silvi ade novra - repository.uinjkt.ac.id
Post on 06-Oct-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE RESISTIVITAS UNTUK MENGETAHUI POTENSI
LONGSOR PADA KAWASAN GEOSTECH, PUSPIPTEK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains
(S.Si)
Oleh
Silvi Ade Novra NIM: 11150970000052
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
i
ANALISIS BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE RESISTIVITAS UNTUK MENGETAHUI POTENSI
LONGSOR PADA KAWASAN GEOSTECH, PUSPIPTEK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains
(S.Si)
Oleh
Silvi Ade Novra NIM: 11150970000052
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN
iv
LEMBAR PERNYATAAN
2
v
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai identifikasi potensi longsor dengan metode
resistivitas konfigurasi Wenner-Alpha di Kawasan Geostech, Puspiptek, Serpong.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengambilan data geolistrik,
menginterpretasikan batuan pada bawah permukaan, dan mengidentifikasi potensi
longsor pada Kawasan Geostech berdasarkan pemodelan 2D dan 3D. Data
geolistrik diambil di 2 lintasan dengan spasi 2 m dan 3m di Kawasan Geostech.
Pemodelan dilakukan menggunakan Res2Dinv untuk 2D dan RockWorks16 untuk
3D. Hasil penelitian menunjukkan nilai distribusi resistivitas yaitu 7.31 – 765.5 Ωm
pada lintasan 1, dan 2.09 – 1822.3 Ωm pada lintasan 2. Terdapat potensi longsor
pada kedua lintasan, pada lintasan 1 terdapat pada bentangan 12 – 20 m dari arah
barat laut dan pada lintasan 2 terdapat pada bentangan 3 – 33 m dari arah timur laut.
Kata kunci: Geolistrik, Geostech, Longsor, Res2Dinv, Resistivitas, RockWorks16,
Wenner-Alpha
vi
ABSTRACT
The research of potential for landslides has been carried out using the resistivity
method Wenner-Alpha configuration in Geostech, Puspiptek, Serpong. The
research has study aims to take geoelectric data, interpret subsurface rocks, and
manage potential landslides in the Geostech using 2D and 3D modeling.
Geoelectric data was taken on 2 lines with spaces of 2 m and 3 m in the Geostech
Region. Modeling is done using Res2Dinv for 2D and RockWorks16 for 3D. The
results showed the resistivity distribution values are 7.31 - 765.5 Ωm on line 1, and
2.09 - 1822.3 Ωm on line 2. There was a potential for landslides on both lanes, on
lane 1 there was stretch 12 - 20 m from the northwest and on track 2 there is a
stretch of 3 - 33 m from the northeast direction.
Keyword: Geoelectrical, Geostech, Landslides, Res2Dinv, Resistivity, RockWorks,
Wenner- Alpha
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari penuh bahwa banyak sekali
kekurangan dalam penulisan dan keterbatasan dalam kemampuan maupun
pengetahuan. Namun, berkat usaha, do’a, dorongan serta nasehat positif dari
berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena ini, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Tati Zera, M.Si., selaku dosen pembimbing I yang dengan penuh
kesabaran memberikan bimbingan, arahan, waktu, dan nasihat dalam
penulisan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Heru Sri Naryanto, M.Sc., selaku Pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, waktu, dan nasihat
dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.
3. Bapak Nur Hidayat, S.T., M.Si., selaku Kepala Bagian Pusat Teknologi
Reduksi Bencana (PTRRB) BPPT yang telah memberikan arahan, waktu,
dan saran pada penulis selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak Ir. Eko Widi Santoso, M.Si., selaku Direktur Pusat Teknologi
Reduksi Bencana (PTRRB) BPPT yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di PTRRB.
5. Pak Rochman, Kak Puspa, Mas Shomim, Kak Syakira, dan seluruh staff
PTRRB yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data dan
penyusunan penulisan skripsi ini.
6. Ibu Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan persetujuan pelaksanaan tugas akhir skripsi ini.
viii
7. Ibu Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fisika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh dosen dan staff pengajar
yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu
berikan dapat bermanfaat dan memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
8. Keluarga besar tercinta, terutama kedua orang tua dan kakak adik yang
selalu memberikan kasih sayang, do’a, dukungan, bantuan dan semangat
kepada penulis.
9. Sahabat tersayang Ici, Marina, Nuyuy, Ririn, dan Tutut yang selalu
memberi bantuan, semangat dan do’a kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. November S.Si, Adya dan Shania yang sudah memberi semangat, nasihat,
hiburan dan bantuan kepada penulis selama kuliah maupun selama
penyusunan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan Fisika Angkatan 2015. Terima kasih
atas kebersamaan dan bantuannya baik langsung maupun tidak langsung.
12. Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan, dan do’a
yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih sayang
Allah SWT di dunia dan akhirat. Aamiin.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
penulis dimasa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca sekalian pada umumnya.
Jakarta, 19 Agustus 2019
Penulis,
Silvi Ade Novra
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 5
1.3 Batasan Masalah 6
1.4 Rumusan Masalah 6
1.5 Tujuan Penelitian 6
1.6 Manfaat Penelitian 7
1.7 Sistematika Penulisan 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Kondisi Regional 8
2.1.1 Letak Geografis Wilayah 8
2.1.2 Kondisi Geologi Wilayah 9
2.2 Metode Geofisika 11
2.3 Metode Geolistrik 13
2.4 Metode Resistivitas 14
2.5 Konsep Resistivitas Semu 16
2.6 Sifat Kelistrikan Batuan 17
2.7 Konfigurasi Geolistrik 18
2.8 Pengertian Longsor 20
2.9 Klasifikasi Longsor 22
2.10 Penyebab Longsor 25
x
x
BAB III METODE PENELITIAN 28
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 28
3.2 Instrumen Penelitian 28
3.2.1 Perangkat Keras 29
3.2.2 Perangkat Lunak 30
3.3 Diagram Alir 31
3.4 Cara Kerja Pengambilan Data 31
3.5 Prosedur Pengolahan Data 32
3.5.1 Pengolahan Data Geolistrik 2D 32
3.5.2 Pengolahan Data Geolistrik 3D 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35
4.1 Hasil Analisa Geolistrik 35
4.1.1 Hasil Koordinat Wilayah 36
4.1.2 Hasil Penampang Lintasan 1 37
4.1.3 Hasil Penampang Lintasan 2 38
4.2 Pembahasan 39
4.2.1 Interpretasi Lintasan 1 41
4.2.2 Interpretasi Lintasan 2 43
4.2.3 Interpretasi dan Hasil Pemodelan 3D 45
4.2.4 Identifikasi Potensi Tanah Longsor 46
BAB V PENUTUP 49
5.1 Kesimpulan 49
5.2 Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Metode Survei Geofisika 11
Tabel 2. Nilai Resistivitas Batuan 18
Tabel 3. Bagian-Bagian Longsoran 21
Tabel 4. Koordinat Pengambilan Data 36
Tabel 5. Hasil Korelasi Peta Geologi, Tabel Resistivitas, dan Hasil Penampang 40
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Di Kota Tangerang Selatan 8
Gambar 2. Morfologi Daerah Penelitian 9
Gambar 3. Peta Geologi Regional 9
Gambar 4. Aliran Arus dari Satu Permukaan Elektroda 15
Gambar 5. Konfigurasi Wenner-Alpha 19
Gambar 6. Bagian-Bagian Longsoran 20
Gambar 7. Jenis Gerakan Longsor Jatuhan 22
Gambar 8. Jenis Gerakan Longsor Robohan 23
Gambar 9. Jenis Gerakan Longsor Gelincir 23
Gambar 10. Jenis Gerakan Longsor Pancaran Lateral 24
Gambar 11. Jenis Gerakan Longsor Aliran 24
Gambar 12. Jenis Gerakan Longsor Amblasan 25
Gambar 13. Lokasi Penelitian 28
Gambar 14. Komponen Alat Penelitian 30
Gambar 15. Diagram Alir Penelitian 31
Gambar 16. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv 33
Gambar 17. Hasil Pemodelan 3D menggunakan RockWorks 16 34
Gambar 18. Sebaran Lintasan Pengambilan Data 35
Gambar 19. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv pada Penampang Lintasan 1 37
Gambar 20. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv pada Penampang Lintasan 2 38
Gambar 21. Data Korelasi Interpretasi Penampang 39
Gambar 22. Hasil Interpretasi pada Lapisan Penampang Lintasan 1 42
Gambar 23. Hasil Analisa Lintasan 2. 44
Gambar 24. Hasil Pemodelan 3D menggunakan Rock Works 16 45
Gambar 25. Hasil Plot Pemodelan 3D dalam Google Earth 45
Gambar 26. Potensi Longsor pada Lintasan 1 46
Gambar 27. Potensi Longsor pada Lintasan 2 47
Gambar 28. Sketsa Longsoran di Lintasan 2 yang Terjadi pada Tahun 2017 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah SWT menciptakan Bumi dengan sebaik-baiknya dan penuh manfaat.
Dalam penciptaannya Bumi terdiri dari beberapa lapis seperti yang dijelaskan
dalam Al-Qur’an Surah Al Mu’minun 17 dan 18:
نزلا من (١٧)ولقد خلقنا فوقكم سبع طرائق وما كنا عن اللق غفلين ﴿وأ
ذه رض وإنا علسكناه ف ال
ماء ماء بقدر فأ ﴾ ( ١٨)اب به لقادرون الس
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan
(tujuh buah langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami). Dan Kami
turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di
bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.
