referat apcd uci
Post on 26-Nov-2015
75 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Proses hemostasis merupakan mekanisme yang kompleks,terdiri dari
empat fase yaitu fase vaskular (terjadi reaksi lokal pembuluh darah), fase
trombosit (timbul aktifitas trombosit), fase plasma (terjadi interaksi beberapa
faktor koagulasi spesifik yang beredar di dalam darah) dan fase fibrinolisis
(proses lisis bekuan darah). Bila salah satu dari keempat proses ini terganggu,
maka akan timbul gangguan pada proses hemostasis dimana manifestasi klinisnya
adalah perdarahan.1
Perdarahan akibat defisiensi vtamin K (PDVK) disebut juga sebagai
Haemorrhagic Disease of the Newborn (HDN) dahulu lebih dikenal dengan
Acquired Prothrombim Complex Deficiency (APCD). Acquired Prothrombin
Complex Deficiency adalah perdarahan spontan yang disebabkan karena
penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VI, IX
dan X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen dan jumlah
trombosit masih dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan
pemberian vitamin K.2,3
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Towsend pada tahun 1894
sebagai perdarahan dari berbagai tempat pada bayi sehat tanpa trauma,asfiksia,
ataupun infeksi pada hari pertama sampai kelima kehidupan. Hubungan antara
defisiensi vitamin K dengan adanya perdarahan spontan diperhatikan pertama kali
oleh Dam dan Doisy pada tahun 1943.4
Pemberian vitamin K kepada baru lahir secara rutin merupakan suatau
standar yang telah di rekomendasikan oleh American Academy of Pediatrics
(AAP) sejak tahun 1961, dan ditegaskan kembali pada tahun 2003. Vitamin K
melalui suntikan adalah wajib di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
American Academy of Pediatrics juga memberikan batasan pada APCD sebagai
suatu penyakit perdarahan yang terjadi pada hari-hari pertama kehidupan yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin K dan ditandai oleh kekurangan protrombin,
prokonvertin dan mungkin juga faktor-faktor lain.3,4,5
1
Sejak tahun 1966, gangguan perdarahan ini telah dilaporkan dari berbagai
belahan dunia termasuk Amerika Utara, Eropa, Australia dan Asia. Bayi baru lahir
yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K dapat menyebabkan terjadinya
APCD tipe lambat yang sering terjadi pada negara-negara di benua Asia dan pada
Negara yang beriklim panas.6 Sebagian besar kasus yang dilaporkan dalam
literatur telah di Jepang dan Thailand dan menyebabkan tingkat kematian yang
tinggi dan gejala sisa neurologis permanen antara mereka yang selamat. Angka
kejadian APCD berkisar antara 1:200 sampai 1:400 kelahiran bayi yang tidak
mendapatkan vitamin K profilaksis. Di Amerika di laporkan angka kejadian
APCD bervariasi antara 0,25%-1,5% pada tahun 1961 dan berkurang menjadi 0-
0,44% pada 10 tahun terakhir dengan adanya program pemberian profilaksis
vitamin K.3 Di Jepang insidensi APCD mencapai 20-25 per 100.000 kelahiran.7
Danielsson pada tahun 2004 melaporan bahwa isnsidensi APCD di Vietnam
sangat tinggi, yaitu mencapai 116 per 100.000 kelahiran dengan 142 per 100.000
kelahiran di daerah perkotaan. Sebuah insidensi tinggi dari sindrom ini ditemukan
di Thailand dengan perbandingan 35,5 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini
menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat Thailand. 7,8
Angka kematian akibat APCD di Asia mencapai 1:1200 sampai 1:1400
kelahiran. Angka kejadian tersebut ditemukan lebih tinggi, mencapai 1:500
kelahiran di daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis vitamin K secara
rutin pada bayi baru lahir. Di Indonesia, data mengenai APCD secara nasional
belum tersedia.1
Gangguan pada proses pembekuan darah, dapat berupa kelainan yang
diturunkan secara genetik atau kelainan yang didapat. Gangguan pembekuan yang
didapat bisa disebabkan oleh adanya gangguan faktor koagulasi karena
kekurangan faktor pembekuan yang tergantung vitamin K, penyakit hati,
percepatan penghancuran faktor koagulasi dan inhibitor koagulasi. Salah satu
diantaranya adalah defisiensi kompleks protrombin yaitu kekurangan faktor-faktor
koagulasi faktor II, VII, IX dan X.9
Pneumonia adalah proses infeksi parenkim dimana asini terisi dengan
cairan dan adanya proses inflamasi dengan ada atau tidaknya infiltrasi dari proses
inflamasi pada dinding alveoli. Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia
2
karena angka kematian akibat pneumonia sangat tinggi, tidak saja di negara
berkembang tetapi terdapat juga di Negara maju seperti Amerika, Kanada dan
negara-negara Eropa lainnya. 10
Menurut Word Health Organization (WHO) 1.612.000 meninggal setiap
tahunnya akibat pneumonia. Bahkan United Nations International Children's Fund
(UNICEF) dan WHO menyebut pneumonia sebagai penyebab kematian anak balita
tertinggi, meliputi penyakit-penyakit lain campak dan malaria. Di Amerika
pneumonia merupakan penyebab kematian nomor satu setelah kardiovaskuler dan
Tuberkulosis, kasus pneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika Latin adalah 60.000 per tahun.11
Di Indonesia pneumonia merupakan penyebab kematia nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan Tuberkulosis. Angka morbiditas di Indonesia setiap tahunnya
adalah 45.000. Pada usia anak-anak pneumonia merupakan penyabab kematian
terbesar terutama di Negara berkembang termasuk di Indonesia. Angka kematian
pneumonia pada balita di Indonesia di perkirakan 21% pada tahun 2006. Adapun
angka kesakitan diperkirakan mencapai 250 hingga 299'1000 anak balita setiap
tahunnya. Pneumonia masih menjadi salah satu masalah untuk anak Indonesia yang
disebabkan oleh kuman, baik virus, bakteri, jamur, kurang gizi. daya tahan tubuh
yang rendah, tidak minum ASI, lingkungan yang dapat memudahkan terjadinya
penyakit akut ini, anak yang tertular bisa mengidap penyakit radang paaru-paru
bervariasi dari derajat ringan hingga berat.10
Pengaturan cairan dan elektrolit pada anak bisa menjadi hal yang
membingungkan karena banyaknya pendapat, formula, dan aplikasi klinis dimana
akan menghasilkan suatu gambaran yang tidak benar. Prinsip dasar pengaturan
cairan dan elektrolit pada neonatus dan anak sama, dimana termasuk didalamnya
maturitas ginjal, kandungan tubuh, fisiologis, riwayat persalinan, dan perbedaan
sistem otonom. 12
Anak yang sakit sering mengalami gangguan homeostasis, termasuk
homeostasis air dan elektrolit. Perbaikan maupun perburukan keadaan klinis
berjalan paralel dengan perubahan-perubahan pada variabel fisiologis. Total
cairan tubuh dapat diperkirakan dari berat badan. Kebutuhan rumatan air dan
elektrolit dalam tubuh merupakan hasil dari pengaturan keseimbangan antara
intake dan output. Penatalaksanaan cairan dan elektrolit pada penderita anak
3
didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologi. Meskipun demikian ini tidaklah sama
halnya dengan membuat normal semua variabel fisiologis, tetapi harus
mempertimbangkan dasar penyebab gangguannya. Kegagalan dalam melakukan
inidapt mengakibatkan harm kepada penderita. Dalam keadaan sakit, sering
didapatkan gangguan metabolisme termasuk metabolisme air dan elektrolit.
Dikatakan bahwa perburukan maupun perbaukan keadaan klinis penderita
berjalan paralel dengan perubahan-perunbahan pada variabel fisiologis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak bukanlah miniatur dewasa, sehingga terapi
cairan dan elektrolit pada anak haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologis
sesuai tahapan tumbuh kembangnya dan patofisiologi terjadinya gangguan meta
bolisme air dan elektrolit.13
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acquired Prothrombim Complex Deficiency (APCD)
Vitamin K merupakan salah satu vitamin larut dalam lemak, yang
diperlukan dalam sintesis protrombin dan faktor pembekuan lainnya.14 Vitamin K
diperlukan untuk sintesis prokoagulan factor II, VII, IX dan X (kompleks
protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai antikoagulan
(menghambat proses pembukan). Molekul-molekul factor II, VII, IX dan X
pertama kali disintesis dalam sel hati dan disimpan dalam bentuk perkusor tidak
aktif. Vitamin K diperlukan untuk konversi precursor tidak aktif menjadi factor
pembekuan yang aktif.1 Kekurangan vitamin K dapat menimbulkan gangguan dari
proses koagulasi sehingga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan
atau dikenal dengan Acquired Prothrombim Complex Deficiency (APCD).15
2.1.1 Definisi
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) disebut juga sebagai
Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN), atau lebih dikenal dengan Acquired
Prothrombin Complex Deficiency (APCD). Acquired Prothrombin Complex
Deficiency adalah perdarahan spontan atau akibat trauma yang disebabkan karena
penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII,
IX, dan X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen, dan jumlah
trombosit, masih dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan
pemberian vitamin K.6,9
Acquired Prothrombin Complex Deficiency (APCD) pada masa bayi adalah
keterbatasan koagulopati sekunder unuk mengurangi pengeluaran Vitamin K
pengurangan vitamin K tergantung kepada faktor-faktor hemostatik, 30-60% dari
kasus yang terkait terdapat adanya perdarahan intrakranial. Injeksi intramuskular
(im) vitamin K saat lahir tampaknya merupakan profilaksis yang paling efektif
bentuk yang paling efektif profilaksis.9
Pada APCD dapat terjadi adanya pendarahan hampir di semua sisi manapun
baik secara spontan atau iatrogenik. Secara umum perdarahan spontan dapat
terjadi pada selaput lendir, kulit, umbilikus, retroperitoneum, perdarahan
5
intrakranial, kencing dan saluran pencernaan. Penyebab iatrogenik terjadi pada
pasien-pasien dengan laju endap darah yang abnormal atau post tindakan operasi.9
2.1.2 Etiologi
Banyak kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya APCD pada bayi baru
lahir. Faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya APCD antara lain obat-
obatan yang mengganggu metabolisme vitamin K, yang diminum ibu selama
kehamilan seperti antikonvulsan (Karbamazepin, Phenitoin, Phenobarbital),
antibiotika (Sefalosporin), anti tuberkulostatik (Isoniazid dan Rifampisin) dan
antikoagulan (Warfarin).9
Pemberian antibiotik yang lama menyebabkan penurunan produksi vitamin
K dengan cara menghambat sintesis vitamin K2 oleh bakteri atau dapat juga secara
langsung mempengaruhi reaksi karboksilase. Kekurangan vitamin K dapat juga
disebabkan penggunaan obat kolestiramin yang efek kerjanya mengikat garam
empedu sehingga akan mengurangu absorpsi vitamin K yang memerlukan garam
empedu pada proses absorpsinya Faktor resiko lain adalah kurangnya sintesis
vitamin K oleh bakteri usus karena pemakaian antibiotika secara berlebihan,
gangguan fungsi hati (kolestasis), kurangnya asupan vitamin K pada bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif, serta malabsorbsi vitamin K akibat kelainan usus
maupun akibat diare.7,14
Kadar vitamin K pada ASI < 5 mg/ml, jauh lebih rendah dibandingkan
dengan susu formulayaitu sekitar 50-60 mg/ml. Selain itu pada usus bayi yang
mendapat susu formula, mengandung bakteri bacteriodes fragilis yang mampu
memproduksi vitamin K. Sedangkan pada bayi dengan ASI eksklusif, ususnya
mengandung Lactobacillus yang tidak dapat memproduksi vitamin K.15
Tabel 2.1 Etiologi gangguan pembekuan darah pada anak7
6
Keadaan yang berhubungan dengan defisiensi faktor pembekuan yang
bergatntung pada vitamin K adalah:11
a. Prematuritas
b. Kadar faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K pada waktu lahir
berbandinglurus dengan umur kehamilan dan berat pada waktu lahir. Pada
bayi yang premature fungsi hati masih belum matang dan respon terhadap
vitamin k subnormal.
c. Asupan makanan yang tidak adekuat
d. Terlambatnya kolonisasi kuman
e. Komplikasi obstetrik dan perinatal
f. Kekurangan vitamin K pada ibu.
