relasi agama dan pancasila menurut pemikiran k.h...
Post on 02-Nov-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H
WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI
INDONESIA SAAT INI
skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Aliza Aulia
NIM : 1113045000051
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Aliza Aulia. NIM 1113045000051. RELASI AGAMA DAN PANCASILA
MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA.
Program studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Studi ini menegaskan bagaimana hubungan Pancasila sebagai dasar ideologi
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Islam yang merupakan agama
mayoritas penduduk Indonesia. Pembahasan ini menjadi menarik, karena persoalan
Islam dan Pancasila telah menjadi perdebatan panjang sejak pertama kali perumusan
dasar Negara Indonesia sampai hari ini, termasuk pemikiran K.H Wahid Hasyim
tentang agama dan Pancasila.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni penulis berusaha
menggambarkan objek penelitian, yaitu pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi
agama dan Pancasila.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam menilai relasi agama dan
Pancasila, K.H Wahid Hasyim bisa dikategorikan seorang yang substansialis, yang
berpandangan relasi agama dan Pancasila sebagai hubungan yang simbiosis
mutualistik. Negara dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling
berhadapan secara konfrontatif. K.H Wahid Hasyim ini memiliki tipikal pemikir yang
substansialis, yang menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis
dalam kehidupan bernegara. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran politik yang
bercorak sunni klasik, sesuai dengan latar belakang dari kalangan pesantren.
Relevansinya terletak pada gagasannya untuk tetap mendahulukan kepentingan
bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
Kata Kunci : K.H Wahid Hasyim, relasi agama dan Pancasila, dan relevansi
Pembimbing : Dr. H. Rumadi, M,Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d 2017
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis kehadirat Ilahi Rabbi
yang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan kita sebagai pengikutnya.
Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah
khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam
menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul “RELASI
AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM
DAN RELEVANSINYA.”
Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun kelembagaan. Untuk itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankan penulis menghaturkan
ucapan terimkasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Thalabi, Kharlie, S.H., MA., M.H. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Hukum Tata Negara dan
Ibu Masyrofah, S.Ag., M.Si. selaku sekertaris jurusan Hukum Tata
Negara.
3. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag selaku pembimbing dalam penyelesaian
skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan
arahan serta meluangkan waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini
lebih terarah dan menjadi lebih baik.
vi
4. Afwan Faizin M.A Dosen Penasehat Akademik yang membimbing
selama masa perkuliahan saya.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis
sehingga penulis bisa dapat menyelesaikan studi di jurusan Hukum
Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini
berupa buku dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibuku tercinta serta kakakku tersayang dan semua
saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima
kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian.
8. Sahabat sahabatku yang menemaniku dari awal kuliah sampai
sekarang Bagus Priyanto, Masagus Ahmad Fahrobi, Imam
Syarifuddin, Ferdiansyah Ramadhan, Dudu Abdul Manan dan Bintang
Tri Fajar.
9. Sahabat-sahabat Hukum Tata Negara angkatan 2013. Terima kasih
atas persahabatanya dan kebersamaanya. Semoga kita bisa terus
menyambung tali silaturahmi.
10. Teman-teman Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta yang
sudah menyemangati dan selalu mengingatkan saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terutama teman teman satu kosan saya
Fadel Muhammad Anugerah, Abyan Perdana Putra, dan Audi
Ghafarrie.
11. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik
secara langsung maupun yang tidak langsung yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
vii
Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan
kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi
motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan doa semoga Allah yang Maha
Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi
limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat
akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skrispsi
ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.
Jakarta, 23 September 2019
Aliza Aulia
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................ 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 8
E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ................................................................. 9
F. Metode Penelitian .................................................................................... 10
G. Sistematika Penelitian .............................................................................. 14
BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. WAHID HASYIM
A. Biografi K.H Wahid Hasyim ................................................................... 15
B. K.H Wahid Hasyim dan Nahdlatul Ulama .............................................. 22
ix
C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama ......................................... 31
D. K.H Wahid Hasyim Dalam Pandangan Gus Dur dan Gus Solah Tentang
Negara ...................................................................................................... 39
BAB III SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM
PIAGAM JAKARTA
A. Sejarah Pancasila ..................................................................................... 43
B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante ................................................ 49
C. Nilai Kandungan Pancasila ...................................................................... 63
BAB IV PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM TENTANG AGAMA DAN
PANCASILA
A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim Tentang Hubungan Agama dan Pancasila
.................................................................................................................. 70
B. Relevansi Pemikiran K.H Wahid Hasyim Dengan Kondisi Indonesia Saat
Ini ............................................................................................................. 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 84
B. Saran-saran ............................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17
Agustus 1945 merupakan sebuah Negara yang lahir dari perjuangan. Melalui
proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh
Mohammad Hatta di Jakarta pada hari Jum’at dan bertepatan dengan tanggal
10 Ramadhan 1364 Hijriyah kala itu merupakan suatu anugerah yang luar
biasa bagi bangsa Indonesia.1 Proklamasi kemerdekaan yang disampaikan
tersebut maka mulai saat itulah terbentuknya sebuah negara yang terdiri dari
berbagai macam suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
Perdebatan tentang relasi agama dan negara terus menjadi wacana
yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah negara
menunjukan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan Negara.2
Maka dari itu pancasila menjadi dasar Negara agar bisa menjadi jembatan
disetiap permasalahan yang ada, karena didalam pancasila terdapat nilai-nilai
agama yang dapat menjadi acuan bagi setiap pemeluknya. Dalam beberapa
literatur, terdapat tiga paradigma yang cukup populer dalam wacana relasi
agama dan Negara.
Pertama, paradigma integralistik. Paradigma integralistik merupakan
paham dan konsep hubungan agama dan Negara yang menganggap keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua
lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma
1A.M Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang : CV. Triadan Jaya Offset
Semarang, 1995), h. 25
2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 76
2
ini melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan
kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip kenegaraan.3
Kedua, paradigma sekuleristik. Paradigma ini memisahkan agama dan
Negara secara diametral. Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum
positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan
atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman
Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma
agama. Sekalipun ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada
lazimnya Negara sekuler membebaskan warganya untuk memeluk agama
apapun yang mereka yakini dan Negara tidak mengintervensi dalam urusan
agama.
Ketiga, paradigma simbiotik. Paradigma menolak pendapat bahwa
Islam adalah suatu agama yang memiliki sistem kenegaraan. Namun, menolak
juga pengertian barat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya. Menurut konsep ini, hubungan agama dan Negara dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara membutuhkan agama, agama
juga membutuhkan Negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.
Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling
krusial adalah menyepakati dasar Negara. Hampir seluruh anggota BPUPKI
memilih bentuk republik. Namun, setelah melalui diskusi panjang tentang
dimana posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para pendiri bangsa itu
berhasil mencapai kesepakatan bahwa Negara Republik Indonesia bukanlah
sebuah Negara teokrasi, melainkan Negara yang di dalamnya Islam dan
kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat terhormat dan dilindungi
sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945.4
3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990), h. 1-3
4 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Polemik Negara Islam : Soekarno Versus Natsir, (Jakarta :
Teraju, 2002), h. vi-viii
3
Namun, kesepakatan ini tidak serta merta membuat umat Islam di
Indonesia mendapatkan haknya untuk menjalankan syari’at Islam secara
sempurna. Wacana menjadikan Indonesia Negara sekuler masih kental terasa.
Sepanjang abad ke-20, umat Islam Indonesia telah berhadapan dengan
tantangan serius dari begitu cepatnya arus modernisasi dan sekulerisasi yang
telah mengubah beberapa aspek fundamental dari sistem religio-politik
mereka. Disi lain, menguatnya pengaruh Islam dalam medan pendidikan dan
wacana publik dan terus munculnya partai-partai politik dan gerakan-gerakan
Muslim juga merupakan sebuah fakta. Dialektika antara sekulerisasi dan
Islamisasi terus berlanjut menjadi isu utama dari politik dan masyarakat
Indonesia. 5
Dalam hal ini, salah satu aktivis liberal Indonesia menjelaskan bahwa
“negara harus netral agama” maka dari itu perlu ide sekulerisme, liberalisme
dan pluralism mesti berkembang di Indonesia, dia mengatakan:
“Demokrasi tidak akan mampu berdiri tanpa disangga dengan
sekulerisme…Demokrasi hanya bisa dikembangkan kalau
masyarakatnya liberal…liberalisme adalah strategi paling jitu untuk
menghadapi absolutisme dan totalitarianisme agama. Liberalismelah
yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan agama.”6
Disi lain, upaya penerapan syari’ah terus berkembang. Partai politik
yang berideologi Islam mulai banyak memainkan peran dalam pemerintahan.
Menambah keuinikan problematika kehidupan berislam dan bernegara di
Indonesia. Umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Berislam dengan
menjalankan Islam secara kaffah, meskipun sering kali bersebrangan dengan
5 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, (Jakarta : Democracy Project, 2012), h. 728
6
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, h. viii
4
pemerintah. Atau, bernegara yang baik dengan mengikuti peraturan
pemerintah, meskipun sering bersebrangan dengan agama Islam.
Abad kedua puluh merupakan masa kegemilangan bagi terbentuknya
sejarah bangsa Indonesia. Berbeda dari masa perlawanan di abad sebelumnya,
pada awal abad kedua puluh bentuk dan strategi gerakan perlawanan terhadap
kolonialisme sudah lebih terorganisir secara efektif. Banyak para tokoh
menggalakan perserikatan dalam bentuk organisasi untuk memperteguh
pemahaman tentang kemerdekaan. Muncul kemudian organisasi kelembagaan
yang utuh mengkampanyekan ide Keindonesiaan dengan berbagai strateginya
sesuai dengan dasar ideologi organisasi.7
Pada tahun 1926 di Surabaya berdiri organisasi yang dimotori oleh
para kiai dari kalangan pesantren tradisional di bawah kepemimpinan (Rais
Akbar) Hadhratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.8
Organisasi sosial-
keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) tersebut didirikan untuk
merespon atas diabaikannya pendapat para kiai tradisionalis, yang berbeda di
kampung-kampung atau desa-desa yang masih mempertahankan sistem
pengajaran dan tradisi yang dianggap konservatif.9
Meskipun demikian, selama empat dasawarsa terakhir, Nahdlatul
Ulama menjadi organisasi yang menarik akademisi untuk melakukan
penelitian, baik dalam maupun luar negeri. Keunikan tersebut secara
akademisi terletak pada banyak faktor, terutama tipologi tokoh yang ada di
dalamnya. Dari sekian banyak tokoh NU yang memunculkan gerakan, K.H
Abdul Wahid bin Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang
7 David McLellan, ideologi Tanpa Akhir, alih bahasa Muhammad Syukri, cet. Ke-1
(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005), h. 135
8 Zamarkhasyi Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai),
cet, -4 (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 76
9Lihat Martin Van Bruinessen, NU (Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana
Baru), alih bahasa Farid Wajidi, cet -1 (Yogyakarta : LkiS, 1994), h. 18
5
menempati posisi paling signifikan dalam sejarah organisasi. Ia menunjukan
ide metode berpikir sebagai seorang cendikia-negarawan santri dalam
memandang ragam dinamika guna mencapai keadilan bersama.10
Dalam perjalanan hidupnya, Wahid Hasyim banyak memangku
jabatan penting di Republik Indonesia di antaranya jabatan penting itu adalah
menjadi Panitia Pembentukan Dasar Negara Indonesia. Dalam forum ini Kiai
Wahid Hasyim mampu membuktikan dirinya sebagai seorang tokoh yang
mampu menengahi ketegangan di antara para tokoh bangsa yang berdebat
mengenai dasar Negara tersebut, bahkan mampu memberikan solusi terbaik
bagi bangsa ini dengan merumuskan Pancasila yang sekarang menjadi idelogi
Bangsa Indonesia.
Dalam lembaran sejarah, merumuskan sebuah dasar Negara bukanlah
perkara yang mudah. Penyebabnya, karena corak pemikiran para perumus
pada waktu itu bermacam-macam. Sekurang-kurangnya Munawar Ahmad
menyebut ada lima macam corak pemikiran pada waktu itu, antara lain:
Nasionalisme Radikal yang digagas oleh Soekarno dan aktivis PNI,
Tradisionalisme Jawa seperti Supomo, Islam diwakili Muhammad Natsir, dan
Komunisme diwakili Aidit.11
Corak pemikiran yang bermacam-macam ini
pula yang menjadi penyebab ketika Ketua BPUPKI Dr. Radjiman
mengeluarkan sebuah pertanyaan tentang landasan filosofis yang akan
digunakan Negara Republik Indonesia, pertanyaan tersebut menyulut benih-
benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan digunakan
10 Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, alih bahasa Kamdani dan Imam Baehaqi,
cet. ke-4 (Yogyakarta : INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2009), h. 142
11
Munawar Ahmad, Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan
Penerapan Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi, (Yogyakarta : Gava
Media, 2007), h. 21
6
sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara Indonesia begitu terlihat
memanas di antara tokoh bangsa di bandingkan diskusi-diskusi lain.12
Perdebatan berlangsung tatkala para Founding Father yang tergabung
dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) membahas bentuk Negara pemerintahan. Dari 62 anggota
BPUPKI, terbagi dua arus besar; golongan nasionalis sekuler serta nasionalis
Islami. Namun, dari jumlah itu, hanya 25% saja yang dianggap mewakili
kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalis sekuler yang
dalam hal ini tidak mau membawa agama dalam masalah kenegaraan.
Sehingga tampaknya dukungan pemerintah pendudukan Jepang kepada Islam
tak dapat lagi diharapkan.13
Lewat debat yang begitu panjang akhirnya tercapai sebuah
kesepakatan berupa pembukaan Undang-Undang yang ditanda tangani di
Jakarta 22 Juni 1945. Bahkan hal itu diikuti pula kesepakatan batang tubuh
rancangan UUD. Nasionalis Islam memberikan konsekuensi kepada
nasionalis sekuler bahwa mereka sepakat Islam tidak dijadikan dasar Negara.
Dan sebaliknya nasionalis sekuler juga sepakat sila ketuhanan ditaruh pada
urutan pertama pancasila, dan presiden Indonesia beragama Islam. Tetapi,
meski susah payah merumuskan dan menghasilkan sebuah kesepakatan,
akhirnya terjadi perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah
proklamasi kemerdekaan. Alasannya, untuk mencegah masyarakat Kristen di
Indonesia Timur memisahkan diri dari NKRI begitu tutur Hatta yang menjadi
aktor dibalik perubahan yang di dukung Ir.soekarno. Perubahan tersebut
12 BPUPKI meupakan kepanjangan dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28 Mei sampai tanggal 1 Juni
yang di ketuai Dr. Radjiman, Lihat Listoyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta
: Ar-Ruzz, 2004), h. 22
13
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia1945-1859 (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 26
7
menyangkut kalimat “Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, dan pasal 6 ayat 1 “Presiden Adalah Orang Indonesia Asli
dan beragama Islam” kemudian kata “Yang Beragama Islam” di cabut.14
Melihat kondisi yang demikian, Wahid Hasyim yang awalnya
menyatakan Islam harus dipakai sebagai idelogi Negara dan ide kata
“Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam Bagi Pemeluknya” pada akhirnya bersikap lunak dan menyetujui
perubahan tersebut. Wahid Hasyim menyatakan bahwa sikap politiknya
tersebut merupakan sikap moderatnya dari agama-agama besar di Indonesia
dan sebuah upaya untuk mengakomodir berbagai rakyat untuk menjalankan
agamanya. Selain dari pada itu, menurutnya, persatuan dan kesatuan jauh
lebih penting dari pada mempentingkan kelompok saja.15
Pemikiran Wahid Hasyim dalam memandang perubahan Pancasila
tersebut sangat menarik jika dikaitkan dengan konsep kewargaan. Menurut
As’ad Said Ali misalnya, pilihan kiai Wahid Hasyim sebagaimana
dikemukakan Ibn Khaldun, Allah membolehkan kita mendirikan Negara
berdasarkan nalar (siyasah aqliyah) bukan berdasarkan (siyasah Diniyah)
karena syariat membolehkan ditinjau untuk kesejahteraan umum.16
Dari latar belakang tersebut, skripsi ini memfokuskan pada “Relasi
Agama dan Pancasila Menurut Pemikiran KH Wahid Hasyim dan
Relevansinya”.
14 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Penerbit
Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 56
15
Ahmad Mansyur Surya Negara, Api Sejarah 2 (Bandung : Salamadani Pustaka
Semesta, 2010), h. 124
16
As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, (Jakarta : LP2ES,
2009) , h. 19
8
B. Idenifikasi Masalah
1. Peran agama dalam pancasila
2. Hubungan agama dengan pancasila khususnya di Indonesia
3. Konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam menjelaskan hubungan
agama dan pancasila
4. Pola pikir K.H Wahid Hasyim yang melatari gagasan keislaman dan
kenegaraan dan kaitannya dengan kondisi saat ini
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini agar pembahasannya tidak melebar dan
mempermudah pembahasannya, maka penulis membatasi pembahasan pada
permasalahan relasi agama dan pancasila menurut K.H Wahid Hasyim dan
kaitannya dengan kondisi saat ini.
2. Perumusan Masalah
Setelah melihat dari identifikasi dan pembatasan masalah, maka
penulis dapat mengambil pokok-pokok pembahasan yang menjadi perumusan
permasalahan dalam tulisan ini, diantara rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam
menjelaskan hubungan agama dan pancasila?
b. Bagaimana relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan
kondisi Indonesia saat ini?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkesesuaian dengan rumusan penelitian diatas, maka penulisan
skripsi ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
9
1. mendapat gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dan
membentuk pandangan keislaman dan kenegaraan K.H Wahid
Hasyim.
2. Mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pemikiran
K.H Wahid Hasyim dalam gagasan keislaman dan kenegaraan.
Sedangkan manfaat kegunaan penulisan skripsi ini adalah, untuk
memberikan sumbangsih terhadap khazanah keilmuan tentang pemikiran
tokoh Republik Indonesia yang berperan penting dalam merumuskan dasar
haluan ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, skripsi ini didedikasikan sebagai
wujud peran partisipasi aktif dalam mengembangkan keilmuan dalam
penyusun bidang tata Negara.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Kajian akademik mengenai pemikiran seorang tokoh utama K.H
Wahid Hasyim mengenai relasi agama terhadap pancasila yang dalam
kaitannya dengan saat ini amatlah jarang, sebab tokoh yang satu ini memang
oleh para akademisi digolongkan sebagai pemikir pendidikan dari pada
negarawan dan pemikir politik. Untuk sampai kepada penelitian ini amat
jarang penulis yang mengkaji secara fokus dan mendalam tentang pemikiran
K.H Wahid Hasyim, khususnya mengenai pemikirannya mengenai relasi
agama terhadap pancasila yang dalam kaitannya saat ini. Untuk itulah penulis
berkeinginan menelitinya.
