sindroma nefrotik 1
Post on 27-Dec-2015
45 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SINDROMA NEFROTIK
1. Definisi
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit / sindrom yang mengenai glomerulus dan
ditandai oleh adanya masif proteinuri, hipoalbuminemi dan oedem serta hiperlipidemi /
hiperkolesterolemi. Sindrom nefrotik sering terjadi pada anak-anak, dengan perbandingan
15:1 terhadap orang dewasa. Insidensi 2-3/ 100.000 anak per tahun, dan mayoritas adalah
bentuk kelainan minimal yang responsif terhadap terapi steroid. Gambaran karakteristik dari
sindrom nefrotik meliputi proteinuria berat (>3,5 g/ 24 jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam
pada anak-anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema dan hiperlipidemia.
2. Insidensi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai
bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut
sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per tahun
tiap 100.000 anak berumur < 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000
anak. Umumnya sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis
kelamin. Insiden tertinggi terjadi pada umur 2-6 tahun dan laki-laki lebih banyak dari
perempuan dengan rasio (1.5-2):1.
Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok:
a. Kongenital
b. Responsif steroid, dan
c. Resisten steroid
3. Etiologi
Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam :
Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam
ginjal / glomerulus dan etiologinya tidak diketahui (idiopatik) diduga ada
hubungannya dengan genetik, imunologi dan alergi
Sindrom nefrotik sekunder : Menunjukkan di man apenyakit tidak terbatas hanya di
dalam ginjal / glomerulus akan tetapi penyakit berasal dari ekstrarenal atau dengan
perkataan lain mempunyai etiologi khusus, merupakan bentuk yang jarang dijumpai.
Berdasarkan keadaan histopatologi sindrom nefrotik primer dibagi menjadi tipe :
Sindrom nefrotik perubahan minimal
Sindrom nefrotik perubahan nonminimal :
Fokal dan segmental glomeruloskerosis
Membranoproliferatif glomerulonefritis
Proliferasi mesangial difusa
Membranus glomerulonefritis (nefropati)
Sebagian besar anak (90%) dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom nefrotik
idiopatik. Penyebab dari sindrom nefrotik idiopatik meliputi penyakit kelainan minimal
(85%), proliferasi mesangial (5%), dan fokal segmental glomerulosclerosis (10%). Sebagian
kecilnya (10%) anak mengalami sindrom nefrotik sekunder yang berhubungan dengan
penyakit glomerulus seperti nefropati membranosa atau glomerulonefritis
membranoproliferatif. (Vogt & Avner, 2004)
4. Patofisiologi
Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga terjadi proteinuri adalah
patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik. Penyebab peningkatan permeabilitas masih belum
jelas dipahami. Pada penyakit kelainan minimal, hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya
disfungsi sel T yang mengakibatkan perubahan pada sitokin sehingga dinding kapiler
glomerulus kehilangan glikoprotein. Pada kelainan fokal segmental glomerulosklerosis yang
berperan adalah faktor plasma yang dihasilkan oleh limfosit. (Vogt & Avner, 2004)
Mekanisme terjadinya edema pada sindrom nefrotik masih belum seluruhnya dimengerti,
namun sebagian besar kelompok berpendapat bahwa kehilangan protein lewat urin
menyebabkan hipoalbuminemia dan lebih lanjut mengakibatkan menurunnya tekanan
onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari intravaskular ke ruang interstitial.
Pengurangan volume intravaskular akan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi renal,
teraktivasinya sistem renin-angiotensin-aldosteron yang akan merangsang reabsorpsi sodium.
Penurunan volume intravaskular juga akan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang
akan memperkuat reabsorpsi air pada tubulus kolektus. Tekanan onkotik plasma yang rendah
mengakibatkan terjadinya pergeseran cairan ke dalam ruang interstitial dan menyebabkan
edema.
Pada tingkat nefrotik, kadar lipid serum (kolesterol, trigliserida) akan meningkat. Hal ini
disebabkan karena hipoalbuminemia menstimulasi sintesa protein di hepar secara umum,
termasuk sintesa lipoprotein. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan katabolisme lipid
sebagai akibat dari rendahnya kadar lipoprotein lipase dalam plasma yang berhubungan
dengan hilangnya enzim tersebut melalui urin.
4.1 Proteinuria
Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan permeabilitas membran basalis kapiler-
kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria
(albuminuria). Mekanisme peningkatan permeabilitas kapiler-kalpiler glomeruli tidak
diketahui jelas. Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria (albuminuria)
sangat komplek. (Sukandar, 1997)
Terdapat 3 macam mekanisme yang menjadi dasar proteinuri :
Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus.
Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.
Adanya perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.
4.1.1 Selektivitas Protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin
dan disebut sebagai protenuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain,
keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan
jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat
ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio lgG urin terhadap plasma (BM 150.000)
dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan
adanya proteinuri yang selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umunya berkaitan dengan
KM dan responsif terhadap steroid.
4.1.2 Perubahan pada Filter Kapiler Glomerulus
Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul,
namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini
menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini adalah hilangnya sawar muatan negatif
selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun
dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping
hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau
kelainan pada kedua-duanya. (Wirya, 2002)
4.2 Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan
seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Hepar
memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein
baik renal maupun non-renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan
sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra
vaskuler dan intra vaskuler.
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia
pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebakan beberapa
faktor :
Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein
losing enteropathy).
Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan
mual-mual.
Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal.
Yang dimaksud dengan hipoalbuminemi pada sindrom mefrotik pada anak adalah bila
kadar albumin plasma kurang dari 30 gr%. Edema pada kebanyakan sindrom nefrotik baru
timbul apabila kadar albumin plasma kurang dari 2.7 gr%. Bila kadar albumin sangat rendah
(<1.2 gr%) akan terjadi hipovolemi berat dengan gejala ”hipotensi ortostatik” berupa sakit
perut, muntah,diare.
4.3 Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya
tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan
albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial yang
menyebabkan terbentuknya edema.
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma
atau sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan
intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder.
Retensi cairan yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan
mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. Dengan teori
underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap
adanya hipovolemia.
Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled.
Menurut teori ini retensi nartium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer
dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Teori overfilled ini dapat
menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron
menurun sekunder terhadap hipervolemia.
4.4 Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik terdapat peninggian konsentrasi total kolesterol, ”low density” dan
”very low density” lipoprotein sedangkan ”high density” lipoprotein biasanya normal.
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini
tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol.
Hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi
yang menurun. Bukti menunujukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi
lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap
lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kada lipid dapat pula
terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya
berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Apabila
albumin serum kembali normal baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umunya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang mendadak, bersifat
umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi. Oedem periorbital pada saat bangun
tidur biasanya merupakan gejala awal yang hilang setelah siang dan sore hari diagantikan
oleh oedem ekstremitas bawah.
Timbulnya efusi serosa berupa asites atau hidrotoraks. Asites bisa terjadi tanpa adanya
oedem hebat terutama pada anak kecil dan bayi, dimana jaringan interstisial lebih resisten
terhadap pembentukan oedem daripada anak yang lebih besar. Oedem yang hebat di seluruh
tubuh disebut oedem anasarka, dapat disertai oedem skrotal dan oedem vulva. Suatu trauma
kecil pada kulit yang mengalami perenggangan karena oedem, mudah menimbulkan
pecahnya bagian kulit tersebut dan tampak cairan keluar.
Timbulnya oedem mendadak dan pada 30% diawali dengan adanya infeksi virus atau
bakteri, umumnya infeksi saluran nafas. Pada penderita sindrom nefrotik yang mengalami
relaps sebanyak 70% diawali dengan infeksi virus.
Dengan timbulnya oedem, diuresis menjadi berkurang dan tampak kental dan keruh.
Tekanan darah umumnya normal, akan tetapi hipertensi ringan dapat menyertai sebanyak
15%. Kenaikan tekanan darah ini disebabkan adanya pelepasan renin yang tinggi sebagai
respon terhadap hipovolemi.
Sakit perut terjadi pada keadaan hipovolemi hebat dan mendadak, tapi juga bisa
disebabkan oleh adanya peritonitis. Hematuri mikroskopik ”transient” kadang-kadang
ditemukan pada 15% penderita sindrom nefrotik tipe perubahan minimal.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya
tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mulkosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya.
6. Komplikasi
6.1 Infeksi :
Beberapa sebab yang meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi adalah:
a. Kadar imunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limpa
e. Akibat pengobatan imunosupresif
6.2 Trombosis
Trombosis bisa terjadi pada vena dan arteri, terutama yang mengenai vena besar di hati,
pelvis, ginjal, mesenterika dan pulmonal. Trombose vena renalis merupakan komplikasi
yang relatif sering terjadi pada sindrom nefrotik tipe membranus nefropati. Faktor
penyebab terjadi trombosis adalah :
Hipovolemi : hemokonsentrasi dan hiperviskositas.
