skripsi quw komplit 17-03-11 - · pdf fileaccordance with the principles of ergonomics, making...
Post on 01-Feb-2018
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN
MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PEKERJA
ASSEMBLING PT X BOGOR TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh :
Emi Maijunidah NIM 106101003319
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
2
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarata.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2010
Emi Maijunidah
3
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Desember 2010
Emi Maijunidah, NIM: 106101003319
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Assembling PT X Bogor Tahun 2010
xvi + 121 halaman, 18 tabel, 18 gambar, 2 bagan, 1 grafik, lampiran
ABSTRAK
Keluhan musculoskeletal disorder (MSDs) adalah keluhan pada bagian otot-otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan yang sangat ringan sampai berat. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan sakit permanen pada otot, sendi dan ligamen serta mengurangi produktivitas dan efisiensi kerja. Proses pekerjaan ditempat ini dipengaruhi oleh target produksi yaitu 10-20 unit per hari dengan estimasi waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 pekerja assembling 90% diantaranya mengalami keluhan otot seperti nyeri atau pegal-pegal pada leher, bahu, pinggang, punggung, paha, betis dan kaki.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi keluhan musculoskeletal disorder (MSDs) pada pekerja assembling di PT X Bogor tahun 2010 yang terdiri dari faktor pekerjaan, usia, kebiasaan merokok dan masa kerja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional yang dilakukan pada bulan Agustus sampai Desember 2010. Sampel penelitian ini berjumlah 70 orang didapatkan dari hasil perhitungan sampel dengan rumus uji hipotesis beda dua proporsi. Penelitian ini menggunakan dua uji statistik yaitu chi square untuk melihat adanya hubungan antara variabel pekerjaan, usia dan kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs sedangkan Mann-Whitney untuk variabel masa kerja.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pekerja mengalami keluhan MSDs yaitu sebanyak 65 pekerja (92,9%) dan berdasarkan pengukuran faktor pekerjaan sebagian besar pekerja mengalami risiko pekerjaan tinggi (47,1%) dan sangat tinggi (34,3%). Pada Penelitian ini didapatkan faktor pekerjaan, usia, kebiasaan merokok dan masa kerja tidak berhubungan dengan keluhan MSDs.
Untuk mengurangi keluhan MSDs, disarankan kepada perusahaan agar memberikan alat bantu penanganan pada pekerjaan manual handling yang membutuhkan tenaga besar. Memberikan training tentang risiko ergonomi dan tata cara bekerja yang sesuai dengan prinsip ergonomi, membuat standar ergonomi (SOP) untuk setiap jenis pekerjaan terutama yang memiliki risiko ergonomi sangat tinggi dan tinggi serta pemberdayaan SMK3 dengan meningkatkan pengawasan dan koordinasi program P2K3 yang terkait dengan ergonomi di perusahaan yang dapat digunakan pekerja untuk bekerja dengan aman dan nyaman. Daftar bacaan: 32 (1980-2010)
4
SYARIEF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, December 2010 Emi Maijunidah, NIM: 106101003319 The Factors Affecting Complaint Musculoskeletal Disorders (MSDs) On Workers Assembling PT X Bogor Year 2010 xvi + 121 pages, 18 tables, 18 drawings, 2 charts, 1 graphics, attachments
ABSTRACT
Musculoskeletal disorders (MSDs) are the complaint in the skeletal muscles that one feels complaint ranging from mild to very severe. If this condition occurs in a long time can cause permanent pain in muscles, joints and ligaments and reduce productivity and work efficiency. The process works in this place is influenced by production targets of 10-20 units per day with estimated time frames. Based on preliminary studies conducted on 10 workers assembling 90% of them experienced muscle complaint such as pain or stiffness in the neck, shoulders, waist, back, thighs, calves and feet.
This study aims to identify many factors that influence the complaint musculoskeletal disorders (MSDs) in workers assembling in PT X Bogor in 2010, which consist of job factor, age, smoking habits and working period. This research is a quantitative research with cross sectional design conducted in August through December 2010.The sample was 70 people obtained from the calculation formula of the sample with two different hypothesis test proportions. This study used two statistical tests of chi square to analyse the correlation between variables job factors, age and smoking habits with symptoms of MSDs, and the Mann-Whitney test for variable working period.
Based on the results of the study, most workers experience MSDs complaints which are 65 workers (92.9%) and job factors measured on the majority of workers experienced high-risk jobs (47.1%) and very high (34.3%). In this study, obtained a job factor, age, smoking habits and working period not associated with symptoms of MSDs.
To reducing complaint musculoskeletal disorders (MSDs), advised the company to provide a tool handling in manual handling jobs that require great strength. Provide training about ergonomic risk and working procedures in accordance with the principles of ergonomics, making ergonomics standard (SOP) for each type of work, especially with very high risk and high ergonomics and empowerment SMK3 by improving supervision and coordination of programs related to ergonomics P2K3 in the company which can be used workers to work safely and comfortably. Reading list: 32 (1980 - 2010).
5
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi Dengan Judul
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN
MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDS) PADA PEKERJA ASSEMBLING
DI PT X BOGOR TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa, dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 16 Desember 2010
Mengetahui,
Iting Shofwati, ST, MKKK DR. H. Arif Sumantri, SKM, MKes Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II
6
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 16 Desember 2010
Penguji I
Iting Shofwati, ST, MKKK
Penguji II
DR. H. Arif Sumantri, SKM, Mkes
Penguji III
Selamat Riyadi, MKKK
7
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Emi Maijunidah TTL : Lamongan, 4 April 1988 Jenis Kelamin : Perempuan Status : Belum Menikah Agama : Islam Ponsel : (021) 93366900 Alamat : Jl. Harun No 11 B Rt 012/01, Tn. Kusir Jakarta Selatan
12240 E-mail : emy_april88@yahoo.co.id PENDIDIKAN FORMAL 1994 – 2000 : SDN. 09 Pagi Kebayoran Lama 2000 – 2003 : SLTPN 31 Jakarta 2003 – 2006 : SMPN 32 Jakarta 2006 – 2010 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
8
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-
NYA dan salam tak lupa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Faktor-faktor yang
mempengaruhi keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja assembling
PT X Bogor Tahun 2010”.
Dalam pelaksanaan magang dan penulisan laporan magang, penulis banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. My beloved family, orang tua tercinta yang telah banyak memberikan perhatian,
dukungan secara moril dan materil, terima kasih atas doa, kasih sayang dan
kesabaran yang tak terkira, kakak-kakakku dan adikku tersayang.
2. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat FKIK UIN Jakarta.
3. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK, selaku dosen pembimbing I dalam penyusunan
skripsi ini, yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan banyak
masukan serta motivasi kepada penulis.
4. Bapak DR H Arif Sumantri, SKM, Mkes, selaku pembimbing II dalam
penyusunan skripsi ini, yang juga telah meluangkan waktu dan memberikan
banyak saran.
5. Direksi PT X Bogor beserta jajarannya yang telah memberikan izin serta fasilitas
kepada penulis.
9
6. Bapak Ir. Didit Suwardi, selaku Ketua P2K3 dan Bapak Ir. Ari Abriyarto, selaku
Sekretaris Umum P2K3, Bapak Dewo selaku manager dan Bapak Didi, selaku
supervisor di lokasi penelitian yang banyak memberikan masukan kepada
penulis.
7. Pak Suyono, Pak Damiri, Ibu Wuri, Mas Budi serta seluruh staf dan operator PT
X Bogor, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
8. Sahabat dan Saudaraku tersayang yang selalu membuat hariku ceria dan
memberikan semangat (Desi, Nita, Heri Puji, Dita, Agita, Nisa, Rina, Lesy,
Abel, Prit, Adit Prayudi, Angga, Eka Wahyuni, Rony, anak-anak Kos’an, Mas
Amir dan seluruh mahasiswa kesmas 3G angkatan 2006 UIN Jakarta.
9. Seluruh dosen dan civitas akademik FKIK UIN Jakarta, khususnya Pak Gozali
yang sudah banyak membantu proses administrasi dan memberikan motivasi.
10. Dan seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis
sebutkan. Thank you for everythings.
Semoga Allah membalas jasa-jasa kalian semuanya. Penulis menyadari bahwa
sebagai manusia tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima dengan baik. Akhir kata penulis berharap semoga
skrpsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca dan berbagai pihak yang
memerlukan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Desember 2010
Emi Maijunidah
10
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i ABSTRAK ................................................................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xiv DAFTAR GRAFIK .................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5 1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 6 1.4 Tujuan .............................................................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 7 1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 7
1.5 Manfaat .............................................................................................................. 8 1.5.1 Perusahaan ................................................................................................ 8 1.5.2 Peneliti ..................................................................................................... 8 1.5.2 Institusi Pendidikan ................................................................................. 8
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Risiko MSDs ........................................................................................ 10
2.1.1 Faktor Pekerjaan .................................................................................... 10 a. Postur Tubuh .......................................................................................... 10
b. Peregangan Otot yang Berlebihan ........................................................... 11 c. Aktivitas Berulang .................................................................................. 12 d. Force/Load ............................................................................................. 12 e. Durasi ..................................................................................................... 13 2.1.2 Faktor Invidu ......................................................................................... 13 a. Umur ....................................................................................................... 13 b. Jenis Kelamin ......................................................................................... 15 c. Kebiasaan Merokok ................................................................................ 16 d. Kesegaran Jasmani ................................................................................. 18 e. Kekuatan Fisik ........................................................................................ 19 f. Indeks Massa Tubuh ............................................................................... 21
11
g. Masa Kerja ............................................................................................. 22 2.1.3 Faktor Lingkungan ................................................................................ 22 a. Mikrolimat .............................................................................................. 22 b. Iluminasi ................................................................................................. 23 c. Vibrasi .................................................................................................... 24
2.1.4 Faktor Psikososial ................................................................................. 25 2.2 Musculoskeletal Disorders (MSDs) ...................................................................... 26
2.2.1 Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs) ........................................ 26 2.2.2 Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) ....................................... 29 2.2.3 Anatomi dan Fisiologi Organ dalam Sistem Musculoskeletal .............. 31
2.2.3.1 Muskuler/Otot ................................................................................ 31 2.2.3.2 Skeletal ........................................................................................... 32
2.2.3.3 Low back Region ............................................................................. 33 2.2.3.4 Intervertebral Disc ......................................................................... 34 2.2.3.5 Leher .............................................................................................. 35
2.2.3.6 Elbow/Siku ..................................................................................... 35 2.2.3.7 Shoulder/Bahu ................................................................................ 36 2.3 Metode Penilaian Ergonomi ................................................................................. 36
2.3.1 Pengertian Ergonomi ............................................................................. 36 a. Ergonomic Assesment Survey Method (EASY) ...................................... 38
b. Base Risk of Ergonomic Factor (BRIEF) .............................................. 38 c. Employee Survey (Survei Gejala) .......................................................... 39 d. Medical Survey (Survei Rekam Medis) ................................................. 39 e. Rapid Upper Limb Assesment (RULA) ................................................ 40 f. Rapid Entire Body Assesment (REBA) .................................................. 50
2.4 Pengendalian Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) ................................ 60 2.5 Kerangka Teori ..................................................................................................... 63 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................ 65 3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 69 3.3 Hipotesis .......................................................................................................... 71
BAB IV METODELOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ................................................................................................ 72 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 72 4.3 Populasi dan Sampel ....................................................................................... 72
4.3.1 Populasi ................................................................................................. 72 4.3.2 Sampel .................................................................................................. 72
4.4 Instrumen Penelitian dan Sumber Data ........................................................... 74 4.5 Pengolahan Data .............................................................................................. 75
12
4.6 Analisis Data .................................................................................................. 84 4.6.1 Analisis Univariat .................................................................................. 84 4.6.2 Analisis Bivariat .................................................................................... 85
BAB V HASIL 5.1 Sejarah singkat perusahaan ................................................................................. 86 5.2 Departemen APC (Assembling Passenger Cars) ................................................ 86 5.3 Analisis Univariat ................................................................................................. 98
5.3.1 Keluhan MSDs pada Pekerja Assembling ............................................. 98 5.3.2 Risiko Faktor Pekerjaan pada Pekerja Assembling ................................ 99 5.3.3 Risiko Faktor Pekerja pada Pekerja Assembling ................................ 100
5.4 Analisis Bivariat ................................................................................................. 101 5.4.1 Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs ........................... 101 5.4.2 Hubungan Faktor Pekerja dengan Keluhan MSDs ............................ 102
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 104 6.2 Keluhan Musculoskeletal disorders (MSDs) ......................................................... 105 6.3 Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs ........................................ 108 6.4 Hubungan Faktor Pekerja dengan Keluhan MSDs ............................................. 111
6.4.1 Hubungan usia dengan Keluhan MSDs ............................................. 111 6.4.2 Hubungan kebiasaan merokok dengan Keluhan MSDs ...................... 113
6.4.3 Hubungan masa kerja dengan Keluhan MSDs ..................................... 116
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 118 7.2 Saran ................................................................................................................... 119 7.2.1 Bagi Perusahaan .................................................................................. 119
7.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya ..................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
13
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skor Grup A RULA .................................................................................. 44
Tabel 2.2 Skor Grand Total RULA ........................................................................... 45
Tabel 2.3 Skor Grup B RULA .................................................................................... 48
Tabel 2.4 Penilaian Skor Grup A REBA .................................................................... 55
Tabel 2.5 Penilaian Skor Grup B REBA ..................................................................... 57
Tabel 2.6 Penilaian Skor Grup C dan Skor Aktivitas ................................................. 59
Tabel 2.7 Level Akhir Skor REBA ............................................................................. 59
Tabel 4.1 Contoh Penilaian Skor Grup A REBA ...................................................... 77
Tabel 4.2 Contoh Penilaian Skor Grup B REBA ....................................................... 79
Tabel 4.3 Contoh Penilaian Skor Grup C REBA ....................................................... 80
Tabel 4.4 Level Akhir Skor REBA ............................................................................. 81
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan MSDs pada Pekerja
Assembling PT X Bogor tahun 2010 ............................................................... 98
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Faktor Pekerjaan
pada Pekerja Assembling PT X Bogor tahun 2010 ......................................... 99
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Usia dan Kebiasaan Merokok
pada Pekerja Assembling PT X Bogor tahun 2010 ....................................... 100
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja pada Pekerja
Assembling PT X Bogor tahun 2010 ............................................................. 100
Tabel 5.5 Distribusi Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs pada Pekerja
Assembling PT X Bogor tahun 2010 ............................................................. 101
Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Usia dan Kebiasaan Merokok
dengan Keluhan MSDS pada Pekerja Assembling PT X Bogor tahun
2010 ............................................................................................................... 102
Tabel 5.7 Analisis Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan MSDs pada
Pekerja Assembling PT X Bogor tahun 2010 ............................................... 103
14
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagian-bagian Intervertebral disc ........................................................... 34
Gambar 2.2 Tulang Leher ........................................................................................... 35
Gambar 2.3 Otot Leher .............................................................................................. 35
Gambar 2.4 Otot dan Bagian Siku .............................................................................. 35
Gambar 2.5 Otot Bahu ................................................................................................ 36
Gambar 2.6 Postur Bagian Lengan Atas ..................................................................... 41
Gambar 2.7 Postur Bagian Lengan Bawah ................................................................. 42
Gambar 2.8 Postur Pergelangan Tangan ..................................................................... 43
Gambar 2.9 Postur Putaran Pergelangan Tangan ........................................................ 43
Gambar 2.10 Postur Leher .......................................................................................... 46
Gambar 2.11 Postur Punggung ................................................................................... 47
Gambar 2.12 Postur Kaki ............................................................................................ 47
Gambar 2.13 Penilaian Grup A Posisi Leher .............................................................. 53
Gambar 2.14 Penilaian Grup A Posisi Punggung ....................................................... 54
Gambar 2.15 Penilaian Grup A Posisi Kaki................................................................ 54
Gambar 2.16 Penilaian Grup B Posisi Lengan Atas ................................................... 56
Gambar 2.17 Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah ............................................... 56
Gambar 2.18 Penilaian Grup B Posisi Pergelangan Tangan ....................................... 57
15
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .......................................................................................... 64
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ....................................................................................... 68
16
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Distribusi bagian tubuh yang dikeluhkan pada operator assembling
PT X tahun 2010 ............................................................................................ 99
17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian
Lampiran 2 Hasil Uji Univariat
Lampiran 3 Hasil Uji Bivariat
Lampiran 4 Form REBA
Lampiran 5 Form RULA
Lampiran 6 Lay Out APC (Assembling Passenger Cars)
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian otot-otot skeletal yang
dirasakan seseorang mulai dari keluhan yang sangat ringan sampai berat. Jika dalam
hal ini otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama maka
dapat menyebabkan kerusakan pada otot, saraf, tendon, persendian, kartilago dan
discus intervetebrata (Tarwaka, 2004). Keluhan muskuloskeletal sering juga
dinamakan MSDs (Musculoskeletal Disorder), RSI (Repetitive Strain Injuries), CTD
(Cumulative Trauma Disorders), Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs),
RMI (Repetitive Motion Injury).
Biasanya MSDs mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan. Keluhan MSD yang sering timbul pada pekerja industri
adalah nyeri punggung, nyeri leher, nyeri pada pergelangan tangan, siku dan kaki.
Tubuh bagian atas terutama punggung dan lengan adalah bagian yang paling rentan
terhadap risiko terkena MSDs. Jenis pekerjaan seperti perakitan, pengolahan data
menggunakan keyboard komputer, pengepakan makanan dan penyolderan adalah
pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai siklus pengulangan pendek dan cepat sehingga
menyebabkan timbulnya MSDs.
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja yang statis sangat berpotensi
mempercepat timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat. Jika kondisi
seperti ini berlangsung setiap hari dan dalam waktu yang lama (kronis) bisa
menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot, sendi, tendon, ligamen dan
19
jaringan-jaringan lain. Selain itu, bekerja dengan rasa sakit dapat mengurangi
produktivitas serta efisiensi kerja dan apabila bekerja dengan kesakitan ini diteruskan
maka akan berakibat pada kecacatan yang akhirnya menghilangkan pekerjaan bagi
pekerjanya. Terdapat lebih dari sepertiga dari seluruh waktu kerja yang hilang (lost
time injuries) karena hal ini (Melissa, 2009).
Cohen et al (1997) menyebutkan bahwa MSDs dapat terjadi karena faktor
pekerjaan, personal, lingkungan dan psikososial. Faktor pekerjaan antara lain postur
janggal, postur statis, peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang,
force/load, frekuensi, durasi dan alat perangkai/genggaman. Faktor pekerja antara
lain umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik,
ukuran tubuh, masa kerja dan indeks massa tubuh. Faktor lingkungan antara lain
mikrolimat (suhu), getaran, iluminasi. Sedangkan faktor psikososial antara lain
kepuasaan kerja, stress mental dan organisasi kerja (Bridger, 1995; Tarwaka et al,
2004).
Gangguan musculoskeletal adalah masalah kesehatan yang paling umum di
Uni Eropa yaitu 25 – 27% dari pekerja Eropa mengeluh sakit punggung dan 23%
nyeri otot. Kemudian 62% dari pekerja di Uni-Eropa 27 terekspos seperempat waktu
atau lebih untuk gerakan tangan repetitif dan gerakan lengan, 46% ke posisi yang
menyakitkan atau melelahkan, 35% gerakan membawa atau memindahkan beban
berat. Data lainnya dari The Labour Force Survey pada tahun 2007/2008,
diperkirakan 539.000 pekerja di Britania Raya menderita musculoskeletal disorders
yang disebabkan oleh pekerjaan mereka saat ini maupun pekerjaan sebelumnya
dalam waktu 12 bulan terakhir.
20
Menurut data Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika (2001) pada
periode tahun 1996 sampai 1998 terdapat 2.811.000 kasus, diantaranya adalah
gangguan yang berhubungan dengan faktor risiko ergonomi. Data lainnya juga
menyebutkan di Amerika terjadi sekitar 6 juta kasus per tahun atau rata-rata 300 –
400 kasus per 100 ribu pekerja. Masalah ini mengakibatkan pekerja harus istirahat
dirumah (lost day) selama rata-rata 20 hari, dengan variasi mulai dari ringan hingga
cacat permanen tentunya. Biaya yang harus dikeluarkan akibat MSDs ini mencapai
rata-rata $ 14.726 (lebih dari 130 juta rupiah). Bagi perusahaan, angka ini tentu
belum termasuk biaya terhentinya produksi dan hilangnya kepercayaan pekerja
kepada jaminan keselamatan yang diberikan perusahaan (aspek moral) (ergoinstitute,
2008).
Sedangkan di Indonesia berdasarkan dari hasil studi Departemen Kesehatan
dalan profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005, menunjukkan bahwa sekitar
40,5% penyakita yang diderita pekerja sehubungan dengan pekerjaannya. Gangguan
kesehatan yang dialami pekerja, menurut penelitian yang dilakukan terhadap 9.482
pekerja di 12 kabupaten atau kota di Indonesia, umumnya berupa penyakit
musculoskeletal disorders (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (3%) dan
gangguan THT (1,5%) (Sumiati, 2007).
Menurut penelitian Melyssa tahun 2007, tingkat resiko MSDs pada pekerja
otomotif di section assembling I-line memiliki risiko cukup tinggi terutama pada
proses kerja chassis 1 dengan jenis aktifitas yaitu pemasangan rear suspension, bolt
front strut, protector muffler, hose fuel tank. Hal serupa juga diungkapkan pada
penelitian Soleha tahun 2009, yang mengatakan bahwa risiko ergonomi pekerjaan di
bagian cant plant memiliki medium risk dan high risk, dimana terdapat hubungan
21
antara variabel umur (Pvalue 0,024) dan variabel kebiasaan merokok (Pvalue 0,005)
dengan keluhan MSDs pada operator Can Plant PT X tahun 2009. Selain itu
didapatkan dari hasil penelitian bahwa operator yang mengalami keluhan MSDs
lebih banyak dibandingkan dengan operator yang tidak mengalami keluhan.
Sementara itu pada penelitian Ikrimah tahun 2010, menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara faktor pekerjaan (Pvalue 0,029), kebiasaan merokok (Pvalue 0,000),
getaran (Pvalue 0,032) dengan keluhan MSDs.
PT X merupakan salah satu produsen mobil yang ada di negara ini. Di pabrik
ini di produksi dua jenis kendaraan yaitu Passenger Cars yang berada di plant
Assembling Passenger Cars dan Commercial Vehicle atau chassis bus yang berada di
plant Assembling Commercial Vehicle. Untuk perakitan chassis bus terdapat
departemen Aggregate Assembly & Commponent yang khusus merakit mesin,
gearbox dan axle yang nantinya akan digabungkan dengan chassis pada proses
selanjutnya.
