rangkuman untuk ujian akhir semester (uas)€¦ · rangkuman untuk ujian akhir semester (uas) akad...
Post on 14-Dec-2020
21 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RANGKUMAN UNTUK UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
Akad kerja sama : Al Syirkah
Pengertian Syirkah adalalah perkongsian. Yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Beberapa Ketentuan
1. Ijab dan Qabul
-Harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
-Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak.
-Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak
-Dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
2. Subyek Akad
-Cakap hukum, kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
-Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
-Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
-Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-
masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan
memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang
disengaja.
-Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri
3. Objek Akad
a. Modal
-Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. (Jika
bentuknya aset perdagangan harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh
para mitra)
-Tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal
musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
-Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan. (Namun bisa saja LKS
meminta jaminan untuk menghindari terjadinya penyimpangan)
b. Kerja
-Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah.
-Kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Yang bekerja lebih banyak boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya
-Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari
mitranya.
-Kedudukan masing-masing mitra dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. C. Keuntungan dan kerugian
-Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas
menghindari perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
-Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan
dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
-Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
-Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
-Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
-Jika terjadi persengketaan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
-Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-
masing dalam modal.
Berakhir atau batalnya akad
a. Salah satu pihak mengudurkan diri, karena menurut para pakar fiqih, akad perserikatan itu
tidak bersifat mengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan.
b. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia
c. Gila
d. Murtad atau melarikan diri.
Jenis-jenis akad dalam Syirkah
Syirkah milk ikhtiyar berarti kerjasama yang muncul karena adanya kontrak antara orang yang
bersekutu. Semisal jika dua orang membeli dan keduanya menerima maka jadilah pembeli
dan yang diberi wasiat bersekutu diantara keduanya kerjasama milik.
Syirkah milk al-jabr berarti kerjasama yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, misal
dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi warisan adalah menjadi sekutu mereka.
Syirkah Uqud
Syirkah uqud adalah transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih bersekutu dalam harta
dan keuntungannya dan sirkah uqud terbagi dalam beberapa jenis yaitu sirkah inan,
mufawwadah, wuju, dan abdan.
Syirkah inan merupakan kerjasama antara dua orang dalam harta untuk berdagang secara
bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.
Syirkah Mufawwadah merupakan kerjasama dengan cara memiliki kesamaan dalam nominal
modal, sharing keuntungan, pengolahan, dan agama yang dianut.
Syirkah Wujuh merupakan kerjasama dua pemimpin yang tidak memiliki modal dalam usaha
membeli barang dengan cara tidak tunai, dan akan menjualnya secara tunai ( cash ).
Kemudian dibagi diantara mereka dengan kondisi dan syarat tertentu. Namun beberapa ulama
melarang pola seperti ini, karena rentan penipuan.
Syirkah Abdan merupakan kerjasama untuk menerima pekerjaan dan akan dikerjakan secara
bersama-sama, lalu keuntungan dibagi diantara keduanya dengan menetapkan syarat tertentu.
Syirkah al-Mudharabah, Yaitu, seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah
modal kepada pihak pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat
prosentase tertentu dari keuntungan.
MUSYARAKAH MUTANAQISHAH
Musyarakah mutanaqishah (perkongsian yang mengecil) adalah suatu bentuk musyarakah
dimana porsi dana salah satu pihak akan menurun terus hingga akhirnya menjadi nol. Ketika hal ini
telah terjadi maka kepemilikan akan berpindah kepada pihak yang lain. Pada kerjasama ini kedua
belah pihak mencampurkan dananya untuk membiayai sebuah usaha/proyek, yang nantinya secara
bertahap porsi modal salah satu pihak akan berkurang hingga menjadi nol.
Ketentuan Umum
1. Pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap
dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
2. Jual beli hishshah dilaksanakan sesuai kesepakatan
3. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya
(nasabah).
Hint:
Syarik > (mitra)
Hishshah > Porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’
Musya’ > Porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai
dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik
Ketentuan khusus
1. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.
2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset
tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan.
4. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para
syarik.
5. Porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh
syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.
Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan
kepemilikan menjadi beban pembeli
- *Fatwa DSN No.8, No.13, dan No.16 Th.2000 tentang Pembiayaan Musyarakah (baca lagi)
*Fatwa DSN No.73 Tahun 2008 tentang pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah (baca lagi)
Sebagai contoh kasus adalah : pihak bank dan nasabah bekerja sama dalam sebuah pengadaan
barang atau sebuah usaha. Misalnya saja penyewaan rumah mewah yang mana pihak bank
mempunyai saham 50% dan pihak nasabah 50%. Harga rumah tersebut sejumlah Rp. 100.000.000,-,
jadi bank berkontribusi Rp. 50.000.000,- dan nasabah Rp.50.000.000,-.
Seandainya sewa yang dibayarkan oleh penyewa sebesar Rp.2.000.000,- per bulan maka pada
realisasinya Rp.1.000.000, menjadi bagian bank dan Rp.1.000.000,- menjadi bagian nasabah. Akan
tetapi karena nasabah ingin memiliki rumah tersebut maka uang Rp.1.000.000,- itu dijadikan
pembelian saham dari saham bank. Dengan demikian saham nasabah setiap bulan akan semakin
bertambah dan saham bank semakin mengecil hingga akhirnya nasabah akan memiliki 100% saham
rumah dan pihak bank tidak lagi memiliki saham atas rumah tersebut.
Akad Kerjasama Al-Syirkah dalam Pertanian
Menghidupkan Tanah Mati (Ihyaa’ul Mawaat)
Secara terminologis berarti membuka tanah yang tidak bertuan dan belum pernah dikelola untuk
dipersiapkan dan dijadikan sebagai tanah yang bermanfaat, untuk perumahan, lahan pertanian dan
sebagainya. (Ibnu Bassam dalam Taudhihul Ahkam)
Hukumnya diperbolehkan. Berdasarkan dalil Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan bahwa
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang tidak ada
pemiliknya, maka ia lebih berhak terhadapnya.” (HR. Bukhari No. 2335)
Syarat-syarat membuka tanah baru:
Tanah yang dibuka masih terlantar yang belum dimiliki oleh seorang pun. Jika tidak,
dialokasikan untuk kepentingan kaum muslimin seperti untuk jalan, lapangan, taman,
kuburan, saluran air dan sebagainya.
Cara pembukaan tanah baru sesuai dengan tradisi yang berlaku karena hadits yang
menjelaskan tentang ihya’ al-mawat bersifat umum
TAHAJJUR
Tahajjur artinya menahan tanah dan mengumumkannya dengan tanda atau pagar. Diantara model
tahajjur adalah jika seseorang mengelilingi tanah dengan dinding yang tidak melindungi, membangun
dinding di sebagian sisinya saja dan tidak di sisi yang lain, atau mengelilingi tanah dengan parit,
pembatas atau dengan menggali sumur. Tahajjur mempunyai implikasi hukum pengkhususan dan hak
prioritas daripada orang lain tetapi tidak berimplikasi kepada kepemilikan.
Masa berlakunya tahajjur adalah tiga tahun. Jika dikelola dengan baik maka dipersilahkan. Tapi jika
tidak maka akan ditarik kembali.
Berbagai macam akad pemanfaatan lahan: Al-Musaqah dan Al-Muzara’ah
Musaqah secara etimologis terambil dari kata as-saqyu yang artinya pengairan/penyiraman. Ia juga
disebut mu’amalah. Adapun secara terminologis adalah transaksi untuk merawat pohon dengan upah
sebagian buahnya.
Muzara’ah secara etimologis terambil dari kata az-zar’u yang berarti penanaman atau pengolahan.
Adapun secara terminologis adalah menyerahkan tanah kepada orang yang menanami dan
mengelolanya dan hasilnya dibagi berdua
Rukun akad:
Dua orang yang bertransaksi yaitu pemilik tanah dan pekerja/penggarap.
Objek transaksi yaitu sesuatu yang disepakati dalam akad meliputi pohon, tanaman pertanian
dan bagian masing-masing.
Shighoh akad : Dianggap sah dengan semua lafal yang menunjukkan arti yang dimaksud.
Perbedaan pembagian dan kerusakan
Jika kedua pihak berselisih mengenai bagian pekerja, pendapat yang dipegang adalah ucapan
pekerja jika ia menuntut sesuatu yang layak baginya karena ia mempunyai posisi yang kuat
dalam melaksanakan musaqah atau muzara’ah.
Imam Syafi’i menyatakan bahwa keduanya harus bersumpah. Adapun Hanabilah berpendapat
bahwa yang dipegang adalah ucapan pemilik tanah karena ia yang mengingkari. Hal ini
berdasarkan hadits: “Bukti itu wajib bagi orang yang menggugat dan sumpah wajib bagi yang
tergugat.”
