strategi pengelolaan
Post on 29-Jun-2015
441 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi bertambahnya kewenangan
pemerintah daerah sebagai akibat dari pelimpahan urusan (wewenang) yang semula dilakukan oleh
pemerintah pusat yang kemidian dialihkan kepada daerah. Salah satu contohnya adalah terjadinya
perubahan kewenagngan dalam hal pengelolaan asset Negara (pemerintah) yang semula banyak
ditangani oleh pemerintah pusat, maka dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan mendapat
pelimpahan kewenangan yang lebih besar untuk melakukan pengelolaan asset Negara (pemerintah).
Perubahan tersebut meliputi terjadinya kenaikan jumlah maupun nilai kekayaan negara yang dikuasai
pemerintah daerah yang tadinya dimiliki/dikuasai pemerintah pusat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penulisan makalah ini penulis mengemukakan
rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah
2. Bagaimana strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daearah
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :
1. Mengetahui prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah.
2. Mengetahui strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daearah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH
Apakah asset daerah? Terminologi “asset daerah” memiliki makna yang sama dengan Barang
Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, namun memiliki makna yang lebih sempit dari “kekayaan negara” dalam
terminologi hukum dan mengandung makna yang lebih luas dari “aset tetap“ yang biasa digunakan
dalam terminologi akuntansi. Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi
ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan
datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik
kepada masyarakat. Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen
keuangan, dan akuntansi.
Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Secara singkat,
berikut pengertian dan implikasi kedua sumber aset ini:
1. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari
terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai
aset tidak sama dengan besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas Permendagri
No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan bahwa besaran belanja modal sama
dengan besaran penambahan aset di neraca. Hal ini kurang pas jika neraca dipandang dari
konsep akuntansi, karena penilaian suatu aset haruslah sebesar nilai perolehannya (konsep
full cost). Artinya, seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset tersebut siap digunakan
(ready to use) haruslah dihitung sebagai kos aset bersangkutan. Dalam konsep anggaran
kinerja, biaya yang dikeluarkan adalam semua biaya yang menjadi masukan ( input) dalam
pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan aset ini. Dengan demikian, termasuk di dalamnya
belanja pegawai dan belanja barang & jasa, selain dari belanja modal tentunya. Jadi, kos
untuk aset adalah seluruh pengeluaran untuk mencapai outcome.
2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak
dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun
belanaj pegawai dan belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak lain,
seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa daerah menerima penambahan
aset yang cukup signifikan dari pihak lain, seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP
dan LGSP memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer jinjing, jaringan
internet, dan printer. Belum lagi pembangunan gedung untuk perkantoran dari NGO asing.
Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah,
yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang
Milik Daerah. Lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
2. Pengadaan,
3. Penggunaan,
4. Pemanfaatan,
5. Pengamanan dan pemeliharaan,
6. Penilaian,
7. Penghapusan,
8. Pemindahtanganan,
9. Penatausahaan, dan
10. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
2.2. KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setandar yang tinggi dengan
biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu orhganisasi dicapai ketika admistrasi dan penyediaan
jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efesiensi, dan efektivitas.
Manajemen kinerja pemerintahan yang meliputi perancangan sistem, pendeklarasian variabel,
mekanisme penerapan, proses pelaporan serta evaluasi dan tindak lanjut yang mencakup efisiensi,
kualitas dan efektivitas program pemerintah merupakan topik yang hangat dikupas di Amerika Serikat
sepuluh tahun yang lalu (Blodgett and Newfarmer, 1996; Curcio, 1996; Martin & Kettner, 1996; Tracy,
1996) baik di level pemerintah federal, negara bagian maupun pemerintahan lokal setingkat kota
madya.
Penerapan manajemen kinerja pemerintahan ini didorong oleh empat kekuatan utama yaitu The
Government Performance and Results Act of 1993 (GPRA), The National Performance Review (NPR),
Usaha tolok banding (benchmarking) yang dilakukan oleh negara bagian dan komunitas masyarakat, dan
laporan yang diminta oleh The Governmental Accounting Standards Board (GASB).
