skripsi hubungan pengetahuan dan sikap keluarga …repo.stikesperintis.ac.id/59/1/10 ika guswani...
Post on 29-Feb-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN
TINGKAT KECEMASAN DALAM MERAWAT ANGGOTA
KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIJUNJUNG
KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN 2018
Penelitian Keperawatan Jiwa
Oleh :
IKA GUSWANI PRATIWI
14103084105015
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKes PERINTIS PADANG
TAHUN 2017/2018
SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN
TINGKAT KECEMASAN DALAM MERAWAT ANGGOTA
KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIJUNJUNG
KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN 2018
Penelitian Keperawatan Jiwa
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan Program Studi Sarjana Keperawatan
STIKes PERINTIS Padang
Oleh :
IKA GUSWANI PRATIWI
14103084105015
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKes PERINTIS PADANG
TAHUN 2017/2018
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES PERINTIS PADANG
SKRIPSI, JULI 2018
IKA GUSWANI PRATIWI
NIM : 14103084105015
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN TINGKAT
KECEMASAN DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG
MENGALAMI GANGGUAN JIWA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SIJUNJUNG KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN 2018
(IX + VI BAB + 103 halaman + 6 tabel + 4 skema + 10 lampiran)
ABSTRAK
Jumlah pasien gangguan jiwa sebanyak 75 orang pada tahun 2017di Wilayah kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung dengan jumlah pasien gangguan jiwa teran
pada tahun 2017 pasien gangguan jiwa berada pada posisi ketiga dengan jumlah pasien 75
orang di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung. Keluarga sangat berpengaruh terhadap
proses kesembuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, oleh karena
keluarga sering merasakan kecemasan dalam merawat anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Penelitan ini menggunakan metode corelatif
study. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage sampling melibatkan 48
responden, kemudian diolah menggunakan chi-square test. Hasil uji statistik diperoleh
nilai ρ value = 0,000 (ρ<0,01), maka ada hubungan pengetahuan dengan tingkat
kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hasil uji
statistik diperoleh nilai ρ value = 0,004 (ρ<0,01), maka ada hubungan sikap dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Kesimpulan dari penelitian ini adanya hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di
Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung. Disarankan bagi peneliti
selanjutnya dalam melakukan penelitiannya dengan variabel yang berbeda dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Kata Kunci :Gangguan Jiwa, Keluarga, Pengetahuan, Sikap, Tingkat Kecemasan
Daftar Bacaan : 37 (2004 – 2016)
Seringkali keluarga
menjadi putus asa
berhadapan dengan orang
yang dicintai yang
memiliki penyakit mental.
Jika anggota
keluarga memburuk
akibat stress dan
banyak pekerjaan,
dapat menghasilkan
anggota keluarga
yang sakit tidak
memiliki sistem
pendukung yang
sedang berlangsung
PROGRAM OF NURSING STUDY
PERINTIS SCHOOL OF HEALTH SCIENCE PADANG
UNDERGRADUATE SCRIPTION, JULY 2018
IKA GUSWANI PRATIWI
1410308105015
THE CORRELATION BETWEEN KNOWLEDGE AND ATTITUDE FAMILY WITH
THE LEVEL OF ANXIETY IN CARING FOR MEMBERS OF THE FAMILY
EXPERIENCING A MENTAL DISORDER IN THE WORKING ARE SIJUNJUNG
HEALTH CENTER, SIJUNJUNG REGENCY 2018
(IX + VI CHAPTER + 103 page + 6 table + 4 scheme + 10 attachment)
ABSTRACT
The number of patients with mental disorders as many as 75 people in 2017 in the
working area of Health Center Sijunjung Regency Sijunjung with the number of patients
teraty mental disorder in 2017 patients mental disorder is in the third position with the
number of patients 75 people in the Working Area Health Center Sijunjung. Family is
very influential on the healing process of family members who have mental disorders,
because the family often feel anxiety in caring for family members who suffer from mental
disorders. This study aims to determine the relationship of knowledge and attitudes of
families with anxiety levels in caring for family members who have mental disorders. This
research uses corelatif study method. The sampling technique used is multistage sampling
involving 48 respondents, then processed using chi-square test. Statistical test results
obtained value ρ value = 0,000 (ρ<0,01), then there is a relationship of knowledge with
the level of anxiety in caring for family members who have mental disorders. Statistical
test results obtained value ρ value = 0.004 (ρ<0,01), then there is an attitude relationship
with the level of anxiety in caring for family members who have mental disorders. The
conclusion of this research is the correlation between knowledge and attitude family with
the level of anxiety in caring for members of the family experiencing a mental disorder in
the Working Are Sijunjung Health Center, Sijunjung Regency 2018. It is suggested for
subsequent researchers in doing research with different variables in caring for family
members who have mental disorders.
Keyword : Attitude, Family, Knowledge, Level Of Anxiety, Mental Disorder,
Reading List : 37 (2004 – 2016)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Ika Guswani Pratiwi
Tempat/Tanggal Lahir : Solok, 26 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Jumlah Saudara : 2 Orang
Anak ke : 1 ( Pertama )
Alamat Lengkap : Perumnas Selasa Indah F/15, Muaro Sijunjung,
Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatra Barat
B. Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Irwansyah
Nama Ibu : Jumini, Amd. Kep
Alamat Lengkap : Perumnas Selasa Indah F/15, Muaro Sijunjung,
Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatra Barat
C. Riwayat Pendidikan
2000-2002 : TK Bhayangkari Sijunjung
2002-2008 : SD Negeri 1 Sijunjung
2008-2011 : SMP Negeri 1 Sijunjung
2011-2014 : SMA Negeri 2 Sijunjung
2014-2018 : Program S1 Keperawatan STIKes Perintis Padang
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat, Nikmat, dan Karunia-Nya, sehingga penyusunan proposal ini dapat
terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menempuh Ujian Seminar Skripsi Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes
Perintis Padang tahun 2018 dengan judul proposal “Hubungan pengetahuan dan
sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung.”
Selama penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang
telah memberikan arahan dan masukan yang membangun, demi terselesaikannya
penulisan proposal ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan banyak terima
kasih kepada :
1. Bapak Yendrizal Jafri, S.Kp,M.Biomed selaku Ketua STIKes Perintis
Sumatera Barat.
2. Ibu Ns. Ida Suryati, M.Kep. selaku Ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan STIKes Perintis Sumatera Barat.
3. Bapak Ns. Falerisiska Yunere, M.Kep selaku pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan, arahan serta petunjuk dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Ns. Yuli Permata Sari, M.Kep selaku pembimbing II yang juga
telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan
dan saran kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Bapak dan ibu staf pengajar Prodi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis
Padang.
6. Yang teristimewa kepada Ayahanda Irwansyah dan Ibunda Jumini
yang telah membesarkan, mendidik, dan mendoakanku, memberi
dukungan moral maupun materil. Karena dengan ketulusan, cinta,
kasih, sayang, kepedulian dan perhatian dari ayahanda Irwansyah dan
ibunda Jumini saya mampu menyelesaikan pendidikan dan mampu
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada adik-adikku tersayang Recky Fernando Lubis dan Bagus
Harriyanto Lubis. Berkat dukungan, motivasi, dan bantuan dari
mereka, saya menjadi kuat dan bersemangat dalam menyelesaikan
skripsi ini untuk mencapai gelar sarjana.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Prodi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis
Sumbar Angkatan 2014 yang telah banyak memberikan masukan dan
semangat yang sangat berguna dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Dukungan yang sangat membantu dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi
ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu.
Tiada satupun di alam semesta ini yang sempurna kecuali Allah SWT. Oleh
karena itu peneliti tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, karena skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini sangat peneliti harapkan dari pembaca semuanya.
Harapan peneliti semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik bagi
peneliti sendiri, maupun pembaca dikemudian hari.
Bukittinggi, Juli 2018
Ika Guswani Pratiwi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR SKEMA ........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 9
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 9
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 9
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Lahan Penelitian .................................................................. 10
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ............................................................. 10
1.4.3 Bagi Peneliti ................................................................................ 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gangguan Jiwa
2.1.1 Defenisi Gangguan Jiwa .............................................................. 12
2.1.2 Faktor Yang Menyebab Gangguan Jiwa ...................................... 13
2.1.3 Ciri-ciri Gangguan Jiwa ............................................................... 16
2.1.4 Jenis-jenis Ganguan Jiwa ............................................................. 17
2.1.5 Dampak Gangguan Jiwa Bagi Keluarga ........................................ 22
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Defenisi Keluarga ........................................................................ 25
2.2.2 Bentuk Keluarga .......................................................................... 27
2.2.3 Peran Keluarga ............................................................................. 28
2.2.4 Fungsi keluarga ............................................................................ 29
2.2.5 Tugas Kesehatan Keluarga .......................................................... 31
2.2.6 Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga ...................................... 33
2.2.7 Prpgram Untuk Keluarga Gangguan Jiwa ................................... 36
2.3 Konsep Pengetahuan
2.3.1 Defenisi Pengetahuan .................................................................. 39
2.3.2 Tingkat Pengetahuan ................................................................... 41
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ........................ 42
2.3.4 Cara Memperoleh Pengetahuan ................................................... 44
2.4 Konsep Sikap
2.4.1 Defenisi Sikap .............................................................................. 45
2.4.2 Ciri-ciri Sikap .............................................................................. 46
2.4.3 Tingkat Sikap ............................................................................... 47
2.4.4 Fungsi Sikap ................................................................................ 48
2.4.5 Pengukuran Sikap ........................................................................ 49
2.4.6 Pembentukan Sikap dan Pengubahan Sikap ................................ 51
2.4.7 Sikap Keluarga Terhadap Anggota Keluarga Yang Menglami
Gangguan Jiwa .............................................................................. 53
2.5 Konsep Kecemasan
2.5.1 Defenisi Kecemasan .................................................................... 55
2.5.2 Proses Terjadinya Kecemasan ..................................................... 56
2.5.3 Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kecemasan ........................... 57
2.5.4 Teori Kecemasan ......................................................................... 58
2.5.5 Reaksi yang Ditimbulkan oleh Kecemasan ................................. 60
2.5.6 Tingkat Kecemsan ....................................................................... 61
2.5.7 Cara Mengatasi Kecemasan ......................................................... 64
2.5.8 Skala Kecemasan HARS ............................................................. 65
2.6 Kerangka Teori .................................................................................... 68
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 70
3.2 Defenisi Operasional ........................................................................... 71
3.3 Hipotesa ............................................................................................... 72
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ................................................................................. 73
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 74
4.3 Populasi, Sampel dan Sampling .......................................................... 74
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................ 77
4.5 Pengumpulan Data .............................................................................. 77
4.6 Pengolahan dan Analisa ...................................................................... 79
4.7 Etika Penelitian .................................................................................... 82
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil penelitian ..................................................................................... 85
5.1.1 Analisa Univariat ......................................................................... 85
5.1.2 Analisa Bivariat ........................................................................... 87
5.2 Pembahasan
5.2.1 Univariat ...................................................................................... 90
5.2.2 Bivariat ......................................................................................... 97
BAB VI PENUTUP
6.1.Kesimpulan ........................................................................................... 102
6.2 Saran ..................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Defenisi Operasional ............................................................................ 71
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Keluarga Tentang Gangguan
Jiwa ...................................................................................................... 86
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sikap Keluarga Dalam Merawat Anggota
Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa ........................................ 86
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Merawat
Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa .......................... 87
Tabel 5.4 Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam
Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa ........... 88
Tabel 5.4 Hubungan Sikap Dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam
Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa ........... 89
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Proses Terjadinya Kecemasan ........................................................ 56
Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan ......................................................... 64
Skema 2.3 Kerangka Teori .............................................................................. 68
Skema 3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2 Format Persetujuan Responden (Informed Consent)
Lampiran 3 Kisi-kisi Kuesioner
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian dari STIKes Perintis Padang
Lampiran 6 Surat Balasan dari Kesbangpol
Lampiran 7 Surat Balasan dari Kecamatan
Lampiran 8 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 9 Jadwal Kegiatan Penelitian
Lampiran 10 Lembar Konsultasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sehat menurut WHO (World Health Organization) adalah keadaan sejahtera
yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit
atau kecacatan, sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian yang terintegrasi
dalam kesehatan individu secara keseluruhan yang tidak hanya terbebas dari
gangguan jiwa saja tetapi lebih kepada kualitas untuk menjalani hidup yang
lebih bahagia (Efendi dan Makhfudli, 2009). Kesehatan jiwa adalah suatu
kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri
yang positif dan kestabilan emosional.
Pemerintah dalam hal kesehatan jiwa telah menetapkan aturan dalam bentuk
perundang-undangan kesehatan jiwa yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 1 tentang kesehatan jiwa,
menyatakan bahwa: “Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, mampu mengatasi tekanan dan bekerja
secara produktif, serta senantiasa memberikan kontribusi untuk komunitasnya
(Melisa, 2016).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa dapat dikategorikan sebagai
faktor individual, interpersonal, dan sosial /budaya. Faktor individual meliputi
struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup ,vitalitas, menemukan arti
hidup, kegembiraan atau daya tahan emosional, spiritual dan memiliki
identitas yang positif. Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif,
membantu orang lain, keintiman dan mempertahankan keseimbangan antara
perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial/budaya meliputi keinginan untuk
bermasyarakat, memiliki penghasilan yang cukup, tidak mentoleransi
kekerasan dan mendukung keragaman individu (Videbeck, 2008).
Ada empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modren dan
industri yaitu penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan.
Salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju,
modren dan industri yaitu gangguan jiwa, meskipun gangguan jiwa tersebut
tidak dianggap sebagai hal yang menyebabkan kematian secara langsung,
namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan secara
invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat
pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hayani,
2012). Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena
adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak
mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan
lingkungan. (Simanjuntak, 2006)
Gangguan jiwa meliputi gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Hartanto, 2014). Dalam
kehidupan gangguan jiwa dapat mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang.
Aktivitas, kehidupan sosial, ritme pekerjaan, serta hubungan dengan keluarga
jadi terganggu karena gejala ansietas, depresi, dan psikosis. Seseorang dengan
gangguan jiwa apapun harus segera mendapatkan pengobatan. Keterlambatan
pengobatan akan semakin merugikan penderita, keluarga dan masyarakat
(sulistyorini 2013).
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat
signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita
gangguan jiwa bertambah. Menurut data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta
orang terkena depresi, 60 orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Berdasarkan data dari World Health
Organisasi (WHO 2015), ada sekitar 478,5 juta orang didunia yang
mengalami gangguan jiwa (Melisa, 2016).
