skenario 5
Post on 02-Dec-2015
228 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Benjolan Multiple
Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang dengan keluhan muncul beberapa
benjolan di leher dan benjolan ini tidak nyeri jika ditekan. Keluhan disertai
dengan demam hilang timbul, keringat malam, dan berat badan turun drastis
selama 6 bulan ini. Dari pemeriksaan fisik ditemukan nodul multiple dengan
konsistensi kenyal. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan ia menderita
limfoma dan memerlukan pemeriksaan FNAB untuk memastikan diagnosis.
Dokter juga menjelaskan beberapa alternatif pengobatan seperti regimen
kemoterapi, radioterapi, dan transplantasi sumsum tulang.
STEP 1
1. Limfoma adalah penyakit keganasan di jaringan limfoid
2. Pemerikasaan FNAB adalah prosedur biopsi menggunakan jarum sangat tipis
yang melekat pada jarum suntik untuk menarik sejumlah kecil lesi abnormal,
berfungsi untuk mengetahui sel jinak/ganas
3. Transplantasi sumsum tulang adalah cangkok atau penggantian suatu organ
STEP 2
1. Mengapa ada benjolan di leher?
2. Mengapa pasien mengalami demam, keringat malam, dan penurunan berat
badan?
3. Apa saja klasifikasi limfoma?
4. Apa saja etiologi limfoma?
5. Bagaimana patogenesis limfoma?
6. Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaannya?
STEP 3
1. Kompensasi sistem imun terhadap infeksi
Kelainan sistem limfatik
2. Adanya infeksi virus menyebabkan demam
Metabolisme sel meningkat menyebabkan keringat dan berat badan menurun
2
3. Klasifikasi
a. Limfoma Hodgkin
i. Tipe limfosit predominan
ii. Tipe limfosit cellularity
iii. Tipe limfosit depleted
iv. Tipe nodular sklerosis
b. Limfoma non Hodgkin
i. Menyerang sel B
ii. Menyerang sel T
Berdasarkan jenis sel yang mencolok pada KGB
4. Etiologinya sebagian besar tidak diketahui
Faktor risiko :
a. Imunodefisiensi
b. Virus
c. Lingkungan pekerjaan
d. Diet
5. Patogenesis :
a. Herbisida → perkembangan sel B abnormal → mengganggu transkripsi
sel B
b. Kerusakan gen surpressor tumor
c. Perubahan limfosit → limfoma
6. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
STEP 4
1. Penyebab timbulnya gejala
a. Adanya sel abnormal yang tumbuh terus menerus
3
b. Adanya agen karsinogenik
i. Inflamasi kronik
ii. Kimia : benz (a) pire, nitrosilamin, amino aromatik, benzene
iii. Fisika : sinar ionisasi
iv. Viral : DNA ( HBV, EBV), RNA ( HTLV )
v. Parasit : Schistosoma
2. Perubahan sifat sel, proses metabolisme digunakan untuk proliferasi sel
menyebabkan berat badan menurun
3. Klasifikasi
a. Limfoma Hodgkin : sel Hodgkin, lacunar cell, RS, sel pleomorfik
i. Predominan : Limfosit sedikit RS
ii. Limfoma depleted : Sel ganas > limfosit
iii. Nodular sklerosis → fibrosis dan sklerosis luas
b. Limfoma non Hodgkin
i. Prekursor sel B limfoma
ii. Germinal sel → folikel limfoid
iii. Naive B cell
iv. Mantle zone
v. Marginal zone
4. Etiologi
a. Kimiawi : Pestisida, pelarut benzena
5. Patogenesis
a. Paparan herbisida → sel B abnormal ( RS ) → aktivasi sel terganggu →
limfoma
b. Gen proonkogen + gen surpressor → onkogen → peningkatan
proliferasi
6. Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
a. Anamnesis : BB menurun, demam, keringat malam
b. Pemeriksaan fisik : KGB membesar, pembesaran organ
4
c. Pemeriksaan penunjang : gambaran darah tepi dan lengkap, biopsi
d. Terapi
i. Umum : Istirahat, diet
ii. Regimen kemoterapi
Bagan
STEP 5
1. Bagaimana mekanisme neoplasia dan agen karsinogennya ?
2. Bagaimana proses terbentuknya RS ?
3. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada neoplasia ?
4. Apa saja penatalaksanaan neoplasia dan bagaimana mekanismenya ?
NEOPLASIA
Agen Karsinogen Mekanisme Limfoma
Klasifikasi Etiologi Faktor Risiko Penegakan Diagnosis
Penatalaksanaan
5
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Mekanisme neoplasia dan agen karsinogennya
a. Mutasi penyebab kanker
Setiap kanker yang timbul berasal dari mutasi atau
perubahan gen. Jarang sekali kanker diwariskan dari orang tua
kepada anak. Sebagian besar dari penyakit kanker muncul seiring
perjalanan hidup seseorang. Satu dari 100 triliyun sel-sel yang ada
dalam tubuh kita suatu saat bisa saja mengalami kemunduran,
yakni perubahan dari sel-sel sehat yang berfungsi normal menjadi
sel-sel tumor. Proses transformasi sel normal menjadi sel ganas
melalui displasi terjadi melalui mekanisme yang sangat rumit,
tetapi secara umum mekanisme karninogenesis ini terjadi melalui
tiga tahap, salah satunya yaitu Inisiasi adalah proses yang
melibatkan mutasi genetik yang menjadi permanen dalam DNA sel.
Dipicu oleh insiator (bahan yg mampu menyebabkan mutasi gen)
initiated cells. Sel-sel masih mirip dengan sel normal (Desen,
2013).
Perubahan yang terjadi pada sel, terutama disebabkan oleh
sinar UV, sinar X dan bahan-bahan kimia penyebab kanker. Yang
termasuk bahan-bahan kimia penyebab kanker adalah Benzopyrene
(salah satunya), yakni zat berbahaya yang terjadi akibat adanya
pembakaran. Benzopyrene biasa ditemukan pada produk-produk
yang dimasak dengan api atau pengasapan. Benzopyrene
mengakibatkan timbulnya sebuah zat tertentu yang secara kimia
bisa mengikat DNA dan ikatan inilah yang kemudian
mengakibatkan terjadinya perubahan struktur DNA (Desen, 2013).
6
Perubahan ini merugikan proses pembelahan sel dan
sebaliknya menguntungkan proses mutasi. Semakin lama seseorang
mengkonsumsi tembakau, maka semakin besar pula zat-zat
penyebab kanker yang dihisap oleh si perokok, sehingga semakin
tinggi pula resiko- bahwa zat-zat penyebab kanker yang telah ia
hisap tersebut, akan menjadi pemicu terjadinya perubahan struktur
dalam gen. Resiko terjadinya mutasi akan semakin bertambah
seiring dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan tubuh
seseorang yang semakin berumur bekerja tak seoptimal dulu. Inilah
yang dengan mudah bisa memicu terjadinya kesalahan pada
pembelahan sel (Desen, 2013).
Onkogen adalah versi mutan dari gen normal, yang memicu
pertumbuhan sel. Gen pada sel normal yang dapat berubah menjadi
onkogen aktif akibat mutasi, disebut proto-onkogen. Mutasi
mampu mengubah proto-onkogen menjadi onkogen aktif.
Perbedaan antara onkogen dan gen normal kadang kala tidak
terlihat. Protein mutan dari mana asal onkogen muncul dapat
berbeda hanya dengan satu asam amino tunggal dari versi yang
sehat. Jadi hanya dengan satu perubahan tunggal telah dapat
mengubah fungsi protein. Ketika proto-onkogen mengalami mutasi
(mutasi titik, translokasi, amplifikasi, insersi atau delesi) menjadi
onkogen, maka mekanisme fisiologis proses pembelahan sel
normal akan mengalami gangguan dan menuju pada lesi gen.
Perubahan ini akan terjadi proses pembelahan sel neoplastik
(Desen, 2013).
b. Kategori Perubahan Genetik Proto-Onkogen Menjadi Onkogen
Terdapat tiga kategori perubahan genetik proto-onkogen menjadi
onkogen:
1) Translokasi/transposisi: gen berpindah ke lokus yang baru,
dibawah kontrol promoter yang baru. Perubahan ini dapat
7
menyebabkan produksi protein penstimulasi pertumbuhan
berlebih.
2) Amplifikasi gen: gen disalin hingga berlipat ganda dalam
genom. Hasilnya serupa dengan translokasi.
3) Mutasi titik dalam gen. Hasilnya berupa protein penstimulasi
pertumbuhan yang bekerja hiperaktif atau resisten degradasi
(Desen, 2013).
c. Mekanisme polimorfisme
Sel kanker adalah sel normal yang mengalami
mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa terkoordinasi dengan
sel-sel tubuh lain. Proses pembentukan kanker (karsinogenesis)
merupakan kejadian somatik dan sejak lama diduga disebabkan
karena akumulasi perubahan genetik dan epigenetik yang
menyebabkan perubahan pengaturan normal kontrol molekuler
perkembangbiakan sel. Perubahan genetik tersebut dapat berupa
aktivasi proto-onkogen dan atau inaktivasi gen penekan tumor yang
dapat memicu tumorigenesis dan memperbesar progresinya (Desen,
2013).
