psikologi kesehatan mental
Post on 01-Jan-2016
90 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Banyak pengertian dan definisi tentang kesehatan mental yang diberikan oleh para
ahli sesuai dengan pandangan di bidang masing-masing. Zakiah Daradjat dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar kesehatan jiwa di IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta”
mengemukakan empat buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Keempat
rumusan tersebut disusun mulai dari rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang
lebih umum.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa(neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose)
Berbagai kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) menyambut baik definisi ini. Seseorang dikatakan bermental sehat bila terhindar dari gangguan atau penyakit jiwa, yaitu adanya perasaan cemas tanpa diketahui sebabnya, malas, hilangnya kegairahan bekerja pada diri seseorang dan bila gejala ini meningkat akan menyebabkan penyakit anxiety, neurasthenia dan hysteria. Adapun orang yang sakit jiwa biasanya akan memiliki pandangan berbeda dengan orang lain inilah yang dikenal dengan orang gila.
2. Kesehatan mental adalah: kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri,
dengan orang lain dan masyarakat sera lingkungan tempat ia hidup.
Definisi ini lebih luas dan bersifat umum karena berhubungan dengan kehidupan manusia pada umumnya. Menurut definisi ini seseorang dikatakan bermental sehat bila dia menguasai dirinya sehingga terhindar dari tekanan-tekanan perasaan atau hal-hal yang menyebabkan frustasi. Orang yang mampu menyesuaikan diri akan merasakan kebahagiaan dalam hidup karena tidak diliputi dengan perasaan-perasaan cemas, gelisah, dan ketidakpuasan. Sebaliknya akan memiliki semangat yang tinggi dalam menjalani hidupnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri, harus lebih dahulu mengenal diri sendiri, menerima apa adanya, bertindak sesuai kemampuan dan kekurangan. Ini bukan berarti harus mengabaikan orang lain.
Dalam definisi ini orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya, sehingga dapat menghindarkan diri dari tekanan-tekanan perasaan yang menimbulkan frustasi.
3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta
terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Definisi ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat bagi orang lain dan dirinya sendiri.
Dalam hal ini seseorang harus mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya dan jangan sampai ada bakat yang tidak baik untuk tumbuh yang akan membawanya pada ketidakbahagiaan hidup, kegelisahan, dan pertentangan batin. Seseorang yang mengembangkan potensi yang ada untuk merugikan orang lain, mengurangi hak, ataupun menyakitinya, tidak dapat dikatakan memiliki mental yang sehat. Karena memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mengorbankan hak orang lain.
4. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang
biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dikatakan memiliki mental sehat apabila terhindar dari gejala penyakit jiwa dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. Kecemasan dan kegelisahan dalam diri seseorang lenyap bila fungsi jiwa di dalam dirinya seperti fikiran, perasaan, sikap, jiwa, pandangan, dan keyakinan hidup berjalan seiring sehingga menyebabkan adanya keharmonisan dalam dirinya.
Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan dapat dicapai antara lain dengan menjalankan ajaran agama dan berusaha menerapkan norma-norma sosial, hukum, dan moral. Dengan demikian akan tercipta ketenangan batin yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan di dalam dirinya. Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan, harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu- ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
Dapatlah dikatakan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawanya pada kebahagiaan bersama, serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup. Ada beberapa definisi penting yang perlu di jelaskan dalam konsep kesehatan mental Zakiah Daradjat.
a. Pengertian mengenai terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan ialah berkembangnya seluruh potensi kejiwaan secara seimbang sehingga manusia
dapat mencapai kesehatannya secara lahiriah maupun batiniah serta terhindar dari
pertentangan batin keguncangan, kebimbangan, dan perasaan dalam menghadapi berbagai
dorongan dan keinginan.
b. Pengertian terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri ialah usaha
untuk menyesuaikan diri secara sehat terhadap diri sendiri yang mencakup pembangunan dan
pengembangan seluruh potensi dan daya yang terdapat dalam diri manusia serta tingkat
kemampuan memanfaatkan potensi dan daya seoptimal mungkin sehingga penyesuaian diri
membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
c. Pengertian tentang penyesuaian diri yang sehat terhadap lingkungan dan masyarakat
merupakan tuntunan untuk meningkatkan keadaan masyarakatnya dan dirinya sendiri
sebagai anggotanya. Artinya, manusia tidak hanya memenuhi tuntutan masyarakat dan
mengadakan perbaikan di dalamnya tetapi juga dapat membangun dan mengembangkan
dirinya sendiri secara serasi dalam masyarakat. Hal ini hanya bisa dicapai apabila masing-
masing individu dalam masyarakat sama-sama berusaha meningkatkan diri secara terus
menerus dalam batas-batas yang diridhoi Allah.
d. Pengertian berlandaskan keimanan dan ketakwaan adalah masalah keserasian yang
sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi kejiwaan dan penyesuaian diri antara manusia dengan
dirinya sendiri dan lingkungannya hanya dapat terwujud secara baik dan sempurna apabila
usaha ini didasarkan atas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian,
faktor agama memainkan peranan yang besar dalam pengertian kesehatan mental.
e. Pengertian bertujuan untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia di dunia dan
akhirat adalah kesehatan mental bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang baik,
sejahtera, dan bahagia bagi manusia secara lahir dan batin baik jasmani maupun rohani, serta
dunia dan akhirat.
Diposkan oleh dewi arios Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
KESEHATAN MENTAL 19.58 |
Jasmani dikatakan sehat apabila energi yang ada mencukupi daya tahan yang ada
mencukupi memiliki kekuatan untuk menjalankan aktivitas dan kondisi badan terasa nyaman
dan sehat. Badan seseorang bekerja secara aktif untuk mempertahankan diri agar tetap sehat
sehingga kesehatan selalu harus dipertahankan.
Kesehatan mental menurut UU No.3/1961 adalah suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual, emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan
itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Sehat sebagai suatu spectrum, Pepkins
mendefinisikan sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsi-
fungsinya sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang
cenderung mengganggunya.
Apabila di tinjau dari, kata “mental” berasal dari kata latin, yaitu, ”mens” atau
”mentis” artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan
terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental
merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu jiwa).
BEBERAPA DEFENISI KESEHATAN MENTAL
Berikut ini merupakan beberapa defenisi dari kesehatan mental:
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejola jiwa (neurose) dan gejola penyakit
jiwa (psychose).
Kesehatan Mental adalah adanya kemmpuan yang memiliki oleh seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri orang lain, masyarakat atau lingkungannya.
Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan seseorang untuk mengembangkan
potensi bakatdadan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga menyebabkan
kebahagiaan diri sendiri dan orang lain serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta terciptanya
kemempuan untukl menghadapi permasalahan sehari-hari sehingga merasakan kebahagiaan
dan kepuasan hatinya.
Definisi kesehatan mental menurut beberapa ahli
Erikson (Psikososial):
Konsep sehat sendiri mempunyai arti yang sangat luas. ”Sehat” bukan sekedar berarti tidak
sakit melainkan pengertiannya bisa lebih luas dari itu. Menurut kamus bahasa Indonesia
modern, kata sehat berarti : dalam keadaan yang baik sekujur badan serta bagian-bagiannya,
bebas dari penyakit, dalam keadaan waras ; mendatangkan kebaikan pada badan ; baik dalam
keadaan biasa atau normal pikirannya; berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam definisi lain, sehat adalah kondisi seseorang dimana seluruh bagian dari manusia dapat
bekerja sama dengan baik, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sedangkan kata “mental” � atau mentalitas berarti : cara berfikir dan berperasaan (afeksi,
kognisi, dan konasi). Dengan kata lain mengacu pada kondisi internal individu.
Kes-Men: Metode / usaha-usaha untuk mencapai mental yang sehat.
Kesehatan Mental menurut WHO, seseorang yang sehat mental/jiwanya: merasa sehat
dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup, menerima orang lain apa adanya (ber-
empati dan tidak berprasangka), serta bersikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Kes-Men juga dapat dilihat dari berbagai Aspek : Intelektual, Sosial, Spiritual-Moral,
Emosional.
MESANA EN CORPORESANO : “Dalam Tubuh Yang Sehat Terdapat Jiwa yang
Kuat”.
CORPORESANO EN MENASA : “Dalam Jiwa yang Kuat terdapat Tubuh Yang
Sehat”.
Alexander Schneider , ilmu Kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan
menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan
memelihara kesejahteraan psikologis organisme manusia dan mencegah gangguan
mental serta ketidak kemampuan menyesuaikan diri.
Samson, Sin dan Hofilena: ilmu kesehatan mental sebagai ilmu yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara fungsi fungsi mental sebagai ilmu yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara fungsi mental yang sehat dan mencegah ketidak mampuan
menyesuaikan diri atau kegiatan kegiatan mental yang kalut
DB Klein: Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang bertujuan untuk mencegah
penyakit mental dan mengingkatkan kesehatan mental
Louis P Thrope: Ilmu kesehatan mental adalah tahap psikologi yang bertujuan untuk
mencapai dan memelihara kesehatan mental.
