rancang bangun inkubator untuk optimalisasi …
Post on 01-Dec-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
DANA INTERNAL PERGURUAN TINGGI
RANCANG BANGUN INKUBATOR UNTUK OPTIMALISASI
FERMENTASI PADA PRODUKSI TEMPE
Ketua : Ir. Tita Aisyah, MT ( 0307046301)
Anggota : 1. Novy Hapsari, ST. MSc. (0312117803)
2. Saharudin, ST, M.EngSc, IPM (0310107702)
Anggota Mahasiswa : 1. Allesio Toriana (11117000
2. Galuh Fajar Sunarto Putra (1111400054)
Dibiayai oleh: Dana Pengembangan Penelitian Perguruan Tinggi
Institut Teknologi Indonesia 005/KP/PRPM-PP/ITI/IV/2021
INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA
SEPTEMBER 2021
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Rancang Bangun Inkubator Untuk Optimalisasi
Fermentasi Pada Produksi Tempe
Kelompok Penelitian : Pangan
Pelaksana
:
Nama Lengkap : Ir. Tita Aisyah NIDN : 0307046301 Jabatan Fungsional : Lektor Nomor HP : Alamat e-mail : tita.aisyah@iti.ac.id Anggota (1) : Nama Lengkap : Novy Hapsari, ST. MSc. NIDN : 0312117803 Perguruan Tinggi : Institut Teknologi Indonesia Anggota (2) : Nama Lengkap : Saharudin, ST, M.EngSc, IPM
NIDN : 0310107702 Perguruan Tinggi : Institut Teknologi Indonesia
Anggota mahasiswa
:
1. Nama Lengkap : Allesio Toriana
NRP :
2. Nama Lengkap : Galuh Fajar Sunarto Putra
NRP : 1111400054
Tangerang Selatan, 09 September 2021
Mengetahui,
Program Studi Teknik Elektro
Ketua
(Saharudin, ST, M.Eng.Sc, IPM)
NIDN : 0310107702
Ketua Pelaksana,
(Ir. Tita Aisyah, MT.)
NIDN : 0307046301
Menyetujui,
Kepala Pusat Riset dan Pemberdayaan Masyarakat
Tanda tangan
(Dr Joelianingsih)
NIDN : 0330066102
Ringkasan
Tempe merupakan makanan tradisional yang sangat populer di kalangan rakyat
Indonesia. Tempe terbuat dari kedelai yang difermentasikan dengan jamur Rizhopus
oligoporus sehingga terbentuk massa yang padat dan diselimuti oleh selaput hifa jamur
berwarna putih yang seragam. Proses fermentasi pada kedelai dapat meningkatkan nilai
nutrisi, sifat organoleptic, dan kecernaan produk, serta meningkatkan ketersediaan hayati
protein, karbohidrat, dan lipid, dalam ukuran yang mudah dicerna(Santhirasegaram et al.,
2016)(Mukherjee et al., n.d.). Pada saat ini, umumnya tempe dibuat oleh industri skala
rumah tangga. Dari hasil observasi proses produksi tempe, proses yang sangat memakan
tenaga dan kritis, ada 2, yaitu pengelupasan yang dilakukan secara manual dan proses
fermentasi. Proses fermentasi, merupakan salah satu bagian yang sangat kritis, karena
membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil suhunya pada sekitar 301oC, kelembapan
sedang, dan dengan ventilasi yang baik (udara dapat mengalir). Perkembangan teknologi
yang sangat pesat seperti sekarang ini, masih banyak pengrajin tempe yang proses
pembuatannya masih dilakukan secara manual dan bergantung pada iklim cuaca. Proses
fermentasi tempe berlangsung selama 24 jam. Pada penelitian ini dibuat alat optimalisasi
fermentasi tempe dengan mesin inkubator berukuran 80cm x 175cm x 180 cm. Dalam
sekali produksi, inkubator fermentasi tempe dapat menampung 240 tempe. Arduino Mega
2560 mengolah data yang diterima dari 3 buah sensor DHT22, untuk menaikan suhu
ruang menggunakan heater, sementara menurunkan suhu ruang menggunakan kipas.
Inkubator ini juga mengendalikan kondisi suhu ruang alat fermentasi pada suhu yang
diinginkan, yaitu 31oC sampai dengan 34oC.
Kata Kunci: Terowongan angin, honey comb, inverter
DAFTAR ISI
Ringkasan ............................................................................................................. 3
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4
BAB I ................................................................................................................... 6
PENDAHULUAN ................................................................................................ 6
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 6
1.2 Rumusan masalah ....................................................................................... 7
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 8
1.4 Batasan Masalah ......................................................................................... 8
BAB II .................................................................................................................. 9
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 9
2.1 Tempe ..................................................................................................... 9
2.2 Proses Pembuatan Tempe ......................................................................... 10
2.3 Proses Fermentasi ................................................................................. 12
2.4 State of The Art Inkubator Fermentasi Tempe ......................................... 13
BAB III ............................................................................................................... 16
Metode Penelitian ............................................................................................... 16
3.1 Studi Observasi Lapangan ........................................................................ 16
3.2 Perancangan Alat ...................................................................................... 18
3.2.1 Diagram Blok ........................................................................................ 18
3.2.2 Prinsip Kerja .......................................................................................... 19
3.2.3 Flowchart ............................................................................................... 20
3.2.4 Perancangan Hardware .......................................................................... 22
3.2.5 Perancangan Software ............................................................................ 24
BAB IV .............................................................................................................. 25
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 25
4.1 Hasil Pembuatan ....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempe merupakan makanan tradisional yang sangat populer di kalangan
rakyat Indonesia. Selain rasanya yang enak dan harga yang murah, tempe adalah makanan
yang bergizi tinggi. Tempe terbuat dari kedelai yang difermentasikan dengan jamur
Rizhopus oligoporus sehingga terbentuk massa yang padat dan diselimuti oleh selaput
hifa jamur berwarna putih yang seragam. Proses fermentasi tempe ini mengurangi faktor
antinutrisi, antara lain protease inhibitor, lektin, sianogen, total fenolat bebas, tanin, asam
fitat, saponin, asam amino toksik, antivitamin, dan oksalat serta gula kompleks seperti
raffinose, stachyose, dan verbascose, yang menyebabkan perut kembung (Mohan &
Daffodil, 2016). Proses fermentasi pada kedelai dapat meningkatkan nilai nutrisi, sifat
organoleptic, dan kecernaan produk, serta meningkatkan ketersediaan hayati protein,
karbohidrat, dan lipid, dalam ukuran yang mudah dicerna (Santhirasegaram et al.,
2016)(Mukherjee et al., n.d.).
