sayyid ibrahim baabud dan perjuangannya di...
Post on 07-Feb-2021
25 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN
PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Humaniora
Oleh :
Reno Saputra Siregar
216-14-002
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
MOTTO
Bercengkrama dengan Budaya, Bersahabat dengan Tradisi, Berterimaksih dengan
Sejarah. Konsepnya sederhana, Bersikap, bertingkah, berusaha sealakadarnya
mungkin.
-
v
ABSTRAK
Wonosobo pada akhir abad ke 19 merupakan wilayah yang dihuni oleh
masyarakat yang masih menganut tradisi lokal. Hal ini mengindikasikan eksistensi
para tokoh-tokoh (ulama) dalam menyebarkan Islam di Wonosobo dengan
menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Hal ini sesuai dengan kesamaan nilai-
nilai yang ada di dalam tarekat dengan tradisi lokal yang di anut oleh masyarakat.
Sayyid Hasyim Baabud merupakan tokoh yang meyebarkan Islam di Wonosobo
menggunakan pendekatan tarekat Alawiyah dan Shatoriyah. Sayyid Hasyim
Baabud mengajarkan amalan-amalan tarekat seperti dzikir dan wirid yang
kemudian dierima dan diamalkan oleh masyarakat Wonosobo. Setelah Sayyid
Hasyim Baabud wafat kemudian pengembangan Islam melalui tarekat dilanjutkan
oleh cucunya yaitu Sayyid Ibrahim Baabud. Sayyid Ibrahim Baabud melakukan
perluasan dakwah hingga ke daerah pedalaman Wonosobo dan berhasil membawa
pengaruh besar di dalam masyarakat. Hingga awal abad ke 20 Wonosobo
merupakan daerah dengan basis tarekatnya yang kuat dimana sebelumnya
masyarakat masih menganut tradisi lokal (kejawen). Kemudian Sayyid ibrahim
Baabud kembali hadir sebagai pembeda pada tahun 1920-an. Ini ditandai dengan
masuknya pengaruh modernisme dari bangsa kolonial dimana sayyid Ibrahim
baabud memperbaharui model dakwahnya dengan mengkolaborasikan tarekat
dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lebih toleran.
Dalam hal ini penulis menelusuri sumber kepada Habib Aqil yang
merupakan cucu Sayyid Ibrahim Baabud. Habib Aqil menceritakan tentang
kondisi Islam akhir abad 19 hingga awal abad ke 20 di Wonosobo, biografi
Sayyid Ibrahim Baabud, serta dakwah Sayyid Ibrahim Baabud hingga akhir dari
peran Sayyid ibrahim Baabud itu sendiri. Kemudian Habib Aqil menunjukkan
Sanad Tarekat Alawiyah serta kitab Minhajul Mubin tulisan tangan Sayyid
Ibrahim baabud yang di simpan oleh Ahmad Muzan (Sejarawan lokal wonosobo).
Naskah tersebut menjelaskan tentang model dakwah yang dilakukan Sayyid
Ibrahim Baabud dengan mengajarkan dzikir, wirid dan fikih. Disamping itu juga
ditemukan dokumen Kartu Tanda NU atas nama Muhammad Saiddun dengan
nomor anggota 1526 yang di tandatangani oleh Sayyid Ibrahim Baabud. Ini
mengindikasikan bahwa pada saat itu anggota NU sudah berjumlah ribuan
anggota.
Dengan adanya bukti-bukti diatas dapat disimpulkan bahwa Sayyid
Ibrahim Baabud merupakan seorang tokoh pengembang Islam dengan pendekatan
dakwah yang cukup menarik, yaitu dengan menjadikan masyarakat Wonosobo
sebagai masyarakat Islam yang berbasis tarekat pada akhir abad ke-19 serta
mengkolaborasikan tarekat dengan organisasi NU pada awal abad ke 20 dengan
menjadikan masyarakat yang awalnya bersifat fanatik menjadi masyarakat yang
lebih toleran.
-
vi
ABSTRACT
Wonosobo at the last 19th
century is a region who lived by society who
still believed local tradition. This way indicated existence of figures (ulama) about
spread Islam in Wonosobo with using Sufism approach (tarekat). This way had
values similarity about tarekat and local tradition who believed by Wonosobo
society. Sayyid Hasyim Baabud is a figure that spread islam in Wonosobo using
approach Alawiyah and Shatoriyah tarekat. Sayyid Hasyim Ibrahim teach tarekat
deeds like dzikir and wirid which then accepted and practiced by Wonosobo
society. After Sayyid Hasyim Baabud was die then Islam development using
tarekat continued by his grandchild that is Sayyin Ibrahim Baabud. Sayyid
Ibrahim Baabud did extension religion missionary until outlying place area in
Wonosobo and succeed make big influence in society. Until fist 20th
century
Wonosobo is the strongest area with tarekat basis which is before being a society
who believed about local tradition (kejawen). Then Sayyid Ibrahim Baabud came
back to distinguishment in 1920. This marked by come in modernism influence
from colonialism people which Sayyid Ibrahim Baabud reorganize his religion
missionary method with collaborated tarekat with Nahdlatul Ulama organization
that more tolerate.
In this case, writer did a research source by Habib Aqil that is Sayyid
Ibrahim Baabud grandchild. Habib Aqil told about Islma condition at last 19th
century until first 20th
century in Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud biography,
and also religion missionary‟s Sayyid Ibrahim Baabud until end of the role Sayyid
Ibrahim Baabud itself. Then Habib Aqil showed Sanad Tarekat Alawiyah and
Minhajul Mubin holy book who was hand written by Sayyid Ibrahim Baabud that
saved by Ahmad Muzan (Local Historian Wonosobo). That manuscript explained
about religion missionary method of Sayyid Ibrahim Baabud was did with teach
about dzikir, wirid, and fiqh. In addition that is founded Card Document NU‟s
mark too on behalf of the Muhammad Saiddun with number of member 1526 who
signed by Sayyid Ibrahim Baabud. That indicated in that time, NU member is
until thousand members.
With all of the prove above can conclude that Sayyid Ibrahim Baabud is a
development Islamic figure with interested religion missionary approach, that is
make society of Wonosobo became Islamic society that tarekat basis at last 19th
century and also collaborated tarekat with NU organization at first 20th
century
with make society who firstly had a fanatic believed became tolerance society.
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, karunia, dan kehendaknya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat dan salam senantiasa penulis panjatkan pada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah menyampakan hidayah kepada kita semua yang
senantiasa kita nantikan syafaatnya di yaumil kiyamah amin.
Skripsi ini ditulis untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora dari jurusan
Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora IAIN
Salatiga. Proses penyusunannya telah melibatkan banyak pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Pertama-tama rasa terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Benny
Ridwan, M.Hum selaku Dekan Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora, Bapak
Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam
dan selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak masukan kepada
penulis, Bapak Dr. Sidqon Maesur, Lc., MA. Selaku pembimbing Skripsi yang
banyak memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini sehingga
-
viii
membuat skripsi ini menjadi lebih baik, serta seluruh staf pengajar Jurusan
Sejarah Peradaban Islam yang telah memberi ilmu pengetahuan selama kuliah,
walaupun namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semua
ilmu yang didapat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak
Raja Luat Siregar dan Ibu Sariyati Siregar yang tanpa lelah telah mendidik dan
membimbing selama bertahun-tahun, dan terus memberi motivasi kepada penulis
serta selalu sabar menanti keberhasilan penulis. Tak lupa kepada keluarga besar
Bani Jaswandi yang selalu memberikan dukungan dari awal penulis aktif
bersekolah hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berterima kasih kepada Habib Aqil Baabud, KH Alim, Bapak
Ahmad Muzan, yang telah memberikan banyak informasi sehingga penelitian ini
dapat terselesaikan dengan baik.
penulis berterimakasih pula kepada semua teman-teman Jurusan Sejarah
Peradaban Islam, teman-teman Keluarga Mahasiswa Wonosobo (KMW) Salatiga,
teman-teman seperjuangan alumni MAN Wonosobo yang telah memberikan
semangatnya untuk penulis dalam menyusun laporan penelitian skripsi ini. Serta
semua pihak yang bersangkutan yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu
yang telah membantu dari segi moril materil demi kelancaran penyelesaian
laporan penelitian skripsi ini.
-
ix
Semoga mereka terbalaskan semua jasa-jasanya dengan balasan yang lebih
baik lagi. Jazakumullah khoirunahsanajaza. Penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat khususnya bagi saya selaku penulis serta penyusun, dan umumnya
bagi para pembaca.