Untuk menguji kemurnian penelitian ini, perlu dilakukan telaah kajian
terdahulu untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diangkat
sebelumnya, oleh karena itu penulis berupaya mengkaji beberapa karya ilmiah
yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut adalah beberapa karya ilmiah
yang berkaitan dengan judul yang akan diangkat oleh penulis :
Skripsi Ahmad Danuji, NIM 08370056, Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, jurusan Jinayah Siyasah, dengan
judul “Pemikiran Wahid Hasyim Tentang Islam dan Kewargaan”. Dalam
10
skripsi ini Danuji mengulas tentang pemikiran politik kewargaan dari K.H
Wahid Hasyim yang dimana nilai-nilai yang nyata diperjuangkan oleh Wahid
Hasyim seperti kemanusian dan hak perlindungan atas hak warga Negara
sebagai ruh daripada hal-hal yang bersifat formal.
Skripsi Ahmad Nadirin, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas
Sunan Kalijaga dengan judul “Kiprah Politik K.H Wahid Hasyim (1938-
1953)” K.H Wahid Hasyim di terangkan pada skripsi ini sebagai seorang
pemimpin politik yang segala gerakannya merupakan akibat dari
pengembangan dua tradisi : pesantren yang sudah mapan dan Indonesia
modern yang diupayakan. Nadiri menggambarkan bahwa K.H Wahid Hasyim
tampak menonjol dalam kepemimpinan politik sebagai negarawan yang
organisatoris, orator, kritikus dan pencetak kader handal.
Tulisan Dr Adian Husaini yang berjudul “Pancasila bukan untuk
menindas Hak Konstitusi Umat Islam”. Dalam buku ini, Dr Adian Husaini
hanya menjelaskan bahwa pancasila sering kali dijadikan tameng oleh orang-
orang nonmuslim untuk membungkam aspirasi umat Islam ketika berbicara
peraturan yang berbau syari’ah. Di satu sisi buku ini juga membahas tentang
situasi pada masa perdebatan-perdebatan yang menyertainya.
Dari berbagai literatur yang sudah penulis sebutkan di atas, penulis
belum menemukan literatur yang secara khusus meneliti pemikiran K.H
Wahid Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dan kaitannya dengan
saat ini. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti pemikiran K.H Wahid
Hasyim guna mengungkap pemikirannya secara fokus. Penelitian inilah yang
sesungguhnya membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
sudah disebutkan diatas.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada
metode deskripsi analitik. Deskripsi analitik. Deskripsi analitik memiliki dua
11
unsur paling mendasar. Pertama, menggunakan konsep-konsep, proposisi-
proposisi dan generalisasi empiris dari suatu teori ilmiah. Kedua,
menggunakan koleksi, klasifikasi dan fakta secara sistematis. Ketiga,
menghasilkan generalisasi empiris yang baru berdasarkan data tersebut.
metode deskripsi analitik dianggap sebagai alternatif yang memiliki efisiensi
dan kekuatan aplikasi dan modifikasi teori.17
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan
(library research), yakni penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai
sumber data utama.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu suatu penyelidikan yang
menuturkan dan menafsirkan dari data-data yang ada menjadi suatu rumusan
yang sistematis dan analisis
3. Objek Penelitian
Objek material dalam penelitian ini adalah pemikiran K.H Wahid
Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dalam kaitannya saat ini.
4. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan kepustakaan Primer dan
Kepustakaan Sekunder. Kepustakaan Primer adalah karya-karya yang ditulis
langsung oleh K.H Wahid Hasyim. Dalam hal ini, penulis menetapkan
kepustakaan Primer pada esai karya Wahid Hasyim, yang terhimpun dalam
buku “Sejarah Hidup K.H Wahid Hasyim”.
Sementara kepustakaan Sekunder adalah data-data pendukung yang
berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti, berupa buku, ensiklopedia,
kamus, majalah, jurnal, dan lain sebagainya
17 Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya}, cet, ke-7, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173
12
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu
dengan mengumpulkan data Primer yang diambil dari buku-buku secara
langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data
Sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan
diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah
diseleksi agar sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan pada analisis isi,
kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif.
6. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa sesuai dengan data yang di
dapat. Sedangkan dalam skripsi ini, penulis menggunakan analisis data
Kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan berpangkal pada data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan alur pola, menemukan sesuatu yang penting dan dapat dipelajari
untuk dapat disuguhkan kepada orang lain.
Oleh karenannya, digunakanlah nalar metode analisis data dalam
skripsi ini, yakni:
a. Deduksi
Yaitu suatu metode penalaran yang berangkat dari data yang
umum ke data yang khusus. Penulis akan menggunakan nalar ini untuk
mendapat gambaran mengenai relasi agama terhadap pancasila menurut
pemikiran K.H Wahid Hasyim dalam kaitannya dengan saat ini. Metode
penalaran deduksi ini akan digunakan dalam hal deskriptif.
b. Induksi
Yaitu metode penalaran yang berpangkal dari data khusus untuk
kemudia diformulasikan dalam suatu kesimpulan yang bersifat umum.
13
Penulis akan menggunakan nalar ini guna mencari relasi pengatahuan
Wahid Hasyim dengan berbagai diskursus.
Untuk memantapkan jalannya penelitian ini, penyusun melakukan
beberapa tahapan, yaitu:
a. Heuristik dan Kritik Sumber, yaitu langkah pelacakan sumber
data baik primer maupun sekunder, kemudian menyeleksi
dengan melakukan kritik ekstern terhadap data yang didapat.
Kuntowijoyo mengatakan, keabsahan suatu penelitian
tergantung pada kemampuan menelistik data.18
Heuristika juga
memuat didalamnya usaha menemukan pemahaman baru pada
tokoh
b. Holistika dan Deskripsi, yaitu langkah penulis untuk melihat
keseluruhan konsepsi pemikiran tokoh, kemudian menguraikan
secara teratur seluruh konsepsi tersebut.
c. Interpretasi dan Refleksi Pribadi, yaitu langkah memberikan
penafsiran terhadap kondisi tekstual data dengan konteks yang
terjadi. Mudahnya, langkah interpretasi menjembatani pesan
yang secara eksplisit dan implicit termuat dalam realitas.
Guna menambah fokus dan holistiknya penelitian ini, maka
pendekatan kesejarahan digunakan sebagai pendekatan utama. Kemudian dari
data sejarah yang berkaitan dengan relasi agama terhadap Negara itu akan
diinterpretasikan untuk di jadikan bahan acuan dalam mendapatkan inti
pemikiran Wahid Hasyim sesuai dengan salah satu pendekatan yang lain
dalam skripsi ini.
18 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, cet, ke-1, (Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya, 1995), h. 94-102
14
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing
sub-bab tersebut menjelaskan masing-masing pembahasannya terdiri dari
suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya
sehingga penulisan ini terarah dan sistematis dalam satu kesatuan yang utuh.
Adapun sistematika penulisan tersebut sebagai berikut :
Bab I menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan suatu
pengantar umum pada tulisan berikutnya, meliputi: latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II mengulas tentang biografi K.H Wahid Hasyim dan faktor
determinan dari kondisi sosial dan politik identitas diri K.H Wahid Hasyim.
Bab III membahas relasi agama terhadap pancasila. Dalam bab ini
penyusun menerangkan bagaimana konsep relasi agama dan pancasila secara
umum
Bab IV menjelaskan pola pikir K.H Wahid Hasyim tentang relasi
agama terhadap pancasila yang berkaitan dengan kondisi saat ini. Dalam bab
inipula akan di bahas mengenai argumentasi pemikiran Wahid Hasyim.
Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran.
15
BAB II
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H WAHID HASYIM
A. Biografi K.H Abdul Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 di Jombang Jawa
Timur. Dia adalah putra Kyai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama
(NU).1 Dari pasangan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqoh binti
Kyai Ilyas Madiun.
Wahid Hasyim adalah anak kelima K.H Hasyim Asy’ari dan Nafiqah,
dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya
adalah Abdul wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis
namanya dengan A.Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya,
sehingga menjadi A.Wahid Hasyim. Dan kemudian, dia lebih dikenal dengan
Wahid Hasyim,2 tapi biasanya Nyai Nafiqah selalu memanggil Abdul Wahid
kecil dengan sebutan “Mudin”.3
Kembali membahas masa kecil Wahid Hasyim, ketika ia masih berada
dalam kandungan, Nyai Nafiqah selalu merasa badannya lemas dan sakit-
sakitan, seolah tidak kuat menahan kehamilan. Suatu saat, sambil berdoa agar
diberikan kesehatan untuk dirinya dan anak yang dikandung, ia bernazar.
Bila nanti anak ini lahir dalam keadaan sehat walafiat, ia akan
membawanya mengahadap guru ayahnya di Bangkalan, Madura, yaitu K.H
Kholil.
1 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan
Pejuang Kemerdekaan, (Jombang : Pesantren Tebuireng, 2011), h. 7
2 Azyumardi Azra (ed), Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta:
PPIM, 1998), h.99
3 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, (Bandung:
Marja, 2017), h. 25
16
Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga masyhur, perintis
pesantren Jawa. Ayahnya, K.H Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul
Ulama dan pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya
putri K.H Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti
umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan
antara-anak Kyai atau anak Kyai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari
pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari
pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja
pertama kesultanan Pajang (1549-1582) keduanya bermuara di sultan Demak
Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.4
Jelas sekali asal
usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan
priyai.
Sejak kecil, Wahid Hasyim dikenal sangat cerdas. Ia pendiam tapi
ramah dan pandai mengambil hati orang. Ia gemar menolong kawan, suka
bergaul dengan banyak orang tanpa membeda-bedakan agama, pangkat, atau
tingkat kekayaan. Ia juga senang berkorban untuk kawan, tapi juga gampang
tersinggung. Bahkan sejak kecil hingga remaja Wahid Hasyim dikenal
pemarah. Sifat ini lenyap ketika ia beranjak dewasa. Hilangnya sifat pemarah
itu, menurut penuturan Wahid Hasyim sendiri, terjadi sesudah ia
membiasakan diri untuk berpuasa sunnah selama bertahun-tahun.
Dikalangan kaum santri istilah orang yang gemar berpuasa adalah
“ahli tirakat”, menurut K.H M. Syatari, pemimpin pesantren Arjawinangun,
Cirebon, biasanya puasa sunnah ini memang sudah diajarkan sejak kecil oleh
ayahnya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.5 Pada umur lima tahun, Wahid
Hasyim belajar Al-Quran pada ayahnya sehabis shalat Maghrib dan Dzuhur.
Paginya ia belajar di Madrasah Salafiyah di Tebuireng. Ia sudah khatam Al-
4 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta : KPG-
Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h.34
5 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.29
17
Quran ketika masih berusia tujuh tahun. Ia kemudia belajar kitab Fathul
Qarib, Minhajul Qawin, dan, Mutammimah. Pada usia 12 tahun , setelah
tamat di Madrasah, ia membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak
seusianya.6
Wahid Hasyim tidak pernah mengeyam pendidikan di bangku sekolah
pemerintahan Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Salah
satu mata pelajaran yang paling disukai Wahid Hasyim adalah kesusastraan.
Tak mengherankan jika ia banyak hafal bait syair tersebut, selain menguasai
maknannya dengan baik. Pada umur 13 tahun, ia dikirim ke Pondok Siwalan
Panji-Pesantren tua di Sidoarjo, Jawa Timur, milik kyai Hasyim, bekas mertua
ayahnya. Gurunya kyai Hasyim sendiri dan kyai Khozin Panji. Namun di
pondok ini Wahid Hasyim hanya bertahan 25 hari. Dari Sriwalan, Wahid
Hasyim pindah ke pondok pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia mondok
dalam waktu yang sangat singkat, hanya tiga hari. Dengan berpindah-pindah
pondok dan nyantri dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan
Wahid Hasyim hanyalah berkah dari sang guru.
Sepulang dari Lirboyo, Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di
pesantren lain. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumah. Selama ia di rumah,
tekad akan semangat untuk belajar tak pernah padam. Meskipun tidak
bersekolah di lembaga pendidikan umum, pada usia 15 tahun ia sudah
menguasai bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Ketiga bahasa itu dipelajarinya
dengan membaca majalah dari dalam dan luar negeri.7
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, Wahid Hasyim
pergi ke Mekah. Kepergian Wahid Hasyim ke Tanah Suci, disamping
menunaikan ibadah haji, juga memperdalam ilmu agama. Dia berangkat ke
Mekah ditemani saudara sepupunya, Muhammad Ilyas. Muhammad Ilyas
6 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 28
7 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.30
18
dikenal fasih berbahasa Arab dan dialah yang mengajari Wahid Hasyim
bahasa Arab. Di Tanah Suci, Wahid Hasyim belajar selama dua tahun. Meski
tidak membawa satu gelar akademik, ilmu pengetahuan yang diperoleh Wahid
Hasyim selama di Mekah sangat banyak.
Pada akhir 1933, saat usianya 19 tahun, Wahid Hasyim pulang dari
Mekah. Sebagai putra pesantren yang tulen, Wahid Hasyim ingin melakukan
banyak hal untuk kemajuan pesantren. Ia ingin memperbarui sistem, materi
pelajaran, mental, serta metodologi pembelajaran. Atas dasar pemikiran itu,
pada 1935, saat berusia 21 tahun, Wahid Hasyim di Tebuireng membuka
madrasah modern yang dinamai Madrasah Nizamiyah. Materi pelajaran yang
diberikan adalah ramuan Wahid Hasyim sendiri, yang belum pernah dikenal
di dunia pesantren.
Meski tak pernah berencana untuk segera menikah, kalau takdir sudah
berbicara tak ada yang mampu mengelak. Di tengah kesibukan Wahid
Hasyim, ada celah bagi dia untuk bertemu dengan sang belahan jiwa. Gadis
itu tidak cantik, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Wahid Hasyim
terkesan. Setelah mengetahui gadis itu adalah putri K.H Bisri Syansuri,
keesokan harinya, ia menemui kyai Bisri dan melamar Solichah. Dengan
senang hati kyai Bisri menerima lamaran tersebut dan tahun itu pula Wahid
Hasyim menikahi Solichah. Waktu itu Solichah baru berusia 15 tahun,
sementara Wahid Hasyim 25 tahun.8
Pernikahan Wahid Hasyim dengan
Solichah dikaruniai enam orang anak diantaranya Abdurrahman ad-Dakhil
(Gus Dur), Aisyah, Sholahuddin Al-Ayubi, Umar Wahid, Khadijah dan
Hasyim Wahid.9
Sesudah perkawinan berlangsung, kedua mempelai itu hanya tinggal
10 hari di Denanyar, lalu tahun itu juga pindah ke Tebuireng dan menetap
8 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 35-40
9 Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, (Jawa Timur:
Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015), h. 193
19
disana sampai tahun 1942 dalam masa pendudukan Jepang. Tidak berapa lama
sesudah Jepang mendarat, Tebuireng dibubarkan dan K.H Hasyim Asy’ari
ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya. Sesudah pembubaran Tebuireng dan
penangkapan K.H Hasyim Asy’ari, ibu Wahid Hasyim dengan anak-anaknya
pindah ke Denanyar dan Wahid Hasyim sendiri tergesa berangkat ke Jakarta
untuk mencari hubungan dengan pembesar Jepang di Jakarta guna
membebaskan kembali ayahnya.10
Di antara orang-orang yang melaksanakan urusan agama, yang
dipimpin oleh Kol. Horie, terdapat orang-orang Jepang-Islam, dan seorang
diantaranya ialah Hamid Ono, yang sudah dikenal Wahid Hasyim di dalam
masa Belanda. Dibantu Hamid Ono ini Wahid Hasyim memperjuangkan
pembebasan ayahnya melalui pembesar-pembesar dan instansi-instansi yang
penting, dan sesudah melalui banyak kesukaran akhirnya berhasilah
pembebasan itu pada tanggal 18 Agustus dan K.H Hasyim Asy’ari
dikeluarkan dari penjara dengan selamat.
Keadaan sudah berubah dan Tebuireng boleh dibuka kembali. Ibu
Wahid dengan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng sampai akhir tahun
1943. Oleh karena itu Wahid Hasyim ditahan di Jakarta untuk melakukan
beberapa pekerjaan, baik yang berhubungan dengan pemerintah atau yang
berhubungan dengan pergerakan, pada akhir tahun 1944 keluarganya
dipindahkan ke Jakarta dan tinggal ketika itu di jalan Showadori, sekarang
Diponegoro 42 Jakarta. Ketika itu Wahid Hasyim menjabat sebagai penasihat
pada kantor Urusan Agama Jepang, yang dinamakan Shumubu, sebagai suatu
Pemerintahan Balatentara Jepang, Gunseinkanbu. Ia bekerja bersama K.H
Abdul Kahar Muzakkir, yang menjadi kepala kantor tersebut, dan penasihat
tertingginya ialah K.H Hasyim Asy’ari.
10 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka
Tebuireng, 2015), h.177
20
Di zaman penjajahan bala tentara Jepang, sungguh beliau memberikan
rangkaian contoh kebijaksanaan dan keuletan bersilat politik untuk menentang
paksaan kehendak Jepang itu secara elegan untuk mempergunakan agama dan
pemuka-pemuka Islam bagi kepentingan penjajahan Jepang. Dimasa-masa
kritik itu ketika paksaan kehendak Jepang menjadi mutlak, beliau pun tidak
segan untuk mempertahankan seluruh iman dan jiwanya untuk menentang
paksaan kehendak Jepang itu. Dimasa itu pun beliau mengucapkan kata-kata
supaya hendaknya dalam menentang dan membenci penjajahan Jepang
masyarakat dan bangsa Indonesia jangan sampai bersifat seperti kambing
yang mempersoalkan macam jenis tali yang mengikat leher kambing itu.
Masalahnya bagaimana menghancurkan tali pengikat leher itu hingga kita
bebas merdeka. Sebabnya bahwa masyarakat pada waktu itu masih
membandingkan masa penjajahan Jepang dan masa penjajahan Belanda,
sehingga akibatnya masyarakat ada yang memilih keadaan masa penjajahan
Jepang dan penjajahan Belanda.11
Sering kali kita sering terkejut mendengar berita tentang meninggalnya
seseorang. Betapa tidak terkejutnya kita bahwa yang meninggal tersebut
adalah orang yang semalam baru saja bertemu di rumahnya yang ia masih
sehat walafiat, segar bugar dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan
meninggalkan dunia ini. Begitulah pula kita dikejutkan oleh suatu berita radio,
pada hari minggu 19 April 1953 yang merupakan hari berkabung bagi bangsa
Indonesia. Dikabarkan dalam berita radio tersebut bahwasannya K.H Wahid
Hasyim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan
di antara Cimahi dan Bandung. Ketika itu almarhum bermaksud pergi ke
Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Ia naik mobil Chevrolet miliknya
dengan ditemani seorang supir dari Harian Pemandangan; Argo Sutjipto,
bagian tata usaha majalah Gema Muslim dan Abdurahman ad- Dakhil (Gus
11 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 293
21
Dur) putra sulungnya duduk didepan bersama supir, sementara Wahid Hasyim
dan Argo Sutjipto duduk di jok belakang.
