sampul cover
Post on 11-Jan-2016
229 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PROPOSAL SKRIPSI
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NAGA PUTIH (Hylocereus undatus) TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS PARU MENCIT (Mus
musculus) YANG DIPAPAR ASAP ROKOK
Nurul Wahda Aulia
G0010145
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA2013
PERSETUJUAN
Proposal Penelitian/Skripsi dengan judul : Efek Akupunktur Baihui (GV 20) dan Elektroakupunktur Zusanli (ST 36) terhadap Luas Korteks Adrenal Tikus
Putih (rattus norvegicus) Terpapar Bising Intermiten
Nur Fii H., G0008145, 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Validasi Proposal
Penelitian/Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Senin, Tanggal 1 Agustus 2011
Pembimbing Utama,
dr. Balgis, M.Sc, CM, FMNIP. 19640719 199903 2 003
Penguji Utama,
dr. Selfi Handayani, M.KesNIP. 19670214 199702 2 001
Pembimbing Pendamping,
D r. Hartono, dr., M,Si NIP. 19650727 199702 1 001
Penguji Pendamping,
dr. Margono, MKKNIP. 19540915 198601 1 001
Tim Skripsi
dr. Muthmainah, MKesNIP. 19660702 199802 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 1 Agustus 2011
Nur Fii Hidayatullah G0008145
PROPOSAL SKRIPSI
I. Nama Peneliti/NIM/Semester
Nur Fii Hidayatullah (G0008145/Semester V)
II. Judul Skripsi
Efek Akupunktur Baihui (GV 20) dan Elektroakupunktur Zusanli (ST
36) terhadap Luas Korteks Adrenal Tikus Putih (rattus norvegicus) Terpapar
Bising Intermiten
III. Bidang Ilmu
Akupunktur
IV. Latar Belakang
Kemajuan zaman, selain memberikan dampak positif terhadap kualitas
kehidupan manusia juga memberikan efek yang buruk terhadap lingkungan.
Perkembangan peradaban telah merubah paradigma masyarakat tradisional
menjadi masyarakat yang serba mutakhir. Tenaga-tenaga tradisional yang
masih layak pakai pun tergantikan dengan tenaga-tenaga modern semacam
mesin, alat-alat tranportasi, dan robotik yang dapat menyumbang kepada
polusi suara (kebisingan) (Deni, Maria, and Kartini, 2007).
Stres merupakan salah satu masalah kesehatan akibat kebisingan. Stres
akibat kebisingan akan bermanifestasi pada perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku (Gary et al., 1998). Efek negatif kebisingan
terhadap fungsi fisiologis manusia dapat berupa ketulian dan gangguan
pendengaran frekuensi rendah, gangguan hormonal, supresi sistem imun
(Bedanova et al., 2010), hipertensi, infark (Stefan et al., 2006), resistensi
insulin, gangguan kognitif, dan menurunnya daya ingat serta beberapa
penyakit lain yang berkaitan dengan aksis HPA (Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal axis) (Bo Cui et al., 2009), sedangkan efek negatif kebisingan
terhadap fungsi psikologis dapat berupa kecemasan dan kegelisahan (Seidman
and Standring, 2010).
Di negara maju, stres akibat kebisingan telah menjadi masalah
kesehatan yang sangat diperhatikan. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya
macam terapi yang telah digunakan. Fakta menunjukkan 30% dari pasien stres
akibat kebisingan tidak lagi memperlihatkan respon terhadap obat-obatan
kimia dan mengarah kepada penyakit yang lebih serius. Selain itu, banyak
dikeluhkan berbagai macam efek samping yang timbul pada penggunaan obat-
obatan tersebut (Liu et al., 2007). Munculnya efek berbahaya dari kebisingan
membuat sejumlah pakar dari beberapa negara memikirkan konsep terapi
alternatif yang efisien bagi subjek yang rentan (Lundberg, 1999).
Akupunktur adalah teknik pengobatan menggunakan penusukan jarum
pada titik tertentu yang bersumber pada falsafah ilmu kesehatan tradisional
Cina (Saputra, 2000). Beberapa dekade lalu akupunktur dianggap sebagai
pengobatan tradisional karena masih minimnya bukti-bukti ilmiah, namun kini
akupunktur berubah menjadi sebuah teori yang terbukti secara empiris melalui
evidence based medicine (EBM). Tahun 1980, World Health Organization
(WHO) telah merekomendasikan lebih dari 42 indikasi untuk terapi
akupunktur (Kiswojo, 2007). Pada tahun 1995, The National Institute of
Health juga menempatkan akupunktur sebagai terapi komplementer dalam
rehabilitasi stroke dan asma (Hoediono, 2005).
Sampai saat ini, konsep cara kerja rangsang akupunktur masih diteliti
antara lain pengaruhnya terhadap aksis HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal
axis) (Lee et al., 2004). Beberapa peneliti melaporkan bahwa perangsangan
pada titik akupunktur memiliki kemampuan untuk mengembalikan
keseimbangan fungsi aksis HPA pada hewan coba yang mengalami iatrogenic
cushing’s syndrome (Lin et al., 1991). Zhou et al. (2008) juga melaporkan
bahwa perangsangan titik akupunktur tertentu memiliki efek molekuler
terhadap aktivitas aksis HPA.
Penemuan Lin et al. (1991), Lee et al. (2004), Cho et al. (2008), dan
Zhou et al. (2008) telah memberikan paradigma baru tentang efek akupunktur
terhadap aksis HPA sehingga berpotensi sebagai tata laksana stres. Oleh
karena itu, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah akupunktur
dapat mempengaruhi keadaan stres akibat kebisingan. Penelitian akan
dilakukan terhadap tikus (Rattus norvegicus) galur wistar yang dipapar bising
intermiten kronik dengan intensitas > 85 dB selama 10 jam dalam waktu 1
bulan (Otten et al., 2004). Pada penelitian ini, titik Baihui (GV 20) dan
Zusanli (ST 36) dipilih sesuai evidence based. Kombinasi terapi pada titik ini
diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas aksis HPA tikus model stres
akibat bising. Aktivitas ini akan diukur melalui variabel luas korteks adrenal
(dalam satuan µm2).
V. Perumusan Masalah
Adakah pengaruh akupunktur Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur
Zusanli (ST 36) terhadap luas korteks adrenal tikus putih (Rattus norvegicus)
terpapar bising intermiten kronik?
VI. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh akupunktur Baihui (GV 20) dan
elektroakupunktur Zusanli (ST 36) terhadap luas korteks adrenal tikus putih
(rattus norvegicus) terpapar bising intermiten kronik.
