ruu naskah akademis ruu tentang perubahan harga rupiah
Post on 23-Dec-2015
120 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
2
KATA PENGANTAR
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perubahan Harga
Rupiah disusun dengan maksud untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat serta untuk
menampung pemikiran dan gagasan ilmiah pentingnya hal-hal yang terkait dengan perubahan
harga Rupiah yang harus diatur dalam bentuk undang-undang sesuai amanat Pasal 3 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Penyusunan Naskah Akademik ini
diperlukan sebagai prasayarat pengajuan suatu RUU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar dapat
dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional. Dalam Naskah Akademik ini memuat hal-hal
yang sangat esensial terkait dengan perubahan harga Rupiah sehingga masyarakat dapat
mengetahui latar belakang dan urgensi perumusan ketentuan dalam Undang-Undang Perubahan
Harga Rupiah.
Naskah Akademik ini terdiri dari 6 (enam) bab. Bab I tentang Pendahuluan, yang memuat
latar belakang perlunya pengaturan perubahan harga Rupiah dalam bentuk undang-undang, serta
memuat maksud dan tujuan serta metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik.
Pada Bab II, diuraikan mengenai Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, yang menjelaskan secara
lengkap kajian-kajian yang dilakukan dari berbagai aspek terkait dengan perubahan harga Rupiah,
yang meliputi kajian teoritis, kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma,
kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi
masyarakat, dan kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam undang-
undang. Dalam Bab III, memuat Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait,
baik berupa kondisi peraturan perundang-undangan yang ada, keterkaitan RUU tentang Perubahan
Harga Rupiah dengan hukum positif, dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Sementara
itu, untuk lebih memberikan pemahaman yang komprehensif, dalam Bab IV dimuat tinjauan
terkait dengan landasan-landasan yang dipergunakan dalam penyusunan Naskah Akademik yang
terdiri dari Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis. Bab V tentang Jangkauan, Arah
Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, memuat penjelasan mengenai
jangkauan dan arah pengaturan, serta ruang lingkup materi muatan undang-undang. Sebagai
penutup, Bab VI memuat Simpulan dan Saran, sebagai rangkuman dari naskah akademik serta
hal-hal yang diperlukan.
Naskah Akademik ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dalam
memahamiurgensi kebijaksanaan perubahan harga Rupiah yang harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang serta dapat dijadikan bahan pembahasan RUU Tentang Perubahan Harga Rupiah
dalam berbagai forum konsultasi dengan instansi terkait.
Jakarta, November 2012
3
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
D. Metode
BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta
Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur dalam
Undang-Undang
BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
A. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan yang Ada
B. Keterkaitan RUU Tentang Perubahan Harga Rupiah Dengan Hukum Positif
C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
B. Landasan Sosiologis
C. Landasan Yuridis
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang
4
BAB VI : PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN : DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN HARGA RUPIAH
5
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur,
sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu dicapai
kondisi perekonomian yang mandiri dan stabil. Dalam kurun perkembangan hingga saat ini,
perekonomian nasional telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, sebagaimana ditandai
dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang terjaga dengan baik, nilai
tukar tukar yang stabil, serta akumulasi jumlah cadangan devisa yang mencukupi kebutuhan
transaksi perekonomian. Selain itu, persepsi risiko terhadap kesinambungan perekonomian juga
semakin membaik sebagaimana tercermin dari credit rating yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemeringkat internasional. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pencapaian
perekonomian nasional hingga saat ini dapat dipandang telah berada di jalur yang tepat untuk
mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera.
Dalam rangka memelihara kesinambungan perkembangan perekonomian nasional
tersebut, maka sangat penting untuk dijaga tersedianya uang Rupiah dalam jumlah yang cukup
dan dalam nilai pecahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Hal ini mengingat pentingnya
fungsi uang Rupiah dalam kehidupan masyarakat modern sebagai medium of exchange atau alat
pembayar sekaligus penyimpan nilai.Selain itu, kestabilan dan kekuatan nilai mata uang Rupiah
seringkali dipersepsikan sebagai cerminan kemajuan perekonomian nasional dan simbol
kedaulatan serta kebanggaan bangsa Indonesia.
Namun demikian, pencapaian perkembangan perekonomian nasional yang cukup baik saat
ini, belum didukung dengan nilai pecahan uang Rupiah yang efisien. Saat ini Rupiah memiliki
jumlah digit yang terlalu banyak sehingga berpotensi menyebabkan inefisiensi dalam transaksi
ekonomi di masa yang akan datang. Inefisiensi terjadi antara lain ketika masyarakat harus
membawa jumlah uang yang besar untuk membiayai transaksi sehari-hari yang cukup sederhana.
Uang dengan jumlah digit yang terlalu banyak akan menimbulkan kerumitan perhitungan dalam
transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan serta memakan waktu lebih lama.
Selain itu, akan terjadi kebutuhan untuk menyesuaikan alat-alat transaksi elektronik dan sistem
teknologi informasi karena nilai transaksi yang semakin membesar dengan cepat. Apabila tidak
ditempuh suatu kebijakan perubahan harga mata uang, maka kondisi nilai uang Rupiah dengan
6
digit yang besar seperti saat ini berpotensi menghambat akselerasi perkembangan perekonomian
nasional menuju ke arah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tertuang
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kondisi Rupiah yang memiliki jumlah digit yang banyak tersebut tidak terlepas dari
akumulasi berbagai kejadian krisis dan tingginya laju inflasi di masa lalu.Meskipun saat ini telah
dicapai kemajuan ekonomi yang signifikan dan terkendalinya laju inflasi namun jumlah digit
pecahan Rupiah yang terlanjur banyak tersebut tidak serta merta berkurang. Akibatnya, jumlah
digit dalam pecahan Rupiah saat ini kurang mampu mencerminkan kondisi fundamental
perekonomian Indonesia yang semakin kuat, namun sebaliknya dapat dipersepsikan sebagai
cerminan perekonomian yang lemah. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan perubahan harga mata
uang yang mampu merepresentasikan kondisi fundamental perekonomian yang kuat dan setara
dengan negara-negara lain di kawasan.Kebijakan perubahan harga mata uang yang dimaksud
adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi uang Rupiah tanpa mengurangi daya beli,
harga, maupun nilai tukarnya1.Kebijakan ini seringkali dikenal sebagai redenominasi. Dengan
perkataan lain, redenominasi merupakan kebijakan pemerintah untuk menyederhanakan
penyebutan atau penulisan harga mata uang dengan cara menghilangkan sejumlah angka nol
dalam harga barang dan penulisan denominasi mata uang tanpa merubah daya beli uang tersebut.
Kebijakan redenominasi pada hakekatnya ditujukan untuk mengatasi potensi-potensi
permasalahan inefisiensi di dalam perekonomian yang disebabkan oleh semakin banyaknya
jumlah digit mata uang Rupiah, sebagaimana terjadi saat ini dan beberapa waktu ke depan.
Potensi permasalahan inefisiensi tersebut antara lain: pertama, ketidakefisienan pencantuman
harga barang dan jasa dalam dunia bisnis sehingga menimbulkan beban tambahan; kedua,
meningkatnya beban pencatatan transaksi dan pembukuan, antara lain dalam hal waktu
operasional yang lebih lama dan potensi kesalahan akibat digit yang terlalu banyak; ketiga,
meningkatnya penggunaan memori penyimpanan data secara elektronik, penyesuaian perangkat
keras dan lunak sistem akunting, sistem Teknologi Informasi (TI), sistem pembayaran nasional
serta keterbatasan kemampuan alat elektronik, seperti kalkulator, untuk menampilkan dan
melakukan proses perhitungan dengan jumlah digit yang terlalu banyak. Denominasi yang terlalu
besar akan mengakibatkan timbulnya kebutuhan pengembangan infrastruktur sistem pembayaran
non tunai di masa depan dengan biaya yang cukup signifikan.Selain itu, dengan jumlah digit
pecahan Rupiah yang semain banyak akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan uang
1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2002 Departemen Pendidikan Nasional , denominasi
didefinisikan sebagai harga surat berharga (sertifikat bank dsb) yang tercantum di dalam surat itu.
7
barudengan pecahan yang semakin besar untuk mengakomodasi kebutuhan pembayaran tunai
yang semakin meningkat. Hal ini juga mengakibatkansemakin banyaknyapenggunaan pecahan
uang kertas dibandingkan uang logam (koin). Akibatnyabiaya pencetakan uang menjadi tidak
efisien karena masa edar uang kertas jauh lebih singkat dibanding masa edar uang logam yang
lebih tahan lama.
Selain berguna untuk mengatasi permasalahan inefisiensi dalam perekonomian, kebijakan
redenominasi juga bermanfaat untuk mengatasi kendala-kendala lainnya.Pertama, mengatasi
kendala teknis dalam mengakomodir pencatatan nilai pada peralatan sehari-hari, seperti mesin
kasir, pompa bensin, argometer taksi, dan lain-lain. Selain itu dalam konteks infrastruktur sistem
pembayaran yang lebih makro, kebijakan redenominasi akan memudahkan integrasi dengan
infrastruktur sistem pembayaran berstandar internasional. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri
masyarakat terhadap mata uang Rupiah, terutama dalam konteks pergaulan
internasional.Denominasi yang sangat besar mengakibatkan nilai Rupiah dipersepsikan sangat
rendah. Rendahnya nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang negara maju seringkali
dipersepsikan sebagai cerminan kondisi perekonomian yang lemah.Saat ini, nilai tukar mata uang
Rupiah terhadap dolar AS di kawasan ASEAN merupakan salah satu yang terendah, kecuali
dengan Vietnam.Akibatnya, kondisi perekonomian Indonesia juga dipandang lemah di antara
negara-negara ASEAN, sehingga untuk mengatasinya diperlukan suatu kebijakan untuk
mengembalikan harga mata uang yang lebih mencerminkan kondisi fundamental perekonomian
nasional serta lebih meningkatkan efisiensi terhadap perekonomian nasional.
Selain itu, kesetaraan nilai tukar diharapkan akan meningkatkan kepercayaan investor
asing terhadap kredibilitas perekomian nasional. Keempat, mempermudah kesesuaian antara
materi berhitung dengan menggunakan uang pada pendidikan dasar dengan praktek nyata kegiatan
transaksi yang menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.Selanjutnya,
program redenominasi juga dapat menjadi awal berlakunya secara nasional kewajiban
pencantuman label harga bagi semua barang dan jasa yang diperdagangkan di seluruh wilayah
Republik Indonesia. Dalam praktek redenominasi, untuk mencegah risiko kenaikan harga akibat
pembulatan harga secara berlebihan yang akan mengakibatkan kenaikan inflasi, umumnya
diberlakukan kewajiban pencantuman label harga bagi semua pedagang, baik dalam label harga
dalam denominasi lama maupun harga yang telah disederhanakan atau dalam denominasi baru
(setelah dihilangkan beberapa angka nol). Kewajiban tersebut berlaku beberapa bulan sebelum
dicanangkannya program redenominasi secara resmi dan berlanjut hingga masa transisi
berakhir.Untuk menjaga ketertiban pelaksanaannya, pengaturan kewajiban tersebut dan
pelaksanaan monitoringnya dapat dituangkan dalam undang-undang ataupun dalam peraturan
8
kementerian yang berwenang.Melalui kebijakan penyederhanaan harga mata uang atau
redenominasi, diharapkan dapat diciptakan kesetaraan persepsi atas kondisi perekonomian
nasional dengan perekonomian negara kawasan untuk menyongsong pembentukan Asean
Economic Community pada tahun 2015.
Untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan redenominasi diperlukan dukungan kondisi
fundamental perekonomian yang stabil. Arah perkembangan perekonomian Indonesia saat ini dan
beberapa tahun mendatang dipandang cukup kondusif untuk mendukung suksesnya pelaksanaan
kebijakan redenominasi. Dalam studi yang dilakukan Iona (2005)2 terhadap negara-negara yang
melakukan redenominasi, beberapa persyaratan utama keberhasilan program redenominasi antara
lain stabilitas makroekonomi yang terjaga yang antara lain ditandai dengan tingkat inflasi yang
stabil dan dalam tren menurun, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta stabilitas nilai tukar.
Hal utama lainnya, dukungan seluruh lapisan masyarakat, landasan hukum yang kuat, serta
kondisi sosial politik yang kondusif.Kondisi tersebut, secara umum telah dimiliki Indonesia
sehingga perlu segera memanfaatkan momentum yang tepat untuk mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan redenominasi.
Terkait dengan luasnya cakupan pelaksanaan redenominasi terhadap aspek kehidupan
masyarakat, maka kebijakan redenominasi harus didukung dengan suatu landasan hukum yang
kuat dalam bentuk undang-undang. Dengan undang-undang, maka pelaksanaan kebijakan
redenominasi akan benar-benar ditaati oleh seluruh komponen masyarakat sehingga mencegah
timbulnya perselisihan, memberikan kepastian hukum, dan mendukung keberhasilan pelaksanaan
program redenominasi. Hal ini juga sejalan dengan praktek di negara-negara lain yang telah
berhasil dalam melaksanakan program redenominasi, seperti Turki dan Romania pada tahun 2005.
Selain itu, sesuai dengan amanat Pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang yang menyebutkan bahwa perubahan harga Rupiah diatur dengan undang-undang,
maka perubahan harga Rupiah yang dalam hal ini berupa redenominasi Rupiah, diatur dalam
Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah.
Menimbang berbagai uraian di atas mengenai manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan
redenominasi, pemilihan waktu yang tepat yang ditandai dengan kondisi makroekonomi dan
sosial politik yang kondusif, serta momentum mengembalikan kesetaraan perekonomian
Indonesia dengan negara di kawasan terutama menyongsong pembentukan Asean Economic
2Iona, D. (2005). The National Currency Redenomination Experience in Several Countries - A Comparative Analysis.
International Multidisciplinary Symposium Universitaria Simpro .
9
Community pada tahun 2015, maka perlu untuk segera mengusulkan RUU tentang Perubahan
Harga Rupiah sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013.
A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa potensi permasalahan jika tidak dilakukan redenominasi Rupiah?
2. Mengapa Redenominasi Rupiah perlu dilakukan?
3. Bagaimana penerapan program redenominasi dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
di atas?
4. Norma-norma hukum apa saja yang perlu diatur untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut di atas?
5. Apakah faktor-faktor yang mendukung keberhasilan/penyebab kegagalan program
Redenominasi?
6. Apa sasaran yang akan diwujudkan?
7. Bagaimana mengomunikasikan atas pelaksanaan redenominasi Rupiah kedalam dan keluar
negeri?
B. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan dibuatnya Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Harga Rupiah adalah
untuk memberikan landasan ilmiah bagi penyusunan RUU dimaksud, sebagai tolak ukur yang
akan memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU dimaksud.
Kegunaan disusunnya Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Harga Rupiah adalah
sebagai bahan masukan kepada pembuat undang-undang dan sebagai bahan sosialisasi kepada
stake holders, antara lain untuk menjelaskan latar belakang pentingnya dilakukan penyusunan
undang-undang dimaksud.
C. Metode
Metode penelitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif maupun yuridis
empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer.
1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data
sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya.
2. Metode yuridis empiris dilakukan dengan menelaah data primer yang
diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer diperoleh dengan cara:
10
pengamatan (observasi); diskusi (Focus Group Discussion); wawancara; mendengar
pendapat narasumber atau para ahli; menyebarkan kuesioner; studi banding ke beberapa
negara yang telah melakukan kebijakan redenominasi mata uangnya; dan lain-lain.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Menurut beberapa literatur, perubahan harga mata uang dapat dilakukan dengan cara-
cara antara lain:
1. Devaluasi:
Kebijakan untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
asing secara resmi oleh Pemerintah. Kebijakan ini antara lain bertujuan untuk
meningkatkan daya saing produk eskpor. Devaluasi akan membuat harga ekspor barang
dan jasa menjadi lebih murah dan harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga
berdampak pada meningkatnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,
kebijakan ini berdampak pada meningkatnya biaya pembayaran utang luar negeri.Selain
itu, pada negara yang sangat menggantungkan pada barang dan jasa impor, devaluasi ini
berpotensi meningkatkan inflasi di dalam negeri. Indonesia pernah menerapkan kebijakan
devaluasi pada tahun 1971, 1978, 1983 dan terakhir pada tahun 1986 pada saat
menerapkan kebijakan nilai tukar tetap dan mengambang terkendali,
2. Revaluasi:
Kebijakan untuk meningkatkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
asing secara resmi oleh Pemerintah.Kebijakan ini biasanya ditujukan untuk menekan
inflasi dan menurunkan biaya produksi dalam negeri dari negara yang memiliki tingkat
ketergantungan tinggi pada produk impor.Namun demikian, kebijakan ini berdampak
pada menurunnya daya saing produk eskpor dan meningkatnya impor sehingga berdampak
pada menurunnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. China merupakan salah satu
negara yang beberapa kali menerapkan kebijakan ini seiring dengan tingginya arus modal
asing ke dalam negeri di tengah penerapan rezim nilai tukar yang cenderung tetap.
3. Sanering:
Sanering adalah kebijakan pemerintah untuk memotong nilai uang yang ada terkait
dengan jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.Namun demikian, kebijakan ini
hanya dilakukan di sisi moneter tanpa melakukan perubahan di sisi riil. Akibatnya, nilai
uang menurun sementara harga barang/jasa tetap/tidak berubah dan bahkan cenderung
meningkat. Hal ini menyebabkan daya beli efektif masyarakat menurun. Indonesia pernah
menerapkan kebijakan sanering ini pada:
12
a. 10 Maret 1950 yang dikenal dengan sebutan Gunting Syafruddin
Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua bagian,
bagian kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri tetap merupakan alat
pembayaran yang sah dengan nilai separuh dari nilai nominal yang tertera, sedangkan
guntingan uang kertas bagian kanan ditukarkan dengan obligasi pemerintah yang dapat
dicairkan beberapa tahun kemudian.Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna
mengurangi jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.
b. 25 Agustus 1959
Pada saat itu, nilai uang kertas pecahan besar diturunkan dari Rp1.000,- menjadi
Rp100,- dan dari Rp500,- menjadi Rp50,- sementara harga-harga barang pada masa itu
masih mengalami kenaikan yang tajam. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk
mengurangi jumlah uang beredar akibat kebijakan fiskal ekspansif yang dibiayai
dengan pencetakan uang.Kebijakan monetisasi fiskal tersebut berdampak pada
melonjaknya harga-harga barang dan jasa.
4. Redenominasi:
Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan jumlah digit pada denominasi
atau pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar mata uang
tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa.Secara lebih sederhana, redenominasi adalah
penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata uang suatu negara.
Redenominasi mata uang Rupiah pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi tantangan dan
kendala teknis, meningkatkan efisiensi perekonomian, serta memupuk kebanggaan
nasional terhadap mata uang Rupiah.Dengan semakin banyaknya jumlah digit yang
digunakan dalam denominasi uang Rupiah selama ini menimbulkan inefisiensi
perekonomian.Demikian pula hambatan teknis yang seringkali menyulitkan, terutama
dalam hal penyajian dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan penyelesaian transaksi.
Dari sisi psikologis, digit yang lebih sederhana dapat memupuk kebanggaan masyarakat
terhadap mata uang Rupiah. Hal ini karena adanya kesetaraan nilai tukar mata uang
Rupiah dengan negara lain yang kondisi perekonomiannya kurang lebih serupa dengan
Indonesia.
Berbeda dengan sanering, redenominasi sebenarnya hanya mengubah tampilan
nilai mata uang.Dengan demikian, redenominasi seharusnya tidak mengakibatkan
menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap barang dan jasa.Sebagai contoh, jika 1
kg beras dijual dengan harga Rp6.000,-/kg, setelah redenominasi 1 kg beras dijual dengan
harga Rp6,-/kg. Namun demikian, berkaca dari pengalaman yang buruk dari penerapan
13
sanering pada tahun 1959 serta adanya sebagian masyarakat yang secara psikologis masih
trauma akibat kebijakan tersebut, perlu adanya komunikasi dan penjelasan yang mendalam
mengenai pengertian dan perbedaan antara redenominasi dan sanering. Hal ini karena
secara prinsipil, sanering berbeda dengan redenominasi. Indonesia pernah menerapkan
kebijakan redenominasi pada tahun 1965 melalui Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965
yang implementasinya dengan menerbitkan uang Rupiah baru yang perbandingan nilainya
Rp1 uang baru setara dengan Rp1.000 uang lama dan Rp1 uang Irian Barat3.
Dalam naskah akademik ini, yang dimaksud dengan perubahan harga Rupiah
adalah redenominasi.
Menurut Mosley (2005) terdapat beberapa alasan yang membuat suatu negara melakukan
redenominasi yaitu:
1. Redenominasi dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah khususnya komitmen untuk
memelihara tingkat inflasi yang rendah. Hal ini terjadi pada negara-negara yang
sebelumnya pernah mengalami periode krisis dan inflasi yang tinggi.
2. Redenominasi merupakan bagian dari program stabilisasi pemerintah dan biasanya
dilakukan pasca periode inflasi tinggi. Salah satu prasyarat keberhasilan program
redenominasi diperlukan tingkat inflasi yang rendah dan stabil.
Mosley mengemukakan bahwa di beberapa negara, redenominasi merupakan salah
satu kebijakan yang secara simbolis bertujuan untuk menyatakan bahwa era inflasi tinggi
telah berlalu. Dengan mengurangi jumlah digit mata uang maka hal ini berarti akan
menjadi tonggak sejarah keberhasilan memerangi tingkat inflasi. Sementara itu, Bernholz
dan Kugler (2007) mengemukakan bahwa secara implisit redenominasi merupakan salah
satu bentuk kebijakan pembaharuan mata uang (currency reform) yang bertujuan untuk
menstabilkan kembali mata uang domestik setelah perekonomian didera oleh periode
tingkat inflasi yang tinggi. Studi Mas (1995) menjelaskan adanya uang berdenominasi
besar merupakan indikasi utama akan adanya kebutuhan redenominasi di suatu negara.