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………....... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………............................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………...... iii
HALAMAN MOTTO …………………………………………………………... iv
ABSTRAK …………………………………………………………………......... v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..... vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………...…......... x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………........ xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….……... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ………………………………………….….... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………………………....... 9
D. Kajian Pustaka ……………………………………………………………....... 9
E. Kerangka Konseptual ……………………………………………………....... 12
F. Metode Penelitian …………………………………………………..…......... 14
G. Sistematika Penulisan ………………………………………………..….…... 19
BAB II : ISLAM DI WONOSOBO
A. Gambaran umum Masyarakat Wonosobo sampai abad ke-19 ..……….. 22
B. Jenjaring Ulama di Wonosobo ......……………………………………... 24
C. Tarekat Alawiyah dan Shatoriyah sebagai media pengembangan Islam di Wonosobo .................................................................................. 30
BAB III: BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD
A. Latar Keluarga …………………………………………………….…..... 37
B. Riwayat Pendidikan …………………………………………………...... 42
C. Geneologi Keilmuan ……….…...…………………………………......... 45
D. Pemikiran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Politik dan
Dakwah Islam .......................................................................................... 46
BAB IV : SAYYID IBRAHIM BAABUD DALAM PERJUANGAN AGAMA
DAN POLITIK DI WONOSOBO
A. Perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Sosial
Keagamaan di Wonosobo.......................................................................... 50
1. Dakwah Islam melalui Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah ............... 50
-
xi
2. Perjuangan Sosial keagamaan Sayyid Ibrahim baabud
melalui NU ........................................................................................ 53
B. Sayyid brahim Baabud dalam perjuangan politik..................................... 60
1. Perjuangan Politik melalui NU .......................................................... 60
2. Perlawanan Sayyid Ibrahim Baabud terhadap pemerintah
Jepang ................................................................................................ 55
C. Sayyid Ibrahim Baabud dan perlawanan Jepang di Wonosobo ............... 64
BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 69
A. Kesimpulan .............................................................................................. 69
B. Saran ........................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………....…....……….... 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
-
xii
DAFTAR LAMPIRAN
NO Lampiran Foto
1 LAMPIRAN 1 Makam keluarga Sayyid Ibrahim Baabud
Longkrang Wonosobo
2 LAMPIRAN 2 Makam Sayyid Ibrahim Baabud Longkrang
Wonosobo
3 LAMPIRAN 3 Sayyid Ibrahim Baabud beserta keluarga
4 LAMPIRAN 4 Foto Sayyid Ibrahim Baabud
5 LAMPIRAN 5 Lukisan Sayyid Zaini Dahlan
6 LAMPIRAN 6 Sanad Tarekat Allawiyah
7 LAMPIRAN 7 Kitab Minhajul Mubin
8 LAMPIRAN 8 Kantor NU Cabang Wonosobo
9 LAMPIRAN 9 Kartu tanda NU atas nama Muhammad Sa‟iddun
dengan nomor anggota 1526
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ulama merupakan sosok penting yang mewarnai perkembangan sosial
keagamaan di Indonesia. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Peran sentral dari para ulama ini
mempengaruhi corak penyebaran Islam di wilayah negara dengan mayoritas
muslim terbesar di dunia. Hal tersebut dapat di lihat dari beragamnya saluran
penyebaran Islam yang dilakukan oleh para ulama seperti perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.1 Dari beragamnya saluran
penyebaran yang dilakukan oleh para ulama, tasawuf merupakan salah satu
saluran penyebaran Islam yang cukup dominan. Pengajar-pengajar tasawuf, atau
para sufi mengajarkan teosofi bercampur dengan ajaran Islam yang sudah dikenal
luas oleh masyarakat. Dengan tasawuf, ”bentuk” Islam yang diajarkan kepada
penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam fikiran mereka yang
sebelumnya menganut ajaran yang diwarnai Hindu, sehingga ajaran baru mudah
dimengerti dan diterima.2
Wonosobo merupakan sebuah daerah di pedalaman Jawa Tengah yang
terletak di pegunungan Dieng. Wonosobo dan umumnya pegunungan Dieng
1 Mahdi Fadlullah. 1991. Titik temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Qutub), cet
I(Surakarta:Ramadhani) Hal 7. 2Fatah Syukur. 2011. Sejarah Peradaban Islam, cet III, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra),
hal183.
-
2
merupakan bagian pedalaman Jawa yang pada masa lalu mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan
Hindu Budha seperti candi dan beberapa situs peninggalan agama Hindu Budha
lainnya. Di samping peninggalan fisik, beberapa ajarannya sebagian kini masih
dianut oleh pemeluknya, dan juga dalam praktek kehidupan sosial masih terdapat
tradisi peninggalan Hindu-Buddha yang kemudian diisi dengan ajaran-ajaran
keislaman.3
Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai pengembangan Islam di
Wonosobo adalah temuan Islam kuno yang memiliki prasasti di komplek
pemakaman desa Ketinggring, kecamatan Wonosobo. Sejumlah makam
berprasasti telah menunjukkan nama para ulama (penyebar agama Islam) yang
pernah tinggal dan melakukan kegiatan keagamaan di Wonosobo. Menurut babad
yang ditulis pada masa Mataram Islam daerah yang sekarang menjadi Wonosobo
dulu disebut daerah Ledok yang termasuk daerah bawahan Majapahit. Bersamaan
dengan runtuhnya Majapahit daerah ini kemungkinan sudah menjadi area
Islamisasi oleh para wali pada abad ke-16 M. Menurut tradisi lisan masyarakat
Wonosobo sendiri, awal mula berdirinya Wonosobo berhubungan erat dengan tiga
orang Kyai penyebar Islam yaitu Kyai Walik, Kyai Kolodete dan Kyai Karim.4
Pada awal abad ke-18 M Islam sudah berkembang di Ledok (Wonosobo).
Kemudian kesultanan Mataram Islam mengutus Kyai Asmoro Sufi dan Kyai
Asmoro Gati untuk mengembangkan Islam di Wonosobo. Kyai Asmoro Sufi
3Di antaranya adalah tradisi cukur rambut anak-anak yang berambut gimbal di daerah pegunungan
Dieng. 4Kusnin Asa DKK. 2008. Sejarah Wonosobo, cet I (Wonosobo: Pemerintah Kabupaten Wonosobo
dengan Puslitbang Arkeologi Nasional), Hal 165-168.
-
3
meminta izin kepada para bupati-bupati untuk mengembangkan Islam di
Wonosobo. Setelah mendapat izin akhirnya Kyai Asmoro Sufi aktif
mengembangkan Islam di Wonosobo bahkan sampai dinikahkan dengan putri dari
Tumenggung Wiroduto, yang tinggal di Kali Lusi. Beliau menjadi ulama terkenal,
mengajarkan Islam dan mendirikan masjid di Bendosari, Sapuran Wonosobo. Dari
Kyai Asmoro Sufi pengembangan Islam dilanjutkan oleh putranya yang dikenal
debagai Kyai Ali Markamah sampai tahun 1750 M. Setelah Kyai Ali Markamah
wafat kemudian dlanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Syukur Saleh
sampai tahun 1775 M. Keduanya masih menetap di Bendosari, Sapuran,
Wonosobo. Pada tahun 1800-an M atau awal abad ke-19 M ada beberapa ulama
pengembang Islam di Wonosobo yaitu Kyai Mansyur (di sekitar Wonosobo),
Kyai Haji Abdul Fatah (di Segedong), dan Kyai Ahmad Ansor (di Leksono). Para
Kyai tersebut selain mendirikan masjid juga mendirikan pondok pesantren di
daerah tempat tinggalnya. Para Kyai tersebut merupakan keturunan dari Kyai
Markamah yang kemudian saling menjalin hubungan pernikahan dengan putra
dan putri para Kyai lainnya. Kemudian mereka mendirikan pondok pesantren
sendiri dan mengembangkan Islam di tempat tinggalnya masing-masing. Daerah
ini (Wonosobo) hingga awal abad ke-19 masih menjadi objek penyebaran Islam
melalui saluran tarekat.5 Pengaruh tarekat dalam proses pengembangan Islam di
Wonosobo begitu dominan, Dengan masyarakat yang semula beragama Hindu
dan Budha, pada perkembangannya kemudian Wonosobo menjadi daerah
5Dalam tasawuf Islam, Thariqah adalah jalan tertentu bagi seorang sufi untuk mendekatkan diri
seorang hamba kepada Allah SWT. Setiap karakter sufi berkembang dan mengikuti jalannya
sendiri. Oleh karena itu tarekat bukan hanya satu jenis, namun terbagi dalam beberapa madzhab-
madzhab dalam tasawuf. (Kusnin dkk, (2008): Hal. 168)
-
4
mayoritas Muslim dengan tradisi Islam yang kuat.6 Hal ini tidak lepas dari peran
para sayyid Hadhramaut, di antaranya Sayyid Ibrahim Ba'bud.7
Penyebaran Islam melalui jalur tasawuf, salah satunya ditandai dengan
ditemukannya makam Sayyid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba‟abud di
Wonosobo. Sebenarnya siapakah Sayyid Hasyim? Tokoh yang berasal dari
Hadramaut tersebut merupakan kawan baik keluarga Bin Yahya.8 Mereka datang
ke Nusantarapada abad ke-17 dengan tujuan menyebarkan agama Islam.
Keduanya tiba di Batang, kemudian menyebarkan agama di setiap tempat yang
disinggahi. Dari Batang, lantas dilanjutkan ke daerah selatan pegunungan Dieng
yang waktu itu merupakan pemukiman masyarakat Hindu Budha.Kemudian turun
ke wilayah selatan yang sekarang disebut Wonosobo. Wilayah ini dijadikan
sebagai tempat tinggal sekaligus pusat penyebaran agama Islam. Mereka
membangun langgar sebagai cikal bakal masjid9 yang nantinya menjadi tempat
pengajaran agama Islam di Wonosobo. “Dalam dakwahnya, Sayyid Hasyim
menggunakan prinsip yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dengan ilmu,
tutur kata dan perilaku yang baik, sehingga memikat hati masyarakat untuk
mengikuti ajarannya,”ungkap Habib Aqil yang masih keturunan Sayyid Hasyim”.
Sayyid Hasyim memiliki 3 anak yaitu Ali, Syeh dan Hamzah. Ketiganya
6Pada awal abad Islam, sufisme atau tarekat belum diketahui dan bukan gerakan terorganisir di
sekolah-sekolah tertentu. Namun berabad-abad kemudian, ajaran sufi dan contoh kehidupan
pribadi mulai menarik perhatian banyak orang di masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, tarekat
dengan berbagai organisasinya memasuki Wonosobo membawa kedamaian tersendiri kepada
komunitas Hindu dan Budha sebagai objek dakwah Islam. 7Wawancara dengan Ahmad Muzan (Sejarawan Wonosobo) pada tanggal 17 Juli 2017 di
Wonosobo. 8Keluarga Bin Yahya merupakan kalangan ulama yang berasal dari Hadramaut (Yaman).Keluarga
Bin Yahya menetap dan menyebarkan Islam melalui jalur tasawuf di kawasan pantai utara Jawa
(Batang, Pekalongan, dan Kendal). 9Masjid Al-Mansyur, Kauman, Wonosobo.
-
5
menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Ali menurunkan 3
anak yakni, Ibrahim, Umar dan Muhamad. Ibrahim inilah yang kelak memberikan
pengaruh besar dalam pengembangan Islam di Wonosobo. Ibrahim bin Ali
Baabud dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama di Wonosobo.10
Pada permulaan abad ke-20, masyarakat Wonosobo merupakan penganut
ajaran Islam yang sinkretis. Artinya dominasi adat istiadat serta budaya masih
sangat kental dalam kehidupan sosial keagamaan di Wonosobo. Sebagian dari
mereka masih menganut warisan leluhur dari kepercayaan animisme yang telah
lama berkembang di Wonosobo. Bukan hanya itu, unsur kejawen11
juga masih
dominan dalam aktifitas keagamaan masyarakat Wonosobo pada umumnya.
