sorghum vulgare - universitas...
Post on 03-Feb-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu jenis serealia.
Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987) dalam Sukarminah (2014), tanaman
sorgum memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Kingdom: Plantae,
Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo:
Poales, Famili: Poaceae (Gramineae), Genus: Andropogon, Species: Sorghum
bicolor L. Moench.
Negara yang banyak menghasilkan sorgum adalah India, Cina, Nigeria,
dan Amerika Serikat (Sirappa, 2003). Keuntungan dari budidaya sorgum adalah
mudah, murah, daya adaptasi yang luas, dan juga dapat dimanfaatkan di lahan
marginal (Suarni dan Firmansyah, 2007). Sorgum juga dapat dimanfaatkan
sebagai pakan, pangan, dan bahan industri (contoh: gula, MSG, asam amino)
(Sirappa, 2003).
Jenis tanaman sorgum sangat beragam, beberapa diantaranya adalah
sorgum berumur pendek atau semusim (Sorghum vulgare), sorgum makanan
ternak, sorgum penghasil biji non saccharing, sorgum sapu, sorgum rumput dan
sorgum tahunan. Jenis sorgum tahunan tidak memiliki biji sehingga biasa
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jenis sorgum penghasil biji non saccharing
menghasilkan biji yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak (Suprijadi,
2012).
8
Biji sorgum memiliki beberapa bagian, diantaranya pada bagian paling
luar terdapat lapisan perikarp, endosperma, dan lembaga. Lapisan perikarp terdiri
dari tiga bagian, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Endosperma terdiri dari
jaringan aleuron, jaringan periferal, endosperma corneous, dan endosperma
floury. Lembaga terdiri dari bakal embrio dan skutelum (Sukarminah, 2014).
Morfologi biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi Irisan Melintang Biji Sorgum.
(Sumber: Rooney dan Miller, 1982 dalam Sukarminah, 2014)
Biji sorgum berbentuk bulat dan memiliki beberapa variasi warna,
diantaranya warna putih, putih kecoklatan, merah dan coklat (Suarni dan
Firmansyah, 2007). Warna biji sorgum dipengaruhi oleh warna dan ketebalan
perikarp, ketersediaan pigmen testa, dan juga pigmen pada endosperma (Rooney
& Murty, 1982 dalam Sukarminah, 2014). Warna sorgum yang berbeda-beda ini
memiliki kandungan tanin yang berbeda, yaitu berdasarkan warna perikarp
dikenal 4 jenis sorgum dengan kandungan tanin yang berbeda yaitu sorgum putih
(tanin 0,25-0,46%), sorgum kuning (tanin 0,25-0,3%), sorgum berwarna krem
9
(tanin 0,26-0,67%) dan sorgum merah (tanin 0,45-2,92%) (Osuntogun, 1989
dalam Suprijadi, 2012).
Sorgum putih varietas lokal Bandung memiliki ciri-ciri fisik berbentuk
bulat dengan ukuran 4,54 x 4,32 x 2,64 mm. Sperisitas biji sorgum rata-ratanya
adalah 0,82. Warna dari biji sorgum putih ini abu-abu kuning kecoklatan, tidak
cerah, dan hilum agak besar berwarna hitam kecoklatan. Perikarp dari biji sorgum
yaitu 0,18 mm. Persentase endorsperma corneus biji sorgum adalah 57,03%. Berat
dari 1000 butir biji adalah 36,08 gram (Sukarminah, 2014).
Kandungan gizi biji sorgum bergantung pada varietas dan lokasi
penanaman. Contohnya kandungan nutrisi varietas numbu berbeda dengan
varietas lokal wajo dan lokal bandung. Varietas numbu memiliki komposisi
nutrisi air 12,10%; abu 2,42; protein 8,07%; serat kasar 2,59%; lemak 1,45%; dan
karbohidrat 75,66%. Varietas lokal wajo I memiliki komposisi nutrisi air 11,45%;
abu 2,18%; protein 8,97%; serat kasar 3,01%; lemak 2,96%; dan karbohidrat
74,44% (Suarni, 2016). Varietas lokal bandung memiliki komponen nutrisi air
10,6%; abu 2,80%; protein 10,38%; serat kasar 5,18%; lemak 2,80%; dan
karbohidrat 73,39% (Sukarminah, 2014).