Redenominasi dan Kebijakan Pengendalian Inflasi
Pada kasus beberapa negara, kebijakan redenominasi dilakukan pada akhir periode
stabilisasi ekonomi sebagai pertanda bagi masyarakat atas berakhirnya masa-masa tingkat
inflasi tinggi. Dalam hal ini, redenominasi merupakan kebijakan yang bersifat simbolis
yang digunakan secara langsung dalam proses stabilisasi untuk menyesuaikan ekspektasi
akan inflasi. Sebagai contoh, Bank Sentral Romania pada tahun 2005 melakukan kebijakan
3Sejarah Bank Indonesia, 2005, Hal.
14
redenominasi sebagai indikasi berakhirnya masa hiper-inflasi.Hal ini dilakukan pula
sebagai salah satu tindakan untuk memuluskan jalan negara tersebut untuk mendapatkan
keanggotaan di EU.
Namun demikian, kebijakan redenominasi juga dapat dilakukan oleh pemerintah
sebagai bagian dari paket kebijakan low inflation dalam rangka menjaga dan
mempertahankan agar laju inflasi tetap rendah.
Landasan pemikiran dari kebijakan ini adalah bahwa penggunaan nominal yang
besar dapat mempengaruhi ekspektasi agen ekonomi. Hal ini terutama karena agen
ekonomi dipengaruhi ingatan atas peningkatan harga yang terjadi di masa lalu sehingga
mempengaruhi ekspektasinya atas peningkatan harga di masa depan. Nilai nominal mata
uang yang kecil dapat meningkatkan kepercayaan bahwa periode inflasi seperti yang
terjadi di masa lalu tidak akan lagi terjadi.
Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa kebijakan ini dapat juga memicu
inflasi jangka pendek yang diakibatkan oleh efek announcement akibat gangguan pada
sistem ekonomi secara keseluruhan dan meningkatkan ketidakpastian perekonomian.
Ketidakpastian dan ketidakstabilan ekonomi merupakan sesuatu hal yang hampir pasti
dapat dipastikan terjadi pada negara berkembang yang melakukan perombakan kebijakan
yang besar yang dapat memicu tindakan spekulasi, capital flight, menurunnya foreign
remittances, meningkatknya tingkat risk aversion dari pelaku pasar, serta kecenderungan
tindakan wait and see oleh investor.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi secara
komprehensif kepada masyarakat yang diikuti oleh kebijakan anti-inflationary dalam
rangka mempertahankan stabilitas harga barang pokok dan layanan pemerintah, antara lain
dengan upaya meningkatkan produksi, menjaga pasokan serta meningkatkan kelancaran
arus distribusi bahan pokok dan barang strategis lainnya.
Studi Kasus 1: Bank Sentral Turki melakukan kebijakan redenominasi pada tahun
2005 untuk dua alasan. Pertama alasan teknis mengingat banyaknya angka nol pada mata
uang memperumit perhitungan transaksi keuangan.Kedua, redenominasi dilakukan untuk
meningkatkan kredibilatas perekonomian.Keberadaan mata uang (bank note) sebesar
20.000.000, hal yang sangat tidak wajar di perekonomian internasional, telah dianggap
mengakibatkan efek yang negatif pada kredibilatas perekonomian Turki. Redenominasi
dianggap sebagai tindakan yang perlu sebagai pernyataan komitmen pemerintah untuk
menekan tingkat inflasi setelah pada tahun 2004 untuk pertama kalinya sejak tahun 1972,
Turki mengalami inflasi satu digit pada tahun tersebut. Kebijakan tersebut merupakan
15
bagian dari kebijakan umum Turki sejak dimulainya reformasi ekonomi yang didukung
IMF pada tahun 2001 yang juga merupakan bagian dari rencana Turki untuk bergabung
dengan Uni Eropa.
Studi Kasus 2 : Redenominasi di Polandia dilakukan setelah 5 tahun
keberhasilannya program stabilisasi ekonomi yang telah menurunkan inflasi dari level
inflasi tertinggi negara tersebut tahun 1989 dan 1990. Redenominasi dilakukan bertahap,
dimana penggunaan 2 mata uang dan 2 pencantuman harga dilakukan selama 24 bulan dan
masa transisi 14 tahun. Pada awalnya redenominasi ditolak sebagian, namun dalam waktu
selanjutnya redenominasi berangsur-angsur diterima masyarakat karena turut memberikan
manfaat berupa lebih rendahnya inflasi dan lebih stabilnya perekonomian. Program
redenominasi ini merupakan bagian dari upaya masuknya Polandia untuk bergabung
dengan ke European Union (EU).
Studi Kasus 3 : Sebelum 1996, kondisi makroekonomi Ukraina terus menurun
yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi negatif, inflasi mencapai tiga digit, suku bunga
yang sangat tinggi serta nilai tukar yang terus terdepresiasi. Setelah perekonomian relatif
membaik pada tahun 1996, pemerintah melakukan redenominasi dengan menghapus 5
digit angka nol mata uangnya sehingga 100,000 Karbovanets (nama mata uang lama)
setara dengan 1 Hryvnia (nama mata uang baru). Pasca redenominasi tahun 1996,
perekonomian di Ukraina semakin membaik, inflasi menurun dan pertumbuhan ekonomi
meningkat serta nilai tukar relatif stabil.
Studi Kasus 4: Pada tahun 1997, Pemerintah Rusia mengumumkan kebijakan
redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol dari mata uangnya. Hal ini dilakukan
untuk meyakinkan publik bahwa krisis ekonomi Rusia betul-betul telah berlalu dimana
penurunan inflasi dapat diamati dari tahun ke tahun (875% di tahun 1993, 200% di tahun
1995, dan 15% di tahun 1997). Kendati demikian, kebijakan redenominasi tersebut tidak
mampu mempertahankan stabilitas ekonomi negara tersebut yang dihantam oleh tindak
spekulatif pada krisis keuangan Asia pada tahun 1998 yang mengakibatkan Rusia tidak
mampu membayar utang luar negerinya. Negara tersebut kembali mengalami inflasi yang
sangat tinggi pada tahun 1999 yaitu sebesar 86%.
Berdasarkan kondisi di Rusia tersebut, keberhasilan pelaksanaan kebijakan
redenominasi sangat dipengaruhi oleh sinergi kondisi fundamental perekonomian nasional
yang kuat, serta dukungan stabilitas kondisi perekonomian internasional.Dalam hal ini,
faktor penentuan waktu (timing) yang tepat bagi pelaksanaan redenominasi menjadi faktor
kunci dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan kebijakan redenominasi.
16
Redenominasi dan Nilai Tukar Mata Uang
Nilai mata uang yang rendah dapat pula menjadi alasan pemerintah untuk
melakukan redenominasi terutama untuk meningkatkan kredibilitas perekonomian negara
tersebut.Kendati demikian, perlu tetap diperhatikan bahwa kebijakan redenominasi
tersebut hanya bersifat simbolis namun tidak menghasilkan perubahan kekuatan nilai mata
uang secara nyata. Dengan demikian, perubahan nominal mata uang tanpa reformasi
ekonomi secara fundamental tidak akan menghasilkan perubahan yang nyata.
Studi kasus: Bank Sentral Romania melakukan redenominasi pada tahun 2005
terutama untuk meningkatkan kredibilitas mata uangnnya dimana saat itu 1 US$ bernilai
29,890 Leu. Hal ini terutama dianggap diperlukan sebagai bagian dari proses keanggotaan
Romania pada Uni Eropa.
Studi kasus: Redenominasi tanpa reformasi ekonomi tidak akan efektif
sebagaimana dilihat pada kasus Argentina. Dolar terus mengalami peningkatan terhadap
mata uang peso (1960: 1100, 1969:3500).Pada tahun 1970 pemerintah melakukan
redenominasi dengan menghilangkan dua nol dari mata uangnya.Kendati demikian, yang
terjadi adalah, pada tahun 1980an nilai 1 US$ kembali meningkat hinggal 18000 pada
tahun 1980 dan 180000 pada tahun 1982. Kendati pemerintah kemudian melakukan
redenominasi yang kedua pada tahun 1983 dengan menghilangkan 4 nol pada mata
uangnya, nilai tukar dolar terus meningkat tak terkendali. Hal ini telah memaksa
pemerintah untuk menetapkan kebijakan mata uang fixed rate pada tahun 1991 hingga
tahun 2002.
Disisi lain keberhasilan proses redenominasi juga memerlukan komunikasi yang
intensif, baik dengan pelaku ekonomi di dalam negeri, maupun dengan negara mitra
dagang Indonesia. Proses komunikasi tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan
keyakinan kepada pemerintah dan pelaku ekonomi di negara mitra dagang bahwa
kebijakan redenominasi tersebut tidak berdampak negatif terhadap nilai tukar mata uang,
baik secara bilateral, regional maupun multilateral. Selain itu, komunikasi yang intensif
juga diperlukan guna mencegah tindakan spekulatif yang mungkin dapat timbul sebagai
dampak penetapan kebijakan tersebut.
Redenominasi dan Transaksi Keuangan Secara Umum
Redenominasi pun dapat dilakukan untuk alasan simplifikasi sistem keuangan
dimana banyaknya jumlah nol dalam mata uang dianggap memperumit perhitungan
keuangan serta kerumitan transaksi yang diakibatkan oleh besarnya jumlah uang yang
harus dibawa untuk melakukan transaksi.
17
Kendati demikian, kemudahan transaksi keuangan tersebut harus pula memperhitungkan
besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian sistem akuntansi dan
informasi keuangan.
Redenominasi dan Daya Beli Uang
Redenominasi Rupiah tidak mengubah nilai dan daya beli uang. Dengan kata lain,
tabungan dan/atau upah dan gaji, serta sejumlah uang yang dinyatakan dalam Rupiah
dengan kata “Baru” yang menggantikan nilai Rupiah Lama, dapat memperoleh jumlah
barang dan atau jasa yang kita dapat bayar sebelum pelaksanaan redenominasi tersebut.
Sebagai contoh, pada saat ini dengan upah minimum sebesar Rp1.200.000,00, dan dengan
1 (satu) kg beras pada harga Rp6.000,00, jika seseorang ingin menghabiskan seluruh upah
mereka dalam bentuk beras, mereka dapat membeli beras sebanyak 200 kg.Setelah
redenominasi berlaku, upah saat ini Rp1.200.000,00 akan menjadi Rp1.200 Rupiah dengan
“Baru”, dan beras akan memiliki harga Rp6,- per kilogram. Namun demikian, apabila
seseorang ingin menghabiskan seluruh upah dalam bentuk beras dengan Rupiah dengan
kata “Baru”, maka masyarakat masih akan mendapatkan 200 kilogram yang sama dari
tepung jagung.Dengan demikian, daya beli masyarakat pada saat initetap dipertahankan,
namun harga danupah akandinyatakan dalam skala yang lebih kecil
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
1. Asas-asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
Redenominasi Rupiah ditetapkan dengan berlandaskan pada asas-asas sebagai
berikut:
a. Asas Kepastian Hukum
Pelaksanaan redenominasi menimbulkan implikasi yang sangat luas terhadap
aspek kehidupan masyarakat dan harus benar-benar ditaati oleh seluruh komponen
masyarakat agar tidak menimbulkan perselisihan, oleh karena itu produk hukum yang
menjadi landasan hukum redenominasi harus mempunyai kekuatan memaksa dalam
bentuk undang-undang. Disamping itu, pengaturan redenominasi dalam undang-
undang akan demi hukum mengubah pengaturan yang menyatakan nilai uang dalam
undang-undang lain, perjanjian, dokumen hukum dan dokumen lainnya,sehingga tidak
perlu dilakukan perubahan terhadap masing-masing undang-undang, perjanjian,
dokumen hukum, dan dokumen lainnya.
18
b. Asas Efisiensi
Program redenominasi mengatasi berbagai potensi masalah inefisiensi
perekonomian yang disebabkan semakin banyaknya jumlah digit mata uang Rupiah
dalam waktu beberapa tahun ke depan. Permasalahan inefisiensi terutama akan timbul
pada sistem pembayaran tunai dan non-tunai, proses penyelesaian dan pencatatan
transaksi yang akan memerlukan waktu yang lebih lama, biaya yang semakin mahal
serta kapasitas penyimpanan yang lebih besar. Biaya pengembangan infrastruktur
sektor keuangan akan semakin mahal di masa depan karena tidak kompatibel dengan
sistem internasional berbasis jumlah digit yang sederhana. Secara psikologis, mata
uang yang memiliki jumlah digit yang terlalu banyak pada umumnya menyulitkan
masyarakat dalam bertransaksi secara cepat dan aman.Setelah redenominasi,
diharapkan tercapai peningkatan efisiensi perekonomian di sektor keuangan dan sektor
riil.
c. Asas Keterbukaan
Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap program redenominasi masih
terbatas sehingga diperlukan sosialisasi dan komunikasi yang intensif, jelas,
transparan, dan efektif kepada masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia untuk
meminimalkan dampak negatif dari pelaksanaan redenominasi Rupiah.Mengingat
program redenominasi menyangkut perubahan dalam alat pembayaran yang
bersinggungan langsung dengan seluruh lapisan masyarakat maka penting untuk
membangun kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif.Disamping itu peran
serta aktif masyarakat dalam memberikan masukan dan terlibat dalam pelaksanaan
program Redenominasi Rupiah sangat penting untuk mendukung keberhasilan
program tersebut.Peran serta aktif masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk tidak
menaikkan harga barang, memasang harga barang yang memuat harga Rupiah
sebelum Redenominasi dan setelah Redenominasi secara bersamaan. Disamping itu,
masyarakat berhak memperoleh informasi seluas-luasnya terkait dengan program
Redenominasi Rupiah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
d. Asas Akuntabilitas
Pelaksanaan kebijakan Redenominasi Rupiah dan hasil akhirnya
dipertanggungjawabkan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat antara lain
dalam bentuk laporan.
19
2. Prinsip-prinsip yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan Redenominasi
Rupiah adalah sebagai berikut :
a. Stabilitas makroekonomi yang terjaga
Agar kebijakan redenominasi dapat berjalan dengan lancar maka diperlukan
kondisi fundamental ekonomi yang stabil.Stabilitas makroekonomi juga dimaksudkan
agar apabila program redenominasi tidak berjalan dengan lancar maka dampak yang
ditimbulkan tidak besar. Stabilitas makroekonomi yang diperlukan antara lain inflasi
yang rendah dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta stabilitas nilai
tukar mata uang.
Iona (2005) melakukan perbandingan terhadap beberapa negara yang
melakukan redenominasi dan berkesimpulan bahwa redenominasi baru dapat
dilakukan setelah beberapa persyaratan berikut terpenuhi:
1) Tingkat inflasi berada dalam trend yang menurun. Tingkat inflasi yang rendah
disertai program pengurangan digit mata uang akan menambah kredibilitas mata
uang domestik.
2) Program stabilisasi/restrukturisasi ekonomi yang dilakukan sebelumnya telah
membuahkan hasil positif, misalnya : meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
b. Kondisi sosial politik yang kondusif
Kondisi politik nasional dan internasional sangat mempengaruhi keberhasilan
implementasi redenominasi.Peluang keberhasilan redenominasi lebih tinggi di negara-
negara yang memiliki risiko politik yang relatif rendah.
c. Dukungan seluruh lapisan masyarakat
Kesuksesan program redenominasi ditentukan pula oleh dukungan dari seluruh
lapisan masyarakat termasuk parlemen, akademisi, dunia usaha dan otoritas terkait.
Adanya komitmen dari seluruh pihak akan memudahkan koordinasi dalam persiapan
dan pelaksanaan program tersebut. Dukungan parlemen mutlak diperlukan dalam
penyusunan dan pengesahan undang-undang. Akademisi dan dunia pendidikan dapat
mendukung program redenominasi misalnya dengan cara membantu memberikan
edukasi kepada masyarakat. Sedangkan, dukungan pelaku usaha diperlukan untuk
mencegah pemanfaatan momen redenominasi sebagai peluang untuk menaikkan harga
20
secara berlebihan. Selain itu, komitmen pelaku usaha untuk mencantumkan label
harga pada barang akan memperlancar pelaksanaan program redenominasi.
d. Transparansi dan komunikasi yang baik
Dukungan terhadap program redenominasi salah satunya dapat dicapai melalui
transparansi dan komunikasi yang baik.Dengan komunikasi yang baik, pemerintah
dapat memitigasi risiko-risiko akibat ketidakpahaman masyarakat mengenai program
redenominasi.Selain itu, komunikasi dan sosialisasi yang baik diperlukan agar tidak
terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam transaksi sehari-hari di masyarakat.
e. Landasan Hukum yang Kuat
Mengingat implikasi pelaksanaan redenominasi sangat luas terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan harus benar-benar ditaati oleh seluruh komponen
masyarakat agar tidak menimbulkan perselisihan, maka produk hukum yang menjadi
landasan hukum redenominasi harus mempunyai kekuatan memaksa yang sangat
tinggi yaitu Undang-Undang. Untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat
maka dalam UU tersebut perlu diatur mengenai penyederhanaan penyebutan nilai uang
dan harga barang serta jasa, penggunaan atau penyebutan nama mata uang, dan segala
hal-hal yang memiliki implikasi hukum akibat redenominasi.
f. Pemilihan Waktu Pelaksanaan yang Tepat
Program redenominasi dirancang sebagai bagian integral dari kebijakan
ekonomi untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.Oleh karena itu, redenominasi harus
diimplementasikan pada waktu yang tepat yang dapat dilihat dari stabilitas
makroekonomi yang terjaga, kondisi sosial politik yang kondusif, adanya dukungan
seluruh lapisan masyarakat, dan tersedianya landasan hukum yang kuat.
g. Pencantuman label harga dan monitoring harga yang dilaksanakan dengan baik
Pencantuman harga barang dan/atau jasa sangat penting dalam mendukung
suksesnya program Redenominasi Rupiah. Hal ini untuk mencegah potensi kenaikan
harga yang tidak wajar terkait dengan konversi Rupiah dan mengantisipasi
kebingungan masyarakat terhadap harga barang dan/atau jasa yang baru setelah
dilakukan Redenominasi.Untuk itu monitoring terhadap pencantuman harga barang
dan/atau jasa sangat diperlukan.
21
h. Memastikan supply barang dan jasa terjaga
Pada saat redenominasi dilaksanakan, pemerintah harus menjamin ketersediaan
barang dan jasa dalam rangka mengantisipasi gejolak permintaan pada saat
redenominasi dilaksanakan.
Disamping prinsip-prinsip tersebut di atas, untuk suksesnya Redenominasi
masih terdapat pertimbangan-pertimbangan lain seperti agenda politik nasional dan
internasional, rencana reformasi ekonomi, dan durasi waktu yang diperlukan untuk
redenominasi juga harus diperhatikan dalam pemilihan waktu pelaksanaan
redenominasi.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan
yang Dihadapi Masyarakat
1. Permasalahan yang dihadapi masyarakat
Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan terkait dengan harga
mata uang, terutama masalah (i) inefisiensi transaksi perekonomian, (ii) nilai tukar
rupiah yang dipersepsikan rendah, (iii) nilai tukar rupiah yang tidak setara dengan
negara di kawasan untuk menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan (iv) denominasi
yang kurang mendukung penerapan belajar di bangku pendidikan. Berbagai kondisi di
atas menjadi faktor utama diperlukannya penerapan kebijakan redenominasi secara
lebih dini.
Beberapa fakta yang terjadi di masyarakat yang menyebabkan perlunya dilakukan
redenominasi:
1) Kebutuhan masyarakat untuk mengatasi masalah inefisensi transaksi
perekonomian akibat jumlah digit mata uang yang terlalu banyak dalam beberapa
tahun ke depan.
Denominasi terbesar rupiah saat ini telah mencapai 100.000, setara dengan
pecahan terbesar ketiga di dunia. Hal ini dapat memicu persepsi lemahnya
kredibilitas ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara lain, walaupun
kenyataannya secara fundamental ekonomi Indonesia relatif kuat. Dengan
berjalannya waktu, peningkatan harga barang yang disebabkan oleh inflasi, akan
berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan denominasi mata uang rupiah
yang lebih besar. Denominasi yang besar tersebut dapat menimbulkan beberapa
permasalahan di masa yang akan datang, terutama masalah inefisiensi
perekonomian terkait dengan:
22
a. Waktu dan biaya transaksi cukup besar. Permasalahan inefisiensi terutama
akan timbul pada sistem pembayaran tunai dan non-tunai, proses
penyelesaian dan pencatatan transaksi akan memerlukan waktu yang lebih
lama dan biaya yang lebih mahal karena banyaknya jumlah digit mata uang.
b. Kebutuhan pengembangan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai
di masa mendatang dengan biaya yang cukup signifikan. Biaya
pengembangan infrastruktur sektor keuangan akan semakin mahal di masa
depan karena penyesuaian yang diperlukan dalam rangka menyetarakan
dengan sistem internasional berbasis jumlah digit yang sederhana.
c. Meningkatnya biaya pengadaan uang baru dengan pecahan yang lebih besar
untuk mengakomodasi kebutuhan pembayaran tunai yang semakin
meningkat. Kebutuhan tersebut berdampak terhadap biaya
pengadaan/pencetakan uang baru yang semakin tinggi karena semakin
besarnya komposisi uang kertas dibandingkan uang logam yang semakin
jarang digunakan masyarakat sebagai alat transaksi. Dalam jangka panjang
biaya pencetakan uang kertas jauh lebih tinggi dibandingkan biaya
pencetakan uang logam yang memiliki masa edar lebih lama.
2) Nilai tukar rupiah dipersepsikan sangat rendah dibandingkan dengan nilai tukar
mata uang negara maju di kawasan.
Level nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing termasuk yang terendah
diantara negara ASEAN setelah Vietnam Dong. Dengan berlakunya pecahan 100
ribu, saat ini denominasi uang Rupiah menempati posisi kedua terbesar di
ASEAN setelah Vietnam Dong dengan denominasi terbesar 500 ribu. Nilai uang
rupiah sangat rendah diukur dari transaksi untuk membeli keperluan masyarakat
sehari-hari yang tercermin pada kebutuhan denominasi uang Rupiah yang lebih
besar.
Besarnya denominasi Rupiah tersebut menyebabkan Rupiah dapat disetarakan
dengan mata uang beberapa negara kecil, seperti Kamboja, Paraguay, Saotome
and Principe, serta Lebanon, yang fundamental ekonominya relatif jauh dibawah
Indonesia (antara lain diukur dari PDB, tingkat inflasi, dan jumlah cadangan
devisa). Beberapa negara kecil lainnya, seperti Laos, meskipun fundamental
ekonominya berada di bawah Indonesia, memiliki mata uang dengan denominasi
lebih kecil yaitu 50.000 atau setara USD 5,86.