Dalam praktiknya, aktifitas ini dilakukan dengan cara membakar kemenyan,
menyerahkan sesaji terhadap benda-benda yang diangggap sakral, seperti pohon,
makam, dan lain sebagainya.12
Semenjak kecil Sayyid Ibrahim Baabud sudah mulai dikenalkan dengan
Ilmu keislaman, termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Disamping mendapatkan ilmu
agama dari orangtua serta para ulama Wonosobo, beliau juga berguru kepada
sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib Alattas
Pekalongan.Beliau pergi ke daerah Pekalongan bersama KH Hasbullah dengan
berjalan menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang hendak
10
Wawancara denga Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo) pada tanggal 17 Juli 2017, di
Wonosobo. 11
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang dianut di pulauJawa. Kejawen hakikatnya adalah
suatu filsafat dimana keberadaannya itu ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat
dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada
zamannya. 12
Ahmad Muzan. 2009. Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, (Wonosobo: Pustaka
Alfa), Hal 23
-
6
dihadiahkan kepada guru sekaligus sahabatnya tersebut. Di Pekalongan beliau
juga berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya, kakek dari Rais Aam Jam'iyyah
Ahlu ath-Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya. Selain
itu beliau juga memperdalam ilmunya dengan belajar fikih kepada Syekh Kholil
Bangkalan yang merupakan ulama terkemuka pada awal abad ke-20. tidak jauh
berbeda dengan ayahnya (Sayyid Ali bin Hasyim Baabud) yang juga menuntut
ilmu di Makkah, Sayyid Ibrahim Baabud juga belajar di Makkah. Ia berguru
kepada Sayyid Zaini Dahlan serta Syekh Nawawi Al Bantani yang merupakan
ulama terkemuka pada akhir abad ke-19. Dalam perjalanan menuntut ilmu di
Mekkah beliau mempelajari ilmu Fikih dan sanad tarekat (Allawiyah dan
Satoriyah)13
yang kemudian digunakan dalam pengembangan Islam di
Wonosobo.Kecintaanya kepada ilmu dan Ulama Ahlussunah Wal Jama‟ah beliau
tunjukan melalui perjumpaannya dengan Sayid Zaini Dahlan di Makkah.Sayyid
Zaini Dahlan sendiri adalah Maha guru yang berfaham Ahlussunah wal Jama‟ah
dari para ulama Islam, dan khususnya Nusantara pada zamannya. Dari Sayyid
Zaini Dahlan ini, antara lain beliau mendapatkan sanad thariqoh
Alawiyah. Berbekal ilmu yang telah didapatkan dari para gurunya, Sayyid
Ibrahim Baabud kemudian mengajarkannya dari satu tempat ke tempat yang lain
khususnya di wilayah Wonosobo dan pegunngan Dieng. Disamping itu beliau
juga merupakan seorang saudagar yang sangat terkenal dan mempunyai banyak
sawah dan tanah yang kemudian dijadikannya tempat mendirikan masjid dan
pendidikan.Kesempatan berdagang itu pula digunakannya untuk menyampaikan
13
Tarekat allawiyah dan shatoriyah yang dibawa oleh keluarga Baabud dan bin Yahya yang
kemudian diajarkan kepada penduduk Wonosobo dan merupakan bentuk pengislaman yang sesuai
dengan ajaran Rasulullah SAW.
-
7
dakwah Islamiyah dan mengenalkan NU lewat jalur thariqah yang didapatkan dari
ayahnya, Thariqah Alawiyyah. Beliau mengajarkan Islam dari satu tempat ke
tempat yang lain. Aktifitas beliau khususnya di daerah pegunungan Dieng tak jauh
berbeda dengan aktivitas dakwahnya di Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud yang
sering bepergian antara Wonosobo dan Pekalongan sudah tak asing lagi dengan
daerah Dieng, karena Dieng merupakan jalur yang menghubungkan antara kedua
daerah itu, dan masyarakatnya juga mempunyai corak budaya yang hampir sama
dengan wonosobo. Masyarakat pegunungan Dieng yang masih menjunjung tinggi
tradisi lokalnya dengan mudah menerima dakwah Sayyid Ibrahim Baabud yang
menggunakan pendekatan tasawuf dalam pengembangan Islam di wilayah
Pegunungan Dieng. Dalam dakwahnya, Sayyid Ibrahim Baabud juga banyak
mendirikan masjid-masjid di daerah Serang, Kreo, Kejajar, dan Dieng.
Kesempatan serta keahlian berdagang yang dimiliki Sayyid Ibrahim Baabud
kemudian digunakannya untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan
mengenalkan Nahdlatul Ulama melalu jalur Thoriqoh.14
Sayyid Ibrahim Baabud mendeklarasikan berdirinya NU di Wonosobo
pada tahun 1931 M pasca Muktamar NU ke 6 di Cirebon. Beliau mengambil dua
langkah setrategis sebagai bentuk konsolidasi „Ulama Ahlussunnah wal Jama‟ah.
Pertama adalah mensosialisasikan Jam‟iyah NU di seluruh penjuru Wonosobo.
Dalam upayanya, langkah yang diambil Sayid Ibrahim adalah melalui jalur
Thariqoh. Upaya ini dipandang efektif dan terbukti di tahun 1936 NU Wonosobo
telah memiliki ribuan anggota. Hal ini dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota
14
Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.
-
8
(KTA) NU atas nama Muhammad Sa‟idun dari Desa Kreo Kecamatan Kejajar
dengan Rosyidul „Udhwiyah (nomor anggota) 1526. Wilayah ini menjadi awal
mula basis penyebaran NU di Wonosobo, sebab daerah Kreo pada masa itu
mayoritas masyarakatnya merupakan pengikut thariqoh Sathoriyah dengan
mursidnya Sayyid Ibrahim Baabud.15
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini penulis membatasi dengan batasan Spasial yaitu
mengenai peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang politik dan agama serta
pengembangan Islam melalui pendekatan tarekat alawiyah dan shatoriyah sampai
abad ke-19 kemudian dilanjutkan dakwah Islamiyah menggunakan pedekatan
organisasi (Nahdlatul Ulama) di awal abad ke-20. Kemudian penulis membatasi
dalam batasan temporal yaitu antara tahun 1864 yang merupakan tahun kelahiran
Sayyid Ibrahim Baabud selaku tokoh pembaharu Islam di awal abad ke 20 sampai
tahun 1943 yang merupakan tahun wafatnya Sayyid Ibrahim Baabud serta
menandai akhir kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.
Selanjutnya setelah dijelaskan ruang lingkup persoalan yang termasuk
dalam penelitian, maka ditetapkan pokok masalah yang menjadi fokus kajian
dalam penelitian ini. Sehingga fokus permasalahan akan menjadi lebih jelas dan
akan lebih mudah merumuskannya.
1. Bagaimana kondisi Islam di Wonosobo sampai abad ke-19?
15
Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.
-
9
2. Bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim Baabud?
3. Bagaiman perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang
politik dan dakwah Islam?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini yaitu melingkupi beberapa hal, sebagai berikut :
1. Memahami bagaimana kondisi keagamaan yang ada di Wonosobo pada
akhir abad ke-19.
2. Mencermati serta memahami bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim
Baabud.
3. Memahami bagaimana perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang
politik dan dakwah Islam di Wonosobo.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan salah satu cara untuk memperoleh sumber
yang sudah ada, karena sumber ataupun data merupakan hal yang paling penting
di dalam ilmu pengetahuan, yaitu menyimpulkan fakta-fakta, mengisi gejala-
gejala baru yang sudah ada atau sudah terjadi. Pada dasarnya, penelitian
ilmiahtidak mampu berjalan tanpa adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang
sesuai dengan apa yang akan dikaji.16
16
Taufik Abdullah.1991. Metode Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana), Hal 4.
-
10
Penelitian L.W.C Van Den Berg yang berjudul Hadramaut dan Koloni
Arab di Nusantara yang di terbitkan oleh inis Jakarta pada tahun 1989. Dalam
bukunya ini Berg menjelaskan tentang orang-orang Arab di Nusantara pada abad
ke 19 serta awal abad ke-20. beberapa penekanan berg dalam bukunya ini adalah
tentang pengaruh para Sayyid keturunan Arab terhadap penduduk pribumi yaitu
dalam bidang ekonomi, sosial, dan agama. Sayyid Ibrahim Baabud sendiri
merupakan salah satu tokoh keturunan Arab yang memiliki pengaruh khususnya
dalam bidang sosial agama dalam pengembangan Islam di Wonosobo.
Penelitian M.C Ricklefs yang diterbitkan pada tahun 2012 berjudul
Mengislamkan Jawa menjelaskan tentang Islamisasi di Jawa pada sekitar tahun
1930-an. Dalam hal ini Ricklefs menjelaskan tentang sintesis mistik serta
polarisasi masyarakat Jawa. Selain itu juga di jelaskan mengenai masyarakat Jawa
di bawah pemerintah kolonial dan Islam. pada awal abad ke-20 masyarakat
Wonosobo merupakan penganut Islam yang sangat kental oleh tradisi lokalnya
sehingga Sayyid Ibrahim Baabud muncul sebagai agen perubahan dalam
pengembangan Islam yang lebih modern.
Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo yang
bekerja sama dengan Puslitbang Arkeologi Nasional pada tahun 2008 salah
satunya menjelaskan tentang pengembangan Islam di Wonosobo yang dilakukan
oleh para ulama antara lain Kyai Asmoro Sufi, Kyai Asmoro Gati, Kyai Mansyur,
Kyai Madukoro, Sayyid Hasyim Baabud dan lain sebagainya. Sayyid Ibrahim
Baabud merupakan tokoh pengembangan Islam di Wonosobo periode setelahnya.
-
11
Penelitian skripsi mengenai Kiprah KH Muntaha dalam perpolitikan di
Wonosobo (1956-2004) yang ditulis oleh Fathul Wachid mahasiswa Sejarah
Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan mengenai
kiprah politik KH Muntaha di wonosobo serta menekankan aspek politik dalam
perjuangan KH Muntaha.Penelitian ini juga menelaskan mengenai eksistensi
politik di Wonosobo periode awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial
politik. Penelitian mengenai Sayyid Ibrahim Baabud dan perjuangannya di
Wonosobo (1884-1958) juga sedikit disinggung mengenai peran politik pada
konteks perkembangan Nahdlatul Ulama. Dimana penelitian mengenai Kiprah
politik KH Muntaha yang menekankan aspek politik merupakan cikal bakal
perpolitikan yang dipengaruhi oleh periode awal pendirian Nahdlatul Ulama di
Wonosobo.
