referat erb ducenne
Post on 26-Jul-2015
665 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Ines Marianne Santoso, S.Ked
NIM : 030.06.127
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf
Periode : 17 Oktober 2011- 19 November 2011
Judul : PARALISIS ERB-DUCHENNE
Pembimbing : Dr. Dyah Nuraini, Sp.S
Diajukan : November 2011
Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ………………………………………………….
Mengetahui,
Kepala SMF Ilmu Penyakit Saraf Pembimbing
RSUD Kota Semarang
Dr. Dyah Nuraini, Sp.S Dr. Dyah Nuraini, Sp.S
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat dengan judul “PARALISIS
ERB-DUCHENNE ” ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti diRSUD Kota Semarang periode 17
Oktober 2011- 19 November 2011. Selain itu, referat ini ditujukan untuk menambah
pengetahuan bagi kita semua tentang Paralisis Erb-Duchenne
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih atas bantuan
dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada
1. Dr. Abimanyu, MM, selaku direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
2. Dr. Dyah Nuraini, Sp.S selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf Kota Semarang
dan selaku pembimbing referat.
3. Dr. Mintarti, Sp.S selaku dokter pembimbing kepaniteraan klinik saraf.
4. Para staf medis dan non-medis Ruang Yudistira, Bima, ICU, Arimbi, Banowati
dan Poliklinik penyakit saraf Rumah Sakit Umum Daerah kota Semarang
5. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Semarang periode 17 Oktober 2011- 19 November
2011.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar referat ini dapat menjadi lebih baik
dan dapat berguna bagi semua yang membacanya. Penulis memohon maaf yang sebesarnya
apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini.
Semarang, November 2011
2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi............................................................................................................... 2
2.2 Insiden dan Epidemiologi.................................................................................. 2
2.3 Etiologi............................................................................................................... 3
2.4 Patofisiologi…………………………………………………………………….3
2.5 Gejala................................................................................................................. 8
2.6 Diagnosis........................................................................................................... 9
2.7 Komplikasi………………………………………………………………………11
2.8 Penatalaksanaan................................................................................................. 11
2.9 Prognosis............................................................................................................ 14
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak jaman neurologi klasik telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi di
plexus brachialis. Yang pertama ialah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus brachialis,
yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb-Ducenne dan yang kedua ialah kelumpuhan
yang disebabkan oleh lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di bagian bawah plexus
brachialis ,yang didalam klinik dikenal sebagai sindrom kelumpuhan klumpkey.
Paralisis plexus brachialis pada neonates pertama kali di deskripsikan pada tahun
1779 saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang terjadi secara
spontan setelah beberapa hari kelahiran. Pada tahun 1870, penemuan terbaru traksi pada
trunkus atas erb’s palsy atau Erb’s_duchenne palsy.
3
Paralisis Erb-Duchenne adalah paralisis pada lengan yang disebabkan oleh kerusakan
plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kebanyakan penderita
dengan paralisis Erb-Duchenne adalah bayi. Dalam hal ini lesinya disebabkan karena
penarikan kepala bayi saat dilahirkan, dimana salah satu lengannya tidak dapat dikeluarkan.
Pada kasus dewasa dan anak-anak, biasanya ditemukan dengan riwayat trauma atau
kecelakaan dengan jatuh pada bahu dengan kepala yang terlalu menekuk ke samping,
sehingga menyebabkan penarikan yang hebat pada plexus brachialis terutama bagian atas.
Kelumpuhan melanda beberapa otot lengan dan tangan. Oleh karena itu, lengan bergantung
lemas dengan posisis endorotasi pada sendi bahu dengan siku lurus dan lengan bawah sikap
pronasi. Pada umumnya gerakan tangan pada persedian pergelangan tangan masih dapat
digerakan dan gerakan jari-jari tidak ada yang terganggu.
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Paralisis Erb- Ducenne adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan oleh
kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kelainan ini
paling sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena distorsia bahu pada kelahiran,
ataupun dapat pula ditemukan pada dewasa dengan riwayat trauma bahu.
