referat anemia defesiensi besi
Post on 14-Aug-2015
74 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFERAT
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
ANEMIA DEFISIENSI BESI
oleh:
Ery Irawan (0708015017)
Listyono Wahid R. (0808015009)
Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp.A.
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat terutama
di negara berkembang. kelaianan ini merupakan penyebab debilitas kronik
(chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial
dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya demikian sering,
anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati
para dokter di praktek klinik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer yang disebut
penurunan oxygen carrying capacity. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Anemia bukanlah
suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam diagnosis
anemia tidak cukup hanya sampai label anemia tapi harus ditetapkan penyakit
dasar penyebab anemia tersebut.
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoeisis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
haemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan
hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan
seorang klinisi dalam menangani kasus anemia defisiensi besi hingga
penatalaksanaannya serta sebagai syarat menjalani kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fak.Kedokteran Univ.Mulawarman.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer yang disebut
penurunan oxygen carrying capacity. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Anemia bukanlah
suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam
diagnosis anemia tidak cukup hanya sampai label anemia tapi harus ditetapkan
penyakit dasar penyebab anemia tersebut.
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin
(Hb) berkurang. Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari
petunjuk patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi.
Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang
paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga
memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta
keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone
tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak
mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak
mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.
2.2. Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia
2
yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Dari berbagai data yang
dikumpulkan saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi
sebagai berikut:
Afrika Amerika Latin Indonesia
lelaki dewasa 6% 3% 16-50%
wanita tak hamil 20% 17-21% 25-48%
wanita hamil 60% 39-46% 49-62%
Prevalensi anemia defisiensi besi di dunia1
Belum ada data yang pasti mengenai prevalesni ADB di Indonesia.
Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada
perempuan tidak hamil. Pada pansiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36% atau 61% disebabkan oleh defisiensi besi. Sedangkan
pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar
27%.1
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan. Di
India, Amerika Latin dan Filipina, prevalensi ADB pada perempuan hamil
berkisar antara 33% sampai 99%. Sedangkan di Bali pada pengunjung suatu
puekesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia
disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu servei pada 42 desa di Bali yang
melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevales ADB sebesar 46%,
sebagian besar derajat anemia adalah ringan. Faktor resiko yang dijumpai adalah
tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi.1
Di Amerika Serikat, berdasarkan servei gizi (NHANES III) tahun 1988
sehingga 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa
yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4% pada lelaki dewasa berumur lebih
dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan masa reproduksi, dan 5-7% pada
perempuan pasca menopause.1
Kelompok-kelompok berikut memiliki peningkatan resiko
3
kemungkinan mengalami anemia kekurangan zat besi:
Wanita. karena wanita kehilangan darah selama menstruasi. Karena
itulah pada umumnya wanita lebih berisiko daripada laki-laki.
Bayi dan anak-anak. Bayi terutama mereka yang lahir dengan berat badan
rendah atau lahir prematur, ang tidak mendapatkan zat besi yang
cukup dari ASI atau susu formula mungkin menghadapi resiko
kekurangan zat besi. Anak-anak memerlukan zat besi ekstra selama
“growth spurts”. Jika anak-anak ini tidak mendapat makanan dengan diet
yang sehat dan bervariasi, mereka mungkin berisiko.
Vegiterian. Orang yang tidak makan daging memiliki resiko yang
lebih tinggi sekiranya mereka tidak mengkonsumsi makanan lain yang
kaya dengan sumber zat besi.
Sering donor darah. Orang yang rutin melakukan donor darah
mungkin memiliki peningkatan resiko anemia defisiensi besi karena
donor darah bisa menyebabkan deplesi simpanan besi. Kadar hemoglobin
yang rendah yang berkaitan dengan donor darah merupakan masalah
sementara dan dapat diatasi dengan makan makanan yang kaya dengan zat
besi.
2.3. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat pendarahan
menahun.