Strategi dakwah KH Muntaha dalam mengembangkan Islam di Indonesia
yang ditulis oleh Miftahul Haris sarjana Fakultas Dakwah Universitas Sains Al-
Qur‟an Wonosobo tahun 2004. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai strategi-
strategi dakwah KH Muntaha dalam mensyiarkan agama Islam ke penjuru
Indonesia. Pada dasarnya cara-cara para ulama pendahulu yang ada di Wonosobo
menjadi rujukan KH Muntaha dalam menyebarkan misi dakwahnya, termasuk
Metode dakwah yang dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dengan
menggunakan pendekatan tasawuf.
-
12
E. Kerangka Konseptual
Alwi Shihab dalam teorinya tentang peranan ulama tasawuf (tarekat)
dalam proses Islamisasi di Nusantara mengatakan bahwa : penyebaran Islam yang
berkembang secara spektakuler di Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi
tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas
sejarawan dan peneliti. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi
yang lebih kompromis dan penuh kedamaian. Tasawuf memang memiliki
kecenderungan manusia yang terbuka dan berorientasi kosmopolitan.17
Teori tersebut dalam kenyataannya dapat ditemukan bahwa penyebaran
Islam di Jawa khususnya dilakukan dengan cara damai, dan lembut. Ini berbeda
dengan penyebaran Islam di Timur Tengah ataupun Eropa yang dalam beberapa
kasus disertai dengan pendudukan wilayah militer Muslim. Islam di Jawa dalam
batas tertentu di sebarkan oleh para pedagang, kemudian oleh para guru agama
(ulama) dan para pengembara sufi. Begitupun dengan pengembangan Islam di
Wonosobo yang di merupakan wilayah pedalaman Jawa yang mendapatkan
pengaruh Islam dengan jalan damai melalui para ulama tasawuf, salah satunya
adalah Sayyid Ibrahim Baabud.
Senada dengan teori yang dikemukakan oleh Alwi Shihab, Martin Van
Bruineinssen mengatakan: dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara,
tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting walaupun dalam proses itu,
ajaran tasawuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn Al-Arabi dan
17
Alwi Shihab. 2001. Islam Sufistik: ”Islam Pertama” dan pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia,
(Bandung: Mizan), Hal 13.
-
13
Al-Jili misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan
tarekat seperti Dzikir, wirid, ratib dan sebagainya juga diterapkan dengan tujuan
di luar tasawuf. Orang-orang Jawa masa dulu sangat menaruh perhatian kepada
kemampuan supranatural-kesaktian, kekebalan, kedigdayaan, kanuragan dan
segala ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka
menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan
kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara
tasawuf dan magic. Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan
yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan ”tenaga dalam”, tujuan
yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan
debus, yang dulu terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat
Rifa‟iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-
bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dan sebagainya) yang berasal
dari amalan tareka, walaupun penerapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan
tarekat masa kini.18
Masyarakat pedalaman Jawa pada khususnya masih menganut tradisi lokal
sebagai bagian dari proses pelestarian nilai budaya terhadap leluhur mereka. Ini di
tandai dengan praktik-praktik adat yang masih dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat. Namun dengan seiring berjalannya waktu hingga permulaan abad ke-
20 bersamaan dengan era kolonialisme, nilai-nilai tradisi lokal pun perlahan pudar
dengan datangnya pengaruh modernisme yang dibawa oleh bangsa kolonial.
Sayyid Ibrahim Baabud salah satu tokoh pengembang Islam di pedalaman Jawa
18
Martin Van Bruinessen: Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau
Akhirat?http://www.let.uu.nl/-martin.vanbruinessen/personal/publication/tarekat_dan_politik.htm
-
14
(Wonosobo) hadir membawa perbedaan melalui pengaruh modernisme dalam
bentuk organisasi sosial keagamaan (NU) dengan tidak meninggalkan tradisi yang
telah lama ada di tengah-tengah masyarakat.
F. Metode Penelitian
Untuk mengkaji suatu penelitian seorang tokoh yang begitu berpengaruh
baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional membutuhkan analisis yang
mendalam terkait seberapa besar pengaruhnya dalam masyarakat dan juga seperti
apakah pengaruhnya dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, penulis menggunakan
metode penelitian sejarah untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan kiprah
Sayyid Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo. Metodologi
penelitian sejarah merupakan suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang
dtempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat
mencapai hakekat sejarah.19
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa
metodologi penelitian sejarah adalah sebuah tahapan yang harus ditempuh oleh
seorang sejarawan dalam menulis karyanya. Hal tersebut merupakan sebuah
syarat untuk keabsahan sebuah tulisan sejarah yang ilmiah sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
Agar mampu menghasilkan sebuah karya yang dapat
dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan standar penulisan pada umumnya,
19
Hasan Usman. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah, (Jakarta: Proyek pembinaan sarana dan
prasarana perguruan tinggi agama/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal pembinaan kelembagaan
agama Islam departemen agama RI), Hal 16.
-
15
maka penulis berusaha menggunakan metode penelitian sejarah yang telah ada.
Adapun metode penelitian sejarah yang digunakan oleh penulis adalah sebagai
berikut :
1. Heuristik
Setelah menentukan judul, tahapan selanjutnya yaitu mengumpulkan
sumber (heurustik). Sumber-sumber yang dikumpulkan berupa sumber primer.
Adapun Sumber tersebut dapat diperoleh baik dari sumber tulisan berupa arsip
atau dokumen-dokumen yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung,
sumber lainnya adalah berupa sumber lisan yang dalam penelitian ini masih dapat
dijangkau. Hal ini dikarenakan tokoh yang akan dikaji merupakan tokoh pada
abad ke-20 sehingga tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid Ibrahim
Baabud masih ada walaupun Sayyid Ibrahim Baabud telah lama wafat. Adapun
beberapa Sumber-sumber primer yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
a. Sumber Tulisan :
1. Sanad tarekat Allawiyah yang merupakan tulisan tangan Sayyid
Ibrahim Baabud. Sanad tarekat ini didapatkan dari Ahmad Muzan
seorang sejarawan lokal Wonosobo yang aktif menulis mengenai
sejarah tokoh-tokoh serta isu politik,sosial maupun budaya di
Wonosobo serta aktif mengelola yayasan pendidikan yang ia
dirikan di Wonosobo.
2. Kitab Minhajul Mubin, merupakan kitab fikih tulisan tangan
Sayyid Ibrahim Baabud yang beliau dapatkan dari Sayyid Zaini
-
16
Dahlan di Mekkah. Kitab ini penulis dapatkan dari Habib Aqil
Baabud yang merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud.
3. Kartu tanda NU atas nama Muhammad Saidun yang berasal dari
Desa Kreo, Kecaamatan Kejajar, kabupaten Wonosobo, yang
dikeluarkan pada tanggal 23 Dzulqo‟dah 1353 H, sudah bernomor
1526. Bukti ini mengindikasikan bahwa pada awal pendirian NU
sudah memiliki ribuan anggota. Sumber ini didapat dari kantor
cabang NU Wonosobo.
b. Sumber Lisan
1. Wawancara dengan Habib Aqil Baabud yang lahir pada tahun 1940
dan merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud. Beliau
mengetahui persis mengenai kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.
Meskipun tidak diceritakan langsung oleh Sayyid Ibrahim Baabud,
namun beliau mengetahuinya dari orang tuanya.
2. Wawancara dengan KH Alim Bumen, Wonosobo. KH Alim
Sendiri merupakan tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid
Ibrahim Baabud. Beliau lahir pada tahun 1920-an masehi dan
merupakan salah satu anggota NU pada awal periode kepengurusan
NU di Wonosobo.
Sementara itu sumber-sumber sekunder diperoleh dari buku, artikel serta
kajian serupa. Buku-buku serta artikel yang dimaksud sebagian besar ditulis oleh
sejarawan asal wonosobo yaitu Ahmad Muzan, yang berjudul Diaspora Islam
Damai, Sejarah Islam di Wonosobo, NU dari masa ke masa, serta Historiografi
-
17
Islam Wonosobo. Sementara sumber sekunder lainya yaitu berupa buku-buku
hasil penelitian dari pemerintah kabupaten Wonosobo yang bekerja sama dengan
puslitbang arkeologi nasional tahun 2008 yang berjudul sejarah Wonosobo.
Adapun sumber sekunder lainnya adalah buku hasil penelitian dari Van Den Berg
yang berjudul Hadhramaut dan Koloni Arab di Indonesia. penelitian ini
menelaskan tentang orang-orang Arab yang ada di Nusantara (Jawa). Sayyid
Ibrahim Baabud sendiri merupakan salah seorang tokoh keturunan Arab
Hadhramaut yang aktif mengembangkan Islam di Wonosobo pada awal abad ke-
20. Sumber sekunder lainnya adalah buku Mengislamkan Jawa karya Ricklef
yang menjelaskan tentang Islamisasi yang lebih dalam pada awal abad ke-20.
Islamisasi yang juga dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dalam
mengkolaborasikan antara Islam mistik dengan Islam modern.
2. Kritik Sumber
Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya penulis berusaha
menverivikasi sumber-sumber tersebut agar diperoleh sumber yang benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan. Kritik terdiri atas kritik ektern dan kritik intern.
Kritik ektern digunakan untuk meneliti otentisitas keaslian sumber. Sedangkan
kritik intern digunakan untuk meneliti kredibilitas sumber. Dalam penelitian ini
kritik ektern digunakan untuk mengetahui kredibilitas dari seorang narasumber.
Narasumber yaitu keluarga Sayyid Ibrahim yang menetap di Kauman, Wonosobo,
yaitu Habib Aqil Baabud. Perlu diketahui bahwa penelitian yang menggunakan
wawancara adalah salah satu cara untuk mengumpulkan sumber harus lebih teliti
sebelum menggali informasi. Dalam hal ini latar belakang dan profil dari seorang
-
18
narasumber sedikit banyak mempengaruhi informasi yang ia sampaikan.
Selanjutnya kritik intern pada penelitian ini akan penulis bandingkan informasi
yang disampaikan dengan fakta-fakta yang ada.
