resume buku hukum perikatan
Post on 17-Jan-2016
569 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TEMPAT HUKUM PERIKATAN DALAM KUH PERDATA
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih di dalam
lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain
mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir dari suatu
perjanjian dan Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum.
A. Pembagian Hukum Perdata Menurut Doktrin
1. Hukum Pribadi (personrecht);
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang
manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek
hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
2. Hukum Keluarga (familierecht);
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti
perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan
anak,perwalian,curatele,dan sebagainya
3. Hukum Kekayaan (vermogenrecht);
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti
perjanjian,milik,gadai dan sebagainya. Terbagi menjadi:
- Hak Kekayaan Absolut: Hak kebendaan yakni hak atas nenda-
benda immaterial.
- Hak Kekayaan Relatif: Hak yang ada pada subjek yang muncul
dalam perilatan.
4. Hukum Waris (erfrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau
harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan
perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
B. Pembagian/Sistematika dalam K.U.H.Perdata (Burgerlijk Wetboek)
- Buku I : Tentang Orang/Pribadi.
- Buku II : Tentang Benda .
- Buku III : Tentang Perikatan.
- Buku IV : Tentang Bukti dan Daluarsa.
C. Perikatan dan Hak-Hak KekayaanHak-hak mengenai harta kekayaan yang menjadi objek dalam
Perikatan terbagi menjadi:
1. Hak Kekayaan yang Absolut Dapat ditinjau dari segi pasifnya, yaitu
semua orang harus menghormati pemilik hak kekayaan absolut
tersebut. Hak absolut dibedakan menjadi hak kebendaan (hak milik,
hak gadai atau hak hipotik) dan hak-hak atas benda immateriil.
2. Hak Kekayaan yang Relatif Hak kekayaan yang hanya bisa ditujukan
kepada orang-orang tertentu dan ia muncul dari perikatan, sehingga
orang menyebutnya ius in personam.
3. Hubungan Antara Hak Relatif dan Hak Kebendaan Hak relatif atau hak
pribadi (persoonlijkrecht) adalah kebalikan dari hak kebendaan
sebagai sebgaian dari hak yang absolut.
BAB II
PERUMUSAN
A. Perumusan Menurut Doktrin
Pada umumnya sebelum orang membicarakan sesuatu, ia memberikan
lebih dahulu pembatasan mengenai objek. Dalam hal ini pembuat UU yang lalai
ataupun sengaja tidak memberikan perumusan mengenai perikatan. Dengan
demikian perikatan menurut doktrin meliputi baik segi aktif/kreditur(orang yang
berpiutang) maupun pasif/debitur (orang yang berutang).
B. Unsur-Unsur Perikatan
1. Hubungan Hukum;
Hubungan hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak
pada salah satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang artinya hubungan yang
diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan
dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup
berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran
terhadap hubungan- hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat
hukum.
Hubungan Hukum di sini berbeda dengan hak kebendaan. Pada
perikatan, kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela
sebagaimana mestinya, maka kreditur dapat meminta bantuan hukum
sekalipun bukan executive riil. Hubungan yang diatur oleh
hukum;Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan
kewajiban di lain pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya.
2. Hubungan Antara Kreditur dan Debitur (Subjek Hukum);
Pada setiap perikatan selalu terdapat 2 pihak yaitu kreditur sebagai
pihak yang berhak atas suatu prestasi dan debitur sebagai pihak yang
wajib berprestasi. Pada terdapat 2 unsur yakni schuld dan haftung.
Schuld merupakan kewajiban debitur untuk melakukan sesuatu
terhadap kreditur, sedang haftung merupakan kewajiban debitur
mempertanggung jawabkan harta kekayaan debitur sebagai pelunasan
schuld. Dalam hal perjanjian hutang piutang, schuld merupakan utang
debitur kepada kreditur. Setiap debitur memiliki kewajiban untuk
menyerahkan prestasi kepada kreditur, oleh karena itu debitur
mempunyai kewajiban untuk membayar pelunasan hutang.