VII. Manfaat Penelitian
A. Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
efek akupunktur titik Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur titik Zusanli
(ST 36) terhadap aktivitas aksis HPA.
B. Aspek Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based medicine
(EBM) akupunktur sehingga akupunktur medis dipertimbangkan sebagai
terapi komplementer gangguan hormonal.
VIII. Tinjauan Pustaka
A. Akupunktur
1. Definisi
Akupunktur adalah teknik pengobatan menggunakan penusukan
jarum pada titik-titik tertentu yang bersumber pada falsafah alamiah ilmu
kesehatan tradisional Cina (Saputra, 2000). Beberapa dekade yang lalu,
akupunktur klasik masih dianggap sebagai terapi tradisional karena masih
minimnya bukti-bukti empiris. Kemudian para pakar dari berbagai negara
melakukan penelitian sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku
membuktikan manfaat akupunktur dan mengemukakan sejumlah hipotesa
penjelasan cara kerja rangsang akupunktur. Tahun 1980, World Health
Organization (WHO) telah merekomendasikan lebih dari 42 indikasi
untuk terapi akupunktur (Kiswojo, 2007). Disusul oleh The National
Institute of Health yang mengakui kebenaran akupunktur sebagai terapi
tambahan dalam berbagai penyakit kecanduan, rehabilitasi stroke, dan
asma (Hoediono, 2005).
2. Karakteristik Dasar Efek Akupunktur
Akupunktur medis merupakan perkembangan terapi akupunktur
konvensional yang terbukti secara ilmiah melalui evidence based medicine
(EBM) (Saputra, 2000). Landasan ilmu akupunktur medis adalah landasan
ilmu akupunktur klasik yang dipengaruhi oleh berbagai falsafah antara
lain: falsafah Taiji, falsafah Yin Yang, falsafah Sancai, falsafah Wuxing,
falsafah Qi-Xue-Jinje, dan konsep otak (Kiswojo, 2007).
Berbagai falsafah dalam ilmu akupunktur tradisional menghasilkan
konsep sistem meridian sebagai dasar dan titik akupunktur sebagai sasaran
rangsangan untuk mencapai tujuan pengobatan (Hoediono, 2005).
Meridian merupakan sistem alami dalam tubuh manusia, yang terdiri dari
saluran yang menjaring tubuh menjadi satu kesatuan, yang
menghubungkan bagian atas dengan bagian bawah tubuh, bagian kanan
dengan bagian kiri tubuh, bagian ventral dengan bagian dorsal, permukaan
tubuh dengan organ viscera, antar organ viscera, organ viscera dengan
panca indera, yang dapat bereaksi terhadap rangsangan baik rangsangan
dari luar maupun dari dalam tubuh, serta dapat menyalurkan Qi Xue,
mengatur harmoni Yin Yang, sehingga bagian-bagian tubuh dapat
melakukan kegiatan dengan selaras serasi dalam suatu keseimbangan yang
dinamis (Kiswojo, 2007).
Titik akupunktur sebagai sasaran pengobatan terletak di sepanjang
meridian. Titik akupunktur menurut ilmu kesehatan Cina adalah titik
pancaran Qi dari Zangfu meridian pada permukaan tubuh. Titik pancaran
ini merupakan titik peka rangsang dan titik reaksi yang berubah mengikuti
perubahan kegiatan dari Qi Zangfu meridian (Filshie and White, 1998).
Titik akupunktur bersifat biolistrik mempunyai papillae kulit 2 kali lebih
banyak, mengandung kapiler teranyam dengan saraf sensoris, ujung-ujung
saraf simpatis, sehingga dengan demikian menaikkan konduktivitas kulit
diatasnya karena tekanan listriknya rendah (Saputra, 2000). Pada
umumnya letak titik akupunktur berhimpit dengan motor neuron (±70%)
sehingga diduga setiap rangsangan jarum akupunktur dapat diartikan
sebagai sinyal saraf tepi menuju ke susunan saraf pusat (Hoediono, 2005).
Perangsangan pada titik akupunktur secara mekanis akan
merangsang serabut saraf berbagai tipe sehingga menimbulkan efek terapi
(Filshie and White, 1998). Rangsangan jarum yang mengenai reseptor
sensorik akan dilanjutkan melalui akson perifer menuju akson sentral.
Kemudian, rangsangan tersebut akan mengakibatkan aktivasi
keseimbangan neurotransmitter, neurokimiawi, serta sistem imun (Saputra,
2000). Selanjutnya, aktivasi keseimbangan biologis tersebut akan
menghasilkan refleks akson serabut saraf C dan Aδ sehingga muncul efek
terapi yang ditandai rasa hangat (terlihat kemerahan) pada kulit pasien
(Filshie and White, 1998).
3. Efek Akupunktur Baihui (GV 20) terhadap Aksis HPA
Penjaruman pada titik akupunktur merupakan stimulasi sensorik
khusus yang dapat mengaktifkan reaksi sistem saraf tingkat lokal, regional
(medula spinalis), dan general (otak) (Saputra, 2000). Aktivasi sistem saraf
oleh akupunktur bertujuan untuk menyeimbangkan neurotransmiter dan
neurokimiawi di sistem saraf pusat (Zhou et al., 2008). Beberapa peneliti
melaporkan bahwa konsep kerja rangsang akupunktur ini memiliki kaitan
dengan aktivitas aksis HPA sehingga akupunktur berpotensi untuk
mengatasi gangguan keseimbangan neurotransmiter seperti pada keadaan
stres. Beberapa titik akupunktur yang berpengaruh terhadap aktivitas aksis
HPA antara lain adalah Baihui (GV 20).
Titik Baihui (GV 20) terletak di atas auricula pada garis tengah
kepala, menurut falsafah tradisional, titik Baihui (GV 20) adalah pusat
Ying Yang. Dalam konsep akupunktur medis, titik Baihui (GV 20)
merupakan pusat pembuluh darah otak yang apabila dirangsang
menimbulkan efek terapeutik antara lain untuk meringankan sakit kepala,
struk, dan anxietas (Chuang et al., 2007). Penusukan pada titik Baihui (GV
20) menyebabkan rangsangan terhadap area sensorimotor bilateral, lobus
frontalis superior, dan temporalis superior, thalamus, dan cerebellum serta
area asosiasi temporal-oksipital (Shen et al., 2011). Perangsangan pada
titik Baihui (GV 20) akan melepaskan mediator berupa β-endorfin dan
enkefalin ke dalam cerebrospinal (Han Cui et al., 2001). β-endorfin dan
enkefalin memberikan efek penenang sehingga memberikan rasa rileks
dan menyeimbangkan tingkat emosi (Cho et al., 2008).