Proses pekerjaan pada perakitan passenger cars memiliki beragam jenis
kegiatan atau lebih bervariasi jika dibandingkan dengan proses pekerjaan pada
commercial vehicle disertai dengan kegiatan berpindah tempat. Selain itu proses
pekerjaan di tempat ini dipengaruhi oleh target produksi yang harus dikerjakan tiap
harinya yakni 10 – 20 unit per hari yang tentu saja tiap pekerjaannya dilakukan
berdasarkan estimasi waktu yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Sehingga
kemungkinan tubuh pekerja sering melakukan perputaran cepat dan terus menerus
serta beragam tehnik atau gerakan diantaranya berdiri, berputar, membungkuk dan
mengangkat beban.
22
Berdasarkan studi pendahuluan di perusahaan tersebut, diketahui bahwa 9
dari dari 10 operator diantaranya mengalami keluhan otot seperti nyeri atau pegal-
pegal yang umumnya sering dirasakan dibeberapa bagian tubuh seperti leher, bahu,
pingggang, punggung, paha, betis dan kaki. Sepuluh operator ini mewakili dari setiap
stasiun yang ada dan diambil secara acak. Selain itu menurut pernyataan pihak
klinik, jumlah pekerja dibagian ini yang mengeluhkan nyeri otot atau pegal-pegal di
klinik sekitar 15 orang per bulan.
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada
pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
1.2 Rumusan Masalah
Proses pekerjaan di passenger cars yang memiliki beragam jenis kegiatan
(bervariasi) jika dibandingkan dengan commercial vehicle dan banyak gerakan yang
repetitif disertai dengan kegiatan berpindah tempat. Selain itu proses pekerjaan di
tempat ini dipengaruhi oleh target produksi yang harus dikerjakan tiap harinya yakni
10 – 20 unit per hari yang tentu saja tiap pekerjaannya dilakukan berdasarkan
estimasi waktu yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Sehingga kemungkinan tubuh
pekerja sering melakukan perputaran cepat dan terus menerus serta beragam tehnik
atau gerakan diantaranya berdiri, berputar, membungkuk dan mengangkat beban.
Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa 9 dari 10 operator
diantaranya mengalami keluhan otot seperti nyeri atau pegal-pegal yang umumnya
sering dirasakan dibeberapa bagian tubuh seperti leher, bahu, pingggang, punggung,
23
paha, betis dan kaki. Selain itu jumlah pekerja dibagian ini yang mengeluhkan nyeri
otot atau pegal-pegal di klinik sekitar 15 orang per bulan.
Diperkirakan kejadian Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja dapat
mempengaruhi produktivitas dan efisiensi kerja, meningkatkan risiko kecelakaan
kerja, penyakit akibat kerja serta target produksi yang telah ditetapkan perusahaan
akan terganggu. Diperkirakan juga Faktor risiko keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs) pada pekerja dibagian ini yaitu faktor pekerjaan dan pekerja (umur,
kebiasaan merokok, masa kerja).
Dengan demikian diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja
sehingga upaya preventif akan lebih mudah dilakukan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada
pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
2. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan pada pekerja assembling di PT X
Bogor Tahun 2010.
3. Bagaimana gambaran faktor pekerja pada pekerja assembling di PT X Bogor
Tahun 2010.
4. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan risiko Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
5. Apakah ada hubungan antara faktor pekerja dengan keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
24
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada
pekerja assembling di PT X Bogor Tahun 2010.
2. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan pada pekerja assembling di PT X
Bogor Tahun 2010.
3. Diketahuinya gambaran faktor pekerja pada pekerja assembling di PT X
Bogor Tahun 2010.
4. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X
Bogor Tahun 2010.
5. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerja dengan keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X
Bogor Tahun 2010.
1.5 Manfaat
1.5.1 Perusahaan
a. Dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja,
agar perusahaan lebih meningkatkan perhatian pada permasalahan
ergonomi.
25
b. Dapat memberikan solusi alternatif mengenai tindakan pencegahan
terhadap risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja guna
meningkatkan kesehatan dan kinerja pekerja.
1.5.2 Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam dunia kerja
khususnya tentang keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs), melakukan
penilaian risiko MSDs dan permasalahanya di tempat kerja serta sebagai bahan
referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya.
1.5.3 Institusi Pendidikan
Menambah referensi mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja di industri
perakitan kendaraan dalam bidang keilmuan K3 dan mahasiswa peminatan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan pada bagian passenger cars di PT X Bogor tahun
2010. Topik penelitian ini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja, karena banyaknya kegiatan atau
proses pekerjaan yang dilakukan pada bagian ini dan proses kerja yang dilakukan
dengan cepat karena adanya target produksi yang harus dicapai tiap harinya yaitu 10
– 20 unit perhari. Sehingga kemungkinan tubuh pekerja sering melakukan perputaran
cepat dan terus menerus serta beragam tehnik atau gerakan diantaranya berdiri,
berputar, membungkuk, mengangkat beban, yang rentan terhadap postur kerja
janggal.
26
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2010.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi
cross sectional yang terdiri dari beberapa variabel yaitu faktor pekerjaan dan pekerja
(umur, kebiasaan merokok, masa kerja).
Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh operator di Assembling Passenger
Cars yang berjumlah 90 orang dan sampel penelitian ini berjumlah 70 orang yang
didapatkan dari hasil perhitungan sampel dengan rumus sampel uji hipotesis beda
dua proporsi. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuisioner, observasi
serta melakukan penilaian skor terhadap faktor pekerjaan dengan menggunakan
metode pengukuran ergonomi yaitu metode REBA dan RULA.
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor Risiko MSDs
2.1.1 Faktor Pekerjaan
a. Postur Tubuh
Postur adalah orientasi relatif dari bagian tubuh dalam ruang. Postur manusia
dalam keadaan melakukan kerjanya ditentukan oleh dimensi tubuh dan dimensi
deasain kerjanya, jika tidak terdapat keselarasan dalam kedua dimensi tersebut maka
akan timbul dampak jangka panjang dan dampak jangka pendek terhadap tubuh
manusia (Pheasant, 1991).
ILO (1998) mengkategorikan postur tubuh sebagai postur janggal adalah
berdiri, duduk tanpa dukungan lumbar, duduk tanpa dukungan punggung, duduk
tanpa footrest (tumpuan kaki) yang baik dengan ketinggian yang sesuai, duduk
dengan mengistirahatkan bahu pada permukaan alat kerja yang terlalu tinggi, tangan
bagian atas terangkat tanpa dukungan dari alas vertikal, tangan meraih sesuatu yang
sulit terjangkau (jauh/tinggi), kepala mendongak, posisi membungkuk, punggung
yang mengarah ke depan, membawa beban berat dengan cara memanggul atau
memikul, semua posisi tegang, posisi ekstrim yang terus menerus setiap sendi.
Sedangkan postur statis merupakan postur kerja fisik dalam posisi yang sama
dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Pada waktu diam, dimana
pergerakan yang tak berguna terlihat, pengerutan supplai darah, darah tidak mengalir
baik ke otot. Berbeda halnya, dengan kondisi yang dinamis, suplai darah segar terus
tersedia untuk menghilangkan hasil buangan melalui kontraksi dan relaksasi otot.
28
Pekerjaan kondisi diam yang lama mengharuskan otot untuk menyuplai oksigen dan
nutrisi sendiri, dan hasil buangan tidak dihilangkan.
Penumpukan Local hypoxia dan asam latic meningkatkan kekusutan otot,
dengan dampak sakit dan letih. Sifat yang khusus dari gangguan statik termasuk
didalamnya menjaga usaha dalam level yang tinggi dalam 10 menit atau lebih, level
menengah 1 menit atau lebih, atau usaha dengan level rendah 4 menit atau lebih.
Contoh dari gangguan statik termasuk didalamnya: meningkatkan bahu untuk
periode yang lama, menggenggam benda dengan lengan mendorong dan memutar
benda berat, berdiri di tempat yang sama dalam waktu yang lama dan memiringkan
kepala kedepan dalam waktu yang lama. Diperkirakan semua pekerjaan itu dapat di
atur dalam beberapa jam per hari tanpa gejala keletihan dalam jika menggunakan
gaya yang besar tidak boleh melebihi 8 % dari maksimum gaya otot (Graendjean,
1980).
b. Peregangan otot yang berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) biasanya dialami pekerja yang
mengalami aktifitas kerja yang menuntut tenaga yang besar seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot
yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka akan
mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya
cidera otot skeletal (Peter Vi, 2000 dalam Tarwaka et al, 2004).
29
c. Aktivitas Berulang
Aktifitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus.
Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus
menerus, tanpa memperoleh kesempatan untuk melakukan relaksasi (Peter Vi, 2000
dalam Tarwaka et al, 2004).
Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang terutama
pada saat bekerja mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya CTDs.
Tingkat risiko akan bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar, dalam
waktu yang sangat cepat dan waktu pemulihan kurang (Ikrimah, 2010).
d. Force/Load
Force adalah jumlah usaha fisik yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
seperti mengangkat benda berat. Jumlah tenaga bergantung pada tipe pegangan yang
digunakan, berat obyek, durasi aktivitas, postur tubuh dan jenis dari aktivitasnya.
Massa beban/objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gangguan otot rangka (Soleha, 2009).
Untuk jenis pekerjaan angkat dan angkut, maka beban maksimum yang
diperkenankan, agar tidak menimbulkan kecelakaan kerja, sesuai dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Per.01/MEN/1978 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam penebangan dan pengangkutan kayu. Untuk
laki-laki dewasa dengan pekerjaan terus menerus sebesar 40 kg dan pekerjaan sekali-
kali sebesar 15-18 kg dan untuk wanita dewasa dengan pekerjaan terus menerus
sebesar 15 kg dan pekerjaan sekali-kali sebesar 10 kg. Sedangkan untuk tenaga kerja
muda laki-laki dengan pekerjaan terus menerus sebesar 15 kg dan pekerjaan sekali-
kali sebesar 10-15 kg dan untuk tenaga kerja muda wanita dengan pekerjaan terus
30
menerus sebesar 10-12 kg dan pekerjaan sekali-kali sebesar 6-9 kg (Ramandhani,
2003).
e. Durasi
Durasi menunjukkan jumlah waktu yang digunakan dalam melakukan suatu
pekerjaan. Semakin lama durasinya dalam melakukan pekerjaan yang sama akan
semakin tinggi resiko yang diterima dan semakin lama juga waktu yang diperlukan
untuk pemulihan tenaganya (NIOSH, pub 97-117, 1997). Bird (2005) mendefinisikan
durasi dengan pengkategorian yaitu durasi singkat jika < 1 jam/hari, durasi sedang
jika 1-2 jam/hari dan durasi lama jika > 2 jam/hari.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ikrimah tahun 2010
didapatkan hasil bahwa faktor pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan
keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar 0,029. Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Soleha tahun 2009 didapatkan hasil bahwa faktor pekerjaan kurang
memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar
0,148.
2.1.2 Faktor Individu
a. Umur
Prevalensi MSDs seseorang meningkat saat mereka mulai masuk bekerja. Pada
umumnya keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada umur 30 tahun dan semakin
meningkat pada umur 40 tahun ke atas. Hal ini disebabkan perubahan biologis secara
alamiah pada usia paruh baya kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun karena
proses penuaan, misalnya degeneratif otot, tendon, ligamen dan sendi sehingga
resiko terjadinya keluhan pada otot meningkat.
31
Pada usia 35, kebanyakan orang memiliki episode pertama mereka kembali
sakit [Guo et al. 1995; Chaffin 1979]. Setelah di tahun-tahun kerja mereka (usia 25-
65), Namun, prevalensi relatif konsisten [Guo et al. 1995; Biering-Sorensen
1983]. Gangguan otot adalah salah satu gejala sebagian besar masalah kesehatan
umum usia menengah dan tua Buckwalter et al [. 1993]. Namun, kelompok usia
dengan tingkat nyeri punggung tertinggi compensable dan strain adalah kelompok
umur 20-24 untuk laki-laki, dan kelompok umur 30-34 untuk perempuan. Selain
penurunan fungsi muskuloskeletal karena perkembangan usia yang terkait gangguan
degeneratif usia, kehilangan kekuatan jaringan dapat meningkatkan probabilitas atau
tingkat keparahan kerusakan jaringan lunak (NIOSH, 1997).
Sebagai contoh, Betti’e et al (1989) telah melakukan studi tentang kekuatan
statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60
tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat
umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penururnan sejalan dengan
bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rata-rata kekuatan otot
menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun, maka resiko
terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki et al. (1989) menjelaskan bahwa
umur mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kekuatan otot, terutama untuk
otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur
merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al. 2004).
Beberapa studi menemukan usia menjadi faktor penting yang terkait dengan
MSDs [Guo et a. 1995; Biering-Sorensen 1983; Inggris et al. 1995; Ohlsson et
al. 1994; Riihimäki et al; Toomingas et al 1989]. Misalnya pada penelitian Riihimaki
et al. (1989) menemukan hubungan yang signifikan antara sciatica dan usia di
32
operator mesin, tukang kayu, dan pekerja yang menetap. Usia juga merupakan faktor
risiko yang kuat untuk leher dan bahu gejala di tukang kayu, operator mesin dan
pekerja berpindah-pindah. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Soleha tahun
2009 juga mendapatkan hasil yang serupa yaitu terdapat hubungan yang signifikan
antara faktor individu (umur) dengan keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar 0,024.
Namun beberapa penelitian juga mendapatkan hasil bahwa umur tidak
memiliki hubungan dengan keluhan MSDs sebagai contohnya penelitian Torell et
al. [1988] tidak menemukan korelasi antara usia dan MSDS pada prevalensi dalam
populasi pekerja galangan kapal. Mereka menemukan hubungan yang kuat antara
beban kerja (dalam kategori rendah, sedang, atau berat) dan gejala atau diagnosis
MSDS. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ikrimah tahun 2010 bahwa
faktor individu (umur) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan
MSDs dengan Pvalue sebesar 0,121.
b. Jenis Kelamin
Dalam pendesainan suatu beban tugas harus diperhatikan jenis kelamin
pemakainya, Astarnd dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita
hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Namun pendapat ini masih diperdebatkan
oleh para ahli, namun beberapa hasil penelitian secara seginifikan menunjukkan jenis
kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot.
Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih
rendah dari pria. Hasil penelitian Betti’e et al. (1989) menunjukkan bahwa rata-rata
kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya
untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang
33
et al. (1993), Bernard et al. (1994), hales et al. (1994), dan Johansonb(1994) yang
menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3
(Tarwaka, et al. 2004).
Penelitian, Lindman et al. [1991], menemukan bahwa wanita memiliki lebih
banyak jenis serat otot di otot muscle daripada pria dan membuat hipotesis sakit
miofasial berasal dalam serat otot tipe I. Ulin et al. [1993] mencatat bahwa perbedaan
gender yang signifikan dalam sikap kerja yang terkait dengan sosok laki-laki atau
perempuan. Namun prevalensi wanita yang lebih tinggi mengeluh MSDs daripada
laki-laki dapat disebabkan karena bias pelaporan yang mungkin terjadi karena wanita
mungkin lebih mungkin melaporkan rasa sakit dan mencari perawatan medis
daripada laki-laki [Armstrong et al. 1993; Hales et al. 1994].
c. Kebiasaan Merokok
Beberapa penelitian telah menyajikan bukti bahwa riwayat merokok positif
dikaitkan dengan MSDs seperti nyeri pinggang, linu panggul, atau intervertebral disc
hernia [Finkelstein 1995; Owen dan Damron 1984; Frymoyer et al. 1983; Svensson
dan Anderson 1983; Kelsey et al.1984]. Meningkatnya keluhan otot sangat erat
hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan
semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang
dirasakan.
Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang
memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi
kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas
paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengonsumsi oksigen menurun dan sebagai
34
akibatnya tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus
melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena
kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi
tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, et al. 2004).
Deyo dan [Bass 1989] mengamati bahwa prevalensi sakit punggung meningkat
dengan jumlah paket-tahun merokok dan dengan tingkat merokok terberat.
Dalam sebuah penelitian Finlandia usia 30-64, [Makela et al. 1991], nyeri leher
ditemukan secara signifikan berhubungan dengan merokok saat ini (OR 1.3, CI 95%
1-1,61) ketika model logistik telah disesuaikan untuk usia dan jenis kelamin.
Beberapa penjelasan untuk hubungan yang telah dirumuskan. Satu hipotesis adalah
bahwa nyeri punggung disebabkan oleh batuk dari merokok. Batuk meningkatkan
tekanan perut dan tekanan intradiscal dan meletakkan beban pada tulang
belakang. Beberapa studi telah mengamati hubungan tersebut [Deyo dan Bass 1989;
Frymoyer et al. 1980; Troup et al. 1987]. Mekanismenya dimulai dari nikotin yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan dan kandungan rokok
menyebabkan kandungan mineral tulang belakang berkurang dan menyebabkan
microfractures.
Hal serupa juga diungkapkan pada penelitian Soleha tahun 2009 dan
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor individu
(kebiasaan merokok) dengan keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar 0,005. Sedangkan
pada penelitian Ikrimah tahun 2010 didapatkan hasil bahwa faktor individu
(kebiasaan merokok) juga memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan
MSDs.
35
Jadi dalam hal ini perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah
punggung dari pada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat
dari pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk
setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant,1991).
Menurut Bustan tahun 1997, kebiasaan merokok dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu yang mempunyai kebiasaan merokok ringan (10 batang sehari), sedang
(10-20 batang sehari), berat (> 20 batang sehari) dan tidak punya kebiasaan merokok.
d. Kesegaran Jasmani
Pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam
aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat. Sebaliknya, bagi
yang dalam pekerjaan kesehariannya memerlukan tenaga besar dan tidak cukup
istirahat akan lebih sering mengalami keluhan otot. Namun, kurangnya aktivitas fisik
juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap cedera dan setelah cedera, ambang
batas untuk cedera lebih jauh berkurang. Disisi lain, beberapa rezim pengobatan
standar telah menemukan bahwa gejala MSDs sering membaik oleh aktivitas fisik
(NIOSH, 1997).
Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady et al.(1979)
menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka risiko
terjadinya keluhan adlah 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2% dan
tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Hal ini juga diperkuat dengan laporan
Batti’e et al.(1989) yang menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap para penerbang
menunjukkan bahwa kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran tubuh yang
paling mempunyai risiko yang sangat kecil terhadap risiko cidera otot.
36
Namun beberapa studi epidemiologi kerja telah melihat pada kegiatan non fisik
terkait dengan pekerjaan di atas kaki. Kebanyakan studi NIOSH [Hales dan Denda
1989; Kiken et al. 1990; Burt et al. 1990; Baron et al. 1991; Hales et al. 1994;
Bernard et al. 1994] telah membuktikan MSDS karena cedera olahraga atau kegiatan
lainnya yang berhubungan dengan non-pekerjaan atau cedera dan belum termasuk
faktor-faktor dalam analisis.
Singkatnya, meskipun kebugaran fisik dan aktivitas secara umum diterima
sebagai cara untuk mengurangi MSDs yang berhubungan dengan pekerjaan, literatur
epidemiologi saat ini tidak memberikan indikasi yang jelas seperti itu. Literatur
kedokteran olahraga, bagaimanapun tidak memberikan indikasi yang lebih baik yang
melibatkan aktivitas olahraga yang kuat, bersifat berulang (seperti tenis dan pitching
baseball) yang berkaitan dengan MSDS (NIOSH,1997).
e. Kekuatan Fisik
Beberapa studi epidemiologi mengatakan ada hubungan antara cedera
punggung dan ketidakkekuatan fisik dan tugas pekerjaan. Chaffin dan Park (1977)
seperti yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan keluhan punggung yang tajam
pada para pekerja yang menuntut pekerjaan otot diatas batas kekuatan otot
maksimalnya. Dan pekerja yang memiliki kekuatan otot rendah berisiko tiga kali
lipat lebih besar mengalami keluhan otot dibandingkan pekerja yang memiliki
kekuatan otot yang tinggi. Dalam studi lain, Troup et al. [1981] menemukan bahwa
mengurangi kekuatan otot fleksor punggung adalah prediktor yang konsisten dari
sakit punggung berulang atau terus-menerus, namun asosiasi ini tidak ditemukan
untuk pertama kali terjadinya nyeri punggung.
37
Disisi lain, studi-studi lain tidak menemukan hubungan yang sama dengan
kekuatan fisik. [Battie et al. 1989; Leino 1987] gagal untuk membuktikan bahwa
kekuatan fisik ditentukan oleh kekuatan mengangkat isometrik, pekerja beresiko
rendah untuk mengeluh sakit punggung. Battie et al. [1990] membandingkan nyeri
punggung pekerja dengan pekerja lain pada pekerjaan yang sama dengan menguji
kekuatan isometrik dan tidak menemukan bahwa pekerja dengan nyeri punggung
yang melemah. Dalam dua studi dari perawat (Videman et al;. 1989, Mostardi et
al. 1992) kekuatan mengangkat tidak merupakan prediktor yang dapat diandalkan
sakit punggung.
Oleh karena itu, jika dicermati bersama, studi yang menemukan hubungan
yang signifikan antara kekuatan/pekerjaan tugas dan kembali sakit digunakan
penilaian pekerjaan atau analisis yang lebih menyeluruh dan terfokus pada pekerjaan
mengangkat manual. Namun, studi-studi ini hanya diikuti pekerja untuk jangka
waktu satu tahun, dan apakah hubungan yang sama akan terus selama masa kerja
lama, tentunya masih banyak yang tidak jelas dalam hal ini. Sedangkan studi yang
tidak menemukan hubungan, meskipun mereka mengikuti pekerja untuk jangka
waktu yang lebih lama, tidak termasuk pengukuran tingkat eksposur yang tepat untuk
setiap pekerja, sehingga mereka tidak bisa menilai kemampuan kekuatan yang
penting dalam pekerjaan individu. Oleh karena itu, mereka tidak bisa memperkirakan
tingkat ketidakcocokan antara 'kekuatan pekerja dan tuntutan tugas (NIOSH, 1997).
f. Indeks Massa Tubuh
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, ukuran tubuh juga menyebabkan keluhan
otot skeletal. Berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (BMI) (rasio berat
terhadap tinggi kuadrat), dan obesitas semua telah diidentifikasi dalam studi sebagai
38
faktor risiko potensial untuk MSDS tertentu, terutama CTS dan herniasi diskus
lumbar.
