skripsi faktor-faktor yang berhubungan dengan …repository.stikes-bhm.ac.id/59/1/10.pdf · survey...
Post on 27-Oct-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA
KUMAN UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU
DUNGUS MADIUN
Oleh :
EKA SEPTIANA
NIM : 201403059
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
ii
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA
KUMAN UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU
DUNGUS MADIUN
Diajukan untuk memenuhi
Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh :
EKA SEPTIANA
NIM : 201403059
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
iii
iv
v
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Sebelumnya saya mengucakan syukur Alhamdullilah atas rahmat dan
ridho dari Allah SWT yang Maha Rahman dan Rahim skripsi ini dapat
terselesaikan. Tidak ada perjuangan apapun yang penulis berikan apabila tidak
mendapat ridho dari Allah SWT, dan mungkin skripsi ini tidak dapat
terselesaikan.
Tugas akhir ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua Orang Tua saya, Bapak dan Ibu yang selalu mendukung anaknya
baik moril ataupun materiil yang disertai dengan Do’a kepada Allah SWT
dalam terselesaikan Tugas Akhir atau Skripsi ini.
2. Dosen pembimbing skripsi Ibu Hanifah Ardiani, S.KM., M.KM dan Ibu
Avicena Sakufa Marsanti, S.KM., M.Kes yang telah setia dan sabar
membimbing semuanya hingga terselesaikan skripsi ini.
3. Semua mahasiswa STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun Program Studi
Kesehatan Masyarakat Angkatan 2014 yang bersama-sama bahu membahu
saling membantu demi terselesaikan skripsi ini.
4. Untuk semua teman dekat, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
terimakasih untuk segala support, motivasi, dan bantuannya sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eka Septiana
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir : Madiun, 26 September 1996
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pilang Werda No. 42 RT. 16 RW. 04
Kelurahan Pilangbango Kecamatan Kartoharjo
Kota Madiun
Email : Ekaseptiana177@gamil.com
Riwayat Pendidikan :
1. TK MATARAM II Kota Madiun 2001-2002
2. SD Negeri Pilangbango Kota Madiun 2002-2008
3. SMP Negeri 8 Kota Madiun 2008-2011
4. SMK Negeri 2 Kota Madiun 2011-2014
5. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun 2014-2018
viii
Program Studi Kesehatan Masyarakat
STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun 2018
ABSTRAK
EKA SEPTIANA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA KUMAN
UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU DUNGUS
MADIUN
109 halaman + 12 tabel + 4 gambar dan 14 lampiran
Latar belakang: Kualitas udara di ruang rawat inap rumah sakit perlu
diperhatikan karena udara menjadi media penularan penyakit. Rata-rata angka
kuman udara di beberapa ruang rawat inap menunjukkan hasil sebesar 20,2
CFU/m³. Kondisi sanitasi ruang rawat inap di Rumah Sakit Paru Dungus sudah
cukup baik, namun masih ditemukan di beberapa ruangan seperti sanitasi dinding
dan lantai yang kurang bersih dan berdebu. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru.Dungus Madiun.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei
analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Sampel dalam penelitian ini
adalah 22 ruang rawat inap. Analisis data menggunakan korelasi pearson dengan
taraf signifikan 5% atau 0,05 untuk menentukan hubungan antara variabel terikat
dengan variabel bebas.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan
angka kuman udara adalah kelembaban p= 0,000, r= 0,790, pencahayaan p=
0,000, r= -0,799, sanitasi ruang p= 0,011, r= -0,531, pemeliharaan ruang p =
0,005, r= -0,581. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan angka
kuman udara adalah suhu p= 0,086, r= 0,375.
Kesimpulan dan Saran: Variabel yang cukup kuat korelasinya terhadap angka
kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun adalah
kelembaban, pencahayaan, sanitasi ruang dan pemeliharaan ruang. Sebaiknya
pihak Rumah Sakit tetap menjaga sanitasi ruang serta membuat SPO (Standar
Prosedur Operasional) tentang pemeliharaan ruang sesuai dengan Kepmenkes.
Kata Kunci : Angka kuman udara, sanitasi ruang, pemeliharaan ruang, Rumah
Sakit Paru Dungus
Kepustakaan : 36 (2004-2017)
ix
Public Health Program
Health Science College of Bhakti Husada Mulia Madiun 2018
ABSTRACT
EKA SEPTIANA
THE ASSOCIATED FACTORS ON THE NUMBERS OF AIR GERMS IN
INPATIENT ROOM OF DUNGUS LUNG HOSPITAL MADIUN
109 pages + 12 tables + 4 pictures and 14 appendixes
Background: The air quality in inpatient room need to be noticed because the air
becomes a disease of infection. The average numbers of air germs in several
inpatient rooms showed a result amounted to 20,2 CFU/m³. The condition of
sanitation in inpatient room was good enough, but for several rooms found such
as less clean and dusty floors. The purpose of this research was to determine the
associated factors on the numbers of air germs in inpatient room of Dungus Lung
Hospital Madiun.
The Method: The kind of this research method was epidemiology used analytic
survey of cross-sectional study. The population of this research was the inpatient
room in Dungus Lung Hospital Madiun. The numbers of samples in this research
were twenty-two inpatient rooms in Dungus Lung Hospital Madiun. The data
analysis of this research used pearson correlation analysis on 5% significant or
0,05 to determine the associated on independent variables to dependent variable.
The Result: The results of this research showed that the variables were
associated on the numbers of air germs were humidity p= 0,000, r= 0,790,
lighting p = 0,000, r= -0,799, space of sanitation p= 0,011, r= -0,531, and space
of maintenance p= 0,005, r= -0,581. The variables was not associated on the
numbers of air germs was temperature p= 0,086, r = 0,375.
Discus and Conclusion: The variables that were strong enough of the correlation
on the numbers of air germs in inpatient room of Dungus Lung Hospital Madiun
were humidity, lighting, space of sanitation and space of maintenance. The
hospital is better to stays on sanitation procedures and make the SOP (Standard
Operating Procedure) about space of maintenance according to the Kepmenkes.
Keywords : The numbers of air germs, space of sanitation, space of
maintenance, Dungus Lung Hospital Madiun.
Bibliography : 36 (2004-2017)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Angka Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun”. Penelitian ini disusun
sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Sarjana di Prodi
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu proses penulisan ini :
1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid), selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun.
2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes, selaku Ketua Prodi S1 Kesehatan
Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun serta Dosen Pembimbing II
yang telah setia dan sabar memberikan bimbingan dan petunjuk dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Hanifah Ardiani, S.KM.,M.KM selaku Dosen Pembimbing I yang telah
setia dan sabar memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi
ini.
4. Bapak Beny Suyanto, S.Pd.,M.Si, selaku Ketua Dewan Penguji dalam skripsi
ini.
5. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, peneliti ucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya.
xi
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, berbagai saran, tanggapan, dan kritik yang bersifat
membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan tugas akhir skripsi
ini.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis serta orang-orang yang peduli dengan dunia kesehatan
masyarakat pada khususnya.
Madiun, 11 Agustus 2018
Penyusun
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .....................................................................................................i
Sampul Dalam .....................................................................................................ii
Lembar Persetujuan .............................................................................................iii
Lembar Pengesahan ............................................................................................iv
Halaman Pernyataan............................................................................................v
Halaman Persembahan ........................................................................................vi
Daftar Riwayat Hidup .........................................................................................vii
Abstrak ................................................................................................................viii
Abstract ...............................................................................................................ix
Kata Pengantar ....................................................................................................x
Daftar Isi..............................................................................................................xii
Daftar Tabel ........................................................................................................xv
Daftar Gambar .....................................................................................................xvi
Daftar Lampiran ..................................................................................................xvii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................9
1.5 Keaslian Penelitian ..............................................................................10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Rumah Sakit ...........................................................................14
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit ...............................................................14
2.1.2 Fungsi Rumah Sakit .....................................................................15
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit ..............................................................15
2.1.4 Sanitasi Rumah Sakit ...................................................................16
2.2 Konsep Ruang Rawat Inap ..................................................................21
2.2.1 Rawat Inap ...................................................................................21
2.2.2 Ruang Rawat Inap ........................................................................22
2.2.3 Tindakan Rawat Inap ...................................................................22
2.2.4 Tujuan Rawat Inap .......................................................................23
2.2.5 Fasilitas Sanitasi...........................................................................24
2.2.6 Jumlah dan Posisi Tempat tidur ...................................................25
2.2.8 Traffic Pattern ..............................................................................26
2.3 Penyebaran Penyakit Infeksi................................................................26
2.4 Infeksi Nosokomial ..............................................................................31
2.4.1 Batasan-batasan Infeksi Nosokomial ...........................................32
2.4.2 Infeksi Nosokomial dipengaruhi oleh Beberapa Faktor ..............32
2.4.3 Cara Penularan Infeksi Nosokomial ............................................34
2.4.4 Pengendalian Infeksi Nosokomial ...............................................35
2.5 Konsep Udara ......................................................................................36
2.5.1 Udara Ruang ................................................................................36
2.5.2 Kuman ..........................................................................................37
xiii
2.5.3 Angka Kuman Udara ...................................................................38
2.5.4 Jenis-jenis Mikroorganisme di Udara ..........................................39
2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kuman di Udara .............40
2.6.1 Suhu .............................................................................................40
2.6.2 Kelembaban .................................................................................40
2.6.3 Pencahayaan .................................................................................42
2.6.4 Pemeliharaan Ruang Bangunan ...................................................44
2.6.5 Sanitasi Ruang .............................................................................47
2.7 Kerangka Teori ....................................................................................50
BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual...........................................................................51
3.2 Hipotesa Penelitian ..............................................................................52
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .................................................................................53
4.2 Populasi dan Sampel ............................................................................53
4.3 Teknik Sampling ..................................................................................54
4.4 Kerangka Kerja Penelitian ...................................................................54
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel .......................56
4.6 Instrumen Penelitian ............................................................................59
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................61
4.8 Prosedur Pengumpulan Data................................................................63
4.9 Teknik Analisis Data ...........................................................................67
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................70
5.2 Hasil Penelitian ....................................................................................75
5.3 Pembahasan .........................................................................................81
5.4 Keterbatasan Penelitian .......................................................................103
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ..........................................................................................104
6.2 Saran ....................................................................................................105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ........................................................................... 10
Tabel 2.1 Indeks Angka Kuman Udara Menurut Fungsi Ruang atau Unit ...... 38
Tabel 4.1 Definisi Operasional ........................................................................ 57
Tabel 4.2 Rangkuman Hasil Validitas ............................................................. 60
Tabel 4.3 Rangkuman Hasil Reliabilitas .......................................................... 61
Tabel 4.4 Realisasi Kegiatan ............................................................................ 62
Tabel 4.3 Interpretasi Koefisien Korelasi ........................................................ 69
Tabel 5.1 Karakteristik Objek Variabel yang Diteliti ...................................... 76
Tabel 5.2 Uji Normalitas Data ......................................................................... 77
Tabel 5.3 Hubungan Suhu dengan Angka Kuman Udara ................................ 78
Tabel 5.4 Hubungan Kelembaban dengan Angka Kuman Udara .................... 78
Tabel 5.5 Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara ................... 79
Tabel 5.6 Hubungan Sanitasi Ruang dengan Angka Kuman Udara ................ 80
Tabel 5.7 Hubungan Pemeliharaan Ruang dengan Angka Kuman Udara ....... 80
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit ................ 27
Gambar 2.2 Kerangka Teori ............................................................................. 50
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................ 51
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 55
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan Penelitian
Lampiran 2 Informed Consent
Lampiran 3 Lembar Kuesioner
Lampiran 4 Lembar Observasi
Lampiran 5 Denah pengukuran suhu dan kelembaban di ruang rawat inap
Lampiran 6 Denah pengukuran pencahayaan di ruang rawat inap
Lampiran 7 Denah titik pengambilan sampel kuman udara di ruang rawat inap
Lampiran 8 Lembar Bimbingan
Lampiran 9 Hasil Output Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Lampiran 10 Surat ijin Penelitian di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Lampiran 11 Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian di Rumah Sakit
Paru Dungus Madiun
Lampiran 12 Hasil Ouput Pengolahan data SPSS
Lampiran 13 Hasil Laboratorium
Lampiran 14 Dokumentasi Penelitian
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Kepmenkes RI Nomor
340/MENKES/PER/III/2010). Rumah sakit berfungsi untuk memberikan sarana
pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik secara kuratif maupun rehabilitatif,
rumah sakit juga tempat berkumpulnya orang-orang sakit maupun orang sehat
sehingga berisiko terjadinya penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan (Kepmenkes RI
1204/Menkes/SK/X/2004).
Ruang rawat inap merupakan ruangan di rumah sakit yang berpotensi
terjadinya penularan penyakit akibat pencemaran bakteri udara yang cukup tinggi
dan mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan (Wulandari, 2015). Semua penderita rawat inap di rumah sakit
berisiko untuk mendapatkan infeksi dari pengobatan atau tindakan operatif yang
diterimanya. Anak-anak kecil, orang berusia lanjut, dan orang dengan sistem imun
tubuh yang lemah (compromised immune system) mempunyai risiko lebih besar
mendapatkan infeksi nosokomial (Soedarto, 2016).
Udara sebagai salah satu komponen lingkungan yang merupakan kebutuhan
paling utama untuk mempertahankan hidup. Metabolisme dalam tubuh makhluk
2
hidup tidak mungkin dapat berlangsung tanpa oksigen yang berasal dari udara.
Selain oksigen, terdapat mikroorganisme yang terkandung di dalam udara
diantaranya adalah bakteri atau kuman (Khoirul, 2015). Udara merupakan tempat
kuman untuk hidup dan berkembang. Kualitas udara di ruang rawat inap rumah
sakit perlu diperhatikan karena udara menjadi media penularan penyakit. Salah
satu lingkup kegiatan sanitasi rumah sakit adalah pengendalian faktor lingkungan
fisik yang meliputi suhu, kelembaban dan pencahayaan ruangan di rumah sakit.
Pengendalian faktor lingkungan bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit yang disebut infeksi nosokomial (Rizal, 2016).
Meningkatnya kasus infeksi nosokomial menjadi salah satu faktor dalam
menilai mutu pelayanan di rumah sakit. Infeksi nosokomial atau infeksi yang
diperoleh dari rumah sakit adalah infeksi yang tidak diderita pasien saat masuk ke
rumah sakit melainkan setelah ±72 jam berada di tempat tersebut. Infeksi ini
terjadi apabila toksin atau agen penginfeksi menyebabkan infeksi local atau
sistematik. Penyakit infeksi karena kuman dapat terjadi di manapun, tidak
terkecuali di tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas
maupun klinik. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan oleh pihak rumah sakit
adalah dengan melengkapi rumah sakit dengan berbagai perangkat dan fasilitas
guna dalam pencegahan infeksi. Penularan langsung dapat terjadi melalui udara
dan benda-benda yang ada di rumah sakit, seperti tempat tidur, dinding, dan alat
medis. Sedangkan untuk penularann tidak langsung dapat melalui tenaga medis ke
pasien, antar sesama pasien, ataupun pasien terhadap pengunjung. Sebaiknya
3
rumah sakit harus mampu menciptakan lingkungan yang bersih sehingga terwujud
rumah sakit sehat, bukan sebagai penyebar kuman penyakit (Nurlaela, 2017).
Menurut penelitian WHO tahun 2006 pada rumah sakit yang berasal dari 14
negara yang berada di empat kawasan (regional) WHO, sekitar 8,7% penderita
yang di rawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial rumah sakit.
(Soedarto, 2016). Menurut penelitian yang dilakukan oleh The National Institute
of Occupational Safety and Health (NIOSH) terhadap 446 bangunan dan gedung
di Amerika, menemukan bahwa terdapat 5 sumber pencemar udara dalam ruangan
yaitu pencemaran dari alat-alat dalam gedung (17%), pencemaran di luar gedung
(11%), pencemaran akibat bahan bangunan (3%), pencemaran akibat mikroba
(5%), ganguan ventilasi udara (52%), dan sumber yang belum diketahui (25%)
(NIOSH dalam Wulandari, 2015).
Data mengenai kejadian, angka kesakitan dan angka kematian infeksi
nosokomial di Indonesia masih langka, tetapi diperkirakan cukup tinggi
mengingat keadaan rumah sakit dan kesehatan umum relatif belum begitu baik.
Survei sederhana yang telah dilakukan oleh Subdit Surveilans Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(Ditjen PPM&PLP) di 10 rumah sakit umum tahun 1987, menunjukkan angka
infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 6% hingga 16% dengan rerata 9,8%.
Menurut Hasyim (2005) di Jakarta prevalensi infeksi nosokomial sebesar ±
41,1%, di Surabaya ± 73,3% dan Yogyakarta ± 5,9% (Wulandari, 2015).
Di Indonesia yaitu di RSU pendidikan, infeksi nosokomial cukup tinggi
yaitu 6-16% dengan rata-rata 9,8% pada tahun 2010. Infeksi nosokomial paling
4
umum terjadi adalah infeksi luka operasi (ILO). Hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa angka kejadian ILO pada rumah sakit di Indonesia bervariasi
antara 2-18% dari keseluruhan prosedur pembedahan (Nugraheni dkk, 2011).
Rumah Sakit Paru Dungus adalah rumah sakit milik Provinsi Jawa Timur
yang terletak di Dungus, Kelurahan Wungu, Kecamatan Wungu, Kabupaten
Madiun (13 km di sebelah Timur dari Pusat Kota Madiun). Rumah Sakit
tersebut saat ini masih dalam klasifikasi sebagai RS Khusus Paru Tipe C, dan
sedang berproses dalam rangka peningkatan dan pengembangan pelayanan untuk
menjadi Rumah Sakit Khusus Paru Tipe B. Rumah Sakit Paru Dungus terletak
pada ketinggian ±80m diatas permukaan air laut yang dikelilingi lingkungan
hijau pegunungan tepatnya pada kaki Gunung Wilis sisi barat.
Hasil pemeriksaan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit
Paru Dungus yang dilakukan pada 11 Januari 2018 menunjukkan bahwa rata-rata
angka kuman udara di ruang rawat inap mawar dan anggrek khusus ruangan
infeksius sebesar 20,2 CFU/m³. Rata-rata angka kuman udara tersebut masih
dibawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh
Kepmenkes/1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizal
Muntaha (2016) menunjukkan bahwa rata-rata angka kuman udara di ruangan
rawat inap Gedung Siti Hajar yaitu 164 CFU/m³, yang berarti angka kuman udara
di ruangan memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh
Kepmenkes/1204/Menkes/SK/X/2004.
5
Rumah Sakit Paru Dungus memiliki ruang rawat inap yang diklasifikasikan
sebagai ruang rawat untuk penyakit menular dan penyakit tidak menular. Untuk
penyakit menular antara lain COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) yang berjumlah 12% dari total
pasien dan TBC berjumlah 8% dari total pasien. Hal tersebut rentan untuk
terjadinya penularan penyakit melalui udara. Pada tahun 2016 penyebab
kematian terbanyak di Rawat Inap adalah disebabkan penyakit COPD
sebanyak 8 kasus kematian dan TBC sebanyak 6 kasus kematian.
Angka kuman udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu
kelembaban udara. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rizal
Muntaha (2016) menunjukkan nilai (p=0,040) yang artinya ada hubungan antara
kelembaban udara ruangan dengan angka kuman udara di ruang rawat inap
Gedung Siti Hajar Rumah Sakit Islam Sultan Hadlirin Jepara. Karena,
kelembaban udara yang relatif tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan
mikroorganisme.