Kehilangan besi akibat pendarahan menahun dapat berasal dari:
- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid,
dan infeksi cacing tambang
- Saluran genitalia perempuan : monorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih : hematuria
- Saluran napas : hemoptoe
4
Faktor nutrisi : akibat kurangnya besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C, dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat: prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical spure atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir
identik dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan
kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab pendarahan paling
tersering pada laki-laki adalah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan
dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.1,3
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan
dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan pada
umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB
umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor nutrisi lebih
berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penilitian di Desa
Jagapati, Bali mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai
peran pada 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar
kasus terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik
misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran
penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid
(27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing
tambang masing-masing 17%. 1, 4,5,6,7
2.4. Patofisiologi
2.4.1 Metabolisme zat besi
Perkembangan metabolisme zat besi dalam hubungannya dengan
homeostatis besi dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa,
sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti pada
5
orang dewasa. Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin
mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu
besi juga terdapat dalam beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif,
sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi
akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan,
susunan saraf pusat, kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler.
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam
makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.
Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau
sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin,
30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam
bentuk mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai
enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5 gram.10,11
Ada dua cara penyerapan besi zat besi dalam usus, yang pertama
adalah penyerapan dalam bentuk non heme ( sekitar 90% berasal makanan),
yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk
yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya
dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam
lambung atau zat makanan yang dikonsumsi.11
Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam
lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh asam
lambung (HCL) vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri diubah
menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi
oleh mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan
sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut
transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis
hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile
iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila
makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan membentuk suatu
kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat
6
absorpsi besi.1
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke
dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi
dalam tubuh normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi
melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan
(menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan
dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.1
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah : bayi 0,3-0,4 mg/hari,
anak 4-12 tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita
dewasa 1,0-2,5 mg/hari, wanita hamil 2,7 mg/hari. Kebutuhan besi dari
bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya , karena dipergunakan
untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang anak 5 mg/hari, tetapi bila
terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.1
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang
bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.
Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih
sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel
kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini
akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh.1
2.4.2 Fisiologi pembentukan hemoglobin
Eritropoitin adalah pengatur hormon primer dan merupakan produksi sel
darah merah (SDM). Pada fetus, eritropoitin dihasilkan dari monosit/makrofag di
hati. Setelah lahir, eritropoitin diproduksi oleh sel-sel peritubular ginjal.
Dalam differensiasi sel darah merah, kondensasi material inti sel merah,
menghasilkan hemoglobin sehingga jumlahnya mencapai 90% dari masa sel
darah merah. Normalnya sel darah merah dapat bertahan sekitar 120 hari,
sementara abnormalnya SDM dapat bertahan hanya selama 15 hari.
Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya kemudian menurun dan
7
selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami
proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan
direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan
mengikuti siklus seperti diatas atau tetap disimpan sebagai cadangan tergantung
aktivitas eritropoisis.
2.5. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan
besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron
depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan
kadar ferritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang.1
Apabila berkurangnya besi berlanjut terus menerus maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoeisis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoeisis. Pada fase
ini, kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorpyrin dalam eritrosit. Saturasi transrferin
menurun dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir
ini parameter yang sangat spesifik ialah pemingkatan reseptor transferin dalam
serum.1
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoeisis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.1
Perubahan fungsional non-anemia pada defisiensi besi1
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting
dari mioglobin dan berbagai ensim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi
dan transpor elektron. Oleh karena itu, defisiensi besi di samping
8
menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti
misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan: (3) gangguan
imunitas dan ketahanan terhadap infeksi; (3) gangguan terhadap ibu hamil dan
janin yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan bahkan
sebelum anemia manifes.
Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom
dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis ang
berakibat penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan otot.
Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran jasmani, serta pada buruh
pemetik the menurunkan kinerja kerja. Dampak negatif ini dapat dihilangkan
jika diberikan preparat besi.
Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan kognitif dan non-
kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar. Hal ini
diperkirakan karena gangguan pada enzim aldehide oksidase yang menyebabkan
penumpukan seratonin, serta enzim monoaminooksidase yang menyebabkan
penumpukan katekolamin dalam otak.
Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih kontroversial. Ada yang
berpendapat bahwa defisiensi besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi
pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada
ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain, besi dibutuhkan oleh enzim untuk
sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas
selular.
Defisiensi besi dihubungkan dengan resiko prematuritas serta mrobiditas
dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai
peningkatan angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering
mengalami gangguan partus.
