refrat infeksi intrakranial grace
Post on 09-Jul-2016
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
1.1. Pendahuluan.
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan
masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara
penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) termasuk ke
dalamnya meningitis dan ensefalitis.1
Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak
yang melibatkan arakhnoid dan piamater. Sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada
jaringan parenkim otak.1
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan
sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan
sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini
memang tidak mudah, karenanya proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa
ditangani dengan baik.2
Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa
diketahui penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing pita.
Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa mengurangi kecacatan yang
timbul. 2
Jamur jamur patogen yang opertunistik seperti aspergillus dan candida dapat mengancam
jiwa pasien immunocopmpromised termasuk neonatus, pasien post operasi, dan pasien dengan
keganasan, transplantasi organ atau acquired immunodeficiency (AIDS). Manifestasi klinis
1 | P a g e
infeksi jamur susunan saraf pusat dapat berupa meningitis, meningoensafilitis, intrakranial
tromboflebitis, abses otak, bentuk granuloma dan sangat jarang terjadi aneurisma mikotik. 14
Infeksi pertama biasanya melalui inhalasi sehingga terbentuk focus primer pada paru yang
biasanya asimptomatik dan sembuh spontan. Dari focus primer ini dapat terjadi peneybaran
hematogen ke tulang, visera dan otak. Infeksi otak dapat menimbulkan penyakit yang progresif
dan fatal. 14
1.2. Epidemologi.
Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 180.000
kematian dan 75.000 gangguan pendengaran yang berat. Setidaknya 25.000 kasus baru
meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di Amerika Serikat, tetapi penyakit ini jauh lebih
sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Sekitar 75% kasus terjadi pada anak-
anak dibawah usia 5 tahun. 4
1.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI17
Dalam membahas cairan serebrospinal ada baiknya diketahui mengenai anatomi yang
berhubungan dengan produksi dan sirkulasi cairan serebrospinal, yaitu:
• Sistem Ventrikel
Sistem ventrikel terdiri dari 2 buah ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Ventrikel
lateral terdapat di bagian dalam serebrum, masing-masing ventrikel terdiri dari 5 bagian yaitu
kornu anterior, kornu posterior, kornu inferior, badan dan atrium. Ventrikel III adalah suatu
rongga sempit di garis tengah yang berbentuk corong unilokuler, letaknya di tengah kepala,
ditengah korpus kalosum dan bagian korpus unilokuler ventrikel lateral, diatas sela tursica,
kelenjar hipofisa dan otak tengah dan diantara hemisfer serebri, thalamus dan dinding
hipothalanus. Disebelah anteropeoterior berhubungan dengan ventrikel IV melalui aquaductus
sylvii. Ventrikel IV merupakan suatu rongga berbentuk kompleks, terletak di sebelah
ventral serebrum dan dorsal dari pons dan medula oblongata
2 | P a g e
Meningen dan ruang subarakhnoid
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan saraf yang bersifat non
neural. Meningen terdiri dari jarningan ikat berupa membran yang menyelubungi seluruh
permukaan otak, batang otak dan medula spinalis.
Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu Piamater, arakhnoid dan duramater.
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap
lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura, juga melekat pada permukaan batang otak
dan medula spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra.
Arakhnoid mempunyai banyak trabekula halus yang berhubungan dengan piameter, tetapi tidak
mengikuti setiap lekukan otak. Diantara arakhnoid dan piameter disebut ruang subrakhnoid, yang
berisi cairan serebrospinal dan pembuluh-pembuluh darah. Karena arakhnoid tidak mengikuti
lekukan-lekuka otak, maka di beberapa tempat ruang subarakhnoid melebar yang disebut
sisterna. Yang paling besar adalah siterna magna, terletak diantara bagian inferior serebelum
danme oblongata. Lainnya adalah sisterna pontis di permukaan ventral pons, sisterna
interpedunkularis di permukaan ventral mesensefalon, sisterna siasmatis di depan lamina
terminalis. Pada sudut antara serebelum dan lamina quadrigemina terdapat sisterna vena magna
serebri. Sisterna ini berhubungan dengan sisterna interpedunkularis melalui sisterna ambiens.
Ruang subarakhnoid spinal yang merupakan lanjutan dari sisterna magna dan sisterna pontis
merupakan selubung dari medula spinalis sampai setinggi S2. Ruang subarakhnoid dibawah L2
dinamakan sakus atau teka lumbalis, tempat dimana cairan serebrospinal diambil pada waktu
pungsi lumbal.
Durameter terdiri dari lapisan luar durameter dan lapisan dalam durameter. Lapisan luar
dirameter di daerah kepala menjadi satu dengan periosteum tulang tengkorak dan berhubungan
erat dengan endosteumnya.
3 | P a g e
• Ruang Epidural
Diantara lapisan luar dura dan tulang tengkorak terdapat jaringan ikat yang mengandung kapiler-
kapiler halus yang mengisi suatu ruangan disebut ruang epidural
• Ruang Subdural
Diantara lapisan dalam durameter dan arakhnoid yang mengandung sedikit cairan, mengisi suatu
ruang disebut ruang subdural Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus, dimana sejumlah
pembuluh darah kapiler dikelilingi oleh epitel kuboid/kolumner yang menutupi stroma di bagian
tengah dan merupakan modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke ventrikel. Pleksus
khoroideus membentuk lobul-lobul dan membentuk seperti daun pakis yang ditutupi oleh
mikrovili dan silia. Tapi sel epitel kuboid berhubungan satu sama lain dengan tigth junction pada
sisi aspeks, dasar sel epitel kuboid terdapat membran basalis dengan ruang stroma diantaranya.
Ditengah villus terdapat endotel yang menjorok ke dalam (kapiler fenestrata). Inilah yang disebut
sawar darah LCS. Gambaran histologis khusus ini mempunyai karakteristik yaitu epitel untuk
transport bahan dengan berat molekul besar dan kapiler fenestrata untuk transport cairan aktif.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di luar kapiler
oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi pada epitel
khoroid melalui proses metabolik aktif.
Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus khoroideus adalah sebagai berikut: Natrium
dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel kuboid pleksus khoroideus sehingga menimbulkan
muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan menarik ion-ion bermuatan negatif, terutama clorida
ke dalam CSS. Akibatnya terjadi kelebihan ion di dalam cairan neuron sehingga meningkatkan
tekanan somotik cairan ventrikel sekitar 160 mmHg lebih tinggi dari pada dalam plasma.
Kekuatan osmotik ini menyebabkan sejumlah air dan zat terlarut lain bergerak melalui membran
khoroideus ke dalam CSS. Bikarbonat terbentuk oleh karbonik abhidrase dan ion hidrogen yang
dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium. Proses ini
disebut Na-K Pump yang terjadi dgn bantuan Na-K-ATP ase, yang berlangsung dalam
4 | P a g e
keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat menghambat produksi CSS. Penetrasi
obat-obat dan metabolit lain tergantung kelarutannya dalam lemak. Ion campuran seperti
glukosa, asam amino, amin dan hormon tyroid relatif tidak larut dalam lemak, memasuki CSS
secara lambat dengan bantuan sistim transport membran. Juga insulin dan transferin memerlukan
reseptor transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat stereospesifik, hanya membawa larutan
yang mempunyai susunan spesifik untuk melewati membran kemudian melepaskannya di CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium disekresi ke
CSS dengan mekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS ke jaringan otak.
Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama dengan
mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada konsentrasinya
dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke dalam CSS dan juga
pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan juga pengeluaran
CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang interseluler, demikian
juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan intervena cairan hipotonik
dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak terletak di
dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap ventrikel III dan IV.
Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata pembentukan
CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi pembentukannya dikontrol
oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam ventrikel III,
selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dalam ventrikel IV. Tiga buah lubang dalam
ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada
atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial (foramen magendi) yang berada
di bagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke
dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarachnoid sekeliling medula spinalis
sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan
dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura
tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan5 | P a g e
diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior.