Di Indonesia dengan berbagai faktor biologi, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus
bertambah yang berdampak pada beban negara dan penurunan produktivitas
manusia untuk jangka panjang. Di Indonesia gangguan jiwa berat tertinggi di
Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7%), posisi kedua di Sulawesi
Selatan (2,6%), posisi ketiga di Jawa Tengah dan Bali (masing-masing 2,3%),
posisi keempat di Bangka Belitung dan Jawa Timur (masing-masing 2,2%).
Posisi kelima di NTB (2,1%), posisi keenam di Sumatra Barat, Bengkulu,
Sulawesi Tengah (masing-masing 1,9%) dan gangguan jiwa berat terendah di
Kalimanatan Timur (0,7%) (Rikesdas 2013). Berdasarakan hasil Rikesdas
2013 Provinsi Sumatra Barat berada pada posisi keenam dalam daftar tabel
prevalensi gangguan jiwa berat menurut provinsi (Rikesdas, 2013).
Provinsi Sumatra Barat terdapat 19 kabupaten salah satunya Kabupaten
Sijunjung. Di kabupaten Sijunjung tercatat ada 214.560 jiwa, ada sekitar
48.322 kepala keluarga, ada 1 Rumah Sakit Umum Daerah dan ada 12 pusat
kesehatan masyarakat. Berdasarkan data yang di kumpulkan dari 1 RSUD dan
12 puskesmas didapatkan bahwa jumlah kunjungan gangguan jiwa ada
sebanyak 336 orang di sarana pelayanan kesehatan tahun 2014 di Kabupaten
Sijunjung dari 19 Kab/Kota di Sumatra Barat. Kabupaten Sijunjung berada
pada urutan posisi ke-15 dari 19 Kab/Kota di Sumatra Barat berdasarkan
banyak jumlah kunjungan gangguan jiwa pada tahun 2014. Jumlah kunjungan
gangguan jiwa tertinggi di Kepulauan Mentawai sebanyak 75.877 orang dan
kunjungan gangguan jiwa terendah di Bukittinggi sebanyak 122 orang.
Pariaman dan Solok tidak ada kunjungan gangguan jiwa di sarana pelayanan
kesehatan pada tahun 2014 (Profil kesehatan 2014 Provinsi Sumatra Barat).
Dari 13 jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten Sijunjung, salah satunya
Puskesmas Sijunjung yang merupakan pusat pelayanan kesehatan yang dekat
dengan pusat kota Muaro Sijunjung. Berdasarkan data yang dihimpun dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Sijunjung, jumlah keseluruhan pasien gangguan
jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung sebanyak 75 orang pada tahun
2017. Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung berada pada posisi ketiga (75
orang) setelah Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Gadang (109 orang) yang
berada pada posisi pertama dan Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Ampalu
(90 orang) berada pada posisi kedua dengan jumlah pasien gangguan jiwa di
Kabupaten Sijunjung. Jumlah total pasien gangguan jiwa dari 13 puskesmas
yang ada di Kabupaten Sijunjung yaitu sebanyak 723 orang (Laporan bulanan
pelayanan kesehatan jiwa tahun 2017, Dinas Kesehatan Kabupaten Sijunjung).
Dengan melihat kondisi masalah kesehatan jiwa setiap tahunnya meningkat
dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya, maka dalam laporan
“Kesehatan mental: pemahaman baru, harapan baru” oleh Brundtland (2001)
melaporkan bahwa pendekatan kesehatan masyarakat terutama keluarga dalam
penanganan kesehatan mental memiliki peranan yang penting, pemahaman
keluarga menjadi hal utama dalam mendukung kesembuhan penderita
gangguan jiwa (Simanjuntak, 2006).
Berdasarkan survei pada beberapa orang dengan anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa diperoleh bahwa ada beberapa hal yang
menyebabkan keluarga tidak aktif dalam memberikan perhatian dan
pengobatan pada penderita gangguan jiwa (Biegel et al., 1995 dikutip dari
Stuart & Laraia, 2001). Ada beberapa masalah yang teridentifikasi yang
dialami oleh keluarga yaitu meningkatnya stres dan kecemasan keluarga,
sesama keluarga saling menyalahkan, kesulitan pemahaman (kurangnya
pengetahuan keluarga) dalam menerima sakit yang diderita oleh anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dan pengaturan sejumlah waktu
dan sikap keluarga dalam menjaga serta merawat penderita gangguan jiwa dan
keuangan yang akan dihabiskan pada penderita gangguan jiwa (Simanjuntak,
2006).
Penelitian yang dilakukan terhadap 32 keluarga inti yang menjadi responden,
yang salah satu anggota keluarganya berobat jalan di Poliklinik Rumah Sakit
Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan menggambarkan bahwa 59,4%
responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai gangguan jiwa, 40,6%
responden memiliki pengetahuan yang sedang mengenai gangguan jiwa,
46,9% responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan, 46,9% responden
memiliki tingkat kecemasan yang sedang. Sementara itu 46,2% responden
memiliki tingkat kecemasan yang berat dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa (Simanjuntak, 2006).
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga
selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota
keluarganya, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang
mengalami ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya pengetahuan
mengenai persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Selain pengetahuan keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, sikap yang diberikan keluarga sangat berpengaruh terhadap
proses kesembuhan dan dalam memberikan perawatan kepada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sikap berupa dukungan keluarga
yang bisa diberikan kepada pasien meliputi dukungan emosional yaitu dengan
memberikan kasih sayang dan sikap positif yang diberikan kepada klien,
dukungan informasional yaitu dengan memberikan nasihat dan pengarahan
kepada klien untuk minum obat. Sikap yang baik dan perawatan yang baik
oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami gannguan jiwa akan
berdampak baik bagi kehidupan dan kualitas hidup anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, begitu pula sebaliknya (Simanjuntak, 2016).
Oleh karena itu keluarga sering merasakan kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa Kecemasan yang di
rasakan dapat berupa; adanya perasaan cemas, adanya ketegangan, adanya
rasa ketakutan, adanya gangguan tidur, adanya gangguan kecerdasan, adanya
perasaan depresi dan gejala-gejala tingkat kecemasan lainnya yang diarasakan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 3 Desember 2017,
kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga mengalami gangguan jiwa
sebanyak 7 keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung, yang dilakukan
wawancara untuk mengukur tingkat pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa, 5
keluarga (71,4%) memiliki pengetahuannya tinggi dan terdapat 2 keluarga
(28,6%) memiliki pengetahuannya rendah terhadap anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa.
Wawancara yang dilakukan pada 7 keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, untuk mengetahui sikap positif dan negatif
yang diberikan dapat disimpulkan bahwa, 4 keluarga (57,1%) memberikan
sikap positif terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan 3
keluarga (42,9%) memberikan sikap negatif terhadap anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
Wawancara yang dilakukan pada 7 keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, untuk mengetahui tingkat kecemasan yang
dialami keluarga dapat disimpulkan bahwa, 4 keluarga (57,1%) memiliki
tingkat kecemasan ringan, 2 keluarga (28,6%) memiliki tingkat kecemasan
sedang dan 1 keluarga (14,3%) memiliki tingkat kecemasan berat terhadap
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik ingin melakukan penelitian
yang berjudul “hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah, “Apakah Ada Hubungan Pengetahuan dan Sikap
Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Merawat Anggota Keluarga yang
Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun
2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
b. Diketahui distribusi frekuensi sikap keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
c. Diketahui distribusi frekuensi tingkat kecemasan dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
d. Diketahui distribusi frekuensi hubungan pengetahuan keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018.
e. Diketahui distribusi frekuensi hubungan sikap keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Lahan Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan penerapan pengetahuan
dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung tahun 2018 khususnya terhadap keluarga yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Menambah referensi pustaka, khususnya buku tentang pengetahuan dan
sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sebagai data dan hasil penelitian
yang dapat dijadikan dasar atau data yang mendukung untuk penelitian
selanjutnya.
1.4.3 Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang hubungan
pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan mengembangkan
kemampuan peneliti menyusun suatu laporan penelitian.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung tahun 2018. Dimana variabel independen yang
digunakan oleh penelitii adalah pengetahuan dan sikap keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Variabel
dependen yang digunakan oleh peneliti adalah tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Dalam penelitian
ini yang menjadi populasi adalah semua keluarga yang memiliki anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa diwilayah kerja Puskesmas Sijunjung
yaitu sebanyak 75 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah multistage sampling, dengan jumlah sampel yaitu
sebanyak 48 orang responden. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross
sectional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
kuesioner. Penelitian ini dilakukan dalam rentang tanggal 12 Februari sampai
12 Maret 2018. Tempat penelitian di lakukan di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung Kabupaten Sijunjung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gangguan Jiwa
2.1.1 Defenisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku
yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan
dengan adanya distress (misalnya, gejala nyeri) atau disabilitas (yaitu
kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai
peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau
sangat kehilangan kebebasan (American Psychiatric Association, 1994
dalam Susanti, 2014). Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang
terjadi tanpa alasan yang masuk akal, berlebihan, berlangsung lama, dan
menyebabkan kendala terhadap individu tersebut atau orang lain
(Suliswati, 2005). Dalam buku Keliat, 2012 menyebutkan gangguan jiwa
adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu
dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.
Menurut PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa)
gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di
dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik,
perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan
antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010).
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Banyak
yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit tidak selalu bersifat
kronis. Pada umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau
tumpul (Maslim, 2002) (dalam Ah. Yusuf, 2015).
2.1.2 Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa
Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan jiwa
terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin dibadan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis
(psikogenik), (Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal,
akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang
saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah
gangguan badan ataupun gangguan jiwa.
Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa
dapat dibedakan atas :
a. Faktor Biologis /Jasmaniah
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas
dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa
tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan
yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang berhubungan
dengan ganggua jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh
gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik depresif,
sedang yang kurus/ectoform cenderung menjadi skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah
kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami
gangguan jiwa.
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker, dan
sebagainya mungkin dapat menyebabkan merasa murung dan sedih.
Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa
rendah diri.
b. Ansietas dan Ketakutan
Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang tidak
menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu merasa terancam,
ketakutan hingga terkadang mempersepsikan dirinya terancam.
c. Faktor Psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang
dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya. Pemberian kasih
sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras akan
menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
d. Faktor Sosio-Kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012) yaitu :
1) Penyebab primer (primary cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan
jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan jiwa
tidak akan muncul.
2) Penyebab yang pencetus (precipatating cause)
Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang
langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan
gangguan jiwa.
3) Penyebab menguatkan (reinforcing cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau mempengaruhi
tingkah laku maladaptif yang terjadi.
4) Multiple cause
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling
mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang
disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai hubungan
sebab akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor
penyebab dengan penyebab lainnya.
e. Faktor Presipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang.
Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu mempersepsikan dirinya
melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk koping. Masalah
khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana
individu tidak mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi
konsep diri dan komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat
mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindakan
operasi, proses patologipenyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh,
proses tumbuh kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan
(Stuart&Sundeen, 2008).
2.1.3 Ciri-Ciri Gangguan Jiwa
Ciri-ciri gangguan jiwa (Suliswati, 2005) meliputi:
a. Perubahan yang berulang dalam pikiaran, daya ingat, persepsi dan
daya tilikan yang bermanifestasi sebagai kelainan bicara dan perilaku.
b. Perubahan ini menyebabkan tekanan batin dan penderitaan pada
individu dan orang lain di lingkungannya.
c. Perubahan perilaku, akibat dari penderita ini menyebabkan gangguan
dalam kegiatan sehari-hari, efisien kerja, dan hubungan dengan orang
lain (hendaknya dalam bidang sosial dan pekerjaan).
Dalam buku Keliat, 2012, menyebutkan ciri-ciri lain dari gangguan jiwa,
yaitu: sedih berkepanjangan, tidak semangat dan cenderung malas, marah
tanpa sebab, mengurung diri, tidak mengenali orang, bicara kacau, bicara
sendiri, tidak mampu merawat diri.
2.1.4 Jenis Gangguan Jiwa
Dalam buku Keliat, 2012 menyebutkan berdasarkan survei masalah yang
dilakukan di beberapa rumah sakit jiwa, ditemukan 7 diagnosa
keperawatan utama tentang gangguan jiwa, yaitu :
a. Harga diri rendah
Harga diri rendah dalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri sendiri. Tanda dan gejala dari harga diri
rendah adalah: mengkritik diri sendiri; perasaan tidak mampu;
pandangan hidup yang pesimis; penurunan produktivitas; penolakan
terhadap kemampuan diri (Keliat, 2012).
b. Isolasi sosial
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berintekasi dengan
orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain. Tanda dan gejala dari isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara adalah: pasien menceritakan perasaan kesepian
atau ditolak oleh orang lain; pasien merasa tidak aman dengan orang
lain; pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu; pasien
tidak dapat berkosentrasi dan membuat keputusan; pasien merasa tidak
berguna; pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup (Keliat, 2012)
c. Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasa sensasi berupa
suara, penglihatan, pengcapan, perabaan, atau penghiduan tanpa
stimulus nyata. Suatu penghayatan yang dialami seperti melalui panca
indra tanpa stimulus ekternal: persepsi palsu (Keliat, 2012).
Jenis-jenis halusinasi dalam buku Kusumawati, 2010 ,yaitu :
1. Halusinasi Pendengaran : Mendengar suara atau kebisingan yang
kurang jelas ataupn yang jelas, dimana terkadang suara-suara
tersebut seperti mengajak berbicara klien dan kadang
memerintahkan klien utk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Penglihatan : Stimulus visual dalam bentuk kilatan
cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit
atau kompleks. Bayangan bisa yang menyenangkan atau
menakutkan.
3. Halusinasi Penghidu atau Penciuman : Membau bau-bauan tertentu
seperti bau darah, urin, dan feses, parfum atau bau yang lain. Ini
sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau
dimensia.
4. Halusinasi Pengecapan : Merasa mengecap rasa seperti rasa seperti
darah, urin, feses atau yang lainnya.
5. Halusinasi Perabaan : Merasa mengalami nyeri atau ketidak
nyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Halusinasi Cenesthetik : Merasakan fungsi tubuh seperti aliran
darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi Kinestetika : Merasakan pergerakan sementara berdiri
tanpa bergerak.
d. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai
kehilangan dapat terjadi pada pascabencana, baik kehilangan harta
benda, keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan
menyebabkan stres bagi yang mengalami. Jika stres ini
berkepanjangan dapat memicu masalah gangguan jiwa dan waham.
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham meliputi:
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali,
tetapi tidak sesuai kenyataan.