Trombositosis.
Peninggian konsentrasi faktor koagulasi plasma : faktor V,VII,VIII,X dan
fibrinogen.
Penurunan konsentrasi antitrombin III plasma.
Peninggian platelet agregasi.
Secara singkat kelainan hemostatik pada SN dapat timbul dari 2 mekanisme yang
berbeda, yaitu:
1. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan :
a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti
antitrombin III, protein S bebas, plasminogen dan -antiplasmin
b. Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatnya sintesis prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya
fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan agregasi trombosit.
6.3 Gagal ginjal akut :
Uremi prerenal ringan sering didapatkan pada sindrom nefrotik dan keadaan ini
berhubungan dengan adanya hipovolemi. Paling sering didapatkan pada sindrom nefrotik
kelainan minimal dan fokal segmental glomerulosklerosis, ditandai dengan adanya oliguri
hebat yang resisten terhadap pemberian diuretik dan pemberian terapi cairan. Penyebab
terjadinya GGA ini belum diketahui pasti, namun ada bukti yang melibatkan hipovolemi
dan iskemi ginjal sehingga terjadi tubulus nekrosis akut dan selanjutnya terjadi oedem
interstisial dan terjadi penginggian tekanan tubulus proksimal dengan akibat penurunan
laju filtrasi glomerulus. Kebanyakan terjadi penyembuhan spontan bila terjadi induksi
diuresis, namun kadang-kadang memerlukan tindakan dialisa.
Terjadinya gagal ginjal sering ditemukan pada pasien SN. Penyebab primer gagal ginjal
akut adalah edema interstitial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus proksimal
yang menyebabkan turunnya LFG.
6.4 Perubahan Hormon dan Mineral
Pada pasien SN berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon
hilang dalam urin. Hilangnya thyroid binding globulin (TBG) dalam urin pada beberapa
pasien SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia pada SN disebabkan oleh albumin serum yang rendah sehingga jumlah
kalsium yang terikat menurun, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap.
6.5 Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien SN. Anemia hipokrom
mikrositer karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pemberian
preparat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah, keadaan anemia
dapat terjadi karena faktor pengenceran. Pada beberapa pasien dijumpai transferin serum
yang sangat menurun karena kehilangan protein tersebut dalam jumlah besar melalui
urin.
Terjadinya gagal ginjal sering ditemukan pada pasien SN. Penyebab primer gagal ginjal
akut adalah edema interstitial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus proksimal
yang menyebabkan turunnya LFG.
7. Laboratorium
7.1 Urine
7.1.1 Proteinuri :
Proteinuri bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan BANG atau DIPSTIX atau
secara kuantitatif dengan pemeriksaan ESBACH. Kendala pemeriksaan tersebut adalah :
Pada keadaan suhu tubuh meningkat dan setelah olah raga berat dapat dijumpai
proteinuri 30-100 mg% (1+ atau 2+) dan akan kembali normal bila panas turun atau
setelah istirahat.
Pada pemeriksaan DIPSTIX bisa didapatkan hasil positif palsu bila urin dalam
keadaan alkali.
Pada pemeriksaan ESBACH dibutuhkan cara pengumpulan urin 24 jam.
Pengertian proteinuri masif yaitu bila terdapat protein dalam urin : (Singadipoera, 1993)
> 40 mgr/jam/m2, atau
> 50 mgr/24jam/kgBB, atau
Rasio protein kreatinin urin > 2.5
Rasio protein kreatinin urin didapatkan dengan memeriksa utin sewaktu (urin pagi) :
kadar protein urin dan kreatinin urin dalam mgr% dan kemudian dikalkulasikan :
Rasio :
protein urin/mgr %¿kreatinin urin/mgr % ¿
¿¿
Hasil : < 0.15 : normal
>0.2 : abnmormal
>1 : suspek sindrom nefrotik
>2.5 : Diagnostik sindrom nefrotik.
Rasio protein kreatinin ini dapat dipakai sebagai pengganti pemeriksaan kuantitatif
proteinuri (ESBACH).
7.1.2 Protein selektifitas :
Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif yaitu proteinuri
kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat molekul rendah. Bila proteinuri
terdiri dari protein berat molekul tinggi disebut tidak selektif. Selektifitas proteinuri ini
dapat diukur dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul rendah) dan kadar lgG
(berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.(Singadipoera, 1993)
Rasio :
( u transferin ) : ( P lg G )( u lgG ) : ( P transferin )
< 0.1 : selektif >0.2 : tidak selektif
Selektif berarti kemungkinan ke arah sindrom nefrotik perubahan minimal, dan bersifat
steroid sensitif : sedang tidak selektif berarti kemungkinan ke arah sindrom perubahan
non-minimal dan bersifat tidak steroid sensitif.