Pada saat ini, umumnya tempe dibuat oleh industri skala rumah tangga.
Tempe dibuat melalui proses perendaman, pengelupasan kulit, pemasakan, penambahan
starter jamur rizhopus sekaligus pengadukan, dan pengemasan(Santhirasegaram et al.,
2016). Proses produksi tempe yang memakan tenaga dan kritis, ada 2, yaitu pengelupasan
yang dilakukan secara manual dan proses fermentasi. Proses pengelupasan kulit kedelai
dilakukan secara manual setelah melalui proses perendaman. Untuk itu, dibutuhkan alat
yang dapat membantu proses pengelupasan. Sementara proses fermentasi, juga menjadi
bagian yang sangat kritis, karena membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil suhunya
pada sekitar 301oC, kelembaban sedang, dan dengan ventilasi yang baik (udara dapat
mengalir). Pada industri tempe rumahan, pada umumnya proses ferementasi dilakukan
dengan membuat para-para dihalaman/teras rumah. Dengan demikian apabila terjadi
perubahan cuaca, maka kemungkinan gagal produksi atau tempe tidak jadi akibat jamur
tidak tumbuh sempurna menjadi lebih besar.
Saat ini telah dirintis pembuatan inkubator untuk proses fermentasi tempe
hasil Tugas Akhir mahasiswa (Mingjaya Cendana/1111500043). Prinsip kerja alat ini
adalah menjaga suhu terkontrol pada 28–32oC menggunakan thermostat dan
mikrokontroler Arduino AT2560 (Cendana, 2016). Inkubator telah berhasil diujicoba
untuk memfermentasi kedelai yang sudah diolah menjadi tempe, namun masih dalam
bentuk prototipe. Untuk pengendaliannya dapat dilakukan secara manual dan melalui
aplikasi dari handphone. Selain itu, dari beberapa literatur/jurnal yang dibaca, telah
terdapat usaha-usaha untuk membuat inkubator fermentasi tempe dari beberapa
perguruan tinggi(Rizaldi, 2018.)(Rahmad Iwan Fitrianto, Afrianto, 2014) (Putro,
2019)(Soelistijorini et al., 2019). Karena masih skala laboratorium, maka pada umumnya,
inkubator yang dibuat tersebut belum layak untuk diimplementasikan langsung untuk
produksi tempe, sekalipun untuk skala rumah tangga. Industri skala rumah tangga
memproses 50 - 100 kg kedelai untuk dijadikan tempe, dengan para-para fermentasi
sebesar [2x2x2]m3. Alat fermentasi otomatis sejenis yang dihasilkan juga masih jauh dari
memadai, hanya mampu memproses 7 sampai dengan 8 buah tempe dalam waktu sekitar
20 jam (Soelistijorini et al., 2019).
Oleh karena itu, penelitian awal diperlukan dengan tujuan untuk melakukan
pengembangan structural prototipe inkubator agar layak diimplementasikan dalam
industri tempe skala rumah tangga. Proses pengembangan alat fermentasi dilakukan
dengan menyesuaikan pada kebutuhan industri tempe, yang produksinya dapat mencapai
ratusan kilo kedelai per hari. Penelitian ini selanjutnya akan memberi beberapa manfaat
agar perajin dapat membuat tempe dengan kualitas yang sama tanpa tergantung cuaca dan
kondisi lingkungan sekitar, serta produksi yang lebih efesien baik dari segi tenaga
maupun waktu
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, untuk mempermudah pemahaman
dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana menjaga stabilitas nilai suhu dalam proses fermentasi tempe?
2. Bagaimana rancangan bentuk inkubator fermentasi tempe?
3. Bagaimana rancangan alat untuk dapat mengatur suhu pada inkubator?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan tugas akhir ini dibuat yaitu:
1. Mengoptimalkan proses fermentasi tempe.
2. Membuat suatu alat yang dapat meningkatkan kualitas proses produksi
pembuatan tempe.
1.4 Batasan Masalah
Untuk menjaga agar permasalahan tidak keluar dari pembahasan, batasan masalah
yang digunakan penulis sebagai berikut:
1. Jenis tempe yang digunakan adalah tempe dengan bahan baku kedelai.
2. Nilai kelembaban dalam ruang inkubator tidak diatur secara otomatis.
3. Nilai suhu yang digunakan dalam melakukan percobaan dengan batas 31⁰C -
34⁰C.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam membuat sebuah alat, diperlukan landasan-landasan teori yang dibutuhkan
sehingga dapat diketahui karakteristik serta prinsip dari alat yang digunakan agar alat
yang dibuat dapat bekerja sesuai yang diharapkan. Pada bab ini akan dibahas mengenai
teori penunjang dalam pengerjaan tugas akhir, sehingga dapat memberikan gambaran
secara umum mengenai sistem yang akan dibangun.