Demikianlah kuasa Allah untuk menciptakan manusia melalui tahapan-
tahapan yang sangat mengagumkan. Begitu besar nikmat yang Allah karuniakan
kepada manusia. Dan di antara nikmat itu adalah bahwa sungguh, kami telah
menciptakan tujuh lapis langit di atas kamu, dan kami tidaklah lengah terhadap
ciptaan kami. Kami akan selalu menjaganya untuk kebaikan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Dan di antara bentuk pemeliharaan kami adalah bahwa kami
turunkan air tawar dalam berbagai bentuk, dari yang cair hingga butiran es, dari
langit dengan suatu ukuran bagi makhluk ciptaan kami; lalu untuk memudahkan
pemanfaatannya kami jadikan air itu menetap dan tersimpan di bumi, dan pasti kami
2
berkuasa pula untuk melenyapkannya, namun kami tidak melakukannya karena
rahmat kami kepada para makhluk. [1]
Bencana tanah longsor (gerakan tanah) merupakan bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia, salah satunya terjadi pada 10 Febuari di Kabupaten Lebak
Provinsi Banten pada tahun 2019. Indonesia merupakan wilayah yang rentan
mengalami kejadian bencana longsor karena berada pada wilayah tropis dengan
curah hujan tinggi yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya longsor. Tanah
longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang
terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis.
Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong
dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan
bergeraknya material tersebut [2].
Menurut data [3] sepanjang tahun 2019 bencana longsor merupakan salah
satu bencana yang sering terjadi yakni berada pada peringkat kedua di Indonesia
setelah puting beliung. Jumlah bencana longsor yang terjadi pada tahun 2019
sebanyak 522 kasus dengan 178 korban meninggal dunia serta luka-luka, 1.185
bangunan rusak, dan 5.082 warga harus mengungsi. Bencana longsor
mengakibatkan kerusakan yang membuat kegiatan masyarakat terhambat.
Salah satu wilayah yang berpotensi mengalami bencana longsor adalah
Provinsi Banten khususnya Kawasan PUSPIPTEK. Menurut [2], yang menjadi
faktor penentu terjadinya gerak tanah ini adalah sifat fisik tanah dan batuan, struktur
geologi, kemiringan lereng, vegetasi penutup serta faktor beban dan getaran. Hal
3
tersebut mendukung bahwa Kawasan PUSPIPTEK berpotensi longsor dengan
intensitas tidak terlalu tinggi, disebabkan karena morfologi Kawasan PUSPIPTEK
yang bergelombang serta terdapat banyak tebing curam. Batuan penyusun Kawasan
ini yang terdiri dari batuan vulkanik yang halus merupakan salah satu faktor
terjadinya tanah longsor. Batuan halus memiliki sifat porositas yang menyebabkan
air mudah terserap pada batuan sehingga menimbulkan gerakan tanah atau longsor.
PUSPIPTEK yang berada di Serpong, Tangerang Selatan merupakan unit
kerja di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi didirikan
berdasarkan Keputusan Presiden nomor 43/1976 tanggal 1 Oktober 1976. Terdapat
50 Pusat/Balai/Balai Besar dalam Kawasan PUSPIPTEK yang terdiri atas 3 LPNK
(BATAN, BPPT, dan LIPI) dan 2 Kementerian (Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi; dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Kawasan
ini berdiri di atas lahan seluas 460 hektar. Sebagian besar kawasan merupakan
ruang terbuka hijau (RTH). [4]
Gedung Geostech yang terletak di Kawasan Puspipitek dibangun pada tahun
2013. Morfologi awal Kawasan Puspiptek tidak rata maka dalam pembangunan
gedung geostech dilakukan pemotongan lereng dan pengurugan (cut and fill) untuk
membentuk morfologi yang relative datar. Komplek gedung geostech di Kawasan
Puspiptek menjadi salah satu daerah yang mengalami bencana tanah longsor.
Bencana tanah longsor pernah terjadi di Geostech pada tahun 2017. Sebagai pusat
penelitian yang merupakan sarana strategis, infrastruktur didalamnya harus kuat
selain itu keadaan lingkungan harus pada kondisi yang selalu aman. Kondisi
lingkungan yang aman merupakan hal penting dari berdirinya kawasan penelitian
4
yang aktif, hal itu dapat menghindarkan atau meminimalisir terjadinya kecelakaan
kerja pada Kawasan penelitian. Maka dari itu, penulis memutuskan melakukan
penelitian di Kawasan Puspiptek.
Berdasarkan data [5] Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG), Kawasan Puspiptek yang berada di Kecamatan Setu, Kota Tangerang
Selatan memiliki potensi longsor tipe menengah. Tipe menengah merupakan daerah
yang mempunyai potensi menengah untuk terjadi longsor. Pada zona ini dapat
terjadi longsor jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami
gangguan.
Untuk mengetahui lebih rinci kondisi daerah yang berpotensi tanah longsor,
perlu diketahui kondisi bawah permukaan. Geometri longsor ditetapkan
berdasarkan analisis litologi dan struktur bawah permukaan, sehingga dapat
ditentukan litologi yang berperan sebagai pemicu terjadinya longsor. Pengukuran
geolistrik 2D merupakan salah satu pekerjaan metode geolistrik yang dilakukan
untuk mengetahui informasi bawah permukaan, yang antara lain bisa untuk
mendeteksi kondisi geometri longsor, lapisan batuan, ketebalan, kedalaman dan
penyebarannya. Dengan demikian batas dan arah hamparan serta kontinuitas
material dapat diketahui secara vertikal dan horisontal. [6]
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lapisan bawah
permukaan yang berpotensi longsor adalah menggunakan metode resistivitas
konfigurasi Wenner-Alpha. Tujuan melakukan survei dengan metode resistivitas
adalah untuk mengetahui distribusi nilai resistivitas di dalam bumi namun
5
pengukurannya di permukaan bumi. Nilai resisitivitas yang didapatkan akan
dihubungkan dengan parameter-parameter geologi seperti kandungan air, porositas,
mineral dan lain sebagainya. Distribusi nilai resistivitas di bawah permukaan
dihasilkan berdasarkan pada kemampuan batuan menghantarkan listrik. Aliran
listrik terdiri dari gerakan muatan listrik yang diwakili oleh elektron atau ion. Ion
sendiri bergerak dalam cairan pada pori-pori batuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa arus listrik bergerak melalui batuan dan formasi geologi sangat dipengaruhi
oleh jumlah kadar airnya. Penggunaan metode resistivitas konfigurasi Wenner-
Alpha ini memiliki keunggulan dibanding dengan metode geofisika lainnya yaitu
mampu menyajikan struktur bawah permukan tanah secara detail meliputi
kedalaman, lebar, panjang dan lintasan penelitian [7].
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah ditulis didapat beberapa identifikasi masalah,
yaitu:
1. Adanya beberapa potensi kerentanan tanah longsor di lingkungan Gedung
Geostech, Kawasan Puspiptek
2. Pentingnya mengetahui potensi longsor untuk mengurangi dampak bencana
yang ditimbulkan
3. Belum ada penelitian yang dibuat untuk menentukan bidang gelincir di
lingkungan Gedung Geostech, Kawasan Puspiptek
6
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dari latar belakang yang telah ditulis dapat
ditentukan batasan masalah yang akan dibuat, yaitu:
1. Penelitian ini dilakukan di lingkungan Geostech, Kawasan Puspiptek
2. Mengkaji potensi longsor di lingkungan Geostech
3. Pengolahan data dilakukan menggunakan Res2Dinv
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang dibuat, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana lapisan batuan penyusun pada bawah permukaan lingkungan
Gedung Geostech?
2. Bagaimana potensi tanah longsor berdasarkan nilai resistivitas di
lingkungan Gedung Geostech?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji potensi longsor di kawasan geostech degan motode resistivitas dan alat
Ares v 5.6, yang meliputi:
1. Melakukan pengambilan data survei geolistrik dengan alat Ares v 5.6
2. Membuat pemodelan 2D dan 3D
3. Menginterpretasikan batuan yang berada di bawah permukaan tanah
4. Mengidentifikasikan potensi longsor di lingkungan Gedung Geostech
7
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memahami aplikasi metode geolistrik Resistivity 2D untuk mengetahui
potensi longsor
2. Memberikan informasi kondisi bawah permukaan
3. Memberikan informasi potensi longsor di lingkungan Gedung Geostech
4. Dapat dijadikan sebagai referensi penelitian potensi longsor selanjutnya
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan
Bab ini menjelaskan mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Batasan
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II: Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan mengenai kondisi regional penelitian yang terdiri dari letak
geografis, kondisi wilayah, dasar teori yang terdiri dari metode geolistrik,
resistivitas semu, sifat kelistrikan batuan, longsor, dan hipotesis.
BAB III: Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai lokasi dan waktu penelitian, instrumen penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan diagram alir penelitian.
BAB IV: Pembahasan
Bab ini menjelaskan mengenai hasil pengolahan data, pembahasan, dan interpretasi.