Sel kanker yang tak mampu berinteraksi secara sinkron
dengan lingkungan dan membelah tanpa kendali bersaing dengan
sel normal dalam memperoleh bahan makanan dari tubuh dan
oksigen. Tumor dapat menggantikan jaringan sehat dan terkadang
menyebar ke bagian lain dari tubuh yakni suatu proses pemendekan
umur yang lazim disebut metastasis. Potensi metastasis ini
diperbesar oleh perubahan genetik yang lain. Jika tidak diobati,
kebanyakan kanker mengarah ke pesakitan dan bahkan kematian.
Kanker muncul melalui perubahan genetik rangkap/ganda dalam
sel induk dari organ tubuh. Sebagian perubahan yang tidak dapat
dihapuskan akan terus menumpuk bersamaan dengan
bertambahnya umur dan tidak dapat dihindari, akan tetapi
8
predisposisi genetik, faktor lingkungan dan yang paling banyak
yakni gaya hidup adalah factor-faktor yang penting. Beberapa
orang lahir dengan mutasi tertentu dalam DNA-nya yang dapat
mengarah ke kanker. Sebagai contoh, seorang wanita lahir dengan
mutasi pada gen yang disebut BRCA1 akan membentuk kanker
payudara atau rahim jauh lebih banyak daripada wanita yang tidak
mempunyai mutasi demikian. Karsinogen eksogen (dari luar) dan
proses biologik endogen dapat menyebabkan mutasi delesi, insersi
atau substitusi basa baik transisi maupun transversi. Mekanisme
endogen kerusakan DNA yang telah diketahui dengan baik adalah
fenomena deaminasi 5-metilsitosin (Desen, 2013).
Metilasi DNA adalah merupakan mekanisme epigenetik
yang melibatkan pengaturan ekspresi suatu gen. Residu sitosin dan
5-metilsitosin masing-masing dapat secara spontan dideaminasi
menjadi urasil dan timin yang jika tidak diperbaiki akan
menyebabkan mutasi transisi G:C→A:T. Mutasi ini paling banyak
terjadi pada dinukleotida CpG (sitosin diikuti oleh guanin) yang
seringkali mengalami metilasi. Studi spektrum mutasi menyatakan
adanya corak khas perubahan DNA yang diinduksi oleh mutagen
endogen dan eksogen tertentu dalam gen yang berhubungan dengan
kanker (Desen, 2013).
Selama masa hidupnya, sel normal senantiasa terkena
pajanan berbagai tekanan (stress) endogen dan eksogen yang dapat
merubah karakter normalnya yang melibatkan perubahan genetik.
Perubahan genetik yang dapat menyebabkan mutasi sangat
membahayakan sel karena akan dapat diwariskan ke sel
keturunannya dan mengarah ke pembentukan neoplasia (Desen,
2013).
Mutasi p53 adalah perubahan genetik yang paling umum
ditemukan pada kanker manusia dan fungsi p53 hilang secara tidak
langsung baik oleh eksklusi inti, interaksi dengan protein virus
9
seperti pada kanker serviks, ataupun melalui interaksinya dengan
overekspresi protein mdm2. Gen p53 berperan dalam pengaturan
siklus sel dengan mengontrol sejumlah gen termasuk gen untuk
apoptosis jika kerusakannya berat (Desen, 2013).
d. Agen Karsinogen
i. Definisi
Karsinogen (cancer-causing agents)adalah bahan yang
dapat memicu ataupun mendorong terjadinya kanker. Beberapa
peneliti memperkirakan 99,99% karsinogen yang kita cerna
adalah alamiah. Di antaranya adalah bahan kimia, tetapi hanya
± 30 senyawa yang diidentifikasi sebagai karsinogen (zat
penyebab kanker) manusia. Sekitar 300 senyawa lainnya
menyebabkan kanker pada binatang secara laboratorium
(Desen, 2013).
ii. Karsinogen Alamiah
Tidak semua karsinogen berupa bahan kimia sintetik.
Safrole dalam sassafras dan aflatoksin diproduksi oleh jamur
pada makanan, merupakan senyawa alam. Beberapa peneliti
memperkirakan 99,99% karsinogen yang kita cerna adalah
alamiah. Tumbuh-tumbuhan memproduksi senyawa tertentu
untuk melindungi mereka terhadap jamur, serangga, dan
binatang termasuk manusia. Beberapa senyawa yang
diproduksi ini adalah karsinogen yang ditemukan pada jamur,
basil, seledri, kurma, bumbu, lada, adas, parsnips, dan minyak
sitrus. Karsinogen juga dihasilkan selama pemasakan dan
sebagai produk dari metabolisme normal (Desen, 2013).
iii. Jenis Karsinogen
10
Senyawa kimia karsinogen bervariasi, yang akan
diuraikan di sini hanya beberapa karsinogen utama. Beberapa
karsinogen yang sangat berbahaya adalah hidrokarbon
aromatik, yang paling dikenal adalah 3,4-benzpirena.
Hidrokarbon karsinogenik terbentuk selama pembakaran tidak
sempurna dari hampir setiap senyawa organik. Mereka
ditemukan dalam batubara, asap rokok, pembakaran kendaraan
bermotor, kopi, gula gosong dan sebagainya. Tidak semua
hidrokarbon aromatik polisiklik merupakan karsinogen.
Terdapat korelasi yang erat kekarsinogenan dengan ukuran dan
bentuk tertentu dari molekul. Nampaknya sifat karsinogen
tidak hanya disebabkan oleh hidrokarbon semata tetapi dapat
terbentuk karena produk oksidanya dalam hati (Desen, 2013).
Jenis karsinogen yang lain adalah amina aromatik. Dua
di antaranya adalah b-naftilamina dan benzidine. Kedua
senyawa ini pernah digunakan di industri zat warna. Senyawa
ini bertanggung jawab untuk kanker kandung kemih pada
pekerja yang kontak lama dengan senyawa tersebut (Desen,
2013).
Beberapa pewarna aminoazo juga menunjukkan
karsinogen, misalnya 4-dimetilaminobenzena. Senyawa ini
dikenal sebagai “pewarna kuning mentega”. Senyawa ini
digunakan untuk pewarna mentega sebelum diketahui sifat
karsinogennya (Desen, 2013).
Tidak semua karsinogen merupakan senyawa aromatik,
beberapa di antaranya adalah nitrosamin dan vinil klorida.
Senyawa lainnya merupakan cincin heterosiklik tiga- dan
empat-anggota yang mengandung oksigen atau nitrogen,
misalnya etilenaimina, epoksida dan turunannya, estersiklik
yang juga disebut lakton (Desen, 2013).
11
e. Penyebab kanker
Penyebab kanker sangat bergantung dari jenis penyakit
kanker yang diderita. Namun, pada umumnya penyebab kanker
adalah tidak normalnya sel sehingga terjadi pertumbuhan yang
di luar batas, dan sampai menyerang jaringan di sekitarnya
(Desen, 2013).
Faktor lingkungan: 80% kanker yang menerpa manusia
diakibatkan oleh pengaruh lingkungan, yaitu pengaruh dari zat
karsinogen dari luar (eksogen). Sisanya, yang bertanggung
jawab adalah virus dan radiasi (Desen, 2013).
Faktor keturunan: Sejumlah kanker ternyata dapat
diturunkan, a.l: 10-20% dr tumor buah dada (mamma), 40% dr
tumor mata (retinoblastoma) (Desen, 2013).
f. Virus penyebab Kanker
Virus onkogenik mengandung DNA atau RNA sebagai
genomnya. Adanya infeksi virus pada suatu sel dapat
mengakibatkan transformasi malignat, hanya saja bagaiamana
protein virus dapat menyebabkan transformasi masih belum
diketahui secara pasti. Umumnya jenis retrovirus, dapat
menyisipkan onkogen ke dalam genom, mengubah proto-
onkogen menjadi onkogen, atau merusak gen dengan
menyisipkan gen lain di antara gen supresor-tumor. Beberapa
jenis kanker yang disebabkan retrovirus adalah beberapa jenis
leukimia, kanker hati, dan kanker serviks. Seperti infeksi
akibat virus (Hepatitis B Virus dan Kanker Hati, Human
Papilloma Virus (HPV) dan Kanker Serviks/Mulut Rahim) dan
Bakteri (Helicobater Pylori dan Kanker Lambung) dan Parasit
(Schistosomiasis dan Kanker Kandung Kemih) (Desen, 2013).
12
Beberapa kanker bisa disebabkan infeksi. Ini bukan
saja berlaku pada binatang-binatang seperti burung, tetapi juga
pada manusia. Virus-virus ini berperan hingga 20% terhadap
terjangkitnya kanker pada manusia di seluruh dunia. Virus-
virus ini termasuk papillomavirus pada manusia (kanker
serviks), poliomavirus pada manusia (mesothelioma, tumor
otak), virus Epstein-Barr (penyakit limfoproliferatif sel-B dan
kanker nasofaring), virus herpes penyebab sarcoma Kaposi
(Sarcoma Kaposi dan efusi limfoma primer), virus-virus
hepatitis B dan hepatitis C (kanker hati), virus-1 leukemia sel
T pada manusis (leukemia sel T), dan Helicobacter pylori
(kanker lambung) (Desen, 2013).
