sumatera utara - wordpress.com · a. filsafatnya dan asal mula jadinya. walaupun pada zaman dahulu...
Post on 01-Oct-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AKSARA BATAK TOBA
ak\sr btk\ tob
SUMATERA UTARA
Smter Utr
INA NI SURAT
A = a
HA = h
MA = m
NA = n
RA = r
TA = t
LA = l
PA = p
SA = s
DA = d
GA = g
JA = j
BA = b
NGA= <
U = u
I = I
KA = k
WA = w
YA = Y
NYA= l
CA = s^E
ANAK NI SURAT
```< = u
```O = i
…^ = ng
…e = e
…x = o
…\ = Pangolat(Penyetop)
Contoh:
b\ = B b^ = BANG
b = BA bi^ = BING
bi = BI B^ = BUNG
B = BU be^ = BENG
Be = BE bo^ = BONG
Bo = BO
Ms = MUSA
mS\ = MUS
A. Filsafatnya dan asal mula jadinya.
Walaupun pada zaman dahulu hanya datu-datu (dukun-dukun) yang mengenal "surat"
(huruf), namun peranan "surat" itu sangat penting bagi masyarakat Batak pada waktu itu.
Tetapi makin lama makin banyak juga orang mengenalnya sehingga peranannya pun
bertambah besar. Itulah sebabnya "surat" Batak pun penulis ambil juga sebagai obyek
perhatian untuk memperkenalkan filsafat Batak. Terlebih-lebih karena pada waktu ini boleh
dikatakan hampir tidak ada lagi orang Batak yang tidak mengenal hurup Latin, tetapi justru
tidak banyak yang dapat membaca dan menulis "surat Batak"; hal ini menurut pendapat
penulis harus diubah. Untuk itu jugalah penulis menyusun karangan ini supaya timbul minat
orang-orang muda Batak mempelajari "surat" nenek moyangnya dan nanti sanggup membaca
kitab leluhurnya yang dinamai "PUSTAHA".Seperti telah diterangkan tadi, pada zaman
dahulu hanya para "datu"-lah yang mengenal "surat" Batak.Ada dua macam "surat" yang
dikenal orang dan keduanya dapat dibaca oleh "datu" itu. Jenis yang pertama ialah "surat"
biasa, yaitu "surat" yang terdiri dari "mata ni surat" (huruf atau aksara) dan jenis yang kedua
ialah "surat ni tangan" (garis-garis pada telapak tangan manusia).
Filsafat Batak tentang "surat ni tangan" berbunyi:
Surat na so boi muba, alai sai mubauba.
Terjemahannya: Surat yang tak dapat berubah, tetapi selalu berlainan. "Maksudnya:
"Surat ni tangan" seseorang tak dapat berubah; bentuknya tetap, tetapi "surat ni tangan"
manusia itu tidak ada yang sama (serupa), jadi selalu berubah-ubah.
Filsafat tentang "surat biasa" (huruf biasa) berbunyi:Surat na boi muba, alai ndang boi
muba-uba.
Terjemahannya: Tulisan yang dapat (boleh) berubah, tetapi tidak boleh berubah-
ubah.Maksudnya: Bunyi (isi) tulisan boleh berubah-ubah, tetapi bentuk huruf tidak boleh
berubah-ubah.
Setelah bertambah banyak orang yang mengenal "surat", maka filsafat Batak tentang
"surat" pun bertambah banyak sebagaimana tertulis di bawah ini:
1. Marngeong sitapi mangalului hulingkuling, Surat do na ummalo mangkatai alai
ndang diboto mangkuling;
Artinya : "Surat"-lah yang paling pandai berbicara, tetapi tidak dapat bersuara.
2. Sinuan suhat patogu gadugadu, Uli do nian surat, alai ulian do aruaru.
Artinya : "Surat" itu memang baik, tetapi lebih baik lagi kerongkongan.Maksudnya :
Kalau kita menerangkan atau memberitahukan sesuatu melalui surat, sudah baik tetapi lebih
baik lagi kalau kita sendiri menerangkannya secara lisan.
3. Marpira sibaromata, pirana marguratgurat, Manginsu do ianggo hata, sobokkon
gana do ianggo surat.
Artinya : Kata-kata itu kebanyakan mengicuh (menipu) tetapi surat sama dengan
sumpah.Maksudnya : Kita tidak dapat selalu berpegang kepada ucapan orang, karena sering
mengicuh (menipu), tetapi apa yang kita, terangkan atau katakan dalam surat yang kita tanda-
tangani tak mungkin lagi dimungkiri.
Bagaimana asal mula "Surat Batak" terciptakan ? Penulis sendiri kira-kira 40 tahun
yang lalu ingin juga mengetahuinya. Karena itu pada tahun-tahun tigapuluhan penulis
berusaha menanyakan hal itu kepada orang-orang tua di berbagai daerah batak. Penerangan
yang diperoleh penulis berupa sebuah cerita yang isinya sebagai berikut:
B. Si Mangarapintu menerima ilmu gaib dari Batara Guru.
Pada zaman dahulu ada seorang Batak yang bernama Ama ni Mangarapintu. Dari
nama itu terus dapat kita ketahui bahwa anaknya yang sulung bernama si Mangarapintu. Pada
suatu hari Ama ni Mangarapintu mendirikan sebuah rumah. Dalam pekerjaannya ini ia
ditolong oleh seluruh keluarga dan teman-temannya sekampung, antara lain waktu mencari
kayu di hutan sebagai bahan untuk rumah itu dan pada waktu "palolohon" (membuat sendiri)
rumah itu. Selanjutnya ia sendirilah dengan anak-anaknya menyelesaikan pekerjaan itu.
Si Mangarapintu adalah seorang anak yang rajin dan cerdas, tetapi kekurangannya
ialah dia sering melamun pada waktu bekerja. Pikirannya melayang jauh dari pekerjaannya.
Kadang-kadang dia tak sadar akan apa yang dikerjakannya. Demikianlah pada suatu hari,
karena ia melamun, ia lupa di mana disimpannya sebuah pahat (istilah Bataknya: "tuhil")
yang sangat dibutuhkan dalam pekerjaan membuat rumah. Bagaimanapun ia berusaha
mencari barang itu dan otaknya diperas untuk mengingat di mana disimpannya alat itu,
namun ia tidak berhasil menemukannya, seolah-olah alat itu telah terbang ke tempat lain.
Setelah Ama ni Mangarapintu mendengar hal itu, tak terkira marahnya kepada anaknya,
sehingga si Mangarapintu lari meninggalkan kampungnya karena takut kepada ayahnya.
Pada suatu hari sampailah ia di suatu tempat yang angker yang didiami oleh hantu-hantu
(istilah Batak: parsombaonan). Tiba-tiba didengarnya suara "begu" (hantu) yang berkata,
"He, siapa kau?
"So tung hulatang ho, so tung hulutung,hualithon ho tu andor ni tabu;So tung huata ho, so
tung hututung, hupiringkon ho tu dongan sajabu. "
Artinya : Jangan sampai kupanggang kau atau kumakan mentah-mentah dan kubagi-bagikan
kepada tetangga-tetanggaku.
Si Mangarapintu menyahut, "Tuani ma i ompung! Na manjalahi bulung langge do ahu
dongan ni butung singkoru,Na manjalahi mate do ahu asa unang be mangolu."
Artinya: Syukurlah, nenek! Saya memang mencari maut karena saya tak suka hidup lagi.
Lalu diceritakannyalah apa sebabnya ia tak suka hidup lagi. Mendengar cerita penderitaan si
Mangarapintu itu, "begu" itupun merasa kasihan kepadanya. Maka ia diberi makan dan
minum berbulan-bulan lamanya. Selain itu diajarkan juga kepadanya bermacam-macam ilmu
yang kelak dapat dipergunakannya setelah ia pulang ke kampungnya. "Tetapi," kata begu itu
"ada lagi semacam ilmu yang tidak dapat saya berikan kepadamu, yaitu ilmu melekatkan
kata-kata dan pikiran kepada kulit kayu.''. Mendengar itu si Mangarapintu sangat heran,
karena ia tak mengerti apa maksud kalimat itu. Bagaimana orang dapat melekatkan kata-kata
dan pikiran ke kulit kayu ? "Begu" itu pun mengetahui pikiran si Mangarapintu lalu berkata,
"Tak usah kau heran. Kelak kau akan mengerti juga hal itu. Berlakulah baik-baik terhadap
segala makhluk yang hidup agar kau mendapat rakhmat. Sekarang pulanglah kau ke
kampungmu." Tetapi si Mangarapintu tidak mau pulang ke kampungnya, karena ia masih
takut kepada bapaknya. Dan ia berangkat meninggalkan tempat "begu" itu memasuki hutan-
hutan yang belum pernah dikunjungi oleh manusia. Pada suatu hari berjumpalah ia dengan
seekor harimau. Kemudian harimau itu berkata kepadanya :
"He! Siapa kau?
Naeng ho hugariang, naeng ho hutangkup, Naeng ho hugiang, naeng ho hualtup?" Artinya: He! Siapa kau? Mau kau kucakar, mau kau kutangkap? Mau kau kupotong-potong
dan mau kau kumakan?
Dengan tenang si Mangarapintu menjawab :Toho ma i da ompung! Na manjalahi
sanggesangge do ahu mangganti bulung singkoru;Na manjalahi mate do ahu, asa unang be
mangolu. "
Artinya: Syukurlah nenek! Saya sedang mencari maut, supaya tidak hidup lagi.
Kembali diceritakannya segala hal ikhwalnya kepada harimau itu.
Harimau itupun sangat kasihan. kepada si Mangarapintu, lalu diberinya makan dan minum
kepadanya berbulan-bulan lamanya. Selain itu kepadanya diajarkan juga ilmu pencak dan
ilmu bela diri lainnya. Setelah itu berkatalah harimau itu kepada si Mangarapintu, "Sekarang
pulanglah kau ke kampungmu dan pakailah semua ilmu yang telah kamu pelajari itu sebaik-
baiknya. Hanya sayang, saya tak sanggup memberikan kepadamu sebuah ilmu lagi, yaitu
ilmu supaya dapat kita lengketkan kata-kata dan pikiran ke batang buluh."Kembali si
Mangarapintu merasa heran mendengar kalimat terakhir harimau itu. Ilmu apakah gerangan
yang dimaksud oleh "begu" dan "harimau" itu?
Pada waktu itu si Mangarapintu masih tetap tidak berani pulang ke kampungnya. Dan
mulailah ia bertualang di daerah gunung Pusukbuhit yang sakti itu. Pada suatu hari ia
mendaki gunung itu dan sampailah ia ke tempat mandi para putri dewata Batara Guru.
Kebetulan hari itu para putri dewa sedang mandi-mandi. Melihat kedatangan si Mangarapintu
mereka cepat-cepat mengenakan pakaiannya masing-masing dan terbang ke langit. Tetapi
seorang di antara putri dewa itu terlambat mengenakan pakaiannya sehingga si Mangarapintu
sempat memegang tepi pakaiannya itu dengan kuat. Namun perbuatan si Mangarapintu itu
tidak dapat menghalangi putri dewa itu terbang dan akibatnya iapun ikut terbawa terbang ke -
langit ke hadapan dewata Batara Guru. Si Mangarapintu bersembah sujud di hadapan dewata
itu dan diceritakannyalah segala penderitaannya.
Akhirnya dipersembahkannyalah dirinya kepada Batara Guru. Batara Guru merasa kasihan
melihatnya dan menyuruhnya pulang ke Banua Tonga (Benua Tengah atau dunia). Tetapi si
Mangarapintu tidak mau pulang dan berkata, "0 Kakekku. Saya hanya bersedia pulang ke
Banua Tonga, kalau Kakek mau memberikan kepada saya ilmu melekatkan kata-kata dan
pikiran ke batang bambu dan ke kulit kayu." Mendengar itu Batara Guru tertawa dan berkata,
"Kau benarbenar orang bijaksana. Karena itu saya juga rela memberikan ilmu itu kepadamu.
Tetapi ingat, ilmu ini tidak boleh dipakai untuk membinasakan orang atau, mengancam.dan
memusuhi lawan. Ilmu itu hanya boleh dipakai untuk berkasih-kasihan dan untuk membuat
perdamaian dan untuk melakukan hal yang baik-baik saja. Orang yang memakai ilmu itu
untuk kejahatan akhirnya akan binasa. Camkanlah, ilmu ini adalah sakti dan dasar segala
ilmu yang ada. Tanpa ilmu ini tak dapat berkembang ilmu yang lain. "
Dengan sangat gembira si Mangarapintu berjanji akan melaksanakan pesan Batara Guru itu.
Setelah si Mangarapintu menerima ilmu yang diinginkannya itu dari Batara Guru,
iapun kembali ke Banua Tonga (Benua Tengah atau dunia). Diambilnya kulit kayu dan
dijemurnya supaya kering. Itulah yang dinamai orang "lopian". Sudah itu dimulainyalah
menulisi kulit kayu itu. Sebagai tinta dipakainya getah dari sejenis pohon yang bernama
"baja".
Noot penulis: Untuk memperoleh getah "baja." diambil sekerat kayu "baja" itu. Dibakar dan
asapnya ditampung dengan sebuah parang. Kemudian nampaklah melekat pada parang itu
getah "baja" yang hitam benar dan tidak mudah luntur. Getah semacam inilah yang juga
dipakai oleh orang Batak dahulu untuk mencat giginya yang telah dipotong menjadi pendek
benar untuk menjaga dan menghindari penyakit. Demikian sedikit penjelasan dari penulis
mengenai getah "baja".
Kemudian kulit kayu itu dilipat-lipat setelah ditulisi dan, itulah yang menjadi "pustaha" (buku)
yang berisi bermacam-macam ilmu.
Demikianlah cerita itu.
C. Keterangan lanjut tentang "surat Batak".
Pesan Batara Guru yang tersebut dalam cerita di atas selalu dipatuhi oleh orang Batak pada
zaman dahulu. Buktinya:
1) Orang Batak tidak mau mengancam orang dengan surat.
2) Orang Batak tidak memakai surat untuk menyatakan perang. (dalam bahasa Batak:
Sampak aek).
3) Ilmu menulis itu dipergunakan untuk membuat orang lain gembira. dan berbahagia; hal ini
nampak pada "umpasaumpasa" (umpasa adalah semacam pantun) berikut:
a) Handis ni Barumun, sirohot ni Banua Tonga; Hansit do na malungun, surat on ma
patolhas tona. Artinya : Rindu itu sangat pedih rasanya, karena itu surat inilah penyampai
pesan.Maksudnya : Semoga surat ini dapat mengobati rindumu.
b) Bulung ni sitanggi tu bulung ni hapadan; Dung sahat suratmi, nunga mulak tondi tu badan.
c) Niumpat rasakrasak tarihut podompodom; Na hansit do na marsak, surat on ma
sibahen modom. Artinya: Bersusah hati sangat sakit, semoga surat ini membuat tidur.Maksudnya: Semoga
dengan surat ini, segala susah hati dapat dihapus dan membuat tidur nyenyak.
D. Datu Guru Aji Ginagan menciptakan metode unik untuk mengajarkan huruf-huruf
Batak.