BAB V: Kesimpulan
Merupakan kesimpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Regional
2.1.1 Letak Geografis Wilayah
Kota Tangerang Selatan merupakan sebuah kota di Provinsi Banten yang
beribukota di Ciputat. Wilayah kota Tangerang selatan ini terletak pada koordinat
6°17’20’’ Lintang Selatan dan 106°43’05’’ Bujur Timur dengan luas wilayah
sebesar 147,2 km2. Di sebelah utara kota ini berbatasan dengan Kota Tangerang,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah timur berbatasan
dengan Ibukota Jakarta, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Di Kota Tangerang Selatan [8]
Kawasan PUSPIPTEK terletak pada koordinat 6°21’31’’ Lintang Selatan dan
106°40’22’’ Bujur Timur berada di bagian Selatan Kota Tangerang Selatan. Luas
Kawasan PUSPIPTEK sebesar 350 hektar atau 3,5 km2 setara dengan 0.02% luas
total wilayah Tangerang Selatan. Kondisi topografi daerah penelitian merupakan
dataran rendah relatif datar dengan lahan yang bergelombang dengan kemiringan
tanah rata-rata 3-8%.
9
2.1.2 Kondisi Geologi Wilayah
Gambar 3. Peta Geologi Regional [9]
Gambar 2. Morfologi Daerah Penelitian
10
Morfologi daerah penelitian terdiri dari morfologi bergelombang ringan
sampai sedang di daerah perhutani yang arahnya memanjang. Dengan ketinggian
60 m hingga 85 m di atas permukaan laut dan kemiringan sampai 80°. Provinsi
Banten memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan
wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di
wilayah utara. Memiliki curah hujan dengan kisaran antara 2000-4000 mm/th.
Geologi regional daerah penelitian dapat dilihat pada peta geologi lembar
Jakarta dan Kepulauan Seribu, Jawa skala 1: 100.000 oleh [9]. Berdasarkan peta
geologi tersebut dan pengamatan di lokasi penelitian di jumpai litologi sebagai
berikut:
a. Batuan Gunung Api Muda (Qv) terdiri dari breksi, lahar, tuf breksi, dan tuf
batu apung.
b. Alluvium (Qa) terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan
bongkah.
c. Kipas Alluvium (Qav) terdiri dari tuf halus berlapis, tuf pasiran, berselingan
dengan tuf konglomeratan.
d. Formasi Serpong (Tpss) terdiri dari perselingan konglomerat, batu pasir,
batu lanau, dan batu lempung dengan sisa tanaman, konglomerat batu apung
dan tuf batu apung.
e. Formasi Genteng (Tpg) terdiri dari tuf batu apung, batu pasir tufan, breksi
andesit, konglomerat dan sisipan batu lempung tufan
f. Formasi Bojong Manik (Tmb) terdiri dari perselingan batu pasir dan batu
lempung dengan sisipan batu gamping
11
2.2 Metode Geofisika
Geofisika adalah ilmu yang mempelajari bumi dengan menggunakan prinsip-
prinsip fisika. Metode geofisika terbagi menjadi dua kategori, yaitu metode pasif
dan aktif. Metode pasif dilakukan dengan mengukur medan alami seperti radiasi
gelombang gempa bumi, medan gravitasi bumi, medan magnet bumi, medan listrik
dan elektromagnetik bumi yang dipancarkan oleh bumi. Metode aktif dilakukan
dengan membuat medan gangguan kemudian mengukur respon yang dilakukan
oleh bumi. Medan buatan dapat berupa ledakan dinamit, pemberian arus listrik ke
dalam tanah, pengiriman sinyal radar dan lain sebagainya.
Dalam kegiatan eksplorasi, metode geofisika terdiri dari beberapa metode yaitu
metode geolistrik, metode seismik, metode gravitasi, metode geomagnet, dan
ground penetrating radar (GPR). Setiap metode memiliki fungsi dan pencarian
parameter yang berbeda, seperti yang dtunjukkan pada tabel di bawah:
Tabel 1. Metode Survei Geofisika [10]
Metode Parameter Terukur Sifat Fisika Yang
Digunakan
Seismik Waktu tempuh gelombang
seismik
Densitas dan Modulus
Elastisitas
Gravitasi Perbedaan medan gravitasi Densitas
Magnetik Perbedaan nilai medan
magnetik
Suseptibilitas Magnetik
dan Remanen
Elektrik
Resistivitas Resistivitas Bumi Konduktivitas Elektrik
Induksi Polarisasi Polaritas Tegangan Kapasitansi Elektrik
Potensial Diri Potensial Elektrik Konduktivitas Elektrik
Radar Waktu tempuh dari sinyal
radar yang terefleksi
Konstanta Dielektrik
Elektromagnetik Respon dari radiasi
elektromagnetik
Konduktivitas Elektrik
dan Induksi
12
Metode geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang memanfaatkan
aliran listrik yang bertegangan tinggi ke bawah permukaan bumi untuk
memperlihatkan struktur bawah permukaan. Metode ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan berdasarkan nilai
kelistrikan.
Metode seismik adalah salah satu metode geofisika yang memanfaatkan
penjalaran gelombang seismik di bawah permukaan bumi untuk dapat
memperlihatkan struktur bawah permukaan. Metode seismik secara umum
didasarkan pada perambatan gelombang seismik dari sumber getar (source) ke
dalam lapisan-lapisan bumi yang kemudian gelombang tersebut mengalami refleksi
ataupun refraksi akibat perbedaan elastisitas medium di bawah permukaan dan
selanjutnya gelombang tersebut akan diterima oleh geophone (receiver).
Metode geomagnet adalah salah satu metode geofisika yang didasarkan pada
perbedaan tingkat magnetisasi suatu batuan yang diinduksi oleh medan magnet
bumi. Tujuan dari survei magnetik adalah untuk menyelidiki geologi bawah
permukaan berdasarkan anomali di bidang magnet bumi yang dihasilkan dari sifat
magnetik batuan yang mendasari. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan
sifat kemagnetan suatu material. Kemampuan untuk termagnetisasi tergantung dari
suseptibilitas magnetik masing-masing batuan. Harga suseptibilitas ini sangat
penting di dalam pencarian benda anomali karena sifat yang khas untuk setiap jenis
mineral atau mineral logam. [11]
13
Metode gravitasi merupakan salah satu metode geofisika yang didasarkan
pada variasi dalam bidang gravitasi bumi yang timbul dari perbedaan kepadatan
antara batuan bawah permukaan. Metode ini memanfaatkan variasi densitas yang
terdistribusi dalam lapisan tanah. Setiap batuan atau material mempunyai besar
densitas yang berbeda-beda dan dapat mempengaruhi terhadap variasi medan
gravitasi bumi, sehingga terjadi anomali gravitasi.
Ground penetrating radar (GPR) adalah teknik pencitraan bawah permukaan
pada resolusi tinggi. Meskipun analog dalam beberapa hal mirip dengan metode
seismik, metode ini dimasukkan dalam elektromagnetik karena perambatan
gelombang radar melalui suatu medium dikendalikan oleh sifat-sifat kelistrikannya
pada frekuensi tinggi. GPR adalah teknik non-destruktif yang cocok diterapkan di
lingkungan perkotaan dan sensitif. GPR memiliki banyak aplikasi geologi, seperti
pencitraan tanah dangkal dan struktur batuan pada resolusi tinggi dan menemukan
saluran yang terkubur.
2.3 Metode Geolistrik
Metode geolistrik adalah suatu teknik investigasi dari permukaan tanah untuk
mengetahui lapisan-lapisan batuan atau material berdasarkan pada prinsip bahwa
lapisan batuan atau masing-masing material mempunyai nilai resistivitas atau
hambatan jenis yang berbeda-beda. Tujuan dari survei geolistrik adalah untuk
menentukan distribusi nilai resistivitas dari pengukuran yang dilakukan di
permukaan tanah [12]. Metode geolistrik merupakan metode geofisika aktif karena
memerlukan medan gangguan berupa arus listrik yang diinjeksikan ke dalam tanah
untuk mendapatkan respon bumi. Metode geolistrik dibedakan menjadi lima
14
metode yaitu metode potensial diri atau self-potential (SP), polarisasi induksi atau
induced polarization (IP), tahanan jenis, elektromagnetik, dan magnetotelurik.
Setiap metode mencari parameter fisik yang berbeda dan memiliki tujuan yang
berbeda. Metode geolistrik sangat berguna untuk eksplorasi geofisika dan survei
lingkungan kebencanaan karena dapat melihat kondisi bawah permukaan secara
lateral.
Prinsip kerja metode geolistrik dilakukan dengan cara menginjeksikan arus
listrik ke permukaan tanah melalui sepasang elektroda dan mengukur beda
potensial dengan sepasang elektroda yang lain. Bila arus listrik diinjeksikan ke
dalam suatu medium dan diukur beda potensialnya (tegangan), maka nilai hambatan
dari medium tersebut dapat diperkirakan.