Secara umum, biji sorgum mengandung abu 1,6 gram /100 gram, lemak
3,1 gram /100 gram, protein 10,4 gram /100 gram, karbohidrat 70,7 gram /100
gram, serat kasar 2,0 gram /100 gram, dan energi 329 kcal /100 gram (Direktorat
Gizi, 1992 dalam Suarni, 2012). Komponen nutrisi yang terdapat dalam
komponen biji sorgum dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan pati terbesar
10
terletak pada bagian endosperma sorgum, yaitu 82,5% sehingga biasa
dimanfaatkan sebagai tepung.
Tabel 1. Nutrisi Biji Sorgum.
Bagian Biji Komposisi Nutrisi (%)
Pati Protein Lemak Abu Serat Kasar
Biji utuh 73,8 12,3 3,60 1,65 2,2
Endosperma 82,5 12,3 0,63 0,37 1,3
Kulit biji 34,6 6,7 4,90 2,02 8,6
Lembaga 9,8 13,4 18,90 10,36 2,6
(Sumber: Hubbard dkk, 1968 dalam Suarni dan Firmansyah, 2007)
Menurut Beti dkk (1990) dalam Sirappa (2003), sorgum mengandung
karbohidrat sebanyak 73 gram/100 gram sorgum. Kandungan karbohidrat dalam
sorgum adalah pati, pati resisten, dan polisakarida. Kandungan pati dalam sorgum
cukup tinggi, yaitu sekitar 50-75% (Suarni dan Firmansyah, 2013).
Kandungan serat pangan pada sorgum adalah 2-9% (Suarni, 2016). Serat
pangan dalam sorgum yang umum adalah selulosa dan hemiselulosa. Serat pangan
pada sorgum mengandung serat larut dan tidak larut. Serat tidak larut berfungsi
untuk mempertebal kekambaan campuran makanan dalam saluran pencernaan dan
juga mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama penyakit saluran
pencernaan (Astawan dan Wresdiyati, 2004).
Pati resistan adalah salah satu bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam
usus halus, namun dapat difermentasi dalam usus besar (Suprijadi, 2012).
Kandungan serat pangan dan pati resisten pada sorgum ini dapat bermanfaat
sebagai prebiotik pada pangan fungsional.
Kandungan mineral yang terkandung dalam sorgum diantaranya Fe, Ca, P,
dan Mg. Mineral Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah, Ca untuk
11
membentuk tulang, P untuk pemeliharaan kesehatan tulang, dan Mg untuk
mempertahankan kerja jantung (Suarni dan Firmansyah, 2007).
Sorgum memiliki kelemahan, yaitu kandungan taninnya yang cukup
tinggi. Menurut Suarni dan Firmansyah (2007) kandungan tanin dalam biji
sorgum mencapai 0,30-10,60%. Tanin yang terkandung dalam sorgum merupakan
senyawa antinutrisi yang dapat merugikan sistem pencernaan manusia. Tanin pada
sorgum ini dapat menurunkan daya cerna karbohidrat dan protein, sehingga
penyerapan karbohidrat dan protein menjadi tidak sebanding dengan jumlahnya
yang tersedia dalam biji sorgum (Suarni dan Subagio, 2013).
Kandungan tanin pada sorgum ini memengaruhi cita rasa karena akan
menimbulkan rasa sepat. Rasa sepat ini muncul karena reaksi antara tanin dan
protein yang terdapat pada air liur manusia. Namun, kandungan tanin dalam
sorgum tersebut dapat dikurangi melalui penyosohan.
Penyosohan adalah pemisahan kulit biji dan testa dari endosperma biji
sorgum (Rooney dan Miller, 1982 dalam Sukarminah, 2014). Bagian sorgum yang
mengandung banyak tanin adalah perikarp dan testa yang merupakan lapisan kulit
biji, sehingga penyosohan dapat mengurangi kadar tanin pada biji sorgum.