7.1.3 Kelainan sedimen urin
Urin mengandung benda-benda lemak dan kolesterol ester, terlihat sebagai meltese-cross
dengan sinar polarisasi. Pengecetan dengan Sudan III memperlihatkan red droplet.
Hematuria mikroskopis disetai silinder eritrosit sering ditemukan pada semua bentuk
glomerulonefritis yang menyebabkan sindrom befrotik. Kelainan-kelainan sedimen urin
lebih sering ditemukan pada glomerulonefritis proliferatif (GP) dari pada lesi minimal.
Silinder titik kasar lebih sering ditemukan pada glomerulonefritis proliferatif daripada
glomerulonefritis membranos atau minimal.
7.1.4 Hematuri
Biasanya hematuri tidak ditemukan namun pada 15% penderita sindrom nefrotik
perubahan minimal bisa terdapat hematuri mikroskopik sementara. Adanya hematuri
mikroskopik yang terus-menerus disertai dengan adanya eritrosit cast dan granuler cast
merupakan petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis atau adanya trombossis vena
renalis.
7.2 Darah
7.2.1 Protein plasma (hipoalbuminemi)
7.2.2 Hiperlipoproteinemi
Kenaikan lipid serum sudah lama diketahui pada pasien sindrom nefrotik. Kenaikan
kolesterol total serum dapat mencapi 400-600 mg% dan lipid 2-3 gram%. Pada
umumnya terdapat hubungan terbalik antara konsentrasi albumin serum dengan
konsentrasi kolesterol total serum. Penurunan konsentrasi albumin serum disertai
kenaikan konsentrasi kolesterol total serum. Kenaikan konsentrasi kolesterol total
serum biasanya telah menunjukkan kenaikan konsentrasi lipoproptein,
hiperlipoproteinemi.
Konsentrasi HDL menunjukkan kenaikan sedang pada pasien sindrom nefrotik
ringan, tetapi cenderung menurun dan tidak jarang konsentrasinya dibawah normal
bila sudah terdapat hipoalbuminemi berat. Konsentrasi LDL dan VLDL meninggi
pada permukaan penyakit. Bila sudah terdapat hipoalbuminemi berat, konsentrasi
LDL akan menurun lagi sampai batas normal atau lebih rendah dari normal.
Konsentrasi VLDL akan meninggi dan normal.
7.2.3 Perubahan protein serum
Hipoproteinemia terutama disebabkan penurunan konsentrasi albumin tidak jarang
kurang dari 1 gram%. Globulin serum cenderung normal atau sedikit meninggi. Bila
sudah terdapat kerusakan berat dari glomerulus, biasanya proteinuria non selektif dan
gamma globulin dapat lolos melalui urin. Gamma globulin seringkali meninggi, beta
globulin dan fibrinogen cenderung meninggi juga. Semua fraksi ini akan kembali
normal setelah mendapat pengobatan yang adekuat.
7.2.4 Ureum, kreatinin dan elektrolit :
Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-kadang sedikit
meninggi akibat hipovolemi dan gangguan perfusi ginjal (prerenal azotemi). Pada
kronik glomerulonefritis dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal / gagal ginjal.
Elektrolit umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi akibat hemodilusi
atau gangguan diuretik hebat pada keadaan hipovolemi.
7.4 Sinopsis gambaran laboratorium sindrom nefrotik (Sukandar, 1997)
7.4.1 Darah
Albumin : kurang dari 2.5 gram%
2 globulin : meninggi
Fibrinogen : meninggi
Globulin : bervariasi
Komplemen : bervariasi tergantung etiologi
Kolesterol & lipid : meninggi bila hipoalbuminemia berat
Normal pada glomerulopati diaberik dan glomerulopati
lupus
Natrium & Kalium : umumnya normal, hipoakalemia disebabkan
aldosteronisme sekunder, diuretika, hiponatremia umumnya sekunder dari diuretika.
Kalsium : hipokalsmia ringan
Ureum & kreatinin : tergantung dari lesi histopatologis
Volume darah : menurun 10-20%
Faktor pembekuan : beberapa faktor pembekuan naik
Hemoglobin : biasanya normal kecuali telah terjadi penurunan faal
ginjal berat.