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau
kelompok yang berusaha merugikan/ menciderai dirinya dan
diucapkan berulang kali, tapi tidak sesuai kenyataan.
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan.
4. Waham somatik: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian
tubuhnya terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan
berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
5. Waham nihilistik: indiviu meyakini bahwa dirinya suda tidak ada
di dunia/ meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan .
e. Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasa dapat terjadi dalam 2
bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat
perilaku kekerasan.
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah: muka merah dan
tegang; pandangan tajam; mengatupkan rahang dengan kuat;
mengepalkan tangan; jalan mondar-mandir; bicara kasar; suara tinggi,
menjerit atau berteriak; mengancam secara verbal atau fisik; merusa
barang atau benda (Keliat, 2012).
f. Resiko Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya
kemungkinan pasien melakukan bunuh diri, ada tiga macam perilaku
bunuh diri, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan
percobaan bunuh diri. Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan
berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, mis, dengan
mengatakan “segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya”.
Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya, namun tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri
(Keliat, 2012).
g. Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Defisit perawatan diri tampak dari
ketidak mampuan merawat kebersihan diri, makan, berhias diri, dan
eliminasi (buang air besar dan buang air kecil) secara mandiri.
Tanda dan gejala dari defisit perawatan diri yaitu:
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi
kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian tidak kotor dan tidak rapi, pada pasien laki-laki
tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
4. Ketidakmampuan berkemih/defekasi secara mandiri, ditandai
dengan defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak
membersihkan diri dengan baik setelah defekasi/ berkemih.
(Keliat, 2012)
2.1.5 Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga
Menurut Wahyu, (2012) dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi
keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:
a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan
jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan
meyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut
anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka
cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit
dari orang lain dan menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit
untuk perilaku tidak dapat diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini
mengarah pada ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan
hubungan yang bermakna dengan keluarga yang tidak mendukung
orang yang sakit. Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar
untuk mengatasi penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat
pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga
menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk
memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut.
Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau
kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan
normal.
b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam
anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita
tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya.
Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk
mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. stigma dalam begitu
banyak di kehidupan sehari-hari, tidak mengherankan, semua ini dapat
mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Frustasi, tidak berdaya dan kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan,
menakutkan, dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat,
apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga
memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi
marah-marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan
kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.
d. Kelelahan dan Burn out
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang
dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa
tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang
harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa
terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama
jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar
diluar kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak
memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal
ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak
boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti
untuk selalu men-support penderita.
e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit
mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan
sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat
menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat
disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk
disembuhkan dan melihat penderita memiliki potensi berkurang secara
substansial bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.
f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi
Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak pekerjaan,
dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem
pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan
yang luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan
mereka tidak boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Defenisi Keluarga
Keluarga terdiri atas individu yang bergabung bersama oleh ikatan
pernikahan, darah atau adopsi dan tinggal dalam suatu rumah tangga yang
sama (Friedman, 2016). Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan
sebuah kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu yang
mempunyai hubungan erat satu sama lain dan saling bergantung, serta
diorganisasi dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan
tertentu (Ah. Yusuf, 2015).
Menurut Duval (1972) keluarga adalah sekumpulan orang yang
dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang
bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental dan emosional serta sosial
individu yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan
ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai
tujuan umum. Ballon dan Maglay (1989) menyatakan keluarga adalah dua
atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan
dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan yang
lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya
(Ali, 2010).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu
membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para
anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan
para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan
ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehtan mental
sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian
utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami
gangguan kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).
2.2.2 Bentuk Keluarga
Tipe dan bentuk keluarga menurut Friedman, 1986 (dalam Ali, 2010)
terdiri atas:
a. Keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari orang tua dan anak yang
masih menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah
dari sanak keluarga yang lainnya.
b. Keluarga besar (Exstended Family). Satu keluarga yang terdiri dari
satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling
menunjang satu sama lain.
c. Single parent family. Satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala
keluarga dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung
padanya.
d. Nuclear dyed. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa
anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.
e. Blended family. Suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan
pasangan, yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak
hasil perkawinan terdahulu
f. Three generation family. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu
kakek, nenek, bapak, ibu dan anak dalam satu rumah
g. Single adult living alone. Bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu
orang dewasa yang hidup dalam rumahnya.
h. Middle age atau elderly couple. Keluarga yang terdiri dari sepasang
suami istri paruh baya.
2.2.3 Peran Keluarga
Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi
tertentu. Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola
perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga (Effendy, 1998) adalah
sebagai berikut:
a. Peran ayah : sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya, berperan
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman,
sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkunganya.
b. Peran ibu : sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai
peran untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari
peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping itu ibu juga berperan sebagai pencari
nafkah tambahan dalam keluarganya.
c. Peran anak : anak-anak melaksanakan peran psiko-sosial sesuai dengan
tingkatanperkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.
Keliat (2011), mengemukakan pentingnya peran serta keluarga dalam
perawatan klien gangguan jiwa yang dapa dipandang dari berbagai segi :
a. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya.
b. Keluarga merupakan suatu sistem yang saling bergantung dengan
anggota keluarga yang lain.
c. Pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien semur hidup tetapi
fasilitas yang hanya membantu klien dan keluarga sementara.
d. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab
gangguan jiwa adalah keluarga yang pengetahuannya kurang.
2.2.4 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) adalah :
a. Fungsi Afektif
Berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, sebagai basis
kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk memenuhi kebutuhan
psikososial terutama bagi klien gangguan jiwa. Keberhasilan
melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan
kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota keluarga
saling mempertahankan iklim yang positif. Hal tersebut dapat
dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi dan hubungan dalam
keluarga. Dengan demikian, keluarga yang ebrhasil melaksanakan
fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat mengembangkan konsep
diri positif.
Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan
fungsi afektif adalah :
1. Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling
mendukung antara keluarga dengan anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, sehinggatercipta hubungan yang hangat
dan saling medukung.
2. Saling menghargai, keluarga harus menghargai, mengakui
keberadaan dan hak anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa serta selalu mempertahankan iklim positif.
3. Ikatan kekeluargaan yang kuat dikembangkan melalui proses
identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan
anggota keluarga terutama pada anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa yang sangat membutuhkan perhatian dan dukungan
dari keluarganya. Keluarga harus mengembangkan proses
identifikasi yang positif sehingga anggota keluarga dapat meniru
tingkah laku yang positif tersebut.
b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
setiap anggota keluarganya, yang mengahasilkan interaksi sosial. Pada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, keluarga berperan
untuk membimbing anggota keluarga tersebut untuk mau bersosialisasi
dengan anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitarnya.
Keberhasilan perkembangan yang dicapai oleh anggota keluarga
melalui interaksi atau hubungan antara anggota keluarga yang
diwujudkan dalam sosialisasi.
c. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga terutama anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa seperti memberikan dana untuk pengobatan
dan perawatan selama dirawat dirumah sakit jiwa maupun dirawat
dirumah. Keluarga menyediakan semua perlengkapan yang dibutuhkan
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
d. Fungsi Perawatan Kesehatan
Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan
kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan
mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga
melaksankana pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas
kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat
melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan
masalah kesehatan.
2.2.5 Tugas Kesehatan Keluarga
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas
dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman (dalam
Setiadi 2008) membagi tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus
dilakukan, yaitu :
a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka
apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan
terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar
perubahannya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi
keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat dan sesuai dengan keluarga, dengan
pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera
melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat
dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan
sebaiknya meminta bantuan orang lain dilingkungan sekitar keluarga.
c. Memberikan perawatan
Memberikan perawatan diri kepada anggota keluarga yang sakit
terutama anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau yang
tidak dapat membantu dirinya sendiri karena gangguan prose pikir,
cacat atau usianya yang terlalu muda/ tua. Perawatan ini dapat
dilakukan dirumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan
tindakan untuk pertolongan pertama atau pergi kepelayanan kesehatan
untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah
tidak terjadi.
d. Memodifikasi lingkungan
Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian keluarga.
e. Memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada
Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan.
2.2.6 Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga
Menurut Wahyu, 2012 dari anggota keluarga yang menderita gangguan
jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:
a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita
gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut
dan meyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut
anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi padamereka
cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit
dari orang lain dan menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit
untuk perilaku tidak dapat diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini
mengarah pada ketegangan yang bermakna dengan keluarga yang tidak
mendukung orang sakit. Tanpa informasi untuk membantu keluarga
belajar untuk mengatasi penyakit mental, keluarga dapat menjadi
sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga
menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk
memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut.
Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau
kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan
normal.
b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam
anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita
tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya.
Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk
mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. stigma dalam begitu
banyak di kehidupan sehari-hari, tidak mengherankan, semua ini dapat
mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Frustasi, tidak berdaya dan kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan,
menakutkan, dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat,
apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota
keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat
menjadi marah-marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk
mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.
d. Kelelahan dan Burn out
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang
dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai
merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit
yang harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa
terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama
jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar
diluar kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak
memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal
ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak
boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti
untuk selalu men-support penderita.
e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang
untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari
kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus.
Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati,
tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang
dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita memiliki
potensi berkurang secara substansial bukan sebagai yang memiliki
potensi berubah.
f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi
Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak pekerjaan,
dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem
pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan
yang luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan
mereka tidak boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).
2.2.7 Program Untuk Keluarga Gangguan Jiwa
Keluarga sering mengalami stress dan shock ketika terdapat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keadaan demikian tentu seperti
snow ball bagi penderita sendiri. Padahal dirinya sendiri (penderita)
membutuhkan keadaan yang mendukung untuk proses kesembuhannya
dari orang-orang terdekat. Pfeff dan Mostek (Sriati, 2000 : 67)
mengidentifikasi kategori program untuk keluarga yaitu :
1) Pemberian kekuasaan
Keluarga perlu belajar menghadapi situasi sulit dengan memberikan
kepada mereka perasaan mampu mengontrol kehidupanya.
2) Pendidikan keluarga
Pendidikan keluarga menjadi intervensi keperawatan primer dalam
setting keperawatan jiwa. Walsh merekomendasikan cara-cara dalam
pendidikan keluarga sebagai berikut:
a) Terima kenyataan apa adanya pada anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa. Tidak ada pilihan lain yang
menguntungkan bagi keluarga kecuali menerima kenyataan.
Keputusan memilih diluar hal tersebut justru semakin memperparah
keadaan penderita, dan akan memperlebar wilayah gangguan jiwa
bagi anggota keluarga yang lainya.
b) Rencanakan program perawatan diri.
Keluarga harus mengatur, bagaimana pemenuhan kebutuhan sehari-
hari, agar tercukupi secara memadai bagi anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa. Siapa yang bertanggung jawab urusan
tertentu, dan siapa untuk urusan lainnya, termasuk perlibatan
penderita itu sendiri sesuai dengan kemampuannya harus benar-
benar dibicarakan bersama. Disinilah penderita akan mendapatkan
“Rasa nyaman” sebagai jaminan bagi dirinya.
c) Mengerjakan aktivitas personal dan hobby.
Keluarga dalam hal ini, adalah juga sebagai manusia yang juga
membutuhkan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan secara wajar bagi
keseimbangan fisik dan mentalnya. Dalam hal ini, bukan berarti
keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa, berperilaku tidak
wajar dan memiliki pemenuhan kebutuhan yang tidak sama, justu
jika ingin kembali harmonis dan utuh, maka mereka sebagai
keluarga tetap harus mengerjakan aktivitas personal dan hobby
tertentu secara wajar pula.
d) Terlibat dalam organisasi sosial yang mendukung.
Disinilah urgensi keluarga. Apalagi dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa, yang sebenarnya senantiasa akan
membutuhkan support dari lingkungannya. Sarana yang paling
memungkinkan untuk hal tersebut adalah keterlibatan keluarga
dalam aktivitas atau organisasi sosial masyarakat yang mendukung.
e) Hindari nasihat dan opini dari orang yang tidak mempunyai
pengalaman gangguan jiwa.
Sangat mungkin bahwa keluarga akan mendapat komentar minimal
dari orang atau keluarga lain ketika mengetahui adanya anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Komentar yang tidak
produktif atau dapat diprediksi demikian, merupakan langkah untuk
menghindari jika akan mendapat stressortersendiri bagi keluarga,
karena komentar yang berupa nasihat atau opini dari orang lain
adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan selalu berhasil ketika
terus menerus menghindari coping. Hal ini merupakan sebuah sikap
semacam lari dari kenyataan.
f) Ingat bahwa kebahagiaan dapat terjadi.
Sengsara atau bahagia sesungguhnya adalah sebuah kemestian.
Kemestian adalah sebuah keputusan pilihan. Untuk itulah keluarga
yang ingin dan memahami dengan baik, serta memiliki kemampuan
untuk berubah, kebahagiaan hidup dalam keluarga adalah sesuatu
yang dapat terjadi, disinilah keluarga sekiranya memilikioptimisme
dan kekuatan untuk melakukan perubahan.
g) Berhenti menyalahkan diri sendiri
Pada satu sisi, begitu kuatnya memori yang ada mengatakan pada
keluarga bahwa gangguan jiwa adalah penyakit yang sangat sulit
disembuhkan. Hal demikian semakin memperkuat dan
memperpanjang perasaan menyalahkan diri sendiri keluarga, yang
pasti bahwapikiran dan perasaan tersebut bagi keluarga justru
semakin tidak menguntungkan. Pemaknaan tersebut harus disadari
oleh keluarga sebagai langkah awal untuk perbaikan dan pemulihan,
sehingga ketika perasaan itu muncul tidak ada pilihan lain kecuali
harus menghentikannya(Susana,2007)
2.3 Konsep Pengetahuan
2.3.1 Defenisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui oleh indra pendengaran (telinga), dan indra
penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang tehadap objek mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya.
Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan
mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota
keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya ( Notosoedirdjo
& Latipun, 2005 ).
Penelitian ini diperkuat berdasarkan penelitian dari badan National Mental
Health Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak
ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan
jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan
jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA
mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya (Foster, 2001).
