sindroma nefrotik
Post on 15-Apr-2016
22 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
LEMBAR PENNGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................1
BAB I LAPORAN KASUS...........................................................................2
1.1. IDENTITAS PASIEN............................................................3
1.2. DATA DASAR.......................................................................4
1.2.1. ANAMNESIS.............................................................4
1.2.2. PEMERIKSAAN FISIK.............................................7
1.2.3. FOLLOW UP..............................................................10
1.2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG................................11
1.3. RESUME................................................................................12
1.4. DIAGNOSIS KERJA.............................................................15
1.5. DIAGNOSIS BANDING.......................................................15
1.6. PENATALAKSANAAN........................................................16
1.7. USUL......................................................................................17
1.8. NASIHAT...............................................................................17
1.9. PROGNOSIS..........................................................................17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................18
2.1. EPIDEMIOLOGI....................................................................18
2.2. ETIOLOGI..............................................................................19
2.3. PATOFISIOLOGI..................................................................20
2.4. PATOLOGI............................................................................22
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 1
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................22
2.6. DIAGNOSIS...........................................................................22
2.7. BATASAN.............................................................................23
2.8. TATALAKSANA UMUM.....................................................23
2.9. TATALAKSANA DENGAN KORTIKOSTROID...............26
2.9.1. TERAPI INSIAL........................................................26
2.9.2. PENGOBATAN SN RELAPS ..................................27
2.9.3. PENGOBATAN SN RELAPS SERING /
DEPENDEN STEROID..............................................28
2.9.4. PENGOBATAN SN DENGAN
KONTRAINDIKASI STEROID................................34
2.9.5. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID .............34
2.9.6. PEMBERIAN OBAT NON-
IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI
PROTEINURIA..........................................................39
2.10. TATALAKSANA KOMPLIKASI.........................................39
2.10.1. INFEKSI.....................................................................39
2.10.2. TROMBOSIS..............................................................40
2.10.3. HIPERLIPIDEMIA.....................................................40
2.10.4. HIPOKALSEMIA.......................................................41
2.10.5. HIPERTENSI..............................................................41
2.10.6. HIPOVOLEMIA.........................................................42
2.10.7. EFEK SAMPING STEROID......................................42
2.11. INDIKASI BIOPSI GINJAL..................................................42
2.12. INDIKASI MERUJUK KE NEFROLOGI ANAK................43
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................44
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 2
BAB I
LAPORAN KASUS
.1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NZ
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : -
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jl. Medoko III No 16 RT 02 RW 01
Nama : Ny. S
Umur : 34 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Jl. Medoho III No 16 RT 02 RW 01
Nama : Tn. AK
Umur : 34 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Jl. Medoko III No 16 RT 02 RW 01
No.CM : 326656
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 3
1.2. DATA DASAR
1.2.1.ANAMNESIS
Alloanamnesa dengan orang tua pasien dilakukan pada hari Selasa, tanggal 2 Juni 2015
pada pukul 14.00
Keluhan Utama
Bengkak seluruh tubuh
Keluhan Tambahan
-
Riwayat Penyakit Sekarang
Sudah 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami bengkak-bengkak
yang pertama kali diketahui oleh ibu pasien terjadi pada kedua kelopak mata pasien.
Pasien tidak merasakan demam, tidak ada mual dan muntah. Tidak ada nyeri
pinggang. Tidak ada keluhan lainnya. Tidak ada penyakit infeksi saluran nafas
sebelum menderita ini. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa. BAB 1x
sehari, warna kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir. BAK 3-
4x sehari, warna kuning jernih, tidak ada darah, jumlah kurang lebih seperempat gelas
kecil, tidak ada nyeri berkemih.
Dua hari sebelum masuk rumah sakit, bengkak-bengkak yang dialami pasien
bertambah semakin parah. Kini bengkak dirasakan pada kedua kaki dan seluruh
wajah. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa. BAB 1x sehari, warna
kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir. BAK 2-3x sehari,
warna kuning jernih, tidak ada darah, jumlah kurang lebih seperempat gelas kecil,
tidak ada nyeri berkemih.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 4
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, bengkak yang dialami pasien terjadi pada
seluruh tubuh pasien. Bengkak terjadi pada kedua tungkai dan kedua tangan pasien.