Pada kelainan ini ditemukan lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior) pada
pleksopati supraklavikular. Sering timbul secara sendirian, tetapi dapat juga berkaitan dengan
pleksus tengah atau kombinasi dengan lesi pleksus tengah dan bawah (lesi pan-pleksus
supraklavikular). Umumnya terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang
4
menyebabkan pelebaran secara paksa sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang
mengenai bahu, dan pukulan pada bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab
lainnya adalah iatrogenik (paralisis akibat tindakan persalinan).
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter kandungan dari Inggris, William Smellie
pada tahun 1768 saat mekaporkan kasus transient paralisis ekstremitas atas bilateral setelah
kelhiran yang sulit. Pada tahun 1861, Guillaume Benjamin Amand Duchenne melaporkan
kelumpuhan plexus brachialis setelah menganalisa 4 infant dengan paralisis yang identik
pada otot-otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874, William Heinrich Erb menyimpulkan
tesisnya mengenai kerusakan plexus brachialis yang berhubungan dengan kelumpuhan
deltoid, bicep, dan subscapularis yang berasal karena lesi di radik C5-C6 pada orang dewasa.
2.2.INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI
Paralisis Erb- Ducenne's memiliki angka insiden 0,5-4,4 kasus/ 1000 kelahiran bayi
cukup bulan di Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09-1,19 kasus/ 1000
kelhiran bayi hidup. Insiden terjadinya kelumpuhan permanen 3-25% dari kasus yang
ditemukan. Belum ditemukannya hubungan antara ras dengan penyakit ini. Ratio pria dan
wanita yang terkena adalah 49%: 51% dari 191 infant. Faktor usia tidak mempengaruhi
namun biasa ditemukan kelainan sejak lahir.
2.3.ETIOLOGI
Penyebab paralisis Erb-Ducenne’s paling sering adalah distonia, dimana letak janin
abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai contoh, dapat terjadi pada
persalinan dengan kepala bayi dan leher yang ditarik ke samping, dimana pada saat yang
bersamaan bahu melewati jalan lahir. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh penarik yang
berlebihan pada pundak pada saat presentasi verteks (kepala pengiriman pertama), atau
dengan tekanan pada lengan karena letak sungsang (kaki pertama) atau dengan bayi besar (>
4kg) sehingga menyulitkan persalinan sehingga memerlukan vacum atau forceps. Paralisis
Erb-Ducenne’s juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak terkait
dengan distosia. Pada infant yang lahir dengan paralisis plexus brachialis akan muncul gejala
sejak lahir.
5
Cedera yang sama dapat juga ditemukan pada setiap usia termasuk orang
dewasa, akibat trauma atau jatuh yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih
dahulu, dimana saraf pleksus akan meregang karena plexus ekstremitas atas mengalami
cedera yang hebat dan selanjutnya meyebabkan kelumpuhan yang terbatas pada otot-
otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu m.deltoid, m.bisep brachii (m.brakialis
dan m.coracobrachialis), m.infraspinatus, m.supraspinatus dan m.brachioradialis.
Pleksus brakialis juga dapat terluka oleh kekerasan langsung atau luka tembak,
dengan traksi pada lengan. Jumlah kelumpuhan tergantung pada jumlah cedera pada saraf
yang terkena.
2.4. PATOFISIOLOGI
Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan
berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan cedera
akson (kehilangan akson).
a. Demielinisasi
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana
terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.
Gambar. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang cedera.
Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau edema
dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
Remielinisasi: Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih tipis
6
A
B
dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi lebih lambat
dari normal.
Gambar. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B: mielin
menghilang. C: komplet remielinisasi.
b. Cedera Akson
Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu degenerasi aksonal
atau degenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan
khromatolisis sentral.
Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk
kematian saraf yang mulai dari distal dan naik ke proksimal.
Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf
fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap untuk saraf motorik dalam
7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal bagian distal dari lokasi cedera
dan bagian proksimal intak.
Gambar. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.11
7
A
B
C
Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi atau neuropati
perifer. Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana suatu neurit akson
mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut otot denervasi pada unit
motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal (suatu proses perbaikan dimana
akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1
mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan
terbentuk neuroma.