Tanpa adanya pemahaman yang jernih mengenai masalah gangguan jiwa
yang dihadapi keluarga akan dapat menimbulkan kecemasan dan hal ini
didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Brown & Bradley
(2002) pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan keluarga akan semakin
meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah gangguan jiwa
yang dihadapi keluarga (Simanjuntak, 2006)
2.3.2 Tingkat Pengetahuan
Dalam buku Notoatmodjo, 2010, pengetahuan di bagi dalam 6 tingkat
yakni:
a. Tahu ( know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui
atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan
pertanyaan-pertanyaan, dengan menggunakan kalimat tanya 5W+1H.
b. Memahami (comprehension), memahami suatu objek bukan sekedar
tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang
tersebut harus dapat mengintreprestasikan secara benar tentang objek
yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah memahami
objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip
yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis), adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan atau memisahkan kemudian, kemudian mencari hubungan antara
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek
yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah
sampai pada tingkat analisi adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram
(bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (synthesis), menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya dapat
membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang
hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan dapat membuat kesimpulan
tentang artikel yang telah dibaca.
f. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek terentu.
2.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :
(a) Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan
lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil
penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi,
bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi taraf intelegensi
keluarga dalam merawat pasien skizofrenia agar pasien skizofrenia mampu
kembali ke keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan.
(b) Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil. Persepsi keluarga tentang skizofrenia merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia tersebut.
Keluarga menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang memalukan
dan membawa aib bagi keluarga maka hal ini juga akan mempengaruhi
kesembuhan pasien skizofrenia.
(c) Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang
berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan
mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam
mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan
dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalahmotivasi
yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan
suatu kebutuhan. Motivasi keluarga dalam mencari informasi tentang
skizofrenia mempengaruhi cara keluarga melakukan perawatan
padapasien skizofrenia. Tingginya motivasi keluarga untuk mendapatkan
informasi menunjang tingginya pengetahuan dan informasi yang
diperoleh keluarga mengenai skizofrenia
(d) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan) juga
merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera
manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain
meliputi: lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi.
Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat
dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk
memiliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.
Kecenderungan perawatan berulang pada pasie skizofrenia merupakan
pengalaman keluarga dalam merawat pasien skizofrenia. Pengalaman
tersebu merupakan pembelajaran kepada keluarga tentang bagaimana cara
yang tepat merawat pasien skizofrenia
2.3.4 Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo, 2013 adalah
sebagai berikut:
a. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan
1. Cara coba salah
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan mungkin
mungkin sebelum adanya peradapan. Cara coba salah ini dilakukan
dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah
dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba
kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.
2. Cara kekuasaan atau otoritas
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pemimpin
masyarakat baik formal atau informal , ahli agama, pemegang
pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang mempunyai yang
dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa memuji
terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan
fakta empiris maupun penalaran sendiri.
3. Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
masa lalu.
b. Cara modren untuk memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populer disebut
metode penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis
Bacom (1561-1626) kemudian dikembangkan oleh Deobold Van
Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang
dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah.
2.4 Konsep Sikap
2.4.1 Defenisi Sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik
dan sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana,
yakni: “An individual’s attitude is syndrome of response consistency with
regard to object”, dikatakan bahwa sikap itu suatu sindrom atau kumpulan
gejala dalam merespon stimulus atau objek. Sehingga sikap itu melibatkan
pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap
adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2010).
Sikap itu bersifat sosial dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain
dan kelihatannya sikap itu menuntun perilaku kita sehingga kita bertindak
sesuai dengan sikap yang kita ekspresikan (Abraham, 1997). Sikap yang
terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku
ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau
mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respons ataupun perilaku
yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
2.4.2 Ciri-ciri Sikap
Dalam buku Sunaryo, 2004, ciri-ciri sikap sebagaimana di kemukakan
oleh para ahli, seperti Gerungan (1996), Abu Ahmadi (1999), Sarlito
Wirawan Sarwono (2000), Bimo Walgono (2001), pada intinya sama ,
yaitu:
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari (learnability) dan
dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang
perkembangan individu dalam hubungan dengan objek.
b. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk
itu sehingga dapat dipelajari.
c. Sikap tidak berdiri sendiri , selalu berhubungan dengan objek sikap.
d. Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada
sekumpulan/ banyak objek.
e. Sikap mengandung faktor perasaan atau motivasi sehingga
membedakan dengan pengetahuan.
2.4.3 Tingkat Sikap
Menurut Soekidjo Notoatmodjo, 2010, sikap mempunyai tingkat-tingkat
berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus
yang diberikan (objek)
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi .
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang
positif terhadap objek atau stimulus.
d. Bertanggung jawab ( responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah bertanggung jawab
terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil
sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil
resiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya resiko
lainnya.
2.4.4 Fungsi Sikap
Menurut Attkinson, R.L, dkk, dalam bukunya Pengantar Psikologi jilid 2
edisi 11 (Sunaryo, 2004), sikap memiliki 5 fungsi berikut:
a. Fungsi instrumental
Fungsi sikap ini dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat, dan
menggambarkan keadaan keinginan. Sebagaimana kita maklumi
bahwa untuk mencapai tujuan, diperlukan saran yang disebut sikap.
Apabila objek sikap dapat membantu individu mencapai tujuan,
individu akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut atau
sebaliknya.
b. Fungsi pertahanan ego
Sikap ini diambil individu dalam rangka melindungan diri dari
kecemasan atau ancaman harga dirinya.
c. Fungsi nilai ekspresi
Sikap ini mengekspresikan nilai yang ada dalam diri individu. Sistem
nilai apa yang ada pada diri individu, dapat dilihat dari sikap yang
diambil oleh individu yang bersangkutan terhadap nilai tertentu.
d. Fungsi pengetahuan
Sikap ini membantu individu untuk memahami dunia , yang membawa
keteraturan terhadap bermacam-macam informasi yang perlu
diasimilasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki
motif ingin tahu, ingin mengerti dan ingin banyak mendapat
pengalaman dan pengetahuan.
e. Fungsi penyesuaian sosial
Sikap ini membantu individu merasa menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam hal ini, sikap yang diambil tersebut individu tersebut akan dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya.
2.4.5 Pengukuran Sikap
Dalam buku Sunaryo, 2004, membagi pengukuran sikap, sebagai berikut:
a. Secara langsung
Dengan cara ini, subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana
sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya.
Jenis-jenis pengukuran sikap secara lansung, yaitu:
1. Langsung berstruktur
Cara ini menggunakan sikap dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat
yang telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang
diteliti.
Contoh:
a) Pengukuran sikap dengan skala Bogardus - Menyusun
pernyataan berdasarkan jarak sosial
Seseorang dari sesuatu golongan dihadapakan pada seuatu
golongan tertentu, bagaimana sikapnya terhadap golongan
tersebut. Misalnya, kesediaan untuk menikah, menjadi teman
dekat, menerima sebagai tetangga, menerima sebagai teman
sejabatan, sebagai warga negara,dan tidak bersedia menerima
dalam negaranya. Jawabannya “ya” atau “tidak”
b) Pengukuran sikap dengan skala thurston - Mengukur sikap
juga menggunakan metode “Equal-Appearing Intervals” Skala
yang telah disusun sedemikian rupa sehingga merupakan range
dari yang menyenangkan (favorable) sampai tidak
menyenangkan (unfavorable). Nilai skala bergerak dari 0,0
merupakan ekstrem bawah sampai dengan 11,0 sebagai
ekstrem atas.
c) Pengukuran sikap dengan skala likert - Dikenal dengan teknik
“Summated Rattings”. Responden diberikan pernyataan-
pernyataan dengan kategori jawaban yang telah dituliskan dan
pada umumnya 1 sampai dengan 5 kategori jawaban.
2. Langsung tak berstruktur
Cara ini merupakan pengukuran sikap yang sederhana dan tidak
diperlukan persiapan yang cukup mendalam, misalnya mengukur
sikap dengan wawancara bebas atau free interview, pengamatan
langsung atau survei.
b. Secara tidak langsung
Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya di
gunakan skala semantik-deferensial yang terstandar. Cara pengukuran
sikap yang terbanyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh
Charles E. Osgood.
2.4.6 Pembentukan dan Pengubahan Sikap
Menurut Sunaryo, 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
dan perubahan sikap, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor ini berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini individu
menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari
luar, serta menentukan apa yang akan diterima dan mana yang tidak.
Oleh karena itu , faktor individu merupakan faktor penentu
pembentukan sikap. Faktor intern ini menyangkut motif dan sikap
yang bekerja dalam diri individu pada saat itu, serta yang mengarahkan
minat dan perhatian (faktor psikologis), juga perasaan sakit, lapar dan
haus (faktor fisiologis).
2. Faktor ekternal
Faktor ini berasal dari luar diri individu, berupa stimulus untuk
membentuk dan mengubah sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat
langsung, misalnya individu dengan individu , individu dengan
kelompok. Dapat bersifat tidak langsung, yaitu melalui perantara,
seperti: alat komunikasi dan media masa baik elektronik maupun non
elektronik.
Pembentukan dan Perubahan Sikap
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2000) dalam buku Sunaryo
,2004, ada beberapa cara untuk membentu atau mengubah sikap
individu, yaitu:
a. Adopsi
Adopsi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap
melalui kejadian yang terjadi berulang dan terus-menerus
sehingga lama-kelamaan secara bertahap hal tersebut akan
diserap oleh individu dan akan mempengaruhi pembentukan
dan perubahan terhadap sikap individu.
b. Diferensiasi
Diferensiasi adalahsuatu cara pembentukan dan perubahan
sikap karena sudah dimilikinya pengetahuan, pengalaman,
intelegensi dan bertambahnya umur. Oleh karena itu , hal-hal
yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri
dan dilepas dari jenisnya sehingga membentuk sikap tersendiri.
c. Integrasi
Integrasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap
yang terjadi secara bertahap demi tahap, diawali dari macam-
macam pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan
dengan objek sikap tertentu sehingga pada akhirnya akan
terbentuksikap terhadap objek tersebut.
d. Trauma
Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap
melalui suatu kejadian secara tiba-tiba dengan mengejutkan
sehingga meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu
tersebut. Kejadian tersebut akan membentuk atau mengubah
sikap individu terhadap kejadian sejenis.
e. Generalisasi
Generalisasi dalah suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap karena pengalaman traumatik pada diri individu terhadap
hal tersebut, dapat menimbulkan sikap negatif terhadap semua
hal yang sejenis atau sebaliknya.
2.4.7 Sikap Keluarga Terhadap Anggota Yang Mengalami Gangguan Jiwa
Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri bagi
keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif dan
subyektif. Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku pasien,
peran pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien, masalah
keuangan dan lain-lain. Sedangkan beban keluarga dikatakan bersifat
subyektif, maksudnya berupa perasaan pasien karena menjadi beban bagi
keluarga. Kategori respon keluarga terhadap anggota keluarga dengan
gangguan jiwa menurut Susana (2007):
1) Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan
dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal
sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan pada pasien, hanya
masalahnya, seberapa dalam dan lamanya respon berduka ini dialami
oleh keluarga, seawal mungkin perawat mampu mengidentifikasinya,
sehingga keluarga maupun pasien sendiri dapat pulih dengan segera.
2) Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan
berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut
merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut
membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru semakin parah
lagi.
3) Merasa tidak berdaya dan takut
Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati
atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataanya patologis
gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru semakin sulit
kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga merasa tidak
berdaya dan takut. Perasaan keluarga demikian, di negara kita juga
didukung oleh rata-rata keadaan ekonomi yang pas-pasan bahkan
kekurangan, sehingga sangat wajar, apabila tidak sedikit mereka yang
terganggu jiwanya menjadi gelandangan atau keluyuran dimana-mana
atau tersangkut oleh razia dinas sosial (Permatasari, 2014).
2.5 Konsep Kecemasan
2.5.1 Defenisi Kecemasan
Menurut Kaplan, Sadock dan Grebb (1994), kecemasan adalah respon
terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang
belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti
hidup. Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan dan
kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyengkan
(Davison & Neale, 2001) (Fausiah, 2006).
Dalam buku Suliswati, 2005, menyebutkan kecemasan merupakan respon
individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami
oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan
merupakan pengaruh subjektif dari individu dan tidak dapat
diobservasikan secara lansung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa
objek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi
untuk mencapai sesuatu dan meupakan sumber penting dalam usaha
memelihara keseimbangan hidup.
Ahli lain, Atkinson, dkk (1996) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan
emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti
kekhawatiran dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam
kesejahteraan organisme menimbulkan kecemasan, konflik merupakan
salah satu sumber munculnya rasa cemas. Adanya ancaman fisik, ancaman
terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu
diluar kemampuan juga menimbulkan kecemasan (Safaria, 2012)
2.5.2 Proses Terjadinya Kecemasan
Burn (1998) mengemukakan, emosi atau rasa cemas yang kita rasakan
disebabkan karena adanya dialog internal dalam pikiran individu yang
mengalami kecemasan ataupun perasaan cemas.
Skema 2.1
Proses terjadinya kecemasan
(adaptasi Blackburn dan Davidson, 1994)
Stimulus Perantara (skemata) Respon
(situasi yang (pengalaman
Menimbulkan kecemasan
Kecemasan) Proses kognitif subjektif,
kesiagaan
otomatis,
Hasil Kognitif hambatan
(penilaian primer dalam
Dan sekunder) bertindak)
Menurut Blackburn dan Davidson (1994), secara teoritis terjadinya
kecemasan diawali oleh individu dengan stimulus yang berupa situasi yang
berpengaruh dalam membentuk kecemasan (situasi mengancam), yang
secara langsung/ tidak langsung hasil pengamatan/ pengalaman tersebut
diolah melalui proses kognitif dengan menggunakan skemata
(pengetahuan yang telah dimiliki individu terhadap situasi tersebut yang
sebenarnya mengancam/ tidak mengancam dan pengetahuan tentang
kemampuan dirinya untuk mengendalikan dirinya dan situasi tersebut).
Setiap pengetahuan tersebut dapat terbentuk dari keyakinan pendapat
orang lain, maupun pendapat individu sendiri maupun dunia luar.
Pengetahuan (skemata) tersebut, tentunya akan memengaruhi individu
untuk dapat membuat penilaian (hasil kognitif), sehingga respon yang akan
ditimbulkan tergantung seberapa baik penilaian individu untuk mengenal
situasi tersebut dan tergantung seberapa baik individu tersebut dapat
mengendalikan dirinya. Apabila pengetahuan (skemata) subyek terhadap
situasi yang mengancam tersebut tidak memadai, tentunya individu
tersebut akan mengalami kecemasan.