Jenis tumor yang ditimbulkan virus dapat dibagi
menjadi dua, jenis yang bertransformasi secara akut dan
bertransformasi secara perlahan. Pada virus yang
bertransformasi secara akut, virus tersebut membawa onkogen
yang terlalu aktif yang disebut onkogen-viral (v-onc), dan
virus yang terinfeksi bertransformasi segera setelah v-onc
terlihat. Kebalikannya, pada virus yang bertransformasi secara
perlahan, genome virus dimasukkan di dekat onkogen-proto di
dalam genom induk (Desen, 2013).
g. Sinar Radiasi penyebab Kanker
Terdapat 2 macam radiasi yaitu radiasi ionisasi
(misalnya sinar X) dan non-ionisasi (sinar ultraviolet).
Keduanya adalah bagian dari spektrum gelombang
elektromagnetik. Sinar X berasal dari tambang uranium,
kosmik, alat diagnostik penyakit, alat terapi radiasi, kecelakaan
nuklir, bom atom dan sampah radioaktif. Sinar ultraviolet
berasal dari matahari. Risiko terkena kanker meningkat pada
anak yang waktu masa fetusnya terkena radiasi sinar X dari
pelvimetri ibunya atau pada anak yang sel benih ibunya
13
sebelum kehamilan mengalami mutasi. Peningkatan
penggunaan enersi nuklir dan percobaan senjata nuklir
mempunyai efek jangka panjang dan pendek radiasi sinar X.
Efek jangka pendek menginduksi kanker, sedangkan jangka
panjang menyebabkan kerusakan gen yang diteruskan kepada
generasi mendatang. Dosis kecilpun dapat menimbulkan
kerusakan jaringan, tetapi berapa besar dosis belum dapat
dipastikan. Risiko menderita lekemia akut adalah yang pertama
diketahui dan sumsum tulang dulu dianggap organ yang paling
sensitif tetapi sekarang diketahui risiko untuk menderita tumor
ganas padat lebih besar yaitu kanker kelenjar tiroid, payu dara,
paru, kulit, tulang dan lambung serta organ pencernaan
lainnya. Periode laten untuk lekemia adalah beberapa tahun (2-
5 tahun) sedangkan untuk tumor ganas padat pada umumnya 5-
10 tahun dapat sampai lebih dari 30 tahun. Zat radioaktif lain
misalnya radium, phosphorus (P32), mesothorium dan
thorotrast dapat menimbulkan leukemia, osteosarkoma, kanker
sinus dan angiosarkoma hati. Radon dari elemen tanah
menimbulkan kanker paru pada penambang. Batu-batuan
rumah banyak yang mengandung materi radioaktif antara lain
radon, bila kadar gas ini dalam rumah meningkat 100 kali
melebihi batas aman, kemungkinan menyebabkan kanker paru
pada yang bukan asap rokok sebagai penyebabnya. Radon
merupakan 10-20% penyebab kanker paru. Sinar ultraviolet
menyebabkan tumor pada paparan berulang dan dosis tertentu.
Jaringan yang terkena adalah kulit, biasanya kulit pelaut dan
petani, dapat timbul karsinoma sel basal, karsinoma sel
skuamosa atau melanoma malignum. Lebih dari 75% kanker
kulit adalah karsinoma sel basal muka dan leher. Pada bibir
terutama karsinoma sel skuamosa dan paling jarang melanoma
malignum tetapi merupakan penyebab kematian utama kanker
kulit. CFC (chlorofluorocarbon) menyebabkan berkurang
14
tebalnya lapisan ozon di stratosfer sehingga radiasi ultraviolet
matahari lebih banyak sampai ke permukaan bumi. Orang yang
genetik melaninnya lebih sedikit lebih tinggi risiko terkena
kanker kulit (Desen, 2013).
h. Radikal bebas
Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom, atau
molekul yang mempunyai elektron bebas yang tidak
berpasangan dilingkaran luarnya. Sumber - sumber radikal
bebas yaitu :
1) Radikal bebas terbentuk sebagai produk sampingan dari
proses metabolisme.
2) Radikal bebas masuk kedalam tubuh dalam bentuk
racun-racun kimiawi dari makanan ,minuman, udara
yang terpolusi, dan sinar ultraviolet dari matahari.
3) Radikal bebas diproduksi secara berlebihan pada waktu
kita makan berlebihan (berdampak pada proses
metabolisme) atau bila kita dalam keadaan stres
berlebihan, baik stress secara fisik, psikologis, maupun
biologis (Desen, 2013).
i. Senyawa Kimia penyebab kanker
Beberapa contoh dari bahan kimia yang kerjanya
langsung memicu terjadinya kanker (Direct-Acting
Carcinogenesis) adalah sebagai berikut:
1. Alkylating Agents
a. dimethyl sulfate,
b. B-Propiolactotte,
c. ethylmethane sulfonate (EMS).
15
2. Polycyclic dan Heterocyclic Aromatic Hydrocarbons
a. benz(a)anthracene,
b. benzo(a)pyrene,
c. dibenz(a,h)anthracerie.
3. Aromatic Amines
a. 2-Naphtylamine (p-naphthylanzine),
b. benzidine,
c. dimethylarninoazobenzene
Selain itu ada :
1. DES (diethylstilbestrol)
Penelitian yang telah dibuat oleh ilmuwan di Amerika Serikat
dan negara lain menunjukkan bahwa diethylstilbestron telah terbukti
sebagai sebagai penyebab kanker rahim, kanker payudara, dan
kanker alat reproduksi lainnya. Diethylstilbestrol ialah suatu hormon
seks buatan yang umumnya digunakan dalam produk makanan
(Desen, 2013).
2. Siklamat atau biang gula
Bahan pemanis buatan yang disebut siklamat, yang telah
digunakan untuk berpuluh tahun lamanya dalam produksi makanan
dan minuman botol, tenyata dapat menyebabkan kanker perut dan
alat pencernaan lainnya (Desen, 2013).
3. Saccharin
Di samping siklamat, dijumpai pula bahwa pemanis buatan
lainnya yng disebut saccharin, yang juga dapat menyebabkan kanker
16
ginjal dan kanker rahim. Oleh karena itu maka sebaiknya hindarkan
pemakaian pemanis tersebut (Desen, 2013).
4. Nitosamines
Telah terbuktikan dalam penelitian Dr. Wiliam Lijinski,
ilmuwan ternama dari Pusat Penelitian Kaker Universitas Nebraska,
bahwa nitrosamines adalah penyebab kanker pada hati, perut , otak,
kandung kemih, ginjal , dan alat – alat tubuh lainnya. Nitrosamines
ini diproduksikan tubuh dari nitrit, nitrat, yaitu bahan – bahan
pengawet buatan dan bahan – bahan pewarna buatan yang maman
umumnay dipakai dalam produk daging yang telah diproses dan juga
banyak dalam produk makanan (Desen, 2013).
5. Pewarna ter batubara
Banyak sekali pewarna buatan yang dibuat dari ter batubara
yang sangat berbahaya sebab dapt menyebabkan kanker. Tetapi
bahan ini masih banyak digunakan dalam makanan, minuman ,
kosmetik, maupun obat – obatan dan sebagainya (Desen, 2013).
6. Strontium 90
Strontium 90 adalh zat radioaktif yang sekarang ini terdapat
hampir di seluruh bulatan bumi sebagai akibat dari percobaan bom
atom serta peledakan bom yang masuk dalam tubuh manusia melaui
makanan, khususnya susu. Salah satu ilmuwan yang terkenal dari
Rusia, yaitu Dr. A.V. Topchiev mengatakan baru – baru ini, bahawa
meningkatnya penderita leukemia (kanker darah), sarcoma dari
tulang disebabkan oleh Strontium 90 (Desen, 2013).
7. Iodine 131
Di samping Strontium 90, ada bahan radioaktif lainnya yang
disebut iodine 131, yang juga timbul dari percobaan bom atom.
Iodine 131 telah terbukti sebagai penyebab kanker pada kelnjar
17
tiroid. Iodine 131 terdapat di sekeliling kita dan pada makanan kita,
khususnya susu (Desen, 2013).
8. Benzopyrene
Beberapa tahun yang lalu para ilmuwan menemukan bahwa
benzopyrene dapat dihasilkan melalui pemanggangan daging, bahkan
mereka menemukan bahwa kadar benzopyrene dari satu kilogram
sate (daging yang dipanggang), adalah sama dengan kadar
benzopyrene dari 600 batang rokok (Desen, 2013).
9. Methylcholantherene
Banyak orang mengatakan “saya tidak suka sate, jadi saya
bebas dari benzopyrene.” Tetapi bila tidak menyukai sate, bukan
berarti membebaskan diri dari kanker bila anda tetap memakan
daging goreng. Penelitian yang telah dibuat menunjukkan bahwa
lemak daging yang dipanaskan dengan panas tinggi akan membentuk
methylcholanthrene, suatu zat karsinogenik, yaitu zat yang bila
diberikan pada tikus dengan dosis subkarsinogen akan membuat
tikus itu cenderung uuntuk mendapatkan kanker dari zat-zat
karsinogenik lainnya yang diberikan juga dengan dosis
subkarsinogenik (Desen, 2013).
