refrat tht fatma tonsilektomi
Post on 25-Jul-2015
321 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMBIMBING :
Dr. Diana Rosalina, Sp. THT
PENYUSUN :
Citra Cesilia 030.05.059
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 13 JULI – 14 AGUSTUS 2009
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Refrat yang berjudul:
TONSILEKTOMI
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUP Fatmawati.
Jakarta, Agustus 2009
Pembimbing
Dr. Diana Rosalina, Sp. THT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Telinga
Hidung dan Tenggorok (THT) Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini yaitu dr. Diana Rosalina, Sp.THT, selaku pembimbing dalam
penyusunan makalah dan kepada orang tua yang tiada hentinya memberikan doa dan dorongan
semangat kepada saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Agustus 2009
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. EMBRIOLOGI, ANATOMI, DAN FISILOGI TONSIL
2.1 Embriologi
2.2 Anatomi
2.2.1 Tonsil palatine
2.2.2 Tonsil faringeal
2.3 Fisiologi tonsil
BAB III. TONSILEKTOMI
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
3.3 Indikasi tonsilektomi
3.4 Kontraindikasi
3.5 Persiapan operasi
3.5.1 Penilaian operasi
3.5.1.1 Anamnesis dan Rekam medic
3.5.1.2 Pemeriksaan fisik
3.5.1.3 Pemeriksaan penunjang
3.5.1.4 Inform Consent
3.5.1.5 Persiapan operasi
3.5.2 Penilaian praanestesia
3.5.2.1 Anamnesis dan evaluasi rekam medis
3.5.2.2 Pemeriksaan fisik
3.5.2.3 Tes praoperasi
3.6 Tehnik operasi
3.6.1 Guillotine
3.6.2 Tehnik diseksi
3.6.2.1 Electrosurgery (Bedah listrik)
3.6.2.2 Radiofrekuensi
3.6.2.3 Skalpel harmonic
3.6.2.4 Coblation
3.6.2.5 Intracapsular partial tonsillectomy
3.6.2.6 Laser (CO2-KTP)
3.7 Penyulit
3.8 Komplikasi
3.8.1 Komplikasi anestesi
3.8.2 Komplikasi bedah
3.8.2.1 Perdarahan
3.8.2.2 Nyeri
3.8.2.3 Komplikasi lain
3.9 Terapi pasca tonsilektomi
3.9.1 Perdarahan pasca tonsilektomi
3.9.2 Obstruksi saluran nafas post operasi
3.9.3 Observasi pasca operasi di Ruang pemulihan
3.9.4 Perawatan pasca operasi
3.9.4.1 Diet
3.9.4.1 Medikamentosa
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan pengangkatan jaringan
tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tonsilektomi didiskripsikan pertama kali di India pada tahun 1000
SM. Pada tahun 30 SM, 2 Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama kali, menggunakan
scalpel untuk eksisi tonsil, namun pengangkatan ini belum dapat maksimal, karena belum semua
jaringan berhasil diangkat. Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsilektomi pada wanita
20 tahun yang mengeluh hidung tersumbat dan pendengaran menurun. Crow (1917) melaporkan
tonsilektomi pada 1000 pasien dengan mouth gauge, yang sekarang dikenal sebagai Crowe-Davis mouth
gauge.2
Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan, tahun 1827 tonsil diangkat menggunakan
guillotine, pada saat itu dinamakan Primary enucleation, pertama kali digunakan oleh Physick. Tahun
1867, Meyer menggunakan pisau berbentuk lingkaran, mengangkat tonsila adenoid melalui cavitas nasi,
pada pasien yang menderita penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Pada tahun 1910 Wilis dan
Pybus melaporkan pengangkatan tonsil lengkap dengan kapsulnya. Pada tahun 1912, Sluder
menemukan alat untuk mengambil tonsil sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan
kapsulnya mencapai 99,6 %. Teknik tonsilektomi lain terus dikembangkan seperti elektrokauter
ditujukan untuk mengurangi terjadinya efek yang tidak diharapkan dari tonsilektomi.2
Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi, meskipun demikian di bidang THT
tonsilektomi merupakan tindakan terbanyak dan biasa dilakukan.