GPRA menuntut semua lembaga pemerintahan melacak dan melaporkan kinerja program-
program yang dicanangkan dengan penekanan utama pada efektivitas hasil yang dicapai. GPRA ini
menjadi kekuatan penekan utama yang paling penting yang menghendaki adanya pengukuran kinerja
pemerintahan karena merupakan hukum yang ditetapkan di level negara federal.
NPR merupakan penjelmaan dari gerakan untuk ‘menemukan kembali praktek pemerintahan
yang benar’ (reinventing government) yang merupakan kekuatan utama lain dalam mempromosikan
pengukuran kinerja. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah semboyan yang dijiwai oleh “apa yang dapat
diukur, itulah yang sudah dikerjakan oleh pemerintah”(Osborne & Gaebler, 1992).
Kekuatan utama lain yang mempromosikan penggunaan pengukuran kinerja adalah adanya
berbagai usaha yang dilakukan oleh beberapa negara bagian dan komunitas masyarakat untuk
melakukan tolok banding (benchmarking) atas kinerja yang sudah dicapai di masing-masing lokaliti.
Tolok banding (benchmarking) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara produk, pelayanan,
proses kerja dan berbagai ukuran lain terhadap praktek terbaik yang terkait (Spendolini,1992). Beberapa
negara bagian (misalnya Colorado, Connecticut, Florida, Georgia, Hawaii, Iowa, Maine, Minnesota,
Nebraska, New Mexico, North Carolina, Oregon, Utah) telah mengembangkan atau sedang
mengembangkan tolok banding pada berbagai variabel pemerintahan untuk diterapkan pada seluruh
atau sebagian negara bagian tersebut. Tiga program utama yang telah dikenal baik di antaranya adalah
Oregon Options, Minnesota Milestones dan Florida Benchmarks.
Lembaga terakhir yang mempromosikan pentingnya penerapan manajemen kinerja di sektor
pemerintahan adalah GASB yang mensyaratkan setiap pemerintah negara bagian untuk melaporkan
efisiensi, kualitas, dan efektivitas pencapaian program mereka. Pelaporan itu meliputi antara lain:
pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program,
serta rasio antara usaha pelayanan yang telah dilakukan pemerintah dengan hasil pelayanan yang
dinikmati masyarakat.
Dari beberapa kerangka rancangan penilaian kinerja yang ada saat ini, Balanced Scorecard (BSC)
merupakan pendekatan yang paling populer diterapkan. Pendekatan yang diperkenalkan oleh Prof.
Kaplan dari Harvard University Dan David P. Norton, Presiden Renaissance Solutions Inc. pada tahun
1992 ini telah diterapkan di berbagai perusahaan dan pemerintahan. Salah satu pemerintahan yang
mengunakan pendekatan ini untuk mengukur kinerjanya adalah pemerintah kota Charlotte di North
Carolina, Amerika Serikat.
Dalam konteks penilaian kinerja pemerintahan Indonesia, variabel-variabel pengukuran kinerja
yang dapat diajukan di bawah ke empat perspektif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perspektif Finansial
Pada dasarnya dalam perspektif finansial, tolok ukur dari pengukuran kinerja
pemerintahan adalah tercapainya ukuran-ukuran perbaikan (improvement) di bidang finansial.
Ukuran perbaikan ini dapat diperbandingkan dengan pencapaian pada periode sebelumnya
maupun diperbandingkan dengan pencapaian negara lain. Bahkan dalam titik yang lebih
ekstrim, pencapaian pada beberapa variabel, pada suatu saat nanti, sebaiknya diperbandingkan
dengan pencapain terbaik (best practice/ best-in-class) dengan melakukan kaji banding
(benchmarking) dengan pencapaian di level dunia.