2.1 Tempe
Gambar 2. 1 Tempe Kedelai
Tempe merupakan makanan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia. Tempe kaya akan kandungan nilai gizi terutama protein, selain harganya lebih
murah dibandingkan dengan sumber protein yang berasal dari hewani rasanya pun sangat
digemari. Olahan makanan dari bahan baku utama tempe sudah sangat berkembang,
selain dijadikan sebagai lauk pauk untuk makan, saat ini tempe juga dikembangkan
menjadi makanan ringan..
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar
kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai di Indonesia dilakukan
dalam nemtul tempe, 40 tahu dan 10% dalam produk lain (seperti taucho, kecap dan lain-
lainnya). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia diduga sekitar 6,45
kg.( Astawan M. 2004)
Selain jenis tempe kedelai ada juga jenis tempe yang lainnya, yakni tempe
leguminosa non kedelai dan tempe non leguminosa. Tempe leguminosa non kedelai
diantarannya adalah tempe kecipir, tempe benguk, tempe kedelai hitam, tempe lamtoro,
tempe kacang hijau, tempe kacang merah dan tempe kacang komak.
Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang yang
merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi
komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma
khas. Berbeda dengan tahu, tempe terasa agak masam.
2.2 Proses Pembuatan Tempe
Cara pengolahan tempe di tingkat pengrajin, berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya dan antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya (Astuti et al.
2000; Shurtleff dan Aoyagi 2011).Proses pembuatan tempe secara tradisional dapat
dilakukan dalam sepuluh tahap, sebagai berikut :
1. Pencucian dan Pembersihan
Proses pembuatan tempe yang pertama adalah pencucian dan pembersihan
kedelai. Dilakukan dengan cara dicuci menggunakan air bersih sampai
kotoran seperti sisa daun, potongan kayu serta debu hilang dan kedelai
terlihat bersih. Proses pencucian kedelai dapat dilakukan sekali atau
berkali-kali tergantung pada kondisi awal kedelai sampai diperoleh kedelai
bersih.
2. Pengupasan
Setelah dicuci bersih, tahap selanjutnya yaitu pengupasan kulit ari yang
masih tersisa.
3. Perendaman kedelai
Pada saat proses perendaman, biji kedelai akan mengalami proses hidrasi
sehingga terjadi kenaikan kadar air biji kedelai. Proses perendaman dapat
dilakukan pada suhu kamar (sekitar 30⁰C ) selama 12-15 jam (Fung dan
Cozier-Dodson 2008). Fung dan Cozier-Dodson (2008), menyebutkan
untuk memberikan kondisi asam, beberapa peneliti menambahkan asam
laktat (,0,5%) atau asam asetat (<0,25%). Tujuan diberikannya kondisi
asam pada proses ini yaitu untuk menghambat pertumbuhan bakteri
pembusukan dan memberikan kondisi awal yang baik untuk pertumbuhan
kapang tempe.
4. Perebusan
Proses perebusan dilakukan setelah perendaman biji kedelai. Tujuan dari
proses perebusan biji kedelai selain melunakan kedelai adalah untuk
memusnahkan mikroorganisme kontaminan, menginaktifkan tripsin-
inhibitor, menyebabkan protein terdenaturasi yang akan lebih mudah lagi
digunakan oleh kapang. Bergantung pada jumlah kedelai yang direbus,
perebusan dapat berlangsung selama 2 hingga 4 jam.
5. Penirisan, Pendinginan, dan Pengeringan
Pada proses ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air, menurunkan
suhu dan mengeringkan permukaan biji kedelai. Penirisan yang tidak
sempurna dapat memicu pertumbuhan bakteri sehingga dapat
menyebabkan fermentasi gagal.
6. Mencampur kedelai dengan ragi tempe
Setelah kedelai dingin, kedelai kemudian dicampur dengan ragi tempe.
Bila jaman kakek nenek dulu ragi tempe harus membuat sendiri
menggunakan inang dan dedaunan, sekarang tidak lagi. Ragi tempe
ditaburkan pada kedelai dingin lalu dicampur hingga merata. Untuk
takaran banyak sedikitnya ragi yang dicampurkan disesuaikan dengan
kondisi suhu masing – masing daerah. Di daerah panas proses fermentasi
akan lebih cepat dari daerah bersuhu dingin. Karena itu pemberian ragi
lebih sedikit. Sedangkan di daerah bersuhu dingin proses fermentasi lebih
lambat. Jadi, untuk pemberian ragi juga lebih banyak.
7. Pengemasan
Proses pembuatan tempe berikutnya adalah pengemasan. Dilakukan
setelah kedelai dicampur dengan ragi. Ada dua cara variasi pengemasan
kedelai untuk dijadikan tempe yang umum dilakukan pembuat tempe,
yaitu menggunakan daun dan menggunakan plastik. Masing–masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tempe yang dikemas menggunakan
daun cenderung memiliki rasa lebih lezat. Kekurangannya, daun untuk
bungkus tempe makin sulit didapat. Sedangkan yang menggunakan
kemasan selain praktis juga lebih mudah mendapatkannya karena banyak
tersedia di toko. Kedelai dikemas sesuai ukuran besar kecil atau panjang
pendek yang diinginkan. Disesuaikan pula dengan harga jual ke
konsumen.
8. Memeram tempe atau menyimpan hingga kapang tumbuh merata
Setelah dikemas, tempe yang masih berupa kedelai kemudian diperam atau
disimpan hingga jadi. Simpan dengan cara dijejer dan bukan ditumpuk.
Antara satu bungkus dengan yang lain diberi sedikit rongga agar tempe
bisa mengembang sempurna. Lamanya memeram atau penyimpanan
memakan waktu antara 35 hingga 40 jam. Jamur tempe atau kapang akan
tumbuh merata dan tempe yang sebelumnya masih berupa butiran kedelai
akan merekat satu sama lain dan berwarna putih.