Menurut Suprijadi (2012), penyosohan dan perendaman pada larutan Na2CO3
0,3% menurunkan kadar tanin sebesar 95%.
2.1.1 Tepung Sorgum
Salah satu pengolahan sorgum adalah menjadikannya tepung sorgum.
Tepung sorgum dapat dibuat dengan cara penepungan basah dan penepungan
12
kering, tetapi penepungan basah menghasilkan rendemen yang lebih banyak
dibandingkan penepungan kering karena komponen-komponen dalam sorgum
mengembang (seperti protein, lemak, dan pati) (Suarni, 2016).
Pembuatan tepung sorgum terdiri 7 tahap, yaitu pembersihan biji,
penyosohan biji menjadi beras, pembasahan beras (conditioning), penggilingan,
pengayakan, pengeringan, dan pengemasan (Mardawati dkk., 2010). Biji
dibersihkan untuk menghilangkan kontaminan (fisik) seperti daun kering, debu,
benda asing, dan sebagainya. Penyosohan biji sorgum bertujuan untuk
menghilangkan kulit biji yang sebaiknya dilakukan dengan lama penyosohan
antara 6-8 menit (Sukarminah, 2014). Conditioning adalah pengondisian biji
sorgum, salah satunya dengan cara pembasahan yang bertujuan untuk
memudahkan penggilingan. Penggilingan dilakukan dengan mesin penepung yaitu
hammer mill atau disc mill. Pengayakan dilakukan di atas 80 mesh. Pengeringan
dilakukan agar kadar air tepung di bawah 12% sehingga memiliki umur simpan
yang lama (Mardawati dkk., 2010).
Tepung sorgum whole meal dengan lama penyosohan 10 menit
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aghnia (2015) merupakan tepung
sorgum dengan nilai gizi terbaik. Tepung sorgum tersebut mengandung 1,91%
(b.b) serat kasar, 11,46% (b.k) kadar air, 1,32% (b.b) kadar abu, dan 55,83% (b.b)
kadar pati. Menurut Suarni (2004), secara umum tepung sorgum memiliki nilai
gizi 3,65% lemak dan 10,11% protein.
Tepung sorgum pemanfaatannya dalam industri pangan dapat digunakan
sebagai bahan substitusi terigu, seperti pada pembuatan kue kering dapat
13
dilakukan substitusi tepung sorgum hingga 50-80%, kue basah 40-50%, roti 20-
25% dan mi 15-20%. (Suarni, 2004 dalam Suprijadi, 2012). Tepung sorgum di
Indonesia juga digunakan dalam pembuatan kue kering (cookies), kue basah
(cake), roti tawar, nagasari, apem, lemper, wajik, dodol, klepon, dan sebagainya
(Suarni, 2004).
2.2 Minuman Sinbiotik
Minuman sinbiotik merupakan salah satu pangan fungsional. Minuman
sinbiotik dapat dikatakan pangan fungsional karena dapat memberikan fungsi
kesehatan bagi tubuh, yaitu salah satunya fungsi gastro intestinal, seperti
seimbangnya mikroflora dalam kolon (Roberfroid, 2000). Menurut Muchtadi
(2012), fungsi dasar pangan fungsional adalah sensory (penampilan dan citarasa
yang enak), nutritional (bergizi tinggi), dan physiological (memberikan pengaruh
fisiologis bagi tubuh).
Minuman sinbiotik adalah minuman yang mengandung prebiotik dan
probiotik. Mekanisme minuman sinbiotik dapat dijadikan pangan fungsional yaitu
kandungan prebiotik akan difermentasi oleh bakteri probiotik di dalam usus besar
sehingga probiotik dapat tumbuh di dalam usus besar. Dengan bertumbuhnya
probiotik dalam usus, pertumbuhan bakteri jahat dapat dicegah karena bersaing
dengan bakteri probiotik (Cho dan Finocchiaro, 2010).
Kualitas minuman sinbiotik tepung sorgum yang baik memiliki pH netral
(6—7), berwarna putih keruh kecoklatan, aroma gurih, rasa manis, tidak kental,
dan jumlah bakteri probiotiknya tidak kurang dari 107 CFU/mL (Sukarminah dkk.,
14
2017). Kualitas dari minuman sinbiotik ini tentunya dapat menurun seiring
dengan lamanya penyimpanan. Lama produk dapat disimpan ini disebut dengan
umur simpan.