Ketika itu daerah sekitar Cimahi-Bandung diguyur hujan sehingga
jalanan menjadi licin. Sekitar pukul 13:00, ketika memasuki Cimindi, mobil
yang ditumpangi Wahid Hasyim itu selip dan supir tidak bisa menguasai
kendaraan.12
Di belakang mobil Chevrolet itu banyak iring-iringan mobil.
Dari arah depan, truk yang sedang melaju terpaksa berhenti begitu melihat ada
mobil tergelincir dari arah berlawanan. Supir Chevrolet berusaha mengerem
mobil yang melaju cukup kencang. Karena kondisi jalan pada saat itu sangan
licin, mobil bukannya berhenti, tapi malah memutar hingga bagian
belakangnya membentur badan truk dengan keras. Wahid Hasyim dan Argo
Sutjipto yang duduk di jok belakang terlempar ke bawah truk yang sudah
berhenti. Keduanya luka parah, Wahid Hasyim terluka dibagian kening, mata,
pipi dan leher. Sedangkan sang supir dan Abdurahman yang duduk di jok
depan tidak cedera sedikit pun.
Lokasi kecelakaan itu agak jauh dari kota, sehingga usaha untuk
pertolongan datang terlambat. Baru pukul 16:00 datang mobil ambulans untuk
membawa korban kerumah sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami
kecelakaan, kedua korban tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian,
tepatnya pukul 18:00 Argo Sutjipto meninggal dunia. Keesokan harinya,
Ahad 19 April 1953 pukul 10:30, Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah
SWT pada usia 39 tahun.
Itulah rupanya akhir perjuangan singkat sang pemimpin. Dalam
usianya yang begitu pendek, Wahid Hasyim membawa perjuangan dan darma
bakti bagi bangsa yang begitu panjang, dan akan terus dikenang dengan begitu
indah. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 206
Tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964, K.H Wahid Hasyim ditetapkan
12 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 324
22
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional mengingat jasa-jasanya yang luar
biasa sebagai pemimpi Indonesia.13
B. K.H Wahid Hasyim dan Nahdlatul Ulama
Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang yang
sangat dinamis yang pernah belajar di Mekah, yaitu K.H Abdul Wahab
Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan kiai dari
Jombang Jawa Timur yang sangat disegani yaitu K.H Hasyim Asy’ari ayah
dari Wahid Hasyim. K.H Hasyim Asy’ari diumpamakan sebagai orang yang
membentuk isi Nahdlatul Ulama, salah seorang yang mewujudkan gerakan itu
menjadi organisasi ialah K.H Abdul Wahab Hasbullah yang juga sebagai ipar
dari Kiai Hasyim Asy’ari. Dengan didukung oleh para kiai dan ulama, Kiai
Wahab pun juga aktif didalam Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para
saudagar muslim yang didirikan di Surakarta 1912, dan pada tahun 1916 Kiai
Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan yang
berpusat di Surabaya yang pengasuhnya adalah K.H Wahab Hasbullah dan
K.H Mas Mansyur.
Diantara sekian banyak ormas, pada mulanya yang paling berpengaruh
adalah Syarikat Islam (SI). Asal usul dan pertumbuhan politik dan keagamaan
dikalangan muslim Indonesia dapat dikatakan sangat identik dengan asal-usul
dan pertumbuhan Syarikat Islam, yaitu sebuah ormas yang merupakan bentuk
“reinkarnasi” dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tahun 1911.
Syarikat Islam kelak akan menjadi Partai Syarikat Islam atau PSI pada tahun
1921, kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII
pada tahun 1930. Dapat dikatakan bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan
embrio lahirnya ormas-ormas Islam yang muncul pada fase berikutnya. Sejak
13 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan, Profil Pahlawan Nasional,
(Jakarta:Direktorat Kepahlawanan dan Kesetiakawanan Sosial Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementrian Sosial RI, 2014), h. 21
23
saat itu, kemudian bermunculan berbagai ormas Islam, yaitu: Muhammadiyah
(1912) di Yogyakarta, Persatuan Islam atau Persis (1923) di Bandung, al-
Irsyad (1914) di Jakarta, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah atau Perti (1928) di
Bukit Tinggi, al-Jamiyatul Washliyah (1930) di Medan, termasuk Nahdlatul
Ulama (1926) di Surabaya.14
Tokoh sentral Syarikat Islam, H.O.S Tjokroaminoto pernah dipercaya
sebagai “Ratu Adil”, pada perkembangan berikutnya, SI tidak bisa
menampung aspirasi berbagai tokoh, aktivis, intelektual dan ulama yang ada
di dalamnya, yang memang memiliki latar belakang dan basis keilmuan yang
berlawanan. Lambat laun SI dikendalikan oleh para intelektual Islam yang
berpendidikan Barat seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Agus Salim atau Abdul
Muis. Kemudian, SI dikendalikan oleh para santri yang terpengaruh gagasan
modernisme Islam terutama pengikut Muhammadiyah, seperti K.H Ahmad
Dahlan, K.H Mas Mansur dan K.H Fahrudin. Sementara para kiai dan santri
yang berbasis tradisional di pedesaan tidak memiliki peran berarti, meskipun
terdapat tokoh berpengaruh di dalamnya, seperti K.H Wahab Hasbullah.
Kondisi seperti ini kemudian mengakibatkan SI lambat laun mengalami
kondisi terhenti tanpa menunjukan adanya suatu kemajuan yang berarti.15
Syarikat Islam (SI) yang berdiri sejak tahun 1912 sudah mulai dicurigai oleh
pemerintah, terutama tertangkapnya H.O.S Tjokroaminoto sebagai akibat
pemberontakan H. Hasan Leles di Garut dan timbulnya Afdeeling B16
dan
14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : Pustaka
LP3ES, 1994), h. 155
15 M. Mukhsin Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah,
al-Irsyad, Persis dan NU, (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007), h. 278
16
Afdeeling B adalah gerakan rahasia yang dipersiapkan untuk menyuarakan perang
suci (jihad) melawan kolonial Belanda. Tokoh pergerakan SI ini adalah H. Ismail, ulama
terkemuka asal Gunung Tanjung Manonjaya. Pada tahun 1919, beliau mendesain upaya
pemberontakan terhadap kolonial Belanda bersama tokoh-tokoh besar lainnya seperti H.
Sulaeman Ciawi, Abdul Jalil, Alhasim, Tabri, H. Adra’I dan H.Hasan Cimareme.
24
Syarikat Islam ini, sehingga banyak umat Islam yang sudah meninggalkan
gerakan ini karena takut akan akibat-akibat kepolisian.17
Perlu digaris bawahi, terbentuknya NU bukan semata-mata karena
Sarekat Islam tidak mampu menampung gagasan keagamaan para ulama
tradisional, ataupun sebagai reaksi atas penetrasi ideologi gerakan
modernisme Islam yang mengusung gagasan purifikasi Islam seperti yang
sering digembor-gemborkan oleh sejumlah pengamat. Statmen yang demikian
bukan hanya terlalu menyederhanakan persoalan, tetapi telah merudiksi fakta
historis atas dinamika keulamaan yang merupakan embrio lahirnya NU.
Pendirian ormas berlambang tali jagat ini memiliki sejarah panjang dan sangat
kompleks untuk terlalu disederhanakan. Menurut Manfred Ziemek dalam
bukunya yang diterjemahkan oleh BB. Soendjojo yang berjudul “Pesantren
dalam Perubahan Sosial”, kehadiran NU mewakili faham konsevatif para
ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun
terhadap kolonialisme Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan
tersentralisasi pada masyarakat pedesaan, serta para kiainya orang-orang yang
tidak diperintah oleh siapapun.18
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai
representatif dari ulama tradisional, dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal
jamaah. Pada masa itu ulama belum begitu terorganisir namun mereka sudah
saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul,
ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai,
masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang tersebar
luas diseluruh nusantara.19
Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak bisa
17 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 525
18
Mahfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo, (Jakarta:
P3M, 1986), h. 64-65
19
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002),
h.66
25
dilepaskan dari upaya mempertahakan ajaran ahlus sunnah wal jamaah
(aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma (keputusan para
ulama sebelumnya) dan Qiyas.
Dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah ini lahir dengan
alasan yang mendasar, yaitu kekuatan penjajah Belanda untuk meruntuhkan
potensi Islam telah melahirkan tanggung jawab alim ulama untuk menjaga
kemurnian dan keluhuran ajaran Islam. Kemudian, rasa tanggung jawab alim
ulama sebagai pemimpin umat memperjuangkan kemerdekaan dan
membebaskan dari belenggu penjajahan, dan rasa tanggung jawab ulama
menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia. Sejarah mencatat,
jauh sebelum NU lahir dalam bentuk organisasi (jam’iyyah), ia sudah ada
dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial
keagamaan yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Lahirnya NU
tak ubahnya mewadahi suatu barang yang sudah ada. Dengan kata lain, wujud
NU sebagai organisasi keagamaan hanya sekedar penegasan formal dari
mekanisme informal para ulama sepaham, yaitu pemegang teguh salah satu
dari empat madzhab Fikih : Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hambali yang telah
ada jauh sebelum organisasi NU lahir.20
Putra Rais Akbar Nahdlatul Ulama K.H Hasyim Asy’ari, Wahid
Hasyim, pada waktu itu tidak tertarik untuk masuk ke dalam organisasi para
ulama ini. Bagi Wahid Hasyim, memilih organisasi itu ibarat memilih jodoh.
Harus jelas betul segala hal yang berkaitan dengan organisasi tersebut. Wahid
Hasyim sadar bahwa tidak ada organisasi manapun yang memenuhi semua
kriteria yang diidamkan, tetapi paling tidak organiasasi tersebut haruslah yang
paling sedikit kekurangannya. Wahid Hasyim yang pada saat itu menjelaskan
pandangannya tentang NU dan kecenderungan sosial politik masa itu.
20 Anas Thohir, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia,
(Surabaya : PCNU Kodya Surabaya, 1980), h. 90
26
Menurutnya, ukuran utama menilai kualitas organisasi adalah aspek
keradikalan dan jumlah kaum terpelajar yang ada di dalamnya. Nahdlatul
Ulama jelas bukan organisasi yang radikal bahkan terkesan lambat. Juga tak
banyak kaum terpelajar di dalamnya. Saking sedikitnya kaum terpelajar dalam
tubuh NU, Wahid Hasyim mengibaratkan, untuk mendapatkan akademisi dari
kalangan NU sama saja dengan mencari orang yang berjualan es pada pukul
satu dini hari.21
Jarang ada orang yang memasuki organisasi atau perhimpunan atas
dasar kesadaran kritis. Pada umumnya, seseorang aktif dalam organisasi atas
dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau bahkan teman. Tidak terkecuali
bagi kebanyakan warga Nahdlatul Ulama. Sudah lazim orang NU masuk
karena keturunan. Ayahnya aktif di NU, maka otomatis si anak menjadi
aktivis NU. Kelaziman ini agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses
ke-NU-an Wahid Hasyim berlangsung cukup lama, setelah melakukan
perenungan mendalam. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Wahid
Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihan ke NU. Meskipun belum sesuai dengan
keingannya, ia menganggap NU memiliki kelebihan disbanding yang lain.
Maka mulai 1938, Wahid Hasyim terlibat aktif dalam kegiatan Nahdlatul
Ulama. Pada tahun itu Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Sekretaris Pengurus
Ranting NU Cukir. Lalu, ia menjadi Ketua Pengurus Cabang NU Jombang.
Pada 1940, Wahid Hasyim dipilih sebagai Pengurus Besar NU Bidang
Pendidikan.
Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 31 Januari 1926, juga banyak
dipandang sebagai organisasi milik kiai. Segala keputusan dan kebijakan
organisasi bergantung pada pemimpin pesantren. Anggapan itu membuat NU
kurang diminati pemuda karena dianggap kaku, sulit bergerak, juga
menghalangi berkembangnya pikiran bebas dan kreatif. Tetapi setelah cukup
21 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 108
27
lama melakukan refleksi, Wahid Hasyim menemukan sudut pandang berbeda.
Banyak aspek positif yang dimiliki NU, yang seolah-olah tampak sebagai
kekurangan. Menurut dia, NU tidaklah beku dan jumud sebagaimana dilihat
banyak orang. NU kemungkinan begitu luas untuk memberikan kemaslahatan
bagi umat, bahkan mungkin lebih banyak dibanding perhimpunan lain.
Ketika digelar Muktamar NU ke-5 di Pekalongan, Jawa Tengah,
September 1930, meski belum resmi memasuki NU, Wahid Hasyim ikut
hadir. Begitupun dalam kegiatan NU berikutnya, Wahid Hasyim tampak
mulai terlibat meski dalam banyak hal lebih untuk mewakili sang ayah, K.H
Hasyim Asy’ari. Ketika Kongres atau Muktamar NU ke-12 pada Juni 1937 di
Malang yang dihadapkan kepada suatu persoalan yang penting mengenai
pendirian pemuda-pemuda Ansor NU dengan pemukanya, K.H Mahfud
Siddiq dan K.H Abdullah Ubaid. Pertentangan paham ini demikian ramainya,
sehingga terpaksa diadakan sebuah rapat khusus untuk menyelesaikan
persoalan itu.
Dalam rapat ini yang diadakan di rumah K.H Nachrawi, ketua Cabang
Malang, mengambil bagian 20 anggota Syuriah dan 20 anggota Tanfiziah, dan
diketuai oleh Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari. Perdebatan ini sudah sampai
kepada puncak yang sangat genting dan bisa memecah belah NU dari dalam.
Dalam rapat ini kelihatan kebijaksanaan K.H Wahid Hasyim yang rupanya
banyak memberikan sumbangan pikiran kepada sikap pemuda. Kemudian
Wahid Hasyim menjadi sebagai penengah antara perdebatan kedua belah
pihak yang pada akhirnya K.H Hasyim Asy’ari mendamaikan semua pihak.
Nasihat-nasihat K.H Hasyim Asy’ari ini diuraikan sesuai sifat lemah lembut
K.H Hasyim Asy’ari, sehingga banyak yang terharu dan banyak yang tidak
dapat menampung air matanya.22
22 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 528
28
Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, yang digelar Juli 1940, Wahid
Hasyim masih memegang jabatan Ketua Tanfidz Bidang Maarif. Selama
memimpin Departemen Pendidikan NU, dia melalukan banyak sekali
pembenahan, baik dalam aspek kepungurusan maupun prigram
pengembangan. Salah satunya adalah menambah jumlah madrasah di seluruh
Indonesia dan meningkatkan kualitas guru dan materi pelajarannya.
Sedangkan untuk program pendirian perguruan tinggi, Wahid Hasyim
menggelar pertemuan khusus di Malang pada 13 Februari 1941. Pertemuan ini
menghasilkan rancangan peraturan rumah tangga Nahdlatul Ulama bagian
perguruan dan pendidikan. Rancangan ini pada hakikatnya cikal bakal
pendirian universitas dan isntitusi agama Islam yang tersebar di seluruh
Indonesia. Tidak sampai disitu, inovasi lain yang dilakukan Wahid Hasyim
semasa memegang Departemen Maarif NU adalah mendirikan majalah Suluh
NU pada tahun 1941. Majalah tersebut berisi pelbagai tulisan mengenai
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Muktamar NU ke-19 yang digelar April 1952 adalah yang terpenting
dan merupakan muktamar terakhrir yang diikuti Wahid Hasyim. Dalam
muktamar ini, PBNU resmi memutuskan keluar dari partai Masyumi.
Keputusan tersebut diambil dalam sidang yang dipimpin Wahid Hasyim, yang
pada saat itu menjabat sebagai ketua muda PBNU. Perpisahan NU dengan
Masyumi merupakan peristiwa yang sangat bersejarah bagi perjalanan politik
umat Islam Indonesia. dan dalam peristiwa itu, tokoh muda NU yang
sekaligus tokoh utama Masyumi, Wahid Hasyim, berada dititik paling
menentukan. Secara garis besar bisa dikatakan hitam putihnya hubungan NU
dengan Masyumi ditentukan oleh sosok Wahid Hasyim. Sejak awal, Wahid
Hasyim menolak perpisahan NU dengan Masyumi. Namun ketika keputusan
sudah diambil, Wahid Hasyim pulalah orang paling depan menghidupi NU.
Ketika konflik sering terjadi antara NU dengan Masyumi, Wahid Hasyim
selalu mampu menjadi penengah sekaligus pemersatu. Peran penting ini hanya
29
bisa dilakukan oleh sosok yang dihormati sekaligus dipercaya oleh dua
organisasi itu.
Pada awal berdiri, NU tidak menerima kaum perempuan (muslimat)
sebagai anggota, tetapi hanya untuk kaum muslimin dan para ulama, karena
pada waktu itu para alim ulama berpendapat belum waktunya muslimat
dibawa kedalam perserikatan dan organisasi. Para ulama memandang pada
waktu itu perempuan tugasnya hanya didalam rumah saja. Seiring berjalannya
waktu, keinginan mamasukan perempuan kedalam organisasi muncuk
pertama kali dalam rapat muktamar ke-13 di Menes. Mayoritas peserta
muktamar menolak usulan ini. Akan tetapi untunglah bahwa diantara ulama
itu ada juga beberapa orang yang melihat jauh kedepan, memandang dengan
mata hati yang tajam apa yang terjadi jika NU menutup segala pintu untuk
kaum perempuan ini. Diantara para ulama yang berpendapat demikian ialah
K.H.A.Wahid Hasyim dan K.H.M Dakhlan.
Wahid Hasyim melihat di luar NU sudah banyak kaum perempuan
yang memasuki perkumpulan dan perserikatan. Walaupun tidak
diperbolehkan memasuki dunia pergerakan, kaum perempuan akan terus
mencari-cari celah yang dapat dilalui. Ibarat air bah yang mengalir deras dari
hulu, begitulah semangat yang telah melanda kaum perempuan Islam
Indonesia. jika dihambat dan ditahan, ia akan melompat ke sebrang,
menghancurkan setiap rintangan yang akan menghalanginya. Wahid Hasyim
berpikir bahwa semangat ini haruslah disalurkan, diberi ruang, sehingga bisa
bermanfaat bagi masyarakat.
Atas dasar pemikiran itulah akhirnya muktamar NU ke-13 di kota
Menes menerima kaum muslimat sebagai anggota. Tetapi penerimaan
muslimat ini bersifat sangat minim, hanya boleh menjadi anggota biasa, tidak
diperkenankan menjabat pengurus. Keanggotaannya semata untuk menjadi
pendengar dan pengikut. Namun, meski hanya sebagai pendengar dan
pengikut, antusiasme kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan NU
30
sangat tinggi. Hal itu terlihat dari jumlah keanggotaan muslimat sudah
mencapai ribuan dalam satu tahun. Sewaktu digelar muktamar ke-14 pada
tahun 1939, kaum muslimat NU sudah mengadakan rapat sendiri. Rapat
tersebut dihadiri oleh 4.000 utusan dari 10 daerah perwakilan. Ketika
sejumlah utusan diberi kesempatan bicara dalam rapat, terlihat kaum muslimat
saat itu seperti sudah pandai dan berpengalaman.