Suatu keadaan khusus yang dikenal sebagai Hemorragic Disease of the
Newborn (HDN), merupakan suatu keadaaan akibat kekurangan vitamin K pada
masa neonatus. Terdapat penurunan kadar faktor II, VII, IX, dan X yang
merupakan faktor pembekuan darah yang tergantung kepada vitamin K dalam
derajat sedang pada semua neonatus yang berumur 48-72 jam dan kadar faktor
faktor tersebut secara berangsur-angsur akan kembali normal pada umur 7- 10
hari.7 Keadaan transien ini mungkin diakibatkan karena kurangnya vitamin K
pada ibu dan tidak adanya flora normal usus yang bertanggung jawab terhadap
sintesis vitamin K.14
7
Pada keadaan obstruksi biliaris baik intrahepatik maupun ekstrahepatik akan
terjadi kekurangan vitamin K karena tidak adanya garam empedu pada usus yang
diperlukan untuk absorpsi vitamin K1 dan K2, terutama vitamin K1 dan K2,
obstruksi yang komplit akan mengakibatkan gangguan proses pembekuan dan
perdarahan setelah 2-4 minggu. Sindrom malabsorpsi serta gangguan saluran
cerna kronis dapat menyebabkan kekurangan vitamin K akibat berkurangnya
absorpsi vitamin K.16
Obat yang bersifat antagonis terhadap vitamin K seperti coumarin,
menghambat kerja vitamin K secara kompetitif, yaitu dengan cara menghambat
siklus vitamin K antara bentuk teroksidasi dan tereduksi sehingga terjadi
akumulasi dari vitamin K2 dan K3 epokside dan pelepasan gkarboksilasi yang hasil
akhirnya akan menghambat pembentukan faktor pembekuan.9
2.1.3 Patofisiologi
Semua neonatus dalam 48-72 jam setelah kelahiran secara fisiologis
mengalami penurunan kadar faktor koagulasi yang bergantung vitamin K (faktor
II, VII, IX, dan X) sekitar 50%, kadar-kadar faktor tersebut secara berangsur akan
kembali normal dalam usia 7-10 hari. Keadaan transien ini mungkin diakibatkan
oleh kurangnya vitamin K ibu dan tidak adanya flora normal usus yang
bertanggungjawab terhadap sintesis vitamin K sehingga cadangan vitamin K pada
bayi baru lahir rendah. Diantara anak (lebih sering pada bayi premature dibanding
yang cukup bulan) ada yang mengalami defisiensi ini lebih berat dan lebih lama
sehingga mekanisme hemostasis fase plasma terganggu dan timbul perdarahan
spontan.16
Proses koagulasi atau kaskade pembekuan darah terdiri dari jalur intrinsik
dan jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik dimulai saat darah mengenai permukaan sel
endotelial, sedangkan jalur ekstrinsik dimulai dengan pelepasan tissue factor
(Faktor III) pada tempat terjadinya luka. Jalur pembekuan darah intrinsik
memerlukan faktor VIII, IX, X, XI dan XII, dibantu dengan protein prekalikrein,
High-Molecular Weight Kininogen (HMWK), ion kalsium dan fosfolipid dari
trombosit. Jalur ini dimulai ketika prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor XII
bersentuhan dengan permukaan sel endotelial, yang disebut dengan fase kontak.13
8
Adanya fase kontak ini menyebabkan konversi dari prekalikrein menjadi
kalikrein, yang kemudian mengaktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor
XIIa memacu proses pembekuan melalui aktivasi faktor XI, IX, X dan II
(protrombin) secara berurutan.17
Aktifasi faktor Xa memerlukan bantuan dari tenase complex, terdiri dari ion
Ca, faktor VIIIa, IXa dan X, yang terdapat pada permukaan sel trombosit. Faktor
VIIIa pada proses koagulasi bersifat seperti reseptor terhadap faktor IXa dan X.
Aktifasi faktor VIII menjadi faktor VIIIa dipicu oleh terbentuknya trombin, akan
tetapi makin tinggi kadar trombin, malah akan memecah faktor VIIIa menjadi
bentuk inaktif. Jalur ekstrinsik dimulai pada tempat terjadinya luka dengan
melepaskan tissue factor (TF). TF merupakan suatu lipoprotein yang terdapat
pada permukaan sel, adanya kontak dengan plasma akan memulai terjadinya
proses koagulasi. TF akan berikatan dengan faktor VIIa akan mempercepat
aktifasi faktor X menjadi faktor Xa sama seperti proses pada jalur intrinsik.
Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja dari trombin dan faktor Xa. Faktor VIIa
dan TF ternyata juga mampu mengaktifkan faktor IX, sehingga membentuk
hubungan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik.17
9
Gambar 2.1. Kaskade pembekuan darah17
Selanjutnya faktor Xa akan mengaktifkan protombin (faktor II) menjadi
trombin (faktor IIa). Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer
dengan bantuan kompleks protrombinase yang terdiri dari fosfolipid sel
trombosit, ion Ca, faktor V dan Xa. Faktor V merupakan kofaktor dalam
pembentukan kompleks protrombinase. Seperti faktor VIII, Faktor V teraktifasi
menjadi faktor Va dipicu oleh adanya trombin. Selain itu trombin juga mengubah
faktor XIII menjadi faktor XIIIa yang akan membantu pembentukan cross-linked
fibrin polymer yang lebih kuat.8
10
Vitamin K merupakan salah satu vitamin larut dalam lemak, yang
diperlukan dalam sintesis protein tergantung vitamin K (Vitamine K-dependent
protein ) atau GIa. Vitamin K diperlukan sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX
dan X (kompleks protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai
antikoagulan (menghambat proses pembekuan). Molekul-molekul faktor II, VII,
IX dan X pertama kali disintesis dalam sel hati dan disimpan dalam bentuk
prekursor tidak aktif. Molekul yang dikenal sebagai descarboxy proteins ini
disebut PIVKA (Proteins Induced by Vitamin K Absence). Vitamin K diperlukan
untuk konversi prekursor tidak aktif menjadi faktor pembekuan yang aktif. Proses
konversi ini terjadi pada tahap postribosomal, dimana radikal karboksil dengan
vitamin K sebagai katalis akan menempel pada residu asam glutamate dari
precursor molekul untuk membentuk (carboxyglutamic acids yang mampu
mengikat Ca2+. Faktor pembekuan (faktor II, VII, IX, X) yang memiliki
kemampuan mengikat Ca2+ ini memegang peranan dalam mekanisme hemostasis
fase plasma. Kekurangan vitamin K dapat menimbulkan gangguan dari proses
koagulasi sehingga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan.9
Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya fase karbosilaksi dalam siklus
metabolisme vitamin K. Pada kondisi defisiensi vitamin K, rantai polipeptida dari
faktor koagulasi tergantung vitamin K tetap terbentuk normal, namun fase
karboksilasi (proses gamma karboksilasi dari amino terminal glutamic acid) tidak
terjadi. Sehingga bentuk akarboksi dari faktor II, VII, IX dan X tidak mampu
berikatan dengan ion kalsium dan tidak dapat berubah menjadi bentuk aktif yang
diperlukan dalam proses koagulasi.15
11
Gambar 2.2 Siklus vitamin K dan reaksi karboksilasi8
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi APCD pada anak berdasarkan etiologi dan onset terjadinya
menjadi 4 kelompok yaitu APCD dini, APCD klasik, APCD lambat dan
Secondary prothrombin complex deficiency seperti yang terlampir pada tabel 2.2
berikut ini :6, 9, 15,16
Tabel 2.2 Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak.9
12
.
Early APCD (APCD dini), timbul pada hari pertama (0-24 jam) kehidupan.
Kelainan ini jarang sekali dan biasanya terjadi pada bayi dari ibu yang
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menghambat metabolisme vitamin K.
Insidens yang dilaporkan atas bayi dari ibu yang tidak mendapat suplementasi
vitamin K adalah antara 6-12%. 9, 16
Classical APCD (APCD klasik), timbul pada hari ke 1 sampai 7 setelah
lahir dan lebih sering terjadi pada bayi yang kondisinya tidak optimal pada waktu
lahir atau yang terlambat mendapatkan suplementasi makanan. Insidensi
dilaporkan bervariasi, antara 0 sampai 0,44% kelahiran. Tidak adanya angka rata-
rata kejadian APCD klasik yang pasti karena jarang ditemukan kriteria diagnosis
yang menyeluruh.9
Late APCD (APCD lambat), timbul pada hari ke 8 sampai 6 bulan setelah
lahir, sebagian besar timbul pada umur 1 sampai 3 bulan. Kira-kira setengah dari
pasien ini mempunyai kelainan hati sebagai penyakit dasar atau kelainan
malabsorpsi. Perdarahan intrakranial yang serius timbul pada 30-50%. Pada bayi
berisiko mungkin ditemukan tanda-tanda penyakit hati atau kolestasis seperti
ikterus yang memanjang, warna feses pucat, dan hepatosplenomegali. Angka rata-
13
rata kejadian APCD pada bayi yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K
adalah 5-20 per 100.000 kelahiran dengan angka mortalitas sebesar 30%.9
2.1.5 Gejala Klinis
Manifestasi perdarahan karena defisiensi vitamin K tidak spesifik dan
bervariasi mulai dari memar ringan sampai ekimosis generalisata, pucat,
perdarahan kulit, gastrointestinal, vagina sampai perdarahan intrakranial yang
dapat mengancam jiwa. Perdarahan dapat terjadi spontan atau akibat terutama
trauma lahir seperti hematoma sefal. Pada kebanyakan kasus perdarahan terjadi
dikulit, mata, hidung, dan saluran cerna. Perdarahan dikulit sering berupa purpura,
ekimosis, atau perdarahan melalui bekas tusukan jarum suntik.9
Tempat perdarahan lain yaitu umbilicus, sirkumsisi. Manifestasi
perdarahan pada neonatus sedikit berbeda dari anak yang lebih besar dan dewasa.
Pada neonatus perdarahan dapat timbul dalam bentuk perdarahan discalp,
hematoma sefal yang besar, perdarahan intracranial, perdarahan tali pusat,
perdarahan pada bekas sirkumsisi, oozing pada bekas suntikan dan kadang-kadang
perdarahan gastrointestinal.1
Gejala tersering yang ditemukan pada APCD adalah kejang, penurunan
kesadaran, dan perdarahan intrakranial seperti perdarahan subdural, perdarahan
intraserebral, perdarahan intraventrikular dan perdarahan subarachnoid. Anemia,
demam, ruam dikulit, hemiparese, mikrosefali, hidrosefalus, spastik dan
perdarahan gastroinstestinal juga sering ditemukan.6,7
2.1.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis APCD dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis dilakukan untuk
mengetahui onset perdarahan, lokasi perdarahan pada tempat-tempat tertentu
seperti GIT, umbilikus, hidung, berkas sirkumsisi dan lain sebagainya.1, 9
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan aktivitas faktor II, VII, IX dan X
sedangkan faktor koagulasi lain normal sesuai dengan usia. Terdapat
pemanjangan waktu pembekuan, Prothrombin Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT), sedangkan Thrombin Time (TT) dan masa
perdarahan normal perlu juga dinilai. Pemeriksaan lain seperti USG, CT Scan,
14
MRI dapat dilakukan untuk melihat lokasi perdarahan misalnya jika dicurigai
adanya perdarahan intrakranial. Selain itu respon zang kuat terhadap pemberian
vitamin K memperkuat diagnosis APCD.1, 9
Acquired Prothrombin Complex Disease (APCD) harus dibedakan dengan
gangguan hemostasis lain baik yang didapat maupun yang bersifat kongenital.
