larutan yang ditampungnya atau dengan perkataan
lain bahan bak hendaknya tahan terhadap korosi yang ditimbulkan oleh larutan, tahan terhadap
suhu larutan dan tidak mencemari larutan yang ditampungnya. Untuk memenuhi persyaratan
tersebut di atas, maka bak harus dilining. Benda kerja terlebih dahulu harus dibersihkan / dicuci
untuk menghilangkan korosi dan menghilangkan lapisan yang sudah ada. Sebelum dilakukan
proses elektroplating, lakukan dahulu pengukuran berat dan ketebalan benda kerja, catat hasilnya.
Setelah itu dilakukan proses pelapisan nikel pada tegangan tertentu dan waktu tertentu. Pada saat
proses pelapisan nikel berlangsung, amati besar arus yang terjadi pada ampere meter kemudian
catat hasilnya. Setelah selesai proses pelapisan nikel maka lakukan pengukuran berat dan
ketebalan dari benda kerja dan catat hasil pengamatan. Untuk memelihara sarana kerja lakukan
hal-hal berikut: Pada kedua elektroda, batas larutan dan batang penggantung elektroda dalam bak
tidak terdapat halbur garam, kabel penghubung tidak terkelupas pembungkus isolasinya. Asam
yang dipakai adalah asam khlorida dan asam sulfat maupun asam nitrat. Penyimpanannya harus
terpisah dari bahan-bahan lainnya. Sifat bahaya dari senyawa nikel
- Dapat membahayakan mata, paru-paru dan kulit.
- Bersifat racun jika termakan.
- Dapat menyebabkan muntah-muntah.
- Dapat juga menyebabkan diare, bahkan sampai pingsan.
Pengamanannya:
- Pakailah alat pelindung diri (mata, tangan dan paru-paru).
- Jika tercecer dibasahi dengan air lalu disapukan ke tempat sampah.
- Jika terkena kulit, dibasahi dengan air.
- Jika terkena mulut, berkumur lalu dibawa ke dokter.
- Jika terhisap debunya, maka penderita dipindah ke ruang lain dan badannya dihangati.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data-data dari percobaan untuk mengetahui tingkat efektifitas proses pelapisan nikel yang
terjadi pada bentuk-bentuk geometri flat, siku L, sistem pipa. Pada sampel plat, profil, dan pipa
semuanya memperlihatkan bahwa dengan naiknya arus listrik maka akan meningkat pula hasil
pelapisannya karena adanya peningkatan energi aktivasi karena energi listrik sehingga elektron
yang menumpuk semakin banyak yang akan meningkatkan ketebalan pelapisan atau lining.
C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.80
Gambar 7. Hubungan hubungan rapat arus dan laju ketebalan pelapisan nikel bentuk Pipa
Grafik 1. Hubungan rapat arus dan ketebalan
pelapisan nikel bentuk Plat
Grafik 4. Hubungan hubungan waktu dan
berat pelapisan nikel bentuk Plat, Propil-L,
Pipa dan Teori
Grafik 3. Hubungan rapat arus dan
ketebalan pelapisan nikel bentuk Pipa
Grafik 2. Hubungan rapat arus dan
ketebalan pelapisan nikel bentuk Siku
Grafik 6. Hubungan hubungan rapat arus dan
laju ketebalan pelapisan nikel Propil-L Grafik 5. Hubungan hubungan rapat arus
dan laju ketebalan pelapisan nikel bentuk
Plat
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.81
Untuk plat terlihat terjadi lonjakan ketebalan di saat perlu waktu 1200 detik saat arus dari 2
– 4 ampere, tetapi pada profil L terjadi saat 2400 detik, juga pada saat 2 – 4 ampere, seperti pada
pipa. Dari grafik korelasi antara berat pelapisan dengan arus listrik terlihat bahwa waktu yang
digunakan untuk pelapisan (lining) lebih dominan, tetapi perbedaan waktu 600 detik dari 600 –
1200 detik lebih terasa penambahan berat yang melapisinya. Untuk arus yang kecil 2 ampere
geometri flat dengan waktu pelapisan yang lama 2400 detik lebih menguntungkan karena beratnya
dapat meningkat. Dari grafik korelasi antara berat pelapisan dengan waktu yang diperlukan terlihat
bahwa arus 4 ampere disarankan karena hasil pelapisannya hampir sama dengan arus 6 ampere
untuk geometri flat, profil maupun pipa. Sedangkan untuk arus yang kecil 2 ampere, bentuk flat
akan lebih banyak yang dapat dilapiskan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Berdasarkan grafik-grafik hasil percobaan terlihat bahwa hasil pelapisan sangat beragam untuk
setiap bentuk benda kerja pada berbagai kondisi pelapisan. Namun secara garis besar dapat
ditarik dua kesimpulan:
a) Untuk penambahan berap pelapisan pada benda kerja, hampir diperoleh hasil yang sama
untuk kondisi pelapisan yang sama pada ketiga bentuk benda kerja. Efisiensi yang kecil
pada pipa disebabkan oleh karena pada pipa hanya bagian luarnya saja yang terlapis
sedangkan bagian dalamnya tidak, sehingga jumlah larutan yang menempel lebih sedikit.
Hal ini disebabkan pada bagian dalam pipa tidak terjadi aliran elektron karena tertutup
badan pipa sehingga aliran elektron hanya terfokus pada bagian luar pipa.
b) Untuk penambahan ketebalan benda kerja juga diperoleh kesimpulan yang sama, selama
luasan yang dilapis sama. Adapun penambahan tebal yang lebih besar pada pipa jika
dibandingkan dengan plat dan profil L disebabkan oleh karena pada pipa
c) hanya bagian luarnya saja yang terlapis sendangkan bagian dalamnya tidak. Sehingga jika
berat pelapisan sama akan tetapi luasan pelapisan lebih kecil, maka hasil pelapisannya akan
menjadi lebih tebal.
2. Besar ketebalan nikel yang terjadi tergantung dari rapat arus yang digunakan. Pada waktu
pelapisan yang sama jika rapat arus yang digunakan semakin naik / besar maka semakin naik /
besar pula ketebalan nikel yang terjadi.
3. Laju ketebalan pelapisan sangat bergantung dari rapat arus yang digunakan, yaitu semakin
naik rapat arus yang digunakan, semakin naik pula laku ketebalan pelapisan yang terjadi.
4. Efisiensi pelapisan terbaik adalah pada plat, hal ini dikarenakan bentuknya yang sederhana
sehingga kedua penampang plat dapat terlapis dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arsianto, Ashar, Mengenal Teknologi Pelapisan Logam, Balai Besar Logam dan Mesin:
Bandung.
Arsianto, Ashar, Teknik Pelapisan Logam dengan Cara Listrik (Elektroplating), Balai Besar
Logam dan Mesin: Bandung.
Purwanto & Syamsul Huda, 2005, Teknologi Industri Elektroplating, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro: Semarang.
Rahayu, SS, dkk, 1966, Petunjuk Praktikum Elektroplating, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sunardi, 2006, 116 Unsur Kimia, Yrama Widya: Bandung.
Wahyudi, Soleh, 2006, Buku Saku Elektroplating, Technic: Cimahi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Chrom
http://id.wikipedia.org/wiki/Nikel
http://id.wikipedia.org/wiki/Rectifier
C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.82
PENGARUH KONSENTRASI Cu TERHADAP SIFAT MEKANIS PADUAN Al Cu
PADA PROSES PEMBEKUAN SEARAH (UNIDIRECTIONAL SOLIDIFICATION)
Sugeng Slamet*1)
, Suyitno 2)
1)Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus
2)Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
*)E-mail : sugeng_hanun@yahoo.co.id
Abstrak
Meningkatkan sifat mekanis bahan logam dapat ditempuh dengan beberapa cara, salah
satunya adalah melalui rekayasa pembekuan searah (unidirectional solidification). Proses ini
dilakukan dengan cara mengatur gradien temperatur sehingga terjadi laju pendinginan
lambat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh konsentrasi Cu pada paduan
Al-Cu terhadap sifat mekanis melalui pengujian tarik dan pengujian kekerasan. Material
utama adalah Al- dengan paduan (2.2, 3.1, 4.4,dan 4.7 %Cu) dilebur pada temperatur 700-710 0C menggunakan dapur listrik dengan media pendingin air. Pengujian spesimen dilakukan
dengan membandingkan struktur mikro yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi.
Pengujian sifat mekanis dilakukan dengan membandingkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik
pada material awal terhadap hasil pembekuan searah pada masing-masing konsentrasi Cu.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa struktur kolumnar terlihat lebih jelas pada konsentrasi
4,4 %Cu dan 4,7 %Cu, sedangkan pada konsentrasi 2,2 %Cu dan 3,1 %Cu sturktur kolumnar
cenderung sulit terbentuk. Sifat mekanis bahan yang meliputi kekuatan tarik dan kekerasan
bahan meningkat dari material awal untuk semua konsentrasi Cu. Al-4,4%Cu mempunyai
kekuatan tarik dan kekerasan bahan lebih tinggi dibandingkan dengan Al-(2,2 ; 3,1 dan 4,7%
Cu). Hal ini juga dipengaruhi oleh kelarutan unsur Magnesium dan Silikon yang ada dalam
paduan.
Kata kunci: pembekuan searah, kolumnar-dendrit, sifat mekanis
PENDAHULUAN
Perbaikan sifat mekanis suatu bahan dapat dilakukan melalui beberapa cara baik melalui
perlakuan panas, pengerasan endapan maupun rekayasa pembekuan (Amstead, 1989).
Metode pembekuan searah adalah proses untuk meningkatkan terbentuknya dendrite arm
spacing dan menurunkan kekasaran butir terutama pada daerah hypoeutectic (Oakwood dkk, 2002)
serta mengarahkan pertumbuhan butir menjadi searah dengan mengatur laju aliran kalor (Smith
dkk,1967). Metode ini dapat meningkatkan sifat mekanis material dalam hal ketangguhan,
kekuatan tarik dan kekuatan mulur (creep) (Axmann, 1983).
Aluminium murni memiliki kekuatan dan sifat mekanis yang rendah, maka untuk
memperbaiki sifat-sifat mekanisnya harus dipadu dengan unsur lainnya. Paduan Al-Cu mempunyai
kelebihan antara lain ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, tahan terhadap retak, mampu
mesin dan las, koefisien pemuaian yang kecil ( Saito dan Surdia,1992).
Paduan Al-Cu digunakan untuk konstruksi keling, konstruksi badan pesawat terbang,
impeller pompa dan sudu turbin. Untuk aplikasi dimana membutuhkan kemampuan yang tinggi
untuk menahan beban aksial dan kekuatan mulur (creep) rendah sangat dibutuhkan orientasi butir
searah (Robert, 2000).
Pada penelitian ini akan diteliti pengaruh komposisi Cu pada pembekuan searah terhadap
struktur mikro dan kekerasan paduan Al-Cu.
STUDI PUSTAKA
Al-Cu adalah kombinasi dari logam aluminium yang mempunyai sifat ringan, tahan korosi,
mudah dimesin, dengan tembaga yang mempunyai sifat penghantar listrik yang baik, keuletan yang
tinggi dan juga sifat tahan korosi (Surdia dan Saito,1992).
Paduan Al-Cu dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu hypoeutectic, eutectic dan
hypereutectic. Pada paduan Al-Cu dengan komposisi tembaga < 33% disebut hypoeutectic. Titik
eutectic pada paduan Al-Cu terdapat pada kandungan Cu sebesar 31,9 sampai 32,9%. Sedangkan
kandungan tembaga >33,0% disebut hypereutectic (Murray, 1985).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.83
Diagram fase biner paduan Al-Cu ditunjukkan pada Gambar 1.1. Fase yang terjadi selama
proses pembekuan dari ketiga golongan paduan Al-Cu dapat dijelaskan sebagai berikut: sebagai
contoh pada paduan Al-Cu hypoeutectic dengan kandungan 5,7% Cu, dengan menurunkan
temperatur dibawah garis liquidus maka fase yang terjadi adalah L + α dimana pada fase ini sudah
mulai terbentuk pengintian dendrit aluminium. Ketika temperaturnya diturunkan lagi dibawah garis
solidus (548 oC) maka semua fase cair akan berubah menjadi fase padat dan berujung dengan
terbentuknya struktur berbentuk dendrit, fase yang terjadi pada kondisi ini adalah α + θ.
Gambar 1.1 Diagram fase binary Al-Cu (Surdia dan Saito, 1992).
Titik eutectic pada paduan Al-Cu terjadi pada temperatur 548 oC dengan kandungan
tembaga 33,0%. Ketika temperatur diturunkan dibawah titik eutectic maka reaksi yang terjadi
adalah L α + θ , dimana L adalah fase cair, α adalah fase aluminium dan θ adalah fase tembaga.
Pada kondisi ini pengintian terjadi secara cepat dan menghasilkan struktur akhir berbentuk dendrit.
Pada paduan Al-Cu dengan kandungan Cu >33,0% disebut hypereutectic. Ketika
temperatur diturunkan dibawah garis liquidus maka fase yang terbentuk adalah L + θ, dimana pada
fase ini sudah mulai terbentuk pengintian fase tembaga. Selanjutnya dengan menurunkan
temperatur lebih rendah lagi sampai melewati garis solidus maka semua fase cair akan berubah
menjadi fase padat dan berakhir dengan menghasilkan struktur dendrit α + θ.
Proses pembekuan coran sebagaimana pada Gambar 1.2 dimulai dari bagian logam yang
bersentuhan dengan cetakan, yaitu ketika panas dari logam cair diambil oleh cetakan sehingga
bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan itu mendingin sampai titik beku, kemudian inti
kristal tumbuh (Fleming,1974).
Gambar 1.2 Struktur mikro logam pada cetakan ( Colton, 1992)
Bentuk butir dan ukurannya sangat tergantung pada pertumbuhan butir selama proses
pembekuan. Meski besar butir dinyatakan dalam ukuran diameter, sangat sedikit sekali butiran
logam fasa tunggal yang bentuknya bulat. Bentuk butir lain adalah bentuk pipih, kolumnar dan
dendritik (Van Vlack dan Sriati, 1983).
Struktur selular terjadi melalui proses pendinginan superkomposisi dengan bentuk butir
saling sejajar dan searah pertumbuhan kristal. Adanya gradien temperatur, menyebabkan bidang
antar permukaan menjadi kurang stabil dan cenderung tumbuh kearah lain. Proses ini berlangsung
terus-menerus sampai akhirnya terbentuk sederetan struktur selular yang disebut juga struktur
closed packed.
Struktur Selular dendrite terjadi bila gradien temperatur berkurang dan luas daerah
pendinginan superkomposisi semakin dominan, karakteristiknya akan berubah menjadi struktur
dendrit. Bentuk selular dengan ujung semi-lingkaran akan berubah menjadi struktur dendrit dengan
C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.84
ujung berbentuk piramid dan bahkan berbentuk kubah. Secara keseluruhan struktur selular dendrit
membentuk cabang dari jaring-jaring yang saling berhubungan satu dan lainnya. Kolumnar-dendrit merupakan bentuk butir kristal yang menyerupai cabang pohon. Struktur
kolumnar-dendrit ditunjukkan pada Gambar 1.3
Struktur ini terjadi jika gradien temperatur pada permukaan coran besar, misalnya pada
pengecoran dengan cetakan logam (Surdia dan Saito, 1992; Rusli, 1995). Sementara struktur
equiaxed terjadi karena laju pendinginan yang sangat tinggi, sehingga mudah terjadi makro
segregasi.
Laju pembekuan sangat menentukan struktur butir yang terbentuk. Laju pembekuan antara
0,01-0,5 μm/detik didapatkan pertumbuhan butir kolumnar-dendrit dari dasar sepanjang 2 inci pada
baja karbon rendah. Butiran dendrit semakin kasar dengan penambahan laju pembekuan (Smith
dkk, 1967 ; Oakwood dkk, 2002 ; Amauri dkk, 2002). Penurunan laju pembekuan antara 0,03–0,2
μm/detik didapatkan bentuk butir primary dendrite arm spacing, secondary dendrite arm spacing,
dendrite tipe radius dan mushy zone depth yang lebih jelas ( Gunduz dkk, 2001).
Konsentrasi unsur pada paduan akan mempengaruhi pembentukan struktur butir dendrit.
Pada paduan Al-Cu dengan variasi konsentasi, perubahan struktur dendrit mulai terjadi pada
temperatur 973 K (Gunduz dkk, 2001). Konsentrasi Zn yang rendah (<30 % berat) pada paduan Al-
Zn, lebih sulit terbentuk struktur butir dendrit pada daerah eutektik (Gonzales dan Rappaz, 2006).
Pengaruh gradien temperatur (G) dan laju pembekuan (V) yang rendah pada masing-masing
konsentrasi akan meningkatkan primary dendrite arm spacing (λ1), secondary dendrite arm
spacing (λ2), dendrite tipe radius (R), dan mushy zone depth (d) (Kou, 1987; Gunduz dkk, 2001).
Proses pembekuan searah meningkatkan sifat mekanis material seperti : kekerasan,
kekuatan mulur, kekuatan bending dibandingkan dengan proses pengecoran konvensional (Smith
dkk, 1967; Axmann, 1983; Piwonka, 1992; Kim, dkk, 2000).
METODOLOGI PENELITIAN
Al-4,7%Cu dalam bentuk ingot sebagai material dasar, untuk membuat beberapa variasi
konsentrasi Cu dilakukan dengan menambahkan Al 99% dengan perbandingan berat. Tabel1.
menunjukkan komposisi paduan Al-(2.2, 3.1, 4.4, 4.7%Cu) setelah dilakukan uji dengan
spectrometer.
Tabel 1. Komposisi kimia paduan (%)
Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al
0,1 0,2242 2,221 0,0089 0,0052 0,065 0,0147 0,0043 0,0008 0,002 0,0043 97,35
Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al
0,12 0,2866 3,189 0,0090 0,0063 0,0708 0,0150 0,0060 0,0014 0,0041 0,0079 96,28
Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al
0,46 0,0986 4,450 0,000 0,4978 0,0345 0,0026 0,0470 0,0003 0,0036 0,0081 94,39
Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al
0,12 0,1468 4,767 0,0135 0,0071 0,0868 0,0085 0,0082 0,0013 0,0039 0,0089 94,83
Proses untuk menurunkan komposisi sampai dengan menuang ke dalam cetakan dilakukan
dengan menggunakan dapur peleburan konvensional dengan temperatur tuang 700 0C. Proses
Gambar 1.3 Struktur kolumnar dendrit ( Sindo Kou,1987)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.85
pembekuan searah dilakukan dengan cara melebur kembali logam yang telah ada dalam cetakan
dengan menggunakan dapur listrik sampai temperatur 700-710 0C. Besarnya pengaruh komposisi
yang ada pada paduan mulai terjadi pada temperatur tinggi yaitu ≥ 973 K (Gunduz dkk, 2001).
Setelah itu cetakan diturunkan untuk melakukan proses pendinginan sampai batang chill masuk
kedalam media air sepanjang 5 cm dan ditahan selama ± 10 menit. Gambar 1.4 dan 1.5
menunjukkan peralatan dan mekanisme pembekuan searah.
Cetakan terbuat dari logam dengan diameter dalam 5 mm, diamater luar 6 mm dan panjang
100 mm. Untuk menghambat pembekuan dari arah samping digunakan tanah liat (clay) yang
menyelimuti seluruh permukaan cetakan. Gambar 1.6 menunjukkan desain cetakan untuk
pembekuan searah.
Pengujian kekerasan Brinell menggunakan indentor bola baja dengan diamater 2,5 mm dan
beban 60 kg. Mesin yang digunakan untuk pengujian ini adalah Weinheim-Birkenau tipe 38505.
Pengujian dilakukan pada lima titik yang berbeda mulai dari dasar cetakan ke atas pada spesimen
potongan melintang sepanjang 60 mm dan tiga titik pada potongan membujur dengan diameter 5
mm, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.7.
Gambar 1.7 Pengujian kekerasan (a) potongan membujur (b) potongan melintang
Pengujian kekuatan tarik menggunakan Servopulser SHIMADZU tipe EHF-EB20.
Spesimen uji tarik ini dibuat berdasarkan standar ASTM B 557M (ASTM, 2002) sebagaimana di
tunjukkan pada Gambar 1.8. Beban maksimal yang diberikan pada spesimen sebesar 2000 kg.
Gambar 1.8 Spesimen uji tarik (ASTM, 2002)
Gambar 1.5 Mekanisme Pembekuan searah Gambar 1.4 Peralatan pembekuan searah
Gambar 1.6. Cetakan pembekuan searah
60 mm
5 mm
3
2 1
1 2 3 4 5
(a) (b)
C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)
ISBN 978-602-99334-1-3
C.86
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil nilai kekerasan yang dilakukan pada potongan membujur berdasar titik pengujian,
menunjukkan terjadi penurunan nilai kekerasan dari pangkal hingga ke atas cetakan akibat makin
cepatnya laju pendinginan. Paduan Al-4,4% Cu menurun nilai kekerasannya sebesar 7,73%, Al-
4,7% Cu menurun nilai kekerasannya 5,07%, sedangkan Al-3,1% dan 2,2 % Cu nilai kekerasannya
relatif stabil dari dasar hingga atas cetakan. Gambar 1.9 menunjukkan hubungan antara titik
pengujian dari pangkal ke atas cetakan terhadap nilai kekerasan paduan.
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5
Titik pengujian
Nil
ai
kek
era
san
(B
HN
)
Al-4,7%Cu Al-4,4%Cu Al-3,1%Cu Al-2,2%Cu
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2,2 3,1 4,4 4,7
Konsentrasi Cu (% )
Nil
ai
kek
era
san
(B
HN
)
Material awal Hasil pembekuan searah
Nilai kekerasan hasil pembekuan searah yang dilakukan pada spesimen yang dipotong
membujur sepanjang 60 mm ditunjukkan pada Gambar 1.10. Pada gambar tersebut memperlihatkan
peningkatan kekerasan pada semua konsentrasi Cu.
Material awal Al-4,4%Cu menunjukkan peningkatan nilai kekerasan yang relatif besar
mencapai 58,24% dibanding Al-3,1%Cu, hal ini disebabkan adanya konsentrasi magnesium yang
relatif besar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.
Sedangkan nilai kekuatan tarik gambar 1.11 memperlihatkan dengan jelas hubungan
antara konsentrasi Cu (%) dengan kekuatan tarik, dimana kekuatan tarik dari paduan berbanding
lurus dengan nilai kekerasannya. Konsentrasi Cu akan meningkatkan kekuatan tarik paduan lebih
tinggi dari kekuatan tarik material awalnya.
Hasil pengujian tarik yang dilakukan menunjukkan bahwa struktur hasil pembekuan searah
butir kolumnar-dendrit pada paduan Al-Cu akan meningkatkan kekuatan mekanis (Kim, dkk, 2000;
Axmann, 1983).
0
50
100
150
200
250
2,2 3,1 4,4 4,7
Konsentrasi Cu(%)
Kek
uat
an t
arik
(M
pa)
Material awal Hasil pembekuan searah
Gambar 1.11 Hasil uji tarik paduan Al-Cu
Struktur mikro patahan tarik Gambar 1.12 (a) dan (b) memperlihatkan terjadinya patahan
tarik pada struktur mikro kolumnar dendrit. Paduan Al-(2,2 dan 3,1%Cu) terjadinya patahan akibat
beban tarik disebabkan pengkasaran butir dan segregasi. Sementara patahan tarik paduan Al-(4,4
dan 4,7%Cu) terjadi pada daerah dimana adanya pengumpulan segregasi di sekitar butir kolumnar
dendrit.
Gambar 1.9 Nilai kekerasan Al-Cu dari
pangkal hingga jarak 60 mm
Gambar 1.10 Nilai kekerasan paduan Al-
Cu arah membujur
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.87
Gambar 1.12 Bentuk patahan tarik pembekuan searah (a) 4,7%Cu, (b) 4,4%Cu, (c)
3,1%Cu, (d) 2,2%Cu.
KESIMPULAN
Konsentrasi Cu juga mempengaruhi sifat mekanis paduan. Proses pembekuan searah
meningkatkan sifat mekanis paduan dari material awal pada semua variasi konsentrasi Cu. Paduan
Al-4,4%Cu hasil pembekuan searah menunjukkan peningkatan kekerasan yang tinggi 85,41 BHN
dan kekuatan tarik sebesar 179,28 MPa. Peningkatan kekerasan dan kekuatan tarik Al-4,4%Cu juga
disebabkan adanya unsur magnesium dan silikon yang relatif besar. Penambahan konsentrasi
4,7%Cu menyebabkan peningkatan segregasi yang dapat menyebabkan penurunan sifat
mekanisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amstead B.H. dkk, 1989, “ Teknologi Mekanik” edisi 7, Erlangga, Jakarta, pp.156-157.
Axmann.W, 1983,” Dynamic Directional Solidification”,Workshop RWTH Aachen,pp.71-95.
Fleming,M.C, 1974, ” Solidification processing”, Mc Graw-Hill Book Company, New
York,pp.181-183.
Gunduz.M and Cadirh.E ,2001,”Directional solidification of Aluminium-Copper
alloys,”Elsevier,pp.167-185.
Murray J.L,1985,” Binary Alloy Phase Diagrams”,Int.Met.Rev.Trans. Metal.Soc.AIME.
Oakwood T.G, Goodrich G.M,2002, ”Role of Gravity Forces on the Directional Solidification of
Gray Cast Iron”, American Foundry Society,USA,pp.1-17.
Robert S.G, 2000, “ High Performance Alloys “,Trans Tech Publications LTD,USA.
Rappaz,Michel, Beckermann,C, dan Trivedi,R, 2004,” Solidification Processes and Microstructures
“, TMS,USA,pp.225,
Smith.L and Beeley P.R, 1967,”Controlled directional solidification of steel,”Leeds
University,pp.330-333.
Surdia dan Saito, S., 1992, “ Pengetahuan bahan teknik”, P.T. Pradnya Paramitha, Jakarta. pp. 135.
Sindo Kou,1987,” Welding Metallurgy”, John Wiley and Sons,Wisconsin,pp.129-140.
Van Vlack. H, Lawrence, dan Djaprie, S,1983,” Ilmu dan Teknologi Bahan “,Erlangga,Jakarta
pp.225-231
200 μm 200 μm
a b
Kolumnar
dendrit
Kolumnar
dendrit
c d
200 μm 200 μm
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.1
PENERAPAN METODE RATING FAKTOR DAN MEKANIKA
UNTUK PERBAIKAN RANCANGAN GEROBAK BAKSO SEPEDA MOTOR
SEBAGAI UPAYA MENJAMIN KESELAMATAN PENGENDARA
Lobes Herdiman1, Taufiq Rochman
1, dan Hendry Pallas Prasetyo
2
1 Staf pengajar Jurusan Teknik Industri FT-UNS, Surakarta 2 Alumni mahasiswa Teknik Indsutri FT-UNS, Surakarta
Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Produk
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Jebres, Surakarta 57126, Telp/Fax. (0271) 632110 e-mail : lobesh@gmail.com
Abstrak
Rancangan pada gerobak bakso sepeda motor yang digunakan untuk berjualan keliling belum
mempertimbangkan aspek keseimbangan beban, kemudahan mobilitas, tempat penyajian, dan
daya tarik pembeli. Penelitian ini bertujuan memperbaiki pada rancangan gerobak bakso
sepeda motor berdasarkan kemudahan pelayanan bagi pembeli dan keseimbangan muatan
pada sepeda motor. Identifikasi awal dilakukan pada gerobak bakso sepeda motor di wilayah
Surakarta dan sekitarnya. Perbaikan awal ini melalui penerapan rating faktor untuk
pertimbangan dalam penempatan bagian-bagian dari peletakan beban muatan. Penentuan
ukuran pada dimensi rangka dengan memperhatikan aspek anthropometri. Hasil pada
penelitian ini memperoleh keseimbangan momen untuk penempatan beban muatan bagian
sisi kanan dan sisi kiri dari rancangan gerobak sepeda motor. Keseimbangan momen
keseluruhan untuk gerobak bakso sebesar 91,684 Nm. Bagian sisi kanan diseimbangkan
pada beban isi kompor 34,0 Nm dan beban isi dandang 46,84 Nm. Keseimbangan momen
untuk beban dan rangka di setiap komponen dicapai 162,74 Nm. Hasilnya pada gerobak
bakso sepeda motor memiliki tempat penyajian yang menjadi daya tarik pembeli, dan beban
muatan lebih seimbang agar memudahkan dalam mobilitas dan keselamatan pengendara.
Kata kunci: Gerobak bakso sepeda motor, faktor rating, anthropometri, momen
Pendahuluan Salah satu dari makanan yang disukai dan digemari sejak lama oleh masyarakat Indonesia
adalah bakso, makanan yang berasal dari negeri Cina (www. artikel. bermutu.com). Awalnya bakso
dibuat dengan bahan daging sapi, tetapi saat ini jenisnya semakin variatif. Bahan bakso mulai dari
bakso daging sapi, bakso ikan, bakso udang, hingga bakso keju. Bakso dihidangkan bersama mie
kuning, bihun, daging cincang, sawi dan tauge. Perlengkapannya terdiri dari saus tomat, saus cabai,
sambal dan kecap yang membuat makanan ini semakin nikmat disantap. Diasumsikan bilamana
jumlah penduduk sebanyak 238 juta jiwa. Survei satu dari seratus orang Indonesia rata-rata
mengonsumsi sebutir bakso sehari. Penjualan bakso mencapai lebih 868 juta butir bakso dalam
setahun (www.penebar-swadaya.com).
Meskipun kenyataanya di suatu daerah terdapat lebih dari satu pedagang bakso. Peluang
untuk bisnis berjualan bakso masih terbuka disebabkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap
makanan bakso yang tinggi (www.bakso-cakman.com). Alternatif media jualan dari gerobak bakso
dorong yang dimodifikasi sedemikian rupa. Gerobak bakso dapat diangkut di atas sepeda motor
tanpa harus mengurangi kapasitas angkut peralatan yang mendukung dalam penjualan bakso.
Persaingan dalam usaha penjualan bakso yang menggunakan fasilitas penjualannya menggunakan
sepeda motor terus bermunculan (karbonjournal.org).
Kondisi ini menuntut kreativitas para penjual bakso sepeda motor dalam merancang
gerobak bakso agar dapat menarik pembeli. Meskipun, rancangan gerobak bakso yang ditempat-
kan di sepeda motor yang selama ini dibuat atau dipesan oleh penjualnya masih belum
memperhatikan keselamatan bagi pengendaranya. Keseimbangan beban dalam mengendara sepeda
motor masih terganggu akibat kekurangtepatan beban dalam penempatan gerobak bakso pada
sepeda motor. Kondisi ini dapat menyebabkan kecelakaan karena ketidakseimbangan posisi
pengendara motor dan muatan pada saat mengendarai sepeda motor.
D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.2
Proses perancangan dari perbaikan rancangan gerobak bakso merupakan sebuah langkah
strategis untuk menghasilkan produk yang secara komersial harus dicapai guna menghasilkan laju
pengembalian modal (rate of return on investment). Rancangan teknik (engineering design) dari
sebuah produk akan terkait dengan semua analisis perhitungan yang menyangkut pemilihan dan
perhitungan kekuatan material, dimensi geometris, toleransi dan standar kualitas yang dicapai.
Wignjosoebroto (2000) kesemuanya ini menentukan kualitas dan reliabilitas produk untuk
memenuhi tuntutan fungsi serta spesifikasi teknis yang diharapkan.
Perancang produk harus dapat mengintegrasikan aspek manusiawi dalam karya
rancangannya dalam sebuah konsep “human integrated design” (Pulat, 1992; Gupta, 1980).
Manuaba (2006) mengungkapkan masalah utama yang dihadapi pada pengangkutan produk di
industri primer dapat meliputi sistem angkat-angkut seperti sikap kerja yang tidak alamiah,
rancangan peralatan yang kurang tepat guna, pengorganisasian waktu yang tidak tepat, hanya
menggunakan pertimbangan faktor ekonomi dan teknik saja saat memecahkan masalah. Adanya
partisipasi sejak fase perencanaan mulai dari pengguna atau mereka yang terlibat dengan
permasalahan yang akan ditangani atau yang akan timbul (Manuaba, 2005). Analisis faktor
manusia dalam proses perancangan produk ini meliputi evaluasi karakteristik data fisiologi dan
psikologi manusia yang nantinya menjadi segmen utama dalam mengoperasikannya.
Evaluasi rancangan gerobak bakso sepeda motor yang dalam dimensi ukuran
(anthropometri) dengan memperhatikan manusia memiliki bentuk tubuh, karakter fisik yang
berbeda-beda (Wignjosoebroto, 1997). Penentuan geometris ukuran produk yang dirancang sedapat
mungkin mampu memberikan kelonggaran (Duncan, 1991). Agar digunakan ataupun dioperasikan
oleh mayoritas populasi secara leluasa bebas mengatur dan beradaptasi dengan ukuran anggota
tubuh masing-masing (Wignjosoebroto, 1997).
Tujuan dari paper ini untuk memperbaiki rancangan gerobak bakso sepeda motor. Analisa
rancangan dengan metode metode rating faktor, diperlukan untuk memberikan jaminan agar
rancangan mampu memenuhi harapan konsumen dan produsen. Pemilihan rancangan gerobak
bakso untuk keperluan penjualan berdasarkan dari segi estetika visual, higienis dan lay out gerobak
bakso agar mempunyai daya tarik pembeli (Ulrich dan Eppinger, 2000). Analisa teknis mekanika
diarahkan dalam hal meningkatkan derajat kualitas dan reliabilitas performansi dari produk guna
menghasilkan fungsi-fungsi (spesifikasi teknis) yang diharapkan. Penentuan keseimbangan gerobak
bakso mempertimbangkan dari mobilitas penjual pada saat sepeda motor yang digunakan sebagai
bagian dari fasilitas penjualan agar menghasilkan produk yang komersial dan berdaya saing.
METODOLOGI Pengamatan dilakukan pada 40 penjual di Kota Surakarta dan sekitarnya dengan berbagai
macam model gerobak bakso yang di survei dan diwawancarai. Model gerobak bakso yang
menggunakan fasilitas sepeda motor dikelompokkan menjadi 3 model. Pertama, terbuat dari rangka
kayu dengan dinding terbuat dari seng. Kedua, terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari
triplek. Ketiga, terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari seng.
Ukuran anthropometri penjual bakso melibatkan 40 orang yang diukur terdiri dari tinggi
bahu, plopitael menggunakan persentil 95 (Panero dan Zelnik, 2003). Dimensi dari lebar gerobak
bakso 90 cm disesuaikan ketentuan yang dikeluarkan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya
(DLLAJ) dengan kecepatan maksimum 80 km/jam (UU No. 22 tahun 2009). Pemilihan lay out
rancangan gerobak bakso menggunakan metode rating factor (Heizer, 1999). Pemilihan metode ini
untuk mengakomodasi keinginan dan kebutuhan dari penjual yang menggunakan gerobak bakso
sepeda motor. Penentuan keseimbangan rancangan gerobak bakso sepeda motor dihitung
berdasarkan momen terhadap beban (Popov, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan bisnis dalam cara menjajakan dalam menjual bakso keliling terjadi inovasi
dengan menggunakan fasilitas sepeda motor. Bentuk gerobak bakso sepeda motor yang digunakan
untuk menunjang kegiatan berjualan bakso harus mampu membawa peralatan yang terdiri dari
dandang, kompor, tempat bumbu, mangkok, sendok, garpu, dan ember. Rancangan gerobak bakso
sepeda motor berdasarkan dimensinya dikelompokkan menjadi tiga model. Gerobak pertama
terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari seng.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.3
Gambar 1. Spesifikasi dan muatan dari gerobak bakso sepeda motor
Karakteristik di sisi kanan gerobak terdapat dandang dilengkapi kompor di bagian kanan
bawah. Sisi kiri atas untuk meletakan bakso cadangan, bakso goreng, pangsit, mei kuning dan
bihun. Sisi kiri bawah sebagai tempat menyimpan mangkok dan peralatan cuci. Bumbu bakso
ditempatkan di tengah.
Gambar 2. Model gerobak bakso sepeda motor dan ukurannya
Gerobak kedua terbuat dari rangka kayu dan dinding terbuat dari triplek. Karakteristik, sisi
kanan terdapat bakso cadangan, tempat mangkok, ember, dan tempat sendok garpu. Sisi kiri
terdapat dandang dan kompor. Gerobak ketiga terbuat dari rangka kayu dan dinding terbuat dari
seng. Sisi bagian kanan atas digunakan untuk meletakkan dandang dan kompor. Sisi kiri untuk
menempatkan bakso cadangan, bihun, dan pangsit.
Bagian dari karakteristik gerobak bakso digunakan untuk menentukan titik lokasi
berdasarkan metode faktor rating (Heizer, 1999). Metode ini digunakan karena melibatkan banyak
faktor dan mudah digunakan untuk menilai faktor yang berpengaruh. Alternatif yang dipilih
memiliki atribut faktor yang sudah ditentukan.
urutanjumlahTotal
urutankebalikanBobot ………………..……………………………..…..(1)
Bobot : Bobot tiap faktor yang berpengaruh.
Kebalikan urutan : Kebalikan dari urutan faktor pembobotan, jadi urutan awal jadi urutan
yang terakhir jadi awal.
Total jumlah urutan : Jumlah dari semua urutan.
Setelah di dapat bobot, diperoleh skor terbobot dengan ketentuan.
Skor terbobot = bobot x skor lokasi .......................................................... (2)
Skor terbobot : Pengaruh faktor yang ada
Bobot : Bobot tiap faktor yang berpengaruh.
Skor lokasi : Tingkat faktor pada lokasi
Pemberian skor pada setiap faktor disetiap lokasi yang ada, lokasi yang dipilih memiliki
atribut faktor yang sangat pekat maka diberi nilai yang tinggi. Berikutnya menghitung bobot tiap
faktor dengan jalan membagi kebalikan urutan dengan total jumlah urutan yang ada.
Mangkok yang dipilih berbahan keramik, melamin, dan plastik. Parameter yang diper-
timbangkan terdiri dari keamanan, berat, kehigienisan, dan daya tahan terhadap panas. Keamanan
perlu diperhatikan karena terkait bahaya yang ditimbulkan mangkok dalam hal ini termasuk ke
dalam barang pecah belah. Apabila mangkok yang digunakan cenderung mudah pecah, dapat
melukai pemakainya (menimbulkan luka).
Tempat bumbu merupakan kelengkapan penyajian bakso yang perlu diperhatikan.
Pemilihan tempat bumbu terdiri dari botol, kemasan kecil (sachet), dan tempat plastik. Parameter
yang dipertimbangkan meliputi kehigienisan, daya tampung, dan kemudahan penjual. Metode
faktor rating terpilih terdiri dari dandang bakso dengan bahan stainless steel dipilih karena
memiliki higienitas, tingkat keawetan, dan harga. Kompor arang dipilih karena aman, tidak
berpengaruh pada rasa bakso dan tahan awet. Mangkok dipilih mangkok melamin dengan kriteria
tidak mudah pecah, higienis, dan tahan panas. Tempat bumbu menggunakan wadah plastik.
D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.4
Tabel 1. Penentuan dalam pemilihan bahan untuk rancangan gerobak bakso
Rangka menggunakan alumunium disebabkan awet dan ringan. Dinding yang terbuat dari
seng dan sistem pemasangannya menggunakan tali pengait. Selanjutnya ukuran dimensi meng-
gunakan data anthropometri untuk persentil tinggi bahu yang dihitung dari alas duduk tbp (P95)
setinggi 60 cm. Persentil plopiteal yang dihitung dari panjang jok bagian depan saat duduk ppd
(P95) panjang 47 cm pada perbaikan gerobak bakso sepeda motor.
Tabel 2. Pemilihan rating faktor untuk rancangan gerobak bakso
Rancangan untuk muatan dan rangka dari gerobak bakso harus memberikan keseimbang-an
antara bagian sisi kanan dan kiri pada sepeda motor, guna menjamin keselamatan pengendara
dalam mobilitas penjual bakso. Keseimbangan ini diperoleh dengan menghitung momen (Mσ) dan
titik tengah dari lebar jok sepeda motor digunakan pusat tumpuan atau titik 0.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.5
Gambar 3. Momen keseimbangan beban isi muatan
Persamaan menentukan keseimbangan muatan pada rancangan gerobak bakso.
∑Mσ = 0 ……………………………….…………………………………………..(3)
∑MRancangan gerobak bakso = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑MRangka (kanan-kiri ) .......................................(4)
∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) = ∑Mdandang dan kompor + ∑Mbakso cadangan + ∑Msaos-kecap cadangan dan mangkok
+ ∑Member-air dan arang + ∑Mmie dan pangsit + ∑Mbumbu tambahan + ∑Msendok dan garpu
+ ∑Mtempat saos dan kecap .................................................................................................(5)
∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) = (mdandang х g х ddandang+ mkompor х g х dkompor) + (- mbakso cadangan x g x
dbakso cadangan) + (-( msaos&kecap х g х dsaos&kecap + mmangkok х g х dmangkok)) + (-(member-air
х g х dember&air) + (marang х g х darang)) + (- mmie&pangsit х g х dmie&pangsit) + (- mbumbutamb
х g х dbumbutamb) + (- msendok&garpu х g х dsendok&garpu) + (- mtempat saos dan kecap х g х
dtempat saos dan kecap)........................................................................................................(6)
Persamaan menentukan keseimbangan rangka pada rancangan gerobak bakso.
∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑Mrangka A + ∑Mrangka B + ∑Mrangka C
+ ∑Mrangka D + ∑Mrangka tempat kompor + ∑Mtempat rangka dandang + ∑Mpintu + ∑Mlaci ….……(7)
∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑Mrangka A + ∑Mrangka B + ( ∑Mrangka C1 +
∑Mrangka C2 + ∑Mrangka C3 + ∑Mrangka C4 ) + ( ∑Mrangka D1 + ∑Mrangka D2 + ∑Mrangka D3
+ ∑Mrangka D4 ) + ∑Mrangka tempat kompor + ∑Mtempat rangka dandang + ( ∑Mpintu A1 + ∑Mpintu A2)
+ ( ∑Mpintu B1 + ∑Mpintu B2 + ∑Mpintu B3 + ∑Mpintu B4) + ∑Mpintu C
+ ( ∑Mlaci L1 + ∑Mlaci L2 +∑Mlaci L3) …………………………………………..……(8)
∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + (- mrangka A x g x drangka A) + (- mrangka B x g x
drangka B ) + (- mrangka C1 x g x drangka C1) + (- mrangka C2 x g x drangka C2) + (-mrangka C3 x g x
drangka C3) + (-mrangka C4 x g x drangka C4) + (mrangka D1 x g x drangka D1) + (mrangka D2 x g x drangka
D2) + (mrangka D3 x g x drangka D3) + (mrangka D4 x g x drangka D4) + (mrangka tempat kompor x g x drangka
tempat kompor) + (mtempat rangka dandang x g x dtempat rangka dandang) + (- mpintu A1 x g x dpintu A1) + (-
mpintu A2 x g x dpintu A2) + (- mpintu B1 x g x dpintu B1) + (-mpintu B2 x g x dpintu B2) + (-mpintu B3 x g
x dpintu B3) + (-mpintu B4 x g x dpintu B4) + mpintu C x g x dpintu C +
(- mlaci L1 x g x dlaci L1) + (-mlaci L2 x g x dlaci L2) + (-mlaci L13 x g x dlaci L3) …….….…(9)
mrangka A = m1rangka A + m2rangka A + m3rangka A + m4rangka A+ m5rangka A
mrangka B = m1rangka B + m2rangka B + m3rangka B
mpintu A1 = m1pintu A1 + m2pintu A1
mpintu A2 = m1pintu A2 + m2pintu A2
mpintu B1 = m1pintu B1 + m2pintu B1
mpintu B2 = m1pintu B2 + m2pintu B2
mpintu B3 = m1pintu B3 + m2pintu B3
mpintu B4 = m1pintu B4 + m2pintu B4
mpintu C = m1pintu C + m2pintu C
∑MRancangan gerobak bakso = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑MRangka (kanan-kiri )
∑MRancangan gerobak bakso = (- 10,88 + 78,69 - 13,75 - 8,29 -5.44 - 3,33 - 1,66 - 0,55) + (- 13,01 - 6,31 -
1,07 - 0,89 - 0,55 - 0,38 + 0,514 + 0,65 + 0,79 + 0,93 + 36,40 + 47,72 -
0,11 - 0,11 - 1,69 - 1,69 - 1,27 - 0,79 + 3,22 - 2,97 - 1,82 - 0,67)
= 91,684 Nm (ke arah kanan)
Tabel 3. Beban dan rangka pada rancangan gerobak bakso sepeda motor
D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.6
Keseimbangan secara keseluruhan muatan dan rangka terhadap momen yang menjadi
beban tumpuan berada di titik tengah sadel sepeda motor dicapai sebesar 91,684 Nm ke kanan.
Gerobak bakso bagian sisi kanan diseimbangkan dengan adanya beban isi kompor sebesar
34.0 Nm dan beban isi dandang sebesar 46.84 Nm. Beban dan rangka terhadap momen dari setiap
komponen rancangan gerobak bakso yang dihitung antara sisi kiri dan sisi kanan dicapai
keseimbangan sebesar 162.74 Nm.
KESIMPULAN
Perbaikan rancangan gerobak bakso sepeda motor sudah memenuhi keinginan penjual
bakso yang salah satunya adanya meja sebagai tempat penyajian untuk melayani pembeli.
Rancangan yang menarik menjadi daya tarik bagi pembeli dengan kemudahan pelayanan. Hasil
momen keseimbangan untuk sisi kiri dan kanan memberikan jaminan keselamatan bagi penjual
dalam mobilitas menjajakan jualan bakso.
DAFTAR PUSTAKA
Gupta, Vijay dan Murthy, PN., 1980, An Introduction to Engineering Method, Tata McGraw-Hill
Publishing Company Limited, New Delhi.
Heizer, Render, 1999, Operation Management, Fifth Edition, International Edition. Prentice Hall
Inc., New York.
Manuaba, A., 2004, Total Approach in Evaluating Comfort Work Place, Presented at UOEH
International Sysmposium on Comfort at the Workplace. Kitakyushu, Japan, 23-25 Oct.
2005.
Manuaba, A., 2006, Total Ergonomic Approach is Must for Products Transportation in Primary
Industry. Presented at Ergo Future 2006 International Symposium on Past, Pressent and
Future Ergonomics, Occupational Safety and Health Bali Indonesia, Universitas of
Udayana, Denpasar Bali Indonesia, 28-30 August.
Panero J.dan Zelnik M., 2003, Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Popov E.P., 1991, Mekanika Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Pulat, Mustafa B., 1992, Fundamentals of Industrial Ergonomics, Englewood Cliffs, Prentice Hall,
New Jersey.
Ulrich Karl T. dan Eppinger Steven D., 2000, Perancangan dan Pengembangan Produk, Penerbit
Salemba Teknika, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya,
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, 22 Juni 2009, Jakarta.
Wignjosoebroto, Sritomo dan Dyah Santi Dewi, 1997, Perancangan dan Pengembangan Produk:
Suatu Upaya untuk Mempertahankan Eksistensi Perusahaan. Proceeding Seminar &
Lokakarya tentang “Rancang Bangun Produk Industri” – tanggal 27-28 Februari 1997,
Laboratorium Sistem Produksi, Jurusan Teknik Industri ITB – Bandung.
Wignjosoebroto, Sritomo, 1997, Ergonomic Analysis for Improving the Design of Spining Process
Facility in Textile Traditional Industry. Proceedings Asean Ergonomics 97: Human Factors
Vision – Care for the Future (Editor: Halimahtun M. Khalid), 6-8 Nopember 1997. Kuala
Lumpur: International Ergonomics Association (IEA) Pres.
Wignjosoebroto, Sritomo, 2000, Analisis Ergonomi dalam Proses Perancangan Produk : Studi
Kasus di Sektor Industri Tradisional. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 1997, 6-7
Januari 1997 – Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi, Jurusan Teknik
Industri - ITB, Bandung.
Wignjosoebroto Sritomo, 2000, Evaluasi Ergonomis Dalam Proses Perancangan Produk,
Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS dan
Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) pada tanggal 20 Agustus 2000, Surabaya.
http://artikel.bermutu.com/sejarah-bakso-14.html, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 20.05.
http://bakso-cakman.com, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 20.10.
http://penebar-swadaya.com/catalog/product_info, di akses pada 17 November 2011, pukul 19.00.
http://karbonjournal.org, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 21.11.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.7
RANCANG BANGUN PROTOTIPE ALAT TANAM BENIH JAGUNG ERGONOMIS
DENGAN TUAS PENGUNGKIT DAN MEKANIK PEMBUAT LUBANG UNTUK
MENINGKATKAN KAPASITAS TANAM
Rindra Yusianto
Fakultas Teknik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang 50131 E-mail : rindrayusianto@yahoo.com
Abstrak
Alat tanam benih atau biji yang dipergunakan petani terutama pada saat menanam benih
jagung saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan tongkat tanam dimana satu kali
aktivitas tanam hanya 1 benih jagung saja yang tertanam. Bahkan masih banyak pula petani
yang menanam benih jagung secara tradisional, yaitu dengan menggunakan galah dan alat
tanam seadanya. Sehingga untuk menanam benih jagung diperlukan waktu yang lama
tergantung dari luasan ladang yang akan ditanami. Pembuatan dan pengembangan alat
tanam merupakan salah satu kegiatan untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi sehingga
dapat menekan penggunaan waktu. Penelitian ini bertujuan merancang bangun sebuah alat
tanam benih jagung yang ergonomis dengan tuas pengungkit pada pegangan yang
menghasilkan daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk mengangkat dan menekan 4 buah
pipa besi penumbuk berbentuk peluru dan mekanik pembuat lubang yang dikendalikan oleh
tuas. Rancang bangun alat tanam benih memperhitungkan data-data anthropometri agar
dalam proses tanam tingkat kenyamanan petani lebih diperhatikan. Dari penelitian ini,
dihasilkan prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis dan efektif yang memiliki
perbedaan mencolok dibandingkan dengan alat tanam benih yang sudah ada, yaitu pada
keberadaan sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip pegangan rem pada
sepeda yang mampu meningkatkan kapasitas tanam. Kemampuan alat adalah menaman 4
buah biji jagung secara simultan dengan kapasitas kotak penampung benih berisi 500 biji
jagung dalam sekali tanam. Dimana kemampuan mekanik pembuat lubang mampu membuat ke
dalaman lubang tanam antara 3,5 cm dan tiap lubang diisi 1 butir benih jagung.
Kata kunci : alat tanam, jagung, ergonomis, tuas pengungkit, kapasitas tanam
1. PENDAHULUAN
Di Indonesia jagung merupakan komoditi tanaman pangan penting, namun tingkat
produksi belum optimal. Untuk pertumbuhan diperlukan curah hujan ideal sekitar 85-200
mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji perlu mendapatkan cukup
air. Sebaiknya ditanam awal musim hujan atau menjelang musim kemarau. Membutuhkan sinar
matahari, tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji
yang tidak optimal. Suhu optimum antara 230 C - 300 C. Jagung tidak memerlukan persyaratan
tanah khusus, namun tanah yang gembur, subur dan kaya humus akan berproduksi optimal. pH
tanah antara 5,6-7,5. Aerasi dan ketersediaan air baik, kemiringan tanah kurang dari 8 %. Daerah
dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu.
Ketinggian antara 1000-1800 m dpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 m dpl (Wijaya,
2011).
Alat tanam benih atau biji yang dipergunakan petani terutama pada saat menanam benih
jagung saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan tongkat tanam dimana satu kali
aktivitas tanam hanya 1 benih jagung saja yang tertanam. Bahkan masih banyak pula petani yang
menanam benih jagung secara tradisional, yaitu dengan menggunakan galah dan alat tanam
seadanya. Sehingga untuk menanam benih jagung diperlukan waktu yang lama tergantung dari
luasan ladang yang akan ditanami (Kurniawan, 2008). Salah satu indikator keberhasilan dalam
rancang bangun alat tanam benih adalah kombinasi antara satu atau beberapa petani dengan sebuah
alat dimana satu dengan lainnya akan saling berinteraksi untuk menghasilkan keluaran-keluaran
yang efektif sesuai dengan keinginan (Setyaningrum, 2008). Dan parameter utama yang sangat
menentukan terhadap efektivitas alat tersebut adalah faktor ergonomi (Nurmianto, 1996). Secara
umum, sistem kerja tanam benih terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1) Alat Utama (main
machine); (2) Tombol Penekan; (3) Katup. Prinsip kerja dari sistem alat tanam benih adalah
D.2. Rancang bangun prototipe alat tanam benih jagung ergonomis ... (Rindra Yusianto)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.8
sebagai berikut; Main machine yang berupa tongkat pipa besi berisi sejumlah benih jagung di
dalamnya melubangi tanah dengan kedalaman tertentu dengan ujungnya yang runcing. Dengan
menekan tombol penekan pada pangkal main mechine maka katup penutup yang kurang lebih 5 cm
berada diatas ujung yang runcing akan membuka secara otomatis. Dengan tekanan pada tombol
penekan, maka pegas dengan pipa yang lebih kecil yang berada di dalam pipa utama pada main
machine akan mendorong sebuah benih jagung. Benih jagung ini akan mengalir melalui pipa besi
kemudian jatuh pada lubang tanah tersebut.
Oleh sebab itu, di dalam penelitian ini, dirancang bangun sebuah alat penanam benih
jagung yang sekali aktivitas tanam mampu menanam 4 benih jagung sekaligus yang sejajar dengan
jarak yang sama. Sehingga petani tidak perlu membuat garis yang simetris terlebih dahulu. Pada
pegangan alat tanam, dibuat tuas yang mampu melakukan aktivitas melubangi tanah, kemudian
memasukkan benih jagung ke dalam lubang tersebut dan menutupnya kembali dengan
mempertimbangkan faktor ergonomis. Secara detail dalam penelitian ini dibahas rancang bangun
pengembangan produk alat tanam benih yang ergonomis dengan menggunakan pendekatan
ergonomi dimana rancangan alat tanam benih di desain berdasarkan permasalahan pengguna alat
tanam benih khususnya petani dengan mempertimbangkan hal-hal : (1) Sekali tanam 4 benih
jagung sekaligus; (2) Rancangan atas dasar anthropometri; (3) Desain disesuaikan dengan presepsi
petani; (4) Menggunakan material besi yang awet; (5) Mendapatkan hasil kerja yang efektif; (6)
Mengurangi kelelahan akibat kerja.
Rancang bangun alat tanam benih memperhitungkan data-data anthropometri agar dalam
proses tanam tingkat kenyamanan petani lebih diperhatikan. Tahapan-tahapan perancangannya
adalah (1) Pengambilan data ukuran tubuh pengguna alat tanam benih; (2) Menghitung data
anthropometri yang akan di terapkan pada alat tanam benih jagung yang ergonomis; (3)
Merancang alat tanam benih jagung yang ergonomis; (4) Merakit kerangka alat tanam benih jagung
yang ergonomis dengan hasil hitungan anthropometri.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen murni dengan melakukan rekayasa dan
pengembangan alat tanam benih jagung yang ergonomis dengan tuas pengungkit dan mekanik
pembuat lubang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tanam. Data yang dibutuhkan adalah
data antropometri yang meliputi (1) panjang bentangan tangan dari ujung kanan sampai kiri; (2)
Diameter genggaman tangan; (3) Panjang tangan; dan (4) Tinggi siku ke tanah, data petani atau
pengguna alat tanam benih, data respon alat tanam benih yang sudah ada dan potensi
pengembangan produk.Dalam penelitian ini dilakukan uji keseragaman data, uji kecukupan data,
uji kenormalan data, perhitungan persentil.
Prototipe di rancang bangun dengan memperhatikan kapasitas tanam secara simultan,
kedalaman lubang tanam dan jarak tanam antar benih. Prototipe hasil rancang bangun dilakukan
pengujian dengan pre test dan post test. Hasil ujicoba kemudian dievaluasi, sehingga pada akhirnya
diharapkan dihasilkan sebuah prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis, efektif dan
mudah dalam penggunaanya serta mampu meningkatkan kapasitas tanam.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil perhitungan ergonomis sebagai berikut : (1)
Jangkauan tangan ke samping, jarak bentang dari ujung tangan kanan sampai ujung tangan kiri
1218,4 mm; (2) Diameter genggaman tangan 39,71 mm; (3) Panjang tangan 150,195 mm; (4)
Tinggi siku ke tanah 886,265 mm. Sebagaimana telah dikemukan pada latar belakang bahwa salah
satu indikator keberhasilan dalam rancang bangun alat tanam benih adalah kombinasi antara satu
atau beberapa petani dengan sebuah alat dimana satu dengan lainnya akan saling berinteraksi untuk
menghasilkan keluaran-keluaran yang efektif sesuai dengan keinginan. Dimana secara umum,
sistem kerja tanam benih jagung yang saat ini ada terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1)
Alat Utama (main machine); (2) Tombol Penekan; (3) Katup. Berdasarkan hasil penelitian, ada 3
(tiga) hal yang sebenarnya bisa lebih dioptimalkan dari sistem alat tanam benih jagung yang
tradisional, yaitu (1) jumlah benih jagung yang keluar dari katup; (2) kapasitas penampung benih;
(3) penutup tanah yang terotomasi. Jika dilihat dari sisi studi gerak dan waktu, maka ada 2 gerakan
yang sebenarnya bisa dijadikan 1 (satu) gerakan saja dalam 1 (satu) kali aktivitas, yaitu (1)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.9
menekan tombol tekan; dan (2) menutup lubang dengan tanah. Gambar 1 menunjukkan alat tanam
benih jagung tampak samping.
Gambar 1. Alat Tanam Benih Tampak Samping
Kerangka utama alat tanam benih (A) di buat sesuai dengan dimensi antropometri tubuh
petani berdasarkan sampel penelitian sehingga dalam penggunaan di harapkan lebih nyaman dan
ergonomis. Bahan yang di gunakan yaitu pipa besi. Pada pangkal pegangan kerangka utama (A)
dibuat Tuas Pengungkit (B) dari besi yang dilapisi spons dengan tebal 1,5 mm dengan dimensi
panjang 110 mm dan diameter 27 mm. Tuas ini berfungsi untuk mengangkat dan menekan mekanik
Pipa Besi Penumbuk (C) yang menyerupai peluru dengan uliran dan di ujungnya dibuat runcing
untuk melubangi tanah serta membuka Tempat Benih (box) (E) yang terbuat dari besi plat dengan
tebal 1 mm dan memiliki kapasitas 500 benih jagung. Apabila Tempat Benih (E) membuka maka
benih jagung pada Pipa Benih (D) akan mengalir keluar menuju ujung pipa dan pada akhirnya jatuh
pada lubang tanah. Untuk menutup tanah digunakan Plat Penutup Tanah (F) yang terbuat dari plat
dengan tebal 2 mm lebar 20 mm yang akan menutup lubang secara otomatis ketika Roda (G)
digerakkan mundur.nMengacu pada Gambar 1, yang memperlihatkan suatu alat tanam benih
tampang samping sesuai dengan invensi ini. Tuas pengungkit seperti invensi yang diusulkan adalah
mengkondisikan mekanik pipa besi penumbuk berulir dengan ujung runcing yang mirip peluru (C)
bisa mengangkat dan menekan ke bawah serta kotak tempat benih (E) dengan katup pada bagian
bawahnya mampu membuka dan menutup. Pengkondisian yang dimaksudkan adalah dengan
memasang tuas pengungkit (B) yang terbuat dari besi dengan dilapisi spons berbentuk seperti
pegangan rem pada sepeda secara berpasangan pada pegangan kanan dan kiri dari rangka utama
(A). Penambahan sepasang tuas pengungkit (B) berbentuk seperti pegangan rem ini bertujuan
untuk memberikan daya angkat dan dorong yang lebih besar terhadap pipa besi penumbuk (C) dan
membuka tutup katup pada kotak penampung benih (E) untuk kemudian mengarahkan aliran benih
jagung menuju pipa benih (D) yang melintasi bagian/daerah rangka utama (A) tersebut, agar lebih
seragam (uniform) dan memiliki percepatan (akselerasi) yang lebih besar. Dengan kedua kondisi
tersebut, maka aliran benih jagung pada pipa benih (D) menjadi lebih baik dan lebih cepat, apabila
dibandingkan dengan hanya melakukan penekanan melalui pegas dengan pipa kecil di dalamnya.
Prototipe dirancang bangun dengan tuas pengungkit pada pegangan yang menghasilkan
daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk mengangkat dan menekan mekanik yang terdiri dari 4
(empat) buah pipa besi penumbuk berbentuk peluru dengan ujung ulir dengan ketinggian ulir
tertentu, ulir dimaksudkan untuk memberikan daya bongkar yang lebih besar. Pada ujung ulirnya
dibuat runcing yang berfungsi untuk melubangi tanah. Tuas pengungkit mampu membuka katup
penutup pada box dengan kapasitas tertentu setidaknya berisi 500 benih jagung pada main machine
D.2. Rancang bangun prototipe alat tanam benih jagung ergonomis ... (Rindra Yusianto)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.10
kemudian menutup katup kembali. Tuas pengungkit dapat menghasilkan daya dorong yang lebih
maksimal untuk mengalirkan benih jagung ke dalam 4 (empat) buah pipa sekaligus. Ujung pipa
secara otomatis menutup lubang dengan gesekan pada tanah; pada main machine dipasang 2 (dua)
buah roda dengan tinggi seimbang dengan panjang pipa besi, dimaksudkan untuk mempermudah
pergerakan. Penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan alat
tanam benih yang ada di pasaran atau yang dikenal oleh masyarakat luas. Yaitu pada keberadaan
sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip dengan pegangan rem pada sepeda.
Pipa besi dengan ujung runcing untuk menambah daya dorong dalam melubangi tanah dan
dikombinasikan dengan ulir untuk menambah daya bongkar pada tanah.
Gambar 2. Komponen Alat Tanam Benih
Berdasarkan gambar 2, kemampuan alat menaman 4 buah biji jagung secara simultan
dengan kapasitas kotak penampung benih berisi 500 biji jagung dalam sekali tanam. Dimana
kemampuan mekanik pembuat lubang mampu membuat kedalaman lubang tanam antara 3,5 cm
dan tiap lubang diisi 1 butir benih jagung. Sejalan dengan Pribadi (2007) yang menyatakan bahwa
pengaruh pengaturan pola tanam terhadap jagung menunjukkan dengan jarak tanam yang makin
rapat produktivitas jagung yang diperoleh per satuan m2 makin meningkat. Sehingga alat tanam
dirancang mampu membuat jarak tanam 20x50 cm.
4. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dihasilkan prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis dan
efektif yang memiliki perbedaan mencolok dibandingkan dengan alat tanam benih yang sudah ada,
yaitu pada keberadaan sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip pegangan rem
pada sepeda yang mampu meningkatkan kapasitas tanam. Prototipe dirancang bangun dengan tuas
pengungkit pada pegangan yang menghasilkan daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk
mengangkat dan menekan mekanik yang terdiri dari 4 (empat) buah pipa besi penumbuk berbentuk
peluru dengan ujung ulir dengan ketinggian ulir tertentu, ulir dimaksudkan untuk memberikan daya
bongkar yang lebih besar. Pada ujung ulirnya dibuat runcing yang berfungsi untuk melubangi
tanah. Tuas pengungkit mampu membuka katup penutup pada box dengan kapasitas tertentu
setidaknya berisi 500 benih jagung pada main machine kemudian menutup katup kembali. Tuas
pengungkit dapat menghasilkan daya dorong yang lebih maksimal untuk mengalirkan benih jagung
ke dalam 4 (empat) buah pipa sekaligus. Ujung pipa secara otomatis menutup lubang dengan
gesekan pada tanah; pada main machine dipasang 2 (dua) buah roda dengan tinggi seimbang
dengan panjang pipa besi, dimaksudkan untuk mempermudah pergerakan.
Kemampuan alat adalah menaman 4 buah biji jagung secara simultan dengan kapasitas
kotak penampung benih berisi 500 biji jagung dalam sekali tanam. Dimana kemampuan mekanik
pembuat lubang mampu membuat ke dalaman lubang tanam antara 3,5 cm dan tiap lubang diisi 1
butir benih jagung dengan jarak tanam 20x50 cm.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.11
5. DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Taufiq Agus. 2008. Alat Tanam Biji Jagung, Semarang, Fakultas Teknik UDINUS.
Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya, PT. Guna Widya.
Pribadi, Ekwasita Rini. 2007. Kajian Kelayakan Usaha Tani Pola Tanam Sambiloto dengan Jagung. Jurnal Littri. Vol 13. No. 3 September. pp : 98-105.
Setyaningrum, Ratih. 2008. Modul Praktikum Analisa dan Perancangan Kerja, Semarang, Fakultas
Teknik UDINUS.
Wijaya, Yunius Girry. 2011. Pembuatan Alat Tanam Benih Jagung (zea mays) Otomatis Berbasis
Mikrokontroler. Scientific Repository. Institut Pertanian Bogor.
D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.12
PERANCANGAN MEKANISME PENGONTROL CONTROLLABLE PITCH PROPELLER
Lorentius Yosef Sutadi1)
, Susilo Adi Widyanto2)
, Ismoyo Haryanto2)
1) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H. Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50275 2)
Program Studi Magister Teknik Mesin, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50061 Email: lysutadi@gmail.com
Abstrak
Propeller adalah salah satu bagian mesin yang berfungsi sebagai alat penggerak mekanik,
misalnya pada pesawat terbang, kapal laut, hovercraft dan lain-lain. Propeller dibedakan
menjadi dua jenis yaitu Fixed Pitch Propeller (FPP) dan Controllable Pitch Propeller
(CPP). Propeller jenis CPP dirancang agar besar sudut pitch dari propeller dapat diatur
walaupun propeller dalam keadaan berputar. Tujuan penelitian ini merancang mekanisme
pengontrol CPP yaitu mesin yang digunakan untuk mengatur serempak yang sama besar
sudut pitch dari 3 propeller blade agar menghasilkan gaya dorong (thrust) yang bervariasi
ketika propeller blade dalam keadaan berputar konstan yang diputarkan oleh motor
penggerak listrik arus bolak-balik melalui transmisi sabuk dan puli. Propeller blade yang
digunakan pada mekanisme ini adalah tipe airfoil ukuran medium seri TR11W untuk
penggerak hovercraft. Rentang pengaturan sudut pitch antara 45 s.d. 45. Berbagai
perancangan mekanisme pengontrol CPP menggunakan gabungan sistem mekanik dengan
komponen utama pasangan pin-slot eksentrik dan hidrolik, gabungan sistem mekanik dengan
komponen utama pasangan roda gigi dan hidrolik serta sistem mekanik saja dengan
penggerak manual. Pada perancangan ini menggunakan sistem mekanik dengan komponen
utama pasangan pin engkol silindris dan piringan beralur (crank pin in slot disc) dengan
penggerak manual.
Kata kunci: perancangan, mekanisme pengontrol CPP, pena engkol, piringan beralur,
manual
1. PENDAHULUAN
Propeller adalah salah satu bagian mesin yang berfungsi sebagai alat penggerak mekanik,
misalnya pada pesawat terbang, kapal laut, hovercraft dan lain-lain. Propeller dibedakan menjadi
dua jenis yaitu Fixed Pitch Propeller (FPP) dan Controllable Pitch Propeller (CPP). Propeller
dengan pitch tetap (FPP) dicetak dalam satu blok yang tetap sehingga sudut pitch propeller tidak
dapat diatur namun dirancang agar berfungsi optimum, sedangkan propeller jenis CPP dirancang
agar sudut pitch dari propeller dapat diatur walaupun propeller dalam keadaan berputar. Jumlah
propeller blade biasanya lebih dari satu yang terpasang pada hub poros pemutar propeller tersebut.
Tujuan pengaturan pitch propeller untuk mendapatkan gaya dorong (thrust) yang besarnya
bervariasi dari minimum hingga maksimum pada kecepatan putar poros propeller konstan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi dan Istilah Dasar Propeller
Propeller berbentuk baling-baling yang mentransmisikan daya dengan cara mengkonversi
gerak putar menjadi gaya dorong. Istilah-istilah dasar yang umum pada propeller yaitu:
a. Sudut blade (blade angle) adalah sudut antara bidang putar (plane of rotation) propeller
dan garis chord pada propeller airfoil. Istilah airfoil adalah luas penampang melintang blade
b. Stasiun blade (blade station) adalah posisi referensi pada blade yang memiliki jarak
tertentu terhadap pusat hub.
c. Pitch adalah jarak maju yang dapat dicapai (dalam satuan inci atau mm) suatu bagian
propeller dalam satu putaran penuh.
d. Sudut serang (angle of attack) adalah sudut lancip antara garis chord pada propeller dan
garis relative wind (relative airflow).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.13
Gambar 2. 1 Controllable Pitch Propeller
2. 2. Mekanisme CPP
Prinsip kerja mekanisme pengontrol CPP yaitu mengatur/mengubah sudut pitch propeller
dari posisi sudut pitch mula-mula ke posisi sudut pitch yang dikehendaki dengan cara memutar
serentak seluruh propeller blade pada sumbu putar tiap-tiap propeller blade tetapi poros propeller
dalam keadaan berputar sehingga menghasilkan perubahan gaya dorong yang dikehendaki.
Apabila sudut pitch dapat diatur pada sudut negatif, CPP dapat menghasilkan gaya dorong
mundur untuk pengereman atau bergerak mundur (Wikipedia, diakses 2010).
3. PERANCANGAN
Mekanisme pengontrol CPP adalah suatu peralatan yang digunakan untuk mengatur atau
menentukan seluruh sudut pitch propeller serentak yang besarnya sama terhadap datum ketika
poros propeller dalam keadaan berputar dengan kecepatan konstan. Kecepatan putar poros
propeller diperoleh dari sebuah motor listrik AC melalui transmisi sabuk dan puli. Pengontrol gerak
sudut pitch propeller biasanya menggunakan sistem hidrolik atau manual.
3. 1. Tujuan Perancangan
a. Merancang mekanisme pengontrol CPP sehingga dapat menghasilkan sudut pitch propeller
pada masing-masing propeller blade yang sama besar diukur dari satu referensi ketika poros
propeller dalam keadaan berputar.
b. Merancang mekanisme pengontrol CPP sehingga dapat mengukur sudut pitch propeller
yang diinginkan dimana besar maksimum sudut pitch propeller dibuat 45o dan 45
o.
c. Merancang mekanisme pengontrol CPP yang mampu keterulangannya baik, kuat,
sederhana tetapi memenuhi keperluan rancang bangun, biaya terjangkau dan semua komponen
tidak standar dapat diproses pemesinan (dibuat) di bengkel mesin Politeknik Negeri Semarang
serta memperhitungkan keselamatan/keamanan ketika mekanisme pengontrol CPP beroperasi.
3. 2. Kriteria Perancangan
Kriteria perancangan yang diharapkan dapat terpenuhi sesuai tujuan perancangan, secara
umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (Dieter, 1991)
a. Kriteria musts, yaitu kriteria yang harus dipenuhi dalam perancangan, meliputi:
Mekanisme dapat menghasilkan sudut pitch propeller pada masing-masing propeller blade
yang sama besar diukur dari satu referensi ketika poros propeller dalam keadaan berputar.
Mekanisme dapat mengukur sudut pitch propeller yang diinginkan dimana besar
maksimum sudut pitch propeller dibuat 45o dan 45
o.
Mekanisme pengontrol CPP yang mampu keterulangannya baik.
Aman bagi operator dan lingkungan kerja
b. Kriteria wants, yaitu kriteria yang diharapkan dipenuhi dalam perancangan, meliputi:
Mudah dalam pengoperasian
Mudah dalam perakitan
Mudah dalam perawatan dan perbaikan
D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.14
3. 3. Perancangan Konsep Produk (Harsokoesoemo, 2004)
Adalah suatu kegiatan mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya yang dituangkan dalam
bentuk konsep mekanisme pengontrol CPP yang berfungsi untuk mengatur serempak 3 pitch
propeller blade ketika poros propeller dalam keadaan berputar.
Selanjutnya hasil konsep perancangan mekanisme-mekanisme tersebut dibandingkan satu
dengan yang lain untuk menentukan hasil perancangan yang terbaik. Di bawah ini diuraikan
beberapa konsep perancangan atau alternatif perancangan yang dapat dibandingkan setelah
sebelumnya melalui penyaringan yang tidak diuraikan disini sehingga diperoleh 4 alternatif bentuk
konsep perancangan yang akan dievaluasi untuk menentukan alternatif terbaik.
A. Alternatif Mekanisme I Cara kerja sistem pengontrol CPP (Gambar 3.1) ini digunakan pada kapal laut yaitu
dengan memutar spindel 54, plat 57 bergeser ke kiri sehingga pegas 53 tertekan dan menggerakkan
bagian 51 ke kiri. Hal ini dapat terjadi karena media penekan yang disuplai melalui pipa 61 oleh
pompa penekan media atau melalui beberapa sumber pipa-pipa kecil 62 menuju sistem transmisi
49. Peningkatan tekanan dalam sistem transmisi 49 menggerakkan bagian 51 ke kanan lagi pada
posisi akhir kemudian tekanan yang cukup tinggi menyeimbangkan peningkatan tekanan melawan
pegas 53. Akibat tekanan yang lebih tinggi pada sistem 49, permukaan 48 menerima tekanan yang
besar dan bagian kontrol 45 bergerak arah kiri. Media penekan dari pipa 46 melalui celah 63 pada
collar 47 dan melewati 64, 65 dan 66 ke dalam silinder 15 dan menggerakkan torak motorservo ke
kiri. Poros berputar searah anak panah dan mengatur sudut pitch propeller blade 7 (Atteslander,
1948).
Gambar 3. 1 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP I
B. Alternatif Mekanisme II
Sistem pengontrol pitch propeller (Gambar 3.2) menjadi satu kesatuan dalam mesin yang
dihubungan ke kotak roda gigi (gearbox) yang ada pada pesawat terbang. Sebatang tuas yang
dihubungkan ke kokpit dengan kabel digunakan untuk memutarkan sebuah piringan. Piringan
tersebut bergerak pada permukaan yang miring sehingga dapat mengubah gerak putar menjadi
gerak lurus yang bertujuan menekan batang pengatur pitch pada kedudukan yang
diinginkan.(Operation and Installation Manual (E – 309) of Mechanical Variable Pitch Propeller
MTV-24-( ), Gerd R. Muhlbauer, President of MT-Propeller Entwicklung GmbH, Revision 11:
February 09, 2010)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.15
Gambar 3. 2 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP II
C. Alternatif Mekanisme III
Skematik mekanisme pengontrol CPP yang ditunjukkan pada Gambar 3.3 digunakan pada
kapal laut. Sudut pitch propeller diatur menggunakan sebuah silinder hidrolik yang berada di dalam
hub. Akibat salah satu katup terbuka, oli mengalir ke dalam salah satu ruangan oli dan ke luar
melalui ruangan oli yang lainnya. Tekanan meningkat hingga terjadi perbedaan tekanan pada
silinder torak yang cukup besar untuk melawan beban dan gaya gesek. Selanjutnya aliran oli akan
mengakibatkan perpindahan gerak translasi torak yang dikonversi menjadi gerak rotasi semua
propeller blade dengan menggunakan mekanisme pin-slot eksentrik. (Dullens, 2009)
Gambar 3.3 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP III
D. Alternatif Mekanisme IV
Pengaturan semua pitch propeller blade pada sudut yang sama besar dapat dilakukan
dengan memutarkan secara manual batang silindris berulir dalam (sebagai mur) yang berputar
dalam rumahnya, mengakibatkan poros berulir luar pasangannya (sebagai baut) dapat bergerak
translasi. Hal ini dapat terjadi karena pada poros berulir luar diberi alur memanjang untuk tempat
masuk batang pengarah. Di dekat ujung poros berulir terdapat sebuah piringan yang beralur pada
bidang keliling (slot yang melingkar) dimana alur tersebut sebagai jalan atau lintasan dan pemutar
ke-3 pin engkol silindris (crankpin). Pemegang blade dihubungkan dengan pin engkol oleh baut
sehingga gerak maju atau mundur piringan yang beralur mengakibatkan gerak rotasi ke-3 propeller
D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.16
blade yang dicekam oleh pemegang blade karena sumbu putar pin engkol silindris satu sumbu
dengan pemegang blade. Alternatif mekanisme IV ditunjukkan pada Gambar (3.4).
Gambar 3.4 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP IV
3. 4. Pemilihan Alternatif
Kriteria mekanisme-mekanisme pengontrol CPP yang disajikan tersebut di atas dievaluasi
berdasarkan matrik pengambilan keputusan (Harsokoesoemo, 2004). Pada tahap evaluasi ini setiap
kriteria mekanisme pengontrol CPP dibandingkan satu dengan yang lain secara berpasangan dalam
hal kemampuan memenuhi kebutuhan pengguna selanjutnya diberi skor. Konsep mekanisme
produk yang memperoleh skor paling tinggi adalah yang terbaik sehingga konsep tersebut yang
harus dibuat.
Tabel 3.1 Matriks evaluasi dalam menentukan Mekanisme Pengontrol CPP
Kriteria Alternatif Mekanisme
I II III IV
Mudah dalam pengoperasian
D
A
T
U
M
+ + +
Murah dalam pengoperasian S S S
Mudah dalam perakitan
Murah dalam perakitan
Mudah dalam perawatan +
Murah dalam perawatan
Mudah dalam perbaikan
Murah dalam perbaikan
S
3 1 6
4 6 1
1 1 1
Apabila terjadi keraguan untuk menilai suatu alternatif lebih baik atau lebih buruk daripada
alternatif mekanisme I, maka digunakan skor S yang berarti sama dengan alternatif mekanisme I.
(Pugh, 1991)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil matriks evaluasi alternatif produk mekanisme pengontrol CPP di atas, ternyata
alternatif mekanisme IV memiliki skor yang paling tinggi yaitu 6 dan skor paling rendah yaitu
1 serta skor S sama sehingga dapat ditentukan konsep perancangan alternatif IV yang dipilih,
selanjutnya akan dibuat.
Sintesis mekanisme pengontrol CPP terpilih, menggunakan persamaan Gruebler untuk
mengetahui derajat kebebasan, yaitu M = 3×(L1)2J dimana M = derajat kebebasan (DoF) atau
mobilitas (mobility); L = jumlah link; J = jumlah joint.
Piringan beralur
Batang silindris berulir dalam
Drum batang silindris berulir dalam
Pemegang blade 1
Pemegang blade 2
Pemegang blade 3
Hub
Pin engkol silindris 1
Pin engkol silindris 2
Pin engkol silindris 3 Poros berulir luar
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.17
Gambar 4.1 Penghitungan derajat kebebasan
Pada Gambar 4.1 hasil perancangan mekanisme pengontrol CPP terpilih yang akan dibuat
memiliki jumlah link, L = 6 dan jumlah joint, J = 6,5 maka M = 3(61) 2(6,5) = 2. Hal ini
menunjukkan suatu gerak pasti , yaitu gerak tertentu terjadi bila suatu titik pada mekanisme
digerakkan dengan masukan tertentu, maka semua bagian yang lain akan bergerak tertentu pula
sehingga disebut mekanisme karena DoF adalah positif (Norton, 1999).
5. KESIMPULAN
Dari hasil perancangan dapat disimpulkan bahwa mekanisme pengontrol CPP dapat
dirancang berbeda bentuk dari mekanisme yang sudah ada sebelumnya tetapi memiliki fungsi yang
sama sehingga perancangan mekanisme pengontrol CPP alternatif IV memenuhi syarat untuk
pembuatan produks.
DAFTAR PUSTAKA
Atteslander, E., 1948, “ Device For Adjusting The Blades Of Ship’s Propellers”: United States
Patent Office.
Dieter, G.E., 1991, “ Engineering Design “: A Materials and Processing Approach, 2nd
Edition,
McGraw-Hill, Inc.
Dullens, F.P.M., 2009, “ Modeling and Control of a Controllable Pitch Propeller ”, Thesis for
Master of Science Degree in Mechanical Engineering at the Eindhoven University of
Technology.
Harsokoesoemo, H.D, 2004, “ Pengantar Perancangan Teknik “ (Perancangan Produk), Edisi
Kedua, Penerbit ITB, Bandung.
Norton, Robert L, 1999, “ Design of Machinery “ : An Introduction to the Synthesis and Analysis
of Mechanisms and Machines, 2nd
Edition, McGraw-Hill Inc., U.S.A.
Operation And Installation Manual (E – 309), 2010, “ Mechanical Variable Pitch Propeller MTV –
24 – ( )”, Propeller Entwicklung GmbH.
Pugh, Stuart, 1990, “ Total Design “, Addison-Wesley Publising Company.
http://en.wikipedia.org/wiki/Controllable_pitch_propeller
D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.18
STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH BEBAN TERHADAP KOEFISIEN GESEK
PADA SLIDING CONTACT FASE RUNNING-IN DENGAN TRIBOMETER PIN-ON-DISC
Didi Dwi Krisnandi*)
, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Dian Prabowo,
Sulardjaka, Jamari.
Magister Teknik Mesin UNDIP
Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *email: didi.dwi.krisnandi@gmail.com
Abstrak
Kontak permukaan antar komponen merupakan salah satu fenomena yang tak terpisahkan
dalam suatu sistem permesinan. Kontak permukaan suatu sistem permesinan dapat berupa
sliding contact dan rolling kontak. Ketika kontak tersebut diberikan suatu gaya mekanik maka
akan terjadilah fenomena tribologi yang disebut sebagai wear (keausan). Kajian tribologi
sangat penting dalam kaitannya efesiensi dan peningkatan performance suatu sistem
permesinan. Proses keausan terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu running-in, steady state, dan
wear out. Tahapan running-in merupakan tahapan awal dari proses keausan. Tahapan ini
berlangsung sangat cepat dan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kehandalan
dan efisiensi suatu sistem permesinan. Penelitian ini membahas pengaruh beban terhadap
koefisisen gesek yang terjadi pada fase running-in pada material alumunium dan kuningan
dengan menggunakan tribometer pin-on-disc. Material alumunium memiliki H: 0.24 Gpa, E:
75.2 Gpa dan v: 0.34. Sedang material kuningan memiliki H: 1.8 GPa , E: 115 GPa, dan v:
0.34 . Variasi beban yang digunakan yaitu 2N, 3N dan 5N. Sedang kecepatan yang digunkan
(sliding speed) 10 rpm. Sebagai pin digunakan material bola baja (chrome steel ball) diameter
10mm, Ra:0.01μm, E:430 Gpa dan v:0.17. Bola baja diasumsikan tidak mengalami keausan.
Dari hasil pengujian didapatkan koefisien gesek pada fase running-in akan menurun sejalan
bertambahnya jarak sliding sampai fase steady-state dan akan memiliki nilai koefisien yang
hampir sama. Besarnya koefisien gesek pada fase running-in berbanding lurus dengan
besarnya beban yang diberikan (gaya normal). Besarnya koefisien gesek pada material
kuningan lebih besar dibanding dengan gaya gesek yang timbul pada alumunium. Untuk beban
dan kecepatan yang sama, fase running-in pada alumunium lebih singkat dari pada yang
terjadi pada alumunium. Fase running-in pada alumunium terjadi sampai ± 40 detik (6~7
putaran), sedangkan untuk kuningan pada 70 detik (11~12 putaran).