Penelitian yang dilakukan Didik (2016) di ruang rawat inap kelas III RSUD
Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan hasil bahwa rata-rata kuman udara sebesar
256,5 CFU/ m³. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan
antara suhu (p=0,002), kelembaban (p=0,005), dan pencahayaan (p=0,001)
dengan angka kuman udara di ruang rawat inap kelas tiga melati RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Kondisi sanitasi ruang rawat inap di Rumah Sakit Paru Dungus sudah cukup
baik, namun masih ditemukan di beberapa ruangan seperti sanitasi dinding dan
6
lantai yang kurang bersih dan berdebu, serta masih ada ruang perawatan yang
jendelanya selalu tertutup sehingga sirkulasi udara tidak dapat terjadi dengan baik
dan dapat mempengaruhi kualitas udara di ruang perawatan tersebut. Berdasarkan
Kepmenkes/1204/Menkes/SK/X/2004 bahwa lantai harus selalu bersih dan
jendela atau ventilasi harus dapat menjamin aliran udara di dalam ruang dengan
baik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Munawar (2015)
menunjukkan hasil (p=0,010), artinya ada hubungan yang signifikan antara
sanitasi ruangan dengan angka kuman udara di ruang persalinan praktik bidan
swasta di Kota Banjarbaru.
Penelitian tentang angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit
Paru Dungus belum pernah dilakukan sebelumnya dan dipilihnya ruang perawatan
sebagai lokasi penelitian, karena pada ruang perawatan tersebut merupakan salah
satu ruangan yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan kuman pada udara.
Oleh karena itu peniliti ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor apa saja
yang berhubungan dengan kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Berdasarkan dari uraian pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu “faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan angka
kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?”
7
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1. Berapa suhu udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
2. Berapa kelembaban udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun?
3. Berapa tingkat pencahayaan di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun?
4. Bagaimana pemeliharaan ruangan di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun?
5. Bagaimana kondisi sanitasi ruang di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun?
6. Apakah ada hubungan antara suhu dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
7. Apakah ada hubungan antara kelembaban dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
8. Apakah ada hubungan antara pencahayaan dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
9. Apakah ada hubungan antara pemeliharaan ruangan dengan angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
10. Apakah ada hubungan antara sanitasi ruang dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?
8
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit
Paru Dungus Madiun.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengukur suhu udara ruang rawat inap di Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun.
2. Untuk mengukur kelembaban ruang rawat inap di Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun.
3. Untuk mengukur tingkat pencahayaan ruang rawat inap di Rumah Sakit
Paru Dungus Madiun.
4. Untuk menilai pemeliharaan ruang rawat inap di Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun.
5. Untuk menilai sanitasi ruang perawatan di Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun.
6. Untuk menganalisis hubungan suhu dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
7. Untuk menganalisis hubungan kelembaban dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
8. Untuk menganalisis hubungan pencahayaan dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
9
9. Untuk menganalisis hubungan pemeliharaan ruang dengan angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
10. Untuk menganalisis hubungan sanitasi ruang perawatan dengan angka
kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru dungus Madiun.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
program pemenuhan persyaratan kesehatan lingkungan di rumah sakit terkait
sehingga akan lebih mampu menekan risiko peularan penyakit di rumah sakit.
1.4.2 Bagi Insitusi Pendidikan/STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Manfaat yang dapat diharapkan dalam penelitian ini sebagai penerapan ilmu
selama duduk di bangku perkuliahan serta dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan kesehatan lingkungan tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun.
1.4.3 Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperluas wawasan
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
10
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Tempat
Penelitian
Metode
Penelitian Variabel Hasil Penelitian
1. Inggrit
Chistianty
(2009)
Hubungan
Sanitasi
Ruang
Perawatan
dengan
Kualitas
Udara di
ruang
Perawatan
Kelas Tiga
Rumah Sakit
Umum
Daerah Ibnu
Sina
Kabupaten
Gresik
Rumah
Sakit
Umum
Daerah
Ibnu Sina
Kabupaten
Gresik
Analitik
dengan
rancangan
Cross
Sectional
Variabel
bebas:
Kualitas fisik
udara
meliputi
suhu,
kelembaban,
pencahayaan,
dan
pengukuran
kualitas
mikrobiologi
udara
yaitu indeks
angka kuman
Variabel
terikat:
Sanitasi
ruang
perawatan
Ada hubungan
antara sanitasi
ruang perawatan
dengan kualitas
udara (r=1.000)
pada ruang
perawatan
Heliconia kelas
tiga di rumah
Sakit Umum
Daerah Ibnu Sina
Kabupaten
Gresik
2. Didik Agus
Nugroho
(2016)
Faktor-
Faktor yang
Berhubungan
dengan
Angka
Kuman
Udara di
Ruang
Rawat Inap
Kelas III
Rsud Dr.
Moewardi
Surakarta
Rsud Dr.
Moewardi
Surakarta
Penelitian
observasional
dengan
rancangan
penelitian
Cross
sectional.
Variabel
bebas:
suhu,
kelembaban,
pencahayaan
frekuensi
sterilisasi,
jumlah
pengunjung,
kondisi
tempat
sampah,
kondisi
linen,
kondisi
personal
hygiene
pasien
Terdapat
hubungan antara
suhu (p=0,002),
kelembaban
(p=0,005), dan
pencahayaan
(p=0,001)
dengan angka
kuman udara di
ruang rawat inap
kelas tiga melati
RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta.
Tidak terdapat
hubungan antara
frekuensi
sterilisasi
11
No Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Tempat
Penelitian
Metode
Penelitian Variabel Hasil Penelitian
variabel
terikat:
angka
Kuman
Udara
(p=0,075), jumlah
pengunjung
(p=0,184),
kondisi tempat
sampah (p=0,169),
kondisi linen
(p=0,169), dan
kondisi personal
hygiene pasien
(p=0,300) dengan
angka kuman
udara di ruang
rawat inap kelas
tiga melati RSUD
Dr. Moewardi
Surakarta.
3. Rizal
Muntaha
(2016)
Faktor
Lingkungan
Fisik
Ruangan
Dengan
Angka
Kuman
Udara Ruang
Rawat Inap
Gedung Siti
Hajar
Rumah Sakit
Islam Sultan
Hadrilin
Jepara
Rumah
Sakit
Islam
Sultan
Hadrilin
Jepara
Analitik
observasional
dengan
rancangan
Cross
Sectional
Variabel
bebas:
Kelembaban
dan suhu
Variabel
terikat:
Angka
kuman udara
Hasil uji Kendal
Tau hubungan
suhu dengan angka
kuman udara
diperoleh p value
0,496 dan
hubungan
kelembaban
dengan angka
kuman udara
diperoleh p value
0,040. Tidak ada
hubungan antara
suhu dengan angka
kuman udara.
Kelembaban
mempunyai
hubungan dengan
angka kuman
udara dengan
kekuatan korelasi
lemah.
4. Kiki Ayu
Pratiwi
(2013)
Kualitas
Mikrobiologi
Udara di
Rumah
Sakit Paru
Surabaya
Deskriptif Variabel
bebas:
pencahayaan,
kecepatan
Jumlah angka
koloni kuman di
ruang rawat inap
penyakit menular
Lanjutan tabel 1.1 Keaslian Penelitian
12
No Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Tempat
Penelitian
Metode
Penelitian Variabel Hasil Penelitian
Ruang
Rawat Inap
Penyakit
Menular di
Rumah Sakit
Paru
Surabaya
aliran udara,
suhu dan
kelembaban,
pengendalian
kulitas udara
(proses
pemeliharaan
ruang
bangunan,
yaitu 1860
CFU/m³ dengan
kategori tidak
memenuhi syarat,
pencahayaan yaitu
44,1 lux dengan
kategori tidak
memenuhi syarat.
Kecepatan aliran
udara yaitu 0,53
m/dt dengan
kategori
memenuhi syarat.
Suhu udara ruang
yaitu 30°C dengan
kategori tidak
memenuhi syarat
dan kelembaban
yaitu 77% dengan
kategori tidak
memenuhi syarat.
Pengendalian
kualitas udara
meliputi proses
pemeliharaan
ruang bangunan
memperoleh
prosentase sebesar
66,6% dengan
kategori
memenuhi syarat,
konstruksi ruang
dan bangunan
memperoleh
prosentase sebesar
55% dengan
kategori tidak
memenuhi syarat,
dan kepadatan
hunian ruang
rawat inap
penyakit menular
dengan kategori
memenuhi syarat.
Lanjutan tabel 1.1 Keaslian Penelitian
13
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan
adalah:
1. Subyek Penelitian : Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
2. Metode penelitian : Menggunakan desain Cross Sectional dengan analisis
data Korelasi Pearson (data normal) dan Rank Spearman (data tidak normal).
3. Tahun penelitian : Pada tahun 2018
4. Tempat penelitian : Rumah Sakit Paru Dungus yang berada di bawah kaki
Gunung Wilis Madiun ±80m diatas permukaan air laut.
14
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian
integral dari suatu organisasi social dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pencegahan penyakit (preventive) kepada masyarakat. Masyarakat juga
merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.
Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks.
Kompleksitasnya tidak hanya dari segi jenis dan macam penyakit yang harus
memperoleh perhatian dari para dokter (medical provider) untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan terapinya (upaya kuratif), namun juga adanya berbagai
macam peralatan medis dari yang sederhana hingga yang modern dan canggih
(Darmadi, 2008).
Hal lain yang mrupakan kompleksitas dari sebuah rumah sakit adalah
adanya sejumlah orang yang secara bersamaan berada di rumah sakit, sehingga
rumah sakit menjadi sebuh “gedung pertemuan” sejumlah orang secara serempak,
berinteraksi langsung maupun tidak langsung mempunyai kepentingan dengan
penderita yang dirawat di rumah sakit (Darmadi, 2008).
15
2.1.2 Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yaitu kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan. Untuk menjalankan
tugas sebagaimana Rumah Sakit mempunyai fungsi:
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkata kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan PERMENKES Nomor. 340/MENKES/PER/III/2010 Rumah
Sakit diklasifikasi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayananannya, sebagai
berikut:
16
1. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5
(lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik
Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik sub Spesialis.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4
(empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik
Spesialis Lain dan 2 (dua) Pelayanan Medik sub Spesialis Dasar.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan
4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar.
2.1.4 Sanitasi Rumah Sakit
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit menurut Kepmenkes RI
No. 1204/Menkes/SK/X/2004, sebagai berikut:
2.1.4.1 Umum
1. Penyehatan Ruang Bangunan dan Halaman Rumah Sakit
17
Ruang bangunan dan halaman rumah sakit adalah semua ruang /unit dan
halaman yang ada di dalam batas pagar rumah sakit (bangunan fisik dan
kelengkapannya) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan
kegiatan rumah sakit.
2. Pesyaratan Higiene dan Sanitasi Makanan Minuman
Hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan individu. Sedangkan sanitasi adalah upaya kesehatan dengan
cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan.
Makanan dan minuman di rumah sakit adalah semua makanan dan
minuman yang di sajikan dari dapur rumah sakit untuk pasien dan
karyawan, makanan dan minuman yang dijual di dalam lingkungan rumah
sakit atau dibawa dari luar rumah sakit.
3. Penyehatan Air
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi persyaratan kesehatan dan dapat langsung
diminum.
4. Pengolahan Limbah
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan
rumah sakit dalam bentuk cair, padat, maupun gas.
5. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry)
Laundry rumah sakit adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi
dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan disinfektan,
mesin uap (steam boiler), pengering, meja dan setrika.
18
6. Pengendalian Serangga, Tikus dan Binatang Pengganggu Lainnya
Pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya adalah
upaya untuk mengurangi populasi serangga, tikus dan binatang
pengganggu lainnya sehingga keberadaan nya tidak menjadi vektor
penularan penyakit.
7. Dekontaminasi Melalui Disinfeksi dan Sterilisasi
Dekontaminasi adalah upaya untuk mengurangi dana tau menghilangkan
kontaminasi oleh mikroorganisme pada orang, peralatan, bahan, dan ruang
melalui disinfeksi dan sterilisasi dengan cara fisik dan kimiawi.
2.1.4.2 Khusus
Menurut Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, penataan ruang bangunan dan
penggunaanya harus sesuai dengan fungsi serta memenuhi persyaratan kesehatan
yaitu sesuai dengan mengelompokkan ruangan berdasarkan tingkat resiko
terjadinya penyakit yaitu:
1. Zona resiko rendah
Zona resiko rendah meliputi: ruang administrasi, ruang komputer, ruang
pertemuan, ruang repsionis dan ruang pendidikan atau pelatihan.
1. Permukaan dinding harus rata dan berwarna terang
2. Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air,
berwarna terang, dan pertemuan lantai dengan dinding harus berbentuk
konus.
19
3. Langit-langit harus terbuat dari bahan mutipleks atau bahan yang kuat,
berwarna terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi
minimal 2,70 meter dari lantai.
4. Lebar pintu minimal 1,20 meter dan tinggi 2,10 meter, dan ambang bawah
jendela minimal 1,00 meter dari lantai.
5. Semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40
meter dari lantai.
2. Zona dengan risiko sedang
Zona resiko sedang meliputi: ruang rawat inap bukan penyakit menular, rawat
jalan, ruang ganti pakaian, dan ruang tunggu pasien. Persyaratan bangunan
pada zona dengan resiko sedang sama dengan persyaratan resiko rendah.
3. Zona dengan risiko tinggi
Zona resiko tinggi meliputi: ruang isolasi, ruang perawatan intensif,
laboratorium, ruang penginderaan media (medical imaging), ruang bedah
mayat (autopsy), dan ruang jenazah dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang
1) Dinding ruang laboratorium dibuat dari porselin atau keramik setinggi
1,50 meter dari lantai dan sisanya dicat warna terang.
2) Dinding ruang penginderaan medis harus berwarna gelap, dengan
ketentuan dinding disesuaikan dengan pancaran sinar yang dihasilkan
dari peralatan yang dipasang di ruang tersebut, tembok pembatas antara
ruang sinar X dengan kamar gelap dilengkapi transfer cassette.
20
2. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air,
berwarna terang, dan pertemuan antara lantai dengan dinding harus
berbentuk konus.
3. Langit-langit terbuat dari bahan mutipleks atau bahan yang kuat, berwarna
terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi minimal 2,70
meter dari lantai.
4. Lebar pintu minimal 1,20 meter dan tinggi 2,10 meter, dan ambang bawah
jendela minimal 1,00 meter dari lantai.
5. Semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40 meter
dari lantai.
4. Zona dengan risiko sangat tinggi
Zona resiko sangat tinggi meliputi: ruang operasi, ruang bedah mulut, ruang
perawatan gigi, ruang gawat darurat, ruang bersalin, dan ruang patologi dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Dinding terbuat dari bahan porslin atau dicat dengan cat tembok yang tidak
luntur dan aman dan terang.
2) Langit-langit terbuat dari bahan yang kuat dan aman, dan tinggi minimal
2,70 meter dari lantai.
3) Lebar pintu minimal 1,20 meter dan tinggi minimal 2,10 meter dan semua
pintu kamar harus selalu dalam keadaan tertutup.
4) Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan dan
berwarna terang.
21
5) Khusus ruang operasi, harus disediakan gelegar (gantungan) lampu bedah
dengan profil baja double INP 20 yang dipasang sebelum pemasanngan
langit-langit.
6) Tersedia rak dan lemari untuk menyimpn reagensia siap pakai
7) Ventilasi atau pengawasan sebaiknya digunakan AC tersendiri yang
dilengkapi filter bakteri, untuk setiap ruang operasi yang terpisah dengan
ruang lainnya. Pemasangan AC minimal 2 meter dari lantai dan aliran udara
bersih yang masuk ke dalam kama operasi berasal dari atas ke bawah.
Khusus untuk ruang bedah ortopedi atau transplantasi organ harus
menggunakan pengaturan udara UCA (Ultra Clean Air) sistem.
8) Tidak dibenarkan terdapat hubungan langsung dengan udara luar, untuk itu
harus dibuat ruang antara.
9) Hubungan denga ruang scrub-up untuk melihat ke dalam ruang operasi
perlu dipasang jendela kaca mati, hubungan ke ruang steril dari bagian
cleaning cukup dengan sebuah loket yang dapat dibuka dan ditutup.
10) Pemasangan gas media secara sentral diusahakan melalui bawah lantai
atau di atas langit-langit.
11) Dilengkapi dengan pengumpulan limbah medis.
2.2 Konsep Ruang Rawat Inap
2.2.1 Rawat Inap
Rawat inap atau opname adalah salah satu bentuk proses pengobatan atau
rehabilitasi oleh tenagan pelayanan kesehatan profesional pada pasien yang
22
menderita suatu penyakit tertentu, dengan cara di inapkan di ruang rawat inap
tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang dialaminya.
2.2.2 Ruang Rawat Inap
Ruang rawat inap adalah ruangan atau fasilitas yang dijadikan tempat untuk
merawat pasien. Biasanya ruangan rawat inap berupa bangsal yang di huni oleh
beberapa pasien sekaligus, namun pada beberapa rumah sakit juga menyediakan
ruang rawat inap khusus (VVIP) yang lebih nyaman, lebih lengkap.
Ruangan atau bangsal maupun kamar perawatan, tidak saja sebagai tempat
pemulihan kesehatan, tetapi hendaknya juga berfungsi sebagai tempat istirahat
bagi penderita. Untul tujuan ini, ruangan atau bangsal maupun kamar penderita
harus diatur sedemikian rupa, sehingga aman dan nyaman bagi penderita, serta
memberikan kemudahan dan lancarnya tugas-tugas asuhan keperawatan
(Darmadi, 2008).
2.2.3 Tindakan Rawat Inap
Fasilitas dan pelayanan tentu saja lebih komplit dibandingkan dengan
fasilitas rawat jalan, begitupun dengan tenaga kesehatan yang terlibat secara
bersama-sama dan berkolaborasi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
meliputi:
1. Observasi
2. Diagnosa
3. Terapi
4. Rehabilitasi medik
23
5. Dan berbagai jenis pelayanan medis lainnya yang mungkin dibutuhkan untuk
menunjang proses pengobatan dan keperawatan pasien
2.2.4 Tujuan Rawat Inap
1. Untuk memudahkan pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang
komprehensif.
2. Untuk memudahkan dalam menegakkan diagnosis pasien dan perencanaan
terapi yang tepat.
3. Untuk memudahkan pengobatan dan terapi yang akan dan harus didapatkan
pasien.
4. Untuk mempercepat tindakan kesehatan.
5. Memudahkan pasien untuk mendapatkan berbagai jenis pemeriksaan
penunjang yang diperlukan.
6. Untuk mempercepat penyembuhan penyakit pasien.
7. Untuk memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari yang berhubungan dengan
penyembuhan penyakit, termasuk pemenuhan gizi dan lain-lain.
Menurut Darmadi (2008) ada empat permasalahan yang perlu diperlu
diperhatikan dalam mengelola ruangan/bangsal perawatan agar mikroba patogen
yang berada di dalam ruangan/bangsal perawatan dapat dikendalikan. Keempat
permasalahan tersebut adalah bangunan fisik, fasilitas sanitasi, jumlah dan posisi
tempat tidur, serta traffic pattern.
24
2.2.5 Fasilitas Sanitasi
Sebagai bagaian dari upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di
ruangan/bangsal perawatan, keberadaan fasilitas sanitasi penting sekali, antara
lain:
1. Kamar mandi dan WC penderita
a. Jumlahnya ditentukan oleh jumlah tempat tidur dalam ruangan/bangsal,
yaitu setiap 15 tempat tidur diperlukan 1 kamar mandi atau WC.
b. Kamar mandi dan WC harus terpisah.
c. Lokasinya pada salah satu ujung ruangan/bangsal.