3. Interpretasi
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan
menafsirkan fakta-fakta serta serta menetapkan makna yang saling berhubungan
daripada fakta yang diperoleh. Terdapat dua macam interpretasi, yaitu analisis
yang berarti menguraikan serta sintesis yang berarti menyatukan. Analisis yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah menguraikan pernyataan-pernyataan dan
juga bahan lain berupa foto-foto dan dokumen yang lainnya untuk diuraikan agar
lebih mudah difahami. Dokumen-dokumen serta foto-foto yang dimaksud adalah
beberapa sumber-sumber primer yang telah penulis uraikan di tahapan heuristik di
atas. Selanjutnya sintesis dalam penelitian ini adalah menyatukan bahan-bahan
yang didapat dari hasil wawancara dari beberapa narasumber seperti Habib Aqil
dan KH Alim, sehingga menghasilkan fakta bahwa kiprah Sayyid Ibrahim Baabud
dalam menyebarkan Islam di Wonosobo benar-benar ada.
4. Historiografi
Tahapan yang terakhir adalah historiografi. Historiografi merupakan
rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau. Dalam melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa
hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta,
untaian fakta-fakta yang dipilihnya berdasakan dua kriteria, yaitu relevansi
-
19
peristiwa dan kelayakannya dan imajinasi yang dilakukan untuk merangkai fakta-
fakta yang dimaksud untuk merumuskan suatu hipotesis.
Dalam penelitian yang difokuskan terhadap kiprah serta peran Sayyid
Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo ini setidaknya dengan
menggunakan metode, yaitu pemilihan tema, pengumpulan data, verivikasi,
interpretasi dan juga penulisan sejarah. Penulis berharap agar penulisan yang
diperoleh nantinya dapat menghasilkan tulisan yang lebih mudah difahami dan
dapat dipertanggungawabkan.20
G. Sistematika Penulisan
Agar mudah difahami serta mendapatkan pemaparan yang jelas, terkait
pembahasan pada tulisan ini, maka penulisan ini dibagi menjadi lima bab.
Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, Tujuan
serta ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab I menerangkan alasan terkait dan
selanjutnya memaparkan tektik dan prosedur lpenulisan.
Bab II membahas deskripsi mengenai Biografi Sayyid Ibrahim Baabud
mencakup latar belakang dari tokoh tersebut. Seperti halnya latar belang keluarga,
riwayat pendidikan, geneologi keilmuan, pemikiran dalam bidang dakwah
Islamnya, serta karya-karya yang dhasilkannya. Bab II ini menarik untuk dikaji
20
Helius Sjamsuddin. 2012. Metodologi Sejarah, cet I, (Yogyakarta : ombak), Hal 23-24.
-
20
karena peran besar dari apa yang telah beliau hasilkan bermula dari apa yang telah
beliau dapatkan di lingkungan keluarga, masyarakat serta pendidikannya.
Bab III membahas tentang bagaimana kondisi sosial keagamaan
masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19. Dalam hal ini akan di jelaskan
secara sistematis mengenai gambaran umum masyarakat Wonosobo. Setelah
mengetahui tentang bagaimana gambaran umum masyarakat Wonosobo, penulis
akan membahas mengenai metode penyebaran Islam yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Wonosobo pada waktu itu. Karena dengan metode tasawuf dinilai
sesuai dengan keadaan Wonosobo pada waktu itu, maka penulis kemudian
mendeskripsikan tentang tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah sebagai media
pengembangan Islam.
Bab IV membahas tentang Sayyid Ibrahim Baabud dan perkembangan
Islam di Wonosobo pada abad ke-20. Pada bab ini akan disinggung bagaimana
peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah kemudian
dijelaskan juga mengenai Nahdlatul Ulama sebagai media perjuangan Sosial
Keagamaan Sayyid Ibrahim Baabud yang akan dibagi menjadi beberapa kajian,
yaitu berdirinya cabang Nahdlatul Ulama di Wonosobo, dakwah Islamiyah
Nahdlatul Ulama di Wonosobo, perjuangan politik Nahdlatul Ulama di
Wonosobo, dan Nahdlatul Ulama sebagai media pemersatu umat, kemudian pada
bagian terakhir akan dijelaskan mengenai orientasi perjuangan Sayyid Ibrahim
Baabud antara fase perjuangan dengan jalur tarekat maupun sosial keagamaan.
-
21
Bab V atau bab terakhir merupakan kesimpulan dari pembahasan bab
sebelumnya, yaitu dari bab I sampai bab IV. Berupa jawaban atas permasalahan
yang muncul dalam rumusan masalah.
-
22
BAB II
ISLAM DI WONOSOBO
A. Gambaran Umum Masyarakat Wonosobo Sampai Abad-19
Pada bagian ini akan ditelusuri mengenai gambaran umum masyarakat
Wonosobo abad 19 yang masih kental dengan tradisi lokalnya walaupun telah
mendapat pegaruh Islam dari para ulama putihan. Dalam hal ini adalah Habib atau
Keturunan Arab (Sayyid Ibrahim Baabud).21
Masyarakat Wonosobo adalah
bagian dari masyarakat Jawa pedalaman.Jawa sendiri merupakan kelompok etnik
terbesar di Nusantara.Kelompok tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu
kelompok sholat dan kelompok tidak solat.22
Kelompok sholat maksudnya adalah
mereka yang melakukan sholat wajib, biasanya disebut kelompok putihan atau
santri, dan yang kedua adalah sebaliknya atau cenderung disebut dengan
kejawen.23
Disisi lain, terdapat pandangan bahwa masyarakat Wonosobo sangat
dipengaruhi oleh budaya animisme, dinamisme, Hindhu dan Budha. Penafsiran ini
cenderung menjustifikasikan Jawa sebagai kebudayaan yang final. Clifford Geertz
dalam bukunya yang berjudul Religion Of Java mengklasifikasikan Masyarakat
Jawa kedalam tiga kategori yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi. Setiap kategori
21
Ahmad Muzan. 2001. Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di
Wonosobo serta Sejarah berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, cet I (Wonosobo: Yayasan
Masjid Al-Mansyur Wonosobo), Hal 82-83. 22
Niels Mulder. 2009. Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia, cet III (Yogyakarta: LKiS), Hal 9-
10. 23
Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo , Hal 12.
-
23
tersebut merepresentasikan peran agama secara benar berdasarkan tatanan
syariah.Sementara kelompok Priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih
diyakini sebagai warisan dari keagamaan Hindhu dan Buddha sebelum Islam.
Kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang
secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah
menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa-animisme. Ketiga kategori
diatas identik dengan apa yang ada di lingkungan masyarakat Wonosobo periode
akhir abad ke-19. Sebagai masyarakat yang animis dan dinamis, tentu masyarakat
Wonosobo kental dengan budaya Nyekar, pemujaan terhadap tempat-tempat
keramat, slametan dengan berbagai macam variasi bentuk, hitungan (numerologi),
dan konsep ruang dimana slametan tersebut diselenggarakan.24
Istilah slametan
dan kenduren merepresentasikan sistem makna tertentu. Praktek-praktek tersebut
yang menjadi tradisi masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20, terutama di daerah pegunungan (pedalaman) Wonosobo yang hingga
kini masih terlihat.25
Dalam perkembangannya, masyarakat Wonosobo merupakan pemeluk
Islam yang kreatif dalam menghubungkan kebudayaan dan struktur sosial
terdahulunya dengan Islam sebagai unsur yang „baru‟ dalam sebuah struktur
kebudayaan. Tradisi intelektual dan spiritual Islam Jawa merupakan tradisi kreatif
yang mejadi tolak ukur mereka. Akibatnya terdapat kewajaran mengapa Islam
Jawa sangat berbeda dengan keislaman Timur Tengah atau Jazirah Arab, letak
24
Syam Nur. 2007. Madzhab-Madzzhab Antropologi, Cet I (Yogyakarta: LKiS), Hal 98. 25
Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo serta
Sejarah berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, Hal 8.
-
24
geografis yang sangat menyulitkan komunikasi dan interaksi antar keduanya
menyebabkan Islam di Wonosobo berkembang dengan model dan coraknya
sendiri tanpa harus menjadikan Arab sebagai patokan dominan. Masyarakat
Wonosobo juga mempunyai suatu prinsip yang biasa disebut prinsip harmoni.
Prinsip harmoni adalah prinsip yang dikedepankan oleh masyarakat Jawa dimana
setiap perbedaan akan diarahkan pada pencapaian harmoni yang lebih tinggi, yaitu
harmoni masyarakat.26
B. Jejaring Ulama Wonosobo
Setelah Islam berkembang secara pesat hingga memasuki awal abad ke-20,
Wonosobo kemudian dikenal sebagai wilayah pengembangan Islamnya yang
beragam.Ini ditandai dengan beragamnya saluran pengembangan Islam pasca
Sayyid Hasyim Baabud (abad-18) yang berhasil mengislamkan Wonosobo dengan
metode tasawufnya (tarekat). Demikian juga dengan Sayyid Ibrahim Baabud yang
disisi lain juga mempunyai peran penting dalam upayanya melanjutkan misi
dakwah yang dipelopori oleh Sayyid Hasyim Baabud. dalam periode ini, dakwah
Islam oleh kaum tarekat menggunakan beberapa jalur interaksi sosial sebagai
berikut :
1. Pedagang, yaitu mempergunakan sarana pelayaran sehingga kehadiran
para pedagang ini di beberapa pelabuhan pada tahap awal setidaknya telah
memperkenalkan kepada penduduk setempat tentang tata cara pelaksanaan
ibadah.
26
Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.
-
25
2. Dakwah, yaitu dilakukan oleh mubaligh pesisir yang datang ke Wonosobo
bersama para pedagang. Para mubaligh tersebut bisa jadi juga para kaum
sufi pengembara.
3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan
anak bangsawan. Hal ini mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu
keluarga Muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan itu secara
tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan
sifat kharisma kebangsawanannya. Apalagi jika suatu saat dari
keturunannya dapat menduduki birokrasi pemerintahan tentu akan
mempermudah bagi dakwah Islam yang sedang dikembangkan oleh para
saudagar.
4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai
kekuatan ekonomi di Bandar-bandar seperti Batang dan Pekalongan.
Pusat-pusat perekonomian tersebut berkembang menjadi pusat-pusat
pendidikan dan penyebaran Islam hingga ke pedalaman (Wonosobo).
Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam berperan sebagai pusat dakwah
pertama yang didatangi pelajar.
5. Tasawuf dan tarekat, bersama dengan datangnya pedagang, datang pula
ulama dan para sufi. Ada yang kemudian diangkat menjadi penasehat dan
pejabat agama di suatu kerajaan. Seperti halnya para Walisongo.