Umur simpan produk minuman sinbiotik ditentukan oleh lama keamanan
produk untuk dikonsumsi, lama fungsi fungsional produk tetap sesuai aturan, dan
waktu penerimaan sifat sensorinya oleh konsumen (Robertson, 2013). Faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam minuman sinbiotik adalah jumlah bakteri
probiotik, jumlah bakteri asam laktat, pH, dan viskositas.
2.2.1 Prebiotik
Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dicerna oleh tubuh namun
bermanfaat bagi inang yang secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau
aktivitas satu atau sejumlah bakteri (probiotik) dalam usus besar (Roberfroid,
2000). Kualifikasi prebiotik menurut Hill dkk. (2017) yaitu prebiotik bukanlah
organisme atau obat dan memberikan efek pada mikroorganisme sehingga
memberikan manfaat saat mengonsumsinya.
Syarat prebiotik menurut De Vrese dan Scherezenmeir (2008) dalam
Anadón dkk. (2016) adalah nondigestibility atau tidak dapat dicerna karena tahan
terhadap pH asam lambung yang rendah, dapat difermentasi oleh mikroorganisme
dalam usus, dan menstimulasi pertumbuhan juga aktivitas bakteri usus. Prebiotik
harus memiliki efek selektif pada mikroorganisme. Efek prebiotik pada tubuh
tergandung pada jenis dan konsentrasi prebiotik, serta ketersediaan bakteri
probiotik dalam usus.
15
Tidak semua karbohidrat termasuk dalam prebiotik, hanya karbohidrat
seperti inulin dan oligofruktos, (trans-) galakto-oligosakarida (TOS atau GOS),
atau laktulosa, gula tak tercerna atau semuanya yang tidak dapat dicerna tetapi
dapat difermentasi oleh flora usus (De Vrese dan Scherezenmeir, 2008 dalam
Anadón dkk., 2016). Contohnya biji sorgum mengandung oligosakarida yang
dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik.
Menurut Anadón dkk. (2016), mekanisme prebiotik dalam tubuh
diantaranya adalah meningkatkan asam lemak rantai pendek; meningkatnya berat
feses; penurunan konsentrasi racun, mutagenik, atau genotoksik dan metabolit
bakteri, serta enzim pemacu kanker; menurunkan pH usus; produksi asam butirat
yang dapat memperkuat regeneratif epitel usus; dan peningkatan kekebalan dan
modulasi produksi musin.
2.2.2 Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi inangnya
melalui dampaknya terhadap saluran pencernaan (usus) atau bermanfaat bagi
kesehatan inangnya (Roberfroid, 2000). Manfaat probiotik bagi tubuh adalah
meningkatkan pencernaan laktosa sehingga mengurangi gejala laktose intolerant,
meningkatkan kekebalan tubuh, menurunkan risiko mutagen, dan menurunkan
kolesterol (Roberfroid, 2000). Probiotik dalam usus bekerja menfermentasi
prebiotik sehingga dapat meningkatkan pencernaan yang baik, mempertahankan
pH usus yang tepat, dan dapat bersaing dengan bakteri patogen (Anandón dkk.,
2016).
16
Probiotik ini termasuk juga dalam kategori bakteri asam laktat (BAL),
tetapi tidak semua BAL merupakan probiotik. Bakteri asam laktat adalah bakteri
yang mengurai senyawa karbohidrat (glukosa) menjadi senyawa asam yang dapat
menurunkan pH dan menimbulkan rasa asam pada produk. Ciri-ciri BAL ini
diantaranya merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang atau kokus tunggal,
tidak berspora, toleran terhadap asam, dan anaerob fakultatif (Mozzi dkk., 2010
dalam Aisyah dkk., 2014). Beberapa jenis BAL diantaranya Bifidobacterium,
Propionibacterium, Bacillus, dan Lactobacillus yang juga merupakan probiotik.