Seluruh muka pasien terlihat bengkak. Perut pasien terlihat sangat membuncit dan
tegang. Pasien menjadi rewel. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa. BAB
1x sehari, warna kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir. BAK
1x sehari, warna kuning, tidak ada darah, jumlah kurang, tidak ada nyeri berkemih.
Dan ibu pasien memutuskan untuk membawa pasien ke IGD RSU Kota Semarang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti ini sebelumnya.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit infeksi saluran nafas akut sebelum
menderita penyakit ini.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat – makanan.
Pasien tidak memiliki riwayat asma.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada penyakit serupa yang diderita anggota keluarga lainnya.
Riwayat Persalinan dan Kehamilan
Anak laki-laki ke 3 dari ibu P3A0 , hamil 40 minggu, lahir spontan per-
vaginam ditolong bidan di puskesmas. Bayi langsung menangis saat lahir. Berat
badan lahir 3100 gram, panjang badan lahir 48 cm.
Riwayat Pemeliharaan Prenatal
Ibu rutin memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan terdekat.
Pemeriksaan dilakukan sejak ibu mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan 7
bulan, 1 kali setiap bulan. Saat memasuki usia kehamilan 8 bulan, pemeriksaan
dilakukan 2 kali. Selama hamil, ibu tidak pernah menderita penyakit. Riwayat
perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat trauma disangkal.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 5
Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan postnatal tidak diketahui.
Riwayat Pertumbuhan
Berat badan lahir 3100 gram. Panjang badan lahir 48 cm. Berat badan sekarang
10 kg. Tinggi badan sekarang 92 cm.
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 3 Bulan
Duduk : 7 Bulan
Mengoceh : 7 Bulan
Berdiri : 9 Bulan
Bicara : 1 Tahun
Berjalan : 1 Tahun
Riwayat Makan dan Minum Anak
Pasien mendapatkan ASI.
Sejak usia 6 bulan, sudah mulai ditambah dengan bubur susu dan bubur
saring 2x/hari.
Sejak usia 7 bulan mulai makan biskuit bayi
Sejak usia 12 bulan makan 3x/hari: nasi lembek, bubur tim, sop dan buah-
buahan seperti pisang.
Saat ini pasien makan makanan menu keluarga 3x/hari, namun porsi makan
pasien sedikit sejak sakit karena tidak nafsu makan.
Riwayat Imunisasi
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 6
Pasien mendapat imunisasi wajib lengkap.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja wiraswasta, sedangkan ibu pasien sebagai ibu rumah
tangga. Penghasilan ayah tidak diketahui.
Riwayat Lingkungan
Daerah tempat tinggal pasien dan keluarganya cukup padat. Tidak ada tetangga
yang mengalami sakit seperti pasien. Sumber air dirumah adalah air sumur yang
dimasak untuk diminum. Sumber pencahayaan di rumah cukup. Setiap hari jendela
rumah dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke rumah. Barang-barang
perabotan di rumah ditata dengan rapih dan rutin dibersihkan.
1.2.2.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan terhadap pasien, anak perempuan, berusia 2 tahun di
bangsal Nakula IV.
Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Kesan Sakit : tampak sakit berat
Kesan Gizi : lebih
Kesan lain : tidak sianosis; tidak ikterik; tidak tampak pucat; gelisah
Tanda Vital
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 7
HR : 148x/menit, reguler
RR : 38x/menit, reguler
Nadi : i/t cukup
Suhu : 37,2o C (axilla)
Status Internus
Kepala : Normocephali, rambut hitam.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), oedem palpebra (+/+).
Hidung : Tidak ada sekret, tidak ada NCH, bentuk normal.
Telinga : Tidak ada sekret, tidak ada tanda peradangan, bentuk normal.
Mulu t : Tonsil T1/T1, faring normal, bentuk bibir normal, tidak
sianosis.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Thoraks :
o Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2cm medial linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternal
dextra, pinggang jantung di linea parasternal sinistra ICS III
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop
(-)
o Paru – paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi
dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 8
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+ , wheezing -/-,
rhonki -/-.