Sedangkan, haftung merupakan harta kekayaan debitur yang
dipertanggung jawab sebagi pelunasan hutang tersebut. debitor
tersebut berkewajiban untuk membiarkan kreditur untuk mengambil
harta kekayaannya sebanyak hutang yang dimiliki oleh debitur untuk
pelunasan hutang tersebut apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Setiap
kreditur yang memiliki piutang kepada debitur memiliki hak menagih
atas pembayaran pelunasan piutang tersebut jika debitur tidak
memenuhi prestasinya untuk pelunasan pembayar hutangnya. Di dalam
Hukum Perdata, disamping memiliki hak menagih (vorderingerecht),
kreditur memiliki hak untuk menagih kekayaan debitur sebasar piutang
yang miliki oleh si debitur tersebut (verhaalarecht).
Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur bahwa
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”( Pasal
1131 KUHPerdata). Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal
tersebut mengandung asas bahwa kekayaan debitor dipertanggung
jawabkan sebagai penulasan hutangnya kepada kreditur. Namun,
terdapat penyimpangan antara schuld dan haftung, yakni ditinjau dari:
a. Segi aktif dan pasif:
- Schuld tanpa Haftung.
Seorang debitur mempunyai schuld maupun hafting, tetapi
yang berhutang atas dasar penjudian tidak dapat dituntut
pelunasan hutangnya melalui sarana hukum, hukum tidak memberi
bantuan hukum kepada kreditur seperti itu sehingga disebut “tidak
mempunyai haftung”.
Hal ini dapat dijumpai dalam perikatan alam (natuurlijke
verbentenis). Dalam perikatan alam sekalipun debiror memiliki
hutang (schuld) kepada kreditur, namun jika Debitur tidak
melaksanakan prestasinya, kreditor tidak dapat menuntu
pemenuhannya. Contohnya dapat ditemukan dalam hutang yang
timbul karena perjudian. Sebaliknya jika debitor memenuhi
prestasi, debitor tidak dapat menuntut pengembalian apa yang telah
dibayarkan.
- Schuld dengan Haftung terbatas.
Dalam hal ini debitur tidak bertanggung jawab dengan
seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai dengan
jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh: ahli waris yang
menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk
membayar schuld daripada pewaris samapai schuld jumlah harta
kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.
- Haftung tanpa Schuld atau Haftung dengan Schuld pada pihak lain.
Seorang pihak ketiga memberi jaminan kebendaan seperti
gadai dan pemberi hipotik untuk hutang debitur, benda tertentu
miliknya yang diberikan sebagai jaminan dapat dieksekusi jika
debitur lalai memnuhi kewajiban perikatannya dengan baik.
Jika pihak ke tiga menyerahkan barangnya untuk
dipergunakan sebagai jaminan oleh debitur kepada kreditur maka
walupun dalam hal ini pihak ke tiga tidak memiliki hutang kepada
Kreditor akan tetapi pihak ke tiga tersebut bertanggung jawab atas
hutang debitor dengan barang yang dipakai sebagia jaminan. Hal
ini dapat dikatakan sebagi bourtogh (pertanggungan). Contoh: A
mengadakan perjanjian hutang piutang dengan B akan tetapi C
bersedia menjaminkan barang yang dimilikinya untuk pelunasan
hutang yang dimiliki oleh A terhadap B walaupun C tidak memiliki
hutang terhadap B.
b. Subjek Perikatan:
- Subjek Kreditur
Pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang
memiliki utang (kewajiban).
- Subjek Debitur
Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau
pihak yang memiliki piutang (hak).
3. Harta Kekayaan:
Hukum perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan
(vermogensrecht) dan bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah
Hukum Benda. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan itu
merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran
dapat ”dinilai dengan uang”.
Pandangan klasik mengatakan bahwa suatu hubungan dapat
dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai
dengan sejumlah uang. Sedangkan pandangan baru berpendapat bahwa
sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang,
tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu
diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum
pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan
Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang, jika kerugian
yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi
nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena
dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat hubungan-
hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat
badaniah akibat perbuatan seseorang.
Jadi kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan
sebagi suatu kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan.
Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi
bukan berarti bahwa ”dapat dinilai dengan uang” adalah tidak relevan,
karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu
merupakan perikatan.
4. Isi Perikatan;
a. Suatu prestasi tertemtu.
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi
merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah
suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat
kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul
apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada
suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada
salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau
kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat
adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan
hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.
Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum
yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai
sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll.
b. Bentuk prestasi.
Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :
- Memberikan sesuatu;
- Berbuat sesuatu;
- Tidak berbuat sesuatu
Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang,
memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik
atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya
membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A
membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk
tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga
prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
debitur. Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :
1. Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas
pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban
(schuld).
2. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa
memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi
kewajiban tsb (Haftung)
c. Syarat Prestasi.
- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
- Objeknya diperkenankan oleh hukum;
- Dimungkinkan untuk dilaksanakan.
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang
sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta
kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna
pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk
itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di
dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih
hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi
kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak
menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu
(verhaalsrecht).
BAB III
Sistematika K.U.H.Perdata Tentang Perikatan
A. Tinjauan Umum
Buku III BW mengatur mengenai hukum perikatan. Bagian umum terdiri
dari empat, dan bagian khusus terdiri dari lima belas bab. Bagian umum bab
pertama mengatur ketentuan-ketentuan untuk semua perikatan, baik yang timbul
dari persetujuan maupun undang-undang,. Bertentangan dengan judulnya yang
berbunyi: “Tentang perikatan-perikatan pada umumnya”, Bab I mengandung
banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Sebagian
besar dari bab ini ditujukan kepada pembagian perikatan-perikatan. Hal ini
mengoper secara hurufiah Code Perancis, sedangkan ketentuan-ketentuan tersebut
dalam Code diperuntukkan bagi perikatan yang timbul dari persetujuan.
Dalam Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan
yang timbul dari persetujuan.
Dalam Bab III yang berjudul: “Perikatan-perikatan yang timbul dari
undang-undang” hanya terdapat dua ketentuan umum, yaitu pasal 1352 dan pasal
1353 dan selanjutnya mengatur tiga perikatan-perikatan khusus yang terjadi
karena undang-undang, yaitu perwakilan sukarela, pembayaran yang tidak
terutang dan perbuatan melawan hukum. Menurut Pitlo, tiga perikatan khusus
tersebut seharusnya ditempatkan dalam persetujuan-persetujuan tertentu.
Bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-
perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan
atau undang-undang.
Bab V sapai dengan Bab XVIII dan Bab VII A mengatur mengenai
persetujuan-persetuan bernama (tertentu). Dalam bab ini terdapat persetujuan-
persetujuan yang seringkali dibuat dalam masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-
menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya. Selain itu terdapat juga persetujuan-
perserujuan yang tidak begitu penting artinya bagi masyarakat.: tukar-menukar,
pinjam pakai, bunga tetap, dan bunga abadi. Beberpa persetujuan diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang: perseroan, asuransi, komisioner, makelar
dan pengangkutan.
Bagian umum mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum
perikatan, sedangkan bagian khusus membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan
pokok tersebut untuk hal-hal khusus. Dalam ketentuan-ketentuan khusus
adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya mengulangi apa yang telah
diatur dalam bagian umum. Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan yang
merupakan pengecualian dai ketentuan-ketentuan pokok.
Seringkali dari ketentuan-ketentuan khusus dapat ditarik suatu ketentuan
pokok yang dapat dipergunakan bagi semua perikatan yang terjadi dari hubungan-
hubungan yang sejenis.
Bagian V lama Bab VI, yang berdasarkan S.1879-256 dinyatakan berlaku
bagi golongan pribumi dan yang dismakan diganti dengan Bab VII A berdasarkan
S.1926-335 jis 458, 565 dan S.1927-108. akan tetapi menurut pasal VI ketentuan-
ketentuan penutup) dari S.1926-335, bagian V lama masih dinyatakan berlaku
bagi golongan Pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya.
Walaupun banyak persetujuan yang belum diatur dalam UU, akan tetapi
karena azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas
untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU, maka tidak
tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetuan-persetujuan
tersebut.
Peraturan per-UU-an mengenai hukum persetujuan bersifat menambah
(aavullend recht), yang artinya pihak-pihak dalam membuat persetujuan bebas
untuk menyimpang dari ketentuan yang tersebut dalam BW. Mengenai kebebasan
pihak-pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan diadakan beberapa
pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa,
ketertiban umum dan kesusilaan.