Probiotik yang sering digunakan adalah Lactobacillus dan
Bifidobacterium. Mikroorganisme lain yang digunakan sebagai probiotik terutama
bakteri asam laktat heterogen, yaitu Lactobacilli (Lactobacillus acidophilus, L.
casei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus, L. salivarius); bifidobacteria
(Bifidobacterium breve, B. longum, B. lactis), Bacillus (Bacillus subtilis, B. cereus
var. toyoi), dan Enterococcus (E. faecium) (Anandón dkk., 2016).
Kelangsungan hidup probiotik perlu dijaga selama penyimpanan, proses
pengolahan, dan juga saat melalui lambung dan usus halus. Sehubungan dengan
hal tersebut, pemilihan bakteri probiotik ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
ketahanan terhadap enzim pankreas, efek pada kesehatan, keamanannya terjamin,
dan potensinya sebagai probiotik (Ouwehand dkk., 2002).
Bifidobacterium bifidum merupakan salah satu contoh bakteri probiotik
yang biasa digunakan dalam minuman sinbiotik. Bifidobacterium termasuk salah
satu bakteri asam laktat yang bersifat anaerobik dan gram positif. Bakteri ini
17
menghasilkan asam laktat dan asam asetat sebagai hasil fermentasinya. pH
optimal pertumbuhan Bifidobacterium adalah 6-7 (Utami, 2013).
B. bifidum memiliki aktivitas hidrolisis yang tinggi terhadap pati tidak
larut, hal tersebut berkaitan dengan sifat prebiotik yang merupakan senyawa
kompleks sehingga prebiotik dapat dihidrolisis dengan baik. Terhidrolisisnya
prebiotik ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas probiotik di dalam
usus besar (Cho & Finocchiaro, 2010).
Gambar 2. Bifidobacterium bifidum.
(Sumber: Scimat, 2016)
Viabilitas (kelangsungan hidup) bakteri probiotik ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya pH, asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, dan
kandungan oksigen terlarut dalam produk (Picot & Lacroix, 2004). Untuk
mempertahankan viabilitas bakteri probiotik dapat dilakukan mikroenkapsulasi.
Mikroenkapsulasi bakteri probiotik ini bertujuan untuk melindungi sel-sel bakteri
dari kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan eksternal, untuk meningkatkan
kelangsungan hidup selama transit gastroduodenal, dan untuk meningkatkan
stabilitas (Cho & Finocchiaro, 2010).
Hal yang harus diperhatikan dari mikroenkapsulasi probiotik adalah bahan
penyalut yang digunakan. Syarat bahan penyalut adalah dapat bercampur dan inert
18
(tidak mudah bereaksi) dengan bahan inti, memiliki kemampuan membentuk
lapisan fleksibel, kuat selama proses penyalutan dan lapisan salut yang dihasilkan
relatif tipis. Bahan penyalut yang biasa digunakan untuk menyalut bakteri berasal
dari golongan polisakarida seperti maltodekstrin dan susu skim. Kandungan
laktosa dalam susu akan melindungi kerusakan membran sel bakteri karena
laktosa akan berikatan dengan protein membran sel bakteri dan juga fosfolipid
(Buckle, 2009)
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang memiliki solubilitas
yang baik sehingga cocok digunakan sebagai penyalut. Maltodekstrin yang
digunakan agar bersifat higroskopis maka nilai DE harus tinggi. Jika nilai DE
rendah maka akan bersifat non-higroskopis. Nilai DE maltodekstrin adalah 3-20.
Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi
pati dalam satuan persen (Ningsih, 2017).
Teknik mikroenkapsulasi bakteri probiotik dapat dilakukan dengan freeze
drying. Freeze-drying adalah penghilangan air dengan sublimasi dari keadaan
beku (es) (Berk, 2018). Freeze-drying adalah teknik yang paling luas dalam
pelestarian mikroorganisme dalam bentuk kering. Teknik ini cocok untuk bahan
biologis yang sensitive (contoh: probiotik) karena dapat tekanan thermal yang
diberikan lebih sedikit pada material (Librán dkk., 2017).