Di samping itu pada tahap berikutnya, ketika mulai diperkenalkan
systempendidikan pesantren, peranan ulama dengan pesantrennya semakin meluas
ke pedalaman dengan membuka pesantren-pesantren baru, pemukiman-
-
26
pemukiman baru dan Islamisasi lebih lanjut. Di samping itu, mereka juga
mengirimkan murid-murid atau putra-putranya ke Timur Tengah untuk
memperdalam keagamaannya, sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh
Sayyid Ibrahim Baabud yang belajar kepada Sayyid Zaini Dahlan di Mekkah. Dan
ketika mereka pulang kemudian mereka menjadi ulama-ulama muda yang
membawa pemikiran-pemikiran baru untuk reformasi dan kosmopolitanisme
Islam.27
Tentang penyebaran dan pengajaran Islam serta pelembagaannya dalam
proses Islamisasi di daerah Wonosobo abad-19 sampai awal abad ke-20, terdapat
beberapa catatan:
Pertama, pengajaran Fiqh sebagai pelajaran dasar dalam memahami
syariat Islam serta tertuang dalam ribuan kitab kuning yang ditulis oleh para
ulama mulai diajarkan para mubaligh. Misalnya pelajaran Fiqh yang tertuang
dalam bentuk kitab kuning yang berjudul Fatchul Mu‟in karya dari ulama besar
Al-Syeikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Malibari dalam nemtuk tulisan
tangan telah diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah pendiri dan pengasuh pondok
pesantren di daerah Sigedong, Baturono, Kepil, Wonosobo sekitar tahun 1830
M.28
kitab Fiqh yang tergolong sebagai kitab standar pengajaran di berbagai
pesantren ini, didalamnya berisi antara lain tentang masalah Ubudiyah,
Mu‟amalah, Hudud dan masalah lainnya.
27
Slamet Mulyana. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara, cet I (Jogjakarta: LkiS), Hal 44. 28
Elis Suyono DKK. 2007. Biografi KH Muntaha Al-Hafidz Ulama Multidimensi, (Wonosobo:
Kerjasama Unsiq dan PP. Al Asy‟ariah), Hal 20.
-
27
Kedua, pendidikan Al-Qur‟an membaca dan menghafal Al-Qur‟an
(Tahfidzul Qur‟an) telah diajarkan di pesantren Kalibeber, Wonosobo oleh KH
Abdurrahman (kakek dari KH Muntaha Al-Hafidz) sebagai penerus dari
ayahandanya R. Hadiwijaya yang menggunakan nama samara KH Muntaha bin
Nida Muhammad pengasuh sekaligus pendiri Pondok pesantren Al-Asy‟ariyah,
Kalibeber pada tahun 1870-an M.29
beliau mempunyai tulisan Al-Quran yang
beliau tulis sendiri ketika dalam perjalanannya ke Mekkah. Mengingat keberadaan
Pondok pesantren semenjak dulu mempunyai peran sebagai Lembaga Tafaqquh
Fi al din. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Kutubul Mukaromah (kitab-
kitab rujukan) yang disebut dengan kitab kuning juga diajarkan.
Ketiga, mengenai Tauhid dan Tasawuf (Akhlak) yang menjadi landasan
kehidupan dunia dan akhirat nampaknya menjadi prioritas utama bagi para
mubaligh.Hal itu dibuktikan dengan adanya silsilah atau sanad Tarekat Allawiyah
dan Shatoriyah dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang ajaran Tauhid
serta beberapa Wirid dan Dzikir.Jika diurut, maka tasawuf ini telah diajarkan
semenjak pertama keluarga Baabud masuk ke Wonosobo abad-18 M.30
Disamping pengajaran dalam bentuk naskah dan tulisan terdapat juga
pengajaran yang dilakukan secara lisan dengan menterjemahkan kedalam bahasa
daerah. Seperti pengajaran tentang rukun Islam yang hingga sekarang masih
dihafal secara turun temurun seperti :
Asyhadu an-la ilaaha-illa-allah
29
Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp) 30
Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp)
-
28
Nekseni Ingsun ing dalem ati ingsun
Kelawan I‟tiqod ingkang kukuh,
Setuhune kelakuwan iku ora ono dzat kang senembah,
Kelawan sak benere, anging Alloh t‟aala dewe
Ingkang wajib wujude ingkang mukhal ngadame
Kang kagungan sifat-sifat semporna ora ono weksane …31
(Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah)
(Saya bersaksi dalam hati dengan sepenuh keyakinan, sesungguhnya tidak ada
sesuatu yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya, kecuali Allah ta‟ala
sendiri,
Yang wajib adanya dan mustahil tidak adanya,
Yang mempunyai sifat-sifat sempurna dan tidak ada bandingannya)
Dari syair di atas dalam bentuk karya Islam klasik menunjukkan bahwa
para mubaligh mengenal betul karya-karya Islam, namun menuangkannya dalam
bentuk bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Karya Islam klasik
tersebut mencerminkan kondisi masyarakat muslim di daerah ini yang bercorak
legalistik telah mendapatkan pengajaran Islam secara menyeluruh (tidak dalam
satu aspek, Tasawuf saja misalnya). Namun juga Fiqh yang berisi aturan tentang
hubungan sesama manusia dan hubungan hamba dengan Allah SWT dalam
praktek ibadah, serta Al-Qur‟an yang berarti didalamnya terdapat Ulumul Qur‟an
(Tafsir dan sejenisnya). Dalam naskah yang diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah di
Kepil, Wonosobo sebagai pengajar pertama kitab Fathul Mu‟in karya dari Syekh
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari salah seorang pemuka dalam madzhab
31
Penelitian lapangan di beberapa daerah di Wonosobo seperti Dieng, Kertek, Kalikajar.Syair ini,
biasanya dibaca di beberapa daerah di Wonosobo, sebagai pengantar pengajian selapanan atau
setelah menyelesaikan solat tarawih dan diajarkan secara turun-temurun hingga sekarang.
-
29
Syafi‟I, maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang berkembang di daerah
Wonosobo adalah bermadzhab Syafi‟i.32
tidak jauh dengan madzhab Syafi‟I,
naskah tulisan tentang Silsilah Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah
mengindikasikan bahwa penyebaran Islam dilakukan juga oleh para Ulama
Tarekat.33
Tentang ajaran ketauhidan dalam pemaklnaan kalimah syahadad
dengan menyebutkan sifat-sifat Allah SWT di atas menunjukkan bahwa faham
yang dikembangkan di Wonosobo adalah faham Ahlussunah Wal Jama‟ah.
Upaya-upaya transformasi Islam ke dalam masyarakat Wonosobo, pada
perjalanannya lambat laun memunculkan lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-
lembaga pendidikan yang ada pada masa lalu merupakan proto tipe dari
pendidikan pesantren dan madrasah yang ada sekarang. Lembaga pendidikan itu
terus berkembang sesuai degan perubahan zaman dan alur fikir masyarakat
sehingga berkembang menjadi pesantren dan sekolah dengan beraneka corak yang
berkembang sekarang.34
C. Tarekat Alawiya dan Shatoriyah sebaga Media Pengembangan Islam
di Wonosobo
Telah diketahui bahwa Islam yang berkembang di Wonosobo pada abad
ke-19 merupakan Islam yang bercorak tarekat, dalam hal ini adalah tarekat
alawiyah dan shatoriyah.Tonggak perkembangan tarekat Alawiyah dimulai pada
32
Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, Hal 28. 33
Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp). 34
DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid
Al-Mansyur Wonosobo, Hal 118-119.
-
30
masa Muhammad Ali, atau dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqaddam
(seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Dalam
periodenya, Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami punyak
kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki
kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, diantaranya soal Fiqh dan
Tawawuf. Disamping itu, ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hinggake
maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah
(legalitas kesufian).
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan tarekat Alawiyah
kemudian dikembangkan oleh para Syekh. Diantaranya ada 4 Syekh yang cukup
terkenal, yaitu Syekh Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (739 H), Syekh Umar Al-
Muhdar bin Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah Al-Aidarus bin
Abu Bakar Al-Sakran (821 H). Sedangkan yang lainnya adalah Habib Husain bin
Sholeh Al Bahr, Habib Umar As Segaf, Habib Husain Al-Haddad.35
Bagi Sayyid Ibrahim Baabud sebagai penganut sekaligus penyebar tarekat
Alawiyah di daerah pedalaman Jawa (Wonosobo), hirarki kesanadan tarekatnya
sebagai ciri utama tarekat tetap terpelihara hingga generasi sekarang. Ciri utama
dari pengamal tarekat ini antara lain, tergambar dalam banyaknya masyarakat
yang membaca ratib dalam segala macamnya dan yang banyak dibaca adalah ratib
Al-Haddad dan ratib Al-Attos.
35
Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp)
-
31
Selama masa para Syeikh ini, dalam sejarah Alawi, dikemudian hari
ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri.Dan
secara umum, hal itu bisa dilihat dari cirri-ciri melalui para tokoh maupun
berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa Syeikh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap
mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi,
seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Wasiy, atau
keterkaitan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk wasiat dari Rasulullah
SAW untuk Imam Ali sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Kedua, adanya
sifat elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok
ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang
terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.Ketiga,
berkembangnya tradisi para sufi kalangan Khawwas (elit), sepeti Al-Jam‟u, Al-
Farq, Al-Fana‟ bahkan Al-Wahdah, seperti halnya yang dialami Muhammad bin
Ali (Al-Faqih Al-Muqaddam) dan Syekh Abd Al-Rahman as Saqqaf.Keempat,
dalam Tarekat Alawiyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam
mengembalikan tradisi Tarekat sebagai Thariqah (suatu madzab kesufian yang
dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu meghilangkan formalitas yang
kaku dalam tradisi tokoh para sufi. Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti
Hasan Al-Basri dengan zuhud-nya, Rabiah Al-adawiyah dengan Mahabbah dan
Al-Isyq al-ilahi-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan fana nya, al-Hallaj dengan
Wahdah al-wujudnya, maka para tokoh tarekat Alawiyah, selain memiliki
kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-
-
32
Khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya‟ dan „ujub, yang
merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara
vertikal penempatan diri seorang hamba di hadapan Allah sebagai dzat yang
Ghani (maha kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu
membutuhkan nikmatnya. Secara horizontal, sikap tersebut difahami dalam
pengertian komunal bahwa rahmat tuhan akan diberikan bila seseorang
mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid
seperti ini menjadikan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas
bawah maupun kaum tertindas (mustadl‟afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf
misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri
Muhammad bin Ali terkenal dengan ummul fuqara-nya.