Kata kunci: koefisien gesek, keausan, sliding, running-in
PENDAHULUAN
Suatu sistem permesinan akan terdapat kontak antar permukaan part, yaitu kontak yang
dapat berupa point contact (kontak titik), surface contact (kontak permukaan), dan line contact
(kontak garis). Ketika kontak antar part tersebut dikenakan sebuah gaya mekanik, maka akan
timbul suatu fenomena yang disebut sebagai keausan (wear). Dawson, 1998 telah menyampaikan
sejarah panjang tentang tribologi. Tribologi adalah masalah krusial dalam permesinan yang
melibatkan proses sliding dan rolling. Jika tribologi diterapkan dengan semestinya, maka finansial
dapat dihemat sampai sebesar US$16 milyar di Negara Amerika dan £500 juta di Inggris. Hal ini
bisa dilihat dari laporan H.P. Jost, Menteri Pendidikan Inggris pada tahun 1966. Dalam laporannya
yang terkenal dengan nama The Jost Report, pemborosan terutama disebabkan oleh keausan karena
gesekan, munculnya panas akibat gesekan mengakibatkan material menjadi lunak dan
memungkinkan rusak pada kontak permukaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Robinowicz
yang mengemukakan bahwa kehilangan fungsi suatu komponen mesin 70% disebabkan oleh
kerusakan pada permukaan logam yang meliputi keausan (55%) dan korosi (15%). Dimana
mekanisme keausan yang dominan adalah keausan adesif (25%) dan abrasif (20%), sedang sisanya
disebabkan oleh mekanisme keausan yang lain (Suryanto, 2007). Kehrwald tahun 1998
menyatakan bahwa dengan melakukan prosedur yang tepat saat running-in, dapat meningkatkan
life time suatu sistem permesinan sebesar 40% lebih, dan juga dapat mengurangi gesekan mesin
tanpa melakukan perubahan material (R. Ismail, dkk,1997).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.19
Data-data di atas menunjukan bahwa fenomena keausan sangat penting dalam kaitannya
umur pakai dan performance komponen dalam suatu sistem permesianan. Oleh karena itu
penelitian tentang wear akan sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi suatu sistem
permesinan, mempertimbangkan dan menentukan jenis dan propertis material yang akan
digunakan, dan menentukan kondisi lingkungan yang tepat sebagai optimalisasi suatu sistem
permesinan.
LANDASAN TEORI
Kontak sliding adalah kontak dengan kecepatan relatif antara dua benda atau
permukaan pada pusat kontak dalam bidang tangent (MB. Peterson, 1969). Pengaruh dari
adanya kontak sliding adalah hilangnya sebagian material dari permukaan yang saling
kontak yang dinamakan keausan. Keausan dalam ASTM didefinisikan sebagai kerusakan
permukaan benda yang secara umum berhubungan dengan peningkatan hilangnya material
yang disebabkan oleh pergerakan relatif benda dan sebuah substansi kontak (Blau,1997).
Keausan didefinisikan sebagai kehilangan substansi secara progresif dari permukaan
operasi dari benda akibat gerak relatif dari permukaan terhadap benda lain (Stachowiak,
2005) . Archard (1953) mengemukakan suatu model pendekatan untuk mendeskripsikan
keausan sliding, yang merupakan babak baru dalam perkembangan ilmu tribologi. Archard
berasumsi bahwa parameter kritis dalam keausan sliding adalah medan tegangan di dalam
kontak dan jarak sliding yang relatif antara permukaan kontak. Model ini sering dikenal
sebagai hukum keausan Archard, yang sering dikenal dengan Archard’s wear law (Holm,
1946). Model Archard didasarkan pada pengamatan-pengamatan bersifat percobaan.
Bentuk sederhana dari model keausan ini adalah:
(1)
dimana V adalah volume material yang hilang akibat keausan, s adalah jarak sliding, FN
adalah beban normal, k adalah koefisien keausan tak berdimensi (tidak memiliki satuan)
yang merupakan suatu konstanta yang didapatkan untuk mencocokkan perhitungan antara
teori dan pengujian, kD adalah koefisien keausan yang berdimensi yang didapat dari:
kD = k/H (2)
H adalah kekerasan dari material yang mengalami keausan. Tahapan keausan (Gb.1) dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri tiga tahap
(Jamari, 2006). Tahap pertama yaitu tahap running-in. Pada tahap ini keausan mengalami
peningkatan secara signifikan, tetapi laju keausan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu
ataupun jarak sliding ataupun rolling. Tahap kedua adalah steady state, dimana keausan masih
meningkat tetapi tidak sebesar tahap pertama (running-in). Laju keausan (wear rate) berjalan
konstan dan tidak berubah dengan berjalannya waktu ataupun jarak sliding ataupun rolling.
Keadaan ini berahir sampai terjadi fatique wear. Tahap terakhir disebut wear-out, pada tahap ini
keausan dan laju keausan mengalami peningkatan tajam, sampai akhirnya permukaan kontak
mengalami kerusakan. Pada kondisi inilah awal dari kegagalan lelah.
D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.20
Gambar 1. Grafik tahapan keausan (Jamari,2006)
PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan alat yang disebut tribometer pin-on-disc
(Gb.2) , tipe slliding pada fase running-in dengan material alumunium dan kuningan sebagai disc
dan bola baja (crome steel ball) sebagai pin dengan variasi pembebanan (2 N, 35 N, dan 5 N). Bola
baja yang digunakan berdiameter 10mm, Ra:0.01μm, E:430 Gpa dan v:0.17 dengan lapisan crome.
Bola baja diasumsikan tidak mengalami keausan, sehingga yang dilakukan pengamatan hanya pada
disc saja. Material alumunium yang digunakan memiliki H: 0.24 Gpa, E: 75.2 Gpa dan v: 0.34.
Sedang material kuningan memiliki H: 1.8 GPa , E: 115 GPa, dan v: 0.34. Permukaan benda uji
memiliki kekasaran ±1.27 µm untuk alumunium, dan 1.28 µm untuk material kuningan. Kecepatan
yang digunakan dalam pengujian sebesar 10 m/s.
Gambar 2. Pin-on-disc tribometer
Pin
Disc
Load cell
Microcontroller
C P U
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.21
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Pengujian untuk Material Alumunium
Gambar 3. Grafik koefisien gesek material alumunium untuk v: 10rpm,
beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N
Fase running-in terjadi pada awal proses keausan (Gb. 3). Untuk material alumunium fase
running-in terjadi secara singkat. Dari grafik gaya gesek di atas menunjukan bahwa running-in
terjadi sampai ± 40 detik. Jika putaran yang digunakan 10 rpm berarti pada putaran ke ±6~7. Gaya
gesek akan menurun untuk menuju fase steady-state. Penurunan gaya gesek tersebut terjadi karena
permukaan material semakin halus, dimana asperiti-asperiti terdeformasi secara plastis akibat
proses keausan abrasi. Sejalan dengan penurunan gaya gesek, koefisien gesek akan menurun pula
dan akan terjadi kesetabilan sampai fase steady sate. Koefisien gesek pada running-in berbanding
lurus dengan besarnya beban (gaya normal). Seiring jarak sliding, koefisien gesek pada fase
running-in akan menurun dan akan memiliki nilai yang hampir sama pada fase steady-state
walaupun dengan beban yang berbeda.
2. Hasil Pengujian Material Kuningan
Gambar 4. Grafik koefisien gesek material kuningan untuk v: 10 rpm
dengan variasi pembebanan.
Fase running-in pada material kuningan lebih lama dibanding pada material alumunium
(Gb.3 dan 4). Hal ini dipengaruhi oleh kekerasan material yang lebih tinggi dibanding kekerasan
running-in Steady state
Steady state running-in
D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.22
alumununium. Sama seperti material alumunium, fase running-in akan berlangsung sampai terjadi
kesetabilan, dimana koefisien gesek yang terjadi tidak akan mengalami kenaikan ataupun
penurunan yang signifikan. Untuk material kuningan, fase running in terjadi kurang lebih sampai
detik ke 70, atau pada putaran ke 11~12. Nilai koefisien gesek pada fase ini berbanding dengan
besarnya beban, dan akan menurun sampai fase steady state dengan nilai yang hampir sama.
KESIMPULAN
Koefisien gesek pada material alumunium pada kontak sliding lebih kecil dibanding pada
material kuningan, ini dipengaruhi oleh kekerasan material itu sendiri. Besarnya koefisien gesek
pada fase ini akan berbanding lurus dengan besarnya gaya normal (beban), dan akan mengalami
penurunan sampai fase steady state. Besarnya koefisien gesek pada fase steady state memiliki nilai
yang hampir sama, walaupun dengan beban yang berbeda. Fase running-in pada proses keausan
merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini akan mempengaruhi dari karakteristik keausan
yang terjadi selanjutnya. Karena tahapan ini akan menentukan besarnya gesekan yang terjadi ketika
fase steady state, dan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan performa sistem permesinan.
DAFTAR PUSTAKA
Archard, J.F.1953. Contact and rubbing of flat surfaces, Journal of Applied Physics, 24, pp. 981-
988,
Archard, J.F.1980. Wear theory and mechanisms, In: Peterson MB, Winer WO, editors. Wear
control handbook. New York: ASME.
Dowson, D. History of Tribology, Second edition, London: Professional Engineering Publishing,
1998.
Holm .R, 1946. Electric Contacts. Almquist and Wiksells Akademiska Handböcker, Stockholm
Hu, Y.Z., Li, N. and Tønder, K. 1991. A dynamic system model for lubricated sliding wear and
running-in. ASME-Journal of Tribology 113, pp. 499 – 505.
Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling
Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente
Jamari, J. 2006. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland
Peterson M.B,dkk. 1980. Glossary of terms and definitions in the field of friction, wear and
lubrication. Research Group on Wear of Engineering Materials, Organisation for Economic
Co-operation and Development, reprinted in Wear Control Handbook (eds), American
Society of Mechanical Engineers, pp. 1143–1303.
Shirong, G. and Gouan, C. 1999. Fractal prediction models of sliding wear during the running-in
process. Wear 231, pp. 249 – 255.
Stachowiak, 2005.G.W. Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc. USA.
Suryanto, H.2007. Pengaruh Penambahan Grafit Sebagai Reinforcement Komposit Perunggu
Terhadap Sifat Ketahanan Aus.
Wang,W; dkk.2000. Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During
Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.
Xiao, L. 2006. The influence of surface roughness and the contact pressure distribution on friction
in rolling/sliding contact. Tribology International 40, pp. 694–698.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.23
STUDI EKSPERIMEN PENGARUH BEBAN
TERHADAP PERUBAHAN KOEFISIEN GESEK PADA ROLLING CONTACT
DENGAN TRIBOMETER PIN- ON- DISC FASE RUNNING-IN
Aan Burhanudin*)
, Didi Dwi Krisnandi, Eko Armanto, Dian Prabowo,
Sri Nugroho, Jamari,
Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro
Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *)
E-mail: aan.burhanuddin@gmail.com
Abstrak
Dalam dunia industri dan rekayasa perancangan, tribologi merupakan salah satu ilmu penting
yang pempunyai kontribusi efisien pada suatu komponen permesinan. Tribologi mempelajari
tentang fenomena gesekan, keausan dan pelumasan pada dua buah benda yang saling
berkontak. Hal tersebut berpengaruh terhadap umur pakai suatu komponen, khususnya yang
bergerak pada kondisi cepat dengan tingkat pembebanan besar. Kontak permukaan suatu
sistem permesinan dapat berupa sliding contact (kontak luncur) dan rolling contact (kontak
mengelinding). Dalam rolling contact, para peneliti membagi keausan menjadi tiga fase yaitu:
running-in, steady state, dan wear out. Pada kondisi running-in awal terjadi kontak sampai
pada proses keausan steady state. Tanapan ini terjadi secara cepat dan mempunyai pengaruh
terhadap kehandalan serta efisiensi suatu permesinan. Penelitian ini menggunakan alat
berupa pin-on-disc untuk mengukur perubahan gaya gesek, koefisien gesek pada material
kuningan, alumunium pada kondisi running-in. Material alumunium mempunyai H = 0.24
GPa, E = 75 GPa, v = 0.34, sedang untuk material kuningan mempunyai H = 1.8 GPa, E =
115 GPa, v = 0.35. Untuk kecepatan yang digunakan dengan kecepatan rendah antara 10 rpm,
dimana proses running-in terjadi secara cepat, bola atau pin berupa baja dengan asumsi tidak
mengalami keausan. Material bola berupa baja krom dengan diameter 10 mm, H = 7.5 GPa,
E = 430 GPa, v = 0.3. Dari hasil pengujian didapatkan gaya gesek yang timbul pada kuningan
lebih besar dibanding dengan gaya gesek yang timbul pada alumunium. Demikian pula
koefisien gesek pada kuningan lebih tinggi dibanding pada alumunium. Fase running-in yang
terjadi pada kuningan lebih lama (± 340 second) dibanding fase running-in pada alumunium
(± 210 second).
Kata kunci: keausan, koefisien gesek, rolling, running-in
1. PENDAHULUAN
Suatu sistem permesinan akan terdapat kontak antar part, yaitu kontak statis yang dapat
berupa point contact (kontak titik), surface contact (kontak permukaan), dan line contact (kontak
garis). Ketika kontak antar part tersebut dikenakan sebuah gaya mekanik, maka akan timbul suatu
fenomena tribologi yang disebut sebagai keausan (wear).
Wear didefinisikan sebagai kehilangan substansi secara progresif dari permukaan operasi
dari benda akibat gerak relatif dari permukaan terhadap benda lain (Stachowiak, 2005). Wear
merupakan hal yang penting dalam rekayasa permesinan. Namun hal ini sering diabaikan. Proses
wear sangat sulit untuk diamati secara kasat mata, walaupun mudah untuk dikenali. Proses wear
berlangsung secara berangsur-angsur secara alami dan bukan merupakan sifat dasar material,
melainkan respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan), ketika ada permukaan
material yang saling begesekan (Gb. 1).
Fenomena wear lebih lanjut dipelajari dalam ilmu yang disebut tribology, yaitu ilmu
pengetahuan dan teknologi yang membahas tentang interaksi antar permukaan dua benda atau lebih
dalam gerak relatif yang meliputi gesekan (friction), keausan (wear), dan pelumasan (lubrication).
Sejarah panjang tentang Tribologi telah disampaikan oleh (Dowson,1998). Robinowicz
mengemukakan bahwa kehilangan fungsi suatu komponen mesin 70% disebabkan oleh kerusakan
pada permukaan logam yang meliputi keausan (55%) dan korosi (15%). Dimana mekanisme
keausan yang dominan adalah keausan adesif (25%) dan abrasif (20%), sedang sisanya disebabkan
oleh mekanisme keausan yang lain (Suryanto, 2007). Data tersebut menunjukan bahwa fenomena
D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.24
keausan sangat penting dalam kaitannya umur pakai dan performance komponen dalam suatu
sistem permesianan. Oleh karena itu penelitian tentang wear ini akan sangat berguna untuk
memprediksi umur efektif suatu part (wear rate), mempertimbangkan dan menentukan jenis dan
propertis material yang akan digunakan, dan menentukan kondisi lingkungan yang tepat sebagai
optimalisasi suatu sistem permesinan.
Gambar 1. Contoh part pada sistem permesinan yang mengalami keausan
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan alat yang disebut tribometer pin on disc (Gb.
2), pada kondisi running-in tipe sliding dan rolling dengan material alumunium sebagai disc dan
steel ball sebagai pin dengan variasi kekasaran permukaan (surface roughness/Ra).
Gambar 2. Tribometer pin on disc rolling contact
2. LANDASAN TEORI
Untuk benda yang dapat menggelinding, terdapat jenis gaya gesek lain yang disebut gaya
gesek menggelinding (rolling friction) yang ditunjukan oleh (Gb. 3). Untuk kasus rolling, jika
bekerja tanpa beban maka hampir tidak ada gaya gesek atau sangat kecil sekali. Menurut Gwidon
Stachowiak , besarnya rolling friction antara 0.01 sampai 0.001. Koefisien ini merupakan suatu
gaya yang dibutuhkan agar tidak menggelinding (Gb. 4).
Pada rolling contact, tegangan yang terjadi pada area permukaan kontak sangat besar, hal
ini karena tegangan terkosentrasi di satu titik. Bisa dikatakan antara ujung asperiti dengan ujung
asperiti material kontak.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.25
Gambar 3. Koefisien rolling friction (Stachowiak, 2005)
Gambar 4. Mekanisme keausan pada rolling contact (Stachowiak, 2005)
Gambar 5. Mekanisme pembentukan crack pada fatique wear (Stachowiak, 2005)
Kegagalan material pada rolling contact tergolong sebagai keausan fatique, dimana
mekanismenya digambarkan seperti pada gambar (4) dan (5) di atas.
2.1 Running-in Tahapan keausan (Gb. 6) dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri tiga tahap
(Jamari, 2006). Tahap pertama yaitu tahap running-in. Pada tahap ini keausan mengalami
peningkatan secara signifikan, tetapi laju keausan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu
ataupun jarak sliding ataupun rolling. Tahap kedua adalah steady state, dimana keausan masih
meningkat tetapi tidak sebesar tahap pertama (running-in). Laju keausan (wear rate) berjalan
konstan dan tidak berubah dengan berjalannya waktu ataupun jarak sliding ataupun rolling.
Keadaan ini berahir sampai terjadi fatique wear. Tahap terakhir disebut wear-out, pada tahap ini
keausan dan laju keausan mengalami peningkatan tajam, sampai akhirnya permukaan kontak
mengalami kerusakan. Pada kondisi inilah awal dari kegagalan lelah.
D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.26
Gambar 6. Skema tahap keausan (jamari, 2006)
3. PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan alat berupa pin-on-disc untuk mengukur perubahan
gaya gesek, koefisien gesek pada material kuningan, alumunium pada kondisi running-in.
Material alumunium mempunyai H = 0.24 GPa, E = 75 GPa, v = 0.34, sedang untuk
material kuningan mempunyai H = 1.8 GPa, E = 115 GPa, v = 0.35. Untuk kecepatan yang
digunakan dengan kecepatan rendah antara 10 rpm, dimana proses running-in terjadi
secara cepat, bola atau pin berupa baja dengan asumsi tidak mengalami keausan. Material
bola berupa baja krom dengan diameter 10 mm, H = 7.5 GPa, E = 430 GPa, v = 0.3. Uji
kekerasan rockwell hardness dilakukan untuk mengetahui kekerasan dari material uji
berupa disc, spesimen yang digunakan berupa disc dengan ketebalan 10 mm, dengan
diameter 96 cm, disc yang akan diuji tersebut diukur tingkat kekerasannya, kemudian
dibuat variasi kekasaran dengan nilai kekasaran mendekati 1.2 ± 0.12μm.
Gambar 7. Alat uji kekasaran mitutoyo SJ-301
Berbagai jurnal internasional telah melakukan penelitian untuk menghitung keausan
dengan pin-on-disc. Penelitian tentang keausan (Hegadekatte, 2008) diantaranya dengan
melakukan permodelan menggunakan pin-on-disc. W. Wang (2000) melakukan penelitian
tentang perubahan kekasaran permukaan kondisi running-in dengan menggunakan
tribometer jenis twin disc. Kemudian penulis melakukan penelitian keausan kondisi
running-in pada alumunium, kuningan dan baja lunak dengan tribometer pin-on-disc tipe
rolling tanpa menggunakan pelumas.
Gambar 8. Skema uji keausan pin-on-disc
Analog to
Digital Display
(CPU)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.27
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengujian material kuningan
Gambar 9. Grafik koefisien gesek material kuningan untuk v: 10 rpm,
beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N
Dari gambar diatas perubahan koefisien gesek pada material kuningan untuk fase
running-in terjadi relatif singkat yaitu pada (± 340 s), pada putaran dengan kecepatan 10
rpm. Perbandingan bembebanan dilakukan untuk mengetahui perubahan koefisien gesek
yang terjadi pada fase running-in tersebut. Gaya gesek akan menurun untuk menuju fase
steady-state. Penurunan gaya gesek tersebut terjadi karena permukaan material semakin
halus, dimana asperiti-asperiti terdeformasi secara plastis akibat proses keausan abrasi.
Sejalan dengan penurunan gaya gesek, koefisien gesek akan menurun pula dan akan terjadi
kesetabilan sampai fase steady state. 2. Pengujian material alumunium
Gambar 10. Grafik koefisien gesek material alumunium untuk v : 10rpm,
beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N
Fase running-in pada material kuningan lebih lama dibanding pada material alumunium.
Hal ini dipengaruhi oleh kekerasan material yang lebih tinggi dibanding kekerasan alumunium.
Sama seperti material alumunium, fase running-in akan berhenti sampai terjadi kesetabila, dimana
D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.28
gaya gesek yang terjadi tidak akan mengalami kenaikan ataupun penurunan yang signifikan. Untuk
material alumunium, fase running-in terjadi sampai data ke (± 220 s). Rolling contact pada material
alumunium untuk fase running-in prosenya lebih cepat karena materialnya relatif lebih lunak dan
tanpa pelumasan.
4. KESIMPULAN
Gaya gesek pada material alumunium pada kontak rolling lebih kecil dibanding pada
material kuningan, ini dipengaruhi oleh kekerasan material itu sendiri. Fase running-in pada proses
keausan merupakan tahapan yang relatif cepat, karena tahapan ini akan mempengaruhi dari
karakteristik keausan yang terjadi selanjutnya. Karena tahapan ini akan menentukan besarnya
gesekan yang terjadi ketika fase steady state, dan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan performa
sistem permesinan.
5. DAFTAR PUSTAKA
Archard, J.F. 1980. Wear theory and mechanisms, In: Peterson MB, Winer WO, editors. Wear
control handbook. New York: ASME.
Blau, P.J, 1989. Friction and Wear Transitions of Materials: Break-in, Run-in, Wear-in. Noyes
Publications, Park Ridge, NJ, USA.
Blau, P.J. 1996. Friction Science and Technology, Marcel Dekker, New York, USA.
Dowson, D. 1998. History of Tribology, Second edition, London: Professional Engineering
Publishing, 1998.
Holm .R, 1946. Electric Contacts. Almquist and Wiksells Akademiska Handböcker, Stockholm
Hu, Y.Z., Li, N. and Tønder, K. 1991. A dynamic system model for lubricated sliding wear and
running-in. ASME-Journal of Tribology 113, pp. 499 – 505.
Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling
Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente
Jamari, J. 2006. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland
Lin, J.Y. and Cheng, H.S. 1989. An analytical model for dynamic wear. ASME-Journal of
Tribology 111, pp. 486 – 474.
Peterson M.B,dkk. 1980. Glossary of terms and definitions in the field of friction, wear and
lubrication. Research Group on Wear of Engineering Materials, Organisation for Economic
Co-operation and Development, reprinted in Wear Control Handbook (eds), American
Society of Mechanical Engineers, pp. 1143–1303.
Shirong, G. and Gouan, C. 1999. Fractal prediction models of sliding wear during the running-in
process. Wear 231, pp. 249 – 255.
Stachowiak, G.W. 2005. Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc. USA.
Suryanto, H.2007. Pengaruh Penambahan Grafit Sebagai Reinforcement Komposit Perunggu
Terhadap Sifat Ketahanan Aus.
Wang, W. and Wong, P.L. 2000. Wear volume determination during running-in for PEHL
contacts. Tribology International 33, pp. 501 – 506.
Wang, W; dkk. 2000. Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During
Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.
Xiao, L. 2006. The influence of surface roughness and the contact pressure distribution on friction
in rolling/sliding contact. Tribology International 40, pp. 694–698.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.29
RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN PEMANAS PADA DISC
UNTUK ALAT UJI TRIBOMETER TIPE PIN-ON- DISC
Dian Prabowo*1)
, Aan Burhanudin2)
, Eko Armanto2)
, Didi Dwi K.2)
Jamari2)
, Syaiful2)
1)
Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Cilacap
Jl. Dr. Soetomo no. 1 Sidakaya, 53212 Cilacap 2)
Magister Teknik Mesin, Universitas Diponegoro
Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *
)e-mail: diansheva@yahoo.co.id
Abstrak
Perancangan ini merupakan suatu kajian dasar dalam ilmu Mekanika kontak (contact
mechanics) yang berorientasi pada aplikasi tentang tegangan dan deformasi yang timbul
ketika dua permukaan solid bodies saling bersentuhan satu sama lain pada satu titik atau lebih
(contact). Perancangan ini akan menelaah karakteristik suatu material yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan beban yang diterima, variasi temperatur dan pemodelan kontak (sliding
dan rolling). Alat uji pin-on-disc ini terhubung dengan suatu program pada komputer sehingga
pengaturan variasi putaran, temperatur dan jumlah putaran disc dapat dengan mudah di atur
dengan tujuan agar dalam pengujian lebih mudah untuk memvariasikan parameter yang akan
dipakai. Kontrol yang dipakai pada alat ini menggunakan mikrokontroler sebagai pengatur
dari peralatan yang ada pada alat uji ini ke komputer. Variasi yang disediakan pada alat ini
terdapat pada beban yang dapat diganti, temperatur yang dapat dirubah dari 5 ˚C sampai
80˚C, putaran motor DC dapat diatur dan jumlah putaran disk dapat disesuaikan dengan
kebutuhan pengujian. Untuk mengetahui gaya yang bekerja karena adanya pengaruh putaran
pada lengan dipasang sensor gaya yang dapat langsung diketahui datanya pada komputer.
Sensor yang digunakan adalah sensor suhu tipe DS18B20 merupakan sensor suhu digital yang
mempunyai keluaran berupa data, sensor gaya menggunakan loadcell, sensor putaran
menggunakan optocoupler U, pemanas yang digunakan yaitu peltier dan catu daya
menggunakan swiching. Hasil penelitian menunjukkan temperatur memiliki peran dalam
mempengaruhi keausan pada suatu material, semakin tinggi suhu yang diberikan semakin
tinggi tingkat keausan yang akan terjadi.
Kata Kunci: Perancangan, Mekanika kontak, Pin on Disc, Temperatur, Sensor
1. PENDAHULUAN
Tribotester adalah suatu alat yang digunakan sebagai alat uji untuk mengetahui kondisi dari
material tersebut. Pin on disc merupakan salah satu dari Tribotester yang nantinya digunakan
sebagai alat uji suatu material untuk mengetahui prediksi keausan dan gesekan. Pin on Disc terdiri
dari pin yang berupa bola yang terbuat dari material tertentu dan disc yang juga dapat divariasikan
jenis materialnya. Pada proses pengujian menggunakan Pin on Disc ,bola ditekan pada disc dengan
beban tertentu yang berputar dengan kecepatan putaran tertentu juga.
Temperatur juga mempengaruhi umur pakai dari suatu material, baik temperatur dari
lingkungan, perubahan temperatur dari gesekan ataupun pangaruh perubahan temperatur dari
material tersebut. Permukaan yang tidak benar-benar bersih, kondisi material yang tidak seragam,
kecepatan dan gerakan rolling, rolling-sliding, sliding, fretting, dan impact yang bervariasi dapat
menyebabkan gesekan awal lebih tinggi dari pada gesekan tahap sliding selanjutnya. Hal ini
menjadi gaya gesek menjadi tidak tunak. Terkadang gesekan antar permukaan mengalami
perubahan yang cepat setelah melewati periode tunak. Jika kondisi ini terjadi, maka topografi
permukaan menjadi tidak rata dan tekanan kontak semakin besar jika dibandingkan kondisi awal.
Efeknyanya umur pakai menjadi pendek.
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka rancang bangun alat uji Pin-on-disc yang
khususnya desain pemanas ini bertujuan : Mengetahui pengaruh perbedaan temperatur pada
material,terhadap umur material tersebut. Penelitian tentang keausan karena kontak mekanik
mempunyai manfaat terhadap prediksi luluhnya material yang merupakan awal dari proses keausan
D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.30
akan dapat mendekati kenyataan yang sesungguhnya. Secara makro dapat dikatakan bahwa umur
pakai sebuah material dapat diprediksi secara akurat dengan memodelkan permukaan sebuah
benda.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Standard Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus (ASTM G-99). Pada
ASTM G-99 menjelaskan tentang standar dalam perancangan alat Uji Pin on disc. Metode uji ini
menjelaskan untuk skala laboratorium untuk menentukan umur suatu bahan selama meluncur
menggunakan pin-untuk aparatur-disk. Adapun Instrumentasi dan Data yang dapat diperolehan :
RPM, Keausan, Gaya gesekan, Suhu, Pengukuran resistensi kelistrikan.
Gambar 2.1. Skema umum Pin-on-Disc, dimana F : Beban normal,
R : Radius jalur yang digunakan, d : Diameter bagian atas bola pin, D : Diameter disk,
w : Kecepatan rotasi (ASTM G99-95a)
Tahapan keausan dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri atas tiga tahap (Jamari,
2006). Tahap pertama adalah tahap runing-in. Pada tahap ini, keausan meningkat secara signifikan
tetapi laju keausan berkurang seiiring dengan bertambahnya waktu ataupun rolling maupun jarak
sliding.
2.1. Perpindahan Kalor
Perpindahan kalor (heat transfer) merupakan ilmu yang meramalkan perpindahan energi
yang terjadi karena adanya perbedaan suhu diantara benda atau material.Jika pada suatu benda
terdapat gradien suhu (temperatur gradient), maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian
bersuhu tinggi kebagian bersuhu rendah. Energi berpindah secara konduksi atau hantaran dan
bahwa laju perpindahan kalor itu berbanding dengan gradiaen suhu normal.
......................................................... 2.1
Perpindahan panas dari beban ke lingkungan sekitar, sebagian besar fungsi dari dua
konduksi termal-proses dan konveksi. Konduksi adalah transfer panas melalui materi (isolasi,
komponen struktural, segel, kancing, dll) dan merupakan fungsi dari perbedaan suhu (yaitu, Delta
T) di seluruh material, dimensi fisik, dan konduktivitas termal dari bahan (K). Konveksi adalah
perpindahan panas di lapisan batas udara pada permukaan material. Ini adalah fungsi dari ΔT
seluruh lapisan batas dan laju gerakan udara pada gerakan-permukaan lebih cepat udara, semakin
besar konveksi panas. konveksi merupakan komponen yang relative tidak penting dan Anda
seringkali dapat memfokuskan secara eksklusif pada elemen konduktif. Persamaan berikut dapat
digunakan untuk memperkirakan beban murni konduktif:
............................................... 2.2
dimana :
- Q adalah jumlah panas yang dilakukan (bisa juga dinyatakan dalam BTU / jam atau watt,
meskipun dalam industri themoelectric, dokumentasi dukungan sebagian besar didasarkan pada
wattage);
- ΔT adalah perbedaan suhu antara beban panas dan lingkungan sekitar (dalam ° F untuk BTU /
perhitungan jam,dalam °C untuk watt);
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.31
- K (Kappa) adalah konduktivitas termal dari material yang dinyatakan dalam BTU baik / ° jam-
kaki F atau watt/meter °C;
- L adalah ketebalan bahan (di kaki untuk BTU / perhitungan jam, meter untuk watt), dan
- A adalah luas permukaan terkena material (dalam kaki persegi untuk BTU / perhitungan jam,
meter persegi untuk watt).
Konstanta positif k disebut konduktifitas atau kehantaran termal benda itu, sedangkan tanda
minus diselipkan agar memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa kalor mengalir
ketempat yang lebih rendah dalam skala suhu, sebagaimana juga ditunjukkan dalam sistem
koordinat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Bagan yang menunjukkan arah aliran kalor.
3. PROSES DESAIN DAN MANUFAKTUR
3.1. Desain pemanas pada alat uji pin-on-disc Penelitian ini adalah pada rancang bangun dan pengujian pemanas alat uji Pin-on-Disc.
Pada perancangan ini menggunakan solidworks 2010 untuk mendesain alat uji tersebut. Serta
pengujian yang dimampu dilakukan oleh alat tersebut dengan variasi temperatur yang hasilnya
dapat langsung dilihat pada komputer.
Gambar 3.1. Desain Pin on Disc
Gambar 3.2. Desain pemanas disc Gambar 3.3. Pemanas disc
D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.32
3.2. Persiapan elemen pemanas
Pada alat uji Pin-On-Disc ini Alat pemanas disk menggunakan peltier (Gambar 3.4) dan
pengontrol suhu pada disk.
Gambar 3.4. Peltier
Spesifikasi dari peltier yang digunakan :
- Thermoelectric
- Bagian luar komponen ini dibungkus sejenis keramik tipis yang berisikan batang-batang
BismuthTelluride di dalamnya
- Tinggi = 3,94 mm
- Panjang = 29,70mm
- Lebar = 29,70 mm
Penempatan elemen pemanas dan sensor diletakkan didalam piringan tempat material uji.
Gambar 3.5. Penempatan Peltier dan Sensor suhu pada dudukan disc
Data peralatan dan sensor yang akan digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 3.1. Tabel alat dan spesifikasi
No Alat Spesifikasi
1 Motor DC Tegangan max 24 volt
2 Sensor Gaya Load cell dengan resolusi 1 gram
3 Sensor Suhu Type DS18B20
4 Sensor Putaran Optocoupler H21A2
5 Pemanas PELTIER Seri 9501/127/030 B
6 Driver Motor Mosfet Seri IRFZ44, teg s/d 60 volt & arus s/d 50 A
7 Catu Daya Swiching max 22A
8 Driver Control ATMEGA 16
3.1. Sistem pengoperasian
Pengoprasian pemanas dan sensor serta perangkat yang lain langsung dalam 1 kontrol
didalam komputer dengan software DHELPI.
Alur penggunaan Pemanas pada alat uji :
Sensor Suhu
PELTIER
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.33
Gambar 3.6. Alur kerja rancangan alat uji
Gambar 3.7. Software pengoperasian
3.2. Analisa Data
Dari perencanaan dan pembuatan alat uji tersebut maka dapat ditentukan beberapa data-
data dari hasil pengujian. Parameter perancangan ini nantinya membandingkan variasi pengujian :
Tabel 3.2. Tabel Variasi Parameter No Parameter Keterangan
1 Putaran 5 Rpm sampai dengan 30 Rpm
2 Jarak rolling Disc (material uji) Ø 95 mm
3 Beban 0,05 N sampai dengan 5 N
4 Temperatur 25 ˚C sampai dengan 85˚C
5 Bola baja Diameter 6 mm sampai dengan 10 mm
Data pengujian yang direncanakan dengan beban 1,2,3 dan 5 N, bola baja diameter 10 mm,
variasi temperatur dibagi menjadi 5 level (40o C,50
o C ,60
o C ,70
o C ,80
o C) :
Gambar 3.8. Grafik hubungan temperatur dan waktu dari pemanas pin-on-disc
Catu daya Peltier
Sensor suhu
Motor DC
Komputer
D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.34
4. KESIMPULAN
Pengaruh temperatur pada menggunakan pin-on-disk ini. Ditemukan bahwa pengaruh
temperatur terhadap kontak antara permukaan pada temperatur tinggi permukaan gesekan, hasil
dalam gesekan tinggi dan permukaan mengalami kerusakan. Disimpulkan bahwa seperti memakai
mekanisme dan transisi sebagai hasil dari peningkatan temperatur. Kekurangan dari desain ini
adalah pada proses peningkatan temperatur yang tidak bisa cepat dan tidak bisa untuk mencapai
temperatur yang tinggi.
5. DAFTAR PUSTAKA
N. MARJANOVIC, B. TADIC,B. IVKOVIC, S. MITROVIC. “Design of Modern Concept
Tribometer with Circular and Reciprocating Movement”. Tribology in industry, Volume
28, No. 3&4, 2006.
Johnson, K. L. (1985). Contact Mechanics, 9th Edition, Cambridge University Press, New York.
Standard Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus (ASTM G-99)
Ing. Jiří Hájek, Dr. Ing. Antonín Kříž, Ing. Petr Beneš (2005), “Tribological behaviour of
hardwear resistant layers at high temperatures”, University of West Bohemia in Pilsen.
Miti Developments, Mohawk Innovatiove. Technology,inc.(februari 2002) “High Speed, High
Temperature Tribometers, HTP Series” vol 14.
Jamari, . 2006.” Running-in of Rolling Contacts”, PhD Thesis, University of Twente, Enschede,
The Netherlands.
Yan, W., O'Dowd, N. P., & Busso, E. P. (2002). Numerical study of sliding wear caused by a
loaded pin on a rotating disc. J. Mech. Phys. Sol., 50, 449-470.
Amro M. Al-Qutub (april 2009),” EFFECT OF HEAT TREATMENT ON FRICTION AND WEAR
BEHAVIOR OF Al-6061 COMPOSITE REINFORCED WITH 10% SUBMICRON Al2O3
PARTICLES”, Department of Mechanical Engineering King Fahd University of Petroleum
and Minerals Dhahran, Saudi Arabia
A. Zulfia dan M. Ariati (APRIL 2006), Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.
Rahmat Saptono. Universitas Indonesia (2005), Prinsip-Prinsip Desain Rekayasa (Engineering
Desaign Prinsiples by Kenneth S. Hurst. University of Hull)
Zum – Gahr, K. H. (1987). Microstructure and Wear of Materials. Elseiver, Amsterdam, The
Netherlands.
Stachowiak, Gwidon W. (2005) Wear – Materials, Mechanisms And Practice. John Wiley & Sons,
Ltd., West Sussex, England.
Suh, N. P. (1986). Tribophysics. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliff, New Jersey.
Blau, P. J. (2001). The significance and the use of friction coefficient. Tribology International, 34,
585-591.
Stachowiak, Gwidon W. & Batchelor, Andrew W. (2005) Engineering Tribology. 3th Edition,
Elseiver, Burlngton, USA.
Liu, R. & Li, D.Y. (2001). Modification of Archard’s equetion by taking account of
elastic/pseudoelastic properties of materials. Wear, 251, 956-964.
J.P Holman .translate by Ir. E. Jasjfi M.Sc. LEMIGAS. Penerbit ERLANGGA.
(1994),Perpindahan kalor .edisi keenam.
Info@imperialscientific.com. “Pin on Disc type Tribometer Friction & Wear Machine”.
Paul C. Okonkwo, Georgina Kelly, Bernard F. Rolfe &Michael P. Pereira. (2012). The effect of
temperature on sliding wear of steel-tool steel pairs. Wear 282-283 (2012) 22-30.
Paul C. Okonkwo, Michael P. Pereira Georgina Kelly & Bernard F. Rolfe.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.35
PROSES PERMESINAN BUBUT PADA KACA
Rusnaldy*, Susilo A.W., Yusuf U., Norman I., Triana A., Dika F.P.S
*Lab. Metrologi Industri
Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang
Email: rusnaldy@undip.ac.id
Abstrak
Kaca termasuk jenis material yang getas. Sebagai material yang getas, sifat ketermesinan
(machinability) kaca sangat rendah karena nilai fracture toughness-nya yang rendah.
Kekuatan fracture (fracture strength) kaca lebih rendah dari kekuatan luluhnya (yield
strength). Ketika kaca diberi beban tarik atau tekuk pada suhu kamar, maka kaca akan hancur
sebelum terjadi deformasi plastis. Itu sebabnya maka proses pemesinan jarang diterapkan
pada kaca. Permasalahan utama proses pemesinan material getas seperti kaca adalah proses
pembentukan geram dapat menimbulkan kerusakan yang cukup parah di permukaan dan di
bawah permukaan (subsurface). Kerusakan seperti ini jelas menurunkan kualitas hasil proses
pemesinan. Untuk menghasilkan permukaan yang halus pada material getas, adalah sangat
penting jika material getas dilakukan proses pemesinan dalam kondisi ulet (ductile cutting
mode). Untuk itu maka serangkaian eksperimen proses pemesinan bubut pada kaca telah
dilakukan untuk mencari parameter optimum dari proses pemesinan kaca. Selain itu juga
diteliti umur pahat yang digunakan dan proses pendinginan apa yang mampu untuk
memperpanjang umur pahat. Sehingga nantinya akan berdampak pada nilai ekonomi proses
pemesinan kaca jika nanti dapat diterapkan di masyarakat. Dari hasil yang didapatkan
ternyata proses bubut pada kaca dapat dilakukan. Kondisi permukaan paling baik didapatkan
ketika proses bubut dilakukan pada radius nose 5 mm, depth of cut 0,5 mm, feed rate 0,045
mm/rev, kecepatan spindel 30 rpm dan kondisi permesinan menggunakan cairan pendingin
dromus. Dari hasil ini juga terlihat bahwa Laju keausan tepi pahat HSS pada proses
permesinan kaca sangat tinggi, sehingga dengan pertimbangan ekonomis pahat HSS tidak
dapat digunakan
Kata Kunci : Permesinan, Kaca, High hydrostatic pressure, Ductile cutting mode, Laju
Keausan Pahat
PENDAHULUAN
Kaca banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Proses fabrikasi kaca sangat terbatas,
terutama untuk proses-proses manufakturing seperti proses pemesinan. Sifat kaca yang getas yang
menjadi penyebabnya. Mengingat kebutuhan akan kaca semakin meningkat terutama untuk
peralatan optik dan biochips. Selama ini proses untuk manufaktur kaca menggunakan proses
chemical etching, namun prosesnya berlangsung cukup lama dan zat kimia yang digunakan perlu
penanganan yang khusus agar tidak mencemari lingkungan ketika dibuang. Sehingga butuh biaya
lebih untuk hal tersebut. Belum lagi bahaya laten yang ditimbulkan oleh zat kimia tersebut bagi
kesehatan operator.
Sebagai material yang getas, sifat ketermesinan (machinability) kaca sangat rendah karena
nilai fracture toughnessnya yang rendah. Kekuatan fracture (fracture strength) kaca lebih rendah
dari kekuatan luluhnya (yield strenghth). Ketika kaca diberi beban tarik atau tekuk pada suhu
kamar, maka kaca akan hancur sebelum terjadi deformasi plastis. Itu sebabnya maka proses
pemesinan jarang diterapkan pada kaca. Permasalahan utama proses pemesinan material getas
seperti kaca adalah proses pembentukan geram dapat menimbulkan kerusakan yang cukup parah di
permukaan dan di bawah permukaan (subsurface). Kerusakan seperti ini jelas menurunkan kualitas
hasil proses pemesinan. Untuk menghasilkan permukaan yang halus pada material getas, adalah
sangat penting jika material getas dilakukan proses pemesinan dalam kondisi ulet (ductile cutting
mode).
Penelitian tentang ductile cutting mode pada material getas, seperti silikon dan germanium
telah banyak dilakukan orang [1-4]. Hal ini dilakukan untuk mendukung perkembangan komponen
atau sistem yang ukurannya semakin lama semakin mengecil (mikro dan nano). Sementara
penelitian terhadap proses pemesinan pada kaca juga telah dilakukan oleh peneliti lain [5-8].
D.7. Proses permesinan bubut pada kaca (Rusnaldy, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.36
Ductile cutting mode berhasil diperoleh pada penelitian ini, namun sayangnya ductile cutting mode
diperoleh pada uncut chip thickness yang sangat kecil, yakni jauh dibawah 1 mm. Peneliti sendiri
juga pernah mendapatkan ductile cutting mode untuk proses micro end milling pada single crystal
silicon [9-11]. Halangan secara teknologi yang mesti diatasi pada proses pemesinan material getas
adalah proses pemesinan akan menyebabkan kerusakan pada permukaan dan juga sedikit di bawah
permukaan (sub surface). Tentu saja hasil proses pemesinan yang menimbulkan kerusakan pada
permukaannya tidak dapat digunakan, apalagi jika diaplikasikan untuk peralatan optik misalnya.
Untuk mendapatkan permukaan yang halus dan bebas cacat, sangatlah penting jika proses
pemesinan dilakukan dalam keadaan ulet (ductile cutting mode). Ductile cutting mode adalah suatu
terobosan teknologi untuk memperoleh permukaan yang bebas cacat dan retak pada material-
material yang getas. Untuk mendapatkan ductile cutting mode, ukuran uncut chip thickness (tebal
geram sebelum terpotong) haruslah sangat kecil. Ukuran kritis kedalaman potong (depth of cut) dan
kondisi high hydrostatic pressure selama proses pemotongan berlangsung harus menjadi perhatian
yang utama. Karena dengan kondisi seperti inilah maka ductile cutting mode akan bisa dicapai
Yang menjadi tantangan disini adalah bagaimana mendapatkan ductile cutting mode pada
proses pemesinan konvensional, seperti proses bubut, dimana kedalaman potongnya bisa lebih dari
1 mm. Untuk itu maka serangkaian eksperimen proses pemesinan bubut pada kaca akan dilakukan
untuk mencari parameter optimum dari proses pemesinan kaca. Selain itu juga akan diteliti umur
pahat yang digunakan dan proses pendinginan apa yang mampu untuk memperpanjang umur pahat.
Sehingga nantinya akan berdampak pada nilai ekonomi proses pemesinan kaca jika nanti dapat
diterapkan di masyarakat.
METODOLOGI PENELITIAN
Material Benda Kerja
Material benda kerja yang digunakan adalah kaca berbentuk silinder dengan panjang 100
mmm dan diameter 25 mm. Kaca tersebut mengandung SiO2, B2O3, Na2O + K2O dan Al2O3
sebanyak berturut-turut 81%, 13%, 4% dan 2%.
Pahat Potong
Pahat potong yang digunakan adalah pahat HSS dengan ukuran 0,5 x 0,5 x 4 inchi.
Kekerasan dari pahat yang digunakan adalah 62,35 HRC. Sementara geometri pahat yang
digunakan adalah radius nose 1 mm dan 5 mm, end cutting edge angle 5o dan side cutting edge
angle 5o.
Parameter Permesinan
Parameter kondisi permesinan yang digunakan pada penelitian ini adalah putaran spindel
30 – 90 rpm, gerak makan 0,045 mm/rev, kedalaman potong 0,2 – 1 mm dan tiga kondisi
permesinan yaitu tanpa cairan pendingin (kering), dengan cairan pendingin dromus dan minyak
nabati.
DATA DAN ANALISA
Kondisi Permukaan Kaca Hasil Proses Permesinan
Dalam penelitian ini pengukuran kekasaran permukaan tidak dapat dilakukan karena
kondisi permukaan kaca dikhawatirkan akan merusak ujung sensor (stylus) dari alat pengukur
kekasaran permukaan. Sehingga keadaan permukaan kaca hasil proses permesinan diamati dengan
menggunakan mikroskop optik. Gambar 1 menunjukkan contoh permukaan kaca hasil proses
bubut.
Pengaruh parameter permesinan terhadap kondisi permukaan kaca juga dilakukan secara
kualitatif. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 1. Dari tabel 1 terlihat bahwa kondisi permukaan benda
kerja hasil proses permesinan bubut yang menggunakan radius nose 5 mm lebih baik dibanding
dengan pahat yang memiliki radius nose 1 mm. Hal ini disebabkan karena nilai effective rake angle
dari pahat yang memiliki radius nose 5 mm lebih negatif daripada pahat yang mempunyai radius 1
mm. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin negatif nilai effective rake angle nya maka
permesinan tersebut akan menghasilkan kondisi permukaan yang baik karena kemungkinan tercipta
kondisi high hydrostatic pressure lebih besar terjadi.
Dari tabel 1 juga terlihat bahwa kondisi permukaan benda kerja hasil proses bubut yang
menggunakan kecepatan putar spindel 30 rpm lebih bagus dibandingkan dengan yang
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.37
menggunakan kecepatan putar spindel 50 rpm dan 90 rpm. Pada proses permesinan benda getas
seperti kaca ketika kecepatan putar spindel besar maka gesekan yang terjadi antara pahat dengan
benda kerja semakin besar sehingga keausan pahat dan temperatur pahat juga akan meningkat.
Keausan pada pahat akan sangat berpengaruh terhadap kondisi permukaan hasil proses permesinan
bubut.
Sementara itu pada tabel 1 juga terlihat bahwa kondisi permukaan benda kerja hasil proses
permesinan bubut dengan depth of cut 0,2 mm paling kasar dibandingkan dengan depth of cut 0,5
mm, 0,7 mm dan 1 mm. Kondisi permukaan yang terbaik didapat ketika depth of cut 0,5 mm yang
diikuti oleh 0,7 mm dan 1 mm. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat depth of cut 0,2 mm
yang terjadi hanya gesekan antara pahat dan benda kerja dan tidak terjadi proses pemotongan
karena nilai depth of cut yang sangat kecil.
Kondisi permukaan benda kerja hasil proses permesinan bubut dengan menggunakan
dromus menghasilkan kondisi permukaan paling bagus dibanding proses permesinan kering dan
menggunakan minyak nabati.
Gb. 1. Kondisi Permukaan Kaca Hasil Proses Bubut dengan Depth of Cut 1 mm, kecepatan putar
spindel 30 rpm, radius nose 5 mm dan feed rate 0,045 mm/rev.
Tabel 1. Kondisi Permukaan Benda Kerja dengan Variasi Radius Nose
Radius Nose Kondisi Permukaan
5 mm Baik
1 mm Jelek
Kecepatan Spindel Kondisi Permukaan
30 rpm Baik
50 rpm Sedang
90 rpm Jelek
Kedalaman Potong Kondisi Permukaan
0,2 mm Paling Jelek
0,5 mm Baik
0,7 mm Sedang
1 mm Jelek
Kondisi Permesinan Kondisi Permukaan
Kering Sedang
Dromus Baik
Minyak Jelek
Keausan Pahat
Penelitian keausan pahat pada proses bubut menggunakan pahat HSS dan dilakukan
dengan tiga kondisi yang berbeda, yaitu kondisi permesinan kering (tanpa pendingin), dengan
cairan pendingin dromus, dan minyak nabati. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar 2
D.7. Proses permesinan bubut pada kaca (Rusnaldy, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.38
terlihat bahwa kondisi permesinan dengan menggunakan cairan pendingin dromus menunjukkan
laju keausan yang paling rendah. Hal ini disebabkan cairan dromus terdiri dari dari campuran air
dan minyak. Campuran pendingin ini sangat tepat digunakan sebagai pendingin karena dapat
menbantu mengurangi besarnya gesekan yang tejadi antara permukaan benda kerja dengan bidang
aktif pahat. Selain itu dromus dapat membantu membersihkan geram yang mungkin menempel
pada permukaan benda kerja sehingga mengurangi terjadinya gesekan yang semakin membuat
pahat cepat aus. Sedangkan fungsi air pada dromus adalah sebagai pendingin sehingga temperatur
yang terjadi pada bidang yang bergesekan akan turun, karena semakin besar temperatur yang
terjadi maka keausan pahat juga akan meningkat. Pada kondisi permesinan dengan menggunakan
cairan pendingin berupa minyak nabati, laju keausan pahat terlihat paling tinggi. Hal ini mungkin
disebabkan pada minyak nabati tidak terkandung air sebagai pendingin. Minyak nabati hanya
berfungsi sebagai pelumas dimana akan cenderung naik suhunya jika dipanasi. Kondisi bidang
potong yang panas telah membuat suhu di sekitar bidang potong menjadi semakin meningkat dan
akibatnya keausan pahat semakin cepat terjadi.
Untuk melihat besarnya temperatur yang terjadi saat proses permesinan kaca berlangsung
maka dilakukan pengukuran temperatur pahat. Sebagai pembanding digunakan material aluminium
cor. Posisi peletakan thermocouple pada pahat sekitar 1 mm dari bidang aktif pemotongan pahat.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 3. Dari gambar 3 terlihat bahwa temperatur pada
proses permesinan kaca jauh lebih tinggi dibanding pada permesinan aluminium. Gesekan yang
terjadi antar permukaan kaca yang dibubut dan permukaan pahat membuat temperatur pada bidang
aktif tersebut meningkat dengan cepat.
Gb. 2. Grafik pertumbuhan keausan tepi pahat HSS pada proses permesinan kaca
Gb. 3. Temperatur pahat pada saat proses permesinan kaca dan aluminium
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.39
KESIMPULAN
Dari data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses permesinan bubut pada kaca dapat dilakukan.
2. Kondisi high hydrostatic pressure didapatkan ketika nilai effective rake angle negatif.
3. Kondisi permesinan yang menghasilkan kondisi permukaan paling baik adalah ketika proses
bubut dilakukan pada radius nose 5 mm, depth of cut 0,5 mm, feed rate 0,045 mm/rev,
kecepatan spindel 30 rpm dan kondisi permesinan menggunakan cairan pendingin dromus.
4. Laju keausan tepi pahat HSS pada proses permesinan kaca sangat tinggi, sehingga dengan
pertimbangan ekonomis pahat HSS tidak dapat digunakan.
REFERENSI
1. Blake, P.N., Scattergood, R.O., (1990), “Ductile regime machining of germanium and silicon”,
Journal of the American Ceramic Society 73, 949-957.
2. Cai, M.B., Li, X.P., Rahman, M., (2007), “Studi of the mechanism of nanoscale ductile mode
cutting of silicon using molecular dynamics simulation”, International Journal of Machine Tool
and Manufacture 47, 75-80.
3. Leung, T.P., Lee, W.B., Lu, X.M., (1998), “Diamond turning of silicon substrate in ductile
regime”, Journal of Materials Processing 73, 42-48.
4. Shibata, T., Fujii, S., Makino, E., Ikeda, M., (1996), ”Ductile regime turning mechanism of
single crystal silicon”, Precision Engineering 18, 129-137.
5. Boccacini, A.R., (1997), “Machinability and brittleness of glass ceramics”, Journal of Materials
Processing Technology 65, 302-304.
6. Fang.F.Z., Zhang, G.X., (2004), „An experimental study of optical glass
machining“,International Journal of Advanced Manufacturing Technology 23, 155-160.
7. Matsumura, T., Hiramatsu, T., Shirakashi, T., Muramatsu, T., ( 2005), ”A study on cutting
force in the milling process of glass”, Journal of Manufacturing Processes Vol. 7 No.2, 102-
108.
8. Wan, Z.P., Tang, Y., (2009), “Brittle-ductile mode cutting of glass based on controlling cracks
initiation and propagation”, International Journal of Advanced Manufacturing Technology 43,
1051-1059.
9. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2005) “Investigation of chip formation in micro end milling of
single crystal silicon wafer,” Proceeding of Nanoengineering Symposium, Daejeon, Korea.
10. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2007), “Micro-end-milling of single-crystal silicon,”
International Journal of Machine Tool and Manufacture, Vol. 47 Issue 1, 2111-2119.
11. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2008) “An experimental study on microcutting of silicon
using a micromilling machine,” The International Journal of Advanced Manufacturing
Technology, 39, pp 85-91.
D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.40
PERANCANGAN MESIN UJI TRIBOLOGI PIN-ON-DISC
Eko Armanto*, Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Dian Prabowo, Ismoyo, Jamari
Program Studi Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang
Jl.Prof. H. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang
* email: armantopoly@gmail.com
Abstrak Makalah ini membahas tentang perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc. Pin-on-disc
adalah salah satu mesin uji gesek tribologi. Tribology salah satu ilmu terapan di bidang teknik
mesin yang mempelajari gesekan, keausan dan pelumasan, memberikan kontribusi dalam
upaya meminimalkan keausan dan kehilangan material akibat kontak antara dua permukaan
karena berdampak pada efisiensi, hidup mesin, desain mesin, jadwal pemeliharaan mesin.
Proses perancangan pada umumnya, tediri dari beberapa tahapan meliputi tahapan,
penyusunan dokumen, tahapan analisis masalah, penyusunan spesifikasi, tahapan
perancangan konsep produk, dan tahapan pembuatan produk. Tahapan-tahapan perancangan
di atas bersifat iteratif (iterative), artinya hasil setiap tahapan dijadikan umpan balik
(feedback) bagi tahapan yang sebelumnya. Konsep produk biasanya diekspresikan dengan
sketsa gambar tiga dimensi (3D) dengan uraian dan keterangan gambar.
Kata kunci: perancangan, pin-on-disc, gesekan, koefisien gesek
1. PENDAHULUAN
Salah satu fenomena yang terjadi dalam bidang pemesinan adalah fenomena kontak antar
komponen. Kontak yang terjadi antar komponen bisa berupa static contact, rolling contact, atau
sliding contact. Kontak mekanik (contact mechanics) merupakan hal yang penting, karena dapat
mempelajari bagaimana struktur topografi permukaan (asperity) mengalami deformasi, sedangkan
ilmu yang mempelajari tentang interaksi antar permukaan yang bergerak relatif satu sama lain
adalah tribologi. Tribology, salah satu ilmu terapan di bidang teknik mesin yang mempelajari
gesekan, keausan dan pelumasan, memberikan kontribusi dalam upaya meminimalkan keausan
akibat kontak antara dua permukaan, sehingga dapat diterapkan di industri untuk menganalisa
kasus kegagalan atau kerusakan pada komponen mesin. Gerak mekanik yang mengakibatkan
gesekan dapat dilihat pada gambar 1.1
Gambar 1.1. Contoh gerak mekanik
Dalam pengembangan ilmu tribologi terutama untuk keperluan penelitian, sangat
dibutuhkan alat-alat pengujian khususnya alat uji gesekan dan keausan pin-on-disc. Di Indonesia
alat-alat uji tribologi masih jarang sekali. Selama ini penelitian umumnya difokuskan pada
simulasi. Maka penulis akan merancang mesin uji gesekan dan keausan, untuk mengukur gaya
gesekan antara pin dan disc.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Mesin uji tribologi Pin-on-disc adalah alat uji gesek dan keausan yang terdiri dari pin dan
disc. Pin memiliki berbagai bentuk dan ukuran, umumnya berbentuk bola atau bentuk silinder
batang, sedangkan disc atau piringan dengan tebal tertentu berbentuk plat berdiameter. Penggunaan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.41
mesin pin-on-disc pada umumnya digunakan untuk menguji keausan jenis sliding dan rolling.
Dengan alat ini koefisien gesek antara pin dan disc (piringan uji) dapat diukur.
Perancangan dan pembuatan alat uji ini bertujuan untuk mengukur gaya gesek antara pin
dan disk. Dengan gaya gesek dan beban pada pin koefisien gesek dapat diketahui, keausan akan
dapat diketahui juga. Sesuai dengan aspek penelitian, manfaat alat secara umum adalah untuk
memprediksi keausan yang terjadi, maka usaha pencegahan keausan dapat lebih efektif
Perawatan terhadap komponen pemesinan karena adanya keausan dapat lebih efisien. Performa
sebuah mesin akan dapat berjalan dengan optimal. Hal ini akan berimbas pada nilai ekonomis,
yaitu penghematan biaya perawatan ataupun penghematan energi. Contoh kasus gesekan dapat
dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1. Proses gesekan
3. METODOLOGI PERANCANGAN
Proses Perancangan Perancangan alat uji ini bertujuan untuk membuat mekanisme gesekan pin-on-disc sebagai
alat mengukur gaya gesek antara pin dan disk. Dengan gaya gesek dan beban pada pin koefisien
gesek dapat diketahui, keausan akan dapat diketahui juga. Sesuai dengan aspek penelitian, manfaat
alat secara umum adalah untuk memprediksi keausan yang terjadi, maka usaha
pencegahan keausan dapat lebih efektif. Perawatan terhadap komponen pemesinan karena
adanya kontak mekanis dapat lebih efisien. Performa sebuah mesin akan dapat berjalan dengan
optimal. Hal ini akan berimbas pada nilai ekonomis, yaitu penghematan biaya perawatan ataupun
penghematan energi. Contoh penerapan kasus pengujian kontak pada mesin uji pin-on-disc dapat
dilihat pada gambar 3.1
Gambar 3.1. Gesekan pin-on-disc.
Merancang produk Merancang produk digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia merupakan suatu
masalah yang perlu dipecahan. Desain yang baik dan optimal hanya dapat dipastikan dengan
mengikuti dan mentaati proses desain formal. Suatu pendekatan yang sistematis memungkinkan
hasil perancangan yang jelas dan logis. Pada saat ini terdapat banyak metode perancangan yang
D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.42
dikembangkan oleh para pakar desain yang berpengalaman. Pada prinsipnya, metode perancangan
teknik tersebut memiliki tujuan yang sama.
Pada umumnya, tahapan perancangan meliputi :
a. Tahapan penyusunan dokumen
b. Tahapan analisis masalah dan penyusunan spesifikasi
c. Tahapan perancangan konsep produk
d. Tahapan pembuatan produk
Tahapan-tahapan perancangan di atas bersifat iteratif (iterative) , artinya hasil setiap
tahapan dijadikan umpan balik (feedback) bagi tahapan yang sebelumnya. Pengembangan produk
merupakan salah satu sarana bagi perusahaan agar mampu bersaing dengan perusahaan lain yang
membuat produk sejenis. Karena untuk setiap produk baru yang dihasilkan akan memiliki suatu
kelebihan dari produk lain yang sejenis, sehingga dikatakan produk itu memiliki competitive value
(nilai keunggulan)
Kriteria Perancangan Membangun kriteria sangatlah dibutuhkan karena akan menentukan kebutuhan yang akan
dipakai untuk merancang alat atau mesin.
Tahap permulaan dalam perancangan adalah menentukan kebutuhan (need) secara umum,
selanjutnya kriteria perancangan yang diharapkan untuk mencapai tujuan perancangan secara
umum, kriteria pembuatan mesin uji pin-on-disc dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (Dieter, G.E.,
1991)
Kriteria musts, yaitu kriteria yang harus dipenuhi:
A. Aman,meliputi:
- Aman bagi operator
- Aman bagi lingkungan
B. Berfungsi, meliputi
- Mampu mengukur gaya geser yang terjadi
- Mampu mengontrol putaran dalam periode tertentu dengan keterulangan yang baik
- Mampu mengontrol panas yang terjadi
Kriteria wants, yaitu kriteria yang diharapkan terpenuhi
A. Membuat mesin yang murah biaya pengoperasiannya
B. Membuat mesin yang murah harganya
Pemilihan Alternatif Konsep produk adalah sebuah gambaran atau perkiraan mengenai teknologi, prinsip kerja,
dan bentuk produk. Konsep produk merupakan gambaran singkat tentang bagaimana suatu produk
dapat memenuhi kebutuhan dan dapat dibuat. Konsep produk biasanya di- ekspresikan dengan
sketsa gambar tiga dimensi (3D) dengan uraian atau ke- terangan gambar. Penulis menemukan
beberapa alternatif bentuk rancangan mesin yang telah direncanakan, langkah selanjutnya adalah
diadakan penilaian terhadap semua alternatif desain.
Gambar Alternatif 1(ASTM G99-95) Gambar Alternatif 2 (Tim Wolda 2010)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.43
Gambar Alternatif 3 Gambar Alternatif 4
Pembobotan Kriteria Penilaian kriteria dibuat menurut tingkat kepentingan, semakin penting semakin tinggi
nilainya. Penilaian ini dilakukan untuk dapat menyimpulkan mengenai analisa terhadap beberapa
desain yang akan dilakukan, dengan cara me-berikan bobot atau point pada alternatif desain
tersebut. Setiap kriteria dibanding-kan satu persatu, angka 1 dimasukkan kedalam matrik bila
kriteria itu lebih baik dari kriteria pembanding atau 0 yang dimasukkan ke dalam sel matrik yang
dianggap kurang penting. Lihat contoh tabel 1, .(Cross, Nigel ,1989:123- 124)
Tabel 1. Perbandingan kriteria
Kri
teri
a
Perbandingan kriteria
Jum
lah
A 1 1 1 1 1 5 B 0 0 1 1 1 3 C 0 0 1 1 0 2 D 0 0 0 1 0 1 E 0 0 0 0 0 0 F 0 1 1 1 1 4
A = Kelengkapan Alat B = Kemudahan pengoperasian
C = Kemudahan proses pembuatan D = Kemudahan mendapatkan komponen
E = Kemudahan perawatan F = konstruksi
Berikut adalah hasil penilaian dari keempat alternatif bentuk rancangan dari berbagai
responden. Bobot dimasukkan dalam tabel, Untuk mempermudah pemilihan desain, dibuat tabel
perbandingan kriteria yang berisi bobot nilai berdasarkan pertimbangan diatas. Tabel penilaian
(Cross Nigel, 1989) dari keempat alternatif dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Penilaian Alternatif
No Kriteria
Bo
bo
t
Alternative 1 Alternative 2 Alternative 3 Alternative 4
Nila
i
Bo
bo
t
x n
ilai
Nila
i
Bo
bo
t
x n
ilai
Nila
i
Bo
bo
t
x n
ilai
Nila
i
Bo
bo
t
x n
ilai
1 A 5 2 10 1 5 5 25 5 25
2 B 3 3 9 4 12 3 9 3 9
3 C 2 3 6 3 6 3 9 3 9
4 D 1 1 1 1 1 5 5 5 5
5 E 0 3 0 3 0 3 0 3 0
6 F 4 3 12 2 8 2 8 3 12
Jumlah 37 32 56 60
D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
D.44
Berdasar perhitungan dari 4 alternatif nilai yang tertinggi adalah alternatif 4 memiliki skor
tertinggi, maka alternatif 4 sebagai alternatif terbaik, sehingga dipilih sebagai alternatif yang akan
ditindak lanjuti (dibuat).
4. HASIL
Hasil proses perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc adalah dalam bentuk konsep
gambar perakitan dan gambar kerja lengkap yang menjadi panduan pembuatan alat tersebut. Dari
beberapa pertimbangan dalam perancangan maka hasil perancangan pembuatan mesin uji tribologi
pin-on-disc seperti gambar 4.1. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc ini direncanakan
sebagai alat pengujian keausan, tipe sliding contact dan rolling contact. Pengujian menggunakan
mesin uji pin-on-disc ini dapat diperoleh gaya gesek, koefisien gesek.
- Pin dirancang agar dapat digunakan untuk pengujian sliding contact, dan Rolling Contact.
- Pin dirancang agar dapat disetel (berubah posisi) dimaksudkan agar dalam pengujian dapat
dilakukan lebih dari satu jalur.
- Tempat disc dirancang agar benda uji dapat diganti dengan mudah.
- Perencanaan pembuatan pemegang pin (bola baja) yang semula panjangnya dirancang sedekat
mungkin agar tidak terjadi momen puntir, dan dapat diatur possisinya.
Tabel 3 Spesifikasi rencana alat No Parameter Keterangan
1 Putaran 5 Rpm sampai dengan 30 Rpm
2 Jarak rolling Disc (material uji) Ø 95 mm
3 Beban 0,05 N sampai dengan 5 N
4 Temperatur 25 ˚C sampai dengan 85˚C
5 Bola baja Diameter 6 mm sampai dengan 10 mm
Gambar 4.1.Hasil perancangan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.45
5. KESIMPULAN
Dalam perancangan mesin uji tribologi pin-on -disc setiap langkah akan terjadi pemilihan
alternatif dan terjadi iterative, dan harus mepertimbangkan banyak faktor. Beberapa faktor adalah
kelengkapan alat, kemudahan pembuatan, kemudahan pengoperasian, kemudahan mendapatkan
komponen, kemudahan perawatan. Dari 4 alternatif yang terpilih adalah alternatif ke 4 karena
banyak keunggulan dengan nilai tertinggi 60, jumlah kelengkapan alat unggul, konstruksi
pemegang pin mengalami beberapa perubahan disebabkan ada perubahan loadcell. Kelengkapan
alat berkaitan dengan data dan hasil proses pengujian, seperti gaya gesek, temperatur, kecepatan
kontak dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Archard, J.F.1953.Contact and rubbing of flat surfaces, Journal of Applied Physics, 24, pp. 981-
988.
Chang, W.R. Etsion, I, dan Bogy,L, 2000 An Elasttic Model for the contact of Rough Surfaces vol
109.pp257-263.
Dieter, G.E., (1991), Engineering Design A Materials and Processing Approach, 2nd
Edition,
McGraw-Hill, Inc. London: Professional.
Dowson, D. History of Tribology, Second edition, Engineering Publishing, 1998.
Harsokoesoemo, Darmawan, (2004) Pengantar Perancangan Teknik, Edisi ke 2, ITB Bandung.
Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling
Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente.
Jamari, J, 2006, Running-in of Rolling Contacts, PhD Thesis, Unversity of Twente, Enschede, The
Netherlands.
Jamari, J. & Schipper, D.J., 2006, “An elastic-plastic contact model of ellipsoid bodies,” Tribology
Letters, 21 (3), pp. 262-271.
Jamari, J. 2005. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland,
2006
Johnson, K. L1985, Contact Mechanics Cambridge University Press, Cambridge. UK.
Pugh, Stuart (1990), Total Design, Addison-Wesley Publising Company.
Sebastian Tim Wolda, Master student of Mechanical Engineering Department University of
Twente, Netherland 2010.
Stachowiak, G.W.2005 Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc.USA.2005.
Wang,W; dkk.2000.Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During
Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.1
PEMODELAN MINIMIZE TOTAL BIAYA PENGENDALIAN KUALITAS
TERHADAP PROSES MANUFAKTURING PRODUK FURNITURE
Sutrisno B., Abd. Haris, Romadhon
Jurusan Manajemen - Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Dharma Klaten
Jl. Ki Hajar Dewantara-Klaten Utara (57438)
Telp. 0272-322363; Fax.0272-323288 E-mail. lpmk.unwidha@gmail.com
Abstrak
Pengendalian kualitas merupakan usaha preveentif (pencegahan) sebelum terjadi kesalahan,
dan mengarahkan agar kesalahan tidak terjadi. Persoalan pengendalian kualitas adalah
bagaimana menjaga dan mengarahkan agar produk dan jasa dapat memenuhi standar kualitas
yang direncanakan. Tujuan penelitian ini untuk (1). Memecahkan masalah kerusakan produk
dengan metode SQC (Statistical Quality Control), (2). Menentukan biya kualitas total
minimum (minimize total cost quality) yang meliputi QCC (Quality Control Cost) dan QAC
(Quality Assurance Cost). Penelitian dilakukan dengan metode observasi secara mendalam
(indept observation), pengumpulan data secara langsung pada obyek observasi yaitu
pengendalian kualitas pada proses manufaktur produk furniture, analisis data menggunakan
formula statistiscal Quality Control (SQC) untuk mengetahui batas control atas (UCL) dan
batas control bawah (LCL) yang dilengkapi dengan control chart. Hasil analisis control charts
menunjukkan bahwa rata-rata kerusakan produk sebesar 2,6 % dari 96.500 produk yang
diperiksa. Uper Control Limit (UCL) sebesar 3,1 %, Lower Control Limit (LCL) 2,1 %. Total
biaya minimum kualitas sebesar Rp. 18.909.379 yang terdiri dari Quality Control Cost
sebesar RP. 9.456.579 dan Quality Assurance Cost sebesar Rp. 9.452.800. Sedangkan
análisis intensitas pengendalian kualitas yakni produk rusak yang benar-benar terjadi
sebanyak 2.531 unit, jumlah produk rusak yang dikehendaki yaitu yang menanggung biaya
kualitas terendah (q*) sebanyak 3.376 unit.
Key word: Uper Control Limit, Lower Control Limit, Minimum QCC, Minimun QAC
I. PENDAHULUAN
Kegiatan pengendalian kualitas merupakan usaha preverentif (penjagaan) dan dilaksanakan
sebelum kesalahan kualitas produk tersebut terjadi. Persoalan pengendalian kualitas adalah
bagaimana menjaga dan mengarahkan agar produk dapat memenuhi kualitas sebagaimana yang
telah direncanakan. Dengan demikian peranan pengendalian kualitas produk sangat penting dan
berguna bagi perusahaan. Untuk mengetahui apakah peranan pengendalian kualitas sudah
dilakukan dengan baik atau belum oleh perusahaan, biasanya analisis yang digunakan yaitu
control charts dan analisis intensitas pengendalian kualitas. Analisis tersebut digunakan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan produk yang terjadi dan untuk mengetahui biaya
pengawasan kualitas yang efisien. Penelitian bertujuan untuk: (1). Memecahkan masalah yang
berkaitan dengan kerusakan produk dengan metode SQC, (2). Menentukan biaya kualitas total
minimum (minimize total cost quality)
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian kualitas adalah suatu aktivitas (manajemen perusahaaan) untuk menjaga dan
mengarahkan agar kualitas produk (dan jasa) perusahaan dapat dipertahankan sebagaimana yang
telah direncanakan. Teknik yang digunakan dalam pengendalian kualitas diantaranya dengan
metode control chart. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui rata-rata kerusakan produk dan
besarnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
2.1. Metode SQC
1. Metode control chart.
Analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas dan batas bawah
pengawasan kualitas produk.
1) Rata-rata kerusakan:
E.1. Pemodelan minimize total biaya pengendalian kualitas ... (Sutrisno B., dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.2
P
Pn
XP
Dimana: = rata-rata kerusakan produk
X = jumlah produk rusak
n = jumlah produk diobservasi
2) Standar deviasi
n
ppSp
)1(
Dimana:
= rata-rata kerusakan produk
Sp = standar deviasi/penyimpangan
n = jumlah produk diobservasi
3) Batasan Pengawasan.
- Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)= P + 3 Sp
- Batasan pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)= P – 3 Sp
1. Pengendalian kualitas akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam
batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan pengawasan
bawah (LCL).
2. Apabila kerusakan produk di atas garis UCL maka perusahaan akan
mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk tinggi dan jika jumlah
kerusakan produk di bawah LCL maka perusahaan akan memperoleh keuntungan/laba besar
yang dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit.
2.2 Minimize Total Biaya Pengendalian Mutu
Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah produk rusak yang optimal yaitu
jumlah produk rusak dengan biaya pengendalian mutu yang minimum.
Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah:
1) Biaya pengawasan kualitas
q
oRQCC
.
2) Biaya jaminan mutu
QAC = c.q
3) Total biaya atas kualitas
TQC = QCC + QAC
Dimana:
TQC = total biaya atas kualitas
QCC = total biaya pengawasan kualitas
QAC = total biaya jaminan mutu/kualitas
4) Jumlah produk yang rusak dengan biaya minimum
c
oRQ
.*
Dimana:
Q* = jumlah produk optimal
R = jumlah produk ditest
o = biaya pengetesan setiap kali test
c = biaya jaminan mutu tiap unit
III. PENERAPAN MODEL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Control Charts
Rata-rata kerusakan dari produk yang diperiksa,
- Jumlah produk yang diperiksa = 96.500 unit
- Jumlah produk yang rusak = 2.531 unit
- Persentase kerusakan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.3
67,8041
12
500.96
%6,2
026,0
500.96
531.2
n
XP
n rata-rata
- Standar Deviasi (penyimpangan)
0017746,0
0000031,0
67,8041
025324,0
67,8041
)026,01(026,0
)1(
n
PPSP
- Batasan pengawasan
Batasan Atas (Upper Control Limit = UCL)
%1,3031,0
0053238,0026,0
)0017746,0(3026,0
3
atau
SPPUCL
Batasan Bawah (Low Control Limit = LCL)
%1,2021,0
0053238,0026,0
)0017746,0(3026,0
3
atau
SPPLCL
Dari perhitungan dengan metode control charts diperoleh batas atas sebesar 0,031 atau 3,1
% dan batas bawah sebesar 0,021 atau 2,1 %. Dengan melihat batasan pengawasan yaitu batas
atas (UCL) dan batas bawah (LCL) serta kejadian selama satu tahun, maka dikatakan bahwa
pengendalian kualitas terhadap mebel sudah dilaksanakan dengan baik, karena kerusakan produk
yang terjadi masih dalam batas wajar yaitu masih terletak antara batas atas dan batas bawah.
Kejadian-kejadian itu bila digambarkan tampak sebagai berikut:
E.1. Pemodelan minimize total biaya pengendalian kualitas ... (Sutrisno B., dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.4
Gambar 1. Grafik Control Charts
Indikator-indikator kerusakan produk dan sebab terjadinya kerusakan produk:
1. Produk rusak digudang sebelum barang dijual seperti: kotor, pecah, cacat dan lainnya
2. Produk rusak merupakan hal yang normal terjadi dalam proses pengolahan produk, seperti :
berlubang, cacat, kotor.
3.2 Analisis Minimize Total Biaya Pengendalian Kualitas
Dengan menggunakan analisis intensitas pengawasan kualitas, jumlah produk rusak yang
menanggung biaya terendah sebanyak 3376 unit dan total biaya atas kualitasnya sebesar Rp.
18.909.383 yang terdiri dari QCC sebesar Rp. 9.449.093 dan QAC sebesar Rp. 9.460.290 Apabila
diadakan perbandingan antara q* yang dikehendaki dengan q (produk rusak) yang benar-benar
terjadi terdapat selisih sebesar 3376 - 2.531 = 845 unit. Selisih ini menunjukkan bahwa produk
rusak yang benar-benar terjadi lebih kecil dari produk rusak yang dikehendaki. Maka dapat
dikatakan bahwa intensitas pengawasan kualitas yang dilaksanakan telah berjalan dengan baik.
Sedangkan perhitungannya akan nampak seperti tabel berikut.
Tabel 1. Jumlah produk rusak (q), masing-masing biaya
(QCC, QAC, TQC)
q (Unit) QCC (Rupiah) QAC (Rupiah) TQC (Rupiah)
1000 31.924.414 2.800.000 34.725.414
2000 15.962.707 5.600.000 21.562.707
3000 10.641.805 8.400.000 19.041.805
3376 9.456.579 9.452.800 18.909.379
5000 6.385.082 14.000.000 20.385.082
Sumber : data primer yang diolah
Grafik QCC, QAC, TQC (Jutaan Rupiah) ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 2. Grafik biaya kualitas
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.5
Keterangan :
Dari grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa :
1. QCC akan menurun apabila jumlah produk rusak meningkat dan sebaliknya QCC akan
meningkat apabila jumlah produk rusak menurun.
2. QAC akan menurun apabila jumlah produk rusak juga menurun dan sebaliknya QAC akan
meningkat apabila jumlah produk rusak juga meningkat.
3. Dengan jumlah produk rusak sebanyak 3376 unit akan diperoleh biaya QCC sebesar Rp.
9.456.579, biaya QAC sebesar Rp. 9.452.800 dan biaya TQC = Rp. 18.909.379
IV. KESIMPULAN 1. Analisis Control Charts
Jumlah produk yang diperiksa sebanyak 96.500 unit
Rata-rata kerusakan produk sebesar 0,026 atau 2,6 %
Untuk batasan pengawasannya: Batas atas (UCL) sebesar 0,031 atau 3,1 %
Batas bawah (LCL) sebesar 0,021 atau 2,1 %
Dengan demikian hasil análisis control chart menunjukkan bahwa pengendalian kualitas telah
dilaksanakan dengan baik, karena jumlah produk rusak masih dalam batas yang wajar yaitu
terletak antara batas atas dan batas bawah.
2. Analisis minimize total biaya pengendalian kualitas
1) Produk rusak yang benar-benar terjadi sebanyak 2531 unit.
2) Jumlah produk rusak yang dikehendaki yaitu yang menanggung biaya kualitas terendah (q*)
sebanyak 3376 unit.
3) Total biaya atas kualitas sebesar Rp. 18.909.379 yang terdiri dari biaya QCC sebesar RP.
9.456.579 dan biaya QAC sebesar Rp. 9.452.800.
Dengan demikian intensitas pengawasan kualitas telah dilaksanakan dengan baik, karena jumlah
produk rusak yang benar-benar terjadi sebanyak 2531 unit lebih kecil dari jumlah produk rusak
yang dikehendaki sebanyak 3376 unit.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Ahyari, 2000, Manajemen Produksi, BPFE-UGM, Yogyakarta.
Elwood S. Buffa dan Rakesh K. Sarin, 1999, Manajemen Operasi dan Produksi Modern, Binarupa
Aksara, Jakarta.
Fandi Tjiptono, 1995, Total Quality Management, Andi Offset, Yogyakarta.
Gasperz V, 1997, Manajemen Kualitas, PT. Gramedia, Jakarta.
Indriyo Gitosudarmo, 1993, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Produksi, BPFE-UGM,
Yogyakarta.
Lalu Sumayang, Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi, Salemba Empat, Jakarta.
E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.6
PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)
PENGOLAHAN PASCA PANEN RIMPANG TANAMAN OBAT DAN IDENTIFIKASI
GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) DI KLASTER BIOFARMAKA
KARANGANYAR
Fakhrina Fahma*)
, Wahid A. Jauhari, Pungky Nor Kusumawardhani
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta *)
Email : fakhrina09@gmail.com
Abstrak
Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal
yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Perubahan pola konsumsi obat ini dikarenakan
obat herbal memiliki risiko efek samping yang minim apabila digunakan secara tepat. Produk
biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan
Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan
potensi tersebut, pemerintah telah mengembangkan beberapa klaster biofarmaka salah
satunya di Karanganyar. Meskipun Karanganyar dikenal sebagai daerah yang berpotensi
besar dalam produk biofarmaka, masih terdapat banyak masalah yang menghambat
pengembangan biofarmaka terutama yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas supply produk yang dipanen. Masalah tersebut muncul dikarenakan tidak adanya
suatu sistem penjaminan mutu dari hasil panen tanaman-tanaman biofarmaka. Untuk
menjamin mutu produk dari klaster perlu adanya dokumentasi terkait budidaya dan proses
produksi. Sistem pendokumentasian mutu dapat berupa Standard Operating Procedure (SOP)
dari budidaya tanaman hingga pasca panen dan GMP (Good Manufacturing Practices) Plan
yang mengatur agar hasil pengolahan proses produksi nantinya sesuai dengan standar mutu
dan aman untuk dikonsumsi. SOP disusun berdasarkan studi kasus di Kelompok Tani Sumber
Rejeki I dan studi lapangan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TO-OT). Metode yang digunakan adalah Focus Group Discussion
(FGD) yang melibatkan ketua dan pengurus klaster, ketua dan anggota kelompok tani, dan
pihak-pihak terkait lainnya yaitu dinas pertanian dan B2P2TO-OT. SOP ini dapat digunakan
sebagai SOP percontohan di kelompok-kelompok tani lainnya. SOP ini sebagai standarisasi
untuk meminimalkan variasi proses budidaya dan pasca panen antar kelompok tani, sehingga
dapat menjamin mutu produk biofarmaka yang dihasilkan. Pengembangan dan penggunaan
SOP dapat meminimasi variasi output dan meningkatkan kualitas melalui implementasi yang
konsisten pada proses atau prosedur di dalam organisasi (U.S. Environmental Protection
Agency, 2007). SOP yang tersusun nantinya dapat diimplementasikan sehingga tercapai cara
penanganan dan pengolahan pangan hasil pertanian yang baik melalui Good Manufacturing
Practices (GMP). Dengan adanya sebuah sistem dokumentasi GMP (GMP Plan) diharapkan
klaster memiliki sebuah pedoman untuk dapat mengimplementasikan proses pasca panen yang
baik, sehingga dapat menghasilkan produk yang aman dan dapat memenuhi standar
penerimaan baik pasar maupun perusahaan jamu.
Kata kunci: Klaster biofarmaka, SOP, GMP, Rimpang Biofarmaka
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal
yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Tanaman obat juga mudah didapatkan dan dapat
tumbuh dengan sendirinya. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tanaman obat yang sangat
besar. Terdapat 940 spesies tanaman yang berkhasiat sebagai tanaman obat dimana 180 spesies
diantaranya telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional (Departemen Pertanian, 2005).