Dalam Werner et al. [1994] studi populasi yang membutuhkan evaluasi klinis
elektrodiagnostik dari ujung kanan atas, pasien diklasifikasikan sebagai obesitas
(BMI> 29) adalah 2,5 kali lebih besar dibandingkan pasien kurus (BMI <20) untuk
didiagnosis dengan CTS. Werner et al. [1994] mengembangkan model regresi linier
berganda CTS dengan perbedaan antara indra ulnaris latency dan median sebagai
variabel dependen yang menunjukkan bahwa BMI adalah variabel yang paling
berpengaruh, tapi tetap hanya menyumbang 5% dari varians dalam model. Pada
model logistik Nathan 1994, indeks massa tubuh dicatat 8,6% dari total risiko.
Hubungan CTS dan BMI telah disarankan untuk berhubungan dengan jaringan lemak
meningkat dalam saluran karpal atau untuk meningkatkan tekanan hidrostatik
sepanjang kanal karpal pada orang obesitas dibandingkan dengan orang yang
ramping.
Data antropometrik yang bertentangan, tetapi secara umum menunjukkan
bahwa tidak ada korelasi kuat antara tinggi badan, berat badan, tubuh membangun
dan nyeri pinggang. Obesitas tampaknya memainkan peran kecil tapi signifikan
dalam terjadinya CTS.
g. Masa Kerja
Masa kerja adalah faktor yang berkaitan dengan lamanya seseorang bekerja
disuatu perusahaan. Terkait dengan hal tersebut, MSDs merupakan penyakit kronis
yang membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin
lana waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko MSDs ini
maka semakin besar pula risiko untuk mengalami MSDs (Guo, 2004).
39
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikrimah tahun 2010
didapatkan hasil bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar 0,313. Demikian juga dengan penelitian Soleha
tahun 2009 yang menunjukkan bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan keluhan MSDs dengan Pvalue sebesar 0,439.
2.1.3 Faktor Lingkungan
a. Mikrolimat
Paparan suhu dingin maupun panas yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi
lamban, sulit bergerak dan kekuatan otot menurun. Demikian juga dengan paparan
udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar
menyebabkan sebagian besar energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh
tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi
dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke
otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot
menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam
laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993
dalam Tarwaka et al. 2004).
b. Iluminasi
Iluminasi adalah datangnya cahaya ke suatu objek. Iluminansi merupakan
besaran penerangan yang kaitannya erat dengan kuat penerangan penerangan.
Iluminansi adalah penyataan kuantitatif jumlah cahaya yang dipantulkan oleh
permuakaan pada suatu arah. (Muhaimin, 2001). Iluminansi suatu permukaan
40
ditentukan oleh kuat penerangan dan kemampuan memantulkan cahaya oleh
permukaan.
Penelitian yang dilakukan Escuyer dan Fontoynont, mengadopsi metode
wawancara tidak langsung untuk mensurvey kecenderungan intensitas penerangan
yang disukai oleh para pekerja di Perancis melalui lingkungan kerjanya. Hasilnya,
44% responden mengatakan bahwa ”memiliki pencahayaan alami yang sedikit”
adalah karakteristik utama pada sebuah kantor. Kadar pencahayan dapat
dikategorikan berdasarkan jenis pekerjaannya yaitu:
• Tidak cermat (ex: menumpuk barang) = 80 – 170 lux
• Agak cermat (ex: memasang, tidak persis) = 170 – 350 lux
• Cermat/persis (ex: membaca, menggambar) = 350 – 700 lux
• Amat persis (ex: memasang, persis) = 700 – 10000 lux
Jika tingkat iluminasi pada suatu tempat tidak memenuhi persyaratan maka
akan menyebabakan postur leher untuk fleksi ke depan (menunduk) dan postur tubuh
untuk fleksi (membungkuk) yang berisiko mengalami MSDs (Bridger, 1995).
c. Vibrasi
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan penimbunan asam laktat dalam alat-
alat dengan bertambahnya panjang waktu reaksi. Rasa tidak enak menjadi sebab
kurangnya perhatian. Rangsangan-rangsangan pada system retikuler di otak menjadi
sebab mabuk. (Suma’mur, 1982).
Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan
objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan
getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk dalam lingkungan atau
41
objek yang bergetar, seperti ketika mengopeasikan kendaraan atau mesin yang besar
(Cohet et al, 1997).
Disamping rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh goyangan organ pada
seluruh tubuh, menurut beberapa penelitian telah dilaporkan efek jangka lama yang
menimbulkan osteoarthritis tulang belakang (J.M. Harrington, 2003:187-188).
Menambahnya tonus otot-otot oleh karena getaran dibawah frekuensi 20 Hz menjadi
sebab kelelahan.
Getaran menjadi faktor risiko jika pekerja terpapar secara terus menerus atau
berada pada intensitas tinggi, yang mungkin didapat dari penggunaan peralatan.
Pekerja yang mengalami getaran dapat menyebabkan kelelahan, letih, mati rasa dan
peningkatan sensitifitas terhadap dingin (Nurmianto, 2004).
2.1.4 Faktor Psikososial
Faktor psikososial yaitu kepuasaan kerja, stress mental, organisasi kerja (shift
kerja, waktu istirahat, dll) (Dinardi, 1997 dalam Soleha 2009). Sejumlah faktor
psikososial tempat kerja dapat mempengaruhi gangguan ekstemitas atas seperti
kepuasaan kerja, kerja monoton, dukungan sosial tempat kerja, tuntutan kerja yang
tinggi, stres kerja dan emosional di tempat kerja. Persepsi dari kemampuan seseorang
untuk bekerja juga berhubungan dengan nyeri punggung untuk waktu yang akan
datang.
Ada semakin banyak bukti dalam literatur kesehatan kerja yang menyatakan
faktor psikososial dapat mempengaruhi perkembangan masalah muskuloskeletal,
termasuk low back dan gangguan ekstremitas atas (Bongers et al, 1993). Faktor
Psikososial kerja didefinisikan sebagai aspek lingkungan kerja (seperti peran kerja,
42
tekanan kerja, hubungan di tempat kerja) yang dapat memberikan kontribusi
pengalaman stres dalam individu (Lim dan Carayon 1994; ILO 1986).
Penelitian terbaru yang lebih kuat menggunakan teknik statistik inferensial titik
lebih kuat ke pengaruh faktor pekerjaan psikososial pada ekstremitas atas gangguan
muskuloskeletal antara pekerja kantor. Misalnya, Lim dan Carayon (1994)
menggunakan metode analisis struktural untuk menguji hubungan antara faktor-
faktor kerja psikososial dan ekstremitas atas ketidaknyamanan muskuloskeletal
dalam sampel 129 pekerja kantor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor
psikososial seperti tekanan kerja, kontrol tugas dan kuota produksi prediktor dapat
menimbulkan ekstremitas atas ketidaknyamanan muskuloskeletal, terutama di daerah
leher dan bahu,. Demografi faktor (umur, jenis kelamin masa jabatan dengan
majikan, jam menggunakan komputer per hari) dan faktor perancu lain (self-laporan
tentang kondisi medis, hobi dan menggunakan keyboard di luar pekerjaan) yang
dikontrol dalam penelitian dan tidak berhubungan dengan masalah ini (ILO, 2010).
Namun, bukti hubungan sebab akibat antara faktor risiko psikososial kurang
umum. Secara umum, faktor psikososial berkaitan dengan daerah non-fisik pekerjaan
(misalnya tekanan waktu, dianggap beban kerja, dukungan sosial dari rekan-rekan
dan manajemen, tingkat kontrol, dll). Tidak adanya definisi universal dan objektif
dalam mengukur faktor psikososial telah membuatnya sulit untuk melakukan studi
untuk menyelidiki penyebab-akibat di konteks MSDs (Sauter dan Swanson 1996).
43
2.2 Musculoskeletal Disorders (MSDs)
2.2.1 Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan salat satu penyakit yang
berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen sistem saraf, struktur tulang dan
pembuluh darah. Bagian tubuh yang menjadi fokus penelitian dari MSDs adalah
leher, bahu, lengan bawah, lengan atas, pergelangan tangan dan kaki. MSDs pada
awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan,
gemetar, gangguan tidur dan rasa tebakar. (Humantech, 1995).
Sedangkan menurut NIOSH (1997) MSDs adalah sekumpulan kondisi
patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem
musculoskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang seperti
discus intervertebral. Menurut WHO didefinisikan sebagai salah satu gangguan
terkait yang timbul ketika seseorang terkena aktivitas kerja dan kondisi kerja yang
signifikan berkontribusi pada pengembangan atau eksaserbasi tetapi tidak bertindak
sebagai satu-satuya determinan penyebab.
MSDs dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk pada bagian tubuh dengan
gejala dan penyebab yang berbeda-beda, seperti kondisi-kondisi yang dijelaskan
dibawah ini:
• Tendinitis merupakan peradangan hebat atau iritasi pada urat/sendi yang
berkembang ketika otot secara berulang-ulang terpajan oleh penggunaan
berlebih dan kejanggalan penggunaan tangan, pergelangan, lengan dan bahu.
• Carpal Tunnel Syndrome (CTS) berupa tekanan pada syaraf di pergelangan
tangan yang dikelilingi jaringan dan tulang yang dapat menyebabkan pernutup
sendi/urat ataupun urat sendi yang mengalami iritasi dan pembengkakan.
44
Gejalanya ditandai dengan seperti rasa sakit pada pergelangan tangan, perasaan
tidak nyaman pada jari-jari dan mati rasa/kebas. CTS dapat menyebabkan
sulitnya seseorang menggenggam sesuatu pada tangannya.
• Trigger Finger berupa tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat
menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk) dimana menekan tendon secara
terus menerus hingga ke jari-jari dan mengakibatkan rasa sakit dan tidak nyaman
pada bagian jari-jari.
• Tenosynovitis yaitu sebuah peradangan hebat atau iritasi pada penutup urat/sendi
yang berhubungan dengan gerakan flexion dan extension dari pergelangan
tangan.
• Synovitis yaitu peradangan atau iritasi lapisan synovial (lapisan tulang sendi).
• DeQuervain’s disease yaitu tipe synovitis yang terjadi pada ibu jari kaki atau
nyeri pada telapak tangan. Penyebabnya yaitu gerakan repetitif pada tangan dan
gripping dengan menggunakan tenaga.
• Bursitisis yaitu peradangan atau iritasi, kaku, nyeri yang terjadi pada jaringan
penyambung di sekitar sendi, biasanya terjadi pada bahu dan disebabkan karena
gerakan berulang.
• Epicondylitis sakit pada siku berhubungan dengan rotasi berlebih dari lengan
bawah atau membengkokan pergelangan tangan secara berlebih.
• Thorac Outlet syndrome yaitu tekanan pada system syaraf atau saluran
pembuluh darah antara tulang iga pertama, clavicle (tulang leher), otot-otot
thorax dan bahu. Gejalanya berupa nyeri, mati rasa dan bengkak pada tangan.
Penyebabnya karena membawa beban, flexion pada bahu dan bekerja dengan
posisi lengan diatas bahu terus menerus.
45
• Cervical radiculapathy yaitu tekanan dasar system syaraf pada leher yang
ditandai dengan gejala Ischaemania dan rasa sakit seperti oedema. Penyebanya
postur statis dan beban statis.
• Ulnar nerve entapment yaitu tekanan pada syaraf ulnar pada pergelangan.
Sumber: Epidemiology of musculoskeletal diorders due to biomechanical overload
(Pulat, 1997; Grieco, 1998; Canadian Centre of Occupational Health and Safety
(CCOHS), 2005).
2.2.2 Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan sakit, nyeri, pegal-pegal dan lainnya
pada sistem otot (muskuloskeletal) seperti tendon, pembuluh darah, sendi, tulang,
syaraf dan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kerja (Fitrihana, 2008). Sedangkan
menurut Tarwaka et al (2004) keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-
bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan
sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam
waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi,
ligament, dan tendon.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi
apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum.
Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot
berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang
diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
46
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan
timbulnya rasa nyeri otot.
Akobundu et al (2008) mengatakan bahwa rasa sakit pertama adalah sinyal
bahwa otot tendon mulai merasakan sakit dan harus beristirahat serta memulihkan.
Jika sebuah cedera dapat menjadi lama dan kadang-kadang ireversibel. Semakin
cepat seseorang mengenali gejala, semakin septa mereka harus menanggapinya agar
keluhan MSDs dapat segera diatasi. Gejalanya terdiri dari sensasi terbakar di tangan,
berkurangnya kekuatan pegangan di tangan, pembengkakan atau kekakuan pada
sendi, nyeri di pergelangan tangan, lengan, siku, leher atau kembali diikuti dnegan
rasa tidak nyaman, pengurangan berbagai gerakan di bahu, leher atau punggung,
gatal, kering, sakit pada mata dan kram. Sedangkan menurut Week et al (1991) tanda
awal yang menunjukkan MSDs yaitu bengkak (sweeling), gemetar (numbnes),
kesemutan (tingling), sakit (aching) dan rasa terbakar (burning pain). Gejala-gejala
ini dapat berlangsung secara bertahap dari ringan sampai parah.
Gejala MSDs biasanya sering disertai dengan keluhan subjektif sehingga sulit
untuk menentukan derajat keparahan tersebut. Grandjean (1997) dan Akobundu et al
(2008) mengungkapkan gejala terjadinya MSDs terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
• Tahap 1 atau awal: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan pafa bagian tubuh
yang tertentu selama jam kerja tapi biasanya menghilang setelah waktu kerja
usai atau di malam hari. Tidak berpengaruh terhadap performa kerja. Efek ini
pulih setelah istirahat.
• Tahap 2 atau intermediate: Gejala tetap ada setelah melewati waktu satu malam
setelah bekerja atau sakit dan kelelahan pada bagian tubuh tertentu yang
muncul pada awal shift kerja dan bertahan di malam hari. Tidur mungkin
47
terganggu, kadang-kadang menyebabkan menurunnya performa kerja secara
bertahap.
• Tahap 3 atau akhir: Gejala atau sakit, kelelahan dan kelemahan tidak
menghilang meskipun sudah istirahat, nyeri terjadi ketika bekerja secara
repetitif. Tidur terganggu, sulit melakukan pekerjaan bahkan pekerjaan yang
ringan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja. Pemulihan pada tahap ini
bisa berlangsung selama 6-24 bulan. Tidak semua orang melewati tahap ini
dengan cara yang sama. Bahkan, mungkin sulit untuk kapan tepatnya satu
tahap berakhir dan tahap berikutnya mulai.
2.2.3 Anatomi dan Fisiologi Organ dalam Sistem Musculskeletal
2.2.3.1 Muskuler/Otot
a. Otot
Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk berkontraksi. Terdapat
lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Fungsi sistem muskuler/otot:
• Pergerakan.
• Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan
mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk
terhadap gaya gravitasi.
• Produksi panas.
b. Tendon
Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang
terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang dengan
otot atau otot dengan otot.
48
c. Ligamen
Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan
jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus tulang
dengan tulang yang diikat oleh sendi.
2.2.3.2 Skeletal
a. Tulang/rangka
Skeletal disebut juga sistem rangka, yang tersusun atas tulang-tulang. Tubuh
kita memiliki 206 tulang yang membentuk rangka. Bagian terpenting adalah tulang
belakang.
Fungsi Sistem Skeletal:
1. Memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis.
2. Membentuk kerangka yang yang berfungsi untuk menyangga tubuh dan otot-
otot yang.
3. Melekat pada tulang
4. Berisi dan melindungi sum-sum tulang merah yang merupakan salah satu
jaringan pembentuk darah.
5. Merupakan tempat penyimpanan bagimineral seperti calcium daridalam darah
misalnya.
6. Hemopoesis
b. Sendi
Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga
dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan.
1. Synarthrosis (suture) : Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat
digerakkan, strukturnya terdiri atas fibrosa.
49
2. Amphiarthrosis : Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan,
strukturnya adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang.
3. Diarthrosis : Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan,
yang terdiri dari struktur sinovial.
2.2.3.3 Low Back Region
a. Struktur
Ruas tulang punggung dikelompokkan menjadi:
1. Cervical/leher 7 ruas
2. Thoracalis/punggung 12 ruas
3. Lumbalis/pinggang 5 ruas
4. Sakralis/kelangkang 5 ruas
5. Koksigeus/ekor 4 ruas
b. Fungsi
Low back region berfungsi untuk menegakkan/menopang postur struktur
tulang belakang manusia. Postur tegak juga meningkatkan gaya mekanik
struktur tulang belakang lumbrosakral.
c. Komponen punggung
1. Otot punggung
Ditunjang oleh punggung, perut, pinggang dan tungkai yang kuat dan fleksibel.
Semua otot ini berfungsi untuk menahan agar tulang belakang dan diskus tetap
dalam posisi normal.
2. Diskus
Merupakan bantalan tulan rawan yang berfungsi sebagai penahan goncangan.
Tiap diskus mengandung cairan yang mengalir ke dalam dan keluar diskus.
50
Cairan ini berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan punggung
bergerak bebas.
2.2.3.4 Intervertebral Disc
Pada tubuh manusia terdapat 24 buah Intervertebral disc. Tulang rawan ini
berfungsi sebagai penyangga agar vertebra tetap berada pada posisinya dan juga
memberi fleksibilitas pada ruas tulang belakang ketika terjadi pergerakan atau
perubahan posisi pada tubuh.
Gambar 2.1
Gambar bagian-bagian Intervertebral disc Sumber: www.anakfkmui.blogspot.com
2.2.3.5 Leher
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas kecil dan lubang
ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat lajunya saraf yang disebut
foramen tranvertalis. Ruas pertama vertebra serfikalis disebut atlas yang
memungkinkan kepala mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois (aksis)
yang memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh mempunyai
taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak panjang.
51
Gambar 2.2 Tulang leher
Gambar 2.3 Otot leher
Sumber: www.anakfkmui.blogspot.com
2.2.3.6 Elbow (Siku)
Siku adalah suatu titik yang sangat komplek di mana terdapat tiga tulang yaitu
humerus, radius dan ulna. Ketiga tulang tersebut bekerja secara bersama-sama dalam
suatu gerakan flexi, extensi dan rotasi.
Gambar 2.4 Otot dan bagian siku
Sumber: www.anakfkmui.blogspot.com
2.2.3.7 Shoulder (Bahu)
Tulang-tulang pada bahu terdiri dari:
• Clavicula (tulang selangka), merupakan tulang berbentuk lengkung
yang menghubungkan lengan atas dengan batang tubuh.
52
• Scapula (tulang belikat), merupakan tulang yang berbentuk segitiga.
• Sendi glenohumeral, merupakan penghubung antara tulang lengan atas
dengan scapula.
Sedangkan otot bahu hanya meliputi sebuah sendi saja dan membungkus
tulang pangkal lengan dan scapula.
Gambar 2.5 Otot bahu
Sumber: www.anakfkmui.blogspot.com
2.3 Metode Penilaian Ergonomi
2.3.1 Pengertian Ergonomi
Terdapat beberapa pengertian ergonomi, baik dari segi bahasa maupun dari
segi ilmu pembahasannya. Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ergon” yang
berarti kerja dan “Nomos” yang berarti peraturan atau hukum. Jadi secara harfiah
ergonomi diartikan sebagai “Ilmu aturan tentang Kerja” atau dapat didefinisikan
sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau
secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering dan desain/perancangan. Ergonomi
berhubungan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan
kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah ataupun di tempat rekreasi.
Menurut Iftikar Z. Sutalaksana, et al. (1979) ergonomi didefinisikan suatu
cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai
53
sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem sehingga
orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan
yang diinginkan melalui pekerjaan itu, dengan efektif, aman dan nyaman. Oleh
Sritomo Wignjosoebroto (1995) ergonomi didefinisikan sebagai disiplin keilmuan
yang mempelajari manuasi dalam kaitan pekerjaannya.
Menurut Stephen Pheasant, 1999, ergonomi adalah ilmu kerja yang
membahas beberapa komponen dalam pekerjaan, termasuk pekerjaannya, bagaimana
pekerjaan itu dilakukan, alat dan perlengkapan yang digunakan, tempat kerja, aspek
psikologi dalam lingkungan kerja.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ergonomi merupakan suatu ilmu
terapan yang mempelajari dan mencari pemecahan persoalan yang menyangkut
faktor manusia dalam proses produksi. Secara praktis ergonomi adalah sebagai
teknologi untuk mendesain atau mengatur kerja, sedang ruang lingkup ilmu
ergonomi meliputi sejumlah aplikasi beberapa ilmu lain yang saling mendukung,
seperti ilmu anatomi, ilmu faal, imu psikologi, imu tehnik dan sejumlah ilmu lainnya
yang secara bersama-sama menempatkan faktor manusia sebagai fokus utama dalam
rangkaian kerja yang terdapat dalam sistem kerja (Ramandhani, 2003).
a. Ergonomic Assesment Survey Method (EASY)
EASY metode adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
risiko ergonomi terhadap suatu kegiatan kerja. Metode ini terdiri dari tiga jenis
survey yang masing-masing memiliki skor yang berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu
BRIEF survey (4 skor), employee survey (1 skor) dan medical survey (2 skor).
Hasil akhir dari EASY berupa rating yang diperoleh dari penjumlahan skor
yang didapatkan dari ketiga survey diatas (maksimal 7 skor). Rating tersebut akan
54
menunjukkan prioritas pengendalian yang perlu dilakukan. Semakin besar skornya,
maka tindakan pengendaliannya pun semakin besar (Melyssa, 2007).
b. Base Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF)
BRIEF survey adalah suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko
ergonomi pada suatu pekerjaan dengan menggunakan sistem rating untuk
mengidentifikasikan bahaya ergonomi yang diterima oleh pekerja dalam kegiatannya
sehari-hari. Terdapat empat faktor yang perlu diketahui dalam metode ini yaitu:
1) Postur : yaitu sikap anggota tubuh yang janggal sewaktu melakukan pekerjaan.
2) Gaya : beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh pada saat melakukan
postur janggal dan melampaui batas kemampuan tubuh.
3) Lama : lamanya waktu yang digunakan dalam melakukan postur janggal. Setiap
postur dipertahankan selama atau lebih dari 10 detik.
4) Frekuensi : jumlah postur yang berulang dalam satuan waktu (menit) yaitu lebih
dari atau sama dengan 2 kali per menit.