2.4 Metode Resistivitas
Metode resistivitas adalah salah satu dari kelompok metode geolistrik yang
bertujuan untuk mempelajari sifat fisis batuan yang terdapat dibawah permukaan
berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis. Dalam metode resistivitas, arus listrik
yang dihasilkan secara buatan dimasukkan ke dalam tanah dan perbedaan potensial
yang dihasilkan diukur di permukaan. Penyimpangan dari pola perbedaan potensial
yang diharapkan dari tanah homogen memberikan informasi tentang bentuk dan
sifat listrik dari ketidakhomogenan bawah permukaan. [10]
Metode resistivitas merupakan salah satu dari kelompok metode geolistrik
yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara
mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Metode
ini dilakukan dengan mengalirkan arus listrik searah ke dalam bumi melalui
15
elektroda arus, selanjutnya distribusi medan potensial diukur dengan elektroda
potensial. Variasi nilai tahanan jenis dihitung berdasarkan besar arus dan potensial
yang terukur. [12]
Arus listrik mengalir ke dalam bumi yang homogen isotropic melalui
elektroda arus, maka arus mengalir ke segala arah dalam bumi, seperti gambar
berikut:
Gambar 4. Aliran Arus dari Satu Permukaan Elektroda [10]
Karena arus yang mengalir adalah kontinu pada medium yang homogen
isotropik, maka arus yang melalui permukaan δA adalah J. δA dimana δA adalah
elemen permukaan dan J adalah rapat arus dalam ampere/meter2. Berdasarkan
hukum ohm hubungan antara rapat arus J dengan medan listrik E adalah:
𝐽 = 𝜎𝐸 (2.1)
Dimana E adalah medan listrik dengan satuan volt/meter, σ adalah
konduktivitas bahan dengan satuan meter/ohm, dan ρ adalah resistivity dengan
satuan ohm meter. Medan listrik E dapat dinyatakan sebagai gradien potensial:
𝐸 = −∇V (2.2)
Dengan V dalam satuan volt, maka persamaan 2.2 disubtitusikan dengan
persamaan 2.1 menjadi:
16
𝐽 = 𝜎𝐸 = −𝜎∇𝑉 (2.3)
Aliran arus listrik dalam suatu medium memenuhi hukum kontinuitas untuk
arus dan didasarkan pada prinsip hukum kekalan muatan yang dapat dituliskan
sebagai berikut:
∇. 𝐽 = −𝜕𝑞
𝜕𝑡
(2.4)
Dimana q adalah rapat muatan dengan satuan coulomb/m3. Jika arus
stasioner, maka:
∇. 𝐽 = 0 (2.5)
Jika persamaan 2.3 disubtitusikan ke dalam persamaan 2.5 maka diperoleh:
∇. (𝜎∇𝑉) = 0 (2.6)
Untuk medium yang homogen isotropik, potensial adalah konstan maka
persamaan memenuhi persamaan Laplace:
∇2𝑉 = 0 (2.7)
2.5 Konsep Resistivitas Semu
Metode resistivitas diasumsikan bahwa bumi memiliki sifat homogen
isotropis. Dengan asumsi ini, resistivitas yang terukur merupakan resistivitas
sebenarnya dan tidak bergantung pada elektroda. Pada kenyataannya, bumi ini
terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ yang berbeda-beda, sehingga potensial yang
terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Maka harga resistivitas
yang terukur bukan merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan terutama pada
spasi elektroda yang lebar. Resistivtas semu dapat dirumuskan dengan persamaan:
17
𝜌𝑎 =𝐾 ∆𝑉
𝑙
(2.8)
Dimana ρa adalah resistivitas semu (ohm meter), K adalah faktor geometri, ΔV
adalah beda potensial (Volt), dan I adalah kuat arus (amper).
2.6 Sifat Kelistrikan Batuan
Sifat kelistrikan batuan merupakan karakteristrik batuan saat dialirkan arus
listrik ke dalamnya. Batuan di bawah permukaan dianggap sebagai media
penghantar listrik, sehingga mempunyai nilai tahanan jenis. Menurut [13] sifat
kelistrikan batuan dibedakan menjadi tiga macam, sebagai berikut:
a. Konduksi secara elektronik terjadi ketika batuan memiliki banyak elektron
bebas, sehingga arus listrik yang mengalir dalam batuan dialirkan oleh
elektron bebas
b. Konduksi secara elektrolitik terjadi jika batuan bersifat poros dan pori-pori
tersebut terisi fluida elektrolitik. Pada kondisi ini aliran listrik oleh ion
elektrolit.
c. Kondisi secara dielektrik terjadi jika batuan bersifat dielektrik artinya
batuan tersebut mempunyai elektron bebas sedikit bahkan tidak memiliki
elektron bebas. [14]
Berdasarkan nilai resistivitas listrik, batuan dan mineral dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Konduktor baik : 10-8<ρ<1 Ωm
2. Konduktor pertengahan : 1< ρ<107 Ωm
3. Isolator : ρ<107 Ωm
18
Tabel 2. Nilai Resistivitas Batuan [13]
Batuan Resistivitas (Ωm)
Pirit 0.01 - 100
Kwarsa 500 - 8 x 105
Kalsit 1012 – 1013
Garam Batu 30 – 1013
Granit 200 – 105
Andesit 1.7 x 102 – 45 x 104
Basal 200 – 105
Gamping 500 – 104
Batu Pasir 200 – 8 x 103
Serpih 20 – 2 x 103
Pasir 1 – 103
Lempung 1 – 100
Air Tanah 0.5 – 300
Air Asin 0.2
Magnetit 0.01 – 103
Kerikil Kering 600 – 104
Aluvium 10 – 800
Kerikil 100 – 600
Konglomerat 100 – 500
Tufa 20 – 200
2.7 Konfigurasi Geolistrik
Pada dasarnya, peletakaan posisi elektroda secara substansial sangat
memengaruhi hasil pengambilan data. Konfigurasi yang berbeda memiliki
sensitivitas yang berbeda untuk ketidak homogenan bawah permukaan dan juga
resistensi yang berbeda terhadap noise. Konfigurasi elektroda pasti mempengaruhi
pembacaan arus dan potensial. Untuk dapat membandingkan pengukuran dengan
konfigurasi elektroda yang berbeda, nilai yang diukur harus dikoreksi untuk efek
konfigurasi elektroda. Ini dilakukan dengan mengalikan bacaan dengan konfigurasi
konstanta, k:
19
𝜌 =𝑘∆𝑉
𝐼
(2.9)
Konstanta array hanya bergantung pada jarak antara masing-masing elektroda:
𝐾 =2𝜋
1𝑐𝑝
(2.10)
Berdasarkan letak elektroda, dapat dibedakan beberapa jenis konfigurasi yaitu
konfigurasi Wenner-Beta, Wenner-Gamma, Schlumberger, Dipole – Dipole, Pole
– Dipole, Pole – Pole, dan Wenner – Alpha.
Konfigurasi Wenner-Alpha merupakan konfigurasi dengan sistem aturan
spasi yang konstan pada setiap elektroda arus dan eletroda potensial. Peletakan
elektroda seperti C1 – P1 – P2 – C2 dengan C sebagai elektroda arus dan P sebagai
elektroda potensial. Kelebihan dari konfigurasi ini sangat cocok untuk medan yang
sulit atau terjal karena penggunaan yang cukup mudah. Konfigurasi ini memiliki
nilai faktor geometri sebesar:
𝑘 = 2𝜋𝑎 (2.11)
Gambar 5. Konfigurasi Wenner-Alpha
20
2.8 Pengertian Longsor
Tanah longsor atau gerakan tanah adalah gerakan perpindahan atau gerakan
lereng dari bagian atas atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak,
mendatar atau miring dari kedudukan semula. [15]
Sedangkan menurut [16] tanah longsor adalah proses perpindahan massa
batuan (tanah) akibat gaya berat (gravitasi). Longsor terjadi karena adanya
gangguan kesetimbangan gaya yang bekerja pada lereng yakni gaya penahan dan
gaya peluncur. Gaya peluncur dipengaruhi oleh kandungan air, berat masa tanah itu
sendiri berat beban bangunan. Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan
adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan besarnya gaya peluncur pada suatu
lereng menjadi lebih besar daripada gaya penahannya, sehingga menyebabkan masa
tanah bergerak turun.
Pada gerakan longsor terdapat beberapa bagian-bagian longsoran yaitu sebagai
berikut:
Gambar 6. Bagian-Bagian Longsoran [17]
21
Tabel 3. Bagian-Bagian Longsoran [15]
Nama Definisi
Mahkota Longsoran Daerah yang tidak bergerak dan berdekatan dengan bagian
tertinggi dari tebing atau gawir utama longsoran
Tebing atau gawir utama
longsoran
Permukaan lereng yang curam pada tanah yang tidak
terganggu dan terletak pada bagian atas dari longsoran.