Dengan adanya keanekaragaman tersebut tentunya Indonesia memiliki peluang untuk
mengembangkan potensi industri biofarmaka dalam negeri. Produk biofarmaka yang salah satunya
berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan
kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah telah
mengembangkan beberapa klaster biofarmaka. Di Jawa Tengah terdapat beberapa klaster
biofarmaka antara lain di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Semarang.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.7
Klaster biofarmaka yang terdapat di Kabupaten Karanganyar merupakan klaster
biofarmaka yang berpotensi tinggi menjadi salah satu sentra biofarmaka di Indonesia, sebab sektor
pertanian tanaman obat memberikan kontribusi 21% terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PRDB) Kabupaten Karangayar (BPP Jateng, 2010). Saat ini terdapat sepuluh kelompok tani yang
menjadi anggota klaster biofarmaka di Kabupaten Karanganyar. Komoditas utama klaster tersebut
antara lain jahe, temulawak, dan kunyit. Dalam satu kali panen dapat dihasilkan 544 ton jahe dari
lahan seluas 77 ha, 940 ton kunyit dari lahan seluas 94 ha, 365 ton temulawak dari lahan seluas 39
ha, dan masih banyak lagi jenis tanaman obat lainnya. Meskipun Karanganyar dikenal sebagai
daerah yang berpotensi besar dalam produk biofarmaka, masih terdapat banyak masalah yang
menghambat pengembangan biofarmaka terutama yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas supply produk yang dipanen (BPP Jateng, 2010). Masalah tersebut muncul dikarenakan
tidak adanya suatu sistem penjaminan mutu dari hasil panen tanaman-tanaman biofarmaka. Sistem
penjaminan mutu dapat berupa dokumen mutu Standard Operating Procedure (SOP) dari teknik
budidaya tanaman hingga pasca panen untuk menunjang penerapan GMP (Good Manufacturing
Practices).
Standard Operating Procedure (SOP) merupakan sistem yang disusun untuk memudahkan,
merapikan, dan menertibkan pekerjaan yang berisi urutan proses melakukan pekerjaan dari awal
hingga akhir (Ekotama, 2011). SOP merupakan bagian dari sistem dokumentasi mutu. Klaster
belum memiliki prosedur terdokumentasi yang dapat disosialisasikan, sehingga para petani pun
hanya menjalankan prosedur budidaya dan pasca panen berdasarkan pengalaman. Dokumentasi
mutu berupa SOP pasca panen yang dihasilkan di klaster biofarmaka, diharapkan dapat digunakan
sebagai SOP percontohan di kelompok-kelompok tani yang menjadi anggota klaster.
Pengembangan dan penggunaan SOP dapat meminimasi variasi output dan meningkatkan kualitas
melalui implementasi yang konsisten pada proses atau prosedur di dalam organisasi (U.S. EPA,
2007). Selain SOP teknik juga dihasilkan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure).
Ditjen PPHP (2009) menyatakan bahwa untuk menjamin keamanan produk pangan segar hasil
pertanian, pelaku usaha harus menyusun serta menerapkan Standard Operating Procedure (SOP
Teknis) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SOP-Sanitasi) yang memuat delapan kunci
sanitasi meliputi keamanan air dan es, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan
bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang, fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, proteksi
dari bahan-bahan kontaminan, pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar,
pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi, dan
penanganan/pengendalian hama. SOP dan SSOP yang tersusun merupakan pre-
pequisite/persyaratan dasar yang menunjang dalam penerapan Good Manufacturing Practices
(GMP).
GMP (Good Manufacturing Practices) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara
pengolahan hasil pertanian yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak
dikonsumsi (Permentan, 2010). Agar produk-produk dari klaster biofarmaka terjamin mutunya
perlu menerapkan aturan GMP dalam proses pasca panennya. Aturan di dalam GMP berhubungan
dengan mutu yang harus dihasilkan, yang memungkinkan para produsen produk pangan untuk
memperkecil atau menghilangkan sama sekali faktor yang mempengaruhi mutu seperti
kontaminasi, pencampuran, dan kesalahan dalam berproduksi (Nurdjannah, 2005). Dengan adanya
dokumentasi GMP (GMP Plan) diharapkan klaster memiliki sebuah pedoman untuk dapat
mengimplementasikan proses pasca panen dan sanitasi yang baik, sehingga dapat menghasilkan
produk yang aman dikonsumsi dan dapat memenuhi standar penerimaan baik perusahaan jamu
maupun pasar.
B. METODOLOGI
Langkah-langkah inti penelitian berupa pengumpulan dan pengolahan data adalah sebagai
berikut:
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan pengurus klaster biofarmaka,
ketua dan anggota kelompok tani, peneliti & praktisi di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT). Data primer yang
diperoleh adalah proses produksi pengolahan rimpang menjadi simplisia, mengenai prosedur
E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.8
pasca panen rimpang tanaman obat, prosedur sanitasi dan hiegenitas yang dilakukan oleh
klaster.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang bersumber dari hasil pengamatan sebelumnya dan mempunyai
kaitan dengan obyek yang akan diteliti. Data sekunder yang diperoleh dalam penelitian
bersumber pada:
a. Dokumen tertulis Standard Operating Procedure (SOP) pasca panen rimpang dari
Kementrian Pertanian.
b. Wawancara dengan praktisi di perusahaan jamu mengenai kriteria standar produk klaster
biofarmaka yang dapat diterima oleh perusahaan.
Pada tahap pengolahan data ini data dikumpulkan, lalu diolah dengan urutan sebagi berikut:
1. Merancang SOP pasca panen rimpang tanaman obat melalui metode Focused Group
Discussion (FGD) untuk mendapatkan SOP yang benar dan dapat diaplikasikan di klaster
biofarmaka.
2. Mengidentifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) melaui delapan kunci sanitasi pada
proses pasca panen di klaster biofarmaka.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosedur Pembuatan Simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar, B2P2TO-
OT, dan Kementrian Pertanian
Untuk pembuatan simplisia, bahan baku yang digunakan adalah rimpang kunyit dan
temulawak. Prosedur proses produksi simplisia diperoleh melalui wawancara dan studi literature
yaitu wawancara dengan pengurud klaster biofarmaka dan B2P2TO-OT, dan Kementrian
Pertanian. Berdasarkan identifikasi inilah kemudian dilakukan FGD untuk menetapkan prosedur
yang akan diterapkan di klaster seperti disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan prosedur yang ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah menyusun
prosedur kerja, instruksi kerja dan form-form yang dibutuhkan guna menjamin mutu proses sesuai
dengan yang ditetapkan.
Identifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) melaui Delapan Kunci Sanitasi Proses
Pasca Panen di Klaster Biofarmaka
Untuk menilai penyimpangan ketidaksesuaian penerapan GMP pada klaster biofarmaka
dilakukan dengan menggunakan checklist Penilaian Ketidaksesuaian Penerapan Cara Penanganan
dan Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik (GMP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP) Departemen Pertanian tahun 2009. Cara
penilaian identifikasi GMP adalah sebagai berikut:
Penilaian penyimpangan pada masing-masing aspek delapan kunci pokok
penerapan sanitasi dikategorikan menjadi empat ketidaksesuaian yaitu minor, mayor,
serius, dan kritis. a. Minor Tingkat penyimpangan yang kurang serius dan tidak menyebabkan risiko
terhadap kualitas keamanan pangan produk.
b. Mayor Tingkat penyimpangan yang dapat menyebabkan risiko terhadap kualitas
keamanan pangan produk.
c. Serius Tingkat penyimpangan yang serius yang dapat menyebabkan risiko terhadap
kualitas keamanan pangan produk dan segera ditindaklanjuti.
d. Kritis Tingkat penyimpangan yang sangat serius dan sangat dapat menyebabkan risiko
terhadap kualitas keamanan pangan produk dan harus segera ditindaklanjuti.
Dari identifikasi awal penerapan GMP dalam pengolahan pasca panen klaster biofarmaka
ditemukan
1. Dua penyimpangan minor pada aspek:
a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan (poin 2.3) dimana
kebersihan lingkungan bangunan yang tidak mencukupi
b. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan (poin 5.1.2) dimana kondisi ruang sekretariat yang
kurang terawat.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.9
Tabel 1. Penetapan Prosedur Pembuatan Simplisia Melalui FGD
Tahapan
Pembuatan
simplia
Prosedur Pembuatan Simplisia
Pengumpulan
bahan baku
Rimpang dikumpulkan dari hasil panen lahan milik klaster dan lahan petani, apabila
ada petani yang ingin menjual keluar harus lapor ke klaster.
Tahap
penyortiran
basah
1. Memilih rimpang yang cukup umur panennya.
2. Membersihkan rimpang dari tanah, daun, dan akar
3. Kulit rimpang tidak dikupas
4. Memisahkan rimpang yang akan dibuat sebagai simplisia dengan bahan rimpang
segar.
Tahap
pencucian
rimpang
1. Rimpang dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah yang
masih menempel kemudian dibilas pada bak air.
2. Rimpang kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau
lantai.
3. Menimbang rimpang untuk mengetahui berat rimpang basah
Tahap
pengirisan
rimpang
1. Rimpang diiris dengan ketebalan minimal 4 mm dengan menggunakan alat manual
perajang rimpang atau dengan menggunkan mesin perajang.
2. Menampung irisan rimpang ke dalam tempat yang sudah disediakan
Tahap
pengeringan
rimpang
1. Rimpang dijemur menggunakan sinar matahari langsung.
2. Rimpang diletakkan di atas widig yang terletak 50 cm dari tanah untuk
menghindari kontaminasi tanah, asap, dan gangguan binatang.
3. Rimpang yang diletakkan di atas widig tidak boleh ditumpuk.
4. Saat penjemuran rimpang tidak dibolak-balik ditutup kain hitam agar lebih
menyerap panas dan tidak mempengaruhi warna rimpang.
5. Rimpang dijemur sampai kadar air 10% yang ditandai dengan rimpang kering
mudah dipatahkan dan terdengar bunyi „klik‟
Tahap
penyortiran
akhir
1. Simplia yang telah kering disortir untuk memisahkan dengan bahan pengotor lain.
Berdasarkan hasil pengeringan menjadi tiga grade yaitu grade A, B, dan C.
Grade A apabila bentuk simplisia yang bulat dan berukuran besar.
Grade B apabila bentuk simplisia yang bulat dan ukurannya tidak terlalu besar.
Grade C apabila bentuk simplisia cenderung halus/hancur.
yang dikemas hanya simplisia grade A dan B, grade C sebagai bahan baku serbuk
2. Menimbang simplisia kering untuk mengetahui perbandingan hasil rimpang
kering dengan rimpang basah.
Tahap
pengemasan
dan pelabelan
1. Untuk keperluan komersil:
a. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.
b. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.
c. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.
d. Memberi label produk yang memuat informasi tentang nama produk, kegunaan
produk, tanggal kadaluarsa.
e. Menutup kemasan dengan menggunakan mesin press.
2. Untuk keperluan penyimpanan:
a. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik kantong karung yang kedap
udara.
b. Memasukkan bahan simplisia kedalam plastik, kemudian dibungkus di dalam
karung.
c. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.
d. Menutup kemasan dengan cara dijahit hingga rapat sehingga tidak
terkontaminasi udara dari luar.
e. Memberi label pada bagian luar kemasan yang memuat informasi tentang nama
produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan kadar air.
Tahap
penyimpanan
1. Bahan simplisia disimpan ke dalam gudang yang bersih, tidak lembab, dan tidak
dicampur dengan bahan lain.
2. Dilakukan pengamatan apabila simplisia yang telah lama disimpan dijemur
kembali untuk menjaga kadar air tidak melebihi 10%.
E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.10
2. Lima penyimpangan mayor pada aspek:
a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dimana Peralatan
yang tidak kontak/kontak langsung dengan produk yang tidak dibersihkan terlebih dahulu
sebelum dipergunakan (poin 2.2), misalnya penyangga widig dan rak penyimpanan.
b. Desain, lay out atau bahan yang digunakan untuk fasilitas menyebabkan fasilitas tidak dapat
dibersihkan dengan mudah atau disucihamakan; tidak mencegah terjadinya kontaminasi
(poin 3.2.1) dimana fasilitas berupa jamban/toilet tidak berventilasi, atap dan dindingnya
terbuat dari bambu, dan tidak dilengkapi dengan fasilitas pencuci tangan.
c. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet (poin 4.2) dimana bahan-bahan
perlengkapan toilet tidak mencukupi.
d. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana
personil yang menangani makanan dan prosessing tidak menjaga kebersihan yang tinggi bagi
personil (poin 7.2) seperti tenaga kerja tidak memperhatikan kebersihan secara personil
seperti tidak mencuci tangan sebelum melakukan pekerjaan, sehat dan bebas dari luka,
merokok
e. Menghilangkan hama dari unit pengolahan pada upaya pengawasan binatang pengerat/
serangga tidak efektif (poin 8.2.1) dimana pencegahan seperti selalu menutup pintu gudang
tidak efektif selama gudang penyimpanan masih tercampur barang-barang lain.
3. Tujuh penyimpangan serius pada aspek:
a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dimana peralatan
yang kontak langsung dengan produk yang tidak dibersihkan atau disucihamakan terlebih
dahulu sebelum digunakan (poin 2.1) seperti Mesin/alat produksi hanya dibersihkan saat
sesudah digunakan.
b. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana peralatan yang rusak yang berhubungan
dengan produk tidak diperbaiki dengan benar atau tidak dipindahkan (poin 5.3.1) seperti
pisau pada alat perajang manual rimpang sudah berkarat namun tidak diganti dengan pisau
baru.
c. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana terjadi kondensasi di ruangan yang
mempengaruhi produk atau material pengemasan (poin 5.4.1) yang terjadi kondensasi uap
pada gudang penyimpanan dimana dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar air pada
produk simplisia apabila disimpan terlalu lama di dalam gudang.
d. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana
personil yang menangani makanan dan prosessing tidak melakukan tindakan pengamanan
untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada makanan (poin 7.2) seperti tenaga kerja tidak
memakai sarung tangan/masker saat pengolahan.
e. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana
pengelola fasilitas tidak mempunyai peraturan yang berlaku untuk melarang orang yang
berpenyakit mengkontaminasi produk (poin 7.3.1) sebab tidak ada peraturan di klaster yang
melarang tenaga kerja yang sedang sakit untuk melakukan pengolahan
f. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana
tempat cuci tangan dan tempat mensucihamakan tangan tidak ada atau terletak di tempat
yang sulit dijangkau (poin 7.3.2) sebab hanya terdapat 1 keran air di daerah tempat
pengolahan dan tidak terdapat fasilitas pencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun.
g. Menghilangkan hama dari unit pengolahan dimana terdapat barang/benda/ tempat yang
menarik kehadiran hewan pengerat/serangga (poin 8.1) sebab kondisi tempat pengolahan
yang tidak cukup bersih dan gudang penyimpanan masih tercampur dengan hasil panen
padi dan jagung yang mengundang binatang pengerat.
4. Satu penyimpangan kritis pada aspek proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana langit-
langit, dinding, pintu atau penerangan dalam kondisi tidak terawat; lampu-lampu tidak
berpelindung pada daerah-daerah mempengaruhi produk atau bahan utama kemasan secara
langsung (poin 5.1.1) sebab kondisi langit-langit gudang penyimpanan produk kurang terawat,
jarang dibersihkan, lampu tidak ada pelindungnya.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.11
KESIMPULAN
1. Prosedur pasca panen pengolahan rimpang terdiri dari delapan tahap yaitu tahapan
pengumpulan bahan baku, pencucian, penyortiran basah, pencucian, perajangan, pengeringan,
pengemasan dan pelabelan, serta penyimpanan.
2. Dari hasil identifikasi GMP melalui delapan kunci sanitasi, terdapat 2 penyimpangan minor, 5
penyimpangan mayor, 7 penyimpangan kritis, dan 1 penyimpangan serius.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010. Identifikasi Potensi dan Prospek Pengembangan
Klaster Biofarmaka. Karanganyar : Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa
Tengah.
Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Jakarta
: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Mutu dan Standardisasi Ditjen PPHP. 2009. Pedoman Penerapan Cara Penanganan
dan Pengolahan Pangan Segar Hasil Pertanian Yang Baik Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian.
Direktorat Mutu dan Standardisasi Ditjen PPHP. 2009. Pedoman Sertifikasi Dan Penilaian Cara
Penanganan Dan Pengolahan Pangan Segar Hasil Pertanian Yang Baik. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian.
Ekotama, Suryono. 2011. Cara Gampang Bikin Standard Operating Procedures. Jakarta : Media
Presindo.
EPA. 2007. Guidance for Preparing Standard Operating Procedures (SOPs). Washington DC :
United States Environmental Protection Agency.
Nurdjannah, Nanan. 2009. “Sistim Pengendalian Mutu Produk dan Peluang Implementasi Good
Agricultural Practices (GAP) Lada Hitam di Indonesia.” Perkembangan Teknologi TRO
Vol. 21. Hal. 7-14.
E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.12
UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PADA DIVISI CETAK KORAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN USE-PDSA DI PT MASSCOM GRAPHY SEMARANG
Diana Puspita Sari*)
, Heru Prastawa, Yuliana Rahmasari
Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik UNDIP
Jl.Prof. H. Soedarto, SH – Tembalang, Semarang *)
E-mail: diana_psptsr@yahoo.com
Abstrak
PT Masscom Graphy merupakan industri manufaktur yang bergerak di bidang percetakan.
Penelitian ini dilakukan di divisi cetak Koran, karena pada divisi ini persentase waste melebihi
target yang ditetapkan perusahaan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi akar penyebab
dan memberikan usulan perbaikan. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian yaitu
metode USE-PDSA (Understand, State, Evaluate, Plan, Do, Study and Act). Metode USE-
PDSA merupakan langkah-langkah analisis dan solusi masalah kualitas yang secara
sistematis, rasional, ilmiah, efisien, dan efektif dalam melaksanakan perbaikan
berkesinambungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar penyebab permasalahan adalah
penggantian plate, kertas putus dan kotor kurang setelan. Rekomendasi yang diusulkan adalah
perlu diadakan pelatihan bagi karyawan, perbaikan alat pada mesin cetak koran, dan
pemberian reward pada karyawan.
Kata Kunci : Divisi cetak koran , PT Masscom Graphy, USE-PDSA, Waste
PENDAHULUAN PT Masscom Graphy selalu menjaga kualitas koran baik dari segi isi berita maupun dari
segi cetakannya. Pada bagian proses produksi cetak koran, bagian Quality Control mempunyai
Standar Operasional Produksi (SOP) untuk memeriksa hasil cetakan koran. Jika terdapat hasil cetak
koran yang tidak memenuhi salah satu syarat SOP di atas, maka karyawan bagian Quality Control
akan mengambil hasil cetak koran tersebut. Cara terbaik agar dapat bersaing dan unggul dalam
persaingan global adalah dengan menghasilkan kualitas yang terbaik. Untuk menghasilkan kualitas
yang terbaik diperlukan upaya perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses,
dan lingkungan. Kompleksitas persaingan suatu industri menyebabkan setiap perusahaan harus
selalu berusaha meningkatkan kualitasnya agar kepuasan pelanggan dapat terwujud. (Tjiptono &
Diana, 2003). Setiap produk dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam
suatu sistem/ lingkungan. Oleh karena itu sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus
agar kualitas yang dihasilkan meningkat (Nasution, 2005). Peningkatan kualitas merupakan
tindakan-tindakan yang diambil guna meningkatkan nilai produk untuk pelanggan melalui
peningkatan efektivitas dan efisiensi dari proses dan aktivitas melalui organisasi. (Gaspersz, 2000)
Saat ini, divisi cetak koran menghadapi masalah mengenai persentase waste yang melebihi
target yang telah ditentukan perusahaan. Target yang telah ditentukan perusahaan yaitu sebesar 4%.
Berdasarkan studi pendahuluan pada divisi cetak koran, rata rata persentase waste selama bulan
November 2010 adalah sebesar 5.6 %. Angka ini menunjukkan bahwa persentase waste melebihi
target yang telah ditentukan perusahaan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini yaitu ingin
mengetahui akar penyebab masalah tersebut dan memberikan usulan perbaikan menggunakan
metode USE-PDSA.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan tiga sumber
data yaitu melalui observasi langsung di lapangan, wawancara dengan pihak perusahaan yang
terkait dengan objek penelitian yang diamati, dan studi literatur melalui buku-buku yang
berhubungan dengan peningkatan kualitas. Obervasi dilaksanakan di tempat proses produksi pada
divisi cetak koran di PT Masscom Graphy. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak
yang berhubungan dengan divisi cetak koran. Sedangkan untuk studi literatur didapatkan
melalui buku-buku dan jurnal.
Langkah-Langkah Implementasi Metode USE-PDSA yaitu:
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.13
1. Understand
Langkah pertama adalah understand quality improvement needs. Perbaikan kualitas dapat dimulai
melalui identifikasi masalah kualitas yang terjadi atau kesempatan perbaikan yang mungkin dapat
dilakukan. Seyogianya manajemen dan karyawan sebagai satu tim kerja sama yang andal
memandang setiap masalah sbagai kesempatan untuk perbaikan kualitas. Pada dasarnya solusi
masalah berkaitan dengan peningkatan kualitas total QCSDM (Quality, Cost, Service/ Safety,
Delivery, Morale). (Gasperzs, 2007)
2. State
Langkah kedua adalah state the quality problem (menyatakan masalah kualitas yang ada). Masalah-
masalah utama peningkatan kualitas yang dipilih dalam langkah pertama, perlu dirumuskan dalam
suatu pernyataan yang spesifik, tegas, jelas, dan dapat diukur.
3. Evaluate
Langkah ketiga adalah evaluate the root cause (mengevaluasi akar penyebab masalah kualitas).
Akar penyebab masalah dapat dievaluasi menggunakan diagram sebab-akibat dan bertanya
“mengapa” beberapa kali, serta menggunakan teknik diskusi sumbang saran tim peningkatan
kualitas. Tim peningkatan kualitas perlu melakukan hal-hal berikut, yaitu mengidentifikasi semua
penyebab potensial dari masalah, menentukan akar penyebab yang paling mungkin dan
mengidentifikasi akar penyebab masalah yang sesungguhnya
4. Plan
Langkah keempat adalah plan the solution (merencanakan solusi masalah atau perbaikan kualitas).
Tim peningkatan kualitas perlu melakukan hal-hal berikut, yaitu : membuat daftar kemungkinan
solusi dan menentukan solusi yang terbaik
5. Do
Langkan kelima adalah do or implement the solution (melaksanakan atau menerapkan rencana
solusi terhadap masalah). Dua sublangkah berikut akan membantu tim peningkatan kualitas dalam
membantu menyusun rencana tindakan yaitu : membagi solusi menjadi tugas berurutan dan
menyusun rencana kemungkinan (Chang & Kelly, 1998)
6. Study
Langkah keenam adalah study the solution results (mempelajari hasil-hasil solusi masalah atau
perbaikan kualitas).
7. Act
Langkah ketujuh adalah act to standardize the solution (bertindak untuk menstandarisasikan hasil-
hasil solusi masalah atau perbaikan kualitas). (Gaspersz, 2007)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbaikan kualitas dapat dimulai melalui identifikasi masalah yang terjadi. Setelah
dilakukan studi pendahuluan melalui observasi langsung di lapangan, ditemukan bahwa terdapat
permasalahan yang terjadi di divisi cetak koran. Masalah tersebut yaitu persentase waste yang
melebihi target yang telah ditentukan perusahaan. Persentase waste tersebut merupakan masalah
prioritas yang harus segera ditangani karena berkaitan dengan QCSDM (Quality, Cost, Service/
Safety, Delivery, Morale). Kondisi tersebut sangat berpengaruh tidak hanya pada biaya produksi
yang meningkat tetapi juga kepada kepuasan pelanggan. Pengaruh terhadap kepuasan pelanggan
karena kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dan keterlambatan
datangnya koran sampai ke tangan konsumen.
Masalah utama atau proyek peningkatan kualitas yang telah dipilih dalam langkah pertama
yaitu tingginya persentase waste yang melebihi target perusahaan dan berkaitan dengan QCSDM,
perlu dirumuskan dalam suatu pernyataan yang spesifik, tegas, jelas, dan dapat diukur.
Berdasarkan data dari divisi Quality Control, terdapat data penyebab-penyebab waste
cetakan koran dari setiap mesin. Gambar 1 menunjukkan penyebab-penyebab waste cetak koran.
E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.14
Gambar 1. Waste yang Melebihi Target Perusahaan
dengan Menggunakan Cause- Effect Diagram
Berdasarkan data penyebab-penyebab dari divisi cetak koran ditemukan frekuensi
(seringnya terjadi penyebab tersebut). Gambar 2 menunjukkan grafik frekuensi penyebab waste
yang ditampilkan melalui pareto chart.
Co
un
t
Pe
rce
nt
Penyebab
Count 3 3 2 2 2 2 2 1 1 147 1 1 1 1 1 1 1 1
Percent 29
35
22 8 7 6 5 4 2 2 2 1
13
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11
1 1 1 1 1
Cum % 29 51 59 66
10
72 77 81 83 85 87 88 89 91 92
8
93 94 94 95 96 96 97 98 98 99
6
99 100
4
Oth
er
Pemotong
kor
an m
acet
Mem
pack
ing
plate blac
k
Mem
betulkan
posis
i plate
Kertas
ber
jalan tidak
sesuai
jalurn
ya
Katrol k
ertas mac
et
Inkform
mac
et
Gan
ti water
form
Coun
terv
eyor
mac
et
As ro
l pen
yan
gga
ku ra
ng k
uat
As pe
nyan
gga ro
l kur
ang an
gin
Register
ero
r
Men
yetel in
kform
Letak p la
te y
ang m
iring
Han
d le b
lank
et ber
gera
k se
ndiri
Gan
ti cu
tting
rubb
er
Pen fo
lder p
atah
Has
il ce
takan
kor
an tidak
fok
us
Men
cetak t
inta b
lok d
i cetak
an k
oran
Kertas
rol te
rlipa
t
Selang
angin b
ocor
Men
ggan ti
rol u
nit
Gag
al sp
lacing
Koto
r kur
ang setelan
Kertas
Putu s
Gan
ti Plate
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
100
80
60
40
20
0
Pareto Chart of Penyebab
Gambar 2. Pareto Chart
Langkah berikutnya yaitu mencari akar penyebab masalah sesungguhnya melalui five whys
(Gaspersz, 2001). Dari langkah tersebut dapat mengetahui akar penyebab sesungguhnya yang
melatarbelakangi penyebab potensial tersebut. Beberapa penyebab, yang terpilih untuk dicari akar
penyebab sesungguhnya melalui five whys yaitu ganti plate, kertas putus, dan kotor kurang setelan.
Penyebab-penyebab yang paling potensial telah diketahui melalui pareto chart. Langkah
selanjutnya yaitu memberikan alternatif solusi yang dapat mengurangi waste yang terjadi pada
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.15
divisi cetak koran. Solusi-solusi tersebut berasal dari tiap akar penyeba sesungguhnya yang telah
didapatkan melalui five whys. Pada tabel 1 menunjukkan alternatif solusi yang dapat digunakan
untuk mengurangi waste cetakan koran.
Tabel 1. Alternatif Solusi
No Akar Penyebab Alternatif Solusi
1 Tidak adanya pelatihan
bagi karyawan
Adanya pelatihan bagi karyawan
Perekrutan karyawan disesuaikan dengan keahlian
2 Belum adanya perbaikan
alat pada mesin
Perbaikan alat pada mesin
Penjadwalan perawatan pada setiap mesin
Pembelian mesin baru
Penggantian komponen pada mesin
Redesign lay out mesin
3 Tidak adanya sistem balas
jasa (reward) bagi
Pemberian reward bagi karyawan
Pemberian uang makan dan uang lembur tepat waktu
Langkah selanjutnya yaitu mendiskusikan alternatif-alternatif solusi untuk mengurangi
waste cetakan koran dengan tim peningkatan kualitas. Tim peningkatan kualitas yang terdiri dari
kepala divisi quality control dan staf-staf quality control. Pada tabel 2 menunjukkan pemilihan
alternatif solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi waste cetakan koran.
Tabel 2. Pemilihan Alternatif Solusi
No Akar Penyebab Alternatif Solusi Ranking Solusi yang
Dipilih
1 Tidak adanya
pelatihan bagi
karyawan
Adanya pelatihan bagi karyawan 1 √
Perekrutan kiaryawan disesuaikan
dengan keahlian
2
2 Belum adanya
perbaikan alat pada
mesin
Perbaikan alat pada mesin 1 √
Penjadwalan perawatan pada setiap
mesin
3
Pembelian mesin baru 5
Penggantian komponen pada mesin 2
Redesign lay out mesin 4
3 Tidak adanya
sistem balas jasa
(reward) bagi
karyawan
Pemberian reward bagi karyawan 1 √
Pemberian uang makan dan uang
lembur tepat waktu
2
Langkah berikutnya yaitu membagi solusi menjadi tugas berurutan. Membagi tugas yang
dimaksud yaitu setiap orang yang menjadi tim peningkatan kualitas mempunyai tugas masing-
masing untuk mengurangi waste yang terjadi pada divisi cetak koran. Pada tabel 3 terdapat
langkah-langkah rencana tindakan untuk mengurangi waste cetakan koran.
Tabel 3. Langkah-Langkah Rencana Tindakan
Gagasan Kunci Metode yang Mungkin
Mencatat orang yang
bertanggung jawab.
Adanya jadwal yang
disusun untuk
memulai aktivitas
perbaikan dari
persiapan sampai
akhir produksi.
RENCANA TINDAKAN
Apa Siapa Kapan
Pelatihan Staf QC
Mendata Mesin yang
perlu diperbaiki
Staf QC
Pemberian Reward Kepala Divisi QC
E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.16
Setiap solusi mempunyai langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mengurangi
waste pada cetakan koran. Berikut rencana tindakan tiap-tiap solusi:
Solusi 1: Pelatihan bagi karyawan
Gambar 3 menunjukkan diagram alir dari pelatihan karyawan.
Solusi 2: Perbaikan Alat pada Mesin
Gambar 4 menunjukkan diagram alir dari perbaikan alat pada mesin.
Solusi 3: Pemberian Reward pada Karyawan
Gambar 5 menunjukkan diagram alir dari pemberian reward pada karyawan
Menyusun rencana kemungkinan
Setiap rencana solusi yang akan diterapkan, pasti mempunyai ancaman dan kendala. Dari hal
tersebut, tim peningkatan kualitas harus melakukan pencegahan dan mendeteksi hal-hal apa saja
yang mungkin terjadi jika menerapkan solusi tersebut agar dapat mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan. Berikut ancaman, cara mengahadapi, dan pencegahan yang mungkin terjadi pada tiap
solusi :
Solusi 1: Pelatihan bagi karyawan
Ancaman yang mungkin terjadi adalah tidak adanya semangat dari karyawan untuk melakukan
pelatihan kerja. Menghadapi ancaman yang mungkin terjadi dengan memberikan sistem balas jasa
bagi karyawan dapat berupa pemberian uang makan dan uang lembur bagi karyawan secara tepat
waktu. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi ancaman yang mungkin terjadi adalah
dengan memberikan motivasi karyawan demi keberlangsungan perusahaan dan adanya anggaran
yang dipersiapkan untuk uang makan dan uang lembur bagi karyawan
Solusi 2: Perbaikan Alat pada Mesin
Gambar 3. Diagram Alir
Pelatihan bagi Karyawan
Gambar 4. Diagram Alir
Perbaikan Alat pada
Mesin
Gambar 5. Diagram Alir
Pemberian Reward pada
Karyawan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.17
Ancaman yang mungkin terjadi adalah anggaran untuk perbaikan mesin tidak segera direalisasikan,
saat di bengkel mesin, tidak langsung segera dilakukan perbaikan dan kurangnya koordinasi antar
satu divisi dengan divisi yang lain dalam melakukan perbaikan. Menghadapi ancaman yang
mungkin terjadi adalah dengan (a)segera melaporkan kepada tim manajemen dan kembali
memberikan penjelasan bahwa perbaikan alat mesin harus segera dilaksanakan demi kelancaran
produksi, (b) memberikan uang muka terlebih dahulu kepada pihak bengkel mesin dan memberikan
jaminan akan membayar tepat waktu dan (c) segera melakukan rapat koordinasi dan evaluasi
perkembangan rencana perbaikan. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi ancaman yang
mungkin terjadi dapat dilakukan dengan (a) selalu mengontrol dana anggaran agar segera
diturunkan sesuai dengan kesepakatan yang ada, (b) setelah dana anggaran disiapkan, segera
menghubungi pihak bengkel mesin untuk mendaftar perbaikan mesin dan (c) adanya pembagian
tugas yang jelas dan diadakan rapat koordinasi untuk meninjau rencana perbaikan alat pada mesin
Solusi 3: Pemberian Reward pada Karyawan
Ancaman yang mungkin terjadi adalah anggaran untuk pemberian reward tidak segera
direalisasikan. Menghadapi ancaman yang mungkin terjadi dengan segera melaporkan kepada tim
manajemen dan kembali memberikan penjelasan bahwa pemberian reward harus dilaksanakan
kembali demi meningkatkan motivasi karyawan. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi
ancaman yang mungkin terjadi adalah dengan selalu mengontrol dana anggaran agar segera
diturunkan sesuai dengan kesepakatan yang ada.
KESIMPULAN
Akar penyebab masalah waste pada divisi cetak koran di PT Masscom Graphy yaitu tidak
adanya pelatihan bagi karyawan, belum adanya perbaikan alat pada mesin dan belum adanya sistem
balas (reward) bagi karyawan. Usulan perbaikan untuk mengurangi waste di divisi cetak koran
yaitu yang pertama pelatihan bagi karyawan yang bekerja di proses produksi, yang dimulai dari
karyawan bagian CTP (Computer To Plate) sampai dengan karyawan bagian inspeksi hasil cetak
Koran, yang kedua perbaikan alat pada mesin penyambung kertas, laker, blanket, dan alat-alat lain
yang perlu diperbaiki. Sebaiknya karyawan mempunyai checklist mengenai alat-alat yang sedang
mengalami kerusakan, dan yang terakhir adanya pemberian reward bagi karyawan yang dapat
berupa pemberian intensif (bonus) bagi pekerja. Pemberian uang makan dan uang lembur harus
tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Richard Y. 1998. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah. Jakarta: PT Pustaka Binaman
Pressindo.
Gaspersz, Vincent. 2000. Total Quality Management Untuk Praktisi Bisnis dan Industri. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Gaspersz, Vincent. 2007. Organizational Excellence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gaspersz, Vincent. 2005. Team Oriented Problem Solving. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gaspersz, Vincent. 2001. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nasution, M.N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Tjiptono, Fandy. & Diana, Anastasia. 2003. Total Quality Management. Yogjakarta: Penerbit
Andi
E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.18
PERENCANAAN KEGIATAN MAINTENANCE PADA SISTEM PIPE MAKING LINE
DENGAN PENDEKATAN RELIABILITY CENTERED MAINTENANCE II
(STUDI KASUS PT INDONESIA STEEL TUBE WORKS SEMARANG)
Dyah Ika Rinawati*)
, Bambang Purwanggono, Eko Lisysantaka
Program Studi Teknik Industri Universitas Diponegoro
Kampus Undip Tembalang, Semarang 50275, Indonesia
Telp/ Fax : 024-7460052 *)
Email: dyah.ika@gmail.com
Abstrak
Pada perusahaan mass production, terjadinya breakdown mesin dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan karena adanya kehilangan kapasitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
maintenance guna menurunkan frekuensi breakdown maupun tingkat keparahannya. PT
Indonesia Steel Tube Works (PT ISTW) telah menerapkan maintenance baik secara preventive
maupun corrective. Namun hingga saat ini PT ISTW belum bisa mencapai target breakdown
sebesar 0,5%. Lini yang memiliki tingkat breakdown yang tertinggi di PT ISTW adalah Pipe
Making Line. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rencana kegiatan maintenance guna
menjamin keandalan sistem pada Pipe Making Line berdasarkan modus-modus kegagalan
mesin dan konsekuensinya. Metode yang digunakan adalah Reliability Centered Maintenance
(RCM) II, dimana penilaian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif . Data yang
dikumpulkan antara lain modus dan efek kegagalan yang diperoleh dari hasil wawancara
serta manual vendor mesin, maintenance activity report dan machine history record yang
merupakan data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah perencanaan kegiatan maintenance
untuk modus-modus kegagalan yang terdiri dari scheduled discard task, on condition task, no-
scheduled maintenance dan usulan redesign.
Kata kunci: Maintenance, Reliability Centered Maintenance (RCM)
PENDAHULUAN
Mesin akan mengalami penurunan tingkat keandalan (reliability) apabila digunakan secara
terus menerus. Keandalan merupakan peluang suatu unit atau sistem berfungsi normal jika
digunakan menurut kondisi operasi tertentu untuk periode waktu tertentu. (Dhillon, 2007)
Meskipun demikian, tingkat keandalan dapat dijaga dan masa pakai mesin dapat diperpanjang
dengan melakukan penjadwalan maintenance mesin dengan baik. (Cahyono, 2005). Kegiatan
maintenance pada dasarnya terbagi menjadi dua kategori, yaitu preventive maintenance dan
corrective maintenance. Pemilihan kegiatan maintenance tersebut didasari atas sifat dari kerusakan
pada peralatan, apakah bersifat terprediksi atau tidak terprediksi.
Preventive maintenance merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengamatan secara berkala
terhadap performansi sistem dan telah direncanakan terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu
untuk memperpanjang kemampuan berfungsinya suatu peralatan. Preventive maintenance terbagi
dalam empat kategori yaitu time directed maintenance, condition based maintenance, failure
finding dan run to failure (no schedule maintenance). Sedangkan corrective maintenance
merupakan kegatan maintenance yang dilakukan setelah terjadinya kerusakan atau sistem tidak
dapat berfungsi dengan baik. Tindakan yang dapat diambil adalah berupa penggantian komponen
(corrective replacement), perbaikan kecil (repair), dan perbaikan besar (overhaul). (Priyanta, 2005)
PT. Indonesia Steel Tube Works Semarang (PT. ISTW) adalah sebuah industri manufaktur
yang bergerak dalam sektor industri pipa baja dengan produknya berupa black pipe, galvanized
pipe, dan mechanical tube. Sistem produksi pipa baja PT.ISTW dikelompokkan menjadi lima
sistem berdasarkan fungsi pada proses produksinya, yaitu Slitter Line, Pipe Making Line,
Galvanizing Line, Recutting Line, dan Packaging Line. Dari kelima sistem tersebut, Pipe Making
Line merupakan sistem yang memiliki kontribusi terhadap terjadinya breakdown. Dilihat dari
rekaman pada dua tahun terakhir, pada tahun 2009 persentase breakdown sebesar 0,69% dan tahun
2010 persentase breakdown sebesar 0,51%. Besarnya persentase breakdown yang masih belum
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.19
sesuai target ini yakni sebesar 0,5 % disebabkan karena level keandalan dari sistem yang masih
rendah, sehingga terjadi breakdown ditengah-tengah waktu produksi.
Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menjamin ekspektasi dan menjaga keandalan
sistem Pipe Making Line (sub-sistem Mill) dalam menjalankan fungsinya. Metode yang digunakan
adalah Reliabiltty Centered Maintenance (RCM) II. Didalam RCM II juga terdapat fitur-fitur yang
membantu untuk merancang kegiatan perawatan dengan memperhatikan efek kegagalan yang
terjadi, selain terhadap kegiatan operasional, namun juga terhadap keselamatan pekerja dan
terhadap lingkungan sekitar. Hal ini sejalan dengan tujuan organisasi PT.ISTW yang juga
menerapkan ISO 14001 dan mempunyai target tinggi terhadap keselamatan kerja para
karyawannya, yaitu 1500 hari tanpa kecelakaan kerja. Sehingga dengan penerapan metode ini,
diharapkan akan terancang sistem yang handal dan aman.
METODOLOGI
Metode RCM II terdiri atas tujuh tahapan yaitu (Moubray, 2000):
1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
2. Definisi Batasan Sistem
3. Deskripsi Sistem dan Function Block Diagram.
4. Penentuan Fungsi dan Kerusakan Fungsional
5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
6. Logic Tree Analysis (LTA)
7. RCM task selection
Adapun penjelasan masing-masing tahapan diuraikan sebagai berikut. Langkah awal
sebelum dilakukannya proses RCM II adalah penentuan sistem dan pengumpulan data berupa
history kerusakan mesin, data flow proses, mechanical catalog yang dapat membantu untuk
mengetahui jenis part dan sistem kerja peralatan secara jelas. Selanjutnya proses pendefinisian
batasan sistem, yaitu berupa penentuan input dan output dari masing-masing asset dalam sistem.
Proses ini sangatlah penting dan harus di definisikan secara jelas, agar fokus pengetahuan dan
pemikiran analis memiliki gambaran yang utuh dalam melakukan identifikasi dan mendefinisikan
fungsi dari sistem secara lengkap.Kemudian pembuatan Aset Block Diagram (ABD) dan Function
Block Diagram (FBD), tahap ini merupakan representasi pada level teratas dari penentuan fungsi
utama suatu sistem, Dengan teridentifikasinya In/Out interface pada Function Block Diagram,
maka akan dapat memberikan gambaran lengkap dari fungsi sistem.
Setelah seluruh informasi sistem pipe making line (mill 2) sudah tersusun dan terdefinisi dengan
jelas, maka selanjutnya dilakukan proses Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), untuk
mengidentifikasi modus-modus kegagalan dalam sistem hingga kemudian dapat dijelaskan efek
dari setiap kegagalan tersebut. Efek yang digambarkan dengan jelas dan luas akan membantu
memudahkan dalam menentukan konsekuensi dari masing-masing modus kegagalan. Dari proses
FMEA dapat dikuantitatifkan sebuah nilai Risk Priority Number (RPN) yaitu dengan mengalikan
nilai severity, occurrence, dan detection. Nilai RPN dapat digunakan untuk menentukan tingkat
kritis dari sebuah modus, nilai tersebut dapat dijadikan tambahan pertimbangan dalam menentukan
maintenance task yang paling sesuai.
Selanjutnya yaitu proses penentuan maintenance task dengan analisis konsekuensi
kegagalan berdasarkan Logic Tree Analysis. Keputusan maintenance dengan RCM II dibagi
menjadi proactive task dan default action. Langkah proactive task yaitu terdiri dari on condition
task berupa pemantauan secara berkala dengan analisis interval menggunakan potential failure
(PF), kemudian schedule restoration task berupa perbaikan secara berkala, dan schedule discard
task yaitu penggantian secara berkala. Keduanya dilakukan tanpa melihat kondisi mesin atau
komponen saat itu, interval perawatannya dapat ditentukan dengan mendefinisikan potential of
failure (PF) yaitu dengan analisis kehandalan berdasarkan data history kerusakan mesin.
Untuk dapat mendefinisikan waktu potential of failure, maka diperlukan data history yang
cukup untuk mengetahui pola distribusi kerusakan dari sebuah modus kegagalan. Uji distribusi
dilakukan terhadap waktu antar kerusakan (TTF) dan waktu lama perbaikan (TTR) yang ada pada
history card komponen mesin produksi dengan bantuan software Weibull ++ version 7.0. Setelah
didapatkan pola distribusinya, maka dapat ditentukan waktu interval potential of failure atau biasa
disebut mean time to failure (MTTF). Kemudian dengan parameter-parameter biaya repair (Cr),
E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.20
biaya maintenance (Cm) dan mean time to repair (MTTR) dapat ditentukan interval waktu
maintenance yang optimal (TM) dengan meninjau dari segi minimasi biaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penjelasan singkat tentang proses kerja pada sistem pipe making line (mill 2) yang
digambarkan Functional Block Diagram (FBD) pada gambar 1. Kemudian proses FMEA dirunut
dengan mendefinisikan fungsi utama dan fungsi sekunder dari seluruh peralatan yang terlibat dalam
sistem tersebut begitupun kegagalan fungsinya, hingga akhirnya hasil identifikasi terdapat 14
fungsi dan 19 kegagalan fungsi dengan 36 bentuk modus kegagalan baik yang sudah pernah terjadi
maupun mempunyai potensi dapat terjadi. Dari hasil penghitungan nilai RPN didapatkan sebuah
modus yang keluar dari nilai batas toleransi kritis yaitu modus oil seal pompa hydraulic un-coil
bocor dengan nilai RPN sebesar 32 dan memiliki konsekuensi terhadap keselamatan. Modus lain
yang memiliki nilai RPN cukup tinggi dengan 24 poin adalah modus bearing main shaft saw blade
cutting rusak dan chain cutting kendur, kedua modus ini memiliki konsekuensi terhadap kondisi
operasional pabrik.
Gambar 1. Functional Block Diagram Sistem Pipe Making Line
RCM II decission worksheet digunakan untuk menentukan dampak atau konsekuensi yang akan
timbul jika kerusakan terjadi, dan tindakan proactive maintenance untuk mencegah atau
meminimalisir dampak yang timbul ketika kerusakan terjadi. Untuk menentukan concequence dan
proactive task pada setiap komponen dengan failure mode yang berbeda, maka digunakan decision
diagram yang merupakan diagram dalam RCM II untuk menentukan concequence dan proactive
task yang akan diberikan. Tabel 1 menunjukkan perencanaan kegiatan maintenance untuk sistem
pipe making line (Mill 2).
Tabel 1. Rencana Kegiatan Maintenance Sistem Pipe Making Line (Mill 2)
Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial
interval
Pin chuck patah uncoil Do the on-condition task : Check diameter pin chuck
(80mm)
1 bulan
Motor hydraulic pump
uncoilterbakar
Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa),
panas, dan suara
1 hari
Coil piston shaft solenoid valve
uncoil terbakar
Do the on-condition task : Check level temperatur oli
(400 C)
1
minggu
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.21
Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial
interval
Oil seal pompa hydraulik uncoil
bocor
Usulan Redesign : Sistem Pengaman Pencekam -
Pin chuck un-coil longgar Do the on-condition task : Check diameter pin chuck
(80mm)
1 bulan
Brake pinch roll 1 stuck No Scheduled Maintenance : Usulan penambahan SOP
untuk operator sebelum bekerja hendaknya memeriksa
instalasi listrik stasiunnya masing-masing
-
Contactor listrik pinch roll 1 putus Do the on-condition task : Check instalasi listrik 1
minggu
Shaft pneumatic solenoid valve
macet
Do the on-condition task : Check oiller 1
minggu
Shaft pneumatic solenoid valve aus Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa) 1
minggu
Silinder pinch roll tidak bekerja No Scheduled Maintenance : Operator segera melapor
ke bagian maintenance bila mendengar noise akibat
kebocoran line piping.
-
Coil piston hydrolic cylinder
terbakar
Do the on-condition task : Check temperatur oli (40*C) 1
minggu
Nozle kotor No Scheduled Maintenance : Usulan SOP untuk
pembersihan ujung nozle setiap kali selesai digunakan
oleh operator
-
Operator kurang terampil No Scheduled Maintenance : (Usulan pembuatan SOP
kerja grinding)
-
Motor gear box trip Do the on-condition task (check oiller) 1
minggu
Air cylinder tidak bekerja No Scheduled Maintenance : Operator segera melapor
ke bagian maintenance bila mendengar noise akibat
kebocoran line piping.
-
Shaft pneumatic valve solenoid
macet
Do the on-condition task : Check oiller 1
minggu
Resistor putus No Scheduled Maintenance : Usulan pembuatan SOP
dalam pengaturan speed kepada operator
-
Shaft pneumatic solenoid aus Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa) 1
minggu
First gear pada gear box patah Do the on-condition task : Check gear box oil circulation
(pressure oil 2-3 Kg/cm2)
1
minggu
Induction motor terbakar Do the on-condition task : Check current (400 A) 1
minggu
Work coil kotor No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum
melakukan pemasangan work coil, operator harus
memastikan keadaan work coil dalam kondisi bersih dan
baik)
-
Insulating work coil terkelupas No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum
melakukan pemasangan work coil, operator harus
memastikan keadaan work coil dalam kondisi bersih dan
baik)
-
Impeder rusak No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum
melakukan pemasangan impeder, operator harus
memastikan keadaan impederl dalam kondisi baik dan
sesuai ukuran)
-
Heat exchanger kotor Do the on-condition task : Check water pressure (4,5
kg/Cm), Pembersihan heat exchanger / flushing
1 bulan
Water pump terbakar Do the on-condition task : Check water temperature
(40*C)
1
minggu
Induction motor terbakar Do the on-condition task : Check current (400 A) 1
minggu
E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.22
Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial
interval
First gearbox patah Do the on-condition task : Check gear box oil circulation
(pressure oil 2-3 Kg/cm2)
1
minggu
Setting adjuster dan balance tidak
sesuai
No Scheduled Maintenance : (Usulan pembuatan SOP
setting adjuster dan balance untuk operator)
-
Spray gun buntu No Scheduled Maintenance : Sebelum proses operator
hendaknya mengecek ujung gun terlebih dahulu
-
Unit rangkaian elektronik terbakar Do the on-condition task : Check instalasi listrik 1
minggu
Motor encoder rusak Do the on-condition task : Check cutter panel (voltage
370-405)
1
minggu
Motor hydraulic pump terbakar Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa),
panas, dan suara
1 hari
Coil piston shaft solenoid valve
terbakar
Do the on-condition task : Check level temperatur oli
(40*C)
1
minggu
V-belt rusak No Scheduled Maintenance : Usulan untuk mencatat
identifikasi Potential FailureV-belt
-
Ball bearing main shaft rusak Do the scheduled discard task : Penggantian bearing
6312
46 hari
Chain cutting kendur Do the scheduled discard task : Penggantian chain
cutting R-S 80
108 hari
Penentuan interval pada proposed on condition task dapat ditentukan dengan
mendefinisikan dan analisis potential failure (PF) secara jelas, semakin detail analisis PF maka
akan semakin teliti tingkat intervalnya, initial interval yang digunakan didapatkan dengan
menghitung ½ dari interval PF. Untuk modus oil seal hydraulic pump bocor masih belum dapat
dipastikan secara tepat kondisi potential failure-nya, sehingga terlalu beresiko apabila dilakukan
on-condition task. Maka pada modus ini diusulkan untuk dilakukan redesign menilik dari
konsekuensinya terhadap keselamatan pekerja dengan nilai RPN 32. Usulan redesign yaitu dengan
memberikan alat pengaman berupa alat mekanis tambahan dengan sensor waktu yang secara
otomatis akan memberikan tekanan setiap 15 detik sekali kepada hydraulic pump, agar cekaman
yang melonggar segera kembali diberikan tekanan secara otomatis hingga dapat mencekam slitted
coil kembali.
Untuk modus ball bearing main shaft rusak dan chain cutting kendur diberikan usulan
kegiatan maintenance dengan scheduled discard task karena waktu potential failure yang cukup
cepat. Namun dengan data history yang cukup dapat ditentukan nilai probability of failure-nya.
Pola distribusi kegagalan dari kedua modus tersebut adalah weibull dengan 3 parameter. Nilai
parameter beta komponen ball bearing 6312 (β>1) yaitu sebesar 1,9506. Hal ini berarti bahwa
komponen tersebut termasuk dalam IFR (Increasing Failure Rate), yaitu komponen yang fungsi
kerusakannya akan meningkat seiring bertambahnya umur komponen. Sedangkan nilai parameter
beta Chain Cutting RS-80 (β<1) yaitu sebesar 0,927 sehingga kerusakan komponen termasuk
kedalam komponen DFR (Decreasing Failure Rate) yang berarti fungsi kerusakannya (failure rate)
menurun dengan semakin lamanya komponen tersebut dipakai. Dari nilai tersebut dapat dijadikan
dasar penentuan interval penggantiannya sebelum akhirnya terjadi kegagalan. Berikut ini adalah
hasil perhitungan nilai reliability dan probability of failure waktu TM (interval penggantian
optimal) dibandingkan nilai MTTF (mean time to failure). (tabel 2.)
Tabel 2. Perbandingan Nilai Reliability TM dan MTTF Bearing 6312 dan chain cutting RS-80
Modus Parameter Nilai Reliability Probability of Failure
Bearing 6312 TM* 1120 jam 0,97 0,03
MTTF 4912 jam 0,45 0,55
Chain cutting RS-80 TM* 2611 jam 0,82 0,18
MTTF 6309 jam 0,35 0,65
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.23
Perbandingan biaya antara maintenance dengan preventive maintenance menggunakan TM
dengan corrective maintenance diberikan pada tabel 3. Berikut.
Tabel 3. Perbandingan Ekspektasi biaya maintenance
menggunakan interval penggantian/ TM dengan biaya corrective maintenance.
Komponen Biaya penerapan interval penggantian
(Tc(1120))
Biaya corrective
maintenance (CR)
Bearing 6312 Rp. 1.110.569,6 Rp. 21.811.657 / breakdown
chain cutting RS-80 Rp. 3.583.806,38 Rp. 18.738.865/ breakdown
Dengan menggunakan waktu maintenance optimal (TM) ini, maka penggantian pada
komponen akan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisir biaya yang
dikeluarkan untuk kegiatan maintenance dibandingkan dengan secara corrective.
KESIMPULAN
1. Terdapat 36 modus kegagalan dalam sistem pipe making line (mill 2). Dari hasil penilaian
risiko dengan RPN menunjukkan bahwa komponen kritis yang perlu mendapatkan prioritas
adalah kerusakan fungsi (functional failure) pada oil seal pompa hydraulic un-coil bocor,
dengan nilai RPN 32 serta modus bearing main shaft saw blade cutting rusak dan chain cutting
kendur berada pada urutan kedua dan ketiga dengan nilai RPN 24.
2. Kebijakan maintenance yang diusulkan untuk menghadapi modus-modus kegagalan
didasarkan pada konsekuensi yang dihasilkan, adalah sebagai berikut:
a) Kebijakan scheduled discard task digunakan untuk menghadapi modus bearing main shaft
saw blade cutting rusak dan chain cutting kendur, karena telah dapat diidentifikasi waktu
probability of failure-nya, sehingga dapat ditentukan TM yang optimal.
b) Untuk kebijakan on-condition digunakan pada modus-modus yang memiliki kondisi PF
yang jelas dan terukur, terdapat 21 modus yang menggunakan kebijakan ini.
c) Kebijakan no-scheduled maintenlance diterapkan pada modus-modus yang belum dapat
diidentifikasi secara detail dan konsisten kondisi PF-nya, serta untuk modus yang tidak
memiliki konsekuensi apapun bila terjadi kegagalan. Terdapat 12 modus yang diterapkan
pada kebijakan ini.
d) Usulan redesign diberikan pada modus oil seal pompa hydraulic un-coil bocor karena PF-
modus ini susah untuk dideteksi dan berpengaruh terhadap keselamatan kerja operator.
3. Dalam penentuan interval untuk maintenance task jenis on condition, didasarkan pada
potensial failure (PF). Untuk maintenance task jenis scheduled discard task yaitu pada modus
Bearing Main Shaft Saw Blade Cutting Rusak dan Chain Cutting Kendur ditentukan dengan
analisis keandalan untuk menentukan waktu maintenance optimal dengan mempertimbangkan
biaya maintenance dan biaya perbaikan, yaitu 1120 jam untuk penggantian komponen bearing
6312 pada Shaft Saw Blade mesin Cutting dan 2611 jam untuk penggantian komponen Chain
Cutting RS-80.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami sampaikan terima kasih kepada Program Studi Teknik Industri yang memberikan dukungan
kepada penulis untuk mengikuti seminar Seminar Nasional Sains dan Teknologi 3.
DAFTAR PUSTAKA
B.S, Dhillon, 2007, Engineering Maintenance: A Modern Approach, CRC Pres LLC, N.W.
Corporate Blvd, Boca Raton, Florida
B.T, Cahyono, 2005, Manajemen Produksi, IPWI, Jakarta
Moubray, John, 2000, Reliability Centered Maintenance II second Edition, Industria Press Inc.New
York, New York
Priyanta, Dwi, 2005, Introduction to Reliability Centered Maintenance (RCM) Workshop,
MAPREC (Maintenance and Production Reliability Conference), Jakarta
E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.24
OPTIMASI KUANTITAS DAN JENIS PRODUKSI
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN
Ratnanto Fitriadi*), Indah Pratiwi, Rudi Teguh Aryanto
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A.Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta *)
E-mail: ratnanto23@yahoo.com
Abstrak
Proses optimasi adalah untuk menentukan kombinasi yang merupakan solusi yang optimal terhadap
permasalahan yang bersifat trade off. Objek pada penelitian ini adalah perusahaan “SSS” di Solo
yang memproduksi bermacam-macam timbangan sebagai alat ukur. Permasalahan perusahaan
adalah multi objective yaitu mempunyai beberapa tujuan, diantaranya untuk memenuhi semua
order, memaksimalkan utilitas resources, meminimalkan biaya produksi dan pemakaian material,
yang pada akhirnya penentuan kombinasi dari jumlah dan jenis produk diharapkan memaksimalkan
keuntungan. Langkah pertama setelah mengidentifikasi permasalahan adalah membuat model/
persamaan matematis, selanjutnya adalah proses pengumpulan dan pengolahan data yang
diperlukan sebelum melakukan tahap optimasi. Dalam menentukan fungsi tujuan perusahaan
diperlukan proses pembobotan dan perankingan, hal ini menunjukkan proses interaktif yang
mengakomodasi preferensi dari manajemen perusahaan. Dengan pendekatan condorcet secara
sederhana kepentingan perusahaan dari beberapa perspektif dapat diakomodasi dan dengan
mudah dapat dirubah pembobotannya sebagai langkah yang interaktif dan fleksibel
(seandainya ada kebijakan baru dari perusahaan). Data yang digunakan diantaranya adalah
data jumlah permintaan, harga bahan baku, proses produksi, biaya produksi yang meliputi
biaya tenaga kerja, biaya listrik, biaya kerja lembur, biaya bahan baku dan bahan pembantu.
Pengumpulan data dilakukan dengan proses observasi, interview dan dokumentasi. Hasil
penelitian dapat diketahui bahwa kombinasi produk yang optimal untuk memenuhi kebutuhan
pesanan adalah produk timbangan dacin 110 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk
dacin 50 sebanyak 1.675 unit; produk meja DXO sebanyak 2.517 unit; produk meja ariesta
sebanyak 2.433 unit; produk sentisimal 500 sebanyak 883 unit; produk sentisimal 300
sebanyak 896 unit dan produk sentisimal 150 sebanyak 904 unit. Sehingga hasil penjualan
yang diperoleh adalah menunjukkan keuntungan yang dapat diraih oleh perusahaan.
Kata kunci: optimasi produk, timbangan, condorcet, multi objective
PENDAHULUAN Proses optimasi pada penelitian ini merupakan masalah pengambilan keputusan (decision
making) yang merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan kapasitas produksi dan variasi
jenis produk untuk pesanan ataupun stok. Permasalahan pengambilan keputusan yang bersifat multi
objective pasti akan terjadi konfliktual antara fungsi tujuan yang akan dicapai (dan biasanya akan
terjadi trade off). Salah satu pendekatan yang lazim digunakan adalah goal programming yang
mendasarkan pada MCDM (multi-criteria decision making) untuk mencari solusi yang optimal.
Salah satu riset (Gupta, 2001) yang melakukan pendekatan dengan model goal
programming untuk menentukan batas toleransi yang diijinkan dari planned/unplanned inventory
dalam suatu lingkungan remanufacturing supply chain. Pada penelitian ini baru ditawarkan suatu
konsep dengan diberikan contoh persoalan pada proses disassembly komponen komputer. Pada
penelitian lainnya (Ciptomulyono, 2001) menggunakan model multi objective programming untuk
minimalisasi dampak lingkungan akibat pengembangan kapasitas sistem pembangkit listrik Jawa
Bali dengan pendekatan metode deviasi minimum. Penelitian ini mengupayakan solusi “optimal”
yang kompromis dengan memadukan fungsi objektif ekonomis (investasi) dan minimalisasi
produksi emisi.
Permasalahan utama pada penelitian ini adalah untuk memenuhi beberapa kepentingan
(multi objective) yaitu memaksimasi pendapatan (jumlah produksi) dan meminimasi biaya
produksi, dengan memperhatikan jumlah dan jenis order yang harus dipenuhi, kapasitas produksi
dan jumlah tenaga kerja, biaya dan ketersediaan bahan baku. Kondisi perusahaan “SSS” yang
memproduksi jenis-jenis produk timbangan (alat ukur berat) adalah ingin mengefisiensikan sistem
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.25
produksi terkait dengan naiknya harga material, efisiensi utilitas produksi seperti penggunaan
mesin, listrik, dan tenaga kerja. Penentuan kuantitas dan jenis produk yang tepat terkait dengan
preferensi manajemen merupakan kombinasi yang akan diakomodasi dalam penelitian ini untuk
mendapatkan solusi yang optimal.
Konsep optimalisasi dalam multi-criteria decision making Banyaknya permasalahan yang muncul bagi pihak manajemen adalah kasus-kasus yang
bersifat tade off dimana peningkatan pemenuhan kepuasan pada satu sisi akan memberikan
konsekwensi penurunan kepuasan pada kepentingan lainnya. Preferensi dari pengambil kebijakan
merupakan factor yang harus terakomodasi dalam penyelesaian permasalahan multi objective.
Pendekatan konsep multi-criteria decision making (MCDM) akan mendefinisikan permasalahan
multi-objective dengan cukup aspiratif, beberapa alternatif solusi bisa dimunculkan dan beberapa
set kriteria bisa diakomodasi.
Penelitian lain tentang permasalahan pengambilan keputusan dengan konsep MCDM
adalah penggunaan fuzzi multiple atributes decision making pada persoalan yang bersifat kualitatif
tetapi di kuantifikasi dengan tetap mengakomodasi perbedaan penilaian yang imprecise seperti
tulisan (Kesimal dkk., 2002). Hal ini ditunjukkan fungsi tujuan dan rating/bobot nya tidak
dinyatakan secara tepat, contohnya adalah “large” profits, “fast” speed dan “cheap” price.
Pada artikel lainnya yaitu permasalahan model Multi Objective Goal Programming untuk
Optimasi Manajemen Kualitas Lingkungan Pencemaran Sungai Surabaya, (Ciptomulyono, 2001)
memaparkan integrasi metode Delphi dan prosedur AHP untuk mengidentifikasi dan menetapkan
prioritas obyektif/kriteria keputusan, yaitu pada pembobotan kriteria kebijakan energi nasional di
masa depan dari sisi preferensi mahasiswa Teknik Industri ITS tingkat akhir tahun 1997.
MOP Dengan Pendekatan Goal Programming Secara umum konteks pengembangan persoalan optimalisasi multi-objective programming
dari pendekatan goal programming dapat dibedakan menjadi dua yaitu goal programming
“terbobot” dan “préemptif” (Tabucanon, 1988).
Goal Programming Terbobot Pendekatan ini mencari suatu solusi yang sedekat mungkin mencapai level aspirasi yang
ditetapkan dengan cara meminimumkan jarak f j(x) dan f j.
Minimum ),()ˆ),(( pnDfxfd
Sedemikian sehingga :
gi (x)
bi , i = 1,2, … m
jjjj fpnxf ˆ)( j = 1,2, … k
jj pn , j = 1,2, … k
0lx l = 1,2, … n
Situasi berikut ini bilamana pengambil keputusan memberi preferensi untuk variabel deviasi
“over/under achievement” suatu obyektif, untuk itu preferensinya dapat diberikan ke dalam
pembobotan relatif wj+ , wj
- pada deviasi positif atau negatifnya pj , nj pada setiap obyektif
)(xf j sehingga diperoleh persamaan :
k
j
jjjjpnpnD ww
1
),( (1.1)
Goal Programming Préemptif Dalam model ini diperlukan urutan obyektif dalam kelas urutan/prioritas terbagi dalam K
kelompok, f1 , . . . . . . , fk menurut tingkat kepentingan obyektif masing-masing. Untuk setiap
kelas prioritas obyektif q, 1<q<k suatu urutan prioritas Pq bisa diurut berdasar urutan yang
pertama 1 sampai pada prioritas ke qi.
E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.26
Formulasi Goal Programming MOP memasukkan pertimbangan prioritas Préemptif, prioritas
dan bobot variabel deviasi positif dan negatif dirumuskan sebagai berikut :
Minimum
qjj
jjjj
k
q
q pnP ww1
(1.2)
Sedemikian sehingga :
gi (x)
bi , i = 1,2, … m
jjjj fpnxf ˆ)( j = 1,2, … k
jj pn , j = 1,2, … k
0lx l = 1,2, … n
Indeks keseluruhan fungsi obyektif yang terkait dengan prioritas ke q.
METODOLOGI PENELITIAN
Objek penelitian dilakukan di perusahaan pembuatan/perakitan timbangan PT. Timbangan
“SSS” yang berlokasi di Jalan Ki Mangun Sarkoro no 119, Sumber-Solo. Data-data dari perusahaan
yang diperlukan diantaranya adalah jenis produk, harga jual produk, waktu proses
pengerjaan produk, permintaan produk, kebutuhan bahan baku, harga bahan
baku dan bahan penolong lainnya, jumlah tenaga kerja, biaya tenaga kerja dan lembur,
jam kerja mesin, jumlah mesin, dan biaya listrik.
Selanjutnya data yang sudah terkumpul selanjutnya diolah untuk disiapkan menjadi
informasi yang berguna pada tahap perhitungan optimasi. Sebelum melakukan optimasi dilakukan
identifikasi penentuan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu maksimasi pendapatan penjualan dan
minimasi biaya produksi.
Penetapan pembobotan dari fungsi tujuan ini dilakukan berdasarkan intensitas/ frekuensi
untuk perangkingan. Dalam hal ini, dilakukan wawancara terhadap pihak yang terkait dengan
pengambilan keputusan dari tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Adapun pihak-pihak
yang diminta preferensinya dalam perankingan condorcet adalah direktur perusahaan, manajer
administrasi, manajer pemasaran, manajer produksi.
Tahap berikutnya adalah optimasi dengan pendekatan goal programming terbobot untuk
mendapatkan solusi optimal berupa kombinasi jumlah produksi untuk setiap produk. Selanjutnya
analisa hasil perhitungan serta analisa terhadap beberapa skenario alternatif dan proses interaktif
preferensi.
Pengolahan Data
Data produk terbanyak yang diproduksi PT. TIMBANGAN “SSS” pada tahun 2010-2011
(tabel 1) dan data permintaan produk pada tabel 2. Tabel 3 menunjukkan kebutuhan bahan baku dan
penolong untuk tiap produk, hal ini untuk mengestimasi biaya material dan antisipasi persediaan
material. Selanjutnya bagian produksi memiliki total mesin yaitu 7 mesin potong, 7 mesin bor, 7
mesin bubut, dan 7 mesin label. Untuk data rata-rata waktu proses pengerjaan pada tabel 4 berikut.
Selanjutnya dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja regular dan borongan, serta rata-rata jam
lembur karyawan setiap bulannya maka estimasi biaya tenaga kerja dapat diestimasi. Biaya penggunaan
listrik disesuaikan dengan jam operasi mesin ditambah dengan pemakaian tetap.
Tabel 1. Data Jenis Produk No Produk Nama Produk
1 X1 Timbangan Dacin logam kekuatan 110 kg kuningan
2 X2 Timbangan Dacin logam kekuatan 50 kg kuningan
3 X3 Timbangan Meja 10 kg DXO piring kuning + AT 1,85
4 X4 Timbangan Meja 10 kg Besar Ariesta + AT 1,85
5 X5 Timbangan Sentisimal (CB) 500 kg + AT 1,85
6 X6 Timbangan Sentisimal (CB) 300 kg + AT 1,85
7 X7 Timbangan Sentisimal (CB) 150 kg + AT 1,85
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.27
Tabel 2. Data Jumlah Permintaan
Bulan Produk
X1
Produk
X2
Produk
X3
Produk
X4
Produk
X5
Produk
X6
Produk
X7 Jumlah
Januari 1500 1700 2500 2400 900 950 950 10900
Februari 1500 1600 2500 2600 1000 900 850 10950
Maret 1800 1600 2500 2300 850 900 1000 10950
April 1900 1600 2400 2400 900 1000 900 11100
Mei 1600 1600 2300 2500 900 800 900 10600
Juni 1700 1800 2500 2500 950 800 950 11200
Juli 1700 1700 2600 2500 750 850 900 11000
Agustus 1500 1700 2500 2300 900 900 900 10700
September 1600 1600 2600 2300 850 1000 750 10700
Oktober 1700 1500 2600 2500 850 900 850 10900
November 2000 2100 2700 2500 950 950 1050 12250
Desember 1700 1600 2500 2400 800 800 850 10650
Rata-rata 1683 1675 2517 2433 883 896 904
Tabel 3. Data Kebutuhan Bahan Baku dan Penolong
Produk
Keb.Bahan
Baku
Kuningan
(Kg)
Keb.
Bahan
Baku
Besi
(Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
Bandul
(Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
Polo (Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
Plat (Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
Cor (Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
AT (Kg)
Keb.
Bahan
Penolong
Kayu
(Kg)
X1 2.5 4.0 3.5 1.5 1.5 - - -
X2 1.5 2.0 3.0 1.0 1.0 - - -
X3 2.0 2.0 - - 2.0 2.0 1.85 -
X4 2.5 2.0 - - 2.0 3.0 1.85 -
X5 10 10 - - - 50 1.85 50
X6 8.0 8.0 - - - 35 1.85 50
X7 6.0 6.0 - - - 30 1.85 35
Pembobotan Fungsi Tujuan
Dengan pendekatan metode Condorcet untuk ke empat preferensi, yaitu mengumpulkan pilihan
dari masing-masing preferensi untuk kedua fungsi tujuan. Selanjutnya mencari nilai maximin yaitu nilai
maksimum dari yang terkecil jumlah pilihan tadi dinormalisasi untuk mendapatkan bobot kedua fungsi
tujuan yaitu 0,75 untuk maksimasi pendapatan dan 0,25 untuk minimasi biaya produksi.
Tabel 4. Data Rata-rata Waktu Proses
Proses Operasi Waktu Proses Operasi (menit/unit)
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
Pengukuran & Penyetripan 1 1 2 2 2 2 2
Pemotongan 1 1 3 3 5 5 5
Pembersihan 1 1 1 1 1 1 1
Pengeboran 2 2 3 3 5 5 5
Pembubutan 2 2 3 3 5 5 5
Perakitan 5 5 3 3 6 6 6
Pemberian Label 1 1 1 1 1 1 1
Pengepakan 2 2 2 2 5 5 5
Total 15 15 18 18 30 30 30
Sumber : Hasil wawancara bagian produksi di PT. TIMBANGAN “SSS”
Pengembangan Model Matematis
Formulasi dari tujuan perusahaan berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan sebelumnya,
diperoleh hasil sebagai berikut : Min Z = 0,75.S2 +0,25.S3
1. Sasaran memaksimalkan pendapatan penjualan.
Maximize :
400.000 X1 + 300.000 X2 + 400.000 X3 + 450.000 X4 + 1.400.000 X5 + 1.200.000 X6 +
E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.28
1.000.000 X7 + S1 - S2 > 6.492.750.000
2. Sasaran meminimalkan biaya produksi
Minimize :
297.286 X1 + 187.786 X2 + 224.611 X3 + 267.111 X4 + 1.239.309 X5 + 1.033.809 X6 + 813.309 X7 + S3 - S4 <
4.836.274.885
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi adalah pemenuhan jumlah permintaan yang
tercermin dalam persamaan kendala sebagai berikut :
X1 > 1683 X5 > 883 S2 ≥ 0
X2 > 1675 X6 > 896 S3 ≥ 0
X3 > 2517 X7 > 904 S4 ≥ 0
X4 > 2433 S1 ≥ 0
Analisa Solusi Optimal
Solusi optimal dari hasil pengolahan data untuk kombinasi masing-masing produk yang harus
dibuat oleh perusahaan menunjukkan bahwa jumlah kombinasi produk yang harus dibuat adalah
produk X1 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk X2 sebanyak 1.675 unit; produk X3
sebanyak 2.984 unit; produk X4 sebanyak 2.433 unit; produk X5 sebanyak 1.212 unit; produk X6
sebanyak 896 unit dan produk X7 sebanyak 904 unit.
Dengan kombinasi produk optimal yang diperoleh maka sasaran untuk memenuhi tujuan
satu yaitu memaksimalkan pendapatan penjualan terpenuh dengan memperoleh pendapatan
sebesar Rp. 7.140.150 dan tujuan meminimalkan biaya produksi terpenuhi yaitu sebesar Rp.
2.358.240 (rata-rata per bulan).
Analisa Sensitivitas
Untuk mengetahui perubahan dan melihat seberapa besar perubahan yang dapat
diterima oleh suatu parameter sebelum solusi optimal kehilangan optimalitasnya diperlukan suatu uji
sensitivitas. Ada empat alternatif yang akan diuji coba yaitu merubah biaya produksi dibawah
5% (alternative 1), merubah biaya produksi dibawah 10% (alternative 2), merubah biaya
produksi diatas 5% (alternatif 3) dan merubah biaya produksi diatas 10% (alternatif 4). Adapun
pergeseran nilai optimal dari fungsi tujuan terhadap perubahan biaya produksu untuk setiap
alternatif adalah seperti pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Hasil Optimasi uji sensitivitas
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami sangat berterima kasih kepada pimpinan perusahaan khususnya Bapak Daniel
Nugroho, SE dan manajer produksi Bapak Herman yang telah membantu kami (saya dan rekan)
dalam melakukan pengamatan dan penelitian sederhana ini.
Kesimpulan:
1. Kombinasi produk yang optimal didapat dari pengolahan model goal programming adalah
produk X1 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk X2 sebanyak 1.675 unit; produk X3
sebanyak 2.984 unit; produk X4 sebanyak 2.433 unit; produk X5 sebanyak 1.212 unit; produk
X6 sebanyak 896 unit dan produk X7 sebanyak 904 unit.
2. Metode goal programming mempunyai kemampuan untuk mencapai trade off antara aspek-
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.29
aspek yang bertentangan sehingga sangat potensial digunakan untuk perencanaan produksi
yang merupakan masalah komplek karena mengandung tujuan yang berbeda.
3. Dari hasil analisa sensitivitas terlihat bahwa penelitian mengakomodasi perubahan-peubahan
alternatif dan perubahan kebijakan preferensi. Beberapa saran:
1. Dalam penelitian ini, variabel keputusan hanya berdasarkan volume timbangan, untuk
penelitian selanjutnya dapat memasukkan dimensi waktu, untuk mengetahui kapan harus
dilakukan produk.
2. Beberapa data yang berupa harga penjualan, harga material ada salah satu nilai kontanta pengali
yang disembunyikan (karena merupakan rahasia perusahaan, bisa berupa diskon dan biaya fixed
lain-lain yang hanya diasumsikan). Tetapi hal ini tidak mengurangi hasil optimasi untuk melihat
trend pendapatan dan biaya produksi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Taha, Hamdy, 1996, Riset Operasi, Binarupa Aksara, Jakarta
Dimyati, Tjuju T. dan Dimyati, Akhmad, 2003, Operation Research: Model Pengambilan
Keputusan, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
Gupta, Surendra M., and Kongar, Elif, 2001, A Goal Programming Approach to the
Remanufacturing Supply Chain Model, Laboratory for Responsible Manufacturing,
Departement of MIME Northeastern University Boston.
Ciptomulyono, U., 2001, Pengembangan Model Multi Objective Programming untuk Minimalisai
Dampak Lingkungan Pengembangan Kapasitas Pembangkit Listrik Sistem Jawa Bali,
Lembaga Penelitian ITS, Surabaya.
Kesimal, A., Bascetin, A., 2002, Application of Fuzzy Multiple Attribute Decision Making in
Mining Operations, Mineral Resources Engineering, 11, pp. 59-72.
Tabucanon, M.T., 1988, Multiple-criteria Decision Making in Industry, Elseiver Science Publishers
b.v.
E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.30
ANALISIS EFEKTIFITAS REMINDING UNTUK MENINGKATKAN KEPUASAN
PELANGGAN (STUDI KASUS PT. TELKOM SEMARANG)
Suwarti, Dwiana Hendrawati
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Kotak Pos 6199SMS, Semarang 50329
Telp.7473417,7499585(Hunting), Fax 7472396 email: suwarti77@yahoo.co.id
Abstrak
Salah satu sektor bisnis pada jasa telekomunikasi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan
pesat adalah industri telekomunikasi.hal tersebut menjadikan persaingandi bidang
telekomunikasi semakin kuat.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa efektifitas
reminding untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.Semua perusahaan mempunyai pelanggan
sebagai sumber penghasilan. Reminding adalah mengingatkan ataupun memberitahukan
kepada pelanggan akan produk atau jasa yang digunakan agar pelanggan tetap loyal,
dengan adanya reminding pelanggan akan tahu hak dan kewajiban yang harus
dilakukan.Kepuasan pelanggan dapat menjadi dasar menuju terwujudnya konsumen yang
loyal. Tujuan perusahaan perlu diukur. apakah efektif atau tidak. Efektifitas bertujuan untuk
menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang diinginkan. Untuk menilai kualitas
jasa pelayanan PT. Telkom Semarang digunakan lima dimensi kualitas jasa yaitu reliability,
responsiveness,assurance, emphaty, tangibles. Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif yaitu dengan penelitian studi kasus.Yaitu didasarkan data deskripsi dari suatu
status,keadaan, sikap,hubungan,atau suatu sistem pemikiran masalah yang menjadi obyek
penelitian. Dengan langkah-langkah mulai dari pengumpulan data,penyusunan dan analisis
data serta interpretasi dari data analisis. Rata-rata efektifitas kepuasan pelanggan dari kelima
dimensi pada PT. Telkom Semarang sebesar 71.115 berada pada rentang nilai skor 68 – 84
dengan kriteria efektif. Dengan demikian efektifitas reminding dalam kategori efektif untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan studi.kasus PT. Telkom Semarang.
Kata kunci: reminding, Telkom, kepuasan .
1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi dan era globalisasi, yang sangat pesat, menyebabkan persaingan
bisnis sangat ketat.Sehingga perlu mobilitas dan efektifitasyang tinggi. Efektifitas merupakan suatu
ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai,baik secara kualitas
maupun waktu.
Semua perusahaan mempunyai customer atau pelanggan sebagai sumber penghasilan
perusahaan.Sehingga pelanggan perlu dibuat loyal kepada produk ataupun jasa yang dipakai.
Selain itu diperlukan data pelanggan yang akurat untuk tetap loyal. Diperlukan tools yang
baik dan user friendly serta dapat diakses multiuser ,karena area pelanggan tersebar disemua titik
pelayanan yang paling cocok adalah berbasis web.
Reminding adalah mengingatkan atau memberitahukan kepada para pelanggan akan
produk atau jasa yang digunakan agar pelanggan tetap loyal..
Tujuan dari penelitian ini,yang merujuk kepada hal yang ada pada rumusan masalah
diatas yaitu: untuk menganalisa efektifitas reminding terhadap kepuasan pelanggan di PT.Telkom
Semarang.
2. LANDASAN TEORI
Reminding
Hal yang sangat mempengaruhi kebutuhan reminding adalah hubungan emosional antara
pelanggandan perusahaan.Reminding dilakukan untuk meningkatkan hubungan antara
perusahaandan pelanggan..Contohnya : PT Telkom memberitahukan kepada pelanggan bahwa
kecepatan speedy sekarang sudah 2 G.Reminding dilakukan karena kebutuhan
perusahaan,contohnya:remindingtunggakan rekening telepon. Makin tinggi hubungan emosional
antara perusahaan dengan pelanggannya ,maka makin rendah tingkat kebutuhan akan reminding.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.31
Ada beberapa macam reminding, diantaranya reminding call,reminding letter,visiting dan
juga bisa lewat iklan.Reminding call adalah pemberitahuan kepada pelanggan tentang beberapa hal
melalui telepon langsung kepada pelanggan,denganreminding call dapat terjadi interaktif antara
penelpon dan pelanggan. Remindingletter ,adalah pemberitahuan kepada pelanggan tentang
beberapa hal melalui surat.
Efektifitas
Pengukuran efektivitas sangat penting dilakukan. Tanpa dilakukannya pengukuran
efektivitas tersebut akan sulit diketahui apakah tujuan perusahaan dapat dicapai atau tidak. Menurut
Cannon, et al (2009) efektivitas bergantung pada sebaik apa medium tersebut sesuai dengan sebuah
strategi pemasaran yaitu, pada tujuan promosi, pasar target yang ingin dijangkau, dana yang
tersedia untuk pengiklanan, serta sifat dari media, termasuk siapa yang akan dijangkau, dengan
frekuensi seberapa sering, dengan dampak apa, dan pada biaya berapa besar. Kemudahan
pemahaman merupakan indikator yang penting dalam efektivitas pesan.Laskey et al (dalam
Indriarto, 2006) menyatakan bahwa efektivitas suatu iklan bergantung pada apakah konsumen
mengingat pesan yang disampaikan, memahami pesan tersebut, terpengaruh oleh pesan dan tentu
saja pada akhirnya membeli produk yang diiklankan.Efektivitas iklan juga dapat diukur dengan
menggunakan Epic model (Bram, 2005).Epic Model mencakup empat dimensi kritis yaitu empati
(empathy), persuasi (persuasion), dampak (impact) dan komunikasi (communications).
Efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang
diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menentukan apakah
entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain yang memberikan hasil yang sama
dengan biaya yang paling rendah.
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya.Apabila
suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan
dengan efektif.Hal terpenting yang perlu dicatat adalah bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang
berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut.Efektifitas hanya melihat
apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengukuran efektifitas (Halim, 2001).
Kriteria efektifitas menurut Kepmendagri No. 690.900-327 tahun 1996 seperti yang dikutip
A.A.N.B. Dwiranda (http//ejournal.unud.ac.id) adalah sebagai berikut:
a. Lebih dari 100% = sangat efektif
b. 90% - 100% = efektif
c. 80% - 90% = cukup efektif
d. 60% - 80% = kurang efektif
e. Kurang dari samadengan 60% = tidak efektif
Kepuasan Pelanggan
Menurut Tse and Wilton (1988: p.207) dinyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan
pelanggan adalah respon pelanggan terhadap ketidakesuaian yang dirasakan antara harapan
sebelumnya dan kinerja aktual layanan setelah memakainya. Bila pelanggan merasa puas maka
akan memberikan dorongan yang besar untuk melakukan pembelian ulang begitu pula sebaliknya.
Spreng, Mackenzie and Olshavsky (1996: p.23) memperluas model Oliver (1993: p.77)
tentang kepuasan, yaitu pernyataan afektif tentang reaksi emosional terhadap pengalaman produk
atau jasa yang dipengaruhi oleh afeksi pelanggan oleh produk - produk tersebut. Shemwell; Yavas
and Bilgin (1998: p.161) secara tegas membedakan antara service quality dan customer
satisfaction, service quality merupakan bagian dari proses kognitif, sedangkan consumer
satisfaction merupakan bagian dari proses afektif. Lebih jauh lagi Shemwell, Yavas dan Bilgin
(1998- P.161) menyatakan bahwa antara service quality dan satisfaction mempunyai keterkaitan
yang erat.
E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.32
Kepuasan pelanggan haruslah menjadi salah satu faktor terpenting dan menjadi muara kecil
dalam segala aktifitas pemasaran pada setiap perusahaan yang berorientasi kepada pasar (Jay
Kandampullly &Dwi Suhartanto, 2000). Pada awal tahun 90-an pengertian kepuasan pelanggan
diartikan sebagai penilaian pelanggan terhadap pengalamannya dan reaksinya pada setiap transaksi
yang dilakukan untuk pembelian produk, jasa dan pelayan , setelah berkembang pada tahun 1995.