Diantaranya gangguan fungsi hati juga dapat menyebabkan gangguan sintesis
faktor-faktor pembekuan darah, sehingga memberikan manifestasi klinis
perdarahan. Tabel 2.3 dibawah memperlihatkan gambaran laboratorium kedua
kelainan tersebut.9
Tabel 2.3 Gambaran labortorium APCD dan gangguan hati9
Pada pemeriksaan laboratorium dari gangguan pembekuan darah karena
kekuranganvitamin K menunjukkan :6
a. Penurunan aktifitas faktor II, VII, IX, dan X
b. Waktu pembekuan memanjang
c. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
d. Masa perdarahan normal
e. Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, faktor V dan VIII, fragilitas
kapiler serta retraksi bekuan normal
f. Faktor koagulasi lain normal sesuai dengan usia
Pemeriksaan lain seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk
melihat lokasi perdarahan misalnya jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial.
Selain itu respon yang baik terhadap pemberian vitamin K memperkuat diagnosis.
APCD harus dibedakan dengan gangguan hemostasis lain baik yang didapat
maupun yang bersifat kongenital. Diantaranya gangguan fungsi hati juga dapat
15
menyebabkan gangguan sintesis faktor-faktor pembekuan darah, sehingga
memberikan manifestasi klinis perdarahan.7
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada APCD meliputi perdarahan intracranial yang terjadi,
dimana perdarahan sangat sulit untum ditangani pada anak. Komplikasi pada
APCD bias juga disebabkan oleh terapi yang telah diberikan selama masa
perawatan. Terapi yang dapat menyebabkan komplikasi adalah reaksi anafilaktik
selama pemasangan jalur intravena dan selama pemberian vitamin K secara
intravena, hiperbilirubinemia atau anemia hemolitik setelah pemberian vitamin K
dengan dosis tinggi juga dapat menjadi komplikasi pada APCD. Hematoma
setelah dilakukan tindakan injeksi apabila diberikan secara intramuskular.8
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan APCD dibagi atas penatalaksanaan
antenatal untuk mencegah terjadinya penyakit ini dan penatalaksanaan setelah
bayi lahir untuk mencegah dan mengobati bila terjadi perdarahanHasil penelitian
terakhir menunjukkan, bahwa dalam mencegah terjadinya APCD bentuk klasik
pemberian vitamin K peroral lebih efektif, lebih murah dan lebih aman daripada
pemberian secara intramuskular (im), namun untuk mencegah APCD bentuk
lambat pemberian vitamin K oral tidak seefektif pemberian intramuskular. Efikasi
profilaksis vitamin K oral meningkat dengan pemberian berulang sebanyak 3 kali
dibanding dengan dosis 2 mg, pemberian vitamin K oral yang diberikan tiap hari
atau tiap minggu sama efektifnya dengan profilaksis vitamin K intramuskular.9
American Academy of Pediatrics (AAP) mengatakan perlu dilakukan
pemeberian vitamin K1 pada bayi yang baru lahir single dose intramuskular
dengan dosis 0,5 mg - 1 mg.5 Penelitian lebih lanjut tentang efikasi, keamanan,
bioavailabilitas dan dosis optimal vitamin K oral untuk mencegah APCD lambat.
Cara pemberian oral merupakan alternative pada kasus-kasus bila orangtua pasien
menolak cara pemberian intramuskular untuk melindungi bayi mereka dari
injeksi.5
Selain itu pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan
pada bayi dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg BB, mampu
16
meningkatkan kadar faktor koagulasi tergantung vitamin K.9 Respon pengobatan
diharapkan terjadi dalam waktu 4-6 jam, ditandai dengan berhentinya perdarahan
dan pemeriksaan faal hemostasis yang membaik. Pada bayi cukup bulan, jika
didapatkan perbaikan dalam 24 jam maka harus dipikirkan kelainan yang lain
misalnya penyakit hati.1
2.2 Pneumonia
Pneumonia masih menjadi salah satu masalah untuk anak Indonesia yang
disebabkan oleh kuman, baik virus, bakteri, jamur, kurang gizi. daya tahan tubuh
yang rendah, tidak minum ASI, lingkungan yang dapat memudahkan terjadinya
penyakit akut ini, anak yang tertular bisa mengidap penyakit radang paru-paru
bervariasi dari derajat ringan hingga berat.10
2.2.1 Definisi
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda asing yang
teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Pneumonia dapat dibagi berdasarkan kelainan
anatomis atau etiologi, berdasarkan kelainan anatomis dibagi dalam pneumonia
lobaris, pneumonia lobularis, pneumonia interstisial, dan pleuropneumonia
streptokokus, pneumonia karena Haemophyllus Influenzae, pneumonia
mikoplasma, pneumonia karena virus, dan lain-lain.11
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Latin 60.000 kematian per tahun disebabkan oleh infeksi
saluran pernapasan, mewakili 3,2 % dari semua kematian di seluruh dunia. World
Helath Organzation (WHO) telah mengakui infeksi ini sebagai salah satu
penyebab kesakitan dan kematian di seluruh dunia, pada tahun 2006 WHO telah
merekomendasi untuk pencegahannya adalah vaksinasi terhadap Streptococus
pneumoniae.11
2.2.3 Etiologi
Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan pneumonia pada anak,
yaitu bakteri, virus, atau jamur. Di Negara berkembang, pneumonia biasanya
disebabkan oleh bakteri. Bakteri utama yang menyebabkan pneumonia pada anak-
anak adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza.18
17
Mikroorganisme S. pneumoniae adalah penyebab utama kematian yang dapat
dicegah dengan vaksinasi pada anak balita. Informasi mengenai invasive
pneumococcal disease bervariasi di beberapa negara Asia.19
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan tempat kejadian, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi:20
1). Pneumonia Komunitas
Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar
rumah sakit. Biasanya disebabkan oleh bakteri gram positif (Streptococcus
pneumonia). Infeksi ini insidensnya meningkat pada:
Kelompok dengan penyakit kronis
Kelompok dengan gangguan fungsi immunoglobulin
Kelompok dengan gangguan fungsi limpa
2) Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam
atau lebih setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum atau ICU.
Pneumonia nosokomial ini sendiri. Infeksi nosokomial sering terjadi pada pasien
dengan penyakit berat, imunosupresi, terapi antibiotik berkepanjangan, atau alat
akses invasif seperti kateter intravaskular.
Pembagian pneumonia berdasarkan anatomi: pneumonia labaris, dan
pneumonia lobularis (bronchopneumonia), pneumonia interstitralis
(bronkialilitis). Pembagian pneumonia berdasarkan etiologi :10
a. Pneumonia bakterial : Diplococcus pneumonia, Haemophilus influenza,
Mycrobacterium tuberculosis.
b. Virus : virus influenza.
c. Mycoplasma pneumonia.
d. Cryptococcus neoformans blastomyces dermatitis, makanan, kerosene
(bensin dan minyak tanah).
e. Aspirasi (makanan, kerosene, amnion, dan sebagainya).
f. Pneumonia hipostatik
2.2.5 Gejala Klinis
Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa
hari, termasuk rhinitis, batuk dan demam, suhu biasaanya lebih rendah dari pada
18
pneumonia bakteri. Takipnea, yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal,
dan suprasternal; pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot tambahan sering
ada. Infeksi berat dapat disertai sianosis dan kelelahan pernapasan. Auskultasi
dada terdapat ronki dan mengi yang luas.21
2.2.6 Patofisiologi
Kuman yang masuk bersama sekret bronkus kedalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa sembab seluruh alveoli yang terkena disusul
dengan infiltrasi sel-sel radang. Sebagai awal pertahanan tubuh, terjadi fagositosis
kuman penyakit oleh sel-sel radang melalui proses psedopi sitoplasmik yang
mengelilingi dan "memakan" bakteri tersebut. Pada waktu terjadi proses infeksi,
akan tampak empat zona pada daerah keradangan tersebut, adapun zona tersebut
adalah sebagai berikut :10
1. Zona luar dimana alveoli yang terisi kuman pneumokokus (streptococcus
pneumonia) dan cairan sembab.
2. Zona permukaan konsolidasi Terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas Daerah terjadinya fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi Daerah terjadinya resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
lekosit dan makrofak alveolar.
2.2.7 Diagnosa
Diagnosa pneumonia utamanya didasarkan pada klinis, sedangkan pemeriksaan
foto polos dada perlu dibuat untuk menegakkan diagnosa, disamping untuk melihat
luasnya kelainan patologi secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan
lateral (L) diperlukan untuk menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya
kelainan dan kemungkinan adanya komplikasi seperti pneumothoraks,
pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru dan efusi pleura. Infiltrat tersebar
paling sering dijumpai terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar hilus sering
terjadi pada pneumonia karena Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus,
tetapi jarang pada pneumonia akibat Streptococcus pneumoniae. Kecurigaan ke arah
infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto polos dad dijumpai adanya gambaran
19
pneumatokel, absesparu empiema dan piopneumothoraks serta usia pasien dibawah 1
tahun. Foto polos dada umunya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Pemeriksaan
radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses, efusi
pleura, empiema, pneumothoraks dan komplikasi lainnya. Sebagaimana manifestasi
klinis, pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara
infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran
infiltrat interstitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat
akan tampak di lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar
akan tampak di bagian posterioratau basal paru. 20
Menurut WHO terdapat kesulitan dalam interpretasi foto polos dada sehingga
dikembangkan cara standarisasi kriteria pneumonia untuk kepentingan aspek
epidemiologis. Seistem ini membagi gambaran foto thoraks dalam torak normal,
infiltrat atau akhir proses konsolidasi (end stage consolidation) yang didefinisikan
sebagai “significant amount of alveolar type consolidation”. Namun hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah foto polos dada yang normal dapat menyingkirkan
pneumonia. Seringkali panas dan takipnea sudah timbul sebelum terlihat perubahan
pada foto thoraks.20
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu dilakukan,
tetapi pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam memperkirakan
mikroorganisme penyebab. Leukositosis > 15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi
neutrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri
sebagai penyebab. Leukosit > 30.000/UL dengan dominasi neutrofil mengarah ke
pneumonia streptokokus dan staphilokokus. Laju endap darah dan C-reaktif protein
(CRP) merupakan indikator ainflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit
membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar
CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar
dibandingkan dengan pneumonia interstitialis. Begitu pula pada kasus pneumonia
yang disebabkan Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan kadar CRP yang
lebih tinggib secara signifikan dibandingkan non pneumococcal penumonia.20
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif
pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada
penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan
pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal.
Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi
20
usia kurang dari 3 bulan. Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas
darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch).
Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat
terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal napas. 20
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi dari pneumonia pada anak adalah sebagai berikut:10
Abses kulit
Abses jaringan lunak
Otitis media
Sinusitis
Meningitis parulenta
Epiglottis, kadang ditemukan pada infeksi influenza tipe B
2.2.9 Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus pneumonia dapat diobati tanpa harus menjalani
rawat inap.Umumnya antibiotik oral, istirahat, cairan dan perawatan rumah sudah
mencukupi untuk kesembuhan sepenuhnya. Bagaimanapun, seseorang dengan
pneumonia yang memiliki kesulitan bernapas, orang dengan masalah kesehatan
lain dan para orang tua mungkin memerlukan perawatan yang lebih ahli.Jika
gejala-gejalanya bertambah buruk,pneumonia tidak bertambah baik dengan
perawatan di rumah atau muncul komplikasi,orang tersebut harus menjalani rawat
inap di rumah sakit. Antibiotik digunakan untuk mengobati pneumonia yang di
sebabkan bakteri. Sebaliknya, antibiotik tidak berguna untuk pneumonia yang
disebabkan virus, meskipun kadang juga digunakan untuk mengobati atau
mencegah infeksi bakteri yang dapat muncul pada kerusakan paru oleh pneumonia
yang disebabkan virus. Pilihan antibiotik tergantung dari sifat pneumonia,
mikroorganisme yang paling umum menyebabkan pneumonia berada pada daerah
sekitar dan status imun dan kesehatan dari masing-masing individu. Pengobatan
untuk pneumonia seharusnya didasarkan pada mikroorganisme penyebab dan
sensitivitas antibiotik. Bagaimanapun,penyebab spesifik pneumonia
diidentifikasikan pada hanya 50% orang bahkan setelah evaluasi ekstensif. Karena
pengobatan secara umum seharusnya tidak ditunda pada seseorang dengan
21
pneumonia yang serius, pengobatan empiris biasanya dimulai sebelum laporan
laboratorium tersedia.21
2.4 Gangguan Elektrolit
Elektrolit dalam cairan tubuh terdiri dari kation dan anion. Untuk
mengukur elektrolit dapat digunakan berat elektrolit yang ada dalam 100 ml air
(mg/ 100 ml atau mg%). Ukuran lainnya ialah konsentrasi elektrolit dalam 1 liter
sebagai miliekuivalen per liter (mEq/I). Dengan cara terakhir ini diperoleh
gambaran tentang hubungan asam-basa kuantitatif. di dalam plasma terdapat 155
mEq/I kation dan 155 mEq/I anion. Kombinasi ion bergantung pada valensi.
Miliekuivalen ialah ukuran jumlah muatan ion dalam larutan elektrolit (urutan
aktifitas kimia). Antara ukuran mEq/I dan mg% terdapat suatu hubungan.22
2.4.1 Gangguan Keseimbangan Natrium
Jumlah natrium dalam tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara
masukan dan ekskresi. Dibandingkan dengan mekanisme haus terhadap air,
mekanisme pengaturan masukan natrium belum begitu berkembang, tetapi
mungkin berespon terhadap perubahan yang besar. Misalnya kecanduan garam
yang dapat terjadi pada beberapa penderita sindrom “salt wasting”. Meskipun
begitu, masukan natrium biasanya tergantung pada kebiasaan kultural. Pemakaian
garam pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 170 mEq/24 jam setara
dengan 10 gram garam. Anak-anak mengkonsumsi lebih sedikit, sebanding
dengan masukan makanan yang lebih sedikit, tetapi masih jauh lebih banyak dari
pada kebutuhan rumatan.13
Hipernatremi (natrium serum 150 mEq/L) disebabkan oleh kondisi-kondisi
yang mengakibatkan masukan natrium berlebihan, atau akibat kehilangan air
tubuh yang lebih besar dari natrium. Hipernatremia akibat masukan natrium
berlebihan atau kelebihan natrium prime, biasanya berhubungan dengan penyebab
iatrogenik seperti penggantian glukosa dengan NaCl untuk formula yang telah
dipersiapkan untuk bayi sesuai dengan resep dasar, penggunaan enema salin yang
berlebihan. Pemberian larutan salin hipertonik intravena yang tidak tepat dan
NaCl yang digunakan untuk merangsang muntah. Penyebab hipernatremia yang
lebih sering terjadi adalah yangdisebabkan oleh defisit air primer yaitu kehilangan
air tubuh total melebihi kekurangan natrium. Hipernatremia dapat terjadi pada
22
diabetes insipidus, gastroentritis, asupan ASI yang tidak adekuat dan masukan air
yang minimal. Gejala klinis yang dapat timbul yaitu kejang seluruh tubuh dan
penurunan kesadaran.13
Hiponatremia (natrium serum <130mEq/L) disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang menimbulkan defisit natrium primer yang mengakibatkan
kekurangan natrium, peningkatan air tubuh total dan kombinasi kelainan air dan
natrium. Defisit natrium primer menyangkut gangguan pengelolaan natrium
ginjal. Kehilangan natrium ginjal sering menyertai kehilangan cairan di
gastrointestinal. Biasanya gejala yang terjadi meliputi muntah dan diare.
Hiponatremia yang diakibatkan oleh kehilangan natrium yang lebih besar dari
pada air akan lebih diperberat dengan minuman rendah solut.13
2.4.2 Gangguan Keseimbangan Kalium
Kandungan kalium tubuh, kation intraseluler utama, berhubungan dengan
masssa tubuh tanpa lemak. Karena kalium terutama terletak di intraseluler,
perubahan kandungan kalium tubuh yang terjadi bersama dengan pertumbuhan
merupakan indeks seluler yang terbaik pada umur-umur yang berbeda-beda.
Konsentrasi kalium intraseluler sekitar 150 mEq/L cairan sel. Konsentrasi kalium
ekstraseluler (4mEq/L) menimbulkan perbedaan konsentrasi yang tinggi antara
kedua sisi membran sel. Perbedaan kalium intraseluler dan ekstraseluler yang
dipertahankan oleh aktivasi Na, K ATPase sangat penting untuk mempertahankan
perbedaan potensial membran istirahat antara sisi membran sel. Kalium sangat
penting untuk eksitabilitas sel-sel saraf dan otot dan untuk kontraktilitas otot
polos, rangka dan jantung.13
Konsekuensi utama hiperkalemia berasal dari efek neuromuskularnya.
Hiperkalemia menurunkan potensial transmembran ke nilai ambang,
menyebabkan tertundanya depolarisasi dan dipercepatnya repolarisasi dan
perlambatan kecepatan konduksi. Akan terjadi parestesia diikuti kelemahan dan
akhirnya paralisis flaksid jika tidak segera diberikan pengobatan. Hiperkalemia
dengan kadar serum 5,5 mEq/L atau lebih (nilai normal kalium serum bervariasi
menurut umur), dapat disebabkan oleh peningkatan yang sangat ringan kalium
total tubuh. Peningkatan akut masukan kalium biasnya melalui pemberian
paenteral, dapat menyebakan hiperkalemia, meskipun biasanya bersifat sementara.
23
Karena ginjal mempunyai kapasitas yang besar untuk mengekskresi kelebihan
kalium dan mencegah hiperkalemia. Obat-obat tertentu saat meningkatkan kadar
kalium serum dengan mekanisme yang serupa. Suksinil-kolin menghambat
repolarisasi membran yang memerlukan masukan kalium seluler.13
Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan
kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion
kalium dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan
kalium plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang
lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi jantung. Penyebab
hipokalemia dapat disebabkan oleh asupan kalium kurang dan pengeluaran
kalium berlebihan.13
2.4.3 Gangguan Keseimbangan Klorida
Klorida adalah anion utama di ekstraseluler. Pemasukan dan pengeluaran
klorida berhubungan dengan natrium. Ada suatu penyerapan yang efektif pada
saat penyaringan klorida dari ginjal. Nilai normal klorida pada anak adalah 98-106
mEq/ L.23 Pada sebagian besar situasi klinis, pertukaran konsentrasi klorida dalam
darah paralel dengan natrium. Hipokloremia dan hiperkloremia biasanya disertai
dengan hiponatremia dan hipernatremia yang sebanding. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dehidrasi berat akibat diare. Kadang-kadang perubahan
konsentrasi klorida tidak disertai oleh perubahan konsentrasi natrium yang
sebanding. 13
Hipokloremia berhubungan erat dengan alkalosis metabolik. Karena klorida
dan bikarbonat mempunyai hubungan yang berlawana, ketika kadar klorida dalam
tubuh menurun, sebaliknya kadar bikarbonat dalam tubuh meningkat untuk
mencapai suasana netral. Keberadaan bikarbonat adalah hasil dari hipokloremia
dengan konsekuensi timbulnya alkaslosis metaabolik. Drainase selang NGT atau
emesis adalah penyebab tersering pada hipokloremia, penyebab tersering
hiplokoremia pada anak di rumha sakit adalah pada pasien yang menggunakan
obat diuretik. Komplikasi ini juga disertai dengan adanya alkalosis kontraksi yang
mana terjadi kehilangan cairan disebabkan oleh kehilangan klorida (buka
kehilangan bikarbonat), dan menyebabkan terjadinya alkaslosis. Anak dengan
gangguan pernapasan dan jantung juga mengalami hipokloremia. Pasien anak
24
dengan hiperkarbia kronik akibat penyakit paru kronik atau hipoventilasi sehingga
harus memakai ventilator juga bisa berkompensasi menjadi alkalosis metabolik
dan berhubungan dengan hipokloremia. Penyebab hipokloremia yang jarang
ditemukan adalah kehilangan klorida yang disebabkan oleh oleh diare klorida
kongenital, merupakan suatu penyakit keturunan autosomal resesiv. Kista fibrotik
juga dapat menyebabkan hipokloremia sehingga juga dapat menyebabkan
penurunan kadar bikarbonat dan natrium di dalam tubuh. Bulimia dengan muntah
yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan alkalosis metabolik dan
hipokloremia.24
Gejala pada hipokloremia biasanya adalah alkalosis metabolik dan
gangguan yang mendasarinya seperti letargi, takikardia, takipnea dan perlambatan
waktu pengisian kapiler. Aritmia juga bisa terjadi karena adanya alkalosis dan
hypokalemia. Hipokloremia berat juga dapt menyebabkan terjadinya kejang.
Diagnosis dan etiologi hipokloremia dapt ditemukan melalui riwayat sebelumnya.
Diagnosa hanya bekerja unuk menetapkan penyebab dari hipokloremia. Klorida
sangat jarang di perhatikan, seharusnya kalium, natrium, kalsium dan bikarbonat
harus diperhatikan juga ketika pasien mengalami gangguan klorida. Kita bisa
melakukan test klorida pada urine untuk menentukan alkaloisis metabolik. Analisa
gas darah juga dapat dilakukan untuk menentukan adanya hiperkarbia atau tidak.24
Hiperkloremia dapat terjadi bila klorida di konservasi di ginjal melebihi
natrium dan kalium atau terbentuknya urin basa selama ginjal mengkoreksi
alkalosis. Peningkatan reabsorpsi fraksional klorida ditubulus ginjal distal juga
mengakibatkan hiperklorinemia. Larutan asam amino dini yang digunakan untuk
alimentasi parenteral juga mengandung klorida berlebihan, sehingga
pemberiannya mengakibatkan asidosis hiperkloremik. Hiperkloremia juga dapat
terjadi bila sejumlah besar cairan parenteral yang mengandung klorida, seperti
garam fisiologis (saline) normal dan larutan ringer laktat diberikan pada saat
resusitasi cairan akut.13
Hiperkloremia tidak menimbulkan gejala yang spesifik, kebanyakan gejala
yang ada biasanya berhubungan dengan asidosis. Hipernatremia dan hiperkalemia
sering ditemui pada kelainan ini. Hiperkalemia terjadi setelah ion hidrogen masuk
kedalam sel untuk mengkompensasi pH, dengan kalium yang berpindah ke luar
25
sel. Asidosis merusak kontraktilitas jantung dan respon jantung, meskipun efek
ini mungkin menyebabkan asidosi berat. Kompensasi repiratori untuk metabolik
asidosis dapat menimbulka pernapasan Kussmaul. Metabolisme otak dipengaruhi
oleh asidosis sehingga pasien mengalami letargi, sakit kepala, kacau dan koma
pada stadium yang berat.24
2.4.4 Koreksi Elektrolit
Bila kadar kalium rendah per oral dapat diberiakan 1,5-3 gram KCl sehari
atau secara intravena diberikan KCl 2-4 mEq/kgBB/24 jam. Pada hipokalemia
berat dapat diberikan KCL 0,5-1 mEq/kgBB/jam melalui intravena maksimal 20
mEq/jam. Pada hiperkalemi akut tanpa kelainan EKG , diberikan NaHCO3 dan
glukosa 40% 100 ml + insulin 12,5 U. Apabila disertai kelainan EKG ditambah
kalsium glukonas 10% (20-40ml).13
Penatalaksanaan hiponatremia dapat dibagi dalam beberapa macam
hiponatremia. Untuk hiponatremia hipotonik dengan kejang yang melibatkan
sistem saraf pusat dan depresi napas hal yang perlu dilakukan adalah: 25
Beritahu Intensive Care Unit (ICU) atau pun diskusikan dengan pihak
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) lakukan resusitasi sesuai dengan
indikasi klinis.