Dalam survey ini, setiap faktor risiko yang melanggar kriteria standar
(Humantech, 1995 dalam Melyssa 2007), maka akan mendapatkan skor 1. Semakin
banyak skor yang didapatkan dalam suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut
semakin berisiko dan memerlukan penanggulangan segera. Skor maksimal yang bisa
didapatkan pada survey ini yaitu sebesar 4 skor.
c. Employee Survey (Survei Gejala)
Tujuan metode ini adalah untuk mengetahui keluhan nyeri (gangguan
kesehatan) pada pekerja yang dialami pada saat melakukan suatu kegiatan. Ketika
pekerja melaporkan rasa sakit yang terus menerus pada bagian tubuhnya, informasi
ini dimasukkan dalam metode EASY. Dalam metode ini dapat diketahui tahapan
55
kegiatan mana yang paling berat (berisiko) untuk dikerjakan terkait dengan keluhan
kesehatan yang selama ini muncul pada pekerja. Survey ini dpat dilakukan dengan
menyebarkan kuisioner atau wawancara pada para pekerja (Melyssa, 2007). Survey
ini mendapatkan skor 1 apabila pekerja mempunyai mengenai pekerjaannya dan skor
0 bila pekerja tidak mengalami keluhan apapun (Humantech, 1995).
d. Medical Survey (Survei Rekam Medis)
Medical survey didapatkan dari hasil laporan rekam medis pekerja berupa kertu
sakit dan data kunjungan pada poliklinik perusahaan atau pelayanan kesehatan lain.
Data ini merupakan data yang paling dapat dipercaya, namun sulit didapatkan karena
faktor kerahasiaan dan kebijaksanaan dari perusahaan. Pemberian skor pada metode
ini diberikan secara berurutan yaitu 0 bagi pekerja yang tidak mengalami gangguan
musculoskeletal, 1 bagi pekerja yang mengalami gangguan musculoskeletal namun
tidak kehilangan hari kerjanya dan 2 (tertinggi) bagi pekerja yang mengalami
gangguan atau kelainan pada sistem musculoskeletal dan kehilangan hari kerjanya.
e. Rapid Upperl Limb Assesment (RULA)
Metode ini dapat digunakan untuk menilai kegiatan dimana pekerja banyak
menggunakan upper limb. Khususnya, pekerja duduk atau berdiri tanpa banyak
pergerakan. Contoh kegiatan yang cocok menggunakan RULA seperti aktivitas yang
memakai komputer, manufaktur dan aktivitas kasir (Albugis, 2009).
Metode RULA fokus terhadap pengukuran biomekanik dan beban postur pada
masing-masing individu sehingga faktor risiko yang diukur dan dianalisis dengan
menggunakan metode ini adalah postur, beban, penggunaan otot, durasi dan
frekuensi (Mc Atammey dan Corlet, 1993; Corlett, 1998; Lueder, 1996 ). RULA
memberikan sebuah kemudahan dalam menghitungkan rating dari beban kerja otot
56
dalam bekerja dimana orang mempunyai risiko pada bagian leher dan beban kerja
pada anggota tubuh bagian atas seperti postur dari bahu/lengan atas, siku/lengan
bawah, pergelangan tangan, leher, dan pinggang yang biasanya pada pekerjaan yang
dilakukan dalam posisi duduk atau berdiri tanpa adanya perpindahan. Selain itu,
RULA juga mempertimbangkan adanya beban dan perpindahan yang dilakukan
dalam penilaiannya serta menilai posisi kaki stabil atau tidak.
Pengukuraan dengan metode RULA dilakukan dengan cara observasi secara
langsung pekerja atau operator saat bekerja selama beberapa siklus tugas untuk
memilih tugas (task) dan postur untuk pengukuran. Alat ini memasukan skor tunggal
sebagai gambaran foto dari sebuah pekerjaan, yang mana rating dari postur, besarnya
gaya atau beban dan pergerakan yang diharapkan. Risiko adalah hasil perhitungan
menjadi suatu nilai atau skor 1 (rendah) sampai skor tinggi (7), skor tersebut adalah
dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan atau aksi itu memberikan sebuah
indikasi dari kerangka waktu yang mana layak untuk mengekspektasi pengendalian
risiko yang akan diajukan (Staton et al, 2005 dalam Ikrimah 2010).
Langkah penilaian skor RULA adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama:
a. +1 Untuk 20° extension hingga 20° flexion
b. +2 Untuk extension lebih dari 20° atau 20° - 45° flexion
c. +3 Untuk 45° - 90° flexion
d. +4 Untuk 90° flexion atau lebih
Keterangan:
a. + 1 jika pundak/bahu ditinggikan
b. + 1 jika lengan atas abducted
57
c. -1 jika operator bersndar atau bobot lengan ditopang
Gambar 2.6 Postur Bagian Lengan Atas
2. Langkah kedua
Rentang untuk lengan bawah dikembangkan dari penelitian Grandjean dan
Tichauer. Skor tersebut yaitu:
a. + 1 untuk 60° - 100° flexion
b. +2 untuk kurang dari 60° atau lebih dari 100° flexion
Keterangan:
a. + 1 jika lengan bekerja melintasi garis tengah badan atau keluar dari sisi
Gambar 2.7 Postur Bagian Lengan Bawah
3. Langkah ketiga
Panduan untuk pergelangan tangan dikembangkan dari penelitian Health and
Safety Executive, digunakan untuk menghasilkan skor postur sebagai berikut:
a. + 1 untuk berada pada posisi netral
b. + 2 untuk 0 - 15° flexion maupun extension
c. + 3 untuk 15° atau lebih flexionmaupun extension
58
Keterangan:
a. +1 jika pergelangan tangan berada pada deviasi radial maupun ulnar
Gambar 2.8 Postur Pergelangan Tangan
4. Langkah keempat
Putaran pergerakan tangan (pronation dan supination) yang dikeluarkan oleh
Health and Safety Executive pada postur netral berdasar pada Tichauer. Skor tersebut
adalah:
b. +1 jika pergelangan tangan berada pda rentang menengah putaran
c. +2 jika pergelangan tangan pada atau hampir berada pada akhir rentang
putaran
Gambar 2.9 Postur Putaran Pergelangan Tangan
59
5. Langkah kelima
Gambar sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok A yang meliputi
lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan
diamati dan ditentukan skor unutk masing-masing postur. Kemudian skor tersebut
dimasukkan dalam tabel A untuk memperoleh skor A.
Table 2.1 Skor Grup A
6. Langkah keenam
Skor penggunaan otot
Tambahkan nilai +1, apabila terjadi :
a. Postur statis, berlangsung selama 10 menit atau lebih.
b. Gerakan berulang 4 kali atau lebih dalam 1 menit.
7. Langkah ketujuh
Skor untuk penggunaan tenaga atau beban
60
8. Langkah kedelapan
Tetapkan lajur pada table C
Table 2.2 Grand Total Score Table
9. Langkah kesembilan
Kelompok B, rentang postur untuk leher didasarkan pada studi yang
dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom et al. Skor dan kisaran tersebut adalah:
a. +1 untuk 0 - 10° flexion
b. +2 untuk 10 - 20° flexion
c. +3 untuk 20° atau lebih flexion
d. +4 jika dalam extention
Apabila leher diputar atau dibengkokkan
Keterangan :
a. +1 jika leher diputar atau posisi miring, dibengkokkan ke kanan atau kiri.
0 Beban < 2 kg, intermiten
1 Beban 2-10 kg, Intermiten
2 Beban 2-10 kg, statis atau repetitif
3 Beban > 10 kg, Refetitif atau dengan kejutan
61
Gambar 2.10 Postur Leher
10. Langkah kesepuluh
Kisaran untuk punggung dikembangkan oleh Druy, Grandjean dan Grandjean et
al:
a. +1 ketika duduk dan ditopang dengan baik dengan sudut paha tubuh 90°atau
lebih
b. +2 untuk 0 - 20° flexion
c. +3 untuk 20° - 60° flexion
d. +4 untuk 60° atau lebih flexion
Punggung diputar atau dibengkokkan
Keterangan:
a. +1 jika tubuh diputar
b. +1 jika tubuh miring kesamping
62
Gambar 2.11 Postur Punggung
11. Langkah kesebelas
Kisaran untuk kaki dengan skor postur kaki ditetapkan sebagai berikut:
a. +1 jika kaki tertopang ketika duduk dengan bobot seimbang rata.
b. +1 jika berdiri dimana bobot tubuh tersebar merata pada kaki dimana terdapat
ruang untuk berubah posisi.
a. +2 jika kaki tidak tertopang atau bobot tubuh tidak tersebar merata.
Gambar 2.12 Postur Kaki
12. Langkah kedua belas
Gambar sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok B yaitu leher,
punggung (badan) dan kaki diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur.
Kemudian skor tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk memperoleh skor B.
63
Tabel 2.3 Skor Grup B
13. Langkah ketiga belas
Skor penggunaan otot
Tambahkan nilai +1, apabila terjadi :
a. Postur statis, berlangsung selama 10 menit atau lebih.
b. Gerakan berulang 4 kali atau lebih dalam 1 menit.
14. Langkah keempat belas
Skor untuk penggunan tenaga atau beban.
15. Langkah kelima belas
Tetapkan lajur pada table C
0 Beban < 2 kg, intermiten
1 Beban 2-10 kg, Intermiten
2 Beban 2-10 kg, statis atau repetitif
3 Beban > 10 kg, Refetitif atau dengan kejutan
64
Penetapan skor final yaitu dengan memasukkan nilai postur kelompok A (arm
and wrist analysis) kedalam kolom vertikal tabel C, lalu memasukkan nilai postur
kelompok B (neck, trunk, and leg analysis) ke dalam kolom horizontal tabel C.
Setelah diperoleh grand score, yang bernilai 1 sampai 7 menunjukkan level
tindakan (action level) sebagai berikut:
a. Action Level 1: Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima
selama tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama.
b. Action Level 2: Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh
dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan.
c. Action Level 3: Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan
perubahan dibutuhkan segera.
d. Action Level 4: Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan
dibutuhkan sesegera mungkin (mendesak).
Metode ini memiliki keterbatasan dalam pengukurannya, diantaranya (Corlett,
1998):
a. Tangan : metode ini tidak bisa mengukur gerakan tangan menggenggam,
meluruskan, memutar, memerlukan tekanan pada telapak tangan.
65
b. Tempat kerja : metode ini tidak mengukur antropometri tempat kerja yang dapat
menyebabkan terjadinya postur janggal.
c. Ketidaknyamanan : metode ini tidak mengukur derajat ketidaknyamanan akibat
dimensi fisik tempat kerja.
Meskipun begitu, metode ini juga memiliki banyak keuntungan yaitu mudah
digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya dan dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut tindakan
perbaikan.
f. Rapid Entire Body Assesment (REBA)
REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr. Sue
Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom dari universitas di
Nottingham (University of Nottingham’s Institute of Occuptaional Ergonomic).
Rapid Entire Body Assissment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang ergonomi
yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung, lengan,
pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. Metode ini juga dilengkapi dengan
faktor coupling, beban eksternal, dan aktivitas kerja. Penilaian dengan menggunakan
REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan
scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya
pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney, 2000).
Dalam metode ini, segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup, yaitu grup
A dan Grup B. Grup A terdiri dari punggung (batang tubuh), leher dan kaki.
Sedangkan grup B terdiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan.
Penentuan skor REBA, yang mengindikasikan level resiko dari postur kerja, dimulai
dengan menentukan skor A untuk postur-postur grup A ditambah dengan skor beban
66
(load) dan skor B untuk postur-postur grup B ditambah dengan skor coupling. Kedua
skor tersebut (skor A dan B) digunakan untuk menentukan skor C. Skor REBA
diperoleh dengan menambahkan skor aktivitas pada skor C. Dari nilai REBA dapat
diketahui level resiko cedera. Pengembangan Rapid Entire Body Assissment (REBA)
terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1. Mengidentifikasikan kerja
2. Sistem pemberian skor
3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat yang ada,
dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang lebih detail berkaitan dengan analisis
yang didapat.
REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan
peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa
biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang
terbatas tanpa menggangu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap.
Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan
bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudut–sudut dari bagian
tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan
coupling, dan penentuan aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah
perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Dengan didapatnya nilai
REBA tersebut dapat diketahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu
dilakukan untuk perbaikan kerja.
Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney, 2000) :
67
1. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau
foto Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci
dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini
dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail
(valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat
untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
2. Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan hasil
rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar
sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang
tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada
metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh),
leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing–masing grup
dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk
melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor
untuk masing–masing tabel.
Penilaian posisi leher yaitu skor 1 (posisi leher 0o- 20o ke depan), skor 2 (posisi
leher > 20o ke depan dan ke belakang), skor + 1 (jika leher berputar atau miring ke
kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).
68
Gambar 2.13 Penilaian grup A posisi leher
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Penilaian posisi punggung adalah skor 1 (posisi punggung lurus atau 0o), skor 2
(posisi 0o- 20o ke depan dan ke belakang), skor 3 (posisi 20o-60o ke depan dan > 20o
ke belakang), skor 4 (posisi > 60o ke depan), skor + 1 (jika punggung berputar atau
miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).
Gambar 2.14 Penilaian grup A posisi punggung
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Penilaian posisi kaki yaitu skor 1 (tubuh bertumpu pada kedua kaki, jalan,
duduk), skor 2 (berdiri dengan satu kaki, tidak stabil), skor + 1 (jika lutut ditekuk
30°-60º ke depan), skor + 2 (jika lutut ditekuk >60° ke depan).
Gambar 2.15
69
Penilaian grup A Posisi Kaki
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Penilaian Skor A dalam tabel 2.4 mengikuti tabel pengumpulan data.
Tabel 2.4
Penilaian Skor Tabel A
Tabel A merupakan penggabungan nilai dari group A untuk skor postur tubuh,
leher dan kaki. Sehingga didapatkan skor tabel A. Kemudian skor tabel A dilakukan
penjumlahan terhadap besarnya beban atau gaya yang dilakukan operator dalam
melaksanakan aktifitas.
Skor A adalah penjumlahan dari skor tabel A dan skor beban atau besarnya
gaya. Skor tabel A ditambah 0 (nol) apabila berat beban atau besarnya gaya dinilai <
70
5 Kg, ditambah 1 (satu) bila berat beban atau besarnya gaya antara kisaran 5-10 Kg,
ditambah 2 (dua) bila berat beban atau besarnya gaya dinilai > 10 Kg. Pertimbangan
mengenai tugas atau pekerjaan kritis dari pekerja, bila terdapat gerakan perputaran
(twisting) hasil skor berat beban ditambah 1 (satu).
Setelah perhitungan skor tabel A selesai dilakukan, perhitungan untuk skor
tabel B dapat dilakukan yaitu lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan.
Penilaian posisi bahu (lengan atas) yaitu skor 1 (posisi bahu 0o – 20o ke depan
dan ke belakang), skor 2 (posisi bahu > 20o ke belakang, dan 200-40o ke depan), skor
3 (posisi bahu antara 45o-90o), skor 4 (posisi bahu > 90o ke atas), skor + 1 (jika
lengan berputar atau bahu dinaikkan atau di beri penahan), skor – 1 (jika lengan
dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang membantu).
Gambar 2.16 Penilaian grub B posisi lengan atas
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Penilaian area siku yaitu skor 1 (posisi lengan 600-100o ke depan), skor 2
(posisi lengan antara 0o – 60o ke bawah, dan > 100o ke atas).
Gambar 2.17 Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah
71
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Penilaian area pergelangan tangan yaitu skor 1 (posisi pergelangan tangan 00-
15o ke depan dan ke belakang), skor 2 (posisi pergelangan tangan > 15o ke depan dan
ke belakang), skor + 1 (jika terdapat penyimpangan pada pergelangan).
Gambar 2.18 Penilaian Grup B Posisi Pergelangan Tangan
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Kemudian untuk menghasilkan skor B mengikuti tabel lembar pengumpulan
data untuk grup B :
72
Tabel 2.5 Penilaian Skor Tabel B
Tabel B merupakan penggabungan nilai dari group B untuk skor postur lengan
atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Sehingga didapatkan skor tabel B.
Kemudian skor tabel B dilakukan penjumlahan terhadap perangkai atau coupling dari
setiap masing-masing bagian tangan.
Skor B adalah penjumlahan dari skor tabel B dan perangkai atau coupling dari
setiap masing-masing bagian tangan. Skor tabel B ditambah 0 (nol) yang berarti good
atau terdapat pegangan pada beban dan operator mengangkat beban hanya dengan
mengunakan separuh tenaga, ditambah 1 (satu) yang berarti fair atau terdapat
pegangan pada beban walaupun bukan merupakan tangkai pegangan dan operator
mengangkat beban dengan dibantu mengunakan tubuh lain, ditambah 2 (dua) yang
berarti poor atau tidak terdapat pegangan pada beban, dan ditambah 3 (tiga) yang
berarti unacceptable tidak terdapat pegangan yang aman pada beban dan operator
mengangkat beban tidak dapat dibantu oleh angota tubuh lain.
Skor C adalah dengan melihat tabel C, yaitu memasukkan skor tersebut dengan
skor A dan skor B. Kemudian skor REBA adalah penjumlahan dari skor C dan skor
aktivitas. Berikut ini adalah tabel skor C dan skor aktivitas.Tabel 2.6
73
Penilaian Skor Tabel C dan skor aktivitas
Skor C ditambah 1 (satu) dengan skor aktifitas apabila satu atau beberapa
bagian tubuh bergerak secara statis untuk waktu yang lebih dari satu menit, terdapat
beberapa pengulangan pergerakan 4 (empat) kali dalam satu menit (belum termasuk
berjalan), dan pergerakan atau perubahan postur lebih cepat dengan dasar yang tidak
stabil. Tahap terakhir dari REBA menilai action level dari hasil final skor REBA.
Berikut ini adalah tabel Action level dari metode REBA.
Tabel 2.7 Level Akhir dari Skor REBA
Level Aksi
Skor REBA
Level Risiko
Aksi (Termasuk Tindakan Penilaian)
0 1 Sangat rendah Risiko masih dapat diterima dan tidak perlu dirubah
1 2 atau 3 Rendah Mungkin diperlukan perubahan-perubahan
2 4-7 Sedang Butuh pemeriksaan dan perubahan
3 8-10 Tinggi Kondisi berbahaya, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan dengan segera
4 11 + Sangat Tinggi Perubahan dilakukan saat itu juga Kelebihan dari metode REBA adalah:
a. Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berasarkan posisi tubuh dengan cepat.
b. Menganalisa faktor-faktor risiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.
74
c. Metode ini cukup peka untuk menganlisa pekerjaan dan beban kerja berdasarkan
posisi tubuh ketika bekerja.
d. Tehnik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang
kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan bidang-bidang
geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
e. Hasil akhir dari penilaian REBA dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah,
untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.
f. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapt dilakukan ditinjau dari
analisa yang telah dilakukan.
Metode ini juga memiliki kelemahan yaitu (Staton et al, 2005):
a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
b. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang
berkaitan dengan faktor psikososial.
c. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi,
temperatur, dan jarak pandang.
2.4 Pengendalian Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Tarwaka et al (2004) mengemukakan langkah-langkah untuk mengatasi
keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) berdasarkan rekomendasi dari
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), yaitu tndakan ergonomi
untuk mencegah adanya sumebr penyakit adalah dengan dua cara, yakni:
1. Rekayasa Tehnik
Rekayasa tehnik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif yaitu:
75
a. Eliminasi : menghilangkan sumber bahaya yang ada, namun jarang
dilakukan karena mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
b. Substitusi : mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru
yang aman, sehingga dapat menyempurnakan proses produksi dan
menyempurnakan prosedur penggunaan alat.
c. Partisi : melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja.
d. Ventilasi : menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, seperti
suhu udara yang terlalu panas.
2. Rekayasa Manajemen
a. Pendidikan dan pelatihan : diharapkan dengan diadakan upaya ini pekerja
akan lebih memahami lingkung dan alat kerja sehingga dapat melakukan
penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan
terhadap risiko sakit akibat kerja.
b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang : pengaturan ini
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber
bahaya.
c. Pengawasan yang intensif : diharapkan dengan pengawasan yang intensif
dapat dilakukan pencegahan lebih awal terhadap kemungkinan terjadinya
risiko sakit akibat kerja.
Sebagai contoh, berikut ini diberikan gambaran tindakan untuk mencegah dan
mengatasi terjadinya keluhan otot skeletal pada berbagai kondisi dan aktivitas, yaitu
sebagai berikut:
76
1. Akitivitas angkat-angkut material secara manual:
a. Usahakan meminimalkan aktivitas angkat-angkut secara manual
b. Upayakan agar lantai kerja tidak licin
c. Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti crane,
kereta dorong, pengungkit, dll.
d. Gunakan alat apabila harus mengangkat di atas kepala atau bahu
e. Upayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas angkat pekerja
2. Berat bahan dan alat
a. Upayakan untuk menggunakan bahan atau alat yang ringan
b. Upayakan menggunakan wadah atau alat angkut dengan kapasitas < 50
kg
3. Alat tangan
a. Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar genggam
pekerja dan karakteristik pekerjaan (pekerjaan berat atau ringan).
b. Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan
c. Upayakan pemiliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam kondisi
layak pakai
d. Berikan pelatihan sehingga pekerja terampil dalam mengoperasikan alat.
2.5 Kerangka Teori
Paparan dari faktor risiko ergonomi di tempat kerja dapat menyebabkan atau
memberi konstribusi bagi perkembangan musculoskeletal disorders atau disebut
faktor risiko MSDs. Musculoskeletal disorders (MSDs) dapat terjadi sebagai akibat
dari faktor pekerjaan, pekerja, lingkungan dan psikososial (Cohen et al, 1997).
77
Faktor-faktor risiko MSDs yaitu faktor pekerjaan yang terdiri dari postur tubuh,
peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, force/load dan durasi. Faktor
individu meliputi umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani,
kekuatan fisik, ukuran tubuh (antropometri), masa kerja dan indeks massa tubuh.
Faktor lingkungan terdiri dari mikrolimat, ilmunasi dan getaran. Sedangkan faktor
psikososial yaitu kepuasaan kerja, stress mental dan organisasi kerja (Bridger, 1995;
Tarwaka et al, 2004).
Beberapa penelitian terdahulu juga menyampaikan hal serupa mengenai faktor-
faktor yang berkaitan dengan keluhan MSDs. Faktor individu yang terkait dengan
MSDs adalah usia (Guo et al. 1995; Chaffin 1979; Biering-Sorensen 1983; Inggris et
al. 1995; Ohlsson et al. 1994; Riihimäki et al; Toomingas et al 1989), jenis kelamin
(Betti’e et al.1989; Chiang et al.1993; Bernard et al.1994; Hales et al. 1994;
Johansonb 1994; Lindman et al. 1991; Armstrong et al. 1994), kebiasaan merokok
(Finkelstein 1995; Owen dan Damron 1984; Frymoyer et al. 1983; Svensson dan
Anderson 1983; Kelsey et al.1984; Boshuizen et al. 1993), kesegaran jasmani (Cady
et al. 1979; Betti’e et al. 1989), kekuatan fisik (Chaffin dan Park, 1977; Troup et
al. 1981; Bettie et al. 1989; Leino 1987), indeks massa tubuh (Wener et al. 1994) dan
masa kerja (Guo, 2004).
Faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap kejadian MSDs diantaranya
adalah mikrolimat (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993), iluminasi (Bridger, 1995)
dan getaran (Cohen et al, 1997; J.M. Harrington, 2003; Nurmianto, 2004).
Sedangkan faktor psikososial (Bongers et al, 1993; Lim dan Carayon 1994; ILO
1986; Sauter dan Swanson 1996).
78
Berikut adalah bagan kerangka teori tersebut:
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Faktor Pekerjaan : 1. postur tubuh
2. peregangan otot yang berlebihan
3. aktivitas berulang
4. force/load
5. durasi
Faktor Psikososial : 1. Kepuasaan kerja 2. Stress mental 3. Organisasi kerja
Faktor Lingkungan : 1. Mikrolimat 2. Iluminasi 3. Getaran
Faktor individu : 1. umur 2. jenis kelamin 3. kebiasaan merokok 4. kesegaran jasmani 5. kekuatan fisik 6. masa kerja
7. indeks massa tubuh.
Keluhan Muculoskeletal
Disorders (MSDs)
79
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja
assembling di PT X Bogor. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel dependen
dan variabel independen yang mengacu pada kerangka teori yang telah
disebutkan sebelumnya. Variabel independen terdiri dari faktor pekerjaan dan
faktor pekerja dan variabel dependen dari penelitian ini adalah keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs). Sedangkan variabel yang tidak diteliti yaitu:
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin tidak diteliti dalam penelitian ini karena populasi di tempat
penelitian homogen atau dengan kata lain semua responden adalah laki-laki.
b. Kesegaran jasmani
Kesegaran jasmani tidak diteliti dalam penelitian ini karena populasi di
tempat kerja homogen yaitu mendapatkan perlakuan yang sama (pemanasan
atau olahraga terlebih dahulu sebelum bekerja).
c. Kekuatan fisik
Kekuatan fisik tidak diteliti dalam penelitian ini karena secara fisiologis
tiap orang dilahirkan dengan struktur otot yang berbeda-beda yaitu ada yang
dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat
dibandingkan dengan lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini,
apabila harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas
80
yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cidera
otot. Selain itu pengukuran kekuatan uji memerlukan serangkaian
pengukuran yang cukup rumit, mahal, melibatkan banyak waktu dan
biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dibidang ini.
d. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Variabel ini tidak diteliti karena pengaruhnya yang relatif kecil atau
kurang signifikan meskipun merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan keluhan MSDs dan tidak langsung berhubungan dengan
keluhan MSDs yang terjadi.
e. Lingkungan
Variabel lingkungan tidak diteliti karena untuk mikrolimat atau suhu
yang dianggap sama atau homogen untuk seluruh pekerja di bagian yang
akan diteliti karena mereka bekerja di ruangan atau tempat yang sama
sehingga secara otomatis lingkungan kerja mereka sama. Sedangkan untuk
iluminasi tidak diteliti karena proses pekerjaan di bagian ini tidak tetap pada
satu tempat, dikarenakan pekerjaan dibagian ini selalu berpindah tempat
untuk memasang bagian-bagian pada kendaraan yang sedang dirakit
sehingga akan sulit menentukan posisi pekerja yang tetap dan
pencahayaannya akan sulit diukur. Sedangkan untuk getaran tidak diteliti
karena keterbatasan kemampuan peneliti untuk mengukur getaran, serta
keterbatasan biaya dan alat.
f. Psikososial
Variabel psikososial yang terdiri dari kepuasaan kerja, stress mental
dan organisasi kerja tidak diteliti karena variabel ini dipengaruhi oleh faktor-
81
faktor yang terdiri dari faktor internal dan eksternal pekerja yang sehingga
akan sulit diukur. Tidak adanya definisi universal dan objektif dalam
mengukur faktor psikososial telah membuatnya sulit untuk melakukan studi
untuk menyelidiki penyebab-akibat di konteks MSDs (Sauter dan Swanson
1996).
Menurut Terry Beehr dan John Newman (dalam Widyasari, 2009)
memaparkan mengenai 3 gejala umum stres yang terjadi pada individu,
yaitu gejala psikologis, gejala fisiologis dan gejala sikap atau perilaku yang
masing-masing memiliki ciri-ciri khusus dan membutuhkan keahlian khusus
atau seseorang yang memiliki kemampuan dibidang ini untuk melakukan
penilaian pada masing-masing gejala yang berkaitan dengan keluhan MSDs.
Selain itu stress mental atau kelelahan mental dapat dikatakan sebagai
kelelahan semu (tidak kasat mata) yang timbul dalam perasaan pekerja.
Kelelahan ini terlihat dengan tingkah laku atau pendapat-pendapatnya yang
sudah tidak konsekuen lagi serta jiwanya yang labil dengan adanya
perubahan dalam kondisi lingkungan atau kondisi tubuhnya.
Sedangkan untuk organisasi kerja tidak diteliti karena seluruh pekerja
berada pada organisasi kerja yang sama atau bekerja di perusahaan yang
sama.
Kerangka konsep ini mengacu pada kerangka teori yang telah disebutkan
pada bab II yang mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu. Seperti yang
disampaikan oleh Cohen et al pada tahun 1997, menyatakan bahwa musculoskeletal
disorders (MSDs) dapat terjadi sebagai akibat dari faktor pekerjaan, pekerja,
lingkungan dan psikososial. Hal serupa juga disampaikan oleh Bridger pada tahun
82
1995 yaitu faktor-faktor risiko musculoskeletal disorders yaitu faktor pekerjaan yang
terdiri dari postur tubuh, peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang,
force/load dan durasi. Faktor individu meliputi umur, jenis kelamin, kebiasaan
merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik, ukuran tubuh (antropometri), masa kerja
dan indeks massa tubuh. Faktor lingkungan terdiri dari mikrolimat, ilmunasi dan
getaran. Sedangkan faktor psikososial yaitu kepuasaan kerja, stress mental dan
organisasi kerja.
Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen.
Variabel independen yaitu faktor pekerjaan, usia, kebiasaan merokok, dan masa
kerja. Sedangkan keluhan MSDs ditetapkan sebagai variabel dependen. Dalam
penelitian ini tidak semua variabel pada masing-masing faktor risiko MSDs diteliti
karena kondisi dan keadaan yang tidak memungkinkan serta beberapa alasan lain
yang telah dijelaskan diatas. Variabel yang tidak diteliti seperti jenis kelamin,
kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan indeks massa tubuh pada faktor individu,
faktor lingkungan serta faktor psikososial.
Berikut ini adalah bagan kerangka konsep.
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep
Faktor Pekerjaan • postur tubuh • peregangan otot yang
berlebihan • aktivitas berulang • force/load • durasi
Faktor pekerja: • Umur • Kebiasaan merokok • Masa kerja
Keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs)
83
3.2 Definisi Operasional
No.
Variabel Definisi Alat Ukur Cara ukur Hasil Ukur Skala
1. Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Nyeri pada bagian otot berupa pegal-pegal dan ketidaknyamanan pada sistem otot dan tulang yang dirasakan pekerja/operator. (Tarwaka et al, 2004)
Kuisioner Wawancara kepada operator
0. Mengeluh 1. Tidak mengeluh
Ordinal
2. Faktor Pekerjaan Skor akhir dari hasil identifikasi postur operator dengan menggunakan metode REBA dan RULA
1. Busur 2. Stopwatch 3. Kamera 4. Timbangan
1. Observasi kegiatan yang dilakukan operator dan merekamnya dengan kamera serta menghitung lamanya waktu melakukan suatu pekerjaan
2. Menilai postur operator dengan metode REBA dan RULA serta mengukur sudutnya dengan
0. Sangat tinggi (Act level 4)
1. Tinggi (Act level 3)
2. Sedang (Act level 2)
3. Rendah (Act level 1)
Ordinal
84
busur 3. Menimbang
beban yang diangkat oleh operator
3. Umur Lama hidup operator yang dihitung dari tanggal lahir hingga penelitian berlangsung
Kuisioner Menyebarkan kuisioner kepada operator
0. ≥ 35 tahun 1. < 35 tahun
(Guo et al, 1995; Chaffin, 1979)
Ordinal
4. Kebiasaan merokok
Kegiatan menghisap rokok yang dilakukan berulang kali, teratur dan sulit untuk dilepaskan
Kuisioner Menyebarkan kuisioner kepada operator
0. Merokok 1. Tidak merokok
Ordinal
5. Masa kerja Lama operator bekerja sebagai perakit dari perusahaan ini maupun dari perusahaan sebelumnya hingga saat penelitian berlangsung
Kuisioner Menyebarkan kuisioner kepada operator
Bulan Ratio
85
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs).
2. Ada hubungan antara umur dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs).
3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs).
4. Ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs).
86
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
sectional karena pada penelitian ini variabel independen dan variabel dependen
diukur pada waktu yang sama untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja assembling di PT X
Bogor tahun 2010.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT X Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian ini pada
bulan Agustus sampai Desember 2010..
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh operator atau pekerja yang bekerja
di assembling passanger cars PT X yang berjumlah 90 orang.
4.3.2 Sampel
Jumlah sampel diperoleh berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
rumus jumlah sampel uji hipotesis dua propors. Metode pengambilan sampel adalah
simple random sampling untuk mendapatkan sampel kasus yang mewakili populasi
induknya.
Dengan asumsi dari penelitian sebelumnya yaitu proporsi pada populasi yang
mengeluh MSDs akibat umur operator ≥ 35 tahun (P1) adalah 80,5% dan proporsi
87
yang mengeluh MSDs akibat umur operator < 35tahun (P2) adalah 47,1% (Soleha,
2009). Pada penelitian ini, peneliti menginginkan tingkat kepercayaan 95%, derajat
kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%.
Rumus besar sampel uji hipotesis beda dua proporsi :
Sampel (n) = [ Z1- α/2 x √(2P(1 – P)) + Z1- ß x √(P1(1- P1) + P2 (1- P2))]²
(P1 – P2)²
Keterangan :
n : Besar sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian
Z1- α : Derajat kepercayaan (confident interval CI)
α : Derajat kemaknaan (5 %)
Z1- ß : Kekuatan uji (80%)
P : Rata-rata proporsi pada populasi
P1 : Proporsi yang mengeluh MSDs akibat umur operator ≥ 35 tahun
P2 : Proporsi yang mengeluh MSDs akibat umur operator < 35tahun
Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel yang dibutuhkan sebesar:
n = [ 1,96 √2 x 0,64 (1 – 0,64) + 0,84 √0,805 (1- 0,805) + 0,471 (1- 0,471)]²
(0,805 – 0,471)²
n = 1,33 + 0,33 + 0,25
0,11
n = 33,27
n = 34
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus uji hipotesis dua proporsi diatas,
diperoleh besar sampel sebesar 34 sampel. Kemudian sampel tersebut dikali dua
88
sehingga sampel yang dibutuhkan adalah 68 sampel atau dibulatkan menjadi 70
sampel.
4.4 Instrumen Penelitian dan Sumber Data
Kuisioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden mengenai keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs), umur, kebiasaan merokok, masa kerja dan pekerjaan dengan menggunakan
form REBA dan RULA yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti. Selain kuisioner,
pada penelitian juga memakai beberapa peralatan lain seperti kamera, busur,
stopwatch dan timbangan.
a. Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Variabel Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) diukur dengan
metode Nordic Body Map (NBM) dengan melihat dan menganalisis peta
tubuh NBM maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal
yang dirasakan oleh pekerja.
b. Pekerjaan
Variabel pekerjaan didapatkan dari pengukuran dengan menggunakan dua
metode yaitu REBA untuk pekerjaan yang dilakukan dengan berdiri dan
RULA untuk pekerjaan yang dilakukan dengan duduk. Peralatan yang
digunakan dalam pengukuran ini terdiri dari kamera, busur, stopwatch dan
timbangan. Dimulai dengan observasi pada pekerjaan, memilih postur yang
akan dinilai, memberi nilai pada postur, memproses nilai, menetapkan nilai
REBA dan RULA kemudian menentukan nilai action level.
89
c. Untuk variabel umur, kebiasaan merokok dan masa kerja didapatkan dari
jawaban kuisioner yang diisi oleh responden.
4.5 Pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah dengan
menggunakan program komputer meliputi:
a. Editing
Sebelum diolah data diteliti apabila ada kesalahan diteliti lagi dan dibetulkan
apabila masih ada kesalahan serta memerikasa kelengkapannya.
b. Coding
Data yang sudah dikumpulkan diberi kode pada setiap variabel untuk
memudahkan pemasukan, mengelompokan dan pengolahan data. Pengkodean
pada masing-masing variabel yaitu sebagai berikut:
a. Keluhan MSDs : mengeluh 0, tidak mengeluh 1
b. Faktor pekerjaan:
Sedangkan untuk faktor pekerjaan pengkodeannya dilakukan setelah
penilaian metode REBA dan RULA. Mula-mula setelah proses kerja
direkam dan diambil gambar dengan menggunakan kamera digital dan
postur kerja yang telah ditentukan kemudian diukur dengan menggunakan
busur derajat untuk mengetahui sudut untuk menentukan besar posisi
janggal dan melakukan pengisian skor pada form REBA dan RULA.
Langkah-langkah untuk REBA adalah sebagai berikut:
90
1. Memberi skor pada grup A yang terdiri dari leher, punggung, dan kaki.
Nilai tersebut dimasukkan ke tabel A. Kriteria penilaian postur grup A
adalah:
a. Kriteria penilaian area leher :
a) Skor 1 = Posisi leher 0o- 20o ke depan.
b) Skor 2 = Posisi leher > 20o ke depan dan ke belakang.
c) Skor + 1, jika leher berputar atau miring ke kanan, dan atau ke
kiri, serta ke atas dan atau ke bawah.
b. Kriteria penilaian area punggung :
a) Skor 1 = Posisi punggung lurus atau 0o.
b) Skor 2 = Posisi 0o- 20o ke depan dan ke belakang.
c) Skor 3 = Posisi 20o-60o ke depan dan > 20o ke belakang.
d) Skor 4 = Posisi > 60o ke depan.
e) Skor + 1, jika punggung berputar atau miring ke kanan, dan
atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah.
c. Kriteria penilaian area kaki :
a) Skor 1 = Tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan, duduk.
b) Skor 2 = Berdiri dengan satu kaki, tidak stabil.
c) Skor + 1, jika lutut di tekuk 30o-60o ke depan, dan skor + 2,
jika lutut di tekuk > 60o ke depan.
Setelah didapatkan skor postur punggung, leher dan kaki, kemudian
dimasukkan ke dalam tabel penilaian skor A. Dapat dilihat pada tabel 4.1.
91
Tabel 4.1
Contoh Penilaian Skor Tabel A
Kemudian skor tabel A dijumlahkan dengan berat beban yang
diangkat. Penilaian beban dilakukan dengan pengukuran langsung
menggunakan timbangan. Kriteria penilaian beban :
a. Skor 0 = Berat beban < 5 kg.
b. Skor 1 = Berat beban 5 – 10 kg.
c. Skor 2 = Berat beban > 10 kg.
d. Skor + 1, jika disertai dengan pergerakan yang cepat.
2. Memberi nilai dari grup B yang terdiri dari bagian lengan atas, lengan
bawah, dan pergelangan tangan, untuk bagian kanan dan kiri tubuh.
Kriteria penilaian postur grup B adalah:
a. Kriteria penilaian area lengan atas :
a) Skor 1 = Posisi lengan atas 0o – 20o ke depan dan ke
belakang.
Skor postur
Skor postur punggung
Skor postur kaki
Skor tabel A
92
b) Skor 2 = Posisi lengan atas > 20o ke belakang, dan 200-40o ke
depan.
c) Skor 3 = Posisi lengan atas antara 45o-90o.
d) Skor 4 = Posisi lengan atas > 90o ke atas.
e) Skor + 1, jika bahu berputar atau bahu dinaikkan atau di beri
penahan.
f) Skor – 1, jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat
orang yang membantu.
b. Kriteria penilaian area lengan bawah :
a) Skor 1 = Posisi lengan 600-100o ke depan.
b) Skor 2 = Posisi lengan antara 0o – 60o ke bawah, dan > 100o
ke atas.
c. Kriteria penilaian area pergelangan tangan :
a) Skor 1 = Posisi pergelangan tangan 00-15o ke depan dan ke
belakang.
b) Skor 2 = Posisi pergelangan tangan > 15o ke depan dan ke
belakang.
c) Skor + 1, jika terdapat penyimpangan pada pergelangan
tangan.
Setelah skor leher, punggung, dan kaki didapat maka dimasukkan ke
tabel skor B. Dapat dilihat pada tabel 4.2.
93
Tabel 4.2. Contoh Penilaian Skor Tabel B
Tahap selanjutnya dijumlahkan dengan nilai genggaman tangan.
Kriteria penilaian cara memegang :
a. Skor 0 = Memegang beban dengan dibantu oleh alat pembantu.
b. Skor 1 = Memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota
tubuh yang dapat menopang.
c. Skor 2 = Memegang beban hanya dengan tangan tanpa mendekatkan
beban ke anggota tubuh yang dapat menopang.
d. Skor 3 = Memegang beban tidak pada tempat pegangang yang
disediakan.
Skor postur pergelangan tangan
Skor postur bahu
Skor postur tangan
Skor tabel B
94
3. Setelah nilai dari grup A dan grup B didapat, maka dimasukkan ke
tabel C. dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Contoh Penilaian Skor C
4. Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlahkan dengan nilai aktivitas.
Kriteria nilai aktifitas yaitu:
a. Skor + 1, jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis > 1
menit.
b. Skor + 1, jika melakukan gerakan berulang > 4 kali dalam waktu
1 menit.
c. Skor + 1, jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil.
Hasil skor C
95
Setelah didapat skor tabel C dijumlahkan dengan skor aktifitas, maka
diperoleh skor akhir REBA, level perubahan yang harus dilakukan serta
didapatkan juga pengkodean untuk faktor pekerjaan yaitu sangat tinggi 0,
tinggi 1, sedang 2, rendah 3 dan sangat rendah 4. Hasil skor tabel C dapat
dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Skor Akhir REBA
Level Aksi
Skor REBA
Level Risiko
Aksi (Termasuk Tindakan Penilaian)
0 1 Sangat rendah Risiko masih dapat diterima dan tidak perlu dirubah
1 2 atau 3 Rendah Mungkin diperlukan perubahan-perubahan
2 4-7 Sedang Butuh pemeriksaan dan perubahan
3 8-10 Tinggi
Kondisi berbahaya, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan dengan segera
4 11 + Sangat Tinggi Perubahan dilakukan saat itu juga
Sedangkan langkah-langkah untuk RULA adalah sebagai berikut:
1. Memberi skor pada grup A yang terdiri dari lengan atas dan lengan bawah
serta pergelangan tangan. Setelah didapatkan skor postur lengan atas,
lengan bawah, serta pergelangan tangan, kemudian dimasukkan ke dalam
tabel penilaian skor A untuk mendapat skor A.
96
2. Menambahkan skor penggunaan otot dan skor untuk penggunaan
tenaga atau beban.
3. Member skor pada grup B yang terdiri dari leher, punggung (badan),
dan kaki. Setelah didapatkan skor postur leher, punggung (badan), dan
kaki, kemudian dimasukkan ke dalam tabel penilaian skor B untuk
mendapatkan skor B.
4. Menambahkan skor penggunaan otot dan skor untuk penggunaan
tenaga atau beban.
97
5. Penetapan skor final yaitu dengan memasukkan nilai postur kelompok
A (arm and wrist analysis) kedalam kolom vertikal tabel C, lalu
memasukkan nilai postur kelompok B (neck, trunk, and leg analysis)
ke dalam kolom horizontal tabel C.
Setelah diperoleh grand score, yang bernilai 1 sampai 7 menunjukkan level
tindakan (action level) dan pengkodeannya sebagai berikut :
• Action Level 1: Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama
tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama.
• Action Level 2: Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh
dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan.
• Action Level 3: Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan
dibutuhkan segera.
• Action Level 4: Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan
dibutuhkan sesegera mungkin (mendesak).
Untuk faktor pekerjaan pengkodeannya dilakukan setelah didapatkan skor dari
hasil pengukuran REBA dan RULA yang kemudian dikelompokan menjadi dua kategori
berdasarkan action level masing-masing metode dan tindakan penanganan yang harus
98
dilakukan yaitu sebagai berikut: tinggi (action level 3 dan 4) �0, rendah (action level 1
dan 2) � 1.
c. Umur : ≥ 35 tahun 0, < 35 tahun 1
d. Kebiasaan merokok: merokok 0, tidak merokok 1
e. Masa kerja: Bulan
c. Entry
Data yang sudah diberi kode kemudian dimasukkan dalam program
computer untuk diolah.
d. Cleaning
Proses pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan
atau tidak, sehingga data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian ini
untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase yaitu meliputi keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs), faktor pekerjaan, faktor personal (umur,
kebiasaan merokok dan masa kerja).
4.6.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini dengan
menggunakan uji chi-square dimana variabel independen dan dependen dalam
penelitian ini berupa data kategorik.
Persamaan Chi Square :
99
X² = ∑ ( 0 – E )² E Keterangan :
X² = Chi Square
0 = nilai yang diamati
E = nilai yang diharapkan
Jika Pvalue > 0,05 maka tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik
antara variabel pekerjaan, umur dan kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs.
Sebaliknya jika Pvalue ≤ 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna antara
variabel pekerjaan, umur dan kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs.
Untuk mencari hubungan antara variabel masa kerja dengan keluhan MSDs,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui apakah variabel
ini berdistribusi normal atau tidak. Setelah dilakukan uji normalitas data, jika
data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji T-test sedangkan jika data
tidak berdistribusi normal maka digunakan uji beda 2 mean independen (Mann-
Whitney).
100
BAB V
HASIL
5.1 Sejarah singkat perusahaan
PT. X merupakan salah satu industri dibidang perakitan kendaraan bermotor
yang memproduksi dua kendaraan yaitu, kendaraan untuk pribadi (passenger cars)
dan chassis untuk kendaraan commercial. Perusahaan ini adalah agen resmi dan
perakit semua produknya di Indonesia serta bertanggung jawab untuk pemasaran
semua produknya di Indonesia. Selain itu perusahaan ini merupakan perusahaan
patungan antar perusahaan asing dan indonesia.
Kegiatan perusahaan ini di Indonesia dimulai tahun 1970-an dan pada tahun
yang sama didirikan pula sebuah perusahaan sebagai perakit dan pembuat produk
untuk perusahaan ini. Saat ini Indonesia memiliki tiga perusahaan serupa yang
lokasinya disekitar Jakarta dengan jumlah karyawan keseluruhan lebih dari 583
orang, yaitu pabrik perakitan kendaraan, layanan purna jual dan perusahaan
distribusi.