Yang mempengaruhi alirannya adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah
dan perubahan dalam tekanan osmotik darah. CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran
adrah vena dalam sinus. Villi arakhnoid berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu
arah, dimana semua unsur pokok dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses
yang dikenal sebagai bulk flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang mengelilingi
batang otak dan medula spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf
kranial dan spinal. Vena-vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara
difusi melalui dindingnya. Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui
perluasaan sekeliling pembuluh darah membawa juga selaput piametr disamping selaput
arakhnoid. Sejumlah kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css
dalam rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga
metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada kedalaman
sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga perivaskuler tidak
melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.
Komposisi dan fungsi cairan serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal dibentuk dari kombinasi filtrasi kapiler dan sekresi aktif dari epitel. CSS
hampir meyerupai ultrafiltrat dari plasma darah tapi berisi konsentrasi Na, K, bikarbonat, Cairan,
glukosa yang lebih kecil dankonsentrasi Mg dan klorida yang lebih tinggi. Ph CSS lebihrendah
dari darah.
PATOFISIOLOGI CAIRAN SEREBROSPINAL
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:
a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna: kuning,santokhrom,
cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein. Peningkatan protein
yang penting danbermakna dalam perubahan warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan
6 | P a g e
serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500
sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis
dalam satu jam danakan memberikan warna cucian daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan
serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit lebih dari 1000 sel/ml.
b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan terhadap
absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan naik, bila
salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi,
bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cm H2O pada
daerahh lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan
serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang
subarakhnoid,maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang
serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada
perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk..
Bila terdapat penyumbatan pada subarakhnoid, dapat dilakukan pemeriksaan Queckenstedt yaitu
dengan penekanan pada kedua vena jugularis. Pada keadaan normal penekanan vena jugularis
akan meninggikan tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal dalam waktu 10 detik.
Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali peninggian tekanan. Karena keadaan
rongga kranium kaku, tekanan intrakranial juga dapat meningkat, yang bisa disebabkan oleh
karena peningkatan volume dalam ruang kranial, peningkatan cairan serebrospinal atau
penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan oedema serebri. Kegagalan sirkulasi normal
CSS dapat menyebabkan pelebaran ven dan hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi
hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi
gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarachnoid tidak
terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid,
trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana viscositas CSS meningkat
danproduksi CSS yang meningkat. Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran
CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat
disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau penekanan suatu msa terhadap foramen Luschka for
7 | P a g e
Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi dan for. Monroe. Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan
atau didapat.
c. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel
polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.
Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah
dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan
terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan
antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan
cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding
dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000
sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat
secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri
atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah
penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes.
Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit
lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan
saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.
d. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat bervariasi
di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat pembuatannya di
ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar glukosa cairan
serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari
darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa
cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan
serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio
kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang
bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan
8 | P a g e
meningitis oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada
meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat
khemikal. Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rheumatoid
mungkin juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral,
mump, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.
e. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada sisterna 10-25
mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma globulin normal 5-15 mg% dari
total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan serebrospinal
berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan
menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat
oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi yang lambat atau
peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar darah otak hilang biasanya terjadi pada
keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat
dapat terjadi pada situasi yang berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal,
misalnya pada meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin
cairan serebrospinal ditemukan pada multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga
ditemukan pada tumor intra kranial dan penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk
ensefalitis, meningitis, neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis).
Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai
sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.
f. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L, Mg
2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada
kelainan neurologis, hanya terdpat penurunan kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik.
9 | P a g e
g. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila terdapat perubahan
osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.
h. PH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik
alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH darah, sedangkan PCO2 lebih tinggi pada
cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). PH CSS relatif tidak berubah bila
metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila metabolik asidosis
atau alkalosis terjadi secara cepat.
10 | P a g e
BAB II
Pembahasan
2.1. Defnisi
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh.
Infeksi susunan saraf ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam susunan
saraf.(3) Jadi, infeksi intracranial adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di
dalam cranial (intracranial), yaitu mulai dari korteks cerebri sampai dengan medulla oblongata.
Infeksi intrakranial termasuk dalam infeksi yang menyerang sistem saraf pusat.
Infeksi Susunan saraf pusat terbagi atas :
• Meningitis infeksi yang melibatkan selaput mening otak terdiri dari :
Meningitis Purulenta yang disebabkan oleh kuman Bakteri, a.l : Pneumokokus,
stapilokokus, haemophyllus influensa, sering pada orang dewasa, sedangkan Escericia
Coli sering menyerang anak-anak.
Meningitis Serosa yang disebabkan oleh Jamur, Virus, Protosoa, Parasit, Mycobacterium
Tuberculosa.
• Ensefalitis yaitu infeksi yang melibatkan jaringan otak.
• Myelitis yaitu infeksi yang melibatkan sumsum tulang belakang.
Berikut ini adalah tabel perbandingan LCS pada masing-masing infeksi.
LCS Normal Bakteri Virus TBC Toxoplasma Jamur
11 | P a g e
Warna Jernih Keruh/purulen jernih Jernih-
keruh
jernih Jernih
∑ sel <4 100-10.000 - 10-500 - 25-500
Sel
dominan
L PMN M L/M M M
Tekanan
(mmH2o)
70- 180 ↑↑ N N/↑↑ N/ ↑↑ ↑↑↑
Protein
(mg/dl)
<50 ↑↑ N/ sedikit
↑
↑↑ N ↑↑
Glukosa
(mg/dl)
50-75 ↓↓ N/↓ ↓↓ N ↓↓
2.2. Meningitis.
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal (CSS)
disertai radang pada piamater dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan superfisial otak dan
medula spinalis. Kuman-kuman dapat masuk ke setiap bagian ruangan subaraknoida dan dengan
cepat sekali menyebar ke bagian lain, sehingga leptomening medula spinalis terkena. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa meningitis selalu merupakan suatu proses serebrospinal. 6
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah
leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang
tindih karena etiologinya sangat bervariasi(5).
12 | P a g e
2.2.1. Meningitis Viral.
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari infeksi
SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan meningitis saja
mengimplikasikan tidak terlibatnya parenkim otak dan medula spinalis. Namun, patogen virus
dapat menyebabkan kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis atau meningomielitis.
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit
pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh enterovirus non polio; maka, karakteristik
penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral. Campak, polio,
dan limfositik choriomeningitis virus (LCMV) saat ini merupakan ancaman untuk negara
berkembang. Polio tetap merupakan penyebab utama dari mielitis pada beberapa daerah di
dunia.7
A. Epidemiologi 7
Di Amerika Serikat, lebih dari 10,000 kasus dilaporkan setiap tahunnya, tetapi insiden
sesungguhnya dapat mencapai hingga 75,000. Kurangnya pelaporan dikarenakan tidak ada hasil
klinis kebanyakan kasus dan ketidakmampuan dari beberapa agen viral untuk tumbuh dalam
kultur. Menurut laporan CDC, perawatan pasien dalam rumah sakit dari meningitis virus
bervariasi dari 25,000-50,0000 setiap tahun. Dalam beberapa laporan insiden diperkirakan 11 per
100,000 populasi pertahun.
Persebaran insiden dari klinis meningitis viral di dunia bervariasi. Penyebab meningitis
viral di dunia termasuk enterovirus, virus campak, VZV, dan HIV. Gejala meningitis dapat
timbul sedikit pada 1 dari 3000 kasus infeksi oleh agen ini. Studi dari Finlandia memperkirakan
insiden 19 per 100,000 populasi pada anak usia 1-4 tahun. Hal ini merupakan contrast signifikan
hingga 219 kasus per 100,000 yang diperkirakan untuk anak lebih muda dari 1 tahun. Virus
encephalitis B Japaneese, patogen tersering pada meningitis virus di dunia, menyebabkan lebih
dari 35,000 infeksi setiap tahunnya melalui Asia tetapi diperkirakan menyebabkan 200-300 kali
penjumlahannya dari infeksi subklinis. Distribusi dan karakteristik penyerangan oleh vector
arthropod, menunjukkan variabilitas geografis yang kuat. Kurangnya aturan vaksinasi yang
efektif pada Negara dunia ketiga memainkan peranan pada ketimpangan geografis dari agen
infeksi lain.