Lakukan pemberian oksigen, pertimbangkan tindakan intubasi dan
pemasangan ventilator (sebelum terjadi henti napas)
Berikan 3% Natrium klorida (via vena sentral jika memungkinkan),
jangan tunda meskipun dilakukan pemberian antikonvulsiv. Natrium
klorida diberikan 4 mg/ kg selama 15-30 menit. Pemberian Natrium
klorida akan meningkatkan natrium plasma sekitar 3 mmol/L. Lakukan
pemeriksaan untuk mengetahui kadar natrium pada saat akhir
pemberiannya. Jika masih kejang lakukan intubasi berikan lebih 2 ml/ kg
3% Natrium klorida selama dari 15 menit. Ukur kembali kadar natrium di
akhir pemberian. Apabila kejang masih berlanjut lakukan intubasi,
selanjutnya berikan 2 ml/ kg 3% Natrium klorida selama 30 menit. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan natrium plasma sampai gejala teratasi, dan/
atau perubahan natrium plasma ≤ 12 mmol/L/24 jam dan/ atau 125 mmol /
L.
26
Berikan antipiretik (meskipun sering terjadi hipotermia pada hiponatremia
yang disertai kejang.
Berikan antikonvulsiv fouresemid 1 mg/ kg untuk meningkatkan free
water clearance.
Pantau terapi yang sedang berlangsung sesuai dengan gejala ringan
hiponatremia, hati-hati diuresis cepat yang dapat terjadi selama terapi
korektif jika stimulus untuk sekresi ADH berlebihan.
Pada hiponatremia hipotonik dengan gejala ringan/ asimptomatik
hiponatremia akut (natrium plasma < 125 mmol/ L) dapat diberikan:25
Lakukan pemberian oksigen dan pemberian natrium klorida 3% untuk
mencapai perubahan dalam natrium plasma sebesar 1-2 mmol/ L/ jam
sampai gejala membaik atau natrium plasma ≥ 125 mmol/ L (jika tanpa
gejala sejak awal).
Sekali asimptomatik, batasi cairan 60% untuk dosis pemeliharaan (secara
enteral atau intravena).
Berikan Fourosemid 0,5-1 mg/ kg jika terjadi edem dan penambahan berat
badan.
Berusaha menghentikan obat-obatan lain, menangani stimulus sekresi
ADH dan lakukan pemeriksaan rutin biokimia. Batasi perubahan natrium
plasma hingga 8mmol/ L/ hari dan 15mmol/l/48 jam terhadap kelompok
pasien ini.
Tatalaksana untuk asimtomatik Hiponatremia kronik/ akut dengan natrium
plasma < 125 mmol/ L dapat diberikan:25
Manajemen konservatif : membatasi cairan dengan memberikan Natrium
klorida 0,9% secara intravena. Hindari hiponatremia progresif dan koreksi
lambat untuk hiponatremia ringan.
Lakukan tindakan terhadap faktor penyebab yang mungkin mendasari
terapi terhadap etiologi atau status volume natrium klorida 3% yang tidak
perlu kecuali adanya pengurangan natrium di otak.
Tatalaksana medik untuk hipernatremia meliputi koreksi hipernatremia.
Dalam melakukan koreksi hipernatremia, jangan terlalu cepat mengurangi level
natrium didalam tubuh karena penolakan yang cepat pada konsentrasi natrium
27
kolrida dapat menyebabkan edem serebri. Kadar natrium klorida yang
direkomendasikan untuk koreksi adalah 0,5 mEq/ jam atau sebanyak 10-12 mEq/
L selama 24 jam. Dehidrai harus dikoreksi selama 48-72 jam. Panduan untuk
pengaturan hidrasi telah ditetapkan. Jika konsentrasi serum natrium lebih dari 200
mEq/ L, dialysis peritoneal harus di lakukan dengan menggunakan glukosa tinggi
dan dialisata rendah natrium. 26
Mengobati penyebab utama adalah langkah awal dalam melakukan koreksi
hipokloremia. Terapi biasany termasuk memenuhi volume. Kecuali pada pasien
dengan gagal jantung. Drainase NGT dan pemberian diuretik sebaiknya
dihentikan. Alternatifnya adalah penghambat proton harus dikurangi jika drainase
NGT masih tetap dilakukan. Penggatntian NGT dengan selang jejunum akan
membantu menghindari penurunan hidrogen dan kaliumyang progresif.
Actazolamide juga dapat membantu mengkoreksi alkalosis metabolik. Dengan
meningkatkan reabsorpsi bikarbonat hingga menjadi penghambat karbonik
anhidrase meskipun hal itu tidak berefek terhadap kadar klorida. Penggantian
klorida harus dilaksanakan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Natrum
klorida dan kalium klorida adalah pilihannya, tergantung kepada yang mana lebih
membutuhkan penggantian. Penggunaan natrium klorida harus secara hati-hati
digunakan pada pasien dengan gagal jantung , sebagaimana kita ketahui natrium
dapat meningkatkan total cairan di dalam tubuh. Ammonium klorida bisa
menyebabkan proses oksidasi, yang mana dapat melepaskan ion hidrogen. Untuk
alasan ini, ammonium klorida tidak dianjurkan penggunaanya pada pasien dengan
gagal ginjal dan hati, karena meimiliki metabolisme dan sistem ekskresi yang
tidak baik. Pada kasus yang jarang seperti hipokloremia yang disertai kejang,
aritmia dan depresi pernapasan, arginin hidroklorida atau hydrochloric acid harus
diberikan untuk koreksi cepat pada gangguan eletrolit. Tatalaksana dengan
menggukana hydrochloric acid berbahaya, bagaimanapun pengobatan ini
diberikan pada kasus emergensi dengan perlengkapan resusitasi dan kemampuan
pemantauan yang baik.24
Pengobatan hiperkalemia langsung ditujukan untuk koreksi penyebab
utamanya yang menyertai asidosis. Penggunaan bikarbonat intravena telah
direkomendasikan secara luas hanya untuk pasien dengan asidosis. 24
28
BAB III
KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
N0. CM : 0-97-43-10
Nama : By Pujiati
Tgl lahir/Umur : 9 September 2013
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Pendidikan : -
Alamat : Gunong Meunasah, Aceh Jaya
Tanggal Masuk : 22 Oktober 2013
Jaminan : JAMKESMAS
3.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Kejang
Keluhan Tambahan
29
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang di bawa orangtuanya ke RSUDZA dengan keluhan kejang sejak 10
jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang lebih kurang sudah terjadi sebanyak 7
kali. Awalnya kejang dirasakan pasien pada pukul 14.00 WIB, durasi 10 menit.
Pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Setelah kejang pasien menangis.
Kejang tersebut dirasakan pada kaki dan tangan kanan saja. Kejang yang kedua
terjadi pukul 15.00 WIB dengan durasi 30 menit. Setelah kejang yang kedua,
pasien tertidur selama 20 menit kemudian disusul lagi oleh kejang ketiga yang
terjadi 30 menit. Setelah kejang yang ketiga pasien kembali tertidur selama 20
menit. Kemudian pasien kembali mengalami kejang dengan durasi yang sama
pada pukul 20.00 WIB, kejang yang diralami masih sama seperti yang
sebelumnya. Lalu pasien di bawa oleh orang tuanya ke RSUD Calang. Setibanya
di IGD RSUD Calang pasien mengalami kejang selama 15 menit, kemudian
diberikan diazepam supp 1 kali. Kemudian pasien dirujuk ke RSUDZA. Pukul
23.00 WIB pasien kejang selam 15 menit dan setelahnya pasien sadarkan diri.
Menurut keluarga pasien, selama di ruangan seurunee 1 pasien tetap mengalami
kejang dan tidak berkurang walaupun sudah diobati. Sebelumnya pasien sudah
pernah dirawat di PICU selama 10 hari (23 Oktober 2013 s/d 1 November 2013)
dengan keluhan yang sama. Menurut ibunya, pasien mengalami kejang yang
terjadi secara diseluruh tubuh dan tubuh berasa kaku disertai dengan kesulitan
bernafas. Kejang dialami berulang kali selama kurang lebih sepuluh menit dan
diantara kejang, pasien tertidur lalu kurang lebih sepuluh menit kemudian pasien
kembali kejang. Ketika kejang tangan dan kaki kanan pasien masih bergerak-
gerak. Pasien juga mengalami sesak nafas dialami kira-kira 1 hari sebelum masuk
ke PICU kembali. Sesak napas akan memberat apabila pasien beraktivitas.
Demam (-), muntah (+). Muntah berisi makanan yang dimakan. Muntah dirasakan
sebanyak 3 kali. Menurut pengakuan ibunya pasien mendapatkan injeksi vitamin
K pada saat berumur 21 hari. BAK kira-kira 3 kali sehari, BAB normal, tidak
berdarah.
Riwayat penyakit dahulu
30
Riwayat kejang dan apneu periodik. Trauma kepala (-), kejang demam (-)
Riwayat penyakit keluarga
Disangkal
Riwayat pemakaian obat
Stesolid supp dan ibu lupa nama obat lainnya
Riwayat kehamilan ibu
Hamil 9 bulan, ANC rutin ke bidan demam (-), hipertensi (-), DM (-), ISK (-),
keputihan (-)
Riwayat persalinan
Pasien merupakan anak ketiga. Lahir normal pervaginam, BBL 4500 gram dan di
tolong oleh Bidan, bayi segera menangis.
Riwayat tumbuh kembang
Umur Riwayat pemberian
makanan
Riwayat tumbuh
kembang
0-2 bulan ASI Mengankat
kepala,mengoceh
Riwayat imunisasi : tidak ada
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Tampak sakit berat
- Kesadaran : Somnolen
- Nadi : 152 x/menit
- Pernafasan : 58 x/menit
- Suhu : 36,1oC
- Keadaan Gizi : BB : 5,2 kg LK: 36 cm PB : 54 cm
BB/U = -2 < z score < +2 Normal
PB/U = -2 < z score < +2 Normal
31
BB/PB = -2 < z score < +2 Normal
Kesan: Gizi baik
Kulit
Warna : putih
Parut Cacar : (-)
sianosis : (-)
Ikterus : (-)
udem : (-)
Kepala
Rambut : Normocephali, LK: 36 cm, Hitam, sukar dicabut, distribusi merata
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Conjunctiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret
(-/-), reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), Pupil bulat isokor 3
mm/3 mm
Telinga : Sekret (-/-), normotia
Hidung : Sekret (-/-), Napas cuping hidung (+)
Mulut : Mukosa Bibir kering ( - ), beslag ( - ),sianosis ( - ), lidah tremor (-)
Tonsil T1 – T1, hiperemis (-/-)
Leher
Inspeksi : Simetris, tortikolisis (-)
Palpasi : TVJ R-2 cmH2O, Pembesaran KGB ( - )
Thorax
Inspeksi
- Statis : Simetris, cardic bulging ( - ), bentuk normochest
- Dinamis : Tipe pernafasan abdomino torachal, retraksi suprasternal (-),
retraksi intercostal (+), retraksi epigastrium (-)
Paru
Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis
32
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil sama kiri dan kanan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi :
Suara napas dasar vesikular (+/+)
Suara napas tambahan rhonki (+/+) wheezing (-/-), stridor inspirasi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V Midclavicula sinistra, thrill (-)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II di katup mitral, reguler (+), bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi ( -)
Palpasi : Nyeri Tekan ( - ),
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-/-)
Turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genetalia : Skrotum normal, hipospadia (-)
Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB ( - )
Ekstremitas : -Superior : sianosis (-/-) edema (-/-), pucat (-/-)
-Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-), pucat (-/-)
CRT < 3 detik, akral hangat.