Abdomen :
Inspeksi : Buncit
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (-), lien dan hepar tidak teraba.
Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen.
Genitalia : Perempuan, labia edema (-)
Anus : Tidak ada tanda-tanda peradangan.
Kulit : Tidak tampak bercak-becak hiperpigmentasi.
Ekstremitas :
o Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di regio inguinal.
o Akral dingin : superior +/+; inferior +/+
o Akral sianosis : superior -/-; inferior -/-
o Pitting oedema : superior +/+; inferior +/+
o CRT : superior <2”/<2”; inferior <2”/<2”
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 9
1.2.3.FOLLOW UP
Tabel 1.1. Hasil Follow Up Pasien
Follow Up TTV Keterangan
02-06-2015 HR : 148x/mntRR : 38x/mntT : 37,2 C ; N : i/t cukupBB: 12,9 Kg
Bengkak pada seluruh tubuh (+).Anak rewel. BAK (-).KU : TSB, tampak gelisah, status gizi baik
03-06-2015 HR : 144x/mntRR : 36x/mntT : 36,9 C ; N : i/t cukupBB: 11,4 Kg
Bengkak pada seluruh tubuh (+).Anak rewel. BAK sudah mulai banyak dan sering.KU : TSB, tampak gelisah, status gizi baik
04-06-2015 HR : 130x/mntRR : 34x/mntT : 36,8 C ; N : i/t cukupBB: 10,4 Kg
Bengkak pada seluruh tubuh (+) sudah sedikit berkurang.BAK banyak dan sering.KU : TSS, tampak gelisah, status gizi baik
05-06-2015 HR : 126x/mntRR : 34x/mntT : 36,9 C ; N : i/t cukupBB: 10 Kg
Bengkak (-)BAK sudah banyak dan sering.KU : TSS, tampak gelisah, status gizi baik
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 10
1.2.4.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Rutin
Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Darah Rutin
PemeriksaanTanggal
Nilai Normal01-06-2015 03-06-2015 04-06-2015
Hemoglobin 11* 12* 12,4* 14-18 mg/dL
Hematokrit 33,5* 37,3* 38,9* 42-52%
Leukosit 15,7* 17,8* 18,8* 4,8-10,8 X 103 u/L
Trombosit 648* 803* 1018* 150-400 X 103 u/L
Tabel 1.3. Hasil Pemeriksaan Kimia Darah
PemeriksaanTanggal
Nilai Normal01-06-2015 02-06-2015 04-06-2015
Ureum 7,3 7,9 - 10-50 mg/dL
Creatinine 0,1 0,2 - 0,5-1,5 mg/dL
Kolesterol 498* - 554* <200 mg/dL
Albumin 1,5* 1,5* - 3,4-4,8 g/dL
SGOT - - 34 <37 U/L
SGPT - - 6 <47 U/L
Kesan
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia darah didapatkan
penurunan kadar hemoglobin yang disertai penurunan hematokrit, leukositosis,
trombositosis, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 11
Pemeriksaan Radiologi
Thorax RLD
Cor : Normal
Pulmo : Peningkatan vaskuler paru
Kesan : Bronkopneumonia
Pemeriksaan Khusus
Data antropometri : Anak Perempuan berusia 2 tahun; berat badan 10 kg; tinggi
badan 92 cm.
WAZ : (10-11,5) / 10,2 = -0.14 (Berat Badan normal)
HAZ : (92 -86,4) / 92,9 = 0.06 (Tinggi Badan normal)
WHZ : (10 – 13.1) / 10.2 = -0.3 ( normal )
Kesan : Status gizi baik
1.3. RESUME
Telah diperiksa seorang anak perempuan usia 2 tahun dengan berat badan 12,9
kg dan tinggi badan 92 cm. Dibawa orang tuanya ke IGD RSUD kota semarang
dengan keluhan utama bengkak pada seluruh tubuh.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sudah 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengalami bengkak-bengkak
yang pertama kali diketahui oleh ibu pasien terjadi pada kedua kelopak mata pasien.