Jumlah lekosit : normal
Jumlah trombosit : mungkin meninggi
LED : meninggi
7.4.2 Urin
Volume : cenderung oliguri
Proteinuria : 5-30 gram / hari
Sedimen : sel-sel, silinder, benda lemak
Elektrolit : Natrium menurun sampai 0
Kalium meninggi
Kalsium menurun
7.4.3 Faal ginjal LFG : biasanya normal atau turun ringan
7.4.4 Radiologi : kedua ginjal membesar, mungkin disertai
kompresi kalises akibat dari sembab
intrarenal.
8. Terapi
Pengobatan sindrom nefrotik idiopati semata-mata simptomatis untuk mengurangi /
menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia dan mengatasi maupun
mencegah macam-macam penyulit. Pengobatan simtomatis baru berhasil bila memahami
dasar-dasar patofisiologi sindrom nefrotik.
Tabel . Prinsip pengobatan sindrom nefrotik
Patofisiologi Pengobatan
1. Kerusakan glomerulus Imunosupresif, antikoagulan, anti agregasi
trombosit
2. Kehilangan protein Diit kaya protein hewan
3. Hipoalbuminemia dan
penurunan tekanan
onkotik
Infus salt poor human albumin
3. Sekresi aldosteron Diuretik spironolakton
5. Retensi natrium dan
air
Diuretik furosemid, diit miskin garam
6. Sembab yang resisten Drainage, ultrafiltrasi
8.1 Dietetik :
Secara tradisional sejak dahulu pada penderita sindrom nefrotik diberikan diet protein
tinggi dan rendah garam, dengan harapan dapat meningkatkan sintesa albumin. Pada anak
normal protein diberikan sebanyak 3-3,5 gr/kgBB/hari. Pada sindrom nefrotik tidak
direkomendasikan pemberian protein di atas jumlah tersebut, karena ada bukti-bukti bahwa
pemberian protein tinggi malah dapat mempercepat terjadi gagal ginjal pada penyakit yang
kronis.
Pada saat terjadinya akumulasi oedem, ekskresi natrium kurang dari 5 mEq/hari, dan bila
penderita diberi natrium 50mEq/hari dapat menaikkan berat badan sebanyak ± 1 kg tiap hari.
Di lain pihak diet rendah garam dapat menimbulkan kehilangan nafsu makan dan hanya
mampu menurunkan oedem. Oleh karena itu bila dengan diet rendah garam anak kehilangan
nafsu makan, masih direkomendasikan diberikan makan dengan diet garam normal, akan
tetapi tanpa garam di atas meja atau makanan asin lainnya (telur asin, kecap asin, ikan asin,
dsb.). Sebaiknya sebanyak kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk mencegah
obesitas selama terapi steroid, dan mengurangi hiperkolesterolemi.
8.2 Albumin dan Diuretik
Pada sindrom nefrotik responsif, cara yang cukup efektif untuk menghilangkan oedem
hebat yaitu dengan pemberian albumin (”salt poor human albumin”, suatu larutan 25%
dengan kadar natrium 130-160 mEq/L). Namun demikian, mengingat risiko pemberian
albumin ini sangat besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi, udem paru dan ”overload”,
maka pemberian albumin harus lebih selektif, yaitu hanya diberikan apabila :
1. Ada penurunan volume darah hebat (hipovolemi hebat) dengan gejala postural
hipotensi, sakit perut, muntah dan diare.
2. Sesak dan oedem hebat disertai oedem pada skrotum/labia.
Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kgBB i.v., diberikan dalam beberapa jam (2-4 jam), diikuti
oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB/i.v.
Bisa diberikan sehari 2 kali dan bila diperlukan bisa diberikan dalam beberapa hari.
Pemberian diuretik pada sindrom nefrotik sering tidak efektif karena keadaan hipovolemi
akibat penurunan kadar albumin, kalaupun efektif sangat berbahaya bila diberikan secara
agresif, karena :
1. Sering terjadi pecahnya pembuluh darah serebral dan trombosis vena besar akibat
penurunan protein anti trombin.
2. Mempercepat terjadinya hiponatremi (bersama-sama dengan diet rendah garam),
hipokalemi dan gagal ginjal.