23
Tabel Nilai Tukar dan Denominasi Negara ASEAN
Negara ASEAN 1 USD Denominasi Terbesar
Vietnam Dong 19,497.50 500.000
Indonesia Rupiah 9,030.50 100.000
Laos Kip 8,066.00 50.000
Kamboja Riel 4,053.00 100.000
Philipina Peso 44.12 1.000
Thailand Baht 30.97 1.000
Myanmar Kyat 6.42 5.000
Malaysia Ringgit 3.06 100
Brunei Dollar 1.29 10.000
Singapura Dollar 1.29 10.000
Sumber: Bloomberg, 30 Juni 2011
Tabel Perkembangan Pecahan Terbesar Rupiah (1945-2011)
Seri ORI I (17 Agustus 1945)
Pecahan Terbesar Rp100,-
Seri ORI III (1947)
Pecahan Terbesar Rp250,-
Seri ORI IV (1948)
Pecahan Terbesar Rp600,-
Seri 1952 (Seri Kebudayaan)
Pecahan Terbesar Rp1000,-
Seri 1957 (Seri Hewan)
Pecahan Terbesar Rp2.500,-
Seri 1958 (Seri Pekerja)
Pecahan Terbesar Rp5.000,-
Seri 1961-1964
Pecahan Terbesar Rp10.000,-
Seri 1992
Pecahan Terbesar Rp20.000,-
Seri 1993
Pecahan Terbesar Rp50.000,-
Seri 1999
Pecahan Terbesar Rp100.000,-
Seri 2004
Pecahan TerbesarRp100.000,-
24
3) Rendahnya kesetaraan nilai tukar rupiah dengan negara maju di kawasan sebagai
persiapan masuknya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Pada tahun 2015, negara-negara ASEAN akan memasuki era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Denominasi Rupiah perlu dirancang guna mendukung
persiapan menuju era tersebut. Akan baik sekali, apabila satuan mata uang rupiah
setara dengan satuan mata uang negara-negara anggota ASEAN. Redenominasi
akan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap Rupiah serta
mempersiapkan kesetaraan ekonomi nasional dengan kawasan dalam era MEA.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dibandingkan dengan negara lain,
denominasi mata uang Rupiah merupakan yang terbesar di kawasan setara dengan
Dong Vietnam dan Riel Kamboja. Selain itu, nilai tukar rupiah jika dikonversi ke
dolar Amerika Serikat juga termasuk yang terkecil. Padahal, dari sisi fundamental
ekonomi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tersebut.
Oleh karena itu, motivasi dan manfaat redenominasi mata uang rupiah menjadi
semakin penting peranannya dalam rangka menyongsong MEA karena dengan
redenominasi, penyederhanaan mata uang rupiah menjadikan nilainya setara
dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin
mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara
kawasan.
4) Di dunia pendidikan, pecahan denominasi yang ada sekarang kurang mendukung
dalam penerapan belajar berhitung di sekolah dasar
Di bangku pendidikan, terutama pendidikan dasar, denominasi rupiah dengan jumlah
digit yang banyak saat ini semakin dirasakan kurang mendukung anak usiasekolah,
khususnya di tingkat pendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena materi yang
dipelajari di sekolah tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga transaksi tunai
dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan jumlah digit yang besar.
2. Praktik Penyelenggaraan Redenominasi
Adapun praktik penyelenggaraan redenominasi Rupiah setidaknya dapat dibagi kedalam
tiga tahap besar yaitu :
a. Tahap komunikasi dan publikasi atas telah ditetapkannya Undang-Undang tentang
Perubahan Harga Rupiah,
b. Tahap kewajiban mencantumkan/kuotasi harga barang atau jasa, kemudian
c. Tahap pelaksanaan redenominasi.
25
2.1 Tahap komunikasi dan publikasi atas telah ditetapkannya Undang-Undang tentang
Perubahan Harga Rupiah sejak 2013 sampai dengan selesainya Redenominasi
a. Strategi Komunikasi dan Publikasi
Bank Indonesia harus melakukan pembagian wilayah untuk komunikasi dan
publikasi atas pelaksanaan redenominasi di seluruh Indonesia. Selanjutnya
masing-masing wilayah melakukan kontrol terhadap pelaksanaan redenominasi
dengan memberikan informasi, publikasi, dan edukasi kepada seluruh lapisan
masyarakat. Adapun untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang kegiatan
redenominasi pada masing-masing daerah harus disediakan alamat email, nomor
telepon bebas pulsa yang dapat dihubungi apabila masyarakat memerlukan
informasi lebih lanjut.
Tujuan strategi komunikasi dan publikasi ini adalah:
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya dan kegunaan
redenominasi,
2) Memberikan informasi tentang mekanisme, persyaratan dan rincian proses
redenominasi,
3) Meningkatkan kesadaran tentang nilai mata uang terhadap masyarakar,
4) Memfasilitasi pembelajaran ekuivalensi antara Rupiah dengan kata “Baru”
dengan Rupiah Lama terhadap masyarakat,
5) Memberikan informasi tentang karakteristik fisik dan unsur-unsur keamanan
dari Rupiah dengan kata “Baru”.
6) Menyebarkan langkah-langkah untuk mencegah orang dari terjadinya
penipuan akibat pelaksanaan redenominasi.
b. Sasaran Komunikasi dan Publikasi Redenominasi
Proses redenominasi ditujukan untuk masyarakat yang tinggal diwilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari kota besar sampai ke pelosok, serta orang-orang
asing yang berkaitan dengan rutinitas ekonomi Indonesia, atau orang asing yang
mengunjungi Indonesia selama jangka waktu tertentu, pada saat Rupiah Lama dan
Rupiah dengan kata “Baru” berlaku secara bersamaan.
Sejalan dengan proses efisiensi dan efektifitas dalam proses komunikasi dan
publikasi tentang redenominasi, sasaran komunikasi dan publikasi digolongkan
dalam berbagai jenis kelompok masyarakat, serta berbagai jenis media
26
komunikasi yang tepat,untuk memberikan pemahaman dan pengertian pada
seluruh kelompok masyarakat.
c. Media Komunikasi dan Publikasi Redenominasi
1. Radio dan Televisi
Hal ini dilakukan dengan menyiarkan informasi dan edukasi melalui siaran
secara up to date melalui jaringan Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI),
serta melalui stasiun televisi swasta setiap harinya atau dengan konferensi pers,
wawancara, penyampaian pesan/informasi, demikian halnya untuk ponsel
melalui layanan pesan teks.
2. Media Cetak dan Internet,
Perkembangan dan kegiatan terbaru terkait pelaksanaan redenominasi juga
disampaikan melalui Koran Nasional dan Koran Daerah serta memuat
informasinya pada situs resmi pemerintah setiap terdapat update data.
Disisi lain komunikasi dan publikasi redenominasi juga perlu dilaksanakan
melalui penyebaran bahan dalam bentuk presentasi powerpoint dengan tujuan
memberikan penjelasan secara lebih detil atas pelaksanaan redenominasi.
Presentasi dalam bentuk power point juga perlu diarahkan pada lapisan
masyarakat tertentu (negara ataupun badan-badan swasta), presentasi power
Point dalam bahasa Inggris: untuk kegiatan luar negeri yang terkait langsung
dengan redenominasi. Presentasi tersebut dapat diunduh pada situs resmi
pemerintah.
3. Pencetakan Materi
Materi cetak (leaflet, brosur) disebarkan melalui pers, radio dan televisi.
Pencetakan materi ini berfungsi sebagai material pendukung dalam presentasi
diskusi tatap muka yang meliputi :
a. Informasi tentang konsep, tujuan, keuntungan, dan tanggal-tanggal kunci
atas pelaksanaan redenominasi. Penjelasan dasar aspek-aspek redenominasi
mata uang menggunakan bahasa sehari-hari,
b. Aturan pembulatan dalam redenominasi,
c. Aturan terkait dokumen keuangan (cek, faktur, dokumen lainnya),
d. Ciri fisik dari Rupiah dengan kata “Baru”.
27
4. Video
Berisi tanya jawab interaktif sebagai sarana untuk memberikan perspektif
umum dari proses redenominasi,dan menjelaskan aspek-aspek dasar dari
proses ini.
5. Internet
Bank Indonesia menyediakan website pada situs www.redenominasi.go.id
yang mengumpulkan semua informasi resmi mengenai redenominasi Rupiah
6. Telepon Bebas Pulsa
7. Sejak akan diberlakukannya redenominasi, Bank Indonesia dan pemerintah
perlu menyediakan telepon bebas pulsa untuk seluruh masyarakat, yang
memungkinkan semua masyarakat untuk menghubungi nomor telepon tersebut
dalam rangka memperoleh informasi terkait redenominasi.
8. Selain sumber-sumber yang disebutkan tersebut diatas, maka dalam rangka
mendukung pelaksanaan redenominasi, lembaga pemerintah, lembaga
keuangan publik dan swasta harus melakukan antara lain :
a. Menyiapkan brosur dan bahan untuk berkontribusi pada proses publikasi
dan edukasi pelaksanaan redenominasi,
b. Membuat link di halaman web dari masing-masing lembaga yang
memungkinkan untuk akses ke halaman web dari proses redenominasi mata
uang, misalnya: www.redenominasi.go.id,
c. Demikian juga, halaman web institusi pemerintah harus menunjukkan
spanduk redenominasi mata uang.
d. Menyiapkan tempat dengan lokasi strategis, pada setiap kantor-
kantor,berupa poster, brosur, spanduk, mengenai proses redenominasi mata
uang,
e. Menampilkan iklan dalam bentuk sebuah running textdi bagian bawah layar
televisi, untuk menyiarkan pesan informatif mengenai proses redenominasi.
9. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung harus
memberikan pelatihan dan pemahaman kepada para hakim, pengacara,
notaris. Sehingga dengan adanya redenominasi dokumen-dokumen hukum
dapat disesuaikan dengan denominasi yang baru.
d. Evaluasi Komunikasi dan Publikasi
Untuk melakukan evaluasi atas tingkat pemahaman publikasi dan informasi yang
telah disampaikan, Bank Indonesia secara berkala akan melakukan survey tentang
28
pelaksanaan redenominasi Rupiah dengan tujuan untuk menilai tingkat
pengetahuan, pemahaman,harapan dan perspektif masyarakat atas pelaksanaan
redenominasi. Hasil survey ini memungkinkan untuk mengambil keputusan secara
tepat waktu atas aspek-aspek dari proses redenominasi Rupiah
e. Tempat Informasi Resmi Pelaksanaan Redenominasi
Informasi atas pelaksanaan redenominasi Rupiah dapat diketahui, dan dihubungi
melalui :
1. Situs www.redenominasi.go.id
2. Saluran telepon bebas pulsa
3. Alamat email tertentu
4. Kementerian/Lembaga,
Selain itu, pelaksanaan redenominasiakan dipublikasikan oleh Bank Indonesia,
Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam
Negeri, Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Lembaga
Keuangan Bank dan Non Bank, Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI),
5. Lembaga pendidikan tertentu,
6. Media massa dan elektronik maupun pihak masyarakat yang direkrut dan
dilatih untuk memberikan pemahaman tentang redenominasi.
2.2 Kewajiban Pencantuman/Kuotasi Harga Barang atau Jasa secara paralel antara harga
dalam mata uang lama sebelum redenominasi dan harga dalam mata uang baru sesudah
redenominasi (dual price tagging) efektif Sejak 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan
Redenominasi Rupiah yaitu 2014 sampai dengan 3 (tiga) tahun sejak diberlakukannya
pelaksanaan Redenominasi Rupiah yaitu 2014. Kewajiban pencantuman harga secara
paralel selama 6 bulan sebelum redenominasi dimaksudkan agar masyarakat memahami
dengan benar dan sudah terbiasa dengan tata cara konversi harga serta pembulatan
harga yaitu dari harga dalam mata uang lama (sebelum redenominasi) ke dalam harga
dalam mata uang baru (sesudah redenominasi). Dengan masa transisi selama 6 bulan
tersebut diharapkan masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi sehingga
pada saat pelaksanaan redenominasi akan berjalan lancar.
Untuk kewajiban dual price tagging selama 3 tahun dimaksudkan untuk memudahkan
masyarakat selama masa 3 tahun dimana beredar uang lama dan uang baru secara
bersamaan. Apabila masyarakat menggunakan uang lama maka tampilan harga yang
dipilih adalah harga lama. Sedangkan bila digunakan uang baru maka tampilan harga
yang dipilih adalah harga baru. Dengan demikian, selama beredar dua jenis uang yaitu
29
uang lama dan baru, maka tampilan harga juga akan dicantumkan dlam harga lama dam
harga baru.
Aspek pencantuman/kuotasi harga barang atau jasa yang harus disajikan dalam bentuk
Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” secara bersamaan dan berlaku sampai
dengan 31 Desember 2016.
Pencantuman/kuotasi harga barang atau jasa tersebut baik berupa harga yang
ditawarkan secara lisan, melalui iklan, atau melalui instrument lain, dengan tujuan
membiasakan masyarakat atas skala Rupiah dengan kata “Baru”. Bahwa dalam rangka
pecantuman/kuotasi harga, Kementerian Perdagangan sebagai koordinator dan
bekerjasama dengan instansi pemerintah lainnya wajib melakukan pengawasan terkait
pencantuman harga barang dan jasa.
2.3 Pelaksanaan Redenominasi Efektif 1 Januari 2014
Untuk memudahkan pembahasan, dapat digunakan asumsi bahwa redenominasi efektif
diterapkan pada tanggal 1 Januari 2014. Penetapan tanggal pada awal Januari ditujukan
untuk memudahkan proses perubahan pembukuan dimana pada tanggal 1 Januari 2014
seluruh pencatatan dan pembukuan secara serentak wajib menggunakan harga/nilai
yang dinyatakan dalam mata uang baru. Apabila redenominasi dilakukan bukan pada
awal Januari (misalnya Februari atau Juni atau lainnya) maka akan timbul kewajiban
pembukuan ganda (dalam mata uang lama dan baru) yang hanya menambah beban
biaya pembukuan bagi pengusaha dan rawan terhadap kekeliruan (human error).
Semua aspek-aspek yang berhubungan dengan ukuran redenominasi mata uang harus
telah dilakukan konversi ke dalam skala Rupiah dengan kata “Baru” efektif sejak
1 Januari 2014. Aspek-aspek tersebut antara lain harga atau nilai barang/jasa,
pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian,
surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan dokumen lainnya harus
dinyatakan dalam Rupiah dengan kata “Baru”.
Adapun terhadap pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan
pengadilan, perjanjian, surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan
dokumen lainnya yang telah ada sebelum ditetapkannya redenominasi, demi hukum
dikonversi menjadi harga atau nilai dalam Rupiah setelah dilakukan redenominasi
a. Pemberlakuan secara bersama-sama mata uang Rupiah saat ini dan Rupiah dengan
kata “Baru”
30
Mulai 1 Januari 2014, dan sampai Bank Indonesia melakukan pencabutan dan
penarikan dari peredaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”,
masyarakat dapat melakukan pembayaran tunai dalam salah satu bentuk berikut:
1. Dengan uang koin, uang kertas dari Rupiah lama,
2. Dengan uang koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan lainnya dari Rupiah
dengan kata “Baru”,
3. Dengan kombinasi koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan lainnya dari
Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”, dengan nilai ekuivalensi sesuai
transaksi
Sebagai contoh, jika seseorang membayar secara tunai untuk beras yang nilainya
Rp6,6- dengan Rupiah kata “Baru”, maka memiliki tiga pilihan untuk membeli
item:
1. Dengan Rp6.600,- Rupiah Lama,
2. Dengan Rp6,6 Rupiahdengan uang koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan
lainnya dengan Rupiah kata “Baru”, atau
3. Dengan kombinasi koin, uang kertas dan tagihan dari Rupiah Lama dan
Rupiah dengan kata “Baru”, sesuai dengan nilai ekuivalensi pada transaksi
yang disepakati.
Contoh dengan Rp5.000,-(Rupiah Lama) dan Rp1,- (Rupiah Baru) dan 6 Sen
Rupiah Baru.
Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang melakukan transaksi (pembeli dan
penjual) lebih familiar dengan koin baru, uang kertas baru dan cek/bentuk tagihan
lainnya pada denominasi yang baru, serta ekuivalensinya masing-masing dalam
koin baru, uang kertas baru dan cek/bentuk tagihan baru lainnya dengan Rupiah
Lama.
b. Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan Kata
“Baru”
Dengan berlakunya Rupiah dengan kata “Baru”, maka Rupiah Lama tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan nilai konversi sama dengan Rupiah dengan kata “Baru” sampai
dengan dilakukannya pencabutan dan penarikan dari peredaran.
Rupiah dengan kata “Baru” tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan dilakukannya
pencabutan dan penarikan dari peredaran. Rupiah dengan kata “Baru” dapat
31
ditukarkan dengan Rupiah di Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk Bank Indonesia setelah masa transisi selesai
c. Redenominasi Rupiah pada Pembulatan Nilai Tukar Mata Uang Asing
Redenominasi merupakan cara menyederhanakan penulisan atau penyebutan 3
(tiga) digit angka nol terhadap Rupiah Lama sehingga setiap 1000 (seribu) Rupiah
Lama sama dengan nilainya dengan 1 (satu) Rupiah dengan kata „Baru” setelah
dilakukan redenominasi,hal ini juga diberlakukan pada nilai tukar mata uang asing
sejak 1 Januari 2014 Hal ini berarti bahwa proses redenominasi Rupiah bukanlah
proses devaluasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.
Namun demikian, terdapat pengecualian aturan pembulatan, yang mana harga per
unit berikut ini setidaknya harus ditampilkan dalam tiga desimal, dalam hal ini
diantaranya untuk nilai tukar mata uang asing.
Sebagai contoh : Kurs jual 1 USD/Rupiah adalah Rp8.675,-, maka apabila
seseorang ingin menukarkan USD kedalam rupiah harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1. Bila yang ditukar hanya 1 USD maka rupiah dengan kata “Baru” yang akan
didapat adalah
=Rp8,675 x 1 USD
=Rp8,675 dan dibulatkan menjadi
=Rp8,68 (Rupiah dengan kata “Baru”)
2. Namun demikian, apabila yang ditukar misalnya 15 USD maka rupiah yang
akan didapat adalah
=Rp8,675 x 15 USD
= Rp130,125 dan dibulatkan menjadi
= Rp130,13 (Rupiah dengan kata “Baru”)
d. Lembaga Pelaksanaan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah
Dalam pelaksanaan redenominasi, lembaga yang bertanggungjawab dalam
melakukan pengawasan antara lain adalah :
1. Bank Indonesia,
2. Kementerian Keuangan
3. Kementerian Perdagangan
4. Kementerian Dalam Negeri
5. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
f. Tata Cara Pembulatan
32
Dengan redenominasi, ketika membagi harga atau jumlah uang atau jumlah
lainnya dengan seribu (1.000), kadang-kadang angka yang dihasilkan
menunjukkan jumlah lebih dari dua desimal.
Dengan demikian dalam pembulatan redenominasi dapat dipahami sebagai
berikut:
a. Nilai 1 (satu) Rupiah sama dengan 100 (seratus) sen
b. Dalam hal konversi harga atau nilai barang serta hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang menghasilkan nilai pecahan yang kurang dari satu
sen dalam Rupiah Baru setelah redenominasi, maka nilai pecahan tersebut
dibulatkan ke sen terdekat
c. Pembulatan tersebut dengan ketentuan nilai 0,5 (lima persepuluh) sen atau
lebih dibulatkan menjadi 1 (satu) sen, dan nilai yang kurang dari 0,5 (lima
persepuluh) sen dihilangkan
Sebagai contoh :
1. Nilai Rupiah Lama Rp16.795 dikonversi dan dibulatkan Nilai Rupiah dengan
kata “Baru” menjadi Rp16,80 (Enam Belas Rupiah Delapan Puluh Sen)
2. Nilai Rupiah Lama Rp16.794 dikonversi dan dibulatkan Nilai Rupiah dengan
kata “Baru” menjadi Rp16,79 (Enam Belas Rupiah Tujuh Puluh Sembilan
Sen)
Namun demikian terdapat pengecualian atas aturan pembulatan dalam
redenominasi, yang mana harga per unit berikut ini setidaknya harus ditampilkan
dalam tiga desimal:
a. Harga Minyak dan Gas pada satuan liter/barrel,
b. Liquified Petroleum Gas (LPG) dijual dalam jumlah besar,
c. Air, listrik, telepon dan layanan Internet,
d. Harga saham,
e. Nilai tukar mata uang asing
Sebagai contoh:
Jika tarif telepon/detik adalah Rp1,- (Rupiah Lama) setelah dibagi dengan 1.000
menjadi Rp0,001 maka dengan aturan pembulatan akan menunjukkan harga
Rp0,
Namun demikian, hal ini tidak masuk akal dari sudut pandang ekonomis, maka
dianjurkan menetapkan harga kedalam sepuluh, seratus atau seribu unit produk,
sehingga setelah itu dikonversi ke Rupiah Baru akan memberikan harga lebih
33
tinggi dari nol. Untuk kepentingan pelaksanaan transaksi pembayaran dan
mengingat pecahan rupiah terkecil adalah satu sen, maka terhadap keseluruhan
nilai/harga barang/jasa yang ditampilkan dalam tiga digit di belakang koma wajib
dilakukan pembulatan ke nilai sen terdekat.