Aji Ginagan adalah nama seorang datu guru pada zaman dahulu yang terkenal di
tanah Batak. la telah lama mengajarkan "surat Batak" tetapi belum pernah puas dengan
caranya mengajar. Pengalamannya selama ini adalah: murid-muridnya selalu mudah lupa
pada rupa (bentuk) dan nama (bunyi) huruf-huruf yang telah diajarkannya, sehingga
pelajaran-pelajaran itu harus selalu diulang-ulang sampai kadang-kadang membosankan.
Betapa senangnya bila sekali didengar namanya dan sekali dilihat bentuknya, keduanya tetap
diingat oleh murid-muridnya. Oleh karena itu pikirannya selalu asyik mencari jalan (metode)
untuk itu.
Pada suatu hari dilihatnya seorang pemuda yang sebelah matanya telah rusak berjalan
di depan rumahnya. Melihat pemuda itu, datu Aji Ginagan terus teringat akan cerita tentang
kecelakaan yang pernah menimpa pemuda itu dan menyebabkan sebelah matanya rusak.
Cerita tentang kecelakaan itu didengarnya sudah limabelas tahun terdahulu, maka setelah ia
melihat pemuda itu, maka kejadian itu terus teringat kembali oleh datu itu.Tiba-tiba datu Aji
Ginagan mendapat ilham; dan berkatalah ia didalam hatinya, "Inilah dia yang saya butuhkan!
Cerita! Semua orang suka mendengar cerita dan tidak mudah melupakannya.
Sekiranya saya mengetahui asal-usul terjadinya tiap-tiap huruf Batak itu dan
kuceritakan itu kepada murid-muridku, tentu mereka pun tidak akan lupa lagi kepada bentuk
dan bunyi hurufhuruf itu. Tetapi adakah orang yang mengetahui bagaimana terjadinya huruf-
huruf Batak itu. Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada. Sekarang apa dayaku? Hah, baiklah
aku sendiri mengarang cerita-cerita itu. Kepada murid-muridku tentu tidak akan saya
beritahukan, bahwa cerita-cerita itu hanya buah khayalanku saja."Maka mulailah datu Aii
Ginagan memeras otak mengkhayalkan cerita-cerita asal mula jadinya huruf-huruf Batak itu.
Akhirnya ia berhasil dengan sangat memuaskan dan terciptalah suatu cara. (metode)
mengajarkan huruf-huruf Batak yang sangat bagus dan sangat unik, tetapi sangat bermutu.
Metode yang diciptakan oleh datu guru Aji Ginagan yang berupa cerita-cerita itu adalah
sebagai berikut:
Cerita terjadinya aksara (huruf) yang berbunyi "na".
Pada zaman dahulu kala ada seorang datu (dukun) yang bernama Datu Aji Bolak dan bergelar:
Datu panasaknasak, datu. panusuknusuk,Sipatata naung masak, siparata naung busuk. Artinya : Dukun yang dapat membuat sesuatu mudah terbakar, dapat menusuk-nusuk, dukun
yang sanggup mengembalikan yang masak menjadi mentah dan mengembalikan yang busuk
menjadi baik dan segar.
Dukun ini mempunyai seorang anak bernama si Aji Gora, seorang anak yang selalu
suka membuat yang lucu-lucu. Pada waktu itu masih belum ada tulisan Batak (Surat Batak).
Tetapi Datu Aji Bolak tahu bahwa bangsa-bangsa lain telah mempunyai tulisan. Oleh karena
itu setiap hari ia selalu berikhtiar menciptakan semacam tulisan yang akan mempunyai sifat-
sifat yang; cantik tetapi sederhana bentuknya, mudah ditulis dan mudah dipelajari. Lama
sudah ditunggu-tunggunya datangnya ilham tetapi apa yang diidam-idamkannya tak kunjung
timbul, sampai pada suatu hari ia tertawa terbahak-bahak melihat anaknya si Aji Gora
melakukan sesuatu yang sangat lucu dalam pandangannya. Waktu itu ada seekor ayam betina
mereka sedang bertelur, di semak-semak dekat "sopo godang" (lumbung besar) mereka itu,
karena mereka belum sempat membuat tempat bertelur buat ayam tersebut. Biasanya sesudah
ayam itu bertelur, lbu si Aji Gora datang memungut telur itu dan menyimpannya di rumah.
Tetapi pada hari itu ibu si Aji Gora tidak sempat mengambil telur itu karena sibuk bertenun di
"sopo godang"; disuruhnya si Aji Gora memungut telur itu. Si Aji Gora pun pergilah ke
semak-semak tempat ayam itu bertelur dan diambilnya telur itu. Rupa-rupanya ia ingin sekali
membuat yang lucu. Karena itu diambilnya sebuah tongkat yang panjangnya sedepa dan
diikatnyalah telur itu di ujung tongkat itu seperi gambar ini: Sesudah itu pergilah ia ke "sopo
godang" untuk menyampaikan telur itu kepada ibunya. la tidak naik ke atas tetapi berdiri saja
di bawah dan hanya menjulurkan tongkat yang pada ujungnya terikat sebuah telur, kepada
ibunya di atas dan berseru, "Na, na, na!" (artinya: ini, terimalah!)
Datu Aji Bolak yang pada waktu itu sedang memperbaiki pipanya melihat perbuatan
anaknya itu dan karena lucunya diapun tertawa terbahak-bahak. Tetapi sekonyong-konyong
tawanya seolah-olah terpotong dan dengan mata yang berapi-api ia memandang tongkat dan
telur itu. "Ah!" katanya dalam hati, "ini dia permulaan apa yang saya cari selama ini. Tongkat
dan telur. Sungguh indah bentuk itu dibuat menjadi satu huruf di antara aksara-aksara yang
hendak saya ciptakan itu dan akan saya sebut huruf ini "na" sesuai dengan seruan "na" si Aji
Gora tadi pada waktu hendak menyampaikan telur itu kepada ibunya. Demikianlah asal
mulanya terjadi huruf "na" dengan bentuk: Dan sekarang bentuknya seperti ini: n = na.
Cerita terjadinya huruf (aksara) yang berbunyi "ha".
Beberapa hari kemudian terjadi pula sesuatu yang lucu dalam perbuatan si Aji Gora. la
disuruh oleh ibunya mengait buah jambu di dekat "sopo godang" itu. Untuk itu si Aji Gora
mencari kayu pengait. Tidak diketahui apakah si Aji Gora hari itu bermaksud membuat hal-
hal yang lucu-lucu atau memang benar-benar ia tidak dapat menjumpai sepotong kayu yang
lebih baik karena kayu yang dipakainya untuk mengait jambu itu sangat aneh bentuknya -
yaitu berupa setangkai cabang kayu yang pada ujungnya masih melekat dua buah rantingnya
sehingga berbentuk seperti gambar ini: . Tapi usahanya tidak berhasil karena waktu ia hendak
mengait dengan mempergunakan ranting yang paling ujung, usahanya selalu terganggu oleh
ranting yang kedua. Dan kalau ia hendak mempergunakan ranting yang kedua, juga tak
berhasil karena tidak sampai ke buah jambu itu. Namun demikian ia tetap mencoba terus
mengait buah itu dengan pengait yang dibuatnya itu sampai dia. merasa bosan dan capek, lalu
dengan marah dicampakkannya kayu pengait itu. Ketika itu Datu Aji Bolak sedang
memperbaiki sebuah "hudali" (semacam pacul bermata tiga) dan ketika diperhatikannya
perbuatan anaknya itu, tak tertahan lagi rasa gelinya sehingga ia tertawa terbahak-
bahak.Tiba-tiba tawanya terhenti. la diam tanpa bergerak dan matanya berapi-api
memandangi kayu pengait yang dibuat oleh anaknya itu. "Ah!" katanya dalam hati, "ini dia
unsur kedua dari tulisan yang saya idam-idamkan itu. Tangkai kayu yang dua buah
rantingnya masih melekat telah membuat saya ketawa berbunyi, ha, ha, ha! "Kemudian
dijadikannyalah gambaran dahan kayu yang masih mempunyai dua ranting itu menjadi
bentuk huruf kedua dan dibuatnya berbunyi: "ha". Demikian bentuknya h = ha.
Terjadinya aksara yang berbunyi "ga " dan aksara yang berbunyi "la ".
Sebulan kemudian ibu si Aji Gora menyuruh anaknya menggantungkan benang yang baru
dicat (istilah Batak "ditubar"), sebagian merah dan sebagian hitam, pada sebuah galah (istilah
Batak: "gala") yang telah tersedia. Kata ibu itu, "Nak, gantungkan dulu benang ini ke galah
itu, tetapi jagalah agar benang yang hitam jangan menyentuh yang merah. Jadi, bagi dualah
galah itu, yang separuh untuk tempat yang merah dan yang separuh lagi untuk yang hitam."
"Baik, Bu," kata si Aji Gora. Karena ia seorang anak yang teliti, maka dimulainyalah lebih
dahulu membagi dua galah itu. Sesudah ia mengetahui titik pertengahan galah itu,
diikatnyalah sepotong tali pada titik pertengahan galah itu sebagai batas tempat gantungan
benang yang merah dan yang hitam. Juga pada hari itu Datu Aji Bolak memperhatikan benar
perbuatan anaknya. Tidak ada yang lucu. Tetapi sekonyong-konyong Datu Aji Bolak
mendapat ilham.Setelah ia melihat galah yang telah terbagi dua oleh sepotong tali dan
berbentuk seperti ini ia berkata dalam hati: "Baiklah saya bagi dua nama galah itu menjadi:
"ga" dan "la". Dan bentuk galah itu sendiripun akan saya bagi dua bersama talinya. Kedua
bagian itulah akan saya jadikan dua buah huruf yang baru. Bagian yang satu akan saya sebut
"ga" dan yang sebuah lagi "la". Dan dengan demikian saya akan memperoleh tambahan dua
huruf baru lagi." Dengan demikian terjadilah unsur ketiga dan keempat dari "surat" Batak,
yaitu : g = ga, dan l = la.
Terjadinya aksara yang berbunyi "ba".
Pada suatu hari Datu Aji Bolak bermaksud mau mengunjungi "lae"-nya (saudara laki-taki
istrinya) yang bertempat tinggal di daerah lain bersama-sama istrinya. Pada waktu itu di
tempat "lae"-nya itu orang sedang dalam keadaan paceklik, karena itu mereka hendak
membawa sedikit padi. Padi itu dimasukkan ke dalam dua buah karung yang agak kecil.
Biasanya kaum wanitalah yang berkewajiban membawa itu, tetapi karena perjalanan itu agak
jauh, maka Datu Aji Bolak bermaksud akan memikul sendiri kedua karung padi tersebut.
Dengan demikian istrinya akan dapat berjalan lebih cepat, sehingga mereka akan lekas
sampai ke tempat tujuannya. Oleh karena, itu datu Aji Bolak menyuruh anaknya si Aji Gora
menyiapkan sebuah pikulan dan mengikat kedua karung itu pada kedua ujung pikulan itu.
Pada waktu si Aii Gora menyiapkan pikulan itu,datu Aji Bolak beserta istrinyapun
bersiapsiaplah. Waktu hendak berangkat, terlebih dahulu datu Aji Bolak memeriksa
pekerjaan anaknya si Aji Gora. Tetapi alangkah herannya ia melihat hasil pekerjaan anaknya
itu. Tidak diketahuinya apakah si Aji Gora hendak bergurau pada waktu itu, ataukah dia
betul-betul bodoh, namun hasil pekerjaannya itu membuat ayahnya sangat heran, sehingga
dia berseru: " Ba, ba, ba! " (Noot. orang Batak biasanya kalau keheranan. selalu berseru: ba,
ba, ba). Apa yang dilihat oleh datu Aji Bolak sebenarnya? Yang dilihatnya adalah suatu
pikulan kayu yang terlalu pendek sehingga kedua karung padi itu terikat berdempetan di
kedua ujungnya. Dengan demikian tidak ada lagi tempat untuk bahu yang akan memikulnya
karena bentuknya menjadi seperti gambar ini: .
Mula-mula datu Aji Bolak hendak marah kepada anaknya. Tetapi tiba-tiba dia mendapat
ilham dan berkatalah dia dalam hatinya, "Ini adalah suatu bentuk yang bagus untuk menjadi
sebuah huruf. Sebuah pikulan, dua karung yang berisi dan berdempetan pada pikulan itu dan
seruanku: ba, ba, ba." Maka terjadilah sebuah huruf baru yang menyerupai sebuah pikulan
dengan dua buah karung yang berdempetan dan bunyinya "ba", seperti gambar ini: = b ba.
Terjadinya aksara yang berbunyi "pa".
Dua bulan kemudian nampaklah datu Aji Bolak duduk-duduk termenung di atas sebuah tikar
kecil di depan "sopo godang". Telah dua kali nampak bulan purnama, namun ilham yang
baru belum juga timbul. "Surat" yang diidam-idamkannya masih jauh daripada lengkap. Apa
daya? Maka berpikirlah dia, "Tidak baik hanya menunggu-nunggu ilham saja. Manusia itu
berotak. Dan otak itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. " Waktu itu anaknya si Aji Gora
sedang mengukur-ukur panjang tali yang baru siap dipilinnya dengan depanya, dan dia
berseru dengan. kegirangan, "Sirsir sampulu dopa!" (tepat sepuluh depa). Mendengar
perkataan "dopa". datu Aji Bolak berkata dalam hatinya: "Kalau kedua belah tangan
direntangkan lurus-lurus sehingga membentuk sepotong garis lurus (-) itulah dinamakan satu
"dopa".
Baiklah sepotong garis lurus juga saya ambil menjadi huruf baru untuk "surat" ciptaanku itu
dan baiklah saya sebut unsur itu "pa" yaitu bunyi suara "pa" dari perkataan "dopa".
Noot: mungkin para pembaca yang budiman ada yang bertanya: kenapa unsur itu diberi
sebutan "pa" dan bukan "do"? Jawabnya, perkataan "dopa" terdiri dari dua suku kata. "do"
dan "pa". Pada pemikiran datu Aji Bolak dalam menciptakan unsur unsur "surat" yang
diidam-idamkannya, maka dia telah menetapkan bunyi unsur-unsur itu semuanya harus,
berakhiranvokal "a" dan tidak boleh bervokal "o", "i", "u" atau "e". Itulah sebabnya huruf
yang baru itu disebut "pa" dan bukan "do". Dengan demikian terjadilah unsur p = pa.
Terjadinya aksara yang berbunyi "nga".
Setelah itu datu Aji Bolak tidak lagi menunggu-nunggu datangnya ilham, tetapi tetap terus
memeras otak menciptakan unsur-unsur baru melengkapi "surat" idam-idamannya itu.Pada
suatu hari dia duduk-duduk di depan "sopo godang". Didekatnya duduk seorang anak yang
badannya telah besar, tetapi "tidak mempunyai otak". Maksudnya anak itu bebal sekali, yang
nampak dari caranya berbicara, duduk dan memandangi sesuatu. Kalau dia tak berbicara,
mulutnya selalu menganga terus, sehingga kadang-kadang dimasuki lalat dan itulah.
sebabnya orang menamainya "si Bondut Lanok" (si Penelan Lalat). Datu Aji Botak pada
mulanya tidak memberikan perhatian kepada si anak yang duduk di sampingnya itu. Si
"Bondut Lanok" pun tidak berbuat apa apa yang dapat menarik perhatian datu Aji Bolak.