Status Neurologis:
GCS : E4 M5 V3
Mata : Pupil bulat isokor 3mm/3mm
TRM : (-)
Nervus Cranialis : Dalam batas normal
Motorik : Dalam batas normal
33
Sensorik : Dalam batas normal
Otonom : Terpasang kateter
Reflek Fisiologis : Normoreflek
Reflek Patologis :-/-
3.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan darah rutin (22 Oktober 2013)
Pemeriksaan Hasil Normal
Hematokrit 21% 40-55%
Hemoglobin 7,1 gr/dl 13,0-17,0 gr/dl
Leukosit 13,9 x 103/ul 4,1-10,5 x 103/ul
Trombosit 430x103/ul 150-400x103/ul
GDS 115 mg/dl < 200 mg/dl
Natrium 139 mEq/ L 135-145 mEq/ L
Kalium 4,6 mEq/ L 3,5-4,5 mEq/L
Chloride 160 mEq/ L 135-145 mEq/L
Tabel 2.2 Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah (22 Oktober 2013)
Pemeriksaan Hasil Normal
pH 7,517 mmHg 7,35-7,45 mmHg
HCO3 19,5 mmHg 23-36 mmHg
PO2 103 mmHg 80-100 mmHg
PCO2 24 mmHg 35-45mmHg
CTCO2 70 mmol/ L 23,2-27,6 mmol/ L
Saturasi O2 100% 95-100%
3.5 DIAGNOSA BANDING
-APCD
-Meningoencephalitis
34
3.6 DIAGNOSA SEMENTARA
APCD
3.7 PENATALAKSANAAN
- Diet ASI atau PASI 10 cc/3 jam
- Balance cairan/6 jam
- IVFD N5 20 tetes/menit
- Fentanil 9,4 cc + Dekstrose 5%
- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam
- Inj. Meropenem 150/8 jam
- Inj Sibital 10 mg/ 12 jam
- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam
- Hydrokortison zalf
- Stesolid supp 5 mg (k/p)
3.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : dubia ad malam
35
3.9 FOLLOW UP HARIAN
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
23/11/2013 H34
BB = 4,7 kg
S/ kejang (+), sesak napas (+)O/ VS/ HR = 137 x/menit RR = 79x/menit T = 36,4oCPF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E3M6Vx
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 3 mm; ki 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (-), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan sungkup O2, RR: 79x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+),Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 137x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 139/5,5/103 (mEq/L) (Lab 19Nov2013)KGDS pagi : 124 gr/dl (Lab 17 Nov 2013)InfeksiDemam (-), T: 36,4ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 12,5x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500
36
ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 10,9 gr/dl, perdarahan (-), Trombosit: 127.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal kanan
Assesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak
Instruksi Th /- IVFD N5 39 cc/jam- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Hydrokortison zalf- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
24/11/2013 H35
BB = 4,7 kg
S/ kejang (+), sesak napas (+)O/ VS/ HR = 140 x/menit RR = 80x/menit T = 36,8oCPF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E3M6Vx
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 3 mm; ki 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (-), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan sungkup O2, RR: 80x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 140x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 139/5,5/103 (mEq/L) (Lab 19Nov2013)KGDS pagi : 124 gr/dl (Lab 17 Nov 2013)Infeksi
37
Demam (-), T: 36,8ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 12,5x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500 ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 10,9 gr/dl, perdarahan (-), Trombosit: 127.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal kanan
Assesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak
Instruksi Th /- IVFD N5 39 cc/jam- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Hydrokortison zalf- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
25/11/2013 H36
BB = 4,7 kg
S/ kejang (+), muntah (+)O/ VS/ HR = 130 x/menit RR = 48x/menit T = 35,6oCPF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E4M6V5
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 3 mm; ki 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (-), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan sungkup O2, RR: 48x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 130x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),
38
Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 139/5,5/103 (mEq/L) (Lab 19Nov2013)KGDS : 124 gr/dl (Lab 17 Nov 2013)InfeksiDemam (-), T: 35,6ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 12,5x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500 ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 10,9 gr/dl, perdarahan (-), Trombosit: 127.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal kanan
Assesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak
Instruksi Th /- O2 2 L/ menit- IVFD N5 39 cc/jam- Aminofusin 2,5 gram/ hari- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam- Inj Ranitidin 5 mg/ 12 jam- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Hydrokortison zalf- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Nzndia 3x1cc- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
26/11/2013 H37
BB = 4,7 kg
S/ spastik (+), muntah (-)O/ VS/ HR = 120 x/menit RR = 46x/menit T = 37,0oCPF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E4M6Vx
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)
39
(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 2 mm; ki 2 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (-), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan nasal kanul O2, RR: 46x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 120x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+), Bising usus (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 139/5,5/103 (mEq/L) (Lab 19Nov2013)KGDS : 124 gr/dl (Lab 17 Nov 2013)InfeksiDemam (-), T: 37,0ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 12,5x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500 ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 10,9 gr/dl, perdarahan (-), Trombosit: 127.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal kanan
Assesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak+Atopi (Alergi susu sapi)
Instruksi Th /- O2 2 L/ menit- IVFD N5 39 cc/jam- Aminofusin 2,5 gram/ hari- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam- Inj Ranitidin 5 mg/ 12 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Zinkid syr 1x10 mg- Hydrokortison zalf- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Nzndia 3x1cc- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
40
Instruksi dr.anidar, Sp.A- Interlac drop 1x5 tetes- Luminal 2x10 mg/8 jam- Phenitoin (tappering ) (26/11/13) Phenitoin 8 mg/ 8 jam (27/11/13)Phenitoin 5 mg/ 8 jam (28/11/13)Phenitoin 5 mg/ 12 jam (29/11/13)Phenitoin 5 mg/ 24 jam
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
27/11/2013 H38
BB = 4,7 kg
S/ spastik (+)O/ VS/ HR = 125 x/menit RR = 50x/menit T = 36,0oC
PF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E4M6Vx
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 3 mm; ki 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (-), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan nasal kanul O2, RR: 50x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 120x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+), Bising usus (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 112/5,8/7,0 (mEq/L) (Lab 26 Nov2013)KGDS : 138 gr/dl (Lab 26 Nov 2013)InfeksiDemam (-), T: 36,0ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 28,6x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500 ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 9,2 gr/dl, perdarahan (+), Trombosit: 460.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal
41
kananAssesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan
sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak+Atopi (Alergi susu sapi)
Instruksi Th /- O2 2 L/ menit- IVFD N5 23 cc/jam- Aminofusin 2,5 gram/ hari- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam- Inj Ranitidin 5 mg/ 12 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Zinkid syr 1x10 mg- Hydrokortison zalf- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Nzndia 3x1cc- Diet TF 4cc/ 3 jam- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
Instruksi dr.anidar, Sp.A- Interlac drop 1x5 tetes- Luminal 2x10 mg/8 jam- Phenitoin (tappering ) (26/11/13) Phenitoin 8 mg/ 8 jam (27/11/13)Phenitoin 5 mg/ 8 jam (28/11/13)Phenitoin 5 mg/ 12 jam (29/11/13)Phenitoin 5 mg/ 24 jam
Rencana operasi untuk pemasangna VP Shunt, persiapan operasiË- Foto thoraks- Elektrolit dan fungsi ginjal, CT dan BT
(Jika keluarga setuju untuk tindakan operasi)
Tanggal/Hari Rawatan
Catatan dan instuksi
28/11/2013 H39 BB=4,7 kg
S/ spastik (+)O/ VS/ HR = 115 x/menit RR = 52x/menit T = 37,2oC
PF/ SSPKorteks : Kesadaran : GCS E4M6Vx
Batang otak (pons) : napas : spontan (+)(Med. Oblongata) : pupil isokor (+/+) ka 3 mm; ki 3 mm, RCL
42
(+/+), RCTL (+/+)Motorik : Kejang (+), Parese (+), pola napas : torakoabdominalRespirasispontan (+) dengan nasal kanul O2, RR: 52x/menit, regular, Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-), stridor inspirasi (-), retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrium (-)KardiovaskulerPreload: JVP R-2 cmH2O, Hepar tidak terabaHR: 120x/menit, BJ I > BJ II, reguler, T/V cukup, bising (-),Resitensi perifer: akral hangat; CRT < 3 detikDiuresis 1,2 cc/kg BB/ jamMetabolikAbdomen: lemas, turgor cukup, peristaltik (+), Bising usus (+)Elektrolit: Na/K/Cl : 112/5,8/7,0 (mEq/L) (Lab 26 Nov2013)KGDS pagi : 89 gr/dl (28 Nov 2013)InfeksiDemam (-), T: 36,0ºCAntibiotik : Meropenem 150 mg dan Eritromisin 25 mgLeukosit : 28,6x103/ul, Hasil kultur : tidak dilakukanNutrisiStatus Gizi: baik, Total kalori/hari: 369-373 kkal/hari, Total air : 500 ml/hari, protein : 7,4-7,5 gr/hariHematologiPucat (-/-), Hb: 9,2 gr/dl, perdarahan (+), Trombosit: 460.000/mm3
Lain-lainHasil foto thoraks (10 Nov 2013) : pneumoniaHasil foto CT Scan kepala (20 Nov 2013) : ICH parietal kiri dan Subdural Hematom Occipital kanan dan kiri, frontotemporo parietal kanan
Assesment APCD + ICH a/r parietal sinistra + SDH a/r occipital dekstra dan sinistra dan frontotemporoparietal + pneumonia + gangguan elektrolit + dermatitis kontak+Atopi (Alergi susu sapi) + parese N.II dan N.III
Instruksi Th /- O2 2 L/ menit- IVFD N5 8 cc/jam- Aminofusin paed 5% 6 cc/ jam- Inj. Fenitoin 10 mg/8 jam- Inj. Meropenem 150/8 jam (stop)- Inj Ranitidin 5 mg/ 12 jam- Inj sibital 10 mg/ 12 jam- Vancoumicin 100 mg/ hari (loading dose) kemudian lanjut 60
mg/ 8 jam- Flukonazole 50 mg/ hari- Eritromcyn syr 25 mg/8 jam- Zinkid syr 1x10 mg- Hydrokortison zalf
43
- Stesolid supp 5 mg (k/p)- Nzndia 3x1cc- Diet TF 10cc/ 3 jam- Balance cairan/6 jam- Ukur lingkar kepala setiap follow up (39 cm)
Instruksi dr.anidar, Sp.A- Interlac drop 1x5 tetes- Luminal 2x10 mg/8 jam- Phenitoin (tappering ) (26/11/13) Phenitoin 8 mg/ 8 jam (27/11/13)Phenitoin 5 mg/ 8 jam (28/11/13)Phenitoin 5 mg/ 12 jam (29/11/13)Phenitoin 5 mg/ 24 jam
3.10 ANALISA KASUS
Acquired Prothrombin Complex Deficiency (APCD) adalah perdarahan
spontan atau akibat trauma yang disebabkan karena penurunan aktivitas faktor
koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X) sedangkan
aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen, dan jumlah trombosit, masih
dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan pemberian vitamin
K.7,11 30-60% dari kasus yang terkait terdapat adanya perdarahan intrakranial.