2.5.3 Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kecemasan
Setelah membahas proses terjadinya kecemasan dikutip oleh Safaria
(2012) menurut Blackburn dan Davidson (1994), dapat disimpulkan
bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi kecemasan dapat berupa
pengetahuan yang telah dimiliki subjek tentang situasi yang sedang
dirasakan, apakah sebenarnya mengancam/ tidak mengancam, serta
pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk mengendalikan
dirinya(termasuk keadaan emosi maupun fokus kepermasalahannya)
dalam menghadapi situaasi tersebut. Kesimpulan ini sesuai dengan
pendapat Lazarus (Mayne dan Bonano, 2003), beliau menyatakan apabila
kita mampu mengenali situasi yang mengancam dan kita mampu
mengendalikan emosi dan permasalahannya adalah hal-hal yang dapat
memengaruhi emosi negatif, seperti rasa bosan, marah, takut, maupun
kecemasan.
Selain pendapat tersebut, Bandura (Blackburn dan Davidson, 1994)
menjelaskan hal-hal yang berpengaruh dalam meredakan kecemasan
antara lain sebagai berikut:
a. Self efficacy adalah salah satu perkiraaan individu terhadap
kemampuannya sendiri dalam mengatasi situasi.
b. Outcome expectancy memiliki pengertian sebagai perkiraan individu
terhadap kemungkinan terjadinya akibat-akibat tertentu yang mungkin
berpengaruh dalam menekan kecemasan.
2.5.4 Teori Kecemasan
Dalam bukunya Sunaryo, 2004, membagi teori kecemasan sebagai berikut:
a. Teori psikoanalitik
Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal
dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus (internal dan eksternal)
yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan individu untuk
menanganinya. Ada 2 tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan
kecemasan subsekuen.
1. Kecemasan primer
Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya stimulus
tiba-tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut
dengan kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan
atau kehausan. Penyebab kecemasan primer adalah keadaan
ketegangan atau dorongan yang diakibatkan oleh faktor ekternal.
2. Kecemasan subsekuen
Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat ada jenis
kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen
kepribadian yaitu id dan superego. Freud menjelaskan bila terjadi
kecemasan maka posisi ego sebagai pengembang id dan superego
berada pada kondisi bahaya.
b. Teori interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat
ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat
penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai
kepekaan lingkungan. Harga diri seseorang merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan kecemasan.
c. Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi
akibat berbagai hal yang memengaruhi individu dalam mencapai
tujuan yang diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, keluarga,
kesuksesan dalam sekolah. Perilaku merupakan hasil belajar dari
pengalaman yang pernah dialami. Kecemasan dapat juga muncul
melalui konflik antara dua pilihan yang saling beralwanan dan individu
harus memilih salah satu.
d. Teori keluarga
Studi pada keluarga dan epidemologi memperlihatkan bahwa
kecemasan selalu ada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan
sifatnya heterogen.
e. Teori biologis
Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor
tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut
berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric
acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron dibagian otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan
2.5.5 Reaksi yang Ditimbulkan oleh Kecemasan
Menurut Priest (1991) bahwa individu yang mengalami kecemasan akan
menunjukkan reaksi fisik berupa tana-tanda jantung berpacu lebih cepat,
tangan dan lutut gemetar, ketegangan pada syaraf di belakang leher,
gelisah atau sulit tidur, banyak berkeringat, gatal-gatal pada kulit, serta
selalu ingin buang air kecil.
Calhoun dan Acocella (1995) mengemukakan aspek-aspek kecemasan
yang dikemukakan dalam tiga reaksi, yaitu sebagai berikut:
a. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan
persepsi individu terhadap pengaruh psikologis dari kecemasan, seperti
perasaan keprihatinan, ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau
orang lain.
b. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekhawatiran yang berpengaruh
terhadap kemampuan berpikir jernih sehingga menganggu dalam
memecahkan masalah dan mengatasi tuntuntan lingkungan sekitar.
c. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap
sumber ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan
sistem syaraf yang mengendalikan berbagai otot dan kelenjer tubuh
sehingga timbul reaksi dalam bentuk jantung berdebar lebih keras,
nafas bergerak lebih cepat, tekanan darah meningkat (Safaria, 2012).
2.5.6 Tingkat Kecemasan
Menurut Pelapina Heriana, 2014, membagi tingkat kecemasan sebagai
berikut:
a. Antisipasi
Pada tingkat ini seseorang akan dapat merencanakan kegiatan dengan
baik.
b. Kecemasan ringan
Pada tingkat ini dikatakan kecemasan normal. Pada tingkat ini individu
mampu belajar dan memecahkan masalah secara efektif motivasi untuk
melakukan sesuatu sangat besar (dalam kehidupan sehari-hari), dapat
memotivasi diri maupun orang lain untuk bertindak.
1. Respon fisik : ketegangan oto ringan, sadar akan lingkungan, rileks
atau sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin.
2. Respon kognitif : lapang persepsi luas, terlihat tenang, percaya diri,
perasaan gagal sedikit, waspada dan memperhatikan banyak hal,
mempertimbangkan informasi, tingkat pembelajaran optimal.
3. Respon emosional : perilaku otomatis, sedikit tidak sabar, aktivitas
menyendiri, terstimulus, tenang (Videbeck, 2008).
c. Kecemasan sedang
Pada kecemasan sedang ini pasien atau individu mempunyai persepsi
terhadap permasalahan yang ada menyempit sehingga perlu
pengarahan orang lain untuk memecahkan permasalahnya.
1. Respon fisik : ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat.
Pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar mandir,
memukulkan tangan, suara berubah (bergetar dan nada suara
tinggi), kewaspadaan dan ketegangan meningkat, sering berkemih,
sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung.
2. Respon kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara
selektif, fokustehadap stimulus meningkat, rentang perhatian
menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi
dengan memfokuskan.
3. Respon emosional : tidak nyaman, mudah tersinggung,
kepercayaan diri goyah, tidak sabar, gembira (Videbeck, 2008).
d. Kecemasan berat
Kecemasan berat ini menjadi pusat perhatian pasien atau individupada
detail yang kecil atau perhatiannya terpecah, muncul perasaan tidak
percaya pada orang lain. Tak mampu membuat kaitan yang masuk
akal, tidak sadar bahwa dirinya cemas dan tidak sabar, tidak nyaman.
1. Respon fisik : ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata
buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara
tinggi, tindakan tanpa tujuan dan serampangan, rahang menegang,
menggertakkan gigi, kebutuhan ruang gerak meningkat, mondar
mandir, berteriak, meremas tangan, gemetar.
2. Respon kognitif : lapang persepsi terbatas, proses berpikir
terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah buruk, tidak
mampu mempertimbangkan informasi, hanya memperhatikan
ancaman, preokupasi dengan pikiran sendiri, egosentris.
3. Respon emosional : sangat cemas, agitasi, takut, bingung, merasa
tidak adekuat, menarik diri, penyangkalan, ingin bebas(Videbeck,
2008).
e. Panik
Panik adalah tingkat kecemasan yang paling berat, disini individu
kacau sehingga berbahaya untuk dirinya maupun orang lain, tidak
mampu untuk melakukan tindakan untuk pemecahan masalahnya
(sehingga seolah-olah lumpuh), hiperaktif dan gelisah (agitasi).
1. Respon fisik : ketegangan otot-otot sangat berat, agitasi motorik
kasar, pupil dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian
menurun, tidak dapat tidur, hormon stres dan neurotransmiter
berkurang, wajah menyeringai, mulut ternganga.
2. Respon kognitif : perepsi sangat sempit, pikiran tidak logis,
terganggu kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah,
fokus pada pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami stimulus
eksternal, halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi.
3. Respon emosional : merasa terbebani, merasa tidak mampu, tidak
berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah, sangat takut,
mengharapkan hasil yang buruk, kaget, takut, lelah (Videbeck,
2008).
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan
2.5.7 Cara untuk Mengatasi Kecemasan
Menurut Ramaiah (2003) dalam buku Safaria, 2012 ada beberapa cara
untuk mengatasi kecemasan, yaitu sebagai berikut:
a. Pengendalian diri yakni segala sesuatu usaha untuk mengendalikan
berbagai keinginan pribadi yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisinya.
b. Dukungan, yakni dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat
memberikan kesembuhan terhadap kecemasan.
c. Tindakan fisik, yakni melakukan kegiatan-kegiatan fisik, seperti
olahraga akan sangat baikuntuk menghilangkan kecemasan.
d. Tidur, yakni tidur yang cukup dengan tidur 6-8 jam pada malam hari
dapat mengembalikan kesegaran dan kebugaran.
e. Mendengarkan musik, yakni mendengarkan musik lembut akan dapat
membantu menenangkan pikiran dan perasaan.
f. Konsumsi makanan, yakni keeimbangan dalam mengonsumsi
makanan yang mengandung gizi dan vitamin sangat baik untuk
menjaga kesehatan.
2.5.8 Skala Kecemasan Hamilton Anxiety Rating scale (HARS)
Dalam penelitian ini untuk menetukan tingkat kecemasan pasien
menggunakan skala HARS (Hamilton Anxiety Rating scae) merupakan
salah satu alat ukur untuk menilai tingkat kecemasan, yang didasarkan
pada munculnya syimtops pada individu yang mengalami kecemasan.
Menurut skala HARS yang dikutip dari Nursalam (2013), penilaian
kecemasan terdiri atas 14 item, yaitu:
1. Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
2. Ketegangan: merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak bisa istirahat
dengan tenang, mudah menangis, gemetar, gelisah.
3. Ketakutan: pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing, pada
binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan banyak
orang.
4. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidak
pulas, mimpi buruk, mimpi menakutkan.
5. Gangguan kecerdasan: daya ingat buruk, sulit konsentrasi, sering
bingung.
6. Perasaan depresi: kehilangnya minat, sedih, bangun dini hari,
berkurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah-ubah
sepanjang hari.
7. Gejala somatic (otot-otot): nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi
gemeretak, suara tak stabil.
8. Gejala sensorik: telinga berdengung, penglihatan kabur, muka merah
dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.
9. Gejala kardiovaskuler: denyut nadi cepat, berdebar-debar, nyeri dada,
denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan, detak jantung
hilang sekejap.
10. Gejala pernapasan: rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa
nafas pendek/sesak, sering menarik napas panjang.
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, mual muntah, berat badan
menurun, konstipasi/sulit buang air besar, perut melilit, gangguan
pencernaan, nyeri lambung sebelum/sesudah makan, rasa panas
diperut, perut terasa penuh/kembung.
12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
amenor/menstruasi yang tidak teratur.
13. Gejala vegetatif/autonom: mulut kering, muka kering, mudah
berkeringat, pusing/sakit kepala, bulu roma berdiri.
14. Apakah Ibu/Bapak merasakan: gelisah, tidak tenang, mengerutkan
dahi muka tegang, tonus/ketegangan otot meningkat, napas pendek
dan cepat, muka merah.
Adapun cara penilaiannya adalah setiap item yang diobservasidiberi 5
tingkat skor, yaitu antar 0 (nol) sampai dengan 4, dengan kategori sebagai
berikut:
0 = Tidak ada gejala sama sekali
1 = Ringan satu dari gejala yang ada
2 = Sedang separuh dari gejala yang ada
3 = Berat lebih dari separuh yang ada
4 = Sangat berat semua gejala yang ada
Penentu derajat kecemasan ditentukan dengan cara menjumlahkan nilai
skor dari 14 item diatas dengan hasil sebagai berikut (Nursalam, 2013):
< 14 : tidak ada kecemasan
14 - 20 : kecemasan ringan
21 - 27 : kecemasan sedang
28 - 41 : kecemasan berat
42 - 56 : kecemasan sangat berat
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara
variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin
diteliti (Notoatmodjo 2012).
Berdasarkan latar belakang dan teori pada bab sebelumnya, peneliti
menetapkan pemikiran sebagai berikut: hubungan pengetahuan dan sikap
keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa. Maka dapat dirumuskan kerangka konsep
sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
pengetahuan
Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
“Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung tahun 2018”
Pengetahuan
Tingkat Kecemasan
Sikap
3.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud
atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2012).
Tabel 3.1 Defenisi Operasional
No Variabel Devenisi
Operasional
Alat
Ukur
Cara
Ukur
Skala
Ukur
Hasil
Ukur
Independen
1 Pengetahuan Hasil pengindraan
manusia, atau hasil
tahu seseorang
terhadap objek
melalui indra yang
dimiliki.
Angket Kuesioner Ordinal Tinggi ≥ 9,83
Rendah < 9,83
2 Sikap Respons tertutup
seseorang terhadap
stimulus atau objek
tertentu , yang sudah
melibatkan faktor
pendapat dan emosi
yang bersangkutan .
Angket Kuesioner Ordinal Negatif ≥ 25,35
Positif < 25,35
Dependen
1 Tingkat
Kecemasan
Respon individu
terhadap suatu
keadaan yang tidak
menyenangkan dan
dialami oleh semua
makhluk hidup dalam
kehidupan sehari-hari.
Angket Kuesioner
dengan skala
HARS
Ordinal Kecemasan ringan
(skor 14-20)
Kecemasan sedang
(skor 21-27)
3.3 Hipotesis
Hipotesis dalam suatu penelitian adalah jawaban sementara penelitian,
patokan dugaan atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan
dalam penelitian tersebut (Notoadmodjo, 2012). Terdapat dua macam
hipotesa yaitu hipotesa nol (Ho) dan hipotesa alternative (Ha). Secara
umum hipotesa nol (Ho) diungkapkan sebagai tidak terdapatnya hubungan
(signifikan) antara dua variabel. Hipotesa alternative (Ha) menyatakaan
ada hubungan antara dua variabel atau lebih.
Dalam penelitian ini hipotesa yang akan dirancang oleh peneliti adalah:
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di
wilayah kerja Puskesmas Sijunjung, Kabupaten Sijunjung tahun
2018.
Ha : Ada hubungan antara sikap dengan tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di
wilayah kerja Puskesmas Sijunjung, Kabupaten Sijunjung tahun
2018.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.3 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat
oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa
diterapkan (Nursalam ,2011). Metode penelitian yang digunakan adalah
corelatif study yaitu penelitian atau penelaahan hubungan antara dua
variabel pada situasi atau kelompok subjek (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2012), penelitian ini menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu variabel sebab atau resiko (independent variable) dan
akibat atau kasus (dependent varible) yang terjadi pada objek penelitian
diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan
atau sekaligus). Penelitian ini dilakukan pada variabel yang berhubungan,
yaitu mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung. Alasan peneliti menjadikan Puskesmas Sijunjung sebagai
tempat penelitian karena masih banyaknya jumlah penderita gangguan
jiwa yaitu nomor 3 dari 13 puskesmas yang ada di Kabupaten Sijunjung
dan belum ada yang melakukan penelitian di Puskesmas Sijunjung.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan dalam rentang dari tanggal 12 Februari
sampai 12 Maret 2018.