Gambar.Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c) regenerasi
(Seckel,1984)
c. Derajat Cedera Serabut Saraf
Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon (1943) dan
Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.
Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6) yaitu :
1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan
demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe
cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses
penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya
akibat dari penekanan dan sembuh karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana
memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulan.
2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan
degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.
8
Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf
tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik
pada jarak lesi yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik
lebih baik daripada motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari
denervasi dibandingkan motor end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses
pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi
sering menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut
saraf.
Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:
1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural
masih intak
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11
Paralisis Erb-Ducenne, paralisis otot-otot:
9
- N. musculocutaneus: m. biceps brachii, m. coracobrachialis, m. brachialis.
- N. axillaris: m.deltoideus, m.teres minor
- N. thorachalis longus: m.serratus anterior
- N. radialis sebagian kecil: m.brachioradialis , m. supinator
- N. suprascapularis: m.supraspinatus, m.infraspinatus
- N. subscapularis: m.subsscapularis
- N. pectoralis lateralis: m.pectoralis major
2.5. GEJALA
Gejala yang timbul pada paralisis Erb-Ducenne’s sesuai dengan kelemahan otot-otot
yang dipersarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada
10
masing-masing saraf dapat berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis Erb-
Duchenne palsy merupakan sindrom motor neuron yang terkait dengan gangguan sensiblitas
dan motorik.
Sehingga menimbulkan gejala seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi
lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada perkembangan
otot apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga menimbulkan strofi otot dan
kontraktur siku. Reflek bisep dan brakhioradialis menurun atau hilang. Gangguan pada
sistem sirkulasi menyebabkan gangguan pengaturan suhu, dan ketidakmampuan kulit untuk
menyebuhkan diri sehingga mudah terinfeksi, selain itu karena tidak ada/ berkurangnya
rangsang sensoris pada daerah antara bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke
otak,sehingga mudah terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannnya
bekas luka di daerah lengan. Pemeriksaan sensorik sesuai dengan dermatomnya.
Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan, aduksi
dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi (waiter’s, bellhop’s, atau
policeman’s tip position). Kerusakan pada otot deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu
dan medial rotasi, sehingga dapat ditemukannya Putti sign dimana apabila dilakukan abduksi
bahu maka ujung medial skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m.
serratus anterior akan member gambaran “Winged scapula”. Pasien tidak bisa melakukan
posisi flexi lengan atas, flexi lengan bawah,supinasi lengan bawah, abduksi dan exorotasi
lengan atas. Pasien kurang bisa memegang bahu sisi lain karena lesi N. pectoralis lateralis.
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan trauma
saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi bahu terlebih dahulu ataupun luka
tembak di bahu dan lengan. Dari pemeriksaan fisik ditemukannya gangguan motorik dan
sensorik pada tungkai atas.
Pemeriksaan khusus : Active Movement Scale
Skala Gerakan Aktif diciptakan oleh Rumah Sakit untuk anak-anak di Toronto. Skala ini
digunakan untuk menilai fungsi motorik pada bayi dengan cedera pleksus brakialis. Seorang
bayi yang dinilai dengan 15 gerakan yang berdasarkan analisis observasional. Nilai otot
11
dinilai dari 0 (tidak ada kontraksi)sampai 7 (gerakan penuh) yang ditetapkan
berdasarkan gerakan yang ditimbulkan. Lima belas gerakan dievaluasi dari bahu yang terkena
untuk tangan: bahu abduksi, adduksi,rotasi eksternal,fleksi, dan rotasi internal; siku fleksi dan
ekstensi, lengan bawah pronasi supinasi dan; pergelangan tangan fleksi
dan ekstensi, ekstensi dan fleksi ibu jari dan jari-jari
Gilbert shoulder classification
Grade 0 is a complete flail shoulder.
Grade 1 (sangat buruk) : Abduksi 45°, dengan tanpa rotasi eksternal aktif.
Grade 2 (buruk) : Abduksi kurang dari 90°, dengan tanpa rotasi eksterna.
Grade 3 (cukup) : Abduksi 90°, dengan rotasi eksternal lemah.