2.3 Proses Fermentasi
Proses fermentasi tidak langsung dilakukan pada kedelai kering yang baru
saja dibeli di pasar. Sebelum melakukan proses fermentasi pada kedelai, terdapat
beberapa tahapan-tahapan terlebih dahulu. Proses peragian bertujuan agar proses
fermentasi tempe dapat terjadi sesuai yang dikehendaki. Ragi yang digunakan pada
kedelai dapat berupa ragi komersial berbentuk serbuk atau bisa juga menggunakan kultur
Rhizopus oligosporus murni yang biasa digunakan oleh pengrajin tempe dengan teknik
fermentasi modern. Setelah dilakukan peragian, kemudian kedelai dibungkus dan
ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Setiap pengrajin tempe memiliki teknik yang
berbeda-beda dalam melakukan proes fermentasi, ada yang dilakukan secara
konvensional dan ada pula yang dilakukan menggunakan mesin fermentasi tempe guna
mempercepat proses fermentasi tempe..
1. Proses fermentasi tempe konvensional.
Tempe yang sudah dikemas, selanjutnya diletakan pada wadah dan
diletakan diruang terbuka.
Gambar 2. 2 Proses Fermentasi Pengrajin Tempe Konvensional
Hal tersebut biasanya dilakukan oleh pengrajin tempe konvensional.
Proses pemeraman atau fermentasi tempe yang dilakukan secara
tradisional berlangsung selama 40-48 jam (Koswara, 2009; Widowati,
2016).
2. Alat fermentasi tempe
Pada alat fermentasi tempe yang dibuat oleh mahasiswi UGM (Winda
Prima Rini; 2015) dari hasil penelitian menggunakan alat yang dibuat,
proses fermentasi tempe meenggunakan mesin inkubator membutuhkan
waktu 24-25 jam dengan kriteria uji warna, normal, bau normal dan rasa
normal.
2.4 State of The Art Inkubator Fermentasi Tempe
Pada saat ini, tempe menjadi objek penelitian yang menarik, karena proses
ferementasi kacang-kacangan ini dapat meningkatkan nilai gizi pada kacang, mengurangi
factor antinutrisi, dan membuat kandungan protein kacang-kacangan menjadi lebih
mudah dicerna. Hak paten pembuatan tempe telah tercatat 19 paten tentang tempe, 13
buah milik Amerika Serikat dan 6 buah milik Jepang. Hak paten dari Amerika Serikat
tersebut dimiliki oleh perusahaan Z-L Limited Partnership, Gyorgy, Pfaff, serta Yueh dan
kawan-kawan. Z-L limited Partnership memiliki delapan paten, Gyorgy mengantongi dua
paten mengenai minyak tempe, Pfaff memiliki dua paten mengenai alat inkubator dan
cara membuat bahan makan, serta Yueh dan kawan-kawan memeliki paten mengenai
pembuatan makan ringan dengan campuran tempe. Enam paten dimiliki tujuh penemu.
Masing-masing empat paten pembuatan tempe, satu paten mengenai antioksidan, dan satu
paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Dari data tersebut,
secara keseluruhan terdapat 12 Paten mengenai antioksidan dari tempe, empat paten
mengenai pembuatan tempe menggunakan alat inkubator dan cara membuat bahan
makanan ( Fauziasaumaiyah, 2019).
Di Indonesia sendiri, pada umumnya para perajin tempe masih menggunakan
cara tradisional untuk pembuatan tempe. Proses pembuatan tempe mengikuti Langkah
sebagai berikut : 1. Proses pencucian kacang kedelai, 2. Proses perendaman selama 24
jam, 3. Pengelupasan kulit yang dilakukan secara manual, 4. Perebusan kedelai sampai
matang (1 jam), 5. Penirisan dan pendinginan, 6. Penambahan starter jamur rizhopus
sekaligus pengadukan, dan 7. Pengemasan, 8. Fermentasi (30 – 48 jam). Proses
pengelupasan kulit kedelai dilakukan secara manual setelah melalui proses perendaman.
Sementara proses fermentasi, sangat kritis, karena membutuhkan kondisi lingkungan
yang stabil suhunya pada sekitar 301oC, dengan kelembapan 60% – 75%, dan dengan
ventilasi yang baik (udara dapat mengalir). Pada industri tempe rumahan, pada umumnya
proses ferementasi dilakukan dengan membuat para-para di halaman/teras rumah.
Dengan demikian apabila terjadi perubahan cuaca, maka kemungkinan gagal produksi
atau tempe tidak jadi akibat jamur tidak tumbuh sempurna menjadi lebih besar.
Untuk peralatan produksi yang tersedia di pasar juga masih peralatan tradisional yang
belum memanfaatkan teknologi otomasi, misalnya panci-panci besar yang mampu
menampung kedelai sesuai kapasitas produksi industri skala rumah tangga, para – para
stainless steel, dsb.
Industri tempe skala rumah tangga membutuhkan peralatan produksi yang
dapat memudahkan mereka memproduksi tempe dengan efisien dan kualitas yang stabil,
antara lain inkubator fermentasi dengan dimensi yang sesuai kapasitas produksi tempe
per hari; juga peralatan pengelupasan kulit kedelai, karena proses ini membutuhkan waktu
dan tenaga paling besar di antara semua proses pembuatan tempe. Alat pengelupasan kulit
kedelai ini sama sekali belum ada. Dari beberapa literatur yang didapatkan, perguruan
tinggi telah berupaya untuk menciptakan inkubator fermentasi tempe. Namun sayangnya,
sampai saat ini belum satupun yang dikomersialkan, atau dibuat untuk industri skala
rumah tangga. Pada umumnya inkubator fermentasi yang dibuat, sukses dalam skala
laboratorium, karena dimensinya yang kecil, sehingga dengan desain tata letak yang baik
dan software sederhana, bisa didapatkan suhu yang stabil di seluruh ruangan
inkubator[(Rizaldi, 2018.)(Rahmad Iwan Fitrianto, Afrianto, 2014) (Putro,
2019)(Soelistijorini et al., 2019). Bahkan inkubator yang dibuat juga sudah
memanfaatkan teknologi digital untuk pengendalian dan pemantauannya (berbasis IoT,
website, maupun aplikasi pada android). Berikut contoh alat fermentasi otomatis yang
dibuat.