B. Hubungan Antara Ketentuan Umum dengan ketentuan khusus
Ketentuan khusus merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
umum. Dengan kata lain pada asasnya ketentuan khusus didahulukan terhadap
kepentingan umum.
C. Hubungan Antara Ketentuan Umum dengan Beberapa Asas Hukum
Perdata
Dalam kaitan hubungan antara ketentuan umum dengan beberapa asas
hukum perdata itu terdapat beberapa asas, yaitu:
1. Asas Kebebasan Berkontrak : Pasal. 1338: 1 KUHPerdata.
2. Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
3. Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
- Pengecualian dimuat dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal
1317 KUHPerdata
- Perluasannya yaitu dimuat dalam Pasal 1318 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda atau asas kepastian hukum: 1338: 1
KUHPerdata.
Ketentuan Umum dan Kebebasan Berkontrak 1338 BW
Kebebasan Berkontrak dan Hukum yang Menambah
BAB IV
PEMBAGIAN PERIKATAN
A. Perikatan Berdasarkan Sumbernya
Perikatan jika dilihat dari sumbernya itu berasal dari dua sumber, yakni
Undang-Undang dan Perjanjian. Dijelaskan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang.
2. Perjanjian Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Suatu persetujuan
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih.
B. Berdasarkan Isi
Berdasarkan Isi/ Prestasi Perikatannya dalam Pasal 1234 KUH Perdata
adalah sebagai berikut:
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu;
2. Perikatan untuk melakukan sesuatu;
3. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu.
C. Manfaat Pembagian dan Pembagian Perikatan Menurut Doktrin
Adala tentang masalah eksekusi, yaitu eksekusi rill pada perikatan untuk
melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu serta eksekusi riil tidak langsung.
Pembagian perikatan menurut doktrin adalah sebagai berikut:
1. Perikatan perdata dan alamiah;
2. Perikatan pokok/principal;
3. Perikatan accessoir
4. Perikatan primair dan perikatan sekunder;
5. Perikatan sepintas dan perikatan yang memakan waktu;
6. Perikatan yang positif dan perikatan yang negative;
7. Perikatan yang sederhana dan perikatan yang kumulatif;
8. Perikatan fakultatif dan perikatan alternative;
9. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi;
BAB VI
PRESTASI DAN WANPRESTASI
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan
sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak
yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term”
dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang
bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak
pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak
pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat
terjadi karena:
1. Kesengajaan;
2. Kelalaian;
3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force
majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi
prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).
A. Kewajiban Prepatoir
Kewajiban prepatoir perikatan untuk memberikan sesuatu disebutkan
dalam Pasal 1253 BW. Yaitu kewajiban penyerahan di sini dikaitkan karena
hubungan obligator tertentu yang biasa timbul karena adanya perjanjian obligator
ataupun karena ditentukan UU.
B. Kesalahan dan Kesengajaan serta Wujud Wanprestasi
1.Kesalahan (1236 BW):
- Kesengajaan (opzet)
- Kelalaian (onachtzaamheid)
2. Kesengajaan
Orang melakukan sesuatu tindakan atau mengambil suatu sikap yang
menimbulkan kerugian, memang diniati dan dikehendaki.
3. Wujud Wanprestasi
-Debitur sama sekali tidak berprestasi
-Debitur keliru berprestasi
-Debitur terlambat berprestasi
BAB VI
AKIBAT WANPRESTASI
A. Akibat Wanprestasi Pada Umumnya
Dalam Pasal 1236 dan 1243 menyebutkan bahwa dalam hal debitur
lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, maka kreditur berhak
menuntut ganti rugi yang berupa ongkos dan bunga. Kemudian pada pasal
1237 mengatakan bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek
perikatan menjadi tanggungan debitur. Lalu pada pasal 1266 perjanjian
merupakan timbal balik, kreditur berhak menuntut pembatalan perjanjian
dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi dan tidak
mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa
ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya
perkara.sebagai contoh seorang debitur (si berutang) dituduh melakukan
perbuatan melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan
sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak, jika terbukti, maka
debitor harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya
perkaranya). Meskipun demikian, debitor bisa saja membela diri dengan
alasan :
1. Keadaan memaksa (overmacht/force majure);
2. Kelalaian kreditur sendiri;
3. Kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Menurut kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan,
cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan
demikian, Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur
(berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah
ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul
karena:
1. Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.2. Adanya keadaan memaksa (overmacht).