Pada tahun 1940 ketika digelar muktamar NU ke-15 di kota Surabaya,
muncul usulan agar pergerakan muslimat bisa berdiri sebagai organisasi yang
memiliki pengurusan sendiri, tidak menjadi satu dengan NU. Akhirnya,
diputuskan agar masalah tersebut diserahkan ke pengurus PBNU. Belum lagi
ada keputusan Syuriah mengenai masalah ini, situasi Indonesia mulai
memburuk ketika kedatangan bala tentara Jepang, bangsa Indonesia terseret
dalam situasi peperangan yang melelahkan. NU praktis tidak dapat
beraktivitas secara normal. Para kiai dan para santri berperang merebut dan
mempertahankan Indonesia. salah satu momen penting perjuangan NU
mengusir penjajah adalah ketika Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari
mengeluarkan keputusan yang terkenal sebagai “Resolusi Jihad”. Resolusi
menyatakan, “mempertahankan dan menegakan Negara Republik Indonesia
menurut hukum Islam sebagai kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang Islam
laki-laki dan perempuan.
Pertempuran terbesar setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Para kiai dan
pemuda NU serta seluruh elemen bangsa Indonesia di bawah komando Bung
Tomo berjuang habis-habisan. Tak terkecuali kaum perempuan NU. Mereka
turut andil dalam peristiwa ini. Sangat banyak kegiatan yang dilakukan
muslimat NU untuk mendukung perjuangan agama dan bangsa. Situasi seperti
itu rupanya menyadarkan banyak pihak bahwa memang sudah waktunya
muslimat NU berdiri sendiri sebagai organisasi. Sejak muktamar ke-16 pada
maret 1946, muslimat secara resmi menjadi organisasi NU dengan nama NU
31
Muslimat (NUM). tujuan utamanya adalah menyadarkan para wanita Islam
Indonesia akan kewajibannya menjadi ibu yang sejati, sehingga dapat
membantu menegakan agama Islam.
C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama
1. Latar Belakang Kementerian Agama
Setelah Jepang dapat mengontrol wilayah Indonesia, Jepang mulai
mencari cara agar mendapat bantuan dari bangsa Indonesia, terutama
komunitas Muslim dan pemimpin nasional, agar dapat memperkuat posisinya
di Indonesia. Bangsa Jepang menyadari betapa pentingnya mempunyai sebuah
federasi yang memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam)
sehingga seluruh pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang
dengan begitu umat Islam lebih mudah diperdaya guna membantu keinginan
bangsa Jepang. Untuk itu bangsa Jepang memperbolehkan kembali berdirinya
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 24
Oktober 1943. Sebagai figur utama pemimpinnya adalah K.H Hasyim
Asy’ari, akan tetapi kedudukan ini hanya sebatas penghormatan karena K.H
Hasyim Asy’ari tetap tinggal di pesantrennya, dan membiarkan anaknya K.H
Wahid Hasyim sebagai ketua pelaksananya. Wahid Hasyim melaksanakan
beberapa program yang di desain untuk memperkuat kapasitas umat Islam dan
meningkatkan infrastrukturnya.
Wahid Hasyim menyadari bahwa tujuan dibalik dibentuknya Masyumi
oleh Jepang adalah untuk melayani segala bentuk propaganda bangsa Jepang,
yang bertujuan memobilisasi segala bentuk bantuan untuk Jepang baik itu
berupa tenaga kerja sukarela maupun makanan. Maka dari itu, Wahid Hasyim
mengundang pemuda Muslim, di antaranya M. Natsir, Harsono
Tjokroaminoto, Prawoto Mangkusumo dan Zainul Arifin guna
untukmenyiapkan bangsa Indonesia baik secara fisik dan mental guna
32
melawan bangsa Jepang.23
Wahid Hasyim juga mempublikasikan sebuah
majalah Soeara Moeslimin Indonesia sebagai alat guna untuk menyebarkan
semangat berjuang untuk mencapai kemerdekaan.
Salah satu bentuk strategi lainnya yang diharapkan bangsa Jepang
untuk memperoleh simpati dari bangsa Indonesia, khususnya umat Islam
adalah pembentukan Shumubu, atau Kantor Kementerian Agama yang
bertugas mengamati semua urusan keagamaan dan umat Islam. Kantor ini
dikepalai oleh Kolonel Horie Chozo, seorang arsitek yang membidangi usaha
pemerintah penjajahan Jepang di Jawa. Meskipun K.H Hasyim Asy’ari diberi
tanggung jawab sebagai kepala, dalam prakteknya, dia mendelegasikan tugas-
tugasnya kepada anaknya K.H Wahid Hasyim.24
Wahid Hasyim mempunyai peran paling signifikan dalam
pembentukan Kementerian Agama (sekarang bernama Departemen Agama).
Sejarah pembentukannya cukup lama dan membutuhkan beberapa tahun
sebelum pertama kali diperdebatkan dalam pertemuan di parlemen pada
tahun 1950-an. Ada beberapa alasan penolakan diadakannya Departemen
Agama, di antaranya, pertama, biaya pendiriannya sangat mahal; kedua,
kenyataanya bahwa banyak persoalan yang ditangani Departemen Agama
dapat diambil alih oleh kementerian lainnya, seperti kehakiman, penerangan,
pendidikan dan kebudayaan; ketiga, bahwa kementerian akan memperhatikan
hanya kepada urusan agama Islam dan bahwa agama seharusnya dipisah dari
politik (Negara).25
23 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 369
24
Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih Dalam
Politik (Jakarta : Gramedia, 1994)h. 322
25
Pertama, Kabinet Hatta (20 Desember 1949), dalam Kabinet Natsir (6 September
1950-27 April 1951), dan dalam Kabinet Sukiman (27 April 1952-3 April 1953). Lihat di
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.683
33
Sebagai respon terhadap keberatan tersebut, Wahid Hasyim yang
ditunjuk sebagai menteri agama selama tiga kali berturut-turut mencoba
menjelaskan bahwa: Pemerintah menyepakati prinsip pemisahan gereja
(agama) dan Negara, dalam pengertian tidak mencampuri urusan-urusan
internal sebuah kekhusuan agama. Bagaimanapun, pemerintah merasa
berkewajiban untuk melayani kebutuhan-kebutuhan keagamaan masyarakat
menurut Pancasila. Pemisahan antara agama dan Negara mengecualikan satu
kepercayaan ateistik. Meskipun materi mempertimbangkan bahwa
kementerian agama sebenarnya dapat dihapus apabila fungsi-fungsinya dapat
dijalankan kementerian lain, menghapus kementerian agama dapat melukai
perasaan umat Islam Indonesia.26
Selanjutnya dia mengatakan bahwa kementerian memberikan
perhatian yang lebih kepada umat Islam dibanding dengan agama lainnya. Dia
menolak adanya tuduhan diskriminasi dalam kementerian agama. Sebagai
bukti, dia menunjukan bahwa subsidi yang diberikan kepada madrasah hanya
satu rupiah per siswa, sedang bagi sekolah non-Islam tiap siswa menerima
empat rupiah dari Departemen Pendidikan.
Selama resolusi, Wahid Hasyim memberikan substansi dan arahan
yang jelas pada kementerian. Pada awal Indonesia setalah Indonesia terpecah
beberapa Negara federal yang mana masing-masing daerah berubah menjadi
Negara, Wahid Hasyim berusaha untuk menyatukan semua departemen agama
yang ada di masing-masing dibagian Negara federal tersebut di bawah kontrol
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika semua Negara federasi melebur
menjadi Negara kesatuan kembali pada tahun 1950, dia mengundang seluruh
pimpinan dan kementerian agama masing-masing Negara federasi untuk
mendiskusikan dan merumuskan wilayah kerja kementerian. Setalah
mengadakan diskusi, pertemuan tersebut menghasilkan peraturan pemerintah
26 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim; Pembaharuan Pendidikan Islam dan
Pejuang Kemerdekaan, (Pesantren Tebuireng, 2011), h. 78
34
No: 8 tahun 1950.27
Keberhasilan Wahid Hasyim dalam menyatukan kembali
cabang kementerian yang telah terpecah menunjukan keinginannya untuk
mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam
Indonesia.
2. Sejarah Berdirinya Kementerian Agama
Sesudah Syahrir menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat), maka dilangsungkan sidang pleno yang waktu itu merupakan
Parlemen sementara Indonesia. pada tanggal 25-27 November 1945, untuk
mendengarkan keterangan pemerintah, bertempat diruangan atas Fakultas
Kedokteran di Salemba Jakarta. Sebagai anggota KNIP mewakili daerah dari
karesidenan Banyumas dalam sidang KNIP diatas adalah K.H Abu Dardiri, H.
Moh. Saleh Suaidy dan M. Sukono Wiryosaputro yang semuanya dari
Masyumi. Beberapa KNI daerah Banyumas mengusulkan supaya Indonesia
yang sudah merdeka ini janganlah urusan agama dibebankan kepada
Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi harus
dikelola oleh Kementerian Agama secara khusus dan tersendiri.
Usul itu mendapat sambutan dan dikuatkan oleh M. Natsir, Dr.
Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo. Maka tanpa pemungutan
suara ternyata setelah terlihat PJM Presiden member isyarat kepada PJM.
Wakil Presiden Moh. Hatta, lalu berdirilah Wakil Presiden menyatakan bahwa
“adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah”.
Maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah mengumumkan bahwa
Kementerian Agama didirikan tersendiri dengan menteri agamanya yang
bernama H. Rasyidi B.A.28
27 Peraturan Pemerintah No: 8 tahun 1950 yang memperbaiki Peraturan Pemerintah
No: 33 tahun 1949 yang menetapkan tugas dan kewajiban Kementerian Agama, Lihat di
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.693
28
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 678
35
Dalam pidatonya yang diucapkan di Konferensi Jawatan Agama
seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada tanggal 17-18 Maret 1946
diuraikan oleh menteri agama pertama itu akan sebab-sebab dan
kepentingannya pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian
Agama. Diantaranya ditegaskan untuk memenuhi kewajiban pemerintah
terhadap UUD BAB XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar
atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2).
Jadi lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang
bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.
Pada zaman pemerintahan penjajahan Hindia-Belanda segala
persoalan yang berhubungan dengan keagamaan langsung atau tidak langsung
diurus dibawah pengawasan beberapa jawatan, misalnya oleh pamong pradja
(pengangkatan penghulu, anggota Raad Agama dan pegawai-pegawai
pekauman, urusan masjid, zakat fitrah, haji, perkawinan, pengajaran agama
dan lain-lain), oleh Departement van Justitie (organisasi dan pekerjaan
Mahkamah Islam Tinggi dengan Raad agamanya dan penasihat pengadilan
negeri), dan oleh Kantoor voor Inlandsche Zaken, yang menjadi penasehat
pemerintahan Hindia-Belanda dalam hal keagamaan dalam arti seluas-
luasnya, sedang urusan agama Kristen yang mengenai gereja-gereja, pendeta-
pendeta diselesaikan oleh bagian “Eeredienst” dari “Departement van
Onderwijs en Eeredienst”.29
Dalam zaman Jepang pada umumnya aturan-aturan yang mengenai
hal-hal diatas itu tidak diubah, selain penghapusan Kantoor voor Inlandsche
Zaken. Oleh Jepang didirikan sebagai gantinya Kantor Urusan Agama
(Shumubu), bagian dari Gunseikanbu, sedang didaerah-daerah diadakan
29 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.679
36
Shumuka sebagai bagian dari pada pemerintahan karesidenan (Shu). Dengan
adanya Kementerian Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan dan
pekerjaan yang tadinya diurus oleh beberapa jawatan itu dikerjakan oleh
Kementerian Agama.
Maklumat Kementerian Agama No.2 tertanggal 23 April 1946
menetapkan bahwa :
1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan
Residen menjadi Jawatan Agama Daerah yang selanjutnya
ditempatkan dibawah Kementerian Agama.
2. Hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama
pengadilan negeri), ketua dan anggota Raad agama yang dahulu ada
dalam tangan Residen, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian
Agama.
3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tanga
Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.30
Dalam pengumuman Kementerian Agama No.3 hal tersebut dalam
maklumat No.2 itu dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan
Kabinet dalam sidangnya tanggal 29 Maret 1946. Dengan berdirinya
Kementerian Agama dapatlah diperbaiki beberapa hal kesalahan yang
diperbuat dalam zaman pemerintahan Belanda dan Jepang yang berakibat
perpecahan dalam golongan agama.karena kesukaran perhubungan dalam
bagian-bagian kepulauan Indonesa yang lain belum dapat diadakan perbaikan.
Walaupun demikian di Sumatera telah dapat dibentuk Jawatan Agama dalam
tiap-tiap karesidenan.
30
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 667
37
3. Kepemimpinan K.H Abdul Wahid Hasyim Dalam Kementerian
Agama
K.H.A.Wahid Hasyim menjadi menteri agama pada saat kabinet
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada kabinet Hatta (20 Desember 1949 – 6
September 1950), Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Sukiman
(27 April 1951 – 3 April 1952). Dapat dikatakan bahwa Wahid Hasyim
menjadi menteri agama dari tanggal 20 Desember – 3 April 1952 dengan
melalui dua sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan menurut
Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) dan sistem
pemerintahan menurut UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
Salah satu jasa K.H Wahid Hasyim yang terbesar dalam Kementerian
Agama setelah kebinet RIS terbentuk pada tanggal 20 Desember 1949, ialah
mengadakan konferensi besar di Yogyakarta antara tanggal 14-18 April 1950
untuk mempersatukan kembali kementerian, depertemen dan jawatan-jawatan
agama dari Negara-negara bagian,31
yang didirikan oleh Belanda di seluruh
Indonesia.
Selain dari pada organisasi yang baik dibawah pemimpin M. Farid
Ma’ruf kepala jawatan urusan agama Yogyakarta, dan kemudian kebetulan
kedua menteri agama dari RIS dan RI, adalah menteri dari Masyumi yang
sudah memiliki rasa kebangsaan yang sama. Meskipun tanah airnya telah
dipecah belahkan oleh Belanda tetapi itu tidak membuat mereka saling
bermusuhan. Dan K.H Wahid Hasyim merupakan orang yang berperan
penting untuk mempersatukan kembali kementerian-kementerian,
departemen-departemen dan jawatan-jawatan agama seluruh Negara bagian
itu.32
31 Jawata-jawatan agama merupakan lembaga yang mengurusi urusan agama di
Negara bagian seluruh Indonesia, mengingat pada saat itu Negara Indonesia masih terpecah-
pecah akibat dari sistem Negara yang berdasarkan serikat (RIS).
32
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.692
38
Mengenai perbaikan perjalanan haji, Wahid Hasyim sebagai menteri
agama tidak menyumbangkan bantuannya. Sebagaimana selama masa
pendudukan Jepang, begitu juga dalam masa Revolusi yang meletus sejak 17
Agustus 1945 tidak ada kesempatan untuk naik haji bagi bangsa Indonesia.
Pada waktu itu tidak ada kesempatan untuk naik haji karena seluruh rakyat
Indonesia berjihad melawan Belanda yang datang kembali untuk menjajah
Indonesia, sesudah Jepang kalah oleh sekutu dan proklamasi kemerdekaan
Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
Sesudah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kebinet Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada 20 Desember 1949, maka menteri agama K.H.A
Wahid Hasyim, dari kabinet RIS meletakan beberapa dasar dalam program
politik dari kementerian agama RIS. Diantaranya meletakan corak politik
keagamaan dari dasar-dasar kolonial menjadi dasar-dasar nasional dan
membimbing tumbuh dan berkembangnya faham Ketuhanan Yang Maha Esa
di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke dalam lingkungan pekerjaan
kementerian tersebut dimasukkan segala usaha dan tanggung jawab pada
bagian ibadah, kementerian kebuadayaan, pengajaran dan pendidikan.
Kemudian segala pekerjaan usaha dan tanggung jawab yang dikerjakan oleh
salah satu bagian dan kabinet HVK yang merupakan kelanjutan dari Kantoor
van den Adviseur voor Inlandsche en Islamistische Zaken sebelum Perang
Dunia II, dan pada akhirnya disebutkan dalam rencana usaha akan
“menyesuaikan peraturan-peraturan dan penyeenggaraan peralatan-peralatan
urusan ibadah haji dengan derajat umat yang merdeka dan bernegara
nasional”. Ini adalah program politik Kementerian Agama RIS tanggal 16
Januari 1950. Maka sejak saat itu segala urusan haji dipegang oleh
Kementerian Agama. Dalam bagian ini terdapat suatu bagian yang khusus
menyelenggarakan urusan haji.
Salah satu jasa K.H.Wahid Hasyim selama ia menjadi menteri agama
ialah menerima pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
39
dalam Kementerian Agama. Pada tahun 1950 dengan keluarnya peraturan
pemerintah No. 34/1950 tanggal 14 Agustus 1950 dimulai langkah pertama
yang menuju kea rah melaksanakan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.
Suatu perguruan tinggi yang bertujuan member pengajaran tinggi dan sebagai
salah satu pusat untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan tentang agama
Islam. Atas putusan kabinet dibentuklah suatu panitia bernama Panitia
Perguruan Tinggi Agama, kemudian diganti menjadi Panitia Perguruan Tinggi
Islam yang diketuai oleh K.H Fathurrahman Kafrawi bekas menteri agama
RI33
.
Pada langkah pertama dengan dibukanya Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri pada tanggal 26 September 1951 itu sudah resmi dibuka dan
K.H. Wahid Hasyim selaku menteri agama menyampaikan pidatonya untuk
pertama kalinya di PTAIN ini.
D. K.H Wahid Hasyim dalam pandangan Gus Dur dan Gus Solah tentang
Negara
Satu ayah, satu ibu, satu guru, namun berbeda. Itulah DR K.H
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur dan Dr. Ir. H.
Salahuddin Wahid atau yang sering dipanggil Gus Solah. Mereka adalah putra
dari K.H Wahid Hasyim. Keduanya putra K.H Wahid Hasyim ini memiliki
penilaian yang berbeda tentang pandangan politik keislaman sang ayah.
Terutama terkait hubungan agama dan Negara.
Dalam pandangan Gus Dur terhadap sang ayah tentang kenegaraan,
K.H Wahid Hasyim selalu ingin memberikan supremasi hukum Islam untuk
disandarkan pada Pancasila. Baginya, Syari’ah itu pada umunya lebih tinggi
dari pada Pancasila. Dalam hal ini K.H Wahid Hasyim bukan tidak menerima
33 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 739
40
Pancasila, akan tetapi ia lebih menganggap Syari’ah lebih tinggi dari pada
Pancasila buatan manusia.
