sosialisasi pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma di desa karyasari dan wonosobo
Post on 27-Oct-2015
153 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA
KARYASARI DAN WONOSOBO
Oleh : Gusmailina
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
ABSTRAK
Gulma merupakan bahan yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja,
keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang.
Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat untuk
diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan sebagai suplai bahan
organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma menjadi kompos dan arang
kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor
dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Tulisan ini menyajikan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif
dengan memanfaatkan gulma atau tumbuhan pengganggu sebagai bahan baku utama.
Tujuannya untuk memperkenalkan dan menjelaskan teknik pengadaan kompos dan arang
kompos dengan menggunakan bahan yang ada disekitarnya langsung pada masyarakat
khususnya petani. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa gulma sebagai tumbuhan
pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos
secara sederhana, murah, cepat dengan kandungan unsur hara cukup baik, dengan waktu
pengomposan satu minggu.
Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi
1
1
LEMBAR ABSTRAK
SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang sering dijumpai dan keberadaannya
mengganggu tanaman budidaya, oleh karena itu harus disingkirkan dan dibuang.
Memanfaatkan gulma menjadi kompos dan arang kompos merupakan solusi yang tepat,
karena lahan budidaya akan bebas dari tumbuhan pengganggu. Di samping itu juga akan
diperoleh produktivitas lahan berkualitas secara mudah, murah dan cepat. Tulisan ini
menyajikan tentang kegiatan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos dari gulma di
dua lokasi kelompok masyarakat tani (Karyasari dan Wonosobo).
Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi
2
2
ABSTRACT SHEET
SOCIALIZATION ON THE MANUFACTURE OF COMPOST AND BIOACTIVE
COMPOST CHARCOAL FROM WILD WEEDS AT KARYASARI AND WONOSOBO
Wild weeds are often described as disturbing plants and therefore unwelcome.
Consequently, those weeds should be eradicated and discarded. Utilization of disturbing
weeds into compost and bioactive charcoal compost is regarded as one solution. This this
because this endeavor can clear their former growth areas free of disturbances, and in
addition allow to acquire area productivity with high quality easily, cheaply, and fast. In
relevant, this article deals with activities of manufacturing compost and bioactive charcoal
compost from wild weeds taking place on two locations of farmer groups (Karyasari and
Wonosobo).
Keyword: Socialization, wild and disturbing weeds, compost and ,bioactive charcoal
compost, useful, products.
3
3
I. PENDAHULUAN
Sebelum pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh ditemukan, kebanyakan
petani di berbagai negara umumnya menanam tumbuhan yang berfungsi sebagai pupuk hijau.
Selain dibuat kompos, juga digunakan pupuk kandang dengan mengembalikan sisa panen ke
dalam tanah sehingga kadar bahan organik tetap terpelihara. Seiring dengan meningkatnya
pertambahan penduduk, para ahli dan praktisi pertanian berusaha keras meningkatkan
produksi pertanian dengan jalan menanam benih unggul, memperkenalkan pupuk kimia,
pemberian zat pengatur tumbuh, dan penggunaan pestisida. Di samping itu ada yang sama
sekali tidak mengembalikan sisa panen ke dalam tanah sebagai bahan organik, sehingga
kadar C-organik tanah semakin merosot.
Dampak dari kebiasaan tersebut akan terjadi perubahan pola pikir petani terhadap
aplikasi pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh dalam dosis dan ketergantungannya
yang tinggi. Para petani konvensional beranggapan bahwa suatu produk pertanian tidak
mungkin dihasilkan tanpa memakai pupuk kimia, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Petani
telah lupa bahwa untuk menghasilkan produksi tidak hanya tergantung pada pupuk, pestisida
dan zat pengatur tumbuh saja namun juga harus diperhitungkan kecukupan bahan organik
dalam tanah. Hingga saat ini perhatian petani dalam memanfaatkan pupuk organik masih
sangat rendah, bahkan sering dijumpai kebiasaan memusnahkan bahan organik melalui cara
pembakaran. Pemusnahan bahan organik ini, akan mempercepat berkurangnya bahan organik
tanah dan berakibat negatif terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang sangat diperlukan
bagi kesuburan tanah.
Untuk mengaplikasikan bahan organik ke areal yang luas juga membutuhkan
persediaan bahan organik yang sangat besar, sebagai contoh untuk meningkatkan hasil jagung
sebesar 1.292 kg/ha diperlukan kompos sebanyak 30.4 ton/ha (Anonim, 1987 dalam Away, et
4
4
al., 1997). Jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia peningkatan hasil sebesar
itu mungkin hanya menggunakan beberapa ratus kilogram pupuk kimia per hektar saja.