10. Styrene
Styrene biasa terkandung dalam gelas plastik. Styrene adalah
salah satu jenis bahan kimia yang harus digunakan seminimal
mungkin dalam kehidupan Anda. Sebab, zat ini memiliki sifat
karsinogenik dan menyebabkan penyakit kanker. Dewasa ini
penggunaan styrene sudah semakin merajalela mulai dari fiberglass,
onderdil otomotif, pipa plastik dan juga wadah minuman sekali
pakai. Orang yang terkena styrene dalan jumlah besar akan beresiko
terkena serangan kanker leukemia dan limfoma. Selain itu, fakta
18
menunjukkan styrene bisa menyebabkan kanker pankreas dan
esofagus (Desen, 2013).
11. Formaldehyde
Formaldehyde biasa terkandung dalam digunakan sebagai
pengawet produk-produk tekstil dan plastik. Di dalam tubuh,
Formaldehyde bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein,
sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal (Desen, 2013).
12. MBT (2-mercaptobenzothiazole)
Zat ini biasa digunakan dalam pengolahan getah karet.
Menurut penelitian zat ini merpakan bahan yang bersifat
karsinogenik. Dalam penelitian tersebut juaga disebutkan bahwa
orang yang terkena MBT ini memiliki resiko kanker usus besar dan
mieloma ganda lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
terbebas dari paparan MBT (Desen, 2013).
13. Perfluorocarbon (PFC)
Perfluorocarbon merupakan jenis bahan kimia yang banyak
digunakan pada produk panci anti-lengket dan pengemas makanan
yang bersifat menolak air dan lemak. Menurut penelitian, paparan
PFC dalam tubuh manusia khususnya di kalangan perempuan sangat
erat kaitannya dengan menopause atau percepatan penuaan yang
lebih dini (Desen, 2013).
j. Metabolisme senyawa-senyawa :
i. Asetilaminoflurene
N-asetilaminofluoren, keduanya sangat karsinogen begitu
dikonversi menjadi hidroksilamida.
ii. benzidine
Benzidine adalah suatu senyawa kimia organic turunan
dari benzene yang diproduksi tidak secara alami. Benzidine
19
memiliki nama lain yaitu Benzidine-based dyes; 4,4'-Bianiline;
4,4' Biphenyldiamine; 1,1'-Biphenyl-4,4'-diamine; 4,4'-
Diaminobiphenyl; p-Diaminodiphenyl. Rumus kimia dari
benzidine adalah NH2C6H4C6H4NH2 atau (C6H4NH2)2 atau
C12H12N2. Bentuk dari molekul dari benzidine adalah CAS
number : 92-87-5. Benzidine akan terurai melalui proses
pemanasan dan jika dibakar aakan menghasilkan asap yang
bersifat toksik yaitu nitrogen oksida. Benzidine dapat bereaksi
dengan oksidan kuat, secara khusus dengan asam nitrat. Contoh
produk dari benzidine adalah Direct Blue 6, Direct Black 38, dan
Direct Brown 95 (Desen, 2013).
Di udara benzidine ditemukan melekat pada partikel atau
sebagai uap. Dahulu benzidine digunakan oleh industri dalam
jumlah besar sebagai bahan celup untuk memproduksi baju,
kertas atau bahan dari kulit. Namun saat ini benzidine tidak lagi
digunakan lagi sebagai bahan celup dalam industri karena telah
terbukti dapat menyebabkan kanker pada manusia. Benzidine saat
ini hanya digunakan sebagai bahan penelitian (Desen, 2013).
Proses absorpsi benzidine ke dalam tubuh manusia melalui
beberapa cara, yaitu melalui inhalasi, kontak dermal, dan hanya
sedikit melalui ingesti. Walaupun salah satu rute signifikan untuk
pajanan benzidine melalui inhalasi, tetapi itu berasal dari serbuk
atau debu benzidine di udara yang memang secara fisik berbentuk
bubuk, karena jika dari uapnya, benzidine cenderung memiliki
tekanan uap rendah (Desen, 2013).
Secara umum, dengan cepat dinding plasma mengizinkan
benzidine untuk terabsorbsi dan diikuti oleh metabolit benzidine
secara bertahap. Tidak studi yang telah dilaporkan yang
mengindikasikan benzidine diserap oleh beberapa proses lain
selain dari proses difusi pasif. Benzidine diserap dan melewati
dinding usus. Belum ada bukti yang menunjukkan distribusi
20
benzidine melalui perantara carrier atau berikatan dengan protein,
meskipun konjugasi dari sebagian metabolit benzidine di
bioaktivasi oleh glukoronat yang membantu untuk menuju target
organ. Selanjutnya, sirkulasi enterohepatik berkontribusi untuk
membuat toksisitas metabolit benzidine persisten di empedu.
Metabolisme benzidine melibatkan sistem enzim yang kompleks
dan rumit. Di dalam hati benzidine akan dirubah menjadi N-
acetylated dan kemudian N-hydroxylated oleh sitokrom P-450
atau enzim flavin monooksigenase, sedangkan pada jaringnan
ekstrahepatik, peroksidasi oleh prostaglandin H sintase atau
oksidasi oleh lipoxygenases mungkin memainkan peran yang
signifikan pada tahap metabolisme benzidine. Ekskresi benzidine,
metabolit, dan konjugatnya kira-kira memiliki jumlah
perbandingan yang sama antara di urin atau di empedu/feses
(Desen, 2013).
Target organ dari benzidine adalah kandung kemih, kulit,
ginjal, hati, dan darah. Menurut NIOSH, gejala dan tanda-tanda
orang yang keracunan benzidine, antara lain hematuria (darah
dalam urin), anemia sekunder dari hemolisis, sistitis akut,
gangguan hati akut, dermatitis, dan gangguan buang air kecil
tidak teratur (Desen, 2013).
Potensial efek kesehatan kronik yaitu benzidine termasuk
ke dalam tipe A1 (penyebab kanker pada manusia) yang
dikeluarkan oleh ACGIH. Dari literatur yang diperoleh benzidine
sangat berpengaruh menjadi penyebab kanker kandung kemih.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada pekerja yang terpajan
benzidine mengindikasikan bahwa mereka yang memiliki lebih
rendah properdin serum normal akan lebih mungkin untuk
berkembang menjadi tumor kandung kemih (Desen, 2013).
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan
mekanisme dan etiologi kanker kandung kemih dan kanker
21
lainnya yang disebabkan oleh benzidine pada hewan. Toksisitas
benzidine dan eliminasi dari tubuh secara substansial dimediasi
oleh transformasi metabolik. Ketika beberapa metabolit menjadi
produk yang didetoksifikasi, yang lainnya dapat menjadi tanda
yang dekat dan akhir yang bersifat karsinogen. Terakhir menjadi
DNA adduct yang menjadi asumsi awal sebagai calon menjadi
karsinogenesis. Perbedaan target organ pada tikus, anjing dan
manusia adalah perbedaan spesifik pada sistem metabolisme dan
aktivitas enzim. Sebuah skema metabolisme yang diperlihatkan
melibatkan N-acetylation, N-hydroxylation di hati (Desen, 2013).
Pada manusia benzidine dan N-acetilbenzidine adalah
glucuronidated di hati dan diangkut ke lumen kandung kemih,
mereka di hidrolisis oleh air kencing yang bersifat asam. Aktivasi
di kandung kemih termasuk peroksidasi oleh prostaglandin H
sintetase, oksidasi oleh sitokrom P-450 dan O-esterifikasi oleh O-
asetiltransferase , atau N, O-asetiltransferase (Desen, 2013).
DNA adduct dianggap dibentuk oleh O-asetilasi N'-
hidroksi-N-acetylbenzidine dan selajutnya akan berikatan dengan
basa DNA. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa air
kencing yang bersifat asam diduga untuk melepaskan amina dari
glucoronide, maka amina menjadi aktif , contohnya prostaglandin
synthase H untuk meninisiasi karsinogenesis. Gen
Hypomethylation diduga meningkatkan trankripsi dan dengan
demikian benzidine mungkin akan mampu untuk memfasilitasi
ekspresi gen untuk menyimpang yang kemudian terlibat dalam
proses karsinogenesis (Desen, 2013).
iii. Dimetilamin azobenzen
Dimethylaminoazobenzene (butter yellow) dapat
menimbulkan kanker hati pada tikus, bila ada defisiensi vitamin
riboflavin. Vitamin ini merupakan ko-enzim untuk memecag zat
warna tersebut (Desen, 2013).
22
k. Metabolisme karsinogen dan enzim – enzim yang berperan:
A. Benzo(a)pyren
Merupakan komponen asap dari kelompok senyawa
hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic
hydrocarbons -PAH) yang bersifat karsinogenik. Struktur kimia
dari senyawa ini relatif stabil karena memiliki sistim pi
terlokalisasi (pada gugus aromatiknya). Ketika daging dimasak di
atas bara (pengasapan panas), sebagian lemak daging yang
menetes pada bara api akan teroksidasi oleh CO2 and H20,
membentuk hidrokarbon aromatik polisiklik. Komponen ini lalu
dibawa oleh asap ke daging yang sedang diasap dan terakumulasi
di permukaan daging yang diasap (Desen, 2013).
Jika dikonsumsi, maka hati akan mengoksidasi komponen
benzo-a-pyrene dan PAH lainnya menjadi berbagai komponen,
diantaranya adalah epoksida. Bentuk diol epoksida benzo-a-
pyrene merupakan komponen toksik yang jika terdapat dalam
jumlah besar bisa menyerang DNA (membentuk ikatan kovalen
dengan DNA) (Desen, 2013).