Pengertian kepuasan pelanggan adalah menjadi lebih dalam lagi sampai menyentuh secara
keseluruhan dari pengharapan dan pengalaman yang diterimanya (Fornell et al 1996 dalam Line
Lervik Olsen, Feb 2003). Sedangkan Westbrook, Robert A dan Richard L. Oliver, l981 dalam Fuad
Mas'ud, 2004, menjelaskan dalam penelitiannya tentang indikator-indikator yang membentuk
kepuasan pelanggan, yaitu ; tingkat harga yang kompetitif; utilisasi produk, pengalaman yang
positif dalam bidang kepuasan konsumen (Olshavsky dan Spreng, 1989,Westbrook Can
Reilly,1983). Secara ringkas, menyatakan bahwa kepuasan keseluruhan yang ditentukan sebagai
keadaan yang efektif yaitu reaksi emosional terhadap suatu produk atau jasa (Cadotte, Woodrut dan
Jenkins, 1987, Umer 19801 diperigaruhi oleh kepuasan konsumen dengan produk itu sendiri
(attribute satisfaction) dan dengan informasi yang dipergunakan dalam pemilihan produk.
Pelanggan yang loyal belum tentu berarti puas.Sebaliknya pelanggan yang puas cerderung
untuk menjadi pelanggan yang loyal (Fandy Tjiptono, 1997). Menurut Tse and Wilton (1988:
p.207) dinyatakan bahwa kepuasaan atau ketidakpuasaan pelanggan adalah respon pelanggan
terhadap ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk
setelah memakainya. Bila pelanggan merasa puas maka akan memberikan dorongan yang besar
untuk melakukan pembelian ulang begitu pula sebaliknya.
Kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif
yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan (Engel,Blackwell and Miniard, 1993:
p.231). Model dikonfirmasikan harapan yang dikembangkan oleh Oliver (1993 : p.68) menyatakan
bahwa kepuasan keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan, yang merupakan
perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.
Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepuasan dapat
dilihat dari beberapa indikator, yaitu: (1) kepuasan terhadap kemampuan untuk melaksanakan jasa
yang dijanjikan, (2) kepuasan terhadap kemampuan membantu pelanggan, (3) kepuasan terhadap
pengetahuan dan kesopanan, (4) kepuasan terhadap kepedulian pada pelanggan, dan (5) kepuasan
terhadap penampilan fasilitas fisik. Cronin and Taylor (1994: p.130) dalam penelitiannya berhasil
membuktikan bahwa kepuasan pelanggan ditentukan oleh penilaian pelanggan terhadap kualitas
pelayanan yang diberikan.
3. METODE PENELITIAN
Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah pemilihan subset unur-unsur dari kelompok obyek yang lebih besar (Churchill, 2005
: 7). Penentuan ukuran sampel pada penelitian ini adalah menggunakan rumus Yamane ( 1967,
yang dikutip oleh Rakhmat, 2001 : 78) sebagai berikut :
Keterangan :
n = ukuran sampel yang diinginkan
N = jumlah populasi
d = tingkat presisi
Berdasarkan rumus di atas dengan tingkat presisi 5%, maka diperoleh ukuran sampel sebagai
berikut :
)(dN1
Nn
2
Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d= Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan
Sumber: Soekidjo Notoadmodjo (2005;92) Maka,
)(dN1
Nn
2
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.33
7043,71
5,3
250
5,21
250
(0,1)2501
250
)(dN1
Nn
2
2
Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sebanyak
70 responden.
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada data primer yang diperoleh dari hasil kuesioner dengan populasi
masyarakat yang berlangganan produk telkom, seperti telepon rumah, fleksi, speedy dan TV grovia
dan data sekunder yang didapatkan dari studi literatur , pustaka, serta laporan penelitian yang ada
hubungannya dengan penelitian penulis.
Metode Analisis Data
Dengan menggunakan skala likert,untuk keperluan analisis secara kuantitatif, jawaban kuesioner
diberi skor 1-5,untuk
sangat tidak setuju sampai sangat setuju.
Analisa data dilakukan dengan angka-angka dengan menggunakan metoda statistik.Dengan cara
melakukan penyebaran kuesioner kepada para responden.
Pengujian Data Atau Uji Validitas
Cara yang dipakai dalam menguji tingkat validitas adalah dengan variabel internal, yaitu menguji
apakah terdapat kesesuaian antara bagian instrumen secara keseluruhan. Rumus korelasi yang
digunakan adalah yang dikemukakan oleh Person yang dikenal dengan rumus korelasi product
moment (Arikunto Suharsimi, 2002:146) adalah sebagai berikut:
)()(
))((
2222 YYNXXN
yxxyNrxy
Keterangan:
rxy= Koefisien korelasi
N=Jumlah responden
X= Nilai skor butir/ skor tertentu
Y= Nilai skor total
∑X= Jumlah skor item
∑Y= Jumlah skor total
∑X2= Jumlah skor kuadrat nilai X
∑Y2= Jumlah skor kuadrat nilai Y
Kesesuaianrxy diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus di atas
dikonsultasikan dengan tabel harga regresi moment dengan korelasi harga rxy< dari rtabel maka butir
instrument tersebut tidak valid.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepuasan Pelanggan Secara Umum
Penilaian ini dilakukan terhadap seluruh dimensi kepuasan sebanyak 70 sampel pelanggan
yaitu dimensi tangible, reability, responsiviness, assurance, emphaty. Hasil perhitungan dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.34
Tabel 3.1. Tanggapan Responden mengenai Kepuasan Pelanggan
No. Atribut Pelayanan Jumlah Indeks
1 Dimensi Tangible 446.25 74.38
2 Dimensi Relability 344.75 68.95
3 Dimensi Responsiviness 352.75 70.55
4 Dimensi Assurance 358.50 71.70
5 Dimensi Empaty 350.00 70.00
Jumlah 1852.25 355.575
Rata-rata 370.45 71.115
Berdasarkan pada tabel di atas rata-rata efektifitas kepuasan pelanggan pada PT Telkom
Semarang sebesar 71.115 berada pada rentang nilai skor 68 – 84 dengan kriteria efektif. Dalam hal
ini efektifitas reminding dalam kategori efektif dalam meningkatkan kepuasan pelanggan
studikasus PT. Telkom Semarang. Secara grafik dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Gambar 3.1 Efektifitas Kepuasan Pelanggan studi kasus PT Telkom
5. KESIMPULAN
Berdasarkan atas hasil penelitian yang diuraikan diatas maka dapat diperoleh kesimpulan
bahwa efektifitas reminding dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dalam kategori efektif pada
study kasus PT Telkom Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Barata A.A. (2003). Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Engel, James F, Roger D. Blackwell and Paul W. Miniard, 1993.Consumer Behavior 6 th edition,
New York, Dryden Press.
Ellitan, Lena. 1999. Membangun Loyalitas Melalui Costumer Satisfaction dan Customer Oriented,
Kompak
Fandi Tjiptono, Strategi Pemasaran, Penerbit Andi Yogyakarta, 1999
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.35
PERANCANGAN KINERJA SUPPLY CHAIN PADI PASCA PANEN
Mila Faila Sufa
Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Telp (0271) 717417 Surakarta 57102 Email : mfsisonline@gmail.com
Abstrak
Pangan mempunyai arti yang sangat penting sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus
dipenuhi karena itu, pangan menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional.
Apabila ketersedaiaan pangan suatu bangsa tidak mencukupi dibandingkan kebutuhannya
maka dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi bangsa tersebut, selain itu berbagai gejolak
sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Di Indonesia pangan
diidentikkan dengan beras, karena beras merupakan makanan utama bangsa Indonesia pada
umumnya. Pemerintah Indonesia berupaya untuk menjaga ketersediaan beras sepanjang
tahun, dengan mendistribusikan beras secara merata dan menjaga harga beras agar tetap
stabil serta meningkatkan produksi dalam negeri (swasembada pangan).
Upaya pemerintah tersebut menjadi semakin kompleks mengingat pertambahan penduduk
Indonesia yang semakin besar dan tersebar di berbagai geografis serta memiliki keadaan
ekonomi yang bervariasi. Manajemen Rantai pasok beras perlu dilakukan, agar persediaan
beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negri. Penanganan pasca panen dan
manajemen rantai pasok perlu diperbaiki agar masyarakat memenuhi kebutuhan pangan
dengan harga relatif stabil. Jika persediaan beras terlalu sedikit maka kebutuhan masyarakat
tidak dapat dipenuhi yang dapat menimbulkan krisis pangan namun jika persediaan terlalu
besar, mengakibatkan pertambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh instansi berupa biaya
penyimpanan dan perawatan beras yang tidak tersalurkan, beban bunga bank, opportunity
loss dan kerusakan. Salah satu permasalahan pokok pada rantai pasok beras adalah masalah
distribusi yang diakibatkan oleh sulitnya akses informasi ketersediaan beras. Hal ini
menimbulkan masalah dalam distribusi padi berupa penumpukan beras maupun kekosongan
persediaan beras pada gudang yang lain. Jika hal seperti ini terus menerus terjadi, maka
dapat menimbulkan kerugian baik terhadap petani, konsumen dan semua pihak yang terlibat
dalam sistem rantai pasok beras. Fokus penelitian ini adalah merancang kerangka pengukuran
kinerja dalam supply chain beras yang didalamnya terlibat beberapa stakeholder antara lain
kelompok tani, pedagang dan konsumen. Sehingga dari rancangan ukuran kinerja ini nantinya
dapat diketahui seberapa baik kinerja elemen-elemen dalam supply chain padi dan dapat
ditingkatkan efektivitasnya untuk meningkatkan kepuasan stakeholder.
Key words : padi, supply chain, kinerja, customer, efektivitas
PENDAHULUAN
Pengelolaan supply chain tidaklah mudah karena melibatkan banyak pihak dari dalam
maupun dari luar perusahaan, selain itu kondisi yang tidak pasti dalam seluruh supply chain dan
semakin ketatnya kompetisi di pasar semakin menambah kompleksitas dalam manajemen supply
chain. Ketidakpastian dalam supply chain meliputi ketidakpastian permintaan dari konsumen dan
ketidakpastian suplai dari pemasok berupa lead time pengiriman, harga bahan baku dan resiko
kualitas yang buruk akibat proses dan cara pengiriman. Persediaan di sepanjang mata rantai
memiliki implikasi yang besar terhadap kondisi financial suatu perusahaan, hal ini ndikarenakan
persediaan merupakan asset terpenting dalam suatu supply chain sehingga keuangan perusahaan
banyak terserap di persediaan dalam berbagai bentuk dan fungsi. Tugas dari supply chain adalah
membentuk aliran material dan informasi yang tepat dalam arti tidak terlalu awal dan tidak
terlambat kedatangannya dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Beras sebagai makanan pokok
sebagian besar penduduk Indonesia merupakan komoditi agrobisnis yang vital. Pengelolaan
ketersediaan beras dapat didekati dengan pendekatan supply chain. Pemerintah berupaya untuk
menjaga ketersediaan beras dengan cara mengatur distribusi beras secara merata agar harga beras
tetap stabil dan meningkatkan produksi dalam negeri . Pertambahan penduduk Indonesia yang
semakin besar dan tersebar di berbagai geografis serta memiliki keadaan ekonomi yang bervariasi
menambah kompleksnya masalah distribusi beras. Manajemen supply chain beras perlu dilakukan
E.7. Perancangan kinerja supply chain padi pasca panen (Mila F. Sufa)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.36
agar persediaan beras yang ada dapat memenuhi kebutuhan dalam negri. Pengadaan dan persediaan
beras ini perlu dipantau untuk menjamin ketahananpangan Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian tentang Supply Chain Management (SCM) telah banyak dilakukan, hal
ini mengingat pendekatan dalam SCM banyak digunakan dalam mencapai keuntungan kompetitif
dengan pertimbangan yang strategis. Tzafetas dan Kapsiotis (1994) menggunakan pendekatan
deterministik programn matematika untuk mengoptimalkan supply chain yang dilanjutkan denganh
teknik simulasi untuk menganalisa hasil numeric dari model optimisasi. Penelitian ini
menghasilkan tiga skenario yang berbeda yaitu :
1. Manufacturing Facility Optimization : objektif atau tujuan yang akan dicapai pada scenario ini
adalah minimasi total cost pada fasilitas produksi saja, biaya yang timbul selain dari fasilitas
produksi diabaikan.
2. Global Supply Chain Optimization : scenario ini mengasumsikan hubungan kerjasama pada
seluruh stage dalam supply chain dan tujuan yang akan dicapai adalah minimasi biaya
operasional seluruh chain dalam supply chain.
3. Decentralized Optimization : scenario ini bertujuan mengoptimalkan seluruh individu sekaligus
meminimalkan biaya pada tiap level dalam supply chain
Gambar 1. Proses Supply Chain
Secara umum kegiatan-kegiatan yang terkait dalam supply chain management terbagi
dalam empat tahap yaitu :
1. Kegiatan mendapatkan bahan baku (procurement)
2. Kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning and control)
3. Kegiatan melakukan produksi (manufacturing)
4. Kegiatan melakukan pengiriman/distribusi (distribution)
Komponen yang penting dalam desain dan analisa supply chain adalah penyusunan ukuran
kinerja. Sekelompok indicator kinerja adalah seperangkat alat ukur yang digunakan untuk
menentukan efisiensi atau efektifitas dari sebuah system yang ada, atau alat untuk membandingkan
beberapa alternatif system untuk mendapatkan yang terbaik. Indikator kinerja juga digunakan untuk
mendesain system dengan menentukan nilai dari variable keputusan yang menghasilkan level
kinerja yang diinginkan. Beberapa indicator kinerja yang telah diidentifikasi dari literatur terkait
dikelompokkan menjadi indikator kinerja kualitatif dan indikator kinerja kuantitatif.
1. Indikator kinerja kualitatif
Customer Satisfaction : derajat kepuasan konsumen terhadap produk atau servis yang
diterima, baik konsumen internal atau konsumen eksternal.
Flexibility: kemampuan supply chain merespon pola permintaan yang berfluktuasi
Information and Material Flow Integration : integrasi terpadu dari aliran informasi dan
aliran material dalam supply chain
Effective Risk Management : meminimalkan potensi terjadinya resiko pada tiap level
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.37
Supplier Performance : terkait konsistensi supplier dalam menyuplai bahan baku pada
kondisi tepat waktu dan kondisi kualitas yang baik
2. Indikator kinerja kuantitatif
Indikator kinerja berbasis biaya, misalnya : cost minimization, sales maximization, profit
maximization, inventory investment minimization, return on investment maximization
Indikator kinerja berbasis customer responsiveness, misalnya : fill rate maximization,
product lateness minimization, customer response time minimization, lead time
minimization, function duplication minimization.
Beberapa rancangan indikator diatas dapat dikatakan berhasil jika sudah diterapkan dan
dipantau dalam pelaksanaannya, sedangkan ukuran keberhasilan dari manajemen supply chain pada
suatu organisasi adalah :
1. Meningkatkan profit
2. Menggurangi biaya
3. Memperpendek waktu pengiriman
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, hal ini dapat mempengaruhi ketahanan
pangan, ketidakstabilan politik dan dapat merambah masalah kesehatan. Beras sebagai bahan
pangan sebagian penduduk Indonesia dan merupakan salah satu komoditi agrobisnis hendaknya
dikelola dengan pendekatan supply chain untuk menjaga kesinambungan pasokan dan harga beras
di pasar. Agrobisnis merupakan komoditi yang unik dalam pengelolaannya karena sifatnya yang
mudah rusak yang dipengaruhi beberapa faktor yaitu persediaan dan pengangkutan, lamanya waktu
simpan, cuaca dan suhu. Ketersediaan beras juga terpengaruh oleh pengelolaan sumberdaya alam,
konservasi tanah dan air dan teknologi penanaman dan pengolahan beras, sistem produksi dan
pemasaran, struktur pasar yang bervariasi dan integrasi vertikal dan koordinasi vertical serta
agroindustrialisasi.
Persediaan Beras di
Sentra ProduksiDistribusi Beras ke
Pasar CipinangDistribusi Beras antar
Daerah Jawa Barat
+
-
+
-
Persediaan Beras di
Pasar Cipinang
+
Harga Beras di
Pasar Cipinang
-
Harga Beras di
Sentra Produksi
+
Produksi Gabah di
Sentra
+
Produksi Beras di
Sentra Produksi
++
+
-
Konsumsi Beras
Petani di Sentra-
Konsumsi Beras
Penduduk Jawa Barat
+
Ketersediaan Beras
di Jawa Barat
-
Persediaan Beras di
Jawa Barat
+
+
Populasi Penduduk
Jawa Barat
+
Tingkat Kelahiran di
Jawa Barat
+
-
Gambar 2. Contoh Close Loop system supply chain beras
PEMBAHASAN
Perubahan nilai dari komoditas padi pascapanen menjadi beras dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Gabah kering panen adalah hasil akhir dari produksi pertanian padi yang menjadi bahan
baku utama.
E.7. Perancangan kinerja supply chain padi pasca panen (Mila F. Sufa)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.38
2. Gabah kering giling adalah bahan awal dari hasil olahan petani yang akan dimasukkan
dalam system penggilingan padi
3. Sekam adalah scrap atau sisa dari mesin pemecah padi pada penggilingan padi
4. Beras PK adalah output dari mesin pemecah kulit padi dan akan diolah ke proses berikut,
akan tetapi bukan merupakan komoditi bisnis.
5. Dedak atau bekatul adalah limbah dari mesin slyp industri dan merupakan komoditas bisnis
level kedua dari industri beras pascapanen.
6. Beras campur adalah output dari mesin slyp yang diolah ke proses berikutnya dan bukan
komoditas bisnis.
7. Beras rusak adalah scrap dari mesin pengayak pada system pengolahan padi dan
merupakan komoditas level ketiga dari industri padi pascapanen.
8. Beras baik adalah hasil dari mesin pengayak padi dan merupakan komoditas utama dari
system penggilingan padi.
Gambar 3. Value chain industri beras
Ukuran kinerja manajemen supply chain yang dapat diterapkan dalam industri padi pasca
panen :
1. On Time Delivery : prosentase order yang dapat terkirim sesuai dengan waktu yang telah
disepakati dengan Customer dibagi dengan total order yang diterima. Sedangkan order
yang hanya dapat dipenuhi sebagian maupun tidak tepat waktu adalah sisa
2. Customer Satisfaction & Loyalty : kepuasan Customer akan layanan, barang yang diterima
serta kesetiaannya untuk tetap berada dalam system yang ada
3. Business Cycle Time : jumlah hari barang di dalam sistem inventori sampai pengiriman
hingga jumlah hari sampai dengan pembayaran dari konsumen
4. Cost : delivery cost sampai konsumen dan cost efisiensi = (Value Added . Total cost of
adding the value) atau (Sales - Cost of Material) . (Labor Cost + Overhead)
Untuk menunjang proses aliran material dan aliran informasi yang terintegrasi dalam
supply chain industri beras pasca panen dapat memanfaatkan teknologi informasi sebagai
infrastruktur pendukung, diantaranya :
1. Pemanfaatan teknologi Internet, Web Application, Web Service
2. Pemanfaatan teknologi Mobile Network, GPRS, 3G
3. Pemanfaatan teknologi GPS
4. Penggunaan teknologi SQL, PHP sebagai application builder dan database enginee.
Di dalam manajemen supply chain beras melibatkan berbagai pihak didalamnya,
kesemuanya saling terkait dan mempunyai peran yang penting dalam supply chain beras. Pihak-
pihak yang terlibat (Stake holder) dalam manajemen supply chain padi pasca panen adalah :
1. Masyarakat (sebagai Customer 1)
2. Pengecer Beras/Outlet Beras/Koperasi Serba Usaha (sebagai Customer 2)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.39
3. Pedagang Besar Beras/ Dolog (Bulog) (sebagai Customer 3)
4. Perusahaan Penggilingan Padi (sebagai Supplier 1)
5. Kelompok Pengusaha/Koperasi Penggilingan Padi (Sebagai Supplier 2)
6. Koperasi Serba Usaha/BMT/Bank (sebagai Support System 1)
7. Warehouse Management System (WMS) (sebagai Support System 2)
8. Transportation Management System (TMS) (sebagai Support System 3)
9. Enterprise Resource Planning (ERP) (sebagai Support System 3)
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari paper ini adalah pemilihan indikator kinerja
pada supply chain padi pasca panen masih dapat diperinci untuk tiap komoditas dan dapat
dirancang lebih spesifik untuk masing-masing stakeholder, sedangkan pemilihan teknologi
informasi untuk efisiensi aliran informasi dalam bidang mobile network connection adalah yang
mempunyai karakteristik dapat menjangkau pedesaan, murah, dan mudah digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Beamon, Benita M. (1998),”Supply Chain Design and Analysis : Models and Method”,
International Journal of Production Economics Vol.55 No.3 pp 281- 294
Khaled Sheikh (2004), Manufacturing Resource Planning (MRP II) with introduction to ERP,
SCM, and CRM. Mc.Graw Hill
Tzafestas, Spyros and George Kapsiotis (1994),” Coordinated Control of Manufacturing/Supply
Chains Using Multi-Level Techniques, Computer Integrated Manufacturing Systems
Wiyono, DS dan Sutopo, W (2009),”Perancangan Model Distribusi Komoditas Padi Pasca Panen
Berbasis Supply Chain Management”, Jurnal Teknik Industri Undip Vol IV No.2 Mei 2009
http://mediabelajarkoe.wordpress.com/2008/10 diakses 29 April 2012 jam 21.19
http://mediabelajarkoe.files.wordpress.com/2009/01/kapsel-3-wp.doc diakses 26 Mei 2012 jam
9.15
E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.40
PENGARUH FAKTOR WUJUD, KEANDALAN, KETANGGAPAN, JAMINAN
DAN EMPATI TERHADAP KEPUASAN PRAKTIKAN DI LABORATORIUM
DISTRIBUSI ENERGI POLITEKNIK NEGERI SEMARANG
Teguh Harijono Mulud(*1)
, Indung Sudarso(2)
(1)
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang,
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang (2)
Jurusan Teknik Industri ITATS Surabaya.
Jl. AR Hakim 100, Surabaya *E-mail: teguh_hm@yahoo.co.id
Abstrak
Kebijaksanaan Politeknik Negeri Semarang yang berkaitan langsung dengan upaya
peningkatan kualitas layanan terhadap praktikan di Laboratorium Disitrbusi Energi adalah
dengan mengaplikasikan lima faktor yang meliputi, (1) faktor wujud (tangible), (2) keandalan
(reliability), (3) ketanggapan (responsivenes), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati
(emphaty). Diharapkan dengan melaksanakan kelima faktor tersebut, praktikan benar-benar
memperoleh kepuasan selama praktik di lab. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan tingkat kepuasan praktikan, sehubungan dengan adanya keluhan
praktikan seperti belum terpenuhi kualitas dan kontinuitas praktik sesuai dengan target yang
diharapkan, peralatan praktik yang sudah aus, biaya praktik yang mahal, dan penanganan
keluhan praktikan dirasakan lambat. Uji anlisis dengan regresi linier berganda membutkikan
bahwa ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible), Keandalan (reliability) , Ketanggapan
(responsivenes), keyakinan (assurance), empati (emphaty) terhadap Kepuasan paktikan di lab
distribusi energi.
Kata kunci: kualitas pelayanan, kepuasan praktikan
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan Politeknik Negeri Semarang yang berkaitan langsung dengan upaya
peningkatan kualitas layanan terhadap praktikan di Laboratorium Disitrbusi Energi adalah dengan
mengaplikasikan reset Parasuraman, Leonard, Zeithaml dan Berry pada tahun 1991 (Mas’ud,
2004:431) pada lima faktor yang meliputi, (1) faktor wujud (tangible), (2) keandalan (reliability),
(3) ketanggapan (responsivenes), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati (emphaty). Diharapkan
dengan melaksanakan kelima faktor tersebut, praktikan benar-benar memperoleh kepuasan selama
praktik di lab. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tingkat
kepuasan praktikan, sehubungan dengan adanya keluhan praktikan seperti belum terpenuhi kualitas
dan kontinuitas praktik sesuai dengan target yang diharapkan, peralatan praktik yang sudah aus,
biaya praktik yang mahal, dan penanganan keluhan praktikan dirasakan lambat.
Fenomena ketidakpuasan praktikan di laboratorium distribusi energi antara lain: (1)
bertambahnya jumlah kelas menyebabkan jumlah jam mengajar/ beban dosen bertambah, beban
kerja yang tinggi menyebabkan kualitas mengajar turun, tidak disiplin dalam mengajar dan stamina
menurun, (2) bertambahnya jumlah kelas, frekuensi peralatan di laboratorium bertambah tinggi
sehingga dapat menyebabkan kondisi dan fungsi perabotan menurun yang tampak dari seringnya
kegagalan dalam pemakaian/ percobaan, dari banyaknya peralatan yang kurang berfungsi
mengganggu jalannya praktikum, (3) jumlah staf teknik tidak sebanding dengan jumlah kelas, jam
praktikan dengan waktu bersamaan berakibat pelayanan tidak optimal, (4) usia peralatan yang
sudah tua, (5) anggaran untuk perawatan dan perbaikan yang minim menyebabkan peralatan yang
rusak tidak dapat segera diperbaiki.
Dalam kaitannya dengan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan,
dalam hal praktikan, disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
relatif dapat dikendalikan Polines, misalnya instruktor, jam karet, kesalahan prosedur penggunaan
lab. Sebaliknya, faktor eksternal yang di luar kendali Polines, seperti cuaca, gangguan pada
infrastruktur umum, aktivitas kriminal, dan masalah pribadi praktikan. Dalam hal terjadi
ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan praktikan, yaitu (1) tidak
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.41
melakukan apa-apa, praktikan yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi mereka praktis
tidak akan banyak mengambil manfaat dari kegiatan praktik di lab; (2) melakukan komplain, dan
hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang praktikan yang tidak puas akan
melakukan komplain atau tidak, yaitu (a) derajat kepentingan praktik yang dilakukan, (b) tingkat
ketidakpuasan praktikan, (c) manfaat yang diperoleh, (d) pengetahuan dan pengalaman, (e) sikap
praktikan terhadap keluhan, (f) tingkat kesulitan dalam melakukan praktik, (g) peluang
keberhasilan dalam melakukan praktik.
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh faktor wujud, keandalan ,
ketanggapan , jaminan dan empati terhadap kepuasan praktikan. Secara rinci masalah dalam
penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Seberapa besar pengaruh faktor wujud (tangible) terhadap kepuasan praktikan di laboratorium
distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?
2) Seberapa besar pengaruh faktor keandalan (reliability) terhadap kepuasan praktikan di
laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?
3) Seberapa besar pengaruh faktor tanggapan (responsivenes) terhadap kepuasan praktikan di
laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?
4) Seberapa besar pengaruh faktor keyakinan (assurance) terhadap kepuasan praktikan di
laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?
5) Seberapa besar pengaruh faktor empati (emphaty) terhadap kepuasan praktikan di
laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?
6) Seberapa besar pengaruh faktor wujud (tangible), keandalan (reliability),
ketanggapan(responsivenes), keyakinan (assurance)dan empati (emphaty), secara bersama-
sama terhadap kepuasan praktikan di laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri
Semarang?
METODE PENELITIAN
Mulai
Penentuan objek penelitian
Selesai
IDENTIFIKASI MASALAH 1. Masalah kualitas pelayanan 2. Masalah kepuasaan praktikan di lab Energi
Menghitung tingkat kualitas pelayanan
Menghitung tingkat kepuasan praktikan
Analisis regresi
E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.42
Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan ex post facto. Lokasi penelitian di Politeknik
Negeri Semarang. Satuan pengamatan yang akan diteliti adalah para mahasiswa praktikan di
Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah
mahasiswa praktikan Politeknik Negeri Semarang. Besar populasi dalam penelitian ini adalah 160
orang mahasiswa terdiri atas 8 kelas (20 mahasiswa per kelas) dengan sampel 113 orang.
Dalam penelitian ini terdapat lima variable bebas dan satu variable terikat. Sebagai variable
bebas merupakan unsur kualitas pelayanan yaitu:
1. wujud (tangibel),
2. keandalan (reliability),
3. daya tanggap (responsiveness),
4. jaminan (assurance),
5. empati (empathy).
Adapun sebagai variable terikat yaitu kepuasan praktikan di laboratorium distribusi energi
Politeknik Negeri Semarang (Y)
1 Kualitas Pelayanan
Parasuraman, (1985;1988) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan sebagai
pertimbangan global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu
pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas pelayanan adalah sama dengan sikap individu
secara umum terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa penilaian
kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan.
Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap (perception-
expectation gap) dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL. Dari penelitian ini, penilaian
kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangibility, reliability,
responsiveness, assurance dan emphaty.
a. Wujud (tangibel), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap kemampuan
instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang yang
berkaitan dengan peralatan yang digunakan, fasilitas fisik di perusahaan, penampilan
karyawan yang bersih dan menarik, dan bahan-bahan yang berkaitan dengan layanan.
b. Keandalan (reliability), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap
kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri
Semarang yang berkaitan dengan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan,
senang hati dalam menyelesaikan masalah, memberikan layanan yang benar sejak pertama
kali, layanan tepat waktu, berusaha menghindari kesalahan.
c. Daya tanggap (responsiveness), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden)
terhadap kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik
Negeri Semarang yang berkaitan dengan pemberitahuan yang tepat ketika dibutuhkan,
pelayanan yang cepat, pemberian bantuan kepada mahasiswa praktikan, dan tidak merasa
terlalu sibuk untuk menanggapi mahasiswa praktikan.
d. Jaminan (Assurance), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap
kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri
Semarang yang berkaitan dengan upaya meyakinkan para praktikan, rasa aman dalam
melakukan praktik, bersikap ramah kepada pelanggan, dan mempunyai pengetahuan untuk
melaksanakan pekerjaan dengan baik.
e. Empati (empathy), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap
kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri
Semarang yang berkaitan dengan perhatian secara individu kepada praktikan, mempunyai
jam kerja yang menyenangkan kepada semua praktikan, memberi perhatian kepada praktikan
secara pribadi, mengutamakan kepentingan praktikan, dan memahami kebutuhan khusus
para penggunanya.
2 Kepuasan pelanggan
Kepuasan konsumen adalah perasaan seseorang yang puas atau sebaliknya setelah
membandingkan antara kenyataan dan harapan yang diterima dari sebuah produk atau jasa (Kotler
2000:36). Indikator kepuasan praktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan kualitas pelayanan di
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.43
Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang kepada praktikan yaitu: (a) derajat
kepentingan yang dilakukan, (b) tingkat ketidakpuasan praktik, (c) manfaat yang diperoleh, (d)
pengetahuan dan pengalaman, (e) sikap praktikan terhadap keluhan, (f) tingkat kesulitan dalam
melakukan praktik, (g) peluang dalam melakukan komplain.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode:
dokumentasi dan angket.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda tiga
prediktor dengan rumus sebagai berikut.
Y = a + X1 + X2 + X3 + X4 + X5
Keterangan:
Y = kepuasan paktikan di lab distribusi energi
a = nilai konstanta
= koefesien regresi
X1 = wujud (tangible)
X2 = keandalan (reliability)
X3 = ketanggapan (responsivenes)
X4 = keyakinan (assurance)
X5 = empati (emphaty)
Menilai Goodness of Fit Model Regresi
Goodness of Fit dilakukan untuk mengukur ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir
nilai actual. Secara statistik, setidaknya dapat diukur dari nilai koefisien determinasi, nilai statistik
F dan nilai statistik t.
1) Koefesien determinasi
Koefesien determinasi atau r square digunakan untuk mengetahui besarnya variabel bebas dalam
mempengaruhi variabel terikat. Nilai koefesien determinasi adalah antara nol hingga satu. Nilai R2
yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat sangat
kecil. Nilai yang mendekat satu, bearti variabel-variabel bebas memberikan hampir semua
informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan variasi variabel terikat (Ghozali, 2005).
2) Uji Signifikansi Simultan (Uji statistik F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/
terikat.
3) Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji statistik t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/
independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dijelaskan pada bab IV, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible) (X1), Keandalan (reliability) (X2),
Ketanggapan (responsivenes) (X3), keyakinan (assurance) (X4), empati (emphaty) (X5)
terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y) secara simultan. Hal ini berdasarkan
uji ANOVA atau F test, F hitung (18,669) > F table (2,305). Kesimpulannya adalah Ho ditolak
dan Ha diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan kelima variabel bebas secara bersama-
sama terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi .
2. Tidak ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible) (X1) yang berupa: peralatan yang
digunakan, fasilitas fisik di perusahaan, penampilan karyawan yang bersih dan menarik,
bahan-bahan yang berkaitan dengan layanan terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi
energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (1,185) < t table (1,98).
3. Tidak ada pengaruh yang signifikan Keandalan (reliability) (X2) yang berupa: pelayanan
yang segera dan memuaskan, senang hati dalam menyelesaikan masalah, pelayanan yang
benar sejak awal, layanan tepat waktu, menghindari kesalahan terhadap Kepuasan paktikan di
lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (0,550) < t table (1,98).
4. Ada pengaruh yang signifikan Ketanggapan (responsivenes) (X3) yang berupa:
pemberitahuan yang tepat ketika dibutuhkan, pelayanan yang cepat, pemberian bantuan
E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.44
kepada pelanggan, tidak merasa terlalu sibuk untuk menanggapi praktikan terhadap Kepuasan
paktikan di lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (-2,761) > t
table (-1,98).
5. Ada pengaruh yang signifikan Keyakinan (assurance) (X4) yang berupa: meyakinkan para
praktikan, merasa aman melakukan praktik, ramah kepada praktikan, mempunyai pengetahuan
melaksanakan pekerjaan dengan baik terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y).
Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (3,300) > t table (1,98).
6. Ada pengaruh yang signifikan Empati (emphaty) (X5) yang berupa: perhatian kepada
praktikan, jam kerja yang menyenangkan kepada semua praktikan, perhatian kepada praktikan
secara pribadi, mengutamakan kepentingan praktikan, memahami kebutuhan khusus para
penggunanya terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan
perbandingan t hitung (3,239) > t table (1,98).
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible),
Keandalan (reliability) , Ketanggapan (responsivenes), keyakinan (assurance), empati (emphaty)
terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi
DAFTAR PUSTAKA
Hope dan Muhlemann. 1997. Service operation Management: Strategy, Design and Delivery.
Printice Hall.
Khoiriyah, Siti. 2001. Pelatihan: Upaya Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi. GEMA STIKUBANK Vol. 33, No. 4,
Agustus 2001:19-36
Kotler Philip.2003. Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas. Jakarta. PT. Prenhallindo.
Moh Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Palilati, Alida. 2007. Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap Loyalitas Nasabah
Tabungan Perbankan Di Sulawesi Selatan. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.
9, No. 1, Maret 2007: 73-81
Parasuraman, A., Zeithalm, V., dan Berry L., 1988. SERVQUAL: A Multiple item Scale for
Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retaliling.
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Jakarta: Tarsito.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta.
Suharsimi Arikunto.1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar.
Jakarta : PT Renika Cipta.
Supranto, J. 1997, Mei. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan termasuk Analisis Tingkat
Kepentingan dan Kinerja. Usahawan..
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Tjiptono Fandy. 2000. Prinsip- Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta : Andi.
Tjiptono, Fandi dan Anastasia Diana, 2001, Total Quality Management, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Vincent Gaspersz. 2006. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.45
USULAN PERBAIKAN PROSES PRODUKSI BERDASARKAN
PENDEKATAN SISTEM HACCP (HAZARD ANALISYS CRITICAL CONTROL POINT)
(STUDI KASUS PEMBUATAN KUE KROKET DI TOKO ROTI DAN KUE ”RAPI”
SEMARANG)
Novi Marlyana*)
, Wiwiek Fatmawati, Nur Amalina
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri UNISSULA
Jl.Raya Kaligawe Km 4 Semarang *)
E-mail: novi.unissula@gmail.com
Abstrak
Toko Roti dan Kue “RAPI” merupakan salah satu industri rumah tangga yang bergerak
dibidang makanan. Produksinya meliputi berbagai jenis kue dan roti. Untuk menjamin
keamanan atau higienitas produk makanannya Toko Roti dan Kue “RAPI” ini telah
mengantongi Surat Ijin DEPKES RI No. 315/11.04/94. Perbaikan proses dengan menggunakan
sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) ini diharapkan dapat melengkapi
standar yang ada dan dapat diaplikasikan kedalam sistem manajemen mutu sehingga
mendapatkan jaminan keamanan makanan yang sesuai dengan standar nasional maupun
internasional. Penerapan HACCP mengedepankan upaya preventive atau pencegahan,
dilakukan dengan jalan memperketat pengontrolan setiap tahapan titik kritis pada proses
pengadaan pangan hingga pangan dinyatakan aman dan terbebas dari kontaminan. Dalam
proses pembuatan kue kroket di Toko Kue dan Roti ”RAPI” ini ditemukan beberapa bahaya
(hazard) yang terjadi. Dengan penerapan HACCP akan menghasilkan produk kue kroket yang
memenuhi standar jaminan keamanan pangan.
Kata kunci : keamanan pangan, kue kroket, mutu, sistem HACCP
PENDAHULUAN Penerapan higienitas dalam industri makanan dan minuman sudah mulai banyak disadari
oleh para pelaku industri makanan dan minuman. Higiene adalah kondisi dan perlakuan yang
diperlukan untuk menjamin keamanan pangan di semua tahap rantai makanan (BPOM, 2003).
Toko Roti dan Kue “RAPI” merupakan salah satu toko roti dan kue yang ada di Semarang,
tepatnya berada di Jl. Kauman No.66 ini turut menunjukkan antusiasnya terhadap penyediaan
produk makanan yang terjamin dari segi higienitasnya. Toko Roti dan Kue “RAPI” ini berdiri sejak
tahun 1991 dengan pemiliknya adalah Ibu Fathiyah. Proses produksi dengan usulan sistem
pendekatan HACCP ini mengusulkan perbaikan pada proses pembuatan kue kroket di Toko Roti
dan Kue “RAPI”.
HACCP adalah kepanjangan dari Hazard Analysis and Critical Control Point (Analisa
Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis), mempunyai pengertian bahwa HACCP merupakan sistem
manajemen keamanan pangan atau sebuah upaya untuk mengelola pangan dengan jalan
mengurangi resiko kontaminasi mulai dari bahan baku, proses produksi hingga penyajian agar
produk aman dikonsumsi. Adanya pengertian tersebut maka dapat memberikan gambaran bahwa
penerapan HACCP itu mengedepankan upaya preventive atau pencegahan, dilakukan dengan jalan
memperketat pengontrolan setiap tahapan titik kritis pada proses pengadaan pangan hingga pangan
dinyatakan aman dan terbebas dari kontaminan.
Konsep HACCP
Konsep HACCP menurut CAC (Codex Alimentarius Commission) terdiri dari 12 langkah,
dimana 7 prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan
sistem HACCP menurut CAC ( Gambar 1). Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi CAC
tersebut dan menuangkannya dalam acuan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik-Titik Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN
1004/1999. Sistem yang penerapannya masih bersifat sukarela ini telah digunakan pula oleh
Departemen Pertanian RI dalam menyusun Pedoman Umun Penyusunan Rencana Kerja Jaminan
Mutu Berdasarkan HACCP atau Pedoman Mutu Nomor 5.
E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.46
Gambar 1. Konsep dasar HACCP (Sumber: Badan Standar Nasional, 1998).
Langkah-langkah Penerapan HACCP
Langkah – langkah analisa proses produksi dengan menggunakan sistem analisa bahaya
dan kendali titik kritis adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan tim HACCP
Langkah pertama dalam usulan perbaikan dengan pendekatan sistem HACCP adalah
pembentukan tim HACCP. Dalam kasus ini bahwa tim HACCP belum bisa terbentuk, karena
dalam pembentukan tim HACCP ini harus membuat tim yang paham atau mengerti tentang
sistem HACCP sedangkan di Toko “RAPI” ini belum ada yang paham dan mengerti tentang
sistem ini. Tapi sebagai usulan dalam penelitian ini maka sebagai pemilik toko itu sendiri atau
perwakilan salah satu orang yang dipercaya dalam proses pembuatan ini dapat mengikuti
pelatihan-pelatihan HACCP yang ada.
2. Diskripsi produk dan Identifikasi Pengguna yang dituju
Pendeskripsian produk kue kroket ini dengan cara mengisi form-form yang sudah disiapkan
dan diisi sesuai dengan keterangan dari pemilik toko Rapi tersebut atau orang yang dipercaya
sebagai pengontrol dan pengawas dalam proses pembuatan kue atau roti (lihat Gambar 2).
3. Menyusun Diagram Alir Proses dan verifikasi Diagram Alir
Untuk mengetahui diagram alir proses dengan cara wawancara langsung dengan pembut kue
kroket yaitu pemilik toko agar dapat mengetahui proses awal sampai akhir pembuatan kue
kroket dan dapat mamverifikasinya. Diagram alir dibuat berdasarkan tiap proses yang ada
sesuai diagram aliran proses pembuatan kue kroket.
4. Identifikasi dan Analisa Bahaya
Untuk menganalisa bahaya diamati tiap proses dari mulai proses persiapan hingga sampai
ketangan konsumen. Dari diagram alir diatas maka langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi dan menganalisa bahaya. Analisa bahaya diurutkan berdasarkan proses
produksi yang ada dalam diagram alir, bentuk analisa bahaya dapat dilihat pada Tabel 1.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.47
Gambar 2. Form Deskripsi Produk
Form : Deskripsi Produk Produk : Kue Kroket Pertanyaan – pertanyaan berikut ini perlu dijawab untuk mengembangkan diskripsi produk : 1. Apa nama umum dari produk yang ingin diteliti? Jawab : Kue kroket. 2. Berapa ukuran dan bentuk produk tersebut? Jawab : Kue ini berbentuk elips biasanya berdiameter 2-3
cm dan panjang sekitar 7 cm. 3. Bagaimana cara mengkonsumsi produk ini? Jawab : Produk ini siap untuk dikonsumsi dalm keadaan suhu
normal. 4. Bagaimana bentuk dan tipe pengemasan produk ini? Jawab : Kemasan kue kroket ini diberi alas yang
terbuat dari kertas sesuai ukuran kroket kemudian dimasukan kedalam plastik dan siap didistribusi ataupun dimasukan kedalam dos snack, dan untuk dijual di toko Rapi itu sendiri kue ini hanya ditata rapi daiatas sebuah nampan kecil yang berada dalam etalase.
5. Berapakah lama daya tahan produk dan pada temperatur berapa? Jawab : Lama kue ini adalah 2 hari karena isi didalamnya yang tidak dapat bertahan lama, sedangkan suhu mengikuti suhu ruangan sekitar 27º-30º.
6. Kemana tujuan produk ini akan dijual ? Jawab : Kue kroket ini siap di jual langsung ke konsumen yang memesan dahulu atau bisa menikmati di toko Rapi tersebut.
7. Siapakah Konsumennya ? Jawab : Konsumennya anak-anak hingga orang dewasa 8. Apakah dibutuhkan kontrol khusus dalam pendistribusian produk? Jawab : Dibutuhkan control khusus
dalam penditribusian, agar kue kroket ini tidak berubah bentuk 9. Bahan, formulasi dan proses pengolahan dengan diagram alur :
Jawab : Bahan Kulit : 1000 gr kentang, 250 gr tepung terigu, 1 sdt garam, 1/2 sdt merica bubuk, 150 gr margarin, 2 butir telur ambil kuningnya saja Cara Membuat :
Potong-potong kentang, goreng hingga matang, haluskan selagi panas
Aduk kentang halus dengan semua bahan sampai tercampur rata, sisihkan Bahan Isian : 100 gr wortel, iris kotak kecil. 1 batang daun bawang, iris halus. 1 butir bawang bombay, cincang. 4 butir bawang putih, haluskan. 1 sdt garam. 1/2 sdt merica. 1/2 sdt gula pasir. 1 sdm margarin untuk menumis. Cara Membuat :
Tumis bawang putih yang udah dihaluskan sampe harum, masukkan bawang bombay cinang, aduk rata.
Masukkan wortel dan daun bawang masak sampai berubah warna dan kaluar airnya.
Tambahakan semua bumbu, merica, garam, gula pasir, aduk rata. Bahan Paniran : Tepung Panir Penyelesaian :
Ambil adonan kulit, bentuk bulat kemudian pipihkan.
Taruh 1 sdt adonan isi keatas adonan kulit yang udah dipipihkan, tutup dan bentuk lonjong. Lakukan sampai semua adonan kulit habis.
Kemudian gulingkan ke tepung panir, lakukan 2 kali supaya tebal panirannya.
Goreng dalam minyak banyak dengan api sedang Digram Alir Proses Produksi Kue Kroket :
Persiapan/ingredient dan penimbangan
Pembuatan Kulit Kroket Pembuatan Isi
Penggabungan/pengisian, Penggorengan, dekorasi
Pengemasan
Penyimpanan/Pengiriman
E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.48
Tabel 1. Identifikasi dan Analisa Bahaya
No Tahap Proses Sumber Bahaya Titik
Kritis/Potensial Bahaya
Peluang Terjadinya Bahaya (L/M/H)*
Apakah Bahaya Potensial Nyata (Ya= Masuk Pohon keputusan TKK)
Ya Tidak
1 Persiapan karyawan
- Tidak mencuci tangan dengan benar
- Tidak mematuhi peraturan yang ada yaitu memakai sarung tangan dan celemek
Tumbuhnya bakteri salmonella
M v
2 Persiapan bahan bahan-bahan dan peralatan (meliputi pencucian dan pengupasan kentang, penimbangan tepung terigu dan margari)
– Peralatan yang dipakai untuk mengupas (pisau) tidak bersih/berkarat
– Pencucian kurang bersih
– Sayuran busuk – Bahan baku melewati
batas tanggal kadaluarsa
– Saat penimbangan tidak menggunakan sarung tangan
Pertumbuhan mikroba
M v (Tidak menggunakan sarung tangan saat penimbangan)
3 Pembuatan Kulit Kroket (meliputi pemotongan kentang, menggoreng, menumbuk/mengha luskan, mencampur semua adonan kentang, terigu, margarine,telur, gula, dan garam)
– Pisau yang dipakai tidak bersih atau berkarat
– Minyak yang dipakai untuk menggoreng kentang tidak baru
– Saat mencampur adonan tidak menggunakan sarung tangan atau masih ada kotoran baik dari tepung terigu maupun kulit telur
Terjadi kontaminasi silang maupun fisik
M v (saat mencampur adonan masih ada kotoran yang tertinggal baik dari tepung terigu maupun kulit telur)
4 Pembuatan Isi Kroket (meliputi wortel dipotong kecil-kecil, menumis semua bahan termasuk bumbu-bumbu dan wortel)
– Pisau yang dipakai tidak bersih atau berkarat
– Penumisan yang terlalu lama
Kontaminasi silang
L v
5 Penggabungan/pengisian,Pelapisan dan Penggorengan
– Tidak menggunakan sarung tangan
– Sarung tangan yang dipakai tidak bersih
– Tepung panir yang lama dicampur dengan tepung panir yang baru
– Minyak yang dipakai tidak baru atau minyak dipakai lebih dari 3x penggorengan
Dapat menyebabkan kontaminasi silang
M V (saat pencampuran sarung tangan yang digunakan tidak bersih, tepung panir yang dipakai adalah campuran tepung panir lama dengan baru, minyak yang dipakai untuk menggoreng tidak baru
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.49
Tabel 1. Identifikasi dan Analisa Bahaya (lanjutan) 6 Pengemasan
(meliputi pemberian alas kue, dan pembungkusan)
– Tidak menggunakan sarung tangan
– Alas yang dipakai tidak bersih
Tercemar benda asing
L V (plastik yang dipakai tidak bersih
7 Penyimpanan – Tempat penyimpanan yang kurang bersih
– Lama penyimpanan
Pertumbuhan mikroba
M v
*Keterangan : L (:Low), M (Medium), H(High)
5. Menetapkan Titik Kendali Kritis (CCP) dan Batas Kritis (CL)
Untuk menetapkan titik kendali kritis dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Sementara batas
kritis adalah nilai maksimum atau minimum pada bahaya fisik, biologis, atau kimia yang harus
dikendalikan titik kendali kritisnya untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya
ke tingkat yang dapat diterima sehingga produk yang dihasilkan dapat dikategorikan aman dari
bahaya. Batas kritis dapat dilihat pada bagan kendali HACCP pada Tabel 3.
Tabel 2. Tabel Penentuan Titik Kendali Kritis Berdasarkan Pohon Keputusan (Kue Kroket) Langkah Proses Bahaya
Q1. Adakah tindakan pencegahan untuk bahaya yang ditemukan? Jika tidak = bukan TKK, Jika ya = pertanyaan berikutnya
Q2. Apakah tahapan dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai ke tingkat yang dapat diterima ? Jika tidak = pertanyaan berikutnya Jika ya = TKK
Q3.Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi melebihi tingkatan yang dapat diterima ? Jika tidak = bukan TKK Jika ya = pertanyaan berikutnya
Q4. Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkat kemungkinan terjadinya sampai pada tingkatan yang dapat diterima ? Jika tidak = TKK Jika ya = Bukan TKK
Justifikasi TKK/CCP
Penimbangan terigu dan margarin
Terdapat Bakteri pada tangan
Ya Tidak Ya Tidak Tidak menggunakan sarung tangan saat penimbangan
TKK 1
Pencampuran semua bahan
Tercampurnya benda asing
Ya Tidak Tidak - Kontaminasi yang masih dapat diterima
Bukan TKK
Pencetakan/ penggabungan adonan kue
Kontaminasi silang
Ya Ya - - Sarung tangan harus bersih
TKK 2
Penaburan/ pelapisan dengan tepung panir
Pertumbuhan mikroba
Tepung panir yang lama dicampur dengan tepung panir baru
TKK 3
Penggorengan Terjadi kontaminasi silang
Ya Tidak Ya Tidak Minyak yang dipakai adalah minyak bekas
TKK 4
Pengemasan Tercemar benda asing
Ya Ya - - Plastik yang tidak tersimpan dengan baik
TKK 5
E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.50
Tabel 3. Bagan Kendali HACCP
6. Menetapkan prosedur pemantauan CCP dan Tindakan Koreksi
Pengamatan atau pengukuran untuk menetapkan apakah suatu CCP dapat dikendalikan dengan
baik dan menghasilkan catatan yang teliti untuk digunakan selanjutnya dalam verifikasi suatu
prosedur yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan. Tetapi dalam pengolahan data ini
tidak dilakukan penetapan prosedur pemantauan CCP dan tindakan koreksi.
7. Verifikasi Program HACCP dan Menetapkan dokumentasi
Memverifikasi program HACCP dengan rencana HACCP yang telah ditetapkan dan
dokumentasi semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP
dan penerapannya. Dalam pengolahan data ini penetapan dokumentasi tidak dilakukan.
KESIMPULAN
1. Bahaya-bahaya yang teridentifikasi dengan menggunakan sistem HACCP pada setiap proses
pembuatan kue kroket yaitu bahaya terdapatnya bakteri pada tangan pada saat proses
penimbangan tepung terigu karena tidak menggunakan sarung tangan, bahaya kontaminasi fisik/
sarung tangan yang dipakai tidak diganti baru pada saat proses pencetakan atau penggabungan,
bahaya tepung panir lama dicampur tepung panir yang baru pada saat penaburan atau pelapisan
dengan tepung panir karena tepung panir yang digunakan sudah lama atau tidak layak dipakai
lagi, bahaya kontaminasi silang pada saat proses penggorengan karena minyak yang dipakai
tidak diganti atau minyak bekas dan bahaya kontaminasi fisik/ debu pada saat proses
pengemasan karena plastik yang dipakai tidak bersih.
Bagan Kendali HACCP Produk : Kue Kroket
No TKK
Langkah Proses/ TKK Bahaya Batasan Kritis Prosedur Pemantauan
Tindakan Perbaikan
1 Penimbangan terigu dan margarin
Terdapat bakteri pada tangan / Salmonella
Harus menggunakan sarung tangan
Setiap proses pastikan menggunakan sarung tangan bersih
Harus dilakukan pengawasan secara konsisten
2 Pencetakan/penggabungan Terjadi kontaminasi silang
Harus menggunakan sarung tangan
Setiap proses pastikan menggunakan sarung tangan bersih dan baru
Harus dilakukan pengawasan secara konsisten
3 Penaburan/pelapisan dengan tepung panir
Pertumbuhan mikroba
Spesifikasi tepung yang disetujui yaitu tepung panir yang masih bagus
Pastikan tepung panir masih baik untuk digunakan
Tepung panir yang telah dipakai jangan dipakai lagi, bila tersisa jangan dicampur dengan tepung panir yang masih baru
4 Penggorengan Terjadi kontaminasi silang
Minyak boleh digunakan untuk 3x penggorengan
Pastikan minyak yang sudah dipakai dan berubah warnanya sebaiknya tidak dipakai lagi
Mengganti dengan minyak yang baru
5 Pengemasan Bahan pengemas terkontaminasi
Bahan pengemas harus berada ditempat yang bersih dan terpisah dari penyimpanan bahan baku
Pastikan tempat penyimpanan jauh dari bahan baku tepung terigu ,dll
Plastik selalu dibersihkan sebelum digunakan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.51
2. Tindakan perbaikan dari setiap bahaya yang teridentifikasi adalah dengan memastikan bahwa
penggunaan sarung tangan yang bersih akan lebih diperketat dan dipantau, tepung panir yang
dipakai untuk pelapisan kue kroket dipastikan masih baru dan baik digunakan, memastikan
minyak yang dipakai diganti setelah 3 kali penggunaan, dan penyimpanan plastik untuk
pengemasan kue kroket disimpan ditempat yang tidak berdebu dan dibersihkan sebelum
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1998, Standar Nasional Indonesia SNI 01-4852-1998: Sistem
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-
HACCP) serta Pedoman Penerapannya, Jakarta: BSN.
Bryan, Frank L, 1995, Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. (Diterjemahkan oleh Ditjen
PPM dan PLP), Jakarta: Depkes RI.
Hubeis, M, 1994, Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia”. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan, Vol. V (3), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Kramer, A. dan B.A. Twigg, 1983, Fundamental of Quality Control for the Food Industry, The
AVI Pub. Inc., Conn., USA.
Suklan, H, 1998, Pedoman Pelatihan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
untuk Pengolahan Makanan, Jakarta: Depkes RI.
Thaheer, H, 2005, Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), Jakarta:
Bumi Aksara.
E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.52
PEMETAAN PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP KELUARAN PRODUK HASIL
PERANCANGAN PEMUTIH BERAS MEKANIK MENGGUNAKAN METODE BIPLOT
Siti Nandiroh
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik UMS
Jl.Ahmad Yani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura, Sukoharjo E-mail: Stnandiroh@rocketmail.com
Abstrak
Beras dengan penampilan bagus mempunyai standar harga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan beras buruk. Dengan adanya selisih harga tersebut ada upaya yang dilakukan
pedagang untuk menaikkan harga beras penampilan buruk ke beras penampilan bagus, yaitu
dengan menggunakan pemutih dari zat kimia. Hal ini tentu saja sangat berakibat buruk bagi
kesehatan konsumen. Pada penelitian sebelumnya, telah berhasil dibuat alat pemutih beras
mekanik yang menggunakan tenaga penggerak dari penggiling beras atau Rice Milling Unit
(RMU). Hasil giling beras menunjukkan bahwa gabah berpenampilan buruk, yang biasanya
menghasilnya beras buruk mampu menjadi beras dengan penampilan bagus, dan proses
penggilingan menjadi lebih singkat. Beras hasil giling produk pemutih beras mekanik, yang
dinamai beras uji coba terbukti mampu bersaing dengan varietas yang lain, yaitu Rojolele, C4,
Membramo, IR, 64, Menthik Wangi. Disini disajikan batasan atribut yang mempengaruhi
konsumen berpindah dari satu varietas satu ke varietas yang lain adalah harga,
jenis/fanatisme, kemasan produk, tampilan, kepulenan dan unsur-unsur yang ada dalam beras.
Pemetaan persepsi konsumen menggunakan metode Biplot, menunjukkan peringkat yang stabil
dari tiga bulan terakhir yaitu peringkat lima. Hal ini menunjukkan peningkatan performansi
beras buruk menjadi lebih bagus yang cukup signifikan.
Kata kunci: beras, biplot, konsumen, performansi, varietas.
PENDAHULUAN Kenaikan laju konsumsi beras belum sepenuhnya membawa kepada peningkatan
pendapatan petani, karena masalah besarnya kehilangan hasil, mutu yang rendah dan harga yang
fluktuatif yang cenderung tidak memberikan insentif kepada petani, sehingga perlu segera
dipikirkan solusinya (Moehaimin-Sovan, 2002). Kehilangan hasil pasca panen masih tinggi yaitu
mencapai 20,5% (Anonim, 1995). Mutu beras yang dihasilkan umumnya sangat rendah yang
dicirikan oleh beras patah (broken) yang lebih dari 15% dengan rasa, warna yang kurang baik.
Selanjutnya harga gabah ditingkat petani belum dapat memperbaiki tingkat pendapatan. Kondisi
demikian akan semakin besarnya ancaman terhadap ketahanan pangan beras, sehingga diperlukan
teknologi pertanian yang mampu meningkatkan pendapatan di bidang pertanian.
Peningkatan pendapatan, salah satunya dapat diketahui dari strategi pemilihan produk dari
perilaku konsumen. Suatu pasar terdapat berbagai macam pembeli dengan kebutuhan dan perilaku
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sangat sulit bagi suatu produk untuk menguasai pasar secara
keseluruhan. Strategi yang umum ditempuh adalah memilih segmen pasar tertentu yang dapat
memberikan kedudukan yang paling kuat bagi produk bersangkutan. Strategi ini yang disebut
dengan market positioning. Selain itu, strategi pemasaranpun perlu diperhatikan oleh pedagang
maupun pelaku pasar yang lain . Strategi pemasaran mempunyai dua kegiatan pemasaran pokok,
yaitu : pertama pemilihan pasar-pasar yang akan dijadikan sasaran pemasaran (target market) dan
yang kedua merumuskan dan menyusun suatu kombinasi yang tepat dari bauran pemasaran
(marketing mix), agar kebutuhan para konsumen dapat terpenuhi secara memuaskan. Salah satu
metode yang dapat memprediksikan posisi pasar dan persaingan produk adalah metode Biplot.
Artikel ini membahas mengenai respon dan perilaku konsumen terhadap beras keluaran
produk rancangan pemutih beras mekanik, dibandingkan dengan beberapa beras pesaing yang laku
di pasaran.
Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap, menurut
Schiffman dan Kanuk (2000), antara lain:
a) Tahap perolehan (acquistion) : mencari (searching) dan membeli (purchasing)
Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.53
b) Tahap konsumsi (consumption) : menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating)
c) Tahap tindakan pasca beli (disposition) : apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu
digunakan atau dikonsumsi.
Hasil Perancangan Produk Pemutih Beras Mekanik
Spesifikasi Produk Rancangan:
1. Dudukan terbuat dari besi baja
2. Penghisap menggunakan blower
3. Kumparan blower terbuat dari kawat email
4. Penggerak dicangkokan dinamo
5. Saluran pipa sebagai penghubung rice huller
6. Terdapat pipa penghubung pada tempat buang
7. Terdapat tempat buang katul
8. Blower terbuat dari baja
9. Frekuensi giling berkurang hingga 50 %
10.Diameter alat 38 cm
11.Perekat menggunakan baut
12.Plat dudukan terbuat dari baja
13.Plat dudukan terbuaat dari baja
14.Panjang plat 30 cm
15.Terdapat lubang angin pada dudukan cor
16.Diameter lubang angin 14 cm
17.Tebal dudukan 1.3 cm
18.Diameter lubang penghubung besar 17 cm
19.Diameter lubang penghubung kecil 11 cm
20.Sidu kipas 6 buah
21.Saluran sambungan menggunakan pipa PVC
diameter 10 cm
22.Ruang buang permanen
23.Cat dudukan anti karat
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian diawali dengan penyebaran kuesioner kepada responden, pengguna beras hasil
ujicoba produk rancangan, terhadap beras Rojolele, Setra Ramos, C4, Membramo, IR 64, dan
Menthik Wangi. Tahap selanjutnya adalah mengetahui persepsi konsumen terhadap seluruh
produk, dengan perbandingan waktu yang berbatas tiga bulan, sehingga dapat diketahui peta posisi
produk ujicoba terhadap jenis yang lain.
Untuk menggambarkan proses Marcov, akan dijelaskan tentang kegiatan-kegiatan
pemilihan merek dan peramalan probabilitas transisi yang dilakukan oleh konsumen yaitu
mengenai pergantian dari suatu merek ke merek yang lain. Disini disajikan batasan bahwa atribut
yang mempengaruhi konsumen berpindah dari satu produk ke produk yang lain. Pemilihan atribut
produk oleh responden telah ditentukan sebagai berikut :
1. Harga Produk
2. Jenis/fanatisme (Rojolele, C4, Membramo, Ujicoba, IR 64, Setra Ramos Menthik Wangi)
3. Kemasan
4. Tampilan
5. Pulen
6. Unsur-unsur yang terkandung dalam produk
Gambar 1. Gambar Pemutih Beras Mekanik
E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.54
Pertanyaan dalam kuesioner untuk masing-masing jenis disediakan empat alternatif
jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Peringkat atribut produk
yang ditentukan oleh konsumen berdasarkan prioritas utama dalam memilih produk, artinya atribut
produk apa yang dipertimbangkan lebih dulu oleh konsumen dalam membeli suatu produk (beras).
Tahapan pemecahan masalah penelitian, ditunjukkan pada Gambar 2, berikut ini,
Gambar 1. Kerangka Pemecahan Masalah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengumpulan data menunjukkan adanya persepsi konsumen terhadap pemilihan jenis
beras selama tiga bulan, seperti terlihat pada Tabel 1. berikut ini,
Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.55
Tabel 1. Urutan Pemilihan Beras Selama Tiga Bulan
No. Merek Bln.1 (%) Rank Bln.2 (%) Rank Bln.3 (%) Rank
1 Menthik Wangi 26 26% I 24 24% I 25 25% II
2 C4 22 22% II 19 19% III 17 17% III
3 Membramo 14 14% IV 17 17% IV 15 15% IV
4 Ujicoba 11 11% V 10 10% V 8 8% V
5 IR 64 20 20% III 21 21% II 31 31% I
6 Setra Ramos 4 4% VI 5 5% VI 2 2% VI
7 Rojolele 3 3% VII 4 4% VII 2 2% VI
Total 100 100% 100 100% 100 100%
Dari data diatas, langkah selanjutnya adalah mengubah pergantian Jenis yang dilakukan
para konsumen agar seluruh perolehan (mendapatkan) dan kehilangan tersebut diatas menjadi
bentuk probabilitas transisi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel.2,
Tabel 2. Matrik Probabilitas Transisi / Brand Switching Pattern dalam Persentase
Jenis MW C4 Mb Uj 64 SR RJ
Menthik Wangi 0.708333 0.052631 0.176470 0.1 0.142857 0 0.25
C4 0.083333 0.789473 0.1176470 0 0.095238 0.2 0
Membramo 0.041667 0 0.5882352 0 0.095238 0.2 0
Ujicoba 0 0.052631 0.1176470 0.7 0 0.2 0
IR 64 0.125 0.052631 0 0.2 0.666667 0 0
Setra Ramos 0.041667 0.052631 0 0 0 0.2 0.25
Rojolele 0 0 0 0 0 0.2 0.5
Total 1 1 1 1 1 1 1
Perhitungan pangsa pasar pada bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga adalah seperti terlihat
pada Tabel 3, berikut:
Tabel 3. Perubahan Penjualan
Jenis Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3
Menthik Wangi 26% 24% 25%
C4 22% 19% 17%
Membramo 14% 17% 15%
Ujicoba 11% 10% 8%
IR 64 20% 21% 31%
Setra Ramos 4% 5% 2%
Rojolele 3% 4% 2%
Analisis indeks sikap diperlukan untuk mengetahui sikap dan perilaku konsumen terhadap
suatu objek/produk yaitu beras yang digunakannya. Indeks sikap ini meliputi penilaian atribut jenis
beras yaitu harga, Jenis (fanatisme), kemasan, tampilan, kepulenan dan kandungan dalam beras.
Pada tahap ini responden diminta memberikan urutan-urutan peringkat dengan keterangan bahwa
atribut yang paling penting (peringkat pertama) sampai pada atribut yang paling tidak penting.
Keutamaan disini diperoleh melalui penentuan peringkat atribut tersebut, seperti pada Tabel 4.
E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.56
Tabel 4. Nilai Peringkat Atribut
Atribut Peringkat Total
Nilai
Timbangan
Atribut Ranking
I II III IV V VI
Harga 53 14 13 7 9 4 483 0.230 1
Jenis/fanatisme 12 13 14 22 19 20 317 0.151 4
Kemasan 3 6 13 20 40 18 258 0.123 6
Tampilan 11 36 25 22 4 2 422 0.201 2
Kepulenan 4 13 22 19 18 24 294 0.140 5
Kandungan 16 19 12 11 11 31 325 0.155 3
Total 2099 1
Contoh perhitungan total nilai untuk harga :
Total Nilai =∑ (Jumlah Atribut x Nilai Atribut)
= (53 x 6) + (14 x 5) + (13 x 4) + (7 x 3) + (9 x 2) + (4 x 1) = 483
Dengan cara yang sama diperoleh total nilai untuk atribut-atribut yang lain.
Contoh perhitungan timbangan atribut untuk harga :
Timbangan atribut = atributnilaijumlahTotal
atributnilaiJumlah
=2099
)14()29()37()413()514()653( xxxxxx = 0.230
Dengan cara yang sama diperoleh nilai timbangan atribut produk yang lain. Jadi peringkat
keutamaan atribut adalah atribut harga, tampilan, kandungan, jenis, kepulenan dan kemasan.
Angka indeks sikap konsumen diperoleh dengan cara mengalikan antara timbangan atribut dengan
nilai atribut. Kemudian angka indeks sikap dicocokkan dengan daerah penerimaan untuk
mengetahui kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut jenis beras.
Daerah penerimaan untuk mengetahui kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut produk
tersebut adalah :
0,0 < x < 0,99 : sikap sangat buruk
1,0 < x < 1,99 : sikap buruk
2,0 < x < 2,99 : sikap cukup baik
3,0 < x < 3,99 : sikap baik
Kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut jenis beras dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Indeks Sikap Konsumen
Atribut Timbangan Atribut Nilai Atribut Indeks Sikap
Harga 0.230 2.84 0.654
Jenis 0.151 2.81 0.424
Kemasan 0.123 2.69 0.331
Tampilan 0.201 3.18 0.639
Kepulenan 0.140 2.79 0.391
Kandungan 0.155 3.08 0.477
Total 2.916
Sikap konsumen terhadap atribut jenis beras cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks
sikap sebesar 2.916 yaitu berada pada daerah penerimaan yang ketiga.
Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.57
KESIMPULAN
1. Persepsi konsumen terhadap beras ujicoba (produk keluaran pemutih beras mekanik) cenderung
stabil selama tiga bulan pengamatan, yaitu rangking lima dari tujuh jenis beras unggulan.
2. Peringkat keutamaan atribut adalah atribut harga, tampilan, kandungan, jenis, kepulenan dan
kemasan.
3. Sikap konsumen terhadap atribut jenis beras cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks
sikap sebesar 2.916 yaitu berada pada daerah penerimaan yang ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
------, 2006., Dokumen Kajian Departemen Agronomi Dan Holtikultura Fakultas Pertanian –
Institut Pertanian Bogor.
Anonimus, 1995, Pertumbuhan Pertanian, --
Cohen, Lou, 1995, How to Make QFD Work For You, Addison Wesley, USA.
Moehaimin Sovan. 2002. Peranan Penanganan Pasca Panen Untuk Menurunkan Kehilangan Hasil.
Makalah pada workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen. Jakarta.
Purwaningsih, H., Rob. Mudjisihono, 2006. Kajian Efek Penggunaan Rice Milling Unit (RMU)
Stasioner dan Keliling Terhadap Kualitas Beras di Kabupaten Bantul, Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan MarginalDaerah Istimewa Yogyakarta.
Umar, Husein. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. JBRC. Jakarta
Wijayanto, Hary. 1998. Analisis Pengembangan Konsep Produk Menggunakan Metode Biplot.
Forum Statistika dan Komputasi. Jurnal Publikasi
E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.58
PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG JADI MULTI ITEM
DENGAN METODE LAGRANGE MULTIPLIER (STUDI KASUS PADA DEPO ES KRIM
PERUSAHAAN “X” DI MAGELANG)
Agus Setiawan, Enty Nur Hayati
Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik UNISBANK
Jl Trilomba Juang No. 1, Semarang E-mail : asetmail@gmail.com E-mail : enty_nur@yahoo.co.id
Abstrak
Perusahaan “X” adalah Cabang Distributor es krim Campina di Magelang. Perusahaan
mengelola 13 jenis produk jadi (multi item). Di perusahaan ini, sering terjadi kondisi
overstock atau kelebihan persediaan pada produk jenis tertentu dan kondisi stockout atau
kekurangan persediaan pada produk jenis tertentu pula. Hal ini terjadi karena untuk masing-
masing produk dengan berbagai tipe/jenis tersebut memiliki tingkat penjualan yang berbeda-
beda. Perusahaan “X” mengelola 13 jenis es krim yang siap dipasarkan. Kendala yang
dihadapi untuk penyimpanan es krim adalah ruang penyimpanan dan biaya persediaan.
Untuk menetapkan jumlah pemesanan es krim pada perusahaan “X” menggunakan metode
Lagrange Multiplier. Jumlah pemesanan optimal untuk 13 jenis es krim yaitu (1) Fantasi
Orange Grape = 327 unit, (2) Viola = 127 unit, (3) Fantasy = 148 unit, (4) Big Time = 84
unit,(5) Didi Cup 129 unit, (6) Hula-hula = 114 unit, (7) Olympia Cup = 176 unit, (8)
Tropicana = 153 unit, (9) Heart = 86 unit, (10) Double Stick =106 unit, (11) Double Cone =
100 unit, (12) Bazzoka Vanilla = 57 unit dan (13) Bazzoka Coklat = 69 unit. Jumlah
pemesanan ini menghasilkan biaya persediaan/nilai total omset baru sebesar Rp
5.700.302,00 dan volume ruang terpakai sebesar 92.819 ml.
Kata Kunci : pengendalian persediaan, produk multi item, metode Lagrange Multiplier
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Suatu perusahaan, baik itu yang bergerak di bidang industri manufaktur atau jasa, pasti
akan selalu berusaha untuk tetap eksis dan berjalan dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan
yaitu tetap memproduksi dengan memperoleh keuntungan yang maksimal. Kebijakan-kebijakan
dari perusahaan akan sangat menentukan kondisi tersebut. Salah satu kebijakan yang perlu
dilakukan adalah menerapkan aktivitas perencanaan dan pengendalian produksi. Salah satu bagian
penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi adalah pengendalian persediaan. Dikatakan
penting karena dengan pengendalian persediaan, perusahaan dapat menentukan kebijakan dalam
membeli atau membuat dan menyimpan item dalam jumlah yang optimal dengan biaya ekonomis.
Penelitian yang dilakukan di Cabang Distributor es krim Campina Perusahaan “X” di
Magelang. Dalam kegiatan produksinya perusahaan tersebut hanya mengelola produk jadi dalam
jumlah banyak dan terdiri dari berbagai jenis produk (multi item). Produk jadi tersebut dalam
kondisi siap dipasarkan, yang sebelumnya harus mendapat perlakuan penyimpanan untuk
persediaan kebutuhan penjualan pada waktu selanjutnya dalam jangka waktu tertentu. Di
perusahaan ini, sering terjadi kondisi overstock atau kelebihan persediaan pada produk jenis
tertentu dan kondisi stockout atau kekurangan persediaan pada produk jenis tertentu pula. Hal ini
terjadi karena untuk masing-masing produk dengan berbagai tipe/jenis tersebut memiliki tingkat
penjualan yang berbeda-beda.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana metode Lagrange Multiplier sebagai sistem perencanaan persediaan produk multi item
es krim Campina perusahaan “X” di Magelang dapat mengantisipasi kendala ruang penyimpanan
dan biaya persediaan, sehingga diperoleh jumlah pemesanan yang optimal?”
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sistem perencanaan dan
pengendalian persediaan produk jadi multi-item es krim Campina perusahaan “X” di Magelang
yang optimal berdasarkan kendala kapasitas ruang penyimpanan dan biaya persediaan melalui
metode Lagrange Multiplier.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.59
Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan antara lain:
a. Penelitian ini hanya melibatkan item produk es krim Campina dari hasil penjualannya di
perusahaan “X” Magelang.
b. Perhitungan biaya-biaya persediaan dalam rentang waktu mingguan dengan satu bulan ada 4
(empat) minggu.
c. Jumlah hari kerja dalam satu bulan adalah setiap hari.
d. Jumlah biaya yang digunakan setiap ada pemesanan dianggap tersedia.
e. Gudang penyimpanan produk dianggap dapat menampung jumlah produk yang dipesan.
f. Dalam penelitian ini tidak akan membahas struktur organisasi perusahaan dan aspek
finansialnya, walaupun ada keterkaitan dengan persediaan. Jadi, penelitian ini hanya dibatasi
pada data-data harga produk, biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan batasan ruang gudang
penyimpanan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Persediaan
Taylor III (2005) menyebutkan persediaan (inventory) merupakan stok barang yang
disimpan oleh suatu perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan. Umumnya setiap jenis
perusahaan memiliki berbagai bentuk persediaan. Berdasarkan jenis dan posisi barang dalam urutan
pengerjaan produk, persediaan dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: a. Persediaan bahan baku.,
b. Persediaan komponen produk atau parts yang dibeli, c. Persediaan bahan-bahan pembantu atau
barang-barang perlengkapan, d. Persediaan barang setengah jadi, e. Persediaan barang jadi.
Biaya-Biaya Persediaan
Biaya-biaya persediaan ini timbul karena adanya rencana persediaan dalam perusahaan
untuk memperlancar kegiatan produksi. Menurut Sumayang, L (2003), biaya-biaya akibat
pengelolaan persediaan dibedakan menjadi enam, yaitu: cost item atau harga barang per unit,
ordering cost atau biaya pemesanan, holding cost atau biaya penyimpanan, stockout cost atau biaya
kekurangan persediaan, biaya resiko kerusakan dan kehilangan persediaan dan safety stock atau
biaya persediaan pengaman.
Model-Model Persediaan
Menurut Taha, H.A. (2002), secara umum model persediaan dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian:
a. Model Deterministik. Contoh model yang dipakai adalah model Economic Order Quantity
(EOQ) dan pemesanan barang multi-item dengan Metode Lagrange Multiplier.
b. Model Stokastik (Probabilistik). Contoh dari model ini antara lain adalah model pengendalian
persediaan Sistem P dan Sistem Q. Model ini dibagi lagi menjadi dua yaitu probabilistic static
dan probabilistic dynamic.
Model Persediaan EOQ, Deterministik
Model EOQ merupakan model persediaan yang sederhana yang bertujuan untuk
menentukan ukuran pemesanan yang ekonomis dan dapat meminimumkan biaya total persediaan.
Menurut Render dan Heizer (2001), model ini dapat diterapkan apabila terdapat asumsi-asumsi
adalah kebutuhan permintaan adalah tetap dan diketahui, lead time (waktu tunggu) adalah tetap,
harga beli per unit tetap, biaya simpan dan biaya setiap kali pesan tetap, diskon kuantitas tidak
diperkenankan dan tidak terjadi kekurangan persediaan atau back order.Model ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Qmak
Q/2
O
Waktu Pemesanan
Ku
anti
tas
Pem
esan
an
E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.60
Gambar 2.1 Grafik Siklus Persediaan Sederhana
Jika D adalah jumlah permintaan, dalam kasus ini per minggu, Q adalah kuantitas pesanan,
dan S adalah biaya setiap kali pesan, maka biaya pemesanan per minggu dirumuskan:
Biaya pemesanan per minggu Q
DS .............................................................................. (2.1)
Biaya simpan dapat dirumuskan:
Biaya penyimpanan 2
QH ............................................................................................... (2.2)
Berdasarkan persamaan (2.1) dan persamaan (2.2) maka dapat dirumuskan sebagai:
Biaya persediaan per minggu (TC) 2
QH
Q
DS .............................................................. (2.3)
Hubungan dari ketiga persamaan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Kurva Biaya Persediaan
Dari Gambar 2.2 dapat diilustrasikan bahwa total biaya persediaan akan mencapai nilai
minimum pada saat biaya simpan dan biaya pesan mencapai titik yang sama, sehingga titik
minimal kurva biaya total dapat dicari dengan turunan TC terhadap Q sama dengan 0, yaitu:
= 0 ..................................................................................................................... (2.4)
= 0 ......................................................................................................... (2.5)
= 0 ............................................................................................................... (2.6)
..................................................................................................................... (2.7)
sehingga diperoleh
Q2 = .................................................................................................................. (2.8)
Q = .................................................................................................................. (2.9)
keterangan:
D = jumlah permintaan per periode (unit)
H = IP, biaya simpan per periode (Rp/unit/periode)
S = biaya pemesanan per periode (Rp/pesan)
Q = kuantitas pesanan yang optimal (unit)
P = harga satuan unit (Rp/unit)
I = biaya simpan dalam prosentase persediaan (%)
Sistem Persediaan Produk Multi Item dengan Kendala Dalam dunia industri, banyak model persediaan yang digunakan untuk mengelola
persediaan lebih dari satu tipe produk (multi item), karena banyak perusahaan yang hanya memiliki
satu tempat penyimpanan dan sering digunakan untuk menyimpan lebih dari satu tipe produk.
Gambar 2.3 merupakan ilustrasi model persediaan produk jadi.
Bia
ya
Jumlah EOQ
Biaya Pesan
Biaya Simpan
Total Biaya Persediaan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.61
Gambar 2.3 Skema Sistem Persediaan Produk Jadi
Permasalahan ini diformulasikan melalui model optimasi dengan pembatas dan
penyelesaiannya menggunakan Metode Lagrange Multiplier. Dalam penerapannya metode ini
hanya mengacu kepada satu atau dua kendala. Kasus ini pendekatan awalnya akan
mempertimbangkan permasalahan anggaran biaya dengan menghendaki pada banyak titik solusi,
namun total investasi dalam persediaan tidak melebihi B satuan uang yang diwakili oleh formulasi:
............................................................................................... (2.10)
dengan
Ci = harga satuan unit item produk i dalam rupiah
Qi = kuantitas pesanan optimal item produk i dalam unit
B = besarnya investasi dalam persediaan dalam rupiah
Jika n adalah jumlah item, maka tujuan dari penyelesaian permasalahan ini adalah untuk
meminimisasi total biaya persediaan per periode. Sebagai langkah awal maka perlu dicari kuantitas
pemesanan paling optimal dengan mengabaikan adanya konstrain atau kendala, sehingga untuk
mendapatkan nilai Qi* digunakan formulasi:
Qi* = ..................................................................................................... (2.11)
Dari perhitungan melalui persamaan (2.11), cek kondisinya dengan mensubstitusikan nilai
Qi* pada persamaan (2.10). Apabila nilai Qi
* belum memuaskan, maka metode Lagrange mulai
digunakan. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan mengembangkan Lagrange Expression
(LE) atau persamaan Lagrange, yakni:
LE(Qi,) = ................................. (2.12)
Notasi adalah faktor pengali Lagrange. Dengan mengambil turunan atau derivatif dari
persamaan (2.12) yang dikondisikan pada nilai Qi, , dan menyelesaikan persamaan tersebut
dengan ruas kanan disamadengankan nol, maka diperoleh formulasi:
........................................................................................... (2.13)
nilai Q*Li adalah kuantitas pemesanan optimal yang diperoleh dari penggunaan metode Lagrange.
Harga dari * dapat diperoleh dengan formulasi:
* = ...................................................................... (2.14)
kemudian mensubstitusikannya ke persamaan (2.13) dan akan memberikan persamaan:
= ............................................................................. (2.15)
Untuk Q*i dicari dengan persamaan (2.11) dan E dicari dengan persamaan:
E = ................................................................................................. (2.16)
sedangkan untuk kendala ruang penyimpanan, total ruang penyimpanan dihitung dengan formulasi:
...................................................................................... (2.17)
Selanjutnya, untuk mencari total investasi dari perhitungan Lagrange dikondisikan pada total
investasi dari kebijakan perusahaan dan dapat dicari dengan formulasi:
.............................................................................................. (2.18)
Surplus Stock
Excess Stock
Seasonal Stock (Anticipation)
Safety Stock
Working Stock
nonproductiv
e
productive
INPUT
OUTPUT
E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.62
keterangan: Ci = harga item per unit dalam rupiah
Ai = biaya pengadaan atau pemesanan per
item dalam rupiah
Di = permintaan hasil peramalan dalam unit
B = investasi maksimum yang diijinkan di
perusahaan dalam rupiah
E = total investasi persediaan tanpa
konstrain dalam rupiah
Q*
i = kuantitas pemesanan optimal tanpa
konstrain dalam unit
Qi = kuantitas pemesanan hasil peramalan
dalam unit
*
= faktor pengali Lagrange
A = biaya penyimpanan inventori dalam
persentase
S = kapasitas gudang
Sa = kapasitas persediaan akhir
Q*Li = kuantitas pemesanan optimal dengan
Lagrange dalam unit
III. PEMBAHASAN
DATA
Jenis es krim Campina yang dikelola untuk dipasarkan kembali oleh Stock Point Barokah
terdiri dari 13 jenis yaitu Petit Grape, Liliput n’Nut, Fantasy, Concerto, Didi Cup, Hula-hula,
SpongeBob Stick, Tropicana Cup, Heart, Double Stick, Avatar Caramel, Bazzoka Cashew Nut, dan
Bazzoka Hazelnut. Ruang penyimpanan es krim terdiri dari tiga freezer dengan kapasitas
penyimpanan 150 liter. Saat proses pendistribusian digunakan dry ice sebagai pengawet yang
langsung dibawa satu paket dengan es krim dari agen Campina Yogyakarta. Pemasaran kembali es
krim dilakukan melalui penjualan di perusahaan dan armada pemasaran keliling. Perusahaan “X”
memiliki 13 unit three-cycle dengan hawker resmi sebanyak 13 orang. Data penjualan es krim
Campina adalah sekumpulan data penjualan es krim di Perusahaan “X” dengan jangka waktu
mingguan yang dihitung mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2011, yang
diperoleh dari bagian pemasaran.
ANALISA
Tabel 4.1 Hasil Peramalan dengan Kriteria MAD Terkecil untuk Minggu
Pertama Bulan Januari 2012
Jenis Produk Hasil Peramalan
Penjualan Jenis Produk
Hasil Peramalan
Penjualan
Fantasy Orange Grape 539,4116 Tropicana 189,0000
Liliput n’Nut 122,5860 Heart 73,9174
Didi Straw Chocolate 149,4992 Avatar New Face 99,8855
Spongebob Stick 106,9206 Avatar Dual Cone 100,3283
Didi Cup 147,6187 Bazzoka Cashew Nut 73,3986
Hula-hula 98,9104 Concerto 71,9128
Avatar Double Stick 195,0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012
Pengendalian persediaan ini akan menentukan tingkat persediaan yang seharusnya
dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan jenis es krim Campina, serta luas ruang
penyimpanan (freezer atau kelvinator), sehingga jumlah es krim untuk tiap item nantinya tidak
akan selalu sama karena pertimbangan kendala luas ruang dan biaya persediaan.