13 | P a g e
B. Faktor risiko dan Etiologi 7
Faktor Risiko
Diluar periode neonatal, angka mortalitas dikaitkan dengan meningitis viral kurang dari
1%; angka morbiditas juga rendah. Dokter harus menyadari virus yang dapat menyebabkan
meningitis juga dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius pada CNS sama halnya dengan
organ lain. Laporan statistik World Health Organization (WHO) dari tahun 1997 melaporkan
meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab ke-5 tersering dari mortalitas pada
neonatus. Komplikasi seperti edema otak, hidrosefalus, dan kejang dapat timbul pada periode
akut.
Ras
Tidak ada predileksi rasial spesifik telah diidentifikasi
Sex
Tergantung dari patogen viral, rasio yang mempengaruhi wanita dan pria dapat
bervariasi. Enterovirus diduga untuk mempengaruhi pria 1.3-1.5 kali lebih sering dibandingkan
wanita. Kebanyakan arbovirus mempunyai karakteristik penyerangan yang beragam,
mempengaruhi kedua gender tetapi pada usia berbagi.
Usia
o Insidensi meningitis viral menurun sesuai dengan usia
o Neonatus berada pada resiko terbesar dan mempunyai resiko signifikan akan morbiditas
dan mortalitas.
o Beberapa serangan arbovirus sangat ekstrem pada beberapa usia, dengan orang yang
lebih tua berada pada resiko terbesar untuk infeksi, sementara puncak campak dan cacar
timbul pada usia remaja akhir.
Etiologi
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (“pico” untuk kecil, “rna” untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama dekat
ya dengan prevalensi rhinoviruses (flu
Arboviruses menyebabkan hanya 5% kasus di Amerika Utara
14 | P a g e
Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen pertama
dari meningitis dan meningoensefalitis.
Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus manusia 6
secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral, dengan HSV-2
menjadi penyerang terbanyak.
Lymphocytic choriomeningitis virus: LCMV masuk k edalam keluarga arenaviruses.
Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus ditransmisikan ke manusia melalui
kontak dengan tikus atau ekskeresi mereka. Mereka berada pada resiko tinggi pada
pekerja laboratorium, pemilik binatang peliharaan, atau orang yang hidup dia area non
higienis.
Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada individu
immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien AIDS, Infeksi dapat
timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.
Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan kasus
timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap merupakan
ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi dari infeksi yang ada;
eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan masyarakat yang penting dari
WHO.
Klinisi harus mempertimbangkan secara sebagian meningitis bakterial sebagai
kemungkinan etiologi untuk aseptic dari penyakit pasien; sebagai contoh, pasien
dengan otitits bakteri dan sinusitis yang telah mengambil antibiotic dapat timbul
dengan meningitis dan penemuan CSF yang identik terhadap meningitis viral.
C. Patofisiologi Meningitis Viral 7
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes viruses (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
15 | P a g e
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan kulit, dan
blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system organ awal (ie, respiratory atau
gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana
dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya memainkan
peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area posttrauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada
24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit
CSF telag dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui
akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.
D. Manifestasi Klinis 7
Riwayat Penyakit
Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea, muntah,
kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.
Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas yang berat.
Bagaimanapun, deskripsi klasik dari ‘sakit kepala terburuk dari hidup saya’, ditujukan
kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah tidak biasa
Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul pada
lebih 50% pasien.
16 | P a g e
Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang dating untuk
mendapatkan perjatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan derajat rendah
pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat
tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan
onset kaku kuduk dan nyeri kepala, demam biasanya kembali.
Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan kontak
kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,
riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar terhadap tuberculosis, sama halnya
dengan penggunaan medikasi, penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran
penyakit menular seksual.
Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya, dimana
dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.
Fisik
Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen penyebab,
tetapi beberapa virus mempinyai manifestasi klinis unik yang dapat membantu
pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik mengajarkan bahwa trias
meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan perubahan status mental, meskipun
tidak semua pasien mempunyai gejala ini, dan nyeri kepala hamper selalu timbul.
Pemeriksaan menunjukkan tidak ada deficit neurologis fokal pada kebanyakan kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38ºC and 40ºC.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.
Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status mental dapat terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat
timbul.
17 | P a g e
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya
normal tetapi dapat berat.
Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal ini meliputi
faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi
zoster pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular
oleh herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar
virus didukung oleh faringitis, limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent
penyebab. Parotitis dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan
infeksi enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.
E. Pemeriksaan Penunjang7
Studi Laboratorium
Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda
neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif
sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri
atau piogen dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari
meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul
aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung
diagnosis meningitis viral:
o Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan
sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
18 | P a g e
o Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.
Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat termasuk CT
Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial.
Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang
mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural,
ataulesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi
intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal
dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahuo penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan
visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien
yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali
terlihat pada ensefalitis herpetic.
Prosedur
o Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam mendiagnosis
meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu dan
keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan
drainase ventricular atau shunting.
Penemuan Histologis
o Dikarenakan dari angka mortalitas rendah dengan meningitis viral akut, gambaran
patologis lain dibandingkan dengan respon limfositik dalam CSF secara umum
bukan merupakan bukti. Leptomeningea yang terdapat inflamasi dengan PMN dan 19 | P a g e
sel mononuklear pada fase akut penyakit. neuronophagia, dan peningkatan jumlah
sel mikroglia telah dicatat pada specimen dari sejumplah pasien yang meninggal
karena enchepalitis virus.
F. Diagnosis Banding 7
Acute Disseminated Encephalomyelitis
Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis
G. Penatalaksanaan7
Perawatan Medis
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan
medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan, Keputusan yang paling
penting adalah baik memberikan terapi antimikroba awal untuk meningitis bakteri
sementara menunggu penyebabnya untuk bias diidentifikasi. Antibiotik intravena harus
diberikan lebih awal jika meningitis bakterial dicurigai. Pasien dengan tanda dan gejala dari
meningoensefalitis harus menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV.
Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR
ketika telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di
critical care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari
komplikasi sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral pada bayi
baru lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic dan asikloviar harus
diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama natrum(, semenjak SIADH telah dilaporkan.
Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan untuk
mengatasi hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus urinarius dan
system pulmoner juga penting untuk dilaksanakan
20 | P a g e
Perawatan Pembedahan
Tidak ada terapi pembedahan yang biasanya diindikasikan. Pada pasien yang jarang dimana
viral meningitis berkomplikasi pada hidrosefalus, prosedur pemisahan CSF, seperti
ventriculoperitoneal (VP) atau LP shunting, dapat dilakukan. Ventriculostomy dengan
system pengumpulan eksternal diindikasikan pada kasus jarang dari hidrosefalus akut.
Kadangkala biopsy mening atau parenkim untuk diagnosis definitif dari infeksi viral
dibutuhkan. Monitoring tekanan intrakranial, dibutuhkan untuk beberapa kasus ensefalitis,
biasanya dilakukan di tempat tidur.
Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu semua yang
dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan meningitis bakteri adalah
penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan
dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus digunakan pada kasus dengan kecurigaan
HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang
lebih berat yang komplikasinya encephalitis atau sepsis.
Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk meningitis viral
dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti tuberculosis tidak dibicarakan
disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi ini dengan kuat mendukung secara klinis
atau telah dikonfirmasi dengan pengujian. Terapi empiris dapat dihentikan ketika
penyebab meningitis viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis herpetic
meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk kedua HSV-1 and
HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/hari IV dibagi q8h for 10-14 hari.
- Ganciclovir : untuk meningitis viral yang disebabkan oleh CMV. Dosis inisial : 5
mg/kg IV per-12 jam selama 14-21 hari. Sedangkan dosis maintenance adalah 5
mg/kgBB/hari.
21 | P a g e
H. Prognosis 7
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.
2.2.2. Meningitis Bakterial.
Meningitis purulenta atau Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput otak yang
menimbulkan eksudasi berupa pus (purulen), disebabkan oleh kuman non spesifik dan non
virus.8
A. Etiologi dan faktor resiko8
Etiologi penyakit ini dihubungkan dengan usia penderita dan sejumlah faktor predisposisi
penjamu terhadap infeksi bakteri atau perubahan respons terhadap invasi MO. Tetapi perlu
diingat bahwa setiap MO dapat menimbulkan penyakit pada setiap usia. Berikut ini tabel
etiologi meningitis berdasarkan kelompok umur.