Variabel-variabel yang dapat digunakan dalam menilai kinerja pemerintah yang
termasuk dalam perspektif finansial ini misalnya pertumbuhan ekonomi, penguatan nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, penurunan laju inflasi atau laju inflasi yang stabil pada angka
terendah yang dapat dicapai pada periode waktu yang lama, peningkatan pendapatan dan daya
beli masyarakat relatif terhadap harga barang dan jasa di dalam negeri maupun luar negeri,
menyempitnya gap pendapatan berbagai lapisan masyarakat di berbagai sektor dan bidang
usaha, peningkatan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan dalam pasaran internasional
(pertumbuhan ekspor bukan karena penurunan nilai mata uang), tumbuhnya investasi dari para
pemodal baik dalam negeri maupun luar negeri, penurunan biaya operasional yang digunakan
oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai program kerjanya (rasio biaya yang dikeluarkan
dengan keluaran yang dihasilkan, misalnya: biaya kunjungan ke luar negeri terhadap investasi
yang masuk, gaji dan fasilitas yang dibayarkan terhadap hasil kerja, dsb), dan penggunaan
sumber-sumber finansial dari kekuatan sendiri, bukan dari hutang.
2. Perspektif Pelanggan
Dalam konteks negara, pelanggan utama pemerintah adalah warga negara Indonesia
(WNI) baik rakyat yang berdiam di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia maupun yang
berdomisili di negara lain. Setelah itu, pelanggan level berikutnya adalah negara lain yang
membina hubungan dalam berbagai bidang dengan RI termasuk di dalamnya warga negara
sahabat tersebut.
Pada perspektif pelanggan yang menyangkut rakyat yang menjadi warga negara
Indonesia, maka variabel ukuran kinerja pemerintah yang dapat diukur keberhasilannya adalah
antara lain: pemerataan hasil-hasil pembangunan antara berbagai kawasan di Indonesia yang
secara kasar dapat diukur dari dua hal. Pertama, persentasi beredarnya uang di suatu kawasan
relatif terhadap seluruh uang yang beredar di negara tersebut (di mana saat ini diperkirakan
lebih dari 60% uang hanya beredar di Jakarta). Kedua pemerataan lapangan kerja baik bagi
orang-orang yang terdidik maupun pekerja biasa ( di mana kecenderungan para lulusan S1
perguruan tinggi saat ini mayoritas ‘terpaksa’ menuju Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan).
Variabel yang termasuk ke dalam perspektif pelanggan lainnya adalah meningkatnya kepuasan
masyarakat terhadap berbagai macam program pemerintah, kebijakan dan langkah riil
pemerintah yang dapat direpresentasikan dengan sedikitnya gejolak kemasyarakatn yang
terjadi, kualitas dan kuantitas demonstrasi yang dihadapi pemerintah, teredamnya berbagai
konflik sosial yang terjadi, hilangnya rasa ketakutan mengeluarkan pendapat (termasuk di
dalamnya meningkatnya kesantunan dalam mengeluarkan pendapat baik oleh berbagai
kalangan masyarakat, politisi maupun media masa), menurunnya kuantitas dan kualitas
kriminalitas, meningkatnya level kebutuhan masyarakat yang tidak hanya terus berkutat pada
masalah kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan saja tetapi pada level yang lebih
tinggi dan masih banyak lagi variabel yang dapat diturunkan dalam perspektif pelanggan yang
menyangkut kebutuhan warga negara ini.
Variabel untuk mengukur perspektif pelanggan dalam kaitannya dengan negara lain di
antaranya adalah pertama, banyaknya warga negara lain yang ikut menikmati hasil kerja
pemerintah yang misalnya dapat diukur melalui jumlah, lama dan penyebaran kunjungan
wisatawan luar negeri, jumlah pekerja kelas menengah dan bawah yang mencari nafkah ke
Indonesia yang bukan merupakan paket dari bantuan asing yang menyertainya tetapi karena
memang adanya daya tarik secara ekonomis maupun sosial. Kedua, terpeliharanya hubungan
bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan di berbagai bidang: pendidikan,
perdagangan, industri, kesehatan dan tenaga kerja.