Setelah diketahui nilai EOQ masing-masing item produk, maka nilai EOQ tersebut
disubstitusikan ke dalam konstrain. Jika hasil perhitungan memuaskan, maka tidak perlu
diselesaikan dengan metode Lagrange multi item. Namun, jika hasil perhitungan tidak memuaskan,
maka dilakukan penyelesaian melalui metode Lagrange multi item.
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan EOQ/Q* untuk masing-masing item
Jenis Produk Hasil EOQ/Q*
(unit) Jenis Produk
Hasil EOQ/Q*
(unit)
Fantasy Orange Grape 344 Tropicana 161
Liliput n’Nut 134 Heart 90
Didi Straw Chocolate 156 Avatar New Face 112
Spongebob Stick 88 Avatar Dual Cone 105
Didi Cup 136 Bazzoka Cashew Nut 60
Hula-hula 120 Concerto 73
Avatar Double Stick 185
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.63
Dari perhitungan Q* dengan menggunakan metode EOQ tersebut, kemudian dihitung total
omset untuk persediaan yang baru. Dari perhitungan diperoleh nilai investasi persediaan baru
sebesar (E) Rp 6.003.493,00 dan nilai investasi persediaan ini lebih besar dari nilai omset lama (B)
Rp 5.700.302,08. Hal ini menunjukkan kondisi belum memuaskan, maka penyelesaiannya
dilanjutkan ke metode Lagrange.
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan EOQ dengan metode Lagrange/QLi* untuk masing-masing item
Jenis Produk Hasil EOQ/ QLi*
(unit) Jenis Produk
Hasil EOQ/ QLi*
(unit)
Fantasy Orange Grape 327 Tropicana 153
Liliput n’Nut 127 Heart 86
Didi Straw Chocolate 148 Avatar New Face 106
Spongebob Stick 84 Avatar Dual Cone 100
Didi Cup 129 Bazzoka Cashew Nut 57
Hula-hula 114 Concerto 69
Avatar Double Stick 176
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012
Dari perhitungan tersebut dihasilkan kuantitas Q*Lagrange yang selanjutnya akan digunakan
untuk mencari nilai total investasi persediaan yang baru dengan metode Lagrange. Dari
perhitungan, diperoleh nilai investasi persediaan baru (ELagrange) sebesar Rp 5.700.302,00sehingga
terjadi kondisi nilai ELagrange sama dengan nilai investasi persediaan awal (B) sebesar Rp
5.700.302,08. Ini menunjukkan bahwa perhitungan dengan konstrain biaya memberikan hasil yang
memuaskan, namun untuk memastikan keakuratan metode ini perlu dilakukan perhitungan
konstrain ruang.
Dari hasil perhitungan tersebut dihasilkan kapasitas ruang terpakai sebesar 92.819 ml atau
92,819 liter, sedangkan kapasitas ruang terpakai yang tersedia di gudang sebesar 110,635 liter,
sehingga kuantitas produk yang dihitung menggunakan metode Lagrange masih bisa ditampung di
tempat penyimpanan atau freezer yang tersedia. Total biaya persediaan dengan metode Lagrange
sebesar Rp 140.743,00. Dengan demikian, penghematan yang diperoleh dengan metode Lagrange
untuk total biaya persediaan sebesar 26,50%.
IV. SIMPULAN
Dari hasil pengolahan dan analisis data, maka dapat ditarik simpulan bahwa dari
perhitungan dengan metode Lagrange dihasilkan jumlah pemesanan optimal (Q) produk es krim
Campina untuk periode minggu pertama bulan Januari 2012 adalah (1) Fantasi Orange Grape = 327
unit, (2) Viola = 127 unit, (3) Fantasy = 148 unit, (4) Big Time = 84 unit,(5) Didi Cup 129 unit, (6)
Hula-hula = 114 unit, (7) Olympia Cup = 176 unit, (8) Tropicana = 153 unit, (9) Heart = 86 unit,
(10) Double Stick =106 unit, (11) Double Cone = 100 unit, (12) Bazzoka Vanilla = 57 unit dan (13)
Bazzoka Coklat = 69 unit.
V. DAFTAR PUSTAKA Assauri, S, 1993, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi 4, Lembaga Penerbitan Fakultas
Ekonomi, UI. Jakarta
Dervitsiotis, K.N. 1984. Operations Management: International Student Edition. 2nd
Printing.
McGraw-Hill International Book Company. Singapore
Elsayed, A.E. dan Boucher, O.T. (19XX). Analysis and Control of Production System. 2nd
Edition.
Prentice Hall International Series in Industrial Engineering. London
Ernawati, Y dan Sunarsih. 2008. Sistem Pengendalian Persediaan Model Probabilistik dengan
Back Order Policy. Jurnal Matematika Vol. 11, No.2, Agustus 2008: 87-93
Handoko, T.H. 1995. Dasar-dasar Produksi dan Operasi. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta
Hantoro, S. 1993. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Penerbit UPP IKIP. Yogyakarta
Render dan Heizer. 2001. Prinsip-prinsip Manajemen Operasi. Edisi 8. Penerbit Salemba Empat.
Jakarta
Sumayang, L. 2003. Dasar-dasar Manajemen Produksi & Operasi. Penerbit Salemba Empat.
Jakarta
Taylor III, B.W. 2005. Sains Manajemen. Edisi 8. Penerbit Salemba Empat. Jakarta
E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.64
PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI (HPP) PRODUK RIMPANG TEMULAWAK
MENGGUNAKAN METODE FULL COSTING SEBAGAI DASAR PENENTUAN HARGA
JUAL (STUDI KASUS : KLASTER BIOFARMAKA KABUPATEN KARANGANYAR)
Fakhrina Fahma*)
, Murman Budijanto, Ayu Purnama
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta *)
Email : fakhrina09@gmail.com
Abstrak
Kabupaten Karanganyar merupakan sentra produksi biofarmaka terbesar di Jawa Tengah
dengan luas area lahan 270 hektar dan jumlah produksi mencapai 1.390.700 kg (Balitpang
Provinsi Jawa Tengah, 2010). Demi membantu pengembangan biofarmaka pemerintah
Kabupaten Karanganyar membentuk lembaga Klaster Biofarmaka yang beranggotakan 10
kelompok tani. Produk unggulan klaster yang banyak diminati oleh konsumen adalah rimpang
temulawak, simplisia temulawak, dan serbuk temulawak. Harga tawar produk yang ditentukan
oleh Klaster Biofarmaka kepada petani cenderung rendah, sehingga petani lebih memilih
menjual produknya ke tengkulak. Hal ini terjadi karena rendahnya pengetahuan petani
mengenai cara menetapkan harga jual produk sehingga petani tidak memiliki daya tawar
produk yang baik. Untuk menghindari adanya kesalahan dalam perhitungan harga pokok
produksi temulawak dan untuk menghasilkan biaya yang efisien diperlukan penerapan suatu
metode yang tepat untuk menghitung penetapan harga pokok produksi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode full costing. Berdasarkan hasil penelitian, maka
dapat ditunjukkan bahwa hasil dari perhitungan harga pokok produksi (HPP) dengan
menggunakan metode full costing untuk produk temulawak basah adalah Rp 2.116 per
kilogram, produk simplisia temulawak adalah Rp 21.278, dan produk serbuk temulawak
adalah Rp 47.557.
Kata kunci: biofarmaka, klaster, temulawak, harga.
1. PENDAHULUAN
Indonesia, merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki banyak lahan
pertanian yang cocok untuk dijadikan budidaya tanaman biofarmaka. Salah satu wilayah di
Indonesia yang merupakan penghasil biofarmaka terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah yang
telah menyuplai kebutuhan nasional sebesar 50% (Gudegnet, 2011). Kabupaten Karanganyar
merupakan sentra produksi biofarmaka terbesar di Jawa Tengah dengan luas area lahan 270 hektar
dan jumlah produksi mencapai 1.390.700 kg (Balitpang Provinsi Jawa Tengah, 2010). Demi
membantu pengembangan biofarmaka pemerintah Kabupaten Karanganyar membentuk lembaga
Klaster Biofarmaka yang beranggotakan 10 kelompok tani. Keberadaan Klaster Biofarmaka
diharapkan dapat meningkatkan daya saing petani biofarmaka.
Produk unggulan klaster yang banyak diminati oleh konsumen adalah rimpang temulawak,
simplisia temulawak, dan serbuk temulawak. Seiring ketatnya persaingan pasar pada produk
biofarmaka, maka pihak Klaster dituntut untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, dan
cermat dalam menetapkan harga jual produk agar produk yang dihasilkan memiliki daya tawar.
Peningkatan mutu pada produk yang dihasilkan oleh petani harus diikuti dengan peningkatan harga
beli yang dilakukan oleh klaster kepada petani.
Harga tawar produk yang ditentukan oleh Klaster Biofarmaka kepada petani cenderung
rendah, sehingga petani lebih memilih menjual produknya ke tengkulak dengan harga yang sudah
ditentukan oleh tengkulak. Hal ini terjadi karena rendahnya pengetahuan petani mengenai cara
menetapkan harga jual produk sehingga petani tidak memiliki daya tawar produk yang baik. Hal-
hal tersebut bisa diatasi apabila Klaster Biofarmaka mampu menetapkan harga pokok produksi
yang tepat sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan harga jual yang wajar dan akurat.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada petani yang merupakan anggota
Klaster Biofarmaka (2012) harga jual produk temulawak yang diberikan kepada pihak Klaster
Biofarmaka dan tengkulak untuk produk rimpang adalah Rp 1.000 – Rp 1.500 per kilogram. Harga
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.65
jual yang diberikan petani untuk simplisia temulawak adalah Rp 15.000 per kilogram. Harga jual
yang diberikan petani untuk produk serbuk adalah Rp 35.000 – Rp 40.000 per kilogram.
Untuk menghindari adanya kesalahan dalam perhitungan harga pokok produksi temulawak
dan untuk menghasilkan biaya yang efisien diperlukan penerapan suatu metode yang tepat untuk
menghitung penetapan harga pokok produksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode full costing. Full costing adalah metode penentuan harga pokok produksi dengan
memasukkan seluruh komponen biaya produksi sebagai unsur harga pokok yang meliputi biaya
bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik
tetap (Mirhani, 2001).
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Pengumpulan data
Data yang digunakan adalah data biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk
olahan temulawak. Metode pengumpulan data adalah dengan wawancara langsung kepada
pengurus Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar, pengurus Gapoktan Sumber Makmur, dan
pengurus Kelompok Tani Sumber Rejeki. Data yang dikumpulkan adalah identifikasi proses atau
aktifitas produksi pembuatan produk temulawak yang berupa :
1. Temulawak basah atau rimpang merupakan produk yang dihasilkan dari hasil panen
temulawak.
2. Simplisia temulawak adalah produk yang dihasilkan dari pengirisan rimpang temulawak yang
kemudian dikeringkan.
3. Serbuk temulawak adalah produk yang dihasilkan dari simplisia temulawak yang dihaluskan
menjadi serbuk.
Berdasarkan proses atau aktifitas produksi yang didapatkan kemudian diidentifikasi
aktifitas apa saja yang menimbulkan biaya, setelah itu biaya-biaya yang ditimbulkan
dikelompokkan kedalam komponen biaya yang terdiri dari:
1. Biaya Produksi yang meliputi:
a. Biaya bahan baku langsung yang dibutuhkan untuk proses produksi produk olahan
temulawak adalah:
- Temulawak basah : benih dan pupuk organik
- Simplisia temulawak : temulawak basah
- Serbuk temulawak : simplisia temulawak
b. Biaya tenaga kerja langsung
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk proses produksi produk olahan temulawak
merupakan tenaga kerja langsung yang terbagi menjadi: - Temulawak basah: tenaga kerja persiapan lahan, tenaga kerja penanaman
temulawak, tenga kerja pemeliharaan, dan tenaga kerja saat panen tiba.
- Simplisia temulawak: tenaga kerja pencucian dan pengemasan, tenaga kerja
pengirisan dan penjemuran temulawak, dan tenaga kerja untuk pengemasan
temulawak.
- Serbuk temulawak: tenaga kerja penggilingan dan tenaga kerja pengemasan.
c. Biaya overhead pabrik yang dibutuhkan adalah:
- Temulawak basah: biaya sewa lahan, biaya depresiasi karung penyimpanan panen.
- Simplisia temulawak: biaya depresiasi keranjang biaya depresiasi mesin pompa air,
biaya depresiasi alat pengiris, biaya depresiasi mesin sealer, biaya depresiasi kotak
pengering, dan biaya listrik yang dibutuhkan
- Serbuk temulawak: biaya depresiasi alat penggiling dan biaya listrik yang
dibutuhkan.
2. Biaya Komersial yang meliputi:
a. Biaya administrasi: pembelian alat tulis kantor.
b. Biaya pemasaran: biaya distribusi produk sampai ke pembeli.
3. Perhitungan bunga majemuk diskret
Selain menghitung biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead dilakukan juga
perhitungan bunga majemuk diskret. Perhitungan bunga bertujuan untuk menghitung rasio
E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.66
dari bunga yang dibayarkan terhadap induk dalam suatu periode waktu tertentu (Pujawan,
2003).
2.2. Tahap Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah sebagai input untuk perhitungan harga pokok
produksi yang menjadi dasar penentuan harga jual produk temulawak. Pengolahan data untuk
menetapkan harga pokok produksi dilakukan dengan metode full costing. Metode full costing
mempertimbangkan biaya overhead pabrik dibebankan kepada produk jadi atau ke harga pokok
produksi berdasarkan tarif yang ditentukan pada aktivitas normal atau aktivitas yang sesungguhnya
terjadi sehingga meningkatkan akurasi analisis biaya (Eprilianta, 2011). Tahap yang dilakukan
untuk menentukan harga pokok produksi (HPP) untuk produk temulawak basah, simplisia, dan
serbuk yaitu menghitung total biaya produksi telebih dahulu, kemudian menghitung total HPP
dengan menambahkan biaya produksi dengan biaya komersial dan biaya bunga majemuk diskret.
Biaya Bahan Baku = xx
Biaya Tenaga Kerja Langsung = xx
Biaya Overhead Perusahaan = xx +
Total Biaya Produksi = xx ......................................... (3.1)
Untuk menghitung besarnya HPP suatu produk secara menyeluruh maka:
Total Biaya Produksi = xx
Biaya Komersial = xx
Bunga Majemuk Diskret = xx +
Total HPP = xx …………………………. (3.2)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Proses Produksi Produk Temulawak
Di tingkat petani, produk biofarmaka dijual dalam bentuk rimpang, simplisia, dan serbuk
(proses produksinya masing-masing disajikan pada Gambar 1). Rimpang adalah hasil panen
tanaman biofarmaka yang segar dan belum diolah, sedangkan simplisia adalah rimpang yang telah
dipotong atau diiris (ketebalan 4-8 mm) dan dikeringkan sampai kadar air kurang dari 10%. Dan
serbuk adalah simplisia biofarmaka yang diolah menjadi serbuk seperti tepung.
a. Temulawak basah b. Simplisia Temulawak c. Serbuk Temulawak
Gambar 1. Proses Produksi Temulawak
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.67
3.2 Perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) Produk Temulawak
a. HPP Temulawak Basah
Perhitungan HPP dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total komponen biaya yang
sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga kerja + total biaya
overhead + bunga majemuk diskret. Perhitungan HPP dengan metode full costing tersaji
dalam Tabel 1 dengan menghasilkan biaya produksi Rp 2.116 per kilogram.
b. HPP Simplisia Temulawak
Perhitungan HPP produk simplisia dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total
komponen biaya yang sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga
kerja + total biaya overhead + bunga majemuk diskret. Perhitungan HPP dengan metode full
costing tersaji dalam Tabel 2 yang menunjukkan bahwa HPP produk simplisia per kilogram
adalah Rp 21.278.
c. HPP Serbuk Temulawak
Perhitungan HPP produk serbuk dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total
komponen biaya yang sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga
kerja + total biaya overhead. Perhitungan HPP dengan metode full costing tersaji dalam
tabel 4.16 yang menunjukkan bahwa HPP produk serbuk per kilogram adalah Rp 47.557.
Tabel 1 HPP Produk Temulawak Basah dengan Metode Full Costing
Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga Kerja Biaya Overhead
1 Persiapan lahan
a. Sewa lahan 1,400,000.00Rp
b. Pembersihan lahan 180,000.00Rp
c. Penggemburan tanah 120,000.00Rp
2 Penanaman
a. Benih yang dibutuhkan 100,000.00Rp
b. Biaya tenaga kerja 90,000.00Rp
c. Pemupukan awal 550,000.00Rp
3 Pemeliharaan lahan
a. Pemupukan ke-2 275,000.00Rp
b. Pemupukan ke-3 275,000.00Rp
c. Biaya tenaga kerja 160,000.00Rp
4 Panen
a. Biaya tenaga kerja 170,000.00Rp
5 Penyortiran hasil panen 49.68Rp
6 Penyimpanan hasil panen
a. Sewa gudang 324,000.00Rp
1,200,000.00Rp 720,000.00Rp 1,724,049.68Rp
Metode Full Costing:
Biaya Bahan Baku 1,200,000.00Rp
Biaya Tenaga Kerja 720,000.00Rp
Biaya Overhead Tetap 1,724,000.00Rp
Biaya Overhead Variabel 49.68Rp
Total HPP 3,644,049.68Rp
Bunga Majemuk diskret 588,149.62Rp
Total HPP 4,232,199.30Rp
Hasil panen 2000 kg
HPP Temulawak basah/Kg 2,116.10Rp
No. KegiatanKlasifikasi Biaya
Total masing-masing komponen biaya
E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.68
Tabel 2 HPP Produk SimplisiaTemulawak dengan Metode Full Costing
Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga KerjaBiaya Overhead
1 Persiapan bahan baku 1,058,049.82Rp
2 Pencucian dan pengupasan temulawak
a. Biaya tenaga kerja 50,000.00Rp
b. Biaya depresiasi keranjang 114.16Rp
c. Biaya depresiasi mesin pompa air 144.60Rp
d. Biaya listrik yang dibutuhkan 109.20Rp
3 Pengirisan temulawak
a. Biaya tenaga kerja 50,000.00Rp
b. Biaya depresiasi alat pemotong manual 16.44Rp
4 Penjemuran
a. Kotak pengering 913.24Rp
5 Pengemasan simplisia
a. Plastik pengemas 3,000.00Rp
b. Biaya depresiasi mesin sealer 45.66Rp
c. Biaya listrik yang dibutuhkan 218.40Rp
d. Biaya tenaga kerja 15,000.00Rp
6 Sewa gudang penyimpanan 243,000.00Rp
Total masing-masing komponen biaya 1,058,049.82Rp 115,000.00Rp 247,561.69Rp
Metode Full Costing:
Biaya Bahan Baku 1,058,049.82Rp
Biaya Tenaga Kerja 115,000.00Rp
Biaya Overhead Tetap 243,000.00Rp
Biaya Overhead Variabel 4,561.69Rp
Total Biaya Produksi 1,420,611.52Rp
Bunga Majemuk diskret 345,492.72Rp
Total HPP 1,766,104.24Rp
Hasil simplisia 83 kg
HPP Simplisia/Kg 21,278.36Rp
No. KegiatanKlasifikasi Biaya
Tabel 3 HPP Produk Serbuk Temulawak dengan Metode Full Costing
Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga Kerja Biaya Overhead
1 Persiapan simplisia yang dibutuhkan 2,127,836.43Rp
2 Penggilingan simplisia
a. Biaya depresiasi alat penggiling 547.95Rp
b. Biaya tenaga kerja 150,000.00Rp
c. Biaya listrik yang dibutuhkan 1,228.50Rp
3 Pengemasan
a. Plastik pengemas 3,000.00Rp
b. Biaya tenaga kerja 15,000.00Rp
c. Biaya depresiasi mesin sealer 45.66Rp
d. Biaya listrik yang dibutuhkan 218.40Rp
4 Sewa gudang penyimpanan 81,000.00Rp
Total masing-masing komponen biaya 2,127,836.43Rp 165,000.00Rp 86,040.51Rp
Metode Full Costing:
Biaya Bahan Baku 2,127,836.43Rp
Biaya Tenaga Kerja 165,000.00Rp
Biaya Overhead Tetap 81,000.00Rp
Biaya Overhead Variabel 5,040.51Rp
Total Biaya Produksi 2,378,876.94Rp
Total HPP 2,378,876.94Rp
Hasil Serbuk 50 kg
HPP serbuk/Kg 47,577.54Rp
No. KegiatanKlasifikasi Biaya
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil dari perhitungan
harga pokok produksi (HPP) dengan menggunakan metode full costing untuk produk temulawak
basah adalah Rp 2.116 per kilogram, produk simplisia temulawak adalah Rp 21.278 per kilogram,
dan produk serbuk temulawak adalah Rp 47.557 per kilogram. Hal tersebut menjelaskan bahwa
harga jual yang diberikan oleh petani berada jauh dibawah harga pokok produksi pembuatan
produk.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.69
DAFTAR PUSTAKA
Amorita, Dewi. (2009). Penerapan Metode Costing System dalam Penentuan Harga Pokok
Produksi Ban Vulkanisir Sistem Dingin PT. Alkarin Mariendal. Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah. 2010. Laporan Kajian Strategis
Identifikasi Potensi dan prospek Pengembangan Klaster Biofarmaka.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan
Arahan Pengembangan Bisnis Tanaman Obat.
Eprilianta, Silvana. 2011. Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Tahu dengan Metode Full
Costing pada Industri Kecil (Studi Kasus CV Laksa Mandiri). Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Bogor.
Mirhani, Siti. 2001. Variable Costing dan Full Costing untuk Pengambilan Keputusan. Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Pujawan, I. 2003. Ekonomi Teknik. Guna Widya, Surabaya.
http:gudeg.net/id/news/20011/07/6532/50-persen-Biofarmaka-Nasional-Berasal-dari-Jateng-html
Yudistra, Marfianda. 2010. Analisis Biaya dan Penetapan Harga Pokok Penjualan Nata De Coco
Koktail (Sun Coco) (Kasus: Pt. Tonsu Wahana Tirta, Kota Depok, Jawa Barat). Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor.
E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.70
PERANCANGAN KONSEP TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT
MEMPERTIMBANGKAN PROSES PEMINDAHAN PASIEN
(STUDI KASUS: RUMAH SAKIT ”ZZZ” DI SURAKARTA)
Rahmaniyah Dwi Astuti*)
, Ilham Priadythama, Nanung Eko Setyawan
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126, Telp/Fax. (0271) 632110 *)
Email : niyah22@gmail.com
Abstract
Manual patient bed transfer is still bringing in a problem for nurses and also for patients when
the nursing moves from or to wards in hospital, especially in a nursing with surgery. For the
nurses, it can lead to low back pain because they must bow when they lift and move the patient
body. For the patients, the transfer process can definitely cause body movement which can
cause inconvenience, for example for a patient with a physical trauma. Therefore, it would be
very helpfull if there is something which can change the traditional technique of patient
transfer. The objective of this study is to design a concept of interchangeable hospital bed
mattresses.The first step of this study is the problem analysis to the patient transfer process
and the beds they currently use. This activity was begins trough observation, direct
interrogation, and the deployment of Nordic Body Map equiped questionaire. After the analysis
showed the ponits of the problem, there can be developed a bed design concepts with their
fitures which can accommodate requirements of the process, encompass the nurses’
anthropometry based bed dimension, the bed mechanical mechanisms, and some supporting
fitures. The result of this study are concepts of both hospital wards bed and transit bed which
theoretically can eliminate the nurses low back pain. The transfer is enabled with
interchangeable mattress slide mechanisms with remote locks to ensure the effectivity and the
safety of the process. The transit bed is designed with light costruction and remote brake
equiped handle to increase its mobility and handling.
Kata kunci : nurse, design, manual patient bed transfer.
1. PENDAHULUAN
Pemindahan pasien antar tempat tidur di rumah sakit sering dilakukan selama proses
perawatan. Aktivitas semacam ini termasuk penanganan pasien secara manual. Penanganan pasien
secara manual meliputi lifting, transferring dan repositioning, yang tidak hanya beresiko bagi
perawat tetapi juga bagi pasien yang dipindahkan (Marras dkk., 1999). Perawat yang melakukan
pemindahan pasien cenderung memiliki tingkat resiko low back pain yang bahkan lebih tinggi
daripada penanganan material di bidang industri. Dikarenakan pasien adalah manusia yang dapat
bergerak dan memiliki massa yang relatif besar sehingga memungkinkan pusat gravitasi dan jarak
perawat ke pasien dapat berubah selama kegiatan penanganan (Feletto, 2001). Dengan kata lain
perawat akan mengalami pembebanan dinamik. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, penanganan
beban dinamik lebih berat daripada beban statik sehingga beban maksimum yang diijinkan kurang
dari beban statik (Winter, 1995). Ditinjau dari kritisnya permasalahan ini, pemindahan pasien antar
tempat tidur pasien harus dilakukan secara tepat. Hal ini sejalan dengan Nurmiyanto (2004)
menyatakan, bahwa suatu pekerjaan apabila tidak dilakukan secara tepat akan menimbulkan
kecelakaan kerja karena beban kerja yang berlebihan, sikap kerja yang tidak sesuai maupun tingkat
frekuensi yang tinggi.
Pada umumnya mekanisme kedatangan pasien yang akan menjalani operasi di rumah
sakit, pertama kali pasien ditempatkan di tempat tidur pasien (bangsal) di bagian Instalasi Gawat
Darurat (IGD) untuk menjalani pemeriksaan oleh tim medis. Dari ruang IGD, pasien dipindahkan
ke tempat tidur transit yang berada di kamar transit sebelum dilakukan operasi. Pemindahan pasien
dilakukan di kamar transit dikarenakan tempat tidur bangsal dianggap kurang steril untuk
memasuki kamar operasi. Oleh karena itu, mobilitas pasien di kamar operasi hanya menggunakan
tempat tidur transit. Dari tempat tidur transit, pasien dipindahkan ke tempat tidur operasi yang
khusus dirancang untuk kegiatan operasi. Setelah selesai operasi pasien kembali dipindahkan ke
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.71
tempat tidur transit, kemudian dibawa ke ruang pulih sadar (recovery room) sebelum ditempatkan
di tempat tidur bangsal selama penyembuhan.
Berdasarkan pengamatan secara langsung dan wawancara terhadap perawat di Rumah Sakit
Islam Surakarta, diketahui bahwa dalam pelaksanaan operasi terdapat kesulitan pada proses
pemindahan pasien dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit maupun sebaliknya di ruang
operasi. Dalam pengangkatan dan pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit ini, pasien
berpotensi tinggi mengalami perubahan posisi tubuh apabila dibandingkan dengan pergerakan yang
dilakukan pasien sendiri maupun pergerakan pasien saat aktivitas sterilisasi oleh perawat. Aktivitas
sterilisasi pasien oleh perawat meliputi mengganti bed cover tempat tidur rumah sakit maupun
mengenakan pakaian operasi ke tubuh pasien. Di Rumah Sakit “ZZZ” di Surakarta, pasien
dipindahkan sebanyak dua kali antar tempat tidur bangsal dan transit sebelum maupun sesudah
dilakukan operasi. Ditambah dengan dua kali pemindahan pasien antar tempat tidur transit dan
tempat tidur operasi, baik sebelum maupun sesudah dilakukan operasi. Di rumah sakit pada
umumnya, frekuensi pemindahan pasien antar tempat tidur pasien juga hampir sama dengan yang
ada di Rumah Sakit “ZZZ” Surakarta. Posisi perawat sewaktu melakukan pengangkatan dan
pemindahan pasien berpotensi menimbulkan low back pain karena dilakukan perawat dengan
posisi membungkuk. Aktivitas pemindahan pasien ini juga berakibat tidak baik bagi pasien,
terutama pasien yang mengalami cidera patah tulang atau gegar otak karena kecelakaan.
Pada umumnya, tempat tidur bangsal dan transit dilengkapi dengan roda dan pengaman
sisi. Salah satu perbedaan tempat tidur bangsal dan transit yaitu pada pengatur sandaran belakang
tempat tidur bangsal yang dapat diatur sudutnya mulai dari 0o sampai 75
o. Biasanya tempat tidur
bangsal memiliki ketinggian yang tidak sama dengan tempat tidur transit sehingga perawat
mengalami kesulitan saat melakukan pemindahan pasien antar tempat tidur pasien.
Alat bantu yang biasanya digunakan perawat dalam memindahkan pasien antar tempat
tidur pasien di rumah sakit berupa slide sheet. Slide sheet atau “perlak” dapat berupa lembaran kain
yang digunakan untuk membantu memindahkan pasien. Sewaktu perawat melakukan pemindahan
pasien dengan menggunakan slide sheet, posisi tubuh pasien masih mengalami perubahan. Slide
sheet tidak bisa digunakan dalam aktivitas pemindahan pasien antar tempat tidur pasien apabila
ketinggian tempat tidur bangsal dan tempat tidur transit tidak sama.
Dalam kenyataannya, di suatu rumah sakit terkadang masih memposisikan tempat tidur
bangsal sebagai transit serta tidak adanya konsep yang membantu dalam pemindahan pasien antar
tempat tidur pasien. Padahal diperlukan alat akomodasi utama yang dirancang khusus untuk
membantu memindahkan pasien antar tempat tidur pasien. Umumnya tempat tidur transit di rumah
sakit, bagian plat penempatan kasur pasien menyatu dengan bagian kerangkanya sehingga tidak
dapat digerakkan. Dengan mekanisme yang memungkinkan perpindahan bagian plat penempatan
kasur pasien, diharapkan pemindahan pasien dapat dilakukan antar tempat tidur bangsal dan transit
sehingga mengurangi potensi low back pain bagi perawat dan pasien merasa nyaman.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
perancangan konsep tempat tidur rumah sakit yang mempertimbangkan proses pemindahan pasien
sehingga dapat mengurangi keluhan low back pain perawat.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Tahap I (Tahap Pendahuluan)
Tahap ini merupakan langkah awal dalam memulai penelitian. Latar belakang
menunjukkan bahwa terdapat suatu permasalahan sehingga layak untuk diangkat ke dalam
penelitian ini. Latar belakang penelitian ditentukan dengan mengangkat suatu permasalahan yang
ada pada proses pemindahan pasien antar tempat tidur rumaha sakit (bangsal dan transit) yang
dilakukan oleh perawat. Kemudian bedasarkan penjelasan latar belakang peneliti menentukan
perumusan masalah sebagai batasan pembahasan yang akan dilakukan pada penelitian ini. Setelah
perumusan masalah ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dan manfaat
penelitian, sebagai penjelasan tentang solusi yang akan dipenuhi untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi, dimana solusi yang akan diberikan pada penelitian ini untuk
menyelesaikan permasalahan pada proses pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit
dengan merancang tempat tidur bangsal dan transit beserta alternatif mekanisme pemindahan
pasien.
E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.72
2.2 Tahap II (Pengumpulan Data)
Tahap ini diawali dengan deskripsi permasalahan meliputi observasi tempat tidur bangsal
maupun transit yang terdiri dari penelitian mendalam mengenai permasalahan pada proses
pemindahan pasien. Observasi dilakukan dengan wawancara perawat dan pemberian kuesioner
Nordic Body Map.
2.3 Tahap III (Pengolahan Data)
Tahap ini dilakukan dengan penentuan fitur dan konsep perancangan, yang merubah
kebutuhan perancangan berdasarkan harapan dan keluhan perawat, fitur dan ide rancangan serta
kebutuhan rancangan dari perancang, pengumpulan data anthropometri, penentuan dimensi utama
rancangan serta fitur-fitur penunjang rancangan, rancangan keseluruhan produk.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Masalah
Data yang diambil meliputi komponen-komponen tempat tidur pasien baik transit maupun
bangsal, dimensi tempat tidur pasien dan prosedur penggunaan tempat tidur pasien awal. Hasil
pengumpulan data tempat tidur transit dan bangsal adalah sebagai berikut:
Tempat tidur transit merupakan tempat tidur pasien yang berada di kamar transit operasi.
Tempat tidur transit digunakan untuk membawa pasien sebelum dan sesudah operasi. Pasien yang
akan menjalani operasi dibawa oleh perawat menggunakan tempat tidur bangsal dari tempat tidur
pasien (bangsal) di bagian IGD menuju kamar transit.
Mekanisme pemindahan pasien di Rumah Sakit ”ZZZ” Surakarta dapat dilihat pada bagan
di bawah ini :
Gambar 1. Mekanisme pemindahan pasien di Rumah Sakit Islam Surakarta
Postur tubuh perawat pada aktivitas pemindahan pasien dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Postur tubuh saat mengangkat pasien
Postur tubuh saat pengangkatan pasien dilakukan dengan postur membungkuk karena
ketinggian tempat tidur pasien kurang sesuai dengan anthropometri tinggi perawat. Proses ini
dilakukan oleh tiga perawat, perawat secara bersamaan mengangkatan pasien dari tempat tidur
bangsal. Postur ini menyebabkan keluhan nyeri bagian leher, punggung, bahu dan pinggang.
b. Postur tubuh saat meletakkan pasien
Postur tubuh saat meletakkan pasien dilakukan dengan postur membungkuk. Perawat secara
bersamaan meletakkan pasien ke tempat tidur transit. Postur ini menyebabkan keluhan nyeri
pada leher, punggung, pinggang dan lutut.
Dalam proses pemindahan pasien, baik pengangkatan dan peletakkan pasien, perawat berusaha
melakukan gerakan yang sehalus mungkin sehingga tidak menimbulkan goncangan.
Gambar 2. Postur tubuh perawat saat mengangkat dan meletakkan pasien
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.73
3.2 Hasil Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Deskripsi keluhan dan harapan perawat berdasarkan hasil wawancara dengan keenam perawat
dan kuesioner Nordic Body Map. Perawat yang melakukan pengangkatan dan pemindahan pasien
berusia 20 sampai 35 tahun. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung
dari perawat mengenai keluhan ketidaknyamanan yang dialami perawat pada aktivitas
pengangkatan dan pemindahan pasien. Keluhan ketidaknyamanan ini yang nantinya diidentifikasi
menjadi kebutuhan perancangan. Identifikasi ini bertujuan untuk membantu perancang dalam
merancang tempat tidur transit dan bangsal. Hasil wawancara terhadap perawat mengenai keluhan
ketidaknyamanan pada aktivitas pemindahan pasien dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Keluhan Perawat Pada Aktivitas Pemindahan Pasien
No Keluhan Perawat Jumlah Perawat
1. Nyeri pada bagian leher 4 (dari 6)
2. Nyeri pada bagian punggung 6 (dari 6)
3. Nyeri pada bagian pinggang 4 (dari 6)
4. Nyeri pada bagian bahu 4 (dari 6)
5. Nyeri pada bagian lutut 2 (dari 6)
Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mengetahui harapan perawat yang selanjutnya
dijadikan pertimbangan dalam perancangan. Tabel 2 menunjukkan beberapa pernyataan harapan
perawat mengenai aktivitas pemindahan pasien.
Tabel 2. Harapan Perawat
No Harapan Perawat Jumlah Perawat
1. Saya ingin posisi yang nyaman (badan tidak terlalu
membungkuk) saat melakukan pemindahan pasien. 6 (dari 6)
2. Saya ingin rancangan tempat tidur pasien yang bisa
mengurangi nyeri di punggung. 6 (dari 6)
3. Saya ingin tempat tidur pasien dengan mekanisme
sederhana yang mudah digunakan. 4 (dari 6)
4. Saya ingin aktivitas pemindahan pasien tetap bisa
dilakukan walau hanya dengan 1 perawat. 4 (dari 6)
5. Saya ingin tempat tidur pasien yang bisa membantu
pemindahan pasien antar tempat tidur pasien. 6 (dari 6)
2. Penentuan fitur dan konsep perancangan dalam penelitian ini terdiri dari penentuan kebutuhan
perancangan berdasarkan harapan dan keluhan perawat, penentuan fitur dan ide rancangan serta
kebutuhan rancangan dari perancang.
a) Dari keluhan dan harapan perawat dapat ditentukan kebutuhan perancangan.
b) Dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan perancangan, kemudian diidentifikasikan
menjadi fitur rancangan. Penambahan kebutuhan rancangan dari perancang bertujuan untuk
melengkapi kebutuhan perancangan dan fitur yang harus ada pada rancangan. Fitur remote
brake (pengerem roda depan pada tempat tidur transit) berdasarkan sistem pengereman roda
sepeda pada umunya. Fitur remote lock I (pengunci plat I penempatan kasur pasien) dan remote
lock II (pengunci antar tempat tidur pasien) berdasarkan sistem remote lock pada sepeda yang
biasanya sebagai pengatur suspensi dan perpindahan ger sepeda. Dengan pengaplikasian remote
brake dan remote lock ini, perawat tidak harus menundukkan kepala untuk melakukan
pengereman dan penguncian. Posisi tangan perawat pada remote brake dan remote lock,
pandangan mata perawat tetap fokus ke arah depan sehingga tetap konsentrasi terhadap medan
tempuh. Mekanisme sliding berdasarkan prinsip kerja slide sheet yang digunakan dalam
aktivitas pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit. Berdasarkan fitur rancangan yang
ditambah dengan kebutuhan rancangan dari perancang, dapat dikembangkan ide-ide rancangan
tempat tidur transit dan bangsal. Ide rancangan yang dikembangkan diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan dan berdasarkan prinsip ergonomi agar perawat dapat menggunakan hasil
rancangan dengan nyaman.
Ide rancangan yang dikembangkan adalah merancang ketinggian tempat tidur bangsal dan
transit sama tinggi disesuaikan dengan anthropometri tinggi badan. Merancang plat penempatan
E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
E.74
kasur pasien yang dapat digeser antar tempat tidur pasien sehingga pasien dapat dipindahkan. Plat I
penempatan kasur pasien dirancang terpisah dengan plat II penempatan kasur pasien, plat I berada
di atas plat II penempatan kasur pasien. Plat I penempatan kasur pasien terdiri dari 2 bagian yang
dihubungkan dengan engsel yaitu bagian atas (head bed plate) dan bagian bawah (fix bed plate).
Roda di desain pada bagian head bed plate, bagian fix bed plate dan bagian engsel. Dalam
perancangan tempat tidur transit masih tetap mempertahankan desain tempat tidur transit awal yang
dilengkapi dengan tempat tabung oksigen di bagian bawahnya. Selain itu, perancangan tempat tidur
bangsal juga masih mempertahankan desain tempat tidur bangsal awal. Perancangan tempat tidur
transit dan bangsal juga berdasarkan data anthropometri dan sistem ergonomi agar dapat
mengurangi potensi low back pain bagi perawat dan pasien merasa nyaman. Dalam ide rancangan
dan mekanisme pemindahan pasien antar tempat tidur bangsal dan transit memperhatikan beberapa
aspek, dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Gambar 3. Aspek dalam ide rancangan dan mekanisme pemindahan
Dalam perancangan tempat tidur transit dan bangsal ini juga diperlukan data anthropometri
yang digunakan untuk menetapkan ukuran rancangan. Hal ini dimaksudkan agar rancangan yang
dihasilkan dapat digunakan dengan baik. Pengumpulan data anthropometri diperoleh dari jurnal
„Korelasi Dimensi Tubuh Manusia Indonesia Sebagai Acuan penentuan Dimensi Tubuh Manusia’,
karya Anny Maryani, 2004. Data anthropometri tersebut di dapat dari sampel yang terdiri dari 313
pria, dan 233 wanita, berusia 19-35 tahun. Setelah hasil pengukuran di dapat, hasil pengukuran
tersebut diseragamkan dengan cara membuang data-data ekstrim (nilainya diluar batas atas dan
batas bawah). Setelah diseragamkan, didapat data seragam untuk pria 144 data, dan wanita 118
data. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel anthropometri untuk persentil 5%, 50% dan 95%
yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Data tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai
dasar penentuan dimensi pada perancangan tempat tidur transit dan bangsal. Dalam tahapan ini
memperhatikan perbandingan antara ukuran tempat tidur pasien (transit dan bangsal) awal dengan
ukuran yang seharusnya berdasarkan data anthropometriData perbandingan antara dimensi tempat
tidur pasien dengan ukuran yang seharusnya berdasarkan data anthropometri di atas yang akan
digunakan sebagai dasar perancangan tempat tidur transit dan bangsal.
3. Dalam tahapan rancangan keseluruhan produk ini berdasarkan perancangan bagian per bagian
dari rancangan, kemudian rancangan disatukan menjadi rancangan utuh.
Gambar 4. Rancangan tempat tidur transit (posisi normal)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.75
Gambar 5. Rancangan tempat tidur bangsal (posisi normal)
4. KESIMPULAN
1. Penelitian ini menghasilkan rancangan konsep tempat tidur rumah sakit (tempat tidur bangsal
dan transit) yang mempertimbangkan proses pemindahan pasien yang secara konseptual dapat
mengurangi keluhan low back pain perawat.
2. Ketinggian tempat tidur transit dan bangsal pada hasil rancangan didesain dengan ketinggian
yang sama. Didesain dengan roda dan rel pada plat penempatan kasur yang bertujuan
menghilangkan aktivitas pengangkatan pasien.
3. Rancangan tempat tidur pasien yang dilengkapi dengan remote brake (pengerem roda depan
untuk tempat tidur transit), remote lock I (pengunci plat I penempatan kasur pasien untuk tempat
tidur transit dan bangsal) dan remote lock II (pengunci antar tempat tidur transit dan bangsal).
4. Mekanisme pemindahan pasien antar ruang dengan perancangan konsep tempat tidur transit dan
bangsal yang baru dapat diimplementasikan menjadi tiga alternatif, yaitu :
a) Pasien dari kamar pasien dibawa dengan tempat tidur bangsal ke ruang transit, kemudian
dipindahkan ke tempat tidur transit oleh satu perawat. Setelah itu dibawa ke ruang operasi.
b) Pasien dipindahkan dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit di kamar pasien oleh satu
perawat, kemudian dibawa ke ruang operasi.
c) Pasien dipindahkan dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit di kamar pasien oleh satu
perawat. Kemudian dibawa ke ruang transit untuk dipindahkan ke tempat tidur transit yang
kedua, dengan alasan menjaga sterilisasi.
Dari ketiga alternatif di atas, setelah operasi pasien dibawa ke recovery room dengan tempat
tidur transit sebelum dipindahkan kembali ke tempat tidur bangsal dengan mekanisme yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
Corlett, E.N. 1992. Evaluation Of Human Work, A Practical Ergonomics Methodology. London:
Tayor & Francis. Inc.
Feletto, M., and Graze, W. 2001. A Back Injury Prevention Guide For Health Care Provider.
California: Sacramento, CA.
Maniadakins, N., and Gray, A. 2000. The Economic Burden of Back Pain in The UK. Pain 2000,
84: 95–103.
Marras, W. S., Davis, K. G., Kirking, B. C., and Bertsche, P. K. 1999. A Comprehensive Analysis
of Low-Back Disorder Risk and Spinal Loading During the Transferring and
Repositioning of Patients Using Different Techniques. Ergonomics, 42: 904-926.
Nelson, A. 2003. State of The Science in Patient Care Ergonomies: Lesson Learned and Gaps in
Knowledge. Third Annual Safe Patient Handling and Movement Conference : Clearwater
Beach.
Nurmianto, E. 2004. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi 2. Surabaya: Guna Widya.
Pullat, B.M. 1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics. United States of America: Prentice
Hall Inc.
Roebuck, J. A. 1975. Body Space Antropometry, Ergonomi and Design. London : Taylor & Francis
Inc.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.1
ANALISIS HAMBATAN IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT
DI WILAYAH KECAMATAN TINGKIR, SALATIGA
Yusuf Sulistyo Nugroho*), Fatah Yasin Al Irsyadi**
)
Jurusan Teknik Informatika Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS
Jl.A.Yani Tromol Pos I Pabelan, Kartasura, Surakarta Email :
**) yusufsn@fki.ums.ac.id ,
**) fatinbangpi@yahoo.com
Abstrak
E-government telah diterapkan di berbagai wilayah dan instansi di seluruh Indonesia, namun
tidak semua penerapannya berjalan optimal. Hal ini dikarenakan tiap wilayah atau instansi
memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga kendala yang dihadapi juga terjadi perbedaan.
Hal ini yang sering dirasakan oleh warga Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga terhadap
pelayanan menggunakan e-government yang tidak sepenuhnya berjalan lancar. Untuk itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem informasi yang diterapkan di
Kecamatan Tingkir, Salatiga dan mengetahui alasan utama tidak optimalnya penerapan sistem
informasi yang ada. Berdasarkan obyek penelitian, terdapat dua data penting yang diperlukan
dari proses studi ini. Pertama, data primer seperti kondisi nyata yang meliputi implementasi
dan infrastruktur e-government pemerintah daerah. Data primer ini diperoleh dengan
observasi dan angket yang didistribusikan di 3 instansi pemerintah wilayah Kecamatan
Tingkir. Kedua, data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan pada hal
tersebut maka pendekatan studi yang dipakai adalah perpaduan antara metode survei dan
non-survei. Dengan perpaduan ini diharapkan mampu dihasilkan data yang lengkap dan tepat
sehingga mampu mereduksi bias kesalahan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini
dapat diketahui bahwa model sistem informasi yang diterapkan di 3 (tiga) instansi
pemerintahan yakni Kecamatan Tingkir, Kelurahan Gendongan dan Kelurahan Kalibening
pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu tersentralisasi/terpusat, namun tingkat kesiapan
implementasinya tergantung pada ketersediaan SDM dan komitmen pimpinan lembaga
masing-masing. Di samping itu, ketergantungan keputusan pada pimpinan lembaga menjadi
hambatan dalam melaksanakan e-Government. Dengan demikian visi pemimpin sangat
berpengaruh terhadap komitmen birokrasi pemerintahan dalam melayani masyarakat melalui
e-Government.
Kata kunci: e-Government, observasi, implementasi, tersentralisasi
PENDAHULUAN Selama 10 tahun terakhir ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi demikian
pesatnya, bahkan dalam waktu kurang dari satu tahun dapat terjadi beberapa kali perubahan
teknologi yang setiap perubahan tidak jarang terjadi perubahan mendasar yang cukup signifikan.
Adanya perubahan yang mendasar di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah
menyebabkan perubahan yang mendasar pula pada berbagai aspek, bahkan pada saat ini informasi
telah menjadi komoditi yang sangat berharga dan menentukan untuk mencapai suatu keberhasilan
(Arief, dkk, 2005). Tidak disangkal lagi bahwa teknologi informasi dan komunikasi dapat
digunakan untuk menunjang dalam sistem operasional dan manajerial dari berbagai kegiatan
institusi yang di dalamnya termasuk kegiatan pemerintahan baik dari pemerintah pusat sampai
pemerintah tingkat daerah.
Salah satu bentuk teknologi informasi yang diterapkan di pemerintahan tingkat daerah
adalah sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK). Sistem administrasi kependudukan ini
merupakan sub sistem dari sistem administrasi negara yang memiliki peranan penting dalam
pemerintahan. Penyelenggaraan administrasi kependudukan diarahkan pada pemenuhan hak asasi
setiap orang di bidang pelayanan administrasi, pemenuhan data statistik dan peristiwa
kependudukan yang meliputi mutasi seperti datang, pergi, lahir dan mati penduduk. Dengan
demikian perubahan jumlah penduduk dapat diketahui dari waktu ke waktu. Perubahan jumlah
penduduk ini dapat digunakan untuk merencanakan pembangunan, pemenuhan kebutuhan dasar
dan penyelenggaraan kesejahteraan pada umumnya.
F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.2
Saat ini pemerintah telah berusaha menerapkan dan mengembangkan e-government di
berbagai wilayah dan instansi di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan
hingga tingkat nasional. Namun tidak semua penerapan e-government berjalan secara optimal. Hal
ini dikarenakan tiap wilayah atau instansi memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga kendala
yang dihadapi juga terjadi perbedaan. Sebagai contoh penerapan e-government di wilayah
Kecamatan Tingkir, Salatiga. Hampir semua desa/kelurahan yang tersebar di wilayah kecamatan
ini mengalami kendala yang sama dalam hal penerapan e-government. Hal ini dapat dilihat ketika
proses pelayanan pembuatan atau perpanjangan masa berlaku KTP (Kartu Tanda Penduduk),
penelusuran data kependudukan dan layanan lainnya yang tidak sepenuhnya berjalan secara
optimal.
Sebagai contoh pada saat proses perpanjangan masa berlaku KTP di Kelurahan Kalibening
Salatiga. Masyarakat tidak terlayani dengan baik karena belum adanya petugas yang mampu
mengoperasikan perangkat e-government. Pihak kelurahan terpaksa meminta bantuan pada salah
seorang warga yang mampu mengoperasikan perangkat tersebut. Hal ini menyebabkan proses tidak
bisa berlangsung mudah, efektif dan efisien karena sangat tergantung pada warga tersebut yang di
sisi lain memiliki tugas dan kesibukan sendiri di luar kepentingan kelurahan. Sehingga tujuan
penerapan e-government belum tercapai secara maksimal. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
penerapan e-government belum dapat terlaksana dengan optimal.
Sementara tuntutan terhadap pelaksanaan e-government tetap dan tidak dapat ditunda dan
harus dilaksanakan sesuai dengan tujuan pemerintah, sehingga Pemerintah Kota Salatiga harus
mampu mengatasi kendala-kendala yang terjadi. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui berbagai kendala yang ada, baik dari segi teknologi informasi maupun segi sosial
masyarakat, dan memberikan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala tersebut.
METODOLOGI
A. Pendekatan Studi
Berdasarkan obyek penelitian, terdapat dua data penting yang diperlukan dari proses studi
ini. Pertama, data primer seperti kondisi nyata yang meliputi implementasi dan infrastruktur e-
government pemerintah daerah. Data primer ini diperoleh dengan observasi dan angket. Kedua,
data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Berdasarkan pada hal di atas maka pendekatan studi yang dipakai adalah perpaduan antara
metode survei dan non-survei. Dengan perpaduan ini diharapkan mampu dihasilkan data yang
lengkap dan tepat sehingga mampu mereduksi bias kesalahan dalam penelitian ini.
1. Metode Survei
Metode ini digunakan untuk memperoleh data pendukung, khususnya data yang bersifat
kualitatif yang dapat menjawab aspek hambatan implementasi e-government. Di samping itu,
dengan metode survei dapat diperoleh data yang lebih up to date sementara itu data sekunder
biasanya memiliki tenggang waktu sekitar 2 tahun.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan snowball sampling, yakni
mengimplikasikan jumlah yang semakin membesar seiring dengan perjalanan waktu pengamatan.
Penelitian mengambil data pertama dari seorang key informant (Informan kunci) kemudian
menanyakan kepada informan kepada siapa lagi masalah tersebut harus ditanyakan (Pawito, 2007:
92).
2. Metode Non-Survei
Berbeda dengan metode survei, metode ini mengacu pada data sekunder yang telah ada,
termasuk data yang tersedia di literatur-literatur ilmiah yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga-
lembaga terkait.
B. Pemilihan lokasi penelitian.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Tingkir, Salatiga yang terdiri dari 3 (tiga)
instansi pemerintah pengguna e-government yaitu Kantor Kecamatan Tingkir, Kantor Kelurahan
Gendongan dan Kantor Kelurahan Kalibening. Lokasi penelitian ini dipilih dengan pertimbangan
situasi dan kondisi yang merupakan wilayah kecil dengan jumlah penduduk yang memiliki tingkat
kepadatan tinggi sehingga diharapkan dapat mewakili sebagai daerah tujuan dari penelitian ini.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.3
C. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan metode Snowball
Sampling di 3 (tiga) instansi pemerintah di wilayah Kecamatan Tingkir.
D. Pengumpulan data.
Data yang diperlukan diperoleh dari dua sumber, yaitu:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian untuk
mendapatkan data yang diperlukan, melalui :
a) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan
terhadap obyek.
b) Interview (wawancara), yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya
jawab langsung secara lisan terhadap responden.
c) Kuesioner, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara memberikan beberapa
pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh obyek penelitian sebagai responden.
2. Data Sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang berfungsi sebagai
data pendukung. Data ini diperoleh antara lain dari:
a) Buku-buku ataupun laporan-laporan hasil penelitian yang pernah dilakukan, sepanjang
masih ada hubungannya dengan tujuan penelitian ini agar diperoleh hasil yang lebih baik.
b) Data-data dari instansi setempat maupun instansi-instansi terkait yang berkaitan sebagai
data pendukung penelitian.
E. Analisis data
Hal penting yang perlu diingat dalam melakukan analisis data adalah mengetahui dengan
tepat penggunaan alat analisis, sebab jika kita tidak memenuhi prinsip-prinsip dari pemakaian alat
analisis, walaupun alat analisisnya sangat canggih, hasilnya akan salah diinterpretasikan dan
menjadi tidak bermanfaat untuk mengambil suatu kesimpulan. Analisis data yang dilakukan
meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status
terakhir dari obyek penelitian. Analisis berupaya untuk memperoleh deskripsi yang lengkap dan
akurat dari suatu situasi. Dalam penelitian ini, analisis digunakan untuk mengemukakan hasil
penelitian mengenai hambatan implementasi e-government.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi e-government di
Kota Salatiga secara umum diperoleh berdasarkan data-data yang dikumpulkan meliputi data
primer dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian di Salatiga.
Dilengkapi dengan data sekunder yang diperoleh dari studi literatur/kepustakaan dari instansi
terkait.
Berikut adalah hasil penelitian di 3 (tiga) instansi pemerintahan di Kecamatan Tingkir.
Tabel 1. Ketersediaan Organisasi TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)
Pertanyaan Kecamatan Tingkir Kelurahan
Gendongan
Kelurahan
Kalibening
Apakah ada unit khusus pengelola
TIK? Ada Ada Tidak
Apa nama lembaga pengelola TIK
tersebut?
Bagian Humas Setda
Kota Salatiga PDE -
Tingkat eselon lembaga ini? Bagian Kantor Sub Bagian
F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.4
Tabel 2. Kepemimpinan
Pertanyaan Kecamatan
Tingkir
Kelurahan
Gendongan
Kelurahan
Kalibening
Apakah lembaga anda memiliki
rencana strategi e-Government ?
Ya Ya Ya
Apakah lembaga anda memiliki blue
print / master plan e-Government ?
Ya Ya Ya
Apabila terjadi pergantian pimpinan
tertinggi lembaga anda, maka
implementasi e-Government akan tetap
berjalan?
Ya Ya Ya
Bagaimana keterlibatan pimpinan
lembaga dalam implementasi e-
Government?
Memberikan
masukan,
review dan
persetujuan
dalam
perencanaan
dan
implementasi
e-Government
lembaga
Memberikan
masukan,
review dan
persetujuan
dalam
perencanaan
dan
implementasi
e-Government
lembaga
Hanya
memberikan
persetujuan
Siapakah pejabat (selaku CIO) yang
bertanggung jawab atas seluruh
implementasi e-Government?
Bagian
organisasi
setda kota
salatiga /
Dukcapil
Pimpinan
tertinggi
lembaga
Pimpinan
tertinggi
lembaga
Siapakah yang memiliki peran aktif
yang memastikan bahwa layanan e-
Government lembaga anda
memberikan peningkatan kualitas
layanan masyarakat?
Bagian
organisasi
setda kota
salatiga / PDE
Pejabat TI
lembaga
Pimpinan
tertinggi
lembaga
22
0
2
7
13
0
16
0
2
5
9
0
8
01 1
6
00
5
10
15
20
25
Total Pegawai Pejabat Eselon II
Pejabat Eselon III
Pejabat Eselon IV
Staf PNS Staf Honorarium
Jumlah
Jumlah SDM di Kecamatan Tingkir
Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet
Gambar 1. Jumlah SDM Kantor Kecamatan Tingkir
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.5
20
0 0
6
13
1
15
0 0
6
8
1
10
0 0
5 5
00
5
10
15
20
25
Total Pegawai Pejabat Eselon II
Pejabat Eselon III
Pejabat Eselon IV
Staf PNS Staf Honorarium
Jumlah
Jumlah SDM di Kelurahan Gendongan
Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet
Gambar 2. Jumlah SDM Kantor Kelurahan Gendongan
10
0 0
6
4
0
7
0 0
4
3
0
5
0 0
4
1
00
2
4
6
8
10
12
Total Pegawai Pejabat Eselon II
Pejabat Eselon III
Pejabat Eselon IV
Staf PNS Staf Honorarium
Jumlah
Jumlah SDM di Kelurahan Kalibening
Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet
Gambar 3. Jumlah SDM Kantor Kelurahan Kalibening
Analisis Deskriptif
Tabel 1 menjelaskan tentang ketersediaan organisasi TIK dari masing-masing instansi.
Ketersediaan unit khusus pengelola TIK tersebut berbeda di setiap instansi. Kelurahan Gendongan
memiliki unit khusus pengelola TIK yaitu PDE (Pengolahan Data Elektronik) sedangkan di
Kecamatan Tingkir ditangani oleh Bagian Humas Setda. Namun di Kelurahan Kalibening tidak
memiliki unit khusus tersebut sehingga menjadi salah satu hambatan tidak termanfaatkannya TIK
secara optimal. Sebagai contoh ketika ada masyarakat yang membutuhkan surat pengantar untuk
pembuatan KTP, terpaksa pihak kelurahan mendatangkan orang lain yang dianggap mampu di
bidang TIK untuk membuatkan surat pengantar tersebut.
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat peran aktif pimpinan lembaga dalam menentukan
implementasi e-government di instansi masing-masing. Di Kecamatan Tingkir dan Kelurahan
Gendongan, pimpinan lembaga terlibat aktif dalam memberikan masukan, review dan persetujuan
dalam perencanaan serta implementasi e-Government lembaga. Di samping itu, Kecamatan Tingkir
dan Kelurahan Gendongan sudah memiliki level manajemen yang bertanggungjawab atas seluruh
implementasi e-government yaitu pejabat TI. Sedangkan di Kelurahan Kalibening belum memiliki
F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.6
level manajemen yang bertanggungjawab terhadap TI sehingga implementasi e-government sangat
tergantung pada pimpinan tertinggi lembaga.
Gambar 1, gambar 2 dan gambar 3 menjelaskan tentang jumlah SDM dari masing-masing
instansi. Setiap instansi memiliki SDM yang mampu mengoperasikan komputer dan internet lebih
dari 50% dari total pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa SDM di masing-masing instansi
memungkinkan untuk implementasi e-government.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Model sistem informasi yang diterapkan di 3 (tiga) instansi pemerintahan yakni Kecamatan
Tingkir, Kelurahan Gendongan dan Kelurahan Kalibening pada dasarnya memiliki kesamaan
yaitu tersentralisasi/terpusat, namun tingkat kesiapan implementasinya tergantung pada
ketersediaan SDM dan komitmen pimpinan lembaga masing-masing.
2) Ketersediaan organisasi TIK mempengaruhi terhadap implementasi e-Government di Salatiga.
Hal ini terlihat di Kelurahan Gendongan yang memiliki unit khusus pengelola TIK yaitu PDE
(Pengolahan Data Elektronik) sedangkan di Kecamatan Tingkir pengolahan e-Government
ditangani oleh Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Salatiga. Sementara di Kelurahan
Kalibening tidak memiliki unit tersebut sehingga menjadi salah satu hambatan tidak
termanfaatkannya fasiltas Teknologi Informasi dan Komunikasi yang telah tersedia secara
optimal.
3) Peran aktif pimpinan lembaga juga mempengaruhi implementasi e-Government.
Ketergantungan keputusan pada pimpinan lembaga tersebut menjadi hambatan dalam
melaksanakan e-Government. Dengan demikian visi pemimpin sangat berpengaruh terhadap
komitmen birokrasi pemerintahan dalam melayani masyarakat melalui e-Government.
Daftar Pustaka
Arief, M., Samargi, M. Layooari, 2005. Analisa Hasil Survei Kondisi Teknologi Informasi
Kabupaten Dompu dalam Rangka Pengembangan Rencana Strategis E-Government,
Prosiding KNSI 2005, Bandung.
Dasuki, 2008. Memposisikan Pekerja Sosial sebagai Ketahanan Sosial Masyarakat dalam
Pengembangan E-Government Di Indonesia, Margaguna.
J. Surat Djumadal, 2005. Penerapan E-Government dan Berbagai Kendala di Pemerintah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan
Komunikasi Indonesia, ITB.
Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Raharjo, Budi, 2001. Membangun E-Government, PPAU Mikroelektronika ITB.
Teguh Kurniawan, 2006. Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui
Penerapan E-Government di Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi
2006, Bandung.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.7
BUILDING AN APPLE IPAD MINI THEATER SYSTEM
THROUGH IXTREAMER
Budi Berlinton Sitorus Program Studi Teknik Informatika, Fak.Ilmu Komputer, UPH
Jl.M.H.Thamrin No.2, Karawaci, Tangerang, Banten E-mail: budi.sitorus@uph.edu
Abstrak
iPad as a tablet PC was designed to be used as personal tablet PC. It offers several exciting
features for users to browse, schedule, open documents, play game, listen to music, view
photos, and more. Unfortunately, they only can be enjoyed personally. They are possible to
extend by the help of couple of peripherals such as Apple Digital AV adapter, Camera
Connection Kit, Composite Cable, etc. It may not result the great performance which involves
limitation to iPad for wider use. The features offered are possible to extent in the purpose of
using iPad not only as personal device but also usage of iPad for larger scope. Xtreamer
technology, specifically iXtreamer, make it possible for iPad to enhance and build a mini
theater system. Their combination will improve the perform of iPad. A research was conducted
to explore the limitations it has and find solutions. By combining iPad and iXtreamer, an
enhanced function of iPad will show how the iPad becomes a mini theater system. This system
is extending the capability of iPad previously as a personal device only to a great system
offering high multimedia features
Keywords: tablet PC, iPad, mini theater system, multimedia, iXtreamer
INTRODUCTION
One of the popular tablet PC is iPad launced by Apple as the same manufacture of other
iPod, iPhone, Mac, etc. It is primarily as a platform for audio-visual media including books,
periodicals, movies, music, games, apps and web content and mainly designed as personal use
purposes. Originaly, it has two internal speakers reproducing left and right channel audio located
on the bottom-right of the unit. In iPad1, the speakers push sound through two small sealed
channels leading to the three audio ports carved into the device [ Djuric, 2010]. Not only the
speakers exist, but also it provides a microphone that can be used for voice recording. It also
features 1024×768 VGA video output for limited applications, screen capture,connecting an
external display or television through an accessory adapter.
There are two ways in iPad possible to view its screen display through the AV Adapter
which are (1) Video Mirroring ; and (2) Video Out. By Video mirroring , the external display will
show the same content , while in Video out, display only on an external display. To use both ways,
an Apple Digital AV Adapter or VGA Adapter is a must. It is possible to display to an external
TV, or digital projector. Some applications supporting this feature are Video, Safari, YouTube,
Photos and Keynote. Apple also provides some peripheral such as Camera Connection Kit,
Composite Cable, to support display to external devices.
Usage of those peripherals may increase iPad functionality which previously for personal
use only to become a better media. For example, the use of the composite cable may return the
display of the video files it has to a larger view either to a projector or to a big TV. Audio Video
(AV) wiring or connections will end up to some advantages as long as they are correctly
configured. [Hofstetter, 2001] Another example is, for it is designed to personal use, the level of
the sound produced is limited, inadequately to support bigger environment. Therefore connecting
iPad to an active speaker may fulfill the demand.
Incorporating additional media may arise some issues to concern. Much of what is
considered technical issues with additional issues should be determined carefully. One of the
important issue of using additional audio device is the viewer control. [Bennett, 2005]
Unfortunately the two channels source it has will limit the expansion the iPad and it
requires other media to produce a high standar Dolby Pro Logic technology. This technology
enables production of multichannel home experience that decodes source audio to four-channel
F.2. Building an apple iPad mini theater system … (Budi B. Sitorus)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.8
capability [Parekh, 2006]. As a portable mobile device, one of its features is fully supporting the
video streaming. Video streaming comprises of three major component: (1) streaming server
(sender); (2) the Internet; and (3) a client (receiver) [Fong & Sui, 2006]. Oen of the most useful
illusions in sound perception is stereophony. The brain identifies the source of a sound on the basis
of differences in intensity and phase between the signals received from the left and right ears
[Chapman & Chapman, 2009].
Other important aspect to consider is what is called subjective quality factors. Viewer of
the video when watching depends on many factors : (1) individual interests and expectations; (2)
display type and properties, (3) viewing conditions; (4) the fidelity of the reproduction; and (5)
accompanying soundtrack [Winkler, 2005]. The digital video started when Apple Computer
invented FireWire or IEEE 1394, a protocol that allows digital video cameras and computers to
transmit digital video signals back and forth. [Rysinger, 2005]
METHOD
Initially, substantial amount of literatures have been reviewed to come up with an idea for
formulating this paper. Next step is to investigate the limitations of iPad which previously for
personal purpose only, as part of the analysis phase. Table 1 shows the standard iPad specs
Table 1. Standar iPad Specs.
Audio Stereo, 3.5 mm TRRS connector
audio-out
Screen Display 9.7 inche (250 mm) multi touch
display at a resolution of 1024 x
768 pixels with LED backlighting
and a fingerprint and scratch-
resistant coating
TV Display Composite AV Cable
External Monitor Display VGA Mini Adapter
Its audio output is designed for personal use not larger audience, not enough power to
connect to external speakers. The screen display in 9.7 inches size, and for displaying to external
output device, either a VGA mini adapter cable used if device provides VGA port or a composite
AV cable if the device accepts RCA connection. Connection of iPad using mini adapter has a
drawback which is an interuption while displaying video files. It is fine for photos but not videos.
Figure 1. Shows diagram of the connection.
VGA Mini Adapter
Mini jack audio cableComposite AV Cable
Figure 1. iPad Connection Diagram
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.9
To solve this limitations, an excellent hardware is required : (1) to boost level of the audio;
(2) to increase the audio control; (2) to enchance sound capability ; (4) to solve the video display
problem; and (5) to increase A media player, iXtreamer, has this capacity to answer the problems.
RESULTS AND DISCUSSION
The limitations that exist may get overcome by combining iPad with iXtreamer media
player. It is capable of streaming High-Definition (MKV H.264) movies or user-generated videos,
returning high-quality digital music and displaying high-resolution slideshows photos on your TV.
It is also equipped with 1 normal size 3.5" HDD capacity of up to 3TB storage, double memory and
docking fot the iPad to use iTunes collection on TV. It supports two types of audio output : (1)
analog and (2)digital. Its analog type uses stereo audio type but its digital support from 5.1Ch for
its optical and coaxial cable connection to 7.1Ch for its HDMI connection. Its video output
supports three types : (1)HDMI 1.3a ; (2) Component; and (3) Composite.
Figure 2. shows diagram of the combination of iPad and iXtreamer. Figure shows how iPad
now not only is available for personal use but combining iPad with also enable it to has greater
functions. The combination includes the following new features : (1) easiness and remotely control
to multimedia files; (2) higher-quality video display; (3) higher-quality audio environment and (4)
internet streaming simplicity.
LCD Projector LCD/LED TV
iXtreamer
5.1Ch Speakers
7.1Ch Speakers
Optical/ Coaxial
HDMI
RCAHDMI/
Composite/Component
Figure 2. shows diagram of the combination of iPad and iXtreamer.
Using iPad as a single device requires full multitouch interactivity of the user while
accessing it multimedia files. This combination adds an easy way to play multimedia files by a
remote control. The previously 9.7inches screen display now has increased to a high resolution
video files through HDMI connection to external device, wide screen LCD / LED TV. More
F.2. Building an apple iPad mini theater system … (Budi B. Sitorus)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.10
important new feature is the raise of the standard audio environment, which previous listened by its
internal speaker or a headphone, now have combined with iXtreamer media player, iPad has
capability to provide high quality audio environment up-to a 7.1Ch Surround environment through
HDMI connection or 5.1 Ch audio environment through either optical or coaxial connection.
CONCLUSION
Combining iPad with iXtreamer create an enhanced function of iPad which previously as personal
use table computer to become a mini theater system. It extends the capability of iPad to a high
quality high multimedia environment
Acknowledgement
Special thanks to Universitas Pelita Harapan of the financial supports for conducting this research.
REFERENCES
Apple Inc., 2010, About iPad Dock Connector to VGA Adapter compatibility". May 8 2012,
http://support.apple.com/kb/ht4108
Bennett J.G., 2005, Design Fundamentals for New Media, Thomson Delmar Learning, USA
Chapman N., Chapman J. , 2009, Digital Multimedia, John Wiley & Sons Ltd, England.
Djuric M., 2010, "Apple A4 Teardown". iFixit. Retrieved May 8, 2012,
http://www.ifixit.com/Teardown/iPad-Teardown/2183/3#s11201
Fong A.C.M., Hui S.C, 2006, Multimedia Engineering: A pracrtical Guide for Internet
Implementation, Wiley, England.
Hofstetter F., 2001, Multimedia Literacy, Mc.GrawHill, NewYork
Parekh R., 2006, Principles of Multimedia, Tata McGrawHill, New Delhi
Rysinger L., 2005, Digital Video: An In-Depth Guide to the Art and Techniques of Digital Video,
Thomson Delmar Learning, USA
Winkler S., 2005, Digital Video Quality : Vision Models and Metrics, Wiley, England.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.11
PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP NILAI RESISTANSI
SENSOR GAS BERBAHAN POLYMER
Budi Gunawan*1)
, Arief Sudarmadji2)
1) Jurusan Teknik Elektro Fak Teknik Universitas Muria Kudus
2) Jurusan Teknologi Pangan Fak Pertanian UNSOED Purwokerto
*E-mail: budi.gunawan13@yahoo.com
Abstrak
Polymer adalah bahan yang bersifat non konduktif. Material ini bisa dijadikan sebagai bahan
yang bersifat konduktif dengan menambahkan karbon aktif sebagai doping, bahan campuran
ini disebut composite polymer-carbon. Sifat konduktifitas dari bahan ini bisa berubah apabila
terpapar gas dengan perubahan resistansi tergantung dari jenis dan gas yang dideteksinya.
Dengan karakteristik ini, composite polymer-carbon bisa digunakan sebagai sensor gas. Sifat
konduktifitas dari sensor gas berbahan polymer ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya; jenis gas, konsentrasi gas, suhu dan kelembaban. Penelitian ini akan menguji
pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistansi dari sensor gas berbahan polymer.
Dalam pengujian ini akan dibuat sensor gas dari 6 jenis polymer, yaitu: PEG6000, PEG20M,
PEG200, PEG1540, Silicon and Squelene. Enam jenis polymer tersebut akan diuji dengan 9
jenis gas, yaitu : Acetone, Acetone Nitrile, Benzene, Ethanol, Methanol, Ethyl Acetone,
Chloroform, n-Hexane and Toluene. Metode pengujian dilakukan dalam sebuah chamber
terisolasi yang bisa dikondisikan variasi suhu dan kelembabannya. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa nilai resistansi dari ke 6 jenis polymer naik sebanding dengan naiknya
suhu dan kelembaban.
Kata kunci: temperatur, kelembaban, polymer, resistansi, konduktifitas
PENDAHULUAN
Salah satu perkembangan dalam bidang sensor adalah penggunaan sensor dari bahan
kimia atau disebut chemical sensor. Polimer merupakan salah satu bahan kimia yg mempunyai sifat
awal non konduktif, dalam penelitian ditemukan cara untuk membuat polimer mempunyai sifat
konduktif. Cara untuk membuat polimer menjadi konduktif adalah dengan menambahkan karbon
aktif atau black carbon sebagai dopping. Polimer yang terdopping dengan karbon ini menjadi
sebuah komposit polimer-karbon. Komposit polimer karbon yang bersifat konduktif ini ternyata
mempunyai sifat berubah nilai resistansinya apabila terpapar dengan jenis gas tertentu dan nilai
resistansinya tidak sama antara satu jenis polimer dengan polimer yang lain. Karena sifat
konduktifitas yang berubah, maka komposit polimer-karbon bisa digunakan sebagai sensor gas [1]
.
Dalam eksperimen ini akan diuji karakteristik resistansi sensor polimer terhadap pengaruh
suhu dan kelembaban udara. Untuk mengetahui karakteristik resistansi dari sensor komposit
polimer-karbon, telah dibuat dan diuji sensor dari 6 jenis polimer, yaitu; Poly ethelin Glycol (PEG)
6000, PEG 1540, PEG 20M, PEG 200, silikon, dan squalane. Sebagai gas penguji digunakan 9
jenis gas, yaitu; aseton, aseton nitril, benzena, etanol, metanol, etil aseton, kloroform, n-hexan dan
toluena. Pengujian ini akan mengetahui hubungan antara variabel kenaikan suhu dan kelembaban
terhadap resistansi dari ke enam sensor polimer dengan injeksi sembilan gas penguji.
TINJAUAN PUSTAKA
Polimer merupakan senyawa-senyawa yang tersusun dari molekul besar yang terbentuk
oleh penggabungan berulang dari banyak molekul kecil. Molekul yang kecil disebut monomer dan
dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis [3]
. Molekul panjang yang terbentuk
mengandung rantai-rantai atom yang dipadukan melalui ikatan kovalen melalui proses polimerisasi
dimana molekul monomer bereaksi bersama-sama membentuk suatu rantai linier atau jaringan tiga
dimensi dari rantai polimer[4]
. Molekul polimer umumnya mempunyai massa molekul yang sangat
besar. Hal inilah yang menyebabkan polimer memperlihatkan sifat sangat berbeda dari molekul-
molekul biasa meskipun susunan molekulnya sama.
Polimer merupakan materi non-konduktif atau bersifat isolator. Ada beberapa jenis
polimer yang bisa dibuat menjadi konduktif dengan memberi dopping karbon aktif. Tidak semua
F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.12
polimer dapat menjadi konduktif. Hanya polimer terkonjugasi (ikatan pada rantai berupa ikatan
tunggal dan rangkap yang berposisi berselang-seling) yang bisa menjadi konduktor. Peranan atom
atau molekul doping adalah menghasilkan cacat dalam rantai polimer tersebut (cacat struktur).
Cacat inilah yang berperan dalam penghantaran listrik. Cacat dapat bermuatan positif, negative,
atau netral. Cacat ini berperilaku seolah-olah sebagai partikel. Cacat dapat berpindah sepanjang
rantai, sehingga menimbulkan aliran muatan. Elektron atau hole juga dapat meloncat dari satu
posisi cacat ke posisi cacat yang lain (cacat tidak berpindah), sehingga timbul pula aliran listrik [5]
.
Pemakaian polimer sebagai bahan sensor dipilih jenis polimer yang bisa bersifat konduktif
agar memenuhi sejumlah kriteria yang dituntut oleh suatu sensor. Salah satunya adalah bahwa
polimer itu harus mampu mengikat molekul-molekul yang dideteksinya sehingga mempengaruhi
sifat konduktifitasnya [6]
.
Sensor komposit polimer-karbon dibuat dari campuran polimer dengan karbon aktif.
Sensor ini mampu merespon rangsangan yang berasal dari berbagai senyawa kimia atau reaksi
kimia. Saat campuran dipapar dengan uap bahan kimia, maka uap bahan kimia akan mengenai
permukaan polimer dan berdifusi ke campuran bahan polimer dengan karbon dan menyebabkan
ukuran permukaan polimer bertambah luas karena adanya efek swelling. [7]
Efek swelling atau mengembang ini sebanding lurus dengan konsentrasi gas yang
dideteksi. Dengan efek mengembang ini memungkinkan perubahan luas permukaan komposit
polimer-karbon jika terkena gas. Efek swelling pada polimer diperlihatkan seperti pada gambar 1;
(a) (b)
Gambar 1. Efek ‘swelling’ pada polimer;
(a) sebelum mengembang, (b) sesudah mengembang
Perubahan luas permukaan ini mempengaruhi perubahan resistansi dari polimer sehingga
dengan perubahan resistansi ini bisa mempengaruhi juga nilai konduktivitas. Perubahan resistansi
dari sensor ini dipakai sebagai masukan bagi sistem instrumentasi elektronik.
METODOLOGI EKSPERIMEN
Metodologi yang digunakan adalah eksperimen pengujian 6 jenis chemical sensor based
polymer menggunakan chamber terisolasi dengan variabel pengujian perubahan suhu dan
kelembaban. Pengujian ini menggunakan 9 jenis gas sebagai obyek yang dideteksi. Tempat
pengujian yang dipakai menggunakan sebuah chamber yang terisolasi sehingga kondisi suhu dan
kelembaban didalamnya bisa diatur.
Untuk membaca data pengujian ke enam sensor digunakan sebuah rangkaian akuisisi data
berbasis mikrokontroller yang akan membaca secara real time ke enam sensor yang diuji dan
ditampilkan pada komputer menggunakan serial interface. Data hasil pengujian selain ditampilkan
pada layar komputer juga akan tersimpan secara otomatis sebagai file yang kemudian digunakan
untuk pengolahan data. Blok diagram dari sensor, akuisisi data dan personal komputer
diperlihatkan pada gambar 2;
Gambar 2. Blok diagram
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.13
Chamber yang dipakai sebagai ruang pengujian dikondisikan agar bisa diinjeksi gas dan
dialiri udara dari luar sehingga suhu dan kelembaban udara dalam chamber bisa diatur.
Untuk membaca kondisi suhu dan kelambaban didalam chamber, diperlukan sensor suhu
dan kelambaban. Sensor suhu-kelembaban yang dipakai adalah HSM-20G. Sensor HSM-20G
adalah sensor pengukur kelembaban dan temperatur buatan Cytron Technologies. HSM-20G
merupakan sensor yang sdh bulit in sensor suhu dan kelembaban dalam satu board
Skema chamber pengujian, diperlihatkan pada gambar 3;
Gambar 3. Skema instrumentasi pengujian
Prinsip kerja instrumentasi pengujian sebagi berikut; sensor polimer yang akan diuji
ditempatkan di dalam chamber pengujian secara array. Chamber pengujian dihubungkan dengan 2
buah chamber pengkondisi udara dari luar, chamber pertama berisi silica gel yang berfungsi
sebagai pengering dan pembersih sisa-sisa gas yang menempel pada sensor sebelum dialirkan gas
penguji yang lain, chamber kedua berfungsi untuk mengkondisikan udara dengan temperatur dan
kelembaban tertentu. Sebagai masukan gas penguji, ruang pengujian diberi jalan masuk untuk
menginjeksikan gas penguji ke dalam chamber pengujian. Saat pengujian sensor, chamber
pengujian terisolasi dari suhu dan kelembaban dari luar. Untuk pembacaan data, chamber
pengujian pengujian terhubung secara langsung dengan rangkaian akuisisi data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Terhadap Suhu
Pada pengujian pengaruh suhu, 6 sensor polimer diuji didalam chamber pengujian dengan
kondisi suhu yang bervariasi dengan volume injeksi tiap gas dan kelembaban tetap. Pengujian ini
akan melihat pengaruh kenaikan suhu terhadap perubahan resistansi tiap sensor.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kenaikan suhu menyebabkan kenaikan resistansi.
Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kenaikan suhu dan koefisien pengaruh suhu
(ohm/0C) diperlihatkan pada tabel 1 dan 2;
Tabel 1. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap suhu
Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol
PEG6000 11% 14% 4% 4% 5%
PEG20M 7% 27% 24% 0% 3%
PEG200 14% 31% 21% 16% 23%
PEG1540 18% 31% 37% 31% 28%
SILICON 0% 3% 3% 3% 4%
SQUELENE 5% 2% 12% 4% 1%
EtilAseton Metanol nHexane Toluena %rata2
PEG6000 4% 5% 7% 4% 6%
PEG20M 2% 0% 1% 3% 22%
PEG200 22% 17% 17% 10% 19%
PEG1540 36% 12% 35% 31% 29%
SILICON 2% 2% 5% 3% 3%
SQUELENE 2% 1% 7% 8% 5%
F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.14
Tabel 2. koefisien pengaruh suhu (ohm/0C)
Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol
PEG6000 18 25 40 40 40
PEG20M 18 40 30 26 26
PEG200 114 105 149 149 150
PEG1540 224 348 510 452 483
SILICON 116 126 121 122 128
SQUELENE 176 185 185 180 177
EtilAseton Metanol nHexane Toluena Rata2
PEG6000 40 40 40 41 36
PEG20M 26 26 26 26 27
PEG200 146 140 144 146 138
PEG1540 489 446 476 505 437
SILICON 130 136 143 146 130
SQUELENE 181 175 188 190 182
Dari data rata-rata prosentase kenaikan polimer pengaruh suhu dapat dilihat secara umum
semua polimer mengalami kenaikan resistansi karena pengaruh kenaikan suhu lingkungan. Grafik
prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan suhu ditunjukkan pada gambar 4
sedangkan koefisien pengaruh suhu (ohm/0C) diperlihatkan pada gambar 5;
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena
PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE
Gambar.4 Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan suhu
0
100
200
300
400
500
600
Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena
PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE
Gambar.5 Grafik koefisien pengaruh suhu (ohm/
0C)
B. Pengujian Terhadap Kelembaban
Pada pengujian pengaruh kelambaban, sensor polimer diuji didalam ruang pengujian
dengan kondisi kelembaban yang bervariasi volume injeksi tiap gas dan suhu tetap.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.15
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kenaikan kelembaban menyebabkan kenaikan
resistansi. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kenaikan kelembaban dan koefisien
pengaruh kelembaban (ohm/%) diperlihatkan pada tabel 4 dan 5;
Tabel 4. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kelembaban
Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol
PEG6000 0,40% 6,60% 4,11% 0,70% 5,87%
PEG20M 7,70% 11,26% 7,86% 3,90% 6,62%
PEG200 1,96% 13,03% 12,22% 1,68% 5,56%
PEG1540 12,05% 12,93% 32,30% 28,59% 40,46%
SILICON 14,57% 5,73% 1,73% 1,64% 1,44%
SQUELENE 4,46% 6,12% 1,22% 3,80% 5,77%
EtilAseton Metanol nHexane Toluena %rata2
PEG6000 3,29% 3,51% 5,17% 6,36% 4,00%
PEG20M 3,01% 4,24% 4,72% 2,14% 5,72%
PEG200 11,87% 7,96% 1,40% 0,00% 6,19%
PEG1540 9,26% 31,46% 39,11% 42,91% 27,67%
SILICON 4,63% 1,66% 1,61% 0,23% 3,69%
SQUELENE 4,32% 1,71% 16,84% 7,15% 5,71%
Tabel 5. koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%)
Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol
PEG6000 18 25 40 40 40
PEG20M 18 40 30 26 26
PEG200 114 105 149 149 150
PEG1540 224 348 510 452 483
SILICON 116 126 121 122 128
SQUELENE 176 185 185 180 177
EtilAseton Metanol nHexane Toluena rata2
PEG6000 40 40 40 41 36
PEG20M 26 26 26 26 27
PEG200 146 140 144 146 138
PEG1540 489 446 476 505 437
SILICON 130 136 143 146 130
SQUELENE 181 175 188 190 182
Dari data rata-rata prosentase kenaikan polimer pengaruh kelembaban dapat dilihat secara
umum semua polimer mengalami kenaikan resistansi karena pengaruh kenaikan kelembaban
lingkungan. Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan kelembaban
ditunjukkan pada gambar 6 sedangkan koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%) diperlihatkan pada
gambar 7;
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena
PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE
Gambar.6 Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan kelembaban
F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.16
0
20
40
60
80
100
120
140
Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena
PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE
Gambar.7 Grafik koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%)
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian dapat disimpulkan:
1. Bahan polimer (PEG6000, PEG20M, PEG200, PEG1540, silicon dan squelene) bisa dibuat
menjadi sensor gas dengan memberi additif karbon aktif menjadi komposite polimer-karbon.