Oleh karena itu bila pada sindrom nefrotik diberikan diuretik, harus disertai restriksi cairan,
karena bila banyak cairan akan memperberat hiponatremi (dilusi hiponatremi), dan untuk
oedem ringan dan sedang sebaiknya digunakan klorotiazid dengan dosis 20 mg/kgBB/hari
atau hidroklorotiazid (HCT) dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
8.3 Kortikosteroid
1. Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan pemeriksaan skrining untuk
menentukan ada tidaknya TBC. Pengertiannya adalah bila untuk pemeriksaan tersebut
digunkan tes PPD, maka kortikosteroid baru diberikan bila pembacaan reaksi PPD
sudah selesai dan bila kemudian disimpulkan adanya TBC, maka pengobatan
antiberkulostatika diberikan bersama-sama kotikosteroid.
2. Obat golongan kortikosteroid yang dipakai adalah prednison dan prednisolon.
3. Rezim pengobatan dengan Prednison, secara luas dipakai standar ISKDC
(Internasional Study of Kidney Disease of Childern), yaitu :
a. 4 minggu pertama : Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (± 2 mg/kgBB) dibagi
dalam 3-4 dosis se-hari. Dosis ini diteruskan selama 4 minggu (28 hari) tanpa
memperhitungkan adanya remisi atau tidak (maksimum 80 mg/hari).
b. 4 minggu kedua : Prednison diteruskan dengan dosis 40 mg/m2/hari, diberikan
dengan cara :
`Interminent` : 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu dengan dosis tunggal
setelah makan pagi.
`Alternate` : selang sehari dengan dosis tunggal setelah makan pagi.
c. ”Tapering-off” : Prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu : 30 mg, 20
mg, 10 mg/m2/hari, diberikan secara ”interminent” atau ”alternate”.
4. Bila terjadi ”relaps”, pengobatan diulangi dengan cara yang sama.
8.4 Pengobatan alternatif :
Pada sindrom netrofik `frequent relaps` atau `steroid dependent` mempunyai risiko
terjadinya toksisitas steroid karena seringnya mendapat dosis tinggi steroid (Prednison/
Prednisolon), yaitu berupa gangguan pertumbuhan, hipertensi, ”cushingoid” dan perubahan
sikap.(Singadipoera, 1993)
1) Siklofosfamid : dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal, diberikan selama 8-12
minggu. Diberikan bersama-sama dengan Prednison dengan dosis 40 mg/m2/hari
secara `alternate`. Hati-hati dengan efek samping siklofosfamid, periksa leukosit tiap
minggu, bila leukosit < 3000/mm3, siklofosfamid harus dihentikan sementara,
dilanjutkan lagi bila leukosit > 5000/mm3.
2) Klorambusil : 0,15-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
3) Nitrogen mustard : 0,1 mg/kgBB/hari/i.v. selama 4 hari berturut-turut ditambah
Prednison 40 mg/kgBB/hari, dosis `alternate` untuk 5 dosis.
4) Siklosporin A : Dosis 4-5 mg/kgBB/hari, diberikan paling sedikit selama 1 tahun.
5) Levamisol : Suatu obat cacing (ascaridil) yang mempunyai efek imunologik stimulasi
T-sel. Dosis 2-3 mg/kgBB/hari diberikan selang sehari selama 6-18 bulan.
6) Obat-obatan lain yang masih dalam pengamatan :
ACE inhibitor, Azatioprin, Vinkristin, Dipiridamol
9. Prognosis
Prognosis sindrom nefrotik tergantung dari beberapa faktor : umur, jenis kelamin, penyulit-
penyulit, saat pengobatan, dan macam kelainan histopatologis ginjal.
Prognosis sindrom netrofik pada umur muda atau anak-anak dan wanita lebih baik dari
pada umur tua atau dewasa dan laki-laki.
Makin awal terdapat penyulit gagal ginjal dan hipertensi, prognosisnya makin buruk.
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbul gambaran klinis mempunyai
prognosis buruk.
Glomerulopati lesi minimal (GLM) mempunyai prognosis baik, lebih sering terjadi remisi
spontan terutama pada anak-anak. Hanya sebagian kecil pasien GLM memperlihatkan
progresivitas dan terjun menjadi glomerulosklerosis fokal yang mempunyai prognosis lebih
buruk terutama bila dijumpai sel-sel busa (foam cell). Glomerulopati membranos (GM)
memperlihatkan perjalanan penyakit progresif lambat dengan penurunan faal ginjal makin
lama makin berat. Penyembuhan dengan prednison lebih banyak dari pada tanpa prednison.
Glomerulosklerosis fokal (GF) mempunyai prognosis buruk dengan progresivitas yang
bervariasi, tidak memperlihatkan respon terhadap prednison. Prognosis paling buruk dan
diakhiri oleh gagal ginjal sering dijumpai pada glomerulonefritis proliferatif atau
mesangiokapiler.
top related