3. Perspektif Internal
Dalam perspektif internal, fokus utama ukuran yang dapat dipakai untuk menilai kinerja
pemerintah adalah lebih pada proses yang terjadi. Beberapa variabel ukuran kinerja yang dapat
diterapkan di antaranya adalah efisisiensi pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang
misalnya dapat diukur dari proses perijinan yang harus ditempuh warga negara dalam berbagai
urusan baik menyangkut lama waktu pelayanan maupun kompleksitas prosedur yang ditempuh;
produktivitas aparat dalam melaksanakan tugasnya; menurunnya/ tiadanya ongkos-ongkos
siluman yang harus dibayarkan dalam pengurusan berbagai macam kebutuhan; peningkatan
jumlah dan kualitas aturan-aturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan jaminan berusaha
yang adil dan transparan; peningkatan daya saing sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab
pemerintah seperti misalnya BUMN, Perguruan Tinggi, Pelayanan Kesehatan dan sebagainya;
rasio kebocoran anggaran; penggunaan anggaran pada bidang yang tepat dan urgent (the right
money for the right needs); penurunan hutang; efektivitas komunikasi antara pemerintah
dengan rakyatnya.
4. Perspektif Pembelajaran dan Perkembangan
Dalam tataran yang paling dasar dari pengukuran kinerja pemerintah adalah ukuran
yang ditinjau dari perspektif pembelajaran dan perkembangan. Perspektif ini, dalam beberapa
variabel, selain lebih berorientasi pada jangka panjang juga seringkali ukuran-ukuran yang
dpakai lebih bersifat kualitatif dari pada kuantitatif dan bahkan seringkali lebih bersifat subjektif
yang artinya dapat dirasakan namun sulit untuk diungkapkan. Variabel yang dapat digunakan
antara lain peningkatan pemberdayaan masyarakat; peningkatan partisipasi masyarakat dalam
keamanan, penjagaan asets umum, pendidikan dan bisnis; keterlibatan berbagai elemen
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; kesamaan hak dan kemampuan untuk
mengakses berbagai sumber informasi (misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang murah terutama di jenjang sampai dengan level sekolah menengah atas, informasi sektor
usaha yang dapat dimasuki, tender-tender yang dapat diikuti dan sebagainya); peningkatan daya
kreativitas dan inisiatif dalam berbagai bidang (seni, budaya, usaha); peningkatan sarana dan
prasarana serta pelayanan di bidang perhubungan, telekomunikasi, energi dan air minum dan
penghargaan yang layak atas pekerjaan yang dilakukan (gap pendapatan antar berbagai jenjang
karir dan profesi)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH
3.1.1. PERENCANAAN
Untuk melaksanakan apa yang menjadi kewenangan wajibnya (tupoksi) pemerintah daerah
memerlukan barang atau kekayaan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Untuk
itu, pemerintah daerah perlu membuat perencanaan kebutuhan asset yang akan digunakan/dimiliki.
Setiap pembelian barang atau asset baru harus dicatat dan terdokumentasi dengan baik dalam system
database kekayaan daerah.
Pengadaan barang atau kekayaan daerah harus dilakukan berdasarkan system tender. Hal
tersebut supaya pemerintah daerah dan masyarakat tidak dirugikan.
Pada dasarnya, kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut. Contohnya adalah tanah,
hutan,tambang, gunung, danau, pantai dan laut, sungai, dan peninggalan bersejarah.
2. Kekayaan yang akan dimiliki baik yang berasal dari pembeliaan maupun yang akan dibangun
sendiri. Contohnya adalah jalan, jembatan, kendaraan, dan barang modal lainnya.
Pemerintah daerah harus membuat perencanaan yang tepat terhadap kedua jenis kekayaan
tersebut. Perencanaan juga meliputi perencanaan terhadap asset yang belum termanfaatkan atau masih
berupa asset potensial. Perencanaan yang dilakukan harus memperhatikan 3 hal, yaitu melihat kondisi
asset daerah dimasa lalu, asset yang dibutuhkan untuk masa sekarang, dan perencanaan kebutuhan
asset di masa yang akan datang.
Pemerintah daerah perlu menetapkan standar kekayaan minimum yang harus dimiliki daerah
untuk dapat memenuhi cakupan layanan yang dibutuhkan masyarakat.