β-endorfin yang diinduksi oleh penusukan titik Baihui (GV 20)
juga dilaporkan dapat merekonstruksi kerusakan hipokampus, lobus
frontalis superior, dan temporalis superior pada hewan coba yang
mengalami struk setelah infark cerebral. Rekonstruksi yang terjadi saat
terapi penusukan Baihui (GV 20) ditandai dengan peningkatan ekspresi
mRNA reseptor glukokortikoid (GR) pada hipokampus dan lobus frontalis
superior (You et al., 2010; Cai et al., 2009).
B. Elektroakupunktur
1. Definisi
Beberapa tahun terakhir akupunktur telah berkembang
menggunakan stimulasi listrik, metode ini disebut dengan
elektroakupunktur, dimana jarum yang telah ditusukkan ke titik
akupunktur dihubungkan ke alat elektrik yang berfungsi mengatur
frekuensi dan intensitas gelombang sesuai dengan kebutuhan (Saputra,
2000). Pengaturan gelombang listrik pada elektroakupunktur digunakan
sebagai pengganti stimulasi manual pada akupunktur. Beberapa parameter
yang perlu diperhatikan antara lain: tegangan, kuat arus, frekwensi, dan
jenis gelombang. Pengaturan ini disesuaikan dengan kondisi obyek dan
tujuan terapi yang diinginkan (Filshie and White, 1998).
2. Karakteristik Dasar Efek Elektroakupunktur
a. Elektroakupunktur frekuensi rendah (2-4 Hz)
Elektroakupunktur frekuensi rendah (endorphin-dependent
system) mengakibatkan impuls rangsang yang merangsang nukleus
spinal basal di substansia grisea medula spinalis menghasilkan
endorfin yang akan berikatan dengan reseptor opiat di sel transmisi
nyeri, sehingga terjadi penghambatan presinaptik melalui
penghambatan pelepasan substansi P oleh serabut saraf halus tak
bermielin (Rudy, 1999).
Selain merangsang nukleus spinal basal, elektroakupunktur
frekuensi rendah juga merangsang substansia grisea periakuaduktus
(periaqueductal grey matter) menghasilkan enkefalin yang akan
mengaktifkan nukleus raphe dan nukleus retikular magnoselular
mengirimkan impuls penghambat nyeri ke medula spinalis melalui
jaras kaudal-retikular (descending inhibitory system) (Zhao, 2008).
Jaras kaudal-retikuler yang berasal dari nukleus raphe adalah
serabut serotonergik, sedangkan yang berasal dari nukleus retikular
magnoselular adalah serabut norepinefrinergik. Di medula spinalis
kedua jenis serabut saraf tersebut bersinaps dengan serabut
enkefalinergik yang juga melakukan penghambatan presinaptik
melalui penghambatan pelepasan substansi P oleh serabut saraf halus
tak bermielin. Jalur kedua ini disebut juga acupuncture efferent
pathway (Zhao, 2008).
Perangsangan hipotalamus menghasilkan endorfin yang berikatan
dengan reseptor opiat di substansia grisea periakuaduktus, nukleus
accumbens, amigdala, habenula, termasuk nukleus arcuatus
hipothalami yang dikenal sebagai mesolimbic loop of analgesia
sehingga terjadi central pain relief (Rudy, 1999).
b. Elektroakupunktur frekuensi tinggi (>80 Hz)
Impuls rangsang ini berasal dari medula spinalis secara langsung
merangsang nukleus raphe dan nukleus retikular magnoselular, tanpa
melalui substansia grisea periakuaduktus (serotonin-dependent
system). Perjalanan selanjutnya melalui acupuncture efferent pathway
mengaktifkan analgesia inhibitory system yang terdiri dari nukleus
sentromedian lateralis thalami dan hipotalamus posterior untuk
mensekresi neurotransmiter kolesistokinin. Kolesistokinin merupakan
salah satu antagonis opioid endogen bekerja dengan menduduki
reseptor opiat di substansia grisea periakuaduktus sehingga dapat
mengurangi efektivitas analgesi yang dihasilkannya (Rudy, 1999).
3. Efek Terapi Elektroakupunktur Zusanli (ST 36) terhadap Aksis HPA
Selain Baihui (GV 20), elektroakupunktur Zusanli (ST 36) juga
memiliki potensi terhadap aksis HPA. Lin et al. (1991) menunjukan bahwa
elektroakupunktur frekuensi rendah (2 Hz) Zusanli (ST 36) dapat
mengembalikan fungsi adrenal anjing yang mengalami Iatrogenic
Cushings Syndrome. Oleh karena itu, Zusanli (ST 36) dapat dipilih untuk
memperkuat efek terapi Baihui (GV 20) terhadap stres.
Titik Zusanli (ST 36) terletak pada 3 pembagian rata di bawah
batas bawah patela, pada lateral tepi anterior tulang tibia. Dalam konsep
akupunktur medis, titik Zusanli (ST 36) merupakan titik akupunktur yang
menimbulkan efek terapetik antara lain sebagai antiinflamasi, spasmolitik,
dan analgesik. Penusukan pada titik Zusanli (ST 36) menyebabkan
rangsangan pada spinal, neuron segmen sacral, lumbar, thoracic berlanjut
ke medula oblongata kemudian melalui nukleus motorik nervus vagus,
nukleus traktus solitarius, area post-rema dan mensensitisasi neuron-
neuron otak (Lee et al., 2001).
Perangsangan titik Zusanli (ST 36) berpengaruh pada nukleus
retikuler, nukleus motorik dorsal nervus vagus, nukleus raphe oscurus,
nukleus raphe pallidus, nukleus raphe magnus, nukleus gigantoceluller,
locus coeruleus, parvoceluller PVN, nukleus amigdala, dan nukleus
hipotalamus retrochiasmatic, rangsangan tersebut menstimulasi pelepasan
β-endorfin dan enkefalin (Lee et al., 2001). β-endorfin yang diinduksi oleh
penusukan titik Zusanli (ST 36) dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas
inhibisi aksis HPA saat stress, ditandai dengan peningkatan GABA di
sistem hypothalamic-basal forebrain (HBF) dan habenula (Zhi, 2008).
C. Penelitian Akupunktur dan Elektroakupunktur terhadap Aksis HPA
Pada tahun 2007, Dong Wei et al. melaporkan bahwa
elektroakupunktur pada titik Baihui (GV 20) mampu menurunkan kadar
kortisol dan ACTH dalam serum tikus yang mengalami stres (p<0,05). Hal
senada dilaporkan pula oleh Chang Jiang et al. (2010) yang menggunakan
kombinasi Baihui (GV 20), Zusanli (ST 36), dan Taichong (LR 3) untuk terapi
hewan coba yang stres akibat kelelahan fisik (empty bottle stimulation).