Injeksi intramuskular (im) vitamin K saat lahir tampaknya merupakan profilaksis
yang paling efektif bentuk yang paling efektif profilaksis.9
Pada APCD dapat terjadi adanya pendarahan hampir di semua sisi manapun baik
secara spontan atau iatrogenik. Secara umum perdarahan spontan dapat terjadi
pada selaput lendir, kulit, umbilikus, retroperitoneum, perdarahan intrakranial,
kencing dan saluran pencernaan. Penyebab iatrogenik terjadi pada pasien-pasien
dengan laju endap darah yang abnormal atau post tindakan operasi.11. Gejala
tersering yang ditemukan pada APCD adalah kejang, penurunan kesadaran, dan
perdarahan intrakranial seperti perdarahan subdural, perdarahan intraserebral,
perdarahan intraventrikular dan perdarahan subarachnoid. Anemia, demam, ruam
dikulit, hemiparese, mikrosefali, hidrosefalus, spastk dan perdarahan
gastroinstestinal juga sering ditemukan.6,7
Pada kasus dari anamnesis ditemukan adanya kejang, spastik, penurunan
kesadaran dan perdarahan intrakranial. Pada pemerikasaan fisik ditemukan tingkat
kesadaran somnolen dan kejang spastik yang lebih dari tiga kali selama 1 hari.
44
Faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya APCD antara lain obat-
obatan yang mengganggu metabolisme vitamin K, yang diminum ibu selama
kehamilan seperti antikonvulsan (Karbamazepin, Phenitoin, Phenobarbital),
antibiotika (Sefalosporin), anti tuberkulostatik (Isoniazid dan Rifampisin) dan
antikoagulan (Warfarin). Pemberian antibiotik yang lama menyebabkan
penurunan produksi vitamin K dengan cara menghambat sintesis vitamin K2 oleh
bakteri atau dapat juga secara langsung mempengaruhi reaksi karboksilase.
Kekurangan vitamin K dapat juga disebabkan penggunaan obat kolestiramin yang
efek kerjanya mengikat garam empedu sehingga akan mengurangu absorpsi
vitamin K yang memerlukan garam empedu pada proses absorpsinya Faktor
resiko lain adalah kurangnya sintesis vitamin K oleh bakteri usus karena
pemakaian antibiotika secara berlebihan, gangguan fungsi hati (kolestasis),
kurangnya asupan vitamin K pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, serta
malabsorbsi vitamin K akibat kelainan usus maupun akibat diare.6,11
Pada kasus ini orang tua pasien mengaku pasien di lakukan penyuntikan
vitamin K saat anak berumur 21 hari. Anak juga lebih banyak mengkonsumsi ASI
dari pada susu formula. Hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan resiko
terjadinya APCD pada kasus ini.
Pada pemeriksaan laboratorium dari gangguan pembekuan darah karena
kekurangan vitamin K menunjukkan :6
a. Penurunan aktifitas faktor II, VII, IX, dan X
b. Waktu pembekuan memanjang
c. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
d. Masa perdarahan normal
e. Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, faktor V dan VIII, fragilitas
kapiler serta retraksi bekuan normal
f. Faktor koagulasi lain normal sesuai dengan usia
Pemeriksaan lain seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk
melihat lokasi perdarahan misalnya jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial.
Selain itu respon yang baik terhadap pemberian vitamin K memperkuat diagnosis.
APCD harus dibedakan dengan gangguan hemostasis lain baik yang didapat
maupun yang bersifat kongenital. Diantaranya gangguan fungsi hati juga dapat
45
menyebabkan gangguan sintesis faktor-faktor pembekuan darah, sehingga
memberikan manifestasi klinis perdarahan.1
Pada kasus ini tidak dapat dilakukan oleh karena tidak tersedianza alat yang
mendukung untuk pemerikasaan lab untuk melihat prothrombine time. Tapi CT
Scan yang telah dilakukan menujukkan adanya perdarahan intrakarnial di berbagai
lokasi. Adanya perdarahan intracranial di lobus parietal kiri dan perdarahan
subdural dilobus occipital kanan dan kiri juga frontotemporo parietal kanan.
Tatalaksana APCD terdiri dari penatalaksanaan antenatal untuk mencegah
terjadinya penyakit ini dan penatalaksanaan setelah bayi lahir untuk mencegah
dan mengobati bila terjadi perdarahan. Dalam mencegah terjadinya APCD bentuk
klasik pemberian vitamin K peroral lebih efektif, lebih murah dan lebih aman
daripada pemberian secara intramuskular (IM), namun untuk mencegah APCD
bentuk lambat pemberian vitamin K oral tidak seefektif pemberian intramuskular.
Selain itu pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada
bayi dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg BB, mampu
meningkatkan kadar faktor koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1-0,2
unit/ml.13 Respon pengobatan diharapkan terjadi dalam waktu 4-6 jam, ditandai
dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan faal hemostasis yang membaik.
Pada bayi cukup bulan, jika didapatkan perbaikan dalam 24 jam maka harus
dipikirkan kelainan yang lain misalnya penyakit hati.1
Pada pasien telah diberikan injeksi Vitamin K dan transfuse ketika pasien
tiba di IGD. Pengobatan kejang pada kasus ini diberikan phentioni dengan dosis
tapering of, mulai dari 10 mg/ 8 jam, hingga 5 mg/ 24 jam.
Komplikasi pada APCD meliputi perdarahan intrakranial yang terjadi,
dimana perdarahan sangat sulit untuk ditangani pada anak. Komplikasi pada
APCD bisa juga disebabkan oleh terapi yang telah diberikan selama masa
perawatan. Terapi yang dapat menyebabkan komplikasi adalah reaksi anafilaktik
selama pemasangan jalur intravena dan selama pemberian vitamin K secara
intravena, hiperbilirubinemia atau anemia hemolitik setelah pemberian vitamin K
dengan dosis tinggi juga dapat menjadi komplikasi pada APCD. Hematoma
setelah dilakukan tindakan injeksi apabila diberikan secara intramuskular.8 Pada
46
kasus ini komplikasi yang terjadi adalah hematoma pada anak setelah dilakukan
injeksi.
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda asing yang
teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Banyak mikroorganisme yang dapat
menyebabkan pneumonia pada anak, yaitu bakteri, virus, atau jamur. Di Negara
berkembang, pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri. Bakteri utama yang
menyebabkan pneumonia pada anak-anak adalah Streptococcus Pneumonia dan
Haemophilus Influenza.15
Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa
hari, termasuk rhinitis, batuk dan demam, suhu biasaanya lebih rendah dari pada
pneumonia bakteri. Takipnea, yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal,
dan suprasternal, pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot tambahan. Infeksi
berat dapat disertai sianosis dan kelelahan pernapasan. Auskultasi dada terdapat
ronki dan mengi yang luas.18
Menurut anamnesa dan pemerikasaan fisik, ditemukan adanya gejal-gejala
pernapasan seperti batuk dan demam. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak
napas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan 58 kali per menit. Namun
pada saat pemeriksaan tidak ditemukan adanya demam. Demam dirasakan ketika
pasien berada di ruangan seurunee. Dari pemerikasaan fisik ditemukan takipnea,
yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, pelebaran
cuping hidung, penggunaan otot dan bunyi nafas tambahan yaitu ronki kering.
Dimana ronki sangat khas pada pneumonia. Pada pasien ini telah dilakukan foto
thoraks yang memberikan gambaran pneumonia berupa adanya tampak
perselubungan di suprahiler kanan. Hal ini kemungkinan terjadi karena pasien
selalu berada dalam posisi tidur ataupun bisa terjadi karena infeksi nosokomial.
Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan larutan
ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau karena kelebihan
natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada overhidrasi osmotik atau retensi air
oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan osmolaritas & konsentrasi natrium
klorida dalam cairan ekstrasel. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa
47
hipernatremia dapat terjadi bila ada defisit cairan tubuh akibat ekskresi air
melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada
pengeluaran air tanpa elektrolit melalui insensible water loss atau keringat, diare
osmotik akibat pemberian laktulose atau sorbitol, diabetes insipidus sentral
maupun nefrogenik, diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat
rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular.13
Hipernatremi (natrium serum 150 mEq/L) disebabkan oleh kondisi-kondisi
yang mengakibatkan masukan natrium berlebihan, atau akibat kehilangan air
tubuh yang lebih besar dari natrium. Hipernatremia akibat masukan natrium
berlebihan atau kelebihan natrium primer, biasanya berhubungan dengan
penyebab iatrogenik seperti penggantian glukosa dengan NaCl untuk formula
yang telah dipersiapkan untuk bayi sesuai dengan resep dasar, penggunaan enema
salin yang berlebihan. Pemberian larutan salin hipertonik intravena yang tidak
tepat dan NaCl yang digunakan untuk merangsang muntah. Penyebab
hipernatremia yang lebih sering terjadi adalah disebabkan oleh defisit air primer
yaitu kehilangan air tubuh total melebihi kekurangan natrium. Hipernatremia
dapat terjadi pada diabetes insipidus, gastroentritis, asupan ASI yang tidak
adekuat dan masukan air yang minimal. Gejala klinis yang dapat timbul yaitu
kejang seluruh tubuh dan penurunan kesadaran.13
Pada kasus ini ditemukan kadar natrium pasien yaitu 154 mmol/ L yang
menunjukkan pasien mengalami hipernatremia (natrium serum 150 mEq/ L).
Hal ini bisa disebabkan oleh defisit air primer atau kehilangan air tubuh total zang
melibihi kekurangan natrium. Gejala pada pasien berupa penurunan kesadaran dan
kejang, namun tidak pada seluruh tubuh.
Tatalaksana medik untuk hipernatremia meliputi koreksi hipernatremia.
Dalam melakukan koreksi hipernatremia, jangan terlalu cepat mengurangi level
natrium didalam tubuh karena penolakan yang cepat pada konsentrasi natrium
klorida dapat menyebabkan edem serebri. Kadar natrium klorida yang
direkomendasikan untuk koreksi adalah 0,5 mEq/ jam atau sebanyak 10-12 mEq/
L selama 24 jam. Dehidrai harus dikoreksi selama 48-72 jam. Panduan untuk
pengaturan hidrasi telah ditetapkan. Jika konsentrasi serum natrium lebih dari 200
48
mEq/ L, dialisis peritoneal harus di lakukan dengan menggunakan glukosa tinggi
dan dialisata rendah natrium. 26
Klorida adalah anion utama di ekstraseluler. Pemasukan dan pengeluaran
klorida berhubungan dengan natrium. Ada suatu penyerapan yang efektif pada
saat penyaringan klorida dari ginjal. Nilai normal klorida pada anak adalah 98-106
mEq/ L.23 Hiperkloremia (klorida 106 mEq/ L) dapat terjadi bila klorida di
konservasi di ginjal melebihi natrium dan kalium atau terbentuknya urin basa
selama ginjal mengkoreksi alkalosis. Peningkatan reabsorpsi fraksional klorida
ditubulus ginjal distal juga mengakibatkan hiperklorinemia. Larutan asam amino
dini yang digunakan untuk alimentasi parenteral juga mengandung klorida
berlebihan, sehingga pemberiannya mengakibatkan asidosis hiperkloremik.