Pengaruh rangsangan bakteri yang terus menerus terhadap tonsil pada tonsilitis kronik
menyebabkan sistem imunitas lokal tertekan karena menurunnya respon imunologis limfosit tonsil dan
perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen. Hal ini menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi
tonsil sebagai gatekeeper dan respon imunologi tonsil terhadap antigen.2
Pengobatan tonsilitis kronik sangat sulit dan lazim dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi
dianggap sebagai tindakan yang kecil, namun dapat menimbulkan komplikasi baik durante maupun
postoperasi, baik berupa abses paru dan pneumonitis yang diakibatkan aspirasi darah dan debris atau
infeksi yang ada sebelumnya maupun perdarahan. Disamping itu tonsilektomi dapat menimbulkan
berbagai masalah dan beresiko menimbulkan nyeri pasca tonsilektomi dan infeksi.2
Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak di bidang THT belum mempunyai keseragaman
indikasi. Kajian manfaat tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan
ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam.
1.1 KEKERAPAN
Frekuensi tonsilektomi dan adenoidektomi di Inggris tahun 1987-1993 telah dilakukan 70.000 -
90.000 tonsilektomi dan adenoidektomi per tahun. Di Skotlandia antara tahun 1990 – 1996 terjadi
penurunan jumlah adenotonsilektomi, angka tonsilektomi pada anak menurun dari 602 per 100 000
menjadi 511 per 100 000, 44 % perempuan dan 54% dengan adenoidektomi. Di Amerika Serikat
tonsilektomi dilakukan sampai 1.500.000 pada tahun 1970 dan 286.000 menjalani adenotonsilektomi,
sedangkan tahun 1985 dilakukan 400.000 tonsilektomi. 2
Di Indonesia sampai saat ini jumlah kasus tonsilektomi masih sulit didapatkan. Di RSUP Dr
Sardjito dari catatan medis tonsilektomi merupakan tindakan terbanyak dengan jumlah lebih dari
separoh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian THT. Data pada tahun 1996 dan tahun 1997
sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102 tindakan, dan tahun 1999 dilakukan 94 tindakan. Angka
tonsilektomi tahun 2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan Agustus sebanyak 45
kasus, rentang umur terbanyak 5-15 tahun, indikasi tersering adalah tonsillitis kronis. Dari data di atas
terlihat angka tonsilektomi dari tahun ke tahun mengalami penurunan,yang kemungkinan disebabkan
indikasi tonsilektomi makin ketat.2
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
2.1 Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring akibat
pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut,
yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa
bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari
epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan
ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5
dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil. 1
2.2 Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah
tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. 1
Gambar 2.2 anatomi Tonsil
Diunduh dari http://nhsblogdoc.blogspot.com/2008/12/tonsillectomy-another-reason-to-pause.html pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 20.30
Gamnabar 2.2 Anantomi Tonsil Diunduh dari http://dic.academic.ru/pictures/enwiki/71/Gray994-adenoid.png pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 20.45
2.2.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah
yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi
oleh:
1. Lateral– m. konstriktor faring superior
2. Anterior – m. palatoglosus
3. Posterior – m. palatofaringeus
4. Superior – palatum mole
5. Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan linfoid).1
2.2.1.1 Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior
mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral
lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan
dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi
harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas
pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring.
2.2.1.2 Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul.
Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. 1
2.2.1.3 Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang
merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. 1
2.2.1.4 Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna
(A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior
oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul
tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 1
2.2.1.5 Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep
jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada. 1
2.2.1.6 Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan
bagian bawah dari saraf glosofaringeus. 1
2.2.1.7 Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit
tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik. 1
2.2.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan
yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang
lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.1
2.3 Fisiologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan
limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik. 1
Bab III
TONSILEKTOMI
3.1 Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1
gambar3.1:
Diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/84/Throat_with_Tonsils_0011J.jpeg pada tanggal 30 juli 2009 pukul 20.05
3.2. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena
durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.1
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15
tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%)
menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa
juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka
tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000
pada tahun 1996 (3.200 operasi).1
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003)
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun
terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan
penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.1
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan
kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.1
3.3 Indikasi tonsilektomi
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal oleh
masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara Guillotine (1828),
kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan berbagai penyakit saluran napas atas
semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi
yang umumnya berkisar pada jumlah penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak
atau relatif serta terakhir frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.1
Indikasi yang umum pada saat ini adalah :
(1) infeksi :
a. tonsilitis berulang, atau tonsilitis kronis
b. infeksi telinga tengah berulang
c. rhinitis dan sinusitis yang kronik
(2) sumbatan jalan napas atas :
a. hiperplasia tonsil
b. sleep apnea
c. gangguan menelan
d. gangguan berbicara
e. cor pulmonale
(3) abses peritonsil
(4) kecurigaan akan adanya keganasan.1
Gambar 3.3: tonsilektomi. Diunduh dari www.ghorayeb.com/TonsillectomyPic.html pada tanggal 30 juli 2009 pukul 20.12
Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan
frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam
setahun atau sakit tenggorokan 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut.
Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen
yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam
tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil
pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri,
tonsilitis kronik sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan
radang kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. 1
Pada tonsilitis kronik, kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga
menyebabkan tonsil berubah sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil sebagai fokal
infeksi bagi timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam rematik atau
glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat di jumpai pada tonsilitis
kronik adalah streptokokus beta hemo-litikus tipe A. Kuman ini menghasilkan streptolisin 0 yang dapat
merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0 (ASTO). 1
Bila kadarnya dalam darah cukup tinggi (lebih dari 400 u/ml), dapat menunjukkan adanya infeksi
fokal di tonsil. 1
Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas, mulai dari
mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya aliran udara melalui hidung
atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep apnea adalah apnea yang terjadi minimal 30 kali
selama 7 jam tidur. Di samping ukuran tonsil, luas orofaring terutama jarak kedua dinding lateral faring
cukup penting dalam menimbulkan sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi
pada pembesaran tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah
tonsilektomi. 1
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan
tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan
sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. 1
Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila dicurigai adanya keganasan seperti
pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi.1
Table 3.3 Indikasi tonsilektomi dari Berbagai Sumber
NO. SUMBER INDIKASI
1. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)14
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.2. Scottish Intercollegiate
Guidelines Network55
Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus memenuhi semua kriteria di bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis 5 atau lebih episode sore throat per tahun Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun. Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam
menjalani fungsi kehidupan normal 3. Evidence Based Medicine
Guidelines56
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler, septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40 tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi) Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep apnea,
kelainan oklusi gigiTonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang dengan pengobatan biasa.
4. INSALUD (National Institute of Health) Spanyol3
Indikasi absolut
Kanker tonsil Penyumbatan saluran nafas berat pada
rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2 tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
Abses peritonsilarTidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik Sinusitis akut atau kronik
Ketulian Infeksi saluran nafas atas atau bawah Penyakit sistemik
5. National Health & Medical Research Council, 1991 (Australia)3
Faringitis rekuren Faringitis kronik Obstruksi jalan nafas Dugaan neoplasma
6. Henry Ford Medical Group, 1995 (USA)3
Berdasarkan hasil literatur review:
Tonsilitis Hipertrofi tonsil Experience
7. Infectious Disease Society of America3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis streptokokus rekuren
8. American Academy of Pediatrics3 Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi
%20pada%20Anak%20dan%20Dewasa.do
3.4 KontraIndikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”.
Keadaan tersebut adalah: 1,4
a) Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
b) Infeksi sistemik atau kronis.
c) Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
d) Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
e) Rinits alergika.
f) Asma.
g) Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.
h) Tonus otot yang lemah.
i) Sinusitis.
j) Risiko anestesi yang besar atau atau penyakit yang berat.
k) Anemia.
l) Gangguan perdarahan.
m) Infeksi akut yang berat.
n) Radang akut tonsil.
o) Albuminuria.
p) Hipertensi.
q) Poliomielitis epidemic. 1
3.5 Persiapan praoperasi
3.5.1 Penilaian Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di tangan dokter
ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau dokter yang
bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis THT. 1
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi
kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani
operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak
dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter spesialis
anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi terhadap
pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter spesialis anak
maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter spesialis THT atau
anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau penyakit tertentu yang dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan
baik oleh dokter spesialis THT maupun spesialis anestesi. 1
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di rumah
sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family Physician).
Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari anamsesis,
rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan.
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan
kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi
tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan
yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga. 1
3.5.1.1 Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak dan pada orang
dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir
terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru dan
jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi 1
3.5.1.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-tanda
gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit berupa
kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien
ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi. Selain itu penting untuk
mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik. 1
3.5.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin prabedah elektif, maka
pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2. Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT 1
TABEL 3.5. PERSIAPAN PRABEDAH ELEKTIF
PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)
Jawaban Rekomendasi Jawaban Rekomendasi
Darah tepiYA
Pemeriksaan darah tepi
lengkap rutin (Hb, Ht,
leukosit, hitung jenis,
trombosit) dilakukan pada
anak usia<5 tahun, sedangkan
TIDAKPemeriksaan darah tepi
lengkap dilakukan pada pasien
dengan penyakit hati, riwayat
anemia, perdarahan dan
kelainan darah lainnya, serta
untuk anak usia ≥ 5 tahun
pemeriksaan darah tepi
dilakukan atas indikasi, yaitu
pasien yang diperkirakan
menderita anemia defisiensi,
pasien dengan penyakit
jantung, ginjal, saluran napas
atau infeksi .
tergantung tipe dan derajat
invasif prosedur operasi.
Kimia darahTIDAK
Pemeriksaan kimia darah
dilakukan bila terdapat risiko
kelainan ginjal, hati, endokrin,
terapi perioperatif, dan
pemakaian obat alternatif.
TIDAKPemeriksaan kimia darah rutin
hanya dilakukan pada pasien
usia lanjut, adanya kelainan
endokrin, kelainan fungsi
ginjal dan hati, pemakaian
obat tertentu atau
pengobatan alternatif.
HemostatisTIDAK
Pemeriksaan hemostasis
dilakukan pada pasien dengan
riwayat atau kondisi klinis
mengarah pada kelainan
koagulasi, akan menjalani
operasi yang dapat
TIDAKPemeriksaan hemostasis
dilakukan pada pasien yang
memiliki riwayat kelainan
koagulasi, atau riwayat
terbaru yang mengarah pada
kelainan koagulasi, atau
menimbulkan gangguan
koagulasi (seperti
cardiopulmonary by-pass),
ketika dibutuhkan hemostasis
yang adekuat (seperti
tonsilektomi), dan
kemungkinan perdarahan
pascabedah (seperti operasi
saraf).
sedang memakai obat
antikoagulan, pasien yang
memerlukan antikoagulan
pascabedah, pasien yang
memiliki kelainan hati dan
ginjal.
PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)
Jawaban Rekomendasi Jawaban Rekomendasi
UrinalisisTIDAK
Pemeriksaan urin rutin
dilakukan pada operasi yang
melibatkan manipulasi
saluran kemih dan pasien
dengan gejala infeksi saluran
kemih.
TIDAKPemeriksaan urin rutin
dilakukan pada operasi yang
melibatkan manipulasi saluran
kemih dan pasien dengan
gejala infeksi saluran kemih.
Foto toraksTIDAK
Pemeriksaan foto toraks rutin
prabedah tidak perlu
dilakukan.
TIDAKPemeriksaan foto toraks
dilakukan pada pasien usia di
atas 60 tahun, pasien dengan
tanda dan gejala penyakit
kardiopulmonal, infeksi
saluran napas akut, riwayat
merokok.