Tetapi karena pada hari itu tak ada terjadi apa-apa yang menarik perhatian datu itu, maka ia
memandangi anak yang bebal itu. Anak itu tidak berhadapan muka dengan datu Aji Bolak,
sehingga datu itu hanya melihat muka si Bondutlanok itu dari samping dan nampaklah suatu
profil (bentuk muka dari samping) yang agak lucu disebabkan oleh mulutnya yang lebar
menganga terus-menerus. Tiba-tiba timbul dalam otak datu Aji Bolak suatu gambaran mulut
yang me nganga (istilah Batak: "ngangang" atau "nganga") dan bunyi "nga"; maka pada saat
itu juga dibuatnyalah gambar mulut yang menganga ( ) menjadi sebuah unsur baru
dari"surat"ciptaannya dan disebut "nga". Dengan demikian terjadilah huruf : < = nga.
Terjadinya aksara yang berbunyi "ja".
Seminggu kemudian duduk-duduk pulalah datu Aji Bolak didepan sopo godangnya dan di
dekatnya turut juga duduk-duduk si "Bondut Lanok" yang pada waktu itu mengarahkan
pandangannya ke seekor burung elang yang terbang berkeliling-keliling mencari mangsanya.
Juga pada waktu itu mulutnya ternganga lebar-lebar sebagaimana biasanya.
Tiba-tiba terbanglah seekor lalat menuju mulut yang terbuka itu hendak masuk ke dalamnya.
Karena datu Aji Bolak pada hari itu kebetulan memperhatikan mulut anak itu, maka
terlihatnyalah lalat itu ketika hendak masuk ke dalam mulut si "Bondut Lanok", maka datu
Aji Bolak hendak berseru, "Jaga!" (Awas!) untuk memperingati anak itu, tetapi baru saja dia
mengucapkan "ja". si "Bondut Lanok" telah mengatupkan mulutnya, dan setelah merasa
bahwa binatang itu telah mati, dimuntahkannya keluar dengan cara, seolah-olah pekerjaan
yang demikian setiap hari dilakukannya. Dan pada saat timbul dalam pikiran datu Aji Bolak
suatu gambaran momen adegan: seekor lalat terbang masuk ke dalam mulut yang menganga,
disertai bunyi seruannya "ja" dan pada detik itu pulalah dibuatnya gambar itu menjadi unsur
baru "surat" ciptaannya dan disebutnya "ja". Demikianlah terjadinya huruf j = ja.
Datu guru Aji Ginagan mengadakan ujian pertama.
Telah 7 hari berturut-turut datu-guru Aji Ginagan memberi "kuliah" kepada murid-muridnya
tentang "surat Batak". Jumlah aksara yang telah diajarkannya dalam bentuk cerita-cerita telah
berjumlah 8 buah. Seluruh jalan "kuliahnya" itu dicatatnya baik-baik pada sekerat bambu,
dengan tulisan Batak tentunya.Karena bilangan (angka) 7 adalah angka sakti untuk orang
Batak pada waktu itu, maka sebelum melanjutkan "kuliahnya" datu guru Aji Ginagan harus
memeriksa dahulu hasil pekerjaannya selama 7 hari itu. Hanya ada 2 penilaian dan 2
alternatifnya. Kalau hasil pekerjaannya memuaskan, "kuliahnya" akan diteruskan dengan
didahului makan bersama menurut kebiasaan adat (istilah Batak: sipanganon na "marnidok"
atau "na marhadohoan" atau "na marpanggoari"), untuk mendoakan yang baik-baik (istilah
Batak: manjou gogo mangkirap tua, yang artinya: memanggil atau mendoakan kekuatan
atan tenaga dan tuah). Kalau hasil pekerjaannya menyedihkan, pelajaran itu harus dihentikan
saja, tetapi dengan terlebih dahulu makan bersama untuk mendoakan agar segala yang jelek
menjauh sesuai dengan filsafat nenek moyang yang bunyinya sebagai berikut:
"Sisaruon do na uli, sisaemon do na hurang. " (Artinya: Untuk mendatangkan yang baik-baik harus dilakukan sesuatu dan demikian juga
untuk menolak atau menampik yang jelek dan yang buruk harus juga dilakukan sesuatu,
dengan pengertian, datulah yang akan menentukan apa yang harus dilaksanakan).
Pada hari yang kedelapan sesudah semua murid-muridnya duduk di atas sebuah tikar yang
disebut dengan nama penghormatan "lage tiar" (tikar "tiar") sesuai dengan peraturan adat,
walaupun tikar itu adalah tikar biasa saja, maka berkatalah datu guru Aji Ginagan kepada
para muridnya, "Telah 7 hari berturut-turut saya ceritakan kepadamu bagaimana asal mulanya
beberapa buah "mata ni surat" itu. Bagaimana, sudahkah kalian sekarang dapat mengenalnya?
Dan dapatkah kalian menceritakan rupa atau bentuk tiap-tiap aksara itu? Siapa mau
menjawab, jawablah!" Seorang dari para muridnya yang bernama Ama ni Oga menjawab,
"Datu guru, belum pernah kami belajar sesenang dan secepat yang kami alami selama 7 hari
itu. Sekarang barulah kami benar-benar merasakan arti filsafat nenek moyang kita yang
berbunyi:
Sidua uli songon na mangan poga,Mate panahit, bosur butuha. (Artinya: Seperti makan poga (semacam sayuran), memperoleh keuntungan sekaligus, cacing
dalam perut mati dan perut kenyang).
Begitulah cerita-cerita guru kami pada pelajaran-pelajaran yang diberikan sangat menarik dan
mengesankan; semuanya kami perhatikan dengan sungguh-sungguh." Mendengar ucapan. itu,
datu Aji Ginagan. berkata, "Baik sekali perkataanmu itu, Ama ni Oga. Sekarang buktikanlah
bahwa kini tidak hanya perutmu saja berisi berupa senang mendengar cerita-cerita itu, tetapi
juga cacing dalam perutmu pun telah mati, artinya penyakit buta hurufmu pun telah sembuh.
Coba katakan bagaimana bentuk aksara yang bunyinya "ba" dan jelaskan." Ama ni Oga
segera, menjawab, "Pikulan yang kayunya terlalu pendek, sehingga kedua karung yang berisi
padi yang diikatkan kepada kedua ujungnya berdempetan. ""Bagus," kata datu guru Aji
Ginagan, "sekarang kaulah dulu, Bindoran.
Ada aksara, berbentuk mulut menganga hendak dimasuki seekor lalat, bagaimana bunyi
aksara itu?" Dengan cepat si Bindoran menjawab; "Bunyinya, "ja", guru kami". "Bagus
benar," kata datu guru Aji Ginagan. Dengan cara demikianlah dicobanya pengetahuan semua
muridnya. Nyatalah bahwa tak seorang pun yang tidak dapat menjawab dengan benar. Karena
itu datu Aji Ginagan merasa senang sekali dan bangga atas metodenya yang sekarang terbukti
kemanjurannya. Dengan demikian makanan pun dihidangkan oranglah dan bersantaplah
mereka dengan hati riang dan gembira.Keesokan harinya datu guru Aji Ginagan pun
melanjutkan "kuliahnya" dengan suatu cerita baru sebagaimana tertulis di bawah ini.
Permulaan aksara yang berbunyi "da"
Pada suatu hari ibu si Aji Gora menyuruh anaknya pergi ke kampung mamaknya meminta
sebatang anak pohon pisang yang hendak ditanamnya di belakang rumahnya. Pagi-pagi benar
berangkatlah si Aji Gora. ke kampung mamaknya itu dan baru sore hari dia pulang dengan
membawa sebatang anak pohon pisang yang daun-daunnya telah dipotong karena tak perlu
lagi. Kemudian ibu si Aji Gora, menanamnya di belakang rumah mereka. Tetapi pada malam
harinya datanglah seekor babi mengorek tanah tempat anak pohon pisang itu ditanam. Dan
pada keesokan harinya terlihat oleh si Aji Gora dan ibunya bahwa batang anak pohon pisang
itu tidak lagi berdiri tegak. "Mari saya betulkan kembali," kata si Aji Gora. Lalu diambilnya
sepotong kayu dan ditopangnyalah batang pohon pisang itu sehingga tampak gambarannya
seperti ini:
Menurut pendapat si Aji Gora cara demikian untuk sementara waktu sudah cukup baik.
Tetapi ibunya belum puas dengan perbaikan sementara itu dan berkata kepada anaknya.
"Tidak anakku, saya tidak setuju perbaikan semacam itu. Anak pohon pisang itu harus kamu
buat kembali berdiri lurus dan kuat. Perdalamlah lobang tempatnya itu dan buat pagar di
sekelilingnya,". Tetapi si Aji Gora bersikap acuh tak acuh terhadap perintah itu yang
membuat ibunya agak marah, sehingga ibunya dengan suara keras berkata dengan tegas,
"Hari ini juga kau harus laksanakan yang saya katakan itu! " Dan untuk memberi tekanan
kepada perintahnya itu, beberapa detik kemudian ia berseru, "Da!" (Noot: "'da" adalah kata
seru dalam bahasa Batak untuk memperkuat perintah atau permintaan). Kebetulan datu Aji
Bolak berada di dekat mereka dan semua kejadian itu dengan jelas dilihat dan di dengarnya.
Pada saat mendengar seruan istrinya dengan perkataan "da", terpandang olehnya batang anak
pohon pisang yang bertopang itu serta hatinyapun berbisik; "Ini dia sebuah unsur yang baru
bagi "surat" idam-idamanku." Dan datu Aji Bolak pun menuruti bisikan itu dan disebutnyalah
gambar batang pisang yang bertopang itu "da". Dengan demikian terjadilah aksara: d = da
Terjadinya aksara yang berbunyi "ra".
Teman-teman datu Aji Bolak semuanya adalah petani-petani yang rajin. Kampung itu selalu
dipenuhi kesibukan-kesibukan; ada yang menumbuk padi, ada yang menganyam, ada yang
bertenun dan lain sebagainya. Tetapi di antara orang-orang kampung itu ada seorang
perempuan yang luar biasa rajinnya, yaitu Nan Tobok. Dia tak pernah diam, dan selalu ada
saja yang dikerjakannya. Karena itu kawan-kawannya menggelarinya Nai Humasungseng
("humasungseng" dapat diartikan sebagai selalu repot, dengan bertingkah berjalan ke sana,
berjalan ke sini seolah-olah ada saja yang dicarinya, serta memeriksa ini, memeriksa itu
melihat ke sini, melihat ke sana seolah-olah ada yang kurang beres atau ada yang mau
dikerjakannya) dan nama itulah yang menjadi panggilannya. Dia tidak hiraukan gelar tersebut
walaupun dia tahu bahwa gelar itu sebenarnya adalah suatu ejekan terhadap "kerepotan"
dirinya.
Pada suatu hari Nai Humasungseng benar-benar "humasungseng". Melihat itu datu Aji Bolak
menegurnya, "Ue Nai Humasungseng! Kenapa kau begitu humasungseng hari ini? Adakah
sesuatu yang hilang atau adakah suatu hal yang tak beres?" Nai Humasungseng menjawab,
"Begini amangboru, (suami saudara perempuan ayah) Saya sangat kesal karena tak melihat
"alu" dan "hudali" (semacam pacul) saya. Saya tak tahu siapa yang mengambil barang-barang
itu. Bursik ma i, asu i" ("Semoga mampuslah anjing itu!" Ini hanya merupakan ucapan tanda
kekesalan hati). Padahal hari ini saya harus menyelesaikan semua pekerjaan saya. Saya mau
pakai apa? Tolonglah amangboru, "tondungi"lah dahulu di mana barang-barang saya itu
berada sekarang." ("Tondung" arinya tenung). Mendengar keluhan serta permintaan Nai
Humasungseng itu, datu Aji Bolak menyahut, "Ah bagaimana kau ini Nai Humasungseng.
Kau pikir "martondung " itu gampang saja? "Alu" dan "hudali"-mu itu belum seimbang
harganya dengan beratnya "Martondung". karena kalau barang-barang itu benar-benar hilang,
dapat saja kau ganti deagan yang lain. Tetapi tak mengapa, saya akan menolongmu mencari
barang-barang itu. Saya kira kau terlalu "humasungseng" mencarinya sehingga kurang teliti."
Demikianlah selanjutnya mereka pun bersama-samalah mencari barang-barang yang hilang
itu. Tidak lama kemudian datu Aji Bolak berkata, "Ha! Apa itu yang jauh di sana? Bentuknya
mirip dengan barang-barang yang kita cari. Saya rasa itu adalah alu dan hudalimu. "Datu Aji
Bolak melihat dua buah benda yang mirip bentuknya dengan sebuah "Alu" dan "hudali" di
suatu tempat yang agak jauh, terletak berdampingan di tanah dan memberikan gambaran
seperti ini: . Nai Humasungseng, yang juga melihat ke arah yang ditunjuk oleh datu Aji Bolak
itu, berseru dengan riang dan gembira, "Ra." (Artinya: barangkali) dan iapun berlari ke
tempat barang-barang itu terletak. Datu Aji Bolak mengikutinya dari belakang. Pada matanya
terbayang gambar "Alu" dan "hudali" yang terletak berdampingan di tanah, dan di telinganya
terus mengiang seruan Nai Humasungseng yang menyebut "ra". Saat itu juga dibuatnyalah
gambar alu dan hudali tadi menjadi sebuah huruf yang baru dan diberi nama
"ra".Demikianlah terjadinya aksara: r
Permulaan aksara yang berbunyi "ma"
Musim menuai padi (istilah Batak: "manggotil") sudah berlalu. Lumbung-lumbung padi
para penduduk kampung telah penuh berisi, termasuk lumbung padi datu Aji Bolak.Pada
suatu hari ibu si Aji Gora menyuruh anaknya si Aji Gora menjemur padi untuk ditumbuk
karena persediaan beras mereka sudah habis. Dengan patuh si Aji Gora mengambil sebuah
karung baru dan mengisinya dengan padi yang diambilnya dari "ompon" (karung besar
tempat menyimpan padi), tetapi tidak penuh hanya setengah saja. Kemudian karung itu
diikatnya agar isinya jangan tumpah kalau diangkatnya. Karena karung itu masih baru dan
juga bahannya agak keras, maka setelah diikat, bentuknya seperti gambar ini . Setelah itu si
Aji Gora bertanya kepada ibunya, "Gukup sebegini, Bu?" Ibunya menyahut, "Ma!" (artinya =
sudah) Pada waktu itu datu Aji bolak ada di situ dan sedang memperhatikan bentuk karung
itu serta seruan istrinya "ma" tadi. Saat itu juga ia seolah-olah mendengar bisikan, yang
menyarankan agar dia memakai gambaran bentuk karung itu sebagai unsur "surat" dalam
ciptaannya serta memakai seruan "ma" sebagai bunyi "surat" baru ini . Dengan demikian
terjadilah aksara = ma. Tetapi letak karung itu kemudian diubahnya begini agar lebih mudah
menuliskannya serta indah kelihatan, dan terjadilah aksara m = ma.
Permulaan aksara surat Batak yang berbunyi "ta".