Sejalan dengan pemakaian bahan organik yang sangat besar tersebut, ada kendala lain yang
juga dirasakan oleh petani yaitu pada saat bahan organik diaplikasikan ke suatu areal
penanaman membutuhkan biaya pengangkutan yang besar pula. Namun apapun alasannya
kecukupan bahan organik akan memberikan kondisi baik untuk mempertahankan atau
meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah bisa menurun akibat pemupukan kimia
yang tidak seimbang dengan tingkat keberadaan bahan organik di tanah. Apalagi tidak diikuti
dengan adanya pemberian bahan organik ke dalam tanah, struktur tanah akan menjadi
semakin rusak.
Masalah utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana caranya menyediakan bahan
organik dalam jumlah besar (1-20 ton/ha), sementara tanah yang akan dibudidayakan
jumlahnya lebih dari seratus ribu hektar. Tentunya diperlukan suatu konsep penyediaan
bahan organik secara sederhana dan murah agar petani mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri. Jika konsep swasembada bahan organik dapat diterapkan oleh petani secara luas,
dengan sendirinya penerapan sistem pertanian dengan biaya rendah dan ramah lingkungan
akan dapat segera terwujud secara berkesinambungan.
Gulma atau tumbuhan liar dalam suatu kawasan budidaya biasanya selalu dibuang
atau di bakar, karena mengganggu tanaman yang diusahakan dan akan menimbulkan
kompetisi dalam pengambilan unsur hara dalam tanah dengan tanaman pokok. Akibatnya
pertumbuhan tanaman pokok bisa kalah bersaing dan menjadi kerdil. Oleh sebab itu kepada
petani disarankan agar gulma dimanfaatkan menjadi kompos atau arang kompos sebagai
penyedia bahan organik bagi lahan budidaya. Potensi gulma cukup banyak, beragam dan
hampir selalu ada di lingkungan baik di perumahan, kebun, sawah, atau perkebun hutan
rakyat, sehingga para petani tidak sulit untuk mendatangkan bahan baku. Jenis tumbuhan
5
5
gulma bervariasi tergantung lokasi, biasanya dari jenis rumput-rumputan (Graminae), ilalang,
sejenis tumbuhan menjalar, Ageratum sp, ki pait, bahkan dedaunan seperti pisang juga dapat
dijadikan sebagai bahan utama. Oleh sebab itu gulma atau tumbuhan liar adalah bahan baku
yang cukup potensial dan dapat dimanfaatkan petani untuk dibuat kompos maupun arang
kompos pengganti pupuk kimia.
Salah satu prinsip pelestarian lingkungan hidup dalam menunjang pertanian dan
kehutanan yang berkelanjutan, adalah memanfaatkan sumberdaya yang sebelumnya tidak
dimanfaatkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa aktivitas dengan tujuan untuk
mensosialisasikan teknologi penyediaan kompos dan arang kompos dengan menggunakan
bahan baku utamanya gulma dengan cara peragaan dan demontrasi. Diharapkan tulisan ini
dapat memberi inspirasi bagi petani atau masyarakat lainnya yang berminat untuk melakukan
kegiatan tersebut.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah gulma, aktivator pengomposan, arang serbuk
gergaji, arang sekam, jerami, kotoran hewan, daun pisang tua, dan seresah beberapa jenis
tanaman kehutanan.
Sedangkan alat yang dipakai adalah karung plastik, sekop dan cangkul untuk mencampur
atau mengaduk.
B. Lokasi Kegiatan
Pembuatan kompos dari gulma dilaksanakan di :
Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah), sedangkan
pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma dilakukan di Desa Karyasari, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Di desa ini gulma diolah menjadi arang
kompos bioaktif yang selanjutnya diaplikasikan pada tanaman Murbei.
6
6
C. Prosedur Pelaksanaan
1. Pembuatan kompos dari gulma di Desa Angestitani (lokasi 1).
Di desa ini gulma hanya diolah menjadi kompos saja dengan menggunakan
aktivator orgadec. Gulma diperoleh dari sekitar kebun petani dan dicacah secara
manual dengan golok/parang menjadi berukuran 2.5 - 5.0 cm. Aktivator orgadec
digunakan sebagai biang untuk mempercepat proses pengomposan dengan dosis 0.5%
(b/b) atau 5 kg OrgaDec per 1 ton gulma. Cara pencampuran dilakukan dengan
menaburkan bioaktivator pada tumpukan cacahan bahan kemudian diaduk dengan
cangkul/garpu sampai merata. Selanjutnya disiram dengan air guna memperoleh
kelembaban yang cukup (35 - 50%). Bahan kompos secara bertahap ditempatkan
dalam wadah plastik sambil dipadatkan sampai wadah terisi penuh dengan bahan
kompos (kurang lebih 1 meter) kemudian ditutup. Wadah kompos dibiarkan seminggu
dan diusahakan jangan sampai langsung kena air hujan (Gambar 1 dan 2).
2. Pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma di Desa Karyasari (lokasi 2).
Di lokasi ini banyak ditemukan limbah serbuk gergaji atau sekam, sehingga
disarankan membuat arang kompos bioaktif. Selain gulma juga ditambahkan jerami
dan kotoran hewan kambing dan ayam. Pembuatan arang kompos bioaktif gulma
juga menggunakan aktivator orgadec sebagai pemacu pengomposan (Goenadi dan
Away, 1995). Proses diawali dengan membuat arang dari serbuk gergaji atau dari
sekam, kemudian arangnya digunakan sebagai campuran pada pembuatan kompos
dengan dosis 10 % dari total volume bahan. Teknik pembuatan arang kompos
bioaktif mengacu pada prosedur yang dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor
(Gusmailina et al., 2002).
7
7
a b c
Gambar 1. Tahapan proses pembuatan kompos dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Keterangan gambar : a penyiapan bahan baku gulma, b memasukkan ke dalam wadah pengomposan, dan c. penutupan wadah kompos
a b c
Gambar 2. Proses pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Karyasari, kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
Keterangan gambar a: proses penyediaan arang serbuk/sekam, b gulma sebagai bahan utama, dan c proses pengomposan
3. Pengamatan
Parameter untuk mengetahui proses pengomposan berjalan sempurna sebagai
berikut:
a. Terjadi penyusutan bahan yang dikomposkan yang ditandai dengan longgar atau
turunnya tinggi permukaan pada wadah kompos.
b. Pada akhir pengomposan terlihat perubahan warna dan hilangnya bau yang
menyengat.
c. Untuk mengetahui kualitas hasil yang diperoleh dan kandungan unsure haranya
dilakukan analisis laboratorium.
8
8
d. Jika selama pengomposan tidak terjadi penurunan tinggi pada permukaan wadah
perlu dilakukan pengudaraan atau aerasi dengan cara mengaduk kembali
tumpukan kompos secara manual. Jika selama pengomposan berlangsung (+
seminggu) terjadi penurunan tinggi permukaan wadah atau terlihat longgar,
pengudaraan atau aerasi tidak perlu dilakukan (biasanya tinggi permukaan
tersebut turun berkisar antara 20 dan 30 cm).
4. Analisis kompos dan arang kompos di lakukan di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif selama seminggu, memberikan
hasil yang cukup menjanjikan. Kompos yang terbentuk berwarna cokelat kehitaman dan
tidak memberikan aroma bau yang menyengat, walaupun keadaan kompos secara visual
masih sama seperti bahan mentahnya. Ini merupakan ciri khas dari aktivator orgadec, karena
bioaktivator yang dipakai bukan bersifat penghancur bahan/limbah organik (Goenadi dan
Away, 1997 dan 1995; Away, 2003). Bioaktivator tersebut bersifat sebagai pengurai
komponen kimia yang kompleks pada bahan menjadi komponen kimia sederhana yang
langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis kandungan unsur hara makro
kompos (lokasi 1) dan arang kompos bioaktif (lokasi 2) dari gulma dapat dilihat pada Tabel
1.
9
9
Tabel 1. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu
No. Komponen hara Metode analisis Kadar (%)Lokasi 1 Lokasi 2
1. N Kjeldahl 1,80 1.92
2. P2O5 Spektrofotometri 0,75 1,05
3. K2O AAS 3,37 3,51
4. CaO AAS 3,09 3,24
5. MgO AAS 1,92 1,68
6. C-Organik Volumetri 32,9 35,8
7. Nisbah C/N (karbon/nitrogen)
Perhitungan 18,27 18,6
Keterangan: Dianalisis di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Lokasi 2 : Karyasari, Kecamatan leuwiliang, Kabupaten Bogor
Sebagai salah satu tolok ukur tingkat kematangan bahan organik yang dikomposkan
adalah nisbah C (karbon) dan N (nitrogen). Makin matang tingkat dekomposisi bahan
organik, makin rendah nilai C/N-nya. Inbar et al. (1993) mengemukakan bahwa nilai C/N
yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah adalah < 20. Tabel 1 menunjukkan
bahwa tingkat kematangan kompos di lokasi 1 dari bahan baku gulma yang diproses selama
seminggu memberikan nilai C/N 18.27% sehingga kompos ini tidak mengganggu proses
kimia yang ada di tanah. Demikian juga arang kompos bioaktif di lokasi 2 mempunyai nilai
C/N sebesar 18,6 dan 18,27. Kandungan terbesar dari bahan organik dari kompos mencapai
18% hingga 59%. Selain itu kompos juga mengandung unsur-unsur lain seperti posfor,
kalium, calsium, dan magnesium yang relatif sedikit berkisar antara 2-3%. Besarnya
persentase dari unsur-unsur tersebut sangat tergantung dari bahan dasar yang digunakan dan
teknik pengomposannya.