5.2 Departemen APC (Assembling Passenger Cars)
PT. X terbagi atas beberapa departemen, dua diantaranya merupakan
departemen yang berkaitan dengan pekerjaan assembling yaitu produksi passenger
cars yang terdapat di APC dan commercial vehicle atau chassis bus yang terdapat di
ACV (Assembling Commercial Vehicle). Untuk departemen APC terbagi lagi
menjadi beberapa bagian yaitu trimming line, mechanical line, rectification dan
finishing. Penelitian ini fokus pada bagian trimming line dan mechanical line.
101
Bagian trimming line merupakan bagian awal dalam proses produksi passenger
cars. Pada bagian ini dilakukan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan
pemasangan interior dan exterior parts pada passenger cars. Proses pekerjaan
dibagian ini menggunakan bermacam-macam peralatan dan mesin, diantaranya ada
yang memiliki risiko dan bahaya yang cukup signifikan terkait ergonomi pada
pekerja. Bagian trimming line terdiri dari 10 stasiun dan didukung oleh dua stasiun
lainnya yaitu cockpit dan doors. Gambaran proses pekerjaan pada trimming line
adalah sebagai berikut:
1. Pre Stasiun : merupakan stasiun paling awal pada bagian ini dengan
pekerjaannya yaitu pemasangan engine roof, tutup bagasi, karet dan spring pada
cabin. Pada pemasangan engine roof dan tutup bagasi pada cabin, pekerja
mengangkat part tersebut secara manual yang beratnya sekitar 10 kg. Ketika
pengangkatan punggung pekerja membungkuk dan saat pemasangan lengan
atas dan bawah pekerja tidak lurus atau membengkok. Pada kegiatan ini
didapatkan skor REBA 11 sehingga masuk ke dalam kategori sangat tinggi.
2. Stasiun 0 : pekerjaan pada stasiun ini yaitu pemasangan air cover, bumper cross
member, lampu dan proses markier, mal dan seting bonet pada cabin. Pada
proses markier pekerja harus mengangkat alat markier dan mal secara manual
dengan berat 15 kg dan 20 kg dengan posisi punggung membungkuk dan leher
tertekuk. Pada proses ini didapatkan skor REBA 12 yang berarti pekerjaan ini
memiliki risiko ergonomi sangat tinggi dan merupakan proses pekerjaan yang
memiliki skor REBA tertinggi jika dibandingkan dengan pekerjaan lainnya di
stasiun ini.
102
3. Stasiun 1 : pekerjaan pada stasiun ini yaitu pemasangan spare will dengan berat
sekitar 15 kg, plug, proses sealing atau proses pengeleman dengan alat yang
memiliki berat sekitar 5 kg dan alat pemberatnya dengan berat sekitar 60 kg,
pipa kecil dan tanki dengan berat sekitar 30 kg yang seluruhnya diangkat dan
dipasang secara manual serta posisi punggung yang membungkuk, lengan
membengkok dan leher tertekuk, ada juga posisi leher in extension pada proses
pengangkatan tanki. Pada proses sealing didapatkan skor REBA 11 dan pada
proses pengangkatan tanki didapatkan skor REBA 12 sehingga kedua proses ini
termasuk dalam kategori pekerjaan dengan risiko ergonomi sangat tinggi.
4. Stasiun 2 : pekerjaan pada stasiun ini yaitu pemasangan plug, shock becker dan
dumping. Pada pekerjaan ini posisi punggung agak membungkuk dan leher
yang menekuk dan ada juga posisi leher in extension pada proses pemasangan
plug pada engine roof. Skor REBA pada proses ini yaitu 8 sehingga termasuk
kategori pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi.
5. Stasiun 3 : pekerjaan pada stasiun ini terbagi menjadi dua yaitu 3A dan 3B.
Pekerjaan pada stasiun 3A adalah pemasangan kabel-kabel yang berhubungan
dengan electric control dan RBA kabel, airbag control unit dan RBA
passenger compartment rear. Pada pemasangan kabel-kabel tersebut pekerja
harus mengangkatnya secara manual dengan berat sekitar 40 kg dan posisi
punggung yang agak membungkuk dan leher in extension dengan skor REBA 9
sehingga termasuk kategori pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi.
Sedangkan pekerjaan pada stasiun 3B adalah pemasangan booster rem, kabel-
kabel engine hood, kabel harness, pedal rem/sub assy pedal system, pipa AC.
103
Pada proses pemasangan pedal rem, pekerjaan dilakukan dengan duduk, posisi
punggung membungkuk, leher menekuk dan lengan atas bawah membengkok
dengan skor RULA 6 sehingga termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
Sedangkan pada proses pemasangan pipa AC posisi punggung membungkuk
dan agak miring ke kanan, leher menekuk dan lengan bawah atas membengkok
dengan skor REBA 9 sehingga termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
6. Stasiun 4: pekerjaan pada stasiun ini juga terbagi menjadi dua yaitu 4A dan 4B.
Pekerjaan pada stasiun 4A adalah pemasangan window bag, control unit plate
of firewall dan sub assy cockpit pada cabin. Pada pemasangan cockpit, pekerja
mengangkatnya secara manual dengan berat sekitar 60 kg ke dalam cabin
dengan posisi punggung yang membungkuk, leher in extension, kaki menekuk
dan lengan atas bawah yang membengkok serta mengangkat beban berat. Skor
REBA pada pekerjaan ini 13 sehingga termasuk pekerjaan dengan kategori
risiko ergonomi sangat tinggi. Sedangkan pada proses pemasangan cockpit
karena dilakukan didalam cabin maka dilakukan dengan posisi duduk dan
didapatkan skor RULA 7 sehingga termasuk kategori risiko ergonomi sangat
tinggi.
Sedangkan pekerjaan pada stasiun 4B adalah pemasangan park handle, brake
pipe, air duct firewall, battery frame engine. Pada pemasangan battery frame
engine posisi punggung agak membungkuk dengan leher menekuk dan agak
miring ke kiri, posisi kaki menekuk dan kadang berdiri dengan satu tumpuan
kaki saja, lengan atas & bawah membengkok. Pada proses ini didapatkan skor
REBA 9 yang termasuk pekerjaan dengan kategori risiko ergonomi tinggi.
104
7. Stasiun 5 : proses pekerjaan di stasiun ini juga terbagi menjadi dua yaitu 5A dan
5B. Pekerjaan pada stasiun 5A yaitu pemasangan part untuk interior seperti
seat belt driver, part pd roof atau atap mobil, lampu, gear shift, handles roof.
Proses pekerjaan pada stasiun ini banyak dilakukan di dalam cabin, sehingga
pekerja bekerja dengan cara duduk atau terkadang setengah berdiri di dalam
cabin seperti pada pemasangan lampu di dalam cabin dan part interior. Posisi
punggung dan leher in extension, lengan atas dan bawah terangkat keatas. Pada
proses ini dapatkan skor RULA 7 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk
kategori risiko ergonomi sangat tinggi.
Sedangkan untuk pekerjaan pada stasiun 5B yaitu pemasangan karpet bawah
(panel), ABS untuk rem atau sistem kendali, safety hook bonet, rubber sealing
bonet, cooling water tank, warning triangle compl, shock becker. Proses
pekerjaan di staisun ini banyak dilakukan diluar cabin, seperti pada
pemasangan shock becker pekerja harus merunduk dengan punggung
membungkuk, leher in extension dan agak miring serta posisi lengan yang
membengkok. Skor REBA pada pekerjaan ini adalah 9 yang termasuk
pekerjaan dengan kategori risiko ergonomi tinggi.
8. Stasiun 6 : proses pekerjaan pada stasiun ini yaitu glozing in rear glass,
pemasangan glass atau kaca depan dan belakang, whipped system, covering
aggregate, water deflector, shielding partition panel. Pekerjaan di bagian ini
lebih terfokus pada pemasangan glass yang terdiri dari beberapa kegiatan,
seperti memberi lem pada tepi glass, mengangkat glass kemudian dipasang
pada bagian depan dan belakang cabin. Postur tubuh pada proses pekerjaan
105
tersebut bermacam-macam, seperti punggung yang membungkuk saat
mengangkat glass dan mengolesi lem pada tepi glass, leher menekuk dan agak
miring, lengan atas dan bawah terangkat ke atas serta mengangkat beban sekitar
15 kg. Untuk proses ini didapatkan skor REBA 10 yang termasuk pekerjaan
dengan kategori risiko ergonomi tinggi.
9. Stasiun 7 : proses pekerjaan pada stasiun yaitu terdiri dari pemasangan
perlengkapan berbagai cover seperti cover rain-light sensor dan cover c-pillar,
air intake (pendingin), engine compaqment, rear floor carpet, handle rem, side
bag rear. Pekerjaan pada bagian ini lebih banyak dilakukan didalam cabin
dengan posisi duduk atau jongkok, punggung agak membungkuk, leher
menekuk, lengan atas terangkat. Dari proses ini didapatkan skor RULA 5 yang
berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
10. Stasiun 8 : proses pekerjaan pada stasiun ini terbagi menjadi dua yakni stasiun
8A dan 8B. Pekerjaan pada stasiun 8A terdiri dari pemasangan cover under
dashboard, accelerator pedal , cover side panel, cockpit side cover, seat belt
house, sandaran jok belakang, lampu atas jok belakang. Pekerjaan pada bagian
ini ada yang dilakukan didalam cabin dan luar cabin. Di dalam cabin seperti
sandaran jok belakang dan lampu diatas jok belakang dengan posisi jongkok,
punggung membungkuk, leher in extension, lengan atas dan bawah terangkat,
kaki menekuk. Dari proses ini didapatkan skor REBA 13 yang berarti pekerjaan
tersebut termasuk kategori sangat tinggi. Adapun pekerjaan diluar cabin seperti
pemasangan pedal yang dilakukan dengan posisi setengah berdiri, punggung
membungkuk, leher in extension, kaki menekuk. Dari proses ini didapatkan
106
skor REBA 11 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko
ergonomi tinggi.
Sedangkan pekerjaan pada stasiun 8B yaitu pemasangan front seat, rear seat
backrest, karet pada pemasangan pintu, list pintu, edge protecting.
Pengangkatan dan pemasangan seat ke troley dan ke dalam cabin merupakan
salah satu pekerjaan di bagian ini yang memiliki risiko ergonomi cukup
signifikan karena postur tubuh yang berisiko serta beban sekitar 25-30 kg yang
harus diangkat secara manual berkali-kali dalam satu hari. Skor REBA yang
didapatkan dari proses ini adalah 13 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk
kategori risiko ergonomi sangat tinggi.
11. Stasiun 9 :proses pekerjaan pada stasiun ini terdiri dari pemasangan rear safety
belt, rear seat cushion, sill cover, door lock striker, front door dan dumping
under rear seat serta ISTK yaitu penggabungan beberapa software dalam satu
control unit pada kendaraan. Pekerjaan pada bagian ini terdapat bermacam-
macam postur tubuh yang berisiko diantaranya ketika pengangkatan jok
dudukan belakang sekitar 8-10 kg, dengan punggung membungkuk, kaki
menekuk, lengan atas bawah terangkat. Pada proses tersebut didapatkan hasil
skor REBA adalah 11 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko
ergonomi sangat tinggi.
12. Stasiun 10 : proses pekerjaan pada stasiun ini tidak terlalu berat seperti
pekerjaan pada stasiun lain. Pekerjaannya terdiri dari quality control, seperti
pengecekan apakah part atau komponen kendaaran dirakit atau dipasang
dengan benar dan memeriksa fungsional masing-masing part. Dari proses ini
107
didapatkan skor REBA 6 yang berarti termasuk pekerjaan dengan kategori
risiko ergonomi sedang.
Selanjutnya adalah bagian mechanical line yaitu bagian assembling yang
berkaitang dengan perakitan aggregates parts, yaitu seperti engine, rear dan front
axle dan semua komponen yang berkaitan dengan engine pada kendaraan. Selain itu
terdapat perakitan tires, fluid filling dan electrical checking. Bagian ini terdiri dari 9
stasiun yakni stasiun 11 sampai 19. Gambaran proses pekerjaan pada mechanical
line adalah sebagai berikut:
1. Stasiun 11 – 12 : proses pemasangan hoist crane pada cabin untuk proses
selanjutnya yaitu married engine atau pemasangan komponen engine pada
cabin atau body mobil. Diawali dengan proses pendorongan untuk memasukkan
mesin (pengepasan lubang baut), pada proses ini didapatkan hasil skor REBA
11 yang termasuk pekerjaan dengan kategori risiko ergonomi tinggi. Setelah itu
dilanjutkan dengan pemasangan front dan rear axle pada cabin, pemasangan
stearing connection dan connected working bottom, wish bone, lempengan
besi/cover (heat shield fuel tank, heat shield MSD RH, heat shield catalist),
propeller shaft (batang penghubung rear dan front axle, engine), propeller shaft
center bearing dan plug. Seluruh pemasangan bagian tersebut dilakukan
dibawah cabin dengan postur tubuh pekerja rata-rata yaitu leher in extension,
punggung in extension, lengan atas dan bawah over head dan kaki tegak lurus.
Seperti pada pemasangan front axle dan front rear axle didapatkan skor REBA
8 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
108
2. Stasiun 13: proses pekerjaan pada stasiun ini terdiri dari pemasangan exhaust
system front (knalpot) dengan berat sekitar 15 kg yang diangkat secara manual
sedangkan exhaust pipe front beratnya sekitar 5 – 8 kg. Postur pekerja saat
mengangkat knalpot leher in extension, punggung membungkuk, lengan atas
dan bawah posisi terangkat dan kaki lurus. Dari pekerjaan ini didapatkan skor
REBA 10 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko ergonomi
tinggi. Selanjutnya pemasangan shifftening bagian depan dan belakang dengan
berat > ½ kg, gearbox brackets, connection at radiator, radiator covering,
temperatur sensor, cable, harness transmission, strut (lempeng besi panjang),
tunnel strut, sprig strut cap dan covering under body. Pemasangan komponen-
komponen tersebut juga dilakukan dibawah cabin. Seperti pada pemasangan
shifftening depan dan belakang, dengan postur tubuh pekerja leher in extension,
punggung in extension, lengan atas dan bawah terangkat keatas dan kaki sedikit
menekuk dan didapatkan hasil skor REBA 10 yang berarti pekerjaan tersebut
termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
3. Stasiun 14: proses pekerjaan pada stasiun ini tidak dilakukan dibawah cabin lagi
seperti pada stasiun 11-13, namun terdapat beberapa pekerjaan yang dilakukan
dengan duduk. Prosesnya terdiri dari pemasangan front module diikuti dengan
pengencangan baut yang menggunakan moment 90 nm 180o dengan postur
tubuh leher menekuk, punggung membungkuk, kaki membengkok, lengan atas
dan bawah terangkat dalam posisi menarik moment dan didapatkan skor REBA
10 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko ergonomi tinggi.
Kemudian pemasangan rear bumper fitting dengan berat sekitar 10 kg diangkat
109
secara manual, brake house, activated charcoal filter (pompa bahan bakar, filler
nech fitment), tutup bensin, tanki whipped depan, fluid reservoir, induction
pipe, screen plate ESD. Misalnya pemasangan brake house postur pekerja leher
in extension, punggung sedikit membungkuk dan agak miring, lengan atas dan
bawah terangkat dan kaki dalam posisi duduk. Dari pekerjaan ini didapat skor
RULA 7 yang berarti pekerjaan tersebut termasuk kategori risiko ergonomi
sangat tinggi.
4. Stasiun 15 : proses pekerjaan pada stasiun ini terdiri dari pemasangan tires
dengan moment 130 nm, bumper depan dengan berat sekitar 10 kg, lampu
depan, grill (pasang setir), engine complied (cover engine) dengan moment
33nm. Kemudian pemasangan connection brake pipe wheel arch front, brake
pipe rear, covering wheel house, wheels front dan rear, tighten spring strut.
Pada pemasangan tires, sebelumnya tires diangkat secara manual dari troley ke
cabin dengan berat sekitar 15 kg dan punggung in extension, leher in extension,
tangan dan lengan terangkat ke atas pada posisi mengangkat tires serta kaki
sedikit membengkok, didapatkan skor REBA 10 yang berarti pekerjaan ini
termasuk kategori risiko ergonomi tinggi. Kemudian proses moment tires
dengan menggunakan moment 130 nm posisi punggung membungkuk, leher in
extension, lengan atas dan bawah terangkat dengan beban yang dipegang
sekitar 2-3 kg dan kaki menekuk, didapatkan skor REBA 9 yang berarti
pekerjaan ini termasuk kategori risiko ergonomi tinggi. Pemasangan bumper
depan diawali dengan mengangkat bumper ke cabin secara manual, posisi
punggung membungkuk, leher in extension, lengan atas dan bawah terangkat
110
dalam posisi mengangkat bumper dan kaki lurus, didapatkan skor REBA 11
yang berarti pekerjaan ini memiliki risiko ergonomi sangat tinggi. Sedangkan
pada pemasangan lampu depan posisi punggung lurus, leher in extension,
lengan atas dan bawah terangkat ke atas dan kaki lurus, didapatkan skor REBA
9 yang berarti pekerjaan ini memiliki kategori risiko ergonomi tinggi.
5. Stasiun 16 : proses pekerjaan pada stasiun ini terdiri dari pengencangan untuk
bagian setir mobil, pengangkatan dan pemasangan ban serep secara manual
dengan berat sekitar 30 – 50 kg, setting bonet (engine hood) dengan special
tool, vacuum pipe engine compartment, trunk floor. Untuk setting bonet,
didapatkan skor REBA 5 yang berarti pekerjaan ini memiliki risiko ergonomi
sedang.
6. Stasiun 17 : proses pekerjaan pada stasiun ini yaitu berupa filling vehicle atau
pengisian fuel dan cairan seperti, bahan bakar, minyak rem, isi culler radiator,
freon AC, oli stearing, air whipper dan tes kebocoran. Proses pekerjaan pada
stasiun ini memiliki skor REBA 2 yang termasuk dalam kategori risiko
ergonomi rendah. Hal ini karena pekerjaan pada stasiun ini hanya filling vehicle
yang terdiri dari beberapa cairan dan fuel yang sudah ada alat khusus untuk
mengerjakannya sehingga pekerja tidak perlu menggunakan peralatan yang
menggunakan tenaga besar.
7. Stasiun 18 : proses pekerjaan pada stasiun ini hanya diagnosis fungsional pada
kendaraan atau disebut juga dengan ISTK. Proses bertujuan untuk memastikan
dan memeriksa sistem komputerisasi dan connection pada kendaraan sudah
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Hal serupa juga dilakukan pada
111
bagian trimming line yaitu pada stasiun 9 dan pekerjaan ini juga memiliki risiko
ergonomi yang rendah dengan skor REBA 3, karena pekerjaannya hanya
diagnosis dan lebih banyak berhadapan dengan komputer.
8. Stasiun 19 : stasiun ini merupakan stasiun terakhir pada keseluruhan proses
assembling. Pekerjaannya terdiri dari pemeriksaan quality secara fungsi dan
visual pada kendaraan yang telah selesai dipasang semua komponennya, apakah
sudah sesuai dengan ketentuan atau masih ada perbaikan. Setelah itu dibuat
laporan dan pemberian stempel yang menyatakan bahwa kendaraan tersebut
sudah sesuai dengan kualitas yang telah ditentukan. Proses pemeriksaan visual
pada kendaraan dilakukan secara menyeluruh di dalam maupun di luar
kendaraan, sehingga tidak jarang pekerja harus membungkuk dengan leher
tertekuk untuk memeriksa bagian dalam mobil, pada proses ini didapatkan skor
REBA 7 yang berarti pekerjaan ini termasuk kategori risiko ergonomi sedang.
5.3 Analisis Univariat
5.3.1 Keluhan MSDs pada Pekerja Assembling
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan MSDs pada Pekerja Assembling PT. X Bogor tahun 2010
Keluhan Jumlah (n) Persentasi (%) Mengeluh 65 92,9
Tidak mengeluh 5 7,1 Jumlah 70 100
112
Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa sebagian besar reponden mengalami
keluhan MSDs yaitu sebanyak 65 (92,9%) responden. Sedangkan responden yang
tidak mengalami keluhan MSDs sebanyak 5 (7,1%) responden.
Grafik 5.1 Distribusi bagian tubuh yang dikeluhkan pada operator assembling PT X
tahun 2010
23%
46%47%
14%19%
10%
41%
34%
6%
14%16%11%
14%14%14%
24%24%
10%10%
20%21%
43%49%
14%14%16%14%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
leh
er
ba
hu
ka
na
n
ba
hu
kir
i
len
ga
n a
tas
ka
na
n
len
ga
n a
tas
kir
i
pu
ng
gu
ng
pin
gg
an
g
bo
ko
ng
pa
nta
t
sik
u k
an
an
sik
u k
iri
len
ga
n b
aw
ah
ka
na
n
len
ga
n b
aw
ah
kir
i
pe
rge
lan
ga
n t
an
ga
n …
pe
rge
lan
ga
n t
an
ga
n k
iri
jari
-ja
ri k
an
an
jari
-ja
ri k
iri
pa
ha
ka
na
n
pa
ha
kir
i
lutu
t k
an
an
lutu
t k
iri
be
tis
ka
na
n
be
tis
kir
i
pe
rge
lan
ga
n k
ak
i k
an
an
pe
rge
lan
ga
n k
ak
i k
iri
jari
-ja
ri k
ak
i k
an
an
jari
-ja
ri k
ak
i k
iri
pe
rse
nta
se
Bagian tubuh
Dari grafik 5.1 diketahui bagian tubuh yang paling dikeluhkan yaitu betis kiri
dengan persentase 49%. Frekuensi yang cukup besar pada bagian tubuh lainnya
yaitu bahu kiri sebesar 47 %, bahu kanan sebesar 46 %, betis kanan sebesar 43 %
dan pinggang sebesar 41 %.
113
5.3.2 Risiko Faktor Pekerjaan pada Pekerja Assembling
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Faktor Pekerjaan
pada Pekerja Assembling PT. X Bogor tahun 2010 Risiko Jumlah (n) Persentasi (%)
Sangat Tinggi 24 34,3 Tinggi 33 47,1 Sedang 11 15,7 Rendah 2 2,9 Jumlah 70 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat
risiko sangat tinggi sebanyak 24 orang (34,3%), tinggi sebanyak 33 orang
(47,1%), sedang sebanyak 11 orang (15,7%) dan rendah sebanyak 2 orang
(2,9%).