Pada suatu hari tepat hari "Singkora Maraturun" (tanggal 20) pada bulan Sipahatolu (bulan
ketiga), seorang putri datu Aji Bolak yang telah kawin dengan seorang penduduk kampung
lain dan telah mempunyai seorang anak laki-laki betumur kira-kira setahun, datang
berkunjung ke rumah orang tuanya yaitu datu Aji Bolak dengan membawa anaknya ikut serta.
Keluarga datu Aji Bolak sangat gembira menerima putri serta anaknya yang nampaknya
sangat sehat dan. gemuk. Terlebih lagi si Aji Gora sangat gembira dan merasa bangga atas
gelar yang diperolehnya sebagai "tulang" (paman atau mamak). Tidak jemu-jemu dia
menggendong anak itu serta memanjakannya. Tetapi datu Aji Bolak menasihati si Aji Gora,
"Anak itu jangan digendong-gendong saja, Aji Gora, tidak baik begitu. Biarkan saja dia
bermain-main di lantai dan kalau ada waktumu, baiklah tolong dia dan latih perlahan-lahan
memakai kakinya agar dia dapat cepat berjalan." (Noot penulis: Istilah Batak untuk melatih
anak kecil berjalan ialah "mananta".) Cara orang "mananta" adalah sebagai berikut: Kedua
tangan anak itu dipegang sedang anak itu dalam keadaan berdiri dan saling berhadapan
dengan yang "mananta", biasanya orang yang "mananta" itu dalam posisi berdiri juga dan
sedikit membungkuk ke arah si anak. Dengan keadaan demikian, yang "mananta "
mengusahakan agar si anak melangkahkan kakinya ke depan yaitu dengan cara menarik si
anak lambat-lambat. Sama dengan sebuah barisan tentara yang sedang latihan baris berbaris,
agar gerakan kaki berjalan teratur diberikan aba-aba: kiri kanan, kiri kanan atau. satu dua,
satu dua demikian juga dalam "mananta" ini diberi aba-aba yang bunyinya: ta-ta, ta-ta, ta-ta.
Dari sebutan aba-aba inilah timbul sebutan "mananta" untuk pekerjaan melatih anak-anak
berjalan).
Si Aji Gora pun mengikuti anjuran ayahnya dan dimulainyalah "mananta" kemanakannya itu
(istilah Batak untuk kemanakan, yaitu anak dari saudara perempuan kita, ialah "bere") dan
berkumandanglah aba-abanya: ta ta, ta ta, ta ta. Dengan asyik datu Aji Bolak mengikuti
latihan itu. Dan dengan tidak disadarinya tergambarlah didalam otaknya suatu gambaran anak
yang sangat sederhana yang bentuknya seperti: dan bunyi aba-aba si Aji Gora. yang selalu
bergema di telinganya: ta ta, ta ta, dan akhirnya oleh bisikan hati datu Aji Bolak gambaran
sederhana tersebut terambil menjadi suatu unsur baru bagi "surat" ciptaannya. Maka saat itu
ditetapkannyalah gambar tersebut menjadi aksara baru yang ber-bunyi "ta". Kemudian bentuk
gambaran itu disederhanakannya lagi dengan menghilangkan bagian yang menggambarkan
kepala sehingga terjadilah bentuk: t = ta.
Permulaan aksara yang berbunyi "sa".
Pada suatu hari datu Aji Bolak pergi ke ladangnya untuk membersihkannya dari belukar-
belukar yang telah bertumbuhan. Telah lama dia bermaksud hendak menanam ketimun di situ.
(Nootpenulis: dahulu kala ketimun itu sangat digemari oleh datudatu. Mungkin karena ada
filsafat nenek moyang orang Batak yang berbunyi:
"Lambok ansimun, ingkon lumambok dope tangan ni datu. (Artinya: ketimun itu sejuk, tetapi tangan datu harus lebih sejuk. Maksudnya: datu itu
hendaknya selalu berhasil menyembuhkan penyakit orang)
Berhubung dengan filsafat itu, maka pada zaman dahulu para datu selalu suka makan ketimun,
walaupun para datu itu tahu benar bahwa "tangan dingin" datu itu sekali-kali tak ada sangkut
pautnya dengan buah ketimun. Selain itu para datu selalu menamai ketimun itu "ansimun
sipalambok" (ketimun sipenyejuk) dan obat yang diberikannya kepada seseorang disebutnya:
"tambar sipangalumi" (obat si penyembuh). Pada waktu ini kedua istilah itu banyak dipakai
orang pada waktu pekerjaan "mangadathon" (membuat supaya masuk adat) sepasang
pengantin yang kawin lari. Uang yang harus diberi oleh "parahak" (pihak penganten lelaki)
tidak lagi dinamai "boli" tetapi "sombasomba" (persembahan) karena "paranak" dipandang
bersalah. Dan waktu mempersembahkan "sombasomba" itu, pihak "Paranak" berkata, "Raja
kami, inilah "anasimun sipalambok" untuk raja kami, karena kami telah membuat panas hati
raja kami, semoga hati raja kami kembali "lambok" (sejuk enak) terhadap kami. Dan
persembahan kami inilah juga menjadi "tambar sipangalumi" hati raja kami, karena kami
telah membuat sakit hati raja kami, semoga hati raja kami kembali "las" (panas enak)
terhadap kami. Sekian noot penulis).
Sesudah datu Aji Bolak tiba di ladangnya dan berjalan menembusi semak-semak yang
tumbuh dengan subur, maka beterbanganlah belalang besar-besar dan gemuk-gemuk yang
membuat terbit air liur datu Aji Bolak."Ha," pikirnya, "sebelum saya bersihkan ladang ini,
baiklah saya tangkapi dahulu belalang-belalang yang enak ini. Telah sebulan kerongkongan
saya tidak pernah dilalui sesuatu yang mengelusnya."Maka dimulainyalah menangkapi
binatang-binatang itu dan tidak berhenti sebelum keranjang kecilnya yang selalu dibawanya
kalau pergi ke ladang, penuh. Sesudah itu dimulainyalah membersihkan ladangnya itu sampai
semua semak-semak habis ditebas.
Kira-kira setengah hari lamanya ia bekerja. Sesudah itu beristirahatlah dia. Sedang dia
melepaskan lelah itu, dinyalakannyalah api, karena dia hendak "manaok" (menggoreng tanpa
minyak) belalang-belalang yang telah ditangkapnya itu. Dalam pada itu tibalah istrinya
membawa "tugo" (yaitu makanan yang sangat sederhana untuk dimakan di ladang atau di
sawah, sekedar membuat agar orang jangan terlalu lapar, jika pulang ke rumah sesudah habis
bekerja). Tidak lama kemudian suami istri itu makanlah dengan sangat lahapnya. Sewaktu
mereka sedang makan, dalam otak datu Aji Bolak selalu terbayang-bayang gambar belalang
yang sedang memeluk canting kayu dan membuka sayapnya hendak terbang. Jadi gambaran
itulah yang membayangkan suatu bentuk sederhana dari badan, kepala dan sayap, seperti
lukisan. ini: . Garis panjang itulah badannya, garis pendek pada sebuah ujungnyalah kepala
dan garis yang ke atasnyalah sayap. "Hm," katanya dalam hati, "benar-benar suatu gambar
yang sangat baik dijadikan sebuah unsur "surat" yang saya idam-idamkan. Hanya bagaimana
bunyinya?" Istrinya tidak tahan turut bungkem seperti suaminya yang diam saja memikirkan
penemuan barunya itu. Dapat dimaklumi mengapa istrinya berperasaan demikian karena
umumnya kaum wanita sangat suka berbincang-bicang, baik dahulu maupun sekarang.
Karena itu berkatalah dia kepada suaminya, "Rupa-rupanya kanda sangat menikmati belalang
itu, ya? Sehingga kanda tak sempat berbincang-bincang." Datu Aji Bolak menyahut, "Ya,
memang begitulah. "Sombu" (puas dengan perasaan nyaman) betul perasaanku.
Bagaimana adinda?" Istrinya menjawab, "Sayapun begitu juga, sudah "sa" benar perasaanku,
dan belum selesai istrinya berbicara, sekonyong-konyong datu Aji Bolak menekankan jarinya
ke mulut istrinya dan berseru, "So jo! (tunggu dulu) Saya mendapat ilham dan jangan
teruskan dulu bicaramu." Istrinya menurut saja dan menutup mulutnya rapat-rapat, bukan
karena marah tetapi karena ia tahu bahwa suaminya pada saat itu mendapat ilham yang sangat
berharga. Sebentar lagi berkatalah datu Aji Bolak, "Sa", ya, ya, begitulah akan saya sebut
gambar itu. ("sa " artinya sama saja dengan "sombu") "Dan kepadamu," datu itu melanjutkan
bicaranya, "saya sangat berterima kasih, adinda, karena adindalah sebenarnya yang membuat
saya mendapat sebutan yang tepat bagi unsur baru "surat" ciptaanku."Maka demikianlah
terbentuk aksara s = sa
Datu Aji Bolak menemui kesulitan pertama.
Pada suatu hari datu guru Aji Ginagan memulai "kuliah"-nya dengan sambungan cerita-cerita
datu Aji Bolak yang menciptakan "surat" Batak itu. Katanya, "Murid-muridku sekalian,
jangan pikir bahwa datu Aji Bolak selalu mendapat ilham. Tidak! Pernah juga dia hampir
putus asa karena tidak mendapat ilham, seperti yang akan kamu dengar dalam ceritanya yang
berikut ini.Pada suatu hari datu Aji bolak memeriksa aksara-aksara ciptaannya. Telah 13 buah
jumiahnya. Ya, tepat 13 yang menurut kepercayaan orang Batak waktu itu adalah merupakan
bilangan penunjuk nasib baik. Ketigabelas aksara itu adalah yang berbunyi vokal a: ha, ga,
nga, sa, ja, ta, da, na, pa, ba, ma, ra dan la. Tetapi masih jauh daripada lengkap. Ia masih
memerlukan lagi aksara-aksara yang bervokal i yaitu: hi, gi, ngi, si, ji, di, ni, pi, bi, mi, ri, li,
dan ti. Dan begitu juga aksara-aksara yang bervokal, "o", "u" dan "e" jadi harus dicari lagi 4 x
13 aksara = 52 aksara. Dan yang baru siap hanyalah 13 buah. Wah, ini bukan soal kecil.
Benar-benar sebuah gunung kesulitan. Ada beberapa hari lamanya datu Aji Bolak duduk
termenung saja. Tak aaa terjadi apa-apa yang memberikannya inspirasi. Karena itu
perasaannya benar-benar seperti yang disebut oleh filsafat Batak:
"Songon na hatostosan hail. "
(Artinya: Seperti pengail yang melihat tali kailnya putus.Maksudnya: pada permulaannya dia
sangat bersukacita karena mengetahui kailnya telah ditelan oleh seekor ikan besar tetapi
akhirnya merasa sangat kecewa melihat tali kailnya putus dibuat oleh ikan besar itu).
Seolah-olah putus asa datu Aji Bolak menjauhkan pikirannya dari "surat" Batak yang hendak
diciptakannya itu dan ia berkata dalam hatinya, "Kepada sayalah filsafat nenek moyang yang
berbunyi:
Naeng mangadu hoda na sangon, naeng mangarimba na isohon.
(Artinya: Yang lumpuh hendak mengadu kuda, dan yang berpenyakit sesak napas hendak
menebang hutan. Maksudnya: hendak dikerjakan sesuatu yang jauh di atas kemampuannya).
Istri datu Aji Bolak lambat laun dapat juga melihat bahwa suaminya telah kehilangan
kegairahannya. Biasanya suaminya itu suka benar berkelakar yang membuat orang
sckelilingnya acap kali tertawa. Tetapi sekarang nampaknya ia sangat lesu dan tak
bersemangat. Karena itu pada suatu hari ia bertanya kepada suaminya, "Kenapa kanda waktu
belakangan ini seperti kehilangan keseimbangan, tidak bersomangat dan seolah-olah
bermuram durja? "Ah," sahut datu Aji Bolak, "apa benar saya nampak serupa itu? Percayalah
adinda, saya tidak kekurangan sesuatu apapun, hanya sibuk memikirkan sesuatu yang sangat
sulit. Malam ini adinda akan melihat suamimu kembali berkelakar." Benar juga yang
dikatakan oleh datu itu kepada istrinya, karena semenjak sore hari itu dia berobah menjadi
riang dan gembira, tetapi bukan karena dia berusaha dan berhasil melawan dan
menghilangkan muram durjanya, melainkan karena kebetulan hari itu ada seorang gadis
menjadi tamu mereka, yaitu putri iparnya yang beberapa bulan yang lalu mereka kunjungi.
Gadis itu masih muda benar. Parasnya cukup cantik, ramah dan tidak kaku dalam gerak gerik
badannya dan dalam perbuatan-perbuatannya., Datu Aji Bolak suka sekali melihat "maen"
(putri saudara laki-laki istri) itu, dan ia bermaksud mengambil gadis itu menjadi "parumaen"
nya (menantu perempuan) yaitu untuk menjadi istri anaknya si Aji Gora. Bukan sekarang
tentunya, karena gadis itu masih muda sekali atau masih remaja. (Istilah Batak: "bajar landit".
"Bajar" artinya muda atau remaja dan "landit" artinya licin. Jadi maksud dari "bajar landit"
adalah sangat muda dan susah ditangkap karena masih enggan kawin). Selain itu si Aji Gora
pun masih belum dewasa.
Bagaimana tanda untuk vokal "i" diperoleh.
Selain kecantikan paras dan kebaikan perangai "maen"-nya itu, masih ada lagi yang dilihat
oleh datu Aji Bolak yang sangat menarik pada gadis itu, yakni suara tawanya yang sangat
meriah nyaring, tinggi dan bervokal (bersuara) "i", sehingga kalau dia tertawa suaranya
kedengaran berupa: hi, hi, hi. Datu Aji Bolak sangat suka mendengar tawa gadis itu, karena
itu dia selalu berikhtiar untuk membuat maennya itu tertawa. Maka berkatalah dia kepada
gadis itu, "0 maen, jika kau tahu, bahwa kau nanti akan menjadi menantu saya, apakah yang
akan kamu buat sekarang?" Gadis itu dengan cepat dapat menangkap maksud dari
"amangboru"-nya (suami dari saudara perempuan ayah) dan mengerti bahwa "amangboru"-
nya hanya berkelakar dan dia pun suka berkelakar. Gadis itu pun menjawab dengan cepat,
"Tentu saja saya suruh anak "amangboru" mengait buah jambu yang ada di sana," lalu dia
tunjuk pohon jambu di belakang "sopo godang". Datu Aji Bolak tersenyum mendengar jawab
"maen"-nya itu dan terus memanggil anaknya si Aji Gora, lalu disuruhnya mengait buah
jambu yang dimaksud oleh si gadis itu. Sesudah si Aji Gora mendengar bahwa buah jambu
itu adalah untuk "pariban"-nya (putri dari saudara lelaki ibunya) yang dilihatnya tersenyum-
senyum duduk di dekat ayahnya, maka timbullah dalam pikirannya untuk membuat hal-hal
yang lucu karena diapun suka juga melihat gadis itu tertawa. Untuk itu diambilnyalah kayu
pengait yang dahulu pernah membuat ayahnya tertawa terbahak-bahak dan dicobanyalah
mengait buah jambu yang ditunjuk oleh paribannya itu. Melihat bentuk pengait yang sangat
aneh itu serta usaha si Aji Gora yang tidak berhasil mengait buah itu, maka tertawalah si
gadis itu terkikih-kikih dan kedengaranlah bunyi tawanya yang cerah dan tinggi: hi, hi, hi, hi.