Setelah Perang Dunia II, perhatian masyarakat mengenai kesehatan jiwa semakin bertambah. Kesehatan mental bukan suatu hal yang baru bagi peradaban manusia. Pepatah Yunani tentang mens sana in confore sano merupakan satu indikasi bahwa masyarakat di zaman sebelum masehi pun sudah memperhatikan betapa pentingnya aspek kesehatan mental.Yang tercatat dalam sejarah ilmu, khususnya di bidang kesehatan mental, kita dapat memahami bahwa gangguan mental itu telah terjadi sejak awal peradaban manusia dan sekaligus telah ada upaya-upaya mengatasinya sejalan dengan peradaban. Untuk lebih lanjutnya, berikut dikemukakan secara singkat tentang sejarah perkembangan kesehatan mental.
Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan memiliki usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetahuan yang sederhana.
Beratus-ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara di bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Namun, lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya ini. Philippe Pinel di Perancis dan William Tuke dari Inggris adalah salah satu contoh orang yang berjasa dalam mengatasi dan menanggulangi orang-orang yang terkena penyakit mental. Masa-masa Pinel dan Tuke ini selanjutnya dikenal dengan masa pra ilmiah karena hanya usaha dan praksis yang mereka lakukan tanpa adanya teori-teori yang dikemukakan.
Masa selanjutnya adalah masa ilmiah, dimana tidak hanya praksis yang dilakukan tetapi berbagai teori mengenai kesehatan mental dikemukakan. Masa ini berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropa.Dorothea Dix merupakan seorang pionir wanita dalam usaha-usaha kemanusiaan berasal dari
Amerika. Ia berusaha menyembuhkan dan memelihara para penderita penyakit mental dan orang-orang gila. Sangat banyak jasanya dalam memperluas dan memperbaiki kondisi dari 32 rumah sakit jiwa di seluruh negara Amerika bahkan sampai ke Eropa. Atas jasa-jasa besarnya inilah Dix dapat disebut sebagai tokoh besar pada abad ke-19.
Tokoh lain yang banyak pula memberikan jasanya pada ranah kesehatan mental adalah Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Beers pernah sakit mental dan dirawat selama dua tahun dalam beberapa rumah sakit jiwa. Ia mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan atau pengobatan dalam asylum-asylum tersebut. Sering ia didera dengan pukulan-pukulan dan jotosan-jotosan, dan menerima hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam. Dan banyak lagi perlakuan-perlakuan kejam yang tidak berperi kemanusiaan dialaminya dalam rumah sakit jiwa tersebut. Setelah dirawat selama dua tahun, beruntung Beers bisa sembuh.
Di dalam bukunya ”A Mind That Found Itself”, Beers tidak hanya melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap tindakan-tindakan kejam dan tidak berperi kemanusiaan dalam asylum-asylum tadi, tapi juga menyarankan program-program perbaikan yang definitif pada cara pemeliharaan dan cara penyembuhannya. Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun satu program nasional, yang berisikan:
1. Perbaikan dalam metode pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.2. Kampanye memberikan informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen
dan lebih human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan mental.
3. Memperbanyak riset untuk menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan terapi penyembuhannya.
4. Memperbesar usaha-usaha edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan gangguan-gangguan emosi.
William James dan Adolf Meyer, para psikolog besar, sangat terkesan oleh uraian Beers tersebut. Maka akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene, dimana Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya.
KETERKAITAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN KESEHATAN MENTAL
(1) Kesehatan mental merupakan kunci dari penyesuaian diri yang sehat
(2) Kesehatan mental merupakan bagian integral dari proses adjusment secara keseluruhan
(3) Kualitas mental yang sehat merupakan fundamen yang penting bagi “good adjusment”.
MASALAH KESEHATAN MENTAL
Kesehatan mental / jiwa selalu mempersoalkan mental/jiwa yang dimiliki seseorang
apakah bermasalah ataukan memilki kehidupan rohani yang sehat. Dan juga menegakkan
pada keutuhan peribadi psiko-fisik manusia yang menyeluruh.
Kesehatan mental sebagai ilmu membicarakan bangaimana cara seseorang
memecahkan masalah batinya sehingga ia mampu memahami berbanagi kesulitan hidup dan
melakukan berbagai upaya agar jiwanya menjadi bersih.
Dengan memahami ilmu kesehatan mental adalah arti mengerti, mau dan mampu
mengaktualisasikan dirinya, maka seseorang tidak akan megalami bermacam-macam
ketegangan kekuatan dan komplik barin. Selain itu, ia melakukan upaya agar jiwanya
menjadi seimbang dan kepribadiannya pun terinteraksi dengan baik. Ia juga akan mampu
memecahkan segala kesulitan jiwa.
Permasalahan lain yang erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental, antara lain
adanya usaha untuk menghindari unsur tekanan batin, komplik pribadi dan menciptakan
integrasi batin yang baik untuk melawan ketegangan dan komplik jiwa.
Orang yang sehat mentalnya mempunyai pribadi normal. Mereka akan bertindak dan berprilaku baik agar dapat di terima oleh masyarakat. Selain itu dalam karakter dirinya terdapat kesesuaian dengan norma dan pola hidup masyarakat.
Sumber: http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/kesehatan-mental
Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
http://miftah19.wordpress.com/2010/02/09/kesehatan-mental-part-1/
3. B. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental– Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri– Keterpaduan antara Integrasi diri– Perwujudan Diri (aktualisasi diri)– Berkemampuan menerima orang lain– Berminat dalam tugas dan pekerjaan– Pengawasan Diri– Rasa benar dan Tanggung jawab
11. kriteria jiwa atau mental yang sehat adalah • Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya. • Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya. • Merasa lebih puas memberi daripada menerima • Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas. • Berhubungan dengan orang secara tolong-menolong dan saling memuaskan • Menerima kekecewaan untuk dipakainya sehingga sebagai pelajaran untuk dikemudian hari • Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif • Mempunyai rasa kasih sayang yang besar
http://www.slideshare.net/UtjokSolihin/kesehatan-mental-peserta-didik
3. CIRI-CIRI SEHAT MENTAL YANG BAIK• Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri• Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME• Menerima dirinya sendiri apa adanya• Mengaktualisasikan dirinya dengan baik• Memiliki cita-cita hidup dan ia merasa dirinya bertumbuh ke arah yang dia cita-citakan• Pribadi yang memiliki integritas, hidup sesuai apa yang ia katakan dengan perbuatannya.• Memiliki otonomi pribadi, mampu menerima penolakan dari luar serta seorang yang memiliki komitmen hidup• Memiliki persepsi yang akurat terhadap realita, termasuk melihat realita sebagaimana adanya.• Tidak menyangkal hal-hal buruk yang terjadi di masa lalunya dan masa kini Terakhir.• Memiliki penguasaan terhadap situasi, termasuk mempunyai kontrol diri didalam mengasihi orang lain, di dalam pekerjaan termasuk dalam bersahabat dengan orang lain.
Uraian diatas, menunjukan ciri-ciri mental yang sehat, sedangkan yang tidak sehat
cirinya sebagai berikut :
1. Perasaan tidak nyaman (inadequacy) 2. Perasaan tidak aman (insecurity) 3. Kurang memiliki rasa percaya diri (self-confidence) 4. Kurang memahami diri (self-understanding) 5. Kurang mendapat kepuasan dalam berhubungan sosial 6. Ketidakmatangan emosi 7. Kepribadiannya terganggu 8. Mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf (thorpe, dalam schneiders, 1964;61).
Syamsu Yusuf. 2009. Mental Hygiene. Bandung : Maestro
MEKANISME PERTAHANAN DIRI (DEFENCE MECHANISM)
20 Votes
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui
pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri merupakan bentuk penipuan diri.Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.
a. Represi
Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:
1) Individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,
2) Berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,
3) Lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk,
4) Lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,
5) Lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
b.Supresi
Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)
c. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)
Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih
sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.
d. Fiksasi
Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.
e. Regresi
Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian.
f. Menarik Diri
Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.
g.Mengelak
Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.
h. Denial (Menyangkal Kenyataan)
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
i. Fantasi
Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu.
j. Rasionalisasi
Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.
k. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.
l. Proyeksi
Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.
4.1.5. Implikasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Berangkat dari asumsi bahwa belajar merupakan perubahan perilaku sebagai akibat interaksi antara stimulus dengan respons, maka pembelajaran kemudian dipandang sebagai sebuah aktivitas alih pengetahuan (transfer of knowledge) oleh guru kepada siswa. Dalam perspektif semacam ini, terlihat bahwa peran guru dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Kedudukan siswa dalam konteks pembelajaran behaviorisme menjadi “orang yang tidak tahu apa-apa” dan karena itu perlu diberitahu oleh guru. Dengan demikian perubahan perilaku siswa mesti bersesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Jika terjadi perubahan perilaku yang tidak sesuai maka hal tersebut dipandang sebagai error behavior yang perlu diberikan ganjaran.