Konsumsi satu porsi produk pangan dengan kadar benzo-a-
pyrene besar (barbeque, sate, ikan asap), mungkin tidak akan
menjadi masalah. Tubuh manusia mempunyai enzim khusus yang
bisa mengeliminasi molekul benzo-a-pyrene. Masalah akan
terjadi, jika produk ini dikonsumsi terus-menerus sehingga terjadi
akumulasi senyawa ini didalam DNA dalam jumlah besar,
sehingga dapat menyebabkan kanker. Untuk mencegah masalah
ini, hendaknya dijaga agar lelehan lemak daging tidak jatuh ke
bara api, sehingga tidak terjadi reaksi pembentukan komponen
PAH yang bersifat karsinogenik ini. Caranya, dengan
memisahkan antara proses pembentukan asap dengan lokasi
23
pengasapan sehingga lelehan lemak daging tidak kontak dengan
bara api (Desen, 2013).
Reaksi pembentukan benzo-a-pyrene selama pengasapan
dan produk turunannya melalui metabolisme di dalam hati dapat
dilihat pada Gambar 1.
( Desen, 2013)
B. Benz (a) antrasen
24
Gambar. Benzo(a)antrasen (Desen, 2013 )
Definisi: senyawa organic industri pencemar yang berasal
dari kelompok hidrokarbon aromatic dengan polisiklik ( PAHs ).
C. Dialkilnitrosamin
Diakilnitrosamin (Desen, 2013).
D. Aflatoxin
Aflatoxin merupakan senyawa yang diproduksi oleh jamur
dari genus Aspergillus. Aspergillus ini dapat ditemukan secara luas
25
pada setiap jenis makanan, Aflatoxin merupakan toxin yang
berbahaya bagi liver (hati) kita, pada konsumsi makanan yang
mengandung Alfatoxin dalam jangka waktu lama aflatoxin ini dapat
menyebabkan sirosis hati dan bahkan kanker hati. Bahan
karsinogenik pada aflatoxin memiliki kekuatan 100 kali lipat
daripada nitrosamine. Secara alamiah, aflatoxin terdiri dari 4
komponen induk yaitu aflatoxin B1 (AFB1), aflatoxin B2 (AFB2),
aflatoxin G1 (AFG1) dan aflatoxin G2 (AFG2) (Desen, 2013).
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin.
Aflatoxin dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, A. paracitikus
dan Penicillium puberulum, bersifat sangat beracun dan
karsinogenik. Jenis jamur ini banyak terdapat di mana-mana
sehingga dapat mudah mencemari tanaman di tempat manapun.
Namun, produksi aflatoxin tergantung pada faktor iklim saat
tanaman tertentu tumbuh dan disimpan sebagai bahan baku ransum.
Di daerah tropis dan subtropis, resiko pencemaran Mikotoksin pada
tanaman selalu lebih tinggi karena iklim tropika mempunyai kadar
air dan kelembapan yang relatif tinggi. Jamur ini memerlukan suhu
36, 2-37, 8 derajat celcius dan kelembaban relatif 80-85% untuk
pertumbuhan optimal dan memproduksi racun. Toksin ini pertama
kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil
diisolasi pada tahun 1960 (Desen, 2013).
A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya
memproduksi aflatoksin B 1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) sedangkan
A. parasiticus menghasilkan AFB 1, AFB 2, AFG 1, dan AFG 2. A.
flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh,
yaitu berkisar dari 10-12o C sampai 42-43o C dengan suhu optimum
32o-33o C dan pH optimum 6 (Desen, 2013).
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB 1 memiliki
efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik,
hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan
26
kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol
1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Di Indonesia, aflatoksin
merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk- produk
pertanian dan hasil olahan (Desen, 2013).
Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan
pada produk peternak seperti susu, telur dan daging ayam. Sudjadi
melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pesakit (66 orang pria dan
15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi
oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin.
AFB 1 , AFG 1, dan AFM 1 terdapat pada contoh hati dari
58% pesakit tersebut dengan kepekatan di atas 400 µg/kg. Perubahan
patologi anatomi yang dapat diakibatkan oleh aflatoksin adalah: hati
dan limpa membesar, radang dan bengkak pada duodenum (usus
kecil). Hati kelihatan pucat akibat penimbunan lemak dan
perdarahan berbentuk titik-titik. Jaringan limfoid (bursa Fabricius
dantymus) mengecil. Ginjal dan kantung empedu biasanya
membesar dan terjadi perdarahan usus. Lemak pada ampela dan
lemak tubuh yang lain berlebihan. Pada kasus kronis kronis, hati
mengecil, keras dan terdapat nodula berisi getah empedu (Desen,
2013).
E. Estragol
Estragole (p-allylanisole, metil chavicol) adalah
phenylpropene, senyawa organik alami. Struktur kimia yang terdiri
dari cincin benzena diganti dengan grup methoxy dan grup propenyl.
27
Ini adalah sebuah isomer anethole, berbeda sehubungan dengan
lokasi ikatan ganda. Mempunyai ciri cairan tak berwarna (Murray,
2009 ).
F. Safrol
Safrole (5-(2-propenyl)-1,3-benzodioxole) adalah senyawa fenil
propana salah satu golongan dari senyawa aromatik fenilpropanoid.
Untuk itu Safrole mempunyai cincin benzena yang diapit oleh cincin
dioxolane dan gugus metilen terminal yang sangat reaktif (Murray,
2009).
Biomarker Safrole dapat berupa 1’-hidroxysafrole. Biomarker ini
dapat di ambil dari contoh hati dan urin tikus percobaan ditreatment
oleh safrole. Selain itu biomarker dan hasil metabolisme safrole
dapat berupa dihydrosafrole (p-n-propil-methylenedioxybenzene),
isosafrol (1-propenil-3,4methylene dioxy benzene), dan eugenol (4-
alil-2-metoksifenol). Tes genotosisitas konvensional, termasuk
pertukaran kromatit dan tes mikronukleus, menyatakan toksisitas
safrol positif in vitro, dan dalam tes in vivo safrole sudah dapat
ditetapkan dosis karsinogeniknya, baik melalui menggabungkan
safrol ke diet dan injeksi. Safrol diserap secara pasif dari saluran
pencernaan, tetapi diperkirakan bahwa safrol tidak beracun dalam
bentuk tetapnya. Aktivitas metabolik safrol untuk turunan
karsinogenik yang dapat disederhanakan menjadi empat transformasi
yang berbeda (Murray, 2009).
Transformasi yang pertama, melibatkan oksidasi rantai
samping alil dalam sitokrom P450 oleh enzim CYP2A6 untuk
28
membentuk 1'-hydroxysafrole. Senyawa ini dapat menjalani sulfasi
untuk membentuk 1'-hydroxysafrole sulfat. Reaksi elektrofilik, ester
asam sulfat membentuk DNA adduct safrole pada sel hepatoma
manusia (HepG2) dan menginduksi formasi kanker . DNA adduct
safrole menyebabkan induksi pertukaran kromatid dan
penyimpangan kromosom, yang menyebabkan kesalahan dalam
replikasi DNA dan mutasi yang memiliki kemungkinan
karsinogenesis, serta sitotoksisitas (Murray, 2009)
Transformasi yang kedua, berada dalam jalur yang berbeda
dengan bahan kimia karsinogenesis yaitu stres oksidatif, yang
menyebabkan penggabungan selama replikasi DNA. Safrol dapat
menjalani pembelahan cincin dioxolane untuk membentuk
hydroxychavicol (4-alil-1,2-Dihydroxybenzene), yang ditunjukkan
dalam studi Benedetti terdapat pada metabolit tikus dan manusia
(Murray, 2009).
Benedetti meneliti efek safrole pada manusia dengan paparan
oral. Hydroxychavicol, dideteksi ada pada saat menyirih, memiliki
potensi untuk mengubah ke elecrophiles reaktif orto-kuinon atau
para-kuinon methide. Metabolit ini lebih lanjut dapat bertransformasi
menjadi spesies oksigen reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif. Hydroxychavicol lebih beracun dari safrol dan telah terkait
dengan disfungsi mitokondria. Kerusakan diprakarsai oleh
hydroxychavicol juga dapat dicegah secara in vivo dengan
antioksidan seperti vitamin E (Murray, 2009).
Transformasi ketiga melibatkan epoksidasi safrole dengan
ikatan rangkap dari kelompok propenil untuk membentuk safrol-2 ',
3'-epoksida (Murray, 2009).
Transformasi keempat adalah oksidasi gamma dari rantai
samping alil mengarah ke asam karboksilat, yang dapat konjugasi
dengan glisin. DNA adduct safrole yang berikatan dengan glisin ini
29
adalah N 2-(trans-isosafrol-3'-il) 2'-deoxyguanosine dan N 2-(safrol-
1'-il) 2'-deoxyguanosine (Murray, 2009)
Safrol dan isosafrol bersifat karsinogenik pada mencit dan
tikus, mereka menghasilkan tumor hati setelah pemberian oral.