5.3.3 Risiko Faktor Pekerja pada Pekerja Assembling
a. Usia dan Kebiasaan Merokok
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Usia dan Kebiasaan Merokok pada
Pekerja Assembling PT. X Bogor tahun 2010
No Variabel Kategori Jumlah (86) Persentase (%)
1 Usia ≥ 35 tahun 41 58,6
< 35 tahun 29 41,4
2 Kebiasaan merokok Merokok 36 51,4
Tidak merokok 34 48,6
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui sebagian besar responden berusia ≥ 35 tahun
yaitu sebanyak 41 orang (58,6%) dan responden yang berusia < 35 tahun sebanyak 29
orang (41,4%). Untuk kebiasaan merokok 36 orang (51,4 %) merokok, dan 34 orang
(48,6%) tidak merokok.
114
b. Masa Kerja
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja pada Pekerja Assembling
PT. X Bogor tahun 2010
Variabel Rata-Rata Masa Kerja
SD Min-Max
Masa kerja (dalam bulan)
147,39 124,670 4 – 384
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja adalah 147,39
bulan dengan standar deviasi 124,670 bulan serta masa kerja terendah 4 bulan dan masa
kerja tertinggi 384 bulan.
5.4 Analisis Bivariat
5.4.1 Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs pada Pekerja Assembling
Tabel 5.5 Distribusi Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs pada Pekerja
Assembling PT. X Bogor tahun 2010
Variabel Kategori
Keluhan MSDs
P value OR 95% CI Mengeluh Tidak
mengeluh Total (70)
n % n % n %
Faktor pekerjaan
Sangat Tinggi
22 91,7 2 8,3 24 100
0,927 -
Tinggi 31 93,9 2 6,1 33 100 Sedang 10 90,9 1 9,1 11 100 Rendah 2 100 0 0 2 100
Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki risiko
pekerjaan sangat tinggi dan mengalami keluhan MSDs sebanyak 22 orang (91,7%),
responden yang memiliki risiko pekerjaan tinggi dan mengalami keluhan MSDs
sebanyak 31 orang (93,9%), responden yang mengalami resiko pekerjaan sedang dan
mengalami keluhan MSDs sebanyak 10 orang (90,9 %), dan responden yang mengalami
115
resiko pekerjaan rendah dan mengalami keluhan MSDs sebanyak 2 orang (100 %)
Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,927 artinya pada α
= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara keluhan
MSDs dengan responden yang memiliki risiko pekerjaan tinggi dan rendah.
5.4.2 Hubungan Faktor Pekerja dengan Keluhan MSDs pada Pekerja Assembling
a. Usia dan Kebiasaan Merokok
Tabel 5.6
Distribusi Responden Menurut Usia dan Kebiasaan Merokok Dengan
Keluhan MSDs Pada Pekerja Assembling PT. X Bogor tahun 2010
Variabel Kategori
Keluhan MSDs
Pvalue OR 95% CI Mengeluh Tidak
Mengeluh Total (70)
N % n % n %
Usia
Pekerja
≥ 35 tahun 40 97,6 1 2,4 41 100
0,152 6,400
(0,676-60,573) < 35 tahun
25 86,2 4 13,8 29 100
Kebiasaan
Merokok
Merokok 32 88,9 4 11,1 36 100
0,358 0,242
(0,026-2,288) Tidak
merokok 33 97,1 1 2,9 34 100
a. Hubungan antara usia dengan keluhan MSDs
Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa responden yang berusia ≥
35 tahun sebagian besar mengalami keluhan MSDs yaitu sebanyak 40
orang (97,6%). Sedangkan responden yang berusia < 35 tahun sebagian
besar juga mengalami keluhan MSDs yaitu sebanyak 25 orang (86,2%).
116
Berdasarkan hasil statistik Chi Square diketahui usia responden tidak
memiliki hubungan yang bermakna (Pvalue > 0,05) dengan keluhan
MSDs, dengan Pvalue = 0,152.
b. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs
Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa responden yang merokok
sebagian besar mengalami keluhan MSDs yaitu sebanyak 32 orang
(88,9%). Sedangkan responden yang tidak merokok sebagian besar
mengalami keluhan MSDs sebanyak 33 orang (97,1%). Berdasarkan
hasil statistik Chi Square diketahui kebiasaan merokok tidak memiliki
hubungan yang bermakna (Pvalue > 0,05) dengan keluhan MSDs, dengan
Pvalue = 0,358.
b. Masa Kerja
Analsis bivariat keluhan MSDs berdasarkan masa kerja pada pekerja assembling
dengan menggunakan uji Mann-Whitney diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 5.7 Analisis Hubungan antara Masa Kerja dengan Keluhan MSDs
pada Pekerja Assembling PT. X Bogor Tahun 2010
Keluhan MSDs N p-value Mengeluh 65
0,160 Tidak mengeluh 5
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa pekerja yang mengeluh MSDs sebanyak
65 orang dan pekerja yang tidak mengeluh MSDs sebanyak 5 orang. Berdasarkan hasil
uji didapatkan p-value sebesar 0,160 yang berarti tidak ada hubungan yang signifkan
antara keluhan MSDs dengan masa kerja pada pekerja assembling.
117
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data primer yang didapatkan
dengan observasi langsung pada pekerja atau operator untuk faktor pekerjaan (REBA
dan RULA) serta menggunakan kuesioner untuk survei pekerja. Terdapat beberapa
keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang tidak dapat
menjelaskan hubungan sebab akibat, hanya menjelaskan hubungan keterkaitan
serta hanya menggambarkan variabel yang diteliti, independen maupun dependen
pada waktu yang sama.
2. Observasi langsung pada faktor pekerjaan sulit dilakukan, terutama pada
pengambilan video atau gambar tidak dari segala arah hanya pada arah yang
memungkinkan saja karena situasi dan prosedur di tempat kerja.
3. Hasil penelitian untuk variabel keluhan MSDs bersifat subjektif karena sangat
dipengaruhi kejujuran responden.
4. Pengumpulan data untuk variabel keluhan MSDs tidak dilakukan dalam waktu
yang sama, sebagian pekerja diambil datanya pada pagi hari dan sebagian
lainnya pada siang atau sore hari. Sehingga kemungkinan akan mempengaruhi
informasi yang didapatkan khususnya untuk variabel keluhan MSDs.
Pengumpulan data seharusnya dilakukan setelah 4 jam kerja atau sebelum
pekerja beristirahat.
118
5. Adanya recall bias yaitu bias dalam mengingat kembali kapan merokok dan
berhenti merokok pada variabel kebiasaan merokok sehingga dapat
mempengaruhi jawaban responden.
6. Variabel lingkungan kerja seperti mikrolimat dan suhu tidak diteliti karena
dianggap homogen untuk seluruh pekerja sedangkan untuk ilumunasi atau
pencahayaan tidak diteliti karena proses pekerjaan dibagian yang diteliti tidak
tetap pada satu tempat sehingga sulit menentukan posisi pekerja yang tetap dan
pencahayaannya akan sulit diukur dan untuk getaran tidak diteliti karena
keterbatasan alat dan biaya.
7. Variabel psikososial tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena variabel ini
dipengaruhi faktor internal dan external pekerja dan tidak adanya definisi
universal dan objektif dalam mengukur variabel ini sehingga membuatnya sulit
untuk melakukan studi untuk menyelidiki penyebab akibat pada konteks MSDs.
6.2 Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan sakit, nyeri, pegal-pegal dan lainnya
pada sistem otot (musculoskeletal) seperti tendon, pembuluh darah, sendi, tulang,
syaraf dan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kerja (Fitrihana, 2008). Sedangkan
menurut Tarwaka et al (2004) keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-
bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan
sampai sangat sakit. Akobundu et al (2008) mengatakan bahwa rasa sakit pertama adalah
sinyal bahwa otot tendon mulai merasakan sakit dan harus beristirahat serta
memulihkan.
119
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap para pekerja assembling
didapatkan hasil bahwa sebagian besar (92,9%) pekerja mengalami keluhan MSDs.
Sedangkan pekerja yang tidak mengalami keluhan MSDs sebesar (7,1%) pada
pekerjaan yang memiliki risiko sedang dan beberapa diantaranya tinggi, namun pekerja
yang tidak mengeluh ini sebagian besar berusia < 35 tahun dengan masa kerja sekitar 1-
2 tahun dan diantaranya ada yang tidak merokok. Gangguan yang paling banyak
dikeluhkan pekerja yaitu pada bagian betis kiri dengan persentase 49%, bahu kiri
sebesar 47 %, bahu kanan sebesar 46 %, betis kanan sebesar 43 % dan pinggang sebesar
41 %. Keluhan MSD pada bagian tersebut adalah bagian tubuh yang sering timbul pada
pekerja industri seperti perakitan yang pekerjaannya lebih banyak dilakukan dengan
posisi berdiri dan mempunyai siklus pengulangan pendek dan cepat sehingga
menyebabkan timbulnya MSDs.
Menurut Sastrowinoto (1985), bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat
mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki yang
dapat menyebabkan MSD pada bagian kaki. Selain bekerja dengan posisi berdiri, ada
beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk dan biasanya dilakukan
didalam cabin. Pekerja yang melakukan pekerjaan dengan posisi duduk biasanya bagian
tubuh yang dikeluhkan pada bagian pinggang, punggung dan leher. Posisi duduk pada
otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang (vertebral) terutama pada pinggang
(sacrum, lumbar, dan thoracic) harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar
dari nyeri (back pain) dan terhindar cepat lelah (fatique). Selain itu, ketika duduk kaki
harus berada pada alas kaki dan dalam sikap duduk bergerak dengan relaksasi. Namun
berdasarkan observasi kegiatan pekerja dengan posisi duduk terutama dalam cabin tidak
120
terdapat sandaran atau sesuatu yang dapat menahan punggung atau pinggang pekerja
serta sikap duduk yang tidak bergerak untuk relaksasi karena ruang gerak didalam cabin
sangat terbatas dan posisi kaki yang tertekuk.
Risiko MSDs pekerja juga dipengaruhi oleh peralatan kerja yang digunakan.
Seperti pekerjaan manual handling pada pengangkatan komponen yang akan dirakit
yang umumnya memiliki berat lebih dari lima kilogram namun dilakukan tanpa alat
bantu. Pada pekerjaan seperti ini, cidera yang paling banyak terjadi adalah cidera yang
bersifat akumulatif dan tidak langsung disebabkan karena satu insiden tunggal. Selain itu
terdapat ketidaknyamanan saat bekerja yaitu ketika bekerja dengan posisi dan dimensi
tubuh yang kurang sesuai dengan tempat dan alat kerjanya, misalnya pekerjaan yang
jangkauannya tinggi seharusnya dilakukan oleh pekerja yang memiliki postur tubuh
yang tinggi sehingga pekerja yang memiliki postur tubuh lebih rendah tidak kesulitan.
Untuk mengatasi keluhan MSDs akibat hal tersebut diperlukan upaya
pencegahan dan minimalisasi timbulnya MSDs pada pekerja dengan cara memberikan
alat bantu yang sesuai dengan pekerjaannya terutama untuk pekerjaan manual handling
yang membutuhkan tenaga besar untuk mengangkat beban komponen yang akan dirakit,
rotasi pekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh, umur dan risiko ergonomi
pekerjaan, bekerja dalam posisi atau postur normal dan waktu istirahat atau peregangan
untuk pemulihan dalam kerja atau sesudah kerja, hal ini sangat penting karena untuk
pekerjaan yang terus menerus seperti perakitan sekalipun bersifat dinamik namun selalu
diikuti dengan kelelahan yang kemudian dapat menjadi MSDs. Level MSD dari yang
paling ringan hingga yang berat akan menggangu konsentrasi dalam bekerja,
121
menimbulkan kelelahan dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas dan efisiensi
kerja.
Gejala MSDs biasanya sering disertai dengan keluhan subjektif sehingga sulit
untuk menentukan derajat keparahan tersebut. Untuk itu bagi peneliti selanjutnya perlu
diperhatikan dalam pengambilan data terkait keluhan MSDs, terutama pada waktu
pengambilannya, karena dimungkinkan perbedaan waktu pengambilan data pada pagi,
siang dan sore hari mempengaruhi jawaban pekerja. Selain itu jawaban pekerja juga
dapat dipengaruhi oleh pekerja yang lain, sehingga pastikan jawaban dan informasi yang
didapat bersumber langsung dari pekerja yang bersangkutan serta dapat lebih objektif
dalam melakukan penelitian terkait keluhan MSDs.
6.3 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs)
Pada penelitian ini cara melihat faktor pekerjaan dengan melakukan pengukuran
risiko ergonomi pada pekerjaan dengan menggunakan dua metode yaitu REBA untuk
pekerjaan yang dilakukan dengan posisi kerja berdiri dan RULA untuk pekerjaan yang
dilakukan dengan posisi kerja duduk. Berdasarkan observasi, para pekerja melakukan
beberapa pekerjaan di setiap stasiun. Maka dilakukan pengukuran risiko ergonomi
pekerjaan pada setiap pekerjaan. Sehingga dalam setiap pekerjaan pada masing-masing
stasiun memiliki nilai risiko atau action level yang berbeda. Nilai risiko atau action level
yang diambil dalam penelitian ini adalah nilai risiko atau action level tertinggi yang
dilakukan pekerja pada setiap pekerjaan.
122
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa keluhan MSDs banyak dialami oleh
pekerja dengan risiko pekerjaan tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan hasil analisis
sebagian besar operator mengalami gangguan MSDs atau mengeluh MSDs dan memiliki
risiko perkerjaan tinggi sebesar 93,9% dan operator mengalami gangguan MSDs atau
mengeluh MSDs dan memiliki risiko perkerjaan sangat tinggi sebesar 91,7 %. Hasil
analisis bivariat menunjukkan hubungan yang kurang signifikan antara faktor pekerjaan
dengan keluhan MSDs. Walaupun tidak ada hubungan yang signifikan tetapi jika dilihat
dari REBA dan RULA banyak pekerjaan yang memiliki risiko tinggi. Oleh karena itu
diperlukan investigasi ulang untuk meninjaui kembali faktor pekerjaan dan dilakukan
pengendalian secepatnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soleha (2009)
yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara risiko ergonomi
pekerjaan dengan keluhan MSDs. Berdasarkan observasi pekerja yang memiliki
pekerjaan risiko rendah, juga melakukan pekerjaan dengan risiko tinggi ketika sedang
ada rolling atau pertukaran pekerja antar stasiun pada waktu tertentu misalnya ketika ada
produk baru yang mengharuskan salah satu pekerja mengikuti training dan pekerjaannya
digantikan dengan pekerja lainnya. Hal ini dimungkinkan karena risiko MSDs bersifat
akumulatif yang berarti meskipun saat penelitian pekerja melakukan pekerjaan yang
berisiko rendah namun jika sebelumnya pekerja pernah melakukan pekerjaan dengan
risiko tinggi maka dimungkinkan pekerja tersebut mengalami keluhan MSDs.
Selain itu postur tubuh pekerja saat bekerja banyak diantaranya merupakan
postur janggal misalnya duduk tanpa sandaran punggung atau pinggang, duduk tanpa
tumpuan kaki yang baik ketika sedang bekerja dalam cabin, tangan bagian atas terangkat
123
tanpa dukungan dari alas vertikal seperti bekerja dalam dan dibawah cabin, kepala
mendongak, posisi punggung membungkuk dan ke depan, mengangkat dan membawa
beban berat dengan cara memanggul tanpa alat bantu. Menurut ILO (1998) semua posisi
tersebut merupakan posisi janggal yang dapat menyebabkan MSDs.
Namun tidak semua posisi tersebut dapat diambil gambarnya dengan baik, karena
situasi dan prosedur di tempat kerja yang tidak memungkinkan sehingga hasil gambar
yang didapatkan kurang maksimal. Untuk itu bagi peneliti selanjutnya agar lebih
memastikan pengambilan gambar atau video terkait postur tubuh pekerja di tempat
penelitian dapat dilakukan dari segala arah.
Walaupun tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor pekerjaan dengan
keluhan MSDs, namun dari hasil obervasi dan perhitungan REBA dan RULA banyak
pekerjaan yang memiliki risiko sangat tinggi dan tinggi. Oleh karena itu untuk mencegah
risiko MSDs yang lebih berat pada pekerja, maka diperlukan investigasi ulang untuk
meninjau kembali faktor pekerjaan dan dilakukan pengendalian secepatnya. Menurut
Macleod (1999) ada beberapa prinsip ergonomi yang dapat diterapkan untuk mencegah
dan menanggulangi risiko ergonomi termasuk pada proses pekerjaan perakitan yang
terbagi menjadi beberapa pengendalian yaitu secara engineering control dan
administrative. Engineering control dengan penggunaan alat bantu penanganan
material, terutama pada pekerjaan manual handling yang membutuhkan pengerahan
tenaga besar sehingga massa beban yang diangkat dapat berkurang.
Sedangkan secara administrative dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan
atau training pada pekerja mengenai risiko ergonomi dan tata cara bekerja yang sesuai
dengan prinsip ergonomi serta pihak perusahaan dapat membuat SOP yang dapat
124
digunakan oleh pekerja untuk menciptakan sistem kerja yang aman, nyaman dan tetap
sehat bagi pekerja saat bekerja, misalnya pengaturan penempatan pekerja sesuai dengan
dimensi tubuhnya. Disamping itu pemberdayaan SMK3 yang ada di perusahaan perlu
ditingkatkan lagi untuk pengawasan dan koordinasi program P2K3 yang terkait dengan
ergonomi di perusahaan. Semua hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan karyawan
untuk memberikan ide dan pendapat agar sistem kerja menjadi lebih baik.
6.4 Hubungan Antara Faktor Pekerja (Usia, Kebiasaan Merokok, Masa Kerja)
Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
6.4.1 Hubungan usia dengan keluhan MSDs
Prevalensi MSDs seseorang meningkat saat mereka mulai masuk bekerja.
Peningkatan usia berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik. Bertambahnya umur
akan diikuti dengan penurunan VO2 max sehingga akan menurunkan kapasitas kerja.
Hal ini disebabkan perubahan biologis secara alamiah pada usia paruh baya kekuatan
dan ketahanan otot mulai menurun karena proses penuaan. Dalam penelitian ini usia
dikategorikan menjadi dua kategori yaitu ≥ 35 tahun dan < 35 tahun karena umumnya
keluhan sakit punggung atau MSDs mulai dirasakan oleh pekerja pada usia kerja dan
episode pertama untuk kembali sakit biasanya dirasakan pada usia 35 tahun (Guo et al,
1995 & Chaffin, 1979 dalam NIOSH 1997).
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa keluhan MSDs banyak dialami oleh
pekerjayang berusia ≥ 35 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara usia dengan keluhan MSDs. Hal ini sejalan dengan penelitian
Ikrimah (2009) yang menyatakan bahwa usia tidak berhubungan dengan keluhan MSDs
125
pada pekerja. Penelitian Rahma (2004) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara usia dengan gejala awal CTD.
Menurut NIOSH (1997), kelompok usia dengan tingkat nyeri punggung tertinggi
compensable dan strain adalah kelompok umur 20-24 untuk laki-laki, dan kelompok
umur 30-34 untuk perempuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Betti’e et al
(1989) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan
usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus
terjadi penururnan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60
tahun, rata-rata kekuatan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai
menurun, maka resiko terjadinya keluhan otot akan meningkat.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya kelompok umur yang
banyak mengalami keluhan MSDs adalah pekerja dengan usia ≥ 35 tahun. Namun pada
kelompok umur < 35 tahun banyak diantara mereka yang juga mengalami keluhan
MSDs dan melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi. Jadi meskipun pekerja
yang berusia ≥ 35 tahun banyak mengalami keluhan MSDs, namun karena pekerja yang
berusia < 35 tahun banyak juga yang melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi
tinggi atau sangat tinggi sehingga menyebabkan pada penelitian ini usia tidak
berhubungan secara signifikan dengan keluhan MSDs.
Disamping itu faktor usia memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan
bertambahnya jumlah tahun kerja (masa kerja) sehingga meskipun ada pekerja dengan
usia muda namun sudah bekerja cukup lama dimungkinkan pekerja tersebut juga dapat
mengalami keluhan MSDs. NIOSH 1997 juga mengungkapkan bahwa meskipun pekerja
126
yang lebih tua telah ditemukan memiliki kekuatan kurang dari pekerja muda, namun
Mathiowetz et al (1985) menunjukkan bahwa kekuatan tangan tidak menurun dengan
penuaan, hal ini dibuktikan dengan skor rata-rata genggaman tangan yang tetap relatif
stabil dalam populasi dengan kisaran usia 29-59 tahun.
Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukan Torell et al (1988) dalam
penelitiannya yang mendapatkan hasil bahwa umur tidak memiliki hubungan dengan
keluhan MSDs. Mereka menemukan hubungan yang kuat antara beban kerja (dalam
kategori rendah, sedang, atau berat) dan gejala atau diagnosis MSDs. Selain itu banyak
peneliti tidak menemukan usia merupakan faktor signifikan yang berkaitan dengan
MSDs karena terdapat pelaporan kembali mengenai prevalensi sakit atau kejadian MSDs
(Bigos Riesbold & Greenland 1985; et al 1991), Daltroy et al. (1991) menunjukkan
bahwa pekerja pos muda yang berisiko tinggi untuk mengalami kejadian MSDs (OR =
3,0).
6.4.2 Hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs
Beberapa penelitian sebelumnya telah memberikan penjelasan mengenai
hubungan yang telah dirumuskan dalam satu hipotesis bahwa meningkatnya keluhan
MSDs berhubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin tinggi
frekuensi merokok dan lama seseorang merokok, maka semakin tinggi pula tingkat
keluhan otot yang dirasakan. Beberapa studi telah mengamati hubungan tersebut yakni
Deyo dan Bass 1989; Frymoyer et al. 1980; Troup et al. 1987. Mekanismenya dimulai
dari nikotin yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan dan kandungan
rokok menyebabkan kandungan mineral tulang belakang berkurang dan menyebabkan
127
microfractures. Selain itu, keterkaitan antara kebiasaan merokok dan keluhan otot
pinggang sebenarnya berkaitan dengan kesegaran jasmani seseorang karena kebiasaan
merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk
mengkonsumsi oksigen menurun dan akibatnya tingkat kesegaran tubuh juga menurun.
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa pekerja yang merokok sebagian
besar mengalami keluhan MSDs. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara merokok dengan keluhan MSDs. Hal ini dimungkinkan karena
banyak juga pekerja yang tidak merokok tapi mengalami keluhan MSDs. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soleha (2009) dan Ikrimah (2009) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan keluhan
MSDs.
Meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa merokok memiliki
hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs, misalnya seperti yang dilakukan oleh
Boshuizen et al (1993) yang menemukan hubungan antara kebiasaan merokok dan nyeri
punggung hanya dalam pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, kemudian disusul
oleh (Finkelstein 1995; Owen dan Damron 1984; Frymoyer et al. 1983; Svensson dan
Anderson 1983; Kelsey et al.1984) yang membuktikan bahwa kebiasaan merokok
berpengaruh terhadap nyeri pinggang, linu panggul (intervertebral disc hernia). Akan
tetapi ada juga beberapa penelitian yang menyatakan bahwa merokok tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Heliovaara et al. 1991; Rihimaki et al. 1989 pada kalangan pekerja konstruksi beton dan
pelukis rumahan. Hal serupa juga diungkapkan pada penelitian Toomingas et al. 1991
yang juga tidak menemukan hubungan antara beberapa hasil kesehatan (termasuk
128
ketegangan leher, CTS atau masalah di leher dan tulang belikat atau bahu/lengan atas)
dengan kebiasaan merokok pada platers, perakit dan pekerja kantoran. Wieslander et al
(1989) juga menemukan bahwa merokok atau menggunakan tembakau tidak terkait
dengan CTS yang merupakan salah satu jenis MSDs.
Brage et al (1996) pada penelitiannya di Norwegia menyatakan bahwa merokok
memiliki hubungan signifikan dengan MSDs setelah disesuaikan dengan gender, usia,
morbiditas, tekanan mental, gaya hidup dan faktor terkait pekerjaan. Berdasarkan
obervasi banyak diantara pekerja yang tidak merokok ternyata mereka juga mengalami
keluhan MSDs, hal ini dikarenakan pekerja yang tidak merokok banyak yang melakukan
pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi dengan demikian kemungkinan pekerja tersebut
mengalami keluhan MSDs akibat dari pekerjaan yang mereka lakukan.
Di sisi lain ada juga pekerja yang merokok bahkan telah merokok lebih dari satu
tahun namun mereka tidak mengalami keluhan MSDs, hal ini dimungkinkan karena
beberapa diantaranya berusia < 35 tahun sehingga efek dari rokok tersebut belum
signifikan mempengaruhi fisik mereka dan ada juga diantara mereka yang tidak
melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi sehingga mereka tidak mengalami
keluhan MSDs. Oleh karena itu, meski kebiasaan merokok berperan untuk menyebabkan
nyeri tulang namun pengaruh dari merokok juga didukung faktor lain seperti usia,
gender, tekanan mental dan faktor pekerjaan.
Namun dalam pengambilan data pada variabel kebiasaan merokok, sering kali
pekerja kesulitan untuk mengingat kapan pertama kali merokok dan berhenti merokok,
berapa banyak batang rokok yang dihabiskan dalam satu hari. Untuk itu perlu
diperhatikan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meminimalisasi hal ini. Selain itu agar
129
dapat dibuat pengkategorian kebiasaan merokok berdasarkan frekuensi merokok dan
berapa banyak batang rokok yang dihisap. Hal ini bertujuan untuk melihat hubungan
merokok dengan keluhan MSDs lebih jauh lagi, sehingga dapat dilihat perbedaannya
berdasarkan frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap.
6.4.3 Hubungan Masa kerja dengan keluhan MSDs
Masa kerja adalah faktor yang berkaitan dengan lamanya seseorang bekerja
disuatu perusahaan. Terkait dengan hal tersebut, MSDs merupakan penyakit kronis yang
membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin lana
waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko MSDs ini maka
semakin besar pula risiko untuk mengalami MSDs (Guo, 2004).
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara masa
kerja dengan keluhan MSDs. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Soleha (2009) dan Ikrimah (2009) dimana mereka menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan MSDs.
Berdasarkan observasi pekerja yang memiliki masa kerja rendah juga mengalami
keluhan MSDs, hal ini dikarenakan pekerja yang memiliki masa kerja rendah banyak
yang melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi dan sangat tinggi. Selain itu
banyak diantara mereka juga yang memiliki kebiasaan merokok sehingga meskipun
masa kerjanya masih rendah namun mereka juga dapat mengalami keluhan MSDs.
130
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Gambaran keluhan MSDs pada pekerja assembling PT X Bogor tahun 2010,
sebagian besar pekerja mengalami keluhan MSDs (92,9%) jika dibandingkan
dengan pekerja yang tidak mengalami keluhan MSDs (7,1%).
2. Gambaran faktor pekerjaan pada pekerja assembling PT X Bogor tahun 2010,
berdasarkan metode REBA dan RULA, sebagian besar pekerja mengalami risiko
pekerjaan yang tinggi (47,1%) dan sangat tinggi (34,3%).
3. Gambaran faktor pekerja antara lain:
a. Pekerja yang berusia ≥ 35 tahun lebih banyak daripada pekerja yang
berusia < 35 tahun.
b. Pekerja yang memiliki kebiasan merokok lebih banyak daripada pekerja
yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
c. Pekerja memiliki rata-rata masa kerja 147 bulan dengan masa kerja
terendah 4 bulan dan tertinggi 384 bulan.
4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor pekerjaaan, pekerja (usia,
kebiasaan merokok dan masa kerja) dengan keluhan MSDs pada pekerja
assembling PT X Bogor tahun 2010.
131
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Perusahaan
Untuk menanggulangi dan mencegah keluhan MSDs pada pekerja pihak
perusahaan dapat melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
a. Engineering control
1. Memberikan alat bantu penanganan material yang sesuai dengan
pekerjaannya, terutama pada pekerjaan manual handling yang membutuhkan
pengerahan tenaga besar.
b. Administrative control
1. Memperbaiki metode kerja agar posisi janggal pekerja pada pekerjaan yang
berisiko tinggi dapat diminimalisasi.
2. Melakukan rotasi pekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh, umur dan
risiko ergonomi pekerjaan
3. Memberikan pelatihan kerja atau training tentang risiko ergonomi di tempat
kerja dan tata-tata cara bekerja yang sesuai dengan prinsip ergonomi.
Training ini dapat dilakukan dengan metode TOT (Training of Trainer)
misalnya pelatihan diberikan dahulu pada supervisor kemudian supervisor
dapat memberikan pelatihan serupa kepada pekerja.
4. Membuat SOP terkait ergonomi untuk setiap jenis pekerjaan terutama
pekerjaan yang memiliki risiko ergonomi tinggi.
5. Pemberdayaan SMK3 yang ada di perusahaan perlu ditingkatkan lagi untuk
pengawasan dan koordinasi program P2K3 yang terkait dengan ergonomi di
perusahaan.
132
7.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel-variabel lain
yang kemungkinan memiliki hubungan signifikan dengan keluhan MSDs
yang tidak diteliti pada penelitian ini, seperti variabel pekerja (jenis kelamin,
kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan indeks massa tubuh), lingkungan
(mikrolimat, iluminasi, getaran) dan psikososial (kepuasaan kerja, stress dan
organisai kerja).
b. Disarankan untuk lebih melihat aktifitas yang dilakukan pekerja selama
bekerja dari segala arah, sehingga pengambilan gambar atau video guna
pengukuran faktor pekerjaan dapat lebih maksimal.
c. Pengambilan data pada keluhan MSDs diharapkan dapat dilakukan dalam
waktu yang bersamaan pada seluruh sampel penelitian.
d. Pengkategorian variabel kebiasaan merokok berdasarkan frekuensi dan
jumlah batang rokok yang dihisap.
e. Metode lain yang dapat digunakan untuk menilai risiko ergonomi dengan
sumber data yang lebih lengkap dan akurat yaitu dengan metode Ergonomic
Assesment Survey Method (EASY), karena pada metode ini sumber data
berasal dari tiga survei yaitu BRIEF survey (4 skor), employee survey (1
skor) dan medical survey (2 skor) yang masing-masing memberikan
informasi berbeda terkait pekerja, pekerjaan dan keluhan yang dialami secara
akurat.
133
f. Untuk peneliti selanjutnya, sebaiknya dapat lebih objektif meneliti tentang
MSDs yaitu secara diagnosis.
g. Untuk design studi, dapat digunakan case control yaitu meneliti perbedaan
eksposur pada sampel pekerja yang terkena MSDs sebagai kasus dan pekerja
yang tidak terkena MSDs sebagai kontrol.
134
DAFTAR PUSTAKA
Akobundu, Uzoamaka et al. 2008. Hubungan Gangguan Bekerja dengan Musculoskeletal Penyebab dan Pencegahan. Konsultasi fisioterapi,Hopeville Fisioterapi Klinik, 40 Julius Nyerere Crescent, Asokoro, Abuja
Albugis, Dina Yasmin. 2009.Tingkat Risiko (risk level) Muculoskletal Disorders (MSDs)
workshop steel tower berdasarkan metode Rapid Entire Body Assesment (REBA) di PT BUKAKA Tehnik Utama tahun 2009. Skripsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Aprilia, Melissa. 2009. Tingkat Risiko Ergonomi Terkait Keluhan Musculoskletal
Disorders pada Pekerja Konstruksi PT Waskita Karya tahun 2009. Skrpsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomics. Singapore: mcGraww Hill, Inc. Budiono, Sugeng A.M (dkk). 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.
Edisi ke 2. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Cohen, Alexander L. et al. 1997. Elements of Ergonomics Programs. A Primer Based on
Workplace Evaluation of Musculoskeletal Disorders. Amerika: U.S Department of Health and Human Services. NIOSH.
Darwati, Naniek. Murti, Bhisma. Hubungan Antara Keanggotaan Asuransi Kesehatan
dan Kebiasaan Merokok tahun 2006. Ecamuti.2010. Perancangan sistem kerja dan ergonomi. Lebih dekat dengan beban
mental. Dalam Situs Web http://megabagus.com/perancangan-sistem-kerja-dan-ergonomi/lebih-dekat-dengan-beban-mental/#more-394 available at 7 Juni, pukul 08:10 WIB.
Fitrihana, Noor. 2008.Upaya mengurangi risiko Musculoskeletal. Dalam situs Web
http://batikyogya.wordpress.com/2008/08/30/ available at 7 Juni, pukul 9:09 WIB.
Grandjean, E.1993.“Fitting the task to the man”. A Textbook of Occupational
Ergonomics. 4th Ed. London. Taylor & Francis.
135
Humantech Inc. 1995. Applied Ergonomic Training Manual. Berkeley Vale Australia: Protector and Gamble Inc.
Ikrimah, Nur. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskletal
Disorders (MSDs) pada Pekerja Konveksi Sektor Usaha Informal di Wilayah Ketapang Cipondoh Tangerang Tahun 2009. Skripsi; Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarief Hidayatullah.
Lim, Soo Yee et al. 1994. Gangguan Otot. Dalam situs Web
http://www.ilo.org/safework_bookshelf/english?content&nd=857170462 available at 7 Juni, pukul 11:05 WIB.
Melyssa. 2007.Gambaran Tingkat Risiko Musculoskletal Disorders pada Pekerja
Section Assembling I Line di PT Indomobil Suzuki International (PT ISI) Tambun II. Skripsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
M.N, Bustan. 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. NIOSH.1997. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors:A Critical Review of
Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disorders. Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi ke 2. Guna
Widya. Surabaya. Nursatya. Mugi. 2008. Gambaran faktor risiko MSDs pada pekerja catering PT. Pusaka
Nusantara cabang Jakarta tahun 2008. Skripsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomics, Work, and Health. Aspen Publisher Inc, USA. Raharjo, Suwandi.2008. Risiko Ergonomi dan Keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs) pada Pekerja Panen Kelapa Sawit di PT X Sumatera Selatan 2008. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi, Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Jakarta: CV
Haji Masagung. Sastrowinoto, Suyatno. 1985. Meningkatkan Produktivitas dengan Ergonomi. Jakarta.
PT Pustaka Binaman Pressindo.
136
Soleha, Siti. 2009. Hubungan Faktor Risiko Ergonomi Dengan Keluhan Musculoskeletal disorders (MSDs) Pada Operator Can Plant PT. X, Plant Ciracas Jakarta Timur Tahun 2009. Skripsi; Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarief Hidayatullah.
Sue Hignett and Lynn McAtamney.2000. Technical: REBA. Applied Ergonomics.
Cornell University of Ergonomics. http://www.REBA/cutools.htm Suma’mur, P.K. 1989. Ergonomi Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Prestasi Pustaka. Suma’mur, P.K. 1980. Hygiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Gunung Agung.
Jakarta. Sumiati. 2007. Analisa Risiko Low Back Pain (LBP) pada Perawat Unit Darurat dan
Ruang Operasi di RS. Prikasih Jakarta Selatan. Skripsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Stanton, Neville et al. 2005. Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods.
London: CRC Press. Tarwaka, et al. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan
Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press. Taylor & Francis. Jurnal Ergonomi Vol. 50, No 2, Februari 2007, 261-274. Dalam situs
Web http://www.tandf.co.uk/journals available at 27 Juli 2010, pukul 11:56 WIB
………., 2008. Cedeta Otot Rangka. Dalam situs Web http://www.ergointitute.com
available at 4 Mei 2010, pukul 15:22 WIB. http://osha.europa.eu/en/topics/msds available at 7 Juni, pukul 09:02 WIB.
137
LAMPIRAN
138
KUISIONER
No Kuisioner :
Assalamualaikum, Wr. Wb,,
Dengan hormat, perkenalkan saya Emi Maijunidah, mahasiswi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syahid Jakarta, prodi Kesehatan Masyarakat
peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Saat ini saya sedang melakukan
penelitian untuk penyusunan tugas akhir (skripsi) mengenai “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keluhan Musculoskeletal Disorders pada pekerja Assembling Passenger
Cars (APC) PT Mercedes Benz Indonesia Wanaherang Bogor Tahun 2010” sebagai
syarat untuk penyelesaian studi program sarjana.
Berkenaan dengan hal tersebut, saya memohon kesediaan Bapak/Saudara untuk
mengisi formulir kuisioner ini dengan sebaik-baiknya. Jawaban Bapak/Saudara sangat
bermanfaat dalam penelitian ini dan sekaligus dapat juga digunakan sebagai masukan
terhadap pengelolaan kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan ini, khususnya
berguna untuk para pekerja dibagian ini. Jawaban dan data Bapak/Saudara akan terjamin
kerahasiaannya dan tidak akan mempengaruhi penilaian kinerja Bapak/Saudara.
Silakan Bapak/Saudara mengisi kuisioner ini dengan mengisi jawaban atau
memberikan tanda (√) pada tiap jawaban yang Bapak/Saudara pilih. Diharapkan
Bapak/Saudara mengisi kuisioner ini dengan lengkap dan jujur dan tidak perlu
menanyakan atau berdiskusi kepada rekan Bapak/Saudara terhadap jawaban yang
dipilih.
Terima Kasih
139
NoNoNoNo I. KaraI. KaraI. KaraI. Karakteristik Pekerjakteristik Pekerjakteristik Pekerjakteristik Pekerja JawabanJawabanJawabanJawaban
1. Nama Responden
2. Tanggal Lahir
3. Stasiun
II. Masa KerjaII. Masa KerjaII. Masa KerjaII. Masa Kerja
1. Sudah berapa lama Anda bekerja di
perusahaan ini
2. Sudah berapa lama Anda bekerja di
APC
3. Apakah sebelumnya Anda pernah
bekerja di bagian atau departemen
lain di perusahaan ini
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Jika Ya, berapa lama …………
4. Apakah sebelumnya Anda pernah
bekerja sebagai perakit di
perusahaan lain
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Jika Ya, berapa lama …………
III. Kebiasaan MerokokIII. Kebiasaan MerokokIII. Kebiasaan MerokokIII. Kebiasaan Merokok
1. Apakah Anda pernah Merokok Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
2. Jika Ya, apakah sekarang Anda
masih merokok
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Jika Tidak, lanjut ke no 5
3. Jika Ya, berapa banyak rokok yang
Anda habiskan setiap hari (batang)
4. Sudah berapa lama Anda merokok
5. Jika Tidak, sudah berapa lama
Anda berhenti merokok
6. Saat Anda masih merokok, berapa
banyak rokok yang Anda habiskan
setiap hari
IV. Keluhan MSDsIV. Keluhan MSDsIV. Keluhan MSDsIV. Keluhan MSDs
1. Apakah selama Anda bekerja
pernah merasakan pegal-pegal,
nyeri, kesemutan, mati rasa, kaku,
kramp, gatal dan sakit pada bagian
tubuh
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Jika Tidak, SELESAI
140
Mohon jawab dengan memberikan tanda (√) dan mohon jawab setiap pertanyaan yang Bapak/Saudara pernah
alami/rasakan pada bagian tubuh Bapak.
L (Kiri), R (Kanan).
NO JENIS KELUHAN
Selama bekerja berapa kali Anda merasakan sakit atau nyeri pada bagian tubuh Setiap Hari
1-3 kali /minggu
1-3 kali /bulan
1-3 kali /tahun
1 Sakit/kaku di leher
2 & 3 Sakit di bahu
4 & 6 sakit pada lengan
atas
5 sakit punggung
7 Sakit pada pinggang
8 Sakit pada bokong
9 Sakit pada pantat
10 & 11 Sakit pada siku
12 & 13 sakit pada lengan
bawah
14 & 15 sakit pada
pergelangan tangan
16 & 17 sakit pada jari-jari
18 &19 sakit pada paha
20 & 21 sakit pada lutut
22 & 23 sakit pada betis
24 & 25 sakit pada
pergelangan kaki
26 & 27 sakit pada jari kaki
141
142
A. Univariat 1. Pekerjaan
Statistics
act level70
0
,87
1,00
,779
0
3
Valid
Missing
N
Mean
Median
Std. Deviation
Minimum
Maximum
act level
24 34,3 34,3 34,3
33 47,1 47,1 81,4
11 15,7 15,7 97,1
2 2,9 2,9 100,0
70 100,0 100,0
sangat tinggi
tinggi
sedang
rendah
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
2. Umur
Statistics
umur responden70
0
,41
,00
,496
0
1
Valid
Missing
N
Mean
Median
Std. Deviation
Minimum
Maximum
umur responden
41 58,6 58,6 58,6
29 41,4 41,4 100,0
70 100,0 100,0
>= 35
< 35
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
143
3. Kebiasaan merokok
N Valid 70
Missing 0
Mean ,49
Median ,00
Std. Deviation ,503
Minimum 0 Maximum 1
rokok2ktgri
4. Masa kerja � Uji normalitas
Case Processing Summary
70 100,0% 0 ,0% 70 100,0%masa kerja dlm blnN Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Descriptives
147,39 14,901
117,66
177,11
142,47
174,00
15542,501
124,670
4
384
380
195
,329 ,287
-1,090 ,566
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
masa kerja dlm blnStatistic Std. Error
Tests of Normality
,200 70 ,000 ,876 70 ,000masa kerja dlm blnStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid merokok 36 51,4 51,4 51,4
tidak merokok 34 48,6 48,6 100,0 Total 70 100,0 100,0
144
5. Keluhan MSDs
N Valid 70 Missing 0
Mean ,07 Median ,00 Std. Deviation ,259 Minimum 0 Maximum 1
B. Bivariat 1. Pekerjaan � keluhan MSDs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent act level * msds 2ktgri 70 100,0% 0 ,0% 70 100,0%
act level * msds 2ktgri Crosstabulation
msds 2ktgri Total
mengeluh tidak
mengeluh mengeluh act level
sangat tinggi Count 22 2 24 % within act level 91,7% 8,3% 100,0%
tinggi Count 31 2 33 % within act level 93,9% 6,1% 100,0%
sedang Count 10 1 11 % within act level 90,9% 9,1% 100,0%
rendah Count 2 0 2 % within act level 100,0% ,0% 100,0%
Total Count 65 5 70 % within act level 92,9% 7,1% 100,0%
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid mengeluh 65 92,9 92,9 92,9
tidak mengeluh 5 7,1 7,1 100,0 Total 70 100,0 100,0
145
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Pearson Chi-Square ,326(a) 3 ,955 Likelihood Ratio ,465 3 ,927 Linear-by-Linear Association ,045 1 ,831
N of Valid Cases 70
a 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,14.
2. Umur � keluhan MSDs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent umur responden * msds 2ktgri 70 100,0% 0 ,0% 70 100,0%
umur responden * msds 2ktgri Crosstabulation
msds 2ktgri Total
mengeluh tidak
mengeluh mengeluh umur responden >= 35 Count 40 1 41
% within umur responden 97,6% 2,4% 100,0% < 35 Count 25 4 29
% within umur responden 86,2% 13,8% 100,0% Total Count 65 5 70
% within umur responden 92,9% 7,1% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3,301(b) 1 ,069 Continuity Correction(a) 1,811 1 ,178
Likelihood Ratio 3,353 1 ,067 Fisher's Exact Test ,152 ,090 Linear-by-Linear Association 3,254 1 ,071
N of Valid Cases 70
146
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,07. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for umur responden (>= 35 / < 35) 6,400 ,676 60,573
For cohort msds 2ktgri = mengeluh 1,132 ,971 1,319
For cohort msds 2ktgri = tidak mengeluh ,177 ,021 1,502
N of Valid Cases 70
3. Kebiasaan merokok � keluhan MSDs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent rokok2ktgri * msds 2ktgri 70 100,0% 0 ,0% 70 100,0%
rokok2ktgri * msds 2ktgri Crosstabulation
msds 2ktgri Total
mengeluh tidak
mengeluh mengeluh rokok2ktgri merokok Count 32 4 36
% within rokok2ktgri 88,9% 11,1% 100,0% tidak merokok Count 33 1 34
% within rokok2ktgri 97,1% 2,9% 100,0% Total Count 65 5 70
% within rokok2ktgri 92,9% 7,1% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,760(b) 1 ,185 Continuity Correction(a) ,743 1 ,389
Likelihood Ratio 1,886 1 ,170 Fisher's Exact Test ,358 ,197 Linear-by-Linear Association 1,735 1 ,188
N of Valid Cases 70 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,43.
147
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for rokok2ktgri (merokok / tidak merokok) ,242 ,026 2,288
For cohort msds 2ktgri = mengeluh ,916 ,805 1,042
For cohort msds 2ktgri = tidak mengeluh 3,778 ,444 32,128
N of Valid Cases 70 Masa kerja mann-whitney
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum masa kerja dlm bln 70 147,39 124,670 4 384 msds 2ktgri 70 ,07 ,259 0 1
Ranks
msds 2ktgri N Mean Rank Sum of Ranks masa kerja dlm bln mengeluh 65 36,45 2369,00
tidak mengeluh 5 23,20 116,00 Total 70
Risk Estimate Test Statistics(b)
masa kerja
dlm bln Mann-Whitney U 101,000 Wilcoxon W 116,000 Z -1,406 Asymp. Sig. (2-tailed) ,160 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,169(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: msds 2ktgri
148
149
150
top related