4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling
4.3.3 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan di teliti
(Notoatmodjo, 20012). Populasi dalam penelitian adalah subjek (manusia,
klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011).
Populasi dalam penelitian ini adalah 75 orang pasien gangguan jiwa ada di
wilayah kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian kecil yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012).
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling.
Rumus : n = N.z² p.q.
d ( N-1) + z.p.q
Keterangan : n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1 – p (100% - p)
d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,01)
Jadi sampelnya adalah dari populasi 75 orang, tingkat signifikan 95%.
Rumus : n = N.z² p.q.
d ( N-1) + z².p.q
= 75 (1,96) ² . 0,5 . 0,5
(0,01) (56 – 1) + (1,96) ² . 0,5 . 0,5
n = 75 (3,841) . 0,25
0,55 + (3,841) . 0,25
n = 72,018
1,51
n = 47,694
n = 48 responden
Sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi. Kriteria inklusi
adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota
populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Sedangkan kriteria ekslusi
adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sampel
(Notoatmodjo, 2012).
Kriteria sampel inklusi adalah:
1. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa diwilayah kerja puskesmas Sijunjung.
2. Keluarga terdekat dan berkompeten dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
3. Anggota keluarga yang mampu membaca dan menulis.
4. Anggota keluarga yang sehat jasmani dan rohani.
5. Bersedia diwawancarai dan mau mengisi kuesioner.
4.3.3 Sampling
Sampling adalah proses penyeleksian porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi (Nursalam, 2011). Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini multistage sampling. Teknik multistage sampling
adalah pengambilan sampel dengan dilakukan berdasarkan tingkat wilayah
secara bertahap. Hal ini memungkinkan untuk dilaksanakan bila populasi
terdiri dari bermacam-macam tingkat wilayah (Notoadmodjo, 2012).
Peneliti mengambil sampel penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung pada tahun 2018, yaitu sebanyak 48 orang responden.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan digunakan
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa angket, yang digunakan pada 3 variabel yaitu:
pengetahuan, sikap dan tingkat kecemasan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
4.5 Pengumpualan Data
Prosedur pengumpulan data penelitian dilakukan dengan pengisian
kuesioner untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga
dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
Peneliti meminta surat izin penelitian dari institusi pendidikan STIKes
Perintis Padang dan mengajukan surat penelitian ke Kantor
KESBANGPOL Sijunjung dengan membawa fotocopy proposal yang
merupakan syarat untuk melakukan penelitian di Sijunjung. Setelah
mendapatkan surat balasan dari KESBANGPOL peneliti mengajukan surat
ke Kantor Camat, kemudian srat balasan dari kantor camat diberikan
kepada Kepala Puskesmas Sijunjung untuk meminta izin melakukan
penelitian. Setelah mendapatkan izin dari Kepala Puskesmas Sijunjung,
peneliti meminta izin kepada perawat yang memegang program gangguan
jiwa. Kemudian membuat kontrak antara peneliti dengan perawat
pemegang program untuk mengunjungi rumah keluarga yang memilki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Setelah mendapatkan
kesepatan, perawat dan peneliti mengunjungi rumah keluarga yang
memilki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Penelitian ini dilakukan 20 hari dalam rentang tanggal 12 Februari sampai
12 Maret. Pembagian kuesioner di nagari Sijunjung mulai dari hari
pertama sampai hari kelima. Hari pertama peneliti dan perawat
memberikan kuesioner kepada 2 responden, hari kedua 3 responden, hari
ketiga 1 responden. Hari keempat peneliti pergi ke rumah responden tanpa
ditemani perawat dan memberikan kuesioner kepada 2 responden dan hari
kelima 3 responden.
Pembagian kuesioner dinagari Pematang Panjang mulai dari hari keenam
sampai hari kesepuluh. Hari keenam peneliti dan perawat pergi membagi
kuesioner kepada 2 reponden, hari ketujuh 4 responden, hari kedelapan 2
responden, hari kesembilan 2 responden dan hari kesepuluh 3 responden.
Pembagian kuesioner dinagari Aie Angek mulai dari hari kesebelas sampai
hari keempat belas. Hari kesebelas peneliti dan perawat pergi membagikan
kuesioner kepada 3 responden, hari kedua belas 3 responden, hari
ketigabelas 3 responden dan hari keempat belas 1 responden. Pembagian
kuesioner dinagari Kandang Baru mulai dari hari kelima belas dan hari
keenam belas. Hari kelima belas peneliti pergi kerumah responden tanpa
ditemani perawat dan memberikan kuesioner kepada 3 responden dan hari
keenam belas 2 responden.
Pembagian kuesioner dinagari Paru mulai dari hari ketujuh belas dan har
kedelapan belas. Hari ketujuh belas peneliti perawat pergi membagikan
kuesioner kepada 2 responden dan hari kedelapan belas 3 responden.
Pembagian kuesioner dinagari Solok Amba mulai dari hari kesembilan
belas dan kedua puluh. Hari kesembilan belas peneliti dan perawat pergi
mebagikan kuesioner kepada 2 reponden dan hari kedua puluh 2
responden.
Proses penelitian ini diawali dengan memberikan penjelasan tujuan ,
manfaat, serta hak dan kewajiban selama menjadi responden, meminta
persetujuan responden dengan memberikan lembar informed concen,
peneliti memberikan petunjuk cara pengisian kuesioner kepada responden
dan memberi waktu selama 50 menit untuk pengisian. Setelah pengisian
kuesioner, kemudian kuesioner di berikan kembali kepada peneliti dan
diperiksa kelengkapan data yang diisi responden. Kemudian peneliti
mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan terimakasih kepada
responden atas kerja samanya.
Setelah selesai melakukan penelitian, peneliti melapor kepada Kepala
Puskesmas Sijunjung dan meminta surat keterangan telah melakukan
penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung, selanjutnya peneliti
melakukan pengolahan dan analisa data.
4.6 Pengolahan dan Analisa Data
4.6.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap, diantaranya
(Notoatmodjo, 2012)
a. Pengeditan Data (Editing)
Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus
dilakukan penyuntingan (editing) terlebuh dahulu. Secara umum
editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan
isian formulir atau kuesioner tersebut.
b. Pengkodean (Coding)
Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
peng ”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Penelitian ini untuk
variabel pengetahuan menggunakan pengkodean yaitu 1=tinggi dan
1=rendah; untuk variabel sikap menggunakan pengkodean yaitu
5=sangat tidak setuju, 4=tidak setuju, 3=ragu-ragu, 2=setuju, 1=sangat
setuju; dan untuk variabel kecemasan menggunakan pengkodean yaitu
4=sangat berat, 3=berat, 2=sedang, 1=ringan dan 0=tidak ada.
c. Memberi Nilai (Scoring)
Pada tahap ini peneliti memberikan nilai terhadap setiap jawaban yang
telah diisi oleh responden pada lembar kuesioner, untuk variabel
pengetahuan, sikap dan tingkat kecemasan. Untuk variabel
pengetahuan dikatakan tinggi ≥ 9,83 dan dikatakan rendah < 9,83.
Untuk variabel sikap dikatakan Positif < 25,35 dan negatif ≥ 25,35.
Untuk variabel tingkat kecemasan dikatakan ringan bila skor 14-20,
sedang bila skor 21-27.
d. Memasukkan Data (Data Entry)
Data, yakni jawaban - jawaban dari masing-masing responden yang
dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam
program “software” komputer. Salah satu program yang paling sering
digunakan untuk “entry data” penelitian adalah program
komputerisasi. Dalam proses ini juga dituntut ketelitian dari orang
yang melakukan “data entry” ini. Apabila tidak maka akan terjadi
bias, meskipun memasukkan data saja.
e. Pembersihan Data (Cleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,
kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut
pembersihan data (data cleaning).
4.6.2 Analisa Data
a. Analisa Univariate (Analisa Deskriptif)
Analisa univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisa univariate
tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai
mean atau rata-rata, median dan standar deviasi.
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012).
Variabel tersebut menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
P = Nilai persentase responden
f = Frekuensi atau jumlah yang benar
n = Jumlah responden
Untuk data numerik digunakan nilai mean atau rata-rata, median dan
standar deviasi. Pada umunya dalam analisa ini hanya menghasilkan
distribusi frekusensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2012). Mean digunakan ketika data yang kita miliki memiliki sebaran
normal atau mendekati normal.
Rumus :
Mean =
Keterangan :
Me = Rata-rata (mean)
∑ . i = Jumlah nilai ke i sampai ke n
N = Jumlah individu
b. Analisa Bivariate
Analisa bivariate yang dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Analisa bivariate untuk melihat
hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan
dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung, Kabupaten Sijunjung tahun
2018. Pengujian hipotesa untuk mengambil keputusan tentang apakah
hipotesa yang diajukan cukup meyakinkan untuk ditolak atau diterima
dengan menggunakan uji statistik Chi-Square test. Pada tingkat
kepercayaan yang digunakan adalah 95% dikatakan signifikan bila
(ρ<0,01)
4.7 Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan surat ijin
permohonan penelitian kepada pihak uskesmas Sijunjung dengan
memperhatikan etika penelitian, yang meliputi (Hidayat, 2007) :
a. Self Determinant
Responden diberi kebebasan dalam menentukan hak kesediaannya
untuk terlibat dalam penelitian ini secara sukarela, setelah semua
informasi dijelaskan pada responden menyangkut penelitian, dengan
menandatangani informed consent yang disediakan. Apabila terjadi
hal-hal yang tidak seharusnya maka diperbolehkan mengundurkan
diri.
b. Anonimity
Dalam penggunaan subjek penelitian dilakukan dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar
observasi dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan
data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
c. Confidentiality
Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya yang berhubungan
dengan responden. Hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset.
d. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara
peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar
persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian
dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.
Tujuannya adalah supaya subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Jika subjek bersedia, maka responden harus
menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia,
maka peneliti harus menghormati hak responden.
Setelah calon respondent ditentukan, maka peneliti memberikan
penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan kerahasian informasi atau data
yang diberikan. Peneliti memberi kesempatan kepada calon responden
untuk bertanya tentang penjelasan yang diberikan, jika dianggap
sudah jelas dan dimengerti, maka peneliti meminta calon responden
yang bersedia menjadi responden pada penelitian untuk
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediannya
berpartisipasi dalam penelitian yaitu sebagai sampel atau responden.
Calon responden berhak menolak atau menerima untuk menjadi
responden dalam penelitian ini.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 12 Februari sampai 12 Maret
2018 untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018. Jumlah responden penelitian ini sebanyak 48 orang
responden dengan menggunakan teknik multistage sampling. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara membagikan
kuesioner kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa di 6 nagari yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung Kabupaten Sijunjung. Data yang telah terkumpul diolah
menggunakan komputerisasi dan disajikan dalam bentuk tabel. Sesuai
dengan kondisi responden pada saat itu tanpa pengaruh ataupun paksaan
dari orang lain termasuk peneliti.
5.1.1 Analisa Univariat
Analisis univariat yang dilakukan dengan menggunakan analisa distribusi
frekuensi antara variabel independen yaitu pengetahuan dan sikap keluarga
dengan variabel dependen yaitu tingkat kecemasan dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung 2018, sebagai berikut pada
tabel dibawah ini.
5.1.1.1 Pengetahuan Keluarga Tentang Gangguan Jiwa
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Keluarga Tentang Gangguan Jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung
Tahun 2018
Pengetahuan Frekuensi %
Tinggi 36 75,0
Rendah 12 25,0
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan bahwa lebih dari separuh yaitu sebanyak
36 (75,0%) responden yang memiliki pengetahuan tinggi tentang
gangguan jiwa.
5.1.1.2 Sikap Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami
Gangguan Jiwa
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Sikap Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga
Yang Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas
Sijunjung Kabupaten Sijunjung
Tahun 2018
Sikap Frekuensi %
Positif 26 54,2
Negatif 22 45,8
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa lebih dari separuh yaitu sebanyak
26 (54,2%) responden yang memiliki sikap positif dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
5.1.1.3 Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga
Yang Mengalami Gangguan Jiwa
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Merawat
Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung
Tahun 2018
Tingkat Kecemasan Frekuensi %
Rendah 32 66,7
Sedang 16 33,3
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan bahwa lebih dari separuh yaitu sebanyak
32 (66,7%) responden yang memiliki tingkat kecemasan rendah dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
5.1.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel independen
yaitu pengetahuan dan sikap keluarga terhadap variabel dependen yaitu
tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa yang dilakukan terhadap 48 orang responden. Uji hipotesis
untuk mengambil keputusan hipotesis yang diajukan cukup menyakinkan
untuk ditolak atau diterima dengan menggunakan chi-square test.
Uji chi-square digunakan untuk menyimpulkan ada tidaknya hubungan
pengetahuan dengan tingkat kecemasan dan sikap dengan tingkat
kecemasan. Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan
batasan kemaknaan 0,01 sehingga jika p < 0,01 secara statistik disebut
bermakna dan jika P ≥ 0,01 maka hasil hitungan disebut tidak bermakna.
Adapun hasil analisa bivariat tersebut adalah :
5.1.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat
Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung Tahun 2018
Tabel 5.4
Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat
Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung
Tahun 2018
Pengetahuan Tingkat Kecemasan Total Ρ value OR
Rendah Sedang
F % F % F %
Tinggi
Rendah
31
1
86,1
8,3
5
11
13,9
91,7
36
12
100
100
0,000 0,15 (0,002-
0,140)
Jumlah 32 66,7 16 33,3 48 100
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan bahwa dari 48 responden yang memiliki
pengetahuan tinggi dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 5
responden (13,9%) dan pengetahuan rendah dengan tingkat kecemasan
sedang sebanyak 11 responden (91,7%). Berdasarkan hasil uji statistic
chi-square di dapat p value = 0,000 jika dibandingkan dengan α = 0,01
maka p value < α 0,01 maka ada hubungan bermakna antara pengetahuan
dengan tingkat kecemasan. Dari hasil uji statistic juga didapatkan nilai OR
= 0,15 artinya keluarga yang memiliki pengetahuan rendah mempunyai
peluang 0,15 kali untuk memiliki tingkat kecemasan yang sedang dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dibandingkan
dengan keluarga yang memiliki pengetahuan tinggi.