Grade 4 (baik) : Abduksi kurang dari 120°, dengan rotasi eksterna inkomplit.
Grade 5 (sangat baik) : Abduksi lebih dari 120°, dengan rotasi eksterna aktif.
Laboratorium tidak memberikan makna diagnostic pada paralisis Erb-Ducenne.
Imaging Studies memberi makna diagnostic untuk menegetahui letaknya,seperti:
Computed tomography (CT) myelography adalah metode standar untuk mengevaluasi
integritas pleksus brakialis, dan tradiografi paling sensitif untuk
mendeteksi cedera akar saraf dengan memnggunakan kontras. Kekurangan utama
untuk prosedur ini adalah paparan radiasi, kebutuhan untuk sedasi, tingkat false-
positif yang signifikan, dan kurangnya informasi tentang pleksus brakialis distal.
MRI adalah studi pencitraan terbaik yang tersedia
untuk mengevaluasi pleksus brakialis cerebral neonatal. MRI tidak
memerlukan paparan radiasi, tidak invasif,dan menyediakan lebih
rinci daripada CT myelography. Tes ini sangat berguna sebelum operasi untuk
menunjukkan tingkat trauma, termasuk pseudomeningocele, dan adanya akar
diforamen saraf.
Radiografi polos dapat membantu dalam mendiagnosis kelumpuhan
hemidiaphragm dari keterlibatan saraf frenikus dan patah tulang klavikula
di atau humerus. Radiografi aksila juga harus dilakukan pada anak yang
menunjukkan hilangnya progresifrotasi eksternal, untuk menyingkirkan dislokasi
bahu posterior.
12
Electromiogram digunakan sebagai pemeriksaan fisik yang dapat memberikan data
tingkat keparahan dan waktu cedera. Penelitian awal biasanya dilakukan 2-3 minggu setelah
cedera, ketika tanda-tanda denervasi terlihat pada anak dengan cedera sedang atau berat.
Pemeriksaan ini biasanya meliputi studi tentang latency dan
aksila saraf muskulokutaneus. Pada cedera yang lengkap, motor
dan studi konduksi saraf sensorik (NCS) dari median, ulnaris, dan
radiaus. NCS sensoris berguna dalam membedakan cedera avulsi, jika potensi saraf
sensorik masih utuh sedangkan secara klinis lengan mati
rasa. Jika gangguan pernapasan tercatat padakelahiran, konduksi
saraf frenikus ipsilateral juga diuji. EMG jarum dilakukan pada otot dipersarafi
oleh saraf yang terkena. Pada paralisis Erb-Ducenne’s, otot-otot yang diperiksa
termasuk supraspinatus, deltoid,infraspinatus, trisep, dan bisep.
2.6 .KOMPLIKASI
Anak-anak dengan paralisis Erb-Ducenne’s memiliki resiko gangguan
perkembangan, seperti kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis, dislokasi
bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang terkena.
2.7.PENATALAKSANAAN
Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan dari spesialis.
Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulsi, sehingga terjadi
penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan untuk mendapatkan
kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali normal pada anak kurang dari
satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada perbaikan fungsi sepenuhnya, harus
diwaspadai timbulnya atritis.
Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma dimana
terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa hari setelah cedera
untuk perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai bulan untuk perbaikan
sekunder, dapat meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline, 2000). Perbaikan primer yang
segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam. Perbaikan
operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul
13
atau cedera dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit
atau sangat berat.
Fisioterapi
Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM, fasilitasi gerakan
aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan instruksi untuk kegiatan
rumah. Secara keseluruhan tujuan harus fokus pada meminimalkan deformitas tulang dan
kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan hasil fungsional. Kontraktur berat harus
dihindari dengan latihan terapi yang konsisten, termasuk peregangan pasif dan aktif,
fleksibilitas kegiatan, teknik rilis myofascial, dan mobilisasi sendi.
Awal dan konsisten peregangan Rotator internal harus meminimalkan risiko masalah ini.
Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu samping dada dan dengan siku tertekuk
sampai 90 °, memberikan peregangan maksimum Rotator internal (khususnya, subskapularis)
dan kapsul bahu anterior. Skapula harus stabil saat peregangan otot bahu korset untuk
mempertahankan mobilitas dan melestarikan beberapa ritme scapulohumeral. Awal
perkembangan kontraktur fleksi di siku adalah umum dan dapat diperburuk oleh dislokasi
kaput disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan agresif, karena itu, harus dihindari.
Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang sesuai dengan usia
perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan penguatan standar yang digunakan dan
keterampilan fungsional spesifik diperkenalkan. Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan
untuk memperkuat melalui gerakan fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus
dihindari, karena dapat melestarikan otot lemah dan deformitas.
Belat statis dan dinamis dari lengan berguna untuk mengurangi kontraktur, mencegah
deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa kasus, membantu gerakan. Splints sering
diresepkan termasuk pergelangan tangan istirahat dan bidai, splints siku ekstensi, fleksi siku
dinamis dan splints supinator. Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah
penting untuk optimalisasi efek yang diinginkan.
Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae
dan karenanya untuk mempromosikan mobilitas bahu ditingkatkan.
Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk meningkatkan kinerja motor aktif, serta
untuk meminimalkan kelalaian dari anggota badan yang terkena. Penggunaan pijat bayi dan
menarik perhatian visual untuk lengan yang terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke
dalam kegiatan bermain dan sehari-hari. Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh
di semua posisi tidak hanya memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi juga
dapat berkontribusi untuk pertumbuhan tulang.
14
Sebuah program yang komprehensif yang mencakup latihan peregangan, penanganan yang
aman dan teknik posisi awal, kegiatan pembangunan dan penguatan, dan kesadaran sensorik
harus dikembangkan dan diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan
kecacatan persisten, fokus pada instruksi rumah bergeser ke kemerdekaan, dengan pasien
belajar mandiri peregangan dan latihan penguatan, serta strategi untuk mencapai
keterampilan hidup tertentu.
Rangsangan listrik neomuskular.
Stimulasi listrik neuromuskuler (NMES) digunakan secara luas untuk anak-anak dengan
paralisis plexus brachialis termasuk paralisis Erb-Duchenne’s. NMES adalah modalitas di
mana otot-otot yang dirangsang oleh arusyang terus menerus. Bentuk utama yang digunakan
adalah batas dan stimulasi listrik fungsional (FES). Yang pertama dapat dimulai ketika pasien
masih muda, itu melibatkan aplikasi dari arus frekuensi rendah pada otot. Teknik ini telah
dilaporkan untuk meningkatkan aliran darah dan mungkin sebagian otot tapi belum diteliti
ketat. FES melibatkan stimulasi dengan arus yang lebih tinggi-frekuensi, menyebabkan otot
berkontraksi dan lengan bergerak.
Stimulator harus dititrasi dengan bantuan dari anak untuk memungkinkan kontraksi otot yang
cukup dan menghindari rasa sakit. Banyak anak dapat bekerja sama cukup dengan prosedur
pada usia 3 tahun, dan teknik ini membantu dalam mendorong otot lemah untuk kontrak
dalam situasi fungsional. NMES telah dilaporkan dalam literatur berguna untuk memfasilitasi
kontraksi otot dan digunakan secara luas untuk meminimalkan atrofi otot yang terkena. Tidak
ada studi besar telah diterbitkan pada penggunaan NMES dengan BPP, dan efeknya pada
reinnervation tidak jelas.
Terapi Toksin botulinum A
Terapi botulinum toxin A sedang digunakan oleh beberapa fasilitas untuk meningkatkan
fleksibilitas dari bahu rotator internal. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan co-kontraksi,
dengan memberikan racun yang akan membuat kelumpuhan sementara pada otot yang lemah
sehingga menjadi kuat. Kegunaan intervensi ini masih sedang dipelajari.
Operatif
Tindakan operatif meliputi internal neurolysis, reseksi, dan reanastomosis, atau reseksi dan
grafting. Pada kasus tersebut dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau
grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain
15
dapat menjadi pilihan lainnya. Jadi, bila prosedur diatas gagal dan tidak ada reinervasi yang
terjadi atau setelah beberapa tahun sejak cedera, bentuk terapi sekunder lain dapat dicoba,
meliputi transfer tendon dan stabilisasi sendi.