B. Tuntutan Ganti Rugi
Pada Pasal 1243 s/d 1252 mengatur lebih lanjut mengenai masalah ganti
rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian
kerugian berupa ongkos maupun bunga. Karena penuntutan kerugian telah diakui
dan diatur dalam UU maka dalam pelaksanaannya kreditur dapat minta bantuan
penguasa menurut cara yang telah ditentukan Hukum Acara Perdata, yaitu melalui
sarana eksekusi atas harta benda milik debitur.
C. Perhitungan Kerugian dalam Suatu Daftar
Menghitung ganti rugi meliputi banyak pos, baik yang benar-benar sudah
dikeluarkan, maupun kerugian yang masih ada di atas kertas (keuntungan yang
diharapkan). Total kerugian merupakan gabunga perhitungan yang cukup
kompleks, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi
dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan yang dinamakan
prosedur daftar kerugian (schadestaatprocedure).
BAB VII
MASALAH BUNGA SEBAGAI GANTI RUGI
A. Bunga Moratoir Kompensatoir
Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang,
sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi
kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus pada
Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan: “Dalam tiap-tiap
perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang,
penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan,
hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus”( Pasal 1250 BW).
Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar
6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22. Pada prinsipnya,
Bunga Moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur,
namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari
diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-undang
menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum. Demikian ketentuan Pasal 1250
paragraf (3) KUHPerdata. Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang
diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi
Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti
kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.
B. Bunga Konvensional
Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak
dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata,
dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga ini
diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan
karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak
yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya’.
Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbul
berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama
oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-
undang. Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini
para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk
tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipanPasal 1767 KUHPerdata:
“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut
undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara
tertulis.”(1767 BW)
C. Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir
Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga
Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara Bunga
Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian
atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A, Bunga Moratoir tidak
perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur.
Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada
kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan
untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan
oleh Kreditur sebagai akibat dari wansprestasinya debitur.
D. D.Bunga Berbunga
Pasal 1251 mengatakan bahwa bunga dari uang pokok yang dapat ditagih
dapat pula menghasilkan bunga, baik karena suatu permintaan di muka Pengadilan
maupun karena persetujuan khusus, asal saja permintaan atau persetujuan tersebut.
BAB VIII
MASALAH RESIKO
Resiko disini terbagi menjadi empat macam, yakni:
1. Masalah resiko pada umumnya;
2. Resiko perjanjian sepihak;
3. Resiko perjanjian timbal-balik;
4. Resiko perjanjian jual-beli.
Pada dasarnya setiap orang memikul sendiri resiko atas kerugian yang
menimpa miliknya, kecuali dilimpahkan. Berdasarkan pasal 1237, benda yang
harus diserahkan menjadi tanggungan kreditur. Masalah resiko secara umum
dalam praktik ketentuan umum tentang resiko tidak banyak berperan sebab
banyak diatur dalam perjanjian khusus yang prinsipnya didahulukan terhadap
ketentuan umum.
Resiko Perjanjian Sepihak. Pasal 1237 mengatakan bahwa pada perikatan
suatu benda tertentu maka sejak perikatan lahir benda tersebut menjadi
tanggungan dari kreditur. Mengenai Resiko Perjanjian Timbal Balik Sekalipun
UU tidak memberikan ketentuan yang tegas mengenai masalah resiko timbal
balik, tetapi dengan berpegang teguh pada keadilan dan kepantasan. Perjanjian
timbal balik resiko ada debitur, kecuali UU menetapkan sebaliknya atau lain.
Resiko Perjanjian Jual Beli .Ketentuan pada pasal 1460 mengingatkan kita
pada SEMA No. 3/1963, maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan, apakah tidak
sepantasnya pertanggungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah
dijanjikan dijual tapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak.