Mereka melaporkan bahwa titik-titik tersebut telah memberikan efek terhadap
aksis HPA yang ditandai dengan menurunnya kadar kortisol (p<0,05), ACTH
dalam serum (p<0,05), dan ekspresi mRNA CRH pada hipotalamus (p<0,05).
Dalam penelitian lain, potensi titik Baihui (GV 20) untuk meregulasi
aksis HPA dikembangkan dengan mengkombinasikannya dengan titik
tertentu. Lee et al. (2009) melaporkan bahwa kombinasi terapi akupunktur
titik Baihui (GV 20) dan Neiguan (PC 6) berhasil menekan sekresi kortisol
dan ACTH pada hewan coba yang stres akibat injeksi kortisol (40 mg/kg, i.p).
Efek perangsangan titik akupunktur tidak hanya menimbulkan efek
pada tingkat seluler tetapi juga pada tingkat molekuler. Cai et al. (2009)
melaporkan bahwa elektroakupunktur pada titik Zusanli (ST 36) dan Quchi
(LI 11) meningkatkan ekspresi mRNA GR pada hipokampus hewan coba yang
stres akibat iskemia cerebri. Peristiwa ini juga ditandai dengan penurunan
ekpresi mRNA CRF (p<0,01) dan mRNA ACTH (p<0,05). Hal senada juga
pernah dilaporkan oleh You et al. (2010).
Konsep paling baik untuk menjelaskan mekanisme perangsangan
akupunktur terhadap disregulasi HPA diterangkan oleh Zhou et al. (2008).
Mereka melaporkan bahwa dalam riset eksperimentalnya menggunakan
hewan coba model stres, ditemukan adanya efek molekuler dari
elektroakupunktur Baihui (GV 20) dan Sanyinjiao (SP 6) terhadap aktivitas
PVN. Dengan menggunakan imunokimia dan in situ hybridization, mereka
melaporkan bahwa perangsangan elektroakupunktur kedua titik tersebut
berhasil menurunkan sekresi CRH (p<0,05) dalam serum dan ekspresi protein
mRNA CRH di PVN (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa perangsangan
elektroakupunktur telah berhasil mengembalikan fungsi HPA.
D. Kebisingan
1. Definisi
Bising didefinisikan sebagai suara atau bunyi yang tidak diinginkan
yang mungkin mempunyai efek merugikan bagi kesehatan individu dan
populasi (Buchari, 2007). Tetapi definisi ini sangat subyektif, definisi lain
tentang kebisingan antara lain (Siswanto et al., 1991):
a. Hirrs dan Ward, bising adalah suara yang kompleks yang mempunyai
sedikit atau bahkan tidak periodik, bentuk gelombang tidak dapat
diikuti atau diprodusir dalam waktu tertentu.
b. Burn, Littler, dan Wall, bising adalah suara yang tidak dikehendaki
kehadirannya oleh yang mendengar dan mengganggu.
c. Menurut permenkes RI no. 718/menkes/per/XI/1987 tentang
kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan, kebisingan adalah
terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki, sehingga menganggu dan
atau membahayakan kesehatan.
2. Klasifikasi Bising
Dalam kehidupan sehari-hari manusia akan mendapati sumber
kebisingan yang terbagi menjadi (Lipscomb, 1978):
a. Steady noise (kontinyu), yaitu bising yang terus menerus dan
intensitasnya relatif tetap untuk periode waktu yang panjang seperti
suara air terjun, bising kapal terbang, turbin, mesin listrik. Bising ini
relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik
berturut-turut.
b. Non-steady noise,
1) Fluctuation noise, yaitu bising yang terus-menerus tetapi
intensitasnya naik turun secara cepat atau lambat sepanjang periode
observasi seperti lalu lintas, televisi, bandara dan radio.
2) Intermittent noise, yaitu bising terus-menerus yang intensitasnya
pada periode tertentu turun begitu rendah sampai tidak terukur
pada level yang tidak membahayakan antara periode-periode
dengan amplitudo tinggi seperti konser rock, gergaji mesin,
pekerjaan bangunan.
3) Impulsive noise seperti tembakan, ledakan, palu memiliki
perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat
dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
4) Repeated ilmpulsive noise, yaitu bising impulsif yang berulang.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat
diklasifikasikan menjadi (Karvanen and Mikheev cite op. Buchari, 2007):
a. Bising yang mengganggu (irritating noise). Intensitasnya tidak terlalu
keras, misalnya berdengkur.
b. Bising yang menutupi (masking noise) merupakan bising yang
menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini
akan membahayakan kesehatan karena teriakan atau isyarat tanda
bahaya dapat tenggelam dalam bising dari sumber lain
c. Bising yang merusak (damaging/injurious noise) adalah bunyi yang
intensitasnya melampaui nilai ambang batas (NAB). Bunyi jenis ini
dapat merusakkan atau menurunkan fungsi pendengaran. Bising dapat
berdampak pada gangguan kesehatan individu.
3. Intensitas Bising
Intensitas merupakan serapan energi gelombang bunyi di udara per
satuan waktu melalui satu satuan luas (Karvanen and Mikheev cite op.
Buchari, 2007). Satuan sistem internasional untuk tingkat intensitas adalah
desibel (dB), 10 desibel = 1 bel (Rosidah, 2003). Telinga manusia secara
rata-rata bisa mendengar bunyi yang memiliki intensitas paling rendah
sekitar 10-12 W/m2 (disebut juga ambang pendengaran), intensitas di bawah
ini tidak bisa didengar). Intensitas yang paling tinggi sekitar 1 W/m2,
disebut juga ambang rasa sakit karena bunyi dengan intensitas sebesar ini
menimbulkan rasa sakit bagi sebagian besar orang (Siswanto et al., 1991).