2. Sensor komposit polimer-karbon mempunyai resistansi yang berbeda-beda tergantung dari
jenis bahan polimernya.
3. Pada pengujian terhadap kenaikan suhu antara 29 - 440
C, hasil pengujian menunjukkan bahwa
kenaikan suhu menyebabkan kenaikan resistansi sensor dengan prosentase kenaikan yang
bervariasi tergantung jenis polimer dan gas penginjeksi dengan prosentase kenaikan antara 3-
29%. Kenaikan terbesar pada jenis polimer PEG 1540.
4. Pada pengujian terhadap kenaikan kelembaban antara 26 – 76%, hasil pengujian menunjukkan
bahwa kenaikan kelembaban menyebabkan kenaikan resistansi sensor dengan prosentase
kenaikan yang bervariasi tergantung jenis polimer dan gas penginjeksi dengan prosentase
kenaikan antara 3,7-27,6%. Kenaikan terbesar pada jenis polimer PEG 1540
5. Pada ploting garis menggunakan regresi, resistansi sensor akan naik sebanding dengan
kenaikan suhu dan kelembaban dengan persamaan garis polinomial orde 2 dan 3 dan sebagian
linier
DAFTAR PUSTAKA
[1] Jiri Janata And Mira Josowicz (2002), Conducting Polymers In Electronic Chemical Sensors.
[2] Hua Bai and Gaoquan Shi (2006), Gas Sensors Based on Conducting Polymers.
[3] Atkins, P. W. (1990), Physical Chemistry. 4th ed. New York: W.H. Freeman.
[4] Elias, H.-G. (1987), Mega Molecules. Berlin: Springer-Verlag
[5] Department Of Chemical Engineering Brigham Young University (2006), Modeling And Data
Analysis Of Conductive Polymer Composite Sensors.
[6] Frank Zee and Jack Judy (1999), Mems Chemical Gas Sensor Using A Polymer-Based Array,
Published at Transducers ’99 - The 10th International Conference on Solid-State ensors and
Actuators on June 7-10, Sendai, Japan
[7] Kohlman, R. S. and Epstein, Arthur J. (1998), Insulator-Metal Transistion and Inhomogeneous
Metallic State in Conducting Polymers. Skotheim, Terje A.; Elsenbaumer, Ronald L., and
Reynolds, John R., Editors. Handbook of Conducting Polymers. 2nd ed. New York: Marcel
Dekker; pp. 85-122
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.17
PENGARUH KADAR AIR DAN KEDALAMAN ELEKTRODA BATANG TUNGGAL
TERHADAP TAHANAN PEMBUMIAN PADA TANAH LIAT
Wahyono
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jalan: Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang E mail: wahyono.haji@yahoo.co.id
Abstrak
Sistem pembumian yang baik adalah suatu sistem yang memenuhi peryaratan instalasi yang
berlaku. Nilai tahanan pembumian (grounding) dipengaruhi oleh bentuk elektroda, tahanan
jenis tanah, kedalaman penanaman elektroda dan lain sebagainya. Sedangakan tahanan jenis
tanah juga dipengaruhi oleh struktur tanah, Pengaruh temperatur, pengaruh gradien
tegangan, pengaruh besarnya arus, pengaruh kandungan air dan pengaruh kandungan bahan
kimia. Bagaimana menurunkan tahanan pembumian dengan elektroda batang pentanah pada
tanah liat. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh nilai tahanan pembumian terhadap
kedalaman penanaman elektroda dan jenis tanah. Sistem kelistrikan supaya aman terhadap
gangguan yang terjadi dan untuk membantu perencana yang akan memasang elektroda
pembumian maka perlu diadakan penelitian tentang pembumian. Metode pengukuran dengan
menggunakan elektroda batang, sistem pengukurannya dengan tiga titik dan alat ukur digital
earth resistance tester tool Statistical Process Control (SPC). Hasil penelitian ini menampilkan
pengaruh kadar air terhadap tahanan pembumian dan menurunkan tahanan pembumian
dengan menambah kedalaman elektroda pada tanah liat. Tahanan pembumian pada tanah liat
dicapai 4,7 Ω pada kedalaman 225 cm dan kadar air 49,8 %.
Kata kunci : grounding, elektroda, kadar air
PENDAHULUAN
Sistem pembumian merupakan hal yang penting didalam sistem tenaga listrik terutama
masalah pengamanan dan keamanan baik terhadap manusia dan peralatan. Untuk memenuhi
persyaratan sistem pembumian yang sasuai yang diinginkan atau memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI) misalnya untuk bangunan rumah tempat tinggal dibawah 5 ohm , untuk daerah
yang tahanan jenisnya tinggi tahanan pembumian tidak boleh lebih dari 20 ohm, maka tanah yang
bila dipasang sistem pembumian nilainya tidak memenuhi syarat harus diturunkan. Upaya untuk
menurunkan nilai tahanan pembumian ini ada banyak cara antara lain menurunkan tahanan jenis
tanah, menambah kedalam elektroda yang ditanam dalam tanah, mengganti jenis elektroda serta
diameternya dan lain sebagainya.
Tinjauan Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh Wiwik, (2009), upaya menurunkan tahanan pembumian
dengan membuat parit melingkar yang diisi dengan bentonit sebagai zat aditif. Elektroda
pentanahan memakai jenis batang tunggal dengan metode tiga elektroda yaitu satu elektroda
sebagai obyek atau yang diuji dan yang dua sebagai elektroda bantu. Dari hasil penelitiannya
pengujian pada tanah liat tanpa bahan tambahan dengan kedalaman 50 cm, tananan pembumianya
97, 01 ohm, dan pada kedalaman 100 cm, tahanan pembimiannya 28,90 ohm. Setelah
menggunakan bentonit untuk kedalaman elektroda 50 cm tahanan pembumiannya 35,54, sehingga
penurunannya 63,36 %, sedangkan pada kedalaman elektroda 100 cm, tahanan pembumiannya
10,20 ohm, sehingga penurunannya 64,71 %
Kharisma D., (2007), dalam penelitiannya, nilai tahanan pembumian dipengaruhi oleh
kedalaman penanaman dan jarak elektroda. Jurnal ini memaparkan bagaimana pengaruhnya
terhadap nilai tahanan pembumian. Dalam penelitian digunakan metode pengukuran tiga titik
dengan menginjeksikan arus AC konstan di antara elektroda uji dan elektroda arus yang
menimbulkan beda potensial di antara elektroda uji dan elektroda tegangan, sehingga
didapatkan nilai tahanan pembumian. Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai tahanan
pembumian akan semakin kecil bila kedalaman penanaman ditambah, jumlah elektroda yang
ditanam, dan jarak penanamannya ditambah.
F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.18
Penelitian yang dilakukan oleh Tadjuddin (1998) pada uji eksperimennya panjang tiap
konduktor batang =3.5 meter diameter konduktor batang = 3/4 inch = 0.01905 meter ,jari-jari
batang konduktor =9.525x10-3 meter, tahanan jenis tanah rata-rata lapisan pertama =750 Ohm-m.
Kedalaman penanaman elektroda hb = 0.5 meter menghasilkan nilai tahanan elektroda pembumian
Rd1 = 191.0741 ohm, untuk satu batang elektroda tersebut ditanam semakin jauh dari permukaan
tanah menjadi Rd1 = 157.4655.
Hasil dari penelitian diatas maka upaya menurunkan tahanan pembumian ada berbagai
macam cara. Salah satu cara untuk menurunkan nilai tahanan pembumian memperkecil tahanan
jenis tanah yaitu merubah kadar air tanah dan menambah kedalaman elektroda tang ditanam dalam
tanah. Penelitian yang akan dilakukan sebagai obyak adalah pada jenis tanah liat. Masalah yang
dapat mempengaruhi tahanan pembumian dan mencari masalah yang dominan dengan memakai
alat atau tool. Bagaimana pengaruh tahanan kadar air dan kedalaman penanaman elektroda batang
terhadap nilai tahanan pembumian ?
Jenis-jenis elektroda pembumian
Elektroda yang dipakai untuk sistem pembumian telah disyaratkan oleh Standar Nasional
(SNI) 2000 adalah elektroda batang, elektroda pita dan elektroda pelat.
Elektroda batang adalah elektroda dari pipa besi baja profil atau batangan logam
lainnya yang dipancangkan ke dalam tanah secara dalam. Panjang elektroda yang digunakan
sesuai dengan pembumian yang diperlukan. Elektroda batang yang ditanam tegak lurus
dengan permukaan tanah disebut pembumian rod. Bila elektroda - elektroda tersebut dialiri arus
gangguan ke tanah ketika daerah perumahan terjadi gangguan tanah, maka arus tersebut akan
menyebar atau mengalir ke tanah dan akan mengakibatkan naiknya beda potensial pada
permukaan tanah.(Janardana, 2005)
Gambar 1. Jenis elektroda
Rp = ........................................................................... (1)
Dimana :
Rp: tahanan pembumian (Ω)
ρ : tahanan jenis tanah (Ω cm)
L : kedalaman elektroda (cm)
a : jari-jari elektroda (cm)
π : 3,14
Kandungan Air Tanah
Kandungan air tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan tahanan jenis tanah (ρ)
terutama kandungan air tanah sampai dengan 20%. Perubahan tahanan jenis tanah akan
mempengaruhi nilai tahanan pembumian (Hutahuruk, 1998) Dalam salah satu test laboratorium
untuk tanah merah penurunan kandungan air tanah dari 20% ke 10% menyebabkan tahanan jenis
tanah naik sampai 30 kali. Kenaikan kandungan air tanah diatas 20% pengaruhnya sedikit
sekali(Janardana, 2005). Bila segumpal tanah mungkin terdiri dari dua atau tiga bagian yaitu pori-
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.19
pori udara dan butiran tanah atau pori-pori udara, butiran tanah dan air (Subiyanto,2004). Pada
gambar 2.a elemen – elemen tanah yang mempunyai volume (V) dan berat total (W), sedangkan
gambar 2.b menunjukan hubungan berat dan volumenya.
Dari gambar 2.10 dapat dituliskan peramaanya :
W = Ww + Ws
V = Vw + Vs +Va
V = Vw + Vs
Dengan Ws = berat butiran padat, Ww = berat air, Vs = volume butiran padat, Vw = volume
air, Va = volume udara, volume udara dianggap nol.
(a) (b)
Gambar 2. Diagram fase tanah
Kadar air (Ka) merupakan perbandingan antara berat air dan berat butiran-butiran tanah (Ws) yang
di nyatakan dalam persen (Subiyanto,2004).
Ka(%) = ................................................................... (2)
METODE
Alat dan bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan meliputi :
a. Tanah liat, pasir, tanah padas, segumpal tanah pada kedalaman tertentu diambil untuk sampel
yang kemudian diteliti kadar airnya
b. Elektroda satu batang yang terbuat dari besi pejal lapis tembaga diameter 1,5 cm, dan dua
elektroda bantu yang terbuat dari besi galvanis.
Alat yang digunakan untuk pengukuran tahanan pembumian adalah :
a. Earth Risestance Tester untuk mengukur tahanan pembumian jens digital model 4105A. Alat
ini dirancang menurut standart IEC. Earth Resistance Tester dengan data spesifikasi sebagai
berikut :
1. Sumber tenaga : 9V DC jenis baterai R6P (SUM-3) x 6
2. Jenis : Digital Earth Resistance Tester 4105A
3. Alat ini berfungsi untuk menampilkan nilai tahanan pentanahan yang terukur dengan
kemampuan mengukur sampai 1999 Ω (ohm).
(W) (V) (Ww)
(Ws)
(Wa)=0 (Va)
(Vw)
(Vs)
F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.20
Keterangan :
1. = layar penempilan
2. = lampu indikator
3. = pemutar
4. = Hold / push botton
5. = Ring selektor
6. = Terminal ke elekroda utama dan bantu
Gambar 3. Digital Earth Resistance Tester 4105A
b. Martil, rol meteran, kabel, tang, bor,alat pengungkit, jangka sorong kunci pipa, bambu, alat
penunjang lain yang diperlukan.
Dalam pengambilan data tahanan pembumian divariasi dengan kedalaman penanaman
elektroda yaitu dari 25 cm sampai dengan 225 cm. Pengambilam data kadar air dilakukan dengan
mengambil sampel pada kedalaman tanah sesuai variasi kedalaman kemudian ditimbang. Setelah
itu tanah dikeringkan dan ditimbang lagi guna mencari kadar air. Perbandingan antara berat air
dengan berat tanah diklikan 100 % merupakan kadar air.
HASIL DAN ANALISA
Hasi pengukuran dan analisa nilai tahanan pembumian (Rp) pada kedalaman (L) tertentu
dan tahanan jenis tanah (ρ) serta kadar air (Ka) diperlihatkan pada tabel 1 dibawah ini Terlihat pada
tabel 1 bahwa tahanan pembumian semakin kecil dan tahanan jenis tanah kecenderungan menurun.
Hubungan antara tahanan pembumian dengan kedalaman elektroda (L) sampai mendapatkan yang
standar atau tahanan pembumian dibawah 5 Ω dengan kedalaman 225 cm. Kadar air semakin tinggi
disertai dengan penurunan nilai tahanan pembumian.
Tabel 1. Data tahanan pembumian dan kadar air pada tanah liat
dengan satu elektroda batang
No Kedalaman
Elektroda (cm)
Rp tanah
liat (Ω)
Kadar air
(%)
ρ
(Ω-cm)
1 25 71,2 28,9 5107,87
2 50 51,9 30,4 4996,43
3 75 36,3 34,7 4507,54
4 100 25,3 36,9 4081,24
5 125 20,4 39,3 3757,16
6 150 15,8 41,7 3199,68
7 175 11,9 44,8 2938,78
8 200 8,1 47,3 2219,53
9 225 4,7 49,8 1412,57
Pengaruh kedalaman terhadap tahanan pembumian dan kadar air terhadap kedalaman pada
tanah liat dengan satu batang elektroda seperti diperlihatkan pada gambar 4.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.21
Gambar 4. Hubungan antara Rp (Ω) dengan L (cm)
dan Ka dengan L (cm) pada tanah liat
Pada gambar 4 diperlihatkan pengaruh kedalaman elektroda terhadap kadar air dan tahanan
pembumian dengan elektroda batang. Semakin dalam penanaman elektroda maka tahanan
pembumian akan semakin kecil dan semakin besar kadar air dalam tanah karena semakin dekat
dengan sumber air tanah.
Kadar air 49,8 % pada kedalaman 225 cm, tahanan pembumian telah mencapai standar
untuk perumahan (dibawah 5 Ω) dan untuk sistem pembangkit energi listrik dengan kadar air 47,3
% dengan kedalaman 200 cm tahanan pembumianya sudah mencapai standar (dibawah 10 Ω).
Pada gambar 5 diperlihatkan pengaruh kadar air dalam tanah terhadap tahanan pembumin bahwa
semakin besar kadar air dalam tanah maka tahanan pembumianya semakin kecil.
Gambar 5. Grafik antara Rp (Ω) dengan Ka (%)
Gambar 6. Grafik antara Rp (Ω) dengan ρ ( Ω cm)
F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.22
Pada gambar 5 perlihatkan bahwa kecenderungan tahanan pembumian terhadap kadar air
adalah lengkung dan berbanding terbalik. Tahanan pembumian dicapai 4,7 Ω pada kadar air 49,8 %
Diperlihatkan pada gambar 6 bahwa semakin kecil tahanan jenis tanah maka tahanan pembumian
juga akan semakin kecil untuk tahanan pembumian dibawah 100 ohm. Tahanan pembumian
mencapai standar (dibawah 5 Ω) besarnya tahanan jenis tanah 1424,57 (Ω-cm).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaruh kedalaman terhadap nilai tahanan pembumian yaitu semakin dalam elektroda yang
ditanam dlam tanah semakin kecil tahanan pembumianya.
2. Nilai tahanan pembumin juga dipengaruhi oleh kadar air tanah, semakin besar kadar air maka
semakin kecil tahanan pembumianya.
3. Untuk mencapai tahanan pembumian yang standar ( dibawah 5 Ω) pada tanah liat dengan
kedalaman 225 cm dan kadar air 49,8 %
DAFTAR PUSTAKA
Janardana, (2005), “Pengaruh umur pada beberapa volume zat aditif bentonit terhadap nilai
tahanan pentanahan“, Vol 4, (2): (1-6).
Kharisma D., (2007), Pengaruh kedalaman penanaman dan jarak elektroda terhadap nilai
tahanan pembumian, jurnal ilmu-ilmu teknik-sistem, VOL. 5, (2): (39-48)
Subiyanto, dkk (2004), “Pengaruh porositas terhadap pentanahan dalam sistem tenaga listrik”,
Teknosains, Vol. 17, No. 2: (196-206)
T.S Hutauruk (1991),” Pengetanahan Netral Sistem tenaga & Pengetanahan Peralatan”, Jakarta ,
Penerbit Erlangga.
Wiwik, (2009), “menurunkan nilai tahanan pembumian dengan bentonit”, Yogyakarta, UGM.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.23
APLIKASI MOTOR DC 1000 W 48 V SEBAGAI PENGGERAK MOBIL LISTRIK
RAMAH LINGKUNGAN
Margana Program Studi Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin Polines
Jl.Prof. Sudarto Tembalang, Semarang e-mail: marganasmg@yahoo.co.id
Abstrak
Sejalan dengan krisis bahan bakar minyak khususnya di bidang otomotif, inovasi yang
berkaitan dengan menipisnya sumber energi banyak dikembangkan disamping tanpa polusi
sehingga ramah lingkungan. Salah satunya yaitu mengaplikasikan motor listrik sebagai
penggerak mobil listrik. Tujuan dari perancangan ini adalah untuk menciptakan mobil listrik
dengan menggunakan 2 buah motor listrik DC masing-masing mempunyai daya 500 Watt 48
Volt dilengkapi pengatur kecepatan dengan PWM ( Pulse Width Modulation ). Adapun metode
yang digunakan adalah dengan membuat mobil listrik kapasitas satu penumpang dengan berat
keseluruhan 170 kg , lebar 140 cm dengan panjang 2 m menggunakan pipa, dan pernah
digunakan untuk mengikuti lomba kompetisi mobil listrik III di Bandung. Hasil yang diperoleh
yaitu dapat menempuh jarak 7,5 km dengan waktu tempuh 12,37 menit dengan kecepatan
maksimum 36,4 km/jam dengan energy yang diperlukan sebesar 206,17 Wattjam sehingga
memperoleh juara 1 kategori kecepatan. Adapun jarak tempuh yang dapat dicapai tergantung
dari batere yang ada, dengan batere 48 V/128 A Jam dapat mencapai jarak 181 km.
Kata kunci: motor DC, PWM, mobil listrik
PENDAHULUAN
Mobil listrik pertama kali dikenalkan oleh Robert Anderson dari Skotlandia pada tahun
1832-1839, namun pada saat itu harga bahan bakar minyak (BBM) relatif murah sehingga
masyarakat dunia cenderung mengembangkan Motor Bakar yang menggunakan BBM.
Saat ini harga BBM semakin mahal dan cadangannya menjadi sangat terbatas serta sulit
dikendalikan untuk masa yang akan datang. Selain itu, terdapat isu lingkungan yang menjadi
perhatian dunia yang tertuang dalam Education for Sustainable Development (EfSD). Hal ini
memicu pengembangan penggunaan energi listrik dalam system transportasi sebagai pengganti
bahan bakar fosil, sebab energi listrik mudah dibangkitkan dari berbagai macam sumber termasuk
dari sumber-sumber energi terbarukan
Berdasarkan uraian diatas maka Politeknik Negeri Semarang turut serta mengirimkan
kontingennya untuk mengikuti kegiatan Kompetisi Mobil Listrik Indonesia yang diselenggarakan
oleh Politeknik Negeri Bandung.
Prinsip kerja Motor DC
Prinsip motor listrik berdasarkan pada kaidah tangan kiri. Sepasang magnet permanen utara
-selatan menghasilkan garis medan magnet , kawat penghantar diatas telapak tangan kiri
ditembus garis medan magnet . Jika kawat dialirkan arus listrik DC sebesar I searah keempat jari
tangan, maka kawat mendapatkan gaya sebesar F searah ibu jari (Gambar 1)
Gambar 1. Aturan tangan kiri prinsip kerja motor
F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.24
Percobaan sederhana prinsip kerja motor dapat dilakukan dengan menggunakan sepasang
magnet permanen berbentuk U, sebatang kawat digantung di kedua sisi ujungnya, pada ujung
kawat dihubungkan sumber listrik DC (Gambar 2). Arus listrik mengalir dari terminal positif (+) ke
batang kawat sebesar I ampere ke terminal negatif (-). Kawat yang dipotong garis medan magnet,
pada batang dihasilkan gaya tolak sebesar F searah panah.
Besarnya gaya F yang dibangkitkan:
F = B · I · L · z Newton ……………………………….. (1)
F = Gaya pada kawat, Newton
B = Kerapatan medan magnet, Tesla
I = Arus mengalir di kawat, Amper
L = Panjang kawat efektif, meter
Z = Jumlah belitan kawat
Gambar 2. Model Kerja Motor DC
Brushless DC motor
Brushless DC (BLDC) motor adalah sebuah mesin listrik berputar, dimana stator merupakan
belitan stator tiga phasa seperti motor induksi, dan rotor terdapat magnet permanen
dipermukaannya seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Dalam hal ini, motor BLDC setara dengan motor DC dengan komutator terbalik, di mana
magnet berputar sedangkan konduktor tetap diam. Dalam komutator motor DC, polaritas ini
diubah oleh komutator dan sikat. Namun, dalam brushless motor DC, pembalikan polaritas
dilakukan oleh transistor switching untuk mensinkronkan dengan posisi rotor. Oleh karena itu,
BLDC motor sering menggabungkan baik posisi sensor internal atau eksternal untuk merasakan
posisi rotor yang sebenarnya, atau posisi dapat dideteksi tanpa sensor (Leonard N. Elevich,2005).
Gambar 3 Motor BLDC
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.25
Kontrol digital motor BLDC
Gambar 4. Tegangan langkah Untuk 3-ph BLDC motor
Gambar 5. Daya tiga phasa motor BLDC
Gambar 6. Jenis independen switching power transistor
Gambar 7. Jenis komplemen switching power transistor
F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.26
PWM (Pulse Width Modulation)
PWM merupakan suatu teknik yang dipakai untuk mengatur kerja peralatan yang
memerlukan arus pull in yang besar dan untuk menghindari disipasi daya yang berlebihan dari
peralatan yang akan dikontrol. PWM merupakan suatu metoda untuk mengatur kecepatan
perputaran motor dengan cara mengatur prosentase lebar pulsa waktu tinggi ( high) terhadap
perioda dari suatu sinyal persegi dalam bentuk tegangan periodik yang diberikan ke motor sebagai
sumber daya. Semakin besar perbandingan waktu tinggi dengan perioda sinyal maka semakin
cepat motor berputar.
Sinyal PWM dapat dibangun dengan banyak cara, dapat menggunakan metode analog
menggunakan rankaian op-amp atau dengan menggunakan metode digital. Dengan metode analog
setiap perubahan PWM-nya sangat halus, sedangkan menggunakan metode digital setiap perubahan
PWM dipengaruhi oleh resolusi dari PWM itu sendiri. Misalkan PWM digital 8 bit berarti PWM
tersebut memiliki resolusi 2 pangkat 8 = 256, maksudnya nilai keluaran PWM ini memiliki 256
variasi, variasinya mulai dari 0 – 255 yang mewakili daur tugas (duty cycle) 0 – 100% dari keluaran
PWM tersebut.
Perhitungan daur tugas (duty cycle) PWM
Dengan cara mengatur lebar pulsa “on” dan “off” dalam satu perioda gelombang melalui
pemberian besar sinyal referensi output dari suatu PWM akan didapat duty cycle yang diinginkan.
Gambar 8 Pulsa PWM dengan duty cycle
Perhitungan Pengontrolan tegangan output motor dengan metode PWM cukup sederhana.
Gambar 9. Pulsa PWM
Dengan menghitung duty cycle yang diberikan, akan didapat tegangan output yang dihasilkan.
Sesuai dengan rumus yang telah dijelaskan pada gambar.
Average voltage merupakan tegangan output pada motor yang dikontrol oleh sinyal PWM.
a adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal “on”. b adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal
“off”. V full adalah tegangan maximum pada motor. Dengan menggunakan rumus diatas, maka
akan didapatkan tegangan output sesuai dengan sinyal kontrol PWM yang dibangkitkan (Seno Ajie
Nugroho, 2011).
……………………( 2)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.27
METODOLOGI
Mobil Listrik Yang dirancang mempunyai Spesifikasi:
Kapasitas penumpang : 1 orang
berat maksimum pengemudi (kg) : 70
kecepatan maksimun (km/j) :80
ukuran (L x P) :140 cm X 200 Cm
berat mobil : 100 Kg
kerangka :baja hollow
Kontroller : 2 x 500 W/48 V ( Trekko)
kursi kemudi : sfon
lantai :baja hollow+plat
setir (sistim kemudi) : Mekanik
Battery :12 volt 32 AH (4 buah)=48 volt/128 AH=48 volt/128 AJam
Motor : 2 x 500W/48 V=1000 watt/48 V
roda : diameter 14 inchi (Ring 14)
jenis rem+sistim rem :Tromol
Suspensi :Singgle
Proses Pengambilan data :
Pada proses pengambilan data mula-mula dilakukan dengan melakukan uji kecepatan menempuh
jarak 750 m ( Kualifikasi ) dengan catatan waktu 2,37 menit.62 detik. Selanjutnya setelah
mendapatkan posisi dilakukan dengan pengujian 10 kali putaran menempuh jarak 7,5 km dengan
waktu 12 menit36.18 detik .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil uji kecepatan
No Mobil Kualifikasi lap Time
1 PML 2 2.37.62 10 12.36.18
2 Bogi Power 2.55.72 10 12.46.17
3 Titen GX3 2.46.62 10 12.49.42
4 All New Rex 2.49.09 10 14.02.19
5 Blue Warrior 3.00.69 10 14.13.31
6 Speeder II Rev 2.40.59 10 14.16.09
7 Denkiaka 2.52.47 10 14.59.57
8 BM3CH 2.45.28 10 15.20.41
9 UNY EVO 2.38.44 10 18.09.59
10 EVRT 21 3.21.84 3 DNF
11 Graziolli 4.25.57 1 DNF
Tabel 2. Hasil Penilaian
F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.28
Analisa perhitungan:
Kecepatan maksimum = 7,5 km/12,37 menit x 60 menit/jam= 36,4 km/jam
Energy listrik yang diperlukan = 1000 W x (12,37 menit/60 menit) x 1 jam: 206,17 WJam.
Energi yang tersedia pada battery = 48 W x 20,83 A x 6,14 Jam : 6139.0176 W Jam
Arus yang diperlukan motor = 1000 W/48 V= 20,83 Amper
Waktu yang dapat ditempuh = 128 AJam/20,83 A: 6.14 Jam
Jarak tempuh = 5jam/(12,37menit/60menit)x7.5km=181 km (catatan lomba)
Dari hasil perhitungan Jarak yang dapat ditempuh: dengan kecepatan konstan 36,4 km/jam, pada
jarak 7,5 km dengan energy listrik yang diperlukan 206,17 WJam, sehingga untuk energy yang
tersedia 6139.0176 W Jam. Jarak yang dapat ditempuh = (6139,0176 W Jam/206,17WJam ) x 7,5
km = 223.32 km.
Sehingga jarak yang bisa ditempuh berbanding lurus dengan kapasitas battery
KESIMPULAN
1. Jarak yang dapat ditempuh mobil listrik tergantung dari besarnya kapasitas battery, berdasar
perhitungan dengan menggunakan battery 48 V/128 A-jam mampu menempuh jarak 223,32
km.
2. Kecepatan rata-rata dari mobil listrik 36,4 km/jam saat dilakukan lomba.
3. Mobil yang kami beri nama PML-2 dirancang dengan mengunakan dua buah motor DC untuk
mempercepat laju mobil, selain itu aerodinamis mobil stabil.
4. Untuk menempuh jarak 7,5 km diperlukan energy listrik sebesar 206,17 WJam, sehingga
memperoleh urutan ke tiga kategori efisiensi.
DAFTAR PUSTAKA
Leonard N. Elevich,2005, 3-Phase BLDC Motor Control with Hall Sensors Using 56800/E Digital
Signal Controllers, 20 Mei 2012,http://cache.freescale.com/files/product/doc/AN1916.pdf
Seno Ajie Nugroho, 2011, PWM (Pulse Width Modulation), 20 Mei 2012,
http://digilib.ittelkom.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=820:pwm-
pulse-width-modulation&catid=15:pemrosesan-sinyal&Itemid=14
http://goldenmotor.com/ -------- ,2011, 07 July 2011, http://kmli.polban.ac.id/panduan-lomba.html
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.29
KAJIAN SISTEM KENDALI SPACE VECTOR PULSE WIDTH MODULATION
SEBAGAI PENGENDALI MOTOR INDUKSI 3 FASA
Emmanuel Agung Nugroho*)
, Joga Dharma Setiawan
Program Studi Magister Teknik Mesin Spesialisasi Mekatronika
Universitas Diponegoro Semarang *)
Email : lekagung@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini membahas metode Space Vector Pulse Width Modulation (SVPWM) inverter
sebagai pengendali motor induksi yang dimodelkan dengan software Power Simulator. Tujuan
kajian ini adalah memberikan referensi agar dapat diimplementasikan ke dalam hardware
untuk mendorong pemanfaatan metode SVPWM inverter sebagai pengendali motor induksi
secara lebih luas. Melalui simulasi dengan software Power Simulator ini diketahui kurva
tegangan, arus, torsi dan kecepatan motor yang terkendali oleh sistem SVPWM, selain itu juga
menghasilkan data pola penyaklaran inverter yang secara langsung dapat digunakan untuk
diaplikasikan kedalam pemrograman mikrokontroler. Kajian ini sangat membantu bagi para
peneliti untuk menyelesaikan algoritma pemrograman SVPWM yang sangat panjang menjadi
mudah sebab data pola penyaklaran inverter dapat secara langsung diprogram kedalam
mikrokontroler secara look up table sehingga menghemat flash memory yang digunakan oleh
mikrokontrol.
Kata kunci : motor induksi, space vector pulse width modulation, power simulator, look up
table
PENDAHULUAN
Dewasa ini pengendalian motor induksi dilakukan dengan cara mengatur tegangan, arus,
fluks dan torsi secara proposional. Divais seperti ini umumnya dinamakan Variable Speed Drive
(VSD), dengan sistem kendali menggunakan skalar control ataupun vector control.
Pengendalian motor induksi dengan menggunakan vector control selain dapat
mengendalikan torsi dan kecepatan secara baik, juga mempunyai keuntungan lain, yaitu :
1. Penggunaan energi menjadi efisien,
2. Peningkatan fleksebilitas produksi,
3. Peningkatan umur komponen mekanik
4. Memudahkan untuk pemeliharaan.
Landasan Teori
Kumparan stator motor induksi dinyatakan dengan persamaan :
................................................... (1)
........................................ (2)
......................................... (3)
Motor induksi 3 fasa dapat dianalisa melalui rangkaian ekuivalen sumbu Vd dan Vq seperti
terlihat pada gambar 1.
(a) Rangkaian sumbu-ds
s (b). Rangkaian sumbu-qs
s
Gambar 1. Model dinamik motor induksi tiga fasa [Bose, 2002]
F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.30
Konsep pengendalian motor induksi
Metode vector control bertujuan mengendalikan motor induksi yang diemulasikan dari
kinerja mesin DC. Pada mesin DC, fluksi stator s dihasilkan oleh arus yang dialirkan pada
belitan medan stator (field winding) dan fluksi rotor r dihasilkan oleh arus yang dialirkan ke
belitan jangkar (armature winding) melalui sikat dan komutator yang selalu menyebabkan posisi
medan magnet stator dan medan magnet rotor saling tegak lurus sehingga torsi elektromagnet yang
dihasilkan kedua medan magnet tersebut selalu maksimum. Dengan melihat rangkaian ekuivalen
motor induksi pada gambar 1 maka pengendalian motor induksi 3 fasa dapat di lakukan seperti
pada pengendalian motor DC yaitu dengan metode pengendaliam vektor ruang. Pengendalian
vektor ruang adalah mentransformasikan elemen tiga fasa kerangka acuan tetap (a,b,c) menjadi
elemen dua fasa kerangka acuan tetap (α,β) kemudian menjadi elemen dua fasa kerangka acuan
bergerak (d,q).
Perubahan sistem tiga fasa menjadi dua koordinat dipisahkan menjadi dua langkah yaitu :
Transfomasi Clarke (a,b,c) (α,β) dan Transfomasi Park (α,β) (d,q)
Transformasi arus tiga fasa (Ia, Ib, Ic) menjadi dua fasa kerangka acuan diam (Iα,Iβ) yang saling
tegak lurus satu sama lain dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut :
c
b
a
i
i
i
i
i
2
3
2
30
2
1
2
11
3
2
......................................... (4)
Representasi persamaan tersebut dapat dijelaskan seperti pada gambar 2. Sedangkan untuk
mempresentasikan kerangka acuan tetap (α,β) menjadi kerangka acuan bergerak (d,q), maka
digunakan transformasi Park. Transformasi Park dapat dilihat pada gambar 3 :
a
b
c
is
is
Gambar. 2 Transfomasi Clarke (a,b,c)(α,β) Gambar. 3 Transfomasi Park (α,β) (d,q)
Gambar 3 menunjukkan proyeksi sistem dua dimensi diam (α,β) menjadi sistem dua dimensi
bergerak (d,q). Proyeksi sistem ini menghasilkan arus direct (isd) yang merepresentasikan fluksi
dan arus quadratur (isq) yang merepresentasikan torsi. Besarnya komponen fluksi dan torsi dalam
sistem ini dijelaskan dengan persamaan sebagai berikut :
s
s
ee
ee
qs
ds
i
i
tt
tt
i
i
cossin
sincos
........................... (5)
Dengan memproyeksikan menjadi sistem 2 fasa (d,q) yang mengendalikan fluksi dan torsi secara
terpisah maka motor induksi dapat dikendalikan seperti motor DC.
Strategi pengendalian SVPWM pada motor induksi 3 fasa
Untuk mengendalikan motor induksi menggunakan SVPWM dilakukan melalui implementasi
inverter 3 fasa seperti pada gambar 4.
a
B = q
c
is
is
isq
isd
d
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.31
Gambar. 4 Konfigurasi inverter 3 fasa
Teknik pengendalian saklar daya inverter ditunjukkan pada tabel 1
Tabel 1 konfigurasi penyaklaran inverter
Dari konfigurasi penyaklaran pada tabel 1 dapat dilakukan dengan membangun 8 buah
vektor yang terdiri dari 6 buah vektor aktif yang saling tergeser 600
dan 2 buah vektor pasif yang
berada di pusat koordinat. Pembagian vektor gelombang sinusoida 3 fasa sepanjang 3600
menjadi
6 buah sektor ditunjukkan pada gambar 5
Gambar. 5 Gelombang sinusoida 3 fasa, ruang vektor 3 fasa [Kelvin Lye 2008]
Untuk menyatakan pola penyaklaran dibuat suatu pendekatan dengan membentuk tegangan
referensi dalam setiap sektor. Sebagai contoh suatu vektor tegangan referensi Vs1 berada pada
sektor-1 sehingga berada diantara vektor tegangan aktif V1 dan V2 seperti pada gambar 6
V1
V2
d1
d2
Vs1
d0
Gambar. 6 Realisasi tegangan referensi yang dibentuk oleh dua buah vektor [Zhenyu Yu, 1998]
Dari gambar 6, Vs1 merupakan nilai tegangan refrensi yang dihasilkan dari resultan
magnitude vektor V1 yang disimbolkan d1 dengan magnitude vektor 2 yang disimbolkan dengan d2.
Persamaan yang dapat diturunkan dari kondisi tersebut adalah
F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.32
21s ttT 21 VVV ...................................................... (6)
sT = waktu sampling
1t = durasi waktu PWM converter membentuk vektor 1V
2t = durasi waktu PWM converter membentuk vektor 2V
Karena 210s tttT maka dibutuhkan waktu tambahan sebesar 0t di setiap sektor.
Agar nilai persamaan (6) tetap berlaku maka 0t harus dikalikan dengan vektor tegangan nol (dapat
merupakan V0 atau V7).sehingga persamaan tersebut menjadi :
2211700s1 VVV/VV tttTs ………..…………(7)
atau
221170022
11
70
0
s1 VVV/VVVV/VV dddT
t
T
t
T
t
sss
……..…(8)
Dimana Vs1 merupakan tegangan refrensi pada sektor 1. Tegangan Vs1 yang bekerja pada
sektor 1 dibentuk dari 4 buah vektor V0 ,V1,V2 dan V7 yang memiliki logika penyaklaran
ditunjukkan pada tabel 2
Tabel 2. logika penyaklaran vektor tegangan pada sektor 1 V0 V1 V2 V7
U 0 1 1 1
V 0 0 1 1
W 0 0 0 1
Pemodelan SVPWM inverter dengan software Power Simulator
Pemodelan dengan Power Simulator dimulai dari transformasi Clarke hingga pengukuran
torsi pada rangkaian daya inverter dengan pembebanan motor induksi 3 fasa. Pemodelan
transformasi Clarke dan transformasi Park untuk menghasilkan transformasi 3 fasa menjadi 2 fasa
dari kerangka acuan diam menjadi kerangka acuan gerak ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Pemodelan transformasi Clarke dan Park untuk menghasilkan tegangan
referensi dan sudut θ dengan PSim
Pada gambar 7 menjelaskan proses transformasi 3 fasa Va, Bb dan Vc menjadi Vd dan Vq.
Sudut berada disepanjang gelombang antara 00 hingga 360
0 harus dideteksi untuk menentukan
lokasi vektor yang aktif. Dengan memodelkan menggunakan software Power Simulator hal ini
dapat dilakukan seperti pada gambar 8.
Gambar 8. menentukan lokasi vektor dengan pemodelan software PSim
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.33
Gambar 8 digunakan untuk menentukan lokasi vektor yang aktif disepanjang gelombang.
Dengan memberikan batasan referensi setiap kelipatan 600 pada komparator 1-6. Titik r1 dan r2
adalah koefisien tegangan disetiap sektor yang aktif dalam domain waktu. Besarnya nilai koefisien
tegangan ini menentukan time duration switching. Untuk menentukan time duration switching
dinyatan dalam persamaan berikut:
sedangkan
.
Penjumlahan T1 dan T2 belum memenuhi lama time sampling sehingga diperlukan tambahan
waktu sebesar T0 yaitu waktu sampling dikurangi dari total waktu T1 dan T2. Pemodelan rangkaian
daya yang dilakukan dengan software Power seperti pada gambar 9.
Gambar 9 Pemodelan rangkaian daya inverter dengan beban motor induksi 3 fasa
menggunakan software PSim
Parameter pemodelan motor induksi yang digunakan adalah :
Tegangan kerja sebesar 380 Volt/50 Hz, Jumlah kutub (p) 4, Tahanan stator (Rs) 0,294Ω,
Reaktansi stator (Xs) 0,0139 Ω, Tahanan rotor (Rr) 0,156 Ω, Reaktansi rotor (Xr) 0,0074 Ω,
Reaktansi magnetic (Xm) 0,41 Ω.
Dengan menggunakan parameter tersebut dihasilkan kurva pengukuran kecepatan torsi, arus dan
tegangan motor seperti pada gambar 10
a. Kurva kecepatan motor b. Kurva torsi motor
c. Kurva krus motor d. Tegangan fasa dan fasa netral motor
Gambar 10. Kurva kecepatan, torsi, arus dan tegangan motor induksi dengan kendali inverter
SVPWM yang dimodelkan dari software Power Simulator
F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.34
1. Menentukan pola penyaklaran IGBT pada tiap vektor .
Pola penyaklaran SVPWM inverter pada tiap-tiap sektor dapat dibentuk dengan pemodelan
software Power Simulator. Dengan menggunakan informasi T1,T2 dan T0, maka dapat dibangun
suatu kombinasi pulsa pada gambar 11 berikut :
Gambar 11. Metode penyaklaran IGBT
Dengan Pemodelan pada gambar 14 maka pola penyaklaran S1/S2, S3/ S4 dan S5/S6 dapat
dibentuk. Pola inilah yang digunakan sebagai data untuk memprogram mikrokontroler sebagai
kontrol digital saklar daya inverter
KESIMPULAN
1. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator ini menghasilkan data-data dan sinyal model
ideal sehingga dapat dijadikan didalam merancang dan menguji implementasi alat SVPWM.
2. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator menghasilkan data digital yang diperlukan
sebagai pengendali saklar inverter. Data digital tersebut dapat di-download secara langsung
kedalam mikrokontroler untuk aplikasi penyaklaran inverter.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bose, Bimal K, Modern Power Electronics and AC Drives, The University of Tennessee,
Knoxville, Prentice Hall, Inc. United State of America, 2002.
[2] Kelvin Lye kwong Loong., Nik ramzi bin Idris, Microcontroller Based Space Vector
Modulation (SVM) Signal Generator, Faculty of Electrical Engineering UTM, May 2008.
[3] Mohan, Ned, Power Electronics: Converters, Applications, and Design, John Willey & Sons,
Inc, 1995.
[4] Nguyen Phung Quang., Jörg-Andreas Dittrich, “Vector Control of Three Phase AC Machine”,
e-ISBN: 978-3-540-79029-7, September 1965.
[5] Riyadi, Slamet, “Penggerak Kecepatan Variable Pada Motor Induksi Tiga Fasa Bberbasis
V/Hz dan Direct Ttorque Control “, Unika Soegijapranata, 2010.
[6] Trzynadlowsky Andrzej M, “Control of Induction Motors”, department of electrical
engineering university of Nevada, 2001.
[7] Zhenyu Yu and David Figoli, “AC Induction Motor Control Using Constant V/Hz Principle and
Space Vector PWM Technique with TMS320C240”, Texas Instruments Incorporated, April, 1998.
[8] “Field Orientated Control of 3-Phase AC-Motors”, Literature Number: BPRA073, Texas
Instruments Europe, February 1998.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.35
IMPLEMENTASI SISTEM KENDALI SPACE VECTOR PWM PADA
INVERTER 3 FASA MENGGUNAKAN MIKROKONTROL AT89S52
Emmanuel Agung Nugroho*)
, Joga Dharma Setiawan
Program Studi Magister Teknik Mesin Spesialisasi Mekatronika
Universitas Diponegoro Semarang Email : lekagung@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini merancang inverter yang dikendalikan dengan metode Space Vector Pulse Width
Modulation (SVPWM) sebagai pengendali motor induksi 3 fasa. Untuk merealisasi sistem
kendali SVPWM dilakukan dengan pemodelan menggunakan software Power Simulator.
Melalui pemodelan ini dihasilkan data digital yang digunakan untuk mengisi mikrokontroler
AT89S52 sebagai rangkaian kontrol digital yang mengendalikan saklar daya inverter. Hasil
pengujian inverter SVPWM ini dibandingkan dengan pengujian inverter Volt/Hertz dengan
beban motor induksi 3 fasa yang memiliki rating daya 1 KVA. Pengujian meliputi pengukuran
frekuensi, arus, tegangan dan kecepatan kerja motor induksi. Dengan menggunakan metode
SVPWM sebagai pengendali inverter untuk menggerakkan motor induksi berhasil
meningkatkan efisiensi tegangan keluaran inverter sehingga menyebabkan motor induksi
bekerja lebih optimal. Hasil penelitian pada skala laboratorium menunjukkan dengan
menggunakan metode SVPWM efisiensi tegangan inverter sebesar 58,8% sedangkan dengan
metode Volt/Hertz efisiensi tegangan inverter sebesar 53,7%.
Kata kunci : Inverter, Space vector pulse width modulation, mikrokontrol AT89S52, Power
Simulator
PENDAHULUAN
Inverter terkendali SVPWM adalah alat yang digunakan untuk mengatur kecepatan motor
induksi. Metode SVPWM merupakan penggabungan dari pengaturan vektor kecepatan motor
dengan PWM yang digunakan sebagai pengatur amplitudo dan frekuensi. Selama ini penjelasan
SVPWM terbatas pada persamaan matematis dan kurang dalam hal implementasinya. Pada
penelitan ini dibahas implementasi kendali SVPWM pada inverter 3 fasa untuk mengendalikan
motor induksi 3 fasa. Implementasi ini meliputi perancangan perangkat lunak yang teraplikasi
pada pemodelan dengan menggunakan software Power Simulator dan hardware yang teraplikasi
pada komponen mikrokontrol AT89S52 sebagai implementasi sistem kontrol digital SVPWM.
Tinjauan Pustaka
Inverter (Konverter DC to AC)
Inverter mode pensaklaran DC ke AC umum digunakan pada aplikasi penggerak motor
yang biasa disebut Variable Speed Drive (VSD) dan Uninteruptable Power Supplies (UPS).
Sistem umum untuk merancang sebuah inverter ditunjukkan pada gambar 1:
Penyearah
Dioda
Kapasitor
Filter
Inverter
Mode saklar
50Hz
ac
Keluaran
ac
S1
S2
S3
S4
S5
S6
Va Vb Vc (a) (b)
Gambar1. (a) Bagan sistem inverter, (b)Konfigurasi inverter 3 fasa 3 lengan [Mohan, 1995]
Pada gambar 1(a) diperlihatkan sumber AC yang dimiliki oleh PLN disearahkan sehingga
menghasilkan tegangan DC yang difilter dengan kapasitor. Melalui pengendalian saklar daya
inverter tegangan DC ini oleh diubah menjadi tegangan AC. Gambar 1 (b) menunjukkan
F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.36
konfigurasi inverter 3 fasa 3 lengan yang dibentuk oleh 6 buah saklar daya. Suatu converter jenis
sumber tegangan (voltage type) harus memenuhi dua syarat, yaitu saklar yang terletak pada satu
lengan tidak boleh konduksi secara bersamaan dan arus sisi AC harus selalu dijaga kontinuitasnya.
Mengacu pada kedua syarat tersebut maka akan terdapat 23 kondisi (delapan kondisi saklar).
Konfigurasi saklar daya inverter ditunjukan pada gambar 2
000 001 010 011
100 101 110 111 Gambar 2. Konfigurasi saklar daya inverter 3 fasa 3 lengan
Gambar 2 menjelaskan konfigurasi penyaklaran inverter yang dibentuk dari 3 pasang
saklar daya sehingga menghasilkan 8 kondisi penyaklaran inverter dari 000 hingga 111.
Implementasi SVPWM Inverter ke dalam mikrokontrol AT89S52
Untuk merealisasikan pola penyaklaran SVPWM dilakukan dengan pemodelan
menggunakan software Power Simulator seperti pada gambar 3.
Gambar 3. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator
Dari pemodelan Power Simulator menghasilkan pola penyaklaran digital untuk S1/S2,
S3/S4 dan S5/S6. Data digital inilah yang dimasukkan kedalam mikrokontrol AT89S52 secara
look up table. Alat ini juga menampilkan frekuensi yang dihasilkan oleh inverter dengan
menggunakan mikrokontrol Atmega 8535. Implementasi hardware SVPWM Inverter ditunjukkan
pada gambar 4.
Gambar 4. Skema perancangan alat SVPWM Inverter
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.37
Gambar 4 menjelaskan skematik rangkaian yang dirancang untuk keseluruhan sistem
SVPWM inverter. Blok rangkaian Volt/Hertz digunakan sebagai seting point adjuster untuk
mengatur frekuensi kerja inverter sekaligus sebagai pengendali clock mikrokontrol AT89S52.
Counter 8 bit digunakan untuk menguraikan pulsa clock dari rangkaian Volt/Hertz menjadi 8 pulsa
untuk memberikan data masukan pada port 0 mikrokontrol AT89S52. Dari mikrokontrol AT89S52
menghasilkan 3 buah sinyal kontrol yang dimasukan kedalam rangkaian dead time dan driver
untuk diolah sehingga menghasilkan 6 buah sinyal kontrol untuk memicu gate saklar daya IGBT.
Pemrograman mikrokontrol AT89S52
Sebelum dimasukkan ke dalam mikrokontrol AT89S52 pulsa look up table yang dihasilkan
oleh simulasi dengan Power Simulator di cek dengan program proteus untuk memastikan
kebenaran pulsa kontrol tersebut seperti ditunjukkan pada gambar 5.
CLK1
E2
MR7
Q03
Q14
Q25
Q36
KONTER A
4520AM FM
+
-
CLOCK
A
B
C
D
OSILOSCOPE
CLK1
E2
MR7
Q03
Q14
Q25
Q36
KONTER B
4520
XTAL218
XTAL119
ALE30
EA31
PSEN29
RST9
P0.0/AD039
P0.1/AD138
P0.2/AD237
P0.3/AD336
P0.4/AD435
P0.5/AD534
P0.6/AD633
P0.7/AD732
P1.0/T21
P1.1/T2EX2
P1.23
P1.34
P1.45
P1.56
P1.67
P1.78
P3.0/RXD10
P3.1/TXD11
P3.2/INT012
P3.3/INT113
P3.4/T014
P3.7/RD17
P3.6/WR16
P3.5/T115
P2.7/A1528
P2.0/A821
P2.1/A922
P2.2/A1023
P2.3/A1124
P2.4/A1225
P2.5/A1326
P2.6/A1427
MIKROKONTROL AT89S52
AT89C52 Gambar 5. Skematik rangkaian kontrol SVPWM dengan software Proteus
Gambar 6 menunjukkan skematik rangkaian kontrol SVPWM inverter yang berfungsi
membangkitkan pulsa pemicu saklar inverter. Rangkaian clock untuk mengatur frekuensi.
Rangkaian counter untuk menguraikan pulsa clock menjadi 8 bit pulsa yang mengendalikan
mikrokontrol AT89S52.
Pengujian SVPWM Inverter
Tegangan antar fasa inverter 3 fasa ditunjukkan pada gambar 6.
a.Tegangan antar fasa b. Tegangan fasa netral
Gambar 6. Tegangan motor induksi
Gambar 6a adalah tegangan antar fasa dari inverter 3 fasa dengan beban motor induksi.
Pengujian fasa Vab pada gambar 6a membuktikan persamaan berikut :
Vc
Vb
Va
V
V
V
V
dc
ca
bc
ab
101
110
011
.................................................................. (1)
F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.38
Sedangkan tegangan fasa dan netral motor induksi 3 fasa ditunjukkan pada gambar 6b yang
berbentuk stupa hal ini membuktikan persamaan berikut
Vc
Vb
Va
V
V
V
V
dc
cn
bn
an
111
121
112
3
1
....................................................................(2)
Dari pengujian tegangan fasa-fasa dan fasa netral yang dihasilkan oleh inverter terkendali
SVPWM dapat dibuktikan dengan perhitungan tegangan inverter seperti pada tabel 1
Tabel 1. Tegangan keluaran inverter 3 fasa
Pengujian arus inverter dengan beban motor induksi 3 fasa ditunjjukan pada gambar 7
Gambar 7. Arus antar fasa yang masuk pada stator motor induksi 3 fasa
Gambar 7 adalah pengukuran arus pada fasa a dan fasa b yang dihasilkan oleh keluaran
inverter 3 fasa dengan beban motor induksi 3 fasa. Hasil pengujian tegangan dan arus inverter 3
fasa dengan beban motor induksi adalah :
Tabel 2. Pengujian arus, tegangan motor dan frekuensi dengan inverter SVPWM
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.39
Pengujian inverter terkendali Volt/Hertz
Pengujian inveter dengan metode kendali Volt/Hertz dilakukan sebagai pembanding
inverter SVPWM. Model inverter Volt/Hertz yang digunakan adalah VSD merk Toshiba model
TOSHIBA TOSFERT VFS-9. Gambar variable speed drive TOSHIBA TOSFERT VFS-9
ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar 8. TOSHIBA TOSFERT VFS-9
Gambar 8 VSD yang digunakan sebagai pembanding pada pengambilan data ini. Tipe
TOSHIBA TOSFERT VFS-9 ini dilengkapi dengan panel potensiometer dengan ukuran yang cukup
besar sehingga memudahkan semua orang untuk bisa mengoperasikan pengaturan frekuensi
keluarannya. Terdapat 4 panel kontrol otomatis untuk memudahkan pengoperasian percepatan dan
perlambatan frekuensi hingga 60 Hz. Dengan alat ini dihasilkan data-data pengukuran seperti pada
tabel 3
Tabel 3. Pengujian arus tegangan motor dan frekuensi dengan VSD
Dari pengujian Inverter dengan variable speed drive merk TOSHIBA TOSFERT VFS-9
tersebut dapat dibandingkan tegangan yang dihasilkan dengan inverter terkendali vektor yang
dirancang pada catu daya input yang sama yaitu 220 volt AC dengan perbandingan sebagai berikut
:
Vdc penyearah gelombang penuh :
VF-F inverter SVPWM : 183 Volt, sehingga efisiensi sebesar :
VF-F inverter Volt/Hertz : 167 volt, sehingga efisiensi sebesar
F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.40
Sehingga pada kecepatan nominal perancangan inverter SVPWM ini memiliki efisiensi
tegangan lebih baik sebesar 5,1 % dari pada Variable speed Drive Volt/Hertz pada pengujian
laboratorium ini.
Pengujian DOL sebagai pengendali motor induksi
Pengujian DOL (Direct On Line) dilakukan dengan menggunakan sebuah relay kontaktor
untuk menghubungkan sumber jala-jala PLN dengan Stator motor induksi. Melalui pengujian ini
dihasilkan data pengukuran seperti pada tabel 4.
Tabel 4. Pengujian rangkaian DOL
KESIMPULAN
1. Berdasar hasil pengujian di laboratorium dengan menggunakan metode Volt/Hertz dan
SVPWM inverter , terbukti bahwa tegangan AC yang dihasilkan oleh metode SVPWM lebih
tinggi daripada tegangan AC yang dihasilkan oleh metode V/Hz.
2. Jika dibandingkan dengan sistem DOL arus mula yang dihasilkan oleh inverter SVPWM jauh
lebih kecil, demikian juga ketika motor telah melaju pada kecepatan nominal.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bose, Bimal K, Modern Power Electronics and AC Drives, The University of Tennessee,
Knoxville, Prentice Hall, Inc. United State of America, 2002.
[2] Kelvin Lye kwong Loong., Nik ramzi bin Idris, Microcontroller Based Space Vector
Modulation (SVM) Signal Generator, Faculty of Electrical Engineering UTM, May 2008.
[3] Mohan, Ned, Power Electronics: Converters, Applications, and Design, John Willey & Sons,
Inc, 1995.
[4] Nguyen Phung Quang., Jörg-Andreas Dittrich, “Vector Control of Three Phase AC Machine”,
e-ISBN: 978-3-540-79029-7, September 1965.
[5] Riyadi, Slamet, “Penggerak Kecepatan Variable Pada Motor Induksi Tiga Fasa Bberbasis
V/Hz dan Direct Ttorque Control “, Unika Soegijapranata, 2010.
[6] SZABÓ C, Maria IMECS., Ioan Iov, Incze, ”Volt-Hertz Control of the Synchronous Motor
With Ramp Exciting Voltage”, Annals of the University of Craiova, Electrical Engineering series,
No. 30, 2006.
[7] Trzynadlowsky Andrzej M, “Control of Induction Motors”, department of electrical
engineering university of Nevada, 2001.
[8] Zhenyu Yu and David Figoli, “AC Induction Motor Control Using Constant V/Hz Principle and
Space Vector PWM Technique with TMS320C240”, Texas Instruments Incorporated, April, 1998.
[9] “Field Orientated Control of 3-Phase AC-Motors”, Literature Number: BPRA073, Texas
Instruments Europe, February 1998.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.41
RESPON SISTEM DITINJAU DARI PARAMETER KONTROLER PID
PADA KONTROL POSISI MOTOR DC
Dwiana Hendrawati Prodi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. H. Sudarto, SH., Tembalang, Semarang E-mail : d_hendrawati@yahoo.com
Abstrak
Aspek penting dalam penerapan kontroler PID ialah penentuan parameter kontroler PID
supaya sistem closed loop mempunyai respon sistem yang baik (memenuhi kriteria performansi
yang diinginkan). Untuk mendapatkan respon tersebut, dapat dilakukan dengan mengkaji
secara eksperimental terhadap beberapa nilai parameter kontroler PID. Pada prinsipnya,
penambahan kontroler PID akan menaikkan tipe sistem. Semakin tinggi tipe sistem, ESS
(Error Steady State) sistem makin mendekati nol. Untuk itulah perlu dikaji penambahan
kontroler PID dengan parameter yang tepat untuk mendapatkan sistem dengan ESS mendekati
nol, dengan tidak mengesampingkan kestabilan sistem. Untuk mengetahui dampak perubahan
parameter terhadap respon sistem inilah, diujikan pada kontrol posisi motor DC yang
digunakan pada boiler mini (skala laboratorium). Respon sistem yang terbaik pada model
plant tersebut ditentukan dengan Metode Ziegler-Nichols pada penerapan kontroler PID
dengan Kp =6,84; Ti =0,06; dan Kd = 0,015
Kata kunci: respon, kontroler PID, kontrol posisi, motor DC
PENDAHULUAN Pengendalian sistem selalu berupaya untuk mendapatkan hasil kerja sistem seperti yang
diharapkan, dengan meminimalkan atau bahkan menghilangkan error . Disinilah peran Kontroler
menjadi bagian utama keberhasilan pengendalian sistem. Kontroler menjalankan mekanisme
mengatur kinerja actuator agar berjalan atau bekerja sesuai hasil isyarat yang diolahnya. Salah
satu jenis kontroller dapat diaplikasikan untuk mengontrol bukaan safety valve boiler.. Kontroler ini
menggunakan motor DC (Direct Current) sebagai media penerjemah sinyal elektrik dari kontroller
menjadi suatu gerakan mekanis untuk membuka katup jika tekanan lebih dan akan menutup
kembali setelah tekanan turun pada level aman.
Kontrol otomatik Sistem pengendali motor DC merupakan salah satu bentuk perancangan
teknologi yang mengaplikasikan sistem kendali otomatis untuk mengarahkan posisi katup.
Pengendalian posisi dapat dilakukan dengan pengendalian secara On-Off atau dengan
menambahkan pengendali Proportional–Integral–Derivative (PID). Dari kedua jenis kontroler
konvensional ini,kontroler PID mempunyai performansi pengendalian yang lebih baik, dengan
pemilihan konstanta PID yang tepat.
Untuk menerapkan sistem pengendalian dengan aksi kontrol PID, perlu penalaan
konstanta PID, untuk mendapatkan respon yang terbaik. Untuk satu jenis (karakteristik) plant
(obyek pengaturan) tertentu; perlu nilai penalaannya karena nilai-nilai ini sangat spesifik untuk
tiap plant (Ziegler,J.G dan Nichols, N.B; 1942). Pengujian yang umumnya dilakukan adalah
dengan mengamati perubahan tanggapan motor servo untuk kemudian dianalisis sehingga
diperoleh sistem kendali motor servo dengan respon cepat dan tingkat kestabilan yang baik.
DASAR TEORI
Respon waktu yaitu karakteristik respon yang spesifikasi performansinya didasarkan pada
pengamatan bentuk respon output sistem terhadap berubahnya waktu. Secara umum spesifikasi
performansi respon waktu dapat dibagi atas dua tahapan pengamatan, yaitu;
1. Spesifikasi Respon Transient, adalah spesifikasi respon sistem yang diamati mulai saat
terjadinya perubahan sinyal input/gangguan/beban sampai respon masuk dalam keadaan steady
state.
2. Spesifikasi Respon Steady State, adalah spesifikasi respon sistem yang diamati mulai saat
respon masuk dalam keadaan steady state sampai waktu tak terbatas (dalam praktek waktu
F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.42
pengamatan dilakukan saat TS ≤ t ≤ 5TS). Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas
respon steady state ini antara lain; %eror steady state baik untuk error posisi, error kecepatan
maupun error percepatan.
Respon output sistem orde I dan orde II, untuk masukan fungsi Impulsa, step, ramp dan
kuadratik memiliki bentuk yang khas sehingga mudah diukur kualitas responnya (menggunakan
tolok ukur yang ada).
Tabel 1. Kesalahan keadaan tunak sistem untuk input step, ramp, dan parabola.
Input Step Input Ramp Input Parabola
Sistem jenis 0 1/ (1+K) ~ ~
Sistem jenis 1 0 1/K ~
Sistem jenis 2 0 0 1/K
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa untuk membangun sistem dengan respon waktu yang baik,
khususnya besarnya error steady state; sistem yang baik apabila tipe sistemnya makin tinggi. Salah
satu yang bisa diupayakan untuk mempertinggi tipe sistem adalah dengan menambahkan kontroler
pada sistem (kontroler Integral). Hal ini didasarkan dari fungsi alih kontroler integral adalah 1/s.
Berbagai metode pengendali telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, salah satunya adalah
dengan menerapkan metode pengendali PID. Persamaan umum pengendali PID diperlihatkan pada
Persamaan (1) dan (2).
t
0
e(t).dtTi
Kp
dt
de(t) . Td . Kp e(t) . Kp m(t) ……………….. (1)
) s . Ti
1 s . Td 1 ( KpE(s)
M(s) ………………. (2)
Blok diagram pengendali PID diperlihatkan dalam gambar 1, dengan m(t) adalah sinyal kendali, K
adalah penguatan, e(t) adalah sinyal error yang diperoleh dari selisih antara nilai sinyal output–
sinyal setpoint . Sinyal pengendali PID merupakan penjumlahan dari pengolahan ketiganya yaitu
Proporsional, Integral), dan Derivatif/Turunan.
Gambar 1. Blok Diagram Pengendali PID
Parameter utama dari pengendali PID adalah penguatan proporsional Kp, waktu integral
Ti, dan waktu derivatif Td. Sinyal pengendali PID merupakan penjumlahan dari pengolahan
ketiganya yaitu Proporsional (sebanding dengan perubahan error), Integral (sebanding dengan
integral/penjumlahan error), dan Derivatif/Turunan (sebanding dengan kecepatan perubahan
error). Sebuah kontroler proporsional (Kp) akan memiliki efek mengurangi waktu naik dan akan
mengurangi, tetapi tidak pernah menghilangkan, kesalahan keadaan tunak.
Kontrolintegral (Ki) akan memiliki efek menghilangkan kesalahan keadaan tunak, tetapi
dapat membuat respon buruk. Suatu pengendalian derivatif (Kd) akan memiliki efek
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.43
meningkatkan stabilitas sistem, mengurangi overshoot, dan memperbaiki respontransien. Efek dari
masing-masing kontroler Kp, Kd, dan Ki pada sistem loop tertutupdirangkum dalam tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh penambahan kontroler terhadap respon
transient dan steady state sistem
Controller RISE TIME OVERSHOOT SETTLING TIME S-S ERROR
Kp Decrease Increase Small Change Decrease
Ki Decrease Increase Increase Eliminate
Kd Small Change Decrease Decrease Small Change
Metode penalaan PID Ziegler-Nichols merupakan cara populer untuk menyelesaikan
permasalahan dalam merancang kontroler PID yaitu menentukan parameter Kp, Kd, dan Ki. Etode
ini dapat dilakukan berdasarkan model sistem lup terbuka dan lup tertutup (Metode penalaan PID
Ziegler-Nichols 1 dan 2). Metode penalaan PID Ziegler-Nichols 1 dilakukan berdasarkan
eksperimen dengan memberikan input step pada sistem dan mengamati hasilnya. Pada metode ini,
sistem harus mempunyai respon terhadap step berbentuk kurva S. Prosedur praktis metode ini
adalah member input step ke sistem, mendapat kurva S, dan menentukan nilai L dan T untuk
mendapatkan nilai parameter kontroler. Penentuan parameter sesuai dengan tabel 3.
Tabel 3. Penentuan parameter PID Ziegler-Nichols
Tipe Pengendali Kp Ti Td
P T/L 0
PI 0.9 T/L L/0.3 0
PID 1.2 T/L 2L 0.5L
Gambar 2. Kurva S analisa Grafis Ziegler-Nichols
Metode penalaan PID Ziegler-Nichols 2 berguna untuk sistem yang mungkin mempunyai
respon step yang berosilasi secara terus menerus dengan teratur (sistem dengan integrator). Metode
ini dilakukan dengan eksperimen yaitu dengan menambahkan kontroler P pada sistem closed loop
dengan plant terpasang, Kemudian nilai Kp ditambahkan sampai sistem berosilasi terus menerus
dengan teratur. Nilai Kp saat itu disebut penguatan kritis (Kcr) dan periode saat itu disebut periode
kritis (Pcr).
METODOLOGI
Untuk menentukan besarnya parameter PID pada servo posisi motor DC tersebut dilakukan
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Menentukan fungsi alih sistem pengaturan lup terbuka
F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.44
Gambar 3. Blok diagram sistem kontrol
Fungsi alih motor DC (servo posisi motor)
(3)
Konstanta yang belum diketahui bisa diperoleh dari percobaan identifikasi plant, yaitu momen
inersia rotor (J), damping rasio sistem mekanik (b) , Konstanta ggl (K=Kb=Ka) , resistansi (R),
induktansi (L)
b. Menggambarkan kurva S untuk menentukan nilai L dan T
c. Menentukan besarnya parameter PID dengan dasar tabel 3.
d. Analisa dan kesimpulan
Dari pengamatan keluaran (respon) dengan bantuan Matlab sesuai parameter yang
ditentukan sebelumnya, serta dengan memperbandingkan respon penambahan kontroler P, PI, PD,
dan PID dapat ditunjukkan respon yang lebih baik dengan penambahan kontroler tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Dengan memasukkan nilai konstanta pada fungsi alih motor DC (persamaan 3), diperoleh
respon sistem dengan input step (gambar 4).
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20
1
2
3
4
5
6
7
Respon Step
Waktu (sec)
Posis
i
Gambar 4. Respon step sistem
b. Dengan dasar gambar 4 diperoleh nilai L = 0,17 dan T = 0,03, sehingga berdasar tabel 3
didapatkan nilai parameter PID seperti tertuang dalam tabel 4.
Tabel 4. Nilai parameter PID sesuai dengan Metode Ziegler-Nichols
Tipe Pengendali Kp Ti Td
P 5,7 ∞ 0
PI 5,13 0,1 0
PID 6,84 0,06 0,015
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.45
c. Hasil respon sistem dengan input step dengan nilai parameter seperti dalam tabel 4 ditunjukkan
dalam gambar 5, 6, dan 7
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20
0.5
1
1.5
Respon Step dengan Kp = 5,7
Waktu (sec)
Posis
i
Gambar 5. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.40
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Respon Step dengan Kp = 5,13 dan Ti = 0,1
Waktu (sec)
Posis
i
Gambar 6. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional Integral
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Respon Step dengan Kp = 6,84 ;Ti = 0,06 ; dan Td = 003
Waktu (sec)
Posis
i
Gambar 7. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional Integral Derivatif
F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.46
KESIMPULAN
1. Penambahan kontroler dalam pengendalian posisi motor DC dapat memperbaiki respon waktu
sistem, baik respon transient maupun Steady State
2. Penambahan kontroler Integral terutama sangat bermanfaat untuk menghilangkan ESS (Errror
Steady State)
3. Penambahan kontroler Proporsional dan Derivatif terutama bermanfaat untuk memperbaiki
respon transient sistem
DAFTAR PUSTAKA
Dwiana Hendrawati, 2009, Perbaikan Karakteristik Kontroler Tekanan dengan menggunakan
Metode Kontroler PID, Laporan Penelitian Pengembangan, Polines 2009
Lettu Lek Ardhimas Wimbo Wasisto, I. Gde Permana, 2011, Implementasi Motor DC Pengendali
PID sebagai Aktuator Sistem Penjejak Obyek Berbasis Warna, AAU Journal of Defense
Science and Technology Volume 2, number 1
Wawan Ismanto, 2010, Perancangan dan Simulasi Sistem Kontrol Posisi Pada Panel Surya
dengan Menggunakan Metode Fuzzy Sliding Mode Control (FSMC), Tugas Akhir ITS
Surabaya
Ziegler, J. G. dan N.B. Nichols, 1942, Optimum Setting for Automatic Controllers, Tans. ASME,
vol. 64, pp. 759-768
……….., 2002, Getting Started with Matlab Version 6,The Math Works, Inc, 3, Apple Hill Drive
Matick, MA
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.47
ANALISIS KEANDALAN SISTEM MEKANIK
CONTROLLABLE PITCH PROPELLER DENGAN PENDEKATAN
KEGAGALAN KEAUSAN
Gutomo*1)
, Susilo Adi Widyanto2)
, Ismoyo Haryanto2)
1) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H. Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50275 2)
Program Studi Magister Teknik Mesin, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275 *) Email: gutomohaqi@yahoo.com
Abstrak
Perancangan komponen mesin merupakan proses yang menghasilkan bentuk geometrik,
ukuran komponen secara lengkap, jenis bahan komponen, beban yang bekerja, dan kondisi
lingkungan tempat komponen akan bekerja. Hasil perancangan tersebut diharapkan komponen
dapat bekerja dengan aman, namun dalam prakteknya kadang kala ada komponen yang
mengalami kerusakan atau kegagalan (failure). Untuk itu dilakukan analisis kegagalan
(failure analysis) untuk mengetahui keandalan suatu produk. Sasaran utama analisis
keandalan adalah untuk mengidentifikasi atau meramalkan perilaku kegagalan sebuah produk
sedini mungkin. Tulisan ini meneliti kegagalan produk pena engkol pada sistem mekanik
Controllable Pitch Propeller (CPP) untuk penggerak hovercraft dengan pendekatan keausan.
Parameter yang digunakan jumlah siklus putaran. Pengukuran keausan komponen dilakukan
mulai dari jumlah 250.000 siklus sampai dengan 2.000.000 siklus. Hasil yang diperoleh
diperbandingkan dengan masa hidup (life cycle) sebuah produk terhadap kegagalan melalui
kurva bak mandi (bathtub curve).
Kata kunci: sistem mekanik CPP, analisis keandalan, kegagalan keausan.
PENDAHULUAN
Propeller adalah komponen mesin yang digunakan untuk mentransmisikan daya dengan
mengkonversi gerakan rotasi menjadi daya dorong (thrust). Perbedaan tekanan dihasilkan antara
permukaan depan dan belakang sudu (blade). Propeller banyak digunakan dalam industri
penerbangan, maritim, dan mesin energi. Pengembangan desain propeller blade semakin baik
dengan bentuk aerodinamis yang memadai, sehingga dapat menghasilkan daya dorong yang
semakin besar.
Berdasarkan mekanisme sistem pemegang blade propeller, ada dua jenis mekanisme yang
umum dipakai, yaitu mekanisme tetap yang disebut Fixed Pitch Propeller (FPP) dan mekanisme
yang dapat diatur sudut serangnya yang biasa disebut dengan Controllable Pitch Propeller (CPP)
atau Variable Pitch Propeller (VPP). Mekanisme CPP lebih menguntungkan dibandingkan dengan
mekanisme FPP, karena pada CPP dapat dihasilkan daya dorong yang bervariasi dengan putaran
propeller yang konstan.
Propeller bersama komponen lain seperti hub, poros, bantalan, pengatur sudut pitch
propeller, dan sumber tenaga, membentuk satu sistem yang disebut sistem penggerak propeller.
Sistem penggerak propeller harus memenuhi kaidah-kaidah perancangan dan produksi. Salah satu
kaidah tersebut adalah memberikan rasa aman bagi pemakainya. Untuk maksud tersebut diperlukan
analisis dan uji keandalan (reliability) pada rancang bangun suatu produk.
Salah satu konsep dasar keandalan suatu produk adalah dengan melakukan analisis
kegagalan (failure analysis) (Murthy, dkk., 2008). Segala bentuk (mode) kegagalan di dalam
perancangan produk tidak dapat diterima dan harus dihindarkan. Sistem mekanik propeller bekerja
secara dinamis dan mengalami pola pembebanan bervariasi dan berulang (cyclic loading atau
repeated loading), sehingga analisis dapat dilakukan melalui pendekatan kegagalan keausan (wear
failure).
Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah analisis keandalan sistem melalui
salah satu komponen yang mempunyai potensi kegagalan yang besar, yakni komponen pena engkol
yang bergesekan dengan piringan beralur.
F.9. Analisis keandalan sistem mekanik .... (Gutomo dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.48
Konsep Dasar Keandalan
Suatu produk dikatakan memiliki nilai sebagai akibat dari utilitas atau performansinya
dalam memenuhi suatu kebutuhan atau permintaan dari pengguna atau konsumen (customer).
Beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap nilai yang tinggi bagi suatu produk adalah
kemudahan pengoperasian, keamanan, estetika, ergonomi, dan keandalannya.
Kebutuhan terhadap keandalan dan keamanan yang lebih tinggi lebih disebabkan karena
faktor-faktor berikut ini (Verma, dkk., 2010) :
a. bertambahnya kompleksitas produk
b. peningkatan pertumbuhan teknologi
c. kesadaran atau kebutuhan pengguna
d. pertanggungjawaban keselamatan
e. kompetisi pasar
f. kegagalan sistem yang lampau
g. jaminan dan biaya kegagalan
Berbagai literatur memberikan definisi yang beragam terhadap keandalan. Namun
demikian, ada beberapa kesamaan di dalam definisi tersebut, khususnya parameter tetap yang
terkandung dalam definisi tersebut. Parameter tersebut adalah peluang, sistem atau produk atau
komponen, tidak gagal, waktu, dan kondisi operasi.
a. The reliability of a product is defined as “The ability of a product to perform required
functions, under given environmental and operational conditions and for a stated period of
time.” (Murthy, dkk., 2008).
b. Reliability is the probability of a device performing its purpose adequately for the period of
time intended under operating conditions encountered. (Barlow, 1998).
c. Reliability is the probability that an item will perform its specified mission satisfactorily for
the stated time when used according to the specified conditions. (Dhillon, 2005).
d. Reliability is the probability of a product performing its intended function over its specified
period of usage, and under specified operating conditions. (Wasserman, 2003).
Empat definisi keandalan memberikan pengertian bahwa keandalan adalah peluang atau
probabilitas sebuah sistem, produk, komponen, atau item, melakukan tugas atau operasi sesuai
dengan fungsinya, dalam rentang waktu dan kondisi operasi tertentu. Analisis keandalan bertujuan
untuk mempelajari konsep, karakteristik, pengukuran, analisis kegagalan, dan perbaikan sistem
sehingga menambah waktu ketersediaan operasi sistem dengan cara mengurangi kemungkinan
kegagalan (Ebeling, 1997).
Analisis Keandalan
Sasaran utama analisis keandalan adalah untuk mengidentifikasi atau meramalkan perilaku
kegagalan sebuah produk sedini mungkin (Gambar 2.1). Dengan demikian, titik lemah dalam
desain dapat ditentukan dan dieliminasi dalam tahap awal. Analisis keandalan juga dimaksudkan
untuk menghindari percobaan yang dapat memakan waktu dan permasalahan yang melebar.
Identifikasi yang tepat hanya dapat dicapai, apabila perilaku kegagalan komponen relatif dikenal.
Gambar 1. Analisis Keandalan pada Siklus Hidup Suatu Produk (Bertsche, B., 2010)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.49
Prosedur Analisis Keandalan
Prosedur yang dilakukan untuk menentukan kehandalan suatu sistem dilakukan seperti
Gambar 1.2 (Bertsche, B., 2010). Fokus utama dari analisis sistem, untuk menentukan komponen-
komponen yang relevan dengan keandalan dan untuk membangun sebuah struktur keandalan
sistem. Komponen-komponen sistem dianggap terpisah dan kehandalan komponen tersebut
ditentukan. Analisis keandalan diakhiri dengan perhitungan keandalan untuk sistem yang lengkap.
Gambar 2. Prosedur Analisis Keandalan Sistem
Kurva Bak Mandi
Kurva bak mandi (bathtub curve) merupakan kurva yang sering digunakan dalam teknik
atau analisis keandalan. Kurva bak mandi merupakan kurva untuk memetakan tingkat kegagalan
suatu sistem atau komponen mesin terhadap waktu. Masa hidup (life cycle) sebuah produk terhadap
kegagalan dapat dijelaskan dengan bathtub curve, seperti terlihat pada Gambar 1.3.
Kegagalan awal sebuah produk terjadi pada masa infant mortality, yang disebabkan
kemungkinan oleh kesalahan pemasangan, kegagalan produksi, pemilihan material yang tidak
tepat. Kegagalan berikutnya terjadi pada masa useful life, yang disebabkan oleh kegagalan
operasional, pembebanan berlebih (overloading), kegagalan perawatan. Kegagalan pada masa
wearout terjadi karena proses penuaan (aging), korosi, fatigue. Kegagalan pada masa infant
mortality dan masa useful life merupakan kegagalan yang sulit diperkirakan sejak awal (pre-
estimate), sementara kegagalan masa wearout pada banyak kasus merupakan penyebab kegagalan
yang paling dominan.
Gambar 3. Siklus Hidup Sebuah Produk Terhadap Kegagalan (Wasserman, 2003)
Kegagalan Komponen
Perancangan komponen mesin merupakan proses yang menghasilkan bentuk geometrik,
ukuran komponen secara lengkap, jenis bahan komponen, beban yang bekerja, dan kondisi
lingkungan tempat komponen akan bekerja. Hasil perancangan tersebut diharapkan komponen
dapat bekerja dengan aman, namun dalam prakteknya kadang kala ada komponen yang mengalami
kerusakan atau kegagalan (failure).
F.9. Analisis keandalan sistem mekanik .... (Gutomo dkk.)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.50
Kegagalan komponen atau elemen mesin sering terjadi ketika mesin sedang beroperasi.
Kegagalan tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh kesalahan perancangan, kesalahan dalam
manufaktur, kesalahan operasi, kesalahan perawatan, dan pengaruh lingkungan (Ramachandran,
2005).
Mechanical failure may be defined as any change in the size, shape, or material
properties of a structure, machine, or machine part that renders it incapable of satisfactorily
performing its intended function (Collins, 1981).
Jadi, komponen mesin dikatakan gagal, apabila komponen tersebut menunjukkan gejala
adanya perubahan ukuran, bentuk, maupun sifat-sifat bahan, yang menyebabkan komponen mesin
tidak dapat melakukan fungsinya lagi dengan baik.
Bentuk-bentuk (mode) kegagalan yang terjadi merupakan gabungan dari aspek-aspek
manifestasi kegagalan, penyebab kegagalan, dan lokasi kegagalan (Collins, 1981).
Manifestasi kegagalan (manifestation of failure) dapat berupa :
a. Deformasi elastis (elastic deformation)
b. Deformasi plastis (plastic deformation)
c. Retak (fracture)
d. Perubahan material : metallurgical, chemical, nuclear
Penyebab kegagalan (failure-inducing agents) meliputi :
a. Force : steady, transient, cyclic, random
b. Time : very short, short, long
c. Temperature : low, room, elevated, steady, transient, cyclic, random
d. Reactive environment : chemical, nuclear
Lokasi kegagalan (failure locations) terjadi pada :
a. Body type
b. Surface type
METODOLOGI
Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Merancang dan membuat sistem mekanik CPP.
b. Melakukan pengujian keausan.
- Material yang digunakan adalah ST.60.
- Variabel penelitian adalah jumlah siklus putaran.
c. Analisa data dan kesimpulan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah :
a. Sistem mekanik CPP hasil rancang bangun, seperti Gambar 2.1.
b. Neraca (timbangan).
c. Penghitung putaran (speed counter).
Gambar 4. Posisi Pena Engkol Pada Sistem Mekanik CPP
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian dari komponen pena engkol terhadap keausan, diharapkan membentuk
kurva bak mandi seperti Gambar 3.1.
Gambar 5 Kurva Bak Mandi Untuk Komponen Pena Engkol
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Analisis keandalan terhadap suatu sistem atau produk merupakan prosedur yang harus
dilakukan untuk memenuhi kaidah-kaidah perancangan dan produksi.
2. Salah satu konsep dasar keandalan suatu produk adalah dengan melakukan analisis kegagalan
(failure analysis).
3. Untuk memahami dan memprediksi potensi kegagalan pada awal tahap perancangan produk,
sangat diperlukan pembuatan peta kegagalan (failure mapping).
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, R.E., (1998), Reliability Engineering, ASA-SIAM, Philadelphia.
Bertsche, B., (2010), Reliability in Automotive and Mechanical Engineering, Springer-Verlag,
Berlin.
Collins, J.A., (1981), Failure of Materials in Mechanical Design: Analysis, Prediction, Prevention,
John Wiley & Sons, New York.
Dhillon, B.S., (2005), Reliability, Quality, and Safety for Engineers, CRC Press, Florida.
Ebeling, C.E., (1997), An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering, The
McGraw-Hill Companies, Inc., Singapura.
Murthy, D.N.P., Rausand, M., Osteras, T., (2008), Product Reliability, Specification, and
Performance, Springer-Verlag, London.
Ramachandran, V., Raghuram, A.C., Krishnan, R.V., Bhaumik, S.K., (2005), Failures Analysis of
Engineering Structures: Methodology and Case Histories, ASM International, Ohio.
Verma, A.K., Ajit, S., Karanki, D.R., (2010), Reliability and Safety Engineering, Springer-Verlag,
London.
Wasserman, G.S., (2003), Reliability Verification, Testing, and Analysis in Engineering Design,
Marcel Dekker, New York.
F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.52
ANALISIS DAMPAK PEMASANGAN DISTIBUTED GENERATION (DG)
TERHADAP PROFIL TEGANGAN DAN RUGI-RUGI DAYA
SISTEM DISTRIBUSI STANDAR IEEE 18 BUS
Agus Supardi*), Romdhon Prabowo
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I Surakarta 57102 *)
E-mail: agsums@gmail.com
Abstrak
Pusat pembangkit listrik berkapasitas besar biasanya terletak jauh dari pusat beban sehingga
membutuhkan saluran transmisi yang panjang. Dampaknya adalah susut tegangan dan rugi-
rugi dayanya menjadi semakin besar. Distributed generation (DG) dengan kapasitas kecil dan
tegangan nominal rendah menjadi salah satu alternatif dalam membangkitkan energi listrik.
Pengoperasian DG pada sistem distribusi mengakibatkan aliran daya yang terbalik arahnya
sehingga bisa berpengaruh terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengoperasian DG terhadap profil tegangan dan rugi-
rugi daya sistem. Penelitian diawali dengan memodelkan sistem distribusi standard IEEE 18
bus dan DG ke dalam software ETAP. Setelah modelnya lengkap, dilakukan simulasi aliran
daya pada berbagai kondisi. Profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem akan diamati dari hasil
simulasi ini. DG yang dipakai dalam simulasi ini divariasi lokasi pemasangan. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa pemasangan DG dapat memperbaiki profil tegangan dan menurunkan
rugi-rugi daya sistem.
Kata kunci: distributed generation (DG), profil tegangan, rugi-rugi daya
PENDAHULUAN Energi listrik merupakan sumber energi utama dunia. Tenaga listrik dibangkitkan di stasiun
pembangkit dan disalurkan ke konsumen melalui saluran transmisi dan saluran distribusi.