Gambar 2.3 Alat fermentasi tempe otomatis berbasis IOT (Soelistijorini et al., 2019)
Namun demikian, alat incubator fermentasi tersebut tidaklah efisien untuk
dapat diterapkan pada industri tempe skala rumah tangga. Industri tempe skala rumah
tangga memproses 50 - 100 kg kedelai per hari untuk dijadikan tempe, dengan para-para
fermentasi sebesar 2m x 2m x 2m (kapasitas 100 kg/hari). Untuk itu perlu pengembangan,
baik ukuran maupun structural alat inkubator fermentasi, agar dapat diterapkan untuk
implementasi kondisi produksi tempe skala rumah tangga. Untuk proses pengembangan
ini tentu saja tidak cukup dengan memperbesar semua ukuran, tapi perlu perancangan
yang lebih teliti mencakup pemilihan komponen yang sesuai dan tata letak komponennya,
agar suhu merata di seluruh inkubator dan tetap ada aliran udara di dalam incubator untuk
menghasilkan tempe yang berkualitas dalam skala produksi yang lebih besar..
BAB III
Metode Penelitian
3.1 Studi Observasi Lapangan
Sebelum dilakukan perancangan alat, observasi ke rumah produksi tempe
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data referensi proses fermentasi tempe.
Beberapa data yang akan dikumpulkan pada studi observasi lapangan yaitu data suhu
tempat proses fermentasi pada produksi tempe, ukuran dari tempat produksi, dan waktu
yang dibutuhkan untuk proses fermentasi hingga tempe matang atau siap dijual. Gambar
dibawah berikut memperlihatkan observasi yang dilakukan.
Gambar 3.1 Studi observasi pada pabrik produksi tempe skala rumah tangga.
Pengujian awal proses fermentasi tempe ditempat pengrajin tempe konvensional
selanjutnya diperlukan bertujuan untuk mendapatkan data suhu yang digunakan selama
proses fermentasi tempe yang akan dijadikan sebagai tolak ukur nilai suhu pada alat
inkubator fermentasi tempe.Gambar 3.2 dubawah ini diperlihatkan proses pengambilan
data yang dilakukan di tempat pengrajin tempe.
Gambar 3. 2 Pengujian Suhu di Pengrajin Tempe Konvensional
Dalam pengujian kali ini digunakan 3 buah sensor DHT22 yang sudah dikalibrasi
untuk membaca nilai suhu selama proses fermentasi tempe. Nilai suhu yang dibaca setiap
sensor DHT22 akan di tampilkan pada LCD. Hasil data suhu pada waktu teertentu dari
pengujian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Hasil Data Pengujian Suhu di Pengrajin Tempe Konvensional
Waktu DHT22
Bawah
(⁰C)
DHT22
Tengah
(⁰C)
DHT22
Atas
(⁰C)
10.53 29,9 30,1 30,2
11.28 29,8 30,5 31,4
11.52 29,8 30,5 31,9
16.04 30,7 31,9 34,2
16.27 30,7 31,9 33,2
19.34 30 31,4 31,6
20.03 29,9 31,2 31,7
20.22 30,2 31,5 31,8
Rata-rata 30,1 31,1 32
Gambar 3. 3 Grafik Hasil Data Pengujian Suhu
Dari hasil data pengujian yang didapat, sensor DHT22 bagian bawah memiliki
nilai rata-rata suhunya yaitu 30,1⁰C, DHT22 bagian tengah memiliki nilai rata-rata
suhunya yaitu 31,1⁰C dan DHT22 bagian atas memiliki nilai rata-rata suhunya yaitu 32⁰C.
Dengan nilai suhu tersebut, proses fermentasi tempe konvensional selesai selama 24 jam.
Untuk mendapatkan nilai batas suhu terendah yang digunakan untuk alat
inkubator fermentasi tempe yaitu dengan mengambil nilai rata-rata dari ketiga sensor
yang digunakan, didapat nilainya yaitu 31⁰C. Sementara untuk mendapatkan nilai batas
suhu tertinggi yang digunakan untuk alat inkubator fermentasi tempe yaitu menggunakan
salah satu nilai suhu tertinggi dari data yang didapat. Batas suhu tertinggi yang digunakan
untuk inkubator fermentasi tempe yaitu 34⁰C.
3.2 Perancangan Alat
3.2.1 Diagram Blok
Diagram blok merupakan gambaran mengenai sistem yang dirancang.
Diagram blok dari inkubator fermentasi tempe dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
input, proses dan output. Setiap bagian memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda.
Untuk lebih jelas dapat dilihat diagram blok alat pada gambar 3.3.