EKGTIDAK
Hanya dilakukan atas indikasiTIDAK
Pemeriksaan EKG dilakukan
pada pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, nyeri
dada, gagal jantung kongestif,
riwayat merokok, penyakit
vaskular perifer, dan obesitas,
yang tidak memiliki hasil EKG
dalam 1 tahun terakhir tanpa
memperhatikan usia. Selain
itu EKG juga dilakukan pada
pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau
tanda dan gejala penyakit
jantung tidak stabil (unstable),
dan semua pasien berusia usia
>40 tahun.
Fungsi ParuTIDAK
Hanya dilakukan atas indikasiTIDAK
Pemeriksaan spirometri
dilakukan pada pasien dengan
riwayat merokok atau dispnea
yang akan menjalani operasi
pintasan (bypass) koroner
atau abdomen bagian atas;
pasien dengan dispnea tanpa
sebab atau gejala paru yang
akan menjalani operasi leher
dan kepala, ortopedi, atau
abdomen bawah; semua
pasien yang akan menjalani
reseksi paru dan semua pasien
usia lanjut.
PuasaYA
Lihat tabel 2 YA
Lihat tabel 2
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi
%20pada%20Anak%20dan%20Dewasa.do
3.5.1.4 Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko dan komplikasi yang
potensial akan dialami pasien. 1
3.5.1.5 Persiapan praoperasi
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat pada tabel 2,
berdasarkan umur pasien. 1
Tabel 3.5. Jangka waktu puasa persiapan rutin prabedah elektif
Usia Jangka waktu puasa
Makanan padat Cairan jernih
Anak <6 bulan 4 jam 2 jam
6 –36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
Dewasa 8 jam 3 jam
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi
%20pada%20Anak%20dan%20Dewasa.do
3.5.2 Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian klinis
yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun
nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri dari: 1
3.5.2.1 Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui riwayat
kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama adanya infeksi
saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat dilakukan
pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang
mungkin akan dihadapi dokter anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa
terdapat kondisi-kondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam
medik. 1
3.5.2.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility intubasi,
evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien. Penilaian praanestesia dilakukan
sebelum pelaksanaan operasi. 1
3.5.2.3 Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang dilakukan atas dasar indikasi
tertentu. 1
3.6 Teknik operasi
Berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik
tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-masing
teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi dimana luka sembuh per
primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. 1
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.1
3.6.1 Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik
yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan
tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat
yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang
sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang
merupakan modifikasi alat Guillotin.
Di Indonesia, terutama di daerah tonsilektomi cara guillotine masih lazim dilakukan dibandingkan
cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil.1
Gambar 3.6 cara tonsilektomi
Diunduh dari http://healthy2life.blogspot.com/2008/07/tonsillectomy.html pada tanggal 30 juli 2009 pukul 19.15
3.6.2 Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang
secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder. Di negara-negara Barat, terutama sejak para
pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga
banyak digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk
tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah,
insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa
dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya
dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin. 1
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan mouth gag
pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya
sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal
terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara membuka
mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal
tetap di garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung
bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah
telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke
gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung untuk
menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan
pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak
terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat.
Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai operasi, harus dilakukan inspeksi
tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.1
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk
tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak
dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan
bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea
lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan
adenoidektomi.1
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi standar,
yaitu:
3.6.2.1 Electrosurgery (Bedah listrik)1
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah memicu
terjadinya ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan
perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas.
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk
menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik
berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya
gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam
jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik
2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway). 1
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar
dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai
tambahan pada prosedur operasi lain. 1
3.6.2.2 Radiofrekuensi1
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung
elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama
periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar
seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (40 0C-700C), mungkin
lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja
pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare
coblation system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang
seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat
menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain
yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.1
3.6.2.3 Skalpel harmonik1
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi
terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 150 0C-
4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah
(biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi
55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat
dari ujung pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan
tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.
Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi
protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi frekuensi
tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah lain, yaitu:
Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas
minimal karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan
charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel
harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada
stray energi (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau luka bakar.1
Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi.
Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa
mentoleransi kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor
VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.1
3.6.2.4 Coblation1
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised field tonsillar
ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.1
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi
(radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran
ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih
rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C). 1
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama dengan
teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama
adalah perdarahan. 1
3.6.2.5 Intracapsular partial tonsillectomy1
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan
mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini
dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.1
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot
faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini
akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang
menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan.
Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan
tonsilitis kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi
intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.1
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih rendah dibanding
tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan
teknik ini.
3.6.2.6 Laser (CO2-KTP)1
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote) untuk
menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan
‘recesses’ pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal.
Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia
pascaoperasi berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore
throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.1
3.7 Penyulit 1
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan tonsilektomi
maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:4
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi1
3.8 Komplikasi1
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal,
sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan
maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
( Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group )1
3.8.1 Komplikasi anestesi 1
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
(Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF,
Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB Saunders
Company 2001. 3rd ed.p.461-67.)1
Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah (1) baringkan pasien pada satu sisi
tanpa bantal, (2) ukur nadi dan tekanan darah secara teratur, (3) awasi adanya gerakan
menelan karena pasien mungkin menelan darah yang terkumpul di faring dan (4) napas yang
berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok.1
3.8.2 Komplikasi bedah
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah. 1
3.8.2.1 Perdarahan
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri.
Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Perdarahan merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan dapat
terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah
yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer
atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak
adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum
sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat
menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya
berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.
Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam,
kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri
karotis eksterna.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan
sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi,
hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada
fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang
keras. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer. 1
3.8.2.2 Nyeri1
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal,
inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter
menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah
bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan
terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak
dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.1
3.8.2.3 Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia1
3.9 Terapi pasca tonsilektomi 1
3.9.1 Perdarahan pascatonsilektomi
Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang tertelan.
Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu induksi anestesi
untuk re-operasi. Pengosongan lambung dengan menggunakan oro atau nasogastric tube diperlukan
sebelum anestesi.
Perkembangan baru adalah dengan menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai
pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT antara lain adalah: 1. Berkurangnya risiko
stridor postoperasi. 1
3.9.2 Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. 1
Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti:
Selama dalam anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan
meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan compliance
paru rendah.
Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil. LMA harus dilepaskan
sebelum pasien sadar kembali. Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga
dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan per
individu.1
3.9.3 Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit) 1
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri dengan
posisi kepala lebih rendah dan mendongak. Pasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang
pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas biaya dari
pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang
sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan
mengenai lama observasi optimum sebelum pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama
minimal 6 jam untuk mengawasi perihal tentang kemungkinan adanya perdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan:
1. dokter spesialis anestesi, perawat
2. dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim.
Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan
tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi.
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,
frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi
pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap
setengah jam.
Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan sistem
skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi:
Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons
Aktivitas atas perintah
2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernafasan
0= apneu
Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 >92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU 1
3.9.4 Perawatan post operasi 1
3.9.4.1 Diet 1
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif.
Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke
makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien berada
dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair
selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi
intake oral secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien
dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya
berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang
keputusan tersebut. 1
3.9.4.2 Medikamentosa1
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized oleh
Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien
yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif
terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat
streptokokus harus diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif
harus dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu
juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi
keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri. 1
Tabel 3.9. Dampak Tonsilitis Kronis Sebelum dan Sesudah Tonsilektomi1
Rata-rata (SD)
Pengukuran keparahan penyakit 12 bulan
sebelum
tonsilektomi
12 bulan sesudah
tonsilektomi
Mean net
change
Nilai P
Jumlah minggu mendapat antibiotic 6,9 (7,0) 0,6 (0,9) -7,8 <0,001
Jumlah kehilangan hari kerja 8,0 (11,,3) 0,5 (1,4) -6,3 <0,001
Jumlah kunjungan dokter 5,8 (5,9) 0,3 (0,8) -5,4 <0,001
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi
%20pada%20Anak%20dan%20Dewasa.do
BAB IV
KESIMPULAN
Tonsilektomi merupakan tindakan operasi tersering pada bidang THT. Tonsilektomi merupakan
tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa
tonsilaris. Tonsilektomi didiskripsikan pertama kali di India pada tahun 1000 SM. Pada tahun 30 SM, 2
Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama kali, menggunakan scalpel untuk eksisi tonsil,
namun pengangkatan ini belum dapat maksimal, karena belum semua jaringan berhasil diangkat.
Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsilektomi pada wanita 20 tahun yang mengeluh
hidung tersumbat dan pendengaran menurun. Crow (1917) melaporkan tonsilektomi pada 1000 pasien
dengan mouth gauge, yang sekarang dikenal sebagai Crowe-Davis mouth gauge.2
Tonsilektomi dapat dikerjakan dengan berbagai cara, berbagai modifikasi dan keuntungan serta
kerugian yang berbeda-beda, yang dapat digunakan sesuai denga pengalaman dokter dan penilaian
keuntungan dan kerugian masing-masing.
Tonsilektomi dapat dikerjakan dengan indikasi yang tepat sehingga didapatkan keuntungan
nyata, mengingat peranan tonsil sebagai bagian system pertahanan tubuh. Berdasar penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa tonsilektomi pada tonsilitis rekuren atau kronik, tonsilektomi
menurunkan angka kejadian sakit tenggorok, menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan
meminimalkan beban secara ekonomi pada penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan
pada tonsilitis kronik yang telah mengganggu fungsi normal seperti obstructive sleeps disorders dan
gangguan fungsi digesti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indikasi Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Diunduh dari:
http://74.125.153.132/search?q=cache:If3k7-2HsAgJ:www.yanmedik-depkes.net/hta/
Hasil%2520Kajian%2520HTA/2004/Tonsilektomi%2520pada%2520Anak%2520dan
%2520Dewasa.doc+tonsilektomi&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a. Pada
tanggal 28 Juli 2009 pukul 17.00
2. Kajian Manfaat Tonsilektomi dalam Cermin Dunia Kedokteran diunduh dari
www.kalbefarma.com.com/cdk tanggal 28 Juli 2009 pukul 17.15
3. Tonsilektomi diunduh dari
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/tonsilektomi.html. pada tanggal 28 Juli 2009
pukul 17.30
4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran
EGC.Jakarta. 1997
5. Tonsilektomi diunduh dari
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08Tonsilektomi89.pdf/08Tonsilektomi89.html pada tan-
gal 28 Juli 2009 pukul 18.00
6. Tonsilektomi diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian
%20HTA/2004/Tonsilektomi%20pada%20Anak%20dan%20Dewasa.do pada tangal 28
Juli 2009 pukul 18.00
7. Tonsilektomi diunduh dari http://www.bestsyndication.com/Articles/2006/dan_wilson/health/04/040306_adhd_sleep_apnea_tonsillectomy.htm&usg=__vdd6og1RIMuYlwRBq6Kef6uVd0w=&h=156&w=2
25&sz=5&hl=id&start=15&um=1&tbnid=IoWzfUEwRguXwM:&tbnh=75&tbnw=108&prev=/images%3Fq%3Dtonsillectomy%2Bpicture%26hl%3Did%26sa%3DX%26um%3D1 . Diunduh tanggal 28 Juli 2009 pukul 18.30
8. Tonsilektomi diunduh dari http://www.drpaulose.com/wp-content/uploads/2008/08/ts-ads.jpg pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 18.50
9. Tonsilektomi diunduh dari http://4engr.com/images/research/24b7150c3d0513331b2d9b689c55c1e0.jpg pada tang-gal 28 Juli 2009 pukul 19.00
10. Tonsilektomi diunduh dari http://www.auuuu.org/tonsils/&usg=__EtESIwQboAwXRDRXHfgoifxKBZU=&h=327&w=496&sz=48&hl=id&start=2&um=1&tbnid=bOimKdjlqo-5qM:&tbnh=86&tbnw=130&prev=/images%3Fq%3Dtonsillectomy%2Bpicture%26hl%3Did%26sa%3DX%26um%3D1 pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 19.20
11. Tonsilektomi diunduh dari (http://www.scribd.com/doc/7536822/Cdk-033-Masalah-
Anestesi, pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 19:45
top related