Safrol juga menghasilkan tumor hati dan paru- paru pada bayi
mencit jantan setelah penyuntikan. Dihydrosafrole diberikan secara
oral bersifat karsinogenik pada tikus, di mana ia menghasilkan tumor
esofagus (Murray, 2009).
Karsinogenitas safrole dimediasi melalui pembentukan 1’ -
hidroxysafrole, dan diikuti oleh sulfonasi pada ester asam sulfat yang
tidak stabil yang bereaksi dan menjadi DNA adduct Safrole yang
lebih stabil. 1’-Hidroxysafrole, dideteksi pada hati, urine dan cairan
empedu dari hewan yang diberikan safrole. Namun, 1’-
Hidroxysafrole tidak dideteksi pada manusia dengan 1,66 mg
Safrole. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik 32P-post-
labeling, dengan teknik ini dapat ditentukan adanya DNA adduct
safrole pada jaringan oral pengguna daun sirih (Murray, 2009).
2. Mekanisme terbentuknya Reed Sternberg
Limfoma Hodgkin adalah keganasan sistem limforetikuler dan jaringan
pendukungnya yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai
gambaran histopatologi yang khas. Ciri histopatologis yang dianggap khas
adalah adanya sel Reed –Sternberg atau variannya yang disebut sel
Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening (Desen, 2013).
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu
limfoma malignum. Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan
bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti
sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum
(maligna = ganas) (Desen, 2013).
Secara garis besar, limfoma dikelompokkan menjadi limfoma Hodgkin
dan limfoma non Hodgkin, karena perbedaannya secara klinis, terapi, dan
30
prognosisnya. Secara histopatologik, kedua jenis limfoma tersebut
dibedakan dengan ada atau tidaknya sel Reed-Sternberg. Sel Reed-
Sternberg merupakan tanda patognomonis untuk limfoma Hodgkin
(Desen, 2013).
Untuk melihat adanya sel Reed-Sternberg pada sediaan bukanlah hal
yang mudah. Benar-benar membutuhkan ketelitian ekstra. Selain karena
jumlahnya pada sediaan kadang memang tidak banyak, sel Reed-Sternberg
mempunyai 4 variasi yang kadang-kadang menyerupai sel-sel lain. Oleh
karena itu, karakteristik sel Reed-Sternberg perlu dikenali dengan baik
(Desen, 2013).
Sel Reed Sternberg ( Kumar, 2007 )
31
Patogenesis Limfoma (Price, 2012)
NFKB = Nuclear Factor Kappa B
KGB = Kelenjar Getah Bening
3. Penegakan Diagnosis
a. Manifestasi Klinis
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada
pembesaran kelenjar limfe, biasanya di leher. Kelenjar ini sering
asimtomatik. Jika terjadi di bawah m. sternocleidomastoideus dapat
terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang
bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan
32
keluhan-keluhan dapat timbul dari kelainan di tempat tersebut.
Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras,
teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau
daerah supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif
sekunder akibat limfadenopati halus (Sudoyo, 2009).
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau
febris (gejala B) pada 20-30% kasus merupakan presentasi pertama,
terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus disebutkan
adanya nyeri pada penggunaan alkohol (Sudoyo, 2009).
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-
kadang febris, dapat juga terjadi pada infeksi umum seperti
toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus lain
yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada
pembengkakan kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi
regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis.
Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi
jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada
dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus disisihkan
material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan
DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan
imunofenotipe (Sudoyo, 2009).
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit lokal dan
kemudian menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya
meluas ke jaringan non limfoid dengan kemungkinan kematian
pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan
adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah
digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien
datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan
lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah
bening superfisial. Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri,
maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar limfe
cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati
33
mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada
pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada
penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan
dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang
memperlihatkan kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe
epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen (Sudoyo, 2009).
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang
terkena penyakit Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman
beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe cukup bervariasi, beberapa
lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar
yang lain terjadi regresi spontan dan temporer (Sudoyo, 2009).
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit
mengalami gejala yang berkaitan dengan penyakitnya. Gejala
tersering adalah demam ringan yang mungkin disertai keringat
malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan
satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam
naik turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Ebstein).
Demam ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh
interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan
pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut
(Sudoyo, 2009).
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan
lebih dari 10 persen dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang
jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa lemah, malaise
dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10 persen pasien pada
saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin
berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-
satunya gejala penyakit (Sudoyo, 2009).
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau perikardium
mungkin disertai batuk, nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi
hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri tulang.
Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava
34
superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis
dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit
penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan
penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin
intrakranium dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen,
gangguan usus dan bahkan asites (Sudoyo, 2009).
b. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan penunjang pada limfoma Hodgkin
i. Laboratorium
Pemeriksaan darah: anemia, eosinofilia, peningkatan
laju endap darah, pada Low cytometri dapat terdeteksi
limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi (Desen,
2013).
Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal
hati yang tidak sejajar dengan keterlibatan limfoma pada hati.
Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikteruskolestatik
dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan
hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstra hepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening port hepatis (Desen, 2013).
Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan
ureum dapat di akibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati
urat dan hiperkalsemia dapat memperberat fungsi ginjal.
Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat
terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan
manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma.
Hiperkalsemia dapat disebabkan sekunder karena produksi
limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan
limfoma. Kadar LDH darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal hiper
gamaglobulinemia sering didapatkan pada limfoma Hodgkin
dan Non Hodgkin (Desen, 2013).
35
ii. Biopsi sumsum tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan
staging, keterlibatan sumsum tulang pada limfoma Hodgkin
sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang (Desen,
2013).
iii. Radiologis
Pemeriksaan foto torak untuk melihat
limfadenopatihilar dan mediastinum, efusi pleura atau lesi
parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinum dapat
menyebabkan efusi chylous (seperti susu) (Desen, 2013).
USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis
adanya limfodenopati. Pemeriksaan CT Scan torak untuk
mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal
sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban
limfodenopati retroperitoneal, mesenterik, portal,
hepatosplenomegali atau lesi di ginjal (Desen, 2013).
j. Diagnosis
Diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan
histopatologik dengan menemukan adanya sel Reed
Sternherg dengan latar belakang histopatologik yang sesuai
(appropriate). Diagnosis awal dapat dibuat secara akurat dari
bahan kelenjar getah bening hasil biopsi eksisi, bukan dari
biopsi aspirasi (Desen, 2013).
B. Pemeriksaan penunjang pada Limfoma Non Hodgkin
a. Pada pemeriksaan hematologik seorang penderita LNH dapat
dijumpai sebagai berikut
1. Dapat dijumpai anemia bersifat normokromik normositer.
2. Pada jangkitan sumsum tulang yang luas dapat dijumpai
anemia, leukopenia dan trombositopenia serta gambaran
leukoeritroblastik.
3. Dapat dijumpai fase leukemik dari LNH dengan lebih dari
5% sel muda dalam darah tepi
36
4. Biopsi sumsum tulang menunjukan lesi fokal pada 20%
kasus. Jangkitan sumsum tulang justru lebih sering LNH
lob-grade (Bakta, 2014).
b. Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain sangat diperlukan dalam diagnosis
LNH.
1. Pemeriksaan pertanda imunologik (immuno logical marker)
untuk melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat
penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta
tingkat perkembanganya
2. Pemeriksaan kromosom (sitogenik) penting dalam
menentukan prognosis. Kelainan yang khas dijumpai pada
bentuk tertentu. Burkitt’slymphoma, follicularlymphoma,
mantel celllymphoma, anaplastik large All lymphoma.
3. Pemeriksaan biologi molekuler untuk menentukan adanya
Rearrengement Immunoglobulin Genes pada LNH sel T.
4. LDH (lacticdehydrogenase) sering meningkat pada LNH
dengan proliferasi sel yang cepat dan pada penyakit yang
luas. Asam urat serum juga sering meningkat (Bakta, 2014).
c. Diagnosis
Diagnosis LNH harus ditegakan dari pemeriksaan
histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi jarum halus tidak
memadai untuk diagnosis konfirmasi. Dilakukan klasifikasi
histopatologik menurut klasifikasi yang lazim dipakai (di
Indonesia pada umumnya gambungan working formulation
dan KIE). Setelah itu dilakukan prosedur penderajatan
penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditemukan (Bakta,
2014).
4. Penatalaksanaan
a. Kemoterapi
37
A. Definisi
Kemoterapi adalah pemberian golongan obat-obatan tertentu
dengan tujuan menghambat pertumbuhan sel kanker dan bahkan
ada yang dapat membunuh sel kanker. Obat itu disebut sitostatika
atau obat anti-kanker (Katzung, 2013).
B. Tujuan
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari
penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk
mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor
apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi
jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima
kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel
skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini
(Katzung, 2013).
Tumor maligna bisa terdiri fraksi sel yang aktif berproliferasi
sehingga memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kemoterapi,
bisa juga terdiri dari sel yang non proliferasi sehingga memiliki
sensitifitas yang rendah terhadap kemoterapi. Mayoritas tumor
solid hanya sedikit fraksi yang berproliferasi sehingga tumor solid
tidak sensitive terhadap kemoterapi. Pengetahuan akan kinetik
selular dapat menuntun kita untuk menentukan pemilihan obat anti
kanker yang akan dipergunakan. Hal yang harus diperhatikan
dalam pemilihan pemakaian obat anti kanker adalah :
1) Jenis kanker
2) Kemosensitivitas kanker
3) Populasi sel kanker
4) Persentase sel kanker yang terbunuh
5) Siklus pertumbuhan kanker
6) lmunitas tubuh (Katzung, 2013).