Jika pekerja mengkalim bahwa garapannya rusak, klaimnya itu dapat diterima karena ia orang
yang dipercaya. Posisinya sama seperti pelaksana dalam bagi hasil. Jika ia mengklaim, ia
bersumpah dan jika terbukti khianatnya, harus dicarikan oranglain yang menyertainya. Jika
tidak mungkin menjaganya, pemilik tanah boleh mempekerjakan orang lain untuk
menggantikannya. Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, sementara itu para sahabat Malik
berpendapat bahwa orang lain tidak boleh menggantikan pekerjaannya, tetapi menjaganya
SYARAT-SYARAT MUSAQAH DAN MUZARA’AH
Objek musaqah dan muzara’ah dapat diketahui atau dilihat dengan mata atau dengan
menjelaskan sifat-sofat yang sebenarnya karena tidak sah transaksi tentang sesuatu yang tidak
diketahui.
Pekerja mendapatkan bagian dari hasilnya (buah atau lainnya) yang berlaku dan diketahui,
seperti separoh atau sepertiga. Jika disyaratkan bagi keduanya mendapatkan hasil suatu lahan
tertentu, maka tidak sah.
OBJEK MUSAQAH
Musaqah boleh pada semua pohon yang berbuah. Demikian ini adalah pendapat Khulafaur
Rasyidin, Sa’id ibnu al-Musayyab, Malik, Ahmad, Abu yusuf, Muhammad dan lain-lain.
Imam Syafii berpendapat lain. Menurutnya, musaqah tidak boleh kecuali pada pohon kurma
dan anggur karena hanya keduanya yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Adapun pohon yang tidak berbuah, menurut Imam Malik dan Asy-Syafii, tidak boleh menjadi
objek musaqah karena musaqah itu pembayarannya dengan sebagian buah, sedangkan pohon
yang dikerjakan adalah jenis pohon yang tidak berbuah. Berbeda dengan pohon yang
dimanfaatkan daun atau bunganya, seperti pohon teh dan mawar
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa berdasarkan qiyas, musaqah dibolehkan padanya karena
daun-daun dan bunga itu semakna dengan buah, dalam arti dapat berkembang berulang-ulang
setiap tahun yang dapat diambil dan dikelola dengan cara musaqah.
Kami (ath-Thayyar dkk) berpendapat bahwa musaqah boleh pada semua pohon meskipun
tidak berbuah. Hal ini berdasarkan riwayat: “Sesungguhnya Rasulullah mempekerjakan
penduduk Khaibar dengan upah separoh hasil yang keluar dari pohon kurma dan pohon.”
KEWAJIBAN PEMILIK DAN PEKERJA
Pekerja wajib mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan buah dan peningkatan
produksi setiap tahun, seperti menyirami, mengolah lahan, meyerbukkan, menjaga buah dan
lain sebagainya.
Adapun pemilik tanah berkewajiban mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan
pohon seperti membuat pagar, menggali sumur, membuat saluran pengairan dari sungai dan
sebagainya
.
MENYEWAKAN TANAH
Boleh menyewakan tanah dengan pembayaran uang atau barang. Imam Ahmad menyatakan
bahwa ulama berbeda pendapat mengenai emas dan perak. Ibnu Al-Mundzir berkata, “Pada
umumnya, ulama sepakat dibolehkannya menyewakan tanah dengan pembayaran emas dan
perak.” Demikian ini juga merupakan pendapat Sa’id ibn al-Musayyab.
karena kedudukan barang identik dengan harga. Adapun tentang makanan, Imam
Malik melarangnya secara total, baik dari hasil yang keluar dari tanah itu atau lainnya.
BERAKHIRNYA MUSAQAH DAN MUZARA’AH
Pekerja melarikan diri. Dalam kasus ini, pemilik tanah boleh membatalkan transaksi
berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaki tidak mengikat
Pekerja tidak mampu bekerja.
Salah satu dari dua pihak meninggal dunia atau gila. Jika transaksi yang mengikat, maka ahli
waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
Kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri transaksi dengan kerelaan.
AKAD IJARAH
Adalah akad untuk mendapatkan manfaat yang mubah dari barang yang sudah ada, atau belum ada
tapi dijamin dengan sifat-sifat tertentu, dalam waktu tertentu atau akad untuk melakukan
pekerjaan tertentu dengan upah tertentu.
Syarat Ijarah
Syarat Wujud > Jika ada anak kecil mumayyiz yang menyewakan harta atau dirinya, maka
apabila diizinkan oleh walinya maka akad itu dianggap sah dan apabila ia dibatasi hal
membelanjakan hartanya maka tergantung pada izin walinya –Hanafiyyah.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mencapai usia mumayyiz adalah syarat dalam
ijarah dan jual beli sedangkan baligh adalah syarat berlaku
Syafiiyah dan Hanabilah harus baligh
Syarat Berlaku (Syarth an-Nafaadz) > Mempunyai hak kepemilikan Syarat Sah
(Syarth as-Shihhah
Syarat Objek Akad
Apabila objek akad termasuk barang bergerak, maka disyaratkan terjadinya penerimaan. Jika
tidak, maka hukumnya tidak sah.
Syarat-syarat Ujrah (upah)
• Hendaknya upah tersebut harta yang bernilai dan diketahui
• Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan Ma’quud Alaih (Objek Akad)
• Kerelaan kedua pelaku akad
• Hendaknya objek akad (yaitu
manfaat) diketahui sifatnya guna
menghindari perselisihan
• Hendaknya objek akad dapat
diserahkan baik secara nyata (hakiki)
maupun syara
• Hendaknya manfaat yang dijadikan
objek ijarah dibolehkan secara syara
• Orang yang disewa tidak boleh
mengambil manfaat dari pekerjaannya
• Hendaknya pekerjaan yang
ditugaskan bukan kewajiban bagi
penyewa sebelum akad ijarah
• Manfaat dari akad itu harus
dimaksudkan dan biasa dicapai
melalui akad ijarah
• penjelasan tempat manfaat, penjelasan
masa waktu, penjelasan objek kerja,
penentuan waktu dan objek kerja
sekaligus
Syarat Kelaziman Ijarah (Syarth al-Luzuum)
• Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak pemanfaatannya
• Tidak terjadi alasan yang membolehkan membatalkan ijarah. Seperti jika terjadi sesuatu
terhadap salah satu pihak atau barang yang disewakan, maka setiap pihak boleh
membatalkan akad
Rukun Ijarah
Menurut mayoritas ulama: 1) Dua pelaku akad (pemilik sewa dan penyewa), 2) Sighah (ijab dan
qabul), 3) Upah, 4) Manfaat Barang. Menurut mayoritas fuqaha, menyandarkan ijarah ke masa yang
akan datang hukumnya sah. Berbeda dengan jual beli.
Sifat dan Konsekuensi Hukum Ijarah
• Ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah akad yang mengikat hanya saja boleh dibatalkan
dengan sebab adanya uzur.
• Sedangkan menurut mayoritas ulama, ijarah adalah akad lazim yang mengikat yang tidak
dapat dibatalkan kecuali dengan hal-hal yang dapat membatalkan akad-akad lazim seperti
cacat atau hilangnya objek manfaat.
Berakhirnya akad ijarah dapat disebabkan: 1. Ijarah habis. 2. Pengguguran akad. 3. Rusaknya
barang yang disewakan. 4. Habisnya masa ijarah kecuali kecuali karena uzur.
Operating Lease (Ijarah Asli)
Sewa Operasi merupakan bentuk ijarah yang asli. Akad ini memiliki beberapa sifat, yakni
barang sewaan tetap miliknya bank.
Seluruh biaya perawatan dan perbaikan barang menjadi tanggung jawab bank, kecuali jika
nilainya kecil dan disepakati kedua pihak.
Debitur hanya memanfaatkan barang dan tidak memiliknya.
Debitur tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang, kecuali akibat
kelalaian debitur.
Setelah selesai masa kontrak, barang dikembalikan ke bank sebagai pemiliknya
Financial Lease (IMBT)
IMBT merupakan pengembangan produk ijarah. Dalam IMBT tercakup (i) proses transfer
kepemilikan ke debitur, (ii) utang sewa dan (iii) tanggung jawab atas risiko dan beban terkait
kepemilikan barang. Secara umum, IMBT sangat mirip dengan sewa pembiayaan (financing lease) di
keuangan konvensional.