Dalam hal ini Gus Dur berbeda pandangan dengan ayahnya. Bagi Gus
Dur, tugas Agama dan Negara itu berbeda. Agama dan Negara memiliki
fungsi dan tugasnya masing-masing bertanggung jawab terhadap umatnya.
Jadi, Negara dengan Pancasila-nya, dan Agama dengan Islam Ahlusunnah wal
Jama’ah-nya, terdapat pemisahan fungsi dan struktur, meskipun keduanya
suatu ketika akan bertemu dalam suatu peristiwa. Ada pemisahan tempat, ada
yang urusan antar kita, ada yang urusan kita bersama dengan Negara. Menurut
Gus Dur, sampai saat ini saudara-saudara kita yang beragama Kristen dan
Protestan masih mengalami kesulitan besar. sebab, mereka masih sulit
mendudukan antara keimanan dan ideologi. Karena dalam agama mereka
tidak terdapat kamus ideologi dan tidak punya kamus keimanan yang
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di luar Negara.34
Padahal menurut kamus Nahdlatul Ulama, kalau kita setia kepada
Islam, kita harus setia kepada Negara. Sebab, Negara adalah bagian dari
kegiatan masyarakat dibuat bersama dengan orang lain. Aqidah adalah yang
milik kita sendiri. Ada beda tapi tetap dalam satu kaitan. Karena
penjelasannya yang liberal tersebut, Gus Dur mendapat serangan dari tokoh-
tokoh Islam garis keras, termasuk Solahuddin Wahid, adik kandungnya
sendiri. Gus Dur dianggap tidak memberi legitimasi atas upaya mendirikan
Negara Islam di Indonesia. Sebaliknya, ia memberi legitimasi teologis
terhadap pemerintah, bahwa urusan duniawi diurus oleh Negara dan urusan
akhirat diurus oleh agama.
Bagi Gus Solah, pandangan ini memisahkan antara agama dan Negara.
Agama mengurusi akhirat dan Negara mengurusi dunia. Bagi Gus Solah,
argumen diterimanya Pancasila sebagai ideologi Negara bukan karena
34 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis, ( Yogyakarta :
LKiS Yogyakarta, 2010), h. 186
41
pandangan sekuleristik, melainkan justru melihat bahwa di dalam Pancasila,
terutama sila pertama, dianggap telah mengakomodasikan konsep Ke-Esaan
Tuhan dalam konteks Tauhid Islamiyah. Jadi Pancasila telah dijiwai oleh
Islam.35
Artikel Gus Dur yang menulis tentang Soewarno, seorang yang pernah
menjadi ajudan Panglima besar Jendral Soedirman. Soewarno menceritakan
bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau
bertemu dengan pemuda A.Wahid Hasyim dan pimpinan Masyumi Dr
Soekiman Wirjosandjojo di Kauman Yogyakarta. Menurut Soewarno ketika
mereka bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, bahwasannya
sikap K.H A.Wahid Hasyim yang menjelaskan bahwa perlunya hukum Islam
disandarkan pada Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.36
Gus Dur juga mengulas ketika Mbah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama,
beliau membuat kebijakan yang memperoleh perempuan mendaftar pada
Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Gus Dur pun meyakini
bahwa pandangan politik Mbah Wahid Hasyim merupakan pandangan politik
sekuler. Alasan Gus Dur adalah sebagaimana syariah telah menetapkan empat
syarat bagi kedudukan hakim Islam, termasuk seorang wanita yang tidak
boleh menjadi hakim agama. Jika Mbah Wahid Hasyim menjadikan syariat
sebagai landasan hukum positif Negara, seharusnya perempuan tidak boleh
belajar di SGHAN sebab lulusan dari sekolah itu kelak akan menjadi guru
hakim atau hakim agama.
Gus Solah yang menulis K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam
pada 17 Oktober 1998. Tulisan Gus Solah meragukan cerita Gus Dur
mengenai pendapat Soewarno terhadap sang ayah. Gus Solah mengenal
Soewarno dan sering bercakap. Namun, menurut Gus Solah belum pernah
35 Lihat Solahuddin Wahid, “Pancasila, Jalan Tengah Kita” Dalam Media
Indonesia 4 September 1998
36
Lihat Abdurrahman Wahid, A.Wahid Hasyim, NU dan Islam, 8 Oktober1998
42
mendengar Soewarno melontarkan cerita sebagaimana ditulis Gus Dur. Bisa
jadi Soewarno belum menangkap dan memahami sikap K.H Wahid Hasyim.
Gus Solah juga menilai kekentalan keimanan sang ayah tidak dapat diragukan.
Memang K.H Wahid Hasyim dan pemimpin Islam lain bersedia
menghilangkan tujuh kata pada Piagam Jakarta hingga terangkum dalam sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah simbol keteguhan tauhid dalam
kehidupan berbangsan dan bernegara. Artinya Negara tidak boleh sekuler.
Gus Solah juga mengingatkan keberpihakan Mbah Wahid Hasyim pada
sidang Konstituante bersama Masyumi memperjuangkan syariat Islam sebagai
jiwa Pancasila dan hukum-hukum positif di Indonesia.37
Dialektika tersebut terus berlanjut, tulisan-tulisan yang secara ide
sangat jelas terlihat jurang perbedaannya, namun tetap santun dan sesuai
dengan kaidah-kaidah diskusi dalam Islam yakni bil hikmah, mauidzatil
hasanah, dan mujadalah bil ahsan. Gus Solah sebagai adik sangat santun
dalam berbahasa kepada kakaknya. Sebaliknya, Gus Dur juga tidak anti kritik,
dengan terus berdialektika dalam posisi yang demokratis dan setara pada
mimbar yang dapat dipertanggung jawabkan. Baik Gus Dur dan Gus Solah,
dibalik pertentangan pendapatnya tentang nilai-nilai macam apa yang menjadi
ruh Pancasila, tetaplah dua tokoh yang memposisikan Negara sebagai prioritas
utama yang harus dijaga, sehingga polemik yang ada merupakan pertarungan
intelektual terhormat yang tetap menjaga kepentingan Jam’iyat dan seluruh
bangsa.
37 Lihat K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam pada 17 Oktober 1998
43
BAB III
SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM PIAGAM
JAKARTA DAN KONSTITUANTE
A. Sejarah Pancasila
Dalam historiografi Indonesia, Pancasila secara etimologis berasal dari
bahasa Sansekerta dari India. Ngudi Astuti mengutip Muh. Yamin
menyebutkan bahwa perkataan Pancasila dalam bahasa Sansekerta memliki
dua macam arti, yaitu dari kata “Panca” artinya lima dan “Syila” artinya batu
sendi, alas atau dasar, sehingga jika digabungkan berarti berbatu sendi lima
atau berdasar yang lima, atau dari kata “Panca” yang berarti lima dan “Syila”
yang berarti peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting, sehingga
jika digabungkan berarti lima peraturan tingkah laku yang baik, atau yang
penting.1 Perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama karya
empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan
sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478M).2 Istilah Pancasila
juga diperkenalkan oleh Empu Tantular dalam bukunya yang berjudul
Sutasoma.3
Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular Pancasila mempunyai
arti berbatu sendi yang ke lima (dari bahasa Sansekerta) dan juga mempunyai
arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, yaitu:4
1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis
Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, (Jakarta : Media Bangsa, 2012),h. 32-33
2 M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam,
(Yogyakarta: Surya Raya, 2004),h. 9
3 Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003), h. 2
44
1. Tidak boleh melaksanakan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras.
Istilah Pancasila di India merupakan lima prinsip moral yang ditaati
dan dilaksanakan oleh penganut agama Budha yang berupa lima macam
larangan atau pantangan, yaitu larangan membunuh, larangan mencuri,
larangan berzina, larangan berdusta, dan larangan minum-minuman keras.
Agama Budha setelah masuk ke Indonesia maka istilah Pancasila ini
berpengaruh pula khususnya dalam masyarakat Jawa yang dikenal dengan
“ma-lima”, yaitu macam larangan yang huruf depannya dimulai dengan huruf
“ma”, yakni mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabuk
(minum-minuman keras atau candu), main (berjudi).5
Berbagai penjelasan mengenai Pancasila diatas dapat disimpulkan
bahwa Pancasila secara etimologis mengandung arti lima dasar peraturan,
dimana peraturan tersebut menjadi suatu acuan pokok bagi kehidupan, suatu
acuan pokok bagi penilaian terhadap sikap maupun tingkah laku seseorang.
Pancasila secara terminologis ialah sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea yang didalamnya
tercantum rumusan Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.6 Pancasila secara terminologis
4 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis,
dan Yuridis-Konstitusional, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),h. 15
5 A.M Effendy, Faslsafah Negara Pancasila, (Semarang: BP Walisongo Press,
1995), h.3
6 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h. 34-35
45
menurut Asmoro Achmadi ialah lima sila atau aturan yang menjadi ideologi
bangsa dan Negara, pedoman bermasyarakat, dan pandangan hidup bangsa
dan Negara Indonesia, yang berarti bahwa Pancasila merupakan jiwa seluruh
rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia,
dan memberikan bimbingan dalam kesejahteraan hidup baik lahir maupun
batin.7 Berbagai pengertian yang didapat diketahui Pancasila merupakan dasar
Negara Indonesia yang berisi mengenai aturan atau anjuran-anjuran mengenai
sikap dan perilaku terpuji, yang merupakan moralitas yang telah disepakati
bersama dalam menjalankan hidup, yang menjadi acuan dalam hidup
berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai dan norma-norma
yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar. Pancasila sebagai dasar
Negara merupakan Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).8 Pancasila sebagai dasar filsafat Negara mempunyai arti yang
abstrak, umum, universal dan tetap tidak berubah sehingga memungkinkan
Pancasila dalam isi dan artinya adalah sama dan mutlak bagi seluruh bangsa,
diseluruh tumpah darah, dam diseluruh waktu sebagai cita-cita bangsa dalam
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.9
Adapun Pancasila yang dikenal sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia saat ini, diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada sidang pertama
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada
tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan agar dasar Negara Indonesia
diberi nama Pancasila (atas petunjuk Muh. Yamin), maka tanggal 1 Juni 1945,
7 Asmoro Achmadi, Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), h. 10
8 Mengenai Pancasila sebagai idelogi, sebagai dasar Negara, dan lain-lainnya lebih
lanjut lihat, Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h.52,32
9 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.33
46
seperti yang dijelaskan dalam buku “Santiaji Pancasila” (1988), disebut
sebagai hari lahir ïstilah Pancasila”untuk digunakan sebagai nama dasar
Negara Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan
Pancasila, diterima dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan
Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945. Nama Pancasila
sebenarnya tidak terdapat baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam
batang tubuh UUD 1945,10
namun didalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusian yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Istilah Pancasila secara resmi tidak tercantum dalam Pembukaan
UUD1945, namun lima dasar Negara yang tertulis dalam bagian terakhir dari
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebut dengan Pancasila, meskipun
urutan sila dan isinya agak berbeda dengan yang diusulkan oleh Ir. Soekarno.
Sejarah perumusan Pancasila diawali dari terbentuknya BPUPKI yang
dibentuk oleh penjajahan Jepang. Pembentukan BPUPKI ialah terkait janji
penjajah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Tindakan Jepang untuk dalam pembentukan BPUPKI ini untuk menarik
simpati bangsa Indonesia karena Jepang memerlukan bantuan dan dukungan
bangsa Indonesia untuk memenangkan peperangan Asia Timur Raya atau
10 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis,
dan Yuridis-Konstitusional, h. 15
47
perang Pasifik, yaitu antara Jepang yang tergabung dalam front Jerman dan
Italia melawan Amerika dan sekutu.11
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945 yang dibentuk oleh
Jepang. BPUPKI mengadakan sidang dua kali. Sidang pertama membahas
mengenai dasar Negara dan rancangan Undang-Undang Dasar dengan
dikemukakannya usul dan pendapat oleh beberapa anggota BPUPKI. Sidang
BPUPKI yang pertama menghasilkan beberapa konsep dan berbagai
pandangan yang du usulkan sehubungan dengan dasar Negara dan
kemerdekaan Negara Indonesia. Usulan pertama disampaikan oleh Muh.
Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 melalui pidato yang mengusulkan lima
dasar Negara dengan istilah dan urutan sebagai berikut:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
Muh. Yamin juga mengusulkan secara tertulis rancangan pembukaan
Undang-Undang Dasar yang didalamnya terdapat lima dasar Negara yang
istilah dan urutannya agak berbeda, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.12
11 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis
Konstitusional dan Segi Filosofis, (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983), h. 42
12
Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis
Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 46
48
Pada tanggal 30 Mei 1945 banyak golongan/tokoh-tokoh Islam yang
mengusulkan agar dasar Negara yang dipakai adalah dasar Islam, diantara
tokoh tersebut ialah K.H Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H.A.
Kahar Muzakir. Pada tanggal 31 Mei 1945 Supomo menyampaikan usulan
menganai dasar Negara antara lain:13
1. Dasar Persatuan dan Kekeluargaan
2. Dasar Ketuhanan
3. Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan
4. Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi
5. Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara
Indonesia bersifat sebagai Negara Asia Timur Raya, sehingga
masih tampak ada keterkaitan dengan Jepang.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan dasar Negara
yang berjumlah lima, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi atau permusyawaratan, perwakilan
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Maha
Esa
Lima dasar Negara tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi
menjadi tiga dasar dengan nama “Trisila” yaitu:
1. Socio-nationalisme, yang merupakan perasan dari kebangsaan
dan internasionalisme
2. Socio-demokrasi, yang merupakan perasan dari demokrasi dan
kesejahteraan sosial
3. Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
13 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang: Triadan Jaya Offset,
1995), h14
49
Tiga dasar tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi menjadi
satu saja yang disebut “Ekasila”, yaitu dasar “gotong royong”.14
B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 1945, tepatnya 29 April 1945,
Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Wahid Hasyim terpilih menjadi
anggota BPUPKI. Badan itu diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman
Wedyadiningrat, dengan jumat anggota 60 orang kemudian ditambah lagi 6
orang sehingga total berjumlah 66 anggota. Rapat pertama BPUPKI digelar
28 Mei 1945, di gedung Chusang In, bekas gedung Volksraad di jalan
pejambon 6, Jakarta-kini Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI.
Rapat ini membahas dasar Negara. Ada tiga pengusul mengenai masalah
tersebut, yakni Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr Soepomo, dan Ir.
Soekarno.
Setelah sidang pertama berakhir, 38 orang anggota melanjutkan
pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas
Sembilan orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A.
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim,
Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Karena
jumlahnya Sembilan orang, tim kecil tersebut sering juga disebut “Tim
Sembilan”. Salah satu tugas utama Tim Sembilan adalah membuat draft
rumusan undang-undang dasar, termasuk pembukaan.15
Setelah melalui pembicaraan yang serius, akhirnya panitia kecil ini
berhasil mancapai satu modus Vivendi antara para nasionalis Islami pada satu
pihak, dan para nasionalis sekuler pada lain pihak, karena Preambul itu
14 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis
Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 51
15
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : Rajawali,
1986), h. 30
50
ditandatangani oleh Sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia
terkenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).
Dalam merumuskan pembukaan undang-undang dasar, Wahid Hasyim
merupakan salah satu tokoh kunci munculnya tujuh kata berbunyi, “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, di belakang
kata, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.16
Bahkan di bagian draf lain Undang-
Undang Dasar 1945, Wahid Hasyim mengusulkan agar pasal 4 ayat 2, yang
mengatur mengenai presiden dan agama resmi Negara, berbunyi: “Yang dapat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang
beragama Islam”. Tidaklah mengherankan bahwa pembahasan banyak
terpusat pada kata-kata tersebut. sehari setelah itu, yakni pada 11 Juli 1945,
Latuharhary, seorang Protestan anggota badan penyelidik, menyatakan
keberatannya atas kata-kata tersebut, dia mengatakan “Akibatnya mungkin
besar, terutama terhadap agama lain”, katanya, “…kalimat ini bisa juga
menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat”.17
Haji Agus Salim, seorang pemimpin Islam terkenal dari kalangan
nasionalis Islami dengan spontan menjawab :
“Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru,
dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang yang
beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak
tergantung pada kekuasaan Negara, tetapi pada adatnya umat Islam
yang 90% itu”.
Beberapa orang yang lainnya menyampaikan pula keberatannya.
Wongsonegoro menyatakan pendapatnya, didukung oleh Hosein
Djajadiningrat, bahwa anak kalimat tersebut “mungkin menimbulkan
fanatisme karena seolah-olah memaksakan menjalankan syari’at bagi orang-
16 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 50-51
17
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 34
51
orang Islam”. Kali ini K.H Wahid Hasyim tampil menjawab dan
mengingatkan mereka pada dasar permusyawaratan, katanya “paksaan-
paksaan ini tidak bisa terjadi, bila ada orang yang menganggap kalimat ini
tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam”.
Dua pasal dari rancangan pertama Undang-Undang Dasar yang
menjadi relevan dengan pokok pembicaraan ini ialah pasal 4 dan 29, diajukan
oleh ketua panitia kecil kepada sidang paripurna badan penyelidik pada
tanggal 13 Juli. Pasal 4 ayat 2 tentang presiden : “yang dapat menjadi presiden
dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli”. Kemudian pasal 29 tentang
agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”.
K.H Wahid Hasyim mengajukan dua usul. Pertama, pada pasal 4 ayat
2 tersebut ditambah dengan kata-kata : “yang beragama Islam”. “buat
masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan
masyarakat, dia menyampaikan alasan. “jika presiden orang Islam, maka
perintah-perintah berbau Islam dan akan besar pula pengaruhnya”. Kedua,
diusulkannya pula agar pasal 29 tentang agama diubah sehingga berbunyi :
“agama Negara ialah Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang
beragama lain”. Menurut pendapatnya, hal tersebut berhubungan erat dengan
pembelaan. “pada umunya pembelaan berdasarkan atas kepercayaan sangat
hebat”, katanya pula, “karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh
diserahkan buat ideologi Negara”.
Pihak dari kalangan nasionalis Islami yaitu Haji Agus Salim tidak
menyetujui usul dari sahabatnya itu, dia mengatakan :18
“Dengan ini kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam mentah
lagi : apakah hal ini tidak bisa diserahkan kepada badan
permusyawaratan rakyat? Jika presiden harus orang Islam, bagaimana
18 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 36
52
halnya terhadap wakil presiden, duta-duta dan sebagainya. Apakah
artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”.
K.H Wahid Hasyim menerima dukungan dari Sukiman, katanya,
“…disamping usul tersebut pada hakikatnya tidak membawa akibat apa-apa,
kata-kata yang diusulkan tersebut akan memuaskan rakyat”.