Tabel 1. Penyebab umum meningitis purulenta 9
Bakteri Patogen <3 bulan 3 bulan- <18 tahun 18-50 tahun >50 tahun
Streptoccocus grup B +
E.Coli +
Listeria monocytogenes + +
N. meningitidis + +
S. pneumonia + + +
H. influenzae +
Beberapa keadaan, kelainan atau penyakit yang memudahkan terjadinya meningitis antara lain:
1) Infeksi sistemik maupun fokal (septikemia, otitis media supurativa kronik, demam tifoid,
tuberkulosis paru-paru);
2) Trauma dan tidakan tertentu (fraktur basis kranii, pungsi/anestesi lumbal,
operasi/tindakan bedah saraf);
22 | P a g e
3) Penyakit darah, penyakit hati;
4) Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibodi;
5) Kelainan yang berhubungan dengan imunosupression misalnya alkoholisme,
agamaglobulinemia, diabetes melitus;
6) Gangguan/kelainan obstretik dan ginekologis.
B. Patofisiologi 8
Secara umum invasi kuman ke susunan saraf pusat (SSP) terjadi setelah kuman berhasil
menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, ia dapat tiba di SSP melalui lintasan-lintasan
berikut: kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke SSP perkontinuitatum. Sutura
memberikan kesempatan untuk invasi secara ini. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral
merupakan penyebaran ke SSP secara langsung. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga
dijumpai, misalnya arteri meningeal terkena radang dahulu. Dari arteritis itu kuman dapat tiba di
liquor dan meningens serta otak. Saraf-saraf tepi juga dapat digunakan sebagai jembatan bagi
kuman-kuman untuk tiba di SSP melalui perineurium. Sebenarnya ada penjagaan otak khusus
terhadap bahaya yang datang melalui lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak
atau “Blood Brain Barrier”. Pada toksemia atau septikemia “blood brain barrier” (BBB) terusak
dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus, sehingga protein plasma, leukosit serta kuman
dapat masuk ke SSP. Dengan demikian proses radang dan reaksi imunologi dapat berkembang di
SSP.
Pada meningitis purulenta paling sering terjadi akibat penyebaran kuman secara
hematogen, berasal dari tempat infeksi yang jauh; bakteriemia sering mendahului atau terjadi
bersamaan dengan meningitis. Kuman-kuman masuk ke SSP secara hematogen atau langsung
menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia, bronkopneumonia), dan jantung
(endokarditis). Selain itu perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput
otak misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis dan trombosis sinus kavernosus. Invasi
kuman-kuman (meningokok, pneumokok, haemophilus influenza, streptokok) ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu
yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear (PMN) ke dalam ruang 23 | P a g e
subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan
histiosit dan dalam minggu ke dua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua
lapisan, bagian luar mengandung leukosit PMN dan fibrin, sedangkan di lapisan dalam terdapat
makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, udem otak, dan degenerasi neuron-neuron. Dengan
demikian meningitis purulenta dapat dianggap sebagai ensefalitis superfisial. Trombosis serta
organisasi eksudat perineural yang fibropurulen menyebabkan kelainan nervi kranialis (Nn. III,
IV, VI, VII, dan VIII). Organisasi di ruang subaraknoid superfisial dapat menghambat aliran dan
absorpsi CSS, sehingga mengakibatkan hidrosefalus komunikan.
C. Gambaran klinis. 8
Pada anak, gambaran klinis berbeda dengan dewasa. Umumnya meningitis purulenta terjadi
secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, napsu makan
berkurang, minum sangat kurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan
pneumonitis. Kejang terjadi pada ± 44% anak dengan penyebab haemophilus influenza, 25%
oleh sreptokokus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan
kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Selain itu dapat terjadi koagulasi
intravaskiularis deseminata (DIC). Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda
kernig, Bruzinski, pontanela menonjol untuk sementara waktu belum timbul. Pada dewasa,
permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise
umum, kelemahan, nyeri otot dan punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernapasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan,
hipotensi, dan takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma
yang dalam dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau
pecah dan bertambah hebat bila kepala digerakan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses
radang pembuluh darah meningeal, tetapi dapat juga disebabkan oleh peningkatan tekanan intra
kranial yang disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi jarang
disertai gemetar (chills). Kejang terjadi sekitar 20% kasus, koma 5 – 10% kasus dan berakibat
prognosis yang buruk, dan kelumpuhan saraf kranial pada 5% kasus.
24 | P a g e
D. Diagnosis 8
Adanya gejala-gejala seperti panas yang mendadak dan tak dapat diketahui sebabnya, letargi,
muntah, kejang dan lain-lainnya, harus dipikirkan kemungkinan meningitis. Diagnosis pasti ialah
dengan pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal. Pada setiap penderita dengan iritasi meningeal,
apalagi yang berlangsung beberapa hari atau dengan gejala-gejala kemungkinan meningitis atau
penderita dengan panas yang tidak diketahui sebabnya harus dilakukan pungsi lumbal. Kadang-
kadang pada pungsi lumbal pertama tak didapati kelainan apapun. Keadaan demikian ini dapat
dijumpai pada penderita yang sebelumnya telah mendapat pengobatan antibiotika, tetapi pada
pembiakan ternyata ada bakteri. Walaupun pungsi lumbal merupakan faktor resiko untuk
terjadinya meningitis, untuk kepentingan diagnosis cara ini mutlak dilakukan.
Pada meningitis purulenta stadium akut terdapat leukosit PMN. Jumlah sel berkisar
antara 1000 –10.000 /mm3 dan pada kasus tertentu bisa mencapai 100.000 /mm3, dapat disertai
sedikit eritrosit. Bila jumlah sel diatas 50.000 /mm3, maka kemungkinannya adalah abses otak
yang pecah dan masuk ke dalam ventrikulus. Kadar protein meningkat umumnya di atas 75 mg
%, kadar klorida umumnya di bawah 700 mg%, kadar glukosa sangat turun, bila lebih rendah
dari 20 mg%, malahan bisa mencapai 0 mg%. Hal terakhir ini belum diketahui sebab-sebabnya.
Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dapat menyokong diagnosa adalah :
Imunodiagnostik, yaitu pemeriksaan counter imunoelecthrophoresis dan CSS, aglutinasi
lateks, dan ELISA;
Pneumo-angiografi;
Foto polos tengkorak;
Foto dada;
Pemeriksaan EEG;
CT scan dan MRI;
Pemeriksaan lainnya, tes tuberkulin dilakukan untuk menentukan adanya proses spesifik,
pemeriksaan elektrolit diperlukan pada meningitis serosa karena dapat terjadi dehidrasi
dan hiponatremia terutama dalam 48-72 jam pertama. Pemeriksaan darah tepi untuk
menghitung leukosit dan memperoleh gambaran hitung jenis sel.
25 | P a g e
E. Diagnosa Banding 8
1) Meningismus, pada meningismus juga terjadi iritasi meningieal, nyeri kepala, kaku
kuduk, tanda kernig, kejang dan koma. Meningismus kebanyakan terdapat pada bayi dan
anak yang lebih besar, dengan gejala tiba-tiba panas, terdapat tonsilitis, pneumonia,
pielitis, dapat terjadi bersamaan dengan apendisitis akut, demam tifoid, erisipelas,
malaria, batuk rejan. Pada CSS tidak terdapat kuman, sedangkan jumlah sel dan kadar
glukosa normal. Umumnya gejala-gejala hilang dalam beberapa hari dan tidak
meninggalkan gejala sisa.
2) Meningitis aseptik, merupaka radang selaput otak yang akut dan bersifat self limited.
Dalam CSS terdapat peningkatan limfosit, tetapi CSS tetap steril dan kadar glukosa
normal.
3) Meningitis tuberkulosa, memberikan gambaran klinis yang hampir sama, namun dapat
dibedakan dengan pemeriksaan lumbal pungsi, dengan gambaran CSS yang serous dan
jumlah sel antara 10 – 500 /mm3 dan kebanyakan limfosit. Kadar glukosa rendah, antara
20 – 40 mg%. Kadar klorida < 600 mg%.