27
28
29
30
31
32
33
34
35
10.53 11.28 11.52 16.04 16.27 19.34 20.03 20.22
DHT22 1
DHT22 2
DHT22 3
Gambar 3. 5 Diagram Blok Inkubator Fermentasi Tempe
Bagian input dari sistem ini menggunakan sensor DHT22 dan timer. Bagian
proses terdapat arduino mega 2560 yang akan digunakan untuk mengelola data dan
pengontrol kerja setiap komponen. Bagian output terdiri dari beberapa komponen yaitu
heater yang digunakan untuk menaikan suhu didalam inkubator, kipas digunakan untuk
menurunkan suhu serta membantu proses sirkulasi udara didalam inkubator, buzzer dan
LED digunakan untuk memberikan informasi bahwa pada saat tertentu terjadinya suatu
proses penaikan/penurunan suhu atau memberikan informasi bahwa proses fermentasi
telah selesai dan LCD yang digunakan untuk menampilkan hasil nilai yang dibaca oleh
sensor DHT22.
3.2.2 Prinsip Kerja
Prinsip kerja dari alat inkubator fermentasi tempe yaitu atur terlebih dahulu
timer sesuai lama waktu yang dibutuhkan yaitu 20 jam. Ketika tombol push button biru
ditekan artinya inkubator siap untuk digunakan dengan tanda lampu LED merah aktif dan
timer mulai menghitung sampai dengan lama waktu yang ditentukan. Sensor DHT22 akan
membaca suhu dan kelembaban didalam inkubator lalu mengirimkan data ke arduino
mega 2560. Nilai suhu dan kelembaban yang dibaca sensor DHT22 juga akan ditampilkan
pada LCD. Nilai tegangan input pada heater yang digunakan sebagai pemanas guna
menaikan suhu didalam inkubator yaitu sebesar 185 VAC.
Apabila suhu yang dibaca sensor DHT22 kurang dari 31⁰C dalam proses
fermentasi, maka heater akan aktif guna menaikan suhu didalam inkubator dan kipas
sirkulasi akan aktif untuk membantu proses sirkulasi udara didalam inkubator sampai
nilai suhu minimal yang di baca sensor DHT22 31⁰C, sebagai penanda bahwa heater dan
kipas sirkulasi aktif yaitu lampu LED biru aktif.
Apabila suhu yang dibaca sensor DHT22 diatas 34⁰C dalam proses
fermentasi, maka kipas pendingin dan kipas sirkulasi akan menyala untuk menurunkan
suhu didalam inkubator sampai suhu normal. Sebagai penanda bahwa kipas pendingin
dan kipas sirkulasi akif yaitu lampu LED biru aktif. Apabila suhu yang dibaca sensor
DHT22 bernilai 31⁰C-34⁰C dalam proses fermentasi, maka heater, kipas pendingin, kipas
sirkulasi dan LED biru tidak aktif.
Proses fermentasi disetting selama 20 jam. Apabila proses fermentasi sudah
mencapai 20 jam, maka timer akan menjadi input untuk mengaktifkan LED hijau dan
buzzer yang digunakan sebagai informasi bahwa proses fermentasi telah selesai..
3.2.3 Flowchart
Flowchart digunakan untuk menjelaskan proses sistem kerja alat melalui
sebuah gambar yang memiliki fungsi yang berbeda dalam setiap bentuknya. Flowchart
dari inkubator fermentasi tempe dapat dilihat pada gambar 3.4.
Gambar 3. 6 Flowchart Inkubator Fermentasi Tempe
Flowchart pada gambar 3.6 menjelaskan prinsip kerja dari inkubator
fermentasi tempe dimana arduino mega 2560 digunakan sebagai pengontrol dari setiap
komponen yang digunakan pada alat ini. Pada prosesnya ketika push botton biru di tekan
maka LED merah aktif sebagai informasi bahwa sistem dari inkubator dalam keadaan
aktif dan timer mulai menghitung sampai waktu yang di atur. Sensor DHT22 akan
membaca nilai suhu dan kelembaban didalam inkubator, nilai yang dibaca oleh sensor
DHT22 digunakan sebagai input dan nilai yang dibaca oleh sensor DHT22 akan
ditampilkan pada LCD.
Proses berikutnya dilakukan pengecekan dari data input setiap sensor DHT22.
Apabila salah satu sensor DHT22 membaca suhu didalam inkubator kurang dari 31⁰C,
maka heater, kipas heater, kipas sirkulasi dan LED biru akan aktif sampai suhu didalam
inkubator sesuai dengan suhu normal (31⁰C-34⁰C). Apabila suhu yang dibaca dari setiap
sensor DHT22 tidak kurang dari 31⁰C maka akan dilakukan pengecekan selanjutnya yaitu
mamastikan apakah nilai suhu yang dibaca dari setiap sensor DHT22 lebih dari 34⁰. Jika
suhu yang dibaca dari salah satu sensor DHT22 lebih dari 34⁰C maka kipas pendingin,
kipas sirkulasi dan LED biru akan aktif sampai suhu didalam inkubator sesuai dengan
suhu normal (31⁰C-34⁰C).Apabila suhu yang dibaca setiap sensor DHT22 tidak lebih dari
34⁰C, akan dilakukan proses selanjutnya yaitu memastikan apakah proses fermentasi yang
dilakukan sudah 20 jam. Apabila waktu yang dibaca belum sampai 20 jam maka sistem
akan mengulang kembali ke proses data waktu. Jika proses fermentasi yang dilakukan
sudah 20 jam maka sistem akan mengaktifkan LED hijau dan buzzer guna memberi
informasi bahwa proses fermentasi telah selesai. Push button merah digunakan untuk
menyelesaikan sistem pada proses fermentasi tempe..
3.2.4 Perancangan Hardware
Perancangan hardware diperlukan untuk memberi gambaran mengenai
rangkaian elektronik sehingga sesuai dengan prinsip kerja alat yang diharapkan. Dalam
hal ini, penentuan komponen yang dibutuhkan pada alat serta rangkaian keseluruhan dari
sistem adalah kunci utama. Berikut dapat dilihat komponen-komponen yang digunakan
pada tabel 3.2.