Financing Lease IMBT
Dimulainya waktu sewa Sewa dimulai sejak Sewa dimulai sejak
bank membeli aset aset diserahkan ke
yang disewakan debitur dan siap
digunakan
Ketika debitur menjadi wakil bank Debitur bertanggung Bank, sebagai
dalam membeli barang jawab atas kerusakan prinsipal
barang bertanggung jawab
atas kerusakan
barang
Transfer Kepemilikan Kesepakatan jual beli Akad untuk
sebagai modul mentransfer
transfer kepemilikan kepemilikan dibuat
dilakukan di awal setelah kontrak sewa
kontrak selesai terlebih
dahulu
Bentuk transfer Jual beli Jual beli atau hibah
kepemilikan
Ketentuan Umum Fatwa DSN MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
Ketentuan khusus Fatwa DSN MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
Ketentuan Umum
Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh
dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Semua rukun dan syarat yang berlaku
dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor:
09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula
dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik.
2. Perjanjian untuk melakukan akad al-
Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus
disepakati ketika akad Ijarah
ditandatangani.
3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus
dijelaskan dalam akad.
Ketentuan Khusus
Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik
1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-
Muntahiah bi al-Tamlik harus
melaksanakan akad Ijarah terlebih
dahulu. Akad pemindahan kepemilikan,
baik dengan jual beli atau pemberian,
hanya dapat dilakukan setelah masa
Ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang
disepakati di awal akad Ijarah adalah
wa'd ( دعوال ) yang hukumnya tidak
mengikat. Apabila janji itu ingin
dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan
setelah masa Ijarah selesai.
Majma’ Fiqih Islami IMBT yang terlarang:
• Transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan barang yang disewa secara
langsung, sebagai kompensasi pembayaran yang diberikan nasabah selama masa sewa dan tanpa dilakukan lagi transaksi baru. Sewa berubah secara otomatis sebagai jual beli di akhir masa sewa. Dari ilustrasi di atas, Tn. Ahmad misalnya akan langsung mendapatkan rumah setelah 10 tahun menyewa tanpa akad yang baru dengan bank.
IMBT yang diperbolehkan:
• Dua transaksi (sewa dan jual beli) dilakukan secara terpisah dan transaksi jual beli dilakukan setelah transaksi ijarah dan transaksi swa benar-benar dilakukan dan bukan sebatas kamuflase jual beli.
• Akad sewa menyewa apabila telah berakhir, diiringi dengan hibah barang yang disewa namun dengan syarat apabila nasabah berhasil membayar seluruh uang sewa.
Pertemuan 12: Wakalah dan Hawalah
WAKALAH
Definisi wakalah
Secara bahasa arti wakalah atau wikalah (dengan waw difathah dan dikasrah) adalah
melindungi. Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa wakalah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk
dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik kewenangan asli masih hidup.
Pembatasan dengan ketika masih hidup ini adalah untuk membedakannya dengan wasiat.
Rukun Wakalah
Menurut jumhur ulama, wakalah mempunyai empat rukun: Orang yang mewakilkan
(muwakkil), orang yang mewakili (wakil), sesuatu yang diwakilkan (muwakkal fiih), dan
shigah (ijab dan qabul). Menurut ulama madzhab Hanafi, rukun wakalah adalah ijab dan
qabul. Ijab adalah dari muwakkil disebut juga al-ashiil. Ijab ini misalnya dengan berkata
kepada orang lain. “Saya mewakilkan kepadamu untuk melakukan ini.” atau “Lakukanlah
ini” atau “Saya mengizinkanmu untuk melakukan ini.” Qabul dari wakil adalah dengan
ucapan “Saya menerimanya” dan sejenisnya.
Mengaitkan Wakalah Dengan Syarat atau Batas Waktu
Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hanbali, wakalah bisa bersifat mutlak dan juga dibatasi
dengan syarat atau ketentuan tertentu. Misalnya seseorang berkata “Jika Zaid datang, maka
engkau wakilku dalam menjual buku ini.” Dalil bagi kebolehan pembatasan ini adalah
perwakilan merupakan akad yang membuat pihak lain boleh secara mutlak untuk melakukan
sesuatu yang diwakilkan. Dan hal yang mutlak bisa dibatasi oleh waktu.
Imam Syafi’i berpendapat “Tidak sah membatasi wakalah dengan syarat berupa sifat atau
waktu” Dalil bagi pendapat ini adalah wakalah merupakan akad yang di dalamnya
ketidakjelasan bisa berpengaruh bagi keabsahannya.
Pembatasan Waktu Wakalah
Para ahli fiqih sepakat tentang sahnya pembatasan wakalah dalam jangka waktu tertentu,
seperti satu bulan atau satu tahun, karena akad wakalah dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Wakalah dengan Upah
Wakalah sah dengan upah ataupun tanpa upah karena Rasulullah pernah mengutus beberapa
orang untuk mengambil sedekah dari Umat Islam dan beliau memberi mereka bonus.
Wakalah merupakan akad yang tidak mengikat yang tidak harus dilakukan oleh orang yang
menjadi wakil sehingga dia boleh mengambil upah.
Keumuman dan Pengkhususan Wakalah
Menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki, wakalah umum adalah sah karena wakalah boleh
diberlakukan pada semua tindakan yang kewenangannya dimiliki oleh muwakkil dan dalam
semua hal yang bisa diwakilkan seperti pembelanjaan harta dan sebagainya.
Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa wakalah umum tidak sah karena di dalamnya
terdapat ketidakjelasan yang berat. Adapun wakalah yang khusus maka para ahli fiqih
sepakat akan kebolehannya. Dan wakalah khusus inilah yang umumnya berlaku.
Hukum Wakalah
Hukum asal wakalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia disunnahkan jika ia merupakan
bantuan untuk sesuatu yang disunnahkan. Terkadang juga ia menjadi makruh jika ia
merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Hukumnya juga menjadi haram jika
merupakan bantuan untuk perbuatan yang haram. Dan hukumnya adalah wajib jika untuk
menghindarkan kerugian dari muwakkil.
Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala ketika menceritakan tentang Ashabul Kahfi
“Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian
makanan itu untukmu.” (QS. Al-Kahfi ayat 19).
Syarat-Syarat Akad Wakalah
1. Syarat Muwakkil
a. Para ulama sepakat bahwa muwakkil boleh tidak hadir di majelis transaksi yang
diwakilkan, juga muwakkil dibolehkan seorang wanita atau orang yang sedang sakit.
Muwakkil juga boleh hadir di majelis transaksi yang diwakilkan dalam keadaan sehat,
berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
b. Tidak sah perwakilan dari orang gila, orang yang tidak sadar, dan anak kecil yang
belum mumayyiz. Karena mereka tidak memiliki sifat berakal yang merupakan salah
satu syarat kecakapan hukum.
c. Sedangkan Abu Hanifah hanya mensyaratkan perwakilan itu berlangsung pada
sesuatu yang kewenangannya bisa dimiliki oleh wakil. Berdasarkan hal ini, adanya
pembolehan perwakilan muslim kepada kafir dzimmi untuk membeli khamr dan babi.
d. Wanita dan orang yang sedang berihram haji atau umrah menurut mayoritas ulama
Hanafi tidak sah mewakilkan nikah kepada orang lain karena keduanya tidak boleh
melakukannya sendiri kala itu.
2. Syarat Wakil
a. Menurut para ulama Mazhab Maliki, tidak boleh mewakilkan kepada orang kafir
untuk melakukan penjualan, pembelian atau akad salam (pesan). Hal ini agar ia tidak
melakukan hal yang diharamkan. Juga tidak boleh mewakilkan kepadanya untuk
menerima pembayaran dari orang muslim agar dia tidak merasa posisinya lebih tinggi
dari mereka.
b. Disyaratkan wakil adalah orang yang berakal. Maksudnya ia bisa membedakan bahwa
menjual berarti menghilangkan kepemilikan dan membeli adalah mendapatkan
kepemilikan. Juga bisa membedakan antara perbedaan harga yang ringan dan harga
yang umum serta harga yang parah. Sehingga tidak sah mewakilkan kepada orang gila
dan anak kecil yang mumayyiz. Namun ulama mazhab Syafi’i membolehkan
mewakilkan kepada anak kecil yang mumayyiz untuk mengizinkan orang lain masuk
ke dalam rumah, menyampaikan hadiah, menunaikan haji, menyumbang,
menyembelih kurban dan membagikan zakat.
c. Tidak sah mewakilkan kepada orang yang dungu untuk membelanjakan harta. Juga
tidak sah mewakilkan kepada orang yang sedang berihram haji atau umrah, juga
wanita untuk melangsungkan akad nikah menurut jumhur ulama selain mazhab
Hanafi. Menurut mazhab Hanafi disyaratkan wakil tidak main-main dan dia
mengetaui perwakilan itu secara umum.
d. Para ulama mazhab Maliki mensyaratkan 3 syarat untuk muwakkil dan wakil yaitu
merdeka, cakap membelanjakan harta dan baligh.