Dari Tabel 1 terlihat pula bahwa pengaruh dekomposisi gulma terhadap kadar hara
dalam kompos memberikan nilai yang nyata antara lokasi 1 dengan lokasi 2 meskipun
analisis terhadap gulma yang masih segar tidak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa
10
10
gulma di sekitar kebun petani jika diproses menjadi kompos atau arang kompos dapat
memberikan nilai tambah dalam penyediaan bahan organik. Dengan demikian dapat
menjamin kesuburan, kelestarian tanah dan mengurangi ketergantungan pupuk kimia.
Kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba penggunaannya terhadap
tanaman kentang dan murbei. Jika dibandingkan dengan kualitas kompos menurut beberapa
standar yang berlaku seperti pada Tabel 2, ternyata kedua kompos tersebut cukup baik.
Kompos dan arang kompos gulma lebih baik kualitasnya jika disbanding dengan standar
kualitas kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam Mindawati et al., 1998), kecuali untuk unsure
CaO. Namun demikian unsure ini jauh kalah penting disbanding unsure hara N (nitrogen), P
(fosfor), dan K (Kalium). Jika dibanding dengan Standar kualitas kompos dari Pusri
(Radiansyah, 2004), kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih rendah, terutama unsur
hara N dan P, sedangkan unsur K lebih tinggi dibanding standar. Kualitas kompos sangat
tergantung dari bahan baku yang digunakan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kandungan
unsur hara N pada kompos dapat diatasi dengan penambahan jerami sebagai bahan baku atau
dedaunan dari tumbuhan leguminosae (kacang-kacangan).
Tabel 2. Perbandingan kandungan unsur hara makro kompos gulma di lokasi 1 dan arang kompos bioaktif gulma di lokasi 2 dengan beberapa standar
No.
Komponen hara
Kadar (%) Standar Perhutani,
(%) *)
Standar Pusri, (%)
**)Lokasi 1 Lokasi 2
1. N, % 1,80 1.92 1,1 ≥ 2, 12
2. P2O5, % 0,75 1,05 0,9 ≥ 1, 30
3. K2O, % 3,37 3,51 0,6 ≥ 2,00
4. CaO, % 3,09 3,24 4,9 ≥ 0,97
5. MgO, % 1,92 1,68 0,7 ≥ 3,19
6. C-Organik, % 32,9 35,8 19,6 -
7. Nisbah C/N 18,27 18,6 10 – 20 -
Keterangan : Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah Lokasi 2: Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor *) Sumber : Perhutani, 1977 dalam Mindawati et al., 1998 **) Sumber : Radiansyah, 2004
11
11
KESIMPULAN
Dari hasil peragaan dan demontrasi teknologi pengomposan dan pembuatan arang
kompos bioaktif dengan bahan baku gulma dapat disimpulkan antara lain :
1. Tanaman pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau
arang kompos dengan bioaktivator sebagai pemacu pengomposan secara sederhana,
murah, dan cepat.
2. Untuk mendapatkan kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma dengan
kandungan hara yang relatif cukup baik, dibutuhkan waktu pengomposan satu
minggu
3. Masyarakat tani di desa, baik secara berkelompok maupun perorangan mampu
membuat kompos dan arang kompos sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Away, Y., D.H. Goenadi, dan P. Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta Puslit. Biotek. Perkeb.III(1):33-40. Pusat Penelitian Biotek Perkebunan, Bogor
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Laporan. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. as activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192. Kyoto University. Kyoto Japan.
Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan Penelitian dan
Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink. 1993. Properties for Establishing Standards for Utulization of Composts in Container Media. In: Science and Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization Aspects. H.A.J. Hoitink & H.M.Keener (Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus, OH-USA.
12
12
Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan sampah organik menjadi Kompos. Makalah pada stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, 4 juli 2004. Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
13
13
top related