Pembelajaran dengan demikian dirancang secara seragam dan berlaku untuk semua konteks, tanpa mempersoalkan perbedaan karakteristik siswa maupun konteks sosial dimana siswa hidup. Kontrol belajar dalam pembelajaran behavioristik tidak memberi peluang bagi siswa untuk berekspresi menurut potensi yang dimilikinya melainkan menurut apa yang ditentukan.
Mengacu pada berbagai argumentasi yang telah dipaparkan, maka secara ringkas implikasi teori behavioristik dalam pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut:a) Pembelajaran adalah upaya alih pengetahuan dari guru kepada siswa.
b) Tujuan pembelajaran lebih ditekankan pada bagaimana menambah pengetahuan.
c) Strategi pembelajaran lebih ditekankan pada perolehan keterampilan yang terisolasi dengan akumulasi fakta yang berbasis pada logika liner.
d) Pembelajaran mengikuti aturan kurikulum secara ketat dan belah lebih ditekankan pada keterampilan mengungkapkan kembali apa yang dipelajari.
e) Kegagalan dalam belajar atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
f) Evaluasi lebih ditekankan pada respons pasif melalui sistem paper and pencil test dan menuntut hanya ada satu jawaban yang benar.
Dengan demikian, evaluasi lebih ditekankan pada hasil dan bukan pada proses, atau sintesis antara keduanya.
4.2. Pandangan Teori Kognitif tentang Belajar
Sama halnya dengan behviorisme, teori kognitif juga merupakan bidang kajian psikologi yang banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena belajar manusia. Dalam beberapa literatur, psikologi kognitif dipandang sebagai sebuah sintesis antara psikologi behaviorisme dan psikologi Gestalt.
Meskipun dipandang sebagai sebuah teori sintesis, namun dalam perkembangan selanjutnya, teori belajar kognitif mampu menunjukkan substansi kajian yang sama sekali berbeda dari behaviorisme. Bahkan dalam derajat tertentu, justru teori belajar kognitif dipandang sebagai anti tesis terhadap teori belajar behaviorisme yang terlalu mekanistik sehingga tidak dapat dipakai sebagai teori yang representatif dalam menjelaskan fenomena belajar manusia.Teori belajar kognitif merupakan salah satu teori yang muncul sebagai reaksi terhadap kelemahan mendasar dalam teori behaviorisme yang lebih mementingkan perubahan perilaku yang tampak. Bagi para penganut teori kognitif, belajar bukan hanya sekadar inteaksi antara stimulus dan respons melainkan melibatkan juga aspek psikologis lain (mental, emosi, persepsi) yang menyebabkan orang memberikan respons terhadap sebuah stimulus belajar.Dalam perspektif ini, stimulus bukanlah variabel tunggal yang menyebabkan terjadinya respons melaikan terdapat variabel moderator tertentu yang turut mempengaruhi kemunculan suatu respons. Variabel moderator inilah yang disebut sebagai faktor intenal seperti emosi, mental, persepsi, motivasi dan sebagainya. Pada awalnya, para penganut teori kognitif membangun agumentasinya bahwa antara stimulus dan respons terdapat dimensi psikologis yang menyebabkan terjadinya perubahan mental dan akibat dari perbuhan inilah
menyebabkan orang merespons suatu stimulus yang diberikan.Mengacu pada kerangka berpikir tersebut para penganjur teori kognitif berpendapat bahwa belajar merupakan proses pembentukan dan perubahan persepsi akibat interaksi yang sustainable antara individu dengan lingkungan.Berikut ini dipaparkan pemikiran tiga tokoh garda depan dalam teori belajar kognitif yang sangat berjasa dalam mengembangkan teori ini. Ketiga tokoh dimaksud yakni Jean Piaget, Emil Bruner, dan David P. Ausebel.
4.2.1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Jean Piaget merupakan salah satu ilmuan berkebangsaan Prancis (lahir di Neuchetel, Switserland), dan mendapat gelar Ph.D. dalam bidang ilmu Hewan, berminat dalam bidang filsafat dan baru pada tahun 1940 ia menekuni bidang Psikologi.Berkaitan dengan belajar, Piaget membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu, stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengoordinasikan lingkungan sekitarnya (Suparno, 1997). Skema pada prinsipnya tidak statis melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kognitif manusia.
Berdasarkan asumsi itulah, Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dipunyai seseorang. Bagi Piaget, proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan yakni: ASIMILASI, AKOMODASI dan EQUILIBRASI.
a) ASIMILASI adalah proses penyesuian persepsi, konsep, pengalaman dan pengetahuan baru ke dalam skema yang telah dimiliki seseorang.
b) AKOMODASI yaitu, perubahan skemata ke dalam situasi yang baru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) membentuk skema baru yang cocok dengan pengetahuan yang baru diperoleh, atau (2) memodifikasi skema yang telah ada agar cocok dengan pengetahuan yang baru diperoleh.
c) EQUILIBRASI yaitu, proses penyeimbangan berkelanjutan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut Paiget, belajar adalah proses perubahan secara kualitatif dalam struktur kognitif. Perubahan dimaksud terjadi, manakala informasi atau pengetahuan baru yang diterima sesorang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bersesuaian (diasimilasikan) dengan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya.Kompleksitas pengetahuan dan struktur kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi mungkin saja tidak terjadi karena informasi baru yang diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur kognitif yang sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif perlu disesuaiakan dengan pengetahuan baru yang diterima. Proses semacam ini disebut akomodasi. Penekanan Piaget tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam belajar didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia yang dikategorikan dalam suatu struktur hirarkhis terdiri dari enam jenjang, mulai dari tahap sensori-motorik sampai tahap berpikir universal.
4.2.2. Teori Kognitif Bruner
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan.Menurut Burner, perkembangan kongitif manusia terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya memandang lingkungan. Ketiga tahap dimaksud meliputi:•Tahap ENAKTIF yaitu, tahap dimana individu melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan usahanya memahami lingkungan;
•Tahap IKONIK yaitu, tahap individu memahami lingkungannya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal;
•Tahap SIMBOLIK yaitu, tahap dimana individu memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Dalam konteks berpikir yang demikian, Bruner berpendapat bahwa pembelajaran dapat dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu seorang anak sampai mencapai tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan pembelajaran didesain secara baik, maka individu dapat belajar meskipun usianya belum memadai. Dengan logika lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan melalui materi yang dirancang sesuai dengan karakteristik kultural siswa.
Gagne dan Berliner menyimpulkan beberapa prinsip yang mendasari teori Bruner sebagai berikut:
•Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual seseorang, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan;
•Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi;
•Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol;
•Untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang intensif antara guru dan siswa;
•Perkembangan kongitif meningkatkan kemampuan siswa memikirkan beberapa alternatif secara serentak, serta memberikan perhatian kepada beberapa stimulus dan situasi sekaligus.
4.2.3. Implikasi Teori Kognitifisme dalam Pembelajaran
Bagi para penganut aliran kognitifisme, pembelajaran dipandang sebagai upaya memberikan bantuan kepada siswa untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru melalui proses discovery dan internalisasi.
Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara benar maka perlu diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang perlu sebagai berikut:a) Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru agar merasa bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, dan bukan sebaliknya sebagai beban;
b) Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang abstrak;c) Setiap usaha mengkonseptualisasikan matari pembelajaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa belajar;
d) Pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan pengalaman belajar siswa dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangannya;
e) Materi pelajaran hendaknya dirancang dengan memperhatikan sequencing penyajian secara logis.
4.3. Pandangan Teori Konstruktivisme tentang Belajar
Menurut asalnya, teori konstruktivime bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khususnya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang dihadapinya.Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai;– Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup;– Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru.
- Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang;– Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu semata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar;
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa;– Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta. Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi makna
Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme telah banyak mendapat pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini dapat disebut juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi kognitif, namun harus diakui bahwa stressing point teori ini bukan terletak pada berberapa konsep psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman, asimilasi, dan internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme yaitu pemaknaan realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan terhadap realitas adalah berlajar itu sendiri. Dengan asumsi seperti ini, sebetulnya substansi konstrukvisme terletak pada pengakuan akan hekekat manusia sebagai homo creator yang dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri.
Implikasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:– Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan aktivitas belajar, proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru.
- Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;– Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa belajar memecahkan masalah;
- Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Lupa
Home » Pendidikan » Lupa Menurut Psikologi Belajar
Lupa Menurut Psikologi Belajar PENDAHULUAN
Otak merupakan perangkat yang paling kompleks di dunia. Trilyunan sel otak
memiliki fungsi spesifik tetapi saling berhubungan. Mengendalikan seluruh aspek fisik dan
psikis manusia. Baik secara sadar maupun tak sadar Kapasitas penyimpanan memori di dalam
otak jauh melebihi kapasitas hardisk komputer terbesar sekalipun. Otak memiliki kemampuan
menangani algoritma rumit secara bersamaan dalam jumlah tak terbatas, jauh melebihi
kemampuan prosesor komputer tercanggih sekalipun. Tapi sayangnya manusia tidak mampu
mengoptimalkan seluruh potensi otak tersebut, sehingga otak tidak memungkinkan semua
jejak ingatan itu tersimpan terus dengan sempurna, melainkan berangsur-angsur akan
menghilang. Tetapi ketika orang yang bersangkutan diminta untuk mengingat kembali hal
yang sudah mulai terlupakan sebagian itu.