2. Kamar mandi dan WC untuk petugas/keluarga penderita (penunggu)
Lokasinya terpisah dengan kamar mandi dan WC penderita
3. Tempat cuci tangan/wastafel
Ditempatkan pada lokasi yang tepat
4. Gudang tempat menyimpan alat-alat sanitasi
Lokasinya dekat dengan tempat kegiatan administrasi
5. Wadah/container sampah dan limbah
Prosedur dan tindakan medis ataupun keperawatan akan menghasilkan sampah
dan limbah, yaitu: sampah domestik, sampah medis, dan limbah klinis medis.
Setiap jenis sampah dan limbah tersebut harus ditampung dalam container yang
berbeda-beda
25
6. Air bersih
Kebutuhan air bersih harus terpenuhi serta lancar dan ini dapat dibuktikan
melalui air yang keluar dari kran-kran yang ada di wastafel, kamar mandi atau
WC
2.2.6 Jumlah dan Posisi Tempat Tidur
Pada ruangan/bangsal perawatan umum dapat ditemui bermacam-macam
kasus penyakit, baik berasal dari penderita yang baru masuk rumah sakit maupun
berasal dari penderita yang sudah lama dirawat di ruangan/bangsal perawatan.
Semuanya memerlukan perhatian yang sama dan semuanya membutuhkan tempat
tidur.
Tempat tidur merupakan syarat mutlak untuk merawat seorang penderita.
Penderita menginginkan kesembuhan dalam suasana aman dan nyaman selama
menggunakan tempat tidur, sedangkan dari sisi lain petugas menginginkan
kemudahan dan kenyamanan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
penderita.
Untuk maksud diatas, baik untuk penderita maupun petugas diibutuhkan
area istirahat dan area kerja yang cukup lapang, yaitu luas tempat tidur dengan
ukuran ideal atau memadai 2,5 x 3 m. Perimbangan akan kebutuhan luas lantai
sebesar 7,5 m² adalah:
1. Setiap penderita menggunakan sebuah tempat tidur dengan ukuran 1,2 x 2,2 m
dan sebuah bedside table yang berada di samping tempat tidur, sehingga area
yang lebih lapang pada saat penderita istirahat akan terasa lebih nyaman.
26
2. Jarak antara dua tempat tidur yang berdampingan tidak begitu rapat, sehingga
dapat memperkecil risiko kontak penularan penderita yang berada di
sampingnya (infeksi silang).
3. Petugas juga dapat lebih leluasa menjalankan asuhan keperawatan karena
adanya area kerja yang lebih lapang di sisi kiri dan kanan penderita.
Aspek lain di samping masalah luas lantai untuk setiap tempat tidur dan
jumlah tempat tidur dalam satu ruangan atay bangsal adalah aspek penempatan
setiap penderita pada tempat tidur yang tersedia dalam ruangan/bangsal. Aspek ini
mempunyai tujuan yang sama, yaitu meminimalisasi kemungkinan penularan
kepada penderita lain.
2.2.7 Traffic Pattern
Traffic pattern ini adalah salah satu bentuk upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial dengan cara mengatur arus lalu lintas penderita,
petugas, dan material yang berkaitan dengan asuhan keperawatan, serta lalu lintas
sampah dan limbah medis. Tujuan dari sistem lalu lintas ini adalah sama, yaitu
untuk meminimalisasi terjadinya penularan dengan cara memisahkan jalur keluar
dan masuknya penderita atau petugas dengan jalur keluarnya (pembuangan)
sampah dan limbah dari bangsal/ruangan, sehingga terwujudlah sebuah pola lalu
linttas (traffic pattern) dalam ruangan/bangsal.
2.3 Penyebaran Penyakit Infeksi
Menurut Darmadi (2008), secara umum proses terjadinya penyakit
melibatkan tiga faktor yang saling berinteraksi, yaitu:
27
1. Faktor penyebab penyakit, yang sering disebut agen (agent)
2. Faktor manusia, yang sering disebut penjamu (host)
3. Faktor lingkungan
Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi dan dalam epidemiologi disebut
segitiga Epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit.
Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit
Sumber: Darmadi, 2008, Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba pathogen
dan bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin
bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan
mampu mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Secara garis
besar mekanisme tranmisi mikroba pathogen ke penjamu yang rentan (susceptible
host) melalui dua cara yaitu (Darmadi, 2008):
1. Transmisi langsung (direct transmisi)
Penularan langsung oleh mikroba pathogen ke pintu yang sesuai dari penjamu.
Sebagi contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman atau adanya droplet
nuclei saat bersin, batuk, berbicara, atau saat transfuse darah dengan darah
yang terkontaminasi mikroba pathogen.
Penjamu
Agen
Lingkungan
28
2. Transmisi tidak langsung (indirect transmisi)
Penularan miroba pathogen yang merupakan adanya media perantara, baik
berupa barang atau bahan, air, udara, makanan atau minuman, maupun vektor.
1) Vehicle-borne
Sebagai media perantara penularan penyakit adalah barang atau bahan yang
terkontaminasi seperti peralatan makan dan minuman, instrument bedah
atau kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus atau transfusi.
2) Vector-borne
Sebagai media perantara penulran penyakit vektor (serangga), yang
memindahkan mikroba pathogen ke penjamu dengan cara sebagai berikut:
1. Cara mekanis
Pada kaki serangga melekat kotoran atau sputum (mikroba pathogen), lalu
hinggap pada makanan dan minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke
saluran cerna penjamu.
2. Secara biologis
Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus
perkembangbiakan dalam tubuh vektor (serangga), selanjutnya mikroba
dipindahkan ke tubuh penjamu melalui gigitan nyamuk.
3) Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang cukup efektif
penyebarannya mikroba pathogen ke pejamu, yaitu pintu masuk (port
d’entree) saluran cerna.
29
4) Water borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kuratif terutama untuk
kebutuhan rumah sakit adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek
fisik, kimiawi dan bakteriologi, diharapkan terbebas dari mikroba pathogen
sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak sebagai media perantara air
sangat mudah menyebarkan mikroba pathogen ke penjamu, melalui pintu
masuk (port d’entree) saluran cerna maupun pintu masuk yang lain.
5) Air borne
Udara sangat mutlak diperlukan setiap orang, namun adanya udara yang
terkontaminasi oleh mikroba pathogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba
pathogen dalam udara masuk ke saluran pernafasan penjamu dalam bentuk
droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita (reservoir) saat batuk atau
bersin, bicara atau bernafas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust
merupakan partikel yang dapat terbang bersamaan debu lantai atau tanah.
Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan
tertutup seperti di dalam gedung, ruangan atau bangsal atau kamar perawat,
atau pada laboratorium klinik.
Menurut Darmadi (2008) dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu yang
peka (susceptible host) akan berinteraksi dengan mikroba pathogen, yang secara
alamiah akan melewati 4 tahap yaitu:
1. Tahap rentan
Pada tahap ini penjamu masih dalam kondisi yang relatif sehat, namun peka
atau labil, disertai faktor predisposisi yang mempermudah terkena penyakit
30
seperti umur, keadaan fisik, perilaku atau kebiasaan hidup, sosial-ekonomi,
dan lain-lain. Faktor-faktor predisposisi tersebut mempercepat masuknya
agen penyebab penyakit (mikroba pathogen) untuk berinteraksi dengan
pejamu.
2. Tahap inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba pathogen mulai beraksi, namun
tanda dan gejala penyakit belum tampak (subklinis). Saat mulai masuknya
mikroba pathogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda dan gejala
penyakit disebut masa inkubasi. Masa inkubasi satu penyakit berbeda dengan
penyakit lainnya, ada yang hanya beberapa jam, dan ada yang pula yang
betahun-tahun.
3. Tahap klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat memunculkan tanda
dan gejala (sign and symptoms) penyakit. Dalam perkembangannya, penyakit
akan berjalan secara bertahap. Pada tahap awal, tanda dan gejala penyakit
masih ringan. Penderita masih mampu melaksanakan aktifitas sehari-hari dan
masih dapat diatasi dengan berobat jalan. Pada tahap selanjutnya, penyakit
tidak dapat diatasi dengan berobat jalan, karena penyakit bertambah parah,
baik secara objektif maupun subjektif. Pada tahap ini penderita sudah tidak
mampu lagi malakukan aktivitas sehari-hari dan jika berobat umumnya harus
memerlukan perawatan.
31
4. Tahap akhir penyakit
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir pula, perjalanan penyakit
tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif menurut (Darmadi, 2008), yaitu:
a. Sembuh sempurna
Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi sel atau
jaringan atau organ tubuh kembali seperti kala.
b. Sembuh dengan cacat
Penderita sembuh dari penyakit namun disertai adanya kecacatan. Cacat
dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat sosial.
c. Pembawa (carrier)
Perjalaan penyakit seolah-olah berhenti, ditandai dengan menghilangkan
tanda dan gejala penyakit. Pada kondisi ini agen penyebab penyakit masih
ada, dan masih potensial sebagai sumber penularan.
d. Kronis
Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gejala yang tetap
atau berubah (stagnan).
e. Meninggal dunia
Akhir perjalanan penyakit dengan kegagalan fungsi-fungsi organ.
2.4 Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahsa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat atau rumah sakit. jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
32
yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit. infeksi nosokomial saat ini merupakan
salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka
kematian (mortality) di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah kesehatan
baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju (Darmadi, 2008).
2.4.1 Batasan-batasan Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial disebut juga dengan “Hospital acquired infection”
apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut:
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak di dapatkan tanda-
tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam masa
inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24
jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirwat di rumah sakit yang
sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi
nosokomial (Darmadi, 2008).
2.4.2 Infeksi Nosokomial dipengaruhi oleh Beberapa Faktor
Faktor-faktor luar (extrinsic factors) yang berpengaruh dalam insidensi
infeksi nosokomial adalah sebagai berikut:
1. Petugas pelayanan medis
Dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium dan sebagainya
33
2. Peralatan dan material medis
Jarum, kateter. Instrument, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain
3. Lingkungan
Berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar bersalin,
dan kamar bedah. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit
dan tempat pembuangan sampah atau pengelolaan limbah.
4. Makanan/minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita
5. Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar attau ruangan perawatan dapat
menjadikan sumber penularan
6. Pengunjung/keluarga
Keberdaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan
Faktor-faktor lain yang juga berperan memberi peluang timbulnya infeksi
nosokomial, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang ada dari diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain
yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor
ini merupakan faktor predisposisi.
2. Faktor keperawatan seperti lamanyya hari perawatan (length of stay),
menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu
ruangan.
34
3. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat
kemampuan merusak jaringan, lamanya pemarran (length of exposure) antara
sumber penularan (reservoir) dengan penderita (Darmadi, 2008).
2.4.3 Cara Penularan Infeksi Nosokomial
1. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung
dan Droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan
langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan
infeksi hepatitis A secara fecal oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila
penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini
terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi,
misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.
2. Penularan melalui Common Vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan
dapat menyebabkan penyakit lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis
common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intra vena, obat-obatan
dan sebagainya.
3. Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat
kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan
melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam
sel-sel kulit yang terlepas (Staphylococcus sp) dan tuberculosis.
35
4. Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut
penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis
dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya Shigella
dan Salmonella oleh lalat.
Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor
dan dapat terjadi perubahan sacara biologis, misalnya parasit malaria dalam
nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pada ginjal
(flea) (Lisa, 2014).
2.4.4 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pengendalian infeksi nosokomial adalah upaya pencegahan terjadinya
infeksi dan bukan upaya pemberantasan kuman Rumah Sakit dengan cara
pemantauan dan penyempurnaan tata kerja manusia di dalam rumah sakit tersebut.
Sebagai contoh upaya pengendalian infeksi nosokomial antara lain yang
berkaitan dengan: (Darmadi, 2008)
1. Pasien
Melakukan isolasi protektif yang diduga menderita penyakit infeksi.
2. Petugas
a. Melakukan pemeriksaan kondisi kesehatan fisik petugas
b. Menggunakan alat pelindung diri
c. Meperhatikan hygiene perorangan dengan baik, seperti mencuci tangan
setiap saat akan dan sesudah melakukan prosedur dan tindakan medis serta
perawatan
36
3. Pengunjung
a. Membatasi jumlah pengunjung
b. Pengunjung yang menderita sakit tidak diperkenankan mengunjungi pasien
4. Peralatan
a. Melakukan proses desinfeksi dan sterilisasi yang baik
b. Penyimpanan alat selalu dalam keadaan steril, bersih kering, dan di tempat
yang khusus
5. Lingkungan
a. Sirkulasi udara ruangan lancar
b. Penerangan atau pencahayaan matahari cukup
c. Tidak adda serangga di dalam ruangan
d. Kebersihan ruangan selalu dijaga agar tetap bersih
6. Air
a. Kualitas air yang memenuhi syarat kesehatan
b. Tidak ada genangan air limbah
7. Makanan dan minuman
Pengolahan dan penyajiannya harus higienis
2.5 Konsep Udara
2.5.1 Udara Ruang
Udara ruang adalah udara yang dibatasi oleh dinding yang memisahkan
dengan udara bebas di luar ruang. Udara ruangan yaitu udara dalam kamar di
rumah tangga, udara dalam kamar hotel, kamar rumah sakit, ruang perkantoran,
37
ruang kerja maupun ruang kendaraan. NAB fisik fisik dan kimia udara ruang kerja
diatur dalam Permenaker No. 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, serta Permenkes No. 48 Tahun 2016
tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran dan Permenkes
No. 70 tahun 2016 tentang Standard dan Persayaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Industri. Khusus NAB udara dalam rumah diatur dalam Permenkes No.
1077/Menkes/Per/2011. Kepmenkes Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
2.5.2 Kuman
Kuman adalah mikroorganisme/jasad hidup yang sangat kecil ukurannya,
sulit diamati tanpa alat pembesar, berukuran beberapa micron dan meliputi
bakteri, jamur, algae, protozoa, maupun kuman (Koes Irianto, 2007).
1. Kuman di udara
Udara bukan merupakan habitat kuman, namun sel-sel kuman yang terdapat
di udara merupakan kontaminan terbesar. Banyak kuman pathogen tersebar di
udara melalui butir-butir debu atau residu tetesan air ludah yang kering. Jenis
algae, protozoa, jamur dan bakteri dapat ditemukan di udara dekat permukaan
bumi. Spora jamur merupakan bagian terbesar dari imikroorganisme yang
ditemukan di udara. Spora jamur yang sering ditemukan berasal dari species
clodosporium. Bakteri yang ditemukan jenis basil gram positif, baik spora
maupun non spora, coccus gram positif dan basil (Susilowati, 2008).
Standar angka kuman udara sangat diperlukan dalam pelaksanaan pengukuran
angka kuman udara sehingga dapat diketahui apakah ruangan tersebut telah
38
memenuhi syarat angka kuman udara. Pada Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, disebutkan bahwa:
Tabel 2.1: Indeks Angka Kuman Menurut Fungsi Ruang atau Unit
No. Ruang atau Unit
Konsentrasi Maksimum
Mikroorganisme per m³ udara
(CFU/m³)
1. Operasi 10
2. Bersalin 200
3. Pemulihan/perawatan 200-500
4. Observasi bayi 200
5. Perawatan bayi 200
6. Perawatan premature 200
7. ICU 200
8. Jenazah/Autopsi 200-500
9. Pengindraan medis 200
10. Laboratorium 200-500
11. Radiologi 200-500
12. Sterilisasi 200
13. Dapur 200-500
14. Gawat darurat 200
15. Administrasi, pertemuan 200-500
16. Ruang luka bakar 200
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
2.5.3 Angka Kuman Udara
Angka kuman adalah perhitungan jumlah bakteri yang didasarkan pada
asumsi bahwa setiap sel bakteri hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu
koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai.
Setelah masa inkubasi jumlah koloni yang tumbuh dihitung dari hasil perhitungan
tersebut merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah dalam suspensi tersebut
(Nizar, 2011).
39
Parameter mikrobiologi udara yang sering digunakan adalah angka kuman
udara. Angka kuman udara bersifat total, meliputi semua kuman yang ada di
udara. Pemahaman kuman diidentikkan dengan mikroorrganisme yang ada di
udara. Secara umum, angka kuman udara adalah jumlah mikroorganisme patogen
atau nonpatogen yang melayang-layang di udara baik bersama/menempel pada
droplet (air), atau partikel (debu) yang bersali dibiakkan dengan media agar
membentuk koloni yang dapat diamati secara visual atau dengan kacamata
pembesar, kemudian dihitung berdasarkan koloni tersebut untuk dikonversi dalam
satuan koloni forming unit per meter kubik (CFU/m³) (Tri Cahyono, 2017).
Angka kuman di udara merupakan jumlah dari sampel angka kuman udara
dari suatu ruangan atau tempat tertentu yang diperiksa, sehingga hitung angka
kuman bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri pada sampel. Prinsip dari
pemeriksaan ini menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada Plate Count Agar.
2.5.4 Jenis-Jenis Mikroorganisme di Udara
Jasad-jasad renik kontaminan, antara lain:
1. Bakteri : Bacillus, Staphylococcus, Streptococcus.
Pseudomonas, Sarcina, dan lain sebagainya.
2. Virus : Virus Influenza H5N1, Coronavirus, dan lain-lain.
3. Kapang/jamur : Aspergillus, Mucor, Rhizopus, Penicillium,
Trichoderma, dan lain-lain.
4. Khamir/Ragi : Candida, Saccharomyces, Paecylomyces, dan lain-
lain.
40
2.6 Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Angka Kuman di Udara
Mikroorganisme akan keluar dari hostnya (manusia atau hewan ataupun
tanaman), karena faktor batuk, bersin, cairan tubuh yang mengering ataupun
karena spora (jamur). Penyebaran mikroorganisme di udara dapat menempel pada
dua media, yaitu partikulat padat (debu) dan air, dimana hal tersebut dapat terjadi
indoor maupun outdoor. Daerah-daerah yang berpotensi risiko tinggi kuman di
udara diantaranya rumah sakit, laboratorium medis, terminal, stasiun, bandara,
pelabuhan, dan lain sebagainya. Secara spesifik, kondisi yang menyebabkan
kuman di udara jumlahnya banyak antara lain:
2.6.1 Suhu
Setiap mikroorganisme memiliki suhu yang optimum yang berbeda untuk
dapat tumbuh dan berkembang. Suhu optimum membuat mikroorganisme
merasa nyaman menjalani kehidupannya (Tri Cahyono, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Didik (2016),
menyatakan bahwa p value sebesar 0,002 < 0,05 artinya suhu berpengaruh nyata
terhadap angka kuman udara. Hasil temuan ini sesuai dengan hipotesis penelitian
bahwa kualitas mikrobiologis yang tinggi disebabkan mikroorganisme pada
ruang perawatan dapat berkembang biak dengan baik pada kisaran suhu
optimum untuk pertumbuhan mikroba yaitu 25°C-37°C (Didik, 2016).
2.6.2 Kelembaban
Salah satu persyaratan keadaan udara dalam ruangan adalah kondisi
kelembaban. Untuk menjaga kelembaban maka diperlukan udara segar untuk
menggantikan udara ruangan yang telah terpakai. Indikator kelembaban udara
41
dalam ruang sangat erat dengan kondisi ventilasi dan pencahayaan ruang.
Kelembaban dalam ruang akan mempermudah berkembang biaknya
mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk kedalam tubuh melalui udara, selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi
kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Lisa,
2014).
Menurut penelittian yang dilakukan oleh Didik (2016) menyatakan bahwa
p value sebesar 0,005 atau p value < 0,05 dengan demikian Ada hubungan antara
kelembaban dengan angka kuman udara di ruang rawat inap kelas tiga melati
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Kelembaban dalam ruang juga dapat
disebabkan kurangnya cahaya yang masuk secara langsung kedalam ruangan,
sehingga area ruangan yang tersinari oleh matahari terbatas dan tidak cukup
untuk mengurangi kelembaban. Tingginya kelembaban suatu ruangan
diakibatkan rendahnya suhu suatu ruangan tersebut.