Mula-mula datu Aji Bolak ikut tertawa terbahak-bahak. Tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa,
matanya terbelalak karena melihat suatu gambaran yang memberikan ilham baru. Gambaran
itu adalah berupa pengait beranting dua dan sebuah jambu yang masih berantara kira-kira
sejengkal dari ujung kayu pengait itu yang demikian gambarnya:
Selanjutnya masih terus terngiang di telinganya suara tawa si gadis itu: hi, hi, hi. "Nah!" dia
berseru dalam hatinya, gambar itu akan saya jadikan unsur baru dari ciptaanku dan akan saya
sebut bunyinya "hi". Jadi yang kusebut "ha" menjadi berbunyi "hi" kalau ditambah dengan
gambar buah jambu( ) Selanjutnya aksara-aksara yang lain akan saya perlakukan begitu juga.
Jadi setiap gambar aksara-bila ditambah dengan gambar buah jambu, maka vokal akhir yang
semula berbunyi "a" menjadi bervokal "i". p = pa dan pi = pi
n= na dan ni= ni
dan lain sebagainya.
Tak terkirakan lagi besar hati datu Aji Bolak melihat perkembangan ciptaannya itu. Dengan
ilham yang diterimanya hari itu ia memperoleh 13 aksara baru sekali gus. "Ini adalah suatu
peristiwa luar biasa," katanya dalam hati, "dan harus dirayakan segera." Disuruhnya istrinya
memotong seekor ayam jantan besar untuk merayakan hari itu. Pada waktu makan, datu Aji
Bolak menyerahkan kepala ayam itu kepada si Aji Gora dan ekorya kepada "maen"-nya
seraya berkata, "Saya berterimakasih kepadamu berdua, karena kamu berdualah yang
membuat saya mendapat ilham yang sangat berharga. Karena itu kamu berdua saya beri
kedua bagian yang terhormat dari ayam ini. Dalam pada itu bukanlah maksudku hanya itu
saja bagian untuk kamu berdua, tapi makanlah mana bagian yang kamu sukai dengan sepuas-
puasnya."
Si Aji Gora dan paribannya berpandang-pandangan agak malu-malu, tetapi si gadis segera
menyahut perkataan amangborunya dengan kelakar, "Terimakasih amangboru, saya harap
saya dapat membuat sesuatu yang membuat amangboru mendapat ilham tiap hari, supaya kita
bisa makan ayam tiap hari." "Ya," sela si Aji Gora, "tetapi dari mana kita bisa mendapat
ayam sebesar yang sedang kita makan ini? Ayam yang ada sekarang semuanya masih kecil."
Istri datu Aji Bolak yang tak mau ketinggalan turut bicara berkata, "Ah, memperoleh ayam
mudah saja, asal ada uang. Kita beli saja di pasar. Berapa ekor pun bisa diperoleh di sana."
Akhirnya berkatalah datu Aji Bolak, "Yang penting sekarang bukanlah ayamnya, tetapi
semoga saya cepat-cepat mendapat ilham lagi, karena masih banyak lagi yang harus saya
selesaikan." Dan yang lain-lain pun menyambut, "Mudah-mudahan!"
Guru Aji Ginagan melanjutkan pelajaran yang diberikannya.
Keesokan harinya, tepat hari "Anggara ni Holom" (tanggal 17), sebelum dimulainya memberi
"kuliah", datu guru Aji Ginagan bertanya kepada murid-muridnya, "Bagaimana pendapatmu
tentang cerita kemarin?" Salah seorang muridnya yang bernama Ama ni Oga. berkata, "Datu
Aji Bolak itu benar-benar orang yang bertuah. "Dan bagaimana pendapatmu, Bindoran ? "
tanya datu Aji Ginagan kepada si Bindoran. "Saya juga berpendapat seperti pendapat Ama ni
Oga, hanya ada tambahannya yaitu bukan hanya datu Aji Bolak yang bertuah, tetapi si Aji
Gora-lah yang paling beruntung karena nanti bakal kawin dengan paribannya yang sangat
cantik, lincah dan genit itu." Mendengar ucapannya itu semua teman-temannya tertawa
terbahak-bahak. Dengan tersenyum datu guru Aji Ginagan berkata, "Kau masih terlalu muda
Bindoran untuk berbicara tentang kawin. Belajarlah baik-baik dan bekerja dengan rajin, agar
kau juga disukai oleh gadis-gadis seperti pariban si Aji Gora. Sekarang marilah saya
lanjutkan cerita datu Aji Bolak itu.
Bagaimana tanda untuk menyatakan vokal "u" diperoleh.
Tepat pada hari "Singkora Purnama" (tanggal 13), yaitu dua hari sebelum hari "Tula"
(Purnama) pada bulan "Sipaha pitu" (bulan ke 4), datu Aji Bolak duduk-duduk bersenang-
senang di "sopo godang"-nya bersama-sama beberapa orang teman sekampungnya.Mengenai
"sopo godang", pada. zaman dahulu penggunaannya sangat banyak. Bagian atas yang terdiri
dari satu ruangan besar dipakai orang untuk menyimpan padi. Di bawahhya terdapat sebuah
ruangn yang tak berdinding jadi terbuka saja. Bagian inilah yang selalu dipakai orang sebagai
tempat berkumpul, kapan saja perlu. Biasanya bila matahari mulai terbenam, berdatanganlah
orang ke situ. Dan begitulah pada hari dan tanggal tersebut di atas, "sopo godang" datu Aji
Bolak didatangi oleh teman-teman sekampungnya untuk mendengar cerita-cerita datu itu.
Banyak yang telah mereka dengar dari dia, tetapi tidak pernah diceritakan oleh datu Aji
Bolak sedikitpun tentang "surat" yang hendak diciptakannya itu. la berpegang teguh kepada
filsafat nenek moyang orang Batak yang berbunyi:
Unang lehon jagung tu anak ni manuk. (Artinya: Jangan berikan jagung kepada anak ayam.Maksudnya: jangan berikan sesuatu
kepada seseorang yang tak sanggup menerimanya).
Menurut datu Aji Bolak, ilmu "surat" itu masih terlalu tinggi untuk teman-teman
sekampungnya. Maka malam itu pun dia hanya berbicara tentang perkara-perkara biasa saja.
Tetapi sejurus kemudian muncullah seorang penduduk kampung itu yang pernah lama tinggal
di negeri orang. Dia sangat disukai oleh teman-temannya terlebih-lebih oleh anak-anak
karena cerita-ceritanya yang selalu mengasyikkan. Maka setelah anak-anak yang sedang
bermain-main di halaman melihatnya, mereka pun menghentikan permainannya dan naik ke
"sopo godang" untuk turut mendengar cerita-ceritanya. Berebutanlah anak-anak itu mencari
tempat duduk dekat si Aji Jolang-demikian nama orang tersebut-maka siku seorang anak
terkena beberapa kali ke rusuk seorang anak yang lain. Karena merasa sakit benar kena siku
itu, anak itu pun menangis keras-keras dan bunyi tangisnya kedengaran: uuu uuu, uuu. Datu
Aji Bolak yang asyik melihat kelakuan anak-anak yang saling berebutan tempat duduk itu
dan juga melihat dengan jelas perbuatan anak yang menyiku rusuk anak yang menangis
tersebut, mendadak merasa mendapat ilham. Terbayang di kepalanya gambaran siku tangan
begini dan bergemalah suara "u" dari mulut si anak yang tersikut. Pada saat itu juga
ditetapkannyalah gambar siku tangan menjadi tanda untuk menyatakan vokal (suara) "u",
tetapi karena siku tangan melekat pada badan, maka tanda "u" inipun harus melekat pada
aksara yang vokalnya hendak di ubah menjadi "u". Jadi hasilnya adalah:
h = ha dan H = hu
b = ba dan B= bu
n = na dan N = nu
Dan selanjutnya terjadil aksara-aksara:
G = gu ; S = su ; > = ngu ; J = ju ; M = mu ; D = du ; T= tu ; L= lu ;
P = pu ; R = ru ;
Terjadinya tanda untuk menyatakan bunyi vokal "o"
Pada suatu hari orang sibuk benar di kampung datu Aji Bolak karena keesokan harinya Aman
Daungan, kakak datu Aji Bolak akan mengawinkan putrinya. Hari itu segala sesuatu yang
perlu harus disediakan. Halaman dibersihkan, tikar-tikar diperiksa jangan sampai ada yang
berlobang-lobang dan harus cukup banyaknya. "Perian-perian" (gentong) tempat air pun
harus disediakan sebanyak-banyaknya. Kebetulan tugas untuk menyediakan perian-perian ini
diserahkan kepada si Aji Gora dan dia harus memikirkan sendiri di mana "Perian-perian" itu
akan ditempatkan. Tentu tidak di dalam rumah. Orang tidak makan di dalam rumah pada
pesta perkawinan, tetapi di halaman sambil duduk beralaskan tikar. Oleh karena itu, harus
diusahakan agar "Perian-perian" itu terus nampak kepada orang dan mudah dicapai.
Bagaimanakah harus dibuat agar tercapai hal yang demikian? Untunglah si Aji Gora
mendapat pikiran yang baik dan mudah dikerjakan. Diambilnya 4 potong kayu masing-
masing panjangnya kira-kira satu setengah depa. Lalu kayu itu dicocokkannya bersilang
sepasang-sepasang, dalam-dalam ke tanah, sehingga tiap-tiap pasang berbentuk: . Pada waktu
itu datanglah ibunya hendak memeriksa pekerjaannya. Melihat kayu-kayu yang bersilangan
itu, maka ibunya bertanya: "Mau membuat apa kau sebenarnya dengan kayu-kayu bersilang
itu?" Si Aji Gora menjawab, "Ada lagi nanti sepotong kayu panjang yang kuletakkan di atas
kedua pasang kayu bersilang itu, dan kayu panjang itulah nanti tempat bersandar "Perian-
perian" yang telah penuh air yang diperlukan untuk besok." Mendengar keterangan anaknya
itu, maka ibu si Aji Gora berseru, "O," sebagai pernyataan mengerti dan setuju. Kebetulan
datu Aji Bolak hadir di tempat itu dan tiba-tiba datang bisikan kepadanya untuk mengambil
gambaran sepasang kayu bersilang menjadi tanda untuk menyatakan bunyi vokal "o", sesuai
dengan seruan istrinya tadi. Maka dengan demikian terjadilah tanda untuk menyatakan bunyi
"o". Jadi: h = ha ; ho = ho
b = ba ; bo= bo
dan demikian selanjutnya dengan aksara-aksara yang lain.
Datu Aji Bolak memandang hari itu sebagai suatu hari yang berbahagia baginya, karena pada
hari itu juga ia dapat membentuk sekaligus 13 aksara baru untuk "surat" ciptaannya.
Terjadinya tanda untuk menyatakan bunyi vokal "e".
Pada suatu hari datu Aji Bolak duduk-duduk di tikar di depan "sopo godang"-nya. Di
dekatnya terletak sepotong bambu yang sebagian telah ditulisi oleh datu itu dengan aksara-
aksara yang telah siap clan sekarang hendak ditambah dengan yang baru yang telah
diciptakannya akhir-akhir ini. Maka diambilnyalah alat tulisnya yaitu sepotong besi yang
runcing dan dimulainyalah menuliskan aksara-aksara baru itu ke potongan barnbu itu. Di
dekatnya duduk seorang cucunya yang baru berumur kira-kira 4 tahun. Anak kecil itu
memperhatikan perbuatan neneknya dan memandang pekerjaan neneknya itu sebagai suatu
permainan yang mengasyikkan. Betapa gembiranya jika dia diperbolehkan oleh neneknya
membuat garis-garis pada bambu itu.Datu Aji Bolak setelah menyiapkan pekerjaannya, lalu
menjemur potongan bambu tersebut dan kemudian mengambil pipanya untuk merokok.
Tetapi tempat tembakaunya kosong, oleh karena itu pergilah dia, ke rumah untuk mengisinya.
Setelah dilihat oleh anak kecil itu neneknya pergi meninggalkan tempat itu, timbul keinginan
dalam hatinya berbuat seperti yang dilakukan oleh neneknya tadi, yaitu membuat garis-garis
pada bambu itu. Kebetulan besi alat penulis datu itu masih terletak diatas tikar tempat duduk
datu itu. Kemudian diambilnya alat penulis datu itu dan dihampirinya potongan-potongan
barnbu yang dijemur tadi. Dan mulailah dia melagak meniru perbuatan neneknya dalam
menggaris-garisi bambu tersebut. Sementara itu datu Aji Bolak telah selesai mengisi tempat
tembakaunya dan kembali hendak duduk di muka "sopo godang". Tetapi betapa terkejutnya
datu Aji Bolak setelah dia berdiri di luar rumah melihat cucunya. mengganggu bambunya
yang sangat berharga itu. Dengan suara kuat dia berseru,"'E, e, e, e!" untuk menghentikan
perbuatan cucunya itu dan diapun berlarilah mendapatkan cucunya itu. Dengan mata
terbelalak ia memeriksa keadaan bambu itu serta aksara-aksara yang telah tertulis di bambu
itu. "Ha," katanya dalam hati dengan lega, "Untung anak itu belim sempat menggores-goresi
bambu ini." Tetapi setelah lama ditelitinya aksara-aksara itu, maka terlihat olehnya sepotong
garis pendek di atas sebelah kiri aksara yang berbunyi "na", sehingga nampaknya seperti:
ne = ne Mula-mula ia hendak memarahi cucunya itu tetapi tiba-tiba teringat olehnya
filsafat nenek moyang orang Batak:
Ala muruk laos suruk.
Artinya: Karena marah mendapat mara.
Karena itu dilawannyalah perasaan marahnya lalu ia pergi membawa potongan bambu itu,
dan kembali duduk di atas tikar di depan "sopo godang". Kebetulan hari itu istrinya berada di
atas "sopo godang" itu sedang sibuk memeriksa benang yang hendak ditenunnya. Dan ia
bertanya kepada suaminya itu, "Apa yang terjadi tadi maka kakanda berseru sangat kuat e, e,
e, e,.... ; saya benar-benar sangat terkejut mendengarnya?" Datu Aji Bolak tidak menyahut
melainkan dengan mata terbelalak memandang ke langit menandakan bahwa ia mendapat
ilham. Sesaat kemuidian meledaklah suaranya, "Ya, ya, bagus, bagus! Itu dia yang saya cari
garis kecil di atas sebelah kiri sebuah aksara dan seruan "e", itulah yang akan saya buat
menjadi tanda untuk menyatukan aksara bersuara (vokal) "e". Jadi: b = ba, dan bE = be,
m = ma, dan me = me
, dan seterusnya dengan aksara lainnya.