3. Syarat Muwakkal Fiih
a. Bukan hal-hal yang kepemilikannya terbuka untuk umum, tanpa adanya batasan
kepemilikan.
b. Muwakkal fiih adalah milik muwakkil
c. Muwakkal fiih tersebut diketahui sebagian aspeknya maksudnya ketidakjelasan dan
ketidakpastian di dalamnya tidak berat.
d. Muwakkal fiih bukan perintah untuk mengutang dari orang lain.
e. Muwakkal fiih secara syara bisa diwakili oleh orang lain yaitu semua urusan
keuangan dan yang lainnya yang bisa diwakili oleh orang lain.
4. Syarat Shigah
Menurut mazhab Syafi’i ada dua syarat untuk shigah:
a. Akad wakalah berlangsung dengan lafal yang menunjukkan adanya keridhaan
terhadap perwakilan itu, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran (tidak
terang-terangan).
b. Disyaratkan akad wakalah tidak dikaitkan dengan syarat yaitu seperti ucapan
seseorang, “Jika si fulan datang dari perjalanan, maka engkau menjadi wakilku untuk
melakukan ini.”
Jenis-Jenis Akad Wakalah
1. Wakil untuk Berperkara (Pengacara)
a. Kewenangan untuk mengaku tentang adanya hak orang lain pada muwakkil
b. Kewenangan untuk menerima atau mengambil sesuatu yang menjadi hak muwakkil
c. Kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dan menggugurkan
tanggungan dari lawan
d. Wakil dalam berperkara mewakilkan lagi kepada orang lain
Wakil dalam berperkara di hadapan hakim, seperti pengacara zaman ini, menurut Jumhur
ulama mazhab Hanafi memiliki kewenangan untuk mengaku atas nama muwakkil nya
tentang adanya hak orang lain pada muwakkil tersebut selain dalam masalah qishash dan
hudud.
Abu Hanifah dan Muhammad membatasi kebolehan pengakuan tersebut jika berlangsung
di majelis qadhi. Sedangkan Abu Yusuf tidak membatasi itu.
2. Wakil untuk Menagih Utang
Seorang wakil untuk menagih utang mempunyai kewenangan untuk menerima pelunasan
utang tersebut. Karena kewenangan menagih tidak bisa tercapai kecuali dengan
diterimanya pelunasan utang, sehingga perwakilan dalam hal ini mencakup perwakilan
untuk menerimanya.
3. Wakil untuk Menerima Pelunasan Utang
Abu Hanifah mengatakan wakil untuk mengambil pelunasan utang mempunyai
kewenangan untuk membuktikan dan memastikan adanya utang tersebut. Apabila
didatangkan bukti bahwa muwakkil telah mengambil pelunasannya atau ada bukti
pengguguran utang itu, maka bukti ini diterima.
4. Wakil untuk Menjual
Kewajiban wakil:
a. Senantiasa mengikuti dan memperhatikan batasan yang ditetapkan muwakiil dalam
wakalah yang dibatasai
b. Mengikuti kebiasaan yang berlaku apabila wakalah itu adalah wakalah yang mutlak
Kewajiban muwakkil:
a. Membayar harga barang yang dibeli
b. Menanggung kerugian yang terjadi jika bukan karena pelanggaran atau keteledoran
wakil
c. Membayar upah wakil jika wakalah itu dengan upah
5. Wakil untuk Membeli
Kewajiban wakil:
a. Membeli dengan harga yang umum berdasarkan kebiasaan yang berlaku
b. Membeli barang yang tidak cacat. Ini adalah menurut jumhur ulama selain Abu
Hanifah
c. Menurut ulama Mazhab Hanafi wakil harus membeli sesuatu yang ditentukan untuk
muwakkilnya bukan untuk dirinya dan kerabatnya
d. Menurut para ulama Mazhab Maliki, wakil harus melakukan sesuatu yang
mengandung maslahat bagi muwakkil
e. Menurut para ulama Mazhab Hanafi, jika wakil menyalahi syarat-syarat yang
ditetapkan muwakkil, maka dia telah membeli untuk dirinya sendiri
Kewenangan wakil:
a. Membeli barang dengan harga lebih rendah dari yang telah ditetapkan oleh muwakkil.
Hal ini dibolehkan karena ia merupakan tindakan yang menyalahi ketentuan
muwakkil namun menjadi kebaikannya.
b. Meminta kepada muwakkil untuk mengganti uangnya yang telah dia gunakan untuk
membayar barang yang dia beli untuk muwakkil.
c. Tidak menyerahkan kepada muwakil barang yang dia belikan hingga dia menerima
seluruh pembayaran barang itu dari muwakkil tersebut.
d. Mengembalikan barang kepada penjualnya jika ada cacat selama barang itu masih ada
di tangannya.
Konsekuensi Hukum Akad Wakalah
Dalam akad jual beli dan sejenisnya yang tergantung pada ijab dan qabul, maka
konsekuensi hukumnya adalah tetapnya kepemilikan pembeli terhadap barang yang dibeli
dan kepemilikan penjual kepada bayaran.
Dalam akad-akad yang tidak sempurna kecuali dengan adanya penerimaan barang, seperti
hibah dan peminjaman, maka konsekuensi hukumnya ada di tangan muwakkil.
Akad nikah. Jika wakil menisbatkan akad nikah itu kepada muwakkil maka konsekuensi
hukumnya adalah di tangan muwakkil.
Talak. Konsekuensi hukum akad wakalah untuk perceraian adalah seperti dalam akad
wakalah untuk nikah.
Perselisihan dalam Akad Wakalah
Kaidah: wakil merupakan amiin (pemegang amanah) sehingga dia tidak wajib menjamin
ganti barang objek akad, kecuali jika terjadi tindakan pelanggaran dan adanya keteledoran
darinya.
Perselisihan dalam kerusakan atau hilangnya objek perwakilan
perkataan yang diterima adalah wakil disertai sumpahnya.
Perselisihan dalam keteledoran wakil dalam menjaga barang
perkataan yang diterima adalah wakil disertai sumpahnya.
Perselisihan dalam apa yang dilakukan wakil
perkataan yang diterima adalah wakil disertai sumpahnya.
Perselisihan dalam pengembalian sesuatu yang diwakilkan
perkataan yang diterima adalah wakil disertai sumpahnya.
Perselisihan dalam ada tidaknya akad wakalah
perkataan yang diterima adalah muwakkil disertai sumpahnya.
Perselisihan dalam karakteristik perkara yang diwakilkan
perkataan yang diterima adalah wakil disertai sumpahnya.
Berakhirnya Akad Wakalah
Muwakkil memberhentikan wakilnya
Muwakkil melakukan sendiri perkara yang diwakilkan
Selesainya tujuan dari akad wakalah
Muwakkil atau wakil kehilangan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum
Muwakkil pindah ke Darul Harb dalam keadaan murtad
Muwakkil menghentikan wakil atau wakil mundur dari akad wakalah
Rusak atau hilangnya objek wakalah karena tindakan yang diwakilkan kepadanya
Keluarnya sesuatuyang diwakilkan dari kepemilikan muwakkil
Bangkrut, Pengingkaran, Pelanggaran Wakil, Kefasikan, Perceraian
HARAP DIPELAJARI JUGA FATWA DSN MUI NO.10 TAHUN 2000 TENTANG
WAKALAH
HAWALAH
Definisi Hawalah
l-Hawalah secara bahasa artinya adalah pindah diucapkan “Haala ‘anhil ‘ahdi”
(berpaling, berpindah, berbalik dari janji.) Sedangkan secara istilah, definisi al-Hawaalah
menurut ulama Hanafiyah adalah memindah (an-Naqlu) penuntutan atau penagihan dari tanggungan pihak yang berutang (al-Madiin) kepada tanggungan pihak al-Multazim (yang harus membayar utang dalam hal ini adalah al-Muhaal ‘alaihi). Sementara
A
itu, selain ulama Hanafiyyah mendefinisikan al-hawalaah seperti berikut: “Sebuah akad yang
menghendaki pemindahan suatu utang dari tanggungan ke tanggungan yang lain.”
Pensyariatan Hawalah
Al-Hawaalah terhadap utang (atau dengan kata lain al-Muhaal bihi atau hak yang dipindah
berupa utang) hukumnya boleh berdasarkan sunnah dan ijma sebagai pengecualian dari
larangan melakukan pentasharufan terhadap utang dengan utang.