Tabel 3. 2 Komponen Yang Dibutuhkan
No Komponen Jumlah
1 Arduino Mega 2560 1
2 Sensor DHT22 3
3 Heater (elemen solder uap) 1
4 Kipas DC 9
5 Lampu LED (merah, biru, hijau) 1
6 Buzzer 1
7 Module relay 10
8 LCD 1
9 Timer 1
10 Power Supply 12V & 24 V 1
11 Push button (biru & merah) 1
12 Dimmer AC 1
13 Step Down 2
Gambar 3. 7 Rancangan Rangkaian Keseluruhan Inkubator
Pada gambar 3.7 merupakan rangkaian dari alat inkubator fermentasi tempe.
Input pada alat yang digunakan yaitu 3 buah sensor DHT22 yang di hubungkan ke pin 2,
3,dan 4 pada arduino dan timer yang dihubungkan pada ke pin 52. Hasil nilai suhu yang
dibaca oleh setiap sensor DHT22 akan ditampilkan pada LCD yang terhubung pada
arduino ke pin A4 untuk SDA dan A5 untuk SCL. Modul relay yang digunakan untuk
mengontrol timer terhubung ke pin 5 untuk int1 dan pin 6 untuk int2. Push button biru
terhubung ke pin 7, sedangkan push button merah terhubung ke pin 8 arduino. Setiap
output terhubung pada modul relay yang digunakan sebagai sistem pensaklaran dengan
tegangan input 5 volt. Pada modul relay output, int1 untuk kipas sistem pendinginan
terhubung pada pin 22, int2 untuk kipas sistem sirkulasi perputaran udara terhubung ke
pin 24, int3 untuk kipas heater terhubung ke pin 26, int4 untuk heater terhubung ke pin
28, int5 untuk buzzer terhubung ke pin 30, int6 untuk LED merah terhubung ke pin 32,
int7 untuk LED biru terhubung ke pin 34 dan int8 untuk LED hijau terhubung ke pin 36.
3.2.5 Perancangan Software
Perancangan software berupa program yang digunakan agar arduino mega
2560 dapat mengelola setiap data input dan output agar alat dapat berfungsi sesuai prinsip
kerja yang direncanakan. Software yang digunakan untuk program arduino mega 2560
yaitu arduino IDE. Program yang digunakan untuk alat terdapat pada lampiran.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pembuatan
Inkubator fermentasi tempe yang dibuat dalam penelitian memiliki ukuran
panjang 80cm, lebar 175cm, dan tinggi 180cm (P=80cm, L=175cm, T=180cm),
dimana ukuran disesuaikan dengan skala produksi rumah tangga. Dalam satu kali
produksi, inkubator fermentasi tempe dapat menghasilkan 240 buah tempe dengan
ukuran maksimal tempe yaitu panjang 8cm, lebar 20cm, tinggi 3cm (P=8cm, L=20cm,
T=3cm). Pada pembuatan alat ini diharapkan dengan melakukan perancangan
manufaktur yang telah didesain sedemikian rupa agar pembuatan inkubator fermentasi
tempe dapat berfungsi sesuai dengan flowchart dan prinsip kerja dari inkubator
fermentasi tempe.Gambar rancangan incubator fermentasi tempe diperlihatkan pada
gambar 4.1 dibawah ini dan bentuk jadi incubator yang dibuat diperlihatkan pada
gambar 4.2.
Gambar 4. 1 Desain Inkubator Fermentasi Tempe
Gambar 4. 2 Inkubator Fermentasi Tempe
Casing inkubator fermentasi tempe terbuat dari triplek dengan beberapa
alas an antara lain: bahan mudah ditemukan dan terbilang ekonimis dibanding
akrilik ataupun bahan yang lainnya, bahan tidak menghantarkan panas dan juga
tahan terhadap suhu panas yang tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian, triplek
bukanlah bahan yang paling bagus, dilihat dari ketahanan triplek terhadap air.
Pada perancangan, triplek bagian dalam incubator dilapisi dengan plastik untuk
menjaga kestablina suhu didalam incubator, agar tidak menyerap suhu didalam
ataupun diluar inkubator.Gambar 4.3 memperlihatkan struktur bagian dalam dari
inkubator
Gambar 4.3 Desain bagian dalam inkubator
Inkubator fermentasi tempe memiliki 8 rak, dimana setiap rak terdapat 2
tatakan tempe dengan setiap tatakan tempe dapat menampung 15 tempe. Jadi setiap
raknya dapat menampung 30 tempe. Pada setiap tatakan tempe dilapisi dengan karpet
yang bertujuan untuk menyerap air yang dihasilkan dari proses fermentasi pada tempe.
Pada bagian atas inkubator, lebih tepatnya dibagian lubang kipas exhaust
ditutup menggunakan plastik agar ketika kipas exhaust tidak aktif suhu didalam
inkubator tidak keluar melalui lubang tersebut. Apabila kipas exhaust aktif maka
plastik akan terdorong oleh tekanan angin dari kipas sehingga tidak menggangu proses
pengeluaran suhu didalam incubator. Berikut diperlihatkan detail rancangan incubator
bagian dalam, yang dilengkapi dengan peletakan komponen elektronikmnya.
Gambar 4.4 Desain Tata Letak Komponen
Keterangan :
1. Kipas exhaust 1
2. Kipas exhaust 2
3. Kipas exhaust 3
4. Kipas exhaust 4
5. Kipas inhaust 1
6. Kipas inhaust 2
7. Heater 1 dan kipas
8. Kipas inhaust 3
9. Kipas inhaust 4
10. Sensor DHT22 1
11. Sensor DHT22 2
12. Sensor DHT22 3
13. Box penyimpanan arduino, LED (merah, kuning, dan hijau),
LCD, buzzer, dan push button.