BAB IX
MASALAH OVERMACHT
A. Tinjauan Umum
Pembuat UU dalam pasal 1244 memberikan ketentuan tentang adanya
ganti rugi karena tidak dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan, yang terjadi disebabkan oleh “tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya (debitur)” dengan ada itikad buruk. Sedang
pasal 1245 berbicara kerugian yang timbul karena berhalangnya debitur untuk
memenuhi prestasinya yang diwajibkan oleh “kejadian memaksa” atau lantaran
suatu “kejadian yang tidak disengaja”.
B. Unsur-Unsur Peristiwa dalam Keadaan Overmacht Memaksa dan
Ajarannya
Tentang Keadaan Memaksa:
1. Teori Overmacht yang Objektif:
Debitur baru bias mengemukakan adanya keadaan memaksa
(overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak
mungkin untuk berprestasi sebagaimana mestinya. Teori ini didasarkan
pada pasal 1444 yang menjelaskan mengenai halangan apa saja yang
membebaskan debitur dari kewajibannya.
2. Teori Overmacht yang Subjektif
Unsur dari teori ini adalah unsur ketidaksalahanlah yang pokok,
sedang syarat ketidakmampuan disingkirkan. Prinsipnya kalau debitur
sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi ia tetap tidak dapat berprestasi,
maka tidak dipenuhinya kewajiban prestasi tidak dapat lagi
dipersalahkan kepadanya dan karenanya ia tidak perlu mengganti rugi,
kalau seandainya kreditur menderita rugi karenanya.
BAB X
PERIKATAN BERSYARAT
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya
digantungkan pada syarat tertentu. Berikatan bersyarat diatur dalam Buku III Bab
bagian V yang meliputi Pasal 1253 s/d Pasal 1267 K.U.H.Perdata. Suatu perikatan
adalah bersyarat jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut berdasarkan
persetujuan digantungkan kepada terjadiya atau tidaknya suatu peristiwa yang
akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah syarat tersebut
pasti terjadi atau tidak harus didasrkan kepada pengalaman manusia pada
umumnya. Menurut ketentuan Pasal 1253 K.U.H.Perdata bahwa perikatan
bersyarat dapat digolongkan ke dalam: perikatan bersyarat menangguhkan dan
perikatan bersyarat yang menghapuskan.
A. Perikatan Besryarat yang Menangguhkan
Perikatan besyarat yang menangguhkan perikatan baru berlaku
setelah syaratnya dipenuhi. Misanya: A akan menjual rumahnya jika A
naik jabatan jadi direktur. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi
direktur) maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus
menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya. Jika syarat belum
dipenuhi maka reditur tidak dapatmenuntut pemenuhan dan debitur tidak
wajib memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasinya sebelum
syarat dipenuhi maka terjadi pembayaran tidak terutang dan debitur dapat
menuntut pengembaliannya.
Mengenai risiko pada perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1264
K.U.H.Perdata dimana menurut ayat 2 nya, jika barangnya musnah di luar
kesalahan debitur kedua belah pihak dibebaskan dari kewajibannya
masingmasing. Sedangkan dalam ayat 3 nya, ditentukan bahwa jika
barangnya merosot harganya bukan dikarenakan kesalahan debitur maka
kreditur dapat memilih membatalkan perikatan atau menuntut penyerahan
barangnya tanpa mendapat pengurangan harga yang telah diperjanjikan.
B. Perikatan Bersyarat yang Menghapuskan
Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika
syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah dilaksanakan seluruhnya atau
sebagaian maka dengan dipenuhi syarat perikatan maka:
- Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak
terjadi perikatan
- Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya. Sedangkan Perikatan
dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang pemenuhan
prestasinya digantungkan pada waktu yang tertentu.
C. Contoh Penerapan Perikatan dengan Syarat dalam Praktek
Perikatan ini diatur dalam Buku III Bab I bagian 6 meliputi Pasal
1268 s/d 1271 K.U.H Perdata. Perikatan dengan ketentuan waktu adalah
perikatan yang berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau
peristiwa tertentu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu dan peristiwa
yang telah ditentukan dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu pasti
terjadi sekalipun belum diketahui bila akan terjadi. Ada kalanya telah
ditentukan waktunya secara pasti, misalnya penyerahan barang pada
tanggal 8 Desember 2008. Tetapi mungkin juga penentuan waktunya tidak
pasti, misalnya matinya A. Dalam hal ini peristiwanya pasti terjadi, namun
tidak diketahui kapan saatnya.