2.6. Gejala dan Diagnosis
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
9
Gejala anemia umum
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia
(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun dibawah 7-8g/dl. Gejala ini berupa badan lemah. Lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia
defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-
lahan seringkali sindrom anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan
anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh
karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simptomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7g/dl. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan pasien yang pucat terutama pada konjungtiva dan
bawah kuku.1,3,6
Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas ditemukan pada anemia defisiensi besi tapi tidak
ditemukan pada anemia lain adalah:
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang
Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah
liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly
adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokrom mikrosikter, atrofi
papil lidah, dan disfagia.1,3
Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit dasar
10
yang menjadi penyebab ADB tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit tapak tangan
berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat
kanker kolon, dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala
lain tergantung lokasi kanker tersebut.1,3
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium
yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah
menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cutt off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya
defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.1
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi
(tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi
(modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokrom mikrositer pada sediaan hapus darah tepi, atau
MCV<80fl dan MCH<31% dengan salah satu dari a,b,c, atau d:
a) Dua dari tiga parameter di bawah ini:
i. Besi serum <50mg/dl
ii. TIBC >350mg/dl
iii. Saturasi transferin: <15%,
atau
b) Feritin serum <20mg/I, atau
c) Pengecatan sumsum tulang dengan Biru Perusia (Perl’s stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d) Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih
11
dari 2g/dl
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab
defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan
berbagai jenis pemeriksaan tapi merupakan tahap yang sangat penting untuk
mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat
menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan
pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.1
Untuk pasien dewasa, fokus utama adalah mencari sumber perdarahan.
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa
reproduksi, anamnesis tengtang menstruasi sangat penting. Kalau perlu
dilakukan pemeriksaan genekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia
dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup
hanya dilakkan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tapi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif seperti misalnya teknik Kato-
Katz untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah
serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab
lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur
pergram feses (TPG) atau egg pe rgram faces (EPG) >2000 pada perempuan
dan > 4000 pada laki-laki. Dalam satu penilitian lapangan ditemukan hubungn
yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-
laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada prempuan.1
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat. Anemia
akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium disamping tanda-tanda
defisiensi besi juga disertai eosinofilia.1
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis pada pasien dewasa jika
keadaan memungkinkan. Sekiranya keadaan tidak memungkinkan, anamnesis
12
dilakukan secara allo anamnesis. Anamnesis yang perlu dilakukan meliputi:
Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa.
Keluhan utama
o Bertanya tentang awitan dan gejala awal. Pasien mengeluh mudah lelah,
nafas menjadi lebih berat, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. 1
o Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu: 1,2
Pika: suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti
es batu, kotoran atau kanji
Glositis : iritasi lidah
Keilosis : bibir pecah-pecah
Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
o Ditanyakan juga pola pertumbuhan sekiranya pasien anak/remaja.
Riwayat penyakit sekarang1,2
Ditanya tentang faktor resiko yang mungkin ada pada pasien.
Misalnya, kebiasaan makannya atau status diet, ambilan obat dan jangka
waktunya, status sosioekonomi (malnutrisi), status menstruasi (pada
wanita, sering pada premenopause).
Penyakit yang dialami sekarang seperti perdarahan saluran makanan,
perdarahan genitourinarius, hemosiderosis paru, dan hemolisis
intravascular serta tempuh lamanya penyakit tersebut.
Riwayat penyakit dahulu2
Ditanya jika pasien mempunyai riwayat gastrektomi parsial atau total,
by pass usus halus proksimal.
Ditanya adakah pasien ada mengambil apa-apa obat terutamanya aspirin
13
2.6.1 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Status generalis:
a. Keadaan umum: Tampak sakit ringan, pucat.
b. Kesadaran: Kompos mentis
c. Tanda-tanda vital: dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik lain1,2,3,4
Kepala – ditemukan konjungtiva anemis. Dapat juga ditemukan stomatitis
angularis, atrofi papil lidah
glossitis karena atrofi papil lidah3
Thoraks - murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
Abdomen - Bisa ditemukan splenomegali pada pasien ADB yang berat, persisten
dan ADB yang tidak diterapi.