Puncak longsoran Titik tertinggi terletak di antara kontak material yang
bergerak atau pindah dengan tebing atau gawir utama
longsoran
Kepala longsoran Bagian atas dari longsoran sepanjang kontak antara material
yang bergerak atau pindah dan tebing atau gawir utama
longsoran
Tubuh utama Bagian longsoran yang terletak pada material yang bergerak
yang merupakan tampalan antara bidang gelincir, tebing
utama longsoran dan jari bidang gelincir
Kaki longsoran Bagian dari longsoran yang bergerak mulai dari jari bidang
gelincir dan bertampalan dengan permukaan tanah asli
Ujung longsoran Titik pada jari kaki longsoran yang letaknya paling jauh dari
puncak longsoran
Jari kaki longsoran Bagian paling bawah longsoran yang biasanya berbentuk
lengkung, berasal dari material longsoran yan bergerak dan
letaknya paling jauh dari tebing utama
Bidang gelincir Bidang kedap air yang menjadi landasan bergeraknya massa
tanah
Permukaan pemisah Bagian dari permukaan tanah asli yang bertampalan dengan
kaki longsoran
Material yang bergerak Material yang bergerak dari posisi asli yang digerakkan oleh
longsoran yang dibentuk oleh massa yang tertekan dan
akumulasi massa
Daerah yang tertekan Daerah dari longsoran yang terdapat di dalam material yang
bergerak dan terletak di bawah permukaan tanah asli
Zona akumulasi Daerah dari longsoran yang terdapat di dalam material yang
bergerak dan terletak di atas pemukaan tanah asli
Massa yang tertekan Volume dari material yang bergerak bertampalan dengan
bidang gelincir tetapi berada di bawah permukaan tanah asli
Akumulasi Volume dari material yang bergeak dan terletak di atas
permukaan tanah asli
Sayap Material yang tidak mengalami pergerakan yang berdekatan
dengan sisi samping bidang gelincir
Permukaan tanah yang
asli
Permukaan lereng sebelum terjadi longsoran
22
2.9 Klasifikasi Longsor
Menurut [15], longsor menunjukkan gerakan ke bawah dan ke luar dari
bahan-bahan pembentuk lereng yang terdiri dari batuan alam, tanah, isian artifisial,
atau kombinasi bahan-bahan tersebut. Massa yang bergerak dilanjutkan melalui tiga
jenis gerakan utama, yaitu jatuh, meluncur, dan mengalir atau kombinasi gerakan
tersebut. Tanah longsor dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe yakni berdasarkan
tipe pergerakan dan tipe material yang terlibat. Material dalam massa tanah longsor
adalah batu dan tanah. Jenis gerakan menjelaskan bagaimana massa tanah longsor
dipindahkan. Gerakan tanah longsor diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu [15]:
a. Jatuhan (Falls)
Jatuhan merupakan tipe gerakan tanah longsor yang disebabkan pergerakan
massa material geologi berupa tanah atau batuan yang terlepas dari tebing atau
lereng yang curam akibat gravitasi. Pada tipe ini massa tanah atau batuan lepas
dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit atau tanpa terjadi pegeseran
(tanpa terjadi longsoran) kemudian meluncur sebagian di udara seperti jatuh
bebas, loncat atau menggelending. [18]
Gambar 7. Jenis Gerakan Longsor Jatuhan [17]
23
b. Jungkiran (Topple)
Jungkiran merupakan tipe gerakan tanah memutar ke depan dari beberapa
blok tanah atau batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan oleh
gaya gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya atau gaya
yang ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan. Tipe gerakan
tanah ini biasa terjadi pada tebing yang sangat curam sampai tegak dan tidak
mempunyai bidang longsoran. [18]
Gambar 8. Jenis Gerakan Longsor Robohan [17]
c. Gelinciran (Slides)
Gelinciran merupakan gerakan tanah menuruni lereng oleh material
penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng. Retakan berbentuk
lengkung tapal kuda pada bagian permukaan lereng merupakan tanda awal
gelinciran ini.
Gambar 9. Jenis Gerakan Longsor Gelincir [17]
24
d. Sebaran (Spreads)
Pancaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang
bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bagian dengan kemiringan
landai sampai datar. Pergerakan terjadi pada lereng yang tersusun atas tanah
lunak dan terbebani oleh massa tanah diatasnya. Pembebanan inilah yang
mengakibatkan lapisan tanah lunak tertekan dan mengembang ke arah lateral.
Gambar 10. Jenis Gerakan Longsor Pancaran Lateral [17]
e. Aliran (Flows)
Aliran (flows) yaitu aliran massa yang berupa aliran fluida kental. Aliran
pada bahan rombakan dapat dibedakan menjadi aliran bahan rombakan
(debris), aliran tanah (earth flow) apabila massa yang bergerak didominasi oleh
material tanah berukuran butir halus, dan aliran lumpur (mud flow) apabila
massa yang jenuh air.
Gambar 11. Jenis Gerakan Longsor Aliran [17]
25
f. Amblesan (Land-Subsidence)
Amblesan (land subsidence) adalah gerakan ke bawah di permukaan bumi dari
suatu datum, sehingga ketinggian muka tanah berkurang dari semula [19].
Amblesan, terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air tanah yang
berlebihan, proses pengikisan tanah dan pelarutan pada batugamping, serta pada
daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah [2].
Gambar 12. Jenis Gerakan Longsor Amblasan [17]
2.10 Penyebab Longsor
Tanah longsor terjadi karena dua faktor utama yaitu faktor pengontrol dan
faktor pemicu. Faktor pengontrol adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi
material itu sendiri seperti kondisi geologi, kemiringan lereng, litologi, sesar dan
kekar pada batuan. Faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya
material tersebut seperti curah hujan, gempabumi, erosi kaki lereng dan aktivitas
manusia [2]. Berikut beberapa faktor penyebab tanah longsor:
26
a. Curah Hujan Tinggi
Kejadian longsor sering terjadi saat sedang musim hujan, hal ini disebabkan
karena saat musim kemarau terjadi penguapan pada tanah sehingga muncul pori-
pori pada tanah. Pori-pori ini membuat retakan pada tanah di permukaan, sehingga
saat musim hujan air yang turun akan langsung memasuki retakan lalu membuat
tanah kembali mengembang. Saat awal musim hujan intensitas hujan yang turun
sangat tinggi menyebabkan kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu
yang singkat. Hujan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan longsor karena air
akan masuk ke rekahan tanah lalu terakumulasi dibagian dasar sehingga
menimbulkan gerakan lateral. [20]
b. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal
terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan
sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180º apabila ujung lerengnya terjal
dan bidang longsornya mendatar. [12]
c. Tata Guna Lahan
Vegetasi merupakan faktor yang penting dalam kekuatan lereng. Hilangnya
pepohonan di dataran tinggi akan mempengaruhi terhadap proses terjadinya
longsor. Akar tumbuhan berfungsi mengikat tanah sekaligus menjaga pori-pori
tanah dibawahnya, sehingga aliran air hujan ke dalam tanah berjalan lancar.
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan perladangan dan adanya
genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan perladangan disebabkan karena akar
pohon yang tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam. [21]
27
d. Aktivitas Manusia
Adanya bangunan disekitar lereng dan kendaraan yang melintas akan
memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor terutama pada bagian sekitar
tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah terjadi penuruna tanah dan
retakan yang mengarah ke lembah. [12]
e. Gempa
Goncangan dari gempa membuat pelebaran retakan tanah sehingga air
mengalir ke dalam tanah dengan cepat. Selain itu, getaran kuat yang disebabkan
dari gempa menyebabkan material diatasnya menjadi goyang dan tidak stabil yang
menyebabkan material tersebut menjadi longsoran.
f. Jenis Batuan
Batuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara
kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah
menjadi tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap
tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. [20]
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan pada bulan Maret 2019 sampai
dengan bulan Juni 2019 di lingkungan Gedung Geosystem Technology
(GEOSTECH) BPPT, kawasan PUSPIPTEK, Serpong. Secara administrasi daerah
penelitian berada di dalam wilayah Kelurahan Muncul, Kecamatan Setu, Kota
Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi penelitian berjarak 16 km dari kota
Tangerang Selatan yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua
dengan waktu tempuh 45 menit.
Gambar 13. Lokasi Penelitian
3.2 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan data geolistrik resistivitas sebagai data primer
yang akan dianalisis. Data ini diperoleh dari Pusat Teknologi Reduksi Resiko
Bencana (PTRRB) Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada
29
Tahun 2019. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat keras
dan perangkat lunak.
3.2.1 Perangkat Keras
Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
a. Ares Resistivity Meter v.5.6
b. Garmin Global Positioning System (GPS) digunakan untuk menentukan
posisi elevasi dan koordinat lokasi pada setiap titik penelitian
c. Kompas yang digunakan untuk menunjukkan arah pengukuran dan
menentukan kelurusan lintasan
d. Aki digunakan sebagai sumber arus
e. Elektroda besi 48 batang untuk menginjeksikan arus ke bawah permukaan
f. Kabel multicore panjang 235 m untuk menghubungkan elektroda potensial
dengan elektroda arus
g. Palu yang digunakan untuk menancapkan elektroda ke dalam tanah
h. Meteran digunakan untuk mengukur jarak bentangan dan jarak antar
elektroda
i. Terpal yang digunakan untuk menutupi Ares Resistivity Meter agar tidak
terkena panas matahari
j. Buku pengamatan dan alat tulis
k. Laptop
l. Peta geologi lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu [9]
30
Gambar 14. Komponen Alat Penelitian
3.2.2 Perangkat Lunak
Perangkat lunak Software Res2Dinv, RockWorks 16, Google Earth, Microsoft
Word, Microsoft Excel, dan Notepad.
a. Ares yang digunakan untuk mentransfer data penelitian dan mengubah
format .2dm menjadi .dat
b. Google Earth yang digunakan untuk menampilkan kondisi lokasi penelitian
c. Res2Dinv yang digunakan untuk menghitung inversi resistivitas dan
pemodelan penampang
d. Notepad yang digunakan untuk mengolah data yang akan dimasukkan pada
Res2Dinv
e. Microsoft Excel 2016 yang digunakan untuk mengolah nilai resistivitas
semu menjadi resistivitas sejati
f. Microsoft Word 2016 yang digunakan untuk membuat dan menyusun draft
skripsi
g. Rockwork 16 yang digunakan untuk membuat pemodelan 3D
31
3.3 Diagram Alir
Gambar 15. Diagram Alir Penelitian
3.4 Cara Kerja Pengambilan Data
1. Melakukan survei awal untuk mengukur panjang lintasan dan menentukan
spasi yang akan digunakan
2. Mengukur dan menentukan titik pengambilan data sesuai dengan spasi yang
digunakan
3. Menancapkan elektroda menggunakan palu geologi
4. Bentangkan kabel dan masukkan kabel ke dalam rongga elektroda
32
5. Mengukur koordinat menggunakan GPS tepat di atas elektroda
6. Menentukan arah lintasan menggunakan kompas
7. Mengoperasikan Ares resistivity meter v.5.6.
3.5 Prosedur Pengolahan Data
Pada pengolahan data geolistrik ini digunakan dua jenis pengolahan data.