Manusia cenderung untuk menyempurnakan sendiri bagian-bagian yang terlupa
tersebut dengan cara mengkreasikan sendiri detil-detil ceritera itu. Akibatnya, sebuah ceritera
tentang suatu peristiwa yang pernah disaksikan oleh seseorang akan berubah-ubah dari masa
ke masa. Makin lama jarak waktu antara kejadian awal dengan saat berceritera, maka makin
banyak perubahannya.
Maka dari itu penulis mengangkat judul “Lupa Menurut Psikologi Belajar” agar kita
semua mengetahui segala hal yang berkaitan dengan lupa yang semoga dapat bermanfaat
untuk para pembacanya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lupa
Lupa merupakan istilah yang sangat populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan
bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu, entah hal itu
tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin
juga sesuatu yang baru saja dilakukan. Fenomena dapat terjadi pada siapapun juga, tak peduli
apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, profesor, petani dan sebaginya.
(syaiful Bahri Djamarah, 2008: 206)
Soal mengingat dan lupa biasanya juga ditunjukkan dengan satu pengertian saja, yaitu
retensi, karena memang sebenarnya kedua hal tersebut hanyalah memandang hal yang satu
dan sama dari segi berlainan. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal yang
dilupakan adalah hal yang tidak diingat. (Sumadi Suryabrata, 2006: 47)
Lupa ialah peristiwa tidak dapat memproduksikan tanggapan-tanggapan kita, sedang
ingatan kita sehat. (Agus Suyanto, 1993: 46), adapula yang mengartikan lupa sebagai suatu
gejala di mana informasi yang telah disimpan tidak dapat ditemukan kembali utnuk
digunakan. (Irwanto, 1991: 150).
Muhibbinsyah (1996) dalam bukunya yang berjudul psikologi pendidikan
mengartikan lupa sebagai hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau memproduksi
kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari secara sederhana. Gulo (1982) dan
Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat
sesuatu yang pernah dialami atau dipelajari, dengan demikian lupa bukanlah peristiwa
hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
B. Proses Terjadinya Lupa
Daya ingatan kita tidak sempurna. Banyak hal-hal yangpernah diketahui, tidak dapat
diingat kembali atau dilupakan.
Dewasa ini ada empat cara untuk menerangkan proses lupa keempatnya tidak saling
bertentangan, melainkan saling mengisi.
1. Apa yang telah kita ingat, disimpan dalam bagian tertentu diotak kalau materi yang harus
diingat itu tidak pernah digunakan, maka karena proses metabolisme otak, lambat laun jejak
materi itu terhapus dari otak sehingga kita tidak dapat mengingatnya kembali. Jadi, karena
tidak digunakan, materi itu lenyap sendiri.
2. Mungkin pula materi itu tidak lenyap begitu saja, melainkan mengalami perubahan-
perubahan secara sistematis, mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Penghalusan: materi berubah bentuk ke arah bentuk yang lebih simatris, lebih halus dan
kurang tajam, sehingga bentuk yang asli tidak diingat lagi.
b. Penegasan: bagian-bagian yang paling mencolok dari suatu hal adalah yang paling
mengesankan. Karena itu, dalam ingatan bagian-bagian ini dipertegas, sehingga yang diingat
hanyalah bagian-bagian yang mencolok, sedangkan bentuk keseluruhan tidak begitu diingat.
c. Asimilasi: bentuk yang mirip botol misalnya, akan kita ingat sebagai botol, sekalipun
bentuk itu bukan botol. Dengan demikian, kita hanya ingat sebuah botol, tetapi tidak ingat
bentuk yang asli. Perubahan materi di sini disebabkan bagaimana wajah orang itu tidak kita
ingat lagi.
3. Kalau mempelajari hal yang baru, kemungkinan hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat
kita ingat lagi. Dengan kata lain, materi kedua menghambat diingatnya kembali materi
pertama. Hambatan seperti ini disebut hambatan retroaktif. Sebaliknya, mungkin pula materi
yang baru kita pelajari tidak dapat masuk dalam ingatan, karena terhambat oleh adanya
materi lain yang terlebih dahulu dipelajari, hambatan seperti ini disebut hambatan proaktif.
4. Ada kalanya kita melakukan sesuatu. Hal ini disebut represi. Peristiwa-peristiwa
mengerikan, menakutkan, penuh dosa, menjijikan dan sebagainya, atau semua hal yang tidak
dapat diterima oleh hati nurani akan kita lupakan dengan sengaja (sekalipun proses lupa yang
sengaja ini terkadang tidak kita sadari, terjadi diluar alam kesadaran kita). Pada bentuknya
yang ekstrim, represi dapat menyebabkan amnesia, yaitu lupa nama sendiri, orang tua, anak
dan istri dan semua hal yang bersangkut paut dirinya sendiri. Amnesia ini dapat itolong atau
disembuhkan melalui psikoterapi atau melalui suatu peristiwa yang sangat dramatis sehingga
menimbulkan kejutan kejiwaan pada penderita. (Ahmad Fauzi, 1997: 52-54)
C. Faktor-Faktor Penyebab Lupa
Pertama, lupa terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interfence theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) proactive interference, 2) retroactive interference (Reber, 1988; Best, 1989; Anderson, 1990)
Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktifapabila materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat adatu diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktifapabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi pejaran lama kan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama tersebut.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena adanya kemungkinan.
a. Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
b. Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.
c. Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah digunakan.
Itulah pendapat yang didasarkan para repression theory yakni teori represi/ penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud, bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantanganm baik dari kawan maupun lawannya itu.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kudanil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menybut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.
Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses belajar mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karna sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian denga sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.
Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tennggang waktu (delay) antara waktu diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).
Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, “tidak!” materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk di panggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan. (Muhibbin Syah, 1996: 160)
D. Lupa Versus Hilang
Kerapkali pengertian “lupa” dan “hilang” secara spontan dianggap sama, padahal apa yang dilupakan belum tentu hilang dalam ingatan begitu saja. Hasil penelitian dan refleksi atas pengalaman belajar di sekolah, memberikan petunjuk bahwa segala sesuatu yang pernah dicamkan dan dimasukan dalam ingatan, tetap menjadi milik pribadi dan tidak menghilang tanpa bekas. Dengan kata lain, kenyataan bahwa seseorang tidak dapat mengingat sesuatu, belum berarti hal itu hilang dari ingatannya, seolah-olah hal yang pernah dialami atau dipelajari sama sekali tidak mempunyai efek apa-apa. (Winkel, 1989: 291) sejumlah kesan yang telah didapat sebagai buah dari pengalaman belajar tidak akan pernah hilang, tetapi kesan-kesan itu mengendap ke alam bawah sadar. Bila diperlukan kembali kesan-kesan terpilih akan terangkat ke alam sadar. Penggalian kesan-kesan terpilih bisa karena kekuatan “asosiasi” atau bisa juga karena kemauan yang keras melakukan “reproduksi” dengan pengandalan konsentrasi. Oleh karena itu, tepat apa yang pernah dikemukakan oleh gula (1982) dan Reber (1988) bahwa lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. (Muhibbin Syah, 1999: 151) jadi, lupa bukan berarti hilang, sesuatu yang terlupakan tentu saja masih dimiliki dan tersimpan di alam bawah sadar, sedangkan sesuatu yang hilang tentu saja tidak tersimpan dalam alam bawah sadar.
Gangguan-gangguan yang menyebabkan terjadinya lupa, baik dalam ingatan jangka panjang maupun jangka pendek ditunjang oleh hasil-hasil penelitian, bahwa informasi-informasi yang baru didapat membingungkan informasi-informasi yang lama disebut “inhibisi retroaktif” atau gangguan retroaktif. Sebaliknya, bila informasi-informasi yang lama menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang baru dinamakan “inhibisi proaktif” atau gangguan proaktif. (Mahmud, 1990: 136)
E. Lupa-Lupa Ingat
Lupa-lupa ingat berlainan dengan lupa-lupaan, dan tidak sama dengan melupakan. Lupa-lupaan berarti pura-pura lupa. Melupakan berarti melalaikan, tidak mengindahkan. Baik lupa-lupaan mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan lupa-lupa ingat berarti tidak lupa, tetapi tidak ingat benar, (masa samar, tetapi kurang pasti), agak lupa.