Pasien tidak merasakan demam, tidak ada mual dan muntah. Tidak ada nyeri
pinggang. Tidak ada keluhan lainnya. Tidak ada penyakit infeksi saluran nafas
sebelum menderita ini. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa. BAB 1x
sehari, warna kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir. BAK 3-
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 12
4x sehari, warna kuning jernih, tidak ada darah, jumlah kurang lebih seperempat gelas
kecil, tidak ada nyeri berkemih.
Dua hari sebelum masuk Rumah Sakit, bengkak-bengkak yang dialami pasien
bertambah semakin parah. Kini bengkak dirasakan pada kedua kaki dan seluruh
wajah. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa. BAB 1x sehari, warna
kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir. BAK 2-3x sehari,
warna kuning jernih, tidak ada darah, jumlah kurang lebih seperempat gelas kecil,
tidak ada nyeri berkemih.
Satu hari sebelum masuk Rumah Sakit, bengkak yang dialami pasien terjadi
pada seluruh tubuh pasien. Bengkak terjadi pada kedua tungkai dan kedua tangan
pasien. Seluruh muka pasien terlihat bengkak. Perut pasien terlihat sangat membuncit
dan tegang. Pasien menjadi rewel. Riwayat makan dan minum normal seperti biasa.
BAB 1x sehari, warna kuning kecoklatan, lunak, tidak ada darah dan tidak ada lendir.
BAK 1x sehari, warna kuning, tidak ada darah, jumlah kurang, tidak ada nyeri
berkemih. Dan ibu pasien memutuskan untuk membawa pasien ke IGD RSU Kota
Semarang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti ini sebelumnya
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit infeksi saluran nafas akut sebelum
menderita penyakit ini
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat - makanan
Pasien tidak memiliki riwayat asma
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada penyakit serupa yang diderita anggota keluarga lainnya.
Pemeriksaan dilakukan terhadap pasien, anak perempuan, berusia 2 tahun di
bangsal Nakula IV.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 13
Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Kesan Sakit : tampak sakit berat
Kesan Gizi : lebih
Kesan lain : tidak sianosis; tidak ikterik; tidak tampak pucat; gelisah
Tanda Vital
HR : 148x/menit, reguler
RR : 38x/menit, reguler
Nadi : i/t cukup
Suhu : 37,2o C (axilla)
Status Internus.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), oedem palpebra (+/+).
Mulu t : Tonsil T1/T1, faring normal, bentuk bibir normal, tidak
sianosis.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Abdomen :
Inspeksi : Buncit
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (-), lien dan hepar tidak teraba.
Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen.
Genitalia : Perempuan, labia edema (-)
Ekstremitas :
o Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di regio inguinal.
o Akral dingin : superior +/+; inferior +/+
o Akral sianosis : superior -/-; inferior -/-
o Pitting oedema : superior +/+; inferior +/+
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 14
o CRT : superior <2”/<2”; inferior <2”/<2”
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin dan Kimia Darah
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia darah didapatkan
penurunan kadar hemoglobin yang disertai penurunan hematokrit, leukositosis,
trombositosis, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia.
Pemeriksaan Radiologi
Dari pemeriksaan foto rontgen posisi lateral dekubitus didapatka peningkatan
corakan bronkovaskular yang memberi kesan bronkopneumonia.
Pemeriksaan Status Gizi
Kesan status gizi baik
1.4. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Nefrotik
Status gizi baik
1.5. DIAGNOSIS BANDING
Bengkak
o Sindroma Nefrotik
o GNAPS
o Henoch Scholein Purpura
Status gizi baik
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 15
1.6. PENATALAKSAANAAN
Medikamentosa
Infus D10% 10cc/jam
Prednison : 3 x 1 ½ tab
Infus Albumin : 12,9kg x (Albn – Albs) x 0,8 = 20,64 gr
O2 nasal 2L/menit
Diet
Asupan makan besar tiga kali/hari, dengan selingan dua kali di antara kedua
makan besar, gizi seimbang. Perbanyak konsumsi makanan protein hewani , saran
putih telur dikukus, minimal 3 butiir/hari. Kurangi makanan berkolesterol tinggi dan
berminyak, seperti ‘jeroan’ hewan. Diit rendah garam 1g/hari, disesuaikan dengan
keadaan umum, dan balance cairan. Batasi asupan cairan, sesuaikan dengan keadaan
umum anak..