Tidak tergambarkan kegembiraan hati datu Aji Bolak hari itu. Mukanya berseri-seri. Pada
mulutnya nampak senyum serupa dengan senyum seorang pahlawan yang kembali ke
kampungnya dengan membawa kemenangan yang gemilang. Dan memang datu Aji Bolak
waktu itu benar-benar merasa dirinya sebagai seorang pahlawan karena segala kesulitan
dalam menciptakan "Surat Batak" idam-idamannya itu pada hari itu telah berhasil di atasinya.
Istrinya juga mengetahui hal itu dan melihat keadaan suaminya, rupa-rupanya turut juga
ketularan kegembiraan itu dan berkata kepada datu Aji Bolak, "Kakanda, saya kira baiklah
kita pada hari yang berbahagia ini memotong seekor anak babi, karena menurut pendapatku,
seorang yang telah sanggup menuliskan "anak babi". patut juga makan anak babi." Datu Aji
Bolak menyahut, "Ucapanmu itu benar, adinda, marilah saya coba dahulu menuliskan "anak
babi" dengan "Surat Batak" ciptaanku itu." Maka diambilnya sepotong bambu untuk
menuliskan perkataan "anak babi". Tetapi betapa terkejutnya setelah melihat bahwa ia masih
belum sanggup menuliskan "anak babi" karena ia terbentur kepada bunyi "a". "Ha" dapat
ditulis, tetapi bunyi (hurup) "a" yang berdiri sendiri belum bisa, karena aksara atau tanda
untuk itu belum ada, demikian juga untuk vokal "o", "e" dan "i" serta "u". "Dagoi amang!"
(artinya: Aduh bapak!) keluh datu Aji Bolak. Dihempaskannya dirinya ke atas tikar seolah-
olah putus asa. Maka berkatalah istrinya: "Bagaimana kakanda ini. Telah berpuluh-puluh
aksara yang kakanda dapat ciptakan, kini hanya tinggal 5 buah lagi. Apalah artinya yang 5
buah itu? Pasti kakanda akan mendapat ilham lagi. Sabar sajalah." Perkataan istrinya itu
benar-benar menghidupkan kembali semangat datu Aii Bolak dan dalam hatinya dia berjanji
akan berlaku sabar menanti ilham yang menurut pikirannya pasti juga akan datang.
Penemuan terjadinya aksara untuk bunyi "a".
Pada suatu hari ibu si Aji Gora memerlukan sebuah penceduk air yang besar dan
disuruhnyalah anaknya membuatnya, katanya, "Buat dulu penceduk air yang agak besar.
Carilah, sebuah tempurung besar untuk itu dan beri bertangkai yang kuat." "Baik, bu," sahut
si Aji gora. Kali ini si Aji Gora betul-betul hendak melakukan pekerjaan itu dengan baik dan
dengan wajar dan tidak akan membuat sedikitpun yang lucu-lucu sebagaimana kebiasaannya
selama ini. Dicarinya sebuah tempurung besar, sepotong kayu untuk tangkainya dan rotan
untuk mengikat kedua bagian itu. Sudah itu dimulainyalah membuat penceduk air itu. Tidak
lama kemudian siaplah barang yang diminta ibunya itu. Dengan perasaan puas
dipandanginyalah hasil buatannya itu dan hatinya merasa bangga karena ada sedikit
keistimewaannya, yaitu tangkainya dibuatnya berkait sehingga ia dapat digantungkan; ini
biasanya tidak terdapat pada penceduk air. Dengan gembira dibawanyalah penceduk air itu
kepada ibunya yang pada waktu itu kebetulan sama-sama duduk di tikar dengan suaminya di
depan "sopo godang" masing-masing dengan pekerjaannya. Diperlihatkannyalah hasil
pekerjaannya itu dan sekali gus menerangkan perihal Penceduk air model baru itu yang
berbentuk: . Sambil menunjukkan bagian-bagian penceduk itu berkatalah dia, "Lihat bu,
inilah tempat airnya, ini tangkainya dan kaitan ini perlu supaya penceduk ini dapat
digantungkan kalau sudah selesai dipergunakan; dengan demikian kebersihannya terjamin."
Dengan penuh perhatian kedua orang tuanya mengikuti keterangan si Aji Gora dan
memandangi barang itu dan sesaat ke mudian berserulah ibunya, "A!" dengan bunyi "a" yang
panjang untuk menyatakan kegembiraannya karena telah mengerti keistimewaan barang itu.
Tiba-tiba datu Aji Bolak berseru pula,i "So jo!" (diamlah dulu!) Saya telah mendapat ilham."
Memang sesudah dia melihat penceduk air itu dan mendengar seruan istrinya yang
mengatakan "a", ia mendapat ilham yaitu gambar penceduk air itu akan dijadikannya aksara
baru dan disebut "a". Maka terjadilah aksara a = a.
Dan hari itu juga datu Aji Bolak mendengar bisikan sukmanya untuk memakaiaksara itu juga
buat menyatakan bunyi "o", "a", "i" dan "u" yang berdiri sendiri dengan menambahkan tanda
tanda yang telah terdapat dahulu untuk menyatakan vokal-vokal itu kepada aksara . Jadi
dapatlah digambar sebagai berikut: a = a ; ao= o ; a e = e ; ai = i ; A= u ;
Terjadinya tanda untuk menghilangkan bunyi "a" pada setiap aksara.
Bagaimana senangnya perasaan datu Aji Bolak waktu itu sulit digambarkan. Dan dia berkata
kepada istrinya, "Saya kira hari ini benar-benar kita sudah pantas memotong seekor anak babi,
tetapi lebih baik jangan dulu, kalau-kalau masih ada yang kurang lagi pada ciptaanku ini.
Hari ini saya mau coba menuliskan banyak perkataan." Istrinya sangat setuju dengan
pendapat suaminya itu.Hari itu juga dicobanya mempergunakan "surat" baru itu. Diambilnya
sepotong bambu dan dimulainyalah menulis beberapa perkataan. Perkataan pertama yang
dipilihnya, ialah "horas". Pilihan ini tentu ada maksud dan tujuannya walaupun hal itu tidak
diterangkan di sini. Tiap orang yang mengerti istilah Batak "horas" pasti terus tahu apa tujuan
datu Aji Bolak memilih perkataan "horas" untuk sasaran pertama dari tulisan ciptaannya.
Lalu dicobanyalah menuliskannya. Mula-mula bagus saja waktu dia menuliskan suku
pertama "ho": . Sekarang harus disambung dengan suku kedua "ras"'. Maka dituliskannyalah: ,
tetapi setelah dibaca yang nampak bukanlah bacaan "ras"_melainkan "rasa". Datu Aji Bolak
sangat terkejut dan perasaannya seolah-olah disambar petir. Bagaimana ini? Ini bukan hal
kecil. Beribu-ribu perkataan yang mempunyai suku kata seperti "ras", misalnya: rap, das, lan,
top, sis, hum, dan lain sebagainya. Rasa senang dan gembiranya tadi hilang lenyap dan dia
merasa seolah-olah dirantai oleh setan jahat sehingga ia tak dapat berkutik barang sedikitpun.
Akan percumakah usahanya selama ini?
"Ah, soro ni aringku, ahu lapung on,"
(Artinya: Ah, nasib buruk saya si padi kosong ini keluhnya.
Sementara itu matanya selalu tertuju dengan tak berkedip-kedip kepada tulisannya yang gagal
itu yaitu , sambil mulutnya komat-kamit menyebut-nyebut "rasa, ras, rasa ras, rasa ras."
Akhirnya ia menjadi marah dan hendak mengamuk terhadap ciptaannya itu. Hendak
diambilnya parang untuk merusak bambu penulisannya itu, tetapi kebetulan tak ada parang
dekatnya hanya sebuah pisau. Baik pisau inipun bolehlah. Lalu dipegangnya pisau itu dan
ditetakannya ke bambu itu dengan maksud menetakkannya berulang kali agar aksara-aksara
yang telah tertulis rusak. Tetapi baru sekali tetak tiba-tiba ia, dikejutkan suara istrinya
dibelakangnya yang mengatakan, "Mau berbuat apa bapak?" Datu Aji Bolak tidak jadi
meneruskan niatnya dan meletakkan pisau disampingnya seraya berkata kepada istrinya, "Ah,
tidak apa-apa hanya tanganku agak gatal sedikit." Sesudah istrinya berlalu kembali datu Aji
Bolak memandangi tulisannya pada bambu itu dan hendak kembali dibacanya. Tetapi ia,
merasa heran melihat adanya perubahan yang terjadi dibuat oleh tetakan pisaunya itu atas
tulisan tersebut, sehingga tampak olehnya telah berbentuk seperti: . Saat itu juga datu Aji
Bolak mendapat ilham dan berkata dalam hatinya: "Ini dia kunci yang saya butuhkan, garis
miring di belakang sebuah aksara untuk menghilangkan bunyi "a" pada aksara itu. Tanda ini
akan saya namai "pangolat" (penyetop). "Jadi aksara dibaca "sa", tetapi setelah ditambahkan
"pangolat" akan menjadi harus dibaca "s". Sehingga dengan demikian ls\: dibaca"las" ;
mn\ = man ; ; demikian seterusnya dengan aksara-aksara yang lain.
Datu Aji Bolak sangat gembira mendapat kunci yang hebat itu dan merasa dirinya seakan-
akan kembali muda 30 tahun dan hendak melompat-lompat kegirangan seperti anak muda.
Tapi hal itu tak dilakukannya mengingat kedukunannya yang termasyhur.
Keesokan harinya diambilnyalah sepotong bambu dan ditulisinyalah bambu itu. Nampak
sekarang semua perkataan dapat ditulis dengan baik. Hari itu juga dibuatnyalah ketetapan
sebagai berikut:
akan disebut, "INA NI SURAT" (Induk tulisan) dan:
Akan disebut "ANAK NI SURAT" (Anak tulisan).
"Ina ni surat " dan "Anak ni surat " semuanya disebut "mata ni surat" atau "sisiasia ni surat".
Apa sebabnya menulis "POS" tidak boleh pos\ : dan harus: pso\
Sudah barang tentu datu Aji Bolak berkehendak agar anaknya si Aji Goralah orang pertama
mengenal dan dapat membaca serta menulis "Surat Batak" yang diciptakannya itu. Karena itu
sesudah semua aksara yang dibutuhkan siap, dengan segera dimulainyalah mengajarkannya
kepada anaknya. Si Aji Gora bukan hanya anak yang tahu membuat yang lucu-lucu, tetapi
memang mempunyai kecerdasan otak yang tajam. Dan karena terciptanya kebanyakan
aksara-aksara itu adalah akibat ulahnya sendiri, maka dalam tempo 3 hari saja ia sudah
selesai mempelajari "Surat Batak" itu. Dan waktu ayahnya mencoba pengetahuannya dan
menyuruh menuliskan pada sepotong bambu kalimat: "Horas tondi madingin, pir tondi
matogu" (artinya: semoga kita selalu horas dan jiwa kita bertambah tangguh dan tabah dalam
perjuangan hidup) maka si Aji Gora menuliskannya dengan cermat dan tangkas:
Sebagai guru yang bijaksana datu Aji Bolak menepuk-nepuk bahu anaknya sebagai
sanjungan dan penghargaan, serta berkata, "Kau memang betul-betul anak ayah."
Tidak lama kemudian pada suatu hari keluarga datu Aji Bolak mendapat kunjungan seorang
tamu, juga seorang datu yang kemasyhurannya sama (istilah Batak: "pahebaheba') dengan
datu Aji Bolak, yang bernama datu Nanggarbegu. Tamu ini adalah sahabat karib datu Aji
Bolak. Mereka telah lama sekali berniat mengadakan hubungan kekeluargaan. (istilah Batak:
"martondong") tetapi belum dapat terlaksana karena anak-anak mereka belum lagi dewasa.
Karena itu hubungan mereka hanya tinggal pada taraf persahabatan. Tetapi hal inilah yang
membuat mereka lebih leluasa mengadakan percakapan-percakapan dan bertukar pikiran
mengenai "hadatuon" (ilmu kedukunan) yang acap kali berakibat adanya saling tolong-
menolong antara mereka sesuai dengan pameo Batak:
Masilehonan hansinghansing sama pangula,Masilehonan pupuk sama datu.
(Artinya: Saling beri memberi "hansinghansing" sesama pekerja sawah, dan saling beri
memberi "pupuk" sesama dukun. "Hansinghansing" adalah sekeping kayu untuk memperkuat
ikatan besi cangkul dengan tangkainya dan "pupuk" adalah ramuan bahan obat-obatan).
Si Aji Gora sangat suka bercakap-cakap dengan datu Nanggarbegu. Banyak hal yang
ditanyakannya kepada datu itu dan selalu mendapat jawaban-jawaban dan keterangan-
keterangan yang jelas, terlebih-lebih tentang peraturan-peraturan dan kebiasaankebiasaan
adat istiadat. Dalam hal ini datu Nanggarbegu menitikberatkan ajarannya sesuai dengan
filsafat nenek moyang:
Pantun hangoluan, tois hamagoan. (Artinya: Sopan santun menyelamatkan hidup dan sifat sebaliknya membawa kesengsaraan).
Ajaran-ajaran itu sedapat mungkin dipraktekkan juga oleh datu itu dan kalau si Aji Gora pada
suatu waktu membuat kesalahan terus ditegurnya. Begitulah pada suatu hari datu itu duduk-
duduk bersama si Aji Gora di "sopo godang". Waktu itu datu Nanggarbegu menerangkan
tentang hal "Dalihan Na Tolu" (hubungan kekeluargaan pada suku Batak). Maka datanglah
datu Aji Bolak mendapatkan mereka dan mengambil tempat di sebelah anaknya si Aji Gora,
yang membuat anak itu duduk di tengah-tengah kedua datu itu. Melihat itu datu Nanggarbegu
berkata kepada si Aji Gora, "Anakku, coba perhatikan sebentar cara duduk kita bertiga ini.
Sudah tepatkah menurut peraturan cara duduk kita bertiga ini. Sudah tepatkah menurut
peraturan sopan santun yang telah diajarkan kepadamu cara kita duduk ini?" Si Aji Gora
mula-mula bingung saja dan tidak dapat menjawab. Menurut pikirannya cara duduk mereka
itu baik saja, tetapi pendapatnya itu tidak diucapkannya dan dia tinggal bungkem saja.
Melihat itu berkatalah datu Nanggarbegu, "Kalau ada tiga orang duduk bersama-sama, maka
yang paling terhormat di antara mereka itulah yang harus duduk di tengah-tengah. Menurut
itu maka sekarang di antara kita bertiga kaulah yang paling terhormat." Mendengar itu
melompatlah si Aji Gora dari tempat duduknya dan mengambil tempat di samping kanan
ayahnya. Tetapi ayahnya melarang dan berkata, "Jangan duduk di situ, saya tidak boleh
duduk di tengah-tengah, tetapi harus tamu kita." Si Aji Gora pun segera memperbaiki
kesalahannya dan duduk di samping datu Nanggarbegu di sebelah kirinya.
Beberapa hari kemudian setelah datu Nanggarbegu pulang ke kampungnya, si Aji Gora
berkata kepada ayahnya sambil memegang sepotong bambu yang penuh tulisan "Surat Batak".
"Ayah, saya kira pada "Surat Batak" ini pun perlu juga kita perhatikan cara duduk yang sopan.