Intensitas kebisingan dapat diukur melalui cara modern menggunakan
Sound Level Meter (SLM) atau menghitung konvensional menggunakan
rumus (Buchari, 2007):
Li = 10 log (I/Io) dB
Dimana :
Li = Tingkat intensitas bunyi (dB)
I = Intensitas suara/bunyi (watt/m2)
Io = Intensitas ambang pendenganran manusia (10-12 watt/m2)
4. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai ambang batas kebisingan adalah angka dB yang dianggap
aman untuk sebagian besar manusia terutama tenaga kerja bila bekerja 8
jam per hari atau 40 jam per minggu (Siswanto et al., 1991). Menurut The
Workplace and Safety (Noise) Compliance Standar 1995, SL No 381, nilai
ambang batas kebisingan yang diperbolehkan adalah 8 jam terus menerus
pada level tekanan suara 85 dB (A) dengan referensi 20 µPa (NIOSH,
1998). Sedangkan menurut surat edaran Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi, dan Koperasi no. SE-01/MEN/1978, nilai ambang batas
kebisingan di lingkungan dinyatakan sebagai berikut:
Tabel 1. Besar Nilai Ambang Batas Kebisingan di Lingkungan
No Besar Intensitas dalam dB (A) Lama Paparan Per Hari
1 82 16 jam
2 85 8 jam
3 88 4 jam
4 91 2 jam
5 94 1 jam
6 97 30 menit
7 100 15 menit
(Siswanto et al., 1991)
E. Kebisingan dan Stres
1. Hubungan Kebisingan terhadap Aksis HPA dan Stres
Banyak faktor panyebab stres yang diketahui mempunyai dampak
terhadap kesehatan, antara lain: suhu, kelembaban, radiasi, kecepatan
angin, polusi udara, ketersediaan makanan dan minuman, bising,
kepadatan, interaksi interspesies dan penyakit (Supardi, 2002). Kebisingan
merupakan salah satu faktor yang dapat memicu stres fisikpsikobiologik
(Olfe et al., 2010). Paparan bising mengakibatkan stres akut atau kronis.
Sensasi kebisingan akan ditangkap oleh sensor indra pendengaran
dan hipokampus. Apabila hipokampus merespon kebisingan tersebut
sebagai suatu gangguan maka akan terjadi hiperaktivitas sistem ascenden
batang otak, sistem organ circumventricular, dan sistem hypothalamic-
basal forebrain (HBF) yang kemudian memanipulasi aktivitas
parvocellular PVN (Dana et al., 2002). Peningkatan aktivitas akan
meningkatkan ambilan dopamin di neuron pre-sinap sehingga terjadi
polarisasi sistem ascenden batang otak seperti amigdaloid, traktus nucleus
solitarius, dan serotonergic dorsal raphe (López, 1998).
Polarisasi tersebut akan meningkatkan sekresi glutamat sehingga
terjadi sensititsasi cortricothrophin releasing hormone (CRH) di
hipotalamus. Hormon ini akan memasuki sinus kapiler di antara sel-sel
kelenjar dan akhirnya mengalir ke hipofisis anterior melalui pembuluh
darah porta hipotalamus-pituitary. CRH yang masuk ke pituitary
kemudian mensensitisasi sel kortikotropin (basofil) hipofisis anterior
untuk merangsang pembentukan ACTH. Hormon ini disekresikan ke
capillary bed pembuluh darah hipofisis kemudian bersirkulasi ke
pembuluh darah porta hipotalamus-pituitary. ACTH kemudian
bersirkulasi ke zona fasikulata korteks adrenal untuk merangsang
pembentukan hormon kortisol (López, 1998).
Stres yang berulang (kronik) merusak keseimbangan
neurotransmiter di celah sinaptik neuron otak sehingga memicu ekspresi
mRNA NMDAR di hipokampus dan korteks pre-frontalis (Bo Cui et al.,
2009), Keadaan ini ditandai dengan meningkatnya ekspresi corticosteroid
binding globulin (CBG) dalam darah dan brain glucocorticoid receptors
(GR) di beberapa bagian otak, seperti eminensia mediana hipotalamus
anterior, hipokampus, korteks pre-frontalis, dan medial preoptic area.
Peningkatan reseptor glukokortikoid di beberapa bagian otak
menyebabkan kadar kortisol tetap tinggi saat stres (Dana et al., 2002).
2. Perubahan Luas dan Volume Korteks Adrenal saat Kebisingan
Stres setelah pemajanan bising diketahui memicu sekresi hormon
ACTH untuk memproduksi hormon kortisol di zona fasikulata korteks
adrenal. Adanya peningkatan aktivitas aksis HPA menyebabkan
peningkatan kerja zona fasikulata korteks adrenal untuk membentuk
hormon kortisol yang pada akhirnya menyebabkan perubahan tebal, luas,
dan volume korteks adrenal (Monsefi et al., 2006).
Diantara pemajanan bising yang dapat mengakibatkan perubahan
struktural korteks adrenal adalah pemajanan bising dengan intensitas
minimal > 85 dB (Otten et al., 2004; Cheng Zeng and Arizumi, 2007). Hal
ini dibuktikan oleh Kanitz et al. (2005), mereka melaporkan bahwa telah
terjadi peningkatan kadar ACTH, kortisol, corticosteroid binding globulin
(CBG), brain glucocorticoid receptors (bGR), CRH dalam plasma disertai
perubahan morfologi adrenal pada hewan coba yang dipapar bising 90 dB
(A), 2 jam per hari selama 4 minggu. Gesi et al. (2001) juga melaporkan
hal senada, mereka menunjukan bahwa telah terjadi perubahan struktural
kelenjar adrenal hewan coba yang dipapar bising 100 dB (A)
Dalam riset eksperimentalnya, Monsefi et al. (2006) menerangkan
konsep ini lebih jelas. Dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE),
mereka melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan yang signifikan pada
luas dan volume korteks adrenal tikus putih akibat paparan bising dengan
intensitas 100 dB selama 8 jam dalam 30 hari, hal ini menunjukan bahwa
kebisingan adalah salah satu stresor fisikpsikobiologik yang dapat
memanipulasi aktivitas aksis HPA.
IX. Kerangka Pemikiran
feed
back
ne
gati
f
Bising Kronis
Stresfisikpsikobiologik
Keterangan:: Memacu: Memacu (Tidak Diteliti): Menghambat
Lee et al., 2001
Kondisi Lingkungan (Suhu, Radiasi,
Kelembaban, Cuaca)
EA Zusanli (ST 36)
β-endorfin,enkefalin
Baihui (GV 20)
Sensitisasi Batang Otak: locus coeroleus, regio A2, dan nukleus
laterodorsal tegmental
Aktivasi Sistem hypothalamic-basal
forebrain (HBF)
Sensitisasi Parvocelluler PVN
Hipotalamus
Pituitari
ACTH
Korteks Adrenal
CRH
Tebal, Luas dan Volume Korteks
Kortisol
X. Hipotesis
Ada pengaruh akupunktur titik Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur
titik Zusanli (ST 36) terhadap luas korteks adrenal tikus putih (Rattus
norvegicus) terpapar bising intermiten kronik.