Kadang-kadang kita mengingat sesuatu dari ingatan jangka panjang kita dan merasa seolah-olah kita hampir mengingatnya, tetapi tidak mengingat betul apa yang ingin kita ingat itu, entah itu nama seorang teman, tempat berlangsungnya kejadian tertentu, tanggal lahir seorang pahlawan nasioanl dan sebaginya. “hampir ingat” ini disebut”gejala ujung lidah”.
Pengorganisasian struktur kognitif yang kurang baik dan sistematik berpotensi kearah lupa-lupa ingat. Kerancuan struktur kognitif menyebabkan sejumlah kesan menjadi samar-samar, kesan berbentuk bayang-bayang dalam ketidakpastian. Sesuatu hal yang direpresentasikan dalam bentuk kesan mengapung diantara alam bimbang sadar dan alam bawah sadar, sehingga ingatan yang timbul karena kesadaran akibat adanya rangsangan dari luar atau usaha mengingat-ingat terjelma dalam bentuk gejala ujung lidah, hampir ingat atau lupa-lupa ingat, yang berarti tidak lupa, Cuma kurang pasti. (Syaiful Bahri Djamarah, 2008: 207-209)
F. Teori-Teori Mengenai Lupa
Lupa merupakan suatu gejala di mana informasi yang telah disimpan tidak dapat ditemukan kembali untuk digunakan. Ada empat teori tentang lupa, yaitu Decay theory, Interference theory, Retrieval failure, motivated forgetting, dan lupa karena sebab-sebab fisiologis. Teori-teori ini khususnya merujuk pada memori jangka panjang.
1. Decay theory
Teori ini beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal). Teori ini mengandalkan bahwa setiap informasi di simpan dalam memori akan meninggalkan jejak (memory trace). Jejak-jejak ini akan rusak atau menghilang bila tidak pernah dipakai lagi. Meskipun demikian, banyak ahli sekarang menemukan bahwa lupa tidak semata-mata disebabkan oleh ausnya informasi.
2. Teori interferensi
Teori ini beranggapan bahwa informasi yang sudah disimpan dalam memori janga panjang masih ada dalam gudang memori (tidak mengalami keausan). Akan tetapi proses lupa terjadi karena informasi yang satu menggangu proses mengingat informasi lainnya. Bisa terjadi bahwa informasi yang baru diterima mengganggu proses mengingat informasi yang lama, tetapi bisa juga sebaliknya.
Bila informasi yang baru kita terima, menyebabkan kita sulit mencari informasi yang sudah ada dalam memori kita, terjadilah interferensi retroaktif. Dalam hidup sehari-hari kita mengalami hal ini.
Adalagi yang disebut interferensi proaktif, yaitu informasi yang sudah dalam memori jangka panjang mengganggu proses mengingat informasi yang baru saja disimpan.
3. Teori retrieval failure
Teori ini sebenarnya sepakat dengan teori interferensi bahwa informasi yang sudah disimpan dalam memori jangka panjang selalu ada, tetapi kegagalan untuk mengingat kembali tidak disebabkan oleh interferensi. Kegagalan mengingat kembali lebih disebabkan tidak adanya petunjuk yang memadai. Dengan demikian, bila syarat tersebut dipenuhi (disajikan petunjuk yang tepat), maka informasi tersebut tentu dapat ditelusuri dan diingat kembali.
4. Teori motivated forgetting
Menurut teori ini, kita akan cenderung melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Hal-hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan ini cenderung ditekan atau tidak diperbolehkan muncul dalam kesadaran. Teori ini didasarkan atas teori psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa teori ini juga beranggapan bahwa informasi yang telah disimpan masih selalu ada.
5. Lupa karena sebab-sebab fisiologis
para peneliti sepakat bahwa setiap penyimpanan informasi akan disertai berbagai perubahan fisik di otak. Perubahan fisik ini disebut engram. Gangguan pada engram ini akan mengakibatkan lupa yang disebut amnesia. Bila yang dilupakan adalah berbagai informasi yang telah disimpan dalam beberapa waktu yang lalu, yang bersangkutan dikatakan menderita amnesia retrograd. Bila yang dilupakan adalah informasi yang baru saja diterimanya, ia dikatakan menderita amnesia anterograd. Karena proses lupa dalam kedua kasus ini erat hubungannya dengan faktor-faktor biokimiawi otak, maka kurang menjadi fokus perhatian bagi para pendidik.
G. Meningkatkan Kemampuan Memori
Secara umum usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan memori harus memenuhi tiga ketentuan sebagai berikut:
1. Proses memori bukanlah suatu usaha yang mudah. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa pengulangan/rekan. Mekanisme dalam proses mengingat sangat membantu organisme dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Seseorang dikatakan “belajar dari pengalaman” karena ia mampu menggunakan berbagai informasi yang telah diterimanya di masa lalu untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya saat ini.
2. Bahan-bahan yang akan diingat harus mempunyai hubungan dengan hal-hal lain. Khusus mengenai hal ini, konteks memegang peranan penting. Dari uraian di depan jelas bahwa memori sangat dibantu bila informasi yang dipelajari mempunyai kaitan dengan hal-hal yang sudah dikenal sebelumnya. Konteks dapat berupa peristiwa, tempat, nama sesuatu, perasaan tertentu dan lain-lain. Konteks ini memberikan retrievel cues atau karena itu mempermudah recognition.
3. Proses memori memerlukan organisasi. Salah satu pengorganisasian informasi yang sangat dikenal adalah mnemonik (bahasa Yunani: mnemosyne, yaitu dewi memori dalam mitologi Yunani). Informasi diorganisasi sedemikian rupa (dihubungkan dengan hal-hal yang sudah dikenal) sehingga informasi yang kompleks mudah untuk diingat kembali.
Salah satu metode mnemonik yang biasa dilakukan adalah metode loci (method of loci; loci= locus= tempat). Individu diminta untuk membayangkan suatu tempat yang ia kenal dengan baik, misalnya rumahnya. Ia membayangkan dari bagian rumah itu, misalnya dari ruang tamu sampai kekamarnya. Ia membayangkan benda-benda apa saja yang akan ditemui didekat pintu masuk, di ruang tamu, dekat pintu kamarnya dan di dalam kamarnya. Kemudian ia diasosiasikan benda-benda tersebut dengan informasi baru yang harus diingat.
Metode mnemonik lain yang biasa dipakai adalah metode menghubung-hubungkan (link method), yaitu menghubungkan informasi yang harus diingat satu dengan lainnya sehingga mempunyai arti, walu kadang-kadang agak lucu.
Orang yang baru belajar musik sering harus menghafal tanda-tanda yang amat kompleks. Untuk itu cara seperti berikut sering banyak membantu:
a. Nada-nada yang naik ½ (kruis/ #) = Gudeg Djogja Amat Enak Banyak Fitamin
b. Nada-nada yang turun ½ (mol) = Fajar Bandung Elok Amat Dekat Garut Ciamis
Seorang mahasiswa psikologi yang ingin menghafalkan spektrum warna harus menempuh jalan sebagai berikut:
Mau Jadi Koboi Harus Bisa Naik Unta = Merah Jingga Kuning Hijau Biru Nila Ungu
Pengorganisasian juga bisa dilakukan dengan membuat suatu akronim sekaligus sebagai suatu kesatuan informasi (chunk) seperti dalam jembatankeledai yang pernah kita singgung di depan (LUBER, ANDAL kota BERIMAN, dan lain-lain). (Irwanto, 1991: 152-158)
H. Kiat Mengurangi Lupa dalam Belajar
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990) adalah sebagai berikut:
1. Overlearning
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atau respons tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara lain pembacaan teks
pancasila pada setiap hari senin dan sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap P4 lebih kuat.
2. Extra Study Time
Extra Study Time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
3. Mnemonic Device
Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam sistem akal siswa.
4. Pengelompokkan
Maksud kiat pengelompokkan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
5. Latihan Terbagi
Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah massed practice (latihan terkumpul) yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming. Dalam latihan terbagi siswa melakukan latihan-latihan waktu-waktu istirahat. Upaya demikian dilakukan untuk menghindari camming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat. Dalam melaksanakan istributed practice, siswa dapat menggunakan berbagai metode dan strategi belajar yang efisien.
6. Pengaruh Letak Bersambung
Untuk memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect), siswa dianjurkan menyusun daftar kata0kata (nama, istilah dan sebagainya) yang diawali dan diakhiri dengan kata-kata yang harus diingat. Kata-kata yang harus diingat siswa tersebut sebaiknya ditulis dengan menggunakan huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat. Dengan demikian, kata yang ditulis pada awal yang akhir daftar tersebut memberi kesan tersendiri dan diharapkan melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa. (Muhibbin Syah, 1996: 160-164)
PENUTUP
SIMPULAN
Lupa adalah hilangnya kemampuan menyebut atau melakukan kembali informasi dan kecakapan yang telah tersimpan dalam memori.