Dalam penelitiian lain yang dilakukan oleh Rizal (2016) menyatakan
bahwa dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,040 yang artinya ada
hubungan antara kelembaban udara ruangan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Gedung Siti Hajar Rumah Sakit Islam Sultan Hadlirin Jepara.
Kelembaban udara yang relatif tinggi dapat meningktakan pertumbuhan
mikroorganisme.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nayla (2016) menyatakan bahwa dari
hasil uji koefisien pearson korelasi diperoleh nilai koefisien korelasinya (r) =
42
0,28 yang artinya bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan jumlah koloni
bakteri udara dalam ruang kelas. Hubungan antara dua variabel tersebut
menunjukkan nilai positif, ini berarti bahwa semakin tinggi kelembaban udara
dalam ruang menyebabkan semakin tinggi pula jumlah koloni bakteri udara
dalam ruang.
2.6.3 Pencahayaan
Menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, pencahayaan di
dalam ruang bangunan rumah sakit adalah intensitas penyinaran pada suatu
bidang kerja yang ada di dalam ruang bangunan rumah sakit yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.
2.6.3.1 Sumber Pencahayaan
Berdasarkan sumbernya penerangan dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Pecahayaan Alami
Pencahayaan alami adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh
sumber cahaya alami yaitu matahari dengan cahayanya yang kuat tetapi
bervariasi menurut jam, musim dan tempat. Pencahayaan yang
bersumber dari matahari dirasa kurang efektif disbanding pencahayaan
buatan, hal ini disebabkan karena matahari tidak dapat memberikan
intensitas cahaya yang tetap.
Pada penggunaan pencahayaan alami diperlukan jendela-jendela
yang besar, dinding kaca dan dinding yang banyak dilobangi, sehingga
pembiayaan bangunan menjadi mahal. Keuntungan dari penggunaan
sumber cahaya matahari adalah pengurangan terhadap energi listrik.
43
2. Pencahayaan Buatan
Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh
sumber cahaya selain cahaya alami. Apabila pencahayaan alami tidak
memadai atau posisi ruangan sukar untuk dicapai oleh pencahayaan
alami dapat dipergunakan pencahayaan buatan. Pencahayaan buatan
sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Mempunyai intensitas yang cukup sesuai dengan jenis pekerjaan.
2) Tidak menimbulkan pertambahan suhu udara yang berlebihan pada
tempat kerja.
3) Memberikan pencahayaan dengan intensitas yang tetap menyebar
secara merata, tidak berkedip, tidak menyilaukan dan tidak
menimbulkan baying-bayang yang dapat mengganggu pekerjaan.
Tujuan pencahayaan di industri adalah tersedianya lingkungan
kerja yang aman dan nyaman dalam melaksankan pekerjaan. Untuk
upaya tersebut maka pencahayaan buatan perlu dikelola dengan baik
dan dipadukan dengan faktor-faktor penunjang pencahayaan
diantaranya atap, kaca, jendela dan dinding agar tingkat pencahayaan
yang dibutuhkan tercapai (Padmanaba, 2006).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Didik (2016) menyatakan
bahwa p value sebesar 0,001 atau p value < 0,05 dengan demikian ada
hubungan antara pencahayaan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap kelas tiga melati RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pencahayaan yang kurang merupakan kondisi yang di sukai bakteri
44
karena dapat tumbuh dengan baik pada kondisi gelap. pencahayaan
alami dari sinar matahari di samping menyebarkan sinar panas ke bumi,
juga memencarkan sinar ultra violet yang mematikan mikroba.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Nayla (2016)
menyatakan bahwa dari hasil uji koefisien pearson korelasi diperoleh
nilai koefisien korelasinya (r) = -0,39 yang artinya bahwa ada hubungan
antara pencahayaan dengan jumlah koloni bakteri udara dalam ruang
kelas. Hubungan antara dua variabel tersebut menunjukkan nilai
negatif, yang berarti bahwa semakin tinggi nilai pencahayaan dalam
ruang menyebabkan menurunnya jumlah koloni bakteri udara dalam
ruang.
2.6.4 Pemeliharaan Ruang Bangunan
1. Kegiatan pembersihan ruang minimal dilakukan pagi dan sore hari.
2. Pembersihan lantai di ruang perawatan pasien dilakukan setelah
pembenahan/merapikan tempat tidur pasien, jam makan, jam kunjungan
dokter, kunjungan keluarga, dan sewaktu-waktu bilamana diiperlukan.
3. Cara-cara pembersihan yang dapat menebarkan debu harus dihindari.
4. Harus menggunakan cara pembersihan dengan perlengkapan pembersih
(pel) yang memenuhi syarat dan bahan antisptik yang tepat.
5. Pada masing-masing ruang supaya disediakan perlengkapan pel tersendiri.
6. Pembersihan dinding dilakukan secara berkala setahum dan dicat ulang
apabila sudah kotor atau cat sudah pudar.
45
7. Setiap percikan ludah, darah atau eksudat luka pada dinding harus segera
dibersihkan dengan menggunakan antiseptik.
Unit sanitasi Rumah Sakit Paru Dungus Madiun melakukan proses
sterilisasi ruangan setelah pasien yang ada di ruang rawat inap tersebut di ijinkan
pulang. Sterilisasi adalah suatu upaya untuk menghilangkan mikroorganisme
dengan cara fisik atau kimiawi. Desinfeksi adalah suatu proses menurunkan
jumlah mikroorganisme penyebab penyakit atau yang berpotensi patogen dengan
cara fisika atau kimia. Proses ini biasanya tidak mengahancurkan spora.
Ada dua jenis pengendalian mikroba, yaitu metode fisika meliputi
pemanasan, filtrasi, pendinginan, desikasi, tekanan osmotic dan radiasi serta
agensi kimia meliputi sejumlah substansi yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroba pada obyek biotik atau abiotic. Laju kematian
mikroba adalah fungsi jumlah sel yang bertahan pada suatu waktu. Dalam dunia
kesehatan, sterilisasi sangatlah penting dilakukan untuk memberikan efek
terapeutik yang maksimal. Steril artinya bebas dari segala mikroba baik patogen
maupun tidak. Sterilisasi merupakan suatu proses membebaskan suatu peralatan
atau bahan dari mikroorganisme yang tidak dikehendaki. Sterilisasi dalam
mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup,
dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma,
virus) yang tedapat pada atau di dalam suatu benda. Proses ini melibatkan aplikasi
biocidal agent atau proses fisik dengan tujuan untuk membunuh atau
menghilangkan mikroorganisme (Sylvia, 2008).
46
Istilah lain yang umum dikenal adalah disinfeksi, yang merupakan proses
pembunuhan atau penghilangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan
penyakit. Agen disinfeksi adalah disinfektan, yang biasanya merupakan zat
kimiawi dan digunakan untuk objek-objek tak hidup. (Sylvia, 2008).
Kriteria disinfektan ideal (Hartati, 2012):
1. Mampu membunuh dan atau menghambat mikrob dalam kadar rendah.
2. Non toxic, non corrosive dan aman.
3. Stabil untuk jangka waktu yang lama.
4. Berspektrum luas.
5. Bereaksi cepat.
Pada umumnya bakteri yang muda itu kurang daya tahannya terhadap
desinfektan daripada bakteri yang tua. Pekat encernya konsentrasi, lamanya
berada dibawah pengaruh desinfektan, merupakan faktor-faktor yang masuk
pertimbangan pula. Kenaikan temperatur menambah daya desinfektan
(Dwidjoseputro, 2010).
Dalam menggunakan desinfektan haruslah diperhatikan hal-hal tersebut
dibawah ini. Apakah suatu desinfektan tidak meracuni suatu jaringan, apakah ia
tidak menyebabkan rasa sakit, apakah ia tidak memakan logam, apakah ia dapat
diminum, apakah ia stabil, bagaimanakah baunya, bagaimanakah warnanya,
apakah ia mudah dihilangkan dari pakaian apabila desinfektan itu sampai kena
pakaian, dan apakah ia murah harganya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan
orang sulit untuk menilai suatu desinfektan (Dwidjoseputro, 2010).
47
Pihak unit sanitasi Rumah Sakit Paru Dungus Madiun menggunkan mesin
sterilisasi fogging Aerosoft dengan cairan atau desinfektan Anios djp sf. Indikasi
penggunaan cairan ini adalah airborne infection dan desinfeksi pada permukaan
alat-alat medis yang sudah dibersihkan/desinfeksi terlebih dahulu.
Sterilisasi dengan cara fogging ini lebih efektif karena kemampuan
jangkauan uap cairan yang dihembuskan dengan kekuatan mesin ini lebih luas
wilayah permukaan ruangan dibandingkan dengan sterilisasi dengan cara yang
lain. Sterilisasi dengan cairan Anios ini lebih efisien karena hanya membutuhkan
waktu 1-2 jam saja setelah disterilkan, ruangan/bangsal yang disterilkan dapat
dimanfaatkan kembali. Sterilisasi fogging dengan cairan Anios juga dapat
mengurangi risiko negatif kontak bahan kimia dengan operator sehingga lebih
aman digunakan.
2.6.5 Sanitasi Ruang
Sanitasi ruang bangunan dan peralatan non medis dimaksudkan untuk
menciptakan sanitasi ruang bangunan dan peralatan non medis yang nyaman,
bersih, dan sehat di lingkungan rumah sakit agar tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap pasien, pengunjung dan karyawan. Persyaratan bangunan rumah
sakit menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 sebagai berikut:
1. Lantai
a. Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak
licin, warna terang dan mudah dibersihkan.
b. Lantai yang selalu kontak dengan air harus mempunyai kemiringan yang
cukup kea rah saluran pembuangan air limbah.
48
c. Pertemuan lantai dengan dinding harus berbentuk konsus/lengkung agar
mudah dibersihkan.
2. Dinding
Permukaan dinding harus kuat, rata, berwarna terang, dan menggunakan cat
yang tidak luntur, serta tidak menggunakan cat yang mengandung logam berat.
3. Ventilasi
a. Ventilasi alamiah harus dapat menjamin aliran udara di dalam kamar/ruang
dengan baik.
b. Luas ventilasi alamiah minimum 15% dari luas lantai.
c. Bila ventilasi alamiah tidak dapat menjamin adanya pergantian udara
dengan baik, kamar atay ruang harus dilengkapi dengan penghawaan
buatan/mekanis.
d. Penggunaan ventilasi buatan/mekanis harus disesuaikan dengan peruntukan
ruangan.
4. Atap
a. Atap harus kuat, tidak bocor, dan tidak menjadi tempat perindukan
serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya.
b. Atap yang lebih tinggi dari 10 meter harus dilengkapi dengan penangkal
petir.
5. Langit-langit
a. Langit-langit harus kuat, berwarna terang, dan mudah dibersihkan.
b. Langit-langit tingginya minimal 2,70 meter dari lantai.
c. Kerangka langit-langit harus kuat dan bila terbuat dari kayu harus antirayap.
49
6. Kontruksi
Balkon, beranda, dan talang harus sedemikian sehingga tidak terjadi genangan
air yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti.
7. Pintu
Pintu harus kuat, cukup tinggi, cukup lebar, dan dapat mencegah masuknya
serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya.
50
2.7 Kerangka Teori
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Teori Trias Epidemiologi
Sumber: Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Tri Cahyono 2016, Darmadi
2008.
Host
Agent
Environ
ment
Penunggu
Pencahayaan
Pengunjung
Kelembaban
Karyawan/Petugas
Suhu
Pasien
Kuman
Sanitasi Ruangan
Pemeliharaan
Ruangan
Penanganan alat-alat
Penanganan makanan
dan minuman
Angka
Kuman
Udara
Infeksi
Nosokomial
51
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti. Konsep
adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu
pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diamati dan dapat diukur, maka
konsep tersebut harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel. Dari variabel itulah
konsep dapat diamati dan diukur. Jadi, dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau
kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (diukur)
melalui penelitian yang dimaksud (Notoadmodjo, 2012).
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Pemeliharaan Ruangan
Sanitasi Ruang
Angka Kuman Udara
52
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Berhubungan
3.2 Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian
sebagai berikut:
Hipotesis Ha:
1. Ada hubungan antara suhu dengan angka kuman udara di ruang rawat inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
2. Ada hubungan antara kelembaban dengan angka kuman udara di ruang rawat
inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
3. Ada hubungan antara pencahayaan dengan angka kuman udara di ruang rawat
inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
4. Ada hubungan antara pemeliharaan ruangan dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
5. Ada hubungan antara sanitasi ruangan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
53
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian merupakan suatu strategi dalam mengidentifikasi
permasalahan perencanaan akhir pengumpulan data, digunakan untuk
mengidentifikasi struktur dimana penelitian dilaksanakan (Nursalam, 2008).
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei
analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu, peneliti hanya melakukan
observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja (Ari dan Saryono,
2010).
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan
menentukan keakuratan hasil penelitian (Saryono, 2011). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
yang berjumlah 29 ruang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi
(Saryono, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah semua ruang rawat inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun yang berjumlah 22 ruang.
54
1. Kriteria Inklusi
Kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang
dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini kriteria
inklusinya adalah:
a. Ruang rawat inap non-AC yang digunakan maupun tidak digunakan.
4.3 Teknik Sampling
Sampling adalah salah satu bagian dari proses penelitian yang
mengumpulkan data dari target penelitian yang terbatas (Nursalam, 2008).
Menurut Notoatmodjo (2012), teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik
tertentu dalam mengambil sampel penelitian sehingga sampel tersebut sedapat
mungkin mewakili populasinya. Teknik sampling sampel diambil dengan
menggunakan teknik total sampling. Total sampling yaitu semua anggota populasi
dijadikan sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Karena jumlah populasi
yang kurang dari 100, maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian
semuanya. Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah 29 ruang rawat inap.
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja atau operasional adalah kegiatan penelitian yang akan
dilakukan untuk mengumpulkan data yang akan diteliti untuk mencapai tujuan
penelitian (Nursalam, 2013). Adapun kerangka kerja dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
55
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Populasi
Seluruh ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun yang berjumlah
29 ruang
Sampel
Seluruh ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun yang berjumlah
22 ruang
Teknik Sampling
Total Sampling
Analisa Data:
Korelasi Pearson (data berdistribusi normal)
Instrument Penelitian
- Uji Validitas
- Uji Reliabilitas
Pengolahan Data
editing, entry, cleaning, tabulating
Pengumpulan Data
Data Primer dengan wawancara, observasi, pengukuran dan pemeriksaan
mikrobiologi di laboratorium
Data Sekunder diperoleh dari bagian administrasi kepegawaian Rumah Sakit
Paru Dungus Madiun serta data-data yang mendukung pelaksanaan penelitian
Hasil Penelitian
Kesimpulan
56
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2013:38). Variabel ini dibedakan menjadi dua yaitu variabel independent (variabel
bebas) dan variabel dependent (variabel terikat).
1. Variabel Independent/Variabel Bebas
Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (Sugiyono, 2013:39). Variabel independen dalam penelitian ini adalah
suhu, kelembaban, pencahayaan, pemeliharaan ruangan, dan sanitasi ruangan.
2. Variabel Dependen/Variabel Terikat
Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013:39).
Dalam penelitian ini variabel dependen adalah angka kuman udara.
4.5.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang di definisikan tersebut (Nursalam, 2016:181). Adapun definisi
operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
57
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi
Operasional
Parameter Alat Ukur Skala Satuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Suhu Derajat panas dan
dinginnya udara
dalam
ruangan yang
dinyatakan dalam
°C
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.
1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Thermohygro Interval
°C
2. Pencahayaan Intensitas cahaya
yang ada di ruang
rawat inap yang
dinyatakan dalam
satuan lux
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.
1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Luxmeter Rasio
Lux
3. Kelembaban Kandungan uap air
yang terdapat di
udara pada ruang
rawat inap
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.
1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Thermohygro Rasio
%
58
No. Variabel
Definisi
Operasional Parameter Alat Ukur Skala Satuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
4. Pemeliharaan
ruangan
Pemeliharaan
ruangan dengan
cara pengepelan
menggunakan
desinfektan setiap
pagi dan sore
untuk dapat
membunuh atau
menghambat
mikroba yang
berada pada lantai,
dinding dan udara
di ruang rawat
inap
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.
1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Kuesioner Rasio Dengan penilaian:
Jumlah jawaban “Ya”
× 100%
Jumlah item pertanyaan
= …… %
5. Sanitasi
Ruang
Kondisi kontruksi
bangunan ruang
rawat inap yang
dapat
mempengaruhi
kualitas udara
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.
1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Observasi
dengan lembar
checklist
Rasio
Dengan penilaian:
Jumlah jawaban “Ya”
× 100%
Jumlah item pertanyaan
= …… %
Lanjutan tabel 4.1 Definisi Operasional
59
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan
data, instrumen penelitian tersebut dapat berupa kuesioner (daftar pertanyaan),
formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini pengumpulan data
menggunakan sumber data primer, pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui
angka kuman udara di ruang rawat inap. Lembar observasi untuk mendapatkan
data sanitasi ruang dan lembar wawancara untuk mendapatkan informasi
pemeliharaan ruang perawatan. Pengukuran suhu dan kelembaban dengan
menggunakan Thermohygro, pengukuran pencahayaan ruang dengan
menggunakan Lux Meter.
4.6.1 Uji Validitas
Pada pengamatan dan pengukuran observasi, harus diperhatikan beberapa
hal yang secara prinsip sangat penting yaitu uji validitas, realibilitas dan ketepatan
fakta dan kenyataan hidup (data) yang dikumpulkan dari alat dan cara
pengumpulan data maupun kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada
pengamatan atau pengukuran oleh pengumpul data (Nursalam, 2013). Validitas
adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa
yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah alat-alat laboratorium yang telah di kalibrasi oleh yang ahli dibidangnya
atau analis laboratorium sebelum digunakan. Untuk mengukur validitas soal
pertanyaan menggunakan rumus korelasi product moment pearson. Hasil r hitung
dibandingkan r tabel dimana df (degree of freedom) = n-2, jadi df = 22-2 = 20,
60
maka r tabel = 0,360 dengan sig 5%. Pernyataan dikatakan valid apabila r hitung >
r tabel, dengan melihat Corrected Item Total Correlation (Sujarweni, 2015).
Hasil pengolahan data untuk uji validitas variabel pemeliharaan ruang dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2 Rangkuman hasil uji validitas variabel pemeliharaan ruang
No. Butir R hitung Keterangan Interpretasi
1 0,710 ≥0,360 Valid
2 0,130 <0,360 Tidak Valid
3 0,606 ≥0,360 Valid
4 0,642 ≥0,360 Valid
5 0,464 ≥0,360 Valid
6 0,449 ≥0,360 Valid
7 0,407 ≥0,360 Valid
8 0,756 ≥0,360 Valid
9 -0,050 <0,360 Tidak Valid
10 -0,552 ≥0,360 Valid
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS, 2018
Dengan menggunakan tingkat signifikan (α) 5% dari 10 butir pertanyaan
atau item kuesioner dalam penelitian ini, hasil pengujian validitas menunjukkan
bahwa pada item soal nomor 1,3,4,5,6,7,8 dan 10 menujukkan bahwa r hitung > r
tabel. Maka variabel pemeliharaan ruang pada item kuesioner nomor tersebut
dinyatakan valid untuk digunakan sebagai instrument pengukuran dalam
penelitian ini. Untuk item kuesioner yang dinyatakan tidak valid akan dikeluarkan
dari item pertanyaan tersebut, sehingga total keseluruhan item kuesioner menjadi
8 butir pertanyaan.