Dalam sidang badan penyelidik 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai ketua
panitia konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan :
deklarasi kemerdekaan, preambule (mukadimah) Undang-Undang Dasar, dan
batang tubuh Undang-Undang Dasar yang terdiri dari 42 pasal. Berbicara
tentang mukaddimah, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah
tidak menyatujui rumusan “Negara ……berdasarkan Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sejalan
dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, dia mengusulkan agar kata-kata tersebut
dihilangkan saja. Soekarno mengingatkan sidang, “bahwa anak kalimat
tersebut adalah hasil kompromi antara dua pihak, dan bahwa setiap kompromi
didasarkan atas memberi dan mengambil”.
Seorang peimipin Islam yang juga salah seorang penandatangan
Piagam Jakarta, sekali lagi menunjukan bahwa yang dimuat Piagam tersebut
adalah sebuah kompromi antara golongan Islami dan golongan Kebangsaan.
Dia mengatakan:19
“kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya…….dari golongan Islam
harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana
harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah menjalankan kompromi,
sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan
ketua panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan
mendapat. Untuk mengadakan persatuan, janganlah terlihat perbedaan
paham tentang soal ini dari statmen. Itulah tanda yang tidak baik buat
19 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 39
53
dunia luar. Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak kepada
setiap golongan yang ada dalam badan ini, sudahilah kiranya kita
mengadakan suatu perdamaian. Janganlah sampai Nampak kepada
dunia luar, bahwa dalam hal ini ada perselisihan paham”.
Sidang selanjutnya beralih pada apakah presiden harus seorang
muslim atau tidak. Pratalykrama mengusulkan, “kepala Negara atau Presiden
Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang asli, berumur sedikit-
dikitnya 40 tahun dan beragama Islam”. mengenai masalah tersebut Supomo
mengingatkan dia pada Piagam Jakarta; usul tersebut menurut pendapatnya
tidak menghormati Piagam ini. Dengan demikian, katanya pula, “anak kalimat
tambahan mengenai hal itu dalam Undang-Undang Dasar tidak perlu”.
Akan tetapi usul Pratalykrama mendapat dukungan K.H Masjkur,
katanya, “kalau di dalam Republik Indonesia ini ada kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya maka presiden haruslah seorang
Muslim; karena presiden yang bukan Muslim tidak akan menjalankan hukum
dengan saksama dan tidak bakal diterima oleh golongan Islam”.
Soekarno tampil dan menyatrakan bahwa dia memahami betul apa
yang telah di sampaikan K.H Masjkur, katanya:20
“….kami anggota-anggota panitia berkepercayaan penuh kepada
kebijaksanaan rakyat Indonesia. Kami berkepercayaan bahwa yang
akan dipilih oleh rakyat Indonesia ialah orang yang akan bisa
menjalankan ayat 1 dalam pasal 28. Kalau tuan Haji Masjkur
menanyakan hal itu kepada saya secara person Soekarno, saya
seyakin-yakinnya, bahwa presiden tentu orang Islam,….oleh karena
saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar dari penduduk
bangsa Indonesia iala beragama Islam.
20 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 43
54
Kahar Muzakkir, yang merasa kecewa mengetahui usul golongan
Islam tidak diindahkan oleh Soekarno, sambil memukul meja, dia berkata:
“supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka smpai kepada pasal di
dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut atau agama Islam
atauapa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu”.
Radjiman, ketua badan penyelidik, menyarankan agar sidang
mengadakan pemungutan suara untuk menentukan yang mana yang akan
diterima : panitiakah, ataukah usul Pratalykrama yang didukung oleh Masjkur.
Saran Radjiman disetujui oleh Soekarno, akan tetapi ditentang oleh Kiai
Sanusi yang berkata bahwa masalah agama tidak dapat begitu saja ditentukan
oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang menerima salah satu dari dua
usul : usul Kiai Masjkur atau usul Muzakkir. Soekarno, sebagai ketua panitia,
menjawab : “Tuan ketua, kami panitia tidak mufakat dengan usul tuan
Muzakkir itu, terimakasih”. Ketika ketua umum bertanya kepada Muzakkir
mengenai pernyataan Soekarno, Muzakkir menjawab bahwa dia tetap pada
pendiriannya agar usulnya dipertimbangkan.
Kemudian Hadikusumo tampil mendukung Muzakkir, katanya:
“Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak. Tuan-
tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam
itu mengandung idelogi Negara. Maka tidak bisa dipisahkan dari
Islam. jadi saya menyetujui usul tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi;
kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata Negara
ini tidak berdiri di atas agama Islam dan Negara akan netral”.21
Perdebatan panjang mengenai esensi “Ketuhanan” antara Nasionalis
Islami dan Nasionalis Sekuler yang memakan waktu, tenaga, dan pikiran bagi
para anggota badan penyelidik ini yang pada akhirnya rapat tersebut ditutup.
Ketidaktentuan dan kegelisahan yang telah ditimbulkan oleh sidang pada hari
21 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 44
55
itu tercermin dengan jelas dalam pembicaraan Soekarno ketika membuka
kembali sidang pada pagi berikutnya, tanggal 16 Juli. Dia berkata bahwa dia
yakin banyak anggota badan penyelidik yang malamnya tidak dapat tidur, tapi
kemudian Soekarno menghimbau segenap anggota, terutama dalam hal
kepada pihak Kebangsaan untuk berkorban, dia mengatakan :
“Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorban ……yang
saya usulkan, ialah : bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan
bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli
yang beragama Islam. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak
kebangsaan ini berarti suatu…….pengorbanan mengenai keyakinan.
Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di rapat
ini, dikatakan 100% yakin bahwa karena penduduk Indonesia, rakyat
Indonesia terdiri daripada 90% atau 95% orang-orang yang beragama
Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden
Indoneisa tentulah yang beragama Islam”.
Kemudian Soekarno menyambung bahwa dia menyadari bahwa hal
ini merupakan pengorbanan yang besar terutama bagi patriot seperti
Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam.22
Setelah jelas bahwa sudah tidak ada lagi keberatan di dalam sidang.
Ketua BPUPKI yaitu Dr. K.R.T Radjiman Wedyadiningrat meresmikan dan
mengumumkan rancangan Undang-Undang Dasar ini dapat diterima dengan
sebulat-bulatnya. Piagam Jakarta, yang dirancang dan dirumuskan serta
dipertahankan oleh Panitia Sembilan ini merupakan hasil akhir perjuangan
yang panjang untuk kemerdekaan dan dalam waktu yang sama merupakan
titik tolak pembangunan dan perkembangan masa mendatang.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 berdiri Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan
22 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 46
56
Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Dalam rapat pertama panitia persiapan
ini direncanakan agenda pada jam 09.30, akan tetapi ternyata belum juga
dimulai sampai jam 11.30. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut itu
ternyata suatu yang teramat penting bagi sejarah Indonesia umumnya, dan
bagi sejarah konstitusi khususnya.23
Dalam pidato pembukaan pada rapat PPKI Soekarno menekankan arti
historik saat ini, dan mendesak agar panitia persiapan bertindak dengan cepat
dan mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail,
tetapi memusatkan perhatian mereka pada garis besarnya saja. Kemudian
Mohammad Hatta dipersilahkan untuk berpidato, dalam pidatonya Hatta
menyampaikan empat usul perubahan:
1) Kata “Mukaddimah”24
diganti dengan kata “Pembukaan”
2) Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat :
“Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah
menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam dicoret”
4) Sejalan dengan perubahan yang kedua diatas, maka pasal 29
ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-
Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta
menyatakan keyakinannya bahwa perubahan yang maha penting menyatukan
bangsa, kemudian Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar
23 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 50
24
Mukaddimah berasal dari bahasa Arab Muqaddimah yang artinya sama dengan
Pembukaan
57
yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat
undang-undang yang lebih lengkap dan sempurna.
Empat usul perubahan yang disampaikan Mohammad Hatta dalam
rapat pertama PPKI menimbulkan suatu pertanyaan sejarah. Bahwa pada
petang hari 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut
Jepang) mendatangi Hatta dan mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan
Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan terhadapat kalimat pada
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Walaupun mereka
mengakui, dan hanya mengikat kepada rayat yang beragama Islam, namun
mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan
minoritas. Hatta menjelaskan kepada opsir tersebut bahwa hal tersebut
bukanlah diskriminasi, karena penerapan tersebut hanya mengikat kepada
rakyat yang beragama Islam. 25
Ketika pembukaan UUD dirumuskan, Mr Maramis seorang Kristen
yang menjadi salah satu anggota panitia Sembilan tidak berkeberatan apa-apa,
bahkan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda-tangannya.
Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Mr Maramis tidak
merasakan bahwa penetapan tersebut suatu diskriminasi. Kalau pembukaan
diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik suka berdiri
diluar Republik. Hatta pun teringat pada semboyan yang selama ini
didengung-dengungkan “bersatu kita teguh berpecah kita jatuh”. Hatta pun
menjanjikan kepada opsir tersebut, bahwa esok harinya dia akan
menyampaikan masalah yang sangat penting itu dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
25 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 55
58
Begitu seriusnya dalam masalah ini, Hatta pun esok paginya tanggal
18 Agustus 1845 mengajak Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wahid Hasyim, Mr
Kasman Singodimedjo dan Mr Teuku Hasan dari Sumatra untuk mengadakan
suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya Indonesia
tidak terpecah sebagai bangsa, mereka akhirnya mufakat untuk
menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan
menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa".
Beberapa hal dalam keterangan Hatta ini layak mendapat perhatian
dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini. konsensus nasional yang sudah
dicapai dengan susah payah dalam badan penyelidik melalui diskusi dan
perdebatan sengit itu, dicairkan oleh usul orang asing, seorang Kaigun Jepang,
dan dari keterangan Hatta jelas dapat mengetahui bahwa keberatan opsir
Kaigun Jepang yang datang mengatas namakan orang-orang Katolik dan
Protestan di Indonesia bagian Timur itu ialah terhadap “klausula Islami”
dalam pembukaan, dan sama sekali tidak menyinggung batang tubuh Undang-
Undang Dasar. Namun kenyataannya, yang telah dicoret oleh panitia
persiapan itu bukan hanya “anak kalimat Islami” yang terdapat dalam
pembukaan saja, melainkan juga seluruh “kalimat-kalimat Islami” yang
tercantum dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar dan alasan Hatta
mencoret “klausula Islami” dari pembukaan Undang-Undang Dasar supaya
tidak menusuk hati kaum Kristen dan supaya untuk menjaga agar bangsa
Indonesia tidak terpecah belah.
Hampir seluruh rumusan dan usulan yang dibuat Wahid Hasyim
menyangkut Islam jatuh berguguran. Ada satu hal yang menjadi sorotan,
yakni pemikiran Wahid Hasyim yang pada akhirnya menyetujui bahkan turut
menegosiasikan konsep Negara kesatuan dengan perwakilan kaum Islamis
lainnya setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit antara anggota sidang
BPUPKI. Sebagaimana yang dinyatakan Mohammad Hatta bahwa tujuh kata
tersebut adalah buah pemikiran Wahid Hasyim. Hal ini sekaligus
59
mengindikasi bahwa Wahid Hasyim semula ingin mewujudkan Islam sebagai
dasar Negara. Namun pada akhirnya ada sebuah perubahan frame berpikir
yang dilakukan oleh Wahid Hasyim. Ditengah situasi yang genting serta
mendesak, dalam rangka pembentukan sebuah wadah persatuan dan kesatuan,
para tokoh Islam Khususnya Wahid Hasyim melahirkan sebuah Ijtihad
Kebangsaan dengan menerima bentuk Negara kesatuan serta idelogi Pancasila
tanpa tujuh kata pada butir pertama.
Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah konstitusi Republik
Indonesia serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi politik
yang ditentukan di dalam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus
1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang nanti akan melahirkan Proklamasi dan
Konstitusi.26
Pada tanggal 10 November 1956 Soekarno melantik Konstituante,
karena menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang
sah yang terdiri atas wakil-wakil rakyat. Konstituante dipimpin oleh ketua
dengan lima wakil ketua. Mereka dipilih dari anggota Konstituante dalam
rapat terbuka yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari
jumlah anggota Konstituante dan disahkan oleh presiden. Wilopo (PNI)
dipilih sebagai ketua; Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman
Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI), dan Hidajat Ratu
Aminah (IPKI).27
Pada sidang-sidang tahun 1956, ketua dan wakil ketua dipilih menurut
prosedur yang disetujui sesudah perdebatan yang panjang lebar. Setelah itu,
dimulai dengan diskusi Peraturan Tata Tertib yang mencakup organisasi
Konstituante dan cara-cara kerja. Peraturan Tata Tertib ditetapkan dalam
26 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 210
27
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,
(Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 38
60
sidang pada semester pertama tahun 1957. Selama perdebatan tentang
Peraturan Tata Tertib itu, partai-partai nasionalis radikal mengajukan
pendapat yang secara prinsipil bertentangan dengan pendapat mayoritas
perihal wewenang Konstituante dan fungsi Konstitusi yang kalau dilihat dari
perkembangannya dapat dianggap sebagai indikasi campur tangan pemerintah
yang dilakukan pada tahun 1959. Karenannya wewenang Konstituante dalam
merancang Konstitusi seharusnya tidak bersumber pada UUD 1950,
melainkan pada UUD 1945.
Pada sidang kedua tahun 1957, dua pokok yang sangat penting untuk
diperdebatkan yaitu Dasar Negara dan hak asasi manusia. Selama berbulan-
bulan terakhir tahun 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara
yaitu: Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi yang diajukan dan diperjuangkan
oleh pendukungnya secara gigih. Perdebatan tersebut bersifat ideologis,
mutlak-mutlakan dan antagonistik. Akibatnya, pada tanggal 6 Desember
sidang pleno Persiapan Konstitusi ditugaskan untuk mempersiapkan rumusan
yang akan memungkinkan tercapainya kompromi.
Pada sidang tahun 1958, pokok-pokok pembicaraan yang paling
penting ialah hak-hak asasi manusia, penyempurnaan prosedur dan asas-asas
dasar kebijakan Negara. Berbeda dengan sifat perdebatan mengenai dasar
Negara yang cenderung mengarah pada perpecahan, perdebatan tentang hak
asasi manusia lebih mengarah kepada hal yang mempersatukan. Pada tanggal
9 dan 11 September 1958 Konstituante menerima 19 pasal mengenai hak asasi
manusia untuk dimasukan kedalam undang-undang dasar dan diteruskan
kepada panitia persiapan Konstitusi agar dapat dirumuskan dalam pasal-pasal.
Pada tahun ini juga Konstituante juga berhasil memasukan bentuk
pemerintahan, yakni bentuk republik, serta pasal-pasal tentang bahasa resmi,
bendera nasional, lagu kebangsaan, mengenai lambang Negara, pejabat
Negara dan keuangan Negara. Prinsip-prinsip tersebut berhasil diputuskan dan
61
kemudian diteruskan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dirumuskan
menjadi pasal-pasal dalam undang-undang dasar.
Dengan begitu ketua Konstituante senang dan mengungkapkan
optimismenya ketika menutup sidang pada tanggal 11 September 1958,
dengan menyatakan bahwa sesudah bekerja keras, Konstituante telah berhasil
mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan panen keputusan
dan ia gembira Karena panen itu merupakan hasil dari benih-benih tanaman
Konstituante sendiri.
Sementara itu, di luar Konstituante sedang diperjuangkan sebuah
konsep Negara yang sangat berbeda dengan konsep Negara yang digariskan
dalam UUD 1950 dan juga berbeda dengan paham Negara konstitusional yang
dibayangkan oleh Konstituante. Sesudah itu Soekarno menyampaikan usul
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 kepada Konstituante dengan
mengadakan perubahan pada acara yang sudah diputuskan berlaku untuk
sidang umum tahun 1959. Soekarno mengemukakan argumentasinya bahwa
pemberlakuan kembali UUD 1945 diperlukan karena (1) keadaan nasional
yang kritis; (2) makna simbolid UUD 1945 sesuai dengan kepribadian
nasional; (3) perlunya pemerintahan yang kuat.28
UUD 1945 dapat menjamin
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang sudah diperjuangkannya tanpa hasil
jejak tahun 1957 karena dihalangi oleh konstitusi yang liberal.
Dalam jalan berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah
berkumpul ke dalam tangan atau total ke dalam satu tangan, bernamalah dia
“totaliter”. Tetapi karena nama totaliter tidak popular, ditukarlah namanya jadi
Demokrasi Terpimpin.29
Perdana Menteri Djuanda menyampaikan jawaban
pemerintah yang menawarkan beberapa konsesi, tetapi sekaligus menjelaskan
seterang-terangnya bahwa pemerintah telah merebut wewenang Konstituante
28 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, h.46
29
Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945,h. 106
62
untuk menyusun rancangan undang-undang dasar, dengan menyatakan bahwa
pemerintah bertanggung jawab untuk cepat proses penyusunan dan sekaligus
bertanggung jawab atas isi undang-undang dasar baru itu.
Kemudian Djuanda menegaskan kembali bahwasannya UUD 1945
memang sesuai dengan kerpibadian Indonesia dan Proklamasi 1945.
Kembalinya ke UUD 1945 dimaksudkan untuk meningkatkan pelaksanaan
kebijakan pemerintah, yaitu Demokrasi Terpimpin yang sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Ia menekankan juga bahwa pemerintah ingin supaya
pemberlakuan kembali UUD 1945 itu dilakukan melalui cara-cara
konstitusional. Dalam balasannya sesudah iu, Konstituante menolak
pembedaan yang dibuat oleh pemerintah antara keputusan mengenai hak-hak
asasi manusia dengan keputusan wilayah dan lain sebagainya, dan partai-
partai merumuskan sejumlah amandemen terhadap usul pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945 agar dapat ditambahkan dalam Piagam Bandung. Di
antara amandemen terhadap usul pemerintah terdapat usul dari pihak partai-
partai Islam, yakni untuk memasukan kembali kata-kata yang berkenaan
dengan agama Islam, yang dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, ke dalam
pembukaan. Setelah perdebatan sengit, masalah amandemen ini terlebih
dahulu diserahkan pada prosedur pemungutan suara sesuai dengan Peraturan
Tata Tertib Konstituante pada tanggal 29 Mei 1959 dan ditolak oleh sidang
pleno.
Pada hari berikutnya-30 Mei, 1 dan 2 Juni- usul kembali ke UUD 1945
tiga kali diajukan untuk diputuskan melalui pemungutan suara dan ketiga-
tiganya ditolak oleh Konstituante, dan dengan sendirinya pemungutan suara
tentang amandemen lain-lain tidak diadakan lagi. Pada tanggal 2 Juni
Konstituante reses. Sidang ini ternyata menjadi sidang yang terakhir.
Perdebatan bebas tentang soal-soal politik dan pemerintahan, yang
berlangsung dalam rangka usaha menyusun undang-undang dasar yang
defenitif, diakhiri dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juni 1959.