Faktor-faktor yang menyebabkan lupa meliputi :
1. Adanya konflik-konflik antara item-item informasi atau materi pelajar yang ada di sistem memori seseorang.
2. Adanya tekanan terhadap item atau materi yang lama baik disengaja atau tidak disengaja.
3. Perbedaan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu memanggil kembali item tersebut.
4. Perubahan situasi dan minat terhadap proses dan situasi tertentu.
5. Tidak pernah latihan / tidak pernah dipakai
6. Kerusakan jaringan syaraf otak.
Cara mengurangi lupa:
1. Belajar dengan melebihi batas penguasaan atas materi pelajaran tertentu.
2. Menambah waktu belajar sehingga dapat memperkuat terhadap materi yang dipelajari.
3. mengelompokkan kata atau istilah tertentu dalam susunan yang logis. Jenuh belajar adalah yaitu suatuv situasi dan kondisi yang menunjukkan tidak adanya hasil belajar yang berhasil guna meskipun telah melaksanakan proses belajar pada waktu tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri. 2008, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmud, M. Dimyati. 1991. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan. Yogyakarta: PBFE.
Purwanto, M. Ngalim. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suyanto, Agus. 1993. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. 9
Syah,Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kamis, 24 Februari 2011
KEJENUHAN DALAM BELAJAR
21.43 Ani Endriani. S.Pdi., MA No comments
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Pengertian Jenuh belajar
Kejenuhan adalah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Jenuh yakni jemu atau bosan. Kejenuhan dalam belajar adalah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil. Siswa yang yang mengalami
kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Kejenuhan ini bisa berlangsung singkat, maupun sebaliknya. Siswa yang sedang mengalami kejenuhan, sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan ditempat” atau tidak ada perkembangan.
Faktor penyebab kejenuhan
Faktor penyebab kejenuhan dalam belajar yakni ;
1. Siswa kehilangan motivasi
2. Kehilangan konsilidasi (kemampuan) salah satu tingkat ketrampilan tertentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat berikutnya.
3. Batas kemampuan jasmaniah (karena bosan dan letih).
Penyebab kejenuhan yang paling umum adalah karena keletihan siswa meliputi keletihan indra, keletihan fisik dan keletihan mental siswa yang meliputi kecemasan, tekanan (persingan), tuntutan yang terlalu tinggi, self-imposed (siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri).
Kiat-kiat mengatasi keletihan mental
Kiat-kiat mengatasi keletihan mental yakni :
1. Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi.
2. Perubahan jadwal/kegiatan yang lebih variatif, supaya lebih semangat.
3. Penataan lingkungan belajar, seperti letak meja tulis, lemari, rak buku, dan lain-lain, sampai siswa merasa lebih menyenangkan untuk belajar
4. Memberikan motivasi kepada siswa
5. Tidak gampang menyerah, tekun, ikhlas, sabar dan jangan cepat berputus asa.
Sumber
Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya.
UNDERACHIEVER
A. PENGERTIAN UNDERACHIEVER
Underachiever adalah anak yang berprestasi rendah dibandingkan tingkat kecerdasan
yang dimilikinya. Menurut Prayitno dan Amti (1999:280) underachiever identik dengan
keterlambatan akademik yang berarti bahwa “keadaan siswa yang diperkirakan memiliki
intelegensia yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal.”
Rimm (dalam Del Siegle & McCoah, 2008) menyatakan bahwa ketika siswa tidak
menampilkan potensinya, maka ia termasuk Underachiever. Siswa yang Underachiever
seringkali salah dinilai sebagai siswa berkesulitan belajar (McCall et al, 1992; Ross, 1995
dalam Peters & Boxtel, 1999). Reis dan McMoach (2000 dalam Robinson, 2006)
mendifinisikan underachievement sebagai kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected
achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Untuk dapat diklasifikasikan
sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan
hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada periode
yang panjang (Robinson, 2006). Underachiever ini juga tidak dikaitkan dengan adanya
perubahan hormonal menjelang remaja. Saat ini belum ada metode yang tepat yang dapat
digunakan psikolog pendidikan untuk mengidentifikasi underachiever (Ross dalam Peters &
VanBoxtel, 1999). Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai
kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh siswa di sekolah (Peters &
VanBoxtel, 1999)
Underachievement dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau kegagalan untuk
menampilkan tingkah laku atau prestasi sesuai dengan usia atau bakat yang dimiliki anak atau
dengan kata lain, potensi yang tidak terpenuhi (unfulfilled potentials).
Namun demikian, underachievers tidak tergolong ke dalam satu golongan atau
memiliki karakteristik yang sama. Underachievement muncul dalam bentuk yang luas dan
beragam.
B. FAKTOR PENYEBAB UNDERACHIEVER
Menurut Sylvia Rimm dalam bukunya Why Bright Kids Get Poor Grades and What Can You
Do About it, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya underachiever pada anak,
yaitu :
1. Perilaku orangtua yang tidak disukai anak.
Orangtua menuntut terlalu tinggi atau perfeksionis. Anak bisa kurang motivasi untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai cara untuk membalas dendam pada orangtuanya, yang
dirasakan terlalu otoriter, kaku, bersikap tidak adil dan sok kuasa. Kalau orangtua terlalu
menuntut kesempurnaan, anak bisa menyerah sebelum mencoba mengerjakan tugas-tugasnya
atau berpura-pura mengerjakannya. Waspadai sikap anda, karena sikap perfeksionis tidak
selalu dalam bentuk ucapan. Anak yang peka bisa menangkap isyarat, misalnya dari ekspresi
wajah orangtua yang kecewa atau kurang puas ketika ia gagal menjadi juara kelas.
2. Orangtua terlalu meremehkan
Anak belajar dari sikap orangtua yang meremehkan atau meragukan kemampuannya,
sehingga ia pun meragukan kemampuannya sendiri untuk berprestasi dan untuk bersikap
mandiri.
3. Orangtua kurang perhatian
Orangtua yang kelewat sibuk dengan kegiatannya sendiri, sehingga tidak sempat
memperhatikan prestasi dan usaha anaknya. Hal ini akan meninggalkan kesan kepada anak
bahwa belajar bukanlah aktivitas yang penting. Demikian pula orangtua yang hanya pedulu
pada prestasi atau hasil tetapi tidak peduli pada proses atau usaha pencapaian prestasi
tersebut.
4. Orangtua bersikap terlalu permisif
Sebagian orangtua memilih bersikap permisif (serba membolehkan) karena mengira
dengan demikian anak akan tumbuh mandiri. Kenyataannya, anak yang sehari-hari tidak
mengenal disiplin di rumah dan disiplin dalam belajar akan cenderung merasa tidak aman dan
kurang motivasi untuk mencapai prestasi. Anak tidak belajar mendisiplinkan diri sendiri
untuk memenuhi harapan orang lain, atau untuk mencapai target. Ia juga tidak belajar
bagaimana bekerja keras dan bertahan dalam situasi yang menekan.
5. Konflik keluarga yang serius
Suasana rumah yang terus menerus kalut akan membuat anak merasa tidak aman.
Kehilangan rasa aman ini membuat anak kehilangan minat terhadap aktivitas sekolah dan
berprestasi. Kebutuhan yang mendesak dalam dirinya adalah lari dari situasi yang
menegangkan, dan itu bisa dicapainya dengan cara melamun, menggunakan obat-obat
terlarang, atau perbuatan-perbuatan yang menyimpang lainnya. Karena orang tua bagi anak
hanya merupakan sumber ketegangan dalam dirinya, anak juga kehilangan motivasi untuk
menyenangkan hati orangtuanya.
6. Orang tua yang tidak menerima anak atau sering mengkritik
Anak yang merasa kehadirannya tidak diharapkan, terutama oleh orangtuanya akan
merasa dirinya tak berdaya, tidak mampu atau geram. Dengan prestasi buruk di sekolah atau
tidak peduli pada tugas-tugas sekolah merupakan upaya anak untuk membalas dendam
kepada orangtua. Kritik yang terlalu sering atau terlampau keras mempunyai dampak yang
serupa. Anak yang sering mendapat kritik atau cela, lama- kelamaan merasa bahwa
kehadirannya tidak diharapkan oleh orangtuanya.
7. Orang tua terlalu melindungi (overprotective)
Orangtua dengan berbagai alasan bersikap terlalu melindungi anak. Alasan yang klise
adalah mengkhawatirkan keselamatan anak dan menginginkan anak mendapat yang terbaik.
Orang tua yang merasa bersalah karena tidak terlalu mengharapkan kehadiran anaknya juga
dapat bersikap overprotective. Anak yang terlalu dilindungi tidak sempat belajar bagaimana
memotivasi diri sendiri bila bekerja di bawah situasi yang menekan. Mereka tidak tumbuh
matang dan tidak punya motivasi belajar.
8. Anak merasa rendah diri
Perasaan tidak berharga akan menurunkan motivasi anak. Anak merasa tidak berdaya
berhadapan dengan lingkungannya. Ia merasa tidak berharga, tidak bisa belajar apa-apa
bahkan tidak berani menginginkan sesuatu. Ia hanya berani menginginkan target di bawah
potensi sesungguhnya yang ia miliki. Ia juga takut ketahuan bahwa ia tidak mampu atau tak
berguna. Maka ia lebih suka menarik diri daripada menempuh risiko gagal dalam mencoba
kemampuannya. Mungkin saja ia tampil sebagai anak manis yang patuh dan cenderung pasif.