Pada umumnya jika peristiwanya belum tentu terjadi maka ini
termasuk ke dalam perikatan bersyarat. Ada kemungkinan bahwa yang
dimaksud oleh para pihak adalah perikatan dengan ketentuan waktu
sekalipun perumusannya menunjukan kepada perikatan bersyarat.
Misalnya akan bayar pada saat A menjadi dewasa. Ini merupakan
perikatan bersyarat, karena belum tentu jika A menjadi dewasa, sebab
mungkin ia akan mati sebelum dewasa. Tetapi mungkin sekali maksud
para pihak hanya untuk menunjukan waktu 21 tahun terhitung sejak
kelahiran A, maka dalam hal ini harus dianggap sebagaiperikatan dengan
ketentuan waktu.
Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau
ketentuan waktu harus melihat maksud dari para pihak. Perikatan dengan
ketentuan waktu dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu: ketentuan waktu
yang menangguhkan dan ketentuan waktu yang menghapuskan.
BAB XI
PERIKATAN DENGAN KETENTUAN WAKTU
Perikatan dengan ketentuan waktu yang menangguhkan diatur secara
umum dalam Pasal 1268 s/d 1271 K.U.H.Perdata. Perikatan dengan ketentuan
waktu yang menangguhkan artinya bahwa perikatannya sudah ada hanya
pelaksanaannya ditunda. Debitur tidak wajib memenuhi prestasinya sebelum
waktunya tiba, akan tetapi jika debitur memenuhi prestasinya maka ia tidak dapat
menuntut kembali.
A. Akibat Hukum dari Perikatan dengan Ketentuan Waktu
Akibat hukum dari perikatan dengan ketentuan waktu yang
menunda adalah berbeda menurut tujuannya. Pasal 1270 K.U.H.Perdata
menentukan debitur berhak membayar sebelum hari jatuhnya. Atau
dengan kata lain kreditur tidak dapat menagih sebelum waktunya maupun
menolak pembayaran.
B. Ketentuan Waktu
Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak diatur oleh
masing-masing secara umum. Memegang peranan terutama dalam
perikatanperikatan yang berkelanjutan misalnya Pasal 1570 dan Pasal
1646 sub 1 K.U.H.Perdata. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya maka
perikatan menjadi hapus.
Misalnya seorang buruh yang mengadakan ikatan kerja selama
setahun. Setelah lewat setahun buruh tersebut tidak mempunyai kewajian
untuk bekerja lagi. Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan
tidak berlaku surut. Jika waktunya telah dipenuhi maka debitur tidak lagi
terikat, akan tetapi prestasinya pada waktu yang lalu tidak perlu
dikembalikan.
BAB XII
PERIKATAN ALTERNATIF
Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban
melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan
debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan
daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan. Menurut Pasal 1272
K.U.H.Perdata dalam perikatan alternatif debitur bebas dari kewajibannya, jika ia
menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan.
Misalnya A harus menyerahkan kuda atau sapinya kepada B.
Jadi prestasi dari perikatan alternatif dapat berupa memberi, berbuat atau
tidak berbuat sesuatu. Selain itu barangnya dapat ditentukan secara terperinci atau
menurut jenisnya. Tidak disyaratkan bahwa prestasi yang harus dipilih
menyangkut barang yang berlainan. Dapat saja terjadi bahwa barang yang harus
dipilih itu adalah barang yang sama akan tetapi dengan syarat yang berlainan,
misalnya harus menyerahkan beras Cianjur sebanyak 100 kg dalam waktu satu
bulan atau 120 kg setelah tiga bulan.
Perikatan Fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa
prestasi dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Perbedaan
antara perikatan alternatif dan perikatan fakultatif Perbedaan antara perikatan
alternatif dan perikatan fakultatif yaitu:
1. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus
menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan
fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
2. Pada perutangan alternatif jika benda yang satu lenyap, benda yang
lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika
bendanya binasa perutangannya menjadi lenyap.
BAB XIII
PERIKATAN TANGGUNG MENANGGUNG DAN TANGGUNG RENTENG
top related