Contoh I : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah Baru)
maka apabila digunakan menelpon selama 45 detik, maka harga yang harus
dibayar adalah
=Rp1,- (Rupiah Lama) x 45 detik
=Rp45,- atau dibulatkan setara dengan
=Rp5 sen (Rupiah Baru)
Contoh II : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah Baru)
maka apabila digunakan menelpon selama 5 detik, maka harga yang harus dibayar
adalah
=Rp1,- (Rupiah Lama) x 5 detik
=Rp5,- atau dibulatkan setara dengan
=Rp1 sen (Rupiah Baru)
\
Contoh III : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah
Baru) maka apabila digunakan menelpon selama 4 detik, maka harga yang harus
dibayar adalah
=Rp1,- (Rupiah Lama) x 4 detik
=Rp4,- atau dibulatkan setara dengan
=Rp1 sen (Rupiah Baru)
Contoh IV, harga saham “Z” sebesar Rp1.677,- (Rupiah Lama) sama dengan
Rp1,677 (Rupiah Baru), maka apabila dilakukan pembelian sebanyak 1 lot (500
unit), harga saham yang harus dibayar adalah
= Rp1,677 (Rupiah Baru) x 500 unit
= Rp838,50 (Rupiah Baru)
Pengecualian perhitungan tersebut yang dihitung adalah :
Jumlah total unit x harga per unit, dan baru kemudian dilakukan pembulatan,
bukan,
34
Jumlah total unit x harga per unit yang dibulatkan
Dengan contoh tersebut, maka harga barang dan jasa tidak akan berubah, dan
penjual dan pembeli akan berada dalam kerangka hukum,dengan mematuhi
prinsip-prinsip kesetaraan nilai dan kesetaraan nominal.
Dapat ditambahkan bahwa aturan pembulatan tidak akan berlaku, apabila setelah
pembagian dengan seribu(1.000) hasilnya hanya memberikan dua desimal atau
kurang.
Sebagai contoh :
Harga"X" adalah Rp11.420,- (Rupiah Lama) maka konversi ke Rupiah Baru
adalah Rp11.420,-/ 1.000 = Rp11,42 (Rupiah Baru)
atau Harga “Y” adalah Rp11.000,- (Rupiah Lama) maka konversi keRupiah Baru
adalah Rp11.000,-/ 1.000 = Rp11,- (Rupiah Baru)
g. Cek
Sejak ditetapkannya redenominasi Rupiah sejak 1 Januari 2014, maka setiap
penggunaan dan penyebutan Rupiah antara lain dalam harga atau nilai
barang/jasa, pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan
pengadilan, perjanjian, surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti
pembayaran dan dokumen lainnya harus dinyatakan dalam Rupiah dengan kata
“Baru”.
Dengan redenominasi rupiah, maka karakteristik cek tidak akan berubah dan cara
untuk menentukan apakah cek dinyatakan dalam Rupiah Lama atau Rupiah Baru
dengan dengan melihat tanggal penerbitannya. Hal ini penting untuk menunjukkan
bahwa penggunaan ungkapan Rupiah dengan kata „Baru” tidak akan
menyebabkan pembatalan kembali cekyang telah dikeluarkan.
Adapun cek yang diterbitkan mulai1 Januari 2014, harus dibuat dengan yang skala
baru,sehingga mencerminkan jumlah redenominasi tersebut.
Apabila terdapat cek yang diterbitkan sebelum 1 Januari 2014, dan diuangkan
pada tahun 2014, setelah redenominasi, maka jumlahnya secara otomatis akan
dipahami kedalam Rupiah dengan kata “Baru” dan untuk pertimbangan ini, maka
jumlah nilai uang dalam cek tersebut harus dibagi dengan seribu (1.000) dan
dibulatkan keterdekatpersen sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebagai contoh, untuk Rp160.000.000 dan cek tersebut dikeluarkan pada 23
Desember 2007, maka Bank akan membayar jumlah yang setara dengan skala
baru, dengan kata lain sebesar Rp160.000,-.
35
Cek dapat dibayar dengan 1) koin dan uang kertas Rupiah dengan kata “Baru”, 2)
dengan koin, uang kertas dan tagihan Rupiah Lama, atau dengan kombinasi koin,
uang kertas dan tagihanRupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”. Selama
belum terdapat pencabutan dan penarikan dari peredaran.
Sebagai contoh,
Apabila jumlah cek adalah Rp15.375.975,- (Rupiah Lama), maka nama unjuk
dalam cek tersebut akan menerimaRp15.376,98 (Rupiah dengan kata “Baru”) atau
jika jumlah cek adalah Rp15.345.734 (Rupiah dengan kata “Baru”), maka
pembawa cek akan menerima Rp15.345,73 (Rupiah dengan kata “Baru”).
Demikian juga halnya, apabila akan disimpan/ditabung kedalam rekening bank
bukan diuangkan, maka jumlah yang samapada Rupiah dengan kata “Baru” akan
terdaftar dalam rekeningbank.
h. Transaksi Kliring
Kliring pada tahun 2013 dan belum dicairkan pada 31 Desember tahun 2013
(sebelum redenominasi), dapat dilakukan penyimpanan pada bank lain selama
bulan Januari 2014. Hal ini berarti bahwa hanya selama bulan Januari cek dari
bank, yang diterbitkan pada tahun 2013, bisa disimpan di rekening bank lain.
Cek dengan tahun 2013, mulai 1 Januari 2014 hanya bisa dicairkan melalui bank
yang bersangkutan, atau melalui mekanisme pertukaran antara lembaga
keuangan,terlepas dari apakah mereka berasal dari skala Rupiah dengan kata
“Baru” atau dari skala Rupiah lama.
i. Kewajiban Bank untuk Memberikan Informasi kepada Nasabah
Bank-bank dan lembaga keuangan lainnya wajib untuk menginformasikan kepada
para nasabah, terkait aturan yang berlaku untuk pembayaran cek dalam proses
redenominasi mata uang.
j. Peredaran dan Pertukaran Rupiah
Bank Indonesia bertanggung jawab atas peredaran Rupiah dengan kata „Baru”.
Selama proses distribusi dari Rupiah dengan kata „Baru” pada daerah-daerah
dengan geografi yang tidak memiliki jaringan bank lokal, Bank Indonesia akan
mengandalkan dukungan dari lembaga pemerintah lainnya. Pertukaran atau
penggantian uang Rupiah Lama dengan Rupiah dengan kata “Baru”, yang akan
mulai beredar di 1 Januari 2014 (setelah Redenominasi mulai berlaku),
masyarakat tidak dikenakan biaya tukar uang.
36
Mulai 1 Januari 2014, proses pertukaran atau substitusi uang Rupiah Lama dengan
uang Rupiah dengan kata „Baru” akan dimulai dan masyarakat secara bertahap
dapat menukar uang Rupiah Lama dengan Rupiah dengan kata „Baru”. Periode
pertukaran akan memakan waktu cukup lama dan masa transisi dapat
diperpanjang, dengan kata lain Rupiah dengan kata “Baru” akan tetap
dipertahankan setelah Rupiah Lama telah dicabut dan ditarik dari peredaran.
Akhir masa transisi akan ditetapkan sebelumnya dan diumumkan kepada
masyarakat terlebih dahulu oleh Bank Indonesia. Akhir masa transisi ditandai
dengan dikeluarkannya Rupiah tanpa kata “Baru” sebagai alat pembayaran yang
sah, namun demikian nilai Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” tetap
akan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sampai dengan dilakukan
pencabutan dan penarikan dari peredaran.
Penukaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” yang telah dilakukan
pencabutan dan penarikan dari peredaran dapat dilakukan paling lambat 10 tahun
sejak tanggal dicabut dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku. Tata cara
pengelolaan Rupiah yang meliputi tahap perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan Rupiah Lama dan
Rupiah dengan kata “Baru” dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pada
Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
k. Penukaran Uang Redenominasi Rupiah Pada Bank Umum
Bank Umum wajib menyediakan penukaran Rupiah Lama dengan Rupiah dengan
kata “Baru” untuk para nasabah maupun non nasabah pada kantor cabang bank
umum. Bank Umum dapat membuat batas dalam jumlah yang dapat dipertukarkan
atas masing-masing kantor cabang mereka, yang akan tergantung pada
ketersediaan Rupiah dengan kata „Baru”, dengan tujuan menjamin ketersediaan
pasokan sebesar mungkin.
Tanggal 2 Januari 2014 akan menjadi hari pertama kegiatan perbankan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hari itu akan menandai awal
Rupiah Lama dan Rupiah “Baru”.
Untuk itu disarankan agar masyarakat tidak terburu-buru untuk mengubah semua
Rupiah Lama dengan Rupiah Baru, karena Rupiah Lama masih dapat digunakan
selama masa transisi untuk melakukan pembayaran.
37
Setelah masa transisi selesai, penukaran Rupiah Lama dapat dilakukan penukaran
hanya pada Bank Indonesia atau Kantor Cabang Bank Indonesia, dengan nilai
ekuivalensi sama nilai setelah Redenominasi.
l. Penukaran Uang Pada Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
Bulan Januari 2014 yaitu pada saat sirkulasi Rupiah Lama dan Rupiah dengan
kata “Baru” berjalan, maka Anjungan Tunai Mandiri (ATM) akan memberikan
pasokan Rupiah Lama atau Rupiah Baru (salah satu jenis saja).
Denominasi yang ditampilkan dan dimunculkan oleh ATM akan terus
menunjukkan simbol,"Rp" (Rupiah Lama) bukan simbol Rupiah dengan kata
“Baru”, terlepas dari jumlah uang yang akan dikeluarkan oleh ATM dalam skala
baru.
Misalnya, jika ATM memasok Rupiah Lama dan nasabah hendak menarik Rp50,-
(Rupiah Baru), maka pelanggan bisa menerima uang Rp50.000 (Rupiah
Lama),namun bukti transaksi dan tampilan mesin akan menunjukkan penarikans
ebesar Rp50,- (Rupiah dengan kata „Baru”)
m. Pembayaran dan Rekening Saldo Bank Selama Peredaran Dua Mata Uang Rupiah
“Baru” dan Rupiah Lama
Selama masa transisi, pembayaran secara tunai dapat dibuat dengan menggunakan
koin dan uang kertas dari Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” tanpa
perbedaan
Dengan demikian pembayaran dapat dilakukan dalam setiap dari tiga pilihan yang
mungkin:
1. Dengan koin dan uang kertas Rupiah Lama
2. Dengan koin dan uang kertas Rupiah Baru
3. Dengan kombinasi keduanya, dengan memperhatikan nilai ekuivalensinya
Sebagai contoh, jika sebuah kemeja dibeli untuk Rp121.550(Rupiah Lama)
atau Rp121,55 (Rupiah Baru), dan pembayaran dilakukan secara tunai, maka
pembeli bisa menggunakan satu Rp100.000 (Rupiah Lama), satu Rp20,-
(Rupiah Baru) dan Rp1,55 (Rupiah Baru)
Sama seperti sebelum diberlakukannya redenominasi rupiah, dalam hal
pembayaran dilakukan melalui sarana elektronik,hanya akan ada satu cara untuk
mencerminkan jumlah transaksi.
38
Jumlah ini harus menjadi jumlah yang ditunjukkan pada tagihan, dan dibebankan
ke kartu kredit atau dipotong daritabungan atau rekening giro pada “Rupiah
Baru”.
Sebagai contoh, jika sesorang membeli buku seharga Rp56,- (Rupiah Baru) sejak
1 Januari 2014, maka bukti tagihan transaksi kartu kredit akan menampilkan
catatan sebesar Rp56,- (Rupiah Baru).
n. Kewajiban Bank, Lembaga Keuangan Non Bank dan Perusahaan
Bank, lembaga keuangan non bank dan perusahaan bisnis wajib melatih karyawan
mereka dalam mengelola Rupiah dengan kata “Baru”, bagaimana membuat
konversi dari Rupiah Lama untuk Rupiah dengan kata “Baru”, dan menyediakan
informasi label tentang harga bagi para pengguna barang atau jasa, khususnya
selama masa transisi.
o. Rekomendasi Untuk Kasir, Bendahara dan Staf Pengelola Keuangan
Apabila memungkinkan, disarankan bagi kasir, bendahara pengelola keuangan
(staf pengelola keuangan) dapat memberikan perubahan untuk seluruh transaksi
dalam Rupiah dengan kata “Baru”
Demikian juga, disarankan bahwa staf pengelola keuangan harus menggunakan
beberapa jenis alat teknologi atau kalkulator untuk mempercepat konversi jumlah
untuk Rupiah Baru dari jumlah Rupiah Lama.
Untuk pengelolaan kas, dianjurkan untuk dipisahkan Rupiah Lama dengan Rupiah
Baru yang akan mulai beredar sejak 1 Januari 2014, melakukan penutupan untuk
tampilan kedua mata uang, dan kemudian melakukan konsolidasi di penutupan
Rupiah Baru.
Faktur tidak akan berubah, serta pajak tidak akan terpengaruh dengan adanya
redenominasi mata uang. Namun demikian, harus diperhitungkan bahwa faktur
yang dilaksanakan sampai 31 Desember 2013, dipahami sebagai kedalam dalam
Rupiah Lama, sedangkan yang dikeluarkan sebagai dari 1 Januari 2014, akan
dipahami sebagai kedalam Rupiah Baru.
Verifikasi tanggal penerbitan cek sangat penting, karena cek dengan tanggal
penerbitan dari tahun 2013 dinyatakan dalam Rupiah Lama, dan jika cek
bertanggal tahun 1 Januari 2014, harus dipahami sebagai Rupiah Baru, dan tidak
perlu menulis kata "Baru" atas identitas keterangan suatu cek.
39
Staf pengelola keuangan harus menunjukkan dan memberitahu konsumen atas
pembelian barang atau jasa baik dalam bentuk Rupiah dengan kata “Baru” pada
masa transisi.
p. Rekomendasi Untuk Masyarakat
Masyarakat harus meneliti, memeriksa dan memastikan bahwa jumlah dinyatakan
dalam Rupiah Baru sesuai dengan transaksi yang telah dilakukan adalah benar.
Disarankan bahwa konsumen harus memberikan perhatian khusus untuk jumlah
yang mereka tulis di cek, serta tanggal penerbitan, terutama selama masa transisi.
Masyarakat juga harus menyadari unsur-unsur keamanan yang disertakan Rupiah
Baru, dan memverifikasi mereka sebelum melakukan transaksi apapun.
q. Faktur, Persediaan, Kontrak Pembayaran Kewajiban
Dalam rangka membiasakan masyarakat dengan skala Rupiah baru, dimulai pada
1 Juli 2013, harga barang dan jasa akan ditampilkan, ditawarkan, dan dipamerkan
pada masyarakat umum Rupiah Baru dan Rupiah Lama.
Apabila sejak 1 Januari 2014, terdapat barang yang dijual pada harga yang dicetak
dengan paket atau pembungkus di Rupiah Lama, maka harga tersebut otomatis
harus dipahami sebagai kembali dinyatakan dalam Rupiah Baru
Sejak 1 Januari 2014, setiap faktur diterbitkan dengan memperhitungkan skala
Rupiah dengan kata “Baru”.
Sejak 1 Januari 2014 setiap kali pembayaran dilakukan dengan kartu debit atau
kredit pada tempat-tempat penjualan, maka jumlah harus dibebankan dalam skala
Rupiah dengan kata “Baru”. Sama seperti dengan ATM akan dinyatakan dalam
skala baru, tetapi selalu menggunakan simbol "Rp"
Semua penggunaan atau penyebutan Rupiah antara lain dalam pencatatan
transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian, surat
berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan dokumen lainnya yang
telah ada sebelum ditetapkannya redenominasi tetap berlaku dan tidak perlu
diubah, tetapi dalam hal membaca nilainya demi hukum dikonversi menjadi harga
atau nilai dalam Rupiah setelah redenominasi.
r. Catatan Akuntansi dan Pelaporan
Saldo laporan keuangan pada tanggal penutupan 31 Desember 2013 harus
dikonversi kedalam Rupiah dengan kata “Baru”, dengan membagi saldo tersebut
dengan seribu (1.000).
40
Saldo laporan keuangan sejak tanggal 1 Januari 2014, semua transaksi harus
tercermin dalam Rupiah dengan kata “Baru”, dan akumulasi saldo diperoleh
setelah menerapkan prosedur konversi tanggal 31 Desember 2013 sebelum
dilaksanakannya redenominasi
s. APBN 2014
Rancangan Undang-Undang APBN 2014 harus disajikan Rupiah dengan kata
“Baru” secara utuh tanpa desimal.Untuk tujuan ini, maka estimasi pendapatan,
belanja dan pembiayaan harus dibuat dalam skala denominasi Rupiah dengan kata
“Baru”.
Kertas bermeterai, perangko, harus digunakan sampai persediaan sudah habis, dan
1 Januari 2014 nilai mereka akan diakui oleh setara mereka Rupiah dengan kata
“Baru”.
Sejak 1 Januari 2014, tugas dan kewajiban bagi wajib pajak tidak akan
terpengaruh oleh redenominasi mata uang. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa
faktur, pembayaran dan pencatatan akuntansi secara umum harus dinyatakan
dalam Rupiah dengan kata „Baru” sejak 1 Januari 2014
Restitusi pajak tahun 2013 harus dinyatakan dalam Rupiah dengan kata „Baru”
sejak 1 Januari 2014, dan untuk melakukan ini, harus dibagi dengan seribu (1.000)
dan dibulatkan ke persen terdekat.
t. Penyesuaian Teknologi
Semua masyarakat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
menyesuaikan sistem perhitungan sehingga semua transaksi yang dilakukan harus
dinyatakan dalam Rupiah dengan kata “Baru” mulai 1 Januari 2014. Penetapan
batas waktu untuk penyesuaian sistem perhitungan adalah 31 Desember 2013
Proses perencanaan harus dilakukan untuk meminimalkan risiko ketidaksiapan
untuk tanggal tersebut di atas. Semua sistem operasi yang terkait dengan Rupiah
akan terpengaruh atas redenominasi antara lain :
1. Sistem informasi
2. Website
3. Struktur data
4. Automatic Teller Machines
5. Beberapa instrumen pengukur elektronik:
6. Parkir waktu perhitungan
7. Konsumsi Telepon meter
41
8. Minuman atau makanan ringan
9. Tiket atau token
10. Bensin
11. Sistem yang menghasilkan label harga
Semua sistem perhitungan, instrumen teknologi ataupun mekanisme yang
digunakan untuk menawarkan, menampilkan atau menunjukkan harga barang dan
jasa harus menggunakan dan menunjukkan kedua mata uang Rupiah Lama dan
Rupiah dengan kata “Baru”, kepada masyarakat.
Sejak 1 Januari 2014, semua solusi teknologi layanan untuk konsumen dan
pembayaran secara tunai, harus mempertimbangkan kemungkinan menerima dan
memberikan Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”. Konversi semua data
historis sebelum 1 Januari 2014 Untuk Rupiah dengan kata „Baru” tidak wajib.
Apabila kegiatan yang ada memerlukan konversi secara parsial atau konversi
secara total dari data historis untuk mempertahankan kapasitas operasional, maka
disarankan untuk menjaga informasi asli di Rupiah Lama sebelum mengkonversi,
atau sebagai solusi alternatif, hanya membagi data historis oleh seribu (1.000)
agar tidak kehilangan keakurasian data asli.
D. Pengalaman Negara Lain yang Telah Melakukan Redenominasi
Untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan
program redenominasi, dilakukan studi terhadap beberapa negara yang melakukan program
redenominasi.
Indikator keberhasilan program redenominasi mata uang yang digunakan dalam kajian
ini adalah tercapainya tingkat inflasi yang lebih rendah setelah dilakukan redenominasi.Hal ini
dipilih mengingat sebagian besar latar belakang redenominasi adalah kebijakan simbolis untuk
memulihkan kepercayaan terhadap mata uang akibat inflasi. Dalam kajian ini, negara yang
dikategorikan berhasil antara lain Turki, Romania, Polandia dan Ukraina, sedangkan negara
yang dikategorikan gagal adalah Brazil, Argentina, Zimbabwe dan Rusia.
1. Negara yang Sukses Melakukan Redenominasi
Dalam bagian ini akan diuraikan pengalaman Turki dan Romania yang
dikategorikan berhasil dalam melakukan redenominasi.
a. Turki
Faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program redenominasi di
Turki dapat dijelaskan sebagai berikut:
42
1) Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah
digit mata uang Turkish Lira
Penyederhanaan tersebut telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat,
baik di sektor riil maupun sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal dan
sistem pembayaran.Sebelum redenominasi, masyarakat Turki telah merasa
terbebani oleh penggunaan mata uang yang digitnya besar, terutama kesulitan yang
dihadapi pada saat bertransaksi atau saat menggunakan peralatan atau mesin seperti
pompa bensin, ATM atau peralatan lainnya yang berstandar internasional.
Tabel Indikator Makroekonomi Turki Sebelum dan Setelah Redenominasi 1 Januari 2005
Turki 2003 2004 2005 2006 2007
Pertumbuhan Ekonomi (%) 5.27 9.37 8.40 6.89 4.45
Inflasi (%) 18.36 9.32 10.53 9.65 8.39
PDB Nominal (milliar USD) 304.59 393.04 483.99 529.93 655.88
Defisit Fiskal/PDB (%) -11.3 -7.1 -2 0.7 *
Neraca Berjalan/PDB (%) -1.65 -2.58 -3.41 -4.21 -4.4
Nilai Tukar Nominal (TL/USD) 1.4 1.34 1.35 1.41 1.17
Cadangan Devisa (juta USD) 33,793 35,480 50,402 60,710 73,156
Suku bunga kebijakan (%) 43 38 23 27 25
Pengangguran (%) 10.5 10.3 10.2 9.88 10.23
2) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat
Redenominasi mata uang di Turki dilaksanakan pada saat kondisi fundamental
perekonomian Turki cukup kuat dengan tren inflasi yang menurun. Kuatnya
fundamental ekonomi Turki diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi
tahun 2005 mencapai 7,4%, tingkat inflasi 7,7% dengan tren laju inflasi yang
menurun, nilai tukar yang relatif stabil berada di kisaran 1,35 TL per 1 USD serta
defisit anggaran pemerintah yang terus mengalami penurunan hingga mencapai
0.6% GDP. Sebelumnya, Central Bank of the Republic of Turkey (CBRT) telah
beberapa kali mengusulkan program redenominasi yaitu pada tahun 1996 dengan
menghapus 3 angka nol dan tahun 1998 dengan menghapus 5 angka nol, namun
karena laju inflasi Turki masih tinggi maka redenominasi belum dilakukan. Usulan
menghapuskan 6 angka nol baru disetujui pemerintah pada tahun 2000 dan
dilakukan persiapan pelaksanaannya pada tahun 2004 setelah tren laju inflasi
menurun.