Konflik nilai juga bisa membuat anak rendah diri, misalnya anak yang kreatif,
eksentrik, easygoing, alih-alih merasa dirinya unik, bisa-bisa merasa bersalah dan tidak
berguna dihadapan orang tuanya yang rapi, konservatif dan hanya menghargai prestasi
akademik. Akhirnya anak menyalahkan dirinya sendiri lalu mencari teman di luar rumah dan
mencari kepuasan dari aktivitas yang justru tidak diharapkan orangtuanya.
Menurut Edy Gustian (2002:30) penulis buku Menangani Anak Underachiever, Prestasi
belajar rendah ini bukan disebabkan oleh adanya hambatan dalam menguasai pelajaran yang
diberikan dalam proses belajar. Underachiever dapat disebabkan oleh oleh faktor lingkungan,
“baik lingkungan luar rumah (lingkungan sekolah), lingkungan rumah, maupun dari individu
itu sendiri.”
Masing-masing faktor tersebut atau secara kombinasi dapat menyebabkan anak menjadi
underachiever. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab underachiever, orang tua dapat
melakukan tindakan-tindakan untuk menangani anak yang mengalami underachiever.
1. Faktor Sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya
underachiever. Siswa cerdas cenderung menjadi anak yang nakal jika berada di kelas yang
dianggapnya tidak memberikan tantangan. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk
memikirkan kejailan untuk menghilangkan kebosanan.
Cara pengajaran, materi-materi yang diberikan, dan ukuran-ukuran keberhasilan dan
kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever.
Alberlt Einstein adalah salah satu kasus bagaimana sekolah dapat menjadikan anak
jenius sebagai underachiever. Ketika sekolah dasar, nilai-nilai Einstein sangatlah buruk
hingga ia sempat disebut anak yang bodoh karena tidak “mampu” berprestasi dengan baik.
Einstein tidak dapat berprestasi di sekolah karena ia harus mengulang hal-hal yang sudah
diketahuinya, yang menurutnya tidak ada manfaatnya, bukan karena ia tidak mampu.
Dapat kita bayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia jika Einstein tidak
dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah
Albert Einstein berhasil mengatasi permasalahan tersebut di atas dengan bantuan orang lain,
pamannya, bukan karena ia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut. Mungkin saat
ini banyak Einstein-Einstein Indonesia yang gagal mengatasi permasalahan dengan
sekolahnya.
Guru memegang peranan penting dalam prestasi sekolah. Bagaimana guru dalam
memperlakukan anak didiknya akan mempengaruhi prestasi yang akan dicapai anak.
Penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikologi menunjukkan bahwa harapan (expectancy)
guru terhadap kemampuan anak sangat berpengaruh pada penilaian anak mengenai hal
tersebut di atas. Kelas yang diberitahukan bahwa mereka adalah anak-anak pintar dan cerdas
mendapatkan perstasi belajar lebih tinggi dibandingkan kelas yang diberitahukan bahwa
kemampuan mereka kurang (pada kenyataannya, kemampuan mereka tidak berbeda). Sering
kali guru tanpa sadar mengabaikan hal ini.
2. Faktor lingkungan rumah
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak menjadi
underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan anak akan mempengaruhi
pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga adalah faktor terpenting yang dapat
menyebabkan anak mengalami underachiever. Misalnya : kurangnya perhatian, dukungan,
dan kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah. Harapan orang tua
yang terlampau tinggi terhadap anaknya sehingga sering terjadi pertentangan pendapat antara
orang tua dengan anak. Selain itu, orang tua kurang menghargai prestasi belajar yang telah
dicapai oleh anak. Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih
giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan anak juga akan
merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar. Keretakan hubungan antara orang tua
(ayah dan ibu), sehingga sering menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada
akhirnya menjurus pada perceraian. Kondisi yang demikian, menyebabkan anak kurang
berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan mengalami underachiever juga terjadi jika suasana
rumah gaduh, bising, sumpek, dan dalam keadaan berantakan.
Peran orang tua sangat menentukan keberhasilan mereka. Orangtua yang menunjukkan
perhatian, dukungan, kesiapan untuk membantu anak, dapat memotivasi anak berhasil di
sekolah.
3. Faktor diri sendiri
Berprestasi atau tidak juga dipengaruhi karakteristik siswa. Salah satunya penilaian
anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Jika siswa merasa dirinya tidak mampu, dia
tidak akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian
terhadap kemampuannya.
Yang termasuk faktor yang berasal dari dri sendiri antara lain :
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik
anak. Salah satunya adalah penilaian anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian
anak terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah.
Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang
baik sesuai dengan penilaian terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang
menilai dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anakyang bodoh akan menganggap
nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor
keinginan untuk berprestasi (need for achievement) itu sendiri. Ada anak yang memilii
dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi ada pula yang kurang memiliki
dorongan tersebut. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman
anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan
mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang
dilakukaknnya.
c. Lokus Kontrol
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya dapat menyebabkan
tercapainya prestasi yang tinggi. Anak dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi
tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak
dapat dikontrolnya.
Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha tersebut anak
yang memiliki lokus kontrol (locus of control) internal, dan jika sebaliknya disebut memiliki
lokus kontrol eksternal. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai bahwa
angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah karena ia kurang belajar,
sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal akan mengatakan karena guru yang
sentimen pada dirinya.
d. Pola Belajar
Pola belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi anak. Ada anak yang terbiasa
belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian, tetapi ada pula anak
yang hanya belajar jika ada ujian.
C. CIRI-CIRI ANAK UNDERACHIEVER
Menurut Montgomery seperti dalam jurnal Westminster Institute of Education, seorang
anak dapat dikatakan underfunctioning bila memiliki lima dari indikator yang ada di bawah
ini, yaitu:
1. Adanya pola yang tidak konsisten pada pencapaian dalam tugas-tugas sekolah
2. Adanya pola yang tidak konsisten pada pencapaian pada mata pelajaran tertentu
3. Adanya ketidakcocokan antara kemampuan dan pencapaian karena kemampuan yang
dimiliki ternyata lebih tinggi
4. Konsentrasi yang kurang
5. Suka melamun atau mengkhayal di dalam kelas
6. Terlalu banyak melawak di dalam kelas.
7. Selalu mempunyai strategi untuk menghindari pengerjaan tugas sekolah
8. Kemampuan belajar yang rendah
9. Kebiasaan belajar yang tidak baik
10. Sering menghindar dan tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah
11. Menolak untuk menuliskan apa pun
12. Terlalu banyak aktivitas dan gelisah atau tidak bisa diam
13. Terlalu kasar dan agresif atau terlalu submisif dan kaku dalam bergaul
14. Adanya ketidakmampuan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan sosial dengan
teman sebaya
15. Adanya ketidakmampuan untuk menghadapi kegagalan
16. Adanya ketakutan dan menghindar dari kesuksesan
17. Kurang mampu untuk menggali pengetahuan yang dalam tentang diri dan orang lain
18. Kemampuan berbahasa yang rendah
19. Terus berbicara dan selalu menghindar untuk mengerjakan sesuatu
20. Merupakan bagian dari kelompok minoritas
D. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN UNDERACHIEVER
PENCEGAHAN
Untuk mencegah anak menjadi underachiever, beberapa upaya bisa dilakukan, yaitu:
a. Terima anak apa adanya dan beri support (dukungan)
Sejak dini, anak perlu sering-sering ditanggapi keluhannya, misalnya ketika ia
meragukan kemampuannya, anda bisa mengatakan: "Insya Allah kamu bisa". Tekankan
bahwa yang paling penting adalah berusaha semaksimal mungkin, gagal itu merupakan hal
yang bukan tidak diperbolehkan tetapi pantang untuk berputus asa.
b. Anda juga perlu bersikap konsisten
Jangan menuntut anak di luar kemampuannya. Apapun prestasi anak, orang tua harus
percaya kepada anak (bahwa ia mampu dan telah berusaha maksimal), menghargainya
(bahwa ia telah berusaha, terlepas ia berhasil atau gagal, kehadiran anak tetap merupakan
karunia bagi orangtua), dan mendengarkan apa yang disuarakan anak. Jangan sekali-kali
berkata kasar atau melecehkan.
c. Target yang realistik
Tetapkanlah target yang menurut perkiraan anda sesuai dengan anak. Jangan terlalu
berlebihan berharap anak akan cepat mengatasi masalahnya. Semua itu harus melalui suatu
proses.
d. Kuasai seni menuntut
Perhatikan kesiapan anak untuk mengerjakan tugas baru, sehingga dimungkinkan mereka
dapat berprestasi optimal. Tugas yang terlalu mudah tidak akan menantang anak untuk
menunjukkan kemampuannya. Sebaliknya kegagalan yang terus menerus (karena target
terlalu tinggi) akan membunuh motivasi anak untuk berprestasi. Menetapkan target yang
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah merupakan seni tersendiri.
e. Belajar menunda kepuasan jangka pendek
Setelah anak berusia 5 tahun, ia mulai bisa mengenal target jangka panjang dan jangka
pendek serta mengenal kepuasan jangka panjang dan jangka pendek. Ajari dan dorong anak
untuk menunda kepuasan jangka pendeknya demi mendapatkan kepuasan jangka panjang
atau kepuasan yang lebih besar. Misalnya, "Yuk, kita menghapal Al-Qur’an ayat demi ayat,
lalu surat demi surat, kalo sudah hapal beberapa surat pendek sholatmu bisa lebih khusyu’."
f. Ajari dan beri contoh untuk belajar aktif memecahkan masalah
Ajari anak bahwa rasa ingin tahu itu menggairahkan, mengajukan pertanyaan dan
mencari jawabannya itu mengasyikkan, sehingga belajar itu kegiatan yang menyenangkan.