4.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas atau tingkat ketepatan atau consistency atau keajegan adalah
tingkat kemampuan suatu alat atau instrument penelitian dalam mengumpulkan
61
data atau informasi secara tetap atau konsisten (Soewadji, 2012). Suatu alat ukur
atau instrumen disebut reliabel apabila alat ukur tersebut digunakan oleh peneliti
yang sama atau berbeda secara berulang-ulang tetapi hasilnya tetap sama.
Untuk mengukur apakah pertanyaan kuesioner reliabel atau tidak, dapat
dilihat pada nilai cronbach alpha, jika nilai Alpha > 0,60 maka kontruk
pernyataan yang merupakan dimensi variabel adalah reliabel. Jika Cronbach
Alpha diatas 0,60 maka reliabel (Sujarweni, 2015). Hasil pengujian reliabilitas
pemeliharaan ruang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Rangkuman hasil uji reliabilitas variabel pemeliharaan ruang
No. Variabel Alpha hitung Alpha Cronbach Interpretasi
1. Pemeliharan Ruang 0,647 0,6 Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS, 2018
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pengujian reliabilitas
terhadap variabel pemeliharaan ruang menunjukkan bahwa item pertanyaan
pemeliharaan ruang dinyatakan reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini,
dikarenakan nilai α sebesar 0,647 > 0,6.
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun, Kecamatan
Wungu Kabupaten Madiun.
62
4.7.2 Waktu Penelitian
Tabel 4.2 Realisasi Kegiatan
No Kegiatan Tanggal Pelaksanaan
1. Pengajuan Judul 24 Februari 2018
2. Judul diterima 09 Maret 2018
3. Survei Pendahuluan 10 Maret 2018
4. Bimbingan Bab 1, 2, 3 dan 4 12 Maret – 11 Mei 2018
5. Ujian Proposal 19 Mei 2018
6. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas 31 Mei 2018
7. Penelitian 2-6 Juli 2018
8. Bimbingan Bab 5 dan 6 20 Juli – 01 Agustus 2018
9. Ujian Hasil 11 Agustus 2018
63
4.8 Prosedur Pengumpulan Data
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan secara langsung kepada objek penelitian untuk mencari
perubahan dan hal-hal yang diteliti. Pengumpulan data dengan cara
observasi ini digunakan apabila objek penelitian adalah benda atau
proses kerja. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui sanitasi ruang.
2. Wawancara
Adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data,
dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari
responden, berhadapan atau tatap muka dengan orang tersebut (face to
face). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui pemeliharaan ruang perawatan.
3. Pengukuran
Melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran suhu, kelembaban
udara, pencahayaan ruangan di ruang rawat inap.
1) Prosedur Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara
a. Alat : Thermo-hygrometer model TH108
b. Objek : Pada ruang rawat inap 1 titik yaitu pada
bagian tengah (terlampir pada lampiran 5)
c. Pukul : 09.00-11.00 WIB
64
d. Prosedur Kerja :
1. Siapkan alat Thermohygrometer
2. Letakkan alat di titik yang telah ditentukan
3. Tunggu 3-5 menit untuk menegatahui suhu dan
kelembaban
4. Untuk mengetahui suhu udara lihat pada jarum yang
menunjukkan simbol °C sedangkan untuk kelembaban
symbol RH%
5. Kemudian catat hasilnya dari alat Thermohygrometer
tersebut
2) Prosedur Pengukuran Pencahayaan
a. Alat : Lux Meter Extech 407026
b. Objek : Pada ruang rawat inap 1 titik yaitu pada
bagian tengah. (terlampir pada lampiran 6)
c. Pukul : 09.00 – 11.00 WIB
d. Prosedur Kerja :
1. Siapkan alat Lux Meter
2. Atur jarak pengukuran dengan alat ± 1 meter
3. Hidupkan alat lux meter dengan menekan tombol ON
4. Angka akan menunjukkan 000 (sebelum sensor cahaya
dibuka) bukan sensor cahaya
5. Perhatikan angka yang muncul pada layer lux meter
65
6. Angka yang berhenti paling lama menunjukkan
besarnya intensitas cahaya yang diukur
7. Kemudian catat angka yang muncul tersebut
8. Setelah selesai tekan tombol OFF
4. Pemeriksaan Laboratorium
Melakukan analisis jumlah kuman udara ruang rawat inap Rumah Sakit
Paru Dungus Madiun di laboratorium AKL Magetan.
1) Prosedur Pengukuran Jumlah Angka Kuman Udara Ruangan
a. Alat : Cawan Petri dan Colony Counter
b. Objek : Pada ruang rawat inap (1 ruang terdapat 5
titik pengambilan sampel). (terlampir pada lampiran 7)
c. Bahan :
1. Media Nutrient Agar (NA)
2. Colony Counter
3. Incubator
d. Prosedur Kerja :
1. Tahap Pengambilan Sampel
1) Bersihkan ruangan dan dalam keadaan seperti biasanya
2) Siapkan Cawan Petri yang sudah dilengkapi dengan
Media Nutrient Agar (NA)
3) Letakkan cawan petri yang ada pada titik pengambilan
sampel yang telah ditentukan. (Terlampir pada lampiran)
4) Buka sedikit tutup petridish.
66
5) Kemudian tunggu selama ± 1-2 jam agar udara dalam
ruangan menyatu dengan Media NA tersebut.
6) Lalu tutup kembali petridish.
7) Masukkan pada termos es untuk dikirim ke laboratorium
dan siap untuk diperiksa.
2. Tahap Pemeriksaan
1) Keluarkan cawan petri dari termos es lalu dibungkus
dengan kertas coklat dan kemudian di inkubasi.
2) Di inkubasi selama 1-2 x 24 jam dengan suhu 37°C pada
lab analisis.
3) Hitung pertumbuhan bakteri dalam media plate pada
colony counter.
4) Catat hasil perhitungan pada lembar rekaman pengecekan.
4.8.2 Jenis Data
1. Data Primer
Data yang diperoleh meliputi data dari hasil pengukuran (suhu, kelembaban,
pencahayaan dan angka kuman udara), observasi di ruang rawat inap Rumah
Sakit Paru Dungus Madiun.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh mengenai gambaran umum Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun yang meliputi kapasitas tempat tidur, kepadatan pasien, serta
fasilitas pelayanan.
67
4.9 Teknik Analisis Data
4.9.1 Teknik Pengumpulan Data
Setelah melakukan pengumpulan data, maka data yang diperoleh dalam
penelitian kemudian diolah dan dianalisis menggunakan SPSS for windows.
Teknik pengolahan data yang dilakukan pada penelitian yaitu meliputi:
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa atau pengecekan kembali data
maupun kuesioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat
dilakukan pada tahap pengumpulan data, pengisian kuesioner, dan setelah
data terkumpul (Notoatmodjo, 2012).
2. Entry
Mengisi masing-masing jawaban dari responden dalam bentuk angka atau
huruf dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer
(Notoatmodjo, 2012).
3. Cleaning
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah di
entry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat
meng-entry data pada komputer.
4. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data ke dalam suatu tabel tertentu
menurut sifat-sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan penelitian.
68
4.9.2 Analisis Data
1. Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan presentase dari setiap variabel (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini analisis univariat dilakukan untuk mengetahui nilai
Mean, Standart Deviasi, minimum dan maksimum dari variabel bebas (suhu,
pencahayaan, kelembaban, sanitasi ruang, dan pemeliharaan ruang rawat inap)
serta variabel terikat (angka kuman udara).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan yang signifikan dari kedua variabel,
yaitu variabel bebas (suhu, pencahayaan, kelembaban, sanitasi ruang, dan
pemeliharaan ruang rawat inap) dan variabel terikat (angka kuman udara). Uji
statistik menggunakan SPSS versi 16 for Windows dengan tingkat kemaknaan
α = 0,05. Untuk mengetahui apakah data mempunyai distribusi normal atau
tidak secara analitis, pada penelitian ini menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk
karena jumlah sampel <50 (Sopiyudin, 2017).
Dari hasil uji statistik menggunakan Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa
data berdistribusi normal, sehingga dalam penelitian ini menggunakan uji
Pearson Product Moment.
Dengan pengambilan keputusan dengan tingkat signifikan sebagai berikut:
69
1) Jika nilai Sig. > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan (korelasi) antara variabel
independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).
2) Jika nilai Sig, ≤ 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan (korelasi) antara variabel
independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).
Menurut Notoatmodjo (2011) pedoman untuk memberikan interpretasi
koefisien korelasi sebagai berikut:
Tabel 4.3 Interpretasi Koefisien Korelasi
No. Interval korelasi Tingkat hubungan
1. 0,00 – 0,20 Sangat rendah
2. 0,20 – 0,40 Rendah
3. 0,40 – 0,60 Cukup
4. 0,60 – 0,80 Tinggi
5. 0,80 – 1,00 Sangat tinggi
Sumber: Notoatmodjo, 2011
Nilai koefisien korelasi ada dalam rentang -1 sampai dengan +1. Jika nilai
koefisen korelasi semakin dekat dengan ±1 maka hubungan antar variabel akan
semakin kuat. Jika nilai koefisen korelasi mendekati nilai nol atau sama dengan
nol (0) maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antar variabel kecil atatu
tidak ada hubungannya. Tanda positif menunjukkan korelasi positif atar
variabel dan sebaliknya.
70
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Sejarah Rumah Sakit
RS. Paru Dungus Madiun didirikan pada tanggal 5 Juli 1939 oleh
Pemerintah kolonial Belanda melalui direktur Van Economic Zaken. Konsep
awal berdirinya RS. Paru Dungus Madiun adalah “Sanatorium” (tempat
peristirahatan/pengisolasian bagi penderita penyakit paru), dengan nama
“Sanatorium Rakyat”.
1. Ditetapkan menjadi Rumah Sakit Paru berdasarkan Perda Nomor 37 Tahun
2000 serta Pergub. Nomor 26 tahun 2002.
2. Pada tahun 2009 ditetapkan sebagai PPK-BLUD Unit Kerja dengan status
bertahap.
3. Pada tahun 2011 ditetapkan sebagai RS terakreditasi 5 pelayanan dasar.
4. Pada tahun 2012 ditetapkan sebagai PPK-BLUD Unit Kerja dengan status
penuh.
5.1.2 Geografis
RS Paru Dungus terletak di Dungus, Kelurahan Wungu, Kecamatan
Wungu, Kabupaten Madiun (13 km di sebelah Timur dari Pusat Kota
Madiun) yaitu pada jalan antara Kecamatan Wungu dan Kecamatan Kare,
terletak pada ketinggian 80m diatas permukaan air laut yang dikelilingi
71
lingkungan hijau pegunungan tepatnya pada kaki Gunung Wilis sisi barat. Luas
lahan total + 9 Ha dengan menyisakan lahan kosong masih + 5 Ha. RS Paru
Dungus berdekatan dengan pemukiman penduduk dan menjadi lokasi
persimpangan akses penduduk dari kecamatan Kare, kecamatan Wungu, dan
kecamatan Dagangan. Jangkauan wilayah geografis pelayanan Rumah Sakit
Paru Dungus meliputi Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten
Pacitan. Secara administrasi alamat Rumah Sakit Paru Dungus Sebagai berikut:
1. Alamat : Desa Wungu, Kec. Wungu, Kab. Madiun
2. No Telp. : 0351 456735
3. No Faks . : 0351 459746
4. Email : rsparudungus@yahoo.co.id
5.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi Rumah Sakit Paru Dungus
Rumah Sakit Paru Dungus (RSPD) mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dinas kesehatan di bidang promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
penyakit paru, serta melaksanakan Usaha Kesehatan Masyarakat strata II di
Wilayah kerjanya. Fungsi Rumah sakit Madiun yaitu:
1. Penyusunan rencana dan program Rumah Sakit Paru
2. Pengawasan dan pengendalian operasional Rumah Sakit Paru
3. Pelayanan medis penyakit paru
4. Penyelenggaraan pelayanan penunjang medis dan non medis
5. Pelaksanaan pelayanan kesehatan umum masyarakat
6. Penyelenggaraan pelayanan dan asuhan keperawatan
72
7. Penyelenggaraan pelayanan rujukan pasien, specimen, IPTEK, dan
program
8. Penyelenggaraan koordinasi dan kemitraan kegiatan Rumah Sakit
Paru
9. Penyelenggaraan penelitian, pengembangan dan diklat
10. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi program
11. Pelaksanaan ketatausahaan
12. Pelaksanaan pembinaan wilayah dibidang teknis medis medis
tuberculosis paru
13. Melakukan pelayanan kesehatan paru masyarakat yang meliputi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative baik UKP maupun
UKM didalam gedung maupun luar gedung diwilayah kerjanya dan
14. Pelaksanaan tugas- tugas lain yang diberikan kepada dinas
5.1.4 Program dan Kegiatan Rumah Sakit Paru Dungus
1. Program pelayanan dministrasi perkantoran
2. Pelaksanaan administrasi perkantoran
3. Program penigkatan sarana dan prasarana aparatur
a. Penyediaan peralatan dan kelengkapan sarana dan prasarana
b. Pemeliharaan peralatan dan kelengkapan sarana dan prasarana
4. Program peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah
a. Koordinasi dan konsultasi kelembagaan pemerintah daerah
b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur
73
5. Program penyusunan, pengendalian, dan evaluasi dokumen
penyelenggaraan pemerintah
a. Penyusunan dokumen perencanaan
b. Penyusunan laporan hasil pelaksanaan rencana program dan
anggaran
c. Penyusunan, pengembangan, pemeliharaan, dan pelaksanaan
ssistem informasi data
6. Program usaha kesehatan masyarakat
Peningkatan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan
7. Laporan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan badan layanan
umum daerah (BLUD)
a. Pengadaan kendaraan dinas rumah sakit
b. Pengadaan perlengkapan rumah sakit (dapur, ruang pasien, laundry,
ruang tunggu, dll)
c. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan
fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap
rokok (DHCT)
74
5.1.5 Fasilitas-fasilitas Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Sarana dan prasarana merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki sebuah
instansi kesehatan seperti Rumah Sakit agar dalam kegiatan pelayanan kesehatan
dapat berjalan dengan baik dan efisien. Beberapa fasilitas di Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun, antara lain:
1. Ruang Administrasi
2. Ruang Rawat Darurat
3. Rawat Jalan
• Poli Umum
• Poli Spesialis Paru
• Poli Spesialis Dalam
• Poli Gigi
• Poli Dots
• Poli Konsultasi Gizi
4. Ruang Rawat Inap
• Ruang Mawar
• Ruang Anggrek
• Ruang Melati
• Ruang Tulip
5. Radiologi
6. Laboratorium
7. Ruang Tindakan
8. Farmasi
75
9. Rehabilitasi Medik
10. Loundry
11. Dapur
12. Pengolahan Sampah Padat
13. IPAL
14. Ruang Perpustakaan
15. Ruang Pertemuan
16. Ambulance 2 buah
17. Mobil Jenazah 1 buah
18. Incenerator
Sarana penunjang pelayanan kesehatan yang memadai untuk Rumah
Sakit Paru Kelas B masih dalam pengembangan.
5.2 Hasil Penelitian
5.2.1 Analisis Univariat
Hasil analisis univariat dilakukan untuk mengetahui nilai Mean, Standart
deviasi, minimum dan maksimum dari masing-masing variabel, baik variabel
independen atau variabel dependen.
76
Tabel 5.1 Karakteristik Objek Variabel yang Diukur di Rumah Sakit Paru
Dungus Madiun Tahun 2018
No. Variabel Mean Standar
Deviasi Min. Maks.
1. Angka Kuman 25,91 CFU/m³ 22,92 3 CFU/m³ 95 CFU/m³
2. Suhu 28,68°C 1,55 26°C 31°C
3. Kelembaban 61,18% 1,50 59% 64%
4. Pencahayaan 101,27 lux 7,84 89 lux 114 lux
5. Sanitasi Ruang 90,77% 2,92 87% 97%
6. Pemeliharaan Ruang 75,91% 7,21 62% 87%
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan hasil bahwa rata-rata angka kuman
udara dalam ruangan adalah 25,91 CFU/m³, dengan jumlah kuman udara terendah
3 CFU/m³ dan jumlah kuman udara tertinggi 95 CFU/m³. Suhu rata-rata adalah
28,68°C dengan nilai minimum 26°C dan nilai maksimum 31°C. Kelembaban
rata-rata adalah 61,18%, dengan nilai minimum 59% dan nilai maksimum 64%.
Untuk pencahayaan rata-ratanya adalah 101,27 lux, dengan nilai minimum 89 lux
dan nilai maksimum 114 lux. Kemudian untuk rata-rata sanitasi ruang adalah
90,77% dengan nilai minimum 87% dan nilai maksimum 97%. Sedangkan untuk
pemeliharaan ruang nilai rata-ratanya adalah 75,91% dengan nilai minimum 62%
dan nilai maksimumnya 87%.
5.2.2 Uji Normalitas Data
Sebelum menentukan uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini,
maka terlebih dahulu melakukan uji normalitas data untuk mengetahui data
tersebut berdistribusi normal atau tidak. Hasil uji normalitas data sebagai berikut:
77
Tabel 5.2 Uji Normalitas Data
Variabel Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Angka Kuman .783 22 .000
Suhu .917 22 .067
Kelembaban .921 22 .079
Pencahayaan .924 22 .091
Sanitasi Ruang .919 22 .073
Pemeliharaan Ruang .919 22 .072
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dalam peneltian ini menggunakan uji statistik
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel <50. Distribusi data pada variabel terikat
yaitu angka kuman udara tidak berdistribusi normal karena nilai p < 0,05.
Distribusi data pada variabel bebas yaitu suhu, kelembaban, pencahayaan, sanitasi
ruang dan pemeliharaan ruang berdistribusi normal karena nilai p > 0,05.
Menurut Sopiyudin (2017) menyebutkan bahwa apabila paling tidak salah
satu variabel berdistribusi normal maka uji statistik dapat menggunakan uji
Korelasi Pearson. Berdasarkan hasil dari normalitas data, uji statistik yang dapat
digunakan oleh peneliti yaitu uji Pearson Pruduct Moment.
5.2.3 Analisis Bivariat Variabel Penelitian
Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Korelasi Pearson
Product Moment. Dimana uji tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan yang
signifikan dari kedua variabel yaitu variabel terikat (angka kuman udara) dengan
variabel bebas (suhu, kelembaban, pencahayaan, sanitasi ruang dan pemeliharaan
ruang) di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
78
1. Analisis Hubungan Suhu dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Tabel 5.3 Hubungan Suhu dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Angka Kuman Udara
Suhu r = 0,375
p = 0,086
n = 22
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.3 hasil uji dengan menggunakan korelasi pearson
menunjukkan bahwa nilai P Value Sig = 0,086 > 0,05 yang berarti tidak ada
hubungan antara suhu dengan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah
Sakit Paru Dungus Madiun, sedangkan untuk nilai koefisien korelasi
menunjukkan nilai korelasi positif dengan kekuatan yang rendah antara suhu
dengan angka kuman udara (r = 0,375). Uji korelasi bertanda positif, berarti
bahwa semakin tinggi suhu udara yang ada dalam ruang rawat inap semakin tinggi
pula angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
2. Analisis Hubungan Kelembaban dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Tabel 5.4 Hubungan Kelembaban dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Angka Kuman Udara
Kelembaban r = 0,790
p = 0,000
n = 22
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.4 hasil uji menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kelembaban dengan angka kuman udara, karena diperoleh nilai p
79
= 0,000 (p < 0,05). Nilai koefisien korelasi menunjukkan nilai korelasi positif
dengan kekuatan yang kuat antara kelembaban dengan angka kuman udara (r =
0,790). Uji korelasi bertanda positif, berarti bahwa semakin tinggi kelembaban
udara ruang yang ada dalam ruang rawat inap semakin tinggi pula angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Maka dapat diambil
kesimpulan secara statistik ada hubungan antara kelembaban dengan angka
kuman udara di ruang rawat inap Rumah sakit Paru Dungus Madiun.