Berikut tahapan-tahapan dalam pengolahan data:
3.5.1 Pengolahan Data Geolistrik 2D
Pada pengolahan ini software yang digunakan adalah Ares, Res2Dinv,
Notepad, dan Google Earth.
1. Software Ares digunakan untuk menyimpan raw data penelitian dalam
format 2DM. Software ini dapat melakukan export format 2DM menjadi
.dat untuk diolah melalui notepad dan Res2Dinv dengan cara
mendownload file terlebih dahulu.
2. Software Google Earth digunakan untuk membaca koordinat dalam
Global Positioning System (GPS).
3. File yang sudah didownload dalam bentuk format .dat dibuka dan diolah
menggunakan notepad. Pada pengolahan data menggunakan notepad,
masukkan data elevasi yang sudah didapat pada Global Positioning System
(GPS). Hal ini bertujuan untuk memasukkan data topografi dalam file yang
akan di inversi menggunakan Res2Dinv.
4. Untuk menyisipkan hasil inversi dalam bentuk topgrafi dapat dilakukan
pada software Res2Dinv dengan cara memilih menu Topography Options
lalu klik display topography. Setelah itu pilih menu Display Sections
33
kemudian klik include topography in model display maka muncul tampilan
seperti ini.
Gambar 16. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv
3.5.2 Pengolahan Data Geolistrik 3D
Pada pengolahan ini software yang digunakan adalah Ms. Excel,
RockWorks16, dan Google Earth.
1. Memasukkan nilai koordinat titik awal dan titik akhir pada penampang ke
Ms. Excel sebagai nilai UTM Easting dan Northing.
2. Pada penampang Res2Dinv dapat dilihat nilai elevasi awal dan akhir, data
ini dimasukkan sebagai Lower Elevation dan Upper Elevation.
3. Hasil gambar penampang Res2Dinv setiap lintasan dimasukkan pada
RockWorks16, inversikan tabel tersebut pada tab Imagery lalu pilih
Vertical.
34
Gambar 17. Hasil Pemodelan 3D menggunakan RockWorks 16
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisa Geolistrik
Sebelum dilakukan pengambilan data geolistrik, terlebih dahulu dilakukan
survei awal untuk menentukan panjang lintasan sehingga dapat ditentukan spasi
elektroda yang akan digunakan. Berikut sebaran lintasan pengukuran geolistrik
yang telah dilakukan:
Setelah melakukan pengambilan data geolistrik menggunakan ARES
Resistivity meter, raw data yang didapatkan diolah melalui beberapa pengolahan
data. Data mentah atau raw data diolah terlebih dahulu menggunakan Microsoft
Excel yang selanjutnya dimasukkan ke dalam software notepad agar mendapat
format data (.dat). Selanjutnya format (.dat) dimasukkan ke dalam software
Res2Dinv. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan model penampang dalam
Gambar 18. Sebaran Lintasan Pengambilan Data
36
bentuk 2D dan 3D yang selanjutnya dianalisis untuk menentukan potensi longsor
di Lingkungan Geostech Kawasan Puspiptek, Serpong.
4.1.1 Hasil Koordinat Wilayah
Pengambilan data geolistrik membutuhkan hasil koordinat titik pengkuran
untuk dilanjtutkan pada pengolahan data. Berikut hasil koordinat titik pengukuran
pada pengambilan data geolistrik:
Tabel 4. Koordinat Pengambilan Data
LINTASAN 1 LINTASAN 2
Name X Y ρa Elevation Name X Y ρa Elevation
T48 106.67186 -6.359068 43.56 82 S1 106.67263 -6.358469 59.72 83
T47 106.67187 -6.359072 41.49 82 S2 106.67261 -6.358484 52.92 82
T46 106.67189 -6.35906 37.8 82 S3 106.67259 -6.35851 45.61 82
T45 106.67191 -6.359084 54.92 82 S4 106.67255 -6.358525 35.65 80
T44 106.67192 -6.359093 49.21 83 S5 106.67255 -6.358543 32.61 80
T43 106.67195 -6.359088 46.39 85 S6 106.67252 -6.358562 33.62 81
T42 106.67196 -6.359102 45.21 86 S7 106.67249 -6.358582 35.9 80
T41 106.67197 -6.359103 42.44 84 S8 106.67247 -6.358589 41.44 81
T40 106.67199 -6.359098 43.62 84 S9 106.67245 -6.358608 58.87 81
T39 106.67201 -6.359122 64.58 86 S10 106.67243 -6.358627 86.2 81
T38 106.67204 -6.359131 55.96 84 S11 106.67241 -6.358649 78.68 81
T36 106.67206 -6.359149 55.17 81 S12 106.67239 -6.358674 71.23 80
T37 106.67206 -6.359149 53.18 81 S13 106.67237 -6.35869 65.25 80
T35 106.67208 -6.359156 52.31 84 S14 106.67236 -6.358707 60.35 81
T34 106.67208 -6.359173 47.82 85 S15 106.67236 -6.358728 54.88 81
T33 106.6721 -6.35917 44.88 85 S16 106.67234 -6.358758 49.64 80
T32 106.67213 -6.359175 47.26 87 S17 106.67233 -6.358789 37.49 80
T31 106.67215 -6.359196 51.88 87 S18 106.6723 -6.358807 30.67 81
T28 106.6722 -6.359207 80.95 86 S19 106.67229 -6.358823 28.12 82
T29 106.6722 -6.359207 72.92 86 S20 106.67227 -6.358842 28.77 81
T30 106.6722 -6.359207 68.38 86 S21 106.67226 -6.358872 28.6 81
T27 106.67219 -6.359216 66.78 86 S22 106.67224 -6.358895 77.11 81
T28 106.67219 -6.359216 60.04 86 S23 106.67223 -6.358917 69.76 82
T26 106.6722 -6.359239 58.63 86 S24 106.67221 -6.358942 61.78 82
T25 106.67221 -6.359247 53.99 84 S25 106.6722 -6.358963 55.34 83
T24 106.67223 -6.359249 52.56 88 S26 106.67218 -6.358986 52.94 83
37
4.1.2 Hasil Penampang Lintasan 1
Gambar dibawah merupakan hasil penampang lintasan satu dengan panjang
lintasan 94 m dan jarak antar elektrodanya sebesar 2 meter. Jumlah elektroda yang
digunakan sebanyak 48 buah dengan arah lintasan N 280° E. Tingkat elevasi pada
lintasan ini berkisar antara 84 – 85.75 m dengan titik koordinat 6°21’32” - 6°21’34”
pada bagian latitude dan 106°40’18” - 106°40’21” pada bagian longitude.
Konfigurasi yang digunakan adalah Wenner Alpha dan pengambilan data dilakukan
di Kawasan Geostech, Puspiptek pada kondisi cuaca yang cerah.
Terdapat 360 titik datum dan 15 layer pada lintasan ini. Nilai RMS Error yang
didapat sebesar 2.9% dengan lima kali iterasi. Lintasan ini memiliki total
kedalaman sebesar 15.8 m yang dapat terbagi menjadi empat lapisan. Nilai
resistivitas yang didapat berkisar antara 7.31 – 765.5 Ωm.
Gambar 19. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv pada Penampang Lintasan 1
38
4.1.3 Hasil Penampang Lintasan 2
Gambar diatas merupakan hasil penampang lintasan dua dengan panjang
lintasan 144 m dan jarak antar elektrodanya sebesar 3 m. Jumlah elektroda yang
digunakan sama seperti lintasan satu yaitu sebanyak 48 buah dengan arah lintasan
N 215° E. Tingkat elevasi pada lintasan ini berkisar antara 82.3 – 86.2 m dengan
titik koordinat 6°21’30” - 6°21’34” pada bagian latitude dan 106°40’21” -
106°40’18” pada bagian longitude. Konfigurasi, lokasi, dan cuaca sama seperti
lintasan satu.
Terdapat 360 titik datum dan 15 layer pada lintasan ini. Nilai RMS Error yang
didapat sebesar 5.92% dengan lima kali iterasi. Lintasan ini memiliki total
kedalaman sebesar 24 m yang dapat terbagi menjadi empat lapisan. Nilai resistivitas
yang didapat berkisar antara 2.09 – 1822.3 Ωm.