3) Tersedianya landasan hukum
Penghapusan 6 digit mata uang Turki dan penambahan prefix “New” di depan
nama Turkish Lira (atau “Yeni” dalam bahasa Turki) diatur dalam Law No.5083
on the Currency Unit of the Republic of Turkey yang berlaku sejak 1 Januari 2005.
43
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, price tagging, dokumen legal
serta laporan keuangan dapat menggunakan TL dan YTL hingga 31 Desember
2005.
4) Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas
terkait serta praktisi bisnis
CBRT bersama dengan Pemerintah Turki membentuk “New Turkish Lira Steering
Committee” di bawah koordinator CBRT guna mempersiapkan segala hal yang
diperlukan sesuai waktu yang telah ditentukan. Anggota komite tersebut terdiri dari
Ministry of Finance, Ministry of Trade and Industry, Undersecretariat of Treasury,
Prime Ministry State Institute and Statistics, Banking Regulation and Supervision
Agency, dan Capital Market Board. Dibentuknya komite berskala nasional dengan
koordinator CBRT serta 3 sub-committee/task force, yaitu Commission of
Information Technology (dikoordinatori oleh CBRT), Commission of Companies
(dengan koordinator Ministry of Trade and Industry), dan Commission of
Accounting Standards (dengan koordinator Ministry of Finance).
5) Kampanye dan edukasi publik yang intensif
Kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dilakukan secara intensif oleh
CBRT dan pemerintah untuk memberikan informasi dan regulasi yang berkaitan
dengan program redenominasi melalui berbagai media seperti televisi, radio, surat
kabar, seminar, dan situs resmi redenominasi Turki (website: www.ytl.gen.tr). Di
samping itu, dilakukan pula kampanye di sekolah-sekolah/universitas, penyediaan
pusat informasi dan email yang dapat menampung pertanyaan, kritik, dan saran
dari masyarakat.
6) Tidak menurunkan daya beli
Redenominasi Mata Uang Turkish Lira tidak mengakibatkan menurunnya nilai
relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa
7) Kondisi sosial politik yang kondusif
44
Sumber : ICRG
Grafik Risiko Politik Turki
Kondisi sosial politik Turki sebelum implementasi redenominasi Lira pada 1
Januari 2005 dinilai sudah cukup membaik. Tingkat Risiko Politik4 Turki pada
awal 2001 hingga 2003 masih berada pada tingkatan risiko tinggi (rata-rata indeks
risiko politik 57) akibat dari adanya ketidaksatabilan pemerintahan dalam negeri,
adanya militer yang berpolitik dan konflik iraq. Namun kondisi tersebut membaik
mulai tahun 2004. Sepanjang 2004 dan 2005, Risiko Politik Turki berada pada
tingkatan yang sedang (indeks sebesar 67). Walaupun pada akhir tahun 2004
kondisi politik Turki sedikit terganggu akibat adanya dikotomi partai politik dalam
negeri dan adanya gejolak eksternal akibat keinginan bergabungnya Turki dalam
Uni Eropa, namun hal tersebut tidak mengganggu persiapan redenominasi Turki.
b. Romania
Faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program redenominasi di
Romania dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah
digit mata uang Leu
4Data risiko politik bersumber dari International Country Risk Guide (ICRG). Penilaian risiko politikdisampaikan
dalam index 0 - 100, dimana nilai 80 - 100 berarti risiko sangat rendah, 70.0 - 79.9 berartirisiko rendah, 60.0 - 69.9
berarti risiko sedang, 50.0 - 59.9 berarti risiko tinggi dan 00.0 - 49.9 berartirisiko sangat tinggi. Rata-rata risiko politik
Turki sepanjang 2004 dan 2005 berada pada range risiko sedang.
Perhitungan Indeks Risiko Politik ICRG menggunakan beberapa variabel antara lain: Stabilitas pemerintahan,
Kondisi sosial ekonomi, Lingkungan Investasi, Konflik Internal dan eksternal, Korupsi, Keberadaan militer dalam
politik, Ketegangan Agama, Ketertiban hukum, ketegangan etnis, akuntabilitas demokrasi dan kualitas birokrasi.
50
55
60
65
70
75
Jan
-00
Jun
-00
Nop-…
Apr-…
Sep-…
Feb-…
Jul-
02
Des-…
Mei-…
Okt-…
Mar-…
Agu
s…
Jan
-05
45
- Terkait dengan persiapan Romania dalam menyongsong bergabungnya
Romania ke European Union (EU) pada 1 Januari 2007 dan dengan Euro Zone
pada tahun 2014-2015.
- Kesulitan masyarakat dalam melakukan transaksi perekonomian karena jumlah
digit uang yang banyak, terutama terkait dengan kegiatan pembukuan, akunting
dan pencatatan statistik, sistem pembayaran, perangkat lunak pemroses data,
dan pencantuman harga serta keengganan dalam menggunakan uang logam
dalam transaksi sehari-hari karena nilainya yang dianggap sudah tidak
sebanding dengan harga barang/jasa.
2) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat
Waktu pelaksanaan redenominasi di Romania pada tanggal 1 Juli 2005 dilakukan
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
- Faktor ekonomi, yaitu kondisi makroekonomi Romania yang relatif lebih
stabil, yang ditandai oleh tingkat inflasi yang mengarah ke satu digit setahun
menjelang penerapan redenominasi.
- Faktor non-ekonomi, yaitu dilakukan pada musim panas karena di musim ini
mendukung persiapan logistik penyediaan dan distribusi uang logam dan
kertas baru. Selain itu, di musim panas faktor psikologis masyarakat
umumnya lebih baik dibandingkan dengan musim dingin (awal tahun).
Tabel Indikator Makroekonomi Romania Menjelang Redenominasi 1 Juli 2005
Romania 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pertumbuhan Ekonomi (%) 2.10 5.70 5.10 5.20 8.40 4.17
Inflasi (%) 45.67 34.47 22.54 15.26 11.88 8.99
PDB Nominal (milliar USD) 37.05 40.18 45.82 59.51 75.49 98.91
Defisit Fiskal/PDB (%) -3.7 -3.5 n.a -3.08 -1.12 -0.76
Neraca Berjalan/PDB (%) -3.91 -4.4 -3.3 -5.70 -8.40 -8.70
Nilai Tukar Nominal (RON/USD) 2.17 2.91 3.31 3.32 3.26 2.91
Cadangan Devisa (juta EUR) 5,205 7,231 8,051 8,252 1,3153 1,9362
Suku bunga kebijakan (%) n.a n.a n.a 21.25 17.00 7.50
Pengangguran (%) 11.2 8.98 9.97 7.6 6.77 5.83
Sumber: International Financial Statistics
3) Tersedianya landasan hukum
Dalam sistem ketatanegaraan Romania, National Bank of Romania (NBR) tidak
memiliki hak inisiatif untuk mengajukan undang-undang.NBR mengajukan usulan
kebijakan redenominasi kepada Pemerintah Romania, yang selanjutnya melalui
Ministry of Public Finance (MPF) mengajukan dukungan kepada parlemen.NBR
bersama-sama dengan MPF menyusun RUU Redenominasi dan akhirnya
46
mendapatkan pengesahan dari parlemen dan diundangkan kepada publik pada 14
Juli 2004.
4) Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas
terkait serta praktisi bisnis
Ide redenominasi Leu awalnya berasal dari bank sentral, yaitu The National Bank
of Romania (NBR). Ide redenominasi tersebut kemudian diajukan kepada
Pemerintah Romania yang menyambut baik ide redenominasi tersebut. Pada tahun
2002, pemerintah dan NBR mendiskusikan rencana redenominasi dengan parlemen
dan partai politik untuk memperoleh dukungan politik.Akhirnya, pada tanggal 14
Juli 2004, parlemen mengesahkan Undang-Undang tentang Redenominasi Leu.
5) Kampanye dan edukasi publik yang intensif
Target utama kampanye di Romania adalah masyarakat yang berpendidikan rendah
karena kelompok ini lebih sulit untuk memahami redenominasi. Komunikasi yang
intensif dilakukan Pemerintah Romania melalui berbagai sarana komunikasi, baik
formal (TV dan radio pemerintah, TV swasta, kerjasama dengan kementrian dalam
negeri, kementrian luar negeri, perusahaan penerbangan, dan kantor pos) maupun
informal (mendayagunakan para pendeta untuk menyampaikan pesan redenominasi
kepada umatnya). Disamping itu, terdapat penyediaan brosur, helpdesk, dan survei
terhadap pemahaman dan pemantauan umpan balik dari publik.
6) Tidak menurunkan daya beli
Redenominasi Mata Uang Leu tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya
beli) uang terhadap harga barang dan jasa.
7) Kondisi sosial politik yang kondusif.
Sumber : ICRG
Grafik Risiko Politik Romania
6062646668707274
Jan
-00
Jun
-00
No
p-0
0
Ap
r-0
1
Sep
-01
Feb
-02
Jul-
02
De
s-0
2
Me
i-0
3
Okt
-03
Mar
-04
Agu
st-0
4
Jan
-05
Jun
-05
47
Romania telah membuat kemajuan dalam pelaksanaan demokrasi sejak
berakhirnya sistem pemerintahan sosialis pada tahun 1989.Perbaikan sistem
Demokrasi juga memberikan kebebasan berpolitik bagi Partai politik dan
kebebasan berbicara bagi berbagai media komunikasi yang ada.Rata-rata risiko
politik Romania berdasarkan International Country Risk Guide (ICRG) sebelum
pelaksanaan redenominasi Juli 2005 adalah 68,9 (Rata-rata Januari 2000 s.d Juni
2005). Tingkat indeks risiko tersebut dapat dikategorikan sedang. Risiko politik
Romania bahkan sempat mencapai posisi terendah pada level 73 di Agustus 2004
dan sempat menurun menjadi 69,5 di saat Pemilihan Umum Desember 2004.
Seiring dengan proses Pemilu yangberjalan dengan lancar risiko politik kembali
membaik hingga mencapai rata-rata posisi 71 di awal 2005.Kondisi sosial politik
yang baik tersebut juga telah berhasil mendorong kondisi makroekonomi yang
semakin membaik seperti terlihat pada tingkat inflasi yang cenderung turun, nilai
tukar yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
2. Negara yang Gagal Melakukan Redenominasi
Selanjutnya akan diuraikan pengalaman Brazil dan Zimbabwe yang dikategorikan
sebagai negara yang gagal dalam melakukan redenominasi.
a. Brazil
Faktor-faktor yang diperkirakan sebagai penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan
program redenominasi di Brazil dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat
Redenominasi di Brazil dilakukan ketika kondisi makroekonomi masih belum
stabil, yang ditandai dengan tingginya inflasi disertai rendahnya pertumbuhan
ekonomi.Kondisi makro yang tidak kondusif tersebut terus berlangsung meskipun
pemerintah telah melakukan stabilisasi perekonomian. Fokus program stabilisasi
adalah balancing the budget, monetary targeting, dan privatisasi/liberalisasi
perdagangan.Selain itu, Brazil mengalami defisit fiskal yang sangat besar untuk
pembiayaan pembangunan yang tidak bersumber dari penerimaan pajak, melainkan
dengan menerbitkan uang.
48
2) Kondisi sosial politik yang tidak kondusif
Adanya keresahan masyarakat akibat tingginya harga barang dan jasa, sehingga
secara psikologis masyarakat tidak siap ketika pemerintah melaksanakan kebijakan
redenominasi.
b. Zimbabwe
Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan program
redenominasi di Zimbabwe dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat
Pemerintah Zimbabwe melakukan program redenominasi pada saat inflasi sangat
tinggi dengan harapan akan dapat menurunkan tingkat inflasi negara tersebut.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, inflasinya menjadi tidak terkendali.Hal
tersebut lebih disebabkan oleh kebijakan bank sentral Zimbabwe (Reserve Bank of
Zimbabwe-RBZ) yang melakukan quasi fiscal activities (QFA) yaitu turut aktif
membiayai anggaran pemerintah, seperti subsidi dan pembiayaan pengeluaran
langsung (direct expenditures). Aktivitas RBZ tersebut menyebabkan RBZ harus
melakukan pencetakan uang (money creation) dan penerbitan surat utang.
Kebijakan ini menyebabkan semakin buruknya kinerja perekonomian yaitu
meroketnya tingkat inflasi hingga mencapai 2.660.522% (pada 2008), yang
merupakan salah satu inflasi tertinggi di dunia.Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola besaran makroekonomi yang
ditandai oleh ketidaksesuaian pertumbuhan jumlah uang beredar dengan kapasitas
perekonomiannya, ketidakdisiplinan operasi keuangan pemerintah, dan tidak
adanya independensi bank sentral.
2) Kondisi sosial politik yang tidak kondusif.
Kondisi makroekonomi yang tidak stabil berpengaruh pula terhadap kondisi sosial
politik di Zimbabwe.Ketidakstabilan tersebut memicu keresahan publik, terutama
karena meroketnya harga barang dan jasa.
3. Kondisi Indonesia Saat Ini Sebagai Prasyarat Kuat Pelaksanaan Redenominasi
Sama halnya dengan negara-negara lain yang berhasil melaksanakan kebijakan
redenominasi, kondisi Indonesia saat dipandang sangat tepat untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut. Kondisi ini tercermin dari hal-hal sebagai berikut:
1. Indikator ekonomi makro saat ini yang cenderung baik
Salah satu kondisi yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan redenominasi adalah
kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat
49
sehingga dapat menekan dampak negatif reaksi psikologis masyarakat.Berdasarkan
data indikator makro, dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini secara
umum cukup kuat dan dapat mendukung pemberlakukan kebijakan redenominasi.
Berdasarkan perkembangan ekonomi hingga Agustus 2011, dapat dilihat bahwa
meskipun perekonomian global mengalami perlambatan sebagai dampak krisis
ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa, namun perekonomian Indonesia tetap tumbuh
relatif tinggi. Hingga kuartal II tahun 2011, kinerja ekonomi mampu tumbuh sebesar
6,5% (y-o-y), meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya yang tumbuh 6,2% (y-o-y). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut
didukung secara proporsional oleh semua sektor. Dari sisi permintaan, kinerja investasi
meningkat sebesar 9,2% (y-o-y), diikuti oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan
konsumsi pemerintah masing-masing sebesar 4,6% (y-o-y) dan 4,5% (y-o-y).
Sedangkan ekspor dan impor mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-
masing meningkat sebesar 17,4% (y-o-y) dan 16,0% (y-o-y). Sementara itu, dari sisi
penawaran, seluruh sektor perekonomian mengalami peningkatan, bahkan beberapa
diantaranya mengalami akselerasi. Dua sektor padat kerja, yaitu sektor pertanian dan
sektor industri pengolahan juga tumbuh cukup kuat, masing-masing sebesar 3,9% dan
6,1%.
Stabilitas ekonomi makro Indonesia juga relatif terjaga.Hal ini tercermin dari
pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang cenderung stabil dan laju inflasi
yang relatif terkendali. Untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pergerakan rata-
rata selama bulan Januari hingga Agustus 2011 mengalami apresiasi sebesar 4,73%
jika dibandingkan dengan rata-rata periode yang sama tahun 2010. Sedangkan untuk
laju inflasi, secara kumulatif hingga bulan Agustus 2011 telah mencapai 2,69% (y-o-
y), lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar
5,71% (y-o-y). Membaiknya kondisi fundamental ekonomi Indonesia dan
meningkatnya kepercayaan investor global telah memberikan sentiment positif
terhadap penguatan nilai tukar rupiah serta relatif terkendalinya laju inflasi dalam
beberapa waktu terakhir.
Sejalan dengan itu, kinerja sektor finansial dalam paruh pertama tahun 2011 juga
cukup menggembirakan.Arus modal asing yang masuk ke pasar financial, baik ke
pasar ekuitas maupun pasar obligasi, terus mengalami peningkatan secara persisten
seiring dengan peningkatan kondisi fundamental ekonomi Indonesia serta
meningkatnya outlook peringkat investasi Indonesia yang semakin membaik.Untuk
50
pasar ekuitas, tingginya arus masuk modal asing menyebabkan indeks harga saham
gabungan dan nilai kapitalisasi pasar meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir
tahun.
Indikator Rata-rata 2000-2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pertumbuhan Ekonomi (%) 4.8 5.5 6.3 6.06 4.58 6.1
Inflasi (%) 10.1 6.6 6.6 11.1 2.8 7.0
PDB Nominal (miliar USD) 216.58 364.4 432.3 510.6 538.4 706.8
Defisit Fiskal/PDB (%) -1.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -0.7
Neraca Berjalan/PDB (%) 3.15 3.25 2.66 0.03 1.90 0.88
Nilai Tukar (Rp/USD) 9,195 9,164 9,140 9,691 10,408 9,087
Cadangan Devisa (miliar USD) 32.80 42.59 56.92 51.64 66.11 96.21
Suku Bunga Kebijakan (%) 11.8 11.7 8.0 9.25 7.6 6.57
Sumber: Kementerian Keuangan
Tabel Asumsi Makro Perekonomian Indonesia
Sumber : Kementerian Keuangan
b. Sebagai dasar kuat untuk mencapai kesetaraan dalam pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) di 2015.
Kondisi makro ekonomi Indonesia yang kuat tersebut juga menjadi prasyarat
suksesnya pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015. Namun demikian, level
nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing termasuk yang terendah diantara negara
kawasan ASEAN yang menyebabkan nilai tukar rupiah belum dipandang setara
dengan mata uang Negara kawasan. Dengan demikian, redenominasi mata uang rupiah
menjadi sangat diperlukan untuk menyongsong MEA karena dengan redenominasi,
penyederhanaan mata uang rupiah dapat menjadikan nilai mata uang Rupiah setara
dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin
51
mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara
kawasan ASEAN.
E. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam Undang-
Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban
Keuangan Negara
Penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang tentang Perubahan
Harga Rupiah akan membawa dampak terhadap aspek kehidupan masyarakat dan beban
keuangan negara, sebagai berikut:
1. Aspek kehidupan masyarakat
Redenominasi mata uang diperkirakan dapat memberikan implikasi positif yang luas
terhadap kehidupan masyarakat.Namun demikian, kebijakan redenominasi juga memiliki
beberapa risiko yang perlu diantisipasi.
a. Implikasi positif dari penerapan kebijakan redenominasi bagi masyarakat Indonesia
antara lain adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian
Efisiensi perekonomian dapat diperoleh dengan penerapan redenominasi mata uang
melalui beberapa aspek yaitu:
a) Efisiensi proses input data, pengelolaan database dan pelaporan data
(termasuk untuk publikasi statistik)
Penyederhanaan digit akan mengurangi beban pencatatan pembukuan/akunting
bagi seluruh pelaku usaha, pencatatan statistik yang berkaitan dengan transaksi
pembayaran, dan penginputan transaksi. Hal ini akan mengurangi waktu
operasional dan potensi human error dalam proses transaksi, pembukuan, dan
pencatatan statistik.
b) Efisiensi penggunaan memori data (kapasitas infrastruktur teknologi)
Penyederhanaan digit berdampak pula pada berkurangnya kebutuhan
penyimpanan data transaksi pembayaran dan statistik aktivitas pembayaran.
Khusus di sisi transaksi pembayaran, penyederhanaan tersebut dapat
mengurangi penggunaan bandwith jaringan komunikasi data. Seiring dengan
tren pertumbuhan transaksi terutama di sistem pembayaran retail, efisiensi ini
akan menurunkan biaya penyelenggaraan sistem pembayaran yang ditanggung
industri.
52
c) Efisiensi operasional dalam penyesuaian perangkat keras dan perangkat lunak
sistem akunting dan teknologi informasi.
Dengan jumlah digit yang lebih sedikit sebagai akibat dilakukannya
redenominasi maka tidak diperlukan kustomisasi jumlah digit field dan column
dalam database yang digunakan.
d) Efisiensi biaya pencetakan uang
Kebijakan redenominasi akan mengakibatkan digunakannya kembali satuan
Sen dalam uang sehingga dapat meningkatkan preferensi masyarakat terhadap
penggunaan uang logam dalam bertransaksi. Preferensi masyarakat tersebut
dapat mengakibatkan beberapa pecahan uang kertas yang ada saat ini dialihkan
menjadi uang logam. Dalam jangka panjang akan terdapat
penghematan/efisiensi biaya pencetakan uang karena usia edar uang logam bisa
lebih panjang 10 - 15 kali dibandingkan uang kertas.
e) Efisiensi menu cost
Bagi pelaku bisnis terutama yang bergerak di bidang perhotelan, restauran, dan
pasar swalayan dalam negeri, pencantuman denominasi rupiah yang besar saat
ini dipandang kurang efisien. Sehingga, banyak pebisnis yang tidak lagi
mencantumkan angka ribuan dalam daftar harga dan cukup memberikan
keterangan bahwa “harga dalam ribuan rupiah” atau dengan menuliskan 3
(tiga) angka nol dalam tulisan yang lebih kecil (misal : Rp3.000
). Dengan
redenominasi, menu cost berupa pencantuman harga barang dan jasa (price
tagging) baik dari sisi waktu pembuatan, sumber daya yang digunakan,
maupun untuk kepentingan database menjadi lebih efisien.
Dari berbagai efisiensi tersebut di atas, manfaat yang diperoleh dari kebijakan
redenominasi merupakan penjumlahan dari efisiensi karena berkurangnya
waktu dan biaya-biaya yang terkait transaksi ekonomi secara keseluruhan.
2) Meningkatkan kredibilitas Rupiah
Dengan redenominasi rupiah, penulisan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing menjadi lebih sederhana sehingga dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan dapat mengurangi risiko konversi mata uang (currency
subtitution). Secara psikologis, hal tersebut meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap uang rupiah.
53
3) Sebagai simbol era perekonomian yang lebih stabil
Di beberapa negara, keberhasilan penerapan kebijakan redenominasi diikuti
dengan kondisi perekonomian yang stabil.Hal ini tercermin dari tingkat inflasi
yang rendah dan stabil setelah redenominasi.Tingkat inflasi yang stabil ini
mendukung sustainabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di beberapa
negara seperti di Turki dan Romania.