3. Analisis Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Tabel 5.5 Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Angka Kuman Udara
Pencahayaan r = - 0,799
p = 0,000
n = 22
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.5 hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pencahayaan dengan angka kuman udara, karena diperoleh nilai
P Value Sig. 0,000 < 0,05. Sedangkan untuk nilai koefisien korelasi menunjukkan
nilai korelasi negatif dengan kekuatan yang kuat antara pencahayaan dengan
angka kuman udara (r = -0,799). Uji korelasi bertanda negatif, berarti bahwa
semakin tinggi pencahayaan yang ada dalam ruang rawat inap maka semakin
rendah angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun.
80
4. Analisis Hubungan Sanitasi Ruang dengan Angka Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Tabel 5.6 Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Angka Kuman Udara
Sanitasi Ruang r = - 0,531
p = 0,011
n = 22
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.6 hasil uji menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara sanitasi ruang dengan angka kuman udara, karena diperoleh nilai
P Value Sig. 0,011 < 0,05. Untuk nilai koefisien korelasi menunjukkan nilai
korelasi negatif dengan kekuatan yang cukup antara sanitasi ruang dengan angka
kuman udara (r = -0,531). Uji korelasi bertanda negatif, berarti bahwa semakin
baik sanitasi ruang rawat inap maka semakin rendah angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Maka dapat diambil kesimpulan
secara statistik ada hubungan antara sanitasi ruang dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah sakit Paru Dungus Madiun.
5. Analisis Hubungan Suhu dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Tabel 5.7 Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Angka Kuman Udara
Pemeliharaan Ruang r = - 0,581
p = 0,005
n = 22
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2018
81
Berdasarkan tabel 5.7 hasil uji menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pemeliharaan ruang dengan angka kuman udara, karena
diperoleh nilai P Value Sig. 0,005 < 0,05. Sedangkan untuk nilai koefisien
korelasi menunjukkan nilai korelasi negatif dengan kekuatan yang cukup antara
pemeliharaan ruang dengan angka kuman udara (r = -0,581). Uji korelasi bertanda
negatif, berarti bahwa semakin baik pemeliharaan ruang rawat inap maka semakin
rendah angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun. Maka dapat diambil kesimpulan secara statistik ada hubungan antara
pemeliharaan ruang dengan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah sakit
Paru Dungus Madiun.
5.3 Pembahasan
1. Angka Kuman Udara
Angka kuman adalah perhitungan jumlah bakteri yang didasarkan pada
asumsi bahwa setiap sel bakteri hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi
satu koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang
sesuai. Setelah masa inkubasi jumlah koloni yang tumbuh dihitung dari hasil
perhitungan tersebut merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah dalam
suspensi tersebut. Prinsip dari pemeriksaan ini menghitung jumlah koloni
yang tumbuh pada Plate Count Agar.
Pemahaman kuman diidentikkan dengan mikroorganisme yang ada di
udara. Secara umum, angka kuman udara adalah jumlah mikroorganisme
patogen atau non patogen yang melayang-layang di udara baik
82
bersama/menempel pada droplet (air), atau partikel (debu) yang bersali
dibiakkan dengan media agar membentuk koloni yang dapat diamati secara
visual atau dengan kacamata pembesar, kemudian dihitung berdasarkan
koloni tersebut untuk dikonversi dalam satuan koloni forming unit per meter
kubik (CFU/m³). Sesuai Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, standar angka kuman udara
untuk ruang perawatan yaitu 200-500 CFU/m³.
Pemeriksaan rata-rata angka kuman udara di 22 ruang rawat inap
menunjukkan hasil sebesar 25,91 CFU/m³ dengan nilai minimum 3 CFU/m³
dan nilai maksimumnya 95 CFU/m³. Penelitian Rizal Muntaha (2016)
menujukkan bahwa rata-rata angka kuman udara sebesar 164 CFU/m³ dengan
nilai minimum 172 CFU/m³ dan nilai maksimum 310 CFU/m³. Sehingga rata-
rata dari kedua penelitian tersebut masih memenuhi standar yang
dipersyaratkan menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Hal tersebut dapat terjadi
karena faktor-faktor seperti suhu udara di dalam ruangan yang menunjukkan
bahwa rata-rata suhu dalam penelitian ini sebesar 28,68°C yang artinya masih
dibawah suhu optimum pertumbuhan kuman udara yaitu 37°C karena pada
suhu optimum tersebut mikroorganisme merasa nyaman menjalani
kehidupannya.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya angka kuman udara
dalam penelitian ini adalah media yang digunakan untuk pengambilan
sampel, karena dalam penelitian ini hanya menggunakan media NA yang
83
sudah dibekukan, kemudian diletakkan disetiap titik yang sudah ditentukan
tanpa menggunakan alat MAS (Microbiology Air Sampler). Alat tersebut
mengambil udara menggunakan fan yang akan menyedot udara ruangan dan
masuk ke dalam lubang yang ada, jika ada bakteri pada udara maka akan
menempel pada media agar. Sehingga dengan menggunakan alat tersebut
jumlah kuman udara yang menempel pada media akan semakin tinggi.
2. Suhu
Setiap mikroorganisme memiliki suhu optimum yang berbeda untuk
dapat tumbuh dan berkembang. Suhu optimum membuat mikroorganisme
merasa nyaman menjalani kehidupannya. Menurut Kepmenkes RI No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah
sakit, standar suhu udara untuk ruang perawatan yaitu 22-24°C.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata suhu di ruang Mawar
28,5°C, ruang Anggrek 28,6°C dan ruang Melati 29°C, dengan nilai
maksimum dari 22 ruangan sebesar 31°C dan nilai minimum 26°C. Penelitian
Rizal Muntaha (2016) menunjukkan bahwa rata-rata suhu sebesar 30,11°C
dengan nilai minimum 27,43°C dan nilai maksimum 30,66°C. Penelitian
tersebut sama-sama melakukan pengukuran suhu di ruang rawat inap Rumah
Sakit ternyata memiliki suhu yang berbeda di setiap ruangan dan tidak
memenuhi standart yang ditetapkan. Tingginya suhu udara di dalam ruangan
dapat disebabkan karena pengukuran dilakukan pada pukul 09.00-11.00 WIB
sehingga intensitasi sinar matahari yang masuk kedalam ruangan semakin
bertambah dan suhu ruangan menjadi meningkat. Banyaknya penunggu
84
dalam ruang perawatan juga dapat mempengaruhi suhu dalam ruangan
terlebih lagi ruang perawatan tidak dilengkapi dengan AC maupun kipas
angin.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi penelitian tersebut yaitu perbedaan
karakteristik ruangan yang berdampak pada perbedaan suhu antar ruangan
satu dengan ruangan yang lainnya. Seperti luas ruangan satu dengan yang
lainnya berbeda, pada saat penelitian terdapat 4 ruang yang tidak ada pasien
atau tidak ada penghuni ruangan. Sehingga ventilasi alami maupun buatan
tidak bekerja secara optimal. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka upaya
yang dapat dilakukan yaitu dengan pemasangan kipas angin di masing-
masing ruangan non-AC untuk menambah kenyamanan pasien ataupun
keluarga dari pasien.
3. Kelembaban
Kelembaban udara yang ekstrim dapat berkaitan dengan buruknya
kualitas udara. Kelembaban yang rendah dapat mengakibatkan terjadinya
gejala SBS (Sick Building Syndrome) seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan
dan batuk batuk. Selain itu rendahnya kelembaban juga dapat meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit infeksi, serta penyakit asma. Kelembaban juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
mikroorganisme. Menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004
tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, standar kelembaban
udara untuk ruang perawatan yaitu 45-60%.
85
Hasil pengukuran saat dilakukan penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kelembaban di ruang Mawar yaitu 61%, ruang Anggrek 60,8% dan ruang
Melati 61,8%, dengan nilai maksimum dari 22 ruangan sebesar 64% dan
minimum sebesar 59%. Penelitian Tri Purnamasari (2017) menunjukkan
bahwa terdapat 16 ruangan dengan kelembaban yang tidak memenuhi
standart. yang ditetapkan, dimana standar yang di tetapkan yaitu 45-60%.
Penelitian tersebut sama-sama melakukan pengukuran kelembaban di ruang
rawat inap Rumah Sakit ternyata memiliki kelembaban yang berbeda di setiap
ruangan dan tidak memenuhi standart yang ditetapkan. Tingginya
kelembaban udara pada penelitian ini dapat disebabkan karena lokasi rumah
sakit terletak pada ketinggian 80 m diatas permukaan air laut yang
dikelilingi lingkungan hijau pegunungan tepatnya pada kaki Gunung Wilis
sisi barat.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingginya kelembaban udara di
ruang rawat inap yaitu pengunjung dan penunggu pasien yang memenuhi
ruang perawatan sehingga mempengaruhi sirkulasi udara di dalam ruang
perawatan. Ventilasi di dalam ruang perawatan sudah sesuai dimana ukuran
ventilasi 15% dari luas lantai ruangan. Keberadaan jendela juga berpengaruh
terhadap kelembaban ruangan, jendela ruangan yang jarang dibuka dapat
mengakibatkan sirkulasi udara tidak lancar.
4. Pencahayaan
Pencahayaan di dalam ruang bangunan rumah sakit adalah intensitas
penyinaran pada suatu bidang kerja yang ada di dalam ruang bangunan rumah
86
sakit yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Sesuai
Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/2004 tentang persyaratan kesehatan
lingkungan rumah sakit, standar pencahayaan untuk ruang perawatan yaitu
100-200 lux.
Hasil penelitian dalam pengukuran intensitas pencahayaan menunjukkan
bahwa rata rata pencahayaan di ruang Mawar sebesar 100,9 lux, ruang
anggrek sebesar 104,6 lux dan ruang Melati 99,1 lux, dengan nilai maksimum
dari 22 ruangan sebesar 114 lux dan nilai minimum sebesar 89 lux. Untuk
ruang Melati masih dalam kategori tidak memenuhi standar Kepmenkes RI
No. 1204/Menkes/SK/2004. Pada penelitian yang dilakukan Lisa Jayanti
(2014) menujukkan intensitas pencahayaan ruang perawatan I pada saat
dilakukan pengukuran rata-rata 45,7 lux dan di ruang perawatan II rata-rata
57,3 lux sehingga rata-rata tersebut masih belum memenuhi standar yang
dipersyaratkan menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Nayla (2016) menunjukkan bahwa ada hubungan antara variabel
bebas pencahayaan dengan variabel terikat jumlah koloni bakteri udara dalam
ruang kelas. Dari ketiga penelitian tersebut sama-sama melakukan
pengukuran pencahayaan namun berbeda tempat yaitu di ruang rawat inap
rumah sakit dan ruang kelas. Rendahnya pencahayaan di dalam ruangan dapat
terjadi karena beberapa ruang rawat inap memiliki posisi ruang yang ada
diantara ruang lain sehingga mengakibatkan terhalangnya cahaya yang masuk
ke dalam ruangan.
87
Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya intensitas pencahayaan
di ruang rawat inap yaitu kurangnya pencahayaan buatan di dalam ruang
perawatan. Ruang perawatan tersebut hanya menggunakan satu lampu yang
terletak di tengah-tengah langit-langit ruang perawatan, sehingga kondisi
ruangan menjadi gelap dan tidak baik untuk keadaan pasien sendiri. Agar
pencahayaan dapat memenuhi standart perlu penambahan pencahayaan
buatan (listrik), namun demikian perlu dikaji bahwa penggunaan daya listrik
membutuhkan biaya yang operasional.
5. Sanitasi Ruang
Sanitasi ruang bangunan dan peralatan non medis dimaksudkan untuk
menciptakan sanitasi ruang bangunan dan peralatan non medis yang nyaman,
bersih, dan sehat di lingkungan rumah sakit agar tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap pasien, pengunjung dan karyawan. Sesuai Kepmenkes RI
No. 1204/Menkes/SK/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah
sakit, sanitasi ruang bangunan yang meliputi lantai, dinding, ventilasi, atap,
langit-langit dan pintu harus sesuai standart yang dipersyaratkan.
Hasil penilaian pada saat penelitian dilakukan di ruang Mawar
menunjukkan bahwa rata-rata penilaian sebesar 91,27%, ruang Anggrek
dengan rata-rata 89,5% dan untuk ruang Melati dengan rata-rata 90,83%.
Pada penelitian yang dilakukan Munawar (2015) menjelaskan bahwa
sebagian besar ruang persalinan dengan kondisi sanitasi yang tidak baik
menunjukkan kualitas angka kuman udara yang tidak memenuhi syarat
(89,5%), sedangkan ruangan dengan kondisi sanitasi yang baik menunjukkan
88
kualitas angka kuman udara yang memenuhi syarat (53,3%). Kedua penelitian
tersebut sama-sama melakukan penilaian untuk sanitasi ruang dengan
perbedaan lokasi yaitu di ruang rawat inap dan ruang persalinan. Sanitasi
ruang di ruang rawat inap Rumah Sakit paru Dungus Madiun menunjukkan
hasil yang cukup baik, namun masih ditemukan di beberapa ruangan seperti
sanitasi dinding dan lantai yang kurang bersih dan berdebu.
Sanitasi ruangan juga berkaitan dengan kontruksi bangunan, di beberapa
ruangan masih terdapat jendela dan pintu pada siang hari dalam keadaan
tertutup, sehingga hal tersebut tidak baik untuk kondisi pasien yang ada di
dalam ruangan dikarenakan pencahayaan serta pertukaran udara yang tidak
baik.
6. Pemeliharaan Ruang
Pemeliharaan ruang rawat inap rumah sakit merupakan salah satu faktor
pengendalian yang perlu diperhatikan dalam menurunkan angka infeksi
nosokomial, terutama kebersihan ruang perawatan. Sesuai Kepmenkes RI No.
1204/Menkes/SK/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah
Sakit, khusunya tata laksana dalam pemeliharaan ruang di rawat inap untuk
kegiatan pembersihan lantai minimal dilakukan pagi dan sore hari setelah
pembenahan/merapikan tempat tidur, jam makan, jam kunjungan dokter, cara
pembersihan lantai dengan menggunakan bahan antiseptik dan pada setiap
ruangan disediakan perlengkapan pel sendiri.
Hasil penilaian tentang pemeliharaan ruang pada saat penelitian
dilakukan di ruang Mawar menunjukkan bahwa rata-rata penilaian sebesar
89
75,36%, ruang Anggrek dengan rata-rata 75,8% dan untuk ruang Melati
dengan rata-rata 77%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus masih dalam kategori yang
cukup baik dan bersih. Pada hasil pemeriksaan swab lantai di ruang Mawar
yang bertujuan untuk mengetahui angka kuman lantai menunjukkan hasil
bahwa ruang rawat inap dalam keadaan tidak baik dengan hasil angka kuman
lantai sebesar 11 dan 12 CFU/m², artinya angka kuman lantai melebihi baku
mutu yang ditetapkan Kepmenkes No. 1204/Menkes/SK/2004 yaitu sebesar
5-10 CFU/m². Hasil penelitian yang dilakukan Tri Purnamasari (2017)
menunjukkan hasil bahwa kebersihan ruangan yang bersih cenderung
mikrobiologi udara tidak memenuhi standart lebih besar. Namun dari hasil
tersebut masih ditemukan bahwa pemeriksaan angka kuman udara maupun
angka kuman lantai hanya dilakukan pada ruang perawatan penyakit menular
dan belum dilakukan pada ruang rawat inap secara menyeluruh.
Faktor yang dapat mempengaruhi pemeliharaan ruang di dalam ruang
rawat inap yaitu belum diberlakukan SPO (Standart Prosedur Operasional)
tentang pemeliharaan ruang sehingga petugas kebersihan (cleaning service)
tidak mengetahui standart pemeliharaan ruang yang baik.
Rumah sakit merupakan lokasi yang rentan dalam penularan penyakit,
sehingga perlu dilakukannya pemeriksaan angka kuman udara maupun angka
kuman lantai secara rutin dan menyeluruh di semua ruang rawat inap.
90
5.3.1 Faktor yang Berhubungan dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Berdasarkan analisis bivariat, variabel yang terbukti berhubungan
dengan angka kuman udara di ruang rawat inap adalah kelembaban,
pencahayaan, sanitasi ruang dan pemeliharaan ruang.
A. Hubungan Antara Kelembaban dengan Angka Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai P Value Sig. 0,000 yang
artinya ada hubungan antara kelembaban udara ruangan dengan angka
kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.
Nilai koefisien korelasi menunjukkan nilai korelasi positif dengan
kekuatan yang kuat antara kelembaban dengan angka kuman udara
(r=0,790). Hasil uji korelasi bertanda positif, berarti bahwa semakin
tinggi kelembaban udara ruang yang ada dalam ruang rawat inap
semakin tinggi pula angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah
Sakit Paru Dungus Madiun. Kelembaban udara yang relatif tinggi
dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Karena pada saat
pengukuran dilakukan, didapatkan >60% lebih banyak yang tidak
memenuhi syarat dan keadaan jendela tertutup sehingga hal tesebut
mengakibatkan pencahayaan serta sirkulasi udara di ruangan tidak
baik. Tingginya kelembaban udara pada penelitian ini dapat juga
disebabkan karena lokasi rumah sakit terletak pada ketinggian 80 m
91
diatas permukaan air laut yang dikelilingi lingkungan hijau
pegunungan tepatnya pada kaki Gunung Wilis sisi barat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Didik (2016) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
kelembaban dengan angka kuman udara di ruang rawat inap kelas tiga
melati RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Kelembaban dalam ruang juga
dapat disebabkan kurangnya cahaya yang masuk secara langsung
kedalam ruangan, sehingga area ruangan yang tersinari oleh matahari
terbatas dan tidak cukup untuk mengurangi kelembaban.
Pada penelitian yang dilakukan Nayla (2016) tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan jumlah mikroorganisme udara dalam
ruang kelas lantai 8 Universitas Esa Unggul menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara variabel bebas kelembaban dengan variabel
terikat jumlah koloni bakteri udara dalam ruang kelas. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan penelitian ini bahwa kelembaban berhubungan
langsung dengan angka kuman udara walaupun dengan jenis ruangan
yang berbeda.
Didukung penelitian lain yang dilakukan oleh Abdullah (2011)
tentang Lingkungan Fisik dan Angka Kuman Udara Ruangan di
Rumah Sakit Umum Haji Makassar menunjukkan hasil bahwa ada
hubungan antara kelembaban dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Umum Haji Makassar. Hasil pengukuran
pada penelitian tersebut mengacu pada Kepmenkes No.
92
1204/MENKES/SK/X/2004 diperoleh 38 titik tidak memenuhi syarat
dan 7 titik memenuhi syarat untuk pengukuran kelembaban, 41 titik
tidak memenuhi syarat dan 4 titik memenuhi syarat untuk angka
kuman udara. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa
kelembaban merupakan faktor fisik terbesar yang bertanggung jawab
langsung atas keberadaan kuman di dalam ruang rawat inap.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tri
Purnamasari (2017) tentang hubungan faktor lingkungan fisik dan
standar luas ruangan dengan kualitas mikrobiologi udara pada ruang
perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak menunjukkan hasil
bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan mikrobiologi udara di
ruang rawat inap dan kelembaban merupakan faktor yang berisiko 3,7
lebih besar untuk pertumbuhan angka kuman pada ruang rawat inap
Rumah Sakit Bhayangkara.
Kelembaban udara yang ekstrim dapat berkaitan dengan
buruknya kualitas udara. Kelembaban yang rendah dapat
mengakibatkan terjadinya gejala SBS (Sick Building Syndrome)
seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan dan batuk batuk. Selain itu
rendahnya kelembaban juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit infeksi, serta penyakit asma. Kelembaban juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
mikroorganisme (Lisa, 2014).