Penyembuhan paralisis Erb-ducenne’s dengan cara pembedahan yang paling sering
dilakukan,ada 3 cara yaitu transplantasi saraf, rilis Sub Scapularis dan transfer tendon
Latissimus Dorsi.
1. Transplantasi saraf biasanya dilakukan pada bayi di bawah usia 9 bulan,
karena perkembangan bayi yang lebih cepat sehingga
meningkatkan efektivitas prosedur. Biasanya tidak dilakukan pada pasien yang lebih
tua daripada ini karena ketika prosedur ini dilakukan pada bayi yang lebih tua, lebih
berbahaya daripada tidak dilakukan dan dapat mengakibatkan kerusakan saraf di
daerah di mana saraf diambil dari. Jaringan parut dapat bervariasi
dari luka samar sepanjang garis leher untuk penuh
"T" bentuk di seluruh bahu tergantung pada pelatihan dokter bedah dan sifat dari
transplantasi.
2. Rilis subskapularis, tidak waktu yang terbatas karena hanya memotong bentuk "Z”
ke dalam otot subskapularis untuk memberikan peregangan dalam lengan,
dapat dilakukan di hampir usia berapa pun dan dapat dilakukan berulang-ulang
pada lengan yang sama, namun, ini akan membahayakan integritas otot.
3. Latissimus dorsi transfer tendon yaitu memotongan latissimus dorsi setengah
horizontal dan memasangnya disekitar otot bagian luar biceps. Dengan cara ini
memberikan rotasi eksternal dengan berbagai tingkat keberhasilan.
2.8.PROGNOSIS
Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi
bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi untuk cedera
neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan individu dengan cedera neuropraxia pulih secara
spontan dengan 90-100 persen pengembalian fungsi. Untuk pemulihan yang baik dari fungsi
lengan dengan fisioterapi 50-80%.
16
BAB III
KESIMPULAN
Paralisis Erb-Duchenne merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas
dikarenakan lesi pada plexus brachialis bagian atas, yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya
penderita adalah bayi yang lahir dengan distonia bahu atau dapat pula terjadi pada anak-anak
dan dewasa dengan trauma di bahu.
Secara klinis pasien paralisis Erb-Ducenne memiliki gambaran kelumpuhan otot yang
dipersarafunya kha, yaitu posisi lengan tas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah posisi
pronasi yang dikenal dengan Waiter’s tip potition.
Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis,pemeriksaan fisik, pemeriksaan
CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Paralisis Erb-Ducenne harus
dilakukan secara multidisiplin, diagnosis yang sesegera ungkin dan fisioterapi yang tepat
dapat memulihkan 50-80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi tersebut. Lesi yang
berat sehingga menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat dilakukan terapi
pembedahan memberikan hasil yang belum memuaskan dan masih dalam penelitian.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,Jakarta.
2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
3. Wedantho Sigit, 2007,Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &
Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. http://www.erbspalsynetwork.com/aboutinjury.htm , accesed on october 31, 2011.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Erb%27s_palsy , accesed on october 31, 2011.
6. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00384 accesed on october 31, 2011.
7. http://emedicine.medscape.com/article/317057-overview , accesed on October 31,2011
8. Sistem Saraf Perifer. Hand Out Perkuliahan Anatomi. Laboratorium Anatomi
Fakultas Kedokteran universitas Trisakti.Jakarta 2005
9. Tortora, G.J., & Anagnostakos, N.P. (1990). Principles of Anatomy and Physiology
(6th ed.). New York: Harper & Row. pp.370-374
10. Warwick, R., & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke Palsies
Information Page: National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS).
pp.1046
11. Peleg D, Hasnin J, Shalev E (1997). "Fractured clavicle and Erb's palsy unrelated to
birth trauma". American Journal of Obstet. Gynecol. 177 (5): 1038–40
12. Ober WB (1992). "Obstetrical events that shaped Western European history". The
Yale journal of biology and medicine 65 (3): 201–10
18
top related