Menurut pendapat saya "anak surat" tidak boleh duduk di antara dua "ina ni surat". Jadi
sebaiknya, cara menulis "pos" yang bentuknya seperti ini: kita ubah menjadi begini:
Mendengar itu datu Aji Bolak tinggal diam saja seolah-olah tidak menghiraukan perkataan
anaknya. Tetapi sebenarnya ucapan anaknya itu sangat berkesan di hatinya dan akhirnya ia
berkata kepada anaknya, "Tepat juga pendapatmu itu Aji Gora. Bukan hanya kita saja yang
bersopan santun pada ciptaan kita pun harus nampak kesopanannya."
Penemuan tanda yang baru untuk bunyi "ng"
Pada suatu hari sewaktu masih pagi, si Aji Gora mendatangi ayahnya dengan terengah-engah
karena kecapaian berlari. Ketika itu ayahnya sedang berjemur badan di sinar matahari pagi
yang sangat mengenakkan badan dan pemberi tenaga baru. Setelah tiba di hadapan ayahnya
ia berkata, "Ayah, mari, lihatlah di sana, pada pohon petai kita. ada bersarang lebah."
Mendengar itu datu Aji Bolak segera berdiri dan pergi bersama anaknya ke pohon petai
mereka yang berjarak kira-kira seratus langkah dari rumah mereka. Benar, kira-kira sepuluh
depa tingginya dari tanah nampaklah sebuah sarang lebah yang magih kecil karena masih
dalam
masa permulaan pembangunannya. Tidak terkira banyaknya lebah yang beterbangan ke sana-
kemari sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Datu Aji Bolak sangat gembira karena
menurut kepercayaannya lebah membawa kabar baik. Oleh karena itu dengan menengadah ke
langit dan mengangkat kedua belah tangannya menyembah ke atas, ia berseru dengan penuh
khidmat,
"Ale Ompung, sahat ma na uli jala tulus ma na denggan bahen di hami. Botima." (Artinya: 0 Nenek, semoga sampailah yang baik dan tibalah yang indah bagi kami. Sekian).
(Nootpenulis: Seruan datu itu dan sembahnya tidaklah ditujukan terhadap lebah-lebah itu,
tetapi kepada Tuhan yang menjadikan dan menguasai seluruh alam).
Malam harinya sesudah "tungkap hudon" (kira-kira pukul 9 malam) yaitu setelah habis
makan dan periuk telah kosong dan dicuci serta ditelungkupkan), maka berdirilah datu Aji
Bolak di tengah-tengah halaman kampung itu (istilah Batak "di pogu ni alaman ") dan dengan
suara yang keras dan nyaring kedengaranlah keluar dari mulutya sebuah pengumuman (istilah
Batak "tingting"):
"Tingting ale di hita na sahuta on. (Dengarkanlah pengumuman bagi semua penduduk kampung kita ini). Ada lebah bersarang
di pohon petai kami yang ada di dekat tembok kampung kita ini.
Itu adalah pertanda bahwa di kampung kita ini dalam waktu dekat akan diadakan pesta untuk
merayakan sesuatu yang menggembirakan hati kita. Saya tidak tahu bentuk perayaan tersebut,
tetapi semoga Tuhan menyampaikannya dan memberkati kita semua. Berhubung dengan itu
saya minta dengan sangat supaya kita semuanya berusaha agar lebah-lebah itu jangan "bali"
(artinya meninggalkan tempat karena tidak merasa senang dan serasi di tempat itu). Seboleh-
bolehnya jangan kita dekati pohon petai itu. Dan kalau terpaksa pergi ke sana, berjalanlah
dengan tenang danjangan perhatikan perbuatan lebah-lebah itu. Kalau binatang itu mendekati
kita janganlah lari atau mengibaskan apa-apa kepadanya. Tenang-tenang sajalah dan katakan,
Dongan do ahu. (Aku ini temanmu). Dengan demikian lebah-lebah itu tidak akan menyerang
kita dan akan memandang serta memperlakukan kita sebagai sahabatnya dan akan tetap
tinggal bersarang di sini. Dan bila yang demikian terjadi dengan mudah kita dapat mengambil
madunya sekali-sekali. Binatang-binatang itu tidak akan marah, asal kita dengan bijaksana
mengambil tiap kali sebagian saja."
Dalam pada itu teman-teman sekampung datu itu pun berdatanganlah mendapatkannya untuk
mendengar keterangan lebih lanjut tentang pesta yang akan diadakan di kampung itu. Tetapi
datu Aji Bolak berkata, "Sabarlah kamu sekalian. Menurut perasaan saya pasti kita akan
mengadakan pesta dalam waktu dekat ini. Tetapi untuk apa dan sebab apa, saya belum dapat
mengatakan. Kita tunggu sajalah."
Keesokan harinya datu Aji Bolak pergi melihat-lihat sarang lebah itu. Telah bertambah besar
dan kelihatan berpuluh-puluh lebah berhinggapan dibagian luarya, sehingga nampaklah
sarang itu seperti gambar ini : Sementara itu banyak juga binatang-binatang itu berterbangan
di sekeliling datu itu dan kedengaranlah terus menerus suara: ngng ngng. Sesuai dengan
petunjuknya sendiri, datu Aji Bolak tidak berbuat apa-apa terhadap binatang-binatang itu;
tenang-tenang saja ia memandangi lebah-lebah itu. Tetapi sekali-sekali matanya ditujukannya
ke sarang lebah itu dan dilihatnyalah binatang-binatang yang hinggap di situ berupa
garisgaris kecil. Serentak dengan pandangan itu telinganya terus menerus dimasuki bunyi
"ngng-ngng".
Kira-kira sejam kemudian iapun pulanglah ke rumah, tetapi gambaran lebah-lebah itu yang
berupa garis-garis kecil seolah-olah tidak mau hilang dari matanya, dan bunyi ng-ng-ng
seperti tidak mau lenyap dari telinganya.
Bunyi "ng" dalam bahasa Batak adalah kependekan dari perkataan "oung" yang berarti "ya".
Karena itu mendengar suara "ng-ng-ng" lebah-lebah itu, timbul pada perasaan datu Aji Bolak
seolah-olah "ng" lebah itu mengatakan "ya" atas ucapannya tempo hari yang bunyinya: "0
nenek, semoga sampailah yang baik-baik kepada kami," dan membuatnya bergembira.
Setiba di halaman sopo godangnya, turunlah anaknya si Aji Gora dari sopo itu dan berkata
kepadanya, "Ayah, saya pikir, kalau lebah-lebah itu berbuat jasa kepada kita, kita pun patut
juga memberi jasa kepada binatang-binatang itu."
"Ng," sahut ayahnya, "saya menyetujui usulmu itu. Mulai hari ini kewajibanmulah menjaga
agar lebah-lebah itu jangan diganggu oleh siapa pun." "Baik, Pak," sahut si Aji Gora berjanji.
Setelah anaknya berlalu, datu Aji Bolak pergi ke belakang "sopo godang"-nya mengambil
sepotong bambu untuk ditulisi dengan catatan peringatan tentang tanggal permulaan
dilihatnya sarang lebah itu. Waktu ia hendak mengangkat potongan bambu itu, terlihatlah
olehnya beberapa ekor lebah hinggap pada bambu itu. Binatang-binatang itu tidak
diganggunya dan tidak diusiknya, karena pikirnya, lebah-lebah itu tidak lama lagi akan
terbang juga dari tempat itu. Tetapi perkiraannya meleset total. Binatang-binatang itu terus
saja tinggal di bambu itu seolah-olah melekat untuk selama-lamanya. Tiba-tiba datu itu
teringat kepada usul anaknya si Aji Gora dan merasa menerima bisikan sukma sebagai
berikut, "Untuk tanda terimakasihnya kepada lebah-lebah itu baiklah gambarnya (garis kecil)
turut digoreskan ke kulit bambu itu waktu bambu itu ditulisi dan garis kecil itu dijadikan
tanda untuk menyatakan bunyi "ng" sesuai dengan bunyi dengungan binatang-binatang itu.
Hari itu juga oleh datu Aji Bolak dibuatlah ketetapan sebagai berikut: garis kecil di atas
sebuah "ina ni surat" pada sebelah kanan menyatakan bahwa pada aksara itu ditambahkan
bunyi "ng". Jadi ialah "na" dan kalau ditambahkan garis kecil tersebut di atas menjadi: n^ =
nang, dan tidak boleh ditulis lagi seperti: . Selain itu harus juga diperhatikan: tanda "ng" ini
tidak boleh ditempatkan di atas "anak ni surat" hanya boleh di atas "ina ni surat" saja. Jadi
menuliskan "bong" tidak boleh: tetapi harus dan selanjutnya "nung" ditulis: , "ting" ditulis:
dan "meng" ditulis:
Dalam pada itu menuliskan bunyi "ng" pada permulaan suku kata tetap dipakai aksara <.
Jadi menuliskan "ngan", tetap seperti <n\ dan menuliskan "ngang": <^: menuliskan
"nging": <i^ menuliskan "ngeng": <e^ dan lain sebagainya.
Sebab terjadinya pertambahan dua buah aksara baru lagi.
Selain datu Aji Nanggarbegu, masih ada lagi sahabat karib datu Aji Bolak yang bernama datu
Aji Gorga yang bergelar:
Datu panggana-gana, datu panggunugunu,
Na malo marhata, na umboto ruhut ni uhum. (Artinya: datu yang mahir berbicara, ahli dalam ukir-ukiran dan mengetahui hukum-hukum
adat).
Kepada datu inilah datu Aji Bolak minta pertolongan untuk memberi pendidikan kepada
anaknya si Aji Gora, yang diharapkannya juga kelak menjadi datu yang baik dan termasyhur.
Bukan karena ia sendiri tidak sanggup memberi pengajaran kepada anaknya itu, tetapi karena
ia turut juga membenarkan bunyi pemeo Batak yang mengatakan:
Guru paguruhonsa, datu padatuhonsa. (Artinya: Biasanya dan sebaiknya seorang guru meminta guru lain mengajar anak-anaknya
dan demikian juga datu sebaiknya meminta datu lain mengobati anak-istrinya kalau sakit).
Telah banyak pelajaran yang diterima oleh si Aji Gora dari gurunya datu Aji Gorga. Bukan
hanya tentang "hadatuon" saja tetapi juga terlebih-lebih dalam hal mempraktekkannya.
"Hadatuon"., kata datu Aji Gorga, "dikaruniakan Ompunta Mula Jadi Na Bolon kepada kita
untuk dipakai membahagiakan orang-orang sekeliling kita dengan menolong mereka pada
waktu sakit dan memberikan mereka nasihat-nasihat yang baik pada waktu hendak
melaksanakan suatu pekerjaan adat. Datu yang baik tak akan meminta uang dari orang yang
ditolongnya. Datu yang mata duitan, "hadatuon"-nya tak akan tahan lama. Tetapi jika orang
yang telah tertolong itu memberi "humauliateon" (uang terimakasih) atas kehendak dirinya
sendiri kepada kita para datu, maka wajiblah kita menerimanya dan sekali-kali tidak boleh
menolaknya walaupun pemberian itu tidak kita butuhkan, agar orang itu jangan sakit hati
sesuai dengan filsafat nenek moyang kita:
Hansit na mulak mangido, Hansitan dope na mulak mangalehon. (Artinya: Sungguh sakit rasanya permintaan kita ditolak orang, tetapi lebih sakit lagi jika
pemberian kita ditolak orang).
Selain itu harus diperhatikan benar-benar, datu yang memakai "hadatuon"-nya untuk tujuan
merugikan atau membinasakan orang lain akan menerima hukuman berat dari Ompunta Mula
Jadi Na Bolon, bukan hanya pada waktu hidupnya di dunia ini saja, tetapi juga "tondi"-nya
(roh/jiwa) akan mendapat siksaan."
Aji Gora selalu merasa senang dan puas menerima pelajaran-pelajaran dari datu Aji Gorga
dan tetap memperhatikan dengan sungguh-sungguh ucapan-ucapannya. Kalau gurunya itu
sedang berbicara maka dia selalu memandang kepada gurunya. Tetapi pada suatu hari, waktu
itu dia sudah bisa menulis dengan "Surat Batak", timbul pikirannya untuk membuat
peringatan-peringatan pendek dari pelajaran-pelajaran yang telah diterimanya dan
menuliskannya pada sekerat bambu. Sewaktu datu Aji Gorga menerangkan sesuatu,
dilihatnya si Aji Gora membuat coretan-coretan pada sepotong bambu. Mula-mula dikiranya
anak itu hanya bermain-main saja, tetapi sesudah dilihatnya si Aji Gora membuat coretan-
coretan itu dengan cermat dan dengan penuh perhatian, diapun bertanya, "Hai Aji Gora, apa
yang kau buat di situ?" Si Aji Gora agak terkejut mendengar pertanyaan datu gurunya itu dan
merasa ragu memberi jawaban yang sebenarnya. Dia tahu bahwa ayahnya masih
merahasiakan "Surat Batak" itu kepada orang lain. Maka dengan bijaksana ia menyahut,
"Guruku, saya hanya menuruti nasihat ayahku yang mengatakan, kalau hendak mengingat
yang diajarkan oleh guru, kita harus membuat coretan-coretan pada sekerat bambu agar
pelajaran-pelajaran itu tercoret juga di dalam hati kita. " Mendengar jawaban itu, datu Aji
Gorga tidak merasa puas, dan sesudah makan malam diceritakannyalah hal itu kepada
sahabatnya datu Aji Bolak. Juga sahabatnya ini mula-mula agak terkejut dan tidak tahu apa
yang harus dikatakannya. Tetapi sejurus kemudian ia berkata, "Baiklah saya berkata terus
terang kepadamu, sahabatku. Ada sesuatu yang sampai sekarang saya rahasiakan kepada
orang lain. Tetapi karena kau adalah sahabat karibku dan yang saya pandang sebagai diriku
sendiri, marilah saya bukakan kepadamu rahasia itu." Lalu diceritakannyalah segala hal
mengenai "Surat Batak" ciptaannya itu dari permulaan sampai akhirnya. Dengan mulut
ternganga datu Aji Gorga mendengar dengan asyik cerita-cerita terjadinya aksara-aksara
"Surat Batak" itu diselingi tawanya yang meledak bila cerita itu menggambarkan perbuatan-
perbuatan si Aji Gora yang lucu-lucu. Setelah ceritera itu selesai semuanya disampaikan oleh
datu. Aji Bolak, berkatalah datu Aji Gorga, "Sahabatku, sudah waktunya sekarang kau
bukakan rahasia "Surat Batak" ciptaanmu itu. Saya akan membukakan hal itu kepada
khalayak ramai dan saya jugalah yang akan membuat pesta untuk merayakan terciptanya
"Surat Batak"-mu itu. Selain itu pada hari pesta itu saya bersama-sama sahabat-sahabat kita.
yang lain akan memberimu dan anak kita si Aji Gora yang turut memegang peranan dalam
terjadinya aksara-aksara itu, suatu gelar penghormatan. Camkanlah, sahabatku, ciptaanmu itu
tidak dapat dinilai harganya, karena akan membawa bangsa kita ke arah kemajuan dalam
segala bidang. Berhubung dengan itu, merahasiakannya lama-lama sama dengan merugikan
bangsa kita. Sekarang saya minta agar sahabatku memperlihatkan kepada saya potongan-
potongan bambu yang kau tulisi dengan "Surat Batak" ciptaanmu itu." Datu Aji Bolak benar-
benar terharu dan terpesona mendengar perkataan sahabatnya itu. Dengan melangkah lambat-
lambat ia pergi mengambil potongan-potongan bambu itu dan diletakkannya di hadapannya
datu Aji Gorga. Lama datu Aji Gorga memandangi tulisan-tulisan pada potongan-potongan
bambu itu dan akhirnya membuat konklusi bahwa garis luruslah yang memegang peranan
besar dalam "Surat Batak" itu, sehingga timbul juga pemikiran dan tanggapan, bahwa cita-
cita penciptanya bukan hanya supaya ciptaannya itu memberikan kecerdasan dan kepandaian,
tetapi juga supaya orang selalu berhati lurus memakai kecerdasan dan kepandaian itu. Dalam
pada itu datu Aji Gorga tiba-tiba mendapat ilham. Dia berkata dalam hatinya, "Alangkah
baiknya kalau pada. "Surat Batak" itu ada sesuatu yang dapat membuat orang selalu
mengingat penciptanya sebagai penghormatan baginya. Baiklah untuk itu diciptakan 2 (dua)
buah aksara yang baru lagi tetapi keduanya harus ada hubungannya dengan gelar
penghormatan yang akan diberikan kepada datu Aji Bolak dan anaknya."