63
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit untuk
memberlakukan kembali UUD 1945, sehingga dasar Negara yang dipakai
sejak tanggal 5 Juli 1959 ialah tetap Pancasila dengan rumusan sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Ketetapan mengenai urutan dan rumusan Pancasila yang
benar terdapat dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1968/ tanggal 13 April
1968 yang menyebutkan bahwa sila-sila dalam Pancasila urutan dan
rumusannya ialah sebagai berikut:30
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Demikian urutan dan rumusan Pancasila yang benar yang berlaku
kembali sejak tanggal 5 Juni 1959 sampai sekarang.
C. Nilai Kandungan Pancasila
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia juga berkedudukan sebagai
ideologi bangsa Indonesia, sebagaimana tertera dalam ketetapan MPR No.
XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Keteapan MPR RI No. II/MPR/1978
tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila dan penetapan
tentang penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pasal 1 ketetapan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara. Adapun makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut
30 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, h. 35-36
64
ketetapan tersebut adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
menjadi cita-cita nirmatif penyelenggaraan Negara.31
Pancasila dalam sila-silanya tidaklah berdiri sendiri melainkan dalam
tiap sila mengandung sila yang lain. Notonagoro menjelaskan bahwa
Pancasila didalamnya terdapat sifat persatuan dan kesatuan dari sila-silanya
dalam arti sila sebelumnya menjadi dasar dari sila berikutnya, dan sila yang
berikutnya merupakan pengkhususan atau penjelmaan dari sila sebelumnya,32
atau dalam bahasa Darji Darmodiharjo disebutkan bahwa sila sebelumnya
meliputi dan menjiwai sila berikutnya, dan sebaliknya sila berikutnya harus
diliputi dan dijiwai oleh sila sebelumnya,33
sehingga Pancasila dalam
pengamalannya harus secara utuh karena dalam satu sila mengandung sila
yang lain. Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang berisi ajaran-
ajaran mengenai sifat-sifat terpuji, yang merupakan moralitas yang telah
disepakati bersama dalam menjalankan hidup kenegaraan.
Pancasila berisi lima sila yang hakikatnya berisi lima dasar dan
fundamental. Nilai-nilai dasar Pancasila terdapat dalam pembukaan UUD
1945 Alinea IV adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan
yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan, dan
nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut penjelasan
menganai nilai kandungan dasar Pancasila yang merupakan intisari dari sila-
sila Pancasila:34
31 Sukarno, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h. 40
32
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 111
33
Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, (Jakarta: Balai Pustaka,
1979), h. 45
34
Sukarno, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, h. 23
65
1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti kesesuaian dengan
hakekat Tuhan, yaitu Yang Maha Tunggal, hanya ada satu, tiada sekutu
dan merupakan asal mula dari segala sesuatu, karena Tuhan merupakan
pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Dari nilai tersebut bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious bukan bangsa yang tidak
memliliki agama atau atheis.
Notonagoro menjelaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung arti mutlak bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak
ada tempat bagi pertentangan dalam hal Ketuhanan atau keagamaan, bagi
sikap dan perbuatan anti Ketuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan
agama35
. Hal tersebut karena Indonesia menghormati keyakinan terhadap
agama dan keyakinan terhadap Tuhan diserahkan kepada keyakinan
masing-masing agama sebagaimana yang dilukiskan Ir. Soekarno sebagai
Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu Ketuhanan yang berbudi luhur,
Ketuhanan yang menghormati satu sama lain, yang oleh Yudi Latif
kemudian diistilahkan dengan Ketuhanan tanpa “egoisme agama”.36
2. Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab
Hakekat sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
manusia. Manusia utuh dilihat dari sila kedua ialah yang sadar akan dirinya
sebagai manusia, yaitu yang berpendidikan luhur, berbeda dengan binatang
dan tumbuh-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh
karena itu manusia hendaknya berbuat sesuai dengan nilai-nilai
kejiwaannya. Ia wajib berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut agar bias
disebut manusia yang berperikemanusiaan. Notonagoro menjelaskan
mengenai sila kedua dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan
35 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 67
36
Yudi Latif, Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan,
2014), h.3
66
beradab ialah mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat manusia.
Notonagoro menjelaskan bahwa unsur hakekat manusia adalah majemuk
tunggal atau monopluralis yang terdiri dari susunan jiwa atau rohani dan
raga atau jasmani, unsur sifat manusia sebagai diri yang terdiri dari
makhluk individual dan juga makhluk sosial, dan kedudukan manusia yaitu
sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan juga makhluk Tuhan.
Kemanusiaan menurut Darji Darmodiharjo berarti sifat manusia
yang merupakan esensi dan identitas manusia karena martabat
kemanusiaannya, yaitu sebagai makhlum berbudi yang memiliki potensi
piker, rasa, karsa dan cipta. Adil mengandung arti suatu keputusan dan
tindakan yang didasarkan atas norma-norma yang objektif dan bukan
subjektif atau sewenang-wenang, sedangkan beradab mengandung arti
sikap hidup dan tindakan yang selalu berdasarkan nilai-nilai kesusilaan
atau moralitas, jadi kemanusiaan yang adil dan beradab seperti dijelaskan
Darji Darmodiharjo ialah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang
didasarkan pada potensi budinurani manusia dalam hubungan dengan
norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap alam dan hewan37
3. Nilai persatuan Indonesia
Hakekat sila ketiha adalah satu, berkaitan dengan manusia utuh
adalah satu baik dalam dirinya maupun hubungannya dengan orang lain.
Satu dengan yang lain berarti bahwa adanya manusia tidak dapat lepas dari
adanya manusia lain, alam sekitar dan Tuhan. Manusia hendaknya tahu
dan sadar bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dengan manusia lain,
alam sekitar dan Tuhan.38
Notonagoro menyebutkan bahwa sila persatuan Indonesia
mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat yang satu, yakni bahwa
37 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 48
38
Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989),
h.22
67
sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah, dan Negara Indonesia yang
terkandung dalam sila persatuan Indonesia dengan segala perbedaan
didalamnya memenuhi sifat hakekat dari satu, yaitu mutlak tidak dapat
terbagi.39
Dariji Darmodiharjo menjelaskan bahwa persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan.40
Persatuan Indonesia menghendaki hanya ada satu Indonesia
yang berdiri sendiri, tidak bias dibagi-bagi dan mutlak berbeda dengan
Negara lain.
Persatuan Indonesia merupakan jalan untuk mewujudkan cita-cita
nasional. Persatuan dapat diwujudkan dengan adanya kerjasama dan
kebersamaan dalam bentuk gotong royong dalam mencapai tujuan
bersama. Persatuan Indonesia diperkuat dengan adanya semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang menyatukan segala macam kemajemukan
yang ada melebur menjadi satu Negara bangsa Indonesia. Pancasila yang
didalamnya mengandung persatuan dan kesatuan dalam sila-silanya maka
persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkeraykatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan,
yang beradilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawarat perwakilan
Hakekat sila keempat ialah rakyat, yang dalam kaitannya dengan
manusia ialah menghendaki manusia yang mampu menjadikan dirinya
sungguh-sungguh sebagai bagian dari rakyat. Manusia yang mampu
berbuat dari, oleh dan untuk kepentingan bersama. Manusia yang mampu
39 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 120
40
Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 49
68
memecahkan problema bersama secara musyawarah dan mufakat.41
Sila
keempat Pancasila mengandung isi arti bahwa sifat dan keadaan Negara
harus sesuai dengan hakekat rakyat, sehingga Negara Indonesia bukan
Negara satu orang, bukan Negara golongan, tetapi Negara yang didasarkan
atas seluruh rakyat, bukan pada golongan dan bukan pada perseorangan,
berdasarkan atas kekuasaan yang ada ditangan rakyat (kedaulatan rakyat),
berdasarkan atas muyswarah dan gotong royong.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Hakekat sila kelima ialah keadilan, berkaitan dengan manusia ialah
manusia yang mampu memiliki nilai keadilan didalam dirinya, kemudian
melaksanakannya dengan baik. Adil dalam hal ini bukan hanya kepada
sesame manusia namun juga mancakup adil terhadap alam dan lingkungan
sekitar dan juga adil terhadap Tuhan.42
Sila keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia mengandung isi arti kesesuaian hakekat dari adil. Adil dalam
Kamus Besar Basaha Indonesia ialah sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, sedangkan keadilan sosial diartikan dengan kerjasama untuk
menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh dan belajar hidup berdasar kemampuan aslinya.43
Hakekat adil menurut Notonagoro ialah dipenuhinya segala sesuatu
yang telah dipenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak
dalam hiduo bersama sebagai sifat hubungan satu dengan yang lain,
mengakibatkan bahwa memenuhi setiap hak dalam hubungan satu dengan
41 Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 22
42
Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 23-24
43
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 10
69
yang lain adalah suatu kwajiban.44
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia ialah setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil
dalam bidang hokum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.45
Keadilan
sosial sebagai sila terakhir ialah merupakan tujuan dari bangsa Indonesia
dalam bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Adanya keadilan sosial yang ingin diwujudkan
merupakan konsekuensi dari penindasan yang menyengsarakan rakyat dari
akibat adanya penjajahan.
44 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 162
45
Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h.52
70
BAB IV
PEMIKIRAN K.H. A. WAHID HASYIM TENTANG RELASI AGAMA DAN
PANCASILA
A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang hubungan Agama dan Pancasila
Pancasila sebagai dasar Negara tercantum dalam pembukaan UUD
1945 yang terdapat dalam alinea keempat dan sebagaimana tertuang dalam
memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong 9 Juni 1966 yang
menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar Negara Republik
Indonesia.1 Pancasila yang telah disepakati tersebut menjadi dasar atau
ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lima sila dasar yang
dijabarkan di dalam UUD 1945, itu artinya, pancasila dan UUD 1945 menjadi
acuan dalam menjalani kehidupan bernegara. Kendati masih ada
ketidakpuasan dari sebagian kalangan akan rumusan sila-sila dari Pancasila,
karena dihapusnya tujuh kata Islami, namun penerimaan Pancasila oleh
sebagian umat Islam sebagai dasar ideologi Negara, tidak luput dari
pertimbangan akan nilai-nilai Islam didalamnya.2
Dari serangkaian diskusi dan pertemuan Panitia Sembilan dihasilkan
rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan dari pembentukan Negara
Indonesia merdeka dalam sebuah preambule yang dinamakan “Piagam
Jakarta” pada 22 Juni 1945. Rumusan dari dasar Negara Indonesia itu adalah:
1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah (Konsep Teori dan Analisis
Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia), (Jakarta: Media Bangsa, 2012), h. 35
2 https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam-pancasila-
pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019
71
1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya
2. (menurut) Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. (dan) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5. (serta) dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.3
Namun sebelum konsep Piagam jakarta tersebut disahkan pada sidang
tanggal 12 Juli, terdapat masalah yang sangat serius. Masalah itu bermula
ketika muncul aspirasi dari kelompok minoritas non-Muslim dari Indonesia
Timur kepada Mohammad Hatta yang menyatakan agar sebelum UUD itu
disepakati sebaiknya dilakukan perubahan terhadap diktum pertama Piagam
Jakarta. Mereka menghendaki kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya” dihapus dan diganti dengan
kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Mohammad Hatta, tujuh kata pada butir pertama dari piagam
Jakarta itu adalah hasil dari pemikiran KH. Wahid Hasyim. Dengan melihat
pada kenyataan bahwa Islam adalah keyakinan mayoritas yang dipeluk oleh
masyarakat Indonesia serta keunggulan dan kelengkapan ajaran Islam
dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama lain, maka K.H Wahid Hasyim
semula ingin mewujudkan Islam menjadi dasar negara, yang tentunya
pemikiran ini mendapatkan dukungan dari perwakilan kelompok Islam yang
berjumlah 15 orang dalam BPUPKI. Selain itu, jika dicermati lebih teliti,
kalimat pada diktum pertama Piagam Jakarta tersebut tidak lebih sebagai
3 Marwati Djoenoed & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,
(Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka), h. 71
72
sebuah ungkapan realitas yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia yang
memang mayoritas Muslim. Namun kalimat tersebut juga tidak terlalu
salah jika dipahami adanya “diskriminasi” terhadap agama dan keyakinan
lain.4
Wahid Hasyim sebagai pencetus dari kalimat tersebut membantah
persepsi yang menyatakan bahwa kalimat itu memiliki potensi pada
munculnya rasa fanatisme dan seolah-oleh syari’at Islam harus dipaksakan
untuk dipatuhi dan dilaksanakan bagi kalangan non-Islam. Bagi Wahid
Hasyim tidak ada paksaan terhadap disetujuinya kalimat tersebut oleh para
anggota BPUPKI yang lain termasuk dari anggota non-Muslim karena pada
awalnya kalimat itu disepakati melalui mekanisme demokratis yang
berlangsung dalam BPUPKI.
Ia juga menolak jika butir pertama Piagam Jakarta itu sebagai sebuah
kalimat yang tajam, karena ini adalah pendapat subyektif bagi yang
menyatakannya sebagai demikian. Untuk hal ini K.H Wahid Hasyim
memberikan bukti dan kenyataan di mana sebagian anggota BPUPKI yang
lain melihat serta menilai bahwa kalimat itu bukan sebagai sebuah narasi
kalimat yang tajam. Dalam menjelaskan dan memberi argumentasinya, K.H
Wahid Hasyim menyatakan bahwa Islam merupakan satu sistem agama,
sosial, politik, dan sebagainya yang bersumber serta berstandar kepada kitab
suci Al-Qur’an. Sebagai sumber dan sandaran, Al-Qur’an ibarat sebuah
bangunan yang kokoh karena berasal dari Allah SWT.5
4 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Kinta, 1972) h.
451-458
5 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka
Tebuireng, 2015), h. 377
73
Sehari setelah proklamasi, K.H Wahid Hasyim berubah pikiran. Ia
malah mendukung usulan kalangan nasionalis sekuler dalam menghapus tujuh
kata tersebut. Dengan demikian, jika diteliti lebih lanjut, disinilah kebesaran
jiwa seorang K.H Wahid Hasyim tampak mencolok. Ia mendahulukan
kepentingan lebih besar dalam skala jangka panjang. Ia lebih memilih
menekankan sisi substansi dari pada tampilan formalitas. Ia lebih bijak dalam
menyikapi persoalan dasar Negara, dan dalam menempatkan posisi Pancasila
dalam struktur keberagaman muslim Indonesia. Apa yang diperjuangkan K.H
Wahid Hasyim saat itu adalah melakukan upaya-upaya Islamisasi disegala
bidang, terutama dalam konstitusi Negara. Akan tetapi, tatkala ia menjumpai
sebuah permasalahan besar yang menyangkut persatuan dan kesatuan umat, ia
rela meninggalkan pendapat pribadinya, demi kemaslahatan umat.6
K.H Wahid Hasyim memiliki argumentasi kuat dalam melakukan
penghapusan tujuh kata itu. K.H Wahid Hasyim melihat ide dan gagasannya
mengenai Islam terlalu beresiko jika dipaksakan.7 Penerimaan dan
pengamalan Pancasila, demikian yang dikutip oleh Muchith Muzadi,
merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan
syari’ah.8
Sebagai seorang yang dibesarkan di kalangan tradisionalis yang
bercorak pemikiran Sunni, K.H Wahid Hasyim tentu saja banyak dipengaruhi
oleh khazanah pemikiran klasik. Ditinjau dari segi pemikiran Nahdlatul
Ulama yang mempengaruhinya, sikap K.H Wahid memiliki konsistensi
rasional. Dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial politik, NU selalu
6 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-
Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 343-344
7 Saifuddin Zuhri, Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Gunung Agung,
1987), h. 197
8 Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H.A Muchith Muzadi,
(Surabaya: Khalista, 2008), h 103
74
melihatnya tidak dalam posisi seutuhnya. Apa yang dilakukan oleh K.H
Wahid Hasyim dengan menerima Pancasila, merupakan implementasi dari
sebuah doktrin fiqh. Tatkala Negara Islam tak terbentuk, maka nilai-nilai
Islam akan berusaha diakomodasi oleh Pancasila. Pemikiran fiqh
menyediakan jalan keluar tanpa harus terjebak dalam sikap-sikap yang
dipaksakan. Selain itu, wujud formal Negara telah memenuhi kualifikasi
menurut syari’ah, yang secara de jure diputuskan dalam muktamar NU di
Banjarmasin pada 1936, merupakan perintah agama yang harus diikuti.9
Dua alasan penerimaan K.H Wahid Hasyim terhadap Pancasila adalah
kondisi saat itu yang sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi
Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka. Alasan lainnya
adalah bahwa kewajiban mengikuti syari’ah Islam bagi umat Islam akan tetap
mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD
1945 yang menjamin kebebasan setiap warga Negara untuk memeluk agama
dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Dalam alasan pertama,
K.H Wahid Hasyim tampaknya menggunakan kaidah dar al-mafasid
muqaddam ala jalb al-mashalih; mendahulukan upaya menghindari bahaya
atau kerusuhan daripada melaksanakan kemaslahatan yang lebih besar.10
Kaidah ini menjelaskan bahwasannya mencegah bahaya lebih diutamakan
daripada mencari kemaslahatan untuk dirinya.
Dengan mempertimbangkan usia republik yang baru diproklamirkan,
ia menghindari resiko perpecahan, terutama dengan kawasan Indonesia Timur
maupun dengan umat beragama lain, dengan konsekuensi permintaan
menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Padahal, yang dibutuhkan saat
itu adalah persatuan, bukan perpecahan yang diakibatkan perbedaan sectarian.
9 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-
Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 345
10 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-hari,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 162
75
Dengan demikian, polarisasi dan friksi akut yang akan terjadi dikalangan
internal umat Islam maupun kelompok non-muslim, jika ia tetap bersikukuh
mempertahankan pendapatnya.
Padahal sebagaimana Boland anak kalimat tersebut sangat penting
artinya pada tahun-tahun berikutnya karena memberikan peluang kepada
masyarakat Islam yang berusaha keras melaksanakan cita-cita Negara Islam
dengan cara konstitusional. Intinya, Piagam Jakarta adalah pintu menuju
Negara berdasarkan Islam, sebagaimana yang dikehendaki K.H Wahid
Hasyim bersama kelompok nasionalis Islam dalam sidang BPUPKI. Tetapi,
kalangan nasionalis Islam lebih memilih mengalah.11
Seperti yang
diungkapkan Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama), ia menceritakan
bagaimana K.H Wahid Hasyim menjelaskan kepadanya masalah kesepakatan
tersebut, K.H Wahid Hasyim di dalam pertemuan 18 Agustus 1945 itu
menyatakan bahwa kelompok minoritas bisa melakukan politik ofensif,
bahkan disertai dengan ancaman karena mereka tertindas. Tetapi sebagai
kelompok yang mempunyai kepentingan atas kokohnya persatuan untuk
menghadapi Belanda, para pemimpin Islam dan para nasionalis sudah
sepatutnya memenuhi keinginan itu. Menurut K.H Wahid Hasyim, penerapan
syari’ah Islam boleh ditampung melalui pelaksanaan Pasal 29 Ayat 2 UUD
1945 secara jujur. Apabila aturan yang menjamin kemerdekaan beragama dan
beribadah ini dijalankan dengan baik, maka berarti sudah semestinya
kewajiban menjalankan syari’ah Islam akan tumbuh sebagai kesadaran setiap
Muslim.12
Bagi K.H Wahid Hasyim, yang harus diterima dan yang terpenting
adalah di dalam Indonesia, yaitu adanya Negara yang memungkinkan kaum
11 B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, (Jakarta: Grafiti Press,
1985), h. 72
12
Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007), h.