Lontarkan saja pertanyaan pada diri sendiri, dan biarkan anak ikut mendengarkan dan
terangsang rasa ingin tahunya, mengapa dan bagaimana cara kerja sesuatu (yoyo yang sedang
dimainkan anak, juicer di dapur, hujan turun dari langit dsb).
Biasakan secara bersama mencari jawaban dari buku. Jadi secara tidak langsung anak
mendapatkan bekal bagaimana caranya belajar aktif dan menyenangi kegiatan belajar.
Motivasi belajar akan bangkit dan terpelihara dalam dirinya karena anak merasakan sendiri
manfaatnya.
g. Beri ‘reward atau imbalan’ bila anak menunjukkan prestasi besar
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prestasi akademik dan kepribadian yang positif
(misalnya konsep diri yang positif, merasa berfungsi secara efektif) terkait erat dengan
kondisi rumah. Anak yang selalu dihargai karena prestasinya umumnya akan lebih
termotivasi untuk berprestasi. Anak underachever biasanya kurang memiliki tanggungjawab
atas dirinya sendiri, termasuk prestasinya. Sistem imbalan akan membantu membangkitkan
rasa tanggung jawab ini. Tugas orangtua adalah menemukan imbalan apa yang efektif bagi
anak. Ada yang senang dengan pujian tetapi ada yang pada awalnya memerlukan imbalan
yang lebih konkret, misalnya tambahan pensil baru, meja belajar baru atau sekedar ciuman di
pipi.
PENANGANAN
Apabila anak sudah terlanjur underachiever, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu:
Pertama,
Gunakan sistem imbalan yang efektif. Efektifitas ini tergantung akurasi informasi
prestasi anak di kelas. Karena itu orang tua harus sesering mungkin berkonsultasi dengan
guru.
Kedua,
Ajari anak strategi untuk membangkitkan motivasi. Selain imbalan yang diterimanya,
ajari anak untuk mencari imbalan kepada dirinya sendiri. Misalnya setelah mengerjakan PR
ia boleh main komputer atau naik sepeda.
Mengingat gangguan underachiever ini akan sangat mempengaruhi perkembangan
anak, sebaiknya kita sesegera mungkin mengatasinya. Mencegah itu lebih baik daripada
mengobati. Karena itu, kenalilah putera-puteri kita sebaik mungkin dan bergaul lah sedekat
mungkin. Bukan tidak mungkin, karena didera kesibukan, tahu-tahu kita telah mendapatkan
mereka sudah beranjak dewasa dan kita menyesal karena kehilangan masa-masa emas
bersama mereka. Menyesal kemudian tentu tidak berguna.
Model trifokal yang diajukan Rimm (dalam Joan, 2004) adalah salah satu pendekatan
yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Model ini melibatkan
individu sendiri, lingkungan rumah dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut
diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan
berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan
leih komprehensif (dalam Bakers, Bridger & Evans, 1998). Agar dapat mengatasi siswa
underachiever dengan tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus
karena menurut Hansford (dalam Joan, 2004) underachievement sangat spesifik pada
individu masing-masing.
Beberapa literatur menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang
dipelajari dan tentunya dapat juga diubah (Gallagher, 2005; Joan, 2004). Coyle (2000 dalam
Trevallion, 2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat
dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan
motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan
mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle (dalam oxfordbrooks.ac.uk, 2006)
juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi siswa underachiever dapat
dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan moral siswa, memberikan
dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun
membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap siswa
underachiever ataupu kurang memperhatikan mereka, akan berakibat semakin menguatnya
pola underachievement pada siswa tersebut.
E. PERAN ORANG TUA DAN KONSELOR
PERAN YANG DAPAT DILAKUKAN ORANGTUA
1. Ciptakan gaya hidup sehat dengan membangun harmoni antara kondisi fisik, mental,
dan emosional. Misalnya dengan memberi nutrisi yang baik, latihan atau olahraga,
serta pengelolaan stres.
2. Cari bantuan konseling untuk anak dan seluruh keluarga jika perlu. Jika seluruh
keluarga ikut terlibat konseling, diharapkan perubahan dapat lebih cepat terjadi karena
dukungan dari seluruh keluarga. Perubahan perilaku bukan hanya dari anak tetapi juga
perubahan perlakuan anggota keluarga yang lain terhadap anak.
3. Cari guru pembimbing untuk membantu anak mengatasi kelemahan dalam pelajaran-
pelajaran tertentu.
4. Komunikasikan harapan yang tinggi terhadap anak dengan rasa cinta, penuh pujian,
kebanggaan dan respek.
5. Adakan pertemuan keluarga untuk menetapkan target jangka pendek dan jangka
panjang dan membuat aturan-aturannya, serta buatlah semacam “kontrak”
(kesepakatan bersama).
6. Jadikan keluarga sebagai sistem pendukung dan unit pemecahan masalah yang
bermanfaat bagi anak, dipandu orangtua yang menjalankan peran pemimpin tapi
berbasis cinta.
7. Menekankan kerja keras sebagai kunci sukses, dengan usaha individual, motivasi dari
dalam diri, komitmen dan kepercayaan diri sebagai resep keberhasilan.
8. Rancang waktu-waktu beraktivitas di sekitar rumah selama 25 – 35 jam per minggu
(misalnya membaca, melakukan hobi, olahraga, dan lain-lain) dan mengeksplorasi
lingkungan bersama-sama sebagai sumber belajar.
9. Cobalah untuk tertarik pada aktivitas anak di sekolah dan di rumah. Dorong anak
untuk menceritakan aktivitas mereka.
10. Jangan membandingkan antar saudara, pandang setiap anak sebagai individu yang
memiliki keunikan, kualitas dan kemampuan.
11. Bantu anak mengelola waktu dan menetapkan prioritas.
12. Dorong anak untuk memiliki minat di luar sekolah. Ketika hasil belajarnya buruk,
jangan cepat-cepat menuding kegiatan luar sekolah sebagai sumber masalah dan
menghukum anak untuk tidak boleh lagi berkegiatan.
13. Bantu anak mendapatkan mentor/pembimbing yang dapat menjadi model menyangkut
suatu karier atau kualitas personal yang diinginkan. Misalnya, bukakan jalinan
interaksi dengan paman yang bisa menjadi model peran, atau Anda sendiri yang
berusaha untuk dapat menjadi model bagi anak.
14. Batasi waktu menonton TV dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang realistis.
15. Konsisten dan tenang menghadapi naik turunnya prestasi anak, fokuskan pada
masalah, jangan bertindak emosional.
PERAN KONSELOR
Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan guru dan konselor :
1. Bagi Anda, konselor sekolah, kenali secara dini gejala underachiever ini. Carilah
informasi tentang minat dan bakat anak yang sesungguhnya untuk bisa mengetahui
apakah prestasi sekolahnya sudah optimal.
2. Konselor bekerja sama dengan guru secara berkala untuk memonitor perkembangan
prestasi anak.
3. Terlibatlah dalam aktivitas sekolah, maka konselor akan bisa lebih mengerti apa yang
diharapkan sekolah dari siswa-siswanya dan bagaimana mereka memperlakukan
siswa.
4. Pastikan bahwa guru ikut menyadari adanya masalah underachievement ini dan akan
melakukan usaha untuk mengarahkan siswa.
5. Pastikan pelaksanaan kegiatan konseling individual atau kelompok jika diperlukan.
6. Evaluasi dan berikan masukan mengenai kurikulum yang menantang, bermakna
secara personal, dan rewarding untuk anak.
7. Komunikasikan usaha-usaha yang dilakukan sekolah dengan orang tua sehingga tidak
ada salah satu pihak yang merasa disalahkan sebagai penyebab anak menjadi
underachiever.
8. Jika perlu lakukan kunjungan rumah agar dapat mengetahui lebih jelas mengenai
perkembangan anak dirumah.
http://daribkuntukbk.blogspot.com/2012/05/underachiever.html
top related