5.1.2.2 Hubungan Sikap Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat
Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung Tahun 2018
Tabel 5.5
Hubungan Sikap Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota
Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung
Tahun 2018
Sikap Tingkat Kecemasan Total Ρ value OR
Rendah Sedang
F % F % F %
Positif
Negatif
22
10
84,6
45,5
4
12
15,4
54,5
26
22
100
100
0,010 6,600
(1,700-
25,617)
Jumlah 32 66,7 16 33,3 48 100
Berdasarkan tabel 5.5 didapatkan bahwa dari 48 responden yang memiliki
sikap positif dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 4 responden
(15,4%) dan sikap negatif dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 12
responden (54,5%). Berdasarkan hasil uji statistic chi-square di dapat p
value = 0,010 jika dibandingkan dengan α = 0,01 maka p value = α 0,01
maka ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan tingkat
kecemasan dari hasil uji statistic juga didapatkan nilai OR = 6,600 artinya
keluarga yang memiliki sikap negatif mempunyai peluang 6,600 kali untuk
memiliki tingkat kecemasan sedang dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan keluarga yang memiliki
sikap positif.
5.2 Pembahasan
5.2.2 Univariat
5.2.1.1 Pengetahuan
Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa jawaban dari 48 orang
keluarga yang menjadi responden di dapatkan bahwa 36 responden (75%)
memiliki pengetahuan tinggi dan 12 responden (25%) memiliki
pengetahuan rendah, hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak keluarga
yang memiliki anggota keluarga dengan mengalami gangguan jiwa di
Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung memiliki pengetahuan yang tinggi
mengenai gangguan jiwa.
Penelitian ini juga diperkuat oleh teori Notoatmodjo (2010) yaitu
pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui oleh indra pendengaran (telinga), dan indra
penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang tehadap objek mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan keluarga mengenai
kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang
kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan
dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarganya, juga dapat
menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami
ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya pengetahuan mengenai
persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ida (2016),
tentang hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah
Sakit Jiwa Propinsi Sumatra Utara, Medan. Didapatkan hasil 19 responden
(59,4%) yang memiliki pengetahuan baik (tinggi) mengenai gangguan
jiwa dan 13 responden (40,6%) yang menjadi responden memiliki
pengetahuan sedang mengenai gangguan jiwa dari 32 keluarga inti.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lendra
(2012), tentang gambaran pengetahuan keluarga tentang cara merawat
pasien halusinasi di rumah. Didapatkan hasil 21 responden (70%) dengan
pengetahuan baik, 7 responden (23,3%) dengan pengetahuan cukup dan 2
responden (6,7%) dengan pengetahuan kurang dari 30 orang yang menjadi
responden. Kedua penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama memiliki pengetahuan tinggi.
Menurut asumsi peneliti tingkat pengetahuan sangat dibutuhkan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, setelah
dibandingkan antara kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan tinggi
dengan berpengetahuan rendah dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, bahwa kondisi keluarga yang berpengetahuan
tinggi lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang memiliki
pengetahuan rendah. Hal tersebut dapat dilihat dalam hasil pengisian
kuesinoer banyak keluarga yang menjawab benar tentang pengertian dari
gangguan jiwa. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki
pengetahuan tinggi dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa.
5.2.1.2 Sikap
Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa jawaban dari 48 orang
keluarga yang menjadi responden di dapatkan bahwa 26 responden
(54,2%) memiliki sikap positif dan 22 responden (45,8%) memiliki sikap
negatif , hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak keluarga yang memiliki
anggota keluarga dengan mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung memiliki sikap yang positif dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Penelitian ini diperkuat oleh teori Newcomb, salah seorang ahli psikologi
sosial menyatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan
untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam
kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau
reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2010). Sikap yang diberikan keluarga sangat
berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan dalam memberikan
perawatan kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Sikap berupa dukungan keluarga yang bisa diberikan kepada pasien
meliputi dukungan emosional yaitu dengan memberikan kasih sayang dan
sikap positif yang diberikan kepada klien, dukungan informasional yaitu
dengan memberikan nasihat dan pengarahan kepada klien untuk minum
obat. Sikap yang baik dan perawatan yang baik oleh keluarga terhadap
anggota keluarga yang mengalami gannguan jiwa akan berdampak baik
bagi kehidupan dan kualitas hidup anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, begitu pula sebaliknya (Simanjuntak, 2016).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012),
tentang hubungan persepsi keluarga tentang gangguan jiwa dengan sikap
keluarga pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Surakarta. Didapatkan hasil sebanyak 52 responden (54,2%)
memiliki sikap positif pada anggota yang mengalami gangguan jiwa dan
44 resoponden (45,8%) memiliki sikap yang negatif pada anggota yang
mengalami gangguan jiwa dari 96 orang yang menjadi responden.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri
2013), tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap keluarga
dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
Didapatkan dari 50 orang yang menjadi responden sebanyak 44 responden
(88%) memiliki sikap yang baik dan 6 responden (12%) memiliki sikap
yang tidak baik terhadap penderita skizofrenia. Kedua penelitian diatas
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama
memiliki sikap positif dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
jiwa.
Menurut asumsi peneliti bahwa sikap positif akan membantu seseorang
dalam menentukan arah dan tujuan yang akan dicapai. Pada penelitian ini
sikap positif dapat membuat seseorang itu dapat bertindak dan melalukan
hal dengan lebih baik. Sikap positif yang diberikan keluarga sangat
berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan dalam memberikan
perawatan kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hal
tersebut dapat dilihat dalam hasil pengisian kuesinoer rata-rata keluarga
yang menjawab sangat setuju atau setuju dalam menerima anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sikap yang baik dan perawatan
yang baik oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami
gannguan jiwa akan berdampak baik bagi kehidupan dan kualitas hidup
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, begitu pula sebaliknya.
5.2.1.3 Tingkat Kecemasan
Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa jawaban dari 48 orang
keluarga yang menjadi responden di dapatkan bahwa 33 responden
(66,7%) memiliki tingkat kecemasan rendah dan 16 responden (33,3%)
memiliki tingkat kecemasan sedang, hal ini menunjukkan bahwa lebih
banyak keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung memiliki tingkat
kecemasan rendah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa.
Menurut Kaplan, Sadock dan Grebb (1994), memperkuat teori bahwa
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam
menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan memiliki
karakteristik berupa munculnya perasaan dan kehati-hatian atau
kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyengkan (Davison & Neale,
2001) (Fausiah, 2006). Kecemasan dapat dirasakan oleh individu ataupun
sekelompok orang termasuk keluarga, kecemasan meliputi keluarga dan
mereka sangat terbebani dengan kondisi penderita. Bahkan tidak sedikit
keluarga yang sama sekali tidak mengetahui rencana apa yang harus
mereka lakukan untuk menghadapi masalah gangguan jiwa salah satu
anggota keluarganya. Kecemasan akan semakin meningkat tanpa
pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi keluarga.
Terkadang masalah ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat konflik
di dalam keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita
gangguan jiwa (Brown & Bradley, 2002).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Risnasari
(2013), tentang tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota
keluarga penderita gangguan jiwa di Poli Jiwa Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri. Didapatkan bahwa hampir sebagian responden yaitu 8 orang
(40 %) mengalami cemas ringan,6 orang (30 %) responden mengalami
cemas berat, 5 orang (25 %) responden lainnya mengalami cemas sedang,
dan 1 orang (5 %) responden tidak mengalami cemas dari 20 keluarga
yang menjadi responden. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ida, tentang hubungan pengetahuan keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatra Utara, Medan.
Didapatkan hasil dari 32 orang responden sebanyak 15 responden (46,9%)
dengan tingkat kecemasan ringan, 14 responden (43,8%) dengan tingkat
kecemasan sedang dan 3 responden (9,3%) dengan tingka kecemasan
berat. Kedua penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti yaitu sama-sama memiliki tingkat kecemasan ringan yang
lebih dominan.
Menurut asumsi peneliti kecemasan yang di rasakan dapat berupa; adanya
perasaan cemas, adanya ketegangan, adanya rasa ketakutan, adanya
gangguan tidur, adanya gangguan kecerdasan, adanya perasaan depresi
dan gejala-gejala tingkat kecemasan lainnya yang diarasakan keluarga
memiliki pengaruh dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Tingkat kecemasan yang ringan akan membuat keluarga
5.2.2 Bivariat
5.2.2.1 Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam
Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
Berdasarkan hasil uji statistic chi-square di dapat p value = 0,000 jika
dibandingkan dengan α = 0,01 maka p value < α 0,01 maka ada hubungan
bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan. Dari hasil uji
statistic juga didapatkan nilai OR = 0,15 artinya keluarga yang memiliki
pengetahuan rendah mempunyai peluang 0,15 kali untuk memiliki tingkat
kecemasan yang sedang dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa dibandingkan dengan keluarga yang memiliki pengetahuan
tinggi. Berdasarka tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa 86,1% responden
memiliki pengetahuan tinggi dengan tingkat kecemasan rendah dan 13,9%
responden memiliki pengetahuan rendah dengan tingkat kecemasan
sedang dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
di Wilayah kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
Penelitian ini diperkuat berdasarkan penelitian dari badan National Mental
Health Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak
ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan
jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan
jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA
mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya (Foster, 2001).
Tanpa adanya pemahaman yang jernih mengenai masalah gangguan jiwa
yang dihadapi keluarga akan dapat menimbulkan kecemasan dan hal ini
didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Brown & Bradley
(2002) pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan keluarga akan semakin
meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah gangguan jiwa
yang dihadapi keluarga (Simanjuntak, 2006).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ida (2006)
tentang hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah
Sakit Jiwa Propinsi Sumatra Utara, Medan. Terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan
ρvalue = 0,008 dibawah dari nilai α = 0,01. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2010), tentang tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan keluarga pada klien
halusinasi di Badan Pengelola Rumah Sakit Dadi Makasar. Terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan
keluarga pasien halusinasi dengan ρ value = 0,003 dibawah dari nilai α =
0,05.
Menurut asumsi peneliti bahwa ada hubungan keterkaitan antara
pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pengetahuan yang tinggi tentang
gangguan jiwa akan membuat tingkat kecemasan keluarga menjadi rendah
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hal
tersebut dikarenakan karena keluarga memiliki wawasan dan pemahaman
yang baik tentang gangguan jiwa maka akan membuat keluarga tidak
terlalu merasakan kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
5.2 Hubungan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam
Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
Berdasarkan hasil uji statistic chi-square di dapat p value = 0,010 jika
dibandingkan dengan α = 0,01 maka p value = α 0,01 maka ada hubungan
antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan dari hasil uji statistic juga
didapatkan nilai OR = 6,600 artinya keluarga yang memiliki sikap negatif
mempunyai peluang 6,600 kali untuk memiliki tingkat kecemasan sedang
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan keluarga yang memiliki sikap positif.
Berdasarkan tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa 15,4% responden
memiliki sikap positif dengan tingkat kecemasan sedang dan 54,5%
responden emiliki sikap negatif dengan tingkat kecemasan sedang dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah
kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
Penelitian ini diperkuat dengan teori dari Newcomb, salah seorang ahli
psikologi sosial dalam buku Notoatmodjo, 2010 menyatakan bahwa sikap
adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi. Menurut Stuart & Laraia
(2006). Salah satu faktor pencentus terjadinya kecemasan yang bersifat
eksternal adalah ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan
identitas harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.
Demikian pula menurut Suliswati, kajian keluarga menunjukkan bahwa
gangguan ansietas biasanya terjadi didalam keluarga.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2010)
tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan keluarga pada
klien halusinasi di Badan Pengelola Rumah Sakit Dadi Makasar. Terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap dengan tingkat kecemasan keluarga
dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
dengan ρ value = 0,003 dibawah dari nilai α = 0,05.
Menurut asumsi peneliti ada hubungan keterkaitan antara sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan yang dirasakan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa tentunya merasakan cemas karena bagi sebagian
masyarakat memiliki keluarga yang gangguan jiwa merupakan suatu hal yang
buruk, sehingga keluarga merasa malu, merasa tidak dihargai, tidak lagi diterima
oleh masyarakat. Hal tersebut dilihat dari hasil penelitian yang peneliti lakukan
dengan membagikan kuesioner kepada keluarga dengan hasil lebih dari separoh
keluarga yang dijadikan responden memiliki sikap positif kepada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa sehingga membuat tingkat kecemasan
keluarga rendah. Dari hasil kuesioner yang peneliti berikan kepada keluarga
bahwa tidak ada keluarga yang menjawab mengalami kecemasan sangat berat dari
14 item pertanyaan yang ada dikuesioner. Hal tersebut dikarenakan karena sikap
yang baik dan positif yang diberikan kelurga kepada anggota kelurga yang
mengalami gangguan jiwa membuat keluarga yang merawat tidak terlalu
merasakan kecemasan.
BAB VI
PENUTUP
6.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil peneilitian maka beberapa kesimpulan yang dapat
diambil sebagai berikut :
1. Lebih dari separuh yaitu sebanyak 36 responden (75%) memiliki
pengetahuan tinggi tentang gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
2. Lebih dari separuh yaitu sebanyak 26 responden (54,2%) memiliki
sikap yang positif dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten
Sijunjung tahun 2018.
3. Lebih dari separuh yaitu sebanyak 32 responden (66,7%) memiliki
tingkat kecemasan rendah dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung tahun 2018.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan keluarga
dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
dengan nilai ρ value = 0,000 dengan nilai OR= 0,15.
5. Terdapat hubungan antara sikap keluarga dengan tingkat kecemasan
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di
Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung dengan nilai ρ value = 0,01
dengan nilai OR= 6,600.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Lahan Peneliti
Hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai baghan masukan
ataupun eveluasi kepada tenaga kesehatan agar selalu memberikan arahan
tentang sikap positif yang harus diberikan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung.
6.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menambah buku-buku, referensi dan jurnal tentang
keperawatan jiwa. Hasil ini hendaknya dijadikan sebagai bahan acuan
ataupun pertimbangan didalam memberikan pengetahuan dan wawasan
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dalam
program pegabdian masyarakat yang dilakukan kepada masyarakat.
6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini hendaknya dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya
dalam melakukan penelitiannya dengan variabel yang berbeda dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang dirawat
dirumah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Z., (2010). Pengantar Keperawatan Keluarga, [ebook], diakses tanggal 7
November 2017, dari <https://books.google.co.id>
Efendi, F. & Makhfudli. (2009), Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori Dan
Praktik Dalam Keperawatan, [e-book], diakses tanggal 20 Oktober 2017,
dari <https://books.google.co.id>
Fausiah, F. & Widury, J. (2005). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Universitas
Indonesia (UI-Pres): Jakarta.
Kurniawan, F. (2016). Gambaran Karakteristik Pada Pasien Gangguan Jiwa
Skizofrenia Yang Dirawat Di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu
RSUD Banyumas tahun 2015. Naskah Publikasi. Purwokerto: Program
Studi Ilmu Keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Diakses pada tanggal 1 Februari 2018, dari
<http://repository.ump.ac.id>
Kusumawati, F. & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Salemba
Medika: Jakarta.