4) Infeksi lain, abses otak, abses intrakranial atau spinal epidural, endokarditis bakteri
disertai emboli, empiema subdural dengan atau tromboflebitis dan tumor otak dapat
menunjukan gejala-gejala yang sama. Untuk membedakannya tergantung atas
pemeriksaan CSS. 8
F. Komplikasi 8
Dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat.
Komplikasi yang mungkin ditemukan ialah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis,
abses serebri, skuele neurologis berupa paresis atau paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus
akibat sumbatan pada jalannya atau resorbsi atau produksi CSS yang berlebih, gangguan
elektrolit. Pada pengawasan yang lama mungkin akan ditemukan tanda-tanda retardasi mental,
epilepsi maupun meningitis berulang.
26 | P a g e
G. Pengobatan 8
Meningitis termasuk penyakit gawat darurat, karena itu penderita harus menginap di
rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan intensif. Perawatan Umum; penderita perlu
istirahat mutlak dan apabila infeksi cukup berat, maka penderita perlu dirawat di ruang isolasi.
Penderita yang dalam keadaan renjatan dan koma harus memperoleh perawatan dan pengobatan
yang intensif. Fungsi respirasi harus dikontrol secara ketat, perlu diberikan oksigen dan apabila
terjadi respiratori distress maka perlu pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi.
Pemberian caiaran parenteral harus dipantau secara seksama. Adanya dehidrasi harus diperbaiki.
Keseimbangan antara cairan yang masuk dan keluar harus dijaga sebaik-baiknya. Dalam rangka
pemberian cairan ini, unsur elektrolit diperhitungkan. Dengan demikian keseimbangan elektrolit
harus dipertahankan. Adanya hiponatremi atau hipokalemi, harus segera diatasi.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah kemungkinan adanya kejang, DIC,
hiperpireksia, udem otak, dekubitus, flebitis, serta kekurangan gizi (dietnya). Penanganan status
konvulsivus; bila masuk status konvulsivus diberikan diazepam 0,5 mg/kgbb/kali intravena yang
dapat diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian bila kejang belum berhenti. Ulangan
pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis yang sama, tetapi diberikan
secara intramuskuler. Setelah kejang dapat diatasi, berikan penobarbital untuk dosis awal
neonatus 30 mg, anak < 1 tahun 50 mg, anak > 1 th 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan
rumatan diberikan penobarbital dengan dosis 8 – 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis,
diberikan selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal). Hari berikutnya dengan
dosis 4 – 5 mg/kgbb/hari dibagi dalam dua dosis. Bila tidak tersedia diazepam dapat diberikan
langsung penobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis rumatan.
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat, sesuai dengan bakteri penyebab dan dalam
dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan
spektrum luas dan sebaiknya diberikan secara parenteral. Karena penyebab utama meningitis
purulenta di Indonesia (Jakarta) ialah haemophilus influenza dan pneumokokus, sedangkan
meningokokus jarang sekali, maka diberikan ampisilin intravena sebanyak 200 – 400
mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 – 6 dosis ditambah kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari intravena
dibagi dalam 4 dosis. Pada hari ke 10 pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan dan bila
27 | P a g e
ternyata menunjukan hasil yang normal, pengobatan seperti tersebut di atas masih dilanjutkan
dua hari lagi, tetapi bila masih belum normal pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang
sama seperti di atas atau diganti dengan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi
kuman.
Meningitis purulenta menduduki tempat tersendiri karena biasanya disebabkan oleh basil
Coliform dan Stafilokokus, malahan di RSCM 40,5% dari kasus yang disebabkan Salmonela sp.
Maka pengobatan yang dianjurkan sebagai berikut: Pilihan pertama Sefalosporin 200
mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam dua dosis, dikombinasi dengan amikasin dengan dosis awal
10 mg/kgbb/hari intravena dilanjutkan dengan 15 mg/kgbb/hari atau dengan gentamisin 6
mg/kgbb/hari masing-masing dibagi dalam 2 dosis. Lama pengobatan pada neonatus ialah 21
hari. Sefalosporin dan Kotrimoksazol tidak diberikan pada bayi berumur < 1 minggu.
Terapi empirik untuk meningitis bakterialis adalah :
1). Dari komunitas
Ceftriakson 2x 2 gr IV
2). Paska VP shunt
Ceftazidim 2x2 gr plus
Vankomisin 2x1 gr
H. Prognosis 8
Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain jenis kuman dan beberapa penyakit
pada permulaannya, umur penderita, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, kecepatan
ditegakkannya diagnosis, antibiotika yang diberikan, serta adanya kondisi patologik lainnya yang
menyertai meningitis.
28 | P a g e
2.3. Meningtis TBC
DEFINISI15
Meningitis TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis yang mengenai arachnoid, piameter
dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel.
Akibatnya akan terjadi infiltrasi sel radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh
darah didalamnya. Juga terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan
menjadi fibrin. Hal diatas yang disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan
gejala SINDROMA MENINGITIS yaitu berupa:
1) Demam
2) Nyeri kepala hebat
3) Gangguan kesadaran
4) Kejang – kejang
Dan adanya tanda RANGSANGAN MENINGEAL, berupa :
1) Kaku kuduk
2) Tes brudzinsky positif
3) Tes kernig yang positif
Meningitis Serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang sering disebabkan
oleh kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosa dan Spirochaeta pallida.
PATOGENESIS15
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak sendiri
dan paru – paru. Akibat reaktivasi terjadi penjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat
melalui bakteremia.
Kuman tuberkulosis yang dorman di dalam paru – paru akan aktif kembali jika terdapat
infeksi dan imunitas yang menurun. Terbentuk FOKUS RICH oleh kuman tuberkulosis pada
ruang subarachnoid di hemisfer serebri. Kuman tuberkulosis menyebar secara hematogen ke
29 | P a g e
Fokus Rich yang berada di ruang subarachnoid. Meningitis tuberkulosis baru terjadi setelah
kuman tuberkulosis menyebar langsung dalam ruang subarachnoid akibat ruptur dari fokus rich.
Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis tergantung dari jumlah dan virulensi
kuman serta keadaan kekebalan atau alergi penderita. Bilamana jumlah kuman sedikit dan daya
tahan tubuh penderita cukup baik, maka reaksi peradangan terbatas pada daerah sekitar tuberkel
perkijuan. Bilamana didapatkan reaksi hipersensitif yang hebat, maka akan terjadi meningitis
tuberkulosis yang luas disertai peradangan hebat dan nekrosis.
GEJALA KLINIS15
Gejala klinis meningitis tuberculosa disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat yaitu :
1) Iritasi mekanik akibat eksudat meningen, menyebabkan gejala perangsangan meningens,
gangguan saraf otak dan hidrosefalus.
2) Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak, menyebabkan gejala penurunan kesadaran,
kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal.
3) Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal.
4) Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan tinggi
intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.
Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari :
1) Stadium Prodromal
2) Stadium ini berlangsung selama 1 – 3 minggu dan terdiri dari keluhan umum seperti :
3) Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 – 38,90 C
4) Nyeri kepala
5) Mual dan muntah
6) Tidak ada nafsu makan
7) Penurunan berat badan
8) Apati dan malaise
9) Kaku kuduk dengan brudzinsky dan kernig tes positif
30 | P a g e
10) Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak
11) Gejala TTIK seperti edema papil, kejang – kejang, penurunan kesadaran sampai koma,
posisi dekortikasi atau deserebrasi.
12) Stadium perangsangan meningen
13) Stadium kerusakan otak setempat
14) Stadium akhir atau stadium kerusakan otak difus
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great Britain
( 1948 ) :
1) Stadium I :
Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. GCS 15, tidak didapatkan
kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tak sehat, suhu subfebris, nyeri kepala.
2) Stadium II :
Selain gejala diatas bisa didapat gejala defisit neurologi fokal, GCS 11-14
3) Stadium III :
Gejala diatas disertai penurunan kesadaran, GCS ≤ 10
PEMERIKSAAN PENUNJANG15
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal ( CSS )
Pemeriksaan CSS merupakan kunci diagnostik untuk meningitis tuberkulosis.
Pemeriksaan CSS akan memberikan gambaran jernih / opalesen, kekuningan sampai
dengan xantokrom, tekanan meninggi.
Tes Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein.