Pertimbangan ekonomi dan masalah lingkungan mengakibatkan fasilitas pembangkitan
berkapasitas besar biasanya diletakkan di daerah pinggiran yang jauh dari pusat beban. Dengan
demikian diperlukan banyak komponen sistem tenaga untuk menyalurkan energi listrik.
Pembangkit listrik yang beroperasi menggunakan batubara atau nuklir menimbulkan
permasalahan polusi terhadap lingkungan. Energi yang tersedia dari matahari, air dan angin
merupakan energi yang bersih, tidak mengotori lingkungan, dan gratis. Energi ini dapat diubah
menjadi listrik dengan menggunakan sel surya, pembangkit listrik mikrohidro dan turbin angin. Di
sisi lain, peningkatan permintaan energi listrik tidak dapat dipenuhi oleh pembangkit berkapasitas
besar karena adanya keterbatasan saluran transmisi. Oleh karena itu diperlukan pembangkit yang
efisien seperti jenis pembangkit listrik tersebar (DG, Distributed Generation). Isu lain yang
mendorong pengembangan DG adalah tingginya biaya transmisi dan distribusi (Willis and Scott,
2000). Pembangunan saluran transmisi baru membutuhkan biaya investasi yang besar. Dengan
demikian diperlukan suatu pembangkit yang bisa dipasang di dekat beban seperti DG.
DG menggunakan generator berukuran lebih kecil dari stasiun pembangkitan terpusat. DG
biasanya mempunyai kapasitas kurang dari 10 MW. DG mendistribusikan tenaga listrik di dekat
beban dan dapat diterapkan pada cakupan luas. DG dengan kapasitas daya yang kecil dapat
digunakan untuk melayani beban puncak yang hanya terjadi pada jam-jam tertentu tiap harinya
(Delfino, 2002). Manfaat DG antara lain :
a. Pada pengguna akhir atau pelanggan, umumnya mendapat keuntungan dengan adanya
pembangkit cadangan skala kecil yang dapat meningkatkan keandalan penyaluran tenaga
listrik.
b. Dapat mengatasi pertumbuhan beban yang tidak pasti dan dapat menekan harga listrik
melambung tinggi
Dengan adanya DG ini, kondisi sistem tenaga menjadi lebih rumit untuk dipahami. Oleh
karena itu, sangat diperlukan untuk mengetahui pengaruh pemasangan DG terhadap perubahan
apapun di dalam sistem. Wang dan Nehrir (2003) menyajikan suatu metoda analitis untuk
menentukan lokasi optimal dalam menempatkan DG di sistem distribusi radial untuk memperkecil
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.53
rugi-rugi daya sistem. Paper ini juga menunjukkan suatu studi simulasi untuk memverifikasi hasil
yang diperoleh secara analitis untuk sistem radial dan interkoneksi.
Secara konvensional, dianggap bahwa tenaga listrik pada sistem distribusi selalu mengalir
dari gardu induk ke ujung penyulang baik dalam operasi dan perencanaannya. Pengoperasian DG
mengakibatkan aliran daya terbalik dan profil tegangan yang kompleks pada sistem distribusi.
Dengan adanya pemasangan DG, maka akan terjadi perubahan besar arus pada suatu saluran
tertentu sehingga akan berpengaruh terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya saluran. Dalam
penelitian ini akan dianalisis dampak pemasangan DG terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya
sistem distribusi standar IEEE 18 bus.
METODOLOGI
Bahan utama penelitian ini adalah sistem distribusi standard IEEE 18 bus seperti yang
digunakan oleh Grady et al (1992) dengan diagram garis tunggal seperti gambar 1.
Jalannya penelitian diuraikan sebagai berikut:
1. Penelitian dimulai dengan membuat model sistem distribusi dan DG dengan menggunakan
ETAP Power Station dan memasukkan data-data sistem yang diperlukan.
2. Setelah modelnya lengkap dilakukan simulasi aliran daya. Mula-mula dilakukan simulasi aliran
daya tanpa adanya DG dalam sistem, setelah itu dilakukan simulasi aliran daya dengan adanya
DG. Profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem distribusi dapat diketahui dari hasil simulasi.
3. Simulasi dilakukan dengan memvariasi lokasi pemasangan DG.
4. Setiap langkah simulasi diikuti dengan pencatatan profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem.
Gambar 1 menunjukkan sistem distribusi standard IEEE 18 bus. 16 bus terletak pada sistem
distribusi 12,5 kV dan 2 bus (50 dan 51) terletak pada sisi 138 kV dari trafo gardu induk yang
disuplai dari sebuah swing bus. Sistem distribusinya bertipe radial dengan 2 penyulang utama.
Penyulang pertama terdiri dari 8 bus (bus no.1 – 8) dan penyulang kedua terdiri dari 7 bus (bus no.
20 – 26). Pada sistem distribusi 12,5 kV terpasang kapasitor di 9 busnya. Sistem ini sama dengan
yang digunakan oleh Grady et al (1992). DG yang akan dipakai dalam simulasi ini adalah turbin
mikro 480 V, 250 kW seperti yang digunakan oleh Kirawanich et al (2004).
8
7
6 54 3 2 1
20
21
2223
2425
26
Swing busSubstation51
50
Gambar 1. Diagram garis tunggal sistem distribusi standard IEEE 18 bus
F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.54
N50
2612.5 kV
24
12.5 kV
23
12.5 kV
21
12.5 kV
20
12.5 kV
9
12.5 kV
8
12.5 kV
22
12.5 kV
2
12.5 kV
1
12.5 kV
51
138 kV
25
12.5 kV
3
12.5 kV
4
12.5 kV5
12.5 kV
6
12.5 kV7
12.5 kV substation
100 MVA
L1
L14
L15
L11
L12
L10
L9
L7
L6L5L4
L13
L16
L3L2
B8
1177 kVA
B7
233 kVAB6
943 kVA
B5
1 kVA B4
1765 kVA
B3
472 kVA
B9
588 kVA
B2
233 kVA
B1
1 kVA
B51
1 kVA
B20
1177 kVA
B21
355 kVA
B23
943 kVA
B24
588 kVA
B22
233 kVA
B25
1177 kVA
B26
233 kVA
B50
1 kVA
L.bL.a
C21
1200 kvar
C20
600 kvar
c7
600 kvar
c5
1800 kvar c4600 kvar
c3
600 kvar c50
1200 kvar
c25
900 kvar
c24
1500 kvar
c2
1050 kvar
Swing Power Grid10 MVAsc
T3
250 kVA
bus
Turbin mikro sebagai DG
250 kW
0.48 kV
Gambar 2. Model sistem distribusi standard IEEE 18 bus dalam ETAP
Tabel 1. Data beban
Bus Beban
Aktif
( kW )
Reaktif
( kVAr)
1 1 0
2 200 120
3 400 250
4 1500 930
5 1 0
6 800 500
7 200 120
8 1000 620
9 500 310
20 1000 620
21 300 190
22 200 120
23 800 500
24 500 310
25 1000 620
26 200 120
50 1 0
51 1 0
Tabel 2. Impedansi saluran
distribusi Dari
Bus
Ke
Bus
Resistansi
(Ohm)
Reaktansi
(Ohm)
1 2 0,0673 0,1881
2 3 0,0939 0,2620
3 4 0,0494 0,1378
4 5 0,1400 0,3909
5 6 0,0461 0,1288
6 7 0,2688 0,3313
7 8 0,6359 0,4770
2 9 0,2666 0,3452
20 21 0,3472 0,4495
21 22 0,7505 0,9716
21 23 0,6227 0,8063
23 24 0,4547 0,5888
23 25 0,5823 0,7177
25 26 0,3450 0,4250
50 1 0,0488 1,0552
50 51 0,0078 0,0538
Tabel 3. Data Kapasitor yang
terpasang
Nama Bus
Daya
Reaktif
( kVAr )
C1 2 1050
C2 3 600
C3 4 600
C4 5 1800
C5 7 600
C6 20 600
C7 21 1200
C8 24 1500
C9 25 900
C10 50 1200
HASIL DAN PEMBAHASAN
Program analisis aliran daya dalam ETAP Power Station akan menghitung besarnya
tegangan bus, faktor daya pada percabangan rangkaian, arus, dan aliran daya pada keseluruhan
sistem tenaga listrik. Programnya memberikan pilihan sumber tenaga berjenis swing, voltage
regulated, dan unregulated. Jenis sistem yang bisa ditangani meliputi sistem radial dan sistem loop.
Berbagai medote analisis aliran daya disediakan untuk menghasilkan perhitungan yang paling
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.55
efisien seperti Newton-Raphson, fast decoupled, accelerated Gauss – Seidel, apply XFMR phase-
shift.
Hasil simulasi profil tegangan sistem distribusi sebelum dan setelah pemasangan DG pada
suatu bus ditunjukkan pada tabel 4. Hasil simulasi rugi-rugi dayanya ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 4. Profil tegangan sistem distribusi
Bus
Tegangan sistem distribusi (Volt)
Sebelum DG
terhubung
Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 12485 12504 12505 12506 12507 12508 12508 12508 12509 12506
2 12476 12496 12499 12500 12500 12501 12501 12502 12502 12499
3 12458 12477 12480 12483 12483 12484 12484 12485 12485 12480
4 12446 12466 12468 12471 12472 12473 12474 12474 12475 12468
5 12459 12479 12481 12484 12485 12489 12489 12490 12490 12481
6 12445 12465 12467 12470 12471 12475 12476 12476 12477 12467
7 12415 12435 12437 12440 12441 12445 12446 12452 12452 12437
8 12339 12360 12362 12365 12366 12370 12371 12377 12390 12362
9 12457 12477 12479 12480 12481 12482 12482 12482 12483 12484
20 12485 12504 12505 12506 12507 12508 12508 12508 12509 12506
21 12459 12479 12480 12481 12481 12482 12482 12483 12483 12480
22 12438 12457 12459 12460 12460 12461 12461 12462 12462 12459
23 12384 12404 12405 12406 12407 12408 12408 12408 12409 12405
24 12421 12441 12443 12444 12444 12445 12445 12446 12446 12443
25 12335 12356 12357 12358 12359 12359 12360 12360 12360 12357
26 12326 12346 12347 12348 12349 12350 12350 12350 12351 12347
Rerata perbaikan
tegangan (volt) 19,87 21,62 23,37 24,06 25,75 26,06 27,12 28,44 22,06
Tabel 4 (lanjutan)
Bus
Tegangan sistem distribusi (Volt)
Sebelum DG
terhubung
Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus
20 21 22 23 24 25 26
1 12485 12505 12507 12507 12509 12510 12510 12510
2 12476 12496 12499 12499 12501 12502 12502 12502
3 12458 12478 12480 12480 12483 12484 12484 12484
4 12446 12466 12468 12468 12471 12472 12472 12472
5 12459 12479 12481 12481 12484 12485 12485 12485
6 12445 12465 12467 12467 12470 12471 12471 12471
7 12415 12435 12437 12437 12440 12441 12441 12441
8 12339 12360 12362 12362 12365 12366 12366 12366
9 12457 12477 12479 12479 12482 12483 12483 12483
20 12485 12505 12507 12507 12509 12510 12510 12510
21 12459 12479 12488 12488 12491 12492 12492 12492
22 12438 12458 12467 12481 12470 12471 12471 12471
23 12384 12404 12413 12413 12429 12430 12431 12431
24 12421 12442 12451 12451 12466 12476 12468 12468
25 12335 12356 12365 12365 12381 12382 12394 12394
26 12326 12347 12356 12356 12371 12372 12384 12391
Rerata perbaikan
tegangan (volt) 20,25 24,94 25,82 30,88 32,44 33,5 33,94
F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.56
Tabel 5. Rugi-rugi daya sistem saat 1 buah DG terhubung pada berbagai bus
Saluran
Rugi-rugi daya aktif sistem distribusi (kW)
Sebelum
DG
Terhubung
Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 21 22 23 24 25 26
1-2 9,8 9,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 9,8 9,8 9,8 9,8 9,8 9,7 9,7
50-1 25,8 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5
2-3 9,4 9,4 9,4 8,3 8,3 8,3 8,3 8,3 8,2 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4
2-9 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,3 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
3-4 3,9 3,9 3,9 3,9 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
4-5 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 3,9 3,9 3,9 3,9 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8
5-6 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,0 1,0 1,0 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3
6-7 2,6 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 1,6 1,6 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
7-8 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 4,0 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7
20-21 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 23,3 23,3 23,3 23,3 23,3 23,3
21-22 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,1 0,3 0,3 0,3 0,3
21-23 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 23,1 23,1 23,1 23,1
23-24 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,2 4,8 4,8
23-25 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 3,5 3,5
25-26 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0 0,0
Total 129,2 127,8 126,8 125,7 125,2 124,3 124 123,1 121,3 126,5 127,8 124,5 124,3 119,6 119 117,4 117,4
Tegangan nominal sistem distribusi standar IEEE 18 bus adalah sebesar 12,5 kV.
Berdasarkan tabel 4, profil tegangan sistem distribusi akan menjadi lebih kecil dari tegangan
nominalnya ketika sistem distribusi mulai menyalurkan energi listrik ke beban. Pada saat belum
terpasang DG, besarnya tegangan pada bus 1 (bus yang terletak paling dekat dengan sumber)
sebesar 12485 volt, sedangkan tegangan pada bus 26 (bus yang terletak paling jauh dari sumber)
sebesar 12326 volt. Kondisi ini menunjukkan adanya susut tegangan. Tabel 4 menunjukkan bahwa
semakin jauh dari sumber maka tegangannya akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan Hukum
Ohm yang menyatakan besarnya tegangan berbanding lurus dengan arus dan impedansi saluran.
Semakin panjang saluran, maka impedansinya akan semakin besar sehingga susut tegangannya
akan semakin besar. Dampaknya profil tegangan pada bus yang terjauh akan menjadi paling rendah
bila dibandingkan dengan tegangan pada bus yang lainnya.
Profil tegangan sistem distribusi akan naik ketika suatu DG dihubungkan pada suatu bus
seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Pada penyulang 1 yang menyuplai beban dari bus 1 – bus 9,
terlihat bahwa kenaikan tegangan yang paling kecil (= 19,87 volt) terjadi ketika DG dihubungkan
pada bus 1 dan kenaikan tegangan yang paling besar (= 28,44 volt) terjadi ketika DG dihubungkan
pada bus 8. Pada penyulang 2 yang menyuplai beban dari bus 20 – bus 26, terlihat bahwa kenaikan
tegangan yang paling kecil (= 20,25 volt) terjadi ketika DG dihubungkan pada bus 20 dan kenaikan
tegangan yang paling besar (= 33,94 volt) terjadi ketika DG dihubungkan pada bus 26. Hal ini
disebabkan adanya perubahan arus yang mengalir ketika DG dihubungkan pada sistem distribusi.
Sebelum terpasang DG, arus mengalir dari power grid menuju ke bus tersebut. Sesudah terpasang
DG, arus akan mengalir dari bus tersebut ke bus yang lainnya. Besarnya arus yang mengalir
ditentukan oleh kapasitas DG dan besarnya beban yang terhubung. Pemilihan lokasi pemasangan
DG yang tepat akan menyebabkan arus yang mengalir pada suatu saluran akan berkurang secara
signifikan sehingga akan memperkecil susut tegangannya. Berdasarkan tabel 4, lokasi pemasangan
DG yang tepat pada penyulang 1 adalah pada bus 8, sedangkan pada penyulang 2 adalah pada bus
26.
Rugi-rugi daya pada sebuah saluran juga dipengaruhi oleh besarnya arus dan impedansi
saluran sesuai dengan rumusan P = I2R. Sebuah saluran dalam sistem distribusi mempunyai
impedansi yang konstan. Oleh karena itu, rugi-rugi dayanya lebih dipengaruhi oleh besarnya arus
yang mengalir. Variasi lokasi pemasangan DG akan menghasilkan perubahan arah dan magnitude
arus pada sistem, sehingga akan berpengaruh terhadap rugi-rugi dayanya. Pemasangan DG pada
lokasi yang tepat akan menghasilkan rugi-rugi yang paling kecil. Tabel 5 menunjukkan bahwa rugi-
rugi daya total sistem sebelum pemasangan DG adalah sebesar 129,2 kW. Rugi-rugi daya total
sistem berkurang ketika sebuah DG dihubungkan pada suatu bus tertentu. Besarnya penurunan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.57
rugi-rugi daya berkisar antar 1,4 - 11,8 kW. Pemasangan DG di bus 25 atau bus 26 menghasilkan
rugi-rugi daya total yang paling kecil (= 117,4 kW). Hal ini berarti bahwa bus 25 atau bus 26
merupakan lokasi pemasangan DG yang paling optimal ditinjau dari kriteria rugi-rugi daya sistem.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemasangan 1 buah DG berkapasitas 250 kW dapat memperbaiki profil tegangan sistem
distribusi. Nilai kenaikan tegangannya diantara 19,87 - 33,94 volt. Kenaikan tegangan terkecil
terjadi ketika DG dipasang di bus 1 dan kenaikan tegangan terbesar terjadi ketika DG
dipasangan di bus 26.
2. Pemasangan 1 buah DG berkapasitas 250 kW pada bus 25 atau bus 26 akan menghasilkan rugi-
rugi daya sistem yang paling kecil yaitu sebesar 117,4 kW.
DAFTAR PUSTAKA
Delfino, B., 2002, Modeling of the integration of distributed generation into the electrical system,
Proceedings of the 2002 IEEE Power Engineering Society Summer Meeting, Volume 1,
Pages: 170 – 175
Grady, W.M., Samotyj, M.J., and Noyola, A.H, 1992, The application of network objective
functions for minimizing the impact of voltage harmonics in power systems, in IEEE Trans.
on Power Delivery, vol.7. no.3, pp. 1379 - 1385
Kirawanich, P., O’Connell, R.M., and Brownfield, G., 2004, Microturbine harmonic impact study
using ATP-EMTP, in 2004 11th International Conf. on Harmonics and Quality of Power, pp.
117 - 122
Wang C. and Nehir, M. H , 2003, Analytical approaches for optimal placement of distributed
generation sources in distribution system, IEEE Transaction on Power Systems, in press
Willis, H. L. and Scott, W. G., 2000, Distributed Power Generation Planning and Evaluation,
Marcel Dekker, Inc.
F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.58
SISTEM PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN PREMIUM
PADA SPBU DI WILAYAH SEMARANG
Muhamad Danuri *)
, Alex Sujanto**)
Jurusan Manajemen Informatika, AMIK JTC Semarang
Jl. Kelud Raya 19 Semarang *)
E-mail : mdanuri@yahoo.com, Sinomku@yahoo.com **)
E-mail : Alex_sujanto@yahoo.com
Abstrak Konsep rantai pasokan kebutuhan persediaan telah banyak digunakan perusahaan untuk
meningkatkan pemenuhan kebutuhan bagi pelanggannya. Kehilangan penjualan akibat
kekurangan persediaan adalah hal penting yang dihindari oleh perusahaan. Penelitian ini
bertujuan membangun sistem untuk Pemantauan dan pengendalian persediaan BBM pada SPBU
di wilayah semarang dengan menggunakan sistem pengendalian persediaan Premium berbasis
web yang terintegrasi dengan jaringan internet. Pembangunan sistem dilakukan dengan
menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL sebagai pengolah databasenya adapun
metode pengendalian yang digunakan adalah metode pengendalian persediaan Premium dengan
konsep min-max stock level dan time Phased order point (Danuri, 2011). Hasil dari sistem
Pemantauan dan pengendalian ini adalah sebuah sistem yang dapat memantau persediaan
premium pada setiap SPBU dan memberikan informasi setiap saat tentang penjualan dan
pengisian kembali pada tiap-tiap SPBU.
Kata Kunci : Pengendalian Persediaan, Pemantauan, Persediaan Premium, Sistem
Pengendalian, SPBU
PENDAHULUAN
BBM merupakan sumber daya alam yang dimiliki Bangsa Indonesia, pemanfaatan dan
pemakaiannya harus dengan arif dan bijak. Kebutuhan masyarakat terhadap BBM ini sudah begitu
besarnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan sangat menggangu aktivitas operasionalnya
jika kebutuhan BBM tidak dapat terpenuhi setiap saat. Dengan bantuan teknologi persediaan BBM
dapat dipantau setiap saat ditiap wilayah diseluruh Indonesia, shingga nantinya distribusi yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang akan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.
SPBU merupakan sebuah agen yang mendistribusikan BBM bagi masyarakat, Pemantauan
dan pengendalian persediaan di SPBU menjadi faktor utama dalam proses pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Dengan berkembangnya teknologi perlu adanya suatu sistem yang dapat memantau
persediaan BBM untuk pengendalian persediaan sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi.
Sistem informasi yang terintegrasi dengan jaringan dapat dijadikan media untuk melakukan
pengawasan persediaan pada suatu organisasi. Dengan adanya integrasi jaringan komputer pada
SPBU diwilayah semarang pendataan data transaksi dan persediaan masing-masing user SPBU dapat
dipantau setiap saat.
METODOLOGI
Model Pengendalian Persediaan
Sebagai bahan penelitian adalah model pengendalian pemesanan persediaan Premium
dengan mengoptimalkan titik pemesanan berdasar rentang waktu (Time Phased Order Point) seperti
gambar 1.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.59
Gambar 1. Model Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium
(Sumber : Danuri, 2011)
Model pengendalian persediaan premium berawal dari berkurangnya stok premium pada
tangki pendam karena proses penjualan, jika stok mencapai titik pemesanan berdasar rentang waktu
(Time Phased Order Point) atau berada dibawahnya maka sistem akan memberikan peringatan untuk
mengadakan pemesanan premium.
Jika terjadi keterlambatan datangnya pemesanan maka penjualan akan tetap dapat dipenuhi
dengan stok pengaman yang telah diperhitungkan berdasarkan waktu keterlambatanya. Posisi stok
premium diukur untuk menentukan level indikator persediaan, jika diatas Qmax maka level
persediaan adalah AMAN, jika dibawah Qmin maka Level Persediaan adalah Kurang dan jika berada
antara Qmin dan Qmax maka level persediaan adalah SEDANG.
Arsitektur sistem
Gambar 2. Arsitektur sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium
Sistem yang akan dibangun berbasis Web dimana program akan dijalankan dan disimpan
pada server. Semua data akan disimpan didalam database dengan mengunakan database My SQL.
Data penjualan diolah dari tiap-tiap SPBU dan dicatat stok akhirnya, kemudian ditentukan
pengendalian persediaannya dan menampilkan hasil pengolahnnya pada layar Admin maupun user.
F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.60
Disain Sistem
Pada tahap proses perancangan sistem menggunakan peralatan Unified Modeling Language
(UML) yang merupakan bahasa pemodelan berorientasi objek untuk melakukan spesifikasi,
visualisasi, dan konstruksi terhadap sistem atau software (Booch et al., 1999). Berikut ini merupakan
model-model yang digunakan dalam pengembangan sistem penjadwalan :
1. Use Case Diagram
menggambarkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh sistem dari sudut pandang user sebagai
pemakai (external observer) dan berhubungan dengan skenario-skenario yang dapat dilakukan oleh
user (Booch et al., 1999).
Gambar 3. Uses Case Diagram Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan
Gambar 3. menunjukkan bahwa sistem yang akan dikembangkan memiliki 3 aktor dan 12
use case.
2. Class Diagram :
Sebuah diagram ini menggambarkan objek yang terdapat pada sistem dan relasi antar objek
tersebut (Booch et al., 1999). Diagram Class dibawah ini mengambarkan objek yang terdapat pada
sistem penjadwalan persediaan pada SPBU dan relasi antar objek tersebut.
Gambar 4. Class Diagram Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.61
Gambar 4 diatas menunjukkan kinerja masing – masing object didalam sistem beserta relasi
database yang digunakan pada proses didalamnya. Class pertama berisi penjualan, persediaan,
Pemantauan, profile, login, log out, view SPBU dan Registrasi SPBU. Class diagram kedua adalah
penjabaran dari class diagram pertama, sebagai berikut :
1. Class Login User digunakan untuk memvalidasi user yang akan masuk sebagai penanggung
jawab SPBU. Class ini sebagai syarat untuk dapat mengakses class yang lain di dalam
sistem.
2. Class Penjualan berisi merupakan proses user berupa input penjualan dan report penjualan
yang menggunakan tabel jual, koneksi Database. Dimana class ini dapat diakses setelah
melakukan login terlebih dahulu.
3. Class Persediaan berisi merupakan proses user berupa Penjadwalan persediaan, Pemantauan
persediaan, pemesanan persediaan, penerimaan pesanan dan grafik persediaan. Masing-
masing Class menggunakan tabel SPBU, jual, pesan dan koneksi Database. Dimana class ini
dapat diakses setelah melakukan login terlebih dahulu.
4. Class Daftar SPBU adalah sebuah class yang digunakan untuk registrasi SPBU. Data yang
dihasilkan disimpan pada tabel user
5. Class Profile Di dalam menu user terdapat beberapa menu yang digunakan untuk mengelola
data user, data penjualan, Pemantauan persediaan, Penjadwalan persediaan sampai pada
pemesanan dan penerimaan persediaan.
3. Konseptual Data Model Diagram
Merupakan diagram yang menunjukan keterkaitan antar entitas-entitas data dan atribut yang
dimiliki dari database sistem. Untuk mengambarkan desain database yang akan digunakan pada
sistem dengan disain Conceptual Data Model (CDM). Relasi-relasi antar entity pada Conceptual
Data Model tersebut dapat dilihat pada gambar 5. Sistem menggunakan 4 buah tabel untuk
pembuatan sistem ini. Masing-masing tabel mempunyai fungsi, field-field, jumlah field yang
berbeda.
Gambar 5. Konseptual Data Model Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan
Tabel-tabel yang digunakan ada 4 buah yaitu User1, tabel SPBU, tabel Pesan dan Tabel Jual
yang masing-masing memiliki primary key (PK) yang digunakan agar dalam pengisian data pada
tabel tidak akan terjadi penggandaan data dan foreign key (FK) sebagai kunci tamu untuk relasi
antara tabel . Field yang digaris bawah merupakan primary key dari tabel tersebut .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pembuatan Program
Sistem informasi pengendalian persediaan premium pada SPBU ini dibuat menggunakan
bahasa pemrograman PHP 5.0, database MySQL. Setelah semua desain sudah selesai
dimplementasikan dan sistem sudah dilakukan pengujian selanjutnya sistem digunakan untuk
menyelesaikan kasus menggunakan data penjualan pada SPBU.
F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)
ISBN 978-602-99334-1-3
F.62
1. Antarmuka Sistem MonitroingPersediaan
Hasil rancangan antarmuka sistem penjadwalan persediaan berbasis web diimplementasikan
dalam dua halaman web dengan menggunakan bahasa pemrograman berbasis web yaitu PHP.
Halaman pertama merupakan halaman awal bagi user yang berisi perintah fungsi-fungsi bagi user.
Tampilan pertama kali yang akan dilihat oleh user adalah halaman login, yang didalamnya terdapat
fungsi login, dan daftar SPBU. Hanya user yang sudah mendaftar yang dapat melakukan login.
2. Menu User sistem Pengendalian
Gambar 6. Menu User
Tampilan pertama kali yang akan dilihat oleh user setelah melakukan proses login adalah
seperti gambar 6, didalamnya terdapat tombol-tombol untuk pendataan penjualan, pendataan
persediaan dan user profile serta log out. Semua aktifitas dimulai dari input penjualan, kemudian
memeriksa penjadwalan baik dengan tombol penjadwalan maupun tombol grafik persediaan, setelah
itu dapat melakukan pemesanan dan penerimaannya. Pada halaman ini juga user dapat melihat data
profile SPBU dan mengadakan perubahan data user dengan menekan tombol edit SPBU. Jika user
sudah selesai bisa menekan tombol log out dan akan meningalkan halaman ini menuju halaman Log
in.
3. Informasi persediaan SPBU
Fungsi utama bagi Admin SPBU adalah informasi Persediaan SPBU diwilayah Semarang
yang dapat ditampilkan dengan menekan tombol menu Persediaan semua SPBU, dan akan muncul
tampilan seperti gambar dibawah ini
Gambar 7. Informasi Persediaan SPBU di wilayah Semarang
PEMBAHASAN
Dari simulasi data penjualan dan pengisian persediaan pada SPBU dengan menggunakan
Sistem Monitroing persediaan dapat memberikan informasi persediaan secara lebih cepat dan efektif,
bahkan Sistem Monitroing ini dapat memberikan informasi lebih dini terhadap kekosongan atau
kekurangan stok pada SPBU di wilayah Semarang.
Dari hasil penjualan dan penngisian kembali SPBU dapat juga dipantau melalui grafik
persediaan seperti Gambar 8.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.63
Gambar 8 .Grafik Level Persediaan Tiap SPBU Di Wilayah Semarang
Dari hasil diatas terlihat bahwa persediaan tiap-tiap SPBU diwilayah Semarang dapat dipantau
setiap saat. Hal ini berarti Sistem Monitroing persediaan ini dapat memberikan efisiensi dan
efektifitas dalam proses pemantauan ataupun evaluasi bagi manajemen untuk pengambilan
keputusan selanjutnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Sistem Pemantauan dan Pengendalian persediaan
bahan bakar minyak jenis premium dapat memberikan kemudahan dan kecepatan informasi
persediaan SPBU setiap saat bagi perusahaan. Sehingga sistem ini dapat dijadikan alternatif dalam
pengawasan untuk melakukan pemenuhan persediaan pada SPBU. Hal ini ditunjukkan bahwa
sistem ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya :
a. Rencana pemenuhan dan Penjadwalan persediaan premium menjadi lebih terkendali karena ada
informasi pendukungnya setiap saat berupa pemantauan penjualan dan stok persediaan.
b. Memberikan keamanan dan kemudahan dalam pengolahan data karena semua data tersimpan
dalam database.
c. Mengurangi resiko kekurangan persediaan dan kerugian akibat losses pemesanan, pembongkaran
dan penjualan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Enns, S.T. ;s Suwanruji, P. 1999 , Distribution Planning and Control:An Experimental Comparison
of DRP and Order Point Replenishment Strategies, Dept. of Mechanical and Manufacturing
Engineering University of Calgary, Canada.
Baroto, Teguh. 2006, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Ghalia Indonesia: Jakarta.
Booch, G; Rumbaugh, J ; Jacobson, I, The UML User‟s Guide, 1st Edition, Addison and Wesley,
1999
Danuri, M.; Mustafid; Imam, S; Design system Fuel Inventory control system with Min-Max Stock
Level and Time Phased Order Point, International Jurnal ICISBC, Universitas Diponegoro,
2011.
Jonsson, Patrik; Rudberg; Martin ; Holmberg, Stefan O. 2009, Global supply chain planning at
IKEA, International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, Sweden.
Pressman, R. S. (2001). Software Engineering (A Practitional’s Approach)., McGraw-Hill.
Subagyo, P., Manajemen Operasi. Cetakan pertama. 2000, Yogyakata: Penerbit PT BPFE.
Sommerville, Ian, 2003, “Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak)/ Edisi 6/Jilid 1”
Erlangga, Jakarta.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.1
KONSERVASI LAHAN KRITIS UNTUK PERTANIAN PRODUKTIF
DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN
DI KECAMATAN GUNUNGPATI SEMARANG
Margareta Maria Sudarwani*), Yohanes Dicky Ekaputra
**)
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pandanaran
Jl. Banjarsari Barat No.1 Banyumanik, Semarang
E-mail: *)
margareta.maria@ymail.com - **)
dickyekaputra@yahoo.com
Abstrak Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian lebih kurang sebesar 2% per tahun, akibatnya
adalah berkurangnya total produksi pertanian yang berakibat pada berkurangnya ketersediaan
pangan. Situasi ini diperparah lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.
Masyarakat menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan lahan,
sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha yang bersifat ekonomis untuk
meningkatkan kesejahteraan, termasuk akses terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budi
daya pertanian, sebagai salah satu usaha yang paling mudah dalam rangka memanfaatakan
potensi sumber daya alam setempat. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh
akses terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas
tanah pertanian. Beberapa fenomena yang terjadi di wilayah Kota Semarang yang secara fisik
menjadi penyebab meningkatnya lahan kritis, adalah sebagai berikut: karakteristik wilayah kota
semarang yang bervariasi, perubahan fungsi guna lahan pada kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya & lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan semakin banyaknya lahan kritis, pada
wilayah kawasan yang tidak produktif dan tidak memiliki investasi ekonomi yang tinggi.
Konservasi Lahan melalui Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian
bertujuan menjaga kelestarian fungsi lahan di kawasan lindung dan meminimalisir terjadinya
bencana, sehingga optimalisasi lahan pertanian akan peningkatan luas areal tanam dan
produktivitas pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan Ketahanan Pangan yang
berkelanjutan. Karena potensi Pertanian Kota Semarang secara khusus banyak tersebar di
wilayah Kawasan dataran Tinggi / Kawasan Perbukitan, maka lokasi penelitian ini akan
diarahkan pada wilayah kota Semarang yang memiliki potensi Sektor Pertanian cukup besar, dan
memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap upaya pencapaian Ketahanan Pangan di
wilayah Kota Semarang, yaitu di Kecamatan Gunungpati.
Kata kunci : konservasi lahan, ketahanan pangan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas
Pertanian Pemerintah Kota Semarang, sampai dengan Akhir Tahun 2010, jumlah Lahan Kritis di
wilayah Kota Semarang mencapai 11.652 Ha, dimana jumlah lahan kritis tersebut yang tersebar di
wilayah Pantai mencapai seluas 3.212 ha sementara jumlah lahan kritis yang tersebar di wilayah
perbukitan mencapai seluas 8.440 Ha.
Konservasi Lahan melalui Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian
bertujuan menjaga kelestarian fungsi lahan di kawasan lindung dan meminimalisir terjadinya
bencana, serta meningkatkan luas areal tanam dan produktivitas pertanian sebagai upaya untuk
menjaga Ketahanan Pangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu Pemerintah Kota Semarang perlu
memfasilitasi upaya pemanfaatan kembali lahan kritis dengan melakukan konservasi lahan untuk
Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian, agar mudah diakses oleh
kelompok warga masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukannya pada lahan-lahan yang
menjadi aset milik Pemerintah Kota, dan memfasilitasi masyarakat untuk upaya pemanfaataannya.
Karena potensi Pertanian Kota Semarang secara khusus banyak tersebar di wilayah
Kawasan dataran Tinggi / Kawasan Perbukitan, maka lokasi penelitian ini akan diarahkan pada
wilayah kota Semarang yang memiliki potensi Sektor Pertanian cukup besar dan memberikan
sumbangan yang cukup signifikan terhadap upaya pencapaian Ketahanan Pangan di wilayah Kota
Semarang, yaitu di Kecamatan Gunungpati.
G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.2
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Implikasi Kebijakan Tata Ruang dalam Pengaturan Konservasi Lahan Kritis ?
2. Bagaimana metode optimalisasi lahan pertanian yang dapat dilakukan di atas Lahan Kritis ?
3. Jenis komoditas pertanian apa yang tepat dikembangkan sesuai dengan kondisi lahan kritis
yang ada ?
Tujuan, Sasaran dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengkaji karakteristik, sebaran dan besaran Lahan Kritis pada lokasi Wilayah Penelitian
b. Menganalisis pola Pengelolaan Konservasi Lahan Kritis
c. Mengkaji komoditas pertanian yang layak dikembangkan
d. Menganalisis pola Sistem Pertanian pada Kawasan Lahan Kritis
2. Sasaran Penelitian
a. Meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya serta lahan pertanian menjadi lahan terbangun
b. Menurunnya jumlah luasan Lahan Kritis untuk mencegah terjadinya bahaya rawan bencana
c. Meningkatnya potensi sumber daya lahan untuk menambah jumlah luasan lahan pertanian
perkotaan
3. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis mampu memberikan masukan dalam upaya mencapai ketahanan pangan
yang berkelanjutan
b. Secara empiris, dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap upaya konservasi lahan kritis
selanjutnya dan dapat menjadi arahan terhadap pengendalian kebijakan dan rencana Tata
Ruang yang telah ditetapkan.
c. Secara realistis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan Lahan
secara produktif.
STUDI PUSTAKA
1. Tujuan Penelitian
Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan
dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan
air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas
yang telah ditentukkan atau diharapkan.
2. Lahan Pertanian
Fungsi lahan pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang dihasilkan untuk
satuan luas tertentu, adapun fungsi lain persawahan yang berpengaruh lebih luas adalah menjaga
ketahanan pangan, menjaga kestabilan hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi,
menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan (rural amenity) dan
mempertahankan nilai-nilai budaya.
METODOLOGI
1. Lokasi Penelitian
Penelitian direncanakan akan dilaksanakan di Kecamatan Gunungpati Semarang yang
merupakan kawasan perbukitan Semarang. Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive
berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan ini masih banyak memiliki lahan pertanian untuk
dikembangkan, sebagian besar masyarakat Kecamatan Gunungpati bermata pencaharian sebagai
petani, dan selain itu karena adanya kebijakan pemerintah bahwa pertanian kota Semarang
diarahkan di sana.
2. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan adalah pendekatan rasionalistik dengan paradigma kualitatif.
(Muhadjir, 1996). Pendekatan penelitian rasionalistik kualitatif ini sesuai dengan sifat masalah
penelitian yaitu untuk mengungkap atau memahami adanya konservasi lahan kritis sekaligus
membantu masyarakat miskin yang tidak memiliki akses pengembangan lahan kritis untuk dapat
berpartisipasi dalam mengolah lahan pertanian.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.3
3. Metode Analisis
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif (analisis data verbal) yang
disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan yang telah ditetapkan, serta mencari esensi dengan
mendudukkan kembali hasil penelitiannya pada grand concepts nya (Muhadjir, 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lahan Kritis
1. Analisis Kebijakan
Lahan kritis merupakan lahan yang tidak dapat berfungsi lagi secara baik sesuai
peruntukkannya, baik sebagai media produksi (pertanian, perkebunan, perladangan) maupun
sebagai media tata air (fungsi hidro-orologis), sehingga dapat menimbulkan bahaya erosi, tanah
longsor dan banjir di daerah hulu dan hilir serta mengakibatkan sedimentasi di daerah hilir atau
daratan. Di Kota Semarang, kawasan lahan kritis ini terdapat di hampir semua Kecamatan termasuk
di wilayah perencanaan yaitu di Kecamatan Gunungpati. Kondisi lahan di Kecamatan Gunungpati
tergolong kritis. Hal ini karena kondisi tanah yang labil dan rawan terhadap longsor terutama di
daerah yang memiliki kelerengan >40%.
Menurut Arahan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 Kerapatan
Penghijauan Kawasan Lindung / Konservasi antara 60%-80% dari Luas Lahan. Sedangkan
kawasan lindung / konservasi yang ada di Kota Semarang belum dapat memenuhi persyaratan
tersebut secara maksimal karena kerapatan tingkat penghijauan masih rendah. Tabel 1. Data Inventarisasi Kawasan Lahan Kritis Kota Semarang
NO KONSERVASI TAHUN 2008 TAHUN 2009
LAHAN
KRITIS
PANTAI
&TAMBAK
LAHAN
KRITIS
PANTAI
&TAMBAK
1
Lahan Kritis
Lahan kritis belum tertangani awal 5.227,00 - 4.220,00 -
Rehabilitasi lahan kritis 1.007,00 - 3.403,27 -
Lahan kritis belum tertangani akhir 4.220,00 - 816,77 -
2
Pantai dan Tambak
Blum tertangani di awal tahun - 1.766,00 - 1.606,00
Penanaman mangrove - 160,00 - 130,00
Belum tertangani di akhir tahun - 1.606,00 - 1.476,00
JUMLAH 10.454,00 3.532,00 8.440,00 3.212,00
Salah satu penanganan yang dilakukan terhadap lahan kritis adalah dengan adanya
rehabilitasi hutan atau rehabilitasi lahan kritis. Rehabilitasi yang dilakukan untuk memanfaatkan
lahan kritis sebagai daerah konservasi. Rehabilitasi ini dapat dilakukan dengan program penanaman
pohon atau pemanfaatan lahan kritis untuk pertanian.
Sisa luas lahan kritis di Kota Semarang sampai dengan tahun 2009 mencapai 916, 730 ha
dari total lahan kritis pada tahun 2009 yaitu 4.220,00 ha. Tabel 2. Data Inventarisasi Lahan Kritis di Wilayah Gunungpati Tahun 2011
TIPOLOGI
KAWASAN
KONDISI LAHAN (HA) JUMLAH
(HA) KRITIS AGAK
KRITIS
POTENSIAL
KRITIS
TIDAK
KRITIS
Kaw. Budidaya 144 1.454 805 1.954 4.357
Kaw. Lindung 307 845 417 267 1.836
JML TOTAL 451 2.299 1.222 2.221 6.193
Analisis Optimalisasi Lahan Pertanian Dan Kesesuaian Komoditas Pertanian
1. Analisis Kesesuaian Komoditas Pertanian Dengan Jenis Tanah
Pengembangan pertanian di Kecamatan Gunungpati dikembangkan pada kelerengan 2 – 25
% sampai 25 – 40 %. Pertanian yang dikembangkan di wilayah perencanaan adalah jenis pertanian
lahan basah dan pertanian lahan kering. Pengembangan pertanian lahan basah seperti sawah di
kelerengan agak curam biasanya menggunakan terasiring. Hal ini untuk mengurangi dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Dalam pengembangan pertanian di wilayah perencanaan harus
memperhatikan kelerengan yang ada sehingga peruntuknnya tidak mengurangi fungsi konservasi
yang ada di wilayah perencanaan.
Jenis tanah di Kecamatan Gunungpati terdiri dari latosol coklat tua kemerahan, latosol
coklat, dan mediteran coklat tua,
G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.4
a. Jenis tanah Latosol merupakan tanah yang banyak mengandung zat besi dan alumunium,
mempunyai kesuburan yang rendah. Tanah latosol mempunyai antara lain:
1) Sifat cepat mengeras bila tersingkap dan berada di udara terbuka.
2) Kadar liat > 60% remah sampai gumpal gembur.
3) Warna tanah seragam dengan batas horison yang kabur.
4) Solum dalam lebih dari 150 cm.
5) Kejenuhan basa kurang dari 50%.
6) Umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison kabrik.
Jenis tanah ini cocok ditanami padi, palawija, sayuran, buah-buahan, karet, sisal, cengkeh,
kakao, kopi dan kelapa sawit.
b. Jenis tanah mediteran mempunyai ciri:
1) Mempunyai lapisan solum yang cukup tebal.
2) Teksturnya agak bervariasi lempung sampai liat dengan struktur gumpal bersudut sedang
kosistensinya adalah gempur sampai teguh.
3) PH sekitar 6-7,5.
4) Unsur hara yang terkandung umumnya tinggi tetapi tergantung dari bahan induknya.
5) Daya menahan air sederhana dan permeabilitasnya sedang.
6) Kepekaan bahaya erosi sedang sampai besar.
7) Mempunyai sifat fisik yang sedang sampai baik.
8) Nilai produktifitas tanah sedang sampai tinggi.
Tanah mediteran ini cocok untuk tanaman jati.
2. Analisis Wilayah Lahan Pertanian
Penetapan penentuan kawasan pertanian perlu dilakukan untuk memudahkan dalam
menumbuhkan dan mengembangkan kawasan pertanian, berbasis agribisnis mulai dari penyediaan
sarana produksi, budidaya, pengolahan pasca panen, dan pemasaran serta kegiatan pendukungnya
secara terpadu, terintergrasi, dan berkelanjutan. Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan
berdasarkan kesesuaian lahan.
Tabel 3. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Persyaratan Agroklimat & Kesesuaian Lahan
KAWASAN KESESUAIAN LAHAN PERSYARATAN
AGROKLIMAT
Tanaman
Pangan
Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn bentuk lahan datar
sampai berombak (Kelerengan <8%)
Kesesuaian Lahan S1, S2 atau S3
Tidak terlalu perlu Irigasi utk Pengembangan
Disesuaikan Komoditas yg
dikembangkan sesuai agroklimat
setempat
S1: Lahan Sangat Sesuai
S2: Lahan Cukup Sesuai
S3: Sesuai Marjinal
Hortikultura Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn bentuk lahan datar
sampai berbukit
Kesesuaian Lahan S1, S2 atau S3
Tersedia Sumber Air Cukup
Perkebunan Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn Bentuk Lahan Datar
– Berbukit
Kesesuaian Lahan S1, S2, S3
Upaya Konservasi Lahan Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dengan cara
Optimalisasi Lahan Pertanian
1. Aplikasi Usaha Tani Konservasi
Sistem usaha tani konservasi adalah penataan usahatani yang stabil berdasarkan daya
dukung lahan yang didasarkan atas tanggapannya terhadap faktor-faktor fisik, biologis dan sosial
ekonomis serta berlandaskan sasaran dan tujuan rumah tangga petani dengan mempertimbangkan
sumber daya yang tersedia. Dalam usaha peningkatan produktivitas lahan harus diperhatikan
mengenai budidaya tanaman pangan yang berkelanjutan. Hal yang perlu diperhatikan dalam
budidaya tanaman berkelanjutan ini antara lain:
a. Mengusahakan Agar Tanah Tertutup Tanaman Sepanjang Tahun Guna Melindungi Tanah Dari
Erosi Dan Pencucian
b. Mengembalikan Sisa-Sisa Tanaman, Kompos Dan Pupuk Kandang Ke Dalam Tanah Guna
Memperbaiki/Mempertahankan Bahan Organik Tanah
2. Penggunaan Pupuk Kandang Sebagai Amelioran
Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk hijau ) dan kapur dapat
meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk anorganik, karena kedua unsur tersebut dapat
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.5
meningkatkan daya pegang air dan hara di tanah, sementara itu, residu pupuk diharapkan dapat
mengurangi jumlah pemakaian pupuk anorganik pada tanam berikutnya.
3. Peningkatan Sistem Budidaya Lorong
Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman
semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili
kacang-kacangan. Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik
yang dapat meningkatkan produktivitas lahan.
4. Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan
Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan kritis adalah
bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana menghambat agar
lahan kritis tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang
tepat telah banyak dicobakan pada lahan kritis tersebut. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan
membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu
dukungan ahli ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan
yang adaptif pada lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan
rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain). Tanaman pangan adaptif yang dimaksud
adalah tanaman yang di satu sisi mampu beradaptasi dan di sisi lain mampu berproduksi secara
optimal sehingga dapat diharapkan sebagai penyedia pangan di masa mendatang.
5. Keterpaduan Vertikal
Keterpaduan vertikal dimaksudkan untuk mencapai suatu pola agribisnis dan agroindustri
yang mantap, keterpaduan ini mencakup keterpaduan antara beberapa subsistem agribisnis yaitu
produksi dan pengelolaan sumberdaya alam, produksi dan budidaya, penanganan pasca panen dan
agroindustri, pemasaran dan distribusi. Tabel 4. Permasalahan, Kondisi, Pemecahan
No Permasalahan Kondisi Pemecahan
Aspek Lahan
1. Pengembangan pertanian pada
lahan kritis di daerah rawan
bencana seperti longsor atau
daerah patahan
Beberapa lokasi peruntukan
merupakan daerah yang
dilewati patahan atau sesar.
Pengembagan pertanian dilakukan
dengan menggunakan teknologi misal
terasering dengan menyesuaikan
kondisi lahan yang ada
2. Terjadi penurunan kualitas
sumberdaya lahan petani krn
konservasi kurang
Kesuburan tanah menurun.
Terjadi lahan kritis
Mudah banjir
Perlu adanya penghijauan kembali
pada tanah dengan kelerengan > 30 %
dengan tanaman keras.
Sumber Daya Manusia
1. Kualitas SDM rendah Pengetahuan & ketrampilan
kurang
Alih teknologi lambat
Peningkatan kemampuan SDM dg
penyuluhan & pelatihan
2. Tenaga kerja terbatas Menggangu pola tanam Peningkatan penyuluhan & pelatihan
Aspek Kelembagaan
1. Terbatasnya modal kelompok
tani
Jangkauan usaha kelompok
terbatasi
Kerjasama dg investor/kel.tani lain
yang mampu
2. Terbatasnya jalinan kemitraan
antara kel.tani dg lembaga
ekonomi pihak ketiga yang
mampu meningkatkan kel.tani
menjadi lembaga yang mantap
Kel.tani tidak berkembang Perlunya bantuan pemerintah pada
kel.tani untuk menjembatani dengan
kedua.
6. Keterpaduan Horisontal
Keterpaduan horizontal menyangkut aspek wilayah, sektoral dan kegiatan, berdasarkan
komoditas pertanian yang tepat.
Tabel 5. Keterpaduan Horisontal Komoditas Potensial di Wilayah Perencanaan
NO KESESUAIAN LAHAN KOMODITAS
UNGGULAN
KOMODITAS
POTENSIAL
1 Jenis tanah lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan
lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah; kelerengan: 0-
2% dan 2-15%; curah hujan: 1500-3000 mm
Durian, Rambutan Mangga, Pisang,
Kopi, Jati
2 Jenis tanah lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan
lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah; kelerengan: 2-
15%; curah hujan: 1500-3000 mm
Durian, Rambutan,
Klengkeng
Mangga, Pisang,
Kelapa
G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.6
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Beberapa fenomena yang terjadi di wilayah Kota Semarang yang secara fisik menjadi
penyebab meningkatnya Lahan kritis / Lahan Tidur yang tidak dimanfaatkan sebagaimana
mestinya, seperti : Karakteristik Wilayah Kota Semarang yg bervariasi, memiliki potensi
Gangguan Lingkungan berbeda di setiap Kawasan, Perubahan Fungsi Guna Lahan pada
Kawasan Lindung menjadi Kawasan Budidaya & Lahan Pertanian menjadi Lahan Terbangun
memunculkan permasalahan Degradasi Lingkungan dan Semakin banyaknya Lahan Kritis,
pada Wilayah Kawasan yang tidak Produktif karena tidak memiliki Investasi Ekonomi yang
Tinggi.
b. Lahan kritis di Kota Semarang hingga tahun 2009 semakin berkurang yaitu 5.227,00 ha pada
tahun 2008, jumlahnya menurun hingga 4.220,00 ha pada tahun 2009. Sedangkan rehabilitasi
lahan kritis mengalami kenaikan yaitu 1.007,00 ha pada tahun 2008 meningkat hingga
mencapai 3.403,27 ha pada tahun 2009.
c. Dengan Jumlah Luasan Lahan Kritis mencapai 6.193 Ha., Kawasan Gunungpati potensial
menjadi area pengembangan dan konservasi yang dapat menyeimbangkan kondisi fisik di Kota
Semarang, dengan tetap mempertimbangkan : Kesimbangan deliniasi kawasan lindung dengan
budidaya, Mengembangkan permukiman kepadatan rendah dan Pengembangan fungsi ekonomi
perkotaan yang mendukung fungsi ekologis.
2. Saran
a. Masih perlu kajian, identifikasi dan inventarisasi Status Lahan dan Kepemilikan Lahan yang
menjadi potensi Lahan Kritis, untuk menentukan kebijakan penataan lahan dari aspek
kelembagaan.
b. Perlu penataan ruang hijau untuk mencegah terjadinya gerakan tanah, longsor atau erosi
maupun bahaya yang ada di daerah patahan / sesar aktif, dengan kegiatan pertanian tanaman
tahunan dan perkebunan, menggunakan pola penataan dan pengembangan di sepanjang lokasi
bencana dengan kerapatan padat, terutama di Kelurahan Sumurejo, Mangunsari, Gunungpati,
Sukorejo, Kalipancur dan Bambankerep.
c. Pertanian yang layak dikembangkan antara lain sawah, tegalan, hutan produksi, melalui
tindakan konservasi pada tanah tegalan/tanah kering yang berlereng 15%-40% dengan cara
memperbaiki teras dan menanam tanaman penguat teras, peningkatan kualitas dan produktifitas
tegalan, sawah tadah hujan yang berlereng <15% dengan teknologi pertanian disertai
peningkatan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk meningkatkan daya dukung pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, Irwin. 1980. Culture and Environment. Cambridge University Press California.
Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1983. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung.
Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto. 1998. Kota Yang Berkelanjutan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Budihardjo, Eko. 1997. Lingkungan Binaan Dan Tata Ruang Kota. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Frick, Heinz. 1988. Arsitektur Dan Lingkungan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto P. 1995. Ekologi Manusia. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian
Universitas Diponegoro, Semarang.
Hadi, Sutrisno, 1984, Metodologi Reserarch, Jilid 1 dan 2, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Hakim, Rustam, 1987, Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.
Krier, Rob, 1979, Urban Space, Academy Editions, London.
Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Norberg – Schulz, Christian , 1979, Genius Loci, Rizzoli International Publications, New York.
Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form, Pergamon Press, New York.
Sumarwoto, Otto. 1989. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Penerbit Djambatan,
Jakarta.
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.7
AMBLESAN TANAH DI MUARA KALI SEMARANG
BERPENGARUH TERHADAP LUAS GENANGAN DAN KERUSAKAN
INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN
Soedarsono
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - UNISSULA Semarang E-mail: mts_unissula@yahoo.com
Abstrak Kota Semarang adalah ibukota Propinsi Jawa Tengah Indonesia, memiliki luas wilayah 373,4
km2 dengan jumlah penduduk 1.481.460 jiwa (tahun 2008). Kota dibagian selatan terdiri dari
perbukitan struktural denudasional dan perbukitan vulkanik, sedangkan dataran alluvial
terletak di bagian utara. Pada dataran alluvial tanahnya terus mengalami amblesan (land
subsidence), kondisi ini menjadi masalah yang serius khususnya pada permukiman yang
tumbuh secara alamiah di muara kali Semarang. Saat pasang air laut masuk ke permukiman
melewati beberapa sungai dan menggenang, akibatnya merusak infrastruktur permukiman.
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan mengevaluasi perubahan luas genangan pada
permukiman di muara kali Semarang antara tahun 1996 – tahun 2010 dan untuk mengetahui
tingkat kerusakan infrastruktur. Penelitian ini menggunakan metode survey dan laboratorium,
analisis data untuk mengetahui perubahan luas genangan digunakan program Geographic
Information System (GIS) dengan software Arc GIS Desktop 9.2 dari Environmental System
Research. Untuk mengetahui pengaruh genangan terhadap kerusakan infrastruktur
permukiman digunakan statistik dengan tabulasi silang. Untuk menakar pengaruh genangan
terhadap kerusakan lingkungan menggunakan software Statistical Product Service Solution
(SPSS) versi 16 dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, sedangkan evaluasi perubahan
luas genangan di permukiman dengan cara overlay peta genangan tahun 1996 dan tahun
2010, hasilnya merupakan perubahan luas genangan di permukiman penduduk. Hasil
penelitian menunjukkan : antara tahun 1996 sampai tahun 2010 terjadi penambahan
genangan seluas 29,62 ha; terjadi kerusakan infrastruktur permukiman antara lain : jalan
aspal (37,10%), jalan beton (26,20%), jalan dengan paving block (22,50%) dan saluran
drainase (23,90%); 3) secara komulatif genangan berpengaruh terhadap kerusakan
infrastruktur permukiman sebesar 20%, sedangkan sisanya dari unsur lain. Beberapa
penyebab bertambahnya luas genangan antara lain amblesan tanah pada dataran alluvial
terus berlanjut, lokasi penelitian di lewati beberapa sungai, saat pasang air laut masuk ke
permukiman, topografi datar dan jenuh, air yang menggenang merusak infrastruktur jalan.
Kata kunci : amblesan tanah, genangan, merusak infrastruktur
PENDAHULUAN
Kota Semarang merupakan satu diantara kota besar di Indonesia, berpenduduk 1.481.460
jiwa dan memiliki luas 373,4 km2 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,86% setiap tahun. Kondis
geografisnya terdiri dari dua unit morfologi, di bagian selatan (kota atas) merupakan Perbukitan
Struktural Denudasional, sedangkan dataran aluvial terletak di bagian utara (kota bawah). Di antara
16 kecamatan di Kota Semarang, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Tengah
merupakan wilayah yang terpadat penduduknya dengan kepadatan 11.556 jiwa dan 12.089 jiwa
setiap km2 (BPS Kota Semarang, 2008).
Seiring bertambahnya penduduk di Kota Semarang, maka kebutuhan akan tempat tinggal
mengalami peningkatan, untuk itu mulai tahun 1984 Pengembang membangun kawasan
permukiman (real estate) pada dataran aluvial di kawasan Tanah Mas, Puri Anjasmoro, Pantai
Marina dan komplek PRPP Jawa Tengah. Dari pengamatan di lokasi penelitian penyiapan lahan
untuk membangun kawasan permukiman dengan cara menimbun tambak dan reklamasi pantai
setinggi 2 sampai 4 m.
Hasil penelitian Tobing, dkk. (2000) menjelaskan amblesan tanah (land subsidence) pada
dataran aluvial di sebagian Kota Semarang mencapai 8 cm pertahun terjadi di Tanjung Mas ke arah
timur hingga pantai di wilayah Kecamatan Genuk dan sebagian Kecamatan Sayung yang masuk
wilayah Kabupaten Demak, kemudian disusul daerah Bandarharjo dan sekitarnya sebesar 10 – 15
G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.8
cm per tahun, Tanah Mas, Stasiun Tawang, Karang Tengah, Marina dan Tawang Mas 5 – 10 cm
per tahun. Di daerah selatan dan tenggara seperti Bangetayu dan sekitarnya amblesan tanah
umumnya kurang dari 5 cm per tahun.
Amblesan tanah pada dataran aluvial di Kota Semarang menjadi masalah yang serius,
karena daerah tersebut umumnya berupa kawasan permukiman. Akibat amblesan tanah sebagian
lahan pada kawasan permukiman yang lokasinya dekat pantai menjadi lebih rendah dari laut, saat
terjadi pasang air laut mengalir ke daratan melalui sungai dan saluran drainase selanjutnya
menggenangi daerah permukiman. Karena amblesan tanah terus berlanjut, akibatnya terjadi
genangan pada permukiman di muara Kali Semarang seperti di Kelurahan Bandarharjo, Kuningan,
Dadapsari dan Tanjung Mas. Luas genangan dan jumlah rumah yang tergenang di muara kali
Semarang pada tahun 1992 seperti terlihat pada Tabel 01.
Tabel 1. Luas Genangan dan Jumlah Rumah Tergenang Berdasarkan Kelurahan Tahun 1992
No Kelurahan Luas Wilayah
(Ha)
Luas Genangan
pada Permukiman (Ha)
Jumlah Rumah yang
Tergenang (Buah)
Keterangan
(solusi)
1. Bandarharjo 373,73 41,52 4.216 Dipasang 3
pompa
2. Kuningan 342,65 26,65 3.039 Dipasang 2
pompa
3. Dadapsari 83,25 2,77 2.025 Dipasang 2
pompa
4. Tanjung Mas 141,51 6,28 4.528 Dipasang 3
pompa
Jumlah 941,14 77,22 13.808
Sumber: Data Monografi Kecamatan Semarang Utara 2002
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode survai, sasarannya berupa permukiman penduduk pada
dataran alluvial di muara Kali Semarang seluas 941,14 ha, tanahnya terdiri dari susunan batuan
aluvium yang masih muda, usianya baru ratusan tahun sehingga terus mengalami pemampatan
(compaction).
Amblesan tanah (land subsidence) telah banyak diteliti antara lain Rappley (1933) dalam
Poland dan Devis (1969); Mohz dan kovac (1981), Whittaker dan Reddish (1989), Johnson (1991),
Fulton (1997), Yin dkk (2006), Carbogin (2003) Donelly (2006), Piend dan Natalaya (2008). Hasil
penelitian menjelaskan secara umum penyebab amblesan tanah antara lain : turunnya air bawah
tanah, pemadatan lempung pada akuifer, penambangan dan pemadatan sedimen, pemampatan
endapan aluvial secara alami, timbunan tanah dan pembebanan bangunan.
Air yang menggenang dipermukiman berpotensi merusak rumah dan infrastruktur, seperti
jalan dan saluran drainase. Untuk mendapatkan campuran aspal yang tahan terhadap air pada
lapisan jalan telah diatur di dalam Standar Nasional Indonesia (S.N.I) 03–6753–2002. SNI
memberi pedoman standar benda uji dan pengukuran perubahan kekuatan tarik diametral yang
didapat dari penjenuhan kekuatan tarik diametral yang didapat dari penjenuhan dalam pembahasan
benda uji campuran beraspal.
Jalan beton dapat mengalami kerusakan umumnya pada slab dan lapisan tanah dasarnya.
Kerusakan jalan beton terdiri dari kerusakan struktur dan kerusakan karakteristik permukaan,
berupa retak-retak pada lapisan perkerasan, patahan (fault) dan deformasi. Patahan pada lapis
perkerasan berhubungan tarikan dan tekanan akibat beban, menurut hukum degredasi kekuatan
material pada proses patahan dan kerusakan jalan tergantung pada pemeliharaan (Hong dkk, 2008).
Menurut Dowson (2006) masuknya air pada sambungan paving block menyebabkan kerusakan
jalan lebih awal, air yang ada di bawah paving block dapat menggerus (erosion) dan
menghilangkan pasir antar paving, akibatnya kondisi paving tidak stabil (Emery, 1993).
Untuk mengetahui perubahan luas genangan pada penelitian ini menggunakan program
Geografic Information System (GIS), Software Are Gis Distop 92 dari Environmental System
Research menggunakan Interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) dan fasilitas Ektension
Spatial Analist. Nilai yang dihasilkan oleh metode ini, berdasarkan rentang nilai dari titik-titik
interpolasi. Metode IWD menggunakan jarak rerata, sehingga nilai yang dihasilkan tidak lebih
kecil dari nilai minimum dan tidak lebih besar nilai maximum (Waston and Philip, 1985)
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.9
Hasil dari penelitian berupa peta luas genangan pada lokasi penelitian tahun 2010,
selanjutnya luas genangan pada permukiman tahun 1996 di overlay dengan luas genangan pada
permukiman tahun 2010, maka dapat diketahui perubahan luas genangan selama 16 tahun akibat
amblesan tanah. Untuk mengetahui pengaruh genangan pada permukiman terhadap kerusakan
infrastruktur dan daya dukung lingkungan digunakan metode survai dengan analisis diskriptif
kuantitatif. Untuk mengetahui tingkat kerusakan infrastruktur permukiman penelitian ini digunakan
statistik dengan analisisnya menggunakan tabulasi silang, sedangkan untuk menakar daya dukung
lingkungan akan dibahas hubungan fungsional antara Dependent Variable berupa kerusakan
infrastruktur permukiman dan tingkat kesehatan penduduk dengan Independent Variable berupa
genangan di rumah, pekarangan, jalan dan saluran, sehingga dapat diketahui seberapa besar
pengaruh Independent Variable terhadap Dependent Variable. Analisisnya menggunakan alat
bantu Software Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Genangan pada permukiman akibat amblesan tanah pada dataran aluvial berpotensi
merusak rumah dan infrastruktur permukiman dan turunnya kesehatan penduduk. Penelitian
dilakukan di muara Kali Semarang terdiri dari 4 kelurahan yaitu : Kelurahan Kuningan, Dadap
Sari, Bandarhardjo dan Tanjung Mas seluas 941,14 ha, masuk wilayah Kecamatan Semarang Utara.
Lapisan tanah umumnya terdiri dari susunan batuan alluvium yang masih muda, usianya baru
ratusan tahun, sehingga terus mengalami pemampatan. Proses amblesan tanah ini dipercepat akibat
penambahan beban untuk pembangunan permukiman, selain itu lokasi permukiman letaknya di
muara kali Semarang, saat terjadi pasang air laut masuk dan menggenang, akibatnya merusak
infrastruktur permukiman.
Setelah dilakukan validasi data, pengamatan pada lokasi penelitian dan di analisis,
selanjutnya dibuat peta genangan di Kelurahan Kuningan, Dadap Sari, Bandarhardjo dan Tanjung
Mas, pada tahun 2010 (hasil penelitian) seperti terlihat pada Gambar 01.
Gambar 1. Peta Genangan Tahun 2010
Untuk mengetahui perubahan luas genangan pada permukiman dilakukan overlay peta
genangan tahun 1996 (data sekunder) dengan peta genangan tahun 2010 (hasil penelitian) hasilnya
berupa peta penambahan luas genangan pada permukiman penduduk, seperti terlihat pada Tabel 02
Tabel 2. Luas Wilayah Dan Luas Genangan Tahun 1996 dan Tahun 2010
Lokasi
Luas
Wilayah
(Ha)
Luas Genangan
Tahun 1996
(Ha)
Luas Genangan
Tahun 2010
(Ha)
Perubahan
Genangan
(Ha)
Keterangan
Kel. Tanjung Mas 373,73 44,02 48,55 4,53 Ada peningkatan luas
genangan
Kel. Bandarharjo 342,65 42,95 27,65 -15,30 Ada penurunan luas
genangan
Kel. Dadapsari 83,25 8,36 25,57 17,21 Ada peningkatan luas
genangan
Kel. Kuningan 141,51 13,74 36,92 23,18 Ada peningkatan luas
genangan
Jumlah 941,14 109,07 138,69 29,62
Sumber: Soedarsono, (1997), Kelurahan Tanjung Mas, Bandarharjo, Dadapsari dan Kuningan, (2010), dan
pengamatan lapangan, (2010).
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM
SULTAN AGUNG
G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.10
Berdasarkan Gambar 01 dan Tabel 02 dapat diketahui selama 14 tahun ada pertambahan
genangan di lokasi penelitian seluas 29,62 ha dengan sebaran umumnya di kiri dan kanan kali
Semarang, ditepi saluran drainase dan pada permukiman yang topografinya rendah. Perubahan
genangan di lokasi penelitian antara tahun 1996 dan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 02.
Gambar 2. Peta Perubahan Genangan
Untuk mengetahui tingkat kerusakan infrastruktur permukiman pada daerah yang sering
tergenang digunakan data primer berupa kuesioner, wawancara yang mendalam dan pengamatan
langsung pada lokasi penelitian. Setelah dilakukan analisis menggunakan tabulasi silang, tingkat
kerusakan infrastruktur permukiman hasilnya dapt dilihat pada Tabel 03.
Tabel 3. Tingkat Kerusakan Infrastruktur Permukiman Yang Sering Terendam Air Hujan Dan Air Laut
Jalan Aspal Rusak Parah Rusak Agak Rusak
37,10 % 42,70 % 15,20 %
Jalan Paving Block Rusak Sedikit Rusak Tidak Rusak
22,50 % 49,70 % 27,80 %
Jalan Beton Rusak Sedikit Rusak Tidak Rusak
26,20 % 15,50 % 62,30 %
Saluran Drainase Rusak Parah Rusak Agak Rusak
23,90 % 41,70 % 34,40 %
Untuk mengetahui besar pengaruh genangan pada permukiman terhadap daya dukung
lingkungan digunakan software SPSS versi 16, hasilnya tingkat kerusakan infrastruktur
permukiman terprediksi (y) yang dipengaruhi oleh genangan di rumah, pekarangan, jalan dan
saluran sebesar 20%.
PEMBAHASAN
Lahan di muara kali Semarang berupa dataran aluvial yang masih muda, baru ratusan tahun
(http//www.semarang.ne), sehingga tanahnya terus mengalami pemampatan. Beban diatas tanah
berupa permukiman, daya dukung tanah yang kecil dan muka air tanah tertekan (Confined aquifer)
semakin turun (Soedarsono, 2011), akibatnya amblesan tanah terus berlanjut. Penelitian Tobing
dkk (2000) menunjukkan pada dataran aluvial terjadi amblesan tanah (land subsidence) bervariasi
antara 5 – 15 cm/tahun.
Permukiman di muara kali Semarang dilewati beberapa sungai yaitu : Kali Asin, Kali
Semarang, dan Kali Baru, saat terjadi hujan air masuk ke permukiman, demikian pula saat pasang
air laut masuk ke permukiman melewati beberapa sungai dan menggenang di lokasi penelitian.
Genangan pada lokasi penelitian di 4 Kelurahan terus bertambah luas. Selama 14 tahun,
antara tahun 1996 – 2010 luas genangan di 4 Kelurahan terjadi peningkatan seluas 29,62 ha, ini
disebabkan tanah pada permukiman terus mengalami amblesan. Selain terjadi penambahan juga
terjadi pengurangan genangan seluas 15,30 ha, di Kelurahan Bandarhardjo karena ada penimbunan
tanah setinggi 1,65 m untuk perluasan gudang pelabuhan Tanjung Mas.
Penyebab genangan antara lain : lokasi permukiman topografinya datar, secara gravitasi air
hujan dan air laut (rob) cukup lama kembali ke laut; tanahnya jenuh karena sering tergenang; air
tanahnya tinggi (1-2m) akibatnya air sulit meresap ke dalam tanah; (d) tanah terus mengalami
amblesan dan; lokasi permukiman yang berada di muara Kali Semarang. Lama genangan
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM
SULTAN AGUNG
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.11
disebabkan permukiman tumbuh secara alamiah sesuai dengan kemampuan ekonomi penduduk,
sehingga posisi rumah tidak tertata secara baik, kemiringan saluran drainase (ί) kurang dari 2% dan
tidak memenuhi syarat teknis, akibatnya air yang menggenang butuh waktu 3 – 5 jam mengalir
kembali ke laut. Dampak dari genangan antara lain lantai, dinding dan komponen fisik rumah
kropos, apalagi sebagian rumah penduduk dibangun tidak memenuhi syarat teknis. Upaya
memperbaiki rumah yang dilakukan penduduk terkait dengan kemampuan ekonomi, separuh dari
penduduk sudah memperbaiki rumahnya satu kali selama 14 tahun dengan cara membongkar
rumah atau meninggikan lantainya saja untuk menghindari genangan, sedangkan bagi yang tidak
mampu rumahnya dibiarkan tergenang.
Dampak air laut yang sering menggenang di lingkungan permukiman dapat dilihat dari
kerusakan bangunan dan infrastruktur. Air laut akan mempercepat rusaknya bangunan di daerah
yang sering tergenang terutama bangunan yang terbuat dari campuran porland cemen (PC) dan
pasir, karena secara kimiawai, air laut mampu melepaskan (mengurai) senyawa yang terkait dalam
semen, akibatnya bangunan cepat lapuk (Kusnandar 2009). Infrastruktur yang mengalami
kerusakan antara lain jalan dengan lapisan perkerasan aspal, beton dan paving block.
Hasil penelitian Prabowo (2009) menggunakan desain campuran lataston lapis aus hot
relled sheet wearing cource, menjelaskan semakin tinggi keasaman air dan semakin lama terendam
air laut, campuran aspal semakin cepat mengelupas. Kerusakan jalan dengan perkerasan aspal yang
terjadi di jalan Dorang, jalan Tombro dan jalan Empu Tantular banyak disebabkan oleh rendaman
air laut.
Kerusakan konstruksi jalan dengan lapisan beton yang terjadi di jalan Usman Janatin akibat
kerusakan struktur, berupa retak-retak pada lapis perkerasan (lapisan atas), namun tidak sampai
dasar slab beton. Kerusakan jalan dengan lapis perkerasan beton di jalan Usman Janatin Kelurahan
Tanjung Mas disebabkan lapisan tanah dasar yang lunak akibat sering terendam air dan jalan
sering dilalui kendaraan dengan muatan berat. Kerusakan jalan dengan lapis perkerasan paving
block disebabkan keluarnya lapisan pasir bawah paving block akibat rendaman air, perpindahan
pasir di bawah paving (bedding sand) menyebabkan lapisan jalan tidak stabil (Hatta dkk 2003).
Kerusakan jalan di jalan Layur dan jalan Kolonel Sugiono yang menggunakan paving block, selain
jalan sering terendam juga akibat kendaraan yang lewat dengan tonase berat.
Kondisi saluran drainase di lokasi penelitian sebagian rusak di kiri kanan (bibir) saluran,
sebagian besar saluran penuh sedimen dan sampah rumah tangga, eksisting saluran drainase
berbelok – belok mengikuti kondisi rumah dengan kemiringan (i) kurang dari 2%, akibatnya saat
hujan dan pasang air meluap dan menggenang di rumah penduduk.
Dari analisis statistik dengan program SPSS versi 16, dapat diketahui genangan pada
permukiman berpengaruh 20% terhadap kerusakan rumah dan infrastruktur permukiman,
sedangkan sisanya dimungkinkan pengaruh dari kualitas bahan bangunan, kualitas konstruksi dan
unsur lainnya.
KESIMPULAN
1. Genangan pada permukiman terjadi di sekitar sungai dan saluran drainase, saat hujan dan
pasang air laut yang masuk ke permukiman melalui Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru dan
Kali Banger. Penyebab utama terjadinya pertambahan luas genangan antara lain: permukiman
padat, topografinya datar dan jenuh, tanah mengalami amblesan, air laut semakin jauh ke hulu,
genangan semakin luas. Antara tahun 1996 sampai tahun 2010 di lokasi penelitian terjadi
penambahan genangan seluas 29,62 Ha.
2. Air yang menggenang di permukiman dapat merusak rumah dan infrastruktur permukiman.
Infrastruktur berupa jalan dengan lapis perkerasan aspal yang mengalami rusuk parah sebesar
37,10%, rusak 47,70% dan sedikit rusak sebesar 15,20%, untuk jalan paving block dan beton,
kondisinya lebih baik, karena lebih tahan terhadap air. Sebagian saluran drainase tidak
berfungsi maksimal karena topografinya datar, saluran berbelok-belok, bibir saluran banyak
yang rusak dan saluran penuh sedimen. Saluran yang rusak parah sebesar 23,8%, rusak sebesar
41,7% dan 34,5% kondisi agak rusak. Secara keseluruhan genangan berpengaruh sebesar 20%
terhadap kerusakan rumah dan infrastruktur permukiman, sisanya dari unsur lain.
G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.12
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi PT. Rinea
Cipta, Jakarta
BPS Kota Semarang, 2008, Profil Kependudukan Kota Semarang Tahun 2008, BPS Kota
Semarang, Semarang.
BPS Kota Semarang, 2008, Semarang Dalam Angka Tahun 2008, BPS Kota Semarang, Semarang.
Burrough, P. (1986) Principles of GIS. M.N. Demers, Fundamentals of GIS,Eddy Prahasta.”Sistem
Informasi Geografis, P.A. Longley Geographical Inforamtion Systems, volume 1&2.
Carbognin, L., 2003, Overview of The Activity of The UNESCO-IHP Working Group IV Project M-
3.5(C) on Land Subsidence, International Hydrologial Programme Division of Water
Sciences, Paris Cedex 15, France. www.unesco.org/water/ihp/land_subsidence.pdf, 20 Mei,
Jam 14.30 WIB.
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-6753-2002, Cara
Uji Ketahanan Campuran Beraspal Terhadap Kerusakan Akibat Rendaman, LitBang Dinas
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Donnelly, The Monetoring and Prediction of Mining Subsidence in The Amaga, Angelopolis,
Venencia and Bolanbo Regions, Antiogna, Colombia. www.elsevier/locate/enggeo, 4
Agustus, jam 15.00 WIB.
Dowson, A.J., 2006, The Influence and effect of water in laying course material in concert block
paving countruction, Proceeding of the 5 th international confrence of concrete block
pavement (CBP), Tokyo
Emery, J.A., Member ASCE, 1993, Stabilization of jointing sand enginering, vol. 119 No. 01,
ASCE, ISSN 0733-947X/93/001-0142.
Fulthon, A., 1997, Land Subsidence: What Is It and Why Is It an Important Aspect of Groundwater
Management?, in Cooperation with the California Departement of Resources. USA,
http://www.glenncountywater.org/documents/LandSubsidence.pdf, 4 Agustus, Jam 15.20
WIB.
Gamma Design Software, 2005, Interpolation in GS+, http://www.geostatistics.com/
OverviewInterpolation.html, 20 Agustus 2010, Jam 15.30 WIB.
Johnson, A.I., 1991, Prosesing of The Fourth International Syimposium on Land Subsidence,
Texas, 12-17 Mei 1991 http://iahs.info/redbooks/a200/iahs_200_0000.pdf, 20 Agustus 2010,
Jam 9.20 WIB.
Kecamatan Semarang Utara, 2007, Data Monografi Kelurahan Tanjung Mas 2007, Kecamatan
Semarang Utara
Kecamatan Semarang Utara, 2008, Nomografi Kelurahan Tanjung Mas,Bandarharjo, Kuningan
dan Dadapsari, Kel Semarang Utara, Semarang.
Marfai, M. A., dan King, L. 2007, Monitoring Land Subsidence In Semarang, Indonesia.
Enviomental Geology,53 : 651-659. Doi: 10.1007/s00254-007-0680-3.
Prabowo, A.H., 2003,Pengaruh rendaman air laut pasang (Rob) terhadap kinerja latastan (HRS-
WC) berdasarkan uji Marshal dan uji durabilitas modifikasi, Pilar volume 12, nomor 2.
Poland J.F dan Davis, G. H., 1969, Land Subsidence due to with drawal of fluids, A.R. Eng.Geol,
USGS, Sacra and Wash, DC Vol 2, P 187-269.
Soedarsono, 1997, Pengaruh Banjir Genangan Akibat Pasang Air Laut Terhadap Permukiman Di
Muara Kali Semarang, Tesis Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.
Soedarsono, 2011. Pengaruh Amblesan Tanah (land subsidence) Terhadap Lingkungan
Permukiman Di Dataran Aluvial Sebagian Kota Semarang, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Tobing, T., MHL, Panggabean dan Murdohardono, D., 2001, Evaluasi Geologi Teknik Penurunan
Muka Tanah (land subsidence) Daerah Semarang dan Sekitarnya Propinsi Jawa Tengah,,
DGTL, Bandung.
Whittaker and Reddish, 1989, Faktor-Faktor Penyebab Penurunan Muka Tanah
(Land Subsidence), www.land subsidence.com May 6, 2009...2:36 am.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.13
KUALITAS ESTETIKA GEOMETRIS FISIK RUANG KOTA
KAWASAN LAPANGAN PANCASILA SEMARANG
Esti Yulitriani Tisnaningtyas Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNPAND
Jl.Banjarsari Barat No. 1 Semarang E-mail: esti.yulitriani@Gmail.com
Abstrak Lapangan Pancasila merupakan satu ruang kota yang cukup strategis bagi kota Semarang.
Perkembangan kawasan yang sangat cepat dapat berdampak bagi kualitas estetika ruang
kotanya. Penelitian tentang kualitas estetika geometris fisik ruang kota adalah bertujuan untuk
mencari gambaran kualitas estetika ruang kota ditinjau dari aspek geometris fisik ruang kota,
mengetahui unsur-unsur pembentuk estetika ruang kota dan faktor-faktor yang dapat merusak
kualitas estetika ruang kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan rasionalistik dengan
menggunakan paradigma kualitatif dalam kaitannya dengan tujuan penelitian . Pendekatan ini
memerlukan kerangka teoritis didasarkan pada teori-teori para ahli, untuk disusun menjadi
sebuah konsep dasar (grand concept ) terkait dengan keseluruhan studi. Dari hasil penelitian
di lapangan memperlihatkan kualitas estetika ruang kota yang baik antara lain terbentuk oleh
kesatuan open space lapangan Pancasila dengan jalan yang menuju ke Lapangan Pancasila
dan Jl. Pahlawan sebagai poros sumbu simetri. Unsur estetika lainnya adalah komposisi solid
dan void fisik ruang kota. Adapun unsur-unsur yang dapat menurunkan kualitas ruang kota
adalah ketinggian bangunan, kedekatan antar masa bangunan, keserasian unsur fasade
bangunan yang satu dengan yang lainnya di Kawasan Simpang Lima. Melihat potensi
kawasan Lapangan Pancasila Semarang sebagai ruang kota yang bernilai tinggi dari unsur-
unsur geometrisnya maka perlu dilakukan penataan dalam bentuk urban design guideland. Hal
ini penting agar unsur yang bernilai tinggi tetap dipertahankan, sedangkan unsur yang dapat
menurunkan kualitas ruang kota dapat dieliminasi.
Kata kunci: kualitas estetika, geometris, fisik, ruang kota
PENDAHULUAN
Estetika ruang kota antara lain terbentuk dari estetika fisik pembentuk ruang kota. Estetika
ruang kota dapat ditinjau dari aspek makna ruang kota dan aspek fisik ruang kota. Lapangan
Pancasila merupakan satu ruang kota yang cukup strategis bagi kota Semarang. Di kota Semarang
ruang kota yang berupa lapangan kota (town square) tidak banyak. Dahulu ada alun-alun kota
Semarang di daerah Kanjengan, namun karena kebutuhan untuk perluasan pasar Johar yang
diakibatkan bertambahnya jumlah pedagang di pasar johar, sehingga alun-alun kota Semarang
dipindah ke Simpang Lima. Berbagai kegiatan baik yang formal dan tidak formal ada di kawasan
ini.Berbagai kegiatan baik yang formal dan tidak formal ada di kawasan ini.
Kawasan Simpang Lima Semarang dengan lapangan Pancasila di tengahnya yang
merupakan ruang publik yang cukup penting bagi masyarakat kota Semarang. Letaknya yang
strategis mengundang aktifitas komersiil ke kawasan ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya
perubahan penggunaan lahan dan bangunan di sekitar lapangan Pancasila. Dahulu di kawasan ini
terdapat Gedung Olah Raga yang sekarang berganti menjadi Citralandmall, gedung pertemuan
Wisma Pandanaran berganti menjadi bangunan Simpang Lima Plasa. Namun perkembangan
kawasan yang sangat cepat dikhawatirkan dapat berdampak bagi kualitas estetika ruang kotanya.
Berbagai masalah yang tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan pada peneliti. Apakah
ruang kota kawasan Lapangan Pancasila memiliki estetika fisik ruang kota yang berkualitas.
Unsur-unsur apa yang mendukung estetika fisik ruang kota tersebut. Faktor-faktor apa yang dapat
mempengaruhi nilai estetika fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila Semarang?.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila..
Penelitian tentang kualitas estetika geometris fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila,
bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk estetika geometris fisik ruang kota dan factor-
faktor yang dapat merusak kualitas estetika ruang kota. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan rasionalistik dengan menggunakan paradigma kualitatif dalam kaitannya dengan tujuan
G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.14
penelitian. Pendekatan ini memerlukan kerangka teoritis didasarkan pada teori-teori para ahli,
untuk disusun menjadi sebuah konsep dasar (grand concept ) terkait dengan keseluruhan studi.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang perancangan kota, khususnya kualitas estetika geometris fisik ruang kota di
kawasan Lapangan Pancasila Semarang.
KAJIAN PUSTAKA
Estetika dalam arsitektur adalah nilai yang menyenangkan mata dan pikiran yang berupa
nilai bentuk dan ekspresi. Keindahan bentuk bersifat nyata, fisik, dapat diukur atau dihitung,
sedangkan keindahan ekspresi bersifat abstrak. Keindahan bentuk memiliki dasar tertentu, yang
disebut prinsip estetika seperti keterpaduan, keseimbangan, proporsi, dan skala. (Yolanda,) Prinsip
estetika meliputi komposisi/susunan, keselarasan, keterpaduan, keseimbangan, proporsi dan skala.