Dasar Hawalah adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi: “Sikap menunda-
nunda pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman. Dan apabila
salah seorang diantara kamu sekalian dialihkan kepada orang yang mampu maka hendaklah
ia menerimanya (maksudnya menerima Hawalah tersebut).
Rukun dan Shighah Hawalah
Empat rukun atau elemen menurut jumhur selain ulama Hanafiyyah:
Al-Muhiil atau pihak yang berutang (al-Madiin) kepada pihak al-Muhaal
Al-Muhaal atau juga disebut al-Muhtaal dan al-Hawiil yaitu pihak yang berpiutang atau
dengan kata lain pihak yang memberi utangan kepada pihak al-Muhiil
Al-Muhaal ‘alaihi atau juga disebut al-Muhtaal ‘alaihi yaitu pihak yang berkeharusan
untuk membayar utang kepada pihak al-Muhaal
Al-Muhaal bihi atau al-Muhtal Bihi yaitu utang pihak al-Muhiil kepada pihak al-Muhaal
dan utang pihak al-Muhaal ‘alaihi kepada pihak al-Muhiil.
Syarat-Syarat Shighah
Al-Hawaalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qabul atau sesuatu yang semakna
dengan ijab qabul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan di atas nota al-Hawalah, dengan
tulisan dan isyarat. Ijab adalah seperti pihak al-Muhiil berkata, “aku alihkan kamu kepada si
Fulan.” Qabul adalah seperti pihak al-Muhaal berkata “Saya terima.” atau “Saya setuju.” Ijab
dan qabul disyaratkan harus dilakukan di majlis akad dan akad yang ada disyaratkan harus
final, sehingga di dalamnya tidak berlaku khiyaar majlis maupun khiyaar syarat.
Syarat-Syarat Al-Muhiil
• Ia harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi untuk mengadakan akad yaitu ia
adalah orang yang baligh dan berakal.
• Ridha atas persetujuan al-Muhiil maksudnya atas kemauan sendiri dan tidak dalam
keadaan dipaksa.
Syarat-Syarat Al-Muhal
• Ia harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi mengadakan akad.
• Ridha atas persetujuan al-Muhaal (bukan paksaan)
• Qabul yang diberikan oleh pihak Al-Muhaal harus dilakukan di majlis akad.
Syarat-Syarat Al-Muhal ‘Alaihi
• Ia harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi unruk mengadakan akad, yaitu
harus berakal dan baligh
• Ridha pihak al-Muhaal ‘alaihi (tidak dalam keadaan dipaksa).
• Qabulnya pihak al-Muhaal ‘alaihi harus dilakukan di majlis akad.
Syarat-Syarat Al-Muhaal Bihi
• Harus berupa utang (al-Muhiil memiliki tanggungan kepada al-Muhaal).
• Tanggungan utang yang sudah positif dan bersifat mengikat seperti utang dalam akad
peminjaman utang.
Syarat-Syarat Al-Muhaal Bihi Menurut Ulama Malikiyyah
• Tanggungan utang yang dijadikan al-Muhaal bihi memang telah jatuh tempo
pembayarannya
• Tanggungan utang yang dijadikan al-Muhaal bihi (utang yang dialihkan maksudnya utang
pihak al-Muhiil kepada pihak al-Muhaal) sama spesifikasinya (sifat dan jumlahnya)
dengan tanggungan utang pihak al-Muhaal ‘alaihi kepada pihak al-Muhiil.
• Kedua tanggungan utang yang ada (tanggungan utang pihak al-Muhiil kepada pihak al-
Muhaal dan tanggungan utang pihak al-Muhaal ‘alaihi kepada pihak al-Muhiil).
Bentuk al-Hawalah menurut Ulama Hanafiyyah
Al-Hawalah yang berbentuk mutlak yaitu akad al-Hawaalah yang pihak al-Muhiil tidak
memberikan keterangan bahwa yang ia maksudkan adalah tanggungan utang pihak al-Muhaal
‘alaihi kepada dirinya (al-Muhiil) dan pihak al-Muhaal ‘alaihi pun menerima dan setuju
dengan akad al-Hawaalah tersebut.
Al-Hawaalah yang berbentuk muqayyad yaitu akad al-Hawaalah yang pihak al-Muhiil
memberikan keterangan bahwa yang ia maksudkan adalah tanggungan utang pihak al-Muhaal
‘alaihi kepadanya (pihak al-Muhiil). Ini adalah bentuk hawalah yang boleh berdasarkan
kesepakatan para ulama.
Hukum-Hukum Al-Hawaalah
Pihak al-Muhiil terbebas dari tanggungan utang yang ada (al-Muhaal bihi). Apabila akad
hawalah telah sempurna dengan adanya qabul (persetujuan) maka menurut mayoritas ulama,
pihak al-Muhiil secara otomatis terbebas dari tanggungan yang ada dan bentuk-bentuk
jaminan utang yang ada berupa gadai dan penjaminan tidak ikut berpindah akan tetapi
statusnya ikut berakhir dan selesai.
Tertetapkannya kewenangan penagihan bagi pihak al-Muhaal kepada pihak al-Muhaal ‘alaihi
terhadap utang yang berada di dalam tanggungannya.
Berakhirnya Hawalah
• Adanya pembatalan dan penganuliran terhadap akad Hawalah
• Jika terjadi at-Tawaa, tidak memungkinkannya bagi pihak Al-Muhaal mendapatkan
haknya karena ada suatu hal yang tidak ada campur tangan sama sekali dari pihak al-
Muhaal di dalamnya seperti pihak al-Muhaal ‘alaihi mengalami kepailitan
• Pihak al-Muhaal ‘alahi telah menyerahkan pembayaran utang kepada pihak al-Muhaal.
• Pihak al-Muhaal meninggal dunia dan pihak al-Muhaal ‘alaihi adalah sebagai pewarisnya
yang mewarisi Muhaal bihi.
• Pihak al-Muhaal menghibahkan utang yang ada kepada pihak al-Muhaal ‘alaihi dan ia
menerima hibah tersebut.
• Pihak al-Muhaal mensedekahkannya kepada al-Muhaal ‘alaihi
• Pihak al-Muhaal membebaskan al-Muhaal ‘alaihi dari tanggungan.
Ganti Rugi
Syaratnya:
• Hawalah yang ada berdasarkan perintah dari Al-Muhiil
• Al-Muhaal ‘alaihi telah membayar utang yang ada
• Pihak al-Muhaal ‘alaihi tidak memiliki tanggungan utang kepada pihak al-Muhiil yang
menyamai tanggungan utang pihak al-Muhiil kepada pihak al-Muhaal.
Perselisihan
Seandainya pihak al-Muhaal telah menerima pembayaran utang yang ada, kemudian terjadi
sengketa antara dirinya dengan al-Muhiil lalu al-Muhiil berkata padanya, “Saya sebelumnya
tidak memiliki tanggungan utang apapun kepadamu, akan tetapi kamu hanya sebagai wakilku
untuk menerima pembayaran utang yang ada tersebut, oleh karena itu apa yang telah
dibayarkan tersebut adalah milikku,” Lalu al-Muhaal berkata “Tidak,akan tetapi akad yang
terjadi adalah akad Hawalah dengan al-Muhaal bihi adalah seribu Lira yang kamu utang
dariku” Ketika terjadi perselisihan seperti ini maka perkataan yang diterima adalah al-Muhiil
disertai dengan sumpahnya.
As-Safaatij
Sebut saja A menyerahkan sejumlah harta kepada B, sebagai pinjaman utang untuk
selanjutnya B harus membayarkan utang harta tersebut kepada C (teman A yang memberikan
pinjaman kepada A) yang berada di kota lain. Hal ini dilakukan oleh A dengan tujuan agar
dirinya tidak perlu bersusah payah melakukan perjalanan sendiri menghadapi berbagai
ancaman bahaya di jalan. Bentuk akad ini menurut ulama Hanafiyah hukumnya makruh
tahrim. Karena pada hakikatnya akad tersebut adalah akad pinjaman hutang yang bertujuan
supaya pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan yakni tidak mengalami kesusahan dan
ancaman bahaya perjalanan.
HARAP DIPELAJARI JUGA FATWA DSN MUI NO.12 TAHUN 2000 DAN NO.58 TAHUN 2007 TENTANG
HAWALAH
Pertemuan 13: Kafalah dan Rahn
KAFALAH
Pensyariatan Al-Kafalah
alam shahih Al-Bukhari diriwayatkan: “Bahwa suatu ketika ada jenazah didatangkan
kepada Rasulullah untuk beliau shalati, lalu beliau bertanya, “Apakah jenazah ini
meninggalkan sesuatu?” Para sahabat berkata, “Tidak”. Lalu beliau bertanya “Apakah ia memiliki tanggungan utang?” Mereka berkata, “Ya, dua dinar.” Lalu beliau berkata, “Jika begitu, maka shalatilah jenazah teman kalian ini” (maksudnya beliau tidak bersedia menshalatinya, karena ia masih memiliki tanggungan utang). Lalu Abu Qatadah berkata, “Saya yang menjamin utang tersebut wahai Rasulullah.” (maksudnya ia yang akan membayarkan utang jenazah tersebut). Lalu beliau pun menshalatinya.”