4) Mendukung kesetaraan nilai tukar Rupiah dengan nilai tukar mata uang yang kuat
di kawasan
Pada 2015, negara-negara ASEAN akan memasuki era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Redenominasi akan membuat pecahan mata uang rupiah
menjadi sederhana. Hal ini akan memfasilitasi kesetaraan kredibilitas rupiah
dibandingkan dengan mata uang negara lain di kawasan yang selanjutnya akan
membangun kebanggaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Meningkatnya
kebanggaan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap rupiah, sehingga potensi masyarakat untuk mensubstitusikan mata
uangnya ke mata uang negara lain yang dipandang lebih aman menjadi rendah.
5) Bermanfaat untuk lebih mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.
Penggunaan jumlah digit mata uang rupiah yang lebih sederhana dalam
praktek transaksi sehari-hari akan lebih mendukung proses belajar mengajar pada
pendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena materi yang dipelajari di sekolah saat
ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga transaksi tunai dalam kehidupan
sehari-hari yang melibatkan jumlah digit yang besar.Redenominasi rupiah
memungkinkan terciptanya sinkronisasi antara pelajaran/teori yang diperoleh
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, serta memberikan kemudahan bagi
para pelajar dalam mempelajari konsep penghitungan.
b. Beberapa risiko yang perlu diantisipasidari penerapan kebijakan redenominasi bagi
masyarakat Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:
1) Potensi kenaikan harga akibat pembulatan harga yang berlebihan.
Risiko ini terkait dengan proses pembulatan harga-harga ke atas yang
terjadi secara berlebihan, baik yang berkaitan dengan struktur pasar maupun
perilaku masyarakat yang memanfaatkan program redenominasi untuk kegiatan
spekulasi. Dari sisi struktur pasar, beberapa komoditas yang cenderung
54
oligopolistik, seperti tepung terigu dan gula, pedagang mempunyai peluang untuk
menentukan harga dan melakukan pembulatan harga secara berlebihan.Dari sisi
perilaku masyarakat, pembulatan harga ke atas terkait dengan perilaku pedagang
dalam melakukan pembulatan baik untuk tujuan mempermudah transaksi maupun
mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, harga gula pasir yang
tercatat sebelum redenominasi adalah Rp11.845,- per kg, maka sejalan dengan
redenominasi (misalnya dengan menghilangkan 3 digit angka nol) harga gula
tersebut menjadi Rp11,845 per kg. Bila pembulatan harga dilakukan secara wajar
(sesuai ketentuan) maka harga gula tersebut menjadi Rp11,85 per kg. Namun, bila
pembulatan harga dilakukan secara berlebihan maka harga gula tersebut menjadi
Rp12,00 atau lebih. Bila perilaku pembulatan harga secara berlebihan tersebut
terjadi juga pada harga komoditas lainnya maka akan mendorong kenaikan harga
secara umum (inflasi).
Risiko ini dapat dimitigasi dengan peraturan pemerintah mengenai praktek
pembulatan harga yang dianggap wajar dan disertai pengawasan yang baik dari
instansi terkait. Selain itu, masa transisi selama 2 tahun yang diusulkan untuk
dilakukan diharapkan dapat mempermudah proses monitoring dan mendorong
peran aktif masyarakat untuk mengawasi pembulatan harga ke atas yang
berlebihan.
2) Risiko penolakan program redenominasi oleh sebagian masyarakat.
Penerapan kebijakan redenominasi dapat memicu reaksi penolakan karena
trauma sanering dan pengalaman redenominasi yang tidak berhasil di masa
lalu.Penghapusan sejumlah digit angka nol rupiah dapat dipersepsikan menurunkan
nilai kekayaan individu atau perusahaan apabila tidak dipahami secara baik oleh
masyarakat.
Risiko ini dapat dimitigasi dengan komunikasi yang efektif, tepat sasaran
dan proporsional. Strategi komunikasi tersebut bertujuan untuk menciptakan
tingkat pemahaman, persepsi dan opini positif, serta mempengaruhi proses
pengambilan keputusan masyarakat secara umum yang secara langsung atau tidak
langsung mendukung keberhasilan implementasi Program Redenominasi Rupiah.
Selain itu, kegiatan sosialisasi dan edukasi yang intensif mengenai redenominasi
kepada stakeholders baik dalam negeri (domestik) maupun luar negeri
(internasional) juga sangat diperlukan dalam kerangka komunikasi tersebut.
55
3) Risiko perselisihan dan ketidakpahaman penggunaan uang lama dan baru.
Redenominasi dapat menimbulkan potensi kebingungan dan kekeliruan
dalam bertransaksi, terutama pada transaksi tunai.Hal ini disebabkan karena
dibutuhkan waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dalam bertransaksi dengan
satuan mata uang yang baru.
Risiko ini dapat dimitigasi dengan: (i) melakukan persiapan matang di
berbagai aspek seperti masalah-masalah operasional di lapangan yang dapat terjadi
pada pelaku-pelaku ekonomi seperti konsumen, pedagang, perbankan, UMKM,
dan petugas pelayanan publik, (ii) komunikasi dan sosialisasi yang baik diperlukan
agar tidak terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam transaksi sehari-hari di
masyarakat, dan (iii) penerapan dual price tagging pada awal penerapan
redenominasi diharapkan dapat membiasakan masyarakat terhadap penerapan
kebijakan redenominasi.
4) Risiko perselisihan karena keliru mengartikan dokumen yang bernilai uang dalam uang
rupiah lama dan baru.
Risiko perselisihan penggunaan uang baru dan uang lama juga dapat terjadi
pada saat menejermahkan dokumen yang bernilai uang. Di satu pihak dapat
mengartikan nilai uang dalam suatu dokumen setara dengan nilai uang lama,
sementara pihak lain mengartikannya setara dengan nilai uang baru.
Potensi risiko ini dapat dimitigasi melalui pengaturan yang jelas mengenai
masa berlaku suatu denominasi tertentu dalam dokumen.Sebagai contoh, apabila
kebijakan redenominasi dilakukan pada Januari 2014, seluruh dokumen sebelum
periode tersebut diterjemahkan dengan nilai uang lama dan setelah redenominasi,
seluruh dokumen yang diterbitkan sebelum periode redenominasi diterjemahkan
dengan nilai uang baru.
2. Aspek Keuangan Negara
Dalam jangka pendek, redenominasi dapat menimbulkan biaya untuk persiapan
dan pelaksanaannya, terkait dengan pencetakan uang baru, penyesuaian infrastruktur
sistem pembayaran dan teknologi informasi serta biaya untuk komunikasi dan edukasi
kepada masyarakat. Namun dalam jangka panjang, potensi manfaat yang akan diperoleh
keuangan negara dan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan biayanya. Hal ini
sehubungan dengan penghematan/efisiensi biaya pencetakan uang karena semakin banyak
56
uang dalam bentuk logam yang usia edarnya lebih panjang 10-15 kali dibandingkan uang
kertas. Secara nasional, manfaat yang didapat dari kebijakan redenominasi merupakan
penjumlahan dari efisiensi karena berkurangnya waktu dan biaya-biaya yang terkait
transaksi ekonomi secara keseluruhan.Selain itu, efisiensi perekonomian yang diperoleh
dari redenominasi dapat meningkatkan penerimaan negara melalui penerimaan pajak
karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari peningkatan daya saing
ekonomi Indonesia.
57
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan yang Ada
Pada saat ini pengaturan mengenai redenominasi belum pernah diatur dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.Namun demikian, amanat untuk dapat dilakukannya redenominasi
tersebut telah diatur dalam Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang.yang berbunyi “Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-
Undang”.Dengan demikian maka untuk perubahan harga Rupiah atau yang lebih dikenal
dengan redenominasi harus diatur dengan undang-undang.Selama undang-undang mengenai
perubahan harga Rupiah tersebut belum diundangkan, perubahan harga Rupiah tidak dapat
dilakukan.
Sebagai tambahan informasi, kebijakan redenominasi bukan merupakan kebijakan baru yang
pernah diterapkan di Indonesia.Kebijakan redenominasi pernah diterapkan di Indonesia pada
tahun 1965. Pada masa itu, pemberlakuan kebijakan redenominasi dilakukan dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berbentuk peraturan pemerintah, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru yang
Berlaku Sebagai Alat Pembayaran yang Sah Bagi Seluruh Wilayah Indonesia dan Penarikan
Uang Rupiah Lama dari Peredaran. Pada saat itu, Pemerintah mengeluarkan uang Rupiah baru
sebagai pengganti uang kertas lama dengan perbandingan nilai Rp1,- uang baru sama dengan
Rp1000,- uang lama. Penerbitan uang Rupiah baru saat itu ditujukan untuk mempersiapkan
terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
B.Keterkaitan RUU Perubahan Harga Rupiah Dengan Hukum Positif
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program Redenominasi
Rupiah, antara lain:
1. UUD 1945
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa bangsa Indonesia sangat menyadari
mengenai pentingnya stabilitas harga dan macam mata uang dalam rangka mencapai
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sehingga hal tersebut termasuk substansi
yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu dalam Penjelasan Pasal 23. Dalam
perkembangannya, setelah Amandemen IV UUD 1945 dimana Majelis Permusyawaratan
58
Rakyat memutuskan bahwa struktur UUD 1945 tidak lagi memuat Penjelasan melainkan
seluruh norma pengaturannya dimasukkan dalam batang tubuh, maka mengenai
pentingnya nilai mata uang tersebut diatur dalam Pasal 23 B yang berbunyi “macam dan
harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Mengingat bahwa struktur UUD
1945 setelah Amandemen IV tersebut tidak lagi memuat Penjelasan, dalam
pelaksanaannya, substansi yang diatur dalam Pasal 23 B tersebut dapat menimbulkan multi
tafsir. Apakah yang dimaksud dengan “macam dan harga mata uang” tersebut? Apabila
kita menilik pada naskah asli Penjelasan UUD 1945, disebutkan bahwa
“Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Ini
penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat.Uang terutama
adalah alat penukar dan pengukur harga.Sebagai alat penukar untuk memudahkan
pertukaran jual-beli dalam masyarakat.Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa
uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga
masing-masing barang yang dipertukarkan.Barang yang menjadi pengukur harga itu,
mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur.Oleh
karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang. Berhubung dengan
itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang
kertas, ditetapkan dengan undang-undang.”
Dari Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 sebelum Amandemen IV tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “harga mata uang” sebenarnya adalah nilai
uang rupiah tersebut. Namun demikian, dalam Pasal 23 B UUD 1945 setelah Amandemen
IV, pengaturan dalam normanya sangatlah sederhana sekali sehingga dapat menimbulkan
berbagai pernafsiran.
Pengertian “harga mata uang” tidak dikaitkan dengan pengertian kurs melainkan hanya
dikaitkan dengan denominasi atau harga nominal mata uang rupiah.Dalam hal penetapan
“harga mata uang” diartikan terkait dengan kurs dan hal tersebut ditentukan dengan
undang-undang maka prosesnya sangat sulit serta berpotensi menimbulkan kontroversi
politik sehingga dapat dikatakan penetapan harga dengan undang-undang tidak realistis
dan tidak mungkin dilaksanakan.Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa perumusan
dalam UUD 1945 tersebut tidak dimaksudkan untuk menetapkan “harga mata uang”
(dalam pengertian kurs) itu dengan undang-undang.
Terkait dengan hal tersebut, sebagai tindak lanjut amanat Pasal 23 B UUD 1945 dimaksud,
DPR bersama Pemerintah telah menyepakati adanya undang-undang yang mengatur
mengenai macam dan harga mata uang yang disahkan pada tanggal 28 Juni 2011 yaitu UU
No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
59
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
Aturan hukum yang mengatur tentang mata uang dan kejahatan terhadap mata uang di
Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru. Di masa pemerintahan Hindia Belanda,
pernah berlaku Indische Muntwet5 1912 sebagai undang-undang yang mengatur tentang
mata uang yang tetap diberlakukan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia
hingga dinyatakan dicabut pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950, yaitu dengan Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 tentang
Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru tentang
Mata Uang, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Mata Uang 1951. Selanjutnya,
dalam masa berlakunya UUDS 1950 itu terdapat 3 (tiga) undang-undang yang
diberlakukan yang menambah/mengubah Undang-Undang Mata Uang 1951, yaitu: (a).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953 tentang “Penetapan Undang-Undang Darurat
tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru
tentang Mata Uang ( UU No. 20 tahun 1951)” Sebagai Undang-Undang; (b). Undang-
Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953”;
dan (c). Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1958 tentang “Penetapan UU Darurat No. 4
Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953” sebagai Undang-Undang.
Dalam perkembangannya, sebagai konsekuensi yuridis atas terjadinya perubahan
politik di dalam negeri, setelah diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan kembali kepada UUD 1945 dan kemudian dilanjutkan dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (yang
mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia), maka
keempat undang-undang itu dinyatakan tidak berlaku lagi6. Sebagai gantinya, beberapa
substansi pengaturan tentang mata uang diatur dalam Undang-Undang Bank Sentral,
sebagai berikut:
(a) Satuan hitung uang, yaitu bahwa: (i). Satuan hitung uang Indonesia adalah rupiah; (ii).
Rupiah Indonesia dibagi dalam 100 (seratus) sen;
(b) Kewajiban penggunaan uang rupiah, dengan perumusan bahwa setiap perbuatan yang
mengenai uang atau mempunyai tujuan pembayaran ataupun tujuan kewajiban yang Muntwet adalah istilah dalam bahasa Belanda. Munt berarti uang dan wet berarti Undang-Undang.
6 Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 (versi asli): “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”.
Sedangkan Pasal 54 ayat (2) UU Bank Sentral 1968 menyebutkan: “Dengan pengeluaran Undang-undang ini, maka
Undang-undang tentang Mata Uang Tahun 1951 dengan tambahan dan perubahannya dinyatakan tidak berlaku”.
60
harus dipenuhi dengan uang, jika dilakukan di Indonesia, dilakukan dalam uang
Rupiah Indonesia, kecuali jika dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan peraturan
perundang-undangan;
(c) Diberikannya hak tunggal kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan
uang logam;
(d) Penegasan bahwa uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Indonesia;
(e) Kewenangan Bank Indonesia untuk menentukan jenis, nilai, dan ciri-ciri uang yang
akan dikeluarkan;
(f) Pembebasan uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dari bea meterai;
(g) Kewenangan Bank Indonesia untuk menyatakan uang yang tidak layak lagi untuk
diedarkan kembali.
Dasar pemikiran dari politik hukum pengaturan mata uang di dalam Undang-
Undang Bank Sentral adalah bahwa pada umumnya di berbagai negara fungsi dan tugas di
bidang pengelolaan dan pengedaran uang dilakukan oleh bank sentral yang memiliki hak
khusus untuk menerbitkan uang kertas dan uang logam (sebagai otoritas moneter).
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Secara eksplisit tidak ada pasal khusus yang mengatur secara khusus terkait dengan
kebijakan redenominasi namun mengungat adanya dampak kebijakan redenominasi
terhadap aspek kehidupan masyarakat (dalam hal ini konsumen) maka kebijakan
redenominasi perlu memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dipegang oleh Presiden selaku Kepala
Pemerintahan, namun kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan dibidang moneter,
yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Keuangan Negara, sbb:
a. Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian kekuasaan Pemerintah, sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang
Keuangan Negara.
b. Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan keuangan
negara oleh Presiden meliputi kewenangan yang bersifat:
61
1) umum, yaitu dalam penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam
pengelolaan APBN; dan
2) khusus, yaitu dalam keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan
APBN.
Kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menkeu selaku pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, dan kepada
menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/barang, serta diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah.Sesuai Pasal 6 ayat (2) huruf
d, kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara
lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Prinsip dasar sebagaimana disebutkan di atas perlu dilaksanakan secara konsisten
agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Demikian pula untuk
mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia.
Pentingnya kejelasan pengaturan secara tegas dapat dilihat dalam Undang-Undang
Keuangan Negara, dimana kewenangan atas pengelolaan di bidang fiskal yang dikuasakan
kepada Menteri Keuangan dipisahkan dari kewenangan di bidang moneter, yang meliputi
antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Dengan terpisahnya kedua kewenangan dimaksud, dalam pelaksanaannya mutlak
diperlukan koordinasi yang baik dalam hubungan keuangan antara pemerintah dan Bank
Indonesia khususnya dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang saat ini merupakan
undang-undang yang memberikan dasar hukum pengaturan mengenai mata uang yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 28 Juni 2011.
Dalam undang-undang tersebut telah diatur secara rinci mengenai seluruh kegiatan
pengeluaran dan pengedaran uang.
Terkait dengan perubahan harga Rupiah, dalam Undang-Undang Mata Uang juga
telah mengakomodir kemungkian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5), yang
62
berbunyi “Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang” dengan Penjelasan
“Selama Undang-Undang yang mengatur perubahan harga Rupiah belum diundangkan,
perubahan harga Rupiah tidak dapat dilakukan”. Dengan rumusan tersebut, maka
perubahan harga Rupiah atau redenominasi harus diatur dalam undang-undang.
Selain hal tersebut dalam pelaksanaan redenominasi juga perlu memperhatikan
berbagai hal sebagaimana diatur dalam UU No.7 Tahun 2011 khususnya terkait dengan
pengelolaan Rupiah. Dalam proses redenominasi akan dilakukan pencetakan uang Rupiah
baru dan pemusnahan uang Rupiah lama. Untuk melaksanakan hal tersebut harus
berdasarkan pengaturan sebagaimana dimaksud pada Bab IV mengenai pengelolaan
Rupiah pada UU No.7 tahun 2011.
Sesuai UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang pada Pasal 13 ayat 1 dinyatakan
bahwa ”Perencanaan dan penentuan jumlah Rupiah yang dicetak dilakukan oleh Bank
Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah”. Koordinasi tersebut diwujudkan dalam
bentuk pertukaran informasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah antara lain terkait
dengan asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana tentang macam dan
harga Rupiah, proyeksi jumlah Rupiah yang perlu dicetak serta jumlah Rupiah yang rusak
dan ditarik dari peredaran. Terkait dengan redenominasi maka sesuai dengan pasal tersebut
macam dan harga rupiah yang diterbitkan setelah redenominasi harus dikoordinasikan
antara Bank Indonesia dan Pemerintah sehingga berdampak optimal dalam mendukung
perekonomian. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 3 ayat 4 UU No. 7 tahun 2011.
Untuk Rupiah lama dalam program redenominasi akan dilakukan penarikan dan
pemusnahan Rupiah lama. Pelaksanaan kegiatan tersebut harus berdasarkan pada Pasal 18,
UU No.7 tahun 2011 dimana dinyatakan ”pemusnahan terhadap Rupiah yang ditarik dari
peredaran dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah”.
Koordinasi yang dimaksudkan diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara BI dan
Pemerintah mengenai teknis pelaksanaan pemusnahan Rupiah termasuk didalamnya
adalah berita acara pemusnahan Rupiah.
Selain itu bahan baku Rupiah dalam mencetak uang Rupiah baru juga perlu
dikoordinasikan dengan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 UU No.7
Tahun 2011. Koordinasi yang dimaksud adalah Bank Indonesia memberitahukan
spesifikasi teknis dan cirri bahan baku Rupiah kepada badan yang mengkoordinasikan
pemberantasan Rupiah Palsu dalam upaya mencegah dan memberantas Rupiah palsu,
demikian pula badan yang mengkoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dapat
63
memberikan masukan tentang aspek keamanan bahan baku Rupiah kepada Bank
Indonesia.
C.Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Substansi pengaturan dalam RUU Perubahan Harga Rupiah memiliki keterkaitan
dengan beberapa undang-undang lain yang telah ada. Guna menghindarkan masyarakat dari
pemahaman yang berbeda-beda untuk substansi/pengertian yang sama dan agar pengaturan
dalam RUU Perubahan Harga Rupiah tetap sejalan dengan undang-undang yang sudah ada,
maka penggunaan pengertian-pengertian dalam substansi RUU Perubahan Harga Rupiah
dilakukan dengan mengacu pada pengertian dalam undang-undang yang sudah ada. Beberapa
substansi yang terkait antara lain dalam Ketentuan Umum, pengertian Mata Uang dan
Pencabutan dan Penarikan yang mengacu pada Undang-UndangNomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang. Disamping itu, pengertian mengenai Pelaku Usaha yang diatur dalam Ketentuan
Umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Substansi mengenai pengecualian pencantuman kuotasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) tidak berlaku bagi usaha mikro.Yang dimaksud
dengan pengertian usaha mikro tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
64
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Kesadaran akan tantangan terhadap cita-cita untuk membangun sebuah bangsa
Indonesia yang adil dan makmur telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri negara
Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya. Dalam
rangka mewujudkan cita-cita tersebut, telah dicanangkan program pembangunan di segala
bidang secara bertahap dan berkesinambungan, termasuk di antaranya pembangunan
perekonomian. Berkaitan dengan hal itu, dalam Amandemen IV UUD 1945, ditegaskan
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Salah satu sarana penting dalam menyokong pembangunan perekonomian tersebut
tentu harus didukung dengan adanya alat pembayaran yang berlaku dan diakui di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, founding father
juga telah menyadari mengenai pentingnya alat pembayaran ini sehingga hal tersebut diatur
pula dalam UUD 1945 yang dalam perkembangannya setelah Amandemen IV, diatur dalam
Pasal 23 B yang berbunyi bahwa “macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-
undang”.
Rupiah memegang peranan sangat penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia,
mengingat fungsinya sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga serta alat
penyimpan nilai. Melalui fungsi Rupiah tersebut diharapkan perekonomian Indonesia akan
berjalan dengan baik untuk mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai
masyarakat adil dan makmur. Mengingat pentingnya fungsi Rupiah dimaksud, maka nilai
Rupiah senantiasa perlu dijaga kestabilannya dan daya belinya terhadap barang dan jasa.
Kestabilan dan kekuatan nilai Rupiah sebagaimana mata uang negara lain, menjadi
kebanggaan dan simbol kedaulatan perekonomian negara. Namun demikian, nilai uang dapat
menyusut disebabkan oleh akumulasi inflasi atau berbagai kejadian krisis. Menyusutnya nilai
uang antara lain tercermin dari sangat besarnya denominasi atau pecahan yang dipergunakan
dalam transaksi perekonomian. Dengan berjalannya waktu, bagi negara yang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat, denominasi mata uang yang terlanjur memiliki digit yang
sangat besar tidak lagi sesuai dengan gambaran kondisi fundamental perekonomian yang
65
sesungguhnya, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk mengembalikan nilai mata uang
agar sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian dan sekaligus merepresentasikan
kedaulatan perekonomian negara.