XI. Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris dengan
rancangan post-test only control group designs.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA
Sub Biologi dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur wistar yang berumur 1 - 2 bulan dengan berat badan 150 -
200 gram yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas
Gajah Mada subjek diambil secara random.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling dilakukan dengan random sampling. Besar sampel
ditentukan berdasarkan rumus Federer: (k-1) (n-1)>15, dimana k adalah
jumlah kelompok perlakuan, n adalah jumlah tikus putih tiap kelompok.
Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 3, sehingga jumlah
tikus putih tiap kelompok ditentukan 11 ekor.
E. Rancangan Penelitian
Sampel tikus 33 ekor
H IIIK III
H IK I
H IIK IIAnalisis
Data
Keterangan:
K I : Kelompok tikus kontrol
K II : Kelompok terpapar bising tanpa mendapat akupunktur
K III : Kelompok terpapar bising dan mendapat akupunktur
H I : Hasil perhitungan luas korteks adrenal K I
H II : Hasil perhitungan luas korteks adrenal K II
H III : Hasil perhitungan luas korteks adrenal K III
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Akupunktur Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur Zusanli (ST 36).
2. Variabel terikat
Luas korteks adrenal.
3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan: variasi genetik, jenis
kelamin, umur, berat badan, kandang, karakteristik tempat
penelitian, kualitas dan kuantitas makanan tikus semuanya
diseragamkan.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan: kondisi psikologis tikus
diluar paparan bising.
G. Definisi Operasional Penelitian
1. Variabel bebas: Akupunktur Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur
Zusanli (ST 36)
Akupunktur Baihui (GV 20) dan elektroakupunktur Zusanli (ST 36)
adalah penusukan jarum akupunktur pada titik Baihui (GV 20) dan Zusanli
(ST 36). Titik Baihui (GV 20) pada tikus putih terletak pada garis median
di pertengahan tulang vertex sedangkan titik Zusanli (ST 36) terletak di
bawah lateral sendi lutut, 5 mm dibawah kaput fibula kanan dan kiri
(Kiswojo, 2007). Titik diidentifikasi dengan menggunakan acupoint
detector. Kemudian area penusukan dibersihkan dengan menggunakan
kapas alkohol. Jarum pada titik Baihui (GV 20) ditusuk miring ke depan
sedalam 2 mm sedangkan pada titik Zusanli ditusuk tegak lurus sedalam 7
mm kemudian dihubungkan ke elektrostimulator Hwato SDZ-III (Lin et
al., 1991). Skala pengukuran variabel ini adalah skala kategorik.
2. Variabel terikat: Luas korteks adrenal
Luas korteks adrenal adalah hasil pengurangan rata-rata luas adrenal
kanan dan kiri (tanpa kapsul) dengan luas rata-rata medula adrenal kanan
dan kiri. Luas pada preparat dihitung melalui fitur analyze measure setelah
proses cropping pada toolbar polygon crop based color software ImageJ
versi 1.45m terhadap foto preparat kelenjar adrenal. Foto preparat kelenjar
adrenal adalah file .jpg (4288 x 3216 px) hasil pemotretan preparat
kelenjar adrenal dengan menggunakan kamera digital beresolusi 3
Megapixel. Skala software ImageJ versi 1.45m ditentukan sebesar 1
pixel : 0,006944 µm untuk perbesaran mikroskop 40 kali. Skala
pengukuran variabel ini adalah skala numerik.
3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan:
Jenis : tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan
Umur : 1-2 bulan
Suhu : berkisar antara 25-29 derajat ºC
Kelembaban : ±75 mmHg
Berat badan : 150-200 gram
Kandang : ukuran (80 x 60 x 50) cm3
Kualitas dan kuantitas makanan: Makanan yang diberikan berupa
pelet dan minuman air dengan jenis dan cara pemberian yang sama
sebesar 8-25 gram/hari untuk masing-masing tikus dan minuman
15-30 ml per hari.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan: Kondisi psikologis tikus
diluar paparan bising.
H. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat yang digunakan antara lain:
a. Acupoint detector
b. Digital Hygrometer
c. Elektrostimulator merk Hwato SDZ-III
d. Software ImageJ versi 1.45m dan Optilab Transdata Nusantara
e. Jarum akupunktur HuanQiu
f. Kandang tikus ukuran (80 x 60 x 50) cm3
g. Mikroskop cahaya radian dan optilab cam
h. Sirine elektrik 350 Hz dan loud speaker
i. Sound level meter
j. Timbangan torbal
2. Bahan yang digunakan antara lain:
a. Alkohol 70% dan 96%
b. Aquades
c. Blocking solution
d. Formalin Buffer 10%
e. Handscoen dan kapas
f. Larutan HE dan Xylol
I. Cara Kerja
1. Adaptasi hewan coba
Hewan percobaan diadaptasikan di rumah kaca laboratorium sentral
MIPA Biologi UNS selama tujuh hari dengan pemberian makanan dan
minuman secara ad libitum. Makanan yang diberikan sebesar 8-25
gram/hari dan minuman 15-30 ml per hari untuk masing-masing tikus.
Hewan percobaan ditempatkan dalam kandang ukuran (80 x 60 x 50) cm3
dan dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 11
ekor tikus putih dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kelompok Kontrol: Ditempatkan di ruangan lain yang bebas bising.
b. Kelompok Bising: Ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium
Sentral MIPA Biologi UNS, dipersiapkan untuk dipapar bising
intermiten, tikus tidak mendapatkan perlakuan.
c. Kelompok Akupunktur: Ditempatkan di dalam rumah kaca
Laboratorium Sentral MIPA Biologi UNS, dipersiapkan untuk dipapar
bising intermiten dan mendapatkan perlakuan.
2. Paparan Bising
Sumber bising pada penelitian ini adalah sirine elektrik (frekuensi
350 Hz) yang dirakit bersama loud speaker Sanyo. Sirine dan loud speaker
diletakkan sedemikian rupa dengan kelompok paparan sehingga kelompok
bising dan kelompok akupunktur diapit oleh sirine elektrik dengan jarak
tertentu sehingga didapatkan intensitas bising >85 dB selama 10 jam
adapun setting paparan dilakukan secara intermiten (1 jam menyala dan 1
jam mati) (Otten et al., 2004; Cheng Zeng and Arizumi, 2007). Paparan
dilakukan selambat-lambatnya mulai pukul 07.30. Selama paparan,
kelembaban dan suhu diukur menggunakan digital hygrometer.