Hikmah pensyariatan kafalah adalah penguatan dan penjaminan hak, yaitu menciptakan
kehidupan yang dipenuhi dengan kesadaran untuk saling membantu di antara sesama, serta
memudahkan transaksi yang mereka lakukan dalam masalah memberikan pinjaman utang,
harta dan meminjamkan barang, supaya pemilik hak merasa tenang dan percaya bahwa
haknya pasti akan kembali ke tangannya dan kemaslahatan serta kepentingannya terlindungi,
di samping tentunya kafalah bisa meringankan beban sesama yang sedang menanggung suatu
hak orang lain.
Definisi Kafalah
Secara bahasa al-kafalah sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab ulama Hanafiyyah dan
ulama Hanabilah, artinya adh-dhammu (menggabungkan). Sedangkan di dalam kitab ulama
Syafi’iyyah artinya adalah al-iltizam (mengharuskan atau mewajibkan atas diri sendiri
sesuatu yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya, membuat komitmen.)
Sedangkan definisi al-kafalah secara istilah menurut definisi yang paling tepat menurut ulama
Hanafiyah adalah menggabungkan sebuah dzimmah (tanggungan) kepada dzimmah yang lain
di dalam penagihan atau penuntutan secara mutlak.
Perlu diperhatikan bahwa tertetapkannya utang yang dijamin tersebut dalam tanggungan
pihak penjamin dan pada waktu yang sama utang tersebut juga masih tetap ada dalam
tanggungan pihak yang berutang, atau dengan kata lain meskipun utang yang ada sama-sama
menjadi tanggungan kedua belah pihak, yaitu yang menjamin dan yang dijamin namun hal ini
tidak serta merta utang yang ada menjadi bertambah atau dobel. Karena meskipun utang
D
tersebut berada dalam tanggungan pihak penjamin namun orang yang berpiutang hanya
berhak menagih dan mendapatkan haknya sejumlah yang pernah ia berikan.
Rukun Kafalah
Imam Abu Hanifah: ijab qabul, maksudnya ijab dari pihak penjamin dan qabul dari pihak
yang berpiutang atau yang memiliki hak.
Abu Yusuf dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rukun kafalah hanya ijab dari pihak
kafil saja sedangkan qabul dari pihak yang memiliki hak bukan termasuk rukun.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dalam Kafalah disyaratkan adanya
kerelaan atau persetujuan dari pihak yang diberi jaminan. Adapun persetujuan pihak yang
dijamin maka ulama sepakat tidak termasuk syarat kafalah.
Menurut mayoritas ulama, rukun kafalah ada lima yaitu:
Al-Kafiil, pihak yang menjamin atau dengan kata lain pihak yang dituntut atau ditagih
untuk membayarkan hak harta yang menjadi tanggungan pihak yang berutang yang
dijaminnya
Al-Makfuul ‘anhu atau Al-Madiin, pihak yang berutang yang dijamin, ia juga disebut
ashiil
Al-Makfuul lahu atau ad-Daa’in, pihak yang berpiutang yang diberi jaminan yaitu pihak
yang memiliki hak yang dijamin
Al-Makfuul bihi, obyek atau sesuatu yang dijamin atau hak milik Al-Makfuul lahu yaitu
berupa harta atau jiwa yang dijamin
Shigah atau ijab qabul
Syarat Shighah
Harus dengan kata-kata yang menunjukkan pemberian komitmen baik secara eksplisit
maupun implisit. Contoh yang berbentuk eksplisit adalah “Saya yang menanggung utang
si Fulan kepadamu.” atau “Saya yang menjamin utangnya itu.” Sedangkan contoh yang
berbentuk implisit adalah seperti perkataan kafiil “Hartamu yang diutang si Fulan adalah
menjadi kewajibanku.”
Harus implementatif dan pasti, tidak boleh mengambang misalnya dengan kata-kata
“Apabila aku melakukan begini, maka aku menjamin untuk menjadi kafiil”
Tidak dibatasi dengan jangka waktu.
Syarat Pihak Kafiil
• Berakal dan baligh yakni memiliki kelayakan untuk berderma
Tidak sah kafalah yang diberikan anak kecil dan orang gila. Adapun penjaminan yang
diberkan oleh seseorang yang sedang dalam kondisi sakit kritis maka hukum
penjaminannya tidak boleh melebihi batas sepertiga dari harta kekayaannya, lebih dari itu
harus ada izin dari ahli waris.
• Berstatus merdeka (bukan budak)
Seorang budak tidak memiliki hak untuk melakukan derma kecuali atas seizin
majikannya.
Syarat Pihak Ashiil
• Ashiil harus orang yang memiliki kemampuan untuk menyerahkan sesuatu yang dijamin
baik ia lakukan sendiri maupun oleh wakilnya. Syarat ini hanya ditetapkan oleh Imam
Abu Hanifah. Sementara Abu Yusuf dan Muhammad serta jumhur fuqaha berpendapat
bahwa sah menjamin utang seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan pailit tanpa
meninggalkan sesuatu yang bisa digunakan untuk membayar utangnya.
• Ashiil haruslah diketahui oleh kafiil. Namun sebagian fuqaha membolehkan ashiil tidak
diketahui pasti siapa orangnya.
Syarat Al-Makfuul Lahu
• Ia harus diketahui. Ulama Syafi’iyyah setuju dengan syarat ini karena biasanya orang
yang berpiutang berbeda-beda karakternya, ada yang bersikap keras dan kaku dalam
meminta pembayaran utang, dan ada yang bersikap lunak dan mudah berkompromi.
Sementara ulama Malikiyyah dan Hanabilah memperbolehkan al-Kafalah yang di
dalamnya pihak al-Makfuul lahu tidak diketahui.
• Ia harus hadir di majlis akad al-Kafalah. Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad
tidak boleh ada seseorang yang mewakili pihak Al-Makfuul Lahu.
• Ia harus berakal.
Syarat Al-Makfuul Bihi (Sesuatu yang Dijamin)
• Harus sesuatu yang menjadi tanggungan pihak ashiil, baik itu berupa utang, barang, jiwa
atau perbuatan.
• Harus sesuatu yang mampu dipenuhi pihak Kafiil supaya akad kafalah yang diadakan
memang benar-benar memiliki faedah.
• Utang yang ada harus benar-benar utang yang statusnya mengikat dan sah.
Konsekuensi Hukum Al-Kafalah
• Munculnya hak atau kewenangan menagih Al-Makfuul Bihi (sesuatu yang dijamin)
kepada pihak Kafiil (Penjamin).
• Tertetapkannya kewenangan menagih bagi pihak yang menjamin kepada pihak yang
dijamin
Berakhirnya Akad Kafalah
• Telah adanya pembayaran dan pelunasan utang yang ada kepada pihak yang berpiutang
atau telah adanya sesuatu yang berkedudukan hukum seperti pembauaran dan pelunasan
utang.
• Adanya pembebasan atau sesuatu yang semakna dengannya. Apabila pihak yang
berpiutang membebaskan pihak penjamin atau pihak yang dijamin dari tanggungan utang
yang ada maka Kafalah usai dan berakhir. Hanya saja apabila pihak penjamin yang
dibebaskan maka pihak yang dijamin tidak ikut terbebaskan.
Berakhirnya Akad Kafalah (Terhadap Jiwa)
• Penyerahan diri orang yang dituntut kepada pihak penuntut.
• Adanya pembebesan kepada ashill.
• Pihak ashiil meninggal dunia.
Berakhirnya Akad Kafalah (Terhadap Barang)
• Barang yang dijamin telah diserahkan kepada pemiliknya yang sah, jika memang
barangnya masih ada dan belum rusak
• Adanya pembebasan dari pihak pemilik barang.
Pihak Kafiil Meminta Ganti kepada Ashiil
Syarat:
• Kafalah yang ada adalah atas perintah dari pihak Al-Makfuul ‘Anhu (Ashiil). Apabila
Kafalah yang ada tidak atas perintah dari pihak Al-Makfuul ‘Anhu, maka pihak Kafiil
tidak berhak meminta ganti kepada asiil atas apa yang telah ia bayarkan.