Ekstremitas – Khas ditemukan koilonikia yaitu kelainan pada kuku, tidak
14
3
ditemukan edema pada tungkai.
Koilonychia (kuku sendok)
2.6.2 Pemeriksaan penunjang
Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit1-5
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar
hemogglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV
<70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major.
MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Penigkatan anisositosis
ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap
pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat
penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis ini hasilnya sering
tumpang tindih.
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memaki angka <80fl, tapi pada
penilitian ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa
titik pemilah <78fl memberi sensitivitas dan sfesifisitas paling baik. Dijumpai
juga bahwa penggabungan MCV,MCH,MCHC dan RDW makin meningkatkan
spesifisitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit selalu dapat mengalami perubahan
sebelum kadar hemoglobin menurun.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer,
15
anisositosis, dan poiklilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat
hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat
anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis
ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin (ring cell), atau memanjang
seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kdang
dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada
ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai
pada ADB dengan dengan episode perdarahan akut.
Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)1,2,5
Kensentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat.
TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan
saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk
kriteria diganosis ADB, kadar besi serum menurun <50µg/dl, total iron binding
capacity (TIBC) meningkat >350µg/dl, dan saturasi transferin <15%. Ada juga
memakai saturasi transferin <16%, atau <18%. Harus diingat bahwa besi serum
menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar dengan kadar puncak pada jam 8
sampai 10 pagi.
Ferritin serum1,2,5
Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik
kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cutt off
point) untuk feritin aserum pada ADB diapakai angka <12µg/l, tetapi ada juga
yang memakai <15µg/l. untuk daerah tropik di mana angka infeksi dan inflamasi
masih tinggi, titik pemilah yang diajukan oleh negara barat tampaknya haris
dikoreksi. Pada satu penilitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali
pemakaian feritin serum <12µg/l dan <20µ/l memberikan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivtas
tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40mg/l, tanpa
mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik
16
menganjurkan memakai angka feritin serum <20mg/l sebagai kriteria diagnosis
ADB. Jika terdapat inflamasi atau infeksi yang jelas seperti artritis
reumatoid, maka feritin serum 50-60µg/l masih dapat menunjukkan adanya
defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk
diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di
klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak
terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan
adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100mg/dl dapat memastikan
tidak adanya defisiensi besi.1
Protoporfirin1
Protoporfirin merupakan bahan antara dalam pembentukan heme.
Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka
protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari
momg/dl. Untuk defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah lebih dari 100mg/dl.
Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan
keracunan timah hitam.1
Kadar reseptor transferin1,2
Kadar reseptor transerin dalam serum meningkat pada defisiensi
besi. Kadar normal dengan cara immunologi adalah 4-9µg/L. Pengukuran
reseptor transferin terutama digunakan untuk membedakan ADB dengan anemia
akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi bila dipakai rasio reseptor
teransferin dengan log feritin serum. Ratio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio
<1,5 sangat mungkin anemia karena penyakit kronik1
Pemeriksaan sumsum tulang1,2,4,5,6
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai
sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak
teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan sumsum
tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif
(butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast
17
mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast
negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku
emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini
perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan ferritin serum yang lebih
praktis1.
Studi ferokinetik1
Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat
radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu Plasma iron transport rate (PIT)
yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erithrocyte iron turn
over rate (EIT) yang mengukur peredaran besi dari sumsum tulang ke sel darah
merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak
digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penilitian.1
Pemeriksaan penyakit penyebab1
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi
besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semikuantitatif misalnya teknik Kato-katz, pemeriksaan darah
samar feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-
lain tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.1
2.7. Diagnosis Banding
Anemia akibat penyakit kronik.Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia. Sebagian
besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker , gagal ginjal dan penyakit hati.
Anemia penyakit kronis ini ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit,
gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak
efektifnya rangsangan eritropoeitin. Pada umunya anemia derajat sedang dengan
mekanismenya yang belum jelas.