Mekanisme freeze-drying adalah produk pertama dibekukan dan kemudian
mengalami tekanan vakum, sehingga es air menguap tanpa meleleh. Uap air yang
dilepaskan terkondensasi di permukaan kondensor pada suhu yang sangat rendah.
Panas yang dibutuhkan untuk sublimasi dipasok oleh radiasi atau konduksi. Jadi,
19
freeze-drying terjadi dalam dua tahap, yaitu sublimasi dan desorpsi uap air yang
diadsorpsi dalam matriks kering (Berk, 2018).
2.3 Pendugaan Umur Simpan
Produk pangan secara alamiah memiliki sifat perisable atau mudah rusak.
Sifat mudah rusak ini perlu diperlambat untuk memperpanjang umur simpannya
dengan pengolahan, melalui proses formulasi, pemrosesan, pengemasan,
penyimpanan, dan penanganan. Kerusakan yang dapat terjadi adalah perubahan
warna, rasa, tekstur, aroma, nutrisi (Singh & Anderson, 2004). Untuk itu, umur
simpan produk pangan perlu diketahui untuk memaksimalkan pemanfaatannya.
Umur simpan suatu produk sangat penting karena berkaitan dengan
keamanan pangan dan jaminan mutu kepada konsumen. Taoukis dan
Giannakourou (2004) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang
diperlukan oleh produk pangan setelah proses produksi (kondisi penyimpanan
yang ditetapkan) untuk mempertahankan kualitas mutu (organoleptik dan
kesehatan). Umur simpan suatu produk pangan wajib dicantumkan pada kemasan
dan diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan.
Menururt Hariyadi (2004), faktor yang berpengaruh pada umur simpan
suatu produk adalah bahan baku, sanitasi kondisi pengolahan, kondisi pengemas,
kondisi penyimpanan, distribusi, dan penjajahan. Mutu dan kondisi penanganan
bahan baku perlu diperhatikan karena turut memengaruhi umur simpan produk.
Pemilihan bahan pengemas juga termasuk faktor yang harus diperhatikan. Kondisi
20
penyimpanan juga terutama hal-hal seperti suhu, kelembaban, dan cahaya perlu
diperhatikan karena dapat menyebabkan penurunan umur simpan produk.
Umur simpan produk pangan dapat diketahui melalui penelitian secara
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT).
Metode ESS adalah penentuan umur simpan dengan menyimpan produk pada
kondisi penyimpanan sebenarnya. Metode ESS ini memiliki keuntungan, yaitu
hasil yang didapatkan tepat, namun kekurangannya adalah membutuhkan biaya
yang cukup besar dan juga membutuhkan waktu lama. Metode ASLT adalah
pendugaan umur simpan dengan memodifikasi lingkungan penyimpanan sehingga
produk cepat mengalami kerusakan (Arpah dan Syarief, 2000 dalam Arif, 2016).
Metode ASLT ini merupakan metode untuk memprediksi umur simpan
dalam kondisi normal berdasarkan data yang dikumpulkan pada suhu tinggi atau
dalam kondisi kelembaban tinggi (Mizrahi dkk., 1970 dikutip dalam Singh dkk.,
2000). Kondisi suhu yang dimodifikasi ini (tinggi) merupakan pendugaan umur
simpan ASLT yang kemudian dilakukan ekstrapolasi hasil ke kondisi
penyimpanan reguler melalui penggunaan persamaan Arrhenius, yang mengurangi
waktu pengujian (Singh dkk., 2000).
Variabel yang menyebabkan kerusakan pada produk yang berbasis susu
adalah suhu. Oleh karena itu, dalam pendugaan umur simpan produk berbasis
susu cocok digunakan metode ASLT dengan model Arrhenius, yaitu
meningkatkan suhu penyimpanan sehinga dapat mempercepat kerusakan. Model
Arrhenius telah banyak digunakan untuk menggambarkan pengaruh suhu pada
penurunan mutu produk.
21
Penentuan umur simpan dengan persamaan Arrhenius ini dilakukan
dengan beberapa tahap, yaitu penentuan parameter penilaian, penentuan suhu
pengujian, prakiraan waktu, frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai
ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendungaan umur
simpan sesuai batas akhir penurunan mutu (Kusnandar, 2004 dikutip dalam
Herawati, 2008). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan 1 (Taoukis
dkk., 2004).