• Kafalah yang ada berdasarkan izin yang sah yakni izin yang dikeluarkan oleh ashiil yang
memiliki keabsahan dan kelayakan untuk mengeluarkan pengakuan bahwa dirinya
menanggung utang.
• Menyandarkan jaminan kepada pihak ashiil seperti “jaminlah aku.” Kemudian Kafiil
tidak memiliki tanggungan utang kepada pihak Ashiil yang sama dengan utang Ashiil
kepada Makfuul Lahu.
Berbagai Implementasi pada Penjaminan Klasik
• Dhamaan ad-Darak atau Dhamaan al-’Uhdah
Penjaminan terhadap harga yang menjadi hak pihak penjual dan penjaminan terhadap
barang yang dijual yang menjadi hak pihak pembeli
• Penjaminan Pasar
Yaitu pihak penjamin menjamin utang yang akan menjadi tanggungan pihak pedagang
dan menjamin barang-barang berstatus barang tanggungan yang akan diserahterimakan
padanya. Ini adalah termasuk bentuk menjamin sesuatu tanggungan yang belum positif
dan belum mengikat serta termasuk menjamin sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas
dan pasti.
• Jaminan terhadap kekurangan akibat tidak akuratnya timbangan dan takaran atau
ukuran
Yaitu menjamin kekurangan yang diakibatkan oleh tidak akuratnya alat penakar, alat
timbang atau alat ukur dan lain sebagainya.
Ketiga penjaminan tersebut adalah penjaminan murni yaitu bentuk akad derma murni
tanpa ada imbalan, berbeda dengan apa yang diterapkan oleh bank-bank yang menganut
sistem riba.
Berbagai Implementasi pada Penjaminan Modern
• Letter of Credit (L/C)
Adalah surat perjanjian yang diterbitkan oleh suatu bank untuk kepentingan eksportir
yang berisikan komitmen pihak bank untuk melakukan pembayaran harga barang yang
diekspornya atas nama pihak importir yang membuka kredit pada bank tersebut ketika
eksportir telah menyerahkan berkas dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
barang tersebut berikut pengapalannya dengan syarat berkas dan dokumen-dokumen
tersebut memang sesuai dengan ketentuan-ketentuan kredit. Hukum LC ini sama dengan
surat jaminan dan penjamin mendapat keuntungan atau ikut menanggung kerugian
dengan persentase tertentu (bukan penjaminan murni).
• Asuransi Komersial dengan premi tetap
Asuransi ini disebut juga dengan dhamaan (jaminan). Definisi asuransi menurut undang-
undang adalah suatu akad yang di dalamnya pihak perusahaan asuransi akan memberikan
sejumlah uang atau pendanaan atau suatu ganti apapun dalam bentuk harta kepada
anggotanya atau kepada pihak yang asuransi itu diperuntukkan baginya ketika terjadi
suatu kejadian atau insiden atau ketika adanya risiko yang nyata dalam akad. Akad ini
masuk ke dalam akad spekulatif (gharar).
• Jaminan Visa Izin tinggal dan Jaminan Pergi ke Luar Negeri
Pihak Kafiil dalam akad ini boleh meminta semacam kompensasi akan tetapi hanya
sebatas sebagai biaya untuk hal-hal yang harus dilakukannya dalam proses penjaminan
yang diberikan (uang lelah). Dan apabila ia mengeluarkan sejumlah uang sebagai
konsekuensi penjaminan yang diberikannya itu, maka ia boleh meminta ganti kepada
pihak yang dijaminnya sesuai dengan jumlah yang ia keluarkan. Adapun selain itu maka
tidak boleh dan hukumnya haram.
HARAP DIPELAJARI JUGA FATWA DSN MUI NO. 11 TAHUN 2000 DAN NO. 57
TAHUN 2007 TENTANG KAFALAH
RAHN
Definisi Rahn
r-R ahn secara bahasa artinya bisa ats-Tsubuut dan ad-Dawaam (tetap), dikatakan , A“maa’un raahinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir),” “haalatun raahiinatun (keadaan yang tetap) atau ada kalanya berarti Al- Habsu dan al-Luzuum (menahan).
Ar-Rahnu menurut istilah syara: menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang
memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut.
Ar-Rahnu adalah akad watsiiqah (penjaminan) harta, maksudnya sebuah akad yang
berdasarkan atas pengambilan jaminan berbentuk harta yang konkrit bukan jaminan dalam
bentuk tanggungan seseorang.
Definisi rahn menurut para ulama:
• Ulama Syafi’iyyah: menjadikan al-’Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang
barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-Marhuun bihi) ketika pihak al-
Madiin (phak yang berutang, ar-Rahiin) tidak bisa membayar utang tersebut. Kalimat
“menjadikan al-’Ain” mengandung pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan
sebagai sesuatu yang digadaikan, karena kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh
karena itu tidak bisa dijadikan sebagai jaminan.
• Ulama Hanabilah: harta yang dijadikan sebagai watsiiqah utang yang ketika pihak yang
menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan
menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan watsiiqah tersebut.
• Ulama Malikiyyah: sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai)
yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiiqah utang yang laazim
(keberadaannya sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi laazim. Maksudnya,
suatu akad atau kesepeakatan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk Al-’Ain
(barang, harta yang barangnya berbentuk konkrit) seperti harta tidak bergerak seperti
tanah dan rumah, juga seperti hewan dan barang komoditi atau dalam bentuk kemanfaatan
(kemanfaatan barang atau tenaga dan keahlian seseorang).
Rukun dan Elemen-Elemen Ar-Rahn
• Ar-Raahin (pihak yang menggadaikan)
• Al-Murtahin (pihak yang menerima gadai)
• Al-Marhuun atau ar-Rahnu (barang yang digadaikan)
• Al-Marhuun bihi (ad-Dain atau tanggungan utang pihak ar-Raahin kepada al-Murtahin)
Syarat-Syarat Kedua Belah Pihak yang Melakukan Akad
• Al-Ahliyyah (memliki kelayakan dan kompetensi melakukan akad)
Menurut ulama Hanafiyyah adalah kelayakan, kepantasan, kompetensi melakukan akad jual
beli. Setiap orang yang sah dan boleh melakukan transaksi jual beli maka sah dan boleh
untuk melakukan ar-Rahn termasuk anak yang belum baligh.
Sedangkan menurut selain ulama Hanafiyyah adalah kelayakan dan kompetensi melakukan
jual beli dan derma. Sah jika diadakan oleh orang yang sah akad jual beli dan dermanya.
Namun tidak sah jika daidakan oleh orang yang dipaksa dan anak kecil yang belum baligh.
Syarat-Syarat Shighah
• Syarat yang sah
seperti mensyaratkan diutamakan dan diprioritaskannya pihak al- Murtahin untuk dibayar utangnya atau syarat yang mengandung kemaslahatan bagi akad Rahn itu sendiri dan tidak berkonsekuensi munculnya unsur tidak diketahui dan tidak pasti.
• Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku
mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahatan dan tujuan seperti mensyaratkan hewan untuk tidak makan ini itu.
• Syarat yang tidak sah sekaligus Rahn menjadi tidak sah
mensyaratkan sesuatu yang merugikan al-Murtahin seperti tidak boleh menjual barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.
Syarat-Syarat Al-Marhuun Bihi
• Al-Marhuun bihi harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya
• Al-Marhuun bihi harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan dibayar dari
al-Marhuun (barang yang digadaikan)
• Hak yang menjadi al-Marhun bihi harus diketahui dengan jelas dan pasti
Syarat-Syarat Al-Marhuun (Sesuatu yang Digadaikan)
• Al-Marhuun harus bisa dijual • Menggadaikan sesuatu yang tidak diketahui
• Al-Marhuun harus berupa harta dengan jelas dan pasti tidak sah
• Menggadaikan kemanfaatan tidaklah sah • Al-Marhuun statusnya harus milik ar-Raahin
• Al-Marhuun harus mutaqawwam (memiliki • Al-Marhuun harus mufarragh (tidak ditempeli
nilai) sesuatu yang tidak ikut digadaikan)
• Menggadaikan minuman keras dan babi tidaklah • Al-Marhuun harus muhawwaz (tidak menempel
sah pada sesuatu yang tidak ikut digadaikan)
• Al-Marhuun harus diketahui dengan jelas dan • Al-Marhuun harus mutamayyiz tidak dalam
pasti bentuk bagian yang masih umum dari sesuatu
Al-Qabdhu (Al-Marhuun Diserahterimakan ke Tangan Pihak Al-Murtahin)
Jumhur ulama selain ulama Malikiyyah berpendapat bahwa al-Qabdhu tidak merupakan syarat sah akad Rahn,
akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad Rahn.