Gambar 20. Hasil Pengolahan Data Res2Dinv pada Penampang Lintasan 2
39
4.2 Pembahasan
Untuk menganalisis hasil penampang yang didapat, digunakan dua data yang
dipakai sebagai bahan korelasi yaitu peta geologi regional lembar Jakarta dan
Kepulauan Seribu skala 1:100.000 [9] lihat Gambar 3 serta tabel resistivitas batuan
oleh [13] lihat Tabel 2. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan nilai ambiguitas
pada hasil analisis laporan dengan cara menentukan jenis batuan berdasarkan nilai
resistivitas dan dikonfirmasi oleh peta geologi regional. Berikut data peta geologi
regional dan tabel resistivitas batuan yang digunakan:
Gambar 21. Data Korelasi Interpretasi Penampang
40
Dalam Peta Geologi Regional Jakarta dan Kepulauan Seribu oleh [9] dapat
dilihat bahwa lokasi penelitian yang berada di Kawasan Serpong memiliki dua
formasi yaitu Alluvium dan Kipas Alluvium. Pada Aluvium terdapat batuan
lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Untuk Kipas Aluvium terdapat
tuf halus berlapis dan tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Dalam
tabel nilai resistivitas batuan oleh [13] didapat kisaran nilai pada setiap batuan. Peta
ini digunakan untuk menentukan batuan yang terdapat pada Kawasan Serpong dan
tabel ini digunakan untuk menentukan batuan berdasarkan nilai resistivitas yang
didapat dari gambar penampang.
Berdasarkan dua data diatas maka dapat ditentukan batuan yang mengisi
lapisan pada gambar penampang seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 5. Hasil Korelasi Peta Geologi, Tabel Resistivitas, dan Hasil Penampang
Tipe Resistivitas Nilai Jenis Batuan
Rendah 2 – 25 Ωm Air Tanah
Lempung
Menengah 26 – 129 Ωm Pasir
Tufa
Tinggi 130 – 1800 Ωm Pasir Kasar
Kerikil
Konglomerat
Resistivitas tipe rendah ditemukan pada warna biru tua sampai biru muda,
resistivitas menengah berada pada warna hijau muda sampai kuning, dan resistivitas
tinggi ditemukan pada warna coklat sampai ungu.
41
4.2.1 Interpretasi Lintasan 1
Menurut gambar penampang yang sudah ditambahkan data topografi terlihat
ada 4 lapisan yang terbagi berdasarkan jenis batuannya. Pada lapisan pertama di
kedalaman 0 - 6 m dari permukaan tanah ditempat pengukuran didapat nilai
resistivitas sebesar 25 – 200 Ωm. Lapisan 1 diisi oleh tanah urugan dengan
ketebalan maksimal sebesar 6 m, pada bentangan 36 sampai 48 m dari arah timur
(0 meter) menunjukkan nilai resistivitas cukup kecil dikarenakan pada lintasan ini
dijumpai oleh saluran air sehingga membuat air terdistribusi disekitarnya dan
membuat tanah mengandung air. Pada bentangan 80 m resistivitas yang kecil
disebabkan karena lapisan dibawahnya merupakan lapisan yang padat sehingga air
sulit untuk terserap.
Pada lapisan kedua terdapat lapisan dengan ukuran pasir kasar, diduga adalah
material pasir dan kerikil yang ditandai dengan nilai resistivitas sebesar 130 – 500
Ωm dengan ketebalan maksimal yang sama dengan lapisan satu yaitu sebesar 6 m
di kedalaman 6 – 12 m. Pada lapisan ketiga terdapat lapisan pasiran yang lebih
halus ukurannya, ditandai dengan nilai resistivitas sebesar 45 – 140 Ωm dengan
ketebalan maksimal yaitu 2 m yang berada di kedalaman 12 – 14 m. Pada lapisan
ini diduga terdapat bapasir dengan ukuran yang lebih halus. Pada lapisan keempat
di kedalaman 14 m ke bawah terdapat lapisan dengan nilai resistivitas rendah yang
diduga merupakan air tanah.
Daerah yang dilingkari pada gambar menunjukkan daerah yang berpotensi
terjadi tanah longsor, hal ini dikarenakan perbedaan morfologi yaitu berupa
cekungan yang dapat membuat air terjebak. Selain itu salah satu sifat dari pasir ialah
42
memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah mengalir saat musim hujan yang menyebabkan gerakan tanah
sangat berpotensi di daerah ini.
Gambar 22. Hasil Interpretasi pada Lapisan Penampang Lintasan 1
Tanah urugan yang basah
karena terdapat saluran air
Lapisan tanah
urugan
Lapisan 2 terdapat lapisan
dengan ukuran pasir kasar
Lapisan 3 terdapat
lapisan batuan dengan
ukuran pasir halus
Lapisan 4 terdapat lapisan dengan
nilai resistivitas yang rendah dan
mengandung air
Daerah berpotensi
longsor
Tenggara Barat
Laut
43
4.2.2 Interpretasi Lintasan 2
Gambar penampang yang sudah ditambahkan dengan data topografi dapat
dibagi menjadi 4 lapisan berdasarkan jenis batuan seperti yang sudah dijelaskan
dalam gambar. Pada lapisan pertama di kedalaman antara 0 – 12.5 m didapat nilai
resistivitas sebesar 2,55 – 150 Ωm. Lapisan 1 diisi oleh tanah urugan dengan
ketebalan maksimal sebesar 12.5 m, pada bentangan 54 sampai 90 m dari arah utara
menunjukkan nilai resistivitas yang cukup kecil dikarenakan pada bagian ini dialiri
oleh saluran air yang berhubungan dengan saluran yang berada di lintasan 1
sehingga membuat tanah mengandung air. Pada lapisan kedua terdapat lapisan pasir
dengan ukuran kasar, yang ditandai dengan nilai resistivitas sebesar 300 – 1200 Ωm
dengan ketebalan maksimal sebesar 15 m di kedalaman 7.5 – 22.5 m. Pada lapisan
kedua diduga diisi oleh batu pasir dikarenakan nilai resistivitas yang cukup tinggi.
Pada lapisan ketiga terdapat lapisan pasiran yang lebih halus ukurannya,
ditandai dengan nilai resistivitas sebesar 27 – 115 Ωm dengan ketebalan 12.5 m
yang berada di kedalaman 12.5 – 25 m. Pada lapisan ini diduga terdapat pasir
dengan ukuran kasar. Pada lapisan keempat di kedalaman 25 m dan seterusnya
terdapat lapisan dengan nilai resistivitas rendah yang diduga merupakan air tanah
dengan ketebalan 3 m.
Daerah yang dilingkari pada gambar menunjukkan daerah yang berpotensi
terjadi tanah longsor, hal ini dikarenakan perbedaan morfologi yaitu berupa lereng
yang cukup tinggi dan merupakan tempat akhir dari saluran air yang membuat air
terjebak. Selain itu daerah ini pernah terjadi longsor sebelumnya pada tahun 2017
yang membuat keadaan lapisan tanah bercampur menjadi tanah urugan yang
44
membuat tanah ini labil. Di samping daerah yang berpotensi terdapat batupasir yang salah satu sifatnya adalah memiliki porositas yang
tinggi sehingga dapat dengan mudah mengalir saat musim hujan.
Gambar 23. Hasil Analisa Lintasan 2.
Timur
Laut Barat
Daya
45
4.2.3 Interpretasi dan Hasil Pemodelan 3D
Berdasarkan gambar lapisan penampang 2D yang telah dibuat menggunakan
Res2Dinv, selanjutnya gambar penampang 2D tersebut diolah menggunakan
RockWork. Pada RockWork digunakan tool utilities lalu imagery untuk
menampilkan pemodelan vertical 3D. Terdapat beberapa point yang harus diisikan
dalam datasheet yaitu koordinat latitude, koordinat longitude, dan selisih elevasi.
Semua point yang dimasukkan dalam datasheet didapat dari data GPS saat
pengambilan data geolistrik. Penentuan nilai koordinat sangat menentukan
pemodelan yang akan dibuat karena rockwork bekerja menggunakan titik
koordinat yang sudah diinput.
Gambar 24. Hasil Pemodelan 3D menggunakan Rock Works 16
Gambar 25. Hasil Plot Pemodelan 3D dalam Google Earth
46
Hasil dari pemodelan 3D ini adalah untuk menggambarkan crossing yang
dilakukan saat pengambilan data sehingga terlihat hasil overlay pada rockwork.
4.2.4 Identifikasi Potensi Tanah Longsor
Pada lintasan 1 daerah yang berpotensi longsor disebabkan karena bentuk
morfologi yang menurun dan bergelombang yang ditunjukkan seperti gambar di
bawah:
Garis putus-putus diatas menunjukkan blok tanah yang akan turun saat tejadi
longsor. Bagian yang mencekung akan membuat air hujan terjebak sehingga tanah
menjadi basah hingga labil yang membuat lapisan diatasnya dapat tergeser dengan
mudah. Di samping lintasan ini terdapat jalanan yang sering dilalui oleh kendaraan
pribadi dan bus jemputan yang membuat getaran secara kontinu di lintasan ini. Saat
tanah mendapatkan beban yang berlebih dari getaran kendaraan, material yang lebih
keras dan material yang tidak terkompaksi akan terlepas dari bagian puncak
dikarenakan lapisan dibawahnya yang tidak kuat atau lebih halus.