93
Udara ruang yang terlalu lembab dapat menyebabkan
tumbuhnya bermacam-macam jamur dan spora. Udara yang terlalu
kering juga dapat menyebabkan keringnya lapisan mukosa dan
merupakan pre disposisi infeksi saluran pernapasan akut. Kelembaban
ruangan dapat berpengaruh terhadap mikroorganisme yang ada pada
ruangan, tetapi dapat hidup dan berkembang tidak hanya tergantung
kepada kelembaban ruangan saja, tetapi lebih membutuhkan unsur-
unsur yang lain (Depkes RI, 2007 dalam Lisa, 2014).
Berdasarkan penjelasan diatas diharapkan upaya yang dapat
dilakukan oleh pihak Rumah Sakit sebaiknya selalu melakukan
pemantauan sirkulasi udara di dalam ruangan agar kelembaban udara
tetap baik.
B. Hubungan Antara Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus
Berdasarkan uji statistik menggunakan korelasi pearson
menunjukkan bahwa nilai P Value Sig. 0,000 < 0,05 berarti ada
hubungan antara pencahayaan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah sakit Paru Dungus Madiun. Sedangkan untuk nilai
koefisien korelasinya (r = -0,799). Uji korelasi menunjukkan tanda
negatif, berarti bahwa semakin tinggi pencahayaan yang ada dalam
ruang rawat inap maka semakin rendah angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Sesuai Kepmenkes RI
No. 1204/Menkes/SK/2004 tentang persyaratan Kesehatan
94
Lingkungan Rumah Sakit, standar pencahayaan untuk ruang
perawatan yaitu 100-200 lux, tetapi masih terdapat beberapa ruang
rawat inap yang pencahayaan kurang dari 100 lux, hal ini terjadi
karena kurangnya pencahayaan buatan di dalam ruang perawatan.
Ruang perawatan tersebut hanya menggunakan satu lampu yang
terletak di tengah-tengah langit-langit ruang perawatan, sehingga
kondisi ruangan menjadi gelap dan tidak baik untuk keadaan pasien
sendiri. Rendahnya pencahayaan di dalam ruangan dapat juga terjadi
karena beberapa ruang rawat inap memiliki posisi ruang yang ada
diantara ruang lain sehingga mengakibatkan terhalangnya cahaya yang
masuk ke dalam ruangan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Didik
(2016) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan
angka kuman udara di ruang rawat inap kelas tiga melati RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pencahayaaan yang tidak memenuhi syarat 7 (23,3%) yaitu < 100 lux
dibandingkan memenuhi syarat 21 (76,7%) yaitu 100,0-130,0 lux.
Pencahayaan alami dari sinar matahari di samping menyebarkan sinar
panas ke bumi, juga memencarkan sinar ultra violet yang mematikan
mikroba. Penelitian lain yang dilakukan oleh Indriani (2009) dalam
hasil analisisnya menunjukkan bahwa kondisi pencahayaan pada
ruang rawat inap Rumah Sakit Darmo dan Rumah Sakit St. Vincentius
A. Paulo belum memenuhi standar sehingga perlu dilakukan beberapa
95
cara untuk mengoptimalkan tingkat pencahayaan, meliputi :
penggantian bahan dan warna dinding serta lantai dengan warna yang
lebih cerah, penurunan plafon menggunakan drop ceiling, penggunaan
warna perabot dengan warna yang lebih terang, penggunaan lampu TL
28-36W soft white dan lampu downlight 26W.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tri Purnamasari (2017)
menyatakan bahwa pencahayaan merupakan faktor yang berisiko
untuk pertumbuhan angka kuman udara di ruang rawat inap.
Pencahayaan yang kurang merupakan kondisi yang disukai bakteri,
karena dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang gelap. Posisi
ruang yang kurang menguntungkan mengakibatkan kurangnya cahaya,
misalnya posisi ruang yang ada diantara ruang lain sehingga
mengakibatkan terhalangnya cahaya yang masuk. (Kiki Ayu, 2012).
Berdasarkan penjelasan diatas diharapkan pihak Rumah Sakit
harus selalu memperhatikan intensitas pencahayaan. Agar
pencahayaan di dalam ruangan dapat memenuhi standar yang
dipersyaratkan sebesar 100-200 lux yaitu dengan cara membuka
jendela lebar-lebar dan bila perlu ditambah pencahayaan buatan
seperti lampu dinyalakan pada siang hari apabila dalam ruangan masih
kurang terang.
96
C. Hubungan Antara Sanitasi Ruang dengan Angka Kuman Udara
di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus
Hasil uji bivariat pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara sanitasi ruang dengan angka kuman
udara karena diperoleh nilai P Value Sig. 0,011 < 0,05 dengan nilai
koefisien korelasi (r = -0,531). Koralasi negatif menunjukkan bahwa
semakin baik sanitasi ruangan maka semakin kecil angka kuman
udara. Hal ini disebabkan karena sanitasi ruang di ruang rawat inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun menunjukkan hasil yang cukup
baik, namun masih ditemukan di beberapa ruangan seperti sanitasi
dinding dan lantai yang kurang bersih dan berdebu. Sanitasi ruangan
juga berkaitan dengan kontruksi bangunan, di beberapa ruangan masih
terdapat jendela dan pintu pada siang hari dalam keadaan tertutup,
sehingga hal tersebut tidak baik untuk kondisi pasien yang ada di
dalam ruangan dikarenakan pencahayaan serta pertukaran udara yang
tidak baik.
Pada penelitian yang dilakukan Munawar (2015) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi ruang
persalinan dengan kualitas angka kuman udara. Penelitian tersebut
menjelaskan bahwa sebagian besar ruang persalinan dengan kondisi
sanitasi yang tidak baik menunjukkan kualitas angka kuman udara
yang tidak memenuhi syarat (89,5%), sedangkan ruangan dengan
kondisi sanitasi yang baik menunjukkan kualitas angka kuman udara
97
yang memenuhi syarat (53,3%). Hal tersebut dikarenakan kondisi
sanitasi ruang seperti langit-langit, dinding yang kotor serta berdebu
dan kemungkinan mengandung mikroorganisme yang akan
berpengaruh terhadap kualitas angka kuman udara apabila terdapat
hembusan angin atau aliran udara. Berdasarkan penjelasan diatas
menunjukkan bahwa penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini
karena sanitasi ruangan berhubungan langsung dengan angka kuman
udara dengan perbedaan pada jenis ruangan yaitu ruang rawat inap
dan ruang persalinan.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Chistianty (2009) tentang hubungan sanitasi ruang perawatan dengan
kualitas udara di ruang perawatan kelas tiga RSUD Ibnu Sina
Kabupaten Gresik, analisis data menggunakan uji pearson correlation
menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara sanitasi ruang
dengan kualitas udara pada ruang perawatan kelas tiga di RSUD Ibnu
Sina Kabupaten Gresik.
Sanitasi ruangan juga merupakan faktor pendukung keberadaan
mikroorganisme. Sanitasi ruangan yang kebersihan lingkungannya
terjaga dapat mengurangi risiko adanya kuman di udara. Akan tetapi,
jika sanitasi ruangannya buruk hal tersebut dapat menimbulkan
ruangan menjadi kotor dan berdebu. Berdasarkan penjelasan tersebut,
diharapkan pihak Rumah Sakit Paru Dungus harus melakukan
pemantauan atau pengecekan rutin untuk sanitasi ruang rawat inap
98
agar kondisi ruang dan bangunan selalu dalam keadaan bersih dan
nyaman sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita.
D. Hubungan Antara Pemeliharaan Ruang dengan Angka Kuman
Udara di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus
Berdasarkan uji statistik menggunakan korelasi pearson
menunjukkan bahwa nilai P Value Sig. 0,005 < 0,05 berarti ada
hubungan antara pemeliharaan ruang dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah sakit Paru Dungus Madiun. Sedangkan untuk
nilai koefisien korelasinya (r = -0,581), koralasi negatif menunjukkan
bahwa semakin baik pemeliharaan ruang maka semakin kecil angka
kuman udara. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
pemeliharaan ruang berhubungan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap. Hal ini dapat terjadi karena masih ditemukan beberapa
ruang perawatan yang masih kurang bersih. Pengunjung dan
penunggu pasien juga salah satu faktor pembawa bakteri dalam
ruangan. Semakin padat penghuni dalam ruang perawatan semakin
besar derajat kontaminasi dengan mikroorganisme semakin banyak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tri
Purnamasari (2017) tentang hubungan faktor lingkungan fisik dan
standar luas ruangan dengan kualitas mikrobiologi udara pada ruang
perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak, menunjukkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebersihan ruangan
99
dengan mikrobiologi udara di ruang rawat inap Rumah Sakit
Bhayangkara.
Didukung penelitian lain yang dilakukan oleh Kusno Feriyanto
(2013) tentang hubungan antara kebersihan lingkungan rawat inap
dengan kepuasan pasien di ruang Asoka Instalasi Rawat Inap RSUD
Dr. R. Koesma Tuban menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kebersihan lingkungan dengan kepuasan pasien.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas lingkungan ruang rawat
inap yang bersih dan sehat akan menciptakan kepuasan terhadap
pasien dan keluaraga jika terjadi sakit dan menjalani rawat inap di
Rumah Sakit.
Rumah Sakit Paru Dungus dalam melakukan pemeliharaan
ruang pada pemeriksaan rutin angka kuman udara tidak dilakukan
secara menyeluruh, hanya pada ruang rawat inap penyakit menular
sehingga pihak Rumah Sakit tidak dapat mengetahui jumlah kuman
udara yang berkembang di ruang rawat inap penyakit non menular.
Pada hasil pemeriksaan swab lantai di ruang Mawar yang bertujuan
untuk mengetahui angka kuman lantai menunjukkan hasil bahwa
ruang rawat inap dalam keadaan tidak baik dengan hasil angka kuman
lantai sebesar 11 dan 12 CFU/m²., artinya angka kuman lantai
melebihi baku mutu yang ditetapkan Kepmenkes No.
1204/Menkes/SK/2004 yaitu sebesar 5-10 CFU/m².
100
Pemeliharaan ruang rawat inap rumah sakit merupakan salah
satu faktor pengendalian yang perlu diperhatikan dalam menurunkan
angka infeksi nosokomial, terutama kebersihan ruang perawatan.
Keputusan Menteri Kesehatan (2004) tentang persyaratan kesehatan
lingkungan Rumah Sakit, khusunya tata laksana dalam pemeliharaan
ruang di rawat inap untuk kegiatan pembersihan lantai minimal
dilakukan pagi dan sore hari setelah pembenahan/merapikan tempat
tidur, jam makan, jam kunjungan dokter, cara pembersihan lantai
dengan menggunakan bahan antiseptik dan pada setiap ruangan
disediakan perlengkapan pel sendiri.
Agar pemeliharaan ruang di dalam ruang rawat inap dapat
memenuhi tata laksana sesuai dengan Kepmenkes No.
1204/MENKES/SK/X/2004 perlu diberlakukan SPO (Standart
Prosedur Operasional) tentang pemeliharaan ruang sehingga petugas
kebersihan (cleaning service) dapat mentaati peraturan yang berlaku.
Atau dengan cara melakukan peningkatan pengawasan dan
mengadakan pendidikan serta pelatihan bagi petugas kesehatan.
Pemeliharaan ruang juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan rutin di
setiap ruang rawat inap secara menyeluruh untuk mengetahui jumlah
kuman udara dan menjaga kebersihan ruangan agar angka kuman
udara tidak meningkat dan masih memenuhi syarat dari Kepmenkes
No. 1204/MENKES/SK/X/2004.
101
5.3.2 Faktor yang Tidak Berhubungan dengan Angka Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Rumash Sakit Paru Dungus Madiun
Berdasarkan analisis bivariat, variabel yang terbukti tidak
berhubungan dengan angka kuman udara di ruang rawat inap adalah suhu.
A. Hubungan Antara Suhu dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus
Berdasarkan uji statistik menggunakan Korelasi Pearson
Product Moment diperoleh nilai P Value Sig. 0,086 > 0,05 berarti
tidak ada hubungan antara suhu udara ruangan dengan angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Uji
korelasi menunjukkan tanda positif, berarti bahwa semakin tinggi
suhu udara yang ada dalam ruang rawat inap semakin tinggi pula
angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus
Madiun. Hasil pengukuran dari 22 ruangan menunjukkan bahwa suhu
rata-rata sebesar 28,68°C yang artinya masih dibawah suhu optimum
pertumbuhan kuman udara yaitu 37°C karena pada suhu optimum
tersebut mikroorganisme merasa nyaman menjalani kehidupannya.
Hal tersebut selaras dengan jumlah kuman udara yang diperoleh
selama penelitian, dari seluruh ruangan yang diambil sampel
penelitian menunjukkan bahwa angka kuman udara tersebut masih
memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmenkes No.
1204/MENKES/SK/X/2004.
102
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rizal
(2016) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan
angka kuman udara di ruang rawat inap Gedung Siti Hajar Rumah
Sakit Islam Sultan Hadlirin Jepara dikarenakan perbedaan
karakteristik ruangan yang berdampak pada perbedaan suhu antar
ruangan satu dengan ruangan yang lainnya. Didukung penelitian lain
yang dilakukan oleh Abdullah (2011) tentang Lingkungan Fisik dan
Angka Kuman Udara Ruangan di Rumah Sakit Umum Haji Makassar
Sulawesi Selatan menyatakan bahwa suhu tidak memiliki pengaruh
yang bermakna terhadap tingginya angka kuman udara.
Tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan Tri
Purnamasari (2017) tentang hubungan faktor lingkungan fisik dan
standar luas ruangan dengan kualitas mikrobiologi udara pada ruang
perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak, menunjukkan bahwa
ada hubungan antara temperatur dengan mikrobiologi udara di ruang
rawat inap. Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikrobiologi udara di dalam ruangan. Pada suhu optimal
sebuah sel dapat memperbanyak dirinya dan tumbuh sangat cepat.
Sedangkan suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi masih dapat
meperbanyak diri namun dalam jumlah kecil dan tidak secepat dengan
pertumbuhan pada suhu optimal (Irianto K, 2006).
Selain dari faktor suhu, kuman juga dapat diakibatkan oleh
lingkungan biologis. Faktor biologis yang mempengaruhi angka
103
kuman udara di dalam ruangan yaitu penghuni rumah sakit, pasien dan
pengunjung ruamh sakit yang saling memindahkan kuman yang
mengakibatkan penyebaran dan peningkatan kuman dalam ruang.
Berdasarkan penjelasan diatas maka upaya yang dilakukan
sebaiknya pihak rumah sakit melakukan pengecekan kualitas suhu
secara rutin di dalam ruang rawat inap agar suhu udara di ruangan
tetap mememuhi syarat. Menurut Kepmenkes Kepmenkes No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit, dapat juga dengan melakukan pemasangan kipas angin di
masing-masing ruangan non-AC untuk menambah kenyamanan pasien
ataupun keluarga dari pasien.
5.4 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini untuk melakukan pengambilan sampel kuman udara
belum menggunakan alat MAS (Microbiology Air Sampler) namun hanya
menggunakan media NA yang sudah dibekukan kemudian diletakkan disetiap
titik yang sudah ditentukan sebelumnya.
104
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian tentang
angka kuman udara ri ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
adalah sebagai berikut:
1. Rata-rata angka kuman udara dalam ruang rawat inap Rumah Sakit Paru
Dungus adalah 25,91 CFU/m³. Dengan suhu rata-ratanya 28,68°C. Rata-
rata kelembaban adalah 61,18%. Untuk pencahayaan rata-ratanya adalah
101,27 lux. Kemudian untuk rata-rata sanitasi ruang adalah 90,77% dan
untuk pemeliharaan ruang nilai rata-ratanya adalah 75,91%.
2. Ada hubungan antara kelembaban udara ruang dengan angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun karena nilai
p value Sig. 0,000 < 0,05 dan nilai koefisien korelasi 0,790.
3. Ada hubungan antara pencahayaan dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun karena nilai p value Sig.
0,000 < 0,05 dan nilai koefisien korelasi - 0,799.
4. Ada hubungan antara sanitasi ruang dengan angka kuman udara di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun karena nilai p value Sig.
0,011 < 0,05 dan nilai koefisien korelasi - 0,531.
105
5. Ada hubungan antara pemeliharaan ruang dengan angka kuman udara di
ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun karena nilai p value
Sig. 0,005 < 0,05 dan nilai koefisien korelasi - 0,581.
6. Tidak ada hubungan antara suhu udara ruangan dengan angka kuman
udara di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun karena nilai
p value Sig. 0,086 > 0,05 dan nilai koefisien korelasi 0,375.
6.2 Saran
1. Bagi Instansi Kesehatan
a. Diharapkan kepada pihak rumah sakit tetap menjaga sanitasi ruang
seperti kebersihan dinding, langit-langit, kipas angin, ruang rawat inap
mendapatkan pencahayaan yang baik dan selalu menjaga sirkulasi
udara di ruang rawat inap agar angka kuman udara tidak meningkat
dan masih memenuhi syarat dari Kepmenkes
No.1204/MENKES/SK/X/2004.
b. Membatasi jumlah pengunjung yang masuk ke ruang rawat inap dalam
waktu yang bersamaan, banyaknya pengunjung yang ada dalam 1
ruangan dapat meningkatkan angka kuman udara.
c. Melakukan pengawasan yang lebih intens terhadap kinerja petugas
kebersihan dan melakukan pembersihan ruangan sesuai dengan
Kepmenkes No.1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan
Kesehatan Lingkungan.
d. Agar pencahayaan di dalam ruangan dapat memenuhi standar yang
dipersyaratkan sebesar 100-200 lux yaitu dengan cara membuka
106
jendela lebar-lebar dan bila perlu ditambah pencahayaan buatan seperti
lampu dinyalakan pada siang hari apabila dalam ruangan masih kurang
terang.
e. Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit bagian Sanitasi agar membuat
SPO (Standart Prosedur Operasional) tentang pemeliharaan ruang
sesuai dengan Kepmenkes No.1204/MENKES/SK/X/2004 sehingga
petugas kebersihan dapat mentaati peraturan tersebut dan untuk
petugas kebersihan yang melanggar peraturan dapat diberikan sanksi
sesuai dengan kesalahannya.
2. Bagi Institusi Pendidikan/ STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan ilmu
pengetahuan kesehatan lingkungan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan angka kuman udara di ruang rawat inap Rumah
Sakit.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian
dengan menambahkan variabel lain yang belum diteliti oleh peneliti
dengan menambahkan jumlah sampel dan mengidentifikasi jenis mikroba
yang ada di ruangan rawat inap rumah sakit.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Tahrir M dan Hakim B.A. 2011. Lingkungan Fisik dan Angka Kuman
Udara Ruangan di RSU Haji Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional.
Anam, Khoirul dan Agus Joko Praptomo. 2015. Analisis Angka Kuman Udara di
Unit Pelayanan Teknis Daerah Laboratorium Kesehatan Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda: Jurnal Ilmu Kesehatan.Vol.3, No. 2.
Cahyono, Tri. 2017. Penyehatan Udara. CV. Andi Offset: Yogyakarta
Chistianty, Inggrit. 2009. Sanitasi Ruang Perawatan dengan Kualitas Udara di
Ruang Perawatan Kelas Tiga Rumah Sakit Umum daerah Ibnu Sina
Kabupaten Gresik. Univerrsitas Airlangga.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2017. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan:
Deskriptif, Bivariat dan Multivariat (Edisi 6). Epidemiologi Indonesia:
Jakarta
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Salemba
Medika: Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 2010. Dasar- Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Feriyanto, Kusno. 2012. Hubungan Antara Kebersihan Lingkungan Rawat Inap
dengan Kepuasan Pasien di Ruang Asoka Instalasii Rawat Inap RSUD Rd.