3.1.2. PELAKSANAAN
Kekayaan milik daerah harus dikelola secara optimal dengan memperhatikan prinsip efisiensi,
efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas publik. Pengelolaan menyangkut pendistribusian,
pengamanan, dan perawatan. Perlu ada unit pengelola kekayaan daerah yang professional agar tidak
terjadi overlapping tugas dan kewenangan dalam mengelola kekayaan daerah. Pengamanan terhadap
kekayaan daerah harus dilakukan secara memadai baik pengamanan fisik, maupun melalui system
akuntansi (sistem pengendalian internal).
Pengelolaan kekayaan daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik, yang paling tidak
meliputi:
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum
2. Akuntabilitas proses
3. Akuntabilitas kebijakan.
3.1.3. PENGAWASAN
Pengawasan yang ketat perlu dilakukan sejak tahap perencanaan hingga penghapusan asset.
Dalam hal ini peran serta masyarakat dan DPRD auditor internal sangat penting. Keterlibatan auditor
internal dalam proses pengawasan ini sangat penting untuk menilai konsistensi antara praktik yang
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan standar yang berlaku. Pengawasan diperlukan untuk
menghindari penyimpangan dalam perencanaan maupun pengelolaan asset yang dimiliki daearah.
3.2. STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH UNTUK
MENINGKATKAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan (asset) daerah meliputi:
1. Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi asset daerah
Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah yang dimilikinya, baik
yang saat ini dikuasai maupun yang msaih berupa potensi yang belum dikuasai atau
dimanfaatkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai
dan potensi asset daerah. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk
memperoleh informasi yang akurat, lengkap, dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang
dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah
tersebut penting untuk pembuatan Neraca Kekayaan Daerah yang akan dilaporkan kepada
masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi asset daerah secara lebih
efektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa
penilaian yang independen.
2. Perlunya sitem informasimanajemen asset daerah
Untk mendukung asset pengelolaan asset daerah secara efesien dan efektif serta menciptakan
transparansi kebijakan pengelolaan asset daerah, maka pmerintah daerah perlu memiliki atau
mengembangkan system informasi manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat
untuk pengambilan keputusan . Sistem Informasi manajemen asset daerah juga berisi database
asset yang dimiliki daerah. System tersebut bermanfaat untuk menghasilkan laporan
pertanggungjawaban. Selain itu, sitem informasi tersebut juga bermanfaat untuk dasar
pengembangan keputusan mengenai kebutuhan pengadaan barang dan estimasi kebutuhan
belanja pembangunan (modal) dalam penyusunan APBD.
3. Pengawasan dan pengandalian pemanfaatan asset daerah
Pemanfaatan asset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah
urus (miss management), kehilangan, dan tidak termanfaatkan (idle). Untuk meningkatkan
fungsi pengawasan tersebut, peran masyarakat dan DPRD sangat penting. Pengawasan oleh
masyarakat dan DPRD tersebut harus menghasilkan feedback bagi pemerintah daerah berupa
perbaikan perencanaan dan pemenfaatan asset daerah.
4. Keterlibatan jasa penilai (Appraisal)
Pertambahan asset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh penilai yang
independen. Peran profesi penilai secara aktif dalam pengelolaan asset daerah antara lain:
a. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah
b. Member informasi mengenai status hukum harta
c. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud (tangible asset) maupun yang tidak
berwujud (intangible asset)
d. Analisis investasi dan set-up investasi/pembiayaan
e. Pemberian jasa konsultasi manajemen asset daerah (asset management consultant)
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk
mengelola kekayaan daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola
kekayaan daerah secara professional, transparan, akuntabel, efisien, dan efektif.
Kebutuhan sistem baru penilaian kinerja pemerintah saat ini merupakan salah satu hal yang
tidak terelakkan. Kebutuhan tersebut di dasarkan atas tiga alasan utama :
Pertama, dalam kondisi krisis multi dimensi yang sudah relatif lama dialami ini, penilaian kinerja
pemerintah sudah selayaknya tidak lagi didasarkan pada proses penilaian dan evaluasi yang biasa.