Hitung sel meningkat 100 – 500, terutama limfositik mononuklear.
Kadar glukosa menurun < 40mg% tetapi tidak sampai 0 mg%.
Pada pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman
mycobacterium tuberkulosis.
Bila beberapa cc CSS dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24 jam akan terbentuk
endapan fibrin berupa sarang laba – laba.
31 | P a g e
2. Pemeriksaan darah
Terdapat kenaikan laju endap darah ( LED )
Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000
Tes tuberkulin
Tes tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum penderita buruk.
Foto roentgen thoraks
Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat terutama di apex paru)
DIAGNOSA15
Kriteria diagnosis menurut Medical Research Council of Great Britain ( 1984 ) :
Penderita dengan pemeriksaan klinik yang sesuai pembagian klinik Medical Research
Council ( 1984 ) disertai dengan :
Kelainan CSS seperti pleositosis dengan dominan limposit, peninggian kadar protein dan
penurunan kadar gula serta natrium klorida. Pada isolasi dapat ditemukan kuman
tuberkulosis.
Kontak dengan penderita tuberkulosis positif
Tes mountox positif
Pada pemeriksaan fundus ditemukan tuberkel koroid.
Penderita dengan diagnosis tuberkulosis dan disertai demam, iritabilitas, penurunan
kesadaran sampai muntah, maka perlu dipikirkan kearah kemungkinan suatu meningitis
tuberkulosis.
Sedangkan kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk dalam Journal of
Infectious Disease 2005 adalah 16 :
1. Definitif :
Klinis meningitis / meningoensefalitis plus
Analisa CSF tidak normal plus
Pewarnaan BTA + pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur + untuk M.
Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.
32 | P a g e
2. Probable
Klinis meningitis atau meningoensefalitis plus
Analisa CSF tidak normal plus
Salah satu dari
BTA ditemukan pada jaringan lain
Foto torak sesuai dengan TB paru aktif
3. Possible
Klinis meningitis atau meningoensefalitis plus
Analisa CSF tidak normal plus
Salah satu dari :
Riwayat TB
Sakit > 5 hari
Gangguan kesadaraan
Tanda neurologis fokal
Dominasi mononuklear pada CSS
Rasio glukosa serum dengan LCS <0,5, CSS berwarna kekuningan (xantokrom)
33 | P a g e
Adapun skoring Meningtis TB adalah 16:
Variabel skor
Usia (tahun)
≥36
<36
2
0
Leukosit darah / ml
≥15.000
<15.000
4
0
Riwayat nyeri (hari)
≥6
<6
-5
0
Leukosit CSS / ml
≥900
<900
3
0
% Neutrofil
≥75
<75
4
0
Total skor ≤4 suspek meningitis TB
Total skor >4 bukan meningitis TB
KOMPLIKASI15
Komplikasi yang timbul pada meningitis tuberkulosis :
Oftalmoplegia
Pan arteritis hemiplegia
Hidrosefalus
Arachnoiditis
34 | P a g e
PENGOBATAN15
Diberikan obat – obatan spesifik yaitu :
INH : Dewasa 5 mg / kgBB /hari p.o
Rifampisin : 10 mg/ kgBB / hari p.o
Etambutol : 20 mg / kgBB / hari p.o ; maksimal 1,2 gr/hari
Pirazinamid : 25 mg / kgBB / hari p.o ; maksimal 2 gr/ hari
Streptomisin: 20 mg/ kgBB/ hari i.m
Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan Rifampisin,
INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya diberikan rifampisin, INH,
Pirazinamid).
Selain itu juga tersedia OAT kombo yaitu ;
Rimstar : Rifampisin 150 mg, INH 5 MG, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg
Combipack : Rifampisin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg
PROGNOSA18
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik, cacat mental, atau
meninggal tergantung : umur, jenis kuman, berat ringan nfeksi, lama sakit sebelum mendapat
pengobatan, dan kepekaaan kuman terhadap antibotik yang diberikan.
2.3. Ensefalitis
A. Pengertian
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme (Hassan,
1997). Pada encephalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput
pembungkus otak dan medula spinalis.
35 | P a g e
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro
organisme lain yang non purulent.
B. Etiologi.
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis, misalnya bakteria,
protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab Ensefalitis adalah
Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis
bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000). Penyebab lain adalah
keracunan arsenik dan reaksi toksin dari thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air.
Penyebab encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus
langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Klasifikasi encephalitis berdasar jenis virus serta epidemiologinya ialah:
Infeksi virus yang bersifat endemic:
1. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
2. Golongan virus Arbo : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine
encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley
encephalitis.
Infeksi virus yang bersiat sporadik : rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis, dan jenis lain yang dianggap
disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
· Encephalitis pasca-infeksi : pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia, pasca-
mononukleosis infeksius, dan jenis-jenis lain yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang
tidak spesifik.
C. Tanda dan Gejala
1) Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2) Kesadaran dengan cepat menurun
36 | P a g e
3) Muntah
4) Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di
muka)
5) Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal
paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya
6) Perubahan perilaku
7) Gelisah
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda dan gejala :
kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan asimetri refleks
tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
D. Patofisiologi
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas, dan saluran cerna. Setelah masuk ke dalam
tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara :
· Lokal : virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ tertentu.
· Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan
berkembang biak di organ tersebut.
· Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di perukaan selaput lender dan
menyebar melalui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis ensefalitis. Masa prodromal
berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah nyeri tenggorokan,
malais, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah-
muntah, letargi, kadang disertai kakukuduk apabila infeksi mengenai meningen. Pada anak,
tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan,
pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku,
gangguan kesaadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afassia,
hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
E. Manifestasi klinis.
37 | P a g e
Masa prodromal berlangsung anantara 1-4 hari, ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Kemudian di ikuti tanda
ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari ditribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala
tersebut berupa :
1. Gelisah
2. Iritabel
3. Streming attack
4. Perubahan perilaku
5. Gangguan kesadaran
6.Kejang
Kadang disertai tanda neurologis fokal berupa :
1) Afasia
2) Hemiparesia
3) Hemiplagia
4) Ataksia
5) Paralisis saraf otak
Tanda rangsangan meningela dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Ruam kulit
kadang di dapatkan pada beberapa tipe ensefalitis misalnyapada enterovirus dan varisela zoster
f. Komplikasi
Komplikasi pada ensefalitis berupa :
1. Retardasi mental
2. Iritabel
3. Gangguan motorik
4. Epilepsi
5. Emosi tidak stabil
6. Sulit tidur
7. Halusinasi
8. Enuresis
9. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.
38 | P a g e
g. Pemeriksaan Penunjang
Lumbal pungsi (pemeriksaan CSS)
1) Cairan warna jernih
2) Glukosa normal
3) Leukosit meningkat
4) Tekanan Intra Kranial meningkat
5) Protein agak meningkat
Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urin
1) Sukar oleh karena uremia berlangsung singkat
2) Dapat membantu mengidentifikasikan daerah pusat infeksi dan penyebab infeksi
CT Scan/ MRI
1) Membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran/ letak ventrikel, hematom, daerah cerebral,
hemoragic, atau tumor
EEG
1) Terlihat aktivitas listrik (gelombang) yang menurun, sosial dengan tingkat kesadaran yang
menurun
2) Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difu (aktivitas lambat bilateral)
h. Penatalaksanaan
1. Isolasi. Isolasi bertujuan mengurangi stimuli/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan
pencegahan.
2. Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur Obat yang mungkin dianjurkan oleh dokter :
1) Ampicillin : 200 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
2) Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
3) Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara signifikan
dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV encephalitis. Acyclovir diberikan secara
intravena dengan dosis 30 mg/kgBB per hari dan dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah
kekambuhan (Victor, 2001).
4) Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara polifragmasi.
3. Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial, manajemen edema otak
39 | P a g e
1) Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan; jenis dan jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan anak.
2) Glukosa 20%, 10 ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan dalam pipa giving set untuk
menghilangkan edema otak.
3) Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk menghilangkan
edema otak.
4. Mengontrol kejang Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang
diberikan ialah valium dan atau luminal.
1) Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
2) Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bia diulang dengan dosis yang sama
3) Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis
5 mg/kgBB/24 jam.