R Koesma Tuban. Stikes NU Tuban
Fithri, Nayla Kamilia, Putri Handayani dan Gisely Vionalita. 2016. Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Jumlah Mikroorganisme Udara Dalam Ruang
Kelas Lantai 8 Universitas Esa Unggul. Universitas Esa Unggul: Forum
Ilmiah Volume 13 Nomor 1.
Hartati, S. Agnes. 2012. Dasar-Dasar Mikrobiologi Kesehatan. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Jayanti, Lisa. 2014. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Sanitasi Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf Kabupaten Gowa. UIN
Alauddin Makassar.
Irianto, K. 2006. Mikrobiologi: Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 2. CV.
Yrama Widya. Bandung.
108
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2004. No.
1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. No.
340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit: Jakarta
Ma’at, Suprapto. 2009. Sterilisasi dan Disinfeksi. Airlangga University Press:
Surabaya
Muntaha, Rizal dan David Laksamana Caesar. 2016. Faktor Lingkungan Fisik
Ruangan Dengan Angka Kuman Udara Ruang Rawat Inap Gedung Siti
Hajar Rumah Sakit Islam Sultan Hadlirin Jepara. Kudus: Jurnal
Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama. Vol. 1, No. 5.
Nizar, Arie. 2011. Pengaruh Dosis Desinfektan Terhadap Penurunan Angka
Kuman Pada Lantai di Ruang Kengana RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. Poltekkes Kemenkes Semarang.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Peneltian Kesehatan. Rineka Cipta:
Jakarta.
Nugroho, Didik Agus, Budiyono dan Nurjazuli. 2016. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat Inap Kelas
III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Universitas Diponegoro: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Vol. 4, No. 4.
Nurlaela. 2017. Pola Kuman Pada Ruang Publik, Ruang Pelayanan, dan Ruang
Perawatan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Nursalam. 2013 Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis
Edisi 3. Salemba Medika: Jakarta
Pratiwi, Kiki Ayu, Rachmaniyah dan Erna Triastuti. 2012. Kualitas Mikrobiologi
Udara Di Ruang Rawat Inap Penyakit Menular Di Rumah Sakit Paru
Surabaya. ISSN 1693-3761. Vol. X No. 1.
Putri, Ayu Dwi Arini. 2012. Studi Komparasi Angka Kuman Udara Sebelum dsn
Sesudah Didesinfeksi Di Kamar Isolasi Ruang Dahlia Rsud Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Poltekkes Kemenkes Purwokerto.
Purnamasari, Tri, Suharno dan Selviana. 2017. Hubungan Faktor Lingkungan
Fisik dan Standar Luas Ruangan dengan Kualitas Mikrobiologi Udara
pada Ruang Perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak. Universitas
Muhammadiyah Pontianak: Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan.
109
Raharja, Munawar. 2015. Kualitas Angka Kuman Udara pada Ruang Persalinan
Praktik Bidan Swasta di Kota Banjarbaru. Poltekkes Kemenkes
Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan.Vol. 12 No. 2.
Sabarguna, Boy Subirosa dan Agus Kharmayana Rubaya. 2011. Sanitasi
Lingkungan dan Bangunan Pendukung Kepuasan Pasien Rumah Sakit.
Salemba Medika: Jakarta.
Saryono. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan Keempat. Mitra
Cendekia: Yogyakarta
Setiawan, Ari dan Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1
dan S2. Nuha Medika: Yogyakarta
Soedarto. 2016. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. CV. Sagung Seto: Jakarta
Soewadji, Jusuf. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Mitra Wacana Media:
Jakarta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alabeta:
Bandung.
Sujarweni, Wiratna. 2015. Statistik Untuk Kesehatan. Gava Media: Yogyakarta.
Sunyoto, Danang. 2012. Teori, Kuesioner, dan Analisis Data Sumber Daya
(Praktik Penelitian). Yogyakarta: Center of Academic Publishing Service.
Syauqi, Ahmad. 2017. Mikrobiologi Lingkungan Peranan Mikroorganisme dalam
Kehidupan. CV. Andi Offset: Yogyakarta
Sylvia, Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Ubaidillah dan Trea Aprillia Patiah. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingginya Angka Kuman di Ruang Operasi Rumah Sakit Umum PKU
Muhammadiyah Bantul. Stikes Surya Global.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. Tentang Rumah
Sakit.
Wulandari, Windi. 2015. Angka Kuman Udara dan Lantai Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Jurnal
Berkala Kesehatan. Vol.1, No. 1.
Yusmidiarti dan Gamaiwarivoni Wachidin. 2013. Analisis Total Kuman Udara di
Ruang Rawat Inap Seruni Rsud Dr.M.Yunus Bengkulu. Poltekkes
Bengkulu. Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1
110
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
Assalamuallaikum Wr.Wb.
Saya Eka Septiana, mahasiswi jurusan Kesehatan Masyarakat peminatan
Kesehatan Lingkungan bermaksud akan melakukan penelitian tentang
“FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA
KUMAN UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU
DUNGUS MADIUN”. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi
syarat mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun. Pada penelitian ini, peneliti akan bertanya mengenai
tingkat frekuensi sterilisasi ruang pada setiap ruang rawat inap yang ada di Rumah
Sakit Paru Dungus. Kuesioner ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
diisi selama 2-4 menit. Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan
dengan sejujur-jujurnya. Setiap jawaban Anda akan dijaga kerahasiaannya dari
siapapun dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja Anda,
kemudian kuesioner akan disimpan oleh peneliti.
Akhir kata, saya mengucapkan terimakasih untuk kesediaan dan kerjasama
Anda menjadi responden pada penelitian ini.
Wassalamuallaikum Wr.Wb.
Madiun, Mei 2018
Eka Septiana
Peneliti
111
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELAS
(INFORMED CONCENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Alamat :
Setelah saya membaca serta mengetahui manfaat penelitian, maka saya
menyatakan bersedia/tidak bersedia* untuk menjadi responden penelitian dengan
judul “FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA
KUMAN UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU
DUNGUS MADIUN”. Dengan catatan apabila sewaktu-waktu dirugikan dalam
bentuk apapun berhak membatalkan persetujuan. Saya percaya apa yang saya buat
dijamin kerahasiaannya.
*Keterangan: Coret yang tidak perlu
Madiun, Mei 2018
Responden
112
Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA KUMAN
UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU DUNGUS
MADIUN
I. IDENTITAS RESPONDEN
No. Responden :
Nama :
Alamat :
Umur :
II. DATA UMUM
1. Nama ruangan :
2. Ruangan yang diperiksa :
3. Tanggal pemeriksaan :
III. PEMELIHARAAN RUANGAN
No. Pertanyaan Jawaban Responden
Ya Tidak
1. Apakah anda melakukan pembersihan lantai hanya satu
kali waktu?
2. Sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan, apakah anda
selalu mencuci tangan?
3. Apakah anda melakukan kegiatan pembersihan lantai
setiap pagi dan sore?
4. Apakah anda menggunakan antiseptic untuk pembersihan
lantai?
5. Apakah setiap ruangan mempunyai perlengkapan pel
113
tersendiri?
6.
Apakah pembersihan dinding di ruangan ini dilakukan
secara berkala setahun dicat ulang apabila cat sudah
pudar?
7. Apakah anda membersihkan percikan ludah ataupun
darah pada dinding dengan antiseptic?
8. Apakah di ruang rawat inap ini rutin dilakukan
pemeriksaan angka kuman udara
114
Lampiran 4
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANGKA KUMAN
UDARA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU DUNGUS
MADIUN
Observasi Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
No. Variabel Upaya Kesehatan
Lingkungan
Komponen yang
dinilai Ya Tidak
I. Kontruksi Bangunan
1. Lantai
a. Kuat
b. Kedap air
c. Bersih
d. Permukaan rata
e. Tidak licin
f. berwarna terang
g. Mudah dibersihkan
h. Pertemuan lantai
dengan dinding
harus konus atau
lengkung
2. Dinding
a. Kuat
b. Kedap air
c. Rata
d. Bersih
e. Berwarna terang
f. Mudah dibersihkan
3. Ventilasi
a. Lubang ventilasi
alamiah minimal
15% dari luas laintai
4. Atap
a. Tidak menjadi
sarang serangga,
tikus dan binatang
pengganggu
b. Tidak bocor
115
c. Berwarna terang
d. Mudah dibersihkan
e. Kuat
5. Langit-langit
a. Tinggi langit-langit
minimal 2,70 m dari
lantai
b. Kerangka harus kuat
c. Berwarna terang
d. Mudah dibersihkan
6. Pintu
a. Lebar pintu minimal
1,20 m
b. Tinggi minimal 2,10
m
c. Dapat mencegah
masukknya serangga
dan tikus
d. Kuat
7. Jendela
a. Mudah dibersihkan
b. Kuat
c. Berfungsi dengan
baik
d. Mudah dibersihkan
II. Kualitas Fisik Udara Ruangan
a. Pencahayaan …….. lux
b. Suhu …….. °C
c. Kelembaban …….. %
116
Lampiran 5
Denah peletakan alat Thermohygro dalam pengukuran suhu dan
kelembaban di ruang rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Keterangan gambar:
: Tempat tidur pasien
: Meja pasien
: Pintu
: Alat Thermohygro
1
2
3
3
1
2
1
2
1
2
3
117
Lampiran 6
Denah peletakan alat Luxmeter dalam pengukuran pencahayaan di ruang
rawat inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Keterangan gambar:
: Tempat tidur pasien
: Meja pasien
: Pintu
: Alat Luxmeter
1
2
3
3
1
2
1
2
1
2
3
118
Lampiran 7
Denah peletakan Cawan Petri yang ada pada 5 titik di ruang rawat inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Keterangan gambar:
: Tempat tidur pasien
: Meja pasien
: Pintu
: Cawan Petri
3
1
2
1
2
1
2
3
1
2
3
119
Lampiran 8
120
121
Lampiran 9
HASIL OUTPUT VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUESIONER
1. UJI VALIDITAS
No No Butir Pertanyaan
Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 6
2 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 5
3 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 4
4 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 6
5 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 4
6 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 8
7 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 8
8 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 4
9 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 6
10 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 5
11 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 5
12 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 7
13 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 7
14 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8
15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 9
16 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 7
17 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 7
18 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 7
19 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 4
20 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8
21 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8
22 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 6
122
Hasil Uji Validitas Kuesioner dengan 10 butir pertanyaan:
Correlations
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 TOTAL
P1 Pearson
Correlation 1 .169 .363 .194 .149 .183 .500* .277 -.160 -.283 .710**
Sig. (2-tailed) .453 .097 .388 .508 .416 .018 .212 .476 .201 .000
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P2 Pearson
Correlation .169 1 .061 -.327 -.113 .092 -.140 -.211 -.424* .169 .130
Sig. (2-tailed) .453 .787 .138 .616 .682 .535 .347 .049 .453 .564
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P3 Pearson
Correlation .363 .061 1 .500* .054 -.132 -.025 .733** .297 -.435* .606**
Sig. (2-tailed) .097 .787 .018 .811 .557 .912 .000 .179 .043 .003
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P4 Pearson
Correlation .194 -.327 .500* 1 .241 .236 .134 .869** .184 -.516* .642**
Sig. (2-tailed) .388 .138 .018 .281 .291 .553 .000 .412 .014 .001
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
123
P5 Pearson
Correlation .149 -.113 .054 .241 1 .204 .386 .399 -.199 -.466* .464*
Sig. (2-tailed) .508 .616 .811 .281 .362 .076 .066 .374 .029 .030
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P6 Pearson
Correlation .183 .092 -.132 .236 .204 1 .000 .108 -.098 -.183 .449*
Sig. (2-tailed) .416 .682 .557 .291 .362 1.000 .631 .666 .416 .036
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P7 Pearson
Correlation .500* -.140 -.025 .134 .386 .000 1 .266 -.314 -.449* .407
Sig. (2-tailed) .018 .535 .912 .553 .076 1.000 .231 .155 .036 .060
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P8 Pearson
Correlation .277 -.211 .733** .869** .399 .108 .266 1 .095 -.594** .756**
Sig. (2-tailed) .212 .347 .000 .000 .066 .631 .231 .673 .004 .000
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
P9 Pearson
Correlation -.160 -.424* .297 .184 -.199 -.098 -.314 .095 1 -.356 -.050
Sig. (2-tailed) .476 .049 .179 .412 .374 .666 .155 .673 .104 .826
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
124
P10 Pearson
Correlation -.283 .169 -.435* -.516* -.466* -.183 -.449* -.594** -.356 1 -.552**
Sig. (2-tailed) .201 .453 .043 .014 .029 .416 .036 .004 .104 .008
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
TOTAL Pearson
Correlation .710** .130 .606** .642** .464* .449* .407 .756** -.050 -.552** 1
Sig. (2-tailed) .000 .564 .003 .001 .030 .036 .060 .000 .826 .008
N 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari hasil analisis di dapat nilai skor item dengan skor total. Nilai ini kemudian kita bandingkan dengan nilai R tabel. R tabel dicari
pada signifikan 5% dengan n=22 (df=n-2= 20), maka di dapat R tabel sebesar 0,360. Penentuan kevalidan suatu instrumenn diukur
dengan membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Adapun penentuan disajikan sebagai berikut:
➢ r-hitung ≥ r-tabel atau nilai sig r < 0,05 : Valid
➢ r-hitung < r-tabel atau nilai sig r > 0,05 : Tidak Valid
Jika ada butir yang tidak valid, maka butir yang tidak valid tersebut dikeluarkan dan proses analisis diulang untuk butir yang valid
saja
125
Tabel Rangkuman Hasil Uji Validitas
No. Butir R hitung Keterangan Interpretasi
1 0,710 ≥0,360 Valid
2 0,130 <0,360 Tidak Valid
3 0,606 ≥0,360 Valid
4 0,642 ≥0,360 Valid
5 0,464 ≥0,360 Valid
6 0,449 ≥0,360 Valid
7 0,407 ≥0,360 Valid
8 0,756 ≥0,360 Valid
9 -0,050 <0,360 Tidak Valid
10 -0,552 ≥0,360 Valid
2. UJI RELIABILITAS
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.647 9
Dari hasil analisis di dapat nilai Alpha sebesar 0,647 > 0,60 maka dapat
disimpulkan bahwa butir-butir instrument penelitian tersebut reliable.
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's Alpha if
Item Deleted
P1 11.09 7.706 .609 .571
P3 10.68 8.608 .464 .613
P4 10.73 8.208 .586 .592
P5 10.82 8.442 .392 .614
P6 11.05 8.522 .303 .626
P7 10.91 8.468 .341 .621
P8 10.77 7.803 .710 .567
P10 11.09 11.610 -.628 .764
TOTAL 5.23 2.565 .945 .388
126
Lampiran 10
127
Lampiran 11
128
Lampiran 12
HASIL OUPUT PENGOLAHAN DATA SPSS
1. UJI NORMALITAS DATA
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ANGKA KUMAN .193 22 .032 .783 22 .000
SUHU .172 22 .090 .917 22 .067
KELEMBABAN .162 22 .139 .921 22 .079
PENCAHAYAAN .176 22 .073 .924 22 .091
SANITASI RUANG .156 22 .178 .919 22 .073
PEMELIHARAAN RUANG .186 22 .045 .919 22 .072
a. Lilliefors Significance Correction
2. UJI UNIVARIAT (MEAN, STANDAR DEVIASI, MINIMUM DAN
MAKSIMUM
Descriptives
Statistic Std. Error
ANGKA KUMAN Mean 25.91 4.887
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 15.75
Upper Bound 36.07
5% Trimmed Mean 23.40
Median 20.00
Variance 525.325
Std. Deviation 22.920
Minimum 3
Maximum 95
Range 92
Interquartile Range 22
Skewness 1.972 .491
Kurtosis 4.100 .953
SUHU Mean 28.68 .332
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 27.99
Upper Bound 29.37
129
5% Trimmed Mean 28.70
Median 29.00
Variance 2.418
Std. Deviation 1.555
Minimum 26
Maximum 31
Range 5
Interquartile Range 2
Skewness -.416 .491
Kurtosis -.792 .953
KELEMBABAN Mean 61.18 .320
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 60.52
Upper Bound 61.85
5% Trimmed Mean 61.15
Median 61.00
Variance 2.251
Std. Deviation 1.500
Minimum 59
Maximum 64
Range 5
Interquartile Range 2
Skewness .125 .491
Kurtosis -.519 .953
PENCAHAYAAN Mean 101.27 1.673
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 97.79
Upper Bound 104.75
5% Trimmed Mean 101.26
Median 98.50
Variance 61.541
Std. Deviation 7.845
Minimum 89
Maximum 114
Range 25
Interquartile Range 13
Skewness .084 .491
Kurtosis -1.344 .953
SANITASI RUANG Mean 90.77 .624
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 89.48
Upper Bound 92.07
5% Trimmed Mean 90.64
Median 91.00
Variance 8.565
Std. Deviation 2.927
Minimum 87
130
Maximum 97
Range 10
Interquartile Range 4
Skewness .710 .491
Kurtosis .120 .953
PEMELIHARAAN RUANG Mean 75.91 1.539
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 72.71
Upper Bound 79.11
5% Trimmed Mean 76.07
Median 75.00
Variance 52.087
Std. Deviation 7.217
Minimum 62
Maximum 87
Range 25
Interquartile Range 10
Skewness -.028 .491
Kurtosis -.171 .953
3. UJI BIVARIAT
1. Hubungan Suhu dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Correlations
ANGKA KUMAN SUHU
ANGKA KUMAN Pearson Correlation 1 .375
Sig. (2-tailed) .086
N 22 22
SUHU Pearson Correlation .375 1
Sig. (2-tailed) .086
N 22 22
131
2. Hubungan Kelembaban dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Correlations
ANGKA KUMAN KELEMBABAN
ANGKA KUMAN Pearson Correlation 1 .790**
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
KELEMBABAN Pearson Correlation .790** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
3. Hubungan Pencahayaan dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Correlations
ANGKA KUMAN PENCAHAYAAN
ANGKA KUMAN Pearson Correlation 1 -.799**
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
PENCAHAYAAN Pearson Correlation -.799** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
4. Hubungan Sanitasi Ruang dengan Angka Kuman Udara di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Correlations
ANGKA KUMAN SANITASI RUANG
ANGKA KUMAN Pearson Correlation 1 -.531*
Sig. (2-tailed) .011
N 22 22
SANITASI RUANG Pearson Correlation -.531* 1
Sig. (2-tailed) .011
N 22 22
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
132
5. Hubungan Pemeliharaan Ruang dengan Angka Kuman Udara di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dungus Madiun
Correlations
ANGKA KUMAN PEMELIHARAAN
RUANG
ANGKA KUMAN Pearson Correlation 1 -.581**
Sig. (2-tailed) .005
N 22 22
PEMELIHARAAN RUANG Pearson Correlation -.581** 1
Sig. (2-tailed) .005
N 22 22
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
133
Lampiran 13
134
135
136
Lampiran 14
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1.1
Peletakan Cawan Petri di
Ruang Rawat Inap
Gambar 1.2
Memasukkan Cawan Petri Ke
Dalam Coolbox
Gambar 1.3
Pengukuran Pencahayaan di
Ruang Rawat Inap
Gambar 1.4
Pengukuran Suhu dan
Kelembaban di Ruang Rawat
Inap
137
Gambar 1.5
Observasi Sanitasi Ruang
Pengukuran Panjang Pintu di
Ruang Rawat Inap
Gambar 1.6
Observasi Sanitasi Ruang
Pengukuran Lebar Pintu di
Ruang Rawat Inap
Gambar 1.7
Alat Pengukuran Suhu dan
Kelembaban Thermohygro
Meter
Gambar 1.8
Alat Pengukuran Pencahayaan
Lux Meter
138
top related