Dalam proses penilaian yang biasa tersebut, dengan hanya banyak menghabiskan waktu, tenaga dan
biaya untuk berbagai proses seremonial atau bahkan tanpa melakukan apa-apa, cukup dengan tidur-
tiduran saja pemerintah ‘berhak’ untuk dipertahankan mandatnya sampai masa jabatan berakhir asal
tidak melanggar undang-undang dan haluan negara.
Kedua, kondisi ‘luar biasa’ yang dihadapi Indonesia saat ini menuntut pemerintah untuk
merespons secara cepat dan tepat agar dapat mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan berusaha, pulih seperti sedia kala.
Ketiga, pengalaman pergantian pemerintahan yang pernah terjadi memberikan pelajaran bagi
kita bahwa perlu dikaji kembali proses penilaian kinerja pemerintah yang didasarkan pada tolok ukur
dan variabel-variabel yang lebih jelas dan objektif. Selain substansi materi yang masih sering
diperdebatkan dalam berbagai proses penggantian tersebut (memorandum I, II dan SI), proses yang
ditempuh pun, selama ini, membuka peluang dilakukannya langkah-langkah secara sepihak yang dapat
mengarahkan pada proses tarik-menarik kekuatan (Dekrit, SI dipercepat, pergantian personil jabatan
tertentu) yang menyebabkan kondisi kontra produktif yang cukup lama karena masyarakat, pengusaha
dan pejabat berada dalam situasi menunggu tanpa berani mengambil keputusan-keputusan yang
bersifat strategis.
Kerangka penilaian kinerja pemerintah yang diajukan dalam tulisan ini berangkat dari adanya
kebutuhan seperti yang disinyalir dalam paragraf di atas selain adanya kecenderungan di negara maju
bahwa penilaian kinerja pemerintahan sudah saatnya diletakkan dalam proporsi seperti halnya menilai
eksekutif dalam organisasi bisnis. Empat perspektif utama yaitu finansial, pelanggan, proses internal
serta pembelajaran dan perkembangan dapat dirinci menjadi variabel-variabel terukur yang selain lebih
dapat dinilai secara objektif juga dapat diset sejak mula sebagai strategi pengelolaan negara. Namun
demikian, hal utama yang harus dijadikan pegangan adalah bahwa sistem manajemen kinerja hendaklah
dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis, yang bukan saja harus selalu di update sesuai dengan
kebutuhan dan perubahan yang terjadi, namun juga mensyaratkan tolok banding yang tidak hanya
menitik beratkan pada pencapaian hasil saja tetapi juga pada proses dalam mencapai hasil tersebut.
Berbagai variabel usulan dalam tulisan ini masih bersifat tentatif dan perlu untuk dikaji lebih mendalam
dalam proses penerapannya. Dengan adanya variabel yang terukur dan objektif ini setidaknya dapat
dihindarkan pemborosan keuangan (untuk lobi-lobi, penyamaan pendapat, rapat-rapat baik terang
maupun gelap, provokasi, mempengaruhi opini melalui media) dan meningkatkan jenjang elit (baik
eksekutif maupun legislatif) untuk mulai bekerja berdasarkan knowledge base tidak lagi common sense,
intuitif dan self interpretation.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. (2009). Optimalisasi Pengelolaan Aset Daerah. [Online]. Tersedia:
http://syukriy.wordpress.com/2009/04/25/optimalisasi-pengelolaan-aset-daerah/. [28
September 2009].
Acuviarta. (2009). Mengelola Kekayaan Daerah. [Online]. Tersedia: http://newspaper.pikiran-
rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=29936. [28 September 2009].
Mardiasmo. (2004). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pemerintah Republik Indonesia. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun
2006, Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Wibisono, D. (2008). Mengukur Kinerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. [Online]. Tesedia:
http://dermawanwibisono.wordpress.com/2008/07/15/mengukur-kinerja-pemerintah-dan-
pemerintah-daerah/. [28 September 2008]
top related