Sementara itu ulama Malikiyyah berpendapat bahwa akad Rahn tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya al-
Qabdhu atau al-Hauz (penggenggaman, penguasaan) syarat kesempurnaan akad Rahn maksudnya sempurna faedahnya bukan syarat sah atau syarat yang berlaku mengikatnya akad Rahn.
Tata Caranya:
• Apabila al-Marhuun berupa harta tidak bergerak adalah dengan cara menyerahkannya dalam bentuk
penyerahan yang sesungguhnya dan nyata atau dengan cara at-Takhliyah yaitu dengan mengjilangkan
sesuatu yang bisa menghalangi serahterima.
• Apabila al-Marhuun berupa harta yang bergerak maka cukup membiarkan antara al-Murtahun dengan al-
Marhuun.
Syarat-Syarat Al-Qabdhu
• Al-Qabdhu harus atas izin pihak ar-Raahin
• Ketika dilakukan al-Qabdhu, kedua belah pihak yang melakukan akad ar-Rahn harus memiliki kelayakan
dan kompetensi (al-Ahliyyah) melakukan akad
• Al-Qabdhu harus dilakukan dalam bentuk yang permanen
Hukum Ar-Rahn
Ar-Rahn hukumnya adalah jaa’iz (boleh) tidak wajib berdasarkan kesepakatan ulama. Karena ar-rahnu adalah
jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib seperti halnya kafalah hukumnya juga tidak wajib.
“Maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...” (QS: Al-Baqarah
ayat 283)
Perintah pada ayat ini bersifat irsyaad (pengarahan kepada yang lebih baik bagi kaum Mukminin, bukan
perintah yang bersifat wajib. Hal ini berdasarkan ayat setelahnya...
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaknya yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya)” (QS: Al-Baqarah ayat 283)
Juga karena di dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan adanya ar-Rahn ketika tidak menemukan seorang
juru tulis. Karena menuliskan dan mendokumentasikan utang piutang hukumnya tidak wajib, maka begitu juga
solusi pengganti penulisan (yaitu ar-rahnu) juga tidak wajib.
Bentuk-Bentuk Ar-Rahn
• Ar-Rahn yang terjadi dengan akad lain yang memunculkan adanya tanggungan utang seperti seorang
penjual mensyaratkan kepada si pembeli yang membeli secara kredit sampai batas waktu yang ditentukan
dengan menyerahkan jaminan harga pembelian yang tidak tunai tersebut.
• Ar-Rahn yang terjadi setelah munculnya hak atau setelah munculnya tanggungan utang.
• Ar-Rahn yang terjadi sebelum munculnya hak seperti perkataan ar-Raahin, “saya menggadaikan barang ini
kepadamu sebagai jaminan utang seratus yang baru akan kamu pinjamkan kepadaku sekarang.”
Perselisihan yang Terjadi Diantara Ar-Rahn dan Al-Murtahin
• Perselisihan mengenai besaran al-Marhuun bihi
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan ar-Raahin disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai kerusakan barang yang digadaikan
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan ar-Murtahin disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai nilai pada waktu akad
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan ar-Raahin disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai Al-Qabdhu
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan ar-
Raahin disertai dengan sumpahnya. Sementara ulama Hanabilah berpendapat pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan orang yang memegan al-Marhuun disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai binasanya al-Marhuun
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan al-Murtahiin disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai jenis atau macam al-Marhuun
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan al-Murtahiin disertai dengan sumpahnya.
• Perselisihan mengenai peletakan al-Marhuun
pernyataan yang diterima adalah pengakuan dan pernyataan
al-’Adl dan al-Murtahiin disertai dengan sumpahnya.
Berakhir dan Selesainya Akad Rahn
• Diserahkannya al-Marhuun kepada Pemiliknya
• Terlunasinya seluruh utang yang ada (al-Marhuun bihi)
• Penjualan al-Marhuun secara paksa yang dilakukan oleh ar-Raahin atas perintah hakim
• Terbebaskannya ar-Raahin dari utang yang ada walau dengan cara apapun (cth: hawalah)
• Pembatalan akad ar-Rahn dari pihak al-Murtahin
• Menurut ulama Malikiyyah: Rahn batal apabila belum terjadi al-Qabdhu
• Binasanya al-Marhuun
• Melakukan pentasharufan terhadap al-Marhuun dengan meminjamkan/ hibah/ sedekah
HARAP DIPELAJARI JUGA FATWA DSN MUI NO. 25 DAN 26 TAHUN 2002 DAN NO. 68 TAHUN 2008
MENGENAI RAHN
Penggabungan Akad
Jenis-jenis penggabungan Akad.
Penggabungan akad dapat dibagi dalam beberapa cara:
1. Penggabungan lebih dari satu akad tanpa salah satunya menjadi syarat bagi yang lain (Muata’ah)
2. Penggabungan lebih dari satu akad dimana salah satu atau beberapa dari akad tersebut menjadi syarat bagi yang lain
3. Penggabungan lebih dari satu akad dengan perjanjian tanpa salah satunya menjadi syarat bagi yang lain (Muata’ah)
4. Perjanjian untuk mengakhiri kesepakatan dengan bentuk akad yang sesuai dengan masa yang akan datang.
Contoh : Pihak A menjual rumah yang dimilikinya kepada B dan pada waktu yang bersamaan menyewa kendaraannya kepada pihak yang sama dengan nilai akad Rp100 juta untuk keduanya atau nilai yang berbeda untuk masing-masing kesepakatan
Pihak A dapat menjadikan transaksi penyewaan kendaraan sebagai syarat bagi transaksi penjualan rumah atau tidak.
• Akad jual-beli dan akad sewa-menyewa diperbolehkan dalam Syari’ah, sehingga melakukan kedua akad tersebut secara bersamaan diperbolehkan
• Pada kasus pertama, penggabungan akad diperbolehkan karena merupakan transaksi yang terjadi tanpa paksaan
• Namun kasus kedua tidak diperbolehkan oleh Syari’ah, dimana salah satu akad merupakan syarat bagi terlaksananya akad yang lain
• Pada prinsipnya, penggabungan akad diperbolehkan jika secara terpisah akad tersebut memenuhi ketentuan Syari’ah dan masing-masing akad bukan merupakan syarat bagi terlaksananya akad yang lain.
Hukum penggabungan Akad
Penggabungan akad diperbolehkan dalam Syari’ah selama memenuhi ketentuan berikut:
1. Akad yang digabung tidak mengadung hal-hal yang dilarang oleh Syari’ah
2. Penggabungan akad tidak digunakan sebagai cara untuk mencapai sesuatu yang diharamkan
3. Tidak digunakan sebagai alasan untuk mendapatkan keuntungan dari akad pinjaman
4. Tujuan dari penggabungan akad tidak bertentangan dengan tujuan masing-masing akad secara terpisah
Beberapa Qowa’id Fiqhiyyah terkait penggabungan akad:
1. Akad tambahan (subsider) memiliki kelonggaran lebih dibandingkan akad lainnya
2. Akad implisit memiliki kelonggaran dibandingakan akad eksplisit
3. Kelonggran pada akad implisit tidak dapat diterapkan pada akad eksplisit
4. Ketentuan pada akad eksplisit memiliki persayaratan yang lebih dibandingkan akad implisit
5. Syarat pada akad implisit mungkin tidak berlaku pada akad eksplisit
Kelonggran dalam penggabungan akad : Gharar, Jahalah, bay’ul dayn bil day, sharf, dan beberapa rukun akad.
• Ketentuan syarat dalam akad:
Syarat yang disepakati menyerupai sebuah ketentuan yang ada dalam akad
Dalam urf, syarat yang merupakan ketentuan umum menyerupai pada statuny syarat yang dinyatakan secara eksplisit
Niat dalam akad perlu dipertimbangkan
Iman Ahmad menerapkan hal ini pada masa beliau di Madinah dan dianggap sebagai urf
• Muata’ah atau Tawatu’ dalam istilah fiqh memiliki beberapa arti, diantaranya:
Niat eksplisit atau implisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut untuk melakukan sesuatu yang dilarang
Perjanjian yang tidak dinyatakan sebelum akad untuk melakukan akad yang sesuai dengan Syari’ah sebagai jalan keluar
Aplikasi Kontemporer
• Keuangan Islam kontemporer memiliki ciri khas dimana perjanjian yang diberlakukan merupakan penggabungan dari beberapa jenis akad.
• Muata’ah dalam hal ini perlu diawasi oleh mereka yang memahami ketentuan akad yang Shari’ah compatible
• Muata’ah dalam hal ini merupakan mengikat bagi pihak-pihak yang terkait selama sesuai dengan ketentuan Syari’ah.
top related