Gambar 26. Potensi Longsor pada Lintasan 1
47
Pada hasil interpretasi lapisan terdapat material pasir halus dan kerikil, pasir
halus memiliki sifat porositas yang tinggi sehingga saat terjadi longsoran lapisan
ini akan menjadi bagian dari bidang gelincir dan kerikil akan menjadi material yang
menjadi longsoran. Porositas yang tinggi merpakan salah satu faktor penyebab
terjadinya longsor, karena porositas yang tinggi mengartikan suatu batuan
menyerap banyak air.
Pada lintasan 2 yang berpotensi longsor disebabkan karena bentuk morfologi
yang bergelombang dan lereng terjal seperti gambar di bawah:
Gambar 28. Sketsa Longsoran di Lintasan 2 yang Terjadi pada Tahun 2017
Kedalaman lereng 35 meter
Gambar 27. Potensi Longsor pada Lintasan 2
48
Lintasan ini sebelumnya pernah terjadi longsor pada tahun 2017 dengan arah
longsoran ke arah timur laut. Disekitar lintasan ini terdapat jalanan yang biasa
dilewati kendaraan sehingga membuat tanah bergetar. Penyebab utama terjadi
longsor saat itu dikarenakan adanya sedang adanya pembangunan gedung tambahan
dalam Kawasan Geostech yang membuat jalanan dilewati oleh kendaraan besar
yang membawa material-material dengan jumlah yang banyak dan berat. Hal ini
membuat jalanan mendapatkan beban yang besar secara terus menerus sehingga
getaran yang dialirkan ke tanah pun semakin sering. Getaran yang terus menerus
itu membuat tanah – tanah bergerak sehingga terjadi longsor pada lintasan ini.
Akibat dari longsor tahun 2017 lalu adalah meninggalkan material urugan
yang bersifat labil dan tidak terkompaksi. Batuan yang tidak terkompaksi memiliki
porositas yang cukup besar sehingga membuat lapisan tersebut labil dan mudah
bergerak saat terkena getaran yang besar. Disekitar lintasan 2 terdapat lereng tajam
dengan kedalaman sekitar 35 meter, lereng ini menjadi daerah utama berpotensi
longsor. Arah terusan dari lereng tersebut adalah saluran air dan sawah yang
membuat lapisan dibawah lereng ini menjadi basah karena terdistribusi air dari
saluran. Pada kedalaman 0 – 3 m dari permukaan tanah terdapat batuan yang
memiliki ukuran kasar, diduga batuan ini akan menjadi material yang menjadi
longsoran dengan arah longsoran menuju ke sawah.
Berdasarkan gambar dari pemodelan 3D dapat terlihat lintasan 1 merupakan
longsor lanjutan dari lintasan 2. Pemodelan 3D dimaksudkan untuk merefleksikan
bentuk lintasan dan mengetahui kelanjutan dari lapisan selanjutnya yang dibantu
dan dikonfirmasi oleh peta geologi regional Jakarta dan Kepulauan Seribu.
49
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Telah dilakukan akuisisi data geolistrik menggunakan Ares v 5.6 pada
tanggal 16 April 2019 di Kawasan Geostech, Puspiptek, Serpong
2. Telah dilakukan pengolahan data menggunakan Res2Dinv yang
menghasilkan penampang 2D dan RockWorks16 yang menghasilkan
pemodelan 3D.
3. Pada lintasan 1 terdapat 4 lapisan yaitu lapisan tanah urugan dengan nilai
resistivitas 25 – 200 Ωm, lapisan dengan nilai resistivitas 130 – 500 Ωm
yang diduga pasir dan kerikil, lapisan dengan nilai resistivitas 45 – 140
Ωm diduga pasiran halus, dan lapisan dengan nilai resistivitas 8 – 30 yang
diduga air tanah.
Pada lintasan 2 terdiri dari 4 lapisan yaitu lapisan dengan nilai resistivitas
2.55 – 150 Ωm yang diisi oleh material urugan, lapisan dengan nilai
resistivitas 300 – 1200 Ωm yang diduga adalah material batu pasir, lapisan
dengan nilai resistivitas 27 – 115 Ωm diduga diisi oleh pasiran kasar, dan
lapisan dengan nilai resistivitas 2 – 15 Ωm yang diduga adalah air tanah.
50
4. Terdapat potensi longsor pada kedua lintasan, pada lintasan 1 terdapat
pada bentangan 12 – 20 m dari arah barat laut dengan tipe longsoran
amblasan (land subsidence) dan pada lintasan 2 terdapat pada bentangan 3
– 33 m dari arah timur laut dengan tipe longsoran rombakan (debris flows).
5.2 Saran
Terdapat beberapa saran dari penulis untuk penelitian selanjutnya antara lain:
1. Diperlukan data log bor untuk mengetahui bentuk litologi secara pasti
2. Untuk penanggulangan longsor pada daerah penelitian disarankan membuat
bronjong, pondasi beton, vegetasi, dan suntik semen.
51
DAFTAR PUSTAKA
[1] M. Bin Musa, Tafsir Al-Qur’an Hidayatul Insan, Jilid 3. Tafsir Al Qur’an
Al Karim.
[2] H. Naryanto, “Kajian Kondisi Bawah Permukaan Kawasan Rawan Longsor
Dengan Geolistrik Untuk Penentuan Lokasi Penempatan Instrumentasi
Sistem Peringatan Dini Longsor di Kecamatan Talegong, Kabupaten
Garut,” J. Ris. Kebencanaan Indones., vol. 2, no. 2, 2016.
[3] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), “Data Informasi
Bencana Indonesia,” BNPB, 2017. [Online]. Available:
http://dibi.bnpb.go.id/. [Accessed: 06-Jul-2019].
[4] A. J. Karunianto, D. Haryanto, H. Syaeful, and D. Kamajati, “Interpretasi
Bawah Permukaan Berdasarkan Distribusi Nilai Tahanan Jenis di Daerah
Puspiptek, Serpong,” Eksplorium, vol. 39, no. 2, p. 113, 2019.
[5] “Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Badan Geologi,”
Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2016.
[Online]. Available: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gerakan-
tanah/peringatan-dini-gerakan-tanah/2535-juni-2019. [Accessed: 23-Jun-
2019].
[6] H. Naryanto, “Analisis Konfigurasi Bawah Permukaan Daerah Potensi
Tanah Longsor (Gerakan Tanah) Dengan Metode Pengukuran Geolistrik Di
Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah,” J. Ris. Kebencanaan
Indones., vol. 1, no. 1, p. 41, 2015.
[7] M. Sutasoma, A. Susilo, and E. A. Suryo, “Penyelidikan Zona Longsor
Dengan Metode Resistivitas dan Analisis Stabilitas Lereng Untuk Mitigasi
Bencana Tanah Longsor,” Indones. J. Appl. Phys., vol. 7, no. 1, p. 35,
2017.
52
[8] “Administrasi Kota Tangerang Selatan | Peta Tematik Indonesia,” 2015.
[Online]. Available:
https://petatematikindo.wordpress.com/2015/12/24/administrasi-kota-
tangerang-selatan/. [Accessed: 10-Jul-2019].
[9] T. Turkandi, “Peta Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu,” 1992.
[10] P. Kearey, An Introduction to Geophysical Exploration, Third. Berlin:
Blackwell Science, 2002.
[11] Ismail, Metode Geomagnetik. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010.
[12] M. Romosi, “Pendugaan Bidang Gelincir Menggunakan Metode Geolistrik
Tahanan Jenis, MASW, dan Data Mekanika Tanah di Desa Cimuncang,
Kec. Malausma Kab. Majalengka,” Universitas Lampung, Lampung, 2016.
[13] W. . Telford, Applied Geophysics, 2nd ed., vol. 3. New York: University of
Cambridge, 1990.
[14] Paulus, “Pemodelan 3D Cavity Daerah ‘ X ’ Dengan Menggunakan Metode
Resistivity Konfigurasi Dipole-Dipole,” Universitas Indonesia, Depok,
2012.
[15] J. Novotný, “Varnes Landslide Classification,” no. November, 2013.
[16] H. S. Naryanto, “Analisis Kejadian Bencana Tanah Longsor Banjarnegara ,
Provinsi Jawa Tengah,” Alami, vol. 1, no. 1, pp. 1–10, 2017.
[17] P. Highland, lynn M. Bobrowsky, The Landslide Handbook — A Guide to
Understanding Landslides. Virginia: United States Geological Survey,
2008.
[18] A. Wibowo, “Identifikasi Wilayah Rentan Longsor di Kecamatan
Cicalengka, Kabupaten Bandung,” Universitas Indonesia, Depok, 2009.
[19] L. N. Bintari, “Pemetaan Multi Rawan Bencana Jalur Kereta Api Lintas
Cirebon-Semarang Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG),”
Muhammadiyah Yogyakarta, 2018.
53
[20] B. A. Prakoso, Analisis Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Nilai
Peak Ground Acceleration (PGA) di Desa Purwosari Kecamatan
Girimulyo Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA, 2018.
[21] H. S. Naryanto, Analisis dan Evaluasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di
Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat Tanggal 25 Maret
2013, Sains dan Teknol. Mitigasi Bencana, vol. 8, p. 39, 2013.
top related