3. Akupunktur dan Elektroakupunktur
Perlakuan akupunktur pada subjek penelitian yaitu dengan cara
menusukkan jarum akupunktur yang terbuat dari perak pada titik Baihui
(GV 20) dan dua titik Zusanli (ST 36). Titik akupunktur diidentifikasi
dengan menggunakan acupoint detector. Setelah diidentifikasi, area
penusukan dibersihkan dengan menggunakan kapas alkohol. Titik Baihui
(GV 20) ditusuk dengan jarum akupunktur Huan Qiu ukuran 0.18 x 7 mm,
jarum ditusukan miring ke belakang sedalam 2 mm selama 15 menit
sedangkan pada titik Zusanli ditusuk dengan jarum Huan Qiu ukuran 0.20
x 13 mm, jarum ditusukan tegak lurus sedalam 7 mm kemudian
dihubungkan ke elektrostimulator Hwato SDZ-III dengan rangsangan
gelombang kontinyu frekuensi 2 Hz selama 15 menit sampai timbul
kontraksi otot. Perlakuan ini dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu.
(Lin et al., 1991).
4. Pembuatan Preparat
Pada hari ke-30, tikus dikorbankan dengan cara neck dislocation.
Setiap tikus diambil kelenjar adrenal kanan dan kiri kemudian diawetkan
dalam formalin buffer 10% untuk dikirim ke Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM). Masing-
masing kelenjar adrenal kanan dan kiri kemudian dibuat blok paraffin.
Blok kelenjar adrenal dibuat 1 irisan secara frontal di bagian pertengahan
dengan menggunakan mikrotom digital dan dipotong setebal ±7-10 µm
yang kemudian dicat dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE)
(Monsefi et al., 2006).
5. Pengamatan dan Dokumentasi Preparat
Pengamatan preparat kelenjar adrenal dilakukan dengan mikroskop
cahaya yang dirakit bersama optilab viewer dan kamera digital setajam 3
Megapixel. Mula-mula irisan diamati dengan perbesaran 40 kali untuk
menentukan letak daerah pengamatan. Setelah mendapatkan area
pengamatan maka dilakukan proses dokumentasi menggunakan kamera
digital 3 Megapixel. Foto hasil preparat kemudian disimpan dalam format
.jpg dengan ukuran sebesar 4288 x 3216 pixel.
6. Menghitung Luas Korteks Adrenal
File .jpg hasil dokumentasi kemudian diintegrasikan ke dalam
software ImageJ versi 1.45m melalui toolbar open file. Kemudian daerah
yang akan dihitung luasnya di-crop melalui panel polygon crop based
color yaitu menu khusus untuk membuat bentuk crop gambar berdasarkan
derajat warna (Rasband, 2011). Setelah proses crop selesai maka
dilakukan pengukuran luas melalui toolbar analyze measure. Besar skala
pixel ditentukan melalui kompilasi kalibrasi software Image Raster dan
ImageJ versi 1.45m sebesar 1 pixel : 0,006944 µm. Langkah diatas
diulang untuk mengukur luas medula adrenal. Luas korteks adalah hasil
dari pengurangan luas adrenal (tanpa kapsul) dengan luas medula adrenal.
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan diuji menggunakan uji statistik One-Way
ANOVA (α = 0,05). Jika terdapat perbedaan yang bermakna, maka dilanjutkan
dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) (α = 0,05). Apabila data
tidak memenuhi syarat maka digunakan uji alternative Kruskal-Wallis (α =
0,05). Jika terdapat perbedaan yang bermakna, maka dilanjutkan denga uji
Post Hoc Multiple Comparisons (Mann-Whitney) (α = 0,05). Data diolah
dengan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution)
17.0 for Windows.
XII. Jadwal Penelitian
Jadwal Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan
- Alat
- Bahan
- Laboratorium
Adaptasi Tikus
Pelaksanaan
- Pemaparan Bising
- Terapi Akupunktur
- Pembuatan Preparat
Analisis Data dan Laporan
XIII. Daftar Pustaka
Babisch W. 2003. Stress hormones in the research on cardiovascular effects of
noise. Noise Health. 5: 1-11.
Bachove S.P. 2004. Stress, Depression, and Behavior: A Perspective on
Psychoneuroimmunology. Psychosomatic Medicine. 57: 105-115.
Bedanova I., Chloupek J., Chloupek P., Knotkova Z., Voslarova E., Pistekova
V., Vecerek V. 2010. Responses of peripheral blood leukocytes to
chronic intermittent noise exposure in broilers. Berl Munch Tierarztl
Wochenschr. May-Jun: 123(5-6): 186-91.
Bo Cui, Mingquan Wu, Xiaojun She. 2009. Effect of Chronic Noise Exposure
on Spatial Learning and Memory of Rats in Relation to
Neurotransmitters and NMDAR2B Alteration in the Hippocampus. J
Occup Health. 51: 152-158.
Buchari. 2007. Kebisingan industri dan hearing conservation program.
Proseding USU Repository e-Book. Medan: digilib USU repository e-
Book. Pp 4-5.
Cai Y.Y., Liu Z.S., Wang S., Wang Q.F., Cui X.M., Qu L. 2009. Influence of
electroacupuncture of meridian acupoints on the related hormones of
the hypothalamus-pituitary-adrenal axis in rats with cerebral ischemia
reperfusion injury. Zhen Ci Yan Jiu. Oct 34 (5): 297-303.
Chang Jiang, Kun, Jing, Bai Lu. 2010. Experimental Research of Effects of
Acupuncture on the HPA Axis of Chronic Fatigue Rats Induced by
Multiple Stress Factors. Journal of Beijing University of Traditional
Chinese Medicine. 2010: 97.
Cheng Zheng K., Arizumi M., 2007. Modulation of immune functions and
oxidative status induced by noise stress. Journal of Occupational
Health. Pp: 33-36.
Cho Z.H., Hwang S.C., Wong E.K., Son Y.D., Kang C.K., Park T.S., Bai S.J. et
al. 2008. Neural substrates, experimental evidences and functional
hypothesis of acupuncture mechanisms. Acta Neurol Scand. Jun; 113
(6): 370-377.
Chuang C.M, Hsieh C.L, Tsai-Chung L., Jaung-Geng L. 2007. Acupuncture
Stimulation at Baihui Acupoint Reduced Cerebral Infarct and
Increased Dopamine Levels in Chronic Cerebral Hypoperfusion and
Ischemia-Reperfusion Injured Sprague-Dawley Rats. The American
Journal of Chinese Medicine. 35(5): 779-791.
Dana R., Ziegler, Herman J.P. 2002. Neurocircuitry of Stress Integration:
Anatomical Pathways Regulating the Hypothalamo-Pituitary-
Adrenocortical Axis of the Rat. Integ. and comp.biol. 42: 541-551.