Sebagai tarekat yang diajarkan oleh nenek moyangnya, maka tidak
mengherankan jika proses Islamisasi di pedalaman Jawa, para Sayyid juga
mengajarkan tarekat alawiyah. Tidak terkecuali Sayyid Ibrahim Baabud yang
menggunakan pendekatan ini dalam dakwah.Di samping itu para generasi penerus
beliau juga menyebarkan tarekat di samping alawiyah juga tarekat shatoriyah
yang didapat dari guru-gurunya sewaktu dalam menuntut ilmu.36
Pengembangan mistik tarekat shatoriyah ditujukan untuk mengembangkan
suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan tuhan (Allah SWT) dalam
hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana‟.Penganut tarekat Shatoriyah percaya
bahwa jalan menuju Allah SWT itu sejauh gerak nafas makhluk.Tetapi jalan yang
36
DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid
Al-Mansyur Wonosobo, Hal 138-140.
-
33
paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh klaum Akhyar,
Abrar, dan Syattar.Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan syattar, terlebih
dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih)
dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia dzikir. Untuk itu ada 10
aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,
tawakkal, qana‟ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah,
sebagaimana halnyatarekat-tarekat lain. Tarekat Shatoriyah menonjolkan aspek
dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut diatas, masing-masing
memiliki metode berdzikr dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan.,
penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar menjalaninya
dengan melakukan shalat dan puasa, membaca Al-Qur‟an, melaksanakan haji, dan
berjihad.Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan atau
zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan
berusaha selalu mensucikan hati.Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan
bimbingan langsung dari arwah para wali.Menurut para tokohnya, dzikir kaum
Syattar inilah yang merupakan jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat Shatoriyah dikenal tujuh macam dzikir muqadimah,
sebagai tangga untuk masuk ke tarekat Shatoriyah.Ketujuh macam dzikir ini agar
cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah SWT dapat selamat. Ketujuh
macam dzikir adalah sebagai berikut :
a. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari
bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan llaa ilaha
sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik
-
34
kemudian mengucapkan illallah yang dipukulkan kedalam hati
yang letaknya kira-kira 2 jari di bawah susu kiri.
b. Dzikir naïf itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan
lebih mengeraskan suara, yang diucapkan seperti memasukkan
suara kedalam asma Allah SWT.
c. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan illallah, illallah, illallah,
yang dihujamkan ke dalam hati.
d. Zikir ismu dzat, dzikir denga Allah, Allah, Allah tang dihujamkan
ke tengah-tengah dada.
e. Dzikir taraqqi, yaitu dzikir Allah-hu, Allah-hu. Dzikir Allah
diambil dari dalam dada dan hu dimasukkan ke dalam fikiran.
Dzikir ini dimaksudkan agar fikiran selalu tersinari oleh cahaya
illahi.
f. Dzikir tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil
dari dalam fikiran, dan dzikir Allah dimasukkan ke dalam dada.
Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki
kesadaran yang tinggi sebagai insane cahaya illahi.
g. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata
dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat di
tengah-tengah dada menuju arah kedalaman rasa.37
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan pada firman Allah dalam Al-
Qur‟an surat Al-mu‟minun ayat 17 : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan
37
Wawancara dengan Habib Aqil Baabud, 17 Juli 2017 di Wonosobo.
-
35
di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan kami sama sekali tidak akan lengah
terhadap kami (terhadap adanya 7 buah jalan tersebut)”.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma‟ al-husna), tarekat
Shatoriyah membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok, yaitu :
a) Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan
keagungannya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutaqabbir, dan
lain-lain.
b) Menyebut nama Allah yang berhubungan dengan keindahannya
seperti, al-Malik, al-Quddus, al-Alim, dan lain-lain.
c) Menyebut nama-nama Allah yang merupakan gabungan dari
kedua sifat tersebut, seperti al-Mu‟min, al-Muhaimin, dan lain-
lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan sesuai urutan
yang disebutkan di atas.Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-
ulang.Sebagaimana juga seperti tarekat-tarekat lainnya, dzikir dalam tarekat
Alawiyah dan Shatoriyah hanya dapat dikuasai melaluu bimbingan dari seorang
pembimbing spiritual, guru atau syekh. Di dalam tarekat ini, seorang guru berhak
dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat yang tidak putus dari
Nabi Muhammad lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya.38
38
DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid
Al-Mansyur Wonosobo, Hal 146-150.
-
36
BAB III
BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD
A. Latar Keluarga
Secara geneologi Sayyid Ibrahim Baabud adalah cucu dari Sayyid
Hasyim Baabud yang merupakan tokoh peletak dasar Islamisasi di Wonosobo
menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Sayyid Hasyim Baabud sendiri
merupakan keturunan dari Muhammad bin Al-Muhadjir (ulama Hadramaut) yang
bermarga Baabud. Sebagai tradisi bagi keturunan Arab bahwa setiap keturunan
kemudian dinisbahkan kepada kakek mereka yang mempunyai daerah dakwah
tersendiri atau spesialisasi dari keilmuan yang dimiliki.Mengenai Baabud ini
dijelaskan bahwa mereka masih keturunan Kharbasani.39
Mengenai silsilah dari
Sayyid Ibrahim Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya dijelaskan bahwa
Sayyid Ibrahim Baabud merupakan keturunan dari keluarga yang mengikuti
tarekat Alawiyah. Dalam silsilah Alawiyah terdapat tiga keluarga yang
menyandang atau memakai gelar Baabud. Mengenai silsilah dari Sayyid Ibrahim
Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya lebih lengkap dijelaskan:
Ketika keluarga Baabud ini berasal dari cabang yang berbeda, namun
menyandang gelar yang sama. Yang pertamakali menyandang gelar
Baabud ini adalah As-Syeh Al-Iman Abdullah Baabud (wafat di Tarim
834 H) bin Ali (wafat 775 H) bin As Syech Al-Iman Muhammad
Mauladawillah (wafat di Tarim 765 H). As Syech Al-Imam Baabud
39
Wawancara dengan Habib Aqil Baabud pada tanggal 4 september 2017, di Wonosobo.
-
37
mempunyai putra Al-Imam Abdulrahman, Al-Imam Abdulrahman
mempunyai putra Al-Imam Abubakar. Al-Imam Abubakar inilah yang
pertama kali masuk ke Kharbasani sehingga keturunannya menyandang
gelar Baabud Kharbasani. Pada generasi Al-Habib Muchsin bin Abdullah
bin Abubakar Baabud Kharbasani bin Abdurrahman bin Abdullah Baabud,
mempunyai empat orang putra yaitu :
a) Al-Habib Ahmad bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib
Ahmad datang dari Hadramaut pada awal abad ke 9 M. beliau
tiba di pekalongan di wilayah desa Wiradesa. Beliau menikah
dengan putrid Bupati Wirasesa Raden Jayaningrat I. beliau
mempunya dua orang putra yaitu : Husin yang wafat di
Wiradesa dan mempunyai 4 orang anak yaitu: Ahmad (Raden
Suryodiputro), wafat di Wiradesa. Muchsin (Raden
Suroatdmojo) menjadi Patih Brebes, dan keturunannya sudah
sangat membaur dan memakai nama-nama Jawa atau Indonesia
dan keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan. Ali (wafat 1334
H), keturunannya juga ada di Wiradesa Pekalongan. Umar wafat
di Wiradesa dan mempunyai 3 putra yaitu: Alwi, Abdurrahman
keturunannya ada di pekalongan, Banjarmasin, dan Balikpapan.
b) Al-Habib Abdullah bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib
Abdullah ini mempunyai anak Alwi dan menikah degan janda
Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I. Al Habib
Alwi ini mempunyai putra Hasan Al-Munadi wafat di
-
38
Temegongan dekat Purworejo dan menikah dengan anak Sultan
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono II. Dari sini Habib
Alwi mempunyai 2 putra yaitu Ibrahim bergelar Madyo Kusumo
(wafat di Manipa Ambon), yang mempunyai 3 putra yaitu:
ahmad Wongsodipuro Abbas Kusumo Atmojo, Muhammad
Irfan (Madyo Wijoyo), yang keturunannya tersebar di Jakarta,
Tarakan, Wonosobo, Banyumas, Sukabumi, Bandung, Surabaya,
Purwakarta, Randudongkal Pemlang. Abubakar Puspodipuro
wafat di Yogyakarta, yang mempunyai 2 putra yaitu: Ishaq
Pusodipuro, Abdul Kadir, keturunannya ada di Pekalongan,
Pemalang, dan Purworejo.
c) Al-Habib Idrus bin Muhsin Baabud Kharbasani. Beliau
mempunyai seorang putra yaitu Usman. Keturunannya dari
Habib Usman ini adadi Cirebon dan Semarang, namun tak
tercatat lagi untuk generasi ke 2. Ada keterangan, salah satu
keturunanya yaitu Habib Ishaq bin Usman Baabud. Habib Ishaq
ini mempunyai 3 putra yaitu: Muhammad (keturunannya di
Cirebon dan tak tercatat lagi), Yusuf dan Hasyim. Sementara
keturunan dari Habib Hasyim Baabud ada di Wonosobo hingga
sampai kepada Sayyid Ibrahim Baabud yang berhasil
mengembangkan Islam melalui NU. Muchsin, keturunan dari
Habib Muchsin ini ada di Wiradesa Pekalongan dan sudah tak
tercatat lagi pada generasi ke-2. Abubakar, keturunan dari
-
39
Abubakar ini ada di Pekalongan, Jatibarang, Pemalang,
Indramayu, dan Kendal.40
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kakek dari
Sayyid Ibrahim Baabud yaitu Sayyid Hasyim Baabud merupakan salah satu
keturunan Rasulullah yang berasal dari Hadramaut.Beliau menyebarkan Islam
melalui jalur tarekat ke selatan Pekalongan hingga sampai di Wonosobo. Dalam
perkembangannya kemudian Wonosobo menjadi wilayah dengan masyarakat
bercorak tasawuf (tarekat).41
Islam telah ada di Wonosobo pada awal abad ke 18 M atau sekitar tahun
1700 M. dan boleh jadi Islam telah masuk ke daerah ini jauh sebelum abad ke-17
M. penyebaran Islam di Wonosobo dilakukan oleh para keturunan Arab (ahlul
bait) yang berbangsa Arab dengan sebutan Sayyid yang datang dari daerah utara
pulau Jawa yaitu Batang dan Pekalongan. Pendapat ini didukung oleh keterangan
sebagai berikut: Pertama, dalam catatan buku Robithoh Alawiyin Indonesia yang
berada di Jakarta, terdapat catatan bahwa serombongan keluarga Baabud dan bin
Yahya marga dari keturunan Alawiyyin secara berkelompok pergi ke daerah
Wonosobo melalui Batang dan Pekalongan untuk menyebarkan dakwah
Islamiyah. Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa Sayyid Hasyim Baabud
(Kakek Sayyid Ibrahim Baabud) sebagai pemimpin rombongan wafat dan
dimakamkan di daerah Wonosobo tahun 1212 H. atau sekitar tahun 1791 M. hal
itu diperkuat dengan adanya makam yang merupakan tempat pemakaman para
40
Alidien Hasan Ali bin Abdullah “Keturunan Baabud di Indonesia” dikutip sari
http://algembira.blog.com/acceased 25-6-2007. 41
Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Sejarah berdirinya
Masjid Al Mansyur Wonosobo.Hal 131.