Inkubator dibagi menjadi 2 ruang, yaitu ruangan pertama untuk proses
fermentasi tempe dan ruangan kedua untuk proses sirkulasi udara dan penyimpanan
beberapa komponen. Kemudian, inkubator fermentasi tempe juga terbagi atas 3 zona
sistem kerja. Zona pertama terdiri dari kipas exhaust 1 dan 2 serta kipas inhaust 1 dan
2. Pada zona pertama ini bertujuan untuk menurunkan suhu didalam inkubator apabila
suhu didalam inkubator lebih dari 34⁰C. Pada zona kedua terdiri dari kipas exhaust 3
dan 4 serta kipas inhaust 3 dan 4. Zona kedua bertujuan untuk membantu proses
sirkulasi udara didalam inkubator, zona kedua akan aktif pada proses penurunan suhu
ataupun penaikan suhu didalam inkubator. Bagian zona ketiga terdiri dari heater dan
kipas heater. Zona ketiga bertujuan untuk menaikan suhu didalam inkubator apabila
nilai suhu yang dibaca sensor DHT22 kurang dari 31⁰C.
Kipas di setting menjadi kipas exhaust bertujuan untuk mengeluarkan
udara didalam inkubator guna membantu proses penurunan suhu didalam inkubator
ketika suhu didalam inkubator melebihi 34⁰C (kipas exhaust 1 dan 2) serta dapat
membantu proses sirkulasi udara didalam inkubator (kipas exhaust 3 dan 4). Kipas di
setting menjadi kipas inhaust bertujuan untuk memasukan udara dari luar kedalam
inkubator guna membantu proses penurunan suhu didalam inkubator ketika suhu
didalam inkubator melebihi 34⁰C (kipas inhaust 1 dan 2) serta dapat membantu proses
sirkulasi udara didalam inkubator (kipas inhaust 9 dan 10).
Sensor DHT22 diletakan pada nomor 11,12 dan 13. Tujuan di bedakan
posisi penempatan sensor DHT22 yaitu agar mengetahui kondisi suhu pada bagian
bawah, tengah dan atas apakah memiliki nilai yang sama atau terdapat perbedaan. Box
yang terdapat pada inkubator digunakan untuk penempatan beberapa komponen yang
ukurannya tidak terlalu besar, seperti push button, LCD,timer, LED (merah, biru,
hijau), arduino mega2560 dan buzzer.
DAFTAR PUSTAKA
Cendana, M. (2019). Smart Thermostat Pengontrol Suhu Industri Pembuatan Tempe”,
Tugas Akhir, Institut Teknologi Indonesia.
Fauziasaumaiyah. (2014). Hak Paten Tempe”, dipublikasi pada 1 Mei 2014.
https://fauziauzhe.wordpress.com/2014/05/01/hak-paten-tempe/
Mohan, V. R., & Daffodil, E. D. (2016). Antinutritional Factors in Legume Seeds :
Characteristics and Determination”. In Encyclopedia of Food and Health.
Mukherjee, R., Chakraborty, R., & Dutta. (2016). Role of Fermentation in Improving
Nutritional of Soybean Meal – A Review”. Journal Open Access Asian Australas
Journal Anim. Sci, 29(11), 1523.
Putro, H. A. N. U. (2019). Pembuatan Alat Kontrol Suhu dan Kelembapan pada
Fermentasi Tempe Menggunakan Arduino Berbasis Android Melalui Wifi”. In
Tugas Akhir, Program Studi Informatika, Universitas 17 Agustus 1945.
Rahmad Iwan Fitrianto, Afrianto, D. (2014). “Rancangan Indikator Temperatur pada
Proses Fermentasi Kacang Tanah (Tempe).” In Seminar Nasional Informatika
2014. STMIK Potensi Utama.
Rizaldi, A. dan P. (2018). Rancang Bangun Pengontrol Suhu Dan Kelembaban Pada
Proses Fermentasi Tempe Menggunakan Kontroler Proporsional”. Seminar
Nasional Teknik Elektro (FORTEI), di Batu.
Astawan M. 2004. Sehat bersama aneka sehat pangan alami. Tiga serangkai. Solo.
Alvina Andini dan Dany Hamdani. 2019. “PROSES PEMBUATAN TEMPE
TRADISIONAL”. Fakultas Ilmu Pangan Halam. Universitas Djuanda Bogor.
Bogor.
Fung DYC, and Crozier-Dodson A. 2008. Tempeh, A mold-Modified Indigenous
Fermented Food, Farnworth, ED., Eds., CRC Press, Boca Raton, London, pp 475-
494.
Astuti M, Meliala A, Dalais FS, and Wahlqvist ML. 2000. Tempe, a nutritious and healthy
food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4) : 322-325
Hermana. (1971). Tjara Baru Pembuatan Tempe. (The New Method of Preparing
Tempeh). Gizi Indonesia, 2:167, 1970.
Titi Ervina Jayanti. 2019. “Kandungan Protein Biji dan Tempe Berbahan Dasar Kacang-
kacangan Lokal (Fabaceae) Non Kedelai(Seeds and Tempeh Protein Content
From Non Soybean Fabaceae”. Fakultas Teknink UIN Mataram. Mataram.
Pambayun Rindit., dkk. 2015. “Tinjauan Ilmiah Proses Pengolahan Tempe
Kedelai”.Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI). Palembang.
Widowati, S. 2016. “ Teknologi Pengolahan Kedelai”. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Peran Fermentasi Pada Tempe https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/menara-
ilmu/2018/1321-peran-fermentasi-pada-tempe.html 7/Nov/2018
Prima Winda Rini. 2015. “Sistem Kendali Suhu dan Kelembaban Untuk Optimasi Proses
Pembuatan Tempe Pada Skala Industri Rumah Tangga”.Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta.
top related