B. Landasan Sosiologis
Di dalam lalu lintas perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang
diartikan sebagai alat pembayaran yang sah. Pada kehidupan manusia sehari-hari, uang
merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri. Uang
adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-
barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang-utang. Uang juga sering dipandang sebagai
kekayaan yang dimiliki yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah tertentu utang
dengan kepastian dan tanpa penundaan.7 Lazimnya uang memiliki karakteristik acceptability
dan cognizability, stability of value, elasticity of supply, portability, durability, divisibility.
Sebagai sarana perekonomian, uang memiliki empat fungsi, yaitu:8 alat pertukaran, unit
penghitung, penyimpanan nilai dan standar untuk pembayaran tertangguhkan. Dengan
melihat fungsi utama mata uang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai alat tukar
dan penyimpan nilai, secara tidak langsung juga terkait dengan “status sosial” suatu negara
dalam pergaulan internasional. Sebagai alat tukar, nilai tukar uang yang rendah dibandingkan
dengan mata uang negara lain akan menyebabkan rasa tidak percaya diri bagi penduduk
negara tersebut.
Secara sosiologis, kepercayaan masyarakat atas mata uangnya sangat penting untuk
terus dijaga dan ditingkatkan dari waktu ke waktu untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Meningkatnya kepercayaan masyarakat pada mata uang negaranya akan menumbuhkan rasa
bangga dan percaya untuk memiliki dan menggunakan mata uangnya sendiri. Kuatnya
preferensi masyarakat untuk menggunakan mata uang negaranya sendiri akan sangat
bermanfaat bagi pembangunan ekonomi nasional serta mendukung efektivitas kebijakan
moneter bank sentral dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai mata uangnya.
Di mata masyarakat awam, kredibilitas suatu negara antara lain dinilai dari bagaimana
kekuatan nilai tukarnya. Dalam pandangan yang demikian, kredibilitas Indonesia dianggap
7Iswardono, 1999, Uang dan Bank, Cetakan Keenam, Edisi Keempat, BPFE, Jogjakarta, hlm. 4.
8Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah, Erlangga,
Jakarta, hlm. 2.
66
paling lemah diantara negara ASEAN lainnya. Pada saat ini, nilai tukar Rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, kecuali Vietnam.
Padahal, kredibilitas yang lemah dalam pandangan tersebut belum tentu diikuti oleh kondisi
relatif fundamental ekonomi yang lemah juga. Oleh karenanya, redenominasi Rupiah dapat
menjadi salah satu alternatif untuk menghilangkan pandangan tersebut. Kesetaraan nilai mata
uang diharapkan dapat meningkatkan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap mata
uangnya.
Untuk mengembalikan kebanggaan atas uang, yang berarti mengembalikan nilai uang
sesuai dengan gambaran kondisi perekonomian yang sesungguhnya, serta mengatasi
permasalahan inefisiensi dan kendala teknis dapat dilakukan dengan cara redenominasi, yaitu
menyederhanakan penulisan nominal pecahan mata uang, tanpa mengubah nilai daya beli
uang. Penyederhanaan mata uang Rupiah dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan
kepercayaan terhadap Rupiah. Pecahan mata uang Rupiah yang sederhana dapat
mencerminkan kesetaraan nilai mata uang dengan negara maju lainnya di kawasan.
Praktek redenominasi ini telah lazim dilakukan di banyak negara. Di Indonesia,
redenominasi mata uang Rupiah pernah dilakukan pada tahun 1965. Pada saat itu, Pemerintah
mengeluarkan uang Rupiah baru sebagai pengganti uang kertas lama dengan perbandingan
nilai Rp1,- uang baru sama dengan Rp1000,- uang lama. Penerbitan uang Rupiah baru saat itu
ditujukan untuk mempersiapkan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik
Indonesia.
Sejak tahun 1965 tersebut, denominasi mata uang Rupiah terus berkembang. Pada
tahun 1980-an, penulisan nilai ekonomi suatu barang/jasa/kontrak dagang relatif lebih
sederhana dibandingkan saat ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1980 harga satu buah teh botol
hanya sebesar Rp150,- sementara pecahan mata uang Rupiah terbesar pada saat itu adalah
Rp10.000,-. Namun saat ini, harga tersebut sudah menjadi Rp2.500,- dengan denominasi
Rupiah terbesar 100.000,-. Peningkatan harga barang tersebut disebabkan oleh inflasi, yang
juga akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan denominasi mata uang Rupiah yang
lebih besar. Periode krisis Asia 1998-1999 yang ditandai dengan tingginya laju inflasi
memperkuat kebutuhan akan denominasi Rupiah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pada
tahun 1999 Bank Indonesia menerbitkan Rupiah berdenominasi 100.000,- melengkapi
denominasi 50.000,- yang diterbitkan tahun 1993.
Pada sisi sistem pembayaran non tunai, jumlah digit (denominasi) yang semakin besar
akan menimbulkan kendala teknis. Dengan kondisi tersebut, penggunaan sistem pembayaran
internasional seperti Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
67
dan Real Time Gross Settlement (RTGS) memerlukan penyesuaian mengingat sistem
pembayaran tersebut hanya dapat mengakomodir sampai dengan jumlah digit tertentu.
Demikian halnya untuk transaksi sehari-hari seperti transaksi di mesin pompa bensin atau
transaksi perdagangan yang menggunakan mesin kasir akan menimbulkan kendala teknis bila
nilai transaksi Rupiah yang terjadi semakin besar. Berbagai kendala tersebut diantaranya
menjadi penyebab kurang efisiennya perekonomian secara keseluruhan.
Di samping itu, dengan denominasi Rupiah yang besar, pelaku bisnis terutama yang
bergerak di bidang perhotelan, restoran, dan pasar swalayan dalam negeri banyak yang tidak
lagi mencantumkan angka ribuan dalam daftar harga dan cukup memberikan keterangan
bahwa “harga dalam ribuan rupiah” atau dengan menuliskan 3 (tiga) angka nol dalam tulisan
yang lebih kecil (misal: Rp3.000
). Hal tersebut dilakukan dalam rangka kepraktisan penulisan
dan memberikan efek psikologis bahwa harga barang/jasa yang ditawarkan relatif murah.
Di dunia pendidikan, denominasi mata uang Rupiah yang semakin besar menimbulkan
masalah dalam penerapan pelajaran berhitung di sekolah pada praktek transaksi sehari-hari
bagi siswa sekolah dasar. Pelajaran berhitung di sekolah dasar umumnya menggunakan angka
yang sederhana, misalnya angka puluhan, ratusan atau ribuan, sementara dalam praktek
transaksi sehari-hari pecahan mata uang rupiah yang digunakan menggunakan denominasi
besar seperti puluhan ribu bahkan ratusan ribu. Ketidakselarasan ini tentunya menyulitkan
siswa untuk menerapkan pelajaran berhitung pada praktek sehari-hari. Setelah redenominasi,
penggunaan jumlah digit mata uang Rupiah yang lebih sederhana akan mempermudah para
pelajar untuk memahami dan menerapkan pelajaran berhitung yang diajarkan di sekolah
karena denominasi yang digunakan sesuai dengan praktek transaksi sehari-hari. Hal ini
diharapkan akan mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.
Program redenominasi juga dapat menjadi awal berlakunya secara nasional kewajiban
pencantuman label harga bagi semua barang dan jasa yang diperdagangkan di seluruh wilayah
Republik Indonesia. Dalam praktek redenominasi, untuk mencegah risiko kenaikan harga
akibat pembulatan harga secara berlebihan yang akan mengakibatkan kenaikan inflasi,
umumnya diberlakukan kewajiban pencantuman label harga bagi semua pedagang, baik dalam
label harga dalam denominasi lama maupun harga yang telah disederhanakan atau dalam
denominasi baru (setelah dihilangkan beberapa angka nol). Kewajiban tersebut berlaku
beberapa bulan sebelum dicanangkannya program redenominasi secara resmi dan berlanjut
hingga masa transisi berakhir. Untuk menjaga ketertiban pelaksanaannya, pengaturan
kewajiban tersebut dan pelaksanaan monitoringnya dapat dituangkan dalam Undang-Undang
tentang Perubahan Harga Rupiah ataupun dalam peraturan kementerian yang berwenang.
68
Kewajiban pencantuman label harga tersebut yang berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat
Indonesia dapat menjadi simbol gerakan disiplin nasional.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal tersebut di atas, kebijakan redenominasi
mata uang Rupiah merupakan suatu kebutuhan bagi perekonomian Indonesia saat ini. Pada
hakekatnya, redenominasi hanya sebagai upaya untuk menyederhanakan
penyebutan/penulisan pecahan (denominasi) mata uang suatu negara. Selain itu, secara
prinsipil redenominasi berbeda dengan sanering. Sanering adalah pemotongan nilai uang
sedangkan harga-harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif
masyarakat menjadi menurun. Mengingat pengalaman traumatis kebijakan sanering yang
pernah dilakukan pada tahun 1959, maka perlu pemahaman masyarakat yang tepat tentang
perbedaan mendasar antara kebijakan redenominasi dan kebijakan sanering.
Ke depan, kondisi makroekonomi Indonesia yang menunjukkan perkembangan yang
semakin membaik dan kondusif menjadi pendukung keberhasilan pelaksanaan redenominasi.
Selama beberapa tahun terakhir, indikator makroekonomi utama seperti tingkat inflasi
cenderung menurun, nilai tukar Rupiah relatif stabil, serta laju pertumbuhan ekonomi semakin
menguat. Secara bersama-sama, kondisi ini telah berkontribusi terhadap ketahanan
perekonomian Indonesia, sebagaimana terbukti dari kinerja perekonomian Indonesia yang
dipandang kondusif di tengah krisis global 2008. Ketahanan ekonomi ini dapat dipandang
sebagai suatu tonggak periode perekonomian Indonesia yang menuju kepada stabilitas
makroekonomi. Dalam rangka menuju ke periode baru tersebut, kebijakan penyederhanaan
denominasi uang Rupiah dapat menjadi suatu simbol dimulainya era baru perekonomian yang
lebih stabil.
Meskipun redenominasi pernah dilakukan di Indonesia, pemahaman masyarakat
terhadap program redenominasi masih relatif terbatas. Dari survei awal yang dilakukan Bank
Indonesia pada tahun 2010, hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami konsep dan
tujuan redenominasi secara benar. Hal ini antara lain juga disebabkan oleh trauma sanering
yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga redenominasi dianggap sama
dengan sanering. Untuk itu, diperlukan upaya untuk memberikan pemahaman yang benar
mengenai program redenominasi. Hal ini diperlukan untuk memperoleh dukungan penuh dari
masyarakat sebagai salah satu prasyarat keberhasilan pelaksanaan program redenominasi.
Kunci keberhasilan program redenominasi bergantung pada beberapa prasyarat sebagai
berikut: (i) kondisi makroekonomi yang terjaga dan stabil, (ii) kondisi sosial politik yang
kondusif, (iii) dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang disertai sosialisasi yang intensif,
(iv) landasan hukum yang kuat, dan (v) pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat. Dalam kasus
69
Indonesia, kelima prasyarat itu diperkirakan akan terpenuhi dalam tahun 2011 dan tahun-tahun
selanjutnya.
Walaupun redenominasi mata uang Rupiah memberikan banyak manfaat bagi
perekonomian nasional, kebijakan ini juga membawa beberapa potensi risiko. Untuk itu,
persiapan pelaksanaan redenominasi Rupiah harus direncanakan dan dipersiapkan dengan
matang. Praktik redenominasi di beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi mata
uang, persiapan redenominasi membutuhkan waktu yang cukup lama dan memerlukan
koordinasi yang kuat antara pemerintah dan bank sentral.
c. Landasan Yuridis
Pasal 23B UUD 1945 mengamanatkan bahwa harga dan macam mata uang ditetapkan
dengan undang-undang. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga mata uang. Rupiah sebagai mata
uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah diterima dan dipergunakan
sejak kemerdekaan. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 23B tersebut di atas, pada saat ini telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam UU tentang
Mata Uang tersebut mengatur bahwa terkait dengan perubahan harga Rupiah diatur dengan
undang-undang. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan perubahan harga Rupiah adalah
redenominasi. Redenominasi pada prinsipnya merupakan penyederhanaan jumlah digit pada
denominasi mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar mata uang tersebut
terhadap harga barang dan/atau jasa. Redenominasi dilakukan dengan menyederhanakan
jumlah digit atau menghilangkan sejumlah angka nol dalam harga barang dan denominasi
mata uang.
Dalam pelaksanaannya perubahan harga Rupiah atau redenominasi akan diwujudkan
dalam pengeluaran dan pengedaran pecahan Rupiah baru yang dilakukan oleh Bank Indonesia
setelah ditetapkannya kebijakan redenominasi dengan undang-undang. Penetapan pecahan
Rupiah merupakan tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Undang-Undang Bank Indonesia) dan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Lebih lanjut, penetapan pecahan Rupiah tersebut secara
tidak langsung juga terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, dalam rangka mencapai tujuan berupa kestabilan nilai tukar
mata uang. Namun demikian, walaupun kewajiban untuk menjaga stabilitas nilai mata uang
70
diberikan kepada bank sentral tetap diperlukan dukungan Pemerintah berupa sinergi kebijakan
dalam pelaksanaan tugas bank sentral guna menjaga stabilitas nilai mata uang tersebut. Hal ini
juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 tentang Mata Uang. Pada pasal 3 ayat (3)
disebutkan “Pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank
Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah” dan pasal 3 ayat (4) disebutkan “dalam hal
menetapkan pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Pemerintah memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat
pembayaran, dan/atau kebutuhan masyarakat. Jelas bahwa meskipun kewenangan di bidang
moneter adalah tugas Bank Indonesia, akan tetapi tetap harus bersinergi dengan Pemerintah
sebagai pengelola kebijakan fiskal.
71
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
UNDANG-UNDANG PERUBAHAN HARGA RUPIAH
A.Jangkauan dan Arah Pengaturan
Dari berbagai cara perubahan harga mata uang yang ada, jangkauan pengaturan dalam
naskah akademik ini adalah penyederhanaan junlah digit pada denominasi atau pecahan
Rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar Rupiah terhadap harga barang
dan/atau jasa, yang disebut dengan redenominasi Rupiah.
Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan penyebutan dan penulisan
denominasi atau pecahan Rupiah guna meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian dan
meningkatkan kredibilitas Rupiah.
Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah akan menjangkau dan mengikat
seluruh lapisan masyarakat terkait dengan penyederhanaan jumlah digit uang dan kewajiban
atau larangan yang harus dipatuhi. Dengan dilakukannya Redenominasi Rupiah, maka setiap
penggunaan atau penyebutan Rupiah dalam harga atau nilai barang dan/atau jasa; pencatatan
transaksi; peraturan perundang-undangan; keputusan pengadilan; perjanjian; surat berharga;
akta; dokumen keuangan; bukti pembayaran; dan dokumen lainnya, harus menggunakan atau
dinyatakan dalam Rupiah setelah Redenominasi.
B. Ruang Lingkup Pengaturan
Ruang lingkup pengaturan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah meliputi:
1. Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum diatur beberapa pengertian/batasan yang digunakan dalam RUU
tersebut, antara lain: Mata Uang, Perubahan Harga Rupiah, Rupiah Lama, Bank Indonesia,
Rupiah, Pelaku Usaha, Pencabutan dan Penarikan.
2. Materi yang Akan Diatur
a. Tujuan redonominasi Rupiah
Redenominasi Rupiah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian
dan kredibilitas Rupiah.
b. Redenominasi Rupiah
Pada prinsipnya kebijakan redenominasi Rupiah lebih bersifat beschikking
(keputusan) daripada regeling (peraturan).Mengingat sifatnya tersebut maka perlu
ditetapkan suatu tanggal tertentu yang menyatakan mulai berlakunya redenominasi.
72
Sejak tanggal tersebut penyederhanaan penyebutan denominasi (pecahan) mulai
berlaku, yaitu menghilangkan 3 angka nol, misalnya dari semula Rp1.000,- menjadi
Rp1,-. (diasumsikan bahwa penghapusan dilakukan terhadap 3 angka nol).
Penghilangan 3 angka nol dilakukan dengan pertimbangan:
1) Kesetaraan nilai tukar Rupiah dengan nilai tukar mata uang negara berkembang
(emerging market) yang setara dengan Indonesia.
2) Lebih sederhana dan mudah dipahami dalam mengkonversi ke dalam uang baru.
Sebagian pelaku ekonomi sudah menggunakan daftar harga yang menghapuskan 3
angka nol terakhir seperti hotel dan restoran.
3) Mendukung transaksi di masyarakat karena sebagian besar transaksi saat ini
menggunakan bilyet ribuan (47.09%)
4) Mengakomodir konversi harga barang yang lebih kecil dari 100 Rupiah lama.
c. Pelaksanaan Redenominasi Rupiah akan membawa konsekuensi terhadap
pengggunaan dan penyebutan Rupiah serta mempunyai implikasi yang sangat luas
terhadap aspek kehidupan masyarakat, baik implikasi hukum maupun teknis, antara
lain:
1) Setiap penyebutan dan kewajiban keuangan dalam seluruh peraturan perundang-
undangan, kontrak, dokumen hukum, surat-surat berharga dan dokumen tertulis
lainnya harus dibaca sesuai dengan ketentuan redenominasi.
2) Besarnya hak dan kewajiban keuangan dalam Rupiah antara para pihak dalam
suatu hubungan hukum (transaksi) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
redenominasi,
3) Ketentuan redenominasi akan menyebabkan penurunan nilai nominal asset
walaupun nilai materi asset tersebut tidak mengalami perubahan,
Mengingat luasnya implikasi kebijakan redenominasi tersebut, maka kebijakan
redenominasi harus merupakan komitmen nasional dan dari sisi hukum perundang-
undangan perlu pengkajian mengenai penuangannya dalam suatu produk hukum yang
mempunyai kekuatan memaksa sangat tinggi sehingga benar-benar ditaati oleh seluruh
komponen masyarakat sehingga tidak menimbulkan banyak perselisihan dalam
masyarakat.
Dengan dilakukan redenominasi yang pada prinsipnya menyederhanakan
penyebutan denominasi (pecahan) uang tanpa menurunkan daya beli uang terhadap
barang dan jasa karena harga barang dan jasa pun mengalami penyederhanaan, untuk
memberikan kepastian hukum maka penyederhanaan penyebutan nilai uang dan harga
73
barang serta jasa ditetapkan oleh undang-undang, oleh karena itu perlu diatur bahwa
“setiap harga atau nilai barang dan jasa dalam uang Rupiah Lama demi hukum
dikonversi menjadi harga atau nilai dalam uang Rupiah baru.” Dengan demikian,
berdasarkan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dinyatakan konversi
telah terjadi, dan tidak perlu dikeluarkan suatu produk hukum lain untuk menyatakan
konversi tersebut.
Demikian pula implikasi yang timbul dengan ditetapkannya redenominasi
khususnya yang berkaitan dengan penggunaan atau penyebutan uang Rupiah dalam
setiap peraturan perundang-undangan, transaksi, keputusan pengadilan, perjanjian,
surat berharga, dokumen-dokumen yang bernilai uang, perlu dinyatakan secara tegas
dalam Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah bahwa demi hukum
penggunaan atau penyebutan uang Rupiah harus dibaca dan dianggap telah dibuat
dalam uang Rupiah baru. Untuk itulah pengaturan redenominasi perlu dituangkan
dalam level undang-undang, mengingat terdapat norma yang mengatur perundang-
undangan lain untuk tunduk pada spirit norma dalam Undang-Undang tentang
Perubahan Harga Rupiah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nilai uang agar dibaca
dan dianggap telah dibuat dalam nilai uang hasil konversi. Sehingga tidak diperlukan
perubahan terhadap setiap peraturan perundang-undangan, transaksi, keputusan
pengadilan, perjanjian, surat berharga, serta dokumen-dokumen lainnya yang bernilai
uang.
d. Tata Cara Pembulatan
Penyederhanaan dengan menghilangkan 3 angka nol dapat menimbulkan angka
pecahan yang nilainya kurang dari 1 (satu) sen. Dalam hal kondisi itu terjadi maka
perlu dilakukan pembulatan.Sebagaimana lazimnya, pembulatan dilakukan hingga dua
digit di belakang koma (dalam satuan sen).Dalam hal digit ketiga di belakang koma
adalah pecahan angka 5 ke atas maka dibulatkan ke atas, sedangkan apabila pecahan di
bawah angka 5 dibulatkan ke bawah (dihilangkan). Hal ini perlu dilakukan antara lain
dalam merevaluasi aset-aset yang memiliki nominal di bawah Rp1.000 (dalam Rupiah
lama), termasuk pencatatan untuk surat berharga, pembayaran kupon dan bunganya.
Contoh:
1) Harga gula pasir yang tercatat sebelum redenominasi adalah Rp11.846 per kg,
maka setelah redenominasi harga gula tersebut menjadi Rp11,85 per kg.