𝑘𝑇 = 𝑘0e(−Ea
RT)........................................ (1)
dimana:
kT= laju reaksi pada suhu T
k0= konstanta Arrhenius atau konstanta laju kinetik pre-eksponensial
Ea= energi aktivasi (Joule/g mol atau kalori/mol)
R= konstanta gas universal (1,9872 cal/mol K)
T= suhu penyimpanan (K)
Untuk memperkirakan pengaruh suhu pada laju reaksi penurunan mutu,
nilai k didapatkan dari temperatur yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan Ea,
maka harus memetakan hubungan antara (1/T) terhadap ln k dan nilai slope dari
persamaan regresinya adalah nilai energi aktivasi per satuan gas ideal. Nilai energi
aktivasi yang didapat menyatakan pengaruh temperatur terhadap reaksi.
Persamaan dari hubungan tersebut dapat dilihat pada persamaan 2.
ln kt= ln k0− (𝐸𝑎
𝑅) (
1
𝑇)................................................ (2)
dimana:
kt= konstanta laju reaksi penurunan mutu
22
Nilai energi aktivasi (Ea) ini dapat menunjukkan besarnya pengaruh
temperatur terhadap reaksi yang terjadi. Energi aktivasi ini sering diartikan
sebagai suatu tingkat energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu
reaksi tertentu (Hariyadi, 2004). Besarnya energi aktivasi ini dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu (1) kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk karena
kerusakan karotenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak; (2) sedang (Ea 15-30
kkal/mol), kerusakan produk karena kerusakan vitamin, pigmen larut air, dan
reaksi Mailard; (3) Besar (Ea 30-100 kkal/mol), kerusakan produk karena
denaturasi enzim, inaktivasi mikroba, dan sporanya.
Nilai konstanta laju reaksi kimia (k) dipengaruhi oleh suhu baik ordo 0
maupun ordo 1. Secara umum, reaksi kimia akan berlangsung lebih cepat pada
suhu tinggi. Sehingga nilai konstanta laju reaksi kimia akan semakin besar jika
suhunya juga ditingkatkan.
Ordo yang biasa digunakan pada laju reaksi kimia yang dapat memicu
kerusakan pada produk pangan adalah ordo 0 dan ordo 1. Menurut Salim (2014),
kerusakan yang biasa terjadi pada ordo 0 adalah kerusakan enzimatis dan oksidasi
yang terjadi secara konstan. Kerusakan yang terjadi pada ordo 1 biasanya adalah
ketengikan, pertumbuhan mikroorganisme, produksi off-flavour oleh mikroba
(pada daging, ikan dan unggas), kerusakan vitamin, penurunan mutu protein,
karbohidrat dan perubahan kadar air. Ordo nol didapatkan dengan memetakan
hubungan antara nilai k dengan lama penyimpanan, sedangkan ordo satu
didapatkan dengan memetakan hubungan antara ln k dengan lama penyimpanan
(Arif, 2016). Pemilihan ordo reaksi yang digunakan pada suatu parameter
23
tergantung pada jumlah R2 yang dominan pada suatu ordo pada temperatur yang
sama (Haryati dkk., 2015).
Kecepatan penurunan mutu yang terjadi pada reaksi ordo 0 dapat
dikatakan dalam persamaan 3.
𝑑𝐶
𝑑𝑡=k .......................................... (3)
Persamaan 3 kemudian diintegralkan menjadi persamaan 4.
𝐶𝑡 = 𝐶0 + kt ............................... (4)
dimana:
Ct= nilai mutu pada masa akhir umur simpan
C0= nilai mutu awal
k= konstanta laju reaksi
t= umur simpan
Kecepatan penurunan mutu yang terjadi pada reaksi ordo 1 dapat
dikatakan dalam persamaan 5.
𝑑𝐶
𝑑𝑡= 𝑘[𝐶]1 .................................. (5)
Persamaan 5 kemudian diintegralkan menjadi persamaan 6.
ln Ct = 𝐶0 +kt ............................. (6)
top related