Terjadinya aksara baru untuk bunyi "i" dan bunyi "u"
Keesokan harinya sesudah Aji Gorga puas memandangi potongan-potongan bambu yang
bertulisan "Surat Batak" itu, berkatalah dia, "Saya kagum melihat ciptaanmu ini. Belum
pernah saya menjumpai sesuatu yang sebanding dengan ini. Bentuknya sederhana, tetapi
cantik dan menarik, mudah menuliskannya dan, garis-garisnya yang lurus-lurus itu
melambangkan kejujuran. Tetapi mari kita lebih dahulu pergi menyumpit burung (istilah
Batak "mongultop") dan kalau perkiraan serta pemikiran saya tentang ciptaanmu itu tepat
maka tembakan-tembakan kita dengan sumpitan kita pun nanti akan selalu mengena."
Mereka pun berangkatlah. Si Aji Gora pun turut juga. Sungguh heran, tembakan-tembakan
mereka tak ada yang tak mengenai sasarannya. Sorak si Aji Gora yang tidak dapat ditahan
karena kegirangan, tidak henti-hentinya bergema di hutan tempat mereka itu menyumpit.
Sorenya dengan riang dan gembira pulanglah ketiga orang itu. Tetapi di antara ketiganya datu
Aji Gorgalah yang paling gembira, karena sewaktu menyumpit itu ia mendapat ilham lagi
yang memberikannya petunjuk untuk menyelesaikan rencananya mengenai tanda-tanda
penghormatan bagi datu Aji Bolak dan anaknya si Aji Gora.
Malamnya setelah habis makan berkatalah ia kepada sahabatnya, "Sahabatku, saya telah
selesai dengan rencanaku yang akan saya laksanakan dalam hal membuat tanda
penghormatan bagimu dan anak kita si Aji Gora. Dengarlah baik-baik dan berilah nanti
pendapatmu. Pasti sudah bahwa kami akan memberikan gelar penghormatan kepadamu dan
kepada anak kita, hanya soalnya tidak mudah menciptakannya. Namun tadi siang sewaktu
kita sedang menyumpit, saya kembali mendapat ilham yang memberikan saya petunjuk yang
tepat. Kau sahabatku akan menerima gelar: "Datu Ihutan Bisuk Na Marurat tu Toru " (Datu
Pemimpin Kebijaksanaan Yang Berakar Ke Bawah) dan pada "Surat Batak" ciptaanmu itu
yang merupakan penghormatan serta peringatan abadi bagimu, akan kita tambahkan sebuah
aksara istimewa yang baru berbunyi "i", yaitu kependekan kata "Ihutan". Aksara itu terdiri
dari tiga buah garis bertindih dan untuk menyesuaikan bentuk aksara itu dengan sebutan "Na
Marurat tu Toru", maka ketiga buah garis bertindih itu tidak sama panjang, tetapi makin ke
bawah semakin pendek seperti gambar ini: . Selanjutnya anak kita si Aji Gora akan menerima
gelar: "Ulubalang Bisuk Na Manariur tu Ginjang" (Hulubalang Kebijaksanaan Yang
Berkembang Ke Atas). Dan aksara istimewa baginya adalah yang berbunyi "u" yaitu
kependekan kata "Ulubalang". Aksara itu pun terdiri dari tiga buah garis yang bertindih dan
untuk menyesuaikan bentuk aksara itu dengan sebutan "Na Manariur tu Ginjang", maka
ketiga garis itu pun tidak sama panjang tetapi semakin ke atas makin pendek seperti gambar
ini: . Nah sahabatku, bagaimana pendapatmu?"
Datu Aji Bolak tidak dapat menjawab segera. Uraian sahabat nya itu membuatnya seolah-
olah bermimpi dan usul itu membuat nya seolah-olah mabuk, karena terlalu muluk dan tinggi.
Selama ini belum pernah timbul dalam pikirannya mencari nama dengan menciptakan "Surat
Batak" itu. Akhirnya ia berkata: "Usulmu itu sahabatku, terlalu muluk dan penghormatan
dalam rencanamu itu terlalu tinggi sehingga sangat berat bagiku untuk menerimanya. " Tetapi
datu Aji Gorga segera membantahnya dengan berapi-api, "Bah, bagaimana kau ini?! Kau
sendiri yang selalu berpegang teguh kepada pesan nenek moyang kita, "Yang bekerja patut
makan." Yang berbuat baik harus menerima imbalan yang berlipat ganda dan yang
menciptakan sesuatu yang mempertinggi martabat bangsanya harus dipuji dan disanjung
setinggi-tingginya. Coba pikir, sekiranya saya yang menciptakan "Surat Batak" itu dan orang
mengusulkan memberikan saya penghormatan sebagai yang saya rencanakan bagimu,
setujukah kamu atas usul itu atau kau sanggah? Nah, jawablah!" Datu Aji Bolak tidak
menjawab dan dengan menganggukangguk ia berkata, "Baik, laksanakanlah rencanamu itu,
semoga hal ini direstui Ompunta Mula Jadi Na Bolon."
Tidak lama kemudian diadakanlah pesta besar di kampung datu Aji Bolak untuk
memperkenalkan ciptaannya itu kepada khalayak ramai. Pesta itu tiga hari tiga malam
lamanya dengan memotong tujuh ekor kerbau. Pada hari pertamalah dengan resmi datu Aji
Bolak dan anaknya si Aji Gora menerima gelar penghormatan tersebut di atas dan direstui
oleh semua raja-raja, datu-datu dan para undangan yang lain dengan penuh khidmat.
Seluruh penduduk kampung datu Aji Bolak dan kampungkampung se
kelilingnya bersuka ria dan kedengaranlah bisik-bisik teman-teman sekampung datu Aji
Bolak, "Betul juga perkataan datu Aji Bolak tentang lebah itu."
Begitulah terjadinya aksara-aksara u = u, dan I = i, yang juga dimasukkan ke dalam
golongan "ina ni surat". Selanjutnya datu Aji Bolak kemudian menentukan cara pemakaian
kedua aksara baru itu sebagai berikut: Keduanya harus dipakai untukmenuliskan suku kata
atau kata yang terdiri dari "i" dan u
misalnya: i - u = IU , i-ma = Im , i-se = Ise , ha-u = hU , u-a = ua , dan lain
sebagainya.
Dalam hal lain, kedua aksara itu tidak boleh dipakai dan harus diturut cara lama.
Jadi begini:
sip = spi\,
pul = pL\ ,
im = ami\ ,
un = aN\,
ing = ai^ ,ung = A^ , mi = mi ,
gu = G dan lain sebagainya.
Datu guru Aji Ginagan mengakhiri "kuliah"-nya.
Pada akhir "kuliah" penghabisan ini datu guru Aji Ginagan menanyakan pendapat para
muridnya. Ada 3 orang murid yang memberikan komentar.
Ama ni Oga berkata, "Penghormatan bagi datu Aji Bolak dan anaknya, saya setujui benar,
tetapi janganlah hendaknya penghormatan itu memberatkan orang lain termasuk kita sendiri,
yang sebenarnya minggu yang lalu telah tamat belajar dalam hal mengenal dan memakai
"surat Batak" itu dan sekarang harus kembali belajar lagi akibat penambahan kedua aksara
baru itu.
Jadi penghormatan itu membuat seperti bunyi filsafat nenek moyang kita:
Mulak tata na tinutungan. (Artinya. kembali mentah yang telah dipanggang. Maksudnya: yang telah tamat belajar
dibuat kembali menjadi belum tamat belajar). Sekian pendapat saya."
Mendengar itu sebagian murid-murid itu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju.
Murid kedua yang bernama Aman Dorap, menyatakan pendapatnya, "Saya pun menyetujui
penghormatan. itu dengan sepenuhnya, tetapi tidak setuju atas semua ketetapan yang
berhubungan dengan penambahan kedua aksara yang baru itu. Sebaiknya ditentukan sebagai
berikut: Dengan terciptanya kedua buah aksara yang baru itu, maka tanda-tanda yang lama
untuk menyatakaq "i" dan "u" dihilangkan. Sekianlah pendapat saya."
Juga setelah mendengar uraian Aman Dorap ini banyak murid-murid menyatakan
persetujuannya dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian si Bindoran minta berbicara dan setelah diizinkan iapun berkata, "Saya mengecam
pendapat Ama ni Oga, karena berbau tidak rela berkorban sedikit untuk penghormatan dan
kebahagiaan orang yang telah berjasa kepadanya dan telah mempertinggi martabat bangsanya.
Pertambahan kedua aksara baru itu menurut pendapat saya, tidak perlu membuat kita gusar.
Memang benar, sekarang menjadi ada dua, macam tanda untuk menyatakan bunyi "i" dan "u".
Tetapi kita jangan lupa dalam kehidupan. sehari-hari pun kita sangat banyak menjumpai hal
serupa itu, yaitu: dua buah nama untuk satu barang malahan ada juga sampai tiga nama.
Dengarlah: Napuran atau demban (sirih), piso atau raut (pisau), parbue atau boras (beras),
bagas atau jabu atau ruma (rumah) dan lain sebagainya. Jadi marilah kita terima kedua aksara
baru itu dengan gembira dan berterimakasih. Sekian!"
Tidak ada murid yang mengangguk. Semua memandang kepada datu guru Aji Ginagan dan
menunggu bagaimana tanggapannya tentang komentar-komentar ketiga muridnya itu. Sejurus
kemudian datu guru Aji Ginagan berkata, "Saya bergembira karena hari ini nampak kepada
saya, bahwa murid-muridku bukanlah orang-orang bebal tetapi benar-benar mempunyai otak.
Tentang pendapat-pendapat Ama ni Oga, Aman Dorap dan si Bindoran yang telah sama-sama
kita dengar tadi boleh dikatakan semuanya mengandung kebenaran dan selalu dapat
dipertahankan oleh masing-masing bila disanggah orang lain.
Karena itu, untuk menentukan pendirian kita bersama dalam hal ini baiklah kita mengikuti
nasehat nenek moyang kita:
Sihingkit Sisalenggam,Tapillit ma na dumenggan. (Artinya: Di antara yang baik-baik itu kita pilihlah yang paling baik).
Adakah di antara kamu sekalian yang hendak mengajukan usul?. Tetapi perhatikan juga,
filsafat nenek moyang kita:
Niarit lili bahen pambaba,Jolo ni dilat bibir asa nidok hata. (Artinya: Pikir lebih dulu matang-matang dan barulah katakan usulmu).
Semua murid mengangguk-angguk dan ada beberapa menit lamanya mereka diam saja. Tiba-tiba Ama
ni Oga mengangkat tangan kanannya sebagai tanda meminta izin berbicara. Dan setelah datu guru Aji
Ginagan mempersilakannya berkatalah ia dengan tegas, "Pendapat si Bindoranlah yang paling baik."
Serentak murid-murid yang lain itu mengangguk-angguk tanda setuju. Dan datu guru Aji Ginagan
berkata, "Pilihah itu tepat dan marilah kita menuruti usul si Bindoran dan menerima dengan
berterimakasih perobahan-perobahan dan tamahan-tambahan itu. Sekian."
Selanjutnya saya beritahukan kepadamu, dalam dua hari mendatang ini saya akan menguji
pengetahuanmu tentang segala yang telah saya ajarkan kepadamu, dan sesudah itu kita akan makan
bersama beserta orang tua.mu sekalian menutup pelajaran kita dan mengucap syukur kepada Ompunta
Mulajadi Na Bolon."
Keesokan harinya dimulai oleh datu guru Aji Ginagan menguji pengetahuan murid-muridnya tentang
"surat Batak" itu. Di luar dugaannya hasil percobaan itu luar biasa baiknya, sehingga, datu guru itu
memutuskan tidak perlu lagi ujian itu dilanjutkan keesokan harinya, tetapi tanggal makan bersama
tidak berubah karena harinya telah ditentukan oleh datu guru Aji Ginagan setelah terlebih dahulu
memeriksa "parhalaan" (sebilah bambu di mana. tercatat semua bulan bersama hari-harinya dengan
tanda-tanda yang menunjukkan hari-hari mana yang baik untuk melaksanakan suatu pekerjaan
penting).
Tepat pada hari "Boraspati ni Tangkup" (tanggal 12) pada bulan. Sipahaopat (bulan 4) dilaksanakan
makan bersama oleh datu guru Aji Ginagan bersama murid-muridnya yang juga dihadiri oleh semua
orang tua, murid-muridnya. Anak-anak dan istri murid yang telah berumah tangga, pun turut juga.
Pada hari itu jugalah murid-muridnya mempersembahkann kepada datu guru Aji Ginagan seekor
kerbau betina sebagai pernyataan terimakasih. Dan berakhirlah cerita datu guru Aji Ginagan yang
berhasil menciptakan metode yang sangat unik serta sangat baik dan yang memperlihatkan. inteligensi
yang tinggi untuk mengajarkan "surat Batak".
PENUTUP
Untuk Saudara-saudara pembaca yang serius hendak mempelajari "Surat Batak", masih perlu
saya beri keterangan-keterangan lagi sebagai berikut:
1. Karena menulis garis yang agak melengkung lebih mudah dan senang dari pada membuat
garis lurus maka bentuk aksara-aksara "surat Batak" itu kemudian menjadi:
2. Untuk menuliskan semua kata-kata asli bahasa Toba, sebenarnya hanyalah dipergunakan
aksara-aksara yang telah diperkenalkan itu. Tetapi karena pengaruh bahasa asing maka
terpaksalah dibuat orang aksara-aksara yang baru
3. Cara menulisnya sama saja dengan menulis hurup Latin, yaitu dari kiri ke kanan.
4. Pada "Surat Batak" tak ada huruf besar atau kecil.
5. "Surat Batak" tidak mempunyai tanda baca seperti koma, titik-koma dan lain sebagainya.
Yang ada hanya tanda untuk menyatakan sebuah kalimat berakhir.
By : JONSON SIRAIT
jno\sno\ sirIt\
Source: Sebuah Blog di Internet
top related