Laporan bulanan pelayanan kesehatan jiwa tahun 2017. Data Dinas Kabupaten
Sijunjung.
Marselina, M., Khomsiyah, N., (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Status Personal Hygiene Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonokerto I Kabupaten Pekalongan. Naskah Publikasi.
Pekalongan: Program Studi Ners STIKes Muhammadiyah Pekajangan.
Diakses pada tanggal 04 Oktober 2017, dari <http://www.e-
skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id>
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta
(2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
Notosoedirdjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan.
Malang: UMM Press.
Nursalam, (2013). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta
(2011). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta.
Permatasari, H,D., (2014) Gambaran Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia Paranoid Di Rsj Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Naskah Publikasi. Semarang: Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Diakses tanggal 1 Maret 2018, dari <https://vdocuments.com.br>
Profil kesehatan 2014 Propinsi Sumatra Barat, Dinas Kesehatan Sumatra Barat,
diakses tanggal 19 Oktober 2017, dari <http://www.depkes.go.id>
Profil kesehatan tahun 2015, Dinas kesehatan Kabupaten Sijunjung, diakses
tanggal 19 Oktober 2017, dari <http://www.depkes.go.id>
Riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2013. Badan penelitian dan pengembangan
kesehatan kementerian kesehatan RI, Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, diakses tanggal 19 Oktober 2017, dari
<http://www.depkes.go.id>
Risnasari, N., (2013). Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Menghadapi Anggota
Keluarga Penderita Gangguan Jiwa Di Poli Jiwa Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri. Naskah Publikasi. Kediri: Prodi DIII Keperawatan Universitas
Nusantara PGRI Kediri. Diakses pada tanggal, 7 Juli 2018 dari,
<http://scholar.google.co.id>
Safaria, T. & Saputra, N. E., (2012) . Manajemen Emosi, Sebuah Panduan Cerdas
Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Bumi Aksara:
Jakarta.
Simanjuntak, I.T.M., Daulay, W., (2006). Hubungan Pengetahuan Keluarga
Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi Anggota Keluarga Yang
Mengalami Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera
Utara, Medan. Naskah Publikasi. Medan: Program S1 Keperawatan PSIK
FK USU. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2017, dari
<http://repository.usu.ac.id>
Sugiyono, (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D ). Bandung: ALFABETA.
Sulistyorini, N., (2013). Hubungan Pengetahuan Tentang Gangguan Jiwa
Terhadap Sikap Masyarakat Kepada Penderita Gangguan Jiwa Di
Wilayah Kerja Puskesmas Colomadu 1. Naskah Publikasi. Surakarta:
Program studi ilmu keperawatan Fakultas ilmu kesehatan universitas
muhammadiyah Surakarta. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2017, dari
<http://eprints.ums.ac.id>f
Susanti, R., (2014), Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Dasar Pasien Gangguan Jiwa Dengan Defisit Perawatan Diri.
Naskah Publikasi. Riau: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Riau. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2017, dari
<https://media.neliti.com>
Ulfah, (2010). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kecemasan Keluarga
Pada Pasien Halusinasi di Badan Pengelola Rumah Sakit Dadi Makasar.
Naskah Pusblikasi. Makasar: Prodi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Alauddin Makasar. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2018 dari,
<http://repositori.uin-alauddin.ac.id>
Lampiran 1
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth:
Calon Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Sarjana
Keperawatan STIKes Perintis Padang:
Nama : Ika Guswani Pratiwi
Nim : 14103084105015
Akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan pengetahuan dan sikap
keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung
Kabupaten Sijunjung tahun 2018”.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi saudara
sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila saudara menyetujui, maka dengan ini saya mohon kesediaan untuk
menandatangani lembar persetujuan (informed concent) dan melakukan tindakan
yang saya berikan.
Demikian atas kesediaan saudara sebagai responden saya ucapkan terimakasih.
Bukittinggi, Februari 2018
Peneliti
Ika Guswani Pratiwi
Lampiran 2
FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Setelah dijelaskan maksud dari peneliti, maka saya bersedia menjadi responden
yang dilakukan oleh saudari Ika Guswani Pratiwi Mahasiswa Sekolah Tinggi
Sarjana Keperawatan Perintis Padang yang akan mengadakan penelitian dengan
judul ”Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
di Wilayah Kerja Puskesmas Sijunjung Kabupaten Sijunjung tahun 2018”.
Demikian persetujuan ini saya tanda tangani dengan sesungguhnya sukarela tanpa
paksaan siapapun agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bukittinggi, Ferbruari 2018
Responden
( )
Lampira 3
KISI-KISI KUESIONER
No Variabel Jenis
Variabel
Materi Nomor
Soal
Jumlah
1 Independen Pengetahuan Defenisi gangguan jiwa 1, 2 2 pertanyaan
Penyebab gangguan jiwa 3, 4, 5, 6 4 pertanyaan
Cri-ciri gangguan jiwa 7, 8, 9 3 pertanyaan
Tanda dan gejala perilaku
kekerasan 10
1 pertanyaan
Tanda dan gejala defisit
perawatan diri 11, 12
2 pertanyaan
Peran keluarga 13 1 pertanyaan
Fungsi afektif keluarga 14 1 pertanyaan
Fungsi ekonomi keluarga 15 1 pertanyaan
2 Sikap 1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 10, 11
11 pertanyaan
3 Dependen Tingkat
Kecemasan
1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14
14 pertanyaan
Jumlah 40 pertanyaan
Lampiran 4
No. Responden
Hari/ Tanggal : ..........................
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN
TINGKAT KECEMASAN DALAM MERAWAT ANGGOTA
KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIJUNJUNG
KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN 2018
I. Data Identitas Responden
Isilah data dibawah ini!
1. Initial (pasien) :
2. Jenis Kelamin (pasien) : Perempuan : Laki-laki :
3. Tanggal Lahir : / /
4. Usia (pasien) :
5. Alamat :
6. No. Telpon / HP (keluarga) :
7. Nama Pengisi Data :
8. Hubungan Keluarga :
9. Tinggal Bersama Siapa :
tahun
II. Kuesioner Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga
yang Mengalami Gangguan Jiwa
Petunjuk pengisian:
Lingkari jawaban yang menurut anda benar!
1. Apa yang disebut dengan gangguan jiwa?
a. Perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan
pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan
atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.
b. Keadaan yang mengancam nyawa seseorang dan orang lain.
c. Kondisi yang membuat seseorang lupa ingatan dan tidak mengenal
orang-orang dan keluarga terdekat.
d. Suatu kondisi dimana seseorang mengalami limbung, kehilangan
keseimbangan, atau seperti akan pingsan.
2. Perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk akal, berlebihan,
berlangsung lama dan menyebabkan kendala terhadap individu yang
bersangkutan, hal tersebut merupakan?
a. Gangguan pola makan
b. Gangguan jiwa
c. Kelainan bentuk tubuh
d. Ketidakberdayaan
3. Apa yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa?
a. Kejadian yang menekan, stres dan ketegangan hidup.
b. Perilaku hidup yang tidak sehat.
c. Obesitas.
d. Memiliki keluarga yang harmonis.
4. Dibawah ini yang merupakan penyebab seseorang bisa mengalami
gangguan jiwa, adalah..
a. Kekecewaan
b. Pengalaman masa lalu
c. Hayalan
d. Imajinasi
5. Posisi sosial & pengalaman sosial merupakan salah satu penyebab
seseorang mengalami gangguan jiwa dilihat dari segi..
a. Lingkungan politik
b. Lingkungan sekolah
c. Lingkungan sosial
d. Lingkungan kantor
6. Beberapa ketegangan hidup yang umum terjadi adalah perselisihan yang
dihubungkan dengan?
a. hubungan perkawinan
b. Hubungan bertetangga
c. ketegangan yang dihubungkan dengan ekonomi keluarga
d. a dan c benar
7. Apa saja ciri-ciri dari seseorang yang mengalami gangguan jiwa?
a. Perubahan yang berulang dalam pikiran, daya ingat.
b. Perubahan perilaku.
c. Perubahan bentuk tubuh yang tidak normal.
d. a dan b benar
8. Sedih berkepanjangan, tidak semangat dan cenderung malas, marah tanpa
sebab, mengurung diri, tidak mengenali orang, hal tersebut merupakan
ciri-ciri dari?
a. Kelainan dalam berprilaku
b. Kehilangan nafsu makan
c. Mengalami gangguan jiwa
d. Tidak berkonsentrasi
9. Perubahan perilaku, akibat dari penderita gangguan jiwa ini menyebabkan
gangguan dalam..
a. Suasana hati
b. Pola hidup sehat
c. Tidur
d. Kegiatan sehari-hari, efisien kerja, dan hubungan dengan orang lain
10. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah..
a. Muka merah dan tegang; pandangan tajam; bicara kasar; suara tinggi,
b. Diam dan tenang
c. Nyeri, tidak nyaman dan gelisah
d. Tidak peduli dengan orang lain
11. Penderita gangguan jiwa tidak dapat melakukan..
a. Merawat kebersihan diri
b. Berhias diri
c. Minum
d. a dan b benar
12. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan..
a. Kulit berdaki
b. Rambut kotor,
c. Gigi kotor dan bau,
d. Kuku panjang dan kotor
13. Kenapa peran keluarga sangat penting?
a. Karena keluarga akan memasung pasien gangguan jiwa
b. Karena keluarga akan mengucilkan pasien gangguan jiwa
c. Karena keluarga merupakan tempat dimana individu memulai
hubungan interpersonal dengan lingkungannya.
d. Karena keluarga orang terjauh bagi pasien gangguan jiwa.
14. Dibawah ini yang merupakan hal yang harus dilakukan keluarga, kecuali..
a. Keluarga harus menghargai anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa
b. Saling menerima, saling mendukung antara keluarga dengan anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa
c. Tidak peduli dan mengucilkan anggota kelurga yang mengalami
gngguan jiwa
d. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan penyesuaian pada berbagai aspek
kehidupan pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
15. Memberikan dana untuk pengobatan dan perawatan selama dirawat
dirumah sakit jiwa maupun dirawat dirumah, hal tersebut merupakan
fungsi keluarga dalam segi..
a. Politik
b. Sosial
c. Kesehatan
d. Ekonomi
III. Kuesioner Sikap Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga yang
Mengalami Gangguan Jiwa
Petunjuk pengisian:
Berilah tanda ( √ ) pada jawaban yang dipilih !
Keterangan :
SS : Sangat Setuju TS : Tidak Setuju
S : Setuju STS : Sangat Tidak Setuju
RR : Ragu-ragu
No Pernyataan
SS
(1)
S
(2)
RR
(3)
TS
(4)
STS
(5)
1 Keluarga menerima anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
2 Keluarga memberikan perawatan yang baik
kepada anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa
3 Keluarga yakin anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa bisa sembuh jika
teratur minum obat
4 Keluarga selalu membawa anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan
kesehatan untuk berobat
5 Keluarga selalu mengingatkan angota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa untuk selalu
konsumsi obat secara teratur
6 Keluarga tidak melakukan pemasungan kepada
anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa saat mengamuk
7 Keluarga tidak mengasingkan anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa
8 Keluarga tidak malu bahwa seseorang di
keluarganya mengalami gangguan jiwa dan
bukan merupakan suatu aib yang harus ditutupi
9 Keluarga merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
10 Anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa bisa melakukan pekerjaan seperti orang
normal
11 Keluarga tidak mempedulikan pandangan
negatif orang lain disekitar lingkungan rumah
IV. Kuesioner Tingkat Kecemasan Keluarga Dalam Merawat Anggota
Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa
Petunjuk pengisian:
Berilah tanda ( √ ) pada jawaban yang dipilih !
Keterangan :
TA : Tidak ada B : Berat
R : Ringan SB : Sangat Berat
S : Sedang
Saat Ibu/ Bapak merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
apa yang Ibu/ Bapak rasakan?
No Pernyataan TA
(0)
R
(1)
S
(2)
B
(3)
SB
(4)
1 Perasaan cemas
o Firasat buruk
o Takut akan pikiran sendiri
o Mudah tersinggung
2 Ketegangan
o Merasa tegang
o Lesu
o Mudah terkejut
o Tidak dapat istirahat dengan nyenyak
o Mudah menangis
o Gemetar
o Gelisah
3 Ketakutan
o Pada gelap
o Ditinggal sendiri
o Pada orang asing
o Pada binatang besar
o Pada keramaian lalu lintas
o Pada kerumunan orang banyak
4 Gangguan tidur
o Sukar memulai tidur
o Terbangun malam hari
o Tidak pulas
o Mimpi buruk
o Mimpi yang menakutkan
5 Gangguan kecerdasan
o Daya ingat buruk
o Sukar berkonsentrasi
o Sering bingung
6 Perasaan depresi
o Kehilangan minat
o Sedih
o Bangun dini hari
o Berkurangnya kesukaan pada hobi
o Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7 Gejala somatik (otot-otot)
o Nyeri otot
o Kaku
o Kedutan otot
o Gigi gemeretak
o Suara tak stabil
8 Gejala sensorik
o Telinga berdengung
o Penglihatan kabur
o Muka merah dan pucat
o Merasa lemah
o Perasaan ditusuk-tusuk
9 Gejala kardiovaskuler
o Denyut nadi cepat
o Berdebar-debar
o Nyeri dada
o Denyut nadi mengeras
o Rasa lemah seperti mau pngsan
o Detak jantung hilang sekejap
10 Gejala pernapasan
o Rasa tertekan didada
o Perasaan tercekik
o Merasa napas pendek/sesak
o Sering menarik napas panjang
11 Gejala gastrointestinal
o Sulit menelan
o Mual muntah
o Berat badan menurun
o Konstipasi/sulit buang air besar
o Perut melilit
o Gangguan pencernaan
o Nyeri lambung sebelum/sesudah makan
o Rasa panas diperut
o Perut terasa penuh/kembung
12 Gejala urogenital
o Sering kencing
o Tidak dapat menahan kencing
o Amenor/mentruasi yang tidak teratur
13 Gejalavegetatif/autonom
o Mulut kering
o Muka kering
o Mudah berkeringat
o Pusing/sakit kepala
o Bulu roma berdiri
14 Ibu/bapak merasakan
o Gelisah
o Tidak tenag
o Mengerutkan dahi muka tegang
o Tonus/ketegangan otot meningkat
o Napas pendek dan cepat
o Muka merah
Menurut skala HARS yang dikutip dalam Nursalam, 2013
top related