18
Anemia defisiensi besi Anemia penyakit kronik
Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan
MCV Menurun Menurun/normal
MCH Menurun Menurun/normal
Besi serum Menurun Menurun < 50
TIBC Meningkat > 360 Menurun <300
Saturasitransferin
Menurun < 15% Menurun / normal 10-20%
Besi sumsumtulang
Negatif Positif
Protoporfirineritrosit
Meningkat Meningkat
Feritin serum Menurun < 20 g/l Normal 20-200 μg/l
Elektrofoesis Hb Normal Normal
Perbandingan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronik1
Anemia megaloblastikAnemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi Asam Folat adalah anemia yang terjadi karena
tubuh kekurangan asam folat. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran
utama dari asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular.
Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempurnanya sintesa DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi
vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik.
19
Anemia defisiensi vitamin B12/ anemia pernisiosa
Anemia pernisiosa adalah anemia megaloblastik dengan karekteristik sel
darah merah besar yang abnormal dengan nuclei yang immatur ( blastik).
Anemia pernisisosa disebabkan defisiensi vitamin B 12 di dalam darah.
Vitamin B12 penting untuk sintesis DNA sel darah merah dan untuk fungsi
saraf. Sumber vitamin B 12 dari makanan dan diserap melalui lambung ke
dalam darah. Faktor intrinsik hormon lambung, penting untuk penyerapan
vitamin B12. Faktor intrinsik disekresi oleh sel parietal mukosa lambung.
Sebagian besar penyebab anemia pernisiosa adalah akibat defisiensi faktor
intrinsik, dapat juga karena asupan vitamin B12 yang kurang.
Defisiensi faktor intrinsik dapat terjadi secara kongenital atau akibat
atrofi atau rusaknya mukosa lambung karena peradangan lambung kronis atau
penyakit autoimun. Pengangkatan sebagian atau seluruh lambung secara bedah
juga akan menyebabkan defisiensi faktor intrinsik.
2.8. Penatalaksaan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapai terhadap penyebab perdarahan. Misalnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka
anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk menggantikan kekurangan besi
dalam tubuh (iron replacement therapy).
2.8.1 Medikamentosa
Terapi besi oral1
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus)
20
merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif.
Dosis anjuran adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66
mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg mengakibatkan absorbsi
besi 50 mg per hari ang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali
normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan
ferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tapi efektivitas dan efek
samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga sediaan enteric
coated yang dianggap memberikan efek samping yang lebih rendah, tapi dapat
mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebainya diberikan saat lambung
kososng, tapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah
makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan
saat makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi peroral adalah gangguan gastrointestinal
yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien.
Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi
efek samping, besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3x100
mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang
menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200
mg. jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitammin C, tapi
dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang
banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar
dan harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini, maka besi parenteral hanya
diberikan pada indikasi tertentu. Indikasi pemberin besi parenteral adalah:
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
21
Kepatuhan terhadap obat yang rendah
Gangguan pencernaan seperti koilitis ulseratif yang dapat kambuh
jika diberikan besi
Penyerapan besi terganggu misalnya pada gastrektomi
Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian oral, seperti misalnya pada hereditary
hemorrhagic telengiectasia
kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehemilan
trimester tiga atau sebelum operasi
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada
anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia ialah iron dextra complex (mengandung 50mg
besi/ml), iron sorbital citric acid complex dan yang terbaru iron ferric gluconate
dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara
intramuskular dalam atau intravena perlahan. Pemberian secara intramuskular
memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping
yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis meskipun jarang (0,6%). Efek
samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut,
dan sinkop.1
Terapi besi parenteral bertujuan mengembalikan kadar hemoglobin dan
mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. dosis yang dibserikan dapat dihitung
menggunakan dosis:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB X 2.4 + 500 atau 1000 mg
Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein
terutama yang berasal dari protein hewani.
Vitamin c: vitamin c diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan
absorbsi besi
Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi
22
pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
Anemia yang sangat simptomatil, misalnya anemia dengan
gejala pusing yang sangat menyolok.
Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang
cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikanadalah PRC (packed reds cell) untuk
mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan
pemberian furosemid intravena.1
Respons terhadap terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan
memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai
puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan
Hb 0,15g/hari atau 2g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal
setelah 4-10 minggu.
Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
Pasien tidak patuh minum obat
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,
keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam
folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijumpai keadaan seperti ini. Harus dilakukan evaluasi kembali dan
ambil tindakan yang sewajarnya.1
Bedah
Pengobatan bedah adalah bertujuan untuk menghentikan perdarahan dan
memperbaiki kecacatan yang mendasarinya sehingga tidak terjadi kekambuhan.