http://algembira.blog.com/acceased
-
40
Sayyid, diantaranya terdapat makam Sayyid Hasyim bin Idrus beserta istri dan
keluarga, serta pengikutnya yang terlletak di sebelah barat makam umum Dusun
Ketinggring dan makam Candimulya (mangunkusuman). Kedua, dalam artefak
batu nisan tersebut terdapat salah seorang pengikut Sayyid Hasyim yang berasal
dari daerah Batang bernama Mu‟minah binti Zakaria Al-Qodli yang berangka
tahun 1260, Walid Hasyim 1262 H, serta batu nisan yang lain dengan angka
antara 1262 H dan 1264 H. Ketiga, di daerah Kauman, Wonosobo terdapat
keturunan Arab dari Sayyid Hasyim yang merupakan cucu buyut dari Sayyid
Hasyim Baabud, salah satunya termasuk Sayyid Ibrahim Baabud yang menempati
daerah Wonosobo sejak berabad-abad yang lalu. Kuat dugaan jika Sayyid Hasyim
menyebarkan Islam dan bermukim di daerah Kauman dengan mendirikan masjid
serta tempat pengajaran agama Islam.42
Keempat, ditemukan pula artefak nisan
yang berangka tahun 1260-an sampai dengan 1280-an H yang menunjukkan tahun
wafat para Sayyid dan pengikut dari Sayyid Hasyim. Kelima, ditemukannya
catatan tentang sanad tarekat Allawiyah dan Shatoriyah yang diajarkan secara
turun-temurun oleh keluarga Baabud.43
Sayyid Ibrahim Baabud diperkirakan lahir tahun 1864 M sebagai putra
ketiga dari tiga bersaudara dari ayah yang bernama Ali bin Hasyim Baabud dan
ibu bernama Syarifah Khotijah di Kauman Wonosobo. Menurut tradisi lisan yang
berkembang di keturunan keluarga Baabud yang ada di Wonosobo, kakek dari
Sayyid Ibrahim Baabud yaitu Sayyid Hasyim Baabud lahir tahun 1192 H (1671
42
Ahmad Muzan. 2003. NU Wonosobo dari Masa ke Masa( Sejarah dan Wacana Pemikiran
Keislaman), (Wonosobo: Fatanugraha), Hal 4. 43
Dokumen Silsilah Sanad Tarekat.
-
41
M) dan wafat tahun 1212 H (1791 M) di Wonosobo. Konon beliau adalah seorang
tokoh penyebar agama Islam di Wonosobo.44
Dengan demikian Sayyid Hasyim
Baabud di klaim wafat dalam usia 120 tahun. Klaim ini tentu perlu dikaji ulang,
selain karena usianya yang sangat panjang juga karena jarak masa hidup antara
Sayyid Hasyim Baabud dengan Sayyid Ibrahim Baabud sebagai cucunya terlalu
jauh. Jika mengacu pada informasi dari L.W.C Van Den Berg gelombang migrasi
orang-orang Arab Hadramaut secara masal ke Nusantara baru dimulai pada tahun-
tahun terakhir abad ke-18 M. Lebih masuk akal jika kakek dari Sayyid Ibrahim
Baabud ini termasuk dalam gelombang migrasi massal orang Arab Hadramaut
tersebut yang datang ke Wonosobo - bukan wafat - pada akhir abad ke-18 M atau
bahkan awal abad ke-19. Adapula kemungkinan lain bahwa Sayyid Hasyim
Baabud bukanlah kakek langsung dari Sayyid Ibrahim Baabud, melainkan leluhur
beberapa generasi diatas Sayyid Ibrahim Baabud.45
B. Riwayat Pendidikan
Semenjak kecil Sayyid Ibrahim Baabud sudah mulai dikenalkan dengan
Ilmu keislaman, termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Disamping mendapatkan ilmu
agama dari orangtuanya dan juga para ulama Wonosobo, beliau juga belajar
kepada guru sekaligus sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib
Alattas Pekalongan. Hal ini diketahui setiap beliau pergi ke daerah Pekalongan
senantiasa dititipkan oleh KH. Hasbullah Bumen, Mojotengah dengan berjalan
menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang akan dihadiahkan kepada
44
Ibid, Hal 127. 45
Van Den Berg (1989) : p 74.
-
42
guru sekaligus sahabatnya itu. Di Pekalongan Sayyid Ibrahim Baabud juga
berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya.46
Perjalanan Sayyid Ibrahim Baabud menuntut ilmu di Pekalongan kepada
para ulama keturunan Arab di sana tidak lain karena pada abad ke-19
Pekalongan telah menjadi daerah kantong pemukiman orang-orang Arab
di Jawa.
Menurut catatan van den Berg Orang-orang Arab yang pertama menetap di
Pekalongan datang pada awal abad ini (abad ke-19, pen). Sebagian besar
diantaranya adalah golongan Sayyid yang menikah dengan anak
perempuan para pemimpin pribumi dan merupakan inti dari koloni besar
yang ada sekarang.Mereka adalah keturunan Sayyid dan anggota
keluarganya yang datang dari Hadramaut dan membentuk mayoritas
penduduk Arab di Pekalongan.
Selain itu beliau juga memperdalam ilmunya dengan belajar fikih kepada
Syekh Kholil Bangkalan yang merupakan ulama terkemuka pada awal abad ke-
20. Selain itu beliau juga pernah memperdalam ilmu agamanya di pondok
pesantren Tremas Pacitan meskipun tak diketahui kurun wakrunya. Di perkirakan
di Pacitan ini pula Sayyid Ibrahim belajar tarekat syatoriyah karena ada diantara
46Beliau merupakan Kakek dari Rais Aam Jam'iyyah Ahlu ath-Tariqah al-Mu'tabarah an-
Nahdliyyah yaitu Habib Luthfi bin Yahya. Tidak ada penjelasan yang jelas ketika Sayyid Ibrahim
Baabud belajar dengan para ulama di Pekalongan, sehingga tidak diketahui kapan tepatnya dia
pergi dan belajar di sana.
-
43
mursyid tarekat syatoriyah di Jawa yang tinggal di Pacitan.47
Tak jauh berbeda
dengan ayahnya (Sayyid Ali bin Hasyim Baabud) yang juga menuntut ilmu di
Makkah, Sayyid Ibrahim Baabud juga belajar di Makkah. Ia berguru antara lain
kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan serta Syekh Nawawi Al Bantani yang
merupakan ulama terkemuka pada periode akhir abad ke-19. Dalam perjalanan
menuntut ilmu di Mekkah beliau mempelajari ilmu Fikih dan sanad tarekat
(Allawiyah dan Satoriyah)48
yang kemudian digunakan dalam pengembangan
Islam di Wonosobo.Kecintaanya kepada ilmu dan Ulama Ahlussunah Wal
Jama‟ah beliau tunjukan melalui perjumpaannya dengan Sayid Zaini Dahlan di
Makkah Al Mukarromah. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan sendiri adalah Maha
guru yang berfaham Ahlussunah wal Jama‟ah dari para ulama Islam, dan
khususnya Nusantara pada zamannya.49
Dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan ini,
antara lain beliau mendapatkan sanad thariqoh Alawiyah.50
47
Mursyid tarekat Syatoriyah yang tinggal di Pacitan adalah Kyai Ageng Aliman dan Kyai Ageng
Ahmadiya. Kyai Ageng Aliman adalah mursyid ke-32 sedangkan Kyai Ageng Ahmadiya adalah
mursyid ke 33 di sanad toriqoh Syatoriyah. (Ahmad Muzan, 2011, hal 152) 48
Tariaqah allawiyah dan thariqah shatoriyah dibawa oleh keluarga Baabud dan bin Yahya yang
kemudian diajarkan kepada masyarakat Wonosobo dan merupakan bentuk hukum Islam yang
sesuai dengan ajaran Nabi.
49Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan adalah seorang mufti yang bermadzhab Syafi'i di Makkah.
Beliau merupakan sosok yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jawa (Muslim Asia Tenggara)
di sana. Peran pentingnya bagi masyarakat Jawa tercermin dalam fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan dalam bukunya yang berjudul Muhimmatun Nafa'is - sebuah buku koleksi fatwa yang
berasal dari pertanyaan masyarakat Jawa kepada ulama Mekkah - bahkan mayoritas fatwa di buku
itu berasal darinya. (Kaptein diLaffan, Michael (2007), Bangsa Islam dan Indonesia Kolonial.
Umma di bawah angin, Hal. 63)
50Wawancara dengan Ahmad Muzan (Sejarawan Wonosobo)Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.
-
44
C. Geneologi Keilmuan
Dalam menjalankan dakwah islamiyah, Sayyid Ibrahim senantiasa
mengikuti apa yang dilakukan oleh orangtuanya, seperti halnya mengajak orang
yang ditemuinya untuk beriman kepada Allah. Ajakan beliau banyak menarik
simpati masyarakat yang sepenuhnya belum mengenal Islam. Hal itu disebabkan
oleh cara dan metode yang beliau gunakan selalu beradaptasi dengan masyarakat
setiap harinya. Islam tidak dikesankan sebagai sesuatu yang baru dan menyalakan
segala bentuk peribadatan masyarakat yang tidak sesuai degan syara‟. Di tangan
beliau dan pengikutnya Islam disampaikan d
top related