36
76
muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata.13
Dengan
demikian, pemberlakuan syari’ah adalah melalui cara persuasif. Tampaknya
pendapat K.H Wahid Hasyim itu dipengaruhi oleh keputusan Nahdlatul
Ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1963 yang memutuskan
bahwa kawasan Hindia Belanda telah memenuhi syarat sebagai Dar al-Islam
(Negara Islam).
Sebagai seorang nasionalis yang akrab dengan nilai-nilai Islam, Wahid
Hasyim berusaha menjalani kehidupan sebagai seorang negarawan, juga
sebagai seorang muslim. Sebagai negarawan, ia tidak mau persatuan bangsa
Indonesia terkoyak dengan adanya pemberontakan di berbagai daerah. Pada
gerakan oposisi Angkatan Umat Islam di Kebumen, K.H Wahid Hasyim
selaku Menteri Agama berusaha mendatangi mereka guna mengajak
menghentikan perlawanan. Bahkan, konon ia sempat diculik oleh anak buah
Kahar Muzakkar, guna dimintai pertimbangan dan nasehat. Begitu pula
tatkala nama K.H Wahid Hasyim dicatut oleh Tan Malaka sebagai salah satu
calon menteri jika upaya kudeta yang dilakukan berhasil, K.H Wahid Hasyim
sontak terkejut dan tak menyetujui upaya kudeta yang dilakukan Chaerul
Saleh dan Tan Malaka, sahabat eratnya itu.14
Apa yang dikehendaki K.H Wahid Hasyim dalam memandang posisi
Negara adalah, bahwa Negara memiliki peranan penting sebagai sebuah
kesepakatan dari berbagai elemen bangsa. Untuk itulah, ia bersikukuh
mempertahankan persatuan dan keutuhan bangsa. ia juga bersedia menerima
Pancasila sebagai dasar Negara karena disamping Pancasila dianggap baik
Islam juga harus memberikan motivasi untuk menerima, bukan hanya
13 Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999), (Surabaya: Diantama,
2004), h. 185
14
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h.
313
77
Pancasila, tetapi juga apa yang baik yang dapat memberikan kontribusi bagi
perwujudan nilai-nilai Islam secara konkrit.
Dalam menilai Negara, K.H Wahid Hasyim dikategorikan seorang
yang substansialis, yang berpandangan relasi agama dan Negara sebagai
hubungan yang simbiosis mutualistik. Dalam pandangannya, Negara sekedar
melayani keperluan agama rakyat sesuai dengan dasar Pancasila terhadap
persoalan yang bersifat individual, menurut K.H Wahid Hasyim, pemerintah
tidak boleh mencapurinya dan hanya boleh mengatur persoalan agama pada
segi yang bersifat kemasyarakatan. Pancasila dipandang sebagai suatu produk
masyarakat yang diperlukan untuk keperluan itu sendiri. Pancasila dinilai
sebagai falsafah Negara, sedangkan agama adalah wahyu. Pada dasarnya, sila-
sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi
dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sering
dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan antara agama dan politik.
Tetapi, ia membedakan mana bidang yang berguna untuk ditanggapi dan
mana yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus
di tolak demi tujuan keagamaan.15
Dari sudut pandang umat Islam, Pancasila menurut Abdurrahman
Wahid putra dari K.H Wahid Hasyim adalah upaya maksimal warga muslim
Indonesia untuk menyelamatkan bentuk Negara ditengah tarikan keinginan
untuk membuat dasar Negara sekuler dan Islam. Pancasila bagi umat Islam
adalah dasar Negara, sedangkan Islam adalah akidahnya. Pancasila mengatur
tata hidup bernegara, sedangkan tata hidup beragama diatur oleh Islam.
Keduanya tidak akan berbenturan dan tidak perlu dibenturkan, sehingga
menurut Gus Dur, Islam tidak perlu menjadi agama resmi Negara dan
15 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 179
78
diformalisasikan dalam bentuk undang-undang Negara, tetapi yang penting
adalah jaminan Negara bagi umat Islam untuk menjalankan agamanya.16
Meskipun ada sebagian rakyat Indonesia yang berkeinginan
menghidupkan syari’ah Islam dengan mewujudkan Negara Indonesia sebagai
Negara Islam, namun dengan lahirnya Republik Indonesia semuanya harus
bisa menerima. Sebab yang terpenting didalamnya, menurut K.H Wahid
Hasyim adalah kaum muslimin dapat melaksanakan ajaran agamanya secara
nyata. Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi
(kedaulatan rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa
Indonesia untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan
kepada golongan lain. Pertemuan dua prinsip, lanjutnya mengakibatkan
adanya kompromi; keinginan kaum muslimin untuk menghidupkan syari’ah
agamanya tetap diberi jalan, tetapi prinsip demokrasi juga dipertahankan agar
keinginan tadi tidak mendesak dan merugikan golongan lain.
Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan Abdelwahab el-
Affendi, bahwa Negara akan sesuai dengan syari’ah yang tak dipaksakan,
tetapi merupakan sebuah ekspresi sesungguhnya dari kehendak masyarakat
tersebut. Dengan kenggotaan yang benar-benar bebas, masyarakat muslim di
jantung Negara ini merupakan masyarakat yang memilih untuk hidup sesuai
dengan Islam dan mentaati syari’ah. Karena itu, syari’ah benar-benar ditaati
hanya bila rakyat melakukan secara sukarela dan tulus.17
Meski menyempatkan untuk menempatkan Islam sebagai dasar
Negara, K.H. Wahid Hasyim justru menyetujui penghapusan tujuh kata itu
dari UUD 1945. Terlepas dari polemik dan kontroversi yang seputar
kehadiran K.H. Wahid Hasyim pada 18 Agustus itu, tak dapat diragukan lagi
16 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: PT
Grasindo, 1999), h. 19
17
Abdelwahab el-Affendi, Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 94
79
bahwa peran dan kontribusi beliau dalam perumusan dasar Negara menjadi
sangat signifikan. Disini penulis melihat apa yang dilakukan K.H. Wahid
Hasyim sangat penting dan menarik, sebab diantara beberapa usulnya adalah
dicantumkannya Islam secara formal sebagai agama Negara disertai syarat
bahwa presiden harus orang Islam. Selain itu, upaya formalisasi Islam sebagai
agama Negara juga tampak dalam proses perumusan dan pengesahan Piagam
Jakarta.
B. Relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan kondisi Indonesia saat
ini
K.H Wahid Hasyim adalah pemikir, perumus, serta pelaku sejarah
Indonesia modern abad ke-20 yang sangat penting. Kiai Wahid adalah seorang
pemuda “made in pesantren” yang brilian dan berpandangan kedepan
melampaui kebanyakan orang pada waktu itu. Ide-ide dan gagasannya serta
kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan, pergerakan, politik dan
pendidikan adalah indikator utama K.H Wahid Hasyim dalam berpandangan
kedepan. Buah pikiran dan cita-citanya ramuan antara peradaban Melayu
Nusantara dan peradaban Indonesia Modern periode kemerdekaan, yang
diteruskan oleh generasi berikutnya.
Aktivitas K.H Wahid Hasyim dalam skala nasional menunjukan
bahwa K.H Wahid Hasyim adalah orang yang sangat gigih mengusulkan
Indonesia menjadi Negara yang berdasarkan Islam. Namun Islam bukan harga
mati baginya. Ini terbukti ketika pada satu hari setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, K.H Wahid Hasyim tanpa berbelit-
belit dapat menerima usulan yang diajukan Mohammad Hatta agar segala
rumusan yang memuat Islam secara eksplisit dihapuskan dari pembukaan dan
batang tubuh undang-Undang Dasar, karena disinyalir ada keberatan dari
penduduk dari Indonesia bagian Timur yang tidak ingin bergabung dengan
Indonesia merdeka jika berdasarkan Islam. disinilah peran K.H Wahid
80
Hasyim cukup penting dalam ikut menyelamatkan persatuan bangsa
Indonesia. Tidak terbayangkan apa yang terjadi jika seandainya K.H Wahid
Hasyim menolak usulan tersebut, karena bagi K.H Wahid Hasyim persatuan
bangsa Indonesia lebih penting dari pengakuan formal terhadap Islam.18
Sejarah mencatat bahwa gerakan-gerakan nasionalis sekuler lebih
mendominasi pemerintahan Indonesia, terutama pada pemerintahan represif
Orde Baru. Salah satunya Pancasila dijadikan alat penguasa untuk bertindak
represif terhadap kelompok penentang kebijakan pemerintah dengan tudingan
tidak “Pancasilais”. Pancasila dijadikan alat penyeragaman Indonesia yang
majemuk.19
Akibatnya, gerakan-gerakan Islam, terutama yang berkaitan
dengan politik, bergerak secara eksklusif dan klandestine. Akibatnya, tatkala
Orde Baru runtuh pada 1998, gerakan-gerakan politik yang mengusung
wacana-wacana Islam politik kembali marak. Masa transisi ini sekaligus
menjadikan pertanyaan besar seiring dengan runtuhnya bangunan politik lama
dan belum tercapainya bangunan politik yang baru. Dalam konteks ini, relasi
Islam dan Negara, dimana keberadaan NKRI dengan dasar Pancasila telah
dianggap final.
Termasuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, kembali semarak.
Partai politik yang mengidentifikan diri dengan Islam seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PKB), dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), berupaya memasukan Piagam Jakarta dalam amandemen
UUD pada tahun 1999. Di luar parlemen, upaya menghidupkan syari’ah Islam
dalam Negara dilakukan juga oleh ormas keagamaan seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga Front Pembela
Islam, hingga saat ini.
18 Azyumardi Azra (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,
(Jakarta: PPIM, 1998), h. 112
19
M. Zaid Wahyudi, Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat, Kompas, Selasa
26 Juni 2007
81
Upaya melakukan hukum Islam secara formal, pernah dilakukan
golongan nasionalis Islami, pada pembahasan dasar Negara pada zaman pra
kemerdekaan. K.H Wahid Hasyim, salah satu tokoh Islam terkemuka saat itu,
menginginkan Islam dijadikan dasar Negara Indonesia. Ia begitu kukuh
memperjuangkan cita-citanya. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945, ia
memprakarsai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada
posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam
vis a vis Negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam
mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakan Negara melalui
perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakan
kemerdekaan, namun untuk mengisi Negara merdeka kelompok Islam tidak
selalu pada posisi yang menentukan. Gagasan K.H Wahid Hasyim sebenarnya
didasarkan pada prinsip tujuan dan cara pencapaiannya untuk melihat
pentingnya aspek fungsionalisasi ajaran agama.
Dalam konteks ini kemudian K.H Wahid Hasyim berupaya untuk
memberikan solusi atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda; yaitu
antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler maupun antara mereka yang
menginginkan Islam sebagai dasar Negara dan menginginkan sekulerisme
tumbuh di Indonesia. K.H Wahid Hasyim, secara tidak langsung ingin
mejadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara. Pemikiran
ini kemudian lebih cenderung pada kedekatan pada paradigma simbiotik
dimana Negara dan agama saling menunjang. Yaitu menempatkan Islam
sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural. Keyakinan ini,
didasarkan atas pemahaman mengenai relasi Negara dan agama dalam
pemikiran Ibnu Khaldun, yang menganggap pembentukan sebuah Negara
disamping paham keagamaan, juga diperlukan rasa keterkaitan atau perasaan
kelompok.
82
Dengan demikian diskursus relasi Negara dan agama memang ada
dialektika Islam. Hal inilah yang kemudian tidak bisa dijustifikasi
kebenarannya yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Hanya saja
sebagai solusi altefnatif, bagaimana kemudian masyarakat bisa mendapatkan
keadilan dan kesejahteraan dalam bernegara, dimana dalam hal inilah yang
dijelaskan dalam kehidupan agama khususnya Islam. Menurut K.H Wahid
Hasyim yang pada saat itu mewakili NU mempunyai penafsiran liberan
terhadap Piagam Jakarta dengan mengartikannya sebagai penegasan “hak”
untuk melaksanakan ibadah, dan bukan “keharusan”.20
Inilah salah satu
pemikiran K.H Wahid Hasyim yang relevan hingga kini.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidaklah dipahami
sebagai kekalahan golongan nasionalis Islami melawan nasionalis sekluer.
Justru itu adalah kemenangan politik wakil-wakil muslim, dan bahkan
kemenangan kaum muslim di Indonesia. Islam menghendaki para
pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin),
dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistem yang
menjamin kebaikan konstitusional bagi seluruh bangsa ialah sistem yang telah
disepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila
menurut semangat UUD 1945. Dalam hal ini penting dan terpaksa harus
sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok
yang untuk sebagian masyarakat muslim dianggap belum selesai. Padahal
kaum muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila dan
UUD 1945 karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan
pada dua pertimbangan yakni: pertama, nilai-nilainya di benarkan oleh ajaran
Islam, dan kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar
berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.
20 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 381
83
Harus diakui, sintesa antara agama dan Pancasila di Indonesia
menunjukan jalan yang rumit, namun unik. Hingga kini, polemik masih
terjadi untuk sekedar merebut Republik Indonesia sebagai Negara dengan
klasifikasi seperti apa; bukan integralistik, juga bukan sekuler. Mungkin yang
paling tepat adalah dengan menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara
dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling berhadapan secara
konfrontatif. Lebih tepatnya, jika relasi dalam diskursus ini menganut model
jalan tengah, dimana Negara mengakui ekstitensi agama dalam konstitusinya
dan pada saat yang sama politik agama tidak menguasai agama.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian pada bab-bab sebelumnya, skripsi ini
setidaknya dapat menyimpulkan dan menemukan beberapa hal penting terkait
pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan Pancasila, yaitu:
1. Dalam menilai relasi agama dan Pancasila, K.H Wahid Hasyim
adalah seorang yang substansialis yang dimana ia
menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis
dalam kehidupan bernegara.
2. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan
pancasila merujuk pada paradigma simbiosis mutualistik.
Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara
membutuhkan agama, agama membutuhkan negara dalam
pembinaan moral, etika dan spiritualitas.
Dalam hubungan Agama dan Pancasila di Indonesia menunjukan jalan
yang rumit. Hingga kini permasalahan masih terjadi untuk sekedar merebut
Republik Indonesia sebagai Negara dengan paradigma seperti apa: bukan
integralistik, juga bukan sekuleristik, tetapi yang paling tepat ialah dengan
menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara dan Agama saling menopang
dan mengisi tanpa saling berhadapan secara konfrontasi.
85
B. Saran
1. Di tengah maraknya permasalahan yang dihadapi Negara Indonesia
ini, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial, pendidikan sampai
dengan politik yang belum terselesaikan sampai saat ini, maka sudah
seharusnya kita sebagai rakyat Indonesia untuk menghindari
konfrontasi ditengah permasalahan bangsa Indonesia saat ini. Pada
dasarnya Pancasila itu sudah final adanya. Ketika membicarakan
Pancasila berarti membicarakan persatuan.
2. Kepada bangsa Indonesia sudah saatnya untuk menjunjung tinggi nilai
persatuan. Akan lebih baik jika bersikap toleran, mengambil jalan
tengah dan bersikap adil dalam menyikapi permasalahan Negara
Indonesia.
86
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan
Kewarganegaraan. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009.
Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2010.
_______. Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan Penerapan
Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi.
Yogyakarta: Gava Media, 2007.
Astuti, Ngudi. Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis
Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Media
Bangsa, 2012.
Atjeh, Aboebakar. Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim. Jawa Timur: Pustaka
Tebuireng, 2015.
Azra, Azyumardi; Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial
Politik. Jakarta: PPIM, 1998.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972. Jakarta: Grafiti
Press, 1985.
Budiarjdo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2001.
Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis,
Historis, dan Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional,
1988.
________. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta: Balai Pustaka, 1979.
Dhofier, Zamarkhasyi. Tradisi Pesantren {Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiai}. Jakarta: LP3ES, 1985.
Djoenoed, Marwati & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,
Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka.
Effendi, A.M. Falsafah Negara Pancasila. Semarang: CV. Triadan Offset
Semarang, 1995.
Effendi, Bahtiar. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Press, 2001.
87
El-Affendi, Abdelwahab. Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam.
Yogyakarta: LKiS, 2001.
Fauzi, Ahmad, dkk. Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis
Konstitusional dan Segi Filosofis. Surabaya: Usaha Offset Printing,
1983.
Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007.
Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih
Dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1994.
Hasyim, Masykur. Merakit Negeri Berserakan. Surabaya: Yayasan 95, 2002.
Hatta, Mohammad. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Kinta, 1972
https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam
pancasila-pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019.
Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam. Jakarta : Erlangga, 2008.
Jamil, M. Mukhsin, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala
Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, 2007.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995.
Latif, Yudi. Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta:
Mizan, 2014.
_______. Yudi. Intelegensia dan Kuasa, Jakarta : Democracy Project, 2012
Mansyur Surya Negara, Ahmad. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani
Pustaka Semesta, 2010.
Ma’shum, Saifullah. Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26
Tokoh Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 1994.
_______. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung:
Mizan, 1998.
88
Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 2008.
McLellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Alih bahasa Muhammad Syukri.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Miftahuddin. KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara.
Bandung: Marja, 2017.
Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya}. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010.
Mumazziq, Rijal. “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-
Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, 345
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1994.
Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Said, Ali, As’ad. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa. Jakarta:
LP2ES, 2009.
Said, Imam Ghazali, dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999),
Surabaya: Diantama, 2004.
Saifuddin Anshari, Endang. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis
Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1859.
Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.
Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2004.
Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta:
KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.
Sitompul, Einar Martahan. NU Dan Pancasila. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2010.
89
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990
Subandi, Al-Marsudi. Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003.
Sukarno. Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Sunoto. Filsafat Sosial dan Politik Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.
Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, Jawa
Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015.
Thohir, Anas, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia.
Surabaya: PCNU Kodya Surabaya, 1980.
Van Bruinessen, Martin. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru. alih bahasa Farid Wajidi. Yogyakarta: LkiS, 1994.
Wahid, Abdurrahman. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT
Grasindo, 1999.
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-
hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Zaini, Achmad. K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan
Pejuang Kemerdekaan. Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011.
Ziemek, Mahfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo.
Jakarta: P3M, 1986.
Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta:
Yayasan Saifuddin Zuhri dan LKiS, 2001.
_______. Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I. Jakarta: Gunung Agung,
1987.
_______. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.
top related