Program
Pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital.
Pantau lingkar perut dan oedem.
Timbang berat badan setiap hari.
Awasi balance cairan. Balance negatif.
Periksa ulang darah rutin, albumin serum, kolesterol, trigliserida per 24 jam.;
Bila perlu per 12 jam.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 16
1.7. USUL
Pemeriksaan Escbach
Pemeriksaan ureum, creatinin, urinalisis
1.8. PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia
1.9. NASIHAT
Menjelaskan kepada orang tua mengenai penyakit yang diderita pasien, cara
pengobatan, komplikasi, dan penyebab dan kemungkinan kekambuhan penyakit
tersebut.
Menjelaskan kepada orang tua mengenai pentingnya kepatuhan untuk minum
obat setiap hari sesuai aturan terutama karena pengobatan yang diberikan adalah
pengobatan jangka panjang. Dijelaskan juga efek samping dari pengobatan.
Menjelaskan kepada orang tua untuk memberikan makanan yang baik dan
bergizi untuk meningkatkan kadar albumin serum.
Menjelaskan kepada orang tua mengenai bahaya penyakit dan pentingnya
kontrol ke dokter setelah pengobatan awal di rumah sakit selesai
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar
12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai
oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit
perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam
laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat sementara.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi ana- tomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
2-5%, glomerulonefritis membrano- proliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati
membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 18
SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85%
tidak responsif (resisten steroid).
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal
ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan
fungsi ginjal.
2.2. ETIOLOGI
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein, dan lain lain. Pada konsensus ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik.
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan
steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan
gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih
didasarkan pada respons klinik yaitu:
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
2.3. PATOFISIOLOGI
Abnormalitas yang menjadi dasar pada sindroma nefrotik adalah meningkatnya
permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan terjadinya
proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Penyebab dari peningkatan permeabilitas
belum diketahui secara pasti. Pada minimal change disease, sangat mungkin terjadi
disfungsi pada sel T yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada sitokin-sitokin,
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 19
sehingga diding kapiler glomerulus akan kehilangan muatan negatif yang akan
berujung pada perubahan permeabilitas dari dinding kapiler.1
Pada focal segmental glomerulosclerosis, faktor plasma, yang mungkin
dihasilkan oleh limfosit, bertanggung jawab atas peningkatan permebilitas dinding
kapiler.1
Meskipun mekanisme terjadinya edema pada sindroma nefrotik belum
dipahami seluruhnya, namun sepertinya pada sebagian besar kasus, kehilangan
protein melalui urin mengakibatkan terjadinya hipoalbuminemia. Sehingga akan
terjadi penurunan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan dari intravaskular ke
ruang intersisiel. Penuruan volume intravaskular menurunkan tekanan perfusi ginjal,
sehingga sistem renin-angiostensin-aldosteron teraktivasi yang mana akan
menstimulasi reabsopsi natrium di tubulus. Penurunan volume intravaskular juga kan
menstimulasi pegeluaran dari hormon antidiuretik, yang mana akan meningkatkan
reabsorpsi air di tubulus kolektivus. Penurunan tekanan osmotik plasma akan
bermanifestasi klinis sebagai edema.1,
Pada tahap nefrotik, level serum lipid (kolesterol,trigliserida) akan mengalami
peningkatan disebebkan oleh dua hal. Keadaan hipoalbuminemia akan menstimulasi
sintesis protein oleh hepar, termasuk didalamnya adalah lipoprotein. Menunrunnya
katabolisme lipid sebagai akibat dari penurunan level enzim lipoprotein lipase yang
berhubungan dengan peningkatan ekskresi enzim melalui urin.1,2
Sindroma nefrotik juga dapat terjadi sebagai akibat sekunder dari segala bentuk
penyakit glomerulus. Membranous nephropathy, membranoproliferative
glomerulonefrtis, postinfectious glomerulonefritis, lupus nephritis, dan Henoch-
Schönlein purpura nephritis dapat berujung pada keadaan nefrotik.1-3
2.4. PATOLOGI
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 20
Sekitar 90% sindroma nefrotik pada anak merupakan idipatik. Sindroma
nefrotik idiopatik memiliki tiga tipe perubahan histologis: minimal change disease,
mesangial proliferation, dan focal segmental glomerulosclerosis. Beberapa ahli
berpendapat bahwa ketiga perubahan histologis tersebut mencerminkan tiga penyakit
yang berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa, sedangkan lainnya berpendapat
bahwa ketiga perubahan histologis tersebut merupakan suatu variasi histologis yang
dapat ditemukan pada satu penyakit.3
Pada minimal change disease (85% dari total kasus), glomerulus tampak
normal atau menunjukkan adanya sedikit peningkatan sel mesangial dan juga matriks.