23
Ini mungkin melibatkan operasi penyakit neoplastik dan nonneoplastik baik
pada traktus gastrointestinal, traktus genitourinari, uterus, maupun paru-paru.7
Konsultasi dengan spesialis medik tertentu mungkin berguna untuk
mengidentifikasi sumber atau punca perdarahan dan sekaligus untuk
mengendalikannya. Konsultasi gastroenterologi merupakan spesialis medik yang
paling sering diperlukan. Endoskopi telah menjadi alat yang sangat efektif untuk
mencari dan mengendalikan perdarahan.7,8
Jika perdarahannya cepat, teknik angiografi mungkin berguna untuk
identifikasi dan kontrol perdarahan. Technitium radioaktif berlabel autologous
eritrosit juga berguna untuk mencari lokai perdarahan. Sayangnya metode
radiografi ini tidak dapat mendeteksi perdarahan yang secara keseluruhan
kurang dari 1ml/menit dan perdarahan yang intermiten juga mungkin terlepas
dari identifikasi.7
2.8.2 Non-medikamentosaSecara keseluruhan di dunia, dasar terjadinya kekurang zat besi adalah
masalah diet. Untuk mengharapkan populasi penduduk yang kekurangan zat
besi ini mengambil langkah sendiri untuk meningkatkan konsumsi zat besi
secara signifikan dengan menambahkan makan daging sebagai sumber besi
adalah kurang realistik.7
Penambahan besi nonheme untuk diet nasional telah dimulakan di
beberapa wilayah di dunia. Namun, beberapa masalah dihadapi oleh
perusahaan termasuklah perubahan rasa dan penampilan makanan setelah
penambahan besi. Selain itu, makanan pokok seperti roti (terutama di eropah)
mengandung iron chelators yang bisa menghambat penyerapan suplemen besi
(fosfat, phytates, karbonat. Oksalat). Selain itu pasien yang mengalami gejala
pica yang berhubungan dengan anemia defisiensi besi perlu diidentifikasi dan
dikonsultasi untuk menghentikan memakan makanan yang tidak lazim seperti
tanah liat.7,8
2.9. Komplikasi
24
Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan
memaksa otot tergantung, pada tingkat yang lebih besar dari pada orang sehat,
setelah metabolisme anaerobik. Hal ini diyakini terjadi karena kekurangan zat
besi yang mengandung enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama
daripada anemia.7
Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan
meningkatkan terjadinya insufisiensi koroner dan iskemia miokard.
Demikian pula, dapat memperburuk status paru pasien dengan penyakit paru
kronis.7
Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada
pasien kekurangan zat besi. Kuku menjadi rapuh atau longitudinal bergerigi
dengan perkembangan koilonychia (kuku sendok). Lidah dapat
menunjukkan atrofi papila lingual dan kelihatan mengkilap. Angular stomatitis
dapat terjadi dengan celah di sudut mulut. Disfagia mungkin terjadi bila
memakan makanan padat, dengan anyaman (webbing) dari mukosa pada
persimpangan hipofaring dan esofagus (Plummer-Vinson sindrom); ini telah
dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa daerah esofagus. Atrophic gastritis
terjadi pada defisiensi zat besi dengan kehilangan progresif sekresi asam,
pepsin, dan faktor intrinsik dan pembentukan antibodi terhadap sel parietal
lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul7.
Itoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima pasien
dengan anemia kekurangan zat besi kronis dengan manifestasi gangguan
vasomotor, nyeri neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.7
Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang kekurangan
zat besi, dan ada laporan bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti
bahwa ini adalah langsung disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak
meyakinkan karena adanya faktor lain.7,8
Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan gangguan
perilaku. Perkembangan neurologis akan terganggu pada bayi dan kinerja
skolastik berkurang pada anak usia sekolah. IQ anak-anak sekolah
kekurangan zat besi dilaporkan sebagai signifikan kurang dari rekan-rekan
25
nonanemia. Gangguan perilaku bermanifestasi sebagai gangguan defisit
perhatian. Pertumbuhan terganggu pada bayi dengan defisiensi besi.7,8
Masalah jantung. Anemia kekurangan zat besi dapat menyebabkan detak
jantung yang cepat atau tidak teratur. Jantung harus memompa darah lebih
banyak untuk mengkompensasi kekurangan oksigen yang dibawa oleh
darah. Hal ini dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung.8
Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia defisiensdi besi
dikaitkan dengan kelahiran prematur dan bayi berat badan lahir rendah. Tetapi
kondisi ini mudah dicegah pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi
sebagai bagian dari perawatan pralahir mereka.8
2.10. Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat,
maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang padu. Tindakan pencegahan
tersebut dapat berupa:
a) Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya dengan pemakaian
alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorbsi besi
b) Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian
infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal
dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi
c) Suplimentasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen
penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di
Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai
pil besi dan folat.
26
d) Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi
pada bahan makanan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur
tepung untuk roti dan bubuk susu dengan besi.
2.11. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi umumnya baik. ADB merupakan satu
gejala yang mudah diobati dengan hasil yang sangat baik. Namun prognosis
ADB yang baik dan diperburuk oleh karena kondisi penyakit yang
mendasarinya (underlying disease) seperti neoplasia. Demikian pula prognosis
dapat diubah oleh suatu kondisi penyerta seperti penyakit arteri koroner.7
27
BAB III
PENUTUP
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoeisis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan haemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositer dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong. Anemia
hanya sebagai gejala, jadi untuk diagnosis harus sebisa mungkin dicari
penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi yang dialami pasien.
Preparat besi oral merupakan terapi pilihan utama, namu jika ada indikasi
tertentu, pemberian parenteral dapat dipertimbangkan. Selain itu perubahan
dalam diet dan sanitasi lingkungan terutama untuk mencegah infeksi cacing
tambang adalah sangat penting dan signifikan untuk membantu proses
penyembuhan dan sekaligus sebagai langkah pencegahan.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru w, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus Simadibrata, Setiati
S, Bakta M I, et all. Pendekatan Terhadap Pasein Anemia dan
Anemia Defisisnesi Besi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Interna Publisihing, Jakarta. Cetakan 1 November 2009; p1109-1115,
1127-1137
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. Iron deficiency anemia. Harrison's principles of internal
medicine. 17th ed. McGraw Hill 2008: p 1919-21
3. Hoffbrand A.V, Pettit Johon E, Vyes P. Hypochromic Anemias
dalam Atlas of Clinical Hematology. Elsavier 4th ed 2010: p 75-80
4. Sudiono H, Iskandar Ign, Edward H, Halim S.L, Santoso R. Penuntun
Patologi Klinik Hematologi, Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Ukrida. Biro Publikasi UKRIDA, Jakarta. Cetakan kedua
2007; p 103-111
5. Handayani w, Haribowo Andi S. Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sel Darah Merah dalam Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sitem Hematologi. Slemba
Medika, Jakarta 2008: p 50-54
6. Mehta Atul B, Hoffbrand A.V. General Aspects Of Red Cell dan Iron
I: Physiology and Deficiency dalam Hematology at a Glance. Wiley-
Blackwell 3rd ed 2009: p 26-29
7. Kumar V, Cotran Ramzi S, Robbins Stenly L. Anemia Defisiensi
zat Besi dan Anemia Pada Penyakit Kronik dalam Buku Ajar Patologi
29
Robbins. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta 7th ed cetakan 1 2007:
p 459-461
8. Conrad Marcel E, Besa Emmanuel C. Iron Deficiency Anemia.
August 2009. Diunduh dari ht t p: / /em e dicin e .meds ca p e . c o m , 23 Maret
2013.
9. Harms Roger W, Berge Kenneth G, et al. Iron Deficiency Anemia.
March 2011. Diunduh dari ht t p: / /w w w.m a y o c l i nic. c om / h ea l t h / i ro n -
d e fi c ie n c y -a n e m i a , 23 Maret 2013.
10. Price A, Wilson L, Anemia defisiensi besi, Patofisiologi, ed.4, EGC,
Jakarta, 1995; p 236-237.
11. Permono B.,Sutaryo.,Ugrasena., Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar
hematology – oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; p 30-42.
30
top related