Deni S., Maria C.P., Kartini M. 2007. Kajian Penerapan Ekologi Industri di
Indonesia. Proseding Seminar Nasional III: SDM Teknologi Nuklir.
Yogyakarta: Pp 1-5.
Dong Wei S., Long W., Zhong Ren S. 2007. Influence of acupuncture on HPA
axis in a rat model of chronic stress-induced depression. Journal of
Acupuncture and Tuina Science. 5(4): 205-208.
Gary W.E., Monika B., and Staffan H. 1998. Chronic noise exposure and
physiological response: a prospective study of children living under
environmental stress. American Psychological Society. 9: 75-77.
Gesi M., Fornai F., Lenzi P., Natale G., Soldani P., and Paparelli A. 2001.
Time-Dependent Changes in Adrenal Cortex Ultrastructure and
Corticosterone Levels after Noise Exposure in Male Rats. European
Journal of Morphology. 39(3): 129-135.
Han Cui, Li Xiaohong, Li Xuewu, et al. 2001. Effects of Puncturing the
Acupoints of Baihui and Sanyinjiao by Electric Needles on the HPA
Axis in the Rat Chronic Stress-induced Depression Model. Journal of
Beijing University of Traditional Chinese Medicine. 2001: 03
Herman J.P. and Cullinan W.E. 1997. Neurocircuitry of stress: Central control
of the hypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. TINS. 20: 78–83.
Hoediono. 2005. Hubungan titik akupunktur dan saraf. Meridian PAKSI DPD
Jawa Timur. XII(1): 31-32.
Huang Y.N., Hand P.J. 2004. Pituitary functional image pattern associated
with the mechanism of the tsu-san-li electroacupuncture produced
analgesia in rats: A 14 C-2dg Study. J Chin Med. 15(3): 199-217.
Kanitz E., Ottenand W., Tuchscherer M. 2005. Central and peripheral effects
of repeated noise stress on hypothalamic-pituitary-adrenocortical axis
in pigs. Livestock Production Science. 94(3): 213-224.
Karvanen M., dan Mikheev M.I., 1986. Epidemiology of Occupational Health.
Europe: WHO Regional Publication. Pp: 27-29
Kiswojo. 2007. Pengetahuan Dasar Akupunktur. Jakarta: Penerbit
Akupunktur Indonesia.
Lee B., Shim I., Lee H.J., Yang Y., Hahm D.H. 2009. Effects of acupuncture on
chronic corticosterone-induced depression-like behavior and
expression of neuropeptide Y in the rats. Neurosci Lett Apr 10. 453(3):
151-156.
Lee C.H., Jung H.S., Lee T.Y., Lee S.R., Yuk S.W., Lee K.G., Lee B.H. 2001.
Studies of the central neural pathways to the stomach and Zusanli
(ST36). Am J Chin Med. 29(2): 211-220.
Lin J.H., Su H.L., Chang S.H., Shien Y.S., Wu L.S. 2001. Treatment of
iatrogenic Cushing's syndrome in dogs with electroacupuncture
stimulation of stomach 36. Am J Chin Med. 19(1): 9-15.
Lipscomb. 1978. Noise and audiology. Baltimore: University Park Press
Baltimore.
López J.F. 1998. Stress, Serotonin Receptors, and the Neurobiology of
Depression. http://www.cyberounds.com/Depression.html.
Lundberg U. Coping with stress: neuroendocrine reactions and implications
for health. Noise Health. 1(4): 67-74.
Monsefi M., Bahoddini A., Nazemi S., Dehghani G.A. 2006. Effects of Noise
Exposure on the Volume of Adrenal Gland and Serum Levels of
Cortisol in Rat. Iran J Med Sci March. 31(1): 5-9.
National Institute for Occupational Safety and Health. 1998. Occupational
Noise Exposure. Cincinnati: NIOSH.
Olfe J., Domanska G., Schuett C., Kiank C. 2010. Different stress-related
phenotypes of BALB/c mice from in-house or vendor: alterations of
the sympathetic and HPA axis responsiveness. BMC Physiology. 10: 2-
4.
Otten W., Kanitz E., Puppe B., Tuchscherer M., Brüssow K.P., Nürnberg G.,
Stabenow B. 2004. Acute and long term effects of chronic intermittent
noise stress on hypothalamic-pituitary-adrenocortical and sympatho-
adrenomedullary axis in pigs. Animal Science. 78: 271-283.
Peter M., Rabinowitz M.D. 2000. Noise-Induced Hearing Loss. Am Fam
Physician. 61: 2749-2756.
Rosidah. 2003. Studi Kejadian Hipertensi Akibat Bising pada Wanita yang
Tinggal di Sekitar Lintasan Kereta Api di Kota Semarang. Universitas
Diponegoro Semarang. Tesis.
Rudy K. 1999. Akupunktur Analgesi. Cermin Dunia Kedokteran. 123: 39-44.
Saputra K. 2000. Konsep Tradisional Akupunktur dalam Akupunktur dalam
Pendekatan Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Pp. 3-5.
Seidman M.D., Standring R.T. 2010. Noise and Quality of Life. Int. J.
Environ. Res. Public Health. 7: 3730-3738.
Siswanto et al. 1991. Kebisingan. Balai Hiperkes dan KK Jawa Timur. Pp: 3-
8.
Stansfeld S.A., Berglund B., Clark C. 2005. RANCH study team : Aircraft and
road traffic and chlidren’s cognitions and health: A cross national
study. Lancet. 363: 1942-9.
Stefan K.W, Karl W., Martina S., Thomas K. 2006. Noise burden and the risk
of myocardial infarction. European Heart Journal. 27: 276–282.
Supardi. 2002. Physiological and Behavioural to Hot of Goat Born in Cold
Environment. http://www.jvetnud.com/25466/3450/html (24 Maret
2011)
Su Jin Y., Hi-Joon P., Mi-Jung Y., Dae-Hyun H., Hye-Jung L., Eunjoo H.L.
2002. Effect of electroacupuncture on the stress-induced changes in
brain-derived neurotrophic factor expression in rat hippocampus.
Neuroscience Letters. 318: 85–88.
You W., Shi Y.J, Han Y.J., Jia B.H. Tu Y. 2010. Effect of electroacupuncture
of “Baihui” (GV 20)-“Yintang” (EX-HN 3) on the expression of
glucocorticoid and glucocorticoid receptor mRNA of the chronic stress
model rats. Zhen Ci Yan Jiu. 4: 261-266.
Zhao ZQ. 2008. Neural mechanism underlying acupuncture analgesia.
Progress in Neurobiology. 85: 355–375.
top related