Melalui mikroskop imunofloresensi tidak dapat ditemukan adanya perubahan, dan
melalui mikroskop elektron tampak hilangnya pedikel dari sel epitel.4
Mesangial proliferation (5% dari total kasus) ditandai dnegan adanya
peningkatan sel mesangila dan matriks yang tersebar merata dengan menggunakan
mikroskop cahaya. Pada penggunaan mikroskop imunofloresensi dapat terlihat
adanya jejak IgM dan/ IgA mesangial sampai +1 dengan pewarnaan. Sedangkan pada
penggunaan mikroskop elektron menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel
mesangial dan matriks sebanding dnegan hilangnya pedikel sel epitel glomerulus.
Sekitar 50% pasien dengan lesi histologi ini berespon dengan terapi kortikosteroid.4,5
Pada focal segmental glomerulosclerosis (10% dari total kasus), glomerulus
menunjukkan adanya proliferasi dari sel mesangial an terbentuknya scar secara
segmental dnegan penggunaan mikroskop cahaya. Pada penggunaan mikroskop
imunofloresensi menunjukkan adanya pewarnaan IgM dan C3 pada area yang
terbentuk sklerosis segmental. Sedangkan mikroskop elektron menunjukkan adanya
scar segmental pada glomerulus yang mengakibatkan tersumbatnya lumen kapiler
glomerulus. Sekitar 20% pasien dengan focal segmental glomerulosclerosis
menunjukkan respon positif pada pemberian prednisone. Penyakit ini seringkali
progresif, dan pada banyak kasus akhirnya akan mengenai seluruh bagian dari
glomerulus dan berujung pada end-stage renal failure.5
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 21
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 22
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
Protein urin kuantitatif. Dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
Pemeriksaan Darah Tepi Lengkap. Meliputi pemeriksaan hemoglobin,
leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, dan LED.
Albumin dan Kolesterol serum.
Ureum, Kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz.
Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
2.6. DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+).
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL.
Edema.
Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 23
2.7. BATASAN
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/
jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
Relaps sering (frequent relaps) : relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
Dependent steroid : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.
2.8. TATALAKSANA UMUM
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan- pemeriksaan
berikut:
Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
Pengukuran tekanan darah.
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 24
lupus eritematosus sistemik, HenochSchonlein Purpura.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Dietetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 25
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin
20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga menganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Algoritma Pemberian Diuretik6
Imunisasi
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 26
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/ hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin
virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.
2.9. TATALAKSANA DENGAN KORTIKOSTROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
2.9.1.TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 27
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid (Gambar 2).
Gambar 2. Pengobatan Initial Kortikosteroid6
2.9.2.PENGOBATAN SN RELAPS
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu
pemicunya saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan
bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 28
Gambar 3. Pengobatan Sindroma Nefrotik Relaps6
Keterangan:
Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dnegan prednison intermittent atau
alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.
2.9.3.PENGOBATAN SN RELAPS SERING / DEPENDEN STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau
5. Mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.
Steroid Jangka Panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 29
setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut
dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5
mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating, maka
relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi, diberikan
setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi
0,8 mg/kgbb di- berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap
2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi
relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al- ternating,
tetapi <1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating, atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis,
dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan.
Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversible.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 30
Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8
g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se- lama 3 bulan mempunyai
dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi.
Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral6
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 31
Keterangan:
Relaps sering: prednison dosis penh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dnegan prednison intermittent
atau alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosamid 2-3mg/KgBB/hari,
peroral dosis tunggal selama 8 minggu
Gambar 5. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid6
Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diiberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednisone intermittent atau alternating (AD) 40
mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone ditappering-off dengan dosis 1
mg/KgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/KgBB selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 32
dilanjutkan dengan siklofosamid oral 2-3mg/KgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan
prednisone alternating (AD) diiberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan
prednisone intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednisone ditappering-off dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/KgBB selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid,
CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 33
Gambar 6. Diagram Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid6
Keterangan:
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednisone jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 34
2.9.4.PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval
1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
2.9.5.PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.
Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada
Gambar 7.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 35
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 36
Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,
dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena
itu pada pemakaian CyA perlu pe- mantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/m.
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur,tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.
Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid6
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 37
Keterangan:
Sitostatik oral: siklofosamid 2-3 mg/KgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemeberian siklofosamid oral.
Kemudian prednisone ditappering-off dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari sela,a 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/KgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Siklofosamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu
kali sebulan selama enam bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemeberian siklofosamid
puls (6 bulan). Kemudian Kemudian prednisone ditappering-off dengan dosis 1
mg/KgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari sela,a 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/KgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon
puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam
50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 38
Tabel 3. Protokol Metilprednisolon Dosis Tinggi6
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 100 mg dan dosis maksimum prednisone oral 60
mg. Siklofosamid (2-2,5 mg/KgBBB/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/KgBB/hari) selama 8—12 minggu dapat diberikan bila proteinuria massif masih
didapatkan setelah pemeberian metilprednisolon selama 10 minggu.
Obat Imunosupresif Lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang
masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasikan di Indonesia.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 39
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 40
Gambar 8. Tatalaksana Sindroma Nefrotik6
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 41
2.9.6.PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI
PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan
hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin
sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering
maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang
sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi
ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan
steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal.
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
2.10. TATALAKSANA KOMPLIKASI
2.10.1. INFEKSI
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 42
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi
perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah
selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan
oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan
penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim
atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak
dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela.
Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu- noglobulin varicella-zoster,
dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan
dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu
diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral
dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan
steroid sebaiknya dihentikan sementara.
2.10.2. TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti
defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan
dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,
dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli
dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.
2.10.3. HIPERLIPIDEMIA
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 43
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara
dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan
diit lemak. Pada SN resisten ste- roid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan
normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
2.10.4. HIPOKALSEMIA
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia.
2. Kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan
vitamin D (125-250 IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.
2.10.5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering
disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 44
atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah
teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 45
2.10.6. HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor
ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium
channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah
persentil 90.
2.10.7. EFEK SAMPING STEROID
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya.
Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan,
perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan
tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.
2.11. INDIKASI BIOPSI GINJAL
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal:
Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun.
Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah.
Hipertensi menetap.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 46
Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia.
Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
SN resisten steroid. Sebelum memulai terapi siklosporin
2.12. INDIKASI MERUJUK KE NEFROLOGI ANAK
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak:
Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga.
Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau
lesi di kulit.
Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid.
Sindrom nefrotik resisten steroid.
Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 47
DAFTAR PUSTAKA
1. Nephrotic Syndrome in Children: Prediction of histopathology from clinical and
laboratory characteristics at time of diagnosis. A report of the international Study
of Kidney Disease in Children. Kidney Int 1978; 13: 159.
2. Van de Walle JGJ, Donckerwolcke RA: Pathogenesis of edema fromation in the
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2001; 16: 283.
3. Davis ID, Avner ED. Conditions Particularly Associated with Hematuria.
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
17th ed. Philadelphia Pennsylvania 19106; Saunders; 2004: p. 1735-57.
4. Eddy AA, Schanaper HW: The Nephrotic Syndrome: From the simple to the
complex. Semin Nephrol 1998; 18: 304.
5. Orth S, Ritz E: The Nephrotic Syndrome. N Eng J Med 1998; 338: 1202.
6. IDAI. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. 2nd ed.
Indonesia. 2012.
Laporan Kasus III – Sindroma NefrotikAnasti Putri P (030.10,028) 48
top related