C. Jenis kanker
38
Untuk keperluan pemberian kemoterapi, maka kanker dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu:
1) Kanker haemopoitik dan limphopoitik
Kanker hemopoitik dan limphopoitik umumnya
merupakan kanker sistemik. Termasuk dalam jenis kanker ini
ialah: kanker darah (leukemia), limfoma maligna dan kanker
sumsum ( myeloma ). Terapi utama kanker hematologi ialah
dengan kemoterapi, sedang operasi dan radioterapi sebagai
adjuvant (Katzung, 2013).
2) Kanker padat (solid)
Kanker padat mulai lokal, lalu menyebar regional dan atau
sistemik ke organ-organ lain. Dalam kanker jenis ini termasuk
semua kanker di luar kanker hematologi. Terapi utama kanker
ini ialah dengan operasi dan atau radioterapi sedang kemoterapi
baru diberikan pada stadium lanjut atau sebagai adjuvant
(Katzung, 2013).
D. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis
bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim
maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam
nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang
berguna pada tumor dibagi sebagai berikut :
1) Antimetabolit
Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin.
Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat
tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin.
2) Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA.
Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide)
mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi
sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian
39
nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat
produksi mRNA.
3) Inhibitor mitosis
Seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan
vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu
filamen mikro pada kumparan mitosis (Katzung, 2013).
E. Cara Pemberian Kemoterapi
Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :
1) Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi.
2) Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan
dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3) Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi
4) Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan
pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada
kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma) (Katzung,
2013).
F. Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga
sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum
tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul
bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan
terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel
rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal
yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut,
mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal,
sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel
normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker (Katzung, 2013).
40
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah
toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan
toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas
pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi
fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga
merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi
(Katzung, 2013).
G. Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan
kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi
untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu
pertimbangan sebagai berikut:
1) Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group
(ECOG) yaitu status penampilan ≤ 2
2) Jumlah lekosit ≥3000/ml
3) Jumlah trombosit ≥120.0000/ul
4) Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
5) Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes
Faal Ginjal )
6) Bilirubin <2 mg/dl, SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes
Faal Hepar ).
7) Elektrolit dalam batas normal.
8) Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak
diberikan pada usia diatas 70 tahun (Katzung, 2013).
H. Kemosensitivitas kanker
Sensitivitas tumor terhadap obat anti-kanker tidaklah konstan,
tetapi pada umumnya sel kanker tersebut dapat bersifat sensitif ,
responsif atau resisten sama sekali. Sensitivitas tumor terhadap obat
anti-kanker tidaklah sama, sehingga terbagi menjadi 3 macam :
1) Sensitif
a) Kemosensitif : leukemia, limfoma maligna, myeloma,
choriocharsinoma, kanker testis
41
b) Radiosensitif :Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis
3500-6000 rads dalam 3-4 minggu seperti Lymphoma maligna,
Myeloma, Retinoblastoma, Seminoma, Basalioma, Kanker laring
T1 (Katzung, 2013).
2) Responsif
a) Kemoresponsif : Tumor yang kecil, Tumor yang
pertumbuhannya cepat, Tumor yang deferensiasi selnya jelek
b) Radioresponsif : Kanker yang ukurannya sedang, T2-T3 dan
dapat dihancurkan dengan dosis 6000-8000 rads dalam 3-4
minggu (Katzung, 2013).
3) Resisten
a) Kemoresisten : Tumor besar, Kanker yang pertumbuhannya
pelan, Kanker yang diferensiasi selnya baik. Contoh : kanker
otak, fibrosarkoma, melanoma maligna
b) Radioresisten :Tumor yang baru bisa dihancurkan dengan dosis
lebih dari 8000 rads. Contoh : Melanoma maligna,
adenokarsinoma, kanker otak, sarkoma jaringan lunak (Katzung,
2013).
Radiosensitivitas tumor tergantung dari banyak faktor, antara lain :
1) Tipe histologi tumor
2) Derajat diferensiasi sel
3) Besar tumor
4) Vaskularisasi Tumor
5) Lokasi topografi tumor (Katzung, 2013).
Beberapa jenis obat dan keadaan yang dapat menambah sensitifitas
radioterapi : Oksigenasi, Hipertermi, Levamisol, beberapa
sitostatika.Sensitifitas kanker terhadap kemoterapi biasanya ada sejak awal
mulanya dan dapat pula timbul dalam perjalanan pengobatan kanker (Katzung,
2013).
42
Resistensi terhadap kemoterapi dapat terjadi karena farmakokinetika obat
itu seperti :
1) Perubahan absorbs
a) Variabilitas absorbsi obat di gastrointestinal
b) Adanya penyakit gastrointestinal
c) Tidak makan obat seperti seharusnya (non compliance)
d) Formulasi obat yang tidak cocok (Katzung, 2013).
2) Perubahan distribusi
a) Perubahan ikatan obat dengan protein serum
b) Perubahan distribusi karena obat lain yang mengikat protein serum
(Katzung, 2013).
3) Perubahan metabolisme
a) Perubahan enzim yang mengadakan detoksifikasi
b) Penyakit hati
c) Ada obat lain yang ikut serta
d) Pengurangan konjugasi obat karena usia (Katzung, 2013).
4) Pengurangan ekskresi
a) Penyakit hati dan penyakit ginjal
I. Penilaian hasil terapi
Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal
maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya
dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2
aspek yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan
angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek
hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah
yang lazim dipakai yaitu :
1) Sembuh ( cured )
2) Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor
menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu
3) Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor
mengecil sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul
dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu.
43
4) Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran
dari 50 % atau membesar kurang dari 25 %
5) Penyakit Progresif ( progresive disease/PD ) : tumor makin
membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu
tidak diketahui adanya.
6) Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari
penyakitnya (disease free survival ) (Katzung, 2013).
J. Persentase sel kanker yang terbunuh
Jarang obat-anti kanker dapat membunuh seluruh sel kanker
sekaligus. Demikian pula dalam satu tumor tidak semua sel kanker
peka terhadap obat anti-kanker. Kalau pada pertumbuhan kanker
sel itu bertambah secara logaritmik, maka sel yang mati pun secara
logaritmik pula. Berdasarkan hipotesa ini, pada pengobatan kanker
perlu diberikan beberapa kali paparan obat, sampai jumlah sel
kanker yang masih tinggal hidup minimal. Makin besar jumlah
beban sel, makin banyak paparan diperlukan. Diharapkan sel
kanker yang masih tersisa itu akan dibunuh oleh immunitas tubuh
(Katzung, 2013).
1) Untuk dapat membunuh sel kanker sebanyak mungkin maka
pengobatan harus diulang beberapa kali.
2) Untuk memperbesar daya bunuh obat anti kanker perlu dipakai
kombinasi obat secara bersamaan (polifarma).
3) Lebih baik memulai pengobatan sewaktu tumor masih kecil atau
setelah mengecilkan dulu masa tumor dengan radiasi atau operasi
(debulking) (Katzung, 2013).
b. Radioterapi
A. Definisi Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi
yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel
neoplasma (Katzung, 2013).
44
B. Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan total terhadap karsinoma apabila hanya
menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1) Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
2) Tipe tumor yang radiosensitif
3) Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
4) Dosis yang optimal.
5) Jangka waktu radiasi tepat
6) Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal
dari efek samping radiasi (Katzung, 2013).
C. Sifat Terapi Radiasi
1) Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional
2) Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
3) Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis
dari sel tumor.
4) Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel
tumor.
5) Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan
mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan
di area sekitarnya.
6) Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan
perdarahan dari tumornya.
7) Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun
dapat mengakibatkan defek imun secara general (Katzung,
2013).
D. Efek Samping Terapi Radiasi :
1) Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa
nyeri dan ngilu pada gigi.
2) Xerostomia, trismus, otitis media
3) Pendengaran menurun
45
4) Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau
osteoradionekrosis.
5) Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi
sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.
6) Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis.
7) Hypothyroidism (Katzung, 2013).
E. Jenis Pemberian Terapi Radiasi
1) Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi dapat
digunakan sebagai :
a) Pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran
kelenjar getah bening
b) Pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah
bening
c) Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
d) Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif
(Katzung, 2013).
2) Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen
implan atau intracavitary barchytherapy. Radiasi Interna/
brachyterapi bisa digunakan untuk:
a) Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk
menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena
radiasi.
b) Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
Pengobatan kasus kambuh (Katzung, 2013).
c. Pembedahan
Modalitas pembedahan pada tumor memiliki berbagai
peranan, antara lain sebagai alat diagnostik, staging terapi definitif,
profilaksis, paliatif, atau kedaruratan onkologis, rekonstruktif,
sitoreduktif/debulking, dan sebagai persiapan untuk akses vaskular
(Manuaba, dkk., 2011).
d. Terapi Definitif
46
Peranan modalitas pembedahan yang paling penting adalah
sebagai terapi definitif tumor untuk tujuan kuratif. Sekitar 75-80%
dari seluruh penderita kanker yang mungkin sembuh, harus
ditangani secara bedah untuk mengeluarkan seluruh kanker. Bedah
kuratif merupakan terapi lokoregional. Penderita dapat sembuh jika
kanker masih terbatas pada organ tempat tumbuhnya tumor primer
(lokal) dan pada kelenjar limf yang mengaliri daerah atau organ itu
(regional). Pada pembedahan, harus dihindari menipulasi tumor
yang terlalu kasar, dan tumor harus diangkat beserta jaringan sehat
disekitarnya (surgical safety margin) dan jika perlu, tumor diangkat
beserta kelenjar getah bening regional sebagai satu kesatuan (en
bloc), seperti pada mastektomi atau gastrektomi dengan
limfadenektomi (Manuaba, dkk., 2011)
Pada eksisi tumor tertentu, organ tidak perlu dibuang
seluruhnya, cukup di eksisi luas saja diikuti dengan pengeluaran
kelenjar limfe regional. Jarang ada penderita yang masih dapat
sembuh jika sudah ada penyebaran di luar daerah lokoregional.
Masalahnya bergantung pada kemampuan kemoterapi untuk
membasmi mikrometastasis yang mungkin sudah ada ketika
pembedahan dilakukan (Manuaba, dkk., 2011)
e. Terapi Paliatif dan Kedaruratan Onkologis
Pembedahan paliatif dilakukan untuk meringankan atau
menghilangkan keluhan sehingga diharapkan meningkatkan mutu
hidup penderita. Contoh bedah paliatif adalah pengangkatan tumor
yang menyebabkan ileus atau perdarahan saluran cerna. Operasi
paliatif juga berguna untuk mengeluarkan tumor yang mengganggu
atau bertukak pada penderita yang tidak dapat di tolong dengan
radioterapi atau kemoterapi (Manuaba, dkk., 2011)
Contoh lain terapi terapi paliatif ialah dekompresi untuk
meniadakan tekanan pada saraf, pleksus saraf, atau medulla spinalis
untuk menghilangkan nyeri atau mencegah timbulnya penyulit
yang lebih berat seperti kelumpuhan. Bedah juga berperan penting
47
dalam kedaruratan onkologis, seperti obstruksi jalan napas, usus,
empedu, dan urin ; perdarahan tumor; abses; dan sepsis.
Pembedahan kedaruratan onkologis dilakukan untuk
menyelamatkan pasien dari bahaya mendadak yang mengancam,
tanpa mengindahkan stadium kankernya (Manuaba, dkk., 2011).
f. Pembuatan Abses Vaskular
Operasi pembuatan abses vaskular yang permanen pada
penderita kanker kini makin sering dibutuhkan untuk pemeriksaan
darah berkali-kali dalam sehari maupun untuk pemberian
kemoterapi intravaskular kontinu. Akses vena permanen akan
mencegah pungsi vena yang berulang-ulang. Acap kali dilakukan
bedah pintas arteriovena atau pemasangan kateter eksterna atau
interna (Manuaba, dkk., 2011).
Jika dibuat pintas antara arteri di lengan dan vena di
subkutis, akan terjadi pelebaran dan dilatasi sistem vena di subkutis
yang lebih mudah di pungsi (Manuaba, dkk., 2011).
Kateter permanen intra-arteri juga dapat digunakan pada
kemoterapi suatu organ atau daerah terbatas. Kateter permanen
intravena maupun intra-arteri dapat dihubungkan dengan karet
tebal yang bias ditusuk berulang kali tanpa penyulit kebocoran
Gambar 1. Sistem intravaskular interna permanen (Manuaba, dkk., 2011)
(1) kulit, (2) subkutis, (3) fasia otot, (4) reservoir plastic/tutup karet, (5) reservoir,
(6) kateter, (7) pembuluh darah (vena dan arteri)
g. Terapi Profilaksis
Kelainan yang diperkirakan lesi prakanker, misalnya polip
tertentu di kolon, adenoma di kelenjar tiroid, leiomyoma di saluran
cerna, dan tumor campur kelenjar parotis dapat dibedah untuk
48
mencegah agar tidak berubah menjadi ganas. Kelainan pra maligna
lain juga terdapat di kulit, mulut, payudara, kandung kemih, dan
mulut Rahim (Manuaba, dkk., 2011).
Jika penetransi tinggi, pembedahan profilaktik seperti
mastektomi dibenarkan, kemudian dilanjutkan dengan rekonstruksi
payudara. Contoh pembedahan profilaktik lain yaitu seperti
kolektomi pada FAP (familial adenomatous polyposis colon) atau
orkhidektomi pada undesensus testikulorum (Manuaba, dkk.,
2011).
h. Bedah Diagnostik
Biopsi sebagai pembedahan diagnostis dilakukan untuk
memperoleh sediaan jaringan yang cukup menentukan diagnosis
histopatologik lengkap. Saat ini, sering digunakan laparoskopi atau
torakoskopi untuk mengambil bahan biopsi karena lebih tidak
invasive daripada pembedahan terbuka (Manuaba, dkk., 2011).
Biopsi bedah terbuka dilakukan melalui biopsi insisional untuk
tumor besar, dan biopsi eksisional untuk tumor yang kecil. Biopsi
insisional mengambil sebagian kecil jaringan untuk diperiksa
secara histopatologis, sementara biopsi eksisional mengangkat
seluruh massa tumor. Tujuan biopsi eksisional adalah sebagai
diagnosis dan sekaligus terapi (Manuaba, dkk., 2011).
Gambar 2. (A) biopsi eksisional dan (B) biopsi insisional (Manuaba, dkk., 2011).
49
Manajemen bedah yang relative baru pada tumor kelenjar limfe
regional yang secara klinis negatif adalah teknik pemetaan limfatik.
Pemetaan limfatik dan sentinel node biopsy kini menjadi bagian
dari standar terapi melanoma dan kanker payudara. Nodus sentinel
adalah nodus limfe pertama yang menerima aliran limfe dari suatu
tumor ganas. Tujuan pemetaan limfatik dan biopsi nodus sentinel
ini adalah menemukan dan membuang kelenjar limfe yang peling
mungkin mengandung metastase tumor ganas primer secara paling
non-invasif. Jika positif, biopsi nodus sentinel biasanya diikuti oleh
diseksi selektif. Keuntungan lain teknik ini adalah langsung tepat
sasaran pada sebuah nodus limfa dan lenih menambah akurasi
staging nodus (Manuaba, dkk., 2011).
Gambar 3. Biopsi nodus sentinel dan pemetaan limfatik pada kanker payudara
(A) penyuntikkan peritumor dengan pewarna biru dan (B) pewarna biru
terdrainase ke kelenjar limfe sekitar (Manuaba, dkk., 2011).
Rencana kuratif baru akan dibuat setelah ada kepastian
diagnosis termasuk diferensiasi dan tingkat pertumbuhan serta
luasnya penyebaran tumor. Pemeriksaan sitologi membantu sekali
untuk penegakan diagnosis, meskipun bukan merupakan
50
pemeriksaan histologic. Sediaan untuk pemeriksaan sitologi ini
terdiri atas sel-sel dan mungkin kumpulan sel (Manuaba, dkk.,
2011).
i. Pembedahan Beku atau Kauterisasi
Pembedahan beku atau cryosurgery (pembedahan menggunakan
sonde dingin, nitrogen cair = -1600C) sangat berguna pada perdarahan
atau reseksi tumor yang berulkus, berabses, atau nektorik. Tumor dapat
dicapai dengan cara endoskopi. Elektrokauterisasi (pembedahan
menggunakan sonde yang dipanaskan dengan aliran listrik) digunakan
atas indikasi yang sama dengan pembedahan beku. Kedua cara ini
digunakan pada penderita karsinoma rectum yang tidak dapat menerima
anus preternaturalis. Cara operasi ini, yang umumnya bukan merupakan
tindak bedah radikal dan kuratif, juga digunakan pada pembedahan
kandung kemih dan prostat (Manuaba, dkk., 2011).
j. Bedah Laser
Pembedahan menggunakan sinar laser banyak dipakai pada tumor
kulit, terutama di wajah, dan karsinoma in situ di sekviks, juga pada
pembedahan melalui endoskopi di bronkus, hidung, faring, laring, saluran
cerna, dna di bidang urologi (Manuaba, dkk., 2011).
k. Bedah Rekonstruktif
Pembedahan rekonstruktif bertujuan membangun kembali suatu
struktur pascareseksi tumor. Pembedahan rekonstruktif ini sangat penting
setelah pembedahan radikal, dan dikerjakan sebagai langkah lanjut segera
atau beberapa waktu setelah pengangkatan tumor atau organ.
Rekonstruksi penutupan defek akibat pembedahan kanker dapat
dilakukan mulai dari teknik yang sederhana, seperti skin graft atau flap
lokal atau jauh, hingga teknik yang lebih kompleks seperti menggunakan
flap komposit atau teknik mikrovaskular. Defek yang tidak mungkin
direkonstruksi dapat ditutup menggunakan prosthesis kosmetik
(Manuaba, dkk., 2011).
51
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I. 2014. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC
Desen, W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Katzung, B. G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, dan Sukardja (alm). 2011. Neoplasia dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
Murray, R.K. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta : EGC
Sudoyo, Ary, Setyohadi, Bambang, Alwi, Idrus. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi 4. Jakarta : FK UI.
top related