5. Mempertahankan ventilasi Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan (2-3l/menit).
6. Penatalaksanaan shock septik
7. Mengontrol perubahan suhu lingkungan
8. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan kompres pada permukaan tubuh yang mempunyai
pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal
betis dan di atas kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan
phenergan 4 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular dibagi dalam 3 kali pemberian.
Dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetosal atau parasetamol bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat per oral.10
2.4. Abses Serebri 11
A. Definisi
Abses serebri merupakan infeksi pyogenik yang terbatas pada jaringan parenkimal otak.
40% Infeksi supuratif pada jaringan parenkimal otak berasal dari infeksi lokal yang berdekatan
(sinus paranasal, telinga tengah dan sel mastoid). Disamping itu perlu dipertimbangkan juga
penyebab sekunder dari infeksi paru supuratif (abses paru, bronkiektasis dan endokarditis
bakterialis). Diperkirakan insiden abses otak relatif tetap stabil di era antibiotik.
40 | P a g e
Sekitar 1/3 dari seluruh kasus abses otak adalah akibat metastatis (hematogen), dan 20% kasus
dengan sumber yang tidak diketahui. 1 Diagnosis dini dan terapi yang adekuat dan tepat dapat
memberikan prognosis yang baik.
Insidens abses serebri diperkirakan 1 kasus/100.000 populasi per tahun. Insidens ini menurun
setelah 1950 sejalan dengan semakin meluasnya penggunaan antibiotik. Perbandingan prevalensi
antara pria dan wanita adalah 2-3 : 1.
75-90% merupakan abses soliter, dimana 35-45% berlokasi di lobus frontal, 30-40% di lobus
temporal, 15-20% di lobus parietal dan 15% di occipital, cerebellum dan batang otak.
B. Patogenesis
Mekanisme infeksi pada abses serebri:
Penyebaran langsung dari fokus primer (>50% kasus), seperti sinusitis, infeksi gigi, telinga
tengah, mastoid, yang dapat langsung menembus duramater atau tidak langsung mengikuti
vena.
Penyebaran melalui darah (25% kasus), berasal dari infeksi primer paru, jantung, dan kulit.
Separuh dari seluruh kasus abses hematogen berhubungan dengan infeksi kronis paru
(bronkiektasis, abses paru).
Paparan langsung organisme sebagai akibat trauma tembus kepala atau komplikasi tindakan
bedah saraf (35-40% kasus).
Stadium pembentukan abses serebri :
Stadium serebritis awal (hari 1-3) à reaksi radang perivaskular yang mengelilingi daerah
nekrotik, disertai edema.
Stadium serebritis lanjut (hari 4-9) à munculnya fibroblas dan neovaskular di tepi daerah
nekrotik.
Stadium pembentukan kapsul awal (hari 10-13) à pembentukan lapisan fibroblas yang
sempurna dengan serebritis yang menetap dan neovaskularisasi.
Stadium pembentukan kapsul lanjut (>hari 14 ) à penebalan kapsul yang kaya akan
kolagen yang reaktif.
41 | P a g e
C. Diagnosis
Abses otak biasanya muncul sebagai suatu proses subakut dan gejala timbul dalam waktu
2 minggu. Tetapi bila lokasi di temporal cukup luas, maka gejala dapat timbul secara akut (hari)
atau kronik (bulan). Hal ini tergantung dari penekanan efek massa di otak.
Trias gejala klinis yang klasik adalah sakit kepala (75%), demam (40-80%) dan defisit
neurologis fokal (50%). 3,5,6
Frequency of Common Signs & Symptoms in Brain Abscess
Sign or Symptom Approximate Frequency
Headache ~75%
Mental Status Change ~50%
Fever 40-80% (higher % is in children)
Motor Weakness (e.g. hemiparesis) 30%
Cranial Nerve palsies 15-30%
Seizures 25-45%
Nausea & Vomiting 20-50%
Nuchal Rigidity 25-30%
Papilloedema 25-30%
Aphasia ~10%
Manifestasi klinis lebih dominan akibat tekanan intrakranial yang meningkat
dibandingkan dengan tanda-tanda infeksi. Variasi gejala tergantung antara lain oleh : derajat
virulensi, status imunologis, lokasi abses, jumlah lesi dan adanya meningitis / ruptur ventrikel.
Diagnosis tergantung dari:
1) adanya sumber infeksi
2) adanya peningkatan tekanan intrakranial
3) defisit fokal serebral atau serebelar
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit >10.000 (50%) atau meningkat > 20.000
(<5%), LED meningkat > 40 mm/jam (25-30%), dan peningkatan protein C reaktif (85-90%).
Pemeriksaan ini bukan merupakan indikator yang spesifik untuk inflamasi.
42 | P a g e
Neuroimaging
Gambaran CT-scan pada abses :
1) Early cerebritis (hari 1-3) à fokal, daerah inflamasi dan edema
2) Late cerebritis (hari 4-9) à daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona
central inflamasi.
3) Early capsule stage (hari 10-14) à gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi
pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran
ring enhancement.
4) Late capsule stage (hari >14) à terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses)
yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik, dikarenakan
sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu
dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,
hematom yang diserap dan granuloma.
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT
scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain :
umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring,
rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa daughter
abscess biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari
paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa
putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor,
ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.
D. Penatalaksanaan.
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
43 | P a g e
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Kortikosteroid
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi
penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam
peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam
intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Antibiotik
Initial Empiric Therapy for Brain Abscess in Immunocompetent Hosts
Drug Dose Frequency & Route
Cefotaxime (Claforan) 2 grams Every 4 hrs IV
OR
Ceftriaxone (Rocephin) 2 grams Every 12 hrs IV
AND
Metronidazole (Flagyl) 500 milligrams Every 6 hrs IV
AND
Nafcillin (Unipen, Nafcil) 2 grams Every 4 hrs IV
44 | P a g e
OR
Vancomycin (Vancocin) 15 mg/kg body weight Every 12 hrs IV
Terapi baru-baru ini merekomendasikan sefalosporin generasi III menggantikan penisilin
ditambah dengan metronidazole untuk kuman anaerobik ditambah dengan vankomisin atau
nafsilin untuk antistafilokokal.
Studi menunjukkan bahwa cefotaxime dan ceftazidime merupakan antibiotik yang dapat
menembus kapsul abses dengan baik, dan hasil clinical trials juga mendukung keefektifitasan
terapi kombinasi cefotaxime dan metronidazole dalam pengobatan abses serebri.
Nafcillin digunakan pada penderita abses yang dicurigai menyebar secara hematogen.
Vancomycin biasa digunakan pada penderita post operasi abses atau abses serebri yang didapat
dari rumah sakit (hospital acquired).
Antibiotik digunakan selama 4-6 minggu.
Jika penyebabnya otogenik maka terapi empiricnya adalah :
Ceftazidim 2x2 gram iv
Metronidazole 3x500mg iv
Terapi bedah
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan
tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi
merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan
pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep
abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan
terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
45 | P a g e
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis,
EEG dan neuroimaging).
E. Prognosis
Dengan kemajuan diagnostik seperti penggunaan neuroimaging dan teknik neurosurgikal
serta penggunaan antimikrobial yang efektif dapat menurunkan risiko kematian dari 40%
menjadi 10%. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.
2.5. Toxoplasmosis pada HIV/AIDS 12
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung
bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi
selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T
gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai
dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh
bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah
bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan
sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot
skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai
67oC, didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial
dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging
yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang.
Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini
tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi
infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi
darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari
infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
46 | P a g e
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk
validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin
terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL
adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan
untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan
infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa Toxoplasma
ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis. Dari ketiga manifestasi ini,
ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS .
Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari sitokin tipe 1
(interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting dalam infeksi T gondii
kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells seperti sel dendrit dan makrofag.
IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi
pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-
gondii, tidak hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan IFN-
gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada infeksi T.gondii pada
manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja dengan diperantarai oleh
sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan kembali meningkatkan produksi
dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi
kronis T gondii.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis
sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-
gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi
dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
47 | P a g e
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan
CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi
klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung /
kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global
dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus,
Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. 5 Defisit
neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga
terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum,
meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia
di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA),
agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak
dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam
beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma menunjukkan
adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein. 7
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat
berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan serebrospinal bervariasi
dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita
toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
48 | P a g e
hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi
empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian dimonitor
lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis adanya
ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien
menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Pada pasien yang
alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan
clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari
untuk mencegah depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat
diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone
750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan
gejala klinis
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral dan
menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80% kasus. Lesi ini
berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI
tidak patognomonik untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan
limfoma SSP dan criptococcus.
TERAPI
1) Pengobatan fase akut (3-6 minggu)
Pirimetamin :
BB < 50 kg : 2x25 mg/hari p.o
BB > 50 kg : 3x 25 mg/hari p.o
Klindamisin : 4x 600 mg/hari p.o
49 | P a g e
2) fase rumatan
Pirmetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari doss fase4 akut atau menggunakan
kotrimoksazol 2x1. Fase rumatan diteruskan hngga pasen mencapai nilai CD4 >200
2. 6. Infeksi Jamur 13
Infeksi jamur SSP pada umumnya sangat jarang. Kecuali pada penderita diabetes yang sudah
menahun, paling sering ditemui pada keadaan immunocompromised seperti pasien dengan AIDS
atau setelah transplantasi organ. Karena kurangnya respon inflamasi, temuan neuroradiological
sering tidak spesifik. Meskipun hampir semua jamur dapat menyebabkan ensefalitis,
meningoencephalitis kriptokokus paling sering ditemui, diikuti oleh aspergillosis dan yang lebih
jarang lagi candidasis. candidasis Cerebral biasanya didahului oleh infeksi kandida yang sistemik
dan sering berhubungan dengan penggunaan kateter. Pada pasien imunokompeten, dapat nyata
sebagai lesi yang padat atau seperti abses dengan diferensial diagnosis abses piogenik. Pasien
dengan imunosupresif, temuan neuroradiological sering sulit diinterpretasikan. MRI
menunjukkan punctuate atau tanda hyperintensities yang merata pada T2WI, peningkatan
gadolinium sering tak tampak. Temuan ini saja tidak memungkinkan diagnosis spesifik, sehingga
keputusan pengobatan harus didasarkan pada parameter klinis dan temuan CSF.
Pada meningoencephalitis kriptokokus, peningkatan diffuse meningeal dan juga
ventriculitis dapat dilihat pada MRI. Temuan khas berupa lesi punctuate multiple, sering di
ganglia basalis. Hal ini merupakan karakteristik lesi cystic karena invasi kriptokokus di ruang
Virchow-Robin. Ini lah yang dikatakan les ”soap bubble lessins” dan memungkinkan diagnosis
sementara untuk pengobatan antijamur secepatnya. Pada pasien nonimmunodeficient atau pasien
dengan AIDS di bawah pengobatan antiretroviral yang sangat aktif, yang mengembangkan
immune reconsituation syndrome lesi dapat meluas menjadi cincin yang meningkat. Bahkan
dengan perawatan intensif (amfoterisin B dan 5-flucytosine), hasil sering jelek dan kematian
setinggi 70%. Pada pasien dengan AIDS jarang, dan lebih sering pada pasien yang memiliki
transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transplantation), aspergillus adalah agen untuk
infeksi SSP oportunistik. Kematin tinggi pada pasien tersebut, dan diagnosis dini adalah wajib
jika ingin bertahan hidup. Laboratorium tidak selalu pastikan diagnosis infeksi jamur sehingga 50 | P a g e
neuroimaging yang penting dalam menetapkan diagnosis. Temuan CT mungkin nonspesifik dan
diagnosis infeksi jamur sering dibuat secara retrospektif di otopsi. Tampilan aspergillus pada
infeksi SSP sangat bervariasi. penggunaan MRI, beberapa pola cerebral aspergillosis telah
dilaporkan: lesi edematous, lesi hemoragik,lesi solid disebut sebagai aspergilloma atau "tumoral
form" abscess-like ring-ike lesions (Gambar. 1), dan infarction-like lesions. Dural enhancement
biasanya dilihat pada lesi terinfeksi yang berdekatan dengan sinus paranasal.
Gambar 1: Coronal T1WI after gadolinium enhancement. Patient after bone marrow transplantation with aspergillus
encephalitis. Ring-enhancing lesion with perifocal edema and mass effect compressing the lateral ventricle.
Pada MRI, lesi dapat menunjukkan area isointense atau intensitas sinyal yang rendah
pada T2WI, yang dihubungkan dengan jamur hypercontaining yang mengandung unsur
paramagnetik seperti mangan, besi, dan magnesium, tetapi bisa juga berkaitan dengan kerusakan
produk darah. kortikal dan subkortikal infark dengan atau tanpa perdarahan merupakan temuan
umum pada infeksi aspergillus yang dijelaskan oleh infiltrasi jamur pada dinding pembuluh
darah dan thrombosis. Pengakuan dari tampilan pol radiologi pada pasien dengan aspergillosis
otak sangat membantu dalam menegakan diagnosis dini. Pasien dengan AIDS dan setelah BMT,
yang mengalami immunoincompetent, sering tidak menunjukkan peningkatan atau edema
perifocal.
Terapi :
51 | P a g e
Pengobatan untuk meningitis kriptokokus :
Fase akut :
Minggu 1-2
Ampoterisin-B 0,7 – 1mg/kg/hari. Dalam infuse dextrose 5% dan diberikan selama 4-6
jam dan jangan dilarutkan dengan NaCl
Flukonazol 800mg/hari p.o
Minggu 3-10
Flukonazol 800mg/hari p.o
Fase rumatan
Flukonazol 200mg/hari p.o
52 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan jenis pathogen yang
menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan pengobatan anti biotic yang efektif
secepat mungkin.
Oleh karena analisis LCS, biopsy, dan analisis laboratorium merupakan Gold standard
untuk mengidentifikasi pathogen penyebab meningitis, neuroimaging merupakan pemeriksaan
yang sangat penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla spinalis. gambaran
pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan tatalaksana terapi selanjutnya.
khususnya, neuroimaging memiliki peran yang sangat penting pada penyakit-penyakit
oportunistik, bukan hanya untuk penegakan diagnosis, namun juga untuk memantau respon
terapi.
53 | P a g e
Daftar Pustaka
1) Adams RD, Victor M, Ropper AH.Principles of Neurology. 7th edition. New York:
McGraw-Hill;1997.
2) Wahyu. Bagaimana Mencegah Infeksi Otak. Kesehatan. [serial online] 2011 [cited 2011
Jan 25]. Available from: URL: http://indonews.org/bagaimana-mencegah-infeksi-otak/
3) Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme infeksi
susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
4) Geyik MF, Kokoglu OF, Hosoglu S, Ayaz C . Acute Bacterial Meningitis as a
complication of otitis media and related mortality factors. Yansei Med. J,2002.43:573-8.
5) Anonym. Meningitis Bakterial. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from:
URL: http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/meningitis-bakterial.html
6) Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. PERDOSSI. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1996; 161-167.
7) Satria. Meningitis viral. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from: URL:
http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/
8) Anonim. meningitis purulenta. http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/meningitis-
purulenta/
9) http://mardino25.blogspot.com/2012/03/makalah-ensefalitis.html
10) dr. octaviani. http://neurology.multiply.com/journal/item/9/Abses-Serebri
11) dr. Herlyani Khosama. http://neurology.multiply.com/journal/item/32/Manifestasi-Klinis-
Ensefalitis-Toxoplasma
54 | P a g e
12) http://onlineallarticles.blogspot.com/2011/03/makalah-infeksi-sistem-saraf-pusat.html
13) dr. Iskandar Japardi. Infeksi Jamur pada Susunan Saraf Pusat. Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah Umniversitas Sumatera Utara
14) Anonim.http://hesa-andessa.blogspot.com/2010/04/anatomi-fisiologi-otak-dan
peredaran.html
15) http://ifan050285.wordpress.com/2010/02/28/meningitis-tbc/
16) PERDOSSI.Handout Workshop Neuro-infeksi 1. 11 Februari 2011
17) Dr ISKANDAR JAPARDI.CAIRAN SEREBROSPINAL.Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara 2002
18) http://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/meningitis.pdf
55 | P a g e
top related