Hiperkloremia juga dapat terjadi bila sejumlah besar cairan parenteral yang
mengandung klorida, seperti garam fisiologis (saline) normal dan larutan ringer
laktat diberikan pada saat resusitasi cairan akut.13 Hiperkloremia tidak
menimbulkan gejala yang spesifik, kebanyakan gejala yang ada biasanya
berhubungan dengan asidosis. Hipernatremia dan hiperkalemia sering ditemui
pada kelainan ini. Hiperkalemia terjadi setelah ion hidrogen masuk kedalam sel
untuk mengkompensasi pH, dengan kalium yang berpindah ke luar sel. Asidosis
merusak kontraktilitas jantung dan respon jantung, meskipun efek ini mungkin
menyebabkan asidosi berat. Kompensasi repiratori untuk metabolik asidosis dapat
menimbulkan pernapasan Kussmaul. Metabolisme otak dipengaruhi oleh asidosis
sehingga pasien mengalami letargi, sakit kepala, kacau dan koma pada stadium
yang berat.24
Pada kasus ini ditemukan kadar klorida 117 mmol/ L pada pasien yang
menunjukkan pasien mengalami hiperkloremia (klorida 106 mEq/ L).
Hiperkloremia pada kasus ini bisa saja timbul karena sejumlah besar cairan
parenteral yang diberikan kepada pasien mengandung klorida, seperti garam
fisiologis. Gejala yang ditemkan pada pasien berupa letargi.
Pengobatan hiperkalemia langsung ditujukan untuk koreksi penyebab
utamanya yang menyertai asidosis. Penggunaan bikarbonat intravena telah
direkomendasikan secara luas hanya untuk pasien dengan asidosis. 24 Pada pasien
ini tidak terjadi asidosis metabolik dan tidak dilakukan pemberian bikarbonat.
49
Pada sebagian besar situasi klinis, pertukaran konsentrasi klorida dalam
darah paralel dengan natrium. Hipokloremia dan hiperkloremia biasanya disertai
dengan hiponatremia dan hipernatremia yang sebanding. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dehidrasi berat akibat diare. Kadang-kadang perubahan
konsentrasi klorida tidak disertai oleh perubahan konsentrasi natrium yang
sebanding. Hipokloremia sering dijumpai pada alkalosis metabolik. Meskipun
klorida tidak secara langsung terlibat dalam pengaturan konsentrasi ion hidrogen
bebas, tetapi dia berperan penting dalam menimbulkan dan mempertahankan
alkalosis metaboilk. Kekurangan klorida sebagai penyebab alkalosis metabolik
terjadi bila kehilangan klorida tubuh melebihi kekurangan natrium. Contohnya
adalah kehilangan dari usus akibat muntah atau drainase lambung, dan pada diare
klorida, suatu kelainan kongenital yang jarang terjadi dimana terjad defek transpor
klorida usus serta kistik fibrosis.13 Pada kasus ditemukan hiperkloremia dan
hipernatremia secara bersamaan.
50
BAB IV
RINGKASAN
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) disebut juga sebagai
Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN), atau lebih dikenal dengan Acquired
Prothrombin Complex Deficiency (APCD). Acquired Prothrombin Complex
Deficiency adalah perdarahan spontan atau akibat trauma yang disebabkan karena
penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII,
IX, dan X). Diagnosis APCD ditegakkan secara klinis dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan dan pencegahan
APCD tergantung tipe penyakit. Pengobatan yang dapat diberikan berupa terapi
pemberian vitamin K, pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dan tatalaksana
peningkatan intrakranial.
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda asing yang
teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Diagnosa pneumonia utamanya didasarkan pada
klinis, sedangkan pemeriksaan foto polos dada perlu dibuat untuk menegakkan
diagnosa, disamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.
Sebagian besar kasus pneumonia dapat diobati tanpa harus menjalani rawat
inap.Umumnya antibiotik oral, istirahat, cairan dan perawatan rumah sudah
mencukupi untuk kesembuhan sepenuhnya.
Jumlah natrium dalam tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara masukan
dan ekskresi. Dibandingkan dengan mekanisme haus terhadap air, mekanisme
pengaturan masukan natrium belum begitu berkembang, tetapi mungkin berespon
terhadap perubahan yang besar. Hipernatremi (natrium serum 150 mEq/L)
disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mengakibatkan masukan natrium
berlebihan, atau akibat kehilangan air tubuh yang lebih besar dari natrium.
51
Hipernatremia dapat terjadi pada diabetes insipidus, gastroentritis, asupan ASI
yang tidak adekuat dan masukan air yang minimal. Gejala klinis yang dapat
timbul yaitu kejang seluruh tubuh dan penurunan kesadaran.
Hiponatremia (natrium serum <130mEq/L) disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang menimbulkan defisit natrium primer yang mengakibatkan
kekurangan natrium, peningkatan air tubuh total dan kombinasi kelainan air dan
natrium.
Hiperkalemia dengan kadar serum 5,5 mEq/L atau lebih (nilai normal
kalium serum bervariasi menurut umur), dapat disebabkan oleh peningkatan yang
sangat ringan kalium total tubuh. Peningkatan akut masukan kalium biasnya
melalui pemberian paenteral, dapat menyebakan hiperkalemia, meskipun biasanya
bersifat sementara. Suksinil-kolin menghambat repolarisasi membran yang
memerlukan masukan kalium seluler.
Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia.
Kekurangan ion kalium dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat.
Peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung,
konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi
jantung. Penyebab hipokalemia dapat disebabkan oleh asupan kalium kurang dan
pengeluaran kalium berlebihan.
Hipokloremia berhubungan erat dengan alkalosis metabolik. Karena klorida
dan bikarbonat mempunyai hubungan yang berlawanan, ketika kadar klorida
dalam tubuh menurun, sebaliknya kadar bikarbonat dalam tubuh meningkat untuk
mencapai suasana netral. Drainase selang NGT atau emesis adalah penyebab
tersering pada hipokloremia, penyebab tersering hiplokoremia pada anak di rumah
sakit adalah pada pasien yang menggunakan obat diuretik.
Gejala pada hipokloremia biasanya adalah alkalosis metabolik dan
gangguan yang mendasarinya seperti letargi, takikardia, takipnea dan perlambatan
waktu pengisian kapiler.
Hiperkloremia dapat terjadi bila klorida di konservasi di ginjal melebihi
natrium dan kalium atau terbentuknya urin basa selama ginjal mengkoreksi
alkalosis.
52
Hiperkloremia tidak menimbulkan gejala yang spesifik, kebanyakan gejala
yang ada biasanya berhubungan dengan asidosis. Hipernatremia dan hiperkalemia
sering ditemui pada kelainan ini. Asidosis merusak kontraktilitas jantung dan
respon jantung, meskipun efek ini mungkin menyebabkan asidosi berat.
Kompensasi repiratori untuk metabolik asidosis dapat menimbulka pernapasan
Kussmaul. Metabolisme otak dipengaruhi oleh asidosis sehingga pasien
mengalami letargi, sakit kepala, kacau dan koma pada stadium yang berat.
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Gangguan Pembekuan Darah, Didapat: Defisiensi Vitamin K. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku Ajar Hematologi-onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2005. 182-96.
2. Sastroasmoro, S. Perdarahan Akibat Defisiensi Vitamin K, Buku Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta. 2007. 279-281
3. Marcia. L, Buck. Vitamin K for the Prevention of Bleeding in Newborns. Pediatr Pharm. 2001. 7(10).210-218.
4. Tulchinsky, T.H. Vitamin K Prophylaxis for Newborns: A Position Paper. Adjunct Associate Professor Braun School of Public Health Hebrew. University-Hadassah, Ein Karem, Jerusalem, Israel. 2008. 1-3.
5. Committee on Fetus and Newborn. Controversies concerning vitamin K and the newborn. Pediatrics. (2003). 112: 191-92.
6. Danielsson N, Thang T, Loughnan. Intracranial haemorrhage due to late onset vitamin K deficiency bleeding in Hanoi province, Vietnam. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004. 89. 546-1550.
7. Pansatiankul B, Jitapunkul. Risk Factors of Acquired Prothrombin Complex Deficiency Syndrome: A Case-Control Study. J Med Assoc Thai. 2008. 9. 1-3
8. Hagstrom, J.N. Hypoprothrombinemia. Didapat dari http//www.emedicine.com (Diakses pada tanggal 2 Desember 2013).
9. Sutor HA, Rüdiger VK, Marlies C, Andrew W, Maureen A. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in Infant On behalf of the ISTH Pediatric. Perinatal Subcommittee Thromb Haemost. 1999. 81: 456-461.
10. Sigalingging G. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia pada Anak di Ruang Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. Jurnal Darma Agung. 2011. 69-78.
11. Guevara JN, Daza C, Smith R. Decrease in Hospitalizations for Pneumonia in Children under Five Years of Age in an Indian Reservation in Panama after Introduction of the Heptavalent Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV7). International Journal of Pediatrics. 2013. 1-3.
12. Newton MW, Banieghbal B, Lakhoo K. Fluids and Electrolyte Therapy in the Paediatric Surgical Patient. Didapat dari www.global-help.org (Diakses pada tanggal 22 Desember 2013).
54
13. Adelman RD, Solhaug MJ. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. Dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed. Philadelphia: WB Sauders, 2000:189-227.
14. Cesar G, Philip VH. Vitamin K Prophylaxis in Less Developed Countries: Policy Issues and Relevance to Breastfeeding Promotion. American Journal of Public Health. 1998. 88. 230-209.
15. Isarangkura P, Chuansumrit A, Hathirat P (Vit K study group). Vitamin k Deficiency Bleeding in Thailand : A 32-years History. Departmen of Pediatrics, Faculty of Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Heart. 1998. 29(3).649-654.
16. Pereira SP, Shearer MJ, Williams RG, Mieli V. Intestinal Absorption of Mixed Micellar Phylloquinone (vitamin K1) is Unreliable in Infants with Conjugated Hyperbilirubinaemia: Implications for Oral Prophylaxis of Vitamin K Deficiency Bleeding. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003. 88. F113–F118.
17. Riddel JP, Aouizerat BE, Miaskowski C, Lillicrap PD. Theories of Blood Coagulation. Journal of Pediatric Oncology Nursing. 2007. 24 (3). 123-131.
18. Rudan, I., et al. Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia in 2010: Estimates of incidence severe morbidity, mortality, underlying risk factor and causative pathogens for 192 contries. Journal of Global Health. 2013. 13(1). 1-14.
19. Purniti PS, Subanada IB, Kari IK, Iswari IS, Tarini MA. Surveilan Pneumokokus dan Dampak Pneumonia pada Anak Balita. Pediatric. 2011. 12 (5): 359-363.
20. Charles G. Pneumonia. Dalam : Buku Ajar Kesehatan Anak Nelson. 2004. Nelson WE, Kliegman R, Brehman RE, Arvin AM. Edisi 15. EGC.
21. Theodoratou E, Al-Jihalwai S, Woodward F, Ferguson J, Jhass A, Balliet M, et al. The Effect of Case Management on Childhood Pneumonia Mortality in Developing Countries. International Journal of Epidemiology. 2010. 39.155-171.
22. Latief A. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.1985. 269.
23. Elizabeth KE, Jacob, AM. Pedibloom: Pediatric Cases and Summarie. Jaypee Brothers Medical. Canada. 2012. 426-427.
24. Reuter-Rice K, Bolick B. Pediatric Acute Care: A Guide for Interprofessional Practice. Jones & Bartlett Learning. Boston. 2012. 155-156.
55
25. Eliis, D dan Beattie, J. Symptomatic Hyponatremia. 2010. Didapat dari http://www.clinicalguidelines.scot.nhs.uk/PICU%20HDU%20guidelines/YO R PICU049%20Treatment%20of%20hyponatraemia%20March %202012.pdf. (Diakses pada tanggal 26 Desember 2013).
26. Elenberg, E. Pediatric Hypernatremia. 2012. Didapat dari (http://emedicine.medscape.com/article/907653-overview#showall. (Diakses pada tanggal 26 Desember 2013).
56
top related