Komposisi merupakan dasar yang penting untuk menghasilkan bentuk yang jelas, teratur. Susunan
yang tidak teratur dapat menimbulkan kesan kurang nyaman
Kualitas Ruang Publik juga mencakup makna dari keberadaan ruang publik tersebut
dalam konteks yang lebih luas dan berkelanjutan, yaitu memenuhi kelayakan terhadap kriteria
: kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan (Danisworo, 1992). Garnham
(1965) menyebutkan bahwa komponen pembentuk identitas ruang publik yang menentukan
kualitas suatu tempat meliputi tiga komponen yaitu fisik, aktivitas atau fungsi serta makna (Dalam
Prihastoto, 2003). Kualitas lingkungan meliputi kenyamanan,pencapaian, vitalitas, image. Menurut
Darmawan ( ), kualitas ruang publik kota meliputi aktifitas dan fungsi campuran, ruang khusus,
keramahan pedestrian, skala manusia dan kepadatan, struktur, kejelasan, dan identitas, kerapihan
dan keyamanan, manajemen kota, ragam visual. Menurut Fisher estetika kawasan meliputi
keteraturan, texture, keakraban, keleluasaan pandangan ,kemajemukan , misteri . The ultimate
aesthetic goal in urband design is to create pleasure places for behavior setting in the public
realm. (John Lang, 1994).
Datum
Datum merupakan suatu benda yang berupa garis bidang atau volume yang oleh karena
kesimbangan dan keteraturannya menjadikannya sebagai suatu yang mampu mengumpulkan ,
mengukur dan mengorganisir suatu pola tertentu (DK. Ching , 1996).
Kesatuan (Unity)
Menurut Noreberg-scultz (1971) dan (Moughtin C 1992), mengemukakan konsepnya ,
bahwa pertama kali yang dipikirkan dalam mendisain adalah pusat-pusat lokasi kegiatan
(proximity), arah dan tujuan jalan (continuity), dan area yang telingkupi (enclosure). Komposisi
dalam perancangan kota adalah seni, kesatuan visual masing-masing elemen kota dengan
menghindarkan semaksimal mungkin adanya perbedaan. Kembali kepada tujuan perancangan kota
yang terpenting adalah menciptakan imege kota yang kuat dalam struktur kota yang memiliki
visual dan penataan organisasi ruang yang menyatu (lynch, 1960).
Proporsi
Metoda untuk penyusunan tata ruang (order) yang menyatu (unity ) dapat menggunakan
metode proporsi dengan memberikan keseimbangan komposisi elemen-elemen (Ching, D.K, 1979)
Beberapa contoh proporsi antara lain suatu rumah tinggal dengan proporsi jendela yang sama
bentuk dengan dimensinya antara sebelah kiri dengan sebelah kanan bisa dikatakan simetri. Pintu
utama sebagai elemen bangunan tinggal atau aparte,en dibuat dengan elemen alin maka akan
membentuk ptoporsi. Dalam skala kota kita dapat menentukan proporsi melalui penampakan garis
langit (skyline), bangunan mana yang akan menjadi landmarknya dan bagaimana komposisi
dengan bangunan lain akan nampak pada silhouete kota tersebut. (Spreiregemn, 1965).
Skala dan Proporsi
Skala dalam ruang publik berkaitan dengan geometri (geometrical qualities), yang akan
mempengaruhi pada proporsi yang siginifikan. Disini ada 3 kategori skala yaitu skala akrab, skala
sedang, skala luas. Rob Krier, 1979 dalam Agus Heru 1998. Contoh ruang publik yang dikenal
sebagai Masterpiece of civic art. Untuk obyek dua dimensional seperti patung atau sculpture di
tengah taman , pengertian proporsi ditentukan oleh ketinggian dan lebar. Definisi proporsi
kaitannya dengan penataan ruang publik berupa taman kota sedikit lebih kompleks. Karena
berhubungan dengan bagian struktur kota secara sinergis. Dengan kata lain sistem proporsi dapat
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.15
diterapkan pada ruang publik sebagai bagian dari struktur kota secara keseluruhan. Perbedaan skala
dan proporsi tergantung dari perbandingan dari dimensi dan proporsi ruang yang satu dengan ruang
yang lain. (Moughtin, 1992).
Simetri, Keseimbangan
Sumbu adalah suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik didalam ruang dimana ruang –
ruang dapat disusun dalam suatu paduan yang simetri dan seimbang. Simetri merupakan suatu
penataan atau sususnan elemen untuk mencapai komposisi yang lebih rigid. Kemudian kalau
dikaitkan dengan keseimbangan (balance) menjadi salah satu ekspresi yang sederhana dan jelas
dalam perancangan. Ada komentar proporsi (a sense of proportion) merupakab dna faktor yang
dapat memberi nilai tambah dalam desain. Simetri formal (formal symetri) , hal ini merupakan satu
tipe keseimbangan yang mudah dilihat dan dimengerti, tetapi menimbulkan kesulitas dalam
menyelaraskan antara fungsi ruang dalam dan ruang luar.
Ritme, Harmoni dan Kontras.
Ritme dalam ruang publlik kota seperti halnya properti yang dijelaskan dengan analisis-
analisis ang dapat dipertanggung jawabkan . Di samping itu merupakan produk kelompok elemen-
elemen seperti suatu penonjolan, ruang antara, aksen dan arah menuju suatu obyek yang
dintunjuukkan dengan deretan kolom-kolom atau pohon atau elemen lain sebagai pengarah.
Keberhasilan desain ruang publlik dari segi estetis agar menghindari kemonotonan, meiliki daya
tarik dan aksentuasi. Beberapa ruang publik yang menyenangkan ditunjukkan dari bentuk-bentuk
kontras yang berasal dari alam, sinar matahri, dan bayangan (Ching, DK, 1987). Harmonis dalam
komposisi ruang publlik kota merupakan upaya konsfirmasi untuk mencapai konsistensi melalui
beberapa pengulangan dari material, detail-detal tinggi rendah sebagai sentuhan dalam proses
kekompakan dalam menata komposisi kota. Kontras dalam ruang publik kota merupakan
pemanfatan semaksimal mungkin lahan yang terbatas dengan unsur-unsur bentuk dan anti bentuk,
bangunan dan ruang, jalan dan ruang terbuka publik, lansekap dan perangkat keras dan lunak.
Tanpa elemen-elemen yang kontras dan kejutan-kejutan maka yang terjadi adalah pengulangan-
pengulangan yang membosankan.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu dengan pendekatan
kualitatif rasionalistik. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan studi pustaka.
Teknik analisis menggunakan analisis kesamaan isi (analysis).
Bertolak dari teori sistem. visual yang dikemukakan oleh Gordon Cullen dalam The
Concept of Townscape (1996: 9 - ll), bahwa ada tiga aspek mendasar yang harus diperhatikan
dalam sistem visual, yaitu yang berkaitan dengan aspek pemandangan (optic), tempat (place) dan
isi (content). Sistem visual dipengaruhi oleh peta mental seseorang. Penggalian data ini dilakukan
pemahaman seseorang pada lingkungan nya memlaui memori. Penentuan responden berdasarkan
stratifield random sampling.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambar. 1. Kawasan Lapangan Pancasila (Simpang Lima)
Mall Ciputra
Jalan Pahlawan Jalan A Yani
Jalan Pandanaran Jalan KH Ahmad
Dahlan
G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.16
Sumbu, Simetri dan Keseimbangan
Sumbu adalah suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik didalam ruang dimana ruang –
ruang dapat disusun dalam suatu paduan yang simetri dan seimbang. Dua titik dalam ruang di
Simpang Lima dapat dilihat dengan adanya jalan Pandanaran dengan jalan A Yani. Jalan A Yani
dan Jl. Pandanaran membentuk satu garis melintang dari arah timur ke barat. Sebagai penghubung
kawasan kota Semarang bagian barat dengan kawasan kota Semarang bagian timur. Dimana jalan
ini membagi urban space ke dalam dua bagian yang hampir seimbang antara urban space bagian
sisi utara dengan bagian sisi selatan Lapangan Pancasila. Sumbu di kawasan Simpang Lima
terbentuk sumbu timur-barat. Di sisi selatan Lapangan Pancasila terdapat jalan yang paling besar
yaitu Pahlawan. Jalan Pahlawan memiliki dua jalur yang terbesar dengan boulevard di tengahnya,
membujur dari selatan ke utara dan berakhir di Simpang Lima. Di sisi Utara Lapangan Pancasila.
Jalan ini membagi ruang yang seimbang bagian timur dengan bagian barat terhadap terletak di
poros tengah di tengah lapangan Pancasila. Sementara di sisi utara Dari lapangan Pancasila Jalan
Gajah Mada membujur ke barat daya dan Jl KH Ahmad Dahlan membujur ke arah timur laut.
Posisi Jalan Gajah Mada dan Jl KH Ahmad Dahlan serta Jalan Pahlawan membuat membuat lahan
Mall Ciputra menjadi focal point dari sumbu jalan Pahlawan.
Simetri merupakan suatu distribusi yang seimbang dari bentuk bentuk dan ruang yang
sama dan seimbang pada sisi yang saling berlawanan( DK. Ching , 1996 ) Keseimbangangan yang
terbentuk dari sumbu utara-selatan dan sumbu timur barat serta lahan Mal Ciputra membentuk
keseimbangan yang sama sisi timur dengan sisi barat kawasan Simpang Lima. Keseimbangan yang
sama membentuk simetri formal. Derajat paling tinggi dalam estetika geometri adalah kesimbangan
simetri formal. Dari Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa lokasi yang paling
strategis di kawasan Simpang Lima adalah alahan Mall Ciputra karena dpat dilihat dari jalan
Pahlawan. Terletak di tengah sumbu yang terbaik dan dapat dilihat dari berbagai sudut di Simpang
Lima
Hasil wawancara dengan responden 57 % menyatakan seimbang antara massa di sisi timur
dengan barat. Dari konfigurasi massa bangunan, massa bangunan di sisi utara sumbu timur barat
dengan massa bangunan di sisi selatan tidak seimbang. Sedangkan massa bangunan disisi timur
sumbu jalan Pahlawan dengan sisi barat seimbang. Secara vertikal , ketinggian bangunan di sisi
timur dengan sisi barat seimbang. Sedang sisi selatan dengan sisi utara tidak seimbang. Simetri
merupakan suatu penataan atau susunan elemen untuk mencapai komposisi yang lebih rigid.
Kemudian kalau dikaitkan dengan keseimbangan (balance) menjadi salah satu ekspresi yang
sederhana dan jelas dalam perancangan. Ada komentar proporsi ( a sense of proportion) merupakan
dan faktor yang dapat memberi nilai tambah dalam desain. (Moughtin, 1992 ).
Hirarki
Bentuk massa bangunan Citraland paling mencolok dibandingkan dengan bangunan lain di
Simpang Lima. Bangunan lain berbentuk persegi dan persegi panjang, bangunan Citraland
berbentuk hexagonal. Hirarki adalah merupakan suatu penekanan pada suatu hal yang penting atau
menyolok merupakan keutamaan dari suatu bentuk( DK. Ching , 1996 ). Dari konfigurasi massa
yang terbentuk tersebut maka tercipta hirarki dengan puncak dari hirarki adalah bangunan
Citraland.Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan 65 % responden bahwa bangunan yang
paling mencolok di Simpang Lima adalah Bangunan Citraland, baik dari segi lokasi, bentuk massa
dan bentuk fasad bangunan.
Irama / pengulangan (Ritme), Datum
Bentuk massa dan fasad bangunan sebagai pembentuk ruang kota dan orientasi visual
sistem visual dalam kaitannya dengan serial vision , (Cullen ,1965). Bangunan-bangunan di
Simpang Lima tidak menvisualkan adanya pengulangan bentuk mulai dari bentuk atap bangunan,
bentuk bukaan pada fasad bangunan, bentuk kolom bangunan, bentuk iklan pada bangunan. Desain
satu bangunan dengan bangunan lainnya sangat berbeda. Irama adalah kondisi yang
menggambarkan sesuatu yang berulang atau yang tampak sebagai pergerakan yang saling
menyatukan dan berpola ( DK. Ching , 1996 ). Berdasarkan hasil wawancara tidak ada irama.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.17
Pohon glodogan pecut yang tinggi menjulang sebagai unsur lansekap Lapangan Pancasila
di tanam mengikuti pola Lapangan Pancasila yang berbentuk persegi dengan ujung tumpul.
Deretan pohon yang menjulang membentuk suatu bidang dinding hijau yang membentuk ruang di
lapangan Pancasila seolah-olah memisahkan Lapangan Pancasila dengan ruang terbuka lainnya.
Skala dan Proporsi
Lapangan Pancasila di kawasan Simpanglima ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan
komersial dan mesjid Baiturrahman yang secara keseluruhan membentuk 'enclosure'. Hal ini
ditunjukkan dengan dominasi orientasi bangunan, hubungan antar bangunan, jarak antar bangunan.
Dari perbandingan antara lebar lapangan dengan tinggi bangungan ruang kota bersifat enclosure .
Perbandingan Namun demikian 1apangan (square) dengan jalan jalan yang mengelilinginya
membentuk publik space dengan enclosure bangunan-bangunan yang mengitarinya. Keadaan ini
yang memisahkan antara fungsi 1uar (external space) dengan fungsi ruang di dalam bangunan
(internal space), walaupun secara visual bi1a dipandang dari ruang publik (public space)
merupakan satu kesatuan ruang yang enclosed. (Spreiregen,1995; Yoshinobu Ashihara, 1983:62-
63). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden 65 % mengatakan bahwa urban space di
kawasan Simpang Lima termasuk manusawi antara lain mencaklup hubungan antar bangunan, pola
msssa bangunan terhadap lingkungan, ketinggian bangunan dari jalan. 57 % menyatakan luas
lapangan Pancasila masih manusiawi, mudah dilihat dari tengah lapangan dan dapat mengenali
wujud utuh bangunan.
Simpang Lima sebagai kawasan komersiil tentu tak lepas dari adanya iklan. Beberapa iklan
dipasang dalam bentuk iklan yang berdiri sendiri berupa baliho, dan iklan yang didisain sebagai
bagian dari fasad bangunan seperti fasad bangunan Mal Ciputra. Dominasi iklan di Simpang Lima
dari segi ukuran sangat besar, hingga ada yang menutupi elemen-elemen fasad bangunan, menutupi
pandangan ke arah ruang kota atau jalan ( jalan Pahlawan), menutupi elemen lansekap ruang kota.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden 100 % menyatakan iklan di kawasan Simpang
Lima sudah membuat kualitas estetika ruang kota jelek. Terutama dari faktor ukuran yang tidak
proporsional dengan desain bangunan atau elemen ruang kota lainnya. Proporsi antara ketinggian
dan lebar lapangan masih kurang seimbang . Lapangan Pancasila dapat dikategorikan skala luas ,
sedangkan bangunan yang mengitarinya masih ada yang mempunyai ketinggian 2 atau tiga lantai
sehingga kurang membentuk rasa ruang atau enclosure. Terutama di sisi utara sumbu jalan A Yani
– Pandanaran Bangunan berketingian7-8 lantai sedangkan di sisi selatan 2-3 lantai. Walaupun
bangunan Rayamana memupunyai ketinggian 7 lantai.
Keterpaduan (Unity)
Keserasian unsur sumbu dengan fasade, keserasian elemen – elemen pada fasade, kesatuan
rupa bentuk muka di belakang. Pola ruang kota di Simpang Lima mengikuti bentuk lapangan
Pancasila yang berbentuk persegi pannjang dengan ujung tumpul. Pola jalur pedestrian, tanaman di
dalam lapangan, jalur pedestrian, tempat PKL, taman di luar lapangan. Ruang terbuka kota milik
privat juga mengikuti bentuk Lapangan Pancasila. Berdasarkan orientasi bangunan terhadap
sumbu jalan pahlawan. Orientasi bangunan sisi timur dan barat dan utara mengarah kelapangan
Pancasila. Namun bangunan di sisi selatan yaitu bangunan Telkom dengan bangunan Ramayana
tidak ke arah lapangan Pancasila namun menghadap ke arah sumbu jalan Pahlawan.
Menurut Noreberg-scultz (1971) danMoughtin C 1992, mengemukakan konsepnya , bahwa
pertama kali yang dipikirkan dalam mendisain adalah pusat-pusat lokasi kegiatan (proximity), arah
dan tujuan jalan (continuity), dan area yang telingkupi (enclosure). Komposisi dalam perancangan
kota adalah seni, kesatuan visual masing-masing elemen kota dengan menghindarkan semaksimal
mungkin adanya perbedaan. Kembali kepada tujuan perancangan kota yang terpenting adalah
menciptakan imege kota yang kuat dalam struktur kota yang memiliki visual dan penataan
organisasi ruang yang menyatu (Lynch, 1960).
G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.18
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari hasil penelitian di lapangan memperlihatkan kualitas estetika ruang kota yang baik
antara lain terbentuk oleh kesatuan open space lapangan Pancasila dengan jalan yang menuju ke
Lapangan Pancasila dan Jl. Pahlawan sebagai poros sumbu simetri. Unsur estetika lainnya adalah
komposisi solid dan void fisik ruang kota. Adapun unsur-unsur yang dapat menurunkan kualitas
ruang kota adalah ketinggian bangunan, kedekatan antar masa bangunan, keserasian unsur fasad
bangunan yang satu dengan yang lainnya di Kawasan Simpang Lima. Melihat potensi kawasan
Lapangan Pancasila Semarang sebagai ruang kota yang bernilai tinggi dari unsur-unsur
geometrisnya maka perlu dilakukan penataan dalam bentuk urban design guideline. Hal ini penting
agar unsur yang bernilai tinggi tetap dipertahankan, sedangkan unsur yang dapat menurunkan
kualitas ruang kota dapat dieliminasi.
Rekomendasi
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang kriteria perancangan estetika
fisik ruang kota berdasarkan unsur geometri yang dapat membentuk citra kawasan dan makna
simbolis dari persepsi pengguna ruang publik, penentu kebijakan, pemilik lahan dan stakeholder
lainnya.
Kualitas estetika ruang kota yang salah satu nya dipengaruhi oleh adanya bangunan dan
unsur-unsur geometrinya. Dengan demikian bagi perancang bangunan di dalam mendisain
bangunan sudah selayaknya mempertimbangkan komposisi gubahan massa dan fasad bangunan
yang dapat memberi nilai estetika tinggi bagi ruang kota. Untuk merancang ruang kota terutama
lapangan kota maka dalam penyusunan urban design guideline juga menyertakan partisipasi dari
pemilik lahan atau bangunan, masyarakat pengguna sehingga dapat diperoleh rancangan lapangan
kota yang menjadi harapan bersama seluruh masyarakat kota.
Bagi penentu kebijakan perlu penyusunan urban design guideline yang mengarahkan
pembangunan ruang kota kawasan lapangan kota dengan berbagai unsurnya menjadi ruang kota
yang berkualitas estetika tinggi , mengendalikan pembangunan kawasan lapangan kota agar tidak
terjadi penurunan kualitas estetika ruang kota.
DAFTAR PUSTAKA
Gosling, David dan Barry Maitland, 1984. Concept of Urban Design ,St. Martin's Press, New York.
Krier, Rob, Urban Space, Fore Word by Collin Rowe, Academy Edition London.
Lynch, Kevin, 1962. The Image of /The City The HI.T.Press Massachusette.
Spreiregen ,Paul D, 1965. The Architectur of Town And The City, Mc Graw Hill Book Company,
Mougtin ,Cliff, 1992. Urban Design Street and Square, An Imprit of Butterwort -Heinemann Ltd
Lincare House.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.19
FUNGSI JALUR PEDESTRIAN DIANTARA DUA BANGUNAN
PUSAT PERBELANJAAN DI KORIDOR JALAN A. YANI
(DITINJAU DARI ATRIBUT KENYAMANAN DAN VISIBILITAS PENGGUNANNYA
PADA MALAM HARI)
Esti Yulitriani Tisnaningtyas Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNPAND
Jl. Banjarsari Barat No 1 Semarang E-mail: esti.yulitriani@Gmail.com
Abstrak
Jalan A. Yani merupakan linkage yang cukup strategis di kota Semarang. Jalan ini
menghubungkan node Kawasan Simpang dengan jalan MT. Haryono. Fungsi jalur pedestrian
jalan A. Yani sangat dipengaruhi oleh berjalannya kegiatan di Jalan A. Yani dan di bundaran
kawasan Simpang Lima. Pada malam hari pejalan kaki belum memanfaatkan jalur pedestrian
di antara dua bangunan perbelanjaan di ujung koridor jalan A. Yani secara maksimal.
Penelitian tentang fungsi jalur pedestrian di ruang publik koridor jalan A. Yani ditinjau dari
aspek kenyamanan dan visibilitas penggunanya, bertujuan untuk mengetahui perilaku pejalan
kaki dalam memanfaatkan jalur pedestrian, mencari properti jalur pedestrian yang diinginkan
pejalan kaki untuk memenuhi tuntutan atribut tersebut. Penelitian intens di fokuskan dilakukan
di titik pengamatan antara bangunan Simpang Lima Plasa dengan bangunan Pertokoan
Simpang Lima. Dari hasil penelitian, pemanfaatan jalur pedestrian lebih banyak untuk
digunakan untuk bergerak dari jalan menuju ke bangunan atau sebaliknya. Sedangkan untuk
bergerak dari ruang satu ke ruang yang lain, pejalan kaki lebih banyak memanfaatkan tepi
jalan atau badan jalan untuk sirkulasi. Jalur pedestrian belum memenuhi aspek kenyamanan
dan visibilitas pejalan kaki. Faktor fungsi lahan untuk pusat perbelanjaan, kurangnya
penyediaan parkir, pemanfaatan ruang publik oleh pengguna ruang publik lainnya
mempengaruhi perilaku pejalan kaki di dalam memanfaatkan jalur pedestrian.
Kata kunci: jalur pedestrian, ruang publik, pejalan kaki, kenyamanan, visibilitas
PENDAHULUAN
Ruang publik adalah ruang luar yang digunakan untuk kegiatan penduduk kota sehari-hari,
antara lain untuk kegiatan berjalan kaki, sirkulasi menuju ke suatu tempat, bersantai, upacara,
parkir, kampanye, bahkan sebagai tempat untuk berdagang. Jalan A. Yani merupakan salah satu
ruang publik yang berbentuk koridor. Dimana jalan ini berujung di bundaran Simpang Lima dan
perempatan jalan. M.T. Haryono. Kawasan Simpang Lima Semarang dengan Lapangan Pancasila
di tengahnya merupakan ruang publik yang cukup penting bagi masyarakat kota Semarang.
Simpang Lima menjadi tempat berkumpulnya warga kota Semarang di waktu-waktu senggang.
Efent-efent cukup besar sering dilakukan di Lapangan Pancasila seperti pertunjukan musik terbuka,
upacara kenegaraan, kegiatan olah raga.
Di kawasan Simpang Lima di ujung jalan A. Yani, terletak bangunan dengan fungsi pusat
perbelanjaan, yaitu Simpang Lima Plasa. Di seberangnya terdapat pertokoan Simpang Lima. Kedua
bangunan ini menyediakan tempat parkir, selain di dalam bangunan juga di ruang terbuka publik.
Tempat parkir diruang terbuka kedua bangunan ini sering dipadati dengan kendaraan pengunjung
Simpang Lima. Sementara itu aktifitas komersil di kawasan Simpang Lima jalan A. Yani dan
mengundang pelaku-pelaku aktifitas di ruang publik yang memanfaatkan hilir mudik pejalan kaki,
yang merupakan pengunjung kawasan tersebut. Pengguna ruang publik tersebut antara lain
pedagang kaki lima, tukang becak, tukang parkir. Aktor pengguna ruang publik sebagian
memanfaatkan jalur pedestrian di kawasan Simpang Lima dan koridor jalan A. Yani untuk kegiatan
mereka. Berbagai masalah yang tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan pada peneliti.
Bagaimana pengaruh keberadaan kedua bangunan dengan aktifitas komersiil tersebut tersebut pada
penggunaan ruang publik dalam hal ini jalur pedestrian di jalan A. Yani. Apakah kondisi jalur
pedestrian yang ada telah mampu mengakomodasi atau memenuhi kebutuhan kenyamanan dan
visibilitas pejalan kaki untuk beraktifitas di ruang publik tersebut? Apakah pemanfaatan ruang
publik yang ada mempengaruhi berjalannya fungsi jalur pejalan kaki ?.
G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.20
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang fungsi jalur pedestrian diantara dua pusat
perbelanjaan di jalan A. Yani. Kegiatan di ruang publik di koridor jalan A. Yani dan kawasan
Simpang Lima lebih banyak pada malam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
keberadaan dua bangunan komersiil terhadap pemanfaatan ruang publik, kondisi jalur pedestrian
pada malam hari, juga mengetahui pula pola perilaku pejalan kaki dalam memanfaatkan jalur
pedestrian tersebut. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang perancangan kota, khususnya penerapan jalur pedestrian yang memenuhi
atribut di lingkungan koridor jalan A. Yani dan kawasan Simpang Lima Semarang.
Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang menggali fenomena perilaku masyarakat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenogis rasionalistik. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan dan menjelaskan kompleksitas hubungan antara perilaku dengan lingkungan
dengan proses pengujian kebenaran tidak hanya diukur melalui indera tetapi juga melalui
pemaknaan hasil temuan. Untuk mengetahui pola perilaku pejalan kaki digunakan place centered
mapping, person centered mapping dan melakukan wawancara.
Ruang Publik Dan Pemanfaatannya
Ruang publik adalah ruang luar yang digunakan untuk kegiatan penduduk kota sehari-hari.
Ruang publik dapat diartikan sebagai ruang milik bersama yaitu tempat masyarakat melakukan
aktifitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari
maupun dalam perayaan berkala. Bentuk ruang publik di kawasan terbangun kota, dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu koridor dan lapangan kota (town square). Koridor merupakan
ruang publik berbentuk memanjang dengan deretan bangunan yang membatasinya. Ruang publik
berupa koridor bisa berbentuk sungai, jalur jalan. Sedangkan bentuk ruang publik lainnya adalah
berupa lapangan kota (town square).
Lapangan kota seringkali didisain sebagai titik simpul pembagi transportasi atau
merupakan titik persilangan dari beberapa jalur transportasi. Lapangan kota karena letaknya yang
stragegis mengundang pelaku-pelaku kegiatan komersiil untuk berkegiatan di sekitar kawasan
lapangan kota seperti pusat perbelanjaan, hotel, pusat perkantoran, perdagangan. Pengguna ruang
publik adalah semua orang yang memanfaatkan ruang publik baik untuk melakukan aktifitas
sehari-harinya dalam mencari nafkah maupun hanya sekedar lewat untuk menuju ke suatu tempat
antara lain pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor beroda dua, pengendara kendaraan
bermotor beroda empat, pedagang kaki lima, tukang beca, tukang parkir dan lainnya.
Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang
yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos bahasa Yunani yang
berarti kaki, sehingga pedestrian, dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan
kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan, atau sirkulasi, atau perpindahan orang atau
manusia, dari suatu tempat sebagai titik asal ke tempat lain sebagai tujuan dengan berjalan kaki
(Rubenstein, 1992). Jalur pejalan kaki juga dikenal sebagai jalur pedestrian antara lain jalan
setapak, trotoar dan jembatan penyeberangan. Pedestrian merupakan jalur pejalan kaki di luar
bangunan, bagian dari jalan berupa jalur yang terpisah khusus untuk pejalan kaki. Biasanya
terletak bersebelahan di tepi sepanjang jalan. Sirvani (1985) mengatakan bahwa jalur pejalan kaki
harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perancangan kota.
METODOLOGI PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengkaji Fungsi Jalur Pedestrian di Kawasan
Simpang Lima Semarang pada Malam Hari Ditinjau dari Aspek Kenyaman dan Visibilitas
Penggunanya. Penelitian ini merupakan. penelitian terapan (applied research). Menurut Haryadi
(1995), tujuannya adalah untuk menjawab persoalan-persoalan praktis yang dihadapi masyarakat,
karena ingin memecahkan masalah sehari-hari. Penelitian aplikatif agar hasilnya dapat segera
dimanfaatkan untuk memecahkan problem-problem praktis di bidang perancangan arsitektur dan
perancangan kota. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan jenis yang akan ditinjau maka dipilih
penelitian kualitatif Tujuan utama penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman
menyeluruh tentang suatu fenomena yang diteliti dengan pendekatan yang menyeluruh. Karena
menyangkut fenomena perilaku masyarakat, maka keluasan cakupan dan kedalaman dalam
penelitian kualitatif sangat diutamakan.(Lexy Moeleong).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.21
Untuk penggalian data dilakuakan dengan menggunakan metode B. Sommer ( 1980),
tentang person centre map dan place centre map. Dalam metode ini digunakan untuk mengetahui
pergerakan pejalan kaki dan aktivitas pada periode tertentu dengan melihat satu tempat untuk
aktivitas. Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui perilaku pejalan kaki dalam dalam
suatu lingkungan tertentu. Pengamatan perilaku pejalan kaki dimaksudkan untuk mengetahui
pergerakan pejalan kaki, kecenderungan yang dilakukan pejalan kaki menyangkut pemilihan
tempat sirkulasi atau aktifitas, faktor yang terkait perilaku sirkulasi pejalan. Pemetaan perilaku
difokuskan pada pengamatan perilaku pejalan kaki di ruang publik di jalan A. Yani , diantara
bangunan Simpang Lima Plasa dan Pertokoan Simpang Lima. Setelah melakukan observasi awal,
pemilihan waktu survei dilakukan pada hari kerja, sabtu dan minggu Untuk penggalian persepsi
pengguna jalur pedestrian dilakukan dengan wawancara. Untuk analisis digunakan analisis ke
samaan isi (content analysis ) untuk mencari jawaban terhadap suatu kecenderungan.
Variabel penelitian antara lain variabel pengaruh, terpengaruh dan variabel kontrol. Ruang
publik sebagai variabel terpengaruh, perilaku pejalan kaki sebagai variabel terpengaruh, dan
atribute kenyamanan dan visibilitas sebagai variable kontrol. Atribut kenyamanan,Menurut
Uterman (1984) kenyamanan dipengaruhi oleh jarak tempuh. Faktor yang mempengaruhi jarak
tempuh adalah waktu yang berkaitan dengan maksud atau kepentingan pejalan kaki dan kenyaman
berjalan kaki dipengaruhi oleh cuaca dan jenis aktifitas. Menurut Weisman (1981) kenyamanan
adalah suatu keadaaan lingkungan yang memberi rasa yang sesuai kepada panca indera dan
anthropometry disertai fasilitas yang sesuai dengan kegiatannya. Visibilitas diartikan sebaga jarak
penglihatan dimana terlihat dengan jelas obyek yang diamati termasuk akses dan komponen setting
(Weisman, 1981). Selanjutnya Hesselgran (1975), mengatakan bahwa jarak penglihatan berkaitan
dengan jarak yang dirasakan secara dimensional atau geometris saja, tetapi juga menyangkut
persepsi visual dimana seseorang merasa ada tidaknya halangan untuk mencapai obyek tersebut.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Temuan Penelitian
1. Kondisi lingkungan
Kawasan Simpang Lima Semarang merupakan ruang publik yang cukup penting bagi
masyarakat kota Semarang. Simpang Lima menjadi tempat berkumpulnya warga kota Semarang di
waktu-waktu senggang. Efent-efent cukup besar sering dilakukan di Lapangan Pancasila seperti
pertunjukan musik terbuka, upacara kenegaraan, kegiatan olah raga. Di kawasan Simpang Lima di
ujung jalan A. Yani, terletak bangunan dengan fungsi pusat perbelanjaan, yaitu Simpang Lima
Plasa di sisi utara jalan. Simpang Lima Plasa merupakan bangunan pusat perbenajaan tujuh lantai.
Orientasi bangunan menghadap ke lapangan Pancasila. Fasilitas parkir kendaraan roda empat
berada di dalam gedung. Sedangkan kendaraan bermotor berada di halaman depan dan samping
bangunan. Di sisi selatan jalan A. Yani terdapat bangunan pertokoan Simpang Lima. Orientasi
bangunan menghadap ke lapangan Pancasila. Pertokoan simpang Lima merupakan kompleks
pertokoan dua lantai yang cukup luas. Fasilitas parkir terletak di halaman depan dan samping
bangunan. Jalur pedestrian di sisi utara jalan A. Yani 4 meter, sedangkan sisi selatan 1,5 meter.
Jalur pedetsrian di sisi utara dibangun dan desain menarik oleh pengelola bangunan Simpang Lima
Plasa. Penerangan pada malam hari selain diperoleh dari lampu jalan diperoleh dari lampu yang
lalu lalang di jalan A. Yani.
2. Tempat-tempat yang menjadi kekuatan
Berdasarkan place centered mapping, Dari pengamatan yang dilakukan tiga hari Senin,
Minggu dan Sabtu, diperoleh jumlah n yang tertinggi pada hari Sabtu. Tempat-tempat yang
menjadi kekuatan di koridor jalan AYani: dari n sejumlah 2006 pejalan kaki pada hari sabtu, 1).
Entrance menuju ke tempat parkir atau bangunan Pertokoan Simpang Lima, kepadatan pejalan kaki
11 %; 2). Entrance menuju ke tempat parkir atau bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima
Plasa, 31 %; 3). Tempat pemberhentian kendaraan umum, 12 %; 4). Jalur pedestrian dengan lebar
jalur 4 meter, dengan perkerasan lantai keramik. sebanyak 7 %; 5). Badan jalan Jalan A. Yani 26
%.
3. Perlaku pengguna ruang publik
Berdasarkan place centered mapping, aktor yang pengguna ruang publik adalah: 1).
Pejalan kaki: berjalan menyusuri jalan, duduk-duduk di atas pagar pembatas selokan yang dan
G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.22
berdiri di jalur pedestrian menunggu kendaraan umum, menyeberang, berjalan satu-satu diantara
pedagang kaki lima, menyusuri jalur pedestrian, berdiri melihat-lihat barang dagangan yang
ditawarkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan diatas jalur pedestrian; 2). Pedagang kaki lima
: berjualan di atas jalur pedestrian, berjualan cinderamata, berjualan makanan dan minuman; 3).
Tukang beca; 4). Sopir angkota atau kendaraan umum,
Berdasar person centered mapping perilaku pejalan kaki di jalan A. Yani antara lain
berjalan menyeberang, berhenti, berbelok menghindari beca atau angkota, berjalan memiringkan
badan, berjalan satu-satu diantara pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar, berdiri
menunggu angkota, melihat-lihat dan menawar dagangan. Karakteristik perjalanan di jalan A. Yani
antara lain berjalan hendak menuju ke bangunan Simpang Lima Plasa dan pertokoan Simpang
Lima, santai, membeli makanan dan minuman, menuju ke kawasan lain di sekitar Simpang Lima,
menuju ke Lapangan Pancasila.
Sirkulasi pejalan kaki, berdasarkan person centered mapping, arah pergerakan pejalan kaki, di
koridor jalan A. Yani adalah :
a. Dari tempat parkir pertokoan Simpang Lima - menyeberang jalan A.Yani - melintas jalur
pedestrian-menyeberang tempat parkir-menuju bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima
Plasa
b. Turun dari angkutan umum – menyeberang jalan A. Yani – menyeberang jalur pedestrian-
menyeberang tempat parkir- menuju bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima plasa.
c. Keluar dari bangunan Simpang Lima Plasa-menyeberang tempat parkir-menyusuri jalur
pedestrian-membeli makanan dan minuman di pedagang kaki lima yang berjualan diatas jalur
pederstrian-menyusuri jalur pedestrian - menyeberang tempat parkir-menuju bangunan Simpang
Lima Plasa
d. Turun dari angkutan umum - berjalan menyusuri jalan A. Yani - menyeberang jalan Simpang
Lima menuju ke Lapangan Pancasila
4. Hasil wawancara dengan pejalan kaki
Dari hasil wawancara diperoleh kecenderungan kegiatan antara lain : berjalan memilih
jalur yang rata, tidak berlobang, tidak naik turun, tidak gelap, tidak becek, tidak bersenggolan,
berjalan satu-satu diantara pedagang kaki lima, berjalan untuk santai, berdiri dan duduk menunggu
angkota. Sedangkan motivasi berkunjung ke Simpang Lima yaitu bersantai, rekreasi dan
berbelanja.
5. Jalur pedestrian ditinjau dari aspek kenyamanan
Jalur pedestrian jalan A. Yani sisi utara mempunyai lebar 4 m sedangkan sisi selatan 2
meter. Sebagian dari jalur pedestrian di pakai pedagang kaki lima. Hanya tersisa ruang selebar 1
meter saja di antara pedagang kaki lima. Kepadatan pejalan kaki yang bergerak dari jalan melintas
jalur pedestrian menuju ke Matahari pada hari Sabtu mencapai 623 orang per jam. Jalur pedestrian
ditempat pedagang kaki lima dan steet furnitre, kondisi jalur pedestrian ini embuat pejalan kaki
yang menyusuri jalur pedestrian harus berbelok-belok. Hal ini menunjukkan adanya tuntutan
artibute kenyamanan.
6. Jalur Pedestrian Ditinjau dari Aspek Visibilitas
Visibilitas di kawasan Simpang Lima adalah visibilitas terhadap obyek yang terkait dengan
kegiatan rekreasi, berjalan santai, berbelanja. Jarak jalur pedestrian dengan bangunan Simpang
Lima Plasa dan bangunan pertokoan Simpang Lima Plasa sejauh 8 meter. Tanda-tanda bangunan
tidak dapat dilihat, baik ke arah Simpang Lima Plasa dan bangunan pertokoan Simpang Lima.
Halangan tersebut adalah karena adanya pagar pembatas halaman dan pedagang kaki lima yang
menempati jalur pedestrian. Visibilitas diperoleh pejalan kaki saat mengamati barang dagangan
yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima. Jalur pedestrian terletak di tepi jalan raya memudahkan
pejalan kaki melihat ke arah sirkulasi lalu lintas pada malam hari, keindahan bangunan di seberang
pada malam hari.
Analisa
1. Pemanfaatan Ruang Publik
Bentuk ruang publik di area penelitian di jalan A.Yani berbentuk koridor jalan, jalur
pedestrian, tempat parkir milik lahan atau bangunan di kanan kiri jalan A. Yani. Sesuai dengan
fungsinya ruang publikdipakai sesuai dengan peruntukannya yaitu menunjang aktifitas sehari-hari.
Namun ruang publik berupa jalur pedestrian di area penelitian dimanfaatkan oleh berbagai aktor
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.23
pengguna ruang publik. Aktor tersebut antara lain pejalan kaki, pedagang kaki lima, tukang beca,
tukang parkir, kondektur angkutan kota. Sehingga karena adanya pemanfaatan jalur pedestrian oleh
aktor pengguna ruang publik lainnya, maka fungsi jalur pedestrian sebagai media untuk pergerakan
atau sirkulasi pejalan kaki sudah tidak maksimal.
2. Perilaku pejalan kaki :
Perilaku pejalan kaki berdasarkan waktu aktifitas, jumlah pejalan kaki tertinggi pada hari
Sabtu yaitu sekitar 557 orang perjam. Hal ini dapat di mengertibahwa hari Sabtu merupakan hari
libur. Berdasarkan waktu pengamatan, jam 19.00-20.00 merupakan waktu luang dimana orang
sudah tidak bekerja. Dikaitkan dengan motivasi datang ke Simpang Lima, mayoritas berkunjung ke
Simpang Lima adalah bertujuan untuk rekreasi (sebanyak 48 % dari 60 responden), dan dengan
tujuan santai sebanyak 24 %.
Perilaku pejalankaki berdasarkan tempat tujuan, jalan A. Yani, merupakan salah satu jalan
terdekat menuju ke Simpang Lima Plasa, pertokoan Simpang Lima dan ke Citraland. Ketiganya
merupakan bangunan dengan berbagai macam kegiatan yang ditawarkan, baik perbelanjaan,
pameran, bioskop dan sebagainya. Rubeintein (1992), kegiatan campuran akan menarik perjalanan
kaki dalam jumlah yang besar pula. Kegiatan terebut menjadi daya tarik pejalan kaki untuk
melihat-lihat dan bersantai (induce response) (Simon, 1961) dan (pull factor). Waktu luang setelah
bekerja merupakan waktu yang tepat karena tidak tergesa-gesa dan tersedia waktu yang cukup. Dua
bangunan pusat perbelanjaan yang berdekatan menjadi magnet yang menawarkan alternatif di
dalam belanja. Apabila si bangunan yang satu barang tidak diproleh maka bisa mencari alternatif di
bangunan pusat perbelanjaan yang ada di dekatnya.
Perilaku pejalan kaki berdasarkan pemanfaatan media aktifitas, Pejalan kaki di sisi utara
jalan A. Yani sebagian besar memanfaatkan jalur pedestrian sebagai wadah untuk melintas dalam
bergerak menuju ke tempat parkir dan bangunan Simpang Lima Plasa, sedangkan sisi selatan untuk
menuju ke tempat parkir dan bangunan Pertokoan Simpang Lima. Kondisi lingkungan yang jelek,
tidak adanya kelengkapan jalur pedestrian di jalan A.Yani, baik sisi utara maupun sisi selatan
membuat berjalan kaki menjadi tidak nyaman. Pejalan kaki cenderung berjalan ingin cepat sampai
dan hanya sekedar lewat. Pejalan kaki mendapat faktor penolakan (repelling factor) akibat kondisi
jalur pedestrian yang jelek. Pejalan kaki memanfaatkan jalur pedestrian hanya untuk lintasan
menuju ke bangunan pusat perbelanjaan. Calhoun (1995), mengatakan lingkungan dapat
menghalangi perilaku. Jalur pedestrian sisi selatan tidak dilalui (repelling factor) (Simon 1961),
sehingga menghalangi perilaku pejalan kaki di jalur pedestrian dan memilih berjalan di tepi jalan.
Perilaku pejalan kaki berdasarkan rute perjalanan, Pengamatan pejalan kaki yang
melewati area ini menghasilkan rute pejalan kaki yang menunjukkan rata-rata pejalan kaki
melewati area ini untuk menuju ke Matahari dan Citraland. Dikaitkan dengan adanya tempat parkir
di Pertokoan Simpang Lima dan Simpang Lima Plasa, serta tempat pemberhentian kendaraan
umum, ketiga tempat tersebut merupakan tempat asal pergerakan pejalan kaki (origin) dan titik
konsentrasi pejalan kaki yang akan melanjutkan perjalannnya (secondary node) (Rubenstein 1994).
Bagi pejalan kaki yang membawa kendaraan bermotor yang akan berkunjung ke Lapangan
Pancasila, pertokoan Simpang Lima dan Simpang Lima Plasa menyediakan sarana tempat parkir
untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Tempat parkir bangunan Pertokoan Simpang Lima dan
Simpang Lima Plasa, merupakan tempat terdekat menuju ke lapangan Pancasila, Simpang Lima
Plasa dan Citraland ke kawasan lain di jalan K.H. Dahlan. Tempat parkir di bangunan pertokoan
Simpang Lima menjadi alternatif pilihan bagi pengunjung bangunan Simpang Lima Simpang Lima
Plasa, apabila tempat parkir yang ada sudah penuh, demikian pula sebaliknya. Keadaan ini akan
terjadi apabila masing-masing bangunan pusat perbelanjaan tidak menyediakan fasilitas parkir
dengan daya tampung sesuai dengan kebutuhan. Melihat kondisi di lapangan dimana parkir sudah
meluber sampai ke badan jalan dan jalur lambat, hal tersebut mengindikasikan bahwa daya
tampung parkir kendaraan bermotor kedua bangunan komersiil tersebut kurang.
Perilaku pejalan kaki berbelanja di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima menyediakan
kebutuhan makanan dan minuman saat haus. Menurut Maslow (1954) dan Uterman (1984)
kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan fisioligis, yaitu lapar dan haus. Adanya pedagang kaki
lima memenuhi kebutuhan tersebut bagi pejalan kaki lima. Tujuan ke simpang Lima sebaian besar
untuk berekreasi dan bersantai. Sehingga peluang ini dimanfaatkan pedagang kaki lima untuk
menawarkan barang-barang berupa souvenir untuk oleh-oleh.
G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)
ISBN 978-602-99334-1-3
G.24
3. Jalur pedestrian ditinjau dari atribut kenyamanan
Kondisi fisik jalur pedestrian di kawasan Simpang Lima belum memberikan kenyamanan
dan visibilitas bagi pejalan kaki. Hal ini disebabkan jalur pejalan kaki belum berfungsi dengan baik
untuk mendukung berjalannya aktifitas pejalan kaki. Bila dilihat terhadap tata letak jalur pedestrian
jalan A. Yani terhadap pencapaian menuju ke bangunan, antara jalur pedestrian di jalan A. Yani
sisi selatan maupun sisi utara dengan bangunan Pertokoan Simpang Lima atau bangunan Simpang
Lima Plasa terdapat tempat parkir. Letak jalur pedestrian demikian mengkondisikan untuk menuju
bangunan dari jalur pedestrian, pejalan kaki harus melintasi tempat parkir terlebih dulu. Tidak ada
jalur khusus untuk pejalan kaki dari trotoar menuju ke pintu masuk bangunan.
Pejalan kaki mendapati adanya faktor penolakan (repelling factor) karena adanya
ketidaknyamanan, Namun walaupun ada hambatan, pejalan kaki tetap berjalan melalui tempat
parkir menuju ke bangunan. Faktor pendorong (impelling factor), mendorong pejalan kaki bergerak
menuju ke tempat yang dibutuhkan, atau menuju ke sasaran. (Simon, 1961).
Jalur pedestrian di jalan A. Yani sisi selatan,maupun utara sebagian digunakan untuk
penempatan street furniture dan pohon untuk penghijauan dan pedagang kaki lima. Dengan adanya
pohon dan street furnitre di jalur pedestrian, lebar jalur untuk pejalalan kaki menjadi berkurang.
4. Jalur pedestrian ditinjau dari atribute visibilitas
Visibilitas kearah bangunan perlu diamati karena motivasi berjalan santai, rekreasi,
membutuhkan, pemandangan yang terkait dengan kegiatan rekreasi, bersantai, berbelanja. Antara
jalur pedestrian dengan bangunan terdapat pagar terdapat pedagang kaki lima, pagar pembatas
halaman, dan parkir. Jarak dari jalur pedestrian ke bangunan rata-rata 10 m. Jarak 10 meter tersebut
merupakan jarak untuk memahami ekspresi sesorang (Spreinegen, 1965). Untuk mengenali
entrance atau pintu masuk, jarak tersebut memenuhi visibilitas. Tetapi untuk melihat obyek yang
lebih detail diperlukan jarak 3,1 meter.
Menurut Uterman (1984) dan Rubeinstein (1992), jalur pejalan kaki akan mengundang
apabila daya tarik antara lain berupa pandangan yang menarik. Pada malam hari di Simpang Lima,
pemandangan yang menarik adalah keramaian lalu lintas yang selalu bergerak pada malam hari,
bangunan, lampu warna-warni. Obyek tersebut dapat ditangkap dengan jelas dari tepi jalan raya
tanpa ada hambatan. Dengan demikian, berjalan-jalan di jalur pedestrian tidak membosankan
karena ada pemandangan yang selalu berganti-ganti.
Di jalur pedestrian sisi utara terdapat pedagang kaki lima. Letak pedagang kaki lima
memungkinkan pejalan keki berjalan diantara pedagang kaki lima. Jarak yang terdekat 1 meter dari
obyek yang dapat dilihat yaitu barang dagangan yang ditawarkan pedagang kaki lima. Jarak 1
meter, pejalan kaki dapat melihat dengan detail barang yang ditawarkan (Spreinegen, 1995).
Adanya PKL di jalur pedestrian memenuhi atribute visibilitas.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian mengenai fungsi jalur pedestrian di antara dua bangunan pusat
perbelanjaan di Koridor Jalan A. Yani, dengan pendekatan perilaku pejalan kaki adalah motivasi
utama pejalan kaki berjalan-jalan di kawasan Simpang Lima Semarang pada malam hari adalah
berekreasi, berbelanja dan bersantai. Motivasi utama pejalan kaki terkait dengan kawasan Simpang
Lima sebagai node Kota Semarang yang menjadi daya tarik bagi aktifitas komeersil dan tempat
berkumpulnya masyarakat kota Semarang. Pejalan kaki di koridor jalan A. Yani lebih banyak
menggunakan jalur pedestrian hanya untuk melintas dari tempat parkir atau tempat penurunan
penumpang kendaraan umum menuju ke bangunan pusat perbelanjaan atau sebaliknya. Dua
bangunan pusat perbelanjaan yang berdekatan menjadi asal dan tujuan sirkulasi pejalan kaki terkait
dengan kesamaan fungsi bangunan yang menawarkan alternatif di dalam berbelanja Daya tarik
Simpang Lima juga mengundang pengguna ruang publik lainnya untuk beraktifitas di jalur
pedestrian seperti pedagang kaki lima. Di satu sisi menawarkan kebutuhan pejalan kaki dan
alternatif pemandangan yang menarik, namun di sisi lain menimbulkan ketidak nyamanan karena
sudah mengurangi kapasitas jalur pedestrian. Dari kondisiyang ada disimpulkan bahwa jalur
pedestrian belum memenuhi aspek kenyamanan dan visibilitas pejalan kaki.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.25
Rekomendasi
Rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah Daerah , Perencana dan Perancang Kota
dan dorongan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna pengembangan ilmu perilaku dalam
arsitektur dan penataan ruang publik.
Bagi Perencana dan Perancang Kota, perancangan bangunan atau perancangan ruang
publik publik perlu memperhatikan fungsi-fungsi ruang publik yang lain. Antara lain fungsi
kawasan rekreasi terkait dengan waktu berlangsungnya aktifitas pada malam hari. Fungsi tersebut
antara lain sebagai kawasan rekreasi. Perlu memperhatikan munculnya pengguna ruang publik
lainnya di jalur pedestrian selain pejalan kaki. Perancangan bangunan pusat perbelanjaan juga
memperhatikan kapasitas dan tata letak parkir.
Rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kota Semarang, diharapkan penentu kebijakan
dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur pemanfaatan ruang publik
yang tidak sesuai dengan peruntukan atau fungsi ruang publik. Mengatur penataan pedagang kaki
lima sebagai salah satu daya tarik ruang publik agar tidak menganggu fungsi jalur pedestrian bagi
aktifitas pejalan kaki. Penyediaan fasilitas parkir terutama untuk bangunan pusat perbelanjaan atau
bangunan komersiil lainnya baik dalam proses perancangan maupun pada saat operasional
memperhatikan kapasitas pelayanan dan tata letak fasilitas parkir.
Untuk para peneliti, perlu dilakukan penelitian berjalannya fungsi ruang publik yang sama
namun ditinjau dengan pendekatan mental mapping pejalan kaki. Perlu pula dilakukan penelitian
tentang pengguna ruang publik lainnya dalam hal ini kaitan antara pedagang kaki lima dengan
properti jalur pedestrian yang ada, tuntutan dan atribute pedagang kaki lima.
DAFTAR PUSTAKA
1. Altman, Irwin, 1980. Culture & Environment, Cambridge University Press, California,
2. Brambilla, 1977. For Pendestrian Only. Planning, Design and Management of Traffic Free
Zone.v, Whitney Library of Design, New York.
3. Lynch, Kevin, 1962. The Image of /The City The HI.T.Press Massachusette.
4. Mougtin,Cliff, 1992. Urban Design Street and Square, An Imprit of Butterwort -Heinemann
Ltd Lincare House,
5. Rapopport, Amos, 1997. Human Aspects of Urban Form, Towards a Man Environment
Approach to Urban (Form and Design), Perhamon Press, First Edition,
6. Rustam Hakim, 1987, Unsur Perancangan Dalam Arsitektur Lansekap , Bina Aksara, Jakarta.
7. Setiawan, Hariadi B, 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
8. Simons, John Crown, 1961. Lanscape Architecture, The Shaping of man's Environment, Fw.
Dodge Coorporation, New York.
9. Sirvani, Hamid, 1985. The Urban Design Process, Element of Urban Phsyical Form, van
Nostrand Reinhold Company, New York.
10. Unterman, Richard, 1984, The Pendestrian and The Bysic!ist.
11. Weisman, J, 1981. Modeling Environment Behavior System, Journal of Man Environmental
Relation,
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.1
EFEKTIFITAS ANTIBIOTIK HERBAL DAN SINTETIK
PADA PAKAN AYAM BROILER TERHADAP PERFORMANCE,
KADAR LEMAK ABDOMINAL DAN KADAR KOLESTEROL DARAH
Winny Swastike Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta
winny.uns@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas dan potensi kunyit dan temulawak sebagai
antibiotic herbal dibanding antibiotic sintetik yang sering digunakan dalam pakan ternak
ayam broiler. Sebanyak 100 ekor day old chicken (DOC) ayam broiler digunakan dalam
penelitian ini, yang dibagi secara acak ke dalam 5 perlakuan pakan dengan 4 ulangan.
Masing-masing ulangan terdiri dari terdiri dari 5 ekor ayam broiler. Perlakuan pakan yang
diberikan meliputi P0= ransum basal (kontrol), P1= ransum basal + 0,05 oxcytetracycline,
P2= ransum basal + penambahan tepung kunyit 1% + tepung temulawak 1%, P3= ransum
basal + penambahan tepung kunyit 2% + tepung temulawak 2%, dan P4= ransum basal +
penambahan tepung kunyit 3% + tepung temulawak 3%. Peubah yang diamati meliputi
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, lemak abdominal dan kolesteril darah.
Penelitian dilaksanakan secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
pola searah, apabila hasil menunjukkan adanya pengaruh dilanjutkan dengan uji Duncan’s.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum sangat
nyata (P<0,01) menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, lemak abdominal
dan kolesterol darah. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah semakin tinggi
penambahan tepung kunyit dan tepung temulawak maka akan menurunkan konsumsi pakan,
pertambahan bobot badan, kadar kolesterol darah dan lemak abdominal pada ayam broiler.
Kata kunci: tepung kunyit, tepung temulawak, performan, lemak abdominal dan kolesterol
darah.
PENDAHULUAN
Permasalahan dalam industri broiler di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan
yang harus segera diatasi agar Indonedia mampu menyediakan daging dalam jumlah yang cukup
dengan kualitas yang baik dan menguntungkan produsen tanpa merugikan konsumen.
Permasalahan yang dihadapi adalah pertama rendahnya efisien produksi broiler, yang disebabkan
oleh tingginya harga pakan broiler, sehingga sering dilakukannya upaya untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan dengan pemberian pakan lemak tinggi dan meningkatkan feed
convertion rate (FCR) dengan memaksimalkan penyerapan pakan oleh organ pencernaan. Masalah
kedua adalah tuntutan konsumen yang menghendaki daging broiler yang rendah lemak seperti
kolesterol, tetapi tinggi protein, dan bebas mikrobia patogen serta bebas antibiotika. Wuryaningsih
(2005) dan Rahmianna (2006) menyatakan bahwa isu keamanan pangan asal ternak yang
meresahkan masyarakat antara lain cemaran mikroba pathogen dan residu antibiotik dalam daging
sebagai efek samping dari pemberian antibiotik dalam pakan yang berfungsi sebagai antibiotik
growth promoter (AGP).
Pemeliharaan broiler dengan menggunakan antibiotik dalam campuran pakan dapat
menyebabkan residu dalam daging ayam. Hal tersebut disebabkan antibiotik yang diberikan tidak
disekresikan dengan sempurna sehingga masih terdapat residu yang disimapan dalam daging
broiler. Antibiotik yang sering dicampur ke dalam pakan adalah Bacitracin, kuramicin, higromicin,
kolistin, kiamisin, spiramisin, tiamulin, virginiamisin, aviamisin ,flavomisin dan tetrasiklin
(Direktorat Jenderal Peternakan, 1991).
Beberapa efek yang mungkin timbul pada manusia akibat residu antibiotik, antara lain
alergi, menyebabkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan
sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Hal tersebut menyebabkan munculnya problem kesehatan
baru bagi manusia juga menyebabkan keresahan terhadap pengkonsumsian produk daging ayam.
Bukan hanya problem kadar kolesterol yang tinggi dalam kandungan daging ayam tetapi juga akan
H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)
ISBN 978-602-99334-1-3
H.2
timbul problem jika manusia mengkonsumsi daging ayam yang mengandung residu antibiotik.
Oleh karena itu, dewasa ini masyarakat terutama di negara Eropa, mulai menghindari penggunaan
antibiotika sebagai imbuhan pakan.
Salah satu bahan yang banyak diteliti sebagai pengganti antibiotika adalah bioaktif yang
terdapat dalam tanaman berkhasiat. Tanaman berkhasiat mengandung zat aktif seperti alkaloid,
“bitters”, flavonoids, glikosida, saponin, terpenoid dan tanin yang dapat meningkatkan kesehatan
atau menyembuhkan penyakit (Sreenivas, 1999). Sebagian dari zat aktif di dalam tanaman sudah
diteliti berikut fungsinya (Direkbusarakom, et al., 1998; Taylor dan Towers, 1998; Kamel, 2000;
Wenk, 2003).
Di Indonesia, penggunaan tanaman berkhasiat yang diramu menjadi jamu atau ramuan
tradisional untuk pencegahan penyakit dan pengobatan secara tradisional sudah lama diterapkan
pada manusia. Pemanfaatan jamu pada ternak di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa
tanaman berkhasiat yang sudah diteliti penggunaannya untuk ternak diantaranya adalah: lidah
buaya atau Aloe vera, mengkudu atau Bancudus latifolia, bawang putih, jinten atau black cumin.
Berbagai macam tanaman berkhasiat yang banyak digunakan pada manusia, kunyit dan temulawak
sangat potensil digunakan sebagai imbuhan pakan pengganti antibiotika pada unggas.
Kunyit mengandung zat aktif ’kurkumin’ yang dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Sedangkan temulawak mengandung zat aktif ’xanthorrhizol’ yang dapat menghambat pertumbuhan
jamur. Penelitian tentang penggunaan temulawak sebagai imbuhan pakan unggas belum banyak
diteliti. Rukayadi dan Hwang (2006) melaporkan bahwa efektifitas xanthorrhizol yang diisolasi
dari temulawak sama khasiatnya dengan anti jamur komersil amphotericin B. Penggunaan kedua
bahan ini sebagai imbuhan pakan diharapkan dapat menggantikan fungsi antibiotika dalam
meningkatkan produktifitas ternak unggas dan efisiensi penggunaan pakan. Pengurangan
penggunaan antibiotika ini akan memberikan sumbangan berupa terciptanya produk ASUH (Aman,
Sehat Utuh dan Halal) juga akan meningkatan kualitas produk daging dan kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menguji efektifitas dan potensi kunyit dan
temulawak sebagai Feed Additive herbal sebagai upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dan
residu antibiotika dalam daging ayam broiler demi terwujudnya keamanan pangan bagi konsumsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menguji efektifitas dan potensi kunyit dan
temulawak sebagai Feed Additive herbal terhadap performance, lemak abdominal dan kolesterol
darah ayam. Manfaat penelitian ini adalah berrtambahnya antusiasme untuk meneliti lebih
lanjut potensi tamanan herbal lain yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Day Old Chick (DOC) ayam broiler
jantan strain New Lohmann (MB 202) sebanyak 100 ekor, dari PT Multi Breeder Adirama
Indonesia Tbk. Rerata bobot badan awal perlakuan adalah 319,32 ± 37,86 g.
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang ditambahkan
tepung kunyit dan tepung temulawak sesuai dengan perlakuan pada tebel 2 dan table 3. Ransum
basal yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bungkil kedelai, MBM (Meat Bone Meal), minyak
sawit, dicalcium phospat, garam, dan grit.
Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
pola searah, dengan perlakuan (P0, P1, P2, P3, dan P4), masing-masing perlakuan diulang 4 kali
dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler. Adapun perlakuannya sebagai berikut: P0 :
Ransum basal (kontrol); P1 : P0 + 0,05 Oxcytetracyclin; P2 : Ransum+ tepung kunyit 1% + tepung
temulawak 1%; P3 : Ransum+ tepung kunyit 2% + tepung temulawak 2%; P4 : Ransum+ tepung
kunyit 3% + tepung temulawak 3%. Peubah Penelitian yang diamati adalah Konsumsi Ransum,
Pertambahan Bobot Badan Harian, Lemak Abdominal dan Kolesterol darah.
Berikut ini merupakan kebutuhan nutrient ayam broiler.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.3
Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Ayam Broiler
No Nutrien Starter (1-21 hari) Finisher (22-42 hari)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Energi Metabolis (Kkal/kg)
Protein Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)
Ca (%)
P tersedia (%)
Lisin (%)
Metionin (%)
3200
23,00
4,00
6,00
1,00
0,45
1,10
0,50
3200
20,00
5,00
6,00
0,90
0,35
1,00
0,38
Sumber : NRC (1994).
Tabel 2. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Fase Starter
No Bahan Pakan %
P0 P1 P2 P3 P4
1. Jagung kuning 62,80 62,80 60,80 57,60 55,70
2. Bungkil kedelai 29,00 29,00 29,00 29,40 29,30
3. MBM 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00
4. Minyak sawit 1,00 1,00 1,00 2,00 2,00
5. Dicalcium phospat 2,00 2,00 2,00 1,80 1,80
6. Garam 0,20 0,15 0,20 0,20 0.20
7. Oxcytetracycline 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00
8. Tepung kunyit 0 0 1 2 3
9. Tepung temulawak 0 0 1 2 3
Total 100 100 100 100 100
Kandungan Nutrien
1. ME (Kcal/Kg) 3296,04 3296,04 3220,76 3200,33 3126,31
2. Protein kasar (%) 22,94 22,94 22,93 22,99 22,93
3. Kalsium (%) 1,10 1,10 1.10 1.06 1.06
4. Fosfor (%) 0,81 0,81 0,81 0,77 0,77
Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Fase Finisher
No Bahan Pakan %
P0 P1 P2 P3 P4
1. Jagung kuning 70,05 70,05 68,03 65,98 63,96
2. Bungkil kedelai 21,45 21,45 21,47 21,52 21,54
3. MBM 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00
4. Minyak sawit 0,00 0,00 0,00 0,70 1,30
5. Dicalcium phospat 3,00 3,00 3,00 2,60 2,00
6. Garam 0,25 0,25 0,25 0,20 0,20
7. Grit 0,25 0,20 0,25 0,00 0,00
8 Oxcytetracycline 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00
9. Tepung kunyit 0 0 1 2 3
10. Tepung temulawak 0 0 1 2 3
Total 100 100 100 100 100
Kandungan Nutrien
1. ME (Kcal/Kg) 3289,76 3289,76 3214,23 3201,32 3179,78
2. Protein kasar (%) 19,96 19,96 19,95 19,96 19,95
3. Kalsium (%) 1,30 1,30 1,30 1,21 1,08
4. Fosfor 0,98 0,98 0,98 0,90 0,79
Sumber: hasil perhitungan tabel 2
H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)
ISBN 978-602-99334-1-3
H.4
Cara Analisis Data Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis variansi
berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah untuk mengetahui adanya pengaruh
perlakuan terhadap peubah yang diamati. Apabila hasil analisis data ditemukan adanya pengaruh
maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple range Test/DMRT)
untuk mengetahui perbedaan antara 5 perlakuan (Yitnosumarno, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Rerata konsumsi ransum selama penelitian tercantum pada tabel 4.
Tabel 4. Konsumsi ransum (gram/hari).
Perlakuan Ulangan
Rerata 1 2 3 4
P0 119,34 138,60 131,39 133,56 130,72A
P1 143,90 132,15 139,94 138,28 138,57A
P2 125,41 123,95 127,75 130,62 126,93A
P3 123,91 108,03 97,36 113,45 110,69B
P4 76,76 87,08 94,01 84,26 85,53C
Keterangan: Berbeda sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam
ransum terjadi penurunan konsumsi sangat nyata (P<0.01). Penurunan konsumsi ransum
kemungkinan disebabkan oleh penurunan palatabilitas ransum dengan adanya penambahan kunyit
dan temulawak. Penurunan palatabilitas ransum pada penelitian ini disebabkan oleh rasa pahit dan
bau yang menyengat dari kunyit dan temulawak (Rukmana, 1995), sehingga ayam kurang suka
untuk mengkonsumsinya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Solichedi (2001) bahwa penambahan
temulawak sampai taraf 9% nyata menurunkan konsumsi ransum. Hal ini diperkuat dengan
penelitian Hendrawati (1999) bahwa pemberian kunyit sebesar 4% dapat menurunkan konsumsi
ransum secara nyata (P<0.05).Selain itu, pada penelitian (Susanti, 2002) menunjukkan bahwa
ransum komersial dengan penambahan 4% kunyit dan 6% temulawak maupun kombinasi antara
keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata menurunkan konsumsi ransum dan kecernaan
lemaknya.
Rerata pertambahan bobot badan (PBBH) dari ayam broiler jantan dapat dilihat pada tabel
5.
Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan (PBBH) (gram/hari).
Perlakuan Ulangan
Rerata 1 2 3 4
P0 63,19 64,38 67,81 61,29 64,17A
P1 61,24 65,19 64,19 71,00 65,41A
P2 55,14 53,81 59,76 53,33 55,51B
P3 49,57 50,62 41,00 46,71 46,98C
P4 27,71 27,00 28,86 28,81 28,10D
Keterangan: Berbeda sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam
ransum terjadi penurunan bobot badan sangat nyata (P<0.01). Hasil ini menunjukkan bahwa
peningkatan taraf kunyit dan temulawak akan menurunkan PBB.
Semakin tinggi penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum semakin rendah
pertumbuhan berat badan ayam. Hal ini disebabkan oleh penurunan palatabilitas dan konsumsi
ransum dengan peningkatan taraf penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum. Diketahui
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi bobot badan antara lain adalah konsumsi ransum baik
secara kualitas maupun kuantitas (Suprijatna dkk, 2005).
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.5
Penelitian ini sesuai dengan Hendrawati (1999) bahwa penambahan 9% temulawak
menurunkan pertambahan bobot badan yang nyata. Ayam yang mendapat tambahan 0% temulawak
mempunyai pertambahan bobot badan paling besar dibanding dengan perlakuan lainnya, dan
diikuti dengan ayam yang mendapat perlakuan 3% dan 6% temulawak. Hasil ini sependapat dengan
penelitian Solichedi (2001) bahwa mulai pemberian kunyit 2% pada umur 35 hari dan 42 hari
terjadi penurunan bobot badan secara nyata (P<0,05), sedangkan pada umur 49 hari mulai
pemberian kunyit 4% baru menunjukkan penurunan secara nyata (P<0,05).
Perbedaan tersebut disebabkan karena palatabilitas ayam broiler terhadap jenis perlakuan.
Seiring dengan meningkatnya level pemberian feed additive herbal (tepung Kunyit dan tepung
Temulawak). Palatabilitas terhadap pakan menurun disebabkan oleh timbulnya sensasi rasa pahit
dan bau yang ditimbulkan pada pakan perlakuan seiring dengan meningkatnya level pemberian
tepung Kunyit dan tepung Temulawak.
Perlakuan P2, P3 dan P4 berangsur-angsur menurun seiring dengan meningkatnya
level pemberian tepung Kunyit dan tepung Temulawak. Walaupun di dalam tepung kunyit dan
tepung temulawak terdapat senyawa kurkumin yang dapat meningkatkan nafsu makan tetapi hal
tersebut tidak menyebabkan meningkatnya konsumsi
Tabel 6. Berat Lemak abdominal dan Kadar Kolesterol Darah ayam broiler**
Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
Lemak Abdom (g/e) 23 29,75 19 15 7,25
Kolesterol 108,8 158,8 152,9 138,2 129,4
** signifikan pada taraf 0,01
Data rerata bobot badan ayam broiler akibat pemberian feed additive disajikan dalam table
2. Selama penelitian umur 1 sd 35 hari ayam yang diberikan pakan perlakuan menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang sangat nyata pada taraf 0,01% antar perlakuan baik pada rerata konsumsi
pakan.
Perbedaan tersebut disebabkan karena palatabilitas ayam broiler terhadap jenis perlakuan.
Seiring dengan meningkatnya level pemberian feed additive herbal (tepung Kunyit dan tepung
Temulawak). Palatabilitas terhadap pakan menurun disebabkan oleh timbulnya sensasi rasa pahit
dan bau yang ditimbulkan pada pakan perlakuan seiring dengan meningkatnya level pemberian
tepung Kunyit dan tepung Temulawak.
Perlakuan P2, P3 dan P4 berangsur-angsur menurun seiring dengan meningkatnya level
pemberian tepung Kunyit dan tepung Temulawak. Walaupun di dalam tepung kunyit dan tepung
temulawak terdapat senyawa kurkumin yang dapat meningkatkan nafsu makan tetapi hal tersebut
tidak menyebabkan meningkatnya konsumsi
Umumnya penggunaan kunyit dalam pakan ayam diberikan dengan tujuan menurunkan
tingkat populasi bakteri dalam saluran pencernaan ayam. Menurut Liang et al. (1985) diacu dalam
Rahayu dan Budiman (2008) senyawa kimia yang ada dalam kunyit mampu menurunkan lemak
dalam tubuh, berperan pada proses sekresi empedu dan pankreas yang dikeluarkan lewat feses.
Komposisi dari kurkumin memiliki khasiat dapat memperlancar sekresi empedu.
Kunyit mengandung zat aktif ’kurkumin’ yang dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Sedangkan temulawak mengandung zat aktif ’xanthorrhizol’ yang dapat menghambat pertumbuhan
jamur. Penelitian tentang penggunaan temulawak sebagai imbuhan pakan unggas belum banyak
diteliti. Rukayadi dan hwang (2006) melaporkan bahwa efektifitas xanthorrhizol yang diisolasi dari
temulawak sama khasiatnya dengan antijamur komersil amphotericin B. Penggunaan kunyit dan
temulawak secara bersamaan belum digunakan sebagai imbuhan pakan. Hal tersebut
menginterpretasikan bahwa dengan meningkatnya level pemberian tepung kunyi dan tepung
temulawak dalam pakan mampu menurunkan lemak abdominal dan kadar kolesterol dalam darah
ayam broiler yang dipelihara. Akan tetapi pada perlakuan P1 meskipun ayam mempunyai bobot
dan konsumsi pakan paling tinggi ternyata didalam karkasnya terdapat berat lemak abdominal yang
paling tinggi dan juga terdapat kadar kolesterol darah yang tertinggi.
H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)
ISBN 978-602-99334-1-3
H.6
Zat-zat bioaktif yang terkandung dalam herbal juga mampu merangsang pankreas untuk
mensekresikan getah pancreas yang mengandung enzim-enzim pencernaan seperti enzim amilase,
lipase dan protease (Winarto, 2003 dan Sastroamidjojo, 2001). Widodo (2002), menyatakan zat
yang terkandung dapat memperbaiki kerja sistem hormonal khususnya metabolisme karbohidrat
dan memetabolisir lemak dalam tubuh.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan Terdapat perbedaan yang
sangat nyata antara perlakuan dengan penambahan feed additive sintetik (antibiotic) dengan feed
additive herbal (tepung kunyit dan tepung temulawak). Semakin tinggi penambahan tepung kunyit
dan tepung temulawak maka akan menurunkan bobot badan, konsumsi pakan, kadar kolesterol
darah dan lemak abdominal ayam broiler.
Saran
Perlu diteliti lebih lanjut tingkat pemberian tepung kunyit dan tepung temulawak pada
pakan basal yang diberikan antibiotic disetiap perlakuannya. Sehingga lebih tergalinya potensi
tepung kunyit dan tepung temulawak sebagai feed additive herbal juga potensinya untuk
menurunkan pengaruh buruk yang ditimbulkan pada penggunaan feed additive sintetik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Ringkasan imbuhan pakan (Feed Additive) untuk hewan.
Edisi II. Direktorat Binaan Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Kartasudjana, R dan Edjeng S. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta
Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta.
Rahmianna, A.A. 2006. Aflatoksin pada kacang tanah dan usaha untuk mengendalikannya.
Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 24 Februari 2006.
Rohayanah. 2006. Pola Pengembangan Peternakan Sapi Potong dalam Rangka Pencapaian
Swasembada Daging 2010 di Kalimantan Timur. Tesis S2. ITB.
Rukayadi, Y And J.K. Hwang. 2006. In vitro antifungal activity of xanthorrhizol isolated from
Curcuma xanthorrhiza Roxb against pathogenic candida, opportunistic filamentous fungi
and Malassezia. Pros. Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia.Palembang, 19-22 Juli
2006. Dept. Kimia FMIPA IPB dan Himpunan Kimia Indonesia Cab. Jawa Barat dan
Banten. Bogor. hlm. 191-202.
Rusfidra. 2006. Aplikasi Bioteknologi dalam Pemuliaan Ternak.
Rusfidra.multiply.com/journal/item/7/Aplikasi_Bioteknologi_dalam_Pemuliaan_Ternak.
Samarasinghe, K., C. Wenk, K.F.S.T. Silva And J.M.D.M. Gunasekera. 2003. Turmeric Satrio, U.
2000. Sebuah fakta dari lapangan: jamu jawa mendongkrak karkas broiler. Poult. Ind. 75:
36-37.
Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryana, A. 2008. Dukungan teknologi penyediaan produk pangan peternakan bermutu, aman dan
halal. www.litbang.deptan.go.id/special/HPS/dukungan_tek_peternakan.pdf.
Taylor, R.S.L. And G.H.N. Towers. 1998. Antibacterial constituents of the Nepalese herb,
Centipeda minima. Phytochem. 47: 631-634.
Wuryaningsih, E. 2005. Kebijakan pemerintah dalam pengamanan pangan asal hewan. Prosiding
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 9−13.
Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang i
INDEKS PENULIS UTAMA MAKALAH
Pemakalah Institusi Halaman
Aan Burhanudin Universitas Diponegoro D.23
Afri Yenni Universitas Diponegoro A.34
Agus Setiawan Universitas Stikubank Semarang E.11
Agus Supardi Universitas Muhammadiyah Surakarta F.52
Andry C. Kumoro Universitas Diponegoro A.6
Bachtiar S. Nugraha Universitas Muria Kudus B.12
Bambang Setyoko Universitas Diponegoro B.37
Benny Syahputra Universitas Islam Sultan Agung A.1
Bono Politeknik Negeri Semarang B.19
Budi B. Sitorus Universitas Pelita Harapan F.7
Budi Gunawan Universitas Muria Kudus F.11
Carli Politeknik Negeri Semarang C.46
Denni K. Sari Universitas Diponegoro A.40
Dian Prabowo Politeknik Cilacap D.29
Diana P. Sari Universitas Diponegoro E.12
Didi D. Krisnandi Universitas Diponegoro D.18
Dwiana Hendrawati Politeknik Negeri Semarang F.41
Dyah I. Rinawati Universitas Diponegoro E.18
Eko Armanto Universitas Diponegoro D.40
Emmanuel A. Nugroho Universitas Diponegoro F.29, F.35
Esti Y. Tisnaningtyas Universitas Pandanaran Semarang G.13, G.19
Fakhrina Fahma Universitas Sebelas Maret E.6, E.64
Gatot Suwoto Politeknik Negeri Semarang B.60
Gutomo Politeknik Negeri Semarang F.47
Hantoro Satriadi Universitas Diponegoro A.12
Haris N. Aulia Universitas Diponegoro A.18
Hariyotejo Pujowidodo Puspiptek Serpong B.85
Iman Mujiarto Sekolah Tinggi Maritim dan Transport AMNI C.64
Indah Hartati Universitas Wahid Hasyim A.66
Indah Riwayati Universitas Wahid Hasyim A.55
Jhonni R. Duling Universitas Diponegoro B.25
Lobes Herdiman Universitas Sebelas Maret D.1
Lorentius Y. Sutadi Politeknik Negeri Semarang D.12
M Denny Surindra Politeknik Negeri Semarang B.74, B.79
Margana Politeknik Negeri Semarang F.23
Margareta M. Sudarwani Universitas Pandanaran Semarang G.1
Maria A. Graciafernandy Universitas Diponegoro A.51
Mila F. Sufa Universitas Muhammadiyah Surakarta E.35
Moh Fawaid Universitas Diponegoro C.29
Muhamad Danuri Akd. Manajemen Informatika dan Komputer JTC F.58
Noor Setyo Universitas Gadjah Mada C.17
Norman Iskandar Universitas Diponegoro C.6
Novi Marlyana Universitas Islam Sultan Agung E.45
Rahmaniyah D. Astuti Universitas Sebelas Maret E.58
Ratnanto Fitriadi Universitas Muhammadiyah Surakarta E.24
Rianto, W Universitas Muria Kudus B.43
Riles M.Wattimena Politeknik Negeri Semarang C.23
Rindra Yusianto Universitas Dian Nuswantoro D.7
. (Bambang Setyoko)
ISBN 978-602-99334-1-3
ii
Rusnaldy Universitas Diponegoro D.35
Sahid Politeknik Negeri Semarang B.54
Samsudi Raharjo Univ. Muhammadiyah Semarang B.1
Seno Darmanto Universitas Diponegoro B.65
Sisworo Politeknik Negeri Semarang C.34
Siti Nandiroh Universitas Muhammadiyah Surakarta E.52
Soedarsono Universitas Islam Sultan Agung G7
Sri Harmanto Politeknik Negeri Semarang C.52
Sri Subekti Universitas Pandanaran Semarang A.24, A.29
Sri U. Handayani Universitas Diponegoro B.48
Stefan Mardikus Universitas Diponegoro B.31
Sugeng Slamet Universitas Muria Kudus C.82
Suherman Universitas Diponegoro A.45
Sutiyoko Politeknik Manufaktur Ceper Klaten C.1
Sutomo Universitas Diponegoro C.70, C.76
Sutrisno Politeknik Surakarta C.58
Sutrisno B. Universitas Widya Dharma Klaten E.1
Suwarti Politeknik Negeri Semarang E.30
Syafi’ul Rofik Universitas Wahid Hasyim A.60
Teguh H. Mulud Politeknik Negeri Semarang E.40
Wahyono Politeknik Negeri Semarang F.17
Wijoyo Universitas Surakarta C.40
Windu Sediono Universitas Diponegoro B.69
Winny Swastike Universitas Sebelas Maret H.1
Yurianto Universitas Diponegoro C.12
Yusuf D. Herlambang Politeknik Negeri Semarang B.6
Yusuf S. Nugroho Universitas Muhammadiyah Surakarta F.1
Keterangan kelompok:
A : Kimia, Obat dan Pangan
B : Energi
C : Material
D : Perancangan dan Manufaktur
E : Industri
F : Elektronika dan Informatika
G : Sipil dan Arsitektur
H : Poster
Redaksi Majalah Ilmiah Momentum ISSN 0216-7395
Tim Penyusun
Redaksi Majalah Ilmiah
Momentum Fakultas Teknik Universitas Wahid
Hasyim Semarang
Jl Menoreh Tengah X / 22
Sampangan Semarang 50236
Telp (024) 8505680 fax (024)
8505681
Email :
momentumunwahas@gmail.com
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL
MAJALAH ILMIAH Momentum
Petunjuk Umum
Artikel merupakan / diangkat dari hasil penelitian, kajian ilmiah dan kajian
analitis kritis serta pemecahan permasalahan di industri yang relevan di
bidang keteknikan (teknik mesin, teknik kimia dan teknik Elektro). Artikel
dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Maksimum artikel adalah 10 halaman dan Artikel belum pernah
dipublikasikan dalam majalah ilmiah lainnya.
Petunjuk Penulisan
Artikel harus ditulis pada kertas HVS ukuran A4 (210
x 297 mm) . Ditulis dengan program MS Word dengan
jenis huruf Times New Roman. Sistematika penulisan
memuat hal hal sebagai berikut : judul, nama penulis,
Abstrak, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan
Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan
terimakasih (kalau ada), Daftar Notasi (kalau ada) dan
Daftar Pustaka.
Artikel diawali dengan judul artikel ditulis rata tengah
dengan font 16 pt bold format upper case. Nama
penulis ditulis tanpa gelar, di samping judul dengan
font 12 pt bold format tittle case. Nama penulis yang
ditulis secara lengkap hanya nama terakhir. Untuk
nama pertama dan nama tengah diambil huruf
pertama. Apostrop ditulis dibelakang nama penulis
akhir dengan format superscript. Jarak antara judul
dengan nama penulis adalah 2 spasi.
Abstrak ditulis dengan huruf miring (Italic) sepanjang
150 – 200 kata. Dengan margin kiri 35 mm dan
margin kanan 30 mm. Abstrak ditulis dengan format
satu (1) kolom. Jarak antara teks abstrak dengan judul
abstrak adalah 1 spasi (10 pt). Kata kunci ditulis di
bawah teks abstrak, disusun urut abjad dan dipisahkan
oleh tanda titik koma. Judul kata kunci ditulis dengan
format reguler dengan font 10 pt bold sedangkan kata
kuncinya ditulis dengan huruf miring (italic).
Isi artikel ditulis dengan format margin kiri 25 mm,
margin kanan 20 mm, margin bawah 21 mm dan
margin atas 33 mm. Jarak header dari tepi kertas
adalah 20 mm, dan jarak footer dari tepi kertas (edge)
adalah 17 mm. Artikel diketik dengan font 10 pt, satu
spasi dan dalam format dua kolom yang terpisah 10
mm.
Sub judul ditulis dengan huruf tebal (bold) dengan
format Title Case dan disusun rata kiri tanpa nomor
dan garis bawah. Sub – sub judul ditulis dengan huruf
tebal dengan format Sentence case dan disusun rata
kiri tanpa nomor dan garis bawah.
Gambar dan Tabel diletakkan di dalam kelompok teks
dan diberi keterangan. Gambar dan Tabel diikuti
dengan judul gambar yang diletakkan dibawah gambar
yang bersangkutan dan judul tabel yang diletakkan
diatas tabel yang bersangkutan. Gambar harus dapat
tercetak dengan jelas dan sebaiknya diletakkan sesuai
kolom diantara kelompok teks atau jika terlalau besar
diletakkan di bagian tengah halaman. Untuk gambar
atau grafik yang berwarna, mohon dikirimkan
sebanyak 100 lembar jika ingin dicetak berwarna.
Persamaan ditulis rata tengah dan diberi nomor yang
ditulis didalam kurung. Nomor tersebut ditempatkan
di akhir margin kanan dari kolom.
Daftar Notasi ditulis berdsasarkan urutan abjad. Notasi
huruf latin ditulis terlebih dahulu, baru diikuti dengan
huruf arab.
Sistem penulisan kutipan/ cuplikan suatu naskah atau
literatur menggunakan sistem Harvard. Sumber
pustaka dituliskan di dalam uraian hanya terdiri dari
nama penulis dan tahun penerbitannya.
Daftar Pustaka disusun menurut abjad tanpa
penomoran dan jarak antara daftar pustaka adalah satu
spasi.
Pemuatan Artikel
Artikel dikirimkan sebanyak dua (2) dalam bentuk
hasil cetak (print) dan disket bebas virus komputer.
Artikel siap untuk dicetak, selain itu dilampirkan data
pribadi penulis yang meliputi nama penulis (lengkap
dengan gelar akademis), tempat tanggal lahir, instansi
tempat bekerja, alamat korespondensi, pendidikan ,
pengalaman penelitian dan publikasi. Sebagai
prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang
artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu
tahun. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah
akan diberitahu secara tertulis. Redaksi berhak
menolak artikel yang dikirimkan apabila tidak relevan
dengan bidang keteknikan, tidak up to date, dan sudah
pernah dipubilkasikan dalam majalah ilmiah lainnya.
Artikel dikirimkan kepada :
Redaksi Majalah Ilmiah Momentum Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang
Jl Menoreh Tengah X / 22
Sampangan Semarang 50236
Telp (024) 8505680 fax (024) 8505681
Email : momentumunwahas@gmail.com
top related