74
2) Harga biskuit yang tercatat sebelum redenominasi adalah Rp1.963 per bungkus,
maka setelah redenominasi harga biskuit tersebut menjadi Rp1,96 per bungkus.
e. Pengeluaran dan Pengedaran Rupiah Setelah Redenominasi
Dengan dilaksanakannya redenominasi Rupiah, Bank Indonesia akan
menerbitkan dan mengedarkan uang kertas dan uang logam Rupiah baru sebagai alat
pembayaran yang sah di Indonesia. Dengan ditetapkannya redenominasi yang
menghilangkan 3 angka nol, membawa konsekuensi perlunya dikeluarkan uang
Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah yang pemberlakuannya bersamaan
dengan uang Rupiah lama untuk jangka waktu tertentu (selama masa transisi).Hal ini
ditujukan untuk mempermudah masyarakat membedakan antara uang Rupiah lama
dan Rupiah baru. Pencetakan uang Rupiah baru juga ditujukan untuk memenuhi
aspek efisiensi (antara lain dalam biaya pengadaan dan pencetakan uang). Selain itu
penambahan kata “baru” diperkirakan tidak berdampak besar terhadap peraturan
perundang-undangan, transaksi, keputusan pengadilan, perjanjian, surat berharga,
dokumen-dokumen yang bernilai uang, dokumen-dokumen yang memiliki akibat
hukum dan/atau memuat hak dan kewajiban, serta bukti pembayaran yang telah ada
sebelum redenominasi.
f. Pelaksanaan Redenominasi
Terdapat beberapa alternatif waktu penerapan kebijakan redenominasi, antara
lain tanggal 1 Januari 2014 dan 1 Januari 2015. Berdasarkan berbagai kondisi yang
ada, penetapan 1 Januari 2015 dipandang sebagai waktu yang lebih tepat sebagai
momen dimulainya kebijakan redenominasi di Indonesia. Penetapan tersebut didasari
oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014
Faktor pendukung pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2013adalah:
a) Makroekonomi: kondisi makroekonomi yang cukup kondusif ditandai
dengan nilai tukar yang cukup stabil dan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi dari perkiraan.
b) Politik: kondisi politik mendukung waktu implementasi karena dilaksanakan
sebelum Pemilu tahun 2014.
c) Teknis: program redenominasi yang diimplementasikan lebih cepat dapat
mengurangi risiko ketidakpastian yang terjadi dibandingkan dengan
implementasi yang dijadwalkan lebih lama
75
Faktor penghambat pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014
adalah:
a) Makroekonomi :
Masih belum pulihnya perekonomian negara-negara maju terutama Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa, sehingga berpotensi mempengaruhi
perekonomian global, termasuk Indonesia.
b) Politik : Mengingat tahun 2014 adalah tahun pelaksanaan Pemilu di
Indonesia, pada umumnya kondisi politik dalam situasi yang kurang kondusif
bagi pelaksanaan kebijakan redenominasi. Terdapat risiko pembahasan RUU
dengan Baleg dapat berlarut-larut karena berbagai kepentingan politik
sehingga tidak selesai tepat waktu.
c) Teknis (dengan asumsi UU Redenominasi belum diundangkan hingga 1
April 2013):
i. Waktu yang terlalu singkat untuk mempersiapkan infrastruktur
Teknologi Informasi dan Sistem Pembayaran
ii. Waktu yang trelalu singkat bagi persiapan pengadaan dan pencetakan
serta distribusi uang baru.
iii. Waktu yang terlalu singkat untuk sosialisasi secara intensif dan masif
sehingga berisiko timbul ketidaksiapan dan penolakan masyarakat atas
program redenominasi akibat proses komunikasi dan sosialisasi yang
kurang.
iv. Waktu yang singkat dapat mengakibatkan tambahan biaya persiapan
yang lebih besar
2) Pelaksanaan redenominasi pada 1 Januari 2015
Faktor pendukung pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014 adalah:
a) Makroekonomi: kondisi makroekonomi cukup kondusif ditandai dengan
nilai tukar yang cukup stabil, laju inflasi yang terkendali dan pertumbuhan
ekonomi yang diperkirakan masih kuat.
b) Politik: Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dan perangkat
aturan lainnya dapat dipersiapkan dengan lebih baik oleh Komite Nasional
dan Parlemen.
c) Teknis:
i. Penghematan biaya persiapan redenominasi tidak sebesar apabila
redenominasi mulai dilaksanakan dalam waktu yang lebih cepat.
76
ii. Lebih siapnya masyarakat atas penerapan redenominasi karena telah
terinformasi secara lebih baik.
iii. Infrastruktur TI dan SP dapat dipersiapkan dengan lebih baik.
Faktor penghambat pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2015
adalah:
a) Makroekonomi: masih belum pulihnya perekonomian negara-negara maju
terutama US dan negara-negara Eropa, sehingga berpotensi mempengaruhi
perekonomian global, termasuk Indonesia.
b) Politik: berdekatan dengan Pemilu 2014, pemerintahan baru sehingga
memerlukan komunikasi dan proses politik dari awal untuk memperoleh
dukungan pemerintah baru.
c) Teknis: waktu implementasi program yang lebih lama dapat memicu
ketidakpastian di masyarakat apabila sosialisasi dan edukasi publik tidak
berjalan baik.
g. Masa Berlaku Uang Rupiah Lama dan Uang Rupiah Baru
Masa transisi uang Rupiah Lama dan uang Rupiah baru memerlukan waktu yang
tidak singkat. Masa transisi dalam pelaksanaan redenominasi diperlukan guna
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami
kebijakan redenominasi sehingga diharapkan implementasi redenominasi berjalan
lancar. Dalam masa transisi pelaksanaan redenominasi diberlakukan uang Rupiah
Lama dan uang Rupiah baru. Setelah masa transisi berakhir, uang Rupiah Lama akan
dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu perlu pengaturan mengenai batas waktu
uang rupiah lama dinyatakan tidak berlaku.
Diperkirakan Indonesia akan memerlukan waktu 3 tahun masa transisi dengan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara
kepulauan, yang memiliki ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan. Hal ini
berdampak terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengedarkan uang
baru pada masa transisi. Sarana transportasi dan infrastruktur yang belum begitu
memadai juga merupakan faktor penghambat yang mengakibatkan lamanya
waktu tersebut.
2) Kondisi demografis Indonesia dengan tingkat pendidikan penduduk yang
beragam dan tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara lain.
77
3) Memberi kesempatan yang cukup kepada masyarakat agar terbiasa dengan rupiah
baru.
4) Masa edar uang Rupiah yang berkisar antara 12 - 24 bulan menyebabkan uang
yang dicetak pada sebelum pelaksanaan redenominasi masih layak untuk
digunakan sampai dengan 1 - 2 tahun kemudian; dan
5) Memberikan dampak positif terhadap penghematan biaya pencetakan uang dan
pengadaan bahan uang karena BI tidak sekaligus melakukan penggantian terhadap
Uang Yang Diedarkan (UYD) karena masyarakat mempunyai waktu yang cukup
untuk melakukan transaksi dengan menggunakan uang Rupiah (lama).
Setelah masa transisi berakhir, Bank Indonesia mengeluarkan “uang Rupiah
baru tanpa kata baru” sebagai alat pembayaran yang sah yang berlaku bersamaan
dengan “uang Rupiah baru dengan kata baru” untuk jangka waktu tertentu sampai
dengan dinyatakan tidak berlakunya “uang Rupiah baru dengan kata baru”.
Dengan diterbitkannya uang Rupiah baru maka uang Rupiah Lama tetap berlaku
sampai dengan dicabut dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya
dengan diterbitkannya Uang Rupiah baru tanpa kata “baru” maka Uang Rupiah baru
dengan kata “baru” dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut dari peredaran
dan dinyatakan tidak berlaku.
Untuk Rupiah yang telah dicabut dari peredaran dapat ditukarkan di Bank
Indonesia dan/atau Bank Umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) paling lambat 10 Tahun terhitung sejak tanggal dicabut dari
peredaran.
Paralelisasi ini tidak hanya terbatas pada pengedaran uang saja, namun juga
dalam penulisan harga-harga barang.Masa paralelisasi dimaksudkan untuk membantu
masyarakat beradaptasi dengan “Rupiah Baru”.
Masa transisi redenominasi di negara lain seperti di Romania dan Turki relatif
singkat. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan demografis negara tersebut yang
relatif lebih terjangkau.
1) Romania
Romania mulai melaksanakan redenominasi pada tanggal 1 Juli 2005 dengan
mengganti mata uangnya dari 1000 ROL menjadi 1 RON. Pelaksanaan
rednominasi di Romania adalah sebagai berikut:
a) 1 Maret 2005 sampai dengan 30 Juni 2005
78
- Harga barang dan jasa dinyatakan dalam 2 satuan: RON dan ROL.
Ketentuan ini juga berlaku untuk kontrak yang sedang berjalan, nota
tagihan, display harga, biaya komisi, dan kurs jual beli di perbankan.
- Nilai tukar yang dipublikasikan oleh National Bank of Romania (NBR)
dinyatakan hingga empat angka desimal (USD 1 = RON 2,8429)
- Informasi untuk publik di pasar modal dinyatakan dalam 2 mata uang.
b) Sejak Mei 2005 NBR mendistribusikan RON kepada perbankan. NBR
mendistribusikan RON kepada perbankan. RON yang diterima sebelum
tanggal 1 Juli 2005 dicatat dalam off-balance sheet. Penarikan RON oleh
perbankan tersebut harus di back-up oleh jaminan yang dimiliki perbankan,
seperti obligasi pemerintah dan surat berharga bank sentral.
c) Setelmen transfer dana dalam ROL antar perbankan, NBR, atau institusi lain
dengan State Treasury harus sudah diselesaikan pada 29 Juni 2005. Sejak 1
Juli 2005, semua instrumen pembayaran hanya dinyatakan dalam RON.
d) ROL masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah hingga akhir
Desember 2006.
e) Tanggal 31 Desember 2006. Pada saat ROL masih menjadi legal tender,
angka yang tertera pada mesin kasir dinyatakan dalam RON.
f) Selama Desember 2006, ROL masih berfungsi sebagai alat pembayaran
namun perusahaan atau lembaga yang menerima tidak boleh
mensirkulasikannya lagi dan harus menyetorkannya ke bank. Bank juga tidak
boleh mensirkulasikannya lagi kepada masyarakat dan harus
menyetorkannya ke NBR.
g) Tanggal 1 Januari 2007, ROL sudah tidak dapat digunakan sebagai alat
pembayaran dan selama Januari 2007, ROL dapat ditukarkan di cabang-
cabang NBR, bank umum dan state treasury. Mulai tanggal 1 Februari 2007,
ROL dapat ditukarkan hingga waktu yang tak terbatas hanya di cabang-
cabang NBR atau melalui pos.
2) Turki
a) Undang-undang mengenai mata uang Turki diterbitkan pada 31 Desember
2004.
b) Turki mengimplementasikan program Redenominasi sejak tanggal 1 Januari
2005 dengan menghilangkan 6 digit angka nol mata uang Turkish Lira (TL)
dan diberlakukan matauang baru Yeni Turkish Lira (YTL) dengan 1 YTL=
79
1.000.000 TL. Sementara untuk uang logam diberlakukan kembali mata uang
pecahan Kurus, dimana 1 YTL=100 YKr (Yeni Kurus)
c) Sejak 1 Januari 2005, dokumen-dokumen keuangan lain diterbitkan hanya
dalam YTL dan argo taxi dalam YTL.
d) Merubah alokasi untuk 1 lot saham dari 1.000.000 TL= 1000 lembar saham
menjadi 1 YTL=1 unit.
e) Proses pengadaan dan pengedaran uang
- Penyiapan desain mata uang kertas dan logam sudah dilakukan sejak
tahun 2001 sementara pengadaan secara pararel (TL, YTL, dan YKr)
dilakukan sejak 2002.
- Untuk menghindari kebingungan dalam masa transisi, pecahan uang
yang memiliki daya beli yang sama diproduksi dalam warna dan desain
yang sama.
- Pada awal Mei 2008 dilakukan pengadaan uang kertas untuk konversi
tahap kedua dengan menhapus kata Yeni.
f) Sejak 1 Januari 2009, Turkish Lira diperkenalkan kembali (pengembalian
mata uang YTL ke TL) dengan masa pararelisasi 1 tahun.
g) Seluruh instrumen keuangan dan hukum yang dibuat dalam YTL sebelum 1
Januari 2009 berlaku dan dapat dicairkan sesuai dan sama nilainya dengan
TL.
h) Perjanjian-perjanjian yang disiapkan dalam YTL dinyatakan tetap berlaku
dengan nilai yang sama dengan TL.
i) Cek yang diterbitkan dan dicairkan sebelum 1 Januari 2009 dibayarkan
dengan YTL, namun untuk yang diterbitkan dan dicairkan setelah 1 Januari
2009 dibayarkan dengan TL.
j) Selanjutnya, sejak 1 Januari 2009 diberlakukan hal-hal sebagai berikut:
- Seluruh akun bank dalam YTL langsung dikonversikan dalam TL tanpa
perbedaan nilai.
- Buku tabungan atau nomor rekening tetap diberlakukan sama dan
seluruh transaksi baru harus dicatatkan dalam TL.
- Konversi ke TL tidak akan mempengaruhi nilai nominal dari saham dan
surat berharga.
- Harga-harga dalam dokumen (tagihan, bon, slip gaji, dsb) adalah dalam
TL dan Kr.
80
- Deklarasi-deklarasi (seperti pajak) disiapkan dalam TL dan Kr, meskipun
jika deklarasi tersebut adalah pajak periode 2008. Pembayar pajak harus
menyiapkan laporan akuntansinya dalam TL dan Kr.
- Harga yang tercantum pada daftar dan label harga barang dan jasa adalah
dalam TL. Label harga dalam YTL dan Ykr dapat digunakan sepanjang
2009.
- Tidak ada perubahan pada pengumuman atau nilai dari kurs valuta asing,
hanya nama dari mata uangnya yang berubah. Kode mata uang
internasional TRY 949-2 tidak diubah.
h. Kewajiban Pelaku Usaha
Pada awal diberlakukannya redenominasi akan terdapat masa transisi dimana
dalam masa tersebut terhadap barang dan/atau jasa akan diberlakukan uang Rupiah
Lama dan uang Rupiah baru. Untuk memberikan kepastian kepada masyarakat, maka
setiap pelaku usaha termasuk pedagang dan penyedia jasa wajib mencantumkan
kuotasi atau menyatakan harga dan/atau tarif barang dan jasa dalam uang Rupiah
Lama dan uang Rupiah baru secara bersamaan (dual price tagging). Dengan adanya
kewajiban tersebut, masyarakat yang akan melakukan transaksi mempunyai pilihan
untuk menggunakan uang Rupiah Lama atau uang Rupiah baru sebagai alat
pembayarannya. Namun demikian, usaha mikro dikecualikan dari kewajiban
pencantuman kuotasi harga dan/atau tarif barang dan jasa dalam uang Rupiah Lama
dan uang Rupiah baru secara bersamaan (dual price tagging). Hal ini dimaksudkan
untuk tidak membebani pelaku usaha mikro yang umumnya terdiri dari para pedagang
tradisional dan pedagang kecil. (pengecualiandual price tagging untuk pelaku usaha
mikro ini akan didiskusikan dengan kementerian yang menangani UMKM).
Kebijakan Redenominasi akan membawa konsekuensi pula terhadap perlunya
penyesuaian terhadap pencatatan, bukti transaksi dan laporan yang memuat nilai
rupiah. Untuk itu seluruh sistem pendukung pencatatan dan pelaporan terkait dengan
data dan transaksi keuangan harus disesuaikan dengan ketentuan redenominasi, dan
secara teknis seluruh sistem informasi khususnya yang terkait dengan nilai uang harus
disesuaikan.Penyesuaian tersebut penting untuk dilakukan, sehingga undang-undang
mewajibkan para pelaku usaha untuk melakukan penyesuaian.Mengingat kewajiban
penyesuaian tersebut tidak dapat dilakukan dengan serta merta, maka terhadap para
pelaku usaha diberikan tenggat waktu tertentu untuk melakukan penyesuaian.
81
i. Koordinasi dan Kerjasama
Kebijakan Redenominasi merupakan komitmen nasional oleh karena itu dalam
pelaksanaannya perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga/instansi
terkait.Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-Undang tentang Perubahan Harga
Rupiah diperlukan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh lembaga dan instansi
yang memiliki otoritas yang terkait dengan redenominasi.
3. Sanksi
Dalam rangka menjamin efektivitas implementasi Undang-Undang tentang
Perubahan Harga Rupiah, perlu diatur sanksi terhadap pihak-pihak yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang dimaksud,
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum, baik kepentingan hukum orang,
warga masyarakat maupun negara. Norma sanksi yang diatur dalam undang-undang ini
lebih bersifat hukum pidana materil, yaitu norma larangan dan norma kewajiban.
Sementara itu stelsel pemidanaan yang digunakan adalah stelsel alternatif atau kumulatif,
atau alternatif kumulatif.
4. Penutup
Bahwa undang-undang mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dalam rangka
memenuhi azas publisitas peraturan perundang-undangan maka undang-undang ini
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
82
BAB VI
PENUTUP
A.SIMPULAN
1. Program redenominasi mata uang Rupiah diartikan sebagai penyederhanaan jumlah digit
atau angka nol pada denominasi (pecahan) mata uang Rupiah dan sekaligus diikuti
penyederhanaan tampilan harga barang dan jasa sehingga tidak mengakibatkan penurunan
daya beli masyarakat. Praktek redenominasi dilakukan dengan menghilangkan beberapa
angka nol.
2. Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan redenominasi mata uang
Rupiah adalah: (i)redenominasi mata uang Rupiah tidak mengakibatkan menurunnya
nilai relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa; (ii)stabilitas
makroekonomi yang terjaga; (iii) tingkat inflasi berada dalam trend yang menurun; (iv)
kondisi sosial politik yang kondusif; (v) dukungan seluruh lapisan masyarakat; (vi)
transparansi dan komunikasi yang baik; (vii) landasan hukum yang kuat; dan (viii)
pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat.
3. Dengan semakin banyaknya jumlah digit yang digunakan dalam denominasi uang Rupiah
selama ini menimbulkan inefisiensi perekonomian seperti waktu dan biaya transaksi yang
cukup besar; kebutuhan pengembangan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai
di masa mendatang dengan biaya yang cukup signifikan; serta meningkatnya biaya
pengadaan uang baru dengan pecahan yang lebih besar untuk mengakomodasi kebutuhan
pembayaran tunai yang semakin tinggi.Demikian pula hambatan teknis yang seringkali
menyulitkan, terutama dalam hal penyajian dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan
penyelesaian transaksi. Dari sisi psikologis, digit yang besar dapat mengurangi
kebanggaan masyarakat terhadap mata uang Rupiah.
4. Kebijakan redenominasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi
perekonomian, meningkatkan kredibilitas Rupiah dan kebanggaan nasional terhadap
Rupiah, serta mengatasi berbagai kendala teknis dalam pelaksanaan transaksi keuangan,
sistem akuntansi dan sistem pencatatan statistik keuangan.
5. Mengingat implikasi pengaturan redenominasi sangat luas terhadap aspek kehidupan
masyarakat, maka produk hukum yang menjadi landasan hukum redenominasi seharusnya
berupa produk hukum yang mempunyai kekuatan memaksa yang sangat tinggi. Saat ini,
landasan hukum untuk melakukan redenominasi telah dicantumkan dalam Undang-
83
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur bahwa perubahan harga
Rupiah diatur dengan undang-undang.
B. SARAN
1. Mengingat kebijakan redenominasi perlu segera dilaksanakan untuk mendukung efisiensi
perekonomian, mengatasi kendala teknis dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap rupiah serta untuk mendukung persiapan pembentukan Masyarakat Ekonomi
Asean, maka dengan mempertimbangan fundamental perekonomian saat ini yang cukup
kuat dan kondusif, perlu segera ditetapkan kebijakan redenominasi dalam bentuk undang-
undang dengan memperhatikan prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan
perundang-undangan.
2. Disamping pengaturan kebijakan redenominasi dalam bentuk undang-undang, terdapat
beberapa substansi yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia maupun peraturan kementerian
lainnya.
3. Untuk lebih menyempurnakan penyusunan Naskah Akademik sebagai pendukung RUU
tentang Perubahan Harga Rupiah, maka perlu dilakukan kegiatan-kegiatan seminar,
diskusi bersama para pakar hukum dan ekonomi, serta sosialisasi kepada masyarakat.
84
Daftar Pustaka
Abrams, R. K. (1995). The Design and Printing of Bank Notes: Consideration When Introducing a
New Currency. IMF Working Paper WP/95/26.
Abrams, R. K., & Douglas, H. C. (1993). Introduction of a New National Currency: Policy,
Institutional, and Technical Issues. IMF Working Paper WP/93/49.
Acquah, P. A. (2006). Re-Denomination of Cedi. Presentation to Parliament of Ghana. Accra.
Aucremanne, L., & Cornille, D. (2001). Attractive Prices and Euro-Rounding Effects on Inflation
. Brussels: National Bank of Belgium Working Paper No. 17 .
Banco Central De Venezuela. (2007). What You Would Like to Know about Venezuelan
Currency Redenomination. Banco Central De Venezuela.
Bank Indonesia-Biro Riset Ekonomi - (Publikasi Internal), 2011, Outlook Ekonomi Indonesia
2011-2016.
Bank Indonesia, 2005, Sejarah Bank Indonesia Periode II : 1959-1966, Jakarta.
Bernholz, P. and Kugler, P. 2007, The Success of Currency Reforms to End Great Inflation: An
Empirical Analysis of 34 High Inflation, WWZ Working Paper, 1307.
Central Bank of The Republik of Turkey, 2004. Redenomination of Turkish Lira by Dropping Six
Zeros.
Dewati, Wahyu, Yanuarti, T, & Indawan F., 2008, Analisis Kemungkinan Redenominasi di
Indonesia. Jakarta, Bank Indonesia Working Paper No.24/2008
Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, Alih Bahasa Burhanuddin
Abdullah, Erlangga, Jakarta.
Iona, D., 2005, The National Currency Redenomination Experience in Several Countries - A
Comparative Analysis. International Multidisciplinary Symposium Universitaria Simpro .
Iswardono, 1999, Uang dan Bank, Cetakan Keenam, Edisi Keempat, BPFE, Jogjakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2002 Departemen Pendidikan Nasional.
85
Kiguel, M. A., & Liviatan, N. (1992).Stopping Three Big Inflation (Argentina, Brazil, and Peru).
WPS 999 - World Bank .
Law No. 348 on The Redenomination of Domestic Currency. (2004, July 14). Retrieved February
9, 2011, from Romania: http://www.polymernotes.org/other_country/ROU_law.htm
Mas, I., 1995, Things Governments Do to Money: A Recent History of Currency Reform
Schemes and Scams, Kyklos.
Mosley, L., 2005, Dropping Zeros, Gaining Credibility? Currency Redenomination and
Developing Nation.
Munoz, S. (1998). Central Bank Quasi-Fiscal Losses and High Inflation in Zimbabwe: A Note.
IMF Working Paper WP/98/07 .
National Bank of Romania.(2005). ANNUAL REPORT 2005.National Bank of Romania.
PP Republik Indonesia No. 27.(1965). tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru yang Berlaku
Sebagai Alat Pembayaran yang Sah Bagi Seluruh Wilayah Indonesia dan Penarikan Uang Rupiah
Lama dari Peredaran.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
top related